You are on page 1of 16

BIOPSI DAN PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI

Oleh: Patar Freddy Baringbing

Pembimbing :
Dr. Dimyati Achmad, dr., SpB(K)-Onk

SUB BAGIAN BEDAH ONKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG 2013

BIOPSI DAN PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI

Pendahuluan

Asal mula kata biopsi berasal dari bahasa Yunani yang artinya bio adalah kehidupan dan opsis adalah penglihatan. Pengertian dari biopsi yaitu tindakan pengambilan dan pemeriksaan dari jaringan tubuh yang hidup, yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis pasti. Peran dari biopsi antara lain sebagai sarana diagnostik yang bisa menentukan histologi tumor dan gradasi serta membantu perencanaan terapi definitif. Pada prakteknya, hasil dari pemeriksaan sitologi yang umumnya dilaporkan adalah:3 1. Sel-sel peradangan 2. Tumor jinak 3. Sel-sel atipikal 4. Kecurigaan ke arah keganasan 5. Positif untuk keganasan Sampai saat ini beberapa tehnik biopsi yang digunakan oleh klinisi antara lain: biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration Biospy), biopsi core-needle, biopsi insisi, dan biopsi eksisi. Untuk lesi di kulit dapat dipakai tehnik shave biopsy, saucerization biopsy, dan punch biopsy. Kalau lesi mukosa biasanya dilakukan secara endoskopi (contoh via kolonoskop, bronkoskop, sistoskop). Lesi yang mudah dipalpasi, seperti lesi di kulit, dapat dieksisi atau dilakukan punch biopsi. Lesi yang lebih dalam dapat dilokalisasi dengan CT atau ultrasonografi untuk biopsi. Untuk menentukan pilihan biopsi yang akan dilakukan tergantung dari ukuran dan lokasi massa dan pengalaman patologis.

JENIS-JENIS BIOPSI 1. Biopsi Aspirasi Jarum Halus (Fine-Needle Aspiration Biopsy / FNAB) Biopsi aspirasi dengan jarum halus merupakan metode pengambilan materi diagnostik untuk pemeriksaan sitologi (sel) dan histologi (jaringan) yang hanya menyebabkan trauma minimal pada pasien.3 Aspirasi dapat diambil dari hampir semua bagian tubuh, termasuk mulut, payudara, hepar, saluran kemih, saluran respirasi, urin, cairan serebrospinal dan tiroid. FNAB mudah, atraumatik, dan relatif aman. Nilai normal berarti tidak ada sel-sel atau jaringan abnormal dalam aspirasi. Untuk tumor yang dalam dapat dilakukan dengan panduan CT. Kekurangan teknik ini antara lain tidak memberikan informasi mengenai arsitektur jaringan. Sebagai contoh, biopsi jarum halus pada massa payudara dapat mendiagnosis keganasan, tetapi tidak dapat mendiferensiasi antara tumor yang invasif atau tidak invasif. FNA juga memerlukan sitopatologis yang terlatih untuk interpretasi spesimen. Sensitivitas FNA bervariasi dari 80% sampai 95% dan aspirat positif palsu terlihat kurang dari 1% kasus, dan hasil negative palsu terlihat pada 4% sampai 10% kasus tumor payudara. FNA menggunakan jarum halus (21-25 gauge) tanpa stylet dan syringe kecil. Tidak digunakan anestesi. Idealnya, spesimen dipertahankan di dalam jarum. Isi jarum kemudian disebarkan di atas gelas obyek. Gelas obyek kemudian difiksasi dengan alkohol spray 95% dan/atau dikeringkan, tergantung dari prosedur laboratorium yang digunakan.. Indikasi dilakukan FNA meliputi: pada pasien dengan tumor jenis kistik terutama dengan kelainan fibrokistik, tumor solid yang lebih besar dari 1cm (tergantung lokasi), pada tumor (karsinoma) yang inoperable (konfirmasi diagnosis), dugaan adanya metastasis dan kekambuhan.

