You are on page 1of 29

LAPORAN KASUS MANAJEMEN REGIONAL ANASTESI SUBARACHNOID BLOCK PADA KASUS STRIKTUR URETRA

Disusun Oleh :

Mega Ramadhiyaswari

0710710027

Pembimbing : dr. Ristiawan Muji, Sp.An

LABORATORIUM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT SAIFUL ANWAR MALANG 2012

BAB 1 LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien Nama Usia Jenis Kelamin Alamat Berat Badan Register Dirawat di Tanggal dilakukan Anestesi Lama anestesi Diagnosis pra bedah : Sdr. R : 21 tahun : Laki-laki : Ds. Sumber Dawesari Grati Pasuruan : 53 kg : 12225xx : Ruang 19 : : : 3 Agustus 2012 07.45 09.45 WIB Striktur uretra pars pars membranaceabulbosa Jenis pembedahan Jenis anesthesia : : Panendoskopi k/p sachse Regional Anestesia-Sub Arachnoid Block

1.2 Preoperatif 1.2.1 Anamnesis ( 2 Agustus 2012 ) Alergi Medication Past Medical History Last Meal Event . 1.2.2 Pemeriksaan Fisik (2 Agustus 2012) B1 (Breathing) : airway paten, napas spontan, RR 14x/menit, rhonki (-), wheezing (-), Skor Mallampati I, gerak leher bebas, buka mulut >3jari : : Tidak didapatkan riwayat alergi terhadap obat/ makanan : Tidak mengkonsumsi obat-obatan sebelumnya. : DM (-), HT (-), asma (-) : Minimal sejak 6 jam sebelum operasi (Pukul 02.00 WIB) : Pasien tidak dapat BAK terpasang kateter

B2 (Blood)

akral hangat, CRT <2 detik, nadi 84x/mnt, TD 135/65 mmHg, S1S2 single regular, murmur (-), gallop (-)

B3 (Brain)

compos mentis, GCS 456, pupil isokor 3mm/3mm, reflek cahaya +/+

B4 (Bladder)

Post cystostomy BAK via DC (-), Produksi urine (+) 50 ml/jam (urine tampung)

B5 (Bowel)

Flat, soefl, bising usus (+) normal, mual (-), muntah (-)

B6 (Bone)

edema -/-.

1.2.3 Pemeriksaan Penunjang Preoperasi 1) Pemeriksaan Laboratorium (2 Agustus 2012) Darah Lengkap Hb Leukosit Trombosit PCV MCV MCH MCHC : 15,10 gr/dL : 6700/l : 292.000/l : 43,7% : 85.900 fL : 29.700 pg :34.600 (N : 11 16,5 gr/dl) (N : 3.500 10.000 /l) (N : 150.000 390.000 /l) (N : 35,0 50,0 %)

Faal Hemostasis PPT INR APTT : 11,9 (K: 12,5) detik : 1,04 : 23,5 (K: 27,5) detik

Kimia Darah GDA Ureum Kreatinin SGOT/SGPT Albumin : 85 mg/dl : 21,3 mg/dl : 0,98 mg/dl : 23/22 mU/ml : 4,72 mg/dL (N: <200 mg/dl) (N: 20- 40 mg/dl) (N: <1.2 mg/dl) (N: 0-40 mU/dl) (N: <200 mg/dl)

Serum Elektrolit Natrium Kalium Chlorida : 145 mmol/l : 4,17 mmol/l : 106 mmol/l (N: 136-145 mmol/L) (N: 3.5- 5.0 mmol/L) (N: 98-106 mmol/L)

2) ECG (2 Agustus 2012) Sinus rhythm dengan heart rate 78x/menit 2) Foto Thorax PA (12 Juli 2012) Kesimpulan : foto thorax PA normal 3) Bipolar Voiding Cysto Urethrography (12 Juli 2012) Tampak kontras mengisi penuh buli. Kemudian pasien ingin berkemih, tampak kontras keluar dengan baik melalui orificium uretra externa,

tampak kontras mengisi uretra pars prostatika, pars membranacea, pars bulbosa, pars cavernosa dan pars naviculare. Tampak penyempitan di membranacea dengan jarak 1 cm dan ekstravasasi (periurethral filling) dengan tepi irreguler di pars bulbosa. Kesimpulan : Striktur uretra partial pars membranacea sepanjang 1 cm sesuai dengan ruptur urethra pars bulbosa. 1.2.4 Laporan Anestesi Preoperatif Assessment: ASA I Diagnosa prabedah striktur uretra pars membranacea-bulbosa Keadaan prabedah (3 Agustus 2012, pukul 08.00 WIB) : BB 53 kg, golongan darah O TD 130/80 mmHg, nadi 84 x/menit, suhu 36,5C Hb 15,10 mg/dL Dipuasakan 6 jam preoperasi Jenis pembedahan: Panendoskopi k/p sachse

