You are on page 1of 111

-i-

8UkU AIAk
ILMU kLkCDUkSI 1LkNAk
D|susun o|eh
MUnAMMAD USUI
!urusan roduksl 1ernak
lakultas eternakan
unlversltas Pasanuddln
LLM8AGA kAIIAN DAN LNGLM8ANGAN LNDIDIkAN
UNIVLkSI1AS nASANUDDIN
2012
-ii-
HALAMAN PENGESAHAN
HBAH PENULSAN BUKU AJAR BAG TENAGA AKADEMK
UNVERSTAS HASANUDDN 2012
Judul Buku/Mata Kuliah : lmu Reproduksi Ternak
Nama Lengkap
Penanggung Jawab Penulisan : Muhammad Yusuf
N P / N D N : 19700725 199903 1 001 / 0025077002
Pangkat/Golongan : Pembina / V.a
Program Studi : Produksi Ternak
Fakultas : Peternakan
Email : ramadhanti_yusuf@yahoo.com
Penulis : Muhammad Yusuf
Biaya : Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah)
Dibiayai oleh dana DPA BLU Universitas Hasanuddin
tahun 2012 sesuai SK Rektor Unhas No
Makassar, 26 November 2012
Dekan Fakultas Peternakan Penanggungjawab Penulisan
Prof.Dr.Ir. Syamsuddin Hasan, M.Sc Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt
NP. 19520923 197903 1 002 NP. 19700725 199903 1 001
Mengetahui,
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan
Prof. Dr. Ir. LeIIah Rahim, M.Sc
NP 19630501 198803 1 004
-iii-
Surat Pernyataan
Saya atau kami penulis buku ini:
Nama : Muhammad Yusuf
NDN : 0025077002
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Buku ini benar saya tulis (atau kami tulis bila penulis lebih dari satu), bukan
karya plagiat. Beberapa pernyataan, gambar, rumus, atau opini dari orang
lain yang termuat dalam buku ini selalu disertai sumbernya yang jelas.
2. Buku ini saya (kami) serahkan kepada Lembaga Kajian dan Pengembangan
Pendidikan (LKPP) Unhas, untuk selanjutnya dijadikan koleksi
Perpustakaan Pusat Unhas dan dalam bentuk softcopy dipajang di
www.unhas.ac.id yang dapat diakses oleh semua pengguna, khususnya
mahasiswa.
Demikian pernyataan ini kami buat dengan sungguh sunggguh.
Makassar, 30 November 2012
Penulis,
Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt
NDN: 0025077002
-iv-
KATA PENGANTAR
Mata kuliah Ilmu Reproduksi Ternak merupakan mata kuliah wajib yang harus
diprogramkan oleh setiap mahasiswa Eakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Oleh
karena itu, untuk eIektiIitas dan eIisiensi dalam pencapaian kompetensi dalam bidang
pengetahuan reproduksi ini maka dibuatlah satu buku ajar. Buku ajar Ilmu Reproduksi
Ternak ini dibuat berdasarkan silabus dan garis-garis besar program rencana pembelajaran
yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang perlu untuk diketahui oleh mahasiswa
yang mengambil mata kuliah ini.
Di dalam buku ajar ini, pembahasan mencakup mulai dari pentingnya ilmu
reproduksi ternak, perkembangan organ reproduksi baik organ reproduksi betina maupun
organ reproduksi jantan, hormon reproduksi, gametogenesis, siklus reproduksi, ovulasi,
Iertilisasi dan kebuntingan yang dilanjutkan pada proses kelahirnan dan menyusui.
Dibagian akhir daripada buku ajar ini, juga dibahas tentang eIisiensi reproduksi yang
memungkinkan untuk mengevaluasi pengukuran aspek reproduksi serta Iaktor-Iaktor yang
berpengaruh didalam proses reproduksi. Perkembangan ilmu dan teknologi reproduksi juga
dibahas pada bagian akhir buku ajar ini.
Buku ajar ini bukua ajar dasar yang disusun berdasarkan kebutuhan dan tuntutan
kompetensi yang harus dipenuhi oleh mahasiswa, oleh karena itu, buku ajar ini akan
Ileksibel terhadap perubahan-perubahan, baik perubahan kurikulum maupun perubahan
dalam perkembangan dan kemajuan ilmu dan teknologi reproduksi. Akhirnya penulis
menyampaikan semoga buku ini dapat memberikan manIaat yang sebesar-besarnya.
Makassar, 28 November 2012
Penyusun,
Muhammad Yusuf
-v-
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Pengesahan ii
Surat Keterangan Penulis iii
Kata Pengantar iv
DaItar Isi v
Senarai Kata Penting vi
BAB 1 Pendahuluan 1
BAB 2 Urgensi Ilmu Reproduksi Ternak 14
BAB 3 Perkembangan Organ Reproduksi 17
BAB 4 Hormon Reproduksi 43
BAB 5 Gametogenesis 52
BAB 6 Siklus Reproduksi 61
BAB 7 Ovulasi, Iertilisasi dan kebuntingan 73
BAB 8 Kelahiran dan Menyusui 83
BAB 9 EIisiensi Reproduksi 92
BAB 10 Teknologi Reproduksi 98
Penutup 104
DaItar Pustaka 105
-vi-
SENARAI KATA PENTING (Glosarium)
Androgen Kelenjar pineal Pubertas
Babi Kelenjar prostat Relaksin
Badan uterus Kelenjar vesikular Reproduksi ternak
Corpus luteum Kopulasi Saluran Mullerian
Domba Kuda Saluran WolIIian
EIisiensi reproduksi LH Sapi
Embrio Miosis Serviks
Epididimis Mitosis Sinkronisasi berahi
Estrogen Oksitosin Skrotum
Eertilisasi Oogenesis Spermatic cord
Eetus Oosit Spermatogenesis
ESH Oosit primer Spermatosit primer
Gamet Oosit sekunder Spermatosit sekunder
GnRH Organ reproduksi betina Spermatositogenesis
GraIian Iollicle Organ reproduksi primer Spermatozoa
Hipotalamus Ovarium Spermiogenesis
Hormon Oviduct Steroid
Induksi berahi Ovulasi Tanduk uterus
Inhibin Penis Preputium Testis
Inseminasi buatan (IB) Peptida TransIer embrio
In-vito Pituitari anterior Uretra
Kambing Pituitari posterior Uterus
Kebuntingan Progestin Vagina
Kelenjar asesori Prolaktin Vas deIerens
Kelenjar bulbouretral Prostaglandin Vulva
Kelenjar endokrin Protein Zigot
-1-
BAB 1
PENDAHULUAN
Profil Lulusan Program Studi
ProIil lulusan program studi Peternakan adalah sarjana peternakan yang menguasai tiga
aspek berikut:
1. Knowledgeable and skilIul graduate (lulusan berpengetahuan dan trampil)
2. Manager
3. Enterpreneur
Kompetensi Lulusan
Kompetensi yang harus dimiliki oleh Sarjana Peternakan dibagi ke dalam komptensi
Utama, Komptensi Pendukung dan Kompetensi lainnya.
a. Kompetensi Utama
Kompetensi utama merupakan yang kompetensi penciri lulusan sarjana peternakan meliputi
penguasaan dan pengembangan ipteks peternakan, kemampuan kerjasama dan adaptasi dalam
lingkungan kerja, berkomunikasi secara eIektiI, mampu mengelola dan memimpin usaha
peternakan, mampu mengembangkan bisnis peternakan berbasis teknologi dan membangun jaringan
(interkoneksitas).
b. Kompetensi Pendukung
Kompetensi pendukung yang harus dimiliki oleh sarjana peternakan adalah kemampuan
dalam memanIaatkan teknologi inIormasi dan komunikasi, berbahasa asing, kemampuan
membangun mengembangkan kelembagaan peternakan, mampu mengevaluasi, memasarkan, dan
mencari dana untuk usaha peternakan, serta kemampuan kerjasama dalam tim.
c. Kompetensi Lainnya
-2-
Kompetensi lainnya yang harus dimiliki oleh sarjna peternakan adalah berkarakter dan
memiliki wawasan kebangsaan, mampu memahami budaya lokal, serta memiliki moral, etika, dan
akhlak yang baik.
Tabel 1. Matriks Hubungan antara ProIil dan Kompetensi Lulusan
Profil Utama Pendukung Lainnya
Knowledgeable and
skillIul worker
(lulusan
berpengetahuan dan
trampil)
1. Menguasai dan mampu
menerapkan IPTEKS
peternakan
2. Mampu menganalisis,
menginterpretasi dan
memecahkan masalah di
bidang peternakan
3. Mampu mengikuti
perkembangan IPTEKS
4. Mampu bekerjasama dan
beradaptasi dalam
lingkungan kerja
1. Mampu
memanIaatkan dan
menggunakan
Teknologi
InIormasi dan
komunikasi
2. Memiliki
kemampuan
berbahasa asing
1. Berkarakter dan
memiliki wawasan
kebangsaan
Manager 1. Mampu berkomunikasi
secara eIektiI
2. Mampu mengelola dan
memimpin usaha
peternakan
3. Mampu memotivasi dan
menggerakkan
masyarakat dalam
pengembangan
peternakan
1. Mampu
mengorganisasi
dan
mengembangkan
kelembagaan
peternakan
2. Memahami dan
toleransi terhadap
budaya lokal
Enterprenuer 1. Mampu memulai dan
mengembangkan bisnis
berbasis teknologi
2. Mampu membangun
jaringan usaha/
interkoneksitas
1. Mampu
mengevaluasi
usaha bisnis
2. Mampu
memasarkan hasil
usaha
3. Mampu mencari
pendanaan usaha
1. Memiliki
moralitas, etika,
akhlak.
Struktur dan Isi Kurikulum
Kompetensi lulusan yang telah dirumuskan di atas, telah dikaji apakah kompetensi tersebut
telah mengandung kelima elemen kompetensi seperti yang diwajibkan dalam Kepmendiknas
-3-
No.045/U/2002 (232/U/2005). Kelima elemen kompetensi tersebut adalah : (a) landasan
kepribadian, (b) penguasaan ilmu dan keterampilan, (c) kemampuan berkarya, (d) sikap dan
perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang
dikuasai, (e) pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam
berkarya. Hubungan antara rumusan kompetensi dengan elemen kompetensi disajikan pada Tabel 2
Tabel 2. Matriks antara Rumusan Kompetensi dengan Elemen Kompetensi dalam SK
Mendiknas No. 045/U/2002
KELOMPOK
KOMPETENSI
NO. RUMUSAN KOMPETENSI
ELEMEN KOMPETENSI
a b c d e
1 2 3 4 5 6 7 8
KOMPETENSI
UTAMA
1
Menguasai dan mampu menerapkan
IPTEKS peternakan

2
Mampu menganalisis, menginterpretasi dan
memecahkan masalah di bidang peternakan

3
Mampu mengikuti perkembangan IPTEKS

4
Mampu bekerjasama dan beradaptasi dalam
lingkungan kerja

5
Mampu berkomunikasi secara eIektiI

6
Mampu mengelola dan memimpin usaha
peternakan

7
Mampu memotivasi dan menggerakkan
masyarakat dalam pengembangan
peternakan

8
Mampu memulai dan mengembangkan
bisnis peternakan berbasis teknologi

9
Mampu membangun jaringan usaha/
interkoneksitas

-4-
KELOMPOK
KOMPETENSI
NO. RUMUSAN KOMPETENSI
ELEMEN KOMPETENSI
a b c d e
1 2 3 4 5 6 7 8
KOMPETENSI
PENDUKUNG
10
Mampu memanIaatkan dan menggunakan
Teknologi InIormasi dan komunikasi

