You are on page 1of 27

2013

Antihistamin Antagonis Reseptor H2


Kelompok 7
NURUL ANISA PUJI KURNIAWATI RAHMAN RESKY YULIANDANI REZKY AMALIAH SERVIN NOVIANA SITI ANIAH HARDIANTI SITTI HAJAR IRMAWATI

ANTIHISTAMIN ANTAGONIS RESEPTO H2 Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan kerja histamin dalam tubuh melalui mekanisme penghambatan bersaing pada sisi reseptor H1, H2 dan H3. Efek antihistamin bukan suatu reaksi antigen-antibodi karena tidak dapat menetralkan atau mengubah efek antihistamin yang sudah terjadi. Antihistamin pada umumnya tidak dapat mencegah produksi histamin. Antihistamin bekerja terutama dengan menghambat secara bersaing interaksi histamin dengan reseptor khas Antagonis H2 menghambat reseptor H2 sel pariental dan menekan sekresi asam lambung basal dan stimulasi asam setelah makan secara linier bergantung pada pendosisan. Bekerja selektif pada reseptor H2 sehingga volume asam lambung dan pepsin yang tersekresi turun. (Katzung, 2007) Antagonis H2 menurunkan sekresi asam lambung yang distimulasi histamine seperti halnya gastrin dan agen kolinomimetik melalui dua mekanisme. Pertama, release histamin dari sel mirip enterokromafin oleh stimulasi gastrin dan vagus diblok dari berikatan dengan reseptor H2 di sel pariental. Kedua, stimulasi langsung sel pariental oleh gastrin atau asetilkolin untuk sekresi asam lambung dihambat atau direduksi dengan adanya hambatan pada reseptor H2. Ini menandakan penurunan konsentrasi cAMP menyebabkan aktivasi protein kinase oleh gastrin dan asetikolin. (Katzung, 2007) Penggunaan antagonis reseptor H2 dapat menghambat 60 70% dari total sekresi asam lambung selama 24 jam. (Katzung, 2007) Antagonis reseptor H2 mengurangi insiden terjadinya perdarahan akibat stres pada lambung pasien yang merada di unit perawatan intensif secara bermakna. Antagonis H2 diberikan secara intravena baik melalui injeksi intermitten atau infuse kontinu. Untuk efek maksimal, pH lambung harus dipantau dan dosis ditingkatkan untuk mencapai pH lambung lebih tinggi dari 4. Injeksi antagonis H2 (simetidin) secara intravena kontinu mencegah stress akibat perdarahan dan inhibitor yang baik untuk sekresi asam lambung (pH > 6). (Katzung, 2007).

OBAT ANTIHISTAMIN ANTAGONIS RESEPTO H2

Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. Burimamid dan metiamid merupakan antagonis reseptor H2 yang pertama kali ditemukan,namun karena toksik tidak digunakan di klinik. Antagonis reseptor H2 yang ada dewasa ini adalah simetedin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin. 1. RATINIDIN Ranitidin merupakan salah satu obat yang cukup dikenal dikalangan masyarakat umum, yang disebabkan pemanfaatan obat ini yang cukup tinggi. Dokter umum dan spesialis penyakit dalam umumnya akan sering meresepkan obat ini. Secara umum, masyarakat mengenal ranitidin untuk indikasi ulkus duodenum, ulkus lambung, dan kondisi hipersekresi gastrointestinal (GI) patologikal. Penyakit-penyakit yang mengindikasi penggunaan ranitidin ini prevalensinya cukup tinggi dimasyarakat, sehingga wajar jika penggunaan ranitidin juga cukup tinggi jumlahnya. Dalam peresepannya, dokter dapat meresepkan ranitidin ini baik sebagai terapi utama maupun terapi pendukung. Nama, Struktur Kimia dan Deskripsi Ranitidin memiliki rumus molekul C13H22N4O3S dengan bobot molekul 314,4 g/mol. Ranitidin adalah salah satu senyawa yang mengantagonis reseptor histamin H2 yang menghambat sekresi asam lambung. Selain digunakan dalam terapi penyakit ulkus peptikum dan gastroesophageal refluks, ranitidin juga dapat digunakan sebagai antihistamin pada berbagai kondisi alergi pada kulit.

Rumus Struktur Ranitidin

Struktur 3 Dimensi Ranitidin

Ranitidin

memiliki

nama

ilmiah

NN-Dimethyl-5-[2-(1-methylamino-2Ranitidin yang tersedia

nitrovinylamino)ethylthiomethyl]furfurylamine.

umumnya adalah ranitidin hidroklorida. Ranitidin merupakan serbuk kristalin berwarna putih hingga kuning pucat, praktis tidak berbau, mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam alkohol. Larutan 1% ranitidin dalam air mempunyai pH 4,5-6,0. Setiap 168 mg ranitidin hidroklorida setara dengan 150 mg ranitidin base. Kegunaan Ranitidin diunakan secara oral dalam terapi ulkus duodenum dan ulkus lambung yang aktif, gasthroesophageal reflux desease (GERD), esofagitis erosif dengan endoskopi, dan sebagai terapi pemeliharaan pada ulkus duodenum dan ulkus lambung. Ranitidin oral juga digunakan dalam manajemen kondisi hipersekresi gastrointestinal (GI) patologis dan sebagai terapi pemeliharaan untuk mencegah kambuhnya esofagitis erosif. Ranitidin juga dapat digunakan secara parenteral pada pasien rawat inap dengan kondisi hipersekresi patologis pada saluran GI, atau sebagai terapi jangka pendek jika terapi oral belum memberikan respon yang optimum. Ulkus Duodenum Terapi Ulkus Duodenum Akut Ranitidin oral digunakan dalam terapi jangka pendek pada ulkus duodenum aktif yang dikonfirmasi dengan endoskopi atau radiografi. Ranitidin parenteral digunakan pada pasien dewasa dengan diagnosa ulkus duodenum parah yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit atau pada terapi jangka pendek jika terapi oral tidak memadai. Ranitidin intravena juga digunakan pada pasien anak-anak (lebih dari bulan) dengan diagnosa ulkus duodenum. Antasida dapat digunakan bersamaan dengan terapi ini untuk menghilangkan rasa nyeri ulkus duodenum. Kombinasi antasida dan ranitidin ini terbukti mampu mengurangi kesakitan pada pasien. Khasiat dan keamanan ranitidin untuk terapi jangka panjang ulkus duodenum belum diketahui. Keamanan dan khasiat ranitidin ini baru diketahui untuk penggunaan selama 8 minggu. Dan masalahnya bahwa pengobatan jangka pendek ulkus duodenum aktif (hingga 8 minggu) ini tidak mencegah kekambuhannya. Terapi Pemeliharaan Ulkus Duodenum

Ranitidin digunakan dalam dosis rendah untuk terapi pemeliharaan setelah proses penyembuhan ulkus duodenum untuk mencegah kekambuhan. Dalam studi terkontrol angka kekambuhan ulkus duodenum setelah 4, 8 dan 12 bulan masing-masing adalah 21-24, 28-35, dan 59-68% untuk kelompok plasebo, dan angka kekambuhan pada kelompok yang diterapi dengan ranitidin 1 kali sehari 150 mg sebelum tidur masing-masing adalah 12-20, 21-24 dan 28-35%. Dalam studi tersebut juga diketahui bahwa efektivitas ranitidin dalam mencegah kekambuhan ulkus duodenum menurun pada kelompok pasien dengan kebiasaan merokok.