1.2.5 Persiapan Preoperatif 1.2.5.1 Di Ruangan (R.19)

Surat persetujuan operasi + surat persetujuan tindakan anestesi IVFD RL 100 cc/jam selama dipuasakan Inj. Ranitidin 50 mg Inj. Metoclopramide 10 mg Sedia PRC 2 labu sesaat sbelum berangkat ke OK

1.2.5.2 Di Kamar Operasi Scope Tubes Airway Tape Introducer Suction stetoskop, laringoskop ETT (cuffed) size 7,0 kink fix orotracheal airway plester untuk fiksasi untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction

Connector penyambung antara pipa dan alat anestesi

Obat emergensi : sulfas atropin, lidokain, adrenalin, efedrin 1.3 Durante Operatif 1.3.1 Laporan Anestesi Durante Operatif Jenis anestesia Teknik anestesia : Regional anestesia-Sub Arachnoid Blok :

1. memposisikan pasien dengan kondisi duduk, meluruskan punggung dan kaki, tapi tetap dalam keadaan tidak tegang, dan menundukkan kepala. 2. Lokasi injeksi diberi antiseptik, dengan savlon. 3. Identifikasi ruang interspinosus diantara L4-L5. 4. Kemudian di infiltrasi lokal dengan lidokain 2% di area L4-L5 5. Dilanjutkan anestesi dengan insersi spino catheter ukuran 27 gauge, barbotage (+), dan cairan serebrospinal (+) 6. injeksi bupivacaine 0.5% 12 mg dan adjuvant morfin 0.1 mg, kemudian dilakukan pengecekan area sensoris, motoris dan tanda-tanda toksikasi pada pasien. Lama anestesi Lama operasi : 07.45 09.45 WIB : 08.05 08.25 WIB

1.3.2 Tindakan Regional Anestesia Posisi anestesi : pasien duduk dengan mendekap bantal, kepala menekuk ke dada, punggung tidak tegang, kedua kaki lurus. Teknik anestesi : infiltrasi lokal dengan lidokain 2% 2cc Anestesi regional spinal dengan bupivacaine 0.5% 12mg dan adjuvant morfin 0.1 mg 1.3.3 Monitoring Pernafasan Medikasi durante operasi Ondansetron 4 mg i.v Ketorolac 30 mg i.v Pethidin 25 mg i.v : O2 nasal canule, 2 lpm :

Cairan masuk: Preoperatif : Kristalloid RL 1000 cc Durante operatif : RL 500 cc Cairan keluar : durante operatif : Preoperatif EBV ABL M O4 1.4 Postoperatif 1.4.1 Laporan Anestesi Postoperatif di Ruang Pulih Sadar Pasien masuk jam 09.20 Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-) Pemeriksaan fisik: B1 : airway paten, napas spontan, Rh (-), Wh (-) B2 : nadi 80x/menit, TD 113/67 mmHg, CRT <2detik : 50cc/jam (urine tampung) Durante operatif : sde : 3710 cc : 371 cc : 93 cc / jam : 106 cc / jam

B3 : compos mentis, GCS 456, pupil isokor 3mm/3mm, reflek cahaya+/+ B4 : Dower catheter (+) B5 : soefl, BU (+) B6 : akral hangat, kering, kemerahan, mobilitas (-), edema (-)

Terapi Pasca Bedah O2 nasal canul 2 liter/menit Infus: RL 100 cc/jam selama dipuasakan Antibiotika : Ciprofloxacin 2x 500mg p.o Inj. Metoclopramide 3x10 mg iv Inj. Ranitidin 2x50 mg iv Inj. Ketorolac 3x30 mg iv prn Bila mual muntah : Inj.Ondansetron 4 mg

1.4.2 Monitoring Cek vital sign tiap 15 menit selama 2 jam Bila RR <10x/menit, berikan O2 NRBM 10 liter/menit Bila nadi 50, berikan sulfas atropin 0,5 mg iv cepat Jika tekanan darah sistole <90 mmHg berikan RL 500 cc dalam 30 menit efedrin 5 mg iv Pindah ruangan jika aldrete score > 8 Makan dan minum: diberikan secara bertahap bila pasien tidak mual dan muntah Bila pasien kesakitan dapat diberikan injeksi ketorolac 30mg i.v 1.4.3 Aldrete Score Kesadaran 2 1 0

Sadar penuh Tak sadar, ada reaksi terhadap rangsangan Tak ada reaksi terhadap rangsangan Pernafasan

