You are on page 1of 24

MAKALAH SEMINAR BIOETHIC HUMANIORA PROGRAM BLOK CVS DO NOT RESUSCITATE (DNR)

TUTORIAL A3 Azka Nadhilah Dionissa Shabira Karlina Dahlia Ningrum Restu Kaharseno Gustiandari Fidhya Levi Aulia Rachman Oki Fahmi Abri Nurlianto Ambar Indriyanti Chaerunisa Utami Novianto Adi Prasetyo 101.0211.005 101.0211.029 101.0211.029 101.0211.121 101.0211.127 101.0211.054 101.0211.006 101.0211.007 101.0211.146 101.0211.065

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA TAHUN AJARAN 2011/2012

DAFTAR ISI 1. Kata Pengantar................................................................................................................i 2. Daftar Isi..........................................................................................................................ii 3. Definisi ...........................................................................................................................1 4. Sejarah.............................................................................................................................2 5. Latar Belakang.................................................................................................................3 6. Argument Kelompok Pro vs Kontra DNR/AND..............................................................4 7. Guide/Petunjuk bagi Dokter .............................................................................................5 8. Contoh Kasus.....................................................................................................................6 9. Pandangan Agama, Etika Kedokteran dan Hukum Indonesia..........................................7 10. Kesimpulan.......................................................................................................................8 11. Daftar Pustaka...................................................................................................................9.

DEFINISI Do Not Resuscitate (DNR) merupakan sebuah perintah jangan dilakukannya resusitasi CPR

(cardiopulmonary resusitation) atau Resusitasi Jantung

Paru (RJP) bagi tenaga kesehatan ataupun

masyarakat umum jika terjadi permasalahan darurat pada jantung pasien atau berhentinya pernapasan. Cardiopulmonary resuscitation (CPR) memiliki kemampuan untuk membalikkan kematian dini. Hal ini juga dapat memperpanjang pasien pada penyakit terminal, dan meningkatkan ketidaknyamanan. Meskipun keinginan untuk menghormati otonomi pasien, ada banyak alasan mengapa prosedur CPR dapat rumit dalam pengaturan perioperatif.

LATAR BELAKANG Belakangan ini kita sebagai tim kesehatan ataupun tim medis masih sering mengalami dilema dalam kode etik kedokteran maupun masalah moral. Dimana kita dihadapkan oleh suatu pilihan yang sulit, apakah kita harus melakukan atau tidak melakukan dan apakah itu beresiko atau tidak terhadap keselamatan pasien kita. Salah satu kasus yang sering ditemukan adalah Do Not Resuscitate (DNR) . Hal ini akan berhadapan dengan masalah moral atau pun etik, apakah akan mengikuti sebuah perintah 'jangan dilakukan resusitasi' ataupun tidak? Bagaimana tidak , jika tiba-tiba pasien henti jantung dan sebagai tenaga medis yang sudah handal dalam melakukan RJP membiarkan pasien mati dengan begitu saja tapi masalahnya jika kita memiliki hati dan melakukan RJP pada pasien tersebut, kita bisa dituntut oleh pasien dan keluarga pasien tersebut. Ini adalah sebuah dilema.. Dan hal ini terjadi pada pasien pada penyakit kronis dan terminal, pasien dengan kontra indikasi CPR ataupun pasien yang di cap euthanasia (

dibiarkan mati ataupun suntik mati karena karena kehidupan yang sudah tidak terjamin). Pasien DNR biasanya sudah diberikan tanda untuk tidak dilakukannya resusitasi yang biasanya terdapat pada baju, di ruang perawatan ataupun di pintu masuk, sudah ada tandan tulisan DNR. Pasien DNR tidak benar-benar mengubah perawatan medis yang diterima. Pasien masih diperlakukan dengan cara yang sama. Semua ini berarti bahwa jika tubuh pasien meninggal (berhenti bernapas, atau jantung berhenti berdetak) tim medis tidak akan melakukan CPR/RJP. Menjadi pasien DNR tidak berarti obat berhenti untuk diberikan. Ketika dokter dan perawat berhenti berfokus pada pengobatan dan mulai fokus pada tindakan penghiburan adalah sesuatu yang disebut Perawatan Paliatif. Salah satu alasan utama orang mentandatangani perintah DNR adalah karena apa yang terjadi ketika staf rumah sakit mencoba untuk melakukan RJP. Situasi ini umumnya disebut sebagai "kode." Hal ini kadangkadang diberikan nama samaran yang berbeda di rumah sakit yang berbeda. Pada pasien biasa ketika kode staf pasien suatu kawanan seluruh tim resusitasi ruangan. Dada akan dikompresi dengan tangan untuk mensimulasikan detak jantung dan sirkulasi darah. Sebuah tabung dimasukkan ke dalam mulut dan tenggorokan dan Pasien diletakkan pada ventilator untuk bernafas untuk Pasien. Jika hati Pasien dalam irama mematikan Pasien terkejut dengan jumlah besar listrik untuk tersentak kembali ke irama. Obat yang diberikan dan secara manual dipompa melalui sistem dengan penekanan dada. Jika semua ini berhasil, hati Pasien mulai untuk mengalahkan sendiri lagi dan pasien berakhir di ventilator untuk membuatnya / napasnya. Ini tidak biasanya datang tanpa konsekuensi.

