You are on page 1of 56

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah laporan dengan judul skenario ada apa dengan Bu Mimi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari diskusi kelompok kecil (DKK) kami. Laporan ini secara garis besar berisikan tentang definisi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis sampai

penatalaksanaan dari koma diabetikum, koma hepatikum dan koma uremikum. Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada: 1. dr. Ronny Isnuwardana, MIH selaku tutor kelompok II yang telah membimbing kami dalam melaksanakan diskusi kelompok kecil pada modul 5 ini. 2. Dosen-dosen yang telah mengajarkan materi perkuliahan kepada kami sehingga dapat membantu dalam penyelesaian laporan hasil diskusi kelompok kecil ini. 3. Teman-teman kelompok II yang telah mencurahkan pikiran, tenaga dan waktunya sehingga diskusi sehingga dapat berjalan dengan baik dan dapat menyelesaikan laporan hasil diskusi ini. 4. Teman-teman mahasiswa kedokteran Universitas Mulawarman angkatan 2008 khususnya yang telah bersedia untuk sharing bersama mengenai materi yang kita bahas. Akhirnya, tak ada gading yang tak retak, tentunya laporan ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan hasil diskusi kelompok kecil (dkk) ini. Hormat Kami,

Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................................ Kata pengantar .............................................................................................. i Daftar isi ....................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1 Latar Belakang ................................................................................. 1 Tujuan Modul................................................................................... 1 BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. 2 Skenario ........................................................................................... 2 STEP I STEP II Identifikasi Istilah/ konsep ............................................ 2 Identifikasi Masalah ....................................................... 2

STEP III Analisa Masalah ............................................................. 2 STEP IV STEP V Strukturisasi ................................................................... 5 Identifikasi Tujuan Belajar ............................................ 5

STEP VI Belajar Mandiri.............................................................. 5 STEP VII Sintesis .......................................................................... 6 BAB III PENUTUP ..................................................................................... 52 Kesimpulan ...................................................................................... 52 Saran ................................................................................................ 52 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 53

ii

iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Koma merupakan suatu kegawatdaruratan medis. Hal tersebut dikarenakan kondisi ini dapat sangat membahayakan bagi pasien dan dapat mengancam jiwa pasien. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, terutama di bidang kedokteran, semakin banyak informasi baru mengenai penyebab koma. Salah satu diantaranya ialah akibat kelainan metabolik dalam tubuh seseorang. Penyakit metabolik seperti diabetes mellitus, gagal ginjal, serta gangguan fungsi hepar dapat bermanifestasi terhadap fungsi kognitif dan kesadaran seseorang. Jenis-jenis koma dapat dibagi menjadi 3 macam : Koma Diabetikum, Koma Hepatikum dan Koma uremikum. Ketiganya memiliki mekanisme tersendiri yang menyeabkan tubuh sulit melakukan kompensasi jika tubuh tidak mendapatkan pertolongan medis yang agresif dan tepat. Intoksikasi(keracunan) juga merupakan suatu kondisi kegawat daruratan medis. Kecepatan dan ketepatan penanganan intoksikasi sangatlah penting agar penderita dapat segera dikelola dan diobati sesuai dengan besar masalah sehingga penderita tersebut tidak mengalami komplikasi yang lebih berat maupun kematian. Akan tetapi pada kenyataannya sering kita jumpai penangan an kasus keracunan mendapatkan kesulitan karena penyebab yang sukar diketahui atau banyak organ yang mengalami kerusakan akibat zat/bahan penyebab.

B. Tujuan Modul Tujuan modul 5 blok 19 ini adalah mempelajari tentang Intoksikasi dan gangguan metabolik terutama koma diabetikum, hepatikum dan uremikum. Modul 5 ini digambarkan dengan jelas di skenario sehingga dapat mengarahkan ke learning objective yang harus dicapai.

BAB II PEMBAHASAN

Skenario

Ada Apa dengan Bu Mimi?

Ibu Mimi, 56 tahun, diantar oleh anaknya ke UGD Rumah Sakit karena muntahmuntah dan tidak sadar. Selama ini Bu Mimi belum pernah dirawat di Rumah Sakit. Dari anamnesis diketahui bahwa satu minggu terakhir penderita tidak mempunyai selera makan, diare serta demam. Dua hari sebelum masuk rumah sakit penderita hanya berbaring di tempat tidur dan tampak selalu mengantuk.

STEP 1 -

STEP 2 1. Apa yang menyebabkan Ibu Mimi muntah-muntah dan tidak sadar? 2. Mengapa 1minggu terakhir Bu Mimi tidak mempunyai selera makan, diare dan demam? 3. Mengapa 2 hari sebelumnya Bu Mimi hanya berbaring di tempat tidur dan tampak selalu mengantuk? 4. Apakah hubungan antara keluhan 1 minggu sebelumnya dengan keluhan yang dialami Bu Mimi sekarang? 5. Apakah kemungkinan yang terjadi pada Bu Mimi? 6. Bagaimana penanganan awal yang harus diberikan kepada Bu Mimi? 7. Pemeriksaan apa saja yang harus dilakukan??

STEP 3 1. Penyebab Muntah Hamil Keracunan makanan dan obat-obatan Efek samping obat

Diare

Dyspepsia Trauma kepala Vertigo bulimia ileus paralitik dan obstruktif tumor otak komplikasi diabetes mellitus hipoglikemia

Penyebab tidak sadar Sirkulasi (contoh : stroke, syok) Infeksi (contoh : meningitis) Gangguang metabolic (contoh : hipoglikemia, DM) Neoplasma (contoh : meningioma) Epilepsy Trauma kepala Intoksikasi (napza, alcohol, makanan) Obat-obatan

2. Tidak selera makan Intoksikasi psikotropika Psikologis Neoplasma Infeksi

Infeksi Intoksikasi makanan Stress Gangguan saluran cerna Neuropati diabetes mellitus

Demam Infeksi Neoplasma otak Trauma kepala Intoksikasi obat

3. Dua hari sebelumnya bu Mimi hanya berbaring di tempat tidur dan tampak selalu mengantuk karena

Depresi Intoksikasi obat Penggunaan sedative, depresan Penyebab-penyebab tidak sadar

4. Hubungan antara keluhan 1 minggu sebelum dengan keluhan sekarang yaitu bisa disebabkan karena intoksikasi, neoplasma, komplikasi DM maupun infeksi 5. Ibu Mimi kemungkinan mengalami koma yang mungkin bisa disebabkan karena intoksikasi, neoplasma, komplikasi dm maupun karena infeksi. 6. Penanganan awal pada pasien ini yaitu Airway Bebaskan jalan nafas Suction kalo ada muntahan Posisi miring

Breathing Perbaiki oksigenasi Terapi oksigen

Circulacy Cek nadi Terapi cairan kristaloid

7. Pemeriksaan yang harus dilakukan yaitu Pemeriksaan gula darah AGD Pemeriksaan elektrolit Pemeriksaan darah lengkap Pemeriksaan fungsi ginjal dan hati CT scan Pemeriksaan pada Urin Analisis toksikologi bahan muntahan Pemeriksaan reflex neurologis

STEP 4

KOMA

ETIOLOGI

DIAGNOSA

PENATALAKSANAAN

GCS GANG.METABOLIK INTOKSIKASI AWAL Tx DEFINITIF

GEJALA

PENEGAKAN DIAGNOSA

STEP 5 Mampu menjelaskan definisi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis, penegakan diagnose dan penatalaksanaan dari 1. Koma diabetikum 2. Koma hepatikum 3. Koma uremikum 4. Intoksikasi obat dan makanan

STEP 6 Dalam step 6 ini, masing-masing dari kami melakukan proses belajar mandiri untuk mengetahui lebih lanjut mengenai materi yang sedang kami bahas. Adapun pedoman belajar mandiri kami adalah mencari informasi mengenai jawaban-jawaban terhadap learning objectif atau sasaran pembelajaran yang telah kami rumuskan bersama-sama. Hasil dari belajar mandiri tersebut disampaikan pada diskusi kelompok kecil II (DKK II).

STEP 7

KETOASIDOSIS DIABETIKUM

Definisi. Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok. Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang ditandai dengan dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis. Ketoasidosis diabetik merupakan akibat dari defisiensi berat insulin dan disertai gangguan metabolisme protein, karbohidrat dan lemak. Keadaan ini merupakan gangguan metabolisme yang paling serius pada diabetes ketergantungan insulin. Etiologi. Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama kali. Pada pasien yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam pengobatan dan pencegahan ketoasidosis berulang. Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, serta menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata, yang dapat disebabkan oleh : 1. Insulin tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi. 2. Keadaan sakit atau infeksi. 3. Manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati. Patofisiologi. Ketoasidois terjadi bila tubuh sangat kekurangan insulin. Karena dipakainya jaringan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi, maka akan terbentuk keton. Bila hal ini dibiarkan terakumulasi, darah akan menjadi asam sehingga jaringan tubuh akan rusak dan bisa menderita koma. Hal ini biasanya terjadi karena tidak mematuhi perencanaan makan, menghentikan sendiri suntikan insulin, tidak tahu bahwa dirinya sakit diabetes mellitus, mendapat infeksi atau penyakit berat lainnya seperti kematian otot jantung, stroke, dan sebagainya. Faktor faktor pemicu yang paling umum dalam perkembangan ketoasidosis diabetik (KAD) adalah infeksi, infark miokardial, trauma, ataupun kehilangan insulin.

Semua gangguan gangguan metabolik yang ditemukan pada ketoasidosis diabetik (KAD) adalah tergolong konsekuensi langsung atau tidak langsung dari kekurangan insulin. Menurunnya transport glukosa kedalam jaringan jaringan tubuh akan menimbulkan hiperglikemia yang meningkatkan glukosuria. Meningkatnya lipolisis akan menyebabkan kelebihan produksi asam asam lemak, yang sebagian diantaranya akan dikonversi (diubah) menjadi keton, menimbulkan ketonaemia, asidosis metabolik dan ketonuria. Glikosuria akan menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan elektrolit seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida. Dehidrsi terjadi bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia pra renal dan dapat menimbulkan syok hipovolemik. Asidodis metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan derajad ventilasi (peranfasan Kussmaul). Muntah-muntah juga biasanya sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan air dan elektrolit. Sehingga, perkembangan KAD adalah merupakan rangkaian dari siklus interlocking vicious yang seluruhnya harus diputuskan untuk membantu pemulihan metabolisme karbohidrat dan lipid normal. Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel akan berkurang juga . Disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali. Kedua faktor ini akan menimbulkan yang berlebihan hiperglikemi. dari dalam Dalam tubuh, upaya ginjal untuk akan

menghilangkan

glukosa

mengekskresikan glukosa bersama-sama air dan elektrolit (seperti natrium dan kalium). Diuresis osmotik yang ditandai oleh urinasi yang berlebihan (poliuri) akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangna elektrolit. Penderita ketoasidosis diabetik yang berat dapat kehilangan kira-kira 6,5 L air dan sampai 400 hingga 500 mEq natrium, kalium serta klorida selama periode waktu 24 jam. Akibat defisiensi insulin yang lain adlah pemecahan lemak (lipolisis) menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas akan diubah menjadi badan keton oleh hati. Pada ketoasidosis diabetik terjadi produksi badan keton yang berlebihan sebagai akibat dari kekurangan insulin yang secara normal akan mencegah timbulnya keadaan tersebut. Badan keton bersifat asam, dan bila bertumpuk dalam sirkulasi darah, badan keton akan menimbulkan asidosis metabolik. Manifestasi Klinis. Manifestasi klinis dari KAD adalah : 1. Hiperglikemia Hiperglikemi pada ketoasidosis diabetik akan menimbulkan: 2. Poliuri dan polidipsi (peningktan rasa haus) 3. Penglihatan yang kabur

4. Kelemahan 5. Sakit kepala 6. Pasien dengan penurunan volume intravaskuler yang nyata mungkin akan menderita hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik sebesar 20 mmHg atau lebih pada saat berdiri). 7. Penurunan volume dapat menimbulkan hipotensi yang nyata disertai denyut nadi lemah dan cepat. 8. Anoreksia, mual, muntah dan nyeri abdomen. 9. Pernapasan Kussmaul ini menggambarkan upaya tubuh untuk mengurangi asidosis guna melawan efek dari pembentukan badan keton. 10. Mengantuk (letargi) atau koma. 11. Glukosuria berat. 12. Asidosis metabolik. 13. Diuresis osmotik, dengan hasil akhir dehidrasi dan penurunan elektrolit. 14. Hipotensi dan syok. 15. Koma atau penurunan kesadaran.

Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Laboratorium 1. Glukosa. Kadar glukosa dapat bervariasi dari 300 hingga 800 mg/dl. Sebagian pasien mungkin memperlihatkan kadar gula darah yang lebih rendah dan sebagian lainnya mungkin memiliki kadar sampai setinggi 1000 mg/dl atau lebih yang biasanya bergantung pada derajat dehidrasi. Harus disadari bahwa ketoasidosis diabetik tidak selalu berhubungan dengan kadar glukosa darah. Sebagian pasien dapat mengalami asidosis berat disertai kadar glukosa yang berkisar dari 100 200 mg/dl, sementara sebagian lainnya mungkin tidak memperlihatkan ketoasidosis diabetikum sekalipun kadar glukosa darahnya mencapai 400-500 mg/dl. 2. Natrium. Efek hiperglikemia ekstravaskuler bergerak air ke ruang intravaskuler. Untuk setiap 100 mg / dL glukosa lebih dari 100 mg / dL, tingkat natrium serum diturunkan oleh sekitar 1,6 mEq / L. Bila kadar glukosa turun, tingkat natrium serum meningkat dengan jumlah yang sesuai. 3. Kalium.

