You are on page 1of 32

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Material ZnO Di alam ZnO berbentuk mineral zincite. ZnO hampir tidak larut dalam air namun larut dalam basa. Pada struktur kristal, ZnO mempunyai sifat piezoelektrik dan termikromik. ZnO merupakan salah satu bahan kandidat yang telah menarik perhatian karena memiliki lebar celah pita energi sebesar 3.3 eV dan energi ikat eksitasi sebesar 60 MeV pada suhu kamar (Gupta, 2010). Oleh karena itu, ZnO merupakan bahan yang penting untuk laser UV dan devais optoelektronik, dan juga ZnO memiliki sifat listrik dan optik sehingga banyak digunakan sebagai fotokonduktor dan sensor terintegrasi. ZnO memiliki beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan material GaN dalam hal aplikasi, namun keuntungan yang paling penting dalam aplikasinya adalah bahwa energi eksitasinya yang lebih besar dari GaN, dan kemampuan substrat kristalnya yang mampu berkembang cepat. Aspek lainnya yang membuat material ZnO diminati ialah senyawa kimianya yang dapat berpadu dengan senyawa lain (fleksibel), hal ini menunjukkan bahwa dengan senyawa lain dapat mengikat satu sama lain sehingga dapat menjadi larutan kimia basah. Seng Oksida (ZnO) merupakan salah satu persenyawaan dari logam Zn yang tergolong senyawa oksida. Secara umum, ZnO dapat dibuat dengan mereaksikan logam Zn dan oksigen pada suhu tinggi. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : 2Zn + O2 2ZnO ZnO terjadi sebagai bubuk putih umumnya dikenal sebagai seng putih atau sebagai zincite mineral. Mineral biasanya berisi sejumlah unsur mangan dan lainnya dan kuning ke warna merah. Oksida seng kristal termo-kromat, berubah dari putih ke kuning ketika dipanaskan dan di udara beralih ke putih pada pendinginan. Perubahan warna seperti ini terjadi karena perbedaan temperatur, dikenal sebagai sifat termokromik. Perubahan warna seng oksida tersebut karena pemanasan, beberapa atom oksigen hilang dari kisi kristalnya sehingga

meninggalkan kisi kristal dalam keadaan kelebihan muatan negatif dan ini menghasilkan warna yang berbeda, kelebihan muatan negatif (elektron) dapat di pindahkan melalui kisi kristal dengan perbedaan potensial. Jadi, seng oksida ini bersifat sebagai semikonduktor. Pada pendinginan, atom-atom oksigen yang keluar dari kisi pada pemanasan tersebut kembali lagi ke posisi semula sehingga diperoleh warna semula. Sebagian besar ZnO mempunyai karakterisasi semikonduktor tipe n, bahkan tanpa adanya pengotor atau dopan. Hal ini dikarenakan adanya cacat kristal alami ZnO seperti kelebihan oksigen dan atom interstisi dari zinc. Sifat inilah yang menjadi dasar aplikasi ZnO dalam teknologi film tipis antara lain adalah penggunaan ZnO sebagai TCO dan film tipis sel surya. Mikrajuddin, dkk, (2008), melaporkan bahwa sebagai semikonduktor, ZnO sangat potensial diaplikasi sebagai elektroda transparan dalam teknologi fotovoltaik, piranti elektroluminisens dan material piranti pemancar ultraviolet. Nanopartikel Seng Oksida sebagai material semikonduktor yang menghasilkan luminisens biru sampai hijau-kuning yang cukup efisien. Sifat ini menjadikan ZnO sebagai material yang sangat potensial bagi pengembangan sumber cahaya putih (white light sources). Karena strukturnya yang kovalen, material oksida juga biasa disebut dengan keramik. Dalam bentuk lapisan tipisnya, material oksida ini transparan terhadap cahaya dikarenakan band gap-nya yang sesuai. Sifat konduktifnya (lebih tepatnya semikonduktif) diaplikasikan untuk transparent conducting oxide (TCO) pada layar LCD, LED, electrochromic windows (jendela yang bisa mengatur dirinya menjadi transparan-gelap) hingga lapisan pertama pada sel surya lapis tipis. Beberapa jenis metoda sintesis ZnO berstruktur nano adalah Chemical vapor deposition (CVD), metal-organic CVD, elektrodeposisi, solution process termasuk metoda sol-gel. Metode sol-gel merupakan proses yang mudah dan tidak memerlukan biaya tinggi, sehingga banyak digunakan beberapa tahun belakangan ini. Struktur kristal dan ukuran bulir partikel pada lapisan tipis ZnO sangat mempengaruhi sifat optik dan elektriknya. Pada dasarnya orientasi dari nanokristal yang membentuk lapisan tipis sangat bergantung pada jenis substrat

yang digunakan, hal ini berkaitan dengan energi permukaan yang terbentuk antara substrat dan lapisan yang ditumbuhkan. Penggunaan substrat yang memiliki ketidaksesuaian kisi yang kecil, akan mempermudah pembentukan kristal menjadi lebih teratur (preferred orientation) dan seragam.

2.2. Struktur Kristal Kristal adalah zat padat yang susunan atom-atomnya atau molekulnya teratur. Partikel kristal tersusun secara berulang dan teratur serta perulangannya mempunyai rentang yang panjang. Struktur kristal terdapat pada hampir semua logam dan mineral. Suatu struktur kristal dibangun oleh sel unit, sekumpulan atom, yang tersusun secara khusus, yang secara periodik berulang dalam tiga dimensi dalam suatu kisi. Spasi antar sel unit dalam segala arah disebut parameter kisi. Struktur dan simetri suatu zat padat mempunyai peran penting dalam menentukan sifat-sifatnya, seperti struktur pita energi dan sifat optiknya.

Gambar 2.1. Struktur wurtzite heksagonal ZnO. Atom O ditampilkan sebagai bulatan hijau besar, Zn atom sebagai bulatan hitam kecil. Pada tekanan dan temperatur lingkungan, struktur kristal ZnO adalah wurtzite seperti yang ditunjukan pada gambar 2.1. Seng Oksida (ZnO) merupakan kristal senyawa ionik terdiri atas kation-kation dan anion-anion yang tersusun secara teratur dan berulang (periodik). Pola susunan yang teratur dan berulang dari ionion yang terdapat dalam suatu kristal menghasilkan kisi kristal dengan bentuk struktur tertentu. Seng Oksida mempunyai struktur intan dengan jaringan ikatan

kovalen. Berdasarkan struktur tersebut, ikatan kimia antara atom Zn dan atom O cenderung mengarah kepada ikatan ion karena kuatnya sistem polarisasi antara kedua atom tersebut. Ikatan Zn-O menyebabkan atom Zn menjadi sangat positif dan atom O menjadi sangat negatif. Tetapi pada akhirnya, kedua atom tersebut membentuk molekul yang netral. Kisi heksagonal dikarakterisasi dengan melihat hubungan subkisi (sublattice) Zn2+ dan O2-, dimana ion Zn dikelilingi oleh ion tetrahedral dan sebaliknya. Struktur kristal wurtzite yang yang simetrinya hexagonal, dikarenakan ada 12 ion oksigen (O2-) yang berada ditiap sudut atas dan bawah yang membentuk suatu prisma heksagonal. Setiap ion Zn2+ maupun O2merupakan pusat tethahedral dari keempat ion tetangganya.

