You are on page 1of 16

PEMBANGUNAN IKLIM: Apakah Hutan Kemasyarakatan Masuk Dalam Skema REDD..?

Rate This

Yang justru terjadi adalah pelaksanaan inisiatif proyek REDD yang dilakukan baik secara voluntary maupun mandatory oleh negara-negara industri kaya (asing) yang mengklaim hutan dan tanah masyarakat adat sebagai kawasan Hutan REDD atas kerjasama dengan Indonesia sebagai proyek internasional. Masyarakat adat setempat hanya akan menerima kompensasi atas hak-haknya yang hilang sebagai akibat dari proyek REDD ini. Tetapi kompensasinya seperti apa bentuknya, semuanya belum jelas dalam mekanisme REDD. Oleh Pietsau Amafnini Setelah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim pada bulan Agustus 1994 melalui UndangUndang Nomor 6 Tahun 1994, dan Protokol Kyoto melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004, Pemerintah Indonesia kemudian melaksanakan komitmen tersebut dengan program kerja sama antara negara maju dan negara berkembang, yaitu melalui mekanisme pembangunan bersih atau CDM (clean development mechanism). CDM merupakan salah satu di antara mekanisme yang ada dalam protokol serta mitigasi perubahan iklim untuk mereduksi emisi GRK (gas rumah kaca). Sepanjang tahun 2007, upaya pokok yang telah dilakukan dalam menanggulangi dampak perubahan iklim di Indonesia adalah antara lain: 1) Pelaksaan tugas Komisi Mekanisme Pembangunan Bersih (DNA-CDM) yang hingga tahun 2007 telah memberikan national approval terhadap 13 proyek CDM; 2) Revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memasukkan pasal terbatdiri mengenai kebijakan berkenaan dengan perubahan iklim; 3) Penyusunan draft Strategi Nasional Adaptasi sebagai bagian dari proses komitmen pemangku kepentingan dalam melaksanakan adaptasi terhadap perubahan iklim; 4) Penyusunan Peraturan Presiden tentang Perubahan Iklim yang akan berfungsi sebagai peraturan payung dalam seluruh kegiatan terkait dengan pengendalian dampak perubahan iklim, baik dari aspek inventarisasi gas rumah kaca, pengembangan sistem pemantauan perubahan iklim dan dampaknya, mitigasi maupun adaptasi; 5) Penandatanganan Deklarasi Heart of Borneo (kawasan hutan hujan tropis di Kalimantan seluas 22 juta ha yang saling terhubung dan membentang melintasi Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam) pada tanggal 12 Februari 2007. Deklarasi ini memuat komitmen bersama ketiga negara untuk mengelola kawasan hutan Kalimantan secara berkelanjutan.

