You are on page 1of 38

PENATALAKSANAAN KEGAWATDARURATAN MEDIK

Latar Belakang Berbagai langkah harus diperhatikan dalam melaksanakan perawatan gawatdarurat obstetri dan neonatal. Penatalaksanaan meliputi pengenalan segera kondisi gawtdarurat, stabilisasi penderita, pemberian oksigen, infus dan terapi cairan, transfusi darah dan pemberian medikamentosa (antibiotika, sedatif, anestesi, analgesik dan serum anti tetanus) maupun upaya rujukan lanjutan. Semua Iangkah dan penatalaksanaan tersebut, harus dikuasai oleh petugas kesehatan/staf klinik yang bertugas di unit gawatdarurat atau ruang tindakan obstetri dan neonatal. Stabilisasi dan Rujukan Stabilisasi dan merujuk secara cepat serta dalam kondisi yang memadai akan sangat membantu pasien untuk ditangani secara memadai atau dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih lengkap dalam kondisi seoptimal mungkin. Dalam sistem pelayanan gawatdarurat dan rujukan kesehatan pada atau antar fasilitas, seharusnya sudah tersedia perangkat dan mekanisme yang jelas tentang operasionalisasi setiap unsur yang terlibat. Unsur-unsur tersebut dapat berasal dari sistem kesehatan itu sendiri ataupun sistem yang terintegrasi melalui suatu program (misalnya, Gerakan Sayang Ibu yang melibatkan Menteri UPW, Depkes dan Depdagri). Fasilitas kesehatan primer, akan merujuk pasiennya ke rumah sakit rujukan. Tetapi pada kotakota besar, mungkin saja terjadi rujukan antar Pukesmas, Rumah Sakit ataupun diantara pusat-pusat rujukan. Apapun mekanisme yang terjadi, semua unsur yang terlibat, seharusnya mampu untuk membawa pasien mencapai fasilitas rujukan yang dituju agar mendapatkan pertolongan yang mungkin sangat vital dalam menyelamatkan jiwanya. Elemen-elemen penting dalam stabilisasi pasien adalah: Menjamin kelancaran jalan nafas, memperbaiki fungsi sistem respirasi dan sirkulasi Menghentikan sumber perdarahan Mengganti cairan tubuh yang hilang Mengatasi rasa nyeri atau gelisah Terapi Cairan Pada kebanyakan kasus gawatdarurat, pasien-pasien memerlukan infus untuk mengganti cairan yang hilang. Larutan isotonik yang dianjurkan adalah Ringer Laktat dan NaCI fisiologis atau garam fisiologis (normal saline). Larutan glukosa tidak dapat

rnenggantikan garam atau elektrolit yang dibutuhkan selama penggantian cairan yang hilang. Diameter jarum infus, sangat menentukan kecepatan pemberian cairan infus. Untuk pemberian awal, dianjurkan untuk rnenggunakan ukuran 16-18 (selain untuk pemberian cairan secara cepat, juga sesuai untuk trarisfusi darah). Apabila ukuran tersebut tidak tersedia, dapat masih dapat digunakan jarum dengan ukuran 20. Saat jarum infus dimasukkan, segera ambil spesimen darah untuk pemeriksaan kadar hemoglobin, golongan darah atau pemeriksaan laboratorium lainnya. Bila pasien mengalami defisit cairan atau syok, sulit sekali dilakukan pemasangan infus dan pengambilan spesimen darah sehingga kadang-kadang diperlukan tindakan bedah untuk mengambil vena. Mengukur konsentrasi Hb dengan pengambilan darah kapiler (di ujung jari) pada pasien dengan kondisi gawat darurat, akan memberikan hasil yang kurang memuaskan. Pada kasus syok hipovolernik yang diakibatkan oleh perdarahan, berikan 500-1000 ml cairan isotonik dalam 15-20 menit pertama. Stabilisasi umumnya terjadi setelah 1-3 liter cairan infus diberikan. Setelah stabilisasi tercapai maka kecepatan cairan infus diatur rnenjadi tetesan pemeliharaan (1 liter dalam 6-8 jam). Untuk pemberian cairan infus, perhatikan: jumlah cairan yang akan diberikan lamanya pemberian per unit cairan ukuran atau diameter tabung dan kecepatan tetesan. Setiap ukuran tabung yang ada pada pangkal slang infus (yang mempunyai jarum penghubung ke botol infus) memiliki ukuran tetesan yang berbeda untuk setiap mililiter cairan. Ada tabung dengan ukuran dua puluh tetes per mililiter sedangkan yang lain 10 tetes per mililiter. Tabel 4-1 Kecepatan pemberian cairan infus
Jumlah Cairan 1 liter 1 liter 1 liter 1 liter 1 liter 1 liter 1 liter 1 liter Waktu Pemberian 20 menit 20 menit 4 jam 4 jam 6 jam 5 jam 8 jam 8 jam Tetes per mililiter 10 20 10 20 10 20 10 20 Tetes per menit Tidak dapat dihitung Tidak dapat dihitung 40 80 28 56 20 40

Rumus kecepatan cairan infus: Jumlah cairan yang dibutuhkan (miliiter)/waktu pemberian (menit) X jumlah tetes per mililiter = jumlah tetes per menit Contoh | | :

Bila pemulihan pasien telah mencapai kondisi yang memuaskan maka dapat dilakukan pemberian cairan per oral. Infus dapat dilepaskan kecuali bila dibutuhkan untuk jalur pemberian obat secara intravena. Untuk kondisi seperti itu, kecepatan tetesan cairan diperlambat (1 liter selama 10-12 jam). Dalam terapi cairan ini, juga dipantau tentang keseimbangan cairan. Apabila terjadi pembengkakan atau edema pada kaki, tangan, muka, mungkin hal ini diakibatkan oleh kelebihan cairan. Kelebihan tersebut dapat pula dinilai dan terjadinya sesak nafas atau bising nafas yang abnormal (ronkhi basah difusa). Kondisi kesehatan pasien, sangat berpengaruh terhadap jumlah perdarahan yang terjadi. Wanita sehat, akan mampu untuk bertahan terhadap kehilangan 1000 ml darah. Sebaliknya pada wanita dengan anemia kronis, kehilangan 200 ml darah, akan menyebahkan hal yang fatal. Bila dengan cairan pengganti plasma atau plasma beku kering kondisi pasien dapat menunjukkan perbaikan maka transfusi darah sebaiknya dipertimbangkan kembali. Pada kenyataannya, seorang wanita sehat, masih dapat bertahan (tanpa penggantian darah melalui transfusi) apabila kehilangan darah hingga 20% atau 1000 mililiter, dari total jumlah darah normal (5000 mililiter). Kehilangan hingga 30%, dapat diatasi dengan cairan pengganti plasma. Transfusi darah sangat dibutuhkan apabila darah yang keluar, melebihi 30% dan total jumlah darah didalam tubuh. Pada perdarahan masif, jumlah darah yang keluar dalam waktu kurang dari 3 jam, dapat mencapai lebih dari 50% jumlah total cairan darah. Terapi awal cairan pengganti, seharusnya diberikan dalam waktu yang cepat dan ini hanya dimungkinkan dengan pemberian kristaloid isotonik seperti Ringer Laktat dan garam fisiologis. Pada tahap awal ini, tidak dianjurkan untuk memberikan cairan infus larutan isotonik glukosa 5%. Pada tahap awal, jumlah cairan yang diberikan adalah 50 mililiter per kilogram berat badan (50 ml/kg BB) atau 3 kali dari perkiraan jumlah darah yang hilang. Cairan koloidal sintetik diberikan hingga 50 ml/kg BB tetapi dengan kecepatan tetesan yang lebih rendah dan larutan kristaloid isotonik. Amilum hidroksiletil atau dextran 70 diberikan 20 ml/kg BB selama 24 jam pertama. Dapat pula diberikan albumin atau fraksi protein plasma tetapi harga kedua bahan ini sangat mahal. Eritrosit tanpa plasma tidak direkomendasikan untuk pengganti cairan yang hilang sedangkan jika diberikan plasma saja, risiko transmisi penyakit, cukup tinggi. Cairan darah (eritrosit dan plasma) diberikan untuk mengganti cairan yang hilang, pembawa oksigen ke jaringan dan faktor faktor penting untuk hemostasis.

Tranfusi Darah Asuhan Kebidanan sering kali memerlukan adanya penambahan atau transfusi darah untuk menyelamatkan jiwa pasien. Mengingat tingginya frekuensi permintaan transfusi darah dari Bagian Kebidanan maka sudah sepatutnya para petugas kesehatan memahami dan waspada tentang indikasi, kesesuaian golongan, cara penggunaan dan risiko transfusi darah. Kesesuaian penggunaan cairan dan produk darah didefinisikan sebagai pemberian darah yang aman (kesesuaian golongan, risiko rendah terhadap reaksi inkompatibilitas, dan bebas dan potensi transmisi penyakit) dan ditujukan terhadap kondisi yang dapat menimbulkan morbiditas atau mortalitas dimana darah merupakan pilihan utama untuk mengatasi kondisi tersebut. Kondisi yang memerlukan transfusi darah, diantaranya adalah: Perdarahan pascapersalinan yang disertai dengan syok Kehilangan banyak darah selama prosedur operasi Anemia berat (yang disertai gejala dekompensasio kordis) pada akhir masa kehamilan

