You are on page 1of 96

LAPORAN MODUL 4 BLOK XIX Waduh....

Bosan Hidup

Disusun oleh : Kelompok I Afdhalia Khairunnisa Sy. Auliaurrahmah Ery Irawan Fitrie Widyastuti Inbar Surya Seru Robby Rolanda Sizigia Hascarini Tatik Handayani (0708015030) (0708015054) (0708015017) (0708015016) (07080150029) (0708015048) (0708015015) (0708015045)

Tutor : dr. Nurul Hasanah

FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM UNIVERSITAS MULAWARMAN 2010


1

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah laporan dengan tema Kegawatdaruratan Metabolik ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari diskusi kelompok kecil (DKK) kami. Laporan ini secara garis besar berisikan tentang penjelasan mengenai kasus kegawatdaruratan Metabolik, termasuk di dalamnya aspirasi benda asing, epiglotitis akut, abses leher dalam, dll. Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada: 1. dr. Nurul Hasanah selaku tutor kelompok I yang telah membimbing kami dalam melaksanakan diskusi kelompok kecil pada modul 1 mengenai Kegawatdaruratan Metabolik ini. 2. Dosen-dosen yang telah mengajarkan materi perkuliahan kepada kami sehingga dapat membantu dalam penyelesaian laporan hasil diskusi kelompok kecil ini. 3. Teman-teman kelompok I yang telah mencurahkan pikiran, tenaga dan waktunya sehingga diskusi sehingga dapat berjalan dengan baik dan dapat menyelesaikan laporan hasil diskusi ini. 4. Teman-teman mahasiswa kedokteran Universitas Mulawarman angkatan 2007 khususnya yang telah bersedia untuk sharing bersama mengenai materi yang kita bahas. Akhirnya, tak ada gading yang tak retak, tentunya laporan ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan hasil diskusi kelompok kecil (dkk) ini. Hormat Kami,

Penyusun

DAFTAR ISI
Kata Pengantar Daftar Isi .. . . . .. .. . . 2 3 4 4 4 5 5 5 5 9 10 10 10 95 95 96

..

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang B. Tujuan Modul Bab II Isi .

1. Terminologi istilah 2. Identifikasi Masalah 3. Analisis Masalah 4. Strukturisasi

5. Learning Objective 6. Belajar Mandiri 7. Sintesis Bab III Penutup Kesimpulan Daftar Pustaka

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Koma adalah kondisi kegawat daruratan medis berupa terjadinya gangguan system saraf otak yang menyebabkan sesorang tidak sadarkan diri atau terjadi perubahan status kesadaran. Jenis-jenis koma dapat dibagi menjadi 3 macam : Koma Diabetikum, Koma Hepatikum dan Koma uremikum. Ketiganya memiliki mekanisme tersendiri yang menyeabkan tubuh sulit melakukan kompensasi jika tubuh tidak mendapatkan pertolongan medis yang agresif dan tepat. Intoksikasi(keracunan) juga merupakan suatu kondisi kegawat

daruratan medis. Kecepatan dan ketepatan penanganan intoksikasi sangatlah penting agar penderita dapat segera dikelola dan diobati sesuai dengan besar masalah sehingga penderita tersebut tidak mengalami komplikasi yang lebih berat maupun kematian. Akan tetapi pada kenyataannya sering kita jumpai penangan an kasus keracunan mendapatkan kesulitan karena penyebab yang sukar diketahui atau banyak organ yang mengalami kerusakan akibat zat/bahan penyebab. B. Tujuan 1. 2. 3. Mengetahui jenis-jenis Koma Memahami segala sesuatu yang berhubungan dengan Koma Memahami segala sesuatu yang berhubungan dengan intoksikasi

BAB II ISI
Step 1 Terminologi Asing 1. Kesemutan : Sensasi tidak nyaman permukaan tubuh tanpa rangsangan dari luar, karena hipoksia saraf 2. Tidak Sadar : Suatu kondisi penurunan pemahaman atau kesadaran, dengan tanda menurunnya respon pada rangsangan sensorik dan motorik tanpa adanya penurunan sistem otonom 3. Gatal-gatal : Sensasi kulit yang tidak menyenangkan yang mencetuskan keinginan untuk menggaruk kulit 4. Muntah : Aktivitas mengeluarkan isi lanbung melalui mulut oleh kerja motorik dari saluran pencernaan 5. BAK Sering : Peningkatan ferkuesi urin lebih dari normal

Step 2 Identifikasi Masalah 1. Mengapa Pak Obet sering Kesemutan, gatal-gatal, BAK sering, dan kepala sakit? 2. Mengapa sakit kepala Pak Obet tidak sembuh-sembuh setelah minum obat? 3. Mengapa Pak Obet muntah-muntah? 4. Adakah hubungan muntah dengan riwayat minum obat? 5. Kemungkinan apa yang terjadi pada Pak Obet? 6. Apakah pemerikasaan yang perlu dilakuakan kepada Pak Obet? 7. Penanganan yang harus diberikan kepada Pak Obet?

Step 3 Analisis Masalah 1. a. Kemungkinan penyebab kesemutan :

Kurangnya vaskularisasi pada saraf Meningkatnya viskositas darah Gangguan vaskuler (mikrvaskuler) Pada penderita Diabetes Melitus tingginya gula darah

menyebabkan peningkatan sorbitol Terjadi hambatan pengantaran sinyal-sinyal saraf Pada penderita Diabetes Melitus Asupan makanan perhari sebanyak 2500 kalori terjadi beberapa kemungkinan. Pertama Kalori yang seharusnya disimpan sebagai glikogen tidak terjadi, kedua terjadi gengguan metabolisme dalam penguraian zat-zat makanan Pak Obet memang kekurangan nutrisi tanpa ada ganggaun metabolic Pak Obet mendapat nutrisi yang cukup tapi terjadi gangguan metabolisme c. Kemungkinan penyebab Pak Obat gatal-gatal : Terjadi ganguan pada kulit : infeksi parasit, dermatitis Terjadi gangguan sistemik : hepar terganggu, gagal ginjal

b. Kemungkinan penyebab Pak Obet semakin kurus :

menyababkan peningkatan uera dalam darah, Diabetes Melitus Efek kerja obat : Barbiturat, Aspirin

d. Kemungkinan penyebab BAK sering : Pada penderita Diabetes Melitus peningkatan kadar Glukosa dalam darah mengakibatkan ginjal merespon dengan mengeluarkan glukosa lewat sistem kemih atau urin Konsunsi cairan yang berlebian juga dapat meningkatkan frekuensi BAK, karena tubuh merespon penurunan viskositas plasma darah dengan meningkatkan pengeluaran urin e. Kemungkinan penyebab kepala Pak Obet sakit : Terjadi perubahan lumen pembuluh yang awalnya konstriksi menjadi dilatasi. Hal tersebut dapat merangsang struktur/organ-organ peka nyeri di kepala

Terjadi Hipertensi atau meningkatnya tekanan darah di vaskuler otak Terangsangnya struktur-struktur peka nyeri kepala Gangguan otot Infeksi/meningitis

2. Yang menyebabkan sakit kepala pak Obet tidak sembuh walaupun telah minum obat: Pak Obet meminum obat tetapi tidak sesuai dengan penyakit yang mendasarinya, sehingga sakit kepalanya tidak kunjung hilang Pak Obet hanya minum obat anti neri saja, tanpa mengobati gangguan lainnya

3. Yang menyebabkan Pak Obet muntah: Terjadi Over dosis/keracunan minum obat (intoksikasi) akibat

mengkonsumsi obat berlebihan yang tidak sesuai petunjuk Obat yang berlebihan telah mencapai sistim saraf pusat Efek samping obat menyebabkan emesis (muntah) Pada penderita Diabetes Melitus peningkatan Keton (Keto Asidosis) juga dapat menyebakan muntah

4. Adakah hubungan muntah dengan riwayat minum obat ? Ada, sesuai kemungkinan yang diprediksikan di atas

5. Kemungkinan yang terjadi pada Pak Obat Diduga Pak Obet menderita Dibetes Melitus yang tidak terobati sehingga terjadi koma diabetikum Terjadi Overdosis/intoksikasi obat Terjadi koma uremikum dan koma hepatikum, menyebabkan gangguan elektrolit dan keseimbangan asam-basa

6. Pemeriksaan yang dilakukan kepada Pak Obet untuk memperjelas diagnosa: Pemeriksaan gula darah sewaktu Pemeriksaan Gas darah Pemeriksaan Urin lengkap Pemeriksaan fungsi hati Pemeriksaan ekeltrolit Pemeriksaan toksikologi

7. Penatalaksanaan yang tepat untuk pak Obet: Cek kesadaran Cek ABC, jika ada gangguan tangani gangguan ABC, evaluasi ABC dan pertahankan ABC Cek Status dehidrasi, tangani jika terjadi dehidrasi dengan infus dextros

Step 4 Stukturisasi
Penurunan Kesadaran

Anamnesis

Pem. Fisik

Pem. Penunjang

Sakit Kepala

Gatal-gatal

Poliuri

BB

Kesemutan

Muntah

Obat

Hipertensi

Urea

DM

Gang. Asam-basa & elektrolit

Intoksikasi /OD Gang. Hepar

Koma Uremikum

Koma Diabetikum

Koma Hepatikum

Penatalaksanaan

Step 5 Learning Objective 1. Mengetahui definisi, etiologi, pathogenesis, gejala, diagnosa,

penatalaksanaan, prognosis dari: a. Koma diabetikum b. Koma Uremikum c. Koma hepatikum 2. Intoksikasi obat 3. Gangguan keseimbangan asam-basa 4. Gangguan keseimbangan elektrolit

Step 6 Belajar Mandiri

Step 7 Sintesis

Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang ditandai olch trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relative. KAD dan

hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus (DM) Yang sering dan membutuhkan pergelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok.

Faktor Pencetus Ada sekitar 20% pasien KAD yang barn diketahui mendcrita DM untuk pertama kali. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam pengobatan dan pencegahan ketoasidosis berulang. Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah infeksi, infark miokard akut, 10

pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Sementara itu 20% pasien KAD tidak didapatkan faktor pencetus.

Patofisiologi KAD adalah suatu keadaan di mana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan); keadaan tersebut,

menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. K eadaan

hiperglikemia sangat bervariasi dan tidak menentukan berat-ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis KAD dapat dikelonipokkan dua bagian, yaitu

akibat hiperglikemia akibat ketosis Walaupun sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa, sistem

homeostasis tubuh terus teraktivasi untuk memproduksi glukosa jumlah banyak sehingga kadar terjadi hormon hiperglikemia. kontra Kombinasi insulin dan

peningkatan

regulator

terutama

epinefrin,

mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak. Akibatnya lipolisis meningkat, sehingga terjadi peningkatan benda keton dan asam lemak bebas secara berlebihan. Akumulasi produksi benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan asidosis metabolic. Benda keton utama ialah asam asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidroksi butirat (3 HB); dalam keadaan normal kadar 3 HB meliputi 75-85% dan aseton darah merupakan benda keton yang tidak begitu penting. Meskipun Sudah tersedia bahan bakar tersebut sel-sel tubuh masih tetap lapar dan terus memproduksi glukosa. Hanya insulin yang dapat menginduksi transpor glukosa kedalam sel, memberi signal untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen, menghambat lipolisis pada sel lemak (menekan pembentukan asam lemak bebas), mengharnbat

glukoneogenesis pada sel hati serta mendorong proses oksidasi melalui siklus Krebs dalam mitokondria sel. Melalui proses oksidasi tersebut akan

11

dihasilkan adenin trifosfat (ATP) yang merupakan sumber energi utama sel. Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat keadaan defisiensi insulin relatif. Meningkatnya hormon kontra regulator insulin,

meningkatnya asam lemak bebas, hiperglikemia, gangguan keseimbangan elektrolit dan asam-bass dapat mengganggu sensitivitas insulin.

Peranan Insulin Pada KAD terjadi defisiensi insulin absolut atau relatif terhadap hormon kontra reguIasi yang berlebihan (glukagon, epinefrin, kortisol, dan hormon pertumbuhan). Defisiensi insulin dapat disebabkan oleh resistensi insulin atau suplai insulin endogen atau eksogen yang berkurang. Defisiensi aktivitas insulin tersebut, menyebabkan 3 proses patofisiologi yang nyata pada 3 organ, yaitu selsel lemak, hati, dan otot. Perubahan yang terjadi terutama melibatkan metabolisms lemak dan karbohidrat

Peranan Glukagon Dintara hormon-hormon kontraregulator, glukagon yang paling berperan dalam patogenesis KAD. Glukagon menghambat proses glikolisis dan menghambat pembentukan malonyl CoA. Malonyl CoA adalah suatu penghambat carniline ac v1 ownsferases (CPT I dan 2) yang bekerja pada transfer asam lemak bebas ke dalam mitokondria. Dengan demikian peningkatan glukagon akan rnerangsang oksidasi beta asam lemak dan ketogenesis. Pada pasien DM tipe 1, kadar glukagon darah tidak teregulasi dengan balk. Bila kadar insulin rendah maka kadar glukagon darah sangat meningkat serta mengakibatkan reaksi kebalikan respons insulin pada sel-sel lemak dan hati.

Hormon Kontra Regulator Insulin Lain Kadar epinefrin dan kortisol darah meningkat pada KAD. Hormon pertumbuhan (GH) pada awal terapi KAD kadamya kadang-kadang meningkat dan lebih meningkat lagi dengan pemberian insulin. Keadaan stresss sendiri mcningkatkan hormon kontra regulasi yang pada

12

akhirnya akan menstimulasi pembentukan benda-benda keton, glukoneogenesis serta potensial sebagai pencetus KAD. Sekali proses KAD terjadi maka akan terjadi stres yang bcrkepanjangan.

Gejala Klinis Sekitar 80%, pasien KAD adalah pasien DM yang sudah dikcnal. Kenyataan ini tentunya sangat membantu untuk mengenali KAD akan lebih cepat sebagai komplikasi akut DM dan segera rnengatasinya. Sesuai dengan patofisiologi KAD, maka pada pasien KAD dijumpai pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa napas tidak terlalu mudah tercium. Areataeus menjelaskan gambaran klinis KAD sebagai berikut keluhan poliuri dan polidipsi sering kali mendahului KAD serta didapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin, dcmam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai terutama pada KAD anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lambung. Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau depresi sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan kesadaran lain (misalnya uremia., trauma, infeksi, rninum. alkohol). Infeksi mentpakan faktor pencetus yang paling sering, Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, faktor pencetus infeksi didapatkan sekitar 80%. Infeksi yang sering ditemukan ialah infeksi saluran kemih dan pneumonia. Walaupun faktor pencetusnya adalah infeksi, kebanyakan pasien tak mengalami demam. Bila dijumpai adanya nyeri abdomen, perlu dipikirkan kemungkinan kolesistitis, iskemia usus, apendisitis, divertikulitis, atau perforasi usus. Bila ternvata pasien tidak menunjukkan respons yang balk terhadap pengobatan KAD, maka perlu dicari kemungkinan infeksi tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses, perirektal).

13

Diagnosis Ketoasidosis diabetik perlu dibedakan dengan ketosis diabctik ataupun hiperglikemia hiperosmolar nonketotik. Beratnya hiperglikemia, ketonemia, dan asidosis dapat dipakai dengan kriteria diagnosis KAD. Walaupun demikian penilaian kasus per kasus selalu diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Langkah pertama yang harus diambil pada pasicn dengan KAD terdiri dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti dengan terutama memperhatikan patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan

kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan. Pcmeriksaan laboratorium yang paling penting dan mudah untuk segera dilakukan setelah dilakukannya anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan kadar glukosa darah dengan glucose sticks dan pemeriksaan urine dengan menggunakan urine snip untuk melihat secara kuafitatif jumlah glukosa, keton, nitrat, dan leukosit dalam urine. Pemeriksaan laboratorium lengkap untuk dapat mcnilai karakteristik clan tingkat kcparahan KAD meliputi kadar HCO3, anion gap, pH darah dan jugs idealnya dilakukan pemeriksaan kadar AcAc dan laktat serta 3HB. Adapun criteria diagnosis KAD adalah : 1. 2. 3. 4. Kadar glukosa >250 mg% pH <7,5 Anion gap yang tinggi Keton serum positif

Tatalaksana Begitu masalah diagnosis KAD ditegakkan, segera pengelolaan dimulai. Pengelolaan KAD tentunya berdasarkan patofisiologi dan patogenesis penyakit, merupakan terapi titerasi, sehingga sebaiknya dirawat di ruang perawatan intensif. Prinsip-prinsip pengelolaan KAD ialah : 1). penggantian cairan dan garam yang hilang; 2). menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan pemberian insulin; 3). mengatasi stres sebagai

14

pencetus KAD; 4). mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya pemantauan serta penyesuaian pengobatan. Pengobatan KAD tidak terlalu rumit. Ada 6 hal yang hares diberikan; 5 di antaranya ialah: cairan, garam, insulin, kalium, dart glukosa. Sedangkan yang terakhir terapi sangat menentukan adalah asuhan keperawatan. Di sini diperlukan kecermatan dalam evaluasi sampai keadaan KAD teratasi dan stabil.

Cairan Untuk mengatasi dehidrasi digunakan larutan garam fisiologis. Bcrdasarkan perkiraan hilangnya cairan pada KAD mencapai 100 rnl per kg berat badan, maka pada jam pertama diberikan I sampai 2 liter, jam kedua diberikan I liter dan selanjutnya sesuai protokol. Ada dua keuntungan rehidrasi pada KAD: memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan hormon kontraregulator insulin. Bila kadar glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu diberikan larutan mengandung glukosa (dekstrosa 5% atau 10%)

Insulin Terapi Insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang memadai. Pemberian insulin akan menurunkan kadar hormon glukagon sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Sampai tahun 1970-an penggunaan insulin umumnya secara bolus melalui intravena, intramuskular, ataupun subkutan. Sejak pertengahn tahun 1970-an protokol pengelolaan KAD dengan drip insulin intravena dosis rendah mulai digunakan dan menjadi popular. (Soken et al, 1972). Cara ini dianjurkan oleh karna lebih mudah mengontrol dosis insulin, menurunkan kadar glukosa darah lebih lambat, efek insulin cepat menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih lambat, komplikasi hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit. Butkeiwicz et al menganalisis data pengobatan KAD sebelum dan sesudah tahun 1970 dan

15

melaporkan bahwa pemberian insulin kontinu secara intravena lebih jarang menyebabkan hipoglikemia dibandingkan cara bolus. Sedangkan untuk

hipokalemia tidak berbeda. Efek kerja insulin terjadi dalam beberapa menit setelah insulin berikatan dengan reseptor. Kemudian reseptor yang telah berikatan akan mengalami internalisasi dan insulin akan mengalami destruksi. Dalam keadaan hormon kontraregulator masih tinggi dalam darah, dan untuk mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis, permberian insulin tidak boleh dihentikan tiba tiba dan perlu dilanjutkan beberapa jam setelah koreksi hiperglikemia tercapai. Bersamaan dengan pemberian larutan mengandung glukosa untuk mencegah hipoglikemia. Kesalahan yang sering terjadi ialah pengghentian drip insulin lebih awal sebelum klirens benda keton darah cukup adekuat tanpa konversi ke insulin kerja panjang. Tujuan pemberian insulin di sini bukan hanya untuk mencapai kadar glukosa normal, tetapi untuk mengatasi keadaan ketonemia. Oleh karna itu bila kadar glukosa kurang dari 200 mg%, insulin diteruskan dan untuk mencegah hipoglikemia diberi cairan mengandung glukosa sampai asupan kalori oral pulih kembali. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo cara pengobatan KAD dengan insulin dosis rendah kontinu intravena diperkenalkan sejak tahun 1980 dan sampan sekarang sudah beberapa kali mengalami modifikasi. Perubahan terakhir dikeluarkan sejak awal 1997. Dengan cara itu, dilaporkan kejadian hipoglikemia 3,6-7,1% dan kejadian hipokalemia 7,2%.