Gambar 1. Fine-needle aspiration biopsy (FNAB)

2. Large needle aspiration biopsy Tehnik ini menggunakan jarum 18 gauge dengan stilet dan syringe yang besar. Dilakukan anestesi lokal dalam jumlah kecil. Pisau no. 11 digunakan untuk menusuk kulit. Jarum kemudian dimasukkan melalui luka ke dalam massa, dengan jari telunjuk memegang stylet. Tujuan luka tusuk dan stylet adalah untuk memfasilitasi insersi yang mudah dan mencegah pengambilan sel dari kulit dan jaringan sekitarnya. Jarum kemudian digerakkan beberapa millimeter dari tempat tusukkan, kemudian dilakukan aspirasi. Aspirat kemudian disebarkan di atas gelas obyek, difiksasi dan/atau dikeringkan untuk dilakukan pemeriksaan histopatologis.

Gambar 2. Large needle aspiration biopsy

3. Core needle biopsy Core biopsy seperti aspirasi jarum halus, relatif aman dan dapat dilakukan dengan palpasi langsung (contoh, massa payudara atau massa jaringan lunak) atau dapat dipandu dengan pencitraan (contoh stereotactic core biopsy of the breast). Core biopsy seperti aspirasi jarum halus, memiliki kekurangan sampling error. Core needle biopsy menghasilkan jaringan tipis (kurang lebih 1x10 mm). Ukuran sampel yang kecil dapat menyulitkan patologis untuk mendiagnosis tumor secara akurat, atau jaringan mungkin tidak representatif untuk seluruh tumor, menyebabkan kesulitan dalam gradasi tumor. Biopsi ini memakai jarum yang dirancang khusus seperti True-cut, Core-cut, dan lain-lain. Pada sumbu jarum terdapat kait terbalik, setelah sumbu masuk ke dalam jaringan barulah sarung jarum dimasukkan, lalu sumbu dan sarung dikeluarkan secara bersamaan, sehingga diperoleh suatu pita kecil jaringan untuk pemeriksaan patologi, maka disebut juga biopsy potong. Karena tabung jarum lebih besar, kemungkinan terjadi implantasi tumor sepanjang jalur jarum lebih besar dibandingkan aspirasi jarum halus.

Gambar 3. Core needle biopsy

Adapun indikasi dilakukan core needle biopsy meliputi: jika diperkirakan hasil sampel jaringan tidak representative bila dilakukan FNAB, adanya hasil FNAB yang berbeda dari beberapa sampel dari lesi yang sama, hasil sitologi FNAB yang tidak sesuai/representative, rencana dilakukan kemoterapi neoadjuvant pada kasus locally advance breast cancer yang sebelumnya belum dilakukan operasi, tumor yang dekat dengan kulit yang berbatas tegas, teraba dan ukuran tumornya tidak lebih kecil dari 2 cm.

4. Shave biopsy Shave biopsy dilakukan pada lesi kulit yang menonjol seperti BCC nodular, SCC, atau tumor yang berasal dari folikel. Dilakukan tindakan antiseptik, lalu dilakukan anestesi lokal di bawah lesi. Dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari, kulit diregang agar stabil. Lalu, gunakan ujung scalpel no. 15 untuk membatasi batas lesi. Dengan perut scalpel parallel dengan kulit, lakukan shave biopsy. Gunakan forceps atau ujung jarum untuk mengambil lesi. Untuk hemostasis dapat dilakukan kauterisasi elektrik atau kimia. Perawatan post operasi mudah. Luka harus dicuci satu sampai dua kali sehari dengan sabun ringan dan dibiarkan lembab dengan mengoleskan petroleum jelly pada balutan sampai menyembuh.

Gambar 4. Shave biopsy

5. Saucerization biopsy Saucerization biopsy merupakan biopsi cukur yang lebih dalam,

direkomendasikan untuk SCC, nevi atipik, dan melanoma. Dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari, pegang pisau cukur dengan gerakan konkav sesuai dengan kedalaman yang diinginkan. Hemostasis dilakukan sama dengan pada shave biopsy . 6. Punch biopsy Punch biopsy cocok untuk mengambil sampel pada lesi yang datar dan lebar, dan efektif untuk meraih sampel subkutan, dan mendapatkan informasi mengenai kedalaman invasi tumor. Biopsi ini menggunakan anestesi lokal dan trephine. Operator membuat insisi sirkular sampai tingkat lemak superfisial, menggunakan trephine yang berputar. Traksi yang dilakukan tegak lurus terhadap garis kulit yang relaks meminimalisir redundansi saat penutupan. Spesimen diambil dengan forceps atau jarum. Hemostasis dilakukan dengan jahitan nonabsorbable yang dapat diangkat 7-14 hari. Luka harus dicuci satu sampai dua kali sehari dengan sabun ringan dan dibiarkan lembab dengan mengoleskan petroleum jelly pada balutan sampai menyembuh.