Teratur, kuat, batuk

Nafas berat, depresi Nafas dibantu Tensi

1 0

Sama dengan nilai awal+ 20% Berbeda 20-30% dari nilai awal Berbeda >30% dari nilai awal Pergerakan

2 1 0

Gerak terkendali Gerak tak terkendali Tak bergerak Warna kulit

2 1 0

Merah Pucat Sianosis

2 1 0 ------------------------

Jumlah total skor

10

BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Anesthesia Regional Subarachnoid Block Anestesi regional adalah pemberian anestesi ke bagian tubuh tanpa terjadi hilangnya kesadaran atau berkurangnya kesadaran. Ada dua kelompok teknik central neuraxis blockade (blokade epidural atau subarachnoid) dan peripheral nerve blockade. Persiapan analgesia spinal terdiri dari melakukan informed consent (izin dari pasien), pemeriksaan fisik (ada tidaknya kelainan punggung), dan pemeriksaan laboratorium anjuran (hemoglobin, hematokrit, PPT dan aPTT). Peralatan yang diperlukan dalam analgesia spinal ini terdiri aatas peralatan monitor seperti tekanan darah, nadi, pulse oxymetry, dan EKG; peralatan resusitasi/anestesi umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (QuinckeBabcock) atau jarum spinal dengan ujung pensil.

Tabel 2.1 Indikasi, Kontraindikasi, dan Komplikasi Analgesia Spinal

Indikasi/Kontraindikasi/ Komplikasi Indikasi Transurethral

Keterangan

prostatectomy

(blok

pada

T 10

diperlukan karena terdapat inervasi pada buli buli kencing) Hysterectomy Caesarean section (T6) Evakuasi alat KB yang tertinggal Semua prosedur yang melibatkan ekstrimitas bagian bawah seperti arthroplasty Prosedur yang melibatkan pelvis dan perianal Indikasi Kontra Absolut Pasien menolak Deformitas pada lokasi injeksi Hipovolemia berat

Sedang dalam terapi antikoagulan Cardiac ouput yang terbatas; seperti stenosis aorta Peningkatan tekana intracranial.

Indikasi Kontra Relatif

Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia) Infeksi sekitar tempat penyunikan Kelainan neurologis Kelainan psikis Bedah lama Penyakit jantung Hipovolemia ringan Nyeri punggung kronis

Komplikasi Tindakan

Hipotensi berat Bradikardia Hipoventilasi Trauma pembuluh darah Trauma saraf Mual muntah Gangguan pendengaran Blok spinal tinggi, atau spinal total

Komplikasi Tindakan

Pasca

Nyeri tempat suntikan Nyeri punggung Nyeri kepala karena kebocoran likuor Retensio urine Meningitis

Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau posisi tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid:

10

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus laterl. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk. 2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukannya, misalnya L2-3, L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau di atasnya berisiko trauma medulla spinalis. 3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol. 4. Beri anestetik local pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml. 5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G, 23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau 29 G, dianjurkan menggunakan introducer (penuntun jarum), yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introdusersedalam kirakira 2 cm agak sedikit kea rah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter. Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37C adalah 1,003 1,008. Anestetik local dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric. Anestetik local dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anestetik local dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik. Anestetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anestetik local dengan

dekstrosa. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.

11

2.2 Preoperatif 2.2.1 Penilaian Preoperatif Penilaian preoperative merupakan langkah awal dari serangkaian tindakan anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani tindakan operatif. (Wiryana dkk, 2010) Tujuan: 1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif 2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi 3. Memilih jenis atau teknik anesthesia yang sesuai 4. Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau pascabedah 5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang diramalkan. (Wiryana dkk, 2010) Tatalaksana evaluasi 1. Anamnesis. Anamnesis baik autoanamnesis maupun hetero anamnesis, yakni meliputi identitas pasien, anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang mungkin menimbulkan kerusakan fungsi organ, dan anamnesis umum yang meliputi riwayat penyakit sistemik, riwayat pemakaian obat-obatan, riwayat operasi/anesthesia terdahulu, kebiasaan buruk, dan riwayat alergi. (Wiryana dkk, 2010) Pada pasien didapatkan riwayat trauma pada pelvis akibat kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan fraktur pelvis. Pasien kemudian menjalani operasi open cystotomy pada September tahun 2010, operasi PER pada November 2010, operasi end to end anastomose pada Juni 2011. Pasien selanjutnya berturut-turut menjalani operasi k/p sachse sebanyak lima kali akibat striktur uretra yakni pada bulan Agustus, September, November tahun 2011 dan Februari, April 2012. Sebelumnya tidak didapatkan penyakit sistemik, pemakaian obat-obatan, dan tidak didapakan riwayat alergi.