11
Memiliki kemampuan berbahasa asing

12
Mampu mengorganisasi dan
mengembangkan kelembagaan peternakan

13
Mampu mengevaluasi usaha bisnis

14
Mampu memasarkan hasil usaha

15
Mampu mencari pendanaan usaha

KOMPETENSI
LAINNYA
16
Berkarakter dan memiliki wawasan
kebangsaan

17
Memahami dan toleransi terhadap budaya
lokal

18
Memiliki moralitas, etika, akhlak

ELEMEA KOMPE1EASI:
a. landasan kepribadian;
b. penguasaan ilmu dan keterampilan;
c. kemampuan berkarya;
d. sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan
keterampilan yang dikuasai;
e. pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam
berkarya.
-S-
Analisis Kebutuhan Pembelajaran
Dalam pelaksanaan mata kuliah ini, disusunlah hirarki pembelajaran berdasarkan analisis
kebutuhan untuk memenuhi kompetensi utama yakni: a) Memahami proses reproduksi yang
terjadi pada berbagai hewan ternak; b). Mampu menganalisis masalah reproduksi yang
terjadi di lapangan. Sehingga setelah mempelajari mata kuliah ini mahasiswa diharapkan
mampu memahami proses reproduksi ternak dan menganalisa eIisiensi reproduksi bagi
ternak yang dipelihara oleh petani/peternak.
-S-
Analisis Kebutuhan Pembelajaran
Dalam pelaksanaan mata kuliah ini, disusunlah hirarki pembelajaran berdasarkan analisis
kebutuhan untuk memenuhi kompetensi utama yakni: a) Memahami proses reproduksi yang
terjadi pada berbagai hewan ternak; b). Mampu menganalisis masalah reproduksi yang
terjadi di lapangan. Sehingga setelah mempelajari mata kuliah ini mahasiswa diharapkan
mampu memahami proses reproduksi ternak dan menganalisa eIisiensi reproduksi bagi
ternak yang dipelihara oleh petani/peternak.
-S-
Analisis Kebutuhan Pembelajaran
Dalam pelaksanaan mata kuliah ini, disusunlah hirarki pembelajaran berdasarkan analisis
kebutuhan untuk memenuhi kompetensi utama yakni: a) Memahami proses reproduksi yang
terjadi pada berbagai hewan ternak; b). Mampu menganalisis masalah reproduksi yang
terjadi di lapangan. Sehingga setelah mempelajari mata kuliah ini mahasiswa diharapkan
mampu memahami proses reproduksi ternak dan menganalisa eIisiensi reproduksi bagi
ternak yang dipelihara oleh petani/peternak.
-6-
Kontrak Pembelajaran
KONTRAK PEMBELAJARAN
Nama Mata Kuliah : Ilmu Reproduksi Ternak
Kode Mata Kuliah : 329I1103
Pengajar : Dr. Muhammad YusuI, S.Pt (Anggota Tim)
Semester : III/2011-2012
Hari Pertemuan/Jam : Senin, 08.00 09.40
Tempat Pertemuan : PB 512
1. Manfaat Mata Kuliah
Dalam upaya peningkatan jumlah/populasi ternak, baik populasi secara keseluruhan
maupun kelompok, pengetahuan terhadap ilmu reproduksi ternak menjadi sangat penting.
Untuk mencapai hal tersebut, pengetahuan dalam bidang reproduksi ternak sangat
dibutuhkan dan secara khusus, teori tentang proses reproduksi yang terjadi pada
ternak/hewan.
Oleh karena itu, mata kuliah ini harus diikuti oleh seluruh mahasiswa peternakan,
dimana dengan mengikuti mata kuliah ini, mahasiswa dapat terbantu untuk memahami teori
proses reproduksi ternak, menerapkan dalam praktek/praktikum serta mampu menerapkan
teori proses reproduksi tersebut di lapangan. Disamping itu, mahasiswa juga dapat terbantu
didalam menentukan masalah reproduksi dan mampu menganalisis masalah tersebut.
2. Deskripsi Perkuliahan
Mata kuliah ini merupakan mata kuliah wajib yang harus diikuti oleh seluruh
mahasiswa peternakan. Mata kuliah ini membahas tentang proses reproduksi yang dimulai
dari pola perkembangan, anatomi dan Iisiologi organ reproduksi jantan dan betina, kelenjar
-7-
dan hormonal yang yang terkait dengan proses reproduksi, proses oogenesis dan
spermatogenesis, pubertas, estrus, siklus estrus, ovulasi, Iertilisasi, kebuntingan, kelahiran
dan menyusui, induksi/sinkronisasi estrus, Iaktor-Iaktor yang mempengaruhi proses
reproduksi serta perhitungan eIisiensi reproduksi.
3. Sasaran Pembelajaran
Pada akhir perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan mampu :
1. Memahami ruang lingkup dan urgensi mempelajari mata kuliah Ilmu Reproduksi
Ternak.
2. Memahami proses perkembangan, anatomi dan Iisiologi organ reproduksi ternak
serta mekanisme kerja hormon dalam pengaturan proses reproduksi.
3. Memahami proses perkembangan, anatomi dan Iisiologi organ reproduksi ternak
serta mekanisme kerja hormon dalam pengaturan proses reproduksi.
4. Menjelaskan proses perkembangan ovum dan sperma, pencapaian pubertas,
terjadinya berahi dan ovulasi.
5. Menjelaskan proses terjadinya Iertilisasi, kebuntingan dan kelahiran serta
memahami mekanisme yang terjadi selama proses menyusui.
6. Mengevaluasi keberhasilan proses reproduksi dan Iaktor-Iaktor yang
mempengaruhinya.
7. Memilah upaya-upaya yang tepat untuk meningkatkan eIisiensi reproduksi pada
ternak.
4. strategi Pembelajaran
Untuk mencapai sasaran pembelajaran di atas, strategi pembelajaran yang
diterapkan pada mata kuliah ini adalah kombinasi kuliah interaktiI, belajar mandiri,
collaborative learning, yang dipadukan dengan kegiatan praktikum. Diawal pertemuan dan
pada topik-topik khusus, mahasiswa akan diberi kuliah interaktiI yang diikuti dengan
-8-
pemberian tugas kelompok yang harus dipresentasikan di depan teman-temannya. Dalam
presentasi ini diharapkan terjadi diskusi yang diIasilitasi oleh dosen. Lebih lanjut untuk
membandingkan antara teori dan kenyataan, kegiatan praktikum merupakan wahana yang
akan digunakan mahasiswa baik di laboratorium maupun di lapangan. Dengan demikian,
mahasiswa mampu mengetahui dan membahas berbagai permasalahan reproduksi dan
menganalisis masalah tersebut untuk mencapai eIisiensi reproduksi ternak yang baik.
5. Materi/Bacaan Perkuliahan
Beberapa bahan bacaan yang digunakan dalam mata kuliah ini adalah sebagai
berikut:
1. Roberts SJ. 2002. Veterinary Obstetrics and Genital Diseases. Second edition,
Indian edition. CBS Publishers & Distributors, New Delhi, India.
2. Bearden HJ, Euquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3
rd
Ed, Prentice
Hall, Englewood CliIIs, Ney Jersey 07632.
3. HaIez ESE, HaIez B. 2000. Reproduction in Earm Animals. 7
th
, Lippincott Williams
& Wilkins. Philadelphia, Baltimore, New York, London Buenos Aires, Hongkong,
Sidney, Tokyo.
4. Peters AR, Ball PJH. 1987. Reproduction in Cattle. Butterworths. London,
Boston,Durban, Singapore, Sidney, Toronto, wellington.
5. Hutchinson JSM. 1993. Controlling Reproduction. Chapman & Hall, 2-6 Boundary
Row, London SE1 8HN.
Disamping itu, beberapa artikel/jurnal ilmiah akan diberikan kepada mahasiswa untuk
didiskusikan dalam kelompok yang telah ditetapkan.
-9-
6. Tugas
Untuk eIektivitas dan eIisiensinya pelaksanaan perkuliahan ini, mahasiswa
diharapkan telah membaca bahan bacaan seperti yang dikemukakan sebelumnya. Sebagai
tambahan, beberapa tugas setelah proses pembelajaran akan diberikan kepada mahasiswa
sebagai bagian dari belajar mandiri yang topiknya akan ditentukan oleh pengajar yang
sesuai dengan mata kuliah ini, sehingga dapat menunjang tujuan instruksional dan sasaran
yang telah ditetapkan sebelumnya. Disamping itu, tugas lain didalam praktikum akan
diberikan kepada mahasiswa yang pada akhirnya juga akan menunjang keterampilan
mahasiswa.
-10-
GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGA1ARAN
Nama Mata Kuliah : Ilmu reproduksi Ternak
Kode Mata Kuliah /
SKS
: 329I1103 / 3
Deskripsi Singkat : Mata kuliah ini membahas tentang proses reproduksi yang
dimulai dari pola perkembangan, anatomi dan Iisiologi organ
reproduksi jantan dan betina, kelenjar dan hormonal yang yang
terkait dengan proses reproduksi, proses oogenesis dan
spermatogenesis, pubertas, estrus, siklus estrus, ovulasi,
Iertilisasi, kebuntingan, kelahiran dan menyusui,
induksi/sinkronisasi estrus, Iaktor-Iaktor yang mempengaruhi
proses reproduksi serta perhitungan eIisiensi reproduksi.
Sasaran
Pembelajaran
: Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan
mampu :
1. Memahami ruang lingkup dan urgensi mempelajari mata
kuliah Ilmu Reproduksi Ternak.
2. Memahami proses perkembangan, anatomi dan Iisiologi
organ reproduksi ternak serta mekanisme kerja hormon
dalam pengaturan proses reproduksi.
3. Menjelaskan proses perkembangan ovum dan sperma,
pencapaian pubertas, terjadinya berahi dan ovulasi.
4. Menjelaskan proses terjadinya Iertilisasi, kebuntingan dan
kelahiran serta memahami mekanisme yang terjadi selama
proses menyusui.
5. Mengevaluasi keberhasilan proses reproduksi dan Iaktor-
Iaktor yang mempengaruhinya.
6. Memilah upaya-upaya yang tepat untuk meningkatkan
eIisiensi reproduksi pada ternak.
-11-
MINGGU
SASARAN
PEMBELA1ARAN
MATERI
PEMBELA1ARAN
STRATEGI
PEMBELA1ARAN
KRITERIA PENILAIAN
BOBOT
NILAI
()
I
Memahami ruang
lingkup dan urgensi
mempelajari mata
kuliah Ilmu
Reproduksi Ternak
- Urgensi
mempelajari Ilmu
Reproduksi Ternak
- Ruang lingkup mata
kuliah ini
- Kontrak
pembelajaran
Kuliah interaktiI Ketepatan alasan pentingnya
mempelajari reproduksi
ternak
0,31
II
Memahami proses
perkembangan,
anatomi dan Iisiologi
organ reproduksi
ternak serta
mekanisme kerja
hormon dalam
pengaturan proses
reproduksi
- Perkembangan
organ reproduksi
betina
- Anatomi dan
Iisiologi organ
reproduksi betina
- Kuliah interaktiI,
belajar mandiri,
- 'collaborative
learning
- Praktikum
- Penyerahan
Tugas
- Kualitas paper individu
dan kelompok.
- KeaktiIan dan kualitas diri
dalam diskusi
- Ketepatan dalam
menunjukkan dan
menerangkan Iungsi organ
reproduksi betina.
0,31
4,00
2,50
III
- Perkembangan
organ reproduksi
jantan
- Anatomi dan
Iisiologi organ
reproduksi jantan
- Kuliah interaktiI,
belajar mandiri,
- 'collaborative
learning
- Praktikum
- Kualitas paper individu
dan kelompok.
- KeaktiIan dan kualitas diri
dalam diskusi
- Ketepatan dalam
menunjukkan dan
menerangkan Iungsi organ
reproduksi jantan.
0,31
4,00
IV
- Anatomi dan
Iisiologi Kelenjar
endokrin.
- Jenis dan Iungsi
hormon reproduksi
- Mekanisme kerja
hormon reproduksi
dalam mengatur
proses reproduksi
- Belajar mandiri,
- 'collaborative
learning
- Penyerahan
Tugas
- Kualitas paper individu
dan kelompok.
- KeaktiIan dan kualitas diri
dlm diskusi
- Ketepatan dalam
menunjukkan dan
menerangkan Iungsi
kelenjar endokrin serta
hormon yang dihasilkan.
- Ketepatan dalam
menerangkan mekanisme
kerja hormon dalam
mengatur proses
reproduksi
0,31
2,50
V
Menjelaskan proses
perkembangan ovum
dan sperma,
pencapaian pubertas,
terjadinya berahi dan
ovulasi
- Proses oogenesis
- Proses
spermatogenesis
- Pubertas dan Iaktor-
Iaktor yang
mempengaruhi
- Kuliah interaktiI,
- Belajar mandiri,
- 'Collaborative
learning
- Penyerahan Tugas
- Kualitas paper individu
dan kelompok.
- KeaktiIan dan kualitas diri
dalam diskusi
- Ketepatan dalam
menunjukkan dan
menerangkan proses
oogenesis dan
spermatogenesis
0,31
2,50
VI
Siklus Estrus
Induksi dan
sinkronisasi estrus
Proses ovulasi
- Belajar mandiri,
- 'Collaborative
learning
- Praktikum
- Kualitas paper individu
dan kelompok.
- KeaktiIan dan kualitas diri
dalam diskusi
- Ketepatan dlm
menunjukkan dan
menerangkan gejala-gejala
birahi pada sapi dan
kambing
0,31
4,00
-12-
MINGGU
SASARAN
PEMBELA1ARAN
MATERI
PEMBELA1ARAN
STRATEGI
PEMBELA1ARAN
KRITERIA PENILAIAN
BOBOT
NILAI
()
VII
Menjelaskan proses
terjadinya Iertilisasi,
kebuntingan dan
kelahiran serta
memahami mekanisme
yang terjadi selama
proses menyusui.
Proses Iertilisasi
Proses dan
tahapan
Kebuntingan
Pemeriksaan
kebuntingan
Kuliah interaktiI,
Belajar mandiri,
'Collaborative
learning
Praktikum
Penyerahan
Tugas
Kualitas paper individu
dan kelompok.
KeaktiIan dan kualitas diri
dalam diskusi
Ketepatan dalam
menerangkan proses
Iertilisasi,dan kebuntingan
0,31
4,00
2,50
VIII
Proses kelahiran
Hal-hal yang
perlu
diperhatikan
selama masa
menyusui
Belajar mandiri,
'Collaborative
learning
Kualitas paper individu
dan kelompok.
KeaktiIan dan kualitas diri
dalam diskusi
Ketepatan dalam
menerangkan hal-hal yang
perlu diperhatikan selama
Iase menyusui
0,31
IX Mid Test 25,00
X
Mengevaluasi
keberhasilan proses
reproduksi dan Iaktor-
Iaktor yang
mempengaruhinya.
Tolok ukur
keberhasilan
proses reproduksi
Eaktor-Iaktor yg
mempengaruhi
proses reproduksi
Kuliah interaktiI,
Belajar mandiri,
'Collaborative
learning
Penyerahan
Tugas
Kualitas paper individu
dan kelompok.
KeaktiIan dan kualitas diri
dalam diskusi
Ketepatan dalam
menerangkan metode
pengukuran eIisiensi
reproduksi
0,31
2,50
XI
Pengaruh Iaktor
internal terhadap
eIisiensi reproduksi
Genetik
Penyakit
Anatomis dan
Iisiologis
Belajar mandiri,
'Collaborative
learning
Kualitas paper individu
dan kelompok.
KeaktiIan dan kualitas diri
dalam diskusi
Ketepatan dalam
menerangkan pengaruh
Iaktor genetik, penyakit
dan kelainan anatomis dan
Iisiologis terhadap
eIisiensi reproduksi
0,31
XII
Pengaruh Iaktor
eksternal terhadap
eIisiensi reproduksi
Lingkungan
Pakan
Pengelolaan
Belajar mandiri,
'Collaborative
learning
Kualitas paper individu
dan kelompok.
KeaktiIan dan kualitas diri
dalam diskusi
Ketepatan dalam
menerangkan pengaruh
Iaktor genetik, penyakit dan
kelainan anatomis dan
Iisiologis terhadap eIisiensi
reproduksi
0,31
XIII
Memilah upaya-upaya
yang tepat untuk
meningkatkan eIisiensi
reproduksi pada ternak.
Peningkatan
eIisiensi reproduksi
melalui perbaikan
manajemen:
Pemeliharaan
Pakan
Kesehatan
Perkawinan
Kuliah interaktiI
Belajar mandiri,
'Collaborative
learning
Penyerahan
Tugas
Kualitas paper individu
dan kelompok.
KeaktiIan dan kualitas diri
dalam diskusi
Ketepatan dalam
menerangkan eIektiIitas
perbaikan teknik
pemeliharaan, pakan,
kesehatan dan metoda
perkawinan dalam
meningkatkan eIisiensi
reproduksi
0,31
2,50
-13-
MINGGU
SASARAN
PEMBELA1ARAN
MATERI
PEMBELA1ARAN
STRATEGI
PEMBELA1ARAN
KRITERIA PENILAIAN
BOBOT
NILAI
()
XIV
Peningkatan
eIisiensi reprod
melalui penerapan
teknik inseminasi
buatan (IB):
ManIaat dan
kelemahan IB
Prosedur
pelaksanaan IB
Pengawetan
semen
Belajar mandiri,
'Collaborative
learning
Praktikum
Kualitas paper individu
dan kelompok.
KeaktiIan dan kualitas diri
dalam diskusi
Ketepatan dalam
menunjukkan metoda
pelaksanaan IB dan
menerangkan Iungsinya
dalam meningkatkan
produksi ternak.
0,31
4,00
XV
Peningkatan
eIisiensi reproduksi
melalui penerapan
teknologi
reproduksi lainnya:
Embryo transIer
In-vitro
maturation (IVM)
dan In-vitro
Iertilization (IVE)
Cloning
Belajar mandiri,
'Collaborative
learning
Kualitas paper individu
dan kelompok.
KeaktiIan dan kualitas diri
dalam diskusi
Ketepatan dalam
menerangkan metoda
berbagai teknologi
reproduksi lainnya dan
perannya dalam
meningkatkan produksi
ternak
0,31
XI Einal Test 35,00
-14-
BAB 2
URGENSI ILMU REPRODUKSI TERNAK
PENDAHULUAN
Pada bagian ini, akan dijelaskan mengenai urgensi ilmu reproduksi ternak dalam
kaitannya dengan eIisiensi reproduksi. Oleh karena itu, sasaran pembelajaran pada pokok
bahasan ini adalah untuk memahami ruang lingkup dan urgensi mempelajari mata kuliah
Ilmu Reproduksi Ternak. Ruang lingkup materi pembelajaran ini adalah proses reproduksi
dengan segala aspeknya, Iaktor-Iaktor yang berpengaruh terhadap proses reproduksi,
eIisiensi reproduksi, serta pengenalan terhadap perkembangan teknologi reproduksi. Untuk
mencapai sasaran pembelajaran pada materi ini, maka strategi pembelajaran yang
diterapkan adalah melalui kuliah interaktiI, belajar mandiri, collaborative learning, dan
pemberian tugas.
URAIAN BAHAN PEMBELA1ARAN
Keberhasilan reproduksi pada ternak sangat penting bagi kehidupan ekonomi
produser dan akhirnya mempengaruhi biaya konsumen terhadap daging dan produk hewani
lainnya. Pada kebanyakan sistem produksi ternak, rendahnya Iertilitas merupakan Iaktor
utama yang membatasi produktivitas. Kemampuan hewan untuk mereproduksi secara
eIisien merupakan komponen integral dari usaha peternakan. Namun, ketidaksuburan
merupakan masalah dalam semua sistem produksi ternak. Kegagalan reproduksi merupakan
salah satu Iaktor yang paling penting yang membatasi produktivitas sistem produksi ternak
dan kehilangan keuntungan setiap tahunnya. Tantangan utama yang dihadapi banyak
produsen adalah bagaimana cara praktis, biaya-eIektiI untuk meningkatkan kinerja
-1S-
reproduksi tanpa mengorbankan produksi yang aman, daging berkualitas tinggi dan produk-
produk susu.
Tidak eIisiennya reproduksi ternak dapat disebabkan oleh berbagai Iaktor termasuk:
siklus reproduksi apakah normal atau tidak, kegagalan munculnya berahi (estrus), kematian
embrio dan janin dan kematian selama periode neonatal, kegagalan untuk mencapai
pubertas pada usia optimal atau ketidakmampuan ternak dara untuk menjadi bunting pada
awal musim kawin, stres lingkungan seperti suhu ekstrim atau perubahan Iotoperiodik
(siang dan malam), atau produksi sperma dengan potensi rendah untuk Iertilisasi.
Dalam beberapa sistem produksi, program pemuliaan dirancang untuk memilih siIat
untuk produksi susu atau daging, namun memiliki eIek merusak pada kinerja reproduksi.
Pada sapi perah, seleksi genetik untuk produksi susu disertai dengan penurunan yang
signiIikan terhadap Iertilitas (kesuburan). Demikian pula, pada peternakan ayam pedaging
(ayam dibesarkan khusus untuk produksi daging) kemampuan reproduksi menurun sebagai
akibat berat badan (produksi daging) meningkat. Oleh karena itu, dibutuhkan pengetahuan
dasar reproduksi, yang pada gilirannya memIasilitasi pengembangan dan strategi
manajemen yang mengoptimalkan eIisiensi reproduksi dan meminimalkan kerugian
ekonomi.
PENUTUP
Untuk mencapai kompetensi bahan ajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat berperan
aktiI dalam proses pembelajaran dengan mengajukan pemikiran-pemikirannya serta
pengalaman-pengalaman sebelum mendalami pembelajaran dari mata kuliah ini. Juga
-16-
diharapkan mahasiswa mampu menganalisis urgensi pembelajaran pentingnya ilmu
reproduksi dalam peningkatan kuantitas dan kualitas ternak.
Soal-soal latihan sebagai penugasan
1. Jelaskan urgensi mata kuliah ilmu reproduksi ternak.
2. Jelaskan pentingnya ilmu reproduksi ternak dalam meningkatkan kualitas dan
kuantitas ternak.
Sumber Bacaan
1. Bearden HJ, Euquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3
rd
Ed, Prentice
Hall, Englewood CliIIs, Ney Jersey 07632.
2. Peters AR and Ball PJH. 1987. Reproduction in Cattle. Butterworths & Co.
(Publishers) Ltd, London, Boston, Durban, Singapore, Sydney, Toronto,
Wellington.
3. Anonim. 2012. Animal reproduction: overview. United States Department oI
Agriculture. National Institute oI Eood and Agriculture. http://www.
csrees.usda.gov/ProgViewOverview.cIm?prnum18413. |Accessed on Nov 1,
2012|
-17-
BAB 3
PERKEMBANGAN ORGAN REPRODUKSI
PENDAHULUAN
Pada bab ini, sasaran pembelajaran mengenai perkembangan organ reproduksi, baik
organ reproduksi betina maupun organ reproduksi jantan adalah diharapkan
mahasiswa/pembelajar dapat memahami proses perkembangan, anatomi dan Iisiologi organ
reproduksi jantan dan betina ternak. Oleh karena itu, ruang lingkup materi pembelajaran ini
mencakup:
1. Perkembangan organ reproduksi betina
2. Anatomi dan Iisiologi organ reproduksi betina
3. Perkembangan organ reproduksi jantan
4. Anatomi dan Iisiologi organ reproduksi jantan
Untuk mencapai sasaran pembelajaran pada materi ini, maka strategi pembelajaran
yang diterapkan adalah melalui kuliah interaktiI, belajar mandiri, collaborative learning,
praktikum dan pemberian tugas.
-18-
URAIAN BAHAN PEMBELA1ARAN
Organ Reproduksi Betina
Sistem reproduksi betina, seperti yang diilustrasikan untuk ternak sapi pada Gambar
1, terdiri dari dua ovarium dan sistem saluran. Sistem saluran mencakup oviduct, uterus,
tanduk uterus, vagina, dan vulva.
Gambar 1. Sistem reproduksi pada sapi betina (Bearden and Euquay, 1992)
-19-
Organ reproduksi betina tersusun dari ovarium, oviduct, uterus, serviks, vagina
(organ dalam internal genital organs) dan organ luar (external genitalia); vulva. Organ
dalam didukung oleh ligamentum yang terdiri dari mesovarium yang mendukung ovarium,
mesosalpinx yang mendukung oviduct dan mesometrium yang mendukung uterus. Pada
sapi dan domba, sokongan ligamentum secara dorsolateral pada daerah ilium dan ovarium
berlokasi di dekat pelvis.
1. Perkembangan organ reproduksi betina
Asal mula pembentukan ovarium adalah dari bagian kelamin seks sekunder.Untuk
pertama kalinya dapat terlihat di dalam embrio sebagai penebalan sedikit dekat sistem
saluran ginjal.Sistem saluran berasal dari saluran Mullerian, sepasang saluran yang muncul
selama perkembangan embrio awal. Jenis kelamin Ietus tergantung pada pewarisan dari
gen-gen, gonadogenesis, serta pembentukan dan pematangan assesori organ reproduksi.
Kedua saluran WolIIian dan Mullerian terdapat pada embrio yang belum berdiIerensiasi
secara seksual. Pada betina, saluran Mullerian berkembang ke dalam sistem gonaductal,
dimana saluran WolIIian menjadi atropi. Saluran Mullerian menyatu secara caudal