Kondisi Hipersekresi GI Patologis Ranitidin oral maupun intravena juga digunakan pada kondisi hipersekresi GI patologis (misal pada pasienZolinger Ellison Syndrome (ZES), mastositosis sistemik, hipersekresi pasca reseksi usus. Ranitidin mengurangi sekresi asam lambung yang berkaitan dengan gejala diare, anoreksia dan nyeri dan mempercepat penyembuhan ulkus. Infus intravena ranitidin kontinue hingga 15 hari pada pasien ZES menghasilkan efek pengendalian asam lambung hingga 10 mEq/jam atau lebih rendah. Antasida dapat digunakan bersama untuk mengatassi rasa nyeri. Antimuskarinik seperti propanthelin bromida dan iodida isopropamide juga dapat digunakan bersama guna

memperpanjang masa kerja ranitidin. Pada pasien hipersekresi GI patologis, ranitidin terbukti mampu

menyembuhkan ulkus pada 42% pasien yang tidak merespon terapi simetidin. Pasien dengan ZES yang gagal dengan terapi simetidin berhasil diobati dengan ranitidin 600-900 mg perhari selama 1-12 bulan. Ranitidin IV juga berhasil mengobati hipersekresi pasca operasi pada pasien yang tampaknya resisten terhadap simetidin.

Ulkus Lambung Terapi Ulkus Lambung Akut Ranitidin oral digunakan dalam terapi ulkus lambung jinak. Antasida dapat digunakan bersama untuk menghilangkan nyeri. Efektivitas ranitidin dalam hal ini hampir sama dengan simetidin. Ranitidin menyembuhkan ulkus

lambung pada 60-70% pasien setelah terapi selama 4 minggu, 70-80% setelah 6 minggu terapi. Kini epidemiologi dan bukti klinis mendukung bahwa infeksi lambung oleh bakteri Helicobacter pylori (HP) berhubungan dengan patogenesis ulkus lambung. Sehingga dalam kondisi ini direkomendasikan penggunaan antibakteri untuk eradikasi bakterinya.

Terapi Pemeliharaan Ranitidin dosis rendah digunakan dalam terapi pemeliharaan dan mencegah kekambuhan ulkus lambung. Terapi pemeliharaan ranitidin 150 mg sebelum tidur terbukti efektif mencegah kekambuhan ulkus lambung.

Gastroeshophageal Reflux Desease (GERD) Dalam terapi GERD dosis yang umum pada dewasa adalah 2x150 mg perhari. Sedangkan dosis terapi GERD pada anak-anak (1 bulan sampai 16 tahun) adalah 5-10 mg/Kg BB perhari dalam dosis terbagi 2. Gejala GERD sering muncul dalam waktu 24 jam setelah dumulainya terapi dengan ranitidin ini. Durasi optimum pengobatan GERD dengan ranitidin belum diketahui.

Esofagitis Erosif Dosis lazim untuk terapi esofagitis erosif yang terdiagnosa dengan endoskopi pada pasien dewasa adalah 4x150 mg perhari. Sedangkan pada pasien anak 1 bulan sampai 16 tahun dosis yang direkomendasikan adalah 5-10 mg/Kg BB perhari dalam dosis terbagi 2. Sedangkan dalam fase pemeliharaan dosis ranitidin adalah 2x150 mg perhari.

Swamedikasi Dalam swamedikasi ranitidin digunakan untuk mengatasi atau mencegah gejala mulas, perih akibat gangguan keseimbangan asam lambung pada orang dewasa atau anak diatas 12 tahun, dosis yang dianjurkan adalah 75-150 mg 1-2 kali sehari. Untuk pencegahan mulas akibat konsumsi makanan yang dapat menyebabkan mulas maka ranitidin sebaiknya diminum 30-60 menit sebelum mengkonsumsi makanan atau minuman yang dapat menyebabkan

mulas. Untuk keperluan swamedikasi, ranitidin sebaiknya digunakan tidak lebih dari 2 dosis perhari dan tidak lebih dari 2 minggu. Penggunaan ranitidin harus segera dihentikan jika gejala tidak membaik atau bahkan semakin parah. Dosis Parenteral Dosis Dewasa Dosis intravena intermiten atau intramuskular pada dewasa adalah 50 mg setiap 6-8 jam. Jika perlu dosis dapat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan frekuensi pemberian, namun tidak boleh melebihi 400 mg perhari. Jika ranitidin diberikan dengan infus intravena lambat maka kecepatannya 6,25 mg/jam selama 24 jam. Sedangkan infus kontinue lambat bagi pasien ZES atau hipersekresi GI patologis umumnya infus dimulai dengan kecepatan 1 mg/Kg BB perjam, dan jika setelah 4 jam infus, pasien masih menunjukan gejala hipersekresi GI, maka dosis harus dititrasi ke atas dengan penambahan sebesar 0,5 mg/Kg BB perjam, dengan konsentrasi asam lambung harus terus dipantau. Dosis maksimum hingga 2,5 mg/Kg BB perjam dan tingkat infus 220 mg/jam.

Dosis Pediatrik Dosis pada anak usia 1 bulan hingga 16 tahun, untuk pengobatan ulkus duodenum aktif adalah 2-4 mg/Kg perhari dalam dosis terbagi setiap 6-8 jam. Sedangkan penggunaannya pada pasien neonatus (kurang dari 1 bulan) dosis 2 mg/Kg BB intravena setiap 12-24 jam sebagai infus intravena kontinue.

Dosis pada penurunan fungsi ginjal Pada pasien dengan klirens kreatinin kurang dari 50 mL/menit maka dosis ranitidin yang direkomendasikan adalah 150 mg setiap 24 jam peroral, 50 mg setiap 18-24 jam untuk pemberian parenteral.