Tabel 2.1. Sifat Fisis Dasar ZnO dalam Ukuran Besar (bulk) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Sifat (properties) Konstanta kisi pada T = 3000C Kerapatan Titik leleh Konstatnta dielektrik relatif Energi gap Konsentrasi pembawa intrinsik Energi ikat eksiton Massa efektif elektron Mobilitas elektron (T = 300 K) Massa efektif lubang (hole) Mobilitas lubang (hole) Titik leleh logam Zn
0

Nilai a0 = 0.32469 nm; c0 = 0.52069 nm 5.606 g/cm3 2248 K 8.66 3.4 eV, langsung < 106 cm-3 60 meV 0,24 200 cm2/Vs 0,59 5-50 cm2/Vs 419,50 C

2.3. Celah Pita Energi Salah satu topik yang hangat dalam riset nanomaterial ialah karena memiliki potensi aplikasi yang sangat luas adalah band gap engineering . Band gap engineering adalah rekayasa pita energi material untuk menghasilkan sifat optik, elektronik, maupun optoelektronik sesuai dengan yang diinginkan. Rekayasa ini umumnya meliputi pengontrolan lebar celah pita energi sehingga energi yang diperlukan untuk mengeksitasi elektron dalam material atau energi yang dipancarkan elektron maupun hole ketika kembali ke keadaan dasar dapat diubah-ubah sesuai dengan yang diinginkan. Pengaturan lebah celah pita energi ini juga berdampak pada konduktivitas listrik material tersebut, karena makin kecil lebar celah pita energi maka konduktivitas umumnya makin besar. Logam adalah material yang tidak memiliki celah pita energi sehingga konduktivitasnya sangat besar. Dalam bahan semikonduktor murni, energi yang dimiliki elektron hanya mungkin berada pada salah satu pita energi, yaitu pita valensi atau pita konduksi. Gambar 2.2 adalah ilustrasi pita valensi dan konduksi dalam bahan semikonduktor. Pada suhu yang sangat rendah, elektron hanya menempati tingkat energi pada pita valensi. Antara pita valensi dan pita konduksi terdapat nilai-nilai energi yang tidak dapat dimiliki oleh elektron. Daerah tersebut disebut celah pita energi (energy band gap).

Gambar 2.2. Ilustrasi Pita Valensi, pita konduksi, dan celah pita energi bahan Semikonduktor.

10

Jika mendapat energi yang cukup misalnya dari foton, atau panas, atau tumbukan oleh partikel lain, elektron yang semula berada .di pita velensi dapat meIoncat ke pita konduksi. Energi yang diterima elektron minimal harus sama dengan celah pita energi. Loncatan tersebut meninggalkan keadaan kosong di pita konduksi. Keadaan kosong tersebut berperilaku seolah-olah sebagai sebuah partikel bermuatan positif dan dinamakan lubang (hole). Persyaratan bagi elektron agar dapat mencapai pita konduksi adalah energi yang diterima harus lebih besar dari celah pita energi, Eg. Misalkan eksitasi dilakukan dengan gelombang cahaya (frekuensi rendah), maka frekuensi cahaya pengeksitasi harus memenuhi hf > Eg dengan h konstanta Planck dan f adalah frekuensi cahaya pengeksitasi. Umumnya,cahaya yang digunakan untuk mengeksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi adalah cahaya ultraviolet karena hanya cahaya inilah yang memiliki energi foton yang Iebih besar daripada energi celah pita energi kebanyakan bahan semikonduktor. Sebagai conthoh, untuk bahan semikonduktor dengan lebar celah pita energi 3,4 eV dapat dieksitasi dengan cahaya yang memiliki panjang gelombang di bawah 364 nm. Panjang gelombang ini berada di daerah ultraviolet. Keadaan tereksitasi bukan merupakan keadaan stabil. Elektron hanya bertahan beberapa saat di keadaan eksitasi dan setelah itu kembali ke keadaan awal mengisi kembali keadaan kosong yang semula ditinggalkannya di pita valensi. Proses ini disebut deeksitasi atau rekombinasi. Disebut rekombinasi karena elektron bergabung kembali dengan lubang, sehingga lubang menjadi hilang. Saat proses deksitasi ini dilepaskan energi yang bisa berupa panas (getaran atom-atom dalam bahan) atau bisa berupa pemancaran cahaya. Deeksitasi yang disertai pelepasan panas disebut transisi tanpa radiasi (radiationless transition), sedangkan deeksitasi yang disertai pemancaran gelombang elektromagnetik disebut transisi radiasi (radiative transition). Pada transisi radiatif, energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan kira-kira sama dengan lebar celah pita energi, yaitu hf Eg. Dengan demikian, frekuensi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan adalah f Eg/h. Karena frekuensi merepresentasikan warna, maka tampak disini bahwa warna yang dihasilkan material ketika terjadi proses deeksitasi sangat bergantung pada

11

lebar celah pita energi. Ini merupakan salah satu dasar rekayasa pita energi. Jika dapat melakukan pengontrolan lebar celah pita energi material maka akan dihasilkan material yang menghasilkan warna yang berbeda-beda. Pengaruh dimensi partikel terhadap lebar celah pita energi dapat dipahami sebagai berikut. Ketika elektron berpindah dari pita valensi ke pita kondukasi, yang berarti elektron melepaskan diri dari ikatan oleh ion-ion positif di sekitarnya sehingga menjadi elektron yang lebih bebas. Elektron paling sulit melepaskan diri dari satu atom terisolasi. Energi yang diperlukan untuk melepaskan elektron dari atom terisolasi sama dengan energi ionisasi, dan nilainya sangat besar. Jika beberapa atom digabung menjadi material maka elektron-elektron dalam material tersebut menjadi lebih mobil. Akibatnya makin sedikit energi yang diperlukan untuk membuat elektron-elektron dalam material tersebut untuk menjadi elektron yang lebih bebas. Ini berarti, lebar celah pita energi yang dimiliki material yang tersusun dari sejumlah atom makin kecil. Makin banyak jumlah atom penyusun material maka makin kecil energi yang diperlukan untuk menghasilkan elektronelektron yang hampir bebas, berarti makin kecil pula lebar celah pita energi. Sampai suatu saat, kebebasan elektron mencapai nilai saturasi di maka penambahan jumlah atom penyusun material tidak legi mengubah kekebasan elektron. Dalam keadaan ini lebar celah pita energi tidak lagi bergantung pada ukuran material. Lebar celah pita energi sama dengan lebar celah pita energi material dalam keadaan besar atau bulk.

2.4. Koloid Koloid (sistem koloid) merupakan campuran heterogen antara solut dengan pelarut, dimana solut tetap ada (tersebar) pada pelarut. Dalam sistem koloid terdapat dua bagian fasa, yaitu: fasa dalam (solute), disebut juga fasa terdispersi dan fasa luar (pelarut), disebut juga fasa pendispersi.

12

Solut maupun pelarut mempunyai tiga macam fase yaitu gas, cair dan padat maka terdapat 8 macam sistem koloid seperti pada tabel berikut :

Tabel 2.2. Sistem Koloid Fasa Terdispersi Gas Gas Cair Cair Cair Padat Padat Padat Fasa Pendispersi Cair Padat Gas Cair Padat Gas Cair Padat Gas dalam cair Buih Busa sabun Karet busa Kabut Susu Mentega Asap Larutan kanji Camp logam ( perunggu ) (Verlyana, 2008) Penyebutan Nama Contoh

Gas dalam padat Busa padat Cair dalam gas Cair dalam cair Cair dalm padat Padat dalam gas Aerosol cair Emulsi Emulsi padat Aerosol pdt

Padat dalam cair Sol Padat dlm padat Sol padat

Berdasarkan Interaksinya dengan Pelarut (air) koloid dapat dibagi menjadi dua macam yaitu : (1) koloid hidrofil yaitu koloid yang dapat campur dengan air, dapat diencerkan dan lebih stabil. Contohnya koloid dari senyawa-senyawa organik, misalnya kanji (amilum), agar-agar, dsb dan (2) koloid hidrofob yaitu tidak dicampur dengan air, sehingga tidak dapat diencerkan dan kurang stabil. Contohnya koloid dari senyawa anorganik, misalnya sol belerang (S), Fe(OH)3. Pembentukan koloid ditentukan oleh ukuran partikel solut, semakin kecil ukuran partikel solut, maka akan semakin mudah larut dan sebaliknya, semakin besar ukuran partikel solut, maka akan mudah membentuk endapan.

