Professional Documents
Culture Documents
2012
Gambar Sampul
Pilot Project Sumur GMB Lapangan Rambutan, Sumatera Selatan
ISBN : 978-979-8218-26-2
PENGANTAR
Saat ini pemerintah Indonesia terus berupaya untuk memenuhi kebutuhan akan energi gas nasional yang terus meningkat secara signifikan. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh tingginya permintaan di sektor industri, serta tuntutan untuk menggunakan energi ramah lingkungan manjadikan gas sebagai sumber energi yang paling kompetitif. Kenyataan ini mendorong pemerintah secara intensif mencari dan mengembangkan sumber gas alternatif. Salah satu potensi sumber gas alternatif adalah Gas Metana Batu bara (GMB) atau yang lebih populer dikenal sebagai Coalbed Methane (CBM). GMB tersebut memainkan peranan penting dalam bauran energi (Energy Mix) Nasional sebagai sumber energi andalan dan bahan bakar fosil yang bersih. Ke depan, GMB sebagai sumber energi baru diharapkan dapat menjadi solusi alternatif terhadap kemungkinan kekurangan pasokan energi listrik, karena keberadaannya yang cukup menjanjikan khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Sejalan dengan pengembangan pengusahaan dan pemanfaatan GMB baik dalam penelitian maupun lapangan, tentu tidak akan terlepas dengan kebutuhan informasi GMB sebagai rujukan. Pengalaman dan pengetahuan LEMIGAS dalam melaksanakan Pilot Project GMB di lapangan Rambutan yang disusun menjadi buku "Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat" diharapkan dapat menjadi sumber informasi. Dengan tersusunnya buku ini, saya menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih atas jerih payah yang telah dilakukan oleh Bidang Aliasi dan Informasi serta pihak terkait, semoga karya ini dapat memberikan pemahaman mengenai potensi dan pemanfaatan GMB di Indonesia. Jakarta, Desember 2012 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi LEMIGAS
PRAKATA
CBM (Coal Bed Methane) atau Gas Metana Batubara merupakan famili gas alam dengan dominasi gas metana yang dihasilkan selama proses pembatubaraan dan juga terperangkap dalam batubara. Gas metana memiliki kadar kalori yang paling rendah dibandingkan gas alam lainnya dan karena memiliki rantai atom tunggal sehingga menghasilkan gas buang atau asap yang lebih sedikit. Dengan demikian lebih ramah lingkungan dibandingkan gas lainnya. Penelitian potensi GMB di Indonesia diawali dari studi kelayakan dan potensi di cekungan Sumatera Selatan yang kemudian menjadi proyek percontohan GMB di Lapangan Rambutan, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Dengan jumlah cadangan sebesar 183 Tcf di Cekungan Sumatera Selatan maka layak untuk dikaji sebagai proyek percontohan dan unggulan serta diharapkan dapat menjadi inisiator bisnis pengusahaan GMB di Indonesia. Penelitian kemudian difokuskan pada penyelesaian sumur dan pelaksanaan dewatering. Kegiatan ini merupakan pionir pengusahaan pengembangan GMB di Indonesia. Proyek tersebut terus dilanjutkan dengan melakukan pemboran 5 sumur uji CBM. Dengan potensi GMB yang ada, maka produksi GMB dapat dimanfaatkan menjadi energi listrik. Pada tahun 2010, Pemerintah mengeluarkan satu kebijakan yang kemudian direspon oleh Dirjen Migas dengan GMB to Power. Kebijakan ini sejalan dengan tujuan awal, yaitu pengembangan GMB di Indonesia untuk meningkatkan rasio elektrikasi nasional. Pada tahun 2011, Puslitbangtek Minyak dan Gas Bumi LEMIGAS telah menguji pemanfaatan gas untuk pembangkit listrik di sumur GMB 3 dan 4 dengan memasang generator berkapasitas 12 KVA dan listrik yang dihasilkan sementara ini dipergunakan untuk penerangan lokasi. Hal ini membuktikan juga bahwa GMB sudah siap untuk dimanfaatkan menjadi energi listrik. Keberhasilan pembuktian gas dari proyek percontohan GMB telah mendorong bergeraknya industri untuk mengembangkan sumber daya GMB.
ii
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI LEMIGAS
Heribertus Joko Kristadi Gas metana batu bara : energi baru untuk rakyat/penulis, Heribertus Joko Kristadi, Destri Wahyu Dati; penyunting Daru Siswanto. -- Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi LEMIGAS, 2012.
129 hlm. ; 24 cm.
II. Judul.
Hak Cipta @ 2012 Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi LEMIGAS
iii
Ir. Eko Susanto Ir. Panca Wahyudi S. Ika Kaiah, ST., MT. Wiwien Winarsih, SH., M.Hum. Ika Dianingtyas, SH.
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................... PRAKATA ................................................................................... ISBN ............ ............................................................................... PENGARAH ................................................................................ DAFTAR ISI .................................................................................. BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................. BAB 2. GAS METANA BATUBARA SEBAGAI ENERGI BARU ............................................................................... 2.1. Mengenal Gas Metana Batu bara ............................. 2.2. Reservoir Gas Metana Batu bara.............................. 2.3. Rekahan Batubara .................................................... 2.4. Produksi Gas Metana Batu bara ............................... 2.5. Kandungan Gas dalam Batu bara ............................ BAB 3. PENGEMBANGAN GAS METANA BATU BARA .......... 3.1. Eksplorasi Gas Metana Batu bara ............................ 3.2. Perhitungan Cadangan Gas Metana Batu bara ........ BAB 4. PENGEMBANGAN GAS METANA BATU BARA DI BEBERAPA NEGARA................................................. 4.1. Kanada . .................................................................... 4.2. Amerika Serikat. ........................................................ 4.3. Cina .......................................................................... 4.4. India .......................................................................... BAB 5. PENGEMBANGAN GAS METANA BATU BARA DI INDONESIA ................................................................ 5.1. Kajian Potensi GMB Cekungan Sumatera . .............. 5.2. Pilot Project Sumur GMB Lapangan Rambutan ....... 5.3. Pelaksanaan Proses Uji Produksi . ........................... 25 25 26 27 28 31 32 40 43 5 5 7 9 11 15 19 19 21 i ii iii iv v 1
5.4. Pemanfaatan GMB untuk Listrik ............................... 5.5. Hasil Pengamatan Air Terproduksi ............................ BAB 6. KAJIAN KEEKONOMIAN PENGELOLAAN GAS METANA BATU BARA............................................ 6.1. Model Fiskal ............................................................. 6.2. Pemanfaatan GMB.................................................... 6.3. Perbandingan Harga GMB ........................................ BAB 7. REGULASI PENGUSAHAAN GMB ................................ 7.1. Peraturan Perundangan Terkait . .............................. 7.2. Pengusahaan GMB .................................................. 7.3. Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja GMB................................................................. BAB 8. PEMANFAATAN GMB UNTUK PEMBANGKIT
51 54
61 61 68 77 85 85 88 89
LISTRIK RUMAH TANGGA ............................................. 91 8.1. Biaya Investasi Peralatan Pembangkitan Listrik Berbasis GMB................................................. 8.2. Keekonomian Pembangkit Listrik berbasis GMB ...... 8.3. Perbandingan dan Evaluasi Harga Listrik berbasis GMB ........................................................... 98 93 95
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 101 DAFTAR FOTO ............................................................................. 103 DAFTAR LAMPIRAN .................................................................... 109
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Tahapan Proses Pembentukan Batu bara .............. Gambar 2.2 Reservoir Gas Metana Batu bara ............................ Gambar 2.3 Batuan Reservoir .................................................... Gambar 2.4 Jenis dan Orientasi Cleat pada Batu bara .............. Gambar 2.5 Skema Proses Keluarnya Gas Metana dari Batubara ........................................................... Gambar 2.6 Tiga Phase Kurva Produksi Air dan Gas ................. Gambar 2.7 Diagram Sumur CBM .............................................. Gambar 2.8 Volume Gas pada Batu bara Sebagai Fungsi dari Rank Batu bara .................................... Gambar 2.9 Mekanisme Aliran Gas pada Reservoir GMB ........................................................................ Gambar 3.1 Kerapatan Titik Sumur pada Setiap Tahapan Pengembangan GMB .............................. Gambar 3.2 Bagan Pengukuran Kandungan Gas Metana ................................................................... Gambar 5.1 Potensi Cadangan GMB di Indonesia ..................... Gambar 5.2 Peta Geologi Sumatera Selatan ............................. Gambar 5.3 Peta Fisiogra Cekungan Sumatera Selatan .................................................................... Gambar 5.4 Peta Struktur Regional Sumatera Selatan (Hutchinson, 1996; Williams and others, 1995; Moulds, 1989; an Bemmelen, 1949) .............. Gambar 5.5 Stratigra Cekungan Sumatera Selatan (Shell Team 1978) ................................................... Gambar 5.6 Stratigra Daerah Muaraenim dan Sekitarnya (Sojitz , 2007) ........................................ Gambar 5.7 Model Multy Layer Seam Sumur GMB ....................
5 8 9 10 12 13 14 16 17 21 22 31 33 33
35 38 39 41
vii
Gambar 5.8 Peta Lokasi Sumur GMB dengan Pola Five Spot ................................................................. Gambar 5.9 Pemboran Sumur GMB Lapangan Rambutan ................................................................ Gambar 5.10 Skema Proses Uji Produksi GMB ........................... Gambar 5.11 Fasilitas Produksi Sumur CBM-1 ............................ Gambar 5.12 Fasilitas Sumur CBM 2 ........................................... Gambar 5.13 Fasilias Sumur CBM 3 ............................................ Gambar 5.14 Fasilitas Sumur CBM-4 .......................................... Gambar 5.15 Fasilitas Sumur CBM-5 ........................................... Gambar 5.16 Generator Gas di Sumur CBM-3 dan 4 ................... Gambar 5.17 Separator Sederhana di Sumur GMB ..................... Gambar 6.1 Prol Biaya Investasi ............................................... Gambar 6.2 Prol Biaya O&M ..................................................... Gambar 6.3 Prol Produksi GMB ................................................ Gambar 6.4 Prol NPV terhadap Tingkat Diskonto ..................... Gambar 6.5 Sensitivitas IRR ....................................................... Gambar 6.6 Sensitivitas NPV ...................................................... Gambar 6.7 Biaya Transportasi Gas Bumi dengan Menggunakan Pipa dan Tanker LNG ...................... Gambar 6.8 Diargram Sensitivitas untuk Proses LNG ................ Gambar 6.9 Diagram Sensitivitas untuk Transportasi LNG ......................................................................... Gambar 6.10 Diargram Sensitivitas untuk Proses CNG ............... Gambar 6.11 Diagram Sensitivitas untuk Transportasi CNG ........................................................................ Gambar 6.12 Diagram Sensitivitas untuk Proses Gas Pipa ........................................................................ Gambar 8.1 Perkembangan Konsumsi Listrik Sumatera Selatan .................................................. 92 82 81 79 81 75 79 43 44 45 46 48 49 50 53 54 63 64 64 66 66 67 42
viii
Gambar 8.2 Alur Proses Pembangkitan Listrik dari Gas GMB ............................................................... Gambar 8.3 Persentase biaya ISBL ........................................... Gambar 8.4 Analisis Sensitivitas terhadap Nilai IRR ................. Gambar 8.5 Analisis Sensitivitas terhadap Nilai NPV ................ Gambar 8.6 Perbandingan Harga Jual Listrik GMB dengan Pasar dan Teknologi Lainnya .................... 99 93 94 97 98
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 5.3 Tabel 5.4 Tabel 5.5 Tabel 5.6 Tabel 5.7 Tabel 5.8 Tabel 5.9 Komposisi Gas dari Seam 2 ....................................... Komposisi Gas dari Seam 3 ....................................... Komposisi Gas dari Seam 5 ....................................... Analisis Kimia Air Sumur CBM 1 ................................. Monitoring Produksi Sumur CBM 3............................. Analisis Kimia Air Sumur CBM 3 ................................. Monitoring Produksi Sumur CBM 4............................. Analisis Kimia Air Sumur CBM 4 ................................. Monitoring Produksi Sumur CBM 5............................. 51 52 52 55 56 57 58 58 59 59 60 65 71 73 74 74 76 77
Tabel 5.10 Analisis Kimia Air Sumur CBM 5 ................................. Tabel 5.11 Hasil Pengujian Logam Berat Sumur GMB Lapangan Rambutan .................................................. Tabel 6.1 Tabel 6.2 Tabel 6.3 Tabel 6.4 Tabel 6.5 Tabel 6.6 Tabel 6.7 Tabel 6.8 Hasil Simulasi pada Beberapa Model Fiskal............... Indikator Keekonomian Proses dan Transportasi LNG ........................................................ Asumsi Perhitungan CNG Plant.................................. Indikator Keekonomian Proses CNG Plant ................. Indikator Keekonomian Transportasi CNG ................. Asumsi Perhitungan untuk Jaringan Perpipaan.................................................................... Indikator Keekonomian Proses Gas Pipa ................... Harga Jual Gas Tingkat Konsumen Akhir untuk Masing-masing Opsi Moda Transportasi Gas......................................................... Tabel 8.1 Tabel 8.2 Tabel 8.3 Estimasi Biaya ISBL untuk Pembangkit Microturbine ................................................................ Estimasi Biaya OSBL untuk Pembangkit Microturbine ................................................................ Input Asumsi dan Hasil Simulasi Model Keekonomian .............................................................
x
78 94 95 96
BAB 1 PENDAHULUAN
Pengelolaan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia khususnya sumber energi harus dilakukan secara tepat dan esien untuk kelangsungan persediaan energi nasional dalam jangka panjang. Minyak, gas bumi dan batu bara merupakan energi fosil yang tidak terbarukan, oleh sebab itu pemanfaatannya harus dilakukan secara hemat, sedangkan untuk potensi energi terbarukan dan energi alternatif perlu dikembangkan dan dioptimalkan pemanfaatannya. Sumber energi alternatif yang sudah dikembangkan antara lain panas bumi (geothermal) untuk pembangkit tenaga listrik dan biofuel yang berasal dari minyak nabati untuk bahan bakar kendaraan bermotor. Hingga saat ini, pemakaian energi minyak dan gas bumi masih menjadi andalan untuk menggerakkan roda ekonomi baik pada skala industri maupun rumah tangga. Namun demikian tingkat produksi minyak dan gas bumi di Indonesia secara bertahap sudah mengalami penurunan, sedangkan eksplorasi yang dilakukan untuk mendapatkan sumber lapangan baru belum memperoleh hasil yang memuaskan. Sementara itu, cadangan batu bara sebagai salah satu sumber energi fosil yang lain masih cukup melimpah, akan tetapi pemakaiannya masih terbatas di kalangan industri. Di masa mendatang, kiranya tidak diragukan lagi bahwa peran batu bara sebagai sumberdaya energi akan terus meningkat sebagai konsekuensi makin meningkatnya pemakaian energi baik untuk keperluan industri maupun rumah tangga. Penambangan batu bara oleh perusahaan-perusahaan tambang batu bara selama ini hanya dilakukan pada lapisan batu bara dipermukaan (Open Pit Mining), sedangkan lapisan batu bara dalam (sub-surface coal seams) masih belum termanfaatkan. Hal tersebut disebabkan karena biaya penambangan batu bara dalam sangat mahal dan beresiko tinggi. Oleh karena itu, perlu dikembangkan metode lain, yaitu dengan mengekstrak gas metana yang terkandung di dalamnya yang disebut Coalbed Methane (CBM) atau Gas Metana Batu bara (GMB) menjadi sumber energi alternatif dan sebagai bahan baku industri.
