You are on page 1of 733

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI i

SAMBUTAN KETUA PANITIA



Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillahi rabbil alamin, atas izinNya kami dapat menyelesaikan Prosiding
Seminar Nasional Matematika 2010 (SNM 2010) ini. Begitu banyak rintangan dan
halangan yang harus kami lalui dalam menyelesaikan tugas terakhir dari SNM 2010.
Namun kami juga mendapat dukungan yang luar biasa dari berbagai pihak.
Prosiding ini bertujuan untuk menjadi sebuah referensi ilmu matematika di Indonesia.
Makalah-makalah yang ada pada prosiding ini merupakan makalah-makalah yang telah
dipresentasikan pada SNM 2010. Dan juga, makalah-makalah ini sudah melewati proses
penilaian yang cukup panjang oleh tim makalah. Kami meyakini bahwa ilmu
pengetahuan tak akan pernah berkembang tanpa hadirnya tulisan-tulisan ilmiah dari
para ilmuwan.
Walaupun kami sudah berusaha sebaik mungkin dalam menyusun prosiding ini, kami
akui bahwa prosiding ini masih jauh dari sesuatu yang sempurna. Untuk itu, kami
mohon untuk dibukakan pintu maaf atas segala kekurangan, keterlambatan dan hal-hal
lain yang kurang berkenan di hati para pemakalah dan pembaca.

Wassalamualaikum Wr. Wb
Atas Nama Panitia SNM 2010


Dr. Al Haji Akbar Bachtiar

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI iii

DAFTAR ISI

Sambutan Ketua Panitia i

Daftar Isi iii

I. PEMBICARA UTAMA

Keindahan Matematika dalam Aplikasinya di Industri Asuransi Jiwa ...xiii
Drs. Hendrisman Rahim, MA. FSAI.AAI-J.QIP

Spasial Data Mining Menggunakan Model SAR-Kriging (Spatial
Autoregressive-Kriging) untuk Pemetaan Mutu Pendidikan di Indonesia ...xxxiii
Atje Setiawan Abdullah

II. PRESENTASI

MURNI

Aljabar

Sifat-sifat Ring Armendariz 1
Atun Ismarwati

Isomorf antara Grup Abel Hingga dengan Dual dan Bidualnya 9
Euis Hartini

Basis Grbner untuk Ideal Di Gelanggang Polinomial 13
Ridwan Setiawan, Sri Mardiyati

Analisis

Solusi Deret Bertingkat dengan Fungsi Pembangkit dan Bilangan Eulerian 17
Alexander Agung S G

Kemonotonan Operator Di

21
Badrulfalah, Iin Irianingsih

Perbandingan Ruang Vektor Euclidean dan Ruang Vektor Gyro 25
Esih Sukaesih

Globally Small Riemann Sums (GSRS) Integral Henstock-Pettis pada Ruang
Euclide R
n
31
Hairur Rahman
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI iv

Aplikasi Transformasi Laplace dalam Mencari Nilai Eksak Suatu Deret Tak
Hingga 35
Nik Hael, Taufik Limansyah, Iwan Sugiarto

Geometri

Geometri Hiperbolik : Model Poincare 39
Sangadji

Graf

Pelabelan Sisi Ajaib Super pada Beberapa Bentuk Graf Ulat 43
Abdussakir

Algoritma Pelabelan Total Simpul Ajaib untuk Graf Lingkaran dan Matahari 49
Alfa Isti Ananda, Denny R. Silaban

Penggunaan Fungsi Pembangkit untuk Mencari Banyaknya Graf Pola Dari
Suatu Graf Pola Utama 55
Anggha S. Nugraha, Denny R. Silaban, Kiki A. Sugeng

Pelabelan Harmonious pada Graf Firecracker, Graf Hairy Cycle, dan Graf
Korona 61
Anggie J. Asih, Denny R. Silaban, Kiki A. Sugeng

Algoritma Pelabelan Total Busur Ajaib pada Graf Lingkaran dan Kipas 67
Arumella Surgandini, Denny R. Silaban

Algoritma Pelabelan Total Simpul Ajaib pada Graf Friendship dan Graf
Kipas 75
Budi Utami, Denny R. Silaban

Pelabelan- pada Graf Helm dan Graf Bunga 81
Diari Indriati, Mania Roswitha

Karakterisasi Graf DNA untuk Dicycle, Dipath, Rooted Tree dan Self
Adjoint Digraph Menggunakan Pelabelan-(, ) 87
Inne, Denny R. Silaban, Kiki A. Sugeng

Membangun Suatu Gray Code Gn (n = bilangan bulat positif) 91
Latifah, Widaningrum

Algoritma Pelabelan Total (a,d)-Simpul Antiajaib pada Graf Lintasan dan
Graf Lingkaran 95
Milla Rachmawati, Denny R. Silaban


Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI v

Pembangkitan Permutasi dengan Dua Siklus 103
Sulistyo Puspitodjati, Asep Juarna, Djati Kerami, Ernastuti

Bilangan Ramsey Multipartit Ukuran untuk Graf Lintasan dan Graf Lengkap 109
Syafrizal Sy

Pelabelan Total (a,d)-Busur Anti Ajaib pada Gabungan Graf Lingkaran 113
Widya M. Niagara, Denny R. Silaban, Kiki A. Sugeng


STATISTIKA, KEUANGAN DAN AKTUARIA

Aktuaria

Penentuan Rentang Dari Premi Posterior untuk Prior-Prior dengan
Kontaminasi Sembarang 119
Netty Sunandi

Keuangan

Penentuan Harga Opsi Compound Menggunakan Metode Martingale
dan Metode Binomial 125
Bony Parulian J Marbun

Kajian Persamaan Harga Zero-Coupon Bond dengan Menggunakan
Kerangka Model Heath-Jarrow-Morton Satu Faktor Markovian 133
Noorbaity, Bevina D. Handari, Gatot F. Hertono

Statistika

Penggunaan Metode Analisis Klaster untuk Mengetahui Kecenderungan
Pengambilan Kelompok Mata Kuliah Pilihan di Jurusan Matematika FMIPA
Universitas Sriwijaya 143
Anita Desiani, Sri Indra Maiyanti, Andika Trisnawati

Penaksiran Parameter pada Random Effects Spatial Lag Panel Data Model 153
Avidati, Dian Lestari, Siti Nurrohmah

Pendekatan Model Linier dalam Penaksiran Parameter Model Generalisasi
Space Time Autoregresi Orde p 159
Budi Nurani Ruchjana

Penaksiran Parameter Model Linier Berkson 163
Desti Riminarsih, Saskya Mary Soemartojo, Siti Nurrohmah
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI vi
Pemilihan Faktor Penyesuai dalam Metode Taguchi 169
Dian Lestari

Perbandingan Diagram Kontrol Residual VAR & VARX untuk Pengamatan
Berautokorelasi Yang Mengandung Outlier 177
Faula Arina

Scan Statistic dengan Model Probabilitas Normal 185
Ias Sri Wahyuni, Dina Indarti

Kontribusi Sebaran Gamma Terhadap Hukum Kegagalan Eksponensial 189
Iwa Sungkawa

Kajian Fenomena EL-NI

O Southern Oscillation Melalui Pendekatan Rantai


Markov 3-State 195
Miftahuddin

Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Ekonomi dengan Parameter
Ketidakpastian Menggunakan Metoda Latin Hypercube Sampling 205
Mike Susmikanti, Dinan Andiwijayakusuma, Entin Hartini

Biplot dan Korelasi Fraksi Fosfor Tanah Kaolinitik dan Smektitik dengan
Serapan Fosfor Padi Sawah 213
Mohammad Masjkur, I Made Sumertajaya

Model Regresi Polinomial Lokal dan Aplikasinya pada Data Jumlah Kasus
Demam Berdarah Dengue di Kota Depok 223
Nurma Nugraha, Yekti Widyaningsih, Sarini Abdullah

Penaksiran Parameter pada Classical Error in Variable Model 227
Raisa Pratiwi, Siti Nurrohmah, Dian Lestari

Penaksiran Parameter pada Model Regresi Data Panel Spatial Error 231
Rifki Kosasih, Siti Nurrohmah, Dian Lestari

Menguji Kesamaan Dua Rata-rata untuk Varians Berbeda 235
Sudartianto

Hubungan Bobot dan Fisher Scoring dengan Fungsi Hubung dalam Distribusi
Binomial pada Generalized Linear Models (GLM) 241
Titin Siswantining

Mencari Fungsi Hubung yang Sesuai dalam Distribusi Poisson Melalui
Residual 247
Titin Siswantining
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI vii

Penggunaan Metode Direct Sampling dan Inverse Sampling dalam
Mengestimasi Ukuran Populasi Kucing Di Perumahan Bukit Rivaria
Sawangan Depok pada Bulan Desember 2009 253
Tri Handhika, Murni

Pemodelan Bayesian untuk Pemetaan Kasus Penyakit (Bayesian Modelling
For Diseases Mapping) 261
Yekti Widyaningsih


APLIKASI

Komputasi

Penyelesaian Persamaan Diferensial Bessel Secara Numerik 267
Akhmad Saefudin, Sri Mardiyati, Al Haji Akbar B.

Brain Cancer (Astrocytoma) Clustering Menggunakan Metode Fuzzy C-Means 271
Akmal Fikri, Zuherman Rustam, Jacub Pandelaki

Karakterisasi Rekonstruksi dan Pencacahan Pola Barisan DNA dengan
Pengulangan 279
Alberta Parinters Makur, Denny R. Silaban, Kiki A. Sugeng

Prediksi Pergerakan Nilai Euro Terhadap US Dollar dengan Menggunakan
Jaringan Syaraf Tiruan dan Model Pergerakan Nilai Valas 285
Andreas Sri Harjoko, Liem Chin

Clustering Brain Cancer Menggunakan Possibilistic C-Means 289
Anggi Pandyo Wibowo, Zuherman Rustam, Jakub Pandelaki

Aplikasi Spherical K-Means pada Pengklasifikasian Brain Cancer 293
Ardibian Krismanti, Zuherman Rustam, Jakub Pandelaki

Pengenalan Wajah Berbasis Kamera Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan 299
Asep Sholahuddin, Rustam E. Siregar, Iping Supriana, Setiawan Hadi

Solusi Persamaan Tak Linier dengan Metode Homotopi dan Aplikasinya
pada Bidang Keuangan 303
Betty Subartini

Implementasi Metode Binomial Tree pada Model Black-Derman-Toy dalam 311
Mengaproksimasi Harga Zero-Coupon Bond
Dwi Rahmayuni Hajar, Gatot F. Hertono
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI viii
QROCK, Algoritma Klastering untuk Data Kategori 317
Dyah Paminta Rahayu

Ketidakpastian Input dalam Simulasi Ekonomi pada Reservoir-X Berbasis
Metode Probabilistik 325
Entin Hartini, Dinan Andiwijayakusuma

Efektifitas Algoritma Perturbasi Walk 329
I Made Sulandra

Ekstraksi Fitur Data Remote Sensing Menggunakan Principal Component
Analysis 337
Ismail Djakaria, Suryo Guritno, Sri Haryatmi Kartiko

Enhancement Citra Sidik Jari Kotor dengan Teknik Gabor Filter 343
Muhammad Nasir, Rahmat Syam, Mochammad Hariadi

Pengujian Struktur Aljabar Group, Ring & Field Berbasis Komputer 349
Ngarap Im Manik

Kajian Implementasi Metode Markov Chain Monte Carlo (MCMC) dalam
Mengaproksimasi Pergerakan Model Tingkat Bunga Constant Elasticity of
Variance (CEV) 355
Noor Indah Ekawati, Bevina D. Handari, Mila Novita

Penerapan Algoritma Genetik pada DNA Sequencing By Hybridization 363
Novi Murniati, Dhian Widya, Denny R.Silaban

Pemanfaatan Memory Ekstra untuk Optimisasi Join Query menggunakan
Metode Hybrid Hash Join 371
R Sudrajat

Implementasi Metode Binomial dan Trinomial Tree pada Model Ho-Lee
dalam Mengaproksimasi Harga Zero-Coupon Bond 377
Ratna Dewi Hidayati, Gatot F. Hertono

Penyejajaran Barisan DNA dengan Menggunakan Algoritma X-Drop dan
Algoritma Greedy 383
Siti Aminah, Eny Christiningsih, Denny Riama Silaban

Aproksimasi Tingkat Bunga dengan Model Ho-Lee 391
Stefani, Bevina D Handari, Mila Novita


Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI ix

Kajian Implementasi Model Pareto-Beta Jump-Diffusion dengan Volatilitas
Stokastik dalam Mengaproksimasi Harga Saham dengan Lompatan 399
Susatyo, Bevina D.Handari, Dian Lestari

Model Hidden Markov untuk Memperkirakan Struktur Sekunder Protein 407
Tigor Nauli

Simulasi Sistem Parameter Terdistribusi Menggunakan Metode Garis Lateral
Di Lingkungan PSE SCILAB 415
Verawati, Prasetyaning Diah R.L., A.D. Garnadi

Varian Modifikasi Metode Halley dengan Konvergensi Orde Empat 423
Wartono, Hari Saputra

Perancangan Program Aplikasi Pengurangan Noise pada Citra Digital
Menggunakan Metode Berbasis Wavelet 427
Wikaria Gazali, Haryono Soeparno

Representasi Fungsi Boolean pada Diagram Keputusan Biner 435
Yahma Wisnani

Feature Ordering Menggunakan Matriks Kernel 445
Zuherman Rustam

Intrusion Detection Systems Menggunakan Fuzzy Support Vector Machines 449
Zuherman Rustam

Kriptografi

Perluasan Algoritma Hill Cipher Menggunakan PInvers 455
Akik Hidayat

Ukuran "Share" pada Konstruksi Pembagian Rahasia 461
I Ketut Tri Martana, Retno Indah

Pemodelan

Prediksi Penyakit Ikan Gurame Berdasarkan Gejala Klinis dengan
Menggunakan Algoritma Levenberg-Marquardt 467
Erick Paulus

Dinamika Global pada Model Epidemik Tipe SEIR 471
Jonner Nainggolan, Rustam E. Siregar, Sudradjat


Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI x
Analisis Basic Reproduction Number Model Deterministik Kecanduan
Narkoba dengan Faktor Rehabilitasi 479
Kasbawati, Herana

Analisis Kestabilan Proses Daur Ulang Nutrisi dalam Suatu Kolam Nutrisi 485
Yusfridawati

Model-model Pemeliharaan yang Optimal dengan Perbaikan Minimal,
Pemeriksaan Berkala dan Pembaharuan Secara Lengkap 491
Yusup Supena

Riset Operasi

Formulasi Integer Programming pada Masalah Penjadwalan Ujian Di
Universitas Terbuka 499
Asmara Iriani Tarigan, Amril Aman, Farida Hanum

Pemrograman Linier dengan Kendala Fuzzy untuk Optimisasi Produksi 507
Ino Suryana

Pelinearan Suatu Model Mixed Integer Nonlinear Programming 511
Sitta Alief Farihati, Amril Aman, I.N.K. Kutha Ardana

Teknik

Pengaruh Bias Ionosfer pada Akurasi Pengukuran Jarak Satelit GPS 517
Buldan Muslim

Sistem AVR Berbasis Type-2 Fuzzy PI 525
Dedy Kurniawan, M. Budi R. Widodo, Muhammad Abdillah, Imam Robandi

Validasi Model foF2 GIM-MSILRI pada Saat Aktivitas Matahari Minimum
Tahun 2009 Menggunakan Data Ionosonde Tanjungsari 533
Dyah RM, Buldan Muslim

Pengembangan Perangkat Lunak untuk Penentuan Nilai Eigen pada Analisis
Sifat Getar Komponen Berbasis Metoda Elemen Hingga 539
Elfrida Saragi

Kompensasi Daya Reaktif pada Sistem 500 kV Jamali Menggunakan Bacteria
Foraging Algorithm 547
Juningtijastuti, Muhammad Abdillah, Imam Robandi


Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xi

Penerapan Propagasi Matriks untuk Simulasi Arus Listrik Terobosan pada
Struktur Dua Dinding Potensial 555
Ratno Nuryadi

Adaptive Predictive Control Berbasis ANFIS-PI untuk Pengaturan Temperatur
Heat Exchanger 561
Ruslim, Rusdhianto Effendie

Perhitungan Analitik Gaya dan Tegangan untuk Perancangan Struktur Nose
Cone Roket RX-200 LPN 569
Setiadi

Penentuan Ketebalan Dinding Struktur Cap Motor Roket RX-200 LPN Secara
Analitik dengan Pembanding Hasil Analisis Dari Metoda Elemen Hingga 577
Sugiarmadji HPS

Analisis Perhitungan Besarnya Tegangan Statik pada Struktur Tabung Motor
Roket RX-4012 LPN dengan Metoda Analitik 583
Sugiarmadji HPS, Setiadi


PENDIDIKAN

Belajar Mengajar Limit secara Sederhana dan Praktis melalui Komputer 591
Abraham Salusu

Matematika Rekreatif Sebagai Pendekatan dalam Pembelajaran Matematika 597
Al Jupri

Manfaat Internet dalam Kegiatan Pembelajaran Matematika di SMA (Studi
Evaluatif terhadap Siswa SMA Negeri 66 Jakarta) 603
Dedi Sukarsana

Bagaimana Matematika Dapat Mendukung Pendidikan untuk Pembangunan
Yang Berkelanjutan (Education For Sustainable Developmen) 611
Dianne Amor Kusuma, Asep K. Supriatna

Hubungan Nilai Ujian Tulis Terhadap Keberhasilan Mahasiswa Di Perguruan
Tinggi. Studi Kasus : IT Telkom 615
Erni D. Sumaryatie, Jondri

Pembelajaran Kaidah Pencacahan dengan Pendekatan RME 619
Ervin Azhar

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xii
Pembelajaran Eksplorasi Berbasis Budaya Lokal: Pembelajaran Matematika
Indah dan Bermakna di Era Globalisasi untuk Meningkatkan Pemahaman
Konsep Siswa 627
Euis Eti Rohaeti

Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematika Siswa Melalui
Pembelajaran yang Menggunakan Metaphorical Thinking 635
Heris Hendriana

Uji Komparatif Efisiensi Ujian Masuk Perguruan Tinggi
Studi Kasus : IT Telkom 643
Indwiarti, Jondri

Pemecahan Masalah Kontekstual oleh Siswa Kelas III SD Lab UNESA
Surabaya 647
Janet Trineke Manoy

Penerapan Pembelajaran Conceptual Understanding Procedure Sebagai
Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa di SMPIT
Al-Fatah Bekasi 653
Nila Sari, Wardani Rahayu, Tri Murdiyanto

Pembelajaran Matematika Realistik Yang Mengembangkan Kreatifitas
Siswa 661
Syaiful

The Formula of Volume and Surface Area of a Sphere Through Abstract
Mathematics Using Pythagoras and Similarity Theorem 671
Warman


III. POSTER

Studi Prekursor Gempa Bumi Menggunakan Analisis Fraktal Data
Geomagnetik Ultra Low Frequency 677
Imran Hilman Mohammad, Sarmoko Saroso

Validasi Data TEC GPS Watukosek Menggunakan Data foF2
Tanjung Sari, Sumedang 683
Mumen Tarigan, Buldan Muslim
Pembicara Utama Drs. Hendrisman Rahim, MA. FSAI .AAI -J .QI P

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xiii

Keindahan Matematika
Dalam Aplikasinya di Industri Asuransi Jiwa
Drs. Hendrisman Rahim, MA. FSAI.AAI-J.QIP


Assalamualaikum Wr. Wb
Para hadirin, Peserta Seminar yang saya hormati.
Sebuah kehormatan bagi saya diundang untuk berbicara pada forum Seminar Nasional
Matematika yang dihadiri oleh pakar matematika dari seluruh Indonesia. Saya diminta
untuk membawakan materi yang temanya mengenai Mengungkap Keindahan
Matematika, tema yang menurut saya menarik tapi sulit. Menarik karena kini kita bisa
rasakan peran dan manfaatnya sudah merasuk dalam setiap kehidupan manusia. Sulit
karena menurut saya, mungkin tidak akan ada waktu yang cukup untuk mengungkapkan
betapa indahnya matematika.

Saya berharap kiranya peserta seminar dapat mengerti apa yang saya sampaikan
mengingat dengan keterbatasan yang ada, saya lebih banyak menyampaikan keindahan
matematika yang lebih dekat dengan kehidupan dan pengalaman saya sebagai praktisi di
Industri Asuransi. Hal ini karena masih sangat banyak keindahan yang dapat dirasakan
dan dieksplorasi dari Matematika di luar materi yang saya sampaikan ini.
Di dunia ini banyak sekali sejarah dalam kehidupan kita. Salah satunya adalah sejarah
ilmu matematika. Sejarah dalam bidang matematika ini juga meliputi banyak hal.
Sejarah ini tentunya tak lepas dari awal peradaban manusia, perkembangan matematika
dari masa ke masa, sampai dengan penemuan-penemuan dalam bidang matematika oleh
para Ahli matematika dunia.
Kata matematika menurut beberapa literatur berasal dari mthema dalam bahasa
Yunani yang diartikan sebagai sains, ilmu pengetahuan, atau belajar juga
mathematikos yang diartikan sebagai suka belajar. Menurut saya, arti ini secara tegas
memposisikan matematika yang bersifat universal yang tidak dibatasi pada pemahaman
spesifik atau sektoral.

Konsep awal matematika itu sendiri pada awal beradaban manusia, mengenalkan
tentang perkalian dan ukuran. Perkalian berguna untuk menghitung hari, binatang dan
lain-lain, sedangkan ukuran berguna untuk mengetahui luas dan isi dari tanah, air,
produksi pertanian dan sebagainya. Pada zaman mesir kuno cabang tertua dan termudah
dari matematika (aritmetika) sudah digunakan untuk membuat piramida, digunakan
untuk menentukan waktu turun hujan, dan sebagainya. Tentu sulit untuk
membayangkan bagaimana menginformasikan luas sawah atau informasi lain bila tanpa
adanya ukuran. Situasi ini mungkin setara dengan melihat dalam kegelapan.
Sejarah perkembangan ilmu matematika berkembang sesuai dengan zamannya. Sebagai
contoh, pada periode 2000 SM - 300 M, telah muncul ilmu hitung, geometri, dan logika.
Dan pada periode tahun 300 M - 1400 M telah berkembang teori bilangan, geometri
Pembicara Utama Drs. Hendrisman Rahim, MA. FSAI .AAI -J .QI P

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xiv
analitik, aljabar, dan trigonometri. Serta sampai abad ke-20 telah melahirkan logika
matematika, geometri non euclid, dan lain-lain.
Pencapaian ini tidak lepas dari jasa para Ahli matematika terdahulu yang dengan
berbagai bentuk perannya memberikan kontribusi nyata atas perkembangan matematika
hingga kini. seperti ahli geometri Yunani Thales of Miletus, Pytagoras menemukan 2
hal penting yaitu teori pytagoras, dan jumlah irrasional, Euchid ahli geometri, dan Plato
yang terkenal yang sangat gigih dalam mempelajari matematika dan mendirikan sekolah
matematika yang menghasilkan banyak ahli matematika besar, diantaranya adalah
Aristoteles, Eudoxus, Menaechmus serta masih banyak lagi.

Ahli Matematika dalam masa itu tidak semata berperan dalam hal pengembangan ilmu
matematika tetapi juga dalam melakukan pendekatan kepada Penguasa untuk ikut
membantu mengembangkan matematika. Adalah Menaechmus yang namanya disebut
dalam cerita Alexander the Great, dimana Alexander meminta Menaechmus
mengajarinya tentang geometri. Menaechmus berkata kepada Alexander

Wahai raja, sepanjang negeri ini ada jalan untuk raja dan jalan untuk warga negara
biasa, tetapi pada geometri terdapat satu jalan untuk semuanya

Alexander memasuki Mesir dan mendirikan kota Alexandria di pinggir sungai nil pada
332 sebelum masehi. Kota ini berkembang sangat pesat dan memilik populasi setengah
juta dalam tiga dekade. Pada 306 sebelum masehi Alexandria segera berganti menjadi
akademi yang paling terkemuka, pusat bagi beasiswa di dunia. Di samping itu,
perpustakaannya memiliki lebih dari 600.000 gulungan kertas. Alexandria
meninggalkan kota intelektual suku bangsa Yunani. Selama itu ilmu pengetahuan
menarik bagi Alexandria sepanjang 300 sebelum masehi, adalah Euclid bersama ahli
lainnya yang mengatur sekolah matematika. Hal ini berpengaruh mendalam di barat dan
merupakan sesuatu yang dipelajari dan dianalisis selama berabad-abad. Ini semua telah
diwujudkan dalam buku-buku dan berisikan ratusan pernyataan dari bidang data,
geometri murni dan teori bilangan. Sekolah ini merupakan sarana untuk mempelajari
bagaimana metode menerangkan matematika lama menjadi jelas, logik dan terstruktur.
Perkembangan matematika selama beberapa masa, juga mewariskan sejarah yang begitu
kuno, diantaranya sebelum zaman modern dan pengetahuan yang tersebar global.
Contoh-contoh tertulis dari perkembangan dan masa kemilaunya matematika hanya
terdapat di beberapa tempat. Tulisan matematika terkuno yang pernah ditemukan adalah
Plimpton 322 (Matematika Babilonia yang berangka tahun 1900 SM), Lembaran
Matematika Moskow (Matematika Mesir yang berangka tahun 1850 SM), Lembaran
Matematika Rhind (Matematika Mesir yang berangka tahun 1650 SM), dan Shulba
Sutra (Matematika India yang berangka tahun 800 SM). Ini adalah bukti nyata suatu
karya yang sangat luar biasa sejak awal kehidupan manusia.
Di samping itu masih ada karya-karya yang fenomenal dari Ahli matematika, antara lain
seperti Euclid dan Phytagoras yang namanya diabadikan sebagai nama formulasi
matematika, Al-Khawarizmi yang dikenal sebagai bapak Aljabar, yang pertama kali
memperkenalkan penggunaan bilangan nol sebagai nilai tempat dalam basis sepuluh.
Seorang seniman terkenal Leonardo Da Vinci adalah seniman dunia yang telah
merasakan indahnya matematika. Dia pernah berkata
Pembicara Utama Drs. Hendrisman Rahim, MA. FSAI .AAI -J .QI P

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xv
Painting is science and all sciences are based on mathematics. No human enquiry can
be a science unless it pursues its path through mathematical exposition and
demonstration (Leonardo Da Vinci)
Dalam hal ini tentu pemahaman akan menjadi luas. Artinya untuk matematika, setiap
orang tidak semata dapat mengungkapkan keindahan matematika tetapi juga dapat me-
matematika-kan suatu keindahan. Luar biasa.
Matematika sebagai disiplin tentunya memiliki peran dalam kehidupan sehari-hari. Bagi
kebanyakan orang, matematika sering dianggap abstrak dan tidak terlihat secara
langsung manfaatnya. Hal ini terjadi mungkin saja karena pemahaman yang masih
terbatas atau orang lebih mengenal sebagai manfaat karya ilmu terapan lain yang
sebenarnya membungkus matematika di dalamnya.
Ada dua sisi dari seorang matematikawan saat menghadapi aplikasi dari matematika
dalam pembuatan model matematika. Satu sisi model yang dihasilkan haruslah akurat
dan bermanfaat, di sisi lain haruslah simpel, realistis dan menarik dalam penyelesaian
matematika. Akhirnya mereka memilih yang kedua, menarik dan elegant daripada
keakuratan yang sering kali tidak begitu berguna dalam aplikasi seharihari.
Kini, ilmu matematika digunakan di seluruh dunia sebagai alat penting di berbagai
bidang, termasuk ilmu pengetahuan alam, teknologi Informasi dan komunikasi,
rekayasa, medis, dan ilmu pengetahuan sosial seperti ekonomi, keuangan, asuransi dan
psikologi, serta lainnya. Penggunaan matematika di berbagai bidang ini tidak terlepas
dari filosofi matematika yang universal dan membumi serta berkembangnya penelitian-
penelitian pemodelan matematika dalam kehidupan sehari-hari, sehingga matematika
dapat diaplikasikan. Matematika telah mengilhami dan membuat terobosan-terobosan
baru bahkan kadang-kadang mengarah pada pengembangan disiplin-disiplin ilmu yang
sepenuhnya baru.
Secara umum, semakin kompleks suatu permasalahan maka semakin kompleks pula
pemodelan matematikanya. Namun demikian, hal ini diharapkan mampu untuk
mendapatkan atau mendekati penyelesaian eksak seakurat-akuratnya.
Jadi, tingkat kesulitan ilmu matematika bukan disebabkan oleh matematika itu sendiri,
melainkan disebabkan oleh kompleksnya permasalahan yang ada dimana
penyelesaiannya didekati dengan pemodelan matematika.
Dalam perkembangannya, matematika bukan hanya sekadar angkaangka, operasi
bilangan ataupun rangkaian aksioma, tetapi matematika juga bisa berfungsi sebagai
bahasa. Notasi, simbol dan operasi matematika adalah media komunikasi yang bisa
menyederhanakan sekaligus alat untuk mengambil keputusan. Dalam bidang ekonomi
dan keuangan, indikator-indikator perekonomian disajikan dalam bentuk kuantitatif.
Tentunya data kuantitatif yang disajikan tersebut merupakan alat untuk mengambil
keputusan.

Perkembangan model keputusan bisnis secara matematika juga berkembang cepat,
sejalan dengan ketidakpastian yang dominan dalam mempengaruhi kinerja bisnis
perusahaan. Sesuai dengan pergeseran kebutuhan manusia akan perhitungan dalam
bisnis, serta untuk memahami hubungan mendasar informasi kuantitatif, mengukur
Pembicara Utama Drs. Hendrisman Rahim, MA. FSAI .AAI -J .QI P

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xvi
potensi bisnis, dan proyeksi rencana bisnis, maka kajian bisnisnya tak lepas dari
pembagian ilmu mengenai besaran, struktur, ruang, dan perubahan (aritmetika, aljabar,
geometri, dan analisis). Di samping empat pembagian dasar tersebut terdapat cabang
matematika lain seperti: logika, teori himpuan, matematikan terapan, dan ketidakpastian
(probabilitas).

Disinilah permodelan dalam bisnis berkembang dan diterapkan dalam industri/bisnis
keuangan dan jasa termasuk Industri Asuransi. Dalam bisnis asuransi penggunaan ilmu
matematika sangat dibutuhkan dalam setiap tahap proses bisnisnya.


Para hadirin yang kami hormati.

Untuk lebih memahami keterkaitan mengenai bisnis asuransi dan matematika, saya akan
ulas secara singkat dari sejarah asuransi itu sendiri, serta bagaimana dominasi
matematika diterapkan dan berperan dalam proses bisnisnya.

Perkembangan Industri Asuransi sendiri juga tak lepas dari sejarah yang cukup tua dan
panjang. Industri Asuransi yang merupakan bisnis yang berawal dari prinsip gotong-
royong. Industri Asuransi bertujuan untuk melindungi nilai ekonomis sebuah aset dari
risiko kerusakan atau kehilangan. Adapun jenis aset yang dilindungi meliputi aset yang
dapat dilihat (tangible) seperti: rumah, mobil, tanah, ternak dan lainnya sedangkan aset
yang tidak dapat dilihat (intangible) seperti: bakat atau keahlian seseorang, pengalaman
dan lainnya.

Awal sejarah perlindungan dimulai dengan pola gotong-royong. Sebuah komunitas
yang terdiri dari banyak orang mengumpulkan iuran dimana dana yang terkumpul akan
digunakan untuk membantu anggota dalam komunitas yang rumahnya terbakar.
Apabila 1 orang anggota rumahnya terbakar, maka orang tersebut akan deiberikan
100% dana terkumpul. Namun pola ini menjadi terasa tidak adil dimata anggota
komunitas apabila pada periode berikutnya terdapat 2 atau lebih rumah yang terbakar
karena dana yang terkumpul akan dibagi rata kepada anggota-anggota yang rumahnya
terbakar. Di sisi lain iuran yang dibebankan sama untuk setiap anggota. Artinya Jumlah
santunan yang diberikan tergantung pada berapa jumlah rumah yang terbakar. Makin
banyak rumah yang terbakar makin kecil besar santunannya. Jadi model gotong royong
ini relatif belum adil.

Dari sini mulai tampak adanya kebutuhan akan suatu alat yang bisa memecahkan
masalah yang muncul pada metode gotong royong tersebut. Alat yang bisa memprediksi
jumlah anggota yang mengalami musibah kebakaran dalam suatu periode di masa
depan. Sehingga dengannya, pembagian uang penggantian kebakaran menjadi adil
untuk tiap-tiap anggota yang tertimpa musibah. Perkembangan selanjutnya
mengungkapkan bahwa kebutuhan akan alat ini ternyata dapat dijawab dengan baik oleh
matematika, tepatnya ilmu probabilitas.
Probabilitas menyediakan alat yang bernama mean atau rata-rata. Dari pengalaman-
pengalaman yang ada selama itu, dicatatlah berapa orang anggota yang terkena musibah
dalam suatu periode tertentu. Untuk lama periode yang sama, tentunya juga dapat
dihitung berapa dana yang terkumpul dari iuran para anggota. Setelah diketahui berapa
rata-rata kejadian per periode serta jumlah total dana yang tersedia, dapatlah kemudian
Pembicara Utama Drs. Hendrisman Rahim, MA. FSAI .AAI -J .QI P

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xvii
mereka menghitung berapa seharusnya besar dana yang diberikan kepada anggota
sebagai uang pengganti kebakaran. Dan terpecahkanlah masalah tadi.

Itulah awal dari lahirnya konsep proteksi risiko serta sekaligus menandai keterlibatan
ilmu matematika dalam industri tersebut. Selanjutnya, industri ini pada akhirnya
dinamakan sebagai industri asuransi.
Bisa dibayangkan tanpa ada ilmu probabilitas sebagai cabang matematika, tentu
masalah tersebut tak pernah terpecahkan sampai saat ini.


Para Hadirin yang saya hormati.

Telah diceritakan secara singkat tentang sejarah asuransi secara ringkas dan bagaimana
sejarah penerapan matematika menjadi awal dari sejarah asuransi. Lalu ada pertanyaan,
sejauh mana kemudian perkembangan industri asuransi?
Bagaimana peranan matematika di Industri asuransi saat ini?
Untuk memberikan gambaran atas dua pertanyaan tersebut, mungkin dapat dijawab
dengan menguraikan betapa disiplin ilmu aktuaria serta Ahli aktuaria (Aktuaris) sebagai
cabang ilmu matematika dan Ahli yang menempati posisi central dari bisnis asuransi.
Namun saya tidak akan uraiakan karena menurut saya hal tersebut sudah banyak kita
ketahui. Pada kesempatan ini, saya akan menguraikan keindahan matematika dalam
aplikasinya dari sisi proses bisnis di perusahaan asuransi. Terdapat banyak sektor yang
terlibat dalam proses bisnis di asuransi jiwa, akan tetapi saya akan uraikan dari sektor
Pemasaran, Underwriting, dan Aktuaria dikarenakan tiga sektor tersebut adalah yang
utama dalam alur new business process.

Keindahan Matematika di Sektor Pemasaran.

Kebanyakan orang berpendapat bahwa seorang ahli matematika kurang diperlukan atau
kurang cocok dalam kegiatan operasional pemasaran. Namun pendapat tersebut tidak
berlaku di bisnis asuransi. Dengan perkembangan pasar, regulasi dan persaingan
mengharuskan perusahaan asuransi dapat melakukan penyesuaian dan perhitungan
mengenai harga dan produk yang cocok untuk para customernya secara cepat dan
terkadang dilakukan di tempat.

Begitu juga dalam perencanaan pemasaran yang antara lain meliputi proses segmentasi,
targeting, dan strategi pemasaran, membutuhkan perhitungan-perhitungan yang harus
mengacu pada peningkatan bisnis yang menselaraskan antara produksi dan biaya.
Kontribusi Ilmu Statistika sebagai cabang Matematika sangat diperlukan dalam analisis
pada setiap proses tersebut. Metode yang sederhana seperti deskripsi statistik sampai
pemodelan yang bersifat deterministik dan stokhastik memberikan kontribusi dalam
memberikan informasi untuk pengambilan keputusan termasuk proyeksi atas dampak
atau pengaruh yang bakal terjadi.


Proses segmentasi

Beberapa literatur yang mendefinisikan secara tersendiri mengenai arti dari segmentasi
pasar, namun demikian semuanya tetap menekankan pada suatu proses atau kegiatan
membagibagi pasar/market yang bersifat heterogen kedalam segmen-segmen pasar
Pembicara Utama Drs. Hendrisman Rahim, MA. FSAI .AAI -J .QI P

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xviii
yang bersifat homogen dimana perusahaan akan memilih satu atau lebih segmen yang
cocok sebagai target. Banyak perusahaan yang melakukan segmentasi pasar atas dasar
pengelompokkan variabel tertentu.

Biasanya tahapan pertama dari proses segmentasi adalah identifikasi segmen. Seorang
Analisis memiliki banyak kriteria pemilihan dalam men-set karakteristik pasar dan
pilihan variabel-variabel yang digunakan.

Hasil dari proses segmentasi adalah penetapan kelompok segmen yang homogen dan
heterogen dibandingkan kelompok segmen-segmen lainnya. Di samping itu perusahaan
memiliki kemampuan dalam menjangkau segmen hingga memberikan nilai bagi
segmen tersebut maupun perusahaan. Dengan kata lain Dengan menggolongkan atau
mensegmentasikan pasar seperti itu, dapat dikatakan bahwa secara umum perusahaan
mempunyai motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan tingkat penjualan.
Tujuannya adalah agar operasi perusahaan dalam jangka panjang dapat berkelanjutan
dan kompetitif.

Teknik-teknik Segmentasi

Setelah variabel-variabel yang diduga dipilih dan data-data terkumpul maka dilakukan
identifikasi segmen melalui proses statistik. Teknik segmentasi yang digunakan
tergantung pada seberapa besar data (metric atau non metric variable), jenis dependensi
atau interdependensi yang diamati. Beberapa Teknik Segmentasi melalui proses
statistik yang umum digunakan adalah factor analysis, cluster analysis, discriminant
analysis, multiple regression.

Dalam perkembangannya, discriminant analysis mulai kurang digunakan karena
meningkatnya tingkat kritik atas kondisi empiris. Metode baru yang meningkat
penggunaannya adalah chi-square automatic detection (CHAID), Logit dan Log Linear
Modeling. CHAID misalnya menggunakan chi-square analysis tidak mengharuskan
ordinal atau nominal data ke dalam variabel-variabel kontinu. Analisis melalui CHAID
tidak hanya membantu dalam proses segmentasi tetapi juga melakukan estimasi atas
rangking berdasarkan profitabilitas dan beberapa pengukuran lainnya. Dengan dinamika
perubahan yang terjadi di pasar, Proses Segmentasi adalah proses relatif kompleks dan
cenderung tetap memberikan penyimpangan. Untuk mengurangi penyimpangan
tersebut, proses validasi dan keterpaduan data harus dilakukan baik pada tahapan proses
segmentasi maupun hasilnya.

Ulasan seputar proses segmentasi ini, jelas memposisikan betapa keberadaan ilmu
statistika sebagai cabang matematika berperan strategis dalam bisnis.

Evaluasi Segmen

Tahap berikutnya dari proses segmentasi adalah evaluasi segmen. Hal yang pertama
diperlukan adalah penetapan jenis kriteria yang digunakan dalam evaluasi. Dalam
bisnis, biasanya hanya satu ukuran yaitu tingkat profitabilitas. Segmen Pasar dapat
diranking menggunakan model tree analysis atau gains charts.

Pendekatan lain dalam evaluasi segmen pasar adalah melalui spatial model dimana
persamaan dan perbedaan dipetakan. Representasi ini digunakan untuk melihat
Pembicara Utama Drs. Hendrisman Rahim, MA. FSAI .AAI -J .QI P

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xix
hubungan antara estimasi demand dan forcasting model dengan tujuan menentukan
alternatif positioning yang cocok untuk produk. Analisis ini juga dapat dikembangkan
menggunakan chi-square tree analysis dan analisis korespondensi untuk memberikan
kita pemetaan yang dinamakan compositional perceptual mapping yang sangat vital
dalam memahami posisi produk dari sisi customer.

Targeting

Berdasarkan analisis dan pengukuran pada proses segmentasi, maka perusahaan harus
membuat strategi tertentu disesuaikan dengan karakteristik segmen-segmen yang
dipilih. Targeting juga memperhitungkan seberapa potensial segmen yang dipilih dan
kekuatan resource perusahaan dalam menjalankan strategi untuk menjangkau dan
memenangkan persaingan. Di sini peran pemetaan secara kuantitatif mengenai
karakteritik potensi bisnis pasar dan kekuatan pesaing dapat diukur sehingga tingkat
risiko keberhasilan juga dapat diperkirakan. Formulasi nilai ekpektasi, pemodelan
multiple regression bisa digunakan untuk mengukur potensi bisnis dari target.

Positioning

Banyak Ahli dalam business strategy sependapat bahwa setelah ditetapkan proses
segmentasi dan targeting, perusahaan harus mengembangkan positioning objectives.
Positioning memang benar harus dikaji karena merupakan bagian tak terpisahkan dalam
penetapan Marketing Mix secara rinci. Positioning bukanlah apa yang dilakukan
customer terhadap produk, tetapi adalah apa yang dipersepsikan customer. Hal ini
penting untuk dalam penetapan strategi komunikasi yang efektif kepada customer atau
target audience. Efektifitas komunikasi dapat diukur dengan menggunakan metode
brand perceptual mapping. Melalui brand perceptual mapping kita bisa mengetahui
apakah pesan perusahaan terhadap produk sama dengan yang ditangkap benak
audience. Deskripsi statistik sederhana dan uji statistik dapat dilakukan untuk
mengetahui perbedaan persepsi yang terjadi.


Strategi Marketing Mix

Strategi Marketing Mix merupakan langkah berikut setelah penetapan segmentasi,
targeting dan positioning. Intinya strategi ini adalah bagaimana memaksimalkan
resources yang mencapai sasaran bisnis bagi perusahaan dan kompetitif dalam jangka
panjang. Sasaran bisnis tentunya berkorelasi erat dengan peningkatan kinerja penjualan.
Dalam sektor peningkatan penjualan di perusahaan asuransi. Agen Asurannsi adalah
faktor paling dominan terhadap keberhasilan penjualan. Program bonus kepada agen
yang mencapai targetnya merupakan salah satu alat untuk memotivasi Agen dalam
meningkatkan kinerjanya. Keterbatasan alokasi biaya untuk bonus penjualan dalam
struktur biaya produk dapat kemas menjadi lebih menarik dengan memperhitungan
probabilitas tingkat keberhasilan Agen mencapai target. Metode perhitungan nilai
ekspektasi yang memperhatikan berapa biaya bonus serta probabilitas pencapaian target
merupakan model sederhana dalam perancangan program bonus.

Pada prakteknya keberhasilan pencapaian sasaran tidak bisa semata bertumpu pada satu
program. Strategi Diferensiasi merupakan strategi yang paling banyak terbukti sukses
dalam persaingan bisnis. Diferensiasi di sini tidak semata dalam konteks pemasaran saja
Pembicara Utama Drs. Hendrisman Rahim, MA. FSAI .AAI -J .QI P

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xx
tetapi juga keseluruhan organisasi dan proses bisnis perusahaan meliputi struktur,
sistem, sumber daya manusia, dan budayanya. Dalam hal ini peran Ahli Matematika
diperlukan dalam mengkomunikasikan hasil analisisnya secara tepat kepada manajemen
atau eksekutif di perusahaan dalam pengambilan keputusan. Penggunaan metode
statistik dalam setiap proses harus dapat di intepretasikan menjadi informasi yang
berguna dan mudah dimengerti.

Terkait dengan jenis proses segmentasi, targeting dan positioning, dalam prakteknya
metode yang dipilih tentunya tergantung pada kebutuhan keputusan dilihat dari sisi
kecepatan dan jangka waktu, dan kecepatan perubahan pasar, tingkat kompleksitas
permasalahan yang dihadapi. Tidak mesti, metode yang sederhana semata untuk
kebutuhan kecepatan pengambilan keputusan atau sebaliknya pemodelan yang rumit
tidak mesti diperlukan untuk keputusan permasalahan yang kompleks. Semua faktor
harus diperhatikan untuk menghasilkan keputusan yang tepat dan strategis hal ini karena
karakteristik dari pemasaran adalah kondisi pasar yang cepat berubah dalam jangka
pendek, di sisi lain keputusan yang pilih perusahaan dalam periode tertentu
pengaruhnya tetap terasa dalam jangka panjang.


Keindahan Matematika di Sektor Underwriting

Proses bisnis underwriting lanjutan proses dari hasil aktivitas pemasaran. Underwriting
merupakan proses yang terkait langsung dengan core business dari perusahaan asuransi
yaitu risiko. Proses ini memerlukan akurasi dalam mengukur tingkat risiko, dan
kemampuan prima menterjemahkan data menjadi model dan informasi yang
bermanfaat. Semua proses ini membutuhkan Penerapan Matematika agar proses
pelayanan menjadi cepat dan akurat.

Tentunya untuk lebih meningkatkan kemampuan dalam melakukan tugas sebagai
underwriting perlu pembelajaran, pengetahuan dan wawasan mengenai faktor-faktor
yang menjadi ukuran suatu risiko. Dalam underwriting merupakan salah satu contoh
bagaimana kompleksitas permasalahan secara kualitatif dapat dibantu pemodelan yang
sangat sederhana dari matematika. Bagaimana keterkaitan penerapan matematika
dengan fungsi kerja underwriting, saya menguraikan sekilas mengenai underwriting.

Proses mengidentifikasikan dan mengelompokkan tingkat risiko yang dimiliki oleh
seorang calon tertanggung disebut underwriting atau selection of risks (seleksi risiko)
dan karyawan perusahaan asuransi yang bertanggung jawab untuk mengevaluasi calon
tertanggung disebut underwriters. Underwriting terdiri dari dua tahapan utama : (1)
mengidentifikasi risiko yang dimiliki oleh seorang calon tertanggung dan (2)
mengelompokkan tingkat risiko yang dimiliki oleh seorang calon tertanggung.

Untuk mengelompokkan calon tertanggung, para underwriter menerapkan aturan umum
mengenai seleksi risiko, yang disebut underwriting guidelines, yang dibuat oleh
perusahaan asuransi.

Dalam keputusan underwriting, faktor-faktor medis merupakan hal yang penting. Agar
konsisten dalam mengevaluasi risiko yang diwakili oleh faktor-faktor medis, perusahaan
asuransi bergantung pada informasi statistik yang dibuat selama kajian berskala besar
mengenai gangguan kesehatan. Kajian tersebut umumnya membandingkan pengalaman
Pembicara Utama Drs. Hendrisman Rahim, MA. FSAI .AAI -J .QI P

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xxi
mortalitas relatif orang-orang yang memiliki gangguan kesehatan dengan pengalaman
mortalitas relatif orang-orang yang tidak memiliki gangguan kesehatan dan
mengungkapkan pola-pola mortalitas berdasarkan usia, jenis kelamin dan faktor-faktor
lainnya. Kajian gangguan kesehatan tersebut memandu para aktuaris dalam menetapkan
kelas-kelas risiko asuransi.
Para underwriter menilai risiko medis yang dimiliki oleh seorang calon tertanggung
dengan menggunakan numerical rating system, table rating method, flat extra premium
method, atau beberapa kombinasi dari pendekatan-pendekatan tersebut.

Metode-metode ini pada prinsipnya merupakan bentuk sederhana peran Matematika
dalam memberikan model yang sangat praktis sehingga mentranformasi data-data
kualitatif terkait dengan menjadi informasi kuantitatif yang amat sangat berguna untuk
suatu keputusan.

Dalam prakteknya efektifitas dari model yang dibentuk dalam proses underwriting ini
ditinjau dalam bentuk evaluasi untuk mengukur apakah model masih relevan dengan
kondisi empiris. Tentu banyak metode pengkajian dan pemodelan dalam ilmu statistika
yang dapat digunakan untuk mengujinya.


Keindahan Matematika di Sektor Aktuaria

filosofi dari bisnis asuransi, yaitu bahwa asuransi memberikan solusi atas terjadinya satu
atau beberapa risiko terhadap tertanggung atau aset, atau bisnis yang nantinya
dikhawatirkan akan berpengaruh pada kondisi finansial tertanggung atau ahli waris
tertanggung.
Kemudian, muncullah beberapa pertanyaan, yaitu: Bagaimana menjawab kebutuhan
tersebut ? Bagaimana kita mampu untuk melakukan proteksi risiko ini ? Alat-alat apa
yang harus kita persiapkan ? Bagaimana menghitung kebutuhan dana untuk proteksi
tersebut ?
Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini dengan sangat baik ternyata dapat dijawab,
dimodelkan, dan dihitung dengan suatu disiplin ilmu yang luar biasa yang bernama
Aktuaria sebagai cabang ilmu matematika.


Time value of money.

Mengulas tentang proteksi finansial, membuat kita mau tidak mau harus mengetahui
nature dari pada uang itu sendiri. Hal ini dikarenakan klaim-klaim asuransi bukan
terjadi di saat ditandatanganinya kontrak asuransi, tapi terjadi dalam sebulan ke depan,
setahun ke depan, sepuluh tahun ke depan, atau suatu saat yang lain di masa depan.
Sedangkan premi, dana yang dibutuhkan untuk mem-back up klaim-klaim di masa
depan tersebut, diterima oleh perusahaan asuransi pada saat ini.
Di industri keuangan, nilai uang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Nilai uang yang
saat ini kita miliki, mungkin akan menurun atau meningkat dalam sepuluh tahun ke
depan. Uang sejumlah dua puluh juta rupiah bila akan dibelikan sebuah kendaraan, saat
ini hanya cukup untuk membeli kendaraan roda dua. Akan tetapi, uang dengan jumlah
yang sama, pada tahun 80-an bisa digunakan untuk membeli sebuah mobil baru.
Perbedaan nilai uang tersebut diakibatkan oleh adanya faktor inflasi dan deflasi mata
uang.
Pembicara Utama Drs. Hendrisman Rahim, MA. FSAI .AAI -J .QI P

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xxii
Selain itu, perbedaan nilai uang ini juga disebabkan oleh adanya suatu tingkat
pengembangan atau tingkat investasi. Tuntutan agar besar premi bisa ditekan serendah-
rendahnya sedangkan manfaat asuransi bisa dibuat setinggi-tingginya, mengharuskan
perusahaan asuransi untuk juga memposisikan diri sebagai perusahaan pengembangan
dana yang mencari celah-celah investasi jangka panjang yang menguntungkan.
Perbedaan nilai uang, baik oleh adanya faktor inflasi, deflasi, dan pengembangan dana
ini ditangani dengan cantik oleh matematika oleh formulasi sederhana future value :

F
n
= F
0
( 1+ i )
n


, di mana :
F
0
: nilai dana saat ini
F
n
: nilai dana n waktu ke depan
i : inflasi, deflasi, atau tingkat pengembangan
n : periode evaluasi dana

Sedangkan formulasi present value yang menyatakan kebutuhan dana untuk
mendapatkan suatu suatu target nilai di masa depan dirumuskan oleh :

F
0
= F
n
( 1+ i )
n
= F
n
v
n


, di mana
F
0
: present value
F
n
: target nilai dana n waktu ke depan
v : tingkat diskonto, dimana v = ( 1+ i )
1


Tidak hanya di Industri Asuransi, Formulasi matematika present value dan future value
yang sederhana, saat ini penggunaannya berkembang dan sangat strategis bagi banyak
perusahaan bisnis.

Asumsi Tingkat Kematian, Tingkat Morbidita, dan Tingkat Kecelakaan.

Oleh karena berurusan dengan risiko dan ketidakpastian di masa depan, tidak lalu
membuat Industri Asuransi menjadi sebuah industri yang tidak mungkin untuk dikelola
atau dijalankan. Pada dasarnya semua industri itu berisiko, tetapi karena adanya :
- kebutuhan (demand) atas produk atau jasa yang disediakan oleh industri tersebut
dan adanya,
- suatu landasan atau acuan pengelolaan,
membuat suatu industri akan tetap eksis dan layak untuk dijalankan.

Demikian juga dengan Industri Asuransi yang menyediakan jasa keuangan. Kebutuhan
atau demand atas jasa asuransi semakin meningkat beberapa waktu terakhir ini seiring
dengan semakin meningkatnya pemahaman masyarakat Indonesia atas kebutuhan
asuransi (insurance minded).
Lalu, bagaimana dengan pengelolaan risiko yang menjadi core business dari perusahaan
asuransi ? Apa yang bisa dijadikan landasan bagi industri ini untuk mengelola risiko
dari para pemegang polis / tertanggung, yang meliputi risiko kematian, risiko
kecelakaan, risiko sakit, dan lain-lain ?
Risiko memang mengindikasikan ketidakpastian di masa depan. Akan tetapi,
matematika menyediakan banyak sekali alat untuk menganalisis serangkaian kejadian
Pembicara Utama Drs. Hendrisman Rahim, MA. FSAI .AAI -J .QI P

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xxiii
yang di masa depan sifatnya tidak pasti untuk kemudian darinya diambil suatu aturan
dengan pola yang apik. Dalam hal ini matematika mempunyai suatu cabang keilmuan
sendiri yang disebut dengan statistika.
Masa depan memang penuh ketidakpastian sehingga tidak dapat diprediksi dengan
tepat. Akan tetapi, masa lalu dapat dicatat dengan cermat dan mempunyai sifat yang
pasti karena memang sudah terjadi. Dari pengalaman masa lalu, kita dapat mengambil
suatu pelajaran. Dari kejadian-kejadian yang sudah terjadi, dengan menggunakan
matematika kita dapat memperoleh suatu pola.

Pengalaman-pengalaman dan pola-pola ini lebih jauh dapat diaplikasikan dan dijadikan
landasan untuk memprediksi dan mengelola ketidakpastian di masa depan. Kita ambil
contoh bagaimana perusahaan asuransi memprediksi dan mengelola risiko kematian dari
sejumlah pemegang polis di portofolionya.
Dari keseluruhan portofolio tertanggung yang dimilikinya, sejumlah tertanggung akan
menemui kematian dalam suatu jangka waktu ke depan. Setiap klaim kematian akan
membutuhkan sejumlah dana sebagai manfaat kematian para tertanggung tersebut.
Berapa jumlah kematian yang terjadi dalam suatu jangka waktu di masa depan ? Lebih
jauh lagi, berapa jumlah dana yang harus disiapkan ?
Untuk menjawab berbagai pertanyaan ini, pengalaman masa lalu atas jumlah kematian
tertanggung bisa dijadikan landasan. Dari pengalaman masa lalu, bisa diambil suatu
pola tentang jumlah kematian sejumlah tertanggung dari berbagai macam kelompok
usia dalam suatu jangka waktu tertentu, sebut saja n tahun.
Melalui pengalaman ini, disusunlah sejumlah acuan untuk perhitungan klaim kematian
yang biasa disebut sebagai tabel mortalita. Beberapa contoh tabel mortalita :
Tabel Mortalita Indonesia ( TMI I dan TMI II )
CSO ( Commissioners Standard Ordinary )
GBM ( Gehele Bevolking Mannen )
GAM ( Group Annuity Mortality )

Tabel ini menyajikan perubahan jumlah populasi penduduk berbagai kelompok usia.
Kelompok usia ini biasa disimbolkan sebagai x. Tinjauan usia pada umumnya dimulai
dengan x = 0 tahun hingga x = , di mana didefinisikan sebagai usia di mana orang
sudah tidak mungkin hidup lagi.
Dari tabel, bisa dilihat jumlah populasi penduduk untuk suatu kelompok usia x,
disimbolkan l
x
. Berdasarkan nilai l
x
dapat dihitung probabilita kematian dari suatu
kelompok usia x untuk satu tahun ke depan, disimbolkan q
x
, di mana
1 x x
x
x
l l
q
l
+

=
; 0 < q
x
< 1
Selanjutnya, secara umum, bisa dihitung probabilita kematian dari suatu kelompok usia
x untuk n tahun ke depan, disimbolkan
n
q
x
, di mana
x x n
n x
x
l l
q
l
+

=
; 0 <
n
q
x
< 1
Nilai-nilai probabilita kematian ini dapat dijadikan pendekatan yang cukup baik atas
terjadinya klaim kematian 1 atau n tahun ke depan.
Selanjutnya, berdasarkan formulasi tersebut, perusahaan asuransi sudah bisa
memperkirakan sejumlah hal penting dari sekelompok portofolio pemegang polis yang
dimilikinya, yaitu:
Pembicara Utama Drs. Hendrisman Rahim, MA. FSAI .AAI -J .QI P

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xxiv
Jumlah klaim kematian 1 atau n tahun ke depan,
Besar nominal klaim-klaim kematian,
Perkiraan besar premi yang harus dibayarkan pemegang polis, dan
Kebutuhan dana guna memenuhi klaim asuransi di masa depan (Cadangan
Premi)

Pembentukan premi

Baiklah, saat ini mari kita lihat satu hal penting dalam Industri Asuransi, yaitu
menentukan besar harga dari suatu produk asuransi atau biasa disebut sebagai premi /
premium. Hal ini menjadi penting karena menjadi salah satu faktor besar yang
mempengaruhi kesehatan sebuah perusahaan asuransi.
Dalam polis, perusahaan asuransi menjanjikan pembayaran sejumlah manfaat asuransi
kepada pemegang polis atas terjadinya suatu risiko.
Menjadi suatu hal yang penting bila premi yang dibayarkan para pemegang polis akan
bisa menutupi klaim-klaim atas manfaat asuransi di masa depan untuk mereka. Dengan
satu kalimat sederhana bisa diringkas : harga sesuai dengan barang.
Tarif premi tidak boleh terlalu tinggi atau terlalu rendah. Bila premi terlalu tinggi, hal
itu akan menyebabkan premi tidak kompetitif di pasaran hingga sulit bersaing dengan
kompetitor. Bila premi terlalu rendah, konsekuensinya adalah dana yang masuk ke
perusahaan tidak sebanding dengan biaya dan manfaat asuransi yang akan dibayarkan
pada pemegang polis. Lebih jauh hal ini akan membuat perusahaan menjadi tidak sehat
secara finansial atau insolvent.
Prinsip pembentukan premi :
Adequate, premi harus menghasilkan cukup dana untuk membayar klaim asuransi
yang mungkin terjadi
Note Cessive, tarif tidak berlebihan hingga menjadi terlalu mahal
Equity, bila besar risikonya sama, maka tarif harus sama
Flexible, tarif harus disesuaikan dengan keadaan
Premi harus mampu menutupi :
Pembayaran manfaat asuransi di masa depan atas terjadinya risiko
Biaya-biaya terkait dengan proses penutupan, pemeliharaan, dan klaim polis.
Pembentukan premi dapat diformulasikan dengan cukup baik dengan bantuan
matematika.
Pada prinsipnya, premi adalah present value dari segala kewajiban perusahaan di masa
depan, meliputi manfaat asuransi untuk pemegang polis dan biaya-biaya operasional
perusahaan. Nilai-nilai yang terjadi di masa depan itu ditunaikan ke titik waktu saat ini
dengan memperhatikan time value of money, tingkat pengembangan dana, peluang
kematian, dan peluang sakit.
Sebagai contoh, pada pembentukan premi sebuah produk dengan manfaat asuransi
berupa pembayaran sejumlah Uang Asuransi bila tertanggung berusia x meninggal
dalam satu tahun ke depan. Produk ini merupakan salah satu produk dasar asuransi yang
dikenal sebagai term insurance dengan jangka waktu / termin 1 tahun saja.
Formulasi sederhana bagi premi produk ini adalah :

Premi One Year Term Insurance = Uang Asuransi . q
x
. v + Biaya

Formulasi di atas merupakan formulasi sederhana yang menggunakan pendekatan
discrete. Diasumsikan, setiap pembayaran klaim asuransi dilakukan di akhir tahun
sedangkan seluruh biaya operasional dikeluarkan di awal tahun.
Pembicara Utama Drs. Hendrisman Rahim, MA. FSAI .AAI -J .QI P

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xxv
Formulasi ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
Dana yang harus disiapkan oleh perusahaan asuransi dengan memperhitungkan peluang
kematian orang berusia x adalah sebesar :

Uang Asuransi . q
x


Bila di akhir termin, dari sekumpulan besar pemegang polis tiap-tiap orang
membayarkan dana sejumlah itu, maka akan dapat dikumpulkan sejumlah besar dana.
Total dana yang terkumpul akan cukup untuk membayarkan klaim asuransi kepada
siapapun tertanggung yang meninggal dalam kelompok tersebut sebesar Uang Asuransi
di akhir termin satu tahun.
Oleh karena dana tersebut terkumpul di akhir tahun, sementara premi harus dibayarkan
di awal tahun, maka harus dihitung present value dari dana tersebut di awal tahun.
Sehingga, dana yang dibutuhkan di awal tahun menjadi

Uang Asuransi . q
x
. v

Dana ini dinamakan dengan nett premium yang cukup untuk menutupi klaim asuransi
sebesar Uang Asuranasi.
Selanjutnya, dengan mengambil asumsi bahwa seluruh biaya operasional perusahaan
yang terkait dengan polis tersebut dikeluarkan di awal tahun, maka pada nett premium
di atas ditambahkan suatu loading biaya. Sehingga Premi untuk One Year Term
Insurance tersebut menjadi

Premi One Year Term Insurance = Uang Asuransi . q
x
. v + Biaya

Dalam praktek pembentukan premi di Industri Asuransi Indonesia, terdapat beberapa
penyederhanaan asumsi-asumsi yang digunakan. Penyederhanaan ini seringkali
memang dirasa tidak sesuai dengan realita. Sebagai contoh :
1. Semua klaim asuransi diasumsikan dibayarkan di akhir tahun kematian, pada
kenyataannya klaim asuransi dibayarkan kapanpun terjadi kematian dari
tertanggung.
2. Tingkat bunga diasumsikan konstan sepanjang termin n tahun, sedangkan pada
kenyataannya invesment return tidaklah konstan dan berubah dari waktu ke waktu.
dan beberapa asumsi lain.

Adanya ketidaksesuaian tersebut, memang perlu banyak pembenahan yang harus
dilakukan terutama dalam konsep pendekatan yang selama ini dilakukan secara discrete,
tampaknya harus mulai dilakukan secara continue atau stochastic. Dengan pendekatan
yang baru tersebut, pemodelan untuk pembentukan premi, cash value, dan lain-lain bisa
menjadi lebih realistis.
Dengan pendekatan continu dan stochastic nantinya, sebagai contoh, pemodelan premi
dan cash value bisa mendanai asuransi di masa depan di mana :
1. Pembayaran klaim kematian dilakukan sesaat setelah terjadinya kematian
tertanggung,
2. Dana dari premi dikembangkan dengan asumsi tingkat bunga yang tidak konstan
dan bergerak sesuai pola pergerakan tingkat bunga yang terjadi di masa lalu
3. Asumsi biaya bisa mengalami penyesuaian sepanjang periode asuransi
mengikuti suatu index atau tingkat inflasi, dan lain-lain.
Pembicara Utama Drs. Hendrisman Rahim, MA. FSAI .AAI -J .QI P

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xxvi
Dengan adanya penyesuaian pendekatan ini, diharapkan pemodelan menjadi lebih
realistis dan menghindari kemungkinan adanya loss akibat asumsi pendekatan discrete.


Dynamic Solvency Testing (DST)

Selanjutnya, marilah kita melihat bagaimana matematika diaplikasikan dalam praktek
tata kelola perusahaan yang baik.
Industri asuransi merupakan salah satu industri yang mengharuskan penghimpunan
suatu dana yang sangat besar dari masyarakat, yaitu penghimpunan dana premi dari
pemegang polis. Hal ini sangat terkait dengan prinsip yang harus dipegang oleh
perusahaan asuransi, yaitu the law of the large number. Untuk menjaga kestabilan
segala asumsi risiko yang digunakan oleh perusahaan, diperlukan suatu angka jumlah
pemegang polis yang sangat besar. Hal ini karena dari suatu kumpulan kecil pemegang
polis, segala asumsi risiko kematian, cacat, sakit, dan lain-lain menjadi tidak dapat
diprediksi dengan memuaskan hingga tidak dapat dijadikan acuan.

Mengingat besarnya jumlah dana yang dihimpun serta banyaknya jumlah tertanggung
yang menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi, maka diperlukan suatu kehati-hatian
extra dalam mengelola dana dan risiko (exposure) dari para tertanggung. Lebih jauh
tentunya ini menuntut perusahaan asuransi untuk mengembangkan suatu alat canggih
yang mampu menyediakan serangkaian rambu-rambu dan menjadi early warning
system yang memandu perusahaan dalam menjalani setiap langkahnya.

Sekali lagi, kebutuhan akan alat canggih ini ternyata mampu dijawab oleh matematika.
Alat ini bernama Dynamic Solvency Testing atau biasa disebut sebagai DST. Saat ini
DST memang belumlah diaplikasikan di Indonesia dan baru berupa wacana, akan tetapi
sudah cukup marak diterapkan di negara-negara yang sudah mempunyai industri
asuransi yang maju.

DST pada umumnya digunakan sebagai alat untuk menguji dampak dari satu paket
kebijakan manajemen. Sebelum suatu paket kebijakan perusahaan diterapkan,
kebijakan-kebijakan tersebut dapat diuji terlebih dahulu dengan menggunakan DST.
Dynamic Solvency Testing mampu memberikan analisis dan gambaran atas dampak dari
kebijakan tersebut terhadap kondisi kesehatan finansial perusahaan di masa depan.

DST memberikan analisis terhadap kondisi di masa depan dengan membuat banyak
simulasi kejadian, atau biasa disebut dengan skenario. Skenario-skenario ini
memberikan gambaran kejadian yang mungkin terjadi di masa depan. Simulasi dapat
dilakukan sepanjang lima, sepuluh, atau bahkan dua puluh tahun ke depan. Agar hasil
analisisnya memadai, diperlukan banyak sekali skenario. Jumlah skenario yang
diperlukan untuk suatu analisis DST bisa mencapai ribuan buah skenario.

Skenario-skenario kejadian ini dapat di-generate dengan menggunakan model-model
statistik discrete, continue, ataupun stochastic. Model yang sangat umum diaplikasikan
adalah Simulasi Monte Carlo. Metode Monte Carlo sendiri secara umum adalah sebuah
teknik yang melibatkan penggunaan bilangan acak dan probabilitas untuk memecahkan
suatu permasalahan.
Karena melibatkan proyeksi di masa depan dan karena kompleksitas permasalahan yang
akan ditinjau, maka DST melibatkan banyak cabang keilmuan matematika terutama
Pembicara Utama Drs. Hendrisman Rahim, MA. FSAI .AAI -J .QI P

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xxvii
probabilita, statistik, modelling, dan bahkan programming / komputasi. Analisis dengan
menggunakan DST merupakan analisis yang sangat kompleks. Sehingga, agar didapat
suatu hasil analisis yang memuaskan, sebuah program komputer berskala besar dan
kompleks harus dibuat untuk itu.

Berikut ini akan digambarkan proses DST Analysis.

Pertama-tama, hal yang paling penting dalam DST adalah bagaimana kita membuat
suatu model yang baik dan comprehensive atas kondisi internal perusahaan, disebut
faktor internal, serta kondisi linkungan di luar perusahaan, disebut faktor eksternal.
Faktor internal dan faktor eksternal ini adalah semua faktor yang melingkupi
perusahaan yang diperkirakan akan bisa mempengaruhi kesehatan finansial perusahaan.
Faktor-faktor ini harus didefinisikan dengan baik dan cermat.
Faktor internal perusahaan antara lain meliputi :
1. Kepegawaian : jumlah karyawan, sebaran usia, dan struktur gaji,
2. Keuangan : biaya produksi, biaya over head, dan biaya administrasi
pemeliharaan,
3. Investasi : struktur aset dan asumsi tingkat investasi,
4. Pertanggungan / teknik : underwriting, pembuatan produk baru, asumsi tingkat
bunga aktuaria, tingkat mortalita, tingkat lapse, tingkat morbidita, dan asumsi
biaya,
5. Pemasaran : target premi new business, jumlah agen, pola remunerasi agen,
jumlah branch office, dan lain-lain.

Faktor eksternal perusahaan antara lain meliputi :
1. Ekonomi : inflasi, tingkat investasi, kurs, dan GDP,
2. Klaim : catastrophic losses,
3. Investasi : harga instrumen investasi, peraturan perbankan dan keuangan,
4. Bisnis : reinsurrance cycle dan operational risk, dan lain-lain.

Selanjutnya kita definisikan suatu parameter yang nantinya digunakan sebagai acuan
bagi penilaian kesehatan finansial perusahaan. Parameter yang bisa digunakan antara
lain adalah : Risk Based Capital ( RBC ) dan jumlah laba perusahaan. Manajemen
menentukan target RBC dan jumlah laba satu, lima, sepuluh, atau beberapa tahun ke
depan sesuai dengan rencana jangka panjang perusahaan.

Setelah menetapkan model internal dan eksternal perusahaan serta parameter kesehatan
finansial perusahaan, barulah kita menginjak pada tahap penetapan kebijakan
perusahaan. Kebijakan perusahaan ini adalah segala perubahan, penambahan, atau
pengurangan yang direncanakan akan diterapkan pada perusahaan di masa depan.
Berbagai parameter kesehatan perusahaan di masa depan akan berubah bila kebijakan
ini diaplikasikan pada perusahaan. DST dimaksudkan untuk melakukan pengujian
apakah kebijakan tersebut memberikan dampak positif atau negatif pada parameter
kesehatan perusahaan.

Pembicara Utama Drs. Hendrisman Rahim, MA. FSAI .AAI -J .QI P

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xxviii
Kebijakan perusahaan mungkin meliputi beberapa bidang sekaligus yang terkait dengan
faktor internal perusahaan seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Satu paket
kebijakan masa depan yang akan diuji mungkin meliputi kebijakan di sektor
kepegawaian, keuangan, investasi, pertanggungan, dan pemasaran. Misalnya satu paket
kebijakan yang meliputi jumlah karyawan, struktur biaya over head, struktur aset
investasi, asumsi tingkat bunga aktuaria, dan jumlah branch office di masa depan.

Pemodelan faktor internal dan eksternal perusahaan.

Pemodelan faktor internal dan faktor eksternal perusahaan menduduki tempat yang
sangat penting. Hal ini karena nantinya kebijakan perusahaan akan diuji terhadap model
ini. Hasil analisis DST sangat tergantung dari seberapa tepat dan seberapa lengkap
pemodelan faktor internal dan eksternal ini.
Setelah mengkaji berbagai faktor internal dan faktor eksternal perusahaan, dibuatlah
suatu model yang meliputi faktor-faktor tersebut. Model yang dibuat, nantinya adalah
merupakan penterjemahan kondisi internal dan eksternal perusahaan yang
sesungguhnya ke dalam bahasa matematika dan bahasa pemrograman. Model ini bisa
disimbolkan sebagai sebuah fungsi f(x), di mana

f(x) = f
I NT
(x) + f
EKS
(x) , di mana
f
I NT
(x) = model internal perusahaan
f
EKS
(x) = model eksternal perusahaan
x = kebijakan perusahaan

Variabel x yang menjadi input bagi model adalah paket kebijakan perusahaan. Fungsi
f(x) memetakan x kepada suatu nilai yang menggambarkan kondisi kesehatan
perusahaan misalnya RBC dan laba. Artinya, dengan model tersebut, pengaruh dari
suatu paket kebijakan x terhadap kesehatan keuangan perusahaan di masa depan dapat
dihitung.

Scenario Generator

Selanjutnya kita masuk ke tahap pembuatan skenario-skenario kejadian masa depan.
Pada bagian ini kita lihat bagaimana perubahan faktor-faktor eksternal perusahaan bisa
disimulasikan atau dibuat skenarionya. Sebagai scenario generator, pada umumnya
digunakan Simulasi Monte Carlo. Dengan metode simulasi ini dapat dibuat banyak
sekali skenario kejadian di masa depan.
Mengapa diperlukan sejumlah besar skenario untuk bisa memproyeksikan masa depan ?
Katakanlah kita tinjau satu faktor eksternal perusahaan misalnya tingkat bunga deposito.
Tingkat bunga deposito hari ini dengan mudah bisa dihitung karena sudah tersedia data-
datanya. Akan tetapi, di masa depan tingkat bunga deposito akan terus berubah. Bisa
menjadi lebih rendah atau menjadi lebih tinggi. Bila ditelaah, akan terdapat tak hingga
banyak kemungkinan kejadian masa depan untuk pergerakan tingkat bunga deposito.
Memang tidak mungkin untuk membuat semua kemungkinan kejadian masa depan.
Sebagai pendekatan, maka ribuan skenario harus di-generate dalam rangka
merepresentasikan sebagian kemungkinan kejadian tersebut.
Kembali kepada contoh di atas. Untuk dapat memproyeksikan pergerakan tingkat bunga
deposito, terlebih dahulu kita harus melakukan riset tentang pergerakan tingkat bunga di
masa lalu. Berdasarkan riset ini bisa didapat beberapa statistik seperti mean, volatility,
dan drift dari pergerakan tingkat bunga deposito.
Pembicara Utama Drs. Hendrisman Rahim, MA. FSAI .AAI -J .QI P

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xxix
Tingkat bunga deposito bisa diasumsikan memenuhi Geometric Brownian Motion atau
GBM. GBM secara luas sudah dipakai dalam penentuan pergerakan harga instrumen
investasi. Dengan model GBM ini, kita bisa membuat model perubahan tingkat bunga
deposito.
Selanjutnya kita bisa menggunakan Linier Congruential Generators dan Invers
Transformation Method untuk men-generate sejumlah variabel acak berdistribusi
Normal (0,1) sebagai input bagi model GBM untuk membuat simulasi perubahan
tingkat bunga deposito. Dengan men-generate ribuan set variabel acak berdistribusi
Normal (0,1) akan bisa dihasilkan ribuan skenario pergerakan tingkat bunga deposito
sepanjang suatu periode proyeksi.
Lamanya periode proyeksi bisa dibuat sesuai kebutuhan. Akan tetapi, sebagai catatan :
semakin panjang periode proyeksi maka hasil proyeksi cenderung menjadi semakin
bias. Diperlukan metode-metode statistika tertentu untuk menjaga konvergensi dari
skenario yang dihasilkan.
Demikian tadi gambaran bagaimana Simulasi Monte Carlo digunakan sebagai scenario
generator untuk menghasilkan ribuan skenario pergerakan tingkat bunga deposito di
masa depan. Metode yang sama juga bisa digunakan untuk menghasilkan ribuan
skenario pergerakan faktor eksternal perusahaan yang lain. Simulasi Monte Carlo bisa
digunakan untuk membuat skenario :
1. Rate of return dari instrumen investasi lain,
2. Tingkat inflasi dari waktu ke waktu,
3. Demografi penduduk,
4. GDP, dan lain-lain.

Pengujian kebijakan perusahaan

Selanjutnya kita lihat bagaimana proses pengujian kebijakan perusahaan dan
dampaknya pada kesehatan keuangan perusahaan di masa depan.
Bila faktor eksternal perusahaan adalah faktor yang diasumsikan tidak dapat
dikendalikan oleh perusahaan dan karenanya faktor tersebut harus diproyeksikan
dengan menggunakan model GBM, maka faktor internal adalah faktor yang masih dapat
dikendalikan oleh perusahaan. Manajemen bisa memutuskan berapa jumlah karyawan
pada suatu saat tertentu di masa depan, struktur biaya over head, struktur aset, pricing,
jumlah agen, pola remunerasi, jumlah branch office, dan lain-lain. Satu set kebijakan
perusahaan yang meliputi satu atau beberapa faktor internal di atas bisa diprediksi
pengaruhnya bagi perusahaan di masa depan.
Kita kembali ke fungsi f(x) = f
I NT
(x)+ f
EKS
(x) dengan f(x) memetakan x, yaitu kebijakan
perusahaan, ke suatu prediksi nilai kesehatan perusahaan, misalnya RBC atau laba.
Fungsi f(x) adalah model Simulasi Monte Carlo yang sudah melibatkan segala faktor
internal dan proyeksi faktor eksternal dengan menggunakan Geometric Brownian
Motion di atas.
Misalkan kita akan menguji satu kebijakan perusahaan tentang repricing sejumlah
produk yang dijual. Kebijakan repricing biasanya dilakukan apabila produk-produk
yang sedang dijual ternyata menimbulkan kerugian bagi perusahaan, misalnya karena
adanya selisih tingkat bunga yang dijanjikan pada pemegang polis terhadap tingkat
investasi yang sesungguhnya diperoleh perusahaan atau disebut sebagai negative
spread. Produk-produk yang merugi dihentikan penjualannya dan diganti dengan
produk yang menawarkan manfaat asuransi sejenis tetapi dengan garansi tingkat bunga
yang lebih rendah pada pemegang polis.
Pembicara Utama Drs. Hendrisman Rahim, MA. FSAI .AAI -J .QI P

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xxx
Karena adanya kebijakan ini, fungsi f
I NT
(x), biasanya disebut company model, harus
dilakukan perubahan pada beberapa poin, yaitu :
1. Produk-produk yang merugi harus dihentikan penjualannya, sehingga
perusahaan tidak lagi memperoleh premi new business dari produk-produk itu.
2. Menambahkan produk-produk baru hasil repricing yang mempunyai manfaat
asuransi yang sama tapi dengan tarif premi dan cash value yang berbeda
dibandingkan dengan produk sebelumnya.
Jadi, kebijakan repricing tersebut akan merubah company model. Perlu diingat bahwa
fungsi f
I NT
(x) atau company model ini adalah model matematika yang sudah
diterjemahkan dalam bahasa pemrograman komputer. Akibat perubahan ini tentunya
akan menimbulkan dampak antara lain pada :
1. Besar perolehan premi produk lama, karena adanya produk-produk yang
dihentikan penjualannya, akan tetapi juga ada pemasukan premi dari penjualan
produk baru hasil repricing. Perubahan ini harus dimodelkan dengan baik pada
fungsi f
I NT
(x),
2. Pembentukan cash value, hal ini karena produk lama dan produk baru
mempunyai tarif cash value yang berbeda. Produk lama yang sebelumnya
menjanjikan cash value yang lebih tinggi dan diganti oleh produk baru yang
menjanjikan cash value lebih rendah. Hal ini tentunya berpengaruh pada besar
pencadangan kewajiban pada pemegang polis di masa depan.

Bagaimana dengan faktor eksternal ? Faktor eksternal sudah ditangani oleh fungsi
f
EKS
(x) dengan menggunakan model GBM. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa
dengan model GBM, bisa di-generate skenario pergerakan nilai faktor eksternal di masa
depan.
Selanjutnya, perubahan pada f
I NT
(x), yang menimbulkan suatu dampak ke depan, serta
faktor-faktor eksternal bisa disimulasikan secara paralel. Interaksi antara faktor-faktor
internal dan eksternal juga harus dimodelkan. Secara langsung atau tidak langsung,
faktor eksternal tentu akan berpengaruh pada faktor internal. Model Dynamic Solvency
Testing yang baik harus memperhitungkan pengaruh ini. Bisa diambil contoh misalnya
tingkat inflasi yang memberikan pengaruh pada biaya over head perusahaan. Kenaikan
harga barang berpengaruh pada keharusan untuk menaikkan gaji karyawan dan biaya
pemeliharaan kantor-kantor.
Jadi, sudah bisa kita lihat bahwa kebijakan perusahaan memberikan dampak pada
beberapa faktor internal, bagaimana pergerakan nilai faktor-faktor eksternal telah
disimulasikan, serta dampaknya pada faktor internal perusahaan. Lebih jauh, akibat
adanya semua perubahan tersebut kita dapat menghitung bagaimana pengaruhnya pada
RBC dan laba perusahaan.
Perlu diingat bahwa faktor-faktor eksternal, yang disimulasikan dengan menggunakan
GBM, secara paralel diproyeksikan ke depan dan digambarkan sebagai sejumlah besar
skenario. Satu skenario pergerakan faktor eksternal akan memberikan suatu dampak
pada perubahan nilai faktor-faktor internal. Pada akhirnya, di ujung periode proyeksi,
akan didapat suatu nilai RBC atau laba perusahaan. Bila faktor-faktor eksternal tersebut
di-generate hingga ribuan skenario, maka akan diperoleh pula ribuan prakiraan dampak
kebijakan pada nilai RBC atau laba perusahaan.
Ribuan nilai RBC atau laba perusahaan bisa ditinjau per sub periode, misalkan tiap-tiap
sub periode tahunan atau semesteran. Pada tiap-tiap sub periode bisa dihitung beberapa
statistik untuk RBC atau laba, misalkan mean dan variance.
Jadi, sepanjang periode proyeksi kita bisa peroleh nilai mean dan variance RBC atau
laba perusahaan yang diakibatkan oleh adanya kebijakan repricing tersebut.
Pembicara Utama Drs. Hendrisman Rahim, MA. FSAI .AAI -J .QI P

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xxxi
Selanjutnya, manajemen dapat mengamati apakah nilai-nilai parameter kesehatan
perusahaan tersebut merupakan nilai yang cukup memadai atau tidak. Apabila dirasa
cukup memadai, maka kebijakan perusahaan tersebut bisa diterapkan.
Secara berkala, tentunya perlu dilakukan review sebagai feed back bagi scenario
generator. Feed back ini perlu untuk lebih memperbaiki model dari scenario generator.

Berdasarkan ulasan di atas, mungkin ada pertanyaan lagi, yaitu: bagaimana peran Ahli
Matematika dalam bisnis asuransi secara keseluruhan? Sebelum menjawab pertanyaan
ini, saya ingin sampaikan kembali mengenai pendapat pendapat terkenal yang
memandang matematika sebagai pelayan dan sekaligus raja dari ilmu-ilmu lain.
Sebagai pelayan, matematika adalah ilmu yang mendasari dan melayani berbagai
ilmu pengetahuan lain. Sebagai raja, perkembangan matematika tak tergantung pada
ilmu-ilmu lain. Di Industri Asuransi, ilmu matematika adalah raja karena keputusan
bisnis dari semua proses bisnis baik hulu sampai ke hilir harus melalui perhitungan
matematika.


Para Hadirin yang saya hormati.

Demikian banyak hal dalam industri asuransi dimana matematika dapat diaplikasikan.
Harus diakui bahwa masih banyak pembenahan yang harus dilakukan. Meski demikian,
sesuai dengan yang sudah diuraikan sebelumnya, bahwa peranan matematika adalah
tonggak awal sejarah industri asuransi. Di industri asuransi sudah dapat dilihat dan
dieksplorasi keindahan dan keunggulan matematika. Bagaimana alat-alat hitung dan
pemodelan matematika ternyata mampu memberikan suatu acuan dan solusi sederhana
yang applicable untuk suatu hal yang bersifat tidak pasti, berisiko, kompleks dan
strategis di masa depan, seperti halnya industri asuransi.

Melalui kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang
diberikan. Sebagai praktisi saya berharap kiranya Seminar Nasional Matematika ini
dapat menjadi ajang pertemuan kontruktif dan memberikan kemajuan nyata bagi
perkembangan dunia matematika. Institusi Pendidikan kiranya secara konsisten tetap
terus melakukan kerja sama dengan industri, lembaga profesi atau lembaga lain terkait.
Karena melalui pertemuan kita bisa saling terbuka mengenai kebutuhan dari para pihak
yang berkepentingan akan perkembangan matematika. Dan bila dikaitkan dengan posisi
sebagai penyedia Sumber Daya Manusia, Institusi Pendidikan tentunya diharapkan
dapat melahirkan lulusan (Sarjana Matematika) yang tidak semata handal dalam
pengembangan keilmuan matematika, namun siap memberikan kontribusi dan karyanya
baik dalam dunia bisnis, atau karya nyata lainnya.
Harapan tersebut tentunya tidak mengesampingkan peran para Ahli matematika yang
bergulat dalam matematika murni untuk terus menggali kedalaman aksioma dan
filosofinya. Hal ini karena mungkin saja penerapan praktis yang menjadi latar
munculnya matematika murni ternyata seringkali ditemukan terkemudian.

Demikian saya sampaikan.

Wassalam Wr. Wb

Pembicara Utama Atje Setiawan Abdullah
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xxxiii

SPASIAL DATA MINING MENGGUNAKAN MODEL SAR-KRIGING
(SPATI AL AUTOREGRESSI VE-KRI GI NG)
UNTUK PEMETAAN MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA

Atje Setiawan Abdullah

Jurusan Matematika FMIPA Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor, Sumedang, 45363

atje@bdg.centrin.net.id


ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menerapkan spasial data mining untuk klasifikasi pemetaan mutu
pendidikan di Indonesia menggunakan model Spatial Autoregressive-Kriging (SAR-Kriging) merupakan gabungan
model ekspansi SAR (Spatial AutoRegressive Expansion) dan metode Kriging. Melalui model SAR-Kriging dapat
dilakukan prediksi mutu pendidikan pada lokasi yang tidak tersampel baik tingkat kabupaten/kota maupun provinsi
di Indonesia.
Metodologi yang digunakan pada penelitian ini mengikuti proses data mining dan knowledge discovery in database
(KDD) melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah data preprocessing, meliputi penyiapan database hasil SDPN 2003,
pembersihan data, transformasi data, seleksi variabel menggunakan analisis faktor dan untuk melihat model sesuai
dengan data input output pendidikan digunakan Structural Equation Model (SEM), serta penggabungan data spasial
dan data non spasial. Tahap kedua data mining, meliputi penggunaan model SAR, indeks Moran, model ekspansi
SAR serta model SAR-Kriging untuk deskripsi dan prediksi mutu pendidikan. Tahap ketiga, post processing,
meliputi interpretasi, evaluasi dan visualisasi untuk mendapatkan knowledge.

Hasil pengolahan menggunakan model SAR-Kriging, menunjukkan prediksi mutu pendidikan untuk dua belas
kabupaten/kota di Jawa Barat model sesuai digunakan pada jenjang SD. Hasil pengolahan SAR-Kriging di lokasi
tidak tersampel yaitu provinsi Aceh menunjukkan model sesuai digunakan untuk jenjang SD. Sedangkan hasil
pengolahan SAR-Kriging untuk lima belas provinsi di Indonesia menunjukkan model sesuai digunakan untuk jenjang
SD dan SMP. Untuk memudahkan pengolahan data, dibangun aplikasi Spasial Data Mining menggunakan model
SAR, Ekspansi SAR dan SAR-Kriging. Software aplikasi tersebut dapat digunakan untuk deskripsi dan prediksi mutu
pendidikan baik di tingkat kabupaten/kota maupun tingkat provinsi di Indonesia.


Kata Kunci: Spasial Data Mining, SAR, ekspansi SAR, SAR-Kriging




PENDAHULUAN

Spasial data mining adalah proses mengekstrak
pengetahuan yang diinginkan dari relasi spasial
atau berbagai pola yang secara eksplisit tidak
ditemukan dalam database spasial. Spasial data
mining dapat diterapkan pada database hasil
Survei Dasar Pendidikan Nasional tahun 2003
(SDPN 2003) mengingat Indonesia memiliki
sebaran lokasi luas, terdiri dari: provinsi,
kabupaten/kota, kecamatan, dan desa.
Model spasial data mining untuk deskripsi dan
prediksi secara kausal melihat pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen adalah
model Spatial AutoRegressive (SAR) dan model
ekspansi SAR. Model SAR dan model ekspansi
SAR adalah teknik penemuan knowledge yang
digunakan untuk penambangan data spasial yang
besar dalam berbagai aplikasi (Celik et al., 2000).
Akan tetapi model SAR dan ekspansi SAR
terbatas untuk prediksi observasi di lokasi-lokasi
tersampel.
Metode Kriging merupakan metode spasial untuk
prediksi observasi di lokasi tidak tersampel.
Metode Kriging merupakan interpolasi eksak,
artinya prediksi output berdasarkan kombinasi
input di sekelilingnya yang telah ada sama dengan
nilai output yang disimulasikan. Dalam
menentukan bobot Kriging digunakan asumsi
stasioner dan penaksir Kriging merupakan
penaksir tak bias dengan variansi minimum
(Armstrong, 1998). Metode Kriging memiliki
kelemahan, yaitu tidak dapat menggambarkan
hubungan kausal antara variabel independen dan
variabel dependen.
Berdasarkan kekurangan dan kelebihan model
SAR, ekspansi SAR dan metode Kriging, maka
dalam penelitian ini dikaji model SAR-Kriging
Pembicara Utama Atje Setiawan Abdullah
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika UI xxxiv
sebagai suatu pengembangan metode yang dapat
digunakan dalam spasial data mining. Model
SAR-Kriging merupakan gabungan dari model
ekspansi SAR dan metode Kriging untuk
pemetaan mutu pendidikan.
Tujuan penelitian ini adalah:
1). Mengkaji dan menerapkan spasial data
mining untuk klasifikasi pemetaan mutu
pendidikan di Indonesia menggunakan model
SAR dan indeks Moran.
2). Mengkaji dan menerapkan spasial data
mining untuk memetakan mutu pendidikan di
Indonesia menggunakan model ekspansi SAR
yang melibatkan unsur jarak untuk deskripsi
dan prediksi observasi di lokasi-lokasi
tersampel.
3). Mengembangkan dan menerapkan model
spasial data mining melalui penggabungan
model SAR dengan metode Kriging,
dinamakan model SAR-Kriging untuk
prediksi mutu pendidikan pada lokasi yang
tidak tersampel.
4). Mengembangkan perangkat lunak spasial
data mining meliputi model SAR, indeks
Moran, model ekspansi SAR dan model
SAR-Kriging untuk deskripsi dan prediksi
mutu pendidikan di lokasi kabupaten/kota
dan provinsi di Indonesia.


BAHAN DAN METODE

Pada penelitian ini metodologi yang digunakan
mengikuti proses data mining dan knowledge
discovery in database (KDD) dari Han dan
Kamber (2006). Secara rinci dapat dilihat pada
Gambar 1.

Gambar 1. Metodologi Proses Spasial Data
Mining (SAR-Kriging)

Database Hasil Survei Dasar Pendidikan
Nasional 2003
Hasil SDPN 2003, khususnya untuk persekolahan
secara nasional terjaring 203.590 record dan 569
variabel, meliputi: SD 158.590 record dan 122
variabel, SMP 28.949 record dan 138 variabel,
SMA 10.810 record dan 142 variabel, serta SMK
5.156 record dan 167 variabel. Ukuran besarnya
data SDPN 2003 meliputi 3,89 GB
(4.178.499.369 bytes) dan 2.395 files. Database
SDPN 2003 memenuhi kriteria data mining yaitu,
variabel-variabelnya terukur, memiliki dimensi
tinggi dengan ratusan atribut heterogen,
melibatkan data spasial, tersebar secara geografis
di seluruh wilayah Indonesia dan diolah dengan
analisis spasial.
Tahap Data Preparation
a. Select Data, data yang diambil sesuai tabel
pada Gambar 2. b.Clean Data, data dibersihkan
dari error,missing value, duplikat record dengan
perintah sql dan relasi antar tabel. c. Transformasi
Data, pembuatan indikator agregat atau rasio
menggunakan query. d. Integrasi data spasial dan
non spasial, e. Seleksi Variabel Mutu
menggunakan analisis faktor dan analisis SEM.
Selanjutnya data hasil preparation diolah oleh
aplikasi SAR-Kriging menggunakan model SAR,
indeks Moran, model ekspansi SAR dan model
SAR-Kriging.

Model Spatial AutoRegressive(SAR) Orde
Pertama
Model SAR orde pertama dinyatakan:
(1)
dengan asumsi . Koefisien
Moran (MC) atau indeks Moran dirumuskan
(Sage dan Pace, 2004) sebagai berikut:
(2)

Interpretasi dari autokorelasi spasial merupakan
trend atau pola umum dalam suatu peta. Nilai MC
mendekati nilai +1 jika nilai-nilai observasi mirip
(similar) cenderung mengelompok dalam suatu
peta, sehingga diperoleh autokorelasi spasial
positif.

Model Ekspansi SAR

Implementasikan model ekspansi SAR didasarkan
kepada vektor jarak. Jarak dari koordinat
observasi dirumuskan sebagai :

(3)
Pembicara Utama Atje Setiawan Abdullah
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xxxv
dengan,
yi xi
Z , Z
menyatakan koordinat observasi
ke-i dalam posisi latitude dan longitude dari pusat
lokasi serta
yc xc
Z , Z
merupakan koordinat
latitude dan longitude untuk observasi lokasi i
dari data sampel.

Anselin (1988) menyatakan Persamaan Ekspansi
SAR dapat diimplementasikan pada MATLAB
dengan fungsi casetti, secara matematis ditulis
sebagai berikut:
X X X y + + + + =
y y x x
Z Z
(4)
Dengan matriks jarak D model dinyatakan:
XD X y
0
+ + + =
(5)
Taksiran parameter dan
0
untuk mendes-
kripsikan analisis pengaruh marjinal yang
didekomposisikan ke dalam non spasial dan
pengaruh spasial. Untuk menggambarkan
pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen secara individu dapat digunakan grafik
melalui persamaan berikut:

i i di
yi y i yi
xi x i xi
D
Z
Z
0
+ =
+ =
+ =
(6)

Persamaan (6) menunjukkan koefisien dari
variabel individual, yang menggambarkan
pengaruh total terhadap variabel dependen.
x
dan

y
di-plot untuk ekspansi x-y, dan
d
diplot untuk
perluasan jarak. Grafik memberikan informasi
pengaruh total variabel independen ke-i terhadap
variabel dependen. Jika grafik kecenderungan
turun, maka dapat diinterpretasikan semakin jauh
dari koordinat pusat, semakin kecil pengaruh
suatu variabel independen terhadap variabel
dependen.

Model SAR-Kriging Diantara Lokasi
Pengembangan model SAR-Kriging didasari
dengan model ekspansi SAR. Misalkan posisi
lokasi digambarkan sebagai berikut:






Gambar 2. Posisi lokasi tidak tersampel s
0

Dalam model SAR-Kriging, taksiran parameter
model ekspansi SAR menjadi input pada metode
OK antara dua lokasi:

Taksiran parameter non spasial:
' s , s )] ( ) ( [
2 1
=
, '

,

) (
2 1
= (7)
dan taksiran parameter spasial :
' s

, s

)] ( ) ( [
2 0 1 0
=
0

(8)
merupakan input pada metode Kriging. Untuk
memperoleh bobot OK antara dua lokasi dengan
memilih semivariogram linier, yaitu:

>

=
) ( ) ( ) (
) ( ) ( ) (
) (
) (
) (
2 1 0 2 1
2 1 0 0
2 1
2 1
0
s , s d s , s d , s , s
s , s d s , s d , s , s d
s , s d
s , s
s , s
i
i i
i
(9)

Diperoleh taksiran parameter ekspansi SAR untuk
lokasi tidak tersampel s
0
diberi indeks K untuk
menunjukkan taksiran parameter diperoleh
berdasarkan metode OK.

Untuk 2 lokasi tidak tersampel, melalui metode
OK diperoleh taksiran parameter non spasial di
lokasi tidak tersampel s
01
, s
02
:
)]' s ( ), s ( [
K K K 02 01
=

)'

, ,

2 1 kK K K K
=
(10)
dan taksiran parameter spasial di lokasi tidak
tersampel s
01
, s
02
:

)]' s (

), s (

K K K 02 0 01 0
=
0

(11)

Taksiran parameter model ekspansi SAR di lokasi
tidak tersampel s
01
, s
02
digunakan untuk prediksi
mutu pendidikan di lokasi tidak tersampel s
01
, s
02

mengikuti persamaan :
) ( ) (

) (

) (

) (

) ( ) (
01 01 0 01 01 2 2 01 1 01 01
s d s s x s x s x s s y
k k K K K K
+ + + + + =

) ( ) (

) (

) (

) (

) ( ) (
02 02 0 02 02 2 2 02 1 02 02
s d s s x s x s x s s y
k k K K K K
+ + + + + =


Error prediksi model SAR-Kriging diperoleh
dengan mengurangkan data aktual di lokasi tidak
tersampel s
01
, s
02
dan prediksi SAR-Kriging.
) s ( y ) s ( y ) s (
K 01 01 01
=

) s ( y ) s ( y ) s (
K 02 02 02
=

MAPE prediksi SAR-Kriging pada lokasi tidak
tersampel s
01
, s
02
dihitung dengan:

2
1 0
0
2
1
i i
i
y
) s (

Langkah-langkah di atas diulangi untuk lokasi
tidak tersampel lainnya, misal s
01
, s
02
, s
03
, ...,
untuk memeriksa kesesuaian asumsi model
ekspansi SAR, error dari lokasi-lokasi yang tidak
tersampel berdasarkan model SAR-Kriging diplot
distribusinya melalui diagram batang daun,
histogram atau plot kuantil-kuantil untuk melihat
apakah mendekati distribusi normal

Desain Sistem Aplikasi Spasial Data Mining
Salah satu persyaratan data mining adalah
kemampuan untuk mencari secara cepat dan
semiotomatis atau otomatis menggunakan
algoritma komputer. Aplikasi spasial data mining
menggunakan SAR-Kriging, secara umum
mengikuti pengembangan aplikasi, diawali dari
proses desain dan implementasi. Desain yang
digunakan meliputi diagram konteks, DFD dan

s
0

Pembicara Utama Atje Setiawan Abdullah
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika UI xxxvi
dessain user interface. Desain user interfase
aplikasi SAR-Kriging meliputi menu utama,
terdiri dari menu penyiapan data, pemilihan
model dan perbandingan model. Model-model
yang digunakan, terdiri dari model SAR, ekspansi
SAR, SAR-Kriging dan perbandingan data aktual
hasil SDPN 2003 dengan model hasil SAR-
Kriging. Disain user interface pada Gambar 3.

Gambar 3. Disain User Interface Aplikasi SAR-
Kriging

Aplikasi SAR-Kriging
Implementasi SAR-Kriging menggunakan Matlab
7, database dalam akses, dan pembuatan peta
digunakan ArtView. Menu utama aplikasi
diperlihatkan Gambar 5.

Gambar 5. Menu Aplikasi Spasial Data Mining


HASIL DAN DISKUSI

Hasil pengolahan data dan pembahasan,
menggunakan model-model SAR, ekspansi SAR
dan SAR-Kriging, diinterpretasikan sebagai
berikut:
Hasil Pengolahan Data Menggunakan SAR

Tabel 1. Hasil Pengolahan Data Menggunakan
Spasial Autoregresif SD

N
O
INDIKATOR R-SQUARE RHO SAR RELASI
1 RSTRB 0.6600 0.84799 Y=0,85WY KUAT
2 RSB 0.6007 0.82599 Y=0,83WY KUAT
3 RSBR7 0.4744 0.73697 Y=0,74WY SEDANG
4 RSRB 0.4360 0.70295 Y=0,70WY SEDANG
5 RSGLTG 0.2130 0.52797 Y=0,53WY LEMAH
6 TOTUAS 0.1819 0.49599 Y=0,50WY LEMAH

Dari Tabel 1. Untuk RSTRB, hasil menunjukkan
persamaan SAR . Pengaruh spasial
terhadap RSTRB tinggi (p < 10%). Artinya
pergeseran wilayah setiap satu satuan akan
meningkatkan RSTRB sebesar 0.85. Koefisien
determinasi kuat, 66% model spasial RSTRB
dipengaruhi spasial, sisanya 34% unsur error.
Hasil Pengolahan Data Menggunakan Indeks
Moran SD

Tabel 2. Hasil Pengolahan Indeks Moran SD
NO INDIKATOR MORAN
1 RSTRB 0.2256
2 RSB 0.2619
3 RSB7 0.2755
4 RSRB 0.2594
5 RSGLTG 0.2284
Interpretasi autokorelasi spasial menunjukkan
kelima variabel indeks morannya mendekati +1,
artinya pengamatan similar cenderung
mengelompok dalam suatu peta, autokorelasi
spasial positif.



Gambar 6. Moran Scatterplot dan Peta RSBR7
Terhadap Jumlah Siswa Kelas 1


Hasil Pengolahan Ekspansi SAR SD
Hasil pengolahan data menggunakan ekspansi
SAR untuk taksiran mutu pendidikan di Jabar
jenjang SD adalah sebagai berikut :
Taksi r an MUTU = 24. 18 + ( - 0. 17) RSTRB +
( 3. 10) RSB+ ( - 3. 41) +RSBR7 +
3. 29 RSRB + 8. 50+ RSGLTG+( 0. 10) DRSTRB+( -
0. 69) ( d- RSB) + ( 3. 38) ( d- RSBR7) - 441428) ( d-
RSRB) - 3. 06( d- RSGLTB)

Gambar 7. Hasil Ekspansi SAR RSB
Pembicara Utama Atje Setiawan Abdullah
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xxxvii
Gambar 7 menjelaskan semakin jauh dari pusat,
rasio ruang baik semakin kecil, mengingat
perhatian dan kontrol pembangunan semakin
kecil, pengaruh terhadap mutu juga kecil, karena
bagi penduduk pedesaan ruangan bukan suatu
masalah, mengingat faktor budaya dan ekonomi
yang lemah. Sedangkan untuk jaraknya yang
dekat dengan pusat, ruang baik menjadi
keharusan, mengingat persaingan antar sekolah
tinggi. Selain itu pengaruh terhadap mutu
pendidikan juga semakin tinggi, disebabkan mutu
pembelajaran lebih baik dan persaingan lebih
ketat.

Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Pengolahan
Ekspansi SAR SD
VARIABEL HASIL GRAFIK
RSTRB NAIK
RSB TURUN
RSBR7 NAIK
RSRB TURUN
RSGLTG TURUN
Dari tabel 3 dapat dijelaskan 3 grafik turun,
artinya semakin jauh dari pusat pengaruh variabel
terhadap mutu pendidikan semakin kecil, kecuali
RSTRB,RSBR7 grafiknya naik.

Hasil Pengolahan Data Menggunakan SAR-
Kriging SD
Diketahui persamaan Ekspansi SAR untuk mutu
pendidikan kabupaten Bogor dan kabupaten
Bandung. Misalkan akan diKriging kabupaten
Cianjur dan kabupaten Sukabumi. Langkah-
langkah yang dilakukan sebagai berikut:

(1) Penaksiran parameter Ekspansi SAR, di
Kab. Bandung dan Kab. Bogor
Mutu SD Kab. Bogor = 32. 27- 0. 08( RSTRB) -
7. 90( RSB) +17. 47( RSBR7) +4. 62( RSRB) +
0. 75( RSGLTG) - 0. 002( d- RSTRB) + 35. 73( d- RSB) +
47. 87( d- RSBR7) - 39. 58( d- RSRB) - 10. 45( d-
RSGLTG)
Mutu
SDKab.Bandung=25. 85+0. 10( RSTRB) +14. 57( RSB)
+12. 42( RSBR7) +32. 73( RSRB) +4. 60( RSGLTG) +0. 3
5( d- RSTRB) - 74. 93( d- RSB) - 98. 10( d- RSBR7) +
189. 21( d- RSRB) - 9. 55( d- RSGLTG)

(2) Pilih 2 kabupaten/kota di sekitar Kab.
Bandung dan Kab. Bogor, misal Kab.
Sukabumi dan Kab. Cianjur.

Taksiran parameter yang dihasilkan dengan SAR-
Kriging adalah sebagai berikut :

Mutu SD Kab.Sukabumi = 29. 77- 0. 09( RSTRB) +
0. 83( RSB) - 5. 86( RSBR7) + 9. 89( RSRB) +
2. 25( RSGLTG) + 0. 14( d- RSTRB) - 7. 273( d- RSB)
- 8. 85( d- RSBR7) +49. 33( d- RSRB) - 10. 10( d-
RSGLTG)
Mutu SD Kab.Cianjur = 29. 28- 0. 09( RSTRB) +
2. 57( RSB) - 3. 55( RSBR7) - 12. 77( RSRB) +
2. 54( RSGLTG) +0. 16( d- RSTRB) - 15. 80( d- RSB) -
20. 11( d- RSBR7) + 66. 97( d- RSRB) - 10. 03( d-
RSGLTG)

Analisis Hasil Pengolahan Data Menggunakan
SAR Jenjang SD
Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Pengolahan Data SAR

Keterangan :
R (X) menunjukkan indikator rendah mutu rendah
R(V) menunjukkan indikator tinggi mutu rendah
T(X) menunjukkan indikator rendah mutu tinggi
T(V) menunjukkan indikator tinggi mutu tinggi
Tabel 4 menunjukkan di Jabar Selatan, semua
indikator mempunyai mutu rendah, di Jabar Utara
67% mutu tinggi, di Jabar Timur 50% mutu
tinggi, di Jabar Barat 33% mutu tinggi.
Sedangkan untuk indikator-indikator RSB,
RSBR7 dan RSGLTG, mutu tinggi 25%.
Sedangkan indikator RSTRB, RSRB dan
TOTUAN mutu baik 50%.
Analisis Hasil Pengolahan Data Menggunakan
Ekspansi-SAR SD
Tabel 5. Rekapitulasi Hasil Pengolahan Data
Ekspansi SAR
NO. KAB. KOTA RSTRB RSB RSBR7 RSRB RSGLTG NAIK
1 KAB. BOGOR T N N T T 40%
2
KAB.
SUKABUMI
T T N N T 40%
3
KAB.
CI ANJ UR
T T T N N 40%
4
KAB.
BANDUNG
N T T N T 40%
5 KAB. GARUT N N N T T 60%
6 KAB. TASI K N N T T T 40%
7 KAB. CI AMI S N T N T T 40%
8
KAB.
KUNI NGAN
N N N N T 80%
9
KAB.
CI REBON
T T T N N 40%
10
KAB.
MAJ ALENGKA
T T T N N 40%
11
KAB.
SUMEDANG
T N N T T 40%
12
KAB.
I NDEAMAYU
N N N T T 60%
13 KAB. SUBANG T T T N N 40%
14
KAB.
PURWAKARTA
T N N N N 80%
15
KAB.
KARAWANG
T N N T T 40%
16 KAB. BEKASI T N N T N 60%
17
KOTA
BANDUNG
T T T T N 20%
PROSEN NAIK 35% 53% 59% 47% 41% 47%
Keterangan :
T : Menunjukkan grafik ekspansi SAR turun
N : Menunjukkan grafik ekspansi SAR naik
NO INDIKATOR SELATAN UTARA TIMUR BARAT
%
BAIK
1 RSTRB R( X) T( V) R( X) T( V) 50%
2 RSB R( X) R( X) T( V) R( X) 25%
3 RSBR7 T( X) R( V) T( X) T( X) 25%
4 RSRB R( X) T( V) R( X) T( V) 50%
5 RSGLTG R( X) R( X) T( V) R( X) 25%
6 TOT UAN R( X) T( V) T( V) R( X) 50%
% BAIK 0% 67% 50% 33%
Pembicara Utama Atje Setiawan Abdullah
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika UI xxxviii
Tabel 5. hasil ekspansi SAR menunjukkan:
Kabupaten/kota di Jabar yang memiliki prosentasi
naik, sebagai berikut, kelompok baik (>60%)
terdiri dari kabupaten Garut, Kuningan,
Indramayu, Purwakarta dan Bekasi, kelompok
sedang (40%) terdiri dari, kabupaten Bogor,
Sukabumi, Cianjur, Bandung, Tasikmalaya,
Ciamis, Cirebon, Majalengka, Sumedang,
Subang, dan Karawang, dan kelompok kurang
(20%), terdiri dari kota Bandung. Indikator-
indikator yang memiliki prosentasi grafik
ekspansi SAR naik, kelompok baik (>53%) terdiri
dari indikator RSB dan RSBR7, kelompok sedang
(>41%) terdiri dari indikator, RSRB dan
RSGLTG, sedangkan kelompok kurang (35%),
terdiri dari indikator RSTRB.
Analisis Hasil Perbandingan SAR-Kriging
Kabupaten/Kota Jabar

Data aktual adalah data mutu pendidikan
persekolahan yang merupakan data hasil
pengisian kuesioner SDPN 2003. Sedangkan data
prediksi adalah data mutu pendidikan merupakan
hasil prediksi menggunakan SAR-Kriging untuk
lokasi yang tidak tersampel. Hasil perbandingan
kemudian dilihat erornya dengan cara melihat
kecocokan antara data aktual dan data prediksi,
melalui perhitungan Mean Absolute Percentage
Error (MAPE). Jika erornya di bawah 10% maka
model prediksi dinyatakan sesuai dengan
aktualnya.