Konsekuensi Menjadi diresustasi Salah satu konsekuensi potensial utama dilakukan RJP adalah kekurangan oksigen ke organ-organ tubuh. Meskipun penekanan dada sedang dilakukan untuk mengedarkan darah melalui tubuh, masih belum seefektif detak jantung biasa. Meskipun oksigen dipompa ke paru-paru mekanik, penyakit itu sendiri dapat mencegah beberapa oksigen dari mencapai aliran darah. Semakin lama RJP berlangsung, semakin besar kemungkinan kerusakan pada organ-organ. Tapi jika tidak dilakukan RJP akan berdampak dari kerusakan otak, kerusakan ginjal, hati, atau kerusakan paru-paru. Apa pun bisa rusak berhubungan dengan kurangnya oksigenasi.

Obat-obatan yang dipompa ke dalam tubuh juga dapat berkontribusi untuk kerusakan organ. Obat ini dirancang dengan satu organ itu adalah hati sebagai pusat meetabolisme dan penetral racun. Obat ini mencoba untuk me-restart jantung dan mendapatkannya kembali pada ritme dan meningkatkan tekanan darah. Kadang-kadang organ-organ lain dapat mengambil kerusakan dari obat ini juga. Ada juga kemungkinan trauma tubuh dari penekanan dada. Hal ini sangat normal untuk mendengar retak tulang rusuk dan tulang. Dibutuhkan banyak kekuatan untuk kompres jantung dengan sternum dan tulang rusuk duduk di sampingnya. Terutama orang tua biasanya mengalami kerusakan dari ini. Kejutan listrik juga dapat traumatis dalam dan dari dirinya sendiri.

Jadi bahkan jika Pasien bangkit kembali, kemungkinan Pasien pemulihan dan kelangsungan hidup dapat berpotensi jauh lebih rendah daripada mereka sebelum resusitasi tersebut. Biasanya Pasien berakhir pada ventilator setelah RJP. Jika Pasien memiliki organ yang rusak, kerusakan terutama otak, ada kemungkinan Pasien mungkin bukan karena ventilator tapi karena terlambatnya oksigen masuk ke otak.

SEJARAH Perintah Do-Not_Resuscitate (DNR) telah digunakan selama kurang lebih dua dekade. Argumen untuk penggunaan DNR meliputi peningkatan otonomi pasien, menghindari intervensi medis yang sia-sia, dan biaya rawat inap. ICU adalah pengaturan di mana pasien dapat dikenakan intervensi medis yang mahal, menyakitkan, dan tidak manusiawi, terutama pada praktik yang terkait dengan jantung-paru. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa dalam situasi klinis tertentu CPR hampir selalu sia-sia. Tugas dokter adalah untuk mengkomunikasikan pengetahuannya tentang kedua kemungkinan yang akan terjadi dan hasil yang bisa dicapai dari RJP (Resusitasi Jantung Paru) kepada pasien dan keluarga pasien dan kemudian untuk membantu pasien (dan / atau keluarga pasien) dalam membuat keputusan tentang resusitasi. Kunci untuk proses ini adalah tindakan di awal, komunikasi efektif antara dokter, pasien, dan keluarga pasien. Awalnya digambarkan pada tahun 1960, massage pada dada di dekat jantung diterapkan pada pasien yang mengalai cardiopulmonal arrest. Singkat kata, pasien yg dilakukan usaha CPR banyak yang sekarat . Statistik pada orang miskin tercermin pelayanan yang sembarangan. Literatur menunjukkan bahwa resusitasi mana diyakini menjadi sia-sia atau nonbeneficial, staf rumah sakit melakukan upaya resusitasi palsu ('kode lambat') atau tidak mengaktifkan 'tim kode' sama sekali. Beberapa lembaga bahkan mengembangkan cara rahasia untuk mengidentifikasi orang-orang yang tidak akan memenuhi syarat untuk upaya resusitasi penuh. Kekhawatiran yang timbul mengenai dokumentasi yang tidak memadai, akuntabilitas dokter, dan fakta bahwa pasien dan keluarga mereka sering dikecualikan dari proses pengambilan keputusan. Tuduhan paternalisme dan pengambilan keputusan rahasia yang dibuat, dan kekhawatiran yang timbul mengenai erosi kepercayaan antara petugas kesehatan dan masyarakat . Itu tidak sampai pertengahan 1970-an bahwa keputusan untuk tidak resusitasi pertama kali disahkan. Di Amerika Serikat American Medical Association pertama direkomendasikan bahwa keputusan untuk mengorbankan resusitasi secara resmi didokumentasikan dan dikomunikasikan . Selain itu, ditekankan bahwa CPR dimaksudkan untuk pencegahan kematian, tiba-tiba tak terduga - bukan pengobatan penyakit, terminal ireversibel. Eksplisit DNR kebijakan segera diikuti, dan hak pasien untuk menentukan nasib sendiri dipromosikan. Pada akar dari perdebatan, itu kategoris diasumsikan bahwa pasien akan selalu memilih resusitasi, dan bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan itu diperlukan persetujuan eksplisit mereka. Kritikus mempertanyakan pendekatan semacam itu dan berpendapat bahwa CPR tidak pernah dimaksudkan (juga tidak berkhasiat) dalam segala situasi. Oleh karena itu, CPR seharusnya hanya ditawarkan kepada mereka yang secara medis diindikasikan. Namun, laporan tahun 1983 Komisi Presiden