Ini perlu diperiksa sering, sebagai nilai-nilai drop sangat cepat dengan perawatan. EKG dapat digunakan untuk menilai efek jantung ekstrem di tingkat potasium. 4. Bikarbonat. Kadar bikarbonat serum adalah rendah, yaitu 0- 15 mEq/L dan pH yang rendah (6,8-7,3). Tingkat pCO2 yang rendah ( 10- 30 mmHg) mencerminkan kompensasi respiratorik (pernapasan kussmaul) terhadap asidosisi metabolik. Akumulasi badan keton (yang mencetuskan asidosis) dicerminkan oleh hasil pengukuran keton dalam darah dan urin. Gunakan tingkat ini dalam hubungannya dengan kesenjangan anion untuk menilai derajat asidosis.

5. Sel darah lengkap (CBC). Tinggi sel darah putih (WBC) menghitung (> 15 X 109 / L) atau ditandai pergeseran kiri mungkin menyarankan mendasari infeksi. 6. Gas darah arteri (ABG). pH sering <7.3. Vena pH dapat digunakan untuk mengulang pH measurements. Brandenburg dan Dire menemukan bahwa pH pada tingkat gas darah vena pada pasien dengan KAD adalah lebih rendah dari pH 0,03 pada ABG. Karena perbedaan ini relatif dapat diandalkan dan bukan dari signifikansi klinis, hampir tidak ada alasan untuk melakukan lebih menyakitkan ABG. Akhir CO2 pasang surut telah dilaporkan sebagai cara untuk menilai asidosis juga. 7. Keton. Diagnosis memadai ketonuria memerlukan fungsi ginjal. Selain itu, ketonuria dapat berlangsung lebih lama dari asidosis jaringan yang mendasarinya. 8. -hidroksibutirat. Serum atau hidroksibutirat kapiler dapat digunakan untuk mengikuti respons terhadap pengobatan. Tingkat yang lebih besar dari 0,5 mmol / L dianggap normal, dan tingkat dari 3 mmol / L berkorelasi dengan kebutuhan untuk ketoasidosis diabetik (KAD). 9. Urinalisis (UA) Cari glikosuria dan urin ketosis. Hal ini digunakan untuk mendeteksi infeksi saluran kencing yang mendasari. 10. Osmolalitas Diukur sebagai 2 (Na +) (mEq / L) + glukosa (mg / dL) / 18 + BUN (mg / dL) / 2.8. Pasien dengan diabetes ketoasidosis yang berada dalam keadaan koma biasanya memiliki osmolalitis > 330 mOsm / kg H2O. Jika osmolalitas kurang dari > 330 mOsm / kg H2O ini, maka pasien jatuh pada kondisi koma.

11. Fosfor Jika pasien berisiko hipofosfatemia (misalnya, status gizi buruk, alkoholisme kronis), maka tingkat fosfor serum harus ditentukan. 12. Tingkat BUN meningkat. Anion gap yang lebih tinggi dari biasanya. 13. Kadar kreatinin Kenaikan kadar kreatinin, urea nitrogen darah (BUN) dan Hb juga dapat terjadi pada dehirasi. Setelah terapi rehidrasi dilakukan, kenaikan kadar kreatinin dan BUN serum yang terus berlanjut akan dijumpai pada pasien yang mengalami insufisiensi renal. Tabel. Sifat-sifat penting dari tiga bentuk dekompensasi (peruraian) metabolik pada diabetes. Sifat-sifat Diabetic ketoacidosis (KAD) Glukosa plasma Ketone Asidosis Dehidrasi Hiperventilasi Tinggi Ada Sedang/hebat Dominan Ada Hyperosmolar non ketoticcoma (HONK) Sangat tinggi Tidak ada Tidak ada Dominan Tidak ada Bervariasi Bervariasi Hebat Bervariasi Ada Asidosis laktat

b. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diagnostik untuk ketoasidosis diabetik dapat dilakukan dengan cara : 1. Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari 200mg/dl). Biasanya tes ini dianjurkan untuk pasien yang menunjukkan kadar glukosa meningkat dibawah kondisi stress. 2. Gula darah puasa normal atau diatas normal. 3. Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal. 4. Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton. 5. Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat menandakan ketidakadekuatan kontrol glikemik dan peningkatan propensitas pada terjadinya aterosklerosis.

Penatalaksanaan 1. Cairan.

10

Pasien penderita KAD biasanya mengalami depresi cairan yang hebat. NaCl 0,9 % diberikan 500-1000 ml/jam selama 2-3 jam. Pemberian cairan normal salin hipotonik (0,45 %) dapat digunakan pada pasien-pasien yang menderita hipertensi atau hipernatremia atau yang beresiko mengalami gagal jantung kongestif. Infus dengan kecepatan sedang hingga tinggi (200-500 ml/jam) dapat dilanjutkan untuk beberapa jam selanjutnya. 2. Insulin. Insulin intravena paling umum dipergunakan. Insulin intramuskular adalah alterantif bila pompa infusi tidak tersedia atau bila akses vena mengalami kesulitan, misalnya pada anak anak kecil. Asidosis yang terjadi dapat diatasi melalui pemberian insulin yang akn menghambat pemecahan lemak sehingga menghentikan pembentukan senyawa-senyawa yang bersifat asam. Insulin diberikan melalui infus dengan kecaptan lambat tapi kontinu ( misal 5 unti /jam). Kadar glukosa harus diukur tiap jam. Dektrosa ditambahkan kedalam cairan infus bila kadar glukosa darah mencpai 250 300 mg/dl untuk menghindari penurunan kadar glukosa darah yang terlalu cepat. 3. Potassium. Meskipun ada kadar potassium serum normal, namun semua pasien penderita KAD mengalami depresi kalium tubuh yang mungkin terjadi secara hebat. Input saline fisiologis awal yang tinggi yakni 0.9% akan pulih kembali selama defisit cairan dan elektrolite pasien semakin baik. Insulin intravena diberikan melalui infusi kontinu dengan menggunakan pompa otomatis, dan suplemen potasium ditambahkan kedalam regimen cairan. Bentuk penanganan yang baik atas seorang pasien penderita KAD (ketoasidosis diabetikum) adalah melalui monitoring klinis dan biokimia yang cermat.

Komplikasi 1. Ginjal diabetik ( Nefropati Diabetik ) Nefropati diabetik atau ginjal diabetik dapat dideteksi cukup dini. Bila penderita mencapai stadium nefropati diabetik, didalam air kencingnya terdapat protein. Dengan menurunnya fungsi ginjal akan disertai naiknya tekanan darah. Pada kurun waktu yang lama penderita nefropati diabetik akan berakhir dengan gagal ginjal dan harus melakukan cuci darah. Selain itu nefropati diabetik bisa menimbulkan gagal jantung kongesif. 2. Kebutaan ( Retinopati Diabetik )

11

Kadar glukosa darah yang tinggi bisa menyebabkan sembab pada lensa mata. Penglihatan menjadi kabur dan dapat berakhir dengan kebutaan. Tetapi bila tidak terlambat dan segera ditangani secara dini dimana kadar glukosa darah dapat terkontrol, maka penglihatan bisa normal kembali 3. Syaraf ( Neuropati Diabetik ) Neuropati diabetik adalah akibat kerusakan pada saraf. Penderita bisa stres, perasaan berkurang sehingga apa yang dipegang tidak dapat dirasakan (mati rasa). Telapak kaki hilang rasa membuat penderita tidak merasa bila kakinya terluka, kena bara api atau tersiram air panas. Dengan demikian luka kecil cepat menjadi besar dan tidak jarang harus berakhir dengan amputasi. 4. Kelainan Jantung. Terganggunya kadar lemak darah adalah satu faktor timbulnya aterosklerosis pada pembuluh darah jantung. Bila diabetesi mempunyai komplikasi jantung koroner dan mendapat serangan kematian otot jantung akut, maka serangan tersebut tidak disertai rasa nyeri. Ini merupakan penyebab kematian mendadak. Selain itu terganggunya saraf otonom yang tidak berfungsi, sewaktu istirahat jantung berdebar cepat. Akibatnya timbul rasa sesak, bengkak, dan lekas lelah. 5. Hipoglikemia. Hipoglikemia terjadi bila kadar gula darah sangat rendah. Bila penurunan kadar glukosa darah terjadi sangat cepat, harus diatasi dengan segera. Keterlambatan dapat menyebabkan kematian. Gejala yang timbul mulai dari rasa gelisah sampai berupa koma dan kejang-kejang. 6. Impotensi. Sangat banyak diabetisi laki-laki yang mengeluhkan tentang impotensi yang dialami. Hal ini terjadi bila diabetes yang diderita telah menyerang saraf. Keluhan ini tidak hanya diutarakan oleh penderita lanjut usia, tetapi juga mereka yang masih berusia 35 40 tahun. Pada tingkat yang lebih lanjut, jumlah sperma yang ada akan menjadi sedikit atau bahkan hampir tidak ada sama sekali. Ini terjadi karena sperma masuk ke dalam kandung seni (ejaculation retrograde). Penderita yang mengalami komplikasi ini, dimungkinkan mengalami kemandulan. Sangat tidak dibenarkan, bila untuk mengatasi keluhan ini penderita menggunakan obat-obatan yang mengandung hormon dengan tujuan

meningkatkan kemampuan seksualnya. Karena obat-obatan hormon tersebut akan menekan produksi hormon tubuh yang sebenarnya kondisinya masih baik. Bila hal ini tidak diperhatikan maka sel produksi hormon akan menjadi rusak. Bagi diabetes wanita, keluhan seksual tidak banyak dikeluhkan.

12

Walau demikian diabetes millitus mempunyai pengaruh jelek pada proses kehamilan. Pengaruh tersebut diantaranya adalah mudah mengalami keguguran yang bahkan bisa terjadi sampai 3-4 kali berturut-turut, berat bayi saat lahir bisa mencapai 4 kg atau lebih, air ketuban yang berlebihan, bayi lahir mati atau cacat dan lainnya. 7. Hipertensi. Karena harus membuang kelebihan glokosa darah melalui air seni, ginjal penderita diabetes harus bekerja ekstra berat. Selain itu tingkat kekentalan darah pada diabetisi juga lebih tinggi. Ditambah dengan kerusakan-kerusakan pembuluh kapiler serta penyempitan yang terjadi, secara otomatis syaraf akan mengirimkan signal ke otak untuk menambah takanan darah. 8. Komplikasi lainnya. Selain komplikasi yang telah disebutkan di atas, masih terdapat beberapa komplikasi yang mungkin timbul. Komplikasi tersebut misalnya: a. Ganggunan pada saluran pencernakan akibat kelainan urat saraf. Untuk itu makanan yang sudah ditelan terasa tidak bisa lancar turun ke lambung. b. Gangguan pada rongga mulut, gigi dan gusi. Gangguan ini pada dasarnya karena kurangnya perawatan pada rongga mulut gigi dan gusi, sehingga bila terkena penyakit akan lebih sulit penyembuhannya. c. Gangguan infeksi. Dibandingkan dengan orang yang normal, penderita diabetes millitus lebih mudah terserang infeksi.

Prognosis Prognosis dari ketoasidosis diabetik biasanya buruk, tetapi sebenarnya kematian pada pasien ini bukan disebabkan oleh sindom hiperosmolarnya sendiri tetapi oleh penyakit yang mendasar atau menyertainya. Angka kematian masih berkisar 30-50%. Di negara maju dapat dikatakan penyebab utama kematian adalah infeksi, usia lanjut dan osmolaritas darah yang sangat tinggi. Di negara maju angka kematian dapat ditekan menjadi sekitar 12%. Ketoasidosis diabetik sebesar 14% dari seluruh rumah sakit penerimaan pasien dengan diabetes dan 16% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan diabetes. Angka kematian keseluruhan adalah 2% atau kurang saat ini. Pada anakanak muda dari 10 tahun, ketoasidosis diabetikum menyebabkan 70% kematian terkait diabetes.