2. Pemeriksaan fisik. Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran, frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan

12

untuk menilai status gizi/BMI. Disamping itu juga dilakukan pemeriksaan fisik umum yang meliputi pemeriksaan status psikis, saraf, respirasi, hemodinamik, penyakit darah, gastrointestinal, hepato-bilier, urogenital dan saluran kencing, metabolik dan endokrin, otot rangka, integument. (Wiryana, dkk, 2010). Pada anestesi juga diperlukan pemeriksaan skor Mallampati yang digunakan untuk memprediksi kemudahan intubasi (Mallampati,et al. 1985) Hal ini dilakukan dengan melihat anatomi cavum oral, terutama didasari terlihatnya dasar uvula, arkus di depan dan belakang tonsil, dan palatum mole. Skoring dilakukan saat pasien duduk dan pandangan ke depan. Skor Mallampati yang tinggi (III atau IV) berhubungan dengan intubasi yang lebih sulit sebanding juga dengan insiden yang lebih tinggi untuk terjadi apneu (Nuckton, et al. 2006). Skoring Mallampati (Nuckton, et al. 2006): Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula Hanya terlihat palatum durum

13

Pemeriksaan fisik pasien dalam batas normal, skor Mallampati I, leher bebas, buka mulut >3jari. Pada pasien tidak didapatkan kelainan yang bermakna yang dapat mengganggu jalannya operasi dan tindakan anastesi. Pada pasien pemeriksaan fisik dalam batas normal, tidak didapatkan kelainan yang bermakna yang dapat mengganggu jalannya operasi dan tindakan anastesi. Pasien digolongkan dalam kategori Mallampati 1, leher bebas, buka mulut >3jari. 3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya. Meliputi pemeriksaan rutin yakni pemeriksaan darah dan urin. Selain itu pada pasien yang akan operasi besar dan pasien yang menderita penyakit sistemik tertentu diperlukan pemeriksaan khusus sesuai indikasi yang meliputi pemeriksaan laboratorium lengkap,

pemeriksaan radiologi, evaluasi kardiologi terutama pada pasien berumur diatas 35 tahun, pemeriksaan spirometri pada pasien PPOM. (Wiryana dkk, 2010). Pada pasien telah dilakukan pemeriksaan laboratorium yang hasilnya dalam batas normal, tidak ada anemis maupun kelainan fungsi organ ginjal dan hepar. Lalu dilakukan juga pemeriksaan EKG dan foto thorax PA hasilnya juga dalam batas normal. Pada pemeriksaan bipolar voiding cysto urethrography didapatkan kesimpulan striktur uretra partial pars membranacea sepanjang 1 cm sesuai dengan ruptur urethra pars bulbosa. 4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital. Konsultasi dilakukan dengan lab/staf medis fungsional yang terkait bila dijumpai gangguan fungsi organ, konsultasi bisa dilakukan berencana atau darurat. Koreksi dapat dilakukan bila dianggap perlu, pada kasus elektif koreksi dapat dilkukan mandiri oleh staf medis fungsional ataupun bersama dengan staf medis lain di bangsal, pada kasus darurat koreksi dilakukan bersama diruang resusitasi IRD atau di kamar operasi IRD (Wiryana dkk, 2010). 5. Menentukan prognosis pasien perioperatif. Hal ini dapat menggunakan klasifikasi yang dibuat oleh American Society of Anesthesiologist (ASA) (Wiryana dkk, 2010).

14

Tabel 1. Klasifikasi ASA (Twersky RS dan Phillip BK, 2008) Kelas ASA 1 ASA 2 Definisi pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik. pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik ASA 3 berat yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam nyawa. ASA 4 pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik berat yang secara langsung mengancam kehidupannya. pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik ASA 5 berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien meninggal. ASA 6 pasien mati batang otak yang akan menjalani transplantasi organ untuk donor. Jika pprosedur merupakan prosedur emergensi, maka status pemeriksaan diikuti E (Misal, 2E)

Klasifikasi status fisik ASA bukan merupakan alat prakiraan risiko anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena penyakit yang mendasari hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif. Meskipun begitu, klasifikasi status fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring (Barash, 2009). Dari evaluasi pre operasi, didapatkan diagnosis striktur uretra partial pars membranacea sepanjang 1 cm sesuai dengan ruptur uretra pars bulbosa, dapat disimpulkan bahwa tidak didapatkan kelainan bermakna 15

pada pasien ini yang dapat mengganggu proses anestesi. Pasien digolongkan dalam kategori Mallampati 1. Menurut American Society of

