You are on page 1of 8

ANALISA PASAL 7 DAN 8 UU NO.

10 TAHUN 2004 DAN UU NO 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN

AREY LUTFIA PUTRI NIM. 110710101139 KELAS B

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA UNIVERSITAS JEMBER FAKULTAS HUKUM 2013

UU No. 10 Tahun 2004 Pasal 7: (1) Jenis hierarki Peraturan Perundangundangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah. Pasal 7

UU No. 12 Tahun 2012

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. b.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah c. Pengganti Undang-Undang; d. d. Peraturan Pemerintah; e. e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan (2) Peraturan Daerah sebagaimana g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. dimaksud ayat (1) huruf e meliputi: (2) kekuatan hukum Peraturan Perundangsesuai dengan hierarki a. Peraturan daerah provinsi dibuat oleh undangan dewan perwakilan rakyat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). provinsi bersama dengan gubernur; Pasal 8 b. Peraturan Daerah kabupaten /kota dibuat oleh ewan perwakilan rakyat (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam daerah kabupaten/kota bersama Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan bupati wali/kota; yang ditetapkan oleh Majelis c. Peraturan Desa/peraturan yang Permusyawaratan Rakyat, Dewan setingkat, dibuat oleh badan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan perwakilan desa atau nama lainnya Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah bersama dengan kepala desa atau Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, nama lainnya. Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata yang setingkat yang dibentuk dengan cara pembuatan peraturan Desa/peraturan Undang-Undang atau Pemerintah atas yang setingkat diatur dengan Peraturan perintah Undang-Undang, Dewan Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat (4) Jenis Peraturan Perundang-ndangan Daerah Kabupaten/Kota, selain sebagaimana maksud pada ayat (1), Bupati/Walikota, Kepala Desa atau diakui keberadaannya dan mempunnyai setingkat. kekuatan hukum mengikat sepanjang (2) Peraturan Perundang-undangan diperintah oleh peraturan yang lebih tinggi sebgaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai

(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundngundangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal 8 Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang: a. Mengatur lebih lanjut ketentuan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945yang meliputi: 1. hak-hak asasi manusia; 2. hak dan kewajiban warga negara; 3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; 4. wilayah negara dan pembagian daerah; 5. kewarganegaraan dan kependudukan; 6. keuangan negara. b. diperintahkan oleh suatu undangundang untuk diatur dengan UndangUndang.

kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Berdasarkan pasal tersebut, maka perbedaan mendasar Undang-Undang tersebut sebagai berikut. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 1. Alasan perubahan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 bahwa terdapat kelemahan-kelemahan yakni sebagai berikut:1 a. Materi dari Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 benyak yang menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan kepastian hukum; b. Teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten; c. Terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan d. Penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam bab sesuai dengan sistematika. Salah satu bentuk kesalahan tersebut yakni dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Ketetapan MPR tidak masuk dalam hierarki, sedangkan didalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat masuk dalam hierarki untuk penyempurna undang-undang sebelumnya. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat menurut Penjelasan Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003. Ketetapan MPR merupakan Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz). Seperti juga dengan Batang Tubuh UUD 1945, maka Ketetapan MPR ini juga berisi garis-garis besar atau pokok kebijakan negara, sifat norma hukumnya masih secara garis besar, dan merupakan norma hukum tunggal dan tidak dilekati oleh norma sanksi

Penjelasan Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

hal inipun sama dengan UUD 1945.2 Namun mengapa Ketetapan MPR tidak masuk dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengingat masih ada ketetapan MPR yang masih beraku. Dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tersebut, seluruh Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang berjumlah 139 dikelompokkan ke dalam 6 pasal (kategori) sesuai dengan materi dan status hukumnya. Substansi Ketetapan MPR tersebut adalah:3 1.Kategori I: TAP MPRS/TAP MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8 Ketetapan) 2.Kategori II: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 Ketetapan) 3.Kategori III: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 (8 Ketetapan) 4.Kategori IV: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang (11 Ketetapan) 5.Kategori V: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib Baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 Ketetapan) 6.Kategori VI: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 Ketetapan)

2. Kekeliruan mengeluarkan Tap MPR dari jenis dan tata susunan peraturan perundangundangan sejak diundangkannya UU No 10 Tahun 2004 itu akhirnya disadari pembentuk UU. Hal ini ditandai dengan di undangkannya UU No 12 Tahun 2011 yang diundangkan tanggal 12 Agustus 2011 lalu yang memaksukannya kembali Tap MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Meskipun UU No 12 Tahun 2011 dalam pertimbangannya menyebutkan dalam konsideran adanya kekurangan pada UU No 10 Tahun 2004, namun sebenarnya lebih tepat kalau disebut adanya kekeliruan dalam menyusun dan membentuk UU No 10 Tahun 2004, khususnya berkaitan dengan dikeluarkannya Tap MPR sebagai salah satu jenis dan dari susunan peraturan perundangundangan. 4

Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-undangan 1, Yogyakarta: Kanisius, hal. 100. http://id.wikipedia.org/wiki/Ketetapan_MPR_Nomor_I/MPR/2003, Diakses tanggal 16 Mei 2013 Diakses

http://boyyendratamin.blogspot.com/2011/11/tap-mpr-kembali-masuk-dalam-tata-urutan.html, pada tanggal 16 Mei 2013