Setiap rumah sakit rujukan (terutama sekali di tingkat kabupaten) harus dapat memenuhi permintaan atau menyediakan darah pada setiap saat dimana transfusi darah diperlukan. Ketersediaan darah (minimal golongan 0 dan plasma beku segar) di Bagian Kebidanan telah menjadi suatu kewajiban karena hal ini dapat menjadi penyelamat bagi para ibu atau pasien yang sangat membutuhkan. Kewaspadaan dalam menggunakan cairan dan produk darah Kewaspadaan sangat diperlukan karena apabila cairan dan produk darah digunakan sesuai dengan indikasinya dan benar cara pemberiannya maka prosedur ini akan menyelamatkan jiwa dan memperbaiki kondisi kesehatan ibu bersalin. Sebaliknya, kelalaian dan cara pemberian yang salah, justru dapat membahayakan keselamatan jiwa ibu hamil/bersalin (kondisinya lebih baik sebelum dilakukan transfusi darah). Seperti tindakan pengobatan lainnya, transfusi darah juga mungkin menimbulkan reaksi tubuh (baik segera maupun lambat) sehingga dapat memperberat gangguan kesehatan yang sedang dialami. Selain itu, uji saring yang tidak memenuhi syarat, dapat membuat pasien tertular penyakit berbahaya akibat mikroorganisme berbahaya di dalam darah yang ditransfusikan. Penyediaan dan pengelolaan darah dan produknya, juga memerlukan sumberdaya yang sangat besar sehingga penggunaan yang tidak efisien merupakan pemborosan dan sangat merugikan. Beberapa contoh keadaan dimana transfusi darah tidak diperlukan:

o Anemia pada trimester kedua kehamilan tidak perlu diatasi dengan memberikan transfusi darah karena masih ada beberapa alternatif lain yang dapat memperbaiki kondisi tersebut (misalnya, pemberian hematinik dan nutrisi yang adekuat apabila anemia disebabkan oleh defisiensi makro dan mikro nutrien) o Transfusi untuk mempercepat persiapan tindakan operasi elektif atau untuk mempercepat pasien agar dapat segera dipulangkan. Defisit cairan dapat diatasi dengan pemberian infus dan anemia dapat dikoreksi dengan pemberian hematinik atau asupan yang mempunyai nilai gizi tinggi. Tindakan transfusi darah berdasarkan mengakibatkan hal-hal berikut ini: indikasi yang kurang tepat dapat

Pasien terpapar risiko yang seharusnya dapat dicegah Pemborosan stok darah yang mungkin sangat diperlukan oleh pasien lain

Sebelum menentukan perlunya dilakukan transfusi darah, dipertimbangkan secara matang tentang risiko yang mungkin terjadi apabila transfusi diberikan atau tidak diberikan.

Transfusi seluruh komponen darah atau hanya sel darah Transfiisi darah membawa risiko terhadap reaksi imkompatibilitas atau hemolitik yang sangat serius Produk darah dapat menularkan penyakit, termasuk penyakit berbahaya seperti HIV, hepatitis B, hepatitis C, syphilis, malaria dsb kepada resipien Setiap produk darah dapat terkontaminasi mikoorganisme dan menjadi bahan yang berbahaya apabila tidak ditangani secara baik atau diberikan kepada resipien

Transfusi plasma Plasma dapat menularkan penyakit seperti halnya seluruh komponen darah Plasma juga dapat menimbulkan berbagai reaksi transfusi Hanya beberapa indikasi tertentu saja yang memerlukan transfusi plasma (misalnya, koagulopati). Risiko yang dapat terjadi akibat transfusi plasma biasanya lebih banyak dari pada manfaatnya yang mungkin diperoleh

Pengamanan darah Risiko yang berhubungan dengan transfusi dapat dikurangi melalui upaya berikut: Seleksi akurat terhadap donor dan darah Uji tapis dan kajian prevalensi penyakit menular di komunitas donor untuk menghindarkan infeksi melalui transfusi darah dan uji keamanan darah donor Program jaga mutu darah dan produk darah Jaminan akurasi golongan darah, uji kompatibilitas, kualitas pemisahan dan penyimpanan komponen darah dan keamanan transportasi darah Kesesuaian indikasi bagi penggunaan darah dan produknya

Penapisan Bahan Yang Berpotensi Menimbulkan Infeksi Setiap unit yang terkait dengan pemberian atau donasi darah harus dapat melakukan pencegahan infeksi melalui darah melalui upaya penapisan yang efektif dan pengelolaan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (mengacu pada standar nasional atau hasil kajian tentang prevalensi agen penyebab infeksi dalam dalam donor). Semua darah yang akan didonasikan, harus lulus uji tapis penyakit-penyakit berikut ini: HIV-l dan HIV-2 Hepatitis B surface antigen (HbsAg) Treponema pallidum (syphilis) Bila memungkinkan, dilakukan pula pengujian berikut ini: Hepatitis C dan Malaria Penyakit-penyakit lain yang dapat ditularkan melalui darah (prevalensi setempat) atau lulus uji keamanan darah menurut standar nasional Uji kompatibilitas darah atau produk darah (walaupun dalam keadaan sangat genting atau gawatdarurat) Prinsip-Prinsip Transfusi Prinsip dasar kesesuaian penggunaan darah atau produk darah adalah bahwa transfusi merupakan salah satu dan banyak upaya atau tindakan untuk menyelamatkan ibu dan situasi dan kondisi gawatdarurat. Alasan utarna untuk melakukan transfusi sel darah merah adalah pemulihan fungsi oksigenasi jaringan karena hemoglobin darah mempunyai kemampuan untuk mengikat dan menghantarkan oksigen. Fungsi inilah yang tidak dapat dipenuhi oleh cairan kristaloid atau pengganti plasma. Lakukan berbagai upaya penghematan darah di dalam sirkulasi denganjalan berikut ini:

Gunakan cairan pengganti untuk resusitasi Hindarkan pengambilan spesimen darah (pemeriksaan laboratorium) secara berulang kali Gunakan teknik pembedahan dan anestesi terbaik untuk menghindarkan kehilangan darah secara berlebihan Lakukan autotransfusi apabila teknik dan kondisinya memungkinkan

Hal-hal penting yang harus diperhatikan: Transfusi merupakan salah satu elemen dan penatalaksanaan lengkap gawatdarurat Keputusan untuk menetapkan transfusi darah sebagai tindakan yang diperlukan harus diacu ke pedoman nasional penggunaan darah dan produknya serta kebutuhan pasien Selama menatalaksana pasien, lakukan segala upaya untuk mencegah perdarahan lanjutan sehingga transfusi darah dapat dihindarkan Pasien dengan perdarahan akut dalam jumlah yang banyak sebaiknya segera memperoleh tindakan resusitasi (restorasi kehilangan cairan dengan cairan pengganti, oksigen, bantuan pernafasan, dsb), dipertimbangkan perlu-tidaknya transfusi darah Walau kadar hemoglobin mengindikasikan berat-ringannya perdarahan tetapi bukan menjadi indikator tunggal untuk transfusi darah. Perhatikan juga perbaikan yang akan terjadi bila transfusi darah diberikan agar upaya ini berdampak pada penurunan AKI. Petugas keshatan harus waspada terhadap risiko transmisi penyakit berbahaya melalui transfusi darah Transfusi darah hanya diberikan apabila manfaatnya lebih besar dan risikonya Pemberian dan pemantauan transfusi darah harus dilaksanakan oleh petugas terlatih agar komplikasi dikenali secara dini dan pertolongan dapat segera diberikan Alasan untuk transfusi darah harus dicatatkan dan lakukan kajian apabila timbul reaksi yang tidak diinginkan Pemantauan Selama Transfusi Darah Lakukan pemantauan untuk setiap unit darah yang diberikan. Pemantauan dilakukan pada tahapan berikut ini: Sebelum transfusi darah dilakukan Pada saat transfusi diberikan 15 menit setelah transfusi darah berjalan Setiap jam selama transfusi darah Setiap jam dalam 4 jam pertama setelah transfusi darah

Pantau secara ketat dalam 15 menit pertama transfusi darah, lanjutkan secara reguler (sesuai jadwal diatas) selama transfusi darah dijalankan agar setiap gejala dan tanda reaksi transfusi pada pasien dapat segera dikenali dan diatasi. Selama melakukan pemantauan, perhatikan dan periksa kondisi dibawah ini: Keadaan umum Temperatur Nadi Tekanan darah Pernapasan Keseimbangan cairan (asupan enteral dan intravena serta produksi urin)

Catatkan pula hal-hal berikut ini: Waktu mulai transfusi Waktu selesai transfusi Jumlah dan jenis darah atau produk darah yang ditransfusikan Nomor donor dan nomor kantong darah Efek samping

Menangani Reaksi Transfusi Pada reaksi transfusi dapat timbul gejala dan tanda berikut mi: Demam diatas 38C Takikardia Gawat napas Hipotensi Rona merah pada wajah Iritabilitas Mual dam muntah Ruam kulit Hematuria (+1 atau lebih)

Reaksi transfusi dapat berkisar dan ruam (rash) kulit ringan hingga syok anafilaktik. Bila terjadi reaksi, lakukan hal berikut ini: Segera hentikan transfusi darah, bilas darah yang tersisa dalam slang infus dan tetap pertahankan jalur infus (gunakan garam fisiologis atau Ringer Laktat). Secara bersamaan lakukan penilaian jenis dan derajat reaksi transfusi dan tentukan upaya atau tindakan pertolongan yang sesuai. Periksa dan catat tanda-tanda vital setiap 15 menit hingga kondisi stabil tercapai Laporkan ke UTD atau Bank Darah tentang rekasi yang terjadi dan kirimkan kantong transfusi dan slang ke unit tersebut untuk konfirmasi dan kajian ulang darah dan produk darah serta hasil uji padanan silang (cross-matching) sebelumnya Lakukan pengambilan spesinlen urin setelah terjadi reaksi transfusi dan kirim ke laboratorium untuk uji konfirmatif Tabel 4-2: Komplikasi Lain Transfusi Darah
Komplikasi Sepsis Penyebab Kontaminasi mikroorganisme Pencegahan/Penanganan Gunakan darah dalam waktu 4 jam setelah diberikan. Lakukan kultur

mikroorganisme dan berikan antibiotika yang sesuai

Hipotermial/menggigil

Transfusi sejumlah besar darah yang temperaturnya masih dingin

Hangatkan ditransfusikan

darah

sebelum

Kelebihan beban cairan

Pemberian darah secara cepat dalam jumlah yang banyak disertai dengan cairan infus lainnya

Jangan memeras darah dalam kantong (kecuali pada kondisi sangat gawat). Pertimbangkan pemberian diuretika

Hipokalsmia dan hipotensi

(disritmia

Kelebihan sitrat yang ada di dalam kantong darah

Periksa kadar kalsium darah Periksa EKG Berikan Kalsium Glukonas

Beberapa upaya untuk mengatasi reaksi transfusi: Bila terjadi ruam kulit ringan dan disertai gejala sistemik lain, berikan promethazine 10 mg per oral dan perhatikan perubahan yang terjadi. Bila terjadi syok, berikan: o adrenalin 1:1000(0,1 mL dalam 10 mL cairan garam fisiologis/NS) dan berikan secara lambat melalui jalur intravena. o Tambahkan prornethazine 10mg IV. Hidrokortison 1 g IV setiap 2jam (bila perlu)