2.5. Teknologi Film Tipis Divais semikonduktor dalam bentuk film disajikan dalam dua jenis yaitu film tipis dan film tebal. Syarat untuk penumbuhan film tipis adalah ketidaksesuaian film dengan kisi kecil, sehingga tidak terjadi cacat kristal. Proses penumbuhan

13

lapisan tipis semikonduktor di atas substrat dapat dilakukan secara epitaksi. Epitaksi berasal dari bahasa yunani. Epi berarti di atas dan taksial berarti menyusun. Sehingga epitaksi didefenisikan sebagai proses penyusunan atom-atom bahan kristal di atas substrat kristal tunggal dengan susunan lapisan yang dihasilkan merupakan sambungan dari garis struktur kristal substrat. Apabila lapisan tipis yang ditumbuhkan memiliki kesamaan sifat-sifat kimia, parameter kisi dan struktur kristal, dan struktur kristal dengan substrat maka proses penumbuhannya disebut proses Homoepitaksi, contoh: Si di atas Si. Sehingga tidak memiliki ketidasesuaian kisi dan regangan kisi. Sedangkan apabila lapisan tipis yang ditumbuhkan tidak memiliki kesamaan dalam sifat-sifat kimia, parameter kisi, dan struktur kristal dengan substrat maka proses penumbuhannya disebut Heteroepitaksi, contoh: Si di atas substrat Al2O3 sehingga memiliki ketidaksesuaian kisi, regangan kisi dan akan muncul cacat kristal. Ada beberapa teknik yang digunakan dalam penumbuhan film tipis, yaitu: 1. Metoda Physical Vapor Deposition (PVD) merupakan deposisi uap dengan reaksi fisika yaitu: Sputtering (DC atau RF) dan Pulsed Laser Deposition (PLD). 2. Metode Chenical Vapor Deposition (CVD) merupakan deposisi uap dengan reaksi kimia, yaitu: Metal Organic Chemical Vapor Deposition (MOCVD), Plasma Enhanced Chemical Vapor Deposition (PECVD) dan Low Pressure Chemical Vapor Deposition (LPCVD). 2.5.1. Dasar Dasar Penumbuhan Film Tipis Pertumbuhan film tipis, untuk semua fase transformasi, melibatkan proses nukleasi dan pertumbuhan pada substrat atau pertumbuhan permukaan. Proses nukleasi memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan kristalinitas dan mikrostruktur film yang dihasilkan. Untuk deposisi film tipis dengan ketebalan dalam ukuran nanometer, proses nukleasi awal bahkan lebih penting. Nukleasi dalam pembentukan film adalah nukleasi heterogen, energi penghalang dan ukuran nukleus kritis. Ukuran dan bentuk awal inti yang dianggap hanya bergantung pada perubahan volume energi bebas Gibbs, karena untuk

14

supersaturasi, dan efek gabungan energi permukaan dan antarmuka diatur oleh persamaan Young. Interaksi antara film dan substrat memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan nukleasi awal dan pertumbuhan film. Berdasarkan hasil eksperimental dinyatakan bahwa ada tiga mode dasar nukleasi yaitu (Milton, 1992): (1) pertumbuhan pulau atau Volmer-Weber, (2) Pertumbuhan lapisan atau Frank-van der Merwe (3) Pulau-lapisan atau Stranski-Krastonov.

Gambar 2.3. Ilustrasi tiga mode dasar nukleasi awal dalam pertumbuhan film.

Gambar 2.3 mengilustrasikan tiga mode dasar nukleasi awal dalam pertumbuhan film. Pulau pertumbuhan terjadi ketika spesies pertumbuhan lebih kuat terikat satu sama lain daripada substrat. Banyak sistem logam pada substrat isolator, halida alkali, grafit dan substrat mika menampilkan jenis nukleasi selama awal deposisi film . Hasil pertumbuhan berikutnya terjadinya pengabungan pulau-pulau dan membentuk lapisan film. Pertumbuhan lapisan adalah kebalikan dari pertumbuhan pulau, dimana pertumbuhan spesies sama-sama terikat lebih kuat ke substrat daripada satu sama lain. Lapisan pertama lengkap dibentuk, sebelum deposisi

15

lapisan kedua terjadi. Pertumbuhan pulau, pertumbuhan lapisan dan pertumbuhan pulau-lapisan umumnya melibatkan stress selama pembentukan inti atau film. Deposisi suhu dan tingkat pertumbuhan spesies merupakan dua faktor yang paling penting dalam hal ini. 1. Pertumbuhan film kristal tunggal merupakan yang paling sulit dan membutuhkan: (i) substrat kristal tunggal dengan pertandingan jarak kisi , (ii) permukaan substrat yang bersih sehingga untuk menghindari terjadinya nukleasi sekunder, (iii) suhu pertumbuhan yang tinggi sehingga untuk menjamin mobilitas yang cukup dari spesies pertumbuhan dan (iv) tingkat spesies pertumbuhan rendah sehingga untuk memastikan waktu yang cukup untuk difusi permukaan dan penggabungan spesies pertumbuhan ke dalam struktur kristal dan untuk relaksasi struktural sebelum munculnya spesies pertumbuhan berikutnya. 2. Pengendapan amorf film biasanya terjadi : (i) ketika dilakukan suhu rendah pertumbuhan, sehingga tidak cukup mobilitas permukaan untuk pertumbuhan spesies (ii) ketika masuknya pertumbuhan spesies ke permukaan pertumbuhan sangat tinggi, pertumbuhan spesies tidak memiliki cukup waktu untuk menemukan situs pertumbuhan dengan energi terendah. 3. Kondisi untuk pertumbuhan film polikristalin kristal terjadi antara kondisi pertumbuhan kristal tunggal dan deposisi film amorf. Secara umum, suhu deposisi yang cukup memastikan mobilitas permukaan untuk pertumbuhan spesies dan fluks pertumbuhan spesies cukup tinggi.

Kondisi pertumbuhan untuk polikristalin kristal tunggal, dan film amorf silikon dengan metode uap kimia juga dapat berlaku untuk film elemen tunggal, seperti ditunjukkan pada gambar 2.3. Namun, proses pertumbuhan ini merupakan kasus yang kompleks dalam sistem disebabkan adanya materi kotoran dan aditif. Epitaksial adalah proses yang sangat khusus, dan mengacu pada pembentukan atau pertumbuhan kristal tunggal di atas substrat. Tingginya pertumbuhan epitaksial menyebabkan terjadinya homoepitaksi dan heteroepitaksi.

