You are on page 1of 12

TUGAS MATA KULIAH KECENDERUNGAN DAN ISSUE DALAM KEPERAWATAN

Peran perawat CMHN dalam kasus restrain/seklusi

Oleh : Shanti Rosmaharani NIM. 136070300111011

MAGISTER KEPERAWATAN PEMINATAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013

Peran perawat CMHN dalam kasus restrain/seklusi

1. Latar belakang Manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Untuk mempertahankan eksistensinya manusia perlu berada bersama orang lain dan mengadakan interaksi sosial di dalam kelompoknya. Kelompok ini dibedakan menjadi kelompok kecil (keluarga) dan kelompok yang lebih luas (masyarakat). Masyarakat merupakan sekelompok orang yang memiliki identitas sendiri dan mendiami wilayah atau daerah tertentu ,serta mengembangkan norma-norma yang harus dipatuhi oleh para anggotanya. Selain itu masyarakat juga terdiri dari arti masyarakat secara luas yang mengartikan bahwa masyarakat merupakan kumpulan dari individu-individu yang saling berinteraksi, yang mempunyai tujuan bersama dan yang cenderung memiliki kepercayaan, sikap dan perilaku yang sama. (Sarwono, 2007 dalam Riyadi, 2009). Persepsi masyarakat terhadap kesehatan mental berbeda di setiap kebudayaan. Dalam suatu budaya tertentu, orang-orang secara sukarela mencari bantuan dari para profesional untuk menangani gangguan jiwanya. Sebaliknya dalam kebudayaan yang lain, gangguan jiwa cenderung diabaikan sehingga penanganan akan menjadi jelek, atau di sisi lain masyarakat kurang antusias dalam mendapatkan bantuan untuk mengatasi gangguan jiwanya. Bahkan gangguan jiwa dianggap memalukan atau membawa aib bagi keluarga. Hal kedua inilah yang biasanya terjadi dikalangan masyarakat saat ini. (http://rsjlawang.com/artikel_080512a.html). Model kesehatan Barat memandang gangguan jiwa sebagai suatu hal yang harus disembuhkan. Sehingga pelayanan kesehatan jiwa cenderung berorientasi hanya pada gangguan jiwa yang menimpa orang tersebut dan sering mengabaikan aspek-aspek yang berkaitan dengan kehidupan dan kesejahteraan kliennya. Masalah kesehatan jiwa mempunyai lingkup yang sangat luas dan kompleks serta tidak terpisahkan (integral) dari kesehatan terutama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia yang utuh. Gangguan Jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan dan masih banyak ditemukan di masyarakat. Masalah gangguan jiwa secara tidak langsung akan menurunkan produktivitas apalagi jika menderita gangguan jiwa dimulai pada usia produktif selain itu juga menambah beban dari keluarga penderita.

2. Pembahasan Kasus

Realitas di masyarakat bahwa terjadi pemasungan dan penelantaran penderita gangguan jiwa adalah hal yang biasa. Seperti contoh kasus Seorang laki-laki usia 30 tahun ditemukan berada di sebuah runagan berukuran 2X2 di tengah sawah desa makmur. Ruangan tersebut tampak gelap meskipun siang hari. Tilak terdapat jendela dan hanya terdapat satu pintu yang terdiri dari dua lapis pintu besi yang tergembok dengan rapat. Tampak pintu telah berkarat. Kondisi pasien telanjang dan tampak sedang berhalusinasi Dari kasus di atas tampak adanya tindakan pengisolasian yaitu merupakan tindakan mengurung sendirian tanpa persetujuan atau dengan paksa, dalam suatu ruangan atau area yang secara fisik membatasi untuk keluar atau meninggalkan ruangan / area tersebut. Beberapa waktu terakhir ini sering diberitakan, baik di media cetak maupun elektronik mengenai pemasungan/pengisolasian terhadap penderita gangguan jiwa. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi. Padahal sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa menyatakan bahwa pasien dengan gangguan jiwa yang terlantar mendapatkan perawatan dan pengobatan pada suatu tempat perawatan. Bahkan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor PEM.29/6/15, tertanggal 11 Nopember 1977 yang ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menyerahkan perawatan penderita di Rumah Sakit Jiwa. Surat tersebut juga berisi instruksi untuk para Camat dan Kepala Desa agar secara aktif mengambil prakarsa dan langkah-langkah dalam penanggulangan pasien yang ada di daerah mereka Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), terutama yang berat dan kronis seperti skizofrenia dan gangguan bipolar adalah termasuk kelompok yang rentan mengalami pengabaian hak-haknya. WHO dalam pernyataannya mengenai Kesehatan Jiwa, menyatakan bahwa, gangguan jiwa mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku, kemampuan untuk melindungi kepentingan dirinya dan kemampuan mereka untuk mengambil keputusan; seseorang dengan gangguan jiwa berhadapan dengan stigma, diskriminasi dan marginalisasi. Stigma menyebabkan mereka tidak mencari pengobatan yang sangat mereka butuhkan, atau mereka akan mendapatkan pelayanan yang bermutu rendah; marginalisasi dan diskriminasi juga meningkatkan risiko kekerasan pada hak-hak individu, hak politik, ekonomi, sosial dan budaya. Charles Churrie (1970) mendeklarasikan bahwa penggunaan restrain dan isolasi merupakan kegagalan treatment dan berencana mengeliminasi penggunaannya (The Journal). Ide

