You are on page 1of 57

54

Gelombang P : Garis bergerigi pada lead inferior dan gelombang P dengan kecepatan
teratur pada V1.
Interval PR : Tidak terdapat suatu hubungan dalam keteraturan antara gelombang P
dan R, sehingga Interval PR tidak dapat diukur.
Durasi QRS : Durasinya kurang dari 0.12 detik (terdapat tiga satuan luas persegi
berukuran kecil).
Pola QRS : Berdasarkan morfologinya (ilmu yang mempelajari tentang berbagai
bentuk) pola dia atas normal dan gelombang R mengalami perubahan
ukuran ketika melintasi lead dada.
Segmen ST : Secara keseluruhan berupa garis isoelektrik (garis maya).
Interval QT : Intervalnya adalah 10.5 satuan luas persegi, maka interval
QT = 10.5 * 0.04 = 420 ms.
Interval QTc : Rate = 100 bpm, sehingga perhitungan interval QTnya sesuai dengan
persyaratan yaitu 420 ms (interval R-R = 0.6 s).
Gelombang T : Gelombang T menjadi tidak jelas karena adanya garis bergerigi atau
dikarenakan aktivitas gelombang P yang cepat.

Kesimpulan dari analisis di atas adalah terdapatnya axis normal, atrial flutter,
dan aktivitas gelombang P pada kecepatan 300/min (minute). Irama ventrikel di atas
teratur dengan perbandingan 1:1 dan irama atrium juga teratur (gelombang P).


55

Gambar 2.24b EKG Atrial Flutter 2:1
(direkam dari seorang pria berumur 81 tahun)
(Sumber: http://www.cardioweb.co.uk/ecg/ecgpage104.asp)

Analisis EKG di atas:
Rate : Di antara gelombang R terdapat 2 satuan luas persegi besar, maka
Rate = 300/2 = 150 bpm.
Ritme : Gelombang R terlihat dalam interval tidak teratur dengan garis
bergerigi pada lead inferior dan gelombang P dengan kecepatan teratur
pada V1.
Axis : Lead I dan II positif, maka dapat dipastikan axis tersebut normal.
Gelombang P : Garis bergerigi pada lead inferior dan gelombang P dengan kecepatan
teratur pada V1.
Interval PR : Tidak terdapat suatu hubungan dalam keteraturan antara gelombang P
dan R, sehingga Interval PR tidak dapat diukur.
56
Durasi QRS : Durasinya kurang dari 0.12 detik (terdapat tiga satuan luas persegi
berukuran kecil).
Pola QRS : Berdasarkan morfologinya (ilmu yang mempelajari tentang berbagai
bentuk) pola dia atas normal dan gelombang R mengalami perubahan
ukuran ketika melintasi lead dada.
Segmen ST : Secara keseluruhan berupa garis isoelektrik (garis maya).
Interval QT : Intervalnya adalah 9 satuan luas persegi, maka interval
QT = 9 * 0.04 = 360ms.
Interval QTc : Rate = 150 bpm, sehingga perhitungan interval QT yang sesuai dengan
persyaratan yaitu QTc = 360/0.632 = 569 ms.
Gelombang T : Gelombang T menjadi tidak jelas karena adanya garis bergerigi atau
dikarenakan aktivitas gelombang P yang cepat.

Kesimpulan dari analisis di atas adalah terdapatnya axis normal, atrial flutter
dengan perbandingan 2 : 1, aktivitas gelombang P pada kecepatan 300/min (minute), dan
terdapatnya perpanjangan pada QTc.

2.6.7.7 Atrial Fibrillation
Atrial Fibrillation beriarama sangat kacau. Otot-otot atrium berkontraksi secara
random. Impuls tersebut dibawa ke AV node secara random pula dan interval antara
kompleks QRS selalu berubah. Atrium biasanya berdenyut antara 400-700 kali per
menit.
Karakteristik :
- Rata-rata denyut atrium biasanya antara 400-700 denyut per menit.
57
- Rata-rata denyut ventrikel biasanya antara 160-180 denyut per menit.
- Irama denyut ventrikel tidak teratur.
- Tidak ada gelombang P. Aktivitas elektrikal yang kacau atau yang disebut
gelombang f (gelombang F berukuran kecil) dapat terjadi.
- Kompleks QRS normal.

Contoh:

Gambar 2.25 EKG Atrial Fibrillation
(direkam dari seorang insinyur berumur 83 tahun)
(Sumber: http://www.cardioweb.co.uk/index.asp)

Analisis EKG di atas:
Rate : Di antara gelombang R hanya terdapat 3 satuan luas persegi besar,
berdasarkan rata-rata dari detak jantung yang bervariasi, maka
Rate = 300/3 = 93 bpm.
58
Ritme : Gelombang R terlihat dalam interval yang tidak teratur, dengan pola
pergerakan yang tidak diketahui, dan tidak terlihat adanya
gelombang P.
Axis : Lead I dan II positif, maka dapat dipastikan axis tersebut normal.
Gelombang P : Garis dasarnya tidak teratur dan tidak terlihat jelas adanya aktivitas
atrial.
Interval PR : Karena tidak ditemukannya gelombang P, maka interval PR tidak dapat
diukur.
Durasi QRS : Durasinya kurang dari 0.12 detik (terdapat tiga satuan luas persegi
berukuran kecil).
Pola QRS : Berdasarkan morfologinya (ilmu yang mempelajari tentang berbagai
bentuk) pola dia atas normal dan gelombang R mengalami perubahan
ukuran ketika melintasi lead dada.
Segmen ST : Secara keseluruhan berupa garis isoelektrik (garis maya).
Interval QT : Intervalnya adalah 9 satuan luas persegi, maka interval
QT = 9 * 0.04 = 360 ms.
Interval QTc : Rate = 93 bpm, sehingga interval QT yang seharusnya adalah 450 ms
(interval R-R = 0.64 s).
Gelombang T : Gelombang T tidak normal pada posisi negative di lead III dan aVF.

Kesimpulan dari analisis di atas adalah terdapatnya axis normal, atrial
fibrillation yang menunjukkan terdapatnya bukti-bukti kerusakan pada bagian inferior
atau dikenal dengan istilah inferior ischaemia dan interval normal dengan perpanjangan
pada QTc.

2.6.7.8 Premature Junctional Complexes (PJC)
PJC adalah impuls elektrikal yang berasal dari dekat AV node. Impuls ini terjadi
sebelum denyut sinus yang seharusnya
59
Karakteristik :
- Irama jantung tidak teratur.
- Denyut terjadi sebelum denyut sinus yang seharusnya.
- Tidak ada gelombang P positif sebelum kompleks QRS.
- Bila terdapat gelombang P, nilainya negatif, berada sebelum, bertabrakan, atau
mengikuti kompleks QRS.
- Bila gelombang P berada sebelum kompleks QRS, interval PR bisa normal, bisa
juga lebih panjang.
- Blok total dapat terjadi dengan tidak adanya kompleks QRS yang mengikuti
gelombang P.
- Kompleks QRS bisa normal, bisa juga lebih lebar.

2.6.7.9 Junctional Tachycardia
Bila terdapat 3 atau lebih PJC secara beruntun maka disebut junctional
tachycardia
Karakteristik :
- Terdapat 3 atau lebih PJC secara beruntun.
- Rata-rata denyut atrium antara 160-240 denyut per menit.
- Irama teratur, tetapi dengan denyut atrium diatas 200, AV blok dapat juga terjadi.
- Gelombang P bernilai negatif dan dapat berada sebelum, bertabrakan, atau
mengikuti kompleks QRS.
- Interval PR bisa normal, bisa juga lebih panjang.
- Kompleks QRS normal, bisa juga lebih lebar.

60
2.6.7.10 Premature Ventricular Complexes (PVC)
Karakteristik :
- Irama jantung tidak teratur.
- Gelombang P biasanya.
- Interval PR bisa normal, bisa juga lebih panjang.
- Ada kompleks QRS yang muncul sebelum denyut sinus yang seharusnya.
- Lebar kompleks QRS biasanya 0.12 detik atau lebih.
- Bentuk kompleks QRS seringkali aneh.
- Gelombang T biasanya berlawanan polaritas dengan QRS kompleks.
- Irama sinus node biasanya terganggu.

2.6.7.11 Ventricular Tachycardia
Karakteristik :
- Terdapat tiga atau lebih PVC secara beruntun.
- Rata-rata 100-220 denyut per menit.
- Irama jantung biasanya teratur tetapi bisa juga tidak.
- Gelombang P mungkin bisa dikenali. Biasanya tidak ada relasi yang tetap antara
gelombang P dan kompleks QRS.
- Bentuk kompleks QRS biasanya aneh. Kadang-kadang dapat juga terjadi
kompleks QRS yang sempit.