Bila terjadi spasme bronkus, berikan aminofihin 250 mg dalam 10 mL NS atau RL secara lambat melalui jalur IV Lakukan tindakan resusitasi lain jika diperlukan dan pantau fungsi ginjal, paru dan kardiovaskuler. Jika dipandang perlu untuk mendapatkan rawat intensif, segera rujuk pasien apabila kondisinya telah stabil

Pemberian Medikamentosa Keamanan, kepentingan dan cara pemberian merupakan hal-hal penting yang harus diperhatikan untuk memutuskan kapan, apa dan bagaimana menentukan pemberian medikamentosa bagi pasien. Tanyakan riwayat alergi obat-obatan sebelum memberikan obat kepada pasien. Bila ada riwayat alergi tersebut, maka harus dicarikan obat pengganti yang lebih aman tetapi juga cukup efektif. Antibiotika Pada kasus-kasus infeksi atau trauma intraabdomen, mutlak diperlukan antibiotika. Pada keadaan tersebut diatas, beri antibiotika secepat mungkin. Pemberian secara intravena akan cepat menghantarkan bahan ini ke jaringan yang mengalami infeksi. Berikan antibiotika secara intramuskuler (per oral bila pasien tidak syok) bila tidak tersedia antibiotika intravena. Karena identifikasi agen penyebab infeksi sangat sulit diperoleh dalam waktu yang singkat dan keadaan yang gawat maka dianjurkan untuk memberikan antibiotika (sebaiknya kombinasi) spektrum luas yang aktif terhadap mikro organisme gram negatif, gram positif, anerob dan kiamidia. Tabel 4-3: Antibiotika kasus infeksi penyerta kasus gawat darurat
Antibiotika Ampisilin Dosis 1 g IV tiap 4 jam atau 500 mg (oral) tiap 6 jam Keterangan Spektrum luas, murah

Benzilpenisilin

10 juta unit IV tiap 4 jam

Ada efek samping serius efektif untuk kokus Gram (+) dan Go

Kloramfenikol

1 g IV tiap 6jam

Balk untuk sepsis, penekanan sum-sum tulang, pantau gambaran darah

Gentamisin Doksisi kim Tetrasiktin

1,5 kg/kg BB/dosis IV/IM tiap 8jam 100 mg tiap 12 jam 500 mg tiap 6 jam (jangan diberikan bersamaan dengan susu atau antasida)

Efektif untuk Gram (-) dan flora usus Aktif untuk kuman Gram (+), Gram (-) termasuk Kiamidia. Dapat menggantikan atau kombinasi dengan Ampisilin. Balk dikombinasikan dengan Metronodazol

Baik untuk Gram (-) dan Anerob. Dapat dikombinasikan dengan Ampisilin dan Metronidazol 1 g IV atau per rektal tiap 12 jam atau 500 mg oral hap 6 jam Doksisiklin. Alternatif dan klindamIsin. Relatif murah dan mudah didapat.

Serapan oral mencapai kadar serum yang

sama dengan Intravena

Catatan Golongan penisilin, gentamisin dan metronidazol sering dikombinasikan dan mempunyai cakupan berbagai mikroorganisme Kloramfenikol mempunyal efektitas yang cukup luas walaupun digunakan secara tunggal dan sangat efektif jika dikombinasikan dengan penisilin/ampisilin

Sekali diberikan, antibiotika diteruskan hingga bebas demam 24-48 Jam. Bila setelah 48 jam pemberian ternyata tidak rnengelami perubahan, ganti dengan antibiotika lain. Bila terjadi perbaikan, ganti cara pemberian parenteral dengan per oral. Sesuaikan dosis per oral dengan parenteral

Cara pemberian obat (harus ditetapkan sebelum obat diberikan): Intravena Cara pemberian ini terpilih untuk pasien syok atau kondisi gawat darurat (syok septik atau hipovolemik, sepsis, reaksi alergi atau anafilaktik, resusitasi). Intramuskuler Cara ini dipilih apabila tidak tersedia bahan untuk pemberian intravena atau tidak ada sediaan untuk pemberian intravena atau apabila onset kerja obat bukan merupakan kebutuhan utama. Per oral Tidak dianjurkan untuk pasien-pasien dengan syok atau sedang dipersiapkan untuk laparotomi. Hanya diberikan pada pasien dalam keadaan sadar atau proses realimentasi berlangsung normal. Cara ini hanya memungkinkan untuk: Pasien akan dirujuk dan masih membutuhkan waktu cukup larna sebelum sampai ditempat rujukan. Tidak tersedia obat-obatan yang diberikan secara intravena atau intra muskuler. Pada saat diberikan obat, pasien tidak dalam keadaan syok. Pasien stabil dan masih dapat makan dan minum Tabel 4-4: Kombinasi antibiotika untuk infeksi ganda
Seftriakson atau Siprofloksasin atau Spektinomisin dengan Gentamisin atau Metronidazol Doksisiklin dengan Metronidazol Penisilin dengan Kloramfenikol

Tabel 4-5: Antibiotika untuk pasien Rawat Jalan


Antibiotika Seftriakson Siprofloksasinn Spektinomisin Dosis 250 mg dosis tunggal oral atau 500 mg dosis tunggal oral atau 2 g dosis tunggal oral Catatan Efektif untuk hampir semua mikroorganisme Cakupan kokus Gram (-) dan Go

Dikombinasikan dengan salah satu antibiotika di bawah ini Doksisiklin 100 mg oral 2 X sehari 10-14 hari atau Tetrasiklin 500 mg oral 4 X sehari 10-14 hari atau Kotrimoksasol 2 tablet dewasa/1 kaplet forte 10 hari

Murah dan mencakup klamidia Murah dan mencakup klamidia Spektrum luas dan murah

Penatalaksanaan Nyeri Kebanyakan pasien dengan infeksi berat, trauma intraabdomen atau mengalami demam tinggi dan komplikasi berat lainnya, akan mengeluhkan adanya nyeri dan membutuhkan obat untuk segera menghilangkan rasa tidak nyaman tersebut. Pemilihan obat nyeri tersebut, tergantung dan kondisi pasien, jenis obat, rawatan yang diberikan, waktu dan cara pemberian analgetika. Pemberian obat sebelum pemeriksaan selesai, akan menghilangkan sebagian dan gejala-gejala penyakit, yang apabila tidak dicermati, akan menyulitkan pembuatan diagnosis. Hindarkan pemberian sedatif berlebihan karena pasien akan kehilangan kemampuan untuk menjawab secara benar. Bahan narkotika, harus diberikan secara selektif dan dengan pemantauan ketat karena dapat menyebabkan depresi pernafasan. Siapkan antidotum dan peralatan resusitasi kardiopulmoner sebelum pemberian obat jenis ini. Pemberian anti nyeri non-steroid, mungkin dapat menyebabkan gangguan pembekuan darah. Oleh sebab itu, apabila prosedur AVM memerlukan penggunaan analgesik, gunakan yang aman dan tidak mengganggu sistem pembekuan darah. Beberapa analgesik, juga mempunyai efek antipiretika sehingga sebaiknya tidak diberikan sebelum selesainya pengukuran temperatur tubuh. Penggabungan analgesik dengan sedatif, kadang-kadang menyebabkan depresi pernafasan. Tetanus Pada umumnya, kuman tetanus berada pada benda-henda yang kotor atau tercemar. Apabila infeksi yang terjadi, merupakan akibat dan manipulasi organ tubuh secara berlebihan atau upaya pertolongan yang menggunakan instrumen atau berbagai peralatan yang tidak terjamin kebersihan atau sterilitasnya maka risiko infeksi ganda akan menjadi sangat tinggi. Kenyataan menunjukkan bahwa angka pemberian Toksoid Tetanus di negara-negara berkembang pada tahun 1989 hanya mencakup 16% dan ibu-ibu hamil. Oleh sebab itu, pasien-pasien dengan riwayat induksi abortus secara ilegal, mempunyai risiko yang sangat tinggi untuk dikenai tetanus.

Langkah pertama untuk mengurangi risiko tetanus ialah dengan melakukan perawatan luka-luka infeksi sebaik mungkin, dibersihkan dan memberi peluang untuk oksigenasi secara maksimal. Buang jaringan-jaringan nekrotik dan alirkan pus atau abses yang terjadi. Kemudian beri antibiotika kombinasi, misalnya penisilin dan metronidazol. Tanyakan riwayat imunisasi pada kehamilan yang lalu atau kehamilan ini dan lakukan penilaian kondisi luka atau trauma. Perhatikan kondisi berikut ini: Bila pasien pernah mendapat imunisasi secara lengkap dalam 5 tahun terakhir dan luka yang terjadi masih tergolong bersih, tidak perlu diberikan serum anti tetanus. Bila luka terkontaminasi dengan bahan infeksius (risiko tinggi terjadi tetanus) maka berikan 0,5 ml TT dan Imunogiobulin Tetanus (TIG/ATS). Bila riwayat imunisasi tidak jelas atau diragukan dan luka cenderung mengarah pada kemungkinan terjadi tetanus maka berikan TT dan TIG/ATS. Perhatikan untuk tidak menyuntikkan kedua bahan tersebut dengan jarum/tabung suntik dan pada lokasi atau tempat suntikan yang sama. Diuretika Lakukan pemantauan dan penghitungan keseimbangan cairan dengan teliti. Kesalahan dalam mengkalkulasikan cairan masuk dan keluar, akan menyebabkan cairan yang diberikan kurang dan yang ditentukan atau malahan terjadi kelebihan pemberian cairan yang dapat menimbulkan beban pada jantung atau edema paru. Konfirmasi kelebihan cairan, dapat dilihat melalui foto Ro paru atau melihat gejala fisik dan klinik (edema pada kaki, tangan, muka, palpebra atau sesak nafas, ronkhi basah). Untuk mengurangi beban jantung dan menghilangkan edema akut paru, berikan diuretika dan perhatikan perbaikan gejala atau edema yang terjadi. Keseimbangan Cairan, Elektrolit, Asam-Basa Pasien obstetric memerlukan pertimbangan khusus mengingat perubahan dalam kehamilan dan postpartum. Perubahan kardiovaskuler dan fungsi respirasi memerlukan pertimbangan mengingat bahaya komplikasi pada anestesi dan operasi, misalnya pada pasien preeklampsia, diabetes dan penyakit jantung. Manajemen Cairan Hipervolemia dan poliuria pascapersalinan sering kali terjadi pada pasien Preeklampsia/ eklampsia sebagai akibat dan masuknya cairan ekstra ke intra vaskuler) sehingga perlu pertimbangan untuk pembatasan (retriksi) cairan sampai 1500 ml/jam (penyeimbangan negatif). Bila hal tersebut dilakukan maka perlu penyesuaian pembatasan cairan setiap 6 jam, disesuaikan kondisi pasien (tekanan darah, nadi, produksi urin dsb). Pasien-pasien yang mengalami syok (renjatan) atau pasien rawat intensif, seringkali diberi cairan secara berlebihan atau terbebani akibat salah penghitungan jumlah kebutuhan dasar cairan.