13

HIPOGLIKEMIA

Definisi. Hipoglikemia (kadar glukosa darah yang abnormal-rendah) terjadi jika kadar glukosa turun di bawah 50 hingga 60 mg/dl (2,7 hingga 3,3mmol/L). Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktivitas fisik yang berat. Pada hipoglikemia berat (kadar glukosa darah hingga di bawah 10 mg/dl), dapat terjadi serangan kejang bahkan dapat terjadi koma (koma hipoglikemik). Pada sebagian besar kasus koma hipoglikemik yang ditemukan di tempat pelayanan kesehatan umum (klinik/RS) penyebab utamanya adalah karena terapi pemberian insulin pada pasien penderita diabetes mellitus. Pada penelitian survey yang dilakukan oleh Department of Neurology and Neurological Sciences, and Program in

Neurosciences, Stanford University School of Medicine,terdapat setidaknya 93,2% penyebab masuknya seseorang dengan gejala koma hipoglikemik adalah mereka yang menderita diabetes mellitus dan telah menjalani terapi pemberian insulin pada rentang waktu sekitar 1,5 tahunan. Peristiwa glukoneogenesis berperan penting dalam penyediaan energi bagi kebutuhan tubuh, khususnya sistem saraf dan peredaran darah (eritrosit). Kegagalan glukoneogenesis berakibat FATAL, yaitu terjadinya DISFUNGSI OTAK yang berakibat KOMA dan kematian. Hal ini terjadi bilamana kadar glukosa darah berada di bawah nilai kritis. Nilai normal laboratoris dari glukosa dalam darah ialah : 65 110 ml/dL atau 3.6 6.1 mmol/L. Setelah penyerapan makanan kadar glukosa darah pada manusia berkisar antara 4.5 5.5 mmol/L. Jika orang tersebut makan karbohidrat kadarnya akan naik menjadi sekitar 6.5 7.2 mmol/L. Saat puasa kadar glukosa darah turun berkisar 3.3 3.9 mmol/L. Pengaturan kadar glukosa darah dilakukan melalui mekanisme metabolik dan hormonal. Pengaturan tersebut termasuk bagian dari homeostatik. Aktivitas metabolik yang mengatur kadar glukosa darah dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : (1) Mutu dan jumlah glikolisis dan glukoneogenesis, (2) Aktivitas enzim-enzim, seperti glukokinase dan heksokinase. Hormon penting yang memainkan peranan sentral dalam pengaturan kadar glukosa darah adalah insulin. insulin dihasilkan dari sel-sel b dari pulau-pulau langerhans pankreas dan disekresikan langsung ke dalam darah sebagai reaksi langsung bila keadaan hiperglikemia. Proses pelepasan insulin dari sel B pulau Langerhans Pankreas dijelaskan sebagi berikut :

14

Glukosa dengan bebas dapat memasuki sel-sel B Langerhans karena adanya Transporter glut 2. glukosa kemudian difosforilasi oleh enzim glukokinase yang kadarnya tinggi. Konsentrasi glukosa darah mempengaruhi kecepatan

pembentukan ATP dari proses glikolisis, glukoneogenesis, siklus Kreb dan Electron Transport System di mitokondria. Peningkatan produksi ATP akan menghambat pompa kalium ( K+ pump) sehingga membran sel-sel B mengalami depolarisasi sehingga ion-ion Kalsium ( Ca2+ ) masuk ke dalam membran dan mendorong terjadinya eksositosis insulin. Selanjutnya insulin dibawa darah dan mengubah glukosa yang kadarnya tinggi menjadi glikogen. Enzim yang kerjanya berlawanan dengan insulin adalah glukagon. Glukagon dihasilkan oleh sel-sel a langerhans pankreas. sekresi hormon ini distimulasi oleh keadaan hipoglikemia. bila glukoagon yang dibawa darah sampai di hepar maka akan mengaktifkan kerja enzim fosforilase sehingga mendorong terjadinya

glukoneogenesis. Etiologi. Hipoglikemia bisa disebabkan oleh : Pelepasan insulin yang berlebihan oleh pancreas. Dosis insulin atau obat lainnya yang terlalu tinggi, yang diberikan kepada penderita diabetes untuk menurunkan kadar gula darahnya. Kelainan pada kelenjar hipofisa atau kelenjar adrenal. Kelainan pada penyimpanan karbohidrat atau pembentukan glukosa di hati. Secara umum, hipogklikemia dapat dikategorikan sebagai yang berhubungan dengan obat dan yang tidak berhubungan dengan obat. Sebagian besar kasus hipoglikemia terjadi pada penderita diabetes dan berhubungan dengan obat. Penderita diabetes berat menahun sangat peka terhadap hipoglikemia berat. Hal ini terjadi karena sel-sel pulau pankreasnya tidak membentuk glukagon secara normal dan kelanjar adrenalnya tidak menghasilkan epinefrin secara normal. Padahal kedua hal tersebut merupakan mekanisme utama tubuh untuk mengatasi kadar gula darah yang rendah. Pemakaian alkohol dalam jumlah banyak tanpa makan dalam waktu yang lama bisa menyebabkan hipoglikemia yang cukup berat sehingga menyebabkan stupor. Puasa yang lama bisa menyebabkan hipoglikemia hanya jika terdapat penyakit lain (terutama penyakit kelenjar hipofisa atau kelenjar adrenal) atau mengkonsumsi sejumlah besar alkohol. Cadangan karbohidrat di hati bisa menurun secara perlahan sehingga tubuh tidak dapat mempertahankan kadar gula darah yang adekuat.

15

Pada orang-orang yang memiliki kelainan hati, beberapa jam berpuasa bisa menyebabkan hipoglikemia. Bayi dan anak-anak yang memiliki kelainan sistem enzim hati yang memetabolisir gula bisa mengalami hipoglikemia diantara jam-jam makannya. Seseorang yang telah menjalani pembedahan lambung bisa mengalami hipoglikemia diantara jam-jam makannya (hipoglikemia alimenter, salah satu jenis hipoglikemia reaktif). Hipoglikemia terjadi karena gula sangat cepat diserap sehingga merangsang pembentukan insulin yang berlebihan. Kadar insulin yang tinggi menyebabkan penurunan kadar gula darah yang cepat. Jenis hipoglikemia reaktif lainnya terjadi pada bayi dan anak-anak karena memakan makanan yang mengandung gula fruktosa dan galaktosa atau asam amino leusin. Fruktosa dan galaktosa menghalangi pelepasan glukosa dari hati; leusin merangsang pembentukan insulin yang berlebihan oleh pankreas. Akibatnya terjadi kadar gula darah yang rendah beberapa saat setelah memakan makanan yang mengandung zat-zat tersebut. Hipoglikemia reaktif pada dewasa bisa terjadi setelah mengkonsumsi alkohol yang dicampur dengan gula (misalnya gin dan tonik). Pembentukan insulin yang berlebihan juga bisa menyebakan hipoglikemia. Hal ini bisa terjadi pada tumor sel penghasil insulin di pankreas (insulinoma). Kadang tumor diluar pankreas yang menghasilkan hormon yang menyerupai insulin bisa menyebabkan hipoglikemia. Penyebab lainnya adalah penyakti autoimun, dimana tubuh membentuk antibodi yang menyerang insulin. Patofisiologi. Seperti sebagian besar jaringan lainnya, matabolisme otak terutama bergantung pada glukosa untuk digunakan sebagai bahan bakar. Saat jumlah glukosa terbatas, otak dapat memperoleh glukosa dari penyimpanan glikogen di astrosit, namun itu dipakai dalam beberapa menit saja. Untuk melakukan kerja yang begitu banyak, otak sangat tergantung pada suplai glukosa secara terus menerus dari darah ke dalam jaringan interstitial dalam system saraf pusat dan saraf-saraf di dalam system saraf tersebut. Oleh karena itu, jika jumlah glukosa yang di suplai oleh darah menurun, maka akan mempengaruhi juga kerja otak. Pada kebanyakan kasus, penurunan mental seseorang telah dapat dilihat ketika gula darahnya menurun hingga di bawah 65 mg/dl (3.6 mM). Saat kadar glukosa darah menurun hingga di bawah 10 mg/dl (0.55 mM), sebagian besar neuron menjadi tidak berfungsi sehingga dapat menghasilkan koma. Manifestasi Klinis. Hipoglikemi terjadi karena adanya kelebihan insulin dalam darah sehingga menyebabkan rendahnya kadar gula dalam darah. Kadar gula darah yang dapat menimbulkan gejala-gejala hipoglikemi, bervariasi antara satu dengan yang lain.

16

Pada awalnya tubuh memberikan respon terhadap rendahnya kadar gula darah dengan melepasakan epinefrin (adrenalin) dari kelenjar adrenal dan beberapa ujung saraf. Epinefrin merangsang pelepasan gula dari cadangan tubuh tetapi

jugamenyebabkan gejala yang menyerupai serangan kecemasan (berkeringat, kegelisahan, gemetaran, pingsan, jantung berdebar-debar dan kadang rasa lapar). Hipoglikemia yang lebih berat menyebabkan berkurangnya glukosa ke otak dan menyebabkan pusing, bingung, lelah, lemah, sakit kepala, perilaku yang tidak biasa, tidak mampu berkonsentrasi, gangguan penglihatan, kejang dan koma. Hipoglikemia yang berlangsung lama bisa menyebabkan kerusakan otak yang permanen. Gejala yang menyerupai kecemasan maupun gangguan fungsi otak bisa terjadi secara perlahan maupun secara tiba-tiba. Hal ini paling sering terjadi pada orang yang memakai insulin atau obat hipoglikemik per-oral. Pada penderita tumor pankreas penghasil insulin, gejalanya terjadi pada pagi hari setelah puasa semalaman, terutama jika cadangan gula darah habis karena melakukan olah raga sebelum sarapan pagi. Pada mulanya hanya terjadi serangan hipoglikemia sewaktu-waktu, tetapi lama-lama serangan lebih sering terjadi dan lebih berat. Evaluasi Diagnostik. Gejala hipoglikemia jarang terjadi sebelum kadar gula darah mencapai 50 mg/dL. Diagnosis hipoglikemia ditegakkan berdasarkan gejalagejalanya dan hasil pemeriksaan kadar gula darah. Penyebabnya bisa ditentukan berdasarkan riwayat kesehatan penderita, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium sederhana. Jika dicurigai suatu hipoglikemia autoimun, maka dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui adanya antibodi terhadap insulin. Untuk mengetahui adanya tumor penghasil insulin, dilakukan pengukuran kadar insulin dalam darah selama berpuasa (kadang sampai 72 jam). Pemeriksaan CT scan, MRI atau USG sebelum pembedahan, dilakukan untuk menentukan lokasi tumor. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan. Gejala hipoglikemia akan menghilang dalam beberapa menit setelah penderita mengkonsumsi gula (dalam bentuk permen atau tablet glukosa) maupun minum jus buah, air gula atau segelas susu. Seseorang yang sering mengalami hipoglikemia (terutama penderita diabetes), hendaknya selalu membawa tablet glukosa karena efeknya cepat timbul dan memberikan sejumlah gula yang konsisten. Baik penderita diabetes maupun bukan, sebaiknya sesudah makan gula diikuti dengan makanan yang mengandung karbohidrat yang bertahan lama (misalnya roti atau biskuit). Jika hipoglikemianya berat dan berlangsung lama serta tidak mungkin untuk memasukkan gula melalui mulut penderita, maka diberikan glukosa intravena untuk mencegah kerusakan otak yang serius. Seseorang yang memiliki resiko mengalami episode hipoglikemia berat sebaiknya selalu membawa glukagon. Glukagon adalah hormon yang dihasilkan oleh sel pulau pankreas, yang

17

merangsang pembentukan sejumlah besar glukosa dari cadangan karbohidrat di dalam hati. Glukagon tersedia dalam bentuk suntikan dan biasanya mengembalikan gula darah dalam waktu 5-15 menit. Tumor penghasil insulin harus diangkat melalui pembedahan. Sebelum pembedahan, diberikan obat untuk menghambat pelepasan insulin oleh tumor (misalnya diazoksid). Bukan penderita diabetes yang sering mengalami hipoglikemia dapat menghindari serangan hipoglikemia dengan sering makan dalam porsi kecil.

KOMA HEPATIKUM

Hati merupakan salah satu organ yang sangat penting peranannya dalam mengatur metabolisme tubuh, yaitu dalam proses anabolisme atau sintesis bahanbahan yang penting untuk kehidupan manusia seperti sintesis protein dan pembentukan glukosa, sedangkan dalam proses katabolisme dengan melakukan detoksikasi bahan-bahan seperti amonia, berbagai jenis hormon dan obat-obatan. Di samping itu hati juga berperan sebagai gudang tempat penyimpanan bahan-bahan seperti glikogen dan beberapa vitamin dan memelihara aliran normal darah splanknikus. Oleh karena itu terjadi kerusakan sel-sel parenkhim hati akut maupun kronik yang berat, fungsi-fungsi tersebut akan mengalami gangguan atau kekacauan, sehingga dapat timbul kelainan seperti ensefalopati hepatikum. Koma hepatikum dalam khasanah ilmu kedokteran disebut ensefalopita atau hepatic encephalopathy. Ada 2 jenis enselafalopati hepatik berdasarkan ada tidaknya edema otak, yaitu Portal Systemic Encephalopathy (PSE) dan Acute Liver Failure. Ensefalopati Hepatik (EH) merupakan salah satu penyulit sirosis hepatis akibat pintasan partosismatik yang terjadi karena hipertensi portal. Ensefalopati portal sistemik kronik ini ditandai oleh kelainan psikiatrik dan neurologik yang dapat berkembang dari gangguan mental ringan sampai koma hepatik. Ensefalopati Hepatik adalah suatu sindrom neuropsikiatri, mempunyai spektrum klinik yang luas, dapat timbul akibat penyakit hati yang berat, baik akut maupun yang menahun ditandai adanya gangguan tingkah laku, gejala neurologik, astriksis, berbagai derajat gangguan kesadaran sampai koma, dan kelainan elektroensefalografi. Ensefalopati Hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatrik yang terjadi pada penyakit hati. Definisi tersebut menyiratkan bahwa spektrum klinis (EH) sangat luas, karena di dalamnya juga termasuk pasien hepatitis fulminan serta pasien sirosis dalam stadium Ensefalopati Hepatik Subklinis (EHS).

18

Pasien sirosis hati yang telah dapat diatasi keadaan EH akutnya, berada dalam keadaan EH kronik, yang setiap saat dapat kembali mengalami episode akut apabila terdapat faktor seperti infeksi, pendarahan gastrointestinal dan asupan protein diet berlebihan. Pengobatan dini EH meliputi setiap upaya terapeutik yang dilakukan pada RHS ataupun pada EH kronik, untuk mencegah terjadinya serangan EH akut. Karena terjadinya episode EH akut biasanya didahului oleh keadaan dekompensasi (fungsi) hati, pengobatan ini juga dapat bermakna mempertahankan keadaan kompensasi selama mungkin. Dengan tercapainya kompensasi, berarti secara subjektif pasien memperoleh kualitas hidup yang lebih baik (symptom-free). Beberapa sarjana menyebutkan ensefalopati hepatik dengan istilah koma hepatikum. Karena manifestasinya tidak selalu dalam bentuk koma, melainkan terdiri atas beberapa tingkat perubahan kesadaran maka untuk selanjutnya dipakai istilah ensefalopati hepatik. Istilah lain adalah Porto-System Enchephalopathy (PSE), tidak banyak dipakai lagi oleh karena ternyata EH dapat terjadi tanpa kolateral porto-sistemik. Meskipun patogenesis yang tepat tentang terjadinya EH belum diketahui sepenuhnya, namun hipotesa-hipotesa yang ada menekankan peranan dari sel-sel parenkim hati yang rusak dengan atau tanpa adanya by pass sehingga bahan-bahan yang diduga toksis terhadap otak tidak dapat dimetabolisir seperti : ammonia, merkaptan, dan lain-lain dapat menumpuk dan mencapai otak. Faktor lain adalah terjadinya perubahan pada neutransmitter, gangguan keseimbangan Asam Amino Aromatik (AAA) dan Asam Amino Rantai Cabang (AARC) yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan. Selain itu perlu disimak perubahan yang terjadi pada otak misalnya edema dan peningkatan tekanan intra kranial, serta perubahan-perubahan pada Astrosit terutama terjadi pada EH akut (Fulminant Hepatic Failure). Hal hal tersebut perlu dicermati agar pengelolaan penderita-penderita EH lebih terarah dengan hasil optimal.