61
2.6.7.12 Ventricular Fibrillation
Karakteristik :
- Denyut jantung sangat cepat, tetapi biasanya terlalu tidak teratur sehingga sulit
untuk dihitung.
- Irama jantung tidak teratur.
- Bentuk gelombang eletrikal bervariasi dalam bentuk dan ukuran, tidak ada ciri
khas gelombang P, QRS, maupun T.

2.6.7.13 Escapes
Kadang dapat terjadi pause dalam aktivitas elektrikal jantung. Denyut apapun
yang muncul setelah pause disebut denyut escape. Denyut escape berasal dari tiga
tempat yang berbeda :
1. Sinus Escape
Karakteristik :
- Ada Gelombang P positif sebelum escape.
2. Junctional Escape
Karakteristik :
- Tidak ada gelombang P positif sebelum escape, tetapi QRS normal.
3. Ventricular Escape
Karakteristik :
- Tidak ada gelombang P positif sebelum escape dan kompleks QRS
berukuran lebar dan aberrant.


62
2.6.7.14 Ventricular Asytole
Ventricular asytole mewakili total absennya aktivitas eletrikal ventrikel. Karena
tidak terjadi depolarisasi maka tidak ada kontraksi ventrikel. Ini dapat terjadi bila
jantung berhenti atau dapat mengikuti terjadinya ventrikular fibrillation.
Karakteristik :
- Benar-benar tidak ada aktivitas eletrikal ventrikel.
- Kadang terdapat gelombang P.

2.6.7.15 AV Block
Delay pada AV node yang lebih lama dari 0,20 detik atau aktivitas atrium yang
tidak disalurkan ke ventrikel disebut heart block. Ada tiga derajat heart block:
1. AV Block derajat satu
Konduksi melalui node AV sedikit terlambat tetapi semua impuls dapat
terkonsuksi. Walaupun semua gelombang P diikuti oleh kompleks QRS
tetapi interval PR lebih panjang.
Karakteristik :
- Ritme seperti biasa.
- Setiap gelombang P diikuti gelombang QRS.
- Interval PR sekitar 0,2 detik lebih panjang.
- Kompleks QRS biasanya normal.
2. AV Block derajat dua tipe I
Ini adalah pemblokiran sebagian dari node AV. Perlambatan di node AV
selalu terjadi samapai semua impuls terblokir seluruhnya. Kejadian ini selalu
berulang.
63
Karakteristik :
- Laju atrium tidak terpengaruh tetapi laju ventrikel lebih lambat karena
adanya detak jantung yang terkonduksi.
- Ritme Atrium normal. Ritme ventrikel tak normal.
- Gelombang P normal.
- Inteval PR meningkat terus-menerus sampai kompleks QRS terblokir.
- Kompleks QRS normal.
3. AV Block derajat dua tipe II
Bentuk lain dari AV Block. Kondisi konduksi normal untuk sebagian besar
denyut tetapi sebagian impuls tidak terkonduksi sama sekali. Hal ini akan
menyebabkan hilangnya gelombang QRS
Karakteristik :
- Laju atrium tak terpengaruh tetapi laju ventrikel lebih lambat karena
adanya detak jantung yang terkonduksi.
- Ritme atrium normal. Ritme bentrikel tak normal.
- Gelombang P normal.
- Tidak setiap P diikuti oleh QRS.
- Interval gelombang P dapat normal atau lebih panjang namun selalu
konstan. Ada kemungkinan interval PR menjadi pendek setelah satu sela.
4. AV Block derajat tiga
Ini adalah pemblokiran node AV secara penuh dan tak ada impuls yang
melewatinya. Pada kasus ini salah satu dari kumpulan AV atau jaringan
Purkinje yang akan menjadi pemacu denyut untuk ventrikel tetapi atrium
64
tetap dipacu oleh node sinus. Sehingga tidak ada hubungan antara gelombang
P dan kompleks QRS pada EKG.
Karakteristik :
- Laju atrium tak terpengaruh tetapi laju ventrikel lebih lambat daripada
atrium.
- Laju ventrikel sekitar 40-60 denyut per menit.
- Ritmenya normal.
- Gelombang P normal.
- Tak ada hubungan antara gelombang dan kompleks QRS.
- Kompleks QRS normal atau lebih lebar.

2.6.7.16 Bundle Branch Block
Ritme pada supraventrikular ada tetapi melalui cabang berkas diblokir atau
terjadi penyimpangan. Kompleks QRS lebih lebar dan ada gelombang P sebelumnya.
Gangguan gelombang atrium dan atrial fibrillation juga dapat berhubungan dengan
penyakit ini. Dalam gangguan atrium, gelombang F dapat terlihat tetapi kompleks QRS
lebih lebar dan dalam atrial fibrillation kompleks pola QRS tak teratur, sehingga dapat
dibedakan dengan ventrikel tachycardia.
Pada suatu saat bisa sulit untuk membedakan PVC atau ventrikular tachycardia
dari bundle branch block. Masalah ini sangat rumit dan seringkali perbedaannya hampir
tidak mungkin bahkan bagi pakar elektrokardiograf.
Karakteristik :
- Kompleks QRS lebar.
- Ada gelombang P atau F mendahului kompleks QRS.
65
Atau
- Kompleks QRS lebar.
- Tidak ada gelombang P. Aktivitas listrik yang kacau atau gelombang f
(gelombang F yang kecil) terlihat.
- Ritmenya tidak normal.

2.7 Pemrosesan Sinyal Digital
Dalam pemrosesan sinyal digital terdapat beberapa gangguan eksternal di
antaranya adalah noise atau pengaburan sinyal (sinyal menjadi lebih rumit). Agar dapat
diperoleh hasil analisa yang akurat, maka noise harus dihilangkan. Noise dapat
dihilangkan dengan menggunakan teknik filtering. Dari hasil analisa yang ada dapat
dilakukan diagnosis untuk mengetahui tipe pola denyut jantung seseorang yang akan
digunakan untuk diagnosis selanjutnya.

2.7.1 Representasi Domain Waktu dari Sinyal dan Filter
Untuk dapat mengetahui waktu dari suatu sinyal, maka terlebih dahulu sinyal
tersebut dijadikan unit impuls. Dari pengukuran waktu dari unit impuls akan
menghasilkan Discrete-time signal. Unit impuls ini dapat diukur dengan menggunakan
rumus:
[ ]
{
0 , 1
0 , 0
=

=
n if
n if
n (2-6)
dimana n adalah nilai unit impuls berbentuk integer dengan range + n , yang
akan dipresentasikan dalam bentuk gambar koordinat seperti di bawah:
66

Gambar 2.26 Sinyal Digital Memanggil Sinyal Unit Impuls
Filter adalah proses transformasi dari suatu sinyal menjadi sinyal yang lain.
Dalam pemrosesan sinyal digital maka fungsi filter adalah mengubah suatu sinyal yang
memiliki noise menjadi suatu sinyal yang siap dianalisis.
} {x H y = (2-7)

Gambar 2.27 Filter Digital H
di mana x adalah sinyal input, y adalah sinyal output dan H melambangkan filter.
Respon terhadap unit impuls dari suatu filter bersifat linier untuk semua konstanta a dan
b, dan semua sinyal
1
x dan
2
x sehingga:
} { } { } {
2 1 2 1
x bH x aH bx ax H + = + (2-8)
Filter harus mempunyai fase linier dalam passband-nya agar tidak mendistorsi sinyal.
Discrete-time signal yang dilambangkan dengan ] [n x adalah jumlah unit impuls
yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

+
=
=
k
k n k x n x ] [ ] [ ] [ (2-9)
67
Apabila filter linier H diterapkan pada ] [n x maka

+
=
= =
k
k n H k x n x H n y ]} [ { ] [ ]} [ { ] [ (2-10)
Dari rumusan di atas diketahui bahwa efek dari filter linier H sepenuhnya
bergantung pada Discrete-time signal. Dengan demikian maka output [ ] n y dapat
dihitung untuk setiap input [ ] n x . Dan rumus efek linier H atau yang lebih dikenal
dengan sebutan respon impuls filter H dapat dinyatakan dengan rumus:
]} [ { ] [ k n H n h
k
= (2-11)
di mana ] [n h
k
adalah fungsi respon impuls filter H dan k adalah posisi waktu dari
sebuah impuls.
Respon impuls dari sebuah filter linier adalah fungsi perbedaan waktu antara
waktu input dan waktu respon impuls, dikenal dengan istilah linear time-invariant filter.
Output dari discrete-time linear time-invariant filter dapat diukur dengan menggunakan
rumus:
[ ]

+
=
=
k
k n x k h n y ] [ ] [ (2-12)
Apabila respon impuls berdurasi terbatas (finite duration), maka filternya disebut
Finite Impulse Response (FIR), dan apabila berdurasi tak terhingga (infinite duration),
maka disebut Infinite Impulse Response (IIR).




