You are on page 1of 35

PENYIKSAAN ANAK DAN DAMPAKNYA

MAKALAH

Disusun oleh
Endrizka Rachmadienia
Kelas XI IIS 1 / 17

DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


SMA NEGERI 2 PURWOKERTO
2008 / 2009
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat limpahan rahmat-Nya
penyusun mampu menyelesaikan makalah mengenai penyiksaan anak dengan judul
“Penyiksaan Anak dan Dampaknya”.
Penyiksaan anak merupakan kasus yang sering terjadi, namun dalam
kehidupan kita ini penyiksaan anak masih sering diabaikan karena ketidaktahuan
kita. Makalah yang disusun untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia ini disusun
dengan harapan bahwa pembaca akan mendapatkan manfaat setelah membacanya.
Makalah ini memuat informasi mengenai penyiksaan anak, mengajak
pembaca membuka matanya dan melihat kenyataan dibalik kehidupan anak-anak
yang identik dengan keceriaan, serta dengan harapan bahwa pembaca akan dapat
ikut mencegah terjadinya hal tersebut.
Terimakasih juga penyusun sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu proses penyusunan makalah ini dan telah mendukung serta memberi
saran-saran mereka sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu
yang ditentukan.
Meski demikian, tidak ada hal yang sempurna, begitu pula dengan makalah
ini. Oleh karena itu, penyusun mengucapkan maaf apabila masih ada banyak
kekurangan pada makalah ini. Kritik dan saran membangun akan penyusun terima
sebagai bahan referensi untuk penysunan makalah-makalah selanjutnya.

Maret 2009

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …............................................................................................ i


DAFTAR ISI …........................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR …........................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ….................................................................................... 1
C. Tujuan …....................................................................................................... 1
D. Manfaat ….................................................................................................... 2
E. Metode …...................................................................................................... 2

BAB II PENYIKSAAN ANAK


A. Pengertian …................................................................................................. 3
B. Faktor Penyebab …....................................................................................... 4

BAB III MACAM-MACAM PENYIKSAAN ANAK


A. Penyiksaan Fisik (Physical Abuse) …...........................................................6
B. Penyiksaan Emosi (Psychological/Emotional Abuse) …............................. 7
C. Pelecehan Seksual (Sexual Abuse)................................................................ 8
D. Pengabaian (Child Neglect) …..................................................................... 9

BAB IV DAMPAK PENYIKSAAN ANAK


A. Dampak Penyiksaan Fisik …...................................................................... 10
B. Dampak Penyiksaan Emosi ….................................................................... 11
C. Dampak Pelecehan Seksual ........................................................................ 11
D. Dampak Pengabaian.................................................................................... 12
BAB V FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BESAR/KECIL DAMPAK ......... 13

BAB VI DATA STATISTIK MENGENAI PENYIKSAAN ANAK


A. Statistik di Indonesia................................................................................... 15
B. Statistik Global............................................................................................ 17

BAB VII PERAN PENTING MASYARAKAT


A. Menangani Kasus Penyiksaan..................................................................... 20
B. Mencegah Terjadinya Penyiksaan............................................................... 23

BAB VIII KISAH NYATA ANAK-ANAK TERSIKSA ….................................... 24

BAB IX PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................. 28
B. Saran............................................................................................................ 29

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................30


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau
nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok
masyarakat. Namun, proses sosialisasi yang terjadi dalam kehidupan nyata
tidak selalu berjalan lancar.
Perilaku menyimpang adalah salah satu contoh kesalahan dalam proses
sosialisasi. Perilaku menyimpang merupakan suatu perilaku yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Salah satu
yang paling buruk adalah perilaku menyimpang terhadap anak yang biasa kita
kenal dengan penyiksaan anak (child abuse).
Jika penyiksaan terhadap anak tidak dicegah, maka dapat menimbulkan
dampak yang sangat buruk pada pembentukan kepribadian anak. Atas dasar
inilah penyusun mencoba menyusun makalah yang berjudul “Penyiksaan Anak
dan Dampaknya”.

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibahas macam-macam perilaku menyimpang
terhadap anak dan dampaknya pada kepribadian anak yang mengalaminya serta
bagaimana kita dapat berusaha membuat perubahan.

C. Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui dampak negatif perilaku menyimpang terhadap anak
2. Untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia
3. Untuk menambah kepustakaan sekolah
4.
D. Manfaat
Dengan disusunnya makalah ini, diharapkan pembaca dapat menyadari
betapa buruknya dampak penyimpangan terhadap anak dan mencegah terjadinya
hal tersebut di lingkungan sekitar.

E. Metode
Makalah ini disusun dengan menggunakan metode studi pustaka.
Penyusunan dilakukan dengan mengumpulkan data yang berhubungan dengan
perilaku menyimpang terhadap anak dari berbagai buku dan artikel serta
membacanya secara intensif pada bagian yang akan disusun dalam pembuatan
makalah ini.
BAB II
PENYIKSAAN ANAK

A. Pengertian

Setiap kali kita mendengar kata penyiksaan, mungkin yang sering


terbetik dalam benak kita adalah tindakan-tindakan kasar yang mencelakakan
anak, caci maki, dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak. Pada
kenyataannya, penganiayaan pada anak-anak tidak hanya sebatas itu dan tanpa
disadari banyak dilakukan oleh orangtua atau pengasuh.

Dari hasil riset yang dilakukan oleh Mitra Perempuan Women´s Crisis
Centre, sebuah lembaga pendampingan bagi perempuan dan anak-anak yang
mengalami kekerasan terutama dalam rumah tangga, menunjukkan bahwa
jumlah anak yang mengalami penganiayaan meningkat dari tahun ke tahun
dengan bentuk-bentuk penyiksaan fisik dan seksual.

Begitu pula dengan investigasi yang dilakukan oleh Child Protective


Service bahwa pada tahun 2001ditemukan 3,25 juta anak yang mengalami
penganiayaan dan pengabaian di Amerika Serikat. Sebuah peningkatan 2% dari
tahun sebelumnya. Pengabaian adalah hal yang paling banyak terjadi, yaitu
sebanyak 63 %, 19% penyiksaan fisik, 10% penyiksaan (dan pelecehan) seksual,
8% penyiksaan emosi. Dari hasil pengamatannya Hurlock (1990) menemukan
bahwa penganiayaan ini berlangsung sejak bayi, berlanjut pada masa kanak-
kanak, hingga masa remaja.

