You are on page 1of 49

FRAKTUR FEMUR

Definisi Rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang / osteoporosis. Fisiologi/anatomi Persendian panggul merupakan bola dan mangkok sendi dengan acetabulum bagian dari femur, terdiri dari : kepala, leher, bagian terbesar dan kecil, trokhanter dan batang, bagian terjauh dari femur berakhir pada kedua kondilas. Kepala femur masuk acetabulum. Sendi panggul dikelilingi oleh kapsula fibrosa, ligamen dan otot. Suplai darah ke kepala femoral merupakan hal yang penting pada faktur hip. Suplai darah ke femur bervariasi menurut usia. Sumber utamanya arteri retikuler posterior, nutrisi dari pembuluh darah dari batang femur meluas menuju daerah tronkhanter dan bagian bawah dari leher femur. Klasifikasi 1. Fraktur leher femur Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung yaitu misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan oleh trauma tidak langsung yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah, dibagi dalam : Fraktur intrakapsuler (Fraktur collum femur) Fraktur extrakapsuler (Fraktur intertrochanter femur)

Fraktur leher femur sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan lebih sering pada wanita yang disebabkan oleh kerapuhan tulang akibat kombinasi proses penuaan dan osteoporosis pasca menopause. Fraktur dapat berupa fraktur subkapital, transervikal, dan basal, yang kesemuanya terletak di dalam simpai sendi panggul atau interkapsuler, fraktur intertrokanter dan subtrokanter terletak ekstrakapsuler. Fraktur intrakapsuler umumnya sulit untuk mengalami pertautan dan cenderung terjadi nekrosis avaskuler kaput femur. Pendarahan kolum yang terletak intraartikular dan pendarahan kaput femur berasal dari proksimal a. sirkumfleksa femoris lateralis melalui simpai sendi. Sumber perdarahan ini putus pada fraktur intraartikular. Pendarahan oleh arteri di dalam ligamentum teres sangat terbatas dan sering tidak berarti. Pada luksasi arteri ini robek. Epifisis dan daerah trokanter cukup kaya vaskularisasinya, karena mendapat darah dari simpai sendi, periosteum, dan a. nutrisia diafisis femur.

Fraktur kolum femur yang terletak intraartikular sangat sukar sembuh karena bagian proksimal perdarahannya sangat terbatas sehingga memerlukan fiksasi kokoh untuk waktu yang cukup lama. Semua fraktur di daerah ini umumnya tidak stabil sehingga tidak ada cara reposisi tertutup terhadap fraktur ini kecuali jenis fraktur yang impaksi, baik yang subservikal maupun yang basal. Penderita umumnya datang dengan keluhan tidak bisa jalan setelah jatuh dan terasa nyeri. Umumnya penderita tidur dengan tungkai bawah dalam keadaan sedikit fleksi dan eksorotasi serta memendek. Sering dapat dilihat pemendekan bila dibandingkan tungkai kiri dengan kanan. Jarak antara trokanter mayor dan spina iliaka anterior superior lebih pendek karena trokanter terletak lebih tinggi akibat pergeseran tungkai ke kranial. Gambaran radiologis menunjukkan fraktur leher femur dengan dislokasi pergeseran ke kranial atau impaksi ke dalam kaput. Kegalian fraktur ini disebabkan kontraksi dan tonus otot besar dan kuat antara tungkai dan tubuh yang menjembatani fraktur, yaitu m. iliopsoas, kelompok otot gluteus, quadriceps femur, flexor femur, dan adductor femur. Inilah yang menggangu keseimbangan pada garis fraktur. Adanya osteoporosis tulang mengakibatkan tidak tercapainya fiksasi kokoh oleh pin pada fiksasi interna. Ditambah lagi, periosteum fragmen intrakapsuler leher femur tipis sehingga kemampuannya terbatas dalam penyembuhan tulang. Oleh karena itu, pertautan fragmen fraktur hanya bergantung pada pembentukan kalus endosteal. Yang penting sekali ialah aliran darah ke kolum dan kaput femur yang robek pada saat terjadinya fraktur. Penanganan fraktur leher femur yang bergeser dan tidak stabil adalah reposisi tertutup dan fiksasi interna secepatnya dengan pin yang dimasukkan dari lateral melalui kolum femur. Bila tak dapat dilakukan operasi ini, cara konservatif terbaik adalah langsung mobilisasi dengan pemberian anestesi dalam sendi dan bantuan tongkat. Mobilisasi dilakukan agar terbentuk pseudoartrosis yang tidak nyeri sehingga penderita diharapkan bisa berjalan dengan sedikit rasa sakit yang dapat ditahan, serta sedikit pemendekan. Terapi operatif dianjurkan pada orang tua berupa penggantian kaput femur dengan prosthesis atau eksisi kaput femur dengan prosthesis atau eksisi kaput femur diikuti dengan mobilisasi dini pasca bedah.

a. Terapi Konservatif Penanganan konservatif dapat dilakukan dengan skin traction, dengan buck extension. Dilakukan apabila fraktur memiliki kemungkinan sebagai berikut : Gangguan peredaran darah pada fragmen proksimal Kesulitan mengamati fragmen proksimal

Kurangnya penanganan hematom fraktur karena adanya cairan synovial.

b. Terapi Operatif Pada umumnya terapi yang dilakukan adalah terapi operasi, fraktur yang bergeser tidak akan menyatu tanpa fiksasi internal, dan bagaimanapun juga manula harus bangun dan aktif tanpa ditunda lagi kalau ingin mencegah komplikasi paru dan ulkus dekubitus. Fraktur terimpaksi dapat dibiarkan menyatu, tetapi selalu ada resiko terjadinya pergeseran pada frakturfraktur itu, sekalipun ditempat tidur, jadi fiksasi internal lebih aman. Dua prinsip yang harus diikuti dalam melakukan terapi operasi reduksi anatomi yang sempurna dan fiksasi internal yang kaku. Metode awal yang menstabilkan fraktur adalah fiksasi internal dengan Smith Petersen Tripin Nail. Fraktur dimanipulasi dengan meja khusus orthopedi. Kemudian fraktur difiksasi internal dengan S.P. Nail dibawah pengawasan Radiologi. Metode terbaru fiksasi internal adalah dengan menggunakan multiple compression screws. Pada penderita dengan usia lanjut (60 tahun ke atas) fraktur ditangani dengan acara memindahkan caput femur dan menempatkannya dengan metal prosthesis, seperti prosthesis Austin Moore. Penderita segera di bawa ke rumah sakit. Tungkai yang sakit dilakukan pemasangan skin traction dengan buck extension. Dalam waktu 24-48 jam dilakukan tindakan reposisi, yang di lanjutkan dengan reposisi tertutup dengan salah satu cara menurut Leadbetter. Penderita terlentang di atas meja operasi dalam pengaruh anastesi, asisten memfiksir pelvis, lutut dan coxae dibuat fleksi 90 untuk mengendurkan kapsul dan otot-otot sekitar panggul. Dengan sedikit adduksi paha ditarik ke atas, kemudian pelan-pelan dilakukan gerakan endorotasi panggul 45, kemudian sisi panggul dilakukan gerakan memutar dengan melakukan gerakan abduksi dan extensi. Setelah itu di lakukan Palm Halm Test : tumit kaki yang cedera diletakkan di atas telapak tangan. Bila posisi kaki tetap dalam kedudukan abduksi dan endorotasi berarti reposisi berhasil baik. Setelah reposisi berhasil baik, dilakukan tindakan pemasangan internal fiksasi dengan teknik multi pin percutaneus. Kalau reposisi pertama gagal dapat diulang 3 kali. Kemudian dilakukan open reduksi, dilakukan reposisi terbuka, setelah tereposisi dilakukan internal fiksasi alat internal fiksasi knowless pin, cancellous screw, atau plate. Pengawasan dengan sinar X (sebaiknya digunakan penguat) digunakan untuk memastikan reduksi pada foto anteroposterior dan lateral. Diperlukan reduksi yang tepat pada fraktur stadium III dan IV, fiksasi pada fraktur yang tak tereduksi hanya mengundang kegagalan kalau fraktur stdium III dan IV tidak dapat direduksi secara tertutup dan pasien berumur di bawah 70 tahun, dianjurkan melakukan reduksi terbuka melalui pendekatan anterolateral. Tetapi

pada pasien tua (60 tahun keatas) cara ini jarang diperbolehkan, kalau dua usaha yang dilakukan untuk melakukan reduksi tertutup gagal, lebih baik dilakukan penggantian prostetik. Sekali direduksi, fraktur dipertahankan dengan pen atau kadang dengan sekrup kompresi geser yang ditempel pada batang femur. Insisi lateral digunakan untuk membuka femur pada bagian atas kawat pemandu, yang disisipkan dibawah pengendali fluroskopik, digunakan untuk memastikan bahwa penempatan alat pengikat adalah tepat. Dua sekrup berkanula sudah mencukupi, keduanya harus terletak memanjang dan sampai plate tulang subkondral, pada foto lateral keduanya berada ditengah-tengah pada kaput dan leher, tetapi pada foto anteropsterior, sekrup distal terletak pada korteks inferior leher femur. Sejak hari pertama pasien harus duduk ditempat tidur atau kursi. Dia dilatih melakukan pernafasan, dianjurkan berusaha sendiri dan mulai berjalan (dengan penopang atau alat berjalan) secepat mungkin. Beberapa ahli mengusulkan bahwa prognosis untuk fraktur stadium III dan IV tidak dapat diramalkan, sehingga penggantian prostetik selalu lebih baik. Pandangan ini meremehkan morbiditas yang menyertai penggantian. Karena itu kebijaksanaan kita adalah mencoba reduksi dan fiksasi pada semua pasien yang berumur dibawah 60 tahun dan mempersiapkan penggantian untuk penderita yang : Penderita yang sangat tua dan lemah Penderita yang gagal mengalami reduksi tertutup Penggantian yang paling sedikit traumanya adalah prostesis femur atau prostesis bipolar tanpa semen yang dimasukan dengan pendekatan posterior. Penggantian pinggul total mungkin lebih baik : Kalau terapi telah tertunda selama beberapa minggu dan dicurigai ada kerusakan acetebulum. Pada pasien dengan penyakit paget atau penyakit metastatik.

Penanganan nekrosis avaskuler kaput femur dengan atau tanpa gagal pertautan juga dengan eksisi kaput dan leher femur dan kemudian diganti dengan prosthesis metal. Pada fraktur leher femur impaksi biasanya penderita dapat berjalan selama beberapa hari setelah jatuh sebelum timbul keluhan. Umumnya gejala yang timbul minimal dan panggul yang terkena dapat secara pasif digerakkan tanpa nyeri. Fraktur ini biasanya sembuh dalam waktu 3 bulan tanpa tindakan operasi, tetapi apabila tidak sembuh atau terjadi disimpaksi yang tidak stabil atau nekrosis avaskuler, penanganannya sama dengan yang di atas. 2. Fraktur subtrokanter femur

Ialah fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal dari trochanter minor, dibagi dalam beberapa klasifikasi tetapi yang lebih sederhana dan mudah dipahami adalah klasifikasi Fielding & Magliato, yaitu : Tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor Tipe 2 : garis patah berada 1 -2 inch di bawah dari batas atas trochanter minor Tipe 3 : garis patah berada 2 -3 inch di distal dari batas atas trochanterminor