membentuk uterus, serviks, dan bagian depan vagina. Pada Ietus jantan, androgen testicular
berperan dalam persistensi dan pengembangan saluran WolIIian dan saluran Mullerian
menjadi atropi.
2. Anatomi dan fisiologi organ reproduksi betina
a. Ovarium
Ovarium dianggap sebagai organ reproduksi utama betina. Keutamaan organ ini
karena menghasilkan gamet betina (sel telur) dan hormon (estrogen dan progesteron). Sapi,
kuda, dan domba betina adalah monotocous, biasanya melahirkan satu pada kehamilan
-20-
setiap period. Oleh karena itu, satu sel telur dihasilkan pada setiap siklus berahi. Babi
merupakan ternak polytocus, menghasilkan 10 sampai 25 sel telur setiap siklus berahi dan
melahirkan beberapa anak pada setiap periode kehamilan.
Ikhtisar organ-organ reproduksi betina dan Iungsi utama dari organ-organ tersebut
ini dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.
Organ Fungsi
Ovarium
Produksi oosit
Produksi estrogen (GraaIian Iollicle)
Produksi progesteron (Corpus luteum)
Oviduct
Transportasi gamet ( spermatozoa dan ovum)
Tempat Iertilisasi
Uterus Mempertahankan dan memlihara embrio dan Ietus
Serviks
Menghindari kontaminasi mikroba terhadap uterus
Penyimpanan semen dan transportasi spermatozoa
Tempat deposisi semen pada kawin alam babi dan kuda
Vagina
Organ kopulasi
Tempat deposisi semen pada kawin alam sapi, kambing
dan domba
Saluran kelahiran
Vulva Saluran luar organ reproduksi betina
Ovarium sapi digambarkan sebagai berbentuk almond, tapi bentuknya berubah oleh
pertumbuhan Iolikel atau copora lutea. Ukuran rata-rata adalah sekitar 35 x 25 x 15 mm.
Ukuran ovarium bervariasi diantara sapi, dan ovarium aktiI lebih besar dari ovarium yang
tidak aktiI. Oleh karena itu, salah satu ovarium sering lebih besar dari yang lain dalam
ovarium seekor individu sapi. Ovarium domba dan rusa dan kambing adalah juga berbentuk
-21-
seperti almond dan kurang dari setengah ukuran dari ovarium sapi. Pada kuda, ovariumnya
berbentuk ginjal dan dua atau tiga kali lebih besar dari ovarium sapi.
Ovarium terdiri dari medulla dan cortex korteks pada kulit terluarnya, medula
tersusun dari pembuluh darah, saraI, dan jaringan ikat. Korteks berisi lapisan-lapisan sel
dan jaringan yang terkait dengan ovum dan produksi hormon.
Eolikel primer terbentuk selama masa kehamilan dari induk. Diperkirakan sekitar
75.000 Iolikel primer di dalam ovarium ternak sapi muda. Dengan berlanjutnya
pertumbuhan dan pematangan Iolikel pada sapi selama hidupnya, hanya sekitar 2.500 ovum
yang berpotensi menjadi ova. Beberapa potensial ova mencapai kematangan dan dilepaskan
ke dalam sistem saluran untuk kemungkinan terjadinya Iertilisasi dan perkembangan anak.
Kebanyakan mulai berkembang dan menjadi atresia (merosot).
Eolikel berada dalam keadaan konstan terhadap pertumbuhan dan pematangan.
Histologi ovarium tahap pematangan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram dan struktur yang dapat diidentiIikasi dalam pembelahan ovarium
(Bearden and Euquay, 1992)
-22-
Eolikel primer diikuti oleh proliIerasi sel-sel granulosa yang mengelilingi sel telur.
Ovum yang dikelilingi oleh dua atau lebih lapisan sel granulosa adalah Iolikel sekunder.
Pada saat kelahiran, sel-sel Iolikel mengelilingi oosit primerdi dalam ovarium membentuk
Iolikel primordial. Bentuk dan ukuran ovarium bervariasi tergantung spesies dan tahapan
dalam siklus berahi.
Perkembangan Iolikel mencapai kematangannya melalui tingkatan-tingkatan
perkembangan; primer, sekunder, tersier dan de graaI. Pola vascular ovarium berubah
tergantung pada status hormonal sehingga adaptasi suplai darah tergantung pada kebutuhan
organ. Aliran darah arterial ke ovarium bervariasi dalam proporsi aktiIitas luteal. Perubahan
homodinamik kelihatannya lebih penting dalam pengaturan Iungsi corpus luteum (CL) dan
kelangsungan hidupnya. Kemudian, perubahan aliran darah memulai penurunan sekresi
progesteron, dimana pembatasan aliran darah ovarium menyebabkan regresi CL secara
prematur. Pada sapi, aliran darah ke ovarium tertinggi selama Iase luteal dan menurun pada
saat regresi luteal serta mencapai titik terendah sesaat sebelum ovulasi (Gambar 3 dan 4).
Gambar 3. Eitur penting Iungsional dari Iolikel GraaIian, (HaIez and HaIez, 2000)
-23-
Gambar 4. Struktur dinding Iolikel GraaIian menunjukkan bagaimana sel granulosa dimana
pasokan darah telah menurun dengan membran basal (Bearden and Euquay,
1992)
b. Oviduct
Terdapat keterkaitan anatomic antara ovarium dan oviduct. Panjang dan diameter
oviduct bervariasi pada setiap mamalia. Oviduct dapat dibagi kedalam empat bagian
Iungsional: (1) Iimbrae; bentuk saluran abdominal terbuka dekat dengan ovarium, (2)
inIundibulum,(3) ampulla, dan (4) isthmus; yang menghubungkan antara oviduct dengan
uterus. Panjang ampulla sekitar setengah dari total panjang oviduct, menyatu dengan
perbatasan isthmus. Isthmus terhubung langsung dengan uterus.
-24-
Gambar 5 Anatomi oviduct: atas, Iitur makroskopik dari saluran telur; bawah, penampang
ampula dan isthmus membandingkan ketebalan otot-otot dinding dan
kompleksitas lipatan mukosa (Bearden and Euquay, 1992)
c. Uterus
Uterus memanjang dari persimpangan uterotubal ke serviks. Pada sapi, babi, dan
kuda panjang keseluruhan berkisar 35-60 cm. Pada babi, rusa, domba, dan sapi tanduk
uterus mencapai 80 sampai 90 dari panjang total, sedangkan pada kuda, tanduk uterus
sekitar 50 dari total panjang. Eungsi uterus umumnya untuk mempertahankan dan
memelihara embrio, atau Ietus. Sebelum embrio melekat ke uterus, makanan embrio berasal
dari kuning telur dalam embrio atau dari susu uterus rahim yang disekresikan oleh kelenjar
dalam lapisan mukosa uterus. Setelah melekat pada uterus embrio mengambil nutrisi dan
buangan produk-produk limbah melalui plasenta.
-2S-
Gambar 6 menunjukkan jenis dasar uterus pada hewan mamalia. Uterus terdiri dari
tanduk uterus, badan uterus dan leher uterus (serviks). Proporsi relatiI masing-masing
uterus, bentuk dan tanduk uterus bervariasi tergantung spesies. Pada babi, uterus dengan
tipe bikornua (uterus bicornis). Tanduk uterus berlipat-lipat dan mencapai panjang 4 5
kaki, sedangkan badan uterus pendek. Panjang uterus ini merupakan adaptasi anatomik
dalam melahirkan sejumlah anak apada satu satuan waktu kelahiran. Pada sapi, domba dan
kuda, tipe uterus aadalah bipartite (uterus bipartitus). Pada ternak-ternak ini, uterus
mempunyai penyekat (septum) yang memisahkan dua tanduk uterus dan badan uterus.
Kedua bagian uterus melakat pada pelvis dan dinding abdominal.
Gambar 6. Jenis uterus pada mamalia (Bearden and Euquay, 1992)
d. Serviks (Leher Rahim)
Meskipun secara teknis serviks merupakan bagian dari uterus, namun demikian
serviks ini akan dibahas sebagai salah satu organ reproduksi tersendiri. Perbedaan yang
mendasar dari uterus adalah bahwa serviks berdinding tebal dan elastis, bagian anterior
yang menuju badan uterus sedangkan ujung posterior menjorok ke vagina. Kebanyakan
spesies, panjang serviks berkisar antara 5 sampai 10 cm dengan diameter luar 2 sampai 5
-26-
cm. Serviks terdiri dari saluran yang merupakan pembukaan ke dalam uterus yang
berIungsi untuk mencegah kontaminasi mikroba terhadap uterus, namun juga dapat
berIungsi sebagai reservoir sperma setelah perkawinan.Semen disimpan ke dalam serviks
saat kawin alam pada induk babi dan kuda.
Serviks pada sapi, rusa, dan domba memiliki lekukan saling melintang yang dikenal
sebagai cincin melingkar yang membantu menutup uterus dari kontaminan. Saluran serviks
berbentuk corong, dengan lekukan pada saluran yang memiliki konIigurasi pembuka botol.
yang sesuai dengan yang ada pada penis kelenjar di babi hutan (Bab 3). cannal leher
rahim.
Secara histologi, lapisan luar serviks adalah tunika serosa, lapisan tengah adalah
jaringan ikat diselingi dengan serat otot polos. Mukosa, terdiri terutama dari sel epitel
secrectory, tetapi beberapa sel epitel bersilia. Tingginya konsentrasi estrogen menyebabkan
saluran serviks bersilia selama estrus (standing heat). Sinergisme antara tingginya kadar
estrogen dan relaksin menyebabkan pelebaran yang lebih besar sebelum proses kelahiran.
Terbukanya saluran ini menjadikan serviks. lebih rentan terhadap invasi organisme. Namun
demikian, estrogen menyebabkan sel-sel epitel serviks mengeluarkan lendir yang siIat
antibakteri, sehingga melindungi uterus.
e. Vagina
Vagina adalah berbentuk tabung, berdinding tipis dan cukup elastis. Panjangnya
berkisar antara 25 sampai 30 cm pada sapi dan kuda, dan 10 sampai 15 cm pada kambing
dan domba. Pada sapi, kambing dan domba, semen disimpan di dalam ujung anterior
vagina, dekat pembukaan serviks, selama perkawinan alami. Organ ini merupakan organ
kopulasi pada betina.
-27-
Lapisan luar, tunika serosa, diikuti oleh lapisan otot polos yang mengandung serat.
Pada kebanyakan spesies, lapisan mukosa terdiri dari sel skuamosa epitel (kecuali pada
sapi). Sel-sel epitel corniIy (sel tanpa inti) di bawah pengaruh estrogen.
f. Vulva
Vulva, atau alat kelamin luar, terdiri dari vestibula depan dengan bagian-bagian
terkait dan ruang depan labia.Vestibula adalah bagian dari sistem saluran betina yang
umum bagi sistems reproduksi dan saluran kencing. Panjangnya sekitar 10 sampai 12 cm
pada sapi dan kuda, setengah panjang tersebut pada babi dan seperempatnya pada domba
dan kambing.Bagian luar uretra terdiri dari labia minora, lipatan dalam atau bibir vulva, dan
labia majora, lipatan luar atau bibir vulva. Labia minora adalah homolog dengan preputium
(selubung) pada jantan dan tidak menonjol. Labia majora, homolog dengan skrotum pada
jantan, merupakan bagian dari sistem betina yang dapat terlihat secara eksternal. Pada sapi
labia majora ditutupi dengan rambut halus hingga klitoris mucosa. Klitoris sekitar 1 cm
secara ventral di dalam labia.
f. Struktur penunjang, saraf dan suplai darah
Meskipun saluran reproduksi betina mungkin sebagian berada di pelvis, ligamen
merupakan struktur yang mendukung organ tersebut. Darah dan saraI melewati ligamentum
yang luas pada sistem reproduksi betina. Sistim reproduksi betina diberikan terutama
dengan sistim saraI otonom, serta saraI pada daerah vulva, terutama daerah klitoris.
Arteri ovarium, yang juga disebut utero-ovarian arteri, merupakan cabang dan
suplai darah ke ovarium, oviduct, dan sebagian dari arteri tanduk uterus. Pola peredaran
darah pada saluran reproduksi telah luas diminati dalam beberapa tahun terakhir sejak
penemuan bahwa pelepasan prostaglandin E2 uterus mengontrol kehidupan luteum.
-28-
Prostaglandin merupakan agen luteolytic (penyebab regresi korpus luteum) teroksidasi, dan
sekitar 90 hancur selama satu bagian melalui sirkulasi paru-paru.
Organ Reproduksi 1antan
Sistem reproduksi jantan terdiri dari organ kelamin primer, sekunder dan assesori.
Organ kelamin primer adalah testis yang belokasi di dalam skrotum yang menggantung
secara eksternal di daerah inguinal. Organ kelamin sekunder terdiri dari jaringan-jaringan
duktus sebagai transportasi spermatozoa dari testis ke bagian luar, dan termasuk
didalamnya duktus eIIerent, epididimis, vasa diIIerentia, penis dan uretra. Sedangkan organ
asesori terdiri dari kelenjar prostat, seminal vesicles dan kelenjar bulbo-urethral
(Cowper`s).
Testis
Testis adalah organ reproduksi primer pada jantan, seperti ovarium yang merupakan organ
reproduksi primer pada betina.Testis dikatakan sebagai organ reproduksi primer karena
memproduksi gamet jantan (spermatozoa) dan hormon kelamin jantan (androgen). Testis
berbeda dengan ovarium, dimana testis ini tidak tetap tinggal di dalam rongga tubuh; testis
ini menurun dari asalnya di dalam rongga tubuh dekat ginjal melalui inguinalis ke dalam
skrotum. Penurunan testis terjadi karena pemendekan gubernaculum, ligamentum yang
memanjang dari daerah inguinalis dan melekat pada ekor epididimis. Ini terjadi karena
gubernaculum tidak bertumbuh secepat dinding tubuh. Testis tertarik mendekati saluran
inguinalis ke dalam skrotum yang dikontrol oleh hormon gonadotropik dan androgen.
Penurunan ini terjadi di dalam Ietus sapi pada pertengahan kebuntingan dan segera sebelum
-29-
kelahirna pada kuda. Pada beberapa kasus, salah satu atau kedua testis gagal menurun yang
disebabkan oleh cacat didalam perkembangannya. Apabila kedua testis tidak turun, ternak
tersebut diklasiIikasikan sebagai bilaterral crvtorchid dan ternak menjadi steril. Jika hanya
satu yang menurun, disebut sebagai unilateral crvptochid dan ternak ini biasanya Iertil
(subur). Panjang testis ternak sapi serupa dengan babi yang berkisar antara 10 13
cm, dengan lebar sekitar 5 sampai 6,5 cm dan berat antara 300 400 gram, namun
lebih kecil pada kambing dan kuda.
-29-
kelahirna pada kuda. Pada beberapa kasus, salah satu atau kedua testis gagal menurun yang
disebabkan oleh cacat didalam perkembangannya. Apabila kedua testis tidak turun, ternak
tersebut diklasiIikasikan sebagai bilaterral crvtorchid dan ternak menjadi steril. Jika hanya
satu yang menurun, disebut sebagai unilateral crvptochid dan ternak ini biasanya Iertil
(subur). Panjang testis ternak sapi serupa dengan babi yang berkisar antara 10 13
cm, dengan lebar sekitar 5 sampai 6,5 cm dan berat antara 300 400 gram, namun
lebih kecil pada kambing dan kuda.
-29-
kelahirna pada kuda. Pada beberapa kasus, salah satu atau kedua testis gagal menurun yang
disebabkan oleh cacat didalam perkembangannya. Apabila kedua testis tidak turun, ternak
tersebut diklasiIikasikan sebagai bilaterral crvtorchid dan ternak menjadi steril. Jika hanya
satu yang menurun, disebut sebagai unilateral crvptochid dan ternak ini biasanya Iertil
(subur). Panjang testis ternak sapi serupa dengan babi yang berkisar antara 10 13
cm, dengan lebar sekitar 5 sampai 6,5 cm dan berat antara 300 400 gram, namun
lebih kecil pada kambing dan kuda.
-30-
Gambar 7. Diagram sistem reproduksi jantan (a) sapi; (b) ram; (c) babi; dan (d) kuda.
(Redrawn Irom Sorenson. 1979. Animal Reproduction: Principles and
Practices. McGraw-Hill; dalam Bearden and Euquay, 1992)
-30-
Gambar 7. Diagram sistem reproduksi jantan (a) sapi; (b) ram; (c) babi; dan (d) kuda.
(Redrawn Irom Sorenson. 1979. Animal Reproduction: Principles and
Practices. McGraw-Hill; dalam Bearden and Euquay, 1992)
-30-
Gambar 7. Diagram sistem reproduksi jantan (a) sapi; (b) ram; (c) babi; dan (d) kuda.
(Redrawn Irom Sorenson. 1979. Animal Reproduction: Principles and
Practices. McGraw-Hill; dalam Bearden and Euquay, 1992)
-31-
Pada semua spesies, testis dibungkus dengan tunica vaginalis, yang
merupakan jaringan dari perpanjangan peritoneum. Bagian luar testis adalah tunica
albuginea testis, membran tipis putih dari jaringan penghubung elastis. Di bawah
tunica albugenia testis, terdapat parenchvma yang merupakan Iungsional layer dari
testis. Parenchyma ini berwarna kekuning-kuningan yang terbagi dalam beberapa
segmen. Dalam segmen ini terdapat tubulus seminiIerus yang didalamnya terdapat
sel-sel germinal (spermatogonia) dan sel-sel Sertoli. Sel-sel Sertoli ini lebih besar
namun jumlahnya lebih sedikit dibanding dengan spermatogonia. Dengan pengaruh
ESH (Iollicle stimulating hormone), sel-sel Sertoli memproduksi androgen binding
protein dan inhibin. Tubulus seminiIerus merupakan tempat diproduksinya
spermatozoa. Ukurannya kecil berdiameter sekitar 200, menempati sekitar 80
dari berat testis. Apabila dibentangkan, panjang tubulus seminiIerus ini mencapai
sekitar 5 km. Tubulus seminiIerus terhubng dengan beberapa tubulus, rete testis,
yang menguhubungkan 12 sampai 15 duktus kecil, vasa eIIerentia, yang kemudian
masing-masing terhubung dengan kepala epididimis.
Sel-sel Leydig (interstitial) terdapat di dalam parenchyma testis diantara
tubulus seminiIerus. LH (luteinizing hormone) menstimulir sel-sel Leydig untuk
memproduksi testosteron dan sejumlah kecil androgen lain. Testosteron dibutuhkan
untuk perkembangan karakteristik kelamin sekunder dan untuk tingkah laku
kawin.Sebagai tambahan, testosteron juga dibutuhkan untuk Iungsi kelnjar asesori,
produksi spermatozoa, dan mempertahankan sistim duktus jantan. Melalui
pengaruhnya terhadap ternak jantan, testosteron membantu mempertahankan kondisi
-32-
optimum pada spermatogenesis, transportasi spermatozoa, dan deposisi spermatozoa
di dalam saluran reproduksi betina.
Skrotum dan Spermatic Cord
Skrotum merupakan kantung dua lobus yang membungkus testis, berlokasi di
bagian inguinal yang pada kebanyakan spesies terletak diantara dua paha. Spermatic cord
menghubungkan testis dengan mekanisme yang mendukung kehidupannya. Baik scrotum
dan spermatid cord berkontribusi dalam mendukung testis yang juga mempunyai Iungsi
bersama dalam pengaturan suhu testis.
Pada ternak sapi, ketika ambien temperatur dari 5 sampai 21C, suhu di dalam
testis akan sekitar 4C dibawah suhu tubuh (38,6C). Apabila ambien temperatur
meningkat kira-kira 38C, suhu badan dan testis akan meningkat, dan perbedaan antara
keduanya akan menurun sekitar setengah (2C). Peningkatan suhu di dalam testis akan
cukup dalam menghentikan spermatogenesis. Belum ada kejadian yang memperlihatkan
bahwa suhu rendah menurunkan Iertilitas. Peranan skrotum dan spermatic cord dalam
mengatur suhu testis digambarkan dengan testis mendekati tubuh ketika suhu lingkungan
menurun dan sebaliknya testis akan menjauhi tubuh ketika suhu lingkungan meningkat.
Terdapat dua otot yang yang terlibat dalam pengaturan ini yakni tunica dartos dan
cremaster. Tunica dartos merupakan otot licin yang melapisi skrotum , dan kremaster
merupakan otot licin yang di sekitar spermatic cord, yang keduanya peka terhadap
perubahan suhu. Selama musim dingin, kontraksi otot-otot ini menyebabkan skrotum
mengerut dan spermatic cord memendek, menyebabkan testis mendekati tubuh. Pada
musim panas, kedua otot ini berelaksasi mengakibatkan peregangan dan spermatic cord
-33-
memanjang, sehingga testis menjauhi tubuh. Otot ini tidak mempunyai respon sampai
mendekati umur pubertas yang dikarenakan oleh pekanya terhadap testosteron untuk
merespon perubahan suhu lingkungan.
Epididimis
Epididymis, saluran eksternal pertama dari testis, yang menyatu secara longitudinal
pada permukaan testis dan terbungkus dalam tunika vaginalis bersama dengan testis. Caput
(kepala) dari epididimis adalah daerah datar di puncak testis, di mana 12 sampai 15 saluran
(duktus) kecil, vasa eIIerentia, menyatu menjadi satu ductus. Corpus (badan) memanjang
sepanjang sumbu longitudinal dari testis dan satu saluran tunggal yang terhubung sampai
pada cauda (ekor). Panjang total saluran berbelit-belit ini adalah sekitar 34 meter pada sapi
dan lebih panjang lagi pada ram, babi hutan, dan kuda.
-34-
Gambar 8. Pendiginan testis dengan pertukaran panas melalui sistim sirkulasi
(Setchell. 1977. Reproduction in Domestic Animals.(3rd ed) ed. cole and
Cupps. Academic Press; dalam Bearden and Euquay, 1992.
Transportasi: epididimis berIungsi untuk mengangkut spermatozoa. Beberapa Iaktor
berkontribusi terhadap gerakan spermatozoa melalui epididimis. Salah satu Iaktor adalah
tekanan dari produksi spermatozoa.Spermatozoa diproduksi dalam tubulus seminiIerus,
dimana spermatozoa ini dipaksa keluar melalui rete testis dan vasa eIIerentia ke
epididymis. Lapisan epididimis berisi beberapa sel epitel bersilia, tetapi peran dari silia ini
dalam memIasilitasi pergerakan spermatozoa dibantu oleh ejaculasi. Selama ejakulasi,
-34-
Gambar 8. Pendiginan testis dengan pertukaran panas melalui sistim sirkulasi
(Setchell. 1977. Reproduction in Domestic Animals.(3rd ed) ed. cole and
Cupps. Academic Press; dalam Bearden and Euquay, 1992.
Transportasi: epididimis berIungsi untuk mengangkut spermatozoa. Beberapa Iaktor
berkontribusi terhadap gerakan spermatozoa melalui epididimis. Salah satu Iaktor adalah
tekanan dari produksi spermatozoa.Spermatozoa diproduksi dalam tubulus seminiIerus,
dimana spermatozoa ini dipaksa keluar melalui rete testis dan vasa eIIerentia ke
epididymis. Lapisan epididimis berisi beberapa sel epitel bersilia, tetapi peran dari silia ini
dalam memIasilitasi pergerakan spermatozoa dibantu oleh ejaculasi. Selama ejakulasi,
-34-
Gambar 8. Pendiginan testis dengan pertukaran panas melalui sistim sirkulasi
(Setchell. 1977. Reproduction in Domestic Animals.(3rd ed) ed. cole and
Cupps. Academic Press; dalam Bearden and Euquay, 1992.
Transportasi: epididimis berIungsi untuk mengangkut spermatozoa. Beberapa Iaktor
berkontribusi terhadap gerakan spermatozoa melalui epididimis. Salah satu Iaktor adalah
tekanan dari produksi spermatozoa.Spermatozoa diproduksi dalam tubulus seminiIerus,
dimana spermatozoa ini dipaksa keluar melalui rete testis dan vasa eIIerentia ke
epididymis. Lapisan epididimis berisi beberapa sel epitel bersilia, tetapi peran dari silia ini