68
2.7.2 Representasi Domain Frekuensi dari Sinyal dan Filter
Selain unit impuls, ada jenis sinyal lain yang sangat penting yaitu complex
phasor yang mewakili nilai kompleksitas dari suatu sinyal. Phasor dinyatakan dalam
fungsi:
[ ]
n j
e n x

= (2-13)
Pergeseran pada variabel waktu mengakibatkan perkalian phasor dengan
konstanta kompleks menghasilkan fungsi:
[ ]
( )
[ ]
k j k j n j k n j
e n x e e e k n x

= = = (2-14)
di mana variabel frekuensi ( ) berada dalam periode . Frekuensi digital
tertinggi adalah yang berkorespondensi dengan frekuensi sampling sinyal.
Bila respon impulse sebuah linear time-invariant discrete-time filter adalah [ ] n h ,
maka apabila digabungkan dengan fungsi di atas, akan menghasilkan fungsi:
[ ] [ ] [ ] [ ] [ ] ( ) [ ] n x e H n x e k h k n x k h n y
j
k
k j
k

=

= =

+
=

+
=
(2-15)
dimana ( )
j
e H disebut sebagai respon frekuensi filter, ( ) ( )

j
e H G = yang
merupakan magnitudo dari fungsi ini disebut sebagai respon magnitude, dan
( ) ( )


j
e H arg = yang merupakan sudut fase disebut sebagai respon fase filter.
Turunan dari sudut fase terhadap frekuensi mempunyai unit delay. Dan delay
sinyal yang melalui filter ini dapat dinyatakan dengan fungsi frekuensi:
( )
( )



d
d
= (2-16)
dimana ( ) merupakan delay waktu yang dialami komponen frekuensi sinyal ( ) saat
melewati input menuju output filter.
69
2.7.3 Transformasi Fourier Diskrit
Suatu sinyal pada domain waktu dapat diubah menjadi sinyal pada domain
frekuensi ataupun sebaliknya dengan menggunakan Discreet Fourier Transform. Oleh
karena itu, hubungan domain waktu dengan domain frekuensi dapat diinterpretarsikan
sebagai berikut:
domain frequency domain time
iDFT
DFT




Gambar 2.28 Hubungan Domain Waktu Dan Domain Frekuensi
dimana DFT adalah Discreet Fourier Transform dan iDFT adalah inverse Discreet
Fourier Transform.
Berikut adalah contoh Discreet Fourier Transform dalam pembuatan sebuah
bandpass filter agar dapat merespon sinyal pada domain waktu dari sinyal pada domain
frekuensi tertentu. Hal pertama yang dilakukan adalah membuat representasi sinyal pada
domain frekuensi seperti gambar di bawah ini.




domain frekuensi domain waktu
Gambar 2.29 Representasi Sinyal Pada Domain Frekuensi Ke Domain Waktu

Setelah representasi domain waktu atau respon impuls didapatkan, agar sinyal
yang masuk ke dalam filter tidak mengalami peningkatan / penguatan maupun

iDFT
70
penurunan / pelemahan maka nilai dari sinyal tersebut harus diolah kembali dengan
menggunakan fungsi: 1 ) (
1
0
=

=
N
i
i x . Kemudian nilai dari tiap respon impuls dimasukkan
ke dalam

=
=
1
0
) (
N
i
i x d , dimana d adalah pembagi untuk nilai tiap respon impuls, N adalah
order dari filter (jumlah sinyal dalam respon impuls), dan x adalah respon impuls.
Selanjutnya, respon impuls yang telah dibagi dengan d diubah indexnya dari 0 s/d N-1
menjadi
( )
2
1 N +
s/d
2
N
, sehingga bentuk dari respon impuls menjadi:
Gambar 2.30 Respon Impuls

Penggeseran index dilakukan agar delay menjadi nol atau tidak ada. Hal ini
bertujuan agar sinyal yang datang tidak akan mengalami delay waktu saat melewati
sinyal filter.

2.7.4 Perancangan Filter Digital
Komponen sinyal dari suatu gelombang QRS relatif lebar frekuensinya, berkisar
antara 2-100 Hz dengan puncak pada 10-15 Hz. Output dari sebuah filter FIR fase linier
dinyatakan sebagai fungsi:
[ ] [ ] [ ] k n x k h n y
M
k
=

=0
(2-17)
71
dimana M adalah filter order. Order ke-90 (N
F
= 90) pada fase filter linier didesain
menggunakan Hamming Window dengan rumusan:
[ ] [ ] [ ] i n E i h
N
n E
F
F
N
N i F
+
+
=

=
0 1
1 2
1
(2-18)
dimana [ ] n E
0
adalah sinyal yang asli.

2.7.5 Scaling
Langkah selanjutnya setelah proses pemfilteran adalah scaling sinyal yang
bertujuan agar amplitudo rata-rata sinyal sama dengan sepuluh, dengan fungsi sebagai
berikut:
[ ]
[ ]
[ ]
min max
1
2
10
E E
n E
n E

= (2-19)
dimana
max
E dan
min
E adalah nilai maksimum dan minimum dari
1
E dalam interval
waktu tertentu.

2.7.6 Squaring dan Moving Averaging
Setelah melewati tahap scaling maka nilai sinyal dikuadratkan untuk
memperkirakan kekuatannya. Kemudian dihaluskan dengan moving window integrator.
Lebar window integrator sama dengan lima ( ) 2 , 5 1 2
1 1
= = + N N .
[ ] [ ] ( )
2
2
1
3
1
1
1 2
1

=
+
+
=
N
N i
i n E
N
n E (2-20)
dimana sinyal E
3
[n] merepresentasikan perkiraan kekuatan jangka pendek EKG yang
sudah difilter dengan perkiraan waktu n.

72
2.7.7 Dynamic Threshold
Walaupun telah melewati proses filter, terkadang masih terdapat noise ataupun
gangguan lainnya yang menyebabkan terjadinya kesalahan dalam pendeteksian
gelombang QRS. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk merancang dynamic
threshold khusus dengan algoritma sederhana untuk menghilangkan gangguan-gangguan
pada gelombang yang belum teratasi pada saat filtering. Dynamic threshold dapat
dimanfaatkan untuk pendeteksian onset dan offset pada gelombang QRS. Fungsi dari
Dynamic threshold adalah:
[ ] [ ]
[ ] [ ]
B
K
n T n E
n T n T +
+
+ = +
1
1
3
(2-21)
dimana [ ] 1 + n T dan [ ] n T adalah nilai T yang baru dan nilai T yang lama. [ ] 1
3
+ n E
adalah sinyal EKG yang telah difilter dan diperhalus, dan B adalah nilai offset.
Threshold dapat diadaptasikan dalam berbagai situasi tergantung dari faktor pembobot
K, yang akan menghasilkan nilai kecil bila diberikan nilai yang besar.
Dua peraturan dasar dalam pengaturan threshold:
1. Apabila nilai data threshold sebelumnya, nilai threshold diubah dengan
menggunakan rumus di atas. Dengan kata lain gelombang QRS tidak
dideteksi.
2. Apabila nilai data > threshold sebelumnya, nilai threshold tetap dan dari
threshold yang ada dicari titik onset (i
s
) yang menjadi kandidat gelombang
QRS. Selanjutnya setiap data EKG yang masuk dibandingkan dengan nilai
threshold yang ada hingga data bernilai lebih kecil. Setelah titik akhir (i
e
)
ditentukan dan threshold diubah sesuai dengan aturan pertama.

73


Gambar 2.31 Periode Deteksi QRS
Periode [i
s
, i
e
] dianggap sebagai alternatif periode gelombang QRS. Keputusan
untuk menentukan apakah alternatif tersebut adalah periode gelombang QRS
sesungguhnya harus dilakukan dengan menghitung area S (daerah arsiran pada Gambar
2.31) dengan menggunakan rumus:
[ ] [ ] ( )

=
=
e
s
i
i i
T
S i T i E S
3
(2-22)
Apabila S bernilai lebih besar daripada nilai S
T
pada area alternatif dalam interval [i
s
, i
e
],
maka alternatif tersebut adalah periode gelombang QRS sesungguhnya.
S
T
adalah area threshold yang merupakan salah satu dari tiga parameter dalam
algoritma dynamic threshold. Dua parameter lainnya adalah B (nilai offset) dan K (faktor
pembobot).

2.7.8 Lokasi Puncak QRS
Langkah terakhir dalam pengukuran waktu sinyal dan filter adalah mencari
lokasi puncak QRS, yaitu dengan menggunakan dynamic threshold untuk mengetahui
lokasi sinyal [ ] n E
3
maksimum dalam periode deteksi QRS.