Selain itu pada level kebijakan politik, ada upaya pengembangan kebijakan dan pelaksanaan program di sektor energi yang dikeluarkan pada tahun 2007, misalnya a) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi; b) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Emisi Sumber tidak Bergerak bagi Ketel Uap; c) Kelanjutan monitoring emisi pencemaran udara untuk sektor industri yang telah dilakukan KNLH melalui program PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan) dan sektor transportasi melalui program langit biru; d) Kelanjutan pelaksanaan Program Desa E-nergi Mandiri, yaitu program penyediaan sumber energi listrik dengan memanfaatkan tenaga air; e) Pelaksanaan program Produksi Bersih dan Efisiensi Energi (CP-EE/Cleaner Production and Energy Efficiency) untuk industri yang menggunakan energi intensif, seperti semen, besi dan baja, pupuk, pulp dan kertas, tekstil, pembangkit listrik, dll; f) Pengembangan kebijakan dan pelaksanaan program di sektor land use and land use change forestry (LULUCF) yang meliputi penanganan kebakaran hutan dan pengelolaan hutan berkelanjutan serta pengelolaan lahan gambut berkelanjutan; g) Upaya preventif kebakaran hutan yang meliputi: pemantauan dengan satelit, pemantauan di lapangan terhadap perusahaan-perusahaan, pemantauan kualitas udara, dan pemberdayaan masyarakat. Dalam hal pencegahan, penanganan dan pengendalian dampak perubahan iklim, pemerintah Indonesia pun melakukan upaya pembentukan Tim Manggala Agni yang bertugas untuk memantau, mencegah, dan menanggulangi kebakaran hutan. Penanganan pada lahan yang terkena banjir dan juga untuk menghindari terjadinya banjir. Pengelolaan ini bertujuan untuk menghindari timbulnya emisi gas metana dari penumpukan sampah domestik akibat banjir. Tidak hanya itu, sumber dari Departemen Kehutanan pun mencatat bahwa untuk menjamin penurunan emisi global, pemerintah juga mencanangkan kelanjutan Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan (Gerhan) dan sejak tahun 2003 hingga 2007 telah tercapai penanaman pada area seluas 4 juta ha yang tersebar di 33 provinsi. Selain itu kelanjutan pelaksanaan Program Menuju Indonesia Hijau (MIH) yaitu program pengawasan kinerja kabupaten terhadap penaatan peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya alam dan pengendalian kerusakan lingkungan. Hal ini sejalan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Upaya pelestarian lingkungan ini pun berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2007 tentang Revitalisasi dan Rehabilitasi Lahan Gambut Berkelanjutan yang disusul pula dengan Penyusunan draft Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Selanjutnya Penerbitan Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI) yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada bulan November 2007, untuk dapat dijadikan sebagai pedoman oleh berbagai instansi dalam melaksanakan upaya-upaya terkoordinasi dan terintegrasi untuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Percaya atau tidak, sadar atau tidak, terima atau tidak, jelas bahwa perubahan iklim sudah sangat mengkhawatirkan seluruh umat manusia di bumi ini. Pemanasan global yang berdampak pada tidak menentunya cuaca di Indonesia juga adalah bagian dari masalah kerusakan lingkungan hidup akibat lajunya deforestasi, kegiatan industri ekstraktif, kebakaran hutan, gambut dan sumbangan asap knalpot kendaraan bermotor serta lain sebagainya. Namun masih adanya hutan tropis dan lahan gambut merupakan potensi pengendalian perubahan iklim itu sendiri, selain oleh campur tangan manusia dengan menanam dan memelihara pohon hutani.

