You are on page 1of 13

BAB I PENDAHULUAN

Pembentukan antibodi terhadap toksin dan terhadap kuman, yang memberi proteksi kepada tubuh, kemudian ternyata tidak selalu bermanfaat sebagai perlindungan karena proses kekebalan juga mempunyai potensi untuk menimbulkan reaksi yang merugikan tubuh. Magendi pada tahun 1837 melaporkan bahwa anjing yang disuntik berkalikali dengan albumin telur dapat mati mendadak. Portier dan Richet yang menyuntik anjing dengan ekstrak anemon laut untuk mendapatkan reaksi kekebalan, ternyata menemukan reaksi yang sangat berlainan pada suntikan kedua karena anjing itu menjadi sakit keras dan kemudian mati. Mereka menamakan reaksi ini anaphylaxis (ana=menentang, phylxis=proteksi). Kemudian ditemukan reaksi yang serupa pada binatang lain pada pemakaian serum imun berasal dari binatang untuk pengobatan penyakit infeksi pada manusia juga ditemukan reaksi yang tidak diinginkan. Van Pirquet pada tahun 1906 mengusulkan nama alergi yang berarti reaksi yang berlainan. Pada waktu itu, penambahan daya tahan tubuh disebut kekebalan atau imunitas dan penambahan bahan kepekaan tubuh disebut hipersensitivitas. Sekarang istilah hipersensitivitas dan alergi dianggap sebagai sinonim dan keduanya menunjukkan kondisi badan yang berubah setelah kontak dengan antigen, sedemikian rupa sehingga antigenitu atau antigen yang mirip dengannya dapat menimbulkan reaksi patologis dalam badan. Respon imun seseorang terhadap terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat pada permukaan unsur patogen dan kemampuan untuk melakukan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen. Dalam pandangan ini, dalam respon imun diperlukan tiga hal, yaitu pertahanan, homeostatis dan pengawasan. Fungsi pertahanan ditujukan untuk perlawanan terhadap infeksi mikroorganisme, fungsi homeostasis berfungsi terhadap eliminasi komponenkomponen tubuh yang sudah tua dan fungsi pengawasan dibutuhkan untuk menghancurkan sel-sel yang bermutasi terutama yang dicurigai akan menjadi

HIPERSENSITIFITAS 3

Page 1

ganas. Dengan perkataan lain, respon imun dapat diartikan sebagai suatu sistem agar tubuh dapat mempertahankan keseimbangan antara lingkungan di luar dan di dalam tubuh. Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak

menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut hipersensitivitas atau dengan kata lain pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun seluler tergantung pada aktivitas sel B dan sel T. Aktivitas berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.

HIPERSENSITIFITAS 3

Page 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi Hipersensitivitas Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen. Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara. Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas. Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatoryhipersensitivity. Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologisuatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasisuatu mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.

2.2 Klasifikasi Hipersensitivitas Reaksi alergi semula dibagi dalam dua golongan berdasarkan kecepatan timbulnya reaksi, yaitu :

HIPERSENSITIFITAS 3

Page 3

1. Tipe cepat (immediatetype, antibody-mediated) 2. Tipe lambat (delayedtype, cellmediated) Coombs dan Gell membedakan empat jenis reaksi hipersensitivitas dan kemudian ditambah lagi satu jenis yang lain. Reaksi tipe I, II, III, dan IV berdasarkan reaksi antara antigen dan antibodi humoral dan digolongkan dalam jenis reaksi tipe cepat,walaupun kecepatan timbulnya reaksi mungkin berbeda. Reaksi tipe IV mengikut sertakan reseptor pada permukaan sel limfosit (cellmediated) dan karena reaksinya lambat disebut tipe lambat (delayedtype). Reaksi hipersensitif merujuk kepada reaksi berlebihan , tidak diinginkan (menimbulkan ketidaknyamanan dan kadang-kadang berakibat fatal) dari sistem kekebalan tubuh. Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas. Menurut Gell dan Coombs ada 4 tipe reaksi hipersensitif yaitu : 1. Reaksi hipersensitif tipe I atau reaksi anafilaktik. 2. Reaksi hipersensitif tipe II atau sitotoksik. 3. Reaksi hipersensitif tipe III atau kompleks imun. 4. Reaksi hipersensitif tipe IV atau reaksi yang diperantarai sel. Berdasarkan kecepatan reaksinya, tipe I, II dan III termasuk tipe cepat karena diperantarai oleh respon humoral (melibatkan antibodi) dan tipe IV termasuk tipe lambat. Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag. Faktor kemotatik yang ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai memfagositosis kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga mengakibatkan