Anaesthesiologist (ASA), status fisik pasien ini bisa diklasifikasikan sebagai ASA 1 yaitu pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.. Pada pasien ini disarankan untuk dilakukan Regional Anastesia Sub Arachnoid Block. Inform consent juga telah dilaksanakan. 2.2.2 Persiapan Preoperatif a. Masukan oral Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia. Tabel 2. Guideline Puasa Sebelum Operasi Elektif (Twersky RS dan Phillip BK, 2008)

Pada pasien ini, dipuasakan selama minimal 6 jam sebelum operasi.

b. Terapi Cairan Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit cairan karena durasi puasa . Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin,

16

sekresi gastrointestinal, keringat, dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa. Tabel 3. Kebutuhan Maintenance Normal Berat Badan 10kg pertama 10 kg berikutnya Tiap kg di atas 20kg 4 +2 +1 Kadar (mL/kg/jam)

Pasien ini mempunyai berat badan 53 kg sehingga kebutuhan cairan per jamnya adalah: (4x10) + (2x10) + (1x33) = 93 cc/jam Oleh karena pasien ini dipuasakan selama 6 jam sebelum operasi. Jadi

defisit cairan pasien ini secara total adalah 558 cc. Pada pasien, diberikan cairan maintenance sebanyak 1000 cc cairan RL sebelum operasi.

c. Premedikasi Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya: Meredakan kecemasan dan ketakutan Memperlancar induksi anestesi Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus Meminimalkan jumlah obat anestetik Mengurangi mual muntah pasca bedah Menciptakan amnesia Mengurangi isi cairan lambung Mengurangi reflek yang membahayakan Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum

17

induksi anestesi. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular. Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian di atas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya simetidin 600 mg atau oral ranitidin 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi. Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansetron 2-4 mg. Tabel 3. Obat-obatan yang bekerja di H2 receptor untuk mencegah pnemonia aspirasi (Morgan, 2006)

Drug
Cimetidine (Tagamet)

Route
PO IV

Dose
300800 mg 300 mg 150300 mg 50 mg 2040 mg 20 mg 150300 mg

Onset
12 h

Duration
48 h

Ranitidine (Zantac)

PO IV

12 h

1012 h

Famotidine (Pepcid)

PO IV

12 h

1012 h

Nizatidine (Axid) Nonparticulate antacids (Bicitra, Polycitra) Metoclopramide (Reglan)

PO

0.51 h

1012 h

PO

1530 mL

510 min

3060 min

IV PO

10 mg 1015 mg

13 min

12 h 3060 2 min

Sebelum dilakukan anestesi, pasien diberikan premedikasi berupa pemberian injeksi Metoclopramide 10 mg dan injeksi Ranitidine 50mg untuk profilaksis dari PONV (postoperative nausea and vomiting). Metoclopramide digunakan sebagai anti emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan

18

metokloperamide dikarenakan obat ini mempunyai efek menstimulasi asetilkolin pada otot polos saluran cerna, meningkatkan tonus sfinger esofagus bagian bawah, mempercepat pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan lambung sehingga efek-efek ini akan menimalisir terjadinya pnemonia aspirasi. Metokloperamide juga mempunyai efek analgesik pada kondisi-kondisi yang berhubungan dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram uterus, dll). Selain itu metokloperamide juga berefek memblok receptor Dopamine pada chemoreceptor trigger zone pada sistem saraf pusat sehingga sangat berguna untuk pencegahan muntah pasca operasi. Obat premedikasi lain yang digunakan adalah ranitidin. Pemilihan ranitidin dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga dapat mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko pnemonia aspirasi. 2.3 Durante Operasi 2.3.1 Persiapan Pasien Pasien dengan tindakan panendoskopi k/p sachse dapat terjadi evaporasi. Oleh karena itu, pasien ini diselimuti dan dilakukan monitor balans cairan. Perlu juga untuk mengatur suhu pendingin ruangan.

2.3.2 Pemakaian Obat Anestesi Infiltrasi lokal menggunakan lidokain 5% di area L4-5 dengan menyusuri krista iliaka. Dilanjutkan anestesi dengan morfin 0.1 mg bersama dengan bupivacaine 0.5% heavy 12.5 mg.