Tabel 6.Perbandingan Data Aktual Dengan Data
Hasil Prediksi Jenjang SD

NO KAB./KOTA
MUTU
AKTUAL
MUTU
PREDIKSI
SELISIH
%
ERROR
1 SUKABUMI 24. 82 28. 14 3. 32 13. 39%
2 CI ANJ UR 27. 19 26. 44 0. 76 2. 78%
3 BANDUNG 25. 45 24. 39 1. 07 4. 18%
4 KOTA BANDUNG 26. 27 23. 14 3. 13 11. 91%
5 GARUT 27. 71 25. 83 1. 88 6. 78%
6 TASI KMALAYA 27. 82 27. 22 0. 60 2. 16%
7 SUMEDANG 29. 72 29. 37 0. 35 1. 18%
8 MAJ ALENGKA 27. 64 31. 65 4. 01 14. 51%
9 SUBANG 26. 99 32. 08 5. 09 18. 86%
10 KARAWANG 27. 87 30. 13 2. 26 8. 11%
RATA-RATA
8.39%

Dari Tabel 6 MAPE di 12 kabupaten/kota di Jabar
adalah 8,39%, tingkat rata-rata eror di bawah 10
%, tingkat kecocokan model akurasinya tinggi.
Hal ini menunjukkan model SAR-Kriging cocok
digunakan untuk SD. MAPE SMP dan SMA
masing-masing 23,63 %. Dan 40,45%. Hal ini
menunjukkan model kurang sesuai untuk jenjang
SMP dan SMA.

Analisis Hasil Perbandingan SAR-Kriging
Provinsi Aceh
Karena provinsi Aceh tidak tersampel, maka tidak
memiliki nilai aktual. Untuk menguji model SAR-
Kriging data aktual didapat melalui interpolasi
data Sumut dan Sumbar merupakan lokasi di
sekitar provinsi Aceh. Perbandingan antara data
aktual dengan data hasil prediksi SAR-Kriging
untuk jenjang SD, SMP dan SMA, dapat dilihat
pada Tabel 5.21 berikut ini.

Tabel 7. Perbandingan Data Aktual dengan Data
Hasil Prediksi Prov. Aceh
NO JENJANG MUTU AKTUAL MUTU PREDIKSI ERROR MAPE
1 SD 25.94 23.75 2.19 8.44
2 SMP 14.47 16.87 2.1 14.51
3 SMA 17.16 24.41 7.25 42.25

Dari Tabel 7 di atas, dapat disimpulkan bahwa
MAPE untuk jenjang SD di Provinsi Aceh adalah
8,44%, tingkat rata-rata error di bawah 10 %,
tingkat kesesuaian model akurasinya tinggi. Hal
ini menunjukkan model SAR-Kriging sesuai
digunakan untuk prediksi mutu pendidikan di
lokasi Provinsi Aceh untuk jenjang SD.

Analisis Hasil Perbandingan SAR-Kriging
Provinsi di Indonesia
Tabel 8. Perbandingan hasil SAR-Kriging dengan
Data Aktual Hasil SDPN 2003

NO PROVINSI AKTUAL PREDIKSI ERROR APE

1 DKI 26.85 23.81 3.04 11.32
2 JABAR 31.73 26.04 5.69 17.93
3 JATENG 26.15 27.44 -1.29 4.93
4 DIY 26.47 26.76 -0.29 1.10
5 JATIM 26.83 28.19 -1.36 5.07
6 ACEH 25.94 24.27 1.67 6.44
7 SUMUT 24.22 24.54 -0.32 1.32
8 SUMBAR 23.13 29.13 -6 25.94
9 SULUT 24.95 25.96 -1.01 4.05
10 SULBAR 25.39 25.48 -0.09 0.35
11 KALBAR 24.09 24.1 -0.01 0.04
12 KALTENG 23.43 26.52 -3.09 13.19
13 KALTIM 23.57 26.68 -3.11 13.19
MAPE 8.07

Dari Tabel 8, MAPE untuk jenjang SD di lima
belas provinsi di Indonesia adalah 8.07%, tingkat
rata-rata error di bawah 10 %, tingkat kesesuaian
model akurasinya tinggi. Hal ini menunjukkan
model SAR-Kriging sesuai digunakan untuk
prediksi mutu pendidikan di lokasi provinsi-
provinsi yang tidak tersampel di Indonesia. Untuk
Pembicara Utama Atje Setiawan Abdullah
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI xxxix
memeriksa asumsi model SAR-Kriging, error
model berdistribusi identik normal dapat
digunakan QQ plot atau histogram. Untuk SD
hampiran taksiran error di 13 provinsi berada di
sekitar garis lurus.




Gambar 8. QQ plot dan histogram SAR-Kriging
SD nasional

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat diambil
beberapa kesimpulan atau knowledge untuk
peningkatan mutu pendidikan di Indonesia
sebagai berikut:
1. Variabel yang mempengaruhi mutu pendidikan
berdasarkan database SDPN 2003 ditentukan
berdasarkan proses spasial data mining
mengingat besarnya data survei yang
melibatkan lokasi. Reduksi variabel dengan
analisis faktor dan SEM didasarkan proses
input dan output mutu pendidikan. Model
SAR, indeks Moran dan model ekspansi SAR
digunakan untuk deskripsi dan prediksi mutu
pendidikan di lokasi tersampel. Model SAR-
Kriging untuk prediksi mutu pendidikan di
lokasi tidak tersampel secara umum
dinyatakan dengan model ekspansi SAR.
Hasil taksiran parameter ekspansi SAR
digunakan sebagai input pada metode Kriging
untuk menaksir parameter model ekspansi
SAR di lokasi-lokasi yang tidak tersampel.
Tingkat kecocokan model ditunjukkan
dengan membandingkan eror hasil taksiran
SAR-Kriging dengan nilai hasil SDPN 2003
melalui perhitungan Mean Absolute
Percentage Error (MAPE). Jika erornya di
bawah 10% maka model prediksi dinyatakan
sesuai dengan aktualnya.
2. Hasil pengolahan model SAR berdasarkan
posisi lokasi dan mutu pendidikan di tingkat
Provinsi Jabar menunjukkan prioritas
pertama dalam meningkatkan mutu
pendidikan dimulai dari Jabar Selatan dan
Jabar Timur. Sedangkan berdasarkan
indikator dan mutu pendidikan prioritas
pertama dalam meningkatkan mutu
pendidikan dimulai dari indikator-indikator
RSB, RSBR7 , RSGLTG, RS12TK1, RSRB,
RSGUAN dan TOTUAN. Hasil pengolahan
ekspansi SAR berdasarkan lokasi dan mutu
pendidikan di tingkat Provinsi Jabar
menunjukkan untuk peningkatan mutu
pendidikan di kabupaten Garut, Indramayu,
dan Bekasi dimulai dari kecamatan yang
jaraknya dekat dengan pusat pemerintahan.
Untuk Cianjur, Kuningan, Majalengka,
Sumedang, dan Purwakarta memprioritaskan
kecamatan yang jaraknya jauh dari pusat
pemerintahan. Berdasarkan indikator dan
mutu pendidikan menunjukkan, peningkatan
mutu pendidikan untuk indikator RSB,
RSBR7, RSDFSD, RSRB, RSGLYK,
RSTPRL, RSTGR dan RSRG
memprioritaskan kecamatan yang jaraknya
dekat dengan pusat pemerintahan. Sedangkan
RSTRB, RSBR12, RS13-15, RSDFSMP,
RSGUAN dan RSGSUAI memprioritaskan
kecamatan yang jaraknya jauh dari pusat
pemerintahan.
3. Prediksi mutu pendidikan menggunakan SAR-
Kriging untuk kabupaten/kota di Jabar
menunjukkan, Rata-rata % eror absolut SD
dan SMP di 12 kabupaten/kota adalah 8,39%,
di bawah 10 %. tingkat kecocokan model
akurasinya tinggi. Hal ini menunjukkan
model SAR-Kriging cocok digunakan. Untuk
15 provinsi di Indonesia MAPE untuk
jenjang SD dan SMP masing-masing adalah
8.07% dan 7.48%, tingkat rata-rata error di
bawah 10 %. Artinya tingkat kesesuaian
model akurasinya tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa model SAR-Kriging
sesuai untuk prediksi mutu pendidikan di
lokasi provinsi-provinsi yang tidak tersampel
di Indonesia untuk jenjang SD dan SMP.
Sedangkan untuk jenjang SMA MAPE
29.21% >10% menunjukkan model tidak
sesuai untuk digunakan.
4. Pengembangan perangkat lunak Spasial Data
Mining menggunakan model SAR, Ekspansi
SAR dan SAR-Kriging, meliputi menu
penyiapan data, menu pemilihan model, dan
menu perbandingan hasil SAR-Kriging.
Perangkat lunak tersebut dapat digunakan
untuk deskripsi dan prediksi mutu pendidikan
di berbagai lokasi, baik di tingkat
kabupaten/kota maupun tingkat provinsi di
Indonesia.


UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Balitbang Depdiknas atas diskusi dan data
SDPN2003 untuk mendukung penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

[1]. Anselin, L. 1988. Spatial Econometrics:
Method and Models, Kluwer
Academic Publisher: the Netherlands.
-6 -4 -2 0 2 4 6 Observed Value -6 -4 -20 2 46 Expected Normal ValueNormal Q-Q Plot of SDNas13 -6.00 -4.00 -2.00 0.00 2.00 4.00 6.00 SDNas13 01 23 45 67 FrequencyMean = -0.4746 Std. Dev. = 2.90727 N = 13
Pembicara Utama Atje Setiawan Abdullah
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika UI xl
[2]. Armstrong, M. 1998. Basic Liniear
Geostatistic. Springer Verlag: New
York.
[3]. Balitbang Depdiknas. 2003. Survei Dasar
Pendidikan Nasional Tahun 2003.
Balitbang: Jakarta.
[4]. Berry, M. J. A. and Linoff, G. 2000.
Mastering Data Mining The Art and
Science of Customer Relationship
Management. John Wiley: New York.
[5]. Celik, M., Shekhar, S., Kazar, B.M., and
Boley, D. 2005. Parameter Estimation
for the Spatial Autoregression Model:
A Rigorous Approach. Computer
Science and Engineering Department,
Univercity of Minnesota.
[6]. Cliff, A.D. and Ord, K. 1975. Model
Building and The Analysis of
Spatial Pattern in Human Geography.
Journal Royal Statistics. Soc. B, Vol.
37.
[7]. Han, J. and Kamber, M. 2006, Data Mining,
Concept and Techniques, Academic
Press: USA.
[8]. Koperski, K., Han, J. and Adhikary, J. 1997.
Spatial Data Mining: Progress and
Challenges, School of CS, Canada.

































[9]. LeSage, J. P. 1998. Spatial Econometrics,
Department of Economics University
Toledo.
[10]. LeSage, P.J. 1999. The Theory and practice
of Spatial Econometrics. Departemen
of Economics, University Toledo.
[11]. LeSage, J. P. and Pace, R. K. 2004.
Arc.Mat, a Matlab toolbox for using
ArcView Shape files for Spatial
Econometrics and Statistics,
Department of Economics University
Toledo.
[12]. Maimon, O. and Rokach L. 2008. Soft
Computing for Knowledge Discovery
Data Mining, Springer Science: New
York.
[13]. Nababan, H. 2003. Indikator Mutu
Pendidikan di Lingkungan Pendidikan,
Balitbang Depdiknas: Jakarta.
[14]. Ruchjana, B. N. and Darwis, S. 2007. An
Application of the GSTAR-Kriging
Model. Proceeding of the 5
th
SEAMS-
GMU International Conference on
Mathematics and Its Applications,
Department of Mathematics UGM:
Yogyakarta.

Aljabar

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 1
SIFAT SIFAT RING ARMENDARIZ

Atun Ismarwati
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Terbuka

atun@mail.ut.ac.id


ABSTRAK

Dibahas R merupakan ring (komutatif) dengan elemen satuan, ring R dikatakan mempunyai sifat Armendariz jika
untuk dua polinomial f(x), g(x) R[x] memenuhi f(x) g(x) =0 maka a
i
b
j
=0 untuk setiap koefisien a
i
f(x) dan b
j

g(x). Akan ditunjukkan sifat-sifat yang berlaku pada ring Armendariz, diantaranya subring Armendariz, hubungan
antara ring tereduksi dan ring Armendariz.

Keywords: Ring Armendariz, Ring Tereduksi, Ring Polinomial


PENDAHULUAN

Misalkan R adalah ring, suatu polinomial p(x)
dengan x indeterminate atas R adalah p(x) =a
0
+
a
1
x +a
2
x
2
+ +a
n
x
n
dengan a
0
, a
1
, , a
n
R
dan n bilangan cacah. Elemen a
i
koefisien dari x
i

dalam p(x). Selanjutnya himpunan semua
polinomial dimana koefisien-koefisien dari ring R
dengan indeterminate x dinotasikan dengan R[x],
yaitu R[x] ={ a
0
+a
1
x +a
2
x
2
++a
n
x
n
a
i
R ,
n bilangan cacah }. Apabila diberikan dua operasi
biner berupa penjumlahan dan pergandaan pada
R[x], ternyata R[x] merupakan ring yang dikenal
dengan ring polinomial.
Pengertian ring Armendariz diperkenalkan oleh
M.B. Rege, and S. Chhawchharia (1997) dalam
sebuah definisi yaitu:
Suatu ring R dikatakan ring Armendariz: jika
polinomial
1
0 1
( )
m
m
f x a a x a x = + + + L ,
1
0 1
( )
n
n
g x b b x b x = + + + L R[x]
memenuhi f(x) g(x) =0, maka a
i
b
j
=0, i, j.

Topik pembahasan dalam tulisan ini adalah
menyelidiki sifat-sifat yang berlaku pada ring
Armendariz.

SIFAT SIFAT RING ARMENDARIZ

Pada prinsipnya pengertian ring Armendariz
sangat erat hubungannya dengan pengertian ring
polinomial yang mempunyai sifat: jika hasil
perkalian dua buah polinomial sama dengan nol
maka hasil ganda masing-masing koefisiennya
juga sama dengan nol. Ide awal mengenai ring
Armendariz diperkenalkan oleh M.B. Rege, and
S. Chhawchharia (1997). Pemilihan nama ring
Armendariz tersebut berdasarkan atas nama
seseorang yang menemukan suatu Lemma, yaitu
E. P. Armendariz (1973).
Pembahasan dalam makalah ini diawali dengan
pembuktian sifat Armendariz yang didefinisikan
untuk suatu hasil kali dua polinomial, selanjutnya
akan diselidiki juga pembuktian sifat Armendariz
untuk sebarang hasil kali hingga dari polinomial-
polinomial.

Catatan Pada makalah ini simbol R dipakai
untuk menyatakan ring dengan elemen satuan.
Jika R diasumsikan sebagai ring komutatif maka
akan ditulis sebelumnya.

Definisi 1. [4]
Ring R dikatakan mempunyai sifat Armendariz
(ring Armendariz) jika:
((f(x), g(x) R[x]) f(x)g(x) =0 ( (i,j) a
i
b
j

=0 ).
Dari definisi yang kemukakan oleh Rege dan
Chhawchharia ternyata ring tereduksi merupakan
ring Armendariz. Tetapi ring Armendariz belum
tentu merupakan ring tereduksi, hal ini dapat
dilihat melalui contoh berikut.
Contoh 1. [4]
Untuk setiap bilangan bulat n, Z/nZ adalah ring
Armendariz tetapi bukan ring tereduksi dengan n
bilangan alam yang bukan kuadrat bebas.
Berikut ini akan ditunjukkan contoh ring
Armendariz dan bukan ring Armendariz.
Contoh 2. (contoh ring Armendariz). [6]
Untuk setiap bilangan bulat n, Z
n
dengan n prima
adalah ring tereduksi. Karena Z
n
ring tereduksi
berarti Z
n
ring Armendariz.
Sebagai contoh Z
7
adalah ring tereduksi
karenanya Z
7
adalah ring Armendariz.



Aljabar

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 2
Contoh 3. (bukan ring Armendariz)
Misalkan R ring. Akan ditunjukkan bahwa ring
matriks segitiga bawah n n atas R bukanlah
Armendariz, dengan n 2. Misalkan S adalah ring
matriks segitiga bawah 2 2 atas R dan
0 0 0 0
( )
0 1 1 1
f x x

= +


,
1 0 1 0
( )
0 0 1 0
g x x

= +


polinomial di dalam
S[x].
Maka f(x)g(x) =0 tetapi
0 0 1 0
0
0 1 1 0





sehingga S bukan Armendariz.
Misalkan R ring komutatif dan M modul atas R,
R M adalah suatu struktur ring yang produknya
didefinisikan dengan (a,m)(b,n) =(ab , an +bm).
J ika diambil M =R sendiri, diperoleh sifat berikut.
Proposisi 1.
Jika R ring tereduksi, maka ring R R adalah
Armendariz.
Bukti:
Misalkan f(x) =(f
0
(x) , f
1
(x)), g(x) =(g
0
(x) , g
1
(x))
{R R}[x] memenuhi f(x)g(x) =(f
0
(x) g
0
(x) ,
f
0
(x) g
1
(x) +f
1
(x) g
0
(x)) =0.
maka diperoleh :
f
0
(x) g
0
(x) =0 .....(1.1)
f
0
(x) g
1
(x) +f
1
(x) g
0
(x)) =0 .(1.2)
karena R[x] tereduksi, maka diperoleh
g
0
(x) f
0
(x) =0 .(1.3)
Selanjutnya dengan mengalikan g
0
(x) pada sisi
kiri persamaan (1.2) dan menggunakan persamaan
(1.3) diperoleh
g
0
(x) f
0
(x) g
1
(x) +g
0
(x) f
1
(x) g
0
(x) =0, sehingga
g
0
(x) f
1
(x) g
0
(x) =0. J adi (f
1
(x) g
0
(x))
2
=0
(karena R[x] tereduksi), hal ini mengakibatkan
f
1
(x) g
0
(x) =0 .(1.4)
Kemudian dengan menggunakan persamaan (1.2)
diperoleh f
0
(x) g
1
(x) =0. ......... (1.5)
Misalkan
0
( ) ( , )
m
i
i i
i
f x a u x
=
=

,

0
( ) ( , )
n
j
j j
j
g x b v x
=
=

.
J adi dapat juga ditulis :
0 0
( ) ( ) ( , ) ( , )
m n
i j
i i j j
i j
f x g x a u x b v x
= =


=






=
0 0
( , )( , )
m n
i j
i i j j
i j
a u b v x
+
= =


( , )
i j
i j i j i j
a b a v u b x
+
= +


=0
Dari (1.1), (1.4) dan (1.5) menghasilkan: (karena
R Armendariz) a
i
b
j
=0, a
i
v
j
=0 dan u
i
b
j
=0 i,j.
Selanjutnya (a
i
, u
j
)( b
j
, v
j
) =(a
i
b
j
, a
i
v
j
+u
i
b
j
) =0
i,j.
Terbukti R R adalah Armendariz.
Selanjutnya dapat ditunjukkan bahwa subring dari
ring Armendariz adalah Armendariz, hal ini dapat
dilihat dari preposisi berikut.
Proposisi 2. [5]
Jika R ring tereduksi, maka
0 0
0 , , ,
a
S b a a b c d R
c d a


=





adalah ring Armendariz.
Bukti:
Ambil sebarang
1
1 1
1 1 1
0 0
0
a
b a
c d a





,
2
2 2
2 2 2
0 0
0
a
b a
c d a





S.
Akan ditunjukkan bahwa sub ring S Armendariz.
Didefinisikan penjumlahan dan pergandaan
sebagai berikut:
(a
1
, b
1
, c
1
, d
1
) +(a
2
, b
2
, c
2
, d
2
) =(a
1
+a
2
, b
1
+b
2
,
c
1
+c
2
,

d
1
+d
2
)
dan
(a
1
, b
1
, c
1
, d
1
) (a
2
, b
2
, c
2
, d
2
) =(a
1
a
2
, b
1
a
2
+a
1
b
2
,
c
1
a
2
+d
1
b
2
+a
1
c
2
, d
1
a
2
+a
1
d
2
)
J adi setiap polinomial dalam S[x] dapat disajikan
dalam bentuk :
( p
0
(x), p
1
(x), p
2
(x), p
3
(x) ) untuk setiap p
i
(x)
R[x].
Misalkan f(x) =( f
0
(x), f
1
(x), f
2
(x), f
3
(x) ),
g(x) =( g
0
(x), g
1
(x), g
2
(x), g
3
(x) ) S[x].
Asumsikan f(x)g(x) =0, yaitu :
Aljabar

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 3
0
1 0
2 3 0
0
1 0
2 3 0
( ) 0 0
( ) ( ) ( ) ( ) 0 .
( ) ( ) ( )
( ) 0 0
( ) ( ) 0
( ) ( ) ( )
f x
f x g x f x f x
f x f x f x
g x
g x g x
g x g x g x


=









=0
atau dimisalkan:
f(x)g(x) =( f
0
(x)g
0
(x) , f
1
(x)g
0
(x) +f
0
(x)g
1
(x) ,
f
2
(x)g
0
(x) +f
3
(x)g
1
(x) +f
0
(x)g
2
(x) , f
3
(x)g
0
(x) +
f
0
(x)g
3
(x) ) =0
sehingga diperoleh sistem persamaan berikut:
f
0
(x)g
0
(x) =0 .(1.6)
f
1
(x)g
0
(x) +f
0
(x)g
1
(x) =0 .(1.7)
f
2
(x)g
0
(x) +f
3
(x)g
1
(x) +f
0
(x)g
2
(x) =0 .(1.8)
f
3
(x)g
0
(x) +f
0
(x)g
3
(x) =0 .(1.9)
Selanjutnya dengan menggunakan syarat R[x]
tereduksi dapat ditunjukkan:
dari persamaan (1.6) terlihat bahwa f
0
(x)g
0
(x) =0.
Kalikan persamaan (1.7) di sisi kiri dengan g
0
(x)
sehingga menjadi g
0
(x)f
1
(x)g
0
(x) +g
0
(x)f
0
(x)g
1
(x)
= 0 kemudian diperoleh f
1
(x)g
0
(x) = 0 dan
f
0
(x)g
1
(x) =0. Kalikan persamaan (1.9) di sisi kiri
dengan g
0
(x) sehingga menjadi g
0
(x)f
3
(x)g
0
(x) +
g
0
(x)f
0
(x)g
3
(x) =0 kemudian diperoleh f
3
(x)g
0
(x)
= 0 dan karenanya f
0
(x)g
3
(x) = 0. Kalikan
persamaan (1.8) pada sisi kiri dengan g
0
(x)
sehingga menjadi:
g
0
(x)f
2
(x)g
0
(x) +g
0
(x)f
3
(x)g
1
(x) +g
0
(x)f
0
(x)g
2
(x) =
0 kemudian diperoleh f
2
(x)g
0
(x) =0 sehingga
persamaan (1.8) menjadi:
f
3
(x)g
1
(x) +f
0
(x)g
2
(x) =0 .(1.10)
Kalikan persamaan (1.10) pada sisi kiri dengan
g
1
(x) diperoleh f
3
(x)g
1
(x) =0.
Sekarang misalkan:
0
0 0
( ) 0
i
n
i
i i
i
i i i
a
f x b a x
c d a
=


=


dan
0
0 0
( ) 0
j
m
j
j j
j
j j j
a
g x b a x
c d a
=


=



J adi dapat dibuat:
f(x)g(x) =
0 0
0 0 0 0
0 0
i j
n m
i j
i i j j
i j
i i i j j j
a a
b a x b a x
c d a c d a
= =












=
0 0
0 0 0 0
0 0
i j
n m
i j
i i j j
i j
i i i j j j
a a
b a b a x
c d a c d a
+
= =










=
0 0
0 0
0
i j
n m
i j
i j i j i j
i j
i j i j i j i j i j i j
a a
b a a b a a x
c a d c a c d a a d a a
+
= =


+


+ + +


=0
dengan f
0
(x) =

=
n
i
i
i
x a
0
; f
1
(x) =

=
n
i
i
i
x b
0
;
f
2
(x) =

=
n
i
i
i
x c
0
; f
3
(x) =

=
n
i
i
i
x d
0
dan
g
0
(x) =

=
m
j
j
j
x a
0
; g
1
(x) =

=
m
j
j
j
x b
0
;
g
2
(x) =

=
m
j
j
j
x c
0
; g
3
(x) =

=
m
j
j
j
x d
0

dengan menggunakan persamaan (1.6) sampai
(1.9) diperoleh:
a
i
a
j
=0, b
i
a
j
=0, a
i
b
j
=0, c
i
a
j
=0, d
i
b
j
=0,
a
i
c
j
=0, d
i
a
j
=0 dan a
i
d
j
=0.
Karena R tereduksi, akibatnya:
0 0
0
i
i i
i i i
a
b a
c d a





0 0
0
j
j j
j j j
a
b a
c d a





=0 i,j
sehingga S ring Armendariz.
Teorema 1. (Chan Huh, Yang Lee, and Agata
Smoketunowicz, 2002)
Misalkan R ring dan I ideal di R,
I
R
ring faktor
adalah Armendariz. Jika I tereduksi maka R
Armendariz.
Bukti:
Aljabar

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 4
Diketahui
I
R
Armendariz dan I tereduksi. Akan
dibuktikan R armendariz.
J ika ab =0 dengan a, b R maka bIa =0 karena
bIa I, (bIa)
2
=0 dan I tereduksi.
Misalkan
0
( )
m
i
i
i
f x a x
=
=

dan
0
( )
n
j
j
j
g x b x
=
=


R[x] dan f(x)g(x) =0. Dibuktikan a
i
b
j
=0 i,j.
Karena
I
R
Armendariz, jika ( ) ( ) 0 f x g x =
maka 0
i j
a b = i,j.
0
i j
a b = a
i
b
j
+ I = I sehingga a
i
b
j
I.
Dibuktikan dengan induksi pada m dengan m 0.
J ika m =0 maka:
f(x)g(x) =
0
0 0 0
0
m n n
i j j
i j j
i j j
a b x a b x
+
= = =
= =



0 0 0 1 0
0
n
n
a b a b x a b x + + + = L
jadi a
0
b
j
=0 j.
J ika m 1 maka: f(x)g(x) =
0 0
m n
i j
i j
i j
a b x
+
= =


Klaim a
0
b
j
=0 j {0, 1, 2,, n}.
Asumsikan a
0
b
j
0 untuk suatu j. Kemudian
dapat diambil k {0, 1, 2,, n} sehingga k
terkecil dengan sifat a
0
b
k
0. J adi untuk j {0, 1,
2,, k-1} diperoleh a
0
b
j
=0 dan selanjutnya b
j
Ia
0

= 0 dengan argumen sebelumnya (di awal).
Karena itu:
2
0 0 0 0
0
( )( ) ( )
( ) 0
k j j k k j j k k k j j k
k j j k
a b a b a b a b a b a b Ia b
a b Ia b

=
= =
.
J adi
2
0
( )( ) 0
k j j k
a b a b

= . Koefisien suku x
k
di
f(x)g(x) =0 adalah:
1
0 1 1 0 0
0
0 .
k
k k k k k j j
j
a b a b a b a b a b


=
= + + + = +

L
Kalikan dengan
2
0
( )
k
a b diperoleh
( )( )
( ) ( ) ( )
2
0 0
1
3 2 3
0 0 0
0
0
.
k k j j k
k
k k k j j k
j
a b a b a b
a b a b a b a b

=
= +
= + =


Karena a
0
b
k
I tereduksi, a
0
b
k
=0, kontradiksi
(dengan a
0
b
k
0). Akibatnya a
0
b
j
=0 j {0, 1,
2,, n}.
J adi diperoleh f
1
(x)g(x) = 0 dengan f
1
(x) =
1
2 1

+ + +
m
m
x a x a a L tetapi derajat f
1
(x)
kurang dari m sehingga dengan hipotesis induksi,
diperoleh a
i
b
j
=0 i,j dengan 0 i m, 0 j
n. Sehingga diperoleh a
i
b
j
=0 i,j dengan 0 i
m, 0 j n. J adi R armendariz.
Teorema 2. [1]
Jika terdapat ring quotient kanan Q(R) dari ring
R, maka R Armendariz jika dan hanya jika Q(R)
Armendariz.
Bukti:
Cukup ditunjukkan jika R Armendariz maka Q(R)
Armendariz. (Karena R adalah subring dari Q(R).
Ambil
0
( )
m
i
i
i
f x x
=
=

dan
0
( )
n
j
j
j
g x x
=
=


Q(R)[x] dengan f(x)g(x) =0. Asumsikan
i
= a
i

u
-1
,
j
= b
j
v
-1
dengan a
i
, b
j
, u , v R untuk
semua i, j dan u, v elemen reguler. Dan untuk
setiap j terdapat c
j
R dan elemen reguler w R
sehingga u
-1
b
j
=c
j
w
-1
.
Ambil

=
=
m
i
i
i
x a x f
0
1
) ( ,

=
=
n
j
j
j
x c x g
0
1
) ( ,
diperoleh:
0 =f(x)g(x) =

= =
+

m
i
n
j
j i
j i
x
0 0

=

= =
+
m
i
n
j
j i
j i
x v b u a
0 0
1 1

=

= =
+
m
i
n
j
j i
j i
x v b u a
0 0
1 1
) (
=

= =
+
m
i
n
j
j i
j i
x v w c a
0 0
1 1
) (
=

= =
+
m
i
n
j
j i
j i
x vw c a
0 0
1
) (
=f
1
(x)g
1
(x)(vw)
-1

Sehingga f
1
(x)g
1
(x) = 0
0 0
=

= =
+
m
i
n
j
j i
j i
x c a
di dalam R[x]. Karena R Armendariz, a
i
c
j
=0
untuk semua i, j sehingga
i

j
=a
i
u
-1
b
j
v
-1
=
a
i
c
j
w
-1
v
-1
=0 untuk semua i, j. J adi diperoleh
Q(R) Armendariz.

Pada bagian awal telah dibahas mengenai sifat
ring Armendariz untuk suatu hasil kali dua
polinomial. Berikut ini akan ditunjukkan sifat
yang berlaku pada ring Armendariz untuk
Aljabar

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 5
sebarang hasil kali hingga dari polinomial-
polinomial.

Proposisi 3. [2]
Misalkan R ring Armendariz. Jika
[ ] , , ,
1 2 n
f f f R x L sedemikian hingga
1
0
n
f f = L maka 0
1
=
n
a a L dengan
i
a
koefisien dari f
i
.
Bukti :
Misalkan 0
1
=
n
f f L dan a
i
sebarang
koefisien dari f
i
. Diperoleh 0 ) (
2 1
=
n
f f f L ,
sehingga a
1
b =0 untuk sebarang koefisien b dari
n
f f L
2
. Dengan demikian
1 2
0
n
a f f = L . J adi
( )( ) .
1 2 3
0
n
a f f f = L Karena a
1
a
2
koefisien dari
a
1
f
2
, maka diperoleh (a
1
a
2
)c = 0 untuk setiap
koefisien c dari
3 n
f f L . Karena itu
0
3 2 1
=
n
f f a a L . Demikian seterusnya hingga
diperoleh 0
2 1
=
n
a a a L . J adi terbukti
0
2 1
=
n
a a a L .

Selanjutnya akan ditunjukkan bahwa R[x] adalah
Armendariz jika dan hanya jika R adalah
Armendariz.

Teorema 3. [2]
Ring R Armendariz jika dan hanya jika R[x]
Armendariz.
Bukti :
[]
Diketahui R[x] Armendariz. Akan dibuktikan R
Armendariz .
Telah diketahui bahwa sebarang subring dari ring
Armendariz adalah Armendariz. Jadi terbukti R
Armendariz .
[]
Diketahui R Armendariz. Akan dibuktikan R[x]
Armendariz.
Ambil sebarang f(T), g(T) R[x][T] dengan f
(T)g(T) =0.
Tulis ( )
0 1
n
n
f T f f T f T = + + + L dan
( )
0 1
m
m
g T g g T g T = + + + L , dengan f
i ,
g
j

R[x] . Akan dibuktikan f
i
g
j
=0 , i j .
Misalkan k = deg(f
0
) + + deg(f
n
) + deg(g
0
) +
+ deg(g
m
), dengan deg(f
i
) merupakan pangkat
tertinggi x dari f
i
demikian juga deg(g
j
) adalah
pangkat tertinggi x dari g
j
dan derajat dari
polinomial nol diambil sama dengan 0.
Maka
( ) ,
0 1
k k kn
n
f x f f x f x = + + + L
0 1
( )
k k km
m
g x g g x g x = + + + L [ ] R x
dan himpunan koefisien-koefisien dari f
i
sama
dengan himpunan koefisien dari ( )
k
f x
demikian juga himpunan koefisien-koefisien
dari g
j
sama dengan himpunan koefisien dari
) (
k
x g .
Karena f(T)g(T) =0, yaitu:
f(T)g(T) =(f
0
+f
1
T ++f
n
T
n
) ( g
0
+g
1
T ++
g
m
T
m
) =0
maka:
2
0 0 0 1 0 2 0
0
m
m
f g f g T f g T f g T = + + + + L
2 3 1
1 0 1 1 1 2 1
m
m
f g T f g T f g T f g T
+
+ + + + + L
M
1 2
0 1 2
n n n
n n n
m n
n m
f g T f g T f g T
f g T
+ +
+
+ + +
+ + L
0 0 0 1 1 0
2
0 2 1 1 2 0
0 ( )
( )
f g f g f g T
f g f g f g T
= + + +
+ + + + L
0 1 1 2 2 1 1
0 1 2 1
1
0
(
) (
)
m m m n
m
n m m
m m n
n n m
f g f g f g f g
f g T f g f g
f g T f g T

+ +
+ + + +
+ + + + +
+ +
L
L
L

dan x indeterminate R, maka ( ) ( ) 0
k k
f x g x = .
Karena R Armendariz, berarti setiap koefisien f
i

mengenolkan setiap koefisien g
j
atau a
i
b
j
=0
i,j. Dengan kata lain, terbukti f
i
g
j
=0 atau
R[x] Armendariz.

Akibat 1. [2]
Jika R ring Armendariz dan {x

} himpunan
indeterminate atas R, maka subring dari R[{x

}]
adalah Armendarz.
Bukti :
Misalkan { } [ ] , f g R x T



dengan fg =0.
Maka { } [ ] , , , ,
1 2 n
f g R x x x T



L untuk
suatu himpunan bagian hingga
{ } { }

x x x x
n
, , ,
2 1
L .
Ring { } , , ,
1 2 n
R x x x



L dengan induksi
adalah Armendariz, jadi a
i
b
j
= 0 untuk setiap
koefisien a
i
dari f dan koefisien b
j
dari g. Oleh
karena R[{x

}] Armendariz, jadi subring dari


R[{x

}] adalah Armendariz.

Selanjutnya dengan mengkombinasikan Preposisi
3. dan Akibat 1 diperoleh sifat lain dari ring
Armendariz.

Teorema 4. [2]
Untuk suatu ring R maka dua pernyataan berikut
equivalen :
Aljabar

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 6
1. R Armendariz.
2. Misalkan {x

} adalah sebarang himpunan


peubah tak tentu (commuting indeterminates)
atas R dan misalkan
{ }
1 2
, , ,
n
f f f R x



L dengan
0
2 1
=
n
f f f L . Jika a
i
adalah sebarang
koefisien dari f
i
maka 0
2 1
=
n
a a a L .
Bukti :
( ) ( ) 2 1 . J elas
( ) ( ) 1 2 .
Diasumsikan [ ]
1 2 1 2
, , , , , ,
n m
f f f R x x x L L
dengan m >1.
Misalkan a
i
koefisien dari f
i
. Tulis setiap f
i
sebagai
polinomial di x
m
, maka
[ ][ ]
1 1
, , .
j
i ij m m m
f f x R x x x

L Karena
[ ]
1 1
, ,
m
R x x

L adalah Armendariz maka dengan
menggunakan Preposisi 3., diperoleh
1 1
0
j njn
f f = L untuk sebarang pemilihan
n
j j L
1
. Karena setiap a
i
adalah koefisien dari
suatu f
ij
, dengan induksi pada m diperoleh
1
0
n
a a = L .
Dua teorema berikut memberikan gambaran lebih
lanjut mengenai ring Armendariz.

Teorema 5. [2]
Diberikan ring R dan n 2 suatu bilangan asli.
Maka R[x] (x
n
) Armendariz jika dan hanya jika R
tereduksi.
Bukti :
()
Diketahui R[x] (x
n
) Armendariz. Akan dibuktikan
R tereduksi.
Misalkan r R dengan r
n
=0. Akan ditunjukkan r
=0. Karena r dan x berubah (commute):
0
n n n
r x T =
1 2 1 1
( )( )
n n n n
r xT r r xT x T

= + + + L
1 1 1 1
1 2 2
n n n n n
n n n
r r xT rx T r xT
r x T x T

= + + +

L
L

dengan T indeterminate.
Karena diketahui R[x] (x
n
) Armendariz, maka
diperoleh
1
0
n
r x

= sehingga r =0. Terbukti R
tereduksi.

()
Diketahui R tereduksi. Akan dibuktikan R[x] (x
n
)
Armendariz. Misalkan x didalam R[x] (x
n
) dan
dinotasikan dengan U, sehingga:
R[x] (x
n
) =R[U] =R +RU ++RU
n-1

dimana U adalah peubah dengan elemen dari R.
Karena R tereduksi maka U
n
=0.
Ambil sebarang f, g R[U][T] dengan fg =0.
Akan ditunjukkan bahwa f
i
g
j
=0.
Sekarang misalkan:
1
0 1 1
n
n
f f f U f U

= + + + L dan
1
0 1 1
n
n
g g g U g U

= + + + L
dengan f
i
, g
j
R[T].
Untuk
i
i
f U dan
j
j
g U dimana i + j n,
koefisien dari
i
i
f U mengenolkan koefisien dari
j
j
g U hal ini disebabkan kerena 0
i j
U
+
= .
J adi dapat ditunjukkan bahwa jika i +j <n, maka
f
i
g
j
=0. Karena R tereduksi maka R Armendariz,
sehingga koefisien dari f
i
mengenolkan koefisien
dari g
j
. Dan selanjutnya koefisien dari f
mengenolkan koefisien dari g.
Maka
0 =fg =( f
0
+f
1
U ++f
n-1
U
n-1
) ( g
0
+g
1
U
++g
n-1
U
n-1
)
= f
0
g
0
+( f
0
g
1
+f
1
g
0
)U +( f
0
g
2
+f
1
g
1

+f
2
g
0
)U
2
++( f
0
g
n-1
++f
n-1
g
0
)U
n-1


Sehingga diperoleh:
f
0
g
0
=0 .... (1.11)
f
0
g
1
+f
1
g
0
=0 ............ (1.12)
f
0
g
2
+f
1
g
1
+f
2
g
0
=0 ............ (1.13)
M
f
0
g
n-1
++f
n-1
g
0
=0 ........ (1.14)

Terlebih dahulu akan dibuktikan bahwa :
fg =0 gf =0 f, g R
Diketahui fg = 0, akan dibuktikan gf = 0.
Andaikan gf 0. Karena R tereduksi diperoleh gf
bukan elemen nilpoten, yang artinya (gf)
n
0 n.
Ambil n =2 diperoleh (gf)
2
=gf gf 0. Padahal
diketahui fg =0 sehingga (gf)
2
=gf gf =g.0.f =0.
Kontradiksi dengan pengandaian. J adi yang benar
gf =0. Sebaliknya analog.
Dengan pernyataan di atas diperoleh g
0
f
0
= 0.
Kemudian jika persamaan (1.12) dikalikan dengan
g
0
dari sisi kiri, maka diperoleh g
0
f
0
g
1
+g
0
f
1
g
0
=
0.

Dari persamaan (1.11) diperoleh g
0
f
0
= 0
sehingga g
0
f
1
g
0
=0. Selanjutnya (f
1
g
0
)
2
= f
1
g
0
f
1
g
0
= f
1
.0 =0 dengan kata lain f
1
g
0
adalah elemen
nilpoten indeks 2. Karena R tereduksi maka
diperoleh f
1
g
0
= 0. Apabila persamaan (1.13)
dikalikan dari sisi kiri dengan g
0
, maka diperoleh
g
0
f
0
g
2
+g
0
f
1
g
1
+g
0
f
2
g
0
=0. Seperti pada kasus
sebelumnya, f
1
g
0
=0 g
0
f
1
=0, jadi diperoleh
g
0
f
2
g
0
=0. Selanjutnya (f
2
g
0
)
2
=f
2
g
0
f
2
g
0
=f
2
.0 =0
sehingga diperoleh f
2
g
0
=0. Demikian seterusnya
sampai diperoleh f
i
g
0
=0 1 1 i n .
Kemudian dengan menggunakan f
1
g
0
=0 g
0
f
1
=
0, jika persamaan (1.13) dikalikan dengan g
1
dari
sisi kiri, maka diperoleh g
1
f
0
g
2
+g
1
f
1
g
1
+g
1
f
2
g
0
=
0. Sehingga diperoleh g
1
f
1
g
1
= 0, selanjutnya
(f
1
g
1
)
2
= f
1
g
1
f
1
g
1
= f
1
.0 = 0, jadi f
1
g
1
= 0.
Demikian seterusnya sampai diperoleh
Aljabar

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 7
f
i
g
1
= 0 1 1 i n . Langkah ini berulang
hingga diperoleh f
i
g
j
=0, , i j .
J adi terbukti fg =0 f
i
g
j
=0 0 1 i n ,
0 1 j n . Dengan kata lain terbukti f
i
g
j
=0
jika i +j <n.

Teorema 6. [2]
Untuk R ring Von Neumann Regular, tiga
pernyataan berikut ekuivalen:
1. R Armendariz
2. R tereduksi
3. Jika hasil kali dari dua polinomial linear
adalah 0, maka hasil kali dari koefisien dua
polinomial linear adalah nol.
Bukti :
Cukup (3) (2)
Perlu diperhatikan bahwa (3), tidak dipenuhi
apabila diperoleh :
(ax +b) (a
0
x +b
0
) =0, tetapi
0 0
0 ba ab = ,
dengan kata lain, apabila ( ) ( ) 0 br a ar b I ,
dimana r(a) (resp r(b) ) adalah pengenol kanan
dari a (resp b). Sehingga untuk a, b R diperoleh
( ) ( ) 0 br a ar b = I . Misalkan e, f R adalah
idempoten dengan mengambil b =e dan a =1 f
dan mengingat bahwa r(b) =(1 e)R dan r(a) =
fR, diperoleh (1 )(1 ) 0 efR f e R = I lebih
jauh misalkan e dan f adalah idempoten dengan fe
=0, maka
(1 )(1 )(1 ) (1 )(1 )
0
ef f e f efR f e R =
=
I
Sehingga untuk setiap idempoten eR dan
sebarang elemen rR, (1 ) x e er e = + adalah
idempoten dengan (1e)x =0, dan karenanya
x(1e) =0. Maka er(1e) =0 demikian juga
eR(1e ) =0. Dengan demikian R tereduksi.

Misalkan R suatu ring semi prime Notherian kiri
dan kanan, maka R mempunyai ring pembagi Q
clasical semi simple kiri dan kanan. Sehingga
mempunyai penyebut (denominators) kiri dan
kanan untuk himpunan berhingga dalam Q, jika fg
=0 dalam Q[x], terdapat elemen regular a dan b
dengan af, ag R[x], Yanita, 2003. Selanjutnya
R Armendariz jika dan hanya jika Q Armendariz.
Selanjutnya apabila Q Von Neumann Regular,
maka R Armendariz jika dan hanya jika Q
tereduksi (Teorema 6.).

KESIMPULAN

Pengertian ring Armendariz terkait dengan ring
polinomial yang mempunyai sifat: Apabila hasil
ganda dua polinomial sama dengan nol maka hasil
ganda masing-masing koefisien dari polinomial
tersebut juga sama dengan nol.
Sifat-sifat yang berlaku pada ring Armendariz
tidak hanya berlaku untuk hasil ganda dua
polinomial melainkan juga untuk hasil ganda
berhingga polinomial.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Chan Huh, Yang Lee, and Agata
Smoketunowicz, 2002. Armendariz Rings
and Semicomutative Rings, Communications
in Algebra, 30(2), 751-761
[2] DD. Anderson dan Victor Camillo,1998.
Armendariz Rings and Gaussian Rings,
Communication in Algebra, 26(7), 2265-
2272.
[3] E.P. Armendariz, 1974. A Note oa
Extensions of Baer and P.P. - Rings, Journal
Austral. Math. Soc, 18, 470 - 473.
[4] M.B. Rege, and S. Chhawchharia, 1997.
Armendariz Rings, Proc. Japan Acad. Ser. A
Math. Sei, 73, 14-17.
[5] Nam Kyun Kim, 2000. Armendariz and
Reduced Rings, Journal of Algebra 223,477-
488.
[6] Yanita, 2003. Ring Armendariz dan Ring
Semikomutatif, Program Pasca Sarjana UGM,
Yogyakarta, Indonesia.



Aljabar

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 9
ISOMORF ANTARA GRUP ABEL HINGGA DENGAN
DUAL DAN BIDUALNYA

Euis Hartini
Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran Bandung

euis_hartini@yahoo.com


ABSTRAK

Makalah ini mengingatkan kembali tentang gagasan dual dari suatu grup Abel hingga dan penggunaan teknik yang
analog untuk mendefinisikan bidualnya. Lebih jauh, akan dikonstruksi suatu isomorfisma yang mengaitkan antara
grup Abel hingga dengan dualnya dan suatu transformasi natural antara grup Abel hingga dengan bidualnya.
Implikasi dan sifat-sifat dari isomorfisma yang telah dikonstruksi sebelumnya juga akan diselidiki untuk
membuktikan bahwa grup Abel hingga tersebut tidak hanya isomorf dengan dualnya tetapi juga isomorf dengan
bidualnya.

Keywords : Pemetaan Isomorfisma, functor, dan grup bilangan kompleks tak nol, kontravarian.


PENDAHULUAN

Ide dari dual suatu aljabar berdimensi hingga atas
suatu lapangan menjadi suatu koaljabar
salahsatunya dimotivasi oleh dual suatu grup.
Telah diketahui bahwa teori grup merupakan
pondasi dasar yang membangun struktur-struktur
aljabar lainnya seperti gelanggang, daerah
integral, lapangan miring, dan lapangan.

Teori tentang dual suatu grup akan melibatkan
homomorfisma grup dan akan mentransfer
beberapa sifat tentang homomorfisma grup. Hasil
yang akan diperoleh dalam makalah ini adalah
mengkonstruksi suatu isomorfisma antara suatu
grup Abel hingga dengan dualnya. Selanjutnya
akan diselidiki pula konstruksi isomorfisama
antara grup Abel higga dengan bidualnya.


DUALITAS GRUP-GRUP ABEL HINGGA
Misalkan G suatu grup Abel terhadap perkalian.
Dual grup G didefinisikan sebagai himpunan
semua homomorfisma dari G ke grup perkalian
akar satuan ke n suatu bilangan kompleks yaitu
himpunan yang memuat semua homomorfisma
: . Notasi untuk dual dari G ini ditulis
G
*
=Hom(G,C).

Definisikan operasi grup di G
*
dengan perkalian
fungsi titik demi titik yaitu jika , suatu
homomorfisma dari G ke C maka suatu
homomorfisma yang didefinisikan oleh
()() = ()() untuk semua .



Teorema 1.
[1]
G
*
=Hom(G,C) membentuk suatu
grup terhadap operasi yang didefinisikan di atas.

Pemetaan I dengan I(g) = 1 untuk semua g di G
adalah anggota G
*
karena I suatu
homomorfisma.Jadi, G bukan himpunan hampa.
Bukti :

Selanjutnya untuk sebarang a, b di G berlaku:
()() = () = (()() =
()() = ()()()
yang menunjukkan bahwa () di G.

Eksistensi identitas. Pemetaan I yang
didefinisikan oleh I(g)=1 untuk semua g di G
merupakan pemetaan identitas sedangkan invers
dari

adalah pemetaan ()
1


Teorema 2.
[4]
Suatu grup siklik dengan suatu
generator berorder hingga n isomorf dengan grup
perkalian n dari akar-akar satuan ke n suatu
bilangan kompleks.


Bukti :
Misalkan G suatu grup siklik dibangun oleh
elemen a dengan order n. Berdasarkan definisi
order elemen suatu grup maka n suatu bilangan
bulat positif terkecil yang memenuhi a
n
=e, dengan
e elemen identitas di G.
Selanjutnya dapat ditunjukkan bahwa
G={a,a
2
,a
3
,...,a
n
=e}.
Sekarang misalkan bahwa G adalah grup
perkalian akar satuan ke n dari suatu bilangan
kompleks. G memuat semua unsur berbentuk
exp(
2

) dengan x = 0,1,2,...,(n-1).
Aljabar

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 10
Buat pemetaan G ke G yang dikaitkan oleh
:

exp(
2

).
f adalah pemetaan satu-satu dan pada. Selajutnya
tinggal menunjukkan bahwa f suatu
homomorfisma. Ambil a
r
dan a
s
anggota G maka
0 ( 1) dan 0 ( 1) dan karena
itu diperoleh
f(a
r
a
s
)=f(a
r+s
)=f(a
nl+m
)= exp(
2 ( +)

) =f(a
r
)f(a
s
),
yang menunjukkan bahwa f suatu homomorfisma.


Contoh. Jika G=C
n
grup siklik dengan order n
dan generator s dan : suatu dual maka
= () memenuhi persamaan

= 1 dan
sebaliknya setiap fungsi (

) =

adalah dual
dari C
n
.

Lebih jauh pemetaan () suatu
homomorfisma dari G
*
ke C. Dengan kata lain,
memilih () yang merupakan akar satuan ke n
akan didapatkan suatu generator C
*
n juga dengan
order n. Jadi, didapat bahwa

, dengan U
n

adalah grup akar satuan ke n.
Tulislah suatu grup Abel aditif dan T=R/Z. T
adalah suatu grup aditif bilangan real (mod 1)
yang isomorf dengan grup perkalian bilangan
kompleks modulus 1 melalui pengaitan
exp(2).

Karena T divisble maka T injektif dan fungtor

eksak, sehingga untuk sebarang B


subgrup dari A maka barisan berikut eksak

0 ( /)

0 (1)

Menggunakan fakta di atas diperoleh teorema
berikut

Teorema 3.
[2]
Setiap grup Abel hingga isomorf
dengan dualnya ;

(2)


Bukti :
Tulis A=A
1
xA
2
x....xA
r
, dimana A
i
siklik untuk
setiap i. Dapat ditunjukkan bahwa

Hom(BxC, T) Hom(B,T)xHom(C,T).

Dengan menggunakan induksi diperoleh bahwa

.

Dipeoleh A
*
isomorf dengan A.






BIDUALITAS GRUP-GRUP ABEL HINGGA
Perlu dicatat bahwa tidak ada pemetaan kanonik
dari A ke A
*
akan tetapi terdapat pemetaan
kanonik dari A ke A
**


:


(3)

Ambil x definisikan

dengan aturan

: () (4)

Untuk membuktikan bahwa suatu pemetaan
kanonik, ambil suatu homomorfisma grup Abel f:
AB. f induces homomorfisma f
*
:A
*
B
*
(karena
fungtor * kontravarian) dan oleh karenanya
diperoleh f
**
:A
**
B
**
dan diperoleh diagram
berikut:











Di sini f
**
didefinisikan oleh persamaan

(5)

pemetaan kanonik jika diagram di atas
komutatif.

Selanjutnya misalkan A hingga maka A dan A
**

mempunyai order yang sama, menurut teorema 2
di atas, dan jadinya suatu isomorfisma. Jika A
*

hingga maka demikian juga dengan A
**
dan
karena pers.(3) injektif maka A hingga.

Jadi diperoleh :


Teorema 4.
[3]
Misalkan A grup Abel hingga. Jika
A atau dualnya A
*
hingga, maka bidualnya A
**

isomorf secara natural dengan A



Ucapan Terimakasih
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada
saudara Edi Kurniadi yang telah membantu dalam
penulisan makalah ini. Juga kepada Prof. Asep
K.Supriatna yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk mempresentasikan makalah
ini pada Seminar Nasional UI Februari 2010.

A B
A
**
B
**
f
F
**
Aljabar

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 11
KESIMPULAN

Suatu grup Abel hingga adalah dual dirinya
sendiri. Walaupun demikian tidak terdapat
isomorfisma natural/kanonik antara G dengan
dualnya. Dalam kasus lain ternyata terdapat
isomorfisma natural antara grup Abel hingga
dengan bidualnya.
Kajian selanjutnya dapat ditelaah tentang
koaljabar sebagai dual dari aljabar berdimensi
hingga atau menelaah tentang komodul.
DAFTAR PUSTAKA

[1] Cohn,2002. Basic Algebra, Springer Verlag.
[2] Hania, R, 1980. Modern Algebra,S.Chand &
Company LTD, Ram Nagar, New Delhi.
[3] Herstain,I.N,1975. Topics In Algebra, John
willey & Sons
[4] Malik D.S, 1997. Abstract Algebra, McGraw-
Hill,Companies, Inc.



















































Aljabar

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 13
BASIS GRBNER UNTUK IDEAL DI GELANGGANG POLINOMIAL

1
Ridwan Setiawan,
2
Sri Mardiyati
Departemen Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia

1
rise50@ui.ac.id,
2
sri_mardiyati@hotmail.com


ABSTRAK

Ideal I dari suatu gelanggang R adalah himpunan bagian dari R yang memiliki sifat tertentu. Setiap ideal yang bukan
ideal nol memiliki basis yang tidak unik. Untuk suatu ideal di gelanggang polinomial [

], elemen-elemen basis dari


idealnya berbentuk polinomial, dimana setiap elemen di ideal tersebut dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari
basisnya dengan koefisien di [

]. Banyaknya elemen pada suatu basis di ideal pada gelanggang bisa berhingga
ataupun tak berhingga. Jika setiap ideal di suatu gelanggang dibangun oleh berhingga elemen maka gelanggang
tersebut dinamakan gelanggang Noetherian. Jika F merupakan suatu lapangan maka setiap ideal pada gelanggang
polinomial [

] selalu dibangun oleh berhingga elemen-elemen atau F merupakan gelanggang Noetherian.


Untuk ideal di [

] terdapat basis yang dikenal dengan sebutan basis Grbner. Dalam makalah ini akan dibahas
bagaimana cara memeriksa suatu basis yang diberikan berupa basis Grbner atau bukan. Jika bukan basis Grbner,
akan ditunjukkan cara membentuk basis Grbner berdasarkan basis tersebut. Untuk suatu basis sembarang =
{
1
, ,

} [

] di ideal I (dapat ditulis sebagai = (


1
, ,

)), diperlukan S-polinomial dari

dan

di I
untuk 1 < dalam melakukan pemeriksaan dan atau pembentukan basis Grbner.

Kata kunci : Gelanggang polinomial, ideal, S-polinomial, pereduksian polinomial, basis Grbner.


PENDAHULUAN

Dalam struktur aljabar dikenal istilah gelanggang
dan lapangan, yaitu suatu himpunan dengan dua
operasi penjumlahan dan perkalian yang
memenuhi sifat-sifat tertentu. Dari suatu
gelanggang R ataupun lapangan F dapat
didefinisikan suatu himpunan polinomial satu atau
lebih variabel dengan koefisien-koefisiennya
merupakan elemen dari gelanggang atau lapangan
tersebut. [] dan [] berturut-turut
menyatakan himpunan polinomial satu variabel X
dengan koefisien di gelanggang R dan lapangan F.
Sedangkan [

] dan [

] menyatakan himpunan
polinomial m variabel
1
, ,

dengan koefisien
di gelanggang R dan lapangan F. Himpunan
polynomial [

] dan [

] tersebut juga
membentuk sebuah gelanggang dengan operasi
penjumlahan dan perkalian seperti biasa pada
polinomial, dan disebut sebagai gelanggang
polinomial.

Dalam suatu gelanggang, terdapat himpunan
bagian dari gelanggang tersebut yang dikenal
dengan sebutan ideal. Jika R adalah gelanggang,
maka ideal I yang dibangun oleh elemen-elemen

1
, ,

di gelanggang R dinotasikan dengan


= (
1
, ,

) . Hal yang sama juga berlaku


untuk gelanggang polinomial. Jika [

] adalah
gelanggang polinomial, maka ideal yang dibangun
oleh elemen-elemen
1
, ,

di [

] dinotasikan
dengan = (
1
, ,

) . Suatu gelanggang yang


setiap idealnya dibangun oleh berhingga elemen
disebut sebagai gelanggang Noetherian. Jika R
adalah gelanggang Noetherian, maka [] juga
merupakan gelanggang Noetherian. Secara umum,
karena setiap ideal di suatu lapangan F selalu
dibangun oleh berhingga elemen, maka [

]
merupakan gelanggang Noetherian .
(Akibatnya, jika F adalah lapangan sembarang,
maka [

] adalah gelanggang Noetherian.


Artinya, setiap ideal di [

] dibangun oleh
berhingga elemen.)

Berdasarkan pengertian ideal I di gelanggang
polinomial [

], maka setiap elemen di I dapat


ditulis sebagai kombinasi linier dari anggota
himpunan pembangunnya dengan koefisien di
[

] . Himpunan pembangun {
1
, ,

} juga
disebut sebagai basis dari ideal I, walaupun
representasi dari setiap elemen di I sebagai
kombinasi linier dari

tidak selalu unik. Basis


dari suatu ideal tidak tunggal, dan diantaranya
terdapat basis yang disebut sebagai basis Grbner.
Basis Grbner merupakan pilihan basis yang
baik karena basis Grbner memudahkan kita
dalam memecahkan masalah-masalah seputar
ideal, misalnya: (i) jika diberikan = (
1
, ,

)
dan suatu elemen [

], apakah ? dan
(ii) jika diberikan = (
1
, ,

) dan =
(
1
, ,

), apakah = ? Maka pada makalah


ini akan dibahas tentang cara pemeriksaan dan
atau pembentukan basis Grbner, dengan asumsi
bahwa setiap polinomial [

] dituliskan
berdasarkan aturan pengurutan lexicographical
derajat total.


Aljabar

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 14
PEREDUKSIAN POLINOMIAL

Misalkan , [

] dan () (suku utama dari


g) membagi () (suku utama dari f). Dalam
kasus ini, () dapat dihilangkan dengan cara
mengurangkan f dengan kelipatan dari g. Secara
umum, setiap suku dari f yang dapat dibagi oleh
() dapat diganti dengan suku yang lebih kecil
dengan cara yang sama. Hal ini berdasarkan
definisi berikut:

Definisi 2.1
Misalkan , [

]. f dikatakan tereduksi ke h
modulo (atau f tereduksi modulo ke h) dalam
satu langkah jika

adalah suku dari f yang


dapat dibagi oleh (), dan
=

()

atau dapat dituliskan sebagai



Jika () dapat dibagi oleh (), maka berlaku
=
()
()

dan () kurang dari ().

Definisi 2.2
Misal = {
1
, ,

} [

] , dan [

] .
Maka f dikatakan tereduksi ke h modulo
himpunan jika terdapat barisan dari polinomial
yang dimulai dengan
0
= dan berakhir dengan

= sedemikian sehingga

tereduksi ke
+1

modulo suatu dalam satu langkah, =
0,1, , 1.

Contoh 2.3:
Misal = {
1
,
2
} dimana
1
=
3

2

2
,
dan
2
=
2

2
. Misalkan juga bahwa
=
2

3

3

3
+
3

2

2
+
2
,
[, , ]. Maka f tereduksi modulo
1
ke

1
=
4

2

3

3
+
3

2

2
+
2
dalam
satu langkah.
Selanjutnya
1
tereduksi modulo
2
ke

2
=
3

2

2
+
2

Dan
2
tereduksi modulo
2
ke
=
3
=
2

Karena
3
tidak dapat direduksi, maka f tereduksi
ke =
3
modulo , karena


1

1

2

2

2

.

Pada contoh ini, jika pada tahap awal kita lebih
memilih untuk mereduksi f modulo
2
(daripada

1
) kemudian mereduksi hasilnya (dinotasikan
dengan
1

) modulo
1
dan melanjutkan seperti
contoh diatas, maka akan diperoleh polinomial h
yang sama. Yakni, akan diperoleh barisan langkah
reduksi sebagai berikut:



2

2

2



Pada kenyataannya, saat mereduksi [

]
modulo

= {
1
, ,

} , kadang akan
menghasilkan perbedaan besar jika

yang
diambil berbeda. Hal ini dapat dilihat pada contoh
berikut:

Contoh 2.4:
Misal =
2

2
+ [, , ] . Dan misal
= {
1
,
2
,
3
} , dimana
1
=
2
+
2
,
2
=

2
+, dan
3
=
3
+ . Jika f direduksi
modulo
1
kita dapatkan suatu polinomial

4
=
2

2
+ yang tidak dapat direduksi
lebih lanjut karena tak satu pun dari sukunya yang
dapat dibagi oleh (
1
), (
2
), ataupun (
3
).
Akan tetapi, jika pada tahap awal f direduksi
modulo
2
kita dapatkan
4

=
2
+ yang
kemudian bisa direduksi modulo
1
dan
mendapatkan
5
=
3
+ . Pada akhirnya,
5

dapat direduksi modulo
3
dan menghasilkan 0.

BASIS GRBNER

Berdasarkan Contoh 2.4, dapat diambil
kesimpulan bahwa himpunan = {
1
,
2
,
3
}
bukan pilihan yang baik sebagai basis untuk ideal
yang dibangun oleh
1
,
2
,
3
. Berikut ini akan
diberikan definisi yang memberikan suatu
gagasan dasar dalam perhitungan aljabar agar
diperoleh pilihan basis yang baik untuk ideal pada
suatu gelanggang polinomial.

Definisi 3.1
Misalkan = {
1
, ,

} [

] dengan

= {
1
, ,

}. Dan misalkan I ideal di [

]
yang dibangun oleh . disebut basis Grbner
untuk ideal I jika setiap , 0, terdapat
paling sedikit satu

sedemikian sehingga (

)
membagi ().

Dari definisi diatas, didapatkan teorema sebagai
berikut:

Teorema 3.2
Misalkan = {
1
, ,

} [

] dengan

= {
1
, ,

}. Dan misalkan I ideal di [

]
yang dibangun oleh . adalah basis Grbner
untuk I jika dan hanya jika setiap tereduksi
ke 0 modulo . [3]

Untuk memeriksa suatu basis dari I merupakan
basis Grbner atau bukan, tentunya sangat tidak
efisien jika dilakukan dengan cara memeriksa satu
persatu elemennya berdasarkan Definisi 3.1
ataupun Teorema 3.2. Dalam teorema berikut ini
dibahas bahwa untuk memeriksa basis dari I tidak
perlu diperiksa setiap elemen . Sebelum
membahas teorema tersebut, akan diberikan
definisi mengenai S-polinomial dari dua buah
polinomial.

Aljabar

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 15
Definisi 3.3
S-polinomial dari dua polinomial , [

]
yang bukan 0 (dinotasikan dengan (, ) )
didefinisikan sebagai berikut:
(, ) =

()


()

dimana L adalah kelipatan persekutuan terkecil
dari () dan ().

Untuk selanjutnya, teorema berikut ini akan
digunakan dalam proses pemeriksaan dan atau
pembentukan basis Grbner.

Teorema 3.4
Misalkan = {
1
, ,

} [

].
Dan misalkan I ideal di [

] yang dibangun oleh


. Maka adalah basis Grbner untuk I jika dan
hanya jika

tereduksi ke 0 modulo
untuk setiap

.[3]

Contoh 3.5:
Misal = {
1
,
2
} dengan
1
=
3

2

2
dan

2
=
2

2
, maka:
(
1
,
2
) =
4

4

2
tereduksi ke
3
=

2
+
3

3
modulo
1
dalam satu langkah,
dan
3
tereduksi ke 0 modulo
2
dalam satu
langkah. Jadi adalah basis Grbner.

Contoh 3.6:
Misal = {
1
,
2
,
3
} , dimana
1
=
2
+
2
,

2
=
2
+ , dan
3
=
3
+ . Diperoleh
(
1
,
2
) =
2

2

2
tidak dapat tereduksi ke
0 modulo . Jadi bukan basis Grbner.

Jika = {
1

, ,

} bukan basis Grbner untuk


ideal [

] , maka dapat dilakukan langkah-


langkah untuk mendapatkan basis Grbner untuk
ideal I berdasarkan . Langkah-langkahnya
adalah sebagai berikut:
Untuk setiap 1 < ,

direduksi
modulo sampai diperoleh polinomial h pada
akhir reduksi.
i. Jika = 0, maka adalah basis Grbner.
ii. Jika 0 , maka h ditambahkan ke
himpunan sehingga didapat himpunan
= {
1

, ,

,
+1

} dengan
+1

= .
iii. Reduksi

modulo sampai
diperoleh polinomial h yang lain pada akhir
reduksi.
iv. Ulangi langkah i, ii, iii sampai diperoleh
himpunan = {
1
, ,

} sedemikian
sehingga

tereduksi ke 0 untuk
setiap 1 < .
Himpunan yang dihasilkan adalah basis
Grbner untuk ideal I. Algoritma ini berakhir
dalam berhingga langkah.



Contoh 3.7:
Pada Contoh 3.6 didapat bahwa himpunan
= {
1
,
2
,
3
} dimana
1
=
2
+
2
,
2
=

2
+ , dan
3
=
3
+ bukan basis
Grbner untuk ideal I yang dibangun olehnya,
karena (
1
,
2
) =
2

2
tidak dapat
tereduksi ke 0 modulo . Untuk membentuk
basis Grbner dari , misalkan
4
= (
1
,
2
)
dan = {
1
,
2
,
3
,
4
} . Dapat dengan mudah
diperiksa bahwa semua polinomial berikut :
(
1
,
2
) =
4
=
2

2
,
(
1
,
3
) =
5

3
,
(
1
,
4
) =
2

4

4
,
(
2
,
3
) =
3

2
+
4
,
(
2
,
4
) =
3
+
3
,
(
3
,
4
) =
3
+
2

2

tereduksi ke 0 modulo . Jadi, adalah basis
Grbner untuk I.

Dalam aljabar, basis Grbner memudahkan kita
dalam memecahkan masalah-masalah seputar
ideal, diantaranya:
i. Misal diberikan = (
1
, ,

) dengan
= {
1
, ,

} adalah basis Grbner untuk I.


kemudian diberikan sembarang elemen
[

], apakah ? Teorema 3.2 dapat


digunakan untuk menjawab pertanyaan ini.
Yaitu, jika k tereduksi ke 0 modulo , maka
. Jika k tidak tereduksi ke 0 modulo ,
maka .
ii. Misal diberikan = (
1
, ,

) dan =
(
1

, ,

) , dengan = {
1
, ,

} dan
= {
1

, ,

} berturut-turut adalah basis


Grbner untuk I dan . Apakah = ? Untuk
menjawabnya, perhatikan bahwa jika
dan hanya jika setiap elemen basis dari I ada di
. Sehingga, = jika dan hanya jika
masing-masing elemen dalam suatu basis akan
tereduksi ke 0 modulo polinomial di basis
lainnya.

KESIMPULAN

Untuk setiap lapangan F , [

] yang merupakan
himpunan polinomial dalam variabel dengan
koefisien di lapangan F merupakan suatu
gelanggang. Setiap ideal di [

] dibangun oleh
berhingga elemen yang disebut basis untuk ideal
tersebut. Untuk suatu basis sembarang di ideal
[

] , dapat dibentuk basis Grbner


berdasarkan basis tersebut, yang dalam proses
pembentukannya diperlukan S-polinomial dari


dan

di I dengan 1 < . Sehingga


setiap ideal di [

] pasti mempunyai basis


Grbner.





Aljabar

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 16
DAFTAR PUSTAKA

[1] Heirstein, I.N. 1975. Topics in Algebra, 2
nd

edition. New York: John Wiley & Sons.
[2] Heirstein, I.N. 1996. Abstract Algebra, 3
rd

edition. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
[3] Koblitz, Neil. 1997. Algebraic Aspect of
Cryptography, volume 3. Berlin: Springer-
Verlag.

Analisis
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI
17
SOLUSI DERET BERTINGKAT DENGAN FUNGSI PEMBANGKIT DAN
BILANGAN EULERIAN

Alexander A S Gunawan
Departemen Matematika, Binus University, Jakarta

aagung@binus.edu


ABSTRAK

Deret Bertingkat yang didefinisikan sebagai:

m
n
j
j
j
j
i
a a
n
i
m
m
i i

= =
=
2
1
1
1 1
merupakan generalisasi dari Deret
Pangkat Tetap (the sum of powers), yang secara empiris solusi tertutupnya telah ditemukan oleh Jacob Bernoulli pada
tahun 1731. Dalam makalah ini, akan dicari solusi tertutup dari Deret Bertingkat ini dengan menggunakan Fungsi
Pembangkit dan Bilangan Eulerian. Untuk melihat hubungan antara solusi tertutup dari Deret Bertingkat dengan
solusi tertutup Deret Pangkat Tetap, diberikan contoh-contoh untuk kasus m=1 dan =1,2,3.

Kata Kunci: Deret Pangkat Tetap, Deret Bertingkat, Fungsi Pembangkit, Bilangan Eulerian


PENDAHULUAN

Permasalahan mencari solusi tertutup dari Deret
Pangkat Tetap
a
n
i
i n S

=
=
1
) (

sudah mulai
dicari sejak 1631 oleh Johan Faulhaber (1580-
1635). Beliau telah memberikan solusi tertutup
sampai dengan nilai =17 [4], antara lain sebagai
berikut:

2
) 1 (
) (
1
1
1
+
= =

=
n n
i n S
n
i

6
) 1 2 )( 1 (
) (
2
1
2
+ +
= =

=
n n n
i n S
n
i

4
) 1 (
) (
2 2
3
1
3
+
= =

=
n n
i n S
n
i

Selanjutnya Johan Bernoulli yang mempelajari
hasil ini [1], mampu menghasilkan bentuk umum
dari solusi tertutup secara empiris sebagai berikut:
k
k
k
n B
k
n S
+
=

+
+
=

1
0
1
1
1
) (


Dengan B
k
adalah Bilangan Bernoulli [5] sebagai
berikut:
k 0 1 2 4 6 8 10 12
B
k
1 -1/2 1/6 -1/30 1/42 -1/30 5/66 -691/2730

yang dapat dihitung dari persamaan eksplisit
berikut ini:
1
1
0 1
) 1 (
1
) 1 ( 2
1 2
) 1 (

= =

=

k
i
j
j
k
i
i
k
k
k
j
j
i
k
B


Formula eksplisit dari J Worpitsky di atas
dipublikasikan 170 tahun setelah The Art of
Conjectur dari Johan Bernoulli diterbitkan pada
tahun 1731. Solusi Deret Pangkat Tetap di atas
dapat juga dicari dengan Fungsi Pembangkit [2].

Dalam makalah ini, akan dicari solusi tertutup
dari Deret Bertingkat [3], yang merupakan
perumuman dari Deret Pangkat Tetap, yang
didefinisikan sebagai berikut:

m
n
j
j
j
j
i
a a
n
i
m
a a a a a a
n
j
j
i
a a
n
i
a a a a
t
i
a
n
i
m
i i
n
i i
n i i



= =
= =
= =
=
+ + + + + + + =
=
+ + + + = =
2
1
1
1 1
1 1
2
1 1
1
) 2 1 ( ) 2 1 ( 1
3 2 1


Untuk mencari solusi tertutup tersebut,
digunakan Fungsi Pembangkit (Generating
Function) dari Deret Bertingkat di atas.
Sebelumnya Deret Bertingkat tersebut perlu
diubah ke dalam bentuk persamaan beda
(difference equation).

BAHAN DAN METODE

Persamaan Beda
Misalkan:
) (
1
n S i
m a
n
i
m

=
dan
) 1 (
1
1
=

=
n S i
m a
n
i
m


maka Deret Bertingkat dalam bentuk persamaan
beda (difference equation) dapat ditulis sebagai
berikut:
Analisis
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI

18
) ( ) 1 ( ) (
1
1
n S n S n S i
m m m a
n
i
m
=
+ = =




Fungsi Pembangkit
Untuk memecahkannya Persamaan Beda di atas
dengan Fungsi Pembangkit [6], didefinisikan
Fungsi Pembangkit G
m
(x) [7] terlebih dahulu
sebagai berikut:

=
=
0
) ( ) (
i
i m m
x i S x G


(1)
dan kemudian mencari solusi persamaan beda
) ( ) 1 ( ) (
1
n S n S n S
m m m
+ =

dengan fungsi
pembangkit sebagai berikut:


=

=
+ =
0
1
0 0
) ( ) 1 ( ) (
i
i m
i
i m i
i
m
x i S x i S x i S

=
+
+ =
0
1
0
1
0
) (
) 1 ( ) 0 ( ) (
i
i m
i
i m m i
i
m
x i S
x i S x S x i S



dengan
0 ) 0 ( =
m
S


Dengan menggunakan definisi Fungsi Pembangkit
(1) di atas maka diperoleh:
) ( ) ( ) (
1
x G x xG x G
m m m
+ =

Selanjutnya diketahui bahwa di antara Fungsi
Pembangkit dari Deret Bertingkat mempunyai
hubungan sebagai berikut:


sehingga untuk menurunkan Fungsi Pembangkit
dari Deret Bertingkat yang lebih tinggi dapat
dengan mudah dilakukan denan Fungsi
Pembangkit orde 1 sebagai berikut:


dengan

=
=
0
1
) ( ) (
i
i
x i S x G


dan
i
i
a
x i x G

=
=
0
0
) (


Maka dihasilkan Fungsi Pembangkit dari Deret
Bertingkat sebagai berikut:


(2)


Bentuk Tanpa Deret Tak Hingga dari Fungsi
Pembangkit
Perhatikan dalam hasil (2) di atas, pada bagian
numerator terdapat deret
i
i
a
x i

=0
dan untuk
mendapatkan bentuk Fungsi Pembangkit dari
deret tak hingga ini perlu memperhatikan dulu
hasil ekspansi Taylor dari deret
i
i
x i

=0
0
, yaitu:
i
i
x i x x x
x

=
= + + + + =

0
0 3 2
1
1
1



Selanjutnya untuk mendapatkan bentuk Fungsi
Pembangkit dari deret
i
i
a
x i

=0
, dapat dikenakan
operator turunan
dx
d
dan kemudian mengalikan
hasilnya dengan variable x pada fungsi
x 1
1

secara berulang-ulang, sehingga didapat:

(3)


dengan konstanta b
i
dalam persamaan (3) dapat
dilihat dalam Tabel 1 dalam lampiran untuk nilai
i=1 sampai dengan i=10.

Bilangan Eulerian
Dalam Kombinatorik, bilangan Eulerian A (n, m)
[8], adalah jumlah permutasi dari angka 1 sampai
n dalam m elemen yang lebih besar dari elemen
sebelumnya (permutasi dengan m naik).

Untuk suatu nilai n>0, indeks m dalam A(n, m)
dapat mengambil nilai dari 0 sampai n-1. Untuk n
tertentu terdapat satu permutasi yang memiliki 0
naik; yaitu permutasi turun (n, n-1, n-2, ..., 1).
Ada juga satu permutasi yang telah n-1 naik;
yaitu permutasi naik (1, 2, 3, ..., n). Oleh karena
itu A (n, 0) dan A (n, n-1) sama dengan 1 untuk
semua nilai n. Untuk nilai n yang lain, A (n, m)
dapat dihitung dengan menggunakan rumus
rekursi, yaitu:

A(n, m) = (n-m) A(n-1, m-1) + (m+1) A(n-1, m)

Ternyata bilangan Eulerian ini, mempunyai
hubungan dengan Fungsi Pembangkit pada
persamaan (3) di atas. Hubungan ini dapat
dituliskan sebagai berikut:


(4)



dengan A(,i) adalah bilangan Eulerian.
( ) ) ( 1 ) (
1
x G x x G
m m
=
( ) ) ( 1 ) (
1 1
x G x x G
m m
=

( )
m
i
i
a
m
x
x i
x G

=
1
) (
0
1
1
1
1
1
0
) 1 (
+

=

+ + +
=

x
x b x b x b
x i
i
i
a

1
1
0
1
0
) 1 (
) , (
+

=
+

=

=

x
x i A
x i
i
i
i
i
a
Analisis
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI
19
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Tabel 1 pada
lampiran sebenarnya adalah tabel bilangan
Eulerian.

Mendapatkan Solusi Tertutup
Selanjutnya untuk mencari solusi tertutup dari
Deret Bertingkat, perlu dicari konstanta dari suku
ke x
n
pada Fungsi Pembangkit dari Deret
Bertingkat. Dengan menggunakan formula
Binomial Umum maka konstanta dari suku ke x
n

dari adalah;

(5)




HASIL DAN DISKUSI

Contoh Kasus
I. Untuk =1 dan m=1 maka didapat :
( )
2
0 0
1
1 x
x
x i x i
i
i i
i
= =


=

=

Maka Fungsi Pembangkit yang didapat adalah:

( )
3
1
1
) (
x
x
x G

=

Dengan menggunakan formula Binomial Umum
didapat konstanta dari suku x
n
adalah:
( )
! 2
1
2
1 n n n +
=

+

maka dapat disimpulkan:
( )
! 2
1
1
1
n n
i
n
i
+
=

=


Selanjutnya untuk =1 dan m sembarang
Fungsi Pembangkit yang didapat adalah

( )
m
m
x
x
x G
+

=
2
1
) (

Dengan menggunakan formula Binomial Umum
didapat konstanta dari suku x
n
adalah:

+
+
1 m
m n

maka dapat disimpulkan:

+
+
=

=
1
1
1
m
m n
i
n
i
m



II. Untuk =2 dan m=1 maka didapat
( )
3
2
0
2
0
2
1 x
x x
x i x i
i
i i
i
+
= =


=

=

Maka Fungsi Pembangkit yang didapat adalah:

( ) ( ) ( )
4 4
2
4
2
1
1 1 1
) (
x
x
x
x
x
x x
x G

+
=

Dengan menggunakan formula Binomial Umum
didapat konstanta dari suku x
n
adalah:
( ) ( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )
6
1 1 2
) 2 1 (
6
1
! 3
1 1
! 3
1 2
3
1
3
2
n n n
n n
n n
n n n n n n n n
+ +
= + +
+
=
+
+
+ +
=

+
+

+

maka dapat disimpulkan:
( ) ( )
6
1 1 2
1
2
n n n
i
n
i
+ +
=

=


Selanjutnya untuk =2 dan m sembarang
Fungsi pembangkit yang didapat adalah:

( ) ( )
m m
m
x
x
x
x
x G
+ +

=
3 3
2
1 1
) (

Dengan menggunakan formula Binomial Umum
didapat konstanta dari suku x
n
adalah:

+
+ +
+

+
+
2
1
2 m
n m
m
n m

maka dapat disimpulkan:

+
+ +
+

+
+
=

=
2
1
2
1
2
m
n m
m
n m
i
n
i
m



III. Untuk =3 dan m=1 maka didapat
( )
4
2 3
0
3
0
3
1
4
x
x x x
x i x i
i
i i
i
+ +
= =


=

=

Maka Fungsi Pembangkit yang didapat adalah:

( ) ( ) ( ) ( )
5 5
2
5
3
5
2 3
1
1 1
4
1 1
4
) (
x
x
x
x
x
x
x
x x x
x G

+ +
=
Dengan menggunakan formula Binomial Umum
didapat konstanta dari suku x
n
adalah:
( )
( )( ) ( )( ) ( )( ) ( )
( )
( )
4
) 1 (
) 1 ( 6
! 4
1
2 1 1 2 4 2 3
! 4
1
4
1
4
2
4
4
3
2 2
+
= +
+
=
+ + + + +
+
=

+
+

+
+

+
n n
n n
n n
n n n n n n
n n
n n n
maka dapat disimpulkan:
4
) 1 (
2 2
1
3
+
=

=
n n
i
n
i


Selanjutnya untuk =3 dan m sembarang
Fungsi Pembangkit yang didapat adalah

k
x

) 1 (

+
1
1
k
n k
Analisis
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI

20
( ) ( ) ( )
m m m
m
x
x
x
x
x
x
x G
+ + +

=
4 4
2
4
3
1 1
4
1
) (

Dengan menggunakan formula Binomial Umum
didapat konstanta dari suku x
n
adalah:

+
+ +
+

+
+ +
+

+
+
3
2
3
1
4
3 m
n m
m
n m
m
n m

maka dapat disimpulkan:

+
+ +
+

+
+ +
+

+
+
=

=
3
2
3
1
4
3
1
3
m
n m
m
n m
m
n m
i
n
i
m


KESIMPULAN

Dengan mempelajari bagaimana solusi tertutup
Deret Bertingkat dapat diselesaikan dengan
Fungsi Pembangkit, maka pengetahuan yang
didapat bisa digunakan untuk memecahkan
permasalahan deret yang lain yang lebih rumit
dari Deret Bertingkat.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Chen, Kwang-Wu dan Eie, Minking. 2001. A
Note on Generalized Bernoulli Numbers,
Pasific Journal of Mathematics Vol 199 No 1
[2] Gunawan, Alexander. 2009. Solusi Deret
Pangkat Tetap dengan Fungsi Pembangkit
[3] Goenawan, Stephanus Ivan. 2003. Deret
Bertingkat Berderajat Satu Dalam Teori
Keteraturan, Metris: Jurnal Mesin, Elektro,
Industri dan Sains vol. 4 no. 1
[4] Pascal, Sebab dan Gourdon, Xavier. 2002.
Introduction to Bernoullis Number. diakses
dari:http://numbers.computation.free.fr/Const
ants/constants.html
[5] Silva, James. 2006. Bernoulli Numbers and
Their Applications, diakses
dari: http://ocw.mit.edu/NR/rdonlyres/Mathe
matics
[6] South, Katherine Ann. 1993. Solving
Recurrence with Generating Function,
University of Maryland Baltimore County
[7] Wilf, Herbert. 1994.
Generatingfunctionology, Academic Press Inc
[8] Weisstein, Eric W. Eulerian Number, diakses
dari:http://mathworld.wolfram.com/Eulerian
Number.html



LAMPIRAN

A. Tabel 1: Konstanta b
i
dengan nilai i=1 sampai dengan i=10.

Analisis
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
21
KEMONOTONAN OPERATOR Di



Badrulfalah , Iin Irianingsih
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Padjadjaran, Bandung, 45363

iin_mtk@yahoo.com


ABSTRAK

Tulisan ini membahas kemonotonan suatu operator di
2

2
khususnya mengenai syarat agar suatu operator


yang didefinisikan di
2

2
adalah monoton naik. Pembahasan kemonotonan

dilakukan melalui kemonotonan


campur operator yang didefinisikan di
2

2
. Pertama-tama definisikan pengurutan parsial di
2
lalu ditentukan
syarat agar operator monoton campur. Selanjutnya definisikan pengurutan parsial di
2

2
lalu dengan
menggunakan kemonotonan campur dapat diperlihatkan bahwa operator

adalah monoton naik .



ABSTRACT
This paper discusses a monotone operator in
2
R
2
, especially about some condition in order to that operator
defined be an increasing monotone. Firstly, find some condition in order to the operator be mixed monotone after
that respect to that condition it can be proved that operator

is increasing monotone.

Keywords: partial ordering, mixed monotone, increasing monotone


PENDAHULUAN

Pada [1] telah dibahas tentang kemonotonan
operator di
2
yang terurut secara parsial oleh
suatu kerucut

= {(, ) | , } dimana
adalah elemen nol dan adalah himpunan
bilangan real. Berdasarkan hasil tersebut pada
tulisan ini akan dibahas kemonotonan suatu
operator

yang didefinisikan di
2

2

khususnya mengenai syarat agar

monoton
naik.

BAHAN DAN METODA

Pandang =
2
dan :

yang
didefinisikan oleh

(, ) = (, ), (, ) (2.1)
dimana ,
2
dan
: yang didefinisikan oleh
(, ) =


1

1

2

2
(2.2)
dimana ,
2
dan , , , .Akan
dibuktikan bahwa operator

adalah monoton
naik berdasarkan kemonotonan campur
operator . Untuk itu lebih dahulu diberikan
beberapa definisi dan lemma terkait berikut ini.

Definisi 2.1 : Misalkan .
dikatakan kerucut jika dan dengan
0 maka .[3]

Definisi 2.2: Misalkan himpunan bilangan
real dan kerucut di . Pengurutan parsial
oleh pada diberikan oleh: jika
.[1]

Definisi 2.3: Misalkan himpunan bilangan
real yang terurut secara parsial oleh kerucut
dan D . : dikatakan monoton naik
pada jika
1
,
2
dengan
1
<
2
maka
(
1
) < (
2
) .
dikatakan monoton turun pada jika

1
,
2
dengan
1
<
2
maka
(
1
) > (
2
).
Dalam salah satu hal dikatakan monoton[2].

Definisi 2.4: dikatakan tidak naik pada
jika
1
,
2
dengan
1
<
2
maka
(
1
) (
2
).
dikatakan tidak turun pada jika
1
,
2

dengan
1
<
2
maka (
1
) (
2
) [2].

Lemma 2.5: Misal himpunan bilangan real
yang terurut parsial oleh kerucut dan misalkan

= {(, ) | 0, 0} maka


adalah kerucut di .
Bukti :
Ambil
1
,
2

dan dengan 0
maka
1
= (
1
,
1
) dengan
1
0 dan

1
0 .
karena 0 , maka
1
0 dan
1
0
jadi
1
= (
1
,
1
) dengan
1
0
dan
1
0 .
Ini berarti
1

.
Dengan demikian

kerucut di , terbukti.

Berikutnya diberikan pengurutan parsial di
yang dinyatakan pada lemma 2.6.

Lemma 2.6: Definisikan pengurutan parsial di
sebagai berikut
Analisis
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI

22
(
1
,
2
) (
1
,
2
)jika dan hanya jika
1

1

dan
2

2
.
Berikut ini diberikan definisi kemonotonan
campur.

Definisi 2.7: Misalkan .
dikatakan monoton campur jika tidak turun
dalam dan tidak naik dalam .[1]

Definisi 2.8: Misalkan :


dikatakan monoton naik jika
(
1
,
1
),(
2
,
2
) dengan
(
1
,
1
) (
2
,
2
) maka

(
1
,
1
)

(
2
,
2
).[1]

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini akan dibuktikan bahwa operator

seperti yang didefinisikan pada (2.1) adalah


monoton naik yaitu dengan menentukan
, , , pada (2.2) sehingga operator adalah
monoton campur.

Pertama-tama definisikan pengurutan parsial di
=
2
seperti dinyatakan dalam lemma 3.1

Lemma 3.1: Definisikan pengurutan parsial di

2
sebagai berikut (
1
,
2
) (
1
,
2
) jika dan
hanya jika
1

1
dan
2

2
.

Akan ditentukan , , , sedemikian sehingga
monoton campur yaitu tidak turun dalam
(
1
,
2
) dan tidak naik dalam (
1
,
2
).
Misal (
1
,
2
) (
1
,
2
) maka

(
1
,
2
), (
1
,
2
) (
1
,
2
), (
1
,
2
)

=


1

1

2

2



1

1

2

2


=


1

1

2

2


Misal
1
=
1

1
dan
2
=
2

2

Karena
1

1
dan
2

2
maka
1
,
2
0
sehingga

2
=

1
+
2

1
+
2
> 0

jika dan hanya jika , , , > 0. Jadi tidak
turun dalam (
1
,
2
) jika dan hanya jika
, , , > 0.
Dengan cara serupa dapat diperlihatkan bahwa
tidak naik dalam (
1
,
2
) jika dan hanya jika
, , , > 0. Dengan demikian berdasarkan
definisi 2.7 maka adalah monoton campur
jika dan hanya jika , , , > 0.

Selanjutnya akan diperlihatkan bahwa

adalah
monoton naik.
Sebelumnya terlebih dahulu didefinikan kerucut
dan pengurutan parsial
2

2
.

Lemma 3.2: Definisikan kerucut

di
2

2

sebagai berikut:

=
(, )
2

2

2
+
{},
2

{}

Lemma 3.3:Definisikan pengurutan parsial di

2

2
sebagai berikut:
Untuk = (
1
,
2
), = (
1
,
2
), = (
1
,
2
),
= (
1
,
2
)
2
maka (, ) (, ) jika dan
hanya jika

dan

, = 1,2.

Akan diperlihatkan

monoton naik.
Misalkan (, ) (, ) maka (
1
,
2
) < (
1
,
2
)
dan (
1
,
2
) (
1
,
2
) .

Karena operator monoton campur maka
tidak turun dalam yakni
(
1
,
2
), (
1
,
2
) (
1
,
2
), (
1
,
2
)(1)
dengan (
1
,
2
) (
1
,
2
)
dan
tidak naik dalam yakni
(
1
,
2
), (
1
,
2
) (
1
,
2
), (
1
,
2
) (2)
dengan
(
1
,
2
) (
1
,
2
) .
Berdasarkan persamaan (1) dan (2) diperoleh
(, ) (, ) (, )
jadi diperoleh (, ) (, ) (3)

Selain itu
(
1
,
2
), (
1
,
2
) (
1
,
2
), (
1
,
2
)(4)
dengan (
1
,
2
) (
1
,
2
)
dan
(
1
,
2
), (
1
,
2
) (
1
,
2
), (
1
,
2
) (5)
dengan (
1
,
2
) (
1
,
2
)
Berdasarkan (4) dan (5) diperoleh
(, ) (, ) (6)

Perdefinisi

(, ) = (, ), (, ) dan

(, ) = (, ), (, ).
Berdasarkan (3) dan (6) diperoleh
(, ) (, ) dan (, ) (, )
Perdefinisi diperoleh

(, )

(, )

Berdasarkan definisi 2.8 berarti

monoton
naik.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas dapat di
simpulkan bahwa operator

yang didefinisikan
seperti pada (2.1) adalah monoton naik jika
monoton campur yaitu jika dan hanya jika
, , , > 0.

Analisis
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
23
DAFTAR PUSTAKA

[1] Yong-Zhuo Chen, 1991.
ExistenceTheorems of Coupled Fixed
Points, Journal of Mathematical Analysis
and Application 154, 142 150.
[2] RobertG.Bartle, Donald R.Sherbert, second
edition,1992. Introduction to Real
Analysis, John Wiley & Sons,Inc, New
York.
[3] Kreyszig, E.1978. Introduction to
Functional Analysis with Applications,
John Wiley & Sons.Inc, Canada.
























Analisis
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI
25
PERBANDINGAN RUANG VEKTOR EUCLIDEAN
DAN RUANG VEKTOR GYRO

Esih Sukaesih
1

1
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, 40614

esih_s@yahoo.com


ABSTRAK

Ruang vektor gyro memberi latar untuk geometri hiperbolik yang mempunyai kesamaan dengan ruang vektor yang
memberi latar untuk geometri Euclidean. Teori dari ruang vektor gyro menyatukan beberapa aspek koordinat
geometri dari geometri Euclidean dan geometri hiperbolik.
Ruang Euclidean mempunyai aspek aljabar dan geometri. Dalam aspek aljabar ruang Euclidean (
2
, +,) mempunyai
sifat vektor di (
2
, +,). Jadi ruang Euclidean adalah ruang vektor yang dilengkapi dengan fungsi jarak (metrik).
Struktur (,,) bukanlah ruang vektor seperti pada umumnya, penjumlahan bersifat tidak komutatif dan tidak
asosiatif. (,,) adalah contoh dari struktur ruang vektor gyro. Istilah gyro bertitik asal dari perkembangan
sejarah dari struktur ini yang berhubungan dengan phenomena Thomas precession dalam fisika relativitas.
memenuhi model Poincare untuk geometri hiperbolik.
Struktur ruang vektor memenuhi landasan aljabar dan analisis untuk Euclidean geometri, struktur ruang vektor juga
memenuhi struktur ruang vektor gyro (atau pendeknya struktur-gyro) dari (,,) yang memenuhi landasan yang
sama untuk geometri hiperbolik.

Kata kunci: Ruang vektor Euclidean, ruang vektor gyro, geometri hiperbolik


PENDAHULUAN

Geometri disertakan dalam mempelajari bentuk
dari permukaan dan topologi. Dalam fisika,
Einstein dan Minkowski mengenali bahwa hukum
fisika seharusnya dirumuskan dalam bentuk
geometri ruang waktu. Dalam Aljabar, satu cara
yang menghasilkan untuk mempelajari grup
adalah untuk menyatakan mereka sebagai grup
simetri dari objek geometri. Dalam kasus ini,
geometri yang sering diperlukan geometri non-
Euclidean terutama geometri hiperbolik.
Kita ketahui bahwa geometri hiperbolik dipelajari
dengan fungsi hiperbolik, yang mempuyai
kesamaan dengan fungsi lingkaran (atau,
trigonometri). Kesamaan seluruh fungsi
hiperbolik, yang diekspresikan dengan fungsi
lingkaran dari bidang Euclidean memungkinkan
untuk mengekspresikan rotasi pseudo dari bidang
Minkowski, dimana sudut pseudo dari rotasi
pseudo adalah disebut rapidity. Rotasi pseudo
diparameterisasi dengan rapidity yang dikenal
dalam Special Theory of Relativity adalah
transformasi Lorentz, untuk alasan ini bentuk
"geometri non-Euclidean" dari Bolyai dan
Lobachevski berubah ke "geometri hiperbolik".
Struktur ruang vektor yang berada dalam geometri
Euclidean memungkinkan kita untuk mempelajari
geometri Euclidean dengan koordinat. Untuk
mengembangkan kesamaan koordinat geometri
hiperbolik akan digunakan Thomas precession
dan membuka sebuah struktur seperti grup, yang
disebut grup gyro. Konsep grup gyro
mengarahkan kita pada bentuk hiperbolik dari
notasi ruang vektor sebuah ruang vektor gyro.

RUANG EUCLIDEAN
Ruang Euclidean mempunyai aspek aljabar dan
geometri. Dalam aspek aljabar ruang Euclidean
mempunyai sifat vektor di
2
. Ruang vektor
2

memenuhi sifat berikut.

Definisi 1
[7]
Ruang vektor (
2
, +,) adalah himpunan tidak
kosong
2
dengan operasi biner +:
2

2

2

dan sebuah operasi :
2

2
yang
memenuhi sifat berikut.
Untuk setiap , ,
2
berlaku ( +
) + = + ( +).
Untuk setiap ,
2
berlaku + =
+.
Terdapat 0
2
untuk setiap
2

sehingga berlaku + 0 = .
Terdapat
2
untuk setiap
2

sehingga berlaku + () = 0.
Terdapat 1
2
untuk setiap
2

sehingga berlaku 1 = .
Untuk setiap dan untuk setiap
,
2
berlaku ( +) = +.
Untuk setiap , dan untuk setiap

2
berlaku ( +) = +.
Untuk setiap , dan untuk setiap

2
berlaku () = ().
Ruang vektor Euclidean secara aljabar sama
dengan ruang vektor. Untuk melengkapi ruang
Analisis
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI

26
Euclidean, maka ruang vektor mempunyai norm
yang didefinisikan dari hasil kali dalam ruang
vektor
2
.

Definisi 2
[7]

Misalkan sebarang ,
2
dengan = (
1
,
2
)
dan = (
1
,
2
) dan
1
,
2
,
1
,
2
, hasil kali
dalam adalah
=
1

1
+
2

2

Berdasarkan definisi hasil kali dalam di atas
didefinisikan norm.

Definisi 3
[7]

Misalkan sebarang
2
dengan = (
1
,
2
) dan

1
,
2
, norm x adalah
= ( )
1
2
=
1
2
+
2
2

yang memenuhi sifat berikut:
0,untuk setiap
2
.
Jika = 0, maka = 0. (vektor nol)
= || untuk setiap
2
dan
setiap .

Sehingga jarak antara dua titik ,
2
dalam
ruang Euclidean (
2
) adalah
(, ) = .
Jadi ruang Euclidean adalah ruang vektor yang
dilengkapi dengan fungsi jarak (metrik).
Konsep jarak adalah hal penting dalam geometri.

Teorema 1
[7]

Jarak antara dua titik dalam ruang Euclidean
memenuhi sifat berikut.
Untuk setiap ,
2
, berlaku (, )
0.
Untuk setiap ,
2
, berlaku (, ) =
0 jika dan hanya jika = .
Untuk setiap ,
2
, berlaku (, ) =
(, ).
Untuk setiap , ,
2
, berlaku
(, ) +(, ) (, ).

OPERASI BINER DAN OPERASI SKALAR
PADA RUANG VEKTOR GYRO
Cakram satuan = {: || < 1} dalam bidang
komplek kaya akan struktur matematika.
Berdasarkan definisi cross ratio
[5]
() =

2
akan didefinisikan penjumlahan ,
yaitu operasi biner : . Dengan
memilih
2
= dan
3
=
1

, adalah
konjugate dari , maka
=

() =
()

1

1

1

1
()

=
+
+
1

1
+
1

1
+

=

1
+
1

1
+

+
+
1

1
+
1

1
+

+
+ 1

=
1 +
1

1
+

+
+ 1

dengan

1 +
1

1
+
= 1 1 +
1
=
1
+
1 =
1
+ (1 )

1
=
1
1

sehingga diperoleh
=
+
+ 1

dengan , .
Selanjutnya akan didefinisikan perkalian skalar

, yaitu aksi skalar : , didefinisikan
berdasarkan jarak hiperbolik suatu titik
terhadap titik pusat cakram satuan yaitu (0, ) =
ln
1+||
1||
. Perpanjangan suatu titik ,
sebanyak (dengan adalah konstanta Real)
terhadap titik pusat cakram satuan adalah
(0, ) = ln
1 + ||
1 ||
= ln
1 + ||
1 ||


Sehingga jarak perpanjangan sutu titik
terhadap titik pusat cakram satuan adalah
(0, ) = (0, )
ln
1 + | |
1 | |
=ln
1 + ||
1 ||


sehingga

1 + | |
1 | |
=
1 + ||
1 ||


1 + | | =
1 + ||
1 ||

(1 | |)
1 + | | =
1 + ||
1 ||

| |
1 + ||
1 ||


| | 1 +
1 + ||
1 ||

=
1 + ||
1 ||

1
| | =

1 + ||
1 ||

1 + ||
1 ||

+ 1

maka
| | =
(1 + ||)

(1 ||)

(1 + ||)

+ (1 ||)

.
Jadi aksi skalar dari suatu konstanta Real
terhadap didefinisikan sebagai berikut:
= | |

||

=
(1 + ||)

(1 ||)

(1 + ||)

+ (1 ||)

||

Analisis
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI
27
Jadi penjumlahan dan aksi skalar
[2],[3]

berturut-turut adalah
=
+
1 +

dan
=
(1 + ||)

(1 ||)

(1 + ||)

+ (1 ||)

||

dengan , , adalah konstanta Real,
adalah konjugate dari . Berarti 0 pada aksi
skalar, juga didefinisikan 0 = 0.) Struktur
(,,) bukanlah ruang vektor seperti pada
umumnya, penjumlahan bersifat tidak komutatif
dan tidak asosiatif. (,,) adalah contoh dari
struktur ruang vektor gyro. Istilah gyro bertitik
asal dari perkembangan sejarah dari struktur ini
yang berhubungan dengan phenomena Thomas
precession dalam fisika relativitas. memenuhi
model Poincare untuk geometri hiperbolik.
Struktur ruang vektor memenuhi landasan aljabar
dan analisis untuk Euclidean geometri, struktur
ruang vektor juga memenuhi struktur ruang vektor
gyro (atau pendeknya struktur-gyro) dari (,
,) yang memenuhi landasan yang sama untuk
geometri hiperbolik.

RUANG VEKTOR GYRO
Diketahui bahwa bersifat nonkomutatif dan
nonasosiatif. Perbaikan sifat nonkomutatif
untuk , didefinisikan
[2],[3]

[, ] =
1 +
1 +


disebut gyration ditentukan dengan dan ;
catatan bahwa |[, ]| = 1. Sehingga
(,,) memenuhi hukum gyrokomutatif
sebagai berikut:
= [, ]()
, . Sehingga gyration memperbaiki sifat
nonkomutatif dan sifat nonasosiatif dari .

Definisi 4
[1],[2],[3]

Sebuah ruang vektor gyro (,,) adalah
himpunan tidak kosong dengan operasi biner
: dan sebuah operasi :
memenuhi axioma berikut.
(G1) Terdapat 0 sehingga untuk semua ,
berlaku
0 = 0 = (Identitas)
(G2) Untuk setiap , terdapat sehingga
berlaku
= () = 0 (Invers).
Untuk setiap , , pemetaan [, ]:
didefinisikan dengan
[, ] = ()()
untuk memenuhi sifat berikut.
(G3) Untuk setiap , , berlaku
() = ()[, ] (sifat
assosiatif kiri gyro).
(G4) Untuk setiap , berlaku
[, ] (, ) (automorfisma
gyro).
(G5) Untuk setiap , berlaku
[ , ] = [, ] (sifat loop
kiri).
(G6) Untuk setiap , berlaku
= [, ]( ) (sifat
komutatif gyro).
(G7) Untuk setiap dan untuk setiap
1
,
2

adalah konstanta Real berlaku
(
1
+
2
) = (
1
) (
2
).
(G8) Untuk setiap dan untuk setiap
1
,
2

adalah konstanta Real berlaku
(
1

2
) =
1
(
2
).
(G9) Terdapat 1 adalah konstanta Real, untuk
setiap berlaku
1 = .
(G10) Untuk setiap , , dan untuk setiap
adalah konstanta Real berlaku
[, ]( ) = [, ].
(G11) Untuk setiap dan untuk setiap
1
,
2

adalah konstanta Real berlaku
[
1
,
2
] =


Pemetaaan [, ]: disebut
automorfisma gyro yang dibangun , , dan
aksi terhadap disebut gyration yang dibangun
, . Struktur (,,) adalah ruang vektor
gyro, dan notasi gyration sebagai aksi adalah
konsisten dengan identifikasi dalam (,,)
dari [, ].
Berikut ini contoh penjumlahan dan aksi skalar
dalam ruang vektor gyro, misal = 0,2 +
0,6, = 0,6 + 0,3 dan
1
= 2,
2
= 3.


Gambar 1. Contoh penjumlahan dalam ruang vector gyro
dengan = 0,2 + 0,6, = 0,6 + 0,3


Gambar 2. Contoh aksi skalar dalam ruang vektor gyro dengan
= 0,2 + 0,6, dan
1
= 2,
2
= 3.


Aksi skalar dari adalah konstanta Real
terhadap
=
(1 + ||)

(1 ||)

(1 + ||)

+ (1 ||)

||

jika semakin mendekati maka

2






Analisis
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI

28
lim

= lim

(1 + ||)

(1 ||)

(1 + ||)

+ (1 ||)

||

= lim

1
(1 ||)

(1 + ||)

1 +
(1 ||)

(1 + ||)

||

=

||

jika semakin mendekati maka
lim

= lim

(1 + ||)

(1 ||)

(1 + ||)

+ (1 ||)

||

= lim

(1 + ||)

(1 ||)

1
(1 + ||)

(1 ||)

+ 1

||

=

||

Jadi dalam aksi skalar, semakin besar akan
semakin mendekati batas lingkaran satuan.
Sebuah grup gyro (,,) adalah sebuah
struktur yang memenuhi (G1) sampai (G6), dan
sebuah gyrokomutatif grup gyro harus juga
memenuhi (G7). Sebarang grup adalah sebuah
grup gyro dengan [, ] untuk semua
, . Sebaliknya, sebuah grup gyro dalam setiap
gyration adalah jelas sebuah grup. Ruang vektor
adalah jelas sebuah ruang vektor gyro, terdapat
grup abelian dengan sebuah aksi pada yang
memenuhi (G7) sampai (G9) (dan jelas, (G10)
dan (G11)) tetapi bukan ruang vektor. Jadi sebuah
ruang vektor gyro dengan gyration tidak perlu
merupakan sebuah ruang vektor. Yang masih
hilang dan belum diketahui adalah hukum
distribusi gyro yang menghubungkan operasi
dan . Dalam (,,) dan ruang vektor gyro
yang lain. Pernyataan ( ) dan (
) ( ) adalah tidak sama.


Gambar 3 Contoh ruang vektor gyro tidak memiliki sifat
distributif dengan = 0,2 + 0,6, = 0,6 + 0,3 dan = 3

Mungkin aksioma yang paling teknis adalah sifat
loop (G5), yang merupakan kunci pembuktian
berikut.
[2]
(L) Diberikan , , solusi unik dari =
adalah = .
(R) Diberikan , , solusi unik dari =
adalah = [, ].
Disini menyatakan (). Sifat (L)
dan (R) berarti setiap grup gyro adalah loop.
Dapat disimpulkan sifat (L) dan (R) dengan
hukum penghilangan sebagai berikut:
( ) =
untuk , . Hal ini akan dipergunakan untuk
mempelajari geometri dari . Persamaan di atas
adalah ekuivalen dengan (L), yang juga ekuivalen
dengan
[, ] =
untuk , .

Didefinisikan norm Poincare
[2]
: [0,1)
dengan
= ||
untuk . Norm ini memenuhi sifat berikut:
untuk semua , , , ,
0, = 0 = 0 (P1)
= || (P2)
(P3)
[, ] = . (P4)
Sifat norm ((P1) - ( P4)) mempunyai kesamaan
dengan sifat dari norm dalam ruang vektor. Dalam
penjumlahan, kegunaan scaling identitas
[2]


=


terpenuhi untuk semua > 0, .
Dari norm Poincare, didefinisikan metrik
Poincare
[2]
dengan

(, ) =
, . Kondisi nongenerasi

(, ) = 0
= berdasarkan sifat dari (P1), dan kondisi
simetri

(, ) =

(, ) berdasarkan
gyrokomutatif (G6) dan (P4). Metrik Poincare
adalah gyroautomorfisma invariant dan
gyrotranlasi invariant (kiri), dengan sifat sebagai
berikut

(, ) =

([, ], [, ]) *

(, ) =

( , ) **
untuk , , , . Persamaan * berasal dari
(P4), sedangkan ** berasal dari (P4) dan identitas
berikut, yang terpenuhi dalam sebarang grup
komutatif gyro:
( ) ( ) = [, ]( )
untuk , , . Sehingga diperoleh
pertidaksamaan segitiga

(, )

(, )

(, )

(, ) +

(, )
untuk , , yang terpenuhi dari **, (P3),
(G6), dan (P4).

KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah dipaparkan dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Ruang vektor gyro dapat memberi latar pada
geometri hiperbolik, dalam tulisan ini
menjelaskan geometri hiperbolik dalam
cakram Poincare, seperti ruang vektor
memberi latar pada geometri Euclidean.
2. Ruang vektor gyro mempermudah untuk
membandingkan geometri Euclidean dengan
geometri hiperbolik.



( )
( ) ( )
Analisis
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI
29
3. Ruang vektor gyro dapat digunakan untuk
mendalami geometri hiperbolik.
4. Perlu penelitian yang lebih jauh untuk
menghubungkan operasi ( ) dan
( ) ( ).