Perhatian Ranitidin dapat menimbulkan efek-efek yang kurang menyenangkan diantaranya:

1) Efek pada sistem syaraf pusat dapat berupa: sakit kepala, rasa tidak enak badan (malaise), pusing, mengantuk, insomnia, vertigo, kebingungan mental, agitasi, depresi mental dan halusinasi terutama pada pasien geriatri lemah. Penggunaan ranitidin dosis tinggi dan dalam jangka panjang pada anak-anak (8 mg/Kg BB perhari selama 10 bulan) dapat menyebabkan perubahan pada pola kesadaran, disartria, hiporefleksia, mengantuk, gejala Babinski, diaforesis, dan bradikardia yang mana gejalagejala tersebut akan menghilang dengan sendirinya setelah penggunaan ranitidin dihentikan dalam 24 jam. 2) Efek pada GI: konstipasi, mual, muntah, nyeri dan ketidaknyamanan pada perut, dan pada sebagian kecil pasien dapat mengalami pankreatitis. 3) Reaksi sensitivitas dan dermatologi: ruam, urtikaria, pruritus, dan urtikaria ditempat penyuntikan. Reaksi hipersensitivitas seperti bronkospasme, demam, ruam, eosinofilia jarang terjadi. Anafilaksis yang ditandai dengan urtikaria berat dan penurunan tekanan darah dalam satu kali pemberian dosis tunggal dapat terjadi namun jarang. Eksaserbasi astma dan angiodema juga dapat terjadi. 4) Efek pada Hematologi: dapat terjadi leukopenia, agranulositopenia, trombositopenia, anemia aplastik dan pansitopenia yang disertai hipoplasia sumsum tulang belakang namun jarang. 5) Efek pada ginjal dan saluran kemih: peningkatan kreatinin serum tanpa disertai peningkatan BUN dapat terjadi namun jarang. Penurunan libido juga pernah terjadi pada pria yang diterapi dengan ranitidin. 6) Efek pada hati: dapat terjadi peningkatan konsentrasi aminotransferase serum (AST, SGOT, SGPT, ALT), alkalin fosfatase serum, LDH, bilirubin total, gama-glutamiltranspeptidase. Beberapa kasus juga diketahui bahwa terapi ranitidin dapat menyebabkan hepatitis baik hepatoseluler atau pun hepatokanalikuler dan kolestasis yang umumnya bersifat reversibel. 7) Efek pada penglihatan: dapat terjadi kekaburan penglihatan yang bersifat reversibel, eksaserbasi nyeri mata dan kaburnya penglihatan yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intraokuler dan glaukoma kronis, dan buta warna.

8) Efek pada endokrin: belum ada efek yang diketahui secara pasti sehubungan penggunaan ranitidin pada sistem endokrin. Namun telah diketahui adanya pasien pria yang mengalami impotensi seksual akibat penggunaan ranitidin yang segera sembuh seiring penghentian

penggunaan obat, dan impotensi berulang saat penggunaan obat diulang. Nyeri ginekomastia juga dapat terjadi pada pria. 9) Efek pada sistem kardiovaskuler: aritmia jantung jarang terjadi, bradikardia yang berhubungan dengan dispnea dapat terjadi. 10) Efek pada sistem pernafasan: ranitidin dan antagonis reseptor H2 lainnya berpotensi meningkatkan resiko infeksi pneumonia pada komunitas pneumonia. 11) Efek lain: dapat terjadi arthralgia, myalgia dan porphyria akut. Penggunaan ranitidin harus dihindari pada pasien dengan riwayat porphyria. Peringatan dan Kontraindikasi Ranitidin yang digunakan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal harus digunakan dengan hati-hati dan disertai dengan pengurangan dosis, karena sebagian besar ranitidin diekskresikan melalui ginjal. Demikian pun pada pasien dengan penurunan fungsi hati, karena ranitidin dimetabolisme melalui hati. Penggunaan ranitidin juga harus dihindari pada pasien dengan riwayat porphyria. Ranitidin tidak boleh digunakan untuk swamedikasi jika pasien mengalami kesulitan menelan dan tidak boleh digunakan dalam kombinasi dengan obat penekan sekresi asam lambung lainnya. Pasien dengan gejala mulas yang menetap lebih dari 3 bulan tidak boleh menggunakan ranitidin untuk swamedikasi. Ranitidin juga tidak boleh digunakan untuk swamedikasi pada pasien dengan keluhan nyeri dada dan atau bahu, sesak nafas, dan rasa nyeri yang menyebar. Kondisi-kondisi berikut dalam penggunaan ranitidin harus disertai dengan peringatan dan kewaspadaan: 1) Pada pasien pediatrik; penggunaan ranitidin oral maupun parenteral pada pediatrik ( 1 bulan sampai 16 tahun) untuk indikasi ulkus duodenum dan lambung aktif, GERD dan esofagitis erosif telah diketahui khasiat dan keamanannya. Namun penggunaan ranitidin oral ataupun parenteral untuk

kondisi hipersekresi GI patologis dan untuk terapi pemeliharaan dan pencegahan kekambuhan esofagitis erosif pada anak-anak belum diketahui, demikian juga penggunaannya pada neonatus, sehingga penggunaan pada kondisi tersebut harus dengan kewaspadaan penuh. 2) Pada pasien geriatrik; pada pasien geriatrik (berusia lebih dari 65 tahun keatas) kemungkinan resiko hipersensitivitasnya akan meningkat, disamping itu kemungkinan adanya penurunan fungsi ginjal pada pasien geriatrik akan berpotensi meningkatkan resiko toksisitas. 3) Mutagenisitas dan karsinogenisitas; tidak ada bukti pengaruh ranitidin terhadap efek mutagenisitas dan karsinogenisitas pada manusia 4) Pada kehamilan; hingga dosis 160 kali dosis oral biasa, ranitidin belum menunjukan adanya bahaya pada fetus 5) Pada kesuburan/fertilitas; tidak ada bukti yang menunjukan pengaruh ranitidin pada fertilitas 6) Pada laktasi (wanita menyusui); ranitidin terdistribusi ke dalam susu, sehingga penggunaan ranitidin pada wanita menyusui harus sangat berhati-hati. 7) Ranitidin dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitif terhadap ranitidin atau komponen lain dalam formula sediaan obat. Interaksi Obat Ranitidin dapat berinteraksi dengan makanan, obat lain maupun parameter klinis. 1) Makanan dan Antasida. Konsumsi bersama makanan atau antasida dengan ranitidin dapat menyebabkan penurunan absorpsi ranitidin hingga 33% dan konsentrasi puncak dalam serum menurun hingga 613-432 ng/mL. 2) Propantelin bromida. Propantelin bromida menghambat penyerapan dan meningkatkan konsentrasi puncak serum ranitidin, melalui mekanisme penghambatan pengosongan lambung dan perpanjangan waktu transit. Bioavalabilitas ranitidin meningkat 23% jika digunakan bersama propantelin bromida. 3) Merokok. Kebiasaan merokok menghambat penyembuhan ulkus duodenum dan mengurangi khasiat ranitidin. Perbandingan kesembuhan ulkus duodenum pada perokok dan bukan perokok dengan terapi ranitidin adalah 62 dan 100%.