Di Indonesia, sektor kehutanan dan gambut berkontribusi paling besar terhadap tingkat emisi rumah kaca, yakni 61%. Upaya menurunkannya dilakukan dengan cara menyerap karbon kembali melalui penanaman, rehabilitasi dan konservasi lahan. Cara tersebut diperkirakan mampu menurunkan hingga 300 metrik ton karbondioksida per tahun hingga 2020. Cara ini memang membutuhkan dana yang tidak kurang dari sekitar 630 juta US dollar per tahun. Pemerintah sudah memberikan peluang pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Paling tidak ada sejumlah aturan-perundangan yang menjadi landasan kebijakannya, diantaranya: UU No. 41/1999 tentang Kehutanan sebagai induknya dan selanjutnya ada aturan kebijakan yakni mengenai Hutan hak/milik: PP 6 tahun 2007 jo PP tahun 2008 (ps 100); pengembangan hutan rakyat (gerhan, HR Kemitraan, dsb); Hutan Negara: PP 6 tahun 2007 jo PP 3 tahun 2008 (ps 84). Tentang Pemberdayaan Masyarakat juga sudah diatur dalam PERMENHUT. NO.P. 37/MENHUT-II/2007 tentang HUTAN KEMASYARAKATAN; PERMENHUT No. P.49/MENHUT-II/2008 tentang HUTAN DESA dan KEMITRAAN. Terkait Hutan Kemasyarakatan diatur juga dalam PERMENHUT NO.P.37/MENHUT-II/2007 jo NO.P.18/MENHUT-II/2007; PERDIRJEN RLPS NO.P.07/V SET/2009 (REVISI) tentang TATACARA PENYELENGGARAAN HKM dan PERMENHUT, NO.P.13/MENHUTII/2010 tentang HUTAN DESA; PERMENHUT No.P.49/MENHUT-II/2008 tentang HUTAN DESA; PERMENHUT No.P.14/MENHUT-II/201 tentang TATACARA PENYELENGGARAAN HUTAN DESA (REVISI). Dengan melihat perubahan iklim dan pembangunan sektor kehutanan berdasarkan peraturan perundangan di atas, tentu ada tujuannya yakni masyarakat seutuhnya bisa mendapat kesempatan untuk berperan aktif dalam upaya-upaya penurunan emisi GRK dan juga pemanfaatan hutan secara lestari. Salah satu bentuknya adalah pemerintah mengizinkan masyarakat untuk mengembangkan hutan kemasyarakatan dan/atau hutan desa. Hal ini tentu merupakan peluang sekaligus tantangan bagi masyarakat adat sendiri. Namun, pemerintah juga hanya setengah hati dalam memberi peluang ini bagi masyarakat adat. Buktinya, hampir tidak ada keberhasilan masyarakat adat di Indonesia dalam pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat tersebut. Yang justru terjadi adalah pelaksanaan inisiatif proyek REDD yang dilakukan baik secara voluntary maupun mandatory oleh negara-negara industri kaya (asing) yang mengklaim hutan dan tanah masyarakat adat sebagai kawasan Hutan REDD atas kerjasama dengan Indonesia sebagai proyek internasional. Masyarakat adat setempat hanya akan menerima kompensasi atas hak-haknya yang hilang sebagai akibat dari proyek REDD ini. Tetapi kompensasinya seperti apa bentuknya, semuanya belum jelas dalam mekanisme REDD. Sayang sekali, ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan bagi masyarakat adat untuk melaksanakan apa yang sebenarnya menjadi peluang emas bagi kesejahteraan mereka dalam mengelola hutan adat mereka sendiri. Mengapa? Peraturan perundangan yang dibuat oleh pemerintah tidak berdasar atas pengakuan hak-hak dasar masyarakat adat dan keberadaannya baik di dalam maupun di sekitar hutan berdasarkan history keturunannya. Tetapi yang justru terjadi adalah adanya peraturan dan perundangan tertentu merupakan sebagai bagian dari bisnis semata. Sehingga sekalipun ada UU OTSUS untuk masyarakat adat di Tanah Papua, mereka tidak dapat berdaya. Karena secara tegas, belum ada satupun undang-undang yang mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.***Koordinator JASOIL Tanah Papua

6
Adm:infokom: samanta foundation|

Pasal 7 Kawasan hutan lindung dan hutan produksi dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan dengan ketentuan: a. belum dibebani hak atau izin da lam pemanfaatan hasil hutan; dan b. menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Bagian Kedua Tata Cara Penetapan Areal Ke rja Hutan Kemasyarakatan Pasal 8 (1) Kelompok masyarakat setempat mengaj ukan permohonan izin kepada : a. Gubernur, pada areal kerja hutan ke masyarakatan lintas kabupaten/kota yang ada dalam wilayah kewenangannya; b. Bupati/Walikota, pada areal kerja hut an kemasyarakatan yang ada dalam wilayah kewenangannya. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan sketsa areal kerja yang dimohon dan Surat Keterangan Kelo mpok yang memuat data dasar kelompok masyarakat dari Kepala Desa. (3) Sketsa areal kerja antara lain me muat informasi mengenai wilayah administrasi pemerintahan, potensi ka wasan hutan, koordinat dan batas-batas yang jelas serta dapat di ketahui luas arealnya. (4) Berdasarkan permohonan-permohonan seba gaimana dimaksud pada ayat (1), selanjutnya : a. Gubernur atau Bupati/Walikota me

ngajukan usulan penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan kepada Menteri setelah diverifikasi oleh tim yang dibentuk Gubernur atau Bupati/Walikota. b. Pedoman verifikasi ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota selambat-lambatnya satu bulan setelah berlakunya Peratura n Menteri ini. (5) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) butir (a) dilakukan sebagai berikut : a. Verifikasi dilakukan oleh tim yang terdiri dari unsur Dinas Provinsi atau unsur Dinas Kabupaten/Kota yang dise rahi tugas dan tanggung jawab di bidang Kehutanan. b. Tim sebagaimana dimaksud pada butir a dapat didampingi oleh para pihak terkait terutama LSM ya ng menjadi fasilitator. c. Verifikasi dilakukan atas dasar ke sesuian dengan rencana pengelolaan yang telah disusun oleh KPH at au pejabat yang ditunjuk. 7
Adm:infokom: samanta foundation|