pengurangan restrain bukan hal yang baru. Di Amerika Serikat sejak tahun 1970 penderita gangguan jiwa telah mengkomplain tindakan tersebut, namun belum mendapatkan respon yang cukup. Pengurangan restrain pertama kali dilakukan oleh Commenwealth Pensylvania pada tahun 1990. Selanjutnya berkembang ide-ide pengukuran kualitas restrain dan isolasi. Quality Indicator Project lebih dari 1000 organisasi pelayanan kesehatan di US mengusulkan 99 data indikator dari kualitas pelayanan RS Jiwa. Dari data tersebut 36 berhubungan dengan penggunaan restrain dan isolasi, diantaranya termasuk kejadian restrain, jam restrain, pengulangan penggunaan restrain tanpa sengaja, dan isolasi lebih kurang 1-6 jam. JCAHO (Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations) mengakreditasi standart yang lebih ideal dari pembatasan penggunaan restrain dan isolasi. JCAHO juga memutuskan restrain dan isolasi sebagai petunjuk inti dari kualitas pelayanan pada institusi pelayanan psikiatri. Institusi yang telah mengurangi restrain. Sejumlah Negara bagian di Amerika Serikat telah mengeliminasi penggunaan restrain dan isolasi. Fasilitas kesehatan mental di Carolina Selatan terjadi pengurangan rata-rata jam isolasi dari 693 per bulan pada tahun 1993 menjadi 21 perbulan pada tahun 2000 dan rata-rata jam bulanan restrain dari 24 pada tahun 1992 menjadi 0,35 pada tahun 2003. Fasilitas yang telah mengurangi isolasi dan restrain di AS telah lebih dari 50%. Upaya untuk mengurangi restrain dan isolasi di Indonesia belum terdengar gaungnya. Bahkan upaya-upaya peningkatan kualitas restrain saja belum banyak dibicarakan apalagi diseminarkan. Satu contoh sederhana, berapa persenkan institusi pelayanan psikiatri di Indonesia yang telah mendokumentasi tentang lama restrain, tujuan restrain, tehnik restrain, jumlah ikatan, kejadian-kejadian selama tindakan restrain, dan rata-rata bulanan restrain. Meski tidak ada data pasti namun dapat diprediksi sangat sedikit institusi yang telah mendokumentasikan dengan baik. Upaya untuk mengurangi tidak mudah untuk mengurangi atau mengeliminasi restrain dan isolasi karena membutuhkan perubahan system dan kebijakan. Metode untuk mengurangi restrain dan isolasi membutuhkan beberapa unsur penting yaitu partisipasi dari penerima pelayanan kesehatan mental, perubahan budaya, analisis data dan treatmen individu yang diperlukan. National Technical Assistance Centre (1999) mengembangkan kurikulum untuk mengurangi restrain dan isolasi yang dikenal dengan 6 strategi pokok yaitu: perubahan kepemimpinan dan organisasi, penggunaan data untuk persetujuan tindakan, pengembangan kekuatan kerja, penggunaan pencegahan restrain dan isolasi, peran konsumen dalam hal ini pasien dan tanya jawab. Upaya pengurangan restrain sulit terwujud tanpa melibatkan staf. Perawat adalah komponen yang krusial dalam usaha mengurangi restrain dan isolasi. Perawat dapat pula menjadi pimpinan untuk merubah kultur dengan memahami kepribadian pasien.