Kalium Pada awal KAD biasanya kadar ion K scrum meningkat. Hiperkalemia yang fatal sangat jarang dan bila terjadi harus segera diatasi dengan pemberian bikarbonat. Bila pada elektrokardiogram, ditemukan gelombang T yang tinggi pemberian cairan dan insulin dapat segera mengatasi keadaan hiperkelamia tersebut. Yang perlu menjadi perhatian adalah terjadinya hipokalemia yang dapat fatal selama pengobatan KAD. Ion kalium terutama terdapat intraselular. Pada

16

keadaan KAD, ion K bergerak ke luar sel dan selanjutnya dikeluarkan melalui urin. Total defisit K yang terjadi selama KAD diperkirakan mencapai 3-5 mEq /kg BB. Selama terapi KAD ion K kembali ke dalam sel. Untuk mengantisipasi masuknya ion K ke dalam sel serta mempertahankan kadar K serum dalam batas normal, perlu pemberian kalium. Pada pasien tanpa gagal ginjal serta tidak ditemukannya gelombang T yang lancip dan tinggi pada ciektrokardiogram, pemberian kalium segera dimulai setelah Jurnlah urin cukup adekuat.

Glukosa Setelah rehidrasi awal 2 jam pertama, biasanya kadar glukosa darah akan turun. selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan teradi penurunan kadar glukosa sekiitar 60 mg% per Jam. Bila kadar glukosa mencapai < 200 mg% maka dapat dimulai infus mengandung glukosa. Perlu ditekankan di sini bahwa tujuan terapi KAD bukan untuk menormalkan kadar glukosa tetapi untuk menekan ketogenesis.

Komplikasi Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan KAD ialah sebagai berikut edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut dan komplikasi iatrogenik. Komplikasi iatrogenik tersebut ialah hipokalemia, hiperkloremia, edema otak dan hipokalzemia.

Pencegahan Faktor pencetus utama KAD ialah pemberian dosis insulin yang kurang memadai dan kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kcjadian tersebut dapat dicegah dengan akses pada sistem pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk edukasi DM) dan komunikasi efektif terutama pada saat penyandang DM mengalami sakit akut (misalnya batuk pilek, diare, demam, luka). Upaya pencegahan rnerupakan hal yang penting pada penatalasanaan DM secara komprehensif. Upaya pencegahan sekunder untuk mencegah terjadinya komplikasi DM kronik dan akut, melalui edukasi sangat untuk mendapatkan

17

ketaatan berobat pasien yang baik. Khusus mengenai pencegahan KAD dan hipoglikemia. progran edukasi perlu menekankan pada cara-cara mengatasi saat sakit akut rneliputi informasi mengenai pemberian insulin kerja cepat, target k glukosa darah pada saat sakit, mengatasi demam dan infeksi, memulai pemberian makanan cair mengandung karbohidrat dan garam yang mudah dicerna, yang paling penting ialah agar tidak menghentikan pemberian insulin atau obat hipoglikemia oral dan sebaiknya segera mencari pertolongan atau nasihat tenaga kesehatan yang profesional. Pasien DM harus didorong untuk perawatan mandiri terutama saat mengalami masa-masa sakit, dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah dan keton urin sendiri. Di sinilah pentingnya edukator diabetes yang dapat membantu pasien dan keluarga, terutama pada keadaan sulit

Koma Hipoglikemia
Definisi Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar glukosa darah < 60 mg/dL atau kadar glukosa darah < 80 mg/dL dengan gejala klinis. Namun, apabila tidak tertangani dengan baik dan kadar glukosa darah menjadi < 30 mg/dL maka dapat menyebabkan terjadinya koma hipoglikemi.

Etiologi Hipoglikemia pada diabetes mellitus dapat terjadi karena : Kelebihan dosis obat terutama insulin atau obat hipoglikemia oral. Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun. Gagal ginjal kronik pasca persalinan. Asupan makan (intake) yang tidak adekuat. Jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat. Kegiatan jasmani berlebihan.

18

Manifestasi Klinis Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan : lemah lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung sementara. Stadium simpatik : keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar. Stadium gangguan otak berat : tidak sadar, dengan atau tanpa kejang.

Diagnosis Anamnesa : Penggunan preparat insulin atau obat hipoglemik oral :dosis terakhir, waktu pemakaian terakhir dan perubahan dosis. Waktu makan terakhir dan jumlah asupan gizi. Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya. Lama menderita diabetes dan komplikasi diabetes yang pernah dialami. Penyakit penyerta : ginjal, hati, dll. Penggunaan obat sistemik lain, seperti : Beta Adrenergic Blocker, dll

Pemeriksaan fisik Pucat. Diaphoresis. Tekanan darah menurun. Frekuensi denyut jantung menurun. Terdapat penurunan kesadaran. Defisit neurologik fokal transient.

Trias whipple untuk hipoglikemia secara umum: Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia. Kadar glukosa plasma rendah. Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat.

Pemeriksaan Penunjang Kadar glukosa darah sewaktu (GDS), ttes fungsi ginjal, tes fungsi hati, Cpeptide.

19

Diagnosa Banding Hipoglikemia karena obat, seperti : (Sering ) : insulin, sulfonylurea, alkohol. (Kadang) : kinin, pentamidine. (Jarang ) : salisilat, sulfonamide. Hiperinsulinisme endogen ; insulinoma, kelainan sel B jenis lain, sekretagogue (sulfonylurea ), autoimun, sekresi insulin ektopik. Penyakit kritis : gagal hati, gagal ginjal, sepsis, starvasi. Defisiensi endokrin : kortisol, growth hormon, glucagon, epinefrin. Tumor non-sel B : sarkoma, tumor adrenokortikal, hepatoma, leukemia, limfoma, melanoma. Post pandrial : reaktif ( setelah operasi gaster), diinduksi alkohol.

Penatalaksanaan Stadium permulaan ( sadar ) Berikan gula murni 30 gram ( 2 sendok makan ) atau sirop / permen atau gula murni ( bukan pemanis pengganti gula atau gula diit /gula diabetes ) dan makanan yang mengandung karbohidrat. Hentikan obat hipoglikemik sementara dan pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam. Pertahankan gula darah sekitar 200 mg/dL ( bila sebelumnya tidak sadar) Cari penyebab

Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia ) : Diberikan larutan dextrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 mL) bolus IV. Diberikan cairan dextrosa 10 % per infuse ,6 jam perkolf. Periksa GD sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan glukometer : 1. 2. Bila GDs < 50 mg /dL bolus dekstrosa 40% 50 % ml IV. Bila GDs < 100 mg /dL bolus dekstrosa 40 % 25 % mL IV. Bila GDs < 50 mg/dL bolus dekstrosa 40 % 50 mL IV.

Periksa GDs setiap satu jam setelah pemberian dekstrosa 40%. 1.

20

2. 3. 4.

Bila GDs <100 mg/dL bolus dekstrosa 40 % 25 mL IV. Bila GDs 100 200 mg /dL tanpa bolus dekstrosa 40 %. Bila GDs > 200 mg/dL pertimbangan menurunkan kecepatan drip dextrosa 10 %

Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 berturut turut, pemantauan GDs setiap 2 jam dengan protokol sesuai diatas, bila GDs >200 mg/dL > pertimbangkan mengganti infus dengan dextrosa 5 % atau NaCI 0,9 %.

Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut- turut ,pemantauan GDs setiap 4 jam dengan protokol sesuai diatas, bila GDs > 200 mg/dL > pertimbangkan mengganti infus dengan dextrosa 5 % atau NaCI 0.9 %.

Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, slinding scale setiap 6 jam : GD( mg/dL ) <200 200-250 250-300 300-350 >350 RI (unit, subkutan ) 0 5 10 15 20

Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin, seperti : adrenalin, kortison dosis tinggi atau glukagon 0,5-1 mg IV / IM ( bila penyebabnya insulin ).

Bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg / dL, Hidrokortison 100 mg/ 4 jam selama 12 jam atau deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan manitol 1,5 - 2 g / kgBB IV setiap 6-8 jam dan cari penyebab lain penurunan kesadaran.

Komplikasi Kerusakan otak Koma Kematian. 21

Koma Hepatikum
Hati merupakan salah satu organ yang sangat penting peranannya dalam mengatur metabolisme tubuh, yaitu dalam proses anabolisme atau sintesis bahanbahan yang penting untuk kehidupan manusia seperti sintesis protein dan pembentukan glukosa ; sedangkan dalam proses katabolisme dengan melakukan detoksikasi bahan-bahan seperti amonia, berbagai jenis hormon dan obat-obatan. Di samping itu hati juga berperan sebagai gudang tempat penyimpanan bahanbahan seperti glikogen dan beberapa vitamin dan memelihara aliran normal darah splanknikus. Oleh karena itu terjadi kerusakan sel-sel parenkhim hati akut maupun kronik yang berat, fungsi-fungsi tersebut akan mengalami gangguan atau kekacauan, sehingga dapat timbul kelainan seperti ensefalopati hepatikum (Akil., 1998). Koma hepatikum dalam khasanah ilmu kedokteran disebut ensefalopita atau hepatic encephalopathy. Ada 2 jenis enselafalopati hepatik berdasarkan ada tidaknya edema otak, yaitu Portal Systemic Encephalopathy (PSE) dan Acute Liver Failure (Hardjosastro., 2002). Ensefalopati Hepatik (EH) merupakan salah satu penyulit sirosis hepatis akibat pintasan partosismatik yang terjadi karena hipertensi portal. Ensefalopati portal sistemik kronik ini ditandai oleh kelainan psikiatrik dan neurologik yang dapat berkembang dari gangguan mental ringan sampai koma hepatic (Akil., 1998). Ensefalopati Hepatik adalah suatu sindrom neuropsikiatri, mempunyai spektrum klinik yang luas, dapat timbul akibat penyakit hati yang berat, baik akut maupun yang menahun ditandai adanya gangguan tingkah laku, gejala neurologik, astriksis, berbagai derajat gangguan kesadaran sampai koma, dan kelainan elektro ensefalografi (Blei., 1999). Enselafalopati Hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatrik yang terjadi pada penyakit hati. Definisi tersebut menyiratkn bahwa spektrum klinis (EH) sangat luas, karena di dalamnya juga termauk pasien hepatitis fulminan serta pasien sirosis dalam stadium Ensefalopati Hepatik Subklinis (EHS) (Budihusodo., 2001). 22

Pasien sirosis hati yang telah dapat diatasi keadaan EH akutnya, berada dalam keadaan EH kronik, yang setiap saat dapat kembali mengalami episode akut apabila terdapat faktor seperti infeksi, pendarahan gastrointestinal dan asupan protein diet berlebihan (Budihusodo., 2001). Pengobatan dini EH meliputi setiap upaya terapeutik yang dilakukan pada RHS ataupun pada EH kronik, untuk mencegah terjadinya serangan EH akut. Karena terjadinya episode EH akut biasanya didahului oleh keadaan dekompensasi (fungsi) hati, pengobatan ini juga dapat bermakna mempertahankan keadaan kompensasi selama mungkin. Dengan tercapainya kompensasi, berarti secara subjektif pasien memperoleh kualitas hidup yang lebih baik (sympton-free) (Budihusodo., 2001). Beberapa sarjana menyebutkan ensefalopati hepatic dengan istilah koma hepatikum. Karena manifestasinya tidak selalu dalam bentuk koma, melainkan terdiri atas beberapa tingkat perubahan kesadaran maka untuk selanjutnya dipakai istilah ensefalopati hepatic. Istilah lain adalah Porto-System Enchephalopathy (PSE), tidak banyak dipakai lagi oleh karena ternyata EH dapat terjadi tanpa kolateral porto-sistemik (Gitlin., 1996). Meskipun patogenesis yang tepat tentang terjadinya EH belum diketahui sepenuhnya, namun hipotesa-hipotesa yang ada menekankan peranan dari sel-sel parenkim hati yang rusak dengan atau tanpa adanya by pass sehingga bahan-bahan yang diduga toksis terhadap otak tidak dapat dimetabolisir seperti : ammonia, merkaptan, dan lain-lain dapat menumpuk dan mencapai otak. Faktor lain adalah terjadinya perubahan pada neutransmitter, gangguan keseimbangan Asam Amino Aromatik (AAA) dan Asam Amino Rantai Cabang (AARC) yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan. Selain itu perlu disimak perubahan yang terjadi pada otak misalnya edema dan peningkatan tekanan intra kranial, serta perubahan-perubahan pada Astrosit terutama terjadi pada EH akut (Fulminant Hepatic Failure). Hal hal tersebut perlu dicermati agar pengelolaan penderita-penderita EH lebih terarah dengan hasil optimal (Blei., 1999).

23

Definisi Ensefalopati hepatik adalah suatu kompleks suatu gangguan susunan saraf pusat yang dijumpai yang mengidap gagal hati. Kelainan ini ditandai oleh gangguan memori dan perubahan kepribadian (Corwin., 2001). Ensefalopati hepatik (ensefalopati sistem portal, koma hepatikum) adalah suatu kelainan dimana fungsi otak mengalami kemunduran akibat zat-zat racun di dalam darah, yang dalam keadaan normal dibuang oleh hati (Stein 2001). Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatrik pada penderita penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot dan flapping tremor yang dinamakan asteriksis (Price et al., 1995).

Klasifikasi Klasifikasi EH yang banyak dianut adalah : 1. Menurut cara terjadinya : a. EH tipe akut : Timbul tiba-tiba dengan perjalanan penyakit yang pendek, sangat cepat memburuk jatuh dalam koma, sering kurang dari 24 jam. Tipe ini antara lain hepatitis virus fulminan, hepatitis karena obat dan racun, sindroma reye atau dapat pula pada sirosis hati. b. EH tipe kronik : Terjadi dalam periode yang lama, berbulan-bulan sampai dengan bertahun-tahun. Suatu contoh klasik adalah EH yang terjadi pada sirosis hepar dengan kolateral sistem porta yang ekstensif, dengan tandatanda gangguan mental, emosional atau kelainan nueurologik yang berangsur-angsur makin berat. 2. Menurut faktor etiologinya : a. EH primer / Endogen : Terjadi tanpa adanya faktor pencetus, merupakan tahap akhir dari kerusakan sel-sel hati yang difus nekrosis sel hati yang meluas. Pada hepatitis fulminan terjadi kerusakan sel hati yang difus dan cepat, sehingga kesadaran terganggu, gelisah, timbul disorientasi, berteriak-teriak, kemudian dengan cepat jatuh dalam keadaan koma, sedangkan pada siridis hepar disebabkan fibrosi sel hati yang meluas dan biasanya sudah ada sistem kolateral, ascites. Disini gangguan disebabkan

24

adanya zat racun yang tidak dapat dimetabolisir oleh hati. Melalui sistem portal / kolateral mempengaruhi susunan saraf pusat. b. EH Sekunder / Eksogen : Terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus pada pederita yang telah mempunyai kelainan hati. Faktor-faktor antara lain adalah : Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan PH darah : o Dehidrasi / hipovolemia. o Parasintesis abdomen. o Diuresis berlebihan Pendarahan gastrointestinal. Operasi besar. Infeksi berat. Intake protein berlebihan. Konstipasi lama yang berlarut-larut. Obat obat narkotik/ hipnotik. Pintas porta sistemik, baik secara alamiah maupun pembedahan. Azotemia

Patogenesis Belum ada patagonesis yang diterima untuk menjelaskan proses terjadinya EH. Beberapa hipotesis yang paling sering dijadikan acuan penatalaksanaan EH adalah (1) Hipotesis ammonia, (2) Hipotesis neurotoksi sinergis, (3) Hipotesis neurotransmitter palsu, (4) Hipotesis GABA / benzodiazepine (Budihusodo., 2002). Sedangkan faktor-faktor yang sangat mungkin terlibat dalam terjadinya EH adalah : 1. Pengaruh neurotoksin endogen yang tidak cukup didetoksifisikasikan oleh hati sirotik. 2. Fungsi astroglia yang abnormal disertai gangguan sekunder fungsi neuron. 3. Kelainan permeablitas sawar darah-otak. 4. Perubahan neurotransmiter intraserebral beserta reseptornya.

