You are on page 1of 44

BAB I ABORTUS

A. PENGERTIAN DAN EPIDEMIOLOGI Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin lebih dari 500 gram. Abortus yang berlangsung tanpa tindakan disebut abortus spontan, sedangkan abortus dengan sengaja dilakukan tindakan disebut abortus provokatus1. Abortus yang berlangsung tanpa tindakan disebut abortus spontan, sedangkan abortus yang terjadi dengan sengaja dilakukan tindakan disebut abortus provokatus. Abortus provokatus ini dibagi 2 kelompok yaitu abortus provokatus medisianalis dan abortus provokatus kriminalis. Disebut medisinalis bila didasarkan pada pertimbangan dokter untuk menyelamatkan ibU. Disini pertimbangan dilakukan oleh minimal 3 dokter spesialis yaitu spesialis Kebidanan dan Kandungan, spesialis Penyakit Dalam, dan Spesialis Jiwa. Bila perlu dapat ditambah pertimbangan oleh tokoh agama terkait. Setelah dilakukan terminasi kehamilan, harus diperhatikan agar ibu dan suaminya tidak terkena trauma psikis di kemudian hari. Angka kejadian abortus sukar ditentukan karena abortus provokatus banyak yang tidak dilaporkan, kecuali bila sudah terjadi komplikasi. Abortus spontan dan tidak jelas umur kehamilannya, hanya sedikit memberikan gejala atau tanda sehingga biasanya ibu tidak melapor atau berobat. Sementara itu,dari kejadian yang diketahui, 15-20% merupakan abortus spontan atau kehamilan ektopik. Sekitar 5% dari pasangan yang mencoba hamil akan mengalami 2 keguguran yang berurutan, dan sekitar 1% dari pasangan mengalami 3 atau lebih keguguran yang berurutan. Rata-rata terjadi 114 kasus abortus per jam. Sebagian besar studi menyatakan kejadian abortus spontan antara 15-20% dari semua kehamilan. Kalau dikaji lebih jauh kejadian abortus sebenarnya bisa mendekati 50%. Hal ini dikarenakan tingginya angka chemical pregnancy loss yang tidak bisa diketahui pada 2-4 minggu setelah konsepsi. Sebagian besar kegagalan kehamilan ini dikarenakan kegagalan gamet (misalnya sperma dan disfungsi oosit). Pada 1988 Wilcox dan kawan-kawan melakukan studi terhadap 221

perempuan yang dikuti selama 707 siklus haid total. Didapatkan total 198 kehamilan, dimana 43 (22%) mengalami abortus sebelum saat haid berikutnya. Abortus habitualis adalah abortus yang terjadi berulang tiga kali secaraberturutturut. Kejadiannya sekitar 3-5%. Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah 1 kali abortus spontan, pasangan yang punya resiko 15% untuk mengalami kegguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali, risikonya akan meningkat 25%. Beberapa studi meramaljan bahwa resiko abortus setelah 3 abortus berurutan adalah 30-45%. Berdasarkan variasi berbagai batasan yang ada tentang usia / berat lahir janin viable (yang mampu hidup di luar kandungan), akhirnya ditentukan suatu batasan abortus sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 g atau usia kehamilan 20 minggu. (terakhir, WHO/FIGO 1998 : 22 minggu)2 Beberapa pengertian menurut:4 1. Eastman: terputusnya kehamilan, fetus belum sanggup hidup diluar uterus, berat janin 400-1000 gram, umur kehamilan kurang dari 28 minggu; 2. Jeffcoat: pengeluaran hasil konsepsi kurang dari umur kehamilan 28 minggu, fetus belum viable by law 3. Holmer: terputusnya kehamilan kurang dari umur kehamilan 16 minggu, proses plasentasi belum selesai. B. FAKTOR PREDISPOSISI2 1. Usia ibu yang lanjut 2. Riwayat obstetri / ginekologi yang kurang baik 3. Riwayat infertilitas 4. Adanya kelainan / penyakit yang menyertai kehamilan (misalnya diabetes, penyakit Imunologi sistemik dsb). 5. berbagai macam infeksi (variola, CMV, toxoplasma, dsb) 6. paparan dengan berbagai macam zat kimia (rokok, obat2an, alkohol, radiasi, dsb) 7. trauma abdomen / pelvis pada trimester pertama 8. kelainan kromosom (trisomi / monosomi) Dari aspek biologi molekular, kelainan kromosom ternyata paling sering dan paling jelas berhubungan dengan terjadinya abortus.

C. ETIOLOGI3 Faktor-faktor yang menyebabkan kematian fetus adalah faktor ovum sendiri,faktor ibu,faktor dan faktor bapak. 1. Kelainan Ovum Menurut HERTIG dkk pertumbuhan abnormal dari fetus sering menyebabkan abortus spontan. Menurut penyelidikan mereka, dari 1000 abortus spontan, maka 48.5% disebabkan karena ovum yang patologis;3,2% disebabkan oleh kelainan letak embrio; dan 9.6% disebabkan karena plasenta yang abnormal. Pada ovum abnormal 6% diantaranya terdapat degenerasi hidatid vili. Abortus spontan yang disebabkan oleh karena kelainan dari ovum berkurang kemungkinannya kalau kehamilan sudah lebih dari satu bulan, artinya mungkin muda kehamilan saat terjadinya abortus makin besar kemungkinan disebabkan oleh kelainan ovum (5080%).

2. Kelainan genitalia ibu Misalnya pada ibu yang menderita Anomali Kongenital (hipoplasia uteri,uterus bikornis,dan lain-lain) Kelainan letak dari uterus seperti retrofleksi uteri fiksata. Tidak sempurnanya persiapan uterus dalam menanti nidasi dari ovum yang sudah dibuahi, seperti kurangnya progesteron atau estrogen, endometritis,mioma submukosa. Uterus terlalu cepat terengang (kehamilan ganda,mola) Distorsio Uterus, misalnya karena terdorong oleh tumor pelvis.

3. Gangguan sirkulasi plasenta Kita jumpai pada ibu yang mendderita penyakit nefritis, hipertensi, toksemia gravidarum, anomil plasenta dan endarteritis oleh karena lues.

4. Penyakit-penyakit ibu Misalnya pada : Penyakit infeksi yang menyebabkan demam tinggi seperti pneumonia, tifoid, pielitis, rubeola, demam malta, dan sebagainya. Kematian fetus dapat disebabkan krena toksin dari ibu atau invasi kuman atau virus pada fetus. Keracunan Pb, nikotin, gas racun, alkohol, dan lain-lain.
3

Ibu yang asfiksia seperti pada dekompensasi kordis, penyakit paru berat, anemi gravis. Malnutrisi, avitaminosis dan gangguan metabolisme, hipotiroid, kekurangan vitamin A,C atau E , diabetes melitus.

5. Antagonis Rhesus Pada antagonis rhesus, darah ibu yang melalui plasenta merusak darah fetus, sehingga terjadi anemia pada fetus yang berakibat meninggalnya fetus.

6. Terlalu cepatnya korpus luteum menjadi atrofis Atau faktor serviks, yaitu inkompetensi serviks, sevisitis.

7. Perangsangan pada ibu yang menyebabkan uterus berkontraksi Umpamanya: sangat terkejut, obat-obatan uterotenika, ketakutan, laparotomi, dan lain-lain. Atau dapat juga karena trauma langsung terhadap fetus: selaput janin rusak langsung karena instrumen, benda, dan obat-obatan.

8. Penyakit bapak Umur lanjut, penyakit kronis seperti: TBC, anemi, dekompensasik kordis, malnutrisi, nefritis, sifilis, keracunan (alkohol, nikotin, Pb, dan lain-lain) sinar rontgen, avitaminosis.3

Penyebab abortus bervariasi dan sering diperdebatkan. Umumnya lebih dari satu penyebab. Penyebab terbanyak diantaranya adalah sebagai berikut:1 Faktor genetik. Translokasi parental keseimbangan genetik. o Mendelian o Multifaktor o Robertsonian o Respirokal Kelainan kongenital uterus o Anomali duktus Mulleri o Septum uterus o Uterus bikornis

o Inkompetensi serviks uterus o Mioma uteri o Sindroma Asherman Autoimun o Aloimun o Mediasi imunitas humoral o Mediasi imunitas seluler Defek fase luteal o Faktor endokrin eksternal o Antibodi antityroid hormon o Sintesis LH yang tinggi Infeksi Hematologik Lingkungan

Usia kehamilan saat terjadinya abortus bisa memberi gambaran tentang penyebabnya. Sebagai contoh, antiphospholipid syndrome (APS) dan inkompetensi serviks sering terjadi setelah trimester pertama.

1. Penyebab Genetik Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip embrio. Paling sedikit 50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik. Bagaimanapun, gambaran ini belum termasuk kelainan yang disebabkan oleh gangguan gen tunggal (misalnya kelainan Mendelian) atau mutasi pada beberapa lokus (misalnya gangguan poligenik atau multifaktor) yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan kariotip. Kejadian tertinggi sitogenetik konsepsi terjadi pada awal kehamilan. Kelainan sitogenetik embrio biasanya berupa aneuploidi yang disebabkan oleh kejadian sporadis, misalnya nondisjunction meiosis atau poliploidi dari fertilitas abnormal. Separuh dari abortus karena kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi autosom. Triploidi ditemukan pada 16% kejadian abortus, dimana terjadi fertilisasi ovum normal haploid oleh 2 sperma (dispermi) sebagai mekanisme patologi primer. Trisomi timbul akibat dari nondisjunction meiosis selama gametogenesis pada pasien dengan kariotip normal. Untuk sebagian besar trisomi, gangguan meiosis maternal bisa berimplikasi pada
5

gametogenesis. Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia. Trisomi 16, dengan kejadian sekitar 30% dari seluruh trisomi,merupakan penyebab terbanyak. Semua kromosom trisomi berakhir abortus kecuali pada trisomi kromosom 1. Sindroma Turner merupakan penyebab 20-25% kelainan sitogenetik pada abortus. Sepertiga dari fetus debgan Syndroma Down (trisomi 21) bisa bertahan. Pengelolaan standar menyarankan untuk pemeriksaan amniosentesis pada semua ibu hamil dengan usia yang lanjut yaitu diatas 35 tahun. Resiko ibu terkena aneuploidi adalah 1:80, pada usia diatas 35 tahun karena angka kejadian kelainan kromosom /trisomi akan meningkat setelah usia 35 tahun. Kelainan lain umumnya berhubungan dengan fertilisasi abnormal

(tetraploidi,triploidi). Kelainan ini tidak bisa dihubungkan dengan kelangsungan kehamilan. Tetraploidi terjadi pada 8% kejadian abortus akibat kelainan kromosom, dimana terjadinya kelainan pada fase sangat awal sebelum proses pembelahan. Gangguan jaringan konektif lain, misalnya Sindroma Marfan, Sindroma EhlersDanlos, homosisteinuri dan pseudoaxanthoma elasticum. Juga pada perempuan dengan sickle cell anemia berisiko tinggi mengalami abortus. Hal ini karena adanya mikroinfark pada plasenta. Kelainan hematologik lain yang menyebabkan abortus misalnya disfibrinogenemi, defisiensi faktor XIII, dan hipofibrinogenemi afibrinogenemi kongenital.