74
2.8 Pendekatan Polinomial Chebyshev
Polinomial Chebyshev sangat berguna untuk menghilangkan noise dan
mendapatkan karakteristik dari gelombang yang ada. Untuk menghilangkan noise maka
perlu diketahui fungsi kontinu ( ) t x , posisi di mana gelombang saling berkelanjutan
tanpa noise. Fungsi kontinu ( ) t x dapat diperoleh dengan kombinasi linier dari fungsi
polinomial ( ) t y ( ) { } n k t
k
, , 1 , 0 : K = , dengan rumusan:
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )

=
= = + + + =
n
k
k k n n
t y t c t c t c t c t x
0
1 1 0 0
K (2-23)
di mana c ( ) t
k
adalah koefisien polinomial.
Dan Polinomial yang dipilih adalah polinomial Chebyshev dengan rumusan:
( ) ( ) ( ) 1 1 , cos cos
1
=

t t k t
k
(2-24)
di mana k mewakili derajat fungsi polinomial.
Hal penting yang harus diperhatikan adalah agar dapat diperoleh fungsi kontinu
yang lebih akurat dari sebuah kurva maka diperlukan nilai koefisien {c
k
} yang optimal.
Selain itu hal penting lainnya yang harus diperhatikan juga adalah fungsi polinomial
Chebyshev harus tegak lurus terhadap fungsi pembobot ( ) ( )
2
1
2
1

= t t w
( ) ( )

=
= =

=

1
1
2
0 ,
2
0 ,
, 0
1
1
j i
j i
j i
dt
t
t t
j i

(2-25)
Apabila rumus x(t) dikalikan dengan ( ) ( ) t w t
k
kemudian kedua ruas
diintegralkan dengan interval [-1, 1], maka:
75
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )

=
= =


0 ,
2
0 , 1
1
1
1
k c
k c
dt t w t t c dt t w t t x
k
k
k k k k

(2-26)
Sehingga:
( ) ( ) ( )

=
= =

0 ,
2
0 ,
1
1
1
k
k
dt t w t t x c
k k

(2-27)
Apabila rumus tersebut dihitung secara langsung maka akan menghasilkan error
dalam jumlah yang sangat banyak. Hal ini dikarenakan w(t) menjadi tak terhingga pada
t=-1 dan t=+1. Masalah ini dapat diatasi dengan mensubstitusi cos = t ke dalam
rumus, sehingga menghasilkan rumusan:
( ) ( ) ( )


d k x c
k

=
0
cos cos
1
(2-28)
Apabila rumusan di atas dinyatakan sebagai jumlah integral dengan N interval
diskrit maka akan diperoleh rumusan:
( ) ( ) ( )
( )

d k x c
N
m
N
m
N
m
k

=
+
=
1
0
1
cos cos
1
(2-29)
Apabila nilai N cukup besar, setiap integran dapat didekati secara linier melalui durasi
interval N , sehingga:
( ) ( ) ( )

=
1
0
1
1
N
m
k k
m y m y x c

(2-30)
dimana
( ) , cos

=
N
km
m y
k

dan

=
>
=
0 ,
0 ,
2
k N
k
N
(2-31)
76
Dalam penerapannya, fungsi x diperoleh dari sampling x[0], x[1], ..., x[N-1] oleh
karena itu untuk menghilangkan perbedaan yang ada, rumusan di atas dapat diganti
menjadi:
[ ] ( )

=
1
0
1
N
m
m k
m y i x c

(2-32)
dimana
( ) ( )

= m y
N
round i
m 1
1
2
(2-33)
2.9 Pengenalan Pola
Pemrosesan sinyal digital akan menghasilkan beberapa pola yang berbeda dari
sumber-sumber yang berbeda. Pola yang dihasilkan dapat menunjukkan ada atau
tidaknya kelainan pada jantung seseorang. Agar dapat mengetahui adanya kelainan atau
tidak pada jantung seseorang maka diperlukan pengenalan pola dari pola yang telah
dihasilkan.
Pola yang dihasilkan dari pemrosesan sinyal digital dibagi menjadi dua:
Pola Konkret
Pola konkret adalah pola yang dapat dilihat dan memiliki ukuran, seperti:
gambar, simbol, benda tiga dimensi, sinyal elektrokardiogram, dll.
Pola Abstrak
Pola abstrak adalah pola yang tidak dapat dilihat maupun diukur secara fisik,
contohnya: ide atau konsep. Sehingga pola abstrak sering dikenal dengan
istilah pengenalan konsep (conceptual recognition). Pengenalan pola tersebut
termasuk didalam cabang artificial intelligence yang lain. Salah satu contohnya
adalah pengenalan pola kalimat pada suatu perintah untuk kompiler mesin.
77
Recognition atau pengenalan adalah proses ketika seseroang mengenali sebuah
suara, nada lagu, arti sebuah kata, bau yang tidak sedap, dsb. Proses pengenalan tersebut
terjadi ketika seseorang membanding apa yang dilihat atau didengarnya dengan
informasi yang serupa dengan objek tersebut. Oleh karena itu, Recognition atau
pengenalan juga dapat didefinisikan sebagai proses membandingkan objek dari suatu
lingkungan (set) ke dalam suatu kelompok objek (subset) yang sama atau mirip dengan
objek yang sudah diketahui sebelumnya.
Pengenalan pola yang dimaksud dalam EKG memiliki proses yang sama dengan
proses pengenalan pada umumnya. Tepatnya, pengenalan pola terjadi ketika sinyal yang
diterima dibandingkan dengan sinyal sudah diketahui sebelumnya. Ruang lingkup
pengenalan pola dibagi menjadi dua:
1. Pengenalan pola secara alamiah oleh makhluk hidup. Pengenalan pola
tersebut dipelajari secara khusus dalam ilmu biomedika.
2. Pengenalan pola melalui penerapan teori dan teknik pengenalan pola dengan
bantuan teknologi komputer, yang dirancang untuk fungsi tertentu.
Maksudnya adalah teori dan teknik atau metode yang dikembangkan
disesuaikan dengan tujuan tertentu, contoh: metode pengenalan pola sinyal
EKG berbeda dengan metode pengenalan pola gelombang suara alat musik.

2.9.1 Proses Pengenalan Pola
Proses pengenalan pola dibagi menjadi tiga fase (E.R. Davies, 1990):
1. Data Acquisition
Data Acquisition adalah pengumpulan data dari objek fisik dengan
menggunakan transducer. Data-data yang telah terkumpul kemudian
78
dikonversikan menjadi format digital, yang lebih mudah dipahami dan diolah
oleh komputer. Apabila hasil dari transducer adalah photocells maka data
berupa nilai dari intensitas cahaya. Dan apabila transducer adalah
microphone maka data berupa nilai dari tinggi gelombang.
2. Data Preprocessing.
Data Preprocessing adalah pengelompokkan data, yang telah diukur pada
tahap Data Acquisition, menurut ciri-ciri tertentu. Data-data yang memiliki
karakteristik yang sama dijadikan set data karakteristik tertentu.
3. Data Classification
Data Classification atau klasifikasi data adalah pemilihan set data
karakteristik yang sesuai dengan fungsi yang telah dideklarasikan. Set data
karakteritik yang disesuaikan dengan set fungsi tertentu bermanfaat untuk
mengetahui apakah objek yang memiliki data tersebut dikenali atau tidak.
Gambar 2.32 Proses Pengenalan Pola
Untuk dapat melalui ketiga tahapan tersebut, input berupa gelombang EKG harus
dijadikan data digital yaitu dengan menggunakan interface card. Interface card
berfungsi untuk menghasilkan file yang berisi angka biner dari tinggi gelombang setiap
frekuensi. Hal tersebut dilakukan agar data yang diperoleh dapat diakuisisi dengan
Data
Acquisition
Data
Preprocessing
Fase I Fase II Fase III
x(r) x
N

variabel
fisik
class
Data
Classification
79
menggunakan komputer. Data yang sudah diakusisi kemudian difilter dari sinyal yang
mendistorsi untuk dikelompokkan menurut ciri-cirinya (Data Preprocessing). Selain itu
data yang telah difilter juga dapat diekstrak untuk menghasilkan paramater-parameter
yang berguna untuk menjadi set parameter yang deskriptif. Parameter yang dihasilkan
dari tahap II ini, apabila dicontohkan dengan menggunakan pengenalan seorang
manusia, dalam pengenalan pola, adalah tinggi, berat badan, warna kulit, warna rambut,
dsb. Sedangkan, di dalam EKG parameter yang dimaksudkan adalah durasi gelombang,
luas area, koefisien Chebyshev, dsb.
Setelah melewati tahap-tahap tersebut maka data digital siap dijadikan input
untuk tahap klasifikasi. Tahap klasifikasi bermanfaat untuk mengelompokkan objek ke
dalam subset kelasnya. Dalam tahap klasifikasi yang menghasilkan prototipe ini
digunakan berbagai metode dalam cabang artificial intelligence seperti neural networks,
fuzzy logic, minimum distance classifier, knowledge based expert system, dsb. Namun
menurut penelitian yang ada diketahui bahwa metode-metode tersebut tidak menjamin
dikenalinya suatu objek karena pada beberepa kasus pengenalan pola gelombang EKG,
ciri paramater yang membedakan suatu subset tidaklah tetap dan beberapa objek akan
cenderung mengalami kesalahan klasifikasi (misclassified).