DAFTAR PUSTAKA

[1] Abraham A. Ungar. 1997. Thomas
Precession: Its Underlying Gyrogroup
Axioms an Their Use in Hyperbolic
Geometry an Relativistic Physics, Found,
Physics,27.
[2] Michael K. Kinyon, Abraham A. Ungar .
2000. The Gyro-Struktur of the Complex Unit
Disk, Mathematics Magazine Vol. 73, No. 4.
[3] Abraham A. Ungar, The Hyperbolic
Pythagorean Theorem in the Poincare Disc
Model of Hyperbolic Geometry, Notes.
[4] Steven G. Krantz. 1990. Complex Analysis:
The Geometric Viewpoint, The Mathematical
Association Of America, United States of
America.
[5] Michael Henle. 1997. Modern Geometries
The Analytic Approach, Prentice-Hall, Inc.
[6] T. K. Carne. 2002. Geometry, Departement
of Pure Mathematics and Mathematical
Statistics, University of Cambridge.
[7] Patrick J. Ryan. 1986. Euclidean and Non-
Euclidean Geometry, Cambridge University
Press.








Analisis
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
31
GLOBALLY SMALL RIEMANN SUMS (GSRS) INTEGRAL HENSTOCK-
PETTIS PADA RUANG EUCLIDE
n

Hairur Rahman
Departement of Matemathics, The State Islamic University of Malang

Abstract
In this paper we study Henstock-Pettis integral on the Euclidean space
n
. We discuss some properties of the
integrable: property and Globally Small Riemann Sums (GSRS).

Keywords: Henstock integral, Euclidean Space
n
, primitive function, Henstock-Pettis integral,
Globally Small Riemann Sums (GSRS).


PENDAHULUAN

Pada tahun 1914, Perron mengembangkan
perluasan lain integral Lebesgue dan
menunjukkan bahwa integralnya mempunyai sifat
bahwa setiap derivatifnya terintegral pada garis
lurus. Selanjutnya Henstock dan Kurzweil secara
terpisah mengitlakkan integral Riemann dengan
mengubah konstanta positif menjadi fungsi
positif dan ternyata integral yang disusun
keduanya ekuivalen. Oleh karena itu, integral
yang mereka susun terkenal dengan nama
Henstock-Kurzweil [11].
Dari kajian tentang integral Henstock
banyak sifat-sifat yang telah diungkapkan baik
dalam maupun ruang
n
. Menurut penelitian,
masalah mengenai sifat-sifat pada integral
Henstock kemungkinan dapat dikembangkan
menjadi masalah yang lebih luas dalam integral
Henstock-Pettis, khususnya sejauh mana sifat-
sifat integral Henstock dari fungsi bernilai real
dapat dikembangkan ke dalam integral Henstock-
Pettis pada ruang Euclide
n
. Dari kajian tentang
integral Henstock-Kurzweil banyak sifat-sifat
yang telah diungkapkan baik dalam maupun
ruang
n
. Menurut penelitian, masalah mengenai
sifat-sifat pada integral Henstock-Kurzweil
[1],[2],[4],[5], kemungkinan dapat dikembangkan
menjadi masalah yang lebih luas dalam integral
Henstock-Kurzweil-Pettis, khususnya sejauh
mana sifat-sifat integral Henstock dari fungsi
bernilai real dapat dikembangkan ke dalam
integral Henstock-Kurzweil-Pettis pada ruang
Euclide
n
. Lebih lanjut integral Henstock-
Kurzweil-Pettis pada ruang Euclide
n
akan
dikembangkan pada sifat-sifat Globally Small
Riemann Sums (GSRS) pada ruang Euclide
n
.

Definisi 1.1. [8]. Diberikan fungsi volume pada

n
, sel

dan E ruang Banach. Fungsi f : E


X dikatakan terintegral- Henstock pada E
terhadap , ditulis singkat f (E, , X) jika
terdapat vektor A X sehingga untuk setiap
bilangan > 0 terdapat fungsi positif pada E
dan untuk setiap partisi Perron -fine
= {(
1
,
1
), (
2
,
2
), , (

)} pada E
berlaku
() ()()
= () (

)(

=1

< .

Definisi 1.2. [8]. Diberikan X ruang Banach dan

ruang dualnya, volume pada


n
, dan
se

. Fungsi f : E X dikatakan
terintegral- Henstock-Pettis pada E, ditulis
singkat dengan f (E, ), jika untuk setiap

dan sel , fungsi

terintegral-
Henstock pada A dan terdapat vektor
(,,)

sehingga

(,,)
= ()


Selanjutnya vektor
(,,)
di atas disebut nilai
Integral Henstock-Pettis fungsi f pada A dan
ditulis

(,,)
= () ,


khususnya

(,,)
= () ,


Jadi

() ,

= ()



Teorema 1.3. (Kriteria Cauchy). [10] Fungsi
(, ) jika dan hanya jika untuk setiap
bilangan > 0 terdapat fungsi positif pada E
sehingga jika sel dan

1
= (
1
,
1
), (
2
,
2
), ,

dan

1
= (
1
,
1
), (,
2
), ,

masing-
masing partisi Perron -fine pada A memenuhi
(
1
)

)(

) (
2
)

)(

=1

=1
< .
untuk setiap

.

Analisis
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI

32
Definisi 1.4. [10]. Jika (, ) dan (E)
koleksi semua sel bagian di dalam E maka fungsi
F : (E) X dengan rumus
() =
(,,)
= () ,


dan () = 0 , untuk setiap () disebut
fungsi primitif- fungsi f.

Teorema 1.5. [10]. Diberikan fungsi volume di
dalam
n
dan sel

. Jika (, )
dengan f sebagai primitif-nya dan

1
,
2
, . . . ,

sel-sel di dalam E yang tak saling


tumpang tindih dan E =

=1
maka
() = (

=1
=
(,,)
.

=1

Selanjutnya berdasarkan Definisi 1.5 maka
integral Henstock-Pettis tehadap pada E dapat
juga dinyatakan seperti dalam teorema berikut.

Teorema 1.6. [10].Fungsi (, ) jika
dan hanya jika terdapat fungsi aditif F : (E)
X sehingga untuk setiap bilangan > 0 yang
diberikan dan

dapat ditemukan fungsi


positif pada E sehingga jika sel dan =
{(, )} partisi Perron -fine pada A berlaku

(( )() ()) < .



Teorema 1.7. (Lemma Henstock) [9]. Diberikan
X ruang Banach dan

ruang dualnya, volume


pada
n
dan sel

. Jika (, )
dengan primitif F, yaitu untuk setiap bilangan
> 0 dan

terdapatlah fungsi positif


pada E sehingga jika sel dan =
{(, )} partisi Perron -fine pada A berlaku

(( )() ()) < .


maka untuk setiap jumlahan bagian
()
1

()

(( )() ())
1
< .


PEMBAHASAN

Akan dibahas sifat-sifat lanjut dari integral
Henstock-Pettis pada ruang Euclide

, yakni
memuat pembahasan yang berkaitan dengan sifat-
sifat Globally Small Riemann Sums (GSRS)
fungsi terintegral Henstock-Pettis pada ruang
Euclide

.

Definisi 2.1. Diberikan X ruang Banach dan

ruang dualnya, volume pada

, dan sel

, dan f : E X fungsi terukur- pada


sel E. Fungsi f dikatakan mempunyai sifat
Globally Small Riemann Sums (GSRS) terhadap
pada sel E ditulis singkat f GSRS(E, ) jika
untuk setiap > 0,

, dan sel, ada


bilangan asli
0
sehingga untuk setiap
0

ada fungsi positif

pada E sehingga jika D


= {(D, )} partisi Perron

-fine pada A berlaku


()

()()
|

()|>
< .

Teorema 2.2. Diberikan X ruang Banach dan


ruang dualnya, volume pada

, dan sel

. Jika fungsi terukur- , f GSRS(E, )


maka (, ).
Bukti: Karena f GSRS(E, ) maka untuk
setiap > 0,

, dan sel, ada bilangan


asli
0
sehingga untuk setiap
0
terdapat
fungsi positif

pada E sehingga jika


= {(, )} partisi Perron

fine pada A
berlaku
()

()()
|

()|>
< .
sehingga untuk setiap dua partisi Perron

fine
dan pada A berlaku
()

()() ()

()()
()

()()
+ ()

()()
()

()()
|

()|>

+ ()

()()
|

()|

+ ()

()()
|

()|>

+ ()

()()
|

()|

<

= .
Berdasarkan kriteria Cauchy (, ).

Teorema 2.3. Diberikan X ruang Banach dan


ruang dualnya, volume pada

, dan fungsi
bernilai real f terdifinisi pada sel

.
Didefinisikan fungsi

dengan

( ) =

( ), |

( )|
0,


Fungsi f terintegral- (, ). pada sel E ke
F(E) dan F
k
(E) F(E) untuk k jika dan
hanya jika f merupakan fungsi terukur bersifat
GSRS pada sel E.
Analisis
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
33
Bukti: (Syarat Perlu) Karena f (, )
maka untuk setiap > 0,

, dan sel
terdapat fungsi positif
*
pada E sehingga untuk
setiap partisi Perron
*
-fine D
*
pada sel A berlaku
(

(( )() ()) <



3

Setiap k, terdapat fungsi positif
k
pada E
sehingga untuk setiap partisi Perron
k
fine D*
pada sel A berlaku
(

( )()

()) <

3

untuk setiap

. Karena {F
k
(A)} konvergen
ke F pada sel E, maka terdapat bilangan bulat
positif K dengan sifat untuk setiap k K berlaku
|

()

(| <

3


Untuk k K, didefinisikan fungsi positif pada E
dengan
( ) = {

( ),

( )}
Dengan demikian untuk setiap partisi Perron -
fine = {(, )} pada sel A berlaku
()

()()
|

()|>

= ()

()()

()()
(

( )() ()
+|

()

(|
+

() (

( )()

<

= .
Untuk syarat cukup sangat jelas menurut definisi
2.1.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Dharmawidjaya, S., 2003, On The Bounded
Interval Functions, Proceedings of the
International Conference 2003 On
Mathematics And Its Application, SEAMS-
Gadjah Mada University, Universitas Gadjah
Mada, Indonesia.
[2] Indrati, Ch. R., 2002, Integral Henstock-
Kurzweil pada ruang Euclide
n
berdimensi-
n, Disertasi, Universitas Gadjah Mada,
Indonesia.
[3] Gordon, R.A., 1994, The Integral of
Lebesgue, Denjoy, Perron and Henstock,
American Mathematical Society, USA.
[4] Guoju, Ye and Tianqing, 2001.On Henstock-
Dunford and Henstock-Pettis Integral,
IJMMS, 25:7, Hindawi Publishing Corp. pp
467-478.
[5] Guoju, Ye, and ,Swabik. S, 2001.The
MacShane and The weak. MacShane Intergal
of Banach Space Value Function Defined On

n
. Mathematical Notes, Miscole, Vol, 2.,
No, 2., pp127-136.
[6] Guoju, Ye, and Swabik. S, 2004, Topics in
Banach Space Integration, manuscript in
preparation.
[7] Guoju, Ye, Lee, P.Y.,Wu, Congxin, 1999,
Convergence Theorem of The Denjoy-
Bochner, Denjoy-Pettis and Denjoy-Dunford
Integral, southeast asian bulletin of
mathematics, Springer-Verlag, vol 23; 135-
143.
[8] Rahman, Hairur, 2005, Integral Henstock-
Pettis pada ruang Euclide
n
, Tesis,
Universitas Gadjah Mada, Indonesia.
[9] Rahman, Hairur, 2005, Kekonvergenan
Integral Henstock-Pettis pada ruang Euclide

n
, Universitas Gadjah Mada, Indonesia.
[10] Rahman, Hairur, 2007, Locally Small
[11] Riemann Sums (LSRS) Integral Henstock-
Pettis pada ruang Euclide Rn, Seminar
Matematika IV ITS, Indonesia.
[12] Lee, P.Y., 1989, Lanzhou Lectures On
Henstock Integration, Word Scientific,
Singapore.
[13] Lee, P.Y. dan Vborn, R., 2000, Integral : An
Easy Approach after Kurzweil and Henstock,
Cambridge University Press.
[14] Pfeffer,W.F.,1993, The Riemann Approach to
Integration, Cambridge University Press,
New York, USA.
[15] Royden, H.L., 1989, Real Analysis, third
edition, Macmillan Publishing Company,
New York, USA.
[16] Swabik. S. and Ye, Guoju.,1991.The
Macshne and The Pettis Intergal of Banach
Space Value Function Defined on
n
, chzech,
math journal.







Analisis
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
35
APLIKASI TRANSFORMASI LAPLACE DALAM
MENCARI NILAI EKSAK SUATU DERET TAK HINGGA

Nik Hael
1
, Taufik Limansyah
2
, Iwan Sugiarto
3

1,2,3
Jurusan Matematika, Fakultas Teknologi Informasi dan Sains
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 40141

nLi07_1708@yahoo.co.id
1
, taufik.limansyah@home.unpar.ac.id
2
, iwans@home.unpar.ac.id
3



ABSTRAK

Deret adalah penjumlahan dari sukusuku suatu barisan { }
n
i i
a
1 =
. Suatu deret tak hingga dikatakan konvergen
(memiliki nilai eksak) jika barisan jumlah parsialnya konvergen. Pencarian nilai eksak dari deret tak hingga dapat
dilakukan dengan menghitung limit barisan jumlah parsialnya. Tetapi, untuk mencari bentuk atau rumus umum dari
barisan jumlah parsial tersebut tidaklah mudah, sehingga nilai eksaknya sulit untuk dicari. Akibatnya cara tersebut
dapat dikatakan tidaklah efektif. Salah satu metode untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan menggunakan
metode Transformasi Laplace. Penulis menghitung nilai eksak dari deret tak hingga dengan teknik Transformasi
Laplace untuk deret yang berbentuk
( )
( )

=1 n n P
n Q
dengan
( ) n P

dan
( ) n Q
adalah fungsi polinom. Asumsi yang digunakan
adalah akarakar dari
( ) n P

bukanlah
{ } ,... 3 , 2 , 1 n
.

Kata Kunci : deret tak hingga, Transformasi Laplace, invers Transformasi Laplace, nilai eksak.


PENDAHULUAN

Deret adalah penjumlahan dari sukusuku
suatu barisan { }
n
i i
a
1 =
, dan ditulis

=
=
n
i
i n
a S
1

dengan
n
a adalah suku ke n dari barisan tersebut.
Deret tak hingga

=1 i
i
u
dikatakan konvergen jika
limit barisan jumlah parsialnya (limit
n
S ) ada.
Dengan kata lain, nilai eksak dari deret tak hingga
dapat dicari dengan menentukan limit barisan
jumlah parsialnya, seperti yang diuraikan pada
[6]. Namun tidak semua deret tak hingga dapat
dengan mudah ditentukan rumus barisan jumlah
parsialnya, seperti

=1
2
1
n n
.
Seperti yang telah kita ketahui pada tahun
1735, Euler menemukan nilai eksak dari
6
1
2
1
2

=

= n n
. Awalnya, deret ini digunakan
sebagai dasar perhitungan untuk memperoleh nilai
eksak deret tak hingga lainnya. Kemudian,
beberapa peneliti telah mengembangkan metode
mencari nilai eksak deret tak hingga tanpa melalui
barisan jumlah parsialnya. Diantaranya Efthimiou,
[1], telah memperkenalkan metode mencari nilai
eksak deret tak hingga dengan menggunakan
fungsi Digamma dan Polygamma. Kemudian
Lesko, et.al, [3], memanfaatkan Transformasi
Laplace untuk menentukan nilai eksak deret tak
hingga. Efthimiou, [2], juga mengembangkan
metode ini untuk deret pangkat trigonometri.



Penulis menghitung nilai eksak dari deret tak
hingga dengan teknik Transformasi Laplace untuk
deret yang berbentuk
( )
( )

=1 n
n P
n Q
dengan
( ) n P

dan
( ) n Q
adalah fungsi polinom. Asumsi yang
digunakan adalah akarakar dari
( ) n P

bukanlah
{ } ,... 3 , 2 , 1 n
.


MENGHITUNG NILAI EKSAK TAK
HINGGA DENGAN MENGGUNAKAN
TRANSFORMASI LAPLACE.

Misalkan

=1 n
n
u merupakan deret tak hingga.
Definiskan
n
u sebagai hasil Transformasi Laplace
dari ) (x f , yakni:
( )

=
0
dx x f e u
nx
n
. Jadi:
( )

=
1 10 n n
nx
n
dx x f e u ( )


=

=
0 1
. .
n
nx
T C M
dx x f e
(1)

Perhatikan bahwa persamaan pada ruas paling
kanan dapat terjadi karena teorema
kekonvergenan monoton (MCT) dan

=

1 n
nx
e

merupakan deret geometri yang konvergen
dengan jumlah
,
1
x
x
e
e

sehingga persamaan (1)


dapat ditulis menjadi:
( ) dx
e
e
x f
x
x

0
1
. Akibatnya
diperoleh:
Analisis
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
36
( )

=
1 0
1 n
x
x
n
dx
e
e
x f u
...(2)
Untuk mencari ( ) x f dapat dilakukan dengan
menggunakan invers dari Transformasi Laplace.
Rumusrumus untuk mencari invers dari
Transformasi Laplace telah banyak disinggung
pada [4] dan [5].


BEBERAPA HASIL NILAI EKSAK DERET
TAK HINGGA

Teorema 1:
Nilai eksak dari
( )( )
0 , , ,
1
1

+ +

=
b a b a
b n a n
n

adalah
( )

1
0
1
1
du
u
u u
a b
b a
.
Bukti:
Akan dicari fungsi ( ) x f yang memenuhi
persamaan (1), maka haruslah digunakan invers
Transformasi Laplace dari
( )( ) b n a n + +
1
.
Perhatikan bahwa :
L
-1
( )( )

+ + b n a n
1
= L
-1

+
+
+
+
+
b n
a b
a n
b a
1 1


[ ]
bx ax
e e
a b

=
1

Jadi diperoleh bahwa
( )
a b
e e
x f
bx ax

=

.
Dengan menggunakan persamaan (2) diperoleh:

( )( )
dx
e
e
a b
e e
b n a n
x
x
n
bx ax

=
+ +

1
1
1 0


( )
du
u
u u
a b
b a

=
1
0
1
1
.


Dengan perkataan lain, nilai eksak dari
( )( )

=
+ +
1
1
n
b n a n
dapat dihitung dengan cara
menyelesaikan integral
( )
.
1
1
1
0
du
u
u u
a b
b a


Sebagai contoh, akan dicari nilai eksak dari
( )

= + 1
2
1
1
n n n
. Untuk deret ini, sangatlah sulit untuk
menentukan rumus umum dari barisan jumlah
parsialnya. Dengan menggunakan Transformasi
Laplace, maka nilai eksak dari deret tersebut
dapat ditentukan seperti yang dituangkan pada
Teorema 1, sebagai berikut:
( )
( ) 2 ln 1 4
1
1
2
1
1
0
2 / 1
1
2
1
=

=
+

=
du
u
u
n n n


Teorema 2:
Nilai eksak dari:
( )( )( )
0 , , , ,
1
1

+ + +

=
c b a c b a
c n b n a n
n

adalah
du
u
Cu Bu Au
c b a


+ +
1
0
1
.
Bukti:
Perhatikan bahwa :
L
-1
( )( )( )

+ + + c n b n a n
1
=
cx bx ax
Ce Be Ae

+ +
dengan :

( )( ) c a b a
A
+ +
=
1


( )( ) c b a b
B
+ +
=
1
...(3)

( )( ) b c a c
C
+ +
=
1

Jadi diperoleh ( )
cx bx ax
Ce Be Ae x f

+ + = dengan
konstanta A, B, dan C dapat dicari dengan
menggunakan persamaan (3).
Dengan menggunakan persamaan (2) diperoleh
( )

=
+ + +
1
) )( (
1
n
c n b n a n
( ) dx
e
e
Ce Be Ae
x
x
cx bx ax

+ + =
0
1

du
u
Cu Bu Au
c b a


+ +
=
1
0
1
.


Dengan perkataan lain, nilai eksak dari
( )

=
+ + +
1
) )( (
1
n
c n b n a n
dapat dihitung dengan cara
menyelesaikan integral
du
u
Cu Bu Au
c b a


+ +
1
0
1
dengan
A, B, dan C dicari dengan menggunakan
persamaan (3).
Sebagai contoh, nilai eksak dari
( )( )( )

=
=

+
=
+ + +
1
1
0
3
2
1 2
2
1
.
12
1
1 3 2 1
1
n
du
u
u u u
n n n


Teorema 3:
Nilai eksak dari:
( )
( )( )( )
0 , , , ,
1

+ + +
+

=
c b a c b a
c n b n a n
d n
n

adalah
du
u
Cu Bu Au
c b a


+ +
1
0
1
.
Bukti:
Perhatikan bahwa :
L
-1
( )
( )( )( )

+ + +
+
c n b n a n
d n
=
cx bx ax
Ce Be Ae

+ +
dengan :

( )( ) c a b a
d a
A
+ +
+
=


( )( ) c b a b
d b
B
+ +
+
=
...(4)

( )( ) b c a c
d c
C
+ +
+
=

Jadi diperoleh ( )
cx bx ax
Ce Be Ae x f

+ + = dengan
konstanta A, B, dan C dicari dengan menggunakan
persamaan (4).
Dengan menggunakan persamaan (2) diperoleh
Analisis
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
37
( )
( )

=
+ + +
+
1
) )( (
n
c n b n a n
d n
( ) dx
e
e
Ce Be Ae
x
x
cx bx ax

+ + =
0
1

du
u
Cu Bu Au
c b a


+ +
=
1
0
1
.


Dengan perkataan lain, nilai eksak dari
( )
( )

=
+ + +
+
1
) )( (
n
c n b n a n
d n
dapat dihitung dengan cara
menyelesaikan integral
du
u
Cu Bu Au
c b a


+ +
1
0
1
dengan
A, B, dan C dicari dengan menggunakan
persamaan (4).
Sebagai contoh, nilai eksak dari
( )( )( )

=
=

+
=
+ +
+
1
1
0
2
.
2
3
1
3 2
1 2
4
n
du
u
u u
n n n
n


Teorema 4:
Nilai eksak dari:
( )( ) ( )
, ,
1
1 0
1 1 0
k
n k
a a a
a n a n a n

+ + +

0 , , , ,
2 1 0

k
a a a a
adalah
du
u
u A u A u A
k
a
k
a a


+ + +
1
0
1 0
1
1 0

.
Bukti:
Perhatikan bahwa :
L
-1
( )( ) ( )

+ + +
k
a n a n a n
1 0
1

=
x a
k
x a x a
k
e A e A e A

+ + +
1 0
1 0

dengan :
( )( )( ) ( )
k
a a a a a a a a
A
+ + + +
=
0 3 0 2 0 1 0
0
1


( )( )( ) ( )
k
a a a a a a a a
A
+ + + +
=
1 3 1 2 1 0 1
1
1


( )( )( ) ( )
k
a a a a a a a a
A
+ + + +
=
2 3 2 1 2 0 2
2
1


.
.
.
.
( )( )( ) ( )
1 2 1 0
1

+ + + +
=
k k k k k
k
a a a a a a a a
A


...(5)

Jadi diperoleh ( )
x a
k
x a x a
k
e A e A e A x f

+ + + =
1 0
1 0

dengan konstanta
k
A A A , , ,
1 0

dicari dengan
menggunakan persamaan (5).
Dengan menggunakan persamaan (2) diperoleh:

( )

=
+ + +
1 1 0
) ( ) (
1
n k
a n a n a n
( ) dx
e
e
e A e A e A
x
x
x a
k
x a x a
k

+ + + =
0
1 0
1
1 0


du
u
e A e A e A
x a
k
x a x a
k


+ + +
=

1
0
1 0
1
1 0

.


Dengan perkataan lain, nilai eksak dari
( )

=
+ + +
1 1 0
) ( ) (
1
n k
a n a n a n
dapat dihitung dengan
menyelesaikan
du
u
e A e A e A
x a
k
x a x a
k


+ + +

1
0
1 0
1
1 0

,
dimana konstanta
k
A A A , , ,
1 0

dicari dengan
menggunakan persamaan (5).
Sebagai contoh, nilai eksak dari
( )( )( )( )

=

+
=
+ + + +
1
1
0
4 3 2
1
3 3
4 3 2 1
1
n
du
u
u u u u
n n n n
.
72
1
=



KESIMPULAN

Transformasi Laplace merupakan salah satu
metode yang dapat digunakan dalam mencari nilai
eksak dari suatu deret tak hingga. Pada makalah
ini telah dibahas mengenai cara menggunakan
metode Transformasi Lapalace dalam mencari
nilai eksak untuk deret tak berhingga yang
berbentuk
( )
( )

=1 n
n P
n Q
dengan ( ) n P

dan ( ) n Q
adalah fungsi polinom. Sebagai bahan penelitian
lebih lanjut, dapat dicari nlai eksak untuk bentuk
deret tak hingga lainnya, selain bentuk diatas
dengan menggunakan Transformasi Laplace.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Costas Efthimiou, J. (1999), Finding Exact
For Infinite Sums, Mathematics Magazine 72,
45-51.
[2] Costas Efthimiou, J. (2006), Trigonometric
Series Via Laplace Tranforms, Mathematics
Magazine 72, 376 379.
[3] Lesko, James P. and Smith, Wendy D.
(2003). A Laplace Transform Technique For
Evaluating Infinite Series, MAGAZINE 76,
394 - 398.
[4] Murray, R.S. (1965), Theory and Problems of
Laplace Transforms, Rensselaer Polytechnic
Institute: McGraw Hill.
[5] Nababan, S.M. (2007), Metode Matematis 2,
Jakarta : Universitas Terbuka Departemen
Pendidikan Nasional.
[6] Purcell, Edwin J., dan Varberg, Dale, (1998),
Kalkulus dan Geometri Analitis, edisi kelima,
Jakarta, Erlangga.



Geometri
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 39





P
Q
GEOMETRI HIPERBOLIK : MODEL POINCARE

Sangadji
PPIN BATAN dan FST UBINUS

san@batan.go.id, sangadji@binus.edu


ABSTRAK

Makalah ini menyajikan satu model yang menarik dari geometri hiperbolik, yaitu model Poincare. Dalam model
Poincare pada geometri hiperbolik dua dimensi, suatu titik didefinisikan sebagai titik interior sembarang dari cakram
satuan. Himpunan semua titik-titik sedemikian disebut cakram Poincare. Garis hiperbolik atau garis Poincare adalah
busur Euklid atau segmen garis Euklid di dalam cakram Poincare yang memotong lingkaran batas tegak lurus. Untuk
memverifikasi bahwa model ini betul-betul merupakan model untuk geometri hiperbolik. kita harus membuktikan
bahwa empat postulat pertama Euklid dan satu postulat hiperbolik dipenuhi pada model ini, yang bukti-buktinya
dibahas pada makalah ini. Jadi tujuan makalah ini adalah membuktikan bahwa empat postulat pertama Euklid dan
satu postulat hiperbolik dipenuhi pada model Poincare ini untuk menjadi model dari geometri hiperbolik.
Sebelumnya, perlu didefinisikan dulu jarak hiperbolik dan lingkaran hiperbolik. Jarak tersebut additif sepanjang
garis, dan memenuhi ketaksamaan segitiga. Sedangkan lingkaran hiperbolik c dengan jari-jari r dan pusat titik O di
dalam cakram Poincare adalah kumpulan semua titik-titik di dalam cakram Poincare yang jarak hiperboliknya ke O
adalah r. Untuk memperjelas pembahasan, makalah ini dilengkapi dengan beberapa gambar.

Kata kunci: Geometri non-Euklid, geometri hiperbolik, model Poincare.


PENDAHULUAN

Geometri yang banyak dikenal adalah geometri
Euklid. Ada beberapa geometri non-Euklid,
misalnya geometri sferik atau geometri pada
luasan bola, geometri projektif, dan geometri
hiperbolik. Makalah ini menyajikan satu model
yang menarik dari geometri hiperbolik, yaitu
model Poincare. Dalam model Poincare pada
geometri hiperbolik dua dimensi, suatu titik
didefinisikan sebagai titik interior sembarang dari
cakram satuan. Himpunan semua titik-titik
sedemikian disebut cakram Poincare. Garis
hiperbolik atau garis Poincare adalah busur Euklid
atau segmen garis Euklid di dalam cakram
Poincare yang memotong lingkaran batas dengan
sudut siku-siku. Untuk memverifikasi bahwa
model ini betul-betul merupakan model untuk
geometri hiperbolik, kita harus membuktikan
bahwa empat postulat pertama Euklid dan satu
postulat hiperbolik dipenuhi pada model ini, yang
bukti-buktinya dibahas pada makalah ini. Lihat
daftar pustaka [1] tentang postulat-postulat
geometri hiperbolik. Sebelumnya, perlu
didefinisikan dulu jarak hiperbolik dan lingkaran
hiperbolik. Jarak tersebut additif sepanjang garis,
dan memenuhi ketaksamaan segitiga. Sedangkan
lingkaran hiperbolik c dengan jari-jari r dan pusat
titik O di dalam cakram Poincare adalah
kumpulan semua titik-titik di dalam cakram
Poincare yang jarak hiperboliknya ke O adalah r.
Untuk memperjelas pembahasan, makalah ini
dilengkapi dengan beberapa gambar. Terdapat
model lainnya dalam geometri hiperbolik,
misalnya model Klein.

BAHAN DAN METODE

Bahan dalam penelitian ini hanyalah kertas yang
dilengkapi dengan beberapa gambar untuk
memperjelas diskusi, mengingat metodenya
adalah studi pustaka.

HASIL DAN DISKUSI

Pada Gambar 1 terlihat dua garis dalam model
Poincare.










Gambar 1. Dua garis dalam model Poincare.

Jarak hiperbolik

Yang dimaksud dengan jarak hiperbolik
antara P dan Q adalah

=
) )( (
) )( (
ln ) , (
QS PR
QR PS
Q P d
P
, di mana R dan
S titik-titik di mana garis hiperbolik lewat P dan Q
Geometri
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 40
memotong lingkaran batas, PS adalah jarak
Euklid antara P dan S, dan demikian pula untuk
PR, QR dan QS. Fungsi ini memenuhi sifat-sifat
fungsi jarak. Yakni non-negatif dan sama dengan
nol hanya bila . Q P = Jarak tersebut additif
sepanjang garis, dan memenuhi ketaksamaan
segitiga. Pada Gambar 2 tampak dua titik P dan Q
di dalam cakram Poincare. Terdapat garis
hiperbolik tunggal (busur Euklid RPQS) pada
mana P dan Q terletak yang memotong batasnya
di titik-titik R dan S. Untuk memperjelas lihat
daftar pustaka [2] tentang jarak dalam model
Poincare.











Gambar 2. Garis hiperbolik RPQS, R dan S
di batas.

Lingkaran hiperbolik

Yang dimaksud dengan lingkaran hiperbolik c
dengan jari-jari r dan pusat titik O di dalam
cakram Poincare adalah kumpulan semua titik-
titik di dalam cakram Poincare yang jarak
hiperboliknya ke O adalah r. Pada Gambar 3
dapat dilihat lingkaran-lingkaran hiperbolik
dengan pusat-pusatnya.












Gambar 3. Empat lingkaran hiperbolik dan
pusatnya.

Untuk memverifikasi bahwa model Poincare ini
betul-betul merupakan model untuk geometri
hiperbolik, kita harus membuktikan bahwa empat
postulat pertama Euklid dan satu postulat
hiperbolik dipenuhi pada model ini, bukti-
buktinya diberikan di bawah ini.

Pembuktian postulat-postulat

Kita mulai dengan postulat pertama dari Euklid,
bahwa segmen yang tunggal selalu dapat
dikonstruksikan lewat dua titik. Dalam hal ini
segmen adalah himpunan bagian dari garis
Poincare yang didefinisikan di muka.

Diberikan dua titik P dan Q .Misalkan dua titik
tersebut terletak pada diameter dari lingkaran
batas di dalam cakram Poincare. Maka,
sebagaimana terlihat pada Gambar 1 di atas, kita
dapat mengkonstruksikan segmen Euklid PQ
sepanjang diameter. Karena diameter ini
memotong lingkaran batas dengan sudut siku-
siku, maka PQ akan terletak pada garis Poincare
(hiperbolik) dan akan menjadi segmen hiperbolik.
Misalkan P dan Q tidak terletak pada diameter.
Maka tidaklah sulit bahwa dapat ditunjukkan
adanya lingkaran tunggal yang lewat P dan Q dan
memotong lingkaran batas dengan sudut siku-
siku. Misalkan P adalah invers dari P terhadap
lingkaran batas. Lingkaran yang lewat P, P dan
Q akan memotong lingkaran batas dengan sudut
siki-siku. Kita simpulkan bahwa bila P dan Q
tidak terletak pada diameter, kita dapat
mengkonstruksikan segmen hiperbolik lewat P
dan Q.

Kedua bahwa segmen-segmen selalu dapat
diperpanjang. Segmen di sini adalah himpunan
bagian dari garis Poincare. Lihat Gambar 4. Perlu
dicatat bahwa titik-titik dari geometri hiperbolik
(Poincare) tidak dibolehkan terletak pada
lingkaran batas, sesuai dengan definisi model
Poincare. Hal ini memudahkan kita memperluas
segmen hiperbolik sembarang. Misalkan X adalah
titik-potong dari garis Poincare lewat dua titik P
dan Q dengan lingkaran batas. Karena P tidak
boleh terletak pada lingkaran batas, jarak
sepanjang busur lingkaran dari P ke X akan selalu
positif, sehingga kita dapat menentukan titik lain
Y antara dua titik ini dengan YQ memperluas
. PQ











Gambar 4. Garis hiperbolik PQ memotong batas
di X.

Ketiga bahwa lingkaran-lingkaran selalu eksis.
Untuk mengkonstruksikan lingkaran dengan jari-
P
Q
Y




X




P
Q
R
S




Geometri
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 41



jari r dan pusat O, perlu dicatat bahwa melalui
garis sembarang lewat O, kita dapat menentukan
titik-titik yang terletak pada garis tersebut yang
jaraknya r satuan ke O (diukur dalam fungsi jarak
hiperbolik).Bagaimanapun dekatnya O ke
lingkaran batas, kita selalu dapat menentukan
titik-titik antara O dan titik-titik batas yang
jaraknya ke O akan membesar tanpa batas.

Keempat, setiap dua sudut siku-siku adalah
kongruen.

Kita definisikan dulu sudut-sudut sebagaimana
mereka didefinisikan dalam geometri Euklid. Kita
memakai garis-garis singgung Euklid untuk garis-
garis Poincare (yaitu busur-busur Euklid) dalam
model Poincare untuk menentukan sudut-sudut.
Yaitu, sudut yang dibentuk oleh dua garis
hiperbolik akan menjadi sudut yang dibentuk oleh
garis-garis singgungnya. Karena sudut-sudut
mewarisi arti Euklid, maka dengan sendirinya
postulat keempat dipenuhi.

Terakhir postulat kelima. Lihat Gambar 5.
Diberikan garis sembarang l dan titik sembarang
P yang tidak berinsiden dengan l . Terdapat dua
garis berlainan
1
l dan
2
l yang berinsiden dengan
P tetapi tidak berinsiden dengan l . Misalkan X
dan Y titik-titik potong l dengan lingkaran batas.
Maka berdasarkan Teorema 2.38 daftar Pustaka
[2], terdapatlah dua lingkaran, yang pertama lewat
P dan X dan yang kedua lewat P dan Y, keduanya
memotong tegaklurus lingkaran batas. Juga, tak
satupun dari keduanya memotong l selain P di
dalam lingkaran batas. Misalkan busur lewat P
dan X memotong l di Q di dalam lingkaran
batas. Maka berdasarkan bagian ketunggalan dari
Teorema 2.38 daftar Pustaka [2], maka kedua
busur ini pasti berinsiden atau berimpit. Tetapi
kejadian terakhir ini tidak mungkin karena P tidak
berinsiden dengan l . Jadi dua busur lewat P
menjadi garis-garis hiperbolik yang tidak
memotong l di dalam lingkaran batas dan dengan
definisi adalah sejajar dengan l . Untuk
mengetahui tentang visualisasi geometri
hiperbolik, lihat daftar pustaka [3].

















Gambar 5. Postulat kelima.


KESIMPULAN

Dari pembahasan dalam makalah, dapat
disimpulkan bahwa model Poincare merupakan
model dari geometri hiperbolik, yang memenuhi
lima postulat, yaitu:

1.Segmen yang tunggal selalu dapat
dikonstruksikan lewat dua titik.

2.Segmen-segmen selalu dapat diperpanjang.
Segmen di sini berarti himpunan bagian dari garis
Poincare.

3.Lingkaran-lingkaran dengan pusat sembarang
dan jari-jari sembarang selalu eksis.

4.Setiap dua sudut siku-siku adalah kongruen.

5.Diberikan garis sembarang l dan titik
sembarang P yang tidak berinsiden dengan l .
Terdapat dua garis berlainan
1
l dan
2
l yang
berinsiden dengan P tetapi tidak berinsiden
dengan l .

DAFTAR PUSTAKA

[1] Baragar, Arthur. A Survey of Classical and
Modern Geometries with Computer
Activities. Prentice Hall, Upper Saddle River,
New Jersey, USA. 2001.
[2] Hvidsten, Michael. 2005. Geometry with
Geometry Explorer. McGraw-Hill
International Edition, Boston, USA.
[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Hyperb
olic_geometry


Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 43
PELABELAN SISI AJAIB SUPER
PADA BEBERAPA BENTUK GRAF ULAT

Abdussakir
Jurusan Matematika UIN Maliki Malang

Abdussakir1975@yahoo.co.id


ABSTRAK

Pelabelan total sisi ajaib pada suatu graf G = (V, E) dengan order p dan ukuran q adalah fungsi bijektif f dari V E
ke himpunan {1, 2, 3, , p + q} sehingga untuk masing-masing sisi xy di G berlaku f(x) + f(xy) + f(y) = k, dengan k
konstanta. Pelabelan total sisi ajaib yang memetakan V ke {1, 2, , p} disebut pelabelan sisi ajaib super. Graf yang
dapat dikenakan pelabelan sisi ajaib super disebut graf sisi ajaib super. Pada artikel ini dijelaskan bahwa graf ulat
bentuk , bentuk H, dan graf ulat dengan himpunan derajat D = {1, 4} dengan n titik berderajat 4 (n bilangan asli)
adalah sisi ajaib super.

Keywords: pelabelan, sisi ajaib super, graf ulat.


PENDAHULUAN

Graf G adalah pasangan (V, E) dengan V adalah
himpunan tidak kosong dan berhingga dari objek-
objek yang disebut titik, dan E adalah himpunan
(mungkin kosong) pasangan takberurutan dari
titik-titik berbeda di V yang disebut sisi [5].
Banyaknya unsur di V disebut order dari G dan
banyaknya unsur di E disebut ukuran [2][3].

Sisi e = (u, v) dikatakan menghubungkan titik u
dan v. Jika e = (u, v) adalah sisi di graf G, maka u
dan v disebut terhubung langsung, v dan e serta u
dan e disebut terkait langsung, dan u, v disebut
ujung dari e. Derajat dari titik v di graf G, ditulis
deg
G
v, adalah banyaknya sisi di G yang terkait
langsung dengan v. Titik yang berderajat satu
disebut titik ujung [2]. Untuk selanjutnya, sisi e =
(u, v) akan ditulis e = uv.

Himpunan derajat dari graf G, ditulis D
G
, adalah
himpunan yang memuat derajat semua titik di G
[2]. Jika yang dibicarakan hanya satu graf, maka
himpunan derajat akan ditulis D.

Jalan u-v dalam graf G adalah barisan berhingga
yang berselang-seling
W : u=v
o
, e
1
, v
1
, e
2
, v
2
, , e
n
, v
n
=v
antara titik dan sisi, yang dimulai dari titik dan
diakhiri dengan titik, dengan e
i
= v
i-1
v
i
adalah sisi
di G. v
0
disebut titik awal, v
n
disebut titik akhir, v
1
,
v
2
, , v
n-1
disebut titik internal, dan n menyatakan
panjang W [1]. Jika semua sisi di W berbeda,
maka W disebut trail. Jika semua titik di W
berbeda, maka W disebut lintasan. Graf berbentuk
lintasan disebut graf lintasan [2]. Graf ulat adalah
graf yang jika semua titik ujungnya dibuang akan
menghasilkan lintasan [4].

Pelabelan total sisi ajaib pada graf G = (V, E)
dengan order p dan ukuran q adalah fungsi bijektif
f dari V E ke {1, 2, 3, , p + q} sehingga untuk
masing-masing sisi xy di G berlaku f(x) + f(xy) +
f(y) = k, dengan k konstanta. Konstanta k disebut
bilangan ajaib. Pelabelan total sisi ajaib dapat
dimaknai bahwa jumlah label suatu sisi dan label
titik yang terkait langsung dengan sisi tersebut
adalah sama, untuk semua sisi. Pelabelan total sisi
ajaib yang memetakan himpunan titik V ke {1, 2,
, p} disebut pelabelan sisi ajaib super. Graf
yang dapat dikenakan pelabelan sisi ajaib super
disebut graf sisi ajaib super [4]. Pada artikel ini
akan dijelaskan pelabelan sisi ajaib super pada
beberapa bentuk graf ulat.

HASIL DAN DISKUSI

Pada pembahasan ini, graf ulat yang disajikan
adalah graf ulat bentuk , bentuk H, dan graf ulat
dengan himpunan derajat D = {1, 4} dan n titik
berderajat 4, dengan n bilangan asli. Graf ulat
bentuk dan H yang dimaksud dalam tulisan ini
masing-masing sebagai berikut.
















v
2
v
3
v
n-1

v
n

n
:
x
1
v
1
x
2

v
n

v
n-1

v
3

v
2


Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 44










Pembahasan disajikan dalam teorema beserta
buktinya, dan beberapa contoh sebagai aplikasi
pelabelan yang dibuat.

Teorema 1
Graph ulat
n
adalah sisi ajaib super, dengan
n bilangan asli.
Bukti
Misalkan
V(
n
) = {x
1
, x
2
, v
1
, v
2
, v
3
, , v
n-1
, v
n
}
dan
E(
n
) = {x
1
v
1
, x
2
v
1
, v
1
v
2
, v
2
v
3
, , v
n-1
v
n
}.
Maka diperoleh order
n
adalah (n + 2) dan
ukurannya adalah (n + 1)
(1) Untuk n genap, definisikan fungsi f dari
V(
n
) E(
n
) ke {1, 2, 3, , 2n + 3} dengan
pengaitan sebagai berikut.
f(x
i
) = i, untuk i = 1, 2
f(v
i
) =
2
5 + +i n
, untuk i ganjil, 1 i n.
f(v
i
) = 3
2
2
+
i
, untuk i genap, 1 i n
f(x
i
v
1
) = 2n i + 4, untuk i = 1, 2
f(v
i
v
i+1
) = 2n i + 2, untuk i = 1, 2, , n - 1.
Dengan mudah dapat ditunjukkan bahwa f
adalah fungsi bijektif dan memetakan V(
n
)
ke {1, 2, 3, , n + 2}
Selanjutnya,
(a) Untuk sisi x
i
v
1

f(x
i
) + f(x
i
v
1
) + f(v
1
) = i + (2n i + 4) + (
2
6 + n
) = 7
2
5
+
n

(b) Untuk sisi v
i
v
i+1
, i ganjil
f(v
i
) + f(v
i
v
i+1
) + f(v
i+1
) = (
2
5 + +i n
) + (2n
i + 2) + 3
2
2 ) 1 (
+
+ i
= 7
2
5
+
n

(c) Untuk sisi v
i
v
i+1
, i genap
f(v
i
) + f(v
i
v
i+1
) + f(v
i+1
) = [ 3
2
2
+
i
] + (2n
i + 2) + (
2
6 + +i n
) = 7
2
5
+
n

Dengan demikian, maka graph ulat
n
(n
bilangan asli genap) adalah sisi ajaib super,
dengan bilangan ajaib
k = 7
2
5
+
n
.
(2) Untuk n ganjil, definisikan fungsi f dari
V(
n
) E(
n
) ke {1, 2, 3, , 2n + 3} dengan
pengaitan sebagai berikut.
f(x
i
) = i, untuk i = 1, 2
f(v
i
) =
2
4 + +i n
, untuk i ganjil, 1 i n.
f(v
i
) =
2
4 + i
, untuk i genap, 1 i n
f(x
i
v
1
) = 2n i + 4, untuk i = 1, 2
f(v
i
v
i+1
) = 2n i + 2, untuk i = 1, 2, , n - 1.
Dengan mudah dapat ditunjukkan bahwa f
adalah fungsi bijektif dan memetakan V(
n
)
ke {1, 2, 3, , n + 2}
Selanjutnya,
(a) Untuk sisi x
i
v
1

f(x
i
) + f(x
i
v
1
) + f(v
1
) = i + (2n i + 4) + (
2
5 + n
) = 7
2
1 5
+
n

(b) Untuk sisi v
i
v
i+1
, i ganjil
f(v
i
) + f(v
i
v
i+1
) + f(v
i+1
) = (
2
4 + +i n
) + (2n
i + 2) +
2
5 + i
= 7
2
1 5
+
n

(c) Untuk sisi v
i
v
i+1
, i genap
f(v
i
) + f(v
i
v
i+1
) + f(v
i+1
) = [
2
4 + i
] + (2n i
+ 2) + (
2
5 + +i n
) = 7
2
1 5
+
n

Dengan demikian, maka graph ulat
n
(n
bilangan asli ganjil) adalah sisi ajaib super,
dengan bilangan ajaib
k = 7
2
1 5
+
n
.

Teorema 2
Graph ulat H
n
adalah sisi ajaib super, dengan
n bilangan asli.
Bukti
Misalkan himpunan titik pada graph H
n

adalah
V(H
n
) = {x
1
, x
2
, y
1
, y
2
, v
1
, v
2
, v
3
, , v
n-1
, v
n
}
dan
E(H
n
) = {x
1
v
1
, x
2
v
1
, y
1
v
n
, y
2
v
n
, v
1
v
2
, v
2
v
3
, v
3
v
4
,
, v
n-1
v
n
}.
Jadi order H
n
adalah (n + 4) dan ukurannya
adalah (n + 3).
(1) Untuk n genap, definisikan fungsi f dari
V(H
n
) E(H
n
) ke {1, 2, , 2n + 7} dengan
pengaitan sebagai berikut.
f(x
i
) = i, untuk i = 1, 2.
f(y
i
) = n + 2 + i, untuk i = 1, 2.
f(v
i
) =
2
5 + +i n
, untuk i ganjil, 1 i n.
f(v
i
) =
2
4 + i
, untuk i genap, 1 i n.
f(x
i
v
1
) = 2n i + 8, untuk i = 1, 2.
f(y
i
v
n
) = n i + 7, untuk i = 1, 2.
H
n
:

x
2

x
1

y
2

y
1

v
1

v
2
v
3
v
n-1

v
n

Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 45
f(v
i
v
i+1
) = 2n i + 6, untuk i = 1, 2, , n 1.
Dengan mudah dapat ditunjukkan bahwa f
adalah fungsi bijektif dan memetakan V(H
n
)
ke {1, 2, 3, , n + 4}.
Selanjutnya,
(a) Untuk sisi x
i
v
1

f(x
i
) + f(x
i
v
1
) + f(v
1
) = i + (2n i + 8) +
2
6 + n
= 11
2
5
+
n
.
(b) Untuk sisi y
i
v
1

f(y
i
) + f(y
i
v
n
) + f(v
n
) = (n + 2 + i) + (n i
+ 7) +
2
4 + n
= 11
2
5
+
n
.
(c) Untuk sisi v
i
v
i+1
, i ganjil
f(v
i
) + f(v
i
v
i+1
) + f(v
i+1
) = (
2
5 + +i n
) + (2n
i + 6) +
2
5 + i
= 11
2
5
+
n
.
(d) Untuk sisi v
i
v
i+1
, i genap
f(v
i
) + f(v
i
v
i+1
) + f(v
i+1
) = (
2
4 + i
) + (2n i
+ 6) + (
2
6 + +i n
) = 11
2
5
+
n
.
Jadi, terbukti bahwa graph ulat H
n
(n bilangan
asli genap) adalah sisi ajaib super, dengan
bilangan ajaib
k = 11
2
5
+
n
.
(2) Untuk n ganjil, definisikan fungsi f dari
V(H
n
) E(H
n
) ke {1, 2,, 2n + 7} dengan
pengaitan sebagai berikut.
f(x
i
) = i, untuk i = 1, 2.
f(y
i
) =
2
3 2 + + i n
, untuk i = 1, 2.
f(v
i
) =
2
8 + +i n
, untuk i ganjil, 1 i n.
f(v
i
) =
2
4 + i
, untuk i genap, 1 i n.
f(x
i
v
1
) = 2n i + 8, untuk i = 1, 2.
f(y
i
v
n
) = n i + 7, untuk i = 1, 2.
f(v
i
v
i+1
) = 2n i + 6, untuk i = 1, 2, , n 1.
Dengan mudah dapat ditunjukkan bahwa f
adalah fungsi bijektif dan memetakan V(H
n
)
ke {1, 2, 3, , n + 4}.
Selanjutnya,
(a) Untuk sisi x
i
v
1

f(x
i
) + f(x
i
v
1
) + f(v
1
) = i + (2n i + 8) +
2
9 + n
= 15
2
) 1 ( 5
+
n
.
(b) Untuk sisi y
i
v
n

f(y
i
) + f(y
i
v
n
) + f(v
n
) = (
2
3 2 + + i n
) + (n i
+ 7) +
2
8 2 + n
= 15
2
) 1 ( 5
+
n

(c) Untuk sisi v
i
v
i+1
, i ganjil
f(v
i
) + f(v
i
v
i+1
) + f(v
i+1
) = (
2
8 + +i n
) + (2n
i + 6) +
2
5 + i
= 15
2
) 1 ( 5
+
n
.
(d) Untuk sisi v
i
v
i+1
, i genap
f(v
i
) + f(v
i
v
i+1
) + f(v
i+1
) = (
2
4 + i
) + (2n i
+ 6) + (
2
9 + +i n
) = 15
2
) 1 ( 5
+
n
.
Jadi, terbukti bahwa graph ulat H
n
, (n
bilangan asli ganjil) adalah sisi ajaib super,
dengan bilangan ajaib
k = 15
2
) 1 ( 5
+
n
.

Teorema 3
Graf ulat dengan himpunan derajat D = {1, 4}
dan n titik berderajat 4 adalah sisi ajaib super,
dengan n bilangan asli.
Bukti
Graf ulat U
n
dengan himpunan derajat D =
{1, 4} dan n titik berderajat 4, n bilangan asli,
dapat digambar sebagai berikut.










Berdasarkan gambar, himpunan titik pada U
n

adalah
V(U
n
) = { x
1
, x
2
, x
3
,, x
n
, y
1
, y
2
, y
3
, , y
n + 2
,
z
1
, z
2
, z
3
, , z
n
} dan himpunan sisi pada U
n

adalah E(U
n
) = { x
1
y
2
, x
2
y
3
, , x
n
y
n + 1
, y
1
y
2
,
y
2
y
3
, , y
n + 1
y
n + 2
, z
1
y
2
, z
2
y
3
, , z
n
y
n + 1
}.
Jadi, order U
n
adalah (3n + 2) dan ukurannya
(3n + 1).
(1) Untuk n ganjil, definisikan fungsi f dari
V(U
n
) E(U
n
) ke {1, 2, , 6n + 3} sebagai
berikut.
f(x
i
) =
2
1 3 + i
, untuk i ganjil, 1 i n.
f(x
i
) =
2
3 3 3 + + i n
, untuk i genap, 1 i n.
f(y
i
) =
2
1 3 i
, untuk i ganjil, 1 i n + 2.
f(
yi
) =
2
1 3 3 + + i n
, untuk i genap, 1 i n+2.
f(z
i
) =
2
3 3 + i
, untuk i ganjil, 1 i n.
f(z
i
) =
2
5 3 3 + + i n
, untuk i genap, 1 i n.

x
1
x
2
x
3
x
n

z
1
z
2
z
3
z
n

y
1
y
2
y
3
y
4
y
n +1
y
n + 2





Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 46
f(y
i
y
i + 1
) = 6n 3i + 6, 1 i n + 1.
f(x
i
y
i + 1
) = 6n 3i + 5, 1 i n.
f(z
i
y
i + 1
) = 6n 3i + 4, 1 i n.
Dengan mengecek pada masing-masing
interval indeks titik (genap atau ganjil)
diperoleh bahwa f adalah fungsi injektif.
Karena f fungsi injektif dengan domain dan
kodomain yang mempunyai banyak anggota
sama dan berhingga, maka f adalah fungsi
surjektif. Jadi f adalah fungsi bijektif.
(a) Untuk 1 i n + 1 dan i ganjil diperoleh
f(y
i
) + f(y
i
y
i + 1
) + f(y
i + 1
) = (
2
1 3 i
) + (6n
3i + 6) + (
2
1 ) 1 ( 3 3 + + + i n
) =
2
) 1 ( 15 + n

(b) Untuk 1 i n + 1 dan i genap diperoleh
f(y
i
) + f(y
i
y
i + 1
) + f(y
i + 1
) = (
2
1 3 3 + + i n
) +
(6n 3i + 6) + (
2
1 ) 1 ( 3 + i
) =
2
) 1 ( 15 + n

(c) Untuk 1 i n dan i ganjil diperoleh
f(x
i
) + f(x
i
y
i + 1
) + f(y
i + 1
) = (
2
1 3 + i
) + (6n
3i + 5) + (
2
1 ) 1 ( 3 3 + + + i n
) =
2
) 1 ( 15 + n

(d) Untuk 1 i n dan i genap diperoleh
f(x
i
) + f(x
i
y
i + 1
) + f(y
i + 1
) = (
2
3 3 3 + + i n
) +
(6n 3i + 5) + (
2
1 ) 1 ( 3 + i
) =
2
) 1 ( 15 + n

(e) Untuk 1 i n dan i ganjil diperoleh
f(z
i
) + f(z
i
y
i + 1
) + f(y
i + 1
) = (
2
3 3 + i
) + (6n
3i + 4) + (
2
1 ) 1 ( 3 3 + + + i n
) =
2
) 1 ( 15 + n

(f) Untuk 1 i n dan i genap diperoleh
f(z
i
) + f(z
i
y
i + 1
) + f(y
i + 1
) = (
2
5 3 3 + + i n
) +
(6n 3i + 4) + (
2
1 ) 1 ( 3 + i
) =
2
) 1 ( 15 + n

Dengan demikian diperoleh bahwa U
n
adalah
total sisi ajaib dengan bilangan ajaib
k =
2
15 15 + n
.
Selanjutnya dapat ditunjukkan bahwa f
memetakan V(U
n
) ke {1, 2, , 3n + 2}. Jadi f
adalah pelabelan sisi ajaib super pada U
n
(n
bilangan asli ganjil).
(2) Untuk n genap, definisikan fungsi f dari
V(U
n
) E(U
n
) ke {1, 2, , 6n + 3} sebagai
berikut.
f(x
i
) =
2
1 3 + i
, untuk i ganjil, 1 i n.
f(x
i
) =
2
) ( 3 i n +
, untuk i genap, 1 i n.
f(y
i
) =
2
1 3 i
, untuk i ganjil, 1 i n + 2.
f(y
i
) =
2
2 3 3 + i n
, untuk i genap, 1 i n+2.
f(z
i
) =
2
3 3 + i
, untuk i ganjil, 1 i n.
f(z
i
) =
2
2 3 3 + + i n
, untuk i genap, 1 i n.
f(y
i
y
i + 1
) = 6n 3i + 6, 1 i n + 1.
f(x
i
y
i + 1
) = 6n 3i + 5, 1 i n.
f(z
i
y
i + 1
) = 6n 3i + 4, 1 i n.
Dengan mengecek pada masing-masing
interval indeks titik (genap atau ganjil)
diperoleh bahwa f adalah fungsi injektif.
Karena f fungsi injektif dengan domain dan
kodomain yang mempunyai banyak anggota
sama dan berhingga, maka f adalah fungsi
surjektif. Jadi f adalah fungsi bijektif.
(a) Untuk 1 i n + 1 dan i ganjil diperoleh
f(y
i
) + f(y
i
y
i + 1
) + f(y
i + 1
) = (
2
1 3 i
) + (6n
3i + 6) + (
2
2 ) 1 ( 3 3 + + i n
) =
2
12 15 + n

(b) Untuk 1 i n + 1 dan i genap diperoleh
f(y
i
) + f(y
i
y
i + 1
) + f(y
i + 1
) = (
2
2 3 3 + i n
) +
(6n 3i + 6) + (
2
1 ) 1 ( 3 + i
) =
2
12 15 + n

(c) Untuk 1 i n dan i ganjil diperoleh
f(x
i
) + f(
xiyi + 1
) + f(y
i + 1
) = (
2
1 3 + i
) + (6n
3i + 5) + (
2
2 ) 1 ( 3 3 + + i n
) =
2
12 15 + n

(d) Untuk 1 i n dan i genap diperoleh
f(x
i
) + f(x
i
y
i + 1
) + f(y
i + 1
) = (
2
3 3 i n +
) + (6n
3i + 5) + (
2
1 ) 1 ( 3 + i
) =
2
12 15 + n

(e) Untuk 1 i n dan i ganjil diperoleh
f(z
i
) + f(z
i
y
i + 1
) + f(y
i + 1
) = (
2
3 3 + i
) + (6n
3i + 4) + (
2
2 ) 1 ( 3 3 + + i n
) =
2
12 15 + n

(f) Untuk 1 i n dan i genap diperoleh
f(z
i
) + f(z
i
y
i + 1
) + f(y
i + 1
) = (
2
2 3 3 + + i n
) +
(6n 3i + 4) + (
2
1 ) 1 ( 3 + i
) =
2
12 15 + n

Dengan demikian diperoleh bahwa U
n
adalah
total sisi ajaib dengan bilangan ajaib
k =
2
12 15 + n
.
Selanjutnya dapat ditunjukkan bahwa f
memetakan V(U
n
) ke {1, 2, 3, , 3n + 2}.
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 47
Jadi f adalah pelabelan sisi ajaib super pada
U
n
(n bilangan asli genap).
Berdasarkan dua kasus pada n, maka
diperoleh bahwa graf ulat U
n
dengan
himpunan derajat {1, 4} dan n titik berderajat
empat adalah sisi ajaib super, untuk semua n
bilangan asli.

Berikut ini contoh pelabelan sisi ajaib super pada
graf ulat menggunakan teorema di atas.
Perhatikan bahwa label titik dan sisi sesuai
dengan rumus pada teorema.
















































KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan
bahwa bahwa graf ulat bentuk , bentuk H, dan
graf ulat dengan himpunan derajat D = {1, 4}
dengan n titik berderajat 4 (n bilangan asli) adalah
sisi ajaib super. Pelabelan seperti yang dijelaskan
dalam teorema dimungkinkan bukan satu-satunya
pelabelan sisi ajaib super pada graf ulat tersebut.
Dengan demikian, disarankan kepada pembaca
untuk mencari rumus pelabelan yang berbeda atau
melakukan penelitian pada beberapa bentuk graf
yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Bondy, J.A. & Murty, U.S.R., 2008. Graph
Theory. New York: Springer.
[2] Chartrand, G. & Lesniak, L.. 1986. Graf and
Digraf 2
nd
Edition. California: Wadsworth,
Inc.
[3] Chartrand, G. dan Oellermann O.R.. 1993.
Applied and Algorithmic Graph Theory.
Singapore. McGraw-Hill, Inc.
[4] Gallian, J. A.. 2009. A Dynamic Survey of
Graph Labeling, 12
th
Edition. The Electronic
Journal of Combinatorics.
[5] Miller, Mirka. 2000. Open Problems in Graf
Theory: Labelings and Extremal Graphs.
Prosiding Konferensi Nasional X
Matematika. Bandung, tanggal 17-20 Juli
2000.

4 v
4


7
6 v
3


8
3 v
2

9
x
1
v
1
x
2

1 11 5 10 2



2 9 5
3 10 6
1 21 8 18 4 15 11 12 7
20 17 14
19 16 13


Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 49
ALGORITMA PELABELAN TOTAL SIMPUL AJAIB
UNTUK GRAF LINGKARAN DAN MATAHARI

Alfa Isti Ananda, Denny R. Silaban
Departemen Matematika FMIPA Universitas Indonesia, Depok 16424

Email korespondensi: {alfa.isti, denny-rs}@ui.ac.id


ABSTRAK

Misalkan G adalah graf dengan himpunan simpul V = V(G) dan himpunan busur E = E(G), dimana |V(G)| dan |E(G)|
menyatakan banyaknya simpul dan busur pada G. Suatu pemetaan dari V E ke bilangan bulat 1, 2, , |V| + |E|
disebut pelabelan total simpul ajaib dari G jika merupakan pemetaan bijektif dengan sifat bahwa untuk setiap
simpul xV, (x) +
yN(x)
(xy) = k dimana N(x) adalah himpunan semua simpul yang bertetangga dengan x.
Konstanta k disebut sebagai konstanta ajaib dari . Algoritma pelabelan sembarang graf secara umum adalah bersifat
NP-complete. Baker dan Sawada telah memberikan algoritma pelabelan total simpul ajaib pada graf lingkaran C
n
.
Dalam makalah ini, algoritma tersebut akan dibahas. Selain itu, akan dibangun algoritma pelabelan total simpul ajaib
pada graf matahari C
n

1
. Menggunakan algoritma-algoritma tersebut dapat dihasilkan semua pelabelan total
simpul ajaib pada graf yang terkait. Algoritma-algoritma ini akan diimplementasikan dalam bentuk program. Sebagai
hasil implementasi dilakukan simulasi yang memberikan banyaknya pelabelan total simpul ajaib yang berbeda dari
graf lingkaran C
n
dengan n 10 dan graf matahari C
n

1
dengan n 7 untuk setiap nilai k yang mungkin.

Keywords: Pelabelan total simpul ajaib, graf lingkaran, graf matahari


PENDAHULUAN

Dalam makalah ini, semua graf yang digunakan
adalah graf berhingga, sederhana, dan tak berarah.
Misalkan G adalah graf dengan himpunan simpul
V = V(G) dan himpunan busur E = E(G), dimana
banyaknya simpul dan busur masing-masing
dinotasikan dengan |V(G)| dan |E(G)|. Derajat
dari suatu simpul menyatakan banyaknya busur
yang hadir pada simpul tersebut.

Graf lintasan (Path graph), P
n
, adalah graf
dengan n simpul yang mempunyai busur-busur
v
1
v
2
, v
2
v
3
, , v
n-1
v
n
atau dapat juga dinotasikan
dalam v
1
v
2
v
n-1
v
n
. Simpul v
1

disebut simpul awal dan v
n
disebut simpul akhir.
Semua simpul berderajat dua, kecuali untuk
simpul awal dan simpul akhir berderajat satu.
Graf lingkaran (Cycle graph), C
n
, adalah graf
lintasan dengan n simpul yang diberi tambahan
busur antara simpul awal dan simpul akhir,
sehingga pada graf lingkaran semua simpul
memiliki derajat dua. Pada Gambar 1 (a)
diberikan graf lingkaran dengan 3 simpul (C
3
).

Graf matahari (Sun graph), C
n

1
, adalah graf
lingkaran C
n
dengan penambahan satu simpul
(luar) berderajat satu di setiap simpul (dalam) C
n
.
Graf matahari C
n

1
memiliki himpunan simpul
V(C
n

1
) = {v
i
|1 i n} {u
i
|1 i n} dan
himpunan busur E(C
n

1
) = {e
i
|1 i n} {s
i
|1 i n} dimana i+1 merupakan modulo n. Pada


Gambar 1 (b) diberikan graf matahari dengan 4
simpul dalam (C
4

1
).
v
1
u
1
v
3
v
4
v
2
s
4
u
3
u
4
u
2
s
1
e
3
e
4
e
2
e
1
s
3
s
2
v
1
v
2
v
3
e
1
e
2
e
3

(a) (b)
Gambar 1. (a) C
3
, (b) C
4

1


MacDougall dkk [4] telah memperkenalkan
konsep pelabelan total simpul ajaib, yaitu dalam
konsep tersebut didefinisikan suatu pemasangan
bilangan bulat dari 1 sampai n + e ke setiap
simpul dan busur pada G sedemikian sehingga
penjumlahan label setiap simpul dan label setiap
busur yang hadir pada simpul tersebut
menghasilkan bilangan bulat positif yang sama.
Secara matematis, suatu pemetaan dari V E ke
bilangan bulat 1, 2, , n + e disebut pelabelan
total simpul ajaib (PTSA) dari G jika
merupakan pemetaan bijektif dengan sifat bahwa
untuk setiap simpul x V,
(x) +
yN(x)
(xy) = k
dimana N(x) adalah himpunan semua simpul yang
bertetangga dengan x. Hasil penjumlahan label
simpul x dengan semua label busur yang hadir
pada simpul x merupakan bobot dari simpul x
yang dinotasikan dengan w

(x). Konstanta k
disebut sebagai konstanta ajaib dari .
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 50

Pada PTSA untuk kelas graf dengan derajat setiap
simpul sama, didefinisikan pelabelan dual.
Misalkan :V E {1, 2, , n + e} merupakan
pelabelan total simpul ajaib pada graf G.
Definisikan : V E {1, 2, , n + e} dengan
(x) : n + e + 1 (x), x V
(xy) : n + e + 1 - (xy), xy E
Maka, disebut dual dari . Pada Gambar 2
diberikan contoh PTSA dan dualnya untuk C
3
.

4
6 5
2
1
3
1
3 2
5
4
6

Gambar 2. PTSA C
3
dengan k = 9 dan dualnya
dengan k = 12


Pada dasarnya, algoritma pelabelan sembarang
graf secara umum adalah bersifat NP-complete.
Oleh karena itu, pembangunan algoritma
pelabelan biasanya dilakukan untuk kelas graf
tertentu, seperti pada Baker dan Sawada [1] yang
telah membangun algoritma PTSA untuk graf
lingkaran C
n
dan roda W
n
.

Dalam makalah ini, akan dibahas algoritma PTSA
untuk graf lingkaran C
n
versi Baker dan Sawada,
yang kemudian dikembangkan untuk membangun
algoritma PTSA pada graf matahari C
n

1
.
Dengan algoritma-algoritma ini dapat diperoleh
seluruh PTSA yang mungkin untuk kelas graf
yang terkait. Algoritma akan diimplementasikan
menggunakan program Matlab. Sebagai hasil
implementasi dilakukan simulasi yang
memberikan banyaknya PTSA yang berbeda dari
graf lingkaran dengan n 10 dan graf matahari
dengan n 7 untuk setiap nilai k yang mungkin.


LANDASAN TEORI

Diberikan suatu graf G dengan suatu pelabelan
PTSA. Misalkan S
v
adalah jumlah label simpul
dan S
e
jumlah label busur G. Karena label yang
digunakan merupakan bilangan bulat 1, 2, ,
|V|+|E|, maka

=
||+||
=1

(1)

Pada setiap simpul x, (x) +
yN(x)
(xy) = k.
Karena dua simpul yang bertetangga dihubungkan
oleh satu busur, maka untuk menghitung jumlah
semua bobot simpul, label busur berkontribusi
dua kali dan label simpul berkontribusi satu kali,
sehingga

+2

= || (2)

Substitusi (1) ke (2),

+
||+||
=1
= (3)

Setiap busur memiliki label yang berbeda
(demikian juga untuk simpul). Busur dapat dilabel
dengan label-label terkecil, label-label terbesar,
ataupun diantara label terkecil dan terbesar.
Akibatnya,



||
=1


||+||
=||+1
(4)

Substitusi (3) ke (4),

||+||
=1
+
||
=1
|| 2
||+||
=1

||
=1
(5)

Hasil ini akan memberikan batasan untuk nilai k.


Pada graf lingkaran C
n
, banyaknya label yang
digunakan adalah 2n karena |V| = |E| = n. Maka,
berdasarkan (5) akan diperoleh batasan nilai k
untuk C
n
sebagai berikut

2
=1
+

=1
2
2
=1

=1



2(2+1)
2
+
(+1)
2

2(2+1)


(+1)
2



5+3
2

7+3
2
(6)

Pada graf matahari C
n

1
, banyaknya label yang
digunakan adalah 4n karena berdasarkan definisi
yang telah diberikan, himpunan simpul terdiri dari
v
i
dan u
i
sehingga banyaknya label simpul adalah
2n, dan himpunan busur terdiri dari e
i
dan s
i

sehingga banyaknya label busur adalah 2n. Maka,
berdasarkan (5) akan diperoleh batasan nilai k
untuk C
n

1
sebagai berikut


4
=1
+
2
=1
2 2
4
=1

2
=1



4(4+1)
4
+
2(2+1)
4

4(4+1)
2

2(2+1)
4


5 +
3
2
7 +
3
2
(7)


HASIL PENELITIAN

Telah terdapat hasil-hasil mengenai eksistensi dari
PTSA untuk kelas-kelas graf tertentu yang telah
dipublikasikan. Misalnya, MacDougall dkk [3]
telah membuktikan bahwa graf lingkaran C
n

memiliki PTSA untuk n 3. Untuk graf matahari,
Slamin dkk [5] telah membuktikan bahwa untuk n
3 dan t 1, gabungan tak-terhubung t buah graf
matahari C
n

1
atau t(C
n

1
) memiliki PTSA
dengan konstanta ajaib k = 6nt +1. Untuk
gabungan graf tak-terhubung yang tidak perlu
isomorfik, Rahim dkk [4] telah membuktikan
bahwa gabungan tak-terhubung t buah graf
matahari

1
dengan n 3 untuk setiap j =
1, 2, , t dan t 1, memiliki PTSA dengan
konstanta ajaib k = 6

+1

1
. Hasil-hasil
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 51
penelitian mengenai eksistensi dari PTSA untuk
kelas graf yang lainnya dapat dilihat pada [2].


ALGORITMA

Metode yang biasa digunakan untuk membangun
PTSA dari suatu graf adalah dengan cara
mencoba semua permutasi |V| + |E| dari pemetaan
dan melihat apakah hasil yang diperoleh
merupakan suatu PTSA. Dengan bertambahnya
ukuran suatu graf, jumlah PTSA yang didapatkan
juga semakin bertambah sehingga harus diperiksa
apakah pelabelan yang diperoleh isomorfik
dengan pelabelan yang diperoleh sebelumnya.
Ketika diobservasi, dua pelabelan pada graf
dikatakan isomorfik apabila pelabelan yang satu
dapat diperoleh dengan melakukan rotasi ataupun
refleksi terhadap pelabelan lain (dengan asumsi
bahwa kedua graf tersebut adalah dua graf yang
sama). Pada Gambar 3 diberikan 2 contoh PTSA
untuk C
3
yang saling rotasional simetris karena
pelabelan pada Gambar 3 (b) dapat diperoleh dari
Gambar 3 (a) dengan melakukan rotasi. Pada
Gambar 4 diberikan 2 contoh PTSA untuk C
3

yang saling refleksif simetris karena pelabelan
pada Gambar 4 (b) dapat diperoleh dari Gambar 4
(a) dengan melakukan refleksi.

Algoritma PTSA yang akan diberikan bertujuan
untuk memperoleh label elemen graf dengan
efektif secara iteratif dan menjamin pelabelan
yang diperoleh tidak isomorfik. Dengan algoritma
ini dapat diperoleh semua pelabelan yang berbeda
untuk graf yang diberikan.

5
4 6
3
2
1
4
6 5
2
1
3

(a) (b)

Gambar 3. Dua PTSA C
3
yang saling rotasional
simetris. (b) dapat diperoleh dari (a) dengan
melakukan rotasi.

4
5 6
3
1
2
4
6 5
2
1
3

(a) (b)

Gambar 4. Dua PTSA C
3
yang saling refleksif
simetris. (b) dapat diperoleh dari (a) dengan
melakukan refleksi.


Algoritma PTSA untuk Graf Lingkaran

Masukan (input) yang digunakan dalam algoritma
PTSA untuk graf lingkaran C
n
adalah n dan k
yang merupakan banyaknya simpul pada graf
lingkaran dan konstanta ajaib yang diperoleh
berdasarkan (6). Pada algoritma ini, himpunan
label yang masih tersedia ditandai dengan avail
bernilai true. Algoritma ini terbagi menjadi dua
bagian, yaitu fungsi inisialisasi dan fungsi
perluasan.

Fungsi inisialisasi (initializeCycle()) dimulai
dengan melabel simpul v
1
dan busur e
1
, misalkan
dilabel dengan (v
1
) dan (e
1
). Kemudian, label
untuk busur e
n
dapat ditentukan, yaitu (e
n
) = k
(v
1
) (e
1
). Label ini mungkin tidak tersedia.
Jika (e
n
) tidak tersedia, maka lakukan
backtracking (penelusuran langkah yang
dilakukan secara mundur untuk mengganti label
yang digunakan). Jika (e
n
) tersedia, maka akan
dipanggil fungsi perluasan (extendCycle(2)) untuk
melabel simpul dan busur berikutnya.

Untuk menghindari kasus rotasional simetris yang
terjadi, simpul v
1
dipilih sebagai simpul dengan
label yang lebih kecil dari label simpul-simpul
lainnya. Maka, label maksimum yang mungkin
untuk v
1
adalah n + 1. Jika v
1
merupakan simpul
dengan label n + 1, maka simpul-simpul lainnya
dapat dilabel dengan n 1 label tersisa yang lebih
besar dari label simpul n 1. Untuk menjamin
PTSA yang diperoleh tidak bersifat refleksif
simetris, maka selain diberikan syarat label untuk
simpul v
1
adalah label minimum, dipilih juga
syarat label untuk busur e
n
lebih besar dari label
untuk busur e
1
. Algoritma fungsi inisialisasi untuk
graf lingkaran diberikan pada Algoritma 1.

Pada fungsi perluasan, digunakan parameter t
sebagai posisi simpul pada graf lingkaran C
n
yang
akan dilabel. Fungsi inisialisasi akan memanggil
fungsi perluasan dengan parameter t = 2, yang
artinya simpul yang akan dilabel berikutnya dalah
simpul v
2
. Kemudian, akan ditentukan label busur
e
2
, yaitu (e
2
) = k (v
2
) (e
1
). Jika (e
2
) tidak
tersedia, maka dilakukan backtracking. Jika (e
2
)
tersedia, maka fungsi perluasan akan memanggil
dirinya sendiri dengan parameter t + 1. Pada saat
nilai t = n, akan terdapat sebuah simpul v
n
yang
belum dilabel. Label untuk simpul ini adalah (v
n
)
= k (e
n
) (e
n-1
). Jika label yang tersisa dapat
menjadikan suatu PTSA untuk graf lingkaran C
n
,
maka label-label yang telah diperoleh akan
dicetak. Walaupun telah diperoleh suatu PTSA
untuk graf lingkaran, proses tetap dilanjutkan
secara backtracking sampai dihasilkan semua
PTSA berbeda dari graf lingkaran C
n
. Algoritma
fungsi perluasan untuk graf lingkaran diberikan
pada Algoritma 2.
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 52
Algoritma 1.

function initializeCycle()
for each available label i where i n+1 do
(v
1
) := i
avail[i] := false
for each available label j do
(e
1
) := j
avail[j] := false
(e
n
) := k (v
1
) (e
1
)
if (e
1
) < (e
n
) 2n and avail[(e
n
)] then
avail[(e
n
)] := false
extendcycle(2)
avail[(e
n
)] := true
avail[j] := true
avail[i] := true


Algoritma 2.

function extendCycle(t)
if t = n then
(v
n
) := k (e
n
) (e
n-1
)
if (v
1
) < (v
n
) 2n and avail[(v
n
)] then
Print()
else
for each available label i where i > (v
1
) do
(v
t
) := i
avail[i] := false
(e
t
) := k (v
t
) (e
t-1
)
if 0 < (e
t
) 2n and avail[(e
t
)] then
avail[(e
t
)] := false
extendCycle(t + 1)
avail[(e
t
)] := true
avail[i] := true


Algoritma PTSA untuk Graf Matahari

Berdasarkan algoritma PTSA untuk graf lingkaran
C
n
, dapat dikembangkan algoritma PTSA untuk
graf matahari C
n

1
. Algoritma ini juga terbagi
menjadi dua bagian, yaitu fungsi inisialisasi dan
fungsi perluasan.

Fungsi inisialisasi (initializeSun) dimulai dengan
melabel simpul v
1
, busur e
1
, dan, busur e
n
,
misalkan dilabel dengan (v
1
), (e
1
), dan (e
n
).
Kemudian, label untuk busur s
1
dapat ditentukan,
yaitu (s
1
) = k (v
1
) (e
2
) (e
n
). Jika (s
1
)
tidak tersedia, maka lakukan backtracking. Jika
(s
1
) tersedia, maka tentukan label untuk simpul
u
1
, yaitu (u
1
) = k (s
1
). Jika (u
1
) tidak tersedia,
maka lakukan backtracking. Jika (u
1
) tersedia,
maka fungsi inisialisasi akan memanggil fungsi
perluasan (extendSun(2)).

Seperti halnya algoritma PTSA pada graf
lingkaran, untuk menghindari kasus rotasional
simetris pada algoritma PTSA graf matahari,
diberikan syarat bahwa simpul v
1
dipilih sebagai
simpul dengan label yang lebih kecil
dibandingkan label simpul-simpul lainnya. Maka,
label maksimum yang mungkin untuk v
1
adalah
3n + 1. Jika v
1
merupakan simpul dengan label 3n
+ 1, maka simpul-simpul lainnya dapat dilabel
dengan n 1 label tersisa yang lebih besar dari
label simpul 3n + 1. Untuk menghindari PTSA
isomorfik dengan kasus refleksif simetris, maka
selain diberikan syarat simpul v
1
merupakan
simpul dengan label minimum, diberikan juga
syarat (e
n
) > (e
1
). Algoritma fungsi inisialisasi
untuk graf matahari diberikan pada Algoritma 3.

Seperti fungsi perluasan pada algoritma untuk
graf lingkaran, pada fungsi perluasan untuk graf
matahari juga menggunakan parameter t sebagai
posisi simpul yang akan dilabel pada graf
lingkaran C
n
yang membentuk graf matahari C
n

1
. Fungsi inisialisasi akan memanggil fungsi
perluasan dengan parameter t = 2, yang artinya
simpul yang akan dilabel berikutnya adalah
simpul v
2
. Kemudian, akan diberikan label untuk
busur e
2
. Label untuk busur s
2
dapat ditentuksn,
yaitu (s
2
) = k (v
2
) (e
2
) (e
1
). Jika (s
2
)
tidak tersedia, maka dilakukan backtracking. Jika
(s
2
) tersedia, maka akan ditentukan label untuk
simpul u
2
, yaitu (u
2
) = k (s
2
). Jika (u
2
) tidak
tersedia, maka lakukan backtracking. Jika (u
2
)
tersedia, maka fungsi perluasan akan memanggil
dirinya sendiri dengan parameter t + 1. Pada saat
nilai t = n, elemen-elemen yang belum dilabel
adalah simpul v
n
, busur s
n
, dan simpul u
n
.
Algoritma fungsi perluasan untuk graf matahari
diberikan pada Algoritma 4.


Algoritma 3.

for each available label i where i 3n+1 do
(v
1
) := i
avail[i] := false
for each available label p do
(e
1
) := p
avail[p] := false
for each available label j where j>(e
1
) do
(e
n
) := j
avail[j] := false
(s
1
) := k (v
1
) (e
1
) (e
n
)
if 0 < (s
1
) 4n and avail[(s
1
)] then
avail[(s
1
)] := false
(u
1
) := k (s
1
)
if 0 < (u
1
) 4n and avail[(u
1
)] then
avail[(u
1
)] := false
extendSun(2)
avail[(u
1
)] := true
avail[(s
1
)] := true
avail[j] := true
avail[p] := true
avail[i] := true



Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 53
Algoritma 4.

if t = n then
for each available label i where i > (v
1
) do
(v
n
) := i
avail[i] := false
(s
n
) := k (v
n
) (e
n
) (e
n1
)
if 0 < (s
n
) 4n and avail[(s
n
)] then
avail[(s
n
)] := false
(u
n
) := k (s
n
)
if 0 < (u
n
) 4n and avail[(u
n
)] then
Print()
avail[(s
n
)] := true
avail[i] := true
else
for each available label i where i > (v
1
) do
(v
t
) := i
avail[i] := false
for each available label p do
(e
t
) := p
avail[p] := false
(s
t
) := k (v
t
) (e
t
) (e
t1
)
if 0 < (s
t
) 4n and avail[(s
t
)] then
avail[(s
t
)] := false
(u
t
) := k (s
t
)
if 0 < (u
t
) 4n and avail[(u
t
)] then
avail[(u
t
)] := false
extendSun(t+1)
avail[(u
t
)] := true
avail[(s
t
)] := true
avail[p] := true
avail[i] := true


SIMULASI

Algoritma yang diberikan pada pembahasan
sebelumnya diimplementasikan dalam bentuk
program. Kemudian, program dijalankan pada
komputer dengan prosesor Intel Celeron 2.66
GHz, 2GB RAM. Program dapat memberikan
semua PTSA berbeda yang mungkin. Sebagai
contohnya diberikan pada Gambar 5 untuk PTSA
C
6
dengan k = 19 dan Gambar 6 untuk PTSA C
4

1
dengan k = 23. Namun, dalam simulasi ini
yang dicari adalah banyaknya PTSA yang berbeda
untuk nilai n dan k yang diberikan.

Tabel 1 memberikan banyaknya PTSA yang tidak
isomorfik pada graf lingkaran C
3
sampai C
10

berdasarkan konstanta ajaib k yang diperoleh pada
(6). Hasil PTSA untuk C
n
ini termasuk dengan
graf dualnya. Misalnya, pada C
4
, PTSA dengan k
= 14 merupakan dual dari PTSA dengan k = 13
dan PTSA dengan k = 15 merupakan dual dari
PTSA dengan k = 12. Tabel 2 memberikan
banyaknya PTSA yang tidak isomorfik pada graf
matahari C
3

1
sampai C
7

1
berdasarkan
konstanta ajaib k yang diperoleh pada (7). Dari
Tabel 2 ini dapat terlihat bahwa batasan nilai k
yang diberikan pada (7) tidak terlalu ketat karena
masih diperoleh nilai 0 untuk banyaknya PTSA.
Berdasarkan hasil pada tabel ini, graf matahari S
n

memiliki PTSA dengan nilai 5n+3 k 6n+1.


1 9
2
8 10
12
7
3
4
5
6
11
1 10
15
12 6
8
7
2
9
4
3
11
2 6
4
9 11
10
5
8
1
7
3
12
2 11
6
10 4
9
5
3
7
8
1
12
2 12
5
9 4
10
6
1
8
7
3
11
2 10
6
12 5
7
8
1
11
3
4
9

Gambar 5. PTSA C
6
dengan k = 19


4
10
11 6
12
9
16 14
15
13
3
5 2
1
7
8
4
11
10 5
13
9
15 14
16
12
3
6 2
1
8
7


Gambar 6. PTSA C
4

1
dengan k = 23


KESIMPULAN

Menggunakan algoritma-algoritma yang diberikan
pada Algoritma 1 sampai 4 dapat diketahui ada
atau tidaknya PTSA pada graf lingkaran C
n
dan
graf matahari C
n

1
untuk sembarang nilai n
dan k yang diberikan. Simulasi untuk graf C
n
baru
dapat dilakukan sampai nilai n = 10. Sedangkan
untuk graf C
n

1
simulasi baru dapat dilakukan
sampai nilai n = 7. Simulasi untuk nilai n yang
lebih besar memerlukan waktu yang lebih lama,
sehingga simulasi belum dapat dilakukan karena
keterbatasan waktu.



Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 54
DAFTAR PUSTAKA

[1] A. Baker and J. Sawada, Magic Labelings on
Cycles and Wheels, COCOA LNCS, (2008)
361-373.
[2] J. A. Gallian, A dynamic survey of graph
labeling, The Electronic Journal of
Combinatorics, 5 (2009), #DS6.


[3] J. A. MacDougall, M. Miller, Slamin, dan W.
D.Wallis, Vertex-magic total labelings of
graphs, Util. Math., 61 (2002) 3-21.
[4] M. T. Rahim and Slamin, Vertex-magic total
labeling of the union of suns, (2008), pp.
[5] Slamin, A. C. Prihandoko, T. B. Setiawan, F.
Rosita, B. Shaleh, Vertex-magic total labeling
of disconnected graphs, Journal of Prime
Research in Mathematics, Vol. 2 (2006) 147-
156.

Tabel 1. Banyaknya PTSA tidak isomorfik untuk graf lingkaran C
3
sampai C
10
.
C
3
C
4
C
5
C
6
C
7
C
8
C
9
C
10

k # PTSA k # PTSA k # PTSA k # PTSA k # PTSA k # PTSA k # PTSA k # PTSA
9 1 12 1 14 1 17 3 19 9 22 10 24 31 27 125
10 1 13 2 15 0 18 1 20 10 23 19 25 43 28 236
11 1 14 2 16 2 19 6 21 11 24 57 26 125 29 698
12 1 15 1 17 2 20 6 22 29 25 55 27 264 30 1138
18 0 21 1 23 29 26 55 28 307 31 1349
19 1 22 3 24 11 27 57 29 307 32 1349
25 10 28 19 30 264 33 1138
26 9 29 10 31 125 34 698
32 43 35 236
33 31 36 125
Total : 4 Total : 6 Total : 6 Total : 20 Total : 118 Total : 282 Total : 1540 Total : 7092

Tabel 2. Banyaknya PTSA tidak isomorfik untuk graf matahari C
3

1
sampai C
7

1
.
S
3
S
4
S
5
S
6
S
7

k # PTSA k # PTSA k # PTSA k # PTSA k # PTSA
17 0 22 0 27 0 32 0 37 0
18 1 23 2 28 12 33 147 38 1824
19 5 24 6 29 93 34 580 39 10844
20 0 25 118 30 190 35 3554 40 31367
21 0 26 0 31 2133 36 7966 41 190451
22 0 27 0 32 0 37 64778 42 328510

28 0 33 0 38 0 43 2709434
29 0 34 0 39 0 44 0


35 0 40 0 45 0
36 0 41 0 46 0


42 0 47 0
43 0 48 0


49 0
50 0
Total : 6 Total : 126 Total : 508 Total : 77025 Total : 3272430
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 55
PENGGUNAAN FUNGSI PEMBANGKIT UNTUK MENCARI BANYAKNYA
GRAF POLA DARI SUATU GRAF POLA UTAMA

Anggha S. Nugraha, Denny R. Silaban, Kiki A. Sugeng
Departemen Matematika, FMIPA Universitas Indonesia,
Depok, 16424

Email korespondensi : stlasn@yahoo.com, {denny-rs,kiki}@ui.ac.id


ABSTRAK

Sequencing by Hybridization adalah salah satu metode yang digunakan untuk mencari barisan lengkap DNA dengan
mencari jalur Euler pada graf DNA. Sequencing by Hybridization terdiri dari 2 tahapan yaitu tahapan biokimia dan
tahapan komputasi dimana Graf DNA diperoleh dari tahapan komputasi. Tidak semua graf DNA memiliki jalur
Euler. Hal ini terjadi antara lain bila terdapat busur pada graf DNA yang dilewati lebih dari satu kali, yang berarti
terjadi pengulangan fragmen pada barisan DNA yang ingin dicari. Untuk mengkarakterisasi pola pengulangan yang
dapat menyebabkan terbentuknya barisan DNA berbeda, graf DNA diubah menjadi graf pola utama. Graf pola utama
adalah penyederhanaan dari graf pola. Suatu graf pola utama dapat memiliki lebih dari satu graf pola. Makalah ini
akan membahas penggunaan fungsi pembangkit untuk menghitung banyaknya graf pola dari suatu graf pola utama
yang telah diberikan untuk sembarang pengulangan dengan cara pembentukan, dimana 1 6.

Keywords: fungsi pembangkit; graf DNA; graf pola.


A. PENDAHULUAN

DNA merupakan bagian dari tubuh makhluk
hidup yang sangat penting keberadaannya. Hal ini
dikarenakan DNA menyimpan materi ge- netik
dan berfungsi untuk mengatur perkem- bangan
biologis seluruh bentuk kehidupan seca- ra
seluler. Oleh karena peranannya yang sangat
penting tersebut, pengenalan suatu barisan DNA
sangatlah diperlukan. Pengenalan tersebut bu-
kanlah sesuatu yang mudah. Hal ini dikarenakan
barisan DNA sangatlah panjang dan selain itu,
meskipun potongan-potongan DNA yang leng-
kap dapat diperoleh, posisi potongan-potongan
tersebut pada barisan DNA tidak dapat langsung
diketahui karena sifat kelengkapan yang dimi- liki
oleh DNA [1]. Salah satu metode yang dapat
memecahkan persoalan tersebut adalah
Sequencing by Hybridization (SBH). Metode ini
terbagi menjadi 2 tahapan, yaitu tahapan bio-
kimia dan tahapan komputasi.

Tahapan biokimia menghasilkan fragmen-frag-
men pendek dengan ukuran tertentu, dimana
himpunan dari fragmen-fragmen tersebut disebut
spektrum. Tahapan komputasi akan membangun
barisan DNA dari spektrum yang diperoleh
dengan membentuk suatu graf khusus yang
merepresentasikan keterkaitan antara fragmen
yang telah diperoleh. Graf khusus tersebut disebut
graf de Bruijn (graf DNA), dimana terdapat aturan
dalam pembentukan simpul dan busurnya
sehingga barisan DNA dapat dicari dengan
menemukan jalur Euler pada graf tersebut. Jalur
Euler merupakan cara menelusuri suatu graf
dengan mengunjungi semua busur tepat satu kali.

Dalam teori graf, jalur Euler dari suatu graf belum
tentu unik. Hal ini juga berlaku pada graf DNA.
Jalur Euler yang tidak unik menyebabkan barisan
DNA yang terbentuk juga tidak unik. Barisan
DNA yang terbentuk juga tergantung pada
pengulangan fragmen. Dalam dunia nyata,
terdapat banyak pengulangan dalam barisan DNA.
Misalnya saja DNA manusia yang sekitar 43%
nya adalah pengulangan [2]. Pengulangan
menyebabkan tidak terdapat jalur Euler dalam
graf DNA sehingga graf DNA harus diseder-
hanakan menjadi graf tereduksi.

Untuk mengkarakterisasi pola pengulangan yang
dapat menyebabkan ter- bentuknya barisan DNA
berbeda, graf tereduksi akan diubah menjadi graf
pola. Graf pola utama dapat terdiri dari 1 atau
lebih komponen. Untuk dapat menghitung
banyaknya graf pola dari suatu graf pola utama
dapat digunakan fungsi pembangkit.
Pembentukan fungsi pembangkit dari graf pola
utama yang hanya terdiri dari 1 komponen
berbeda dengan pembentukan fungsi pembangkit
dari graf pola utama yang terdiri dari lebih dari 1
komponen. Dalam makalah ini dibahas hasil studi
literatur mengenai pembangunan fungsi
pembangkit dari graf pola utama. Fungsi
pembangkit ini menyatakan banyaknya graf pola
dari graf pola utama yang diberikan. Pembahasan
dibatasi pada barisan DNA dengan cara
pembentukan, 1 6 yang graf pola
utamanya terdiri dari 1 komponen.
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 56
B. TEORI DASAR

DNA merupakan molekul yang sangat penting
keberadaannya untuk kelang- sungan hidup setiap
organisme. Untuk mengenali suatu barisan
nukleotida (atau biasa yang disebut
oligonukleotida) secara keseluruhan bukanlah hal
yang mudah. Hal ini dikarenakan barisan DNA
merupakan barisan yang sangat panjang yang
terdiri dari ratusan juta basa. Salah satu metode
yang dapat digunakan untuk mengenali suatu
barisan DNA adalah Sequencing by Hybridization
(SBH) yang pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1988.

Ada 2 tahapan dalam metode SBH ini, yaitu
tahapan biokimia dan tahapan komputasi.
Tahapan biokimia menghasilkan fragmen yang
akan menjadi elemen dari spektrum. Pada tahapan
komputasi akan dibangun sebuah graf DNA
sedemikian sehingga dapat diperoleh barisan
DNA yang diinginkan dengan mencari jalur Euler
pada graf DNA tersebut.

Tidak semua graf DNA memiliki jalur Euler. Hal
ini terjadi bila terdapat pengulangan fragmen pada
barisan DNA. Untuk mendapatkan jalur Euler,
graf DNA akan disederhanakan menjadi graf
tereduk- si. Dari graf tereduksi dapat dihitung ba-
nyak jalur Euler yang merepresentasikan
banyaknya kemungkinan barisan DNA yang
terbentuk. Setelah diperoleh graf tere- duksi,
dibuat graf pola untuk mengkarak- terisasi pola
pengulangan yang dapat menyebabkan
terbentuknya lebih dari 1 barisan DNA. Graf pola
dapat disederhana- kan menjadi graf pola utama
tanpa menghilangkan informasi mengenai
banyaknya jalur Euler yang dimiliki oleh graf
DNA. Untuk dapat mengetahui banyaknya graf
pola yang dimiliki oleh suatu barisan DNA yang
telah diketahui graf pola utamanya, digunakan
fungsi pembangkit yang di dalamnya terdapat
bilangan Catalan.

Reprentasi suatu fungsi dikatakan memiliki
bentuk terbuka jika dalam evaluasinya dilibatkan
tanda sigma atau notasi penjumlahan. Ekspresi
ekuivalen fungsi tersebut yang tidak lagi
melibatkan tanda sigma atau notasi penjumlahan
disebut memiliki bentuk tertutup. Fungsi
pembang- kit adalah suatu fungsi yang digunakan
untuk merepresentasikan suatu barisan. Fungsi
pembangkit dapat dinyatakan dalam bentuk
terbuka ataupun bentuk tertutup.

Bilangan Catalan ke- didefinisikan sebagai

=
1
+1

=
(2)!
(+1)!!
, 0. Fungsi
pembangkit dari barisan bilangan Catalan
didefinisikan sebagai () =

=
=0
. Bentuk
tertutupnya adalah () =
114
2
.

Grup Simetris dan Cycle Index
Misalkan A suatu himpunan hingga {1,2,3, , }.
Grup yang beranggotakan semua permutasi di A
dengan operasi perkalian permutasi disebut grup
simetris dan dinotasikan dengan

dimana
perkalian permutasi secara skematis digambarkan
pada Gambar 1.

A A A



Gambar 1. Perkalian permutasi

Definisi 1 (Cycle index) [3]. Misalkan suatu
grup permutasi dengan || = . Jika

1
,
2
, ,


merupakan sembarang variabel,
maka cycle index dari adalah

(
1
,
2
, ,

) =
1

1
()

2
()

()


dimana

() menyatakan banyaknya cycle


dengan panjang pada hasil dekomposisi cycle
dari .

Contoh1. Jika himpunan H adalah =
{(1)(2)(3)(4), (12), (34), (12)(34)} maka cycle
index dari adalah

(
1
,
2
,
3
,
4
) =
1
4
(
1
4

2
0

3
0

4
0
+
1
2

2
1

3
0

4
0
+

1
2

2
1

3
0

4
0
+
1
0

2
2

3
0

4
0
) =
1
4
(
1
4
+
2
1
2
+
2
2
).


C. PENGGUNAAN FUNGSI PEM-
BANGKIT

Graf DNA yang di dalamnya terdapat busur yang
dilewati lebih dari satu kali akan menyebabkan
tidak adanya jalur Euler dalam graf tersebut. Hal
ini menyebabkan graf DNA yang telah diperoleh
akan disederhanakan menjadi graf tereduksi, G
R
.
Dari G
R
juga dapat diketahui banyaknya barisan
DNA yang mungkin terbentuk. Proses perubahan
graf DNA menjadi G
R
adalah sebagai berikut:
1. Jika terdapat simpul dengan banyaknya derajat
masuk atau derajat keluar sama dengan 0, maka
simpul tersebut akan menjadi simpul awal atau
simpul akhir dari graf DNA.
2. Setiap simpul yang memiliki derajat masuk
atau derajat keluar sama dengan satu, maka busur
yang hadir pada simpul tersebut hanya akan
dilewati satu kali sehingga busur-busur tersebut
dapat disatukan dimana label dari busur adalah
label subbarisan DNA dari masing-masing busur.
3. Untuk busur-busur yang tidak hadir pada
simpul awal ataupun simpul akhir, pengulangan
(repeat) didefi- nisikan sebagai busur yang derajat
masuk ekornya lebih besar dari derajat keluarnya
dan derajat keluar dari kepalanya lebih besar
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 57
daripada derajat masuknya. Selanjutnya yang kita
lakukan adalah mengetahui ekor dan kepala dari
pengulangan dan menjadikannya simpul yang
baru. Jadi, simpul yang baru ini merupakan
interpretasi dari busur yang mengalami
pengulangan dan derajat masuk atau derajat
keluar simpul ini menyatakan berapa kali busur
yang mengalami pengulangan tersebut dilewati.
4. Jika terdapat hanya satu simpul ujung,
hapus simpul ujung tersebut serta semua busur
yang hadir pada simpul ujung tersebut.
5. Jika terdapat lebih dari satu simpul
ujung, ganti simpul awal dan simpul akhir serta
semua busur yang hadir pada simpul-simpul
tersebut dengan busur yang berawal dari ekor
busur yang hadir pada simpul terminal menuju ke
kepala busur yang hadir pada simpul awal.

Contoh 2 akan menggambarkan proses perubahan
dari graf DNA menjadi graf tereduksi G
R
.

Contoh 2 Diberikan spektrum { AATG, ATGC,
TGCT, GCTA, CTAT, TATG, TGCC}. Proses
perubahan dari graf DNA dengan spektrum
tersebut sampai pada graf tereduksi G
R
mengikuti
proses 1 sampai proses 5 pada bagian sebelumnya
diberikan pada Gambar 2.

A
A
T
G
ATGC
T
G
C
C
T
G
C
T
G
C
TA C
TAT
T
A
T
G
A
A
T
G
ATGC
T
G
C
C
TGCTATG
v
(a) (b)
(c)
v
(d)

R
Gambar 2. Proses perubahan graf DNA menjadi G

Simpul pada Gambar 2 merupakan simpul yang
menginterpretasikan busur yang
mengalami pengulangan. Dari graf tereduksi G
R

yang dihasilkan, dapat diketahui 2 hal, yaitu
banyaknya fragmen yang berulang pada barisan
DNA dan banyak pengulangannya serta
banyaknya jalur Euler yang dimiliki oleh graf
DNA. Banyaknya fragmen yang berulang
diketahui dari banyaknya simpul pada graf
tereduksi G
R
, sedangkan banyak pengulangannya
diketahui dari derajat masuk atau derajat keluar
masing-masing simpul. Banyaknya jalur Euler
(yang disimbolkan dengan ) akan menyebabkan
terbentuknya barisan DNA yang berbeda.


Untuk dapat mengkarakterisasi pola pengulangan
dalam barisan DNA yang menyebabkan
terbentuknya barisan DNA yang berbeda, graf
tereduksi G
R
akan diubah menjadi graf pola, G
P
.
Graf pola didefinisikan sebagai suatu lingkaran
yang di dalamnya terdapat poligon-poligon yang
mewakili simpul-simpul pada G
R
. Banyaknya sisi
poligon merepresentasikan derajat masuk dari
simpul (d) disebut juga d-fold repeat.

Proses perubahan graf pola G
P
dari graf tereduksi
G
R
adalah sebagai berikut. Buat sebuah lingkaran.
Mulai dari sembarang simpul pada G
R
dengan
mengikuti jalur Euler, beri titik-titik pada
lingkaran setiap melewati simpul pada G
R

tersebut. Beri label titik-titik tersebut searah jarum
jam mengikuti urutan simpul ketika menelusuri
G
R
berdasarkan jalur Euler. Titik-titik de- ngan
label yang sama dihubungkan sehingga
membentuk poligon atau chord (garis). Untuk
lebih jelasnya, perhatikan Gambar 3 yang
menggambarkan proses perubahan G
R
yang telah
diperoleh pada Contoh 1 menjadi G
P
.

v
v v
(b)
(d) (c)
v
(a)

Gambar 3. Proses perubahan
R
G menjadi
P
G
Graf pola utama, G
MP
, merupakan pe-
nyederhanaan dari G
P
dengan menghapus semua
2-fold repeat yang tidak berpotong- an.
Penghapusan semua 2-fold repat yang tidak
berpotongan tidak akan mengurangi banyaknya
jalur Euler yang dimiliki oleh graf DNA asalnya.
Contoh 3 akan menggambarkan perubahan G
P

menjadi G
MP
.

Contoh 3 Diberikan G
P
seperti pada Gambar 4a.
Dengan menghapus semua 2-fold repeat yang
tidak berpotongan, akan diperoleh G
MP
seperti
pada Gambar 4b.

(a) (b)

Gambar 4. Proses perubahan
P
G (4a) menjadi
MP
G (4b)


Lebih dari satu graf pola G
P
yang berbeda dapat
memiliki satu graf pola utama G
MP
yang sama.
Untuk lebih jelasnya, perhati- kan Gambar 5.
Gambar 5b merupakan G
MP
dari dua buah G
P

pada Gambar 5a.

Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 58
(b) (a)

Gambar 5. G
P
(5a) dan
MP
G (5b)

Suatu graf DNA yang memiliki cara
pembentukan barisan DNA (memiliki jalur
Euler) memiliki G
MP
dengan pola tertentu. Graf
pola utama dari graf DNA yang memiliki cara
pembentukan barisan DNA, 1 6,
dirangkum pada Tabel 1.

Tabel 1 G
MP
dengan cara pembentukan untuk



=

=

=

=


=

=






Teorema 1 (Teorema Polya) [3]. Misalkan
subgrup dari

. Pattern inventory untuk kelas-


kelas dari
,
modulo

adalah

(
1
,
2
, ,

) =
1
()

1

1
()

2
()

()

,
dimana

=
1

++

.

Definisi 2 (Substitusi Polya) [3]. Mensubs- titusi
polinomial

, 1 untuk

di dalam cycle
index, disebut substitusi Polya. Polinomial hasil
substitusi tersebut disebut Polya inventory.

Dari Definisi 2 jelas bahwa untuk menggu- nakan
Substitusi Polya, harus diperoleh terlebih dahulu
cycle index dari suatu grup permutasi. Grup yang
digunakan untuk mencari fungsi pembangkit dari
graf pola utama adalah grup permutasi rotasi.
Secara bagan, tahapan yang harus dilalui untuk
memperoleh fungsi pembangkit dari suatu graf
pola utama diperlihatkan pada Gambar 6.



Gambar 6. Proses Pencarian Fungsi Pembangkit dari

Graf Pola Utama

Di bawah ini diberikan penjelasan proses
pencarian fungsi pembangkit dari graf pola utama
dengan 3 cara pembentukan. Untuk graf pola
utama yang lain (yang terdiri dari 1 komponen),
diperoleh dengan cara yang similar.

Dari Tabel 1, dapat dilihat bahwa terdapat 1 G
MP

yang mungkin dimiliki oleh graf DNA dengan 3
cara pembentukan, yaitu seperti pada Gambar 7
(ditambahkan label untuk masing-masing simpul,
dimana simpul-simpul yang dihubungkan dengan
chord memiliki label yang sama).




Gambar 7.
MP
G dari graf DNA dengan
3 cara pembentukan

Pertama, labelkan kembali simpul-simpul- nya
dengan X
1
, Y
2
, Z
3
, X
4,
Z
5
,Y
6
dan kena- kan aksi
rotasi pada graf tersebut sehingga diperoleh 2 G
MP

seperti pada Gambar 8.



X
X
Y
Y
Z
Z
1
X
4
X
2
Y
6
Y
3
Z
5
Z
4
X
1
X
5
Z
3
Z
6
Y
2
Y
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 59

(a) (b)
Gambar 8. Rotasi dari
MP
G pada Gambar 7

Dari Gambar 8a diperoleh permutasi (1)(2)
(3)(4)(5)(6). Dari Gambar 8b diperoleh per-
mutasi (14)(25)(36). Jadi grup yang dipero- leh
dari Gambar 7 adalah
= {(1)(2)(3)(4)(5)(6), (14)(25)(36)}. Cycle
index yang diperoleh untuk masing-masing
permutasi dalam adalah seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Cycle index dari permutasi dalam H

untuk
graf Gambar 7
Permutasi Cycle index
()()()()()()
1
6

()()()
2
3


Jadi cycle index dari adalah

(
1
,
2
) =
1
2
(
1
6
+
2
3
). Dengan menggunakan substitusi
Polya diperoleh
3
1
() =
1
2
(()
6
+(
2
)
3
).
Fungsi
3
1
() merupakan fungsi pembangkit
dimana koefisien dari

menyatakan banyaknya
cara menambahkan garis untuk pengulang- an
sebanyak + 3. Agar koefisien dari


menyatakan banyaknya cara menambahkan garis
untuk pengulangan sebanyak , maka
3
1
()
akan dikalikan dengan
3
sehing- ga diperoleh
fungsi pembangkit
3
() =

3
2
(()
6
+
(
2
)
3
).

Sebelumnya telah diberikan cara mencari fungsi
pembangkit dari graf pola utama dengan 3 cara
pembentukan. Dengan cara yang similar dapat
diperoleh fungsi pembangkit untuk graf pola
utama yang lain. Hasilnya secara lengkap dapat
dilihat pada Tabel 3.


Tabel 3 Fungsi Pembangkit dari Graf Pola Utama
dengan k cara pembentukan
Fungsi Pembangkit
=
=


=



=

=



Fungsi pembangkit pada Tabel 3 masih
mengandung fungsi pembangkit bilangan Catalan.
Untuk mengetahui banyaknya graf pola, fungsi
pembangkit tersebut diubah ke dalam bentuk deret
yang bersesuaian. Banyaknya graf pola dengan n
fragmen yang berulang diperoleh dari koefisien

dari deret tersebut.




D. KESIMPULAN

Pada makalah ini, fungsi pembangkit digunakan
untuk mencari banyak graf pola dari suatu graf
pola utama yang diberikan. Proses pembentukan
fungsi pembangkit melibatkan pembentukan grup
permutasi dari graf pola utama dan menghitung
cycle index dari grup tersebut. Fungsi pembangkit
diperoleh dengan mensubs- titusikan fungsi
pembangkit bilangan Catalan ke dalam cycle
index. Banyaknya graf pola dengan n fragmen
yang berulang diperoleh dari koefisien

dari
fungsi pembangkit dari graf pola utama yang
berhubungan.


E. DAFTAR PUSTAKA

[1] Kaptcianos, Jonathan. 2008. A Graph
Theoretical Approach to DNA Fragment
Assembly. American Journal of
Undergraduate Research 2008-7: No 1.
[2] Chang, Hsun-Wen and Tsai, Pei-Fang.
2007.Characterizing the reconstruction and
enumerating the patterns of DNA sequences
with repeats. J Comb Optim 2007-14: 331-
347.
[3] Merris, Russell. 2003. Combinatorics. Wiley-
Interscience in Discrete Mathematics and
Optimazation.
+ + + +

2
4 2 2 4 3 3
( ) ( ) 2 ( ) ( ) 2 ( )
4 3
x x
C x C x C x C x C x
+

3
6 3 2
( ) ( )
2
x
C x C x
+ + + +

+ +

3
6 3 2 2 3 6
4
8 4 2 2 5
( ) ( ) 2 ( ) 2 ( )
6
( ) ( ) ( )
2
x
C x C x C x C x
x
C x C x x C x
+ + + +

4
8 4 2 2 4 10 5 2
5 ( ) ( ) 2 ( ) 2 ( ) 2 ( )
4
x
C x C x C x x C x x Cx
+ + + +

+ + + +

4 8 4 4 2 6 12 6 6 2
3 7 4 2 2 4 6
1
3 ( ) ( ) ( ) ( )
2
3 ( ) ( ) ( ) 2 ( ) 2 ( )
4
x C x x C x x C x x C x
x
x C x C x C x C x C x

Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 61
PELABELAN HARMONIOUS PADA GRAF FI RECRACKER,
GRAF HAI RY CYCLE DAN GRAF KORONA

Anggie J. Asih, Denny R. Silaban, Kiki A. Sugeng
Departemen Matematika, FMIPA Universitas Indonesia

magie.shinae@gmail.com,{ denny-rs, kiki}@ui.ac.id


ABSTRAK

Misalkan G adalah graf dengan himpunan simpul V = V(G) dan him-punan busur E = E(G), dimana |E(G)| dan |V(G)|
menyatakan banyaknya busur dan simpul pada G. Suatu pemetaan dari V ke Z
|E|
dimana |V(G)| |E(G)| disebut
pelabelan harmonious jika merupakan pemetaan injektif sedemikian sehingga ketika setiap busur xy dilabel dengan
w(xy) = (x)+ (y) (mod |E|) menghasilkan label busur yang berbeda. Jika w(xy) = (x)+ (y) menghasilkan pelabelan
berurutan s, s + 1, s + 2, , s + |E| - 1 maka disebut pelabelan sekuensial. Dalam makalah ini akan diberikan
pelabelan harmonious yang juga sekuensial untuk graf firecracker, graf hairy cycle dan graf korona yang dihasilkan
dari transformasi graf caterpillar.