2. Penyebab Anatomik Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik, seperti abortus berulang,prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan anomali uterus pada 27 % pasien. Penyebab terbanyak abortus karena kelainan anatomik uterus adalah septum uterus (40-80%) kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10-30%). Mioma uteri bisa menyebabkan infertilitas maupun abortus berulang. Sindroma Asherman bisa menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan darah pada permukaan endometrium. Risiko abortus antara 25-80%, bergantung pada berat ringannya gangguan. Untuk mendiagnosis kelainan ini bisa digunakan histerosalpingografi (HSG) dan ultrasonngrafi.

3. Penyebab Autoimun Terdapat hubungan yang nyata antara abortus berulang dan penyakit autoimun. Misalnya, pada SLE dan Antiphospholipid Antibodies (aPA). APA merupakan antibodi spesifik yang didapatkan pada peempuan SLE. Kejadian abortus spontan diantara pasien SLE sekitar 10%, dibanding populasi umum. Bila digabung dengan peluang terjadinya pengakhiran kehamlan pada trimester 2 dan 3, maka diperkirakan 75% pasien dengan SLE akan berakhir dengan terhentinya kehamilan. Sebagian besar kematian janin dihubungkan dengan aPA. APA merupakan antibodi yang akan berikatan dengan sisi negatif dari fosfolipid. Paling sedikit ada 3 bentuk aPA yang diketahui mempunyai arti klinis yang penting, yaitu Lupus Antikoagulant (LAC),Anticardiolipin antybodies (aCLs), dan biologically false positive untuk sifilis (FP-STS).APS (Antyphopholipid Syndrome) sering juga ditemukan pada beberapa keadaan obstetrik, misalnya pada preeklamsia, IUGR dan prematuritas. Beberapa keadaan lain yang berhubungan dengan APS yaitu trombosis arteri-vena, trombositopeni autoimun, anemia hemolitik, korea dan hipertensi pulmonum. The International Consensus Workshop pada 1998 mengajukan klasifikasi kriteria untuk APS yaitu meliputi: Trombosis Vaskular o Satu atau lebih episode trombosis arteri, venosa atau kapilar yang dibuktikan dengan gambaran Doppler, pencitraan atau histopatologi. o Pada histopatologi, trombosis nya tanpa disertai gambaran inflamasi. Komplikasi Kehamilan o Tiga atau lebih kejadian abortus dengan sebab yang tidak jelas, tanpa kelainan anatomik, genetik, hormonal. o Satu atau lebih kematian janin dimana gambaran morfologi secara sonografi normal. o Satu atau lebih persalinan prematur dengan gambaran janin normal dan berhubungan dengan preeklamsia berat atau insufisiensi plasenta yang berat. Kriteria Laboratorium o aCL : IgG dan atau IgM dengan kadar yang sdang atau tinggi pada 2 kali atau lebih pemeriksaan dengan jarak 6 minggu. o aCL diukur dengan metode ELISA standar

Antibody phospholipid/Antikoagulan o Pemanjangan tes skrining koagulasi phospholipid (misalnya aPTT,PT dan CT) o Kegagalan untuk memperbaiki tes skrining yang memanjang dengan penambahan plasma patelet normal o Adanya perbaikan nilai tes yang memabjang dengan penambahan phospholipid o Singkirkan dulu kelainan pembekuan darah yang lain dan pemakaian heparin

4. Penyebab Infeksi Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai diduga sjak 1917, ketika DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian abortus berulang pada perempuan yang ternyata terpapar brucellosis. Beberapa jenis organisme tertentu diduga berdampak pada kejadian abortus antara lain : Bakteri o Listeria monositogenes o Klamidia trakomatis o Ureaplasma urealitikum o Mikoplasma hominis o Bakterial vaginosis Virus o Sitomegalovirus o Rubela o Herpes simpleks virus (HSV) o HIV o Parvovirus Parasit o Toksoplasmosis gondii o Plasmodium falsiparum Spirokaeta o Treponema pallidum

Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi terhadap risiko abortus/EPL, diantaranya sebagai berikut: Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotosin, atau sitokin yang berdampak langsung pada janin atau unit fetoplasenta. Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat sehingga janin sulit bertahan hidup. Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut kematian janin. Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah (misal Mikoplasma hominis,Klamidia, Ureaplasma urelitikum, HSV) yang bisa mengganggu proses implantasi. Amnionitis (oleh kuman gram-positif dan gram negatif, Listeria monositogenes) Memacu perubahan genetik dan anatomik embrio, umumnya oleh karena virus selama kehamilan awal (misalnya rubela, parvovirus B19, sitomegalovirus, koksake virus B, varisela-zoster,kroniksitomegalovirus CMV,HSV).

5. Faktor Lingkungan Diperkirakan 1-10% malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan terhadap buangan gas anestesi dan tembakau. Sigaret rokok diketahui mengandung ratusan unsur toksik,antara lain nikotin yang telah diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta. Karbon monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta memacu neurotoksin. Dengn adaya gangguan pada sistem sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin yang berakibat terjadinya abortus.

6. Faktor Hormonal Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi yang baik sistem pengaturan hormon maternal. Oleh karena itu,perlu perhatian langsung terhadap sistem hormon secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran hormon setelah konsepsi terutama kadar progesteron. DiabetesMellitus Perempuan dengan diabetes yang dikelola dengan baik risiko abortusnya tidak lebih jelek jika dibanding perempuan yang tanpa diabetes. Akan tetapi perempuan diabetes dengan kadar HbA1c tinggi pada trimester pertama, risiko abortus dan malformasi
9

janin meningkat signifikan. Diabetes jenis insulin-dependen dengan kontrol glukosa tidak adekuat punya peluang 2-3 kali lipat mengalami abortus. Kadar progesteron yang rendah Progesteron punya peran penting dalam mempengaruhi reseptivitas endometrium terhadap implantasi embrio. Pada tahun 1929, Allen dan Corner mempublikasikan tentang proses fisiologi korps luteum, dan sejak itu diduga bahwa kadar progesteron yang rendah berhubungan dengan risiko abortus. Support fase luteal punya peran kritis pada kehamilan sekitar 7 minggu, yaitu saat dimana trofoblas harus menghasilkan cukup steroid untuk menunjang kehamilan. Pengangkatan korpus luteum sebelum usia 7 minggu akan menyebabkan abortus. Dan bila progesteron diberikan pada pasien ini, kehamilan bisa diselamatkan. Defek fase luteal Jones (1943) yang pertama kali mengutarakan konsep insufisiensi progesteron saat fase luteal, dan kejadian ini dilaporkan pada 23-60% perempuan dengan abortus berulang. Sayangnya belum ada metode yang bisa dipercaya untuk mendiagnosis gangguan ini. Pengaruh hormonal terhadap imunitas desidua Perubahan endometrium jadi desidua mengubah semua sel pada mukosa uterus. Perubahan morfologi dan fungsional ini mendukung proses implantasi juga proses migrasi trofoblas dan mencegah invasi yang berlebihan pada jaringan ibu. Disini berperan penting interaksi antara trofoblas ekstravillous dan infiltrasi leukosit pada mukosa uterus.

7. Faktor Hematologik Beberapa kasus abortus berulang ditadai dengan defek plasentasi dan adanya mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta. Berbagai komponen koagulasi dan fibrinolitik memegang peranan penting pada implantasi embrio, invasi trofoblas dan plasentasi. Pada kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulasi dikarenakan ; Peningkatan kdar faktor prokoagulan Penurunan faktor antikoagulan Penurunan aktivitas fibrinolitik Kadar faktor VII,VIII, X dan fibrinogen meningkat selama kehamilan normal, terutama pada kehamilan sebelum 12 minggu.
10

D. KLASIFIKASI ABORTUS Abortus dibagi dua golongan : 1. Abortus Spontan Abortus spontan yang terjadi dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis ataupun medisinalis, semata-mata disebabkan oleh faktor alamiah. Abortus dapat dibagi :

a) Abortus Kompletus (Keguguran lengkap) Artinya seluruh hasil konsepsi dikeluarkan (desidua daan fetus). Sehingga rongga rahim kosong. Penanganannya: Hanya dengan uterotonika

b) Abortus Inkomplektus (Keguguran bersisa) Artinya hanya sebagian dari hasil konsepsi yang dikeluarkan, yang tertinggal adalah desidua atau plasenta. Gejalanya: Didapati antara lain adalah amenorea, sakit perut, dan mulas-mulas ,pendarahan yang bisa seddikit atau banyak, dan biasanya berupa stolsel (darah beku). Sudah ada keluar fetus atau jaringan. Pada abortus yang sudah lama terjadi atau pada abortus provakatus yang dilakukan oleh orang yang yang tidak ahli, sering terjadi infeksi. Pada pemeriksaan dalam (V.T) untuk abortus yang baru terjadi didapati serviks terbuka,kadang-kadang dapat diraba sisa-sisa jaringan dalam kanalis servikalis atau kavum uteri, serta uterus yang berukuran lebih kecil dari yang seharusnya. Penanganannya: Bila ada tanda-tanda syok maka atasi dulu dengan pemberian cairan dan tranfusi darah. Kemudian keluarkan jaringan secepat mungkin dengan metode digital dan kuretase. Setelah itu beri obat-obat uteritonika dan antibiotika.