2.9.2 Metode Pengenalan Pola
2.9.2.1 Fuzzy Logic
Logika fuzzy merupakan suatu cara yang tepat untuk memetakan suatu ruang
input ke dalam suatu ruang output.
Sebagai contoh terlihat pada Gambar 2.33. Misalkan akan dibuat himpunan
tinggi badan orang. Kata TINGGI menunjukkan derajat seberapa besar orang dikatakan
80
tinggi. Dengan menggunakan himpunan crisp, misalkan seseorang dikatakan tinggi jika
memiliki tinggi badan diatas 165 cm.


Gambar 2.33 Orang-orang dengan Tinggi Badan yang Berbeda


Gambar 2.34 Fungsi Keanggotaan TINGGI secara Tegas

Secara tegas dapat dikatakan bahwa orang yang memiliki tinggi badan diatas 165
cm dikatakan TINGGI dengan nilai keanggotaan (=1). Sebaliknya, apabila seseorang
memiliki tinggi badan kurang dari atau sama dengan 165 cm, maka secara tegas
dikatakan bahwa orang tersebut TIDAK TINGGI dengan =0 (Gambar 2.34). Hal ini
menjadi tidak adil, karena untuk orang yang memiliki tinggi badan 165,1 cm dikatakan
81
TINGGI, sedangkan orang yang memiliki tinggi badan 165 cm dikatakan TIDAK
TINGGI.


Gambar 2.35 Fungsi Keanggotaan TINGGI secara Kontinu
Dengan menggunakan himpunan fuzzy, maka dapat dibuat suatu fungsi
keanggotaan yang bersifat kontinu. Orang yang memiliki tinggi badan 160 cm sudah
mendekati tinggi, artinya dia dikatakan TINGGI dengan =0,75. Sedangkan orang yang
memiliki tinggi badan 153 cm, dia memang kurang tinggi, artinya dia dikatakan
TINGGI dengan =0,2 (Gambar 2.35).
Contoh lain, untuk variabel umur terlihat pada Gambar 2.36. Gambar 2.36
menunjukkan himpinan crisp untuk SETENGAH BAYA, dimana orang yang berumur
kurang dari 35 tahun atau lebih dari 55 tahun disebut bukan SETENGAH BAYA (nilai
keanggotaan = 0). Sedangkan orang yang berumur antara 35 dan 55 tttahun disebut
SETENGAH BAYA (nilai keanggotaan = 1).
82

Gambar 2.36 Himpunan Crisp SETENGAH BAYA

Gambar 2.37 Himpunan Fuzzy SETENGAH BAYA
Gambar 2.37 menunjukkan fuzzy set untuk setengah baya. Orang yang berumur
25 sampai 65 tahun dikatakan SETENGAH BAYA dengan nilai keanggotaan yang
berbeda. Orang dikatakan benar-benar SETENGAH BAYA (nilai keanggotaan = 1) jika
berumur 45 tahun.


Gambar 2.38 Himpunan Fuzzy: Kelompok Umur
83
Himpunan fuzzy yang dapat berhubungan dengan MUDA, SETENGAH BAYA,
dan TUA, dapat didefinisikan secara bersama terlihat pada Gambar 2.38 Himpunan-
himpunan tersebut kelihatan oveerlap. Umur 60 tahun termasuk SETENGAH BAYA
dan TUA. Jika umur semakin bertambah, maka keanggotaan MUDA-nya semakin
mendekati 0. Tiap-tiap himpunan fuzzy pada Gambar 2.38 dapat disebutkan sesuai
dengan linguistik yang bersesuaian, dalam hal ini MUDA, SETENGAH BAYA, dan
TUA.
Sekarang telah diperoleh 2 variabel yang berbeda yang berhubungan dengan
umur, yaitu:
UmurDalamTahun Variabel numeris (bernilai integer);
UmurGrup Variabel linguistik (MUDA, SETENGAH BAYA, TUA)
Terkadang kemiripan antara keanggotaan fuzzy dengan probabilitas menimbulkan
kerancuan. Keduanya memiliki nilai pada interval [0,1], namun interpretasi nilainya
sangat berbeda anatara kedua kasus tersebut. Keanggotaan fuzzy memberikan suatu
ukuran terhadap suatu pendapat atau keputusan, sedangkan probabilitas
mengindikasikan proporsi terhadap keseringan suatu hasil bernilai benar dalam jangka
panjang. Misalnya, jika nilai keanggotaan suatu himpunan fuzzy MUDA adalah 0,9;
maka tidak perlu dipermasalahkan berapa seringnya nilai itu diulang secara individual
untuk mengharapkan suatu hasil yang hampir pasti muda. Di lain pihak, nilai
probabilitas 0,9 muda berarti 10% dari himpunan tersebut diharapkan tidak muda.




84
2.9.2.1.1 Operasi Himpunan Fuzzy
Seperti halnya himpunan konvensional, ada beberapa operasi yang didefinisikan
secara khusus untuk mengkombinasi dan memodifikasi himpunan fuzzy. Berikut adalah
beberapa operasi logika fuzzy konvensional yang didefinisikan oleh Zadeh:
Interseksi ]) [ ], [ min( y x
B A B A
=

(2-34)
Union ]) [ ], [ max( y x
B A B A
=

(2-35)
Komplemen ] [ 1
'
x
A A
= (2-36)
Karena himpunan fuzzy tidak dapat dibagi dengan tepatseperti halnya himpunan crisp,
maka operasi-operasi ini diaplikasikan pada tingkat keanggotaan. Suatu elemen
dikatakan menjadi anggota himpunan fuzzy jika:
1. Berada pada domain himpunan tersebut.
2. Nilai kebenaran keanggotaannya 0.
3. Berada di atas ambang -cut yang berlaku.

2.9.2.1.1.1 Interseksi Himpunan Fuzzy
Pada sistem crisp, interseksi antara 2 himpunan berisi elemen-elemen yang
ebrada pada kedua himpunan. Hal ini ekuivalen dengan operasi aritmatik atau logika
AND. Apda logika konvensional, operator AND diperlihatkan dengan derajat
keanggotaan minimum antar kedua himpunan. Tabel 2.3 menunjukkan nilai fuzzy AND
untuk merepresentasikan keanggotaan x dan y.



85
Tabel 2.3 Tabel Kebenaran Operator ZADEH AND


Operator intersesksi seringkali digunakan sebagai batasan anteseden dalam suatu
aturan fuzzy, seperti:
I F x i s A AND y i s B THEN z i s C
Kekuatan nilai keanggotaan antara konsekuen x dan daerah fuzzy C ditentukan oleh kuat
tidaknya premis atau anteseden. Kebenaran anteseden ini ditentukan oleh
min([x is A], [y is B]), Gambar 2.39 dan Gambar 2.40 menunjukkan fungsi
karakteristik untuk himpunan fuzzy SETENGAH BAYA yang diberikan sebagai
berikut:
] 45 [ ] 35 [ ] [ = umur umur x
YA SETENGAHBA

Sehingga, keanggotaan himpunan ini adalah semua individu yang berada di antara 35
dan 45 tahun.

Gambar 2.39 Operasi Himpunan Crisp
86

Gambar 2.40 Representasi Crisp: TINGGI

Fungsi karakteristik himpunan fuzzy TINGGI diberikan sebagai berikut:
] 150 [ ] [ = n tinggibada x
TINGGI

yang berisi semua individu yang tinggi badannya lebih dari 150 cm.

Tabel 2.4 Profil Dosen Perguruan Tinggi A dalam Umur dan Tinggi


Jika ditanyakan: anggota-anggota suatu sampel populasi dosen Perguruan Tinggi A yang
termasuk SETENGAH BAYA dan TINGGI, maka harus dipilih suatu sampel kecil
seperti terlihat pada Tabel 2.4


87
Tabel 2.5 Vektor bit AND: SETENGAH BAYA dan TINGGI


Pada logika boolean, individu-individu yang termasuk SETENGAH BAYA dan
TINGGI dapat dicari dengan menggunakan operator AND. Visualisasi proses ini
merupakan peng-AND-an bit pada vektor boolean yang merepresentasikan kebenaran
dari ekspresi himpunan karakteristik untuk tiap-tiap kategori seperti terlihat pada Tabel
2.5


Gambar 2.41 Repesentasi Fuzzy: SETENGAH BAYA

Pada Gambar 2.41 menunujukkan himpunan SETENGAH BAYA. Himpunan ini
dimulai dari umur 25 tahun yang merupakan umur untuk SETENGAH BAYA. Kurva
keanggotaan akan beranjak naik secara stabil hingga mencapai umur 40 tahun yang
88
berarti benar-benar SETENGAH BAYA. Setelah melewati umur 40 tahun, kurva akan
berangsur-angsur turun sehingga orang yang berumur 50 tahun hanya dikatakan
SETENGAH BAYA secara lemah, dan orang yang berumur 55 tahun sudah tidak
memiliki keanggotaan lagi pada himpunan fuzzy SETENGAH BAYA.


