You are on page 1of 6

amnesti ahmad Zaini - Newsroom, Pihak keluarga masih berharap adanya penundaan eksekusi mati terhadap Sumiarsih dan

Sugeng terpidana mati dalam kasus pembunuhan berencana tahun 1988 silam. Kuasa hukum kedua terpidana, M. Soleh, Jumat (18/7) pagi ini mengatakan, berdasarkan pengakuan pihak kejaksaan sebagai pihak eksekutor disebutkanbahwa waktu eksekusi adalah tiga kali dua puluh empat jam dan batasannya hingga malam nanti. Pihak keluarga sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Dan melalui diskusi dengan kuasa hukum telah disepakati keduanya akan dimakamkan di Malang dan disandingkan bersampingan. M. Soleh menegaskan, Sugeng dan Sumiasih telah siap menjalani eksekusi. Namun demikian keduanya tetap berharap ada penundaan eksekusi dengan pertimbangan telah menjalani proses hukuman selama 20 tahun. Kedua terpidana telah menyampaikan permohonan amnesti kepada presiden. "Kedua terpidana ingin jawaban apakah surat itu ditolak atau diterima presiden. Kalau ditolak, keduanya akan ikhlas menjalani eksekusi", tegas Soleh. (heh) 2Jakarta - Jajaran KPU memintakan amnesti bagi rekan-rekannya yang kini dipidanakan dan yang sedang diproses hukum karena didakwa melanggar prosedur pengadaan logistik Pemilu 2004. Permintaan tersebut tercantum dalam rilis mengenai pokok-pokok pembicaraan antara KPU dengan Presiden SBY. "Harapan kami Bapak Presiden kiranya dapat meninjau ulang kebijaksanaan Bapak soal KPU. Apabila Bapak berkenan memberikan amnesti atau hak prerogatif Presiden yang terbaik menurut Bapak Presiden, maka seluruh slag orde KPU di daerah akan sangat bergairah mensukseskan program Presiden. Pemilu 2009 harus menjadi program prioritas Presiden, harga dan martabat bangsa kembali akan dipertaruhkan." Demikian bunyi alenia terakhir dari rilis yang dibagikan staf KPU pada wartawan usai Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti memberi konferensi pers tentang pertemuannya dengan SBY di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (15/3/2006). Ramlan Surbakti tidak bisa dikonfirmasi langsung mengenai permintaan ini. Ia tidak juga mengangkat telepon genggamnya saat dihubungi wartawan. Tetapi melalui SMS dirinya membantah bahwa KPU minta amnesti. Bunyi jawabannya yang diterima detikcom adalah "Pernyataan tentang amnesti, rehabilitasi dan sebagainya bukan dari KPU melainkan dari Presiden. Hal ini tolong ditanyakan kepada Presiden atau Mensesneg dan Mendagri". Anehnya Jubir Presiden, Andi Mallarangeng, yang ikut mendampingi Presiden menerima anggota KPU menyatakan masalah amnesti tidak disinggung dalam pembicaraan selama satu jam tadi. "Nggak. Nggak disinggung. Tadi KPU hanya memaparkan kendala admistratif terhadap pelaksanaan Keppres No 80/2003," kata Mallarangeng pada detikcom melalui sambungan telepon. Meski demikian Ramlan Surbakti di dalam konferensi persnya sempat menyatakan kasus hukum yang melibat para sejawatnya di KPU lebih merupakan masalah administratif atas pelaksaan ketentuan Keppres no 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Menurut guru besar Universitas Airlangga ini, masalah prosedur administratif yang tidak bisa dipenuhi tentunya tidak bisa jadi alasan untuk dipidanakan. Apalagi penyebabnya adalah situasi dan kondisi objektif yang abnormal yang merupakan konsekuensi dari keterlambatan pengesahan UU Pemilu. "Tadi Presiden minta Mensesneg mengkaji masalah ini.