Hasil studi kelayakan yang dilakukan oleh Advanced Resources International, Inc, suatu perusahaan jasa konsultan dari Amerika Serikat, menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi GMB cukup besar dengan perkiraan cadangan 450 Tcf yang tersebar di dalam sebelas cekungan batu bara yang sudah diketahui. Berdasarkan hasil studi tersebut, tidak semua lapisan batu bara memiliki potensi GMB yang baik untuk diproduksikan, akan tetapi dari tiga stimulasi hidrolika di sumur-sumur CBM diperkirakan ketebalan rata-rata lapisan batu bara yang memiliki potensi GMB mencapai 40 meter. Hal itu merupakan lapisan yang paling tebal dan paling luas di dunia sebagai sasaran untuk pengembangan GMB. Hasil studi tersebut masih perlu pembuktian dengan melakukan eksplorasi yang lebih intensif di daerah-daerah di seluruh Indonesia yang memiliki cekungan batu bara. Penelitian dan pengembangan untuk pemanfaatan GMB dimaksudkan untuk meningkatkan cadangan energi nasional, disamping sumber energi lain. Dalam jangka pendek penelitian potensi GMB di Indonesia bertujuan untuk inventarisasi potensi cadangan dan peningkatkan kemampuan sumber daya manusia, sehingga diharapkan menguasai teknologi eksplorasi maupun produksinya. Sedangkan dalam jangka panjang setelah produksi secara komersial, dapat menarik para investor untuk penambangan GMB sehingga menjamin ketersediaan energi nasional. Sebagai contoh, pengembangan GMB di Amerika Serikat yang telah dilakukan sejak 25 tahun yang lalu, produksinya sekarang sudah mencapai kurang lebih 10% dari total produksi gas negara tersebut yang berasal lebih dari 12.000 sumur. Berbeda dengan sumur-sumur migas konvensional yang memproduksi minyak atau gas bumi dari lapisan batuan pasir atau karbonat yang permeabilitasnya cukup besar. Gas metana yang diproduksikan dari lapisan batu bara kemungkinan besar akan menghadapi banyak kendala karena disamping permeabilitas batuannya yang kecil juga tekanan gasnya rendah. Berdasarkan hasil penelitian Advanced Resources International, Inc., permeabilitas batuan batu bara pada cekungancekungan di Indonesia sangat rendah, yaitu antara 1 hingga 10 mili Darcy, berbeda jauh dengan cekungan Powder River di Amerika Serikat yang mencapai 100 hingga 1.000 mili Darcy. Kendala yang bersifat alamiah tersebut tidak boleh menjadi hambatan dalam pengembangan
2 Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat
GMB di Indonesia, tetapi harus dijadikan sebagai tantangan yang harus diatasi. Memang tidak mudah dan memerlukan waktu panjang untuk dapat mengatasi berbagai kendala dalam pengembangan GMB, namun dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu yang saling berkaitan diharapkan semua dapat teratasi. Tidak hanya di Indonesia, di negara-negara lain yang sudah lebih dahulu mengembangkan GMB tentu pada awalnya mereka juga menghadapi banyak masalah sesuai dengan kondisi alam di masing-masing negara. Namun, dengan tetap bekerja mengerahkan semua kemampuan yang dimiliki, semua atau sebagian masalah sudah dapat diatasi. Oleh karena itu, kita harus berusaha menyerap teknologi eksplorasi dan eksploitasi GMB dari negara lain yang lebih maju dan menerapkannya sesuai dengan kondisi Indonesia. Proyek pengembangan GMB adalah salah satu dari beberapa proyek di lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dinilai strategis untuk dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah untuk mendorong peningkatan ekonomi makro. Kebijakan pemerintah yang menetapkan bahwa pada tahun 2011 di Indonesia sudah harus mengalir gas metana yang ditindaklanjuti dengan Pilot Project GMB di Lapangan Rambutan, Sumatera Selatan. Proyek ini selain diharapkan dapat membantu pusat keunggulan di kawasan regional, juga sebagai inisiator bisnis pengusahaan GMB di Indonesia. Terselenggaranya proyek pengembangan GMB dengan baik akan tercapai dengan salah satu sasaran strategi yakni meningkatkan litbang GMB yang berorientasi pasar dan penguasaan iptek GMB yang pada dasarnya akan dapat terciptanya kontribusi maksimal Badan Penelitian dan Pengembangan ESDM dalam mendukung kebijakan sektor energi.
2.1. Mengenal GMB Gas Metana Batu bara (GMB) atau Coalbed methane (CBM) adalah gas bumi (hidrokarbon) dengan gas metana merupakan komposisi utamanya yang terjadi secara alamiah dalam proses pembentukan batu bara (coalication) dalam kondisi terperangkap dan terserap pada lapisan batu bara. Proses terbentuknya GMB berasal dari material organik tumbuhan tinggi, melalui beberapa proses kimia dan sika (dalam bentuk panas dan tekanan secara menerus) yang berubah menjadi gambut dan akhirnya terbentuk batu bara. Selama berlangsungnya proses pemendaman dan pematangan, material organik akan mengeluarkan air, CO2, gas metana dan gas lainnya (Gambar 2.1). Selain melalui proses kimia, GMB dapat terbentuk dari aktivitas bakteri metanogenik dalam air yang terperangkap dalam batu bara khususnya lignit. Kandungan gas pada GMB sebagian besar berupa gas metana dengan sedikit gas hidrokarbon lainnya dan gas non-hidrokarbon.
Keberadaan gas metana pertama kali dikenal pada tambang batu bara bawah tanah yang mengeluarkan gas berbahaya. Sebelum tahun 1980-an, gas metana yang dihasilkan dari tambang batu bara dikenal sebagai salah satu bahaya yang paling ditakuti oleh para pekerja tambang bawah permukaan, karena jika terakumulasi dan terbakar dapat menimbulkan ledakan yang membahayakan keselamatan jiwa para pekerja tambang. Untuk menanggulangi bahaya tersebut dilakukan pengaliran gas metana dari dalam tambang ke udara bebas dengan sistem pipa ventilasi dan pemompaan udara. Dalam sejarah dunia tambang batu bara, penggunaan lubang pemboran vertikal untuk mengalirkan gas metana dilakukan pertama kali pada tahun 1943 di daerah tambang batu bara Manseld Colliery. Pengaliran gas metana ke udara bebas dapat meningkatkan pemanasan global akibat gas rumah kaca selain terbuangnya potensi energi gas secara percuma. Walaupun volume emisi gas metana 3 kali lebih kecil dari gas karbon dioksida (CO2), namun memiliki efek gas rumah kaca 21 kali lebih besar (Seinfeld and Pandis, 2006). Penambangan batu bara diperkirakan menyumbang 9% dari emisi gas metana yang ada di udara. Penelitian pemanfaatan dan produksi GMB pertama kali dilakukan oleh Amerika Serikat pada tahun 1970-an dengan lokasi pilot project di Cekungan Black Warrior Basin Alabama. Gas metana yang diambil dari lapisan batu bara ini dapat digunakan sebagai energi. Eksploitasi GMB tidak merubah kualitas matrik batu bara bahkan menguntungkan para penambang batu bara, karena lapisan betubara tersebut menjadi aman untuk ditambang.
Dalam beberapa dekade terakhir pemanfaatan GMB telah menjadi sumber energi yang penting di Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara lain. Pada tahun 1980-an Gas Research Institute memulai kegiatan eksplorasi GMB yang meliputi studi sumuran, analisis keteknikan reservoir, serta perekahan buatan reservoir (fracturing) dan aplikasi pekerjaan komplesi sumur (well completion) sebagai upaya peningkatan kualitas reservoir. Dari hasil studi tersebut menunjukkan bahwa GMB memiliki nilai keekonomian sebagai sumber energi baru yang ditunjukkan dengan meningkatnya produksi GMB. Saat ini energi yang bersumber dari GMB telah menyumbang lebih kurang 10% suplai energi negara Amerika Serikat. Pada saat ini GMB telah banyak dikembangkan (umumnya digunakan untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik) oleh beberapa negara seperti Amerika, Rusia, China dan Australia. Walaupun dari energi fosil yang tidak terbaharukan, tetapi gas metana terus terproduksi selama lapisan batu bara tersebut masih ada. GMB merupakan sumber energi yang relatif masih baru yang merupakan salah satu energi alternatif yang dapat diperbaharui penggunaannya. Selain itu, GMB ini termasuk salah satu sumber energi yang ramah lingkungan. Berbeda dengan gas bumi konvensional yang kita kenal saat ini, GMB berasosiasi dengan batu bara sebagai source rock dan reservoirnya, sedangkan gas bumi yang kita kenal saat ini berasosiasi dengan reservoir pasir, gamping maupun rekahan batuan beku. Hal lain yang membedakan keduanya adalah cara penambangannya, yaitu reservoir GMB harus direkayasa terlebih dahulu sebelum gasnya dapat diproduksikan, sedangkan gas bumi konvensional begitu dibor langsung dapat diproduksikan. 2.2. Reservoir Gas Metana Batu bara Gas Metana Batu bara (GMB) merupakan gas hidrokarbon nonkonvesional yang bersumber dari batu bara dan tersimpan dalam reservoir batu bara (Gambar 2.2). Reservoir GMB sangat berbeda dengan reservoir minyak pada umumnya. GMB atau coalbed gas adalah gas yang tersimpan karena adsorpsi dalam micropore batu
Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat 7
bara. Gas tersebut juga disebut dengan sweet gas karena tidak ada kandungan H2S. GMB tersimpan dalam batuan melalui proses yang disebut adsorption. Gas metana menempel pada micropore batu bara (matrix). Fracture atau rekahan pada batu bara (cleats) dapat juga berisi gas bebas atau gas yang tersaturasi oleh air. Sistem ini disebut dengan Dual Porosity Reservoirs.
Karakteristik reservoir GMB memiliki perbedaan yang mendasar dibandingkan dengan sistem gas konventional. Pada sistem GMB, batu bara berfungsi sebagai batuan sumber (source rock) sekaligus sebagai reservoir gas. Batu bara merupakan media berpori yang anisotropic dan heteregenous yang dicirikan oleh adanya dua sistem porositas yang berbeda (dual-porosity) yaitu macropores dan micropores. Macropores yang dikenal juga sebagai cleat yang umum dijumpai pada lapisan batu bara, sedangkan micropore atau matrik adalah sebagai ruang simpan utama gas. Karakteristik yang unik tersebut membuat GMB diklasikasikan sebagai tipe sumber gas nonkonvensional. Gambar 2.3 memperlihatkan perbedaan antara reservoir CBM dan reservoir konvensional gas.
8 Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat
Reservoir CBM
2.3. Rekahan Batu bara Sistem cleat adalah jejaring rekahan alami yang terbentuk pada batu bara yang disebabkan oleh sifat kerapuhan batu bara terhadap tekanan. Pembentukan rekahan pada batu bara dipengaruhi oleh beberapa faktor yang meliputi proses litikasi, dessication, pembatu baraan dan paleotectonic stress (Close, 1993; in Ayers Jr. 2002). Di dalam batu bara berkembang dua jenis rekahan yang berpasangan dalam posisi orthogonal (berpotongan), yaitu face cleat dan butt cleat (Gambar 2.4). Secara umum keduanya berarah tegak lurus (perpendicular) terhadap bidang lapisan. Kenampakan face cleat dicirikan oleh bidang panjang yang sejajar dan menerus secara lateral, arah bidang tersebut sejajar dengan gaya tekanan maksimum serta tegak lurus dengan sumbu lipatan. Sedangkan butt cleats terbentuk kemudian sebagai akibat pelepasan gaya sesudah terbentuknya face cleat, dengan kenampakan bidangnya berpotongan secara tegak lurus dan menghubungkan bidang face cleat. Kerapatan cleat berhubungan dengan tingkat kematangan batu bara (rank), ketebalan lapisan, komposisi maceral dan kadar abu. Secara umum kerapatan cleat meningkat sesuai dengan tingkat kematangan batu bara. Kerapatan cleat rata-rata dalam batu bara dapat digolongkan menjadi 3 bagian, yaitu subbituminous (2 to 15cm), high-volatile bituminous (0.3 to 2cm), dan medium - to low Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat 9
volatile bituminous (<1 cm) (Cardott, 2001). Namun kerapatan cleat juga meningkat pada batu bara dengan ketebalan yang tipis, batu bara yang kaya vitrinite dan batu bara dengan kandungan abu yang rendah. Dalam pengukuran cleat selain parameter kerapatan juga dihitung lebar bukaan (aperture) dan konektivitas masing-masing face cleat. Pengamatan dan pengukuran cleat dalam batu bara dilakukan dengan cara megaskopik (macro cleats) dan mikroskopik analisis (micro cleats and micropores). Cleat memiliki pengaruh yang besar pada permeabilitas berarah (directional permeability) dari batu bara yang sangat penting dalam eksploitasi GMB dalam rangka penentuan titik dan kerapatan sumur.
