You are on page 1of 19

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering dijumpai di bidang neurologi khususnya anak. Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua, sehingga bagi dokter kita wajib mengatasi kejang demam dengan tepat dan cepat ( Robert,2000). Kejang
demam merupakan salah satu gangguan neurologis yang sering ditemukan pada bayi dan anak (Lumbantobing, 2004). Pada tahun 2005 World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa

berdasarkan studi yang dilakukan di Departemen anak RS Al-Jahra Kuwait pada 400 anak usia satu bulan - 13 tahun dengan riwayat kejang, paling banyak anak menderita kejang demam 77% (WHO, 2005). Kejang demam dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks (Schwartz, 2005). Di Asia sekitar 70%-90% dari seluruh kejang demam merupakan kejang demam sederhana dan sisanya merupakan kejang demam kompleks. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Karimzadeh, P., dkk (2008) di Mofid Childrens Hospital, Iran pada 302 penderita kejang demam diperoleh 73,2% penderita merupakan penderita kejang demam sederhana dan 26,8% merupakan penderita kejang demam kompleks(Karimzadeh,2008). Dua sampai lima persen dari seluruh anak di dunia yang berumur 5 tahun pernah mengalami kejang demam, lebih dari 90% terjadi ketika anak berusia <5 tahun (Christopher, 2012). Insiden tertinggi kejang demam terjadi pada usia dua tahun pertama (Vestergaard, 2006). Insidensi kejang demam Di Amerika Serikat dan Eropa berkisar 4%-5% pada anak usia 5 tahun (Shinnar dan Glauser, 2002). Di Jepang insidens kejang demam berkisar 8,3% pada anak usia 3 tahun (Tsuboi, 1984). Berdasarkan hasil penelitian prospektif Sillanpaa, M., dkk (2008) di Finlandia diperoleh insidens rate kejang demam 6,9% pada anak usia 4 tahun (Sillanpaa,2008). Kejang demam pada umumnya dianggap tidak berbahaya dan sering tidak menimbulkan gejala sisa; akan tetapi bila kejang berlangsung lama sehingga menimbulkan hipoksia pada jaringan Susunan Saraf Pusat (SSP), dapat menyebabkan adanya gejala sisa di kemudian hari ( Robert,2000). Berdasarkan penelitian Yuana, I., dkk (2010) di RSUP dr. Kariadi diperoleh 36
1

anak berusia <5 tahun mengalami kejang demam, dimana laki-laki 52,8% dan perempuan 47,2% (Yuana, 2010). Angka mortalitas akibat kejang demam relatif rendah. Berdasarkan studi kohort yang dilakukan di Denmark selama 28 tahun diperoleh Case Fatality Rate kejang demam 0,42% (Vestergaard,2008). Frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk diagnosa serta tata laksana kejang, ditanyakan kapan kejang terjadi, apakah kejang itu baru pertama kali terjadi atau sudah pernah sebelumnya, bila sudah pernah berapa kali dan waktu anak berumur berapa ( Robert,2000). Sifat kejang perlu ditanyakan, apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum atau fokal. Ditanya pula lama serangan, kesadaran pada waktu kejang dan pasca kejang. Gejala lain yang menyertai diteliti, termasuk demam, muntah, lumpuh, penurunan kesadaran atau kemunduran kepandaian. Pada neonatus perlu diteliti riwayat kehamilan ibu serta kelahiran bayi

Penanganan kejang demam sampai saat ini masih terjadi kontroversi terutama mengenai pengobatannya yaitu perlu tidaknya penggunaan obat untuk profilaksis rumat ( Robert,2000). Dengan latar belakang tersebut, penyusun merasa perlu untuk mengangkat kejadian kejang demam ini dalam sebuah referat yang berjudul Kejang Demam dan Penatalaksanaannya; mengacu pada perkembangan penatalaksanaan kejang demam terkini ( Robert,2000).

1.2 Tujuan Penulisan

a. Mengetahui tinjauan umum mengenai kejang demam. b. Mengetahui tentang bagaimana patofisiologi serta etiologi terjadinya kejang demam.

1.3 Rumusan Masalah

a. Bagaimana definisi, klasifikasi, pemeriksaan penunjang, prognosis, serta kemungkinan berulangnya kejang demam ? b. Bagaimana patofisiologi dan etiologi terjadinya kejang demam ?

1.4 Batasan Masalah Pembahasan pada referat ini, penyusun batasi pada lingkup kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.