Kata kunci: pelabelan harmonious, graf caterpillar, graf firecracker, graf hairy cycle dan graf korona.


PENDAHULUAN

Misalkan G suatu graf sederhana tidak berarah
yang hingga dengan himpunan simpul V = V(G)
dan himpunan busur E = E(G), dimana |E| dan |V|
menyatakan banyak busur dan simpul pada G.
Suatu pemetaan dari V ke Z
e
dimana |V| |E|
disebut pelabelan harmonious jika merupakan
pemetaan injektif sedemikian sehingga ketika
setiap busur xy dilabel dengan w(xy)= (x)+ (y)
menghasilkan label busur yang berbeda.
Pelabelan harmonious diperkenalkan pertama kali
oleh Graham dan Sloane pada tahun 1980.
Graham dan Sloane juga membuktikan bahwa
graf roda, W
n
dan graf caterpillars adalah
harmonious, sedangkan graf lingkaran C
n
adalah
harmonious jika dan hanya jika n 1, 3 (mod 4)
[5]. R.E. L. Aldred dan B. D. McKay
membuktikan bahwa graf pohon dengan banyak
simpul 26 adalah harmonious. Gilang [4], dan
Gilang, dkk [3] membuktikan bahwa operasi
gabungan graf harmonious yang memiliki jumlah
busur yang sama, operasi penjumlahan graf
unicycle dengan graf tanpa busur, dan operasi
perkalian Cartesian graf unicycle dengan jumlah
busur ganjil dengan graf lintasan P
2
adalah graf
harmonious. T. Grace dan B. Liu dan X. Zhang
membuktikan bahwa graf mahkota adalah
harmonious, sedangkan graf caterpillar adalah
sekuensial [1]. T. Grace juga telah membuktikan
bahwa sembarang graf sekuensial juga merupakan
graf harmonious.
Dalam makalah ini dibahas pelabelan harmonious
untuk graf firecracker teratur, graf hairy cycle
ganjil dan graf korona, C
n
K
r
(dengan ganjil).

HASIL UTAMA
Karena dalam pembuktian digunakan sifat pada
pelabelan sekuensial, maka terlebih dahulu
diberikan lemma yang diambil dari makalah
Gallian [1] yang menyatakan bahwa setiap
pelabelan sekuensial adalah pelabelan
harmonious.
Lemma 1 [1].
Setiap pelabelan sekuensial adalah pelabelan
harmonious.
Bukti.
Pelabelan sekuensial merupakan suatu pemetaan
dari himpunan simpul-simpul pada suatu graf ke
himpunan bilangan {0, 1, 2, , |E| 1},
sedemikian sehingga bobot busur yang diinduksi
w(xy) = (x) + (y) untuk setiap busur xy
membentuk himpunan {s, s + 1, s + 2, , s + |E|
1}. Jika dilakukan operasi modulo |E| pada
himpunan yang dibentuk oleh bobot busur
tersebut maka diperoleh himpunan {0, 1, 2, , |E|
1} yang merupakan pelabelan harmonious.

Graf Caterpillar

Graf caterpillar merupakan suatu barisan graf
bintang

yang simpul pusatnya


terhubung secara berurutan dimana setiap


merupakan graf bintang dengan simpul pusat c
i

berderajat r
i
dan setiap simpul lainnya berderajat
1, i = 0, 1, 2, , n 1. Graf caterpillar memiliki
himpunan simpul

= {

: 0
1}

: 0 1,1

dan
himpunan busur

= {

+1
: 0
1}

: 0 1,1

.
Banyaknya simpul dan banyaknya busur pada graf
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 62
caterpillar dapat dinyatakan sebagai

+
1
=0

dan

+ 1
1
=0
. Jika banyaknya simpul luar
sama untuk setiap simpul pusat yang
dihubungkan, maka graf tersebut merupakan graf
caterpillar teratur.

Konstruksi pelabelan graf caterpillar baik
harmonious maupun sekuensial telah diberikan
oleh Graham dan Sloane dan T. Grace. Namun
untuk membantu pembuktian teorema-teorema
pada bab ini pembuktian konstruksi pelabelan
harmonious akan diberikan kembali dengan
pelabelan yang sedikit berbeda dari pembuktian
terdahulu. Hal ini disebabkan konstruksi
pelabelan harmonious graf caterpillar yang
diberikan oleh Graham dan Sloane dalam
makalahnya memberi label simpul yang sama
untuk dua simpul yang berbeda sedangkan dalam
makalah ini, label simpul adalah anggota {0, 1, 2,
, |E|}, yaitu label simpul berbeda untuk setiap
simpul, maka pada Teorema 2 diberikan
konstruksi pelabelan harmonius pada graf
caterpillar sembarang beserta dengan buktinya.
Pembuktian konstruksi yang diberikan merupakan
pelabelan harmonious dilakukan dengan terlebih
dahulu menunjukkan konstruksi tersebut
memenuhi pelabelan sekuensial.

Teorema 2.
Setiap graf caterpillar adalah harmonious.
Bukti.
Misalkan banyaknya simpul pusat adalah n, c
i

menyatakan simpul pusat ke-i,

menyatakan
simpul luar ke-j pada simpul pusat ke-i, r
i

menyatakan banyaknya simpul luar pada simpul
pusat ke-i pada graf caterpillar, i = 0, 1, 2, , n
1 dan j = 1, 2, , r
i
.
Label simpul-simpul pusat pada graf caterpillar
dengan
(

) =

2
+
2

=0
+
21

2
=0
+

2
, ,

22
+1
2
=0
+
1
2
, .


dan label simpul-simpul luar dengan

22

2
=0
+

2
+ 1, ,

2
+
2

=0
+
21
1
2
=0
+
+ 1
2
+ 1, .


dengan
2

=0
menyatakan banyaknya seluruh
simpul luar pada simpul-simpul pusat genap dan
asumsi bahwa

=
= 0, untuk setiap < .
Dengan menggunakan pelabelan simpul diatas,
maka dapat diperhatikan bahwa fungsi
merupakan fungsi satu-satu. Selanjutnya dapat
ditunjukkan bahwa bobot busur yang dibangun
oleh w(xy) = f(x) + f(y) juga merupakan pemetaan
satu-satu, untuk setiap xy E(G). Karena
pemetaan merupakan pemetaan satu-satu, bobot
busur yang dihasilkan pemetaan berbeda, dan
bobot busur terbesar dikurang bobot busur terkecil
adalah || 1. Sehingga dapat disimpulkan graf
caterpillar adalah graf sekuensial. Menurut
Lemma 1, graf caterpillar adalah graf
harmonious.

Pada Gambar 1 diberikan contoh pelabelan
harmonious graf caterpillar dengan menggunakan
konstruksi yang telah diberikan pada Teorema 2.
Pada Gambar 1a diberikan graf caterpillar tidak
teratur dengan n = 6 dan |E| = 24. Pada Gambar
1b diberikan graf caterpillar teratur dengan n = 6
dan |E| = 24.

2
3
4 5 6 7
8
9 10 11
12
13
14 15 16 17
18
19 20
21
22 23
a
2
3
4
5 6
7
8 9 10
11
12
13 14 15
16
17 18 19
20
21 22
b
23
0
0
1
1




Graf Firecracker

Graf firecracker adalah graf yang didapatkan
dengan menghubungkan satu simpul luar dari
barisan graf bintang

secara berurutan. Lintasan


yang menghubungkan simpul-simpul luar dari
barisan graf bintang tersebut disebut backbone
dari graf firecracker. Graf firecracker juga bisa
didapatkan dengan memindahkan busur-busur
yang menghubungkan simpul-simpul pusat pada
graf caterpillar ke salah satu simpul luar pada
setiap simpul pusat dari graf caterpillar. Jika
Gambar 1. Contoh pelabelan harmonious graf
caterpillar
(1)
(2)
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 63
banyaknya simpul luar sama untuk setiap barisan
graf bintang, maka graf tersebut merupakan graf
firecracker teratur. Sehingga konstruksi
pelabelan graf firecracker dapat diperoleh dengan
memindahkan busur-busur backbone pada graf
caterpillar ke salah satu simpul luar tertentu pada
graf firecracker sedemikian sehingga bobot
busur-busur sebelum dan setelah dipindahkan
bernilai sama.
Pelabelan (1) dan (2) apabila digunakan untuk
graf caterpillar teratur, dengan banyak simpul
luar pada setiap simpul pusat adalah r, dapat
disederhanakan menjadi pelabelan berikut.

Label simpul-simpul pusat dengan

Label simpul-simpul luar dengan

Selanjutnya graf caterpillar teratur harmonious
dapat ditransformasikan menjadi graf firecracker
teratur harmonious.
Teorema 3.
Graf firecracker teratur adalah harmonious.
Bukti.
Graf firecracker didapatkan dengan
menghubungkan satu simpul luar dari suatu
barisan graf bintang

secara berurutan.
Misalkan c
i
adalah simpul pusat dari


adalah simpul luar ke j, dari

dan

adalah
simpul pada lintasan backbone dari firecracker
dengan j = 1, 2, 3, , r dan i = 0, 1, 2, 3, , n
1. Perlu diingat, firecracker teratur menandakan
bahwa jumlah setiap simpul luarnya sama,
sehingga r
1
= r
2
= r
3
= = r
n1
. Label simpul-
simpul pada graf firecracker dengan
menggunakan algoritma 1.
Algoritma 1 [2].
1. Pindahkan busur

+1

ke c
i
c
i+1
, i = 0, 1,
2, , n 1 untuk mendapatkan graf
caterpillar.
2. Beri label pada caterpillar dengan
pelabelan harmonious yang diberikan
pada (3) dan (4) sedemikian sehingga
untuk semua simpul luar dari c
i
, jika


memiliki label terkecil dari label pada
simpul-simpul luar dari simpul dalam ke-
i maka
+1

memiliki label terbesar dari


label pada simpul-simpul luar dari
simpul-simpul dalam ke-i.
3. Pindahkan kembali busur c
i
c
i+1
ke

+1

, i = 0, 1, 2, , n 1.
Untuk menjamin bahwa pemindahan busur c
i
c
i+1

ke

+1

pada langkah ke-3 tetap menghasilkan


pelabelan harmonious pada graf firecracker, maka
sifat (5) harus terpenuhi, yaitu
(

) +(
+1
) = (

) +(
+1

).
Tanpa menghilangkan keumuman, anggap i
genap, maka i + 1 ganjil dan

memiliki label
terkecil dari label pada simpul-simpul luar dari
simpul dalam ke-i. Maka pada simpul dalam ke-i,
j bernilai 1 dan pada simpul dalam ke-(i+1), j
bernilai r. Sehingga dari (3) dan (4) diperoleh
(

) +(
+1

)
=

2
( + 1) +

2
+
( + 1) + 1
2
( + 1) +
1
=

2
+

2
+

2
+
( + 1) + 1
2
+

2
+

( + 1) + 1
2
+ 1
=

2
+

2
+

2
+

2
+ +
( + 1) + 1
2
+
( + 1) + 1 2
2

=

2
+

2
( + 1) + +

( + 1) + 1
2


+

( + 1) 1
2
.
= (

) +(
+1
).

Jadi graf firecracker teratur adalah graf
harmonious.
Pada Gambar 2 diberikan contoh pelabelan
harmonious pada graf firecracker yang diperoleh
dari transformasi graf caterpillar dengan |E| = 27
dan n = 7. Pada Gambar 2a diberikan graf
firecracker, pada Gambar 2b diberikan graf
caterpillar yang diperoleh dengan memindahkan
backbone pada graf firecracker ke simpul-simpul
pusat, pada Gambar 2c diberikan graf caterpillar


2
( + 1) + 1, ,

2
+
+ 1
2
( + 1) + 1, .



(

) =

2
+

2
( + 1) +, ,

+ 1
2
+
1
2
, .

(3)
(4)
(5)
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 64
yang diberi pelabelan harmonious (3) dan (4), dan
pada Gambar 2d diberikan graf firecracker yang
diperoleh dengan memindahkan backbone pada
graf caterpillar ke salah satu simpul luar pada
setiap simpul pusat. Busur-busur yang bercetak
tebal menandakan busur-busur yang dipindahkan
dari simpul

+1

pada graf firecracker ke


simpul c
i
c
i+1
pada graf caterpillar dan sebaliknya,
i = 0, 1, 2, , n 1.
a. Graf firecracker
b. Graf caterpillar
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
20
21
22
23
24
25
26
27 19
28
29
c. Pelabelan harmonious graf caterpillar
0
1
2
3
15 4
16
17
18
19 5
6
7
8
20 9
21
22
23
2410
11
12
13
25
14
26
27
28
29
d. Pelabelan harmonious graf firecracker




Graf Hairy Cycledan Graf Korona

Graf hairy cycle adalah graf yang diperoleh
dengan menambahkan sejumlah simpul luar
berderajat satu pada simpul (dalam) graf lingkaran
C
n
, dengan n menyatakan ukuran lingkaran. Jika n
ganjil, maka dikatakan graf hairy cycle ganjil.
Apabila jumlah simpul luar sama untuk setiap
simpul dalam maka disebut graf korona.
Konstruksi graf hairy cycle dan graf korona juga
bisa didapatkan dengan menambahkan satu busur
c
0
c
n-1
pada graf caterpillar, dimana simpul c
0
dan
c
n-1
berturut-turut adalah simpul dalam ke-0 dan
simpul dalam ke-n 1 pada graf hairy cycle.

Teorema 4.
Graf hairy cycle ganjil adalah harmonious.
Bukti.
Misalkan c
i
menyatakan simpul dalam,


menyatakan simpul luarpada graf hairy cycle dan
r
i
menyatakan banyaknya simpul luar yang
ditambahkan pada simpul dalam ke-i, dengan i =
0, 1, 2, , n 1, j = 1, 2, 3, , r
i
dan n ganjil,
label simpul-simpul pada graf hairy cycle dengan
Algoritma 2 untuk membuktikan bahwa graf hairy
cycle adalah sekuensial. Selanjutnya akan
digunakan sifat pada pelabelan sekuensial yang
diberikan pada Lemma 1.
Algoritma 2.
1. Hapus satu busur yang menghubungkan
dua simpul dalam pada graf hairy cycle,
maka akan didapatkan graf caterpillar.
2. Beri label pada graf caterpillar dengan
pelabelan harmonious yang diberikan
pada (1) dan (2).
3. Hubungkan kembali simpul pusat akhir
dengan simpul pusat awal dari graf
caterpillar (c
0
c
n-1
).
Untuk menjamin bahwa penambahan busur c
0
c
n-1

pada langkah ketiga tetap menghasilkan pelabelan
sekuensial pada graf hairy cycle, maka sifat (6)
harus terpenuhi,
(
1

0
) = () + 1,
dimana () merupakan bobot terbesar busur
pada graf caterpillar. Dalam hal ini, dengan
menggunakan pelabelan yang diberikan pada (1)
dan (2), bobot terbesar busur terletak pada busur
yang menghubungkan simpul pusat akhir dengan
simpul luar akhir
1

1
. Karena n ganjil,
maka
(
1

0
)
= (
1
) +(
0
)
=

2
+
2

=0
+
21
1
2
=0
+
1
2

2
+
2

=0
+
21
+
0
2
=0
0
2


Gambar 2. Contoh pelabelan harmonious
pada graf firecracker yang diperoleh dari
transformasi graf caterpillar
(6)
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 65
Karena
2
= 0,
(
1

0
)
=

2
+
2

=0
+
21
1
2
=0
+
1
2

+
1
2
+
2
1
2
=0
+
2

=

2
+
2

=0
+
21
1
2
=0
+
1
2

+

2
1
2
=1
+
1
2

=

2
+
2

=0
+
21
1
2
=0
+
1
2

22
+1
2
=0
+
1
2

2
+
2

=0
+
21
1
2
=0
+
1
2

22
1
2
=0
+
1
2
+
1
1

+ 1
dari (1) dan (2) didapat
(
1

0
) = (
1
) +
1

1
+ 1
=
2

1
+ 1.
Sehingga diperoleh graf hairy cycle ganjil adalah
graf sekuensial. Berdasarkan Lemma 1, maka graf
hairy cycle ganjil adalah graf harmonious.
Pada Gambar 3 diberikan contoh pelabelan
harmonious pada graf hairy cycle yang diperoleh
dari transformasi graf caterpillar. Gambar 3a
merupakan graf hairy cycle. Gambar 3b
merupakan graf caterpillar. Gambar 3c
merupakan pelabelan sekuensial yang juga
harmonious pada graf caterpillar. Gambar 3d
merupakan pelabelan sekuensial yang juga
harmonious pada graf hairy cycle. Busur-busur
yang bercetak tebal menandakan busur-busur
yang dihilangkan dan kemudian ditambahkan
kembali pada graf hairy cycle.
a. Graf hairycycle
b. Graf caterpillar
0 1 2
3
4 6
7 8
10
11 12
13
14 16
18
19 20 21 22
24
15 17
5
23
9
c. Pelabelan sekuensial yang juga harmonious
pada graf caterpillar
0
1
2
3
4
6
7 10
11
12
13
14
16
18
19
20
21
22
24
15
17
5
23
9
8
d. Pelabelan sekuensial yang juga harmonious
pada graf hairycycle



Bobot busur pada Gambar 3c adalah 10, 11, 12,
13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25,
26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, dan 33. Jika dilakukan
operasi modulo 24 (banyak busur pada graf
Gambar 3. Contoh pelabelan
harmonious pada graf hairycycle yang
diperoleh dari transformasi graf caterpillar
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 66
Gambar 3c), bobot busur adalah 10, 11, 12, 13,
14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 0, 1, 2, 3, 4,
5, 6, 7, 8, dan 9. Pada Gambar 3d, setelah
dilakukan penambahan busur, bobot busur yang
dihasilkan adalah 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17,
18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30,
31, 32, 33, dan 34. Jika dilakukan operasi modulo
25 (karena banyaknya busur bertambah satu),
bobot busur adalah 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17,
18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8,
dan 9.
Graf korona dapat diperoleh dari penambahan
busur pada simpul pusat awal dan simpul pusat
akhir graf caterpillar. Sehingga dengan cara yang
sama seperti pada graf hairy cycle, diperoleh graf
korona adalah graf sekuensial dan juga graf
harmonious.
Akibat 5.
Graf korona (

) dengan n ganjil adalah


harmonious.
0
1 2
3
6
7
10 11
12
13
14
16
29
25
20
21
22
15
17
5
23
9
8
4
18
19
24
26
27
28
30
31
32
33
34


Pada Gambar 4 diberikan contoh pelabelan
harmonious pada graf korona yang diperoleh dari
transformasi graf caterpillar.


KESIMPULAN

Pelabelan harmonious pada graf (, )
dimana |()| |()| adalah pemetaan
injektif dari ke
||
sedemikian sehingga ketika
setiap busur dilabel dengan () = () +
()( ||) menghasilkan bobot busur yang
berbeda.
Dengan pelabelan harmonious dari kelas-kelas
graf yang telah diketahui dimungkinkan
membangun graf harmonious baru dengan
menggunakan pelabelan yang telah diketahui
tersebut.
Telah diketahui bahwa graf caterpillar merupakan
graf harmonious. Menggunakan konstruksi
pelabelan harmonious pada graf caterpillar
dibuktikan bahwa graf firecracker, graf hairy
cycle dan graf korona adalah graf harmonious
sekaligus graf sekuensial.
Pembangunan graf harmonious baru dari kelas-
kelas graf harmonious yang telah diketahui
sebelumnya masih mungkin untuk dikembangkan
lebih lanjut lagi.


DAFTAR PUSTAKA

[1] J. A. Gallian. 2009. A Dynamic Survey of
Graph Labeling, DS#6,
www.combinatorics.org/Surveys/ds6.pdf.
[2] K. A. Sugeng dan D. R. Silaban. 2009. An
Edge Consecutive Edge Magic Total
Labeling on Some Classes of Tree, preprint.
[3] R. A. Gilang, D. R. Silaban dan K. A.
Sugeng. 2009. Pelabelan Harmonious pada
Graf Hasil Operasi Graf Harmonious,
Prosiding Seminar Nasional Matematika di
Universitas Parahyangan, MS 8-13.
[4] R. A. Gilang. 2009. Pelabelan Harmonious
pada Graf Hasil Operasi Graf Harmonious.
Makalah, Departemen Matematika
Universitas Indonesia.
[5] R. L. Graham dan N. J. A. Sloane. 1980. On
additive bases and harmonious graphs, SIAM
J. Alg. Discrete Math., Vol.1, No.4, 382-404.

Gambar 4. Contoh pelabelan harmonious graf
korona dari transformasi graf caterpillar
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 67
ALGORITMA PELABELAN TOTAL BUSUR AJAIB PADA GRAF
LINGKARAN DAN KIPAS

Arumella Surgandini, Denny R. Silaban
Departemen Matematika FMIPA Universitas Indonesia, Depok 16424

{arumella.surgandini, denny-rs}@ui.ac.id


ABSTRAK

Misalkan G adalah graf dengan himpunan simpul V = V(G) dan himpunan busur E = E(G), dimana |V(G)| dan |E(G)|
menyatakan banyaknya simpul dan busur pada G. Suatu pemetaan dari V E ke himpunan bilangan bulat positif
{1, 2, , |V(G)| + |E(G)|} disebut pelabelan total busur ajaib jika merupakan pemetaan bijektif sedemikian sehingga
(), bobot busur () +() +() = , untuk suatu konstanta k. Konstanta k disebut sebagai konstanta
ajaib dari . Algoritma pelabelan sembarang graf secara umum adalah bersifat NP-complete. Baker dan Sawada telah
memberikan algoritma pelabelan total simpul ajaib pada graf lingkaran. Dalam makalah ini algoritma tersebut
dimodifikasi untuk pelabelan total busur ajaib pada graf lingkaran. Lebih lanjut dibangun juga algoritma pelabelan
total busur ajaib pada graf kipas. Menggunakan algoritma-algoritma tersebut dapat dihasilkan semua pelabelan total
busur ajaib pada graf yang terkait. Algoritma-algoritma ini kemudian diimplementasikan menggunakan program
Matlab. Sebagai hasil implementasi dilakukan simulasi yang memberikan banyaknya pelabelan total busur ajaib yang
berbeda dari graf lingkaran dan kipas untuk setiap nilai k yang mungkin dengan ukuran graf 10.

Keywords: pelabelan total busur ajaib, graf lingkaran, graf kipas


PENDAHULUAN

Dalam makalah ini, semua graf yang digunakan
adalah graf berhingga, sederhana dan tak berarah.
Misalkan G adalah graf dengan himpunan simpul
V=V(G) dan himpunan busur E=E(G), dimana v =
|V(G)| dan e = |V(G)|. Banyaknya busur yang hadir
pada suatu simpul v disebut sebagai derajat
(degree atau valency) dari simpul v dan ditulis
sebagai d(v). Pada Gambar 1, d(v
1
) = 2 karena
pada v
1
hadir dua busur yaitu e
1
dan e
4
.

Graf lintasan (path graph), P
n
, adalah graf
dengan n simpul dengan busur v
1
v
2
, v
2
v
3
, , v
n-1

v
n
. Simpul v
1
disebut sebagai simpul awal dan v
n

adalah simpul akhir. Semua simpul berderajat 2
kecuali untuk simpul awal dan simpul akhir
berderajat 1. Graf lingkaran (cycle graph), C
n
,
adalah graf lintasan dengan n simpul yang diberi
tambahan busur antara simpul awal dan simpul
terakhir, sehingga pada graf lingkaran semua
simpul memilliki derajat 2. Dalam graf lingkaran
C
n
berlaku v = e. Pada Gambar 1.(a) diberikan
graf lingkaran dengan 4 simpul (C
4
).

v
1
v
2
v
3
v
4
e
1
e
2
e
3
e
4
c
v
4
v
3
v
2
v
1
cv
4
cv
1
v
3
v
4
v
2
v
3
v
1
v
2
cv
3
cv
2

(a) (b)
Gambar 1. (a) C
4
(b) f
4


Graf kipas (fan graph), f
n
(n 2) adalah suatu
graf yang diperoleh dengan menghubungkan
semua simpul dari graf lintasan P
n
ke satu simpul
yang disebut sebagai center (c). Sedemikian
sehingga f
n
terdiri dari n + 1 simpul yaitu c, v
1
, v
2
,
, v
n
dan 2n-1 busur yaitu cv
1
, cv
2
,,cv
n
,
v
1
v
2
,v
2
v
3
,,v
n-1
v
n
. Graf kipas f
4
yang diperoleh
dengan menghubungkan semua simpul dari P
4
ke
satu center (c) terdapat pada Gambar 1.(b).

Menurut Gallian [2], Kotzig dan Rosa
mendefinisikan pelabelan ajaib menjadi pelabelan
total dimana label merupakan bilangan bulat
positif dari 1 sampai v+e. Jumlah dari label busur
dan label dua simpul yang merupakan titik ujung
dari busur tersebut adalah konstan. Pada tahun
1996 Ringel dan Llado memperkenalkan konsep
tentang suatu pelabelan busur ajaib [4].

Dalam makalah ini hanya akan dibahas pelabelan
total busur ajaib (PTBA). PTBA pada G adalah
suatu pemetaan bijektif dari V E ke
bilangan bulat positif 1, 2,, v + e, dengan sifat
untuk setiap busur xy,

() = () +() +() =

untuk suatu konstanta k. Nilai

() disebut
bobot busur xy dan konstanta k disebut
konstanta ajaib dari . Suatu graf disebut total
busur ajaib jika graf tersebut memiliki pelabelan
total busur ajaib.

Terdapat hasil-hasil penelitian yang telah
dipublikasikan mengenai eksistensi dari pelabelan
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 68
busur total ajaib. Menurut Gallian [2], Kotzig dan
Rosa membuktikan bahwa C
n
memiliki PTBA
untuk n 3. Slamin dkk. [3] membuktikan untuk
n 2, setiap f
n
memiliki PTBA dengan k = 4n+2.
Hasil-hasil lain untuk PTBA dapat dilihat di [2].

Pada dasarnya algoritma pelabelan sembarang
graf secara umum adalah NP-complete. Oleh
karena itu pembangunan algoritma pelabelan
biasanya dilakukan untuk kelas graf tertentu
seperti pada Baker dan Sawada [1] yang
memberikan algoritma pelabelan total simpul
ajaib untuk graf lingkaran dan roda.

Dalam makalah ini akan diberikan algoritma
PTBA pada graf lingkaran dan graf kipas. Dengan
algoritma ini dapat diperoleh seluruh pelabelan
total busur ajaib yang mungkin untuk kelas graf
yang diberikan. Disini algoritma akan
diimplementasikan dengan program Matlab.
Sebagai hasil implementasi dilakukan simulasi
yang memberikan banyaknya pelabelan total
busur ajaib yang berbeda dari graf lingkaran dan
kipas untuk setiap nilai k yang mungkin dengan n
10.


LANDASAN TEORI

Misalkan M = v + e, S
v
adalah jumlah dari semua
label simpul, dan S
e
adalah jumlah semua label
busur. Oleh karena label merupakan bilangan
bulat positif dari 1, 2,, M, dapat diperoleh
jumlah dari semua label pada graf C
n
, yaitu

=1
(1)

Karena bobot setiap busur xy adalah

() =
() +() +() = , jumlahkan semua
bobot busur sehingga

2

= . (2)

Substitusi (1) ke (2)

=1
= . (3)

Karena S
v
akan minimum jika seluruh simpul
dilabel dengan v label terkecil dan akan
maksimum jika seluruh simpul dilabel dengan v
label terbesar maka

=1

=+1
(4)

dari (3) dan (4) diperoleh

=1
+

=1

=1
+

=+1


=1
+

=1
2

=1

=1
(5)

Banyaknya simpul C
n
adalah v = n dan banyaknya
busur adalah e = n dengan demikian M = 2n
sehingga dari persamaan (5) diperoleh batas k
untuk C
n
, yaitu


2
=1
+

=1
2
2
=1

=1



2(2+1)
2
+
(+1)
2
2
2(2+1)
2

(+1)
2



5+3
2

7+3
2
(6)

Banyaknya simpul f
n
adalah v = n +1 dan
banyaknya busur adalah e = 2n-1. Karena d(c) =
n, d(v
1
) = 2, d(v
n
) = 2, dan d(v
t
) = 3 untuk t = 2,
3,, n-1 maka jumlah dari semua label pada graf
f
n
adalah

() +3 (
2
) + 3 (
3
) ++3 (
1
) +
2 (
1
) + 2 (

) +

= (7)

Jumlah semua bobot busur akan menjadi
minimum jika simpul-simpul dengan derajat yang
besar diberi label-label yang kecil sehingga

. 1 +3
1
2
+2
+1

+
3
+2

(2 1)

+3

2
2
2
+2(2 + 1) +
8
2
2
2

(2 1)


2+3
2
36+8+4+8
2
2
2
(2 1)


11
2
+74
2
(2 1)


11
2
+74
42
(8)

dan akan maksimum jika sebaliknya

. 3 + 3
31
2+2
+ 2
2+1
2
+
21
1
(2
1
)


3
2
+ 3
5
2
92
2
+ 2(4 + 1) +
4
2
2
2

(2 1)

6
2
+15
2
276+16+4+4
2
2
2
(2 1)


25
2
132
2
(2 1)


25
2
132
42
. (9)

Jadi dari (8) dan (9) diperoleh batas untuk k pada
f
n
, yaitu


11
2
+74
42

25
2
132
42
(10)
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 69
Pada pelabelan total busur ajaib didefinisikan
pelabelan dual. Misalkan pelabelan
{1,2, , } merupakan pelabelan total busur ajaib
pada graf G. Definisikan pelabelan
{1,2, , } dengan

(): + 1 (),

(): + 1 (),

Maka pelabelan

disebut dual dari .


Gambar 2 merupakan contoh PTBA pada C
5

dengan k = 14 (2.(a)) dan dualnya dengan k = 19
(2.(b)).

10
3
1
2
4
5
6
7
8
9

10
3
1 2
4
5
6
7 8
9

(a) (b)

Gambar 2. (a) Pelabelan dan (b) pelabelan
pada C
5


Untuk mencari banyaknya pelabelan yang
berbeda perlu diperhatikan pelabelan yang
isomorfik. Suatu pelabelan disebut isomorfik
apabila pelabelan tersebut dapat diperoleh dengan
melakukan rotasi atau refleksi. Kasus dimana
suatu pelabelan diperoleh dengan melakukan
rotasi terhadap pelabelan lain disebut rotational
symmetry. Sedangkan kasus dimana suatu
pelabelan diperoleh dengan melakukan refleksi
terhadap pelabelan lain disebut reflective
symmetry. Pelabelan dari hasil rotasi atau refleksi
adalah sama dengan pelabelan awal. Pada Gambar
3 diberikan kasus rotational symmetry dimana
graf (b) diperoleh dengan merotasi graf (a).
Sedangkan Gambar 4 adalah kasus reflective
symmetry dimana graf (b) diperoleh dengan
merefleksi graf (a).

10
3
1
2
4
5
6
7
8
9

10
3
1
2 4
5
6
7
8
9

(a) (b)

Gambar 3. Kasus rotational symmetry pada C
5

dengan k = 14

1 2
3 5
6
8 12
10
7
4
11 9

1 2
3 5
6
12 8
10
7
4
11 9

(a) (b)
Gambar 4. Kasus reflective symmetry pada f
4

dengan k = 15


ALGORITMA PTBA UNTUK GRAF
LINGKARAN

Baker dan Sawada [1] telah membuat suatu
algoritma yang efisien untuk menentukan semua
pelabelan total simpul ajaib pada graf lingkaran
C
n
. Dari sembarang pelabelan total simpul ajaib
untuk lingkaran selalu dapat dibangun suatu
pelabelan total busur ajaib dengan menggeser
label simpul menjadi label busur. Dengan
pemahaman ini, algoritma pelabelan total simpul
ajaib untuk lingkaran yang diberikan pada [1]
dapat dimodifikasi untuk membentuk algoritma
pelabelan total busur ajaib pada lingkaran.

Algoritma ini akan melakukan semua
kemungkinan pelabelan yang ada sehingga dapat
diperoleh PTBA yang tidak isomorfik pada C
n
.
Agar tidak terjadi kasus rotational symmetry
maka salah satu busur harus diberi label terkecil.
Kita pilih e
n
. Label terbesar untuk e
n
adalah
n+1.Ini terjadi apabila semua simpul diberi label
1,2,, n. Selain itu (

) < (
1
) agar tidak
terjadi kasus reflective symmetry.

Algoritma 1.
initializeCycle()
for each available lable i where i n + 1 do
(

)
avail[i] := false
for each available lable j do
(
1
)
avail[j] := false
(

) (

) (
1
)
if (
1
) < (

) 2 and avail[(

)]
then
avail[(

)] := false
extendCycle(2)
avail[(

)] := true
avail[j] := true
avail[i] := true

Algoritma PTBA pada graf lingkaran terdiri dari 2
tahap yaitu initializeCycle() (Algoritma 1) dan
extendCycle(t) (Algoritma 2). Dari algoritma ini
kita dapat mengetahui ada atau tidaknya PTBA
pada graf lingkaran dengan n dan k tertentu. Jika
ada maka dapat diperoleh PTBA yang mungkin
dan tidak isomorfik untuk n dan k yang telah
ditentukan. Sehingga sebelum menjalankan
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 70
algoritma lingkaran, kita tentukan terlebih dahulu
n dan k. Dari (6) dapat kita ketahui interval k dari
graf C
n
.

Algoritma 2.
extendCycle(t)
if t = n then
(
1
) (

) (
1
)
if (

) < (
1
) 2 and
avail[(
1
)] then
print()
else
for each available lable i where i > (

) do
(
1
)
avail[i] := false
(

) (
1
) (
1
)
if 0 < (

) 2 and avail[(

)]
then
avail[(

)] := false
extendCycle(t + 1)
avail[(

)] := true
avail[i] := true


4
8
3
12
2
10
5
11
9
6
1
7
4
10
1
11
5
9
3
12
8
6
2
7

6
12
3
10
4
8
5
11
7
2
1
9

Gambar 5. PTBA yang berbeda pada C
6
dengan k
= 17

Jika n dan k telah ditentukan maka algoritma
mulai bekerja pada tahap inisialisasi (dengan
memanggil fungsi initializeCycle(). Pada tahap
ini akan diberi label 1 busur dan 2 simpul, yaitu
e
n
, v
1
, v
n
. Kemudian fungsi initializeCycle()
memanggil fungsi extendCycle(2) yang secara
rekursif memberi label pada simpul dan busur.
Loop yang pertama, dilabel
1
dengan label
yang belum digunakan dan lebih besar dari (

).
Kemudian ditentukan besar label

. Fungsi
extendCycle akan memanggil dirinya sendiri
dengan parameter t + 1 apabila label

tersedia.
Fungsi rekursif ini akan berhenti apabila t=n.
Tersisa sebuah busur (e
n-1
) yang belum dilabel.
Kemudian ditentukan terlebih dahulu besar label

1
. Jika besar label
1
yang ditentukan sama
dengan sebuah label yang tersedia maka PTBA
pada lingkaran komplit dan dipanggil fungsi
print(). Fungsi print digunakan untuk menghitung
banyaknya PTBA yang ada pada graf lingkaran
dengan n dan k yang telah ditentukan. Setelah itu
algoritma ini akan berlanjut untuk mencari PTBA
yang lainnya yang berbeda secara backtracking.
Pada Gambar 5 diberikan PTBA yang tidak
isomorfik pada C
6
dengan k=17.


ALGORITMA PTBA UNTUK GRAF KIPAS

Untuk mempermudah pembuatan algoritma
pelabelan total busur ajaib pada graf kipas akan
diberi nama baru untuk setiap busur
1

yaitu,

=
1
untuk t = 2,3,,n.

Secara garis besar algoritma kipas sama dengan
algoritma lingkaran, yaitu mencoba semua
kemungkinan pelabelan pada graf kipas f
n
agar
diperoleh PTBA yang tidak isomorfik. Agar tidak
terjadi kasus reflective symmetry maka (
1
) <
(

).

Algoritma PTBA pada kipas terdiri dari 3 fungsi
yaitu initializeFan() (Algoritma 3), extendFan(t)
(Algoritma 4), dan finalizeFan() (Algoritma 5).
Seperti halnya pada algoritma lingkaran, dari
algoritma kipas dapat diketahui ada atau tidaknya
PTBA pada graf kipas dengan n dan k tertentu.
Jika ada maka dapat diperoleh PTBA yang
mungkin dan tidak isomorfik untuk n dan k yang
telah ditentukan. Sehingga sebelum menjalankan
algoritma kipas kita tentukan terlebih dahulu n
dan k. Interval k dari graf f
n
dapat kita ketahui dari
(10).

Apabila sudah ditentukan besar n dan k maka
tahap selanjutnya adalah tahap inisialisasi dengan
memanggil fungsi initializeFan(). Pada tahap ini
dilabel c, v
1
, cv
1
. Kemudian fungsi initializeFan()
memanggil fungsi extendFan(2) yang secara
rekursif memberi label pada simpul dan busur.
Loop yang pertama, dilabel

dengan label yang


tersedia. Kemudian ditentukan besar label
1
.
Jika label
1
tersedia maka dilanjutkan dengan
menentukan besar label

. Sebaliknya jika label

1
tidak tersedia maka disediakan lagi label
yang telah digunakan untuk melabel

(avail[i]
:= true) dan ganti label

dengan label lain yang


masih tersedia. Fungsi extendfan akan memanggil
dirinya sendiri dengan parameter t + 1 apabila
label

tersedia. Fungsi rekursif ini akan


berhenti apabila t=n. Jika t=n maka akan
dipanggil fungsi finalizeFan().

Algoritma 3.
initializeFan()
for each available lable i do
()
avail[i] := false

Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 71
for each available lable j do
(
1
)
avail[j] := false
(
1
) (
1
) ()
if 0 < (
1
) 3 and avail[(
1
)]
then
avail[(
1
)] := false
extendFan(2)
avail[(
1
)] := true
avail[j] := true
avail[i] := true

Algoritma 4.
extendFan(t)
if t = n
finalizeFan()
else
for each available lable i
(

)
avail[i] := false
(
1
) (

) (
1
)
if 0 < (
1
) 3 and avail[(
1
)]
then
avail[(
1
)] := false
(

) () (

)
if 0 < (

) 3 and
avail[(

)] then
avail[(

)] := false
extendFan (t + 1)
avail[(

)] := true
avail[(
1
)] := true
avail[i] := true

Algoritma 5.
finalizeFan()
for each available lable i where > (
1
) do
(

)
avail[i] := false
(
1
) (

) (
1
)
if 0 < (
1
) 3 and avail[(
1
)]
then
avail[(
1
)] := false
(

) () (

)
if 0 < (

) 3 and avail[(

)]
then
print()
avail[(
1
)] := true
avail[i] := true

Pada fungsi finalizeFan loop yang pertama,
dilabel

dengan label yang masih tersedia.


Setelah itu ditentukan label
1
. Jika label
1

tersedia maka dilanjutkan dengan menentukan
besar label

. Jika besar label

yang
ditentukan sama dengan sebuah label yang
tersedia maka PTBA pada kipas komplit dan
dipanggil fungsi print(). Seperti pada algoritma
lingkaran, fungsi print digunakan untuk
menghitung banyaknya PTBA yang ada untuk
kipas dengan n dan k yang telah ditentukan.
Kemudian algoritma ini akan berlanjut untuk
mencari PTBA yang lainnya yang berbeda secara
backtracking. Gambar 6 adalah contoh PTBA
yang berbeda pada f
4
dengan k = 17.

1 4
5 9
6
10 12
8
3
2
11 7
2 4
3 9
7
8 11
10
5
1
12 6


2 8
3 5
11
4 7
6
9
1
12 10
4 1
7 2
10
3 12
9
8
5
6 11


4 7
1 5
10
3 6
9
11
2
12 8
5 2
9 1
4
8 10
6
7
12
3 11

Gambar 6. PTBA yang berbeda pada f
4
dengan k
= 17


SIMULASI

Algoritma yang diberikan pada bagian 3 dan 4
diimplementasikan dalam bentuk program.
Kemudian dijalankan pada PC dengan processor
Pentium(R)Dual-Core 2.00 GHz 2.00GHz dan
RAM 1.00 GB. Program dapat membentuk semua
PTBA yang mungkin pada graf terkait tetapi yang
menjadi perhatian adalah banyaknya PTBA yang
tidak isomorfik (unik) untuk n dan k yang
diberikan.

Tabel 1 memberikan banyaknya PTBA unik pada
graf lingkaran C
3
sampai C
10
berdasarkan
konstanta ajaib k. Baris pertama di setiap kolom,
C
n
, menyatakan graf lingkaran dengan ukuran n.
Kolom k adalah konstanta ajaib yang diperoleh
dari (6). Kolom # PTBA adalah banyaknya PTBA
unik pada C
n
untuk n dan k yang diberikan.
Banyaknya PTBA unik untuk C
n
tersebut
diperoleh dengan menjalankan program Matlab.
Sedangkan Tabel 2 memberikan banyaknya
PTBA unik pada graf kipas f
3
sampai f
10

berdasarkan konstanta ajaib k. Sama seperti pada
Tabel 1 kolom k adalah konstanta ajaib yang
diperoleh dari (10). Kolom # PTBA adalah
banyaknya PTBA unik pada f
n
untuk n dan k yang
diberikan. Untuk graf f
2
sama dengan C
3
. Hasil
PTBA untuk C
n
dan f
n
ini termasuk dengan
pelabelan dualnya. Sebagai contoh pada C
4
(Tabel
1), PTBA dengan k = 15 adalah dual dari k = 12.
Demikian juga k = 14 adalah dual dari k = 13.
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 72
Untuk graf kipas (Tabel 2), jika n ganjil maka
banyak nilai k yang mungkin juga ganjil. Sebagai
contoh untuk n = 5, dual dari PTBA dengan k =
24 adalah pelabelan dengan k = 24 itu sendiri.
Baris terakhir di setiap tabel adalah total
banyaknya PTBA yang unik untuk setiap graf
dengan ukuran n. Dikarenakan terbatasnya waktu,
simulasi baru dapat dilakukan sampai n = 10.


KESIMPULAN

C
n
(n 3) dan f
n
(n 2) memiliki pelabelan busur
total ajaib. Dengan algoritma PTBA pada
lingkaran dan kipas dapat diketahui ada atau tidak
PTBA pada masing-masing graf tersebut untuk
sembarang nilai n dan k yang diberikan. Jika ada
maka PTBA yang mungkin dan tidak isomorfik
dapat diketahui. Simulasi untuk memperoleh
banyaknya PTBA unik baru dapat dilakukan
sampai n = 10. Simulasi untuk n yang lebih besar
memerlukan waktu yang lebih lama. Oleh karena
itu terdapat open problem untuk menemukan
formula yang dapat menentukan banyaknya
PTBA yang tidak isomorfik dari graf lingkaran
dan kipas dengan n tertentu tanpa harus
menghitung satu-persatu PTBA yang ada.


DAFTAR PUSTAKA

[1] A. Baker dan J. Sawada, Magic Labelling on
Cycles and Wheels, COCOA LNCS, (2008)
361-373.
[2] J. A. Gallian, A Dynamic survey of graph
labeling, Electronic. J. Comb 5 (2009), #DS6.
[3] J. A. MacDougall, M. Miller, Slamin, W. D.
Wallis, Vertex-Magic Total Labelings of
Graphs, Utilitas Mathematica. 61 (2002), 3-
21.
[4] Slamin, M. Baa, Y. Lin, M. Miller, and R.
Simanjuntak, Edge-magic total labelings of
wheels, fans and friendship graphs, Bull. ICA,
35 (2002) 89-98.


Tabel 1. Banyaknya PTBA yang unik pada graf lingkaran C
3
sampai C
10
berdasarkan k (konstanta ajaib).

3

4

5

6

7

8

9

10

k
#
PTBA
k
#
PTBA
k
#
PTBA
k
#
PTBA
k
#
PTBA
k
#
PTBA
k
#
PTBA
k
#
PTBA
9 1 12 1 14 1 17 3 19 9 22 10 24 31 27 125
10 1 13 2 15 0 18 1 20 10 23 19 25 43 28 236
11 1 14 2 16 2 19 6 21 11 24 57 26 125 29 698
12 1 15 1 17 2 20 6 22 29 25 55 27 264 30 1138
18 0 21 1 23 29 26 55 28 307 31 1349
19 1 22 3 24 11 27 57 29 307 32 1349
25 10 28 19 30 264 33 1138
26 9 29 10 31 125 34 698
32 43 35 236
33 31 36 125
4 6 6 20 118 282 1540 7092











Total : Total : Total : Total : Total : Total : Total : Total :
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 73
Tabel 2. Banyaknya PTBA yang unik pada graf kipas f
3
sampai f
10
berdasarkan k (konstanta ajaib)


3

4

5

6

7

8

9

10

k
#
PTBA
k
#
PTBA
k
#
PTBA
k
#
PTBA
k
#
PTBA
k
#
PTBA
k
#
PTBA
k
#
PTBA
12 4 15 10 17 0 20 0 23 0 26 0 28 0 31 0
13 1 16 3 18 15 21 45 24 107 27 196 29 0 32 0
14 4 17 6 19 13 22 41 25 85 28 292 30 858 33 3098
15 6 18 16 20 14 23 49 26 169 29 488 31 828 34 3915
16 4 19 13 21 33 24 76 27 144 30 427 32 1588 35 7103
17 1 20 13 22 21 25 69 28 230 31 604 33 1988 36 8269
18 4 21 16 23 33 26 88 29 210 32 641 34 2333 37 10346
22 6 24 28 27 113 30 314 33 779 35 2512 38 11679
23 3 25 33 28 96 31 217 34 688 36 3148 39 14929
24 10 26 21 29 96 32 277 35 775 37 2763 40 14230
27 33 30 113 33 322 36 904 38 3047 41 15587
28 14 31 88 34 277 37 764 39 3722 42 17681
29 13 32 69 35 217 38 764 40 3083 43 16966
30 15 33 76 36 314 39 904 41 3036 44 15679
31 0 34 49 37 210 40 775 42 4398 45 19455
35 41 38 230 41 688 43 3036 46 15405
36 45 39 144 42 779 44 3083 47 15405
37 0 40 169 43 641 45 3722 48 19455

41 85 44 604 46 3047 49 15679

42 107 45 427 47 2763 50 16966

43 0 46 488 48 3148 51 17681

47 292 49 2512 52 15587

48 196 50 2333 53 14230

49 0 51 1988 54 14929

52 1588 55 11679

53 828 56 10346

54 858 57 8269

55 0 58 7103

56 0 59 3915

60 3098

61 0






62 0
24 96 286 1154 3828 13116 62210 348684




Total : Total : Total : Total : Total : Total : Total : Total :

Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI

75
ALGORITMA PELABELAN TOTAL SIMPUL AJAIB PADA GRAF
FRIENDSHIP DAN GRAF KIPAS

Budi Utami, Denny R. Silaban
Departemen Matematika FMIPA Universitas Indonesia, Depok 16424

{budi.utami62, denny-rs}@ui.ac.id


ABSTRAK

Misalkan adalah graf dengan himpunan simpul = () dan himpunan busur = (), dimana = |()|
dan = |()| menyatakan banyaknya busur dan simpul pada . Suatu pemetaan dari ke himpunan
{1,2, , + } yang bersifat satu-satu disebut pelabelan total simpul ajaib jika terdapat konstanta sedemikian
sehingga untuk semua simpul berlaku () = () + ()
()
= , dimana () adalah himpunan
simpul yang bertetangga dengan simpul . Nilai () disebut bobot dari simpul . Algoritma pelabelan sembarang
graf secara umum adalah bersifat NP-complete. Dalam makalah ini diberikan algoritma untuk menghasilkan semua
pelabelan total simpul ajaib pada graf friendship dan graf kipas. Algoritma kemudian diimplementasikan dalam
bentuk program. Diberikan juga simulasi banyak pelabelan total simpul ajaib yang berbeda untuk setiap nilai yang
mungkin dari graf friendship dan kipas. Khusus untuk graf kipas dengan ukuran 3 6.

Kata kunci: pelabelan total simpul ajaib, graf friendship, graf kipas


PENDAHULUAN

Dalam makalah ini, semua graf yang digunakan
adalah graf berhingga, sederhana dan tak berarah.
Misalkan adalah graf dengan himpunan simpul
() dan himpunan busur () , dimana =
|()| dan = |()|.

Graf friendship

adalah graf yang terdiri dari


segitiga dengan tepat satu simpul dari segitiga
tersebut menjadi simpul bersama, simpul ini
disebut center dari graf friendship tersebut [3].
Gambar 1(a) menunjukkan graf friendship yang
dibentuk dari dua segitiga, ( = 2). Graf tersebut
ditulis sebagai
2
. Simpul disebut center. Busur
yang menghubungkan dan

disebut jari-jari
dan dinotasikan dengan

. Sementara busur yang


menghubungkan simpul

dengan
+1
disebut
rim, dinotasikan dengan

.

r
1
s
1
c
v
3
v
2
s
4
s
3
s
2
r
3
v
4
v
1
r
1
s
1
c
v
3
v
2
s
4
s
3
s
2
r
3
v
4
v
1
r
2

(a) (b)
Gambar 1. (a)Graf friendship
2
(b) Graf kipas
4


Graf kipas

( 2) adalah graf yang didapatkan


dengan menghubungkan semua simpul pada graf
lintasan

dengan satu simpul lain yang disebut


center [3]. Contoh dari graf kipas
4
dapat dilihat
pada Gambar 1(b). Graf tersebut dibentuk dari
graf lintasan
4
dan satu simpul center (). Sama
seperti pada friendship, busur yang
menghubungkan dan

disebut jari-jari dan


dinotasikan dengan

. Sementara busur yang


menghubungkan simpul

dengan
+1
disebut
rim, dinotasikan dengan

.

Pemetaan satu-satu dari ke himpunan
bilangan bulat {1,2, , +} disebut pelabelan
total simpul ajaib (PTSA) jika terdapat konstanta
sedemikian sehingga untuk setiap simpul ,

() = () + ()
()
= (1)

dimana () adalah himpunan busur yang
bertetangga dengan simpul [4]. Nilai ()
disebut bobot dari simpul dan konstanta
disebut sebagai konstanta ajaib untuk .

Hasil-hasil penelitian yang telah dipublikasikan
selama ini lebih banyak membahas tentang
eksistensi pelabelan total simpul ajaib pada
berbagai macam kelas graf. MacDougall dkk [3]
membuktikan bahwa

memiliki PTSA untuk


3 dan

memiliki PTSA untuk 10. Hasil


lain untuk PTSA dapat dilihat di [2].

Pada dasarnya algoritma pelabelan sembarang
graf secara umum adalah bersifat NP-complete,
sehingga algoritma pelabelan biasanya dibangun
hanya untuk kelas graf tertentu saja. Misalnya
Baker dan Sawada [1] memberikan algoritma
PTSA untuk graf lingkaran dan graf roda.
Algoritma tersebut menjamin bahwa pelabelan
yang dihasilkan tidak isomorfis. Dua pelabelan
dikatakan isomorfis jika satu pelabelan tersebut
bisa didapatkan dari salah satu yang lain.
Dalam makalah ini akan diberikan algoritma
PTSA untuk graf friendship

, 2, dan graf
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 76
kipas

, 2. Untuk
1
dan
2
, struktur grafnya
akan sama dengan graf lingkaran
3
. Dengan
algoritma ini dapat diperoleh semua PTSA yang
mungkin untuk kelas graf yang diberikan. Disini
algoritma akan diimplementasikan menggunakan
program Matlab. Sebagai hasil simulasi diberikan
banyak PTSA yang berbeda untuk semua graf
friendship dan graf kipas dengan 3 6.


LANDASAN TEORI

Dalam PTSA, label setiap simpul berkontribusi
sekali pada bobot setiap simpul. Sementara label
busur berkontribusi dua kali, yaitu pada bobot
setiap simpul akhirnya. Sehingga, jumlah dari
seluruh bobot simpul pada graf akan sama dengan
penjumlahan seluruh label simpul dan dua kali
seluruh label busur. Secara matematis

()

=1
=

+2

= (2)

dimana

adalah penjumlahan dari semua label


simpul dan

adalah penjumlahan dari semua


label busur.

Penjumlahan semua label simpul dan semua label
busur sama dengan penjumlahan {1,2, , +},
atau

=
+
=1
(3)

Batas bawah untuk didapatkan dengan melabel
semua busur dengan label terkecil. Sedangkan,
batas atasnya bisa didapatkan dengan melabel
semua busur dengan label terbesar.

=1


+
=+1
(4)

Dari (2), (3), dan (4) diperoleh nilai yang
mungkin untuk PTSA dari graf dengan simpul
dan busur, yaitu

=1
+
+
=1

+
=+1
+
+
=1


Pada graf friendship banyaknya simpul adalah
2 +1 dan banyaknya busur adalah 3. Maka,
batas untuk PTSA pada graf friendship adalah

17
2
+9+1
2+1

23
2
+12+1
2+1
(5)

Sedangkan graf kipas memiliki simpul sebanyak
+1 dan busur sebanyak 2 1. Batas untuk
PTSA pada graf kipas adalah

13
2
+
2(+1)

17
2
+32
2(+1)
(6)

Proses pembentukan pelabelan yang berbeda dari
suatu kelas graf perlu memperhatikan pelabelan
yang isomorfis. Pelabelan yang isomorfis bisa
terjadi karena rotational symmetry atau reflective
symmetry. Pada graf friendship, reflective
symmetry bisa terjadi pada graf tersebut ataupun
graf segitiga pembentuknya. Gambar 2
menunjukkan kasus rotational symmetry pada
2
.
Graf pada Gambar 2(b) bisa didapatkan dari graf
pada Gambar 2(a) dengan menukar label 10
dengan label 7 dan label 8 dengan label 11 serta
menukar busur-busur yang bersesuaian dengan
simpul-simpul tersebut.

8
7
11
10
6
9 3
1
2 4
5
11
10
8
7
6
3 9
4
5 1
2

(a) (b)
Gambar 2. Kasus rotational symmetry pada
2
dengan
= 18

Gambar 3 menunjukkan kasus reflective symmetry
pada segitiga pembentuk graf
2
. Dengan
menukar label 8 dengan label 7 serta busur-busur
yang bersesuaian pada graf di Gambar 3(a), bisa
diperoleh graf pada Gambar 3(b).

8
7
11
10
6
9 3
1
2 4
5
7
8
11
10
6
9 3
2
1 4
5

(a) (b)
Gambar 3. Kasus reflective symmetry pada
2
dengan
= 18


ALGORITMA PTSA UNTUK GRAF
FRIENDSHIP

Algoritma PTSA untuk graf friendship ini akan
memberi label semua simpul dan busur yang ada
secara iteratif. Label yang tersedia diatur
sedemikian sehingga jika label tersebut telah
dipakai, maka label tersebut tidak dapat dipakai
lagi untuk melabel simpul dan busur yang tersisa.
Ketersediaan label digunakan sebagai kriteria
berhenti dalam algoritma ini. Untuk menghindari
hasil pelabelan yang isomorfis, misalkan
1
dipilih
untuk mendapatkan label terkecil diantara jari-jari
yang lain, maka

>
2
untuk > 1, ganjil.
Hal ini berguna untuk menghilangkan rotational
symmetry pada graf friendship. Dan untuk
menghilangkan reflective symmetry pada segitiga
yang membentuk graf friendship, maka
disyaratkan

>
1
untuk genap. Dengan
begitu, semua PTSA yang mungkin yang tidak
isomorfis untuk graf friendship bisa didapatkan
menggunakan algoritma ini.

Jika nilai dan telah diberikan, maka tahap
inisialisasi dari algoritma ini dapat dimulai. Yaitu,
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI

77
melabel
1
,
1
, dan
1
, dimana label
1
didapatkan
dari pengurangan bobot konstanta ajaib dengan
label
1
dan
1
. Selanjutnya adalah tahap
perluasan. Fungsi initializefriendship (Algoritma
1) akan memanggil fungsi extendfriendship(2)
(Algoritma 2) untuk melabel simpul dan busur
yang tersisa, kecuali 1 busur dan 2 simpul terakhir
(
2
,

, dan ).

Algoritma 1.
function initializefriendship()
for each available label i do
(s
1
):= i
avail [i]:= false
for each available label j do
(r
1
):= j
avail [j]:= false
(v
1
):= k - (s
1
) - (r
1
)
if 0 < (v
1
) 5n+1 and avail [(v
1
)] then
avail [(v
1
)]:= false
extendfriendship (2)
avail [(v
1
)]:= true
avail [j]:= true
avail [i]:= true

Jika parameter pada fungsi extendfriendship()
bernilai genap, maka jari-jari

akan dilabel
dengan label yang tersedia. Lalu, label


ditentukan. Jika bernilai ganjil, maka ada busur
lain yang perlu dilabel selain

, yaitu

.

Algoritma 2.
function extendfriendship (t)
if t = 2n then
finalizefriendship
elseif (t mod 2) = 0 then
for each available label i > (s
t-1
) do
(s
t
):= i
avail [i]:= false
(v
t
):= k - (s
t
) - (r
t-1
)
if 0 < (v
t
) 5n+1 and avail [(v
t
)] then
avail [(v
t
)]:= false
extendfriendship (t+1)
avail [(v
t
)]:= true
avail [i]:= true
else
for each available label i > (s
t-2
) do
(s
t
):= i
avail [i]:= false
for each available label j do
(r
t
):= j
avail [j]:= false
(v
t
):= k - (s
t
) - (r
t-1
)
if 0 < (v
t
) 5n+1 and avail [(v
t
)] then
avail [(v
t
)]:= false
extendfriendship (t+1)
avail [(v
t
)]:= true
avail [j]:= true
avail [i]:= true

Barulah setelah itu label

ditentukan. Jika label

tidak terdapat pada label-label yang tersisa,


maka proses pelabelan busur ke- akan kembali
diulang.
Fungsi extendfriendship () akan memanggil
dirinya sendiri dengan parameter ( +1) jika label

sesuai dengan label yang tersedia. Proses ini


akan beralih ke tahap terakhir saat = 2. Tersisa
satu busur dan dua simpul yang belum dilabel.
Fungsi finalizefriendship (Algoritma 3) akan
melabel jari-jari
2
dengan label yang tersedia.
Kemudian label
2
dan ditentukan. Jika label
untuk simpul tersebut sesuai dengan label yang
tersisa, maka PTSA pada graf friendship komplit.
Lalu fungsi Print yang berguna untuk menghitung
banyaknya PTSA yang ada dipanggil. Semua
label kembali disediakan (avail [i]:= true). Proses
ini terus berulang sampai seluruh PTSA yang
tidak isomorfis untuk graf friendship diperoleh.

Algoritma 3.
function finalizefriendship()
for each available label i > (s
t-1
) do
(s
2n
):= i
avail [i]:= false
(v
2n
):= k - (s
t
) - (r
t-1
)
if 0 < (v
2n
) 5n+1 and avail [(v
2n
)] then
avail [(v
2n
)]:= false
(c):= k (s
i
)
2
=1

if 0 < (c) 5n+1 and avail [(c)] then
Print
avail [(v
2n
)]:= true
avail [i]:= true

ALGORITMA PTSA UNTUK GRAF KIPAS

Pada dasarnya, algoritma kipas tidak jauh berbeda
dengan algoritma friendship. Perbedaannya
terletak pada syarat yang menjaga agar pelabelan
yang dihasilkan tidak isomorfis. Hal ini terjadi
karena struktur graf yang berbeda. Untuk
menghindari hasil pelabelan yang isomorfis, maka
diberikan syarat pada label

. Dalam algoritma
ini dipilih

>
1
. Hal ini berguna untuk
menghilangkan reflective symmetry yang mungkin
terjadi. Seperti halnya algoritma friendship,
setelah dan diberikan maka tahap inisialisasi
dari algoritma ini dapat dimulai. Yaitu, melabel

1
,
1
, dan
1
, dimana label
1
didapatkan dari

1

1
.

Algoritma 4.
function initializefan()
for each available label i do
(s
1
):= i
avail [i]:= false
for each available label j do
(r
1
):= j
avail [j]:= false
(v
1
):= k - (s
1
) - (r
1
)
if 0 < (v
1
) 3n and avail [(v
1
)] then
avail [(v
1
)]:= false
extendfan (2)
avail [(v
1
)]:= true
avail [j]:= true
avail [i]:= true

Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 78
Fungsi initializefan (Algoritma 4) akan
memanggil fungsi extendfan(2) (Algoritma 5)
yang akan bekerja secara rekursif untuk melabel
busur dan simpul yang tersisa.

Algoritma 5.
function extendfan (t)
if t = n then
finalizefan
else
for each available label do
(s
t
):= i
avail [i]:= false
for each available label j do
(r
t
):= j
avail [j]:= false
(v
t
):= k - (s
t
) - (r
t
) - (r
t-1
)
if 0 < (v
t
) 3n and avail [(v
t
)] then
avail [(v
t
)]:= false
extendfan (t+1)
avail [(v
t
)]:= true
avail [j]:= true
avail [i]:= true

Pada fungsi extendfan() busur

dan

dilabel
untuk menentukan label simpul

. Jika label


yang dihasilkan sesuai dengan label yang tersedia,
maka fungsi extendfan akan memanggil dirinya
sendiri dengan parameter +1. Proses ini akan
berakhir saat = . Satu busur dan dua simpul
yang tersisa dilabel pada tahap penyelesaian
dengan memanggil fungsi finalizefan (Algoritma
6).

Busur

dilabel dengan label yang tersedia,


kemudian label

didapatkan dari


1
.
Jika label

sesuai dengan label yang tersisa,


proses berlanjut dengan menentukan label simpul
, yaitu dari (s
i
)

=1
. Jika hasilnya sesuai
dengan satu label yang

Algoritma 6.
function finalizefan()
for each available label i > (s
1
) do
(s
n
):= i
avail [i]:= false
(v
n
):= k - (s
n
) - (r
n-1
)
if 0 < (v
n
) 3n and avail [(v
n
)] then
avail [(v
n
)]:= false
(c):= k (s
i
)

=1

if 0 < (c) 3n and avail [(c)] then
Print
avail [(v
n
)]:= true
avail [i]:= true

tersisa, maka PTSA untuk graf kipas komplit.
Fungsi Print dipanggil untuk menghitung
banyaknya PTSA. Semua label kembali
disediakan (avail [i]:= true). Proses awal sampai
akhir kembali diulangi hingga diperoleh seluruh
PTSA yang tidak isomorfis untuk nilai dan
yang telah diberikan. Gambar 4 memperlihatkan
semua PTSA untuk
4
dengan = 27 yang
diperoleh dari algoritma ini.

5
1
2
3
4
6
7
8
9
10
11 12

5
1
2
3
4
6
7
8
9
10
11 12

5
1
2
3
4
6 7
8
9
10
11
12
5
1
2
3 4
6 7
8
9
10
11
12

Gambar 4. Hasil PTSA untuk
4
dengan = 27


SIMULASI

Algoritma yang diberikan pada bagian
sebelumnya diimplementasikan dalam bentuk
program. Kemudian dijalankan pada PC dengan
processor Pentium(R) Dual-Core 2.00 GHz dan
RAM 3035 MB. Hasil simulasi adalah semua
PTSA yang mungkin dari setiap kelas graf untuk
dan yang telah ditentukan. Namun, yang
ditampilkan dalam makalah ini hanyalah banyak
PTSA yang mungkin untuk nilai n dan k yang
diberikan, seperti terlihat pada Tabel 1 dan Tabel
2.

Tabel 1 menunjukkan banyak PTSA yang berbeda
untuk graf friendship, sedangkan Tabel 2 untuk
graf kipas. Baris pertama pada setiap kolom Tabel
1 dan Tabel 2 menunjukkan jenis graf dan
ukurannya. Kolom menunjukkan nilai yang
mungkin untuk graf yang berkaitan dengan
ukuran . Nilai yang mungkin untuk graf
friendship bisa diperoleh dari (5), sementara
untuk graf kipas diperoleh dari (6). Kolom #PTSA
menunjukkan banyaknya PTSA yang berbeda
untuk setiap graf dengan dan yang diberikan.
Kolom total pada baris terakhir di setiap tabel
menunjukkan banyaknya PTSA yang berbeda
untuk graf yang berkaitan dengan ukuran .
Seperti telah disebutkan dalam pendahuluan
bahwa graf friendship memiliki PTSA hanya
untuk 3, sedangkan graf kipas hanya untuk
10. Pada Tabel 1 diberikan banyak PTSA
graf friendship untuk semua yang mungkin.
Sedangkan untuk graf kipas, karena keterbatasan
waktu hanya diberikan untuk 3 6.


KESIMPULAN

Graf friendship dan graf kipas memiliki pelabelan
total simpul ajaib. Dengan menggunakan
algoritma friendship dan kipas, dapat diperoleh
semua PTSA yang mungkin untuk dan yang
diberikan. Simulasi yang dilakukan telah
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI

79
mencapai seluruh PTSA yang mungkin untuk graf
friendship. Sedangkan untuk graf kipas, karena
keterbatasan waktu, baru mencapai 6.


DAFTAR PUSTAKA

[1] A. Baker dan J. Sawada, Magic labelling on
cycles and wheels, University of Guelph,
Canada, 2008.
[2] J. A. Gallian, A Dynamic survey of graph
labeling, Electronic. J. Comb 5 (2009),
#DS6.
[3] J. A. MacDougall, M. Miller, and W. D.
Wallis, Vertex-magic total labelings of
wheels and related graphs, Util. Math., 62
(2002) 175-183.
[4] J. A. MacDougall, M. Miller, Slamin, and W.
D. Wallis, Vertex- magic total labelings of
graphs, Util. Math., 61 (2002) 3-21.



Tabel 1. Banyak PTSA untuk

2

3

#PTSA #PTSA
18 1 28 30
19 1 29 9
20 4 30 6
21 1 31 -
22 - 32 -
23 - 33 -
34 -
Total= 7 Total= 45



Tabel 2. Banyak PTSA untuk

(3 6)

3

4

5

6

#PTSA #PTSA #PTSA #PTSA
15 - 22 25 28 105 34 53
16 2 23 59 29 475 35 2073
17 3 24 93 30 773 36 9652
18 - 25 62 31 1283 37 17946
19 1 26 30 32 914 38 17489
20 - 27 4 33 473 39 13012
28 - 34 86 40 6018
35 - 41 674
36 - 42 -
43 -
44 -
Total= 6 Total= 273 Total= 4109 Total=66917


Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 81
PELABELAN- PADA GRAF HELM DAN GRAF BUNGA

Diari Indriati dan Mania Roswitha
Jurusan Matematika FMIPA UNS, Surakarta, 57126

diari_indri@yahoo.co.id , mania_ros@yahoo.co.id


ABSTRAK

Misal G(V,E) adalah graf sederhana, tak berarah dan terhubung dengan himpunan titiknya adalah V dan himpunan
garisnya adalah E. Graf G(V,E) mempunyai jumlah titik (order) n dan jumlah garis (size) m. Suatu pelabelan- pada
G didefinisikan sebagai fungsi satu-satu f: V(G) {0, 1, 2, m} yang menurunkan pelabelan f: E(G) {1, 2,, m}
pada garis-garis dari G yang didefinisikan oleh f(e) = | f(u) f(v) | untuk setiap garis e = uv dari G. Nilai dari
pelabelan- f dinotasikan dengan val(f) = '( )
( )
f e
e E G

. Nilai maksimum pelabelan- dari G didefinisikan sebagai


val
max
(G) = max{val(f): f adalah pelabelan- dari G}, sedangkan nilai minimum pelabelan- dari G didefinisikan
sebagai val
min
(G) = min{val(f): f adalah pelabelan- dari G }.
Beberapa peneliti telah melakukan penelitian mengenai pelabelan- pada beberapa tipe graf, dan memperoleh nilai
minimum maupun nilai maksimum dari pelabelan tersebut, antara lain: Chartrand dkk. pada graf path, cycle dan star,
Roswitha dkk. pada graf petersen, dan Indriati dkk. pada graf wheel dan fan. Pada makalah ini, penulis
menyampaikan hasil penelitiannya mengenai pelabelan- serta menghitung nilai minimum maupun batas bawah dari
nilai maksimum pelabelan tersebut pada graf helm H
n
dan graf bunga (flower) F
n
untuk n 3.

Kata kunci: pelabelan-, graf helm, graf bunga.


PENDAHULUAN

Pandang G(V,E) adalah graf yang berhingga,
terhubung, sederhana dan tak berarah. V and E
masing-masing adalah himpunan titik dan
himpunan garis pada graf G [5]. Pada [7], Wallis
mendefinisikan suatu pelabelan pada graf sebagai
berikut: pelabelan suatu graf adalah pemetaan dari
elemen graf ke bilangan (biasanya bilangan bulat
positif atau non negatif). Apabila domain
pemetaan adalah himpunan semua titik dan garis
dari graf, maka pelabelan disebut pelabelan total,
tetapi jika domain adalah himpunan titik,
pelabelan disebut pelabelan titik, sedangkan jika
domain himpunan garis, pelabelan disebut
pelabelan garis.
Pada perkembangannya, pelabelan graf dapat juga
didefinisikan sebagai fungsi yang berbeda (lihat
Gallian [2]). Untuk suatu graf dengan order n dan
size m, suatu pelabelan- dari G adalah fungsi satu-
satu f: V(G) {0, 1, 2, m} yang menurunkan
pelabelan f: E(G) {1, 2,, m} pada garis-garis dari
G yang didefinisikan oleh f(e) = | f(u) f(v) | untuk
setiap garis e = uv dari G [1]. Chartrand, dkk. [1] telah
membuktikan bahwa setiap graf terhubung mempunyai
pelabelan-. Pada pelabelan- f dari graf G dengan
order n dan size m, didefinisikan suatu nilai, val(f)
= '( )
( )
f e
e E G

. Karena f adalah fungsi satu-satu dari


V(G) ke {0, 1, 2, , m}, hal ini berakibat f(e)
1 untuk tiap garis e dalam G, dan juga berlaku
val(f) m.
Nilai maksimum suatu pelabelan- dari G
didefinisikan sebagai val
max
(G) = max { val(f): f
adalah pelabelan- pada G }, sedangkan nilai
minimum pelabelan- dari G didefinisikan sebagai
val
min
(G) = min {val(f): f adalah pelabelan-
pada G }.

Chartrand dkk. [1] telah meneliti pelabelan- dari
beberapa kelas dari G yang terkenal, yaitu lintasan
P
n
, bintang K
1,n-1
dan cycle C
n
. Mereka juga
menentukan val
max
(G) dan val
min
(G) dari graf-graf
tersebut. Untuk lintasan P
n
, val
max
(P
n
) =

2
2
2
n
,
jika n 2 dan val
min
(P
n
) = n -1. Untuk cycle C
n
,
val
max
(C
n
) =
2
) 3 )( 1 ( + n n
untuk setiap bilangan bulat
ganjil n 3 dan val
max
(C
n
) =
2
) 2 ( + n n
untuk
bilangan bulat genap n 4, sedangkan val
min
(C
n
)
= 2(n-1). Pada bintang K
1,n-1
, val
max
(K
1,n-1
) =
( )
2
n

dan val
min
(K
1,n-1
) =
|
.
|

\
|
+
2
2
1 n
+ (
|
.
|

\
|
+
2
2
1 n
. Roswitha
dkk.[6] telah menentukan val
max
(G) dan val
min
(G)
dari pelabelan- pada graf Petersen 3-regular G,
dan Indriati, dkk. [3] telah meneliti pada graf-graf
double-star, firecracker dan n-matahari. Indriati,
dkk. [4]. juga telah meneliti pelabelan- pada
graf-graf roda W
n
dan kipas F
n
, untuk n 3. Hasil
yang diperoleh, pada graf roda W
n
, nilai minimum
pelabelan- adalah

val
min
(W
n
) = + + 2n.

Batas bawah nilai maksimum pelabelan- adalah
|
|
|
.
|

\
|
(
(
(

+
2
2
2 n
|
|
|
.
|

\
|
(

+
2
2
2 n
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 82


val
max
(W
n
)


Pada graf kipas, nilai minimumnya adalah
val
min
(F
n
) =
|
.
|

\
|
+
2
2
2 n
+ (
|
.
|

\
|
+
2
2
2 n
+ n, sedangkan
batas bawah nilai maksimum pelabelan- adalah
val
max
(F
n
)
2
2
5
, jika ganjil
2
5 2
, jika genap
2
n n
n
n n
n



Pada makalah ini penulis memaparkan hasil
penelitian tentang pelabelan- pada graf helm H
n

dan graf bunga F
n
yang belum pernah diteliti
sebelumnya. Juga ditentukan nilai val
min
. dan
batas bawah dari val
max
pada masing-masing graf.


BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan metode studi literatur
untuk pelabelan- pada graf helm dan graf bunga.
Materi pendukung penelitian ini diambil dari
referensi yang berupa buku-buku, artikel pada
jurnal/ proseding nasional maupun jurnal
internasional yang sudah ada, dan peneliti
mengembangkan dari materi tersebut. Definisi-
definisi yang terdapat dalam buku-buku referensi
dan jurnal-jurnal dikaji ulang, kemudian
digunakan dalam pembahasan permasalahan yang
telah dirumuskan. Oleh karena itu, untuk
mencapai tujuan penelitian, yaitu menentukan
pelabelan- pada graf helm dan graf bunga,
diambil langkah-langkah sebagai berikut :
a. menyajikan konsep dan pengertian tentang
pelabelan secara umum, khususnya
pelabelan-,
b. menerapkan pelabelan- pada graf graf helm
dan graf bunga,
c. menentukan pola pelabelan umum pada tiap
titik graf untuk menentukan nilai minimum
dan batas bawah nilai maksimum pelabelan-,
dan disajikan dalam bentuk teorema,
d. membuktikan teorema yang diperoleh pada
langkah c.


HASIL DAN DISKUSI

1. Pelabelan- pada Graf Helm H
n

Berikut ini ditentukan nilai minimum dan batas
bawah nilai maksimum pelabelan- pada graf
helm (H
n
), untuk n 3. Menurut Wallis [7], graf
helm H
n
adalah suatu graf yang dikonstruksikan
dari graf roda W
n
dengan menambahkan n titik
ber-order 1 yang adjacent dengan tiap titik
terminal.

Teorema 1. Untuk setiap bilangan bulat n 3,

val
min
(H
n
) =
2
2
2
n | + | (
| (

|
|
\ .
+
2
2
2
n | + | (
| (
(
|
|
\ .
+ 2n + n
2
+
2
n (
(



Bukti: Misal f adalah pelabelan- pada graf helm
H
n
. Pada graf roda, titik center adalah v, titik
terminal adalah v
i
, 1 i n. Titik yang ber-order 1
yang adjacent dengan titik terminal adalah u
i
, 1 i
n. Untuk memperoleh val
min
(H
n
), pelabelan
titiknya mengikuti pelabelan titik untuk val
min
(W
n
).
Dari [4] sudah dikonstruksikan pelabelan sebagai
berikut.
f(v) =
(

2
n
.
Titik-titik terminal dilabeli dengan cara sebagai
berikut.
f(v
i
) =
1 , jika 1
, jika 1
i i k
i k i n

.
f(u
i
) = n + i , untuk 1 i n.
Dari pelabelan tersebut diperoleh hasil sebagai
berikut.
Val(f(vv
i
))=
1
( ) ( )
n
i
i
f v f v
=


=
2
1
1
2
( 1)
2 2
n
n
n i
i
n n
i i
(
(

= (
= +
(

( (
+
( (



= 1 1
2 2
2 2
n n
n
| | | | ( (
+ +
| |
( (
+

| |
| |
\ . \ .

=
2 2
2 2
2 2
n n | + | | + | ( (
| |
( (
+
(
| |
| |
\ . \ .
(1.1)
Untuk garis (v
i
v
i+1
)diperoleh sebagai berikut.
val(f(v
i
v
i+1
)) = 1.n + (n-2).1 + 1.2 = 2n. (1.2)
Untuk garis yang incident dengan titik terminal
dan titik yang ber-order 1, diperoleh sebagai
berikut.
Val(f(v
i
u
i
))=
1
( ) ( )
n
i i
i
f v f u
=


=
2
1
1
2
( 1 ( 1)
n
n
n i
i
n i n i i
(
(

= (
= +
(

+ + +


2
2
5 1
, jika ganjl
2
5
, jika genap
2
n
n
n n
n

Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 83
= n .
2
n (
(

+ 1.
2
n (
(

+ n.
(
(
(

2
n

= n
2
+
2
n (
(

(1.3)

Jumlahan (1.1) dan (1.2) adalah val
min
(W
n
).
Dengan menggabungkan (1.1), (1.2) dan (1.3)
diperoleh
val
min
(H
n
) =
2
2
2
n | + | (
| (

|
|
\ .
+
2
2
2
n | + | (
| (
(
|
|
\ .
+2n+ n
2
+
2
n (
(

.
Teorema terbukti.

Teorema berikut menunjukkan batas bawah dari
val
max
(H
n
).

Teorema 2. Untuk setiap bilangan bulat n 3,

val
max
(H
n
)

+

genap untuk ,
2
12
ganjil untuk ,
2
1 12
2
2
n
n n
n
n n
.
Bukti: Cara pelabelan titik untuk mendapatkan
val
max
(H
n
), pada bentuk W
n
hampir sama dengan
cara pelabelan untuk mendapatkan val
max
(W
n
).
Perbedaan terletak pada nilai m (size) graf. Pada
graf W
n
, nilai m adalah 2n, sedangkan pada graf
H
n
, nilai m adalah 3n. Pelabelan tersebut sebagai
berikut.
f(v) = 0. Untuk pemberian label titik-titik v
i
ada 2
cara pelabelan yaitu untuk n ganjil dan n genap.
Cara pelabelannya sebagai berikut.

a. Untuk n ganjil
Pelabelan untuk titik v
i
sebagai berikut.
f(v
i
)=

ganjil, untuk ,
2
1
3
1 , genap untuk ,
2
n i i
i
n
n- i i
i
.
Pelabelan untuk titik u
i
sebagai berikut.
f(u
i
)=

+
1 genap, untuk ,
2
1
3
, ganjil untuk ,
2
n i i
i n
n
n i i
i n


Berdasar pelabelan tersebut, diperoleh
val(f(vv
i
))=
1
( ) ( )
n
i
i
f v f v
=


=


+
n
i
n
i
i
n
i
ganjil
1
genap
2
1
3 0
2

=
|
.
|

\
|
+ + + |
.
|

\
|
+

+
|
|
.
|

\
|
+

2
1
... 2 1 1
2
1
3
2
1
2
1
n n
n
n

= 3/2 ( n
2
+ n ) (1.4)

val(f(v
i
v
i+1
))=
) ( ) (
2 2
1
3
1
1
n i
n
i
v f v f
i i
n + |
.
|

\
|

=

=
2
1
2
) 1 ( 3

+
|
|
.
|

\
|

n
n
n n

=
2
1 4 5
2
n n
(1.5)
val(f(v
i
u
i
))=


|
.
|

\
|

+
+ |
.
|

\
| +

1
genap ganjil
2 2
1
3
2 2
1
3
n
i
n
i
i i n
n
i n i
n

=
4
1
4
3
2
1
2
1
3
2 2
|
.
|

\
|
|
.
|

\
| +
n
n n
n

= 2n
2
(1.6)

Dari (1.4), (1.5) dan (1.6) diperoleh sebagai
berikut.
val(f(vv
i
))+val(f(v
i
v
i+1
))+val(f(v
i
u
i
))=
2
1 12
2
n n
(1.7)

b. Untuk n genap
Pelabelan untuk titik v
i
sebagai berikut.
f(v
i
)=

1 ganjil, untuk ,
2
1
3
, genap untuk ,
2
n i i
i
n
n i i
i
.
Pelabelan untuk titik u
i
sebagai berikut.
f(u
i
)=

+
<
+
=
n i , genap i untuk ,
2
2 5
1 - 1 , ganjil untuk ,
2
1
1 untuk ,
i n
n i i
i n
i n


Berdasar pelabelan tersebut, diperoleh
val(f(vv
i
)) =



+
1
ganjil genap
2
1
3 0
2
n
i
n
i
i
n
i

=
|
|
.
|

\
|
+
|
|
.
|

\
| +
2
2
2
3
2
2
2 2 n
n
n

= (3n
2
+n) / 2. (1.8)

Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 84
val(f(v
i
v
i+1
))=
2 2
1
2 2
1
3
1
1
n i
m
i i
n
n
i
|
.
|

\
|
+ |
.
|

\
|

=

=
2 2
3
2
n
n
n
|
|
.
|

\
|


=
2
5
2
n
(1.9)

val(f(v
i
u
i
))=

+ |
.
|

\
|

+
+ |
.
|

\
| +

=
n
i
n
i
n n
i i n i n i
n
genap
1
3 i ganjil,
3
2 2
2 5
2
1
2
1
3

=
n n n
n
n
n n
n n n
+ +
|
|
.
|

\
|
+

+ |
.
|

\
|
|
.
|

\
|
) 2 (
8
1
4
5
2
1
2
2
2
2
1
4
1
1
2 2 2
1
2
3
2
2
2
2

= 2n
2
(1.10)

Dari (1.8), (1.9) dan (1.10) diperoleh sebagai
berikut.
val(f(vv
i
))+val(f(v
i
v
i+1
))+ val(f(v
i
u
i
))
=
2
12
2
n n +
(1.11)

Dari (1.7) dan (1.11) diperoleh batas bawah untuk
val
max
(H
n
) sebagai berikut
val
max
(H
n
)

+

genap untuk ,
2
12
ganjil untuk ,
2
1 12
2
2
n
n n
n
n n

Teorema terbukti untuk batas bawah val
max
(H
n
).


2. Pelabelan- pada Graf Bunga F
n

Berikut ini ditentukan nilai minimum dan batas
bawah nilai maksimum pelabelan- pada graf
bunga (F
n
), untuk n 3. Menurut Wallis [7], graf
bunga F
n
adalah suatu graf yang dikonstruksikan
dari graf helm H
n
dengan menghubungkan setiap
titik ber-order 1 ke titik center.

Teorema 3. Untuk setiap bilangan bulat n 3,
val
min
(F
n
) =
2
2
2
n | + | (
|
(

|
|
\ .
+
2
2
2
n | + | (
|
(
(
|
|
\ .
+ 5/2(n + n
2
) +
(1-n)
2
n (
(

.
Bukti: Misal f adalah pelabelan- pada graf
bunga F
n
. Pada graf bunga, titik center adalah v,
titik terminal adalah v
i
, 1 i n. Titik yang ber-
order 1 yang adjacent dengan titik terminal adalah
u
i
, 1 in. Untuk memperoleh val
min
(F
n
), pelabelan
pada tiap titiknya sama seperti pelabelan untuk
memperoleh val
min
(H
n
) pada graf helm, yaitu
f(v) =
(

2
n
.
Titik-titik terminal v
i
dilabeli sebagai berikut.
f(v
i
) =
1 , jika 1
, jika 1
i i k
i k i n

.
f(u
i
) = n + i , untuk 1 i n.
Oleh karena itu, val
min
(F
n
) diperoleh dari val
min
(H
n
)
ditambah val(f(vu
i
)). Menghitung val(f(vu
i
)) adalah
sebagai berikut.
val(f(vu
i
)) =
|
|
.
|

\
|
(

+ + +
|
|
.
|

\
|
(

+ +
|
|
.
|

\
|
(

+
2
...
2
2
2
1
n
n n
n
n
n
n

=
(

|
|
.
|

\
| +
+
2 2
1
2
n
n
n
n

Jadi diperoleh
val
min
(F
n
)=
2
2
2
n | + | (
| (

|
|
\ .
+
2
2
2
n | + | (
| (
(
|
|
\ .
+2n+n
2
+
2
n (
(

+
(

|
|
.
|

\
| +
+
2 2
1
2
n
n
n
n

=
2
2
2
n | + | (
|
(

|
|
\ .
+
2
2
2
n | + | (
|
(
(
|
|
\ .
+5/2(n+n
2
)+ (1-n)
2
n (
(

.
Teorema terbukti untuk val
min
(F
n
).

Teorema berikut menunjukkan batas bawah dari
val
max
(F
n
).
Teorema 4. Untuk setiap bilangan bulat n 3,
val
max
(F
n
)
21 1
2
2 ,
2 2
21
2
,
2

n n untuk n ganjil
n n untuk n genap


Bukti: Cara pelabelan titik untuk mendapatkan
val
max
(F
n
) hampir sama dengan cara pelabelan
titik untuk mendapatkan val
max
(H
n
). Perbedaan
terletak pada nilai m (size) graf. Pada graf H
n
,
nilai m adalah 3n, sedangkan pada graf F
n
, nilai
m adalah 4n. Pelabelan tersebut sebagai berikut.
f(v) = 0. Untuk pemberian label titik-titik v
i
ada 2
cara pelabelan yaitu untuk n ganjil dan n genap.
Cara pelabelannya sebagai berikut.

a. Untuk n ganjil
Pelabelan untuk titik v
i
sebagai berikut.
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 85
f(v
i
)=.


n i i
i
n
n i i
i
, ganjil ,
2
1
4
1 , genap ,
2
Pelabelan untuk titik u
i
sebagai berikut.

f(u
i
)=

+

+

n i i
i n
n i i
i n
n
, ganjil ,
2
1 , genap ,
2
1
4

Berdasar pelabelan tersebut, dengan cara yang
sama dengan graf Hn diperoleh
val(f(vv
i
))=
1
( ) ( )
n
i
i
f v f v
=


+
1
2
1
4
2
n
igenap
n
iganjil
i
n
i

=
) ( 2
2
1
4
2
n n
n
n + = |
.
|

\
| +
(2.1)
val(f(v
i
v
i+1
))=

=
+

1
1
1
) ( ) (
2 2
1
4
n
i
n
v f v f
i i
n
=
2
1 6 7
2
1
2
) 1 ( 4
2

=

+
|
|
.
|

\
|

n n n
n
n n
(2.2)
val(f(v
i
u
i
))=

+
+
+

n
iganjil
n
igenap
i i n
n
i n i
n
1
2 2
1
4
2 2
1
4
=
3n
2
(2.3)
val(f(vu
i
))= ) ( ) ( v f u f
i

= 2n
2
- n (2.4)

Dari (2.1), (2.2), (2.3) dan (2.4) diperoleh
val(f(vv
i
))+val(f(v
i
v
i+1
))+val(f(v
i
u
i
))+ val(f(vu
i
)) =
2
1
2
2
21
2
n n
(2.5)

b. Untuk n genap
Pelabelan untuk titik v
i
sebagai berikut.
f(v
i
)=

1 , ganjil ,
2
1
4
, genap ,
2
n i i
i
n
n i i
i
.
Pelabelan untuk titik u
i
sebagai berikut.
f(u
i
)=

<
+

+
=
1 1 ganjil, untuk ,
2
1
, genap untuk ,
2
2 7
1 untuk ,
n i i
i n
n i i
n-i
i n

Berdasar pelabelan tersebut, diperoleh
val(f(vv
i
)) =
1
( ) ( )
n
i
i
f v f v
=


=
2
4
2
n n +
(2.6)
val(f(v
i
v
i+1
))=

=
+

1
1
1
) ( ) (
2 2
1
4
n
i
n
v f v f
i i
n

=
2
7
2
n
(2.7)
val(f(v
i
u
i
))=
+ +

1
1 ,
) ( ) ( ) ( ) (
n
i iganjil
n
igenap
i i i i
u f v f u f v f


) ( ) (
1 1
u f v f
= 3n
2
(2.8)
val(f(vu
i
))=
) ( ) ( v f u f
i


=
2
2
2
n
n +
(2.9)

Dari (2.6), (2.7), (2.8) dan (2.9) diperoleh
val(f(vv
i
))+val(f(v
i
v
i+1
))+val(f(v
i
u
i
))+ val(f(vu
i
)) =
n n +
2
2
21
(2.10)
Dari (2.5) dan (2.10) diperoleh batas bawah untuk
val
max
(F
n
) sebagai berikut
val
max
(F
n
)

genap untuk ,
2
21
ganjil untuk ,
2
1
2
2
21
2
2

+

n n n
n n n

Teorema terbukti untuk batas bawah val
max
(F
n
).


KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada pembahasan, maka dapat
disimpulkan bahwa nilai minimum dan batas
bawah nilai maksimum pelabelan- pada graf
helm H
n
dan graf bunga F
n
adalah sebagai berikut:
1. Pada graf helm H
n
, n 3
val
min
(H
n
) =
2
2
2
n | + | (
| (

|
|
\ .
+
2
2
2
n | + | (
| (
(
|
|
\ .
+2n+ n
2
+
2
n (
(

.
val
max
(H
n
)

+

genap untuk ,
2
12
ganjil untuk ,
2
1 12
2
2
n
n n
n
n n


2. Pada graf bunga F
n
, n 3

val
min
(F
n
)=
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 86
=
2
2
2
n | + | (
|
(

|
|
\ .
+
2
2
2
n | + | (
|
(
(
|
|
\ .
+5/2(n+n
2
)+ (1-n)
2
n (
(

.

val
max
(F
n
)

genap untuk ,
2
21
ganjil untuk ,
2
1
2
2
21
2
2

+

n n n
n n n


Open Problem: Ada dugaan batas bawah nilai
maksimum pelabelan- tersebut juga merupakan
batas atasnya. Untuk itu perlu langkah untuk
membuktikannya.


UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Republik
Indonesia yang telah membantu pendanaan
sebagian riset ini melalui Hibah Kompetisi
Penelitian Fundamental dengan nomor kontrak
4273/H27/KU2009.







DAFTAR PUSTAKA

[1]. Chartrand, G., D., Erwin, VanderJagt D. W,
and P. Zhang. (2005). - labeling of graphs,
Buletin of ICA 44, 51-68.
[2]. Gallian, J. A. (2009). A dynamic survey of
graph labeling. The Electronic Journal of
Combinatorics, 16, 1-58.
[3]. Indriati, D. and M. Roswitha (2009). On -
Labeling of Double-star, Firecracker and n-
Sun Graphs. Proceeding of The First
International Seminar on Science and
Technology (ISSTEC2009), January 24
th
.,
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta,
Indonesia.
[4]. Indriati, D. and M. Roswitha (2009). On -
Labeling of Wheels and Fan Graphs.
Proceeding of The IndoMS International
Conference on Mathematics and Its
Applications, October 12
th
13
th
, 2009.,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
Indonesia. (Dalam proses terbit)
[5]. Johnsonbaugh, R. (1986). Discrete Mathe-
matics. 2
nd
ed. Macmillan Publishing
Company, New York.
[6]. Roswitha, M., D. Indriati dan TA. Kusma-
yadi, (2007). On -Labeling of Petersen
Graph. Proceeding SEAMS GMU, July 24
th

27
th
, 2007.
[7]. Wallis, W.D. (2001). Magic Graphs. Birkha-
user. Boston.


Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 87
KARAKTERISASI GRAF DNA UNTUK DI CYCLE, DI PATH, ROOTED TREE
DAN SELF ADJ OI NT DI GRAPH MENGGUNAKAN PELABELAN-(, )

Inne, Denny R. Silaban dan Kiki A. Sugeng
Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Indonesia

{inne, denny-rs, kiki}@ui.ac.id


ABSTRAK

Graf DNA merupakan graf berarah yang dibentuk dalam proses analisa DNA untuk membantu mencari barisan DNA
utuh. Dengan pendekatan menggunakan pelabelan pada graf berarah, telah diketahui bahwa graf DNA adalah graf
berarah yang dapat dilabel dengan pelabelan-(, ) untuk suatu bilangan bulat 4 dan > 1. Dalam makalah ini,
menggunakan pelabelan-(, ), ditunjukkan bahwa dicycle dan dipath merupakan graf DNA untuk setiap dimana
adalah banyaknya simpul. Kemudian ditunjukkan juga bahwa tree dan self adjoint digraph merupakan graf DNA jika
dan hanya jika 4 dimana adalah derajat maksimum.

Kata kunci : Graf DNA, Pelabelan-(, )


1. Pendahuluan

Telah dibahas pada [1] bahwa suatu graf berarah
dengan himpunan simpul () dan himpunan
busur (), = (, ), merupakan graf DNA
jika dapat dilabel dengan pelabelan-(, ) untuk
suatu bilangan bulat 4 dan > 1.

Misalkan = (, ) adalah suatu graf berarah.
Untuk tiap busur berarah = (, ) (),
disebut tail dari dan disebut head dari .
Simpul disebut tetangga keluar dari dan
simpul disebut tetangga masuk dari .
Banyaknya tetangga masuk (atau keluar) dari
simpul dinotasikan

() (atau
+
()). Derajat
masuk (atau keluar) maksimum didefinisikan
sebagai

() = max {

() ()} (atau

+
() = max{
+
() ()}). Derajat
maksimum dari suatu graf didefinisikan sebagai
() = max{

(),
+
()}.

Kebalikan dari ,

, adalah graf berarah yang


didapat dengan membalik semua arah busur
berarah di . Line digraph dari suatu graf berarah
, (), adalah graf berarah dengan () =
() dan (, ) () jika dan hanya jika
head dari adalah tail dari di .

Dalam makalah ini, pada subbagian 2
didefinisikan beberapa pelabelan pada graf
berarah yang pada subbagian 3 digunakan untuk
menunjukkan bahwa setiap dicycle dan dipath
merupakan graf DNA sementara pada subbagian
4, dengan bantuan ary numeral system,
pelabelan digunakan untuk menunjukkan bahwa
tree merupakan graf DNA jika dan hanya jika
4. Kemudian pada subbagian 5 digunakan
bantuan pelabelan-(, ), pelabelan quasi-(, )
dan sign system untuk menunjukkan bahwa self
adjoint digraph merupakan graf DNA jika dan
hanya jika 4.

Untuk pembahasan selanjutnya, tanpa mengurangi
keumuman, graf berarah akan disingkat menjadi
graf dan busur berarah akan disingkat menjadi
busur.


2. Pelabelan-(, ) dan Pelabelan Quasi-(, )
Misalkan 0 dan > 1 adalah dua bilangan
bulat. Suatu graf = (, ) dikatakan dapat
dilabel dengan pelabelan-(, ) jika
dimungkinkan untuk memberi label

1
(), ,

() dengan panjang pada tiap


simpul dari sedemikian sehingga memenuhi
ketiga sifat:
1)

() {1, , } , = 1, , .
2) Tiap simpul yang berbeda memiliki label
yang berbeda, yaitu

()

(), =
1, , jika .
3) (, ) jika dan hanya jika

() =

1
() , = 2, , .
Sifat ketiga yang berlaku bijektif menyebabkan
pencarian pelabelan-(, ) dari suatu graf
menjadi rumit. Oleh karena itu untuk
memudahkan melakukan karakterisasi graf DNA
pada suatu graf, didefinisikan pelabelan baru,
yakni pelabelan quasi-(, ).

Misalkan 0 dan > 1 adalah dua bilangan
bulat. Suatu graf = (, ) dikatakan dapat
dilabel dengan pelabelan quasi-(, ) jika
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 88
dimungkinkan untuk memberi label

(), ,

() dengan panjang pada tiap


simpul dari sedemikian sehingga memenuhi
ketiga sifat:
1)

() {1, , } , = 1, , .
2) Tiap simpul yang berbeda memiliki label
yang berbeda, yaitu

()

(), =
1, , jika .
3) (, ) maka

() =
1

() , =
2, , .
Pada Gambar 2.1 diberikan contoh graf yang
memiliki pelabelan quasi-(2,4), tapi tidak
memiliki pelabelan-(2,4), karena
2
() =
1
(),
tapi (, ) bukan merupakan busur di . Pada
Lemma 2.1 diberikan hubungan antara pelabelan-
(, ) dengan pelabelan quasi-(, ), Lemma 2.2
memberikan hubungan antara pelabelan-(, )
dengan derajat maksimum dari suatu graf,
sementara pada Lemma 2.3 diberikan hubungan
pelabelan-(, ) dari suatu graf dan
kebalikannya,

.


Gambar 2.1. Contoh pelabelan quasi-(2,4) yang
bukan merupakan pelabelan-(2,4).
Lemma 2.1. Diberikan graf = (, ). Jika
dapat dilabel dengan pelabelan quasi-(, 1)
maka line digraph dari , () = (

, ), dapat
dilabel dengan pelabelan-(, ).
Lemma 2.2. Jika suatu graf memiliki
pelabelan-(, ), maka ().
Lemma 2.3. Jika graf = (, ) memiliki
pelabelan-(, ) maka

= (,

) juga
memiliki pelabelan-(, ).
Bukti dari Lemma 2.1, Lemma 2.2dan Lemma
2.3dapat dilihat pada [1]. Pada Gambar 2.2
diberikan contoh yang memiliki pelabelan
quasi-(3,2) dan line digraph dari , (), yang
memiliki pelabelan-(3,3) dan pada Gambar 2.3
diberikan contoh pelabelan-(3,3) untuk masing-
masing dan

.

(a) (b)
Gambar 2.2. Contoh (a) pelabelan quasi-(3,2)
untuk dan (b) pelabelan-(3,3) untuk ().


(a) (b)
Gambar 2.3. Contoh (a) pelabelan-(3,3) untuk
dan (b) pelabelan-(3,3) untuk

.


3. Dicycledan Dipath
Dicycle didefinisikan sebagai graf

dengan
(

) = {
1
,
2
, ,

} dan (

) =
{(
1
,
2
), (
2
,
2
), , (
1
,

), (

,
1
)}

Dipath didefinisikan sebagai graf

dengan
(

) = {
1
,
2
, ,

} dan
(

) = {(
1
,
2
), (
2
,
2
), , (
1
,

)}

Secara khusus,

adalah sebuah loop dan


1

adalah simpul tunggal. Berdasarkan definisi dari
line digraph jelas bahwa (

) =

dan
(

) =
1
, sehingga untuk menunjukkan
bahwa semua dicycle dan dipath memiliki
pelabelan-(, ), 4, > 1, cukup
dikonstruksi suatu pelabelan quasi-(, ),
4, > 1, yang dapat diterapkan untuk

, > 2dan untuk

, 2.

Konstruksi pelabelan untuk

dan

sebagai
berikut:

=
1 , = +1
0 , +1

,
= 1,2, , 1

) =
1 , = 1
0 , 1



Jelas dari pendefinisian tersebut bahwa
memenuhi ketiga sifat sebagai pelabelan quasi-
(2, ), baik untuk

maupun

, sehingga
diperoleh Akibat 3.1.
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 89
Akibat 3.1. Semua dicycle dan dipath merupakan
graf DNA.
Bukti. Berdasarkan Lemma 2.1, untuk > 2,


dan

memiliki pelabelan-(2, +1) sehingga


berdasarkan definisi graf DNA, semua dicycle dan
dipath merupakan graf DNA.


4. Rooted Tree
Suatu graf disebut out-tree

+
(atau in tree

)
jika merupakan tree berarah dan hanya
memiliki satu simpul dengan derajat masuk
(atau derajat keluar) dari adalah nol. Dalam hal
ini disebut akar dari . Karena kebalikan dari in
tree adalah out tree dan sebaliknya, maka
berdasarkan Lemma 2.3, in tree memiliki
pelabelan-(, ) jika dan hanya jika out tree
memiliki pelabelan-(, ). Sehingga pada
subbagian ini hanya akan dipertimbangkan kasus
untuk out tree.

Untuk setiap out tree

+
, berlaku
+

= 1
sehingga =
+
. Untuk setiap simpul di

+
,
nomor lapisan dari , #(), didefinisikan sebagai
jarak dari ke dan tinggi dari

+
didefinisikan
sebagai = max

+{#()}. Misal

+
(, )
menotasikan out tree yang berakar di dengan
tinggi dan derajat maskimum untuk setiap
simpul yang nomor lapisannya kurang dari .
Jelas bahwa untuk

+
dengan tinggi tinggi dan
derajat maskimum adalah subgraf terinduksi
dari

+
(, ) (Gambar 4.1). Karena

+
(1, )
adalah dipath, maka untuk pembahasan
selanjutnya yang akan dipertimbangkan hanya
kasus untuk 2. Teorema 4.1 menyatakan
bahwa

+
(, ) memiliki pelabelan-(, +2).


(a) (b)
Gambar 4.1. Contoh (a)

+
yang merupakan
subgraf terinduksi dari (b)

+
(2,2).
Teorema 4.1.

+
(, ) memiliki pelabelan-
(, +2)untuk 2.
Bukti untuk teorema ini dapat dilihat pada [1].
Mengkombinasikan Teorema 4.1 dan Lemma 2.2,
diperoleh Akibat 4.2.
Akibat 4.2. Suatu out tree

+
merupakan graf
DNA jika dan hanya jika (

+
) 4.
Bukti. Misal

+
adalah out tree dengan tinggi
dan derajat maskimum . Jika

+
adalah graf
DNA, maka berdasarkan Lemma 2.2, 4.
Sebaliknya jika 4 maka berdasarkan Teorema
4.1,

+
memiliki pelabelan-(, +2) sehingga
berdasarkan definisi,

+
merupakan graf DNA.


5. Self Adjoint Digraph
Suatu graf disebut self adjoint jika ().
Misal menyatakan himpunan semua graf
dimana terdapat barisan subgraf terinduksi

0
,
1
, ,

dari , yang memenuhi


0
=


dan

= , dimana

adalah dicycle dengan


simpul.
+1
, = 0,1, , 1 didapat dari graf
berarah

dengan menambahkan simpul-simpul

1
,
2
, ,

dan busur-busur (,
1
), , (,

)
untuk suatu simpul

dan definisikan

= {

, }. Contoh ditunjukkan
pada Gambar 5.1. Pada [2] telah ditunjukkan
bahwa suatu graf terhubung akan self adjoint
jika dan hanya jika atau

. Karena
untuk = 1, adalah dicycle, maka untuk
pembahasan selanjutnya yang akan
dipertimbangkan hanya kasus untuk 2.
Teorema 5.1 menyatakan bahwa memiliki
pelabelan-(, ).
Teorema 5.1. Jika dan , , 2, maka
memiliki pelabelan-(, +1), =

+1 .
Bukti untuk teorema 5.1 dapat dilihat pada [1].
Contoh pelabelan-(, ) untuk diberikan
pada Gambar 5.2. Dengan mengkombinasikan
Teorema 5.1 dan Lemma 2.2 dan Lemma 2.3,
diperoleh Akibat 5.2.

(a) (b)

(c)
Gambar 5.1. Beberapa contoh graf berarah yang
termasuk dalam :
(a) Graf Matahari
5
, (b) Graf Kecebong (Tadpole
digraph)
4,3
dan(c)
1
dengan = 3 dan = 3
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 90

Gambar 5.2. Contoh pelabelan-(2,7) untuk
.
Akibat 5.2. Self adjoint digraph yang terhubung
merupakan graf DNA jika dan hanya jika 4.
Bukti. Misal yang memenuhi 4.
Berdasarkan Teorema 4.1,untuk suatu > 1,
memiliki pelabelan-(, +1). Berdasarkan
Lemma 2.3,

juga memiliki pelabelan-


(, +1) untuk suatu > 1. Karena 4,
maka menurut definisi graf DNA, Jika 4, Self
adjoint digraph yang terhubung merupakan graf
DNA. Sebaliknya misalkan merupakan
graf DNA, berdasarkan definisi graf DNA,
memiliki pelabelan-(4, ) untuk suatu > 1
sehingga berdasarkan Lemma 2.2 berlaku 4 .



Referensi

[1]. Li, Xianyue & Zhang, Heping. 2006.
Characterization for Some Types of DNA
Graphs. Journal of Mathematical Chemistry
Vol 42 no 2. 65 79.
[2]. Hao, Jianxiu. 2005. The Adjoints of DNA
Graphs. Journal of Mathematical Chemistry
Vol 37 no 4. 333 346.
Graf

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 91
MEMBANGUN SUATU GRAY CODE Gn (n=bilangan bulat positif)

Latifah
1
, Widaningrum
2


1
STMIK JAKARTA STI&K
2
UNIVERSITAS GUNADARMA

latifah@jak-stik.ac.id, aning@staff.gunadarma.ac.id


ABSTRAK

Gray code telah dipelajari secara luas dalam bidang Teknologi Informasi khususnya komputasi dan kombinatorial,
penggunaan Gray code cukup penting, misalnya dalam merubah informasi analog ke dalam bentuk digital. Tulisan ini
membahas tentang bagaimana membangun suatu Gray code G
n
(n= bilangan bulat positif) dengan menggunakan n-
cubes dan siklus Hamiltonian. Dari pengertian n-cubes dan siklus Hamiltonian didapat suatu konsep untuk
membangun suatu Gray code, selanjutnya dari konsep tersebut dibuat algoritma untuk membangun Gray code
tersebut.

Keywords : n-cube, siklus Hamiltonian, Gray code.


PENDAHULUAN

Gray code pertamakali ditemukan oleh Frank
Gray, tahun 1940. Pada waktu itu Gray code
digunakan untuk meminimumkan pengaruh
kesalahan dalam mentransmisikan signal-signal
digital [6]. Pada saat ini Gray code telah
dipelajari secara luas dalam bidang Teknologi
Informasi, misalnya digunakan untuk mengubah
informasi analog menjadi bentuk digital. Dengan
adanya Gray code diharapkan informasi dapat
diproses lebih cepat dan akurat.

Penelitian ini merupakan penelitian awal
mengenai kegunaan gray code dalam
menginduksi suatu n-cube graf menjadi suatu
subgraf.


BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dimulai dengan mencari konsep
mengenai graf, karena graf dapat merupakan
suatu model dari komputer parallel, selanjutnya
diperkenalkan konsep n-cube, sebagai model dari
komputer parallel. Dari konsep n-cube, didapat
pengertian siklus Hamiltonian.
Berdasarkan konsep n-cube dan siklus
Hamiltonian didapat pengertian dari Gray code,
selanjutnya didapat suatu cara untuk membangun
suatu Gray code dan dari cara ini dibuat
algoritma untuk membangun Gray code tersebut.
Penelitian ini merupakan suatu konsep pemikiran
bagaimana membangun suatu Gray code
berdasarkan suatu konsep kemudian dibuat
algoritmanya, selanjutnya pengembangan akan
dilakukan dengan meneliti apakah dengan
menggunakan Gray code tersebut n-cube dapat
diinduksi menjadi suatu subgraf.

Beberapa tahun terahir ini problema-problema
dapat diselesaikan dengan cepat dan akurat
dengan menggunakan komputer parallel.
Komputer paralel dibangun sebagai ganti dari
tradisional komputer yang sering disebut sebagai
serial komputer. Seperti telah diketahui bahwa
Komputer Paralel dengan banyak prosesor
mempunyai kemampuan mengeksekusi beberapa
instruksi dalam waktu yang bersamaan.

Graf merupakan suatu model yang dapat
menggambarkan komputer paralel tersebut. Salah
satu model untuk komputer parallel tersebut
dikenal sebagai n-cube atau hypercube [5]. Dari n
cube ini diperoleh suatu code yang disebut Gray
code.
Gray code dikenal juga dengan nama reflected
binary code, hal ini disebabkan kode-kode yang
digunakan berupa binary digit [6].
Gray code juga didefinisikan sebagai pelabelan
dari suatu arkus dari suatu siklus sedemikian
sehingga arkus yang berdampingan diberi label
dengan string bit yang berbeda tepat satu bit [6].