dalam memIasilitasi pergerakan spermatozoa dibantu oleh ejaculasi. Selama ejakulasi,
-3S-
kontraksi peristaltik yang melibatkan lapisan otot polos epididimis dan tekanan negatiI
sedikit (tindakan mengisap) dibuat oleh kontraksi peristaltik dari vas deIerens dan uretra
aktiI bergerak spermatozoa dari epididimis ke dalam vas deIerens dan uretra.
Konsentrasi: Iungsi kedua dari epididumis adalah konsentrasi spermatozoa.
Spermatozoa masuk ke dalam epididimis dari testis berkonsentrasi relatiI sekitar 100 juta
spermatozoa/ml. Pada epididimis konsentrasinya meningkat sekitar 4 x 10
9
(4 miliar)
spermatozoa per ml. Konsentrasi terjadi sebagai cairan, yang menangguhkan spermatozoa
di testis, yang diserap oleh sel-sel epitel dari epididimis. Penyerapan cairan ini terutama di
caput dan ujung proksimal dari korpus.
Penyimpanan: Eungsi ketiga dari epididimis adalah penyimpanan spermatozoa.
Kebanyakan spermatozoa disimpan dalam cauda epididimis dari mana spermatozoa
terkonsentrasi yang dikemas ke dalam epididimis lumen. Epididimis sapi dewasa
mengandung kira-kira 50 sampai 74 milyar spermatozoa. Kapasitas spesies lainnya belum
dilaporkan. Kondisi yang optimal dalam cauda dibutuhkan untuk kelangsungan hidup
spermatozoa selama penyimpanan. pH rendah, viskositas tinggi, konsentrasi karbon
dioksida tinggi, rasio kalium-natrium tinggi, pengaruh testosteron, dan kemungkinan
kombinasi beberapa-Iaktor lainnya berkontribusi ke tingkat metabolisme rendah dan
memperpanjang daya hidup.
Maturasi: Eungsi keempat epididimis adalah pematangan spermatozoa. Ketika
spermatozoa baru terbentuk masuk ke caput dari vasa eIIerentia, spermatozoa tersebut tidak
memiliki kemampuan motilitas ataupun kesuburan. Ketika spermatozoa melewati
epididimis spermatozoa memperoleh kemampuan untuk menjadi motil dan subur. Jika
-36-
cauda yang diikat di setiap akhir, spermatozoa paling dekat dengan corpus meningkat
kesuburannya hingga 25 hari. Selama periode yang sama, spermatozoa terdekat vasa
deIerens berkurang kemampuan kesuburannya. Oleh karena itu, tampak bahwa kemampuan
spermatozoa menjadi subur di cauda dan kemudian menjadi matang namun akan menurun
kesuburannya apabila tidak dikeluarkan. Selama di epididimis, spermatozoa kehilangan
droplet sitoplasma yang terbentuk pada leher masing-masing spermatozoa selama
spermatogenesis. Makna Iisiologis droplet sitoplasma belum diketahui, namun telah
digunakan sebagai indikator kematangan spermatozoa di dalam epididimis. Jika persentase
yang tinggi dari spermatozoa segar yang diejakulasikan dan mempunyai droplet
sitoplasma, maka dianggap spermatozoa tersebut belum matang dan memiliki kapasitas
kesuburan yang rendah.
Vas Deferens and Urethra
Vas deIerens adalah sepasang saluran dari ujung distal cauda masing-masing
epididimis yang ujungnya didukung oleh lipatan peritoneum, melewati sepanjang korda
spermatika, melalui kanalis inguinalis ke daerah panggul, dimana kemudian menyatu
dengan uretra. Ujung vas deIerens yang membesar dekat uretra adalah ampula. Vas
deIerens memiliki lapisan tebal otot polos di dinding dan tampaknya memiliki Iungsi
tunggal trasportasi spermatozoa. Beberapa berpendapat bahwa ampulla berIungsi sebagai
depot penyimpanan jangka pendek untuk semen. Namun, spermatozoa matang hanya dalam
waktu singkat di dalam ampulla. Tampaknya lebih mungkin bahwa spermatozoa berenang
di dalam ampulla selama ejakulasi sebelum memasuki uretra.
-37-
Uretra adalah saluran tunggal yang memanjang dari persimpangan ampulla ke ujung
penis. Ini berIungsi sebagai saluran ekskretoris baik urin mapupun semen. Selama ejakulasi
pada sapi, terdapat campuran lengkap konsentrasi spermatozoa dari vas deIerens dan
epididimis dengan cairan dari kelenjar aksesori pada bagian pelvis uretra untuk membentuk
semen.
Kelenjar aksesori
Kelenjar aksesori terletak di sepanjang bagian panggul dari uretra. Kelenjar ini
terdiri dari kelenjar vesikuler, kelenjar prostat dan kelenjar bulbourethral, berkontribusi
besar terhadap volume cairan semen. Kelenjar ini mensekresikan solusi buIIer, nutrisi, dan
zat lainnya yang diperlukan untuk menjamin motilitas optimal dan kesuburan spermatozoa.
Gambar 9. Kelenjar-kelenjar aksesori pada sapi, babi, dan kuda yang menunjukkan
hubungannya dengan ampulla dan uretra. (Redrawn Irom Ashdown and
Hancock. 1974. Reproduction in Earm Animals.(3rd ed). ed. HaIez. Lea and
Eebiger.)
-37-
Uretra adalah saluran tunggal yang memanjang dari persimpangan ampulla ke ujung
penis. Ini berIungsi sebagai saluran ekskretoris baik urin mapupun semen. Selama ejakulasi
pada sapi, terdapat campuran lengkap konsentrasi spermatozoa dari vas deIerens dan
epididimis dengan cairan dari kelenjar aksesori pada bagian pelvis uretra untuk membentuk
semen.
Kelenjar aksesori
Kelenjar aksesori terletak di sepanjang bagian panggul dari uretra. Kelenjar ini
terdiri dari kelenjar vesikuler, kelenjar prostat dan kelenjar bulbourethral, berkontribusi
besar terhadap volume cairan semen. Kelenjar ini mensekresikan solusi buIIer, nutrisi, dan
zat lainnya yang diperlukan untuk menjamin motilitas optimal dan kesuburan spermatozoa.
Gambar 9. Kelenjar-kelenjar aksesori pada sapi, babi, dan kuda yang menunjukkan
hubungannya dengan ampulla dan uretra. (Redrawn Irom Ashdown and
Hancock. 1974. Reproduction in Earm Animals.(3rd ed). ed. HaIez. Lea and
Eebiger.)
-37-
Uretra adalah saluran tunggal yang memanjang dari persimpangan ampulla ke ujung
penis. Ini berIungsi sebagai saluran ekskretoris baik urin mapupun semen. Selama ejakulasi
pada sapi, terdapat campuran lengkap konsentrasi spermatozoa dari vas deIerens dan
epididimis dengan cairan dari kelenjar aksesori pada bagian pelvis uretra untuk membentuk
semen.
Kelenjar aksesori
Kelenjar aksesori terletak di sepanjang bagian panggul dari uretra. Kelenjar ini
terdiri dari kelenjar vesikuler, kelenjar prostat dan kelenjar bulbourethral, berkontribusi
besar terhadap volume cairan semen. Kelenjar ini mensekresikan solusi buIIer, nutrisi, dan
zat lainnya yang diperlukan untuk menjamin motilitas optimal dan kesuburan spermatozoa.
Gambar 9. Kelenjar-kelenjar aksesori pada sapi, babi, dan kuda yang menunjukkan
hubungannya dengan ampulla dan uretra. (Redrawn Irom Ashdown and
Hancock. 1974. Reproduction in Earm Animals.(3rd ed). ed. HaIez. Lea and
Eebiger.)
-38-
Kelenjar vesikuler: Kelenjar vesikuler (kadang-kadang disebut seminal vasicles)
adalah sepasang kelenjar lobular yang mudah didentiIikasi karena bentuk yang menonjol.
Digambarkan sebagai bentuk sekelompok anggur, dengan panjang yang sama pada sapi,
babi hutan, dan kuda (13 hingga 15 cm), tapi lebar dan ketebalan kelenjar vesikular
sapikira-kira setengah dari babi dan kuda. Kelenjar vesicular ini pada babi dan lebih kecil,
menjadi sekitar 4 cm. Pada sapi, kelenjar ini memberikan kontribusi lebih dari setengah
dari volume total cairan semen, dan tampaknya memberikan kontribusi yang besar pada
spesies lain. Senyawa organik yang ditemukan di sekresi kelenjar vesikuler adalah unik dan
tidak ditemukan dalam jumlah besar di tempat lain di dalam tubuh. Dua senyawa ini,
Iruktosa dan sorbitol, merupakan sumber utama energi untuk spermatozoa sapi dan babi
hutan tetapi konsentrasinya lebih rendah pada babi dan kuda. Kedua IosIat dan karbonat
buIIer ditemukan dalam sekresi dan penting dalam melindungi perubahan pH semen.
Perubahan pH tersebut merugikan spermatozoa.
Kelenjar prostat: Prostat adalah kelenjar tunggal yang terletak di sekitar dan
sepanjang uretra dibagian posterior saluran ekskretoris dari kelenjar vesikular. Bagian
prostat terlihat dalam saluran dipotong dan dapat teraba sapi dan kuda. Pada domba, semua
prostat tertanam dalam otot uretra seperti bagian dari jaringan kelenjar pada sapi dan babi
hutan. Berkontribusi kecil untuk volume cairan semen di sebagian besar spesies. Namun,
kontribusi dari kelenjar prostat lebih substatial dibandingkan dengan kelenjar vesikular
pada prostat babi. Prostat babi lebih besar daripada sapi. Sekresi prostat yang tinggi ion
anorganik dengan natrium, klor, kalsium, dan semua magnesium dalam larutan.
Kelenjar bulbourethral: Kelenjar bulbourethral (Cowpers) adalah sepasang kelenjar
yang terletak di sepanjang uretra dekat titik luar dari panggul. Ukuran dan bentuknya
-39-
seperti kenari pada sapi, tetapi jauh lebih besar pada babi. Pada sapi, kelenjar ini melekat
pada otot bulbospongiosum, berkontribusi sangat sedikit untuk volume cairan semen. Pada
sapi, sekresinya merupakan residu urin dari uretra sebelum ejakulasi. Sekresi ini dipandang
sebagai penggiring dari preputium sebelum kopulasi. Pada babi, sekresinya menjelaskan
bahwa sebagian dari semen babi yang menggumpal. Selama kawin alami, benjolan putih
yang dibentuk oleh koagulasi dapat mencegah sperma mengalir kembali melalui leher
rahim ke dalam vagina babi betina.
Penis
Penis adalah organ kopulasi jantan, membentuk secara dorsal di sekitar uretra dari
titik uretra dibagian pelvis, dengan lubang uretra eksternal pada ujung bebas dari penis.
Sapi, babi hutan, dan domba memiliki lentur sigmoid, sebuah lengkungan berbentuk S pada
penis yang memungkinkan untuk ditarik kembali sepenuhnya ke dalam tubuh. Ketiga
spesies tersebut dan kuda memiliki otot penis retractor, sepasang otot polos yang relaks
yang memudahkan perpanjangan penis dan kontraksi untuk menarik penis kembali ke
dalam tubuh. Otot retractor penis ini dari vertebra di daerah ekor dan menyatu ke ventral
penis pada anterior ke Ileksura sigmoid. Glan penis, yang merupakan ujung bebas dari
penis, disuplai dengan saraI sensorik yang merupakan homolog dari klitoris betina. Pada
sebagian besar spesies, penis adalah Iibroelastic, mengandung sejumlah kecil jaringan
ereksi. Penis kuda mengandung jaringan ereksi yang lebih banyak dibandingkan dengan
sapi, babi hutan, babi, dan kambing atau domba.
-40-
Preputium
Preputium merupakan invaginasi kulit yang tertutup pada ujung penis. Ini memiliki
asal embrio sama dengan labia minora pada betina. Hal ini dapat dibagi ke dalam bagian
prepenile, yang merupakan lipatan luar, dan bagian penis, atau lipatan dalam. Lubang kulit
preputium ini dikelilingi oleh rambut preputial panjang.
Gambar 10. Diagram Perbandingan menunjukkan bentuk glan penis babi, sapi, babi hutan
dan kuda. (Redrawn Irom Ashdown and Hancock. 1974. Reproduction in Earm
Animals.(3rd ed.). ed. HaIez.Lea and Eebiger.)
-40-
Preputium
Preputium merupakan invaginasi kulit yang tertutup pada ujung penis. Ini memiliki
asal embrio sama dengan labia minora pada betina. Hal ini dapat dibagi ke dalam bagian
prepenile, yang merupakan lipatan luar, dan bagian penis, atau lipatan dalam. Lubang kulit
preputium ini dikelilingi oleh rambut preputial panjang.
Gambar 10. Diagram Perbandingan menunjukkan bentuk glan penis babi, sapi, babi hutan
dan kuda. (Redrawn Irom Ashdown and Hancock. 1974. Reproduction in Earm
Animals.(3rd ed.). ed. HaIez.Lea and Eebiger.)
-40-
Preputium
Preputium merupakan invaginasi kulit yang tertutup pada ujung penis. Ini memiliki
asal embrio sama dengan labia minora pada betina. Hal ini dapat dibagi ke dalam bagian
prepenile, yang merupakan lipatan luar, dan bagian penis, atau lipatan dalam. Lubang kulit
preputium ini dikelilingi oleh rambut preputial panjang.
Gambar 10. Diagram Perbandingan menunjukkan bentuk glan penis babi, sapi, babi hutan
dan kuda. (Redrawn Irom Ashdown and Hancock. 1974. Reproduction in Earm
Animals.(3rd ed.). ed. HaIez.Lea and Eebiger.)
-41-
Ikhtisar organ-organ reproduksi jantan dan Iungsi utama dari organ-organ tersebut
ini dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.
Organ Fungsi
Testis
Produksi spermatozoa
Produksi androgen
Skrotum
Mendukung testis
Mengontrol suhu testis
Perlindungan testis
Spermatic cord
Mendukung testis
Mengontrol suhu testis
Epididimis
Konsentrasi spermatozoa
Penyimpanan spermatozoa
Pematangan spermatozoa
Transportasi spermatozoa
Vas deIerens Transportasi spermatozoa
Uretra Transportasi semen
Kelenjar vesicular
Kontribusi cairan, substrat energi, dan buIIer terhadap
semen
Kelenjar prostat Kontribusi cairan dan ion anorganik terhadap semen
Kelenjar bulbourethral
Membersihkan sisa urin dari uretra
Penis Organ kopulasi jantan
Preputium Pembungkus/pelindung penis
-42-
PENUTUP
Untuk mencapai kompetensi bahan ajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat
mengetahui, menggambarkan dan menjelaskan bagian-bagian organ reproduksi betina dan
organ reproduksi jantan serta Iungsi masing-masing bagian. Materi ajar ini dilengkapi
dengan dua kali praktikum di laboratorium; sekali praktikum mengenai organ reproduksi
betina dan sekali praktikum mengenai organ reproduksi jantan, yang dimaksudkan kepada
mahasiswa sehingga benar-benar dapat mengetahui dan menggambarkan bagian-bagian
organ reproduksi.
Soal-soal latihan sebagai penugasan
1. Gambarkan, sebutkan dan jelaskan masing-masing bagian organ reproduksi betina
dan organ reproduksi jantan.
2. Jelaskan keterkaitan antara masing-masing bagian organ reproduksi betina dan
organ reproduksi jantan.
3. Jelaskan Iungsi masing-masing bagian organ reproduksi betina dan organ
reproduksi jantan.
Sumber Bacaan
1. Bearden HJ, Euquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3
rd
Ed, Prentice
Hall, Englewood CliIIs, Ney Jersey 07632.
2. HaIez ESE, HaIez B. 2000. Reproduction in Earm Animals. 7
th
, Lippincott Williams
& Wilkins. Philadelphia, Baltimore, New York, London Buenos Aires, Hongkong,
Sidney, Tokyo.
-43-
BAB 4
HORMON REPRODUKSI
PENDAHULUAN
Pada bab terdahulu, telah diuraikan mengenai perkembangan dan gambaran organ
reproduksi betina dan organ reproduksi jantan. Salah satu Iungsi dari organ reproduksi
khususnya organ reproduksi primer adalah memproduksi hormon, baik organ reproduksi
primer betina; ovarium maupun organ reproduksi primer jantan; testis. Pada bab ini,
sasaran pembelajaran mengenai hormon reproduksi yang bekerja pada proses reproduksi
hewan adalah diharapkan mahasiswa memahami proses perkembangan, anatomi dan
Iisiologi organ reproduksi ternak serta mekanisme kerja hormon dalam pengaturan proses
reproduksi, baik proses reproduksi pada betina maupun proses reproduksi pada jantan. Oleh
karena itu, ruang lingkup materi pembelajaran ini mencakup:
1. Kelenjar endokrin
2. Hormon
3. Hormon-hormon reproduksi primer
4. Regulasi hormon reproduksi
Untuk mencapai sasaran pembelajaran pada materi ini, maka strategi pembelajaran
yang diterapkan adalah melalui kuliah interaktiI, belajar mandiri, collaborative learning,
dan pemberian tugas.
-44-
URAIAN BAHAN PEMBELA1ARAN
Kelenjar Endokrin
Kelenjar endokrin merupakan kelenjar yang tidak mempunyai saluran dan
mensekresikan secara internal lansung ke pempuluh darah. Kelenjar endokrin ini kebalikan
dari kelenjar eksokrin yang mempunyai saluran. Kelenjar endokrin mensekresikan hormon.
Pada Gambar 11 di bawah ini ditampilkan sistim endokrin utama yang mengatur proses
reproduksi pada ternak.
Gambar 11. Perkiraan lokasi kelenjar endokrin sapi yang mensekresikan hormon dalam
pengaturan proses reproduksi. (Bearden and Euquay, 1992)
Hipotalamus: hipotalamus merupakan kelenjar neuroendokrin yang membentuk
sepanjang dasar dan dinding lateral ventrikel ketiga dari otak yang sangat dekat
hubungannnya dengan pituitari (Gambar 12). Sekresi hormonn gonadotropik dari pituitari
anterior dikontrol oleh hormon pelepas peptida (peptide-releasing hormone) yang
-44-
URAIAN BAHAN PEMBELA1ARAN
Kelenjar Endokrin
Kelenjar endokrin merupakan kelenjar yang tidak mempunyai saluran dan
mensekresikan secara internal lansung ke pempuluh darah. Kelenjar endokrin ini kebalikan
dari kelenjar eksokrin yang mempunyai saluran. Kelenjar endokrin mensekresikan hormon.
Pada Gambar 11 di bawah ini ditampilkan sistim endokrin utama yang mengatur proses
reproduksi pada ternak.
Gambar 11. Perkiraan lokasi kelenjar endokrin sapi yang mensekresikan hormon dalam
pengaturan proses reproduksi. (Bearden and Euquay, 1992)
Hipotalamus: hipotalamus merupakan kelenjar neuroendokrin yang membentuk
sepanjang dasar dan dinding lateral ventrikel ketiga dari otak yang sangat dekat
hubungannnya dengan pituitari (Gambar 12). Sekresi hormonn gonadotropik dari pituitari
anterior dikontrol oleh hormon pelepas peptida (peptide-releasing hormone) yang
-44-
URAIAN BAHAN PEMBELA1ARAN
Kelenjar Endokrin
Kelenjar endokrin merupakan kelenjar yang tidak mempunyai saluran dan
mensekresikan secara internal lansung ke pempuluh darah. Kelenjar endokrin ini kebalikan
dari kelenjar eksokrin yang mempunyai saluran. Kelenjar endokrin mensekresikan hormon.
Pada Gambar 11 di bawah ini ditampilkan sistim endokrin utama yang mengatur proses
reproduksi pada ternak.
Gambar 11. Perkiraan lokasi kelenjar endokrin sapi yang mensekresikan hormon dalam
pengaturan proses reproduksi. (Bearden and Euquay, 1992)
Hipotalamus: hipotalamus merupakan kelenjar neuroendokrin yang membentuk
sepanjang dasar dan dinding lateral ventrikel ketiga dari otak yang sangat dekat
hubungannnya dengan pituitari (Gambar 12). Sekresi hormonn gonadotropik dari pituitari
anterior dikontrol oleh hormon pelepas peptida (peptide-releasing hormone) yang
-4S-
diproduksi oleh sel-sel neurosecretory di dalam hipotalamus. Salah satunya adalah
gonadotropin releasing hormone (GnRH) yang menyebabkan pelepasan Iollicle stimulating
hormone (ESH) dan luteinizing hormone (LH) dari pituitary anterior.
Gambar 12. Hubungan antara hipotalamus dan kelenjar pituitary. (Bearden and
Euquay, 1992).
Endogenous opioids: Peptida-peptida endogenous opioids telah diidentiIikasi di
dalam jaringan otak yang salah satunya adalah B-endorphin. B-endorphin ini didentiIikasi
dengan konsentrasi tinggi pada hipotalamus dan portal darah hypophyseal yang
konsentrasinya berubah selama siklus berahi dan selama perbedaan status reproduksi.
Dengan penyuntikan peptida opioid akan menghambat sekresi ESH dan LH namun
menstimulir pelepasan prolaktin.
Kelenjar Pineal: Kelenjar pineal berlokasi di bagian belakang hipotalamus diantara
belahan-belahan otak dan mempunyai hubungan langsung dengan sisitim saraI pusat.
Kelenjar ini member respon terhadap cahaya lingkungan dan peka terhadap perubahan
cahaya (panjang siang). Hormon yang dikarakterisasi pada kelenjar pineal adalah melatonin
-4S-
diproduksi oleh sel-sel neurosecretory di dalam hipotalamus. Salah satunya adalah
gonadotropin releasing hormone (GnRH) yang menyebabkan pelepasan Iollicle stimulating
hormone (ESH) dan luteinizing hormone (LH) dari pituitary anterior.
Gambar 12. Hubungan antara hipotalamus dan kelenjar pituitary. (Bearden and
Euquay, 1992).
Endogenous opioids: Peptida-peptida endogenous opioids telah diidentiIikasi di
dalam jaringan otak yang salah satunya adalah B-endorphin. B-endorphin ini didentiIikasi
dengan konsentrasi tinggi pada hipotalamus dan portal darah hypophyseal yang
konsentrasinya berubah selama siklus berahi dan selama perbedaan status reproduksi.
Dengan penyuntikan peptida opioid akan menghambat sekresi ESH dan LH namun
menstimulir pelepasan prolaktin.
Kelenjar Pineal: Kelenjar pineal berlokasi di bagian belakang hipotalamus diantara
belahan-belahan otak dan mempunyai hubungan langsung dengan sisitim saraI pusat.
Kelenjar ini member respon terhadap cahaya lingkungan dan peka terhadap perubahan
cahaya (panjang siang). Hormon yang dikarakterisasi pada kelenjar pineal adalah melatonin
-4S-
diproduksi oleh sel-sel neurosecretory di dalam hipotalamus. Salah satunya adalah
gonadotropin releasing hormone (GnRH) yang menyebabkan pelepasan Iollicle stimulating
hormone (ESH) dan luteinizing hormone (LH) dari pituitary anterior.
Gambar 12. Hubungan antara hipotalamus dan kelenjar pituitary. (Bearden and
Euquay, 1992).
Endogenous opioids: Peptida-peptida endogenous opioids telah diidentiIikasi di
dalam jaringan otak yang salah satunya adalah B-endorphin. B-endorphin ini didentiIikasi
dengan konsentrasi tinggi pada hipotalamus dan portal darah hypophyseal yang
konsentrasinya berubah selama siklus berahi dan selama perbedaan status reproduksi.
Dengan penyuntikan peptida opioid akan menghambat sekresi ESH dan LH namun
menstimulir pelepasan prolaktin.
Kelenjar Pineal: Kelenjar pineal berlokasi di bagian belakang hipotalamus diantara
belahan-belahan otak dan mempunyai hubungan langsung dengan sisitim saraI pusat.
Kelenjar ini member respon terhadap cahaya lingkungan dan peka terhadap perubahan
cahaya (panjang siang). Hormon yang dikarakterisasi pada kelenjar pineal adalah melatonin
-46-
yang merupakan turunan dari asam amino triptopan. Kegelapan menyebabkan peningkatan
aktivitas simpatetik terhadap kelenjar pineal yang meningkatkan sekresi melatonin.