Perawat juga harus memahami budaya atau kultur dengan mentoleransi berbagai macam perilaku.Melirik pada Negara maju Komite Hukum di Inggris mengidentifikasi batasan yang cukup jelas mengenai penggunaan restrain yaitu bahwa restrain seharusnya digunakan bukan untuk menghukum namun hanya digunakan untuk mengontrol tingkah laku kekerasan dalam upaya untuk melindungi tenaga kesehatan dan orang-orang disekitarnya. Idealnya penggunaan restrain ini dimonitor oleh suatu badan independen seperti misalnya komisi kesehatan mental yang telah ada di inggris untuk meyakinkan bahwa penggunaan restrain adalah legal dan tepat sesuai dengan kebutuhannya. Departemen kesehatan di inggris membuat batasan mengenai penggunaan batasan fisik oleh pelayanan kesehatan hanya oleh hal-hal berikut 1. Ketika cara-cara yang lain telah gagal, bahkan ketika restrain merupakan jalan terakhir, enggunaannya perlu dibicarakan dengan tenaga kesehatan lain dalam satu tim tersebut. 2. Dalam situasi gawat ketika resiko terjadinya bahaya yang ditimbulkan oleh tingkah laku destruktif lebih besar daripada penggunaan restrain tersebut. 3. Digunakan dengan pemaksaan minimal 4. Digunakan untuk waktu seminimal mungkin 5. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang telah dilatih dan menggunakan teknik yang tepat dan aman. 6. Dilakukan dengan meminimalkan terjadinya kerusakan fisik dan meminimalkan terjadinya penurunan terhadap harga diri klien 7. Dengan melakukan pelaporan secara formal.

Keperawatan kesehatan jiwa merupakan proses interpersonal yang berupaya untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku yang mendukung pada fungsi yang terintegrasi sehingga sanggup mengembangkan diri secara wajar dan dapat melakukan fungsinya dengan baik, sanggup menjelaskan tugasnya sehari-hari sebagaimana mestinya. Dalam

mengembangkan upaya pelayanan keperawatan jiwa, perawat sangat penting untuk mengetahui dan meyakini akan peran dan fungsinya, serta memahami beberapa konsep dasar yang berhubungan dengan asuhan keperawatan jiwa. Center for Mental Health Services secara resmi mengakui keperawatan kesehatan jiwa sebagai salah satu dari lima inti disiplin kesehatan jiwa. Perawat jiwa menggunakan pengetahuan dari ilmu psikososial, biofisik, teori kepribadian, dan perilaku manusia untuk mendapatkan suatu kerangka berpikir teoritis yang mendasari praktik keperawatan. 1. 2. Pengkajian yg mempertimbangkan budaya Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan

3. 4.

Berperan serta dalam pengelolaan kasus Meningkatkan dan memelihara kesehatan mental, mengatasi pengaruh penyakit mental -

penyuluhan dan konseling 5. Mengelola dan mengkoordinasikan sistem pelayanan yang mengintegrasikan kebutuhan

pasien, keluarga staf dan pembuat kebijakan 6. Memberikan pedoman pelayanan kesehatan

Pelayanan Keperawatan Jiwa Komunitas Pelayanan keperawatan jiwa komprehensif adalah pelayanan keperawatan jiwa yang diberikan pada masyarakat pasca bencana dan konflik, dengan kondisi masyarakat yang sangat beragam dalam rentang sehat sakit yang memerlukan pelayanan keperawatan pada tingkat pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Pelayanan keperawatan kesehatan jiwa yang komprehensif mencakup 3 tingkat pencegahan yaitu pencegahan primer , sekunder, dan tersier dalam hali ini kita melihat dari kasus-kasus yang timbul di masyarakat dan paradigma penerimaan masyarakat terhadap pasien dengan gangguan jiwa (Minas, 2008). 1. Pencegahan Primer