Gambar 5. Punch biopsy

7. Incisional Biopsy (Biopsi Insisi) Biopsi insisi adalah pengambilan sebagian kecil jaringan dari massa tumor (misalnya payudara, hepar, otot, kulit, paru-paru, prostat, kandung kemih). Biopsi insisi sering diperlukan untuk diagnosis massa yang lebih besar yang memerlukan prosedur bedah. Instrumen yang diperlukan antara lain scalpel no. 15, forceps Adson, hak kulit, gunting, benang jahit, dan kassa. Scalpel dipegang tegak lurus dengan permukaan kulit. Insisi fusiform dilakukan pada pertengahan lesi. Spesimen diambil untuk diperiksa, lalu luka dijahit.

Gambar 6. Biopsi Insisi

Komplikasi biopsi insisi antara lain adalah infeksi luka, dehisensi, dan pembentukan jaringan parut, serta hematom. Terdapat beberapa faktor penting yang harus diperhatikan pada biopsy insisi. Untuk lesi di ekstremitas, insisi dilakukan
7

sepanjang aksis panjang ekstremitas. Untuk lesi di batang tubuh, insisi dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat terambil bersamaan dengan seluruh tumor yang akan diangkat. Letak biopsi harus tepat pada tumor, pada titik dimana lesi dekat dengan kulit, dan tidak boleh ada lipatan yang meninggi atau yang mengganggu di superfisial terhadap tumor. Sebelum penutupan luka, hemostasis harus diperhatikan untuk meminimalisir hematoma. Drainase tidak rutin dikerjakan, tetapi bila diperlukan, maka drain harus ditempatkan melalui atau dekat dengan insisi biopsy. Bila didiagnosis dengan keganasan, jalur drain harus tereksisi bersamaan dengan massa tumor.

8. Excisional Biopsy (Biopsi eksisi) Biopsi eksisi adalah eksisi seluruh jaringan tumor dengan sedikit atau tanpa batas jaringan normal disekitarnya. Biopsi eksisi dilakukan untuk kuratif, dengan mencakup jaringan yang adekuat di sekitar lesi untuk menjamin batas operasi yang negatif sel tumor. Penandaan batas dengan jahitan atau klip oleh pembedah atau mewarnai batas spesimen oleh patologis memudahkan penentuan batas bedah dan menuntun diperlukannya reeksisi bedah bila salah satu atau lebih batas masih mengandung sel tumor. Biopsi eksisi atau shellout dilakukan untuk lesi yang berdiameter kurang dari 3-5 cm atau untu lesi yang sangat superfisial, dimana kemungkinan keganasan rendah.

Gambar 7. Biopsi eksisi

Sebelum anestesi dan eksisi, operator menandai batas lesi. Kemudian dilakukan eksisi berbentuk fusiform dengan sudut 30o atau lebih sirkular. Disarankan untuk melakukan jahitan pada posisi jam 12 pada spesimen sebagai penanda untuk patologis. Komplikasi biopsy eksisi antara lain adalah infeksi luka, dehisensi, dan pembentukan jaringan parut, serta hematom.