2.3.3 Terapi Cairan Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.

19

Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut cairan jenis replacement. Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang. Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap 100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah. Pada pasien ini jumlah darah yang hilang diperkirakan 370 cc. Kehilangan cairan intraoperatif juga dapat terjadi akibat evaporasi dan distribusi ke ruang ketiga (contoh akibat luka bakar, inflamasi, infeksi, dll). Kehilangan cairan dalam bentuk ini dapat diperkirakan berdasarkan jenis operasinya. Tabel 4. Jumlah Cairan yang hilang Secara Distribusi ke ruang ketiga dan Evaporasi (Morgan, 2006)

Degree of Tissue Trauma


Minimal (eg, herniorrhaphy) Moderate (eg, cholecystectomy) Severe (eg, bowel resection)

Additional Fluid Requirement


02 mL/kg 24 mL/kg 48 mL/kg

20

Pasien ini menjalani operasi panendoskopi k/p sachsce, jenis operasi ini termasuk operasi dengan derajat trauma jaringan yang sedang. Pada pasien ini, estimated blood volume adalah sebanyak 3710 mL. Allowed Blood Loss (ABL) diperkirakan sebanyak 371 mL (10% dari EBV pasien). Selain itu, pasien ini membutuhkan cairan maintenance sebanyak 93 cc/jam. Selama durante operasi, pasien telah diberikan cairan sebanyak 106 cc/jam (M+O = 93 cc + O2 = 199cc). 2.3.4 Monitoring Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard monitoring intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor berikut ini adalah standard minimal monitoring):

2.3.4.1 Standard Basic Anesthetic Monitoring Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standard ini ditujukan hanya tentang basic anesthetic monitoring, yang merupakan salah satu komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim (1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan (2) penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi perkembangan klinis selanjutnya. Standard I Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi. Standard II Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan temperature pasien harus dievalusi terus menerus. Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah: - Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter - Heart rate, nadi, dan kualitasnya - Warna membran mukosa, dan capillary refill time

21

- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek palpebra) - Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi - Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu. Pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen pasien tidak pernah <95%, tekanan darah pasien rata-rata normal, meskipun sesaat sempat terjadi penurunan sedikit dari normal, namun dengan MAP masih

mengkompensasi kebutuhan organ-organ vital (S 100-120, D 60-80), nadi 80100x/menit, frekuensi napas 16x/ menit (dengan ventilator).

2.4 Postoperatif 2.4.1 Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care unit (PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien akan diobservasi dengan ketat, termasuk vital sign dan level nyerinya (WebMD, 2011). Pemindahan pasien dari kamar operasi ke PACU memerlukan pertimbanganpertimbangan khusus. Pertimbangan ini di antaranya ialah letak insisi bedah, perbuhan vaskular, dan pemajanan. Letak insisi bedah harus selalu

dipertimbangkan setiap kali pasien pasca operasi dipindahkan. Banyak luka ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya dilakukan untuk mencegah regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu, pasien diposisikan sehingga tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan selang drainase. Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari satu posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang telah dianestesi ke brankard dapat menimbulkan masalah vaskular juga. Untuk itu pasien harus dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien dipindahkan ke brankard atau tempat tidur, gaun pasien yang basah (karena darah atau cairan lainnya) harus segera diganti dengan gaun yang kering untuk menghindari kontaminasi. Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti dan diberikan pengikat di atas lutut dan siku serta side rail harus dipasang untuk mencegah terjadinya risiko injury. Selain itu, hal tersebut di atas untuk mempertahankan keamanan dan kenyamanan pasien. Selang dan peralatan drainase harus ditangani dengan

22

cermat agar dapat berfungsi dengan optimal. Pasien ditransportasikan dari kamar operasi ke PACU. Jika PACU terletak jauh dari kamar operasi, atau jika kondisi umum pasien jelek, monitoring adekuat terhadap pasien sangat diperlukan. Dokter anestesi bertanggung jawab untuk memastikan bahwa proses transfer tersebut berjalan dengan lancar (The Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland, 2007). 2.4.2 Perawatan Post Anestesi di Recovery Room Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang dan fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek anestesi benarbenar hilang (WebMD, 2011). Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih terdapat dalam tubuh pasien, tetapi efeknya minimal. Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia pasien, jenis operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas individu terhadap obat-obatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat ditentukan jika semua spesifikasi pembedahan, riwayat pasien dan jenis anestesi diketahui. Observasi ketat harus terus dipertahankan hingga pasien benar-benar pulih dari anestesia. Observasi klinis harus dilakukan dengan pemantauan seperangkat alat berikut (The Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland, 2007). 1. Pulse oximeter 2. Non-invasive blood pressure monitor Berikut ini juga harus segera tersedia (The Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland, 2007). 1. Elektokardiograf 2. Nerve stimulator 3. Pengukur suhu 4. Capnograph Periode kritis yang segera dimulai setelah pembedahan dan anesthesia diakhiri sampai pasien pulih dari pengaruh anesthesia. (Wiryana dkk, 2010) Risiko Pasca anesthesia, dibagi dalam 3 kelompok: (Wiryana dkk, 2010) o Kelompok I : pasien dengan risiko tinggi gagal nafas dan goncangan kardiovaskular pasca anesthesia/bedah, sehingga