16

Homoepitaksi adalah untuk tumbuh film di substrat, di mana keduanya bahan yang sama. Pertumbuhan Homoepitaksial biasanya digunakan untuk

menumbuhkan kualitas film yang lebih baik atau memperkenalkan dopan menjadi film yang lebih baik. Heteroepitaksi mengacu pada kasus bahwa film dan substrat adalah bahan yang berbeda. Perbedaan antara film homoepitaksial dan film heteroepitaksial adalah pertandingan kisi antara film dan substrat. Tidak ada ketidaksesuaian kisi antara film dan substrat oleh pertumbuhan homoepitaksiial. Sebaliknya, akan ada ketidaksesuaian kisi antara film dan substrat pertumbuhan heteroepitaksial.

2.6. Prekursor Prekursor adalah bahan kimia yang menjadi dasar atau sumber dalam pembentukan material yang lain. Ada beberapa kriteria material untuk disebut sebagai prekursor, yaitu mempunyai sifat reaktif, mudah berubah menjadi zat lain, dan mudah menjadi radikal akibat perlakuan termal maupun akibat proses kimiawi.

2.6.1. TEA (trietanolamina) Tabel 2.3. Sifat Fisis dan Kimia Trietanolamin No 1 1 2 3 4 5 Formula Kelarutan di dalam air Titik lebur Densitas Titik didih Indeks Refraktif Sifat C6H15NO3 (200 C) larut 220 C 1.242 g/cm3 (200 C) 335.40 C 1.485 Nilai

17

2.7. Pelarut Etanol Tabel 2.4. Sifat Fisis dan Kimia Etanol Sifat Rumus molekul Warna Titik didih Titik lebur Kelarutan dalam air Indeks refraksi C2H6O Bening 78.370 C -1140 C dapat dicampur (miscible) 1.36 Nilai

2.8. Sifat Adesif Pelapisan (Coating) Ketahanan pelapisan (coating) sangat dipengaruhi oleh kemampuan pelapisan untuk menempel (adhesive) pada material substrat. Jika daya tempel tidak kuat maka selain pelapisan tidak menempel dengan baik, hal ini dapat juga memberi kesempatan kepada udara lembab masuk ke celah antara lapisan dan substrat yang menyebabkan kontaminasi. Ada beberapa jenis daya ikatan antara lapisan dengan material substrat, antara lain: a. Daya ikat kimia (chemical bonding adhesion), yaitu daya ikat yang terjadi antara pelapisan dengan material substrat berupa ikatan atom. Contohnya yaitu pada pelapisan zinc (seng) untuk melapisi baja, atau yang biasa disebut galvanized steel. Zinc berikatan dengan baja membentuk paduan intermetalik FeZn. Jenis ikatan ini adalah ikatan yang paling kuat. b. Daya ikat polar (polar adhesion), yaitu daya ikat yang terjadi karena gaya tarik menarik material polar. Contohnya yaitu pelapisan organik, yang banyak mengandung senyawa polar. Jenis ikatan ini tidak akan bekerja dengan baik apabila terdapat zat pengotor di permukaan substrat seperti kotoran, minyak, air, dan lain-lain. c. Daya ikat mekanik (mechanical adhesion), yaitu daya ikat yang terjadi karena ikatan secara mekanik (mechanical interlocking). Contohnya yaitu dengan penggunaan pelapisan pada permukaan substrat yang kasar, seperti penggunaan sand blast ataupun bahan abrasif sebelum proses pelapisan.

18

Selain itu bisa juga penggunaan pelapisan yang akan mengkerut ketika perbaikan (curing) sehingga akan membungkus material substrat dengan baik, seperti epoksi, poliester, dan lain-lain.

2.9. Substrat Kaca Pada penumbuhan film tipis diperlukan substrat sebagai tempat untuk tumbuhnya film tipis. Substrat yang digunakan adalah yang memiliki parameter kisi dan koefisien termal yang hampir sama dengan film tipis. Beberapa material yang umumnya digunakan sebagai substrat antara lain safir (Al2O3), kaca, silikon dan sebagainya. yang digunakan untuk pembuatan film tipis ZnO adalah kaca. Kaca adalah bahan yang tidak padat, karena molekul-molekunya disusun secara acak seperti zat cair, namun kohesinya membuat bentuknya menjadi stabil. Karena susunannya acak seperti zat cair itulah maka kaca terlihat transparan. Selain itu kaca juga merupakan material non-organik hasil dari proses pendinginan tanpa melalui proses kristalisasi. Dipandang dari segi fisika kaca merupakan zat cair yang sangat dingin karrena struktur- struktur partikel penyusunnya yang saling berjauhan seperti dalam zat cair namun berwujud padat. Ini terjadi akibat proses pendinginan yang sangat cepat. Dari segi kimia, kaca adalah gabungan dari berbagai oksida anorganik yang tidak mudah menguap, yang dihasilkan dari dekomposisi dan peleburan senyawa alkali dan alkali tanah, pasir serta berbagai penyusun lainnya. Fungsi substrat dalam pembuatan film tipis yaitu: a. Sebagai penunjang interkoneksi dan perakitan devais b. Sebagai isolator dan tempat pelapisan serta pembentukan pola jalur konduktor dan komponen pasif c. Media panas penyalur rangkaian d. Sebagai lapisan dielektrik untuk rangkaian-rangkaian frekuensi tinggi Secara umum substrat harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut: 1. Kestabilan dimensi (tidak mudah berubah) 2. Tahan terhadap gesekan 3. Konstanta dielektrik yang rendah

19

4. Permukaan rata dan halus 5. Stabilitas kimia yang baik dan kecocokan dengan pasta atau sol 6. Daya serapnya rendah 7. Jenis isolator yang baik

Tabel 2.5. Sifat fisis kaca mikroskop Sifat Warna Prinsip penggunaan Ekspansi termal Titik pemanasan anealing Kerapatan Bening Sebagai substrat listrik dan optik 0 - 3000 C 6390 C 2,76 g/cm3 70 % (320 nm) Transmitansi 90 % (360 nm) 90 % (380- 2200 nm) Nilai

2.10. Metoda Sol-Gel Metode sol gel adalah metode dengan menggunakan proses kimia dimulai dari bentuk ion yang lebih besar (bulk) ditambah pereaksi kimia sehingga ion yang dihasilkan berukuran nanopartikel. Metode sol-gel merupakan proses yang banyak digunakan untuk membuat keramik, material gelas dan teknik kimia yang juga dikenal sebagai deposisi larutan kimia. Metode ini dikenal sebagai wet method karena pada prosesnya menggunakan larutan sebagai medianya (pelarut). Pada metode ini, mengalami perubahan fase yaitu dari fase solid yang berupa serbuk akan berubah menjadi fase sol (koloid yang memiliki padatan tersuspensi dalam larutan) lalu berubah menjadi gel. Material yang biasanya digunakan dalam proses sol-gel adalah garam logam inorganik (inorgaic metal salt) atau campuran logam organik (metal organik compound). Pada proses sol-gel, prekursor molekular dirubah menjadi partikel berukuran nano untuk membentuk suspensi koloid atau sol. Nanopartikel koloid ini kemudian berikatan satu dengan yang lain melalui proses polimerisasi untuk membentuk gel. Polimerisasi membuat proses

20

difusi kimia terus meningkat kemudian gel tersebut dikeringkan dan dikalsinasi untuk menghasilkan bubuk. Kalsinasi dapat dilakukan dengan menggunakan alat yang dapat menghasilkan suhu yang seragam bagi bahan sehingga proses pencampuran bahan memungkinkan untuk pembentukan produk yang lebih seragam. Pada suatu sintesa untuk menghilangkan atau mengurangi kadar air dalam air dan pengotor perlu dilakukan proses yang disebut kalsinasi. Pemanasan atau kalsinasi akan terbentuk agregat partikel dimana penggerusan dari agregat yang besar tersebut diperoleh serbuk yang baik. Selain itu, kalsinasi juga

memiliki fungsi untuk menghilangkan sisa senyawa prekursor yang tidak bisa hilang pada suhu rendah. Bahan awal atau precursor juga dapat disimpan pada suatu substrat untuk membentuk film (seperti melalui dipcoating atau spincoating), yang kemudian dimasukkan kedalam suatu kontainer yang sesuai dengan bentuk yang diinginkan contohnya untuk menghasilkan suatu keramik monolitik, gelas, fiber atau serat membran, aerogel, atau juga untuk mensitesis bubuk baik butiran mikro maupun nano.