Fokus pelayanan keperawatan jiwa adalah pada peningkatan kesehatan dan pencegahan terjadinya gangguan jiwa. Tujuan pelayanan adalah mencegah terjadinya gangguan jiwa , mempertahankan dan meningkatkan kesehatan jiwa. Target pelayanan yaitu anggota masyarakat yang belum mengalami gangguan jiwa sesuai dengan kelompok umur yaitu anak, remaja, dewasa, dan usia lanjut. Aktivitas pada pencegahan primer adalah program pendidikan kesehatan , program stimulasi perkembangan, program sosialisasi kesehatan jiwa , manajemen stress , persiapan menjadi orang tua. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah : Program pencegahan bunuh diri. Bunuh diri merupakan salah satu cara penyelesaian masalah oleh individu yang mengalami keputus asaan. Oleh karena itu perlu dilakukan program Memberikan informasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang tanda-tanda bunuh diri, Menyediakan lingkungan yang aman untuk mencegah bunuh diri, Melatih keterampilan koping yang adaptif. Karena dengan koping yang adaptif pasien dapat menyalurkan emosinya dengan benar tidak dengan perilaku amuk sehingga dapat mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Latihan asertif yaitu mengungkapkan keinginan dan perasaan tanpa menyakiti orang lain, latihan afirmasi dengan menguatkan aspek-aspek positif yang ada pada diri seseorang. Kelurarga juga diberikan penyuluhan agar membantu dalam pencapaian koping yang efektif bukan dengan melakukan pasung atau isolasi pada pasien.

2.

Pencegahan Sekunder

Fokus pelayanan keperawatan pada pencegahan sekunder adalah deteksi dini dan penanganan dengan segera masalah psikososial dan gangguan jiwa. Tujuan pelayanan adalah menurunkan angka kejadian gangguan jiwa. Target pelayanan adalah anggota masyarakat yang beresiko atau memperlihatkan tanda-tanda masalah dan gangguan jiwa. Aktivitas pada pencegahan sekunder adalah : a. Menemukan kasus sedini mungkin dengan cara memperoleh informasi dari berbagai

sumber seperti masyarakat, tim kesehatan lain dan penemuan langsung. b. 1) Melakukan penjaringan kasus dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut : Melakukan pengkajian 2menit untuk memperoleh data fokus pada semua pasien yang

berobat kepukesmas dengan keluhan fisik. 2) Jika ditemukan tanda-tanda yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi maka Mengumumkan kepada masyarakat tentang gejala dini gangguan jiwa (di tempat tempat

lanjutkan pengkajian dengan menggunakan pengkajian keperawatan kesehatan jiwa. 3)

umum) 4) Memberikan pengobatan cepat terhadap kasus baru yang ditemukan sesuai dengan

standar pendelegasian program pengobatan (bekerja sama dengan dokter) dan memonitor efek samping pemberian obat, gejala, dan kepatuhan pasien minum obat. 5) Bekerja sama dengan perawat komunitas dalam pemberian obat lain yang dibutuhkan

pasien untuk mengatasi gangguan fisik yang dialami (jika ada gangguan fisik yang memerlukan pengobatan). 6) Melibatkan keluarga dalam pemberian obat, mengajarkan keluarga agar melaporkan

segera kepada perawat jika ditemukan adanya tanda-tanda yang tidak biasa, dan menginformasikan jadwal tindak lanjut. 7) Menangani kasus bunuh diri dengan menempatkan pasien ditempat yang aman,

melakukan pengawasan ketat, menguatkan koping, dan melakukan rujukan jika mengancam keselamatan jiwa. 8) Melakukan terapi modalitas yaitu berbagai terapi keperawatan untuk membantu

pemulihan pasien seperti terapi aktivitas kelompok , terapi keluarga dan terapi lingkungan. 9) Memfasilitasi self-help group (kelompok pasien, kelompok keluarga, atau kelompok

masyarakat pemerhati) berupa kegiatan kelompok yang mebahas masalah-masalah yang terkait dengan kesehatan jiwa dan cara penyelesaiannya. 10) Menyediakan hotline service untuk intervensi krisis yaitu pelayanan dalam 24 pukul melalu telepon berupa pelayan konseling.

11) Melakukan tindakkan lanjut (follow-up) dan rujukan kasus. Keluarga dengan resiko tinggi menjadi prioritas utama harapannya adalah tidak memberikan treatment yang salah ketika menghadapi pasien dengan gangguan jiwa yang mungkin salah satunya dengan tindakan pasung, restrain atau seklusi/isolasi. Hal tersebut dapat semakin memperparah kondisi pasien selain gangguan mentalnya tidak di berikan asuhan dengan benar, pasien juga dapat mengalami cidera fisik terkait dengan pasung atau isolasi yang dilakukan oleh pihak keluarga selain itu perawatan diri pasien yang awalnya bisa dilakukan mandiri sekarang tergantung oleh orang lain. Sehingga akan menambah banyak masalah baru pada pasien. Dalam hal ini perawat CMHN akan memberikan terapi dan solusi kepada keluarga hingga membantu dalam pembebasan pasung/seklusi yang dilakukan pada pasien. 3. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier adalah pelayanan keperawatan yang berfokus pelayana keperawatan adalah : pada peningkatkan fungsi dan sosialisasi serta pencegahan kekambuhan pada pasien gangguan jiwa. Tujuan pelayanan adalah mengurangi kecacatan atau ketidakmampuan akibat gangguan jiwa. Target pelayanan yaitu anggota masyarakat mengalami gangguan jiwa pada tahap pemulihan. Aktifitas pada pencegahan tersier meliputi : 1. Program dukungan sosial dengan menggerakan sumber-sumber dimasyarakat seperti :