Beberapa studi mengindikasikan pola harian konsentrasi melatonin yang tinggi pada malam
hari dan konsentrasi rendah pada siang hari baik pada hewan/spesies musiman maupun
dengan tidak musiman. Perannya adalah sebagai pengatur aktivitas reproduksi yakni
apakah dengan menstimulir atau menghambat Iungsi gonad.
Gambar 13. Mekanisme cahaya mengatur sekresi melatonin dari kelenjar pineal.
Impuls saraI dihasilkan dari photic signal ke mata yang ditarnsmisikan
dari retina sepanjang saluran retinohypothalamic ke supra chiasmatic
nuclei dan kemudian ke super cervical ganglia. (Bearden and Euquay,
1992).
Beberapa kelanjar lain seperti ovarium, testis, adrenal korteks, plasenta dan uterus
akan dibahas bersamaan dengan hormon yang diproduksi pada bagian hormon.
-46-
yang merupakan turunan dari asam amino triptopan. Kegelapan menyebabkan peningkatan
aktivitas simpatetik terhadap kelenjar pineal yang meningkatkan sekresi melatonin.
Beberapa studi mengindikasikan pola harian konsentrasi melatonin yang tinggi pada malam
hari dan konsentrasi rendah pada siang hari baik pada hewan/spesies musiman maupun
dengan tidak musiman. Perannya adalah sebagai pengatur aktivitas reproduksi yakni
apakah dengan menstimulir atau menghambat Iungsi gonad.
Gambar 13. Mekanisme cahaya mengatur sekresi melatonin dari kelenjar pineal.
Impuls saraI dihasilkan dari photic signal ke mata yang ditarnsmisikan
dari retina sepanjang saluran retinohypothalamic ke supra chiasmatic
nuclei dan kemudian ke super cervical ganglia. (Bearden and Euquay,
1992).
Beberapa kelanjar lain seperti ovarium, testis, adrenal korteks, plasenta dan uterus
akan dibahas bersamaan dengan hormon yang diproduksi pada bagian hormon.
-46-
yang merupakan turunan dari asam amino triptopan. Kegelapan menyebabkan peningkatan
aktivitas simpatetik terhadap kelenjar pineal yang meningkatkan sekresi melatonin.
Beberapa studi mengindikasikan pola harian konsentrasi melatonin yang tinggi pada malam
hari dan konsentrasi rendah pada siang hari baik pada hewan/spesies musiman maupun
dengan tidak musiman. Perannya adalah sebagai pengatur aktivitas reproduksi yakni
apakah dengan menstimulir atau menghambat Iungsi gonad.
Gambar 13. Mekanisme cahaya mengatur sekresi melatonin dari kelenjar pineal.
Impuls saraI dihasilkan dari photic signal ke mata yang ditarnsmisikan
dari retina sepanjang saluran retinohypothalamic ke supra chiasmatic
nuclei dan kemudian ke super cervical ganglia. (Bearden and Euquay,
1992).
Beberapa kelanjar lain seperti ovarium, testis, adrenal korteks, plasenta dan uterus
akan dibahas bersamaan dengan hormon yang diproduksi pada bagian hormon.
-47-
Hormon
Hormon disekresikan oleh kelenjar endokrin dan merupakan senyawa kimia yang
dibawa melalui darah ke sel-sel target organ atau sel-sel target lain dimana hormon tersebut
mengatur aktivitas Iisiologis tertentu. Pada tabel di bawah ini disajikan kelenjar dan
hormon yang disekresikan
Kelenjar Hormon
Kelas
kimia
Fungsi
Hipotalamus Gonadotropin releasing
hormone (GnRH)
Peptida Pelepasan ESH dan LH
Prolactin inhibiting
Iactor (PIE)
Peptida Retensi prolaktin
Prolactin releasing
Iactor (PRE)
Peptida Pelepasan prolaktin
Corticotropin releasing
hormone (CRH)
Peptida Pelepasan ACTH
Pituitari
Anterior
Eollicle stimulating
hormone (ESH)
Protein 1. Pertumbuhan Iolikel
2. Pelepasan estrogen
3. Spermiogenesis
Luteinizing hormone
(LH)
Protein 1. Ovulasi
2. Pembentukan dan Iungsi
corpus luteum (CL)
3. Pelepasan testosteron
Prolaktin Protein Sintesis susu
Adenocorticotropin
(ACTH)
Polipeptida Pelepas glucocorticoids
Pituitari
posterior
Oksitosin Peptida 1. Kelahiran
2. Pengeluaran air susu
Ovarium Estrogens (estradiol) Steroid 1. Tingkah laku kawin
2. Karakteristik kelamin
sekunder
3. Mempertahankan sisitim
saluran betina
4. Pertumbuhan kelenjar susu
Progestins (progesteron) Steroid 1. Mempertahankan
kebuntingan
2. Pertumbuhan kelenjar susu
Relaxin Polipeptida 1. Ekspansi pelvis
2. Pelebaran serviks
Inhibin Protein Mencegah pelepasan ESH
-48-
Kelenjar Hormon
Kelas
kimia
Fungsi
Testis Androgens (testosteron) Steroid 1. Tingkah laku kawin jantan
2. Spermatositogenesis
3. Mempertahankan sisitim
saluran jantan
4. Eungsi kelenjar aksesori
Inhibin Protein Mencegah pelepasan ESH
Adrenal cortex Glucocorticoids
(cortisol)
Steroid 1. Kelahiran
2. Sintesis susu
Plasenta Human chorionic
gonadotropin (hCG)
Protein Seperti LH
Pregnant mare serum
gonadotropin (PMSG)
Protein Seperti ESH
Estrogen Lihat Ovarium
Progestin
Relaxin
Uterus Prostaglandin E
2u
(PGE
2u
)
Lemak 1. Regresi corpus luteum (CL)
2. Kelahiran
Sumber: Bearden and Euquay, 1992
Hormon-hormon Reproduksi Primer
Hormon-hormon reproduksi primer diproduksi baik di dalam ovarium pada ternak
betina, maupun testis pada ternak jantan. Pada tabel di bawah ini disajikan beberapa
hormone yang diproduksi oleh gonad.
Kelas Hormon
Estrogen Estradiol-17
Estriol
Estrone
Progestins Progesterone
17-Hydroxyprogesterone
20 -dihydroprogesterone
Androgens Testosterone
Androstenedione
Dyhydrotestosterone
Sumber: Bearden and Euquay, 1992
-49-
Regulasi Hormon Reproduksi
Regulasi hormone reproduksi baik pada ternak jantan dan ternak betina disajikan
pada Gambar 14 dan 15.
Gambar 14. Hubungan antara pelepas hormon hipotalamik, gonadotropin, dan
ovarium dalam pengaturan Iungsi reproduksi (Bearden and Euquay,
1992).
GnRH dari hipotalamus menstimulir pelepasan ESH dan LH dari pituitari anterior.
ESH menstimulir produksi estradiol dan inhibin pada sel-sel granulose di dalam Iolikel
ovarium. Inhibin secara selektiI menghambat pelepasan ESH. Ketika progesteron rendah,
konsentrasi estradiol yang tinggi menstimulir gelombang GnRH, ESH dan LH sebagai
umpan balik positiI. LH menstimulir produksi dan pelepasan progesteron dari sel-sel
granulose di dalam corpus luteum. Konsentrasi progesteron yang tinggi menghambat
pelepasan GnRH, ESH dan LH sebagai umpan balik negatiI.
-49-
Regulasi Hormon Reproduksi
Regulasi hormone reproduksi baik pada ternak jantan dan ternak betina disajikan
pada Gambar 14 dan 15.
Gambar 14. Hubungan antara pelepas hormon hipotalamik, gonadotropin, dan
ovarium dalam pengaturan Iungsi reproduksi (Bearden and Euquay,
1992).
GnRH dari hipotalamus menstimulir pelepasan ESH dan LH dari pituitari anterior.
ESH menstimulir produksi estradiol dan inhibin pada sel-sel granulose di dalam Iolikel
ovarium. Inhibin secara selektiI menghambat pelepasan ESH. Ketika progesteron rendah,
konsentrasi estradiol yang tinggi menstimulir gelombang GnRH, ESH dan LH sebagai
umpan balik positiI. LH menstimulir produksi dan pelepasan progesteron dari sel-sel
granulose di dalam corpus luteum. Konsentrasi progesteron yang tinggi menghambat
pelepasan GnRH, ESH dan LH sebagai umpan balik negatiI.
-49-
Regulasi Hormon Reproduksi
Regulasi hormone reproduksi baik pada ternak jantan dan ternak betina disajikan
pada Gambar 14 dan 15.
Gambar 14. Hubungan antara pelepas hormon hipotalamik, gonadotropin, dan
ovarium dalam pengaturan Iungsi reproduksi (Bearden and Euquay,
1992).
GnRH dari hipotalamus menstimulir pelepasan ESH dan LH dari pituitari anterior.
ESH menstimulir produksi estradiol dan inhibin pada sel-sel granulose di dalam Iolikel
ovarium. Inhibin secara selektiI menghambat pelepasan ESH. Ketika progesteron rendah,
konsentrasi estradiol yang tinggi menstimulir gelombang GnRH, ESH dan LH sebagai
umpan balik positiI. LH menstimulir produksi dan pelepasan progesteron dari sel-sel
granulose di dalam corpus luteum. Konsentrasi progesteron yang tinggi menghambat
pelepasan GnRH, ESH dan LH sebagai umpan balik negatiI.
-S0-
Gambar 15. Hubungan hormon-hormon yang mengatur Iungsi reproduksi pada ternak
jantan (Bearden and Euquay, 1992).
GnRH dari hipotalamus menstimulir pelepasan ESH dan LH dari pituitari anterior.
LH menstimulir sel-sel Leydig untuk memproduksi testosteron. Konsentrasi testosteron
yang tinggi menghambat pelepasan GnRH, ESH dan LH, dimana pada konsentrasi yang
rendah mengakibatkan pelepasan hormon-hormon tersebut, sebagai umpan balik negatiI.
ESH menstimulir sel-sel Sertoli untuk memproduksi inhibin dan androgen-binding-protein.
Inhibin menghambat pelepasan ESH dan androgen-binding-protein mengikat testosteron di
dalam tubulus seminiIerus yang menjamin ketersediaan dan kelanjutan spermatogenesis.
PENUTUP
Untuk mencapai kompetensi bahan ajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat
mengetahui, kelenjar-kelenjar endokrin serta hormon yang disekresikan. Hormon
-S0-
Gambar 15. Hubungan hormon-hormon yang mengatur Iungsi reproduksi pada ternak
jantan (Bearden and Euquay, 1992).
GnRH dari hipotalamus menstimulir pelepasan ESH dan LH dari pituitari anterior.
LH menstimulir sel-sel Leydig untuk memproduksi testosteron. Konsentrasi testosteron
yang tinggi menghambat pelepasan GnRH, ESH dan LH, dimana pada konsentrasi yang
rendah mengakibatkan pelepasan hormon-hormon tersebut, sebagai umpan balik negatiI.
ESH menstimulir sel-sel Sertoli untuk memproduksi inhibin dan androgen-binding-protein.
Inhibin menghambat pelepasan ESH dan androgen-binding-protein mengikat testosteron di
dalam tubulus seminiIerus yang menjamin ketersediaan dan kelanjutan spermatogenesis.
PENUTUP
Untuk mencapai kompetensi bahan ajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat
mengetahui, kelenjar-kelenjar endokrin serta hormon yang disekresikan. Hormon
-S0-
Gambar 15. Hubungan hormon-hormon yang mengatur Iungsi reproduksi pada ternak
jantan (Bearden and Euquay, 1992).
GnRH dari hipotalamus menstimulir pelepasan ESH dan LH dari pituitari anterior.
LH menstimulir sel-sel Leydig untuk memproduksi testosteron. Konsentrasi testosteron
yang tinggi menghambat pelepasan GnRH, ESH dan LH, dimana pada konsentrasi yang
rendah mengakibatkan pelepasan hormon-hormon tersebut, sebagai umpan balik negatiI.
ESH menstimulir sel-sel Sertoli untuk memproduksi inhibin dan androgen-binding-protein.
Inhibin menghambat pelepasan ESH dan androgen-binding-protein mengikat testosteron di
dalam tubulus seminiIerus yang menjamin ketersediaan dan kelanjutan spermatogenesis.
PENUTUP
Untuk mencapai kompetensi bahan ajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat
mengetahui, kelenjar-kelenjar endokrin serta hormon yang disekresikan. Hormon
-S1-
reproduksi primer merupakan hormon yang paling banyak bertanggung jawab dalam proses
reproduksi, sehingga dengan mengetahui mekanisme hormon masing-masing hormon
reproduksi primer, maka akan mudah bagi mahasiswa untuk membandingkan dan
selanjutnya untuk memanipulasi status reproduksi khususnya pada ternak betina.
Soal-soal latihan sebagai penugasan
1. Sebutkan beberapa kelenjar endokrin beserta hormon yang disekresikan.
2. Sebutkan dan jelaskan hormon reproduksi primer pada ternak betina dan ternak
jantan.
3. Jelaskan hubungan antara pelepas hormon hipotalamik, gonadotropin, dan
ovarium dalam pengaturan Iungsi reproduksi ternak betina.
Sumber Bacaan
1. Bearden HJ, Euquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3
rd
Ed, Prentice
Hall, Englewood CliIIs, Ney Jersey 07632.
2. HaIez ESE, HaIez B. 2000. Reproduction in Earm Animals. 7
th
, Lippincott Williams
& Wilkins. Philadelphia, Baltimore, New York, London Buenos Aires, Hongkong,
Sidney, Tokyo.
-S2-
BAB 5
GAMETOGENESIS
PENDAHULUAN
Gametogenesis dibagi dalam dua kelompok berdasarkan jenis kelamin yakni
oogenesis dan spermatodenesis. Pembentukan dan pematangan gamet harus dilakukan baik
betina maupun jantan. Oogenesis merupakan pembentukan dan pematangan gamet betina
(ovum). Oogenesis berlangsung di dalam ovarium. Sedangkan spermatogenesis adalah
proses dimana spermatozoa dibentuk. Proses ini terjadi di dalam tubulus seminiIerus.
Setelah pembentukan spermatozoa di dalam tubulus seminiIerus, spermatozoa dipaksa
masuk ke dalam epididimis sebagai tempat penyimpanan melalui rete testis dan vasa
eIerensia. Di dalam epididimis, spermatozoa dimatangkan yang kemudian mampu untuk
berIertilisasi. Pembahasan mendalam terhadap proses pembentukan gamet betina dan
spermatozoa akan dibahas pada bab ini. Oleh karena itu, ruang lingkup materi pembelajaran
ini mencakup:
1. Oogenesis
2. Spermatogenesis
Dengan sasaran pembelajaran adalah menjelaskan proses perkembangan ovum dan
sperma. Untuk mencapai sasaran pembelajaran pada materi ini, maka strategi pembelajaran
yang diterapkan adalah melalui kuliah interaktiI, belajar mandiri, collaborative learning,
praktikum dan pemberian tugas.
-S3-
URAIAN BAHAN PEMBELA1ARAN
Oogenesis
Oogenesis atau ovigenesis bermula pada periode prenatal. Potensial gamet
oogonium terkait dengan Iolikel primer pada awal pembentkannya. Oogonia berasal dari
perpanjangan yolk sac yang terbentuk dari bagian belakang embrio. Pada awal
pembentukannya, proliIerasi oogonia dengan pembelahan mitosis terjadi dalam parenkim
ovarium. ProliIerasi ini berhenti sebelum kelahiran sehingga ovarium mempunyai jumlah
potensial ova atau oosit yang tetap pada saat dilahirkan. Oosit memasuki proIase pada
pembelahan miosis pertama selama peride Ietus dan kemudian dorman yang kemudian
disebut dictyate oocytes. Selama periode prenatal dan selanjutnya setelah dilahirkan, telah
dilaporkan bahwa terjadi pola siklus dalam pertumbuhan dan pematangan oosit, namun
demikian, tidak ada oosit yang betul-betul matang sampai mencapai umur pubertas.
Diperkirakan bahwa kurang dari 1 dari semua oosit yang mencapai kematangan dan
dilepaskan selama ovulasi.
Pertumbuhan dan pematangan oosit akan berlanjut secara bersiklus setelah pubertas.
Selama gelombang pertumbuhan Iolikel yang terjadi pada setiap siklus berahi, sekelompok
oosit terkait dengan mulainya pertumbuhan dan pematangan Iolikel ini. Kebanyakan
menjadi atretic (atresia) sedangkan lainnya tetap dorman. Namun demikian, pada saat
regresi luteal, oosit dengan Iolikel dominan mencapai kematangan dan dilepaskan melalui
ovulasi ke sistim duktusuntuk Iertilisasi pada sapi, domba, kambing dan kuda. Pada babi,
10 sampai 25 oosit dapat mencapai kematangan dan berovulasi.
Setelah miosis berhenti, perkembangan, pematangan kembali dengan pertumguhan
oosit dan pembentukan zona pellucid, membran luar seperti gel di sekitar oosit.
-S4-
Pertumbuhan oosit diikuti dengan pertumbuhan Iolikel. ESH menstimulir proliIerasi sel-sel
granulosa yang mengelilingi oosit, dengan Iolikel berkembang dari Iolikel primer menjadi
Iolikel sekunder. Berlanjutnya stimulasi ESH menghasilkan kelanjutan proliIerasi sel-sel
granulosa dan pembentukan antrum. ProliIerasi sel-sel teka (thecal cells) diluar membran
dasar terjadi dengan pengaruh LH. Selama perkembangan ini, Iolikel diperuntukkan untuk
ovulasi, dan menjadi Iolikel dominan. Ketika Iolikel dominan dan Iolikel antral lainnya
mensekresi cukup estrogen, lonjakan preovulatory LH terpicu. Tingginya level LH
mengakibatkan pelepasan oosit ke dalam cairan Iolikel, yang kemudian berlanjut dan
penyelesaian miosis I. Produk dari pembelahan pertama miosis adalah oosit sekunder dan
polar body pertama yang tersimpan/berlokasi diantara membran vitelin dan zona pellucid di
dalam ruang perivitelin. Pada pembelahan ini, jumlah kromosom di dalam oosit berubah
dari diploid (2n) menjadi haploid (n). Oosit sekunder mempertahankan semua sitoplasma
dan setengah materi inti (kromosom) dari oosit primer. Kemudian setengah dari materi inti
tersebut terekstrusi sebagai polar body. Pembelahan miosis pertama ini berakhir sesaat
sebelum ovulasi pada sapi, babi dan domba serta segera setalah ovulasi pada kuda.
Pembelahan miosis kedua dimulai segera setelah pembelahan pertama selesai dan
berhenti pada metaphase II. Miosis kedua dimulai kembali pada saat proses Iertilisasi dan
akan lengkap/selesai dengan interaksi antara oosit dengan spermatozoa. Produk dari
pembelahan miosis kedua adalah sigot dan polar body kedua.
-SS-
Gambar 16. Tahapan pematangan pada sel-sel germinal selama oogenesis (Bearden and
Euquay, 1992).
Selama periode Ietus, pembelahan mitosis telah selesai dan miosis pertama mulai.
Miosis pertama tertahan setelah kelahiran pada proIase I. Pertumbuhan oosit dan
pembentukan zona pellucida diikuti dengan pertumbuhan Iolikel. Preovulatory lonjakan LH
-SS-
Gambar 16. Tahapan pematangan pada sel-sel germinal selama oogenesis (Bearden and
Euquay, 1992).
Selama periode Ietus, pembelahan mitosis telah selesai dan miosis pertama mulai.
Miosis pertama tertahan setelah kelahiran pada proIase I. Pertumbuhan oosit dan
pembentukan zona pellucida diikuti dengan pertumbuhan Iolikel. Preovulatory lonjakan LH
-SS-
Gambar 16. Tahapan pematangan pada sel-sel germinal selama oogenesis (Bearden and
Euquay, 1992).
Selama periode Ietus, pembelahan mitosis telah selesai dan miosis pertama mulai.
Miosis pertama tertahan setelah kelahiran pada proIase I. Pertumbuhan oosit dan
pembentukan zona pellucida diikuti dengan pertumbuhan Iolikel. Preovulatory lonjakan LH
-S6-
menginisiasi mulainya miosis. Miosis pertama selesai tetapi meiosis II berhenti pada
metaphase II. Selama Iertilisasi, miosis II kembali dan selesai dengan pembentukan sigot.
Spermatogenesis
Spermatogenesis dapat dibagi dalam dua Iase yang berbeda yakni
spermatositogenesis dan spermiogenesis. Spermatositogenesis merupakan serangkaian
pembelahan dari spermatogonia sampai membentuk spermatid. Spermatogonia merupakan
potensial gamet yang kecil, bulat, dan lebih banyak sel-sel. Sedangkan spermiogenesis
merupakan Iase dimana spermatid bermetamorIosis membentuk spermatozoa. Dalam
pembentukannya di tubulus seminiIerus, proses ini akan berlangsung selama 46 49 hari
pada domba, 36 40 hari pada babi dan lebih lama pada sapi (56 63 hari). Spermatozoa
yang telah berkembang, kemudian bermigrasi dari membran dasar tubulus seminiIerus
menuju lumen. Terdapat dua jesis sel yang terdapat pada membran dasar tubulus
seminiIerus yakni sel-sel sertoli yang lebih besar dan dengan jumlah sedikit dan sel-sel
somatik yang berperan dalam mendukung selama proses spermatositogenesis dan
spermiogenesis.
Selama spermiogenesis, spermatid melekat pada sel-sel Sertoli. Masing-masing
spermatid bermetamorIosis (perubahan dalam morIologi) membentuk spermatozoon.
Selama proses metamorphosis ini, materi inti akan kompak/menyatu pada salah satu bagian
sel, membentuk kepala spermatozoon, sedangkan sel selebihnya memanjang membentuk
ekor. Akrosom yang merupakan pembungkus kepala spermatozoon, akan terbetuk dari
badan Golgi dari spermatid. Sitoplasma dari spermatid terlepas pada pembentukan ekor,
droplet sitoplasmik ini akan membentuk leher spermatozoon. Mitokondria dari spermatid
akan membentuk spiral bagian atas sekitar seperenam dari ekor, membentuk penutup
-S7-
mitokondrial.Spermatozoa yang baru dibentuk kemudian dilepaskan dari sel Sertoli dan
dipaksa keluar melalui lumen tubulus seminiIerus ke dalam rete testis. Spermatozoa
merupakan sel-sel unik yang tidak mempunyai sitoplasma, dan setelah proses
maturasi/pematangan, mempunyai kemampuan untuk motil secara progresiI.
Gambar 17. Spermatogensis menunjukkan urutan peristiwa dan waktu yang terlibat dalam
spermatogenesis pada domba (Bearden and Euquay, 1992).
Proses pada Gambar 16 menunjukkan bahwa spermatogonium (A2) membelah
dengan mitosis, membentuk spermatogonium aktiI (A3) dan spermatogonium dorman
-S7-
mitokondrial.Spermatozoa yang baru dibentuk kemudian dilepaskan dari sel Sertoli dan
dipaksa keluar melalui lumen tubulus seminiIerus ke dalam rete testis. Spermatozoa
merupakan sel-sel unik yang tidak mempunyai sitoplasma, dan setelah proses
maturasi/pematangan, mempunyai kemampuan untuk motil secara progresiI.
Gambar 17. Spermatogensis menunjukkan urutan peristiwa dan waktu yang terlibat dalam
spermatogenesis pada domba (Bearden and Euquay, 1992).
Proses pada Gambar 16 menunjukkan bahwa spermatogonium (A2) membelah
dengan mitosis, membentuk spermatogonium aktiI (A3) dan spermatogonium dorman
-S7-
mitokondrial.Spermatozoa yang baru dibentuk kemudian dilepaskan dari sel Sertoli dan
dipaksa keluar melalui lumen tubulus seminiIerus ke dalam rete testis. Spermatozoa
merupakan sel-sel unik yang tidak mempunyai sitoplasma, dan setelah proses
maturasi/pematangan, mempunyai kemampuan untuk motil secara progresiI.
Gambar 17. Spermatogensis menunjukkan urutan peristiwa dan waktu yang terlibat dalam
spermatogenesis pada domba (Bearden and Euquay, 1992).
Proses pada Gambar 16 menunjukkan bahwa spermatogonium (A2) membelah
dengan mitosis, membentuk spermatogonium aktiI (A3) dan spermatogonium dorman
-S8-
(tidak aktiI) (A1). Spermatogonium aktiI mengalami empat pembelahan mitosis
membentuk 16 spermatosit primer. Masing-masing spermatosit primer akan mengalami dua
kali pembelahan miosis membentuk empat spermatid (sehingga membentuk 64 spermatid