c) Abortus Insipiens (Keguguran sedang berlangsung) Adalah abortus yang sedang berlangsung, dengan ostium sudah terbuka dan ketuban yang teraba. Kehamilan tidak dapat dipertahankan lagi. Penanganannya : Seperti abortus inkompletus.
11

d) Abortus Iminens (Keguguran membakat) Keguguran membakat dan akan terjadi. Dalam hal ini keluarnya fetus masih dapat dicegah dengan memberikan obat-obat hormonal dan antipasmodika serta istirahat. Kalau pendarahan setelah beberapa minggu masih ada, maka perlu ditentukan apakah kehamilan masih baik atau tidk. Kalau reaksi kehamilan 2 kali berturut-turut negatif, maka sebaiknya uterus dikosongkan (kuret).

e) Missed Abortion Adalah keadaan dimanaa janin sudah mati, tetapi tetap berada dalam rahim dan tidak dikeluarkan selama 2 bulan atau lebih. Fetus yang sudah meninggal ini biasanya bisa keluar dengan sendirinya dalam 2-3 bulan sesudah fetus mati, bisa doresobsi disebut fetus papyraceus atau bisa jadi mola karnosa, diman fetus yang sudah mati 1 minggu akan mengalami degenerasi dan air ketubannya direabsorbsi. Gejala: Dijumpai amenorea, pendarahan sedikit-sedikit yang berulang pada permulaanya, serta selama observasi fundus tidak bertambah tinggi malahan tambah rendah. Kalau tadinya ada gejala-gejala kehamilan belakangan menghilang, diiringi dengan reaksi kehamilan yang menjadi negatif pada 2-3 minggu sesudah fetus mati. Pada pemeriksaan dalam, serviks tertutup dan ada darah sedikit. Sekaliekali pasien merasa perutnya dingin dan kosong. Penanganannya:
12

Berikan obat dengan maksud agar terjadi His sehingga fetus dan desidua dapat dikeluarkan, kalau tidak berhasil lakukan dilatasi dan kuretase. Dapat juga dilakukan histerotomia anteior. Hendaknya pada penderita juga diberikan tonika dan antibiotika. Komplikasi : Bisa timbul hipo atau afibrinogonemia. Fetus yang sudah mati begitu melekatnya pada rahim sehingga sulit sekali untuk dilakukan kuretase.

f) Abortus Habitualis (Keguguran berulang) Menurut HERTIG abortus spontan terjadi dalam 10% dari kehamilan dan abortus habitulis 3,6- 9,8% dari abortus spontan. Kalau seorang penderita telah mengalami 2 kali abortus berturut-turut maka optimisme untuk kehamilan berikutnya berjalan normal adlah sekitar 63%. Kalau abprtus 3 kali beerturut-turut, maka kehamilan ke 4 berjalan normal hanya sekitar 16%. Abortus habitualis (Recurrent Miscarriage= recurrent spontaneous abortion = recurrent pregnancy loss) didefinisikan sebagai hilangnya hasil konsepsi 3 kali atau lebih berturut-turut pada usia kehamilan 20 minggu atau berat badan bayi <500 gram. Kebanyakan wanita dengan abortus habitualis kehilangan janin pada masa embrionik atau pada awal pertumbuhannya, dan sangat jarang yang mengalami abortus setelah usia kehamilan 14 minggu. Walaupun definisi abortus habitulis mencakup abortus yang terjadi sebanyak tiga kali atau lebih, banyak pula yang berpendapat bahwa keguguran yang dialami sebanyak dua kali berturut-turut dianggap sebagai abortus habitualis. Hal ini dikarenakan risiko untuk mengalami keguguran berulang setelah dua kali abortus akan sama dengan risiko setelah mengalami tiga kali abortus (kira-kira 30%). Walaupun demikian, keberhasilan kehamilan dapat mencapai 50% bahkan setelah enam kali keguguran.8 Abortus habitualis seharusnya dibedakan dengan abortus sporadik. Abortus sporadik menunjukkan bahwa kejadian abortus yang terjadi diselingi dengan kehamilan aterm dimana wanita tersebut melahirkan bayi yang sehat. Yang lainnya membedakan abortus rekuren primer (tidak ada kehamilan yang berhasil) dengan abortus rekuren sekunder (kehamilan sebelumnya bayi lahir

13

hidup) dimana kelompok terakhir tersebut 32% tidak berisiko mengalami abortus berulang sampai abortus tiga kali berturut-turut. Epidemiologi Kebanyakan penelitian menunjukkan angka keguguran spontan 10-15%. Namun, angka keguguran pada awal kehamilan sebenarnya hampir mencapai 50% karena tingginya jumlah kehamilan yang tidak diketahui dalam 2-4 minggu setelah pembuahan. Sebagian besar abortus terjadi karena kegagalan

pembentukan gamet (misalnya, disfungsi sperma atau oosit). Dalam sebuah studi klasik oleh Wilcox, dkk pada tahun 1988, 221 perempuan diamati selama 707 siklus menstruasi total. Sebanyak 198 kehamilan dapat dicapai. Dari jumlah tersebut, 43 (22%) yang mengalami keguguran sebelum onset menstruasi, dan lain 20 (10%) secara klinis diketahui mengalami abortus. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa setelah 1 abortus spontan, risiko abortus selanjutnya adalah sekitar 15%. Namun, jika 2 abortus spontan terjadi, risiko berikutnya meningkat menjadi sekitar 30%. Angka ini lebih tinggi bagi perempuan yang belum memiliki setidaknya 1 bayi lahir hidup. Beberapa kelompok telah memperkirakan bahwa risiko abortus setelah 3 abortus berturutturut adalah 30-45%, yang sebanding dengan risiko pada wanita yang mengalami abortus 2 kali. Hal ini membuat banyak kontroversi tentang waktu evaluasi diagnostik abortus habitualis. Banyak spesialis memilih untuk menetapkan definisi abortus habitualis setelah 2 abortus berturut-turut dibandingkan 3 kali berturut-turut. Pada umumnya penderita tidak sukar untuk hamil, tetapi kehamilannya berakhir sebelum 28 minggu. Bishop melaporkan frekuensi 0,41% abortus habitualis pada semua kehamilan. Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadinya abortus lagi pada seorang wanita yang mengalami abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%. Sebaliknya Warton dan Fraser memberikan prognosis yang lebih baik yaitu 25,9% dan 39%. Etiologi dan faktor resiko Penyebab terjadinya abortus habitualis sama dengan abortus sporadik, walaupun hubungan insidensi berbeda antara keduanya. Sebagai contoh, abortus pada trimester pertama kehamilan memiliki insiden kelainan genetik yang rendah. Kariotipe normal ditemukan pada setengah kasus abortus rekuren, tetapi hanya
14

seperempat saja pada abortus sporadik. Waktu terjadinya abortus habitualis dapat menggambarkan kausanya. Faktor genetik paling sering menyebabkan keguguran embrionik, sedangkan kelainan autoimun atau anatomi lebih sering menyebabkan abortus pada trimester kedua kehamilan. Abortus habitualis merupakan kondisi yang heterogen dan dapat lebih dari satu faktor penyebabnya. 1. Faktor Epidemiologi a) Usia Ibu Risiko abortus meningkat dengan bertambahnya usia ibu, tanpa memperhatikan riwayat reproduksi, sebagai akibat dari kelainan kromosom pada hasil konsepsi yang berhubungan dengan peningkatan usia atau penurunan fungsi uterus dan ovarium. Berikut ini merupakan hasil suatu studi tentang hubungan antara usia dengan risiko abortus dalam kehamilan: - 13,3% pada usia 12-19 tahun - 11,1% pada usia 20-24 tahun - 11,9% pada usia 25-29 tahun - 15% pada usia 30-34 tahun - 24,6% pada usia 35-39% - 51% usia 40-44 tahun - 93,4% pada usia 45 tahun ke atas Baru-baru ini peningkatan usia ayah dianggap sebagai suatu faktor risiko terjadinya abortus. Suatu penelitian yang dilakukan di Eropa melaporkan bahwa risiko abortus tertinggi ditemukan pada pasangan dimana usia wanita 35 tahun dan pria 40 tahun. b) Riwayat reproduksi Riwayat reproduksi merupakan faktor yang dapat memprediksi suatu kehamilan di masa depan. Risiko abortus habitualis meningkat setelah suatu abortus yang berulang terjadi (kira-kira 40%). Salah satu yang penting dari riwayat reproduksi ini adalah riwayat abortus sebelumnya. Sebagai contoh, primigravida dan wanita yang melahirkan anak hidup memiliki 5% kemungkinan abortus pada kehamilan berikutnya yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan wanita memiliki riwayat abortus pada kehamilan sebelumnya (19%). 2. Faktor Genetik
15