25

Dalam arti yang sederhana, EH dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk intosikiasi otak yang disebabkan oleh isi usus yang tidak di metabolisme oleh hati. Keadaan ini dapat terjadi bilda terdapat kerusakan sel hati akibat nekrosis, atau adanya pirau (pataologis atau akibat pembedahan) yang memungkinkan adanya darah porta mencapai sirkulasi sistemik dalam jumlah besar tanpa melewati hati (Price et al., 1995). Metabolit yang bertanggung jawab atas timbulnya EH tidak diketahui dengan pasti. Mekanisme dasar tampaknya adalah karena intosikasi otak oleh hasil pemecahan metabolisme protein oleh bakteri dalam usus. Hasil-hasil metabolisme ini dapat memintas hati karena adanya penyakit pada sel hati atau karena pirau (Price et al., 1995). EH pada penyakit hati kronik biasanya dipercepat oleh keadaan seperti : perdarahan saluran cerna, asupan protein berlebihan, pemberian diuretik, parasentesis, hipokalemia, infeksi akut, pembedahan, azotemia dan pemberian morfin, sedatif, atau obat-obatan yang mengandung ammonia (Abou-assi., 2001). Hingga kini belum seluruhnya dapat dipahami patogenesis EH, namun pengetahuan yang diperoleh berdasarkan penelitian terhadap penderita maupun dari binatang percobaan, telah mengungkapkan beberapa masalah penting tentang patogenesisnya. EH tidak disebabkan oleh salah satu faktor tunggal, melainkan oleh beberapa faktor yang sekaligus berperan bersama (Blei., 1999). Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa E terdapat hubungan sirkulasi porto sistemik yang langsung tanpa melalui hati, serta adanya kerusakan dan gangguan faal hati yang berat. Kedua keadaan ini menyebabkan bahan-bahan tosik yang berasal dari usus tidak mengalami metabolisme di hati, dan selanjutnya tertimbun di otak (blood brain barrier) pada penderita EH yang memudahkan masuknya bahan-bahan tosik tersebut ke dalam susunan saraf pusat. Ketika pasien sirosis hati telah mengalami hipertensi portal, terbuka kemungkinan untuk terjadinya pintasan portosistemik, yang dapat berakibat masuknya neurotoksin yang berasal dari saluran cerna (merkaptan, amonia, mangan, dll) ke dalam sirkulasi sistemik. Pintasan portosistemik dapat juga terjadi akibat tindakan bedah anastomosis portokaval atau TIPS (transjugular intrahepatic

26

portosystemic stent shunt) yang dilakukan untuk mengatasi hipertensi portal. Neurotoksin yang dapat menembus sawar darah otak akan berakumulasi di otak dan menimbulkan gangguan pada metabolisme otak. Permeabilitas sawar darah otak memang mengalami perubahan pada pasien sirosis hati dekompensasi, sehingga lebih mudah ditembus oleh metabolit seperti neurotoksin (Budihusodo., 2001). Terdapat 5 proses yang terjadi di otak yang dianggap sebagai mekanisme terjadinya EH/koma hepatik, yaitu : 1. Peningkatan permeabilitas sawar otak (BBB). 2. Gangguan keseimbangan neurotransmitter. 3. Perubahan (energi) metabolisme otak. 4. Gangguan fungsi membran neuron. 5. Peningkatan endogenous Benzodiazepin Diduga toksin serebral berperan melalui satu atau lebih daripada mekanisme ini. Patogenesis di atas merupakan konsep yang uniform, namun antara koma pada PSE dan FHF terdapat beberapa perbedaan-perbedaan. Misalnya pada PSE, toksin serebral tertimbun secara perlahan-lahan, apabila disertai faktor pencetus terjadinya koma. Sebaliknya pada EH/koma akibat FHF, karena proses begitu akut, maka faktor yang berperan adalah masuknya bahan toksis ke dalam otak secara tiba-tiba, menghilangnya bahan pelindung, perubahan permeablitas dan integrasi selular pembuluh darah otak serta edema serebral. Beberapa bahan toksik yang diduga berperan : 1. Ammonia Ammonia merupakan bahan yang paling banyak diselidiki. Zat ini berasal dari penguraian nitrogen oleh bakteri dalam usus, di samping itu dihasilkan oleh ginjal, jaringan otot perifer, otak dan lambung. Secara teori ammonia mengganggu faal otak melalui : Penaruh langsung terhadap membran neuron. Mempengaruhi metabolisme otak melalui siklus peningkatan sintesis glutamin dan ketoglutarat, kedua bahan ini mempengaruhi siklus kreb sehingga menyebabkan hilangnya molekul ATP yang diperlukan untuk

27

oksidasi sel. Peneliti lain mendapatkan bahwa kadar ammonia yang tinggi tidak seiring dengan beratnya kelainan rekaman EEG. Dilaporkan bahwa peran ammonia pada EH tidak berdiri sendiri. Tetapi bersama-sama zat lain seperti merkaptan dan asam lemak rantai pendek. Diduga kenaikan kadar ammonia pada EH hanya merupakan indikator non spesifik dari metabolisme otak yang terganggu (Blake A., 2003). 2. Asam amino neurotoksik (triptofan, metionin, dan merkaptan). Triptopan dan metabolitnya serotonin bersifat toksis terhadap SSP. Metionin dalam usus mengalami metaolisme oleh bakteri menjadi merkaptan yang toksis terhadap SSP. Di samping itu merkaptan dan asam lemak bebas akan bekerja sinergistik mengganggu detoksifikasi ammonia di otak, dan bersamasama ammonia menyebabkan timbulnya koma (Blake A., 2003). 3. Gangguan keseimbangan asam amino . Asam Amino Aromatik ( AAA) meningkat pada EH karena kegagalan deaminasi di hati dan penurunan Asan Amino Rantai Cabang (AARC) akibat katabolisme protein di otot dan ginjal yang terjadi hiperinsulinemia pada penyakit hati kronik (Blake A., 2003). AAA ini bersaing dengan AARC untuk melewati sawar otak, yang permeabilitasnya berubah pada EH. Termasuk AAA adalah metionin, fenilalanin, tirosin, sedangkan yang termasuk AARC adalah valin, leusin, dan isoleusin (Blake A., 2003). 4. Asam lemak rantai pendek. Pada EH terdapat kenaikan kadar asam lemak rantai pendek seperti asam butirat, valerat, oktanoat, dan kaproat, diduga sebagai salah satu toksin serebral penyebab EH. Bahan-bahan ini bekerja dengan cara menekan sistem retikuler otak, menghemat detoksifikasi ammonia (Gitlin., 1996). 5. Neurotramsmitter palsu. Neurotrasmitter palsu yang telah diketahui adalah Gamma Aminobutyric Acid (GABA), oktapamin, palsu histamin, merupakan feniletanolamin, inhibitor dan serotonin. dari true

Neurotransmitter

kompepetif

neurotrasmitter (dopamine dan norephinephrine) pada sinaps di ujung saraf, yang kadarnya menurun pada penderita PSE maupun FHF (Gitlin., 1996).

28

Penelitian menunjukkan bahwa GABA bekerja secara sinergis dengan benzodiasepine membentuk suatu kompleks, menempati reseptor ionophore chloride di otak, yang disebut reseptor GABA/BZ. Pengikatan reseptor tersebut akan menimbulkan hiperpolarisasi sel otak, di samping itu juga menekan fungsi korteks dan subkorteks, rangkaian peristiwa tersebut menyebabkan kesadaran dan koordinasi motorik terganggu. Hipotesis ini membuka jalan untuk penelitian lebih lanjut untuk keperluan (Gitlin., 1996). 6. Glukagon Peningkatan AAA pada EH/ koma hepatik mempunyai hubungan erat dengan tingginya kadar glukagon. Peninggian glukagon turut berperan atas peningkatan beban nitrogen. Karena hormon ini melepas Asam Amino Aromatis dari protein hati untuk mendorong terjadinya glukoneogenesis. Kadar glukagon meningkat akibat hipersekresi atau hipometabolisme pada penyakit hati terutama bila terdapat sirkulasi kolateral (Blake A., 2003). 7. Perubahan sawar darah otak. Pembuluh darah otak dalam keadaan normal tidak permiabel terhadap berbagai macam substansi. Terdapat hubungan kuat antara endotel kapiler otak, ini merupakan sawar yang mengatur pengeluaran bermacam-macam substansi dan menahan beberapa zat essensial seperti neurotrasmitter asli. Pada koma hepatikum khususnya FHF ditemukan kerusakan kapiler, rusaknya hubungan endotel, terjadi edema serebri sehingga bahan yang biasanya dikeluarkan dari otak akan masuk dengan mudah seperi fenilalanin dalam jumlah besar, sehingga kadar asam amino lainnnya meningkat di dalam otak (Gitlin., 1996).

Manifestasi klinik Spektrum klinis EH sangat luas yang sama sekali asimtomatik hingga koma hepatik. Simpton yang acap kali dijumpai pada EH klinis antara lain perubahan personalitas, iritabilitas, apati, disfasia, dan rasa mengantuk disertai tanda klinis seperti asteriksis, iritabilitas, gelisah, dan kehilangan kesadaran (koma). Manifestasi klinis EH biasanya didahului oleh dekompensasi hati dan adanya

29

faktor pencetus yang berupa keadaan amoniaagenik seperti makan protein berlebih, perdarahan gastrointestinal atau program obat sedatif. Manifestasi EH adalah gabungan dari ganguan mental dan neurologik. Gambaran klinik EH sangat bervariasi, tergantung progresivitas penyakit ini, penyebab, dan ada tidaknya berdasarkan status mental, adanya asteriksis,serta kelainan EEG, manifestasi neuropsikiatri pada EH dapat dibagi atas stadium (Tabel.1). Di luar itu terdapat sekelompok pasien yang asimtomatik, tetapi menunjukkan adanya kelainan pada pemeriksaan EEG dan / atau psikometrik. Contoh uji piskometrik yang populer ialah NCT (Number Conection Test). Kelompok inilah yang digolongkan sebagai ensefalopatia hepatik subklinis atau laten (EHS). Para peneliti mendapatkan bahwa proporsi EHS jauh lebih besar daripada EH klinis (akut maupun kronik), yaitu mencapai 70-80% dari seluruh kasus sirosis hati dengan hipertensi portal (Budihusodo., 2001).

30

Diagnosis Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis riwayat penyakit pemeriksaan fisik dan laboratorium (Gitlin., 1996) : 1. Anamnesis: a. Riwayat penyakit hati. b. Riwayat kemungkinan adanya faktor-faktor pencetus. c. Adakah kelainan neuropsikiatri : perubahan tingkah laku, kepribadian, kecerdasan, kemampuan bicara dan sebagainya. 2. Pemeriksaan fisik : a. Tentukan tingkat kesadaran / tingkat ensefalopati. b. Stigmata penyakit hati (tanda-tanda kegagalan faal hati dan hipertensi portal). c. Adanya kelainan neuroogik : inkoordinasi tremor, refleks patologi, kekakuan. d. Kejang, disatria. e. Gejala infeksi berat / septicemia. f. Tanda-tanda dehidrasi. g. Ada pendarahan gastrointestinal. 3. Pemeriksaan laboratorium : a. Hematologi : Hemoglobin, hematokrit, hitung lekosit-eritrosit-trombosit, hitung jenis lekosit. Jika diperlukan : faal pembekuan darah.

b. Biokimia darah. Uji faal hati : trasaminase, billirubin, elektroforesis protein, kolestrol, fosfatase alkali. Uji faal ginjal : Urea nitrogen (BNU), kreatinin serum. Kadar amonia darah. Atas indikasi : HbsAg, anti-HCV,AFP, elektrolit, analisis gas darah.

c. Urin dan tinja rutin. 4. Pemeriksaan lain (tidak rutin) (Stein., 2001) :

31

a. EEG (Elektroensefaloram) dengan potensial picu visual (visual evoked potential) merupakan suatu metode yang baru untuk menilai perubahan dini yang halus dalam status kejiwaan pada sirosis. b. CT Scan pada kepala biasanya dilakukan dalam stadium ensefalopatia yang parah untuk menilai udema otak dan menyingkirkan lesi structural (terutama hematoma subdura pada pecandu alkohol). c. Pungsi lumbal, umumnya mengungkapkan hasil-hasil yang normal, kecuali peningkatan glutamin. Cairan serebrospinal dapat berwarna zantokromat akibat meningkatnya kadar bilirubin. Hitung sel darah putih cairan spinal yang meningkat menunjukan adanya infeksi. Edema otak dapat menyebabkan peningkatan tekanan.

Penatalaksanaan 1. EH tipe akut : Pengelolaan baik tipe/endogen maupun tipe sekunder/eksogen, pada prinsipnya sama yaitu terdiri dari tindakan umum dan khusus. Bagi tipe sekunder/eksogen diperlukan pengelolaan faktor pencetusnya (Gitlin., 1996) : a. Tindakan umum : Penderita stadium III-IV perlu perawatan suportif nyang intensif : perhatikan posisi berbaring, bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, pasang kateter forley. Pemantauan kesadaran, keadaan neuropsikiatri, system

kardiopulmunal dan ginjal keseimbangan cairan, elektrolit serta asam dan basa. Pemberian kalori 2000 kal/hari atau lebih pada fase akut bebas protein gram/hari (peroral, melalui pipa nasogastrik atau parental). b. Tindakan khusus : Mengurangi pemasukan protein (Gitlin., 1996) : o o Diet tanpa protein untuk stadium III-IV. Diet rendah protein (nabati) (20gram/hari) untuk stadium I-II. Segera setelah fase akut terlewati, intake protein mulai

32

ditingkatkan dari beban protein kemudian ditambahkan 10 gram secara bertahap sampai kebutuhan maintanance (40-60 gram/ hari). Mengurangi populasi bakteri kolon (urea splitting organism). o Laktulosa peroral untuk stadium I-II atau pipa nasogastrik untuk stadium III-IV, 30-50 cc tiap jam, diberikan secukupnya sampai terjadi diare ringan. o o Lacticol (Beta Galactoside Sorbitol), dosis : 0,3-0,5 gram/hari. Pengosongan usus dengan lavement 1-2x/hari : dapat dipakai katartik osmotic seperti MgSO4 atau laveman (memakai larutan laktulosa 20% atau larutan neomisin 1% sehingga didapat pH = 4). o Antibiotika : neomisisn 4x1-2gram/hari, peroral, untuk stadium I-II, atau melalui pipa nasogastrik untuk stadium III-IV. Rifaximin (derifat Rimycin), dosis : 1200 mg per hari selama 5 hari dikatakan cukup efektif. Obat-obatan lain : o Penderita koma hepatikum perlu mendapatkan nutrisi parenteral. Sebagai langkah pertama dapat diberikan cairan dektrose 10% atau maltose 10%, karena kebutuhan karbohidrat harus terpenuhi lebih dahulu. Langkah selanjutnya dapat diberikan cairan yang mengandung AARC (Comafusin hepar) atau campuran sedikit AAA dalam AARC (Aminoleban) : 1000 cc/hari. Tujuan pemberian AARC adalah untuk mencegah masuknya AAA ke dalam sawar otak, menurunkan katabolisme protein, dan mengurangi konsentrasi ammonia darah. Cairan ini banyak dibicarakan akhir-akhir ini. o o L-dopa : 0,5 gram peroral untuk stadium I-II atau melalui pipa nesogastrik untuk stadium III-IV tiap 4 jam. Hindari pemakaian sedatva atau hipnotika, kecuali bila penderita sangat gelisah dapat diberikan diimenhidrimat (Dramamine) 50

33

mg i.m: bila perlu diulangi tiap 6-8 jam. Pilihan obat lain : fenobarbital, yang ekskresinya sebagian besar melalui ginjal. o o Vit K 10-20 mg/hari i.m atau peroral atau pipa nasogastrik. Obat-obatan dalam taraf eksperimental : Bromokriptin (dopamine reseptor antagonis) dalam dosis 15 mg/hari dapat memberi perbaikan klinis, psikometrik dan EEG. Antagonis benzodiaepin reseptor (Flumazenil), memberi hasil memuaskan, terutama untuk stadium I-II. Pengobatan radikal. Exchange o o o o tranfusio, plasmaferesis, dialysis, charcoal

hemoperfusion, transpalantasi hati (Gitlin., 1996) : Koreksi gangguan keseimbangan cairan, elekrtrolit, asam basa. Penggulangan perdarahan saluran cerna. Atasi infeksi dengan antibiotika yang tepat dalam dosis adekuat. Hentikan obat-obatan pencetus EH; obat-obatan hepatotoksik, diuretika atau yang menimbulkan konstipasi. 2. EH tipe Kronik. Prinsip-prinsip pengobatan EH tipe kronik (Blei., 1999) : a. b. Diet rendah protein, maksimal 1 gram / kg BB terutama protein nabati. Hindari konstipasi, dengan memberikan laktulosa dalam dosis

secukupnya (2-3 x 10 cc/hari). c. d. e. Bila gejala ensefalopati meningkat, ditambah neomisin 4x1 gram / hari. Bila timbul aksaserbasiakut, sama seperti EH tipe akut. Perlu pemantauan jangka panjang untuk penilaian keadaan mental dan neuromuskulernya. f. Pembedahan elektif : colony by pasis, transplantasi hati, khususnya untuk EH kronik stadium III-IV.

34

Prognosis Perbaikan atau kesembuhan sempurna dapat terjadi bila dilakukan pengeloaan yang cepat dan tepat. Prognosis penderita EH tergantung dari : a. b. c. d. e. Penyakit hati yang mendasarinya. Faktor-faktor pencetus. Usia, keadaan gizi. Derajat kerusakan parenkim hati. Kemampuan regenerasi hati.

Koma Uremikum
Rangkaian perubahan yang sering tersebut mempunyai efek berikut pada pasien: bila GFR menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien akan menderita apa yang disebut sebagai sindrom uremik. Sindrom uremik adalah suatu kompleks gejala yang terjadi akibat atau berkaitan dengan retensi metabolit nitrogen karena gagal ginjal. Pada uremia lanjut, sebagian fungsi dan semua sistem organ tubuh dapat menjadi abnormal. Dua kelompok gejala klinis dapat terjadi pada sindrom uremik. Pertama, gejala-gejala yang paling nyata adalah gangguan fungsi pengaturan dan ekskresi; kelainan volume cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan asam-basa, retensi metabolit nitrogen dan metabolit lainnya, serta anemia yang disebabkan oleh defisiensi sekresi ginjal. Kelompok kedua gambaran klinis adalah: gabungan kelainan kardiovaskular, neuromuskular, saluran cerna, dan kelainan lainnya. Tetapi sungguh mengherankan, dasar kelainan sistem-sistem ini belum banyak diketahui, meskipun sekarang ini sedang giat dilakukan penyelidikan untuk mengungkapkan misteri tersebut.