d. Tim melengkapi hasil inventarisasinya dengan data dasa r masyarakat dan data potensi kawasan. e. Verifikasi antara lain meliputi : keabsahan surat Kepala Desa serta kesesuaian areal untuk kegi atan Hutan Kemasyarakatan. (6) Berdasarkan dari hasil verifikasi yang te lah dilakukan oleh Tim Verifikasi maka : a. Tim verifikasi dapat menolak atau me nerima untuk seluruh atau sebagian permohonan penetapan areal ke rja hutan kemasyarakatan. b.

Terhadap permohonan yang ditolak sebagaimana dimaksud pada butir (a), tim verifikasi melaporkan kepa da Gubernur atau Bupati/Walikota. c. Terhadap permohonan yang diteri ma untuk seluruh atau sebagian sebagaimana butir (a) tim verifikasi menyampaikan rekomendasi kepada Gubernur dan/atau Bupati/Walikota. (7)Berdasarkan hasil verifikasi, Guber nur atau Bupati/Walikota menyampaikan usulan penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan kepada Menteri Kehutanan dilengkapi dengan peta lokasi calon areal kerja hutan kemasyarakatan dengan skala paling kecil 1 : 50.000, berdasarkan peta dasar yang tersedia (peta rupa bumi), deskripsi wilayah antara lain keadaan fisik wilayah, data sosial ekonomi dan potensi kawasan hutan, yang diusulkan. Pasal 9 (1) Terhadap usulan Gubernur atau Bupati/W alikota, dilakukan verifikasi oleh tim verifikasi yang dibentuk oleh Menteri. (2) Tim verifikasi beranggotakan unsur-unsur eselon I terkait lingkup Departemen Kehutanan yang dikoordin asikan oleh Kepala Badan Planologi Kehutanan dan bertanggung jawab kepada Menteri. (3) Kepala Badan Planologi Kehutanan sebagai koordinator Tim Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menugaskan UPT Departemen Kehutanan terkait untuk melaku kan verifikasi ke lapangan. (4) Verifikasi meliputi : kepastian hak atau ijin yang telah ada serta kesesuaian dengan fungsi kawasan. Pasal 10 (1) Berdasarkan hasil verifikasi sebagaiman a dimaksud Pasal 9, tim verifikasi dapat menolak, menerima untuk seluru h atau sebagian usulan penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan. (2) Terhadap usulan yang ditolak sebagian

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim verifikasi menyampaikan pemberitahuan penolakan tersebut kepada Gubernur dan/atau Bupati/Walikota. 3) Terhadap usulan yang diterima untuk seluruh atau sebagian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menter i menetapkan areal kerja hutan kemasyarakatan

Bagian Kedua Tata Cara Penetapan Areal Kerja Hutan Desa Pasal 5 Penetapan areal kerja hutan desa dilaku kan oleh Menteri berdasarkan usulan Bupati/Walikota. Pasal 6 (1) Bupati/Walikota mengusulkan penetapan ar eal kerja Hutan Desa kepada Menteri berdasarkan permohon an Kepala Desa, dengan dilampiri: a. peta dengan skala paling kecil 1 : 50.000; dan b. kondisi kawasan hutan antara lain fu ngsi hutan, topografi, potensi; (2) Usulan Bupati/Walikota seba gaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Gubernur setempat. Pasal 7 (1)