Kelainan kromosom pada embrio menyebabkan abortus sporadik pada trimester pertama sekitar 50% dan 29% - 57% kejadian abortus pada pasangan dengan abortus habitualis. Walaupun demikian, banyak studi menggunakan analisis sitogenetik konvensional yang hanya mengidentifikasi aberasi/penyimpangan kromosom. Baru-baru ini analisis jaringan dengan hibridisasi genomik, suatu teknik yang mendeteksi kelainan kromosom tanpa memerlukan kulturisasi menunjukkan bahwa analisis sitogenetika

konvensional tidak menganggap penting insiden anomali kromosom dan bahwa kontribusi kromosom abnormal terhadap kejadian abortus pada trimester pertama hampir 70%. a) Kelainan penyusunan kromosom parental Abortus adalah kasus yang sangat sering terjadi dan dianggap sebagai suatu seleksi alam untuk memilih keturunan yang normal. Kenyataannya, ada studi yang mengatakan bahwa sedikitnya 50% abortus disebabkan oleh karena kelainan kromosom. Sekitar 3% - 5% pasangan dengan abortus habitualis, salah satu pasangannya membawa kelainan kelainan struktural kromosom yang seimbang. Wanita lebih mungkin menjadi carrier dibandingkan dengan laki-laki. Tipe kelainan kromosom parental yang paling banyak adalah translokasi seimbang, baik timbal balik (resiprokal) atau Robertsonian. Pada translokasi timbal balik, segmen distal terbagi menjadi kromosom yang saling bertukar. Pada translokasi Robertsonian, dua kromosom akrosentrik bersatu pada wilayah sentromer dengan hilangnya lengan pendek. Walaupun carrier translokasi seimbang ini memiliki fenotip yang normal, kehamilannya berisiko tinggi berakhir sebagai abortus dan dapat mengakibatkan lahirnya anak dengan cacat bawaan atau cacat mental karena pengaturan kromosom yang tidak seimbang. Risiko abortus dipengaruhi oleh ukuran dan isi genetik dari segmen kromosom yang diatur kembali. Translokasi yang seimbang menyebabkan abortus rekuren. Translokasi yang tidak seimbang dapat menyebabkan abortus, anomali fetus, atau bayi lahir mati. Walaupun demikian, prognosisnya masih baik dan 85% pasangan dapat memiliki bayi yang sehat. Dengan demikian, riwayat abortus atau anomali fetus pada trimester kedua seharusnya dicurigai adanya kelainan pola kromosom pada salah satu pasangan.1,5
16

Gambar . Translokasi resiprokal dan Robertsonian

b) Aneuploidi dan poliploidi embrionik Aneuploidi disebabkan oleh nondisjungsi selama meiosis yang menghasikan kromosom tambahan (trisomi) atau hilangnya kromosom (monosomi). Triploidi dan tetraploidi terkait dengan fertilisasi yang tidak normal. Triploidi biasanya terjadi karena fertilisasi oosit oleh dua spermatozoa atau akibat kegagalan salah satu bagian pematangan baik pada oosit maupun pada spermatozoa. Tetraploidi (empat kali jumlah haploid) biasanya disebabkan kegagalan untuk menyelesaikan pemisahan zigotik pertama. Pada pasangan dengan abortus habitualis, analisis sitogenetik konvensional melaporkan insiden trisomi, poliploidi dan monosomi X pada jaringan adalah 30%, 9% dan 4%. Kebanyakan kelainan kromosom utama adalah trisomi autosomal, polipoid dan monosomi X. Kebanyakan kelainan trisomi menunjukkan kesalahan tahap meiosis sebagai efek peningkatan usia ibu, dengan kromosom 16 dan 22 paling sering terlibat. Sekitar 30% abortus spontan karena kelainan kromosom adalah tipe triploid dan tetraploid. Fetus yang triploid biasanya memiliki kromosom 69, XXY atau 69, XXX dan berasal dari fertilisasi

dispermik seperti yang telah disebutkan di atas. Beberapa hasil konsepsi triploid muncul sebagai mola parsial yang ditandai dengan kantong kehamilan yang besar dan degenerasi kistik plasenta. Tetraploid jarang berkembang di

17

bawah usia kehamilan 4 atau 5 minggu. Monosomi X merupakan kelainan kromosom tunggal yang paling sering terjadi di antara aborsi spontan, kira-kira 15%-20% dari seluruh kasus abortus. Risiko monosomi kromosom seks dan konsepsi polipoid tidak meningkat sejalan dengan usia ibu. Beberapa pasangan dengan riwayat abortus habitualis berisiko untuk mengalami aneuploidi rekuren. Kariotipe embrionik pada kehamilan sebelumnya dapat membantu memprediksi tingkat abortus. Wanita dengan kariotipe embrio normal lebih sering mengalami keguguran dibandingkan dengan kariotipe embrionik abnormal yang menunjukkan bahwa mekanisme lain selain kromosom fetal yang abnormal dapat menjelaskan terjadinya beberapa kasus abortus habitualis. c) Mekanisme molekuler. Kemajuan terbaru teknologi genetika molekuler menyoroti pentingnya mekanisme tertentu seperti mutasi gen tunggal dan inaktivasi kromosom X pada etiologi abortus. Peran mutasi gen tunggal yang menyebabkan kelainan pada embrio, perkembangan plasenta atau jantung penting untuk diteliti. Wanita dengan inaktivasi kromosom X yang tidak simetris mungkin membawa gen resesif terkait X pada janin yang sifatnya mematikan sehingga rentan terjadi abortus berulang.

3.

Kelainan anatomi Sejumlah kelainan anatomi traktus genitalia mempengaruhi abortus habitualis. 15% wanita dengan tiga atau lebih abortus secara berturut-turut memiliki kelainan uterus baik yang bersifat kongenital ataupun yang didapat. Kelainan uterus yang didapat misalnya sinekia intrauterine (sindrom Asherman), leiomioma dan inkompeten serviks. Kelainan saat perkembangan misalnya uterus bersepta, bikornuata dan unikornuata. a) Malformasi uterus kongenital

18

Malformasi uterus kongenital merupakan akibat dari gangguan perkembangan, fusi, kanalisasi, dan reabsorpsi septal duktus Mullerian. Peranan kelainan kongenital uterus terhadap abortus habitualis masih belum jelas karena prevalensi yang sesungguhnya dan implikasi reproduksi pada kelainan uterus pada populasi umum tidak diketahui. Pada pasien dengan abortus berulang, frekuensi pasien dengan anomali uterus bervariasi dari 1,8% - 37,6%. Variasi ini terjadi akibat perbedaan dalam kriteria dan teknik yang digunakan untuk mendiagnosisnya dan fakta bahwa studi yang dilakukan melibatkan wanita dengan dua, tiga atau lebih riwayat abortus pada tahap awal dan akhir kehamilan. Prevalensi kelainan uterus paling tinggi ditemukan pada wanita dengan riwayat abortus terakhir yang

Gambar . Jenis-jenis anomali mullerian

mencerminkan

prevalensi

serviks

inkompeten

pada

wanita

dengan

malformasi uterus. Dengan menggunakan USG tiga dimensi sebagai alat diagnostik, sebuah studi prospektif baru-baru ini melaporkan bahwa frekuensi anomali uterus adalah sekitar 23,8% pada wanita dengan abortus habitualis pada trimester pertama dibandingkan dengan frekuensi 5,3% pada wanita dengan risiko rendah. Selanjutnya, distorsi anatomi uterus lebih parah ditemukan pada wanita dengan abortus berulang. Penemuan ini menunjukkan bahwa anomali kongenital uterus dapat menyebabkan terjadinya abortus pada

19

sebagian kecil wanita dengan abortus habitualis. Pada suatu studi retrospektif, pasien dengan anomali uterus yang tidak ditangani cenderung memiliki risiko tinggi abortus dan partus prematurus dan tingkat partus aterm hanya 50% saja. Retroversio uteri, mioma uteri atau kelainan bawaan uterus dapat menyebabkan abortus. Tetapi, harus diingat bahwa hanya retroversio uteri gravid inkarserata atau mioma submukosa yang memegang peranan penting. b) Serviks inkompeten Serviks inkompeten merupakan penyebab abortus habitualis pada pertengahan trimester kehamilan (trimester kedua). Serviks inkompeten adalah ketidakmampuan serviks untuk mempertahankan suatu kehamilan oleh karena defek fungsi maupun struktur pada serviks. Serviks inkompeten yang parah menyebabkan abortus pada midtrimester dan derajatnya lebih rendah pada kasus dengan partus prematurus. Insiden serviks inkompeten masih belum diketahui secara pasti karena diagnosisnya ditegakkan secara klinis dan belum ada kriteria objektif yang disetujui secara umum untuk mendiagnosis keadaan tersebut. Secara kasar, suatu studi epidemiologi menunjukkan insiden terjadinya serviks inkompeten adalah sekitar 0,5% pada populasi pasien obstetri secara umum dan 8% pada wanita dengan abortus midtrimester sebelumnya. Meskipun beberapa kasus serviks inkompeten melibatkan inkompeten mekanik seperti hipoplasia serviks kongenital, riwayat operasi serviks, dan trauma serviks yang luas, kebanyakan wanita dengn diagnosis klinis serviks inkompeten memiliki anatomi serviks yang normal. Pematangan serviks yang dini mungkin merupakan jalur akhir dari berbagai proses patofisiologi seperti infeksi, kolonisasi, inflamasi dan predisposisi genetik atau hormonal. Serviks merupakan barier mekanik yang memisahkan kehamilan dari flora bakteri vagina. Banyak pasien dengan dilatasi serviks pada midtrimester yang asimptomatis memiliki bukti adanya infeksi intrauterine subklinis. Tidak jelas apakah ini merupakan invasi mikroba akibat dilatasi serviks yang prematur. Ketika terjadi pematangan serviks yang prematur, barier mekanik terganggu dan selanjutnya dapat menyebabkan proses patologis (misalnya kolonisasi pada saluran kemih bagian atas) yang berakhir pada kelahiran prematur spontan. Pada serviks inkompeten yang berhubungan dengan
20