Beberapa pengertian penyiksaan anak :

• Vander Zanden (1989) mengartika perilaku menyiksa sebagai suatu bentuk


penyerangan secara fisik atau melukai anak; dan perbuatan ini dilakukan
justru oleh pengasuhnya (orang tua atau pengasuh non-keluarga)
• The National Commission Of Inquiry Into The Prevention Of Child Abuse
(Childhood Matter, 1996 ) mengartikan penyiksaan anak sebagai segala
sesuatu yang dilakukan oleh individu, institusi atau suatu proses yang secara
langsung atau tidak langsung menyebabkan luka pada anak-anak atau
menyebabkan gangguan terhadap masa depan keselamatan dan kesehatan
mereka ke arah perkembangan kedewasaan.

• Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mengartikan penyiksaan


anak sebagai segala bentuk perilaku atau pembalasan atau penghapusan
oleh orangtua atau pengasuh lainnya yang membahayakan, dapat
membahayakan, atau mengancam terhadap anak.

• Situasi yang menyulitkan orang tua dalam menghadapi anak sehingga tanpa
disadari mengatakan atau melakukan sesuatu yang tanpa disadari dapat
membahayakan atau melukai anak, biasanya tanpa alasan yang jelas dapat
disebut penyiksaan terhadap anak.

• Penyiksaan anak dapat diartikan sebagai bermacam perilaku abnormal yang


dilakukan terhadap anak. Ada berbagai bentuk penyiksaan anak.

• Penyiksaan anak secara umum adalah masalah psikologis atau pengulangan


kejadian yang sama oleh sang penyiksa.

B. Faktor Penyebab
Ada banyak faktor beresiko tinggi yang dapat mengarah kepada
penyiksaan anak. Faktor-faktor yang paling umum adalah sebagai berikut:

• Lingkaran kekerasan, yaitu individu yang mempunyai pengalaman disiksa


atau mengalami kekerasan semasa kecilnya akan tumbuh menjadi seorang
yang mempunyai kecenderungan untuk melakukan hal yang pernah
dilakukan terhadap dirinya pada orang lain, tentunya dalam hal ini adalah
anak-anak.
• Stres dan kurangnya dukungan. Menjadi orangtua dapat menjadi sebuah
pekerjaan yang meyita waktu dan sulit. Orangtua yang mengasuh anak
tanpa dukungan dari keluarga, teman atau masyarakat dapat mengalami
stress berat. Orangtua yang masih berusia remaja seringkali perlu berjuang
keras untuk dapat memiliki kedewasaan dan kesabaran yang diperlukan
untuk mejadi orangtua. Mengasuh anak dengan kekuarangan, kebutuhan
khusus atau perilaku yang menyulitkan juga merupakan tantangan.
Pengasuh yang sedang mengalami stress secara finansial maupun dalam
hubungannya dengan orang lain juga berpotensi melakukan penyiksaan
anak.

• Pecandu alkohol atau narkoba. Para pecandu alkohol dan narkoba


seringkali tidak dapat menilai dengan baik. Mereka seringkali tidak dapat
mengontrol emosi mereka sehingga kesempatan melakukan penyiksaan
lebih memungkinkan. Karena menjadi lemah akibat mabuk, pecandu
alkohol dan narkoba juga seringkali mengakibatkan mereka mengabaikan
anaknya.

• Kekerasan dalam rumah tangga. Menjadi saksi kekerasan dalam rumah


tangga serta kekacauan dan ketidakstabilan yang merupakan hasilnya,
adalah sebuah bentuk penyiksaan anak secara emosional. Kekerasan dalam
rumah tangga yang sering terjadi dapat juga memuncak dan mengakibatkan
penyiksaan anak secara fisik.

• Kemiskinan dan akses yang terbatas ke pusat ekonomi dan sosial saat
masa-masa krisis.

• Peningkatan krisis dan jumlah kekerasan di tempat tinggal mereka.


BAB III
MACAM-MACAM PENYIKSAAN ANAK

Dalam beberapa laporan penelitian, penganiayaan terhadap anak dapat


meliputi: penyiksaan fisik (physical abuse), penyiksaan emosi
(psychological/emotional abuse), pelecehan seksual (sexual abuse), dan pengabaian
(child neglect).

A. Penyiksaan Fisik (Physical Abuse)

Segala bentuk penyiksaan fisik terjadi ketika orang tua frustrasi atau
marah, kemudian melakukan tindakan-tindakan agresif secara fisik, dapat
berupa cubitan, pukulan, tendangan, menyulut dengan rokok, membakar, dan
tindakan-tindakan lain yang dapat membahayakan anak. Bentuk lain dari
penyiksaan anak yang melibatkan bayi adalah shaken baby syndrome, dimana
seorang pengasuh yang frustrasi mengguncang seorang bayi dengan kasar untuk
membuatnya berhenti menangis, yang menyebabkan kerusakan otak yang
seringkali mengakibatkan masalah neurologis yang fatal dan bahkan kematian.

Sangat sulit dibayangkan bagaimana orang tua dapat melukai anaknya.


Banyak orangtua yang menyiksa anaknya mengaku bahwa perilaku yang
mereka lakukan adalah semata-mata suatu bentuk pendisiplinan anak, suatu cara
untuk membuat anak mereka belajar bagaimana berperilaku baik. Tetapi, ada
perbedaan besar antara memberi anak yang sulit diatur sebuah tamparan lemah
pada lengan dengan memelintir tangan sang anak hingga patah.
B. Penyiksaan Emosi (Psychological/Emotional Abuse)

Penyiksaan emosi adalah semua tindakan merendahkan atau


meremehkan orang lain. Jika hal ini menjadi pola perilaku maka akan
mengganggu proses perkembangan anak selanjutnya. Hal ini dikarenakan
konsep diri anak terganggu, selanjutnya anak merasa tidak berharga untuk
dicintai dan dikasihi. Anak yang terus menerus dipermalukan, dihina, diancam
atau ditolak akan menimbulkan penderitaan yang tidak kalah hebatnya dari
penderitaan fisik. Bayi yang menderita deprivasi (kekurangan) kebutuhan dasar
emosional, meskipun secara fisik terpelihara dengan baik, biasanya tidak bisa
bertahan hidup. Deprivasi emosional tahap awal akan menjadikan bayi tumbuh
dalam kecemasan dan rasa tidak aman, dimana bayi lambat perkembangannya,
atau akhirnya mempunyai rasa percaya diri yang rendah.