Manifestasi Sindrom Uremik Biokimia Asidosis metabolik (HCO3- serum 18-20 mEq/L) Azotermia (penurunan GFR, menyebabkan peningkatan BUN, kreatinin) Hiperkalemia 35

Retensi atau pembuangan natrium Hipermagnesemia Hiperurisemia

Genitourinaria Poliuria, berlanjut menjadi oliguria, lalu anuria Nokturia, pembalikan irama diurnal Berat jenis kemih tetap sebesar 1,010 Proteinuria, silinder Hilangnya libido, amenore, impotensi dan sterilitas

Kardiovaskular Hipertensi Retinopati dan ensefalopati hipertensif Beban sirkulasi berlebihan Edema Gagal jantung kongestif Perikarditis (friction rub) Disritrnia

Pernapasan Pemapasan Kussmaul, dispnea Edema paru Pneumonitis

Hematologik Anemia menyebabkan kelelahan Hemolisis Kecenderungan perdarahan Menurunnya resistensi terhadap infeksi (infeksi saluran kemih, pneumonia, septikemia). Kulit Pucat, pigmentasi

36

Perubahan rambut dan kuku (kuku mudah patah, tipis, bergerigi, ada garisgaris merah-biru yang berkaitan dengan kehilangan protein) Pruritus Kristal uremik Kulit kering Memar

Saluran cerna Anoreksia, mual, muntah, menyebabkan penurunan berat badan Napas berbau amoniak Rasa kecap logam, mulut kering Stomatitis, parotitis Gastritis, enteritis Perdarahan saluran cerna Diare

Metabolisme intermedier Protein-intoleransi, sintesis abnormal Karbohidrat-hiperglikemia, kebutuhan insulin menurun Lemak-peningkatan kadar trigliserida Mudah lelah

Muskular Otot mengecil dan lemah

Sistem saraf pusat Penurunan ketajaman mental Konsentrasi buruk Apati Letargi/gelisah, insomnia Kekacauan mental Korna Otot berkedut, asteriksis, kejang

37

Neuropati perifer Konduksi saraf lambat, sindrom restless leg Perubahan sensorik pada ekstremitas-parestesi Perubahan motorik-foot drop yang berlanjut menjadi paraplegia

Gangguan kalsium dan rangka Hiperfosfatemia, hipokalsemia Hiperparatiroidisme sekunder Osteodistrofi ginjal Fraktur patologik (demineralisasi tulang) Deposit garam kalsium pada jaringan lunak (sekitar sendi, pembuluh darah, jantung, paru) Konjungtivitis (mata merah uremik)

Patogenesis Asidosis Metabolik Gagal ginjal ditandai dengan berbagai jenis gangguan biokimia. Salah satu kelainan konstan yang selalu tampak pada penderita uremia adalah asidosis metabolik. Pada diet normal, ginjal harus mengeluarkan 40 sampai 60 mEq ion hidrogen (H+) setiap harinya untuk mencegah asidosis. Pada gagal ginjal, gangguan kemampuan gmjal untuk mengekskresikan H+ mengakibatkan asidosis sistemik disertai penurunan kadar bikarbonat (HCO3-) dan pH plasma. Kadar HCO3- menurun karena digunakan untuk mendapat H+. Ekskresi ion amonium (NH4+) merupakan mekanisme utama ginjal dalam usahanya mengeluarkan H+ dan pembentukan kembali HCO3- (sebab mekanisme ini memungkinkan penambahan de novo HCO3- baru dan bukan hanya reabsorpsi HCO3- terfiltrasi ke dalam cairan ekstraselular). Pada gagal ginjal, ekskresi NH4+ total berkurang karena berkurangnya jumlah nefron. Ekskresi fosfat merupakan mkanisme lain untuk mengekskresi H+ dalam bentuk asam yang dapat dititrasi (yaitu, H+ yang didapat fosfat). Namun, kecepatan ekskresi fosfat ditentukan oleh kebutuhan untuk mempertahankan keseimbangan fosfat, dan bukan untuk mempertahankan keseimbangan asam-basa. Pada gagal ginjal, fosfat cenderung tertahan dalam 38

tubuh karena berkurangnya massa nefron dan karena faktor-faktor yang berkaitan dengan metabolisme kalsium yang akan dijelaskan kemudian. Retensi sulfat dan anion organik lainnya juga berperan dalam penurunan jumlah HCO3-. Kadar bikarbonat serum biasanya stabil pada sekitar 1820 mEq/L (asidosis sedang) dan jarang di bawah angka ini. Penjelasan yang paling mungkin untuk ketiadaan progresi bahkan pada keseimbangan ion hidrogen yang positif, adalah ion hidrogen didapar oleh kalsium karbonat dan tulang. Agaknya gejala-gejala anoreksia, mual, dan lelah yang sering ditemukan pada pasien uremia, sebagian disebabkan oleh asidosis. Salah satu gejala yang sudah jelas akibat asidosis adalah pernapasan Kussmaul, meskipun gejala mi kurang nyata pada asidosis kronik. Yang dimaksud dengan pernapasan Kussmaul adalah pernapasan yang dalam dan berat, yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan ekskresi karbon dioksida, sehingga mengurangi keparahan asidosis.

Ketidakseimbangan Kalium Ketidakseimbangan kalium (K+) merupakan salah satu gangguan serius yang dapat terjadi pada gagal ginjal, karena kehidupan hanya dapat berjalan dalam rentang kadar kalium plasma yang sempit sekali (normal = 3,5-5,5 mEq/L). Sekitar 90% asupan normal yaitu sebesar 50-150 mEq/hari diekskresikan dalam urine. Hipokalemia dapat menyertai poliuria pada gagal ginjal kronik dini, terutama pada penyakit-penyakit tubulus seperti pielonefritis kronik. Akan tetapi hiperkalemia selalu akan timbul bila pasien mengalami oliguria pada gagal ginjal kronik. Di samping itu, asidosis sistemik juga dapat menimbulkan hiperkalemia melalui pergeseran K+ dan dalam sel ke cairan ekstraselular. Efek hiperkalemia yang sangat mengancam kehidupan adalah pengaruhnya pada hantaran listrik jantung. Bila kadar K+ serum mencapai 7-8 mEq/L, akan timbul disritmia yang fatal atau terhentinya denyut jantung.

39

Ketidakseimbangan Natrium Diet orang Amerika rata-rata mengandung 2-10 g Na+ (atau 5-25 g NaC1)/hari. Pada kebanyakan orang normal, ginjal sangat fleksibel dalam ekskresi natrium sebagai respons terhadap asupan natrium yang sangat bervariasi. Ekskresi garam dapat berkisar dan hampir nol sampai lebih dan 20 g/hari. Pasien gagal ginjal kronik kehilangan kemampuan ginjal yang sangat fleksibel itu, sehingga dapat dikatakan kemampuan ginjalnya untuk mengekskresikan natriurn yang bervariasi itu seperti telur di ujung tanduk. Pada insufisiensi ginjal dini (bila terjadi poliuria), terjadi kehilangan natrium karena peningkatan beban zat terlarut pada nefron yang utuh. Diuresis osmotik mengakibatkan kehilangan natrium secara obligat. Keadaan ini lebih sering dijumpai pada pielonefritis kronik dan ginjal polikistik yang terutama menyerang tubulus. Apabila gagal ginjal terminal diikuti oleh oliguria, maka pasien cenderung mempertahankan natrium. Retensi natrium dan air dapat mengakibatkan beban sirkulasi berlebihan, edema, hipertensi, dan gagal jantung kongestif. Gagal jantung kongestif terjadi sekunder akibat hipertensi, dan peningkatan kadar aldosteron pada pasien uremia juga ikut berperan dalam menyebabkan retensi natnum.

Hipermagnesemia Seperti halnya kalium, magnesium terutama merupakan kation intrasel dan terutama diekskresi oleh ginjal. Kadar serum normal adalah 1,5-2,3, mEq/L. Penderita uremia akan mengalami penurunan kemampuan untuk mengekskresi magnesium. Namun, biasanya hipermagnesmia bukan masalah yang serius, karena asupan magnesium biasanya menurun akibat anoreksia, berkurangnya asupan protein, dan penurunan absorpsi dan saluran cerna. Pembebanan magnesium secara tiba-tiba akibat minum laksatif seperti susu magnesia atau magnesium sitrat dapat menyebabkan kematian.

40

Azotemia Seperti telah dibicarakan sebelumnya, peningkatan tajam kadar urea dan kreatinm plasma biasanya merupakan tanda timbulnya gagal ginjal terminal dan menyertai gejala uremik. Tetapi terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa urea sendiri tidak berlanggung jawab atas gejala-gejala dan gangguan metabolisme yang ditemukan pada uremia. Beberapa zat yang ditemukan dalam darah pasien uremia yang mungkin bertindak sebagai racun adalah guanidin, fenol, amin, urat, kreatinin, dan asam hidroksi aromatik, dan indikan. Beberapa senyawa ini bertindak sebagai penghambat enzim yang kuat. Agaknya, kombinasi faktor-faktor seperti asidosis dan gangguan elektrolit lainnya, gangguan hormonal dan retensi racun dapat mengakibatkan gangguan metabolisme dan terserangnya banyak sistem organ. Penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan sekarang ini menyimpulkan bahwa racun uremik merupakan molekul ukuran sedang (urea adalah molekul yang kecil; albumin adalah molekul yang besar) yang mengakibatkan timbulnya hipotesis molekul sedang dan penyelidikan-

penyelidikan untuk mencari cara pembuangan molekul-molekul mi secara lebih efisien. Misalnya, hemodialisis fluks tinggi yang memiliki efisiensi tinggi (HEHF) menggunakan membran dialisis berpermeabilitas tinggi yang lebih biokompatibel tidak hanya dapat memperpendek waktu dialisis, namun juga lebih baik dalam membuang toksin uremik potensial yang terdapat dalam ukuran molekular sedang tersebut

Hiperurisemia Peningkatan kadar asam urat serum dan pembentukan kristal-kristal yang rnenyumbat ginjal dapat menyebabkan gagal ginjal akut atau kronik. Sebaliknya, pada stadium dini gagal ginjal kronik dapat timbul gangguan ekskresi ginjal sehingga kadar asam urat serum biasanya meningkat. Biasanya sekitar 75% dan total asam urat diekskresi oleh ginjal. Peningkatan kadar asam urat serum di atas normal yaitu 4-6 mg/100 ml dapat atau tidak. disertai gejala-gejala. Namun, penderita uremia tidak jarang pula mengalami serangan artritis gout akibat endapan garam urat pada sendi dan jaringan lunak.

41

Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik Konservatif Penentuan dan pengobatan penyebab Pengoptimalan dan rumatan keseimbangan garam dan air Koreksi obstruksi saluran kemih Deteksi awal dan pengobatan infeksi Pengendalian hipertensi Diet rendah protein, tinggi kalori Pengendalian keseimbangan elektrolit Pencegahan dan pengobatan penyakit tulang ginjal Modifikasi terapi obat dengan perubahan fungsi ginjal Deteksi dan pengobatan kompiikasi

Pengganti Ginjal Hemodialisis Dialisis peritoneal Transpiantasi ginjal

Intoksikasi
Definisi Intoksikasi (keracunan) adalah masuknya toksin yang dapat membahayakan tubuh. Pada hakekatnya semua zat dapat berlaku sebagai racun, tergantung pada dosis dan cara pemberiannya. Proses keracunan dapat berlangsung secara perlahan, dan lama kemudian baru menjadi keadaan gawat darurat, atau dapat juga berlangsung dengan cepat dan segera menjadi keadaan gawat darurat. Karena gejala yang timbul sangat bervariasi, kita harus mengenal gejala yang ditimbulkan oleh setiap agen agar dapat bertindak dengan cepat dan tepat pada setiap kasus dengan dugaan keracunan.

42

Seseorang dicurigai menderita keracunan bila : 1. 2. 3. Seorang yang sehat menjadi sakit . Gejalanya tidak sesuai dengan suatu keadaan patologik tertentu. Gejala menjadi progresif dengan cepat karena dosis yang besar dan intolerabel. 4. Anamnestik menunjukkan ke arah keracunan, terutama pada kasus bunuh diri / kecelakaan. 5. Keracunan kronik dicurigai bila digunakan obat dalam waktu lama atau lingkungan pekerjaan yang berhubungan dengan zat-zat kimia. Pada prinsipnya semua penderita sakit dengan riwayat penyakit tiba-tiba menjadi tidak sadar atau gelisah (delirous) dengan sebab yang tidak diketahui harus dicurigai sebagai kasus keracunan.

Racun dapat dibagi menurut caranya memasuki tubuh yakni : 1. 2. 3. 4. Racun yang tertelan misalnya keracunan makanan, minuman, dll Racun yang terhisap misalnya keracunan gas CO. Racun terserap melalui kulit / mata misalnya keracunan zat kimia. Racun langsung masuk tubuh melalui suntikan misalnya overdosis obatobatan seperti narkoba.

Sifat Racun Dibagi Menjadi : 1. Korosif misalnya asam / basa kuat (asam klorida, asam sulfat, natrium hidroksida), bensin, minyak. 2. Non korosif misalnya makanan, obat-obatan.

Zat yang dapat menimbulkan keracunan dapat berbentuk : 1. 2. 3. Padat misalnya obat-obatan / makanan. Gas misalnya CO, H2S, dll. Cair misalnya alkohol, bensin, minyak tanah.

43

Gejala Gejala umum yang dapat timbul pada setiap keracunan : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Bau yang khas dari racun misalnya insektisida. Perubahan kesadaran (penderita mulai pingsan). Kejang-kejang. Pupil melebar atau justru sangat mengecil. Gangguan pernafasan (sesak). Gangguan denyut jantung (berdebar-debar) Keringat dingin.

Penatalaksanaan Berdasarkan prinsip pertolongan gawat darurat maka yang harus dinilai pertama-tama adalah jalan nafas (airway) dilanjutkan dengan breathing dimana diberikan oksigen dan dinilai sirkulasi apakah terdapat hipotensi dan aritmia dan atasi bila terjadi kejang (disability).

Berdasarkan cara terpaparnya : 1. Racun Tertelan Racun dapat tertelan, dengan tidak sengaja maupun dengan sengaja (usaha bunuh diri). Menghindarkan kejadian racun tertelan secara tidak sengaja, harus dilakukan dengan segala cara seperti : 1. Botol obat atau zat beracun yang di rumah selalu diberikan label / tulisan dengan jelas 2. Botol obat selalu diletakkan jauh dari jangkauan anak-anak

Gejala Gejala dari keracunan yang tertelan adalah : 1. 2. 3. 4. Gejala umum keracunan Gejala saluran pencernaan Sisa racun sekitar mulut, mungkin luka sekitar mulut Air liur yang banyak

44

5. 6. 7.

Muntah-muntah Mencret Nyeri perut atau nyeri daerah lambung

Tatalaksana Tindakan dan Penanganan pada keracunan yang tertelan : 1. 2. 3. 4. Amankan diri sendiri dan lingkungan Selalu Airway Breathimg Circulation terlebih dahulu Posisikan penderita pada posisi pulih bila dalam keadaan tidak sadar Memuntahkan penderita : hanya lakukan jika kita yakin betul bahwa ini tidak berbahaya. Dilarang memuntahkan penderita bila penyebab keracunan adalah ; 1. 2. 3. 4. Zat korosif ( zat yang merusak jaringan, seperti soda keras, dsb) Minyak tanah, bensin, solar (hidrokarbon) Asam keras (H2SO3, asam aki) dan asam basa keras Pernis dan cairan pengkilap mebel.

Juga dilarang merangsang muntah penderita yang : 1. 2. 3. 4. 5. Ada penurunan kesadaran Kejang Usia korban kurang dari 6 bulan Wanita hamil. Sia-sia memuntahkan penderita bila sudah diberikan karbon aktif Encerkan racun yang ada di dalam lambung sekaligus menghalangi penyerapannya. Cairan yang dapat dipakai : 1. 2. 3. 4. Air biasa Susu dan / atau telur mentah Activated charcoal (Norit) 2 sendok teh penuh dalam 1 gelas air Universal antidote terdiri dari ; 1. Dua bagian Activated charcoal (dapat diganti dengan roti yang dibakar hangus) 2. Satu bagian asam tanat (dapat diganti dengan teh pekat)

45

3. Satu bagian MgO (dapat diganti dengan antasida)

2.

Racun Terhisap Gas terhirup dapat menyebabkan keracunan. Keracunan gas yang cukup sering di indonesia : 1. 2. 3. Gas CO (carbon monoksida) Asap dari api (gabungan CO, CO2 dan 35 jenis lainnya) Gas pembius (di rumah sakit)

Keracunan gas yang jarang terjadi : 1. 2. 3. Gas amonia Gas dari bahan kimia Gas industri lain

Gejala Gejala keracunan gas : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Ada riwayat terhirup gas Gejala umum keracunan Batuk-batuk, mungkin ada suara stridor Suara serak Sesak Rasa terbakar di dada

Tatalaksana Tindakan dan Penanganan keracunan gas terhirup adalah : 1. Pindahkan penderita ke tempat yang aman. Jangan memaksa masuk bila keadaan tidak aman, keamanan si penolong merupakan prioritas. 2. Airway Breathing Circulation terlebih dahulu. Pernafasan buatan penting untuk mengeluarkan udara beracun yang terhisap. Jangan lakukan pernafasan buatan secara mulut ke mulut. 3. Berikan oksigen dengan konsentrasi tinggi. Ini hanya dapat dicapai dengan mengunakan Non-Rebreathing Mask

46

3.

Racun Terserap (melalui kulit) Pada dasarnya semua bahan dapat merangsang kulit bila dalam konsentrasi yang cukup besar, namun yang sering menjadi keluhan adalah : 1. 2. 3. 4. Bahan cat Insektisida Obat-obatan untuk tumbuh-tumbuhan Bahan pencuci rumah tangga

Gejala Gejala keracunan melalui kulit biasanya ringan (jarang gejala berbahaya) dan meliputi : 1. 2. 3. Gejala seperti alergi : gatal, kemerahan Gejala seperti luka bakar : kemerahan, ada gelembung cairan Mungkin ada gejala umum dari suatu keracunan.

Tatalaksana Tindakan dan penanganan sementara keracunan yang terserap melalui kulit : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Selalu proteksi diri dan lingkungan Jauhkan penderita dari sumber racun Selalu Airway Breathing Circulation terlebih dahulu Pakaian yang terkontaminasi dilepas Bila racun berupa bubuk : disapu secara hati-hati Bila racun berupa cairan : bilas dengan air mengalir untuk waktu yang cukup lama. Bila ada kemungkinan luka bakar 30 menit. Dapat digunakan asam cuka encer atau natrium bikarbonat encer untuk netralisasi basa atau asam kuat. Jangan gunakan zat lain 7. Perhatikan jangan sampai penolong ikut terkontaminasi.

47

4.

Racun Suntikan Racun dapat disuntikkan dengan jarum suntik atau melalui sengatan serangga. Penyuntikan obat umumnya adalah bahan narkoba (narkotika).

Gejala Gejala racun yang disuntikkan : Ada riwayat menyuntikkan obat dan ada bekas luka jarum suntik atau bekas jarum suntik atau ampul obat

Tatalaksana Tindakan dan Penanganan keracunan yang disuntikkan : 1. 2. 3. Proteksi diri dan lingkungan Selalu Airway Breathing Circulation terlebih dahulu Pasang tourniquet di atas tempat penyuntikkan, jaga agar denyut arteri bagian bawah masih teraba dan lepaskan selama 1 menit setiap 15 menit

Intoksikasi Obat-obatan
Beberapa obat yang sering menyebabkan intoksikasi, yaitu: 1. Benzodiazepine Benzodiazepin digunakan untuk pengobatan pada gangguan kecemasan, insomnia, nyeri misalnya Diazepam (Valium). Keracunan benzodiazepine biasa terjadi karena menelan obat dalam jumlah banyak, namun kematian akibat menelan benzodiazepine jarang terjadi, kematian yang sering terjadi biasanya akibat sekunder dari kombinasi dengan obat depresan lain.

Gejala Gejala : 1. 2. 3. Pusing, depresi, apatis Stupor, ataxia Lemah otot atau penurunan aktivitas motorik 48

4. 5.