kelainan mekanik, penanganan suportif misalnya cerclage suture dapat mencegah infeksi dan dapat memperpanjang masa kehamilan. Sebaliknya, jika perubahan pada serviks adalah akibat proses non mekanik, maka cerclage menjadi kurang efektif dan bahkan berbahaya dalam beberapa kasus karena kemungkinan adanya komplikasi inflamasi dan infeksi. c) Fibroid Jaringan fibroid pada uterus telah lama dihubungkan dengan masalah reproduksi termasuk abortus. Hal tersebut dipengaruhi oleh ukuran dan lokasi fibroid. Meskipun mekanisme yang terjadi belum diketahui secara pasti, teori patofisiologi yang selama ini dipahami adalah distorsi mekanik kavum uteri, vaskularisasi abnormal, perkembangan endometrium yang abnormal, inflamasi endometrium, lingkungan endometrium yang abnormal, dan kelainan struktural dan kontraktil miometrium. Bukti adanya hubungan antara fibroid uterus dan abortus habitualis bersifat retrospektif dan tidak cukup untuk menentukan perbedaan dalam hasil kehamilan atau menilai efek ukuran dan lokasi fibroid. Data terbaru dari pasien dengan infertilitas menunjukkan bahwa hanya fibroid pada submukosa atau intrakavitas berhubungan dengan tingkat implantasi yang menurun dan peningkatan kasus abortus. Fibroid subserosa tidak memiliki efek merusak dan peranan fibroid intramural yang tidak mendistorsi kavum uteri masih kontroversial. d) Adhesi intrauterin Defek pada uterus dapat menyebabkan kesulitan reproduksi pada seorang wanita, termasuk kejadian abortus pada trimester pertama dan kedua kehamilan, persalinan preterm dan presentasi fetal yang abnormal. Kelainan anatomi ini dapat bersifat kongenital, termasuk yang berhubungan kelainan dietilstilbestrol, atau yang bersifat didapat seperti adhesi intrauterin atau leiomyomata. Perlengketan atau adhesi intrauterin (sindrom Asherman) terjadi akibat trauma intrauterin misalnya setelah kuretase endometrium yang berlebihan karena retensi hasil konsepsi. Adhesi intrauterin berhubungan erat dengan abortus rekuren. Mekanisme yang diduga terjadi adalah adanya penurunan volume kavum uteri dan fibrosis serta inflamasi pada endometrium sehingga terjadi kelainan plasentasi dan menyebabkan abortus.

21

4.

Faktor endokrin a) Defek Fase Luteal dan Defisiensi Progesteron Defek fase luteal disebut juga defisiensi progesteron merupakan suatu keadaan dimana korpus luteum mengalami kerusakan sehingga produksi progesteron tidak cukup dan mengakibatkan kurang berkembangnya dinding endometrium. Oleh karena progesteron dibutuhkan untuk keberhasilan suatu implantasi dan mempertahankan suatu kehamilan muda maka defisiensi progesteron selama fase luteal berhubungan dengan kejadian abortus habitualis. Namun, kriteria standar untuk diagnosis secara tepat dan efek dari defek fase luteal sebagai penyebab abortus berulang masih kurang. Variasi hormon yang sering berubah dan sekresi pulsatil menyebabkan pengukuran serum progesteron tidak dapat digunakan dan interpretasi hasil biopsi endometrium rentan terhadap variasi sampel. Tetapi ada penelitian yang menunjukkan bahwa penanganan pada defek fase luteal telah meningkatkan keberhasilan suatu kehamilan pada wanita dengan abortus habitualis. b) Sindrom ovarium polikistik, Hipersekresi LH dan Hiperandrogenemia Sindrom ovarium polikistik terkait dengan infertilitas dan abortus. Dua mekanisme yang mungkin menyebabkan hal tersebut terjadi adalah peningkatan hormon LH dan efek langsung hiperinsulinemia terhadap fungsi ovarium. Ovarium polikistik, peningkatan kadar LH dan hiperandrogenemia merupakan ciri klasik suatu sindrom ovarium polikistik dan telah dilaporkan sebagai faktor risiko terjadinya abortus habitualis. Jika terjadi peningkatan konsentrasi hormon LH akan menyebabkan abortus dan inhibisi hormon tersebut selama siklus induksi ovulasi gonadotropin dapat menurunkan angka abortus. Walaupun ovarium polikistik secara signifikan sering ditemukan pada pasien dengan abortus berulang, ovarium polikistik tersebut tidak dapat memprediksi terjadinya kehamilan pada wanita yang ovulatorik dengan riwayat abortus berulang. Tingginya kadar LH atau testoteron tidak berhubungan dengan kehamilan pada seorang wanita ovulatorik dengan riwayat abortus habitualis. Supresi kadar LH yang tinggi tidak selalu meningkatkan angka kelahiran hidup dan kehamilan pada wanita dengan pengggunaan placebo sama dengan wanita yang memiliki kadar LH yang normal.

22

Baru-baru ini, ditemukan hubungan antara sindrom ovarium polikistik dan resistensi insulin yang menyebabkan kompensasi hiperinsulinemia sebagai faktor risiko abortus habitualis. Resistensi insulin dihubungkan dengan tingginya jumlah abortus di antara wanita dengan sindrom ovarium polikistik yang sedang menjalani induksi ovulasi dibandingkan dengan yang tidak menderita resistensi insulin. Laporan terdahulu menyarankan penggunaan metformin (yang meningkatkan sensitivitas terhadap insulin) pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik selama induksi ovulasi dan kehamilan muda sehingga dapat meningkatkan penerimaan hasil konsepsi oleh dinding endometrium dan mengurangi risiko abortus di masa mendatang. c) Faktor Endokrin Sistemik Diabetes melitus dan penyakit tiroid dihubungkan dengan abortus, tetapi masih belum ada bukti langsung bahwa keduanya berperan pada kejadian abortus habitualis. Wanita dengan diabetes di mana kadar HbA1c yang tinggi pada trimester pertama berisiko mengalami abortus dan malformasi fetal. Sebaliknya, diabetes melitus yang terkontrol bukan merupakan faktor risiko abortus rekuren begitu juga dengan disfungsi tiroid yang telah diterapi. Prevalensi DM dan disfungsi tiroid pada wanita abortus habitualis sama dengan yang diharapkan pada populasi umum. Autoantibodi tiroid tidak berhubungan dengan abortus habitualis. Wanita dengan abortus habitualis tidak lebih cenderung dibandingkan dengan wanita subur yang juga memiliki antibodi tiroid dalam sirkulasi darahnya. Adanya antibodi tiroid pada wanita eutiroid dengan riwayat abortus habitualis tidak mempengaruhi kehamilannya mendatang. Oleh karena belum jelas apakah penyakit tiroid menyebabkan terjadinya abortus habitualis atau tidak, American College of Obstetricians and Gynecologists (2001) menyimpulkan bahwa tidak ada indikasi screening terhadap wanita yang asimptomatik. Sebaliknya, hipotiroidisme mungkin sulit untuk dideteksi secara klinis, tes yang dilakukan tidak mahal dan pengobatannya memiliki efektivitas yang tinggi. Oleh karena itu, screening TSH direkomendasikan pada wanita dengan abortus habitualis. 5. Faktor Koagulasi dan Imunologi a) Trombofilia
23

Sistem hemostatis berperan penting dalam pembentukan dan pemeliharaan suatu kehamilan. Defek trombofilia adalah kelainan sistem koagulasi yang mengarah ke trombosis. Selama beberapa tahun terakhir, peranan sindrom antifosfolipid (APS) suatu defek trombofilik telah ditetapkan dan ditangani sebagai penyebab abortus habitualis dan berperan potensial terhadap defek trombofilik lainnya (didapat maupun diturunkan secara genetik). Hipotesis yang diduga adalah bahwa pada beberapa kasus abortus habitualis dan komplikasi akhir dari suatu kehamilan disebabkan oleh respon hemostatik yang berlebihan selama kehamilan, menyebabkan terjadinya trombosis pada pembuluh darah uteroplasenta dan selanjutnya dapat mengakibatkan kematian janin. b) Antibodi Antifosfolipid Antibodi antifosfolipid merupakan kelompok dari autoantibodi heterogen yang bereaksi dengan epitop pada protein yang bergabung dengan fosfolipid bermuatan negatif. Pada etiologi abortus habitualis, terdapat 2 penyakit dengan antibodi antifosfolipid yaitu lupus antikoagulan dan antibodi antikardiolipin. Sindrom antifosfolipid (APS) merupakan hubungan antara antibodi antifosfolipid dan morbiditas pada kehamilan atau trombosis vaskular. Morbiditas suatu kehamilan mencakup abortus rekuren pada trimester pertama, satu atau lebih kematian janin yang secara morfologi normal setelah 10 minggu gestasi dan satu atau lebih kelahiran prematur sebelum 34 minggu gestasi akibat preeklampsia berat, eklampsia atau insufisiensi plasenta. APS pada pasien dengan penyakit inflamasi kronik, seperti SLE disebut sebagai APS sekunder. Sebaliknya, APS primer mempengaruhi pasien dengan tidak adanya penyakit jaringan ikat sistemik yang mendasarinya. Karakterisitik utama APS adalah abortus rekuren. Pada 15% wanita dengan abortus berulang, aPLs (antikoagulan lupus dan antikardiolipin IgG atau IgM) ditemukan. Patogenesis aPL terkait dengan trombosis plasenta. Namun, trombosis sendiri tidak spesifik ataupun bersifat universal dan penelitian terbaru memberikan wawasan baru tentang mekanisme aPL dalam hubungannya dengan kehamilan yang gagal. Cacat desidualisasi pada endometrium dan kelainan fungsi dan diferensiasi tropoblas dini mungkin merupakan mekanisme patologis utama.
24

c) Defek Trombofilik yang diturunkan Penyakit ini merupakan kelainan faktor pembekuan yang diturunkan secara genetik yang dapat menyebabkan trombosis patologis akibat ketidakseimbangan antara jalur pembekuan darah dan antikoagulasi. Teori yang paling banyak menjelaskan tentang hal ini adalah resistensi terhadap protein C yang disebabkan oleh mutasi faktor V Leiden atau yang lainnya, penurunan atau tidak adanya aktivitas antitrombin III, mutasi gen protrombin dan mutasi gen untuk methylene tetrahydrofolate reductase yang