Jenis-jenis penyiksaan emosi adalah:

• Penolakan: Orang tua mengatakan kepada anak bahwa dia tidak diinginkan,
mengusir anak, atau memanggil anak dengan sebutan yang kurang
menyenangkan. Kadang anak menjadi kambing hitam segala problem yang
ada dalam keluarga.
• Tidak diperhatikan: Orang tua yang mempunyai masalah emosional
biasanya tidak dapat merespon kebutuhan anak-anak mereka. Orang tua
jenis ini mengalami problem kelekatan dengan anak. Mereka menunjukkan
sikap tidak tertarik pada anak, sukar memberi kasih sayang, atau bahkan
tidak menyadari akan kehadiran anaknya. Banyak orang tua yang secara
fisik selalu ada disamping anak, tetapi secara emosi sama sekali tidak
memenuhi kebutuhan emosional anak.
• Ancaman: Orang tua mengkritik, menghukum atau mengancam anak.
• Isolasi: Bentuknya dapat berupa orang tua tidak mengijinkan anak
mengikuti kegiatan bersama teman sebayanya, atau bayi dibiarkan dalam
kamarnya sehingga kurang mendapat stimulasi dari lingkungan, anak
dikurung atau dilarang makan sesuatu sampai waktu tertentu.
• Membiarkan anak terlibat penyalahgunaan obat dan alkohol, berlaku kejam
terhadap binatang, melihat tayangan porno, atau terlibat dalam tindak
kejahatan seperti mencuri, berjudi, berbohong, dan sebagainya. Untuk anak
yang lebih kecil, membiarkannya menonton adegan-adegan kekerasan dan
tidak masuk akal di televisi termasuk juga dalam kategori penyiksaan emosi
(Alva Nadia, dkk, 1991).

C. Pelecehan Seksual (Sexual Abuse)

Sampai saat ini tidaklah mudah membicarakan hal ini, atau untuk
menyadarkan masyarakat bahwa pelecehan seksual pada setiap usia – termasuk
bayi - mempunyai angka yang sangat tinggi. Bahkan Hopper (2004)
mengemukakan bahwa hal ini terjadi setiap hari di Amerika Serikat. Pelecehan
seksual pada anak adalah kondisi dimana anak terlibat dalam aktivitas seksual
dimana anak sama sekali tidak menyadari, dan tidak mampu
mengkomunikasikannya, atau bahkan tidak tahu arti tindakan yang diterimanya.

Semua tindakan yang melibatkan anak dalam kesenangan seksual masuk dalam
kategori ini:

• Pelecehan seksual tanpa sentuhan. Termasuk di dalamnya jika anak melihat


pornografi, atau exhibisionisme, dsb.
• Pelecehan seksual dengan sentuhan. Semua tindakan anak menyentuh organ
seksual orang dewasa termasuk dalam kategori ini. Atau adanya penetrasi ke
dalam vagina atau anak dengan benda apapun yang tidak mempunyai tujuan
medis.
• Eksploitasi seksual. Meliputi semua tindakan yang menyebabkan anak
masuk dalam tujuan prostitusi, atau menggunakan anak sebagai model foto
atau film porno.
D. Pengabaian (Child Neglect)

Pengabaian terhadap anak termasuk penyiksaan secara pasif, yaitu segala


ketiadaan perhatian yang memadai, baik fisik, emosi maupun sosial. Pengabaian
anak banyak dilaporkan sebagai kasus terbesar dalam kasus penganiayaan
terhadap anak dalam keluarga.

Jenis-jenis pengabaian anak:

• Pengabaian fisik merupakan kasus terbanyak. Misalnya keterlambatan


mencari bantuan medis, pengawasan yang kurang memadai, serta tidak
tersedianya kebutuhan akan rasa aman dalam keluarga.
• Pengabaian pendidikan terjadi ketika anak seakan-akan mendapat
pendidikan yang sesuai padahal anak tidak dapat berprestasi secara optimal.
Lama kelamaan hal ini dapat mengakibatkan prestasi sekolah yang semakin
menurun.
• Pengabaian secara emosi dapat terjadi misalnya ketika orang tua tidak
menyadari kehadiran anak ketika ´ribut´ dengan pasangannya. Atau orang
tua memberikan perlakuan dan kasih sayang yang berbeda diantara anak-
anaknya.
• Pengabaian fasilitas medis. Hal ini terjadi ketika orang tua gagal
menyediakan layanan medis untuk anak meskipun secara finansial
memadai. Dalam beberapa kasus orang tua memberi pengobatan tradisional
terlebih dahulu, jika belum sembuh barulah kembali ke layanan dokter.

• Mempekerjakan anak dibawah umur. Mempekerjakan anak dibawah umur


melanggar hak mereka untuk memperoleh pendidikan, dapat
membahayakan kesehatan, serta melanggar hak mereka sebagai manusia.
BAB IV

DAMPAK PENYIKSAAN ANAK

Setiap perbuatan yang kita lakukan pasti akan membuahkan suatu hasil.
Begitu pula penyiksaan-penyiksaan yang dilakukan terhadap seorang anak. Ada
banyak sekali dampak buruk yang dihasilkan oleh penyiksaan terhadap anak.

A. Dampak Penyiksaan Fisik

Penyiksaan yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama


akan menimbulkan dampak sebagai berikut:

• Cedera serius terhadap anak

• Meninggalkan bekas baik fisik maupun psikis

• Dapat merasa tidak dicintai dan tidak dikehendaki.

• Anak akan hidup dalam ketakutan akan siksaan dari orang-orang yang yang
mengasuhnya.

• Anak menjadi menarik diri, merasa tidak aman, sukar mengembangkan


kepercayaan kepada orang lain, perilaku merusak, dll.

• Bila kejadian berulang ini terjadi maka proses pemulihannya membutuhkan


waktu yang lebih lama pula.
B. Dampak Penyiksaan Emosi

Penyiksaan emosi sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak


meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Dengan begitu, usaha
untuk menghentikannya juga tidak mudah. Jenis penyiksaan ini meninggalkan
bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti:

• Dalam masa penyiksaan secara emosi kepada anak-anak, sikap kritis


orangtua yang berlebihan akan menyebabkan anak bereaksi dengan perilaku
yang bersifat negativistik dan menyulitkan.

• Kurangnya rasa percaya diri

• Kesulitan membina persahabatan

• Perilaku merusak seperti tiba-tiba membakar barang atau bertindak kejam


terhadap binatang

• Beberapa melakukan agresi, menarik diri, penyalahgunaan obat dan


alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri.

C. Dampak Pelecehan Seksual

Banyak sekali pengaruh buruk yang ditimbulkan dari pelecehan seksual:

• Pada anak yang masih kecil dari yang biasanya tidak mengompol jadi
mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak
beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah
kulit, dll.