2.10.1. Kimia Sol Gel Kimia sol gel didasarkan pada hidrolisis dan kondensasi dari prekursor. Umumnya pada sol gel ditunjukkan penggunaan alkoksida sebagai prekursor. Alkoksida memberikan suatu monomer yang dalam beberapa kasus yang terlarut dalam bermacam-macam pelarut khususnya alkohol. Alkohol membolehkan penambahan air untuk mulai reaksi, keuntungan lain alkoksida adalah untuk mengontrol hidrolisis dan kondensasi. Prose sol-gel terdiri dari 4 tahap, yaitu: 1. Hidrolisis Pada tahap pertama prekursor (alkoksida) dilarutkan dalam alkohol dan terhidrolisis dengan penambahan air pada kondisi asam, netral atau basa menghasilkan sol koloid. Hidrolisis menggantikan ligan (-OR) dengan gugus hidroksil (-OH) dengan reaksi sebagai berikut: M(OR)z + H2O M(OR)(z-1)(OH) + R(OH)

21

Faktor yang berpengaruh pada proses hidrolisis adalah rasio air atau prekursor dan jenis katalis hidrolisis yang digunakan. Peningkatan rasio pelarut atau prekursor akan meningkatkan reaksi hidrolisis. Reaksi berlangsung cepat sehingga waktu gelasi lebih cepat. Katalis yang digunakan pada proses hidrolisis adalah jenis katalis asam atau katalis basa, namun proses hidrolisis juga dapat berlangsung tanpa menggunakan katalis. Dengan adanya katalis maka proses hidrolisis akan berlangsung lebih cepat dan konversi menjadi lebih tinggi. 2. Kondensasi Pada tahapan ini terjadi proses transisi dari sol menjadi gel. Reaksi kondensasi melibatkan ligan hidroksil untuk menghasilkan polimer dengan ikatan M-O-M. Pada berbagai kasus , reaksi ini juga menghasilkan produk samping berupa air atau alkohol dengan persamaan reaksi secara umum Kondensasi air : M-OH + HO-M M-O-M + H2O M-O-M + R-OH

Kondensasi alkohol : M-O-R + HO-M 3. Pematangan (Aging)

Setelah reaksi hidrolisis dan kondensasi, dilanjutkan dengan proses pematangan gel yang terbentuk. Proses ini lebih dikenal dengan nama proses aging. Pada proses pematangan ini, terjadi reaksi pembentukan jaringan gel yang lebih kaku, kuat, dan menyusut di dalam larutan. Parameter prosesnya adalah waktu, temperatur, komposisi cairan dan lingkungan aging. 4. Pengeringan (kalsinasi) Tahap terakhir adalah proses penguapan larutan dan cairan yang tidak diinginkan untuk mendapatkan struktur sol-gel yang memiliki luas permukaan yang tinggi. Kalsinasi berguna untuk melepaskan template yang digunakan dalam proses gel. Parameter prosesnya adalah temperatur, waktu dan gas (inert atau reaktif). Struktur dan sifat fisik gel sangat bergantung pada beberapa hal, diantaranya : Pemilihan bahan baku material Laju hidrolisis dan kondensasi Modifikasi kimiawi dari sistem sol-gel

22

Metode sol gel cocok untuk preparasi film tipis dan material berbentuk bubuk (powder). Tujuan preparasi ini agar suatu material dapat memiliki fungsional khusus (elektrik, optik, magnetik, dll). Metode sol gel memiliki keuntungan antara lain: Biaya murah Untuk partikel halus, rentang ukuran 0,1 sampai beberapa mikron Mudah dalam kontrol komposisi (kehomogenan komposisi kimia baik) Temperatur proses rendah

2.11. Preparasi Pre-Pelapisan (Coating) Permukaan logam biasanya belum bisa langsung diberikan pelapis, karena kualitas permukaan yang rendah serta kemungkinan adanya kotoran dan minyak dapat mengganggu sifat adesif dari pelapisan. Oleh karena itu perlu dilakukan proses preparasi terlebih dahulu sebelum dilakukan proses pelapisan. Proses pre-pelapisan ini terdiri dari dua jenis, yaitu pembersihan secara mekanik (mechanical cleaning) dan pembersihan secara kimiawi (chemical cleaning). 1. Mechanical cleaning, yaitu dengan menggunakan material abrasif untuk menghilangkan kotoran pada permukaan. Proses mekanik yang digunakan umumnya yaitu grinding, sand blasting, dan lain-lain. Kontaminan yang dapat dibersihkan antara lain scale, produk korosi, maupun sisa pelapisan sebelumnya dengan mengikis permukaan material substrat tersebut. 2. Chemical cleaning, yaitu proses pembersihan dengan menggunakan bahan kimia. Cara pengaplikasiannya dapat diusapkan, disemprot, diuapkan, dan dicelupkan. Ada beberapa jenis pembersihan secara kimiawi, antara lain: a. Emulsion cleaning, yaitu dengan menggunakan larutan berbahan dasar organic (surfaktan) yang dapat membersihkan minyak seperti deterjen dan pengemulsi. b. Alkaline cleaning, yaitu dengan menggunakan larutan garam alkali untuk membersihkan kotoran dan minyak. Larutan yang umum digunakan antara lain sodium hydroxide (NaOH) dan sodium carbonate (Na2CO3). Biasanya

23

garam tersebut dilarutkan dengan air hangat sebanyak 80-40%. Setelah proses alkaline cleaning, semua zat alkalin harus dibersihkan dengan air atau uap agar tidak mengganggu kinerja pelapisan. c. Pickling (Acid cleaning), yaitu dengan menggunakan larutan asam untuk membersihkan kerak dan korosi. Larutan asam yang biasa digunakan yaitu asam sulfat (H2SO4) yang akan melarutkan oksida pada permukaan.

2.12. Pelapisan dengan Metode Pencelupan (Dipcoating) Teknik dipcoating adalah proses dimana substrat dilapisi dengan cara dicelupkan ke dalam larutan dan kemudian diangkat kembali dengan kecepatan penarikan substrat yang telah ditetapkan dengan kontrol temperatur dan atmosfer. Ketebalan lapisan dipengaruhi oleh kecepatan penarikan substrat dari larutan dan viskositas larutan.

Gambar 2.4 Alat Pencelup (dipcoater) sampel

2.13. Perlakuan Panas Proses perlakuan panas merupakan kombinasi operasi pemanasan dan pendinginan dengan kecepatan tertentu yang dilakukan terhadap material dalam keadaan padat sebagai suatu upaya untuk memperoleh sifat-sifat tertentu.