Prinsip-Prinsip Prosedur Biopsi Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh operator pada prosedur biopsi diantaranya: 1. Jalur jarum atau jaringan parut harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat terambil pada prosedur bedah selanjutnya. Penempatan insisi biopsi sangat penting, dan kesalahan penempatan dapat mempengaruhi perawatan selanjutnya. Biopsi insisi harus ditandai untuk memudahkan eksisi skar biopsi bila operasi lanjutan diperlukan. Lebih lanjut, biopsi insisi harus dilakukan pada area yang akan dibuang, bukannya pada sisi lainnya, yang berisiko mengkontaminasi lapangan yang lebih luas. Insisi pada ekstremitas harus longitudinal agar pengangkatan jaringan dan penutupan yang akan dilakukan selanjutnya lebih mudah. 2. Harus diperhatikan untuk mencegah kontaminasi jaringan lain saat biopsi. Adanya hematom besar setelah biopsi dapat menyebabakan penyebaran tumor dan membuat follow up pemeriksaan fisik lebih sulit. Untuk biopsi pada ekstermitas, penggunaan tourniquet dapat membantu mengontrol perdarahan. Instrument yang digunakan pada prosedur biopsi merupakan sumber kontaminasi potensial lainnya pada jaringan sekitarnya. Tidak biasa dilakukan mengambila biopsi dari beberapa lesi tersangka pada satu waktu. Kontak instrumen yang telah mengenai jaringan tumor dengan jaringan normal harus dihindari. 3. Drainase tidak rutin dikerjakan, tetapi bila diperlukan, maka drain harus ditempatkan melalui atau dekat dengan insisi biopsi. Bila didiagnosis dengan keganasan, jalur drain harus tereksisi bersamaan dengan massa tumor. 4. Sampel jaringan yang adekuat harus diambil untuk memenuhi kebutuhan patologis. Untuk mendiagnosis tumor, mikroskop electron, kultur jaringan, atau teknik lain

diperlukan. Jaringan yang cukup harus diambil untuk mengantisipasi kesulitan diagnostik tersebut. 5. Penting untuk menandai area tumor tententu untuk menjadi penanda spesimen oleh patologist. Fiksatif tertentu baik untuk digunakan pada jenis dan ukuran tumor tententu. 6. Penempatan klip radioopak saat biopsi dan prosedur staging terkadang penting untuk menandai area tumor dan memandu terapi radiasi pada area ini.

Spesimen yang telah diambil dari pasien harus ditempatkan pada kontainer spesimen dengan label dan stiker yang jelas. Menurut U.S. Occupational Safety and Health Administration (OSHA) menyaratkan bahwa semua spesimen harus ditempatkan pada kontainer sekunder sebelum diantar ke laboratorium, misalnya kantung plastik biohazard.3

Metode Diagnosis Patologi Tumor Metode-metode diagnosis patologi tumor adalah sebagai berikut:3 1. Potongan blok parafin (paraffin-embedded tissue section) Metodenya adalah jaringan sampel didehidrasi kemudian ditanam dalam parafin padat, lalu dipotong, diwarnai (hematosilineosin/ H-E) diperiksa dibawah mikroskop untuk dibuat diagnosis. 2. Potongan Beku (frozen section / vriescope) Caranya adalah mengambil sekeping kecil jaringan segar, tidak perlu difiksasi, dibawa kebagian patologi untuk dicetak beku secara cepat, diwarnai dan diagnosis. Umumnya proses membutuhkan waktu 30 menit. Kegunaan potong beku adalah (1) bilamana diagnosis belum dapat dipastikan sebelum operasi. Saat operasi perlu mengetahui sifat lesi untuk menentukan teknik terapinya, (2) saat operasi perlu mengetahui secara pasti luas infiltrasi lesi, untuk menetapkan batas operasi, (3) untuk mengetahui apakah suatu lesi diluar tumor termasuk metastase tumor (4) untuk memastikan ada tidaknya rudapaksa, terhadap jaringan normal (misalnya terhadap ureter dan lain-lain) atau memastikan biopsi terlah mendapatkan jaringan tumor.

10

Karena potongan beku waktunya mendesak, jaringan belum sempat difiksasi. Desikasi, dan tahapan awal lain. Hingga pewarnaan sedian kurang baik dan lain-lain. Maka ketepatan diagnosis lebih rendah dari potongan blok parafin. Potongan beku tidak boleh menggantikan diagnosis dari potongan blok parafin. Biopsi spesimen kecil tidak sesuai dibuat potongan beku. Tulang dan jaringan kalsifikasi juga tidak sesuai untuk potongan beku karena terlalu keras tidak dapat dipotong.