BAB II TINJAUAN UMUM KEJANG DEMAM

2.1 Definisi

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh ( suhu rectal lebih dari 38 C ) akibat suatu proses ekstra cranial biasanya terjadi antara umur 3 bulan sampai 5 tahun. Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. 4,5). Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam ( Ismael,2006 ). Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam ( Mansjoer,2000 ). Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam(Ismael,2006). Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam( Ismael,2006 ). Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, kemungkinan lain harus dipertimbangkan misalnya infeksi SSP, atau epilepsy(Ismael,2006). Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat ( Mansjoer,2000 ). Kejang tersebut biasanya timbul pada suhu badan yang tinggi ( demam ). Demamnya sendiri dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi yang paling utama adalah infeksi. Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi terjadinya kejang demam. (Price S.A 2000). Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam.

2.2 Epidemiologi

Kejadian kejang demam diperkirakan 2 % - 4 % di Amerika Serikat, Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira kira 20 % kasus merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17 23 bulan).

2.3 Faktor Resiko

Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam ( Mansjoer,2000 ). Ada riwayat kejang demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua, menunjukkan kecenderungan genetik (1,3). Selain itu terdapat faktor perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah ( Mansjoer,2000 ). Setelah kejang demam pertama, kira kira 33 % anak akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan kira 9 % anak akan mengalami tiga kali rekurensi atau lebih, resiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi (1,3).

2.4 Klasifikasi

Umumnya kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Kriteria untuk penggolongan tersebut dikemukakan oleh berbagai pakar. Dalam hal ini terdapat perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak, dan lainnya (Lumbantobing, 2004). Studi epidemiologi membagi kejang demam menjadi 3 bagian yaitu: kejang demam sederhana, kejang demam kompleks, dan kejang demam berulang ( Baumann, 2001). Kejang demam kompleks ialah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit, fokal atau multiple (lebih dari 1 kali kejang per episode demam). Kejang demam sederhana ialah kejang demam yang bukan kompleks. Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari satu

episode demam. Epilepsi ialah kejang tanpa demam yang terjadi lebih darisatukali
(Soetomenggolo,2000).

2.5 Manifestasi klinis

Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39 o C atau lebih. Kejang khas menyeluruh, tonik klonik lama beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk singkat pasca kejang. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi, seperti mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15 menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik dan memerlukan pengamatan menyeluruh. Ketika demam tidak lagi ada pada saat anak sampai di rumah sakit, tanggung jawab dokter yang paling penting adalah menentukan penyebab demam dan mengesampingkan meningitis (1,3). Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8 % berlangsung lebih dari 15 menit. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti hemiparese sementara (hemiparese Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti hemiparese yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama sering terjadi pada kejang pertama(Mansjoer,2000).

2.5 Diagnosa

Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis kejang demam antara lain: 1. Anamnesis, dibutuhkan beberapa informasi yang dapat mendukung diagnosis ke arah kejang demam, seperti: - Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum dan saat kejang, frekuensi, interval pasca kejang, penyebab demam diluar susunan saraf pusat.

- Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang demam, seperti genetik, menderita penyakit tertentu yang disertai demam tinggi, serangan kejang pertama disertai suhu dibawah 39 C. - Beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya kejang demam berulang adalah usia< 15 bulan saat kejang demam pertama, riwayat kejang demam dalam keluarga, kejang segera setelah demam atau saat suhu sudah relatif normal, riwayat demam yang sering, kejang demam pertama berupa kejang demam kompleks. 2. Gambaran Klinis, yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam adalah: - Suhu tubuh mencapai 39C. - Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang. 3. Pemeriksaan fisik dan laboratorium Pada kejang demam sederhana, tidak dijumpai kelainan fisik neurologi maupun laboratorium. Pada kejang demam kompleks, dijumpai kelainan fisik neurologi berupa hemiplegi. Pada pemeriksaan EEG didapatkan gelombang abnormal berupa gelombang-gelombang lambat fokal bervoltase tinggi, kenaikan aktivitas delta, relatif dengan gelombang tajam. Perlambatan aktivitas EEG kurang mempunyai nilai prognostik, walaupun penderita kejang demam kompleks lebih sering menunjukkan gambaran EEG abnormal. EEG juga tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi di kemudian hari (Soetomenggolo, 2000). Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan

kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada: 1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan 2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan 3. Bayi > 18 bulan tidak rutin Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

2.6 Diagnosa Banding

Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan cairan serebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang diikuti hemiperesis
7

sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses intrakranial. Sinkop juga dapat diprovokasi oleh demam, dan sukar dibedakan dengan kejang demam. Anak dengan kejang demam tinggi dapat mengalami delirium, menggigil, pucat, dan sianosis sehingga menyerupai kejang demam (Soetomenggolo, 2000).

