You are on page 1of 18

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa, budaya, adat istiadat, agama, dan bahasa. Hal ini sesuai dengan semboyan negara

Republik Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang secara konstitusional telah diatur di dalam Pasal 36 A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang berbunyi Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang selanjutnya telah ditetapkan pula di dalam Peraturan Pemerintah No. 66, Tahun 1951. Bhinneka Tunggal Ika merupakan pernyataan jiwa dan semangat bangsa Indonesia yang mengakui realitas bangsa yang majemuk, tetapi tetap menjunjung tinggi kesatuan. Bhinneka Tunggal Ika adalah cerminan

keseimbangan antara unsur perbedaan yang menjadi ciri keanekaan dengan unsur kesamaan yang menjadi ciri kesatuan. Kebinekaan atau yang berbeda-beda itu menunjuk pada realitas objektif masyarakat Indonesia yang memiliki

keanekaragaman yang tinggi. Keanekaragaman masyarakat Indonesia dapat ditemukan dalam berbagai bidang kehidupan, baik dari segi geografis, budaya, agama, etnis, maupun segi lainnya. Keanekaragaman dalam berbagai bidang tersebut menyebabkan Indonesia dijuluki sebagai masyarakat yang majemuk (plural society). Menurut Lubis (2006: 166 - 169), masyarakat plural dengan masyarakat multikultural tidaklah sama. Masyarakat plural adalah dasar bagi berkembangnya tatanan

masyarakat multikultural (multicultural society), di mana masyarakat dan budaya berinteraksi serta berkomunikasi secara intens. Masyarakat plural mengacu pada suatu tantanan masyarakat yang di dalamnya terdapat berbagai unsur masyarakat yang memiliki ciri-ciri budaya yang berbeda satu dengan yang lain. Di dalam masyarakat plural, setiap masyarakat itu hidup di dalam dunianya sendiri-sendiri. Hubungan antarunsur yang berbeda itu juga diskriminatif walaupun wujud diskriminatif itu umumnya sangat tersamar. Pada masyarakat multikultural, interaksi aktif di antara masyarakat dan budaya yang plural itu terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai unsur yang ada di dalam masyarakat dipandang dan ditetapkan dalam kedudukan yang sejajar dan setara sehingga tercipta keadilan di antara berbagai unsur budaya yang berbeda. Perbedaan yang ada pada masyarakat Indonesia seharusnya menjadi perekat dan modal utama di dalam membangun negara. Namun, kehidupan pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia masih menunjukkan persoalan identitas dan pengakuan terhadap mereka, terutama terhadap kelompok minoritas. Hal ini ditunjukkan dengan adanya dominasi kelompok mayoritas yang dilabelkan melalui identitas tertentu, yang lebih luhur dan agung daripada kelompok minoritas sebagai cara untuk menunjukkan bagaimana pihak mayoritas mengontrol minoritas. Narasi yang dibangun merupakan narasi dari pikiran mayoritas. Di dalam era globalisasi, terdapat anggapan bahwa dunia global akan menyatukan semua manusia di dunia tanpa batas ternyata berlaku terbalik sehingga polemik identitas sekarang ini menjadi semakin menguat. Hal ini terjadi