• Pada remaja, mungkin secara tidak diduga menyulut api, mencuri,


melarikan diri dari rumah, mandi terus menerus, menarik diri dan menjadi
pasif, menjadi agresif dengan teman kelompoknya, prestasi belajar
menurun, terlibat kejahatan, penyalahgunaan obat atau alkohol, dsb.
D. Dampak Pengabaian

• Pengaruh yang paling terlihat adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang
orang tua terhadap anak.

• Anak tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi akibat kurangnya


perhatian.

• Biasanya anak yang mengalami pengabaian akan merasa terkucil dan tidak
disayangi atau tidak layak menyayangi orang lain.

• Bayi yang dipisahkan dari orang tuanya dan tidak memperoleh pengganti
pengasuh yang memadai, akan mengembangkan perasaan tidak aman dan
gagal mengembangkan perilaku akrab (Hurlock, 1990)

• Akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.

Secara umum, dampak dari penyiksaan anak biasanya adalah


perkembangan kepribadian yang buruk, baik itu berupa penarikan diri dari
lingkungan sosial, kebisuan sukarela (elective mutism) maupun sikap-sikap
radikal akibat rasa tidak percaya terhadap orang disekitarnya. Kenangan akan
penyiksaan yang dialaminya menyebabkan mereka seringkali merasa takut
terhadap orang lain (hal ini dapat terjadi lebih khususnya bila anak tersebut
mengalami penyiksaan ketika masih lebih muda). Selain itu, tidak jarang anak
yang dulunya mengalami penyiksaan akan mengulangi perbuatan yang
menimpanya itu terhadap anaknya kelak, dan begitu seterusnya. Hal inilah yang
sering disebut sebagai lingkaran kekerasan.
BAB V

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

BESAR/KECIL DAMPAK

Disamping segala bentuk penganiayaan yang dialami anak sebagaimana


yang tercantum pada bab sebelumnya, ada beberapa hal yang mempunyai andil
dalam besar/kecilnya dampak yang diderita anak, antara lain:

• Faktor usia anak. Semakin muda usia anak maka akan menimbulkan akibat
yang lebih fatal.
• Siapa yang terlibat. Jika yang melakukan penganiayaan adalah orang tua,
ayah atau ibu tiri, atau anggota keluarga maka dampaknya akan lebih parah
daripada yang melakukannya orang yang tidak dikenal.
• Seberapa parah. Semakin sering dan semakin buruk perlakuan yang
diterima anak akan memperburuk kondisi anak.
• Berapa lama terjadi. Semakin lama kejadian berlangsung akan semakin
meninggalkan trauma yang membekas pada diri anak.
• Jika anak mengungkapkan penganiayaan yang dialaminya, dan menerima
dukungan dari orang lain atau anggota keluarga yang dapat mencintai,
mengasihi dan memperhatikannya maka kejadiannya tidak menjadi lebih
parah sebagaimana jika anak justru tidak dipercaya atau disalahkan.
• Tingkatan sosial ekonomi. Anak pada keluarga dengan status sosial
ekonomi rendah cenderung lebih merasakan dampak negatif dari
penganiayaan anak.
Dalam beberapa kasus anak-anak yang mengalami penganiayaan tidak
menunjukkan gejala-gejala seperti yang telah disebutkan. Banyak faktor lain yang
berpengaruh, seperti seberapa kuat status mental anak, kemampuan anak mengatasi
masalah dan penyesuaian diri. Ada kemungkinan anak tidak mau menceritakannya
karena takut diancam, atau bahkan dia mencintai orang yang melakukan
penganiyaan tersebut. Dalam hal ini anak biasanya menghindari adanya tindakan
hukum yang akan menimpa orang-orang yang dicintainya, seperti orang tua,
anggota keluarga atau pengasuh.
BAB VI

DATA STATISTIK MENGENAI PENYIKSAAN ANAK

A. Statistik di Indonesia

• Jumlah anak jalanan meningkat pesat pada pertengahan tahun 1980-an.


Lebih dari 70% dari mereka lari dari rumah karena faktor kemiskinan dan
kekerasan yang dilakukan para orangtua.

• Laporan Konsorsium Lembaga Swadaya Masyarakat pada awal tahun 1990-


an memaparkan bagaimana anak jalanan dipaksa untuk mengepel lantai
dengan lidahnya, disetrika punggungnya, dipaksa melakukan hubungan seks
dengan sesamanya dan kekerasan lain yang di luar batas bayangan tentang
manusia beradab.

• Sekitar 25% kasus penganiayaan dan penelantaran terjadi pada anak yang
berumur kurang dari 2 tahun. Penelantaran anak 10-15 kali lebih sering
ditemukan dan 12 kali lebih sering terjadi pada anak-anak dari keluarga
miskin.

• Di tahun 2001 Biro Pusat Statistik Indonesia memperkirakan bahwa terdapat


579.059 pekerja rumah tangga, di mana hanya 152.184 orang di antaranya (26,7
persen) merupakan anak-anak. (data ini masih belum dapat menggambarkan
kenyataan yang sebenarnya)
• Sebuah usaha pengumpulan data pokok di tahun 2002-2003 yang dilakukan
oleh Universitas Indonesia dan International Program on the Elimination of
Child Labor (IPEC) (bagian dari ILO yang menangani pekerja anak)
memperkirakan bahwa terdapat 2,6 juta pekerja rumah tangga di Indonesia, di
mana setidaknya 688.132 (34,83 persen) di antaranya adalah anak-anak; 93
persen dari jumlah tersebut adalah anak perempuan di bawah usia delapan belas
tahun.
• Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2003 menunjukkan
jumlah pekerja anak-anak (<15 tahun) mencapai 556,526 orang. Bila
menggunakan batasan dari UU No 13 tentang Ketenagakerjaan tahun 2003,
dimana disebutkan yang termasuk pekerja anak-anak adalah mereka yang
berusia di bawah 18 tahun maka jumlahnya akan semakin besar.

• Angka dari Sakernas (2003) menunjukkan para pekerja anak yang di daerah
perdesaan jauh lebih banyak yakni sebesar 79% dibanding di perkotaan
yakni sebesar 21%.

• Dilihat dari jenis pekerjaannya,sebanyak 62% bekerja di sektor pertanian,


19% di industeri dan, dan 19% di sektor jasa.

• Sebanyak 74% PA merupakan PA yang tak dibayar karena memang


statusnya adalah membantu bisnis orangtuanya. Sementara sebanyak 14%
berstatus pekerja tetap di berbagai industri. Golongan yang disebut terakhir
ini umumnya dibayar dengan upah yang relatif rendah.