Penurunan kesadaran Penurunan tekanan darah, depresi pernapasan, hypothermi

Diagnosis Tes diagnostik :


Pemerikasaan Fisik : Kaji ABC dan adanya trauma Laboratorium :


o o o o

Tes Cepat Glukosa Tes kehamilan untuk wanita usia produktif Kaji adanya pemakaian alkohol Tes Kadar obat dalam urine dapat membantu diagnosa atau memperkirakan jenis obat yang mempengaruhi kesadaran pasien, tetapi pada kondisi emergensi tidak perlu menunggu hasil laboratorium ini.

Tes kadar benzodiazepine dalam darah tidak terlalu diperlukan pada kondisi emergensi pada pasien dengan keracunan benzodiazepine.

Pemeriksaan jantung dengan Elektro kardio Gram

Tatalaksana Sebagian besar pasien hanya memerlukan terapi suportif dan pengawasan Terapi Suportif 1. Sebagian besar penderita keracunan Benzodiazepin mulai sadar dalam waktu 12-36 jam setelah terapi Supportif. 2. Perhatikan kelancaran saluran jalan napas, dan peralatan alat bantu pernapasan tersedia pada tempatnya.

49

Disposisi : Perawatan rumah dan pengawasan setelah pulang dari unit gawat darurat diperlukan pada pasien yang telah sadar. Pengkajian yang diperlukan diantaranya : 1. 2. 3. Adanya depresi Pernapasan Bukti adanya penggunaan obat Pemakaian flumazenil

2.

Alkohol Ethil alcohol (wiski 40 %), alcohol pekat (95% dan 75%) methyl alcohol (spritus).

Gejala Gejala : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Kekacauan mental Pupil mata dilatasi Sering muntah-muntah Bau alkohol Penanganan : Upayakan muntah bila pasien sadar Pertahankan jalan nafas tetap baik Bila sadar beri minum kopi hitam Pernafasan buatan bila perlu

Gejala dan Tanda Intoksikasi Obat 1. Bau-bau Overdosis Blood pressure HYPOTENSION (CRASH) C Clonidin (or any antihypertensive) Respiratory HYPOVENTILATION Opioids

50

R Reserpine A Antidepressant S Sedative hypnotics H Heroin (opiates) HYPERTENSION (CT SCAN) C Cocain T Theophyline S Sympathomimetics C Caffeine A Anticholinergics, amphetamines N Nicotine

HYPERVENTILATION Salisilates CNS stimulant drugs Cyanide

Racun-racun berbau Bau Buah-buahan Permen Kenari pahit Semir perak Gas yg bocor Telur busuk Bawang putih Tanaman wintergreen Kemungkinan racun Ethanol Comphor/ naphtolene Cyanide Cyanide Carbon monoxide Hydrogen sulphide Arsenic/ parathion Methylsalicylate

Catatan : carbon monosida berbau. Bau gas bocor sebab bahan berbau busuk disebut mercaptans

2. Gejala neurologi Derajat kesadaran Depresi syaraf pusat Anticholinergik Hipoksia sel Carbon monoksida

51

Antihistamin Barbiturates Cyclic antidepressant Ethanol dan alcohol lainnya Phenothiazine Bahan Sedative-hypnotic

Cyanide Hydrogen sulfide Methaemoglobinaemia

Pupil : obat dan racun tertentu dan bahan yang berakibat pada pupil pelajari dibawah ini. MIOSIS (COPS) C Cholinergics, clonidine O Opiates, organophosphates MYDRIASIS (AAAS) A Antihistamines A Antidepressants

P Phenothiazines, pilocarpine, perdarahan A Anticholinergics, atropine Pontine S Sedative-hypnotics S Sympathomimetics (cocaine, amphetamine)

Tanda fokal : cari penyebab lain, kecuali trauma.

Kulit o Kulit berkeringat dan hipoglikemia : Sympatomimetics Organophospates ASA (salicylates) PCP dan hipoglikemia o o Kulit kering : anticholinergic Melepuh : 1. carbon monoxide 2. barbiturat 3. keracunan singkong 4. sulfur

52

5. lewsite o Warna : 1. merah : anticholinergic 2. blue : methaemoglobinemia, cyanide, carbon monoxide o luka jarum : opioids

Beberapa gejala spesifik keracunan obat, yaitu: Opioids 1. 2. 3. 4. 5. Koma Depresi napas Pinpoint pupils Hipotensi Bradikardi

Cholinergics (SLUDGE) : contoh organophosphate/carbamate 1. 2. 3. 4. 5. 6. Salivation Lacrimation Urination Defaecation Gastric emptying Emesis

Anticholinergic

contoh

antihistamin,

antidepresan

siklik,

homatropin,scopolamine 1. 2. 3. 4. 5. 6. Hyperthermia Vasodilatasi kutan Penurunan kelenjar ludah Cycloplegi dan midriasis Delirium dan halusinasi Tanda-tanda lain a. Takikardi

53

b. c.

Retensi urine Penurunan gerakan usus/ hilangnya suara usus.

Salisilat 1. 2. 3. 4. 5. Panas Takikardi Muntah Letargi (jarang koma) Tinitus

Sympathomimetic : contoh kokain, amphetamin 1. 2. 3. 4. 5. Hipertensi Takikardia Hiperpireksia Midriasis Kecemasan atau delirium

Sedative-hipnotik : contoh barbiturat, benzodiasepin 1. 2. 3. 4. 5. Perubahan pupil yang mendadak. Kebingungan atau koma. Depresi napas Hipotermia Vesikel atau bula ( barb burn)

Ektrapiramidal : gambaran parkinson (TRIOD) 1. 2. 3. 4. Tremor. Rigidity Opistotonus, oculogryic crisis Dysphonia, dysphagia

Kategori ini adalah obat-obat termasuk zines 54

1. 2. 3. 4.

Chlopromazine (largactil/Thorazine) Prochlorperazine (stemetil/compazine) Haloperidol (haldol) Metochlopramide (maxolon/reglan)

Haemoglobinopathies 1. Carboxyhaemoglobinemia a. b. c. d. e. Sakit kepala Mual dan pusing, seperti sakit flu Pingsan, takipnue, takikardia Koma, kejang Kolap kardiovaskular, gagal napas

2.

Methaemoglobinaemia a. b. c. Gejala klinik utama adalah sianosis (darah coklat) Asimtomatik (< 30% methaemoglobin level) Lemas, kelemahan, pusing, sakit kepala (30-50% level

methaemoglobin) d. Lethargi, stupor, depresi napas (>55 % level methaemoglobin)

Diagnosis Anamnesa 1. 2. Riwayat obat yang sedang digunakan Riwayat penyakit dahulu

Pemeriksaan fisik 1. 2. 3. 4. Tanda-tanda umum keracunan Gejala khas yang ditimbulkan obat Bau-bauan Sisa racun / obat yang didapatkan dari diri pasien

Laboratorium

55

Darah

lengkap

peningkatan

sel

lekosit

infeksi/zat

besi/theophyllin/hidrocarbon Elektrolit serum 1. 2. Anion gap = [Na+] [ HCO3- ] [ Cl-] Anion gap normal = 8 sampai 16 mEq/l

Asidosis metabolik/ peningkatan anion gap Carbon monosida, sianida , Methanol, methaemoglobin , ketoasidosis alkohol, Uraemia,Tolune, Ketoasidosis Diabetic, Paraldehyde, INH/Iron, Lactic asidosis, ethylene glycol, Salicylate, bahan pelarut

Urea serum dan kreatinin : untuk mengetahui adanya keadaan gangguan ginjal. Pemeriksaan tosikologi : level kadar obat berguna pada 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Parasetamol Salisilat Kolinesterase besi lithium theophylline carbon monoksida

Foto Dada 1. 2. Bahan-bahan racun paru, misalnya hidrokarbon / gas beracun / paraquat Odema paru non kardiogenik, misalnya opiate / phenobarbital / salisilat / karbonmonoksida Abdominal : racun-racun radio opaq pada X-ray: Chloral hydrate, Heavy metals,Iron, Phenothiazine, Enteric-coated preps (salicylates), Sustainedrelease products (theophylline). ECG Siklik antidepresan mempengaruhi system konduksi jantung. Misalnya pemanjangan PR dan interval QRS.

56

Penatalaksanaan Pasien dengan penurunan kesadaran atau hemodinamik tidak stabil harus di tatlaksana di area pelayanan pasien kritis. Kemudian semua kasus keracunan obat dapat di tatalaksana di area pelayanan intermediet. Kasus-kasus pelayanan pasien kritis Perlengkapan Airway manajemen harus secepatnya siap. Catatan : Pasien dengan oksigenasi yang adekuat yang mempunyai gangguan gag reflek dan yang membutuhkan kumbah lambung akan membutuhkan persiapan oroparingeal intubasi. Obat-obat resusitasi haruslah secepatnya dipersiapkan. Suplemen oksigen untuk menjaga Saturasi O2 sekurang 95%. Monitor : ECG, tanda vital tiap 5 -15 menit, pulse oximetry. Pasang saluran IV perifer. Laborat Pasang kateter urin (tergantung kasus) Kontrol kejang atau disritmia : protokol standar dapat digunakan kecuali pada kasus keracunan siklik anti depresan, dimana komplikasi jantung dan susunan syaraf pusat dapat dicegah dengan alklinisasi pada darah pada PH 7.5.hal ini dapat dikompensasi dengan hiperventilasi atau pemberian sodium bikarbonat atau keduanya. Coma Cocktail Dextrose 50% : diberikan hanya untuk konfirmasi hipoglikemia tapi mungkin memburuk pada kasus nerologik. Naloxone (Narcan): Mekanisme aksi berlawanan efek opioid termasuk depresi pernapasan, sedasi dan hipotensi. Efek klinik onset dalam 2 menit. Dosis tidak berdasarkan umur dan ukuran (kecuali pada neonatus), dibandingkan dengan ketergantungan pada reseptor susunan pusat syaraf 2 mg untuk dewasa dan anak-anak (dapat diulang sampai 10-20 mg). Rute pemberian IV / endotrachea/ intralingual 57

Indikasi

aman tetapi mungkin sedikit tambahan evaluasi diagnostik

pasien sebagai parameter yang ditemukan sebesar 92% sensitive pada kecurigaan penguna naloxone. Perhatian faktor-faktor potensial terjadinya gejala withdrawal ketika

diberikan pada ketergantungan opioid. Kemudian hal tersebut membutuhkan monitoring dan dosis ulang Naloxon.

Tabel perkiraan respon terhadap naloxon Parameter klinik Respiratory rate < 12/min Pinpoint pupil Circumstantial evidence Yang manapun gejala diatas Sensitivitas (%) 20 22 15 24 Spesifisitas (%) 80 88 60 96

Dekontaminasi Tergantung pada bahan yang terkait, persiapkan pelindung yang harus digunakan. Pada level minimal, staf seharusnya melakukan tindakan pencegahan umum. Prosedur dekontaminasi: 1. 2. 3. Pindahkan pada daerah kontaminasi. Tanggalkan pakaian. Sikat semua kontaminasi serbuk dari kulit untuk menghindari reaksi ekotermik ketika sedang kontak dengan dekontaminasi air. 4. Gosok semua area dengan air dan atau sabun cair (dan shampoo untuk rambut). Gunakan scrub lembut jika memungkinkan. 5. 6. 7. 8. Daerah terkonsentrasi adalah kepala, axilla, groin, dan punggung. Sikat dibawah kuku. Irigasi mata jika terkontaminasi. Semua luka terbuka harus ditambahkan dekontaminasi dengan air.

Tujuan dekontaminasi: 58

1. 2.

Hingga ada pengurangan nyeri, jika terdapat paparan pada kulit. Untuk kontaminasi di dalam mata, hingga keluhan nyeri berkurang dan atau terdapat perubahan pada warna kertas PH lakmus tergantung bahan yang terkait. Tidak ada keluhan pada dekontaminasi seharusnya 5 8 menit.

3.

Dekontaminasi Lambung Pengenceran : air/susu. Cuci lambung seharusnya tidak dilakukan secara rutin pada tatalaksana pasien keracunan. Pada studi ekperimental, sejumlah petanda dihilangkan dengan cuci lambung adalah tinggi variasinya dan berkurang dengan waktu. Tidak bukti kuat yang mendasari bahwa tidak ada hasil perbaikan klinik dan ini menyebabkan morbiditas yang siknifikan. Indikasi Tidak seharusnya mempertimbangkan sedikit pasien yang telah

meminum adalah potensial mengancam jiwa dengan sejumlah racun dalam 1 jam diminum. Bahkan kemudian , keuntungan klinik tidak terdapat dalam kontrol studi. Kontraindikasi: o o o o o o Terminum bahan korosif. Tertelan minyak tanah. Kejang berkelanjutan. Tidak terminum racun. Tertelan bahan tajam. Perdarahan yang signifikan.

Prosedur o o o o gunakan tabung yang paling besar jika memungkinkan. Lindungi jalan napas. Letakkan pasien pada left lateral dan posisi sedang trendelenburg. Koreksi letak tube yang benar.

59

o o o o o

Aspirasi kandungan lambung dan retensi bahan untuk dikirim ke ruang dengan pasien. Memberikan cairan lavage. Membasuh lambung. Menarik cairan. Ulangi sampai kembali jernih.

Charcoal aktiv 1. Dosis tunggal : seharusnya tidak diberikan secara rutin pada tatalaksana pasien keracunan. Berdasar pada studi sukarelawan, efektifitas charcoal aktif menurun menurut waktu, paling bermanfaat adalah tertelan selama 1 jam. 2. Indikasi : mungkin dipertimbangkan jika pasien telah menelan potensiasi beracun beberapa bahan racun (yang mana diketahui diserap oleh charcoal). Selama 1 jam setelah menelan. Tidak bukti bahwa pemberian aktif charcoal meberikan perbaikan klinik. 3. Dosis multiple : ulangi pemberian (> 2 dosis) dengan oral charcoal aktif dengan kandungan meningkatkan eliminasi obat. Dosis multipel charcoal aktif dipikirkan untuk menghasilkan efek yang menguntungkan dengan : a. Berikatan beberapa obat yang bergabung dari sirkulasi kedalam lumen pencernakan. Setelah diserap, suatu obat akan masuk kembali ke usus dengan difusi pasif yang tampak jika konsentrasi lebih

rendah daripada di darah. Rata-rata difusi pasif tergantung pada gradien konsentrasi dan aliran darah. Dibawah ini kondisi-kondisi sink, gradien konsentrasi adalah setiap kali dan obat melewati bertahap kedalam lumen usus dimana ini diserap oleh charcoal. Proses ini disebut gastrointestinal dialysis. b. 4. Menyela entero hepatik dan sirkulasi obat-obatan enterogastrik. seharusnya dipertimbangkan carbamazepin, dapsone,

Indikasi : dosis multiple charcoal aktif hanya jika pasien telah menelan

60

phenopharbitone, quinine atau theophyllin. dalam jumlah mengancam jiwa. 5. Obat-obatan yang diserap oleh chacoal: Acetaminophen Amphetamine Arsenic Aspirin Chlorpheniramine Chlorpromazine Cocaine Digoxin Ethchlorvynol Glutethamine Imipramine Iodine Ipecac Izoniazid Meprobamate Mercuric chloride Methylsalicylate Morphine Nortryptiline Paraquat Phenobarbitone Phenylpropano lamin Phenytoin Propoxyphene Quindine Quinide Salicylates Secobarbitone

6.

Bahan yang tidak diserap oleh chacoal aktif a. b. c. Simple ions : besi, lithium, cyanide Asam kuat atau basa Simple alkohol : methanol, ethanol.

Katartik : pemberian katartik sendiri tidak ada aturan dalam manajemen pasien keracunan dan tidak direkomendasikan seperti metode dekontaminasi saluran cerna. Berdasarkan data, rutin digunakan katartik dalam campuran dengan charcoal aktif atidak direkomendasikan. Jika katartik digunakan, ini seharusnya dibatasi dengan dosis tunggal untuk meminimalkan efek samping. Mekanisme kerja katartik, yaitu: penurunan waktu transit (controversi),

Netralisir efek konstipasi dari charcoal aktif, Juga berguna untuk irigasi lubang usus. Kontra indikasi sebelumnya terdapat diare, Obstruksi usus/ileus, Keadaan penurunan volume, Neonatus,Gagal ginjal kontra indikasi

menggunakan katartik yang mengandung ,Trauma abdominal.

61

Meningkatkan eliminasi Diuresis alkalin kuat Alkalinisasi pada urine meningkatkan pengurangan asam lemah yang terbatas untuk salisilat, phenobarbital, dan herbisid 2,4 (diklorophenoxyacid [2,4-D]. Regimen 1 siklus 1.5/cairan/3 jam: 500 ml 5 % dextrose + 8.4% NaHCO3 pada 1-2 ml/kgBB 500 ml 5% dextrose + 30 ml dari 7.45% potasium chloride 500 ml normal saline IV furosemide 20 mg pada akhir tiap sikus Monitor serum pH dan elektrolit: pH urin seharusnya dipertahankan pada pH 8. Haemoperfusion: indikasi pada keracunan berat dengan theophyllin dan barbiturat. Haemodialisis: indikasinya adalah 1. 2. 3. 4. Ethylene glycol. Methanol. Lithium (dengan gangguan SSP yg berat) salysilat ( dengan kejang, penurunan kesadaran,metabolik asidosis berat dan tinggkat serum > 100 mg/dl) . Antidote spesifik: lihat Tabel 5 untuk detailnya. Disposisi: masukkan harus ke penyakit dalam mengantisipasi pada kemudian tranfer pada psikiatri.tidak mengancam jiwa DOs tanpa riwayat bunuh diri mungkin dikirim setelah konsultasi psikiatri.