Usulan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dilakukan verifikasi oleh tim verifikasi yang dibentuk oleh Menteri. (2) Tim verifikasi beranggotakan unsur-unsu r eselon I terkait lingkup Departemen Kehutanan yang dikoordinasikan oleh Di rektur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, dan bertanggung jawab kepada Menteri. (3) Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Pe rhutanan Sosial sebagai koordinator Tim Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menugaskan UPT Departemen Kehutanan terkait untuk melaku kan verifikasi ke lapangan. (4) UPT Departemen Kehutanan terkait se bagaimana dimaksud pada ayat (3) berkoordinasi dengan Pemeri ntah Daerah setempat. (5) Hasil verifikasi UPT Departemen Kehutanan terkait dilaporkan kepada Tim Verifikasi, sebagai bahan pertimbangan. (6) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi : kepastian hak atau izin yang telah ada serta kesesuai an dengan fungsi kawasan. (7) Ketentuan lebih lanjut tentang verifikasi di atur dengan Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Pasal 8 (1) Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dala m Pasal 7 ayat (5), Tim Verifikasi dapat menolak atau menerima seluruh atau sebagian usulan penetapan areal kerja hutan desa. 6 (2) Terhadap usulan penetapan areal kerja hut an desa yang ditolak, Tim Verifikasi atas nama Menteri menyampaikan pember itahuan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur setempat.

(3) Terhadap usulan penetapan areal kerj a hutan desa yang diterima, Menteri menetapkan areal kerja hutan desa. (4) Penetapan areal kerja hutan desa se bagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota setempat.

PENGERTIAN DAN PROSEDUR PERIZINAN DALAM MASING-MASING SKEMA PHBM


A. HUT AN DESA
2

1. Pengertian Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa, dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa, dilaksanakan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi, belum dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan, izin diberikan kepada Lembaga Desa yang dibentuk oleh Desa melalui Peraturan Desa dan tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan. Lembaga Desa Pengelola Hutan Desa yang selanjutnya disebut Lembaga Desa adalah lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan Peraturan Desa yang bertugas untuk mengelola Hutan Desa yang secara fungsional berada dalam organisasi desa dan bertanggung jawab kepada Kepala Desa. Pemberdayaan masyarakat setempat adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Fasilitasi adalah upaya penyediaan kemudahan dalam memberdayakan masyarakat setempat dengan cara pemberian status legalitas, pengembangan kelembagaan, pengembangan usaha, bimbingan teknologi, pendidikan dan latihan, akses terhadap pasar, serta pembinaan dan pengendalian.
2 P eraturan Menteri terkait Hutan Desa dirubah beberapa pasal terkait lembaga yang berwenang, selanjutnya diatur dalam Permenhut No P.53/2011 Tentang Hutan Desa.

9
TATA CARA dan PROSEDUR Pengembangan Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Masyarakat setempat adalah kesatuan sosial yang terdiri dari warga Negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam dan/atau di sekitar hutan, yang bermukim di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang memiliki komunitas sosial dengan kesamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan dan aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan. Areal kerja Hutan Desa adalah satu kesatuan hamparan kawasan hutan yang dapat dikelola oleh lembaga desa secara lestari. Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) adalah hak yang diberikan kepada desa untuk mengelola hutan negara dalam batas waktu dan luasan tertentu. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Desa adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam Hutan Desa pada hutan produksi melalui kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Izin Usaha Hak Pengelolaan Hutan Desa (IU-HPHD) bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan, serta dilarang memindah-tangankan atau mengagunkan. Hak Pengelolaan Hutan Desa terdiri dari Hak Pengelolaan, IUPHHK, IUPK, IUPJL, IUPHHBK, IPHHK, IPHHBK. Hak pengelolaan ini tidak berjangka waktu karena ditentukan oleh Desa sendiri melalui lembaga pengelola Hutan Desa yang dibentuk dan ditetapkan melalui Peraturan Desa, kecuali IUPHHK yang mengikuti ketentuan pasal 49 sampai dengan 59 PP No.6/2007 Jo PP. 3/2008.

10
TATA CARA dan PROSEDUR Pengembangan Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

2.