Fraktur ini terjadi antara trokanter mayor dan minor. Sering terjadi pada orang tua dan umumnya dapat bertaut dengan terapi konservatif maupun operatif karena perdarahan di daerah ini sangat baik. Terapi operatif memperpendek masa imobilisasi di tempat tidur. Penderita biasanya datang dengan keluhan tidak dapat berjalan setelah jatuh disertai nyeri yang hebat. Penderita terlentang di tempat tidur dengan tungkai bawah eksorotasi dan terdapat pemendekan sampai 3 cm disertai nyeri pada setiap pergerakan. Pada bagian luar pangkal paha terlihat kebiruan akibat hematom subkutan. Pada foto Rontgen terlihat fraktur daerah trokanter dengan leher femur dalam posisi varus yang bisa mencapai 900. Fraktur ini ditangani secara konservatif dengan traksi tulang, dengan paha dalam posisi fleksi dan abduksi, selama 6-8 minggu. Terapi operatif dapat dilakukan dengan pemasangan pelat trokanter yang kokoh, kemudian mobilisasi segera pascabedah. 3. Fraktur batang femur Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat kecelakaan lalu lintas dikota kota besar atau jatuh dari ketinggian, patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan penderita jatuh dalam syok. Pada fraktur diafisis femur biasanya perdarahan dalam cukup luas dan besar sehingga dapat menimbulkan syok. Secara klinis penderita tidak dapat bangun, bukan saja karena nyeri, tetapi juga karena ketidakstabilan fraktur. Biasanya seluruh tungkai bawah terotasi ke luar, terlihat lebih pendek, dan bengkak pada bagian proksimal sebagai akibat perdarahan ke dalam jaringan lunak. Pertautan biasanya diperoleh dengan penanganan secara tertutup, dan normalnya memerlukan waktu 20 minggu atau lebih. Fraktur yang dapat diatasi dengan traksi adalah fraktur intertrokanter dan subtrokanter, fraktur diafisis oblik, segmental, dan kominutif, serta fraktur suprakondiler tanpa dislokasi berat, dan fraktur kondilus femur. Yang tidak dapat ditangani dengan traksi adalah dislokasi tertentu berat. Pada orang dewasa, fraktur ditangani secara konservatif dengan traksi skelet, baik pada tuberositas tibia maupun suprakondiler. Cara ini biasanya berhasil mempertautkan fraktur femur. Yang penting ialah latihan otot dan gerakan sendi, terutama m. quadriceps otot tungkai bawah, lutut, dan pergelangan kaki. Akan tetapi, cara traksi skelet memerlukan waktu istirahat di tempat tidur yang lama sehingga untuk mempercepat mobilisasi dan memperpendek masa istirahat di

tempat tidur, dapat dianjurkan untuk melakukan reposisi terbuka dan pemasangan fiksasi interna yang kokoh. Fiksasi interna biasanya berupa pin Kuntscher intramedular. Untuk fraktur yang tidak stabil, misalnya fraktur batang femur yang kominutif atau fraktur batang femur bagian distal, pin intramedular ini dapat dikombinasi dengan pelat untuk neutralisasi rotasi. Pada fraktur femur tertutup, dilakukan traksi kulit dengan metode ekstensi buck, tujuan traksi kulit untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut di sekitar daerah yang patah. Fraktur batang femur pada anak-anak umumnya dengan terapi non operatif, karena akan menyambung dengan baik, pemendekan kurang dari 2 cm masih dapat diterima karena di kemudian hari akan sama panjangnya dengan tungkai normal. Hal ini kemungkinan karena daya proses remodeling pada anakanak. Pengobatan non-operatif dapat dilakukan dengan metode Perkin, metode balance skeletal traction, traksi kulit Bryant, dan traksi Russel. Sedangkan indikasi operatif karena penanggulangan non-operatif gagal, fraktur multipel, robeknya arteri femoralis, fraktur patologik dan fraktur pada orang-orang tua. 4. Fraktur femur suprakondiler Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi dislokasi ke posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot otot gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan stress valgus atau varus dan disertai gaya rotasi. Fraktur ini relatif lebih jarang dibandingkan fraktur batang femur. Seperti halnya fraktur batang femur, fraktur suprakondiler dapat dikelola secara konservatif dengan traksi skeletal dengan lutut dalam posisi fleksi 900. Traksi ini juga memerlukan waktu istirahat di tempat tidur yang lama sehingga lebih disukai reposisi terbuka dan pemasangan fiksasi interna dengan pelat suprakondiler yang kokoh, yang memungkinkan mobilisasi segera dan menggerakkan sendi lutut. Hal yang terakhir ini penting karena gerakan sendi lutut yang segera dapat mencegah sendi kejur akibat perlekatan otot dan atau perlekatan jaringan lunak di sekitar sendi lutut. 5. Fraktur femur interkondiler Fraktur ini juga relatif jarang dan biasanya terjadi sebagai akibat jatuh dengan lutut dalam keadaaan fleksi dari ketinggian. Permukaan belakang patella yang berbentuk baji , melesak ke dalam sendi lutut dan mengganjal di antara kedua kondilus dan salah satu atau keduanya retak. Pada bagian proksimal kemungkinan terdapat komponen melintang sehingga didapati fraktur dengan garis fraktur berbentuk seperti huruf T atau Y.

Secara klinis, sendi lutut bengkak akibat hemartrosis dan biasanya disertai goresan atau memar pada bagian depan lutut yang menunjukkan adanya trauma. Di sini patella juga dapat mengalami fraktur. Untuk fraktur kondilus tunggal lateral atau medial, paling baik dilakukan reposisi terbuka dengan fiksasi interna dengan sekrup tulang spongiosa. Pada patah tulang kondilus ganda, yaitu fraktur kondilus T atau Y juga dilakukan reposisi terbuka dengan fiksasi interna yang kokoh pada kedua kondilus dan pada komponen melintang bila sarananya tersedia. Pada fraktur kominutif berat di interkondiler, tindakan terbaik adalah traksi skelet kontinu yang memungkinkan gerakan sendi lutut begitu nyeri akut menghilang. Gerakan ini kadang dapat menjadi patokan untuk menilai apakah fragmen sendi sudah pada posisi yang diinginkan dan mengurangi resiko kekakuan sendi. Pada orang tua, fraktur femur interkondiler femur umumnya lebih baik ditangani secara konservatif dengan traksi skelet.

FRAKTUR PELVIS

D E F I N I S I Fraktur pelvis termasuk fraktur tulang proksimal femur dan acetabulum.

Fraktur p e l v i s d a p a t m e n g e n a i o r a n g m u d a d a n t u a . B i a s a n y a , p a s i e n y a n g l e b i h m u d a d a p a t mengalami fraktur pelvis sebagai akibat dari trauma yang signifikan, sedangkan pasien lansiadapat mengalami fraktur pelvis akibat trauma ringan.

KLASIFIKASI TRAUMA PELVIS Klasifikasi Young dan Burgess Beberapa sistem klasifikasi telah dirumuskan untuk menjelaskan cedera pelvis berdasarkan sifat dasar dan stabilitas disrupsi pelvis atau berdasarkan besar dan arah tekanan yang diberikan ke pelvis. Masing-masing klasifikasi telah dikembangkan untuk memberikan tuntunan pada ahli bedah umum dan ortopedi tentang tipe dan kemungkinan masalah kesulitan manajemen yang mungkin dihadapi dengan masing-masing tipe fraktur. Sistem klasifikasi fraktur pelvis ini, salah satu yang dijelaskan oleh Young dan Burgess, paling erat hubungannya dengan kebutuhan resusitasi dan pola yang terkait dengan cedera. Sistem ini berdasarkan pada seri standar gambaran pelvis dan gambaran dalam dan luar, sebagaimana dijelaskan oleh Pennal dkk.

Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera kompresi anteriorposterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS), dan mekanisme kombinasi (CM) (gambar 5). Kategori APC dan LC lebih lanjut disubklasifikasi dari tipe I III berdasarkan pada meningkatnya perburukan cedera yang dihasilkan oleh peningkatan tekanan besar. Cedera APC disebabkan oleh tubrukan anterior terhadap pelvis, sering mendorong ke arah diastase simfisis pubis. Ada cedera open book yang mengganggu ligamentum sacroiliaca anterior seperti halnya ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale. Cedera APC

dipertimbangkan menjadi penanda radiografi yang baik untuk cabang-cabang pembuluh darah iliaca interna, yang berada dalam penjajaran dekat dengan persendian sacroiliaca anterior. Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis pada sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum sacrospinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya tarik. Disrupsi pembuluh darah besar bernama (misal, arteri iliaca interna, arteri glutea superior) relatif luar biasa dengan cedera LC; ketika hal ini terjadi, diduga sebagai akibat dari laserasi fragmen fraktur. Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan hemipelvis mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola cedera CM meliputi fraktur pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua vektor tekanan terpisah. Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess dan dugaan vektor tekanan menunjukkan korelasi yang baik dengan pola cedera organ, persyaratan resusitasi, dan mortalitas. Secara khusus, kenaikan pada mortalitas telah terbukti sebagaimana meningkatnya angka APC. Pola cedera yang terlihat pada fraktur APC tipe III telah berkorelasi dengan kebutuhan cairan 24-jam terbesar. Pada sebuah seri terhadap 210 pasien berurutan dengan fraktur pelvis, Burgess dkk menemukan bahwa kebutuhan transfusi bagi pasien dengan cedera LC rata-rata 3,6 unit PRC, dibandingkan dengan rata-rata 14,8 unit bagi pasien dengan cedera APC. Pada seri yang sama, pasien dengan cedera VS ratarata 9,2 unit, dan pasien dengan cedera CM memiliki kebutuhan transfusi rata-rata sebesar 8,5 unit. Angka mortalitas keseluruhan pada seri ini adalah 8,6 %. Angka mortalitas lebih tinggi terlihat pada pola APC (20 %) dan pola CM (18 %) dibandingkan pada pola LC (0 %) dan pola VS (0 %). Burgess dkk mencatat hilangnya darah dari cedera pelvis yang dihasilkan dari kompresi lateral jarang terjadi, dan penulis menghubungkan kematian pada pasien dengan cedera LC pada penyebab lainnya. Evaluasi lengkap penting pada pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi jarang terjadi sebagai cedera tersendiri. Daya yang sama yang menyebabkan

disrupsi cincin pelvis sering dihubungkan dengan cedera abdomen, kepala, dan toraks. Sebagai tambahan terhadap cedera-cedera ini, 60-80 % pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan tinggi memiliki hubungan lain dengan cedera muskuloskeletal, 12 % berhubungan dengan cedera urogenital dan 8 % berhubungan dengan cedera pleksus lumbosacralis.

PEMERIKSAAN FISIK Patah tulang panggul dapat didiagnosis secara akurat melalui pemeriksaan fisik, tetapi indeks kecurigaan yang tinggi untuk patah tulang berdasarkan mekanisme cedera sangat penting. Pemeriksaan dimulai dengan pemeriksaan untuk lecet dan memar, simetri, terisolasi rotasi dari tungkai bawah, dan perbedaan dalam panjang ekstremitas. Perbedaan panjang tungkai mungkin karena cedera pinggul, cedera femoral, atau cedera panggul vertikal tidak stabil. Krista iliaka yang terputar menunjukkan fraktur serius. Stabilitas putaran dievaluasi dengan meraba untuk perlunakan dan krepitasi dengan kompresi ke dalam dan posterior pada puncak dan dengan kompresi ke belakang pada simfisis pubis. Menggoyangkan panggul adalah tidak tepat, dan perawatan harus diambil untuk menghindari bergesernya patah tulang atau mengganggu suatu hematoma panggul selama pemeriksaan. Jika tidak ada patah tulang dari tungkai bawah, stabilitas vertikal dinilai oleh traksi manual memanjang pada bagian bawah kaki. Perlunakan atas trokanter menunjukkan cedera kaput femoralis cedera atau acetabulum. Setiap cacat kulit di balik panggul harus diselidiki sebagai dugaan fraktur terbuka. Komplikasi untuk cedera pada saluran kemih terjadi sampai seperempat fraktur pelvis, terutama patah tulang dengan cedera genitourinari pada atau dekat simfisis pubis. Sampai dengan 6 % dari perempuan dan 11 % dari pria yang memiliki patah tulang panggul mengalami cedera uretra, frekuensi yang lebih rendah pada bayi dan anak-anak. Darah di lubang kemih atau "naik tinggi" ke prostat menunjukkan cedera uretra dan merupakan kontraindikasi relatif untuk penempatan Foley kateter. Jika cedera uretra dicurigai, sebuah retrograde urethrogram harus diperoleh sebelum penempatan kateter di kandung kemih. Untuk urethrograms retrograd, sebuah radiograf polos abdomen diperoleh, dan kemudian 60 mL bahan kontras disuntikkan langsung ke dalam uretra melalui jarum suntik ditempatkan. Radiograf lain adalah diperoleh injeksi 10 mL bahan kontras. Ekstravasasi bahan kontras menunjukkan cedera uretra. Cedera genitourinari lain juga mungkin, sehingga sampel urin harus dikumpulkan. Hematuria mikroskopis jarang berhubungan dengan cedera yang signifikan, namun hematuria kotor harus segera evaluasi lebih lanjut. Jika tidak terjadi cedera

uretra, gross hematuria menunjukkan kerusakan kandung kemih atau kerusakan ginjal. Tekanan yang dipancarkan bisa memecahkan kandung kemih. Kandung kemih dapat dievaluasi dengan menggunakan cystography, sebuah kateter Foley dimasukkan, dan radiografi diperoleh ketika kandung kemih penuh dengan sampai 400 mL bahan kontras dan lagi setelah bahan kontras dikeringkan. Pada pasien dengan status hemodinamik stabil, baik kandung kemih dan ginjal dapat dievaluasi dengan menggunakan computed tomography (CT). Disfungsi seksual pada pria berhubungan dengan trauma pelvis, dan frekuensi impotensi baik dengan dan tanpa pecahnya uretra adalah signifikan. Cedera gynecologic dan vagina adalah jarang pada fraktur panggul, dan cedera ginekologis paling banyak terjadi pada wanita yang sedang hamil. Cedera gastrointestinal yang berhubungan dengan fraktur panggul dapat terjadi baik sebagai cedera traumatik yang terpisah atau sebagai laserasi oleh ujung tajam tulang yang retak. Kedua pemeriksaan dubur dan vagina diperlukan untuk menyingkirkan suatu sambungan melalui laserasi. Kedekatan struktur neurologis ke sakrum dan acetabulum menciptakan kemungkinan untuk cedera saraf. Cedera saraf tulang belakang yang paling sering dikaitkan dengan fraktur panggul ketika pasien memiliki patah tulang sakral vertikal pada atau di atas tingkat L5 atau fraktur melintang tulang sakral. Luka-luka di tingkat tertentu menyebabkan pola defisit spesifik, sehingga dermatom pada dan di bawah L5 harus dinilai dengan hati-hati. Perhatian khusus harus diberikan kepada plantar fleksi dan dorsifleksi kaki besar, sensasi di kaki, dan dalam tendon reflex achilles

