You are on page 1of 2

Terapi Laparoskopi untuk Endometriosis

Endometriosis adalah suatu penyakti progresif yang seringkali menurunkan kualitas hidup, dirasakan oleh 10 hingga 15% wanita pada usia subur, dan bertanggung jawab atas 25% laparotomy yang dilaksanakan oleh ginekologis. Di antara kelainan ginekologi, endometriosis hanya kalah secara frekuensi dengan leiomyoma. Pasien dengan endometriosis dapat datang dengan berbagai keluhan klinis dan pada berbagai stadium penyakit. Terapi didasarkan pada usia pasien, keparahan gejala, dan kebutuhan akan fertilitas. Intervensi biasanya diindikasikan atas nyeri, infertilitas, atau gangguan pada kandung kemih, ureter, atau usus. Tersedia pilihan penatalaksanaan secara obat dan operatif. Bab ini berfokus pada terapi operatif untuk penatalaksanaan nyeri panggul dan intertilitas terkait dengan endometriosis dengan cara laparoskopik dan laparotomi. Pro dan kontra untuk setiap metode akan dipaparkan, dengan penjabaran lebih lanjut dalam aspek instrumentasi dan teknik.

Perspektif Sejarah Rokitansky menjelaskan endometriosis pelvis pada tuba falopi, ovarium, dan uterus pada tahun 1860. Sebelum 1860, terapi untuk endometriosis adalah histeroktomi dan salpingo ooforektomi bilateral. Operasi konservatif untuk meredakan nyeri dan mempertahankan fertilitas telah dimodifikasi secara signifikan sejak pertama kali diperkenalkan. Dengan pemahaman akan dampak negatif untuk trauma bedah dan adhesi posoperatif pada angka keberhasilan operasi, teknik mikrosugikal telah disusun dan diaplikasikan dengan hasil yang lebih baik. Walau demikian, kegagalan dan rekurensi penyakit tidak dapat dihilangka, dan pencarian untuk solusi yang lebih baik terus berlanjut. Perkembangan laparoskopi operatif dan bedah laser membuat kita dapat memilih terapi definitif setelah diagnosis. Debat terus berlanjut dalam hal apakah laparotomi atau laparoskopi operatif yang lebih efektif untuk mengobati endometriosis. Keduanya menurunkan implan, memulihkan dismenorea dan nyeri pelvis, serta memperbaiki potensi kesuburan. Tak seperti bedah radikal, operasi konservatif jarang bersifat kuratif.

Pendekatan Bedah Tujuan prosedur bedah konservatif adalah melepas semua implan, mengangkat adhesi, meredakan nyeri, dan menurunkan risiko rekurensi penyakit dan pembentukan adhesi memperbaiki kesuburan. Target ini dapat dicapai dengan menggunakan peralatan bedah yang

beragam (scalpel, gunting, laser, atau elektroda), dan berbagai macam teknik (laparoskopi, laparotomi, atau kominasi endoskopi dan minilaparotomi). Sejak 1980, instrumen dan teknik bedah dengan berbagai derajat efikasi telah diperkenalkan termasuk laser, kamer vio, monitor, generator elektrik, hidrodiseksi, mikroelektroda, mikrosugeri, dan laparoskopi operatif. Ketika digunakan secara optimal, instrumen tersebut dapat menjadi efektif dan aman untuk mengobati endometriosis. Terdapat manfaat definitif untuk menggunakan laser CO2 (khususnya Ultrapulse 5000 L) sebagai pisau panjang pada saluran operatif pada laparoskop. Karena laser tidak memprenetasi air, laser dapat digunakan dengan didrodiseksi untuk secara selektif mengobati area tertentu seperti kandung kemih, ureter, dan pembuluh darah. Tak seperti instrumen lain, tembakan laser CO 2 tak mengganggu pengelihatan saat diseksi berlangsung. Manfaat yang diketahui dari laparoskopi operatif meliputi pemulihan pasien yang lebih cepat dan penurunan biaya. Selain itu, dokter bedah menjadi lebih teliti, angka kehamilan seelah laparoskopi operatif akan menjadi lebih baik dan melewati mereka yang menganut laparotomi.

Laparoskopi Versus Laparotomi Hasil dari endoskopi dan laparotomi ditentukan oleh banyak faktor. Sebaliknya, eksperimen pada hewan dapat diacak dan dikendalikan secara cukup. Tiga penelitian membandingkan pembentukan adhesi posoperatif dan pembentukan ulang adhesi setelah cedera laser terstandar dan adhesiolisis laser pada kedua teknik bedah ini. Laparoskopi menyebabkan adhesi posoperatif yang lebih sedikit dibandingkan dengan laparotomi. Setelah bedah salpingoplasti atau adhesiolisis dengan laparotomi, angka rekuresi adhesi adalah 40 hingga 72% dan adhesi de novo terjadi terjadi lagi pada lebih dari 50% pasien. Walau demikian, ketika operasi yang dibandingkan ini dilaksanaka secara laparoskopik, rekuerensi adhesi posoperatif menjadil lebih rendah, dan pembentukan adhesi de novo akan hilang atau menjadi lebih sedikit. Lundorff dan kawan-kawan mengevaluasi pembentukan adhesi

You might also like