Gambar 2.42 Represesntasi Fuzzy: TINGGI

Hal yang sama diterapkan juga pada konsep TINGGI (Gambar 2.42). Kurva
untuk himpunan fuzzy TINGGI berbentuk linier. Jika tinggi badan semakin bertambah,
maka derajat keanggotaannya juga akan semakin bertambah secara proporsional.
Himpunan fuzzy ini dimulai dari 150 cm yang berarti tidak memiliki keanggotaan fuzzy
dan berangsur-angsur naik hingga mencapai nilai satu pada tinggi badan 180 cm. Untuk
semua individu yang memiliki tinggi badan di bawah 150 cm dikatakan tidak TINGGI,
sedangkan semua individu yang memiliki tinggi badan lebih dari 180 cm dikatakan
benar-benar TINGGI.

89

Gambar 2.43 Daerah Interseksi Himpunan Fuzzy: TINGGI dan SETENGAH BAYA

Berikut adalah aturan Zadeh dasar untuk interseksi fuzzy, daerah antara 2
himpunan ditentukan oleh aplikasi operasi tersebut:
]). [ ], [ min( y x
B A B A
=

(2-37)
Daerah yang diarsir pada Gambar 2.43 menunjukkan daerah tersebut.

2.9.2.1.1.2 Union Himpunan Fuzzy
Union dari 2 himpunan dibentuk dengan menggunakan operator OR. Pada logika
fuzzy konvensional, operator OR diperlihatkan dengan derajat keanggotaan minimum
antara kedua himpunan. Tabel 2.6 menunjukkan nilai fuzzy OR untuk
merepresentasikan keanggotaan x dan y.

Tabel 2.6 Tabel kebenaran operator Zadeh OR


90
Operator fuzzy OR jarang sekali digunakan dalam pemodelan sistem, karena
operasi OR pada dasarnya dapat dibentuk sebagai gabungan dari 2 proposisi fuzzy.
Sebagai contoh:
I F x i s A OR y i s B THEN z i s C
Dapat dibentuk:
I F x i s A THEN z i s C
I F y i s B THEN z i s C
Pada kedua kasus, kekuatan nilai keanggotaan antara konsekuen z dan daerah fuzzy C
oleh max ([x is A], [y is B]). Seperti halnya pada operator AND, visualisasi proses ini
merupakan peng-OR-an bit pada vektor boolean yang merepresentasikan kebenaran dari
ekspresi himpunan karakteristik untuk tiap-tiap kategori seperti terlihat pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7 Vektor bit OR: SETENGAH BAYA dan TINGGI


Untuk membangun himpunan fuzzy yang menggunakan union dari himpunan
fuzzy SETENGAH BAYA dan himpunan fuzzy TINGGI, berikut ini digunakan aturan
Zadeh dasar untuk union fuzzy, daerah antara 2 himpunan ditentukan oleh aplikasi
operasi tersebut:
]) [ ], [ max( y x
B A B A
=

(2-38)
91
Daerah yang diarsir pada Gambar 2.44 menunjukkan daerah tersebut.


Gambar 2.44 Daerah Union Himpunan Fuzzy: TINGGI dan SETENGAH BAYA

2.9.2.1.1.3 Komplemen Himpunan Fuzzy
Komplemen atau negasi suatu himpunan A berisi semua elemen yang tidak
berada di A dan direpresentasikan dengan:
] [ 1
'
x
A A
=


Gambar 2.45 Komplemen Himpunan Crisp: SETENGAH BAYA

92

Gambar 2.46 Komplemen Himpunan Crisp: TINGGI

Gambar 2.45 dan Gambar 2.46 menunujukkan contoh komplemen untuk
himpunan SETENGAH BAYA dan TINGGI.
] 45 35 [ ] [
'
> < = umur umur x
BAYA SETENGAH

Tabel 2.8 Vektor bit AND: SETENGAH BAYA dan TINGGI


Yang menjadi pertanyaan adalah: yang manakah anggota populasi yang tidak
tinggi dan juga tidak setengah baya? Interseksi ini dapat ditunjukkan dengan proyeksi
vektor bit dari tabel populasi seperti terlihat pada Tabel 2.8. Pada logika fuzzy,
komplemen dihasilkan dengan cara menginverskan fungsi kebenaran untuk tiap-tiap titik
pada himpunan fuzzy sebagai berikut:
] [ 1
'
x
A A
= (2-39)
93
Gambar 2.47 dan Gambar 2.48 menunjukkan komplemen himpunan fuzzy untuk
TINGGI dan himpunan fuzzy SETENGAH BAYA.


Gambar 2.47 Komplemen Himpunan Fuzzy: TINGGI


Gambar 2.48 Komplemen Himpunan Fuzzy: SETENGAH BAYA

Andaikan ada suatu aturan: x is NOT A dengan x adalah elemen dalam domain
daerah fuzzy A, maka interseksi antara SETENGAH BAYA dan TINGGI memiliki
kenggotaan:
]). [ ], [ min(
' ' ' '
y x
TINGGI YA SETENGAHBA TINGGI YA SETENGAHBA
=


Pada himpunan crisp, suatu daerah tidak akan memiliki interseksi dengan daerah yang
menjadi komplemennya seperti pada Gambar 2.48 dimana daerah TINGGI akan
94
beririsan dengan daerah TIDAK TINGGI (PENDEK). Namun tidak demikian dengan
himpunan fuzzy. Pada Gambar 2.49 terlihat adanyan interseksi antara daerah TINGGI
dan PENDEK (TINGGI), dimana suatu nilai domain dapat dikatakan TINGGI dan
PENDEK.

Gambar 2.49 Interseksi Komplemen Crisp: TINGGI dan PENDEK


Gambar 2.50 Interseksi Komplemen Fuzzy: TINGGI dan PENDEK

95

Gambar 2.51 Daerah Fuzzy Ambiguous dalam Suatu Domain

Hal ini akan menyebabkan terjadinya ambiguitas. Sebagai contoh, pada definis
SETENGAH BAYA, ada seorang yang termasuk baik SETEGNAH BAYA maupun
MUDA, ada pula orang yang termasuk kategori baik SETENGAH BAYA maupun TUA
(Gambar 2.51).
Contoh lain, misalkan pada daftar BUDGET PROYEK yang termasuk kelas
NOMINAL, MODERAT, dan MAHAL. Biaya yang berkisar antara $300 dan $450
termasuk kategori NOMINAL dan Moderat, sedangkan biaya yang berkisar antara $600
dan $800 termasuk MODERAT dan MAHAL. Ada 2 aturan yang berhubungan dengan
hal ini, yaitu:
I F Budget Pr oyek i s NOMI NAL
THEN Har apanDi t er i ma BERTAMBAH
I F Budget Pr oyek i s MODERAT
THEN Har apanDi t er i ma agak BERTAMBAH
96
Pada beberapa titik yang terletak diantara $300 dan $450, predikat fuzzy:
Budget Pr oyek i s NORMAL
Budget Pr oyek i s MODERAT
memiliki derajat keanggotaan yang bukan nol. Dengan demikian, pemodelan sistem
fuzzy dalam praktiknya harus dapat menghindari hal-hal yang bersifat ambiguitas.

Gambar 2.52 Budget Proyek Himpunan Fuzzy

Sebagai contoh, pada Gambar 2.52, memperlihatkan representasi fuzzy untuk
anggaran biaya MAHAL, dan komplemennya MAHAL. Aturan yang diterapkan:
I F Budget Pr oyek i s MAHAL
THEN r esi ko DI NAI KKAN
I F Budget Pr oyek i s TI DAK MAHAL
THEN r esi ko DI KURANGI

2.9.2.2 Neural Network
2.9.2.2.1 Pembelajaran dalam Neural Network
Sifat yang paling utama dari Neural Network adalah kemampuan untuk belajar
dari lingkungan, dan meningkatkan daya guna jaringan melalui pembelajaran tersebut.
97
(Haykin, 1999, p50). Neural Network belajar melalui proses interaktif dari penyesuaian
bobot-bobot interkoneksi (weights). Nilai bobot ditentukan oleh output dari Neural
Network. Jika output tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka Neural Network akan
menyesuaikan nilai output dengan cara mengubah nilai bobot untuk mendapatkan nilai
output yang diharapkan dan meminimalkan nilai kesalahan (error). Proses penyesuaian
bobot agar jaringan dapat mempelajari hubungan diantara input dan target disebut
learning, atau training. Banyak algoritma learning telah ditemukan untuk membantu
menemukan bobot optimum untuk berbagai model Neural Network. Menurut Fausett
(1994, p3), learning dalam Neural Network dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Supervised Learning, merupakan teknik belajar dimana data input dan data
output yang diharapkan sudah tersedia. Perbedaan antara output sebenarnya
dan output yang diharapkan digunakan oleh algoritma untuk menyesuaikan
bobot (weight) dalam jaringan (Gambar 2.53). Perbedaan antara hasil
perhitungan dengan data yang diharapkan digunakan untuk menghitung
bobot. Nilai bobot inilah yang digunakan untuk perhitungan selanjutnya.