Berikut ini diberikan beberapa notasi dan definisi
yang berkaitan dengan Gray code.

Definisi 1. Suatu Graf (atau graf tak berarah) G
terdiri dari suatu Himpunan verteks-verteks V
dan suatu himpunan ruas-ruas E ,sedemikian
sehingga setiap ruas e E berkaitan dengan suatu
pasangan tak terurut 2 buah verteks . [4]

Definisi 2. n-cube mempunyai 2
n
prosesor-
prosesor, dengan n 1, yang direpesentasikan
oleh verteks-verteks yang diberi label 0,1,, 2
n

1. [5] (lihat gambar )


Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 92
000
001
010
011
101
111
110
100
1-Cube
2-Cube
0 1
00 01
10
11
3-Cube


n-cube juga dapat digambarkan secara recursive.
1-cube mempunyai 2 prosesor yang diberi label 0
dan 1 dan sebuah ruas.
Sebuah ruas dalam suatu n-cube menghubungkan
2 verteks jika representasi biner dari labelnya
berbeda tepat satu bit.

Definisi 3. Misalkan v
0
dan v
1
adalah verteks-
verteks dalam graf G.
Suatu path dari v
0
dan v
1
dengan panjang n adalah
suatu barisan alternatif dari n+1 verteks dan n ruas
yang dimulai dari verteks v
0
dan berakhir pada
verteks v
n,.
(v
0
, e
1,,
, v
1
,e
2
,v
2
,v
n-1,
e
n
,v
n
), dengan
ruas e
i
terjadi pada verteks v
i-1
dan v
i
untuk i
=1,2,,n. [6]

Definisi 4. Suatu cycle (siklus) adalah suatu path
yang panjangnya tidak nol dari verteks v ke
verteks v dalam graf G dengan ruas yang tidak
berulang. [6]

Definisi 5. Suatu path dalam graf yang dimulai
dan diakhiri oleh verteks yang sama dan
mengandung setiap verteks yang lain tepat satu
buah,disebut siklus Hamiltonian. [1]

Dalam terminology graf, n-cube mengandung
suatu siklus sederhana dengan 2
n
verteks sebagai
subgraf, karena n-cube mengandung 2
n
prosesor
maka n-cube mengandung suatu siklus
Hamiltonian.
Perhatikan bahwa jika n-cube mengandung siklus
Hamiltonian, maka n 2, karena 1 -cube tidak
mempunyai siklus.
Ingat bahwa verteks pada n-cube diberi label
0,1,,2
n
- 1 sedemikian sehingga suatu ruas
menghubungkan 2 buah verteks jika dan hanya
jika representasi biner dari label tersebut berbeda
tepat satu bit. Jadi n-cube mempunyai siklus
Hamiltonian jika dan hanya jika n 2 dan pada n-
cube terdapat suatu barisan :
s
1
, s
2
, ,s
2
n
dengan s
i
adalah suatu string dari n bit, yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Setiap n-bit string muncul dalam barisan.
b. s
i
dan s
i+1
berbeda tepat satu bit untuk i=
1,2,,2
n-1
.
c. s
2
n
dan s
1
berbeda tepat satu bit.
Barisan dengan kriteria tersebut di atas dikenal
dengan nama Gray Code [4].

Jika n 2, Gray code di atas berkaitan dengan
siklus Hamiltonian : s
1
,s
2
,,s
2
n
,s
1,
karena setiap
verteks muncul dan ruas ruas (s
i
,s
i+1
), i=1,2,.,
2
n
-1, dan (s
2
n
, s
1
) berbeda.
Jika n = 1, Gray code 0,1 berkorespondensi
dengan path (0,1,0) .

Gray code dapat pula didefinisikan sebagai
berikut.
Definisi 6. Perhatikan suatu barisan
[s]={[a
1
],[a
2
],[a
p
]}, di mana a
i
adalah suatu M-
tuple dari elemen-elemen dari himpunan
[Z
N
]={0,1,,N-1}. .Misalkan untuk 2 < i <p
bahwa [a
i-1
] dan [a
i
] berbeda tepat satu posisi dari
M-tuplenya. Jika [a
i
] dan

[a
p
] juga berbeda tepat
satu posisi dan jika semua [N
M
] kemungkinan M-
tuple terjadi tepat satu kali, (jadi p=N
M
), maka [s]
disebut Gray code dengan panjang [N
M
] atas
[Z
N
]. [2]

Pernyataan berikut memperlihatkan bagaimana
membangun suatu Gray code G
n
(n = bilangan
bulat positif) dan sekaligus membuktikan bahwa
n-cube mempunyai siklus Hamiltonian untuk
setiap bilangan bulat positif n 2 [4].

Misalkan G
1
dinotasikan sebagai barisan berisi
bilangan 0,1.
Didefinisikan G
n
dalam suku ke G
n-1
oleh aturan-
aturan berikut:
1. Misal G
n-1
R
dinotasikan sebagai G
n-1

yang ditulis dengan posisi berlawanan.
2. Misal G
n-1

dinotasikan barisan yang


didapat

dengan menambahkan angka 0
pada setiap elemen dari G
n-1
.
3. Misal G
n-1

dinotasikan barisan yang


didapat dengan menambahkan angka 1
pada setiap elemen dari G
n-1
R
.
4. Misal G
n
adalah barisan yang
mengandung G
n-1

dan diikuti oleh G


n-1

.,
Maka G
n
adalah suatu Gray Code untuk setiap
bilangan bulat positif n.

Pernyataan di atas dapat dibuktikan dengan
menggunakan induksi matematik.

Dari pernyataan di atas didapat, bahwa n-cube
mempunyai suatu siklus Hamiltonian untuk setiap
bilangan bulat poitif n 2 [4].






Graf

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 93
HASIL DAN DISKUSI

Dari konsep dan pernyataan pada bagian di atas
dapat dibuat suatu algoritma untuk membangun
suatu Gray code, sebagai berikut:

Input : Barisan bilangan 0 dan 1
Output: Barisan bilangan Gray code

1. Procedure membangun Gray_code
2. G
1
:= {0 , 1}
3. Generate G
1
R
//G
1
R
adalah barisan
bilangan dengan posisi yang berlawanan
dari G
1

4. For i:= 2 to n do
5. GA := 0concate G
i-1
//0
digabungkan dengan G
i-1

6. GB := 1concate G
i-1
R
//1
digabungkan dengan G
i-1
R

7. Gi := GA concate GB
8. Generate G
i
R
// G
i
R
adalah barisan
bilangan dengan posisi yang berlawanan
dengan Gi
9. end membangun Gray code
Keterangan:
Operator concate : 0 concate G
i-1
pada
algoritma di atas menyatakan bahwa angka 0
digabung/diletakkan penulisannya di depan
elemen-elemen dari G
i-1
demikian pula untuk
pernyataan 1 concate G
i-1
R
, artinya angka 1
digabung/diletakkan penulisannya di depan
elemen-elemen dari G
i-1
R
.
Pernyataan GA concate GB artinya elemen-
elemen dari GA digabung penulisannya dengan
elemen-elemen dari GB.
Contoh penggunaan Algoritma Gray code
G
1,
G
2,
G
3,
G
4
dengan ketentuan seperti di atas
adalah sebagai berikut:
dimulai dari G
1
= 0 ,1, maka :
G
1
: 0 1

G
1
R
: 1 0

G
1

: 00 01
G
1

: 11 10

G
2
: 00 01 11 10
G
2
R
: 10 11 01 00

G
2

: 000 001 011 010



G
2

: 110 111 101 100



G
3
: 000 001 011 010 110 111 101 100

G
3
R
: 100 101 111 110 010 011 001 000

G
3
:
0000 0001 0011 0010 0110 0111 0101
0100

G
3

: 1100 1101 1111 1110 1010 1011 1001


1000

G
4
: 0000 0001 0011 0010 0110 0111 0101
0100 1100 1101 1111 1110 1010 1011 1001
1000


4-cube yang berkaitan dengan G
4
di atas adalah:

0000
0101
0110
0011
0010
0001
0111
0100
1000
1101
1110
1011
1010
1001
1111
1100



Siklus Hamiltonian nya adalah:

0000
0010
0001
0011
0100 0101
0110 0111
1100
1101
1111
1110
1010
1001
1000
1011



KESIMPULAN

Dalam membangun suatu Gray code perlu
diperhatikan aturan-aturannya. Seperti pada
pembahasan terlihat bahwa Gray code dibentuk
dari formula sebelumnya. Dapat dihitung
banyaknya /panjang

Gray code G
1
= 2, G
2
= 4 =
2
2
,G
3
= 8 = 2
3
, G
4
= 16 =2
4
dan seterusnya, jadi
untuk G
n
banyaknya= 2
n
, selanjutnya dari hasil
dan diskusi di atas, dapat dikembangkan suatu
penelitian lebih lanjut apakah gray code tersebut
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 94
dapat menginduksi suatu n cube graf menjadi
suatu subgraf.
Penelitian ini seperti sudah dikatakan pada bagian
pendahuluan adalah suatu penelitian awal
mengenai konsep dan kegunaan lain dari Gray
code.


UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada:
1. Dr.Ernastuti, SSi ,MKomp. yang telah
banyak membantu sehingga makalah ini
dapat diselesaikan.
2. Dra. Rianti Setiadi, MStat, atas
bantuannya sehingga penulis dapat
berpartisipasi dalam Seminar Nasional
Matematika 2010 ini.







DAFTAR PUSTAKA

[1] Black,E.Paul, 15 November 2009. Graycode,
http://www.itl.nist.gov/div897/sqg/dads/HTML/gr
aycode.
[2] Cecil, David R,May 2001. Gray code
visualization schemes and recursive algorithms.
The texas journal of science,Texas
[3] H.S,Suryadi,1995. Teori Graf Dasar. Penerbit
Gunadarma,Jakarta.

[4] Johnsonbaugh, Richard, 1993. Discrete
Mathemathics. Macmillan Publishing
Company,New York.

[5] Respationo, Unggul Satrio,15 November
2009. Gray code & Aplikasinya,
www.informatika.org.

[6] Rosen, Kenneth H, 1999. Discrete
Mathematics and Its Applications. Mcgraw
Hill,New York.



Graf

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 95
ALGORITMA PELABELAN TOTAL (a, d)-SIMPUL ANTIAJAIB PADA GRAF
LINTASAN DAN GRAF LINGKARAN

Milla Rachmawati, Denny R. Silaban
Departemen Matematika FMIPA Universitas Indonesia, Depok 16424

{milla.rachmawati, denny-rs}@ui.ac.id


ABSTRAK

Misalkan G adalah graf dengan himpunan simpul V = V(G) dan himpunan busur E = E(G), dimana |V(G)| dan |E(G)|
menyatakan banyaknya simpul dan busur pada G. Suatu pemetaan dari V E ke himpunan {1,2,, |V| + |E|}
disebut pelabelan total (a, d)-simpul antiajaib jika merupakan pemetaan bijektif sedemikian sehingga semua bobot
simpul membentuk barisan aritmatika {a, a+d,, a+(n1)d} dengan suku awal a dan beda d. Jika d = 0 maka
pelabelan disebut pelabelan total simpul ajaib. Bobot dari simpul x adalah w

(x) = (x) +
yN(x)
(xy). Algoritma
pelabelan sembarang graf secara umum adalah bersifat NP-complete. Dalam makalah ini diberikan algoritma untuk
menghasilkan semua pelabelan total (a, d)-simpul antiajaib pada graf lintasan dan graf lingkaran untuk semua nilai n
a, dan d > 0 yang mungkin. Algoritma ini kemudian diimplementasikan dalam bentuk program. Diberikan juga
simulasi banyak pelabelan total (a, d)-simpul antiajaib yang berbeda untuk semua nilai a dan d yang mungkin untuk n
8.

Keywords: pelabelan total (a, d)simpul antiajaib, graf lintasan, graf lingkaran.


PENDAHULUAN

Dalam makalah ini, semua graf yang digunakan
berhingga, sederhana dan tak-berarah. Misalkan G
adalah graf dengan himpunan simpul V(G) dan
himpunan busur E(G) dan misalkan n = |V| dan e
= |E|.

Graf lintasan (path graph), P
n
, adalah graf
dengan n simpul dengan busur v
1
v
2
, v
2
v
3
, , v
n-1
v
n

atau dapat juga dinotasikan dalam v
1
v
2

v
n1
. Simpul v
1
disebut sebagai simpul awal
dan v
n
adalah simpul akhir. Semua simpul
berderajat 2 kecuali untuk simpul awal dan simpul
akhir berderajat satu.

Gambar 1. P
4
Graf lingkaran (cycle graph), C
n
, adalah graf
lintasan dengan n simpul yang diberi tambahan
busur antara simpul awal dan simpul akhir,
sehingga pada graf lingkaran semua simpul
memilliki derajat dua.

Gambar 2. C
4
Martin Baa dkk [1] memperkenalkan pelabelan
total (a,d)-simpul antiajaib dari suatu graf. Dalam
konsep tersebut didefinisikan suatu pemasangan
bilangan-bilangan bulat dari 1 sampai n + e ke
setiap simpul dan busur pada graf G sedemikian
sehingga penjumlahan label setiap simpul dan
label semua busur yang hadir pada masing-masing
simpul sebagai bobot simpul, dengan bobot
simpul x,
w

(x) = (x) +
yN(x)
(xy)
dimana N(x) merupakan himpunan semua simpul
yang bertetangga dengan x. Bobot simpul x
pelabelan dinyatakan sebagai w

(x), dimana
w

(x) suatu bilangan positif yang membentuk


sebuah barisan aritmatika.

Secara matematis, suatu pemetaan yang bersifat
satu-satu pada dari himpunan V E ke himpunan
{1, 2, , n + e} disebut suatu pelabelan total (a,
d)-simpul antiajaib (disingkat (a, d)-PTSAA)
dari suatu graf G = G(V,E) jika himpunan bobot
dari semua simpul di G adalah W = {w

(x) | x V}
= {a, a+d, , a+(n-1)d} untuk beberapa bilangan
bulat a dan d.


Gambar 3. (8, 1)-PTSAA pada C
3
dan dualnya
yaitu (11, 1)-PTSAA

Pada (a, d)-PTSAA didefinisikan pelabelan dual
sebagai berikut. Misalkan : V E {1, 2,, n
+ e} merupakan (a, d)-PTSAA pada graf G.
Definisikan : V E {1, 2, , n + e} sebagai
berikut:
(x) : n + e + 1 (x), x V
(xy) : n + e + 1 (xy), xy E
sehingga diperoleh (V E) = n + e + 1 (V
E) = {1, 2,, n + e}. Maka pelabelan disebut
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 96
dual dari . Contoh (a, d)-PTSAA dan dualnya
diberikan pada Gambar 3.

Saat ini telah ditemukan (a, d)-PTSAA untuk
beberapa jenis graf. Contohnya, Martin Baa dkk
[1] telah membuktikan bahwa graf lingkaran C
n

memiliki
3+5
2
, 2-PTSAA untuk n 3 dan n
ganjil,
5+5
2
, 2-PTSAA untuk n 3 dan n ganjil,
(3n+2,1)-PTSAA n 3; graf lintasan P
n
memiliki

31
2
, 2 -PTSAA untuk n 3 dan n ganjil,
(2e+1,1)-PTSAA untuk n 2. Penelitian secara
keseluruhan dari (a, d)-PTSAA dapat dilihat di
[2].

Algoritma pelabelan sembarang graf secara umum
adalah bersifat NP-complete Pembangunan
algoritma pelabelan biasanya dilakukan untuk
kelas graf tertentu, seperti pada Baker dan Sawada
[3] yang telah membangun algoritma pelabelan
total simpul ajaib untuk graf lingkaran C
n
dan
roda W
n
.

Dalam makalah ini akan diberikan algoritma (a,
d)-PTSAA untuk graf lintasan dan graf lingkaran
yang diimplementasikan dalam program Matlab.
Sebagai hasil implementasi dilakukan simulasi
yang memberikan banyaknya (a, d)-PTSAA yang
berbeda dari graf lintasan dan graf lingkaran
untuk setiap a dan d yang mungkin untuk n 8.


LANDASAN TEORI

Diberikan suatu graf G dengan v simpul dan e
busur. Misalkan M = e + n, S
n
dan S
e
masing-
masing adalah jumlah semua label simpul dan
busur dari G. Karena label terdiri dari bilangan
bulat 1, 2, ...., M maka jumlah label adalah:

=1
=
1
2
( + 1) (1)
Pada setiap simpul x, misalkan w

(x
i
) = a + id, i =
0, ..., n 1, maka jumlah bobot dari semua simpul
adalah penjumlahan dari jumlah label simpul dan
jumlah dua kali label busur, sehingga:

+ 2

=

2
(2 +( 1)) (2)
Dari persamaan (1) dan (2), diperoleh

=1
= +
1
=1
. (3)

Jika seluruh busur pada graf G dilabel dengan 1,
2, , e maka jumlah semua label busur S
e
akan
minimum dan jika dilabel dengan n + 1, n + 2, ,
n + e maka jumlah semua label busur S
e
akan
maksimum. Akibatnya

=1

=+1
. (4)
Dari persamaan (3) dan (4) diperoleh

=1
+

=1
+
1
=1

2

=1

=1
(5)
yang memberikan batasan nilai untuk a dan d.

Batasan dari nilai a dan d ini masih bisa
diperketat dengan memperhatikan struktur dari
graf. Misalkan adalah derajat terkecil dari G,
maka kemungkinan bobot simpul terkecil adalah 1
+ 2 + ... + ( + 1), sehingga

(+1)(+2)
2
(6)
Jika, adalah derajat terbesar dari G maka
kemungkinan bobot simpul terbesar adalah (n + e
) + (n + e + 1) + ... + (n + e 1) + (n + e),
sehingga
+ ( 1)
(+1)(2(+))
2
(7)
Dari kedua persamaan diatas, diperoleh batas d
dari (a,d)-PTSAA yaitu

(+1)(2(+))(+1)(+2)
2(1)
(8)

Pada graf lintasan P
n
, banyaknya simpul adalah n
dan banyaknya busur adalah e = n 1 dengan
demikian M = n + e = 2n 1. Derajat terbesar =
2 dan derajat terkecil = 1, sehingga dari
persamaan (8) diperoleh batas nilai d untuk graf
lintasan P
n
adalah

(+1)(2(+))(+1)(+2)
2(1)


(2+1)(2(21)2)(1+1)(1+2)
2(1)


3(44)2(3)
2(1)
=
6(1)3
(1)
= 6
3
1
(9)

Dari persamaan (9) diperoleh, jika n = 2 maka d
3, jika n = 3 maka d 4 dan jika n 4 maka d 5.
Dari persamaan (5) diperoleh
53
2

(1)
2

75
2

(1)
2

Dari persamaan (6) dan (7) diperoleh
3 dan (6 6) ( 1)
Sehingga batasan nilai a untuk graf lintasan P
n

adalah
3,
53
2

(1)
2
dan
min(6 6) ( 1),
75
2

(1)
2
(10)

Banyak simpul pada graf lingkaran C
n
adalah n
dan banyaknya busur adalah e = n sehingga M =
n + e = 2n. Derajat terbesar = 2 dan derajat
terkecil = 2, sehingga dari persamaan (8)
diperoleh batas nilai d untuk graf lingkaran C
n

adalah

(+1)(2(+))(+1)(+2)
2(1)


(2+1)(2(2)2)(2+1)(2+2)
2(1)


3(42)3(4)
2(1)
=
69
(1)
= 6
3
1
(11)
Dari persamaan (11) diperoleh, jika n = 3 maka d
4 dan jika n 4 maka d 5. Dari persamaan (5)
diperoleh
5 +3
2

( 1)
2

7 +3
2

( 1)
2

dan dari persamaan (6) dan (7) diperoleh
6 dan (6 3) ( 1).
Graf

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 97
Sehingga diperoleh batasan nilai a untuk graf
lingkaran C
n
adalah
6,
5+3
2

(1)
2
dan
min(6 3) ( 1),
7+3
2

(1)
2
. (12)


ALGORITMA (a, d)-PTSAA

Salah satu cara untuk menghasilkan semua (a, d)-
PTSAA untuk suatu graf G dapat dilakukan
dengan mencoba semua kemungkinan pemberian
label 1, 2, ,v + e ke simpul dan busur graf G
kemudian memeriksa apakah diperoleh bobot
yang membentuk barisan a, a+d, , a+(v-1)d.
Terdapat (v + e)! pemetaan yang mungkin.
Sebagian pelabelan yang diperoleh merupakan
pelabelan yang isomorfis dengan yang lain.
Pelabelan yang isomorfis terjadi karena kasus
rotational symmetry atau reflective symmetry.
Kedua kasus tersebut harus dihindari agar dapat
diperoleh hasil yang berbeda. Pada Gambar 4
diberikan kasus rotational symmetry sedangkan
Gambar 5 adalah kasus reflective symmetry.

Gambar 4. Kasus rotational symmetry pada C
3

dengan a = 8 dan d = 1.

Gambar 5. Kasus reflective symmetry pada C
3

dengan a = 8 dan d = 1.


ALGORITMA (a, d)-PTSAA LINGKARAN

Baker dan Sawada [3] telah membuat suatu
algoritma iteratif untuk menentukan semua PTSA
yang berbeda pada graf lingkaran. Algoritma
PTSA untuk graf lingkaran tersebut [3],
dimodifikasi untuk meperoleh (a, d)-PTSAA pada
graf lingkaran.

Di sini algoritma PTSA pada graf lingkaran [3],
label dari bobot tiap simpulnya adalah sama yaitu
k (konstanta ajaib) dimana beda d = 0, sehingga
(e
2
) = k (v
2
) (e
1
), kemudian, jika (v
3
) dan
(e
2
) sudah diketahui, maka nilai dari (e
3
) dapat
diketahui. Sedangkan algoritma (a, d)-PTSAA
pada graf lingkaran serupa dengan algoritma
PTSA pada graf lingkaran [1], hanya saja pada
algoritma (a, d)-PTSAA pada graf lingkaran
bobot tiap simpulnya adalah W = {w

(x) | x V}=
{a, a+d,, a+(n-1)d}, dengan suku awal a > 0
dan beda d > 0, maka (e
2
) = W (v
2
) (e
1
),
dimana nilai W di coba dari a, a+d dan seterusnya
sampai a + (n -1)d sehingga diperoleh nilai dari
(e
2
) yang tidak memenuhi ketiga kondisi
berikut:
1. (x) < 1
2. (x) > |V| + |E|, dan
3. (x) sudah digunakan dalam pelabelan.
Kemudian, jika (v
3
) dan (e
2
) sudah diketahui,
maka nilai dari (e
3
) juga dapat diketahui.

Dalam algoritma (a, d)-PTSAA ini, ingin
diketahui berapa banyak (a, d)-PTSAA yang unik,
dan menjadikan n (ukuran pada graf lingkaran
yaitu n = |V|), d (beda) dan a (suku awal) sebagai
input.

Algoritma (a, d)-PTSAA pada graf lingkaran
terdiri dari 2 fungsi yaitu initializeCycle
(Algoritma 1) dan extendCycle (Algoritma 2).
Dari algoritma ini dapat diketahui apakah ada (a,
d)-PTSAA pada graf lingkaran dengan n, a dan d
tertentu, dimana n = |V| dengan suku awal a > 0
dan beda d > 0, untuk beda d = 0 menggunakan
algoritma PTSA pada graf lingkaran [3]. Jika ada,
maka berapa banyakkah (a,d)-PTSAA berbeda
yang mungkin. Sehingga sebelum menjalankan
algoritma (a, d)-PTSAA pada graf lingkaran,
ditentukan terlebih dahulu variabel umum n, a, d,
list label {1,2,,v+e} yang tersedia untuk
melabelkan simpul dan busur, dan list bobot
simpul W = {a, a+d, , a+(n-1)d} yang tersedia.
List ini digunakan untuk menjaga agar tidak
terjadi pengulangan penggunaan label maupun
bobot. Dari persamaan (11) diperoleh batas dari
beda d dan dari persamaan (12) diperoleh batasan
suku awal a dari graf lingkaran.

Algoritma (a, d)-PTSAA pada graf lingkaran
dimulai dengan tahap inisialisasi (dengan
memanggil initializeCycle()). Pada tahap ini kita
memberi label 1 simpul dan 2 busur (v
1
, e
1,
dan
e
n
). Kemudian initializeCycle memanggil
extendCycle(2) yang secara rekursif memberi
label pada simpul dan busur hingga tersisa hanya
satu simpul (v
n
) yang belum diberi label.

InitializeCycle() dimulai dengan melabelkan
semua kemungkinan label pada simpul v
1
dan
busur e
1
. Dalam tahap ini, (v
1
) harus memiliki
label simpul terkecil untuk menghilangkan kasus
rotational symmetry. Kemungkinan label terbesar
untuk v
1
adalah n + 1 karena v
1
harus dilabelkan
dengan label simpul terkecil, dan kita harus
menyisakan n 1 label yang lebih besar daripada
(v
1
) untuk simpul yang lainnya. Kemudian
melabelkan busur e
n
, yaitu (e
n
) = W (v
1
)
(e
1
) dengan mencoba setiap list bobot simpul W
yang tersedia, untuk menghilangkan kasus
reflective symmetry maka harus diberi syarat
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 98
bahwa (e
n
) > (e
1
). Kemudian initializeCycle
memanggil extendCycle dengan parameter 2.
Pada fungsi ini akan diberi label untuk semua
simpul dan busur yang belum dilabel kecuali
simpul terakhir. Jika label yang tersisa untuk v
n
membuat pelabelan menjadi (a, d)-PTSAA maka
pelabelan pada C
n
sudah komplit dan kemudian
hasil pelabelannya akan dicetak. Selanjutnya
algoritma ini akan mencari (a, d)-PTSAA pada
graf lingkaran lainnya dengan melakukan
backtracking atau penelusuran kembali sesuai
dengan langkah-langkah sebelumnya hingga
diperoleh semua (a, d)-PTSAA pada graf
lingkaran yang tidak isomorfik.

Algoritma 1.
InitializeCycle()
for each available label i where i n + 1 do
(v
1
) := i
avail[i] := false
for each available label j do
(e
1
) := j
avail[j] := false
for each available W do
(e
n
) := W (v
1
) (e
1
)
if (e
1
)< (e
n
) 2n and avail[(e
n
)] then
avail[(e
n
)] := false
avail[W] := false
extendCycle (2)
avail[(e
n
)] := true
avail[W] := true
avail[j] := true
avail[i] := true

Algoritma 2.
ExtendCycle (t)
if t = n then
for each available W do
(v
n
) = W (e
n
) (e
n1
)
if (v
1
) < (v
n
) 2n and avail[(v
n
)] then
Print ()
else
for each available label i where i > (v
1
) do
(v
t
) := i
avail[i] := false
for each available W do
(e
t
) := W (v
t
) (e
t1
)
if 0 < (e
t
) 2n and avail[(e
t
)] then
avail[(e
t
)] := false
avail[W] := false
extendCycle (t + 1)
avail[(e
t
)] := true
avail[W] := true
avail[i] := true


ALGORITMA (a, d)-PTSAA LINTASAN

Pada bagian ini diberikan algoritma (a, d)-PTSAA
pada graf lintasan. Algoritma ini adalah
modifikasi dari algoritma (a, d)-PTSAA untuk
graf lingkaran. Dengan algoritma ini ingin
diketahui berapa banyak (a, d)-PTSAA yang unik,
dan menjadikan n (ukuran pada graf lintasan yaitu
n = |v|), d (beda) dan a (suku awal) sebagai input.
Algoritma (a, d)-PTSAA pada P
n
terdiri dari 2
fungsi yaitu initializePath (Algoritma 3) dan
extendPath (Algoritma 4). Dari algoritma ini
dapat diketahui apakah ada (a, d)-PTSAA pada
graf lintasan

dengan n, a dan d tertentu, dimana n
= |V| dengan suku awal a > 0 dan beda d > 0. Jika
ada, maka berapa banyakkah (a, d)-PTSAA
berbeda yang mungkin. Sehingga sebelum
menjalankan algoritma (a, d)-PTSAA pada graf
lintasan, ditentukan terlebih dahulu variabel
umum n, a, d, list label {1, 2, ,v + e} yang
tersedia yang digunakan untuk melabelkan simpul
dan busur, dan list bobot simpul W = {a, a+d, ,
a+(n-1)d} yang tersedia. List ini digunakan untuk
menjaga agar tidak terjadi pengulangan
penggunaan label maupun bobot. Dari persamaan
(9) diperoleh batas dari beda d dan dari persamaan
(10) diperoleh batasan suku awal a dari graf
lintasan.

Algoritma 3
InitializePath ()
for each available label i where i 2n 2 do
(v
1
) := i
avail[i] := false
for each available W do
(e
1
) := W (v
1
)
if 0 < (e
1
) 2n 1 and avail[(e
1
)] then
avail[(e
1
)] := false
avail[W] := false
extendPath (2)
avail[(e
1
)] := true
avail[W] := true
avail[i] := true

Algoritma 4
ExtendPath (t)
if t = n then
for each available W do
(v
n
) = W (e
n1
)
if (v
1
) <(v
n
) 2n-1 and avail[(v
n
)] then
Print ()
else
for each available label i do
(v
t
) := i
avail[i] := false
for each available W do
(e
t
) := W (v
t
) (e
t1
)
if 0 < (e
t
) 2n 1 and avail[(e
t
)] then
avail[(e
t
)] := false
avail[W] := false
extendPath (t + 1)
avail[(e
t
)] := true
avail[W] := true
avail[i] := true

Algoritma (a, d)-PTSAA pada graf lintasan
dimulai dengan tahap inisialisasi (dengan
memanggil initializePath()). Pada tahap ini kita
memberi label 1 simpul dan 1 busur (v
1
dan e
1
).
Kemudian initializePath memanggil
Graf

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 99
extendPath(2) yang secara rekursif memberi
label pada simpul dan busur hingga tersisa hanya
satu simpul (v
n
) yang belum diberi label.

InitializePath() dimulai dengan melabelkan
semua kemungkinan label pada simpul v
1
. Dalam
tahap ini, (v
1
) harus lebih kecil dari (v
n
) untuk
menghilangkan kasus reflective symmetry.
Kemungkinan label terbesar untuk v
1
adalah 2n
2. Kemudian melabelkan busur e
1
, yaitu (e
1
) = W
(v
1
) dengan mencoba setiap list label bobot
simpul W yang tersedia. Kemudian initializePath
memanggil extendPath dengan parameter 2.

Pada fungsi ini akan diberi label untuk semua
simpul dan busur yang belum dilabel kecuali
simpul terakhir. Jika label yang tersisa untuk v
n
membuat pelabelan menjadi (a, d)-PTSAA maka
pelabelan pada P
n
sudah komplit dan kemudian
hasil pelabelannya akan dicetak. Selanjutnya
algoritma ini akan mencari (a, d)-PTSAA pada
graf lintasan lainnya dengan melakukan
backtracking hingga diperoleh semua (a, d)-
PTSAA pada graf lintasan yang tidak isomorfik.


SIMULASI

Algoritma (a,d)-PTSAA diimplementasikan
dalam bentuk program. Kemudian program
dijalankan pada PC dengan prosesor Intel Pentium
Dual CPU T2370 1.73 GHz, 1.49 GB RAM. Hasil
simulasi program memberikan semua (a,d)-
PTSAA berbeda yang mungkin. Namun di sini
hanya diberikan banyaknya (a, d)-PTSAA yang
berbeda untuk setiap nilai n, a dan d yang
diberikan.

Pada Gambar 6 dan 7 (a, d)-PTSAA pada graf
lingkaran dengan n = 3, a = 8 dan d = 1, dan (a,
d)-PTSAA pada graf lintasan dengan n = 3, a = 5
dan d = 1.

Gambar 6. (8, 1)-PTSAA pada graf lingkaran C
n
.



Gambar 7. (8, 1)-PTSAA pada graf lintasan P
n
.


Tabel 1, 2, 3, 4, 5 memberikan banyaknya
masing-masing (a, 1), (a, 2), (a, 3), (a, 4), (a, 5)-
PTSAA yang unik pada graf lingkaran C
3
sampai
C
8
berdasarkan suku awal a. Sedangkan Tabel 6,
7, 8, 9, 10 memberikan banyaknya masing-masing
(a, 1), (a, 2), (a, 3), (a, 4), (a, 5)-PTSAA yang
unik pada graf lintasan P
2
sampai P
8
berdasarkan
suku awal a yang diperoleh berdasarkan
persamaan (10). Baris pertama di setiap kolom
Tabel 1 sampai Tabel 10, menyatakan jenis graf
dan ukurannya yaitu n. Kolom a adalah suku awal
yang diperoleh dari (12) untuk graf lingkaran dan
untuk graf lintasan diperoleh dari persamaan (10).
Kolom # (a, d)-PTSAA dengan beda d adalah
banyaknya (a, d)-PTSAA untuk setiap graf
dengan n dan a tertentu. Kolom total pada baris
terakhir di setiap tabel menunjukkan banyaknya
pelabelan untuk graf yang berkaitan dengan
ukuran n.

Hasil (a, d)-PTSAA untuk C
n
termasuk dengan
pelabelan dualnya. Sebagai contoh pada Tabel 1,
dual dari (a, d)-PTSAA untuk C
3
dengan a = 8
adalah C
3
dengan a = 11. Dikarenakan terbatasnya
waktu, simulasi algoritma (a, d)-PTSAA graf
lintasan P
n
dan graf lingkaran C
n
baru dilakukan
sampai n = 8 untuk 0 < d 5.


KESIMPULAN

Dalam makalah ini telah ditunjukkan bahwa
dengan menggunakan algoritma (a, d)-PTSAA
pada graf lintasan dan graf lingkaran dapat
diketahui bahwa graf lintasan memiliki (a, d)-
PTSAA untuk 2 n 8 dan d 3, (a, d)-PTSAA
untuk 3 n 8 dan d 4, dan (a, d)-PTSAA
untuk 4 n 8 dan d 5. Graf lingkaran
memiliki (a, d)-PTSAA untuk 3 n 8 dan d 4,
(a, d)-PTSAA untuk 4 n 8 dan d 5. Dari
algoritma (a, d)-PTSAA pada graf lintasan dan
graf lingkaran juga dapat diketahui banyaknya (a,
d)-PTSAA pada masing-masing graf yang unik
untuk setiap n, a, dan d. Simulasi algoritma ini,
untuk n yang lebih besar akan membutuhkan
waktu yang lebih lama.


DAFTAR PUSTAKA

[1] M. Baa, F. Bertault, J. A. MacDougall, M.
Miller, R. Simanjuntak dan Slamin, Vertex-
antimagic total labelings of graphs, Discuss.
Math. Graph Theory, 23 (2003) 67-83.
[2] A. Baker dan J. Sawada, Magic Labelling on
Cycles and Wheels, COCOA LNCS, (2008)
361-373.
[3] J. A. Gallian, A Dynamic survey of graph
labeling, Electronic. J. Comb 5 (1998), #DS6.
[4] A. Parestu, Denny R. Silaban, Kiki A.
Sugeng, Pelabelan Simpul-Ajaib Total dari
Gabungan Graf Matahari, Prosiding Seminar
Nasional Matematika Universitas
Padjajaran, vol. 3 (2008) 407-414.

Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 100

Tabel 1. Banyaknya (a,1)-PTSAA unik pada graf lingkaran C
3
sampai C
8
berdasarkan suku awal a.
C
3
C
4
C
5
C
6
C
7
C
8
a # (a,1)-
PTSAA
a # (a,1)-
PTSAA
a # (a,1)-
PTSAA
a # (a,1)-
PTSAA
a # (a,1)-
PTSAA
a # (a,1)-
PTSAA
8 2 10 12 12 80 14 904 16 12204 18 226744
9 0 11 8 13 60 15 954 17 14824 19 344721
10 0 12 17 14 109 16 1752 18 32547 20 802181
11 2 13 8 15 109 17 2666 19 47699 21 1330266
14 12 16 60 18 1752 20 47699 22 1556055
17 80 19 954 21 32547 23 1330266
20 904 22 14824 24 802181
23 12204 25 344721
26 226744
Total: 4 Total: 57 Total: 498 Total: 9886 Total: 214548 Total: 6963879

Tabel 2. Banyaknya (a,2)-PTSAA unik pada graf lingkaran C
3
sampai C
8
berdasarkan suku awal a.
C
3
C
4
C
5
C
6
C
7
C
8
a # (a,2)-
PTSAA
a # (a,2)-
PTSAA
a # (a,2)-
PTSAA
a # (a,2)-
PTSAA
a # (a,2)-
PTSAA
a # (a,2)-
PTSAA
7 1 9 7 10 8 12 233 13 722 15 40094
8 4 10 24 11 25 13 1005 14 6943 16 212333
9 4 11 24 12 154 14 2460 15 20046 17 441617
10 1 12 7 13 154 15 2460 16 43988 18 973962
14 25 16 1005 17 43988 19 973962
15 8 17 233 18 20046 20 441617
19 6943 21 212333
20 722 22 40094
Total: 10 Total: 62 Total: 374 Total: 7396 Total: 143418 Total: 3336012

Tabel 3. Banyaknya (a,3)-PTSAA unik pada graf lingkaran C
3
sampai C
8
berdasarkan suku awal a.
C
3
C
4
C
5
C
6
C
7
C
8
a # (a,3)-
PTSAA
a # (a,3)-
PTSAA
a # (a,3)-
PTSAA
a # (a,3)-
PTSAA
a # (a,3)-
PTSAA
a # (a,3)-
PTSAA
6 0 7 0 8 0 9 0 10 0 11 0
7 2 8 8 9 22 10 112 11 1207 12 12561
8 2 9 5 10 41 11 298 12 6023 13 74057
9 0 10 8 11 41 12 1100 13 10529 14 187557
11 0 12 22 13 298 14 10529 15 276001
13 0 14 112 15 6023 16 187557
15 0 16 1207 17 74057
17 0 18 12561
19 0
Total: 4 Total: 21 Total: 126 Total: 1920 Total: 35518 Total: 824351

Tabel 4. Banyaknya (a,4)-PTSAA unik pada graf lingkaran C
3
sampai C
8
berdasarkan suku awal a.
C
3
C
4
C
5
C
6
C
7
C
8
a # (a,4)-
PTSAA
a # (a,4)-
PTSAA
a # (a,4)-
PTSAA
a # (a,4)-
PTSAA
a # (a,4)-
PTSAA
a # (a,4)-
PTSAA
6 1 6 0 6 0 7 0 7 0 8 0
7 1 7 1 7 1 8 21 8 22 9 776
8 1 8 19 9 95 9 867 10 11380
9 0 9 19 10 95 10 2545 11 27426
10 1 11 21 11 2545 12 27426
11 0 12 0 12 867 13 11380
13 22 14 776
14 0 15 0
Total: 2 Total: 2 Total: 40 Total: 232 Total: 6868 Total: 79164

Graf

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 101
Tabel 5. Banyaknya (a,5)-PTSAA unik pada graf lingkaran C
3
sampai C
8
berdasarkan suku awal a.
C
3
C
4
C
5
C
6
C
7
C
8
a # (a,5)-
PTSAA
a # (a,5)-
PTSAA
a # (a,5)-
PTSAA
a # (a,5)-
PTSAA
a # (a,5)-
PTSAA
a # (a,5)-
PTSAA
6 1 6 4 6 5 6 8 6 2
7 4 7 18 7 75 7 454
8 5 8 75 8 1394
9 8 9 454
10 2
Total: Total: 1 Total: 8 Total: 28 Total: 166 Total: 2036

Tabel 6. Banyaknya (a,1)-PTSAA unik pada graf lintasan P
2
sampai P
8
berdasarkan suku awal a.
P
2
P
3
P
4
P
5
P
6
P
7
P
8
a # (a,1)-
PTSAA
a # (a,1)-
PTSAA
a # (a,1)-
PTSAA
a # (a,1)-
PTSAA
a # (a,1)-
PTSAA
a # (a,1)-
PTSAA
a # (a,1)-
PTSAA
3 1 5 2 7 12 9 80 11 904 13 12204 15 226744
4 1 6 0 8 8 10 60 12 954 14 14824 16 344721
7 0 9 10 11 77 13 1274 15 26016 17 659799
10 0 12 31 14 1329 16 27096 18 846510
13 0 15 363 17 17944 19 726106
16 0 18 4227 20 368298
19 0 21 73814
22 0
Total: 2 Total: 2 Total: 30 Total: 248 Total: 4824 Total:102311 Total: 3245992

Tabel 7. Banyaknya (a,2)-PTSAA unik pada graf lintasan P
2
sampai P
8
berdasarkan suku awal a.
P
2
P
3
P
4
P
5
P
6
P
7
P
8
a # (a,2)-
PTSAA
a # (a,2)-
PTSAA
a # (a,2)-
PTSAA
a # (a,2)-
PTSAA
a # (a,2)-
PTSAA
a # (a,2)-
PTSAA
a # (a,2)-
PTSAA
3 1 4 1 6 7 7 8 9 233 10 722 12 40094
5 3 7 20 8 21 10 849 11 6555 13 193476
6 1 8 5 9 138 11 1804 12 15613 14 315562
10 19 12 621 13 30412 15 685065
11 4 13 83 14 11014 16 242031
15 3125 17 93808
16 281 18 11634
Total: 1 Total: 5 Total: 32 Total: 190 Total: 3590 Total: 67722 Total:1581670

Tabel 8. Banyaknya (a,3)-PTSAA unik pada graf lintasan P
2
sampai P
8
berdasarkan suku awal a.
P
2
P
3
P
4
P
5
P
6
P
7
P
8
a # (a,3)-
PTSAA
a # (a,3)-
PTSAA
a # (a,3)-
PTSAA
a # (a,3)-
PTSAA
a # (a,3)-
PTSAA
a # (a,3)-
PTSAA
a # (a,3)-
PTSAA
3 0 3 0 4 0 5 0 6 0 7 0 8 0
4 1 5 6 6 20 7 106 8 1195 9 12529
5 1 6 2 7 29 8 196 9 4789 10 65338
7 2 8 25 9 496 10 5774 11 129942
9 6 10 86 11 4474 12 107686
11 11 12 1245 13 65839
13 76 14 14100
15 291
Total: 0 Total: 2 Total: 10 Total: 80 Total: 895 Total: 17553 Total: 395725








Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 102
Tabel 9. Banyaknya (a,4)-PTSAA unik pada graf lintasan P
2
sampai P
8
berdasarkan suku awal a.
P
2
P
3
P
4
P
5
P
6
P
7
P
8
a # (a,4)-
PTSAA
a # (a,4)-
PTSAA
a # (a,4)-
PTSAA
a # (a,4)-
PTSAA
a # (a,4)-
PTSAA
a # (a,4)-
PTSAA
a # (a,4)-
PTSAA
3 1 3 0 3 0 4 0 4 0 5 0
4 0 4 0 4 1 5 18 5 22 6 722
5 0 5 15 6 58 6 762 7 9531
6 4 7 32 7 1947 8 14862
7 0 8 3 8 788 9 12652
9 147 10 2687
10 0 11 77
Total: Total: 1 Total: 0 Total: 20 Total: 111 Total: 3666 Total: 40581

Tabel 10. Banyaknya (a,5)-PTSAA unik pada graf lintasan P
2
sampai P
8
berdasarkan suku awal a.
P
2
P
3
P
4
P
5
P
6
P
7
P
8
a # (a,5)-
PTSAA
a # (a,5)-
PTSAA
a # (a,5)-
PTSAA
a # (a,5)-
PTSAA
a # (a,5)-
PTSAA
a # (a,5)-
PTSAA
a # (a,5)-
PTSAA
3 1 3 3 3 5 3 8 3 2
1 4 2 4 13 4 53 4 363
5 2 5 43 5 954
6 0 6 179
7 0
Total: Total: Total: 2 Total: 5 Total: 20 Total: 104 Total: 1498


Graf

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 103
PEMBANGKITAN PERMUTASI DENGAN DUA SIKLUS

Sulistyo Puspitodjati
1
, Asep Juarna
1
, Djati Kerami
2
, Ernastuti
1

1
Jurusan Teknik Informatika FTI Universitas Gunadarma
2
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Indonesia

{sulistyo, ajuarna, ernas}@staff.gunadarma.ac.id, djatikr@ui.edu


ABSTRAK

Salah satu topik utama dari kombinatorik adalah membangkitkan objek dari kelas tertentu untuk parameter tertentu.
Makalah ini membahas pembangkitan lengkap objek kombinatorial permutasi yang mempunyai dua siklus dengan
panjang n. Maksud dari membangkitan secara lengkap tersebut adalah mencari cara atau metode atau algoritma untuk
mencacah (list, enumerate) semua objek dalam urutan tertentu tanpa pengulangan dan tidak melewatkan satu objek
pun. Salah satu pendekatan untuk pembangkitan lengkap adalah dengan yang disebut pohon pembangkit. Metode
yang akan digunakan dalam pembangkitan permutasi dengan dua siklus tersebut, adalah pohon yang
menggambarkan keluarga tertentu dari objek kombinatorial; tiap simpul berhubungan dengan satu objek, dan
cabangnya menuju simpul yang mengkodekan alternatif yang dipilih dalam mengkonstruksikan objek.
Makalah juga membahas analisa algoritma pembangkitan dan menunjukkan kemungkinan deretan objek yang
dibangkitkan membentuk kode Gray.

Kata kunci: pengbangkitan lengkap, permutasi dengan dua siklus, pohon pembangkit, analisa algoritma
pembangkitan.


PENDAHULUAN

Pembangkitan objek dari kelas tertentu untuk pa-
rameter tertentu, baik secara lengkap (exhaustive
generation) atau secara acak (random gene-
ration). Maksud dari membangkitan secara leng-
kap tersebut adalah mencari cara atau metode atau
algoritma untuk mencacah semua objek dalam
urutan tertentu tanpa pengulangan dan tidak
melewatkan satu objek pun. Algoritma-algoritma
tersebut berguna pada banyak bidang seperti uji
perangkat keras maupun perangkat lunak,
biokimia, biologi dan termodinamika [3, 7].
Pembangkitan lengkap sering juga digunakan
untuk memecahkan masalah-masalah NP-
complete, dan menganalisa atau membuktikan
suatu program [12].
Salah satu pendekatan untuk membangkitkan
objek kombinatorial adalah dengan yang disebut
pohon pembangkit atau sering diidentikkan
dengan nama metode ECO (enumerating
combinatorial objects) [1]. Dalam metode ECO
setiap objek diperoleh dari objek yang lebih kecil
yang diekspansikan dengan rumusan yang disebut
aturan suksesi. Aturan suksesi ini dapat
direpresentasikan dalam suatu pohon dan disebut
pohon pembangkit [9]. Pohon pembangkit ini
telah ditunjukkan efisien dalam konteks
pembangkitan kombinatorial, yaitu waktu untuk
menghasilkan N objek berukuran n adalah O(N).
Objek-objek yang telah ditunjukkan efisien
dibangkitkan dengan pohon pembangkit tersebut
adalah: objek Catalan dalam [3] dan [9], untuk
permutasi penghindaran pola umum (generelazid
pattern avoidance) dalam [8], convex polyomi-
noespan dalam [6], dan untuk struktur Gray dalam
[4]. Pohon pembangkit juga secara detail dibahas
untuk beberapa objek dalam [1] dan [13].
Selain itu, pohon pembangkit mempunyai peman-
faatan yang penting dalam kombinatorial, yaitu
bijeksi dan pembangkitan acak [7].
Karena itu makalah ini akan membahas
pembangkitan permutasi siklus menggunakan
pendekatan pohon pembangkit atau dikenal juga
sebagai metode ECO.


PERMUTASI
Permutasi adalah pemetaan dari suatu himpunan
ke dirinya sendiri. Atau secara formal:
Definisi 1: Permutasi dari himpunan S = [n] =
{1,2,..,n} adalah fungsi bijektif : S S.

Salah satu representasi dari permutasi adalah
dengan perkalian siklusnya. Siklus dari permutasi
adalah himpunan bagian dari suatu himpunan
yang elemen-elemennya masuk dalam satu orbit.
Secara khusus siklus dengan panjang k dari suatu
permutasi adalah urutan a
1
, a
2
, , a
k
sedemikian
sehingga a
i
= (a
i-1
) untuk i = 2, 3, , k, dan a
1
=
(a
k
) atau
k
(a
i
) = a
i
[10, 5]. Contoh, permutasi
berikut:

Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 104
dapat diwakili oleh diagram di bawah ini.

Permutasi tersebut mempuyai 4 siklus (1),
(2 4 8 3), (5), and (6 7). Siklus (2 4 8 3) adalah
siklus dengan panjang k = 4, karena
4
(2) = 2.
Dengan perkalian siklus, dapat dinyatakan
sebagai = (1)(2483)(5)(67). Karena siklus
(8324) menyatakan siklus yang sama dengan
(2483), maka sering digunakan cara yang unik
untuk menyatakan permutasi menggunakan notasi
siklus, yang disebut sebagai notasi siklus kano-
nikal. Cara ini adalah menulis elemen terbesar
pada setiap siklus terlebih dahulu, kemudian
mengurutkan setiap siklus dari kecil ke besar
berdasarkan elemen-elemen pertama pada siklus.
Dengan demikian = (1)(2483)(5)(67) dalam
notasi siklus kanonikal adalah =
(1)(5)(76)(8324).

Banyaknya permutasi [n] dengan m siklus adalah
bilangan Stirling tanpa tanda jenis pertama c(n,m)
[10, 5]. Dimana

c(n,n) = 1
c(n,1) = (n-1)! (1)
c(n,m) = (n-1).c(n-1,m) + c(n-1,m-1), 1 < m < n.

Makalah ini akan membahas permutasi dengan m
siklus, khusus m = 2. Banyaknya permutasi [n]
dengan 2 siklus menurut formula (1) diatas adalah
c(n,2) = (n-1).c(n-1,2) + (n-2)!.


POHON PEMBANGKIT

Salah satu topik dalam kombinatorik adalah
pembangkitan objek secara lengkap. Pembang-
kitan ini berarti membangkitkan (menghadirkan)
semua anggota dari kelas kombinatorial tertentu
secara efisien yang sedemikian sehingga setiap
anggota muncul tepat sekali. Salah satu
pendekatan untuk pembangkitan lengkap adalah
dengan yang disebut pohon pembangkit. Pohon
pembangkit adalah pohon yang menggambarkan
keluarga tertentu dari objek kombinatorial; tiap
simpul berhubungan dengan satu objek, dan
cabangnya menuju simpul yang mengkodekan
alternatif yang dipilih dalam mengkonstruksikan
objek. Pohon pembangkit menjanjikan komputasi
yang cepat dalam mengenumerasi barisan objek.
Metode pohon pembangkit ini disistematisasikan
oleh Barcucci, Del lungo, Pergola, and Pinzani,
dengan nama sistem ECO (enumerating
combinatorial objects) [1]. Dalam metode ECO
ini setiap objek diperoleh dari objek yang lebih
kecil dengan melakukan ekspansi lokal.
Seringkali ekspansi lokal tersebut sangat teratur
dan dapat dijelaskan dalam aturan suksesi.
Metode ECO ini telah ditunjukkan efektif untuk
beberapa struktur kombinatorik, seperti: objek
Catalan dalam [3] dan [9], untuk permutasi
penghindaran pola umum (generelazid pattern
avoidance) dalam [8], convex polyominoespan
dalam [6], dan untuk struktur Gray dalam [4].
Namun penelitian-penelitian tersebut belum
membahas pembang-kitan permutasi siklus
dengan pohon pembangkit atau metode ECO
tersebut. Subbab berikut akan menjelaskan
metode ECO secara lebih rinci.

Metode ECO, Aturan Suksesi, Pohon
Pembangkit

Bagaimana metode ECO bekerja dijelaskan dalam
[3, 7, 1], sebagaimana berikut.

Operator ECO
Misalkan O adalah kelas objek kombinatorial dan
p: O N adalah parameter yang hingga pada O,
yaitu parameter p sedemikian sehingga O
n
= {O
O : p(O) = n} dari objek berukuran n adalah
hingga. Misalkan v : O 2
O
adalah operator yang
sedemikian sehingga v(O
n
) 2
On+1
. Operator v
menggambarkan bagaimana objek kecil
menghasilkan objek yang lebih besar.

Proposisi-1: Jika v memenuhi, untuk setiap n 0,
1. untuk setiap O O
n+1
, akan terdapat O
O
n
sedemikian sehingga O v, dan
2. untuk setiap O, O O
n
, akan
menggambarkan v(O) v(O) = kapanpun
O O, maka famili himpunan F
n+1
= { v(O):
O O
n
} adalah partisi dari O
n+1
.

Operator v yang memenuhi kondisi 1 dan 2
tersebut di atas, dikatakan sebagai operator ECO.
Jadi operator ECO membangkitkan semua objek
O sedemikian sehingga setiap objek O O
n+1

diperoleh secara unik dari O O
n
. Operator
ECO yang sedang melakukan ekspansi lokal pada
objek yag disebut situs aktif dari objek. Operator
ECO dapat digambarkan dengan pohon
pembangkit, yaitu: pohon berakar yang simpu-
simpulnya berhubungan dengan objek O.

Akar
yang ditempatkan pada level 0 pada pohon, adalah
objek dengan ukuran terkecil, m. Objek-objek
dengan ukuran sama berada pada level yang sama
dan anak dari objek O, adalah yang dihasilkan
dari O melalui v. Jika {|O
n
|}
n
adalah urutan yang
ditentukan oleh banyaknya objek berukuran n,
Graf

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 105
maka f
O
(x) =
nm
|O
n
| x
n
adalah fungsi
pembangkitnya.

Aturan Suksesi
Aturan suksesi adalah sistem ((a), P),
mengandung aksioma (a) dan himpunan produksi
atau aturan penulisan P didefinisikan pada
himpunan label M N
+
:

=
M k k e k e k e k
a
k
)) ( ( )) ( ))( ( ( ) (
) (
2 1

(2)
dimana a M adalah nilai tertentu dan e
i
adalah
fungsi M M.
Salah satu sifat utama dari aturan suksesi adalah
prinsip konsistensi, yaitu setiap label (k) harus
memproduksi tepat k elemen. Aturan suksesi
adalah sesuai dengan representasi pohon yang
akarnya berlabel aksioma (a), dan simpul berlabel
(k) menghasilkan level selanjutnya k anak-anak
yang masing-masing berlabel (e
1
(k), , e
k
(k))
(yang nanti akan menghasilkan masing-masing
anak berlabel e
1
(k), , e
k
(k), dan seterusnya).
Aturan suksesi menghasilkan urutan {f
n
}
n
dari
bilangan bulat positif, dimana f
n
adalah banyaknya
simpul pada level ke n dari pohon pembangkit dan
dinotasikan sebagai f

(x) =
nm
f
n
x
n
.
Seringkali operator v dikodekan dengan aturan
suksesi , yang berarti, objek dengan ukuran
minimum mempunyai a anak dan k objek
1
O , ,
k
O , dihasilkan oleh objek O yang sedemikian
sehingga
i
O akan menghasilkan anak e
i
(k) oleh v,
yaitu | v(
i
O )|=e
i
(k), 1 i k. Berarti terdapat
isomorfima antara pohon pembangkit dari
operator ECO dan aturan suksesinya yang
bersesuaian. Maka f
O
(x) = x
m
f

(x), atau f
O
(x) = x
m

f

(x) ketika m = 0.

Pohon Pembangkit Permutasi
Pohon pembangkit untuk permutasi (secara umum
tanpa memperhatikan siklus) dapat dibangun ber-
dasarkan algoritma pembangkitan permutasi
JohnsonTrotter. Algoritma Johnson-Trotter
memulai permutasi dari yang terpendek, yaitu [1],
dan ini hanya mempunyai satu permutasi {1}.
Kemudian untuk [2], elemen tambahan 2,
ditambahkan ke permutasi 1 dengan cara
meletakkan 2 pada sebelah kiri 1, atau ke sebelah
kanan 1, sehingga diperoleh 12 dan 21. Dua ele-
men dari masing-masing permutasi ini mende-
finisikan 3 posisi untuk elemen ketiga 3 dengan
meletakkan 3 pada paling kiri, tengah, dan paling
kanan: 312, 132, 123, dan 321, 231, 213. Secara
umum, terdapat N cara untuk memperluas
permutasi a
1
a
2
a
n-1
dengan panjang N-1 ke
permutasi dengan panjang N:
N a
1
a
2
a
n-1

a
1
N a
2
a
n-1

a
1
a
2
N a
n-1


a
1
a
2
N a
n-1

a
1
a
2
a
n-1
N

Melalui pohon pembangkit, pembangkitan permu-
tasi dapat digambarkan sebagaimana terlihat pada
Gambar-1. Jika simpul dari pohon sebelah kiri di





Gambar-1a: Pohon pembangkit untuk permutasi
Gambar-1 diberi label sesuai dengan banyaknya
anak cabang (lihat Gambar-1b), maka pohon
pembangkit untuk permutasi dapat ditulis dalam
aturan suksesi berikut:

+
=
k
k k ) 1 ( ) (
) 1 (

(3)
Berdasarkan aturan suksesi (3) maka fungsi pem-
bangkit untuk aturan suksesi tersebut adalah
n
n
n
n
x n x x x
x f f
)! 1 ( ... 4 . 3 . 2 3 . 2 2 1
3 2
0
+ + + + + + =
=









Gambar-1b: Pohon Pembangkit Permutasi [n]


POHON PEMBANGKIT PERMUTASI SATU
SIKLUS

Untuk pembangkitan permutasi : [n] [n]
dengan satu siklus panjang n dalam [11], penulis
mengikuti logika pembangkitan permutasi
Johnson Trotter. Misalkan S
nc
adalah himpunan
semua anggota permutasi n dengan satu siklus
yang ditulis secara kanonik, dan |S
nc
| adalah
banyaknya anggota S
nc
. Maka
S
nc
={(a
1
...a
n
)| a
1
=n= (a
n
), a
i
=(a
i-1
), i } (4)


4
4 4 4
4
2
3 3
4
2134
4312
2 1
1
1 2
312 132 123


213
3412
3142

4213 2413 2143
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 106
Dengan demikian, (n) adalah semua kemung-
kinan angota [n-1], kemudian (a
2
) adalah semua
anggota [n-1] tanpa a
2
, dan seterusnya, (a
n-1
)
adalah anggota [n-1] tanpa a
i
, i = 2, , n-2.
Dengan kata lain siklus-siklus anggota S
nc
adalah
(na
2
...a
n
) dengan semua kemungkinan permutasi
[n-1] untuk a
2
...a
n
. Berarti | S
nc
| = (n-1)!

S
nc
dapat dibangun dari S
(n-1)c
dengan menam-
bahkan n didepan semua anggota S
(n-1)c
sehingga
diperoleh sebanyak |S
(n-1)c
| elemen berupa
(na
2
...a
n
) dengan a
2
= n-1. Anggota S
nc
yang lain
dibentuk dari setiap (na
2
...a
n
) yang ada dengan
memindahkan posisi n-1 ke posisi a
k
berturut-
turut untuk k = 3, ..., n. Dengan demikian pohon
pembangkit untuk permutasi n dengan siklus
adalah sebagaimana pada Gambar-2.









Gambar-2: Pohon Pembangkit Permutasi dengan
satu siklus
Jika simpul dari pohon pembangkit Gambar-2
diberi label sesuai dengan banyaknya anak
cabang, maka pohon pembangkit untuk permutasi
n dengan satu siklus dapat ditulis dalam aturan
suksesi berikut:

+
=
k
k k ) 1 ( ) (
) 2 ( ) 1 (
) 1 (

(4)
Berdasarkan aturan suksesi (4) maka fungsi
pembangkit untuk aturan suksesi tersebut adalah
n
n
n
n
x n x x x x f f ! ... 3 . 2 . 2 1
3 2
0
+ + + + + = =


POHON PEMBANGKIT PERMUTASI DUA
SIKLUS

Pembangkian permutasi dengan dua siklus pada
makalah ini dikembangkan berdasarkan pada sifat
yang diajukan oleh Baril dalam [2], dan pola
pembangkian permutasi dengan satu siklus diatas.
Menurut Baril:
1. jika S
n-1,k
, n 2, 1 k n, maka dapat
diperoleh S
n,k
, dengan memetakan (i)
= n dan (n) = (i), 1 i < n, contoh:
S
3,2
(12)(3) = 213 S
4,2
: 4132, 2431, 2143,
akan sebanyak 3* S
3,2
untuk n-1 = 3











Gambar-3: Pohon pembangkit permutasi n=4 dengan dua siklus


2. jika S
n-1,k-1
, n k 2, maka dapat diper-
oleh S
n,k
, dengan menambahkan n pada
posisi n, contoh S
3,1
(123) = 231 S
4,2
(123)
(4) = 2314.

Penempatan n pada anggota-anggota S
n-1,k
ditem-
patkan dengan cara pengembangan Johnson
Trotter sebagaimana pada pengembangan dengan
satu siklus untuk memperoleh S
n,k
(lihat Gambar-
3), namun siklus tidak ditulis dalam bentuk
kanonik, tiap siklus elemen terkecilnya ditulis
pada elemen pertama siklus, dan siklus diurut
berdasarkan urutan elemen pertama tersebut dari
kecil ke besar. Pada setiap S
n,k
terdiri dari dua
siklus (s
1
)(s
2
). Pada makalah ini objek permutasi
[n] dengan dua siklus dibagi dalam dua kelompok,
yaitu kelompok dimana siklus ke dua hanya
terdiri dari n saja, yaitu: (s
2
) = (n), ditulis
n
B
, dan
kelompok yang selain itu, ditulis
n
T
. Penamaan
kelompok ini mengikuti penamaan east-west oleh
[14].

Pohon pembangkit dikembangkan, berawal
dengan simpul akar (1)(2), yang elemen terkecil
dari permutasi n dengan 2 siklus, dalam hal ini n
= 2 atau S
2,2
. Kemudian tiap elemen kelompok
n
T
ditulis sebagai (e
1
e
2
...e
j
)(e
j+1
...e
n
), dan kelom-
pok
n
B
ditulis sebagai (e
1
e
2
...e
n-1
)(n).

(1)
(21)
(312) (321)
(4321) (4231)
(4213)
(4312) (4132
)
(4123)
(1)(2)
(13)(2) (1)(23)
(12)(3)
(143)(2)
(142)(3) (124)(3) (12)(34) (12)(34) (12)(34)
(134)(2) (13)(24)
(14)(23)
(1)(243)
(1)(234)
Graf

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 107
Simpul akar mempunyai anak (1)(23), (13)(2),
dan (12)(3). Selanjutnya elemen-elemen ini akan
menghasilkan anak-anak simpul baru dengan
aturan kelompok
n
T
melahirkan (n+1) anak-anak
1 + n
T
, dan kelompok
n
B
melahirkan (n+1) anak-
anak
1 + n
T
ditambah (n) anak-anak
1 + n
B
.

Dalam sistem ECO, aturan suksesinya adalah:

+
+ +
=
+
=
3 , ] ) 1 [( ) (
3 , ] ) 1 [( ] ) 1 [( ) (
) 2 ( ) 2 ( ) 2 ( ) 1 (
) 1 (
1
1
"
k k k
k k k k
k
T T
k
B
k
T B
B T T B
B

(5)

Pohon pebangkitnya dalam betuk algoritma dapat
dilihat pada Algoritma-1.


ANALISA PEMBANGKITAN PERMUTASI
DUA SIKLUS

Algoritma-1 dalam menghasilkan objek anggota
S
n,2
hanya memerlukan satu langkah, yaitu
menambah elemen n pada posisi selain posisi
pertama setiap siklus dari objek S
n-1,2
. Dengan
demikian waktu untuk menghasilkan (running
time) sebanding dengan banyaknya objek yang
dihasilkan, yang merupakan syarat penting dalam
pembangkitan objek kombinatorial. Hal ini
menunjukkan Algoritma-1 adalah algoritma
pembangkitan yang efektif.

Algoritma-1:
1. Mulai dengan node : = (1)(2), n = 2
2. Buat 3 anak dari , yaitu: (1)(23), (13)(2),
(12)(3), n = 3
3. Untuk setiap node, hadirkan anak node baru

n+1
sebagai berikut:
4. Jika simpul
n

n
T

5. Untuk i = 2, ..., j, e
j
elemen terakhir s
1

6. Buat anak simpul
1 + n
T
dengan
meletakkan elemen n+1 di posisi i
7. Untuk i = j+2, ..., n, e
n
elemen terakhir s
2

8. Buat anak simpul
1 + n
T
dengan
mele-takkan elemen n+1 di posisi i
9. Selain itu
10. Untuk i = 2, ..., j, e
j
elemen terakhir s
1

11. Buat anak simpul
1 + n
T
dengan mele-
takkan elemen n+1 di posisi i
12. Untuk siklus s
2

13. Buat anak simpul
1 + n
T
dengan mele-
takkan elemen n+1 di posisi i = j+2
14. Untuk i = 2, ..., j, e
j
elemen terakhir s
1

15. Buat anak simpul
1 + n
B
dengan mele-
takkan elemen n diposisi i
16. Selesai

Berdasarkan Algoritma-1, pembangkitan objek
yang lebih besar S
n,2
berdasarkan dari objek
sebelumnya S
n-1,2
, dengan menempatkan elemen n
berturut-turut dari posisi ke-2 dan seterusnya
secara berturut-turut, sehingga perbedaan antara
objek yang satu dengan objek yang lain menjadi
kecil. Sebagi contoh; permutasi (13)(2)
melahirkan objek-objek: (143)(2), (134)(2), dan
(13)(24) sebagaimana dapat dilihat pada pohon
pembangkit permutasi dengan 2 siklus pada
Gambar-3. Hal ini menunjukkan adanya
kemungkinan pembentukan kode Gray dari
pembangkitan sebagaimana yang diajukan pada
makalah ini.


PENUTUP

Pembangkitan permutasi dengan dua siklus yang
diajukan pada makalah ini telah ditunjukkan
efisien dan ada kemungkinan menghasilkan kode
Gray. Namun perlu perumusan selanjutnya
mengenai untai yang mewakili permutasi dua
siklus yang dituliskan pada makalah ini terutama
dengan kehadiran tanda kurung.

Perumusan untai ini merupakan langkah
penelitian selanjutnya, berikut pembangkitan
permutasi dengan sembarang siklus.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Banderier, C., dkk. 2007. Generating Func-
tions for Generating Trees, arXiv: math.CO/
0702753v1, 25 Feb 2007

[2] Baril, Jean-Luc. 2006. Gray Code for
Permutation with a Fixed Number of Cycles.
Discrete Mathematics, doi: 10.1016/j.disc.
2006.09.007.

[3] Bernini, A., I. Fanti, E Grazzini, 2007. An
exhaustive generation algorithm for Catalan
objects and others, arXiv:math. CO/
0612127v2, 1 Feb 2007.

[4] Bernini, A., dkk. 2007. A general exhaustive
generation algorithm for Gray structures,
arXiv: math/0703262v1 [math.CO], 9 March
2007.

[5] Bna, M. 2002. A Walk through Combi-
natorics. An Introduction to Enumeration and
Graph Theory. New Jersey, War Scientific.

[6] Del Lungo, A. dkk. 2003. Enumeration of
convex polyominoes using the ECO method,
Discrete Mathemathics and Theoretical
Computer Science AB(DMCS), 103-116
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 108
[7] Duchi, E. 2003. ECO method and Object
Grammars: two methods for the enumeration
of combinatorial objects, Tesi
dellUniversita degli Studi di Firenze,
Dottorato di Ricerca in Ingegneria
Informatica e dell'Automazione, XV Ciclo,
Universit_a Degli Studi di Firenze,
http://www.dsi.
unifi.it/DRIIA/RaccoltaTesi/Duchi.

[8] Elizalde. S. 2007. Generating Tree for Per-
mutations Avoiding Generalized Patterns,
arXiv: 0707.4633v1 [math.CO] , 31 July
2007.

[9] Ferrari L., and R. Pinzani. 2005. Catalan like
numbers and succession rules,
arXiv:math.CO/0507210v1, 11 July 2005.

[10] Ruskey, F. 2003. Combinatorial Generation,
http://www.1stworks.com/ref/
RuskeyCombGen.pdf
[11] Sulistyo P, Djati K. 2008. Pembangkitan
Permutasi dengan Siklus, Proceeding Kon-
ferensi Nasional Matematika XIV.
Palembang, Juli 2008.

[12] Vajnovszki, V. 2006. Generating Combi-
natorial Objects by ECO Method, the Lyndon
Words Case, Lecture Notes. Jakarta, 26
January 2006.

[13] West, J. 1996. Generating Trees and
Forbidden Subsequences http://citeseerx.
ist.psu.edu/showciting;jsessionid=1CEE9A01
13F2F48EF4334245C6A52BED?cid=153114

[14] Wilf, H. S. 1990. East Side, West side an
introduction to combinatorial families-with
Maple programming. http://www.math.
upenn.edu/wilf/eastwest.pdf.





Graf

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 109
BILANGAN RAMSEY MULTIPARTIT UKURAN
UNTUK GRAF LINTASAN DAN GRAF LENGKAP

Syafrizal Sy
Jurusan Matematika-Universitas Andalas

syafrizalsy@fmipa.unand.ac.id, syafrizalsy@gmail.com


ABSTRAK

Pada tahun 2004, Burger dan van Vuuren mengkaji salah satu dari perumuman bilangan Ramsey klasik sebagai
berikut. Misalkan K
nl
adalah suatu graf multipartit seimbang lengkap yang terdiri dari n himpunan partit dan l titik
per himpunan partit. Misalkan j, l, n, s, dan t adalah bilangan-bilangan asli dengan n,s 2. Maka bilangan Ramsey
multipartit ukuran m
j
(K
nl
, K
st
) adalah bilangan asli terkecil sedemikian sehingga sebarang pewarnaan dari sisi-sisi
K
j
, menggunakan dua warna merah dan warna biru, senantiasa memuat K
nl
merah atau K
st
biru sebagai subgraf.

Dalam makalah ini, konsep bilangan Ramsey akan diperumum dengan menghilangkan sifat kelengkapan dari graf
yang dikandungnya sebagai berikut. Misalkan j 2 adalah bilangan asli. Untuk graf G dan H, bilangan Ramsey
multipartit ukuran m
j
(G,H) adalah bilangan asli terkecil t sedemikian sehingga sebarang dua pewarnaan dengan
warna merah dan warna biru pada semua sisi-sisi dari K
jt
senantiasa memuat G merah atau H biru sebagai subgraf.
Dalam makalah ini, akan dibuktikan nilai eksak dari bilangan Ramsey multipartit m
j
(P
n
,K
41
)=4 untuk j=4 dan
4n6; 3(n-1)/j +1 untuk 4 j 3(n-1) dan n 7, dengan P
n
adalah graf lintasan n titik.

Keywords: Bilangan Ramsey multipartit ukuran, graf multipartit seimbang lengkap, graf lintasan.


PENDAHULUAN

Dalam teori graf, teori Ramsey dapat dinyatakan
sebagai berikut. Untuk setiap bilangan bulat
positif m dan n, terdapat bilangan bulat positif N
0
sedemikian sehingga setiap graf F dengan N titik,
dengan N N
0
, senantiasa memenuhi sifat
berikut: F memuat subgraf lengkap K
m
atau
komplemen dari F memuat subgraf lengkap K
n
.

Pada tahun 1998, Hatting dan Henning [2] telah
memberikan batas atas untuk bilangan Ramsey
bipartit m
2
(a,b) untuk sebarang bilangan asli a dan
b, yang disajikan dalam teorema berikut.

Teorema 1.
Untuk bilangan-bilangan asli a 2 dan b 2,
. 1 ) 1 , ( ) , 1 ( ) , (
2 2 2
+ + b a m b a m b a m

Bilangan Ramsey klasik merupakan suatu
masalah yang sulit untuk dikaji. Banyak peneliti
memperumum konsep dari kajian bilangan
Ramsey klasik. Salah satu bentuk perumumman
dari masalah bilangan Ramsey klasik adalah
masalah bilangan Ramsey multipartit ukuran.
Burger dan van Vuuren [1] tahun 2004,
memperluas konsep bilangan Ramsey klasik
sebagai berikut. Misalkan K
nl
adalah suatu graf
multipartit seimbang lengkap yang terdiri dari n
himpunan partit dan l titik per himpunan partit.
Misalkan j, l, n, s, dan t adalah bilangan asli
dengan n, s 2. Maka bilangan Ramsey multipartit
ukuran m
j
(K
nl
, K
st
) adalah bilangan asli terkecil
sedemikian sehingga sebarang pewarnaan dari
semua sisi pada graf K
j
, dengan menggunakan
dua warna, sebut warnah merah dan warna biru,
senantiasa graf K
j
akan

memuat K
nl
merah atau
K
st
biru sebagai subgraf.

Dengan menghilangkan sifat kelengkapan dari
graf yang dikandung yaitu kombinasi dua graf
dari suatu bilangan Ramsey, diperoleh definisi
berikut. Misalkan j 2 adalah bilangan asli.
Untuk sebarang graf G dan graf H, bilangan
Ramsey multipartit ukuran m
j
(G,H) adalah
bilangan asli terkecil t sedemikian sehingga
sebarang dua pewarnaan, sebut warna merah dan
warna biru, pada semua sisi dari graf K
jt
,
senantiasa akan memuat G merah atau H biru
sebagai subgraf.

Burger dan Vuuren [1] juga menemukan nilai
eksak beberapa bilangan Ramsey multipartit-
ukuran untuk kombinasi dua graf multipartit
seimbang lengkap berorde kecil yang
diperlihatkan teorema berikut.

Teorema 2.
(1) m
1
(K
22
, K
31
) = m
2
(K
22
, K
31
) = .
(2) m
3
(K
22
, K
31
)=3 dan m
4
(K
22
, K
31
)=2.
(3) m
5
(K
22
, K
31
)=m
6
(K
22
,K
31
)=2 .
(4) m
j
(K
22
, K
31
)=1 untuk semua j 7.

Kemudian, Syafrizal Sy dkk. (lihat [3], [4], [5])
memperoleh bilangan Ramsey multipartit ukuran
m
j
(P
n
,G) dengan G merupakan graf lintasan P
n
,
graf roda W
n
, graf bintang S
n
, graf kipas F
n
, graf
kincir M
n
, atau graf lingakaran C
n
.
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 110

BILANGAN RAMSEY MULTIPARTIT
UKURAN UNTUK GRAF LINTASAN DAN
GRAF LENGKAP

Teorema berikut membuktikan bilangan Ramsey
multipartit untuk kombinasi graf lintasan P
n
dan
graf lengkap dengan empat titik. Selanjutnya,
didefinisikan P:=
a
P
b
yaitu suatu graf lintasan
dengan titik-titik ujungnya adalah a dan b yang
akan digunakan pada pembuktian Teorema 3.

Teorema 3.
Untuk bilangan-bilangan asli j 4 dan n 4
dengan j 3(n-1),

+
=

1
4
, (
) 1 ( 3
1 4
j
n
n j
) K P m
. 7 ), ( ,
6 ,

=
n 1 n 3 j 4
n 4 , 4 j

Bukti:
Pertama-tama akan ditunjukkan batas bawah
untuk m
4
(P
n
,K
41
) dengan memperhatikan dua
kasus berikut.

Kasus 1. 4 n 6.
Perhatikan faktorisasi K
43
:= G
1
G
2
dengan G
1

adalah gabungan tiga graf bintang empat titik
yang saling lepas dengan semua pusatnya terletak
pada himpunan partit yang sama, dan semua daun
(titik berderajat satu) dari setiap graf bintang
tersebut terletak pada satu himpunan partit. Jadi,
jelas bahwa G
1
tidak memuat graf lintasan P
n

untuk 4 n 6 dan juga G
2
tidak memuat K
41

karena lintasan terpanjang adalah P
3
. Oleh karena
itu, m
4
(P
n
, K
41
) 4 untuk 4 n 6.

Untuk menunjukkan m
4
(P
n
, K
41
) 4 dengan 4
n 6. Perhatikan sebarang faktorisasi K
44
:= F
1

F
2
dengan subgraf F
1
tidak memuat lintasan P
n
.
Akan ditunjukkan bahwa, subgraf F
2
akan
memuat K
41
. Misalkan (G) adalah derajat
minimum di G dan misalkan N(v) adalah
himpunan titik-titik yang bertetangga dengan titik
v. Sekarang, ambil titik xV(K
41
) dengan
d(x)=(F
1
). Definisikan V
x
adalah merupakan
himpunan partit yang memuat titik x. Misalkan
A
1
=V(F
1
)\(V
x
N(x)). Sekarang, misalkan F
1
[U]
merupakan subgraf lengkap yang diinduksi oleh
himpunan titik U. Karena F
1
tidak memuat P
n

maka terdapat titik yA
1
dengan derajat titik y
adalah d(y)=(F
1
[A
1
]). Kemudian, perhatikan
A
2
=V(F
1
[A
1
])\(V
y
N(y)). Sekali lagi, karena
F
1
[A
2
] juga tentunya tidak memuat P
n
maka
terdapat titik zF
1
[A
2
] dengan d(z)=(F
1
[A
2
]).
Jadi, karena titik yang dipilih selalu berderajat
terkecil dan F
1
tidak memuat P
n
maka terdapat
paling sedikit satu titik, sebut titik w, di A
3

dengan A
3
= V(F
1
[A
2
])\(V
z
N(z)). Jelas, titik-titik
x, y, z, dan w ini tidak bertetangga di F
2
.
Akibatnya, keempat titik ini membentuk K
4x1
di
F
2
. Oleh karena itu, m
4
(P
n
, K
41
) 4 untuk 4 n
6.

Kasus 2. 4 j 3(n-1) dan n 7.
Misalkan r = 3(n-1)/j +1. Perhatikan sebarang
faktorisasi K
j(r-1)
: = G
1
G
2
dengan G
1
terdiri
dari tiga komponen H
1
, H
2
, dan H
3
yang setiap
komponen H
i
adalah merupakan graf multipartit
lengkap dengan |V(H
i
)| < n untuk setiap i =1, 2, 3.
Faktorisasi ini dapat dibentuk karena banyaknya
titik pada graf K
j(r-1)
adalah kurang dari 3n.
Akibatnya, G
1
tidak memuat P
n
. Sebaliknya, G
2

tidak memuat K
41
karena G
2
merupakan graf
tripartit. Oleh karena itu, m
j
(P
n
, K
41
) r untuk 4
j 3(n-1) dan n 7.

Selanjutnya, akan ditunjukkan bahwa m
j
(P
n
, K
41
)
r untuk j, n 4 dengan j 3(n-1). Perhatikan
sebarang faktorisasi K
jr
:= F
1
F
2
dengan F
1

tidak memuat lintasan P
n
. Akan ditunjukkan
bahwa, F
2
memuat K
41
. Misalkan P: =
a
P
b
adalah
lintasan terpanjang di F
1
. Jika |V(P)| 2 maka
terdapat empat titik yang tidak saling bertetangga
pada himpunan partit yang berbeda, sehingga
diperoleh K
41
di F
2
.

Untuk selanjutnya, diasumsikan untuk |V(P)| 3.
Perhatikan dua kemungkinan dari posisi titik a
dan titik b di F
1
sebagai berikut.

Kasus a. V
a
V
b
.
Misalkan A=(V(F)\ (V
a
V
b
V(P)) dan
misalkan Q:=
x
Q
y
adalah lintasan terpanjang di
F
1
[V(F)\ V(P)] dengan x (V
a
V
b
). Kemudian,
perhatikan dua kemungkinan hubungan antara a
dan b di F
1
.

Subkasus a.1. Misalkan abE(F
1
). Jika F
1
[A]
bukan merupakan subgraf lengkap maka terdapat
c,dA sedemikian sehingga cdE(F
1
). Jadi, titik-
titik a,b,c, dan d ini akan membentuk K
41
di F
2
.
Perhatikan B=V(Q)(V
a
V
b
). Jadi, karena |V(Q)|
n-1 maka |B| (n-1) - |A| dengan (j-2)r - (n-3)
|A|n-1 (karena F
1
[A] merupakan subgraf
lengkap). Misalkan D=(V
a
V
b
)\(B{a,b}), maka
diperoleh:

|D| 2r-[((n-1)-(j-2)r-(n-3))+2]
= jr-4
= j (3(n-1)/j+1)-4
= j (3(n-1)/j)-1+1)-4
= 3n-7
n. untuk sebarang bilangan asli n 4.

Akibatnya, terdapat dua buah titik di D, sebut titik
wV
a
dan titik zV
b
, sedemikian sehingga
wzE(F
1
). Jadi, terdapat dua buah titik, sebut titik
u dan titik v, di (V(P)\ (V
a
V
b
)) dengan uv
Graf

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 111
E(F
1
) karena F
1
[A] merupakan subgraf lengkap.
Kemudian, perhatikan dua subkasus berikut.

(i) Misalkan auE(F
1
) atau buE(F
1
).
Dalam kasus ini, asumsikan buE(F
1
). Akibatnya,
zvE(F
1
) dan wvE(F
1
) (karena P merupakan
lintasan terpanjang di F
1
). Jadi, dapat dipilih
x(A\V
v
) sedemkian sehingga xw, xz, xvE(F
1
),
karena Qmerupakan lintasan terpanjang di subgraf
lengkap F
1
[A]. Oleh karena itu, titik-titik x, v, w,
dan z akan membentuk K
41
di F
2
.

(ii) Misalkan auE(F
1
) dan buE(F
1
).
Karena Q merupakan lintasan terpanjang di
subgraf lengkap F
1
[A], dapat dipilih x(A\V
u
).
Jadi, titik-titik a,b,u, dan x akan membentuk K
41

di F
2
.

Subkasus a.2. Misalkan abE(F
1
). Pilih titik
ujung dari lintasan terpanjang Q yaitu xA
dengan N(x)=min{v: xvE(F
1
), xA}. Perhatikan
B*=V(F)\ (V(P)V
x
N(x)). Jadi, terdapat dua
titik, sebut titik s dan titik t, di B* sedemikian
sehingga stE(F
2
) karena F
1
tidak memuat P
n
.
Akibatnya, xs,xtE(F
2
). Titik-titik s,t,x, dan u*
ini membentuk K
41
di F
2
untuk suatu u*{a,b}.

Kasus b. V
a
=V
b
.
Jika terdapat lintasan terpanjang P*:=
a1
P*
b1
di F
1

dengan V
a1
V
b1
sehingga |V(P*)|=|V(P)| maka
similar dengan Kasus a. Jadi dalam Kasus b ini,
kita asumsikan bahwa, jika terdapat lintasan
terpanjang P*:=
a1
P*
b1
di F
1
dengan V
a1
V
b1
maka
|V(P*)|<|V(P)|. Akibat dari V
a
=V
b
, diperoleh
abE(F
2
). Dengan menggunakan metode pada
Subkasus a.2, diperoleh K
41
di F
2
.

Jadi, dari Kasus 2 ini dapat dibuktikan bahwa
bilangan Ramsey multipartit m
j
(P
n
, K
41
) r
untuk 4 j 3(n-1) dan n 7 dengan r = 3(n-
1)/j +1.


KESIMPULAN

Pada makalah ini, telah dibuktikan bilangan
Ramsey multipartit ukuran untuk kombinasi graf
lintasan dan graf lengkap. Kesimpulan yang
didapat adalah semakin besar jumlah himpunan
partit, semakin kecil nilai eksak bilangan Ramsey
multipartit ukurannya dari kombinasi sebarang
graf.


UCAPAN TERIMA KASIH

Kami mengucapan terimakasih kepada Prof. Edy
Tri Baskoro, Dr. Saladin Uttunggadewa, dan Dr.
Hilda Assiyatun yang telah membimbing penulis
hingga dapat melakukan penelitian mandiri.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Burger A.P. and van Vuuren J.H. 2004.
Ramsey numbers in complete balanced
multipartite graphs. Part II: Size Numbers,
Discrete Math. 283, 45-49.
[2] Hattingh J.H. and Henning M.A. 1998.
Bipartite Ramsey theory. Utilitas Math. 53,
217-230.
[3] Syafrizal Sy, Baskoro E.T, and
Uttunggadewa S. 2005. The Size
Multipartite Ramsey Numbers for Paths, J.
Combin. Math. Combin. Comput., 55, 103-
107.
[4] Syafrizal Sy, Baskoro E.T., and
Uttunggadewa S. 2007. The size multipartite
Ramsey numbers for small paths versus
other graphs, Far East J. Appl. Math, Issue 1,
131-138.
[5] Syafrizal Sy, Baskoro E.T, Uttunggadewa S,
and Assiyatun H. 2009. Path-path size
multipartite Ramsey numbers, J. Combin.
Math. Combin. Comput. 71, 265-271.

Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 113
PELABELAN TOTAL (a, d) -BUSUR ANTI AJAIB PADA GABUNGAN GRAF
LINGKARAN

Widya M. Niagara, Denny R. Silaban, Kiki A. Sugeng
Departemen Matematika FMIPA Universitas Indonesia, Depok, 16424

Email korespondensi : {widya.niagara, denny-rs, kiki}@ui.ac.id

ABSTRAK

Misalkan G adalah graf dengan himpunan simpul V = V(G) dan himpunan busur E = E(G), dimana n = |V| dan e = |E|
menyatakan banyak simpul dan busur pada G. Suatu pemetaan bijektif dari ke himpunan bilangan bulat {1,
2, , n + e} disebut pelabelan total (a, d)-busur anti ajaib jika himpunan dari bobot semua busur , {() =
() + () + ()}, adalah {a, a + d, a + 2d, , a + (e1)d}, dengan a > 0 dan d 0, a dan d adalah bilangan
bulat. Dengan kata lain, himpunan dari bobot semua busur pada G membentuk barisan aritmatika dengan suku awal a
dan beda d. Pelabelan dikatakan pelabelan total super (a, d)-busur anti ajaib jika (V) = {1, 2, , n} dan (E) = {n +
1, n + 2, , n + e}. Sejak pelabelan total (a, d)-busur anti ajaib diperkenalkan oleh Simanjuntak dkk pada tahun
2000, telah banyak hasil pelabelan yang ditemukan, diantaranya pelabelan total (a, d)-busur anti ajaib pada graf
lingkaran untuk nilai {1, 2, 3} untuk lingkaran sebarang dan d = 4 untuk lingkaran dengan jumlah simpul ganjil.
Sejak tahun 2008 banyak peneliti yang mulai tertarik untuk mengkonstruksi pelabelan pada graf-graf yang tak
terhubung. Kebanyakan graf tak terhubung yang dipelajari adalah gabungan graf-graf yang isomorfik. Dalam
makalah ini akan diberikan generalisasi dari hasil yang telah diperoleh, yaitu konstruksi pelabelan total super (a, 1)-
busur anti ajaib dan pelabelan total (a, 2)-busur anti ajaib pada gabungan graf yang tak terhubung, berupa gabungan
graf-graf lingkaran yang tak isomorfik.

Keywords: pelabelan (a, d)-busur anti ajaib total, pelabelan super (a, d)-busur anti ajaib total, graf lingkaran C
n
.

PENDAHULUAN

Dalam makalah ini, graf yang digunakan adalah
graf berhingga, sederhana dan tak berarah.
Misalkan G adalah graf dengan himpunan simpul
V = V(G) dan himpunan busur E = E(G), dimana
n = |V| dan e = |E| menyatakan banyak simpul dan
busur pada G.

Konsep mengenai pelabelan anti ajaib pada graf
pertama kali diperkenalkan oleh Hartsfield dan
Ringel [3]. Mereka menunjukkan bahwa graf
lintasan P
n
, n 3, graf lingkaran, graf roda dan
graf lengkap K
n
, n 3, memiliki pelabelan anti
ajaib. Di sana diberikan juga konjektur bahwa
setiap graf yang terhubung, kecuali K
2
, memiliki
suatu pelabelan anti ajaib.

Menurut Baa dkk [1], Bodendiek dan Walther
mendefinisikan pelabelan (a, d)-anti ajaib, yang
lebih dikenal sebagai pelabelan busur (a, d)-
simpul anti ajaib. Sejak definisi pelabelan total (a,
d)-busur anti ajaib diperkenalkan oleh
Simanjuntak, Bertault dan Miller [4] pada tahun
2000, konstruksi pelabelan total (a, d)-busur anti
ajaib untuk graf terhubung terus mengalami
perkembangan. Hal ini mendorong munculnya
banyak penemuan konstruksi pelabelan total (a,
d)-busur anti ajaib khususnya pada graf lingkaran.

Berdasarkan [2], secara matematis pelabelan
total (a, d)-busur anti ajaib dari graf G
didefinisikan sebagai suatu pemetaan satu-satu
dari ke himpunan bilangan bulat {1, 2, , n
+ e} sedemikian sehingga himpunan bobot busur
{() = () +() +(), },
membentuk barisan aritmatika a, a + d, a + 2d,
, a + (e1)d, dengan suku awal a > 0 dan beda
d 0. Jika nilai d = 0 maka pelabelan disebut
pelabelan total busur ajaib. Suatu pelabelan
total (a, d)-busur anti ajaib dikatakan super (a, d)-
busur anti ajaib jika himpunan simpul diberi
label {1, 2, , n}. Jika penghitungan bobot
dilakukan terhadap simpul, yaitu () = () +
()
()
, dimana A(x) adalah himpunan
busur yang bertetangga (adjacent) dengan x maka
pelabelan disebut pelabelan total (a, d)-simpul
anti ajaib.

Konstruksi pelabelan total (a, d)-busur anti ajaib
untuk graf lingkaran yang telah dipublikasikan,
antara lain Simanjuntak dkk [4] membuktikan
setiap graf lingkaran C
n
, n 3, mempunyai
pelabelan total (2n + 2, 1)- dan (3n + 2, 1)-busur
anti ajaib; C
2n
, n 2, mempunyai pelabelan total
(4n + 2, 2)- dan (4n + 3, 2)-busur anti ajaib; C
2n+1,
n 1, mempunyai pelabelan total (3n + 4, 3)- dan
(3n + 5, 3)-busur anti ajaib. Hasil yang lebih
lengkap dapat dilihat pada Gallian [2].

Seperti halnya pada graf terhubung, pelabelan
untuk gabungan tak terhubung dari graf-graf yang
isomorfik juga banyak ditemukan hingga saat ini.
Baa dkk [1] telah membuktikan bahwa gabungan
tak terhubung dari m graf lingkaran yang
isomorfik, mC
n
, n 3, mempunyai suatu
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 114
pelabelan total super (a, d)-busur anti ajaib untuk
{0, 1, 2}. Menurut Gallian [2], Ngurah dkk
membuktikan bahwa mC
n
, n 3, mempunyai
suatu pelabelan total (a, d)-busur anti ajaib untuk
{ 1, 2, 3, 4}.

Dalam makalah ini akan diberikan generalisasi
dari hasil yang telah diperoleh, yaitu konstruksi
pelabelan total super (a, 1)-busur anti ajaib dan
pelabelan total (a, 2)-busur anti ajaib pada
gabungan graf yang tak terhubung, berupa
gabungan t graf lingkaran yang tak isomorfik,

=1

, dengan

3; j = 1, 2, , t dan t 1. Pelabelan total


super (a, 1)-simpul anti ajaib telah diberikan pada
[5]. Dari pelabelan ini dapat juga diperoleh
pelabelan total super (a, 1)-busur anti ajaib. Akan
tetapi di sini akan diberikan pelabelan total super
(a, 1)-busur anti ajaib dengan konstruksi yang
berbeda dari [5].


LANDASAN TEORI

Misalkan pemetaan dari ke himpunan {1,
2, , n + e} adalah pelabelan total (a, d)-busur
anti ajaib pada graf G dengan n simpul dan e
busur, sedemikian sehingga = {() +
() +(), ()} = {, +, +
2, , + ( 1)} adalah himpunan bobot
busur yang membentuk barisan aritmatika dengan
suku awal a > 0 dan beda d 0. Bobot busur
minimum yang mungkin adalah 1 + 2 + 3,
sehingga diperoleh

6. (1)

Sedangkan bobot busur maksimum yang mungkin
adalah ( + 2) +( + 1) +( +) =
3 +3 3, sehingga diperoleh

+ ( 1) 3 + 3 3. (2)

Dari (1) dan (2) diperoleh 6 +( 1) 3 +
3 3, yang mengakibatkan


3+39
1
. (3)

Pertidaksamaan (3) adalah batas atas dari
parameter d untuk suatu pelabelan total (a, d)-
busur anti ajaib pada G.


HASIL PENELITIAN

Graf lingkaran C
n
, n 3, adalah suatu graf
terhubung yang teratur dengan derajat 2. Graf
lingkaran C
n
memiliki himpunan simpul (

) =
{

: 1 } dan himpunan busur (

) =
{

+1
: 1 }, dimana i+1 merupakan
modulo n.

Gambar 1.
Gabungan tak terhubung dari 2 graf lingkaran,
5

6


Misalkan G adalah gabungan tak terhubung dari t
graf lingkaran yang tak isomorfik,

=1
=

, dimana {

: = 1, 2, , }
adalah himpunan graf lingkaran dengan

simpul,

3, t 1. Himpunan simpul pada G adalah


() = {

: = 1, 2, ,

; = 1, 2, , }
dan himpunan busur pada G adalah
() = {

+1

: = 1, 2, ,

; = 1, 2, , }.
Banyak simpul dan busur pada G masing-masing
adalah

=1
, sehingga total simpul dan busur
adalah 2

=1
. Pada Gambar 1 diberikan
contoh gabungan tak terhubung dari dua graf
lingkaran,
5

6
.

Dari pertidaksamaan (3) diperoleh bahwa jika
gabungan tak terhubung dari t graf lingkaran yang
tak isomorfik,

=1
, dengan

3; j = 1, 2,
, t ; t 1, mempunyai pelabelan total (a, d)-
busur anti ajaib, maka d 4. Berikut ini akan
diberikan konstruksi pelabelan total (a, d)-busur
anti ajaib pada gabungan tak terhubung dari t graf
lingkaran yang tak isomorfik,

=1

dengan

3; j = 1, 2, , t ; t
1, untuk kasus d = 1 dan d = 2.

Teorema 1. Misalkan {

: = 1, 2, , } adalah
suatu himpunan graf lingkaran dengan

simpul,

3, t 1. Gabungan tak terhubung dari t graf


lingkaran yang tak isomorfik,

=1

, memiliki suatu pelabelan total


super (2

=1
+2, 1)-busur anti ajaib.

Bukti. Untuk j = 1, 2, , t, label simpul dengan

+ ; = 1, 2, ,

1
=1


dan label busur dengan


1
1
v
1
3
v
1
5
v
1
4
v
1
2
v
2
6
v
2
5
v
2
4
v
2
3
v
2
1
v
2
2
v
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 115

+1

=1
+

=
; = 1, 2, ,

=1
+

=
; =




dimana

= 0
0
=1
.

Label dari himpunan simpul dan busur yang
diperoleh dengan pelabelan di atas (semua
berbeda) secara berurutan adalah () =
{1, 2, ,

=1
} dan () = {

=1
1,

+2, , 2

=1

=1
}. Jadi, pelabelan
merupakan pemetaan satu-satu dan pada dari
himpunan () () ke himpunan bilangan
{1, 2, , 2

=1
}.

Bobot busur

+1

pada graf

(i = 1, 2, ,

;
j = 1, 2, , t; t 1) terhadap pelabelan adalah

+1

+1

+
+1

.

Akan dibuktikan bahwa bobot busur

+1


membentuk barisan aritmatika dengan suku awal
= 2

=1
+2 dan beda d = 1.
Untuk i = 1, 2, ,

1, diperoleh

+1

+1

+
+1

+
1
=1
+

=1
+

=
+

1
=1
+
+1
=

1
=1
+

=1
+

1
=1
+

=
+ +1
=

1
=1
+

=1
+

=1
+ +1
=

1
=1
+2

=1
+ +1 .

Untuk i =

, diperoleh

+1

+1

+1

+
1

1
=1
+

=1

=
+

1
=1
+1
=

1
=1
+2

=1
+

+1 .

Sehingga untuk i = 1, 2, ,

diperoleh

+1

1
=1
+2

=1
+ +1.

Bobot busur terkecil diperoleh ketika i = 1 dan j
= 1 (karena

1
=1
=

0
=1
= 0), yaitu busur

1
1

2
1
dengan bobot 2

=1
+2. Jadi,
himpunan dari bobot busur adalah

=

+1

,
+1

= {2

=1
+
2, 2

=1
+3, , 3

=1
+1}

yang membentuk barisan aritmatika dengan suku
awal = 2

=1
+2 dan beda d = 1.

Pada Gambar 2 diberikan contoh pelabelan total
super (a, 1)-busur anti ajaib dari
8

5

7

dengan nilai = 2

=1
+2 = 2(8 + 5 + 7) + 2
= 42 sesuai pelabelan di atas.


Gambar 2.
Pelabelan total (42, 1)-busur anti ajaib pada
8

5

7



Teorema 2. Misalkan {

: = 1, 2, , } adalah
suatu himpunan graf lingkaran dengan

simpul,

3, t 1. Gabungan tak terhubung dari t graf


lingkaran yang tak isomorfik,

=1

, memiliki (i) pelabelan total


(2

=1
+2, 2)-busur anti ajaib dan (ii)
pelabelan total (2

=1
+3, 2)-busur anti
ajaib.

Bukti. (i) Untuk j = 1, 2, , t, label simpul
dengan

= 2

+2 1 ; = 1, 2, ,

1
=1


dan label busur dengan

+1

=
2 ; = 1, 2, ,

1
2

=
; =




dimana

= 0
0
=1
.

Label dari himpunan simpul dan busur yang
diperoleh dengan pelabelan di atas (semua
berbeda) secara berurutan adalah () =
1 2
3
5 6
8
33
34
35
36
37
38
39
40
9
10
11 12
13
28 30
31 32
30
14 15
16
17
18
19
20
21
22 23
24
25
26
27

Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 116
{1, 3, , 2

=1
} dan () =
{2, 4, , 2

=1
}. Jadi, pelabelan merupakan
pemetaan satu-satu dan pada dari himpunan
() () ke himpunan bilangan
{1, 2, , 2

=1
}.

Bobot busur

+1

pada graf

(i = 1, 2, ,

;
j = 1, 2, , t; t 1) terhadap pelabelan adalah

+1

+1

+
+1

.

Akan dibuktikan bahwa bobot busur

+1


membentuk barisan aritmatika dengan suku awal
= 2

=1
+2 dan beda d = 2.
Untuk i = 1, 2, ,

1, diperoleh

+1

+1

+
+1


= 2

+2 1
1
=1
+
2

=
2 +
2

1
=1
+2( +1) 1
= 2

+
1
=1

2

+
1
=1
2

=
+2
= 2

+
1
=1
2

=1
2
= 2

+
1
=1

=1
.

Untuk i =

, diperoleh

+1

+1

+1

+
1


= 2

+2

1
1
=1
+
2

=
+
2

1
=1
+2.1 1
= 2

+
1
=1
2

=1
2


= 2

+
1
=1

=1

.

Sehingga untuk i = 1, 2, ,

diperoleh

+1

= 2

+
1
=1

=1
.

Bobot busur terkecil diperoleh ketika i = 1 dan j =
1, yaitu busur
1
1

2
1
dengan bobot 2

=1
+2.
Jadi, himpunan dari bobot busur adalah

=

+1

,
+1

= {2

=1
+
2, 2

=1
+4, , 4

=1
}

yang membentuk barisan aritmatika dengan suku
awal = 2

=1
+2 dan beda d = 2.

(ii) Untuk j = 1, 2, , t, label simpul dengan

= 2

+2 ; = 1, 2, ,

1
=1

dan label busur dengan

+1

=
2 1 ; = 1, 2, ,

1
2

=
; =




dimana

= 0
0
=1
.

Label dari himpunan simpul dan busur yang
diperoleh dengan pelabelan di atas (semua
berbeda) secara berurutan adalah () =
{2, 4, , 2

=1
} dan () =
{1, 3, , 2

=1
}. Jadi, pelabelan
merupakan pemetaan satu-satu dan pada dari
himpunan () () ke himpunan bilangan
{1, 2, , 2

=1
}.

Bobot busur

+1

pada graf

(i = 1, 2, ,

;
j = 1, 2, , t; t 1) terhadap pelabelan adalah

+1

+1

+
+1

.

Akan dibuktikan bahwa bobot busur

+1


membentuk barisan aritmatika dengan suku awal
= 2

=1
+3 dan beda d = 2.
Untuk i = 1, 2, ,

1, diperoleh

+1

+1

+
+1


= 2

+2
1
=1
+
2

=
2 1 +
2

1
=1
+2( +1)
= 2

+
1
=1

2

+
1
=1
2

=
+
2 +1
= 2

+
1
=1
2

=1
2 +1
= 2

+
1
=1

=1
+1.

Untuk i =

, diperoleh

+1

+1

+1

+
1


= 2

+2

1
=1
+
2

=
1 +
2

1
=1
+2.1
= 2

+
1
=1
2

=1
2

+ 1
= 2

+
1
=1

=1

+1.

Sehingga untuk i = 1, 2, ,

diperoleh

+1

= 2

+
1
=1

=1
+1.

Bobot busur terkecil diperoleh ketika i = 1 dan j =
1, yaitu busur
1
1

2
1
dengan bobot 2

=1
+3.
Jadi, himpunan dari bobot busur adalah
Graf
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 117

=

+1

,
+1

= {2

=1
+
3, 2=1+5,, 4=1+1
yang membentuk barisan aritmatika dengan suku
awal = 2

=1
+3 dan beda d = 2.


Gambar 3.
Pelabelan total (38, 2)-busur anti ajaib pada
7

5

6




Gambar 4.
Pelabelan total (39, 2)-busur anti ajaib pada
7

5

6


Dari teorema di atas telah ditunjukkan bahwa
pelabelan total (a, 2)-busur anti ajaib pada
gabungan tak terhubung dari t graf lingkaran yang
tak isomorfik belum tentu tunggal. Pada Gambar
3 diberikan contoh pelabelan total (a, 2)-busur
anti ajaib dari
7

5

6
dengan nilai =
2

=1
+2 = 2(7 + 5 + 6) + 2 = 38, sedangkan
pada Gambar 4 diberikan contoh pelabelan total
(a, 2)-busur anti ajaib dari
7

5

6
dengan
nilai = 2

=1
+3 = 2(7 + 5 + 6) + 2 = 39.


KESIMPULAN

Pada makalah ini telah ditunjukkan bahwa
terdapat pelabelan total super (a, 1)-busur anti
ajaib dan pelabelan total (a, 2)-busur anti ajaib
untuk gabungan tak terhubung dari t graf
lingkaran

=1

yang
tak isomorfik, dengan

3; j = 1, 2, , t; t 1.
Untuk penelitian lebih lanjut, dapat dicari
eksistensi dan konstruksi pelabelan total (a, d)-
busur anti ajaib dari gabungan tak terhubung dari t
graf lingkaran,

=1

,
yang tak isomorfik, dengan

3; j = 1, 2, , t;
t 1, untuk kasus {0, 3, 4}.


REFERENSI


[1] M. Baa dan M. Miller, Super Edge-
Antimagic Graphs: A Wealth of Problems
and Some Solutions, Brown Walker Press,
Boca Raton-Florida, 2008.
[2] J. Gallian, A dynamic survey of graph
labeling, The Electronic Journal of
Combinatorics 16 (2009), #DS6.
[3] N. Hartsfield dan G. Ringel, Pearls in Graph
Theory, Dover Publications, Inc., Mineola-
New York, 2003.
[4] R. Simanjuntak, F. Bertault dan M. Miller,
Two new (a, d)-antimagic graph labeling,
Proc. Of Eleventh Australian Workshop of
Combinatorial Algorithm (2000), 179189.
[5] K.A. Sugeng dan D.R. Silaban, Super (a, d)-
vertex antimagic total labeling on a disjoint
union of regular graphs, The Journal of
Combinatorial Mathematics and
Combinatorial Computing 71 (2009), pp.
217-225.



2
8 12
23
25 27
29
31
33
35
4
6
10
14

16
18
13 17
19 21
20 22
24
15
26 28
30
32 34
36
1
3
5
7
9
11

1
7 11
24
26 28
30
32
34
36
3
5
9
13
15
17
14 18
20 22
19 21
23
16
25 27
29
31 33
35
2
4
6
8
10
12


Aktuaria
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 119
PENENTUAN RENTANG DARI PREMI POSTERIOR
UNTUK PRIOR-PRIOR DENGAN KONTAMINASI SEMBARANG

Netty Sunandi
Departemen Matematika FMIPA Universitas Indonesia
Kampus U.I., Depok, 16424, Indonesia

nettysuryadi@yahoo.com


ABSTRAK

Akan dibahas suatu analisis Bayesian dari model risiko kolektif untuk menentukan premi dengan prinsip premi bersih
pada model dengan periode tunggal. Distribusi Poisson digunakan untuk distribusi banyak klaim, distribusi
Eksponensial digunakan untuk distribusi besar klaim dan distribusi Gamma digunakan untuk distribusi prior. Untuk
menganalisis robustness dari distribusi prior dengan global robustness dalam suatu kelas kontaminasi perlu
ditentukan rentang dari variasi premi posteriornya. Mula-mula akan ditentukan rentang dari mean posterior untuk
distribusi-distribusi prior dengan kontaminasi sembarang. Lemma-lemma yang diperoleh dikembangkan untuk
memperoleh rentang dari premi posterior untuk prior-prior dengan kontaminasi sembarang.

Kata kunci: model risiko kolektif, analisis Bayesian, analisis robustness.


PENDAHULUAN

Penentuan premi dari suatu asuransi merupakan
hal penting untuk perusahaan asuransi. Jika premi
terlalu tinggi nasabah tidak mau masuk asuransi,
sedangkan jika premi terlalu rendah perusahaan
asuransi mempunyai risiko kerugian.

Dalam model risiko kolektif dari teori risiko [5]
terdapat suatu barisan v.r. N, X
1
, X
2
, . yang
saling independen di mana N menyatakan v.r.
banyak klaim dan X
i
, i = 1, 2, . menyatakan
v.r. besar klaim ke-i yang berdistribusi identik.
V.r. yang diperhatikan dalam persoalan total
biaya ditentukan dengan
1
N
i
i
X X
=
=

.
Andaikan banyak klaim berdistribusi Poisson
dengan parameter sehingga X berdistribusi
Compound Poisson. Model ini sudah sering
digunakan sejak tahun 1920. Besar klaim
diandaikan berdistribusi Eksponensial dengan
parameter seperti yang digunakan oleh Frangos
dan Vrontos (2001) dalam merancang suatu
sistem bonus-malus. Dalam analisis Bayesian [2]
parameter maupun mempunyai suatu
distribusi. Pilihan mula-mula untuk distribusi
maupun untuk disebut distribusi prior.
Distribusi prior baik untuk maupun untuk
diandaikan berdistribusi Gamma yang merupakan
distribusi prior sekawan dari distribusi Poisson
dan Eksponensial. [2], [3]

Masalah yang ingin dibahas ialah apakah
distribusi prior tersebut cukup representatif untuk
menentukan premi posterior. Hal tersebut dibahas
dalam analisis Bayesian robust.

METODE PENELITIAN

Ada dua parameter yang ditinjau yaitu dan
masing-masing untuk parameter banyak klaim
dan besar klaim. Keduanya diandaikan
mempunyai distribusi prior Gamma sesuai dengan
prior sekawan dari distribusi Poisson dan
Eksponensial. Pdf dari distribusi prior untuk dan
dinyatakan dengan
10
() dan
01
() masing-
masing, sehingga distrbusi prior bersama untuk
dan ( dan independen) ialah

0
(,) =
10
().
01
().