10
2.4. Produksi Gas Metana Batu bara Gas Metana Batu bara (GMB) diproduksi dengan cara terlebih dahulu merekayasa batu bara sebagai reservoir agar diperoleh cukup ruang sebagai jalan keluar gas metana. Proses rekayasa diawali dengan memproduksi air ( dewatering ) agar terjadi perubahan keseimbangan mekanika. Setelah tekanan turun, gas batu bara akan keluar dari matrik batu bara. Gas metana kemudian mengalir melalui rekahan batu bara dan akhirnya keluar menuju lubang sumur. Puncak produksi GMB bervariasi antara 2 minggu sampai dengan 7 tahun. Sedangkan periode penurunan produksi lebih lambat dari gas bumi konvensional. Produksi GMB mempunyai multiguna antara lain dapat dijual langsung sebagai gas bumi, dijadikan energi dan sebagai bahan baku industri. Produksi GMB sangat dipengaruhi oleh fracture system, fracture spacing dan fracture connection. Porositas dan permeabilitas dari fracture menyebabkan gas terproduksi ke lubang sumur. Pada awalnya sistem berada dalam kesetimbangan (equilibrium), pada cleat biasanya tersaturasi oleh 100% air kemudian gas tersimpan di dalam matrik yang airnya tidak dapat masuk ke dalamnya, kalaupun ada biasanya di dalam matrik berupa embun 1-5% (Nikola Marinic thesis, 2004). Jadi untuk dapat memproduksi gas, maka air harus diproduksikan dari dalam batu bara untuk menurunkan tekanan reservoir. Suatu lapisan batu bara ( seam ) dapat dimodelkan sebagai sebuah sistem fracture yang memiliki gas metana yang terserap di dalam matrik batu bara tersebut, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5. Untuk memproduksikan gas metana dilakukan dengan menurunkan tekanan pada fracture melalui proses dewatering yang menyebabkan terjadinya proses desorbtion gas metana dari permukaan fracture batu bara menuju ke dalam rongga fracture. Gas tersebut berasal dari matrik batu bara yang telah ter-diffuse menuju permukaan fracture. Selama memproduksikan gas dari dalam batu bara, ada 3 phase yang terjadi atau dilalui oleh gas metana.
11
Gambar 2.5 Skema Proses Keluarnya Gas Metana dari Batu bara
Perlu diketahui, kelakuan kurva produksi GMB sangatlah berbeda dengan kurva produksi reservoir konvensional. Pada tahap awal produksi gas sangat dipengaruhi oleh produksi air yang berada di fracture di dalam reservoir yang juga mengontrol aliran uida ke dalam sumur. Air di dalam reservoir harus diproduksikan terlebih dahulu untuk menurunkan tekanan reservoir agar terjadi perbedaan tekanan antara matrix dan fracture. Berikut adalah kurva produksi gas dan air yang terlihat pada Gambar 2.6. Phase I: dicirikan oleh laju produksi air konstan dan tekanan reservoir mulai menurun. Selama phase ini, sumur dalam kondisi dipompakan untuk meningkatkan laju produksi gas. Biasanya laju gas akan meningkat, tergantung permeabilitas relatif di sekitar lobang bor.
Phase II: dicirikan oleh negative decline atau penurunan secara drastis laju produksi air. Pada phase ini alirannya berada pada kondisi dinamis (selalu berubah-ubah) tergantung dari:
Efek Outer boundary sudah mulai terasa (alirannya Preudo steady state) Laju produksi gas berubah menjadi dinamis. Phase III: dimulai pada saat kondisi aliran di dalam reservoir mulai stabil, sumur telah mencapai peak gas rate, dan produksi gas menunjukkan tren penurunan (decline). Selama phase ini produksi air rendah dan permeabilitas air dan gas berubah menjadi kecil, alirannya tetap Preudo steady state. Sumur GMB mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan sumur migas maupun geothermal. Karakteristik itu meliputi sumuran dan komplesinya maupun model produksinya. Kebanyakan sumur-sumur GMB di dunia mempunyai kedalaman yang dangkal, namun ada juga yang mempunyai kedalaman di atas 4.000 ft. Biasanya lapisan batu bara terdapat di kedalaman kurang dari 4.000 ft, sehingga pengeboran untuk sumur-sumur GMB relatif lebih mudah.
13
Secara umum tipe dan model sumur serta komplesi sumur GMB sama saja dengan sumur migas seperti pada Gambar 2.7. Perbedaan mendasar sumur GMB hanyalah pada reservoir. Untuk bottom hole equipmentnya hampir sama, hanya mungkin spesikasinya yang agak berbeda tergantung dari sifat sik dan kimia uida air. Setelah sumur GMB dibor dan diselesaikan dengan komplesi sumur, langkah selanjutnya adalah memproduksikan GMB dari sumur tersebut. Untuk memproduksikan GMB, diperlukan teknik produksi yang khas dan persyaratan tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah: 1. Umumnya mempunyai kandungan gas yang tinggi, yakni dalam kisaran 15 - 30 m3 2. Mempunyai permeabilitas yang bagus, umumnya dalam kisaran 30 - 50 mD 3. Dangkal, coal seams biasanya mempunyai kedalaman kurang dari 1.000 m atau 4.000 ft. Tekanan pada lapisan yang lebih dalam biasanya terlalu tinggi untuk dapat membuat gas
14
mengalir sekalipun seam telah selesai diproduksi airnya. Karena tekanan tinggi menyebabkan struktur cleat menutup sehingga menyebabkan permeabilitas turun 4. Coal Rank, umumnya proyek pengembangan GMB diproduksi dari batu bara bituminous, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan untuk memproduksi gas dari batu bara anthracite. 2.5. Kandungan Gas dalam Batu bara Gas metana yang terbentuk pada lapisan batu bara merupakan hasil proses pembatu baraan yang terjadi akibat adanya aktivitas geologi berupa tekanan pembebanan (burial pressure) dan pemanasan oleh gradient temperature serta diperkuat oleh adanya aliran panas dari aktivitas vulkanisme yang mengubah materi sellulosa menjadi batu bara. Volume metana yang terbentuk dalam batu bara akan meningkat sesuai dengan tingkat kematangannya (coal rank). Nilai kematangan tersebut tercermin dari nilai pengukuran Relectance Virinite (Ro) dan nilai kalori batu bara. Secara umum ada 3 tipe gas metana, yaitu tipe thermogenic, biogenic dan campuran keduanya. Kedua tipe tersebut dapat dihasilkan dalam proses pembatu baraan. Secondary biogenic methane kemungkinan juga terbentuk sebagai akibat hasil reaksi aktivitas bakteri pada air tanah dalam cleat dengan batu bara tingkat rendah (low-rank coal). Gas yang terbentuk kemudian tersimpan dalam batu bara dengan beberapa cara sesuai dengan karakteristiknya (Yee et al., 1993, in Montgomery, 1999) yaitu: 1) Sebagai gas bebas terbatas (limited free gas) yang tersimpan pada batu bara di dalam mikroporositas dan cleats, 2) sebagai gas larut dalam air yang terkandung dalam batu bara, 3) sebagai gas serapan dan terikat secara molekuler pada partikel batu bara, 4) mikroporositas, dan permukaan cleat, 5) sebagai gas serapan dalam struktur molekul batu bara. Batu bara mempunyai kemampuan menampung gas lebih besar 3 - 4 kali dari pada reservoir konvensional. Hal tersebut disebabkan
Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat 15
karena batu bara mempunyai luas permukaan yang besar, yaitu 2.150 - 3.150 ft2/gr. Gas yang tersimpan pada batu bara teradsorbsi pada luasan permukaan molekul batu bara dan pada cleat batu bara. Kandungan gas pada batu bara merupakan volume gas yang tersimpan dalam batu bara untuk tiap satuan massa batu bara. Kandungan gas analogi dengan saturasi gas pada reservoir gas konvensional yang terimplementasi pada rumus perhitungan volume gas. Gas yang terkandung dalam batu bara merupakan hasil dari coalication dan merupakan fungsi dari rank batu bara yang diilustrasikan pada Gambar 2.8 yang menunjukkan bahwa rank batu bara bituminous merupakan rank batu bara yang paling tinggi volume pembentukan gasnya. Ilustrasi transportasi gas pada reservoir GMB ditunjukkan pada Gambar 2.9 yang dimulai terlepasnya gas dari permukaan dengan kondisi terserap pada partikel batu bara akibat terjadinya penurunan tekanan kemudian berdifusi pada pori mikro dan diteruskan dengan aliran laminer pada sistem cleat.
Gambar 2.8 Volume Gas pada Batu bara sebagai fungsi dari Rank Batu bara
16
17
18
3.1. Eksplorasi Gas Metana Batu bara Eksplorasi Gas Metana Batu bara (GMB) adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan GMB. Pada tahap awal kegiatan eksplorasi GMB adalah mendeliniasi keberadaan batu bara berdasarkan data yang sudah ada seperti peta geologi regional. Ada beberapa tahapan dalam kegiatan eksplorasi GMB, yaitu: Tahap 1: Studi Geologi dan Geosika Tahap 2: Pengeboran Eksplorasi Tahap 3: Pilot or Feasibility Drilling Tahap 4: Pilot Production Testing Tahap 5: Pengembangan Produksi Komersial. Studi Geologi dan Geosika Pengetahuan mengenai cekungan batu bara sangat diperlukan untuk mendeliniasi wilayah yang memiliki prospek GMB. Indonesia memiliki banyak cekungan yang mengandung batu bara, namun tidak setiap cekungan tersebut memiliki prospek yang bagus untuk pengembangan GMB. Deliniasi kemungkinan prospek GMB dilakukan dengan mengkaji beberapa aspek di antaranya luas daerah endapan batu bara, ketebalan, kedalaman lapisan dan karakter mikroskopis batu bara. Selain kajian geologi untuk mengetahui penyebaran batu bara dapat digunakan juga penelitian geosika bawah permukaan berupa interpretasi data seismik untuk memetakan struktur batu bara dan distribusi ketebalan secara lateral. Pada penelitian geosika menggunakan data atribut seismik analisis untuk mengetahui distribusi ketebalan (isopach map). Kegiatan tersebut merupakan langkah awal untuk eksplorasi GMB yang lebih terarah.
19
Pengeboran Eksplorasi Dari kajian geologi dan geosika dapat dihasilkan lokasi sweetness untuk menentukan titik pemboran. Kegiatan pengeboran dilakukan untuk mengetahui data-data parameter reservoir dan karakter batu bara di wilayah pengembangan GMB. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini antara lain pengumpulan inti bor, pengukuran kandungan gas in place, serta analisis karakter batu bara baik megaskopis maupun mikroskopis (laboratory analysis). Dari hasil pengeboran eksplorasi dapat diketahui permeabilitas reservoir, gas compressibility factor, desorbtion-isotherm, initial water saturation dan ketebalan net batu bara. Pilot or Feasibility Drilling Berdasarkan hasil analisis parameter reservoir dan karakter batu bara dapat dilanjutkan pemboran 4 - 5 sumur dalam pola drainage untuk melakukan uji produksi lanjutan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menentukan potensi produksi gas. Pilot Production Testing Pada tahap production testing dilakukan pemboran yang lebih banyak dibandingan dengan tahap feasibility drilling. Pada awalnya, 10-25 sumur dibuat di sekitar feasibility project dengan beberapa fasilitas sementara untuk mengevaluasi aspek komersil dan optimalisasi spasi antar sumur. Pengembangan produksi komersial Tahapan terakhir adalah pengembangan produksi secara komersial, pada tahap ini dilakukan produksi komersial dengan fasilitas yang permanen. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah melakukan pengeboran 4 - 8 sumur per 1 mil2 di daerah prospek. Setidaknya diperlukan 3 - 5 tahun sejak pengeboran sumur evaluasi pertama sampai dengan produksi dengan kemungkinan project dapat diterminasi pada setiap tahapannya tergantung pada hasil setiap tahapan tersebut. Gambaran mengenai kerapatan titik informasi (bor) untuk setiap tahapan eksplorasi dapat dilihat pada Gambar 3.1.
20
Gambar 3.1 Kerapatan Titik Sumur pada Setiap Tahapan Pengembangan GMB
3.2. Perhitungan Cadangan Gas Metana Batu bara Beberapa parameter yang diperlukan untuk perhitungan cadangan GMB adalah sebagai berikut: Gas Content Kandungan gas dalam lapisan batu bara merupakan data yang sangat penting untuk mengetahui potensi GMB di suatu wilayah. Pengukuran kandungan gas dilakukan untuk mengetahui jumlah kandungan gas yang dilepaskan dari batu bara pada waktu tertentu. Terdapat 2 metode pengukuran, yaitu pengukuran langsung (direct method) dan pengukuran tidak langsung (indirect method). Pengukuran langsung dilakukan di lapangan dengan memasukkan contoh batu bara ke dalam canister, yaitu alat berbentuk silinder terbuat dari bahan stainless yang betul-betul kedap udara, dengan panjang dan diameter canister dibuat sesuai kebutuhan. Penghitungan kandungan gas dan pengukuran langsung mencakup Lost Gas (Qi), Measured Gas (Q2) dan Crushed Sample (Q3).
21
Measured Gas (Q2) adalah pengukuran gas yang dilakukan secara periodik. Lost Gas (Qi) merupakan hasil ekstrapolasi pengukuran awal Q2 dengan menggunakan persamaan regresi linear (Gambar 3.2). Sedangkan Q3 diukur setelah contoh batu bara tersebut selesai dengan pengukuran Q2 kemudian dihancurkan (crushing) dan dicatat jumlah gas yang keluar setelah dthancurkan. Kandungan Gas in Place merupakan penjumlahan Q1 dan Q2.
Permeability-pore prossure Permeability test dapat dilakukan di lapangan ataupun di laboratorium. Pengujian lapangan menggunakan packer test (IFO Test) yang dilakukan dengan menginjeksikan air pada lapisan batu bara dalam lubang bor untuk mengetahui sifat kelulusan uida pada lapisan batu bara. Permeability itu memegang peran penting dalam produksi GMB karena akan menentukan kemampuan kandungan gas yang dapat dikeluarkan dari lapisan batu bara.
22
Komposisi gas Analisis komposisi gas ( Gas Composition ) dilakukan untuk mengetahui komposisi gas batu bara secara kuantitatif. Komposisi gas dalam batu bara dapat terdiri dari beberapa fraksi, yaitu metana (CH4), etana (C2H6), nitrogen (N2), carbon monoksida (CO) serta oksigen (O2). Potensi gas metana dalam batu bara akan bernilai ekonomis apabila kandungan metana dalam batu bara setidaknya lebih dari 80% dibandingkan dengan fraksi lainnnya. Analisis desorbtion-isotherm Fast desorpt dilakukan dengan cara menghancurkan contoh batu bara di dalam canister (crushing) dan mengukur kandungan gas yang dipaksakan terlepas dari batu bara. Pengukuran ini dilakukan dengan asumsi bahwa gas dalam batu bara bersifat sangat reaktif sehingga perlu dilakukan pengukuran secara cepat. Metode ini biasa diterapkan untuk kepentingan bisnis yang memerlukan hasil yang cepat. Pengukuran tidak langsung dilakukan sebagai upaya mengukur kandungan gas batu bara dengan cara simulasi laboratorium. Pengukuran ini disebut juga Isotherm Analysis . Simulasi laboratorium ini dilakukan untuk mengetahui kapasitas serapan gas metana pada batu bara dengan cara menginjeksikan gas metana pada kondisi tekanan tertentu serta temperatur yang dikondisikan sama dengan temperatur air formasi. Permeability test dapat dilakukan di lapangan ataupun di laboratorium. Pengujian lapangan menggunakan packer test yang dilakukan dengan menginjeksikan air pada lapisan batu bara dalam lubang bor untuk mengetahui sifat kelulusan uida pada lapisan batu bara. Permeability itu memegang peran penting dalam produksi GMB karena akan menentukan kemampuan kandungan gas yang dapat dikeluarkan dari lapisan batu bara.