Gambar 2.53 Supervised Learning Model
(Sumber: Yu, 2000, p10)

2. Unsupervised Learning, yang sering disebut self-organizing. Unsupervised
learning dianggap sebagai model dalam konsep sistem biologis. Teknik ini
Training Data
Jaringan
Algoritma Training
(optimization method)
Fungsi
Obyektif
Input
Desired output
in out
Perubahan
bobot
target
Sinyal kesalahan +
-
98
tidak memerlukan target output, sehingga tidak ada nilai pembanding yang
dilakukan. Rangkaian pelatihan ini hanya memerlukan nilai input dan
jaringan akan menyesuaikan sendiri outputnya sampai hasil konsisten.

Gambar 2.54 menunjukkan beberapa tipe Neural Network yang berbeda dan
bagaimana pengelompokannya berdasarkan algoritma pembelajaran.

Gambar 2.54 Klasifikasi Artificial Neural Network Berdasarkan Algoritma Learning
(Sumber : Ham, 2001, p19)
99

Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa salah satu jenis Neural Network
yang menggunakan supervised learning untuk meminimumkan error keluaran adalah
Feedforward Network yang dilatih (trained) menggunakan algoritma backpropagation.

2.9.2.2.2 Feedforward Neural Network
Feedforward network umumnya terdiri dari beberapa lapisan (multi-layer), yaitu
sebuah input layer, sebuah output layer dan satu atau beberapa output layer yang
terletak diantara input layer dan output layer, dan setiap layer mengandung beberapa
unit. Setiap unit menerima input secara langsung dari layer sebelumnya (kecuali input
unit) dan mengirim output-nya secara langsung ke unit-unit di layer selanjutnya (kecuali
output unit).
Untuk menetapkan suatu struktur jaringan yang pasti seperti, berapa jumlah
hidden layer harus digunakan, berapa banyak unit di dalam sebuah hidden layer untuk
suatu masalah tertentu adalah pekerjaan yang tidak mudah. Untuk membuat sebuah
jaringan dengan kemampuan pembelajaran yang baik, perlu ditentukan jumlah hidden
units yang sesuai. Jika terlalu sedikit, jaringan mungkin tidak belajar apa-apa, sementara
hidden units yang terlalu banyak membuat proses pembelajaran terlalu lama dan
melebihi kebutuhan sebuah model jaringan yang optimal (Michie et al., 1994, p96).
Tidak ada alasan teoritis untuk menggunakan jaringan yang lebih dari dua hidden layer,
karena pada dasarnya jaringan dengan dua hidden layer dapat merepresentasikan
berbagai bentuk fungsi. Menentukan jumlah unit dalam sebuah hidden layer
diperngaruhi oleh jumlah unit input dan output, jumlah training set, jumlah noise dalam
100
output target, error function complexity, struktur jaringan dan algoritma training. Dalam
banyak situasi, tidak ada cara yang mudah untuk menentukan jumlah hidden units yang
optimum tanpa melakukan training menggunakan jumlah hidden units yang berbeda-
beda dan menganalisis setiap error yang dihasilkan. Pendekatan terbaik untuk
menemukan jumlah hidden units yang optimum adalah dengan trial and error (Yu,
2000, p16-18).

2.9.2.2.3 Propagasi Balik (Backpropagation)
Neural Network model propagasi balik (Backpropagation) didesain untuk
beroperasi secara multilayer, terdiri dari satu lapisan unit-unit masukan (input layer),
satu atau lebih lapisan tersembunyi (hidden layer), dan satu lapisan unit-unit keluaran
(output layer). berarsitektur umpan maju (feedforward network), menggunakan metode
supervised learning dan antara lapisan yang satu dengan lapisan yang lain saling
berhubungan (fully interconnection by layer). Backpropagation memiliki unjuk kerja
yang baik dari sisi tingkat ketelitian, sehingga sering dipakai dalam pelatihan (training)
untuk meminimalkan kesalahan pada output jaringan melalui penyesuaian bobot
(weight).
Ada beberapa paramenter dalam proses pembelajaran untuk mengubah input
menjadi output yang diinginkan. Parameter yang dimaksud adalah parameter konstanta
belajar (learning rate) yang merupakan suatu parameter yang berfungsi sebagai
penyekala perubahan bobot pada iterasi yang sedang berlangsung, parameter momentum
() yang berfungsi sebagai penyekala perubahan dari iterasi sebelumnya dan
menambahkan pada iterasi yang sedang berlangsung, parameter epoch yang merupakan
suatu putaran proses dari input yang mendapatkan output sehingga menghasilkan error
101
yang kemudian dipropagasikan kembali dan dilakukan penyesuaian bobot yang ada.
Untuk menghindari gangguan yang cukup besar dalam arah pembelajaran akibat
kehadiran pasangan training pattern yang tidak biasa, disarankan menggunakan nilai
learning rate yang kecil. Konvergensi seringkali lebih cepat tercapai jika momentum
term ditambahkan kedalam formula penyesuaian bobot.
Error pada output menentukan perubahan bobot antara hidden layer dan output
layer, kemudian digunakan sebagai dasar untuk mengatur bobot antara hidden layer dan
input layer. Hubungan transformasi antara input dan output biasanya dinyatakan oleh
sebuah harga yang kontinu oleh fungsi aktivasi.
Pelatihan backpropagation memiliki tiga tahap yaitu: proses pelatihan pola input
propagasi maju (forward propagation), proses propagasi balik (backward propagation)
dari error dan proses penyesuaian bobot (update weight). Algoritma selengkapnya
adalah sebagai berikut:
1. Inisialisasi bobot (weight) dengan interval 0 sampai 1.
2. Selama syarat berhenti salah lakukan langkah 3-10
3. Untuk setiap pasangan training (masukan dan keluaran) lakukan langkah 4-9
4. Setiap unit pada lapisan pertama menerima sinyal masukan dengan interval
antara 0 hingga 1, yang merupakan hasil penyekalaan menggunakan
persamaan:
Nilai skala = nilai sebenarnya min (2-40)
max min
di mana: min = nilai minimum yang diharapkan dalam jaringan
max = nilai maksimum yang diharapkan dalam jaringan
102
selajutnya meneruskan (propagated) ke seluruh unit pada lapisan berikutnya,
yaitu hidden unit.
5. Setiap unit tersembunyi (hidden) menghitung total sinyal masukan terbobot
menggunakan persamaan (2.1), lalu menghitung sinyal keluarannya dengan
fungsi aktivasi menggunakan persamaan (2.4) dan mengirimkan sinyal ini ke
seluruh unit pada lapisan berikutnya (fungsi sigmoid memiliki kelebihan
untuk digunakan dalam algoritma backpropagation karena hubungan yang
sederhana antara nilai fungsi pada suatu titik dengan nilai turunannya,
sehingga mengurangi waktu komputasi selama pembelajaran).
6. Setiap unit output juga menghitung total sinyal masukan terbobot
menggunakan persamaan (2.1), lalu menghitung sinyal keluaran dengan
fungsi aktivasi menggunakan persamaan (2.4).
7. Setiap unit menerima sebuah pola target yang sesuai dengan pola masukan
pelatihannya. Unit tersebut menghitung informasi kesalahan dengan
persamaan:
) _ ( ) (
k k k k
in y f y t = (2-41)
di mana:
k
= koreksi error untuk weight W
jk

t
k
= target keluaran ke-k
y
k
= unit keluaran ke-k
y_in
k
= unit keluaran ke-k yang belum dihitung nilai aktivasinya
f = turunan dari fungsi aktivasi
serta mengirimkan nilai
k
ke unit pada lapisan sebelumnya.
103
8. Setiap unit tersembunyi menghitung selisih input dari unit-unit pada layer
berikutnya menggunakan persamaan:

=
=
m
k
jk k j
W in
1
_ (2-42)
di mana:
jk
W = bobot antara unit tersembunyi ke-j dan unit keluaran ke-k lalu
mengalikannya dengan turunan fungsi aktivasi untuk menghitung informasi
kesalahannya menggunakan persamaan:
) _ ( . _
j j j
in Z f in = (2-43)
di mana:
j
= koreksi error untuk bobot (weight) V
ij

9. Setiap unit output mengubah bias dan bobot-bobotnya menggunakan
persamaan:
jk j k jk jk
W Z old W new W + + = . ) ( ) ( (2-44)
di mana: ) (new W
jk
= bobot W
jk
yang baru
) (old W
jk
= bobot W
jk
yang lama
= learning rate
Z
j
= unit tersembunyi (hidden) ke-j
= koefisien momentum

jk
W = perubahan bobot W
jk

Setiap unit tersembunyi mengubah bias dan bobot-bobotnya dengan
persamaan:
ij i j ij ij
V X old V new V + + = . ) ( ) ( (2-45)

104
di mana: ) (new V
ij
= bobot V
ij
yang baru
) (old V
ij
= bobot V
ij
yang lama
X
i
= unit masukan ke-i

ij
V = perubahan bobot V
ij
10. Uji syaraf berhenti dengan rumus:
<

=
n
k
k k
y t
1
2
) ( (2-46)
di mana : = error toleransi dengan syarat 1 0 <
Jika benar maka selesai, jika tidak, kembali ke langkah 2

Algoritma training diatas diasumsikan hanya memiliki satu hidden layer saja. Jika
terdapat lebih dari satu hidden layer, algoritma harus dimodifikasi sebagai berikut:
a. Langkah 5 dilakukan berulang-ulang untuk setiap hidden layer dengan asumsi
sinyal terbobot berasal dari unit di lapisan sebelumnya.
b. Langkah 8 dilakukan berulang-ulang.