23

perlu nafas kendali pasca anesthesia/bedah, pasien ini langsung dirawat di Unit Terapi Intensif pasca anesthesia/bedah. o Kelompok II : sebagian besar pasien masuk dikelompok ini, perawatan pasca anesthesia bertujuan menjamin agar pasien secepatnya mampu menjaga respirasi yang adekuat. o Kelompok III: pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat jalan. Pada pasien ini respirasi adekuat harus dipertahankan selain itu juga harus bebas dari rasa ngantuk, ataksia, nyeri dan kelemahan otot sehingga pasien dapat kembali pulang. Ruang Pulih (Wiryana dkk, 2010) o Tujuan perawatan pasca anesthesia di ruang pulih: memantau secara kontinyu dan mengobati secara cepat dan tepat masalah respirasi dan sirkulasi, mempertahankan kestabilan sistem

respirasi dan sirkulasi, memantau perdarahan luka operasi, mengatasi/mengobati masalah nyeri pasca bedah. o Pasien yang tidak memerlukan perawatan pasca anesthesia di ruang pulih: pasien dengan anesthesia local yang kondisinya normal, pasien dengan risiko tinggi tertular infeksi sedangkan di ruang pulih tidak ada ruang isolasi, pasien yang tidak memerlukan terapi intensif, pasien yang akan dilakukan tindakan khusus di ruangan. Pemantauan dan penanggulangan kedaruratan Medik (Wiryana dkk, 2010) o Hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu meliputi pemulihan

kesadaran, respirasi (sumbatan jalan nafas dan depresi nafas), sirkulasi (tekanan darah dan denyut jantung), fungsi ginjal dan saluran kencing, fungsi saluran cerna, aktivitas motorik, suhu tubuh, masalah nyeri, posisi pasien, pemantauan pasca

anesthesia dan criteria pengeluaran yakni dengan menggunakan Skor Aldrete. Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pengaruh anestesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernapasan adekuat, saturasi oksigen minimal 95%, dan tingkat kesadaran baik.

24

Pada kasus ini, pasien mulai sadar 30 menit setelah operasi selesai dilakukan. Pasien mulai sadar, bisa bernapas, dan tidak didapatkan mual atau muntah. Tanda vital: tekanan darah 100/60, nadi 100x/menit, frekuensi napas 18x/menitdengan bantuan Jackson Rees, dan saturasi oksigen 99%. Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU berdasarkan discharge criteria. Kriteria yang digunakan adalah Aldrete Score. Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge ke Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan biasa. Tabel 4 Aldrete Score Postanesthetic Aldrete Recovery Score Original Criteria Color Pink Modified Criteria Oxygenation SpO2 >92% on room air SpO2 >90% on oxygen SpO2 <90% on oxygen 2 PointValue

Pale or dusky

Cyanotic

Respiration Can breathe deeply and cough Breathes deeply and coughs freely Shallow but adequate exchange Dyspneic, shallow or limited breathing Apnea or obstruction Circulation Blood pressure within 20% of normal Blood pressure within 2050% of normal Blood pressure deviating >50% from normal Consciousness Blood pressure 20 mmHg of normal Blood pressure 2050mmHg of normal Blood pressure more than 50 mmHg of normal 0 1 2 Apnea 0 1 2

25

Awake, alert, and oriented Arousable but readily drifts back to sleep No response Activity Moves all extremities Moves two extremities No movement

Fully awake Arousable on calling

2 1

Not responsive

Same Same Same

2 1 0

Berdasarkan pada Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg 1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin Anesth 1995;7:89.Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau minimal 9.

Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien untuk dikeluarkan dari PACU adalah: b. Fungsi pulmonal yang tidak terganggu c. Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat d. Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah e. Orientasi pasien terhadap tempat, waktu, dan orang f. Produksi urin tidak kurang dari 30 ml/jam g. Mual dan muntah dalam kontrol h. Nyeri minimal Kontrol nyeri postoperatif, mual dan muntah, dan mempertahankan normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem skoring untuk discharge digunakan secara luas. Sebagian besar kriteria yang dinilai adalah SpO2 (atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik. Sebagian besar pasien memenuhi kriteria discharge dalam waktu 60 menit di PACU. Sebagai tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan general anestesi seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan motoris. Pada kasus ini, setelah 1 jam di PACU pasien dinilai dengan Aldrete Score > 8 dimana saturasi oksigen >90% dengan oksigen, pernapasan pasien spontan, tekanan darah relatif tetap dibanding preoperatif, sadar penuh, dan mampu menggerakkan ekstremitasnya.