untuk Studi Masalah Etis di Kedokteran tidak setuju, upaya resusitasi yang dilakukan di hampir semua kasus, dan pasien dianggap telah memberikan persetujuan implisit untuk CPR. Dengan demikian, CPR menjadi standar perawatan, dan semua pasien 'kode penuh' kecuali jelas didokumentasikan sebaliknya. CPR menjadi satu-satunya terapi medis yang diperlukan agar dokter agar bisa ditahan, maka perintah DNR. Perintah DNR kemudian diambil beberapa waktu untuk mendapatkan penerimaan luas di semua lingkungan rumah sakit. Sebelum tahun 1990-an, kebijakan formal untuk mengakomodasi pasien peri-operatif dengan perintah DNR jarang. Akibatnya, keputusan yang biasanya diserahkan kepada ahli bedah dan / atau anaesthesiologist, dan DNR secara rutin ditangguhkan selama periode intraoperatif dan pasca operasi segera. Pada tahun 1991, beberapa artikel mengkritik praktek ini meluas. Akibatnya, muncul keprihatinan bahwa pasien dipaksa untuk berkompromi otonomi mereka dan hak untuk menentukan nasib sendiri agar memenuhi syarat untuk operasi. Hal ini menyebabkan kebijakan 'peninjauan kembali yang diperlukan', dan tiga kursus yang berbeda dari tindakan yang telah diidentifikasi. The American Society of Anesthesiologists formalized membuat kebijakan ini dalam seperangkat pedoman yang disetujui pada tahun 1993 dan diperbarui pada tahun 1998.

ARGUMEN KELOMPOK PRO vs KONTRA DNR Konsep mati dan berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini dan yang juga diatur dalam PP 18 tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru, tidak bisa dipergunakan lagi karena teknologi resusitasi telah memungkinkan jantungdan paru-paru yang semua terhenti kini dapat dipacu untuk berdenyut kembali dan paru-parudapat dipompa untuk berkembang kempis kembali.Konsep mati dari terlepasnya dari tubuh sering menimbulkan keraguan karena misalnya pad atindakan resusitasi yan gberhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakanakannyawa dapat ditarik kembali.

Mengenai konsep mati dari hilangnya kembali kemampuan tubuh secara permanen untuk menjalankan fungsinya secar terpadu juga dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karenaotak telah mati. Untuk kepentingan transplantasi konsep inimenguntungkan tetapi secar moral tidak dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi.Bila dibandingkan dengan manusia sebagi mahluk social yaitu individu yang mempunyaikepribadian, menyadari kehidupannyam kekhususannya, kemampuannya mengingat,menentukan sikap dan mengambil keputusan, mengajukan alasan yang masuk akal, mampu berbuat, mampu menikmati, mengalami kecemasan dan sebagainya, maka penggerak dari otak baiksecara fisik amupun social makin banyak dipergunakan.Pusat pengendali ini terdapat dalam batang otak. Oleh Karen aitu jika batang otak telahmati (brain system death) dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan social telah mati.Dalam keadaan demikian, kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskanresusitasi (DNR, do not resuscitation)Penentuan saat mati ini juga dibahas dan ditetapkan dalam world

Medical Assemblytahun 1968 yang dikenal dengan Deklarasi Sydney. Disini dinyatakan penentuan saat kematian di kebanyakan negara merupakan tanggung jawab sah dokter. Dokter dapat menentukan sesorangsudah mati dengan menggunakan criteria yang lazim tanpa bantuan alat khusus yang telahdiketahui oleh semua dokter.Yang penting dalam penentuan saat mati disini adalah proses kematian tersebut sudahtidak dapat dikemabalikan lagi (irreversible) meski menggunakan teknik penghidupan kembaliapapun. Walaupun sampai sekarang tidak ada alat yang sungguh-sungguh memuaskan dapat digunakan untuk penentuan saat mati ini, alat elektroensefalograf dapat diandalkan untuk maksud tersebut.