4) Efek ranitidin pada hati. Ranitidin berinteraksi dengan sistem enzim sitokrom P450 dihati. Ranitidin hanya sedikit menghambat metabolisme hepatik beberapa obat seperti kumarin, antikoagulan, teofilin, diazepam dan propranolol. Ranitidin membentuk ligand-kompleks dengan enzim sitokrom P450 sehingga menghambat aktivitas enzim tersebut. Penggunaan bersama ranitidin dan warfarin dapat menurunkan atau meningkatkan waktu protrombin (PT). Pada dosis ranitidin hingga 400 mg perhari, penggunaan bersamanya dengan warfarin relatif tidak berpengaruh terhadap bersihan warfarin dan atau PT. Namun penggunaan ranitidin lebih dari 400 mg perhari bersama dengan warfarin belum diketahui pengaruhnya. Sedangkan penggunaan bersama ranitidin 2x200 mg dan warfarin 2,5-4,5 mg telah terbukti memperpanjang PT secara signifikan. Pengunaan bersama ranitidin dan teofilin menyebabkan penurunan bersihan plasma teofilin. Pengunaan bersama ranitidin dan diazepam maupun lorazepam relatif tidak saling berinteraksi. Penggunaan bersama 100 mg metoprolol dan ranitin

menyebabkan AUC metoprolol meingkat hingga 80% dan rata-rata konsentrasi serum puncak meningkat hingga 50%, dan waktu paruh eliminasi metoprolol meningkat hingga 4,4-6,5 jam. 5) Alkohol. Penggunaan bersama alkohol dan ranitidin menyebabkan

peningkatan konsentrasi alkohol serum. 6) Nifedipin. Penggunaan ranitidin bersama nifedipin dapat menyebabkan peningkatan AUC nifedipin hingga 30%. 7) Vitamin B12. Penggunaan ranitidin dapat mengakibatkan defisiensi vitamin B12 karena malabsorpsi vitamin B12. Toksisitas Akut Overdosis ranitidin dapat terjadi pada konsumsi ranitidin hingga 18 gram peroral yang dapat mengakibatkan terjadinya kelainan cara jalan dan hipotensi. Pengobatan overdosis ranitidin dapat dilakukan dengan cara mengeluarkan ranitidin tak terserap dalam saluran cerna, pemantauan klinis, dan terapi suportif. Hemodialisis dapat dilakukan bila perlu. Farmakologi Efek farmakologi ranitidin dapat terjadi melalui beberapa mekanisme.

a. Efek pada GI. Ranitidin menghambat kompetitif reseptor histamin H2 pada sel parietal menurunkan sekresi asam lambung pada kondisi basal maupun terstimulasi makanan, insulin, asam amino, histamin maupun pentagastrin. b. Efek pada gonad dan endokrin. Ranitidin memberikan sedikit pengaruh pada konsenrasi prolaktin serum. Peningkatan kadar prolaktin serum akan terjadi pada pemberian ranitidin 200 atau 300 mg IV. c. Efek lain. Ranitidin dan simetidin dapat menurunkan aliran darah hati. Ranitidin tidak menghambat metabolisme antipirin dihati. Ranitidin meningkatkan reduksi nitrat oleh flora normal GI. Farmakokinetik a. Absorpsi Ranitidin diabsorpsi dengan baik dari saluran cerna maupun pada pemberian secara intramuskular. Bioavailabilitas absolut ranitidin pada pemberian secara oral adalah sekitar 50%, demikian pula pada anak-anak. Sedangkan pada geriatrik bioavailabilitasnya rata-rata 48%. b. Distribusi Ranitidin terdistribusi secara luas pada cairan tubuh dan sekitar 10-19% berikatan dengan protein serum. Volume distribusi ranitidin rata-rata 1,7 L/Kg dengan kisaran 1,2-1,9 L/Kg. Sedangkan volume distribusi pada anak sekitar 2,3-2,5 L/Kg dengan kisaran 1,1-3,7 L/Kg. Pada pemberian secara oral ranitidin juga terdistribusi ke CSF. Ranitidin juga terdistribusi ke susu. c. Eliminasi Waktu paruh eliminasi rata-rata pada orang dewasa adalah 1,7-3,2 jam, dan dapat berkorelasi positif dengan usia. Waktu paruh eliminasi akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Pada pasien lanjut usia waktu paruh eliminasi umumnya meningkat seiring berkurangnya fungsi ginjal. Ranitidin sebagian besar diekskresikan dalam urin melalui filtrasi glomerular dan sekresi tubular. d. Metabolisme Ranitidin dimetabolisme dihati menjadi ranitidin N-oksida, desmetil ranitidin, dan ranitidin S-oksida. Pada pemberian oral, ranitidin juga mengalami metabolisme lintas pertama dihati. Pada pasien dengan sirosis hati,

konsentrasi serum akan meningkat akibat rendahnya metabolisme lintas pertama dihati dan bioavailabilitasnya rata-rata 70%. Sediaan Tersedia dalam produk generiknya berupa sediaan: Kapsul 75, 150 dan 300 mg Tablet 150 dan 300 mg Sirup 15 mg/mL Injeksi 25 mg/Ml

2. FAMOTIDIN Merk Dagang Famotidin, Amocid, Antidine, Corocyd, Dulcer, Dumodin, Faberdin, Faberdin Forte, Facid, Fagas, FAM, Famex, Famocid, Famos, Famulcer, Fluktan, Gaster, Gestofan, Hacip, Ifamul, Incifam, Interfam, Kemofam, Lexmodine, Mecofam, Merzapam, Mosul, Motipep, Moydine, Nulsefam, Opsifam, Opsifam Forte, Peptulet, Peptulet Forte, Pompaton, Pratifar, Promocid, Purifam, Rafico, Regastin, Renapepsa, Restadin, Tismafam, Ulcatif, Ulcerid, Ulfam, Ulmo, Ulkorel, Zepral, Neosanmag Fast, Promag Double Action -

Komposisi : Tiap tablet salut selaput mengandung famotidin 20 mg. Tiap tablet salut selaput mengandung famotidin 40 mg.