Definisi Ensefalopati hepatik adalah suatu kompleks suatu gangguan susunan saraf pusat yang dijumpai yang mengidap gagal hati. Kelainan ini ditandai oleh gangguan memori dan perubahan kepribadian (Corwin., 2001). Ensefalopati hepatik (ensefalopati sistem portal, koma hepatikum) adalah suatu kelainan dimana fungsi otak mengalami kemunduran akibat zat-zat racun di dalam darah, yang dalam keadaan normal dibuang oleh hati (Stein 2001).

19

Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatrik pada penderita penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot dan flapping tremor yang dinamakan asteriksis (Price et al., 1995). Ensefalopati hepatik didefinisikan sebagai sindroma penurunan status mental dan keadaan neuropsikiatrik reversibel yang merupakan suatu penyulit dari penyakit hati.

EPIDEMIOLOGI Koma hepatikum lebih banyak terjadi pada pria. Yang merupakan pasien sirosis hepatis dengan riwayat perdarahan pada saluran cernanya.

Klasifikasi Klasifikasi EH yang banyak dianut adalah : 1. Menurut cara terjadinya : a. EH tipe akut : Timbul tiba-tiba dengan perjalanan penyakit yang pendek, sangat cepat memburuk jatuh dalam koma, sering kurang dari 24 jam. Tipe ini antara lain hepatitis virus fulminan, hepatitis karena obat dan racun, sindroma reye atau dapat pula pada sirosis hati. b. EH tipe kronik : Terjadi dalam periode yang lama, berbulan-bulan sampai dengan bertahun-tahun. Suatu contoh klasik adalah EH yang terjadi pada sirosis hepar dengan kolateral sistem porta yang ekstensif, dengan tanda-tanda gangguan mental, emosional atau kelainan nueurologik yang berangsurangsur makin berat. 2. Menurut faktor etiologinya : a. EH primer / Endogen : Terjadi tanpa adanya faktor pencetus, merupakan tahap akhir dari kerusakan sel-sel hati yang difus nekrosis sel hati yang meluas. Pada hepatitis fulminan terjadi kerusakan sel hati yang difus dan cepat, sehingga kesadaran terganggu, gelisah, timbul disorientasi, berteriakteriak, kemudian dengan cepat jatuh dalam keadaan koma, sedangkan pada siridis hepar disebabkan fibrosi sel hati yang meluas dan biasanya sudah ada sistem kolateral, ascites. Disini gangguan disebabkan adanya zat racun yang tidak dapat dimetabolisir oleh hati. Melalui sistem portal / kolateral mempengaruhi susunan saraf pusat. b. EH Sekunder / Eksogen : Terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus pada pederita yang telah mempunyai kelainan hati. Faktor-faktor antara lain adalah : Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan PH darah :

20

o Dehidrasi / hipovolemia. o Parasintesis abdomen. o Diuresis berlebihan Pendarahan gastrointestinal. Operasi besar. Infeksi berat. Intake protein berlebihan. Konstipasi lama yang berlarut-larut. Obat obat narkotik/ hipnotik. Pintas porta sistemik, baik secara alamiah maupun pembedahan. Azotemia

Terdapat dua klasifikasi yang masing-masing berbeda dalam etiologi, tampilan klinis, temuan fisik dan prinsip tata laksana. Ensefalopati yang berkaitan dengan gagal hati akut Ensefalopati yang berkaitan dengan sirosis hepatis dan hipertensi portal.

Ensefalopati yang Berkaitan dengan Gagal Hati Akut Suatu kedaruratan medik yang memerlukan identifikasi dan terapi yang tepat karena pasien dapat jatuh dalam keadaan koma dan memerlukan transplantasi hati. Kekhasannya pada pasien yang sebelumnya dalam keadaan baik tanpa ada riwayat penyakit hati sebelumnya. Gejala seringkali samar dan tidak spesifik, seperti malaise dan kelelahan yang disertai mual, ikterus dan kemudian diikuti oleh ensefalopati, yang dapat berkembang dengan cepat ke keadaan koma. Riwayat: penggalian riwayat penyakit perlu dilakukan dengan teliti terhadap beberapa hal berikut: 1. Overdosis parasetamol 2. Ingesti toksin seperti fenfluramin 3. Penyalahgunaan obat/zat seperti kokain dan ekstasi 4. Penyalahgunaan obat intravena 5. Riwayat baru bepergian untuk menyingkirkan hepatitis A dan E 6. Riwayat paparan seksual baru yang cukup bermakna untuk suatu kemungkinan hepatitis B

21

Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan tanda penyakit hati kronis, defisit neurologis fokal maupun demam tinggi. Temuan demikian justru harus mengarahkan pada penyebab lain dari ensefalopati.

Derajat ensefalopati I Penurunan tingkat kesadaran ringan berupa kecemasan, euphoria atau gangguan pemusatan perhatian singkat. II Letargi atau apatis dengan disorientasi waktu dan tempat yang minimal. Pasien mungkin menunjukkan perubahan kepribadian ataupun perilaku yang tidak pantas. III Stupor dan kebingungan. IV Koma

Penatalaksanaan 1. Pasien harus ditangani di area critical care di IRD 2. Jaga patensi jalan nafas dan berikan oksigenasi: jika pasien jatuh dalam keadaan koma atau ancaman jalan nafas, lakukan intubasi endotrakea. 3. Monitoring: EKG dan tanda-tanda vital setiap 5-15 menit, pulse oximetry. 4. Pasang jalur intravena perifer 5. Cairan intravena: infus NS dengan jumlah dan kecepatan yang sesuai untuk mempertahankan perfusi perifer, terbaik bila dilakukan dengan monitoring hemodinamik.

Terapi medikamentosa: mannitol 20% 1 g/kgBB Pemeriksaan: 1. Periksa kadar gula darah kapiler segera. 2. Darah lengkap, ureum, kreatinin, elektrolit, faal hemostasis, uji faal hati. 3. Toksikologi (bila relevan) 4. Uji saring untuk hepatitis A, B, C, D dan E (anti-HAV IgM, HBsAg, antiHBS, anti-HCV, anti-delta, anti-HBE). 5. CT scan kepala urgent untuk mendeteksi edema serebri.

Disposisi: konsultasi dengan bagian Gastroenterologi dan rawat pasien di ICU.

Ensefalopati yang Berkaitan dengan Sirosis Hepatis dan Hipertensi Portal Pasien telah didiagnosis dengan penyakit hati dan mengalami penurunan kesadaran yang terjadi dalam waktu singkat dan seringkali berfluktuasi, atau dalam bentuk fenomena kronis. Klasifikasi yang dianut saat ini terdiri dari 3 kategori: episodic, persisten atau minimal. Ensefalopati pada sirosis disebabkan oleh pintas portosistemik dan

22

perubahan metabolisme asam amino dengan peran kuat ammonia dan neurotransmitter lainnya. Riwayat: identifikasi diagnosis sirosis hepatis adalah penting. Kejadian pencetus yang mengakibatkan pasien sirosis hepatis jatuh dalam keadaan ensefalopati meliputi beberapa hal berikut: H E Hemorrhage (perdarahan saluran cerna, misal dari varices atau erosi) Electrolyte (gangguan keseimbangan elektrolit (hipokalemia, alkalosis akibat penggunaan diuretika, serta muntah dan diare, hipoglikemia) P A Protein (asupan protein berlebihan) Azotemia (akibat penurunan volume intravaskuler ataupun penggunaan diuretika) T I Tranquilizers (sedativa dan obat penenang lainnya) Infection (misalnya peritonitis bakterial spontan, infeksi saluran kemih atau pneumonia, serta pembedahan) C Constipation

Pemeriksaan fisik: 1. Dapat ditemukan tanda penyakit hati kronis seperti spider naevi, ginekomastia, eritema palmaris, leukonikia dan asteriksis. 2. Dapat ditemukan pembesaran hati, limpa maupun ascites. 3. Harus dilakukan pemeriksaan RT untuk identifikasi adanya melena.

Tata Laksana: 1. Pasien harus ditangani di area critical care di IRD 2. Jaga patensi jalan nafas dan berikan oksigenasi: jika pasien jatuh dalam keadaan koma atau ancaman jalan nafas, lakukan intubasi endotrakea. 3. Monitoring: EKG dan tanda-tanda vital setiap 5-15 menit, pulse oximetry. 4. Pasang jalur intravena perifer 5. Cairan intravena: infus NS dengan jumlah dan kecepatan yang sesuai untuk mempertahankan perfusi perifer, terbaik bila dilakukan dengan monitoring hemodinamik.

Pemeriksaan: ditujukan untuk konfirmasi diagnosis ensefalopati yang menjadi penyulit suatu sirosis, serta untuk identifikasi faktor pencetus: 1. Kadar gula darah kapiler segera 2. Darah lengkap, ureum, kreatinin, elektrolit, faal hemostasis, uji faal hati. 3. Kultur darah dan urinalisis bila diindikasikan 4. Foto thoraks

Terapi medikamentosa:

23

1. Dekstrosa 50% 40 cc IV untuk koreksi hipoglikemia dan tiamin 100 mg jika pasien mengidap sirosis hati akibat alkohol. 2. Nalokson 2 mg IV jika pasien dalam keadaan obtundasi berat. 3. Flumazenil 0.5 mg IV, diulang setelah 5 menit (terbukti memperbaiki derajat ensefalopati pada beberapa penelitian terkontrol). Reversal ensefalopati: 1. Laktulosa 30 mg PO atau laktulosa enema: menimbulkan diare osmotik yang mengganggu flora usus sehingga menurunkan produksi ammonia. 2. Antibiotika oral: uji acak terkontrol tidak menunjukkan manfaat apapun. 3. Proteksi mukosa saluran cerna: omeprazole 20-40 mg IV pelan dalam 5 menit. Disposisi: konsultasi dengan bagian Gastroenterologi dengan mempertimbangkan perawatan di ruang HD (atau ICU jika pasien dalam keadaan terintubasi).

Patogenesis Belum ada patagonesis yang diterima untuk menjelaskan proses terjadinya EH. Hal ini disebabkan karena: 1). Masih terdapatnya perbedaan mengenai dasar neurokirnia/neurofisiologis 2). Heterogenitas otak baik secara fungsional ataupun biokimia yang berbeda dalam jaringan otak 3). Ketidakpastian apakah perubahan-perubahan mental dan penemuan biokimia saling berkaitan satu dengan lainnya. Sebagai konsep umum dikemukakan bahwa koma hepatik terjadi akibat akumulasi dari sejurnlah zat neuro-aktif dan kemampuan komagenik dari zat-zat tersebut dalam sirkulasi sistemik. Beberapa hipotesis yang paling sering dijadikan acuan penatalaksanaan EH adalah (1) Hipotesis Amonia Amonia berasal dari mukosa usus sebagai hasil degradasi protein dalam lumen usus dan dari bakteri yang rnengandung crease. Dalam hati amonia diubah menjadi urea pada sel hati periportal dan menjadi glutamin pada sel hati perivenus, sehingga jumlah amonia yang masuk ke sirkulasi dapat dikontrol dengan baik. Glutamin jugs diproduksi oleh otot (50%), hati, ginjal, dan otak (7%). Pada penyakit hati kronis akan terjadi gangguan metabolisme amonia sehingga terjadi peningkatan konsentrasi amonia sebesar 5-10 kali lipat. Beberapa peneliti melaporkan bahwa amonia secara in vitro akan mengubah loncatan (fluk) klorida melalui membran neural dan akan mengganggu

24

keseimbangan potensial aksi sel saraf. Di samping itu, amonia dalam proses detoksikasi akan menekan eksitasi transmiter asam amino, aspartat, dan glutamat. (2) Hipotesis neurotoksin sinergis Neurotoksin lain yang mempunyai efek sinergis dengan amonia seperti merkaptan, asam lemak rantai pendek (oktanoid), fenol, dan lain-lain. Merkaptan yang dihasilkan dari metionin oleh bakteri usus akan berperan menghambat NaK-ATP-ase. Asam lemak rantai pendek terutama oktanoid mempunyai efek metabolik seperti gangguan oksidasi, fosforilasi dan penghambatan konsurnsi oksigen serta penekanan aktifitas NaK-ATP-ase sehingga dapat mengakibatkan koma hepatik reversibel. Fenol sebagai hasil metabolisme tirosin dan fenilalanin dapat menekan aktivitas otak dan enzim hati monoamin oksidase, laktat dehidrogenase, suksinat dehidrogenase, prolin oksidase yang berpotensi dengan zat lain seperti amonia yang mengakibatkan koma hepatikum. Senyawa-senyawa tersebut akan memperkuat sifat sifat neurotoksisitas dari amonia. (3) Hipotesis neurotransmitter palsu Pada keadaan normal pada otak terdapat neurotransmiter dopamin dan noradrenalin, sedangkan pada keadaan gangguan fungsi hati, neurotransmiter otak akan diganti oleh neurotransmiter palsu seperti oktapamin dan feniletanolamin, yang lebih lemah dibanding dopamin atau nor-adrenalin. Beberapa faktor yang mernpengaruhi adalah : a). Pengaruh bakteri usus terhadap protein sehingga terjadi peningkatan produksi oktapamin yang melalui aliran pintas (shunt) masuk ke sirkulasi otak b). Pada gagal hati seperti pada sirosis hati akan terjadi penurunan asam amino rantai cabang (BCAA) yang terdiri dari valin, leusin dan isoleusin, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan asam amino aromatik (AAA) seperti tirosin, fenilalanin, dan triptopan karena penurunan ambilan hati (hepatic-uptake). Rasio antara BCAA dan AAA (Fisischer' ratio) normal antara 3-3.5 akan menjadi lebih kecil dari 1,0. Keseimbangan kedua kelompok asam amino tersebut penting dipertahankan karena akan menggambarkan konsentrasi neurotransmiter pada susunan saraf. (4) Hipotesis GABA / benzodiazepine Ketidakseimbangan antara asam amino neurotransmiter yang merangsang dan yang menghambat fungsi otak merupakan faktor yang berperan pada terjadinya koma hepatik. Terjadi penurunan transmiter yang memiliki efek merangsang seperti glutamat, aspartat dan dopamin sebagai akibat meningkatnya amonia dan