Di beberapa negara namun ada di beberapa negara yang tidak menerapkan kondisi DNR. Di negaranegara di mana tidak tersedia DNR keputusan untuk mengakhiri resusitasi dibuat semata-mata oleh dokter. Namun sebagian besar negara menganut DNR. Timur Tengah DNRs tidak diakui oleh Jordan. Dokter berusaha untuk menyadarkan semua pasien terlepas dari

keinginan individu atau keluarga. Di Israel, memungkin penandatanganan formulir DNR asalkan pasien sekarat dan menyadari tindakan mereka.. [Rujukan?] Inggris Di Inggris, untuk DNR seperti untuk perawatan medis, pasien hanya dapat diberikan informed consent, jika mereka memiliki kapasitas sebagaimana didefinisikan dalam Undang-Undang Kapasitas Mental 2005; jika mereka tidak memiliki kapasitas kerabat akan sering diminta pendapat mereka keluar dari rasa hormat namun tidak memiliki kekuatan hukum keras pada keputusan dokter. Dalam situasi ini, itu tugas dokter untuk bertindak dalam 'kepentingan terbaik' mereka, apakah itu berarti meneruskan atau menghentikan pengobatan, dengan menggunakan penilaian klinis mereka. Atau, pasien dapat menentukan keinginan mereka dan / atau mengalihkan mereka pengambilan keputusan yang diwakili menggunakan arahan yang advance, yang sering disebut sebagai 'Living Wills'. Amerika Serikat Di Amerika Serikat dokumentasi tersebut cukup rumit, dimana di setiap negara menerima bentuk yang berbeda, dan petunjuk advance serta living wills tidak diterima oleh EMS sebagai bentuk sah secara hukum. Jika pasien memiliki hidup yang menyatakan akan pasien ingin menjadi DNR tetapi tidak memiliki resusitasi tepat mengisi formulir yang disponsori negara yang ikut ditandatangani oleh dokter, EMS akan mencoba. Ini adalah fakta yang diketahui sedikit banyak pasien dan dokter perawatan primer yang dapat menyebabkan pasien untuk menerima perawatan yang mereka tidak inginkan, dan hukum ini saat ini sedang dievaluasi untuk tantangan konstitusional. Keputusan DNR oleh pasien pertama kali pada tahun 1976 diligitasi Di re Quinlan. The New Jersey Mahkamah Agung menguatkan hak orang tua Karen Ann Quinlan untuk memesan penghapusan dia dari ventilasi buatan. Pada tahun 1991 Kongres meloloskan ke dalam hukum Actthat Penentuan Nasib Sendiri Pasien diamanatkan rumah sakit menghormati keputusan individu dalam perawatan kesehatan mereka. Empat puluh sembilan negara saat ini memungkinkan keluarga terdekat untuk membuat keputusan medis,

kecuali Missouri. Missouri memiliki Living Will Statute yang membutuhkan dua orang saksi untuk setiap perintah sebelumnya ditandatangani yang menghasilkan kode status DNR / DNI di rumah sakit. Di AS, resusitasi cardiopulmonary (CPR) dan maju mendukung kehidupan jantung (ACLS) tidak akan dilakukan jika ditulis valid "DNR" agar hadir. Banyak negara bagian di Amerika tidak mengenali kehendak hidup atau proxy kesehatan dalam pengaturan pra-rumah sakit dan personil pra-rumah sakit di daerah tersebut mungkin diperlukan untuk memulai tindakan resusitasi kecuali bentuk keadaan tertentu yang disponsori tepat diisi dan cosigned oleh dokter.

PEDOMAN BAGI DOKTER Pedoman yang dikeluarkan oleh British Medical Association dan Royal College of Nursing mengatakan bahwa perintah DNR hanya boleh dikeluarkan setelah diskusi dengan pasien atau keluarga mereka. Meskipun mungkin sulit untuk berdiskusi dengan pasien dan keluarga mereka tentang apakah untuk pasien dapat hidup kembali atau tidak, tapi bagaimanapun juga diskusi terhadap keluarga pasien diperlukan untuk mengambil keputusan dilakukan atau tidaknya CPR. Kasus-kasus yang paling sulit untuk diskusi biasanya pasien melibatkan yang tahu mereka akan mati, menderita banyak rasa sakit, tapi kemungkinan bisa hidup selama beberapa bulan. Dr Robin Loveday, konsultan mengatakan, "DNR adalah situasi di mana Anda benar-benar membutuhkan banyak diskusi dengan pasien dan keluarga mereka untuk membantu mereka membuat keputusan mengenai apakah, jika mereka menderita serangan jantung, apakah tepat untuk memberi harapan mereka hidup beberapa bulan lagi. " Profesi kedokteran Inggris memiliki pedoman untuk keadaan di mana DNR mungkin dikeluarkan: Jika kondisi pasien adalah sedemikian rupa sehingga resusitasi tidak mungkin berhasil Jika pasien dengan mental yang baik secara konsisten menyatakan atau menandatangani bahwa dia tidak ingin diresusitasi Jika ada pemberitahuan lanjutan atau kemauan hidup yang mengatakan pasien tidak ingin diresusitasi Jika resusitasi berhasil tidak akan berada dalam kepentingan terbaik pasien karena akan menyebabkan kualitas hidup yang buruk. Di Inggris, NHS Trust harus memastikan: Kebijakan resusitasi sepakat bahwa menghormati hak-hak pasien adalah di tempat

seorang direktur non-eksekutif diidentifikasi untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan Kebijakan ini tersedia untuk pasien, keluarga dan perawat Kebijakan tersebut diletakkan di bawah audit dan dipantau dengan teratur

CONTOH KASUS Contoh 1: Pasien laki-laki berusia 42 tahun mengalami HIV positif mengakui adanya hematuria yang diperkirakan berasal dari kanker ginjal. Dia tidak dilakukan resusitasi (DNR). Sudah dikonsultasikan masalah urologinya dan mereka mengira bahwa dengan biopsi ginjal mungkin sebaik dilakukannya nephrectomy. Bagaimanapun juga, mereka tidak melakukan salah satupun dari keduanya, karena pasien ini golongan DNR dalam keadaan preterminal.