Identifikasi dan Pengelolaan Fraktur Pelvis A. Identifikasi mekanisme trauma yang menyebabkan kemungkinan fraktur pelvis misalnya terlempar dari sepeda motor, crush injury, pejalan kaki ditabrak kendaraan, tabrakan sepeda motor. B. Periksa daerah pelvis adanya ekhimosis, perianal atau hematoma skrotal, darah di meatus uretra. C. Periksa tungkai akan adanya perbedaan panjang atau asimetri rotasi panggul. D. Lakukan pemeriksaan rektum, posisi dan mobilitas kelenjar prostat, teraba fraktur, atau adanya darah pada kotoran. E. Lakukan pemeriksaan vagina, raba fraktur, ukuran dan konsistensi uterus, adanya darah. Perlu diingat bahwa penderita mungkin hamil. F. Jika dijumpai kelainan pada B sampai E, jika mekanisme trauma menunjang terjadinya

fraktur pelvis, lakukan pemeriksaan ronsen pelvis AP (mekanisme trauma dapat menjelaskan tipe fraktur). G. Jika B sampai E normal, lakukan palpasi tulang pelvis untuk menemukan tempat nyeri. H. Tentukan stabilitas pelvis dengan hati-hati melakukan tekanan anterior- posterior dan lateral- medial pada SIAS.Pemeriksaan mobilitas aksial dengan melakukan dorongan dan tarikan tungkai secara hati-hati, tentukan stabilitas kranial - kaudal. I. Perhatian pemasangan kateter urine, jika tidak ada kontraindikasi, atau lakukan pemeriksaan retrograd uretrogram jika terdapat kecurigaan trauma uretra. J. Penilaian foto ronsen pelvis, perhatian kusus pada fraktur yang sering disertai kehilangan darah banyak, misalnya fraktur yang meningkatkan volume pelvis. 1. Cocokan identitas penderita pada film. 2. Periksa foto secara sistematik; a. Lebar simfisis pubis - pemisahan lebih dari 1 cm menunjukan ada trauma pelvis posterior. b. Integritas ramus superior dan inferior pubis bilateral. c. Integritas asetabulum, kaput dan kolum femur. d. Simetri ileum dan lebarnya sendi sakroiliaka. e. Simetri foramen sakrum dengan evaluasi linea arkuata. F f. Fraktur prosesus transversus L5. 3. Ingat, karena tulang pelvis berbentuk lingkaran jarang kerusakan hanya pada satu tempat saja. 4. Ingat fraktur yang meningkatkan volume pelvis, misalnya vertical shear dan fraktur open-book, sering disertai perdarahan banyak. K. Teknik mengurangi perdarahan dari fraktur pelvis. 1. Cegah manipulasi berlebihan atau berulang-ulang. 2. Tungkai bawah di rotasi kedalam untuk menutup fraktur open-book. Pasang bantalan pada tonjolan tulang dan ikat kedua tungkai yang dilakukan rotasi. Tindakan ini akan mengurangi pergeseran simpisis, mengurangi volume pelvis, bermanfaat untuk tindakan sementara menunggu pegobatan definitif. 3. Pasang dan kembangkan PASG. Alat ini bermanfaat untuk membawa/ transpor penderita.

4. Pasang external fixator pelvis (konsultasi orthopedi segera). 5. Pasang traksi skeletal (konsultasi orthopedi segera) 6. Embolisasi pembuluh darah pelvis melalui angiografi. 7. Lakukan segera konsultasi bedah / orthopedi untuk menentukan prioritas. 8. Letakkan bantal pasir dibawah bokong kiri-kanan jika tidak terdapat trauma tulang belakang atau cara menutup pelvis yang lain tidak tersedia. 9. Pasang pelvic binder. 10. Mengatur untuk transfer ke fasilitas terapi definitif jika tidak mampu melakukannya.

TRAUMA ABDOMEN

Definisi Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen. Dapat terjadi akibat trauma tumpul (blunt trauma) atau trauma tajam (penetrating trauma). Gejala dan tanda meliputi nyeri abdomen, kekakuan dan memar pada abdomen eksterna. Trauma abdomen rentan menyebabkan syok hemoragik atay infeksi yang kemudian menyebabkan sepsis. Diagnosis dapat ditegakkan menggunakan ultrasonografi, CT-scan dan peritoneal lavage. Tatalaksana sering memerlukan intervensi bedah. Pada pasien trauma, bagaimana menilai abdomen adalah salah satu bagian yang menarik. Penilaian sirkulasi sewaktu primary survey harus mencakup deteksi dini dari kemungkinan adanya perdarahan yang tersembunyi pada abdomen dan pelvis pada pasien trauma tumpul. Trauma tajam pada dada diantara nipple dan perineum harus dianggap potensial menyebabkan cedera intraabdominal. Pada penilaian abdomen, prioritas maupun metode apa yang terbaik sangat ditentukan oleh mekanisme trauma, berat dan lokasi trauma maupun status hemodinamik penderita. Adanya trauma abdomen yang tidak terdeteksi tetap menjadi salah satu penyebab kematian yang sebenarnya dapat dicegah, selain trauma spinal. Sebaiknya jangan menganggap bahwa ruptur organ berongga maupun perdarahan dari organ padat merupakan hal yang padat untuk dikenali. Seringkali pemeriksaan kita dipengaruhi oleh adanya intoksikasi alkohol, penggunaan obat-obat tertentu, adanya trauma otak maupun medula spinalis yang menyertai, ataupun adanya trauma yang mengenai organ yang berdekatan seperti kosta, tulang belakang

atau pelvis. Setiap pasien yang mengalami trauma tumpul pada dada baik karena langsung maupun deselerasi, ataupun trauma tajam, harus dianggap mungkin mengalami trauma viscera ataupun trauma vaskuler abdomen.

Anatomi Anatomi luar abdomen 1. Abdomen depan

Walaupun abdomen sebagian dibatasi oleh thoraks bagian bawah, definisi abdomen depan ialah bidang yang superior dibatasi oleh garis intermammaria, di inferior dibatasi oleh ligamentum inguinale dan simfisis pubis serta oleh keda linea axillaris anterior. 2. Pinggang

Ini merupakan di daerah terletak diantara linea axillaris anterior dan posterior, dari sela iga ke-6 di atas, ke bawah hingga krista iliaka. Di lokasi ini adanya dinding otot abdomen yang tebal, berlainan dengan dinding otot lebih tipis dibagian depan menjadi pelindung terutama pada luka tusuk. 3. Punggung

Daerah ini berada di belakang dari linea axilaris posterior, dari ujung bawah skapula smapai krista iliaka. Seperti halnya daerah flank, disini otot-otot punggung dan otot paraspinal menjadi pelindung terhadap trauma tajam.

Anatomi dalam dari abdomen Ada 3 regio yang berlainan disini, yaitu rongga peritoneal, ruang retroperitoneal, dan rongga pelvis. Rongga pelvis ini mengandung bagian-bagian dari bagian peritoneal dan retroperitoneal. 1. Rongga peritoneal Untuk simpelnya, kita bisa membagi rongga peritoneal menjadi 2 bagian, yaitu atas dan bawah. Rongga peritoneal atas dilindungi oleh bagian bawah dari dinding diafragma, hepar, lien, gaster, dan kolon transversum. Bagian ini juga disebut thorakoabdominal. Pada saat diafragma naik hingga sela iga ke-4 pada waktu ekspirasi penuh, setiap terjadi fraktur iga maupun luka tusuk tembus di bawah garis intermammaria bisa mencederai organ dalam abdomen. Rongga peritoneal bawah berisikan usus halus , bagian kolon

ascendens dan kolon descendens, kolon sigmoid dan pada wanita, organ reproduksi internal. 2. Rongga pelvis Rongga pelvis, yang dilindungi oleh tulang-tulang pelvis, sebenarnya merupakan bagian bawah dari rongga intraperitoneal, sekaligus bagian bawah dari rongga retroperitoneal. Terdapat di dalamnya rektum, vesika urinaria, pembuluh darah oliaka, dan pada wanita, organ reproduksi interna. Sebagaimana halnya bagian thoracoabdominal, pemeriksaan organ-organ pelvis terhalang oleh bagian-bagian tulang diatasnya. 3. Rongga retroperitoneal Rongga yang potensial ini adalah rongga yang berda di belakang dinding peritonium yang melapisi abdomen, dan di dalamnya terdapat aorta abdominalis, vena kava inferior, sebagian besar dari dinding deodenum, pankreas, ginjal dan ureter sebagian posterior dari kolon ascendens dan kolon descendens, dan juga bagian dari rongga pelvis yang retroperitoneal. Cedera pada organ dalam retroperitoneal sulit dikenali karena area ini jauh dari jangkauan pemeriksaan fisis yang biasa, dan juga karena cedera disini sering tidak menimbulkan gejala peritonitis. Di samping itu, organ ini tidak termasuk dalam bagian yang diperiksa sampelnya pada diagnostic peritoneal lavage (DPL).

Mekanisme Trauma 1. Trauma tumpul

Suatu pukulan langsung, misalnya terbentur pinggiran setir maupun bagian pintu mobil yang melesak ke dalam karena tebrakan, bisa menyebabkan trauma kompresi terhadap organ viscera. Kekuatan seperti ini dapat merusak organ padat maupun organ berongga, dan bisa mengakibatkan ruptur, terutama organ-organ yang mengalami distensi (misalnya ibu hamil), dan mengakibatkan perdarahan maupun peritonitis. Trauma tarikan (shearing injury) terhadap organ viscera terjadi saat suatu alat pengaman (misalnya seat belt ataupun komponen pengaman bahu) tidak digunakan dengan benar. Pasien yang cedera pada suatu tabrakan motor bisa mengalami trauma deselerasi dimana terjadi pergerakan yang tidak sama antara suatu bagian yang terfiksir dengan bagian yang tidak bergerak, seperti suatu ruptur lien maupun ruptur hepar (organ yang bergerak) dibagian ligamennya (organ yang terfiksir). Pemakaian air bag tidak mencegah orang mengalami trauma abdomen. Pada pasien yang mengalami laparotomi karena trauma tumpul, organ yang paling sering kena adalah lien (40-55%), hepar (35-45%) dan usus halus (5-10%). Sebagai tambahan, 15% nya mengalami hematoma retroperitoneal.