Kebutuhan cairan orang dewasa dengan fungsi ginjal normal adalah 1 liter/hari. Untuk pasien dengan tindakan pembedahan, kebutuhan cairan adalah 30-40 cc/kgBB/hari; dan kebutuhan elektrolit seperti Na dan K masing masing adalah I mEq/kg/hari. Produksi urin perlu dipantau karena dapat menggambarkan secara tidak langsung tentang kondisi perfusi jaringan. Bila produksi < 17 mi/jam, kondisi ini disebut sebagai oliguria (normal: 30 mi/jam). Untuk menentukan penyebab oliguria (renal, prerenal, postrenal), periksalah berat jenis urin, hernatokrit, elektrolit, ureum, kreatinin, volume kardiovaskuler; dan bila perlu ukur kondisi Tekanan Vena Sentral (CVP) Untuk pengujian secara tidak langsung hipovolemia, diberikan 300-500 cc NS dalam 30 menit (jangan lebih !) dan apabila tidak diikuti dengan pengeluaran unin maka diduga ada hipovelomia dan segera pasang CVP. Untuk menentukan gangguan pre atau postrenal, lakukan USG ginjal/ureter untuk melihat kemungkinan adatidaknya obstruksi ureter (hidronefrosis dan di latasi ureter). Yang paling sering terjadi pada pasien obstetri ialah nekrosis tubular akibat hipoksia pada preeklampsia. Untuk mendorong diuresis dapat diberikan furosemid intravena secara bertingkat (maksimum 600mg/hari) sampai produksi urin adekuat. Bila hasilnya tidak memuaskan maka lakukan dialisis. Bila pasien disiapkan untuk tindakan operatif maka cairan perioperatif yang diberikan adalah NaCI atau RL, sedangkan untuk pascabedah (terutama apabila lebih dari 24 jam) sebaiknya diberikan KaEN yang mengandung kalori. Kebutuhan kalori pada pasien wanita (rumus Harris Benedict) bagi kebutuhan dasar adalah: Basal Energy Expenditure-kcal/hari BEE 66+13.7 berat badan (kg) + 1.8 tinggi badan (cm) -4.7x usia. Keseimbangan Asam Basa Pasien normal akan mempunyai pH 7.3 5-7.45. Pertimbangkan kondisi sebagai berikut, pada parameter:
Kelainan Akalosis respiratorik Asidosis respiratorik Alkalosis metabolik Metaboljk asidosis pH >7.40 <7.40 >7.40 <7.40 pCO2 <40 >40 >24 <24 HCO3

Bila kesenjangan anion serum (Na-Cl- HCO3) lebih dari 20 (normal ialah 12), maka telah terjadi asidosis sekalipun pH dalam batas normal. Kompensasi akan terjadi pada awal kelainan, misalnya pada asidosis metabolik akan terjadi penurunan pCO2 apabila terjadi penurunan HCO3 (base deficit); pada asidosis respiratorik akut HCO3 meningkat 0.1 per kenaikan pCO2, dan pada yang kronik HCO3 meningkat 0.35 per kenaikan pCO2. Para penolong harus mengetahui patologi dasar yang mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa. Sebaiknya dilakukan pengukuran elektrolit urin

untuk menentukan kondisi ginjal melalui pengukuran kesenjangan anion (UNa + UK Uc1), yang menunjukkan hasil negatif (lebih banyak Cl), maka ginjal sedang berkompensasi untuk mengeluarkan amonia (NH4) akibat asidosis metabolik. Yang perlu diperhatikan pada asidosis metabolik akibat kelainan ginjal adalah:
pH urin kadar K+ plasma HCO3 Kekurangan cairan tinggi N/rendah rendah Diabetes rendah tinggi >15

Kelainan ginjal kronik akan menimbulkan penumpukan anion (fosfat, urat, sulfat) sedangkan pada yang akut terjadi pemngkatan amonia, karena berkurangnya jumlah nefron. Pada kondisi HELLP akibat deposti fibrin dan kelainan endothel, pemberian heparin dan cairan (dextran) akan membantu perbaikan sirkulasi dan ginjal pada kondisi hipovolemik, sebaliknya apabila telah terjadi hipervolemia maka restriksi cairan harus dilakukan (1500 ml/hari). Bila tak memberikan perbaikan dalam 2 hari, maka perlu dilakukan dialisis. Pada kondisi asidosis metabolik yang parah maka koreksi dengan bikarbonas natrikus dapat dipertimbangkan (kecuali pada diabetes ketoasidosis). Hanya pada keadaan yang memburuk dengan pH kurang dan 7.20 maka perhitungan kebutuhan bikarbonat sbb: 0.6 x BB -kg x kadar HCO3 ; dimana separuh dan kebutuhan total tersebut diberikan dalam 1 jam pertama. Lakukan periksa ulang gas darah untuk menilai adatidaknya perbaikan. Kelainan Elektrolit Kelainan elektrolit jarang dijumpai pada kasus Obstetrik, tapi perlu dipertimbangkan pada kondisi sebagai berikut: Hiponatremia - kelainan akibat kelebihan cairan sehingga kadar Na kurang dan 130 mEq/L. Pasien dapat jatuh dalam korna dan kejang. Perlu pemeriksaan keseimbangan cairan, osmolalitas darah, osmolalitas urin dan kadar Na urin. Koreksi kekurangan Na dengan infus NaCI 3% sampai kadar menjadi normal. Hipernatremia. Kondisi ini terjadi bila ditemukan kadar Na > 145 mEq/L, biasanya akibat kehilangan cairan (kelainan ginjal, kelebihan diuresis, diare, luka bakar, dsb). Periksalah keseimbangan cairan, jurnlah urin, osmolalitas dan kadar Na urin. Hipokalemia. Umumnya terjadi akibat kehilangan kalium (muntah, diare, laksansia, kelainan ginjal, hiperglikemia, terapi insulin dsb) sehingga kadarnya rendah (akan timbul gejala bila < 3 mEq). Pada kondisi ringan dapat terjadi Lemah, kram otot dan ileus. Pada kondisi berat dapat terjadi paralisis, hiporefleksi, tetani dan pada ECG ditemukan T mendatar, gelombang U dan aritmia. Perlu pemeriksaan kreatinin untuk

menentukan kelainan ginjal. Target terapi hipokalernia mencapai kadar 4 mEq/L dengan cara: KCL/iv 10 mEq/jam melalui infus, kemudian dosis rumatan per oral (40 mEq/hari) Hiperkalemia. Pada keadaan dimana pasien lemah dan ileus perlu diperiksa kadar K. Pada ECG mungkin ditemukan T rneningkat, pemanjangan PR, pelebaran QRS. Terapi hiperkalemia dengan kelainan ECG ialah kalsium glukonas. Nilai kebutuhan Natrium Bikarbonas bila terjadi asidosis dan furosemid bila diperlukan tambahan diuresis.

Pelayanan Perioperatif Semua hasil pemeriksaan dan rencana terapi harus dituliskan pada rekam medik. Pihak keluarga diberitahukan hasil terapi dan prognosis. Rencana terapi cairan dan kalori pasien pascabedah dan rawat intensif harus dibuat secara rinci. Persiapan prabedah meliputi pemeriksaan: a. fisik: keadaan umum, kesadaran, tanda vital (tekanan darah, nadi , pernafasan, suhu dan TB-BB); kelainan pada kepala, mata, hidung, telinga dan tenggorok. Pemeriksaan paru (auskultasi : bising napas, ronkhi), jantung (suara jantung, gallop, murmur dsb) dan status nerologik. b. Laboratorium: Hb-Ht, hitung lekosit, trombosit, gula darah, elektrolit, ureum kreatinin, fungsi hati, urin mtin, tes kehamilan (bila perlu). Catat semua obat yang dipakai. Pemeriksaan ECG hanya atas indikasi dan pasien > 35 tahun Klasifikasi Risiko Pasien yang akan mengalami pembiusan dapat dibagi: Status I Pasien dengan kondisi vital cukup sehat Status II Pasien yang mempunyai penyakit sistemik ringan-sedang (anemia, gemuk) Status III Pasien dengan penyakit sistemik berat yang membatasi kegiatannya sehari-hari (diabetes dengan kelainan vaskuler, pemah sakit jantung koroner) Status IV Pasien dengan penyakit sistemik yang mengancam keselamatan jiwa pasien (insufiensi liver, gagal ginjal) Status V Pasien dalam kondisi sakit parah, prognosis buruk (kontusio serebri, emboli pam luas) Antibiotik Umumnya pasien obstetri rnempunyai risiko ringan, sehingga pada seksio hanya dibutuhkan antibiotik dosis tunggal. Namun pada dugaan infeksi maka dianjurkan untuk mendapat antibiotika yang sesuai dengan uji sensitivitas. Penurunan Resistensi Vaskuler Pasien dengan sepsis, demam, lekositosis, hipotensi normovolemik, mungkin mengalami resistensi vaskuler yang rendah. Ia memerlukan bantuan vasopresor, berupa : Dopamin yang dimulai dosis 2 ug/kg/menit yang diberikan dengan titrasi sehingga tercapai MAP> 60 mmllg. Pemasangan Kanulasi Vena Sentral Untuk pencegahan infeksi, pemasangan kanulasi vena perifer harus diganti tiap 3 hari, demikian juga keteter urethra. Indikasi pemasangan kanula vena sentral (CVP) adalah: a. vena perifer tak adekuat b. Pemantauan tekanan vena pusat-CVP

c. d. e. f. g. h. i.

Pemberian obat (flebitik): kemoterapi, Kalium Pemberian cairan cepat Resusitasi kardiopulmoner Terapi jangka panjang (antibiotik, kemoterapi) Hemodialisis Hiperalimentasi Pemberian obat vasoaktif.