24

Proses perlakuan panas pada dasarnya terdiri dari beberapa tahapan dimulai dengan pemanasan sampai temperatur tertentu, lalu diikuti dengan penahanan selama beberapa saat lalu kemudian dilakukan pendinginan menuju temperatur yang lebih rendah dengan kecepatan tertentu. Secara umum proses perlakuan panas dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: 1. Proses perlakuan panas yang menghasilkan struktur yang seimbang ( near equilibrium). Tujuan utama dari perlakuan panas ini diantaranya adalah untuk memperbaiki struktur kristal dan menghasilkan butir. Contoh perlakuan panas yang termasuk jenis near equilibrium adalah pemanasan awal (preheating) dan anealing. Anealing pada suatu material dilakukan dengan cara memanaskan material sampai temperatur yang cukup tinggi kemudian mempertahankan pemanasannya pada suhu tinggi selama beberapa saat agar tercapai perubahan yang diinginkan seperti membuat sedikit pertumbuhan butiran-butiran agar diperoleh struktur mikro dengan butir yang halus dan seragam kemudian didinginkan secara perlahan-lahan dengan laju pendinginan yang cukup lambat. 2. Proses perlakuan panas yang menghasilkan struktur yang tidak seimbang ( non equilibrium). Tujuan umum dari perlakuan panas ini adalah untuk mendapatkan kekerasan dan kekuatan yang lebih tinggi. Salah satu jenis perlakuan panas non equilibrium adalah hardening. Hardening biasa dilakukan pada baja dengan tujuan untuk memperoleh sifat tahan yang aus yang lebih tinggi dan kekuatan yang lebih baik.

2.13.1. Pengaruh Temperatur Substrat Pemanasan substrat memberikan energi pada pembentukan orientasi kristal pada film yang akan ditumbuhkan. Oleh karena itu penambahan energi pada sistem ini sangat penting untuk penumbuhan film tipis dengan orientasi kristal yang baik. Tetapi hal ini bukan berarti dengan memberikan pemanasan atau energi yang lebih besar selalu lebih baik. Jika terlalu banyak energi yang ditambahkan pada sistem saat film ditumbuhkan maka dapat muncul beberapa permasalahan. Saat nanopartikel ZnO akan ditumbuhkan pada substrat, tentunya mereka

25

memiliki ekspansi termal yang berbeda karena keduanya merupakan material yang berbeda. Sehingga jika substrat dipanaskan menuju temperatur tinggi, saat penumbuhan hal ini dapat saja baik, tetapi saat sampel didinginkan menuju temperatur ruangan maka dapat mengakibatkan terbentuknya sisa tekan ( residual stress). Energi yang terlalu besar mengakibatkan terjadinya tekanan (stress) tetapi jika tidak ada cukup energi maka kristalisasi tidak terjadi dengan baik atau tidak sesuai dengan yang diinginkan. Pemanasan pada lapisan ZnO mengakibatkan terjadinya pergesaran pita on set absorbansi ke arah panjang gelombang yang lebih pendek (blue shift), hal ini berkaitan dengan meningkatnya besar pita energi pada lapisan ZnO yang terbentuk. Peningkatan besar pita energi dipengaruhi oleh ukuran partikel, cacat material dan impuritas. Selain itu tingkat pemanasan yang lebih tinggi dapat menghasilkan struktur kristaldan morfologi yang lebih baik dan secara langsung berkaitan dengan menurunnya ukuran kristal serta meningkatkan celah energi. Orientasi sumbu-c (c-axis) film tipis ZnO menurun pada temperatur substrat (<2000C) dikarenakan temperatur mengurangi mobilitas permukaan dan pemindahan partikel nano pada permukaan substrat, sedangkan kualitas tekstur meningkat secara normal seiring dengan bertambahnya temperatur substrat. Penguapan kembali (re-evaporation) atom-atom permukaan pada film yang ditumbuhkan pada temperatur substrat yang sangat tinggi ( > 6000 C) berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menyebabkan pembentukan stoikiometri film tipis. Proses nukleasi bergantung pada energi antarmuka antara permukaan substrat dan spesies padat (condensing spesies) dimana energi antarmuka tersebut ditentukan oleh temperatur substrat. Pergerakan atau mobilitas dari spesies nano menggambarkan kristal film tipis. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, bahwa transmitansi optik (T) dalam sinar tampak (400 700 nm) bertambah sedikit dengan bertambahnya temperatur substrat dari temperatur ruangan menuju suhu 3000 C, dan ini berhubungan dengan bertambahnya ukuran bulir film dengan bertambahnya temperatur substrat, seperti dalam gambar 2.5.

26

Gambar 2.5. Transmisi ZnO yang ditumbuhkan pada substrat kaca pada temperatur yang berbeda.

2.13.2. Proses preheating dan post-heating Proses pemanasan (heating) dilakukan dengan menggunakan tanur (furnace) mulai dari suhu ruang hingga ke suhu yang diinginkan. Temperatur dinaikkan secara perlahan-lahan hingga temperatur maksimum yang diinginkan yaitu selama beberapa jam. Sample didiamkan selama beberapa menit pada suhu yang divariasikan secara berurutan, kemudian diturunkan secara perlahan hingga suhu ruang. Tahap ini dikatakan juga sebagai tahap preheating yang berfungsi untuk mengevaporasi larutan ,membersihkan film dari residu organik. dan memfasilitasi perubahan ZnOH menjadi ZnO seiring dengan pemanasan (hidrolisis). Agar bisa menghasilkan film ZnO yang transparan maka temperatur preheating yang biasa dilakukan pada substrat kaca adalah 2000 C- 3000 C. Tahap selanjutnya postheating dimana sampel dipanaskan pada suhu > 5000C selama beberapa menit lalu temperatur diturunkan secara alami hingga kembali ke suhu ruang. Postheating ini berfungsi untuk pembentukan kristal dari partikel ZnO. Diharapkan kristal yang terbentuk memiliki orientasi yang seragam, dan memiliki ukuran bulir kecil serta meminimalisir pori-pori yang terbentuk.

27

Sesuai dengan data yang diperoleh, Jianguo, Lv.,2011 melaporkan bahwa semakin besar temperatur pemanasan awal dengan temperatur pemanasan akhir konstan maka ukuran partikel ZnO yang diperoleh semakin kecil.

Tabel 2.6. Pengaruh pemanasan terhadap tekanan residu dan ukuran rata-rata kristal sampel film tipis ZnO Sampel Temperatur Preheating (0C) A1 A2 A3 B1 B2 B3 150 200 250 150 200 250 Temperatur postheating (0C) 400 400 400 600 600 600 16.9 16.7 4.6 28.4 21.8 21.4 Ukuran Kristal (nm)

2.14. Sel Surya Sel surya adalah suatu perangkat yang mengkonversi energi radiasi matahari menjadi energi listrik. Sel surya pada dasarnya terdiri dari hubungan pn atau ikatan antara sisi positif dan negatif di dalam sebuah sistem semikonduktor. Sel surya atau photovoltaic (PV) adalah suatu sistem atau cara langsung untuk mentransfer radiasi matahari atau energi cahaya menjadi energi listrik. Efek fotovoltaik pertama kali ditemukan oleh Henri Becquerel pada tahun 1839. Efek fotovoltaik adalah fenomena dimana suatu sel fotovoltaik dapat menyerap energi cahaya dan merubahnya menjadi energi listrik karena munculnya voltase listrik akibat kontak dua elektroda yang dihubungkan dengan sistem padatan atau cairan saat diletakkan di bawah energi cahaya.