Mestinya kesalahan prosedur administratif bukan pidana. Termasuk juga tentang ketentuan Keppres No 80/32003 supaya bisa diantisipasi kasus-kasus dalam pilkada dan pemilu," ungkap Ramlan. Malu Lebih lanjut diungkapkannya, atas perlakuan hukum tidak adil yang ditimpakan pada sejawatnya, para anggota KPU yang tidak dipidanakan pun mempunyai beban moral yang luar biasa berat saat berhadapan dengan masyarakat. "Jangankan mereka, kami saja yang diluar merasa sudah tidak ada artinya. Saya saja di hadapan para mahasiswa sudah malu. Apalagi temen-temen yang di dalam tahanan dan keluarganya," papar Ramlan. Perasaan tertekan itu disampaikan Valina Singka Subekti dan Chusnul Mariyah pada SBY. Sekaligus menyampaikan salam dari para jajaran KPU yang tengah dipidanakan. Yakni Nazaruddin Sjamsudin (ketua), Mulyana W. Kusuma (anggota), Daan Dimara (anggota), Rusadi Kantaprawira (anggota), Hamdani Amin (Kabiro Keuangan), Sussongko Raharjo (Wasekjen) dan Safder Yussac (Sekjen). Diterima Jakarta - Pemerintah Arab Saudi memperpanjang masa pengampunan (amnesti) para WNI maupun TKI overstayers hingga 3 November 2013. Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat, mengapresiasi kebijakakn pemerintah Arab Saudi tersebut. "Saya bersyukur dengan kebijakan memperpanjang amnesti ini. Dengan begitu, pelayanan pembaruan dokumen ataupun penerbitan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) terhadap para WNI/TKI oleh tim pemerintah RI, khususnya yang dilakukan di KJRI Jeddah semakin leluasa dan lebih baik lagi," ujar Jumhur dalam keterangan pers yang diterima detikcom, Selasa (2/7/2013). Jumhur mengatakan, kebijakan amnesti tersebut diterapkan untuk warga negara asing ilegal di Arab Saudi meliputi 1 juta orang. Sedangkan jumlah WNI maupun TKI yang terkena amnesti di Saudi diperkirakan berjumlah 130 ribu orang. "Para WNI maupun TKI itu umumnya memilih untuk tetap bekerja di Arab Saudi baik pada pengguna yang sama atau berbeda, melalui fasilitasi agensi perekrut TKI setempat atas nama kepentingan pihak pengguna bekerjasama perusahaan jasa TKI atau Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS),"jelasnya. Jumhur juga mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sendiri yang telah meminta perpanjangan amnesti bagi para WNI maupun TKI secara tertulis kepada Raja Arab Saudi, Abdullah Bin Abdul Azis Al Suud. Masa amnesti para WNI maupun TKI overstayers tersebut diperpanjang hingga empat bulan ke depan, di mana sebelumnya, amnesti tersebut diberlakukan sejak 11 Mei hingga 3 Juli 2013. Perwakilan RI, lanjut Jumhur, akan melakukan pembaruan dokumen sementara dalam bentuk SPLP, sehingga para TKI dapat bekerja kembali secara nyaman dan legal. Setelah para TKI menandatangani perjanjian kerja dengan pengguna, SPLP akan segera diganti dokumen paspor oleh KJRI Jeddah. Sementara itu, untuk para WNI ataupun TKI yang menginginkan pulang ke tanah air akibat adanya amnesti, perwakilan RI juga mengeluarkan SPLP guna mendapatkan pelayanan exit permit dari otoritas imigrasi Arab Saudi sebelum kepulangannya.

"Per 1 Juli ini, KJRI Jeddah menerima pendaftaran para WNI/TKI overstayers sejumlah lebih 83 ribu orang. KJRI Jeddah sendiri telah mengeluarkan lebih 65 ribu SPLP tercetak kepada para WNI/TKI yang memerlukan," katanya. Masa perpanjangan amnesti ini harus betul-betul dimanfaatkan oleh WNI ataupun TKI yang overstayers. Sebab, jika tidak pemerintah Arab Saudi mengenakan hukuman penjara dua tahun untuk WNI/TKI yang tidak memanfaatkan momentum tersebut. Dan untuk pengguna yang memperkerjakan TKI itu pun diancam denda 100 ribu Riyal Saudi