25

gams aminobutirat (GABA) yang menghambat transmisi impuls. Efek GABA yang meningkat bukan karena influks yang meningkat ke dalam otak tapi akibat perubahan reseptor GABA dalam otak akibat suatu substansi yang mirip benzodiazepin (benzodiazepin-like substance). Sedangkan faktor-faktor yang sangat mungkin terlibat dalam terjadinya EH adalah : 1. Pengaruh neurotoksin endogen yang tidak cukup didetoksifisikasikan oleh hati sirotik. 2. Fungsi astroglia yang abnormal disertai gangguan sekunder fungsi neuron. 3. Kelainan permeabilitas sawar darah-otak. 4. Perubahan neurotransmiter intraserebral beserta reseptornya. Dalam arti yang sederhana, EH dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk intosikasi otak yang disebabkan oleh isi usus yang tidak di metabolisme oleh hati. Keadaan ini dapat terjadi bila terdapat kerusakan sel hati akibat nekrosis, atau adanya pirau (patologis atau akibat pembedahan) yang memungkinkan adanya darah porta mencapai sirkulasi sistemik dalam jumlah besar tanpa melewati hati. Metabolit yang bertanggung jawab atas timbulnya EH tidak diketahui dengan pasti. Mekanisme dasar tampaknya adalah karena intosikasi otak oleh hasil pemecahan metabolisme protein oleh bakteri dalam usus. Hasil-hasil metabolisme ini dapat memintas hati karena adanya penyakit pada sel hati atau karena pirau. EH pada penyakit hati kronik biasanya dipercepat oleh keadaan seperti : perdarahan saluran cerna, asupan protein berlebihan, pemberian diuretik,

parasentesis, hipokalemia, infeksi akut, pembedahan, azotemia dan pemberian morfin, sedatif, atau obat-obatan yang mengandung ammonia. Hingga kini belum seluruhnya dapat dipahami patogenesis EH, namun pengetahuan yang diperoleh berdasarkan penelitian terhadap penderita maupun dari binatang percobaan, telah mengungkapkan beberapa masalah penting tentang patogenesisnya. EH tidak disebabkan oleh salah satu faktor tunggal, melainkan oleh beberapa faktor yang sekaligus berperan bersama. Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa EH terdapat hubungan sirkulasi portosistemik yang langsung tanpa melalui hati, serta adanya kerusakan dan gangguan faal hati yang berat. Kedua keadaan ini menyebabkan bahan-bahan tosik yang berasal dari usus tidak mengalami metabolisme di hati, dan selanjutnya tertimbun di otak (blood brain barrier) pada penderita EH yang memudahkan masuknya bahan-bahan tosik tersebut ke dalam susunan saraf pusat. Ketika pasien sirosis hati telah mengalami hipertensi portal, terbuka kemungkinan untuk terjadinya pintasan portosistemik, yang dapat berakibat masuknya neurotoksin yang berasal dari saluran cerna (merkaptan, amonia, mangan,

26

dll) ke dalam sirkulasi sistemik. Pintasan portosistemik dapat juga terjadi akibat tindakan bedah anastomosis portokaval atau TIPS (transjugular intrahepatic portosystemic stent shunt) yang dilakukan untuk mengatasi hipertensi portal. Neurotoksin yang dapat menembus sawar darah otak akan berakumulasi di otak dan menimbulkan gangguan pada metabolisme otak. Permeabilitas sawar darah - otak memang mengalami perubahan pada pasien sirosis hati dekompensasi, sehingga lebih mudah ditembus oleh metabolit seperti neurotoksin. Terdapat 5 proses yang terjadi di otak yang dianggap sebagai mekanisme terjadinya EH/koma hepatik, yaitu : 1. Peningkatan permeabilitas sawar otak (BBB). 2. Gangguan keseimbangan neurotransmitter. 3. Perubahan (energi) metabolisme otak. 4. Gangguan fungsi membran neuron. 5. Peningkatan endogenous Benzodiazepin Diduga toksin serebral berperan melalui satu atau lebih daripada mekanisme ini. Patogenesis di atas merupakan konsep yang uniform, namun antara koma pada PSE dan FHF terdapat beberapa perbedaan-perbedaan. Misalnya pada PSE, toksin serebral tertimbun secara perlahan-lahan, apabila disertai faktor pencetus terjadinya koma. Sebaliknya pada EH/koma akibat FHF, karena proses begitu akut, maka faktor yang berperan adalah masuknya bahan toksis ke dalam otak secara tiba-tiba, menghilangnya bahan pelindung, perubahan permeablitas dan integrasi selular pembuluh darah otak serta edema serebral. Beberapa bahan toksik yang diduga berperan : 1. Amonia Amonia merupakan bahan yang paling banyak diselidiki. Zat ini berasal dari penguraian nitrogen oleh bakteri dalam usus, di samping itu dihasilkan oleh ginjal, jaringan otot perifer, otak dan lambung. Secara teori ammonia mengganggu faal otak melalui : Pengaruh langsung terhadap membran neuron. Mempengaruhi metabolisme otak melalui siklus peningkatan sintesis glutamin dan ketoglutarat, kedua bahan ini mempengaruhi siklus kreb sehingga menyebabkan hilangnya molekul ATP yang diperlukan untuk oksidasi sel. Peneliti lain mendapatkan bahwa kadar amonia yang tinggi tidak seiring dengan beratnya kelainan rekaman EEG. Dilaporkan bahwa peran amonia pada EH tidak berdiri sendiri. Tetapi bersama-sama zat lain seperti merkaptan dan asam lemak rantai pendek. Diduga kenaikan kadar amonia pada EH hanya merupakan indikator non spesifik dari metabolisme otak yang terganggu.

27

2. Asam amino neurotoksik (triptofan, metionin, dan merkaptan). Triptopan dan metabolitnya serotonin bersifat toksis terhadap SSP. Metionin dalam usus mengalami metaolisme oleh bakteri menjadi merkaptan yang toksis terhadap SSP. Di samping itu merkaptan dan asam lemak bebas akan bekerja sinergistik mengganggu detoksifikasi amonia di otak, dan bersama-sama amonia menyebabkan timbulnya koma. 3. Gangguan keseimbangan asam amino . Asam Amino Aromatik ( AAA) meningkat pada EH karena kegagalan deaminasi di hati dan penurunan Asan Amino Rantai Cabang (AARC) akibat katabolisme protein di otot dan ginjal yang terjadi hiperinsulinemia pada penyakit hati kronik. AAA ini bersaing dengan AARC untuk melewati sawar otak, yang permeabilitasnya berubah pada EH. Termasuk AAA adalah metionin, fenilalanin, tirosin, sedangkan yang termasuk AARC adalah valin, leusin, dan isoleusin. 4. Asam lemak rantai pendek. Pada EH terdapat kenaikan kadar asam lemak rantai pendek seperti asam butirat, valerat, oktanoat, dan kaproat, diduga sebagai salah satu toksin serebral penyebab EH. Bahan-bahan ini bekerja dengan cara menekan sistem retikuler otak, menghambat detoksifikasi ammonia. 5. Neurotransmitter palsu. Neurotransmitter palsu yang telah diketahui adalah Gamma Aminobutyric Acid (GABA), oktapamin, histamin, feniletanolamin, dan serotonin. Neurotransmitter palsu merupakan inhibitor kompepetif dari true neurotrasmitter (dopamine dan norephinephrine) pada sinaps di ujung saraf, yang kadarnya menurun pada penderita PSE maupun FHF. Penelitian menunjukkan bahwa GABA bekerja secara sinergis dengan benzodiazepine membentuk suatu kompleks, menempati reseptor ionophore chloride di otak, yang disebut reseptor GABA/BZ. Pengikatan reseptor tersebut akan menimbulkan hiperpolarisasi sel otak, di samping itu juga menekan fungsi korteks dan subkorteks, rangkaian peristiwa tersebut

menyebabkan kesadaran dan koordinasi motorik terganggu. Hipotesis ini membuka jalan untuk penelitian lebih lanjut untuk keperluan. 6. Glukagon Peningkatan AAA pada EH/koma hepatik mempunyai hubungan erat dengan tingginya kadar glukagon. Peninggian glukagon turut berperan atas peningkatan beban nitrogen. Karena hormon ini melepas Asam Amino Aromatis dari protein hati untuk mendorong terjadinya glukoneogenesis. Kadar glukagon meningkat akibat hipersekresi atau hipometabolisme pada penyakit hati terutama bila terdapat sirkulasi kolateral.

28

7. Perubahan sawar darah otak. Pembuluh darah otak dalam keadaan normal tidak permeabel terhadap berbagai macam substansi. Terdapat hubungan kuat antara endotel kapiler otak, ini merupakan sawar yang mengatur pengeluaran bermacam-macam substansi dan menahan beberapa zat esensial seperti neurotrasmiter asli. Pada koma hepatikum khususnya FHF ditemukan kerusakan kapiler, rusaknya hubungan endotel, terjadi edema serebri sehingga bahan yang biasanya dikeluarkan dari otak akan masuk dengan mudah seperi fenilalanin dalam jumlah besar, sehingga kadar asam amino lainnya meningkat di dalam otak.

Manifestasi klinik Spektrum klinis EH sangat luas yang sama sekali asimtomatik hingga koma hepatik. Simpton yang acap kali dijumpai pada EH klinis antara lain perubahan personalitas, iritabilitas, apati, disfasia, dan rasa mengantuk disertai tanda klinis seperti asteriksis, iritabilitas, gelisah, dan kehilangan kesadaran (koma). Manifestasi klinis EH biasanya didahului oleh dekompensasi hati dan adanya faktor pencetus yang berupa keadaan amoniaagenik seperti makan protein berlebih, perdarahan gastrointestinal atau program obat sedatif. Manifestasi EH adalah gabungan dari ganguan mental dan neurologik. Gambaran klinik EH sangat bervariasi, tergantung progresivitas penyakit ini, penyebab, dan ada tidaknya berdasarkan status mental, adanya asteriksis,serta kelainan EEG, manifestasi neuropsikiatri pada EH dapat dibagi atas stadium (Tabel.1). Di luar itu terdapat sekelompok pasien yang asimtomatik, tetapi menunjukkan adanya kelainan pada pemeriksaan EEG dan / atau psikometrik. Contoh uji piskometrik yang populer ialah NCT (Number Conection Test). Kelompok inilah yang digolongkan sebagai ensefalopatia hepatik subklinis atau laten (EHS). Para peneliti mendapatkan bahwa proporsi EHS jauh lebih besar daripada EH klinis (akut maupun kronik), yaitu mencapai 70-80% dari seluruh kasus sirosis hati dengan hipertensi portal. Gejala-gejalanya : Kesadaran menurun Penurunan intelektual Takikardia Pulsus Celer Ikterus dan Asites

29

Koma hepatik merupakan suatu sindrom neuropsikiatri yang dapat dijumpai pada pasien gagal fungsi hati baik yang akut maupun yang kronik. Pada umumnya gambaran klinis berupa kelainan mental, kelainan neurologis, terdapatnya kelainan parenkim hati serta kelainan laboratorium. Sesuai dengan perjalanan penyakit hati maka koma hepatik dibedakan alas : I). Koma hepatik akut (Vidminant hepatic failure) ditemukan pada pasien hepatitis virus, hepatitis toksik obat (halotan, asetaminofen), perlemakan hati akut pada kehamilan, kerusakan parenkim hati yang fulminan tanpa faktor pencetus (presipitasi). Perjalanan penyakit eksplosif, ditandai dengan delirium, kejang disertai dengan edema otak. Dengan perawatan intensif angka kematian masih tinggi sekitar 80%. Kematian terutama disebabkan edema cerebral yang patogenesisnya belum jelas, kemungkinan akibat perubahan permeabilitas sawar otak dan inhibisi neuronal (Na/K ATP-ase), serta perubahan osmolar karena metabolisme amonia. 2). Pada penyakit hati kronik dengan koma portosistemik, perjalanan tidak progresif sehingga gejala neuropsikiatri terjadi pelan-pelan dan dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus. Beberapa faktor pencetus seperti azotemia. sedatif, analgetik, perdarahan gastrointestinal, alkalosis metabolik, kelebihan protein, infeksi, obstipasi, gangguan keseimbangan cairan, dan pemakaian diuretik akan dapat mencetuskan koma hepatik. Pada permulaan perjalanan koma hepatikum (ensefalopati subklinis)

30

gambaran gangguan mental mungkin berupa perubahan dalam mengambil keputusan dan gangguan konsentrasi. Keadaan ini dapat dinilai dengan uji psikomotor atau pada pasien dengan intelektual cukup dapat dites dengan membuat gambar-gambar atau dengan uji hubung angka (UHA), Reitan trail making test, dengan menghubungkan angka-angka dari 1 sampai 25, kemudian diukur lama penyelesaian oleh pasien dalam satuan detik.