Tabel antidot khusus untuk racun Acetaminophen, paracetamol N-acetylcysteine (parvolex) (tiap IV 150 mg/kg in 200 ml ml D5W x 15 min, kemudian

mengandung 200 mg IV 50 mg/kg dlm 500 ml parvolex) D5W x 4 jam, kemudian IV

62

100 mg/kg dlm 1000 ml D5W x 16 jam Arsenic, mercury,lead Atropine Benzodiasepines physosstigmine Flumazenil (Anexate) 0.5 -2 mg IV Lihat cocktail Carbon monoxide oxygen 100% O2(hyperbaric sedang berat dan pada ibu hamil) lihat keracunan, carbon bagian coma BAL (dimercaprol) 5 mg/kg BB IM

Monoxide Cyanide Mutiara Amy nitrite, Inhalasi mengandung 1 -2 sodium nitrite (3% sol) mutiara Dewasa : IV 300 mg (10ml) Sodium (25% sol) thiosulphate sampai 2-5 menit; anak : IV 0.2 0.33 ml/kg (6-10mg) Dewasa : 50 ml IV(12.5g) sampai 10 menit;dapat

diulang setengah dosis x1 kalau perlu; anak 1.65ml/kg sampai 10 menit Ethylene glycol,methanol Ethanol (10%) campur Dosisi awal :800mg/kg dlm D5W Dosis rumatan: 1-1.5

ml/kg/jam Iron Lead Desferoxamine EDTA: 15 mg/kg/jam/IV calcium 1000-1500 mg/m2/hari IV perinfus (1% 1-2 mg/kg iv x 5 menit

disodium edetate Nitrites Mathylene solution) blue

63

Organophosphates

Atropine

2-4 mg IV q 5 -10 mnt kalau perlu (dewasa)

Pralidoxime (2-PAM)

0.5 mg/kg IV q 5 mnt kkalu perlu (anak) 25 50 mg/kg IV

(tingkatkan hingga 1 g) Opioids Phenothiazine Naloxone Benztropine (cogenin) Diphenhydramine Isoniazid (INH) Pyridoxine Lihat seksi coma cocktail 2 mg IV/IM 50 mg IV/IM/PO 5 g IV ( dapat dulang jika keljang tetap) Digoxin,digitoxin,o Digitalis fab fragmens Level leander (Digibind) Digoxin tidak

diketahui : 5 -10 vials IV (40 ug Fab/vial) : dapat diulang Level digoxin diktahui: #

vial digibind= (serum digoxin) x 5.6/kg x BB kg 1000 0.6

Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit


Sebagian besar tubuh manusia terdiri atas air, hampir 60 %. Cairan tubuh dibagi menjadi 2 kompartmen utama yaitu cairan ekstraseluler dan cairan intraseluler. Cairan ekstraseluler 40 % dari cairan total atau dapat dikatakan 24 % dari berat badan. Cairan ekstraseluler terbagi menjadi dua yaitu intravaskular dan interstisial. Cairan intraseluler 60 % dari cairan total tubuh. Elektrolit tubuh terbagi atas dua, kation dan anion. Dalam ekstraseluler terdapat ion natrium, kalium, kalsium, magnesium (kation) dan ion klorida, bikarbonat dan 64

albumin (anion) yang saling menjaga kenetralannya. Dalam cairan intraseluler kationnya kalium dan anionnya fosfat. A. Gangguan keseimbangan cairan Suatu gangguan sehingga terjadi ketidak seimbangan cairan ekstraseluler dan intraseluler, interstisial dan intravaskuler. Hal ini dipengaruhi oleh osmolalitas zat-zat terlarut yang menyebabkan terjadi pergeseran air dari cairan intraseluler ke ekstraseluler dan sebaliknya. Cairan berpindah dari yang tingkat osmolalitasnya lebih rendah ke tingkat osmolalitas yang lebih tinggi. 1. Hipovolemia Adalah suatu keadaan penurunan cairan tubuh isotonis yang

menyebabkan penurunan perfusi jaringan. Hipovolemia dapat terjadi melalui muntah, diare, perdarahan, pipa sonde (gastrointestinal), penggunaan diuretik, diuresis osmosis, salt wasting nefropati, dan hipoaldosteronisme, luka bakar, ileus obstruksi, trauma, fraktur, dan pankreatitis akut. Karena yang hilang bersifat isotonis maka tidak terjadi hipernatremia. 2. Dehidrasi Adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan air tanpa penurunan elektrolit. Sehingga terjadi peningkatan natrium ekstrasel dan cairan intrasel masuk ke ekstrasel untuk mencapai titik keseimbangan. Disebabkan oleh keringat, penguapan kulit, diabetes insipidus, diuresis osmotic yang kesemuanya itu memancing rasa haus. Pada dehidrasi biasanya terjadi penumpukkan natrium yang menyebabkan eksitasi dan inhibisi tidak normal dari sel-sel saraf sehingga kadang terjadi kejang. 3. Hipervolemia Adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan volume intravaskuler dikarenakan penurunan kemampuan tubuh untuk mengeluarkan cairan melalui ginjal, intestinal, dan kulit. Biasanya diserta dengan penyakit penyerta seperti gangguan pada otot jantung (CHF), dan gangguan fungsi ginjal yang berat (CKD stadium IV dan V atau ARF dengan oligouria).

65

4. Edema Adalah suatu pembengkakan yang dapat diraba karena penambahan volume cairan interstisium. Faktor penentunya adalah perubahan hemodinamik dalam kapiler, dan retensi natrium dalam ginjal. Hemodinamik vaskuler dipengaruhi oleh permiabilitas kapiler, selisih tekanan hidrolik di kapiler dengan interstisium, dan selisih tekanan onkotik plasma dan interstisium. Retensi natrium dipengaruhi oleh system rennin angiotensin aldosteron pada barorespetor arteri aferen glomerulus ginjal, aktivitas ANP (atrial natriuretik peptide) pada baroreseptor di atrium dan ventrikel jantung, aktivitas saraf simpatis, dan ADH pada baroreseptor karotis, dan osmoreseptor di hipotalamus.

Penanggulangan 1. Hipovolemia Dua tindakan dalam mengatasi keadaan ini adalah pengobatan et causa dan juga terapi cairan pengganti (rehidrasi). Sebelum melakukan terapi cairan pengganti dapat diperhitungkan terlebih dahulu pengeluaran cairannya. Derajat hipovolemik terbagi menjadi tiga yaitu I dengan kehilangan 20 % (takikardia), II dengan kehilangan 20 40 % (takikardia dan hipotensi ortostatik), dan III dengan kehilangan 40 % (penurunan tekanan darah, takikardia, oliguria, agitasi dan pikiran kacau. Kehilangan volume plasma = berat badan x 6 % x persen kehilangan cairan (l). Penggantian cairan tergantung dari yang keluar. Tetapi yang paling aman adalah pemberian RL (ringer laktat). Pada pemberian saline NaCl kadang terdapat komplikasi iatrogenic yaitu hiperkloremik yang menyebabkan asidosis. 2. Dehidrasi Defisit cairan total = 0,4 x berat badan (Natrium plasma / 140 -1). Koreksinya menggunakan dekstrose isotonic. Monitor agar natrium

66

plasma > 0,5 mEq/jam. Cairan yang diberikan dalam waktu 40 jam = defisit cairan + insensible loss + urine/hari. 3. Hipervolemia Ditangani dengan pemberian diuretik kuat (furosemid), dan restriksi asupan air 40 ml/jam. Pada pasien dengan CKD membutuhkan hemodialisis. 4. Edema Prinsip penatalaksanaan edema adalah perbaiki penyakit dasar yang mungkin, restriksi asupan natrium, dan berikan diuretik. Pemberian diuretik yang paling diindikasikan pada kasus edema paru dan edema serebral. Tetap berhati-hati dalam pemberiannya karena dapat

menurunkan perfusi. Penurunan yang terlalu cepat misalnya pada kasus asites maka akan mudah terjadi sindrom hepato renal yang berujung pada ensefalopati dan mengakibatkan koma.

B. Gangguan keseimbangan elektrolit 1. Hiponatremia Hiponatremia sering dijumpai dan bisa fatal. Penurunan osmolalitas plasma menyebabkan air bergerak ke dalam sel. Ini bisa menyebabkan edema otak. Jika Na+ serum < 120 mmol/L pasien cenderung kehilangan kesadaran dan/atau bingung, dan memiliki risiko kejang. Hiponatremia ringan (>125 mmol/L) mungkin menunjukkan suatu kelainan dasar yang membutuhkan perhatian, namun hiponatremia itu sendiri tidak memiliki dampak buruk dan ditoleransi dengan baik. Hiponatremia pra bedah bisa akut atau kronik, dan ini mempengaruhi urgensi dan jenis terapi. Idealnya, hiponatremia bermakna yang dideteksi pada masa prabedah harus didiagnosis dan dikoreksi sebelum pembedahan dan anestesi. Hiponatremia akut pasca bedah lebih cenderung menyebabkan gejalagejala serebral dan bisa fatal. Laju penggantian Na+ serum lebih penting daripada kadar aktual.

67

Etiologi Hasil laboratorium bisa semu jika sampel darah diambil dari pembuluh proksimal dari insersi infus dektrosa atau dekstrosa/ salin. Bilamana mungkin coba akses hasil darah sebelumnya. Hiponatremia pra bedah Hiponatremia biasa mengikuti dehidrasi. Pada pasien bedah, ini biasanya dari kehilangan gastrointestinal. Hiponatremia kronik dapat terjadi pada pasien yang mendapat diuretik secara reguler. Jarang-jarang, hiponatremia kronik dapat terjadi karena sekresi ADH yang tidak wajar dari suatu tumor. Insufisiensi adrenal merupakan penyebab langka dari hiponatremia (walaupun idealnya harus dicegah dengan steroid pada pasien yang rentan). Anamnesis dan pemeriksaan fisik dan jika perlu tes synachten akan menyingkirkan ini. Edema (gagal jantung, gagal hati, sindrom nefrotik) sering mengakibatkan hiponatremia. Hiponatremia pasca bedah Hiponatremia pasca bedah biasanya disebabkan oleh pemberian berlebihan infus D5 atau dekstrosa 4%/NaCl 0,18%. Nyeri pasca bedah, hipotensi, nausea dan beberapa obat bisa meningkatkan sekresi ADH (antidiuretic hormone), sehingga mengganggu ekskresi air bebas oleh ginjal. Jika pasien telah menjalani TURP (transurethral resection of prostate) atau TCRE(transcervical resection of endomet-rium), bisa terjadi pengenceran karena penyerapan glisin 1,5% (larutan irigasi) melalui sinus venosa yang terbuka. SIADH (syndrome of inappropriate antidiuretic hormone) merupakan temuan akut yang tidak biasa pada situasi pasca bedah tetapi kadangkadang bisa menjadi komplikasi pneumonia. (Catatan: ADH disekresi

68

sebagai respons normal terhadap pembedahan mayor. Ini wajar dan tidak menyebabkan hiponatremia).

Risiko Hiponatremia dengan gejala neurologi berat (kegaduhan, penurunan kesadaran, kejang) merupakan kedaruratan medis. Kadar Na+ < 120 mmol/L perlu terapi darurat karena ada risiko kerusakan neurologis. Kadar Na+ 120-130 mmol/L jarang menyebabkan komplikasi buruk. Biasanya tidak membutuhkan intervensi darurat. Jika pasien memperlihatkan gangguan fungsi mental, harus dicari penyebab alternatif. Tetapi kadang-kadang satu-satu penjelasan adalah kadar Na+ serendah 120an.

Pendekatan diagnostik Berbagai sebab hiponatremia terbaik dinilai menurut status volume pasien: normovolemik, deplesi volume atau kelebihan cairan. Skala waktu (akut atau kronik) mempengaruhi kecepatan koreksi hiponatremia. Hiponatremia normovolemik : ini merupakan keadaan pengenceran (dilutional) dengan volume sirkulasi normal. Tidak ada edema dan TD normal. Jenis ini merupakan yang terbanyak untuk hiponatremia pasca bedah dan biasanya disebabkan karena terapi iv yang kurang tepat dengan dekstrosa 5% atau D5/saline. Hiponatremia dengan deplesi volume: akan ada bukti kehilangan gastrointestinal. Turgor kulit berkurang, lidah kering. TD mungkin rendah; jika normal bisa menyebabkan pasien terjatuh (jika pasien tidak bisa berdiri, bahkan mendudukkan pasien dalam posisi tegak di ranjang bisa menyingkap adanya hipotensi postural. Hiponatremia dengan kelebihan cairan: terdapat edema perifer atau edema paru. Gagal jantung merupakan penyebab paling mungkin. Gagal hati dan gagal ginjal bisa disingkirkan hanya dengan tes

69

laboratorium sederhana. Terapi yang sesuai biasanya memperlambat atau menghentikan cairan iv dan/atau membatasi asupan oral. Diuretik akan dibutuhkan.

Tatalaksana Banyak silang pendapat mengenai terapi hiponatremia. Pilihannya adalah memberikan garam (biasanya sebagai normal saline), atau membatasi asupan air. Yang terpenting adalah terapi agresif dari hiponatremia asimtomatik justru lebih merugikan. Di lain pihak, terapi yang terlambat dari hiponatremia dengan komplikasi neurologis bisa berakibat fatal. Jika hiponatremia diketahui baru terjadi (24-36 jam) atau jika ada komplikasi serebral, maka perlu koreksi cepat. Jika tidak, bertindaklah lebih perlahan karena sindrom mielinolisis pontin (demielinisasi osmotik) bisa diinduksi oleh koreksi cepat dari hiponatremia kronik ( >2-3 hari).

Terapi darurat untuk pasien dengan coma dan kejang Berlakukan prosedur resusitasi standar untuk coma periksa jalan napas, berikan O2, pantau saturasi O2; periksa TD, dan gula darah. Pertimbangkan rawat di ICU. Terapi selanjutnya tergantung pada status volume pasien. Deplesi volume: terapi di sini adalah memberikan normal saline secepat yang diperlukan untuk memulihkan volume sirkulasi ke normal. Ini terbaik dinilai dengan memasang CVP. Normovolemia: berikan NaCl hipertonik. Kelebihan beban cairan (atau gagal jantung): berikan NaCl hipertonik bersamaan dengan loop diuretic. Pasang kateter kandung kemih dan berikan furosemid iv dengan dosis berulang 20-40 mg untuk mengusahakan diuresis secepat mungkin sehingga membuang volume saline yang diinfus plus cairan yang berlebih.

Terapi untuk hiponatremia asimtomatik atau kronik NaCl hipertonik

70

tidak diindikasikan : Berikan NaCl 0,9% jika ada deplesi volume. Jika tidak, batasi asupan air dan biarkan homeostasis memulih perlahan-lahan. Terapi NaCl hipertonik (3%) untuk hiponatremia akut dengan gejala neurologi beratTidak berlaku jika ada deplesi volume

Tujuannya adalah menambah Na+ serum sebesar 20 mmol/L atau menjadi 130 mmol/L dan memulihkan tingkat kesadaran

Pasien harus dikelola di HDU atau ICU 1. Taksir air tubuh total (TBW = total body water). TBW berkisar dari 35% berat badan pada wanita gemuk berusia lanjut sampai 60% pada pria. 2. Volume (dalam ml) NaCl 3% yang akan menaikkan kadar Na+ serum sebesar 1mmol/L adalah dua kali TBW (dalam liter).(Ini disebabkan NaCl 3% mengandung 1 mmol Na+/2 ml) 3. Kecepatan maksimum untuk koreksi adalah 1,5-2 mmol/L per jam untuk 3-4 jam pertama. Sesudah itu, laju kenaikan Na+ serum tidak boleh melebihi 1 mmol/L per jam, atau tidak lebih 12 mmol dalam 24 jam pertama. 4. Pompa infus sebaiknya digunakan. Catat kalkulasi anda.

Ini akan mengkoreksi natrium serum menjadi 127 mmol/L dalam 24 jam, dan NaCl 3% bisa diberikan lebih menurut hasil lab.

2.

Hipernatremia Hipernatremia disebabkan peningkatan Na+ tubuh, defisiensi air, atau keduanya. Dalam konteks bedah biasanya kehilangan air melebihi kehilangan Na+, namun untuk menghasilkan hipernatremia, asupan air harus kurang juga. Ini dapat disebabkan oleh hilangnya rasa haus akibat sedasi pasca bedah, atau pasien tidak boleh makan/minum. Bukti defisiensi air (turgor kulit berkurang, hipotensi, vasokonstriksi) biasanya jelas.

71

Etiologi Pra bedah Dehidrasi dengan kehilangan air melebihi kehilangan Na+, misal kehilangan gastrointestinal tanpa asupan cairan. Diabetes tak-terkontrol yang menyebabkan diuresis osmotik. Sebab-sebab jarang lain (hiperaldosteronisme primer, diabetes insipidus sentral). Dapat terjadi setelah pem-bedahan saraf atau trauma otak. Pasca bedah Penggantian cairan yang tidak benar di mana NaCl 0,9% diberikan melebihi kehilangan Na+. Banyak kehilangan cairan diare dan luka bakar menyebabkan dehidrasi hipoosmolar, dan tanpa rasa haus normal atau asupan oral, penggantian cairan dengan normal saline saja tidak sesuai. Pasien yang telah mendapat sejumlah besar cairan iv yang mengandung salin (larutan Ringer laktat atau Hartmann, koloid atau NaCl 0,9%) dan telah diberikan diuretik untuk edema dapat mengalami hipernatremia. Diabetes insipidus nefrogenik setelah obstruksi saluran kemih mereda. Fungsi tubuli ginjal rusak oleh obstruksi kronik dan kemampuan pemekatan urin dapat hilang secara menetap. Kehilangan air yang melebihi kehilangan Na+ pada situasi ini menjurus ke hipernatremia jika pasien tidak mendapat cukup air.

Risiko Kelebihan Na+ bisa menyebabkan kegaduhan mental atau coma karena dehidrasi selular yang disebabkan penyu-sutan sel otak. Ruptur vena sekunder dan perdarahan subaraknoid bisa terjadi. Kemungkinan ini terjadi kecil, kecuali jika Na+ > 158 mmol/L. Hipernatremia derajat ringan biasanya bukan suatu bahaya, tetapi defisiensi air yang melandasi serta hipovolemia dapat mengakibatkan 72

komplikasi vaskular yang disebabkan sirkulasi lamban dari darah yang kental. Insufisiensi serebral dan koroner paling mungkin terjadi, dengan kemungkinan gagal ginjal jika volume sirkulasi tidak cepat dipulihkan.

Pendekatan diagnostik Singkirkan diabetes. Apakah pasien memiliki obstruksi saluran kemih yang sudah diatasi: prostat, tumor, batu? Apakah cairan yang diberikan terutama normal saline? Periksa kartu imbang cairan. Apakah pasien tidak bisa minum seperti biasa? Apakah ada kehilangan cairan berlebihan dari saluran cerna?

Tatalaksana Kalkulasi defisit air. Hipernatremia dikelola dengan menghitung defisit air tubuh dan menggantinya.

Kecepatan koreksi Jika hipernatremia bersifat kronik, koreksi harus dilakukan lambatlambat. Seperti halnya hiponatremia, koreksi cepat bisa lebih merugikan daripada gangguan fisiologis itu sendiri. Hipernatremia pada mulanya menyebabkan penyusutan otak, tetapi setelah 1-3 hari, volume otak dipulihkan dengan ambilan solute ke dalam sel. Jika air diberikan cepat, edema serebral bisa terjadi, disertai kejang, kerusakan otak permanen dan kematian. Dalam konteks bedah, hipernatremia cenderung terjadi akut dan ini bisa dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium. Di sini

hipernatremia boleh dikoreksi dengan cepat. Tujuannya adalah merendahkan Na+ serum tidak lebih cepat dari 0,5 mmol/L per jam.

73

Di samping itu, terapi tidak perlu dilanjutkan sekali Na+ telah turun menjadi 145 mmol/L. Pada contoh dalam Box 44.2, kelebihan Na+ sebesar 28 mmol/L harus dikoreksi dengan memberikan 4,8 L air selama 56 jam (86 ml/jam). Di samping itu, insensible loss adalah 40 ml/jam dan jumlah urin paling sedikit 40 ml/jam, sehingga air bisa diberikan dengan kecepatan 160 ml/jam.