2.14.1. Konversi Energi Pada Sel Surya Pada dasarnya mekanisme konversi energi cahaya terjadi akibat adanya perpindahan elektron bebas dalam suatu atom. Sel surya pada umumnya menggunakan material semikonduktor sebagai penghasil elektron bebas. Ketika

28

foton dari suatu sumber cahaya menumbuk suatu elektron valensi dari atom semikonduktor mengakibatkan suatu energi yang cukup besar untuk memisahkan elektron tersebut terlepas dari struktur atomnya. Elektron yang terlepas tersebut menjadi bebas bergerak di dalam bidang kristal dan elektron tersebut menjadi bermuatan negatif dan berada pada daerah pita konduksi dari material semikonduktor. Akibat hilangnya elektron mengakibatkan terbentuknya suatu kekosongan pada struktur kristal yang disebut hole dan bermuatan positif. Daerah semikonduktor dengan elektron bebas dan bersifat negatif bertindak sebagai donor elektron yang disebut daerah tipe negatif atau tipe n. Sedangkan daerah semikonduktor dengan lobang bersifat positif dan bertindak sebagai penerima elektron. Daerah ini disebut tipe positif atau tipe p. Ikatan dari kedua sisi posisi dan negatif tersebut menghasilkan energi listrik internal yang akan mendorong elektron bebas dan lobang untuk bergerak ke arah yang berlawanan. Elektron akan bergerak menjauhi sisi negatif, sedangkan lobang bergerak menjauhi sisi positif. Ketika hubungan ini dihubungkan dengan sebuah beban seperti lampu akan menghasilkan sebuah arus listrik.

Gambar 2.6. Susunan sambungan pn standar sel surya tahun 1960-an

Berbeda dengan sel surya konvensional, DSSC adalah sel surya fotoelektrokimia sehingga menggunakan elektrolit sebagai medium pengirim muatan. Selain elektrolit, DSSC terbagi menjadi beberapa bagian yang terdiri dari nanopartikel TiO2 maupun ZnO, molekul dye yang teradsorpsi di permukaan

29

ZnO, larutan elektrolit dan katalis yang semuanya dideposisi diantara dua kaca konduktif, seperti terlihat pada Gambar 2.6. Pada bagian atas dan alas sel surya merupakan kaca yang sudah dilapisi oleh TCO (Transparent Conducting Oxide), yang berfungsi sebagai elektroda dan counter-elektroda. Pada TCO counterelektroda dilapisi katalis untuk mempercepat reaksi redoks dengan elektrolit.

Gambar 2.7. Struktur dan komponen sel surya DSCC

2.15. Sifat Optik Sifat optis ZnO dipengaruhi oleh pita energi dan dinamika kisi. Sifat optik film tipis ZnO terletak diantara 1,9 eV sampai 2,8 eV dan dikenal sebagai green band. Sifat optis yang ingin diketahui dan dipelajari adalah absorbansi (A), transmitansi
(T), dan energi gap film tipis ZnO. Sifat transparan yang dihasilkan berkaitan dengan

kualitas film yang terbentuk dan dapat dipengaruhi oleh struktur kristal, ukuran bulir, dan pemilihan substrat Selain itu peningkatan transmitansi pada suhu yang lebih tinggi kemungkinan diakibatkan oleh hamburan optik yang disebabkan oleh pemadatan dan penumbuhan bulir partikel yang diiringi dengan berkurangnya kerapatan perbatasan bulir antar partikel yang terbentuk. Sehingga dapat diketahui untuk menghasilkan kualitas lapisan yang baik, dibutuhkan pemanasan pada temperatur yang cukup tinggi.

30

Koefisien absorbsi ZnO diperoleh dengan mengkaji karakteristik spektrum transmisi film tipis ZnO, dengan mengukur transmisi sebagai fungsi gelombang yang persamaannya sebagai berikut (Ilican, dkk, 2008). ( )2 = ( ) dimana: h A Eopt n = koefisien absorbsi = konstanta Planck = frekuensi foton insiden = konstanta = celah energi dari sampel = 0.5 untuk transisi langsung,

Material ZnO merupakan transisi langsung. Sehingga persamaan di atas dapat dituliskan kembali : ( )2 = ( )1/2 dan koefisien absorbsi () pada daerah UV dari film tipis ZnO dihitung dengan menggunakan persamaan:
ln

=
dimana; x = absorbansi d = ketebalan film ZnO:

1
1 1 2 .( )

= koefisien absorbsi optik. = indeks bias film (Hussein, 2011) dimana ; = 1 + ( )0.5 1 ( )0.5

Sehingga dapat diketahui nantinya nilai energi gap optik (Eg opt) dari sampel yang diukur. 2.15.1. Mekanisme emisi Efek fotolistrik adalah pengeluaran elektron dari suatu permukaan (biasanya logam) ketika dikenai, dan menyerap, radiasi elektromagnetik (seperti cahaya tampak dan radiasi ultraungu) yang berada di atas frekuensi ambang tergantung pada jenis permukaan.

31

Foton dari sinar memiliki energi karakteristik yang ditentukan oleh frekuensi cahaya. Dalam proses fotoemisi, jika elektron dalam beberapa bahan menyerap energi dari satu foton dan dengan demikian memiliki lebih banyak energi daripada fungsi kerja (energi ikat elektron) dari materi, itu dikeluarkan. Jika energi foton terlalu rendah, elektron tidak bisa keluar dari materi. Peningkatan intensitas sinar meningkatkan jumlah foton dalam berkas cahaya, dan dengan demikian meningkatkan jumlah elektron, tetapi tidak meningkatkan energi setiap elektron yang dimiliki. Energi dari elektron yang dipancarkan tidak tergantung pada intensitas cahaya yang masuk, tetapi hanya pada energi atau frekuensi foton individual. Ini adalah interaksi antara foton dan elektron terluar. Planck mendapatkan bahwa kuanta yang berpautan dengan frekuensi tertentu dari cahaya semuanya harus berenergi sama dimana energi ini E berbanding lurus dengan . Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: = =

dimana h adalah konstanta planck yang bernilai 6,626 1034 . . Spektrum absorbansi yang diperoleh dari sampel film tipis ZnO berdasarkan penelitian Hussein, F., 2011 ditunjukkan pada gambar 2.5 berikut:

Gambar 2.8. Spektrum absorbansi film tipis ZnO ( Hussein, 2011)

32

Spektrum transmitansi UV-Vis

yang diperoleh dari sampel film tipis ZnO

berdasarkan penelitian Young-Sung Kim dan Weon-Pil Tai, 2005 ditunjukkan

pada gambar 2.9 .

Gambar 2.9. Transmitansi optik film tipis ZnO yang dipreparasi dengan metode sol gel dipcoating dengan pemanasan awal (preheating treatment) pada temperatur yang berbeda dengan pemanasan akhir 6500 C. (Young-Sung Kim dan Weon-Pil Tai, 2005).