Diagnosis Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis riwayat penyakit pemeriksaan fisik dan laboratorium: 1. Anamnesis: a. Riwayat penyakit hati. b. Riwayat kemungkinan adanya faktor-faktor pencetus. c. Adakah kelainan neuropsikiatri : perubahan tingkah laku, kepribadian, kecerdasan, kemampuan bicara dan sebagainya. 2. Pemeriksaan fisik : a. Tentukan tingkat kesadaran / tingkat ensefalopati. b. Stigmata penyakit hati (tanda-tanda kegagalan faal hati dan hipertensi portal). c. Adanya kelainan neurogik : inkoordinasi tremor, refleks patologi, kekakuan. d. Kejang, disatria. e. Gejala infeksi berat / septicemia. f. Tanda-tanda dehidrasi. g. Ada pendarahan gastrointestinal. 3. Pemeriksaan laboratorium : a. Hematologi : Hemoglobin, hematokrit, hitung lekosit-eritrosit-trombosit, hitung jenis lekosit. Jika diperlukan : faal pembekuan darah.

b. Biokimia darah. Uji faal hati : transaminase, billirubin, elektroforesis protein, kolestrol, fosfatase alkali. Uji faal ginjal : Urea nitrogen (BNU), kreatinin serum. Kadar amonia darah. Atas indikasi : HbsAg, anti-HCV,AFP, elektrolit, analisis gas darah.

c. Urin dan tinja rutin. 4. Pemeriksaan lain (tidak rutin):

31

a. EEG (Elektroensefaloram) dengan potensial picu visual (visual evoked potential) merupakan suatu metode yang baru untuk menilai perubahan dini yang halus dalam status kejiwaan pada sirosis. Dengan pemeriksaan EEG terlihat peninggian amplitudo clan menurunnya jumlah siklus gelombang perdetik. Selain itu, terjadi penurunan frekuensi dari gelombang normal Alfa (8-12 Hz). b. CT Scan pada kepala biasanya dilakukan dalam stadium ensefalopatia yang parah untuk menilai udema otak dan menyingkirkan lesi structural (terutama hematoma subdura pada pecandu alkohol). c. Pungsi lumbal, umumnya mengungkapkan hasil-hasil yang normal, kecuali peningkatan glutamin. Cairan serebrospinal dapat berwarna zantokromat akibat meningkatnya kadar bilirubin. Hitung sel darah putih cairan spinal yang meningkat menunjukan adanya infeksi. Edema otak dapat menyebabkan peningkatan tekanan. d. Tes Psikometri. Cara ini dapat membantu menilai tingkat kemampuan intelektual pasien yang mengalami koma hepatik subklinis. Penggunaamiya sangat sederhana dan mudah melakukannya serta memberikan hasil dengan cepat dan tidak mahal. Tes ini pertama kali dipakai oleh Reitan (Reitan Trail Making Tent) yang dipergunakan secara luas pada ujian personal militer Amerika (Conn 110, 1994) keniudian dilakukan modifikasi dari tes ini yang disebut sebagai Uji Hubung Angka (UHA) atau Number Connection Test (NC'I'). Dengan UHA tingkat ensefalopati dibagi alas 4 kategori. Tes psikometri UHA dapat dipakai untuk menilai tingkat ensefalopati hepatik terutama pada pasien sirosis hati yang rawat jalan. Pemeriksaan Amonia Darah. Amonia merupakan hasil akhir dari metabolisme asam amino baik yang berasal dari dekarboL,ilasi protein maupun hasil deaminasi glutamin pada usus dari hasil katabolisme protein otot. Dalam keadmin normal amonia dikeluarkan oleh hati dengan pembentukan urea. Pada kenisakan sel hati seperti sirosis hati. terjadi peningkatan konsentrasi amonia darah karma gangguan fungsi hati dalam mendetoksifikasi amonia serta adanya pintas (shunt) porto-sistemik.

Diagnosis Banding

Koma akibat intoksikasi obat-obatan dan alkohol Trauma kepala seperti komosio serebri, kontusio serebri, perdarahan subdural, dan perdarahan epidural

Tumor otak Koma akibat gangguan metabolisme lain seperti uremia, koma hipoglikemia,

32

koma hiperglikemia

Epilepsi

Penatalaksanaan Resusitasi ABCDE Penataksanaan Khusus Atasi faktor pencetus koma hepatikum : 1. Karena perdarahan atasi perdarahan Tranfusi 2. Karena infeksi beri antibiotik 3. Karena alkohol, sedatif, diet tinggi protein hentikan pemberiannya 4. Karena gangguan elektrolit koreksi elektrolit 5. Gangguan elektrolit karena pemberian diuretik stop diuretic 6. Stop pemberian obat yang mengandung nitrogen 7. Dilakukan enema dan laksan laktulosa 10-30 ml, 3x/d 8. Diet bebas protein pada yang akut. (maksimal 50 g/d pada yang kronik) 9. Sterilisasi usus dengan Kanamicin oral Penatalaksanaan koma hepatik harus memperhatikan apakah koma hepatik yang terjadi adalah primer atau sekiinder. Pada koma hepatik primer terjadinya koma adalah akibat kerusakan parenkim hati yang berat tanpa adanya faktor pencetus (presipitasi), sedangkan pada koma hepatik sekunder terjadinya koma dipicu oleh faktor pencetus. Upaya yang dilakukan pada penatalaksanaan koma hepatik adalah: 1). Mengobati penyakit dasar hati 2). Mengidentifikasi dan menghilangkan faktor-faktor pencetus 3). Mengurangi/mencegah pembentukan influks toksin-toksin nitrogen ke jaringan otak antara lain dengan cara: a). Menurunkan atau mengurangi asupan makanan yang mengandung protein. b). Menggunakan laktulosa dan antibiotika c). Membersihkan saluran coma bagian bawah. 4). Upaya suportif dengan memberikan kalori yang cukup serta mengatasi komplikasi yang mungkin ditemui seperti hipoglikemia, perdarahan saluran cema, dan keseimbangan elektrolit. Secara umum tatalaksana pasien dengan koma hepatik adalah memperbaiki oksigenasi jaringan, pemberian vitamin terutama golongan vitamin B, memperbaiki keseimbangan elektrolit dan cairan, serta menjaga, agar jangan terjadi dehidrasi. Pemberian makanan berasal dari protein dikurangi atau dihentikan sementara dan dapat kembali diberikan setelah terdapat perbaikan. Protein dapat ditingkatkan secara

33

bertahap, misainya dari 10 gram menjacli 20 gram sehari selama 3-5 hari disesuaikan dengan respon klinis, dan bila keadaan telah stabil dapat diberikan protein 40-60 gram sehari. Sumber protein terutama dari campuran asam amino rantai cabang. Pemberian asam amino ini diharapkan akan menormalkan keseimbangan asam amino sehingga neurotransmiter asli dan palsu akan berimbang dan kemungkinan dapat meningkatkan metabolisme amonia di otot. Tujuan pemberian asam amino rantai cabang pada koma hepatik (ensepalopati hepatik) antara lain adalah: 1). Untuk mendapatkan energi yang dibutuhkan tanpa memperberat fungsi hati 2). Pemberian asam amino rantai cabang akan mengurangi asam amino aromatik dalam darah 3). Asam amino rantai cabang akan memperbaiki sintesis katekolamin pada jaringan perifer 4). Pemberian asam amino rantai cabang dengan dekstrosa, hipertonik akan mengurangi hiperaminosidemia. Selanjutnya dapat dipergunakan laksansia, antibiotika, atau keduanya. Pemakaian laksansia laktulosa diberikan secara oral dengan dosis 60-120 ml perhari untuk merangsang defekasi. Laktulosa merupakan suatu disakarida sintetis yang tidak diabsorbsi oleh usus halus. tetapi dihidrolisis oleh bakteri usus besar, sehingga terjadi lingkungan dengan pH asam yang akan menghambat penyerapan amonia. Selain itu frekuensi defekasi bertambah sehingga memperpendek waktu transit protein di usus. Penggunaan laktulosa bersama antibiotika yang tidak diabsorbsi usus seperti neomisin, akan memberikan hasil yang lebih baik. Neomisin diberikan 2-4 gram perhari baik secara oral atau secara enema, walaupun pemberian oral lebih baik kecuali terdapat tanda-tanda ileus. Metronidazol 4 x 250 mg perhari merupakan alternatif. Upaya membersihkan saluran cerna bagian bawah dilakukan terutama kalau terjadi perdarahan saluran cerna (hematemesis/melena) agar darah sebagai sumber toksin nitrogen segera dikeluarkan. 1. EH tipe akut : Pengelolaan baik tipe/endogen maupun tipe sekunder/eksogen, pada prinsipnya sama yaitu terdiri dari tindakan umum dan khusus. Bagi tipe sekunder/eksogen diperlukan pengelolaan faktor pencetusnya: a. Tindakan umum :

34

Penderita stadium III-IV perlu perawatan suportif yang intensif : perhatikan posisi berbaring, bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, pasang kateter foley.

Pemantauan kesadaran, keadaan neuropsikiatri, sstem kardiopulmonal dan ginjal keseimbangan cairan, elektrolit serta asam dan basa.

Pemberian kalori 2000 kal/hari atau lebih pada fase akut bebas protein gram/hari (peroral, melalui pipa nasogastrik atau parental).

b.

Tindakan khusus : Mengurangi pemasukan protein : o o Diet tanpa protein untuk stadium III-IV. Diet rendah protein (nabati) (20gram/hari) untuk stadium I-II. Segera setelah fase akut terlewati, intake protein mulai ditingkatkan dari beban protein kemudian ditambahkan 10 gram secara bertahap sampai kebutuhan maintanance (40-60 gram/ hari). Mengurangi populasi bakteri kolon (urea splitting organism). o Laktulosa peroral untuk stadium I-II atau pipa nasogastrik untuk stadium III-IV, 30-50 cc tiap jam, diberikan secukupnya sampai terjadi diare ringan. o o Lacticol (Beta Galactoside Sorbitol), dosis : 0,3-0,5 gram/hari. Pengosongan usus dengan lavement 1-2x/hari : dapat dipakai katartik osmotic seperti MgSO4 atau laveman (memakai larutan laktulosa 20% atau larutan neomisin 1% sehingga didapat pH = 4). o Antibiotika : neomisin 4x1-2gram/hari, peroral, untuk stadium I-II, atau melalui pipa nasogastrik untuk stadium III-IV. Rifaximin (derifat Rimycin), dosis : 1200 mg per hari selama 5 hari dikatakan cukup efektif. Obat-obatan lain : o Penderita koma hepatikum perlu mendapatkan nutrisi parenteral. Sebagai langkah pertama dapat diberikan cairan dekstrose 10% atau maltose 10%, karena kebutuhan karbohidrat harus terpenuhi lebih dahulu. Langkah selanjutnya dapat diberikan cairan yang

mengandung AARC (Comafusin hepar) atau campuran sedikit AAA dalam AARC (Aminoleban) : 1000 cc/hari. Tujuan pemberian AARC adalah untuk mencegah masuknya AAA ke dalam sawar otak, menurunkan katabolisme protein, dan mengurangi konsentrasi ammonia darah. Cairan ini banyak dibicarakan akhir-akhir ini.

35

o o

L-dopa : 0,5 gram peroral untuk stadium I-II atau melalui pipa nesogastrik untuk stadium III-IV tiap 4 jam. Hindari pemakaian sedativa atau hipnotika, kecuali bila penderita sangat gelisah dapat diberikan diimenhidrimat (Dramamine) 50 mg i.m: bila perlu diulangi tiap 6-8 jam. Pilihan obat lain : fenobarbital, yang ekskresinya sebagian besar melalui ginjal.

o o

Vit K 10-20 mg/hari i.m atau peroral atau pipa nasogastrik. Obat-obatan dalam taraf eksperimental : Bromokriptin (dopamine reseptor antagonis) dalam dosis 15 mg/hari dapat memberi perbaikan klinis, psikometrik dan EEG. Antagonis benzodiaepin reseptor (Flumazenil), memberi hasil memuaskan, terutama untuk stadium I-II.

Pengobatan radikal. Exchange o o o o tranfusio, plasmaferesis, dialysis, charcoal

hemoperfusion, transpalantasi hati: Koreksi gangguan keseimbangan cairan, elekrtrolit, asam basa. Penggulangan perdarahan saluran cerna. Atasi infeksi dengan antibiotika yang tepat dalam dosis adekuat. Hentikan obat-obatan pencetus EH; obat-obatan hepatotoksik, diuretika atau yang menimbulkan konstipasi. 2. EH tipe Kronik. Prinsip-prinsip pengobatan EH tipe kronik : a. b. Diet rendah protein, maksimal 1 gram / kg BB terutama protein nabati. Hindari konstipasi, dengan memberikan laktulosa dalam dosis secukupnya (2-3 x 10 cc/hari). c. d. e. Bila gejala ensefalopati meningkat, ditambah neomisin 4x1 gram / hari. Bila timbul ekserbasi akut, sama seperti EH tipe akut. Perlu pemantauan jangka panjang untuk penilaian keadaan mental dan neuromuskulernya. f. Pembedahan elektif : colon by pass, transplantasi hati, khususnya untuk EH kronik stadium III-IV.

Prognosis Perbaikan atau kesembuhan sempurna dapat terjadi bila dilakukan pengeloaan yang cepat dan tepat. Prognosis penderita EH tergantung dari : a. b. Penyakit hati yang mendasarinya. Faktor-faktor pencetus.

36

c. d. e.