Cara pemberian air dan pemantauan Jika pasien bisa minum berikan air per oral. Jika tidak, berikan desktrosa 5% iv. Pantau jumlah urin setiap jam, usahakan paling sedikit 30 ml/jam. Periksa Na+ serum setiap 6 jam untuk mengusahakan penurunan tidak melebihi 0,5 mmol/L per jam. Ketika Na+ serum < 145 mmol/L, berikan cairan pengganti normal.

3.

Hipokalemia Hipokalemia lazim dijumpai pada pasien bedah. K+ < 2,5 mmol/L berbahaya dan perlu tatalaksana segera sebelum pembiusan dan pembedahan. Defisit 200-400 mmol perlu untuk menurunkan K+ dari 4 ke 3 mmol/L. Demikian juga defisit serupa menurunkan K+ dari 3 ke 2 mmol/L.

Sebab-sebab Asupan berkurang : asupan K+ normal adalah 40-120 mmol/hari. Umumnya ini berkurang pada pasien bedah yang sudah anoreksia dan tidak sehat. Meningkatnya influks K+ ke dalam sel: alkalosis, kelebihan insulin, -agonis, stres dan hipotermia semuanya menyebabkan pergeseran K+ ke dalam sel. Tidak akan ada deplesi K+ sejati jika ini adalah satu-satunya penyebab. 74

Kehilangan berlebihan dari saluran cerna: muntah-muntah, diare, dan drainase adalah gambaran khas seorang pasien sebelum dan setelah pembedahan abdomen. Penyalah-gunaan pencahar pada usia lanjut biasa dilaporkan dan bisa menyebabkan hipokalemia pra bedah.

Kehilangan berlebihan dari urin: hilangnya sekresi lambung, diuretik, asidosis metabolik, menyebabkan Mg++ rendah dan K+ kelebihan ke urin.

mineralokortikoid

pemborosan

Mekanisme hipokalemia pada kehilangan cairan lambung bersifat kompleks. Bila cairan lambung hilang berlebihan (muntah atau via pipa nasogastrik), NaHCO3 yang meningkat diangkut ke tubulus ginjal. Na+ ditukar dengan K+ dengan akibat peningkatan ekskresi K+. Kehilangan K+ melalui ginjal sebagai respons terhadap muntah adalah faktor utama yang menyebabkan hipokalemia. Ini disebabkan kandungan K+ dalam sekresi lambung sedikit. Asidosis metabolik menghasilkan peningkatan transpor H+ ke tubulus. H+ bersama K+ bertukar dengan Na+ , sehingga ekskresi K+ meningkat. Keringat berlebihan dapat memperberat hipokalemia.

Risiko Aritmia jantung, khususnya pada pasien yang mendapat digoksin. Ileus paralitik berkepanjangan Kelemahan otot Keram

Pendekatan diagnostik Anamnesis biasanya memungkinkan identifikasi faktor penyebab. PH darah dibutuhkan untuk menginterpretasikan K+ yang rendah. Alkalosis biasa menyertai hipokalemia dan menyebabkan pergeseran K+ ke dalam sel. Asidosis menyebabkan kehilangan K+ langsung dalam urin.

75

Tatalaksana KCL biasa digunakan untuk menggantikan defisiensi K+, karena juga biasa disertai defisiensi Cl-. Jika penyebabnya diare kronik, KHCO3 atau kalium sitrat mungkin lebih sesuai. Terapi oral dengan garam kalium sesuai jika ada waktu untuk koreksi dan tidak ada gejala klinik. Penggantian 40-60 mmol K+ menghasilkan kenaikan 1-1,5 mmol/L dalam K+ serum, tetapi ini sifatnya sementara karena K+ akan berpindah kembali ke dalam sel. Pemantauan teratur dari K+ serum diperlukan untuk memastikan bahwa defisit terkoreksi.

Kalium iv KCl sebaiknya diberikan iv jika pasien tidak bisa makan dan mengalami hipokalemia berat. Secara umum, jangan tambahkan KCl ke dalam botol infus. Gunakan sediaan siap-pakai dari pabrik. Pada koreksi hipokalemia berat (< 2 mmol/L) , sebaiknya gunakan NaCl bukan dekstrosa. Pemberian dekstrosa bisa menyebabkan penurunan sementara K+ serum sebesar 0,2-1,4 mmol/L karena stimulasi pelepasan insulin oleh glukosa. Infus yang mengandung KCl 0,3% dan NaCl 0,9% menyediakan 40 mmol K+ /L. Ini harus menjadi standar dalam cairan pengganti K+. Volume besar dari normal saline bisa menyebabkan kelebihan beban cairan. Jika ada aritmia jantung, dibutuhkan larutan K+ yang lebih pekat diberikan melalui vena sentral dengan pemantauan EKG. Pemantauan teratur sangat penting. Pikirkan masak-masak sebelum memberikan > 20 mmol K+/jam. Konsentrasi K+ > 60 mmol/L sebaiknya dihindari melalui vena perifer, karena cenderung menyebabkan nyeri dan sklerosis vena. Jika anda menambahkan KCl ke dalam infus, periksa dosis dengan dokter lain serta perawat yang akan memberikan infus. Telah 76

dilaporkan kematian karena penggantian K+ dalam konsentrasi salah.

4.

Hiperkalemia Yang menjadi kedaruratan medis bukanlah semata-mata K+ serum di atas kisaran normal (> 6,5 mmol/L), melainkan penyebab yang mendasarinya (misal insufisiensi adrenal). Perlu diingat menjelang anda menerima laporan laboratorium dari hiperkalemia, situasi akan berubah dalam beberapa jam. Selalu ulang pemeriksaan saat anda memulai terapi. K+ di atas 6,5 perlu koreksi cepat. Menurut tradisi, perubahan EKG harus dicari, namun menjelang gelombang T meninggi (peak T wave) atau QRS melebar, henti jantung sedang mengancam. Jangan tunggu EKG sebelum memulai pengobatan, namun mulai pemantauan EKG selama pengobatan.

Etiologi Temuan laboratorium mungkin hanya artefak: sampel terlalu lama ketika sampai di lab atau pungsi vena sukar (hemolisis)? Asidosis menyebabkan perpindahan K+ dari sel ke plasma. Sebabsebab tipikal mencakup ketoasidosis diabetik, gangguan ginjal atau sebab lain dari asidosis metabolik. Gagal ginjal, apalagi bila disertai asidosis. Obat yang menghambat ekskresi K+ pada kemunduran fungsi ginjal ringan: penghambat ACE, AINS, diuretik hemat kalium (amiloride, spironolakton). Defisiensi insulin pada pasien diabetes dengan hiperglikemia. Insufisiensi adrenal. Transfusi darah massif: K+ merembes keluar sel darah ketika darah disimpan. Kadang-kadang transfusi darah massif bisa mengakibatkan beban K+ melebihi laju ekskresi ginjal ini lebih sering pada pasien syok yang asidosis. 77

Nekrosis jaringan (luka bakar, gangrene, crush injury) menyebabkan lepasnya K+ intraseluler.

Risiko Risiko henti jantung berkaitan bukan hanya dengan derajat hiperkalemia tetapi akibat dari kombinasi faktor-faktor berikut: asidosis, hipoksia, hipokalsemia dan overaktivitas simpatis (karena nyeri atau syok). Henti jantung jarang dengan K+ > 7 mmol/L kecuali jika ada faktor-faktor lain. Di atas kadar itu, hiperkalemia per se bisa mengakibatkan henti jantung. Karena resusitasi pasien yang telah mengalami henti jantung akibat hiperkalemia biasa gagal, hiperkalemia berat harus diatasi segera.

Pendekatan diagnostik Apakah ada kemunduran fungsi ginjal dideteksi pada pra bedah? Jika ya, apakah hiperkalemia dicetuskan oleh asidosis, beban K+ yang berlebihan, atau penggunaan obat yang menghambat ekskresi K+ (lihat atas)? Apakah pasien telah mengalami gagal ginjal pasca bedah? Apakah pasien masih bisa berkemih? Apakah ada ketoasidosis diabetik? Periksa dengan BM-stick. Apakah mungkin insufisiensi adrenal? cari tahu kadar Na+ rendah dan TD rendah. Apakah pasien memiliki risiko supresi adrenal dari terapi steroid sebelumnya?

Tatalaksana Blok efek langsung K+ terhadap jantung Ca2+ menyekat efek K+ terhadap jantung Berikan 10 ml kalsium glukonat 10% iv selama 1-2 menit. Ini aman dan bisa diulang setiap 5 menit untuk 4 dosis jika EKG terus

78

memperlihatkan gambaran hiperkalemiagelombang T runcing dan tinggi, QRS complex melebar. Ca2+ bisa menyelamatkan jiwa bila diberikan segera.

Turunkan K+ Tiga obat menurunkan K+ plasma dengan mekanisme berbeda: insulin, -agonis, seperti salbutamol dan NaHCO3. Insulin memindahkan K+ ke dalam sel - 15 U soluble insulin sebaiknya diberikan bolus bersama 50 ml dekstrosa 50% untuk mencegah hipoglikemia kecuali jika pasien mengidap diabetes tak-terkontrol. Biasanya ini akan menurunkan K+ dalam waktu 30-60 menit. - Ikuti ini dengan infus insulin pada kecepatan 4 U/jam dengan jumlah cukup dekstrosa untuk memelihara gula darah normal. Dekstrosa 50% yang diberikan dengan kecepatan 50 ml/jam biasanya memuaskan tetapi gula darah harus dipantau. - Catatan: dekstrosa 50% sangat mengiritasi jaringan. Kanula besar dan vena sentral lebih disukai untuk jalan masuk. -agonis seperti salbutamol kurang banyak digunakan sebagai terapi untuk hiperkalemia. - Salbutamol bisa diandalkan menurunkan K+ sebesar kira-kira 1 mmol/L dan efektif bila diberikan dengan nebulizer. - 5 mg salbutamol nebulizer seefektif insulin dalam menurunkan K+ dan bersifat additif. Ini juga menghindari risiko ekstravasasi dekstrosa 50%.

Tatalaksana darurat dari hiperkalemia 1. 2. Berikan 10 ml kalsium glukonat 10% iv selama 1-2 menit Berikan 15 u soluble insulin dengan bolus bersama 50 ml dekstrosa 50% 3. 4. Berikan 5 mg salbutamol nebulizer dengan masker. Koreksi asidosis dengan NaHCO3. 79

5. 6.

Hentikan obat-obat yang bisa menyebabkan hiperkalemia. Berikan resonium 15 gr setiap 6 jam per oral atau 30 mg bd per reaktum dengan enema.

7.

Pertimbangkan dialisis.

NaHCO3 1. 2. Asidosis penting dikoreksi karena meningkatkan risiko henti jantung Koreksi asidosis menurunkan K+ dengan menyebabkan pergeseran K+ ke dalam sel. 3. Koreksi asidosis menurunkan kadar Ca2+, dan tetani bisa dicetuskan jika Ca2+ tidak diberikan sebelum NaHCO3.

Faktor-faktor risiko lain Berikan O2 Atasi nyeri atau kecemasan

Atasi sebab-sebab yang mendasari: Hentikan obat-obat berikut: AINS, Penghambat ACE. Diuretik hemat kalium. Kelola diabetes Pikirkan dan obati insufisiensi adrenal Buang jaringan nekrotik, amputasi anggota gerak yang mati.

Cegah rebound Hiperkalemia dapat mencuat kembali jika pasien berada dalam gagal ginjal dan tidak ada diuresis. Koreksi asidosis < pH 7,2 pada pasien dengan hiperkalemia 1. Berikan Ca2+ intravena sebelum mengkoreksi asidosis (lihat teks di atas).

80

2.

Cek

gas

darah

arteri

dan

hitung

defisit

total

HCO3-:

Defisit HCO3- total(mmol) = defisit basa x berat badan dalam kg (Volume distribusi bikarbonat adalah sepertiga berat badan) 3. 4. Koreksi separuh defisit basa selama 15-30 menit Gunakan NaHCO3 isotonik (1,26%) jika ada deplesi volume (skenario biasa). NaHCO3 1,26% mengandung 150 mmol HCO3Larutan hipertonik (4,2% dan 8,4%) biasanya tidak sesuai.

5.

Hiperkalsemia Gejala Hiperkalsemia bisa dideteksi untuk pertama kali ketika masuk ke bangsal bedah. Hiperkalsemia dapat menjadi penyebab dari gejala-gejala yang dikeluhkan: nyeri abdomen, nausea, muntah, konstipasi, anoreksia, penurunan berat badan dan batu ginjal. Hiperkalsemia dapat merupakan akibat dari masalah bedah primer, khususnya jika ini penyakit ganas: metastasis tulang dari kanker payudara, prostat, kolon, ginjal, tiroid, paru-paru, atau ovarium. Sering ini merupakan temuan yang tak terkait, khas pada hiperparatiroid primer pada wanita setengah baya atau usia lanjut. Hiperkalsemia moderat (< 3 mmol/L) jarang menyebabkan problema klinik selain haus, poliuria dan dehidrasi sedang, tetapi bisa diperberat oleh dehidrasi dan imobilisasi. Hiperparatiroid primer adalah penyebab tersering dari Ca yang sedikit meninggi pada pasien yang keadaan umumnya baik. Tak ada risiko khusus seandainya dehidrasi dicegah atau dikoreksi. Hiperkalsemia berat (< 3 mmol/L) harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan risiko aritmia jantung, penurunan kesadaran dan dehidrasi berat. Keganasan adalah penyebab yang biasa. Hiperkalsemia semu bisa muncul jika darah diambil dari pasien dehidrasi, atau dengan pemasangan turniket yang terlalu lama. Keadaan-keadaan ini menjurus ke peninggian Ca bersama dengan

81

albumin serum. Kebanyakan lab mengkoreksi kadar albumin sehingga hasil bisa diinterpretasikan lebih baik. Namun, bijaksana untuk mengulang pemeriksaan Ca jika meninggi dan ada kesukaran mengambil sampel darah.

Pemeriksaan Penunjang Ca yang aktif biologis adalah fraksi terionisasi (Ca2+), yang tidak berikatan dengan protein. Kisaran normal untuk Ca2+ adalah 1,071,27 mmol/L. Walaupun beberapa lab menawarkan tes ini secara rutin, kebanyakan mesin analisis gas darah melaporkan Ca2+. Hiperkalsemia bersifat serius jika Ca2+ > 1,5 mmol/L. Interpretasi total Ca serum perlu memperhitungkan konsentrasi albumin serum, karena Ca berikatan dengan albumin. Jika total Ca rendah diikuti dengan albumin rendah, Ca mungkin biologis normal. Ada beberapa rumus untuk mengkoreksi albumin serum dan satu di Box 44.5 adalah mudah dan agak akurat. Rumus ini harus digunakan hanya jika hasil lab tidak dikoreksi untuk albumin. Kebanyakan laboratorium sudah mengkoreksi Ca, jadi jangan mengkoreksinya dua kali.

Koreksi Ca serum corrected Ca = uncorrected Ca - 0,025 x (serum albumin - 40) (rumus juga berlaku dalam interpretasi kadar Ca yang rendah bila albumin rendah)

Etiologi Hiperparatiroid primer Metastasis tulang Mieloma Iatrogenik- bisanya vitamin D atau derivatnya (alfacalcidol, dihidroksikolekalsiferol); milk-alkali syndrome sangat jarang. 82

Sarkoid (jarang) Tirotoksikosis (sangat jarang)

Risiko Poliuria, dehidrasi, hipotensi Ngantuk, bingung. Risiko jangka panjang dari hiperkalsemia (batu ginjal, gagal ginjal, kalsifikasi kornea) tidak relevan untuk manajemen akut pasien bedah.

Pemeriksaan Na+, K+, urea, kreatinin (hiperkalsemia bisa menyebabkan poliuria dan gagal ginjal) Fosfat (rendah pada hiperparatiroid) Albumin (biasanya rendah pada metastasis) Fosfatase alkali (meninggi pada metastasis tulang, sarkoid, tirotoksikosis) Prostate specific antigen (meninggi pada kanker prostat metastatik) LED (sangat tinggi pada mieloma, dapat meninggi pada metastasis) Elektroforesis protein serum, susum tulang untuk myeloma PTH (meninggi pada hiperparatiroid, tertekan pada sebab-sebab lain)

Tatalaksana Idealnya hiperkalsemia didiagnosis dan dikoreksi sebelum operasi. Risiko pembedahan pada hiperkalsemia ringan tidak tinggi. Cukup usahakan hidrasi adekuat dengan pemberian NaCl 0,9% selama puasa pra bedah dan diteruskan pada pasca bedah. Operasi elektif sebaiknya ditunda jika kadar kalsium > 3 mmol/L Operasi darurat atau mendesak pada pasien dengan hiperkalsemia berat harus ditunda sampai tindakan berikut telah diambil:

83

o Kateter kandung kemih untuk pemantauan jumlah urin setiap jam. o Rehidrasi dengan 1000 ml NaCl 0.9% selama 1 jam, disusul 4-6 L dalam 24 jam berikutnya. o CVP untuk memandu penggantian cairan iv o Pamidronate 60 mg iv dalam 500 ml saline selama 4 jam (Ca akan turun dalam 2 hari kecuali hiperparatiroid sebagai penyebabnya). Hiperkalsemia dapat muncul atau meningkat pada pasca bedah karena dehidrasi atau imobilisasi. Ini khas pada pasien usia lanjut. Tatalaksananya adalah rehidrasi, pemantauan fungsi ginjal, dan pamidronate seperti di atas

6.

Hipokalsemia Jarang pada pasca bedah kecuali jika pasien telah menjalani operasi tiroid atau paratiroid. Hipokalsemia dapat timbul sebagai komplikasi gagal ginjal akut, pankreatitis, atau crush injury syndrome. Risikonya adalah penurunan ambang rangsang neuromuskular terhadap kejang, interval QT memanjang pada EKG yang merupakan predisposisi untuk aritmia ventrikel. Munculnya tetani selama pengukuran TD berulangkali merupakan petunjuk klinik penting. Hipokalsemia semu bisa menimbulkan kekhawatiran jika kadar Ca yang tampak rendah tidak sinkron dengan kadar albumin (lihat bagian hiperkalsemia di atas). Ca2+ sekali lagi merupakan cara yang lebih langsung menilai dampak langsung dari rendahnya Ca (lihat atas). Alat analisis gas darah sering mengukur ion Ca2+, kisaran normal 1,07-1,27 mmol/L. Hipokalsemia berbahaya jika total Ca < 2,0 mmol/L atau ion Ca 2+ < 0,9 mmol/L.