menyebabkan peningkatan kadar homosistein serum (hiperhomosisteinemia). d) Imunologi Yetman dan Kutteh melaporkan bahwa sekitar 15% dari 1000 wanita dengan abortus habitualis memiliki faktor autoimun. Terdapat 2 patofisiologi primer yang menjelaskan kejadian tersebut yaitu teori autoimun (imunitas yang menyerang diri sendiri) dan teori alloimun (imunitas yang menyerang pihak lain). 1) Faktor autoimun. Abortus lebih sering terjadi pada wanita dengan SLE. Kebanyakan dari wanita tersebut memiliki antibodi antifosfolipid yang merupakan kelompok autoantibody yang mengikat fosfolipid muatan negatif, phospholipids-binding proteins, atau kombinasi keduanya. Antibodi tersebut dapat juga ditemukan pada wanita tanpa lupus. Memang >5% wanita dengan kehamilan normal, antikoagulan lupus (LAC) dan antibodi antikardiolipin (ACA) berhubungan dengan abortus berulang. Dibandingkan dengan kejadian abortus, LAC dan ACA lebih banyak ditemukan pada kematian fetus setelah pertengahan trimester kehamilan. Oleh sebab itu, kematian fetus merupakan salah satu kriteria diagnosis sindrom antifosfolipid. Wanita yang memiliki riwayat abortus dan kadar antibodi yang tinggi mungkin berpotensi mengalami abortus habitualis sekitar 70%. 2) Faktor alloimun. Kehamilan yang normal memerlukan pembentukan faktor yang mencegah rejeksi maternal terhadap antigen asing fetus yang diperoleh secara paternal. Seorang wanita tidak akan menghasilkan faktor penghambat serum ini jika dia memiliki HLA yang mirip dengan suaminya. Gangguan alloimun lainnya juga menyebabkan abortus habitualis temasuk perubahan aktivitas sel natural killer dan peningkatan
25

antibodi limfositotoksik. Berbagai terapi untuk memperbaiki gangguan ini telah disarankan untuk dilakukan termasuk imunisasi dengan menggunakan sel paternal, third party donor leukocytes, infus membran trofoblast dan immunoglobulin intravena. Kebanyakan dari terapi imunologi ini membahayakan pasien sehingga tidak dianjurkan untuk dilakukan. Salah satu terapi yang mungkin dapat dilakukan adalah terapi immunoglobulin intravena untuk abortus habitualis sekunder (wanita dengan abortus habitualis setelah memiliki anak sebelumnya). 3. Faktor Lain a) Infeksi Peranan infeksi terhadap suatu kejadian abortus berulang masih rendah. Beberapa infeksi berat yang menyebabkan bakteremia atau viremia dapat menyebabkan keguguran sporadik. Untuk dapat menyebabkan terjadinya abortus berulang agen infektif tersebut harus menetap dalam traktus genitalis dan dapat menghindari deteksi atau tidak menyebabkan gejala yang cukup untuk mengganggu host. Toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes dan infeksi Lister tidak memenuhi kriteria tersebut. Walaupun vaginosis bakterial pada trimester pertama dilaporkan sebagai faktor risiko keguguran pada trimester kedua dan kelahiran prematur, bukti adanya hubungannya dengan abortus pada trimester pertama masih belum konsisten. Pada wanita dengan riwayat abortus pada midtrimester atau partus prematurus, deteksi dan terapi untuk vaginosis bakterial pada awal masa kehamilan dapat menurunkan risiko prematuritas, KPD dan BBLR. b) Faktor Lingkungan Abortus habitualis dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan seperti paparan terhadap logam berat, pelarut organik, alkohol dan radiasi ionisasi yang dikenal sebagai teratogen lingkungan. Kafein, merokok dan hipertermia dicurigai sebagai teratogen. Wanita hamil yang sering terpapar akan berisiko untuk mengalami abortus. Patologi Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis kemudian diikuti oleh nekrosis jaringan sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya sehingga merupakan benda asing

26

dalam uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya. Diagnosis Diagnosis abortus habitualis tidak sukar ditentukan dengan anamnesis. Khususnya diagnosis abortus habitualis karena inkompetensia yang menunjukkan gambaran klinik yang khas yaitu dalam kehamilan trimester kedua terjadi pembukaan serviks tanpa rasa mulas, ketuban menonjol dan pada suatu saat pecah. Kemudian timbul mulas yang selanjutnya diikuti dengan pengeluaran janin yang biasanya masih hidup dan normal. Apabila penderita datang dalam trimester pertama, maka gambaran klinik tersebut dapat diikuti dengan pemeriksaan vaginal tiap minggu. Penderita tidak jarang mengeluh bahwa ia mengeluarkan banyak lendir dari vagina. Di luar kehamilan penentuan serviks inkompeten dilakukan dengan histerosalpingografi yaitu ostium uteri internum melebar >8 mm. Penanganan Penyebab abortus habitualis sebagian besar tidak diketahui sehingga penanganannya terdiri atas memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan yang sempurna, anjuran istirahat cukup banyak, larangan koitus dan olah raga. Terapi dengan hormon progesteron, vitamin, hormon tiroid dan lainnya mungkin hanya mempunyai pengaruh psikologis. Calvin melaporkan penelitiannya tentang 141 wanita hamil yang sebelumnya mengalami 1 sampai 4 abortus berturut-turut hanya 22,7% yang mengalami abortus dan pada 76,6% kehamilan berlangsung terus tanpa pengobatan apa pun. Apabila pada pemeriksaan histerosalpingografi yang dilakukan menunjukkan kelainan seperti mioma submukosa atau uterus bikornis maka kelainan tersebut dapat diperbaiki dengan operasi atau penyatuan kornu uterus dengan operasi menurut Strassman. Pada serviks inkompeten apabila penderita hamil, maka operasi dilakukan untuk mengecilkan ostium uteri sebaiknya dilakukan pada kehamilan 12 minggu atau lebih sedikit. Dasar operasinya adalah memperkuat jaringan serviks yang lemah dengan melingkari daerah ostium uteri internum dengan benang sutera atau dakron yang tebal. Jika berhasil maka kehamilan dapat dilanjutkan sampai hampir cukup bulan dan benang dipotong pada usia kehamilan 38 minggu. Operasi tersebut dapat dilakukan menurut cara Shirodkar atau cara Mac Donald.

27

g) Blighted Ovum7 1. Pengertian Kehamilan anembrionik (blighted ovum) adalah kehamilan patologik, dimana mudigah tidak terbentuk sejak awal. Di samping mudigah, kantong kuning telur juga ikut tidak terbentuk. Kehamilan anembrionik harus dibedakan dari kehamilan muda yang normal, di mana mudigah masih terlalu kecil untuk dapat dideteksi dengan alat USG (biasanya kehamilan 5-6 minggu). Diagnosis kehamilan anembrionik dapat ditegakkan bila pada kantong gestasi yang berdiameter sedikitnya 30 mm (penulis lain memakai ukuran 25 mm), tidak dijumpai adanya struktur mudigah dan kantong kuning telur (Wiknjosastro, 2007: 142). Blighted ovum adalah keadaan dimana seorang wanita merasa hamil tetapi tidak ada janin di dalam kandungan. Blighted ovum (kehamilan anembrionik) merupakan kehamilan patologik, dimana mudigah tidak terbentuk sejak awal. Di samping mudigah, kantong kuning telur juga tidak ikut terbentuk. Seorang wanita yang mengalaminya juga merasakan gejala-gejala kehamilan seperti terlambat menstruasi, mual dan muntah pada awal kehamilan (morning sickness), payudara mengeras, serta terjadi pembesaran perut, bahkan saat dilakukan tes kehamilan baik test pack maupun laboratorium hasilnya pun positif. Blighted ovum (anembryonic pregnancy) terjadi pada saat ovum yang sudah dibuahi menempel ke dinding uterus, tapi embrio tidak berkembang. Sel-sel berkembang membentuk kantong kehamilan, tapi tidak membentuk embrio itu sendiri. Blighted ovum biasanya terjadi pada trimester pertama sebelum wanita tersebut mengetahui tentang kehamilannya. 2. Etiologi Blighted ovum biasanya merupakan hasil dari masalah kromosom dan penyebab sekitar 50% dari keguguran trimester pertama. Tubuh wanita mengenali kromosom abnormal pada janin dan secara alami tubuh berusaha untuk tidak meneruskan kehamilan karena janin tidak akan berkembang menjadi bayi normal dan sehat. Hal ini dapat disebabkan oleh pembelahan sel yang abnormal, atau kualitas sperma atau ovum yang buruk.

28

Sekitar 60% blighted ovum disebabkan kelainan kromosom dalam proses pembuahan sel telur dan sperma. Tubuh ibu mengenali adanya kromosom yang abnormal pada janin dan secara alami tubuh berusaha untuk tidak melanjutkan kehamilan karena janin tidak akan berkembang menjadi bayi normal yang sehat. Hal ini dapat disebabkan oleh pembelahan sel yang abnormal, atau kualitas sperma atau telur yang kurang baik. Infeksi TORCH dan streptokokus, penyakit kencing manis (diabetes mellitus) yang tidak terkontrol, rendahnya kadar beta HCG serta faktor imunologis seperti adanya antibodi terhadap janin juga dapat menyebabkan blighted ovum. Risiko juga meningkat bila usia suami atau istri semakin tua karena kualitas sperma atau ovum menjadi turun. 3. Patofisiologi Pada saat konsepsi, sel telur (ovum) yang matang bertemu sperma. Namun akibatberbagai faktor maka sel telur yang telah dibuahi sperma tidak dapat berkembang sempurna, dan hanya terbentuk plasenta yang berisi cairan. Meskipun demikian plasenta tersebut tetap tertanam di dalam rahim. Plasenta menghasilkan hormon hCG (human chorionic gonadotropin) dimana hormon ini akan memberikan sinyal pada indung telur (ovarium) dan otak sebagai pemberitahuan bahwa sudah terdapat hasil konsepsi di dalam rahim. Hormon hCG yang menyebabkan munculnya gejala-gejala kehamilan seperti mual, muntah, ngidam dan menyebabkan tes kehamilan menjadi positif. Karena tes kehamilan baik test pack maupun laboratorium pada umumnya mengukur kadar hormon hCG (human chorionic gonadotropin) yang sering disebut juga sebagai hormon kehamilan. 4. Gejala dan tanda Blighted ovum sering tidak menyebabkan gejala sama sekali. Gejala dan tandatanda mungkin termasuk: Periode menstruasi terlambat Kram perut Minor vagina atau bercak perdarahan Tes kehamilan positif pada saat gejala Ditemukan setelah akan tejadi keguguran spontan dimana muncul keluhan perdarahan Hampir sama dengan kehamilan normal.