Usia, keadaan gizi. Derajat kerusakan parenkim hati. Kemampuan regenerasi hati. Pada koma hepatik portosistemik sekunder, bila faktor-faktor pencetus

teratasi, maka dengan pengobatan standar hampir 80% pasien akan kembali sadar. Pada pasien dengan koma hepatik primer dan penyakit berat, prognosis akan lebih buruk bila disertai hipoalbuminemia, ikterus dan asites. Sementara koma hepatik akibat gagal hati fulminan kemungkinan hanya 20% yang dapat sadar kembali setelah dirawat pada pusat-pusat kesehatan yang maju.

KOMA UREMIKUM Uremia adalah tingginya kadar ureum dalam darah diatas ambang normal. Uremia dapat terjadi karena konsumsi protein yang berlebihan, gangguan pada ginjal untuk ekskresi ureum, atau bisa juga karena retensi urin. Gangguan pada ginjal dapat terjadi akibat gangguan prerenal, renal dan postrenal. Gangguan prerenal biasanya terjadi akibat penurunan aliran darah dalam sirkulasi akibat suatu hambatan. Pada kasus renal biasanya terjadi akibat adanya peradangan pada ginjal itu sendiri. Sedangkan pada postrenal terjadi karena adanya gangguan pada saluran pembuangan ,baik karena peradangan pada ureter, vesika urinaria maupun uretra. Tidak terjadinya ekskresi ureum dikarenakan glomerulus dan tubuli mengalami kerusakan, akibatnya konsentrasi unsur-unsur cairan yang berada dalam tubuh dan yang seharusnya terbuang jadi tidak terbuang. Uremia dapat menyebabkan rasa lelah, anoreksia, mual, muntah, diare, dan kelainan neurologis (gangguan syaraf) dan rasa gatal hebat (pruritus) Uremia juga dapat ditunjukkan dari gejala sebagai berikut: a. Oedema pulmonum Kejadian ini berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah yang melalui paru-paru, terutama dari jantung kanan. b. Anemia Kejadian ini berkaitan dengan produksi erythropoitin oleh ginjal. Apabila terjadi kerusakan ginjal maka produksi eythropoitin akan berkurang atau

37

bahkan terhenti sama sekali, pada hal erythropoitin 90% diproduksi di ginjal dan sisanya di hati 10% sehingga proses erythropoesis akan terhambat. c. Ulkus pada mukosa Ulkus terjadi apabila tubuh mengalami acidosis sehingga mengiritasi mukosa. Ulkus biasanya terjadi pada selaput mukosa organ pencernaan, urogenitalis dan respiratorius. d. Kalsifikasi dan osteodistrofi Kedua hal ini sangat erat hubungannya pada kejadian kerusakan ginjal (uremia). Gangguan fungsi ginjal mengakibatkan gangguan dalam penyerapan kalsium, karena ginjal tidak mampu memproduksi kalsiferol yang berfungsi untuk mengaktifkan pro vitamin D menjadi vitamin D. Vitamin D berfungsi membantu menyerap kalsium dalam saluran pencernaan. Apabila tubuh tidak mapu menyerap kalsium dari makanan, maka syaraf parasimpatis menggertak parathiroid untuk mengaktifkan hormon parathiroid yang berfungsi

mengambil kalsium dari tulang sehingga terjadi osteodistrofi. Jika kadar ureum dalam darah terus meningkat maka dapat menyebabkan kematian akibat asidosis metabolik yang menyebabkan hewan sukar untuk bernafas. Kematian dapat juga terjadi akibat akibat gangguan pada fungsi otak sampai nekrose otak akibat hipoksia. Mekanisme : Ureum sebenarnya adalah zat yang tidak toksik, tetapi apabila konsentrasinya sangat tinggi akan menimbulkan bekuan ureum dan menimbulkan bau nafas yang mengandung amonia (NH4). Efek ureum yang tinggi dalam darah adalah terhadap trombosit, trombosit tidak dapat lagi membentuk bekuan sehingga tidak terjadi agregasi trombosit. Akibatnya akan timbul perdarahan dari hidung, diare berdarah, atau bisa juga perdarahan di bawah kulit. Penyebab perdarahan adalah Trombopatia uremika. Jika kadar ureum dalam darah sangat tinggi maka tekanan osmotik darah juga akan meningkat. Konsentrasi ureum dan tekanan osmotik yang ditimbulkan oleh ureum, di dalam dan di luar sel adalah sama. Ada satu pengecualian yang penting, yaitu kalau kadar ureum dalam darah kadarnya dengan cepat diturunkan misalnya dengan hemodialisis, maka ureum didalam sel otak masih tetap tinggi dan akan mencapai keseimbangan dengan kadar dalam darah secara perlahan-lahan.

38

INTOKSIKASI OBAT-OBATAN Beberapa obat yang sering menyebabkan intoksikasi, yaitu: 1. Benzodiazepine Benzodiazepin digunakan untuk pengobatan pada gangguan kecemasan, insomnia, nyeri misalnya Diazepam (Valium). Keracunan benzodiazepine biasa terjadi karena menelan obat dalam jumlah banyak, namun kematian akibat menelan benzodiazepine jarang terjadi, kematian yang sering terjadi biasanya akibat sekunder dari kombinasi dengan obat depresan lain. Gejala Gejala : 1. 2. 3. 4. 5. Pusing, depresi, apatis Stupor, ataxia Lemah otot atau penurunan aktivitas motorik Penurunan kesadaran Penurunan tekanan darah, depresi pernapasan, hypothermi

Diagnosis Tes diagnostik :


Pemerikasaan Fisik : Kaji ABC dan adanya trauma Laboratorium :


o o o o

Tes Cepat Glukosa Tes kehamilan untuk wanita usia produktif Kaji adanya pemakaian alkohol Tes Kadar obat dalam urine dapat membantu diagnosa atau memperkirakan jenis obat yang mempengaruhi kesadaran pasien, tetapi pada kondisi emergensi tidak perlu menunggu hasil laboratorium ini.

Tes kadar benzodiazepine dalam darah tidak terlalu diperlukan pada kondisi emergensi pada pasien dengan keracunan benzodiazepine.

Pemeriksaan jantung dengan Elektro kardio Gram

Tatalaksana Sebagian besar pasien hanya memerlukan terapi suportif dan pengawasan Terapi Suportif 1. Sebagian besar penderita keracunan Benzodiazepin mulai sadar dalam waktu 12-36 jam setelah terapi Supportif. 2. Perhatikan kelancaran saluran jalan napas, dan peralatan alat bantu pernapasan tersedia pada tempatnya.

39

Disposisi : Perawatan rumah dan pengawasan setelah pulang dari unit gawat darurat diperlukan pada pasien yang telah sadar. Pengkajian yang diperlukan diantaranya : 1. 2. 3. Adanya depresi Pernapasan Bukti adanya penggunaan obat Pemakaian flumazenil

2.

Alkohol Ethil alcohol (wiski 40 %), alcohol pekat (95% dan 75%) methyl alcohol (spritus). Gejala Gejala : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Kekacauan mental Pupil mata dilatasi Sering muntah-muntah Bau alkohol Penanganan : Upayakan muntah bila pasien sadar Pertahankan jalan nafas tetap baik Bila sadar beri minum kopi hitam Pernafasan buatan bila perlu

Gejala dan Tanda Intoksikasi Obat 1. Bau-bau Overdosis Blood pressure HYPOTENSION (CRASH) C Clonidin (or any antihypertensive) R Reserpine A Antidepressant S Sedative hypnotics H Heroin (opiates) Respiratory HYPOVENTILATION Opioids

40

HYPERTENSION (CT SCAN) C Cocain T Theophyline S Sympathomimetics C Caffeine A Anticholinergics, amphetamines N Nicotine

HYPERVENTILATION Salisilates CNS stimulant drugs Cyanide

Racun-racun berbau Bau Buah-buahan Permen Kenari pahit Semir perak Gas yg bocor Telur busuk Bawang putih Tanaman wintergreen Kemungkinan racun Ethanol Comphor/ naphtolene Cyanide Cyanide Carbon monoxide Hydrogen sulphide Arsenic/ parathion Methylsalicylate

Catatan : carbon monosida berbau. Bau gas bocor sebab bahan berbau busuk disebut mercaptans

2. Gejala neurologi Derajat kesadaran Depresi syaraf pusat Anticholinergik Antihistamin Barbiturates Cyclic antidepressant Ethanol dan alcohol lainnya Phenothiazine Bahan Sedative-hypnotic Hipoksia sel Carbon monoksida Cyanide Hydrogen sulfide Methaemoglobinaemia

Pupil : obat dan racun tertentu dan bahan yang berakibat pada pupil pelajari dibawah ini. MIOSIS (COPS) C Cholinergics, clonidine MYDRIASIS (AAAS) A Antihistamines

41

O Opiates, organophosphates

A Antidepressants

P Phenothiazines, pilocarpine, perdarahan A Anticholinergics, atropine Pontine S Sedative-hypnotics S Sympathomimetics (cocaine, amphetamine)

Tanda fokal : cari penyebab lain, kecuali trauma. Kulit o Kulit berkeringat dan hipoglikemia : Sympatomimetics Organophospates ASA (salicylates) PCP dan hipoglikemia o o Kulit kering : anticholinergic Melepuh : 1. carbon monoxide 2. barbiturat 3. keracunan singkong 4. sulfur 5. lewsite o Warna : 1. merah : anticholinergic 2. blue : methaemoglobinemia, cyanide, carbon monoxide o luka jarum : opioids

Beberapa gejala spesifik keracunan obat, yaitu: Opioids 1. 2. 3. 4. 5. Koma Depresi napas Pinpoint pupils Hipotensi Bradikardi

Cholinergics (SLUDGE) : contoh organophosphate/carbamate 1. 2. 3. 4. 5. Salivation Lacrimation Urination Defaecation Gastric emptying

42

6.

Emesis : contoh antihistamin, antidepresan siklik,

Anticholinergic

homatropin,scopolamine 1. 2. 3. 4. 5. 6. Hyperthermia Vasodilatasi kutan Penurunan kelenjar ludah Cycloplegi dan midriasis Delirium dan halusinasi Tanda-tanda lain a. b. c. Salisilat 1. 2. 3. 4. 5. Panas Takikardi Muntah Letargi (jarang koma) Tinitus Takikardi Retensi urine Penurunan gerakan usus/ hilangnya suara usus.

Sympathomimetic : contoh kokain, amphetamin 1. 2. 3. 4. 5. Hipertensi Takikardia Hiperpireksia Midriasis Kecemasan atau delirium

Sedative-hipnotik : contoh barbiturat, benzodiasepin 1. 2. 3. 4. 5. Perubahan pupil yang mendadak. Kebingungan atau koma. Depresi napas Hipotermia Vesikel atau bula ( barb burn)

Ektrapiramidal : gambaran parkinson (TRIOD) 1. 2. 3. 4. Tremor. Rigidity Opistotonus, oculogryic crisis Dysphonia, dysphagia

Kategori ini adalah obat-obat termasuk zines 1. Chlopromazine (largactil/Thorazine)

43

2. 3. 4.

Prochlorperazine (stemetil/compazine) Haloperidol (haldol) Metochlopramide (maxolon/reglan)

Haemoglobinopathies 1. Carboxyhaemoglobinemia a. b. c. d. e. 2. Sakit kepala Mual dan pusing, seperti sakit flu Pingsan, takipnue, takikardia Koma, kejang Kolap kardiovaskular, gagal napas Gejala klinik utama adalah sianosis (darah coklat) Asimtomatik (< 30% methaemoglobin level) Lemas, kelemahan, pusing, sakit kepala (30-50% level

Methaemoglobinaemia a. b. c.

methaemoglobin) d. Lethargi, stupor, depresi napas (>55 % level methaemoglobin)

Diagnosis Anamnesa 1. 2. Riwayat obat yang sedang digunakan Riwayat penyakit dahulu

Pemeriksaan fisik 1. 2. 3. 4. Tanda-tanda umum keracunan Gejala khas yang ditimbulkan obat Bau-bauan Sisa racun / obat yang didapatkan dari diri pasien

Laboratorium Darah lengkap : peningkatan sel lekosit : infeksi/zat besi/theophyllin/hidrocarbon Elektrolit serum 1. 2. Anion gap = [Na+] [ HCO3- ] [ Cl-] Anion gap normal = 8 sampai 16 mEq/l

Asidosis metabolik/ peningkatan anion gap Carbon monosida, sianida, Methanol, methaemoglobin, ketoasidosis alkohol, Uraemia,Tolune, Ketoasidosis Diabetic, Paraldehyde, INH/Iron, Lactic asidosis, ethylene glycol, Salicylate, bahan pelarut

Urea serum dan kreatinin : untuk mengetahui adanya keadaan gangguan ginjal. Pemeriksaan tosikologi : level kadar obat berguna pada

44

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Foto

Parasetamol Salisilat Kolinesterase besi lithium theophylline carbon monoksida

Dada 1. 2. Bahan-bahan racun paru, misalnya hidrokarbon / gas beracun / paraquat Odema paru non kardiogenik, misalnya opiate / phenobarbital / salisilat / karbonmonoksida

Abdominal : racun-racun radio opaq pada X-ray: Chloral hydrate, Heavy metals,Iron, Phenothiazine, Enteric-coated preps (salicylates), Sustained-release products (theophylline).

ECG Siklik antidepresan mempengaruhi system konduksi jantung. Misalnya pemanjangan PR dan interval QRS.