2. Trauma tajam Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan menyebabkan tarnsfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitations, dan bisa pecah menjadi kerusakan lainnya. Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%), diafragma (20%) dan kolon (15%). Luka tembak memiliki kerusakan yang lebih besar, yang ditentukan oleh jauhnya perjalanan peluru, besar energi kinetik maupun kemungkinan pantulan peluru oleh tulang organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Luka tembak paling sering mengenai usus halus (50%), kolon (40%), hepar (30%) dan pembuluh darah abdominal (25%). Penilaian Pada pasien yang mengalami hipotensi, sasaran dokter mula-mula adalah menentukan ada tidaknya trauma abdomen, apakah ini yang menyebabkan hipotensi. Pasien dengan hemodinamik stabil tanpa gejala peritonitis bisa diperiksa lebih detail untuk menentukan apakah ada trauma yang spesifik, atau selama observasi timbul tanda peritonitis atau perdarahan. 1. Anamnesis Anamnesi harus mencakup kecepata kendaraan tabrakan, jenis tabrakan (depan dengan depan, tabrakan samping, terserempet, tabrakan dari belakang ataupun terguling), jenis pengaman yang digunakan, ada tidaknya air bag, posisi pasien dalam kendaraan. Keterangan ini dapat diperoleh langsung dari pasien, penumpang lain, polisi atau petugas emergensi. Informasi lain mencakup informasi tanda-tanda vital, luka-luka atau respons terhadap penangana pra rumah sakit. Bila pasien dengan trauma tajam, penting untuk ditanyakan waktu terjadinya trauma, jjenis senjata yang digunakan (pisau, pistol, senapan), jarak dari pelaku, jumlah tikaman atau tembakan, dan jumlah perdarahan eksternal ditempat kejjadian. Bila mungkin, informasi tambahan harus didapat dari pasien sendiri, tentang hebatnya maupun lokasi dari setiap nyeri abdominalnya, dan apakah ada nyeri alih ke bahu. 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisis abdomen harus dilakukan dengan teliti dan sistematis : inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. 2.1. Inspeksi Pasien diperiksa tanpa pakaian. Abdomen bagian depan dan belakang, dada bagian bawah dan perineum diteliti apakah mengalami ekskoriasi atau memar. Diperiksa apakah ada laserasi, isi usus atau omentum yang keluar, dan status kehamilan.

2.2. Auskultasi Di ruang UGD yang ramai sulit untuk mendengarkan bising usus, yang penting adalah menentukan ada tidaknya bising usus tersebut. Darah bebas di retroperitoneal dapat menyebabkan ileus, yang mengakibatkan hilangnya bising usus. Cedera struktur lain yang berdekatan seperti iga, vertebra maupun pelvis juga dapat mengakibatkan ruptur meski tidak ada cedera intraabdomen. Oleh karena itu,

hilangnya bising usus bukan merupakan diagnostik untuk trauma intraabdominal. 2.3. Perkusi Manuver ini dapat mengetahui nada timpani akibat dilatasi lambung di kuadran kiri atas atau suara redup pada keadaaan hemoperitonium. 2.4. Palpasi Tujuan palpasi adalah untuk mendapatkan adanya nyeri lepas yang terkadangkadang dalam. Nyeri lepas tekan adalah sugestif untuk peritonitis, yang disebabkan oleh kontaminasi isi usus, maupun juga hematoperitonium pada tahap awal. 2.5. Evaluasi luka tusuk Sebagian besar kasus luka tembak ditangani dengan laparotomi eksplorarif karena insidensi cedera retroperitoneal dapat mencapai 95%. Luka tusukan pisau biasanya ditangani secara lebih selektif, akan tetapi 30% kasus mengalami cedera intraperitoneal. Semua kasus luka tembak tau luka tusuk dengan hemodinamik yang tidak stabil harus dilaparotomi segera. Bila ada kecurigaan bahwa luka tusuk yang terjadi siffatnya superficial dan tidak menembus lapisan otot dinding abdomen, biasanya dilakukan eksplorasi terlebih dulu untuk menilai kedalamannya. Prosedur ini tidak dilakukan jika trauma yang sama terjadi di atas kosta karena kemungkinan pneumothoraks dan hematothoraks. 2.6. Menilai stabilitas pelvis Penekanan manual pada SIAS ataupu krista iliaka akan menimbulkan rasa nyeri maupun krepitasi yang menyebabkan dugaan pada adanya fraktur pelvis. Harus hatihati karena manuver ini dapat menambah perdarahan yang terjadi. 2.7. Pemeriksaan penis, peritonium dan rektum Adanya darah pada meatus uretra menyebabkan dugaan kuat robeknya kulit uretra. Inspeksi pada skrotum dan perineum dilakukan untuk melihat adanya ekimosis

ataupun hematoma. Tujuan pemeriksaan rektum pada pasien dengan trauma tumpul adalah untuk menentukan tonus sfingter, posisi prostat (prostat yang meninggi menyebabkan dugaan cedera uretra) dan menentukan ada tidaknya fraktur pelvis. Pada pasien dengan luka tusuk, pemeriksaan rektum bertujuan untuk melihat tons sfingter dan perdrahan akibat perforasi usus. 2.8. Pemeriksaan vagina Bisa terjadi robekan pada vagina karena fragmen tulang dan fraktur pelvis ataupun luka tususk. 2.9. Pemeriksaan glutea Regio glutealis memanjang dari krista iliaka sampai lipatan glutea. Luka tusuk di daerah ini biasanya berhubungan dengan cedera in traabdominal. 3. Intubasi Jika ABC telah teratasi, sering dilakukan pemeriksaan kateter gaster dan urin sebagai bagian dari resusitasi. 3.1. Gatrik tube Tujuan terapeutiknya adalah untuk mengatasi dilatasi lambung akut, dekompresi gaster, sebelum melakukan DPL, dan mengeluarkan isi lambung yang berarti mencegah aspirasi. Adanya darah pada NGT menunjukkan adanya cedera esofagus ataupun saluran GIT bagian atas bila nasofaring atau orofaringnya aman. 3.2. Kateter urin Bertujuan untuk mengatasi retensi urin, dekomprasi buli sebelum melakukan DPL dan untuk monitor urinary output sebagai salah satu indeks perfusi jaringan. Hematuria merupakan tanda cedera traktus urogenitalis. Perhatian :

ketidakmampuan untuk kencing, fraktur pelvis yang tidak stabil, darah pada meatus uretra, hematoma skrotum dan ekimosis perineum maupun prostat dengan letak tinggi menjadi petunjuk agar dilakukan USG retrograd agar dapat dipastikan tidak ada ruptur uretra sebelum pemasangan kareter. Bilamana pada primary survey maupun secondery survey kta ketahui adanya robek uretra, mungkin harus dilakukan pem asagan kateter suprapubik. 4. Pengambilan sampel darah dan urin

Darah yang diambil sewaktu pemasangan jarum infus bergina untuk menentukan tipe darah atau crossmatch untuk hemodinamik yang tidak stabil. Bersamaan dengan itu, dilakukan pemeriksaan darah rutin, kalium, glukosa dan amilase (pada trauma tumpul) dan juga kadar alkohol darah. Urin dikirim untuk urinalisa. Pada wanita usia kehamilan, juga dilakuka tes kehamilan. 5. Pemeriksaan radiologi 5.1 X-Ray untuk screening trauma tumpul Rontgen untuk foto adalah foto servikal lateral, thoraks AP dan pelvik AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto 3 posisi (telentang, setengah tegak, dan lateral decubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar lumen di retroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk dilakukannya laparotomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal. 5.2 X-Ray untuk screening trauma tajam Pasien luka tusuk dengan hemodinamik abnormal tidak memerlukan skreening X-Ray. Pada pasien luka tusuk dengan hemodinamik stabil, foto thoraks tegak berguna untuk menyingkirkan pneumothoraks atau hematothoraks, ataupun adanya udara bebas intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka masuk maupun luka keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan adanya udara retroperitoneal pada foto rontgen abdomen tidur. 5.3 Pemeriksaan dengan kontras khusus Uretrografi

Dilakukan sebelum pemasangan kateter untuk mendeteksi adanya ruptur uretra. Digunakan kateter no.#8-F dengan balon pompa 1,5-2 cc di fossa naviculare.

Dimasukkan 15-20cc kontras yang diencerkan. Dilakukan pengambilan foto dengan projeksi oblik dengan sedikit tarikan pada penis. Sistografi

Ruptur buli intra maupun ekstraperitoneal dapat diobservasi dengan baik dengan pemeriksaan sistografi. Dipasang kateter uretra dan kemudian dipasang 300 cc kontras yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm di atas pasien dan kontras dibiarkan mengalir dalam buli atau sampai (1) aliran terhenti, (2) pasien secara spontan mengedan, (3) pasien merasa sakit. Diambil fot rontgen AP, oblik dan foto post-voiding. Cara lain

adalah dengan pemeriksaan CT scan yang terutama bermanfaat untuk mendapat informasi tambahan tentang ginjal maupun tulang pelvisnya. 5.4 CT Scan/ IVP Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami cedera system urinaria bisa diperiksa dengan CT Scan dengan kontras dan bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada fasilitas CT Scan, alternatifnya adaah pemeriksaan IVP. Disini dipakai dosis 200mg J/ kgbb kontras ginjal. Dilakukan injeksi bolus 100 cc larutan Iodine 60% (standard 1.5 cc/ kg, kalau dipakai 30% 3.00 cc/kg) dengan 2 buah spuit 50cc yang disuntikkan dalam 30-60 detik. 20 menit sesudah injeksi kita akan memperoleh visualisasi calyx pada x-ray. Bilamana 1 sisi non-visualisasi, kemungkinan adalah agenesis ginjal, thrombosis maupun tertarik putusnya a. renalis, ataupun parenchyma yang mengalami kerusakan massif. Nonvisualisasi keduanya memerlukan pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan + kontras, ataupun arteriografi renal atau ekplorasi ginjal, yang mana yang diambil tergantung fasilitas yang dimiliki. 6. Gastrointestinal Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya retroperitoneal (duodenum, colon ascendens, colon descendens) tidakakan menyebabkan peritoratis dan bisa tidak terdeteksi dengan DPL. Bila ada kecurigaan pemeriksaan dengan CT Scan dengan kontras ataupun pemeriksaan roentgen untuk upper GI Tract atauapun GI Tract bagian bawah dengan kontras harus dilakukan.

Pemeriksaan Diagnostik pada Trauma Tumpul Bilamana ada bukti awal ataupun bukti yang jelas menunjukkan pasien harus segera ditransfer, pemeriksaan yang memerlukan banyak waktu tidak perlu dilakukan. Test seperti ini antar lain pemeriksaan roentgen foto dengan kontras untuk gastrointestinal maupun urologi; DPL maupun CT Scan. 1. Diagnostik Peritoneal Lavage DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya, dan dianggap 98% sensitive untuk perdarahan peritoneal. Harus dilaksanakan oleh team bedah untuk pasien dengan trauma tumpul multiple dengan hemodinamik abnormal, terutama bila dijumpai: a. Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol, kecanduanobat-obatan

b. Perubahan sensasi-trauma spinal c. Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis d. Pemeriksaan fisik diagnostic tidak jelas e. Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu yang agak lama-pembisaaan untuk cedera extrabdominal, pemeriksaan X-ray yang lama, misalnya angiografi f. Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan trauma usus

2. FAST (Focused Assessment Sonography in Trauma) Individu yang terlatih baik dapat menggunakan USG untuk mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan peralatan khusus yang ditangan mereka yang berpengalaman, ultrasound memiliki sensitifitas, spesifitas dan ketajaman untuk mendeteksi adanya cairan intraabdominal yang sebanding dengan DPL dan CT abdomen.

3. Computed Tomography (CT) Merupakan prosedur diagnostic dimana kita perlu memindahkan pasien ketempat scanner, pemberiaan kontras intravena, dan pemeriksaan abdomen atas dan bawahserta pelvis. Diperlukan banyak waktu dan hanya dilakukan pada pasien dengan hemodinamik stabil dimana kita tidak perlu segera melakukan laparatomi. Dengan CT kita memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk mendiagnosa trauma retroperitoneal maupun pelvis yang sulit didagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL. Kontraindikasi relative menggunakan CT Scan antara lain penundaan yang terjadi sampai alat CT siap untuk dipergunakan, adanya pasien yang tidak kooperatif yang tidak mudah ditenangkan dengan obat, ataupun allergi terhadap bahan kontras yang dipakai bilamana bahan kontras nonionic tidak tersedia. Perhatian: CT Scan bisa luput memeriksa beberapa cedera gastrointestinal, diafragma ataupun pankreas. Bila tidak ada cedera hepar ataupun lien. Adanya cairan bebas intraabdominal menimbulkan kecurigaan akan adanya cedera traktus gastrointestinal maupun mesenterium dan beberapa ahli beda trauma memakai ini sebagai indikasi untuk melakukan tindakan.