Hak dan Kewajiban P emegang Hak a. Hak P emegang Hak Pengelolaan Hutan Desa: 1. pada hutan lindung berhak untuk memanfaatkan kawasan, jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan bukan kayu; 2. pada hutan produksi berhak untuk memanfaatkan kawasan, jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. b. K ewajiban Pemegang : 1. Lembag a Desa sebagai pemegang hak pengelolaan Hutan Desa memiliki kewajiban: melaksanakan penataan batas Hak Pengelolaan Hutan Desa; menyusun rencana kerja pengelolaan Hutan Desa selama jangka waktu berlakunya hak pengelolaan Hutan Desa; melakukan pelindungan hutan; melaksanakan rehabilitasi areal kerja Hutan Desa; dan melaksanakan pengayaan tanaman areal kerja Hutan Desa. 2. Lembag a desa sebagai pemegang hak IUPHHK dalam Hutan Desa memiliki kewajiban : Untuk IUPHHK hutan tanaman dalam Hutan Desa, lembaga desa wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana pemegang izin IUPHHK hutan tanaman sesuai dengan peraturan perundang-undangan; Untuk IUPHHK hutan alam dalam Hutan Desa, lembaga desa wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana pemegang izin IUPHHK hutan alam sesuai peraturan perundangundangan.

11
TATA CARA dan PROSEDUR Pengembangan Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

3. Prosedur T eknis dalam pengajuan perizinan: a. P enetapan Areal 1. Usulan areal pengelolaan diajukan oleh Desa kepada Bupati/ Walikota setempat yang suratnya ditembuskan kepada Gubernur, usulan dilanjutkan oleh Bupati/Walikota kepada Menteri Kehutanan. UPT Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial melakukan koordinasi dengan UPT Eselon I Kementerian Kehutanan terkait dan Pemerintah Daerah untuk menentukan calon areal kerja Hutan Desa dan memfasilitasi pembentukan lembaga desa, untuk membuat permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) kepada Gubernur dengan tembusan kepada Bupati/Walikota. Permohonan diajukan oleh Kepala Desa kepada Bupati/ Walikota dengan dilengkapi: a. Sk etsa lokasi yang dimohonkan; b. Surat usulan dari K epala Desa/Lurah; c. Nama-nama calon pengurus lembaga desa atau struktur lembaga desa jika sudah terbentuk yang diketahui oleh

Camat dan Kepala Desa/Lurah; 2. Berdasarkan permohonan tersebut maka Bupati/walikota melengkapinya dengan : a. P eta digital calon areal kerja hutan skala paling kecil 1:50.00:, b. Deskr ipsi wilayah (fisik, sosial, ekonomi dan potensi kawasan);

12
TATA CARA dan PROSEDUR Pengembangan Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

c. Surat usulan dari K epala Desa/Lurah; d. Nama-nama calon pengelola atau struktur lembaga desa jika sudah ada. 3. S elama proses pengusulan, Gubernur atau Bupati/Walikota memfasilitasi pembentukan dan penguatan lembaga desa. 4. S emua dokumen tersebut menjadi dokumen pengajuan usulan penetapan areal kerja hutan kepada Menteri Kehutanan. 5. S ebelum mendapatkan izin dari pemanfaatan dari Menteri, Pemohon lebih dahulu mendapatkan mendapatkan IU-HPHD dari Gubernur selama minimal 5 tahun. 6. S elanjutnya, untuk pemanfaatan kayu dan non kayu dapat dilakukan pada Hutan Desa yang berfungsi sebagai Hutan Produksi melalui IUPHHK dan IUPHHNK dan jasa lingkungan yang diberikan oleh Menteri Kehutanan, dapat dilimpahkan kepada Gubernur untuk Hutan Alam, dan Bupati untuk Hutan Tanaman. 7. U ntuk mendapatkan izin pemanfaatan tersebut, dilakukan melalui verifikasi dan evaluasi monitoring dari Kementerian Kehutanan serta Pemerintah Daerah setempat. a. T ata Cara Penetapan Areal Kerja HD 1. Berdasarkan Usulan Bupati/Walikota, dilakukan verifikasi oleh tim verifikasi yang dibentuk oleh Menteri. 2. Tim verifikasi beranggotakan unsur-unsur eselon I terkait lingkup Departemen Kehutanan yang dikoordinasikan oleh Direktur Jenderal BPDAS-PS, dan bertanggung jawab kepada Menteri.