Penatalaksanaan Pasien dengan penurunan kesadaran atau hemodinamik tidak stabil harus di tatlaksana di area pelayanan pasien kritis. Kemudian semua kasus keracunan obat dapat di tatalaksana di area pelayanan intermediet. Kasus-kasus pelayanan pasien kritis Perlengkapan Airway manajemen harus secepatnya siap. Catatan : Pasien dengan oksigenasi yang adekuat yang mempunyai gangguan gag reflek dan yang membutuhkan kumbah lambung akan membutuhkan persiapan oroparingeal intubasi. Obat-obat resusitasi haruslah secepatnya dipersiapkan. Suplemen oksigen untuk menjaga Saturasi O2 sekurang 95%. Monitor : ECG, tanda vital tiap 5 -15 menit, pulse oximetry. Pasang saluran IV perifer. Laborat Pasang kateter urin (tergantung kasus) Kontrol kejang atau disritmia : protokol standar dapat digunakan kecuali pada kasus keracunan siklik anti depresan, dimana komplikasi jantung dan susunan syaraf pusat dapat dicegah dengan alklinisasi pada darah pada PH 7.5.hal ini

45

dapat dikompensasi dengan hiperventilasi atau pemberian sodium bikarbonat atau keduanya. Coma Cocktail Dextrose 50% : diberikan hanya untuk konfirmasi hipoglikemia tapi mungkin memburuk pada kasus nerologik. Naloxone (Narcan): Mekanisme aksi berlawanan efek opioid termasuk depresi pernapasan,

sedasi dan hipotensi. Efek klinik onset dalam 2 menit. Dosis tidak berdasarkan umur dan ukuran (kecuali pada neonatus),

dibandingkan dengan ketergantungan pada reseptor susunan pusat syaraf 2 mg untuk dewasa dan anak-anak (dapat diulang sampai 10-20 mg). Rute pemberian IV / endotrachea/ intralingual Indikasi aman tetapi mungkin sedikit tambahan evaluasi diagnostik

pasien sebagai parameter yang ditemukan sebesar 92% sensitive pada kecurigaan penguna naloxone. Perhatian faktor-faktor potensial terjadinya gejala withdrawal ketika

diberikan pada ketergantungan opioid. Kemudian hal tersebut membutuhkan monitoring dan dosis ulang Naloxon.

Tabel perkiraan respon terhadap naloxon Parameter klinik Respiratory rate < 12/min Pinpoint pupil Circumstantial evidence Yang manapun gejala diatas Sensitivitas (%) 20 22 15 24 Spesifisitas (%) 80 88 60 96

Dekontaminasi Tergantung pada bahan yang terkait, persiapkan pelindung yang harus digunakan. Pada level minimal, staf seharusnya melakukan tindakan pencegahan umum. Prosedur dekontaminasi: 1. 2. 3. Pindahkan pada daerah kontaminasi. Tanggalkan pakaian. Sikat semua kontaminasi serbuk dari kulit untuk menghindari reaksi ekotermik ketika sedang kontak dengan dekontaminasi air.

46

4.

Gosok semua area dengan air dan atau sabun cair (dan shampoo untuk rambut). Gunakan scrub lembut jika memungkinkan.

5. 6. 7. 8.

Daerah terkonsentrasi adalah kepala, axilla, groin, dan punggung. Sikat dibawah kuku. Irigasi mata jika terkontaminasi. Semua luka terbuka harus ditambahkan dekontaminasi dengan air.

Tujuan dekontaminasi: 1. 2. Hingga ada pengurangan nyeri, jika terdapat paparan pada kulit. Untuk kontaminasi di dalam mata, hingga keluhan nyeri berkurang dan atau terdapat perubahan pada warna kertas PH lakmus tergantung bahan yang terkait. 3. Tidak ada keluhan pada dekontaminasi seharusnya 5 8 menit.

Dekontaminasi Lambung Pengenceran : air/susu. Cuci lambung seharusnya tidak dilakukan secara rutin pada tatalaksana pasien keracunan. Pada studi ekperimental, sejumlah petanda dihilangkan dengan cuci lambung adalah tinggi variasinya dan berkurang dengan waktu. Tidak bukti kuat yang mendasari bahwa tidak ada hasil perbaikan klinik dan ini menyebabkan morbiditas yang siknifikan. Indikasi Tidak seharusnya mempertimbangkan sedikit pasien yang telah

meminum adalah potensial mengancam jiwa dengan sejumlah racun dalam 1 jam diminum. Bahkan kemudian , keuntungan klinik tidak terdapat dalam kontrol studi. Kontraindikasi: o o o o o o Terminum bahan korosif. Tertelan minyak tanah. Kejang berkelanjutan. Tidak terminum racun. Tertelan bahan tajam. Perdarahan yang signifikan.

Prosedur o o o gunakan tabung yang paling besar jika memungkinkan. Lindungi jalan napas. Letakkan pasien pada left lateral dan posisi sedang trendelenburg.

47

o o o o o o

Koreksi letak tube yang benar. Aspirasi kandungan lambung dan retensi bahan untuk dikirim ke ruang dengan pasien. Memberikan cairan lavage. Membasuh lambung. Menarik cairan. Ulangi sampai kembali jernih.

Charcoal aktiv 1. Dosis tunggal : seharusnya tidak diberikan secara rutin pada tatalaksana pasien keracunan. Berdasar pada studi sukarelawan, efektifitas charcoal aktif menurun menurut waktu, paling bermanfaat adalah tertelan selama 1 jam. 2. Indikasi : mungkin dipertimbangkan jika pasien telah menelan potensiasi beracun beberapa bahan racun (yang mana diketahui diserap oleh charcoal). Selama 1 jam setelah menelan. Tidak bukti bahwa pemberian aktif charcoal meberikan perbaikan klinik. 3. Dosis multiple : ulangi pemberian (> 2 dosis) dengan oral charcoal aktif dengan kandungan meningkatkan eliminasi obat. Dosis multipel charcoal aktif dipikirkan untuk menghasilkan efek yang menguntungkan dengan : a. Berikatan beberapa obat yang bergabung dari sirkulasi kedalam lumen pencernakan. Setelah diserap, suatu obat akan masuk kembali ke usus dengan difusi pasif yang tampak jika konsentrasi lebih rendah daripada di darah. Rata-rata difusi pasif tergantung pada gradien konsentrasi dan aliran darah. Dibawah ini kondisi-kondisi sink, gradien konsentrasi

adalah setiap kali dan obat melewati bertahap kedalam lumen usus dimana ini diserap oleh charcoal. Proses ini disebut gastrointestinal dialysis. b. 4. Menyela entero hepatik dan sirkulasi obat-obatan enterogastrik.

Indikasi : dosis multiple charcoal aktif seharusnya dipertimbangkan hanya jika pasien telah menelan carbamazepin, dapsone, phenopharbitone, quinine atau theophyllin. dalam jumlah mengancam jiwa.

5.

Obat-obatan yang diserap oleh chacoal: Acetaminophen Amphetamine Arsenic Digoxin Ethchlorvynol Glutethamine Meprobamate Mercuric chloride Methylsalicylate Phenylpropano lamin Phenytoin Propoxyphene

48

Aspirin Chlorpheniramine Chlorpromazine Cocaine

Imipramine Iodine Ipecac Izoniazid

Morphine Nortryptiline Paraquat Phenobarbitone

Quindine Quinide Salicylates Secobarbitone

6.

Bahan yang tidak diserap oleh chacoal aktif a. b. c. Simple ions : besi, lithium, cyanide Asam kuat atau basa Simple alkohol : methanol, ethanol.

Katartik : pemberian katartik sendiri tidak ada aturan dalam manajemen pasien keracunan dan tidak direkomendasikan seperti metode dekontaminasi saluran cerna. Berdasarkan data, rutin digunakan katartik dalam campuran dengan charcoal aktif atidak direkomendasikan. Jika katartik digunakan, ini seharusnya dibatasi dengan dosis tunggal untuk meminimalkan efek samping. Mekanisme kerja katartik, yaitu: penurunan waktu transit (controversi), Netralisir efek

konstipasi dari charcoal aktif, Juga berguna untuk irigasi lubang usus. Kontra indikasi sebelumnya terdapat diare, Obstruksi usus/ileus, Keadaan penurunan volume, Neonatus,Gagal ginjal kontra indikasi menggunakan katartik yang mengandung ,Trauma abdominal.

Meningkatkan eliminasi Diuresis alkalin kuat Alkalinisasi pada urine meningkatkan pengurangan asam lemah yang

terbatas untuk salisilat, phenobarbital, dan herbisid 2,4 (diklorophenoxyacid [2,4D]. Regimen 1 siklus 1.5/cairan/3 jam: 500 ml 5 % dextrose + 8.4% NaHCO3 pada 1-2 ml/kgBB 500 ml 5% dextrose + 30 ml dari 7.45% potasium chloride 500 ml normal saline IV furosemide 20 mg pada akhir tiap sikus Monitor serum pH dan elektrolit: pH urin seharusnya dipertahankan pada pH 8. Haemoperfusion: indikasi pada keracunan berat dengan theophyllin dan barbiturat. Haemodialisis: indikasinya adalah 1. 2. Ethylene glycol. Methanol.

49

3. 4.

Lithium (dengan gangguan SSP yg berat) salysilat ( dengan kejang, penurunan kesadaran,metabolik asidosis berat dan tinggkat serum > 100 mg/dl) .

Antidote spesifik: lihat Tabel 5 untuk detailnya. Disposisi: masukkan harus ke penyakit dalam mengantisipasi pada kemudian tranfer pada psikiatri.tidak mengancam jiwa DOs tanpa riwayat bunuh diri mungkin dikirim setelah konsultasi psikiatri.

Tabel antidot khusus untuk racun Acetaminophen, paracetamol N-acetylcysteine (parvolex) (tiap IV 150 mg/kg in 200 ml D5W x 15 min,

ml mengandung 200 mg parvolex) kemudian IV 50 mg/kg dlm 500 ml D5W x 4 jam, kemudian IV 100 mg/kg dlm 1000 ml D5W x 16 jam

Arsenic, mercury,lead Atropine Benzodiasepines Carbon monoxide

BAL (dimercaprol)

5 mg/kg BB IM

physosstigmine Flumazenil (Anexate) oxygen

0.5 -2 mg IV Lihat bagian coma cocktail 100% O2(hyperbaric sedang berat dan pada ibu hamil) lihat keracunan, carbon Monoxide

Cyanide

Mutiara Amy nitrite, sodium nitrite (3% sol)

Inhalasi mengandung 1 -2 mutiara Dewasa : IV 300 mg (10ml) sampai 2-5 menit; anak : IV 0.2 0.33 ml/kg (6-10mg)

Sodium thiosulphate (25% sol)

Dewasa : 50 ml IV(12.5g) sampai 10 menit;dapat diulang setengah dosis x1 kalau perlu; anak 1.65ml/kg sampai 10 menit

Ethylene glycol,methanol Iron Lead Nitrites Organophosphates

Ethanol (10%) campur dlm D5W

Dosisi awal :800mg/kg Dosis rumatan: 1-1.5 ml/kg/jam

Desferoxamine EDTA: calcium disodium edetate Mathylene blue (1% solution) Atropine

15 mg/kg/jam/IV 1000-1500 mg/m2/hari IV perinfus 1-2 mg/kg iv x 5 menit 2-4 mg IV q 5 -10 mnt kalau perlu (dewasa) 0.5 mg/kg IV q 5 mnt kkalu perlu (anak) 25 50 mg/kg IV (tingkatkan hingga 1 g) Lihat seksi coma cocktail 2 mg IV/IM 50 mg IV/IM/PO

Pralidoxime (2-PAM) Opioids Phenothiazine Naloxone Benztropine (cogenin) Diphenhydramine

50

Isoniazid (INH)

Pyridoxine

5 g IV ( dapat dulang jika keljang tetap) Level Digoxin tidak diketahui : 5 -10 vials IV (40 ug Fab/vial) : dapat diulang Level digoxin diktahui: # vial digibind= (serum digoxin) x 5.6/kg x BB kg 1000 0.6

Digoxin,digitoxin,o Digitalis fab fragmens (Digibind) leander

51

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Koma diabetikum adalah salah satu komplikasi diabetes yang sebelumnya diawali dengan peningkatan kadar gula yang sangat tinggi terdiri atas ketosis dan non ketosis. KAD (ketoasidosis diabetik) ditandai dengan 3 trias yaitu hiperlipidemia, keadaan asidosis metabolik dan terbentuknya badan keton. Keadaan ini menyebabkan koma diabetik. Selain KAD komplikasi diabetes mellitus lain adalah koma hipoglikemik dimana terjadi penurunan insulin drastis karena penggunaan pengobatan insulin yang tidak tepat atau lebih dari dosis biasa. Koma hepatikum mayoritas disebabkan oleh gagal hepar karena virus hepatitis. Virus hepatitis yang kronis maupun akut memiliki komplikasi yang mengarah ke ensefalopati hepatik yang berujung pada koma hepatikum. Infeksi akut hepatitis A akan menyebabkan gagal hati fulminan sedangkan hepatitis B dan C dapat menyebabkan sirosis. Koma uremikum disebabkan karena gangguan ginjal yang umumnya karena CKD (Chronic Kidney Disease). Kegagalan ginjal memetabolisme amoniak akan menyebabkan koma selain itu gagal ginjal yang menyebabkan ekskresi urea yang tidak adekuat juga dapat menyebabkan koma. Intoksikasi adalah keracunan yang dapat disebabkan oleh berbagai macam zat. Intoksikasi ini memiliki penanganan umum yang hampir sama kecuali pada pemberian antidotumnya.

B. Saran Dengan memahami LO yang didapat, penulis menyarankan pembaca dapat termotivasi untuk mendalami materi yang kami ulas, sehingga nantinya saat diklinik atau rotasi klinik para mahasiswa dapat menerapkannya. Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari dosen dan rekan-rekan angkatan 2008.

52

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jilid 1,II,III. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, 2006. 2. Schrier RW. Manual of Nephrology. Diagnosis and Therapy. 3rd ed. Little, Brown, and Company, Boston. 1990 3. Olson KR. Poisoning and Drug Overdose. 5th ed. McGraw Hill, New York, 2007 4. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL (Eds). Harrisons Principles of Internal medicine. 16th ed, McGraw Hill, New York. 2004

53

You might also like