• Data Biro Pusat Statistik (BPS) pada 2004 mencatat perokok pada usia
anak-anak cukup tinggi, yaitu perokok aktif pada usia 13-15 tahun sebanyak
26, 8% dan pada usia 5-9 tahun sebanyak 2, 8%. Ini menunjukkan bahwa
banyak anak di Indonesia yang kurang mendapat perhatian dari
orangtuanya.

• Selama tahun 2006, data dari komnas Perlindungan Anak (PA)


menyebutkan, jumlah kasus kekerasan fisik sebanyak 247 kasus, kekerasan
seksual 426 kasus sedangkan kekerasan psikis 451 kasus tercatat dilakukan
terhadap anak di Indonesia.

• Selama kurun 2008, sebanyak 150 ribu anak menjadi korban trafficking.
Jumlah tersebut tersebar dalam berbagai modus kejahatan seperti sindikat
pelacuran, pedofolia, pornografi dan sebagainya. 70% dari korban adalah
anak yang berusia 14-16 tahun.
B. Statistik Global

1. UN Secretary-General’s Study on Violence Against Children

Pada tanggal 11 Oktober 2006, PBB merilis Studi Sekjen PBB Mengenai
Kekerasan Terhadap Anak (UN Secretary-General’s Study on Violence Against
Children) pertama, yang menyebutkan kekerasan terhadap anak didalam
keluarga, sekolah, institusi pengasuh alternatif dan fasilitas penahanan, tempat
dimana anak-anak bekerja, serta lingkungan masyarakat. Diperlukan bertahun-
tahun untuk menyelesaikan studi ini, dan studi ini didukung oleh United Nations
Children’s Fund (UNICEF), World Health Organization (WHO), dan Office of
the High Commissioner on Human Rights (OHCHR).

Seperti yang disebutkan dalam pendahuluan laporan tersebut, studi ini


adalah yang “pertama” dalam 2 hal penting:

• “Studi global pertama yang bersifat komprehensif yang dilakukan oleh PBB
mengenai segala bentuk penyiksaan terhadap anak.”

• “Studi global pertama yang secara langsung dan konsisten berdialog dengan
anak. Anak-anak telah ikut berpartisipasi dalam semua konsultasi regional
yang diadakan karena berhubungan dengan studi, menjelaskan mengenai
penyiksaan yang dialami dan cara mereka mengakhirinya secara tuntas.”

Laporan ini mencakup statistika menyeluruh sebagai berikut (seksi II.B.,


hal.9-10, dengan referensi mengenai masing-masing studi secara spesifik):

• Hampir 53,000 anak meninggal didunia pada tahun 2002 akibat


pembunuhan.

• Sekiranya 80- 98% dari anak-anak mengalami hukuman secara fisik di


rumah, dengan sepertiganya atau lebih mengalami hukuman secara fisik
yang parah karena penggunaan benda-benda.

• 150 juta perempuan dan 73 juta laki-laki dibawah 18 tahun mengalami


berbagai bentuk pelecehan seksual secara paksa pada tahun 2002.
• Antara 100 dan 140 juta perempuan dan wanita di seluruh dunia telah
mengalami suatu bentuk pemotongan/mutilasi genital.

• Pada tahun 2004, 218 juta anak termasuk pekerja dibawah umur, dimana
126 juta mengerjakan pekerjaan yang berbahaya.

• Perkiraan dari tahun 2000 memperkirakan bahwa 1.8 juta anak dipaksa ke
dalam prostitusi dan pornografi, serta 1.2 juta merupakan korban trafficking.

2. Data UNICEF (2007)

• Pada tahun 2003 hampir 50 juta kelahiran tidak tecatat setiap tahunnya.

• Asia Selatan memiliki angka terbesar anak-anak yang kelahirannya tidak


tercatat, dengan lebih dari 23 juta anak. Ini berarti 47% dari kelahiran tidak
tercatat sedunia.

• Di daerah Sub-Sahara Afrika, 55% anak balita belum tercatat kelahirannya.

• Ada perkiraan bahwa sekitar 317 juta anak usia 5-17 yang aktif secara
ekonomi pada tahun 2004, dimana 218 juta darinya dapat dianggap sebaga
pekerja anak, dan dari jumlah tersebut, 126 juta dipekerjakan dalam
pekerjaan berbahaya.

• Diperkirakan sekitar 5,7 juta anak terperangkap dan dipaksa bekerja.

• Menurut data perkiraan tahun 2002, sekiranya 1,2 juta anak di seluruh dunia
menjadi korban trafficking setiap tahunnya.

• Perkiraan terbaru menyatakan bahwa saat ini ada lebih dari 250.00 anak
yang menjadi tentara.

• Sekiranya 90% dari kematian akibat konflik global sejak 1990 merupakan
kematian penduduk sipil, dimana 80% dari korbannya merupakan wanita
dan anak-anak.

• Lebih dari 1 juta anak di seluruh dunia ditahan dalam penjara anak.
• Ada sekiranya 133 juta anak yatim piatu (usia 0-17) di seluruh dunia. Dari
jumlah tersebut, 15 juta menjadi yatim piatu karena AIDS serta ikut
terjangkit, lebih dari 12 juta dari mereka di Sub-Sahara Afrika.

• Asia memiliki jumlah yatim piatu tertinggi (dengan berbagai alasan


mengapa anak-anak tersebut menjadi yatim piatu), dengan angka yang
mencapai 74 juta.

• Dari 1.39 juta orang yang terlibat dalam exploitasi seks secara komersil,
40%-50% darinya adalah anak-anak.

• Studi sejak tahun 1980 mengindikasikan bahwa 20% dari wanita dan 5%-
10% dari pria di seluruh dunia mengalami pelecehan seksual sebagai anak-
anak.

3. Data Lain

• Dua puluh sembilan persen dari laporan penyiksaan anak didapatkan trauma
kepala, wajah dan bagian kepala lain. Penyebab yang paling sering
menyebabkan kematian dalam kasus penyiksaan adalah trauma kepala.

• Lebih dari 95% korban penyiksaan mengalami luka kepala yang serius
selama 1 tahun kehidupannya.