abolisi

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mesti memberikan abolisi dalam perkara Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah guna menyelamatkan bangsa. Demikian dikatakan anggota Komisi III DPR, Nudirman Munir di Padang, Minggu (13/6/2010). Menurut Nudirman, abolisi perlu dilakukan presiden karena sikap Kejaksaan Agung yang memilik peninjauan kembali atau PK dibandingkan deponeering tidaklah menghalangi eksekusi terhadap Bibit dan Chandra. Sebelumnya, Jaksa Agung menegaskan pihaknya bersikukuh mempertahankan SKPP (surat ketetapan penghentian penuntutan) atas kasus tersebut dengan mengajukan PK ke MA. SKPP kasus Bibit Chandra yang dikeluarkan Kejaksaan Agung kalah dalam sidang praperadilan di pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi. Hal tersebut berarti status Bibit dan Chandra kembali menjadi tersangka dan kasusnya harus dibawa ke pengadilan. Rehabilitasi JAKARTA, KOMPAS.com -- Setelah kira-kira tiga bulan menjalani rehabilitasi di Unit Pelaksana Teknis Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) di Lido, Sukabumi, Jawa Barat, akhirnya Raffi Ahmad dipulangkan pada Sabtu (27/4/2013). Menurut pihak BNN, Raffi dinyatakan telah sehat fisik dan mental. "Atas rekomendasi dari Lido, yang bersangkutan (Raffi) bisa menjalani rehab jalan, tinggal di rumah sambil nanti tetap melakukan konsultasi dan di bawah pengawasan tim dokter dari BNN," terang Benny J Mamoto, Deputi Pemberantasan Narkotika BNN, dalam jumpa pers di gedung BNN, Cawang, Jakarta Timur. Dengan kata lain, pihak BNN menangguhkan penahanan Raffi, bukan melepaskan Raffi dari kasus penyalahgunaan narkotika. Menurut Benny, langkah itu diambil oleh pihak BNN karena masih ada perbedaan persepsi antara pihak BNN dengan pihak Kejaksaan Agung. "Intinya itu, tidak ada untuk lepaskan (Raffi). Masalah methylone, masih ada perbedaan persepsi dengan jaksa," terang Benny lagi. Keputusan tersebut disambut lega oleh ibu Raffi, Amy Qanita. "Raffi selama ini di Lido ada banyak manfaat dan almahdulillah Raffi bisa beraktivitas lagi," ucapnya berhias senyum.

TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa Hukum Vanny Rossyane, Windu Wijaya, mendatangi gedung Badan Nasional Narkotika untuk mengajukan surat permohonan rehabilitasi untuk kliennya, pada Senin, 23 September 2013. Kasus Vanny ini sendiri, ditangani oleh Direktorat Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia. Juru bicara BNN, Komisaris Besar Sumirat Dwiyanto mengatakan sesuai Peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2011 tentang wajib lapor bagi penyalahguna narkoba, pada Pasal 13 menyatakan bahwa yang berwenang untuk menempatkan seorang tersangka untuk direhabilitasi adalah penyidik, Jaksa, dan Hakim. Mereka yang berhak untuk menempatkan tersangka ke pusat rehabilitasi, tergantung tingkatan pemeriksaan (kasusnya), kata Sumirat kepada Tempo saat dihubungi, Senin. Rehabilitasi untuk tersangka, kata Sumirat, juga dapat dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi dari tim dokter. Tim assesment (penguji) atau dokter yang akan memeriksa, hasil pemeriksaannya itu baru menentukan direhab atau tidaknya seorang tersangka, ujarnya. Mantan kekasih terpidana mati, Freddy Budiman ini ditangkap anggota Direktorat Tindak Pidana Narkoba di kamar 917 Hotel Mercure Jakarta kota, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Barat, saat sedang mengkonsumsi sabu, pada Senin malam, 16 September 2013. Model majalah pria dewasa ini juga telah mengajukan permintaan rehabilitasi kepada Direktorat Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia. "Kami sudah ajukan secara lisan kepada Direktorat IV (Tindak Pidana Narkoba)," kata Windu. Menurut Windu, sebelum ditangkap, Vanny sudah lebih dulu berencana untuk rehabilitasi. Vanny, kata dia, juga sudah sebulan tidak mengkonsumsi narkoba. "Vanny bilang sudah sebulan tidak konsumsi sabu dan saat ditangkap dia juga bilang tidak sedang pakai sabu. Sabu 0,88 gram itu juga bukan punya dia. Dia dijebak," ujarnya. Sementara itu, Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Arman Depari mempersilakan kuasa hukum Vanny untuk mengajukan rehabilitasi. "Silakan saja diajukan, tapi sekarang ini indikasinya Vanny sebagai pemilik," kata Arman. Menurut Arman, jika dalam pemeriksaan dan penyelidikan mengarah kepada pengedar atau termasuk dalam jaringan narkoba, tidak bisa direhab. "Ya nanti dipengadilan juga akan dibuktikan, kami tidak bisa merehabilitasi seorang pengedar. Masa pengedar direhab, tidak bisa itu," ujarnya. Ddd Contoh menarik kini, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono hendak memberikan "hadiah" pengampunan kepada tersangka korupsi Soeharto, yang telah didahului dengan surat ketetapan penghentian penuntutan dari kejaksaan. Di satu pihak, pengampunan hukum ini terkesan menunjukkan sikap mulia dan kebesaran jiwa Yudhoyono serta bangsa Indonesia pada umumnya. Namun, di pihak lain, pemberian pengampunan tanpa harus melewati proses hukum yang maksimal adalah bentuk sikap meremehkan persoalan dan lembeknya jiwa. Betapa tidak, perjalanan kekuasaan Soeharto selama kurang-lebih 32 tahun diwarnai aneka

kejahatan yang bukan hanya dalam kasus korupsi, melainkan juga yang lebih besar, kejahatan kemanusiaan, dari penggusuran, penculikan, penyalahgunaan wewenang, korupsi, kolusi, dan nepotisme, sampai pembunuhan. Namun, di ujung cerita, penguasa Orde Baru yang sudah lengser itu akan mendapatkan pengampunan begitu saja. Sungguh ironis dan mencederai rasa keadilan. Sebenarnya, bukan hanya Yudhoyono, semua Presiden RI pascareformasi melunak sikapnya terhadap kasus korupsi Soeharto. Sejak masa Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, hingga Megawati, tidak ada kebijakan yang tegas terhadap kasus penguasa Orde Baru itu. Pada saat Megawati berkuasa, dia pernah menggulirkan wacana abolisi untuk menyelesaikan kasus Soeharto karena alasan kemanusiaan. Sementara itu, Presiden Yudhoyono, pada 10 Mei malam lalu, setelah meminta saran dari pemimpin lembaga tinggi negara, menyatakan pemerintah tidak akan melanjutkan perkara mantan presiden Soeharto di pengadilan, yang selama ini terhenti karena alasan kesehatan. Namun, pemerintah masih mempertimbangkan bagaimana bentuk penghentian itu, apakah dengan amnesti, abolisi, deponir (pembekuan perkara), atau penghentian perkara. Sekarang ini kita tinggal menanti bentuk "hadiah" pengampunan Yudhoyono terhadap Soeharto. Itu berarti bangsa ini sedang menanti satu pembuktian lagi ucapan Myrdal tentang kelembekan moral bangsa Indonesia. Apabila Yudhoyono benar-benar memberikan surat pengampunan kepada Soeharto, itu sama artinya bangsa ini benar-benar tidak memiliki ketegaran moral berhadapan dengan penyelewengan dan kejahatan. Pengampunan itu akan menjadi simbol dari kedigdayaan sang angkara terhadap nurani bangsa. Padahal sesungguhnya, jika Yudhoyono mau bersikap lebih bijak dan tegas, penanganan kasus Soeharto dapat menjadi momentum pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia di kemudian hari. Syaratnya, Presiden Yudhoyono harus dapat menempatkan penyelesaian kasus Soeharto sebagai awal untuk menarik batas tegas antara masa lalu dan masa depan. Sedangkan langkah yang dapat dilakukan, pertama, menempatkan kasus Soeharto bukan hanya sebagai masalah pemerintah, melainkan sebagai masalah bangsa. Membiarkan Soeharto berkuasa selama 32 tahun adalah kesalahan bersama. Akibatnya, Soeharto melakukan penyelewengan dan kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Karena itu, penyelesaiannya harus dilakukan secara bersama-sama. Pada tataran ini, Yudhoyono harus mampu meletakkan diri pada titik koordinat yang tepat di antara komponen bangsa yang menghendaki kasus ini dapat diselesaikan. Karena itu, penyelesaian dengan pelibatan semua elemen bangsa menjadi penting; pemimpin lembaga tinggi negara, lembaga kuasi negara, tokoh agama, akademisi, praktisi, lembaga swadaya masyarakat, dan terutama tokoh-tokoh yang terlibat dalam proses reformasi. Kedua, menempatkan kasus Soeharto bukan sekadar sebagai masalah hukum, melainkan menjadi masalah penyelewengan moral, terutama moral sosial-politik. Sehubungan dengan hal tersebut, persoalan Soeharto tidak boleh hanya diposisikan sebagai persoalan hukum yang dapat diselesaikan dengan pendekatan hukum semata. Persoalan Soeharto tidak akan selesai dengan menghentikan atau melanjutkan proses hukumnya dalam kasus korupsi yayasan. Apabila hanya langkah hukum yang menjadi pilihan, terlalu banyak proses hukum yang harus dilalui Soeharto, mengingat begitu banyaknya kejahatan yang dilakukannya selama 32 tahun, terutama korupsi, kolusi, dan nepotisme serta kejahatan hak asasi manusia. Ketiga, menegaskan garis pemisah antara masa lalu dan masa mendatang. Jangan sampai kita melupakan penyelewengan Soeharto yang menyebabkan bangsa terpuruk seperti saat ini.