2.16. Spektrofotometer UV Vis Ultraviolet (UV) cahaya adalah radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang lebih pendek daripada cahaya tampak, tetapi lebih lama dari x-ray, dalam kisaran 10 nm sampai 400 nm, dan energi dari 3 eV ke 124 eV. Dinamakan demikian karena spektrum terdiri dari gelombang elektromagnetik dengan frekuensi yang lebih tinggi daripada manusia mengidentifikasi sebagai warna ungu. Sebagai radiasi pengion dapat menyebabkan reaksi kimia, dan menyebabkan banyak zat bersinar atau fluoresen .dan merusak, terhadap kesehatan manusia. Spektrum optik (cahaya atau spektrum terlihat atau spektrum tampak) adalah bagian dari spektrum elektromagnetik yang tampak oleh mata manusia. Radiasi elektromagnetik dalam rentang panjang gelombang ini disebut sebagai cahaya tampak. Tidak ada batasan yang tepat dari spektrum optic, mata

33

normal manusia akan dapat menerima panjang gelombang dari 400 sampai 700 nm, meskipun beberapa orang dapat menerima panjang gelombang dari 380 sampai 780 nm (atau dalam frekuensi 790-400 terahertz). Mata yang telah beradaptasi dengan cahaya biasanya memiliki sensitivitas maksimum di sekitar 555 nm, di wilayah hijau dari spektrum optik. Radiasi elektromagnetik di luar jangkauan panjang gelombang optik, atau jendela transmisi lainnya, hampir seluruhnya diserap oleh atmosfer. Dikatakan jendela optik karena manusia tidak bisa menjangkau wilayah di luar spektrum optik. Inframerah terletak sedikit di luar jendela optik, namun tidak dapat dilihat oleh mata manusia. Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitansi atau absorban suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Spektrofotometri ini merupakan gabungan antara spektrofotometri UV dan Visible. menggunakan dua buah sumber cahaya berbeda, sumber cahaya UV dan sumber cahaya visible. Spektroskopi ultraviolet-visible atau spektrofotometri ultraviolet-visible (UV-Vis atau UV / Vis) melibatkan spektroskopi dari foton dalam daerah UV-terlihat. Ini berarti menggunakan cahaya dalam terlihat dan berdekatan (dekat ultraviolet (UV) dan dekat dengan inframerah (NIR) kisaran. Penyerapan dalam rentang yang terlihat secara langsung mempengaruhi warna bahan kimia yang terlibat. Di wilayah ini dari spektrum elektromagnetik, molekul mengalami transisi elektronik. Teknik ini melengkapi fluoresensi spektroskopi, di fluoresensi berkaitan dengan transisi dari ground state ke eksited state. Spektrofotometer UV-Vis mempunyai rentang pengukuran pada panjang gelombang 190-1100 nm. Gugusan atom yang mengabsorpsi radiasi UV-Vis adalah gugus kromofor. Ketika suatu molekul sederhana dikenakan radiasi elektromagnetik, molekul tersebut akan mengabsorbsi radiasi elektromagnetik yang energinya sesuai. Pada molekul terjadi transisi elektronik dan absorbsi tersebut menghasilkan garis spektrum. Radiasi UV-Vis atau sinar tampak hanya dapat diserap oleh larutan berwarna yaitu adanya gugus Kromosfer atau gugus warna dari solut dalam larutan.

Absorbansi maksimum larutan warna tersebut terjadi pada daerah yang berlawanan atau bisa dikatakan warna yang diserap adalah warna komplementer

34

dari warna yang diamati. Pembagian warna dan panjang gelombang daerah UV = 200 nm 350 nm, daerah visible 350- 700 nm. Spektrum UV maupun tampak terdiri dari pita absorbsi, lebar pada daerah panjang gelombang yang lebar. Ini disebabkan terbaginya keadaan dasar dan keadaan eksitasi sebuah molekul dalam subtingkat-subtingkat rotasi dan vibrasi. Transisi elektronik dapat terjadi dari subtingkat apa saja dari keadaan dasar ke subtingkat apa saja dari keadaan eksitasi. Dasar pemikiran metode penggunaan UV-Vis sederhana. Jika material disinari dengan gelombang elektromagnetik maka foton akan diserap oleh elektron dalam material. Setelah menyerap foton, elektron akan berusaha meloncat ke tingkat energi yang lebih tinggi. Jika elektron yang menyerap foton mula-mula berada pada puncak pita valensi maka tingkat energi terdekat yang dapat diloncati electron adalah dasar pita konduksi. Jarak kedua tingkat energi tersebut sama dengan lebar celah pita energi. Jika energi foton yang diberikan kurang dari lebar celah pita energi maka elektron tidak sanggup meloncat ke pita valensi. Elektron tetap berada pada pita valensi. Dalam keadaan ini dikatakan elektron tidak menyerap foton. Radiasi yang diberikan pada material diteruskan melewati material (transmisi). Elektron baru akan meloncat ke pita konduksi hanya jika energi foton yang diberikan lebih besar daripada lebar celah pita energi. Elektron menyerap energi foton tersebut. Dalam hal ini dikatakan terjadi absorpsi gelombang oleh material. Ketika kita mengubahubah frekuensi gelombang elektromagnetik yang dijatuhkan ke material maka energi gelombang dimana mulai terjadi penyerapan oleh material bersesuaian dengan lebar celah pita energi material. Lebar celah pita energi semikonduktor umumnya lebih dari 1 eV. Energi sebesar ini bersesuaian dengan panjang gelombang dari cahaya tampak ke ultraviolet. (Mikrajuddin, 2008). Di samping pita-pita spectrum visibel disebabkan terjadinya tumpang tindih energi elektronik dengan energi lainnya (translasi, rotasi, vibrasi) juga disebabkan ada faktor lain sebagai faktor lingkungan kimia yang diberikan oleh pelarut yang dipakai. Pelarut akan sangat berpengaruh mengurangi kebebasan transisi

35

elektronik pada molekul yang dikenakan radiasi elektromagnetik. Oleh karena itu, spektrum zat dalam keadaan uap akan memberikan pita spectrum yang sempit. Molekul-molekul yang memerlukan lebih banyak energi untuk promosi elektron akan menyerap cahaya pada panjang gelombang yang lebih pendek. Molekul yang menyerap energi lebih sedikit akan menyerap cahaya pada panjang gelombang yang lebih panjang. Senyawa yang menyerap caha dalam daerah tampak memiliki elektron yang lebih mudah dipromosikan daripada senyawa yang menyerap cahaya pada panjang gelombang UV yang lebih pendek. Spektrofotometer UV-Vis terdiri dari lima komponen pokok, yaitu : a. Sumber radiasi : lampu hidrogen, deuterium atau wolfram. Sebagai sumber cahaya pada spektrofotometer, haruslah memiliki pancaran radiasi yang stabil dan intensitasnya tinggi. Sumber energi cahaya yang biasa untuk daerah tampak, ultraviolet dekat, dan inframerah dekat adalah sebuah lampu pijar dengan kawat rambut terbuat dari wolfram (tungsten). b. Tempat sampel/kuvet : kuarsa, kaca atau plastik dengan panjang lintasan, b = 1 cm. kuvet spektrofotometer adalah suatu alat yang digunakan sebagai tempat contoh atau cuplikan yang akan dianalisis. Cuvet harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut : 1) Tidak berwarna sehingga dapat mentransmisikan semua cahaya. 2) Permukaannya secara optis harus benar- benar sejajar, harus tahan (tidak bereaksi) terhadap bahan- bahan kimia. 3) Tidak boleh rapuh. 4) Mempunyai bentuk (desain) yang sederhana. c. Monokromator Monokromator adalah alat yang berfungsi untuk menguraikan cahaya polikromatis menjadi beberapa komponen panjang gelombang tertentu (monokromatis) yang bebeda (terdispersi). d. Detektor Peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang. Detektor akan mengubah cahaya menjadi sinyal

36

listrik yang selanjutnya akan ditampilkan oleh penampil data dalam bentuk jarum penunjuk atau angka digital. e. Rekorder (Sumio, 2010)

Pada proses pemantulan dan pembiasan, cahaya dapat terpolarisasi sebagian atau seluruhnya oleh refleksi. Perbandingan intensitas cahaya yang dipantulkan dengan cahaya yang datang datang disebut reflektansi (R), sedangkan perbandingan intensitas cahaya yang ditransmisikan dengan cahaya datang disebut transmitansi (T).

You might also like