• Sekitar 166 juta anak di seluruh dunia kini telah menjadi pekerja, bahkan
lebih dari 74,4 juta di antaranya sudah terlibat dalam bentuk-bentuk
pekerjaan berbahaya seperti prostitusi dan peredaran narkoba. (ILO, 2008)
BAB VII

PERAN PENTING MASYARAKAT

Dalam media massa, tidak jarang kita membaca kisah tentang anak-anak
yang menjadi korban kekerasan seksual, anak-anak yang teraniaya, anak yang
tereksploitasi akibat pekerjaan yang menumpuk diluar kemampuannya sebagai
anak-anak, dan kisah-kisah lain yang intinya memperlihatkan bahwa dibalik dunia
anak yang seolah begitu ceria, ternyata ada sisi-sisi kelam yang niscaya akan
menguras air mata kita semua.

Apakah cukup kita merasa prihatin dan mencucurkan air mata bagi mereka?
Tentu tidak. Sebagai sesama manusia, kita memiliki kewajiban untuk menolong
sesama. Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk dapat membuat
perubahan.

A. Menangani Kasus Penyiksaan


Anak yang dicurigai telah mengalami penyiksaan fisik perlu diselidiki
lebih lanjut, dimana dalam prosesnya sebaiknya melibatkan pekerja sosial,
dokter anak dan pihak yang berwajib (polisi). Prosesnya antara lain:

1. Melapor pada Pusat Konsultasi Anak

Berdasarkan Hukum Pencegahan Penyiksaan Anak, ada kewajiban


melaporkan bagi setiap orang jika melihat penyiksaan anak. Pusat
Konsultasi Anak di berbagai daerah menjadi tempat konsultasi mengenai
hal ini. Untuk melindungi anak dari penyiksaan, dimulai dari saat orang
yang banyak berhubungan dengan anak tersebut menyadari adanya
penyiksaan tersebut dan penting untuk memberikan bantuan bagi anak dan
orang tuanya.
2. Penyelidikan

Penyelidikan dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik yang meliputi :


a. Anamnesis (suatu tehnik pemeriksaan yang dilakukan lewat suatu
percakapan antara seorang dokter dengan pasiennya secara langsung atau
dengan orang lain yang mengetahui tentang kondisi pasien, untuk
mendapatkan data pasien beserta permasalahan medisnya ) secara lengkap,
termasuk pencatatan terhadap penjelasan mengenai luka, waktu terjadinya
dan detail-detail lain.

Penyiksaan terhadap anak patut dicurigai bila terdapat luka yang


tidak dapat dijelaskan atau tidak ada alasan yang kuat untuk menerangkan
sebab luka. Jika terdapat ketidakcocokan antara luka yang terdapat dengan
anamnesis yang didapatkan atau dengan perkembangan anak, kecurigaan
akan adanya penyiksaan dapat dilaporkan. Penundaan mencari bantuan
medis merupakan faktor lain yang dapat memperkuat kecurigaan akan
adanya penyiksaan. Hal ini berhubungan dengan ketidakpedulian orang tua
terhadap luka anaknya yang dianggap tidak serius.

b. Anamnesis tentang perkembangan anak, antara lain berkaitan dengan


pertumbuhan, berat badan, tinggi badan, lingkar badan, lingkar lengan atas,
lingkar kepala, gizi, penampakan dan pembawaan umum, tanda-tanda
pengabaian, penyiksaan seksual dan gangguan emosi. Perkembangan juga
termasuk dalam penggunaan bahasa serta kemampuan anak bersosialisasi.

c. Pencatatan terhadap ekspresi orang tua mengenai kesulitan mereka


menghadapi perilaku, kesehatan dan perkembangan anaknya.

d. Luka yang dapat di dokumentasikan yang meliputi kemungkinan


penyebab luka, umur luka, kemungkinan penyebab, sisi yang terkena,
ukuran dan bentuk luka, serta segala bentuk lesi (jaringan yang abnormal
pada tubuh) yang mencurigakan.
Beberapa hal yang dapat kita temukan dari pemeriksaan fisik adalah :

• Luka yang menimbulkan bekas merupakan hal yang paling sering terdapat
pada kasus penyiksaan anak dan dapat terdapat di semua permukaan badan.
Luka yang terdapat pada pantat, alat genital dan punggung jarang
berhubungan dengan kecelakaan sehingga patut dicurigai sebagai bentuk
penyiksaan.

• Kelainan pada rambut. Rambut yang ditarik dapat menyebabkan


kerontokan atau kebotakan sebagian pada kulit kepala. Rambut biasanya
tidak terlihat sama panjang.

• Kulit Terbakar. Pada lebih dari 10% kasus penyiksaan secara fisik
didapatkan kulit yang terbakar, salah satunya luka bakar karena rokok.

3. Melapor pada pihak berwajib

Penegakkan hukum dilakukan dengan segera melaporkan suatu


tindak penyiksaan kepada lembaga yang berwenang. Anak yang mengalami
penyiksaan oleh orang tuanya dapat dititipkan di rumah saudara orang tua
dengan pengawasan yang ketat dari lembaga yang berwenang. Di beberapa
negara, ada juga alternatif berupa orangtua asuh.

Sebuah tim yang profesional yang terdiri dari dokter anak, pekerja
sosial, perawat bidang anak, dan psikiater atau psikolog diharapkan mampu
memberikan solusi yang terbaik baik bagi anak yang menjadi korban serta
orang tuanya. Seorang dokter anak diharapkan dapat terus memantau anak
yang menjadi korban penyiksaan. Hal ini memerlukan kerjasama dengan
pekerja sosial dan lembaga yang berwenang dalam mengurus masalah
penyiksaan anak
B. Mencegah Terjadinya Penyiksaan

Pencegahan dapat dilakukan dengan mengidentifikasikan orang tua yang


mempunyai faktor resiko yang tinggi untuk melakukan penyiksaan terhadap
anaknya. Dengan mengidentifikasikan orang tua yang mempunyai faktor resiko
tinggi untuk melakukan penyiksaan terhadap anak, kita dapat berusaha untuk
membantunya agar tidak sampai melakukan penyiksaan terhadap anaknya.

Pencegahan lain dapat dilakukan dengan cara membina kedekatan anak


dengan orangtua sejak lahir. Kedekatan anak dengan orang tua sejak lahir dapat
diwujudkan sejak dari ruang bersalin dengan cara meneteki bayi dari awal sesaat
setelah lahir. Rawat Gabung (Rooming-in) juga membantu kedekatan psikologis
antara bayi dengan ibunya sejak awal. Bayi-bayi prematur harus lebih
mendapatkan kontak fisik dengan ibunya,juga diajarkan cara-cara yang tepat
untuk mendiamkan bayi yang menangis.

Pemberian informasi dan edukasi kepada calon-calon ibu juga


merupakan hal yang berguna untuk mencegah penyiksaan dan penelantaran bayi
pada nantinya. Informasi ini berupa cara merawat bayi dan hal-hal yang perlu
diketahui tentang tindak tanduk bayi yang berbeda dari anak dan orang dewasa.