3. Diagnostik sitologi Ini adalah metode mengambil sel dari jaringan tumor, dibuat pulasan diwarna (PAS atau H-E) kemudian diperiksa morfologinya untuk membuat diagnosis. Menurut cara pengambilan sampel dapat dibagi menjadi sitologi eksfoliatif untuk tumor dipermukaan tubuh, rongga tubuh, atau di dalam saluran yang berhubungan dengan permukaan tubuh; dan sitologi pungsi untuk tumor padat.

4. Tehnik Histokimia Ini adalah metode menggunakan afinitas terhadap berbagai zat warna kimiawi yang berbeda dari berbagai sel dan produknya. Dengan tehnik reaksi kimiawi dapat diperlihatkan komponen atau produk kimiawi spesifik didalam sel untuk membantu diagnosis dan klasifikasi terhadap suatu kelainan, tehnik pewarnaan histokimia terdapat lebih edari 100 macam, yang sering dipakai adalah (1) pewarnaan retikulin; (2) pewarnaan fibrin;(3) pewarnaan otot lurik;(4) pewarnaan glikogen; (5) pewarnaan musin; (6) pewarnaan lipid (7) pewarnaan melanin;(8) pewarnaan tahan asam, dan lain lain.

5. Tehnik imunohistokimia (IHC) Prinsip IHC adalah reaksi antigen-antibodi, yaitu menggunakan reaksi antibodi yang sudah diketahui bereaksi dengan antigen targer dalam jaringan yang akan diperiksa. Hingga terbentuk komplek antigen-antibodi. Dengan membuat komplek itu menampilkan warna, maka dapat dibuktikan keberadaan antigen target itu. Peranan IHC dalam diagnosis dan terapi tumor adalah sebagai berikut: a. Diagnosis dan diagnosis banding tumor karena adanya heterogenitas pada tumor yang sama dan adanya banyak kemiripan pada tumor yang berbed, banyak tumor

11

terutama yang berdeferensiasi buruk sulit ditentukan arah deferensiasinya secara morfologi. Misalnya tumor jenis sel kecil (dapat berupa karsinoma sel kecil, berbagai sarkoma sel kecil. Limfoma maligna, melanoma maligna, dan lainlain). Tumor sel peomorfik atau sel spindel sulit sekali diagnosisnya. Dengan tehnik IHC. Diagnosis dan klasifikasi tumor demikian dapat menjadi lebih jelas, misalnya saluran pencernaan mempunyai berbagai jenis tumor sel spindel. Dengan antibodi CD117, CD34, S-100, desmin, dapat dibedakan tumor stroma gastrointestinal (GIST) yang mengekspresikan CD 117, CD 34,

leiomioma/arkoma yang mngekspresikan desmin, neurilemoma/neurilemoma maligna yang mengekspresikan protein S-100 . b. Menentukan lokasi primer kanker matastatik: tumor matastatik kelenjar limfe atau bagian lainnya kadangkala hanya mengandalkan morfologi. Dibawah mikroskop suara cahaya sulit ditentukan lokasi primernya . IHC dapat membantu menentukan asal sebagian tumor tersebut, misalnya tiroglobulin (TG), antigen spesifik prostat (PSA), alfafetoprotein (AFP) fosfatase alkali plasenta (PLAP) dan lain-lain. Memastikan matastasis dari karsinoma tiroid, karsinoma prostat, hepatoma atau tumor sel germinal. Antigen spesifik jaringan seperti ini masih sedikit jumlahnya. c. Diagnosis dan klasifikasi limfoma maligna: kecuali limfoma hodgkin dan limfoma folikular yang bentuknya sangat tipikal, dalam hal diagnosis dan klasifikasi limfoma maligna terutama limfoma non hodgkin nyaris tidak dapat meninggalkan IHC. Metode klasifikasi paling umum dewasa ini adalah metode klasifikasi menurut WHO tahun 2000. Berdasarkan klasifikasi Lukes yang

megklasifikasikan tumor jaringan hematolimfoid berdasarkan gabungan perubahan morfologi, manifestasi imunitas, kelainan genetik, manifestasi klinis dan prognosis. Diantaranya, limfoma non hodgkin dapat diklasifikasikan menjadi limfoma pra-sel B dan sel T. Limfoma sel B matur. Limfoma sel T matur dan sel NK. Dan limfoma histiositik dan sel dendritik yang lebih jarang ditemukan. Limfoma hodgkin diklasifikasikan menjadi dua golongan besar, yaitu tipe predominan limfosit nodular dan tipe klasik (termasuk tipe nodulosklerosis, tipe sel campuran, tipe predominan limfosit, tipe deplesi