Cara Kerja Obat : FARMAKODINAMIK Seperti halnya dengan simetidin dan ranitidin, famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan basal, malam dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Fanitidin tiga kali lebih paten daripada ranitidin dan 20 kali lebih paten daripada simetidin. FARMAKOKINETIK Famotidin mencapai kadar puncak di plasma kira-kira dalam 2 jam setelah penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam dan bioavailabilitas 4050%. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal,

sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam Indikasi : Famotidin diindikasikan untuk: Terapi jangka pendek pengobatan ulkus duodenum akut. Pemeliharaan pasien ulkus duodenum pada dosis yang dikurangi sesudah sembuh dari tukak aktif. Pengobatan pada kondisi hipersekresi patologis (misal: Zolltnger-Ellison Syndrome, multiple endocrine adenomas).

Dosis : a. Ulkus duodenum akut: Dewasa : sehari 40 mg atau 2 kali 20 mg sebelum tidur malam. b. Pemeliharaan ulkus duodenum: Dewasa : sehari 20 mg sebelum tidur malam. c. Hipersekresi patologis (misal : Zollinger-Ellison Syndrome, multiple Endocrine Adenomas). Dewasa : dosis awal 20 mg/6 jam, dosis dapat ditingkatkan sampai 160 mg/6 jam pada pasien dengan Zollinger-BIHson Syndrome yang parah. d. Dosis pada penderita dengan kelainan ginjal: 60 > CLCR > 30 : setengah dosis normal. CLCR < 30 : seperempat dosis normal.

Peringatan dan Perhatian : Penqgunaan famotidin pada kehamilan dan ibu menyusui hanya bila benarbenar dibutuhkan, dan diketahui bahwa manfaatnya lebih besar dari resikonya. Keamanan dan manfaat famotidin pada anak-anak belum diketahui . Dosis harus disesuaikan pada pasien dengan gangguan ginjal. Sebelum terapi dengan famotidin malignasi gaster harus disingkirkan.

Efek Samping : Sakit kepala, pusing, konstipasi dan diare. Thrombocytopenia dan arthralgia.

Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap famotidin.

Interaksi Obat : Pada dosis terapeutik tidak mengganggu eliminasi obat-obat yang dimetabolime di hati seperti warfarin, fenitoin, propranolol, diazepam, klordiazepoksida.

3. SIMETIDIN Nama dagang di Indonesia Cimetidine Hexpharm (diproduksi oleh Hexpharm), Cimetidine Prafa (Prafa), Corsamed (Corsa), Licomed (Berlico Mulia Farma), Tagamed

(GlaxoSmithKline), Tidifar (Ifars), Ulcedine (United American), Ulcumed (Soho), Ulcusan (Pyridam), Ulsikur (Kalbe Farma), Xepamed (Metiska Farma).

Indikasi Sebagai pencegahan dan pengobatan ulkus duodenum yang sedang aktif khususnya diindikasikan untuk pengobatan jangka pendek pada ulkus duodenum akut maupun ulkus gaster ringan yang sedang aktif. Mencegah kambuhnya ulkus gastrik dan ulkus duodenum Pengobatan hipersekresi asam lambung yang patologis, seperti pada Zollinger-Ellison Syndrome Pengobatan ulkus gastrik aktif non malignancy Pengobatan pada perdarahan lambung dan intestinal yang disebabkan ulkus gaster, ulkus doudenum dan gastritis haemorrhagic. Pencegahan aspirasi asam lambung ke dalam paru, sebelum dilakukan pembiusan.

Dosis Oral Pengobatan ulkus gaster dan ulkus duodenum : 400 mg dua kali per hari, pagi setelah makan dan sebelum tidur malam hari atau 200 mg tiga kali per hari bersama makan dan 400 mg sesaat sebelum tidur, selama 4 - 8 minggu. Obat-obat antasid hendaknya ditambahkan untuk

mempercepat berkurangnya rasa nyeri. Pemberian secara simultan hendaknya cimetidine Keadaan hipersekresi yang patologis seperti pada Zollinger Ellison Syndrome 200 mg tiga kali perhari bersama makan dan 400 mg menjelang tidur malam. Jika perlu dosis dapat ditingkatkan 400 mg empat kali perhari dan menjelang tidur. Dosis hendaknya disesuaikan dengan masing-masing kondisi penderita dan tidak melebihi 2 gr per hari, dan hendaknya diberikan sepanjang indikasi klinis memang membutuhkan. Ulkus Gastrik akut, direkomendasikan untuk diberikan dengan dosis 200 mg 4 kali per hari dan 400 mg pada saat menjelang tidur malam dan diberikan selama 6 - 8 minggu Untuk mencegah ulkus duodenum berulang, dosis yang dihindari, karena antasid mengurangi penyerapan

direkomendasikan adalah 400 mg menjelang tidur dan pemberian hendaknya tidak lebih dari 1 tahun Pada penderita dengan gangguan fungsi hepar, dosis harus dikurangi Injeksi Harus diberikan perlahan-lahan (2 menit) Intramuskuler : 200 mg (1 ampul) setiap 4 6 jam, tanpa diencerkan. pemberian secara I.M. akan menyebabkan rasa nyeri yang bersifat sementara pada tempat penyuntikan. Intravena Intermittent Bolus : 200 mg (1 ampul), encerkan dengan NaCl 0,9% atau cairan lain yang sesuai, sampai mencapai volume 20 ml Injeksikan dengan perlahan selama 2 menit. Pemberian yang terlalu cepat akan menyebabkan aritmia dan hipotensi,. Pemberian dapat diulang selang 4 - 6 jam sekali Per Infus : 200 mg (1 ampul) diencerkan dengan 100 ml Dekstrose 5% atau cairan lain yang sesuai, diberikan selama 15 20 menit. dapat diulang tiap 4 - 6 jam atau lebih sering lagi, tetapi dosis maksimum per hari tidak elbih dari 2 gr per hari

Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, dosis harus disesuaikan dengan keadaan penderita. dosis yang dianjurkan 200 mg 2 kali per hari per oral maupun I.V. Jika perlu frekuensi dapat ditingkatkan menjadi tiap 8 jam. Karena cimetidine turut dikeluarkan saat hemodialisa, maka

pemberiannya hendaknya diberikan setelah menjalani dialisa. Bila disertai gangguan liver, pengurangan dosis lebih lanjut perlu dipertimbangkan. Perhatian Respon simptomatis terhadap terapi cimetidine tidak akan menghilangkan kejadian keganasan lambung. Karena cimetidine telah menunjukkan dapat melewati barier plasenta pada binatang, maka obat ini hendaknya tidak diberikan pada ibu hamil, kecuali ada keuntungan yang lebih besar dengan penggunaan obat ini Karena cimetidine disekresikan dalam ASI, maka sebaiknya obat ini tidak diberikan pada ibu menyusui Cimetidine tidak direkomendasikan untuk anak di bawah 16 tahun, kecuali sudah diperhitungkan untung ruginya. Kalau tetap harus diberikan, dosis yang diberikan 20 - 40 mg/kg/hari Cimetidine mengurangi metabolisme hepatis dari warfarin, suatu

antikoagulan; phenytoin, lidocaine, dam theophyline, sehingga memperlambat eliminasinya dan meningkatkan kadar obat ini dalam darah, Oleh karena itu, jika akan memulai atau menghentikan obat-obat tersebut harus melalui pertimbangan yang teliti, khususnya jika disertai gangguan fungsi ginjal atau liver -

Efek Samping Pengobatan dengan cimetidine mungkin akan menyebabkan diare ringan, pusing dan kemerahan pada kulit. Sakit kepala, sakit persendian dan nyeri otot yang bersifat reversibel pernah dilaporkan. Kondisi "confuse" seperti "mental confuse", agitasi, depresi, kecemasan,

halusinasi, disorientasi, pernah dilaporkan, khususnya pada penderitapenderita dengan penyakit yang kritis, usia lanjut dan penderita dengan gangguan fungsi liver atau ginjal.

Ginekomasti, pernah dilaporkan pada penderita yang mendapat pengobatan selama satu bulan atau lebih, khususnya pada penderita keadaan hipersekresi patologis. Kondisi ini bisa menetap maupun bersifat reversibel jika pengobatan dilanjutkan.

Impotensi yang bersifat reversibel pernah dilaporkan terjadi pada penderita hipersekresi patologis yang mendapat pengobatan selama 12 bulan dengan dosis yang tinggi. Juga pernah dilaporkan rambut rontok, neutropenia, agranulocytosis, trombositopeni, anemia aplastik

Overdosis Jika terjadi overdosis, tidak terdapat antidotnya. Pengelolaan jika terjadi keracunan adalah dengan mengeluarkan obat yang masih belum terserap dari usus, monitoring tanda-tanda vital dan terapi pendukung lainnya (supportive terapy). Toksisitas lebih dari 10gr pernah dilaporkan.

Cara Kerja Obat: Cimetidine adaiah penghambat histamin pada reseptor H2 secara selektif dan reversible, penghambatan histamin pada reseptor H, akan menghambat sekresi asam lambung baik pada keadaan istirahat maupun setelah perangsangan oleh makanan, histamin, pentagastrin, kafein dan insulin. Cimetidine dengan cepat diabsorbsi setelah pemberian oral dan konsentrasi puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 45-90 menit setelah pemberian. Cimetidine diekskresikan melalui urin.

Kontraindikasi: Pasien yang hipersensitif terhadap cimetidine

4. NIZATIDIN Indikasi Efektivitas untuk pengobatan gangguan asam lambung sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Dengan pemberian satu atau dua kali sehari biasanya dapat menyembuhkan tukak duodenum dalam 8 minggu dan dalam pemberian satu kali sehari nizatidin mencegah kekambuhan. Meskipun data nizatidin masih terbatas, efektivitasnya pada tukak lambung nampaknya sama dengan AH2

lainnya.Pada refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellison dan gangguan asam lambung lainnya, nizatidin diperkirakan sama efektif dengan ranitidin meskipun masih diperlukan pembuktian lebih lanjut.

Efek Samping Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek samping. Efak samping ringan saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan transminase serum ditemukan pada beberapa pasien yang nampaknya dapat menimbulkan gejala klinik yang bermakna. Seperti halnya dengan AH2 lainnya, potensi nizatidin untuk menombulkanhepatotoksisitas rendah. Nizatidin tidak memiliki efek antiandrogenik. Nizatidin dapat menghambat alkohol dehidrogenase pada mukosa lambung dan menyebabkan kadar alkohol yang lebih tinggi dalam kadar serum. Nizatidin tidak menghambat sistem P-450. Pad suksrelawan sehat tidak dilaporkan terjadinya interaksi obat bila nizatidin diberikan bersama teofilin, lidokain, warfarin, klordiazepoksid, diazepam atau lorazepam. Penggunaan bersama antasidtidak menurunkan absorpsi nizatidin secara bermakna. Ketokonazol yang membutuhkan PH asam menjadi kurang efektif bila PH lambung lrbih tinggi pada pasien yang mendapat AH2.

Dosis Oral : Untuk orang dewasa dengan tukak doudenum aktif dosis 300 mg sekali sehari pada saat akan tidur atau 150 mg, s kali sehari. Tukak sembuh pada 90% kasus setelah 8 minggu pengobatan. Pada pasien tukak peptik tanpa komplikasi danklirens kreatinin kurang dari 10 mL/menit dosis awal harus dikurangi 50%. Untuk pengobatan pemeliharaan tukak duodenum, dosis 150 mg pada saat akan tidur lebih efektif daripada plasebo. Untuk pasien dewasa dengan tukak lambung aktif digunakan dosis yang sama dengan pasien tukak duoenum, akan tetapi masih diperlukan pembuktian lebih lanjut mengenai hal tersebut.

Farmakologi Farmakodinamik Potensi nizatidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih sama dengan ranitidin. Farmakokinetik

Bioavaibilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan

tidak dipengaruhi oleh

makanan atau antikolinergik. Klirens menurun pada pasien uremik dan usia lanjut. Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam, masa paruh plasma sekitar 11/2 jam dan lama kerja sampai dengan 10 jam. Nizatidin disekresi terutama melalui ginjal, 90% dari dosis yang digunakan ditemukan di urin dalam 16 jam.

Kontraindikasi Nizatidine merupakan kontraindikasi pada hipersensitivitas. Tindakan

pencegahan lengkap dapat ditemukan dalam informasi obat resep.

Interaksi Nizatidine tidak berinteraksi dengan CYP450 dan memiliki, berbeda dengan cimetidine, potensi interaksi rendah. Peningkatan pH lambung dapat mempengaruhi penyerapan dan bioavailabilitas obat lain.