Tatalaksana Jika corrected Ca > 2 mmol/L (atau Ca2+ > 0,9 mmol/L), berikan suplemen Ca oral dan pantau Ca setiap hari. 84

Jika corrected Ca < 2 mmol/L (atau Ca2+ < 0,9 mmol/L), berikan berikut: o 10 ml 10% kalsium glukonat iv dalam 1-3 menit o Alfacalcidol atau dihydrocholecalciferol 1-5 g oral

Periksa kadar Ca pada 4 jam kemudian; Jika tidak naik, mulai infus 2-5 ml/jam kalsium glukonat 10% dengan infus kontinyu menggunakan syringe driver. Periksa ulang Ca setiap hari Overkoreksi temporer tidak merugikan.

7.

Hipomagnesemia Prevalensi Ditaksir terdapat pada 7% pasien rawat-inap, tetapi banyak kasus asimtomatik, dan tidak memerlukan terapi agresif. Seringkali bersamaan dengan hipokalsemia dan hipokalemia. Selalu periksa kadar Mg2+ jika kadar Ca2+ atau K+ rendah. Lazim pada pasien bedah: asupan oral kurang, kehilangan dari saluran cerna akibat diare, muntah dan fistula usus. Pasien risiko tinggi lainnya meliputi alkoholik kronik dan pasien yang mendapat terapi diuretik kronik.

Gambaran klinik Risiko serupa dengan hipokalsemia dan hipokalemia: kejang, tetani, aritmia ventrikel. Ini hanya mungkin jika Mg2+ < 0,5 mmol/L. Ganti atau cegah defisiensi dengan garam Mg2+ yang ditambahkan ke nutrisi enteral dan parenteral. Berikan infus Mg2+ pada pasien simtomatik (Box 44.6). Magnesium intravena untuk koreksi hipomagnese-mia berat dengan gejala. Injeksi magnesium sulfat 50% mengandung 2 mmol Mg2+ /ml

85

Berikan 8 mmol Mg2+(4 ml larutan 50%) dalam 10-15 menit. Ulangi injeksi sekali jika masalah klinik (aritmia, kejang) masih ada. Ganti defisiensi Mg2+ dengan menginfus 50-72 mmol Mg2+ (25-36 ml larutan 50%) dalam 24 jam

8.

Hipofosfatemia Epidemiologi dan patofisiologi 10-15% pasien rawat-inap memiliki fosfat serum rendah (<0,8 mmol/L). Proporsi lebih kecil memiliki hipofosfatemia berat (< 0,3 mmol/L). Efek kronik dari kadar fosfat serum yang rendah terhadap metabolisme tulang adalah tidak relevan pada situasi akut. Pada pasien bedah yang berpotensi berbahaya adalah dampak biokimia deplesi fosfat terhadap metabolisme sel: Kadar 2,3-DPG (difosfogliserat) eritrosit turun dengan berkurangnya hantaran O2 ke jaringan. Kadar ATP intrasel menurun dan fungsi sel yang memerlukan senyawa fosfat energi tinggi bisa terganggu.

Gejala dan tanda Sistem saraf: ensefalopati metabolik bisa terjadi dan mengakibatkan iritabilitas dan bingung atau bahkan delirium dan coma. Jantung: curah jantung dapat menurun karena gangguan

kontraktilitas miokard. Pernapasan: bisa terganggu karena kelemahan otot diafragma. Fungsi otot: miopati proksimal, disfagia, dan ileus bisa terjadi. Rhabdomyolisis merupakan risiko pada pasien alkoholik dengan hipofosfatemia. Sel darah merah: risiko hemolisis meningkat tetapi jarang terjadi akibat hipofosfatemia sendiri. Sel darah putih: hipofosfatemia berat bisa menggangggu fagositosis dan chemotaxis dari granulosit. 86

Etiologi Pada pasien bedah ada beberapa faktor kontribusi tipikal terhadap hipofosfatemia. Pertama dari ketiga ini adalah yang terpenting. Peningkatan sekresi insulin selama realimentasi: glikolisis memacu fosforilasi karbohidrat di hati dan otot rangka dengan akibat penurunan fosfat serum. Ini cenderung terjadi pada pasien malnutrisi atau alkoholik, atau pasien yang menerima TPN (total parenteral nutrition). Alkalosis respiratorik: (sebagai contoh pada pasien ventilasi) menyebabkan peningkatan pH intrasel yang menjurus ke

peningkatan glikolisis. Alkalosis adalah penyebab tersering dari hipofosfatemia pada pasien rawat-inap. Diare bisa menyebabkan deplesi fosfat ringan. Asupan fosfat yang kurang tidak menyebabkan hipofosfatemia karena katabolisme sel melepas fosfat dari sel dan retensi fosfat oleh ginjal bisa mengkompensasi kekurangan asupan. Obat: antasid yang mengandung Al3+, Ca 2+, atau Mg 2+ bisa mengikat fosfat di usus dan menyebabkan deplesi ringan. Hiperparatiroid primer menyebabkan peningkatan ekskresi fosfat di urin. Defisiensi vitamin D menyebabkan hiperparatiroid sekunder, yang juga meningkatkan kehilangan fosfat urin. Ekspansi volume akut mengurangi resorpsi Na+ di tubulus proksimal dan meningkatkan kehilangan fosfat urin.

Tatalaksana Tatalaksana hipofosfatemia ditujukan terutama terhadap penyakit dasarnya. Suplementasi oral tidak sesuai kecuali jika untuk pasien dengan kehilangan kronik melalui urin dan bersifat refrakter.

87

Suplementasi fosfat iv biasa diberikan pada semua pasien yang menerima TPN, dan infus fosfat adakalanya dibutuhkan pada pasien yang alkoholik dan memiliki risiko rhabdomiolisis karena hipofosfatemia. Dosis iv tidak boleh melebihi 0,08 mmol/kg setiap 6 jam. Fosfat iv memiliki potensi berbahaya dan bisa menyebabkan aritmia jantung.

Gangguan Keseimbangan Asam Basa


Alkalosis Respiratorik Definisi Alkalosis Respiratorik adalah suatu keadaan dimana darah menjadi basa karena pernafasan yang cepat dan dalam menyebabkan kadar karbondioksida dalam darah menjadi rendah.

Etiologi Pernafasan yang cepat dan dalam disebut hiperventilasi, yang menyebabkan terlalu banyaknya jumlah karbondioksida yang dikeluarkan dari aliran darah. Penyebab hiperventilasi yang paling sering ditemukan adalah kecemasan. Penyebab lain dari alkalosis respiratorik adalah: rasa nyeri sirosis hati kadar oksigen darah yang rendah demam overdosis aspirin.

Gejala Alkalosis respiratorik dapat membuat penderita merasa cemas dan dapat menyebabkan rasa gatal disekitar bibir dan wajah. Jika keadaannya makin memburuk, bisa terjadi kejang otot dan penurunan kesadaran.

88

Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pengukuran kadar karbondioksida dalam darah arteri. pH darah juga sering meningkat.

Tatalaksana Biasanya satu-satunya pengobatan yang dibutuhkan adalah memperlambat pernafasan. Jika penyebabnya adalah kecemasan, memperlambat pernafasan bisa meredakan penyakit ini. Jika penyebabnya adalah rasa nyeri, diberikan obat pereda nyeri. Menghembuskan nafas dalam kantung kertas (bukan kantung plastik) bisa membantu meningkatkan kadar karbondioksida setelah penderita menghirup kembali karbondioksida yang dihembuskannya. Pilihan lainnya adalah mengajarkan penderita untuk menahan nafasnya selama mungkin, kemudian menarik nafas dangkal dan menahan kembali nafasnya selama mungkin. Hal ini dilakukan berulang dalam satu rangkaian sebanyak 6-10 kali. Jika kadar karbondioksida meningkat, gejala hiperventilasi akan membaik, sehingga mengurangi kecemasan penderita dan menghentikan serangan alkalosis respiratorik. Alkalosis Metabolik Definisi Alkalosis Metabolik adalah suatu keadaan dimana darah dalam keadaan basa karena tingginya kadar bikarbonat.

Etiologi Alkalosis metabolik terjadi jika tubuh kehilangan terlalu banyak asam. Sebagai contoh adalah kehilangan sejumlah asam lambung selama periode muntah yang berkepanjangan atau bila asam lambung disedot dengan selang lambung (seperti yang kadang-kadang dilakukan di rumah sakit, terutama setelah pembedahan perut). Pada kasus yang jarang, alkalosis metabolik terjadi pada seseorang yang mengkonsumsi terlalu banyak basa dari bahan-bahan seperti soda bikarbonat.

89

Selain itu, alkalosis metabolik dapat terjadi bila kehilangan natrium atau kalium dalam jumlah yang banyak mempengaruhi kemampuan ginjal dalam

mengendalikan keseimbangan asam basa darah. Penyebab utama akalosis metabolik: Penggunaan diuretik (tiazid, furosemid, asam etakrinat) Kehilangan asam karena muntah atau pengosongan lambung Kelenjar adrenal yang terlalu aktif (sindroma Cushing atau akibat penggunaan kortikosteroid).

Gejala Alkalosis metabolik dapat menyebabkan iritabilitas (mudah tersinggung), otot berkedut dan kejang otot; atau tanpa gejala sama sekali. Bila terjadi alkalosis yang berat, dapat terjadi kontraksi (pengerutan) dan spasme (kejang) otot yang berkepanjangan (tetani).

Diagnosis Dilakukan pemeriksaan darah arteri untuk menunjukkan darah dalam keadaan basa.

Tatalaksana Biasanya alkalosis metabolik diatasi dengan pemberian cairan dan elektrolit (natrium dan kalium) . Pada kasus yang berat, diberikan amonium klorida secara intravena.

Asidosis Respiratorik Definisi Asidosis Respiratorik adalah keasaman darah yang berlebihan karena

penumpukan karbondioksida dalam darah sebagai akibat dari fungsi paru-paru yang buruk atau pernafasan yang lambat. Kecepatan dan kedalaman pernafasan mengendalikan jumlah karbondioksida dalam darah. Dalam keadaan normal, jika terkumpul karbondioksida, pH darah akan turun dan darah menjadi asam. Tingginya kadar karbondioksida dalam darah

90

merangsang otak yang mengatur pernafasan, sehingga pernafasan menjadi lebih cepat dan lebih dalam.

Etiologi Asidosis respiratorik terjadi jika paru-paru tidak dapat mengeluarkan

karbondioksida secara adekuat. Hal ini dapat terjadi pada penyakit-penyakit berat yang mempengaruhi paru-paru, seperti: Emfisema Bronkitis kronis Pneumonia berat Edema pulmoner Asma.

Asidosis respiratorik dapat juga terjadi bila penyakit-penyakit dari saraf atau otot dada menyebabkan gangguan terhadap mekanisme pernafasan. Selain itu, seseorang dapat mengalami asidosis respiratorik akibat narkotika dan obat tidur yang kuat, yang menekan pernafasan.

Gejala Gejala pertama berupa sakit kepala dan rasa mengantuk. Jika keadaannya memburuk, rasa mengantuk akan berlanjut menjadi stupor (penurunan kesadaran) dan koma. Stupor dan koma dapat terjadi dalam beberapa saat jika pernafasan terhenti atau jika pernafasan sangat terganggu; atau setelah berjam-jam jika pernafasan tidak terlalu terganggu. Ginjal berusaha untuk mengkompensasi asidosis dengan menahan bikarbonat, namun proses ini memerlukan waktu beberapa jam bahkan beberapa hari.

Diagnosis Biasanya diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan pH darah dan pengukuran karbondioksida dari darah arteri.

91

Tatalaksana Pengobatan asidosis respiratorik bertujuan untuk meningkatkan fungsi dari paruparu. Obat-obatan untuk memperbaiki pernafasan bisa diberikan kepada penderita penyakit paru-paru seperti asma dan emfisema. Pada penderita yang mengalami gangguan pernafasan yang berat, mungkin perlu diberikan pernafasan buatan dengan bantuan ventilator mekanik.

Asidosis Metabolik Definisi Asidosis Metabolik adalah keasaman darah yang berlebihan, yang ditandai dengan rendahnya kadar bikarbonat dalam darah. Bila peningkatan keasaman melampaui sistem penyangga pH, darah akan benar-benar menjadi asam. Seiring dengan menurunnya pH darah, pernafasan menjadi lebih dalam dan lebih cepat sebagai usaha tubuh untuk menurunkan kelebihan asam dalam darah dengan cara menurunkan jumlah karbon dioksida. Pada akhirnya, ginjal juga berusaha mengkompensasi keadaan tersebut dengan cara mengeluarkan lebih banyak asam dalam air kemih. Tetapi kedua mekanisme tersebut bisa terlampaui jika tubuh terus menerus menghasilkan terlalu banyak asam, sehingga terjadi asidosis berat dan berakhir dengan keadaan koma.

Etiologi Penyebab asidosis metabolik dapat dikelompokkan kedalam 3 kelompok utama: 1. Jumlah asam dalam tubuh dapat meningkat jika mengkonsumsi suatu asam atau suatu bahan yang diubah menjadi asam. Sebagian besar bahan yang menyebabkan asidosis bila dimakan dianggap beracun. Contohnya adalah metanol (alkohol kayu) dan zat anti beku (etilen glikol). Overdosis aspirin pun dapat menyebabkan asidosis metabolik. 2. Tubuh dapat menghasilkan asam yang lebih banyak melalui metabolisme. Tubuh dapat menghasilkan asam yang berlebihan sebagai suatu akibat dari beberapa penyakit; salah satu diantaranya adalah diabetes melitus tipe I. Jika diabetes tidak terkendali dengan baik, tubuh akan memecah lemak dan

92

menghasilkan asam yang disebut keton. Asam yang berlebihan juga ditemukan pada syok stadium lanjut, dimana asam laktat dibentuk dari metabolisme gula. 3. Asidosis metabolik bisa terjadi jika ginjal tidak mampu untuk membuang asam dalam jumlah yang semestinya. Bahkan jumlah asam yang normalpun bisa menyebabkan asidosis jika ginjal tidak berfungsi secara normal. Kelainan fungsi ginjal ini dikenal sebagai asidosis tubulus renalis, yang bisa terjadi pada penderita gagal ginjal atau penderita kelainan yang

mempengaruhi kemampuan ginjal untuk membuang asam. Penyebab utama dari asidois metabolik: Gagal ginjal Asidosis tubulus renalis (kelainan bentuk ginjal) Ketoasidosis diabetikum Asidosis laktat (bertambahnya asam laktat) Bahan beracun seperti etilen glikol, overdosis salisilat, metanol, paraldehid, asetazolamid atau amonium klorida Kehilangan basa (misalnya bikarbonat) melalui saluran pencernaan karena diare, ileostomi atau kolostomi.

Gejala Asidosis metabolik ringan bisa tidak menimbulkan gejala, namun biasanya penderita merasakan mual, muntah dan kelelahan. Pernafasan menjadi lebih dalam atau sedikit lebih cepat, namun kebanyakan penderita tidak memperhatikan hal ini. Sejalan dengan memburuknya asidosis, penderita mulai merasakan kelelahan yang luar biasa, rasa mengantuk, semakin mual dan mengalami kebingungan. Bila asidosis semakin memburuk, tekanan darah dapat turun, menyebabkan syok, koma dan kematian.

Diagnosis Diagnosis asidosis biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pengukuran pH darah yang diambil dari darah arteri (arteri radialis di pergelangan tangan). Darah arteri digunakan sebagai contoh karena darah vena tidak akurat untuk

93

mengukur pH darah. Untuk mengetahui penyebabnya, dilakukan pengukuran kadar karbon dioksida dan bikarbonat dalam darah. Mungkin diperlukan pemeriksaan tambahan untuk membantu menentukan penyebabnya. Misalnya kadar gula darah yang tinggi dan adanya keton dalam urin biasanya menunjukkan suatu diabetes yang tak terkendali. Adanya bahan toksik dalam darah menunjukkan bahwa asidosis metabolik yang terjadi disebabkan oleh keracunan atau overdosis. Kadang-kadang dilakukan pemeriksaan air kemih secara mikroskopis dan pengukuran pH air kemih.

Tatalaksana Pengobatan asidosis metabolik tergantung kepada penyebabnya. Sebagai contoh, diabetes dikendalikan dengan insulin atau keracunan diatasi dengan membuang bahan racun tersebut dari dalam darah. Kadang-kadang perlu dilakukan dialisa untuk mengobati overdosis atau keracunan yang berat. Asidosis metabolik juga bisa diobati secara langsung. Bila terjadi asidosis ringan, yang diperlukan hanya cairan intravena dan pengobatan terhadap penyebabnya. Bila terjadi asidosis berat, diberikan bikarbonat mungkin secara intravena; tetapi bikarbonat hanya memberikan kesembuhan sementara dan dapat membahayakan.

94

BAB III PENUTUP


Kesimpulan Pada skenario modul ini membahas tentang koma diabetikum, koma hepatikum, koma uremikum, intoksikasi obat, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dan gangguan keseimbangan asam basa. Koma diabetikum adalah salah satu komplikasi diabetes yang sebelumnya diawali dengan peningkatan kadar gula yang sangat tinggi terdiri atas ketosis dan non ketosis. KAD (ketoasidosis diabetik) ditandai dengan 3 trias yaitu hiperlipidemia, keadaan asidosis metabolik dan terbentuknya badan keton. Keadaan ini menyebabkan koma diabetik. Selain KAD komplikasi diabetes mellitus lain adalah koma hipoglikemik dimana terjadi penurunan insulin drastis karena penggunaan pengobatan insulin yang tidak tepat atau lebih dari dosis biasa. Koma hepatikum mayoritas disebabkan oleh gagal hepar karena virus hepatitis. Virus hepatitis yang kronis maupun akut memiliki komplikasi yang mengarah ke ensefalopati hepatik yang berujung pada koma hepatikum. Infeksi akut hepatitis A akan menyebabkan gagal hati fulminan sedangkan hepatitis B dan C dapat menyebabkan sirosis. Koma uremikum disebabkan karena gangguan ginjal yang umumnya karena CKD (Chronic Kidney Disease). Kegagalan ginjal memetabolisme amoniak akan menyebabkan koma selain itu gagal ginjal yang menyebabkan ekskresi urea yang tidak adekuat juga dapat menyebabkan koma. Intoksikasi adalah keracunan yang dapat disebabkan oleh berbagai macam zat. Intoksikasi ini memiliki penanganan umum yang hampir sama kecuali pada pemberian antidotumnya. Keseimbangan asam basa, elektrolit, dan cairan berfungsi penting dalam menyeimbangkan keadaan tubuh terutama mengenai hemostasis dan juga fungsi metabolisme. Gangguan akan menyebabkan gejala ringan hingga berat bahkan kematian, misalnya hiperkalemia yang menyebabkan aritmia yang berujung pada cardiac arrest.

95

DAFTAR PUSTAKA

Wijaya dkk, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi IV. Jakarta: Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FKUI Dorland, W.A. Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC Guyton AC. 2002. Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Price, SA, & Wilson, LM. 2005. Patofisologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC

96

You might also like