dari spermatogonium A3). Spermatogonium duorman (A1) kemudian akan membelah
menghasilkan spermatogonia (A2) yang dengan pembelahan mitosis akan membentuk
spermatogonia aktiI baru (A3) dan spermatogonia dorman baru (A1). Masing-masing
spermatid mengalami metamorIosis untuk membentuk spermatozoon (setiap spermatozoon
membesar membentuk morIologi yang lebih detail).
Gambar 18. Segmen kecil dari tubulus seminiIerus aktiI menunjukkan tahap perkembangan
yang terjadi selama spermatogenesis. Perhatikan lapisan konsentris dari
spermatogonia, spermatosit, dan spermatid maju dari dinding tubulus
seminiIerus ke lumen (Bearden and Euquay, 1992).
-S8-
(tidak aktiI) (A1). Spermatogonium aktiI mengalami empat pembelahan mitosis
membentuk 16 spermatosit primer. Masing-masing spermatosit primer akan mengalami dua
kali pembelahan miosis membentuk empat spermatid (sehingga membentuk 64 spermatid
dari spermatogonium A3). Spermatogonium duorman (A1) kemudian akan membelah
menghasilkan spermatogonia (A2) yang dengan pembelahan mitosis akan membentuk
spermatogonia aktiI baru (A3) dan spermatogonia dorman baru (A1). Masing-masing
spermatid mengalami metamorIosis untuk membentuk spermatozoon (setiap spermatozoon
membesar membentuk morIologi yang lebih detail).
Gambar 18. Segmen kecil dari tubulus seminiIerus aktiI menunjukkan tahap perkembangan
yang terjadi selama spermatogenesis. Perhatikan lapisan konsentris dari
spermatogonia, spermatosit, dan spermatid maju dari dinding tubulus
seminiIerus ke lumen (Bearden and Euquay, 1992).
-S8-
(tidak aktiI) (A1). Spermatogonium aktiI mengalami empat pembelahan mitosis
membentuk 16 spermatosit primer. Masing-masing spermatosit primer akan mengalami dua
kali pembelahan miosis membentuk empat spermatid (sehingga membentuk 64 spermatid
dari spermatogonium A3). Spermatogonium duorman (A1) kemudian akan membelah
menghasilkan spermatogonia (A2) yang dengan pembelahan mitosis akan membentuk
spermatogonia aktiI baru (A3) dan spermatogonia dorman baru (A1). Masing-masing
spermatid mengalami metamorIosis untuk membentuk spermatozoon (setiap spermatozoon
membesar membentuk morIologi yang lebih detail).
Gambar 18. Segmen kecil dari tubulus seminiIerus aktiI menunjukkan tahap perkembangan
yang terjadi selama spermatogenesis. Perhatikan lapisan konsentris dari
spermatogonia, spermatosit, dan spermatid maju dari dinding tubulus
seminiIerus ke lumen (Bearden and Euquay, 1992).
-S9-
Kontrol Hormon pada Spermatogenesis
TPada sapi dan domba, terdapat 3 sampai 7 lonjakan LH per hari yang juga diikuti
oleh lonjakan testosteron. Peran utama LH dalam peraturan spermatogenesis tampaknya
tidak langsung bahwa hal itu merangsang pelepasan testosteron dari sel Leydig. Testosteron
dan ESH bekerja di dalam sel-sel tubulus seminiIerus untuk menstimulir spermatogenesis.
Testosteron diperlukan pada tahap-tahap tertentu dalam spermatositogenesis dan Iaktor
dominan dalam pengaturan proses ini. Konsentrasi testosteron yang tinggi dalam cairan
pada tubulus seminiIerus (100-300 kali lebih tinggi dari plasma peripheral) nampaknya
penting untuk untuk spermatogenesis normal. Konsentrasi tinggi ini dipertahankan melalui
pengikatan testosteron terhadap androgen-binding protein (protein yang mengikat
androgen). androgen-binding protein ini diserap di dalam epididimis yang disekresikan oleh
oleh sel-sel Sertoli dibawah stimulasi ESH. Oleh karena itu, konsentrasi testosteron yang
tinggi ini dipertahankan di dalam rete testis, vasa eIerensia, bagian proximal epididimis dan
juga pada tubulus seminiIerus. ESH dan LH dilepaskan atas pengaruh GnRH. ESH penting
untuk sel-sel Sertoli termasuk sekresi inhibin, estrogen, dan androgen-binding protein. ESH
nampak lebih dominan dalam mengatur spermiogenesis melalui pengaruh secara langsung
melalui sel germinal dan/atau tidak langsung melalui Iungsi dari sel-sel Sertoli. ESH
dibutuhkan untu produksi spermatozoa.
Testosteron merupakan umpan balik negatiI pada hipotalamus dan konsentrasi
pituitari anterior. Konsentrasi testosteron yang tinggi akan menghambat pelepasan GnRH,
ESH, dan LH, sedangkan konsentrasi rendah memungkinkan pelepasannya. PGE2u akan
merangsang pelepasan LH dan testosteron. Oleh karena itu, PGE2u mungkin terlibat dalam
pengaturan umpan balik antara hipotalamus, hipoIisa anterior, dan testis.
-60-
PENUTUP
Untuk mencapai kompetensi bahan ajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat
mengetahui proses-proses yang terjadi dalam pembentukan ovum dan spermatozoa serta
hormon yang terlibat dalam pembentukannya.
Soal-soal latihan sebagai penugasan
1. Jelaskan proses pembentukan ovum.
2. Jelaskan proses pembentukan spermatozoa.
3. Hubungkan antara proses pembentukan ovum atau spermatozoa dengan hormone yang
terlibat didalamnya.
Sumber Bacaan
1. Bearden HJ, Euquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3
rd
Ed, Prentice
Hall, Englewood CliIIs, Ney Jersey 07632.
2. HaIez ESE, HaIez B. 2000. Reproduction in Earm Animals. 7
th
, Lippincott Williams
& Wilkins. Philadelphia, Baltimore, New York, London Buenos Aires, Hongkong,
Sidney, Tokyo.
-61-
BAB 6
SIKLUS REPRODUKSI
(Pubertas, Siklus Berahi, Musim Kawin, Induksi dan Sinkronisasi Berahi)
PENDAHULUAN
Siklus reproduksi pada ternak khususnya misalnya ternak sapi merupakan periode
antara proses reproduksi yang dimulai dari pubertas, siklus berahi, perkawinan,
kebuntingan, kelahiran, laktasi, kondisi anestrus, kembali bersiklus, dan seterusnya yang
terjadi secara berulang. Pada bab ini, akan dibahas secara khusus tentang pubertas, siklus
berahi, musim kawin, serta induksi dan sinkronisasi berahi. Sasaran pembelajaran adalah
menjelaskan Pubertas dan Iaktor-Iaktor yang mempengaruhi, siklus berahi/estrus, serta
induksi dan sinkronisasi berahi.
. Untuk mencapai sasaran pembelajaran pada materi ini, maka strategi pembelajaran
yang diterapkan adalah melalui kuliah interaktiI, belajar mandiri, collaborative learning,
praktikum dan pemberian tugas.
URAIAN BAHAN PEMBELA1ARAN
Pubertas
Pubertas pada ternak dapat dideIinisikan sebagai umur pada saat pertamakali
diekspresinya berahi yang diikuti dengan ovulasi. Pubertas terjadi ketika gonadotropin
(ESH dan LH) diproduksi pada level yang cukup tinggi untuk memulai pertumbuhan
Iolikel, pematangan oosit, dan ovulasi. Eolikel bertumbuh dapat dideteksi beberapa bulan
sebelum pubertas. Mendekati pubertas, Irekuensi pulsa GnRH meningkat dan menstimulir
ovarium. Pertama-tama, gelombang Iolikel bertumbuh dan diikuti dengan atresia. Ketika
-62-
Irekuaensi dan amplitudo pulsa GnRH mendekati pola dewasa, maturasi oosit dan ovulasi
akan terjadi. Semakin tinggi Irekuensi GnRH pada awal munculnya pubertas nampaknya
sebagai bagian dari penurunan sensitivitas hipotalamus terhadap pengaruh umpan balik
negatiI steroid ovarium yang mungkin berinteraksi dengan atau hasil dari Iaktor lain.
Endogenous opioids dan/atau melatonin dapat terlibat dalam pengaturan perubahan pola-
pola hormon ini.
Umur pubertas dipengaruhi baik Iaktor genetik maupun lingkungan, sedangkan
berat badan pada saat pubertas dipengaruhi oleh Iaktor genetic. Eaktor genetik dapat dilihat
dengan membandingkan spesies atau bangsa didalam spesies. Umur dan berat badan pada
saat pubertas dari spesies dan bangsa yang berbeda disajikan pada tabel di bawah ini.
Spesies dan bangsa Umur (bulan) Berat (kg)
Kambing 5 7 10 30
Babi 4 7 68 90
Domba 7 10 27 34
Kuda 15 24 Bervariasi dengan ukuran
kematangan bangsa
Sapi Perah 8 13 160 270
Jersey 8 160
Guernsey 11 200
Holstein 11 270
Ayrshire 13 240
BeeI cow (European breeds) 10 15 -
Zebu 17 27 -
Sumber: Bearden and Euquay, 1992
Sejumlah Iaktor lingkungan mempengaruhi umur pubertas. Umumnya Iaktor
dengan pertumbuhan lambat, kekurangan nutrisi, suhu lingkungan yang tinggi, musim pada
-63-
saat dilahirkan, penyakit, sanitasi lingkungan yang kurang baik akan menghambat
munculnya pubertas.
Kebanyakan bangsa-bangsa domba mencapai pubertas pada saat 40 50 berat
dewasa, namun perkawinan hanya direkomendasikan sekitar 65 berat dewasa. Pada sapi
perah, pubertas tercapai pada 35 45 berat dewasa dan tidak direkomendasikan untuk
dikawinkan sampai mencapai 55 berat dewasa.
Siklus Berahi
Siklus berahi dideIinisikan sebagai waktu atau jarak diantara periode berahi.
Periode siklus berahi terdiri dari estrus, metestrus, diestrus, dan proestrus. Periode ini
terjadi dan berurutan di dalam satu siklus kecuali untuk periode anestrus (tidak bersiklus)
pada ternak yang mempunyai musim kawin seperti domba, kambing dan kuda, dan juga
anestrus selama kebuntingan dan periode postpartum dini pada semua spesies. Tabel di
bawah ini menunjukkan karakteristik variasi dalam siklus berahi pada spesies tang berbeda.
Karakteristik
Siklus Berahi
Sapi Domba Babi Kuda Kambing
Siklus Berahi (hari) 21 17 20 22 21
Metestrus (hari) 3 4 2 3 2 3 2 3 2 3
Diestrus (hari) 10 14 10 12 11 13 10 12 13 15
Proestrus (hari) 3 4 2 3 3 4 2 3 2 3
Estrus 12 18 jam 24 36 jam 48 72 jam 4 8 hari 30 40 jam
Ovulasi Setelah
estrus
Akhir estrus Pertengahan
estrus
Sebelum
estrus
berakhir
Beberapa
jam setelah
estrus
Sumber: Bearden and Euquay, 1992
-64-
Estrus: estrus dideIinisikan sebagai periode waktu ketika ternak betina menerima
jantan untuk perkawinan. Panjang periode estrus bervariasi diantara spesies. Sebagai
contoh, lama estrus pada sapi adalah 12 sampai 18 jam. Namun demikian, pada lingkungan
panas lama estrus pada sapi akan lebih pendek sekitar 10 sampai 12 jam dibandingkan
dengan rata-rata 18 jam pada iklim dingin.
Metestrus: Periode metestrus dimulai pada saat berhentinya estrus dan berlangsung
sekitar tiga hari. Keutamaan periode ini adalah merupakan periode pembentukan corpus
luteum (CL) (corpora lutea pada multiovulasi). Ovulasi terjadi selama periode ini pada
sapid an kambing. Juga sebuah Ienomena yang dikenal sebagai 'metesrous bleeding yang
terjadi pada sapi, dan hal ini terjadi pada sekitar 90 pada sapi dara dan 45 pada induk
sapi. Selama periode akhir proestrus dan estrus, konsentrasi estrogen yang tinggi
meningkatkan vaskularitas endometrium, dan vaskularitas ini mencapai puncak sekitar satu
hari setelah berakhirnya estrus. Dengan menurunnya level estrogen, beberapa kerusakan
kapiler mungkin terjadi mengakibatkan sedikit pendarahan. Darah yang keluar ini biasanya
dapat dilihat pada ekor sekitar 35 sampai 45 jam setelah akhir estrus. Ini bukan merupakan
indikasi terjadi konsepsi atau tidak, dan juga bukan sebagai hasil menstruasi seperti yang
terjadi pada manusia.
Diestrus: Diestrus dikarakterisasi sebagai periode di dalam siklus ketika corpus
luteum berIungsi secara penuh. Pada sapi dimulai sekitar hari kelima siklus, dimana
pertama kali dideteksi terjadinya peningkatan konsentrasi hormon progesteron, dan
berakhir dengan regresi corpus luteum pada hari ke-16 atau 17. Untuk babi dan domba,
periode ini dari hari ke-4 sampai hari ke 13, 14, atau 15. Pada kuda lebih bervariasi yang
disebabkan oleh ketidakaturan panjang/lama berahi. Pada kuda, ovulasi terjadi pada hari
-6S-
ke-5, periode diestrus kira-kira pada hari ke-8 sampai hari ke 19 atau 20. Periode ini
dikenal sebagai periode persiapan uterus untuk kebuntingan.
Proestrus: Proestrus dimulai dengan regresi corpus luteum dan penurunan
konsentrasi hormon progesteron untuk memulai periode estrus. Perbedaan prinsip dari cirri
proestrus adalah terjadinya pertumbuhan Iolikel yang cepat.Selama akhir periode ini
pengaruh estrogen pada sistim saluran dan tanda-tanda tingkah laku mendekati estrus dapat
diamati.
Kontrol Hormon pada Siklus Berahi
Pengaturan siklus berahi melibatkan interaksi timbal balik antara hormon-hormon
reproduksi pada hipotalamus, pituitari anterior, dan ovarium. Progesteron mempunyai
peranan dominan dalam mengatur siklus berahi. Selam diestrus dengan Iungsional corpus
luteum, konsentrasi hormon progesteron yang tinggi menghambat pelepasan ESH dan LH
melalui kontrol umpan balik negatiI terhadap hipotalamus dan pituitari anterior, yang juga
progesteron menghambat tingkah laku estrus. Dan juga selama kebuntingan progesteron
menghambat pelepasan hormon gonadotropik dan juga tingkah laku estrus. Untuk kontrol
hormon pengaturan siklus berahi ini telah digambarkan pada bab sebelumnya mengenai
regulasi hormon reproduksi.
Musim Kawin
Kebanyakan spesies liar mempunyai musim kawin yang dmulai pada waktu
lingkungan yang sesuai untuk kelangsungan hidup anak yang dilahirkan. Pola ini
berkembang melalui seleksi alam terhadap banyak generasi. Pola-pola musim kawin
-66-
dengan kisaran dari spesies yang mempunyai satu periode estrus setiap tahunnya
(monoestrous) sampai kepada spesies yang mempunyai serangkaian siklus estrus yang
terbatas setiap tahunnya (seasonally polyestrous). Semua ternak-ternak yang didomestikasi
mungkin menunjukkan tendensi musim kawin sebelum didomestikasi. Hal ini mungkin
dapat berubah setelah perbaikan lingkungan (perkandangan dan pakan/nutrisi) dan dengan
seleksi untuk ternak-ternak yang atau supaya lebih produktiI. Pola-pola musim kawin
masih melekat pada domba, kambing dan kuda.
Domba dan Kambing: Kebanyakan bangsa domba dan kambing menunjukkan pola-
pola musim kawin, kecuali domba dan kambing pada daerah tropis yang bersiklus
sepanjang tahun. Musim kawin domba adalah pada saat hari pendek atau pada musim
gugur. Musim kawin dimulai pada rasio antara siang dan malam menurun dan berakhir
ketika panjang hari meningkat yang mendekati rasio yang sama atara siang dan malam.
Namun demikian, beberapa bangsa domba seperti Dorset, Horn, Merino, dan Rambouillet
memperpanjang musim kawin dengan beberapa individu menjadi polyestrous jika kondisi
lingkungan (nutrisi dan iklim) membaik. Quiet ovulation (ovulasi tanpa tingkah laku
berahi) sering terjadi pada permulaan dan akhir musim kawin. Seperti pada domba,
kambing juga merupakan ternak dengan musim kawin pada hari/siang pendek, dengan
aktivitas siklus terjadi antara akhir juni dan awal april. Puncak aktivitas perkawinan
biasanya pada musim gugur antara September dan januari. Panjang siang mempunyai
kontrol yang dominan mempengaruhi permulaan dan berakhirnya musim kawin.
Kuda: Kuda merupakan ternak yang musim kawinnya dengan hari/siang yang
panjang. Musim kawin kuda dimulai pada rasio siang dan malam meningkat dan berakhir
selama penurunan lama waktu siang. Tingkah laku estrus terjadi selama bulan dengan hari
-67-
pendek tanpa diikuti dengan ovulasi. Variasi yang tinggi terhadap panjang musim kawin
terhadap individu kuda betina. Pola musim kawin belum diketahui dengan pasti pada kuda
jantan. Semen yang Iertil dapat ditampung sepanjang tahun. Namun demikian, penurunan
aktivitas seksual dan produksi semen terjjadi pada bulan-bulan dengan hari pendek (short
photoperiod). Peranan cahaya dalam mengatur aktivitas musim kawin telah diketahui
dengan baik dan telah dijelaskan kaitannya dengan hormon reproduksi pada bab
sebelumnya.
Induksi dan Sinkronisasi Berahi
Induksi berahi dimaksudkan untuk terjadinya berahi pada ternak yang anestrus.
Ovulasi selama anestrus tidak terjadi yang disebabkan oleh sekresi LH sangat rendah, tidak
ada perkembangan Iolikel dan progesteron rendah pada kondisi ini. Hal ini banyak terjadi
pada ternak-ternak yang mempunyai musim kawin atau siklus berahi tidak muncul
sepanjang tahun. Sedangkan sinkronisasi berahi dimaksudkan untuk menjadikan beberapa
ternak berahi secara bersamaan dengan cara memanipulasi siklus berahi dengan
menggunakan preparat hormon dengan berbagai kombinasi.
Sinkronisasi berahi telah dipromosikan sebagai penghematan tenaga kerja bagi
produser untuk mendapatkan genetik superior yang tersedia melalui penggunaan metode
perkawinan inseminasi buatan (IB). Beberapa jenis hormon yang biasanya digunakan
dalam induksi maupun sinkronisasi berahi seperti GnRH, prostaglandin, progestagen
(progesteron), estradiol dan lain sebagainya. Dalam pelaksanaan induksi atau sinkronisasi
berahi pertama-tama dimulai dengan mengetahui kondisi status Iisiologi reproduksi.
-68-
Namun demikian, kebanyakan pelaksanaan induksi ataupun sinkronisasi berahi
mengabaikan kondisi status Iisiologi reproduksi pada awal perlakuan.
Beberapa protokol sinkronisasi berahi telah dikembangkan dengan berbagai tingkat
keberhasilan.
Prostaglandin (PGE) adalah hormon alami. Selama siklus estrus normal pada ternak
yang tidak bunting, PGE dilepaskan dari uterus 16 sampai 18 hari setelah ternak tersebut
berahi. Pelepasan PGE adalah untuk regresi corpus luteum (CL). CL merupakan struktur
dalam ovarium yang memproduksi hormon progesteron dan mencegah ternak kembali
berahi. Pelepasan PGE dari uterus adalah mekanisme pemicu yang menghasilkan ternak
kembali berahi setiap 21 hari. PGE tersedia secara komersial (Lutalyse, Estrumate,
Prostamate) dengan kemampuan secara bersamaan melisiskan CL pada semua ternak yang
bersiklus dan memudahkan untuk deteksi berahi dan selanjutnya proses perkawinan.
Keterbatasan utama dari PGE adalah tidak eIektiI pada ternak yang tidak memiliki CL,
termasuk ternak dalam 6 sampai 7 hari setelah berahi, sapi sebelum pubertas dan
postpartum anestrous sapi. Meskipun keterbatasan ini, prostaglandin adalah metode paling
sederhana untuk menyinkronkan estrus pada sapi.
Gambar 19. Pilihan untuk sinkronisasi berahi dengan dua kali injeksi dengan jarak 14 hari
(DeJarnette, 2004).
-69-
Gambar 20. Sinkronisasi berahi dengan Select-Synch (DeJarnette, 2004)
Gambar 21. Sinkronisasi berahi dengan MGA-PGE (DeJarnette, 2004)
-70-
Gambar 22. Sinkronisasi berahi dengan protokol Cosynch dan Ovsynch (DeJarnette, 2004)
Gambar 23. Sinkronisasi berahi dengan sistim MGA-Select (DeJarnette, 2004)
-71-
Gambar 24. Sinkronisasi berahi dengan aplikasi CIDR (DeJarnette, 2004)
Tingkat keberhasilan dari berbagai metode sinkronisasi berahi disajikan pada tabel
di bawah ini.
Sumber : DeJarnette, 2004
-72-
PENUTUP
Untuk mencapai kompetensi bahan ajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat
mengetahui 1) proses-proses awal terjadinya pubertas serta mekanisme hormonal yang
mengaturnya 2) proses dalam satu siklus berahi serta mekanisme hormonal yang
mengaturnya, perbedaan ternak dengan musim kawin dan ternak polyestous, serta dapat
menjelaskan manipulasi hormon dalam menginduksi atau melakukan sinkronisasi berahi
pada ternak baik yang tidak sedang bersiklus maupun yang bersiklus.
Soal-soal latihan sebagai penugasan
1. Jelaskan proses terjadinya dan mekanisme hormonal yang mengatur munculnya
pubertas.
2. Jelaskan proses satu siklus berahi dan mekanisme hormonal yang mengatur serta
periode siklus berahi.
3. Uraikan beberapa metode sinkronisasi berahi
Sumber Bacaan
1. Bearden HJ, Euquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3
rd
Ed, Prentice
Hall, Englewood CliIIs, Ney Jersey 07632.
2. HaIez ESE, HaIez B. 2000. Reproduction in Earm Animals. 7
th
, Lippincott Williams
& Wilkins. Philadelphia, Baltimore, New York, London Buenos Aires, Hongkong,
Sidney, Tokyo.
3. DeJarnette M. 2004. Estrus synchronization: A reproductive management tool.
Select Sires Inc. 11740 U.S. 42 North Plain City.
-73-
BAB 7
OVULASI, FERTILISASI DAN KEBUNTINGAN
PENDAHULUAN
Dalam proses reproduksi, salah satu dari beberapa tahapan proses ini adalah ovulasi
yang apakah diikuti oleh Iertilisasi dan kebuntingan atau tidak. Ketiga proses reproduksi ini
memegang peranan penting dalam aspek reproduksi. Oleh karena itu, menjadi penting
untuk mahasiswa mengetahui proses dan keterlibatan aspek lain di dalam ovulasi, Iertilisasi
dan kebuntingan. Sasaran pembelajaran adalah menjelaskan proses terjadinya ovulasi,
Iertilisasi, dan kebuntingan.
. Untuk mencapai sasaran pembelajaran pada materi ini, maka strategi pembelajaran
yang diterapkan adalah melalui kuliah interaktiI, belajar mandiri, collaborative learning,
praktikum dan pemberian tugas.
URAIAN BAHAN PEMBELA1ARAN
Ovulasi
Dengan matangnya oosit dan Iolikel, preovulatory lonjakan LH akan memulai
rangkaian peristiwa yang menyebabkan terjadinya ovulasi atau pelepasan sel telur dari
ovarium sekitar 24 sampai 45 jam kemudian. Setelah gelombang LH, konsentrasi
progesteron di dalam cairan Iolikel meningkat yang dikuti pada beberapa jam kemudian
dengan meningkatnya estradiol dan prostaglandin (PGE
2u
dan PGE
2
). Penghambatan baik
sekresi steroid ovarium atau prostaglandin akan memblokir ovulasi. Peranan prostaglandin
dalam ovulasi nampaknya memecah.merusak vesikula seperti lisosom yang berisi enzim
proteolitik yang berlokasi di luar Iolikel antara permukaan epithelium dan tunica albuginea,
-74-
dan juga yang mengaktiIkan plasmin, enzim proteolitik yang ditemukan di dalam cairan
Iolikel. Enzim proteolitik dari lisosom menyebabkan degenerasi local tunica albuginea,