23
24
4.1. Kanada Kemunculan GMB di Kanada baru dimulai setelah 20 tahun masa eksplorasi, testing, dan trial production. Menurut Canadian Society of Unconventional Gas (CSUG), lebih dari 3.000 sumur GMB telah dibor sepanjang tahun 2005 dan 3.500 sumur lainnya dibor pada 2006 dengan produksi diperkirakan mencapai 700 mmcfd pada tahun 2007. EIA baru-baru ini mengutip bahwa produksi GMB Kanada rata-rata diperkirakan mencapai lebih dari 1.400 mmcfd pada tahun 2010. Potensi dan aktivitas GMB Kanada saat ini paling banyak berada di negara bagian Alberta, yang diperkirakan cadangannya mencapai 700 tcf (put in-place). Adanya tambahan 90 tcf diharapkan berada di negara bagian British Columbia; dan recovery atas cadangan tersebut paling banyak terdapat di negara bagian Alberta, yaitu 75 tcf. Produksi GMB non komersial telah dilakukan di negara bagian British Columbia yang mulai produksi komersial pada tahun 2002 dan telah mempunyai satu proyek GMB. British Columbia mempunyai cadangan GMB (Projected In Place) terbesar kedua di Kanada yang diperkirakan mencapai 90 tcf. Melonjaknya harga minyak membuat pemerintah Kanada lebih fokus pada usaha pencarian sumber GMB yang baru dan pengembangannya. Dukungan pemerintah Kanada dalam pengembangan GMB terlihat dengan diambilnya langkah-langkah untuk mendorong proses eksplorasi (testing), di antaranya melalui: 1. Tingkat royalti/regime tax credit yang atraktif pada permohonan konsesi untuk sumur-sumur GMB; 2. Revisi Undang-undang mengenai sumur uji yang memungkinkan pengujian GMB lebih eksibel;
Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat
25
3. Review mengenai peraturan minyak dan gas untuk menyederhanakan perizinan dan persyaratan operasi; 4. Regulasi yang lebih fleksibel bagi pembuangan air yang dihasilkan dari proses dewatering. Manfaat utama adanya eksplorasi dan produksi GMB yang diterima negara bagian antara lain: 1. Penerimaan dari hak penjualan gas bumi, bonus dari kontrak harga yang dibayar untuk lisensi pengeboran dan sewa tanah memberikan pendapatan besar bagi negara bagian. 2. Royalti produksi atas penjualan GMB. Tunjangan produksi untuk GMB akan menghambat pendapatan dari royalti selama beberapa tahun pertama proyek. Setelahnya, royalti produksi mulai akan dibayar berdasarkan perhitungan untuk setiap proyek. Kementerian Energi dan Pertambangan telah mengembangkan perkiraan angka rata-rata royalti dengan mempertimbangkan semua potongan dan kredit dengan nilai berkisar antara 10 - 12% dari penjualan harga gas. 4.2. Amerika Serikat Pada tahun 1994, West Virginia telah mengadopsi sebuah kebijakan GMB untuk menjadi pedoman hukum dalam pengembangannya. Pada saat ini produksi GMB merupakan sumber gas terbesar di West Virginia, yaitu sebesar 66% dari produksi gas total. Kongres Amerika Serikat menggunakan perundang-undangan Virginia sebagai dasar bagi undang-undang GMB pada National Energy Policy Act (EPACT) tahun 1992. Pemerintah Federal dibatasi oleh EPACT Section 1339, dengan judul Kepemilikan GMB, untuk Affected States dimana pemerintah Amerika Serikat memiliki sejumlah besar sumber daya batu bara atau GMB. EPACT menunjuk Illinois, Indiana, Kentucky, Ohio, Pennsylvania, Tennessee, dan West Virginia sebagai Affected States. EPACT mengizinkan negara-negara bagian tersebut untuk mengembangkan regulasi GMB selama 3 tahun di daerahnya. Sebaliknya, ketentuan GMB dari Hukum Federal menjadi efektif di Affected States. Jadi, EPACT membuat sebuah program default
26 Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat
undang-undang GMB yang dibentuk negara. Pada tahun 1995, Indiana, Ohio, dan Pennsylvania menggunakan opsi ketentuan untuk meminta penghapusan mereka dari daftar Affected States sebelum pemerintah Federal menerapkan hukum tersebut. Pedoman hukum GMB menciptakan kerangka hukum untuk pengembangan GMB sehingga memberikan dasar jalur hukum bagi para pengembang. Adanya ketentuan dari jarak sumur, perlindungan dari pengoperasian batu bara, aspek keselamatan tambang batu bara, perlindungan lingkungan, dan juga well plugging menunjukkan bahwa recovery mineral secara teknis dan masalah sumber daya merupakan hal yang penting dalam pengembangan GMB. 4.3. Cina Sebagai produsen batu bara terbesar di dunia, Cina mempunyai cadangan GMB yang diperkirakan mencapai 1.000 tcf. Pemerintah Cina telah menetapkan target optimistik untuk meningkatkan produksi GMB dari 1 miliar meters (bcm) - 10 bcm pada tahun 2015. Cina mempunyai beberapa proyek GMB yang sudah dalam tahap produksi (dengan lebih dari 2.000 sumur) dan berencana untuk membangun dua pipa dengan panjang hampir mencapai 1.400 km untuk mengangkut GMB ke pasar di bagian timur negara Cina. Cina United Coalbed Methane Corporation (CUCBM) telah bekerja sama (joint venture) dengan perusahaan asing di 27 blok GMB, sehingga diharapkan keterlibatan pihak asing pada sektor GMB di negara Cina akan meningkat. Pemerintah Cina menyusun peraturan GMB sejak akhir tahun 1990an dengan tujuan mendorong pengembangan sumber daya GMB Cina. CUCBM didirikan pada tahun 1996 dan awalnya memiliki hak monopoli untuk melakukan semua proyek GMB yang melibatkan kolaborasi pihak asing. Monopoli ini berakhir pada tahun 2007. Saat ini belum ada perusahaan Cina lainnya yang telah mengambil hak untuk menjadi perusahaan yang ditunjuk dengan hak yang sama seperti CUCBM, meskipun PetroChina diharapkan untuk melakukannya tahun ini.
27
Apabila terdapat entitas asing yang terlibat, proses pengembangan GMB di Cina memerlukan mitra kerja untuk melakukan survei sumber daya dan membuat pengajuan kepada Ministry of Land and Resources untuk mandapatkan hak eksplorasi mineral dan Ministry of Commerce untuk mandapatkan hak pembukaan lahan. CUCBM (atau perusahaan lainnya yang ditunjuk) akan masuk ke dalam PSC dengan entitas asing. Term utama dari PSC Cina meliputi: 1. Eksplorasi dan risiko pembangunan ditanggung pihak entitas asing; 2. Pemerintah Cina memiliki sekurangnya 30% participating interest; 3. Secara umum cost recovery 70% masih diperbolehkan; 4. Royalti tidak lebih besar dari 3% dari pendapatan tahunan, dan 5. Pembagian (split) produksi dapat dinegosiasikan. Pemerintah Cina menawarkan sejumlah insentif fiskal untuk mendorong keterlibatan asing dalam pengembangan GMB misalnya pembebasan pajak barang impor; terdapat tax holiday (tidak dikenai pajak) selama 2 tahun, dan pajak pertambahan nilai sebesar 5% setelah dimulainya produksi gas. Selain itu, harga GMB di Cina juga tidak ditetapkan oleh negara. 4.4. India India memiliki cadangan batu bara yang besar dan diperkirakan memiliki cadangan GMB sebesar 300 tcf. Saat ini terdapat 1 proyek GMB yang sudah beroperasi di India, yaitu di wilayah Bengal Barat. Di antara tahun 2001 dan 2006, pemerintah India menawarkan 26 blok GMB yang prospektif untuk dieksplorasi, yang kemudian diberikan kepada Reliance Industries, Essar Oil dan ONGC. Luas blok tersebut mencapai 14.000 km2 dan diperkirakan mengandung 50 tcf GMB. Puncak produksi blok ini diperkirakan mencapai 1.400 mmcfd; sehingga menarik minat sejumlah perusahaan asing untuk sektor GMB di India. Otoritas regulasi pemerintah untuk GMB di India adalah Ministry of Petroleum and Natural Gas dan The Directorate General of
28 Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat
Hydrocarbons. Pemerintah India mengeluarkan kebijakan GMB pada tahun 1997 dalam rangka mengatur dan mendorong pengembangan GMB. Kebijakan tersebut menyatakan pengembangan GMB harus melalui proses tender terbuka, baik untuk perusahaan nasional maupun kontraktor asing untuk area potensi GMB yang belum dilakukan penambangan batu bara. Sedangkan untuk potensi GMB yang sudah terdapat penambangan batu bara, maka hak khusus pengembangan GMB terlebih dahulu diberikan kepada para perusahaan penambang batu bara. Pemerintah India mengeluarkan regulasi GMB pada bulan Juli 1997. Perjanjian Kerja Sama GMB harus memasukkan pihak-pihak yang terlibat, seperti pemerintah India dan para kontraktor/pengembang dengan butir-butir utama isi perjanjian sebagai berikut: Royalti yang dibayarkan kepada pemerintah India adalah sebesar 10%; Produksi dan pembayaran seperti yang tertera dalam kontrak; Bonus komersial yang dibayarkan pada Declaration of Commerciality; Cost recovery sebesar 100%; Kebebasan untuk menjual dengan harga pasar di pasar domestik yang telah ditentukan (tetapi bila ada kelebihan gas dari permintaan domestik, maka dapat dijual di luar India), dan Pajak penghasilan 35% untuk perusahaan India dan 48% untuk perusahaan asing.
29
30
Indonesia memiliki potensi Gas Metana Batu bara (GMB) yang signikan dengan perkiraan cadangan mencapai 450 tcf (Gambar 5.1). Potensi tersebut terutama tersebar di daerah Sumatera dan Kalimantan. Besarnya perkiraan cadangan GMB di Indonesia telah mendorong beberapa pihak terkait untuk melakukan kegiatan pengembangan sebagai bahan bakar alternatif. Terkait hal tersebut pemerintah telah mendorong pelaksanaan pilot project GMB di Indonesia. Pilot Project GMB di Lapangan Rambutan, Pendopo, Sumatera Selatan merupakan kerja sama antara Badan Litbang ESDM yang diwakili oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknolgi Minyak dan Gas Bumi LEMIGAS dengan Medco Eksplorasi dan Produksi Indonesia (MEPI).
31
Pilot Project GMB Rambutan merupakan pilot project GMB pertama di Indonesia yang bertujuan untuk meyakinkan kepada investor dan membuktikan bahwa GMB di Indonesia memiliki prospek untuk dikembangkan. Proyek penelitian ini dimulai sejak tahun 2004, dan sampai dengan tahun 2008 telah dilakukan pengeboran sebanyak 5 sumur percontoh dengan pola ve spot. Pilot project GMB Rambutan merupakan Pilot GMB pertama yang menghasilkan gas metana batu bara pada tahun 2008 dan pemanfaatan gas metana terproduksi untuk listrik pada tahun 2011. 5.1 Kajian Potensi GMB Cekungan Sumatera Selatan Pulau Sumatera yang terletak di Indonesia bagian barat terdiri dari 3 blok basin back arc yaitu, Basin Sumatera Utara, Basin Sumatera Tengah dan Basin Sumatera Selatan. Basin - basin tersebut berorientasi barat laut tenggara, dibatasi oleh Bukit Barisan di barat daya dan Selat Malaka, di sebelah timur laut dan timur oleh Selat Karimata dan Laut Jawa. Singkapan batuan Tersier banyak dijumpai di Pulau Sumatera, tapi ada juga beberapa blok batuan berumur pre Tertiary, yaitu di Bukit Tigapuluh, Bukit Duabelas. Penampakan di Bukit Barisan adalah batuan metamorf dan batuan beku dengan umur Paleozoic dan Mesozoic, batuan Tersier dan deposit vulkanik. Gambar 5.2 memperlihatkan Peta Geologi Regional Sumatera Selatan. Menurut Sukendar Asikin (1988), siogra Sumatera bagian Selatan dibagi menjadi 4 bagian, yaitu: 1. Cekungan Sumatera Selatan 2. Bukit Barisan dan Tinggian Lampung 3. Cekungan Bengkulu, yaitu meliputi lepas pantai Sumatera 4. Rangkaian kepulauan di sebelah barat pulau Sumatera. Cekungan Sumatera Selatan merupakan bagian dari cekungan Sumatera Timur (De Coster, 1974 dalam M. Irlan, 1994) yang dipisahkan dari cekungan Sumatera Tengah oleh Tinggian Asahan (Pegunungan Tigapuluh) di barat laut membentang ke selatan dan dibatasi oleh Pegunungan Bukit Barisan dan Daratan Pra-Tersier di sebelah timur lautnya.