Contoh 2: Pasien laki-laki berusia 42 tahun dengan AIDS dibawa ke ruang operasi untuk di nephrectomy. Residen bedah mengangkat bahunya dan berkata, Baiklah, setidaknya kita bisa bergerak dengan cepat. DNR disini berarti tidak begitu berpengaruh jika operasinya berhasil, sehingga pasien DBR sedikit merasa lega.

PANDANGAN AGAMA, ETIKA KEDOKTERAN DAN HUKUM INDONESIA Agama

Etika Kedokteran Prinsip Etik Pada awal dan akhir resusitasi, perbedaan etik dan norma- norma budaya harus dipertimbangkan. Meskipun prinsip- prinsip etik tentang beneficence, non maleficence, autonomy dan justice dapat diterima di seluruh budaya, tetapi prioritas

prinsip-prinsip tersebut dapat bervariasi antara kebudayaan yang berbeda. Di Amerika Serikat sebagian besar penekanan pada otonomi individual. Di Eropa lebih menekankan pada penyedia layanan kesehatan otonomi yang menjadi tugas mereka dalam mengambil keputusan bila timbul masalah. Sedangkan di Asia keputusan kelompok masyarakat men- dominasi keputusan yang diambil. Dikatakan bahwa resu- sitasi adalah paduan usaha antara data ilmiah dan nilai-nilai sosial sedangkan pada saat yang sama juga terdapat upaya mempertahankan otonomi budaya, sehingga dokter harus memainkan peranan penting dalam mengambil keputusan berdasarkan data ilmiah dan keinginan (preferensi) pasien.

Prinsip Beneficence Prinsip beneficence pada RJP adalah pemulihan kesehatan dan fungsi-fungsinya serta meringankan rasa sakit dan penderitaan. Resusitasi elektif yang dilakukan pada tahun 1940an dan awal 1950 seperti perawatan pernafasan intensif meningkatkan harapan hidup pasien poliomyelitis bulbar dari 15% menjadi lebih dari 50%. Satu dekade kemudian, 14 dari 20 pasien (70%) yang ditangani dengan pemijatan jantung paru tertutup dapat bertahan hidup. Kouwenhoven et al melaporkan bahwa tingkat pemulangan pasien di RS John Hopkins berkisar 14% pada tahun 1985, dan di bawah 10% pada tahun 1994. Tingkat kesuksesan sekitar 70% tidak pernah dipublikasikan. Keuntungan terbesar dari

tindakan RJP, dengan kemungkinan hidup lebih dari 20%, telah dilaporkan pada henti jantung selama tindakan anestesi, overdosis obat, dan penyakit jantung koroner atau aritmia ventriculer primer. Pada tahun 1995 tingkat pemulangan pasien hanya sekitar 17%, yang diikuti oleh pelaksanaan tindakan RJP pada pasien di ruang unit jantung koroner terpadu dan dimonitor oleh pegawai yang terlatih. Jarang sekali pasien bertahan hidup setelah dilakukan RJP ketika henti jantung yang timbul disebabkan oleh penyakit selain jantung atau disfungsi organ. Harapan hidup pasien setelah dilakukan tindakan RJP sangat buruk (<5%) bila henti jantung terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, kanker (kecuali dengan penyakit yang minimal), atau AIDS; dan dengan tidak adanya penyakit penyebab yang irrevers- ible, diikuti dengan trauma, perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau pneumonia. Dibatasinya pelaksanaan RJP telah meningkatkan derajat harapan hidup pasien sebesar 10,5% setelah tindakan RJP, meskipun 7-10% lainnya ditunda untuk dilakukan RJP. RJP yang dimulai dengan cepat di Seattle menghasilkan tingkat harapan hidup sebesar 36%, itu merupakan angka tertinggi yang dicapai dibandingkan dengan data yang terdapat di literatur saat ini. Pada daerah lalu lintas yang mempunyai sistem yang lebih buruk angka keberhasilan RJP lebih rendah. Secara spesifik di kota New York dan Chicago tingkat harapan hidup setelah tindakan RJP kurang dari 2%, hal itu terjadi karena RJP yang terlambat terkait dengan padatnya arus lalu lintas.

Usia bukan merupakan salah satu kontraindikasi dilakukannya tindakan RJP. Walaupun dikatakan proses penuaan berkaitan dengan akumulasi berbagai kelemahan dan penyakit, dengan terdapatnya perawatan jangka panjang dan penurunan fungsi tubuh, masih menjadi salah satu perkiraan hasil RJP yang buruk.