26

Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan masalah yang sering terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada sekitar 20-30% pasien. Bahkan, PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam setelah discharge (postdischarge nausea and vomiting). Etiologi PONV biasanya multifaktorial yang meliputi agen anestesi, tipe atau jenis anestesi, dan faktor pasien sendiri. Terjadi peningkatan insiden mual setelah pemberian opioid selama anestesi, setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan operasi strabismus. Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda. Meningkatnya tonus vagal bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali

mendahului atau bersamaan dengan emesis. Anestesi propofol menurunkan insiden PONV. Selective 5-hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) antagonis seperti ondansetron 4 mg (0.1 mg/kg pada anak-anak), granisetron 0.010.04 mg/kg, dan dolasetron 12.5 mg (0.035 mg/kg pada anak-anak) juga sangat efektif untuk mencegah PONV dan menerapi PONV yang sudah terjadi. Metoclopramide, 0.15 mg/kg intravena, kurang efektif tetapi obat ini merupakan alternatif yang bagus. 5-HT3 antagonis tidak berhubungan dengan manifestasi akut extrapyramidal (dystonic) dan reaksi disforik yang mungkin ditimbulkan oleh metoclopramide atau phenothiazine-type antiemetics. Dexamethasone, 410 mg (0.10 mg/kg in children), bila dikombinasikan dengan antiemetic lainnya biasanya efektif untuk mual dan muntah yang refrakter. Bahkan efektif hingga 24 jam sehingga bisa digunakan untuk postdischarge nausea and vomiting. Profilaksis non farmakologis untuk mencegah PONV misalnya hidrasi yang adekuat (20 mL/kg) setelah puasa dan stimulasi P6 acupuncture point (pergelangan tangan). Pada kasus ini, tidak didapatkan mual muntah postoperatif, tetapi untuk pencegahan tetap diberikan metoclopramide 3x10 mg dan ranitidine 2x50 mg intravena. Jika terjadi muntah diberikan ondansetron 4 mg, kepala dimiringkan, dan suction aktif.

27

BAB III PENUTUP

Pasien adalah laki-laki

usia 21 tahun dengan striktur uretra pars

membranacea pars bulbosa, yang dilakukan operasi panendoskopi k/p sachse pada tanggal 3 Agustus 2012. Tindakan anestesi yang dilakukan adalah anestesi regional dengan blok subarachnoid. Hal ini dipilih karena keadaan pasien sesuai dengan indikasi anestesi regional. Evaluasi pre operasi pada pasien tidak menunjukkan adanya kelainan. Tidak ditemukan kelainan lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya anestesi regional. Selama durante operasi, tidak terjadi komplikasi. Kondisi pasien relatif stabil sampai operasi selesai. Evaluasi post operatif dilakukan pemantauan terhadap pasien, dan tidak didapatkan keluhan. Selama di PACU (Post Anesthesy Care Unit) pasien cukup stabil dengan Aldrete Score bernilai 10 dan tidak terdapat score 0, sehingga pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat biasa (R.19).

28

DAFTAR PUSTAKA

Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg 1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin Anesth 1995;7:89. Barash, Paul G; Gullen, Bruce F; Stoelting, Robert K; Cahalan, Michael K; Stock, M. Christine. 2006. Clinical Anesthesia, Sixth Edition. United Staes of America: Lippincott Williams & Wilkins. Mallampati S, Gatt S, Gugino L, Desai S, Waraksa B, Freiberger D, Liu P. 1985. "A clinical sign to predict difficult tracheal intubation: a prospective study.". Can Anaesth Soc J 32 (4): 42934. Morgan, G. Edward; Mikhail, Maged S.; Murray, Michael J. 2006.Clinical Anesthesiology, Fourth Edition. United States: McGraw-Hill Companies, Inc. Nuckton TJ, Glidden DV, Browner WS, Claman DM. 2006. "Physical examination: Mallampati score as an independent predictor of obstructive sleep apnea". Sleep 29 (7): 9038 The Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland. 2007. Recommendation for Standards of Monitoring during Anaesthesia and Recovery. http://http://www.aagbi.org/sites/default/files/standardsofmonitoring07.pdf. Diakses tanggal 4 Agustus 2012 pukul 16.00 WIB. Twersky, Rebecca S.; Philip, Beverly K; et al. 2008.Handbook of Ambulatory Anesthesia, Second Edition. United States of America: Springer Science+Business Media, LLC. WebMD. 2011. Recovering from Anesthesia. http://http://www.webmd.com/painmanagement/tc/anesthesia-recovering-from-anesthesia. Diakses tanggal 4 Agustus 2012 pukul 12.08 WIB. Wiryana I M, Sinardja I K, Sujana I B G, Budiarta I G. 2010. BUKU AJAR ILMU ANESTESIA DAN REANIMASI, dr. Gde Mangku, Sp An. KIC, dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, Sp.An. Indeks, Jakarta. Hlm 87-91, Hlm 136-148.

29

You might also like