32 Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat
33
Cekungan Sumatera Selatan dapat dibagi menjadi 3 sub-cekungan, yaitu Sub-Cekungan Jambi, Sub-Cekungan Palembang Tengah dan Sub-Cekungan Palembang Selatan (Gambar 5.3). Sub-cekungan Palembang Selatan merupakan bagian selatan dari cekungan Sumatera Selatan, di utara berbatasan dengan Sub-cekungan Palembang Tengah, di timur berbatasan dengan Paparan Sunda di selatan berbatasan dengan Tinggian Lampung dan di barat berbatasan dengan Pegunungan Barisan, dan bentuk cekungan ini hampir membulat (Sub-circle). Menurut Pulunggono (1986), lipatan-lipatan di Sumatera Selatan dapat dikelompokkan menjadi 3 antiklinorium besar, yaitu Antiklinorium Muaraenim, Antiklinorium Pendopo-Limau, dan Antiklinorium Palembang Utara. Antiklinorium Muarenim terdapat di Sub-cekungan Palembang Selatan, dengan arah barat lauttenggara sampai barat-timur, ditempati oleh Formasi Muaraenim yang kaya akan lapisan-lapisan batu bara. Sedangkan Antiklinorium Pendopo-Limau termasuk ke dalam Sub-cekungan Palembang Selatan dan Sub-cekungan Palembang Tengah dengan arah barat laut-tenggara (Gambar 5.4). Cekungan Sumatera Selatan terbentuk sebagai akibat hasil tektonik yang berkaitan erat dengan aktivitas penunjaman, lempeng IndiaAustralia, yang bergerak ke arah utara hingga timur laut terhadap lempeng Eurasia yang relatif diam. Beberapa lempeng kecil (micro-plate) yang berada di antara Zona interaksi tersebut turut bergerak dan menghasilkan Zona konvergensi dalam berbagai bentuk dan arah. Penunjaman lempeng India-Australia tersebut mempengaruhi keadaan batuan, morfologi, tektonik dan struktur di Sumatera Selatan. Tumbukan tektonik lempeng di Pulau Sumatera menghasilkan jalur busur depan, magmatik, dan busur belakang. Ketebalan batuan sedimen di cekungan Sumatera Selatan ini diperkirakan sekitar 6.000 meter, pada umumnya diendapkan secara tidak selaras di atas batuan pra-tersier. Satuan batuan pengisi cekungan ini kemudian mengalami proses tektonik yang mengakibatkan terjadinya pengangkatan, perlipatan dan pensesaran. Sedimentasi dalam cekungan Sumatera Selatan ini
34
terjadi pada zaman tersier dan mengalami perlipatan pada Tersier Akhir (Koesoemadinata, 1978).
Gambar 5.4 Peta Struktur Regional Sumatera Selatan (Hutchinson, 1996; Williams and others, 1995; Moulds, 1989; an Bemmelen, 1949)
35
Cekungan Sumatera Selatan terbentuk dari hasil penurunan (depression) yang dikelilingi oleh tinggian-tinggian batuan pratersier. Pengangkatan pegunungan Barisan terjadi di akhir Kapur disertai terjadinya sesar-sesar bongkah (block faulting) yang mempengaruhi proses sedimentasi dan terbentuknya unit batuan. Cekungan Sumatera Selatan telah mengalami tiga kali proses orogenesis, yaitu yang pertama adalah pada Mesozoikum Tengah, kedua pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal dan yang ketiga pada Plio-Plistosen. Orogenesis Plio-Plistosen menghasilkan kondisi struktur geologi seperti terlihat pada saat ini. Tektonik dan struktur geologi daerah cekungan Sumatera Selatan dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu zona sesar Semangko, zona perlipatan yang berarah barat laut-tenggara dan zona sesarsesar yang berhubungan erat dengan perlipatan serta sesar-sesar pra-tersier yang mengalami peremajaan. Secara struktur regional dijumpai adanya Pendopo-Limau Antiklinorium yang memperlihatkan arah sumbu umum yang berarah barat laut-tenggara. Lapangan GMB adalah salah satu struktur closure yang dibentuk oleh dorongan patahan sebagai akibat dari bagian ketiga tektonik. Pada bagian pertama tektonik, struktur ini patahan normal, untuk itu lapangan GMB merupakan hasil dari perubahan struktur (Harding, 1983). Stratigra Cekungan Sumatera Selatan Stratigra cekungan Sumatera Selatan dari bawah ke atas disusun dimulai dari terbentuknya batuan tertua di cekungan Sumatera Selatan berupa batuan alas yang berumur pra-tersier, terdiri dari batuan beku dan batuan ubahan derajat rendah. Batuan alas tersebut ditutupi secara tidak selaras oleh Formasi Lahat yang berumur Eocene-Oligocene yang terdiri dari tuff yang berwarna kemerahan dan keunguan, lempung tufaan, andesit, breksi dan konglomerat. Berikutnya Formasi Lahat ditutupi secara tidak selaras oleh Formasi Talangakar yang berumur Oligosen-Miosen yang terdiri dari Batu pasir berukuran sedang sampai kasar dan lapisan batu bara di bagian bawahnya, dan serpih abu-abu gampingan dan batu bara
36 Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat
di bagian atasnya. Batu bara pada Formasi ini memiliki derajat kematangan bituminous, terletak cukup dalam dan tidak terlalu tebal. Formasi Talangakar diendapkan pada lingkungan Terrestrial sampai lingkungan Paralic. Formasi Talangakar ditutupi secara selaras oleh Formasi Baturaja yang terdiri dari serpih karbonat dan Batu gamping. Formasi Baturaja ditutupi secara selaras atau menjemari dengan lapisan batuan Formasi Gumai yang disusun oleh batuan napal, batu lempung, serpih, dan serpih lanauan, dan sedikit lapisan tipis batu gamping dan batu pasir, yang diendapkan pada lingkungan laut terbuka yang lebih dalam. Formasi Gumai ditutupi secara selaras oleh batuan Formasi Air Benakat yang diendapkan pada lingkungan littoral sampai laut dangkal, yang terdiri dari Batu pasir dan lempung napalan, glaukonitan dan karbonatan. Pengendapan Formasi Talangakar sampai Formasi Air Benakat diendapkan selama waktu Oligo-Miosen. Formasi yang kaya batu bara diperoleh pada Formasi Muaraenim yang berumur Miosen Akhir Pliosen , yang secara selaras menutupi Formasi Air Benakat (Shell 1978) seperti ditunjukkan oleh Gambar 5.5, Formasi ini dinamakan juga Formasi Palembang Tengah (Decoster 1974). Berikut pembahasan Formasi Muaraenim dengan lapisan batu bara sebagai obyek penelitian GMB termasuk dalam formasi batuan ini. Formasi Muaraenim terletak selaras di atas Formasi Air Benakat yang litologinya terdiri dari batu pasir, batu lanau, batu lempung dan batu bara. Lingkungan pengendapan formasi ini adalah paparan delta-laguna. Ketebalan batuan pada formasi ini bervariasi antara 200 800 meter, umur Miosen Akhir sampai Pliosen dan kaya akan batu bara. Endapan batuan antar lapisan batu bara menunjukkan adanya pengaruh lingkungan laut, tetapi tidak ditemukan adanya fosil foraminifera, kecuali fosil-fosil keluarga Lamelibranchiata/ pelycypoda yang dijumpai di beberapa tempat. Dapat teridentikasi bahwa di dalam Formasi Muaraenim terdapat paling tidak 12 lapisan batu bara utama, dari bawah ke atas yaitu lapisan batu bara Kladi, Merapi, Petai (C), Suban (B), Mangus (A),
37
Burung, Benuang, Kebon, Benakat/Jelawatan, Lematang, Niru. Pengendapan batu bara di formasi ini dipengaruhi saat susut laut pada peristiwa perubahan muka air laut yang terjadi pada kala Miosen (Taupitz, 1987, Pujobroto, 1996). Berdasarkan fasiesnya, Shell Mijnbouw (1978) membagi Formasi Muaraenim menjadi 4 unit (Gambar 5.6), yaitu:
38
Unit M1 merupakan bagian paling bawah dari Formasi batu bara Muaraenim, dibatasi bagian bawahnya oleh lapisan batu bara Kladi dan Petai di bagian paling atas, dengan ketebalan keseluruhan 170 - 210 meter, terdiri dari batu pasir halus berwarna abu-abu terang, lanau-batu pasir lanauan berwarna abu-abu, batu pasir masif abu-abu kebiruan, batu pasir halus berwarna abu-abu, dan lanau abu-abu gelap. Banyak juga ditemukan lensa-lensa napal dalam runutan batuan, serta didapatkan 2 lapisan batu bara dalam unit ini, yang berkembang secara tidak
Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat 39
teratur, yaitu lapisan Merapi dan Kladi dengan ketebalan berkiar 1 - 8 meter. Unit M2, pada runtunan batuan unit ini dijumpai 3 lapisan batu bara yaitu Petai, Suban dan Mangus. Lapisan Mangus ini berada di bagian atas unit M2 dan berbatasan dengan unit M3 di atasnya, dicirikan oleh sisipan batu lempung tufaan dengan kandungan biotit, sedang batas bawahnya adalah lapisan Petai. Litologinya terdiri dari perselingan batu lanau berwarna keabu-abuan, laminasi batu lanau berwarna abu-abu gelap, dan sisipan tipis batu bara, mengandung sedikit sideritik napal, setempat lapisan batu bara mengalami splitting. Unit M3 terdapat 2 lapisan utama, yaitu Lapisan Burung dan Lapisan Binuang. Batas atas adalah Lapisan Kebon (Unit M4) dan batas bawah adalah Lapisan Mangus (Unit M2). Litologi terdiri dari batu pasir halus sampai kasar berwarna abu-abu keputihan dan bersifat tufaan, berselingan dengan batu lanau abu-abu, batu lempung dan sisipan batu bara, penyebaran batu bara secara lateral umumnya buruk. Unit M4 adalah runtunan batuan di antara bagian bawah Lapisan Enim dan dasar dari Formasi Kasai, dengan total ketebalan berkisar 124 - 185 meter. Lapisan batu bara Enim memiliki ketebalan sekitar 10 - 20 meter dan memiliki penyebaran yang luas. Lapisan batu bara ini umumnya berupa satu lapisan dengan pengotoran bercirikan adanya fragmen resin yang cukup banyak. Lapisan antara Enim seam dan Jelawatan seam umumnya terdiri dari perselingan dari batu pasir abu-abu terang dan batu lanau yang berwarna abu-abu gelap sampai abu-abu, dengan sebagian berupa materi tufaan dan 3 5 lapisan batu bara dengan ketebalan kurang dari 3 m, setempat dengan penerusan lapisan yang buruk. 5.2. Pilot Project Sumur GMB Lapangan Rambutan Dari hasil kajian potensi GMB, cekungan Sumatera Selatan diperkirakan memiliki cadangan sebesar 183 Tcf. Berdasarkan hasil kajian tersebut kemudian dilanjutkan dengan pengembangan Pilot Project GMB yang terletak di lapangan Rambutan, Kecamatan Benakat, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
40 Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat
Berdasarkan data yang diperoleh, di lokasi tersebut pada selang kedalaman antara 1.520 - 3.100 ft terdapat 5 lapisan batu bara yang mempunyai ketebalan yang cukup bagus sekitar 30 meter, yaitu seam-1, seam-2, seam-3, seam-4 dan seam-5. Dari ke 5 lapisan tersebut, 3 lapisan (seam) yang akan menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah seam-2, seam-3 dan seam-5. Pada seam-seam yang dipilih tersebut diperkirakan memiliki prospek kandungan gas metana yang besar. Gambar 5.7 memperlihatkan Model Multy Layer Seam Sumur CBM.
Dari lapisan-lapisan tersebut kemudian dilaksanakan uji coba pengeboran untuk memproduksikan gas metana yang terkandung dalam batu bara. Pilot Project 5 sumur GMB yang dibuat memiliki pola geometri ve spot dimana sumur GMB-3 berada di bagian tengah dan sumur-sumur lainnya berada pada sisi segi empat, dengan jarak berkisar antara 530 hingga 690 meter sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 5.8.
Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat 41
Gambar 5.8 Peta Lokasi Sumur GMB dengan Pola Five Spot
Kelima sumur GMB yang telah dibuat menempati area di samping sumur Rambutan yang telah ada dan berjaran sekitar 15 meter. Untuk Sumur CBM-1 di lapangan Rambutan 13, CBM-2 di lapangan Rambutan 23, CBM-3 di lapangan Rambutan 5, CBM-4 di lapangan
42 Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat
Rambutan 9, dan sumur uji CBM-5 di lapangan Rambutan 19. Lima Sumur CBM yang telah selesai dibuat merupakan sumur uji produksi gas methan yang kemudian dilakukan proses dewatering untuk mengurang tekanan pori batubara (Gambar 5,9).
CBM 1 2004
CBM 3,4,5 2006
CBM 2 2005
5.3. Pelaksanaan Proses Uji Produksi Pelaksanaan lanjutan proses uji produksi (dewatering) dirasa sangat penting guna keperluan untuk mempercepat proses produksi gas metana dan mengevaluasi kemampuan produksi gas dari lapisan batu bara yang ada serta upaya penanganan air terproduksi dengan benar. Proses dewatering ini dilakukan untuk memproduksikan air agar terjadi perubahan kesetimbangan mekanik di dalam clead batu bara (rekahan) sehingga bila tekanan turun, GMB dapat keluar dari matrik batu bara melalui bidang rekah. GMB akan mengalir melalui rekahan batu bara dan akhirnya keluar menuju lubang sumur seperti ditunjukkan pada Gambar 5.10.
43
Pada tahap dewatering sumur GMB telah dilakukan dengan menggunakan beberapa tipe pompa. Beberapa tipe pompa disesuaikan dengan produksi air dan tekanan dalam sumur untuk optimalisasi pemompaan air. Pada pelaksanaan dewatering di sumur GMB lapangan Rambutan pada awalnya menggunakan pompa Sucker Rod dan sekarang telah diubah menggunakan pompa PCP. Pergantian pompa ini dilakukan berkenaan produksi air dari kegiatan dewatering semakin menurun sehingga diperlukan kapasitas pompa yang lebih kecil agar produksi air yang kontinyu dapat terlaksana.
44 Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat
Program pelaksanaan dewatering dari ke 5 sumur GMB dimulai kembali pada awal bulan Juli 2008. Pelaksanaan dewatering dari ke 5 sumur GMB menggunakan pompa Sucker Rod dengan memantau laju produksi dan pencatatan terhadap perubahan tekanan anulus casing setiap harinya. Gas yang terakulasi kemudian dibakar agar tidak mengganggu proses dewatering yang sedang dilakukan. 1. Sumur CBM-1 Sumur CBM-1 selesai dibor pada tanggal 2 Desember 2004 sampai kedalaman 2.015 ft. Terletak di lokasi yang sama dan berjarak 10 meter dari sumur RBT#13. Berdasarkan data laporan pemboran terdapat beberapa lapisan batu bara pada sumur tersebut mulai dari kedalaman 1.570 - 2.003 ft. Jenis penyelesaian sumur yang sudah dikerjakan yaitu dengan pemasangan liner screen 4-1/2 dari kedalaman puncak liner di 1.543 ft sampai dasar lubang di 2.008 ft. Screen liner dipasang tanpa disemen sehingga sepanjang selang kedalaman 1.543 - 2008 ft merupakan lubang terbuka.