2.7 Prognosis

Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan kematian. a. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal ( Ismael,2006 ). Kejang yang lebih dari 15 menit, bahkan ada yang mengatakan lebih dari 10 menit, diduga biasanya telah menimbulkan kelainan saraf yang menetap ( Hendarto,1982). Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi (3,5) :

1. Kejang demam berulang dengan frekuensi berkisar antara 25 % - 50 %. Umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. 2. Epilepsi, resiko untuk mendapatkan epilepsi rendah. 3. Kelainan motorik 4. Gangguan mental dan belajar

b. Kemungkinan mengalami kematian Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan ( Ismael,2006 ).

2.8 Kemungkinan Berulangnya Kejang Demam

Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko berulangnya kejang demam adalah : a. Riwayat kejang demam dalam keluarga b. Usia kurang dari 12 bulan c. Temperatur yang rendah saat kejang d. Cepatnya kejang setelah demam Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80 %, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10 % - 15 %. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.

Faktor resiko terjadinya epilepsi ( Ismael,2006 ) Faktor resiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor resiko menjadi epilepsi adalah : a. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama. b. Kejang demam kompleks. c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung Masing masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4 % - 6 %, kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10 % - 49 %. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.

2.9 Penatalaksanaan

Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu:

1. Pengobatan fase akut

Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu pasien sedang kejang semua pakaian yang ketat dibuka, dan pasien dimiringkan kepalanya apabila muntah untuk mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Pengisapan lendir dilakukan secra teratur, diberikan oksiegen, kalau perlu dilakukan intubasi. Awasi keadaan vital sperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan, dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air dingin dan pemberian antipiretik. Diazepam adalah pilihan utama dengan pemberian secara intravena atau intrarektal (Soetomenggolo, 2000).

2. Mencari dan Mengobati Penyebab

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai meningitis atau apabila kejang demam berlangsung lama. Pada bayi kecil sering mengalami meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan pada pasien berumur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan utuk mencari penyebab (Soetomenggolo, 2000).

3. Pengobatan Profilaksis

Kambuhnya kejang demam perlu dicegah, kerena serangan kejang merupakan pengalaman yang menakutkan dan mencemaskan bagi keluarga. Bila kejang demam berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan otak yang menetap (cacat). Ada 3 upaya yang dapat dilakukan:

- Profilaksis intermitten, pada waktu demam.

- Profilaksis terus-menerus, dengan obat antikonvulsan tiap hari

- Mengatasi segera bila terjadi kejang.

10

Profilaksis intermitten

Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan orangtua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada pasien. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak. Diazepam intermittent memberikan hasil lebih baik kerena penyerapannya lebih cepat. Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,5C atau lebih. Diazepam dapat pula diberikan sacara oral dengan dosis 0,5 mg/kg BB/ hari dibagi dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk, dan hipotonia (Soetomenggolo, 2000).
Profilaksis terus- menerus dengan antikonvulasan tiap hari

Pemberian fenobarbital 4-5 mg/kg BB/hari dengan kadar darah sebesar 16 mgug/ml dalam darh menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah berulanggnya kejang demam. Obat lain yang dapat digunakan untuk profilaksis kejang demam adalah asam valproat yang sama atau bahkan lebih baik dibandingkan efek fenobarbital tetapi kadang-kadang menunjukkan efek samping hepatotoksik. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg BB/hari. Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tetapi tidak dapat mencegah terjandinya epilepsi di kemudian hari (Soetomenggolo, 2000). Consensus Statement di Amerika Serikat mengemukakan kriteria yang dapat dipakai untuk pemberian terapi rumat. Profilaksis tiap hari dapat diberi pada keadaan berikut:

1. Bila terdapat kelainan perkembangan neurologi (misalnya cerebral palsy, retardasi mental, mikrosefali). 2. Bila kejang demam berlangsung lama dari 15 menit, bersifat fokal, atau diikuti kelainan neurologis sepintas atau menetap. 3. Terdapat riwayat kejang-tanpa-demam yang bersifat genetik pada orang tua atau saudara kandung.

11

Pemberian Obat Rumat ( Ismael,2006 ) a. Indikasi pemberian obat rumat Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu) :

1. Kejang lama > 15 menit. 2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus. 3. Kejang fokal. 4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila : Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan. Kejang demam > 4 kali per tahun. Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan indikasi pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakan indikasi pengobatan rumat. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik. b. Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan resiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40 % - 50 % kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15 40 mg/kgBB/hari dalam 2 3 dosis, dan fenobarbital 3 4 mg/kgBB/hari dalam 1 2 dosis.