teka eksterna dan teka interna, dimana plasmiin bekerja pada membran dasar. Dinding
Iolikel menjadi tipis dan lemah. Sebuah tonjolan (stigma) yang muncul pada puncak (apex)
Iolikel yang merupakan titik dimana Iolikel akan pecah. Dengan melemahnya dinding
Iolikel, menyebabkan plasma masuk ke dalam ruang diantara sel-sel teka, menyebabkan
edema, dan pada akhirnya kapiler menembus luar membran basal ke lapisan granulosa.
Ketika Iolikel pecah, cairan Iolikel, oosit sekunder, dan mengendurnya sel-sel
granulose akan terekstrusi ke dalam rongga peritoneal dekat inIundibulum. Kontraksi
ovarium distimulir oleh prostaglandin, dan cenderung juga berkontribusi dalam pemecahan
Iolikel dan pelepasan oosit. Kontraksi spontan ovarium meningkat pada saat mendekati
ovulasi. Oosit tertanam di dalam massa kumulus, yang merupakan matriks longgar yang
melekat pada sel-sel kumulus sekitar sel-sel radiata yang selubungi oleh korona yang
mengelilingi oosit. Sel-sel granulosa ini (kumulus dan korona radiata) diyakini tidak ikut
sampai pada proses Iertilisasi berlangsung. Ini merupakan salah satu yang menjadi Iaktor
penangkapan oosit oleh inIundibulum dan pergerakannya hingga mencapai ampulla.
-7S-
Gambar 25. Oosit dan sel-sel yang terkait segera setelah ovulasi (sumber:
http://teleanatomy.com/nutIah-EemaleGametes.html)
Fertilisasi
Proses Iertilisasi dengan pertemuan antara oosit dan spermatozoa yang diakhiri
dengan penyatuan pronuclei menhasilkan sel diploid yang mengandung kode genetik untuk
menjadi sigot dan selanjutnya individu baru.
Tahapan pertama Iertilisasi adalah penetrasi spermatozoon melalui sel-sel kumulus
dan sel-sel korona radiata dengan kepala melekat pada zona pellucida. Terdapat dua enzim
yang berperan dalam proses ini yakni enzim hyaluronidase dan enzim penetrasi korona
yang membantu perjalannanya. Kedua enzim ini berasal dari spermatozoa yang dilepaskan
selama proses kapasitasi dan reaksi akrosom. Pada tahap kedua, spermatozoon penetrasi
zona pellucida dan membran plasma kepala sperma berIusi dengan membran vitelin. Reaksi
zona dimulai dengan hilangnya granula/butiran kortical. Sperma masuk ke dalam
sitoplasma oosit menimbulkan blokade vitelin yang mencegah masuknya sperma lain.
Setelah memasuki sitoplasma, ekor sperma terlepas dari kepala. Mitokondria yang terdapat
-76-
di dalam ekor berdegenerasi di dalam sitoplasma yang kemudian sitoplasma menyusut dan
polar body terekstrusi. Baik pronuclei jantan dan betina terbentuk dan yang diakhiri dengan
syngamy; penyatuan pronuclei membentuk sigot yang merupakan akhir dari Iertilisasi.
Gambar 26. Rangkaian tahapan Iertilisasi (sumber: http://www.tutorvista.com/content/
biology/biology-iv/reproduction-in-animals/Iertilisation.php#)
-77-
Gambar 26. Eertilisasi (sumber: http://www.answers.com/topic/Iertilization)
Kebuntingan
Kebuntingan merupakan periode yang dimulai dengan Iertilisasi dan diakhiri
dengan kelahiran. Rata-rata lama periode kebuntingan pada babi adalah 114 hari, domba
148 hari, kambing 149 hari, sapi 281 hari, dan kuda 337 hari. Lama kebuntingan pada
induk yang mengandung anak jantan sedikit lebih panjang dibanding dengan mengandung
anak betina. Demikian halnya dengan kembar, kebuntingan lebih sedikit pendek disbanding
dengan tidak kembar.
Selama kebuntingan awal, embrio melayang bebas pertama di dalam uviduct dan
kemudian di dalam uterus. Nutrisi embrio berasal dari dalam sitoplasmanya dan dengan
penyerapan dari susu uterus (uterine milk). Setelah plasentasi terjadi (embrio melekat pada
uterus), embrio memperoleh makanan dan membuang produk buangan melalui darah
-78-
induk. Plasentasi setelah Iertilisasi terjadi sekitar 12 20 hari pada babi, 18 20 hari pada
domba, 30 35 hari pada sapi, dan 50 60 hari pada kuda.
Lama kebuntingan pada spesiae dan bangsa yang berbeda dapat dilihat pada tabel
berikut.
Bangsa Rata-rata lama kebuntingan (hari)
Sapi
Ayrshire 278
Guernsey 283
Jersey 279
Holstein 279
Brown Swiss 290
Angus 279
HereIord 284
Shorthorn 283
Brahman 293
Domba
Hampshire 145
Southdown 145
Merino 151
Kuda
Belgium 335
Morgan 342
Arabian 337
Kambing 149
Babi 114
Sumber: Bearden dan Euquay, 1992
Terdapat tiga perbedaan dalam perkembangan konseptus yakni 1) cleavage, 2)
diIerensiasi, dan 3) pertumbuhan.
-79-
Cleavage: Ini diartikan sebagai proses pembelahan sel tanpa diikuti dengan
pertumbuhan. Setelah Iertilisasi, sigot akan membelah berkali-kali tanpa adanya
peningkatan di dalam sitoplasma. Ukuran keseluruhan mungkin meningkat karena adanya
absorpsi air namun materi selular total menurun. Cleavage pertama akan menghasilkan dua
sel embrio yang diikuti dengan cleavage lainnya menjadi 4, 8, 16, 32 sel dan seterusnya.
Ketika embrio dari oviduct menuju uterus, bola embrio 16 sampai 32 sel akan terkandung
dalam zona pellucida, dimana struktur ini disebut sebagai morula yang beberapa hari
kemudian membentuk blastosis yakni struktur rongga yang berisi cairan (blastocoele) yang
dikelilingi dengan lapisan sel. Setelah periode cleavage, pembelahan sel akan terus
berlanjut dan diikuti dengan pertumbuhan. Pola perkembangan selama cleavage umumnya
sama untuk semua spesies, dimana periode ini berlangsung dari Iertilisasi kira-kira 12 hari
pada sapi, 10 hari pada domba, dan 6 hari pada babi. Untuk perkembangan yang cepat,
dapat dilihat pada ternak yang mempunyai lama kebuntingan yang pendek. Perbandingan
dari ovulasi selama cleavage pada spesies yang berbeda disajikan pada tabel di bawah ini.
Spesies 1 sel (jam)
8 sel Blastosis
Masuk ke
uterus
Hari
Sapi 24 3 8 3,5
Kuda 24 3 6 5
Domba 24 2,5 7 3
Babi 14-16 2 6 2
Sumber: Bearden dan Euquay, 1992
Diferensiasi: Periode embrio yang sesungguhnya adalah pada saat diIerensiasi,
dimana periode ini ketika sel-sel dalam proses pembentukan spesiIik organ di dalam tubuh
embrio, termasuk didalamnya pembentukan lapisan-lapisan germinal (germ layers),
-80-
membran luar embrio (extraembryonic membrane) dan organ. Peristiwa pertama pada
permulaan diIerensiasi adalah penampakan lapisan germinal yakni endoderm, mesoderm,
dan ectoderm yang merupakan cikal bakal organ yang akan dibentuk seperti pada tabel
berikut.
Lapisan Germinal Organ
Ectoderm 1. Sisitim saraI pusat
2. Organ perasa
3. Kelenjar susu
4. Kelenjar keringat
5. Kulit
6. Rambut
7. Kuku
Mesoderm 1. Sistim sirkulasi
2. Sistim pertulangan
3. Otot
4. Sistim reproduksi (jantan dan betina)
5. Ginjal
6. Saluran urinasi (kencing)
Endoderm 1. Sistim pencernaan
2. Hati
3. Paru-paru
4. Pankreas
5. Kelenjar tiroid
6. Kelenjar lainnya
Sumber: Bearden dan Euquay, 1992
Setelah penampakan lapisan germinal, pembentukan membran luar embrionik
dimulai yakni amnion dan allanto-chorion serta kantong kuning telur (yolk sac) yang dilihat
pada awal diIerensiasi dan akan menghilang menjelang akhir tahap perkembangan ini.
Amnion membentuk trophoderm (lapisan luar yang terbentuk dari penggabungan antara
ectoderm dan mesoderm). Amnion ini berisi cairan yang memungkinkan perlindungan dan
perkembangan embrio. Amnion ini dapat dipalpasi melalui rektum antara 30 sampai 45 hari
kebuntingan. Allanto-chorion; bagian luar dari membran embrionik yang terbentuk dari
-81-
penyatuan antara chorion dan allantois melekat pada endometrium selama plasentasi
membentuk plasenta, yang menyebabkan oksigen dan makanan dari darah induk melalui
plasenta masuk ke dalam sirkulasi embrio yang mengakibatkan perkembangan embrio.
Hasil buangan termasuk ammonia dan karbondioksida dari embrio melalui plasenta ke
dalam darah induk untuk eliminasi di dalam sistim induk. Setelah proses diIerensiasi ini
selesai, maka dilanjutkan dengan pembentukan dan perkembangan organ, dimana produk
dari konseptus ini disebut Ietus. Bagian kebuntingan antara selesainya proses diIerensiasi
dan kelahiran diistilahkan dengan periode Ietus.
Sebagai contoh periode Ietus pada sapi, pola-pola pertumbuhan sangat menarik.
Jika pertumbuhan diekspresikan sebagai perubahan ukuran pada periode tertentu, tingkat
pertumbuhan Ietus untuk 2 sampai 3 bulan meningkat, dan kemudian menurun secara
perlahan pada sisa waktu kebuntingan. Eetus antara 61 sampai 90 hari pada periode
kebuntingan berat rata-rata 72,5 gram, dibandingkan 5,9 gram pada periode kebuntingan
antara 31 sampai 60 hari; pertumbuhan ini melebihi 1100. Ketika Ietus antara 241 sampai
270 hari, beratnya rata-rata 28,6 kg meningkat secara relatiI hanya 62 dari 17,7 kg pada
umur kebuntingan antara 211 sampai 240 hari. Pola yang sama dapat dilihat pada domba
dengan tingkat pertumbuhan relatiI lambat pada akhir kebuntingan. Tabel dibawah ini
sebagai contoh perubahan berat uterus sapid an isinya selama kebuntingan.
-82-
Tahapan
kebuntingan
Berat uterus
dan isinya
Embrio atau
fetus
Cairan
amnion
Fetal membran
Hari Kg Gram Gram Gram
0-30 0,9 0,5 - 4,5
31-60 1,6 5,9 181,6 49,5
61-90 2,3 72,6 590,2 149,8
91-120 4,0 531,4 1600,0 258,8
Kg Kg Kg
121-150 10,1 1,6 5,0 0,7
151-180 14,6 3,8 5,5 1,3
181-210 23,8 9,5 6,4 2,5
211-240 37,4 17,7 10,0 2,4
241-270 53,8 28,6 11,8 3,4
271-300 67,8 39,9 15,4 3,8
PENUTUP
Untuk mencapai kompetensi bahan ajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat
mengetahui 1) proses ovulasi, Iertilisasi dan kebuntingan serta mekanisme yang
mengaturnya 2) dapat membedakan periode-periode dalam satu kebuntingan.
Soal-soal latihan sebagai penugasan
1. Jelaskan proses terjadinya ovulasi pada ternak sapi dengan menjelaskan keterlibatan
hormon yang mengatur.
2. Sebutkan dan jelaskan perbedaan periode-periode kebuntingan.
Sumber Bacaan
1. Bearden HJ, Euquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3
rd
Ed, Prentice
Hall, Englewood CliIIs, Ney Jersey 07632.
2. HaIez ESE, HaIez B. 2000. Reproduction in Earm Animals. 7
th
, Lippincott Williams
& Wilkins. Philadelphia, Baltimore, New York, London Buenos Aires, Hongkong,
Sidney, Tokyo.
-83-
BAB 8
KELAHIRAN DAN MENYUSUI
PENDAHULUAN
Kelahiran merupakan proses melahirkan yang dibagi dalam tiga tahap, yang diawali
dengan dilatasi/pelebaran serviks bersamaan dengan kontraksi uterus dan diakhiri dengan
pengeluaran Ietus serta membran plasenta. Segera setelah kelahiran, diikuti dengan laktasi
untuk proses menyusui. Oleh karena itu, menjadi penting untuk mahasiswa mengetahui
tahapan dalam proses kelahiran dan menyusui serta keterlibatan aspek lain di dalamnya.
Sasaran pembelajaran adalah menjelaskan proses kelahiran berikut tahapannya serta
memahami mekanisme yang terjadi selama proses menyusui.
. Untuk mencapai sasaran pembelajaran pada materi ini, maka strategi pembelajaran
yang diterapkan adalah melalui kuliah interaktiI, belajar mandiri, collaborative learning,
dan pemberian tugas.
URAIAN BAHAN PEMBELA1ARAN
Kelahiran
Kelahiran dapat dibagi dalam tiga tahapan; dimana tahapan pertama kelahiran
adalah berakhirnya pelebaran serviks dan Ietus masuk ke dalam serviks. Tahap ini biasanya
berlangsung dari 2 sampai 6 jam pada sapi dan domba. Dibutuhkan waktu yang lebih pada
babi dan lebih sedikit pada kuda. Tahapan kedua adalah pengeluaran Ietus. Tahap kedua ini
membutuhkan lebih sedikit waktu disbanding dengan pada tahap pertama pada semua
spesies, dimana biasanya berlangsung tidak lebih dari 2 jam pada sapi dan domba. Waktu
yang sama dibutuhkan pada babi, namun variasi waktu bisa tejadi dengan perbedaan litter
-84-
size (banyaknya jumlah anak) Pada kuda, tahap ini lebih cepat dan berlangsung sekitar 15
sampai 20 menit. Tahap ketiga adalah pengeluaran plasenta. Tahap ini dapat terjadi sekitar
30 menit setelah pengeluaran Ietus, namun lebih cenderung terjadi antara 3 sampai 5 jam
kemudian. Proses kelahiran ini diatur oleh sistim endokrin. Tabel di bawah ini
menunjukkan rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk tiga tahapan kelahiran pada spesies
yang berbeda.
Ternak
Tahapan (jam)
Pertama Kedua Ketiga
Sapi 2 - 6 0,5 - 2 4 - 5
Domba 2 - 6 0,5 - 2 0,5 - 8
Babi 2 - 12 1 - 4 1 - 4
Kuda 1 - 4 0,15 - 0,5 0,5 - 3
Sumber: Bearden dan Euquay, 1992
Mendekati kelahiran, tanda-tanda dapat dilihat pada akhir kebuntingan. Untuk
ternak monotokus seperti domba, kambing, kuda dan sapi tanda-tanda pertama mendekati
klahiran adalah perputaran Ietus ke arah posisi kelahiran. Kebanyakan pada kebuntingan
spesies ini, kaki depan Ietus mengarah ke atas yang merupakan posisi yang mudah bagi
Ietus untuk keluar, kecuali pada babi baik posisi depan maupun belakang mempunyai
kemudahan yang sama dalam kelahiran.
Pertumbuhan pada kelenjar susu dapat dilihat pada akhir kebuntingan yang
disebabkan oleh kerja sinergis antara estrogen dan progesteron yang menstimulasi
perkembangan saluran dan jaringan sekresi pada kelenjar susu. Mendekati kelahiran,
kelenjar susu membesar yang berisi susu, dimana sintesis susu ini merupakan Iungsi
prolaktin dalam senergitasnya dengan hormon-hormon lain. Perubahan lain adalah ketika
-8S-
mendekati kelahiran, relaksin bersinergi dengan estrogen yang menyebabkan pelebaran
pelvis, memperbesar saluran kelahiran untuk memIasilitasi jalannya Ietus keluar.Vulva
akan kelihatan lembut dan membengkak dan rangkaian mucus/lendir dapat dilihat dari
vulva sebagai pengaruh estrogen yang menyebabkan sel-sel epitel serviks mengeluarkan
lender.
Sekitar dua hari sebelum kelahiran, perubahan cepat pada level hormon terjadi pada
Ietus dan induk seperti pada Gambar 27.
Gambar 27. Perubahan relatiI konsentrasi hormon mendekati waktu kelahiran (Bearden and
Euquay, 1992).
-86-
a. Kortisol Ietus dilepaskan, menyebabkan peningkatan konsentrasi estrogen (semua
spesies) dan rendah konsentrasi progesteron (domba).
b. Estrogen menstimulir sintesis dan pelepasan PGE2u dari endometrium yang
menurunkan sekresi progesteron pada babi, kambing dan sapi.
c. Relaksin pada babi meningkat tajam, dan mencapai puncak sekitar 14 jam sebelum
kelahiran, dan kemudian turun secara drastis.
d. Meningkatnnya pelepasan oksitosin yang cenderung parallel dengan PGE2u dan
mencapai puncak pada pengeluaran Ietus.
e. Lonjakan kortisol dan prolaktin pada induk tidak berperan secara langsung pada
proses kelahiran.
Gambar 28. Posisi normal pada ternak sapi yang diasumsikan mendekati waktu kelahiran
(Bearden and Euquay, 1992).
-87-
Gambar 29. Posisi abnormal yang dapat dilihat pada ternak sapi (Bearden and Euquay,
1992).
-88-
Menyusui
Laktasi merupakan produksi susu, dimana Iungsi utama laktasi ini adalah
menyediakan kebutuhan makanan pada anak yang dilahirkan pada kebanyakan spesies.
Eungsi kedua dari laktasi ini adalah menyediakan antibodi terhadap anak yang baru
dilahirkan melalui kolostrum dan dapat diabsorpsi oleh anak selama beberapa jam setelah
kelahiran. Antibodi ini merupakan kekebalan awal terhadap penyakit bagi anak.
Perkembangan kelenjar susu: Perkembangan kelenjar mammae/susu dapat dibagi
ke dalam empat Iase, yakni perkembangan embrio, perkembangan Ietus, perkembangan
periode pertumbuhan postnatal, dan perkembangan selama kebuntingan. Pada bagian ini
hanya akan dibahas dua bagian terakhir dari perkembangan kelenjar susu tersebut di atas.
Setelah kelahiran, perkembangan mammae akan berlanjut pada sapi dara yang tidak
bunting sampai sekitar umur 30 bulan. Perkembangan utama adalah penggantian jaringan
lemak di dalam kelenjar mammae dengan jaringan duktal, yang lonjakan perkembangannya
sekitar tiga bulan sebelum pubertas dan berlanjut beberapa bulan setelah pubertas.
Pertumbuhan duktal yang terjadi pada sapi dara yang tidak bunting sebagai akibat lonjakan
siklus estrogen yang bermula pada beberapa bulan sebelum pubertas dan berlanjut dengan
siklus berahi setelah pubertas.
Ketika terjadi kebuntingan, pertumbuhan mammae berlanjut selama kebuntingan.
Estrogen merupakan Iaktor dominan yang menstimulasi perkembangan saluran mammae.
Progesteron bersinergi dengan estrogen dan nampaknya merupakan Iaktor dominan dalam
menstimulasi perkembangan dan pertumbuhan alveolar. Hormon lain yang bersinergi
dengan estrogen dan progesteron dalam mempersiapkan jaringan mammae untuk
-89-
sekresi/pengeluaran air susu adalah prolactin growth hormone, insulin, hormon tiroid, dan
kortisol. Laktogen plasenta yang diproduksi oleh plasenta dan telah diidentiIikasi pada
beberapa mamalia menstimulasi perkembangan jaringan mammae. Perlu dicatat bahwa
ketika jaringan mammae mempersiapkan sintesis susu selama kebuntingan, sekresi susu
tetap dihambat hingga saat sebelum kelahiran. Konsentrasi progesteron yang tinggi selama
kebuntingan mungkin menjadi penyebab.
Sekresi air susu: Perubahan level hormon menjelang akhir kebuntingan tidak hanya
menginisiasi kelahiran tetapi juga menginisiasi produksi susu. Prolaktin merupakan hormon
dominan yang menginisiasi laktasi pada kebanyakan spesies. Stimulus/rangsangan
menyusu serta stimulus lainnya akan memicu pelepasan prolaktin. Rangsangan menyusu
bersamaan dengan pengeluaran air susu mungkin lebih penting dalam mempertahankan
laktasi daripada stimulus lain. Sedangkan prolaktin dominan pada laktasi, prolaktin ini
berinteraksi dengan hormon lain untuk mencapai pengaruhnya. Hormon yang bersinergi
dengan prolaktin dalam menstimulasi laktasi adalah kortisol, hormoon pertumbuhan
(somatotropin), hormon tiroid, dan insulin. Pada ternak sapi, hormon pertumbuhan lebih
dominan daripada prolaktindalam mempertahankan laktasi setelah puncak produksi
tercapai, sekitar dua bulan laktasi.
Pengeluaran air susu: Istilah ini biasa disebut dengan 'letdown air susu, yang
secara Iisiologis merupakan Iungsi yang terpisah dari sintesis susu. Pengeluaran air susu
dipicu oleh stimulasi saraI sensory di dalam putting melalui baik oleh menyusu atau dengan
pengurutan puting. Stimulasi ini menyebabkan pelepasan oksitosindari pituitari posterior
dan oksitosin mencapai kelenjar mammae melalui sirkulasi arteri yang menstimulir sel-sel
-90-
myoepitel di sekitar alveoli dan saluran kecil yang memaksa air susu turun ke dalam
saluran besar, kelenjar cisterns, dan puting dimana tempat dilepaskan. Sedangkan stimulasi
saraI sensory di dalam puting akan memicu reIleks pengeluaran air susu.
Gambar 30. ReIleks neurohormonal pengeluaran air susu (Bearden and Euquay, 1992).
Stimulus (A) pada sapi yang sedang laktasi menyebabkan impuls saraI (B) melalui
saraI inguinal (1) ke spinal cord (2) dan otak (3). Pada otak menyebabkan pelepasan
oksitosin (D) dari pituitari posterior (C). Oksitosin dilepaskan ke dalam cabang-cabang
vena jugularis (4) ke jantung (5) dan kemudian ditransportasikan ke seluruh bagian tubuh
melalui darah arteri. Untuk mencapai ambing oksitosin meninggalkan jantung melalui aorta
(6) dan masuk ke dalam ambing melalui arteri external pudic (7). Di dalam ambing,
-91-
oksitosin menyebabkan sel-sel myoepitel berkontraksi mengakibatkan pengeluaran susu
dari alveoli.
PENUTUP
Untuk mencapai kompetensi bahan ajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat
mengetahui proses dan tahapan kelahiran serta hal-hal yang perlu diperhatikan selama
masa menyusui.
Soal-soal latihan sebagai penugasan
1. Jelaskan proses dan tahapan terjadinya kelahiran pada ternak sapi dengan
menjelaskan keterlibatan hormon yang mengatur.
2. Sebutkan dan jelaskan mekanisme terjadinya laktasi dan menyusui.
Sumber Bacaan
1. Bearden HJ, Euquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3
rd
Ed, Prentice
Hall, Englewood CliIIs, Ney Jersey 07632.
2. HaIez ESE, HaIez B. 2000. Reproduction in Earm Animals. 7
th
, Lippincott Williams
& Wilkins. Philadelphia, Baltimore, New York, London Buenos Aires, Hongkong,
Sidney, Tokyo.
-92-
BAB 9
EFISIENSI REPRODUKSI
PENDAHULUAN
Pada bagian ini, pembahasan akan mencakup mengenai eIisiensi reproduksi, dimana
proses reproduksi yang terjadi dapat dievaluasi di dalam bagian ini. Hal ini berarti bahwa
apakah pemeliharaan ternak itu eIisien dalam hal reproduksinya atau tidak. Sebagai contoh,
pada peternakan sapi terdapat dua sektor produksi ternak sapi yakni produksi sapi perah
dan produksi sapi pedaging. Pada ternak sapi perah, tujuan utamanya adalah memproduksi
susu seekonomis mungkin, dimana reproduksi berperan dalam menghasilkan anak per
satuan waktu untuk mempertahankan laktasi pada sapi perah, disamping Iungsi lain sebagai
pengganti induk dari kelahiran anak sapi betina. Sedangkan kelahiran anak jantan pada
usaha peternakan sapi perah dianggap merupakan byproduct pada usaha ini untuk produksi
daging. Pada sapi pedaging untuk aspek reproduksi, tujuan utamanya adalah bagaimana
menghasilkan anak semaksimal mungkin per satuan waktu, dan dipelihara seeIisien
mungkin dalam meningkatkan pertambahan berat badan sampai pada waktu tertentu dengan
hasil produksi daging yang maksimal.
Oleh karena itu, sasaran pembelajaran pada pokok bahasan ini adalah memilah