HIPERSENSITIFITAS 3

Page 4

pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf, yakni berupa enzim proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan kinin

2.3 Hipersensitifitas tipe 3 Reaksi tipe III atau kompleks imun Dalam keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke hati, limpa dan di sana dimusnahkan oleh sel fagosit monokuler, terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada di dalam sirkulasi untuk jangka waktu lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun tersebut mengendap di jaringan. 1. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif. Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun sehingga makrofag dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang dapat merusak jaringan. Kompleks imun yang terdiri dari atas antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG3 (dapat juga IgA) diendapkan di membran basal vaskular dan membran basal ginjal yang menimbulkan reaksi inflamasi lokal dan luas. Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan agregrasi trombosit, aktivasi makrofag, perubahan permeabilitas vaskular, aktivasi sel mast, produksi dan penglepasan mediator inflamasi dan bahan kemotaktik serta influks

HIPERSENSITIFITAS 3

Page 5

neutrofil. Bahan toksik yang dilepas neutrofil dapat menimbulkan kerusakan jaringan setempat.

2.

Kompleks imun mengendap di jaringan Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan kompleks imun di jaringan ialah ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskular yang meningkat, antara lain karena histamin yang dilepas sel mast.

3.

Bentuk reaksi Reaksi tipe III mempunyai dua bentuk reaksi, lokal dan sistemik. a. Reaksi lokal atau Fenomen Arthus Arthus yang menyuntikan serum kuda ke dalam kelinci intradermal berulang-ulang kali ditempat yang sama menemukan reaksi yang makin menghebat di tempat suntikan. Mula-mula hanya terjadi eritem ringan dan edem dalam 2-4 jam sesudah suntikan. Reaksi tersebut menghilang keesokan harinya. Suntikan kemudian menimbulkan edem yang lebih besar dan suntikan yang ke 5-6 menimbulkam perdarahan dan nekrosis yang sulit sembuh. Hal tersebut disebut fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi dari kompleks imun. Antibodi yang ditemukan adalah jenis presipitin. Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat neutrofil menempel pada endotel vaskular dan bermigrasi ke jaringan tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul berupa kerusakan jaringan lokal dan vaskular akibat akumulasi cairan (edem) dan SDM (eritem) sampai nekrosis. Reaksi Tipe Arthus dapat terjadi intrapulmoner yang diinduksi kuman, spora jamur atau protein fekal kering yang dapat menimbulkan pneumonitis atau alveolitis atau Farmers lung. C3a dan C5a (anafilatoksin) yang terbentuk pada aktivasi komplemen, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah yang

HIPERSENSITIFITAS 3

Page 6

dapat menimbulkan edem. C3a dan C5a berfungsi juga sebagai faktor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai dikerahkan di tempat reaksi dan menimbulkan statis dan obstruksi total aliran darah. Sasaran anafilatoksin adalah pembuluh darah kecil, sel mast, otot polos dan leukosit perifer yang menimbulkan kontraksi otot polos, degranulasi sel mast, peningkatan premeabilitas vaskular dan respons tripel terhadap kulit. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease, kolagenase dan bahan vasoaktif. Akhirnya terjadi perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat. Dengan pemeriksaan imunofluoresen, antigen, antibodi dan berbagai komponen komplemen dapat ditemukan di tempat kerusakan pada dinding pembuluh darah. Bila kadar komplemen atau jumlah granulosit menurun (pada hewan, kadar komplemen dapat diturunkan dengan bisa kobra), maka kerusakaan khas dari Arthus tidak terjadi. Reaksi Arthus di dalam klinik dapat berupa vaskulitis. b. Reaksi Tipe III sistemik serum sickness Antigen dalam jumlah besar yang masuk ke dalam sirkulasi darah dapat membentuk kompleks imun. Bila antigen jauh berlebihan disbanding antibody, kompleks yang dibentuk adalah lebih kecil yang tidak mudah untuk dibersihkan fagosit sehingga dapat menimbulkan kerusakan jaringan tipe III di berbagai tempat. Dahulu reaksi tipe III sistemik demikian sering terlihat pada pemberian antitoksin yang mengandung serum asing seperti antitetanus atau antidifteri asal kuda. Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang diaktifkan melepas anafilatoksin (C3a, C5a) yang memacu sel mast dan basofil melepas histamine. Mediator lainnya dan MCF (C3a, C5a, C5, C6, C7) mengerahkan polimorf