karena adanya kecenderungan pengotak-ngotakan identitas kelompok atau diri menjadi semakin nyata terlihat di dalam masyarakat. Secara khusus, identitas dapat dijadikan tanda perbedaan antara individu atau kelompok dalam sebuah masyarakat yang majemuk sehingga keanekaragamaan identitas menjadi pisau dengan dua sisi. Sisi pertama, menerima perbedaan dan menunjang persatuan yang utuh, sedangkan pada sisi yang lain, tampak adanya diskriminasi berlebihan dan memicu disintegrasi. Diskriminasi selalu bermuara pada pandangan, wawasan, atau seperangkat ide yang tersebar di dalam masyarakat, yang sesungguhnya merupakan hasil rekayasa suatu kelompok tertentu dalam masyarakat itu dan berhasil menjadikan pandangannya diterima oleh banyak orang. Sedulur Sikep adalah salah satu kelompok minoritas di Indonesia yang saat ini mengalami diskriminasi dan termarginalisasi. Kelompok minoritas menurut Tsing (1998: 50 - 51) adalah orang-orang yang karena ciri fisik, asal usul keturunan, serta kebudayaannya dipisahkan dari orang-orang kebanyakan dan diperlakukan secara tidak adil di dalam masyarakat tempat mereka hidup. Oleh karena itu, komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah sering merasakan adanya tindakan diskriminasi secara kolektif. Komunitas Sedulur Sikep diperlakukan sebagai orang luar (the others) di lingkungan sosial tempat mereka tinggal. Komunitas Sedulur Sikep menduduki posisi yang tidak menguntungkan di dalam kehidupan sosial karena sejumlah kesempatan sosial, ekonomi, dan politik mereka dibatasi. Komunitas Sedulur Sikep yang tergolong minoritas, dalam perkembangannya sering mempunyai gengsi rendah dan menjadi

sasaran olok-olok, kebencian, kemarahan, serta kekerasan.

Oleh karena itu,

kehadiran komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati selalu terkait pada pertentangannya dengan kelompok mayoritas yang mempunyai posisi dominan dan menikmati status sosial tinggi dengan sejumlah keiistimewaan lainnya di pentas sosial. Kelompok mayoritas juga sering kali mengembangkan seperangkat perangkat yang memojokkan kelompok minoritas (http://www.interseksi.org, 20 Maret 2012). Selama ini, berbagai kritik terhadap perlakuan kelompok mayoritas tersebut biasanya tidak mempan. Hal ini terjadi karena kelompok mayoritas mempunyai kekuatan besar dan dapat memaksakan kehendak mereka secara kasar dengan kekuatan militer (negara) atau dengan menggunakan ketentuan hukum dan berbagai cara lain yang secara sosial dan budaya, masuk di akal bagi kepentingan mereka yang dominan (Ropi, 2008: 5). Persoalan marginalisasi komunitas Sedulur Sikep adalah realitas khas negara yang memiliki heterogenitas budaya dalam masyarakatnya. Menurut Idhom (2009: 4), ada dua pola umum gejala marginalisasi komunitas Sedulur Sikep, yaitu: Pertama, justifikasi bermuatan ideologis yang menyebut bahwa komunitas Sedulur Sikep sebagai kelompok terasing dan terbelakang atau terpencil. Pola pertama ini banyak dipengaruhi oleh gejala ideologi pembangunan. Akibatnya, banyak kebijakan pembangunan yang berdalih pemberdayaan dengan sasaran komunitas Sedulur Sikep. Persoalannya, nilai-nilai modern yang ada di dalam kebijakan-kebijakan pembangunan tersebut, sering kali bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan yang menjadi landasan eksistensial komunitas Sedulur Sikep. Kedua, cara pandang eksotis yang melihat