45
2. Sumur CBM-2 Sumur GMB-2 selesai dibor pada tanggal 28 Februari 2006 sampai kedalaman 3.140 ft. Terletak di lokasi yang sama dan berjarak 15 meter dari sumur RBT#23. Berdasarkan data dari laporan pemboran, sampai kedalaman 3.100 ft terdapat 3 lapisan batu bara yang berpotensi menghasilkan gas metana yang cukup besar, yaitu lapisan 2 pada selang kedalaman 1.690 1.720 ft, lapisan 3 pada selang kedalaman 1.750 1.780 ft dan lapisan P pada 2.940 2.980 ft. Ketiga lapisan tersebut masih dalam kondisi tertutup oleh casing (Case Hole). Sumur CBM-2 ini telah dipasang fasilitas produksi yaitu separator kecil sederhana dan tanki timbun untuk proses dewatering dengan kapasitas 300 bbl. Sampai dengan tahun 2008 sumur CBM-2 belum berproduksi karena menunggu kesiapan peralatan downhole dan terdapat sedikit masalah dengan kondisi lubang sumurnya. Pada bulan Maret 2008 dilakukan running Impression Block 3.1 untuk memverikasi kondisi downhole dan untuk membuktikan adanya sh di sumur tersebut dan ditemukan adanya goresan dipermukaan Impression Block yang mengindikasikan adanya pipa yang jatuh atau mungkin casing yang mengalami pergesaran di dalam sumur CBM-2.
46
3. Sumur CBM-3 Sumur CBM-3 selesai dibor pada tanggal 13 Desember 2006 sampai kedalaman 2.977 ft. Terletak di lokasi yang sama dan berjarak 15 meter dari sumur RBT#9. Berdasarkan data laporan pemboran, sampai kedalaman 2.977 ft terdapat 3 lapisan batu bara yang berpotensi menghasilkan gas metana yang cukup besar, yaitu seam 2 pada selang kedalaman 1.6421.670 ft, seam 3 pada selang kedalaman 1.701.732 ft dan seam P pada 2.9472.977 ft. Seam P merupakan lubang terbuka sedangkan seam 2 dan 3 sudah diperforasi setelah pemboran sumur selesai dikerjakan. Sumur CBM-3 ini telah terpasang 1 unit pompa PCP dan fasilitas produksi lainnya yaitu Vassel dan tanki timbun untuk menampung air dari proses dewatering dengan kapasitas 300 bbl. Sumur CBM-3 sempat mengeluarkan gas GMB dengan volume yang masih kecil sekitar 0.5 mscf/hari dan merupakan salah satu sumur dengan prospek kandungan GMB yang cukup tinggi. Pada sumur CBM-3 sering dilakukan pengujian tekanan baik dengan electric memory recorder (EMR) maupun dengan peralatan Acoustic Well Sounder (AWS). Running EMR dilakukan tahun 2008 dengan run gauge di depan seam 3 di kedalaman 1.718 ft dengan melakukan shut in well selama 24 jam (rencana awal 72 jam) tekanan mencapai 290 psi. Pada pelaksanaan kerja ulang tahun 2010 kembali dilakukan pengujian terhadap tekanan di masing-masing seam pada sumur CBM 3 dengan menggunakan EMR. Pelaksanaan pengujiannya diawali dengan melakukan pengujian injection test terlebih dahulu baru kemudian sumur ditutup selama 32 jam. Hasil dari pengujian menunjukkan bahwa tekanan dari masing-masing seam setara dengan besarnya tekanan hidrostatik dari kolom uida (air) hingga di permukaan sumur. Dengan melihat lambatnya penurunan tekanan injeksi menggambarkan begitu kecilnya permeabilitas dari masingmasing seam yang diuji.
47
4. Sumur CBM-4 Sumur CBM-4 selesai dibor pada tanggal 12 Desember 2006 sampai kedalaman 3.072 ft. Terletak di lokasi yang sama dan berjarak 15 meter dari sumur RBT#9. Berdasarkan data laporan pemboran, sampai kedalaman 3.072 ft terdapat tiga lapisan batu bara yang berpotensi menghasilkan gas metana yang cukup besar, yaitu seam 2 pada selang kedalaman 1.742 1.770 ft, seam 3 pada selang kedalaman 1.804 1.834 ft dan seam P pada 3.038 3.072 ft. Seam P merupakan lubang terbuka sedangkan seam 2 dan 3 sudah diperforasi setelah pemboran sumur selesai dikerjakan. Sumur CBM-4 ini telah terpasang 1 unit pompa PCP dan fasilitas produksi lainnya yaitu Vassel dan tanki timbun untuk menampung air dari kegiatan proses dewatering dengan kapasitas 300 bbl.
Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat
48
Sumur CBM-4 pada tahun 2008 telah mengeluarkan GMB dengan volume yang masih kecil sekitar 0,041 mscf/hari dan juga diperkirakan merupakan salah satu sumur dengan prospek kandungan GMB cukup besar. Dari hasil analisis memperlihatkan bahwa tidak optimumnya produksi dari seam 2 dan 3 tidak dikarenakan adanya lapisan semen yang cukup tebal di belakang dinding casing, sehingga perforasi yang dilakukan tidak dapat membuka lapisan semen tersebut secara maksimal. Salah satu upaya yang dilakukan tahun 2010 yaitu membuka lapisan semen pada seam 3 yaitu dengan menerapkan metode Radial Jetting. Pada pelaksanaannya di lapisan seam 3 dan seam 5 pada lapisan open holenya telah dibor secara horisontal ke samping sepanjang 20 meter dengan jumlah lubang sekitar 20 buah. Hasil yang diperoleh cukup meningkatkan produksi GMB dari sumur CBM-4 menjadi sekitar 10 mscf/hari.
49
5. Sumur CBM-5 Sumur CBM-5 selesai dibor pada tanggal 11 November 2006 sampai kedalaman 3.100 ft. Terletak di lokasi yang sama dan berjarak 15 meter dari sumur RBT#19. Berdasarkan data laporan pemboran sampai kedalaman 3.100 ft terdapat 3 lapisan batu bara yang berpotensi menghasilkan gas metana yang cukup besar, yaitu lapisan 2 pada selang kedalaman 1.754 1.782 ft, lapisan 3 pada selang kedalaman 1.812 1.838 ft dan lapisan P pada 3.048 3.100 ft. Seam P merupakan lubang terbuka sedangkan seam 2 dan 3 sudah diperforasi setelah pemboran sumur selesai dikerjakan. Sumur CBM-5 ini telah terpasang 1 unit pompa PCP dan fasilitas produksi lainnya yaitu Vassel dan tanki timbun untuk menampung air dari kegiatan proses dewatering dengan kapasitas 300 bbl. Pada pelaksanaan kerja ulang tahun 2010, dilakukan pengujian terhadap tekanan di masing-masing seam pada sumur CBM-3 dengan menggunakan EMR. Pelaksanaan pengujiannya diawali dengan melakukan uji injection test terlebih dahulu baru kemudian sumur ditutup selama 32 jam.
50
5.4. Pemanfaatan GMB untuk Listrik Pada tahap lanjutan dewatering yang dilakukan terhadap ke 3 sumur uji GMB memperlihatkan bahwa baru 2 sumur yang telah mulai mengeluarkan gas metananya sehabis dilakukan operasi kerja ulang. Untuk sumur CBM-3, GMB telah keluar hampir kontinyu dengan perkiraan produksi perharinya baru sekitar 5 m3/hari (0,176 mscf/hari) setelah 17 hari dewatering dilakukan. Sedangkan untuk sumur CBM-4, gas telah keluar baru mencapai 5,5 m3/hari (0,194 mscf/hari) setelah 10 hari dewatering berjalan. Dari analisis gas yang pernah dilakukan sebelumnya memperlihatkan bahwa komposisi GMB didominasi hampir di atas 96% merupakan metana (CH4). Pengujian yang dilakukan di laboratorium terhadap GMB yang keluar dari masing-masing seam yang diproduksikan yaitu seam 2, 3, dan 5 (lihat Tabel 51, 52 dan 53). Uji coba awal pemanfaatan gas untuk menggerakkan generator listrik berkapasitas 12 KVA sudah dilakukan di sumur CBM-3 dan CBM-4 dengan menghidupkan 4 lampu penerangan yang ada di sumur CBM-4 berkapasitas masing-masing 400 watt. Generator yang digunakan merupakan generator gas mini dari Kubota dengan kapasitas daya 25 KVA 220 volt.
Tabel 5.1 Komposisi Gas dari Seam 2
Component Hydrogen Sulfide Carbon Dioxide Nitrogen Methane Ethane Propane Iso-Butane n-Butane Iso-Pentane n-Pentane Hexanes Heptanes plus H2S CO2 N2 CH4 C2H6 C3H8 i-C4H10 n-C4H10 i-C5H12 n-C5H12 C6H14 C7+
GPM
51
Component Hydrogen Sulfide Carbon Dioxide Nitrogen Methane Ethane Propane Iso-Butane n-Butane Iso-Pentane n-Pentane Hexanes Heptanes plus H2S CO2 N2 CH4 C2H6 C3H8 i-C4H10 n-C4H10 i-C5H12 n-C5H12 C6H14 C7+
GPM
Component Hydrogen Sulfide Carbon Dioxide Nitrogen Methane Ethane Propane Iso-Butane n-Butane Iso-Pentane n-Pentane Hexanes Heptanes plus H2S CO2 N2 CH4 C2H6 C3H8 i-C4H10 n-C4H10 i-C5H12 n-C5H12 C6H14 C7+
GPM
52
53
5.5. Hasil Pengamatan Air Terproduksi Pada tahap lanjutan dewatering yang dilakukan di sumur uji GMB memperlihatkan bahwa jumlah air yang diproduksikan dari masing-masing sumur sangat bervariasi hanya pada sumur CBM-1 yang memiliki jumlah air paling banyak dibandingkan dengan sumur lainnya. Pelaksanaan monitoring terhadap jumlah air yang terproduksi dilakukan secara kontinyu setiap harinya. Sedangkan untuk monitoring komposisi kimia dari air yang terproduksi dilakukan setiap 1 bulan sekali untuk masing-masing sumur yang diamati. Pengambilan sampel air diambil pada mini separator yang telah dipasang (Gambar 5.17).
54
1. Sumur CBM-1 Pada tahap dewatering yang dilakukan di sumur CBM-1, jumlah air yang telah diproduksikan dalam kurun waktu bulan November hingga Desember 2010 berkisar 3.000 bbl, dengan produksi sekitar 35 bbl/ hari. Produksi air yang dihasilkan memperlihatkan adanya penurunan walaupun belum begitu besar. Pengamatan terhadap komposisi kimia dari air yang diproduksi mempelihatkan bahwa kandungan logam berat yang terkandung di dalam air produksi sumur CBM-1 (As, Ba, Cd, Cr, Cu, Pb, Hg, Se, Ag dan Zn) menunjukkan masih di bawah ambang batas yang dipersyaratkan dalam Permen Lingkungan Hidup No. 85 th 1999. Sedangkan salinitas air yang diproduksikan masih tergolong dalam kondisi di bawah payau.
Tabel 5.4 Analisis Kimia Air Sumur CBM-1
WATER PATTERNS - me/l
Na
+
Cl
Ca
++
HCO3
Mg
++
SO4
Fe
++
CO3
100 10 1 0.1 1 10 100 1000
1000
= = =
++
= = = =
Bicarbonate, HCO3 =
(total)
++
Strontonium, Sr
OTHER PROPERTIES
o Specific Gravity, 60/60 F = o =
pH @ 77 F Salinity
= = = = = = = = =
Conductivity TDS (Total Dissolved Solids) TSS (Total Suspended Solid) Turbidity Resistivity (ohm-mater)
mS/cm
1,109.00 mg/l 0.49 mg/l 8.9 2.69 22.20 0.00 0.00 FTU :meter @ 76.0 F mg/l mg/l mg/l
O
55
2. Sumur CBM-3 Pada tahap awal dimulainya dewatering yang dilakukan di sumur CBM-3, produksi airnya sekitar 8,55 bbl/hari. Sedangkan produksi gasnya baru sekitar 5 m3/hari (0.176 mscf/hari) setelah 17 hari dewatering dilakukan. Pengamatan terhadap komposisi kimia dari air yang diproduksikan mempelihatkan bahwa kandungan logam berat yang terkandung di dalam air produksi sumur GMB 3 (As, Ba, Cd, Cr, Cu, Pb, Hg, Se, Ag dan Zn) menunjukkan masih di bawah ambang batas yang dipersyaratkan dalam Permen Lingkungan Hidup No. 85 th 1999. Sedangkan salinitas dari air yang diproduksikan masih tergolong dalam kondisi di bawah payau.
Tabel 5.5 Monitoring Produksi Sumur CBM-3
Produksi Air No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Tanggal 6-Dec-12 7-Dec-12 8-Dec-12 9-Dec-12 10-Dec-12 11-Dec-12 12-Dec-12 13-Dec-12 14-Dec-12 15-Dec-12 16-Dec-12 17-Dec-12 18-Dec-12 19-Dec-12 20-Dec-12 21-Dec-12 22-Dec-12 Pukul detik/600cc 17.15 10.15 10.40 10.03 9.56 9.35 9.14 11.16 8.40 10.47 9.45 11.26 17.15 9.50 8.55 9.35 3:36 25.00 29.84 50.20 28.00 33.00 55.00 86.00 44.75 25.29 25.69 42.35 50.50 42.44 70.00 24.31 57.94 62.45 bbl/hari 13.04 10.93 6.49 11.64 9.88 5.93 3.79 7.29 12.89 12.69 7.70 6.46 7.68 4.66 13.41 5.63 5.22 5.75 4.80 2.15 5.12 psi Gas/Liquid RPM Pompa rpm 57 57 57 58 57 57 57 57 57 57 57 57 57 57 57 61 61 Sonolog
(fluid level)
ft 777.40 491.63 639.80 606.49 692.96 675.25 666.74 646.88 540.50 613.24 631.23 645.69 640.84 688.56 645.71 1155.72 1243.21
56
Cl
Ca
++
HCO3
Mg
++
SO4
Fe
++
CO3
100 10 1 0.1 1 10 100 1000
1000
= = =
++
= = = =
Bicarbonate, HCO3 =
(total)
++
Strontonium, Sr
OTHER PROPERTIES
o Specific Gravity, 60/60 F = o =
pH @ 77 F Salinity
= = = = = = = = =
Conductivity TDS (Total Dissolved Solids) TSS (Total Suspended Solid) Turbidity Resistivity (ohm-mater)
mS/cm
1,159.00 mg/l 5.52 mg/l 15.9 2.42 2.90 0.00 0.00 FTU :meter @ 76.2 F mg/l mg/l mg/l
O
4. Sumur CBM-4 Pada tahap awal dimulainya dewatering yang dilakukan di sumur CBM-4, produksi airnya sekitar 9,11 bbl/hari. Sedangkan produksi gasnya baru mencapai sekitar 5,5 m3/hari (0,194 mscf/hari) setelah 10 hari dewatering. Pengamatan terhadap komposisi kimia dari air yang diproduksikan mempelihatkan bahwa kandungan logam berat yang terkandung di dalam air produksi sumur GMB 4 (As, Ba, Cd, Cr, Cu, Pb, Hg, Se, Ag dan Zn) menunjukkan masih di bawah ambang batas yang dipersyaratkan dalam Permen Lingkungan Hidup No. 85 th 1999. Sedangkan salinitas dari air yang diproduksikan masih tergolong dalam kondisi di bawah payau.
Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat 57
Cl
Ca
++
HCO3
Mg
++
SO4
Fe
++
CO3
100 10 1 0.1 1 10 100 1000
1000
= = =
++
= = = =
Bicarbonate, HCO3 =
(total)
++
Strontonium, Sr
OTHER PROPERTIES
o Specific Gravity, 60/60 F = o = pH @ 77 F
Salinity Conductivity TDS (Total Dissolved Solids) TSS (Total Suspended Solid) Turbidity Resistivity (ohm-mater)
= = = = = = = = =
mS/cm
1,219.00 mg/l 8.52 mg/l 25.9 2.32 5.90 0.00 0.00 FTU :meter @ 76.0 F mg/l mg/l mg/l
O
58
5. Sumur CBM-5 Pada tahap awal dimulainya dewatering yang dilakukan di sumur CBM-5, produksi airnya sekitar 9,78 bbl/hari.
Tabel 5.9 Monitoring Produksi Sumur CBM-5
Produksi Air No. 1 2 3 Tanggal 20-Dec-12 21-Dec-12 22-Dec-12 Pukul detik/600cc 19.50 10.20 09:15 31.69 33.25 35.23 bbl/hari 10.29 9.81 9.25 psi Gas/Liquid RPM Pompa rpm 54 54 54 756.25 852.36 Sonolog
(fluid level)
ft
Cl
Ca
++
HCO3
Mg
++
SO4
Fe
++
CO3
100 10 1 0.1 1 10 100 1000
1000
= = =
++
= = = =
Bicarbonate, HCO3 =
(total)
++
Strontonium, Sr
OTHER PROPERTIES
o Specific Gravity, 60/60 F = o =
pH @ 77 F Salinity
= = = = = = = = =
Conductivity TDS (Total Dissolved Solids) TSS (Total Suspended Solid) Turbidity Resistivity (ohm-mater)
mS/cm
1,215.00 mg/l 7.52 mg/l 25.9 2.12 4.90 0.00 0.00 FTU :meter @ 76.0 F mg/l mg/l mg/l
O
59
Hasil Pengujian Unsur Logam Berat Sumur GMB Lapangan Rambutan Air yang terproduksi dari ke 4 sumur GMB rata-rata perharinya adalah 46 bbl, jumlah produksi air sebesar itu dominan berasal dari sumur CBM-1. Karena dari hasil pengujian di laboratorium memperlihatkan adanya salinitas pada air yang terproduksikan, walaupun masih dapat dikatakan di bawah air payau mendekati air tawar, akan tetapi penelitian untuk tujuan penanganan terhadap air terproduksi tetap dilakukan dengan berbagai alternatif penanganannya. Dari hasil pengujian terhadap kandungan unsur logam berat memperlihatkan bahwa dari ke 5 air yang terproduksikan masih di bawah ambang yang dipersyaratkan dalam Permen Lingkungan Hidup No. 85 Tahun 1999.
Tabel 5.11 Hasil Pengujian Logam Berat Sumur GMB Lapangan Rambutan
No Unsur Logam Berat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Arsenic (As), mg/l Barium (Ba), mg/l Cadmium (Cd), mg/l Chromium (Cr), mg/l Copper (Cu), mg/l Lead (Pb), mg/l Mercury (Hg), mg/l Selenium (Se), mg/l Silver (Ag), mg/l Zinc (Zn), mg/l Air Produksi dari Sumur CBM CBM 1 0.0666 0.5092 0.8276 0.0000 0.0000 1.5234 0.0000 0.0759 0.0000 0.0145 CBM 3 0.3966 1.8892 0.9176 0.0000 0.0000 1.9834 0.0000 0.5659 0.0000 0.2545 CBM 4 0.4066 1.4992 0.4976 0.0009 0.0000 1.9885 0.0000 0.5622 0.0000 0.7845 CBM 5 0.4051 1.4872 0.9176 0.0009 0.0000 1.5485 0.0000 0.6672 0.0000 0.5845 PP No. 85 Th 1999 5.0, maksimum 100, maksimum 1.0, maksimum 5.0, maksimum 0.2, maksimum 5.0, maksimum 0.2, maksimum 1.0, maksimum 5.0, maksimum 50.0, maksimum
60
gas bumi, dan model Gross Production Sharing Contract (GPSC) yang merupakan usulan terbaru yang ditawarkan pada investor oleh Kementerian ESDM. Perbedaan prinsip dasar antara kontrak PSC dan GPSC adalah terletak pada ada tidaknya cost recovery. Dalam kontrak PSC pemerintah akan merecovery semua investasi investor apabila GMB berhasil diangkat. Sementara dalam model GPSC tidak ada lagi istilah cost recovery, semua investasi investor adalah murni modal usahanya sendiri, mendapatkan gas atau tidak adalah resiko usaha investor. Sebelum membahas lebih dalam mengenai model PSC dengan FTP 20% berikut akan dijelaskan poin-poin penting tentang model kontrak tersebut. Kontrak bagi hasil (PSC) pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia pada bulan Agustus 1966 pada saat pemberian kontrak antara IIAPCO dengan Permina (sekarang Pertamina). Kontrak bagi hasil minyak yang diterapkan pemerintah saat ini sebagian besar adalah 85% untuk Pemerintah dan 15% untuk Kontraktor, sedangkan untuk gas adalah 70% untuk Pemerintah dan 30% untuk Kontraktor. Model Fiskal yang digunakan untuk menghitung keekonomian pengembangan GMB menggunakan data prol biaya investasi, biaya operasi dan prol produksi seperti ditunjukkan pada Gambar 6.1; 6.2; dan 6.3. Penghitungan keekonomian pengembangan GMB dilakukan dengan model skenario sebagai berikut: 1. Total biaya investasi adalah 248,2 juta US$, dengan pengeluaran terbesar adalah pemboran untuk 370 sumur mencapai 155,7 juta US$. Pemboran tersebut dilakukan bertahap selama 23 tahun, dan pemboran terbanyak dilakukan pada kurun waktu tahun ke-2 sampai dengan tahun ke-6 dengan rata-rata pemboran 36 sumur per tahun. Biaya fasilitas untuk memproduksi gas dengan puncak produksi pada 80 mmscfd adalah 92,4 juta US$. 2. Biaya operasi terdiri dari pemeliharaan sumur yang ada, biaya produksi, unit pemrosesan, penanganan air, dan kompresi/ transportasi gas. Total biaya O&M sesuai kebutuhan operasional di atas adalah 465,0 juta US$.
62
3. Pada skenario produksi ini awal puncak produksi yaitu pada tahun ke-15 didapatkan dengan jumlah sumur sudah mencapai 232. Selanjutnya, pemboran setelah tahun ke-15 dilakukan untuk mempertahankan peak plateau produksi. Jumlah kumulatif produksi yang dihasilkan adalah 616 bcf, dan angka ini pula yang menjadi basis produksi untuk keseluruhan model keekonomian yang akan disimulasikan. Hasil evaluasi keekonomian GMB menunjukkan bahwa dengan asumsi harga gas adalah 5 US$/mmbtu, terlihat pada kontrak PSC FTP 10% non-shareable menghasilkan IRR pada rentang 37 - 39% untuk setiap perubahan nilai DMO fee. Hasil perhitungan menggunakan model PSC ini disajikan pada Tabel 6.1. Analisis perubahan tingkat diskonto, sensitivitas terhadap IRR dan sensitivitas terhadap NPV dilakukan pada pengembangan GMB dengan skema skal PSC baru yaitu 10% FTP non shareable dan DMO fee 25%.
40 40,000
35
35,000
30
30,000
15
15,000
10
10,000
5,000
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Years
CAPEX (MUS$)
Well Number
63
30,000
500,000
350,000
Annual Operating Expenditure
15,000
250,000
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Years
35,000
700,000
30,000
600,000
25,000
500,000
20,000
400,000
15,000
300,000
10,000
200,000
5,000
100,000
Gambar 6.3 Prol Produksi GMB 64 Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat
Prod. Cummulative (MMSCF)
Annual Prod. (MMSCF)
Cumm. OPEX (MUS$)
300,000
Pada tingkat diskonto yang digunakan yaitu 10%, skenario ini memberikan NPV untuk kontraktor yaitu 107,8 MM$, sedangkan PV untuk GOI adalah 255,7 MM$. Jika tingkat diskonto yang dipakai oleh kontraktor sudah mengakomodasi nilai resiko sebesar 5%, sehingga MARR kontraktor ditetapkan 15%, maka NPV kontraktor yang diperoleh masih pada 46,4 MM$ dan PV bagi pemerintah adalah 120,7 MM$ (Gambar 6.4 dan 6.5). Analisis sensitivitas terhadap NPV kontraktor dan IRR kontraktor dilakukan berdasarkan perubahan 4 parameter, yaitu jumlah produksi, harga dasar pada 5,0 US$/mmbtu, biaya kapital dan biaya operasi. Analisis sensitivitas telah dilakukan dengan varian 30%. Setiap perubahan 10% parameter volume atau harga dari nilai dasar menyebabkan pergeseran kontraktor IRR sebesar 2,5%. Sedangkan setiap perubahan 10% biaya kapital atau biaya operasi, memberikan pergeseran kontraktor IRR masing-masing 0,8% atau 0.4%.
65
66
Perubahan jumlah produksi dan harga lebih sensitif terhadap kontraktor NPV, kemudian disusul biaya kapital dan biaya operasi. Setiap perubahan 10% parameter volume atau harga dari nilai dasar menyebabkan pergeseran NPV kontraktor sebesar 17,2 juta US$. Sedangkan setiap perubahan 10% biaya kapital atau biaya operasi, memberikan pergeseran NPV kontraktor 2,3 2,8 juta US$ (Gambar 6.6).
Model telah diuji dengan menggunakan asumsi biaya-biaya pengembangan GMB di Indonesia dengan skenario produksi yang OPTIMIS. Dari beberapa hasil simulasi di atas, kondisi terbaik scal term untuk pengembangan GMB adalah dengan bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor, yaitu 55 : 45 dengan tetap mencantumkan faktor FTP 10% non shareable. Pada kondisi tersebut keekonomian pengembangan GMB dapat tercapai oleh kontraktor dengan tingkat yang wajar dan memberikan pendapatan pemerintah yang optimum. Untuk mengetahui kondisi tersebut dilakukan penggambaran sensitivitas jika share divariasikan pada rentang 30 45% dengan interval 5%.
67
Hasil evaluasi keekonomian GMB menunjukkan bahwa dengan asumsi harga gas adalah 5 US$/mmbtu, terlihat pada kontrak PSC FTP 10% non shareable menghasilkan IRR pada rentang 32 39% untuk setiap perubahan nilai share. Sensitivitas terhadap IRR dan sensitivitas terhadap NPV dilakukan pada pengembangan Gas Metana Batu bara dengan skema skal PSC baru, yaitu 10% FTP non shareable dan DMO fee 100% pada variasi harga gas. Hasil simulasi model skal di atas menunjukkan pengaruh harga jual gas terhadap perubahan IRR kontraktor pada variasi split yang digunakan. Analisis menggunakan harga moderat 5 US$/mmbtu, menunjukkan bahwa IRR yang diperoleh kontraktor berada di atas 35% pada bagi hasil kontraktor di atas 40%. Kondisi IRR tersebut dapat dianggap wajar mengingat risiko pengusahaan GMB belum dapat terkuantikasi secara detil. Dengan bagi hasil untuk kontraktor berada pada rentang 40 45%, pendapatan pemerintah masih terjaga dengan rasio GOI take terhadap GR, yaitu 45 50%. GOI Take terhadap GR untuk kondisi base berada pada rentang 38 50%. Hal ini menunjukkan dari sisi penawaran pengembangan proyek GMB berada pada posisi yang adil bagi kontraktor dengan ditunjukkan nilai maksimal GOI Take/GR 50% yang berarti sisanya adalah porsi cost recovery dan pendapatan kontraktor. 6.2. Pemanfatan GMB Dalam pemanfaatan lapangan GMB di sisi hilir sampai ke konsumen dilakukan analisis beberapa moda transportasi GMB ke konsumen ditinjau dari tingkat keekonomiannya sehingga didapatkan opsi yang dapat memberikan return yang baik bagi badan usaha. Beberapa moda transportasi yang akan ditinjau antara lain mini LNG plant, CNG mother dan CNG daughter, dan jaringan perpipaan. Pemilihan moda transportasi sangat dipengaruhi oleh jumlah cadangan, proyeksi produksi gas serta kontur wilayah geogra lapangan GMB itu sendiri. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan data GMB lapangan Rambutan.