Melupakan peristiwa negatif masa lalu akan menghasilkan sikap lalai dan gagal menarik pelajaran dari sejarah. Karena itu, Yudhoyono harus dengan tegas mendorong memaksimalkan proses hukum yang sedang berjalan. Yudhoyono harus berani mengambil sikap menghentikan drama permainan yang sedang berlangsung serta segera mendorong berlangsungnya proses hukum dan politik sampai tuntas, baik mengenai kasus korupsi yayasan maupun penyelewengan kekuasaan dan kejahatan Soeharto lainnya. Keempat, memaafkan setelah memberikan vonis bersalah. Jika proses hukum dan proses politik sudah dilakukan dengan serius dan maksimal, dan akhirnya memberikan vonis Soeharto bersalah, saat itulah momentum untuk memaafkannya. Tidak memelihara memori kolektif penuh stigma dan trauma sebagai awal menuju masa depan. Tarik-menarik antara sikap "tidak melupakan" dan "memaafkan" hendaknya diarahkan kepada tumbuhnya sikap saling mengerti dan saling memahami yang menuju sikap saling hormat dan saling percaya. Sikap dendam dan balas dendam cenderung akan menghabiskan energi nasional dan menyeret rakyat ke kesengsaraan tanpa ujung. Tapi langkah pilihan itu akan memerlukan kebesaran jiwa dan kesediaan mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan sendiri. Tindakan besar memerlukan tekad yang besar, antara lain tekad untuk berkorban demi masyarakat, bangsa, dan negara Upaya penghentian perkara, jika itu memang benar-benar mesti dilakukan, haruslah mengikuti prosedur yang berlaku dan dilakukan secara cermat. Prinsip yang harus dilalui adalah to forgive but not to forget. Tidak seperti selama ini, upaya proses peradilan belum serius dan tidak maksimal dilaksanakan, tapi pemaafan sudah hendak dikedepankan. Kalau ini yang terjadi, benar kata Myrdal, bangsa ini memang tidak memiliki ketegaran moral, yaitu bangsa yang abai akan penyelewengan dan kejahatan serta lembek dalam komitmen moral.

You might also like