bahwa komunitas Sedulur Sikep tidak lebih dari sekedar cagar budaya kuno yang harus dilestarikan untuk kepentingan turisme. Pola kedua lahir dari asumsi pemaksimalan aset budaya yang mendasari kebijakan ekonomi pemerintah. Pola ini merupakan derivasi dari ide komodifikasi budaya untuk tujuan komersialisasi. Pola ini memang mendasari kebijakan pemerintah yang berupaya untuk melestarikan budaya tradisional. Namun, pola ini berimplikasi pada lahirnya pandangan terhadap komunitas Sedulur Sikep yang dianggap barang antik belaka dan hanya berfungsi untuk objek pariwisata budaya serta riset. Komunitas Sedulur Sikep, selama ini lebih dikenal dengan istilah orang Samin. Istilah Samin memunculkan pandangan yang tidak seragam karena ada versi pengertian yang berbeda. Pengertian pertama, berasal dari kiratabasa kata Samin, yakni tiyang sami-sami atau sami-sami amin yang berarti bahwa semua orang adalah sama atau bersaudara (sedulur). Dengan demikian, dalam konteks pengertian ini semua masyarakat Samin adalah bersaudara atau hidup secara kolektif. Mereka juga mempunyai persepsi bahwa orang non-Samin yang bersedia untuk berinteraksi sosial dengan mereka pun dianggapnya sedulur. Persepsi tersebut menyiratkan sikap egaliter. Pengertian kedua, berasal dari nama kecil Surontiko atau Surosentiko, yakni Samin, orang yang dianggap sebagai pemimpin mereka (Saputra dan Subaharianto, 2008: 203-204). Penelitian ini memilih istilah Sedulur Sikep, bukan istilah yang selama ini sudah dikenal masyarakat umum, yaitu Samin. Adapun alasan pilihan istilah tersebut adalah sebagai berikut. (1) Istilah Sedulur Sikep diambil dari kata tiyang sami-sami (sedulur) dan kata sikep (semacam target ideal perilaku sosial yang

harus dilaksanakan. Target tersebut berorientasi pada perilaku yang lugu dan jujur serta tidak merugikan orang lain). Komunitas Sedulur Sikep meyakini istilah ini lebih benar daripada istilah Samin. (2) Kata Samin di dalam rentang waktu sejak masa kolonial hingga sekarang telah dipersepsikan secara generalisasi sebagai stereotipe negatif, untuk menyebut kebodohan, keanehan, keganjilan, ataupun sesuatu yang tidak wajar (nyleneh). Dengan demikian, ketika ditemukan perilaku sosial seseorang yang tidak wajar, orang lain akan mengolok-oloknya sebagai orang Samin. Komunitas Sedulur Sikep dalam konteks etnisitas termasuk etnis Jawa sehingga secara makro kebudayaan mereka paralel dengan kebudayaan Jawa, yang bersifat agraris tradisional. Secara fisik, Sedulur Sikep tidak berbeda dari orang Jawa pada umumnya, baik warna kulit, wajah, rambut, tinggi badan, maupun ciri-ciri fisik lainnya. Namun, mereka dikategorikan sebagai masyarakat tradisional, sederhana hidupnya, lugu atau polos, dan jujur. Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh komunitas Sedulur Sikep dikenal dengan bahasa Sangkak (bersifat menyangkal). Sebaliknya, ciri umum komunitas Sedulur Sikep dalam segi kehidupan, antara lain pakaian yang menjadi kesukaan laki-laki berupa celana kolor congkrang (sebatas bawah lutut) berwarna hitam, memakai udheng atau iket, yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala, memakai baju hitam lengan panjang tanpa kerah, sedangkan untuk perempuan berupa kebaya dan jarit (semacam kain sarung yang digunakan sebagai pakaian bawah perempuan) berwarna hitam. Sebagaimana warna yang disukai, yaitu hitam mengandung arti kejujuran. Pakaian tersebut menjadi bagian penting ketika sedang berinteraksi

sosial dengan masyarakat non-Sedulur Sikep. Mereka kurang suka apabila dikatakan bahwa pakaian itu merupakan khas mereka. Mereka hanya mengakuinya sebagai kesenangan. Di dalam kehidupan rumah tangga, komunitas Sedulur Sikep tidak mengenal poligami. Mereka juga pantang berdagang. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap kapitalisme. Komunitas Sedulur Sikep tidak bersekolah formal. Hal ini terjadi karena komunitas Sedulur Sikep berpandangan bahwa orang yang bersekolah pada umumnya didasari oleh cita-cita tertentu, misalnya ingin menjadi pegawai, seperti guru atau profesi lain. Padahal, profesi mereka selama ini adalah petani, di mana keterampilan pertanian bisa dipelajari secara alami. Sebagai gambaran, data di Dusun Bombong Kabupaten Pati tahun 2003 menunjukkan bahwa dari 123 keluarga Sedulur Sikep yang terdiri atas 633 jiwa, hanya satu orang yang menempuh pendidikan di sekolah dasar (SD) (Permanasari, 2005). Adapun yang lainnya hanya sekolah di rumah masing masing dalam format pasinaon atau bisa juga alam menjadi guru, petak-petak sawah/ladang menjadi ruang kelas, sedangkan cangkul dan sabit menjadi alat tulisnya. Di dalam pergaulan sehari-hari, komunitas Sedulur Sikep memiliki solidaritas yang tinggi dan sangat menghargai eksistensi manusia sebagai makhluk individu, sekaligus sebagai makhluk sosial, baik dengan keluarganya, sesama pengikut ajaran, maupun dengan orang lain yang bukan pengikut Samin. Komunitas Sedulur Sikep selalu beranjak pada eksistensi mereka yang sudah turun-temurun dari pendahulunya, yaitu ono niro mergo ningsun, ono ningsun