13
TATA CARA dan PROSEDUR Pengembangan Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

3. Direktur Jenderal BPDAS-PS sebagai koordinator Tim Verifikasi menugaskan UPT Departemen Kehutanan terkait untuk melakukan verifikasi ke lapangan. 4. UPT Departemen Kehutanan terkait berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah setempat. 5. Hasil

verifikasi UPT Departemen Kehutanan terkait dilaporkan kepada Tim Verifikasi, sebagai bahan pertimbangan. Verifikasi meliputi : kepastian hak atau izin yang telah ada serta kesesuaian dengan fungsi kawasan. 6. Berdasarkan hasil verifikasi, Tim Verifikasi dapat menolak atau menerima seluruh atau sebagian usulan penetapan areal kerja Hutan Desa. 7. T erhadap usulan penetapan areal kerja Hutan Desa yang ditolak, Tim Verifikasi atas nama Menteri menyampaikan pemberitahuan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur setempat. 8. T erhadap usulan penetapan areal kerja Hutan Desa yang diterima, Menteri menetapkan areal kerja Hutan Desa dan disampaikan kepada Gubernur serta Bupati/Walikota setempat. b. T ata Cara pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa 1. P ermohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa diajukan oleh Lembaga Desa kepada Gubernur melalui Bupati/walikota dengan melampirkan persyaratan: a. peraturan desa tentang penetapan lem baga desa; b. surat pernyataan dari kepala desa yang menyatakan wilayah administrasi desa yang bersangkutan yang diketahui camat; c. luas areal k erja yang dimohon;dan d. rencana k egiatan dan bidang usaha lembaga desa.

14
TATA CARA dan PROSEDUR Pengembangan Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

2. Bupati / Walikota meneruskan permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa kepada Gubernur dengan melampirkan surat rekomendasi yang menerangkan bahwa Lembaga Desa telah: a. mendapatkan fasilitasi; b . siap meng elola Hutan Desa; dan c. ditetap kan areal kerja oleh Menteri. 3. T erhadap permohonan tersebut Gubernur melakukan verifikasi. 4. V erifikasi paling sedikit dilakukan terhadap: keabsahan lembaga desa, pernyataan kepala desa, kesesuaian areal kerja, kesesuaian rencana kerja. 5. T erhadap hasil verifikasi yang tidak memenuhi syarat, Gubernur menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. 6. T erhadap hasil verifikasi yang memenuhi syarat, Gubernur memberikan hak pengelolaan Hutan Desa, dalam bentuk Surat

Keputusan Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa. 7. Surat Keputusan Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa memuat: a. Luas Hutan Desa; b . Wila yah administrasi Hutan Desa; c. Fungs i hutan; d. Lembaga pengelola Hutan Desa; e. Jenis kegiatan pemanfaatan kawasan; f. Hak dan k ewajiban; dan g. J angka waktu hak pengelolaan.

15
TATA CARA dan PROSEDUR Pengembangan Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

8. Guber nur dapat melimpahkan kewenangan pemberian hak pengelolaan Hutan Desa kepada Bupati/Walikota. Surat Keputusan Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa disampaikan oleh Gubernur kepada Lembaga Desa dengan tembusan kepada Menteri dan Bupati/Walikota. 9. Hak pengelolaan Hutan Desa dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan evaluasi yang dilakukan paling lama setiap 5 (lima) tahun satu kali oleh pember

Hutan desa merupakan salah satu dari 3 (tiga) skema pemberdayaan masyarakat setempat sebagaimana diamanatkan dalam PP No.6 Tahun 2007 jo PP.No.3 Tahun 2008. Skema pemberdayaan masyarakat lainnya adalah hutan kemasyarakatan dan kemitraan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 definisi hutan desa adalah hutan negara yang belum dibebani izin/hak yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Hutan desa dapat dilaksanakan pada hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan dan berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan. Upaya pemberdayaan masyarakat setempat pada hutan desa dilakukan melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses untuk mendapatkan manfaat sumber daya