Prinsip Non Maleficence (Do No Harm) Tingkat kerusakan otak berkaitan dengan tindakan RJP bervariasi antara 10-83%. Pada salah satu penelitian, 55 dari 60 anak meninggal karena pemberian RJP yang berke- panjangan; lima lainnya bertahan hidup pada kondisi coma persistent atau status vegetative di rumah sakit. Banyak pasien dengan disabilitas berat yang diikuti dengan kerusakan otak berada dalam kondisi yang sama dengan kematian. RJP menjadi berbahaya dan bersifat merusak ketika risiko kerusakan otak relatif tinggi. Oleh karena gangguan aliran darah ke otak atau ke jantung dapat menyebabkan kerusakan berat, RJP dapat dikatakan berhasil hanya jika dilakukan tepat waktu. Seorang investigator dari Swedia melaporkan bahwa harapan hidup melebihi 80% pada pemberian RJP oleh orang di sekitar korban dan ambulan datang kurang dari 2 menit, akan tetapi angka ini menjadi lebih buruk bahkan kurang dari 6% ketika ambulan datang lebih dari 6 menit atau tidak ada orang di sekitar korban yang melakukan RJP. Pada beberapa negara di Amerika Serikat, walaupun petugas gawat darurat sudah membatasi dilakukannya tindakan RJP di lapangan, masih dapat ditemukan bukti RJP yang tidak dikehendaki. Bahkan didapatkan 7% pasien yang dipulangkan dari rumah sakit tidak menghendaki dilakukannya RJP. dikatakan tidak merusak jika keuntungan yang didapatkan lebih besar. Tindakan RJP

Prinsip Otonomi Otonomi pasien harus dihormati secara etik dan di sebagian besar negara dihormati secara legal. Akan tetapi hal itu membutuhkan kemampuan komunikasi seorang pasien untuk dapat menyetujui atau menolak tindakan medis termasuk RJP. Di Amerika Serikat, pasien dewasa dianggap memiliki kapasitas dalam mengambil keputusan kecuali jika pengadilan telah menyatakan bahwa mereka tidak kompeten untuk membuat keputusan tindakan medis sedangkan di negara lain keputusan pengadilan tidak diperlukan untuk penderita-penderita dengan incompetency seperti pada penderita penyakit jiwa.1,4,5 Informed consent mensyaratkan bahwa pasien dapat menerima dan memahami informasi yang akurat tentang kondisi mereka dan prognosis, jenis tindakan medik yang diusulkan, tindakan alternatif lainnya, risiko dan manfaat dari tindakan medis tersebut. Pasien juga harus dinilai kapa- sitasnya dalam mengambil keputusan. Bila pasien ragu-ragu maka dia harus dianggap mempunyai kapasitas, dan bila kapasitas dalam mengambil keputusan tersebut terganggu

oleh karena obat-obatan, penyakit-penyakit penyerta, maka kapasitas pasien harus dikembalikan terlebih dahulu. Dalam keadaan darurat, dan preferensi pasien belum jelas, dengan waktu yang terbatas untuk mengambil keputusan maka adalah bijaksana untuk memberikan perawatan medis yang stan- dard. Pasien biasanya tidak mempunyai rencana tentang apa yang terjadi pada akhir kehidupannya (end of life), banyak yang tidak ingin menyiapkan advanced directives, living wills (surat wasiat) atau mendiskusikan RJP. Dokter juga jarang mendiskusikan hal-hal tersebut dengan pasien- pasiennya, bahkan jika pasien tersebut menderita sakit yang parah. Banyak pasien memiliki pemahaman yang samarsamar tentang RJP dan konsekuensi-konsekuensinya. Masyarakat umumnya berharap banyak tentang kemungkinan untuk bertahan hidup dari serangan jantung. Beberapa penderita mungkin akan menolak dilakukan RJP karena mereka mengetahui adanya defisit sensorik berat yang timbul setelah serangan tersebut. Akan tetapi banyak penelitian tentang kualitas hidup penderita yang selamat dari serangan jantung menyatakan bahwa risiko tersebut dapat diterima. Baik dokter dan penderita mungkin mempunyai persepsi yang berbeda tentang kualitas hidup. Dokter mempunyai kewajiban untuk menerangkan kepada pasien tentang RJP dan hasilnya. Pengambilan keputusan yang tepat dapat terjadi bila penderita mempunyai pemahaman yang baik tentang persepsi dan hasil resusitasi. Masalah kemudian dapat timbul karena banyak dokter tidak dapat memprediksi secara akurat tentang kemungkinan hidup dari serangan jantung, sehingga penderita tidak dapat dipaksa untuk mengambil persetujuan tentang tindakan RJP. Baik Kant maupun Rawls mengatakan sebuah keputusan

moral otonom harus rasional dan tidak memihak salah satu pembuat keputusan. Rawls mengatakan dengan jelas bahwa pembuat keputusan, para pemilih, tidak mengetahui masa depan mereka dalam suatu komunitas. Dari prinsip tersebut para ahli menyimpulkan bahwa pasien harus dapat menentukan pengobatannya sendiri. Prinsip tersebut mengharuskan kita mengkaji ulang dan menyelesaikan dua masalah. Pertama, pasien selalu memikirkan hasil dari keputusan tindakan medis tersebut oleh karena itu tidak harus selalu berdasarkan prinsip otonomi bahkan ketika keputusan tentang tindakan medis tersebut tidak dapat meeredakan rasa nyeri, atau penderitaan. Kedua, merupakan prinsip keadilan yang