mergo niro (adanya saya karena kamu, adanya kamu karena saya.). Semua perbuatan mereka berawal dari baik, maka berakhirnya juga harus baik. Kategori inilah yang menjadi pembeda komunitas Sedulur Sikep dengan komunitas lainnya. Istilah orang Samin menjadi populer dibandingkan dengan istilah Sedulur Sikep seiring dengan munculnya gerakan sosial petani Jawa pada abad XIX di Desa Bapangan Kulon, Klopodhuwur, dan Plosorejo, Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah. Gerakan sosial dikemas dalam dimensi keagamaan atau religi tersebut dipimpin oleh seorang keturunan bangsawan Blora bernama Raden Kohar yang lahir pada tahun 1859 di Desa Ploso Kadiren, Randublatung Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah. Dia merupakan putra Raden Surowidjoyo (Samin Sepuh) dengan Mbok Kemis (keturunan Kyai Kethi), seorang gadis asal Rajekwesi Kabupaten Bojonegoro Provinsi Jawa Timur (Saputra dan

Subaharianto, 2008: 199; Sastroatmojo, 2003: 16). Agar dapat menyatu dengan massa petani yang merepresentasikan wong cilik, Raden Kohar mengubah namanya menjadi Samin. Setelah menjadi guru kebatinan, namanya diubah menjadi Samin Surontiko atau Samin Surosentiko (Samin Anom), yang oleh pengikutnya dipanggil dengan sebutan Ki (Kiai) Samin. Inti ajaran Ki Samin termuat dalam tiga hukum, yaitu: (1). AnggerAngger Pratikel (hukum tindak tanduk), yaitu aja drengki (jangan dengki), aja srei (jangan iri hati), aja panasten (jangan gampang marah), aja colong (jangan mencuri), aja petil (jangan kikir), aja jumput (jangan mengambil), nemu aja dijupuk (menemukan sesuatu jangan diambil), aja dagang (jangan berdagang), aja kulak (jangan kulakan), aja blantik (jangan menjadi calo), aja mbakul (jangan

berjualan), aja nganakno duit (jangan jadi rentenir), aja mbujuk (jangan berbohong), aja apus (jangan bersiasat), aja akal (jangan trik), aja krenah (jangan bernasihat buruk), aja ngampungi pernah (jangan tidak membalas budi), aja dawen (jangan mendakwa tanpa bukti), aja nyiyo-nyiyo marang sapodo (jangan berbuat nista sesama penghuni alam), dan aja bedog (jangan menuduh). (2) Angger-Angger Pangucap (hukum berbicara). Tradisi lisan terkait hukum ini berbunyi pengucap saka lima bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga bundhelane ana pitu (berbicara harus meletakkan pembicaraannya di antara angka lima, tujuh, dan sembilan). Angka-angka tersebut, adalah angka-angka simbolik semata. Makna umumnya, bahwa setiap orang harus menjaga mulutnya dari perkataan yang tidak baik dan menyakiti hati orang lain. (3) Angger-Angger Lakonana (hukum perihal apa yang perlu dijalankan). Tradisi lisan terkait hukum ini berbunyi lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokale dilakoni. Maksudnya bahwa setiap orang Sedulur Sikep hendaknya senantiasa mengingat kesabaran dan kesabaran itu dijalankan di dalam kehidupan sehari-hari (Hutomo, 1996:25-26). Inti ajaran Ki Samin di atas, menjadi sumber pencirian identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati. Ajaran itu kemudian berkembang dan menyebar ke berbagai wilayah, khususnya di sekitar Pegunungan Kendeng dan daerah aliran Sungai Bengawan Solo, antara lain ke Kabupaten Pati, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Kudus, Kabupaten Rembang, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Madiun, Kabupaten Tuban, dan Kabupaten Lamongan.