HIPERSENSITIFITAS 3

Page 7

yang melepas enzim proteolitik dan protein polikationik. Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan di tempat-tempat dengan tekanan darah yang meninggi dan disertai putaran arus, misalnya dalam kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid dan kospus silier mata. Pada LES, ginjal merupakan tempat endapan kompleks imun. Pada arthritis rheumatoid, sel plasma dalam sinovium membentuk anti-IgG (FR berupa IGM) dan membentuk kompleks imun disendi. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mikrotrombi dan melepas amin basoaktif. Bahan vasoaktif yang dilepas sel mast dan trombosit menimbulkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vascular dan inflamasi. Neutrofil dikerahkan dan menyingkirkan kompleks imun. Neutrofil yang terkepung di jaringan akan sulit untuk menangkap dan makan kompleks, tetapi akan melepas granulnya (angry cell). Kejadian ini menimbulkan lebih banyak kerusakan jaringan. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut melepas berbagai mediator antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringa. Dalam beberapa minggu setelahh pemberian serum asing, mulai terlihat menifestasi panas dan gatal, bangkak-bengkak, kemerahan dan rasa sakit di beberapa bagian tubuh, sendi dan KGB yang dapat berupa vaskulitis sistemik (arteritis), glomerulonefritis dan arthritis. Reaksi itu disebut Pirquet dan Schick. Reaksi Herxheimer adalah serum sickness (tipe III) yang terjadi sesudah pemberian pengobatan terhadap penyakit infeksi kronis (siflis, tripanosomiasis dan bruselosis). Bila mikroorganisme dihancurkan dalam jumlah besar juga melepas sejumlah antigen yang cenderung bereaksi dengan antibody yang sudah ada dalam sirkulasi.

Hipersensitifiras ini terjadi karena adanya reaksi antara antigen dan antibody yang mengendap dalam jaringan yang dapat berkembang menjadi

HIPERSENSITIFITAS 3

Page 8

kerusakan pada jaringan tersebut. Reaksi ini terjadi jika antigen berada dalam bentuk larutan dan dapat terjadi baik pada jaringan atau sirkulasi. Potensi patogenik kompleks imun tergantung pada ukurannya. Ukuran agregat yang besar akan mengikat kimplemen dan segera dibersihkan dari peredaran diendapkan pada pembuluh darah. Di sana, terjadi dimulai kerusakan melalui kerusakan melalui ikatan reseptor Fc dan komponen komplemen pada permukaan endotel yang berakibat pada kerusakan dinding pembuluh darah. Contoh kasus reaksi tipe III ialah baskulitis nekrotikans. Antigen yang membentuk kompleks imun dapat berasal dari luar, seperti protein asing yang diinjeksikan atau dihasilkan mikroba. Juga, berasal dari dalam jika seseorang menghasilkan antibody melawan komponennya sendiri (autoimun). Penyakit yang dimediasi oleh kompleks imun ini dapat bersifat sistemik jika terbentuk di sirkulasi dan terdeposit pada berbagai organ atau terlokalisasi pada organ tertentu seperti ginjal (glomerulonefritis), sendi (arthritis) atau pembuluh darah kecil pada kulit. Reaksi hipersenditifitas tipe III setempat dapat dipicu dalam jaringan kulit indivdu yang tersenditisasi yang memiliki antibody IgG yang spesifik terhadap antigen pemicu sensitisasi tersebut. Komplek imun tersebut akan mengikat reseptor Fc pada permukaan sel dan juga mengaktifkan komplemen sehingga C5a yang terbentuk akan memicu respon peradangan setempat disertai peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat. Peningkatan permeabilitas ini memudahkan cairan dalam sel-sel darah, khususnya netrofil masuk ke jaringan ikat setempat disekitar pembuluh darah tersebut. Hipersensitilitas ini dapat bermanifestasi pada kompleks imun sistemik berupa acute serung sickness serta local berupa reaksi artus. Acute serum sickness pada masa sekarang kurang begitu umum terjadi. Percobaan untuk mengetahui reaksi ini dilakukan dengan pemberian sejumlah besar serum asing seperti serum dari kuda yang terimunisasi yang digunakan untuk perlindungan terhadap difteri. Umumnya kerusakan terjadi karena adanya pengendapan kompleks imun yang berlangsung melalui 4 tahap yaitu: 1. Ikatan antibody dengan membentuk kompleks imun Pengenalan antigen protein memicu respon imun yang membuat dilakukannya produksi antibody, sekitar satu minggu sesudah injeksi