Kelas kontaminasi- dibentuk untuk masing-
masing distribusi prior dan . Jadi :

0
2c
(,) =
10
().
c
() =
10
(){(1-)
01
() +
q(), q sembarang pdf} dan

0
1c
(,) =
01
()
c
() =

01
(){1-)
10
() + q(), q sembarang pdf}.
Premi posterior pada kelas-kelas kontaminasi-
untuk q sembarang pdf, ditentukan dengan
analisis Bayesian yaitu P
*
[
0
2c
(,),x] dan
P
*
[
0
1c
(,),x]. Rentang dari premi posterior
diperoleh dengan menggunakan lemma di teori
probabilitas. (lemma 3)


HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan model

Andaikan N ialah suatu v.r. banyak klaim yang
berdistribusi Poisson dengan parameter > 0
yaitu
Pr(N = n) = p(n,) =
1
!
n
e
n

, n = 0, 1, 2, .
Aktuaria

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika UI 120
Andaikan X
i
ialah v.r. besar klaim ke-I
berdistribusi Eksponensial dengan parameter >
0 yaitu : f(x
i
,) =
i
x
e


, x
i
> 0

Dalam model risiko kolektif, X menyatakan total
biaya (klaim) dari suatu portofolio pada akhir
suatu periode waktu ditentukan dengan

1
0 , 0
, 1
N
i
i
N
X
X N
=
=


di mana X
i
ialah independen, berdistribusi identik
dan independen dengan N.[5]

Fungsi likelihood dari X, L(x, ,) ialah

*
0
( , ) ( ) ( )
n
n
L x p n f x

=
=


di mana
*
( )
n
f x menyatakan konvolusi ke-n dari
( ) f x .
Karena
( ) f x
ialah pdf dari distribusi Eksp()
maka
*
( )
n
f x ialah pdf dari distribusi
Gamma(n, )
Jadi: L(x, ,) =
1
1
, 0
( 1)! !
, 0
n n x n
n
x e e
x
n n
e x

>


Andaikan parameter dan ialah independen dan
ditetapkan suatu distribusi Gamma untuk dan
masing-masing (distribusi Gamma yang
merupakan distribusi prior sekawan untuk
distribusi Poisson dan Eksponensial).[3] Jadi
berdistribusi Gamma (a,b) dan berdistribusi
Gamma(c,d) yaitu:
1
10
( )
( )
a
a b
b
e
a

, > 0 dan
1
01
( )
( )
c
c d
d
e
c

, > 0
dengan a, b, c, d ialah konstanta-konstanta positif.
Karena itu distribusi prior bersama dari , ialah

0
(,) =
10
().
01
(),
untuk nilai positif dari , dan a, b, c, d konstanta
positif yang diketahui.

Distribusi marginal dari X ialah
m(x,
0
) =
0
( , ) ( , ) L x d d




Karena itu menjadi
m(x,
0
) =
1
, 0
( ) ( )( 1) ( )
, 0
1
a c
n a c
n
a
b d
T x
a c b x d
b
x
b

>

+ +

| |
=
|

+
\ .


dengan T
n
= T(n, a, b, c, d) =

1
( ) ( )
( 1)! !( 1) ( )
n
n n
x a n c n
n n b c d

+ +
+ +

Deret T
n
ialah konvergen. [4]
Distribusi posterior dari (,) diberikan observasi
sampling x ialah

0
(,,x) =
0
0
( , ) ( , )
( )
L x
m x


=
1 1 ( 1) ( )
1 1 ( 1)
1 ( )
( 1)! !
, 0
1 1
( 1) ( )
( 1)
, 0
( ) ( )
n
a c b x d
n
n a c
a c
a c b d
x
e e
x n n
x
T
b x d
b d
e e x
a c





+ +
+

>

+ +

+
=




Prinsip premi bersih

LEMMA 1: Premi posterior P
*
diperoleh dari

*
P [
0
(, ,x)] =
1
1
1
, 0
1
, 0
( 1)( 1)
n
n
n
n
a n
T
x d c n
x
b
T
ad
x
b c

=
+

+ +
>
+



dengan T
n
=
1
( ) ( )
( 1)! !( 1) ( )
n
n n
x a n c n
n n b c d

+ +
+ +
di mana x
ialah total klaim yang dibentuk dari n klaim pada
suatu periode tunggal.

Bukti:
*
P [
0
(,,x)] = E(
1
.

,x) =

0
1
( , ) x d d



Dengan memasukkan pdf posterior
0
(, ,x)
maka akan diperoleh hasil di atas.

Contoh penghitungan premi posterior
*
P :
Andaikan berdistribusi Gamma(2,7) dan
berdistribusi Gamma(5,3), maka
m(x,
0
) =
3
1
(49)(243)
, 0
1!4!(64)( 3)
49
, 0
64
n
n
T x
x
x

>


dengan T
n
=
1
(2 ) (5 )
( 1)! !(8) ( 3)
n
n n
x n n
n n x

+ +
+
.
Jadi premi posterior menjadi:
*
P [
0
(, ,x)] =
1
1
2
3 4
, 0
8
6
, 0
32
n
n
n
n
n
T
x n
x
T
x

=
+

+ +
>




Aktuaria
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 121
Global robustness. [1], [6]

Akan diamati fungsi probabilitas/densitas f(x,)
dan ingin dilakukan analisis Bayesian mengenai
parameter yang tak diketahui. Hal ini
memerlukan spesifikasi dari distribusi prior. Yang
biasa dilakukan ialah menentukan suatu distribusi
tunggal untuk informasi prior,
0
yaitu suatu
anggota kelas prior sekawan (conjugate prior) dari
distribusi X. Jadi setelah suatu proses menunjuk
pada suatu distribusi prior
0
(proses elisitasi),
masuk akal bahwa suatu distribusi prior lain yang
dekat dengan
0
juga akan menjadi suatu
representasi yang layak dari distribusi prior. Jadi
ada ketidakpastian dalam distribusi prior.

Istilah dekat akan dimodelkan melalui kelas
kontaminasi- yaitu
= {

;

= (1- )
0
+ q, q Q}
di mana ialah derajat kontaminasi yang
ditentukan demikian sehingga keyakinan bahwa

0
ialah benar mempunyai probabilitas 1- dan q
ialah benar dengan probabilitas dan Q ialah
kelas distribusi kontaminasi yang diperbolehkan.
Tujuan dari suatu penyelidikan robustness ialah
menentukan rentang (range) dari suatu kuantitas
posterior (,x) jika berubah atas . Salah satu
kuantitas posterior adalah mean posterior.

Jika rentang dari kuantitas posterior ialah kecil
maka seorang akan yakin terhadap robustness
dari proses elisitas. Artinya perbedaan antara
berbagai prior di tidak signifikan sehingga
0

dapat digunakan dengan yakin. Jika rentang ialah
besar, maka tidak robustness terhadap
sehingga perlu penelidikan lanjutan. Misalnya
dengan mengganti
0
.
Berger [1] menyatakan bahwa rentang ialah kecil
jika rentang tersebut lebih kecil dari pada
rentang deviasi standar dari posterior-
posteriornya.

Rentang dari mean posterior [6]

Andaikan = {: = (1-)
0
+ q, q Q} di
mana Q = kelas dari semua distribusi dan

1
= {: = (1-)
0
+ q, q
berdistribusi uniform U(
0
z,
0
+ z) untuk suatu
z>0}.
Untuk mencari rentang dari mean posterior atas
kelas yang besar , cukup untuk mencari rentang
atas kelas yang lebih kecil
1
(lihat lemma 4
berikut). Jadi persoalan direduksi untuk mencari
nilai ekstrim dari suatu fungsi 1 variabel.





LEMMA 2 : Untuk dan
1
di atas
sup

( ) x

=
1
sup

( ) x

= sup
x
0 1
( )
( )
a H z
a H z
+
+


inf

( ) x

=
1
inf

( ) x

= inf
x
0 1
( )
( )
a H z
a H z
+
+


di mana a =
0
1
( ) m x

; a
0
= a
0
( ) x


H(z) =
0
0
0
1
( ) , 0
2
( ) , 0
z
z
f x d z
z
f x z

>



H
1
(z) =
0
0
0 0
1
( ) , 0
2
( ) , 0
z
z
f x d z
z
f x z

>



Bukti:
Di kelas
1
:
m(x,q) = ( ) ( ) f x q d


=
0
0
0
1
( ) , 0
2
( ) , 0
z
z
f x d z
z
f x z

>


= H(z)

Jadi m(x,)= (1-) m(x,
0
) + H(z)

Jika m(x,) disubstitusikan dalam (x), maka (x)
menjadi
(x) = 0
(1 ) ( )
( )
m x
m x

=
0
0
1
( )
1
( ) ( )
m x
m x H z

+
=
=
( )
a
a H z +

Dan 1- (x) =
( )
( )
H z
a H z +

Dari pembahasan yang lalu mean posterior
( ) x

= (x)
0
( ) x

+ (1- (x)) ( )
q
x .

Sekarang ( )
q
x akan ditentukan untuk q
1
.
Pdf posterior q( ,x) =
( , )
( )
f x
m x q


=
( ) ( )
( )
f x q
H z


Sehingga ( )
q
x = E[q( ,x)]
Aktuaria

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika UI 122
=
0
0
0 0
1
( ) , 0
2 ( )
1
( ) , 0
( )
z
z
f x d z
zH z
f x z
H z

>


=
1
( )
( )
H z
H z

Dengan mensubstitusikan (x) dan ( )
q
x dalam
( ) x

diperoleh
( ) x

=
0 1
( )
( )
a H z
a H z
+
+


Untuk :
m(x,q) = ( ) ( ) f x q d


Jika F ialah suatu fungsi distrbusi yang dicampur
dengan distribusi uniform U(
0
z,
0
+ z) untuk
suatu z>0 menghasilkan distribusi q maka
m(x,q) = ( ) ( ) f x q d


=
0
0
1
( ) ( )
2
z
z
f x d dF z
z



`

)


=
0
( ) ( ) H z dF z


Sehingga m(x,)= (1-) m(x,
0
) +
0
( ) ( ) H z dF z

.
Dan (x) =
0
0
1
( )
1
( ) ( ) ( )
m x
m x H z dF z

+


=
( ) ( )
a
a H z dF z +


1- (x) =
( ) ( )
( ) ( )
H z dF z
a H z dF z +


Pdf posterior q( ,x) =
( , )
( )
f x
m x q


=
( ) ( )
( ) ( )
f x q
H z dF z


Sehingga ( )
q
x = E[q( ,x)] =
1
( ) ( )
( ) ( )
H z dF Z
H z dF Z


Dengan mensubstitusikan (x) dan ( )
q
x dalam
( ) x

diperoleh
( ) x

=
0 1
( ) ( )
( ) ( )
a H z dF z
a H z dF z
+
+


Yang harus dibuktikan diperoleh dari lemma
berikut :



LEMMA 3 :
Andaikan f , ialah kelas distribusi
probabilitas yang terdiri atas semua distribusi 1
titik dan
B+g(z) > 0 untuk semua z. Maka
sup
f
( ) ( )
( ) ( )
A f z dF z
B g z dF z
+
+

= sup
z
( )
( )
A f z
B g z
+
+

inf
f
( ) ( )
( ) ( )
A f z dF z
B g z dF z
+
+

= inf
z
( )
( )
A f z
B g z
+
+


Bukti :
A + ( ) ( ) f z dF z


=
( )
[ ( )] ( )
( )
A f z
B g z dF z
B g z
+
+
+



sup
z
( )
[ ( )] ( )
( )
A f z
B g z dF z
B g z
+
+
+


sup
z
( )
[ ( ) ( )]
( )
A f z
B g z dF z
B g z
+
+
+


Jadi sup
f
( ) ( )
( ) ( )
A f z dF z
B g z dF z
+
+

sup
z
( )
( )
A f z
B g z
+
+

Karena f terdiri atas semua distribusi 1 titik maka
berlaku =.

Dengan cara yang sama diperoleh untuk inf.

Rentang dari premi posterior

A. Untuk parameter dari biaya tiap klaim

Akan dibahas rentang dari variasi premi posterior
P*[
0
(,|x)] jika distribusi prior dari berubah
dalam kelas kontaminasi dengan elemen-
elemennya .
c
().
Tinjau
0
2c
(,) =
10
()
c
()
=
10
(){(1- )
01
()+ q()}, q

sembarang pdf
= (1- )
10
()
01
()+

10
()q()
= (1- )
0
(,)+ q
*
()
di mana
0
(,)=
10
()
01
(); q
*
()=
10
()q()











Aktuaria
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 123

LEMMA 4 :
Premi posterior P*[
0
2c
(,|x)] =

0 1
2 3
( ) ( )
, 0
( ) ( )
1 1
( )
( 1)( 1) 1
, 0
1
1
A A q d
x
A A q d
ad a
q d
c b b
x


+
+ +


di mana
A
0
= A
0
(a, b, c, d, x, )
=
1

1
( )( 1)( )
c
c
d
c b x d

+ +
1
1
n
n
a n
T
n c

=
+
+



A
1
() = A
1
(a, b, c, d, x, )
=
1
1 b +
x
e

1
1
( 1)
( 1)! !( 1)
n n
n
n
x a n
n n b


=
+ +
+


A
2
= A
2
(a, b, c, d, x, )
=
1

( )( )
c
c
d
c x d +
1
n
n
T


A
3
() = A
3
(a, b, c, d, x, )
=
x
e

1
1
( )
( 1)! !( 1)
n n
n
n
x a n
n n b


=
+
+


Bukti:
Premi posterior P*[
0
2c
(,|x)] = E[
1
x

] =
2
0
1
( , )
c
x d d


. Dengan mencari
2
0
( , )
c
x
dengan cara yang lalu, maka premi
posterior P*[
0
2c
(,|x)] dapat diperoleh.

Dengan menggunakan lemma 3 diperoleh rentang
premi posterior P*[
0
2c
(,|x)] untuk semua

c
() yaitu:
0 1
2 3
( )
, 0
( )
1 1
( )
( 1)( 1) 1
, 0
1
1
A A
ren x
A A
ad a
c b b
ren x


+
+ +



(1)
di mana A
0
, A
1
,

A
2
, A
3
sama dengan di lemma 4.


B. Untuk parameter dari banyak klaim

Akan dibahas rentang dari variasi premi posterior
P*[
0
1c
(,|x)] jika distribusi prior dari
berubah dalam kelas kontaminasi dengan elemen-
elemennya .
c
().
Tinjau
0
1c
(,) =
c
()
01
()
= {(1- )
10
()+ q()}
01
(), q

sembarang pdf
= (1- )
10
()
01
()+
01
()q()
= (1- )
0
(,)+ q
*
()
di mana
0
(,)=
10
()
01
(); q
*
()=
01
()q()

LEMMA 5 :
Premi posterior P*[
0
1c
(,|x)] =

0 1
2 3
1
( ) ( )
, 0
( ) ( )
1
( )
( 1)( 1) 1
, 0
1
( )
1
a
a
a
B B q d
x
B B q d
adb d
e q d
c b c
x
b
e q d
b

| |
+
|
+
\ .


di mana
B
0
= B
0
(a, b, c, d, x, )
=
1

1
( )( 1)
a
a
b
a b
+
+
1
1
n
n
a n
T
n c

=
+
+



B
1
() = B
1
(c, d, x, )
= e


1
1
1
( 1)
( 1)! !( )
n n
n
n
x c n
n n x d

=
+
+


B
2
= B
2
(a, b, c, d, x, )
= 1

( )( 1) ( )
a
a
b
a b x d + +
1
n
n
T


B
3
() = B
3
( c, d, x, )
= e

1
1
( )
( 1)! !( )
n n
n
n
x c n
n n x d


=
+
+



Bukti:
Premi posterior P*[
0
1c
(,|x)] = E[
1
x

] =
1
0
1
( , )
c
x d d


. Dengan mencari
1
0
( , )
c
x dengan cara yang lalu, maka premi
posterior P*[
0
1c
(,|x)] dapat diperoleh.

Dengan menggunakan lemma 3 diperoleh rentang
premi posterior P*[
0
1c
(,|x)] untuk semua

c
() yaitu:

Aktuaria

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika UI 124

0 1
2 3
1
( )
, 0
( )
1
( 1)( 1) 1
, 0
1
1
a
a
a
B B
ren x
B B
adb d
e
c b c
ren x
b
e
b

| |
+

|
+
\ .


(2)
di mana B
0
, B
1
, B
2
, B
3
sama dengan di lemma 5


KESIMPULAN

Penentuan rentang untuk premi posterior
P*[
0
1c
(,|x)] diperoleh dengan mencari nilai
ekstrem untuk satu variabel di (2). Juga
penentuan rentang untuk premi posterior
P*[
0
2c
(,|x)] diperoleh dengan mencari nilai
ekstrem untuk satu variabel di (1).


DAFTAR PUSTAKA

[1] Berger, J.; Insua,D.R. and Ruggeri,F. 2000.
Bayesian Robustness. Technical Report.
[2] Bernardo, J.M. and Smith, F.M. 2002.
Bayesian Theory. J.Wiley & Sons,Ltd.
[3] Gelman,A.; Carlin,J.B.; Stern,H.S. and
Rubin,D.R. 2000. Bayesian Data Analysis.
Chapman & Hall.
[4] Hernandez,A.; Perez,J.M. and Gomesz,E.
2007. Bayesian Analysis of the Compound
Collective Model: The net premium principle
with Exponential and Gamma-Gamma
distribution. FEG Working Paper Series.
[5] Kaas,R.; Goovaerts,M.; Dhaene,J. and
Denvit, M. 2001. Modern Actuarial Risk
Theory. Kluwer Academic Publ.
[6] Sivaganesan,S. and Berger,J. 1987. Ranges
of Posterior Measures for Priors with
Unimodal Contaminations Technical
Report.
Keuangan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 125
PENENTUAN HARGA OPSI COMPOUND MENGGUNAKAN METODE
MARTINGALE DAN METODE BINOMIAL

Bony Parulian J. Marbun
Politeknik Informatika Del

bony@del.ac.id


ABSTRAK

Opsi eksotik atau opsi path-dependent adalah opsi yang payoff-nya bergantung pada perilaku harga aset
pokok antara waktu 0 = t dan waktu jatuh tempo, bukan semata-mata bergantung pada harga akhir aset
pokok, contohnya opsi compound. Pada makalah ini, rumus untuk opsi compound diperoleh dengan
menggunakan metode martingale dan perubahan ukuran peluang. Opsi compound yang dibahas di sini
adalah opsi compound dengan dua strike price, dua waktu jatuh tempo dan aset pokok adalah saham.
Opsi compound terdiri atas 4 jenis yaitu opsi call atas opsi call, opsi put atas opsi call, opsi call atas opsi
put, opsi put atas opsi put. Pada makalah ini, agar tidak membingungkan, opsi yang disebut pertama kali
(opsi compound) disebut opsi pertama dan opsi yang disebut belakangan adalah opsi pokok. Opsi
compound dapat berupa opsi Eropa atau Amerika. Demikian pula halnya dengan opsi pokok. Jadi, secara
keseluruhan diperoleh enam belas jenis opsi compound.

Penurunan rumus analitis opsi compound dilakukan dalam kerangka Black-Scholes yaitu saham
diasumsikan mengikuti gerak Brown geometrik. Rumus analitis hanya bisa diperoleh untuk kasus opsi
Eropa atas opsi Eropa. Sedangkan untuk kasus selain opsi Eropa atas opsi Eropa, rumus analitis tidak bisa
diperoleh. Penentuan harga opsi compound untuk kasus selain opsi Eropa atas opsi Eropa hanya bisa
dilakukan secara numerik. Pada makalah ini metode numerik yang digunakan untuk mendapatkan harga
opsi compound, baik opsi Eropa atas opsi Eropa maupun yang bukan opsi Eropa atas opsi Eropa, adalah
metode binomial. Untuk opsi Eropa atas opsi Eropa, harga binomial dibandingkan dengan harga eksaknya
dan diperoleh bahwa harga binomial konvergen ke harga eksak.

Keywords: opsi compound, gerak Brown, martingale, ukuran peluang, metode binomial


PENDAHULUAN

Opsi compound adalah opsi atas opsi di mana
harganya berdasarkan harga opsi pokok. Secara
umum opsi compound terdiri atas empat jenis,
yaitu call atas call, put atas call, call atas put, dan
put atas put. Opsi ini sudah digunakan secara luas
dalam keuangan korporat, di mana kesempatan
investasi korporat dipandang sebagai opsi. Dalam
lingkungan keuangan korporat, aset pokok adalah
nilai total dari aset perusahaan, berbagai macam
sekuritas korporat, sehingga ekuitas, waransi, dan
convertible bond, dapat dipandang sebagai
contingent claim atas aset. Oleh karena itu opsi-
opsi yang diterbitkan atas sekuritas korporat
adalah contoh opsi compound.

Rumus analitis untuk harga opsi compound
ditemukan oleh Robert Geske (1979) dalam
kerangka Black-Scholes, yaitu di mana harga
saham mengikuti gerak Brown geometrik dengan
volatilitas dan suku bunga sebagai fungsi waktu.
Pada dasarnya, prosedur penentuan harga opsi
compound oleh Geske terdiri atas dua langkah:
yang pertama, opsi pokok ditentukan harganya
menurut metode Black-Scholes; kemudian opsi
compound dipandang sebagai contingent claim
atas opsi yang harganya sudah ditentukan pada
langkah pertama.

Pada makalah ini digunakan metode martingale
dan perubahan ukuran peluang untuk memperoleh
rumus analitis opsi compound. Rumus analitis
hanya bisa diperoleh untuk kasus opsi Eropa atas
opsi Eropa. Sedangkan untuk kasus opsi Amerika
atas opsi Eropa, opsi Eropa atas opsi Amerika,
dan opsi Amerika atas opsi Amerika, rumus
analitis tidak bisa diperoleh. Namun untuk kasus-
kasus ini, harga numerik opsi compound tetap
bisa diperoleh dengan menggunakan metode
binomial. Harga numerik yang diperoleh dengan
metode binomial selanjutnya juga disebut harga
binomial.

BAHAN DAN METODE

Opsi compound secara sederhana adalah opsi atas
opsi. Ada empat jenis opsi compound, yaitu:
1. call atas call,
2. put atas call,
3. put atas put,
4. dan call atas put.
Keuangan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 126
Opsi compound mempunyai dua waktu jatuh
tempo yaitu
1
T dan
2
T dan dua strike price yaitu
1
K dan
2
K . Waktu jatuh tempo
1
T dan
2
T
ditinjau secara backward, yaitu
1
T adalah waktu
jatuh tempo opsi pokok dipandang sebagai waktu
jatuh tempo pertama, sedangkan
2
T adalah waktu
jatuh tempo opsi compound dipandang sebagai
waktu jatuh tempo kedua. Pada bagian berikut ini
diuraikan penurunan rumus analitis opsi Eropa
atas opsi Eropa.

Rumus analitis untuk opsi-opsi compound
Eropa

Penurunan rumus analitis opsi compound Eropa
pada makalah ini dilakukan untuk opsi call Eropa
atas call Eropa. Misalkan:
( ) t S menyatakan harga saham pada waktu t,
( ) t C menyatakan harga opsi call Eropa atas
saham pada waktu t dengan strike price
1
K dan
waktu jatuh tempo
1
T ,
( ) t CoC menyatakan harga opsi call Eropa atas
call Eropa pada waktu t dengan strike price
2
K dan waktu jatuh tempo
2
T dengan .
1 2
T T <

Pada waktu jatuh tempo
2
T pemilik opsi call
(compound) Eropa atas call Eropa mempunyai
hak untuk membeli opsi call pokok Eropa dengan
harga
2
K . Opsi call pokok Eropa kembali
memberikan hak kepada pemilik opsi untuk
membeli saham dengan harga
1
K pada waktu
jatuh tempo .
1
T

Harga saham ( ) t S diasumsikan memenuhi
persamaan diferensial stokastik


( )
( )
( ) t dW rdt
t S
t dS
+ = (1)
dengan ( ) t W merupakan gerak Brown baku di
bawah ukuran peluang risk-neutral P , dan r
masing-masing merupakan volatilitas dan suku
bunga. Harga opsi call Eropa diberikan oleh
( ) ( )
( )
( )
1 1 2
1
k N e K k SN t C
t T r
= dengan ( ) k N
menyatakan fungsi distribusi kumulatif dari
peubah acak normal, dan

( )
t T
t T r
K
S
k
t

+
=
1
1
2
1
1
2
ln

(2)

( )
t T
t T r
K
S
k
t

+ +
=
1
1
2
1
2
2
ln

(3)
Payoff dari opsi call Eropa atas call Eropa pada
waktu jatuh tempo
2
T adalah
( ) ( ) ( )
+
=
2 2 2
K T C T CoC dengan ( ). 0 , max x x =
+

Karena harga opsi call Eropa ( ) t C adalah fungsi
yang monoton naik maka ada nilai kritis
*
S
sehingga
( )
2 2
K T C = . (4)

Persamaan (4) menyatakan opsi call compound
Eropa di-exercise pada waktu jatuh tempo
2
T jika
harga saham ( )
2
T S lebih besar dari * S dan opsi
call compound Eropa tidak bernilai pada
2
T jika
( )
2
T S lebih kecil dari * S . * S dapat dicari dengan
menyelesaikan persamaan (4) menggunakan
metode Newton.

Misalkan ( ) { }
1 1 1
| K T S w A = merupakan
himpunan exercise dari opsi call Eropa ( )
1
T C dan
( ) { } * |
2 1
S T S w B = merupakan himpunan
exercise dari opsi call compound Eropa ( )
2
T CoC .
Berdasarkan teori martingale (lihat [6]),
( ) ( ) ( ) [ ]
1 1 1
1
|
1
T t K T S B E B t C
t T P t
=
+
(5)
( ) ( ) ( ) [ ]
2 2 2
1
|
2
T t K T C B E B t CoC
t T P t
=
+
(6)
dengan
P
E menyatakan ekspektasi di bawah
ukuran peluang risk-neutral P dan
t
B faktor
akumulasi yang diberikan oleh
rt
t
e B

= . Dari
persamaan (6) untuk setiap
2
T t diperoleh

( ) ( ) ( ) [ ]
( ) [ ]
( )
[ ]
t
t T r
t B T P t
t B T P t
B P e K I T C B E B
I K T C B E B t CoC
=
=

| |
|
1 2 2
1
2 2
1
2
1 2
1 2
(7)
dengan I menyatakan fungsi indikator. Dengan
melakukan substitusi persamaan (5) ke suku
pertama persamaan (7) diperoleh

( ) [ ]
( ) ( ) ( ) [ ]
( ) ( ) ( ) [ ]
( ) ( ) [ ]
t T B P t
t T T B P P t
t B T T P P t
t B T P t
K T S B I E B
K T S B I E E B
I K T S B E E B
I T C B E B
=
=
=

+
+
+

|
| |
| |
|
1 1
1
1 1
1
1 1
1
2
1
1 1
2 1 1
1 2 1
1 2


( ) ( ) [ ]
( )
[ ]
t
t T r
t B A T P t
B A P e K
I K T S B E B

=

|
|
1 1 1
1 1
1
1
1 1 1
(8)

Didefinisikan ukuran risk-neutral lain yaitu P di
mana harga saham ( ) t S dianggap sebagai
numeraire. Turunan Radon-Nikodym dari P
terhadap P didefinisikan oleh
( )
( ) ( )
.
0
|
'
1
1
1
S T B
T S
dP
dP
T
=

Teorema 1. Harga opsi call Eropa atas call Eropa
pada waktu t diberikan oleh

( ) ( )
( )
( )
( )
( )
t
t T r
t
t T r
t t
B P e K
B A P e K
B A P S t CoC


=


|
|
| '
1 2
1 1 1
1 1
2
1
(9)
di mana ( )
t
A P | adalah peluang bersyarat dari
kejadian A di bawah P terhadap filtrasi
t
.
Keuangan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 127
Bukti. (lihat [9]) Menurut aturan Bayes
( )
( )
( ) ( )
( ) ( ) ( ) ( )
( )

=
=
=



t B A
T
T
P
t B A
P
t
t
t B A
P
t B A
P
t B A
P
t B A
P
I
S B
S
E I E
S B
S
I T Z E I E t Z
I T Z E
t Z
I E
| |
| |
|
1
|
1 1
1
1
1 1
1 1 1 1
1 1 1 1
0
'
'
0
1
' '
1
' '

( ) ( )
t B A T T
P
t t t
I S B E B B A P S =

| | '
1 1 1 1
1
'
1 1
(10)
Substitusikan persamaan (9) dan persamaan (10)
ke persamaan (7) diperoleh persamaan (9).

Teorema 2. Harga opsi call Eropa atas call Eropa
pada waktu t diberikan oleh

( ) ( )
( )
( )
( )
( )
1 2
1 1 1 2 2
2
1
, , , ,
h N e K
k h N e K k h N S t CoC
t T r
t T r
t

=
(11)
dengan ( ) h N menyatakan fungsi distribusi
kumulatif dari peubah acak normal baku,
( ) , , k h N menyatakan fungsi distribusi normal
kumulatif normal bivariat dengan koefisien
korelasi , dan

( )
t T
t T r
S
S
h
t

+
=
2
2
2
*
1
2
ln

(12)

( )
t T
t T r
S
S
h
t

+ +
=
2
2
2
*
2
2
ln

(13)

t T
t T

=
1
2
(14)
dan
1
k dan
2
k secara berturutan mengacu ke pers.
(2) dan pers. (3).

Bukti.(lihat [9]) ( ) t S memenuhi pers. (1) sehingga
dengan menggunakan lemma Ito diperoleh

( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )

=
t T t
t T t
W W t T r S T S
W W t T r S T S
2
1
2
2
2
1
2
1
2
exp
2
exp


Karena ( ) t W merupakan gerak Brown baku maka
( )
t T
W W
1
( ) ( ) t T N
1
2
, 0 dan ( )
t T
W W
2

( ) ( ) t T N
2
2
, 0 . Peubah-peubah acak ( )
1
T S dan
( )
2
T S dapat ditransformasi menjadi peubah-
peubah acak
1
Z dan
2
Z , yaitu

( )
( )
( )
( ) t T
t T r
t S
T S
Z


=
1
1
2
1
1
2
ln

( ) 1 , 0 N (15)

( )
( )
( )
( ) t T
t T r
t S
T S
Z


=
2
2
2
2
2
2
ln

( ) 1 , 0 N (16)
Pandang suku ke-3 pers. (9) yaitu
( )
( )
t
t T r
B P e K

|
1 2
2
,

( ) ( ) ( )
( ) ( )
( )
( )
( )
1
2
2
2
2
2
2 1
1
2
*
ln
1
| * 1
| * |
h N
t T
t T r
S
S
Z P
S T S P
S T S P B P
t
t
t t
=


< =
< =
=


( )
1
h N = (17)
Sedangkan koefisien korelasi antara
1
Z dan
2
Z
adalah
t T
t T

=
1
2
.

Pandang suku ke-2 pers. (9) yaitu ( )
t
B A P |
1 1
.
Peluang ini dapat diselesaikan dengan
mentransformasi peubah acak
1
T
S dan
2
T
S
menjadi peubah acak
1
Z dan
2
Z seperti pada
pers. (15) dan pers. (16), yaitu

( ) ( )
( )
( )


+
=

+
=
=
1 1
1 1
2 1
2 1 2
2
2 2 1
2
1
2 1 2
2
2 2 1
2
1
1 1 1
1 2
2
exp
2
1
1 2
2
exp
2
1
| * , |
h k
h k
t T T t
dz dz
z z z z
dz dz
z z z z
S S K S P B A P


( ) , ,
1 1
k h N = (18)

Berdasarkan teorema Girsanov diperoleh bahwa
t W W
t t
= ' adalah gerak Brown di bawah ' P .
Asumsikan
dt dW dW
t t
= ' (19)
Substitusikan pers. (19) ke pers. (1) diperoleh

( )
( )
( ) ( ) t dW dt r
t S
t dS
'
2
+ + = (20)
( ) t S memenuhi pers. (20) sehingga dengan
menggunakan lemma Ito diperoleh

( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )

+ =

+ =
t T t
t T t
W W t T r S T S
W W t T r S T S
2
1
2
2
2
1
2
1
2
exp
2
exp


Pandang suku pertama pers. (9) yaitu
( )
t
B A P | '
1 1
. Peluang ini dapat diselesaikan
dengan mentransformasi peubah-peubah acak
1
T
S
dan
2
T
S menjadi peubah-peubah acak
3
Z dan
4
Z ,
yaitu

( )
( )
( )
( ) t T
t T r
t S
T S
Z

+
=
1
1
2
1
3
2
ln

( ) 1 , 0 N (21)

( )
( )
( )
( ) t T
t T r
t S
T S
Z

+
=
2
2
2
2
4
2
ln

( ) 1 , 0 N (22)
Keuangan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 128
di mana .
1
2
,
4 3
=

=
t T
t T
Z Z

Dengan demikian

( ) ( )
( )
( )


+
=

+
=
=
2 2
2 2
2 1
4 3 2
2
4 4 3
2
3
4 3 2
2
4 4 3
2
3
1 1 1
1 2
2
exp
2
1
1 2
2
exp
2
1
| * , ' | '
h k
h k
t T T t
dz dz
z z z z
dz dz
z z z z
S S K S P B A P


( ) , ,
2 2
k h N = (23)

Substitusikan persamaan-persamaan (17), (18),
dan (23) ke pers. (9), diperoleh pers. (11).

Rumus-rumus analitis untuk ketiga opsi
compound Eropa yang lain bisa diperoleh dengan
menggunakan cara yang serupa seperti cara untuk
memperoleh opsi call Eropa atas call Eropa di
atas. Berikut ini adalah rumus-rumus analitis
untuk ketiga opsi compound tersebut:
Opsi put Eropa atas call Eropa:

( )
( )
( )
( )
( )
( )

+

=


, ,
, ,
1 1 1
2 2
1 2
1
2
k h N e K
k h N S
h N e K t PoC
t T r
t
t T r
(24)
Opsi call Eropa atas put Eropa:

( )
( )
( )
( )
( )
( )
1 2
2 2
1 1 1
2
1
, ,
, ,
h N e K
k h N S
k h N e K t CoP
t T r
t
t T r


=


(25)
Opsi put Eropa atas put Eropa:

( )
( )
( )
( )
( )
( )

+

=


, ,
, ,
2 2
1 1 1
1 2
1
2
k h N S
k h N e K
h N e K t CoP
t
t T r
t T r
(26)

Rumus binomial untuk opsi-opsi compound

Pada kasus di mana opsi pertama atau opsi pokok
berupa opsi Amerika, rumus analitis opsi
compound tidak bisa diperoleh. Salah satu cara
untuk memperoleh harga opsi-opsi compound
pada kasus tersebut adalah menggunakan metode
binomial. Pada opsi compound ada 2 waktu jatuh
tempo yaitu
1
T dan
2
T . Selang waktu [ ]
2
, 0 T dibagi
menjadi M subselang (banyak langkah) yang sama
panjang yaitu t dengan titik-titik bagi (sampai
dengan
1
T )
1 2 1 0
... ... 0 T t T t t t
N M M
= < < = < < < =
+
di
mana

M
T
t
M i t i t
i
2
,..., 1 , 0 ,
=
= =

dan ( )
i i
t S S = adalah harga saham pada waktu
i
t .
Asumsi-asumsi pada metode binomial adalah:
Dalam selang waktu t harga saham dapat naik
atau turun menjadi Su atau Sd dengan
u d < < < 1 0 .
Peluang harga saham naik adalah p.
Ekspekasi return harga saham besarnya sama
dengan suku bunga bebas resiko r, sehingga
untuk harga saham yang bergerak secara acak
dari
i
S pada waktu
i
t menjadi
1 + i
S pada waktu
1 + i
t berlaku ( )
t r
i i
e S S E

+
=
1
.
Pada makalah ini dipilih 1 = ud .
Solusi-solusi dari p d u dan , , adalah:

d u
d e
p d u
t r

= = + =

, 1 , 1
2 2

dengan
( )
( )
t r t r
e e
+
+ =
2
2
1

.

Misalkan pada waktu 0
0
= t harga saham adalah
0
S , maka menurut metode binomial harga saham
pada waktu t t =1
1
diberikan oleh u S
0
atau d S
0
.
Selanjutnya harga saham mengambil salah satu
dari , ,
0
2
0
ud S d S atau
2
0
u S . Jika langkah ini
diteruskan maka pada waktu t i t
i
= akan terdapat
1 + i harga saham yang mungkin terjadi, yang
diberikan oleh
i j d u S S
j i j
ji
,..., 1 , 0 ,
0
= =


dengan
ji
S menyatakan harga saham pada waktu
i
t dan telah terjadi kenaikan sebanyak j kali serta
penurunan harga saham sebanyak i-j kali, dihitung
dari waktu 0
0
= t . Pada waktu jatuh tempo
( )
1
T t N M t
N M
= + =
+
terdapat M+N+1 harga
saham yang mungkin yaitu { }
N M j
N M j
S
+ =
+
,..., 1 , 0
,
.
Misalkan { }
N M j
N M j
C
+ =
+
,..., 1 , 0
,
menyatakan nilai-nilai
payoff pada waktu jatuh tempo untuk opsi call
Eropa yaitu ( )
+
+ +
=
1 , ,
K S C
N M j N M j
. Dengan cara
yang serupa, nilai-nilai payoff pada waktu jatuh
tempo untuk opsi put Eropa diberikan oleh
( )
+
+ +
=
N M j N M j
S K P
, 1 ,
.

Harga-harga opsi call pokok dan opsi put pokok
pada waktu
i
t , yang berkaitan dengan harga
saham
ji
S , diberikan secara berturutan oleh
( ) ( )
1 , 1 , 1
1
+ + +

+ =
i j i j
t r
ji
C p pC e C
dan
( ) ( )
1 , 1 , 1
1
+ + +

+ =
i j i j
t r
ji
P p pP e P
dengan i j ,..., 1 , 0 = dan , 1 + = N M i . , 1 ..., M M +
Opsi call pokok dengan jenis Amerika, yang
mempunyai fasilitas early exercise, harganya
diberikan oleh
( ) ( ) ( ) ( ) . 1 ,
1 , 1 , 1 1
+
+ + +
+
+ =
i j i j
t r
ji ji
C p pC e K S C
Sedangkan harga opsi put pokok dengan jenis
Amerika diberikan oleh
( ) ( ) ( ) ( ) . 1 ,
1 , 1 , 1 1
+
+ + +
+
+ =
i j i j
t r
ji ji
P p pP e S K P

Selanjutnya, nilai-nilai payoff pada waktu jatuh
tempo
2
T untuk opsi call Eropa atas call, opsi put
Keuangan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 129
Eropa atas call, opsi call Eropa atas put, opsi put
Eropa atas put, di mana opsi pokok berjenis Eropa
ataupun Amerika, secara berturutan diberikan
oleh

( )
( )
( )
( ) ,
,
,
,
2
2
2
2
+
+
+
+
=
=
=
=
jM jM
jM jM
jM jM
jM jM
P K PoP
K P CoP
C K PoC
K C CoC
dengan
. ,..., 1 , 0 M j = Metode binomial kembali bekerja
mundur untuk memperoleh harga opsi compound
(call atau put) pada waktu 0 = t . Harga-harga
keempat opsi compound tersebut pada waktu
0 = t adalah:
Opsi call Eropa atas call:
( ) ( )
1 , 1 , 1
1
+ + +

+ =
i j i j
t r
ji
CoC p pCoC e CoC (27)
Opsi put Eropa atas call:
( ) ( )
1 , 1 , 1
1
+ + +

+ =
i j i j
t r
ji
PoC p pPoC e PoP (28)
Opsi call Eropa atas put:
( ) ( )
1 , 1 , 1
1
+ + +

+ =
i j i j
t r
ji
CoP p pCoP e CoP (29)
Opsi put Eropa atas put:
( ) ( )
1 , 1 , 1
1
+ + +

+ =
i j i j
t r
ji
PoP p pPoP e PoP (30)
dengan i j ,..., 1 , 0 = dan 0 ,..., 1 = M i .

Persamaan-persamaan (27) (30) adalah rumus-
rumus binomial untuk opsi-opsi compound yang
opsi pertamanya berjenis Eropa dan opsi
pokoknya berjenis Eropa ataupun Amerika.

Opsi-opsi compound yang opsi pertamanya
berjenis Amerika (mempunyai fasilitas early
exercise) harga-harganya diberikan oleh:
Opsi call Amerika atas call:
( ) (
( ) ( ))
+
+ + +

+
+
=
1 , 1 , 1
2
1
,
i j i j
t r
ji ji
CoC p pCoC e
K C CoC
(31)
Opsi put Eropa atas call:
( ) (
( ) ( ))
+
+ + +

+
+
=
1 , 1 , 1
2
1
,
i j i j
t r
ji ji
PoC p pPoC e
C K PoC
(32)
Opsi call Amerika atas put:
( ) (
( ) ( ))
+
+ + +

+
+
=
1 , 1 , 1
2
1
,
i j i j
t r
ji ji
CoP p pCoP e
K P CoP
(33)
Opsi put Eropa atas call:
( ) (
( ) ( ))
+
+ + +

+
+
=
1 , 1 , 1
2
1
,
i j i j
t r
ji ji
PoP p pPoP e
P K PoC
(34)
dengan i j ,..., 1 , 0 = dan 0 ,..., 1 = M i .

Persamaan-persamaan (31) (34) adalah rumus-
rumus binomial untuk opsi-opsi compound yang
opsi pertamanya berjenis Amerika dan opsi
pokoknya berjenis Eropa ataupun Amerika.



HASIL DAN DISKUSI

Misalkan diberikan data sebagai berikut:
1. harga saham awal ( ) 100
0
= S ,
2. strike price untuk opsi pokok ( ) 100
1
= K ,
3. strike price untuk opsi pertama ( ) 7
2
= K ,
4. suku bunga ( ) % 10 = r ,
5. volatilitas pergerakan harga saham ( ) % 20 =
,
6. waktu jatuh tempo opsi pokok ( ) 1
1
= T tahun,
7. waktu jatuh tempo opsi pertama ( ) 6 , 0
2
= T
tahun.

Opsi call atas call

Misalkan diberikan opsi call atas call dengan
menggunakan data di atas. Apabila rumus (27)
dan rumus (31) diterapkan pada data tersebut
untuk banyak langkah 8192 ,... 256 , 128 , 64 = M
diperoleh hasil sbb:

Tabel 1. Harga binomial opsi call Eropa atas call Eropa
beserta galat mutlak dan galat relatifnya
M Harga
binomial
Galat mutlak Galat relatif
64 8.0363 0.0528 0.652730
128 8.0839 0.0052 0.064284
256 8.0778 0.0113 0.139694
512 8.0887 0.0004 0.004945
1024 8.0869 0.0022 0.027197
2048 8.0893 0.0002 0.002472
4096 8.0887 0.0004 0.004945
8192 8.0891 0.0000 0.000000
Harga
eksak
8.0891

Tabel 2. Harga-harga binomial opsi call Amerika atas
call Eropa, opsi call Eropa atas call Amerika, dan opsi
call Amerika atas call Amerika
M CA atas CE CE atas CA CA atas CA
64 8.0363 8.0363 8.0363
128 8.0839 8.0839 8.0839
256 8.0778 8.0778 8.0778
512 8.0887 8.0887 8.0887
1024 8.0869 8.0869 8.0869
2048 8.0893 8.0893 8.0893
4096 8.0887 8.0887 8.0887
8192 8.0891 8.0891 8.0891

Dari tabel 1 terlihat bahwa galat relatif harga-
harga binomial opsi call Eropa atas call Eropa
menuju nol manakala nilai M semakin besar.
Berdasarkan tabel 1 dan tabel 2 diperoleh bahwa
harga-harga opsi compound dengan jenis:
call Eropa atas call Eropa
call Eropa atas call Amerika
call Amerika atas call Eropa
call Amerika atas call Amerika
selalu sama untuk 8192 ,... 256 , 128 , 64 = M .

Keuangan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 130

Gambar 1. Grafik konvergensi harga binomial opsi
call atas opsi call

Pada gambar 1 terlihat bahwa harga-harga
binomial dari:
call Eropa atas call Eropa
call Eropa atas call Amerika
call Amerika atas call Eropa
call Amerika atas call Amerika
konvergen manakala M semakin besar.

Opsi put atas call

Misalkan diberikan opsi put atas call dengan
menggunakan data 1 7. Apabila rumus (28) dan
rumus (32) diterapkan pada data tersebut untuk
banyak langkah 8192 ,... 256 , 128 , 64 = M diperoleh
hasil sbb:

Tabel 3.Harga binomial opsi put Eropa atas call Eropa
beserta galat mutlak dan galat relatifnya
M Harga
binomial
Galat mutlak Galat relatif
64 1.4251 0.0134 0.165655
128 1.4095 0.0022 0.027197
256 1.4170 0.0053 0.065520
512 1.4121 0.0004 0.004945
1024 1.4137 0.0020 0.024725
2048 1.4121 0.0004 0.004945
4096 1.4124 0.0007 0.008654
8192 1.4119 0.0002 0.002472
Harga
eksak
1.4117

Tabel 4. Harga-harga binomial opsi put Amerika atas
call Eropa, opsi put Eropa atas call Amerika, dan opsi
put Amerika atas call Amerika
M PA atas CE PE atas CA PA atas CA
64 1.4420 1.4251 1.4420
128 1.4248 1.4095 1.4248
256 1.4320 1.4170 1.4320
512 1.4268 1.4121 1.4268
1024 1.4283 1.4137 1.4283
2048 1.4267 1.4121 1.4267
4096 1.4269 1.4124 1.4269
8192 1.4264 1.4119 1.4264
Harga
eksak
1.4420 1.4251 1.4420

Dari tabel 3 terlihat bahwa galat relatif harga-
harga binomial opsi put Eropa atas call Eropa
menuju nol manakala nilai M semakin besar.
Berdasarkan tabel 3 dan tabel 4 diperoleh bahwa:
Harga binomial opsi put Amerika atas call
Eropa lebih besar daripada harga binomial opsi
put Eropa atas call Eropa.
Harga binomial opsi put Amerika atas call
Amerika lebih besar daripada harga binomial
opsi put Eropa atas call Amerika.
Harga binomial opsi put Eropa atas call Eropa
sama dengan harga binomial opsi put Eropa
atas call Amerika.
Harga binomial opsi put Amerika atas call
Eropa sama dengan harga binomial opsi put
Amerika atas call Amerika.


Gambar 2. Grafik konvergensi harga binomial opsi
put atas opsi call

Pada gambar 2 terlihat bahwa harga-harga
binomial dari:
put Eropa atas call Eropa
put Eropa atas call Amerika
put Amerika atas call Eropa
put Amerika atas call Amerika
konvergen manakala M semakin besar.

Opsi call atas put

Misalkan diberikan opsi call atas put dengan
menggunakan data 1 7. Apabila rumus (29) dan
rumus (33) diterapkan pada data tersebut untuk
banyak langkah 8192 ,... 256 , 128 , 64 = M diperoleh
hasil sbb:

Tabel 5. Harga binomial opsi call Eropa atas put Eropa
beserta galat mutlak dan galat relatifnya
M Harga
binomial
Galat mutlak Galat relatif
64 1.0783 0.0046 0.428425
128 1.0741 0.0004 0.428425
256 1.0764 0.0027 0.251467
512 1.0740 0.0003 0.027941
1024 1.0748 0.0011 0.102449
2048 1.0740 0.0003 0.027941
4096 1.0739 0.0002 0.018627
8192 1.0739 0.0002 0.018627
Harga
eksak
1.0737

Keuangan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 131
Tabel 6. Harga-harga binomial opsi call Amerika atas
put Eropa, opsi call Eropa atas put Amerika, dan opsi
call Amerika atas put Amerika
M CA atas PE CE atas PA CA atas PA
64 1.0783 1.6117 1.8168
128 1.0741 1.6042 1.8091
256 1.0764 1.5997 1.8055
512 1.0740 1.5988 1.8045
1024 1.0748 1.5978 1.8036
2048 1.0740 1.5972 1.8031
4096 1.0739 1.5968 1.8028
8192 1.0739 1.5969 1.8028

Dari tabel 5 terlihat bahwa galat relatif harga-
harga binomial opsi put Eropa atas call Eropa
menuju nol manakala nilai M semakin besar.
Berdasarkan tabel 3 dan tabel 4 diperoleh bahwa:
Harga binomial opsi call Amerika atas put
Eropa sama dengan harga binomial opsi call
Eropa atas put Eropa.
Harga binomial opsi call Amerika atas put
Amerika lebih besar daripada harga binomial
opsi call Eropa atas put Amerika.
Harga binomial opsi call Eropa atas put
Amerika lebih besar daripada harga binomial
opsi call Eropa atas put Eropa.
Harga binomial opsi call Amerika atas put
Amerika sama dengan harga binomial opsi call
Amerika atas put Eropa.
Harga binomial opsi call Amerika atas put
Amerika lebih besar daripada harga binomial
opsi call Eropa atas put Amerika, call Amerika
atas put Eropa, dan call Eropa atas put Eropa.


Gambar 3. Grafik konvergensi harga binomial opsi
call atas opsi put

Pada gambar 3 terlihat bahwa harga-harga
binomial dari:
put Eropa atas call Eropa
put Eropa atas call Amerika
put Amerika atas call Eropa
put Amerika atas call Amerika
konvergen manakala M semakin besar.





Opsi put atas put

Misalkan diberikan opsi put atas put dengan
menggunakan data 1 7. Apabila rumus (30) dan
rumus (34) diterapkan pada data tersebut untuk
banyak langkah 8192 ,... 256 , 128 , 64 = M diperoleh
hasil sbb:

Tabel 7. Harga binomial opsi put Eropa atas put Eropa
beserta galat mutlak dan galat relatifnya
M Harga
binomial
Galat mutlak Galat
relative
64 3.9268 0.0140 0.357800
128 3.9018 0.0020 0.051114
256 3.9177 0.0049 0.125230
512 3.9101 0.0027 0.069004
1024 3.9143 0.0015 0.038336
2048 3.9122 0.0006 0.015334
4096 3.9129 0.0001 0.002556
8192 3.9127 0.0001 0.002556
Harga
eksak
3.9128

Tabel 8. Harga-harga binomial opsi put Amerika atas
put Eropa, opsi put Eropa atas put Amerika, dan opsi
put Amerika atas put Amerika
M PA atas PE PE atas PA PA atas PA
64 4.0237 3.7709 3.8461
128 3.9978 3.7516 3.8270
256 4.0125 3.7559 3.8310
512 4.0050 3.7519 3.8267
1024 4.0088 3.7531 3.8279
2048 4.0068 3.7518 3.8265
4096 4.0075 3.7520 3.8267
8192 4.0072 3.7519 3.8266

Dari tabel 7 terlihat bahwa galat relatif harga-
harga binomial opsi put Eropa atas put Eropa
menuju nol manakala nilai M semakin besar.
Berdasarkan tabel 7 dan tabel 8 diperoleh bahwa:
Harga binomial opsi put Amerika atas put
Eropa lebih besar daripada harga binomial opsi
put Eropa atas put Eropa.
Harga binomial opsi put Amerika atas put
Amerika lebih besar daripada harga binomial
opsi put Eropa atas put Amerika.
Harga binomial opsi put Eropa atas put Eropa
lebih besar daripada harga binomial opsi put
Eropa atas put Amerika.
Harga binomial opsi put Amerika atas put
Eropa lebih besar daripada harga binomial opsi
put Amerika atas put Amerika.
Harga binomial opsi put Amerika atas put
Eropa lebih besar daripada harga binomial opsi
put Eropa atas put Eropa, put Eropa atas put
Amerika, dan put Amerika atas put Amerika.

Keuangan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 132

Gambar 4. Grafik konvergensi harga binomial opsi put
atas opsi put

Pada gambar 4 terlihat bahwa harga-harga
binomial dari:
put Eropa atas putopa
put Eropa atas puterika
put Amerika atas put Eropa
put Amerika atas put Amerika
konvergen manakala M semakin besar.

KESIMPULAN

Dari semua analisis dan perhitungan yang telah
dilakukan sebelumnya dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:

1. Harga binomial opsi Eropa atas opsi Eropa
konvergen ke harga eksaknya.
2. Harga-harga binomial opsi Amerika atas opsi
Eropa, opsi Eropa atas opsi Amerika, dan
opsi Amerika atas opsi Amerika juga
konvergen.
3. Harga-harga binomial opsi call Eropa atas
call Eropa, opsi call Amerika atas call Eropa,
opsi call Eropa atas call Amerika, dan opsi
call Amerika atas call Amerika sama untuk
. 8192 ,..., 128 , 64 = M
4. Harga binomial opsi put Eropa atas call
Eropa sama dengan harga binomial opsi put
Eropa atas call Amerika untuk
. 8192 ,..., 128 , 64 = M Demikian pula harga
binomial opsi put Amerika atas call Eropa
sama dengan harga binomial opsi put
Amerika atas call Eropa.
5. Harga binomial opsi call Amerika atas put
Amerika lebih besar daripada harga binomial
opsi call Eropa atas put Eropa, call Amerika
atas put Eropa, dan call Eropa atas put
Amerika untuk . 8192 ,..., 128 , 64 = M
6. Harga binomial opsi put Amerika atas put
Eropa lebih besar daripada harga binomial
opsi put Eropa atas put Eropa, put Eropa atas
put Amerika, dan put Amerika atas put
Amerika untuk . 8192 ,..., 128 , 64 = M


DAFTAR PUSTAKA

[1] Elettra, A. and A. Rosella. 2002. A
Generalization of The Geske Formula for
Compound Options. Mathematical Social
Sciences 45, 75 82.
[2] Higham, D. J. 2004. An Introduction to
Financial Option Valuation, Cambridge:
Cambridge Press.
[3] Hogg, R. V., J. M. McKean and A. T. Craig.
2005. Introduction to Mathematical
Statistics. Pearson Prentice Hall: USA.
[4] Kwok, Y. K. 1998. Mathematical Models of
Financial Derivatives, Springer Verlag
Singapore.
[5] Marbun, B. P. J. 2008. Penentuan Harga
Opsi Compound Menggunakan Metode
Martingale dan Metode Binomial, Institut
Teknologi Bandung.
[6] Pliska, S. R. 1997. Introduction to
Mathematical Finance, Blackwel: Oxford.
[7] Rubinstein, M. 1995. Double Trouble, Risk
5, 73.
[8] Selby, M. J. P. and S. D. Hodges. 1987. On
The Evaluation of Compound Options,
Management Science 33, 347 355.
[9] Shu-jin, L. and L. Sheng-hong. 2006. A
Generalization of Exotic Options Pricing
Formulae, Journal of Zhejiang University
SCINCE A 4, 584 590.






Keuangan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 133
KAJIAN PERSAMAAN HARGA ZERO-COUPON BOND DENGAN
MENGGUNAKAN KERANGKA MODEL HEATH-JARROW-MORTON
SATU FAKTOR MARKOVIAN

Noorbaity
1
, Bevina D. Handari
2
, Gatot F.Hertono
2
.
1
Program Magister Departemen Matematika FMIPA UI, Depok 16424
2
Departemen Matematika FMIPA UI, Depok 16424

betty_sipil@yahoo.co.id ; bevina1@ui.ac.id ; gatot-f1@ui.ac.id


ABSTRAK

Zero-coupon bond merupakan salah satu jenis obligasi yang harganya dipengaruhi oleh tingkat bunga. Namun
pergerakan tingkat bunga berubah-ubah secara tidak pasti. Oleh karena itu dibutuhkan model yang dapat
menggambarkan pergerakan tingkat bunga agar dapat diketahui perkiraan harga zero-coupon bond. Persamaan harga
zero-coupon bond dapat diturunkan dari kerangka model Heath-Jarrow-Morton (Heath-Jarrow-Morton Framework).
Kerangka model HJM membahas pergerakan forward rate. Input kerangka model HJM dalam menurunkan
persamaan harga zero-coupon bond adalah nilai awal kurva forward rate dan fungsi volatilitas dari forward rate.
Heath-Jarrow-Morton (HJM) merupakan suatu kerangka model karena dengan menentukan suatu fungsi volatilitas
forward rate tertentu akan menghasilkan model tingkat bunga tertentu dan persamaan harga zero-coupon bond
terkait. Umumnya model tingkat bunga yang diturunkan dari kerangka model HJM bersifat non Markovian, Salah
satu fungsi volatilitas yang dapat mentransformasikan kerangka model HJM satu faktor bersifat Markovian adalah
fungsi volatilitas Ritchken-Sankarasubramanian [7]. Pada makalah ini akan dikaji penggunaan fungsi volatilitas
Ritchken-Sankarasubramanian pada kerangka model HJM satu faktor dalam menurunkan model tingkat bunga dan
persamaan harga zero-coupon bond terkait. Dengan menggunakan fungsi volatilitas ini akan ditunjukkan bahwa
dengan menggunakan fungsi volatilitas Ritchken-Sankarasubramanian dapat diturunkan model tingkat bunga dengan
sistem persamaan diferensial stokastik Markovian dan persamaan harga zero-coupon bond terkait.

Key word : zero-coupon bond, Heath-Jarrow-Morton, fungsi volatilitas forward rate, Markovian.


1. PENDAHULUAN

Persamaan kerangka model Heath-Jarrow-Morton
(HJM) dalam bentuk umum, menggunakan
gerak Brown yang saling bebas. Kerangka model
ini disebut kerangka model HJM multifaktor.
Untuk 1 n = , kerangka model HJM disebut
kerangka model HJM satu faktor.

Kerangka model Heath-Jarrow-Morton (Heath-
Jarrow-Morton Framework) dapat digunakan
untuk menurunkan persamaan harga zero-coupon
bond (ZCB). Kerangka model HJM membahas
pergerakan forward rate. Input kerangka model
HJM dalam menurunkan persamaan harga ZCB
adalah nilai awal kurva forward rate dan fungsi
volatilitas dari forward rate. HJM disebut sebagai
kerangka model karena dengan menentukan
suatu fungsi volatilitas akan menghasilkan model
tingkat bunga tertentu dan persamaan harga ZCB
terkait. Ketergantungan persamaan kerangka
model HJM pada fungsi volatilitas dikarenakan
kerangka model ini harus memenuhi kondisi no-
arbitrage.. Umumnya model tingkat bunga yang
diturunkan dari kerangka model HJM bersifat non
Markovian. Model yang bersifat non-Markovian
dalam implementasinya melibatkan perhitungan
komputasi yang lebih sulit dilakukan dibanding
model yang bersifat Markovian, sehingga timbul
pertanyaan bagaimana fungsi volatilitas forward
rate yang dapat mentransformasikan kerangka
model HJM sehingga bersifat Markovian.

Untuk kerangka model HJM satu faktor, salah
satu fungsi volatilitas yang dapat
mentransformasikan kerangka model HJM
bersifat Markovian adalah fungsi volatilitas
Ritchken-Sankarasubramanian.[7]. Dengan
menggunakan fungsi volatilitas ini akan
ditunjukkan bahwa dengan menggunakan fungsi
volatilitas Ritchken-Sankarasubramanian dapat
diturunkan suatu sistem persamaan diferensial
stokastik Markovian dan persamaan harga zero-
coupon bond terkait. Jadi tujuan makalah ini
adalah mempelajari kerangka model HJM satu
faktor dalam menurunkan persamaan harga ZCB
dan mengkaji penggunaan fungsi volatilitas
Ritchken-Sankarasubramanian yang dapat
mentransforma- sikan kerangka model HJM satu
faktor sehingga bersifat Markovian.

Pada bagian berikutnya dari makalah ini, akan
dibahas mengenai teori dasar dan metode yang
akan digunakan untuk membahas tujuan makalah.
Kemudian akan dibahas mengenai penurunan
persamaan perubahan harga ZCB dari persamaan
relasi harga ZCB dengan forward rate, persamaan
diferential stokastik harga ZCB, market price of
Keuangan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 134
risk, measure martingale ekivalen. Selanjutnya
untuk memenuhi kondisi no-arbitrage maka harus
ada batasan drift forward rate. Dengan batasan ini
diturunkan persamaan harga ZCB dari kerangka
model HJM satu faktor. Pada bagian terakhir akan
ditunjukkan bahwa dengan menggunakan fungsi
volatilitas Ritchken-Sankarasubramanian dapat
diturunkan model tingkat bunga dengan sistem
persamaan diferensial stokastik Markovian dan
persamaan harga zero-coupon bond terkait.
Sebagai penutup akan diberikan kesimpulan dari
makalah.

Sebelum membahas landasan teori, perlu
dijelaskan terlebih dahalu pembatasan masalah
yang akan dibahas pada makalah ini. Pembatasan
masalahnya adalah persamaan harga zero-
coupon bond yang dihasilkan memenuhi asumsi
1. No-arbitrage.
2. Kondisi risk-neutral (keadaan bebas
risiko).
3. Pembeli obligasi adalah risk-neutral.

2. LANDASAN TEORI

Pada bagian ini akan dibahas beberapa teori dasar
dan metode yang diperlukan pada makalah ini.

Proses Stokastik Waktu Kontinu
Kerangka model HJM mengikuti proses stokastik
waktu kontinu. Karena itu diperlukan beberapa
teori yang berhubungan dengan proses stokastik
waktu kontinu.

Definisi 1 [8] :
Suatu ruang probabilitas yang terkait dengan
suatu percobaan random adalah triple ( , , ) F

dimana
1. adalah himpunan semua hasil yang
mungkin dari suatu percobaan random dan
disebut ruang sampel.
2. F adalah koleksi subset-subset dari yang
mempunyai struktur -field :
a. F
b. Jika A F maka komplemen A ,
c
A F
.

c.
2
1
, ,... A A F maka
1
i
i
A F


3. adalah fungsi yang menghubungkan
setiap himpunan A F dengan suatu
bilangan ( ) A yang memenuhi sifat berikut
:
a. 0 ( ) 1 A
b. ( ) 1 =
c. Untuk setiap barisan himpunan-
himpunan
2
1
, ,... A A F yang saling
bebas, yaitu
i j
A A = i j untuki j maka
1 1
( )
i i
i i
A A

= =
| |
=
|
\ .

.
Elemen-elemen dari -field F disebut kejadian-
kejadian (events). Pemetaan

P

disebut
probability measure.

Definisikan
t
F adalah informasi yang diperoleh
pengamat sampai waktu t [8]. Untuk memodelkan
arus informasi tentang kejadian digunakan
definisi filtrasi seperti yang dinyatakan berikut
ini.

Definisi 2 [6] :
Suatu filtrasi

F adalah koleksi dari field-field,
{ }
0 1
, ,..., ,...,
t T
F F F F = F ,
1 t t
F F
+
.
Dari definisi di atas berarti dengan semakin
bertambahnya waktu maka informasi yang
diperoleh semakin rinci.

Suatu proses stokastik adalah himpunan dari
variabel random { } ( ), X t t T yang didefinisikan
pada ruang probabilitas ( , , ) F dan
diasumsikan bernilai riil. T disebut himpunan
parameter. Jika T R
+
= atau T R
+
, dengan R
+
adalah bilangan riil non-negatif, maka proses
stokastik disebut sebuah proses dengan parameter
kontinu. Indeks t menyatakan waktu dan ( ) X t
menyatakan keadaan atau posisi proses pada
waktu t [14]. Sebuah proses stokastik disebut
adapted pada filtrasi F

jika untuk setiap 0 t ,

( ) X t variabel random pada
t
F yaitu ( ) X t adalah
t
F -measureable. [6].

Definisi di bawah ini berhubungan dengan tujuan
makalah yaitu penurunan persamaan harga ZCB
yang bersifat Markovian.

Definisi 3 ( Proses Markovian/Markov ) [6] :
X adalah suatu proses Markov jika untuk
sebarang t dan 0 s > maka distribusi ( ) X t s +
dengan syarat diketahui
t
F

adalah sama dengan
distribusi ( ) X t s + dengan syarat diketahui ( ) X t ,
yaitu
{ } { }
Pr ( ) Pr ( ) ( )
t
X t s y F X t s y X t + = + ,
(2.1)
dimana
t
F

menyatakan -field yang dibangun
oleh proses sampai waktu t .

Dengan perkataan lain, proses Markov merupakan
proses stokastik dengan sifat bila nilai suatu
variabel random saat ini diketahui, maka prediksi
Keuangan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 135
nilai variabel random di masa depan tidak
dipengaruhi oleh nilai-nilai variabel random
tersebut di masa lalu.

Selanjutnya akan dibahas tentang proses Wiener,
proses Ito dan lemma Ito yang berperan dalam
penurunan persamaan harga ZCB.

Definisi 4 :[5]
Proses Wiener adalah proses stokastik dari
variabel random { } ( ): 0 B t t dengan sifat berikut:
i. ( ) B t adalah fungsi kontinu dari t dan
(0) 0 B =
ii. Untuk 0 ...
0 1 2
t t t t
n
dan
( ) ( ), ( ) ( ), ...,
1 1 0 2 2 1
W B t B t W B t B t = =
( ) ( ), , , ...,
1 1 2
W B t B t W W W
n n n n
=

saling
bebas dan
(0, ( )), 1, 2, ...,
1
W N t t j n
j j j
=

.
iii. ( ) ( ) ( ) B t t B t B t t + = =
dengan bilangan acak berdistribusi
normal standar, yaitu (0, 1) N .
Definisi 5 [5] :
Proses Ito merupakan proses Wiener dengan
parameter drift dan parameter variansi
2
yang
merupakan fungsi dari variabel X dan t . Proses
ini dapat dinyatakan sebagai berikut :
( ) ( , ) ( , ) dX t X t dt X t dW
t
= +
dimana dW perubahan proses Wiener standar,
( , ) X t adalah koefisien drift dan fungsi ( , ) X t
koefisien diffusi untuk proses Ito.

Volatilitas Pada pasar financial fungsi

disebut
juga fungsi volatilitas yang merupakan ukuran
ketidakpastian tingkat pengembalian (return) dari
suatu asset [5]. Ukuran ini dinyatakan dengan
standar deviasi perubahan harga suatu asset. Pada
kerangka model Heath Jarrow Morton, volatilitas
merupakan fungsi waktu, waktu jatuh tempo dan
parameter path dependent seperti short rate atau
forward rate. Karenanya pada pembahasan di
makalah ini volatilitas dinyatakan secara umum
sebagai fungsi volatilitas.
Lemma 1 (Lemma Ito) [5] :
Misalkan ( , ) G X t merupakan fungsi kontinu
hingga turunan kedua dan misalkan ( ) X t adalah
proses Ito yang didefinisikan sebagai berikut :
( ) ( , ) ( , ) dX t X t dt X t dW
t
= + .
Maka ( , ) G X t juga merupakan proses Ito dan
( , ) ( , )
( , ) ( , )
G X t G X t
dG X t X t dt
t x



` = + +
)

2
( , )
1 ( , )
2
( , ) ( , )
2 2
G X t
G X t
X t dt X t dW
t
x
x



` +


)

dengan ( , ) G X t mempunyai drift rate
2
( , ) ( , ) 1 ( , )
2
( , ) ( , )
2 2
G X t G X t G X t
X t X t
t x
x



` + +

)
dan
variance rate
2
( , )
( , )
G X t
X t
x

`
)
.
Teori berikut membahas kondisi yang harus
dipenuhi oleh kerangka model HJM , yaitu
kondisi no-arbitrage.

Kondisi No-Arbitrage
Arbitrage adalah jenis transaksi dimana dua aset
yang sama dijual dengan harga berbeda pada
waktu yang sama, sehingga memungkinkan
seorang investor mencari keuntungan tanpa
adanya investasi. Kondisi yang harus dipenuhi
kerangka model HJM adalah tidak adanya
kesempatan arbitrage (no-arbitrage) pada tiap
transaksi.

Sebelum mendalami teori tentang kondisi no-
arbitrage, berikut ini akan dijelaskan lebih dahulu
teori mengenai zero-coupon bond. Penjelasan ini
perlu mengingat makalah ini akan membahas
tentang penurunan persamaan harga zero-coupon
bond .

Definisi 6 [2] :
Zero-coupon bond (ZCB) dengan jangka waktu
jatuh tempo T adalah suatu kontrak yang hanya
memberikan pembayaran kepada pemegang ZCB
satu satuan mata uang pada waktu T . Harga pada
waktu t T < dari ZCB dengan jangka waktu T
dinyatakan sebagai ( , ) P t T .

Asumsi di bawah ini harus dipenuhi oleh setiap
zero-coupon bond.

Asumsi 1 :
Diasumsikan 2 kondisi berikut :
1. Tidak ada biaya pajak dan biaya transaksi
untuk pasar ZCB pada setiap jangka
waktunya.
2. Relasi ( , ) 1 P T T = berlaku untuk setiapT .
3. Untuk setiap t yang tetap, harga ZCB
( , ) P t T adalah differentiable terhadap waktu
T . Dengan perkataan lain
( , ) P t T
T

ada
untuk untuk setiap t dan T , 0 t T .

Dari asumsi 2.2, yaitu ( , ) 1 P T T = adalah untuk
menghindari arbitrage. Jika ( , ) 1 B t t < maka
harga ZCB pada waktu t yang jatuh tempo pada
hari yang sama, t , adalah lebih kecil dari 1.
Sehingga para pelaku arbitrage akan membeli
ZCB ini pada hari yang sama dengan waktu jatuh
tempo dan mendapatkan 1 satuan mata uang.

Keuangan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 136
Penjelasan selanjutnya merupakan teorema dan
definisi yang terkait dengan kondisi no-
arbitrage.

Teorema 1 [12]:
Sebuah time-continous economy memenuhi
kondisi no-arbitrage dan setiap sekuritas akan
memenuhi kondisi tersebut jika dan hanya jika
terdapat equivalent martingale measure untuk
harga relatif.

Berdasarkan teorema 1, maka untuk menentukan
equivalent martingale measure perlu ditentukan
lebih dahulu harga relatif. Untuk itu teori terkait
dengan harga relatif dan martingale measure
akan dibahas dibawah ini.

Definisi 7 [12] :
Sebarang asset yang memiliki harga positif untuk
setiap | | 0, t T disebut numeraire.

Numeraire digunakan sebagai denominator semua
harga pada bidang ekonomi.

Definisi 8 [12] :
Harga asset-asset lain ( ) Z n yang dinyatakan
dalam bentuk numeraire (1) Z disebut harga
relatif, dan dinyatakan dengan
( ) *
( )
(1)
Z n
Z n
Z
= .

Pembahasan berikutnya tentang proses martingale
yang teori yang sangat penting dalam matematika
keuangan.

Definisi 9 [2] :
Suatu proses adapted bernilai riil, { } ( ), X t t T
adalah suatu martingale jika
i. ( ) E X t < (

untuk setiap 0 t ;
ii. ( ) ( ) E X t X s
s
= (

F untuk setiap
0 s t < < .

Dari definisi 9(ii) berarti jika s adalah waktu saat
ini maka harapan nilai (expected value) variabel
random pada waktu masa depan t , jika diketahui
s
F adalah sama dengan nilai variabel random
pada saat ini.
Martingale measure adalah measure dimana
harga relatif memenuhi proses martingale.

Measure ekivalen yang disebut pada teorema 1,
didefinisikan berikut ini.
Definisi 10 [6] :
Misal A adalah kejadian pada ruang sampel.
Measure dan Q ekivalen apabila
( ) 0 ( ) 0 A Q A = = .

Kemudian untuk mendapatkan measure yang
ekivalen dinyatakan dalam teorema 2.

Teorema 2. (Teorema Cameron-Martin-
Girsanov) [10] :
Jika W
t
adalah proses Wiener dan F
t
t
,
dimana
t
F adalah informasi yang diperoleh
penagamat hingga waktu t . Kemudian
t

memenuhi

1
2
exp ( )
2
0
t
E s ds
(
| |
(
| <

| (
\ .
maka terdapat
probalitas Q -measure sedemikian sehinggga
i. ekivalen Q
ii.
1
2
ex p ( ) ( )
2
0 0
t t
dQ
s dW s ds
s
d



= `


)

dan
iii. ( )
0
t
Q
W W s ds
t t
= + adalah Q -proses
Wener.
Persamaan (iii) dapat ditulis sebagai
( )
Q
dW dW t dt
t t
= +

Jadi misal diberikan suatu pilihan numeraire,
maka dengan teorema 1 akan diperoleh
probabilitas measure ekivalen yang unik
sedemikian sehingga untuk setiap 0 T > proses
harga relatif adalah martingale.

Terakhir akan dijelaskan teori tingkat bunga dan
volatilitas yang juga sangat berperan dalam
penurunan persamaan harga ZCB dari kerangka
model HJM.
Tingkat Bunga
Pada matematika keuangan dikenal beberapa jenis
tingkat bunga, diantaranya adalah :

Definisi 11 [1] :
1. I nstantaneous forward rate (0, ) f T
adalah tingkat bunga yang dikenakan
pada uang yang dipinjam pada waktu t
dan dibayar pada waktu T dimasa yang
akan datang,
( , ) ln ( , ) f t T P t T
T

(1)
2. Short rate (tingkat bunga short) atau
spot rate pada waktu t , ( ) r t adalah
tingkat bunga yang dikenakan pada
pinjaman diwaktu t .
( ) ( , ) r t f t t = .


Keuangan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 137
3. HASIL DAN DISKUSI

Untuk mendapatkan persamaan harga ZCB dari
kerngka model HJM satu faktor Markovian perlu
tahapan pembahasan berikut ini :

Relasi harga zero coupon bond dan forward
rate

Pada bagian ini akan diturunkan persamaan
dinamik harga ZCB dari persamaan relasi harga
ZCB dan forward rate.

Asumsikan{ } ( , ):0 P t T t T adalah himpunan harga
ZCB pada waktu t yang jatuh tempo pada waktu
T . { } ( , ):0 f t T t T adalah himpunan dari forward
rate pada waktu t untuk jangka waktu T , dengan
T

tetap [1]. Misal ( , , ) F adalah ruang
probabilitas dengan probabilitas -measure
adalah probabilitas pada dunia nyata dan{ }
0
F
t
t

adalah filtrasi yang dibangun oleh satu proses
Wiener { }
0
W
t
t
.
{ }
(0, )
0
f T
t
adalah nilai awal
kurva forward rate yang diketahui pada waktu 0.
Proses penurunan kerangka model HJM diawali
dengan menyatakan pergerakan forward rate pada
probabilitas -measure sebagai berikut [6]
| | ( , , ) ( , , ) ( , , ) , 0, df t T t T dt t T dW t T
t
= +
dengan ( , , ) t T adalah ekspektasi pergerakan
tingkat bunga persatuan waktu dan ( , , ) t T
adalah ukuran ketidakpastian pergerakan tingkat
bunga persatuan waktu.

Argumen pada ( , , ) f t T menyatakan parameter
path dependent. Sebagai contoh dapat
menyatakan short rate ( , ) r t atau forward rate
( , , ) f t T .Selanjutnya untuk penyederhanaan
notasi maka argument akan ditiadakan dalam
proses perhitungan. Sehingga persamaan di atas
akan ditulis sebagai
| | ( , ) ( , ) ( , ) 0, d f t T t T d t t T d t T W
t
= + , (2)
dimana
( , ) t T disebut juga drift dari kurva
forward dan ( , ) t T adalah fungsi
volatilitas forward-rate.
( , ) t T , ( , ) t T adalah proses stokastik
yang teradaptasi pada filtrasi F
t
.

2
( , )
0
T
t T dt <+
dan ( , )
0
T
t T dt <+ .

Pada persamaan ini differential ( , ) df t T terhadap
waktu t , bukan terhadap waktu jatuh tempo T .
Kerangka model ini disebut kerangka model HJM
satu faktor karena menggunakan satu proses
Wiener dalam persamaannya. Dengan
mengintegralkan persamaan (2) maka persamaan
forward rate, ( , ) f t T ,dapat dinyatakan dengan
| | ( , ) (0, ) ( , ) ( , ) , 0, .
0 0
t t
f t T f T u T du u T dW t T
u
= + +
(3)
Persamaan short rate ( ) r t didefinisikan sebagai
persamaan forward rate ( , ) f t T dengan T t = ,
yaitu
( ) ( , ) r t f t t = . (4)

Berdasarkan persamaan (1) didapat relasi berikut
yang berlaku bagi harga ZCB dan forward rate,
( , ) ( , )
T
f t u du lnP t T
t
= . (5)
Sehingga dengan menggunakan persamaan (3),
(4) dan (5) maka diperoleh persamaan dinamika
harga ZCB sebagai berikut
( , )
( ) ( , ) ( , )
( , )
T T
dP t T
r t t u du dt t u du dW
t
P t T
t t



= ` `

) )
.

Selanjutnya akan dibahas persamaan differential
stokastik (PDS) dinamika harga ZCB.
Pembahasan ini perlu untuk menentukan
hubungan volatilitas dinamika harga ZCB dengan
volatilitas pergerakan forward rate dan hubungan
koefisien drift dinamika harga ZCB dengan short
rate, koefisien drift pergerakan forward rate
volatilitas pergerakan forward rate .
Persamaan Differential Stokastik Harga Zero
Coupon Bond.

Persamaan differential stokastik dinamika harga
ZCB dapat dinyatakan dengan [1]
( , )
( , ) ( , ) ,
( , )
dP t T
t T dt t T dW
P P t
P t T
= + (6)
dimana ( , ) t T
P
dan ( , ) t T
P
secara berturut-
turut menyatakan drift dan volatilitas perubahan
harga zero coupon bond. Atau secara ekonomi
( , )
P
t T adalah ekspektasi pengembalian harga
ZCB persatuan waktu dan ( , ) t T
P
ukuran
ketidakpastian pengembalian harga ZCB
persatuan waktu.

Misal ( , ), ln ( , ) G P t T t P t T ( =

adalah fungsi dari
harga zero coupon bond dan waktu, dengan
( , ) P t T adalah proses yang memenuhi persamaan
(6). Dengan menggunakan lemma Ito maka
persamaan perubahan harga ZCB dapat
dinyatakan sebagai berikut :
Keuangan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 138
{ }
( , ) 1
2
( , ) ( , ) ( , ) .
( , ) 2
dP t T
t T t T dt t T dW
P
P P t
P t T
= + (7)

Dari persamaan (6) dan (7) diperoleh hubungan
volatilitas dinamika harga ZCB dengan volatilitas
pergerakan forward rate dan hubungan koefisien
drift dinamika harga ZCB dengan short rate,
koefisien drift pergerakan forward rate,volatilitas
pergerakan forward rate
( , ) ( , )
T
t T t u du
P
t
= (8)
dan
1 2
( , ) ( ) ( , ) ( , )
2
T
t T r t t u d u t T
P P
t
= + (9)
Pada pembatasan masalah, diasumsikan harga
zero-coupon bond yang dihasilkan dari kerangka
model HJM diasumsikan memenuhi kondisi no-
arbitrage dan risk-neutral. Sehingga proses
penurunan persamaan kerangka model HJM dari
pergerakan kurva forward rate juga diasumsikan
memenuhi kondisi no-arbitrage. Untuk
memenuhi kondisi ini maka ada batasan yang
harus dipenuhi oleh drift forward rate.
Pembahasan selengkapnya tentang hal tersebut
akan diberikan pada berikut ini.

Berdasarkan teorema 1, kondisi no-arbitrage
terpenuhi jika dapat ditentukan equivalent
martingale measure untuk proses harga relatif.
Untuk itu, pembahasan berikutnya adalah tentang
harga relatif dan mencari martingale measure
yang ekivalen dengan -measure.

Harga Relatif

Sebuah bank account process didefinisikan
sebagai
( ) exp ( )
0
t
B t r s ds =
atau
( ) ( ) ( ), (0) 1 d Bt r t B t B = = .
Bank account process yang didefinisikan pada
makalah ini adalah proses menabung, yaitu
investasi (menabung) satu satuan jumlah uang
pada waktu 0 akan menghasilkan sejumlah nilai
( ) B t pada waktu t , dimana ( ) r t adalah
instantaneous short rate pada waktu t .
Dengan menggunakan definisi 8, harga relatif
zero coupon bond pada saat t dan waktu jatuh
tempo T dengan proses menabung pada saat t
sebagai numeraire dapat dinyatakan sebagai
( )
( , )
0
( , ) ( , )
( )
t
r s ds
P t T
Z t T e P t T
B t

= = , (10)
dimana ( , ) Z t T adalah harga diskon bond pada
saat t dengan waktu jatuh tempo T
.

Dari persamaan (10) terlihat bahwa ( , ) Z t T
merupakan fungsi dari harga zero coupon bond
dan waktu t . Sehingga dengan menggunakan
lemma Ito dan persamaan (6) didapat persamaan
perubahan harga relatif berikut
( , ) ( , )( ( , ) ( )) ( , ) d Zt T Z t T t T r t d t t T d W
P P t
= + (11)

Persamaan ini merupakan persamaan perubahan
harga relatif bond ( , ) Z t T pada measure .
Untuk suatu waktu masa jatuh tempo T ,
asumsikan ada suatu fungsi ( )
t
t F sedemikian
sehingga
( , ) ( )
( )
( , )
P
P
t T r t
t
t T


= .
Sehingga jika ( , ) 0
P
t T maka persamaan (11)
dapat ditulis sebagai
( , ) ( ) ( , )
( , ) ( )
( , ) ( , )
P
P
P
t T r t dZ t T
t T dW t dt
Z t T t T

(
= +
(



Substitusikan ( ) t pada persamaan di atas ,
| |
( , )
( , ) ( ) ( )
( , )
P
dZ t T
t T dW t t dt
Z t T
= + . (12)

Equivalent Martingale Measure
Persamaan (12) adalah persaman perubahan harga
relatif pada -measure.
Untuk menentukan Q -measure yang ekivalen
dengan -measure digunakan teorema 2
(Cameron-Martin-Girsanov).
Ambil
( , ) ( )
( ) ( )
( , )
t T r t
P
t t
t T
P


= = dan asumsikan
1
2
exp ( )
2
0
t
E s ds
(
| |
(
| <

| (
\ .
. Dari persamaan (8),
(9) dan ( , ), ( , ) t T t T F
t
maka ( ) t F
t
.
Sesuai dengan teorema 2 (i) maka terdapat Q -
measure yang ekivalen dengan -measure. Lalu
teorema 2 (iii) ( ) ( ) ( )
Q
dW t dW t t dt = + . (13)
Substitusi teorema 2 (iii) ini pada persamaan (12)
maka didapat SDE untuk ( , ) Z t T pada Q -
measure adalah
( , ) ( , )
Q
dZ t T Z t T dW
P t
= . (14)
Proses pada persamaan (14) adalah proses
stokastik dengan zero drift. Sehingga sesuai
dengan penjelasan tentang martingale pada
Landasan Teori, proses harga relatif ( , ) Z t T
adalah martingale pada Q -measure. Jadi Q -
measure adalah measure martingale yang
ekivalen dengan -measure. Kemudian menurut
Keuangan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 139
[11] sebarang probabiltas measure yang ekivalen
dengan market measure , dimana semua harga
aset relatif adalah martingale disebut suatu risk-
neutral measure (martingale measure).
Selanjutnya menurut [5] pada pada risk-neutral
measure, rate of return pada risky asset akan
sama dengan risk-free rate. Atau dapat juga
dinyatakan dengan ( , ) ( )
P
t T r t .

Jadi sampai pada tahapan ini persamaan harga
ZCB telah memenuhi kondisi no-arbitrage dan
measure telah berubah menjadi risk- neutral
measure Q . Penjelasan selanjutnya adalah tentang
kondisi risk-neutral. Untuk itu akan dijelaskan
terlebih dahulu tentang besaran
( , ) ( )
( )
( , )
P
P
t T r t
t
t T


= pada persamaan (12) yang
biasa disebut sebagai market price of risk. Disini
market price of risk hanya dinyatakan sebagai
fungsi waktu t , sehingga timbul pertanyaan
bagaimana market price of risk untuk bond-bond
dengan waktu jatuh tempo yang berbeda.
Penjelasan tentang market price of risk
selengkapnya adalah sebagai berikut.
Market Price Of Risk

Untuk menjelaskan hal ini perlu lebih dulu
dijelaskan mengenai delta hedging. Delta
hedging dapat dilakukan dengan membeli satu
buah bond ( , )
1
P t T dengan masa jatuh tempo
1
T
dan kemudian di hedge (lindung nilai) dengan
membeli N buah bond ( , )
2
P t T dengan masa
jatuh tempo
2
T , serta investasi sebesar V
diinvestasikan pada satu risk-free rate bond
dengan tingkat bunga r . Karena V merupakan
risk-free rate bond , maka perubahan V hanya
tergantung pada tingkat bunga, yaitu ( )
dV
r t V
dt
= .
Secara ekonomi, delta hedging dilakukan untuk
melindungi nilai dari suatu aset sehingga tidak
terlalu terpengaruh oleh perubahan tingkat bunga
yang bersifat stokastik. Sedangkan secara
matematis, tujuan dilakukannya delta hedging
adalah untuk menghilangkan faktor stokastik
(ketidakpastian) dari perubahan tingkat bunga.

Total investasi I pada delta hedging dapat
dijabarkan sebagai berikut
( , ) ( , ) 0
1 2
I P t T NP t T V = + + = . (15)
Dengan mendifferensialkan persamaan (15) dan
mensubstitusikan persamaan (6) maka diperoleh
( , ) ( ) ( , ) ( )
1 2
( , ) ( , )
1 2
t T r t t T r t
P P
t T t T
P P



= . (16)

Persamaan (16) menyatakan besarnya risk
premium yang diberikan oleh bond-bond dengan
waktu jatuh tempo yang berbeda dibagi dengan
fungsi volatilitas yang bersesuaian adalah sama.
Risk premium ( , ) ( )
P
t T r t didefinisikan sebagai
besarnya keuntungan diluar tingkat bunga bebas
risiko . Besaran
( , ) ( )
( )
( , )
P
P
t T r t
t
t T


=

disebut market price of risk. Dengan
memperhatikan kembali persamaan (16) berarti
kedua bond, yaitu bond
1
( , ) P t T dengan masa
jatuh tempo
1
T dan bond
2
( , ) P t T dengan masa
jatuh tempo
2
T memiliki market price of risk
yang sama.

Jadi untuk memenuhi kondisi no-arbitrage maka
bond-bond dengan semua masa jatuh tempo akan
mempunyai market price of risk yang sama dan
tidak tergantung pada masa jatuh temponya.
Itulah sebabnya market price of risk hanya
dinyatakan sebagai fungsi waktu t .
Kemudian pada risk-neutral measure Q ,
( , ) ( )
P
t T r t , atau dengan kata lain market
price of risk. ( ) 0 t = .Substitusikan hasil ini pada
persamaan (13) sehingga didapat
( ) ( )
Q
dW t dW t = .

Setelah membahas harga relatif, equivalent
martingae measure dan market price of risk
tahapan selanjutnya adalah mengaplikasikan hasil
pembahasan ini pada kerangka model HJM

Batasan drift forward rate

Batasan ini terjadi karena HJM harus memenuhi
kondisi no-arbitrage.
Substitusikan persamaan (8), (9) dan ( ) 0 t =
pada
( , ) ( )
( )
( , )
P
P
t T r t
t
t T


=
sehingga diperoleh hasil
2
1
( , ) ( , )
2
T T
t u d u t u
t t



= `

)

Differensial partial terhadap T pada persamaan
di atas menghasilkan
( , ) ( , ) ( , )
T
t T t T t u d u
t
= (17)

Jadi untuk memenuhi kondisi no-arbitrage pada
Q -measure, proses ( , ) t T dan ( , ) t T pada
kerangka model HJM harus memenuhi relasi
persamaan (17) untuk setiap t dan T t .
Keuangan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 140

Sekarang akan dibahas tujuan pertama dari
makalah ini yaitu menentukan persamaan harga
ZCB dari kerangka model HJM satu faktor.

Persamaan Harga Zero Coupon Bond dari
kerangka model Heath-Jarrow-Morton satu
faktor

Sebelum menurunkan persamaan harga ZCB, akan
diturunkan dulu persamaan kerangka model HJM
dan persamaan pergerakan short rate.
Substitusikan persamaan (17) pada persamaan (2)
maka persamaan differential stokastik (PDS)
untuk perubahan forward rate pada Q -measure
adalah sebagai berikut
( , ) ( ( , ) ( , ) ) ( , )
T
Q
df t T t T t u du dt t T dW
t
t
= +

Dengan melakukan substitusi persamaan (8) pada
persaman di atas maka
( , ) ( , ) ( , ) ( , )
Q
d f t T t T t T d t t T d W
P t
= + (18)
Kerangka model HJM satu faktor dinyatakan
dengan persamaan forward rate berikut yang
diturunkan dari persamaan (18)[1]
{ } ( , ) (0, ) ( , ) ( , ) ( , )
0 0
t t
Q
f t T f T u T u T d u u T d W
P u
= +
(19)
Dengan memperhatikan persamaan(19), maka
untuk menggunakan kerangka model HJM
diperlukan input nilai awal kurva forward rate
dan fungsi volatilitas forward rate. Selanjutnya
dengan melakukan substitusi T t = pada
persamaan (19) maka didapat persamaan short
rate ( , ) ( ) f t t r t = yaitu[1]
{ } ( ) (0, ) ( , ( , ) ( , ) )
0 0
t t
r t f t u t d
Q
u t u t d
u
u
P
W = +
Persamaan pergerakan short rate yang diturunkan
dari kerangka model HJM adalah sebagai berikut
(0, ) ( , )
( ) ( , )
0
t
f t u t
dr t u t du dt
P
t t




= + `


)


( , )
2
( , )
0 0
t t
u t Q
u t du dW dt
u
t



+ + `


)

( , )
Q
t t dW
t
(20)

Keempat suku pada koefisien drift ruas kanan
dapat diinterpretasikan sebagai berikut. Suku
pertama menyatakan ukuran kemiringan (slope)
dari kurva nilai awal forward rate, yang
memberikan kontribusi pada koefiesien drift ( ) r t .
( , ), u t u t < pada suku kedua dan ketiga, dapat
tergantung pada nilai variabel stokastik yang
diamati pada waktu-waktu sebelum t sehingga hal
ini dapat menyebabkan ( ) r t bersifat non-
Markovian. Jika ( , ) u t hanya tergantung pada u
dan t maka suku keempat merupakan satu-
satunya penyebab ( ) r t bersifat non-Markovian
karena suku tersebut tergantung juga pada nilai
Q
dW
u
, u t < . Jadi persamaan (20) memperlihatkan
bahwa koefisien drift dari ( ) r t tergantung lintasan
karena melibatkan seluruh lintasan proses Wiener
Q
W
u
antara waktu 0 sampai waktu t [5].

Dengan menggunakan pesamaan (5) dan
persamaan (19) dapat diturunkan persamaan harga
ZCB dari kerangka model HJM sebagai berikut
(0, )
( , )
(0, )
P T
P t T
P t
=
ex p ( , ) ( , ) ( , )
0 0
T t T t
Q
u s u s duds u s dW ds
P u
t t

(


(

`
(

)

(21)
Sama seperti penjelasan untuk persamaan (20),
persamaan (21) juga dapat menyebabkan proses
harga ZCB bersifat non Markovian, karena suku
kedua pada exp melibatkan seluruh lintasan
proses Wiener
Q
W
u
antara waktu 0 sampai waktu t
[5].

Terakhir akan dibahas tujuan kedua dari makalah
ini yaitu menentukan persamaan harga zero
coupon bond dari kerangka model HJM satu
faktor Markovian.

Persamaan Harga zero coupon bond dari
kerangka model Heath-Jarow-Morton satu
faktor Markovian
Harga zero coupon bond dipengaruhi oleh tingkat
bunga. Telah dijelaskan sebelumnya, penentuan
fungsi volatilitas forward rate sebarang dapat
menghasilkan model tingkat bunga yang
diturunkan dari kerangka model HJM bersifat non
Markovian. Model tingkat bunga yang bersifat
non Markovian memerlukan perhitungan yang
sulit. Untuk mengatasi hal tersebut perlu
ditentukan fungsi volatilitas yang dapat
menghasilkan model tingkat bunga yang
diturunkan dari kerangka model HJM bersifat
Markovian.

Salah satu fungsi volatilitas forward rate yang
dapat mentransformasikan kerangka model HJM
bersifat Markovian adalah fungsi volatilitas
Ritchken-Sanakarasubramanian. Berikut akan
ditunjukkan bahhwa dengan menggunakan
fungsi volatilitas forward rate Ritchken-
Sanakarasubramanian pada kerangka model HJM
akan diperoleh model tingkat bunga dengan
Keuangan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 141
sistem persamaan diferensial stokastik Markovian
dan persamaan harga zero-coupon bond terkait.
Fungsi volatilitas Ritchken-Sanakarasubramanian
merupakan relasi antara volatilitas forward rate
dengan volatilitas short rate yang dinyatakan
sebagai
( , ) ( ) exp( ( ) ),
T
t T t x dx
r
t
= (22)
dengan ( ) ( , ) t t t
r
= adalah fungsi volatilitas
short rate dan ( ) x adalah fungsi deterministik.
Substitusi persamaan (22) pada persamaan (19)
sehingga didapat persamaan kerangka model HJM
satu faktor dalam dua variabel random ( ) r t dan
( ) t , sebagai berikut
( , )( ( ) (0, ))
( , ) (0, )
( , )
t T r t f t
f t T f T
t t


= +

( , )
( , ) ( )
2
( , )
t T
t T t
P
t t

, (23)
dimana

2
( ) ( , )
0
t
t s t ds =
Dengan menggunakan persamaan (5), (8), (22)
dan (23) maka persamaan harga zero coupon bond
pada waktu t untuk masa jatuh tempo T dapat
ditentukan seperti yang dinyatakan dalam
persamaan berikut ini
| |
1
2
( , ) ( ) ( , ) ( ) (0, )
(0, ) 2
( , )
(0, )
t T t t T r t f t
P T
P t T e
P t



`
)
=
(24)
dengan parameter ( ) t dan
( )
( , )
( , )
( , )
0
T
x dx
T
t T
P
t T e du t
t t



= = .
Persamaan (23) dan (24) tergantung pada 2
variabel random ( ) r t dan ( ) t .

Selanjutnya perhatikan persamaan model tingkat
bunga yang dinyatakan dengan persamaan
pergerakan short rate berikut :
( )
(0, )
( ) ( ) ( ) (0, ) ( ) ( , )
f t
dr t t t f t r t dt t t dW
t
t


= + + + `
)


(25)
dengan
{ }
2
( ) ( , ) 2 ( ) ( ) d t t t t t dt = . (26)

Akan ditunjukkan bahwa persaman (25) dan (26)
merupakan suatu sistem persamaan diferensial
stokastik Markovian .
Perhatikan persamaan diferensial pertama pada
sistem persamaan diferensial stokastik di atas.
Jika ( ) r t menyatakan perubahan pergerakan
short rate selama interval waktu t maka
( )
{ }
(0, )
( ) ( ) ( ) (0 , ) ( ) ( , )
f t
Q
r t t t f t r t dt t t dW
t
t

= + + +


Persamaan di atas dapat ditulis kembali sebagai
( )
{ }
(0, )
( ) ( ) ( ) ( ) (0 , ) ( ) ( , )
f t
Q
r t t r t t t f t r t d t t t d W
t
t

+ = + + +


Jika F
t
memuat informasi tentang ( ) r t hinggga
waktu t maka ekpektasi besyarat perubahan
pergerakan short rate dapat dinyatakan dengan
(0, )
( ) ( ) ( ) ( ) (0, ) ( ) ( , )
f t Q
E r t t r t F E t t f t r t d t t t d W F
t
t t
t


| |
| `
\ .

)
(

( + = + + +
(




(27)
Dengan menggunakan sifat ekspektasi bersyarat
maka persamaan (27) dapat ditlis sebagai
(0, )
( ) ( ) ( ) (0, ) ( ) ( , ) ( )
f t Q
E r t t F E t t f t r t d t t t d W r t F
t
t t
t


| |
| `
\ .

)
(

( + = + + + +
(




(28)

Perhatikan ruas kanan persamaan diatas diaman
ekspetasi bersyarat merupakan fungsi dari ( ) r t .
Jadi informasi yang relevan untuk menentukan
ekspektasi bersyarat tingkat bunga short rate
waktu ( ) t t + adalah tingkat bunga short rate
pada waktu t dan tidak perlu informasi tentang
tingkat bunga short rate pada waktu-waktu
sebelum t . Sehingga persamaan (28) dapat ditulis
dengan
(0, )
( ) ( ) ( ) (0, ) ( ) ( , ) ( ) ( )
f t Q
E r t t F E t t f t r t d t t t d W r t r t
t t
t


| |
| `
\ .

)
(

( + = + + + +
(



Jadi ( ) r t merupakan proses Markovian.

Jadi persamaan pergerakan short rate mengikuti
proses Markovian asalkan ( ) t bersifat
Markovian. Selanjutnya dari persamaan (26) Jika
( ) t menyatakan perubahan variabel selama
interval waktu t maka
{ } ( ) { }
2
( ) ( ) ( , ) 2 ( ) ( ) t t t t t t t t t t + = +

Dari persamaan di atas jika pada waktu t nilai
dari ( ) t diketahui maka nilai ( ) t t + juga dapat
diketahui. Jadi ( ) t bersifat Markovian.
Jadi telah ditunjukkan bahwa model tingkat bunga
dengan sistem persamaan diferensial stokastiik
(25) dan (26) adalah Markovian.

Kemudian perhatikan persamaan harga zero-
coupon bond (persamaan 24). Persamaan tersebut
tergantung pada variabel random ( ) r t dan ( ) t .
Sehingga jika sistem persamaan differensial
stokastik (25) dan (26) Markovian maka harga
zero-coupon bond juga bersifat Markovian.

Berikut ini akan diberikan contoh bahwa dengan
fungsi volatilitas tertentu dapat diturunkan
persamaan harga ZCB yang sesuai dengan model
Keuangan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 142
tingkat bunga terkait dari kerangka model HJM.
Ambil fungsi volatilitas ( , ) exp
T
t T adx
t

| |
|
=

|
\ .
,
dimana dan a adalah konstanta positif.
Maka { } ( , ) exp ( ) t T a T t = . Fungsi volatilitas
ini memenuhi persamaan (22). Dengan fungsi
volatilitas dapat dihaslkan model tingkat bunga
Hull-White dan persamaan harga zero-coupon
bond terkait yang diturunkan dari kerangka
model HJM Markovian. Persamaan harga ZCB
Hull-White adalah:
(0, )
( , )
(0, )
P T
P t T
P t
=
{ }
( ) ( )
2
2
2
exp (0, ) (0, ) ( ) 1
3
4
aT at at
T f t r t e e e
a

(

(

`
(

)
.

KESIMPULAN

1. Model tingkat bunga dan persamaan harga
zero-coupon bond yang diturunkan dari
kerangka model HJM dapat bersifat non-
Markovian.

2. Dengan fungsi volatilitas Ritchken-
Sanakarasubramanian dapat dihasilkan suatu
model tingkat bunga dalam sistem
persamaan diferensial sokastik Markovian
dan persamaan harga zero-coupon bond
terkait.

3. Dengan menentukan fungsi volatilitas
tertentu dapat diturunkan persamaan harga
zero-coupon bond yang sesuai dengan model
tingkat bunga terkait.


DAFTAR PUSTAKA :

[1] Bjork, Thomas. 2003. Arbitrage Theory In
Continuous Time. Oxford University Press.
[2] Brigo, Damiano dan Fabio Mercurio. 2006.
Interest Rate Models Theory and Practice.
Springer Finance.
[3] Glasserman, Paul. Monte Carlo Methodsin
Financial Engineering. 2000. Springer
[4] Heath, David, Robert Jarrow dan Andrew
Morton. 1992. Bond Pricing And The Term
Sructure Of Interest Rate: A New
Methodology For Contingent Claims
Valuation. Econometrica,Vol. 60 No. 1
(Januari, 1992), 77-105.
[5] Hull, John C. 2006. Options, Futures and
Other Derivates. Sixth edition. Prentice
Hall.
[6] Klebaner, Fima C. 1999. Introduction
Stochastic Calculus With Application.
Imperial Collage Press.
[7] Musiela, Marek dan Rutkowski, Marek.
1997. Martingale Methods in Financial
Modelling. Springer. Berlin
[8] Nualart, David. Stocahstic Processes.
http://orfeu.mat.ub.es/~nualart/StochProc.pd
f .
[9] Ritchken, Peter dan Sanakarasubramanian,
L. 2000. Volatility Structures of Forward
Rates and the Dynamics of the Term
Structure. Case Western Reserve University;
Bear Stearns & Co.
[10] Sen, Saurav. Interest Rate Modelling. 2000.
Advanced Finance Lecture Series.
[11] Shreve, Steven E. 2004 Stochastic Calculus
For Finance II. Springer.
[12] Yolcu, Yeliz. 2005. One Factor Interest
Rate Models : Analytic Solutions and
Approximations. Department of Financial
Mathematics, The Middle east Technical
University.








































Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 143

PENGGUNAAN METODE ANALISIS KLASTER UNTUK MENGETAHUI
KECENDERUNGAN PENGAMBILAN KELOMPOK MATA KULIAH
PILIHAN DI JURUSAN MATEMATIKA FMIPA UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Anita Desiani, Sri Indra Maiyanti, Andika Trisnawati

Universitas Sriwijaya

adesiani@yahoo.com

ABSTRAK

Mata kuliah pilihan (MKP) yang menjadi prioritas pada semester ganjil dan genap di jurusan Matematika FMIPA
Universitas Sriwijaya dapat dikelompokkan berdasarkan faktor dosen, minat mahasiswa, jadwal kuliah, jumlah SKS
mata kuliah dan pengaruh teman. Skripsi ini untuk mengetahui banyaknya klaster yang valid dan bagaimana
kecenderungan pengambilan kelompok MKP berdasarkan faktor tersebut menggunakan metode analisis klaster, yaitu
pautan tunggal, pautan lengkap dan pautan rataan. Analisis klaster adalah analisis statistik peubah ganda yang
digunakan apabila ada n objek dan p peubah yang akan dikelompokkan ke dalam k kelompok berdasarkan sifat-sifat
yang diamati, sehingga objek yang terletak dalam satu klaster memiliki kemiripan sifat yang lebih besar
dibandingkan dengan objek yang terletak dalam klaster lain. Hasilnya menunjukkan bahwa, banyaknya klaster yang
valid dari pengklasteran MKP semester ganjil adalah dua klaster, yaitu klaster pertama meliputi Analisis Numerik,
Stokastik, Program Komputer II, Kuliah Kerja Nyata, Praktikum Simulasi Komputer I dan klaster kedua meliputi
Matematika Asuransi, Program Linier, Desain Eksperimen, Teori Graf dan Demografi. Banyaknya klaster MKP
semester genap adalah dua klaster, yaitu klaster pertama meliputi Praktikum Simulasi Komputer II, Topologi, Kuliah
Kerja Nyata, Analisis Multivariat dan klaster kedua adalah Analisis Regresi, Matematika Ekonomi, Optimasi,
Statistika Non Parametrik. Klaster kedua pada semester ganjil dan genap cenderung dipilih ditinjau dari semua faktor,
sedangkan klaster pertama kurang diminati dari tiap semester.


PENDAHULUAN

Keterangan atau ilustrasi mengenai suatu hal bisa
berbentuk kategori, misalnya rusak, baik, senang,
puas, berhasil, gagal dan sebagainya atau bisa
berbentuk bilangan, kesemuanya ini dinamakan
data atau lengkapnya data statistik (1).

Menurut sumbernya data dibagi menjadi dua,
yaitu (2):
a. Data internal ialah data yang dikumpulkan
oleh suatu organisasi untuk
menggambarkan keadaan atau kegiatan
organisasi yang bersangkutan serta berguna
untuk keperluan harian dan pengawasan
internal.
b. Data eksternal ialah data yang
dikumpulkan untuk menggambarkan
keadaan atau kegiatan diluar organisasi
tersebut.

Baik data internal maupun data eksternal bisa
berupa data primer atau data sekunder. Data
primer merupakan data yang diperoleh langsung
dari sumbernya atau objek penelitian dan biasanya
diperoleh dengan wawancara langsung kepada
objek atau dengan pengisian kuisioner yang
dijawab oleh objek penelitian. Data sekunder
merupakan data yang sudah ditertibkan atau
digunakan pihak lain (3). Sumber data dalam
penelitian adalah subjek dari mana data dapat
diperoleh (4). Dalam penelitian ini data yang
diambil bersumber dari penelitian yang
sebelumnya pernah dilakukan, dimana penelitian
sebelumnya melakukan penelitian mengenai
faktor-faktor pemilihan mata kuliah pilihan.

Setiap jurusan/program studi di suatu universitas
tentunya mempunyai mata kuliah wajib dan mata
kuliah pilihan. Mata kuliah wajib (MKW) yaitu
mata kuliah yang harus diambil oleh mahasiswa
pada tiap semester, sedangkan mata kuliah pilihan
(MKP) yaitu mata kuliah yang semuanya tidak
harus diambil oleh mahasiswa, artinya mahasiswa
memilih mata kuliah mana yang lebih diminati
untuk mencukupi jumlah beban SKS karena tiap
jurusan mempunyai jumlah beban SKS yang
berbeda. Pengambilan keputusan dalam memilih
MKP yang ditawarkan oleh tiap jurusan
merupakan permasalahan yang kompleks,
penyebabnya adalah banyaknya faktor yang
berpengaruh terhadap alternatif MKP yang ada.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya (5), terdapat lima faktor yang
menjadi pertimbangan mahasiswa sehingga
pilihannya jatuh ke MKP tertentu, yaitu faktor
dosen, minat mahasiswa, jadwal kuliah, jumlah
SKS mata kuliah dan pengaruh teman.

Tingkat kepentingan MKP berdasarkan faktor-
faktor tersebut dianalisis dengan metode Analytic
Hierarchy Process (AHP). Metode AHP sebagai
alat untuk menetapkan pilihan atau mengambil
keputusan yang dijadikan dasar dalam memilih
secara lebih rasional, misalnya dalam menentukan
MKP yang menjadi prioritas berdasarkan kriteria
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 144
tertentu, serta menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi pemilihan MKP di jurusan
Matematika. Akan tetapi metode AHP tidak bisa
mengelompokkan MKP berdasarkan karakteristik
dari semua faktor, sehingga bisa diketahui faktor
yang lebih dominan yang menjadikan kelompok
MKP tersebut lebih dipilih mahasiswa. Salah satu
metode yang dapat digunakan untuk mengetahui
kelompok MKP berdasarkan semua faktor
tersebut adalah analisis klaster, dimana metode
pengklasteran yang akan digunakan adalah pautan
tunggal, pautan lengkap dan pautan rataan.

Analisis klaster adalah salah satu cara
pengelompokkan objek berdasarkan kesamaan
karakteristik diantara objek-objek. Objek-objek
tersebut akan diklasifikasikan kedalam satu atau
beberapa klaster (kelompok), sehingga objek yang
berada dalam satu klaster akan mempunyai
kemiripan satu dengan yang lain (6). Proses
pengklasteran MKP dilakukan dengan algoritma
analisis klaster sampai semua MKP masuk dalam
satu kelompok. Analisis klaster digunakan untuk
mengetahui karakteristik yang menjadikan MKP
tersebut masuk dalam kelompok yang sama,
karena ada kemungkinan MKP yang menjadi
prioritas dari masing-masing faktor tidak dapat
masuk dalam kelompok yang sama. Tujuan
digunakannya tiga metode pengklasteran yang
berbeda adalah untuk mendapatkan banyaknya
klaster yang valid, sehingga kecenderungan
mahasiswa dalam memilih kelompok MKP dapat
diketahui berdasarkan salah satu faktor dominan
dari kelima faktor tersebut.