10

Komunitas Sedulur Sikep Kabupaten Pati berdomisili di Kecamatan Sukolilo. Kecamatan Sukolilo terletak di sebelah selatan Kabupaten Pati yang berbatasan dengan Kabupaten Purwodadi. Dibandingkan dengan kecamatan lain, Sukolilo dikenal abangan, setidaknya jika kategori Geertz (1981: 172-178) masih bisa dipakai untuk kepentingan ini. Di Pati tidak sulit ditemukan kategori wong kidul (orang selatan) dengan wong lor (orang utara) untuk menunjuk perbedaan sosiokultural. Orang yang bermukim di daerah selatan biasanya diidentifikasi sebagai kelompok abangan, sedangkan orang yang bermukim di daerah Pati Utara adalah kelompok Islam-santri. Di dalam suasana hidup di desa Jawa, seperti di Pati, hubungan seperti di atas tidak menjadi suatu ancaman serius. Ketegangan, saling mencibir, meledek adalah hal biasa. Desa-desa di Jawa dalam beberapa hal memiliki mekanisme untuk menjaga keharmonisan itu. Pergulatan di antara mereka hidup subur, menjadi bagian dari sejarah rakyat yang masih diminati sampai saat ini. Misalnya, di Pati kisah-kisah masa lalu yang kembali dihidupkan dalam kesenian rakyat masih populer sampai saat ini. Syeh Jangkung, legenda rakyat Pati yang hidup dalam masa Kerajaan Islam Demak adalah sedikit dari beberapa cerita mengenai kontestasi dan ketegangan mengenai suatu keyakinan dan keagamaan di wilayah Pati. Syeh Jangkung yang makamnya dikeramatkan di sekitar Pati ini konon adalah anak haram Sunan Bonang (salah satu tokoh wali sembilan) yang di kemudian hari berseteru dan menjadi tokoh antagonis di mata Sunan Bonang sendiri. Di dalam salah satu kisahnya digambarkan mengenai suatu dialog yang panas dan berujung ke dalam perkelahian antara kuasa lokal yang ditokohkan

11

Syeh Jangkung dengan penguasa kerajaan Islam yang direpresentasikan oleh Sunan Bonang. Mereka masing-masing menyatakan pendiriannya yang berbeda. Hidup dalam perbedaan, yang dipraktikkan Syeh Jangkung ternyata merupakan ancaman sendiri bagi kuasa yang dibentangkan Islam Demak pada masa itu. Jadilah Syeh Jangkung tokoh subversib yang dianggap membahayakan stabilitas kerajaan. Ternyata cerita semacam Syeh Jangkung ini tidak sendirian. Ceritacerita lain dalam beberapa lakon ketoprak di Pati juga banyak menyiratkan suatu gambaran mengenai dialog dan kontestasi antara dua keyakinan, keagamaan yang saling berebut pengaruh (http://interseksi.org, 26 April 2012). Komunitas Sedulur Sikep di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati yang berdekatan dengan Makam Syeh Jangkung adalah representasi dari seluruh imajinasi mengenai Syeh Jangkung; lokal, Jawa-abangan. Sementara di komunitas santri yang berada di Pati bagian utara mengidentifikasi ketokohan mereka kepada Wali Songo. Tentu saja penggolongan ini agak semena-mena. Dibandingkan dengan kenyataan yang dihadapi di lapangan, identitas Jawa-abangan-santri tampak jauh lebih kompleks, cair, dan tidak mudah untuk diseragamkan. Di dalam suatu keluarga, percampuran abangan-santri ini bahkan sudah biasa dijumpai dalam kehidupan di kota-kota kecil di Jawa. Dikotomi tentang Kabupaten Pati bagian utara dengan Kabupaten Pati bagian selatan, secara psikologis juga dirasakan di masyarakat di kedua wilayah bagian tersebut. Selama ini, Kabupaten Pati bagian utara dirasakan lebih unggul secara ekonomi dan sosial. Hal ini terjadi karena di Kabupaten Pati bagian utara terdapat banyak lembaga pendidikan yang berkualitas dengan ditunjang berbagai macam usaha industri yang secara ekonomi