2.9.2.3 Minimum Distance Classifier
Minimum distance classifier adalah salah satu metode klasifikasi yang
memanfaatkan fungsi diskriminan dalam menentukan subset. Dengan fungsi diskriminan
maka dapat ditentukan jarak terdekat suatu objek di dalam suatu feature space yang
digunakan dalam klasifikasi. Contoh apabila dalam feature space terdapat kelompok-
kelompok titik maka masing-masing kelompok titik tersebut mewakili masing-masing
105
class. Dan jarak minimum dapat diperoleh dengan mengelompokkan titik pola x ke
dalam class yang terdekat dengannya.
Keuntungan dari metode Minimum distance classifier ini adalah waktu yang
dibutuhkan dalam melakukan perhitungan lebih singkat dan implementasinya lebih
mudah.
Ada beberapa jenis perhitungan jarak minimum di antaranya:
Euclidean distance:
( )

=
=
N n
n n
v x v x
,..., 1
2
2
(2-47)
City-block distance:

=
=
N n
n n
v x v x
,..., 1
2
(2-48)
Maximum distance:
n n N n
v x v x =
=

,..., 1
max (2-49)

Perepresentasian kelas tidak hanya dapat menggunakan satu pola sampel tapi
juga dapat menggunakan lebih. Dalam keadaan demikian maka jarak pola x ke suatu
kelas k
0
sama dengan jarak minimum dari pola x dengan semua pola sampel z
k
yang
mewakili kelas tersebut:
{ }
k k k
z x z x = min
0
(2-50)
Minimum distance classifier dengan jenis perhitungan Euclidean digunakan
untuk mengenali pola QRS. Berikut ini adalah perumusan untuk mendapatkan jarak
minimum dengan jenis perhitungan Euclidean.
106
( ) ( ) ( ) ( )
2
5 5
2
2 2
2
1 1 5 2 1
, , c c c c c c c c c d + + = (2-51)
Perhitungan di atas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah suatu
gelombang QRS termasuk dalam pola QRS normal atau QRS ventrikular.

2.9.2.4 Knowledge Based Expert System
Knowledge Based Expert System merupakan bagian dari artificial intelligence
yang didesain untuk memecahkan suatu permasalahan berdasarkan pengetahuan
(informasi) yang telah diinput ke dalam komputer. Hasil dari proses expert system
disebut goals (tujuan). Dalam perancangan Knowledge Based Expert System, goals
dibuat berdasarkan fakta dan aturan, contoh :
Fakta : Tumbuhan membutuhkan sinar matahari
Aturan : JIKA mawar adalah tumbuhan MAKA mawar membutuhkan
sinar matahari
Dalam kasus pengenalan pola rekaman EKG terkadang suatu aturan terkait dengan lebih
dari satu fakta.
Langkah awal pembuatan Knowledge Based Expert System untuk EKG adalah
membuat tabel nama variabel.






107
Tabel 2.9 Contoh Tabel Nama Variabel
Nama Variabel Pengertian
Kecepatan denyut rata-rata
(Heart Rate)
Rata-rata denyut jantung per menit
Varian (irama) jantung Irama denyut jantung
Interval
Perbedaan waktu antara dua denyut yang
berurutan
Jumlah kompleks QRS ventrikular
Banyaknya kompleks QRS ventrikular
yang terdeteksi
Waktu sejak QRS terakhir Berapa rentang waktu sejak QRS terakhir

Langkah selanjutnya adalah mengisi tabel tersebut dengan menggunakan
rumusan atau ketentuan yang ada. Misalnya untuk mencari kecepatan rata-rata denyut
jantung yaitu dengan menggunakan rumusan:
4 3 2 1
4
60
t t t t
r
+ + +
= (2-52)
Di mana r adalah kecepatan rata-rata denyut jantung dan t
n
adalah interval antara denyut
n dan n+1.
Rumusan lain misalnya untuk mencari varian interval, yaitu:
( ) ( ) ( ) ( ) ( )
2
4
2
3
2
2
2
1
2
3
1
t t t t t t t t + + + = (2-53)
Di mana adalah varian interval.



108
Berikut adalah contoh Knowledge Based Expert System pada pengenalan pola
EKG:
Rule 1 : IF Time since last QRS IS normal AND
Number of ventricular complexes IS none
THEN Rhythm IS supraventricular

Rule 2 : IF Rhythm IS supraventricular AND
Rhythm IS regular AND
Heart rate IS normal
THEN Diagnosis normal sinus rhythm IS yes

Rule 3 : IF Rhythm IS supraventricular AND
Rhythm IS NOT regular AND
Interval shortened IS none AND
Interval prolonged IS none
THEN Diagnosis sinus arrhythmia IS yes

Aturan (rule) seperti di atas akan menjadi dasar bagi algoritma forward chaining
dan backward chaining untuk mendapatkan hasil dari suatu keadaan tertentu.
Penggunaan algoritma forward dan backward dalam pengenalan pola EKG:
Forward chaining
Dengan mengamati keadaan waktu QRS dan jumlah kompleks ventrikular,
dapat diperoleh suatu kesimpulan baru. Dan dengan penggabungan bersama
variabel lain akan diperoleh diagnosis pola jantung tertentu. Sebagai contoh,
109
apabila dari sebuah gambar didapatkan Time since last QRS IS normal dan
Number of ventricular complexes IS none, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa kondisi tersebut termasuk dalam kondisi Rhythm IS supraventricular.
Setelah mendapatkan kondisi baru tersebut, maka baru dapat ditambah
dengan keadaan Rhythm IS NOT regular dan Interval shortened IS none dan
Interval prolonged IS none untuk mendapatkan kondisi diagnosis
selanjutnya. Dari penggabungan keempat kondisi maka akan menghasilkan
Diagnosis sinus arrhythmia IS yes.

Backward chaining
Backward chaining merupakan kebalikan dari Forward chaining, dimana
pada Backward chaining kondisi yang diketahui adalah kondisi akhir atau
polanya. Dan tujuan dilakukan Backward chaining adalah untuk mengetahui
penyebab dari suatu kondisi. Sebagai contoh, apabila dari suatu kondisi
diketahui Diagnosis normal sinus rhythm IS yes kemudian dicari rule yang
dapat menghasilkan kondisi tersebut, yaitu dengan menggunakan algoritma
seperti yang ada pada rule kedua. Dengan mengetahui bahwa Rhythm IS
supraventricular dan Rhythm IS regular dan Heart rate IS normal maka
dapat ditelusuri lebih lanjut penyebab awal dari kondisi tersebut; sesuai
dengan algoritma pada pertama yaitu Time since last QRS IS normal dan
Number of ventricular complexes IS none.



110
2.10 State Transition Diagram
Menurut Pressman (1997, p301), State Transition Diagram (STD)
mengindikasikan bagaimana suatu sistem berkerja setelah berinteraksi dengan event
eksternal. Untuk memenuhi hal ini, STD merepresentasikan berbagai mode perilaku
(disebut state) dari sistem dan bagaimana setiap transisi terjadi dari state ke state. STD
menyediakan basis permodelan perilaku. Informasi tambahan dari aspek kontrol
software yang terkandung dalam control spesification. STD merepresentasikan perilaku
dari sebuah sistem dengan menggambarkan state-state yang ada dalam sistem dan event-
event yang menyebebkan sistem berganti state. Sebagai tambahan, STD
mengindikasikan tindakan apa yang diambil sebagai konsekuensi dari sebuah event.
Simbol-simbol dari STD yang sering digunakan:
a. State, disimbolkan dengan segiempat.
Simbol state
b. Transition state atau perubahan state disimbolkan dengan panah berarah.
Simbol transition state
c. State adalah kumpulan keadaan atau atribut yang mencirikan seseorang
atau suatu benda pada waktu tertentu atau kondisi tertentu.
d. Condition adalah suatu event pada lingkungan eksternal yang dapat
dideteksi oleh sistem.
e. Action adalah yang dilakukan sistem bila terjadi perubahan state atau
merupakan reaksi terhadap kondisi. Aksi akan menghasilkan keluaran atau
tampilan.
f. Display pada screen menghasilkan kalkulasi dan sebagainya.

You might also like