Analisis klaster merupakan suatu kelas teknik,
dipergunakan untuk mengklasifikasi objek atau
kasus (responden) ke dalam kelompok yang relatif
homogen, yang disebut klaster. Tujuan utama dari
analisis klaster adalah mengelompokkan objek-
objek berdasarkan kesamaan karakteristik di
antara objek-objek tersebut. Objek tersebut akan
diklasifikasikan ke dalam satu atau beberapa
klaster sehingga objek-objek yang berada dalam
satu cluster akan mempunyai kemiripan satu
dengan yang lain. Analisis cluster juga disebut
analisis klasifikasi atau toksonomi numerik
(numerical taxonomi), karena berkenaan dengan
prosedur pengklasteran dimana setiap objek hanya
masuk ke dalam satu klaster saja, tidak terjadi
tumpang tindih (overlapping atau interaction) (6).
Analisis klaster adalah analisis statistik peubah
ganda yang digunakan apabila ada N buah
individu atau objek yang mempunyai p peubah
dan N objek tersebut ingin dikelompokkan ke
dalam k kelompok berdasarkan sifat-sifat yang
diamati sehingga individu atau objek yang terletak
dalam satu klaster memiliki kemiripan sifat yang
lebih besar dibandingkan dengan individu yang
terletak dalam gerombol lain (7). Analisis klaster
bisa diterapkan pada banyak bidang ilmu, seperti
(8) :
a. Psikologi : melakukan pengelompokkan
orang berdasarkan respon mereka terhadap
stimulasi tertentu atau pengelompokkan
orang berdasarkan kepribadian mereka.
b. Biologi : membantu proses taksonomi
untuk mengelompokkan organisme
tertentu.
c. Manajeman : membantu mengelompokkan
konsumen berdasarkan pendapat mereka
terhadap produk tertentu.

METODE PENELITIAN

Langkah-langkah yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah:
1. Mengambil data prioritas alternatif MKP
semester ganjil dan genap berdasarkan
masing-masing faktor dari hasil penelitian
metode AHP (5).
2. Melakukan proses pengklasteran dengan
algoritma analisis klaster yaitu :
a. Merumuskan masalah pengklasteran
dengan mendefiniskan p variabel
(faktor-faktor) serta memillih n objek
(alternatif MKP) yang akan
dikelompokkan.
b. Membentuk matriks A
(nxp)
.
c. Menetukan matriks proximity dengan
menghitung jarak D={d
ik
} antar objek
dari matriks A
(nxp)
.
d. Menggabungkan dua objek terdekat ke
dalam kelompok yang baru, sehingga
terbentuk (n-1) klaster baru.
e. Menentukan kembali matriks proximity
yang baru, sesuai dengan metode
pengklasteran.
f. Lakukan kembali langkah (d) dan (e)
sampai semua objek masuk dalam satu
kelompok.
3. Membuat dendogram dan menentukan
banyaknya klaster dari masing-masing
metode pengklasteran.
4. Mengakses keandalan dan kesahihan klaster.

5. Analisis hasil pengklasteran.
a. Menentukan kecenderungan kelompok
MKP yang dipilih mahasiswa.
b. Menetukan faktor dominan dari tiap-tiap
klaster.

HASIL DAN DISKUSI

Data yang akan dikelompokkan merupakan data
mata kuliah pilihan semester ganjil dan genap
berdasarkan faktor dosen, minat mahasiswa,
jadwal kuliah, jumlah SKS mata kuliah dan
pengaruh teman, yang merupakan data hasil
penelitian sebelumnya (5). MKP semester ganjil
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 145

terdiri dari 10 mata kuliah, yaitu Analisis
Numerik (Anum), Desain Eksperimen (DE),
Demografi, Kuliah Kerja Nyata (KKN),
Matematika Asuransi (Matas), Praktikum
Simulasi Komputer I (P. Simulkom I), Program
Komputer II (Prokom II), Program Linier (Prolin),
Pengantar Proses Stokastik (Stokastik) dan Teori
Graph (TG).
MKP semester genap terdiri dari 8 mata
kuliah, yaitu Analisis Regresi (Anareg), Analisis
Multivariat (Anmul), Kuliah Kerja Nyata (KKN),
Matematika Keuangan (Matek), Optimasi,
Praktikum Simulasi Komputer II (P. Simulkom
II), Statistika Non-Parametrik (Statnonpar) dan
Topologi. Pemisahan MKP ini bertujuan untuk
memudahkan dalam menginterpretasi data sesuai
dengan semesternya, sehingga dapat diambil
kesimpulan dengan mudah dan jelas pada tiap
semester.
Adapun persentase data prioritas yang
menunjukkan besarnya tingkat kepentingan
masing-masing faktor untuk setiap mata kuliah
pilihan semester ganjil dan genap dapat dilihat
pada Tabel 1 dan tabel 2 berikut ini :

Tabel 1. Persentase Data Prioritas Alternatif MKP Semester Ganjil Berdasarkan Masing-Masing Faktor (5)

Mata Kuliah
Pilihan
Faktor
Dosen Minat Jadwal SKS Teman
Anum 7,061 6,8865 7,511 7,305 6,941
DE 12,465 13,1846 13,947 13,389 12,865
Demografi 18,271 16,6113 17,217 16,327 16,132
KKN 5,701 4,7495 4,005 7,339 5,092
Matas 11,322 12,8030 10,560 11,188 12,430
P. Simulkom I 5,565 5,4273 5,525 4,635 5,100
Prokom II 7,860 7,2196 9,649 7,981 7,555
Prolin 10,740 11,6438 10,247 10,940 12,130
Stokastik 7,453 6,2571 7,423 7,696 7,898
TG 13,563 15,2173 13,917 13,202 13,857

Tabel 1 menerangkan besarnya tingkat
kepentingan masing-masing faktor untuk setiap
mata kuliah pilihan, bahwa faktor dosen untuk TG
sebesar 13,563% lebih penting daripada

MKP lainnya dan sebagai nilai terbesar untuk
faktor dosen, begitu juga seterusnya untuk setiap
mata kuliah pilihan lainnya berdasarkan masing-
masing faktor.

Tabel 2. Persentase Data Prioritas Alternatif MKP Semester GenapBerdasarkan Masing-Masing Faktor (5)

Mata Kuliah Pilihan
Faktor
Dosen Minat Jadwal SKS Teman
Anareg 20,305 20,12 19,56 17,8 18,94
Anmul 10,750 9,6249 11,230 10,72 10,04
KKN 7,0219 5,6756 4,6527 8,520 6,124
Matek 18,898 21,449 17,950 18,77 17,98
Optimasi 13,366 13,302 14,273 13,24 16,61
P. Simul II 7,257 7,215 7,7046 6,175 7,185
Statnon parametri 15,03 15,90 17,203 17,217 15,091
Topologi 7,3650 6,7005 7,4167 7,468 8,012

Proses Pengklasteran dengan Algoritma
Analisis Klaste

Matriks data MKP semester ganjil terdiri dari 5
variabel dan 10 objek berdasarkan Tabel 1, yaitu
objeknya adalah Anum (S1), DE (S2), Demografi
(S3), KKN (S4), Matas (S5), P.Simulkom I (S6),
Prokom II (S7), Prolin (S8), Stokastik (S9), TG
(S10) dan variabelnya adalah dosen, minat,
jadwal, jumlah SKS, pengaruh teman, dari
variabel-variabel tersebut akan dihitung jarak
euclid untuk melihat kemiripan antar variabel






Kuadrat jarak antar objek (d
kl
) :








Matriks Proximity
MKP yang paling mirip akan lebih dahulu
digabungkan, kemudian dibuat matriks jarak baru.
Setelah jarak yang baru terbentuk dilihat lagi
MKP yang lebih dekat dan digabungkan kembali.
Proses pengklasteran akan berhenti setelah semua
MKP berada dalam satu klaster. Proses
pengklasteran dilakukan sesuai dengan metode
pautan tunggal, pautan lengkap dan pautan rataan.

( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( ) 615 , 225 857 , 13 898 , 7 2173 , 15 2571 , 6 563 , 13 453 , 7
307 , 42 857 , 13 130 , 12 2173 , 15 6438 , 11 563 , 13 740 , 10
229 , 76 898 , 7 130 , 12 2571 , 6 6438 , 11 453 , 7 740 , 10
664 , 107 430 , 12 941 , 6 803 , 12 8865 , 6 322 , 11 061 , 7
128 , 22 092 , 5 941 , 6 7495 , 4 8865 , 6 701 , 5 061 , 7
407 , 425 132 , 16 941 , 6 1846 , 13 8865 , 6 271 , 18 061 , 7
400 , 182 865 , 12 941 , 6 1846 , 13 8865 , 6 465 , 12 061 , 7
2 2 2
910
2 2 2 2
810
2 2 2 2
89
2 2 2 2
15
2 2 2 2
14
2 2 2 2
13
2 2 2 2
12
= + + + =
= + + + =
= + + + =
= + + + =
= + + + =
= + + + =
= + + + =

d
d
d
d
d
d
d
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 146
Tabel 3. Matriks Proximity antar Objek pada Proses Pengklasteran MKP Semester Ganjil

Kasus
Jarak Kuadrat Euclid
(S1) (S2) (S3) (S4) (S5) (S6) (S7) (S8) (S9) (S10)
(S1) 0 182,400 480,313 22,128 107,664 18,830 6,154 83,792 1,626 235,321
(S2) 182,400 0 75,450 312,768 17,957 315,644 132,703 25,578 172,754 6,357
(S3) 480,313 75,450 0 675,930 147,222 681,635 397,088 175,009 462,454 49,940
(S4) 22,128 312,768 675,930 0 208,084 10,100 49,096 174,386 25,026 380,834
(S5) 107,664 17,957 147,222 208,084 0 209,566 78,040 1,932 100,392 28,213
(S6) 18,830 315,644 681,635 10,100 209,566 0 42,709 176,897 25,054 380,316
(S7) 6,154 132,703 397,088 49,096 78,040 42,709 0 57,912 6,246 181,677
(S8) 83,792 25,578 175,009 174,386 1,932 176,897 57,912 0 76,229 42,307
(S9) 1,626 172,754 462,454 25,026 100,392 25,054 6,246 76,229 0 225,615
(S10) 235,321 6,357 49,940 380,834 28,213 380,316 181,677 42,307 225,615 0

a. Pautan Tunggal
Matriks proximity awal yang digunakan adalah
matriks pada Tabel 3 dan jarak antar
objek dihitung menggunakan persamaan
,
dengan A, B, C adalah objek dan d adalah
jarak.
Pada stage 1 Objek dengan jarak terdekat dari
Tabel 3 adalah (S1) dan (S9) digabung
menjadi (S1,S9).
Jumlah klaster = (S1,S9), (S2), (S3), (S4),
(S5), (S6), (S7), (S8), (S10) = 9
Jarak antar objek yang ditentukan dari Tabel
3 adalah :










Hasil dari perhitungan pada stage 1 akan
digunakan sebagai matrik proximity bagi stage 2
dan seterusnya sampai pada perhitungan stage 8.
Secara lengkap langkah-langkah pengklasteran
dengan pautan tunggal dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Stage Pengklasteran MKP Semester Ganjil dengan Pautan Tunggal

Stage Klaster MKP Koefisien
1 (S1,S9) Anum, Stokastik 1,626
2 (S5,S8) Matas, Prolin 1,932
3 (S1,S7,S9) Anum, Prokom, Stokastik 6,154
4 (S2,S10) DE, TG 6,357
5 (S4,S6) KKN, P. Simulkom I 10,100
6 (S2,S5,S8,S10) DE, Matas, Prolin, TG 17,957
7 (S1,S4,S6,S7,S9) Anum, KKN, P.Simulkom I, Prokom, Stokastik 18,830
8 (S2,S3,S5,S8,S10) DE, Demogarfi, Matas, Prolin, TG 49,940
9 (S1,S2,S3,S4,S5,S6,S7,S8,S9,S10)
Anum, DE, Demografi, KKN, Matas, P.Simulkom I,
Prokom, Prolin, Stokastik, TG
57,912

Matriks proximity awal yang digunakan adalah
matriks pada Tabel 4.3 dan jarak antar objek
dihitung menggunakan persamaan (2.3). Proses
pengklasteran selanjutnya menggunakan pautan
lengkap dengan matrik proximity awal tetap
digunakan tabel 3 dengan menggunakan
persamaan:
Perhitungan dengan pautan lengkap pada
dasarnya sama seperti pautan tunggal, yang
membedakannya adalah pada pautan tunggal
ditentukan jarak minimum antar objek sedangkan
pautan lengkap ditentukan jarak maksimum antar
objek. Setelah menggunakan pautan lengkap
proses pengklasteran selanjutnya menggunakan
pautan rataan dengan tetap menggunakan tabel 3
sebagai matriks proximitinya. Begitu juga untuk
proses pengklasteran pada mata kuliah semester
genap. Hasil dari proses pengklasteran
digambarkan dengan bantuan dedogram untuk
melihat kemiripan antar objek yang dihasilkan.
( ) ( ) ( )
{ } ( ) ( ) { }
( ) ( ) ( )
{ } ( ) ( ) { }
( ) ( ) ( )
{ } ( ) ( ) { }
( ) ( ) ( )
{ } ( ) ( ) { }
( ) ( ) ( )
{ } ( ) ( ) { } 321 , 235 615 , 225 , 321 , 235 min , min
229 , 76 229 , 76 , 792 , 83 min , min
154 , 6 246 , 6 , 154 , 6 min , min
830 , 18 054 , 25 , 830 , 18 min , min
392 , 100 392 , 100 , 664 , 107 min , min
10 , 9 10 , 1 10 9 , 1
9 , 8 8 , 1 8 9 , 1
9 , 7 7 , 1 7 9 , 1
9 , 6 6 , 1 6 9 , 1
9 , 5 5 , 1 5 9 , 1
= = =
= = =
= = =
= = =
= = =
S S S S S S S
S S S S S S S
S S S S S S S
S S S S S S S
S S S S S S S
d d d
d d d
d d d
d d d
d d d
( ) ( ) ( )
{ } ( ) ( ) { }
( ) ( ) ( )
{ } ( ) ( ) { }
( ) ( ) ( )
{ } ( ) ( ) { } 128 , 22 026 , 25 , 128 , 22 min , min
407 , 425 454 , 462 , 407 , 425 min , min
754 , 172 754 , 172 , 400 , 182 min , min
9 , 4 4 , 1 4 9 , 1
9 , 3 3 , 1 3 9 , 1
9 , 2 2 , 1 2 9 , 1
= = =
= = =
= = =
S S S S S S S
S S S S S S S
S S S S S S S
d d d
d d d
d d d
( )
{ }
BC AC C AB
d d d , min =
( )
{ }
BC AC C AB
d d d , max =
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 147

Rescaled Distance Cluster Combine

C A S E 0 5 10 15 20 25
Label Num +---------+---------+---------+---------+---------+

Anum S1 ----^
Stokastik S9 -u ---------^
ProkomII S7 -----u
---------------------------------^
KKN S4 --------------u
SimulkomI S6 -------u
Matas S5 --------------^
Prolin S8 -u ---------------------------^
DE S2 --------------u -----u
TG S10 -----u
Demografi S3 -------------------------------------------u
A. MKP Semester Ganjil

Matriks data MKP semester ganjil terdiri dari 5
variabel dan 10 objek berdasarkan Tabel 1, yaitu
objeknya adalah Anum (S1), DE (S2), Demografi
(S3), KKN (S4), Matas (S5), P.Simulkom I (S6),
Prokom II (S7), Prolin (S8), Stokastik (S9), TG
(S10) dan variabelnya adalah dosen, minat,
jadwal, jumlah SKS, pengaruh teman.

Berikut ini akan ditunjukkan dendogram dari
pautan tunggal, pautan lengkap dan pautan rataan,
sampai terbentuk banyaknya klaster pada masing-
masing metode.















Gambar 1. Dendogram Pautan Tunggal pada Pemilihan MKP Semester Ganjil

Gambar 1 merupakan dendogram yang
menggambarkan proses pengklasteran MKP
semester ganjil dengan metode pautan tunggal.
Dendogram tersebut memperlihat bahwa jarak
antara S1-S6 adalah 0-8 atau 8 satuan dan jarak
antara S5-S10 adalah 0-8 atau 8 satuan. Kedua
kelompok tersebut tidak mempunyai selisih jarak,
sedangkan S3 berjarak adalah 0-22 atau 22 satuan.
Pengklasteran terakhir berjarak 22-25 atau 3
satuan, maka terlihat jelas dari dendogram bahwa
pengklasteran terakhir (jarak antara S1-S6 dengan
S5-S3) merupakan selisih jarak terbesar (terjauh)
yaitu 8-22 atau 14 satuan. Selisih jarak terjauh
inilah yang menentukan pemotongan dendogram
sehingga banyaknya klaster dapat terbentuk.

Selain dengan cara melakukan pemotongan
dendogram untuk mendapatkan banyaknya klaster
yang terbentuk, dapat juga menggunakan cara lain
yakni dengan melihat tabel langkah-langkah
pengklasteran (Tabel 4.12), karena di dalam
pengklasteran jarak dimana klaster digabung
dapat digunakan sebagai kriteria. Misalnya selisih
jarak antara stage 2 dan stage 1 (1,932-1,626)
adalah 0,306, dan seterusnya sampai selisih stage
9 dan stage 8. Berdasarkan selisih-selisih jarak
pada tiap-tiap stage, maka terlihat bahwa selisih
jarak terbesar adalah antara stage 8-7 dari
beberapa selisih jarak lainnya, yaitu (49,940-
18,830) atau 31,11. Dengan demikian dari
dendogram 1 dapat dilakukan pemotongan pada
dua tahap pengklasteran terakhir yaitu pada
pengklasteran S1 dan S5 atau MKP Anum dan
Matas, sehingga banyaknya klaster yang terbentuk
adalah tiga klaster dengan masing-masing anggota
klaster adalah sebagai berikut:
Klaster 1 terdiri dari 5 mata kuliah pilihan,
yaitu Analisis Numerik, Stokastik, Program
Komputer II, KKN dan Praktikum Simulasi
Komputer I.
Klaster 2 terdiri dari 4 mata kuliah pilihan,
yaitu Matematika Asuransi, Program
Linear, Desain Eksperimen dan Teori
Graph.
Klaster 3 hanya terdiri dari 1 mata kuliah
yaitu Demografi.
Sedangkan Gambar dendogram (2) berikut
ini merupakan proses pengklasteran dengan
metode pautan lengkap, dimana proses
pemotongan dendogram sama seperti pautan
tunggal.















Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 148
Rescaled Distance Cluster Combine
C A S E 0 5 10 15 20 25
Label Num +---------+---------+---------+---------+---------+

Anum S1 -^
Stokastik S9 -;-^
ProkomII S7 -u
---------------------------------------------^
KKN S4 --u
SimulkomI S6 -u
Matas S5 --^
Prolin S8 -u ---------^
DE S2 --u
-----------------------------------u
TG S10 -u
Demografi S3 -------------u

Rescaled Distance Cluster Combine

C A S E 0 5 10 15 20 25
Label Num +---------+---------+---------+---------+---------+

Anum S1 -^
Stokastik S9 -;---^
ProkomII S7 -u
-------------------------------------------^
KKN S4 ----u
SimulkomI S6 -u
Matas S5 ----^
Prolin S8 -u ---------------^
DE S2 ----u
---------------------------u
TG S10 -u
Demogrfi S3 ---------------------u














Gambar 2. Dendogram Pautan Lengkap pada Pemilihan MKP Semester Ganjil

Berdasarkan dendogram (2), maka jarak antara
S1-S6 adalah 0-2 atau 2 satuan dan jarak antara
S5-S10 adalah 0-2 atau 2 satuan, maka kedua
kelompok tersebut tidak mempunyai selisih
adalah 0 satuan sedangkan S3 berjarak 0-7 atau 7
satuan. Selisih jarak terjauh adalah pada tahap
terakhir pengklsateran, dimana antara kedua
kelompok tersebut digabung yaitu 7-25 atau 18
satuan Jika diamati dari langkah-langkah
pengklasteran, selisih stage 4-3 adalah (6,357-
6,246) atau 0,111 dan seterusnya sampai
diperoleh selisih stage terjauh, yaitu stage 9-8
sebesar (681,635-175,009) atau 506,626. Dengan
demikian berdasarkan dendogram gambar 2 maka
banyaknya klaster yang terbentuk adalah dua
klaster dengan masing-masing anggota klaster
sebagai berikut :
Klaster 1 terdiri dari 5 mata kuliah pilihan,
yaitu Analisis Numerik, Stokastik, Program
Komputer II, KKN dan Praktikum Simulasi
Komputer I
Klaster 2 terdiri dari 5 mata kuliah pilihan,
yaitu Matematika Asuransi, Program
Linear, Desain Eksperimen, Teori Graph
dan Demografi.













Gambar 3. Dendogram Pautan Rataan pada Pemilihan MKP Semester Ganjil

Gambar 3 merupakan gambar dendogram dengan
metode pautan rataan, dimana cara untuk
mendapatkan banyaknya klaster yang terbentuk
adalah sama seperti dua metode sebelumnya. Bila
diamati, maka bentuk dendogram (3) hampir sama
seperti dendogram (2), sehingga pemotongan
dendogram terjadi pada selisih jarak terjauh
adalah antara tahap terakhir pengklasteran antara
S1-S6 dengan S5-S3, yaitu 11-25 atau 14 satuan.
Berdasarkan tabel langkah-langkah pengklasteran,
maka selisih jarak terbesar terjadi antara stage 9-8
yaitu (259,617-111,905) atau 147,712; sehingga
banyaknya klaster yang terbentuk adalah dua
klaster dengan anggota klaster sebagai berikut :
Klaster 1 terdiri dari 5 mata kuliah
pilihan, yaitu Analisis Numerik, Stokastik,
Program Komputer II, KKN dan Praktikum
Simulasi Komputer I.
Klaster 2 terdiri dari 5 mata kuliah pilihan,
yaitu Matematika Asuransi, Program
Linear, Desain Eksperimen, Teori Graph
dan Demografi.

Setelah dilakukan pemotongan dendogram, maka
terbentuklah banyaknya klaster dari masing-
masing metode. Pautan tunggal menghasilkan 3
klaster, pautan lengkap dan pautan rataan
menghasilkan 2 klaster, dengan demikian
banyaknya klaster yang seharusnya terbentuk atau
jumlah klaster yang valid adalah 2 klaster untuk
pengklasteran MKP semster ganjil, yang
merupakan hasil dari pengklasteran dengan
pautan lengkap dan pautan rataan dengan masing-
masing klaster terdiri dari 5 mata kuliah pilihan.
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 149

Rescaled Distance Cluster Combine

C A S E 0 5 10 15 20 25
Label Num +---------+---------+---------+---------+---------+

SimulkmII s6 ------^
Topologi s8 -u -----------------------^
KKN s3 -------u -----------------^
Anmul s2 -------------------------------u

Anareg s1 ----------------------------------^

Matek s4 ---u -------------u
optimasi s5 ----------------------------------u
Stnonpar s7 ---------------------u

Rescaled Distance Cluster Combine

C A S E 0 5 10 15 20 25
Label Num +---------+---------+---------+---------+---------+

SimulkmII S6 -^
Topologi S8 -;---^
KKN S3 -u
-------------------------------------------^
Anmul S2 -----u
Anareg S1 --------^
Matek S4 -u
---------------------------------------u
Optimasi S5 --------u
Stnonpar S7 -u

B. MKP Semester Genap













Gambar 4. Dendogram Pautan Tunggal pada Pemilihan MKP Semester Genap

Gambar dendogram (4) menunjukkan proses
pengklsateran mata kuliah pilihan semester genap.
Berdasarkan dendogram tersebut, maka
banyaknya klaster yang akan terbentuk adalah 5
klaster. Hal ini dikarenakan selisih jarak terjauh
terjadi antara S6-S3 dengan S5-S7 yaitu 4-11 atau
7 satuan. Jika dihitung dari selisih antar stage ,
maka selisih jarak terjauh adalah antara stage 3-4
yaitu (36,276-13,516) atau 22,76. Pemotongan
dendogram terjadi pada selisih jarak terjauh
inilah, sehingga menghasilkan 5 klaster dengan
masing-masing anggota sebagai berikut :
Klaster 1 terdiri dari 3 mata kuliah pilihan,
yaitu Praktikum Simulasi Komputer II,
Topologi dan KKN.
Klaster 2 terdiri dari 1 mata kuliah pilihan,
yaitu Analisis Multivariat.
Klaster 3 terdiri dari 2 mata kuliah pilihan,
yaitu Analisis Regresi dan Matematika
Keuangan.
Klaster 4 terdiri dari 1 mata kuliah pilihan,
yaitu Optimasi.
Klaster 5 terdiri dari 1 mata kuliah
pilihan, yaitu Statistik Non-Parametrik.














Gambar 5. Dendogram Pautan Lengkap pada Pemilihan MKP Semester Genap

Selisih jarak terjauh yang ditunjukkan dendogram
(4.5) dengan pautan lengkap, yaitu pada tahap
terakhir pengklasteran dengan dua tahap terakhir
pengklasteran (S1-S7). Tahap terakhir ini
merupakan tahap penggabungan antara S6-S2
(berjarak 3 satuan) dengan S1-S7 (berjarak 5
satuan), sehingga selisih jarak terjauhnya bernilai
5-25 atau 20 satuan. Jika dilihat dari tabel
langkah-langkah pengklasteran, maka stage 7-6
merupakan stage dengan selisih jarak terjauh
yaitu (859,357-149,526) atau 709,831.
Berdasarkan selisih inilah terjadi pemotongan
dendogram, sehingga banyaknya klaster yang
terbentuk adalah 2 klaster dengan masing-masing
anggota klaster sebagai berikut :
Klaster 1 terdiri dari 4 mata kuliah pilihan,
yaitu Praktikum Simulasi Komputer II,
Topologi, KKN dan Analisis Multivariat.
Klaster 2 terdiri dari 4 mata kuliah pilihan,
yaitu Analisis Regresi, Matematika
Keuangan, Optimasi dan Statistik Non-
Parametrik.







Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 150
Rescaled Distance Cluster Combine

C A S E 0 5 10 15
20 25
Label Num +---------+---------+---------+---------
+---------+

SimulkmII S6 -^
Topologi S8 -;-----^
KKN S3 -u
-----------------------------------------^
Anmul S2 -------u

Anareg S1 ----------^

Matek S4 -u
-------------------------------------u
Optimasi S5 ----------u
Stnonpar S7 ---u

















Gambar 6. Dendogram Pautan Rataan pada Pemilihan MKP Semester Genap

Pemotongan dendogram (6) pada dasarnya sama
seperti dendogram (5) dan terlihat dengan jelas
sekali bahwa selisih jarak terjauh terjadi pada
tahap terakhir pengklasteran yaitu 6-25 atau 19
satuan, sedangkan jika dilihat pada stage 7-6
merupakan selisih koefisien terbesar yaitu
(479,169-103,994) atau 375,175. Banyaknya
klaster yang harus terbentuk dari pautan rataan ini
adalah 2 klaster dengan masing-masing anggota
klaster sebagai berikut :
Klaster 1 terdiri dari 4 mata kuliah pilihan,
yaitu Praktikum Simulasi Komputer II,
Topologi, KKN dan Analisis Multivariat.
Klaster 2 terdiri dari 4 mata kuliah pilihan,
yaitu Analisis Regresi, Matematika
Keuangan, Optimasi dan Statistik Non-
Parametrik.

Setelah dilakukan pemotongan dendogram, maka
terbentuklah banyaknya klaster dari masing-
masing metode. Pautan tunggal menghasilkan 5
klaster, pautan lengkap dan pautan rataan
menghasilkan 2 klaster, dengan demikian
banyaknya klaster yang seharusnya terbentuk atau
jumlah klaster yang valid adalah 2 klaster untuk
pengklasteran MKP semester genap, yang
merupakan hasil dari pengklasteran dengan
pautan lengkap dan pautan rataan dengan masing-
masing klaster terdiri dari 4 mata kuliah pilihan.

Analisis Hasil Pengklasteran dari MKP
Semester Ganjil dan Semester Genap

Berdasarkan banyaknya kelompok mata kuliah
yang valid maka dapat ditentukan rata-rata tiap-
tiap faktor yang mempengaruhi mahasiswa dalam
menentukan mata kuliah pilihan. Nilai rata-rata
tersebut diperoleh dari nilai prioritas mata kuliah
pilihan pada setiap faktor berdasarkan kelompok
mata kuliah yang telah terbentuk. Nilai rata-rata
ditentukan agar diketahui
preferensi/kecenderungan kelompok mata kuliah
mana yang lebih dipilih atau disukai oleh
mahasiswa berdasarkan faktor dominan dari
kelima faktor tersebut.

A. MKP Semester Ganjil

Banyaknya klaster yang terbentuk untuk mata
kuliah pilihan semester ganjil berdasarkan tiga
metode pengklasteran, yaitu pautan tunggal,
pautan lengkap dan pautan rataan adalah 2 klaster:
Klaster 1 terdiri dari 5 mata kuliah
pilihan, yaitu Analisis Numerik, Stokastik,
Program Komputer II, KKN dan Praktikum
Simulasi Komputer I.
Klaster 2 terdiri dari 5 mata kuliah pilihan,
yaitu Matematika Asuransi, Program
Linear, Desain Eksperimen, Teori Graph
dan Demografi.

Tabel 5. Rata-rata Klaster MKP Semester Ganjil
Berdasarkan Masing-masing Faktor
Klaster Dosen Minat Jadwal SKS Teman
1 6,7280 6,1080 6,8226 6,9912 6,5172
2 13,2722 13,8920 13,1776 13,0092 13,4828

Berdasarkan Tabel 3 dapat terlihat dengan jelas
bahwa untuk kelompok mata kuliah pilihan
semester ganjil, maka klaster 1 tidak memiliki
faktor dominan untuk dipilih mahasiswa ditinjau
dari kelima faktor tersebut, karena mahasiswa
lebih cenderung memilih mata kuliah yang ada di
klaster 2 saja. Sehingga faktor-faktor dominan
hanya berkumpul pada satu klaster saja, yaitu
klaster 2. Jika dilihat dari nilai rata-rata mata
kuliah klaster 1 yang dua kali lebih kecil dari
mata kuliah klaster 2, maka mata kuliah pada
klaster 1 tidak memiliki faktor ciri/karaktersitik
dari segi apapun untuk dipilih, hal ini mungkin
dikarenakan ada banyak hal yang tidak sesuai
dengan keinginan mahasiswa terhadap kelompok
mata kuliah tersebut dari faktor-faktor tersebut.
Dengan demikian klaster 2 disebut sebagai
kelompok mata kuliah yang cenderung lebih
disukai mahasiswa daripada mata kuliah
kelompok 1.
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 151

B. MKP Semester Genap

Banyaknya klaster yang terbentuk untuk mata
kuliah pilihan semester genap berdasarkan tiga
metode pengklasteran, yaitu pautan tunggal,
pautan lengkap dan pautan rataan adalah 2 klaster:
Klaster 1 terdiri dari 4 mata kuliah
pilihan, yaitu Praktikum Simulasi
Komputer II, Topologi, KKN dan Analisis
Multivariat.
Klaster 2 terdiri dari 4 mata kuliah pilihan,
yaitu Analisis Regresi, Matematika
Keuangan, Optimasi dan Statistik Non-
Parametrik

Tabel 6. Rata-rata Klaster MKP Semester Genap
Berdasarkan Masing-masing Faktor
Klaster Dosen Minat Jadwal SKS Teman
1 8,0986 7,3042 7,7512 8,2229 7,8410
2 16,9014 17,695 17,248 16,777 17,159

Jika dari hasil pengelompokkan mata kuliah
pilihan semester ganjil dimana hanya satu klaster
yang mendominasi dari semua faktor, maka hal
ini juga terjadi pada mata kuliah pilihan semester
genap. Berdasarkan Tabel 4., jika ditinjau dari
kelima faktor tersebut, maka mata kuliah
kelompok 2 mempunyai nilai rata-rata yang jauh
lebih besar daripada kelompok 1. Hal ini
menyebabkan klaster 2 cenderung dipilih oleh
mahasiswa jurusan Matematika, karena semua
faktor didominasi oleh klaster 2 saja dan tidak ada
satupun faktor yang menjadi ciri pada klaster 1
untuk dipilih mahasiswa. Sehingga jika
dibandingkan antara klaster 1 dan klaster 2, maka
mata kuliah klaster 2 dinamakan sebagai
kelompok mata kuliah favorit mahasiswa jurusan
Matematika pada semester genap.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh untuk data yang
digunakan dalam skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Banyaknya klaster yang terbentuk dari
pengelompokkan mata kuliah pilihan
semester ganjil adalah 2 klaster dengan
masing-masing klaster terdapat 5 anggota
mata kuliah, yaitu klaster pertama adalah
Analisis Numerik, Stokastik, Program
Komputer II, KKN dan Praktikum Simsulasi
Komputer I; sedangkan klaster kedua adalah
Matematika Asuransi, Program Linear,
Desain Eksperimen, Teori Graph dan
Demografi.
2. Banyaknya klaster yang terbentuk dari hasil
pengelompokkan mata kuliah pilihan
semester genap adalah 2 klaster dengan
masing-masing klaster beranggotakan 4 mata
kuliah, yaitu Praktikum Simulasi Komputer
II, Topologi, KKN dan Analisis Multivariat;
sedangkan klaster kedua adalah Analisis
Regresi, Matematika Keuangan, Optimasi
dan Statistik Non-Parametrik.
3. Berdasarkan pengelompokkan mata kuliah
pilihan semester ganjil, maka mata kuliah
pada klaster kedua lebih cenderung
dipilih/disukai mahasiswa jurusan
Matematika dilihat dari semua faktor, yaitu
faktor dosen, minat mahasiswa, jadwal
kuliah, jumlah SKS mata kuliah dan
pengaruh teman. Sedangkan mata kuliah
klaster pertama kurang disukai karena semua
faktor didominasi oleh klaster 2 saja.
4. Kelompok mata kuliah pilihan semester
genap yang lebih cenderung dipilih atau
difavoritkan oleh mahasiswa jurusan
Matematika berdasarakan faktor dosen,
minat, jadwal mata kuliah, jumlah SKS dan
pengaruh teman adalah klaster kedua,
sedangkan klaster pertama kurang disukai
mahasiswa ditinjau dari faktor-faktor
tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Kelima.
Rineka Cipta. Jakarta.
[2] Dillon, R.W & Goldstein, M. 1984,
Multivarieta Analysis Methods and
Applications. John Wiley & Sons, Inc. New
York.
[3] Herlena, I.G. 2008. Penggunaan Analytic
Hierarchy Process untuk Menganalisis
Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Mata
Kuliah Pilihan Jurusan Matematika FMIPA
Universitas Sriwijaya. Skripsi Jurusan
Matematika (tidak dipublikasikan). Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Sriwijaya. Indralaya.
[4] Sudjana. 2002. Metode Statistika. Edisi
Keenam. Tarsinto. Bandung.
[5] Suharyadi & S.K. Purwanto. 2003. Statistika
untuk Ekonomi dan Keuangan Modern. Edisi
Pertama. Salemba Empat. Jakarta.
[6] Supranto, J. 1992. Statistika dan Sistem
Informasi Untuk Pimpinan. Erlangga.
Jakarta.
[7] Supranto, J. 2004. Analisis Multivariat Arti
dan Interpretasi. Rineka Cipta. Jakarta.



Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 153

PENAKSIRAN PARAMETER PADA
RANDOM EFFECTS SPATI AL LAG PANEL DATA MODEL

Avidati, Dian Lestari, Siti Nurrohmah
Dept. Matematika FMIPA Universitas Indonesia

avi40@ui.ac.id, aurora@ui.ac.id, nurohmah@ui.ac.id


ABSTRAK

Data panel merupakan gabungan dari dua jenis data, yaitu data cross section dan data longitudinal. Model regresi
linier yang melibatkan data panel disebut dengan model regresi data panel. Pada saat melakukan observasi, sering
ditemui bahwa nilai observasi di suatu lokasi bergantung pada nilai observasi di lokasi sekitarnya, yang dikenal
dengan spasial dependen. Model regresi data panel yang turut melibatkan aspek ketergantungan lokasi (spasial
dependen) dikenal dengan model spasial data panel.

Model spasial lag data panel menunjukkan adanya ketergantungan antara variabel dependen di suatu lokasi dengan
variabel dependen di lokasi sekitarnya. Pada tugas akhir ini akan dibahas penaksiran parameter pada Random Effects
Spatial Lag Panel Data Model dengan komponen error satu arah menggunakan metode maksimum likelihood.

Kata Kunci : Spatial Panel Data Model; Spasial Lag; Spasial Dependen; Random Effects Model; Metode
Maksimum Likelihood.


1. PENDAHULUAN

Model regresi data panel, menurut Kosasih (2009)
merupakan model regresi yang melibatkan data
panel, yaitu data yang terdiri dari gabungan data
cross section dan data longitudinal sekaligus.
Data panel dibagi menjadi dua, yaitu data panel
lengkap (complete panel data) yaitu data dimana
setiap individu terobservasi pada kurun waktu
yang sama dan data panel tidak lengkap
(incomplete panel data ) yaitu data dimana setiap
individu terobservasi pada kurun waktu yang
berbeda-beda dan untuk setiap periode waktu
banyaknya individu yang terobservasi berbeda-
beda pula.

Sedangkan berdasarkan komponen errornya,
Baltagi (2005) membagi data panel menjadi
komponen error satu arah yaitu terdiri dari
pengaruh yang tidak terobservasi dari individu
dan pengaruh yang benar-benar tidak diketahui;
dan komponen error dua arah yaitu terdiri dari
pengaruh yang tidak terobservasi dari individu,
pengaruh yang tidak terobservasi dari waktu, dan
pengaruh yang benar-benar tidak diketahui.

Berdasarkan asumsi yang digunakan pada
komponen errornya, data panel juga dapat dibagi
menjadi dua, yaitu Fixed Effect dan Random
Effect. Pada Fixed Effect diasumsikan bahwa
komponen error dari model regresi tersebut
merupakan parameter tetap, yaitu pengaruh
individu dan waktu ditentukan oleh peneliti.
Sedangkan pada Random Effect diasumsikan
bahwa komponen errornya merupakan variabel
random, yaitu pengaruh individu dan waktu
ditentukan secara acak dari populasi yang ada.

Dalam studi empiris, sering ditemui bahwa nilai
observasi pada suatu lokasi dipengaruhi atau
bergantung pada nilai observasi di lokasi
sekitarnya. Fenomena inilah yang kemudian
dikenal dengan spasial dependen. Model spasial
dependen dibagi menjadi dua, yaitu model spasial
lag yang pada variabel dependennya terdapat
korelasi spasial dan model spasial error yang pada
errornya terdapat korelasi spasial (Andra, 2007).

Model regresi data panel yang turut melibatkan
aspek spasial dependen disebut dengan model
regresi spasial data panel. Model ini juga terdiri
dari model regresi spasial lag data panel dan
model regresi spasial error data panel. Penaksiran
parameter untuk model tersebut tidak dapat
menggunakan OLS seperti pada model regresi
linear umumnya, karena asumsi-asumsi yang
diperlukan tidak terpenuhi. Sehingga dibutuhkan
metode lain untuk penaksiran parameter pada
model tersebut. Dan pada makalah ini akan
dibahas bagaimana mencari taksiran parameter
pada model regresi spasial lag data panel dengan
asumsi random effect.

2. MODEL DAN METODE

Pada bagian ini akan dibahas mengenai
penaksiran parameter pada Random Effects
Spatial Lag Panel Data Model. Dengan beberapa
pembatasan masalah, yaitu jenis data panel yang
akan digunakan adalah data panel lengkap dan
menggunakan komponen error satu arah, serta
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 154
untuk kasus spasial dependennya hanya akan
dibahas mengenai spasial lag model. Untuk
menaksir model tersebut, akan digunakan metode
maksimum likelihood. Karena model ini
merupakan random effects, maka akan dibahas
pula matriks varian kovarian dari komponen error
model tersebut.

2.1 RANDOM EFFECTS SPATI AL LAG
PANEL DATA MODEL

Random effects spatial lag panel data model pada
suatu lokasi i dinyatakan sebagai berikut:
1 1
N K
it ij jt k itk i it
j k
y w y x
= =
= + + +

(1)
Atau bila dinyatakan dalam bentuk notasi matriks
menjadi:
( ) ( )
,
dimana
= + +
= +
NT
T N T N
y W y X v
vII I
(2)
dengan :
y = vektor variabel dependen berukuran
1 NT
X= matriks variabel independen berukuran
NT k
= vektor parameter yang berukuran 1 k
= koeffisien spasial lag
= vektor error berukuran 1 NT yang
independen dan berdistribusi identik normal
dengan mean nol dan matrik kovariansi
2

NT
I .
= spatial specific effect berukuran N 1
NT
W = matriks bobot spasial berukuran
NT NT diketahui.
T
= vektor berukuran T x 1 yang setiap entrinya
adalah 1.
T
I = matriks identitas berukuran T x T
N
I = matriks identitas berukuran N x N
Asumsi yang digunakan pada random effects
spatial lag panel data model adalah
( )
2
i
IID 0,

dan
( )
2
it
IID 0,

, serta
i it
dan diasumsikan saling bebas. Pada
makalah ini, diasumsikan bahwa dari
i
dan
it

berdistribusi normal.

2.2 Pembentukan Matriks Varian
Kovarian

Pada random effects spatial lag panel data model,
komponen error satu arah terdiri dari dua variabel
random, yaitu pengaruh individu (lokasi) yang
tidak diketahui (spatial specific effect),
i
, yang
berdistribusi normal dengan mean nol dan
variansi
2

; dan pengaruh yang benar-benar tidak


diketahui (error sebenarnya),
it
, yang
berdistribusi normal dengan mean nol dan
variansi
2

. Pada persamaan (2), komponen


error ini dinotasikan dengan
( ) ( ) , dimana = +
T N T N
v v II I .

Selanjutnya, karena komponen error ini terdiri
dari dua variabel random, maka akan dicari
matriks varian kovarian dari komponen error v
tersebut.
Matriks varian kovarian dari komponen
error v menurut Magnus seperti yang dikutip
oleh Elhorst (2003) adalah:
( )
2 2 2
1 1
T ' '
T T


( | | | |
= + +
| | (
\ . \ .
T T N T T T N
I I I
(3)
Dengan menggunakan sifat-sifat yang berlaku
dalam matrix algebra (Shearle, 1982) dan block
matrix (Seber, 2008) didapat:
Determinan dari matriks varian kovarian
di atas adalah:
( )
N
2
NT
2
2 2
T

| |
= |
|
+
\ .

(4)
Pada persamaan di atas muncul bentuk
2
2 2
T

+
. Bentuk
2
2 2
T

+
ini kemudian akan
didefinisikan sebagai
2
.
Invers dari matriks varian kovarian di
atas adalah:
( )
2
1
NT N 2
1 1
1 '
T

(
=
(

T T
I I (5)


2.3 Fungsi Likelihood

Fungsi likelihood dari Random Effects Spatial
Lag Panel Data Model adalah:
( ) ( ) ( )
( )
2 2 2 2
2 2
11
2
2
( , , , , ..., ) 2
1 1
exp ' 1
2

(
( =
(

(
| |

(
|
\ . (

NT N
NT T N N
NT N
L y y
T
T T
I I W
v I I v
dengan ( ) =
NT NT
v I W y X . (6)

2.4 Penaksiran Parameter

Taksiran parameter untuk Random Effects Spatial
Lag Panel Data Model diperoleh dengan cara
memaksimumkan fungsi likelihood yang
ekuivalen dengan memaksimumkan logaritma
dari fungsi likelihood pada persamaan (6) di atas.
Bentuk logaritma dari fungsi likelihood untuk
variabel dependen Y dapat ditulis sebagai berikut
:
2 2
11
( , , , , ..., )
NT
LnL L y y

=
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 155

( ) ( )
2 2
2
1
2
2 2
1
+ '
2
T
N N t t
t
NT N
LnL Ln Ln
T Ln

=
= +


I W e e
(7)
dimana:
* *
t t t
= e Y X
( ) ( ) ( ) ( )
( )
*
1
t N N t N N
= Y I W Y I W Y
( )
*
1
t t
= X X X

Taksiran Parameter

Taksiran parameter adalah
( ) ( )
1



=
* * * *
x x x y (8)
dengan ;
( (
( (
= =
( (
( (


* *
1 1
* *
* *
T T
X Y
x y
X Y

* *
1i 1i
* *
2i 2i
i i
* *
Ni Ni
x y
x y
;
x y
( (
( (
( (
= =
( (
( (
( (


* *
X Y

Taksiran Parameter
2



Taksiran parameter
2

adalah

T
2 1

NT

=

=
t t
t
e e
(9)

Taksiran Parameter dan

Untuk menaksir parameter dan , langkah
pertama adalah dengan mensubstitusikan nilai
taksiran dari parameter dan
2

ke dalam fungsi
loglikelihood pada persamaan (6). Sehingga,
akan didapat bentuk fungsi loglikelihood yang
baru, yaitu:
T
1
2
i
i
NT
lnL C ln '
2
N
ln T ln (1 )
2

=
| |
=
|
\ .
+ +

t t
t
e e
, (10)
dengan ( ) ( )
NT NT NT
C ln 2 ln NT
2 2 2
= + dan
i
merupakan nilai eigen dari
N
W (Anselin et al,
2006).

Selanjutnya, nilai dari parameter yang akan
memaksimumkan fungsi loglikelihood diperoleh
dengan :
lnL

0 , dan nilai dari parameter


yang akan memaksimumkan fungsi loglikelihood
diperoleh dengan :
lnL

0 .

Kemudian, untuk menaksir parameter dan
dibutuhkan bantuan iterasi numerik, dalam hal ini
akan digunakan metode Newton Raphson. Hal ini
dsebabkan oleh adanya suku dari fungsi log
likelihood yang bila dijabarkan maka akan
terdapat bentuk fungsi polinomial dari parameter
yang ingin dicari, sehingga solusi yang didapat
tidak akan unik.


3. APLIKASI

Pada bagian ini akan dibahas aplikasi atau studi
kasus dari penaksiran parameter untuk random
effects spatial lag panel data model. Data yang
digunakan adalah data penjualan rokok di 46
negara bagian Amerika selama kurun waktu 6
tahun yang diambil dari Baltagi (2005).

Variabel-variabel yang akan digunakan adalah :
Variabel dependen :
it
Log C = penjualan rokok per kapita kepada
orang-orang pada usia diperbolehkan merokok
(berusia 14 tahun atau lebih) di negara bagian ke-i
pada waktu ke-t. (dalam skala logaritma)
Variabel independen :
it
Log P = rata-rata harga penjualan rokok di
negara bagian ke-i pada waktu ke-t. (dalam skala
logaritma)
it
Log Y = pendapatan perkapita di negara bagian
ke-i pada waktu ke-t. (dalam skala logaritma)
it
Log Pn = harga minimum rokok dari negara-
negara bagian yang bertetanggaan dengan negara
bagian ke-i, pada waktu ke-t. (dalam skala
logaritma)

Tujuan: Ingin dilihat pengaruh dari variabel-
variabel independen terhadap variabel dependen.
Untuk pengolahan datanya digunakan software
Matlab dari Elhorst (2009) dan Eviews serta
SPSS 16.

3.1 Model Regresi Data Panel Dengan
Efek Random

Model regresi data panel satu arah dengan efek
random adalah :
it it i it
y x = + +
Dimana
i
adalah pengaruh yang tidak
terobservasi dari individu (negara bagian) ke i.
Berdasarkan output dari program Eviews didapat
model regresi data panel satu arah dengan efek
random adalah sebagai berikut :
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 156

log 3,69632 0,0404log


0,01898 log 0,019337 log
it it
it it
C P
Pn Y
=
+

Nilai R-Squared untuk model di atas sudah sangat
bagus yaitu sebesar 99,18%, tetapi dengan MSE
sebesar 0,023877.

3.2 Penaksiran Parameter Random
Effects Spatial Lag Panel Data Model

Random effects spatial lag panel data model pada
suatu lokasi i dinyatakan sebagai berikut:
1 1
N K
it ij jt k itk i it
j k
y w y x
= =
= + + +


Dimana
i
merupakan pengaruh yang tidak
terobservasi dari individu (lokasi) ke-i. Yang
dimaksud individu ke-i pada kasus ini adalah
negara bagian ke-i , sehingga pengaruh-pengaruh
yang tidak terobservasi tersebut adalah pengaruh
yang tidak terobservasi dari setiap negara bagian
ke-i.

Proses random effects-nya adalah pemilihan
negara-negara bagian dilakukan secara random
dari populasi negara bagian yang ada. Pada
makalah ini, sampel yang digunakan adalah
sebanyak 46 negara bagian yang telah dipilih
secara acak dari 50 negara bagian di Amerika.
Sehingga dalam proses pemilihan acak ini,
diasumsikan bahwa
( )
2
i
NIID 0,

.

Berdasarkan hasil yang didapat dari pengolahan
data menggunakan matlab 7, didapat taksiran
parameter untuk random effects spatial lag panel
data model adalah sebagai berikut :
1

log 0,1080 log 0,6148 log


0,3973 log 0,4330 log
N
it ij jt it
j
it it
C w C P
Pn Y
=
=
+ +


Nilai R-squared untuk model di atas adalah
sebesar 0,9650, dengan nilai MSE sebesar 0,0018.

3.3 Kesimpulan untuk Aplikasi Model

Dari dua model di atas yaitu model regresi data
panel tanpa melibatkan aspek korelasi spasial dan
model regresi data panel yang melibatkan aspek
korelasi spasial (Random Effects Spatial Lag
Panel Data Model), keduanya mempunyai R-
Squared yang sangat besar. Tetapi jika dilihat dari
MSE-nya didapat bahwa MSE untuk model
pertama adalah sebesar 0,023877; sedangkan
MSE untuk model ke-dua adalah sangat kecil
yaitu 0,0018. Sehingga model ke-dua lebih baik
dari model pertama. Dapat disimpulkan bahwa
jika terdapat aspek korelasi spasial namun tidak
diikutsertakan dalam model, maka model yang
didapat akan kurang baik.
Untuk Random Effects Spatial Lag Panel Data
Model, dimana aspek korelasi spasialnya
diikutsertakan dalam model, dari hasil penelitian
di atas dapat dilihat bahwa semua asumsi
terpenuhi dengan nilai R-Squared yang besar dan
nilai MSE yang kecil, sehingga dapat disimpulkan
bahwa taksiran dari Random Effects Spatial Lag
Panel Data Model untuk studi kasus tersebut
sudah baik dan sudah dapat menggambarkan
keadaan penjualan rokok di seluruh negara bagian
Amerika.

4. KESIMPULAN

Model spasial data panel merupakan model
regresi data panel yang turut melibatkan aspek
korelasi spasial yang ada. Seperti halnya model
spasial dependen, model spasial data panel juga
terbagi menjadi model spasial lag data panel dan
model spasial error data panel. Model spasial lag
terjadi jika terdapat ketergantungan antara nilai
observasi variabel dependen di suatu lokasi
dengan nilai observasi variabel dependen di lokasi
sekitarnya. Sedangkan model spasial error terjadi
jika error pada suatu lokasi bergantung pada error
di lokasi sekitarnya. Pada tugas akhir ini, variabel
dependen pada contoh kasus yang dibahas juga
menunjukkan suatu lokasi, yaitu negara-negara
bagian Amerika.

Random Effects Spatial Lag Panel Data Model
merupakan model spasial lag data panel yang
melibatkan Random Effects. Sehingga pengaruh
yang tidak diketahui dari suatu individu
diasumsikan sebagai variabel random yang
mempunyai distribusi. Model ini dapat ditaksir
dengan menggunakan metode maksimum
likelihood.

5. DAFTAR PUSTAKA

[1] Andra, Novi. 2007. Model Regresi Linear
pada Data Spasial Dependen. Departemen
Matematika (Skripsi), Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Indonesia, Depok.
[2] Anselin, Luc. Julie Le Gallo., Hubert Jayet.
2006. Spatial Panel Econometrics.In:
Matyas L, SevestreP. (eds) The Econometrics
of Panel Data,Fundamentals and Recent
Developments in Theoryand Practice, 3
rd

edn. Kluwer, Dordrecht, pp 901-969.
[3] Baltagi, Badi H. 2005. Econometric Analysis
of Panel Data. 3
rd
ed. John Wiley&Sons Ltd,
Chichester.
[4] Elhorst , J P. 2003. Specification and
estimation of spatial panel data models.
International Regional Science Review
26(3):244-268.

Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 157

[5] Elhorst , J P. 2009. Matlab software to
estimate spatial panels.
http://www.regroningen.nl/elhorst/software.
html, 16 Juli 2009, pk.09.00.
[6] Kosasih, Rifki. 2008. Penaksiran Parameter
pada Model Regresi Spasial Panel Data
Satu Arah. Departemen Matematika
(Skripsi), Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Indonesia,
Depok.
[7] Magnus JR, Neudecker H. 1988. Matrix
Differential Calculus with Applications in
Statistics and Econometrics. Wiley,
Chichester, New York.
[8] Seber, George A. F. 2008. A Matrix
Handbook for Statisticians. John Wiley
&Sons, Inc., New Jersey.
[9] Shearle, S Hayley. 1982. Matrix Algebra
[10] Useful for Statistics. John Wiley&Sons, Inc.,
New York.






















Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 159
PENDEKATAN MODEL LINIER DALAM PENAKSIRAN PARAMETER
MODEL GENERALISASI SPACE TIME AUTOREGRESI ORDE p

Budi Nurani Ruchjana
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor, Sumedang, 45363

bnurani@gmail.com


ABSTRAK

Model space time merupakan kombinasi model time series dan model spasial merupakan suatu model yang dapat
diaplikasikan dalam berbagai fenomena kehidupan, misalnya untuk prakiraan produksi minyak bumi di suatu sumur
berdasarkan produksi sumur tersebut dan sumur-sumur di sekitarnya yang diamati berdasarkan waktu. Model space
time untuk fenomena lokasi homogen dapat digunakan model space time autoregresi (STAR), sedangkan untuk
fenomena lokasi dengan karakteristik heterogen dapat digunakan model generalisasi space time autoregresi
(GSTAR). Kedua model tersebut dapat dinyatakan sebagai model linier. Oleh karena itu, penaksiran parameter
model STAR maupun GSTAR dapat dilakukan melalui pendekatan model linier.

Dalam makalah ini disajikan prosedur penaksiran parameter model GSTAR orde p melalui pendekatan model linier
dengan asumsi galat berdistribusi identik normal dengan mean nol dan variansi konstan. Penaksiran parameter
dengan metode kuadrat terkecil dilakukan dengan bantuan perangkat lunak S-Plus. Studi kasus dilakukan pada
fenomena data produksi minyak bumi di lapisan volkanik. Pengembangan prosedur penaksiran model GSTAR orde
p diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk aplikasi model space time mengingat perangkat lunak
model space time belum ada di lapangan.

Keywords: Model GSTAR orde p, model linier, metode kuadrat terkecil, S-Plus


PENDAHULUAN

Suatu hal alami bagi manusia untuk mencoba
mengerti fenomena alam di sekeliling kehidupan.
Ketika pengamatan dari suatu fenomena dapat
dikuantifikasi, maka diperlukan suatu ,model
matematis untuk menjelaskan esensi fenomena
tersebut. Untuk kesederhanaan model, seringkali
peneliti tidak melibatkan seluruh faktor
pengamatan. Faktor-faktor tersebut dapat
diakumulasikan dalam unsur galat. Dalam
memperhitungkan kesalahan pengamatan maupun
kesalahan pengukuran dapat digunakan model
statistik.

Suatu hal yang penting dalam mempelajari
keterkaitan faktor atau variabel dalam model
statistik, adalah seberapa besar suatu variabel
tidak bebas Y dipengaruhi oleh variabel bebas X
1
,
X
2
dan seterusnya.

Untuk fenomena proses stokastik yang disusun
berdasarkan waktu (time) atau lokasi (space) atau
gabungan keduanya (space time) dapat digunakan
model space time didasarkan pada kajian model
time series univariat Box-Jenkins (1976) dan
model multivariate time series dari Hannan
(1970). Kajian model time series autoregresi
(AR) dikembangkan menjadi model vektor
autoregresi (VAR) serta model space time
autoregresi STAR (Pfeifer, 1979). Model STAR
hanya dapat digunakan apabila karakteristik
lokasinya homogen, sehingga parameter di setiap
lokasi bernilai sama. Ruchjana (2002)
mengembangkan model STAR menjadi model
generalisasi STAR (GSTAR) dengan asumsi
parameter space time maupun parameter
autoregresi berbeda untuk setiap lokasi.

Model STAR maupun model GSTAR
menggambarkan fenomena model linier dalam
parameter, sehingga dalam penaksiran
parameternya dapat digunakan pendekatan model
linier melalui metode kuadrat terkecil. Dalam
penelitian ini dikaji penaksiran parameter model
GSTAR (1;p) artinya model GSTAR orde p
dalam waktu dan berada dalam satu kelompok
lokasi menggunakan metode kuadrat terkecil.
Selanjutnya dibangun program melalui S-Plus
untuk penaksiran parameternya, mengingat
perangkat lunak model space time yang user
friendly belum tersedia di lapangan.

BAHAN DAN METODE

Model Linier

Secara umum dalam model statistic untuk
menggambarkan pengaruh variabel bebas
(eksogen) terhadap variabel tidak bebas (endogen)
dapat digunakan model linier berupa model
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 160
regresi linier sederhana atau berganda,
dinyatakan:


0 1 1 i i p ip i
Y X X e = + + + +
(1)


dengan
0
,
1
, ,
p
parameter model dan e
adalah unsure galat., Y variabel tidak bebas dan
X
1
, X
2
, , X
p
variabel bebas. Model pada
persamaan (1) merupakan fungsi linier terhadap
parameter dan dapat dinyatakan dalam bentuk
matriks:
e X y + =

(2)

dengan asumsi vektor galat bersifat independen
dan berdistribusi identik N(0,
2
).

Model pada persamaan (1) merupakan salah satu
model linier yang dapat digunakan. Pemilihan
model linier umumnya didasarkan pada:
kesederhanaan, kemudahan interpretasi,
membangun dasar analisis untuk model state
space-model time series- model campuran dan
sebagainya .

Model time series AR maupun VAR dapat
dinyatakan dalam model linier seperti Persamaan
(2). Demikian halnya dengan model STAR
maupun GSTAR. Dalam model VAR, STAR
maupun GSTAR yang membedakan adalah
matriks X yang dibangun oleh struktur data.
Model AR(1) dinyatakan:

2
( ) ( 1) ( ) dengan ~ (0, )
iid
Z t Z t e t e N = +
(3)
Model AR(1) pada Persamaan (3) dapat
dinyatakan dengan Persamaan (2) secara
langsung, karena parameter berupa skalar.
Sedangkan untuk model VAR(1) parameter model
berupa matriks: (Wei, 1994)
2
( ) ( 1) ( ), dengan ( ) ~ ( , )
iid
N
t t t t N = + z z e e 0 I
(4)

Oleh karena itu, agar pendekatan model linier
pada Persamaan (2) dapat digunakan, maka
penulisan model perlu disesuaikan. Model
STAR(1;1) dan model GSTAR(1;1) merupakan
kasus khusu dari model VAR(1). Oleh karena itu,
untuk penaksiran parameter model STAR maupun
model GSTAR menggunakan metode kuadrat
terkecil, maka model STAR maupun GSTAR
perlu dinyatakan dalam model linier seperti pada
Persamaan (2).

Model Generalisasi STAR Orde p


Model GSTAR orde 1 dalam space maupun time,
GSTAR(1;1) dibangun berdasarkan asumsi bahwa
parameter-parameter model berupa parameter
autoregresi dan parameter space time merupakan
fungsi dari lokasi
) (
10
i

dan
) (
11
i
(Ruchjana,
2002). Model GSTAR merupakan pengembangan
dari model space time autoregresi (STAR) dari
Pfeifer (1979). Ruchjana (2002) mengkaji model
GSTAR berdasarkan fenomena produksi sumur
minyak bumi di lapisan vulkanik Jatibarang.
Reservoir memiliki variabilitas, baik horizontal
maupun vertikal. Oleh karena itu, wajar jika
sumur-sumur mempunyai parameter khas yang
merepresentasikan profil kinerja sumur tersebut.
Asumsi model GSTAR didukung oleh fakta
bahwa suatu reservoir bersifat heterogen, variasi
karakteristik reservoir merupakan fungsi lokasi.
Secara praktek sulit memperoleh sumur dengan
karakteristik homogen.

Model GSTAR(1;1) dinyatakan oleh:
) ( ) 1 ( ) , , ( ) 1 ( ) , , (
) ( ) 1 ( ) 1 ( ) (
) 1 ( ) (
11
) 1 (
11
) (
10
) 1 (
10
) 1 ( ) 1 (
) 1 (
) (
) 1 (
) ( 11 ) 1 ( ) ( 10 ) 1 (
t t diag t diag
t t t t
N N
Nx Nx
NxN
NxN Nx NxN Nx
e z W z
e z W z z
+ + =
+ + =

(5
dengan:
) , , (
) (
10
) 1 (
10
N
diag
matriks diagonal parameter
autoregresi lag time 1
) , , (
) (
11
) 1 (
11
N
diag matriks diagonal parameter
space-time lag spasial 1 dan lag time 1
e(t)
iid
~ N(0,
2
I
N
)

Untuk i =1,2,,N setiap waktu t , persamaan
(5) dapat dituliskan:

|
|
|
.
|

\
|
+
|
|
|
.
|

\
|

|
|
|
|
.
|

\
|
|
|
|
|
.
|

\
|
+
|
|
|
.
|

\
|

|
|
|
|
.
|

\
|
=
|
|
|
.
|

\
|
) (
) (
) 1 (
) 1 (
) 1 ( 0
0
) 1 (
) 1 (
0
0
) (
) (
1 1
) 1 (
1
) 1 (
1
) 1 (
11
) (
11
) 1 (
11 1
) (
10
) 1 (
10 1
t e
t e
t z
t z
w w
w w
t z
t z
t z
t z
N N NN N
N
N
N
N
N


(6)
Dengan menggunakan operator backshift B
j
z(t) =
z(t-j) , maka model GSTAR(1;1), ditulis dalam
bentuk model VAR(1), dinyatakan:

(I - B) z(t) = e(t) (7)

Untuk model yang lebih umum, misalnya orde p
dalam time dan orde l=0,1,,
k
dalam space,
notasi GSTAR(p;l) dapat dituliskan sebagai:

) ( ) ( ) (
) (
1 0
t k t t
l
kl
p
k l
k
e z W z + =

= =

(8)

Penaksiran Kuadrat Terkecil Model GSTAR

Representasi model GSTAR(1;1) dalam bentuk
model linier mengikuti Persamaan (2). Untuk
lokasi i {1,2,,N}, pengamatan GSTAR
(1;1)) pada waktu t dinyatakan:
) ( ) 1 ( ) 1 ( ) (
) (
11
) (
10
t e t z w t z t z
i
i j
j ij
i
i
i
i

+ + = (9)

Persamaan (9) untuk t=2,3,,T memberikan
model linier pada lokasi i :

Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 161

) ( ) ( ) ( ) ( i i i i
e X y + =

(10)
Dalam Persamaan(10) N model linier
dihubungkan melalui variabel penjelas
)). 1 (
~
( t z
i
Regresi simultan untuk semua lokasi
dinyatakan dengan:

(
(
(
(
(

+
(
(
(
(
(

=
(
(
(
(
(

) (
) 3 e(
(2) e
)] 1 (
~
[ diag 1)] - ( diag[
)] 2 (
~
[ diag (2)] diag[
)] 1 (
~
[ diag )] 1 ( [ diag
) (
) 3 z(
(2) z
T
x
T T T e z z
z z
z z
z



(11)
Persamaan (11) dapat dinyatakan:



















Pada (11), diag[z] menyatakan matriks dengan
elemen-elemen diagonal berupa vektor z dan
vektor parameter adalah:

. ) , , , ; , , , (
) (
11
) 2 (
11
) 1 (
11
) (
10
) 2 (
10
) 1 (
10
' N N

=

Kuadrat terkecil parameter

diberikan oleh
persamaan (12):

y X X X ' ) ' (

1
=

(12)

dengan y adalah z(t) dan

X = [diag[z(t-1)] diag[ ) 1 (
~
t z ] ]
(Borovkova, et al., 2008)


HASIL DAN DISKUSI

Dengan pengembangan model GSTAR orde p
dalam waktu dan orde 1 dalam lag spasial
(kelompok lokasi), maka model GSTAR(1;1)
dikembangkan ke dalam model yang lebih umum
dalam sisi waktu. Perangkat lunak penaksiran
parameter model GSTAR(1;p) yang awalnya
dibangun menggunakan visual basic dengan
macro excel (Ruchjana, et al., 2005),
dikembangkan dalam perangkat lunak S-Plus.
Hal ini bertujuan agar perangkat lunak yang
dibangun dapat diupload ke dalam program R
yang open source, sehingga nantinya dapat
digunakan secara umum.

Program aplikasi yang dibangun digunakan pada
studi kasus data produksi minyak bumi di lapisan
vulkanik Jatibarang. Secara umum program
penaksiran parameter model GSTAR(1;p)
dijelaskan sebagai berikut:

GSTARfit<-function(z,W,p){
# z is a matrix containing a multivariate time
series
# columns are locations; rows are time
# W is a weight matrix; rowsums are 1;
diagonal contains only zeros
# p is the temporal order

N.obs<-nrow(z) # NOTE THAT ROWS
1,2,...,N.obs CORRESPOND TO TIMES
0,1,2,...,N.obs-1
N.loc<-ncol(z)
#
# PREPARATION OF LISTS
#
y<-list()
X<-list()
beta<-list()
Phi0<-list() # LIST OF DIAGONALS OF
MATRICES PHI_s0 FOR EACH TIME LAG
s=1,2,...,P
Phi1<-list() # LIST OF DIAGONALS OF
MATRICES PHI_10 FOR EACH TIME LAG
s=1,2,...,P
ls.fit<-list() # LIST OF ls.fit FOR EACH
LINEAR MODEL OF THE iTH LOCATION
se.beta.ls<-list()
# CENTERING THE INPUT SERIES
z.bar<-
t(matrix(colMeans(z),ncol=N.obs,nrow=N.lo
c))
cz<-z-z.bar
# COMPUTING VECTORS V(T)=WZ(t)
cV<-t(W%*%t(cz))
#
# SETTING UP THE LINEAR MODEL FOR
GSTAR AND COMPUTE LS ESTIMATES

Untuk menjalankan script file, digunakan perin-
tah berikut:
>GSTARfit(z,W,p)

Kemudian tekan F10 untuk run program
penaksiran parameter GSTAR

W matriks bobot ditentukan di luar model,
demikian halnya dengan orde autoregresi dipilih
1,2, , p.
| |
2
(1)
10
( )
10
(1)
11
( )
11
(1)
1
1
(1)
2
1
( ) diag ( 1) diag ( )
( 1) 0
0 ( 1)
dengan
0
0 0
G
N
N
N
j j
j
N
j j
j
t t t
w z t
w z t

=
=
| |
|
|
|
= + |
|
|
|
|
\ .
|

X
z z V e
V



Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 162

z adalah data pengamatan yang dijadikan input
dan harus sesuai dengan pilihan orde, artinya
untuk GSTAR(1;1) , maka data di berbagai lokasi
merupakan model AR(1), apabila model
GSTAR(1;2) maka di berbagai lokasi memiliki
model AR(2), dan seterusnya. Dalam
menjalankan program agar asumsi model
stasioner dapat dipenuhi, maka data pengamatan
dipusatkan pada rata-ratanya.

Sebagai contoh dipilih data produksi sumur
minyak bumi pada 3 lokasi dengan asumsi awal
ketiganya memiliki model AR(1). Selanjutnya
dicoba jika ketiga sumur diasumsikan mempunyai
model AR(2). Dengan memilih matriks bobot
spasial W maka setelah datanya dipusatkan
diperoleh taksiran parameter model GSTAR(1;1)
dan GSTAR (2,1) .

Matriks bobot spasial dalam studi ini:

> W
[,1] [,2] [,3]
[1,] 0.000 0.605 0.395
[2,] 0.657 0.000 0.343
[3,] 0.566 0.444 0.000

>p
>W
>z<-jtb60
>GSTARfit(z,W,p)$Phi0
>GSTARfit(z,W,p)$Phi1

Tabel 1. Taksiran Kuadrat Terkecil GSTAR(1;1)
Sumur
10
(i)

11
(i)
AIC
Sumur1 0.614 0.247
755.231 Sumur2 0.609 0.165
Sumur3 0.810 -0.034

Tabel 2. Taksiran Kuadrat Terkecil GSTAR(1;2)
Sumur
10
(i)

11
(i)

20
(i)

20
(i)
AIC
Sumur1 0.486 0.088 0.118 0.221
764.665
Sumur2 0.590 0.003 -0.001 0.256
Sumur3 0.542 -0.084 0.332
-
0.0053

Karena sejak awal studi produksi minyak bumi di
ketiga sumur mempunyai model AR(1), maka
setelah dikembangkan menjadi model
GSTAR(1;1) dan GSTAR(1;2), maka model
GSTAR(1;1) mempunyai AIC yang lebih
minimum, sehingga model yang dipilih untuk
prakiraan waktu mendatang berdasarkan interaksi
sumur-sumur terdekat di sekitarnya adalah model
GSTAR(1;1)





KESIMPULAN

Berdasarkan kajian ini dapat disimpulkan:
1. Pendekatan model linier berupa model regresi
linier sederhana mempermudah proses
penaksiran parameter model space time,
khususnya model GSTAR orde p dalam
waktu.
2. Model space time berupa model GSTAR dapat
digunakan untuk fenomena lokasi yang
bersifat heterogen, namun model hanya
berlaku bagi lokasi-lokasi dengan identifikasi
model awal yang sama.
3. Perangkat lunak penaksiran parameter model
GSTAR dengan S-Plus dapat digunakan
sampai orde p dalam waktu dan lag spasial 1.
Oleh karena itu, masih perlu dikembangkan
lebih lanjut.


UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Tim
Peneliti dari TU Delft, Dr. Hendrik. P. Lopuhaa
dan Dr. Svetlana A. Borovkova atas diskusi dan
masukan yang sangat berharga dalam studi model
GSTAR.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Box, G.E.P and Jenkins, G. M. 1976. Time
Series Analysis, Forecasting and Control.
San Fransisco: Holden-Day, Inc.
[2] Borovkova, S., Lopuhaa, H. P. and
Ruchjana, B.N. Consistency and asymptotic
normality of least squares estimators in
generalized STAR models. Statistica
Neerlandica, 62, no 4, 482---508
[3] Hannan, E. J. 1970. Multiple Time Series,
John Wiley and Sons, Inc.: New York.
[4] Pfeifer, P.E. 1979. Spatial Dynamic
Modeling. Unpublished Ph.D. Dissertation.
Georgia: Georgia Institute of Technology
[5] Ruchjana, B. N., 2002, Suatu Model
Generalisasi Space Time Autoregresi dan
Aplikasinya pada Data Produksi Minyak
Bumi, Disertasi S3 Matematika FMIPA ITB.
Tidak dipublikasikan. Bandung: ITB.
[6] Ruchjana, B. N. , Abdullah, A.S. dan
Paulus, E. 2005. Penaksiran Kuadrat terkecil
Parameter Model GSTAR menggunakan
Microsoft Excel. Prosiding Seminar
Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematika. Bandung: UPI.
[7] Wei, W.W.S. 1994. Time Series Analysis,
Univariate and Multivariate Methods.
Canada: Addison Wesley Publisher.


Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 163
PENAKSIRAN PARAMETER MODEL LINIER BERKSON

Desti Riminarsih, Saskya Mary Soemartojo, Siti Nurrohmah
Departemen Matematika FMIPA Universitas Indonesia Depok

t_sehdwithlove@yahoo.co.id, saskya-m1@ui.ac.id, nurohmah@ui.ac.id


ABSTRAK

Pada model regresi, variabel dependen merupakan variabel acak. Namun , variabel independen dapat merupakan
variabel acak maupun fixed. Jika variabel independen bukan merupakan variabel acak, dikenal dengan fixed
regressor model. Pada model regresi dengan variabel independen variabel acak, dikenal dengan error in variable
model. Error in variable model terbagi dalam dua tipe, yaitu classical error in variable model dan Berkson
measurement error model (model Berkson). Pada model linier Berkson metoda Ordinary Least Square (OLS) dapat
diterapkan untuk menaksir parameter. Taksiran yang diperoleh merupakan taksiran tak bias dengan variansi
minimum.

Keywords: error in variable model, model Berkson, model linier Berkson, Ordinary Least Squares.


1. PENDAHULUAN

Di dalam model regresi, variabel dependen harus
selalu variabel acak, tetapi variabel independen
dapat merupakan variabel acak maupun fixed. Jika
variabel independen bukan merupakan variabel
acak maka dikenal dengan fixed regressor model.
Sedangkan jika variabel independennya
merupakan variabel acak maka dikenal dengan
random regressor model atau error in variable
model ( Montgomery, et all., 2001).

Error in variabel model ini muncul pada
beberapa kondisi dimana variabel independen x
tidak dapat diukur secara langsung. Error in
variable model dituliskan dalam persamaan
berikut
( ; ) = +
i i i
y f e , dengan =
i i i
x d
Dimana

i
y : variabel dependen
: parameter model yang tidak diketahui

i
e : error model

i
x : variabel independen yang terobservasi

i
: variabel independen sebenarnya yang tidak
terobservasi

i
d : error observasi

Error in variable model terbagi menjadi dua tipe,
yaitu classical error in variable model dan
Berkson measurement error model
(Berkson:1950). Kedua model ini memiliki
perbedaan yang mendasar. Pada classical error in
variable model, variabel independen yang
sebenarnya adalah
i
yang merupakan variabel
yang tidak terobservasi, dimana =
i i i
x d .

Variabel terobservasinya adalah
i
x dengan
asumsi
i
dan
i
d independen. Sedangkan pada
Berkson measurement error model, variabel
i
x
dikontrol oleh eksperimenter, sehingga variabel
i
x bersifat fixed. Selain itu, pada Berkson
measurement error model variabel independen
sebenarnya yang tidak terobservasi (
i
)
diasumsikan dependen terhadap error observasi (
i
d ).

2. MODEL BERKSON

Berkson measurement error model biasa dikenal
dengan model Berkson. Model Berkson
didefinisikan sebagai model dimana nilai variabel
independen yang terobservasi dikontrol (ditarget)
secara langsung oleh eksperimenter, sehingga
variabel
i
x dalam model Berkson merupakan
variabel independen yang dikontrol dan bersifat
fixed. Sedang nilai dari variabel independen
sebenarnya yang tidak terobservasi, bervariasi
disekitar nilai variabel independen yang
terobservasi untuk masing-masing observasi
(Berkson:1950) . Selisih antara nilai variabel
independen yang terobservasi dengan nilai
variabel independen sebenarnya yang tidak
terobservasi merupakan error observasi. Error
observasi dinotasikan dengan
i
d , variabel
independen sebenarnya yang tidak terobservasi
dinotasikan sebagai
i
, dimana =
i i i
x d dan
variabel independen yang terobservasi dinotasikan
dengan
i
x .




Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 164
Secara umum, model Berkson dinyatakan sebagai
berikut :
( ; ) = +
i i i
y f e , dengan =
i i i
x d
Dimana
i
y : variabel dependen
: parameter model yang tidak diketahui

i
e : error model

i
x : variabel independen yang terobservasi

i
: variabel independen sebenarnya yang tidak
terobservasi

i
d : error observasi

Asumsi pada model Berkson adalah sebagai
berikut :
1.Error model
2
~ (0, )
i e
e Niid
2.Error observasi
2
~ (0, )
i d
d Niid
3.
i
e independen dari
j
d untuk semua i dan j,
dimana 1, 2,... = i n dan 1, 2,... = j n .
4.Variabel independen yang terobservasi(
i
x )
diasumsikan fixed.
5.Error observasi (
i
d ) dependen terhadap
variabel independen sebenarnya yang tidak
terobservasi(
i
) .
6.
i
d independen terhadap
i
x .

Model Berkson dibagi menjadi dua tipe yaitu
model linier Berkson dan model nonlinier
Berkson. Akan tetapi, model linier dan model
nonlinier pada kasus Berkson memiliki definisi
yang berbeda dengan model linier dan model
nonlinier pada model regresi yang sudah biasa
dikenal. Pada model regresi yang sudah biasa
dikenal, kelinieran model regresi dilihat dari
kombinasi parameter model yang tidak diketahui
terhadap variabel dependen. Sedangkan
kelinieran dari model Berkson dilihat dari
kombinasi
i
terhadap variabel dependen
i
y .

3. PENAKSIRAN PARAMETER MODEL
LINIER BERKSON

Model linier Berkson adalah model linier dimana
variabel dependennya merupakan kombinasi linier
dari
i
, dimana
i
merupakan variabel
independen sebenarnya yang tidak terobservasi
(Berkson:1950).

Model linier Berkson :
( ; ) = +
i i i
y f e , =
i i i
x d , 1, 2,... = i n (3.1)
Dimana:

i
y : variabel dependen
: parameter model yang tidak diketahui

i
e : error model

i
x : variabel independen yang terobservasi

i
: variabel independen sebenarnya yang tidak
terobservasi

i
d : error observasi
dengan asumsi :
2
~ (0, )
i e
e Niid
2
~ (0, )
i d
d Niid
i
e independen dengan
j
d dimana 1, 2,... = i n ,
1, 2,... = j n .
Dengan mensubstitusi =
i i i
x d pada
persamaan (3.1), di dapat
i 0 1
y = + +
i i
x v (3.2)
dimana
1
=
i i i
v e d .


i
x dianggap fixed pada suatu nilai target.
1
=
i i i
v e d merupakan error baru pada model
(3.2) yang merupakan gabungan dari error model
dan error observasi. Oleh karena itu,
1
=
i i i
v e d independen terhadap
i
x karena
i
x
dianggap fixed .

Karena
1
=
i i i
v e d merupakan variabel random
sedangkan
i
x dianggap fixed maka kovariansinya
nol dan mengakibatkan
1
=
i i i
v e d dan
i
x tidak
berkorelasi. Dalam situasi ini, Berkson (1950)
menekankan bahwa metode ordinary least
squares dapat diaplikasikan dan dapat digunakan
untuk menaksir parameter model dengan hanya
mengabaikan error observasi
i
d .

Taksiran parameter model linier Berkson dicari
menggunakan metode ordinary least squares .
Persamaan least squares untuk (3.2) adalah
2
0 1
1
( , )
=
=

n
i
i
S v (3.3)

Taksiran least squares dari
0
dan
1
diperoleh
dengan meminimumkan fungsi least squares
0 1
( , ) S tersebut terhadap
0
dan
1
yaitu:
0 1
0 1
1 0
,

2 ( ) 0

= =


n
i i
i
S
y x (3.4)
Dan
0 1
0 1
1 1
,

2 ( ) 0

= =


n
i i i
i
S
y x x (3.5)
Penyederhanaan dari (3.4) dan (3.5) adalah
sebagai berikut :
0 1
1 1


= =
+ =

n n
i i
i i
n x y (3.6)
2
0 1
1 1 1


= = =
+ =

n n n
i i i i
i i i
x x y x (3.7)
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 165
Persamaan tersebut dinamakan least square
normal equations.
Dari least square normal equations didapat
taksiran least squares dari
0
dan
1
sebagai
berikut (Montgomery, et all., 2001)
0 1

= y x (3.8)

1

=
xy
xx
s
s
(3.9)
dimana
( )
1
( )
=
=

n
xy i i
i
s x x y y (3.10)
2
1
( )
=
=

n
xx i
i
s x x (3.11)
Solusi dari persamaan (3.9) adalah
1
2 1
1
( )

; =
( )

=
=

n
i
i i i n
i
i
i
x x
c y c
x x


Taksiran ordinary least squares dari
0
dan
1

di atas merupakan taksiran yang tak bias. Hal ini
dibuktikan oleh Fuller (1987, hal.81) melalui
teorema dibawah ini.

Teorema 1
Misalkan
0 1
= + +
i i i
y e , =
i i i
x d , 1, 2,... = i n
Dengan
2
~ (0, )
i e
e Niid ,
2
~ (0, )
i d
d Niid
i
e independen dari
j
d untuk semua i dan j, dimana
1, 2,... = i n dan 1, 2,... = j n .
dan
1 2
' ( , ,..., ) =
n
x x x x adalah vektor variabel
independen yang terobservasi. Pada lampiran 1
dibuktikan bahwa
1
2
1
1 1
0 1

( ) ( )( )

= =
(
=
(

=

n n
i i i
i i
x x x x y y
y x

adalah taksiran ordinary least squares dari
0

dan
1
yang memiliki :
( ) { }
( )
0 1 0 1

, , = E (3.12)
Dan
( )
{ }
1 2 1 2 1
2
0 1
2 1 1

,


| | +
=
|

\ .
T
xx xx
v
xx xx
n x A x A
x A A
v (3.13)
Dimana
( 1) =
xx xx
A n m ,
( )
2
1
1
1
=
=


n
xx i
i
m x x
n
,
1
=
i i i
v e d ,
2 2 2 2
1
= +
v e d

Selain taksiran dari
0
dan
1
, akan dicari juga
taksiran untuk
2
v
. Penaksiran dari
2

dibutuhkan untuk uji hipotesis dan membangun


interval taksiran yang berkaitan dengan model
regresi. Penaksir terbaik untuk
2
adalah
E
MS
yang didapat dari error sum of squares dibagi
dengan derajat bebasnya (n-2). Taksiran dari
2
v
adalah
( )
2
2 1
1
1

( 2)

=
(
=

n
v i i
i
n y y x x

KESIMPULAN

Berkson measurement error model merupakan
suatu error in variable model dimana variabel
independen sebenarnya yang tidak terobservasi
diasumsikan dependen terhadap error observasi
dan variabel independen yang terobservasi
dikontrol secara langsung oleh eksperimenter.

Parameter pada model linier Berkson ditaksir
menggunakan metode Ordinary Least Squares
(OLS) dan didapat taksiran parameter yang tak
bias.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Berkson, J.1950. Are There Two
Regression?, Journal of the American
Statistical Association 45, 164-180.
[2] Fuller,W.A.1987. Measurement Error
Models, New York :John Wiley & Sons.
[3] Montgomery,Douglas C. , Peck, Elizabeth
A., Vining G.Geoffrey.2001. Introduction to
Linear Regression Analysis. 3rd ed, New
York: John Wiley & Sons.

A. Pembuktian Teorema 1

Substitusikan persamaan (3.2) ke dalam
persamaan (3.8) sehingga di dapat

( ) 0 0 1 1

= v x
dengan mengubah bentuk
1

menjadi persamaan
berikut
( ) ( )( )
( ) ( )
1
2
1
1 1
1
2
1
1 1

= =

= =
(
=
(

(
=
(



n n
i i i
i i
n n
i i i
i i
x x x x y y
x x y x x

substitusikan
i 0 1
y = + +
i i
x v sehingga di
dapat
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 166
( )
2
1 1
1 1 1 1
1
2
1

= = = =
=
(
+
(

=
(

n n n n
i i i i i
i i i i
n
i
i
x x x v x v x
x x


Kemudian substitusikan
1 =

n
i
i
vx dan
1 =
+

n
i
i
vx
sehingga di dapat
( )( )
( )
2
1 1
1 1 1
1
2
1

= = =
=
(
+
(

=
(

n n n
i i i i
i i i
n
i
i
x x x x x v v
x x

Setelah itu substitusikan
1
1

=

n
i
i
x x dan
1
1

=
+

n
i
i
x x pada persamaan di atas, sehingga di
dapat
( ) ( )( )
( ) ( )( )
1
2
1 1
1 1
1
2
1 1
1 1

= =

= =
( | |
= +
| (
\ .
( | |
=
| (
\ .


n n
i i i
i i
n n
i i i
i i
x x x x v v
x x x x v v

Solusi dari persamaan di atas adalah
1 1
2 1
1
( )

; =
( )

=
=

n
i
i i i n
i
i
i
x x
c v c
x x

Selanjutnya akan dibuktikan bahwa
0 0


(
=

E
dan
1 1


(
=

E .
Sebelum membuktikan
0 0


(
=

E dan
1 1


(
=

E , akan dibuktikan terlebih dahulu
bahwa
1
0
=
=

n
i
i
c , dan | | 0 =
i
E v .

1 1 1
2 1 1
1
1 1 1
( )
( )
( )
1
0
= = =
= =
=
= = =

= =


= = =


n n n
i i n n
i i i i
i n
i i
xx xx
i
i
n n n
i i i
i i i
xx xx
x x x x
x x
c
S S
x x
x n x x n x
n
S S


1
1
0 .0
1
0

( (
=

( (
=

=
=
E v E e d
i i i
E e E d
i i

Akan dibuktikan
1 1


(
=

E
| |
| | | | | |
| | | | | |
1 1
2 1
1
1 1 1 1 2 2
1 1 1 1 2 2
1 1 1 1 2 2
1 1 1 2
1 1
1
( )

; =
( )

...

...

...

.0 .0 ... .0

=
=
(
(
=
(



(
= + + +

(
= + + +

(
= + + +

(
= + + +

(
=

n
i
i i i n
i
i
i
n n
n n
n n
n
x x
E E c v c
x x
E E c v c v c v
E E c v E c v E c v
E c E v c E v c E v
E c c c
E
E
1

(
=


Akan dibuktikan bahwa
0 0


(
=

E
( )
( )
| | ( )
0 0 1 1
0 0 1 1
1
0 0 1 1
1
0 0
0 0
0 0

1

1

0 .0







=
=
( (
=

(
(
=
(


(
=

(
=

(
=

(
=

n
i
i
n
i
i
E E v x
E E v x
n
E E v x
n
E x
E
E

Akan dibuktikan bahwa
( )
1 2
1

var

=
xx v
A dan
( ) ( )
1 2 1 2
0

var

= +
xx v
n x A
| |
| | | | | |
| | | | | |
1 1
2 1
1
1 1 1 1 2 2
1 1 1 2 2
2 2 2
1 1 1 2 2
2 2 2 2
1 1 2
( )

var var ; =
( )

var var ...

var var var ... var

var var var ... var

var ..


=
=
(
(
=
(



(
= + + +

(
= + + +

(
= + + +

(
= + +

n
i
i i i n
i
i
i
n n
n n
n n
v v
x x
c v c
x x
c v c v c v
c v c v c v
c v c v c v
c c
2 2
2
2
1
2 1
1
2
2 1
1 2
2
1
2
1
2
1
1 2
1
.
( )

var
( )
( )

var
( )
1

var
( )

var





=
=
=
=
=

+
| |
|

( |
=

|

|
\ .

(
=

| |

|
\ .
(
=

(
=

n v
n
i
v n
i
i
i
n
i
i
v
n
i
i
v n
i
i
xx v
c
x x
x x
x x
x x
x x
A

Selanjutnya akan dibuktikan
( ) ( )
1 2 1 2
0

var

= +
xx v
n x A
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 167
( ) ( ) ( )
( )
( )
( ) ( ) ( )
( ) ( )
( )
( )
( )
( )
( ) ( ) ( )
0 0 1 1
2
0 1 1 1 1
2
0 1 1
1
2 1 2
0 2
1
2 1 2
0 1 2 2
0 1 2 2

var var

var var var 2cov ,
1

var var var
1

var var
1

var var ...


1

var var var ... var






=
= +
| |
= +
|
\ .
| |
= +
|
\ .
= + + + +
= + + +

n
i
i
n
i xx v
i
n xx v
n
v x
v x v x
v x
n
v x A
n
v v v x A
n
v v v
n
( )
( )
( )
( ) ( )
2 1 2
2 2 2 2 1 2
0 2
2 2 1 2
0 2
2 2 1 2
0
1 2 1 2
0
1

var ...
1

var
1

var

var


+ (

( = + + + +

( = +

= +
= +
xx v
v v v xx v
v xx v
v xx v
xx v
x A
x A
n
n x A
n
x A
n
n x A

Kemudian akan dibuktikan bahwa
2 1 2
0 1

cov( , )

=
xx v
x A

( ) ( )
( )
0 1 0 1 0 1
0 1 0 1
1 1 0 1 0 1
2
1 1 1 1 0 1 0 1
2
1 1 1 1 0 1 0 1
1 2 2 2
1 1
1 2 2 2
1 1

cov( , )




0






( ( (
=

(
=

(
= +
(

(
= + +

( (
= + +

= + +
= +
=
xx v
xx v
E E E
E
E v x
E v x x
E v xE x
x A x
xA x x
1 2

xx v
xA





Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 169
PEMILIHAN FAKTOR PENYESUAI
DALAM METODE TAGUCHI

Dian Lestari
Departemen Matematika, FMIPA Universitas Indonesia

aurora@ui.ac.id


ABSTRAK

Robust design merupakan suatu metode yang penting untuk meningkatkan kualitas produk, terutama produk
manufaktur, dengan biaya seminim mungkin dan tidak sensitive terhadap gangguan. Pada prakteknya, metode ini
dapat diaplikasikan pada semua bidang. Metode Robust Design diperkenalkan oleh Genichi Taguchi pada tahun 80an
sehingga metode ini lebih dikenal sebagai Metode Taguchi. Dengan Metode Taguchi akan dicari kombinasi level dari
faktor-faktor kontrol yang mempengaruhi respon yang meminimalkan fungsi loss. Di dalam metodenya, Taguchi
menggunakan Signal-to-Noise ratio yaitu suatu ukuran yang didapat dari fungsi loss setelah memperhatikan
penyesuaian respon ke target. Selain itu digunakan rancangan fractional factorial yang oleh Taguchi disebut
orthogonal array. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana menemukan kombinasi level yang optimum dari faktor
kontrol untuk mendapatkan output/respon sesuai dengan target serta proses robust terhadap faktor pengganggu.
Untuk menjawab pertanyaan ini akan dilakukan dua langkah optimisasi. Langkah pertama adalah tahap reduksi
variansi. Langkah kedua adalah penyesuaian respon menuju target yang diinginkan dengan mencari faktor penyesuai.
Tulisan ini akan membahas kriteria untuk menyeleksi faktor penyesuai sehingga akan didapat produk yang sesuai
dengan target yang diharapkan.

Kata kunci: Robust design, Metode Taguchi, fungsi loss, Signal-to-Noise ratio, orthogonal array, faktor penyesuai


1. PENDAHULUAN

Robust design adalah suatu metode yang
dikembangkan oleh Genichi Taguchi pada tahun
1980an sehingga dikenal sebagai Metode
Taguchi. Metode ini pertama kali digunakan
untuk meningkatkan mutu produk manufaktur.
Pada awal kemunculannya di tahun 80an, tidak
banyak orang yang mengerti tentang metode
Taguchi. Kackar dan Hunter pada tahun 1985,
keduanya memberi sumbangan yang berarti pada
pemahaman tentang Metode Taguchi (Pignatiello,
1987). Keduanya berhasil menyajikan metode
Taguchi ke dalam bahasa yang dapat dimengerti
oleh orang-orang yang berkecimpung dalam
statistika pengendalian mutu sehingga metode ini
semakin lama semakin berkembang. Penerapan
dari metode Taguchi pun berkembang pada
bidang-bidang yang lain seperti biologi, jasa,
keuangan dan sebagainya. Suatu produk atau
proses dikatakan robust jika produk atau proses
tersebut tidak sensitive terhadap pengaruh dari
sumber gangguan walaupun sumber gangguan
tersebut tidak dihilangkan (Fowlkes & Creveling,
1995, p. 5). Berdasarkan hal tersebut maka robust
design adalah suatu proses untuk mendapatkan
produk dimana pengaruh gangguan dibuat
seminimal mungkin.

Secara garis besar, ada tiga permasalahan yang
diperkenalkan oleh Taguchi yaitu (1)
meminimumkan selisih respon terhadap nilai
target yang diinginkan, (2) meminimumkan
sensitivitas produk terhadap variasi yang
disebabkan komponen, (3) meminimumkan
sensitivitas produk terhadap variasi yang
disebabkan karena perubahan lingkungan. Ketiga
permasalahan tersebut disebut sebagai problem
penyesuaian ke target, problem robust terhadap
variasi komponen dan problem robust terhadap
variasi lingkungan (Box, 1988). Untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut, Taguchi
melakukan dua langkah optimasi. Langkah
pertama adalah tahap reduksi variansi. Langkah
kedua adalah penyesuaian respon menuju target
yang diinginkan dengan mencari faktor penyesuai.
Tulisan ini akan membahas kriteria untuk
menyeleksi faktor penyesuai sehingga akan
didapat produk yang sesuai dengan target yang
diharapkan.


2. KONSEP METODE TAGUCHI

Taguchi menggunakan beberapa konsep dalam
proses optimasi kualitas produk. Konsep-konsep
tersebut adalah: parameter design, fungsi loss,
Signal-to-Noise ratio, orthogonal array.

Parameter Design
Shi (2009) menggambarkan suatu proses
pembuatan produk secara diagram seperti yang
dapat dilihat pada gambar 1.

Respon/output dari suatu proses dinotasikan
dengan y. Respon/output dapat berupa produk
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 170
atau hasil yang ingin diamati. Dalam metode
Taguchi, respon ini disebut dengan karakteristik
mutu.


Faktor kontrol




Faktor Sinyal


Faktor Noise

Gambar 1: Proses produksi

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
karakteristik mutu. Taguchi meng-
klasifikasikannya menjadi 3 yaitu:
1. Faktor sinyal (signal factor) dinotasikan
dengan G. Faktor sinyal merupakan input
dari suatu produk yang level-levelnya sudah
tertentu.
2. Faktor Noise (noise factor atau faktor
pengganggu) dinotasikan dengan N. Faktor
noise adalah faktor yang mempengaruhi nilai
respon tetapi tidak dapat dikontrol.
3. Faktor kontrol, dinotasikan dengan Z. Faktor
kontrol adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi respon selain input dimana
keberadaannya dapat diketahui dan dapat
dikontrol.

Penyebab variabilitas dari faktor yang dapat
dikontrol umumnya dapat dihilangkan. Dalam
kenyataannya, walaupun penyebab variabilitas
sudah dapat dihilangkan, tetap saja masih terdapat
variabilitas. Jika hal ini terjadi maka sumber
utama dari variabilitas adalah faktor noise atau
faktor yang tidak dapat dikontrol. Untuk
menangani hal ini, Taguchi melibatkan faktor
noise dalam mengukur respon. Dalam proses
optimasi akan dicari level dari faktor kontrol yang
akan mengoptimumkan respon dengan tetap
memperhatikan faktor noise. Pencarian level dari
faktor kontrol ini oleh Taguchi disebut sebagai
parameter design atau perancangan parameter.
Level dari faktor kontrol dicari dengan cara
meminimumkan rata-rata fungsi loss.
Fungsi loss merupakan suatu fungsi yang
mengukur kerugian yang terjadi apabila kualitas
produk tidak sesuai dengan target. Berdasarkan
pandangan Taguchi, fungsi loss mutu mengukur
deviasi respon dari nilai target yang ditetapkan
walaupun respon tersebut masih berada dalam
batas spesifikasi. Dari fungsi loss akan didapat
Signal-to-Noise ratio atau S/N ratio. S/N ratio
digunakan untuk mengakomodir pengaruh dari
faktor noise. Di samping itu, S/N ratio juga
mengakomodir interaksi antara faktor kontrol jika
interaksi itu ada tetapi tidak diperhatikan.
Optimasi kualitas produk akan dilakukan dengan
memperhatikan S/N ratio ini. Berkaitan dengan
gambar 1 di atas maka S/N ratio merupakan statik
S/N ratio, artinya sistem akan dioptimasi pada
suatu nilai target. Di lain sisi, jika optimasi sistem
berada pada suatu range nilai maka S/N ratio
bertipe dinamik. Tulisan ini hanya membahas
kasus yang statik.

Fungsi loss mutu
Karakteristik mutu yang terukur dapat dibedakan
menjadi nominal-the-best, smaller-the-better, dan
larger-the-better (Peace, 1993).
Nominal-the-best mengacu pada karakteristik
dengan nilai target tertentu. Contohnya antara lain
yaitu: tinggi, panjang, diameter, volume.
Smaller-the-better mengacu pada karakteristik
dimana tujuan yang diinginkan adalah
meminimumkan nilai respon. Contohnya antara
lain yaitu: residu, pesent kontaminasi, kerusakan
produk.
Larger-the-better merupakan kebalikan dari
smaller-the-better. Tujuan yang diinginkan adalah
mendapatkan nilai respon yang semaksimum
mungkin. Contohnya antara lain yaitu: kekuatan,
vibrasi, ketahanan terhadap karat.
Tulisan ini hanya akan membahas karakteristik
mutu nominal-the-best.

Misalkan perusahaan memproduksi suatu barang
yang responnya diharapkan sesuai dengan suatu
nilai target tertentu. Apabila respon yang
dihasilkan menyimpang dari nilai target tersebut
maka simpangannya ini dapat diukur dengan
menggunakan suatu fungsi loss mutu.
Misalkan m adalah nilai target dari respon yang
ditetapkan dan y adalah nilai respon atau output
yang sebenarnya yang diukur dari produk. L(y)
adalah loss yang ditimbulkan akibat
penyimpangan nilai respon y terhadap nilai target
m. Semakin jauh y dari m maka loss semakin
bertambah.
Pendekatan fungsi loss didapat dengan
menggunakan ekspansi deret Taylor pada saat
y=m.

L(y) = L(m+y-m)
= L(m) + [L(m)/1!] [y-m]
+ [L(m)/2!][y-m]
2
+ (1)

Pada saat responnya adalah m maka tidak terjadi
loss sehingga L(m)=0. Fungsi loss menjadi
minimum pada saat y=m atau L(m)=0.

Maka dengan memperhatikan kondisi L(m)=0 dan
L(m)=0 dan dengan mengasumsikan bahwa
ekspansi ini diterapkan untuk situai dimana y
dekat dengan m maka didapat:
Proses
Respon
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 171

L(y) [L(m)/2!][y-m]
2
+ (2)

Dengan memisalkan [L(m)/2!] = k dan
mengabaikan suku dengan pangkat yang lebih
tinggi maka :

L(y) k[y-m]
2
(3)
Fungsi pada persamaan (3) ini disebut sebagai
fungsi loss mutu kuadrat (Fowlkes & Creveling,
1995).
Bilangan k pada persamaan (3) menyatakan suatu
konstanta ekonomi yang disebut sebagai koefisien
loss mutu (quality loss coefficient).
Misalkan total dari semua loss pada
0
m sama
dengan
0
A dollar, yaitu
( )
0
L y A = pada
0
y m =
Substitusi
0
m dan total loss
0
A pada
persamaan (3) maka didapat: ( )
2
0 0
/ k A = .

Fungsi loss dapat diaplikasikan pada satu bagian
atau satu produk saja atau pada rata-rata loss yang
berasal dari beberapa unit atau pengamatan. Jika
ada sejumlah n pengamatan maka rata-rata dari
loss mutu didapat dengan mendefinisikan rata-
rata dari keadaan yang tidak sesuai target [y-m]
2
.
Nilai rata-rata tidak sesuai target dinyatakan
sebagai mean square deviation (MSD).
Menurut Fowlkes & Creveling (1995), rata-rata
loss ( ) L y diberikan oleh

( ) ( ) L y k MSD =
(4)


dimana
( ) ( ) ( )
2 2 2
1 2
1
...
n
MSD y m y m y m
n
(
= + + +



( )
2
1
1
n
i
i
y m
n
=
=




( )
2 2
1
1
2
n
i i
i
y y m m
n
=
= +




( )
2 2
1
1
2
n
i
i
y ym m
n
=
= +



( )
2 2
2 2
1
1
2
n
i
i
y y y ym m
n
=
= + +



2 2
1
1
( ) ( )
n
i
i
y y y m
n
=
= +


( )
2
2
S y m = + (5)

Sehingga fungsi loss mutu untuk n pengamatan
adalah:

( ) L y k[S
2
+ ( y - m)
2
] (6)

dimana
n
y
y
n
i
i
=
=
1
dan S
2
=
2
1
1
( )
n
i
i
y y
n
=



Dengan bentuk fungsi loss mutu seperti
persamaan (6) di atas maka strategi untuk
mengoptimumkan respon adalah dengan cara
mereduksi MSD. Hal ini dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu:
1. Mereduksi variabilitas yang
menyebabkan dispersi data sekitar
y , ini berarti meminimumkan S
2
.
2. Menyesuaikan rata-rata respon y ke
target m, yaitu membuat
( y -m)
2
= 0.

Berdasarkan Fowlkes & Creveling (1995), dengan
mengalikan mean ( y ) dengan nilai dari scaling
ratio
m
y
| |
|
\ .
maka akan didapat mean yang sesuai
target setelah penyesuaian (adjustment).
|
|
.
|

\
|
=
y
m
y y
adj

Kalikan standar deviasi dengan scaling factor
untuk mendapatkan variasi setelah penyesuaian.

|
|
.
|

\
|
=
y
m
S S
adj

dan
2
2 2
|
|
.
|

\
|
=
y
m
S S
adj


Fungsi loss mutu setelah disesuaikan ke nilai
target

menjadi:
2 2
2
2
2
( ) [ ( ) ]
( 0)
adj adj adj
L y k S y m
m
k S
y
= +
= +

Dengan memisalkan km
2
= 1 (karena k dan m
adalah konstanta) maka didapat
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 172
2
2
) (
y
S
y L
adj
=
Berdasarkan rata-rata fungsi loss mutu maka S/N
ratio didefinisikan sebagai berikut:
S/N = -10 log
adj
y L ) (
= 10 log
2
2
S
y
(7)
(Box, 1988) dan (Fowlkes & Creveling, 1995).

Dari penjabaran di atas didapat bahwa
meminimumkan fungsi loss L(y) sama saja
dengan memaksimumkan S/N. Berdasarkan hal
ini maka strategi untuk mengoptimumkan respon
adalah menemukan faktor kontrol yang
memaksimumkan S/N. Strategi ini dikenal
sebagai langkah pertama dalam proses optimasi
Taguchi.


3. PEMILIHAN FAKTOR PENYESUAI
(ADJ USTMENT FACTOR)

Taguchi menerapkan dua langkah optimasi di
dalam metodenya. Langkah tersebut adalah:
1. Memaksimumkan S/N ratio untuk
meminimumkan pengaruh dari faktor noise.
2. Menyesuaikan mean respon ke nilai target.

Langkah pertama dilakukan dengan cara
mengidentifikasi faktor kontrol-faktor kontrol
yang mempunyai efek yang besar pada nilai S/N,
dan kemudian memilih level dari faktor kontrol
yang memaksimumkan nilai S/N. Level dari
faktor kontrol akan tetap optimal walaupun target
dirubah (Leon & Wu, 1992). Untuk mendapatkan
level dari faktor kontrol yang seperti ini caranya
adalah dengan memeriksa efek faktor kontrol
terhadap nilai S/N. Nilai S/N ratio yang besar
menunjukkan bahwa variasinya kecil sehingga hal
ini menunjukkan bahwa faktor kontrol dengan
nilai S/N yang besar akan mengakibatkan proses
tidak sensitive terhadap noise.

Langkah yang kedua dilakukan dengan cara
mengidentifikasi faktor kontrol yang mempunyai
efek yang besar pada mean respon tetapi
mempunyai efek yang kecil pada nilai S/N. Untuk
mendapatkan faktor kontrol yang seperti ini dapat
dilakukan dengan memeriksa efek faktor kontrol
terhadap rata-rata respon.

Berdasarkan kedua langkah tersebut maka faktor
kontrol dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Faktor kontrol yang mempengaruhi S/N dan
juga mean respon sekaligus. Faktor kontrol
yang seperti ini digunakan untuk
meminimumkan efek noise.
2. Faktor kontrol yang mempengaruhi mean
respon tetapi tidak mempengaruhi S/N.
3. Faktor kontrol yang mempengaruhi S/N
tetapi tidak mempengaruhi mean respon.
4. Faktor kontrol yang tidak mempengaruhi
S/N maupun mean respon. Faktor kontrol ini
dipilih pada level yang akan membuat biaya
menjadi paling murah.

Faktor penyesuai adalah faktor kontrol yang
digunakan untuk menyesuaikan respon menuju
nilai target yang diinginkan. Suatu faktor yang
terlalu sensitive terhadap keberadaan noise akan
menimbulkan kesukaran ketika digunakan untuk
merubah mean respon karena faktor ini akan
meningkatkan variabilitas. Oleh karena itu faktor
penyesuai yang akan dipilih adalah faktor kontrol
yang mempunyai efek yang kecil terhadap nilai
S/N. Dari faktor kontrol yang mempunyai efek
yang kecil terhadap nilai S/N kemudian
diidentifikasi yang mana yang mempunyai efek
yang besar terhadap mean respon. Hal ini
dikarenakan untuk menyesuaikan respon ke nilai
target diperlukan suatu faktor yang sensitive
terhadap mean respon tetapi tidak sensitive
terhadap variabilitas. Dari beberapa faktor kontrol
yang mempunyai efek yang kecil terhadap nilai
S/N tetapi mempunyai efek yang besar terhadap
mean respon akan dipilih level yang
memaksimumkan nilai target.

Jadi kriteria yang digunakan untuk mendapatkan
faktor penyesuai adalah dengan cara
mengidentifikasi faktor kontrol yang mempunyai
efek yang besar terhadap mean respon tetapi
mempunyai efek yang kecil terhadap nilai S/N.

Orthogonal Array

Untuk dapat menentukan faktor kontrol mana
yang mempengaruhi S/N ratio dan mean respon
maka harus dibuat suatu rancangan percobaan.
Dalam metodenya, Taguchi menggunakan suatu
rancangan fraksional faktorial yang oleh Taguchi
disebut sebagai orthogonal array. Rancangan
fraksional faktorial merupakan suatu rancangan
yang dapat mengurangi biaya dan waktu
percobaan karena hanya sebagian dari kombinasi
level yang diperhatikan. Orthogonal array
dinyatakan dengan
( )
C
A
L B . Indeks dari L yaitu
A menyatakan banyaknya run dalam percobaan. B
menyatakan banyaknya level dari masing-masing
kolom. C menyatakan banyaknya kolom yang
tersedia dalam orthogonal array.

Menurut Peace (1993), Taguchi menggunakan
orthogonal array tidak hanya untuk mengukur
pengaruh dari faktor yang diselidiki berdasarkan
rata-rata hasilnya tetapi juga untuk menentukan
variasi dari rata-ratanya. Masing-masing efek
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 173
individual dapat dipelajari dan dianalisis tanpa
harus terkontaminasi oleh efek utama yang lain
atau oleh interaksi yang diselidiki.

Untuk mendapatkan orthogonal array yang sesuai
dengan permasalahan akan dicari orthogonal
array yang sekecil mungkin yang masih dapat
memberikan cukup informasi untuk analisis yang
menyeluruh dan kesimpulan yang valid. Untuk
maksud tersebut digunakan konsep derajat bebas
(degrees of freedom). Misalkan terdapat 6 faktor
(A, B, C, D, E, F) yang masing-masing
mempunyai 2 level. Diduga terdapat interaksi
antara faktor A dan faktor B. Derajat bebas untuk
faktor utama adalah: 6x(2-1)=6. Derajat bebas
untuk faktor interaksi adalah (2-1)x(2-1)=1. Jadi
derajat bebas totalnya adalah 6+1=7. Orthogonal
array yang sesuai untuk kasus tersebut adalah
( )
7
8
2 L karena orthogonal array tersebut
mempunyai derajat bebas 7x(2-1)=7. Orthogonal
arraynya dapat dilihat pada gambar 2.


Run\kolom 1 2 3 4 5 6 7
1 1 1 1 1 1 1 1
2 1 1 1 2 2 2 2
3 1 2 2 1 1 2 2
4 1 2 2 2 2 1 1
5 2 1 2 1 2 1 2
6 2 1 2 2 1 2 1
7 2 2 1 1 2 2 1
8 2 2 1 2 1 1 2
Gambar 2:
( )
7
8
2 L Orthogonal array

Orthogonal mempunyai arti seimbang (balanced)
dan tidak bercampur (not mixed) (Peace, 1993).
Orthogonal berarti independen secara statistik. Di
dalam orthogonal array, setiap level muncul
dalam jumlah yang sama dalam masing-masing
kolom atau dapat dikatakan bahwa setiap kolom
orthogonal dengan kolom yang lainnya.
Berdasarkan hal ini maka taksiran dari efek dari
suatu faktor tidak mengandung pengaruh dari
faktor yang lain. Untuk setiap kolom dalam array
pada gambar 2, level 1 muncul empat kali dan
level 2 juga muncul empat kali.