Kontraindikasi kanulasi vena sentral ialah DIC. Tromboemboli Pasien bedah mayor, waktu bedah lama, dan sangat gemuk adalah risiko tinggi untuk terjadi tromboemboli. Untuk mencegah hal itu, pasien diminta menggerakkan tangan dan tungkai segera setelah mampu-sadar. Demikian pula mobilisasi dini, 8 jam pascabedah pasien duduk dan berlatih jalan (seksio, dan anestesi spinal) akan mengurangi risiko tersebut. Gejala tromboemboli dapat berupa nyeri di area lesi hingga emboli paw (sesak, penurunan kesadaran, DIC). Terapi Deep Venous Thrombosis ialah heparin 5000-10.000 IU intravena diikuti infus 18 lU/kg/jam, dengan target PIT 2 kali normal. Bila ditemukan emboli masif, maka tindakannya ialah torakotomi untuk embolektomi. Keto Asidosis Diabetik Diabetes dalam kehamilan diperkirakan sebanyak 3-5% daei seluruh kehamilan, sebagian kecil akan berakhir dengan ketoasidosis bila tak terkontrol. Sebaiknya semua kehamilan diperiksa/tapis untuk kemungkinan pengendalian yang baik. Dari awal kehamilan perlu diberikan terapi agar: gula darah puasa <105 dan postprandial 120 mg/dL. Bila gula darah < 200 mg, masih dapat diberikan metformin dan atau insulin. Bila gula darah > 300 mg/dL maka akan terjadi dislipidemia yang berbahaya untuk terjadi asidosis. Penyakit ketoasidosis rnerupakan kondisi gawat darurat yang menyebabkan sekitar 50% kemalian bayi. Patologi Akibat rasio insulin/glukagon menurun timbul hiperglikemia dan ketosis. Metabolisme keton menghasi ikan B-hydroxybutyrat dan asetoasetat yang mengakibatkan asidosis, meningkatkan respirasi kompensasi. Meningkatnya tekanan osmotik akan menimbulkan ketidak seimbangan cairan dengan kehilangan cairan dan elektrolit. Asidosis mengakibatkan keluarnya kalium dari sel dan cadangan yang rendah, meskipun kadarnya relatif normal. Akibat lanjut dan dehidrasi ialah hipotensi, renjatan dan kematian. Pada pemeriksaan elektrolit terdapat kesenjangan anion Na (Cl +HCO3) > 12. Ini menunjukkan HCO3 (buffer) menurun.

Gejala KIinik Lemah, mengantuk, sakit kepala, nausea, mulut kering, dehidrasi, penurunan kesadaran, takipnea, poliuria. Kadar gula darah> 300 mg/dL dan ketonuria (+++). Diagnosis Banding: Dehidrasi ketosis (gula normal); koma hipoglikemia; ketoasidosis alkoholik. Manajemen Tujuan manajemen ialah: rehidrasi, perbaikan elektrolit, asidosis teratasi, normalisasi kadar gula, pencegahan kematian. Pasien harus ditangani khusus multidisiplin dengan pemeriksaan: tekanan darah, nadi, pernapasan, kateter urin, pemeriksaan darah berkala. 1. Infus cairan RAJRL sebanyak 1 liter dalam 1 jam pertama, selanjutnya 500 ml dalam 3 jam dan sesuaikan dengan kebutuhan 24 jam; kontrol asupan dan luaran cairan tiap 6 jam 2. Insulin (RI) 0.4 lU/kg BB- bolus intravena dilanjutkan dengan drip 5 lU/jam dalam infus. Insulin drip dikurangi menjadi 1 lU/jam bila gula mencapai 150 mg. Setelah partus dosis insulin diberikan hanya separuh atau kurang sesuai kadar gula darah. 3. Kontrol gula darah tiap 2-3 jam, catat. Bila gula darah tidak nienurun dalam 2 jam maka dosis dinaikkan 25%. Bila sudah stabil setelah 24 jam, dosis insulin (RI) dapat diberikan subkutan 3-4 kali /hari, sesuaikan dengan kebutuhan, apabila telah menurun, benkan dosis yang lebih rendah. Bila gula darah telah mencapai K 250 mg/dl, berikan juga infus RD5. 4. Kalium diberikan bila kadar normal atau rendah, yaitu 10 mEq/ jam dan periksa ulang tiap 4 jam. Bila terjadi oligouria, hentikan pemberian kalium. 5. Berikan antibiotik spektrum lebar. 6. Periksa laboratorium: Hb/Ht, elektrolit, gula darah, kolesterol, keton darah/urin, kultur urin, gas darah. 7. Bila kesadaran menurun, peitirnbangkan perawatan jalan nafas. Adakalanya terdapat komplikasi preeklampsia (lihat manajemen PEE) 8. Jangan diberikan bikarbonat pada asidosis, kecuali pH <7.10Terminasi kehamulan hanya dilakukan bila gula darah terkendali <140 mg/dL dan atas indikasi gawat janin. 9. Pemeriksaan khusus : ECG, USG janin. 10. Persiapkan manajemen bayi: hindari hipoglikernia, hipoterrnia, gawat nafas. Pemeriksaan gula darah dilakukan berkala tiap 2-3 jam, dan lakukan terapi dextrosa (2 cc/kg) bila kadar K 30 mg/dL. Tindakan seksio hanya dilakukan atas indikasi obstetrik, pada keadaan preterm pastikan paru janin sudah matur setelah induksi maturitas. Pemberian tokolisis betamimetik dan kortikosteroid dilarang pada saat manajemen ketoasidosis.

Komplikasi Berat Yang Sulit Ditanggulangi Dalam lampiran ini diuraikan berbagai langkah untuk mengenali dan menangani berbagai komplikasi yang mungkin terjadi. Uraian tersebut dibuat dalam bentuk yang sederhana namun lengkap sehingga akan mudah dimengerti oleh petugas kesehatan. Karena beberapa kondisi dapat timbul bersamaan, maka pemilihan prioritas dalam penanganan berbagai komplikasi tersebut, akan sangat menentukan pemulihan pasien Syok Syok adalah suatu kondisi gawatdarurat yang memerlukan penanganan segera dan intensif untuk menyelamatkan jiwa pasien. Syok mengakibatkan gangguan aliran darah dan perfusi jaringan akibat kegagalan sistem sirkulasi. Terdapat berbagai penyebab syok dan khusus pada abortus inkomplit, umumnya disebabkan oleh perdarahan, infeksi/sepsis atau trauma. Pasien-pasien dengan syok, harus ditangani dengan segera dan diobservasi secara ketat karena kondisi mereka dapat memburuk secara mendadak. Tujuan utama dalam mengatasi syok adalah stabilisasi pasien yaitu mengembalikan cairan tubuh yang hilang dan memperbaiki sistem sirkulasi, yang terlihat dan naiknya tekanan darah dan turunnya frekuensi nadi dan pernapasan. Tanda-tanda Syok: nadi cepat dan halus (> 100 X per menit) menurunnya tekanan darah (diastolik < 60 mmHg) pernafasan cepat (respirasi > 32 X per menit) pucat (terutama pada konjungtiva palpebra, telapak tangan, bibir) berkeringat, gelisah, apatis/bingung atau pingsan/tidak sadar Penanganan Awal Penanganan awal sangat penting untuk menyelamatkan jiwa pasien. Periksa tanda vital Selimuti tubuh pasien agar hangat karena hipotermia akan memperburuk kondisi pasien. Jangan berikan sumber panas dan luar. Miringkan kepala/tubuh pasien untuk mencegah aspirasi muntahan. Jangan berikan sesuatu melalui mulut (dapat terjadi aspirasi atau untuk persiapan tindakan operatif)

Bebaskan jalan nafas Pastikan jalan nafas bebas, Bila tersedia, berikan oksigen melalui slang atau masker dengan kecepatan 6-8 liter per menit Tinggikan tungkai Posisi demikian akan membantu beban kerja jantung. Bila setelah posisi tersebut temyata pasien menjadi sesak, mungkin terjadi kegagalan jantung dan edema paru. Pada keadaan seperti itu, turunkan lagi tungkai pada posisi datar/semula dan tinggikan tubuh atas untuk mengurangi tekanan hidrostatik di paru-paru.
Catatan : Bila hingga langkah akhir tersebut diatas, ternyata tak tampak secara jelas perbaikan kondisi pasien atau minimnya ketersedian pasokan cairan dan medikamentosa atau adanya gangguan fungsi peralatan yang dibutuhkan bagi upaya pertolongan lanjutan, sebaiknya pasien dipindah ke ruang perawatan intensif atau disiapkan untuk dirujuk ke fasilitas

Bila ternyata harus dirujuk, pastikan: pasien dan keluarganya mendapat penjelasan tentang apa yang terjadi telah dibuatkan surat rujukan ada petugas yang menemani dan keluarga sebagai pendonor darah Perbaiki cairan tubuh Berikan segera cairan isotonik (Ringer Laktat atau garam fisiologis) 1 liter dalam 1520 menit kemudian lanjutkan hingga mencapai 3 liter (lihat kondisi pasien) dalam 2-3 jam. Pada umumnya syok hipovolernik memerlukan tiga liter cairan untuk stabilisasi atau mengembalikan cairan tubuh yang hilang. Jangan berikan cairan per oral. Transfusi darah Bila konsentrasi Rb < 6 g% atau hematokrit <20 keadaan ini menunjukkan kondisi yang kritis (kehilangan sangat banyak butir-butir darah merah) sehingga mutlak diberi transfusi darah agar perfusi (J)asokan oksigen) ke jaringan, pulih kembali. Pemeriksaan laboratorium Periksa hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit dan lekosit, trombosit, golongan darah, uji padanan silang (crossniatch) dan bila tersedia, periksa gas dan nitrogen-urea darah. Ukur jumlah dan produksi urine, produksi dibawah 50 ml/jam menunjukkan hipovolemia. Antibiotika Bila terdapat tanda-tanda infeksi (demam, menggigil, darah bercampur sekret berbau, hasil periksa apusan atau biakan darah) segera berikan antibiotika spektrum luas.