12

dan sosial menyebabkan masyarakat di wilayah tersebut memiliki tingkat kesejahteraan hidup yang lebih baik jika dibandingkan dengan tingkat kehidupan masyarakat di Kabupaten Pati bagian selatan. Tahun 1965 adalah fase dari kulminasi konflik yang melibatkan konflik horizontal di dalam masyarakat Kabupaten Pati. Desa Curug, Desa Wotan, Desa Baleadi, dan desa-desa sekitarnya pernah merasakan pahitnya konflik politik tersebut. Peristiwa 1965 telah menjadi momentum penting bagi kehidupan desa-desa tersebut. Pada masa-masa lalu, sebelum masa Orde Baru di Pati Bagian Utara, Partai NU bertengger sebagai partai terbesar, sementara di Pati Bagian Selatan yang dihuni komunitas Sedulur Sikep merupakan basis Partai Komunis Indonesia (PKI). Oleh karena konflik politik ini, hubungan dan relasi antarbudaya di Pati menjadi sesuatu yang mengancam. Setelah peristiwa 30 September 1965, terjadi peralihan keagamaan secara besar-besaran terhadap komunitas Sedulur Sikep. Mereka yang semula dituduh sebagai PKI terpaksa memilih Islam sebagai agama mereka. Islamisasi atau dakwah oleh para kiai dan ustadz-ustadz berlangsung ramai. Kebanyakan penyebar Islamisasi ini dari wilayah Pati bagian utara atau setidak-tidaknya alumni dari salah satu pondok pesantren dari Pati Utara. Di dalam melakukan dakwahnya, mereka ini merasa mendapatkan amanah menyampaikan misi suci untuk menebar pesan-pesan Tuhan. Orang-orang PKI kini perlu disadarkan dan diarahkan menuju jalan keagamaan. Sebaliknya, kelompok-kelompok yang diPKI-kan memilih jalan damai. Mereka ramai -ramai masuk Islam sebagian karena kesadarannya, tapi tidak sedikit yang merasa tertekan kalau masih harus bertahan

13

dengan sikapnya pada masa lalu. Pasca peristiwa 30 September 1965, itulah titik balik dalam kehidupan komunitas Sedulur Sikep di Kecamatan Sukolilo. Persaingan mendapatkan pengikut dalam masa-masa pergolakan politik terhenti. Kehidupan berjalan dalam siklus stabilisasi yang dipaksakan. Kondisi seperti ini efektif dapat meredam berbagai gejolak yang ada. Stabilisasi semu ini tampaknya berlangsung begitu lama (http://interseksi.org, 26 April 2012). Pada perkembangannya, kemajuan zaman juga memengaruhi

perubahan sosial di dalam komunitas Sedulur Sikep di Sukolilo Kabupaten Pati. Misalnya, pemakaian traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian, alat-alat rumah tangga dari plastik, aluminium, bahkan alat-alat elektronik telah menyentuh kehidupan mereka. Bahkan, kesan komunitas Sedulur Sikep sebagai komunitas yang terisolasi dari dunia luar pun mulai sirna. Setelah listrik masuk ke Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1987, maka perkembangan kehidupan masyarakat memang semakin cepat. Namun, ada nilai-nilai positif pada masyarakat Sedulur Sikep, misalnya kejujuran dan