Pemeriksaan diagnostik pada Trauma Tajam 1. Cedera thorax bagianbawah Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan cedera pada diafragma dan struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun thorax foto berulang, thoracoskopi ataupun laparoskopi ataupun pemeriksaan CT Scan (untuk cedera thoracoabdominal bagian kanan). Dengan pemeriksaan diataspun kita masih bisa menemukan adanya hernia diafragma sebelah kiri Karena luka tusuk thorakoabdominal sehingga luka seperti ini opsi lain dperlukann yaitu ekplorasi bedah. Untuk luka tembak thorakoabdominal, pilihan yang terbaik adalah laparotomi. 2. Eksplorasi local luka dan pemeriksaan fisik serial dibandingkan dengan DPL pada luka tusuk abdomen depan 55-65% pasien luka tusuk tembus abdomen depan akan mengalami hipotensi, peritonitis ataupun eviscerasi omentum maupun usus halus. Untuk pasien seperti ini harus segera dilakukan laparotomi. Untuk pasien selebihnya, sesudah konfirmasi adanya luka tusuk tembus peritoneum sesudah melakukan eksplorasi local luka, setengahnya juga akan mengalami laparatomi. Laparatomi ini merupakan salah satu opsi yang relevan untuk semua pasien ini. Untuk pasien yang relative asimptomatik (kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi diagnostik yang tidak invasive adalah pemeriksaan fisik diagnostik serial dalam 24 jam, DPL maupun laparoskopi diagnostik. Pemeriksaan fisik diagnostik serial membutuhkan sumber daya manusia yang besar tetapi denganketajaman 94%. Dengan DPL bisa diperoleh diagnosa lebih dini pada pasien yang asimptomaik dengan ketajaman sampai 90% bila menggunakan hitung jenis sel seperti pada trauma tumpul. Laparoskopi diagnostic bisa mengkonfirmasi ataupun menyingkirkan tembusnya peritoneum, tetapi kurang bermakna untuk mengenali cedera tertentu. 3. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan CT dengan double atau triple contrast padacedera flank maupunpunggung Ketebalan otot flank maupun punggung melindungi organ viscera dibawahnya pada luka tusuk maupun luka tembak. Disinipun walaupun laparatomi merupakan opsi yang relevan pada pasien ini, untuk pasien yang asimptomatik adaopsi diagnostic antara lain pemeriksaan fisik serial, CT dengan double atau triple contrast, ataupun DPL. Dengan pemeriksaan fisik diagnostik serial untuk pasien yang mula-mula asimptomatik kemudian simptomatik kita peroleh ketajaman terutama dalam mendeteksi cedera retroperitoneal maupun intraperitoneal untuk luka belakang linea axillaris anterior. CT dengan contrast enhanced yang doube (i.v. dan oral) atau triple (i.v., oral, dan rectal) memakan banyak waktu dan memerlukan ketelitian untuk memeriksa bagian-

bagian colon yang retroperitoneal pada sisi luka tusuk. Ketajamannya sebanding dengan pemeriksaan diagnostik serial, akan tetapi memungkinkan deteksi yang lebih dini untuk cedera pada pasien yang asimptomatik bila dilakukan dengan benar. Kadang-kadang dengan pemeriksaan fisik serial maupun CT kita bisa luput untuk mengetahui cedera retroperitoneal. Karena itu sesudah observasi di rumah sakit selama 24 jam, kalaupun pasien dipulangkan kita harus menganjurkan control segera. DPL bisa digunakan untuk screening awal pada pasien seperti ini. DPL (+) menunjukkan adanya indikasi laparotomi.

INDIKASI LAPAROTOMI PADA ORANG DEWASA Untuk masing-masing pasien kita perlu mempertimbangkan indikasi maupun timing operasi. Indikasi berikut ini sering dipergunakan: 1. Trauma tumpul abdomen dengan hipotensi dan dugaan perdarahan intraabdominal secara klinis 2. Trauma tumpul abdomen dengan FAST (+) ataupun DPL (+) 3. Hipotensi pada luka tusuk tembus abdomen 4. Luka tembak menyeberang rongga peritoneum 5. Eviscerasio mentum atau usus 6. Perdarahan dari gaster, rectum, atau traktus urogenitalis pada luka tusuk 7. Adanya peritonitis 8. Udara bebas, udara retroperitoneal, atau rupture diafragma pada trauma tumpul 9. CT dengan kontras memperlihalkan rupture saluran cerna, cedera buli intraperitoneal, cedera pembuluh darah ginjal, ataupun kerusakan parenchyma viscera sesudah trauma tumpul atau tajam

PRIMARY SURVEY DAN SECONDARY SURVEY Initial Assessment dan Pengelolaaan 1. Pengelolaan penderita terdiri dari : a. Primary Survey b. Resusitasi fungsi vital

c. Secondary survey yang rinci d. Perawatan definitive 2. Karena hipoksia adalah masalah yang serius pada cedera toraks, intervensi dini perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya. 3. Cedera yang bersifat mengancam nyawa secara langsung dilakukan terapi secepat dan sesederhana mungkin. 4. Kebanyakan kasus cedera toraks yang mengancam nyawa diterapi dengan mengontrol airway atau melakukan pemasangan selang toraks atau dekompresi toraks dengan jarum. 5. Secondary survey membutuhkan riwayat cedera dan keaspadaan yang tinggi terhadap adanya cedera toraks yang bersifat khusus

Primary Survey A. Airway Patensi airway dan ventilasi harus dinilai dengan mendengarkan gerakan udara pada hidung penderita, mulut, dan dada serta dengan onspeksi pada daerah orofaring untuk sumbatan airway oleh benda asing dan dengan mengobservasi retraksi otot-otot interkostal dansupraklavikular.

Lakukan: - Head tilt - Chin lift - Jaw thrust Jika jalan nafas tidak paten, harus segera dibuat paten. Obstruksi sering disebabkan oleh lidah pasien, dan pengarahan rahang dengan mendorong mandibula ke depan sudah cukup membuka jalan nafas. Bantuan dengan slang oral atau nasal dapat juga membantu. Benda asing, termasuk gigi yang dislokasi, harus dikeluarkan.

Cedera skeletal juga bisa mengakibatkan gangguan airway, walaupun jarang ditemukan. Sebagai contoh cedera pada dada bagian atas yang menyebabkan dislokasi kea rah posterior atau fraktur dislokasi dari sendi sternoklavikular. Fraktur seperti ini bisa menimbulkan sumbatan airway bagian atas, bila displacement dari fragmen proksimal fraktur atau komponen sendi distal menekan trakea. Hal ini juga depat menyebabkan cedera pembuluh darah pada ekstremitas yang homolateral akibat kompresi fragmen fraktur atau laserasi dari cabang utama arkus aorta. Cedera ini diketahui bila ada sumbatan airway atas (stridor), adanya tanda berupa perubahan dari kualitas suara (jika penderita masih dapat berbicara), dan cedera yang luas pada dasar leher dengan terabanya defek pada region sendi sternoklavikular. Penanganan pada cedera ini adalah menstabilkan posisi airway. Yang paling penting, reposisi tertutup dari cedera yang terjadi dengan cara mengekstensikan bahu, mengangkat klavikula dengan pointed clamp seperti towel clip dan melakukan reposisi fraktur secara manual. Yang terbaik adalah dengan intubasi endotrakeal (ET), walaupun hal ini kemungkinan sulit dilakukan jika ada tekanan yang cukup besar pada trakea. Intubasi dilakukan jika trauma vertebrae cervicales sudah disingkirkan secara klinis. Jika masih ada kemungkinan cedera tulang belakang dan intubasi harus dipasang, kepala harus distabilkan dan ditahan dalam possi netral oleh seorang asisten, lalu prosedur ini dapat dilakukan tanpa menggerakkan vertebraecervicales. B. Breathing Walaupun jalan nafas sudah bersih dan paten, pernafasan masih mungkin belum adekuat. Amati dada dan leher, harus dalam keadaan terbuka. Pergerakan penafasan dan kaulitas pernafasan dinilai dengan observasi, palapasi, dan auskultasi. Jika perlu, ventilasi dibantu dengan alat kantong berkatup yang dihubungkan dengan masker atau ETT. Gejala yang terpenting yang harus diperhatikan adalah hipoksia termasuk peningkatan frekuensi dan perubahan pada pola pernafasan, terutama pernafasan yang lambar memburuk. Sianosis adalah gejala hipoksia yang lanjut pada penderita trauma. Bila sianosis tidak ditemukan bukan merupakan indikasi bahwa oksigen jaringan adekuat atau airway adekuat. Jenis cedera toraks yang penting dan mempengaruhi breathing adalah keadaankeadaan di bawah ini : a. Pneumotoraks. Dispnea dengan suara nafas yang meredup dan timpani pada satu sisi, mungkin dengan emfisema subkutis.

b. Tension Pneumotoraks. Tanda-tanda yang disebut di atas ditambah dengan deviasi trakea, distensi vena leher, sianosis, dan syok. Tension pneumotoraks terjadi jika lebih banyak udara memasuki pleura pada saat inspirasi dibandingkan dengan yang keluar saat ekspirasi shingga akan tercipta efek bola berkatup. Tekana intrapleura terus meningkat sekalipun paru sudah kolaps total. Akhirnya tekanan ini menjadi demikian tinggi sehingga mediastinum terdorong ke sisi yang berlawanan dan paru sebelah juga terkompresi. Keadaan ini dapat menimbulkan hipoksia yang sangat berat. Ketika tekanan intrapleura meninggi dan kedua paru tertekan, aliran darah yang melali sirkulasi sentral akan menurun secar signifikan yang mengakibatkan hipotensi arterial dan syok. Keadaan ini dapat mematikan dalam beberapa menit bila tidak

segeradikoreksi.

c. Pneumotoraks terbuka (sucking chest wound). Luka tembus yang nyata dengan aliran udara yang melewati defek di dinding dada. Walaupun ada trauma tembus dinding dada, udara yang masuk ke ruang pleura lebih banyak berasal dari paru-paru yang rusak daripada defek dinding dada. Namun jika defek didnding dada cukup leber, udara dapat masukdan keluar dari ruang pleura pada setiap pernafasan sehingga menyebabkan paru di dalamnya kolaps. Pneumotoraks terbuka depat cepat menjadi fatal, kecuali bila segera dilakukan koreksi. d. Flail chest. Sebuah segmen dinding dada bergerak paradoksal, yakni ke dalam saat inspirasi dan keluar saat ekspirasi. Flail chest terjadi ketika segemen didning dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan didnding dada. Keadaan

tersebut terjadi karena fraktur iga multiple pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest (segmen mengembang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosis.

e. Hemotoraks massif. Terkumpulnya darah dan cairan di salah satu hemitoraks dapat menyebabkan gangguan usaha bernafas akibat penekanan paru-paru dan menghambat ventilasi yang adekuat. Perdarahan yang banyak dan cepat akan mempercepat timbulnya syok. f. Tamponade jantung. Bunyi nafas simetris, tapi ada hipotensi yang sulit diikuti dengan distensi vena leher. Tamponade jantung terjadi karena pengumpulan darah di kantong pericardium akibat trauma tumpul atau trauma tembus.

C. Circulation Denyut nadi penderita harus dinilai kualitas dan keteraturannya. Pada penderita hipovolemia, denyut nadi arteri radialis dan arteri dorsalis pedis mungkin tidak teraba oleh karena volume yang kecil. Tekanan darah dan tekanan nadi harus diukur dan sirkulasi perifer dinilai melalui inspeksi dan palpasi kulit untuk warna dan temperatur. Vena leher harus dinilai apakah distensi atau tidak. Pada keadaan tension pneumotoraks atau cedera diafragma, distensi vena mungkin tidak tampak pada penderita. Perfusi harus dipertahankan dengan mengendalikan perdarahan, infus cairan dan darah melalui IV berkaliber besar sesuai indikasi, dekompresi tension pneumotoraks atau tamponade pericardium, atau torakotomi terbuka dengan kompresi aorta dan masase jantung internal. Cedera toraks yang akan mempengaruhi dan harus ditemukan pada pemeriksaan primary survey di C (Circulation) ini adalah : a. Hemotoraks massif. Sering terjadi pada trauma dada mayor dan sering disertai dengan pneumotoraks. Merupakan keadaan terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1500cc di dalam rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hemotoraks dapat disebabkan oleh cedera pembuluh darah dinding dada, pembuluh besar, atau organ-organ intratoraks, seperti paru, jantung, dan esophagus.