Terapi Definitif Setelah stabilisasi pasien tercapai, sambil tetap melanjutkan penanganan tersebut diatas dan memantau tanda vital, can penyebab syok. Karena syok hipovolemik akibat perdarahan hebat yang disebabkan oleh kegagalan kontraksi uterus, sisa plasenta, robekan dinding uterus atau jalan lahir maka menghentikan sumber perdarahan dan organ-organ tersebut merupakan terapi kausatif yang defenitif. Syok yang disebabkan oleh perdarahan hebat Tindakan yang segera untuk mengatasi perdarahan, akan sangat menentukan kondisi pasien. Ketenlambatan dalam menghentikan perdarahan dan mengganti cairan tubuh (darah) yang hilang, akan menimbulkan akibat yang fatal. Bila ditemukan adanya trauma atau penggunaan berbagai bahan yang diduga merupakan sumber infeksi (misalnya tanah, daun-daunan, ramuan tradisional) pada perlukaan di organ genitalia atau jalan lahir maka hal ini menunjukkan adanya usaha untuk mengakhiri kehamilan atau persalinan secara paksa. Untuk kondisi seperti itu, mutlak diberikan antibiotika karena upaya-upaya tersebut, umumnya tidak aman dan menggunakan instrumen atau alat yang tidak steril. Pertimbangkan pula pemberian anti tetanus serum (ATS). Tanda-tanda Perdarahan Hebat Pervaginam: perdarahan berwarna merah segar, banyak, tanpa atau dengan bekuan darah membasahi pakaian, pembalut atau kain/handuk pucat (terutama pada konjungtiva palpebra, telapak tangan atau bibir) pusing, gangguan kesadaran Penanganan Awal Periksa tanda vital Ukur tekanan darah, nadi, pernafasan dan temperatur. Tinggikan tungkai. Bebaskan jalan nafas Pastikan jalan nafas dalam keadaan behas. Bila tersedia, benikan oksigen dengan kecepatan 6-8 liter/menit Perbaiki volume cairan tubuh Berikan segera cairan isotonik (Ringer Laktat atau garam fisiologis) 1 liter dalam 1520 menit kemudian lanjutkan hingga mencapai 3 liter (lihat kondisi pasien) dalam 2-3 jam. Lakukan upaya stabilisasi atau mengembalikan cairan tubuh yang hilang. Jangan berikan sesuatu melalui mulut.

Transfusi darah Bila konsentrasi Hb <6 g% atau hematokrjt < 20 keadaan mi menunjukkan kondisi yang kritis (kehilangan sangat banyak butir-butir darah merah) sehingga mutlak diberi transfusi darah agar perfusi (pasokan oksigen) ke jaringan, pulih kembali. Antibiotika dan serum anti tetanus Bila terdapat tanda-tanda infeksi (demam, menggigil, darah bercampur sekret berbau, hasil periksa apusan atau biakan darah) segera berikan antibiotika spektrum luas. Bila terdapat tanda-tanda trauma alat genitalialabortus buatan, tanyakan saat terakhir mendapat tetanus toksoid. Bila hasil anamnesa tidak dapat memastikan perlindungan terhadap tetanus, berikan serum anti tetanus. Pemeriksaan laboratorium Periksa hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit dan lekosit, trombosit, golongan darah, uji padanan silang (crossmatch) dan bila tersedia, periksa gas dan nitrogen-urea darah. Ukur jumlah dan produksi urine, produksi dibawah 50 ml/jam menunjukkan hipovolemia. Terapi Definitif Apabila setelah penanganan awal, kondisi pasien stabil, cari penyebab perdarahan. Langkah-langkah tersebut juga meliputi: bila tedapat tanda-tanda trauma penetrans intra-abdomen, adanya cairan bebas di dalam rongga abdomen atau terjadi ruptura uteri (perut kembung, bising usus melemah, nyeri ulang-lepas, muallmuntah, nyeri perut atau bahu, demarn, teraba bagian-bagian bayi di bawah dinding perut), untuk itu diperlukan tindakan bedah akut bila pada pemeriksaan inspekulo, diternukan robekan pada vagina atau serviks, harus dilakukan penjahitan pada bagian-bagian yang robek tersebut lakukan penanganan untuk menghentikan perdarahan dengan mengenali secara cepat dan tepat sumber perdarahan yang ada dan lakukan prosedur klinik yang sesuai dengan hasil temuan atau diagnosis kerja Penanganan Lanjutan Setelah sumber perdarahan ditemukan, hentikan perdarahan, upayakan kondisi pasien tetap stabil. Lakukan pemantauan lanjut tanda vital dan kemajuan pengobatan. Perhatikan produksi urine, keseimbangan cairan dan sesuaikan pengobatan dengan perubahan kondisi pasien.

Infeksi/Sepsis Infeksi merupakan komplikasi yang sering terjadi pada kasus-kasus dengan perdarahan pada kehamilan muda atau persalinan traumatik. Sisa konsepsi atau debris merupakan media yang baik bagi pertumbuhan rnikroorganisme. Infeksi tersebut umumnya terjadi akibat prosedur pencegahan infeksi tidak dilakukan secara benar. Infeksi lokal perivik akan cepat berkembang menjadi infeksi sistemik (sepsis) bila tidak ditangani dengan segera dan memadai. Stabilisasi dan pengobatan sumber infeksi, sangat diperlukan untuk menyelamatkan jiwa pasien. Berikut ini tanda-tanda atau gejala infeksi lokal atau sistemik: Tanda-tanda demam (temperatur> 3 8C), menggigil atau berkeringat sekret pervginam yang berbau/keluar cairan mukopurulen melalui ostium serviks tegang/kaku dinding perut bawah (dengan atau tanpa nyeri ulang-lepas) nyeri goyang serviks (pada pemeriksaan bimanual) Gejala riwayat pengakhiran kehamilan secara paksa atau persalinan traumatik nyeri perut bawah perdarahan pervaginam yang lama (> 8 hari) kelemahan umum (gejala seperti flu) Pada kasus infeksi, nilai keinungkinan sepsis/syok septik dengan melihat: usia kehamilan penyebab perdarahan adanya trauma atau manipulasi yang berlebihan demam tinggi (>40C) atau dibawah normal (<36,5C) adanya trauma intraabdomen ata syok Infeksi lokal Infeksi lokal umumnya dapat diatasi dengan pemberian antibiotika (IV atau IM) yang efektif terhadap kuman gram positif, gram negatif, anerobik dan kiamidia. Bila terjadi infeksi sistemik atau bila berisiko tinggi untuk terjadi syok septik, berikan pengobatan yang tepat dan sesegera mungkin.

Penanganan Awal Periksa tanda vital Ukur tekanan darah, nadi, pernafasan dan temperatur. Tinggikan tungkai. Bebaskan jalan nafas Pastikan jalan nafas dalam keadaan bebas. Bila tersedia, berikan oksigen dengan kecepatan 6-8 liter/menit Perbaiki volume cairan tubuh Berikan segera cairan isotonik (Ringer Laktat atau garam fisiologis) I liter dalam 1 520 menit kemudian lanjutkan hingga mencapai 3 liter (lihat kondisi pasien) dalam 2-3 jam. Pada umumnya syok hipovolemik memerlukan tiga liter cairan untuk stabilisasi alau mengembalikan cairan tubuh yang hilang. Jangan berikan cairan per oral. Antibiotika dan serum anti tetanus Bila terdapat tanda-tanda infeksi (demam, menggigil, darah bercampur sekret berbau, hasil periksa apusan atau biakan darah) segera berikan antibiotika spektrum luas. Bila terdapat tanda-tanda trauma alat genitalia/abortus buatan, tanyakan saat terakhir mendapat tetanus toksoid. Bila hasil anamnesa tidak dapat memastikan perlindungan terhadap tetanus, berikan serum anti tetanus. Pemeriksaan laboratorium Periksa hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit dan lekosit, trombosit, golongan darah, uji padanan silang (crossrnatch) dan bila tersedia, periksa gas dan nitrogen-urea darah. Ukurjurnlah dan produksi urine, produksi dibawab 50 ml/jam menunjukkan hipovolemia. Pemeriksaan Rontgent (foto radiologi abdomen) Foto radiologi Anteroposterior (AP) abdomen dapat menunjukkan adanya udara atau bayangan cairan dalam usus. Pada infeksi klostridium, dapat terlihat gambaran gas didalam jaringan. Pada pemeriksaan mi, dapat terlihat kerangka bayi (kasus ruptura uteri). Pada posisi duduk, dapat terlihat udara dibawah diafragma apabila terjadi perforasi uterus atau usus. Terapi Definitif Pengobatan segera pada sepsis akan menyelamatkan pasien dan kondisi yang lebih buruk lagi. Sisa konsepsi merupakan sumber infeksi. sehingga setelah kondisi pasien stabil, harus dilakukan evakuasi. Trauma intraabdomen, abses pelvik dan peritonitis, merupakan indikasi untuk melakukan tindakan laparotomi (operatif). Perhatian khusus sangat diperlukan dalam menangani kasus-kasus infeksi dengan gas gangren dan/atau tetanus. Bila ada sumber infeksi lain, lakukan tindakan pengobatan yang sesuai.

Penanganan Lanjutan Setelah penyebab infeksi ditangani dan antibiotika diberikan, lanjutkan pengamatan tanda vital dan keseluruhan kondisi pasien. Perhatikan keseimbangan cairan dan produksi urine. Sesuaikan pengobatan yang diberikan dengan perubahan kondisi pasien (oksigen, obat vasoaktif, antibiotika, cairan dan sebagainya). Syok Septik Riwayat perdarahan yang lama ( lebih dan 7 han) upaya pengakhiran kehamilan atau persalinan secara paksa riwayat trauma atau rnanipulasi berlebihan pada organ genitalia atau jalan lahir demam atau gejala seperti influenza nyeri perut bawah, spasme Periksa tanda vital pucat (konjungtiva palpebra, telapak tangan, bibir) sianosis (ekstremitas, muka, dada) tekanan darah turun (<90/60 mmHg, <60 mmHg atau tidak terdeteksi) nadi cepat dan halus (> 120 x/mnt) atau filiformis pernafasan cepat (> 40 x/mnt), dalam atau dangkal, tidak teratur) demam tinggi atau dingin sekali gelisah, setengah atau tidak sadar produksi urine (kurang dan 30 ml/jam) Tanda-tanda fisik sekret atau lokhia berbau nyeri perut bawah mukopus dan serviks atau kavum uteri nyeri goyang porsio atau nyeri tekan abdomen nyeri adneksa atau adanya fluktuasi cairan Trauma abdominal perut kembung bising usus melemah nyeri epigastrik atau bahu perut tegang atau tanda peritonitis nyeri lepas ulang

Karena riwayat trauma, manipulasi atau upaya pemaksaan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis infeksi dan sepsis, gunakanlah pendekatan empati dalam menggali atau menanyakan ada-tidaknya berbagai upaya tersebut diatas. Syok septik umumnya diakibatkan oleh endotoksin atau bahan toksik mikroorganisme.