HIPERSENSITIFITAS 3

Page 9

protein. Antibody tersebut disekresikan ke dalam darah, dimana mereka dapat bereaksi dengan antigen yang masih ada disirukulasi dan membentuk kompleks antigen-antibody. 2. Kompleks imun akan mengendap pada jaringan tertentu seperti endotel, kulit, ginjal dan persendian Factor yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun akan memicu deposisi jaringan dan penyakit belum begitu dimengerti. Secara umu, kompleks imun yang berukuran medium merupakan yang paling patogenik. Organ yang darahnya tersaring pada tekanan tinggi untuk membentuk cairan lain seperti urin dan cairan disinovial lebih sering terserang sehingga glomerulus dan sendi. 3. Faktor humoral seperti komplemen dan enzim fagosit dan factor selular akan berkumpul di daerah pengendapan. 4. Berlangsung kerusakan jaringan oleh factor humoral dan selular. Kompleks imun yang terdeposit pada jaringan akan menginisiasi reaksi inflamasi akut. Selama fase ini, sekitar 10 hari sesudah antigen masuk, dapat terjadi manifestasi klinis seperti demam, urtikaria, nyeri sendi, pembesaran nodus limfa dan proteinusia. Kerusakan yang terjadi cukup mirip pada organ apapun yang terlibat. Lesi inflamasi diberi nama sebagai vaskulitis jika terjadi pada pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi pada glomerulus ginjal, arthritis jika terjadi pada sendi dan sebagainya. Antibody yang mengikat komplemen (seperti IgG dan IgM) dan antibody yang mengikat reseptor Fc leukosit (beberapa subkelas IgG) menginduksi lesi patologis. Karena adanya penggunaan komplemen, dapat terjadi penurunan level serum C3 yang biasanya digunakan untuk memonitor aktivitas penyakit. Jika penyakit besar dari eksprosus terhadap antigen tunggal yang besar, lesi cenderung untuk pecah, sebagai akibat katabolisme kompleks imun. Bentu serung sickness yang kronis terjadi akibat eksposur antigen berulang atau berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi pada penyakit seperti SLE yang yang berkaitan dengan respon antibody persisten terhadap autoantigen. Pada beberapa penyakit, meski terdapat perubahan morfologis dan terdapat temuan deposisi meningkatkan kejadian kompleks imun pada

HIPERSENSITIFITAS 3

Page 10

kompleks imun, tetapi antigennya tetap tidak diketahui dengan pasti seperti pada glomerulonefritis dan poliarteritis nodosa. Sementara itu reaksi antrus merupakan nekrosis jaringan dengan area terlokalisasi yang terjadi vaskulitis kompleks imun aktif yang biasanya terjadi pada kulit. Secara eksperimen, reaksi dapat dihasilkan dengan injeksi intrakutan suatu antigen pada hewan yang terimunisasi dan memilik antibody bersirkulasi yang melawan antigen tersebut. Ketike antigen berdifusi kedinding vascular. Akan terjadi ikatan yang ditunjukan oleh antibody, selanjutnya kompleks imun besar terbentuk secar local. Kompleks ini mengendap pada dinding pembuluh darah dan menyebabkan nekrosis fibrinoid maupun thrombosis yang dapat memperburuk cedera berupa iskemik.

HIPERSENSITIFITAS 3

Page 11

BAB III KESIMPULAN

Reaksi hipersensitifitas tipe 3 atau komplek imun disebabkan oleh antigen-antigen yang berukuran kecil yang tidak dapat difagositosis oleh makrofag akan mengendap di pembuluh darah sehingga menyebabkan reaksi local maupun sistemik. Penyakit yang biasa ditimbulkan seperti vaskulitis pada kulit, glomerulonefritis pada glomerulus ginjal dan demam rematik pada persendian.

HIPERSENSITIFITAS 3

Page 12

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, Karnen. 2012. Imunologi Dasar Edisi ke-10. Jakarta: FKUI Guyton, Arthur dan Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran dalam Edisi 11. Jakarta. Penerbit : Buku Kedokteran EGC Ganong, W.F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran dalam edisi 22. Jakarta. Penerbit : buku kedokteran EGC Price, Sylva A. 2005. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit Edisis ke-6. Jakarta:EGC

HIPERSENSITIFITAS 3

Page 13

You might also like