Hemotoraks besar dapat menimbulkan : - Syok hipovolemik - Hipoksia akibat gangguan pada ekspansi paru.

Ditemukan gejala : - Nyeri dada pleuritik - Dispnea

Pada pemeriksaan fisik ditemukan - Bunyi pernafasan meredup - Pekak pada perkusi, kecuali bisal disertai dengan pneumotoraks yang signifikan

Pada foto toraks, cairan terlihat di bawah basis paru pada foto tegak. Hemotoraks mungkin kurang tampak pada foto telentang dan hanya gambarnya berkabut pada sis yang sakit.

b. Tamponade jantung. Terjadi karena penggumpalan darah di kantong pericardium. Pengisisan diastolic dan volume sekuncup menurun. Pada orang yang menderita trauma dada, tekanan darah yang turun dan distensi vena leher (tanpa ada tanda-tanda tension pneumotoraks yang lain) merupakan indikasi kuat terjadi tamponade pericardium akut. Syok berat tidak sebanding dengan jumlah darah yang hilang. Temuan-temuan lain dapat mencakup nadi mengecil, bunyi jantung melemah, dan pulsus paradoksus (tekanan darah turun lebih dari 10mmHg pada inspirasi). Namun tanda-tanda ini mungkin tidak ada, dan jika tidak ada, bukan berarti tamponade jantung akut tidak dapat disingkirkan.

SECONDARY SURVEY Secondary survey tidak dimulai bila primery survey belum selesai. Resusitasi sudah dilakukan dari evaluasi ABC direvaluasi. Yang dilakukan dalam secondary survey adalah anamnese yang lengkap termasuk biomekanik kecelakaan dan pemeriksaan fisik dari kepala sampai ke ujung kaki. a. Trauma tumpul Penyebab terbanyak dari trauma tumpul adalah kecelakaan lalu lintas. Disini kita mendapat memprediksikan cedera yang dierita korban KLL. Pada saat terbanyak terjadi kecelakaan dari depan maka pada: Fase 1 : pengemudi bergeser ditempat duduknya dan lutut mengenai dashbord dan dapat terjadi fraktur patela, femur dan dislokasi sendi panggul.

Fase II : pengemudi dilempar ke atas depan dan kepala/dahi mengenai frame kaca dan dapat terjadi fraktur frontalis/cedera kepala dan vetebra sevikalis.

Fase III : pengemudi dilempar ke depan dan thoraks mengenai stir dan dapat terjadi fraktum sternum, iga traumatic wat lung pneumotoraks atau hematotoraks.

Fase IV : pengemudi dilempar ke depan dan muka mengenai kaca dan dapat terjadi segala macam cedera

Fase V : pengemudi dilempar lagi ke belakang dan leher mengenai sandaran kursi.bila tidak ada head rest maka akan terjadi hiperektensi sevikal lagi dan dapat terjadi fraktur.

Hal yang sama dapat terjadi pada penumpang disamping pengemudi (tanpa trauma thoraks )

Pada penumpang di belakang pengemudi dapat terjadi proses yang sama terutama disini dapat terjadi fraktur servikal karena kepala kena sandaran kursi depan dan terjadi hiperektensi servikal

Pada tabrakan disamping dapat terjadi: contralateral neck strain flail chest lateral pneumothoraks ruptur hati / limpa fraktur pelvis /asetabulum

Tabrakan dari belakang dapat menyebabkan fraktur vetebra servikal karena hiperektensi jika kursi tidak ada head restnya

Kalau penumpang terlempar dari kendaraan akan terjadi cedera multiple Pada pejalan kaki, pengendara sepeda motor, bila ditabrak mobil, bemper akan mengenai kaki dan dilempar ke atas mengenai frame kaca/ke samping dan dan dapat menderita: cedera kepala fraktur vertebra servikal cedera thorakal / abdominal fraktur tungkai bawah

Khusus pada pengendara sepeda/sepedamotor dapat menderita Hendel Bar Injury, (jejak setang pada abdomen) dimana setang menjepit usus kiri vertebra

b. Trauma tembus Dua faktor menentukan tipe cedera dan penanggulangannya : daerah badan yang terkena transfer of energy

Pada luka tusuk, wanita mempunyai kebiasaan ke atas karena kebiasaan cara mengepal. Pada luka tembak perlu diperhatikan: jarak tembak perubahan kecepatan peluru dalm tubuh berputar peluru fragmentasi dan deformasi peluru kecepatan / pelositas peluru jenis jaringan (padat atau berongga)

c. Luka bakar Pada luka bakar perlu diperhatikan cedera termal inhalasi asap cedera panas pada paru-paru inhalasi CO pengaruh zat kimia trauma tumpul dan fraktur seperti pada blast injury, lari dari api dan kejatuhan benda keras dari tembok.

d. Hipotermi Kehilangan panas badan dapat terjadi pada temperatur sedang seperti 15-20oC, jika korban memakai pakaian yang basah, kurang bergerak dan vasodilatasi karena alkohol atau ganja.

e. Zat berbahaya Zat kimia, toksin dan radiasi dapat menyebabkan kelainan pada kulit, jantung, paru-paru dan organ internal, keadaan ini berbahya bukan hanya untuk korban tetapi juga untuk penolong.

Karena dokter/UGD harus mempunyai protokolnya atau dapat menghubungi pusat keracunan di RS

Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik kita mencari cedera yang kita duga terjadi sesui dengan biomekanik. 1. Kepala Selain cedera sesuai dengan biomekanik pada pemeriksaan kepala harus diperhatikan mata : Besar pupil Pendarahan dalam pundus Dislokasi lensa Pendarahan pada konjungtiva Luka tembus Benda asing Lensa kontak (lepaskan sebelum terjadi cedera) Periksa visual dengan membaca snelling chart atau tulisan pada botol infus

Yang sering dilupakan pada pemeriksaan kepala : Hyfema Cedera n. optikus Dislokasi lensa atau luka tembus mata Cedera kepala Laserasi bagian kepala belakang

2. Maksilofasial Cidera maksilofasial yang tidak ada gangguan pernafasan, ditanggulangi setelah pasien stabil. Dan penanggulangan dapat dilakukan pada hari ke 7 atau 10. Yang sering dilupakan pada pemeriksaan maksilafasial : impending gangguan jalan nafas perubahan jalan nafas cedera vertebra servikal

pendarahan ( exsanguinating) fraktur midface laserasi duktus lakrimalis cedera n. fasialis

3. Leher Tiga hal yang penting yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan leher: Semua pasien dengan trauma tumpul yang menyebabkan cedera pada maksilo fasial harus dianggap menderita fraktur vertebra servikal dan diperlukan demikian. Tidak ada kelainan neurologis dan nyeri tidak menyingkirkan kemukinan adanya cedera vertebra servikal. Semua pasien kecelakaan yang memakai topi pengaman/Helm posisi kepala dan leher harus dipegang dari bawah dalam posisi netral waktu melepas topi pengaman nya.setelah lepas kepala tetap dipertahankan posisinya dengan memegang dari atas Setiap luka tusuk yang menembus platisma harus dilakukan exsplorasi di kamar operasi dan pemeriksaan oprasi termasuk arteriografi, bronkhoskopi, esophaguskopi, dan esophagografi

Yang sering dilupakan pada pemeriksaan leher: Cedera vertebra servikalis Cedera esofagus Cedera trhkeo-laringeal Cedera arteri carotis

4. Thoraks Cedera pada dinding toraks (dapat diketahui dengan inspeksi dan palpasi ) seperti: sucking chest injury flail chest fraktur iga kontusi dan hematoma dingding toraks

Cedera pada paru-paru seperti:

pneumothoraks hemathotoraks dapat diketahi dengan perkusi dan auskultasi. Bunyi nafas yang lemah sudah merupakan indikasi yang cukup untuk melakukan punksi pleura pada pneumthoraks tamponade jantung dapat diketahui sengan adanya :

denyut jantung terdengar jauh vena di leher melebar.tetapi seing tidak ada melebar bila terjadi hipovelemi narrow pulse pressure merupakan tanda tamponade jantung yang pasti

Yang sering dilupakan pada pemeriksaan thoraks tension pneumtoraks luka toraks terbuka flall chest tamponade jantung ruptua aorta

5. Abdomen Setiap cedera abdomen harus ditanggulangi dengan agresiv karena merupakan cedera yang berbahaya. Pada pemeriksaan fisik abdomen, hasil dapat berbeda beberapa jam kemudian.karna itu kalau kita tidak mendapatkan hasil yang positif,harus dilakukan observasi. Setiap trauma tumpul abdomen dengan tanda tanda yang tidak jelas dan kesadaran yang menurun karena alkohol,ganja trauma kepala,dan trauma toraks,fraktur pelvis merupakan indikasi untuk melakukan lavase peritoneal karenapemeriksaan akan sukar dilakukan Yang sering dilupakan pada pemeriksaan fisik abdomen: Ruptur hati / limpa Organ berongga dan vertebra lumbalis Cedera pankreas Cedera pembuluh darah besar Cedera ginjal Fraktur ginjal

6. Perineum, rektal, vaginum Pada perineum dapat terjadi kontusio, hematoma, laserasi dan pendarahan uretra. Colok dubur merupakan pemeriksaan yang penting untuk menilai : Darah dalam usus Letak prostat yang tinggi Fraktur pelvis Integritas dinding rektum Tonus sfinkter Pada wanita pemeriksaan colok vagina dapat memberikan informasi danya darah dalam vagina dan laserasi vagina. Yang sering dilupakan pada pemeriksaan: cedera uretra cedera rektum cedera buli-buli cedera vagina

7. Muskulo skeletal Pemeriksaan pada tungkai dilakukan dengan: Insfeksi untuk melihat kontusi dan deformitas Palpasi dengan rotasi atau three point pressure untuk menyertai nyeri, krepitasi dengan gerakan abnormal Tahanan antero-posterior dengan telapak tangan pada kedua aterior superior lliaca spines dan simfisis pubis untuk menilai fraktur pubis Pasien harus di log rollll 98untuk menilai punggung dan meraba vertebra torakalis dan lumbalis Neuro vaskuler distal pada kedua sisi dinilai ada kelainan

Yang sering terlupakan pada pemeriksaan muskuloskeletal : fraktur vertebra

fraktur dengan gangguan vaskuler fraktur pelvis fraktur jari-jari

8. Neurologis Pada trauma harus dilakukan penilai mengenai motorik, sensorik, kesadaran dan pupil. Ini dapat dilakukan secara objektif dengan glascow coma scale setiap tanda-tanda paresis/paralisis menunjukan adanya cedera pada vertebra dan harus segera difiksasi dengan short/long board atau semi rigid cervikal collar pendarahan exstra dural maupun subdural, depresi tengkorak dan cedera intrakranial lainnya harus dikonsultasikan dengan ahli bedah saraf, perubahan keadaan intrakranial berhubungan neurologis dapat merubah prioritas

penanggulangan oksigenasi dan perfusi otak harus dinilai ulang. Dan bila tidak ada perubahan maka merupakan indikasi untuk tindakan bedah atau evakuasi. Yang sering dilupakan pada pemeriksaan neurologis: Tekanan intrakranial yang sangat meninggi Hematom subdural dan exstradural Depresi tengkorak Cedera vetebra

Reevaluasi Pasien Pada pasien trauma harus direevaluasiterus menerus sehingga tidak ada simptom baru yang terlewatkan. Penanggulangan rasa sakit merupakan bagian dari penanggulangan trauma tetapi pemakaian opiat akan mengkaburkan tanda-tanda kelainan neurologis dan dapat mengakibatkan gangguan pernafasan. Karena itu pemakaiannya harus hati-hati monitor kesadaran dan produksi urine (0,5-1 cc/kg BB/jam pada orang dewasa dan 1cc /kg BB/ jam pada anak-anak) adalah yang terpenting, selain tanda-tanda vital lainnya, karena menunjukkan perfusi jaringan.

Penanggulangan Definitif Penanggulangan selanjutnya dipakai konsep total care sehingga semua masalah dapat diprediksi dan ditanggulangi sebelum terjadi.