Memahami UU No 12 Tahun 2011 sebagai pengganti UU No.10 tahun 2004, maka setidaknya beberapa persoalan yang terjadi dalam teknis pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dibawah UU No 10 Tahu 2004 -- khususnya terhadap pengeluaran Tap MPR dari jenis dan susunan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dapat diatasi dan dikembalikan pada posisi yang benar dan konsistensi terhadap tertip hukum kembali ditegakkan. Tetapi sekali lagi UU No 12 Tahun 2011 dalam menjelaskan dalam penjelasannya terdapat materi baru yang diatur, dan materi baru itu disebutkan menambahkan Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan PerundangUndangan dan hierarkhinya ditempatkan dibawah UUD. Dan hal ini sebenarnya bukan materi baru, melainkan adanya kelalaian dan kealfaan dalam membentuk dan menyusun UU No 10 Tahun 2004. Sebab sudah terang adanya dalam TAP MPR No III/MPR/2000 sudah ditetapkan Tap MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya setingkat dibawah UUD 1945. Jadi dimasukannya kembali Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan perundang-undangan dalam UU No 12 Tahun 2011 sesungguhnya bukanlah penambahan materi baru, melainkan memperbaiki kesalahan pembentuk UU dalam menyusun dan membentuk UU sebelumnya yang digantikan UU No 12 tahun 2011 3. Dalam pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 pengertian tentang Ketetapan MPR tidak ada dalam ketentuan umum, namun hanya terdapat didalam penjelasan. Hal ini juga menimbulkan permasalahan baru, maka dalam hal ini Ketetapan MPR tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat namun diakui keberadaannya, hal ini dijelaskan pada pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011, berbeda dengan Peraturan Perundang-undangan yang lainnya yang mana tidak hanya diakui keberadaannya tetapi juga mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Peraturan Daerah 1. Didalam Pasal 7 ayat (1) huruf e UU No. 10 Tahun 2004 menjelaskan tentang Peraturan Daerah saja. Selanjutnya mengenai Peraturan Daerah tersebut diperjelas pada pasal 7 ayat (2) yang membagi peraturan daerah menjadi 3 yaitu Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah kabupaten/kota, Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat. Mengenai Peraturan Perundang-undangan lain tidak masuk dalam Batang Tubuh, namun masuk pada penjelasan yaitu peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau setingkat. Sehingga Peraturan tersebut hanya diakui keberadaannya, sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat antar Peraturan satu dengan yang lainnya. Mengenai Peraturan Desa/peraturan yang setingkat pengertiannya ada pada ketentuan umum, yakni pada Pasal 1 ayat (8). 2. Didalam Pasal 7 ayat (1) huruf f dan g UU No. 12 Tahun 2011 menjelaskan tentang Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Sehingga Peraturan Kabupaten/Kota tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Daerah Provinsi. Hal inipun dijelaskan pada pasal 7 ayat (2) bahwa kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki. Sedangkan mengenai Peraturan lainnya diatur pada Pasal 8 ayat (1) yaitu peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau setingkat. Peraturan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Mengenai Pengertian Peraturan desa tidak dijelaskan, baik dalam ketentuan umum maupun didalam penjelasannya. 3. Dalam UU No 12 Tahun 2011 tersebut ditegaskan pula, bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya. Artinya ketentuan ini memulihkan kembali keberadaan Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang kekuatan hukumnya lebih kuat dari UU. Tetapi disisi lain, dengan dipecahnya kedudukan Peraturan Daerah yang tadinya dalam Tap MPR No III/MPR/2000 hanya disebut Peraturan Daerah (Perda) saja tanpa membedakannya Perda Propinsi dengan Perda Kabupaten/Kota. Dengan dipercahnya Perda menjadi Perda Propinsi dan di bawahnya Perda kabupaten Kota, maka tentu keberadaan Perda Kabupaten/Kota lebih rendak kedudukannya dari Perda Propinsi dan sekaligus mengandung makna Perda kabupaten/Kota tidak boleh bertentangan dengan Perda Propinsi. Sebelumnnya dalam UU No 1o Tahun 2004 dan

sejalan dengan Tap MPR No III/MPR/200 kedudukan Perda Propinsi maupun Perda Kabupaten Kota berda dalam satu kotak dan tidak hirarkhis. Ini bahkan terlihat jelas dalam ketentuan Pasal 7 ayat (5) UU No.10 Tahun 2004. Akan tetapi dengan dipecahnya Perda menjadi Perda Propinsi dan Perda kabupaten Kota, scara hierarkhi, maka secara tidak lansung terkait dengan persoalan regulasi dalam implementasi otonomi daerah. Persoalan ini tentu menjadi masalah sendiri dan akan kita bahas dalam kesempatan lain.5

REFERENSI
Soeprapto, Maria Farida Indrati , Ilmu Perundang-undangan 1, Yogyakarta: Kanisius, 2007. http://id.wikipedia.org/wiki/Ketetapan_MPR_Nomor_I/MPR/2003, Diakses tanggal 16 Mei 2013 http://boyyendratamin.blogspot.com/2011/11/tap-mpr-kembali-masuk-dalam-tata-urutan.html, Diakses pada tanggal 16 Mei 2013 http://boyyendratamin.blogspot.com/2011/11/tap-mpr-kembali-masuk-dalam-tata-urutan.html, Diakses pada tanggal 16 Mei 2013

http://boyyendratamin.blogspot.com/2011/11/tap-mpr-kembali-masuk-dalam-tata-urutan.html, pada tanggal 16 Mei 2013

Diakses

You might also like