You are on page 1of 2

Editorial

Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) pada Anak

Nastiti Kaswandani
Divisi Respirologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Mendengkur sewaktu tidur ternyata bukan monopoli orang dewasa. Anak-anak terutama usia pra-sekolah pun dapat memiliki keluhan mendengkur. Berapa banyakkah anak yang mendengkur? Apakah berbahaya anak yang dalam tidurnya mendengkur? Secara umum, anak yang mendengkur dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok besar yaitu occasional snoring (mendengkur sesekali saja) dan habitual snoring (sering mendengkur). Anak dikategorikan mengalami habitual snoring apabila mendengkur >3 kali seminggu, sedangkan disebut occasional snoring apabila mendengkur <3 kali perminggu. Apabila sudah mengalami habitual snoring maka seringkali terjadi apa yang disebut sebagai obstructive sleep apnea syndrome (OSAS). OSAS adalah suatu sindrom obstruksi komplit atau parsial jalan napas yang menyebabkan gangguan fisiologis yang bermakna dengan dampak klinis yang bervariasi. Adanya OSAS ditandai dengan timbulnya henti napas sewaktu tidur (sleep apnea) yang berlangsung paling sedikit selama 10 detik.1 Prevalensi habitual snoring pada anak berkisar antara 3,2-12,1%, sedangkan occasional snoring sekitar 28,1% bergantung kepada kriteria diagnosis yang digunakan.2,3 Di Indonesia, Supriyatno et al . 4 mendapatkan kejadian mendengkur sekitar 31,6% anak usia 5-13 tahun dengan

rincian habitual snoring (HS) pada 5.2% dan occasional snoring (OS) sebesar 26,4%. Prevalensi OSAS pada seluruh anak berkisar antara 0,7-3% dengan persentase tertinggi pada anak usia pra-sekolah.2,3 Faktor risiko terjadinya OSAS pada anak antara lain hipertrofi adenoid dan tonsil, disproporsi kraniofasial, dan obesitas. Penyakit yang berhubungan dengan alergi seperti rinitis alergi, asma dan sinusitis juga seringkali dikatakan berkorelasi dengan OSAS pada anak. Hipertrofi adenoid dan tonsil merupakan keadaan yang paling sering menyebabkan OSAS pada anak. Pada pasien dewasa obesitas merupakan faktor risiko utama OSAS sedangkan pada anak obesitas bukan sebagai faktor risiko utama.1,5,6 Namun demikian, prevalens akan meningkat pada kelompok usia tertentu dengan faktor risiko. Pada anak usia remaja dengan obesitas, prevalens OSAS berkisar antara 36-60%.7 Supriyatno et al.8 di Jakarta mendapatkan prevalens OSAS pada anak usia 1012 tahun dengan obesitas adalah sebesar 38.2%. Berbahayakan OSAS pada anak? Anak yang menderita OSAS terutama yang berat akan mengalami gejala siang dan malam hari. Pada malam hari (night-time symptoms), anak tidur dengan mulut terbuka, mengorok dan seringkali mengalami henti napas. Akibatnya anak sering terbangun dari tidurnya

Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 7, Juli 2010

295

Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) pada Anak karena gelagepan dan mengalami kekurangan oksigen (hipoksia). Anak dengan OSAS yang berat juga sering mengalami enuresis. Sebagai akibat dari gejala dan gangguan pada saat tidur malamnya, pada siang hari timbul gejala yang disebut day-time syndrome, berupa sering tertidur dalam kelas, kesulitan belajar terutama pada mata pelajaran tertentu seperti matematika dan sains serta gangguan kognitif lainnya sehingga terjadi penurunan prestasi akademik. Perubahan perilaku menjadi mudah marah serta adanya gagal tumbuh juga seringkali dilaporkan berhubungan dengan OSAS. Kondisi hipoksia yang berlangsung lama pada anak OSAS dengan AHI (apneu/hypopnea index) yang tinggi dapat menyebabkan cor-pulmonale dan hipertensi pulmonal. Penegakan diagnosis OSAS pada anak merupakan besaran masalah tersendiri, mengingat diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan polisomnografi pada saat tidur. Pemeriksaan ini memberikan pengukuran yang objektif mengenai beratnya penyakit dan dapat digunakan sebagai data dasar untuk mengevaluasi keadaannya setelah operasi. Pemeriksaan polisomnografi akan merekam aktivitas anak selama tidur dengan menilai frekuensi dan lama mendengkur, henti napas, aktivitas listrik jantung, saturasi oksigen dan aktivitas listrik otak. Tidak tersedianya polisomnografi dapat diatasi dengan melakukan anamnesis pengisian kuesioner dan/atau membuat video rekaman anak selama tidur.1,9 Mengingat hipertrofi adenoid dan tonsil yang merupakan faktor risiko tertinggi timbulnya OSAS pada anak, maka tonsiloadenoidektomi merupakan upaya yang efektif untuk mengatasi masalah OSAS pada anak. Seringkali orangtua atau kalangan awam mempercayai bahwa tindakan tonsiloadenoidektomi pada anak-anak dapat meningkatkan performa atau prestasi akademik. Kemungkinan ini dapat terjadi pada anak dengan OSAS yang mengalami gangguan belajar. Tindakan tonsiloadenoidektomi pada anak OSAS juga mempunyai risiko komplikasi yang cukup banyak, mulai dari tindakan anestesi, serta komplikasi pasca operasi yang kekerapannya lebih tinggi pada anak dengan OSAS dibandingkan dengan pada anak tanpa OSAS. Komplikasi yang sering terjadi adalah obstruksi supraglotis, desaturasi, perdarahan, dan lain-lain. Pasien anak dengan OSAS yang menjalani tonsiloadenoidektomi perlu dirawat inap minimal satu hari untuk mengobservasi kemungkinan timbulnya komplikasi tersebut. Namun demikian, pada beberapa kasus ternyata tindakan operatif tidak bisa mengatasi OSAS. Bila demikian maka diperlukan evaluasi lebih lanjut dan mendalam mengenai penyulit-penyulit pada kasus tersebut serta pertimbangan untuk pemasangan CPAP (continuous positive airway pressure).1,9 Daftar Pustaka
1. Schechter MS, Technical report: Diagnosis and management of childhood obstructive sleep apnea syndrome. Pediatrics. 2002;109:1-20. Brunetti L, Rana S, Lospalluti ML, Pietrafesa A, Francavilla R, Fanelli M, et al. Prevalence of obstructive sleep apnea in a cohort of 1207 children of Southern Italy. Chest. 2001;120:19305. Anuntaseree W, Rookkapan K, Kuasirikul S, Thingsuksai P. Snoring and obstructive sleep apnea in Thai school-age children: prevalence and predisposing factors. Pediatr Pulmonol. 2001;32:3227. Supriyatno B, Deviani R, Tumbelaka A, Kariani EBK, Rahajoe NN. Characteristics and risk factors of snoring and the prevalence of suspected obstructive sleep apnea in children. Pediatr Indones. 2005;45:40-5. Rosen CL, Larkin E, Kirchner HL, Emancipator JL, Bivins S, Surovec SA, et al. Prevalence and risk factors for sleep-disordered breathing in 8-to-11-year-old children: Association with race and prematurity. J Pediatr. 2003;142:383-9. Chng SY, Thiam DY, Wang XS, Tan TN, Ong NBH. Snoring and atopic disease: A strong association. Pediatr Pulmonol. 2004;38:210-6. Chay OM, Goh A, Abhiseganaden J. Obstructive sleep apnea syndrome in obese Singapore children. Pediatr Pulmonol. 2000;29:284-90. Supriyatno B, Said M, Hermani B, Syarif DR, Sastroasmoro. Risk factors obstructive sleep apnea syndrome in obese early adolescents: scoring system as diagnostic prediction (Disertasi). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009. American Academy of Pediatrics, Section on Pediatric Pulmonology, Subcommittee on Obstructive Sleep Apnea Syndrome. Clinical practice guideline: diagnosis and management of childhood obstructive sleep apnea syndrome. Pediatrics. 2002;109: 701-12. MS

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

296

Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 7, Juli 2010

You might also like