SYOK
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius seperti, perdarahan yang masif, trauma atau luka bakar yang berat (syok hipovolemik), infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tak terkontrol (syok septik), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat respon imun (syok anafilaktik). Syok merupakan suatu sindrom klinis yang terjadi jika sirkulasi darah arteri tidak adekuat umntuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Perfusi jaringan yang adekuat tergantung pada 3 faktor utama, yaitu curah jantung, volume darah, dan tonus vasomotor perifer. Jika salah satu dari ketiga faktor ini kacau dan faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi, maka akan terjadi syok. Awalnya tekanan darah arteri mungkin normal sebagai kompensasi peningkatan isi sekuncup dan curah jantung. Jika syok berlanjut, curah jantung menurun dan vasokonstriksi perifer meningkat. Jika hipotensi menetap dan vasokonstriksi berlanjut, hipoperfusi mengakibatkan asidosis laktat, oliguria, dan ileus. Jika tekanan arteri cukup rendah, terjadi disfungsi otak dan otot jantung. Syok bukanlah merupakan suatu diagnosis. Syok merupakan suatu sindrom klinis kompleks yang mencakup sekelompok keadaan dengan berbagai manifestasi hemodinamik; tetapi, petunjuk yang umum adalah tidak memadainya perfusi jaringan. Keadaan hipoperfusi ini memperburuk hantaran oksigen dan nutrisi, serta pembuangan sisa-sisa metabolik padsa tingkat jaringan. Hipoksia jaringan akan menggeser metabolisme dari jalur oksidatif ke jalur anaerob, yang mengakibatkan pembentukan asam laktat. Kekacauan metaobolisme yang progresif menyebabkan syok menjadi berlarut-larut, yang pada puncaknya akan menyebabkan kemunduran sel dan kerusakan multisistem. Syok bersifat progresif dan terus-menerus memburuk. Lingkaran setan dari kemunduran yang progresif akan mengakibatkan syok jika tidak ditangani secara agresif selagi dini. Syok dapat dibagi dalam tiga tahap yang makin lama makin berat : 1) Tahap I, syok terkompensasi (non-progresif), yaitu tahap terjadinya respons kompensatorik, dapat menstabilkan sirkulasi, mencegah kemunduran lebih lanjut. 2) Tahap II, tahap progresif, ditandai oleh manifestasi sistemik dari hipoperfusi dan kemunduran fungsi organ. 3) Tahap III, refrakter (ireversibel), yaitu tahap saat kerusakan sel yang hebat tidak dapat lagi dihindari, yang pada akhirnya menuju kematian. Syok dapat terjadi akibat berbagai keadaan yang dapat digolongkan sesuai empat mekanisme etiologi dasarnya : 1) mekanisme kardiogenik 2) 3) 4) mekanisme obstruktif perubahan dalam volume sirkulasi perubahan dalam distributif sirkulasi

SYOK HIPOVOLEMIK

Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari volume darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat perdarahan yang masif atau kehilangan plasma darah. ETIOLOGI 1. Perdarahan a. Hematom subkapsular hati b. Aneurisma aorta pecah c. Perdarahan GIT d. Perlukaan berganda 2. Kehilangan plasma a. Luka bakar luas b. Pankreatitis c. Deskuamasi kulit d. Sindrom Dumping 3. Kehilangan cairan ekstraseluler a. Muntah b. Dehidrasi c. Diare d. Terapi diuretik yang sangat agresif e. Diabetes insipidus f. Insufisiensi adrenal

PATOFISIOLOGI Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ: 1. Mikrosirkulasi Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk pelaksanaan metabolisme di jantung dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan cadangan energi. Sehingga keduanya sangat bergantung akan ketersediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata (mean arterial pressure/MAP) jatuh hingga 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu. 2. Neuroendokrin

Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autonom tubuh yang mengatur perfusi serta substrak lain. 3. Kardiovaskular

Tiga variabel seperti pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi) ventrikel dan kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume sekuncup. Curah jantung, penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali volume sekuncup dan frekuensi jantung. Hipovolemi menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menunrunkan volume sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung.

4.

Gastrointestinal

Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi peningkatan absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang mati di dalam usus. Hal ini memicu vasodilatasi serta peningkatan metabolisme dan bukan memperbaiki nutrisi sel dan menyebabkan depresi jantung.

5.

Ginjal

Gagal ginjal akut adalah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi, frekuensi terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang banyak terjadi adalah nekrosis tubuler akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras angiografi. Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam dan air. Pada saat aliran darah di ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi laju infiltrasi glomerulus, yang bersama-sama dengan aldosteron dan vasopresin bertanggung jawab terhadap menurunnya produksi urin.

GEJALA KLINIS Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non perdarahan serta perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok. Respons fisiologi yang normal adalah mempertahankan perfusi terhadap otak dan jantung sambil memperbaiki volume darah dalam sirkulasi dengan efektif. Disini akan terjadi peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, peningkatan hormon stres serta ekspansi besar guna pengisian volume pembuluh darah dengan mengggunakan cairan interstisial, intraseluler dan menurunkan produksi urin. Hipovolemia ringan (20% volume darah) menimbulkan takikardia ringan dengan sedikit gejala yang tampak, terutama pada penderita muda yang sedang berbaring. Pada hipovolemia sedang (20-40% dari volume darah) pasien menjadi lebih cemas dan takikardia lebih jelas, meski tekanan darah bisa ditemukan normal pada posisi berbaring, namun dapat ditemukan dengan jelas hipotensi ortostatik dan takikardia. Pada hipovolemia berat maka gejala klasik syok akan muncul, tekanan darah menurun drastis dan tak stabil walau posisi berbaring, takikardia hebat, oliguria, agitasi atau bingung. Perfusi ke SSP dipertahankan dengan baik sampai syok bertambah berat. Penurunan kesadaran adalah gejala penting.

Transisi dari syok hipovolemik ringan ke berat dapat terjadi bertahap atau malah sangat cepat, terutama pada pasien usia lanjut dan yang memiliki penyakit berat dimana kematian mengancam. Dalam waktu yang sangat pendek dari terjadinya kerusakan akibat syok maka dengan resusitasi agresif dan cepat. DIAGNOSIS Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa ketidakstabilan hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan. Diagnosis akan sulit bila perdarahan tak ditemukan dengan jelas atau berada dalam traktus GIT atau hanya terjadi penurunan jumlah plasma dalam darah. Setelah perdarahan biasanya hemoglobin dan hematokrit tidak langsung turun sampai terjadi gangguan kompensasi atau terjadi penggantian cairan dari luar. Jadi kadar hematokrit di awal tidak menjadi pegangan sebagai adanya perdarahan. Kehilangan plasma ditandai dengan hemokonsentrasi, kehilangan cairan bebas ditandai dengan hipernatremia. Temuan terhadap hal ini semakin meningkatkan kecurigaan adanya hipovolemia. Harus dibedakan syok akibat hipovolemik dan akibat kardiogenik karena penatalaksaan yang berbeda. Keduanya memang memiliki penurunan curah jantung dan mekanisme kompensasi simpatis. Tetapi dengan ditemukan adanya tanda syok kardiogenik seperti distensi vena jugularis, ronki dan gallop S3 maka semua dapat dibedakan.

PENATALAKSANAAN Ketika syok hipovolemik diketahui maka tindakan yang harus dilakukan adalah : 1. Menempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi 2. 3. Menjaga jalur pernapasan Berikan resusitasi cairan dengan cepat secara parenteral, cairan yang diberikan adalah garam

isotonik yang ditetes dengan cepat (hati-hati terhadap asidosis hiperkloremia) atau dengan cairan garam seimbang seperti RL dengan jarum infus yang terbesar. Pemberian 2-4 L dalam 20-30 menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan hemodinamik. Guna mengetahui cairan sudah memenuhi kebutuhan untuk mengingkatkan tekanan pengisian ventrikel dapat dilakukan dengan pemeriksaan tekanan baji paru dengan menggunakan kateter swan ganz. Bila hemodinamik tetap tidak stabil, berarti perdarahan atau kehilangan cairan belum teratasi. Kehilangan darah yang berlanjut dengan kadar Hb 10 g/dL perlu penggantian darah dengan transfusi. Jenis darah transfusi tergantung kebutuhan. Disarankan agar darah yang digunakan telah menjalani tes cross match, bila sangat darurat maka dapat digunakan PRC tipe darah yang sesuai atau O negatif. Pada keadaan yang berat atau hipovolemia yang berkepanjangan, dukungan inotropik dengan dopamin, vasopressin atau dobutamin dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan kekuatan ventrikel yang cukup setelah volume darah dicukupi dahulu. Pemberian nalokson bolus 30 mcg/kgBB dalam 3-5 menit dilanjutkan 60 mcg/kgBB dalam 1 jam dalam dextrose 5% dapat membantu meningkatkan MAP. Selain resusitasi cairan, saluran pernapasan harus dijaga. Kebutuhan oksigen pasien harus terpenuhi dan bila dibutuhkan intubasi dapat dikerjakan. Kerusakan organ akhir jarang dibandingkan dengan syok septik atau traumatik. Kerusakan organ dapat terjadi pada SSP, hati dan ginjal dan gagal ginjal merupakan komplikasi yang penting pada syok hipovolemik.

TRANSFUSI

DARAH

DEFINISI Penggantian darah atau tranfusi darah adalah suatu pemberian darah lengkap atau komponen darah seperti plasma, sel darah merah kemasan atau trombosit melalui IV. Meskipun tranfusi darah penting untuk mengembalikan homeostasis, tranfusi darah dapat membahayakan. Banyak komplikasi dapat ditimbulkan oleh terapi komponen darah, contohnya reaksi hemolitik akut yang kemungkinan mematikan, penularan penyakit infeksi dan reaksi demam. Kebanyakan reaksi tranfusi yang mengancam hidup diakibatkan oleh identifikasi pasien yang tidak benar atau pembuatan label darah atau komponen darah yang tidak akurat, menyebabkan pemberian darah yang inkompatibel. Pemantauan pasien yang menerima darah dan komponen darah dan pemberian produk-produk ini adalah tanggung jawab keperawatan. Perawat bertanggung jawab untuk mengkaji sebelum dan selama tranfusi yang dilakukan. Apabila klien sudah terpasang selang IV, perawat harus mengkaji tempat insersi untuk melihat tanda infeksi atau infilrasi.

TUJUAN 1. Meningkatkan volume sirkulasi darah setelah pembedahan, trauma atau perdarahan 2. Meningkatkan jumlah sel darah merah dan untuk mempertahankan kadar hemoglobin pada klien yang mengalami anemia berat. 3. Memberikan komponen seluler yang terpilih sebagai terapi pengganti (misal : faktor pembekuan plasma untuk membantu mengontrol perdarahan pada klien yang menderita hemofilia) INDIKASI 1. Pasien dengan kehilangan darah dalam jumlah besar (operasi besar, perdarahan postpartum, kecelakaan, luka bakar hebat, penyakit kekurangan kadar Hb atau penyakit kelainan darah). 2. Pasien dengan syok hemoragi

MACAM-MACAM KOMPONEN DARAH 1. Darah lengkap (whole blood)

Tranfusi darah lengkap hanya untuk mengatasi perdarahan akut dan masif, meningkatkan dan mempertahankan proses pembekuan. Darah lengkap diberikan dengan golongan ABO dan Rh yang diketahui. Infuskan selama 2 sampai 3 jam, maksimum 4 jam/unit. Dosis pada pediatrik rata-rata 20 ml/kg, diikuti dengan volume yang diperlukan untuk stabilisasi. Bisanya tersedia dalam volume 400-500 ml dengan masa hidup 21 hari. Hindari memberikan tranfusi saat klien tidak dapat menoleransi masalah sirkulasi. Hangatkan darah jika akan diberikan dalam jumlah besar. Indikasi: a) Penggantian volume pada pasien dengan syok hemoragi, trauma atau luka bakar b) Klien dengan perdarahan masif dan telah kehilangan lebih dari 25 persen dari volume darah total