Syok Septik atau Syok Endotoksin Penanganan Awal bebaskan jalan nafas beri oksigen dengan kecepatan 6-8 liter/menit beri cairan NaCI isotonik atau Ringer Laktat melalui infus 1000 ml dalam 20 menit pertama, kemudjan 500 ml dalam 20 menit kedua. Pemberian lanjutan dapat diberikan dengan kecepatan 40 tetes/menit (tergantung derajat syok dan hasil restorasi awal). Umumnya diperlukan cairan 1 500-3000 ml untuk stabilisasi. jangan berikan sesuatu melalui mulut (per oral) Hb dibawah 8 g% atau hematokrit dibawah 20%, memerlukan transfusi darah bila, setelah restorasi cairan dalam jumlah yang memadai, masih belum terjadi perbaikan tanda vital, tambahkan obat vasoaktif(dopamin) dengan dosis awal 2,5 mikrogram (u gram) per kg/BB (dalam larutan garam isotonik). Naikkan perlahan-lahan dosis tersebut hingga mendapatkan efek yang optimal (dosis maksimal 15-20 ugram/menit). Pertahankan pada dosis yang rnenunjukkan adanya perbaikan tanda vital. Hentikan dopamin apabila tanda vital mencapai nilai normal dan produksi urine dalam batas normal. Antibiotika Kombinasi 3 golongan (Triple drugs) Ampisilin 1 gram/8 jam, Gentamisin 80 mg/8 jam dan Klindamisin 600 mg setiap 8 jam. Atau: Sefalosporin 1 gram, Gentamisin 80 mg dan Metronidazol 1 gram setiap 8 jam Alternatif .Prokain penisilin 4,8 juta unit dan Kloramfenikol 500 mg setiap 6 jam Atau: .PP 4,8 juta unit, Gentamisin 80 mg, Metronidazol 500 mg setiap 6 jam

Trauma Intraabdomen Trauma intraabdomen merupakan komplikasi yang sangat serius dan fatal. Perforasi atau ruptura uteri merupakan penyebab utama dan komplikasi tersebut. Lanjutan trauma dapat juga mengenai parametrium, ovarium, tuba falopii, omentum, usus, kandung kemih dan rektum. Hal mi menunjukkan adanya upaya pengakhiran kehamilan dengan kekerasan dan risiko infeksi, termasuk tetanus dan peritonitis, sangat tinggi. Trauma ini kadang-kadang sulit untuk segera dikenali dan menyebabkan komplikasi serius seperti perdarahan, infeksi atau bahkan kematian. Perdarahan hebat dapat masuk ke dalam kavum abdomen dan tidak timbul perdarahan pervaginam. Keadaankeadaan seperti mi, perlu diwaspai pada pasien-pasien abortus inkomplit. Pantau ketat tanda vital karena syok dapat terjadi setiap saat. Kehamilan ektopik yang terganggu atau ruptura kista ovarii, dapat juga menyebabkan perdarahan intraabdomen yang gejalanya mirip dengan trauma intraabdomen. Adanya hamil ektopik, dapat dinilai dan riwayat: hamil ektopik sebelumnya infeksi panggul penggunaan alat kontrasepsi tertentu sepeti AKDR atau kontrasepsi hormon tunggal-progestin (angka kej adian 20-30%) Bila memang suatu kehamilan ektopik, segera lakukan laparotomi untuk menghentikan perdarahan dan lakukan transfusi untuk mengganti darah yang hilang. Tanda-tanda dan gejala trauma intraabdomen Tanda-tanda perut kembung bising usus melemah dinding perut kaku dan tegang nyeri lepas-ulang (rebound tenderness) Gejala mual atau muntah nyeri bahu demam (temperatur> 3 8C) nyeri abdomen, spasme atau kram perut bawah Bila tanda-tanda dan gejala tersebut diatas disertal dengan syok, pikirkan adanya kemungkinan perdarahan intraabdomen yang hebat.

Penanganan Awal Karena trauma intraabdomen merupakan komplikasi yang sangat fatal, pengenalan dan penanganan segera dan tepat, akan menyelamatkan pasien dan kematian. Karena sebagian besar kasus ini harus diselesaikan dengan tindakan operatif maka setelah melakukan upaya stabilisasi, rujuk pasien ke rumah sakit rujukan. Periksa tanda vital Ukur tekanan darah, nadi, pernafasan dan temperatur. Tinggikan tungkai. Bebaskan jalan nafas Pastikan jalan nafas dalam keadaan bebas. BiLa terse-dia, berikan oksigen dengan kecepatan 6-8 liter/menit Perbaiki volume cairan tubuh Berikan segera cairan isotonik (Ringer Laktat atau garam fisiologis) 1 liter dalam 1520 menit kemudian lanjutkan hingga mencapai 3 liter (lihat kondisi pasien) dalam 2-3 jam. Pada umumnya syok hipovolemik memerlukan tiga liter cairan untuk stabilisasi atau mengembalikan cairan tubuh yang hilang. Jangan berikan cairan per oral. Antibiotika dan serum anti tetanus Bila terdapat tanda-tanda infeksi (demam, menggigil, darah bercampur sekret berbau, hasil periksa apusan atau biakan darah) segera berikan antibiotika spektrum luas. Bila terdapat tanda-tanda trauma alat genitalia/abortus buatan, tanyakan saat terakhir mendapat tetanus toksoid. Bila hasil anamnesa tidak dapat memastikan perlindungan terhadap tetanus, berikan serum anti tetanus. Pemeriksaan laboratorium Periksa hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit dan lekosit, trombosit, golongan darah, uji padanan silang (crossmatch) dan bila tersedia, periksa gas dan nitrogen-urea darah. Ukurjumlah dan produksi urine, produksi dibawah 50 mI/jam menunjukkan hipovolemia. Terapi Definitif Beberapa kondisi dibawah ini, merupakan kegawat-daruratan bedah yang memerlukan tindakan laparo-tomi: dinding abdomen tegang nyeri abdomen akut dan tekanan darah tetap rendah walaupun telah dilakukan upaya stabilisasi pasien (setelah pemberian 3 liter cairan infus) adanya udara atau gas didalam kavum peritoneum

Laparotomi memungkinkan dokter untuk mengetahui sumber trauma atau perdarahan dan melakukan perbaikan langsung dengan segera. Komplikasi tersebut dapat berupa peritonitis, perforasi uterus, trauma usus, trauma organ intraabdomen, ruptura organ tempat terjadinya kehamilan ektopik. Pada beberapa kasus, mungkin akan dilakukan pengangkatan organ yang mengalami trauma (uterus, usus dan sebagainya). Bila trauma intraabdomen sudah teratasi atau bila ada dugaan trauma intraabdomen tetapi kondisi pasien tetap stabil, tidak ditemukan gambaran gas atau udara dan hasil pemeriksaan radiologi, dinding abdomen lemas dan tidak ada tanda-tanda kehamilan ektopik maka lakukari evakuasi sisa konsepsi, eradikasi debris, drainase abses, embriotomi atau mengeluarkan bayi dan roigga abdomen. Penanganan Lanjutan Setelah trauma abdomen diatasi, antibiotika diberikan dan pengosongan sisa konsepsi, lanjutkan pengamatan tanda vital dan keseluruhan kondisi pasien, nilai keseimbangan cairan dan produksi urine dan berikan terapi suportif seperti oksigen, obat vasoaktif, antibiotika, terapi cairan dan sebagainya (sesuaikan dengan perubahan kondisi pasien). Resusitasi Tindakan resusitasi merupakan upaya untuk memulihkan kesadaran pada penderita yang secara klinis, mendadak atau barn mengalami kehilangan tanda-tanda kehidupan atau restorasi fase awal kegagalan fungsi vital, baik siatem pengaturan fungsi vital tunggal niaupun majernuk. Upaya mi meliputi perangsangan sistem=sistem vital agar dapat berfiingsi kembali atau penggunaan sistem artifisial untuk mempertahankan kehidupan. Resusitasi Kardio-Pulmoner Resusitasi Kardio-Pulmoner (Cardio-Pulmonaiy Resuscitation-CTR) merupakan tindakan substitusi atau artifisial terhadap sistem pernafasan dan pompa jantung pada penderita-penderita yang mengalami henti jantung atau penghentian sistem vital secara mendadak (suden death) sebagai akibat dan depresi vaso-vagal, syok berat, sengatan listrik, kegagalan respirasi ataupun oleh berbagai sebab lainiiya. Dua komponen penting dalam upaya resusitasi kardio-pilmoner adalah melalcukan ventilasi artifisial atau pernafasan buatan dan pijatjantung secara ekstemal Menangani Klien yang mengalami Gangguan Kesadaran Gangguan kesadaran dapat terjadi pada 2 kondisi, yaitu: 1. Gangguan kesadaran dengan fungsi vital yang masih baik 2. Gangguan kesadaran yang berkaitan dengan penurunan kemampuan fungsi vital

Kondisi pertama, dapat disebabkan oleh pengaruh supresif dan obat-obatan atau substansi aktif yang mempunyai efek terhadap sistem kesadaran (misalnya: sedatifa dan hipnotika, narkose atau narkotika). Kondisi kedua, umumnya disebabkan oleh komplikasi berbagai penyakit, pengaruh langsung suatu penyulit atau kegawatdaruratan medik. Kedua kondisi ini harus segera dikenali oleh petugas kesehatan pada saat melakukan penilaian awal terhadap keadaan umurn klien atau survey primer kesadaran penderita karena masing-masing kondisi rnempunyai berbagai risiko terhadap keselamatan penderita dan memerlukan penanganan yang tepat, dalam waktu yang sangat singkat. Prosedur umum dalam menangani klien yang tidak sadar, dimulai dengan melakukan evaluasi singkat tentang stat us kesadaran, kemampuan berkomunikasi, orientasi lingkungan, reaksi balik terhadap rangsangan dan riwayat (auto atau allo-anamnesis) gangguan kesadaran. Kemudian, lanjutkan dengan pemeriksaan pernafasan, denyut nadi, tekanan darah, temperatur dan tanda-tanda vital lainnya. Para petugas kesehatan harus memahami batasan terminasi kehidupan atau kematian karena apabila telah terjadi kematian, maka upaya resusitasi akan menjadi sia-sia jika terus dilakukan. Sebaliknya, kesalahan dalam determinasi kematian, dapat mengakibatkan klien kehilangan kesempatan untuk hidup karena upaya resusitasi tidak dilakukan. Fase-Fase Resusitasi Kardio-Pulmoner Fase dalam resusitasi adalah:
1. Dukungan Awal terhadap Fungsi Vital (Basic Life Support) Airway (Bebaskan jalan nafas) Breathing (Pulihkan pernafasan / ventilasi buatan) Circulation (Perbaiki sirkulasi) Drugs and Fluid (Medikamentosa dan cairan) Electrocardiography (Pemeriksaan Jantung) Fibrilation (Atasi gangguan alur impuls jantung) Gauging (Penilaian dan terapi larjutan) Human Men tation (Pemeliharaan fungsi normal) Intensive Care (Perawatan Intensif)

2.