kearifannya dalam memakai alam, semangat gotong royong, dan saling menolong masih tinggi. Di mana sampai sekarang, nilai-nilai kegotongroyongan dan kejujuran masih kental terasa. Sewaktu ada tetangga yang mempunyai hajat, maka para tetangga akan secara sukarela dan beramai-ramai membantu hingga selesai. Bahkan, untuk mengerjakan sawah banyak yang masih dilakukan dengan sistem sambatan (bergotong royong). Selain kejujuran dan kegotongroyongan, Sedulur Sikep juga terkenal dengan kesederhanaan dan etos kerjanya yang tinggi.

14

Pada umumnya, rumah tinggal Sedulur Sikep sangat sederhana dengan berdindingkan gedek (anyaman bambu) dengan atap genteng dari tanah liat. Penataan ruangnya sangat sederhana dan masih tradisional terdiri atas ruang tamu yang cukup luas, kamar tidur, dan dapur. Ruang tamu biasanya juga digunakan sebagai ruang makan, ruang keluarga. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya digunakan beberapa keluarga. Adapun bentuk rumahnya biasanya bekok lulang (limasan kampung). Permukiman masyarakat Sedulur Sikep biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Sebagian besar kehidupan ekonomi komunitas Sedulur Sikep di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati masih bertumpu pada sektor pertanian. Sejak lama masyarakat Sedulur Sikep bersandar pada sumber mata air dari Pegunungan Kendeng untuk mengaliri sawahnya. Pegunungan Kendeng merupakan deretan perbukitan yang memanjang mulai dari wilayah Kabupaten Grobogan Provinsi Jawa Tengah hingga Kabupaten Bojonegoro Provinsi Jawa Timur. Lokasi Pegunungan Kendeng yang berada di Kabupaten Pati memanjang sekitar 35 kilometer mulai dari Kecamatan Sukolilo hingga Kecamatan Puncakwangi. Di lokasi ini terdapat berbagai macam kekayaan alam mulai dari ratusan mata air, puluhan tebing yang indah, pepohonan yang asri sebagai pengendali air dan mengurangi banjir hingga puluhan gua yang eksotik. Ratusan mata air di Pegunungan Kendeng saat ini menjadi penopang sekitar 45 persen kebutuhan air masyarakat Pati, terutama air minum. Oleh karena itu, rencana pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Gresik di lahan sekitar Pegunungan Kendeng di empat lokasi kecamatan, yaitu Kecamatan Sukolilo,

15

Kecamatan Kayen, Kecamatan Gabus, dan Kecamatan Margorejo dengan luas sekitar 2.000 hektare menjadi pemicu resistensi komunitas Sedulur Sikep. Komunitas Sedulur Sikep di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati merasa khawatir akan rusaknya sumber daya alam Pegunungan Kendeng yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya. Untuk itulah, mereka terus berjuang mempertahankan kelestarian Pegunungan Kendeng dan pengakuan identitas kelompoknya. Bentuk pengakuan atas identitas Sedulur Sikep adalah memeroleh kehidupan yang layak dengan kebebasan di dalam menjalankan kehidupannya (termasuk adat istiadatnya) serta diakuti sejajar dengan kelompok masyarakat lainnya. Berdasarkan kondisi di atas, maka fenomena komunitas Sedulur Sikep di dalam memperjuangkan identitasnya menjadi sangat menarik untuk diteliti. Seiring dengan wacana kebebasan, kesetaraan, dan demokrasi pada era reformasi, maka kajian ini dapat memberikan pemahaman tentang keberadaan masyarakat marginal. Kebebasan komunitas Sedulur Sikep dalam mengekspresikan sisi kehidupannya dan mendobrak, baik hegemoni pemerintah maupun kelompok lainnya, menjadi alasan utama penelitian ini. Sebagai penelitian kajian budaya, maka wilayah kajiannya mempersoalkan kekuasaan dan politik dengan menekankan pentingnya perubahan dan representasi kelompok sosial yang termaginalkan. Menurut Bennet (1998: 61), salah satu elemen kajian budaya bermaksud mempelajari bagaimana bentuk dan kekuasaan saling berhubungan serta mengembangkan cara memahami budaya dan kekuasaan yang digunakan oleh mereka yang menjadi agen dalam upaya melakukan perubahan. Oleh karena