Selain itu, menempati suatu lingkungan yang kondusif dan


menyenangkan juga dapat mempengaruhi perkembangan serta sosialisasi yang
terjadi dalam kehidupan anak. Karena yang dapat melakukan penyiksaan
terhadap anak bukan hanya orangtua atau pengasuhnya saja, maka sebaiknya hal
ini dilakukan sebagai suatu tindakan preventif.
BAB VIII

KISAH NYATA ANAK-ANAK TERSIKSA

Mungkin bagi kita sulit untuk membayangkan bagaimana orangtua dapat


melakukan hal-hal yang kejam kepada anak-anaknya. Namun, pada kenyataannya
banyak sekali kasus penyiksaan anak yang terjadi diseluruh dunia, itupun hanya
yang tercatat. Banyak sekali kemungkinan dimana kasus penyiksaan anak tidak
dilaporkan. Berikut ini adalah beberapa buku non-fiksi yang dapat memberikan
gambaran kepada kita tentang betapa buruknya penyiksaan terhadap anak:

1. Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil

Sheila masuk ke kelas Torey Hayden untuk “anak-anak


khusus” ketika berusia 6 tahun setelah dia mengikat anak
umur 3 tahun di sebatang pohon dan benar-benar
membakarnya..

Luka Hati Seorang Gadis Kecil (diterjemahkan dari One Child, pertama terbit
tahun 1980) adalah buku karya Torey Hayden tentang upayanya
membangkitkan kemampuan luar biasa anak yang tersiksa ini.

Beberapa bagian buku ini – penganiayaan seksual yang keji – pasti membuat
Anda geram. Beberapa bagian buku ini – pemaparan Sheila tanpa suara
tentang kegeraman dan ketakutan dan keraguannya – pasti membuat Anda
menangis. Dan beberapa bagian buku ini – kesadaran Sheila yang tumbuh
sedikit demi sedikit tentang kemampuannya – membuat Anda bersorak
gembira.
2. 24 Wajah Billy

Novel terjemahan dari buku The Minds of Billy Milligan


karya Daniel Keyes (pertama diterbitkan tahun 1981) ini
menceritakan riwayat hidup dari William Stanley Milligan,
orang pertama dalam sejarah Amerika. yang dianggap tidak
bersalah atas berbagai tindak kejahatan serius dengan alasan tidak waras.

Billy Milligan menderita pemecahan kepribadian sehingga dia memiliki 24


kepribadian yang berbeda satu dengan yang lain. Pemecahan kepribadian ini
terjadi akibat penyiksaan oleh ayah tirinya yang dialaminya ketika masih
kecil. (Meski Keyes, sang penulis, menyatakan bahwa Billy telah memiliki
kepribadian majemuk sejak lebih kecil, namun 3 pertamanya—anak lelaki
tanpa nama, Christine, dan Shawn—muncul ketika Billy berusia 5 tahun.)

3. Jadie: Tangis Tanpa Suara

Sebagai guru baru di sebuah kota kecil di wilayah barat


tengah Amerika, Torey berkenalan dengan Jadie, anak
berusia delapan tahun. Jadie terkena dampak parah
pengalaman hidupnya sehingga dia yakin bahwa dirinya
adalah hantu.

Hubungan seimbang yang rapuh terjalin di antara keduanya, tapi semakin


keras upaya Torey untuk menguak misteri kepedihan hati Jadie, semakin
mengerikan kisah kehidupan Jadie. Hal-hal yang diceritakannya kepada
Torey, baik yang sulit dimengerti ataupun yang jelas dan mengejutkan,
bertimbun menjadi serangkaian petunjuk dalam kisah detektif kehidupan
nyata yang diwarnai dengan ketakutan dan khayalan. Semakin banyak yang
diketahui Torey, semakin rumit pula teka-teki kehidupan Jadie di luar
sekolah.

Pikiran anak itu, yang sarat oleh simbol yang aneh-aneh dan tindakan seksual
yang tidak lazim, tampaknya menghasilkan penafsiran yang bahkan Torey
sendiri pun enggan mengakuinya. Mungkinkah Jadie korban penganiayaan
ritual? Atau penganiayaan seksual yang keji? Atau adakah ini bayangan
siksaan yang menghantui anak yang sangat terganggu pikirannya ini?

Dengan racikan unik antara perasaan penuh kasih, wawasan, dan


kemampuannya berkisah, sekali lagi Torey Hayden menunjukkan kepada kita
kekuatan cinta dan daya tahan jiwa manusia. Dipaparkan dengan penuh
kejujuran dan kemanusiaan, Jadie: Tangis Tanpa Suara (diterjemahkan dari
Ghost Girl, pertama terbit tahun 1991) adalah penjelasan mendalam tentang
kesulitan menangani dugaan penganiayaan anak.

4. A Child Called 'It'

A Child Called 'It': Sebuah Kisah Nyata Perjuangan Seorang


Anak Untuk Bertahan Hidup (diterjemahkan dari A Child
Called 'It': One Child's Courage to Survive, pertama terbit
tahun 1995) adalah autobiografi karya Dave (David) Pelzer
tentang pengalamannya disiksa oleh ibunya yang pemabuk, Catherine
Roerva, yang memisahkan David dari anak-anaknya yang lain untuk
dijadikan objek penyiksaan.

David mengajak kita ikut mengalami rasa takutnya, rasa kekalahannya, rasa
kesendiriannya, rasa sakitnya, dan rasa marahnya, sampai pada harapan
terakhirnya. Dengan masuk ke dalam alur itu, menjadi jelas betapa
menyakitkannya dunia gelap yang diderita oleh anak-anak korban child
abuse. Kita bisa merasakan tangisan anak-anak itu melalui mata, telinga, dan
badan David Pelzer secara lebih detil. Dengan membaca buku ini kita juga
bahkan bisa merasakan keteguhan hati David untuk keluar dari siksaan yang
tak kunjung henti menuju kemenangan.
5. Venus: Duka Lara si Anak Cantik

Venus tidak pernah bicara, tidak pernah mendengarkan,


bahkan tidak pernah menggubris kehadiran orang lain di
dalam ruangan tempatnya berada. Namun, “tabrakan" yang tak disengaja di
arena bermain sudah cukup untuk membuatnya melampiaskan kemarahan
yang mengerikan untuk disaksikan, mengubah anak kecil itu menjadi mesin
yang berputar-putar dengan keganasan berbahaya. Dari lima anak di kelas
Torey selama bulan September itu, Venus mengedepankan tantangan terberat
– meskipun keempat anak lainnya juga memiliki masalah sendiri yang juga
berat, yang tidak bisa diremehkan.