Merk Dagang Axid

5. RAXOTIDINA

Farmakokinetik Absorbsi Setelah pemberian oral tablet pelepasan terkontrol, prinsip activoc diserap perlahan-lahan dan hampir sepenuhnya. Membuat makanan atau antasida tidak mempengaruhi penyerapan. Substansi tua dengan cepat dan benar-benar dimetabolisme menjadi metabolit aktif, yang merupakan bentuk deasetilasi. Distribusi Bioavailabilitas roxatidine mutlak bila diberikan secara oral adalah 80-90%. Kadar plasma puncak dicapai roxatidine 2,5-3 jam setelah pemberian. Pengikatan roxatidine untuk protein plasma adalah 5-7% Metabolisme Ditransformasikan menjadi metabolit aktif di hati. Ekskresi Sekitar 60% dari roxatidine diekskresikan renally dan metabolit juga diekskresikan oleh ginjal. Sekitar 96% dari dosis yang diberikan pulih dalam pertama 24 jam setelah pemberian. Pada pasien dengan fungsi ginjal normal, tidak ada akumulasi terjadi roxatidine. The paruh eliminasi roxatidine bila dikelola dengan menggunakan formulasi pelepasan terkontrol adalah 6-7 jam. Penghapusan tertunda pada pasien dengan gagal ginjal dan kemudian dosis harus disesuaikan dalam setiap kasus. Tidak ada penyesuaian dosis diperlukan pada pasien usia lanjut, kecuali fungsi ginjal terganggu. Sekitar 0,2% dari roxatidine diekskresikan dalam ASI. Roxatidine melintasi penghalang darah otak.

Farmakodinamik Roxatidine asetat hidroklorida adalah antagonis sangat selektif, kompetitif reseptor histamin H2 . Menghambat efek histamin pada sel parietal lambung, dan dengan demikian mengurangi produksi dan sekresi asam lambung.

Interaksi Administrasi seiring dengan antasida (penetral asam lambung ) atau asupan makanan bersamaan tidak mengubah penyerapan roxatidine. Namun, karena roxatidine mengurangi sekresi asam lambung, yang dapat mengganggu berbeda

dalam penyerapan obat lain untuk mengurangi dampaknya (misalnya ketoconazole ) atau memberdayakan mereka (misalnya midazolam ).

Indikasi Penyakit esofagus , lambung dan duodenum akibat kelebihan produksi asam klorida: Esofagitis refluks Duodenum Tukak lambung jinak. Profilaksis ulkus duodenum berulang dan lambung Efek samping Untuk penilaian dari reaksi obat yang merugikan (ADR) kriteria akan dianggap CIOSM

Kontraindikasi Roxatidine atau hipersensitivitas terhadap salah satu komponennya Anuria Kerusakan hati yang parah. Harus menyingkirkan keganasan ulkus lambung. Perhatian Penggunaan ntuk anak-anak dan remaja di bawah usia 14 tidak dianjurkan.

6. .LOXITIDINE Lavoltidine ( INN , USAN , BAN , kode nama AH-23, 844 ), sebelumnya dikenal sebagai loxtidine , adalah sangat ampuh dan selektif H 2 reseptor antagonis yang sedang dikembangkan sebagai pengobatan untuk penyakit gastroesophageal reflux , tetapi dihentikan karena penemuan itu diproduksi tumor karsinoid lambung pada hewan pengerat.

Efek samping Persiapan antasida seperti loxtidine dengan menekan asam dimediasi memecah protein, mengarah ke peningkatan risiko mengembangkan makanan atau obat alergi . Hal ini terjadi karena protein tercerna kemudian melewati ke dalam saluran pencernaan di mana sensitisasi terjadi. Tidak jelas apakah risiko ini

terjadi dengan penggunaan jangka panjang saja atau dengan penggunaan jangka pendek juga.

7. METIAMIDE Metiamide merupakan antagonis H2 - reseptor histamin H2 antagonis dikembangkan dari yang lain , burimamide . Itu adalah senyawa antara dalam pengembangan sukses cimetidine obat anti - ulkus ( Tagamet ) . Pengembangan metiamide dari burimamide Setelah menemukan burimamide yang sebagian besar tidak aktif pada pH fisiologis , karena adanya elektron yang menyumbangkan rantai samping , langkah-langkah berikut dilakukan untuk stabilse burimamide : Selain dari kelompok sulfida dekat dengan cincin imidazole , memberikan thiaburimamide Penambahan gugus metil ke 4 - posisi pada cincin imidazol untuk mendukung tautomer dari thiaburimamide yang mengikat baik dengan H2 reseptor Perubahan ini meningkatkan bioavailabilitas metiamide sehingga 10 kali lebih kuat dari burimamide dalam menghambat pelepasan histamin - dirangsang dari lambung uji acid.The klinis yang dimulai pada tahun 1973 menunjukkan kemampuan metiamide untuk memberikan bantuan gejala untuk pasien berbisul dengan meningkatkan penyembuhan tingkat tukak lambung . Namun, selama uji coba ini , jumlah yang tidak dapat diterima pasien diobati dengan metiamide dikembangkan agranulositosis ( penurunan jumlah sel darah putih).

Modifikasi metiamide untuk cimetidine Itu ditentukan bahwa kelompok tiourea adalah penyebab agranulositosis tersebut . Oleh karena itu penggantian = S dalam kelompok tiourea disarankan : dengan = O atau = NH menghasilkan senyawa dengan aktivitas jauh lebih sedikit ( 20 kali lebih kecil dari metiamide ). Namun , bentuk NH ( analog guanidin dari metiamide ) tidak menunjukkan efek atletik untuk mencegah kelompok guanidin yang terprotonasi pada pH fisiologis , kelompok penarik elektron ditambahkan. Menambahkan - C N - NO2 atau kelompok mencegah kelompok guanidin yang terprotonasi dan tidak menyebabkan agranulositosis.

Nitro dan siano kelompok yang cukup elektronegatif untuk mengurangi pKa dari nitrogen tetangga untuk keasaman yang sama dari kelompok tiourea , maka melestarikan aktivitas obat dalam lingkungan fisiologis

8. BURIMAMIDE Burimamide merupakan antagonis di H 2 dan H 3 histamin reseptor . Hal ini sebagian besar tidak aktif sebagai H 2 antagonis pada pH fisiologis, namun H 3 afinitas adalah 100x lebih tinggi. Ini adalah tiourea derivatif.