12

limfosit). Sudah tersedia 100 lebih jenis antibodi seri CD dan antibodi lain yang tepat yang dapat dipakai untuk diagnosis dan klasifikasi limfoma. d. Memperkirakan tabiat biologis tumor dan memberikan dasar bagi penentuan terapi secara klinis: misalnya pemeriksaan terhadap ekskresi berbagai onkogen, gen resisten obat multiple (MDR) dan gen reseptor hormon.

Pembacaan Gambaran Makroskopis Dengan penglihatan mata biasa diperhatikan jaringan tumor tersebut.

Bagaimana bentuk dan morfologi tumor, warna, adanya nekrotik, adanya perdarahan. Secara makroskopik juga dapat ditentukan ada tidaknya sampai tumor, adanya pertumbuhan yang infiltratif, konsistensinya, apakan jaringan tumor rapuh atau tidak, dan ukuran tumor.

Pembacaan Gambaran Mikroskopis Perbedaan mikroskopis khas antara tumor jinak dan ganas dapat dilihat pada tabel berikut: Gambaran morfologi Jaringan Arsitektur Jinak Tersusun Mirip jaringan asal Ganas Tidak tersusun Kurang atau sama sekali tidak mirip dengan

jaringan asal Perubahan sekunder Sel Ukuran, bentuk Inti Ukuran, bentuk Kromatin Nukleolus Mitosis Jarang atau tidak ada Berdeferensiasi baik Seragam Serupa dengan normal Reguler Tersebar merata Tidak jelas Sedikit Menonjol, banyak Banyak, ireguler Nekrosis, perdarahan Berdeferensiasi buruk Pleomorfik Atipik Ireguler

13

Dengan mikroskop elektron, sel-sel tumor jinak memiliki sitoplasma yang berkembang baik dan mengandung organel-organel yang biasa ditemukan pada jaringan normal yang sesuai. Tumor ganas terdiri dari sel-sel yang hanya sedikit mirip dengan sel normal inti sel-sel ini pleomorfik dan bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan distribusi kromatinnya. Sitoplasma sel tumor maligna biasanya mengandung lebih sedikit organel dari sitoplasma sel normal. Sebuah metode dasar untuk mengklasifikasikan kanker berdasarkan karakteristik histologis atau selular nya adalah dengan klasifikasi Broders:3 1. Grade I: tumor menunjukkan kecenderungan untuk berdiferensiasi; 75% selsel berdiferensiasi. 2. Grade II: 75%-50% sel-sel berdiferensiasi, displasia ringan hingga sedang dan metaplasia. 3. Grade III: 50%-25% sel-sel berdiferensiasi, displasia berat, atipikal, dan kanker in situ. 4. Grade IV: 25%-0% sel-sel berdiferensiasi

14

DAFTAR PUSTAKA

1. Brunicardi FC, Andersen DK, Biliar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE.

Oncology, in Schwartzs Principles of Surgery. 8th ed, Philadelphia. The McGraw-Hill


Companies. 2007 2. Townsend, Beauchamp, Evers, Mattox. Section V-Surgical Oncology; Sabiston

Textbook of Surgery. 18th ed. California. Saunders, An Imprint of Elsevier. 2007


3. Fischbach F, Dunning MB. A Manual of Laboratory and Diagnostic Tests. 8th ed. Philladelphia. Lippincott William & Wilkins. 2009 4. Robin R, Roberts F, MacDuff E. Pathology Illustrated. Pathology Illustrated. 7th ed. Elsevier: Churchill Livingstone. 2011 5. De Vita V.T. Jr. Hellman S, Rosenberg A.A.: Cancer principles and practice of oncology, vol 1. 8th ed, Philladelphia. Lippincott Raven Publisher. 2008 6. Ddesen W, Japaries W. Onkologi Klinis, Edisi 2. Jakarta, FK-UI. 2008 7. Pant VSM CS. Atlas of Breast Imaging With Mammography, Ultrasound & MRI Correlation. Jaypee, New Delhi, 2011.

15

You might also like