upaya-upaya yang tepat untuk meningkatkan eIisiensi reproduksi pada ternak melalui
pembelajaran tentang peningkatan eIisiensi reproduksi melalui perbaikan manajemen
pemeliharaan, manajemen pakan, dan manajemen kesehatan serta manajemen perkawinan.
Untuk mencapai sasaran pembelajaran pada materi ini, maka strategi pembelajaran yang
diterapkan adalah melalui kuliah interaktiI, belajar mandiri, collaborative learning, dan
pemberian tugas.
-93-
URAIAN BAHAN PEMBELA1ARAN
Pentingnya Efisiensi Reproduksi
Reproduksi merupakan Iaktor vital dalam menentukan eIisiensi produksi ternak.
Umumnya, induk yang paling baik adalah induk yang dapat melahirkan sekali dalam
setahun. Namun demikian, reproduksi ternak sapi kurang eIisien dibandingkan dengan
spesies lain seperti babi dan domba, yang juga berarti bahwa kemajuan genetik ternak sapi
lebih lambat. Pada ternak sapi perah, tujuan utamanya adalah bagaimana menghasilkan
susu sebanyak mungkin dan sering mengesampingkan Iaktor lain. Namun demikian, perlu
dicatat bahwa induk sapi perah hanya akan mulai laktasi secara eIektiI setelah melahirkan
dan produksi susu akan berhenti pada waktu tertentu apabila tidak melahirkan kembali.
Anak sapi yang dilahirkan oleh induk sapi perah sangat penting untuk pengganti
bagi kelahiran betina dan untuk produksi daging pada kelahiran anak jantan. Oleh karena
itu, proses reproduksi menjadi sangat penting pada ternak sapi. Sehingga dengan
maksimumnya eIisiensi reproduksi maka hal tersebut menentukan proIitabilitas usaha
peternakan sapi.
Pengukuran Efisiensi Reproduksi
Pengukuran eIisiensi reproduksi dapat digambarkan sebagai ukuran kemampuan
ternak untuk menjadi bunting dan memproduksi anak. Dengan kata lain bahwa ukuran
eIisiensi reproduksi tergantung pada Iertilitas ternak. Secara biologis tingkat kelahiran
barangkali yang paling tepat dalam mengukur Iertilitas. Tingkat kelahiran ini dideIinisikan
sebagai jumlah ternak yang lahir per 100 perkawinan. Eertilitas biasanya dinilai pada
-94-
tingkat ekonomis melalui calcing interval (jarak kelahiran) yakni periode waktu antara dua
kelahiran.
Jarak kelahiran dapat dibagi dalam dua komponen:
1. Interval/jarak antara melahirkan dan kembali konsepsi (bunting)
2. Periode kebuntingan
Jarak antara melahirkan dan kembali bunting merupakan waktu dari melahirkan sampai
tercapainya kebuntingan berikutnya. Jarak ini merupakan penentu utama dari jarak
kelahiran dan selanjutnya merupakan parameter yang biasanya dimanipulasi untuk
mencapai target jarak kelahiran. Sedangkan periode kebuntingan, normalnya sekitar 280
285 hari pada ternak sapi, dimana variasi ini disebabkan oleh perbedaan pengaruh genetik
dari induk dan pejantan. Periode ini dapat diperpendek pada tingkat terbatas hanya dengan
induksi kelahiran (artiIicial induction oI parturition).
Gambar 31. Hubungan antara konsentrasi progesteron dengan jarak kelahiran serta
komponennya (Peter and Ball, 1987).
-94-
tingkat ekonomis melalui calcing interval (jarak kelahiran) yakni periode waktu antara dua
kelahiran.
Jarak kelahiran dapat dibagi dalam dua komponen:
1. Interval/jarak antara melahirkan dan kembali konsepsi (bunting)
2. Periode kebuntingan
Jarak antara melahirkan dan kembali bunting merupakan waktu dari melahirkan sampai
tercapainya kebuntingan berikutnya. Jarak ini merupakan penentu utama dari jarak
kelahiran dan selanjutnya merupakan parameter yang biasanya dimanipulasi untuk
mencapai target jarak kelahiran. Sedangkan periode kebuntingan, normalnya sekitar 280
285 hari pada ternak sapi, dimana variasi ini disebabkan oleh perbedaan pengaruh genetik
dari induk dan pejantan. Periode ini dapat diperpendek pada tingkat terbatas hanya dengan
induksi kelahiran (artiIicial induction oI parturition).
Gambar 31. Hubungan antara konsentrasi progesteron dengan jarak kelahiran serta
komponennya (Peter and Ball, 1987).
-94-
tingkat ekonomis melalui calcing interval (jarak kelahiran) yakni periode waktu antara dua
kelahiran.
Jarak kelahiran dapat dibagi dalam dua komponen:
1. Interval/jarak antara melahirkan dan kembali konsepsi (bunting)
2. Periode kebuntingan
Jarak antara melahirkan dan kembali bunting merupakan waktu dari melahirkan sampai
tercapainya kebuntingan berikutnya. Jarak ini merupakan penentu utama dari jarak
kelahiran dan selanjutnya merupakan parameter yang biasanya dimanipulasi untuk
mencapai target jarak kelahiran. Sedangkan periode kebuntingan, normalnya sekitar 280
285 hari pada ternak sapi, dimana variasi ini disebabkan oleh perbedaan pengaruh genetik
dari induk dan pejantan. Periode ini dapat diperpendek pada tingkat terbatas hanya dengan
induksi kelahiran (artiIicial induction oI parturition).
Gambar 31. Hubungan antara konsentrasi progesteron dengan jarak kelahiran serta
komponennya (Peter and Ball, 1987).
-9S-
Untuk mencapai jarak kelahiran satu tahun atau 365 hari, maka jarak antara
melahirkan dan kembali bunting harus tidak lebih dari 80 85 hari. Oleh karena itu, untuk
kegunaan recording/pencatatan penampilan reproduksi maka jarak antara melahirkan dan
kembali bunting sering dibagi lagi ke dalam dua komponen yakni:
1. Jarak antara melahirkan dan perkawinan pertama
2. Jarak antara perkawinan pertama dan kembali bunting
Jarak antara melahirkan dan perkawinan pertama tergantung pada a) kembalinya siklus
ovarium setelah melahirkan, b) munculnya dan deteksi berahi, c) pernencanaan waktu
perkawinan pertama apabila lebih lambat dari (a) dan (b). Sedangkan jarak antara
perkawinan pertama dan kembali bunting tergantung pada a) kemampuan ternak untuk
bunting dan mempertahankan kebuntingan setelah perkawinan, dan b) berlanjutnya siklus
ovarium dan ketepatan deteksi berahi pada ternak yang bunting pada perkawinan
sebelumnya.
Untuk menentukan pengaruh manajemen terhadap eIisiensi reproduksi, dibutuhkan
beberapa petunjuk yang tetap untuk mengukur eIisiensi reproduksi. Ukuran-ukran ini
adalah sebagai berikut:
1. Services per conception: atau jumlah perkawinan per kebuntingan yang ditentukan
dengan membagi jumlah perkawinan dengan jumlah kebuntingan.
2. Calving rate: atau angka kebuntingan dihitung dengan membagi total jumlah ternak
yang dikawinkan dari jumlah ternak yang melahirkan. Hal ini juga diekspresikan
sebagai persen calI crop.
-96-
3. Aonreturn rates: atau tidak kembali berahi adalah persentase ternak betina yang
tidak kembali berahi atau dikawinkan kembali pada jarak waktu yang ditentukan
atau pada siklus berahi berikutnya. Namun demikian, jarak waktu yang umum
digunakan adalah 28 sampai 35 hari, 60 sampai 90 hari, dan 150 sampai 180 hari.
Nonreturn rates selalu lebih tinggi dibandingkan dengan angka kebuntingan yang
sebenarnya karena beberapa ternak yang tidak bunting kembali dikawinkan.
Perbaikan Efisiensi Reproduksi Ternak
Untuk perbaikan dan peningkatan eIisiensi reproduksi pada ternak, setidaknya
beberapa manajemen penting yang perlu dilakukan seperti perbaikan manajemen
pemeliharaan, manajemen pakan, dan manajemen kesehatan serta manajemen perkawinan.
Sinergitas beberapa manajemen ini dapat memperbaiki dan meningkatkan eIisiensi
reproduksi.
PENUTUP
Untuk mencapai kompetensi bahan ajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat
mengetahui pentingnya eIisiensi reproduksi pada ternak, dan mampu menganalisis
peningkatan eIisiensi reproduksi melalui perbaikan manajemen pemeliharaan, manajemen
pakan, dan manajemen kesehatan serta manajemen perkawinan.
-97-
Soal-soal latihan sebagai penugasan
1. Jelaskan pentingnya eIisiensi reproduksi pada ternak sapi, baik ternak sapi perah
maupun ternak sapi pedaging.
2. Sebutkan dan jelaskan pengukuran eIisiensi reproduksi.
3. Jelaskan pendapat anda cara memperbaiki eIisiensi reproduksi ternak sapi dengan
kondisi anestrus ternak yang terlalu panjang.
Sumber Bacaan
1. Bearden HJ, Euquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3
rd
Ed, Prentice
Hall, Englewood CliIIs, Ney Jersey 07632.
2. HaIez ESE, HaIez B. 2000. Reproduction in Earm Animals. 7
th
, Lippincott Williams
& Wilkins. Philadelphia, Baltimore, New York, London Buenos Aires, Hongkong,
Sidney, Tokyo.
3. Peters AR and Ball PJH. 1987. Reproduction in Cattle. Butterworths & Co.
(Publishers) Ltd, London, Boston, Durban, Singapore, Sydney, Toronto,
Wellington.
-98-
BAB 10
TEKNOLOGI REPRODUKSI
PENDAHULUAN
Pada bagian ini, pembahasan hanya akan mencakup mengenai perbaikan eIisiensi
reproduksi dengan menggunakan salah satu teknologi reproduksi yakni dengan inseminasi
buatan (IB). Sedangkan teknologi reproduksi yang lain hanya akan dibahas sedikit dan
terbatas pada bab ini. Oleh karena itu, teknologi reproduksi IB ini akan dijelaskan serta
bagaimana teknologi ini dapat meningkatkan eIisiensi reproduksi pada ternak.
Oleh karena itu, sasaran pembelajaran pada pokok bahasan ini adalah menjelaskan
tentang manIaat dan kelemahan IB, prosedur IB, dan pengawetan semen, serta kaitannya
dengan peningkatan eIisiensi reproduksi. Untuk mencapai sasaran pembelajaran pada
materi ini, maka strategi pembelajaran yang diterapkan adalah melalui kuliah interaktiI,
belajar mandiri, collaborative learning, dan pemberian tugas.
URAIAN BAHAN PEMBELA1ARAN
Teknologi Reproduksi
Bioteknologi reproduksi dimaksudkan untuk digunakan digunakan secara rutin
untuk memperpendek interval generasi dan menyebarkan materi genetik di antara populasi
ternak. Untuk mencapai tujuan ini, teknologi reproduksi telah dikembangkan dari generasi
ke generasi selama bertahun-tahun, yaitu inseminasi buatan (IB), transIer embrio (TE),
manipulasi Iertilisasi dan produksi embrio in vitro (IVE) dan teknik multiplikasi (kloning)
untuk aplikasi transgenesis, dan ini bersamaan dengan tehnik pemisahan spermatozoa.
Teknologi reproduksi yang secara genetik relevan sejak setengah abad lalu dengan tiga
-99-
generasi pertama, yakni inseminasi buatan, kriopreservasi gamet atau embrio, induksi
multiovulasi berlipat, ultrasonograIi, transIer embrio dan in vitro Iertilisasi. Teknologi
generasi ketiga dan keempat seperti sexing semen atau embrio, kloning, transgenesis, stem
sel, diagnosis molekuler yang berpotensi untuk meningkatkan pengaruh ternak unggul
terhadap produksi, namun aplikasi secara komersial masih terbatas.
Generasi Pertama: Inseminasi buatan (IB) merupakan generasi pertama teknologi
reproduksi yang telah dikembangkan dan digunakan lebih dari 200 tahun yang lalu. Sebagai
teknologi modern, IB dengan semen segar atau semen beku merupakan teknologi
reproduksi yang paling sukses dan eIisien dalam produksi ternak selama enam abad.
Penggunaan teknologi IB berdampak pada program perbaikan genetik di Negara-negara
maju dengan pencapaian tingkat genetik pertahun sebesar 1,0 sampai 1,5 pada sapi perah.
Sejalan dengan teknologi IB ini, teknik kriopreservasi semen (semen beku) yang membuat
IB berkembang sebagai teknologi reproduksi juga berkembang dengan pesatnya sehingga
penggunaan pejantan unggul dengan genetik yang diharapkan dapat digunakan secara luas
walaupun dibatasi oleh waktu dan tempat. Dengan penggunaan Semen beku mendorong
industri susu, untuk membuat IB lebih sederhana, ekonomis, dan sukses. Sebagai contoh,
lebih dari 60 persen dari sapi perah di Amerika menggunakan teknologi IB. Sebaliknya,
karena sistem produksi secara ekstensiI pada ternak sapi pedaging, maka IB hanya
menyumbang kurang dari 5 persen ternak sapi pedaging yang diinseminasi. Sama halnya
dengan IB, kriopreservasi embrio memungkinkan komersialisasi global ternak dengan
genetik yang tinggi, sebagai embrio. Pembekuan embrio telah menjadi prosedur yang
sukses pada sapi selama hampir tiga dekade dan menjadi penggunaan rutin di lapangan.
Namun, in vitro-produksi (IVP) embrio sapi lebih sensitiI terhadap kriopreservasi daripada
-100-
dengan in vivo. Namun demikian, berbagai upaya telah diIokuskan pada penyesuaian
metode kriopreservasi dengan kebutuhan khusus dari embrio IVP, dengan prosedur
vitriIikasi sebagai pendekatan yang menjanjikan untuk kriopreservasi embrio IVP pada sapi
daripada metode pembekuan lainnya.
Untuk menerima teknologi IB, beberapa keuntungan/manIaat dan kekurangan dari
teknologi ini adalah sebagai berikut: 1) keuntungannya: perbaikan genetik melalui evaluasi
yang lebih akurat terhadap penggunaan pejantan superior, dan bahkan dengan teknik
penyimpanan semen, pejantan superior tersebut masih dapat digunakan walaupun ternak
pejantan tersebut telah mati, kontrol penyakit, perbaikan pencatatan, lebih ekonomis
dibandingkan dengan perkawinan secara alami karena tidak perlu memelihara pejantan
yang mempunyai siIat genetik yang diharapkan, serta aman terhadap pejantan yang
berbahaya khususnya pada sapi perah. Sedangkan kekurangan/kerugiannya adalah sangat
sedikit namun termasuk didalamnya penggunaan waktu dan tenaga untuk deteksi berahi,
Iasilitas pelaksanaan inseminasi, training inseminator.
Generasi Kedua: Pada generasi kedua teknologi reproduksi, telah dikembangkan
multipelovulasi dan embrio transIer (MOET). Embrio transIer telah dikembangkan sekitar
empat abad yang lalu dan merupakan bioteknologi reproduksi yang lebih maju daripada IB
namun menggunakan prosedur IB dalam proses transIer embrio dan teknologi ini
ditetapkan sebagai generasi kedua teknologi reproduksi.
Generasi Ketiga: Generasi ketiga dari teknologi reproduksi yakni gamet dan embrio
sexing, recovery oosit dan Iertilisasi in vitro (IVE). Prosedur tambahan juga telah
berkembang, seperti gamet intraIallopian transIer (GIET), zigot intraIallopian transIer
-101-
(ZiET), dan injeksi sperma intracytoplasmic (ICSI), tapi masih dengan aplikasi praktis yang
terbatas. Teknologi IVE merupakan teknologi yang dikembangkan untuk menghasilkan
embrio sepenuhnya di laboratorium.
Generasi Keempat: Teknologi reproduksi generasi keempat mencakup penggunaan
kloning embrio, transgenesis, stem sel, juga bidang molekular yang dapat membantu dalam
seleksi dan pemahaman proses Iisiologis dalam meningkatkan Iertilitas. Kloning melalui
transIer inti (Nuclear TransIer) telah dimulai pada ternak pertama (domba) pada tahun 1986
dengan menggunakan sel dari embrio dini. Kemudian, kelahiran dolly pada bulan Juli 1996
melalui transIer inti somatik-sel dewasa yang merupakan representasi jatuhnya sebuah
dogma biologis yang penting, yaitu, bahwa sel-sel somatik tidak bisa diprogram dalam
memungkinkan pengembangan individu baru. selanjutnya, kloning oleh transIer inti dari sel
somatik dewasa, atau somatic cell nuclear transIer (SCNT), telah dikonIirmasi dalam
peningkatan jumlah spesies hewan. Bahkan jika masih relatiI tidak eIisien, kloning oleh
SCNT, bersama dengan IVE, juga telah memberikan kontribusi terhadap kemajuan dan
menghasilkan minat yang besar pada bidang yang terkait. Somatik-sel kloning dapat
dilakukan untuk tujuan reproduksi, yakni untuk menghasilkan salinan genetik identik dari
individu yang memasok sel donor, atau untuk tujuan terapeutik, yaitu untuk menghasilkan
sel-sel atau jaringan untuk transplantasi kembali ke individu donor. Somatik-sel kloning
berkembang pesat dan teknik bernilai untuk menyalin genotipe unggul dan untuk
memproduksi atau menyalin hewan transgenik. Teknologi reproduksi berikutnya adalah
stem sel embrio atau germinal sel embrio serta transgenik hewan.
-102-
PENUTUP
Untuk mencapai kompetensi bahan ajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat
mengetahui perkembangan teknologi reproduksi serta pentingnya teknologi reproduksi ini
dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas ternak dalam mencapai eIisiensi reproduksi
pada ternak yang maksimal. Juga diharapkan mahasiswa mampu memilah teknologi
reproduksi yang dapat digunakan pada kondisi peternakan tertentu.
Soal-soal latihan sebagai penugasan
1. Jelaskan mamnIaat dan kerugian penggunaan teknologi inseminasi buatan (IB).
2. Jelaskan perkembangan teknologi reproduksi khususnya pada ternak sapi.
3. Berikan perbedaan mendasar terhadap teknologi reproduksi yang telah
dikembangkan.
4. Jelaskan pendapat anda mengenai teknologi yang tepat untuk digunakan dalam
meningkatkan angka kelahiran pada ternak sapi di daerah saudara.
Sumber Bacaan
1. Bearden HJ, Euquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3
rd
Ed, Prentice
Hall, Englewood CliIIs, Ney Jersey 07632.
2. HaIez ESE, HaIez B. 2000. Reproduction in Earm Animals. 7
th
, Lippincott Williams
& Wilkins. Philadelphia, Baltimore, New York, London Buenos Aires, Hongkong,
Sidney, Tokyo.
3. Peters AR and Ball PJH. 1987. Reproduction in Cattle. Butterworths & Co.
(Publishers) Ltd, London, Boston, Durban, Singapore, Sydney, Toronto,
Wellington.
4. Bertolini M and Bertolini LR. 2009. Advances in reproductive technologies in
cattle: Irom artiIicial insemination to cloning. Rev. Med. vet. Zoot., 56:184-194.
-103-
5. Rodriguez-Martinez H. 2011. Assisted reproductive techniques Ior cattle breeding
in developing countries: a critical appraisal oI their value and limitations.
Department oI Clinical and Experimental Medicine, Eaculty oI Health Sciences,
Linkping University, SE-581 85 Linkping, Sweden, Swedish Links Indonesia
Symposia 2010-2011-Chapter HRM-2011.
-104-
PENUTUP
Kemampuan hewan untuk mereproduksi secara eIisien merupakan komponen
integral dari usaha peternakan. Namun, ketidaksuburan merupakan masalah dalam semua
sistem produksi ternak. Kegagalan reproduksi merupakan salah satu Iaktor yang paling
penting yang membatasi produktivitas sistem produksi ternak dan kehilangan keuntungan
setiap tahunnya. Tantangan utama yang dihadapi banyak produsen adalah bagaimana cara
praktis, biaya-eIektiI untuk meningkatkan kinerja reproduksi tanpa mengorbankan produksi
yang aman, daging berkualitas tinggi dan produk-produk susu. Tidak eIisiennya reproduksi
ternak dapat disebabkan oleh berbagai Iaktor termasuk: siklus reproduksi apakah normal
atau tidak, kegagalan munculnya berahi (estrus), kematian embrio dan janin dan kematian
selama periode neonatal, kegagalan untuk mencapai pubertas pada usia optimal.
Pengetahuan dasar yang mencakup hal tersebut di atas adalah proses reproduksi secara
normal sehingga bisa dibandingkan dengan keadaan yang terjadi secara Iaktual.
Deviasi yang terjadi antara normatiI dengan Iaktual bisa dibandingkan melalui
pengetahuan ilmu reproduksi. Oleh karena itu, buku ini telah memberikan gambaran dasar
tentang ilmu reproduksi pada ternak yang memuat tentang proses reproduksi mulai dari
proses perkembangan organ reproduksi serta mekanisme hormon yang mengikutinya,
proses perkembangan gamet jantan dan betina, siklus reproduksi serta Iaktor-Iaktor yang
mempengaruhinya, dan diakhiri dengan pengukuran eIisiensi reproduksi sebagai pedoman
suksesnya proses reproduksi. Teknologi reproduksi terkini juga dimasukkan sebagai bahan
perbandingan terhadap perkembangan ilmu reproduksi dari waktu ke waktu. Namun
demikian, diharapkan kepada para pembaca, utamanya para mahasiswa yang
memprogramkan mata kuliah ini untuk tetap mencari bahan bacaan yang terkait dengan
buku bahan ajar ini sehingga dapat memperkaya dirinya dengan wawasan yang lebih luas
tentang proses reproduksi khususnya pada ternak/hewan.
-10S-
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. 2012. Animal reproduction: overview. United States Department oI
Agriculture. National Institute oI Eood and Agriculture. http://www.
csrees.usda.gov/ProgViewOverview.cIm?prnum18413. |Accessed on Nov 1,
2012|
2. Bearden HJ, Euquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3
rd
Ed, Prentice
Hall, Englewood CliIIs, Ney Jersey 07632.
3. Bertolini M and Bertolini LR. 2009. Advances in reproductive technologies in
cattle: Irom artiIicial insemination to cloning. Rev. Med. vet. Zoot., 56:184-194.
4. DeJarnette M. 2004. Estrus synchronization: A reproductive management tool.
Select Sires Inc. 11740 U.S. 42 North Plain City.
5. HaIez ESE, HaIez B. 2000. Reproduction in Earm Animals. 7
th
, Lippincott Williams
& Wilkins. Philadelphia, Baltimore, New York, London Buenos Aires, Hongkong,
Sidney, Tokyo
.
6. Hutchinson JSM. 1993. Controlling Reproduction. Chapman & Hall, 2-6 Boundary
Row, London SE1 8HN.
7. Peters AR, Ball PJH. 1987. Reproduction in Cattle. Butterworths. London,
Boston,Durban, Singapore, Sidney, Toronto, wellington.
8. Roberts SJ. 2002. Veterinary Obstetrics and Genital Diseases. Second edition,
Indian edition. CBS Publishers & Distributors, New Delhi, India.
9. Rodriguez-Martinez H. 2011. Assisted reproductive techniques Ior cattle breeding
in developing countries: a critical appraisal oI their value and limitations.
Department oI Clinical and Experimental Medicine, Eaculty oI Health Sciences,
Linkping University, SE-581 85 Linkping, Sweden, Swedish Links Indonesia
Symposia 2010-2011-Chapter HRM-2011.

You might also like