68
1. Mini LNG Plant Opsi pertama perhitungan keekonomian hilir GMB dengan menggunakan moda transportasi LNG. Untuk dapat melakukan perhitungan keekonomian, maka terlebih dahulu dikembangkan/ dibuat suatu model Cash Flow yang akan menghasilkan indikator keekonomian. Model keekonomian ini memuat serangkaian perhitungan dengan data investasi (Capex) dan biaya-biaya operasi (Opex) menjadi input yang akan menghasilkan parameter indikator ekonomi. Biaya Investasi Mini LNG Plant direncanakan dibangun dengan kapasitas 18 mmscfd, dengan investasi sebesar 73,736,527 US$ dan komponen biaya investasinya sebagai berikut: Biaya Langsung: 1. Biaya Total Bare Modul 2. Biaya pembelian lahan 3. Biaya fasilitas pelayanan/servis 4. Biaya pengembangan lahan Biaya Tidak Langsung: 1. Biaya tak terduga 2. Biaya kontraktor 3. Biaya engineering, supervisi dan start-up. Sedangkan untuk transportasi Mini LNG plant menggunakan truk yang digunakan untuk menyimpan, mengirim dan mengeluarkan LNG ke konsumen. Biaya Operasional Biaya Operasional terdiri dari biaya bahan langsung dan utilitas, biaya tenaga kerja dan peralatan perkantoran, asuransi, serta beban pemasaran dan administrasi, yang terbagi menjadi: Fixed Cost: Biaya bahan langsung (adsorbent, biaya operasi gas turbine)
69
Variable Cost: 1. Biaya asuransi 2. Biaya beban pemasaran dan administrasi 3. Biaya tenaga kerja dan operasional kantor Besarnya biaya operasional pada perhitungan ini adalah sebesar 1.084.495,37 US$ untuk Fixed Cost dan 2.610.182,03 US$ untuk Variable Cost. Analisis Keekonomian LNG Mini LNG Plant direncanakan dibangun dengan kapasitas 18 mmscf dengan investasi sebesar 73.736.527 US$ dan masa operasi pabrik selama 17 tahun. Dalam perhitungan ini harga dasar diperoleh dari perhitungan keekonomian hulu sebesar 3,89 US$/mmbtu. Data dan asumsi yang digunakan dalam perhitungan keekonomian LNG adalah sebagai berikut: Life time: 17 tahun Lamanya waktu dalam perhitungan keekonomian LNG didasarkan pada hasil simulasi laju produksi GMB. Pajak: 30% Besarnya nilai pajak ini adalah tarif pajak tertinggi yang diatur pada UU Pajak Penghasilan Pasal 17 Ayat 1(b), 2(a), 3 dan 7, dengan tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Usaha Dalam Negeri dan Perusahaan Asing yang mengacu perundangan di Indonesia dalam bentuk usahanya dikenakan tarif pajak, yaitu tarif tunggal (28%) dan akan ada ketentuan baru tahun 2010, yaitu 25%. Nilai tarif tersebut masih dapat berubah lagi dengan tarif pajak tersendiri atas penghasilan tertentu selama tidak melebihi tarif pajak tertinggi, yaitu 30%. Depresiasi: Straight Line Depresiasi adalah penurunan nilai aset seiring dengan berjalannya waktu. Salah satu metode perhitungan depresiasi adalah metode straight line (metode penyusutan garis lurus). Dalam metode garis lurus ini, lebih melihat aspek waktu daripada aspek kegunaan. Metode ini paling banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan
70
karena paling mudah diaplikasikan dan lebih mudah dalam menentukan besarnya penyusutan, dengan beban penyusutan untuk tiap tahun nilainya sama besar dan tidak dipengaruhi dengan hasil atau output yang diproduksi. Target IRR: 20% Internal Rate of Return (IRR) adalah suatu tingkat bunga yang bila dipakai mengkonversikan semua penghasilan dan pengeluaran dan kemudian menjumlahkannya, maka akan diperoleh nilai NOL. Jadi suatu proyek dianggap layak apabila IRR lebih besar daripada cost of capital (bunga bank) ditambah faktor risiko yang mencerminkan tingkat risiko dari proyek tersebut serta ditambah tingkat keuntungan yang diharapkan oleh suatu badan usaha. Untuk memenuhi kepentingan stakeholders atau badan usaha, maka model keekonomian dimodikasi Target IRR sebesar 20%. Dari hasil perhitungan keekonomian diperoleh indikator ekonomi untuk proses dan transportasi LNG sampai ke konsumen sebagai berikut:
Tabel 6.2 Indikator Keekonomian Proses dan Transportasi LNG
LNG Processing Fee POT (PBP) IRR NPV PI (BCR) Gas Sold Prices (LNG) 7.68 US$/mmbtu 6.9 years 20.00% US$ 64,300,095 1.94 11.57 $/mmbtu Transportation Fee POT (PBP) IRR NPV PI (BCR) Gas Sold Prices 0.50 US$/mmbtu 7.0 years 20.01% US$ 5,841,614 2.09 12.07 US$/mmbtu
Dari tabel di atas diketahui dengan harga hulu awal sebesar 3,89 US$/mmbtu (dan mengalami eskalasi 3% per tahun) diperoleh harga LNG sampai ke konsumen sebesar 12,07 US$/mmbtu, dengan proyeksi cash ow terlihat pada Tabel 6.2 dan Tabel 6.3 2. CNG Plant Opsi kedua dari pemanfaatan GMB yang berlokasi di lapangan Rambutan, Palembang, Sumatera Selatan adalah dengan
Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat 71
menggunakan moda transportasi CNG . Skenario dari moda transportasi ini adalah mengalirkan GMB dari stasiun pengumpul utama ke industri-industri yang berada di Palembang dan sekitarnya (sebagai contoh adalah PT. Pusri) melalui moda transportasi CNG Terresterial menggunakan trailer CNG. CNG adalah gas bumi yang dimanfaatkan pada tekanan tinggi sehingga volumenya menjadi sekitar 1/300 dari volume gas bumi pada keadaan standar (LNG = 1/600). Tujuan pemampatan gas bumi itu adalah agar diperoleh lebih banyak gas yang dapat ditransportasikan per satuan volume vessel. Tekanan pemampatan CNG dapat mencapai 250 bar dan temperatur -30oC, tergantung pada komposisi dan teknologi pengangkutannya. Komposisi gas bumi yang akan dikirim ke konsumen berupa CNG harus sudah memenuhi spesikasi gas komersial seperti batasan maksimum kandungan air, CO2 dan hidrokarbon berat. Selain itu, penyimpanan gas pada tekanan yang sangat tinggi mensyaratkan batasan yang ketat terhadap kandungan air dan hidrokarbon berat untuk mencegah terjadinya kondensasi dan pembentukan hidrat. Kapasitas terpasang untuk CNG plant ini adalah sebesar 18 mmscfd. Angka tersebut diasumsikan dapat mengakomodir laju produksi GMB dari lapangan Rambutan, termasuk di dalamnya terdapat swing production rate hingga 130%. Produksi gas CNG adalah sebesar 95% dari total produksi GMB dengan asumsi konsumsi penggunaan bahan bakar proses maksimal adalah sebesar 5%. Setelah harga beli GMB dari hulu diketahui dari hasil simulasi model keekonomian hulu, maka langkah selanjutnya adalah membuat model keekonomian hilir, yaitu dengan menggunakan opsi kedua pembangunan CNG Plant . Sama halnya dengan perhitungan keekonomian LNG , harga gas hulu untuk CNG Plant ini juga dieskalasi sebesar 3% per tahun hingga akhir masa proyek. Asumsiasumsi yang digunakan dalam pengembangan model hilir tersebut adalah seperti yang tertera pada Tabel 6.3. Dari hulu, GMB kemudian akan mengalami proses sweetening dan akan dimampatkan hingga tekanan mencapai 200 bar. CNG tersebut kemudian akan ditransportasikan ke konsumen pertama terdekat, yakni industri yang berlokasi di sekitar Palembang.
72 Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat
Harga Beli Gas (dari hulu) Construction Time Plant Lifetime (18 MMSCFD) Equity Tax Depreciation Methode Loan Period
3.89 USD/mmbtu (eskalasi 3%/tahun) 1 year 17 years 30% 30% Straight Line 6 years
Proses Nilai Capex atau biaya investasi pembangunan proses CNG Plant adalah sebesar 8,10 MMUS$. Biaya Capex CNG untuk proses tersebut meliputi investasi komponen total, metering, tanah dan biaya contingency (biaya tak terduga) sebesar 5%. Biaya operasionalnya (Opex) adalah sebesar 1,47 MMUS$, mencakup biaya operasional, pekerja dan perawatan (O&M). Simulasi model keekonomian bagian proses CNG menghasilkan processing fee sebesar 1,81 US$/mmbtu, dengan demikian harga jual gas CNG (keluar dari proses) adalah sebesar 5,70 US$/mmbtu. Berikut disajikan besaran indikator keekonomian dan harga CNG saat keluar dari proses (Tabel 6.4). Transportasi Nilai Capex atau biaya investasi transportasi CNG melalui jalur darat (trailer) adalah sebesar 10,20 MMUS$. Biaya investasi transportasi ini merupakan biaya pembelian trailer-trailer CNG dengan kapasitas 18 mmscfd sehingga besarnya sangat dipengaruhi oleh harga beli trailer tersebut. Trailer yang digunakan berkapasitas 133 mscf, sehingga diperlukan kurang lebih 68 trailer dengan asumsi RTD yang digunakan adalah 12 jam. Biaya operasional (Opex) dari transportasi CNG menggunakan trailer adalah sebesar 0,51 MMUS$, meliputi biaya operasional dan perawatan (O&M) trailer.
Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat 73
ECONOMIC INDICATORS Processing Fee POT (PBP) IRR NPV PI (BCR) Gas Sold Prices 1.81 US$/mmbtu 6.0 years 20.02% US$ 4,827,038 1.64 5.70 US$/mmbtu
Simulasi model keekonomian bagian transportasi CNG menghasilkan transport fee sebesar 0,75 US$/mmbtu, sehingga harga jual CNG hingga ke industri terdekat adalah sebesar 6,45 US$/mmbtu. Berikut merupakan indikator keekonomian transportasi CNG (Tabel 6.5).
Tabel 6.5 Indikator Keekonomian Transportasi CNG
ECONOMIC INDICATORS Transport Fee POT (PBP) IRR NPV PI (BCR) Gas Sold Prices 0.75 US$/mmbtu 7.0 years 20.02 % US$ 10,345,017 2.09 6.45 US$/mmbtu
Dari hasil simulasi model keekonomian hilir CNG dapat dikatakan bahwa opsi moda transportasi GMB dengan menggunakan transportasi CNG layak dari segi keekonomian sehingga dimungkinkan untuk dikembangkan. Hal ini dapat dilihat dari
74 Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat
nilai IRRnya yang mencukupi (20%) dan menghasilkan nilai PI (Protability Index) yang tinggi (di atas 1,5). Nilai PI ini merupakan nilai rasio NPV dengan investasi awal. Nilai PI dianggap layak dari segi keekonomian bila bernilai di atas 1. Berikut disajikan proyeksi cash ow pada model keekonomian hilir CNG. 3. Jaringan Perpipaan Transportasi gas bumi dengan menggunakan pipa adalah opsi ketiga yang paling umum dan paling banyak digunakan. Hal ini dikarenakan eksibilitas yang tinggi dari segi kapasitas dan jarak dan juga biaya investasinya. Biaya pembangunan pipa untuk daerah offshore lebih mahal dibandingkan dengan biaya pembangunan pipa untuk daerah onshore, sehingga untuk daerah onshore dengan jarak yang cukup jauh, moda transportasi dengan menggunakan LNG lebih cenderung dipilih. Gambar 6.7 berikut memperlihatkan biaya transportasi gas bumi dengan menggunakan pipa dan tanker LNG. Dari gambar tersebut terlihat bahwa biaya transportasi gas bumi dengan pipa onshore akan lebih murah dibandingkan dengan tanker LNG jika jarak dari sumber gas ke konsumen kurang dari 2.200 km,
Gambar 6.7 Biaya Transportasi Gas Bumi dengan Menggunakan Pipa dan Tanker LNG
75
sedangkan biaya transportasi gas bumi dengan pipa offshore akan lebih murah dibandingkan dengan tanker LNG jika jarak dari sumber gas ke konsumen kurang dari 700 km. Opsi ketiga dari pemanfaatan GMB adalah dengan langsung mendistribusikannya melalui jaringan perpipaan (pipeline). Skenario ini ditambahkan mengingat bahwa pada lokasi GMB terdapat ruas jaringan transmisi gas bumi milik PT. Pertamina Gas (PT. Pertagas). Sama halnya dengan CNG, pada model keekonomian hilir jaringan perpipaan telah ditentukan asumsi-asumsi perhitungan Tabel 6.6.
Tabel 6.6 Asumsi Perhitungang untuk Jaringan Perpipaan g
ASSUMPTION Harga Beli Gas (dari hulu) Construction Time Plant Lifetime (18 MMSCFD) Equity Tax Depreciation Methode Loan Period 3.89 US$/mmbtu 1 year 17 years 30% 30% Straight Line 5 years
Setelah harga gas hulu dari GMB diketahui, maka akan dihitung nilai akhir harga jual gas pipa hingga industri terdekat. Khusus untuk moda transportasi ini hanya akan digunakan 1 jenis aliran kas saja, yaitu untuk menghitung processing fee. Sedangkan untuk perhitungan transport fee akan ditentukan langsung berdasarkan tarif (toll fee). Proses Nilai Capex atau biaya investasi untuk gas pipa (pipeline) adalah sebesar 6,32 MMUS$. Biaya operasionalnya (Opex) adalah sebesar 0,15 MMUS$, mencakup biaya operasional pekerja dan perawatan (O&M).
76 Gas Metana Batu bara Energi Baru untuk Rakyat
Simulasi model keekonomian untuk proses gas pipa menghasilkan processing fee sebesar 1,35 US$/mmbtu, dengan demikian harga jual gas pipa (keluar dari proses) adalah sebesar 5,24 US$/mmbtu. Pada Tabel 6.7 terlihat indikator keekonomian dari proses gas pipa.
Tabel 6.7 Indikator Keekonomian Proses Gas Pipa
ECONOMIC INDICATORS Processing Fee POT (PBP) IRR NPV PI (BCR) Gas Sold Prices 1.35 US$/mmbtu 5.3 years 20.01% US$ 1,172,271 1.20 5.24 US$/mmbtu
Transportasi Khusus untuk gas pipa, karena telah adanya ruas jaringan transmisi gas milik PT. Pertagas, maka biaya transportasi pipa dihitung berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi Nomor: 167/Tarif/BPH Migas/Kom/II/2009 tentang Penetapan Tarif Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa Pada 32 (Tiga Puluh Dua) Ruas Transmisi Kepada PT. Pertagas. Asumsi yang digunakan adalah gas pipa ini akan langsung dialirkan ke PT. Pusri Palembang, sehingga biaya toll fee dari lapangan Rambutan hingga PT. Pusri adalah sebesar 0,72 US$/mmbtu untuk pipa transmisi total sepanjang 159,11 km. Dengan demikian harga jual gas pipa hingga ke PT. Pusri adalah sebesar (5.24 + 0.72) US$/mmbtu = 5.96 US$/mmbtu. 6.3. Perbandingan Harga GMB Dari hasil perhitungan keekonomian ketiga opsi moda transportasi pemanfaatan GMB, dapat dilihat pada Tabel 6.8 yang berisikan biaya Capex, Opex serta harga akhir jual gas.
77
Tabel 6.8 Harga Jual Gas Tingkat Konsumen Akhir untuk Masing-masing Opsi Moda Transportasi Gas