29

Gejala tidak spesifik (perdarahan spotting coklat kemerah-merahan, kram perut, bertambahnya ukuran rahim yang lambat). Tidak sengaja ditemukan dengan USG. 5. Diagnosis a. Anamnesis (tanda-tanda kehamilan) b. Pemeriksaan fisik c. Pemeriksaan penunjang (USG) merupakan diagnosis pasti. Diagnosis kehamilanan embrionik bisa dilakukan saat kehamilan

memasuki usia 6-7 minggu. Sebab saat itu diameter kantung kehamilan sudah lebih besar dari 16 milimeter sehingga bisa terlihat lebih jelas. Dari situ juga akan tampak, adanya kantung kehamilan yang kosong dan tidak berisi janin. Diagnosis kehamilan anembriogenik dapat ditegakkan bila pada kantong gestasi yang berdiameter sedikitnya 30 mm, tidak dijumpai adanya struktur mudigah dan kantong kuning telur. 6. Pencegahan Dalam banyak kasus blighted ovum tidak bisa dicegah. Beberapa pasangan seharusnya melakukan tes genetika dan konseling jika terjadi keguguran berulang di awal kehamilan. Blighted ovum sering merupakan kejadian satu kali, dan jarang terjadi lebih dari satu kali pada wanita. Untuk mencegah terjadinya blighted ovum, maka dapat dilakukan beberapa tindakan pencegahan seperti pemeriksaan TORCH, imunisasi rubella pada wanita yang hendak hamil, bila menderita penyakit disembuhkan dulu, dikontrol gula darahnya, melakukan pemeriksaan kromosom terutama bila usia di atas 35 tahun, menghentikan kebiasaan merokok agar kualitas sperma/ovum baik, memeriksakan kehamilan yang rutin dan membiasakan pola hidup sehat.

h) Abortus Infeksiosus dan Abortus Septik Abortus Infeksiosus adalah keguguran yang disertai infeksi genital. Abortusseptik adalah keguguran disertai infeksi berat dengan penyebaran kuman atau toksinnya kedalam pereedaran darah atau peritonium. Hal ini sering ditemukan pada abortus inkompletus, atau abortus buatan, terutama yang kriminalis tanpa memperhatikan syarat-syarat asepsis dan antisepsis. Bahkan pada keadaan tertentu dapat terjadi perforasi rahim.

30

Gejala: Adanya abortus amenore, pendarahan, keluar jaringan yang telah ditolong diluar rumah sakit Pemeriksaan kanalis servikalis terbuka, teraba jaringan, pendarahan, dan sebagainya. Tanda-tanda infeksi alat genital demam, nadi cepat, pendarahan, berbau, uterus besar dan lembek ,nyeri tekan, lekositosis. Pada abortus septik kelihatan sakit berat, panas tinggi, mengigil, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun sampai syok. Perlu diobservasi apakah ada tanda perforasi atau akut abdomen. Penanganannya: Bila pendarahan banyak, berikan transfusi darah dan cairan yang cukup Berikan antibiotika yang cukup dan tepat (buat pemeriksaan pembiakan dan uji kepekaan obat). 24 jam sampai 48 jam setelah dilindungi dengan antibiotika atau lebih cepat bila terjadi pendarahan banyak lakukan dilatasi dan kuretase untuk mengeluarkan hasil konsepsi Infus dan pemberian antibiotika diteruskan menurut kebutuhan dan kemajuan penderita. Pada abortus septik terapi sama saja, hanya dosis dan jenis antibiotika ditinggikan dan dipilih jenis yang tepat sesuai dengan hasil pembiakan dan uji kepekaan kuman. Tindakan operatif ,melihat jenis komplikasi dan banyaknya pendarahan dilakukan bila keadaan umum membaik dan panas mereda.

2. Abortus Provakatus (induced abortion) Adalah abortus yang disengaja, baik dengan memakai obat-obatan mau pun alat-alat. Abortus ini terbagi lagi menjadi: a) Abotrus Medisinalis (abortus therapeutica) Adalah abortus karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis). b) Abortus Kriminalis Adalah abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis.
31

E. TEKNIK PENGELUARAN SISA ABORTUS2 Prinsip Perdarahan pervaginam pada kehamilan kurang dari 12 minggu 1. Jangan langsung dilakukan kuretase 2. Tentukan dulu, janin mati atau hidup. Jika memungkinkan, periksa dengan USG 3. Jangan terpengaruh hanya pemeriksaan B-HCG yang positif, karena meskipun janin sudah mati, B-HCG mungkin masih tinggi, bisa bertahan sampai 2 bulan setelah kematian janin. Pengeluaran jaringan pada abortus : setelah serviks terbuka (primer maupun dengan dilatasi), jaringan konsepsi dapat dikeluarkan secara manual, dilanjutkan dengan kuretase. 1. Sondage, menentukan posisi dan ukuran uterus. 2. Masukkan tang abortus sepanjang besar uterus, buka dan putar 900 untuk melepaskan jaringan, kemudian tutup dan keluarkan jaringan tersebut. 3. Sisa abortus dikeluarkan dengan kuret tumpul, gunakan sendok terbesar yang bias masuk. 4. Pastikan sisa konsepsi telah keluar semua denganeksplorasi jari maupun kuret Pertimbangan Kehamilan usia lebih dari 12 minggu sebaiknya diselesaikan dengan prostaglandin (misoprostol intravaginal) atau infus oksitosin dosis tinggi (20-50 U/drip). Kini dengan alat hisap dan kanul plastik dapat dikeluarkan jaringan konsepsi dengan trauma minimal, terutama misalnya pada kasus abortus mola. Jaringan konsepsi dikirim untuk pemeriksaan patologi anatomi, agar dapat diidentifikasi kelainan villi. Bahaya / komplikasi yang dapat terjadi pasca mola adalah keganasan (penyakit trofoblastik gestasional ganas / PTG). Aborsi bisa dilakukan dengan beberapa prosedur, yaitu:5 1. Manual vakum Bedah aborsi ini dilakukan di awal kehamilan hingga usia 7 minggu setelah periode menstruasi terakhir. Prosedur ini menggunakan tabung tipis dan panjang yang dimasukkan ke dalam rahim. Jarum suntik yang melekat pada tabung akan menyedot embrio keluar.
32

2. Metode kuret Prosedur ini adalah yang paling umum, biasanya untuk usia 6-14 minggu. Karena bayi sudah lebih besar, maka dokter harus melakukan peregangan pada leher rahim dengan menggunakan batang besi. Setelah leher rahim terbuka, dokter akan memasukan tabung plastik keras ke dalam rahim yang dihubungan dengan mesin penghisap. Maka janin akan terisap keluar dari rahim, setelahnya dokter akan menggunakan pisau berbentuk lingkaran yang disebut dengan kuret untuk membersihkan sisa janin yang masih tertinggal di rahim.

Gambar: Kuretase6 3. Pelebaran dan evakuasi Prosedur aborsi ini dilakukan saat memasuki usia trimester kedua kehamilan. Dalam proses ini leher rahim akan dibuka lebih lebar, setelah terbuka maka dokter akan mengeluarkan janin dengan menggunakan forsep (tang). Tengkorak dari janin akan dilumatkan terlebih dahulu untuk mempermudah proses. 4. Aborsi dengan menggunakan pil

33

Prosedur ini biasanya dilakukan saat usia kehamilan 4-7 minggu. Obat yang diberikan akan menyebabkan kematian embrio dan mengeluarkannya dari dalam rahim. Namun obat ini biasanya tidak dapat bekerja pada kasus kehamilan ektopik. Namun bukan berarti prosedur di atas aman untuk bayi dan ibu hamil. Ada beberapa efek samping yang bisa terjadi baik oleh bedah atau pil jika dilakukan secara sembarangan, seperti kram perut, mual, muntah dan diare.