16

itu, pendekatan multikulturalisme ditawarkan oleh kajian budaya untuk memahami konteks masyarakat Indonesia yang majemuk. Lingkup spasial di dalam penulisan ini adalah Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. Khususnya, yang menjadi basis berkembangnya komunitas Sedulur Sikep, yaitu Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Namun, untuk memperjelas dan memperkuat analisis penulisan, peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar Kabupaten Pati dan terkait dengan komunitas Sedulur Sikep juga disinggung karena pada hakikatnya suatu peristiwa dapat memiliki hubungan sebab akibat dengan peristiwa lain. Kabupaten Pati dipilih sebagai pusat perhatian penulisan karena di Kabupaten Pati, komunitas Sedulur Sikep masih memperjuangkan identitasnya dengan melakukan resistensi terhadap hegemoni pemerintah, baik pusat maupun daerah. Lingkup temporal yang digunakan untuk memudahkan di dalam merekonstruksi dan menganalisis perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep Kabupaten Pati adalah tahun 19652012. Tahun 1965 diambil sebagai titik tolak didasari oleh suatu asumsi bahwa pada periode ini telah terjadi Gerakan 30 September 1965. Sebagai akibat dari peristiwa tersebut, komunitas Sedulur Sikep harus memeluk salah satu agama resmi Negara Republik Indonesia jika tidak ingin dianggap sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia dan terlibat dalam pemberontakan 30 September 1965 tersebut. Adapun pengambilan batasan akhir temporal tahun 2012 karena pada tahun tersebut, terjadi resistensi Sedulur Sikep Pati terhadap hegemoni pemerintah yang ingin membangun pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng.

17

1.2 Rumusan Masalah Bertitik tolak dari fenomena di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan penelitian sebagai berikut. (1) Bagaimana konstruksi identitas dan bentuk perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah? (2) Mengapa muncul perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah? (3) Apa makna perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep terhadap eksistensinya di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah sebagai strategi adaptif di dalam mempertahankan eksistensinya.

1.3.2 Tujuan Khusus (1) Menjelaskan konstruksi identitas dan bentuk perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. (2) Menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. (3) Menjelaskan makna perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep terhadap eksistensinya di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah.

18

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis (1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya memperkokoh tradisi keilmuan yang dikembangkan oleh Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana yang mengutamakan wacana kritis dengan pendekatan multidisipliner mengenai kehidupan manusia sejalan dengan nilai kulturalnya yang berpihak kepada orang-orang yang terpinggirkan. (2) Membangun pijakan awal untuk pengembangan penelitian lebih lanjut mengenai hak-hak komunitas Sedulur Sikep dalam perspektif kajian budaya di Indonesia.

1.4.2 Manfaat Praktis (1) Memberikan sumbangan pemikiran bagi peningkatan kehidupan masyarakat dalam hal keberagamaan secara multikultural. (2) Memberikan masukan kepada pemerintah untuk mengembangkan pola perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak komunitas Sedulur Sikep sebagai kelompok minoritas sehingga tidak ada praktik diskriminasi bagi kelompok minoritas di Indonesia. (3) Memberikan ruang bagi eksisnya komunitas Sedulur Sikep sehingga dapat memperkuat identitas dan kebudayaannya serta berdampingan dengan etnis lain.

You might also like