menghasilkan kemampuan untuk menerima sesuatu, bukan otonomi. Dalam formulasi terbarunya Beuchamp dan Childress lebih akurat mengatakan prinsip ini sebagai penghormatan terhadap otonomi. Ada beberapa bukti bahwa wali pengganti yang bertindak atas nama pasien pada saat pasien telah kehi- langan kapasitas pengambilan keputusan, ternyata pasien tidak secara tepat dapat mengatakan keinginan yang sebenarnya. Sekitar sepertiga penderita ginjal kronik mene- rima keputusan yang diambil oleh wali pengganti, ternyata

keputusan itu bertentangan dengan keinginannya.

Prinsip Keadilan (Justice) Pemikiran tentang prinsip keadilan meliputi dibuatnya hak-hak untuk menerima sesuatu, persaingan untuk mendapatkan kepentingan pribadi dan menyeimbangkan tujuan sosial. Masalahnya adalah seharusnya diperlukan nilai moral keadilan untuk menyediakan perawatan medis kepada yang memerlukannya dengan efek yang bermanfaat, karena keadilan diperlukan untuk mengurangi ketidaksamaan dalam perlakuan yang sering timbul dalam masyarakat. Dokter harus menyesuaikan diri dengan sumber penghasilan masyarakat untuk merawat mereka berdasarkan sumber penghasilan yang secara umum disediakan seperti dari asuransi pribadi, atau pemerintah atau dukungan institusi secara langsung. Akan tetapi, untuk menentukan apakah diperlukan nilai keadilan moral untuk kelayakan minimal dalam memberikan pelayanan medis harus dinilai seberapa penting masalah yang dihadapi,5 oleh karena itu diusulkan pelayanan kesehatan dasar sebaiknya: (1) mencegah, mengobati, dan mengusahakan one- year survival lebih dari 75 persen (2) menghasilkan lebih sedikit toksisitas atau disabilitas jangka panjang (3) dapat memberikan manfaat dan (4) secara nyata lebih mengun- tungkan daripada memberatkan.

Prinsip Kesia-siaan (Principle of Futility) Futility adalah kata yang berarti tidak adanya ke- untungan. Kata sia-sia berasal dari bahasa Latin futilis, yang berarti mudah meleleh atau mengalir. Penggunaan kata ini berasal dari legenda Yunani ketika Raja Argos dibunuh atas kejahatan yang dilakukannya, kemudian istri dan anak- anaknya dikutuk selama-lamanya untuk mengumpulkan air dengan menggunakan ember yang bocor ke suatu tempat sehingga saat sampai di tempat tujuan ember tersebut kosong. Definisi sia-sia, tidak berguna atau futility digunakan untuk menggambarkan ketidakbergunaan atau tidak adanya efek, khususnya tidak adanya efek yang diinginkan dan jika diasumsikan bahwa efek yang diinginkan intervensi medis adalah untuk sesuatu yang bermanfaat bagi pasien maka sia-sia menggambarkan ketiadaan manfaat tersebut. Dalam Rogets Link Thesaurus sia-sia digunakan dengan konsep umum inutility, sama dengan kata-kata seperti tidak berguna, inefficacy, kebodohan, konsep umum absurditas seperti kedunguan, keledai, omong kosong, non- sen. tanpa pertimbangan biaya. Bagaimana jika tindakan intervensi medis yang dilakukan memberikan sedikit manfaat? ketidakmampuan,

unfruitfulness,suatu pekerjaan yang sia-sia bahkan tidak berharga dan hanya lelucon dan dengan omong kosong, kesa- lahan, kekacauan,

Dikatakan juga kesia-siaan menggambarkan ketiadaan manfaat

Siapakah yang harusnya memutuskan untuk dilakukannya tindakan tersebut? Ketika kehidupan seseorang digambarkan dengan penyakit lanjut, ketergantungan penuh dengan orang lain,

demensia , sedangkan keuntungan yang didapat dari tindakan RJP ternyata tidak adekuat dan tidak sesuai yang diharapkan? Memberikan hak sepenuhnya kepada pasien untuk memutuskan tindakan yang akan dilakukan tidak akan menyelesaikan masalah. Ketika permasalahan yang terkait dengan kematian dan koma menjadi sangat sulit maka perlu ketegasan tentang tujuan sebenarnya yang akan dicapai.5 Jika resusitasi adalah sia-sia maka setiap kerugian yang terjadi akan membawa sesuatu yang tidak menguntungkan/ membahayakan keseimbangan, 7 sehingga melakukan tindakan Tomlinson dan Brody

tanpa tujuan yang berguna adalah suatu hal yang tidak efektif.5

mengakui bahwa untuk menyatakan suatu tindakan atau intervensi medik harus melibatkan keseimbangan yang kompleks antara ketidak- pastian dan kewajiban akan tanggung jawab. Schneiderman dan Jacker telah mempelajari tentang makna kesia-siaan dan membuat definisi kuantitatif dari sia-sia yang membutuhkan kepastian bahwa intervensi tersebut minimal 100 kali gagal digunakan. Hal itu menunjukkan bahwa tindakan tersebut tidak memiliki suatu kejelasan tertentu,5 sehingga diperlukan diskusi yang mendalam dengan pasien atau keluarga untuk