Burimamide pertama kali dikembangkan oleh para ilmuwan di Smith, Kline & French (SK &F; sekarang GlaxoSmithKline ) dalam niat mereka untuk mengembangkan antagonis histamin untuk pengobatan dari tukak lambung . Penemuan dari buriamide akhirnya menyebabkan perkembangan cimetidine (Tagamet)

9. NIFEROTIDIN Niperotidine adalah antagonis histamin selektif untuk H 2 subtipe. Hal itu diuji coba sebagai pengobatan untuk keasaman lambung yang berlebihan, tetapi ditarik setelah percobaan manusia menunjukkan kerusakan hati. Percobaan manusia menunjukkan.

Efek samping Persiapan antasida seperti niperotidine dengan menekan asam dimediasi memecah protein, menyebabkan peningkatan risiko mengembangkan makanan atau obat alergi. Hal ini terjadi karena protein tercerna kemudian melewati ke dalam saluran pencernaan di mana sensitisasi terjadi. Tidak jelas apakah risiko ini terjadi dengan penggunaan jangka panjang saja atau dengan penggunaan jangka pendek juga. mengarah ke peningkatan risiko mengembangkan makanan atau obat alergi . Hal ini terjadi karena protein tercerna kemudian melewati ke dalam saluran pencernaan di mana sensitisasi terjadi. Tidak jelas apakah risiko ini terjadi dengan penggunaan jangka panjang saja atau dengan penggunaan jangka pendek juga.

10. EBROTIDINE Ebrotidine adalah H 2 antagonis reseptor dengan aktivitas gastroprotektif terhadap etanol, aspirin atau stres akibat mukosa lambung kerusakan .Sifat antisekresi dari ebrotidine yang mirip dengan ranitidin , dan sekitar 10 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan simetidin . Ebrotidine memiliki anti- Helicobacter pylori aktivitas melalui penghambatan urease enzim proteolitik dan dan kegiatan mucolytic bakteri. Namun, aktivitasnya sinergis dengan sejumlah agen antibakteri. Ebrotidine melawan efek penghambatan H. pylori lipo -polisakarida.

Ebrotidine telah terbukti sama efektifnya dengan ranitidine untuk pengobatan dari lambung ulkus duodenum atau erosi atau refluks esofagitis , dengan penyembuhan ulkus signifikan lebih baik tarif (meskipun entah kenapa) pada mereka yang merokok

11. LAFUTIDINE Karakteristik Nama IUPAC : 2-[(2-furylmethyl)sulfinyl]-N-((2Z)-4-{[4-(piperidin-1-

ylmethyl)pyridin-2-yl]oxy}but-2-en-1-yl)acetamide Rumus Kimia : C22 H29 N3 O4 S Mol. Massa : 431,54 g / mol

Lafutidine ( INN ) adalah generasi kedua H2 reseptor antagonis memiliki multimodal mekanisme aksi . Saat ini dipasarkan di Jepang (Stogar) Cina (Lemeiting) dan India (Lafaxid) Hal ini tidak hanya menekan sekresi asam lambung, tetapi juga memiliki sifat sitoprotektif oleh kebajikan properti untuk menginduksi kolagen sintesis dalam mukosa lambung. Ia memiliki mekanisme novel tindakan selain memblokir reseptor H2, mengurangi peradangan oleh modulasi Capsaicin-sensitif peptida-gen terkait (CGRP) dan reseptor vanilloid. Hal ini juga ditemukan untuk merangsang biosintesis musin dan mempromosikan pemulihan mukosa yang rusak Mekanisme Aksi Tindakan Acid supresif Lafutidine diserap dalam usus kecil , mencapai sel-sel lambung melalui sirkulasi sistemik, dan kemudian langsung dan dengan cepat mengikat lambung histamin sel reseptor H2, sehingga menghambat stimulasi cAMP

dan penurunan resultan dalam produksi asam (action antisekresi). Hal ini menyebabkan peningkatan yang berkelanjutan dalam Ca2 + intraselular konsentrasi ion dalam sel-sel endotel mengakibatkan pelepasan Calcitonin Gene Peptida Terkait (CGRP), yang menyebabkan penekanan asam dengan mengurangi tonus vagus. Lafutidine juga meningkatkan kadar somatostatin plasma yang menurunkan sekresi gastrin dari sel G. Penurunan gastrin menyebabkan penghambatan sel parietal , mengakibatkan penurunan sekresi asam lambung. Tindakan gastroprotektif Rilis CGRP Lafutidine diinduksi merangsang nitric oxide (NO) produksi dalam sel endotel, di mana NO berpartisipasi dalam regulasi aliran darah mukosa lambung melalui vasodilatasi di microvasculature lambung dan meningkatkan musin biosintesis mengakibatkan gastroprotection. Lafutidine menghambat sekresi interleukin-8, yang pada gilirannya menghambat penyerapan neutrofil di lokasi peradangan, sehingga mencegah peradangan mukosa . Hal ini juga menghambat aktivasi neutrofil yang mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas, sehingga mengurangi peradangan Selain itu, Lafutidine telah ditemukan untuk memblokir lampiran H. pylori dengan sel-sel lambung, sehingga mencegah penyakit seperti ulkus peptikum. Farmakokinetik Ketika 10 mg lafutidine itu oral untuk laki-laki dewasa yang sehat dalam kondisi puasa, konsentrasi plasma puncak 265,15 49,84 ng / ml dicapai pada 0.95 0.24 jam. Waktu paruh plasma adalah 1,92 0,94 jam. Di antara orang tua, tidak ada perbedaan dalam parameter farmakokinetik antara mereka dengan fungsi ginjal normal (CCR rata 88,0 9,4 mL / menit) dan mereka dengan memburuknya fungsi ginjal (CCR 20 ~ 60ml/min, rata-rata 45,2 7,8 ml / menit). Pada pasien dialytic bila diberikan tanpa hemodialisis, yang Cmax, AUC dan t1 / 2 adalah nilai 336 40 ng / ml, 2278 306 ng.hr / mL dan masing-masing 6,71 0,30 jam sementara mereka setelah hemodialisis adalah 226 36 ng / ml, 853 128 ng.hr / mL dan masingmasing 4,57 0,2 jam. Oleh karena itu lafutidine harus diberikan secara hatihati dengan dosis yang lebih rendah pada pasien dialytic.

Efek samping Persiapan antasida seperti lafutidine dengan menekan asam dimediasi memecah protein, menyebabkan peningkatan risiko mengembangkan makanan atau obat alergi. Hal ini terjadi karena protein tercerna kemudian melewati ke dalam saluran pencernaan di mana sensitisasi terjadi. Tidak jelas apakah risiko ini terjadi dengan penggunaan jangka panjang saja atau dengan penggunaan jangka pendek juga.

You might also like