12

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang , hindarilah rasa panik dan lakukanlah langkah-langkah pertolongan sebagai berikut:

1. Telungkupkan dan palingkan wajah ke samping 2. Ganjal perut dengan bantal agar tidak tersedak 3. Lepaskan seluruh pakaian dan basahi tubuhnya dengan air dingin. Langkah ini diperlukan untuk membantu menurunkan suhu badanya. 4. Bila anak balita muntah, bersihkan mulutnya dengan jari. 5. Walupun anak telah pulih kondisinya, sebaiknya tetap dibawa ke dokter agar dapat ditangani lebih lanjut (Widjaja, 2001).

Antipiretik

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali ,3-4 kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan.

Antikonvulsan

Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5 0C. Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang
13

dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari dalam 1-2 dosis.

Edukasi pada orang tua

Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya: 1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik. 2. Memberitahukan cara penanganan kejang 3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali 4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek samping obat.

Vaksinasi

Sejauh in tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi sedangkan setelah vaksinasi MMR 25-34 per 100.000. Dianjurkan untuk memberikan diazepam oral atau rektal bila anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter anak merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian.

14

BAB III PATOFISIOLOGI DAN ETIOLOGI KEJANG DEMAM

3.1 Patofisiologi Kejang Demam

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi, dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru paru lalu diteruskan melalui system kardiovaskular sehingga dapat mencapai ke otak ( FKUI,1985 ). Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air( FKUI,1985 ). Sel saraf seperti sel pada umumnya memiliki juga potensial membrane, pada keadaan istirahat potensial membrane ialah 30-100 mV. Potensial membrane ini terbentuk akibatnya ada perbedaan atau selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel ketika sel saraf mengalami stimulasi maka terdapat penurunan potensial membrane akibat perbedaan yang terjadi.

Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na K ATPase yang terdapat pada sel ( FKUI,1985 Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya : ).

a.

Perubahan

konsentrasi

ion

di

ruang

ekstraseluler.

b. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan ( FKUI,1985 ).
15

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1 o C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10 % - 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20 %. Pada seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang ( FKUI,1985 ). Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38 o C, sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40 o C atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah, sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang ( FKUI,1985 ).

Penelitian binatang menunjukkan bahwa vasopresin arginin dapat merupakan mediator penting pada patogenesis kejang akibat hipertermia ( Robert,2000).

Kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akibatnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipertensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak ( FKUI,1985 ).

Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi ( FKUI,1985 ).

16

3.2 Etiologi

Beberapa kondisi yang dapat menimbulkan kejang demam menurut Lumban Tobing (2005) :

1. Demam itu sendiri, yang disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih, kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. 2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme 3. Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi. 4. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit. 5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan, yang tidak diketahui atau enselofati toksik sepintas.

17

BAB V

KESIMPULAN

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rectal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ektrakranium. Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Kejang demam terjadi akibat demam yang terjadi diakibatkan oleh infeksi pada umumnya. Kejang sendiri terjadi karena adanya muatan listrik yang terlepas akibat adanya potensial membrane yang berbeda. Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui patofisiologi dan etiologi dari kejang demam agar dapat membantu dalam pemberian penatalaksanaan yang tepat.

18

Daftar Pustaka 1. Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3, Edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; XXVII : 2059 2060. 2. Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No. 27. 1982 : 6 8. 3. Karimzadeh, P, at al, 2008. Febrile Convulsions: The Role Played By Paracinical Evaluation.. Iran. Iran J Child Neurology Okt 2008, Hal 21-24. http://journals.sbmu.ac.ir/ijcn/article/view/558/45. 4. Lumbantobing, S, M, 2004. Kejang Demam (Febrile Convulsion). Cetakan Ketiga. Balai Penerbit FK UI: Jakarta. 5. Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani Wahyu Ika, et al. Neurologi Anak, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media Aesculapius FK Universitas Indonesia, Jakarta. 2000 : 48, 434 437. 6. Pusponegoro Hardiono D, Widodo Dwi Putro, Ismael Sofyan. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta. 2006 : 1 14. 7. Tsuboi, T, 1984. Epidemiology of febrile convulsions in children in Japan. Neurology. Hal. 175-181. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/6538005. 8. Saharso Darto. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya. 2006 : 271 273. 9. Sillanpaa, M, et al, 2008. Incidence of Febrile Seizures in Finland: Prospective Population-Based Study. Finlandia. Pediatric Neurology. Vol. 38 , Hal. 391-394. http://www.pedneur.com/article/S0887-8994(08)00109-4/. 10. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI Jakarta. 1985 : 25, 847 855. 11. Schwartz, M, W, 2005. Pedoman Klinis Pediatri. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. 12. Vestergaard, M, et al, 2006. The Danish National Hospital Register is Avaluable Study base for Epidemiologic Research in Febrile Seizures. Denmark. J Clin Epidemiol. Jan 2006, Hal 61 66. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16360562.

19

You might also like