mengevaluasi keuntungan dan beban atau tanggung jawab yang masih tersisa.5 Di Unit Perawatan Intensif (ICU) pasien yang meninggal sebagai akibat dari keputusan dipertahankannya (withhold) atau ditariknya (withdraw) alat-alat pendukung kehidupan (life support) adalah sekitar 70-90%. Persentase tersebut meningkat secara signifikan dari waktu ke waktu, dan alasan yang paling umum untuk dilakukannya tindakan medis untuk mempertahankan (withhold) atau menarik kembali (with- draw) alat-alat penunjang kehidupan tersebut adalah persepsi bahwa pasien mempunyai prognosis yang buruk.79 RJP adalah tindakan medis yang paling sering dipertahankan dan ventilasi mekanis adalah tindakan medis yang paling sering ditarik kembali,7 kebanyakan unit perawatan intensif dokter menganjurkan withhold dan withdraw berdasarkan persepsi futility.7,8 Upaya untuk mengukur kesia-siaan adalah berdasarkan pada penilaian RJP fisiologis atau fitur prognosis lainnya yang ternyata memberikan hasil yang tidak banyak ber- manfaat. Berbagai definisi kesia-siaan termasuk di sini adalah gagal untuk memperpanjang hidup, gagal untuk mencapai efek fisiologis pada tubuh dan gagal untuk mencapai manfaat terapetik bagi pasien.7-9 Waisel dan Troug menyim- pulkan tiga perbedaan yang konseptual dari definisi

kesia- siaan. Kesia-siaan fisiologis terjadi apabila gagal atau tidak dapat memberikan tujuan fisiologis. Sebagai contoh ketika RJP tidak menghasilkan denyut nadi atau ketika transfusi tidak menghasilkan tekanan darah, maka intervensi tersebut adalah sia-sia dari perspektif definisi sebuah kesia-siaan fisiologis. Schneiderman et al, berpendapat bahwa konsep kesiasiaan fisiologis bukan merupakan nilai bebas, penilaian terapi tersebut adalah sebuah pilihan nilai dan bahwa pilihan yang dibuat adalah nilai pengukuran fungsi

organ daripada nilai hasil untuk pasien. Definisi kesia-siaan lainnya adalah kesia-siaan yang berpusat pada asas manfaat (benefit centered), yang didefinisikan sebagai kesia-siaan yang terdiri dari pertimbangan kuantitatif dan kualitatif. Perkiraan kuantitatif kesia-siaan adalah saat intervensi medis dianggap sia-sia jika gagal dalam jumlah yang ditentukan terakhir kali mencoba, dan disarankan usaha tersebut berhasil apabila dilakukan 100 kali sebagai ambang batas minimal yang dianggap oleh penilaian profesional pada umumnya. Komponen kualitatif menggambarkan kesia-siaan yang terjadi saat kualitas hidup pasien jatuh di bawah ambang batas mini- mal yang dianggap oleh penilaian professional pada umumnya. Murphy dan Finucane mengusulkan definisi kesia- siaan operasional sebagai perlakuan yang sangat tidak mungkin untuk berhasil dan banyak orang awam maupun kalangan profesional menganggap bahwa hal tersebut tidak sepadan dengan biaya.7-9 The American Thoracic Society mengadopsi makna kesia-siaan dengan lebih konservatif, namun definisinya lebih samar-samar, dimana dikatakan bahwa intervensi medis tersebut dikatakan sia-sia jika sudah sangat tidak mungkin untuk menghasilkan makna kehidupan. Oleh karena itu The American Thoracic Society memberikan definisi kesia-siaan berasal dari campuran antara kuantitatif (sangat tidak mungkin) dan kualitatif (bermakna untuk bertahan hidup).7 American Heart Association mengambil definisi kualitatif kesia-siaan secara ekstrem, dikatakan bahwa RJP adalah sia-sia ketika tidak ada yang selamat seperti yang dilaporkan pada sebuah penelitian yang didesain dengan baik, dan dibuat untuk mempertimbangkan bahwa tindakan RJP adalah tidak sia-sia. Definisi yang dikemukakan oleh American Heart Association tersebut tampaknya untuk mendukung tidak dilakukan RJP pada situasi-situasi yang akan membawa lebih banyak kerugiannya daripada keuntungannya, dan definisi kesiasiaan tersebut konsisten dengan definisi kesia-siaan yang ada yaitu tidak ada man- faatnya.7

Hukum di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1751011/ http://www.bbc.co.uk/ethics/euthanasia/overview/dnr.shtml http://books.google.co.id/books?id=EfqiF5B4IgEC&printsec=frontcover&dq=kaplan+ethic+boo k&source Basbeth, Ferrial.PDF: Analisis Etik Terkait Resusitasi Jantung Paru. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas YARSI dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. www.scribd.com/doc/42628892

You might also like