2. Packed Red Blood cells (RBCs) Komponen ini mengandung sel darah merah, SDP, dan trombosit karena sebagian plasma telah dihilangkan (80 %). Tersedia volume 250 ml. Diberikan selama 2 sampai 4 jam, dengan golongan darah ABO dan Rh yang diketahui. Hindari menggunakan komponen ini untuk anemia yang mendapat terapi nutrisi dan obat. Masa hidup komponen ini 21 hari. Indikasi : a) Pasien dengan kadar Hb rendah b) Pasien anemia karena kehilangan darah saat pembedahan c) Pasien dengan massa sel darah merah rendah

3. White Blood Cells (WBC atau leukosit) Komponen ini terdiri dari darah lengkap dengan isi seperti RBCs, plasma dihilangkan 80 % , biasanya tersedia dalam volume 150 ml. Dalam pemberian perlu diketahui golongan darah ABO dan sistem Rh. Apabila diresepkan berikan dipenhidramin. Berikan antipiretik, karena komponen ini bisa menyebabkan demam dan dingin. Untuk pencegahan infeksi, berikan tranfusi dan disambung dengan antibiotik. Indikasi : Pasien sepsis yang tidak berespon dengan antibiotik (khususnya untuk pasien dengan kultur darah positif, demam persisten /38,3 C dan granulositopenia)

4. Leukosit poor RBCs Komponen ini sama dengan RBCs, tapi leukosit dihilangkan sampai 95 %, digunakan bila kelebihan plasma dan antibody tidak dibutuhkan. Komponen ini tersedia dalam volume 200 ml, waktu pemberian 1 sampai 4 jam. Indikasi: Pasien dengan penekanan system imun (imunokompromise)

5. Platelet/trombosit Komponen ini biasanya digunakan untuk mengobati kelainan perdarahan atau jumlah trombosit yang rendah. Volume bervariasi biasanya 35-50 ml/unit, untuk pemberian biasanya memerlukan beberapa kantong. Komponen ini diberikan secara cepat. Hindari pemberian trombosit jika klien sedang demam.Klien dengan riwayat reaksi tranfusi trombosit, berikan premedikasi antipiretik dan antihistamin. Shelf life umumnya 6 sampai 72 jam tergantung pada kebijakanpusat di mana trombosit tersebut didapatkan. Periksa hitung trombosit pada 1 dan 24 jam setelah pemberian. Indikasi: a) Pasien dengan trombositopenia (karena penurunan trombosit, peningkatan pemecahan trombosit b) Pasien dengan leukemia dan marrow aplasia

6. Fresh Frozen Plasma (FFP) Komponen ini digunakan untuk memperbaiki dan menjaga volume akibat kehilangan darah akut. Komponen ini mengandung semua faktor pembekuan darah (factor V, VIII, dan IX). Pemberian dilakukan secara cepat, pada pemberian FFP dalam jumlah besar diperlukan koreksi adanya hypokalsemia, karena asam sitrat dalam FFP mengikat kalsium. Shelf life 12 bulan jika dibekukan dan 6 jam jika sudah mencair. Perlu dilakukan pencocokan golongan darah ABO dan system Rh. Indikasi: a) Pencegahan perdarahan postoperasi dan syok b) Pasien dengan defisiensi faktor koagulasi yang tidak bisa ditentukan c) Klien dengan penyakit hati dan mengalami defisiensi faktor pembekuan.

7. Albumin 5 % dan albumin 25 % Komponen ini terdiri dari plasma protein, digunakan sebagai ekspander darah dan pengganti protein. Komponen ini dapat diberikan melalui piggybag. Volume yang diberikan bervariasi tergantung kebutuhan pasien.Hindarkan untuk mencampur albumin dengan protein hydrolysate dan larutan alkohol. Indikasi :

a) Pasien yang mengalami syok karena luka bakar, trauma, pembedahan atau infeksi b) Terapi hyponatremi

EFEK TRANFUSI 1. Alergi a. Penyebab: 1. Alergen di dalam darah yang didonorkan 2. Darah hipersensitif terhadap obat tertentu b. Gejala: Anaphilaksis (dingin, bengkak pada wajah, edema laring, pruritus, urtikaria, wheezing), demam, nausea dan vomit, dyspnea, nyeri dada, cardiac arrest, kolaps sirkulasi c. Intervensi: 1. Lambatkan atau hentikan tranfusi 2. Berikkan normal saline 3. Monitor vital sign dan lakukan RJP jika diperlukan 4. Berikan oksigenasi jika diperlukan 5. Monitor reaksi anafilaksis dan jika diindikasikan berikan epineprin dan kortikosteroid 6. Apabila diresepkan, sebelum pemberian tranfusi berikan diphenhidramin

2. Anafilaksis a. Penyebab: Pemberian protein IgA ke resipien penderita defisiensi IgA yang telah membentuk antibodi IgA b. Gejala:

Tidak ada demam, syok, distress pernafasan (mengi, sianosis), mual, hipotensi, kram abdomen, terjadi dengan cepat setelah pemberian hanya beberapa milliliter darah atau plasma. c. Intervensi: 1. Hentikan tranfusi 2. Lanjutkan pemberian infus normal saline 3. Beritahu dokter dan bank darah 4. Ukur tanda vital tiap 15 menit 5. Berikan ephineprine jika diprogramkan 6. Lakukan resusitasi jantung paru (RJP) jika diperlukan d. Pencegahan: Tranfusikan sel darah merah (SDM) yang sudah diproses dengan memisahkan plasma dari SDM tersebut, gunakan darah dari donor yang menderita defesiensi IgA.

3. Sepsis a. Penyebab: Komponen b. Gejala: Menggigil, demam, muntah, diare, penurunan tekanan darah yang mencolok, syok c. Intervensi: 1. Hentikan tranfusi 2. Ambil kultur darah pasien 3. Pantau tanda vital setiap 15 menit 4. Berikan antibiotik, cairan IV, vasoreseptor dan steroid sesuai program d. Pencegahan: Jaga darah sejak dari donasi sampai pemberian darah yang terkontaminasi oleh bakteri atau endotoksin.

4. Urtikaria a. Penyebab: Alergi terhadap produk yang dapat larut dalam plasma donor b. Gejala: Eritema lokal, gatal dan berbintik-bintik, biasanya tanpa demam

c. Intervensi: 1. Hentikan tranfusi 2. Ukur vital sign tiap 15 menit 3. Berikan antihistamin sesuai program 4. Tranfusi bisa dimulai lagi jika demam dan gejala pulmonal tidak ada lagi d. Pencegahan: Berikan antihistamin sebelum dan selama pemberian tranfusi 5. Kelebihan sirkulasi a. Penyebab: Volume darah atau komponen darah yang berlebihan atau diberikan terlalu cepat b. Gejala: Dyspnea, dada seperti tertekan, batuk kering, gelisah, sakit kepala hebat, nadi, tekanan darah dan pernafasan c. Intervensi: 1. Tinggikan kepala klien 2. Monitor vital sign 3. Perlambat atau hentikan aliran tranfusi sesuai program 4. Berikan morfin, diuretik, dan oksigen sesuai program d. Pencegahan: Kecepatan pemberian darah atau komponen darah disesuaikan dengan kondisi klien, berikan komponen SDM bukan darah lengkap, apabila diprogramkan minimalkan pemberian normal saline yang dipergunakan untuk menjaga kepatenan IV meningkat, tekanan vena sentral dan vena jugularis meningkat

6. Hemolitik a. Penyebab: Antibody dalam plasma resipien bereaksi dengan antigen dalam SDM donor, resipien menjadi tersensitisasi terhadap antigen SDM asing yang bukan dalam system ABO b. Gejala: Cemas, nadi, pernafasan dan suhu meningkat, tekanan darah menurun, dyspnea, mual dan muntah, menggigil, hemoglobinemia, hemoglobinuria, perdarahan abnormal, oliguria, nyeri punggung, syok, ikterus ringan. Hemolitik akut terjadi bila sedikitnya 10-15 ml darah yang tidak

kompatibel telah diinfuskan, sedangkan reaksi hemolitik lambat dapat terjadi 2 hari ataulebih setelah tranfusi. c. Intervensi: 1. Monitor tekanan darah dan pantau adanya syok 2. Hentikan tranfusi 3. Lanjutkan infus normal saline 4. Pantau keluaran urine untuk melihat adanya oliguria 5. Ambil sample darah dan urine 6. Untuk hemolitik lambat, karena terjadi setelah tranfusi, pantau pemeriksaan darah untuk anemia yang berlanjut d. Pencegahan: Identifikasi klien dengan teliti saat sample darah diambil untuk ditetapkan golongannya dan saat darah diberikan untuk tranfusi (penyebab paling sering karena salah mengidentifikasi).

7. Demam Non-Hemolitik a. Penyebab: Antibody anti-HLA resipien bereaksi dengan antigen leukosit dan trombosit yang ditranfusikan. b. Gejala: Demam, flushing, menggigil, tidak ada hemolisis SDM, nyeri lumbal, malaise, sakit kepala c. Intervensi: 1. Hentikan tranfusi 2. Lanjutkan pemberian normal saline 3. Berikan antipiretik sesuai program 4. Pantau suhu tiap 4 jam d. Pencegahan: Gunakan darah yang mengandung sedikit leukosit (sudah difiltrasi)

8. Hiperkalemia a. Penyebab: Penyimpanan darah yang lama melepaskan kalium ke dalam plasma sel b. Gejala:

Serangan dalam beberapa menit, EKG berubah, gelombang T meninggi dan QRS melebar, kelemahan ekstremitas, nyeri abdominal

9. Hipokalemia a. Penyebab: Berhubungan dengan alkalosis metabolik yang diindikasi oleh sitrat tetapi dapat dipengaruhi oleh alkalosis respiratorik b. Gejala: Serangan bertahap, EKG berubah, gelombang T mendatar, segmen ST depresi, poliuria, kelemahan otot, bising usus menurun

10. Hipotermia a. Penyebab: Pemberian komponen darah yang dingin dengan cepat atau bila darah dingin diberikan melalui kateter vena sentral. b. Gejala: Menggigil, hipotensi, aritmia jantung, henti jantung/cardiac arrest c. Intervensi: 1. Hentikan tranfusi 2. Hangatkan pasien dengan selimut 3. Ciptakan lingkungan yang hangat untuk pasien 4. Hangatkan darah sebelum ditranfusikan 5. Periksa EKG Manajemen efek tranfusi Pedoman untuk mengatasi reaksi tranfusi yang dibuat oleh AmericanAssotiation of Blood Banks adalah: 1. Hentikan tranfusi untuk membatasi jumlah darah yang diinfuskan 2. Beritahu dokter 3. Pertahankan jalur IV tetap terbuka dengan infus normal saline 4. Periksa semua label, formulir, dan identifikasi pasien untuk menentukan apakah pasien menerima darah atau komponen darah yang benar

5. Segera laporkan reaksi tranfusi yang dicurigai pada petugas bank darah 6. Kirimkan sample darah yang diperlukan ke bank darah sesegera mungkin, bersama-sama dengan kantong darah yang telah dihentikan, set pemberian, larutan IV yang diberikan, dan semua formulir dan label yang berhubungan. 7. Kirim sampel lainnya (misal urin) 8. Lengkapi laporan institusi atau formulir reaksi tranfusi yang dicurigai 9. Peralatan yang harus disiapkan (obat-obatan seperti: aminophilin, difenhidramin, hidroklorida, dopamine, epinefrin, heparin, hidrokortison, furosemid, asetaminofen, aspirin; set oksigenasi; kit kateter foley; botol kultur darah; cairan IV; selang IV)

Hal-hal yang perlu diperhatikan 1. Kondisi pasien sebelum ditranfusi 2. Kecocokan darah yang akan dimasukkan 3. Label darah yang akan dimasukkan 4. Golongan darah klien 5. Periksa warna darah (terjadi gumpalan atau tidak) 6. Homogenitas (darah bercampur semua atau tidak)

Persiapan Pasien 1. Jelaskan prosedur dan tujuan tranfusi yang akan dilakukan 2. Jelaskan kemungkinan reaksi tranfusi darah yang keungkinan terjadi dan pentingnya melaporkan reaksi dengan cepat kepada perawat atau dokter 3. Jelaskan kemungkinan reaksi lambat yang mungkin terjadi, anjurkan untuk segera melapor apabila reaksi terjadi 4. Apabila klien sudah dipasang infus, cek apakah set infusnya bisa digunakan untuk pemberian tranfusi 5. Apabila klien belum dipasang infus, lakukan pemasangan dan berikan normal saline terlebih dahulu 6. Pastikan golongan darah pasien sudah teridentifikasi

You might also like