sumber pendidikan, dukungan masyrakat (tetangga, teman dekat, tokoh masyarakat), dan pelayan terdekat yang terjangkau masyarakat. Beberapa kegiatan yang dilakukan adalah : a. Pendidikan kesehatan tentang perilaku dan sikap masyarakat terhadap penerima pasien

gangguan jiwa. b. Penjelasan tentang pentingnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam penanganan

pasien yang melayani kekambuhan. 2. Program rehabilitasi untuk memberdayakan pasien dan keluarga hingga mandiri berfokus

pada kekuatan dan kemampuan pasien dan keluarga dengan cara : a. Meningkatkan kemampuan koping yaitu belajar mengungkapkan dan menyelesaikan

masalah dengan cara yang tepat b. c. Mengembangkan sistem pendukung dengan memberdayakan keluarga dan masyarakat. Menyediakan pelatihan dan kemampuan dan potensi yang perlu dikembangkan oleh

pasien, keluarga dan masyarakat agar pasien produktif kembali. d. 3. Membantu pasien dan keluarga merencanakan dan mengambil keputusan untuk dirinya. Program sosialisasi

a. b.

Membuat tempat pertemuan untuk sosialisasi. Mengembangkan keterampilan hidup (aktifitas hidup sehari-hari [ADL],mengelola rumah

tangga, mengembangkan hobi c. d. Program rekreasi seperti nonton bersama, jalan santai, pergi ke tempat rekreasi. Kegiatan sosial dan keagamaan (arisan bersama, pengajian bersama, majelis taklim,

kegiatan adat) 4. Program mencegah stigma. Stigma merupaka anggapan yang keliru dalam masyarakat

terhadap gangguan jiwa, oleh karena itu, perlu diberikan program mencegah stigma untuk menghindari isolasi dan deskriminasi terhadap pasien gangguan jiwa. Beberapa kegiatan yang dilakukan, yaitu : a. Memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang kesehatan jiwa dan

gangguan jiwa, serta tentang sikap dan tindakan menghargai pasien gangguan jiwa. b. Melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat, atau orang yang berpengaruh dalam

rangka mensosialisasikan kesehatan jiwa dan gangguan jiwa.

Peran dan fungsi perawat CMHN 1. Pemberi asuhan keperawatan secara langsung (practitioner) Perawat memberikan asuhan keperawatan kepada pasien untuk membantu pasien mengembangkan kemampuan menyelesaikan masalah dan meningkatkan fungsi kehidupannya. Peran ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan kesehatan jiwa untuk melakukan tindakan sesuai dengan masalah pasien, kegiatan yang dilakukan adalah pengelolaan kasus. Seperti pada kasus pemasungan yang dilakukan di masyarakat karena stigma masyarakat terhadap pasien dengan ganguan jiwa masih sangat buruk, maka perawat CMHN dapat terjun langsung untuk memberikan terapi di komunitas baik itu pasien, keluarga maupun lungkungan masyarakat sekitar. 2. Pendidik (educator) Perawat memberikan pendidikan kesehatan jiwa kepada individu dan keluarga untuk mengembangkan kemampuan menyelesaikan masalah dan mengembangkan kemampuan keluarga dalam melakukan 5 tugas kesehatan keluarga yaitu mampu mengenal masalah-masalah pada pasien, mengambil keputusan untuk mengatasi masalah pasien yang timbul, merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, memodifikasi lingkungan keluarga yang mendukung pemulihan pasien tidak dengan melakukan pasung dan seklusi serta memanfaatkan pelayanan kesehatan jiwa yang ada untuk mengatasi masalah pasien. Memberikan penjelasan efek samping terkait dengan tindakan pasung atau seklusi yang dilakukan terhadap pasien.