Dukungan Lanjut terhadap Fungsi Vital (Advanced Lifesupport) Mempertahankan Fungsi Vital (Prolonged Life-support)

3.

Fase pertama disebut basic life-support karena berbagai upaya dalam langkah-langkah tersebut diatas bertujuan untuk mempertahankan atau memulihkan pernafasan dan sirkulasi yang diperlukan dalam kelangsungan suatu kehidupan. Kegagalan dalam fase ini dapat dengan segera menyebabkan tejadinya kematian.

Bebaskan jalan nafas Dalam kondisi asfiksia, jaminan terhadap bebasnya jalan nafas, akan sangat menentukan pertukaran udara melalui inspirasi dan ekspirasi. Dengan kata lain, pasokan oksigen (yang diperlukan dalam metabolisme sel) menjadi lancar dan penimbunan karbon dioksida dapat dihilangkan. Terhambatnya aliran udara melalui jalan nafas, dapat disebabkan oleh adanya material penyumbat (mukus, darah, sekiet) atau jatuhnya lidah ke orofaring sebagai akibat lanjut dan menurunnya tonus otot-otot lidah. Pengeluaran material penyumbat tidak dapat dilakukan secara spontan karena refleks ekspulsif normal (batuk) menjadi terganggu. Apabila tidak dilakukan upaya pembersihan maka akan terjadi blokade aliran udara melalui jalan nafas. Bila lidah terjatuh ke orofaring, maka lakukan serangkaian perasat mi: 1. Posisikan kepala dalam keadaan hiperekstensi 2. Sambil mempertahankan posisi tensebut diatas, angkat dagu penderita 3. Bukakan mulut yang sedang terkatup Bila perasat tersebut berhasil, maka suara mengorok (akibat jatuhnya lidah dan adanya lendir) akan hilang dan terasa adanya aliran udara melalui jalan nafas atau mulut. Apabila memang terdapat material penyurnhat, maka bersihkan jalan nafas dan miningkan posisi kepala ke arah lateral sehingga eksudat lanjutan atau sisa sekret, dapat mengalir keluar dengan gaya gravitasi. Untuk mempertahankan terbukanya jalan nafas, gunakan pipa endotrakeal atau Goedel.
Jangan lakukan tindakan heperekstensi kepala pada pasien yang mengalami trauma atau memiliki kelainan (misalnya: hernia nuclesus pulposus) pada leher karena dapat memperburuk atau membahayakan keselamatan jiwa mereka

Memulihkan pernafasan Pada kebanyakan kasus dimana pasien kehilangan kesadaran, fungsi pernafasan juga akan mengalami gangguan, bahkan dapat terhenti sama sekali. Makin lama terjadinya asfiksia, akan semakin meinperberat hipoksia. Untuk memulihkan kembali terjadinya pertukaran udara, maka segera lakukan pernafasan buatan. Jenis-jenis pernafasan buatan Pernafasan mulu ke mulut (secara tak langsung, gunakan peralatan penghantar) Pernafasan mulut ke sungkup hidung-mulut Pernafasan dengan balon resusitasi (manual) Pernafasan dengan mesin pernafasan (otomatik)

Frekuensi nafas buatan: 2 pernafasan diantara 16 kali kompresi jantung (penolong tunggal) 1 pernafasan dianatar 5 kali kompresi jantung (dua tenaga penolong) Upayakan pernafasan menjadi 10-14 kali per menit dan frekuensi kompresi 60-100 kali per menit karena frekuensi mi merupakan frekuensi fisiologis sistem kardiopulmoner. Memperbaiki sirkulasi Gangguan sirkulasi akan menyebabkan gangguan hantaran oksigen ke pusat-pusat pengaturan berbagai sistem organ vital di susunan syaraf pusat. Bila keadaan mi terus berlanjut maka kesadaran akan semakin turun dan depresi. sentral sistem vital akan semakin berat. Kegagalan hantaran pasokan oksigen ke susunan syaraf pusat akan dikenali melalui auskultasi (penurunan atau terhentinya denyut jantung) dan palpasi (melemahnya atau hilangnya pulsasi nadi). Untuk membuat pasokari buatan melalui sistern sirkulasi, lakukan kompresi jantung pada area sepertiga bawah sternum (secara tegak lurus, vertikal terhadap dinding dada, menggunakan telapak tangan penolong yang saling ditindihkan) dengan frekuensi 60- 100 kali per menit. Pantau hasil kompresi jantung dengan: Gerakan naik-turun dinding dada pada pemberian nafas buatan (tidak terdengar kebocoran udara yang masuk) Teraba denyut pembuluh karotis bersamaan dengan kompresi jantung Adanya gelombang QRS (bila EKG terpasang) Jangan khawatir akan terjadi fraktura sternum pada saat melakukan kompresi jantung. Yang paling penting adalah memantau pulsasi karotis pada saat melakukan kompresi karena keragu-raguan dalam melakukan kompresi dapat menggagalkan pasokan oksigen ke susunan syaraf pusat sehingga pasien tidak tertolong. Sebaliknya, pasokan oksigen akan dapat diterukan melalui kompresi jantung, walaupun terjadi fraktur sternum atau tulang iga. Komplikasi berat akibat fraktur tulang iga adalah pneumotoraks tetapi hal mi dapat dikoreksi setelah pasien diselamatkan (pasien tetap dapat hidup, dibandingkan dengan kompresi yang tidak adekuat dan menyebabkan kematian pasien). Penilaian Awal Resusitasi Kardio-Pulmoner Penilaian sebaiknya dilakukan setiap menit. Penilaian awal dilakukan setelah upaya fase pertama (basic life-support) dilakukan secara lengkap. Kemungkinan hasil resusitasi awal (ABC) ini adalah: Ekstrim positif, yaitu pasien sadar dan dapat mempertahankan fungsi vital atau ekstrim negatif, yaitu pasien dinyatakan meninggal

Hasil antara, yaitu pasien belum sadar tetapi belum dinyatakan meninggal. Bila belum sadar dan ada reaksi spontan (kardiopulmoner) maka lanjutkan dengan upaya fase ketiga (GHI). Apabila belum sadar dan belum ada reaksi spontan, maka lanjutkan dengan upaya fase kedua (DEF)

Medikamentosa dan cairan Pastikan alur untuk pemberian medikamentosa dan cairan melalui pembuluh darah (intravena) telah terpasang. Medikamentosa yang diberikan terdiri dan: Adrenalin 0,5-1,0 mg (untuk dewasa) atau 10 pg/kgBB (untuk neonatus) secara intravena. Setelah pemberian, lakukan bilasan pada alur intravena untuk mencegah akurnulasi obat pada perivena. Adrenalin dapat pula diberikan intratrakeal (konsentrasi 1% diencerkan hingga 10 kali) dan kemudian disemprotkan secara intratrakeal. Ulangi pemberian adrenalin setaip 3-5 menu hingga terjadi denyut jantung spontan atau sebaliknya, apabila tidak terpantau adanya denyutjantung setelab 30 menu, yang dihitung sejak inisiasi pemberian adrenalin
Melihat kondisi dan reaksi pasien, direkomendasikan untuk membenkan adrenalin dengan dosis sebagai berikut dosis umum 1 mg intravena setiap 3-5 menit dosis menengah 2-6 mg rntravena setiap 3-5 menit dosis eskalatif 1 mg-3 mg- 5 mg intravena setiap 3 menit dosis tinggi: 0,1mg/kgBB intravena setiap 3-6 menit

Berikan natrium bikarbonat 1 mEq/kgBB (intravena), yang diulang setiap 10 menit (tiap 2 menit apabila terjadi henti jantung) dengan dosis 0,5 mEq/kgBB untuk koreksi asidosis metabolik. Bila dapat dilakukan analisis gas darah, lakukan koreksi asidosis dengan formula 1/6 X defisit basa X berat badan.

Elektro kardiografi Gambaran EKG (ECG) yang memerlukan intervensi: Asistole takikardia ventrikel fibrilasi ventrikel disosiasi elektrornekanik

Asistole ulangi langkah medikamentosa (D) tambahkan kalsium glukonas 10% 1000 mg dan kalsium kiorida (CaCI2) 10% 500 mg untuk pasien dengan berat badan rata-rata 60-70 k ulangi tiap 1 menit pertimbangkan vasopresor Sulfas Atropin: dosis 1 mg intravena untuk asistole dosis 0,5 mg untuk sinus bradikardia ulangi setiap 5 menit (dosis maksimal adalah 2 mg) Takikardia/fibrilasi ventrikel gunakan defibrilator elektrode pertarna di puting susu kin dan elektrode kedua di kanan sternum atas arus listrik scarab (DC) muatan 200-360 J (dewasa), 100-200 J (anak), 50-100 J (bayi) ulangi bila perlu dan lanjutkan dengan kompresi janti.ing lignoc.aine 1-2 mg/kgBB intravena (bolus), lanjutkan 1-4 mg/rnenit melalui infus (drip) Penghentian Tindakan Resusitasi Kardio-Pulmoner Tindakan resusitasi dihentikan apabila: Terjadi pernafasan dan denyutjantung secara spontan Setalah mencapai tempat rujukan (bila ditujuk) Setelah 30-60 menit tindakan resusitasi dilakukan dan respons tubuh penderita tidak menunjukkan adanya perbaikan (refleks pupil negatif) Penolong sudah letih dan berbagai iipaya tidak rnernbuahkan hasil Pasien dinyatakan meninggal Rujukan Hall JB, Schmidt GA, Wood LDA. Principles of Critical Care. Singapore: McGraw Hill, 1993. Shaw HA, Shaw JA. Perioperative management of the female patient. eMedicine. 2006.

You might also like