D. KOMPLIKASI ABORTUS Komplikasi medis Abortus Provokatus / Kriminalis yang Dapat Timbul Pada Ibu:(5) 1. Perforasi Dalam . Melakukan kerokan harus diingat bahwa selalu ada kemungkinan terjadinya perforasi dinding uterus, yang dapat menjurus ke rongga peritoneum, ke ligamentum latum, atau ke kandung kencing. Oleh sebab itu letak uterus harus ditetapkan lebih dahulu dengan seksama pada awal tindakan, dan pada dilatasi serviks jangan digunakan tekanan berlebihan. Pada kerokan kuret dimasukkan dengan hati-hati, akan tetapi penarikan kuret ke luar dapat dilakukan dengan tekanan yang lebih besar. Bahaya perforasi ialah perdarahan dan peritonitis. Apabila terjadi perforasi atau diduga terjadi peristiwa itu, penderita harus diawasi dengan seksama dengan mengamati keadaan umum, nadi, tekanan darah, kenaikan suhu, turunnya hemoglobin, dan keadaan perut bawah. Jika keadaan meragukan atau ada tanda-tanda bahaya, sebaiknya dilakukan laparatomi percobaan dengan segera. 2. Luka pada serviks uteri. Apabila jaringan serviks kerasdan dilatasi dipaksakan maka dapat timbul sobekan pada serviks uteri yang perlu dijahit. Apabila terjadi luka pada ostium uteri internum, maka akibat yang segera timbul ialah perdarahan yang memerlukan pemasangan tampon pada serviks dan vagina. Akibat jangka panjang ialah kemungkinan timbulnya incompetent cerviks. 3. Pelekatan pada kavum uteri. Melakukan kerokan secara sempurna memerlukan pengalaman. Sisa-sisa hasil konsepsi harus dikeluarkan, tetapi jaringan miometrium jangan sampai terkerok, karena hal itu dapat mengakibatkan terjadinya perlekatan dinding kavum uteri di beberapa tempat. Sebaiknya kerokan dihentikan pada suatu tempat apabila pada suatu tempat tersebut dirasakan bahwa jaringan tidak begitu lembut lagi.
34

4. Perdarahan. Kerokan pada kehamilan agak tua atau pada mola hidatidosa ada bahaya perdarahan. Oleh sebab itu, jika perlu hendaknya diselenggarakan transfusi darah dan sesudah kerokan selesai dimasukkan tampon kasa ke dalam uterus dan vagina. 5. Infeksi. Apabila syarat asepsis dan antisepsis tidak diindahkan, maka bahaya infeksi sangat besar. Infeksi kandungan yang terjadi dapat menyebar ke seluruh peredaran darah, sehingga menyebabkan kematian. Bahaya lain yang ditimbulkan abortus kriminalis antara lain infeksi pada saluran telur. Akibatnya, sangat mungkin tidak bisa terjadi kehamilan lagi. 6. Lain-lain Komplikasi yang dapat timbul dengan segera pada pemberian NaCl hipertonik adalah apabila larutan garam masuk ke dalam rongga peritoneum atau ke dalam pembuluh darah dan menimbulkan gejala-gejala konvulsi, penghentian kerja jantung, penghentian pernapasan, atau hipofibrinogenemia. Sedangkan komplikasi yang dapat ditimbulakan pada pemberian prostaglandin antara lain panas, enek, muntah dan diare.

Komplikasi abortus yang Dapat Timbul Pada Janin: Sesuai dengan tujuan dari abortus itu sendiri yaitu ingin mengakhiri kehamilan, maka nasib janin pada kasus abortus provokatus kriminalis sebagian besar meninggal. Kalaupun bisa hidup, itu berarti tindakan abortus gagal dilakukan dan janin kemungkinan besar mengalami cacat fisik. Secara garis besar tindakan abortus sangat berbahaya bagi ibu dan juga janin yaitu bisa menyebabkan kematian pada keduanya.

E. RESIKO ABORSI Aborsi memiliki resiko yang tinggi terhadap kesehatan maupun keselamatan seorang wanita. Tidak benar jika dikatakan bahwa jika seseorang melakukan aborsi ia tidak merasakan apa-apa dan langsung boleh pulang. Ini adalah informasi yang sangat menyesatkan bagi setiap wanita, terutama mereka yang sedang kebingungan karena tidak menginginkan kehamilan yang sudah terjadi. Ada 2 macam resiko kesehatan terhadap wanita yang melakukan aborsi: 1. Resiko kesehatan dan keselamatan secara fisik
35

2. Resiko gangguan psikologis Resiko kesehatan dan keselamatan fisik Pada saat melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi ada beberapa resiko yang akan dihadapi seorang wanita, seperti yang dijelaskan dalam buku Facts of Life yang ditulis oleh Brian Clowes, Phd yaitu: 1. Kematian mendadak karena pendarahan hebat 2. Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal 3. Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan 4. Rahim yang sobek (Uterine Perforation) 5. Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya 6. Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita) 7. Kanker indung telur (Ovarian Cancer) 8. Kanker leher rahim (Cervical Cancer) 9. Kanker hati (Liver Cancer) 10. Kelainan pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya 11. Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi (Ectopic Pregnancy) 12. Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease) 13. Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis)

Resiko kesehatan mental Proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat hebat terhadap keadaan mental seorang wanita. Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi sebagai Post-Abortion Syndrome (Sindrom Paska-Aborsi) atau PAS. Gejala-gejala ini dicatat dalam Psychological Reactions Reported After Abortion di dalam penerbitan The Post-Abortion Review (1994). Pada dasarnya seorang wanita yang melakukan aborsi akan mengalami hal-hal seperti berikut ini: 1. Kehilangan harga diri (82%) 2. Berteriak-teriak histeris (51%) 3. Mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%)
36

4. Ingin melakukan bunuh diri (28%) 5. Mulai mencoba menggunakan obat-obat terlarang (41%) 6. Tidak bisa menikmati lagi hubungan seksual (59%) Diluar hal-hal tersebut diatas para wanita yang melakukan aborsi akan dipenuhi perasaan bersalah yang tidak hilang selama bertahun-tahun dalam hidupnya.

37

BAB II LAPORAN KASUS

KESEHATAN DAERAH MILITER JAKARTA RAYA JAYAKARTA RUMAH SAKIT TK. II MOH. RIDWAN MEURAKSA KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI STATUS PASIEN OBGYN NO.RMK:297842

A. IDENTITAS Nama Jenis kelamin Umur Alamat Agama Pekerjaan Masuk tanggal :Ny.Farida Kurniawati : Perempuan :28 tahun :Jl.Percetakan Negara II RT/RW 01/06 Kelurahan Jjohar Baru :Islam :IRT : 30 Agustus 2013

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama

: Keluar darah warna merah segar dari vagina sejak kemarin sore :

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Kamar Bersalin RS.Moh.Ridwan Meuraksa dengan keluhan keluar darah warna merah segar dari vagina sejak kemarin sore. HPHT 6-6-2013 Hamil 6 minggu

Riwayat Penyakit Dahulu: Keluhan serupa sebelumnya (-), Operasi (+).

38

Riwayat Penyakit Lainnya : a. DM b. Hipertensi c. Asma (-) (-) (-) d. Penyakit Jantung e. Penyakit Paru f. Penyakit Hepar (-) (-) (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :Tidak ada anggota keluarga yang menderita hal serupa.

Tgl tahun partus 9/10/08

Tempat Partus

Umur Partus

Jenis

Penolong

Penyulit Nifas

Anak

Keadaan

Persalinan Persalinan

Kel/BB Anak Sek /2500 sehat gram

RSMMA 37

Sc

Dokter

40 hari

Hamil ini

C. PEMERIKSAAN FISIK A. Status Generalis Keadaan Umum Kesadaran Tanda Vital TD RR :120/80mmHg :20x/m N : 92x/m S :36,6 oC : Baik : compos mentis

Berat Badan Kepala Bentuk Rambut

:87 kg

: normocephal : hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut

Mata Palpebra Konjungtiva : oedem -/: anemis -/39

Sklera

: ikterik -/-

Arcus Senilis : -/Pupil : bulat, isokor diameter 3mm/3mm

Refleks Cahaya : +/+ N Katarak : -/-

Telinga Bentuk Liang Mukosa Serumen : simetris : lapang : hiperemis -/: -/-

Membran Timpani : intak +/+ Hidung Bentuk : simetris

Deviasi Septum : Sekret Concha : -/: hipertrofi -/- , hiperemis -/-

Mulut Bibir Lidah Tonsil : mukosa basah (+), sianosis (-), pucat (-) : kotor (-), tepi hiperemis (-), tremor (-) : T1-T1

Mukosa Faring : hiperemis

Gigi Amalgam :-

Gangren Pulpa : Gangren Radiks : Protesa :-

8 7 6 5 4 3 2 1 8 7 6 5 4 3 2 1

1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
40

Leher KGB : tidak terdapat pembesaran

Kel. Thyroid : tidak teraba pembesaran JVP : tidak terdapat peningkatan

Thoraks Paru Inspeksi Palpasi Perkusi : hemithorax kanan-kiri simetris dalam keadaan statis dan dinamis : fremitus taktil dan vokal kanan sama dengan kiri : sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : SN vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Abdomen Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi TFU Ekstremitas Atas Akral Sianosis Perfusi : hangat +/+ : -/: baik : datar, simetris : supel, Hepar/Lien tak teraba : timpani : bising usus (+) N : Belum teraba : ictus cordis tidak terlihat : ictus cordis tidak teraba : jantung dalam batas normal : BJ I-II ireguler, murmur (-) , gallop (-)

Bawah Akral Sianosis : hangat +/+ : -/-

41

Perfusi

: baik

Neurologi Refleks Fisiologis Biceps Triceps Patella Achilles Refleks Patologis : +/+ N : +/+ N : +/+ N : +/+ N :-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG USG Obstetri, 2 September 2013 Kesan: Abortus Incomplete Sisa Jaringan sedikit

E. DIAGNOSIS KERJA Abortus Incomplete

F. TERAPI Non-medika mentosa : Kuretase Medika Mentosa Cefadroxil 3 x 500 mg As. Mefenamat 3 x 500mg Sangobion 2 x 1

G. PROGNOSIS Ad Vitam Ad Sanationam Ad Functionam :Dubia ad bonam :Dubia ad bonam :Dubia ad bonam

42

BAB III PENUTUP

Kesimpulan Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Jenis abortus bermacam-macam ada Abortus spontan dan abortus provokatus. Penyebabnya juga antara lain, kelainan ovum , kelainan genetalia ibu, gangguan sirkulasi plasenta, penyakit pada ibu, dll.

43

DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirahardjo

Sarwono.

2013. Ilmu

Kandungan. PT

Bina

Pustaka

Sarwono

Prawirohardjo. Yogyakarta 2. http://makalah-untuk-bidan.blogspot.com/2008/05/abortus.html 3. http://shintaapriliaulandika.blogspot.com/2013/05/makalah-abortus.html 4. http://www.lusa.web.id/abortus/ 5. http://pompistikesbwi.wordpress.com/2011/06/11/komplikasi-abortus/ 6. http://www.klikdokter.com/medisaz/read/2010/07/05/126/aborsi 7. http://bintangpalingterang-asdewanta.blogspot.com/2013/01/blighted-ovum.html 8. http://id.scribd.com/doc/169449420/ABORTUS-HABITUALIS-referat

44

You might also like