3. Koordinator (coordinator) Melakukan koordinasi dalam kegiatan: a. Penemuan kasus Perawat kesehatan jiwa komunitas menemukan kasus dengan melakukan pemeriksaan langsung dari keluarga ke keluarga pada tingkat lorong, meningkat ke tingkat dusun, kemudian kelurahan serta kecamatan sehingga dapat menetapkan jumlah kasus gangguan jiwa pada wilayah kerja puskesmas. Penemuan kasus dapat berkoordinasi dengan masyarakat, TOMA, anggota tim kes Puskesmas yang sama. Informasi tentang tanda dan gejala gangguan jiwa yang menonjol diberikan pada masyarakat, TOMA dan anggota tim puskesmas. b. Rujukan Perawat kesehatan jiwa komunitas yang bertugas di masyarakat dapat merujuk pasien yang belum ada perbaikan untuk datang ke puskesmas agar mendapatkan program pengobatan dari dokter di puskesmas. Perawat KesWa komunitas dapat pula berkonsultasi dengan tim Kes Wa komunitas (dari dinas kesehatan ) yang mempunyai jadual mengunjungi Puskesmas, terkait dengan perkembangan kasus dan pengembangan pelayanan. Jika menemukan adanya pemasungan pasien di jiwa di komunitas maka sebaiknya dilakukan koordinasi dengan dinas kesehatan dan pelayanan kesehatan setempat untuk membantu pembebasan pasien pasung yang telah dilakukan dan dianjurkan agar kontinuitas pelayanan dapat dilanjutkan Pengorganisasian CMHN a. Pendekatan : 1. Perencanaan sosial ( social planning ) Keputusan program pemenuhan dan penyelesaian masalah didasarkan atas fakta-fakta yang didapatkan di lapangan dan fokusnya pada penyelesaian tugas. Pendekatan ini diperlukan pada kondisi yang memerlukan penyelesaian masalah dengan segera. 2. Aksi sosial ( social action ) Program pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian masalah pada satu area tertentu dilakukan oleh sekelompok ahli dari tempat lain. Hal ini dilakukan jika pada tempat kejadian belum dapat diidentifikasi sumber daya yang digunakan. Hal ini juga telah dilakukan dan berlangsung sampai saat ini. 3. Pengembangan masyarakat ( Comunity development ) Program pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian masalah ditekankan pada peran serta masyarakat, pemberdayaan masyarakat atau peningkatan kemampuan masyarakat dalam menyelesaikan masalah

dan saling memberi bantuan dalam mengidentifikasi masalah atau kebutuhan serta penyelesaiannya b.Penerapan 1. Mengidentifikasi kebutuhan dan masalah serta sumber daya yang ada di masyarakat. Cara memeperoleh data 2. Mengelompokkan data 3. Merencanakan dan melaksanakan tindakan keperawatan terhadap kasus. Perawat kesehatan jiwa komunitas membuat jadual dalam melakukan tindakan terhadap kasus dengan menggunakan modul asuhan keperawatan, 4. Melakukan evaluasi tindak lanjut

Kasus-kasus pemasungan dan seklusi/isolasi yang diberikan pada pasien oleh keluarga sangat tidak tepat dilakukan karena dapat menimbulkan banyak masalah baru kepada pasien, misalnya trauma mental dan cidera fisik, serta defisit perawatan diri. Keluarga dengan resiko tinggi menjadi prioritas/sasaran utama perawat CMHN. Peran perawat CMHN sangat penting di komunitas mengingat stigma di masyarakat tentang pasien gangguan jiwa dan masih rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat tentang asuhan keperawatan jiwa. Perawat CMHN harus mampu memberikan terapi dan solusi kepada pasien, keluarga dan masyarakat di lingkungan sekitar, sehingga meminimalkan tindakan salah yang dilakukan pada pasien seperti pemasungan dan seklusi/isolasi.

DAFTAR PUSTAKA

Dunia Remaja, Beberapa jenis gangguan jiwa yang banyak terjadi pada masa remaja. Post 23 Februari 2012. Diambil pada tanggal 15 April 2013 Edwards GA: Restraint in the treatment of the mentally ill in the late 19th century. Aust N Z J Psychiatry 1970, 4(1):201-205

Minas H, Diatri H: Pasung: Physical restraint and confinement of the mentally ill in the community. Int J Ment Health Syst 2008, 2:8. Keliat, Budi Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN Basic. Jakarta: EGC. Riyadi, S dan Purwanto, T. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Dian Pustaka

Thompson P. The use of seclusion in psychiatric hospitals in the Newcastle area. Br J Psychiatry 1986; 149: 4714.

You might also like