hutan secara optimal dan adil dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan. Dalam PP 6 Tahun 2007 Pasal 83 Ayat 2 pemberdayaan masyarakat setempat di atas merupakan kewajiban pemerintah, provinsi, kabupaten/kota yang pelaksanaanya menjadi tanggung jawab Kepala KPH. Yang dimaksud masyarakat setempat disini adalah kesatuan sosial yang terdiri dari warga Negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam dan/atau di sekitar hutan, yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang memiliki komunitas sosial dengan kesamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan dan aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan (Permenhut No. P.49/Menhut-II/2008 Pasal 1 Ayat 5) Hak pengelolaan pada hutan desa diberikan kepada lembaga desa yang merupakan lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan Peraturan Desa yang bertugas untuk mengelola Hutan Desa yang secara fungsional berada dalam organisasi desa dan bertanggung jawab kepada Kepala Desa. Hak pengelolaan hutan desa meliputi kegiatan tata areal, penyusunan rencana pengelolaan areal, pemanfaatan hutan serta rehabilitasi dan perlindungan hutan. Kegiatan pemanfaatan hutan desa yang berada pada hutan lindung, meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan bukan kayu. Sedangkan pemanfaatan hutan desa pada hutan produksi, meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Setiap pemanfaatan hasil hutan pada hak pengelolaan hutan desa dikenakan PSDH dan/atau DR. Tata Cara Permohonan Hak pengelolaan hutan desa adalah sebagai berikut (Permenhut No. P.49/Menhut-II/2008 Pasal 13, 14, 15 dan 16): 1. Permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa diajukan oleh Lembaga Desa kepada Gubernur melalui Bupati/walikota dengan melampirkan persyaratan: a.) peraturan desa tentang penetapan lembaga desa; b.) surat pernyataan dari kepala desa yang menyatakan wilayah administrasi desa yang bersangkutan yang diketahui camat; c.) luas areal kerja yang dimohon; dan d.) rencana kegiatan dan bidang usaha lembaga desa. 2. Bupati/Walikota meneruskan permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa kepada Gubernur dengan melampirkan surat rekomendasi yang menerangkan bahwa Lembaga Desa telah: a.) mendapatkan fasilitasi; b.) siap mengelola hutan desa; dan c.) ditetapkan areal kerja oleh Menteri. 3. Gubernur melakukan verifikasi terhadap permohonan hak pengelolaan hutan desa 4. Verifikasi paling sedikit dilakukan terhadap : keabsahan lembaga desa, pernyataan kepala desa, kesesuaian areal kerja, kesesuaian rencana kerja. 5. Terhadap hasil verifikasi yang tidak memenuhi syarat, Gubernur menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. 6. Terhadap hasil verifikasi yang memenuhi syarat, Gubernur memberikan hak pengelolaan hutan desa. 7. Ketentuan lebih lanjut tentang pedoman verifikasi diatur oleh Gubernur. 8. Hak pengelolaan hutan desa diberikan dalam bentuk Surat Keputusan Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa. 9. Surat Keputusan Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa memuat : a.) Luas hutan desa; b.) Wilayah administrasi hutan desa; c.) Fungsi hutan; d.) Lembaga pengelola

hutan desa; e.) Jenis kegiatan pemanfaatan kawasan; f.) Hak dan kewajiban; dan g.) Jangka waktu hak pengelolaan. 10. Gubernur dapat melimpahkan kewenangan pemberian hak pengelolaan hutan desa kepada Bupati/Walikota. 11. Surat Keputusan Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa disampaikan oleh Gubernur kepada Lembaga Desa dengan tembusan kepada Menteri dan Bupati/Walikota. Jangka waktu hak pengelolaan hutan desa paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang. Perpanjangan hak pengelolaan hutan desa didasarkan evaluasi yang dilakukan paling lama setiap 5 (lima) tahun satu kali oleh pemberi hak. Referensi Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan Permenhut No. P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa Permenhut No. P.14/Menhut-II/2010 tentang Perubahan Atas Permenhut No. P.49/MenhutII/2008 tentang Hutan Desa Permenhut No. P.53/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Kedua Atas Permenhut No. P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa

You might also like