Kesabaran dan dedikasi Torey membuahkan hasil ketika gadis tujuh tahun itu
menunjukkan minat pada tokoh komik She-Ra, Sang Dewi Kekuatan. Dari
situlah kisah-kisah yang melatari keadaan Venus mulai terkuak -- kisah-kisah
yang hampir tak tertanggungkan oleh Torey, di tengah keharusan menghadapi
persoalan murid-muridnya yang lain dan seorang asisten dengan prinsip
pengajaran yang benar-benar berseberangan dengannya (Julie).

Dan ketika jemari kaki Venus harus diamputasi hipotermia, terkuaklah


peristiwa mengerikan yang selalu dialami Venus dalam keluarganya. Dokter
yang memeriksa Venus menemukan banyak sekali luka dan beberapa
tulangnya menunjukkan pernah patah, selain itu ditemukan bekas ikatan di
kedua tangannya. Kemudian, Venus menderita Hipotermia pun karena
dipaksa untuk tidur di kamar mandi tanpa pakaian dengan suhu di bawah 0
derajat selama berbulan-bulan. Sungguh mengenaskan. (Buku ini
diterjemahkan dari Beautiful Child, pertama terbit tahun 2002)
BAB IX

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai sebuah masalah sosial yang sangat penting, diakui atau tidak,
selama ini isu-isu tentang penyiksaan anak umumnya hanya dipahami secara
parsial dan diasumsikan akan segera dapat terselesaikan dengan sendirinya jika
urusan kesejahteraan masyarakat, kemiskinan, hak-hak asasi manusia, atau
persoalan bias dan ketimpangan gender telah tertangani. Apakah benar
demikian? Ternyata tidak selalu. Apa yang telah dipaparkan pada bab-bab
sebelumnya memperlihatkan bahwa meskipun kita di masa lalu pernah
menikmati masa dimana kesadaran masyarakat terhadap persoalan yang telah
disebutkan diatas telah meningkat cukup baik, ternyata masih banyak anak yang
rawan tereksploitasi, baik oleh orangtuanya sendiri, pengasuhnya, maupun
orang lain.

Dari data statistik yang tercatat, sangat ironis bahwa setiap tahunnya
terjadi peningkatan kasus penyiksaan anak. Penyebab utama pada umumnya
adalah krisis global yang terjadi serta rantai penyiksaan. Namun tidak jarang
juga anak-anak korban penyiksaan memilih karir menjadi konselor atau pekerja
sosial untuk mendampingi korban kekerasan saat ini dengan harapan dapat
menolong mereka keluar dari rasa takut dan rendah diri akibat penyiksaan yang
telah mereka alami serta mengembalikan kemampuan mereka untuk
bersosialisasi dengan baik kepada orang-orang disekitarnya. Tidak hanya itu,
kita pun dapat membuat perubahan. Kita hanya perlu berfilosofi “Kita bisa jika
kita mau” dan bertindak dengan benar.
B. Saran

Kondisi kepribadian tidak seimbang yang terjadi akibat penyiksaan


harus dibuat seimbang sedini mungkin. Kondisi keseimbangan akan terjadi
dengan cara membantu korban melakukan adaptasi dan organisasi yang baik
terhadap pengalamannya. Salah satu bentuk adaptasi adalah asimilasi, yaitu
dengan cara memberi informasi-informasi baru yang bisa selaras dengan skema
yang saat ini dimiliki, dan akomodasi yakni individulah yang harus mengubah
skemanya sehingga bisa sesuai dengan informasi-informasi dari luar.
Pendampingan terhadap korban pelecehan seksual perlu dilakukan dengan
memberikan rasa aman sehingga bisa dilakukan proses intervensi lebih lanjut
(Cavett, 2002).

Untuk intervensi, dapat dilakukan dengan mengoptimalkan peran


psikolog. Psikolog diharapkan dapat optimal dalam merespon isu kekerasan
sampai ke intervensi psikologisnya (Cavett, 2002). Selain itu dengan
membentuk lembaga-lembaga yang mampu menangani korban kekerasan secara
memadai sehingga dapat dilakukan rehabilitasi fisik dan psikisnya, misal
semacam Pusat Krisis Terpadu milik RS Polri Jakarta atau RS Panti Rapih
Yogyakarta (NN, 2006).

Smith-Cannady (1998) menyebutkan bahwa korban kekerasan ada yang


memilih karir menjadi konselor atau pekerja sosial untuk mendampingi korban
kekerasan saat ini, dengan harapan pengalaman mereka dapat mencegah akibat
buruk pada korban baru. Kiranya hal ini dapat dikembangkan di Indonesia
sehingga korban kekerasan dapat hidup kembali di masyarakat.

Selain itu, sebaiknya kita meningkatkan kesadaran kita mengenai hal


yang terkait dengan penyiksaan anak dan berusaha untuk membuat perubahan,
karena jika kita hanya melihat, akan terkesan bahwa kita hanyalah manusia
yang tidak berperasaan. Jika menolong sesama dalam kebaikan adalah sebuah
amal, mengapa kita perlu ragu untuk melakukannya?
DAFTAR PUSTAKA

Hayden, Torey L. 2002. Venus: Duka Lara si Anak Cantik. Bandung: Qanita.

____________. 2004. Jadie: Tangis Tanpa Suara. Bandung: Qanita.

____________. 2003. Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil. Bandung: Qanita.

Hopper, Jim. 2004. Child Abuse, Statistics, Research, and Resources.

Hurlock, Elizabeth B. 1990. Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan


Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.

Keyes, Daniel. 2005. 24 Wajah Billy. Bandung: Qanita.

Pelzer, Dave. 2003. A Child Called 'It': Sebuah Kisah Nyata Perjuangan Seorang
Anak Untuk Bertahan Hidup. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sularto, St. 2000. Seandainya Aku Bukan Anakmu. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

www.bbawor.blogspot.com

www.duniapsikologi.dagdigdug.com

www.fantasticfiction.co.uk

www.google.com

www.helpguide.org
www.himpsijaya.org

www.ibnuchaldunoke.multiply.com

www.indonesiaindonesia.com

www.kabarindonesia.com

www.lautanindonesia.com

www.orangtuabijak.wordpress.com

www.razimaulana.wordpress.com

www.ronawajah.wordpress.com

www.sasak.net

www.sederet.com

www.torey-hayden.com

www.unicef.org

www.wikipedia.org

You might also like