Keuntungan lain dari orthogonal array adalah
hemat biaya. Meskipun seimbang (balanced),
rancangan dari orthogonal array tidak
memerlukan semua kombinasi dari semua faktor
untuk diuji. Orthogonal array untuk faktor
kontrol disebut Inner array, sedangkan
orthogonal array untuk faktor noise disebut Outer
array. Gabungan dari keduanya disebut Crossed
array.



4. CONTOH APLIKASI

Contoh diambil dari buku Taguchi Methods: A
Hands-On Approach oleh Peace (1993).
Sebuah perusahaan pemotongan kayu ingin
meningkatkan mutu dari produknya. Berkaitan
dengan tujuan tersebut diinginkan agar
variabilitas panjang kayu yang dihasilkannya
berkurang dan panjang kayu yang dihasilkan
mendekati panjang target yaitu 36,00 inchi.
Berikut ini adalah faktor kontrol dan faktor noise
yang diperhatikan.

Faktor kontrol: Level 1 Level 2
Blade metal(A) carbon steel tungsten steel
Saw rpm(B) low high
Wood kiln tm(C) 1 month 3 months
Motor hrspwr(D) 2 hp 3 hp
Saw fnc angle(E) 0 degrees 12 degrees
Operator (F) Bill John

Interaksi: blade metal x saw rpm

Faktor noise : Level 1 Level 2
Wood surc(M) northern southern
Blade age(N) new 20 000 units

Berdasarkan derajat bebas yang diperoleh yaitu
6x(2-1)+(2-1)x(2-1)=7 maka orthogonal array
( )
7
8
2 L dipilih untuk inner array. Karena faktor
noise memerlukan 4 kombinasi (M
1
N
1
, M
1
N
2
,
M
2
N
1
, M
2
N
2
) maka outer array yang sesuai
adalah L
4
.

Crossed array beserta hasil percobaan yang
dinyatakan dengan nilai S/N ratio dan mean
respon untuk setiap kombinasi level dapat dilihat
dalam tabel 1.

Tabel 1: Crossed Array dengan Nilai S/N
Ratio dan Mean Respon

Run A B AB C D E F
1 1 1 1 1 1 1 1
2 1 1 1 2 2 2 2
3 1 2 2 1 1 2 2
4 1 2 2 2 2 1 1
5 2 1 2 1 2 1 2
6 2 1 2 2 1 2 1
7 2 2 1 1 2 2 1
8 2 2 1 2 1 1 2










Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 174
Lanjutan:
Ru
n
M1N
1
M1N
2
M2N
1
M2N
2
y
S/N
1 35.675 36.42 34.805 35.69 35.64
8
34.64
5
2 35.72 35.695 35.80 36.76 35.99
4
36.92
4
3 35.83 36.275 36.13 34.145 35.59
5
31.16
4
4 35.655 35.025 36.22 35.57 35.61
8
37.24
9
5 35.805 36.47 35.22 34.765 35.56
5
33.65
6
6 36.68 36.115 36.78 36.995 36.64
3
39.78
7
7 36.87 36.255 36.985 36.35 36.61
5
40.00
2
8 35.54 35.255 35.24 36.125 35.54
0
38.68
4

Untuk mendapatkan nilai y untuk run 1 caranya
adalah: (35.675 + 36.42 + 34.805 + 35.69)/4 =
35.648. Analog untuk run yang lain. Sedangkan
untuk keseluruhan didapat y = 35.902.
Untuk mendapatkan nilai S/N untuk setiap run
digunakan persamaan 7.

Dari tabel di atas kemudian dicari efek dari setiap
faktor kontrol terhadap nilai S/N ratio. Caranya
adalah dengan mencari selisih nilai S/N dari level
masing-masing faktor kontrol.

Mencari faktor kontrol dengan S/N ratio
terbesar

Tabel 2: Efek Faktor Kontrol Terhadap
Nilai S/N Ratio.

Lvl A B AB C
1 34.996 36.253 37.564 34.867
2 38.032 36.775 35.464 38.161
Efek 3.036 0.522 2.100 3.294

Lanjutan:
Lvl D E F
1 36.070 36.059 37.921
2 36.958 36.969 35.107
Efek 0.888 0.910 2.814

Dari tabel 2 di atas didapat bahwa faktor kontrol
yang mempunyai efek besar terhadap nilai S/N
ratio adalah faktor C, A dan F.

Karena semakin besar S/N ratio berarti robustness
juga semakin besar maka akan dipilih level
dengan nilai S/N tertinggi. Terpilihlah A2 (faktor
A dengan level 2), C2 (faktor C dengan level 2),
dan F1 (faktor F dengan level 1) yang
memaksimumkan nilai S/N.

Mencari faktor penyesuai

Untuk mencari faktor yang akan menyesuaikan
respon ke nilai target, akan dicari terlebih dahulu
efek dari masing-masing faktor kontrol terhadap
mean respon. Caranya adalah dengan mencari
selisih nilai mean respon dari level masing-
masing faktor kontrol.

Tabel 3: Efek Faktor Kontrol Terhadap
Mean Respon

Lvl A B AB C
1 35.714 35.963 35.949 35.856
2 36.091 35.842 35.855 35.949
Efek 0.377 0.121 0.094 0.093

Lanjutan:
Lvl D E F
1 35.857 35.593 36.131
2 35.948 36.212 35.674
Efek 0.091 0.619 0.457

Dari tabel 3 di atas terlihat bahwa faktor yang
mempunyai efek terbesar terhadap mean respon
adalah faktor E, kemudian diikuti oleh faktor F
dan A.

Faktor yang mempengaruhi variasi dan juga mean
respon merupakan faktor yang mereduksi variasi.
Faktor tersebut adalah faktor A dan F. Karena
faktor E adalah satu-satunya faktor yang
mempengaruhi mean respon tetapi tidak
mempengaruhi nilai S/N maka faktor E tersebut
merupakan faktor penyesuai. Selanjutnya akan
dicari level dari faktor E yang akan membawa
respon ke nilai target yang diinginkan.

Sudah diketahui bahwa faktor A, E dan F
mempunyai efek yang besar terhadap mean
respon. Berdasarkan hal tersebut maka taksiran
untuk persamaan meannya adalah:

( ) ( ) ( ) 2 ? 1 y A y E y F y = + + +
2 ? 1 2 A E F y = + +
( ) ? 36.091 36.131 2 35.902 E x = + +
? 0.418 E = +

Nilai target yang diinginkan oleh perusahaan
adalah 36.00 inchi, maka

=36.00, sehingga
didapat ? E =35.592.

Dari Tabel 3 didapat bahwa rata-rata respon pada
level rendah dari faktor E adalah 35.593,
sedangkan rata-rata respon pada level tingginya
adalah 36.212. Karena rata-rata respon dari faktor
E yang mendekati nilai target berada pada level
rendah maka faktor penyesuai yang dipilih adalah
faktor E dengan level rendah.

Karena faktor D dan B tidak mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap variasi maupun
mean respon maka level yang akan membuat
biaya produksi murah akan dipilih. Untuk itu
maka level yang rendah (2 hp) yang dipilih untuk
faktor D karena lebih murah. Untuk faktor B akan
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 175
dipilih gergaji dengan level rendah karena bahan
bakar yang digunakan lebih sedikit dibanding
gergaji dengan level tinggi.

Supaya perusahaan dapat memproduksi kayu
dengan panjang sesuai target (36.00 inchi) dengan
variabilitas yang kecil serta tidak sensitive
terhadap gangguan dan dengan biaya yang rendah
maka dipilih
1. Faktor Blade metal(A) pada level(2)
2. Faktor Wood kiln tm (C) pada level (2)
3. Faktor Saw fnc angle (E) pada level (1)
4. Faktor Operator (F) pada level (1)
5. Faktor Motor hrspwr (D) pada level (1)
6. Faktor Saw rpm (B) pada level (1)


5. KESIMPULAN

Dalam mendapatkan proses produksi yang
optimal, Taguchi menggunakan suatu nilai yang
disebut Signal-to-Noise ratio (S/N ratio). Dengan
menggunakan level dari faktor kontrol yang
memaksimumkan nilai S/N ratio maka akan
didapat proses produksi yang tidak sensitive
terhadap gangguan. Dalam sisi yang lain, untuk
mendapatkan respon yang mendekati target,
Taguchi menggunakan faktor penyesuai
(adjustment factor). Kriteria yang digunakan oleh
Taguchi dalam mengidentifikasi faktor penyesuai
adalah besarnya efek dari faktor tersebut terhadap
nilai S/N ratio dan mean respon. Faktor penyesuai
yang dipilih adalah faktor kontrol yang
mempunyai efek yang minimum terhadap nilai
S/N ratio tetapi mempunyai efek yang maksimum
terhadap mean respon. Hal ini dikarenakan untuk
menyesuaikan respon ke nilai target diperlukan
suatu faktor yang sensitive terhadap mean respon
tetapi tidak sensitive terhadap variabilitas.

Untuk mendapatkan faktor kontrol-faktor kontrol
yang seperti ini, Taguchi melakukan suatu
percobaan yang hemat biaya yang oleh Taguchi
disebut sebagai orthogonal array. Jadi dengan
menggunakan metode Taguchi maka akan didapat
kombinasi level dari faktor kontrol yang akan
mengoptimalkan proses produksi dengan biaya ,
waktu dan tenaga sehemat mungkin.











DAFTAR PUSTAKA

[1] Box, George. 1988. Signal-to-Noise Ratios,
Performance Criteria, and Transformations,
Technometrics, Vol. 30, No. 1, p.1-17.
[2] Fowlkes, William Y. and Clyde M. Creveling.
1995. Engineering Methods for Robust
Product Design. Massachusetts: Addison-
Wesley.
[3] Leon, R.V. and C.F.J. Wu. 1992. A Theory
of Performance Measures in Parameter
Design, Statistica Sinica 2, p. 335-358.
[4] Montgomery, Douglas C. 1997. Design and
Analysis of Experiments, 4
th
ed. New York:
John Wiley & Sons.
[5] Peace, Glen Stuart. 1993. Taguchi Methods:
A Hands-On Approach. Massachusetts:
Addison-Wesley.
[6] Pignatiello, Joseph J. and John S. Ramberg.
1987. [Performance Measures Independent
of Adjustment]: Discussion, Technometrics
Vol. 29, No. 3, p. 274 277.
[7] Shi, Lihui. 2009. Robust Design and Two-
Step Optimization.
http://courses.washington.edu. 1 Desember
2009, pk. 10.20.

Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 177
PERBANDINGAN DIAGRAM KONTROL RESIDUAL VAR & VARX
UNTUK PENGAMATAN BERAUTOKORELASI YANG MENGANDUNG
OUTLIER

Faula Arina
Jurusan Teknik Industri UNTIRTA

faulaarina@ yahoo.com


ABSTRAK

Terdapat sebuah metode baru untuk mengontrol target proses pada kasus multivariat yang pengamatannya
berautokorelasi berbasis model multivariat time series dan klasifikasi pengamatannya individual menggunakan
statistik T
2
Hotelling. Yaitu Diagram Kontrol Residual VAR dan VARX. Pada pengamatan yang mengandung outlier
pemodelan VAR diduga menghasilkan estimasi parameter yang tidak robust. VARX adalah salah satu metode yang
dapat digunakan untuk memodelkan pengamatan berautokorelasi yang mengandung outlier. Pemodelan VAR atau
VARX pada fase 1 dalam rangka mendapatkan penaksir parameter sebagai acuan untuk mengontrol proses pada fase
2. Dengan demikian model yang menghasilkan penaksir parameter yang robust merupakan salah satu aspek penting
dalam pemodelan di fase 1. Penelitian ini membandingkan diagram kontrol multivariat untuk pengamatan
berautokorelasi yang mengandung outlier berdasarkan residual VAR dan VARX dengan menggunakan data
simulasi. Melalui kajian simulasi akan dipelajari efek outlier pada metode penaksir parameter model VAR yaitu
metode Least Square (LS) dan Maximum Likelihood (MLE), sifat penaksir parameter model VARX, prosedur
pemodelan VARX pada data yang mengandung outlier dan membandingkan model VAR dan VARX. Dari hasil
kajian simulasi menunjukkan bahwa model VARX merupakan pemodelan terbaik pada pengamatan yang
mengandung outlier di fase 1 di banding model VAR. Model terbaik adalah model dengan penaksir parameter robust
terhadap outlier dan diagram kontrol residual fase 1 pada kondisi in control.

Kata kunci : VAR, VARX, outlier, robust, in control


1. PENDAHULUAN

Diagram kontrol multivariat untuk pengamatan
berautokorelasi adalah suatu diagram kontrol
untuk proses yang memerlukan pengendalian
bersama-sama secara simultan terhadap beberapa
variabel yang berkaitan, baik pada waktu
pengamatan yang sama atau berbeda. Menurut
Mason proses autokorelasi merupakan
karakteristik dari proses yang kontinu pada
industri kimia[1]. Pada diagram kontrol
multivariat untuk pengamatan berautokorelasi ada
dua pendekatan. Pertama pendekatan berbasis
model dan kedua pendekatan bebas model.
Pendekatan bebas model dikemukakan oleh
Mason yang mengontrol pengamatan
berautokorelasi dengan melakukan modifikasi
terhadap diagram kontrol
2
T Hotelling dan
mengidentifikasi pengamatan berautokorelasi
mempunyai pola sistematik yaitu berbentuk single
bowl untuk periode yang panjang[1].

Metode pengontrolan target proses multivariat
untuk pengamatan yang memiliki autokorelasi
berbasis model, akhir-akhir ini berkembang pesat.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Theoossiou
yang menggunakan diagram kontrol MCUSUM
untuk data time series dengan menggunakan data
simulasi VAR(1) dengan dua variabel[2]. Dan
menggunakan diagram kontrol multivariat
EWMA pada proses dua dimensi AR(1) [3].
menggunakan diagram kontrol VSS (Vector State
Space) berbasis model state space menggunakan
statistik
2
T Hotelling untuk data multivariat time
series [4], sedangkan Kalgonda mendeteksi
kondisi tidak terkendali dan mengidentifikasi
variabel pada kondisi tidak terkendali berbasis
model VAR(1) menggunakan diagram kontrol Z
[5].

Pada Jarret menggunakan diagram kontrol
residual VAR (Vector Autoregressive) yaitu
berbasis model VAR dengan pengontrolan target
proses dan klasifikasi pengamatannya individual
menggunakan statistik
2
T Hotelling [6].
Implementasi diagram kontrol residual VAR pada
Jarret dilakukan pada dua fase yaitu fase 1 dan
fase 2. Fase 1 yaitu data masa lalu yang
mengandung outlier dan belum stasioner dalam
mean, dimodelkan VAR yang menghasilkan
penaksir parameter sebagai acuan untuk
mengontrol proses pada fase 2 dan membuat
diagram kontrol dengan menggunakan residual
model VAR[6]. Kemudian jika terdapat out of
control maka residual tersebut harus dibuang agar
proses dalam kondisi in control. Setelah kondisi
proses in control maka langkah selanjutnya
adalah mengestimasi rata-rata residual dan
matriks kovariansi residual sebagai acuan untuk
mengontrol proses pada fase 2. Pada fase 2
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 178
dilakukan pengontrolan data masa datang dengan
menggunakan penaksir parameter model, rata-rata
residual dan matriks kovariansi residual yang
diperoleh pada fase 1.

Pemodelan VAR pada data yang mengandung
outlier menurut Serena diduga menghasilkan
estimasi parameter yang tidak robust. VARX
adalah salah satu metode yang dapat digunakan
untuk memodelkan data time series multivariat
yang mengandung outlier [7]. Pemodelan VAR
pada fase 1 di diagram kontrol residual adalah
dalam rangka mendapatkan penaksir parameter
untuk mengontrol proses pada fase 2. Dengan
demikian model yang menghasilkan penaksir
parameter yang robust merupakan salah satu
aspek penting dalam pemodelan di fase 1.

Berdasarkan hasil penelitian Jarret [6], penelitian
ini dengan kajian simulasi akan dipelajari efek
outlier pada penaksir parameter model VAR yaitu
metode Least Square (LS) dan Maximum
Likelihood (MLE), sifat penaksir parameter model
VARX, prosedur pemodelan VARX pada data
yang mengandung outlier dan membandingkan
model VAR dan VARX. Model terbaik jika
penaksir parameter robust terhadap outlier dan
diagram kontrol residual fase 1 pada kondisi in
control.

2. Model VAR

Model VAR adalah suatu pendekatan peramalan
kuantitatif yang biasanya diterapkan pada data
time series yang multivariat. Model ini
menjelaskan keterkaitan antar pengamatan pada
variabel tertentu pada suatu waktu dengan
pengamatan pada variabel itu sendiri pada waktu-
waktu sebelumnya dan juga keterkaitannya
dengan pengamatan pada variabel lain pada
waktu-waktu sebelumnya [8]. Bentuk umum dari
model VAR(p) adalah

= +
1

1
++

(1)

dengan 1, 2, , t n = ; m = banyaknya
variabel ; p = order VAR; B = backshift
operator,
, , ,
( ) '
t 1 t 2 t m t
, , , y = y y y adalah
vektor variabel y berukuran ( 1), m
= ( , , , ) '
1 2 m
c c c c adalah vektor konstan
berukuran ( 1), m
, , ,
( , , , ) '
t 1 t 2 t m t
e = e e e
adalah vektor error berukuran ( 1), m
diasumsikan ~
t
e IIDN ( , ) 0

dan
( )
t t
E = e e dan adalah koefisien model
VAR, matriks ( ). m m


Proses VAR akan stasioner jika akar-akar dari

m

1

=

berada diluar
lingkaran satuan atau ekuivalen dengan akar-
akar

m

1

=

, 1
i
<
berada di dalam lingkaran satuan.

2.1 Identifikasi Model VAR

Langkah-langkah identifikasi dalam model VAR
sebagai berikut :
a) Membuat plot data time series dan pilih
transformasi yang sesuai jika data tidak
stasioner dalam varian dan atau differencing
jika data tidak stasioner dalam mean.
b) Membuat plot MACF dan MPACF untuk
menentukan order VAR(p).

Identifikasi model dilakukan berdasarkan pola
matriks fungsi korelasi sampel (MACF) dan
matriks fungsi korelasi parsial sampel
(MPACF). Selain itu penentukan order(p) juga
mempertimbangkannilai Akaike Information
Criterion (AIC). Dipilih nilai
p
AIC yang
paling minimum. Perhitungan nilai
p
AIC atau
AIC pada VAR(p) adalah:

( )
2
2

ln
( )
p p
pm
AIC
n p
= +

(2)
dengan

p
merupakan matriks kovariansi
residual VAR order p.

2.2 Estimasi Parameter VAR

Dalam menaksir parameter model VAR(p), ada
dua metode yang dapat dilakukan, yaitu metode
Maximum Likelihood (MLE) dan metode Least
Squares (LS) [9]. Salah satu metode estimasi
yaitu metode Maximum Likelihood (MLE).
Metode ini biasanya digunakan untuk menaksir
parameter suatu model yang diketahui fungsi
densitasnya. Dengan memaksimumkan fungsi
likelihood. Untuk mengestimasi parameter VAR
yaitu ( ) = , persamaan (1) menjadi

(3)

dengan ' berukuran ( 1), m mp + dan
(1, , , , )
'
t t -1 t -2 t - p
= x y y y berukuran
1 ( 1), mp + dan

~ +
1

1
+
2

2
+
+

),
Fungsi densitas untuk pengamatan
t
y adalah
1 2
2 1 1
( ) (2 ) exp ( 1 2) ( ' ) ' ( ' )
m
t t t t t
f

( =

y y x y x
(4)
Dengan mengambil n sampel random dari
pengamatan
1 2 n
y , y ,..., y diperoleh fungsi
likelihood adalah
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 179
1 2
2 1 1
1

( , ) (2 ) exp ( 1 2)( ' ) ' ( ' )
n
m
t t t t
t
L

=
( =

y x y x

dan fungsi log likelihood adalah
1 1
1

log ( , ) ( 2) log (2 ) ( 2) log (1 2) ( ' ) ' ( ' )
n
t t t t
t
L nm n

=
( = +

y x y x

Berdasarkan prinsip dari metode MLE, penaksiran
dan dengan memaksimumkan fungsi log
likelihood. Hal ini dilakukan dengan
menurunkan fungsi log likelihood terhadap
dan
1
sama dengan nol. Memaksimumkan
fungsi log likelihood terhadap menghasilkan

log ( , )
0
L
=


1 1
1
( 2) log(2 ) ( 2) log (1 2) ( ' ) ' ( ' )
0
n
t t t t
t
nm n

=
(
( +
(

=


y x y x

.
1
1
( ' ) ' ( ' )
0
n
t t t t
t

=
(
(
(

=

y x y x


Misal
1
1
( ' ) ' ( ' )
n
t t t t
t
Q

=
( =

y x y x


1
1

( ' ' ' ) ' ( ' ' ' )
n
t t t t t t t t
t

=
( = + +

y x x x y x x x


1
1

( ( ) ' ) ' ( ( ) ' )
n
t t t t
t

=
(
= + +

e x e x


' ' 1 1 1
1 1 1

2 ( ) ' '( ) ( ) '
n n n
t t t t t t
t t t

= = =
= + +

e e e x x x


' ' 1 1 1
1 1 1

2 ( ) ' '( ) ( ) '
n n n
t t t t t t
t t t
tr tr tr

= = =
( ( (
= + +
( ( (


e e e x x x
.
Diketahui
' ' 1 1
1 1

( ) ' ( ) '
n n
t t t t
t t
tr tr

= =
( (
=
( (


e x x e
. Karena residual sampel adalah ortogonal,
'
1
0
n
t t
t =
=

x e , sehingga
' 1 1
1 1

'( ) ( ) ' .
n n
t t t t
t t
Q tr tr

= =
( (
= +
( (


e e x x
.
adalah matrik definit positif maka
1

ada. Misal
'

* ( )
t t
= x x dan * 0
t
= x
maka

= . Dengan regresi '


t t
= + y x e
estimasi LS diperoleh nilai taksiran parameter
untuk dari model VAR(p) adalah (Hamilton,
1994)
1
1 1

n n
' '
t t t t
t t

= =
( (
=
( (


' y x x x
. (5)
Dengan cara yang sama, operasi turunan terhadap
1
adalah [9]
1

log ( , )
0
L


1 1
1
1
( 2) log(2 ) ( 2) log (1 2) ( ' ) ' ( ' )
0
n
t t t t
t
nm n

=

(
( +
(

=


y x y x


( )
1 1
1
1
( 2) log 1 2 ( ' ) ' ( ' )
0
n
t t t t
t
n

=

(
(
(

=

y x y x


( )
1
1
1
1 1
1 2 ( ' ) ' ( ' )
log
( 2) 0
n
t t t t
t
n

=

(

=

y x y x



| |
1
( 2) ' (1 2) ( ' ) '( ' ) 0
n
t t t t
t
n
=
=

y x y x

| |
1
1

' ( ' ) '( ' )


n
t t t t
t
n
=
=

y x y x


Sehingga didapatkan nilai taksiran sebagai berikut

1
1

' '
n
t
n
=
=
t t
e e (6)

Metode estimasi parameter MLE akan sama
dengan estimasi parameter metode Least Squares
jika asumsi vektor error berdistribusi multivariat
normal dan bersifat asimtotis [9].

2.3 Uji Diagnostik pada Model VAR

Uji diagnostik dapat dibagi ke dalam dua bagian,
yaitu uji signifikansi parameter dan uji kesesuaian
model (terdiri dari uji asumsi multivariate white
noise) dan distribusi multivariat normal dari
residual.

i) Uji Signifikansi Parameter

Model VAR yang baik adalah model yang
parameternya signifikan, atau nilai parameternya
berbeda dengan nol. Secara umum, jika
. i jk

adalah suatu parameter dari VAR,
1, 2, , i p = dan 1, 2, , j m = serta
1, 2, , . k m =
.

i jk
adalah nilai taksiran
dari parameter tersebut, serta
i. jk

SE( ) adalah
standar error dari nilai taksiran
.

i jk
, maka uji
signifikan parameter dapat dilakukan sebagai
berikut



Hipotesis
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 180
H
0
:
i . jk
0 = atau parameter model VAR
sama dengan nol
H
1
:
i . jk
0 atau parameter model VAR
tidak sama dengan nol

Statistik Uji t

i. jk
hit
i. jk

SE( )

= (7)
H
0
ditolak jika nilai
hit/2,df =n-M
t >t , dengan M
= banyaknya parameter atau dengan
menggunakan nilai-p (p-value), yaitu tolak H
0
jika
p-value < , dengan adalah tingkat
signifikansi kesalahan.

ii) Uji Kesesuaian Model

Uji kesesuaian model meliputi kecukupan model
(uji apakah residual memenuhi multivariat white
noise) dan uji asumsi distribusi multivariat normal
dari residual.

1) Uji Multivariat White Noise dari residual

Uji multivariate white noise dilakukan untuk
melihat apakah residual dari model sudah tidak
berkorelasi satu dengan yang lainnya, dengan uji
Portmanteau [10]. Uji multivariat white noise dari
residual dapat dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut :
H
0
: ( ' )
t t i
E

= e e 0 , atau model sudah
memenuhi syarat white noise
H
1
: minimal ada satu ( ' )
t t i
E

e e 0,
1, , i h p = > atau model belum
memenuhi syarat white noise
dengan statistik uji sebagai berikut [10]

' 1 1
0 0
1

( )
h
h j j
j
Q n tr C C C C

=
=

, (8)

i

C diperoleh dari persamaan


1
1

' .
n
i t t i
t i
C n

= +
=

e e
.
Kaidah pengambilan keputusan: Tolak H
0
jika
2
h
Q > dengan derajat bebas
2
( ). m h p
Derajat bebas
2
diperoleh dari [10] =
banyaknya autokorelasi banyaknya estimasi
koefisien
2 2
. m h m p =




2) Uji Asumsi Residual Berdistribusi Multivariat
Normal

Asumsi yang harus dipenuhi dalam pemodelan
VAR adalah residual yang memiliki distribusi
multivariat normal. Pemeriksaan distribusi
multivariat normal dapat dilakukan dengan cara
membuat q-q plot dari nilai
2
t
d [11].

( )
2 1

( ) ' ( ) , 1, ...,
t t t
d t n

= = e e e e
(9)

Hipotesis yang digunakan adalah.
H
0
: residual berdistribusi multivariat normal
H
1
: residual tidak berdistribusi multivariat normal
H
0
diterima jika lebih dari 50% nilai
2 2
,0.5 t m
d

3. Diagram Kontrol Residual VAR

Diagram kontrol residual VAR (Vector
Autoregressive) adalah diagram kontrol berbasis
model VAR berdasarkan pengamatan individual
pada proses multivariat yang autokorelasi dari m
variabel [12]. Implementasi diagram kontrol
residual VAR yang dilakukan Jarret pada dua
fase yaitu fase 1 dan fase 2[6]. Pada fase 1,
langkah pertama dilakukan analisis time series
(identifikasi model, pendugaan parameter dan
pengujian diagnostik) menggunakan data masa
lalu yang diasumsikan berasal dari proses in
control yang menghasilkan penaksir parameter
sebagai acuan pada fase 2. Estimasi parameter
berdasarkan persamaan (5). Langkah kedua,
menghitung residual model VAR. Estimasi error
atau residual adalah

t t t
= e y y . (10)

Selanjutnya dibuat diagram kontrol residual
dengan Statistik
2
T Hotelling pada fase 1
berdistribusi
( )
2
m
dan ketika n m besar
digunakan
2 ' 2
( )

( ) ( ) ~
t t m
T =
-1
e e e e (11)
dengan e adalah mean residual dari fase 1,
1

n
t
n
=
=
t
e e dan estimasi berdasarkan
persamaan (6).
Ketika 0 = e , statistik
2
T Hotelling adalah

2 1 2
( )

' ~
-
t t m
T = e e (12)
Diagram kontrol residual fase 1 pada kondisi in
control diestimasi rata-rata residual ( e ) dan
matriks kovariansi residual (

) sebagai acuan
pada fase 2.

Pada fase 2 dilakukan pengontrolan data masa
datang untuk mengetahui apakah ada perubahan
yang menyebabkan proses bergeser berdasarkan
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 181
parameter yang ditaksir pada fase 1 yaitu

,
dan e . Pengamatan pada fase 2 adalah ,
i
y
1, 2, , . i n n n I = + + + Prediksi pengamatan
yang pertama pada fase 2 adalah

1

n n+1 +
= y'x (13)

dengan
1

n+
y = prediksi pengamatan yang
pertama pada fase 2,

= estimasi parameter
VAR dari fase 1 yaitu ( )

= c, dan
n+1
x =
( )
, 1 2
1 , , ,
t t t - p
y y y pada pengamatan
1 n p + di fase 1. Residualnya adalah

1 1 1

n n n + + +
= e y y (14)
digunakan
2 ' 1 2
1 1 1 ( )

( ) ( ) ~
n n n m
T

+ + +
= e e e e (15)
sehingga statistik
2
T Hotelling pada fase 2
adalah

2 ' 1 2
( )

( ) ( ) ~
i i i m
T

= e e e e . (16)


4. Model VAR dengan Outlier

Pada data time series sering terjadi adanya
pengamatan yang berbeda jauh dari data
kebanyakan. Jika penyebab terjadinya hal tersebut
tidak diketahui disebut dengan outlier.
Keberadaan outlier dapat menyebabkan asumsi
normalitas residual tidak terpenuhi sehingga akan
berpengaruh pada pengontrolan di masa
mendatang. Keberadaan outlier ini seringkali
tersamar, dalam arti tidak semua outlier dalam
time series dapat terlihat secara langsung dari plot
time series. Oleh sebab itu diperlukan prosedur
untuk mendeteksi dan menghilangkan pengaruh
adanya outlier. Salah satu cara untuk mengatasi
permasalahan ini adalah dengan memasukkan
outlier ke dalam model. Atau dengan kata lain,
memodelkan outlier yang ada pada data time
series.

Deteksi outlier pada univariat time series pertama
kali dilakukan oleh Fox dengan memperkenalkan
dua model yaitu Additive Outlier dan Innovative
Outlier (Fox, 1972 dalam [8] ). Perkembangan
selanjutnya pada univariat time series terdapat 4
macam tipe outlier yaitu Additive Outlier (AO),
Innovational Outlier (IO), Level Shift (LS), dan
Temporary atau Transient Change (TC).

Serena mengenalkan Additive Outlier dan
Innovative Outlier dalam model VAR[7]. Suatu
model VAR yang tidak mengandung outlier
dan stasioner terdapat pada persamaan (1) sebagai
berikut + ( ) +
t t t
B y = c y e .
1. Additive outlier (AO)
Additive outlier adalah kejadian yang
mempengaruhi suatu series pada waktu
*
T
saja. Keberadaannya tidak mempengaruhi
pengamatan pengamatan lain, baik
pengamatan sebelum maupun sesudah
outlier. Model dari AO adalah [7]

*
t t t
= + y y x (17)
dengan
t
= x vektor ( 1) m dan =
matriks diagonal ( ) m m , diagonal=
1 2
( )
m

*
*
1, ,
0, .
t
t T
t T
=
=

x (18)

2. Innovational Outlier (IO)
Innovational Outlier adalah outlier yang
mempengaruhi beberapa pengamatan
sesudahnya, sehingga outlier tipe IO ini
terkadang tidak dapat terdeteksi secara
langsung melalui plot datanya. Model dari
IO adalah [7]
* 1
(1 ( ))
t t t
B

= + y y x (19)

4.1 Model VARX

Model VAR dengan AO pada persamaan (17)
disebut juga model VARX (Vector Autoregressive
X) adalah pengembangan dari model VAR dengan
menambah variabel eksogen atau X di sebelah
kanan persamaan. Keberadaan outlier dapat
mempengaruhi kebaikan model. Salah satu cara
untuk mengatasi permasalahan ini adalah
memodelkan outlier yang ada pada data time
series multivariat dengan model VARX.
Persamaan (17) dapat dijabarkan sebagai berikut

+ ( + + + ) + +
2 p
t 1 2 p t t t
B B B y = c ... y x e
(20)


4.2 Estimasi Parameter Model VARX

Dalam menaksir parameter model VARX
digunakan metode Least Squares (LS) adalah
suatu metode menaksir nilai parameter
model dengan cara meminimumkan jumlah
kuadrat residual (selisih antara nilai aktual dan
nilai taksiran). Mengacu pada persamaan (20)
Model VARX dapat disajikan dalam bentuk
model multivariat linier

i i i
= + y Xb e (21)
dengan
, , ,
( , , , ) '
i 1 t 2 t m t
... y = y y y adalah vektor
berukuran ( 1), m
(1, , , , , )
t -1 t -2 t - p t
= X y y y x adalah
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 182
matriks berukuran (1 1), m mp + +
( , , , , , )
i 2 p
=
1
b c adalah vektor
berukuran (1 1) 1 mp + + . Akibatnya persamaan
(21) menjadi

i i i
= e y Xb . (22)
Dengan meminimumkan jumlah kuadrat vektor
error pada persamaan (22) diperoleh

'
i i
Q = e e
( ) ' ( )
i i i i
= y Xb y Xb
( ' ' ' ' ' ' )
i i i i i i i i
= + y y y Xb y X b X b Xb
' 2 ' ' ' '
i i i i i i
= + y y X y b X b Xb (23)

Untuk menyelesaikan optimasi minimum dengan
menggunakan derivatif parsial terhadap
parameter b dan disamakan dengan nol
persamaan (23)
0
i

Q
b

2 ' 2 ' 0
i i
+ = X y X Xb
' 2 ' 0
i i
+ = X y X Xb .
' '
i i
= X y X Xb
dengan mengalikan
1
( ' )

X X diperoleh

1 1
( ' ) ' ( ' ) '
i i

= X X X y X X X Xb . (24)

Sehingga persamaan (24) memberikan hasil
estimasi [10].

1
( ' ) '
i i

= b X X X y . (25)


5. HASIL DAN DISKUSI

5.1 Skenario Simulasi

Penentuan model terbaik pada pengamatan
Additive Outlier di fase 1 dengan simulasi.
Melalui kajian simulasi akan dipelajari efek
outlier pada penaksir parameter model VAR yaitu
metode Least Square (LS) dan Maximum
Likelihood (MLE) dan penaksir parameter model
VARX serta membandingkan model VAR dan
VARX. Model terbaik jika penaksir parameter
robust terhadap outlier dan diagram kontrol
residual fase 1 pada kondisi in control.
Penyelesaian permasalahan nyata pada penelitian
ini membutuhkan aplikasi pemrograman
komputer. Oleh sebab itu, pada penelitian ini
dibutuhkan beberapa software statistik dan bahasa
pemrograman. Software statistik, seperti SAS,
akan digunakan untuk mengeksplorasi data.
Sedangkan bahasa pemrograman yang akan
digunakan dalam pembuatan diagram kontrol
residual adalah MATLAB.

Mula-mula ditentukan matriks kovariansi error
( ) dan koefisien VAR
1
( ) model VAR(1)
pada 3 variabel yaitu

1 0, 5 1, 5
0, 5 4, 25 0, 25
1, 5 0, 25 2, 99
(
(
=
(
(


1
0,5 0,2 -0,6
0,3 0,4 0,2
0,25 -0,22 0,54
(
(
=
(
(

.

Selanjutnya membangkitkan data model VAR (1)
pada 3 variabel menggunakan paket program
SAS. Dengan n = 300 dan perulangan
sebanyak 10 diperoleh Model VAR(1) simulasi
yang estimasi parameter LS sama dengan estimasi
MLE (lihat Tabel 1) dan adalah matriks
kovariansi y yang digunakan untuk menentukan
nilai , dengan estimasi MLE diperoleh
| | 3 3,22 5,99 5,47 =
dan estimasi LS adalah
| | 3 3,24 6,03 5,49 =
.

Tabel 1 Estimasi Parameter Model VAR(1)
Simulasi
MLE LS

1
0,503 0,220 -0,635
0,361 0,386 0,327
0,221 -0,216 0,547
(
(
=
(
(



1
0,504 0,220 -0,635
0,362 0,387 0,327
0,220 -0,217 0,547
(
(
=
(
(




Dalam kajian simulasi ini data VAR(1) simulasi
akan dibuat outlier. Ditentukan pengamatan
model VAR(1) simulasi yang akan dibuat outlier
adalah pengamatan ke-100 dan 200 dengan
mengganti nilai pengamatan menjadi nilai
maksimum variabel dan menggeser sebesar 3
selanjutnya efek outlier yang dikaji dalam
penelitian ini didasarkan pada model VAR(1)
simulasi yang di skenario berikut ini :
1. Ada satu Additive Outlier (AO) di
pengamatan ke-100 (data model 1) pada
a) Satu variabel
1,
( )
t
y atau model 1-1
b) Dua variabel
1, 2,
( , )
t t
y y atau model 1-
2
c) Tiga variabel
1, 2, 3,
( , , )
t t t
y y y atau
model 1-3
2. Ada dua Additive Outlier di pengamatan ke-
100 dan 200 (data model 2) pada
a) Satu variabel
1,
( )
t
y atau model 2-1
b) Dua variabel
1, 2,
( , )
t t
y y atau model 2-
2
c) Tiga variabel
1, 2, 3,
( , , )
t t t
y y y atau
model 2-3


5.2 Hasil Simulasi
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 183

Hasil simulasi untuk model 1-1 s/d model 2-3
disajikan pada Tabel 2 dan 3 secara umum
fenomena yang terjadi tidak berbeda.

Tabel 2 Efek AO Pada Estimasi Parameter
VAR dan VARX

Model Model VAR Model VARX
MLE
Bias di
LS Bias
di
Bias Variabel dummy
Pengamatan
ke
Sign di
1-1 1
variabel
1
variabel
tidak 100, 101 1 variabel
1-2 1
variabel
1
variabel
tidak 100, 101 2 variabel
1-3 3
variabel
3
variabel
tidak 100, 101 3 variabel
2-1 1
variabel
1
variabel
tidak 100, 101,
200, 201
3 variabel
2-2 1
variabel
1
variabel
tidak 100, 101,
200, 201
2 variabel
2-3 3
variabel
3
variabel
tidak 100, 101,
200, 201
3 variabel


Pada Tabel 2 menunjukkan efek outlier pada
penaksir parameter model VAR yaitu LS dan
MLE menghasilkan koefisien VAR yang sama
tetapi bias atau tidak sama dengan koefisien VAR
yang sesungguhnya. Hal ini menunjukkan
pemodelam VAR menghasilkan estimasi
parameter yang tidak robust. terhadap outlier.
VARX adalah salah satu metode yang digunakan
untuk memodelkan data time series multivariat
yang mengandung outlier. Prosedur pemodelan
VARX pada data yang mengandung outlier
adalah melakukan deteksi outlier. Untuk
menghilangkan efek outlier tersebut pengamatan
yang outlier dimodelkan VARX dengan dummy
variabel atau disebut juga variabel eksogen.
Selanjutnya membandingkan model VAR dan
VARX, diperoleh estimasi parameter MLE sama
dengan estimasi LS tetapi bias terhadap koefisien
simulasi. Dan estimasi parameter VARX sama
dengan koefisien simulasi, berarti penaksir
parameter VARX robust terhadap outlier.

Tabel 3 Efek Additive Outlier
Pada Diagram Kontrol Residual Fase 1

Dari Tabel 3 diperoleh diagram kontrol residual
fase1 model VAR dalam kondisi out of control di
residual ke-100 dan 101 yang jumlahnya lebih
banyak dari pada pengamatan yang outlier di
pengamatan ke-100. Untuk pengamatan yang
outlier di pengamatan ke-100 dan 200 diperoleh
diagram kontrol residual fase1 model VAR dalam
kondisi out of control di residual ke-100, 101,
200 dan 201(lihat lampiran). Sehingga pemodelan
terbaik pada pengamatan AO di fase 1 adalah
VARX berdasarkan penaksir parameter VARX
robust terhadap outlier dan diagram kontrol
residual pada kondisi in control.

KESIMPULAN

Hasil simulasi menunjukkan bahwa model VARX
merupakan pemodelan terbaik pada pengamatan
yang mengandung outlier di fase 1 dibanding
model VAR. Model terbaik adalah model dengan
penaksir parameter robust terhadap outlier dan
diagram kontrol residual fase 1 pada kondisi in
control.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Mason, R.L., Chou, Y.M, Sullivan, J.H. dan
Stoumbos, Z.G. 2003. Systematic Patterns in
2
T Charts, Journal of Quality Technology,
35(1), hal. 47-58.
[2] Theoossiou, P.T. 1993. Predicting shift in
the Mean of Multivariate Time Series
Process, an Application in Predicting
Business Failures, Journal of the American
Statistical Association, Vol. 88 (422), hal.
441-447.
[3] Kramer, H.G. dan Schmid, W. 1997. EWMA
Chart for Multivariate Time Series,
Sequential Analysis, Vol.16, hal. 131-154.
[4] Pan, X. dan Jarret, J.2004.Applying State
Space to SPC: Monitoring Multivariate
Time Series, Journal of Applied
Statistics, Vol. 31, hal. 397-418
[5] Kalgonda, A.A. dan Kulkarni, S.R.2004.
Multivariate Quality Control for
Autocorrelated Process, J. Appl. Stat, Vol.
31(3), hal. 317-327
[6] Jarret, J. dan Pan, X. 2007. The Quality
Control Chart for Monitoring Multivariate
Autocorrelated Processes, Computational
Statistics & Data Analysis, Vol. 51, hal.
3862-3870.
[7] Serena, Ng. dan Timothy, J.V. 2002.
Analysis of Vector Autoregressions in the
Presence of Shifts in Mean, Economic
Review, Vol. 21(3), hal. 353-381.
[8] Wei, W.W.S. 1990. Time Series Analysis,
Addison-Wesley Publishing Company, Inc.,
California
Model Diagram Kontrol Residual Fase 1
VAR estimasi
ML
VAR estimasi LS VARX
Out of control Out of control Kondisi
1-1 100, 101 100, 101 in control
1-2 100, 101 100, 101 in control
1-3 100, 101 100, 101 in control
2-1 100, 101,200,
201
100, 101,200, 201 in control
2-2 100, 101,200,
201
100, 101,200, 201 in control
2-3 100, 101,200,
201
100, 101,200, 201 in control
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 184
[9] Hamilton, J. 1994. Time Series Analysis,
Princeton University Press, New Jersey
[10] Lutkepohl, H. dan Kratzig, M. 2004. Applied
Time Series Econometrics, Cambridge
University Press, New York.
[11] Johnson, R.A. dan Wichern
D.W.2002.Applied Multivariate Statistical
Analysis, fifth edition, New Jersey, Prentice
Hall.
[12] Pan, X..2003. SPC for Quality and Risk:
Monitoring Processes With Cross Sectional
and Serial Interdependent and Hingher
Moments, Ph.D Disertation, University of
Rhode Island, USA.
.

A. LAMPIRAN 1 Gambar Diagram Kontrol
Residual Fase 1 Model 2-3


(i) Model VAR estimasi MLE





(ii) Model VAR estimasi LS




(iii) Model VARX estimasi LS


0 50 100 150 200 250 300
0
20
40
60
80
100
120
140
160
Diagram Kontrol Residual VAR FASE 1
residual ke-
T
2
0 50 100 150 200 250 300
0
20
40
60
80
100
120
140
160
Diagram Kontrol Residual VAR FASE 1
residual ke-
T
2
0 50 100 150 200 250 300
0
5
10
15
Diagram Kontrol Residual VARXFASE 1
residual ke-
T
2
UCL=14,156
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 185
SCAN STATI STI C
DENGAN MODEL PROBABILITAS NORMAL

Ias Sri Wahyuni, Dina Indarti
Universitas Gunadarma

ias.sri.wahyuni@gmail.com, dina.indarti@gmail.com


ABSTRAK

Hotspot merupakan daerah yang memiliki intensitas yang paling tinggi dari suatu kejadian pada suatu lokasi tertentu.
Temporal, spatial, dan space-time scan statistic merupakan metode-metode yang dapat digunakan dalam mendeteksi
hotspot. Metode-metode scan statistic tersebut seringkali digunakan untuk data diskrit, seperti banyaknya orang yang
terjangkit suatu penyakit atau banyaknya kematian. Akan tetapi, terkadang kita ingin mendeteksi hotspot dengan data
yang kontinu, seperti tingginya curah hujan suatu daerah. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi
hotspot untuk data berdistribusi kontinu dengan menggunakan metode scan statistics di mana likelihood dihitung
menggunakan model probablitas normal. Dalam penelitian ini, metode scan statistic dengan model probabilitas
normal ini diaplikasikan dalam mendeteksi daerah dengan curah hujan tertinggi diantara 5 kotamadya di DKI Jakarta,
Bogor, dan Depok.

Keywords: curah hujan, hotspot, model probabilitas normal, scan statictic


1. PENDAHULUAN

Hotspot merupakan daerah yang memiliki
intensitas yang paling tinggi dari suatu kejadian
pada suatu lokasi tertentu. Scan statistic
merupakan suatu metode yang dapat digunakan
untuk mendeteksi hotspot dari suatu kejadian.
Kejadian dapat berupa penyakit, kejahatan, dan
lainnya. Untuk itu, diperlukan metode
pendeteksian hotspot yang berguna sebagai
peringatan dini (early warning) dan memberikan
informasi mengenai suatu kejadian. Jika hotspot
dapat terdeteksi secara tepat, tindakan ataupun
kebijakan yang lebih baik dapat dilakukan. Scan
statistics dapat diaplikasikan di berbagai bidang,
meliputi genetika, kriminalogi, astronomi,
pertambangan, kesehatan, dan bidang lainnya.

Salah satu metode scan statistic yang terkenal
adalah metode scan statistic Kulldorf. Temporal,
spatial, dan space-time scan statistic merupakan
metode-metode scan statistic yang telah
dikembangkan sebelumnya oleh Kulldorf. Metode
scan statistic tersebut seringkali digunakan untuk
data diskrit, seperti banyaknya orang yang
terjangkit suatu penyakit atau banyaknya
kematian. Akan tetapi, terkadang kita ingin
mendeteksi hotspot dengan data yang kontinu,
seperti tingginya curah hujan suatu daerah.

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
mendeteksi hotspot untuk data berdistribusi
kontinu dengan menggunakan metode scan
statistic di mana likelihood dihitung
menggunakan model probablitas normal.


2. BAHAN DAN METODE

2.1 DATA

Data terdiri dari sejumlah observasi kontinu,
dengan nilai x
i
, 1, 2,..., i N = . Dan setiap observasi
terletak pada lokasi s, s = 1, 2, ..., S, dengan letak
koordinat lokasi lintang dan bujur dari lokasi s.
Setiap lokasi memiliki satu atau lebih observasi,
sehingga S N . Pada penelitian ini, akan
diteliti daerah yang memiliki tingkat curah hujan
tertinggi diantara 5 kotamadya di DKI Jakarta,
Depok dan Bogor. Data didapat dari 20 pos hujan
pada masing-masing daerah pada tanggal 8 Juni
2009 [1]. Distribusi Normal merupakan distribusi
yang sesuai untuk mengambarkan data curah
hujan tersebut.

2.2 PEMBENTUKKAN SCANNI NG
WI NDOW

Scanning window merupakan suatu daerah yang
potensial untuk menjadi cluster. Scanning window
yang digunakan dihasilkan dari suatu circular
window. Pembentukan scanning window pada
metode ini sama dengan pembentukan scanning
window pada metode Kulldorf [4].

2.3 MODEL PROBABILITAS NORMAL

Pada penelitian ini akan dibahas pendekteksian
hotspot menggunakan metode spatial scan
statistic dengan model probabilitas normal. Setiap
observasi ) , ( ~ N X
i
, di mana
merupakan mean dan
2
merupakan variansi [5].
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 186
Untuk tiap lokasi s, definisikan
s i
i s
x x


dan
s
n = banyaknya observasi pada lokasi s.
Definisikan juga
1
N
i
i
X x
=
=


Z s
s Z
n n


Z s
s Z
x x


dimana Z merupakan scanning window.

2.4 HIPOTESIS

Hipotesis yang digunakan untuk setiap scanning
window sebagai berikut:
Hipotesis nol:
Z Z
H = :
0


Hipotesis nol tersebut menyatakan bahwa rata-
rata observasi di dalam scanning window sama
dengan rata-rata observasi di luar scanning
window. Hal ini berarti scanning window tersebut
bukan merupakan hotcluster.

Hipotesis alternatif:
Z Z
H :
1


Hipotesis alternatif tersebut menyatakan bahwa
rata-rata observasi di dalam scanning window
tidak sama dengan rata-rata observasi di luar
scanning window. Hal ini berarti scanning
window tersebut merupakan hotcluster [5].

2.5 PENASIRAN PARAMETER

Metode yang digunakan dalam menaksir
parameter yaitu Metode Maksimum Likelihood
[2].

Di bawah kondisi H
0
, diperoleh
2
2
( )
2
1
( ; , )
2
i
i
x
f x e

=

maka fungsi Likelihood dibawah kondisi H
0

adalah
2
2
( )
2
0
1
2
i
x
i
L e


dan log likelihoodnya
2
0 2
( )
ln ln 2 ln( )
2
i
i
x
L N N


Dengan metode maksimum likelihood, didapat
taksiran mean ( ) dan variansi (
2
) masing
masing sebagai berikut:
N
X
=
N
x
i
i

=
2
2
) (


Di bawah kondisi H
1
,
2
2
2
2
( )
2
( )
2
1
,
2
( ; , )
1
,
2
i Z
Z
i
i Z
Z
x
i
Z
x
i
Z
e x Z
f x
e x Z


maka fungsi Likelihood dibawah kondisi H
1

adalah
2 2
2 2
( ) ( )
2 2
1
1 1
2 2
i Z i Z
Z Z
x x
i Z i Z
Z Z
L e e






=



Dengan metode maksimum likelihood, didapat
taksiran mean di dalam scanning window (
Z
),
taksiran mean di luar scanning window (
Z

) dan
taksiran variansi (
2

) masing masing sebagai


berikut
z
z
Z
n
x
=
z
z
Z
n N
x X

=

|
|
.
|

\
|
+ + + =


2 2 2 2 2

) (

) ( 2 2
1

Z Z Z Z
Z i
i Z Z Z Z
Z i
i z
n N x X x n x x
N


2.6 RASIO LIKELIHOOD

Statistik uji yang digunakan statistik uji rasio
likelihood. Penentuan rasio likelihoodnya sebagai
berikut:

Fungsi Likelihood dibawah kondisi H
0
adalah
2
2
( )
2
0
1
2
i
x
i
L e



sehingga

=
i
x
i
e L
2
2
2
) (
0
2
1
) , (




dan log likelihoodnya


=
i
i
x
N N L
2
2
0
2
) (
) ln( 2 ln ) , ( ln




Fungsi likelihood dibawah kondisi H
1
adalah
2 2
2 2
( ) ( )
2 2
1
1 1
2 2
i Z i Z
Z Z
x x
i Z i Z
Z Z
L e e






=


dan log likelihood
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 187
2 2
2
1 2 2
( ) ( )
ln ln 2 ln( )
2 2
i Z i Z
Z
i Z i Z Z Z
x x
L N N





=

2
1
2 2 2 2
2
ln ln 2 ln( )
1
2 2( ) ( )
2
Z
i Z Z Z Z i Z Z Z Z
i Z i Z Z
L N N
x x n x X x N n


=
| |
+ + +
|
\ .


Kemudian disederhanakan menjadi
2
1
ln ln 2 ln( )
2
Z
N
L N N =

sehingga
2
) ln( 2 ln ) ,

, ( ln
2 2
1
N
N N L
Z Z Z Z
=

maka statistik uji yang digunakan
2
) ln(
2
) (
) ln(
) , ( ln
) ,

, ( ln
max
2
2
2
0
2
1
N
N
x
N
L
L
Z
i
i
Z Z Z
Z





2.7 MONTE CARLO HYPOTHESI S
TESTI NG

Setelah ditemukan scanning window dengan nilai
rasio likelihood yang tertinggi, selanjutnya akan
ditentukan apakah scanning window tersebut
merupakan suatu hotspot atau hanya merupakan
suatu potensial cluster. Hal tersebut akan
ditentukan dengan menghitung p-value dari
scanning window tersebut dan hotspot merupakan
scanning window yang memiliki p-value lebih
kecil dari suatu tingkat signifikansi
yang telah
ditentukan.

Jika distribusi dari statistik ujinya dapat
ditemukan, setidaknya secara asimtotik, akan
didapat suatu titik kritis pada suatu tingkat
signifikansi tertentu. Akan tetapi, karena secara
matematik untuk memperoleh fungsi distribusi
dari scan statistic sangat kompleks, cara lain yang
dapat digunakan adalah dengan melakukan
pendekatan secara probabilistik, yaitu pengujian
hipotesis Monte Carlo [3].

Pada uji hipotesis Monte-Carlo, p-value diperoleh
dari
1
) ) ( ( banyaknya
0
+

=
m
t x T
p

Pada spatial scan statistic, t
0
menyatakan nilai
rasio likelohood tertinggi yang dimiliki oleh suatu
scanning window Z dari data dalam lapangan, T
adalah nilai rasio likelihood dari data acak yang
dibangun di bawah kondisi H
0
, m adalah
banyaknya simulasi untuk membangun data di
bawah kondisi H
0
.

Berikut ini adalah tahapan prosedur pengujian
hipotesis Monte-Carlo untuk spatial scan statistic
secara umum:
1. Menghitung nilai rasio likelihood tertinggi t
0

berdasarkan statistik uji untuk data riil.
2. Membangun data acak yang ukurannya sama
dengan data riil yang dibangun bedasarkan
kondisi H
0
.
3. Melakukan proses pembentukkan scanning
window Z dari data acak yang dibangun
berdasarkan kondisi H
0
.
4. Mencari nilai rasio likelihood untuk setiap
scanning window Z yang terbentuk, kemudian
mengurutkan nilai rasio likelihood dari yang
terkecil sampai yang terbesar. Langkah
selanjutnya, mendapatkan nilai rasio
likelihood yang tertinggi dari simulasi pertama
pembangunan data acak tersebut.
5. Mengulangi langkah 2, 3 dan 4 sebanyak m
pengulangan sehingga diperoleh m nilai rasio
likelihood tertinggi dari masing-masing
simulasi. Lalu mengurutkan m nilai rasio
likelihood dari data acak dan data riil.
6. Hitunglah p-value dengan menggunakan
1
) ) ( ( banyaknya
0
+

=
m
t x T
p
. Nilai p diperoleh
dari banyaknya nilai rasio likelihood yang
dibangun oleh data acak yang nilainya
melebihi nilai rasio likelihood dari data asli t
0

dibagi m + 1.

Agar nilai p adalah bilangan yang bagus, maka
banyaknya m pengulangan dibatasi pada angka-
angka 999 atau beberapa bilangan yang
berakhiran 99, seperti 199,1999, 2999, atau 9999
[3].


3. HASIL DAN DISKUSI

Dengan metode scan statistic dengan
menggunakan model probabilitas normal dalam
pendeteksian daerah yang memiliki curah hujan
tertinggi diantara 5 kotamadya di DKI Jakarta,
Bogor, dan Depok, diperoleh scanning window
yang merupakan hotspot yang meliputi 2 wilayah,
yaitu Jakarta Pusat dan Jakarta Barat. Dalam
pengujian ini digunakan tingkat signifikansi 0.05
dan p-value sebesar 0.001. Hasil tersebut
diperoleh dengan menggunakan software
SaTScan 8.1.1.


4. KESIMPULAN

Metode scan statistic dengan model probabilitas
normal dapat digunakan sebagai salah satu cara
untuk mendeteksi daerah yang memiliki curah
hujan tertinggi. Dari aplikasi di atas, didapat 2
wilayah di DKI Jakarta yang memiliki curah
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 188
hujan tertinggi diantara 5 kotamadya di DKI
Jakarta, Bogor, dan Depok, yaitu Jakarta Pusat
dan Jakarta Barat. Dengan mengetahui daerah
yang memiliki curah hujan tertinggi, diharapkan
kepada pihak-pihak terkait dan masyarakat
mewaspadainya dan melakukan tindakan-tindakan
yang perlu dilakukan.


5. DAFTAR PUSTAKA

[1] Haryono, Urip. 2009. Laporan Kejadian
Cuaca Ekstrim di Wilayah DKI Jakarta
Tanggal 8 Juni 2009.
[2] Hogg. R. V. dan A. T. Craig. 1995.
Introduction to mathematical statistics, Fifth
edition. New Jersey: Prentice Hall Inc.
[3] James, F. 1980. Monte Carlo Theory and
Practice. The Institute of Physic.
[4] Kulldorf, M. 1997. A spatial scan statistic.
Communications in Statistics Theory and
Methods, 26, 1481-1496.
[5] Kulldorf, M, Lan Huang, dan Kevin Konty.
2009. A scan statistic for continuous data
based on the normal probability model,
International Journal of Health
Geographics.
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 189
KONTRIBUSI SEBARAN GAMMA
TERHADAP HUKUM KEGAGALAN EKSPONENSIAL

Iwa Sungkawa
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Bina Nusantara

iwasungkawa@yahoo.com


ABSTRAK

Tulisan ini membahas tentang kontribusi atau peranan sebaran gamma terhadap hukum kegagalan dalam penentuan
waktu kegagalan random yang densitasnya diasumsikan eksponensial. Dengan menjabarkan densitas sebaran gamma
secara sederhana dapat ditunjutkan bahwa densitas sebaran eksponensial merupakan bentuk khusus dari sebaran
gamma. Di samping itu ditunjukan pula hubungan antara densitas sebaran gamma dan sebaran poisson dalam
penggunaannya pada model kegagalan dari suatu proses yang berkaitan dengan waktu.
Dengan menggunakan sifat dari deret taylor dapat ditunjukan bahwa hasil integral secara parsial terhadap densitas
sebaran gamma sama dengan (1 - F(t)) di mana F(t) merupakan fungsi sebaran untuk peubah acak yang menyebar
secara poisson. Selanjutnya dari densitas sebaran gamma dengan parameter = k = 1 dan

1
=

dapat diperoleh densitas sebaran eksponensial dengan parameter lamda ( ) dan k dalam periode waktu.
Fungsi densitas, fungsi reliabilitas dan fungsi risiko merupakan bagian penting yang digunakan dalam model
kegagalan yang peubah acaknya adalah tingkat penekanan dari pada waktu.
Hasil kajian menunjukkan bahwa sebaran gamma merupakan sebaran yang erat kaitannya dengan densitas-densitas
dari beberapa sebaran yang biasa digunakan dalam model kegagalan.

Kata Kunci : Sebaran Gamma, Sebaran Poisson, Sebaran Eksponensial, Fungsi densitas, Fungsi Sebaran, Fungsi
Reliabilitas, Fungsi Risiko, Waktu Kegagalan.


PENDAHULUAN

Dalam suatu penelitian dengan menggunakan
statistika sebagai alat analisis/kajian biasa
ditempuh dengan memperhatikan densitas atau
dikenal dengan sebutan fungsi peluang atau fungsi
kepekatan peluang dari berbagai sebaran yang
digunakan dalam kajian tersebut. Sehubungan
dengan hal tersebut, dalam tulisan ini diuraikan
suatu fungsi yang merupakan cikal bakal dari
sebaran-sebaran dalam statistika, yaitu fungsi
gamma. Fungsi gamma merupakan fungsi dalam
bentuk integral dari suatu fungsi matematika yang
tergantung dari suatu parameter dengan batasan
nilai variabelnya antara nol dan tak terhingga atau
berlaku untuk nilai variabel yang positif.

Densitas sebaran gamma merupakan hasil
modifikasi dari fungsi gamma dengan merubah
fungsi tersebut menjadi fungsi yang bersifat
khusus dan merupakan fungsi kepekatan peluang.
Modifikasi yang lebih spesifik dari sebaran
gamma dapat menghasilkan bentuk khusus dari
sebaran gamma yang sering digunakan dalam
analisis statistika. Bentuk khusus dari sebaran
gamma diantaranya adalah sebaran eksponensial
dan poisson yang dalam tulisan ini akan dibahas
bagaimana kronologis yang dapat ditempuh
sehingga diperoleh sebaran-sebaran yang
merupakan bentuk khusus dari sebaran gamma.
Kontribusi atau peranan sebaran gamma terhadap
kajian yang mengamati suatu peubah yang
berkaitan dengan waktu dan dikenal sebagai
waktu kegagalan dapat ditunjukan dengan
menelaah densitas yang digunakan dalam kajian
tersebut dan menunjukan hubungannya dengan
sebaram gamma. Hukum kegagalan dalam
penentuan waktu kegagalan random yang
densitasnya diasumsikan eksponensial disebut
sebagai hukum kegagalan eksponensial.
Kontribusi sebaran gamma terhadap sebaran
eksponensial ditunjukan dengan menjabarkan
densitas sebaran gamma secara sederhana
(densitas sebaran eksponensial merupakan bentuk
khusus dari sebaran gamma).

Di samping itu ditunjukan pula hubungan antara
densitas sebaran gamma dan sebaran poisson
dalam penggunaannya pada model kegagalan dari
suatu proses yang berkaitan dengan waktu atau
waktu tunggu sampai akhir dari masa hidup
sesuatu alat.

Dengan menggunakan sifat dari deret taylor dapat
ditunjukan bahwa hasil integral secara parsial
terhadap densitas sebaran gamma sama dengan (1
- F(t)) di mana F(t) merupakan fungsi sebaran
untuk peubah acak yang menyebar secara poisson.
Selanjutnya dari densitas sebaran gamma dengan
parameter = k = 1 dan dapat diperoleh

1
=
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 190
densitas sebaran eksponensial dengan parameter
lamda ( ) dan k dalam periode waktu. Dalam
kajian yang berkaitan dengan masalah waktu,
fungsi densitas/kepekatan, fungsi reliabilitas dan
fungsi risiko merupakan bagian penting yang
digunakan dalam model kegagalan yang peubah
acaknya adalah tingkat penekanan dari pada
waktu.

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberi
gambaran tentang peran atau konstribusi sebaran
gamma dalam kajian-kajian statistika, yang
ditunjukan oleh keluarga dari sebaran tersebut
(diantaranya sebaran eksponensial dan poisson).
Hasil kajian menunjukkan bahwa sebaran gamma
merupakan sebaran yang erat kaitannya dengan
densitas-densitas dari beberapa sebaran yang
biasa digunakan dalam model kegagalan.

Untuk lebih memberikan ilustrasi yang lebih
lanjut diberikan pula bagaimana penggunaan dari
sebaran-sebaran tersebut dalam menyelesaikan
suatu kasus. Sebaran eksponensial dapat
digunakan untuk menyelesaikan berbagai bidang
masalah, diantaranya adalah penggunaan densitas
sebaran eksponensial dalam kajian yang
berhubungan dengan waktu kegagalan atau waktu
tunggu sampai akhir dari masa hidup suatu
komponen atau alat.

Dengan informasi ini diharapkan dapat
menambah wawasan dan membantu para pelaku
atau pengguna statistika dalam menyelesaikan
berbagai masalah atau persoalan yang dihadapi,
terutama dalam penggunaan sebaran yang berasal
dari sebaran gamma.

SEBARAN GAMMA

Untuk > 0 dan positif bentuk Integral


~
0
y 1
dy y e

ada nilainya dan disebut fungsi gamma dari
yang ditulis sebagai berikut :
( ) dy..... y
~
0
1
y

= e

Jika = 1, maka (1) =
dy
~
0
y


e
= 1.
Jika > 1 maka dapat ditunjukan bahwa
() = (-1)


~
0
y 2
dy y e
Selanjutnya jika diintegralkan secara parsial
untuk >1 dan merupakan bilangan bulat positif
maka () = (-1)(-2)(-3) 3.2.1 atau
dengan (1) = 1 dan 0! = 1, maka () = (-1)!
Misalkan terdapat peubah baru
0 ;

x
y > =
maka x = y

dx
1 x
) (
~
0

x 1


e
atau
jika ruas kiri dan ruas kanan dibagi dengan ()
maka
1 =
( )
dx x

1
~
0
x
1


e

Untuk > 0 ; > 0, dan () > 0, maka peubah
acak X menyebar gamma dengan parameter dan
atau X~gamma (,) dengan fungsi kepekatan
peluang
f(x) =
( )
x

1
x
-
1 -

; 0 < x < ~
= 0 selainnya
Fungsi pembangkit momen sebaran gamma
adalah :
M(t) =
( )
( )
tx
~
0
x
1 tx
e E dx... e x

1
e


=
( )
( )
dx e x

1
~
0
/ t 1 x 1



Selanjutnya misalkan y = ( )

1
t ;

t 1- x
<

atau
X =
( )
y d
t - 1
dx
t - 1
y


M(t) =
( ) ( )

~
o
y 1
dy y
1
t - 1
1
e


M(t)=
( )

1
t ;
t 1
1

<



Jika diturunkan terhadap t maka didapat turunan
pertamanya adalah M
1
(t) = (-) (1- t)
--1
(-)
dan turunan keduanya adalah
M
11/
(t) = (-) (--1) (1-t)
--2
(-)
2

dengan mensubsitusi nilai t = 0 diperoleh rata-rata
dan ragam/variansinya adalah sebagai berikut :
Rata-rata = = M
l
(0) = atau =
Ragam
2
= M
ll
(0) -
2
= (+1)
2
-
2

2
,
atau
2
=
2


HUBUNGAN ANTARA SEBARAN GAMMA
DAN SEBARAN POISSON

Sebaran gamma dapat merupakan frekuensi dari
suatu waktu tunggu dalam uji suatu kehidupan.
Jadi waktu tunggu hingga akhir dari suatu masa
hidup (kehidupan) merupakan peubah acak yang
menyebar gamma. Untuk menunjukan hal ini,
misalkan peubah acak W merupakan waktu
tunggu dengan fungsi sebaran G(w) = P
r
(W w)

Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 191
= 1 P
r
(W>w). Untuk W>w, w>0 dan k dalam
interval w (k adalah fixed dan bulat positif) maka
W menyebar secara poisson dengan rata-rata
(w), maka Pr (W>w) =

=
=
1
0
) Pr(
k
x
x X =
( )

x!
w
1 - k
0 x
w x

e
dimana x = banyaknya
kesempatan dalam interval w.


=

=

1
0
1
!
) (
)! 1 (
k
x
x z k
x
e
dz
k
e z

Untuk ini dapat ditunjukan bahwa


=

=

1
0
1
! ) (
k
x
x z k
x
e
dz
k
e z

sebagai berikut :

Dengan menggunakan antiderivatif z
k-1
e
-z
adalah
-z
k-1
e
-z
(k-1) z
k-2
e
-z
- - (k-1)! e
-z
dan dengan
mengintegralkan ruas kiri secara parsial untuk
u= z
k-1
dan dv = e
-z
sehingga du = (k-1) z
k-2
dz dan
v = -e
-z
. Pengintegralan secara berturut-turut akan
mendapatkan


+
+
+ =
+ =

dz e z k k k
e k k
e k e
dz e z k e dz e z
z k
k
k k
z k k z k
4
3
2 1
2 1 1
) 3 )( 2 )( 1 (
) 2 )( 1 (
) 1 (
) 1 (
dan seterusnya, sehingga ketentuan di atas dapat
dibuktikan


=

=

1
0
1 1
)! ( )! 1 ( ) (
k
x
x z k z k
x
e
k
e z
dz
k
e z

Ruas paling kanan merupakan bagian dari deret
taylor dan yang ada di dalam tanda sigma adalah
densitas dari sebaran poisson.
Selanjutnya untuk w>0, fungsi sebarannya adalah
G(w) = 1 - ( )
( )



w
0
z 1 k
~
w
z 1 k
dz
k
z
dz
k
e z

e

dan untuk w0 G(w) = 0
Jika peubah acak dalam G(w) diganti z = y maka
G(w) =
( )
0 w ; dy
k
e y
w
0
y 1 k k
>



= 0 untuk w0
sehingga fungsi kepekatan peluang W adalah
g(w) = G
l
(w) =
~ w 0 ;
(k)
e y
y 1 - k k
< <



= 0 untuk selainnya
W menyebar Gamma dengan parameter =k dan
=

1
.


SEBARAN EKSPONENSIAL

Dari uraian di atas, jika w merupakan waktu
tunggu sampai kesempatan pertama, berarti k=1
maka fungsi kepekatan peluang bagi W adalah
g(w) = e
-w
, o < w < ~
= 0 untuk selainnya
g(w) merupakan fungsi kepekatan peluang
sebaran eksponensial dengan parameter . Jadi
peubah acak W menyebar secara eksponensial,
yang merupakan bentuk khusus dari sebaran
gamma.

Dengan menggunakan sifat dari sebaran gamma
di atas diperoleh :
Fungsi pembangkit momen W adalah
M(t) = (1 - t)
-
= (1 t/)
-1

Rata-rata bagi W adalah E(W) = = 1/ dan
ragamnya adalah .
2
= (1/
2
).
Sama seperti densitas sebaran gamma, sebaran
eksponensial juga densitasnya berhubungan erat
dengan sebaran poisson sehingga untuk beberapa
keadaan densitas eksponensial dianggap lebih
tepat digunakan.

Dalam mengembangkan sebaran poisson dari
postulat dan dalil poisson, ditetapkan waktu
tertentu pada beberapa nilai t, dan sebaran
tersebut dikembangkan dari jumlah kejadian
dalam selang [0,t]. Untuk ini dianggap peubah
acak W dan fungsi peluangnya adalah
p(w) = e
-t
(t)
w
/w! untuk w = 0, 1, 2,.
= 0 selainnya

Untuk w=0 atau p(0) merupakan peluang yang
tidak terjadi pada selang [0,t] adalah
p(0) = e
-t


Selanjutnya ditetapkan waktu semula pada t dan
interpretasi lain dari p(0) = e
-t
sebagai peluang
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 192
waktu kejadian pertama lebih besar dari t dan
dianggap waktu tersebut sebagai peubah acak T
sehingga
p(0) = P(T>t) = e
-t
untuk t 0.
Fungsi sebaran untuk peubah acak T sebagai
waktu kejadian adalah
F(t) = P(Tt) = 1 - e
-t
untuk t 0.
Dengan menggunakan sifat f(t) = F(t) diperoleh
densitas untuk T adalah
f(t) = e
-t
untuk t 0
= 0 selainnya
merupakan densitas sebaran eksponensial.

Dari uraian diatas dapat dinyatakan bahwa
hubungan sebaran eksponensial dan sebaran
poisson ditunjukan dengan sejumlah kejadian
yang menyebar poisson sedangkan waktu diantara
kejadian menyebar secara eksponensial. Sebagai
contoh, jika jumlah pesanan suatu barang tertentu
yang diterima setiap minggu menyebar secara
poisson (peubah acak diskrit), sedangkan waktu
antara pesanan menyebar secara eksponensial
(peubah acak kontinu).

HUKUM KEGAGALAN EKSPONENSIAL

Untuk menunjang pokok bahasan dalam bagian
ini, perlu diuraikan tentang fungsi reliabilitas dan
fungsi resiko yang erat sekali kaitannya dengan
hukum kegagalan eksponensial. Dalam suatu
sistem yang sedang berjalan, konsekuensi dari
kegagalan perlu dievaluasi dan diamati secara
cermat dan hati-hati. Fungsi reliabilitas
merupakan abtraksi atau sistem dari suatu taktik
yang mencermati tentang kelangsungan dari suatu
kehidupan. Peluang sistem kelangsungan hidup
dapat ditentukan dengan melakukan pengujian
umur hidup dan perkiraan reliabilitasnya. Peubah
acak T didefinisikan sebagai waktu kegagalan dan
konponen reliabilitas pada waktu t adalah R(t) =
P[T>t] dan disebut fungsi reliabilitas. Proses
kegagalan minimal ada tiga jenis, yaitu kegagalan
awal, kegagalan memakai dan kegagalan
diantaranya. Gambaran tentang sebaran
kegagalan dapat ditunjukan sebagai berikut
2)

= +
0
1 ) ( ) 0 ( dt t g p
Sehingga densitas kegagalannya adalah
selainnya
t
o p
t g
t f
0
0
) ( 1
) (
) (
=
>

=

Dalam batasan f, fungsi reliabilitas R adalah
x d x f t F t R
t

= = ) ( ) ( 1 ) (
.
Selanjutnya untuk mendapatkan fungsi resiko,
diambil tingkat kegagalan dalam selang kegagalan
[t
1
,t
2
] untuk t
2
t
1
atau t
2
= t
1
+ t dan dapat
ditentukan tingkat selang kegagalan FR(t
1
,t
2
)
merupakan ekspresi peluang bersyarat pada dasar
waktu per unit
]
1
[ . ]
) (
) ( ) (
[ ) , (
1 2 1
2 1
2 1
t t t R
t R t R
t t FR

=

Pengembangan tingkat kegagalan segera
merupakan fungsi dari t atau dinyatakan dengan
h(t) sebagai fungsi resiko sehingga
) (
) (
) (
) ( '
) (
0 ;
) (
1
.
) ( ) (
lim
0 ;
1
.
) (
) ( ) (
lim ) (
t R
t f
t R
t R
t h atau
t
t R t
t t R t R
it
t
t t R
t t R t R
it t h
=

+
=

+
=
karena R(t) = 1 F(t) dan -R(t) = f(t).

Dalam hukum kegagalan eksponensial diambil
asumsi bahwa densitas waktu kegagalan adalah
eksponensial, dan hanya kegagalan random
yang digunakan. Fungsi densitas, fungsi
reliabilitas, dan fungsi resiko diberikan pada
persamaan di bawah ini :
Fungsi densitas atau kepekatan peluang
eksponensial adalah
f (t) = t 0
= 0 lainnya
Fungsi reliabilitas merupakan komplemen fungsi
sebaran dari densitas di atas F(t) = P[Tt] atau
R (t) = P [T > t] = e
-t
t 0
= 0 lainnya
Fungsi resiko adalah rasio dari fungsi densitas
dengan fungsi reliabilitas seperti
h (t) = = t 0
= 0 lainnya
Konstanta resiko diintrepetasikan untuk maksud
bahwa proses kegagalan random (tidak memiliki
memori), yaitu :
P[tTt+t/T>t] =
merupakan suatu kuantitas yang bebas dari t.
Kemudian, jika sebuah komponen adalah fungsi
pada waktu t, ini adalah sebaik yang baru. Sisa
hidup memiliki densitas sama seperti f.






) (
) (
t h
t f
t
t
t t t
e
e
e e

+
=


1
) (
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 193
CONTOH PENERAPAN
1. Sebuah dioda jenis tertentu memiliki sebuah
tingkat kegagalan dinilai 2,3 x 10
-8
kegagalan per jam. Oleh karenanya, pada
pertambahan temperatur tekanan, dirasakan
bahwa rata-rata tingkat kegagalan sekitar 1,5
x 10
-5
kegagalan per jam. Waktu kegagalan
diasumsikan mengikuti eksponensial, jadi
densitas waktu kegagalan adalah
f(t) = (1,5 x 10
-5
) e
-(1,5x10-5)t
untuk t 0
= 0 lainnya
Fungsi reliabilitasnya adalah
R (t) = e
-(1,5x10-5)t
t 0
= 0 lainnya
Fungsi resikonya adalah
h (t) = 1,5 x 10
-5
t 0
= 0 lainnya
Untuk reliabilitas pada t = 10
4
dan t = 10
5

dapat ditentukan sebagai berikut
R (10
4
) = e
-(1,5x10-5).10^4
= 0.86071 dan
R (10
5
) = e
-(1,5x10-5).10^5
= e
-1.5
= 0.22313
Nampak bahwa makin besar t, nilai
reliabilitas nya makin kecil.
2. Sebuah komponen elektronik diketahui
mempunyai sebuah kegunaan daya tahan
yang ditunjukan oleh densitas eksponensial
dengan rata-rata kegagalan 10
-5
kegagalan
per jam atau =10
-5
. Rata-rata waktu
kegagalan = E(X) = 1/ = 10
5
jam. Untuk
menentukan rasio komponen tersebut akan
gagal sebelum rata-rata daya tahan adalah

= = =

/ 1
0
1
63212 . 0 1 )
1
( e dx e T P
x

Dapat diartikan bahwa 63.212 % barang-
barang akan gagal sebelum 10
5
jam.

Fungsi densitasnya adalah
f(t) = 10
-5
e
(10^5)t
untuk t 0
= 0 lainnya

Fungsi reliabilitasnya adalah
R (t) = e
(10^5)t
t 0
= 0 lainnya

Fungsi resikonya adalah
h (t) = 10
-5
t 0
= 0 lainnya

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil kajian tentang peranan fungsi
gamma dalam statistika terdapat beberapa hal
yang dapat dikemukakan, diantaranya adalah :
Fungsi gamma dapat dimodifikasi menjadi
sebaran gamma. Keterkaitan sebaran gamma
dengan beberapa sebaran yang biasa digunakan
dalam kajian statistika, diantaranya adalah
sebaran khi-kuadrat dan sebaran eksponensial,
keduanya merupakan bentuk khusus sebaran
gamma.
Untuk parameter =r/2 dan =2, sebaran
gamma berubah menjadi sebaran khi-kuadrat
dengan derajat bebas r, selanjutnya jika diambil
=1 dan =1/ maka didapat sebaran
eksponensial dengan merupakan parameter
sebaran eksponensial.
Selain dari sebaran khi-kuadrat dan sebaran
eksponensial yang berkaitan dengan sebaran
gamma dan dibahas dalam tulisan ini adalah
sebaran poisson. Penurunan hubungan ini dapat
terlihat dari dua persamaan di bawah ini :


=

=

1
0
1
!
) (
)! 1 (
k
x
x z k
x
e
dz
k
e z

dan


=

=

1
0
1
! ) (
k
x
x z k
x
e
dz
k
e z

Ruas kiri merupakan fungsi kepekatan peluang
sebaran gamma dan ruas kanan merupakan
fungsi peluang sebaran poisson.
Sebaran gamma berkonstribusi terhadap hukum
kegagalan eksponensial yang ditunjukan oleh
keterkaitannya dari masing-masing densitasnya,
sehingga hukum kegagalan eksponensial adalah
ketentuan yang memperhitungkan masalah
waktu kegagalan dengan menggunakan fungsi
densitas eksponensial.
Keterkaitan antara sebaran eksponensial dan
sebaran poisson ditunjukan dengan sejumlah
kejadian yang menyebar poisson sedangkan
waktu diantara kejadian menyebar secara
eksponensial. Misalkan jumlah pesanan suatu
barang tertentu yang diterima setiap minggu
menyebar secara poisson (peubah acak diskrit),
sedangkan waktu antara pesanan menyebar
secara eksponensial (peubah acak kontinu).
Disamping ketentuan di atas, densitas sebaran
eksponensial f(t) juga diperoleh dari densitas
poisson p(x) dengan parameter . Untuk ini
diperhatikan peluang yang tidak terjadi pada
selang [0,t] atau p(0) = P(T>t) = e
-t
, sehingga
densitas eksponensial adalah f(t) = F(t) = e
-t
,
dimana F(t) merupakan fungsi sebaran dari
eksponensial dengan x=0.
Kajian yang berkaitan dengan memperhatikan
waktu kegagalan biasa digunakan dalam
berbagai bidang yang diantaranya adalah
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 194
bidang teknik yang mengukur masa pakai atau
umur dari suatu barang elektrik dan dalam
bidang aktuaria atau asuransi yang prosesnya
dikaitkan dengan usia pesertanya. Jadi dalam
kajian yang berhubungan dengan waktu
kegagalan selalu dikaitkan dengan fungsi
densitas f(t), fungsi reliabilitas R(t) yang
merupakan komplemen dari fungsi sebaran T
atau R(t)=1-F(t) dan fungsi resiko h(t) yang
merupakan rasio dari fungsi densitas dan fungsi
reliabilitas atau h(t) = f(t)/R(t).
Dengan mengetahui pola sebaran dari sesuatu
persolan dan dapat menentukan reliabilitasnya
maka dapat ditentukan besarnya resiko yang
akan didapat, sehingga hal tersebut dapat
dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan
dalam penyelesaian dari persoalan tersebut.


KESIMPULAN

Beberapa kesimpulan dari tulisan ini adalah
sebagai berikut :
Sebaran gamma merupakan cikal bakal dari
beberapa sebaran dalam statistika diantaranya
adalah sebaran poisson, sebaran khi-kuadrat dan
sebaran eksponensial yang merupakan bentuk
khusus sebaran gamma.
Konstribusi sebaran gamma terhadap hukum
kegagalan eksponensial ditunjukan oleh
keterkaitannya dari masing-masing densitasnya.
Sebaran eksponensial, adalah sebaran gamma
dengan parameter =1 dan =1/, dimana
merupakan parameter sebaran eksponensial.
Hukum kegagalan eksponensial adalah
ketentuan yang memperhitungkan masalah
waktu kegagalan dengan densitas yang
digunakan adalah eksponensial
Hubungan sebaran eksponensial dan sebaran
poisson ditunjukan dengan sejumlah kejadian
yang menyebar poisson sedangkan waktu
diantara kejadian menyebar secara
eksponensial. Misalkan jumlah pesanan suatu
barang tertentu yang diterima setiap minggu
menyebar secara poisson (peubah acak diskrit),
sedangkan waktu antara pesanan menyebar
secara eksponensial (peubah acak kontinu).
Densitas sebaran eksponensial f(t) diperoleh
dari densitas poisson p(x) (parameter ) dengan
memperhatikan peluang yang tidak terjadi pada
selang [0,t] atau p(0) = P(T>t) = e
-t
, sehingga
densitas eksponensial adalah f(t) = F(t) = e
-t
.
Dalam kajian yang berhubungan dengan waktu
kegagalan selalu dikaitkan dengan fungsi
densitas f(t), fungsi reliabilitas yang merupakan
komplemen dari fungsi sebaran T atau R(t)=1-
F(t) dan fungsi resiko h(t) = f(t)/R(t).
Kajian yang berkaitan dengan waktu biasa
digunakan dalam berbagai bidang yang
diantaranya adalah bidang teknik dan bidang
aktuaria atau asuransi.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Hogg, R.V. and A.T. Craig. (1995).
Introduction to Mathematical Statistics.
Prentice Hall. Singapore
[2] Rudiansyah (Hines William W. and
Montgomery D); 1990. Probabilita dan
Statistik dalam Ilmu Rekayasa dan
Manajemen. Universitas Indonesia; Jakarta
[3] Sudjana, 2002, Metode Statistika; Tarsito;
Bandung
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI
195
KAJIAN FENOMENA EL-NI O SOUTHERN OSCI LLATI ON
MELALUI PENDEKATAN RANTAI MARKOV 3-STATE

Miftahuddin
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Syiah Kuala

Email: miftah_mft@yahoo.com


ABSTRAK


Salah satu perubahan iklim global cenderung disebabkan oleh fenomena ENSO. Peristiwa ENSO terjadi di daerah
Samudera Pasifik, namun memiliki pengaruh terhadap iklim wilayah Indonesia termasuk Provinsi Aceh. Daerah
kajian meliputi daerah global Nio 3.4 (5LS - 5LU, 120-170BB) dan daerah lokal Provinsi Aceh yang terbagi
menjadi wilayah-wilayah: I (2-3LU, 95-98BT), II (3-4LU, 95-98BT), III (4-5LU, 95-98BT), dan IV (5-
6LU, 95-98BT). Pendekatan yang digunakan adalah rantai Markov waktu diskrit, dengan ruang keadaan yaitu state
1 (normal), state 2 (El-Nio), state 3 (La-Nia). Penelitian ini menggunakan data dari beberapa variabel unsur iklim
(angin, Suhu Permukaan Laut (SPL), anomali SPL, Indeks Osilasi Selatan dan tekanan udara) dari Januari 1951-
Desember 2007 yang diklasifikasikan menurut kriteria masing-masing state. Selanjutnya melalui kriteria tersebut
diamati pola perpindahan state, sehingga memberikan nilai peluang transisi.

Nilai peluang transisi terbesar terjadi pada perpindahan state 22 untuk Nio 3.4 (0.809). Wilayah I sebesar 0.739
pada perpindahan dari state 22. Wilayah II-IV terjadi pada perpindahan state 11, masing-masing 0.747, 0.754,
dan 0.764. Kemudian dikaji relasi ekivalen yang merupakan hubungan komunikasi antar state. Relasi ekivalen terdiri
dari 3 sifat: refleksi, simetri, dan transitif. Sifat refleksi untuk daerah Nio 3.4 dan wilayah I-IV paling banyak terjadi,
masing-masing 481 kali, 487 kali, 485 kali, 471 kali, dan 475 kali. Artinya hubungan antar state lebih bersifat refleksi
dibandingkan sifat simetri dan transitif.

Kata Kunci: ENSO, rantai Markov 3-state, perpindahan state, peluang transisi, relasi ekivalen

PENDAHULUAN

Pemanasan global yang terjadi akibat pencairan es
di bagian kutub tidak luput dari beberapa tindakan
manusia yang merusak lingkungan, baik langsung
seperti efek rumah kaca, metil bromida pada
industri, gas freon, sedangkan tidak langsung
seperti penggunaan spray. Adanya pemanasan
global berakibat terjadinya perubahan cuaca dan
iklim secara menyeluruh. Para ilmuan
memperkirakan selama pemanasan global, daerah
bagian utara dari belahan bumi utara akan
memanas lebih dari daerah lain. Akibatnya,
gunung es akan mencair dan daratan akan
mengecil. Daerah yang sebelumnya mengalami
salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya
lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian
yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta
akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan
lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada
musim dingin dan malam hari akan cenderung
untuk meningkat. Sementara itu Indonesia yang
terletak antara dua benua dan samudera (Pasifik
dan Hindia) sangat dipengaruhi oleh keadaan laut,
darat, dan atmosfer karena adanya telekoneksi. El
Nio merupakan fenomena global, kompleks, dan
berulang dalam periode waktu tertentu yang
terjadi di kawasan sekitar ekuator. Pada mulanya
El Nio diketahui sebagai suatu fenomena alam
yang melanda pantai barat Peru dengan dampak
yang sangat besar terhadap kehidupan
masyarakat. Sedangkan La Nia biasanya akan
muncul beberapa saat setelah terjadi El Nio
dimana keadaannya kebalikan dari El Nio.

Fenomena El Nio tidak sesederhana perkiraan
hanya kejadian lokal yang dialami sepanjang
pantai barat Amerika Selatan. Berdasarkan
Intergovernmental Oceanographic Comission
(1970) menyatakan bahwa kunci proses El Nio
terletak di perairan Indonesia karena sebagai titik
simpul dari sirkulasi Walker atau sirkulasi zonal
(timur-barat) dan Hadley atau sirkulasi meridional
(utara-selatan). Dua sirkulasi ini sangat
mempengaruhi keragaman iklim di Indonesia.
Salah satu penyebab terjadinya gangguan pada
sirkulasi Walker adalah fenomena alam El-Nio
Southern Oscillation (ENSO), [1]. Terjadinya
fenomena El Nio diduga karena adanya
perubahan suhu permukaan laut di bagian timur
Samudera Pasifik yang kemudian berimbas ke
wilayah perairan berada di sekitarnya termasuk
wilayah Indonesia dan memberi dampak luas.
Oleh karena itu, kajian mengenai ENSO
merupakan hal penting baik secara deterministik
maupun stokastik dalam mengungkapan
fenomena tersebut. Sehingga melalui pendekatan
proses stokastik diharapkan dapat bermanfaat
dalam mereduksi efek yang ditimbulkan di masa
mendatang.



Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 196
BAHAN DAN METODE

Cuaca dan Iklim

Cuaca adalah istilah yang digunakan untuk
menguraikan semua fenomena yang banyak dan
pelbagai yang berlaku dalam atmosfer. Istilah ini
biasanya digunakan untuk memaksudkan aktivitas
fenomena ini selama jangka waktu yang pendek,
biasanya tidak lebih dari beberapa hari
panjangnya. Putaran keadaan atmosfer untuk
jangka yang lebih panjang dikenali sebagai iklim.
Hubungan antara keduanya sangat erat berkaitan.
Umpamanya, fenomena El Nio adalah satu
fenomena cuaca, tetapi juga, merupakan suatu ciri
adanya perubahan iklim. Dalam satu jangka
waktu yang lama, terdapat beberapa perubahan
statik yang menentukan iklim, seperti latitud dan
altitude, nisbah darat berbanding permukaan air,
gunung, dan jarak ke kawasan laut berdekatan.
Penentu iklim yang lain lebih dinamik: aliran
lautan yang memiliki tenaga besar antara kawasan
khatulistiwa dan kutub, dan juga tenaga besar
antara laut dan bumi, yang dipengaruhi oleh aliran
laut lainnya. Perubahan pada tahap gas-gas
atmosfer, khususnya gas rumah hijau
mempengaruhi suhu dan jumlah tenaga surya
yang ditahan di atmosfer, dan membawa pada
pemanasan global secara perlahan. Perubahan
yang menentukan iklim amat banyak, dan satu
perubahan akan mengakibatkan interaksi yang
amat kompleks dan menyeluruh [11].

Perbedaan ENSO didasari pada nilai anomali
Suhu Permukaan Laut (SPL) pada daerah di
Samudera Pasifik dekat ekuator bagian tengah dan
timur secara berkala dengan selang waktu tertentu
dan meningkatnya perbedaan tekanan udara antara
daerah Darwin dan daerah Tahiti. Dalam ENSO
dikenal adanya ENSO negatif dan ENSO positif.
Pembagian ENSO ini berdasarkan pada harga
Indeks Osilasi Selatan (IOS) dan perubahan
anomali SPL di Samudera Pasifik,[8]. Pada
fenomena alam El-Nio terjadinya kondisi
menghangatnya suhu air laut yang tidak biasa di
wilayah pantai Amerika Selatan, dan meluas
hingga perairan Peru. Hal ini terjadi pada bulan
Desembar setiap tahun. Pada tahun-tahun normal,
air laut dalam yang bersuhu rendah dan kaya akan
nutrisi bergerak naik ke permukaan di wilayah
dekat pantai. Kondisi ini dikenal dengan
upwelling. Upwelling ini menyebabkan daerah
tersebut sebagai tempat berkumpulnya jutaan
plankton dan ikan.

Pada saat terjadi La-Nia angin pasat timur yang
bertiup di sepanjang Samudera Pasifik menguat
(sirkulasi Walker bergeser ke arah barat).
Sehingga massa air hangat yang terbawa semakin
banyak ke arah Pasifik barat. Akibatnya massa air
dingin di Pasifik timur bergerak ke atas dan
menggantikan massa air hangat yang berpindah
tersebut. Dengan pergantian massa air itulah suhu
permukaan laut mengalami penurunan dari nilai
normalnya. La-Nia umumnya terjadi pada
musim dingin di belahan bumi utara khatulistiwa.
Udara bergerak naik dari wilayah lautan yang
lebih hangat dan bergerak turun ke wilayah lautan
yang lebih dingin. Hal ini menyebabkan aliaran
udara di lapisan permukaan bergerak dari timur ke
barat yang dikenal dengan angin pasat timuran.
Perbedaan temperatur lautan di arah timur ke
barat ini menyebabkan perbedaan tekanan udara
permukaan di antara kedua tempat tersebut, [3].

Peristiwa El-Nio terjadi pada daerah global
Samudera Pasifik memberikan dampak pada
daerah lokal sekitarnya seperti Australia dan
Indonesia,[2]. Peristiwa ini merupakan suatu
proses yang melibatkan banyak faktor alam
sehingga gejalanya sukar diamati. Kejadian El-
Nio biasanya diikuti dengan penurunan curah
hujan dan peningkatan suhu udara, sedangkan
kejadian La-Nia berakibat kenaikan curah hujan
di atas normal yang dapat mendatangkan bencana
banjir. Sehingga dapat memberikan kerugian pada
berbagai bidang kehidupan.

Proses Stokastik

Proses stokastik{ ( ), } X t t T adalah suatu barisan
kejadian yang memenuhi hukum-hukum peluang
yang didefinisikan sebagai barisan variabel acak
X(t). Himpunan T sebagai ruang parameter atau
ruang indeks dari proses stokastik X dan
himpunan semua nilai X(t) yang mungkin sebagai
ruang state dari X. Alam semesta ini yang bersifat
stokastik memunculkan tak hingga proses
stokastik. Proses stokastik merupakan keluarga
variabel acak
( ) { } T t t X |
, dimana T = {0, 1, 2, 3,
..}. Proses dikatakan terhingga (finite) apabila
seluruh kemungkinan kejadian (peluang kejadian)
yang terhingga. Jika X
n
= i maka proses dikatakan
pada state-i pada waktu n. Proses berada pada
state-i maka akan berpindah ke state-j dengan
peluang P
ij
, dan tidak tergantung pada n
didefinisikan,
1 0 0 1 1 1
( | ,..., , ) ( | )
n n n n n n
P X j X i X i X i P X j X i
+ +
= = = = = = =

= P
ij (1)

untuk setiap state i
0
, i
1
,

i
n-i ,
0 n ,[6]. Proses
tersebut dikatakan rantai Markov waktu diskrit
dan
ij
P
disebut peluang transisi

satu langkah [4].


Rantai Markov (RM)

Proses Markov adalah suatu proses stokastik
dengan sifat jika state untuk saat sekarang
diketahui maka peluang state dari proses pada
waktu mendatang tidak dipengaruhi oleh state
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI
197
pada waktu yang lampau. Didefinisikan proses
{ ( ), 0} N t t

sebagai suatu proses menghitung
apabila N(t) menyatakan banyaknya peristiwa
yang terjadi pada selang [0,t]. Proses Poisson
{ ( ), 0} N t t

adalah suatu proses menghitung
dengan waktu antar kejadian peristiwa yang saling
bebas dan semuanya berdistribusi eksponensial,
serta memiliki kenaikan stasioner.

RM dengan indeks parameter diskrit adalah suatu
proses stokastik {X
n
,n = 0,1,} yang mempunyai
ruang state berupa himpunan berhingga. Kelas
dari barisan-barisan variabel acak bernilai
himpunan terhingga (finite) atau terhitung
(countable) sebagai ruang state dan memenuhi
sifat Markovian. Sifat-sifat Markovian merupakan
karakteristik RM, [7].

Misalkan peluang transisi suatu proses bergerak
dari state i akan diikuti oleh state j didefinisikan
pada persamaan (1). Misalkan x
t
vektor berukuran
n x 1, dimana elemen ke-j bernilai 1bila s
t
= j dan
bernilai 0 hal lain, atau :
( )
( )
( )

=
=
=
=
n s jika
s jika
s jika
x
t
t
t
t
1 ,..., 0 , 0 , 0
2 0 ,..., 0 , 1 , 0
1 0 ,..., 0 , 0 , 1


Berdasarkan sifat Markovian:
t t t t t t
Px x x E x x x E = =
+ +
] | [ ,...] , | [
1 1 1
(3)

Matriks peluang transisi n-state dinotasikan:

(
(
(
(

=
nn n n n
n
n
P P P P
P P P P
P P P P
P

3 2 1
2 23 22 21
1 13 12 11


dimana
0
ij
p
dan
1
1 , 1, 2, ,
n
ij
j
p i n
=
= =


(5)

Rantai Markov 3-State

Peluang transisi suatu proses bergerak dari state i
akan diikuti oleh state j. Penggunaan 3-state,
berarti melibatkan tiga keadaan yang saling
berhubungan antar state. Matriks peluang transisi
3-state dinotasikan sebagai:

(
(
(

=
33 32 31
23 22 21
13 12 11
P P P
P P P
P P P
P


(6)
Nilai peluang tersebut dapat digambarkan :




St 1
St 2 St 3
P11
P13
P12
P23
P31 P21
P33
P32
P22


Gambar 1. Diagram peluang transisi state

n
X dimisalkan untuk setiap state yang
memenuhi kriteria dengan kode angka berupa 0
dan 1 dan dilambangkan seperti berikut:
( )
( )
( )

=
=
=
=
3 1 , 0 , 0
2 0 , 1 , 0
1 0 , 0 , 1
state jika
state jika
state jika
X
n

Melalui peluang transisi

satu langkah
ij
P
, dapat
diketahui peluang transisi untuk n langkah
berikutnya
n
ij
P
dengan proses state i berpindah ke
state j setelah n transisi keadaan.

) 1 | ( = = =
+ m m n
n
ij
X j X P P

1 n
,
1 , j i

Persamaan Chapman-Kolgomorov untuk peluang
transisi untuk n langkah:

=
+
+
= = = =
1
1
} 1 } | {
k
n
ik
m
kj m n
m n
ij
P P i X j X P P

Tampak bahwa persamaan (7) merupakan
perkalian antara baris dan kolom dari dua matriks.
Bila
n
ij
P adalah matriks peluang transisi n periode
maka:
) ( ) ( ) ( m n m n
P P P =
+

Dengan menggunakan induksi diperoleh:
) ( ) 2 (
) 1 ( ) (
n n
n n
P P P P
P P P
= =
=

(8)

Proses dikatakan irreducible bila setiap state
dapat dicapai dari tiap state yang lain baik melalui
transisi langsung maupun melalui beberapa urutan
transisi. RM reducible adalah RM dimana
1
11
= P
,
sebaliknya RM irreducible adalah RM dimana
1
11
< P
,
1
22
< P
, dan
1
33
< P
. Suatu state dikatakan
recurrent jika suatu state dapat terjadi (muncul)
lagi (kebalikannya transient state). Jika proses
adalah finite (jumlah state terbatas) dan
irreducible maka semua state adalah recurrent.
Proses finite yang irreducible harus mengandung
paling sedikit satu state recurrent. Dalam suatu
proses adalah infinite, maka tidak dapat dijamin
bahwa proses bersifat irreducible dengan state
recurrent.

Pada RM dikenal dengan state absorbing yaitu
state yang tidak mengalami perpindahan ke state
selanjutnya. Misalkan pada proses RM telah
masuk dan berada pada state 1 maka seterusnya
akan berada pada state tersebut. Proses RM
dikatakan ergodic bila irreducible, recurrent,
positive, dan aperiodic, [9].

State j dikatakan dapat dicapai (accessible) dari
state i jika terdapat bilangan bulat 1 n dimana
0 >
n
ij
P
. Dengan kata lain, terdapat peluang positif
bahwa dalam berhingga transisi state j dapat
dicapai dari state i. Jika state j dapat dicapai dari
state i dan state i dapat dicapai dari state j, maka i
dan j dikatakan saling berkomunikasi, dinotasikan

(2)



(4)



(7)


Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 198
j i . Jika dua state i dan j tidak saling
berkomunikasi, maka
0 =
n
ij
P
atau
0 =
n
ji
P
untuk
setiap 1 n . Konsep komunikasi merupakan
suatu relasi ekivalen :
(i) i i , (sifat refleksi)
(ii)
j i
,
i j
(sifat simetri) (9)
(iii) j i dan
k j
, k i (sifat transitif)
Dengan relasi ekivalen tersebut, ruang state suatu
RM dapat dikelompokkan ke dalam kelas-kelas
ekivalen. Jika suatu RM hanya memiliki satu
kelas ekivalen (semua state saling
berkomunikasi), maka RM tersebut disebut tak
tereduksi, [6].

Estimasi Parameter

Dalam melakukan pengujian terhadap RM,
matriks peluang transisinya tidak harus diketahui,
melainkan cukup dengan taksirannya. Penentuan
penaksir titik sebuah parameter dapat ditempuh
dengan menggunakan metode seperti metode
kemungkinan maksimum (MLE). Secara umum
definisikan matriks transisi M :

(
(
(
(

=
nn n n
n
n
m m m
m m m
m m m
M

2 1
2 22 21
1 12 11


m
ij
menyatakan banyaknya transisi dari state i ke
j. Kemudian dari matriks tersebut dapat dicari
matriks peluang transisi untuk suatu RM. Peluang
transisi tersebut ditaksir dengan menggunakan
metode MLE. Berdasarkan matriks (10) diperoleh
matriks peluang taksiran,
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(

=
(
(
(
(
(

=



= = =
= = =
= = =


n
j
nj
nn
n
j
nj
n
n
j
nj
n
n
j
j
n
n
j
j
n
j
j
n
j
j
n
n
j
j
n
j
j
nn n n
n
n
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
P P P
P P P
P P P
P
1 1
2
1
1
1
2
2
1
2
22
1
2
21
1
1
1
1
1
12
1
1
11
2 1
2 22 21
1 12 11

(11)


Orde Rantai Markov

Definisi (Orde RM) suatu rantai Markov
dikatakan berorde-r atau (r) jika kemunculan
n
X
hanya bergantung secara langsung pada r
state sebelumnya yaitu
1 n
X
,
2 n
X
,,
r n
X

dan
independen dengan state lainnya. Dengan
demikian, untuk suatu (r), [10].
n
i
n
i
r n
i
r n
i
r n r n r n r n n n n n
r n r n r n r n n n n n
P
i X i X i X i X P
i X i X i X i X i X P
1 ) 1 (
), 1 ( ) 1 ( , 1 1
1 1 , ), 1 ( ) 1 ( , 1 1
) , | (
) , | (



=
= = = = =
= = = = =


(12)


RM (r) artinya state proses di suatu kurun waktu
dipengaruhi secara langsung oleh state di r kurun
waktu sebelumnya. Diperlukan suatu perbaikan
sehingga model RM yang diperoleh menjadi lebih
representatif dalam menggambarkan fenomena
alam yang stokastik. Salah satu perbaikan tersebut
adalah dengan meningkatkan ordenya, (r),
1 r yang berarti dapat digunakan orde-2 ((2)),
[5]. Peluang bersyarat dari suatu RM pada
persamaan (1) dengan peluang state saat n, X
n

tidak hanya bergantung pada X
n-1
melainkan juga
bergantung pada X
n-2
, X
n-3
, dan seterusnya.
Berdasarkan definisi diatas, RM yang telah umum
seperti pada persamaan (1) dinamakan RM
berorde-1, (1) dan jika setiap state tidak
bergantung satu sama lain atau saling bebas maka
dinamakan RM berorde-0, ditulis (0).

Uji Kesesuaian (goodness of fit)

Orde RM ditentukan dengan cara memilih orde
yang paling sesuai dari beberapa alternatif pilihan
orde yang memungkinkan. Dalam melakukan uji
kesesuaian pertama, asumsikan terlebih dahulu
bahwa RM tersebut (r) dimana r menyatakan
orde maksimum yang dikehendaki atau orde yang
masih dapat ditoleransi oleh data. Selanjutnya
dibandingkan dengan apa yang terjadi jika RM
tersebut (r-1). Dengan demikian, hipotesisnya:
H
0
: penggunaan (r) tidak berbeda
dengan (r-1).
H
1
: penggunaan (r) berbeda dengan (r-1).
Berdasarkan definisi orde RM, hipotesis tersebut
H
0
:
kl j kl ij
P P

=

dan H
1
:
kl j kl ij
P P



Statistik uji:


= = = =

=
n
i
n
j
n
k
n
l kl j k ij
kl j k ij kl ij
hit
P m
P m m
1 1 1 1
2
2
)) ( (




Kriteria penolakan: H
0
ditolak maka
2
, 1
2
dk hit


>
.

METODE

Data yang digunakan adalah data sekunder dari
dua wilayah kajian yaitu lokal (provinsi Aceh)
dan global (Nio 3.4). Data diperoleh dari
lembaga penelitian cuaca National Oceanic and
Atmospheric Administrations (NOAA) dari situs
http://www.cpc.noaa.gov. Data yang digunakan
berupa data bulanan dari Januari 1951 hingga
Desember 2007. Variabel yang diamati terdiri
dari:
a) Faktor-faktor global (daerah Nio 3.4 yang
terletak pada 120
o
BB-170
o
BB dan 5
o
LS-
5
o
LU di Samudera Pasifik); X
1
= Angin
(satuan m/s); X
2
= Suhu Permukaan Laut
(SPL) (satuan
o
Celcius); X
3
= Anomali Suhu
Permukaan Laut (ASPL) (satuan
o
Celcius);
daerah perbedaan tekanan udara yaitu daerah
Darwin (12.4
o
LS, 130.9
o
BT) dan Tahiti

(10)


Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI
199
(17.6
o
LS, 149.6
o
BB); X
4
= Indeks Osilasi
Selatan (IOS).
b) Faktor-faktor lokal (provinsi Aceh terletak
pada 2
o
-6
o
LU dan 95
o
-98
o
BT). Faktor-faktor
lokal yang diamati sama untuk setiap
wilayah, yaitu : X
5
= Angin; X
6
= SPL ; X
7
=
ASPL; X
8
= Tekanan Udara (satuan mb).

Dalam kajian, wilayah provinsi Aceh dibagi 4
wilayah berdasarkan garis lintang, yaitu:

1) Wilayah I (2
o
-3
o
LU dan 95
o
-98
o
BT),
meliputi Kab. Simeulue, Singkil,
Subulussalam, dan Aceh Selatan bagian
selatan.
2) Wilayah II (3
o
-4
o
LU dan 95
o
-98
o
BT)
meliputi Kab. Aceh Tenggara, Gayo Lues
bagian selatan, Aceh Barat Daya, dan Aceh
Selatan bagian utara.
3) Wilayah III (4
o
-5
o
LU dan 95
o
-98
o
BT)
meliputi kab/kota Aceh Jaya, Aceh Barat,
Nagan Raya, Pidie bagian selatan, Bener
Meriah, Aceh Tengah, Aceh Timur, Langsa,
Aceh Tamiang, Gayo lues bagian utara, dan
Aceh Utara bagian selatan.
4) Wilayah IV (5
o
-6
o
LU dan 95
o
-98
o
BT)
meliputi kab/kota Sabang, Banda Aceh,
Pidie Jaya, Pidie bagian utara, Bireuen,
Lhokseumawe, dan Aceh Utara bagian utara.


Gambar 2. Posisi daerah Nio 3.4 di Samudera Pasifik,
(Sumber: www.cpc.noaa.gov)


Gambar 3. Pembagian posisi wilayah kajian
Tabel 1. Kriteria state untuk setiap variabel
Daerah Variabel
State 1 State 2 State 3
Normal El-Nio
La-
Nia
Nio 3.4
X
1

Angin
(m/s)
20 25 < 20 > 25
X
2
SPL (
o
C) 25 27 > 27 < 25
X
3

Anomali
SPL (
o
C)
-0.5 0.5 > 0.5 < -0.5
X
4
IOS -0.5 0.5 < -0.5 > 0.5
Aceh
X
5

Angin
(m/s)
20 25 < 20 > 25
X
6
SPL (
o
C) 28 29 > 29 < 28
X
7

Anomali
SPL (
o
C)
-0.5 0.5 > 0.5 < -0.5
X
8

Tekanan
Udara (mb)
-0.5 0.5 < -0.5 > 0.5

HASIL DAN DISKUSI

Analisis Rantai Markov 3-State

Digunakan pendekatan RM 3-state dengan ruang
keadaan diskrit: state 1 (normal), state 2 (El-
Nio), state 3 (La-Nia) dan indeks parameternya
periode bulanan dari 684 data. Misalkan di Nio
3.4, dilakukan pengklasifikasian state terlebih
dahulu berdasarkan tabel 1. Berdasarkan
pengklasifikasian state pola yang terbentuk
menggambarkan perulangan pada state 2 (El-
Nio) yang sering terjadi dalam beberapa kurun
waktu. Seperti bulan Mar 1963-Feb 1964, Juni
1965-Juli 1966, Nov 1968-Feb 1970, Juli 1976-
Juli 1977, April 1982-Juli 1983, April 1986-Mar
1988, Feb 1997-Mar 1998, dan Mar 2002-Juli
2003. Pada state 1 (normal) terjadi dari bulan Juli-
Des 1952, Juli 1959-Juni 1960, Agust 1966-Mei
1967, Agust 1983-Mei 1984, dan AgustDes
1996. Sedangkan untuk state 3 (La-Nia) terjadi
pada Mei 1955-Feb 1956, Mei 1975-Mar 1976,
Juli 1988-Juni 1989, Agust 1998-April 1999, dan
Okt-Des 2007.

Analog pengklasifikasian state untuk variabel
5
X hingga
8
X di wilayah kajian. Pada wilayah
I-IV untuk kondisi state 1 (normal) terjadi dari
Mei 1951-Feb 1952, Mei 1952-Feb 1953, Juli
1953-April 1954. Sedangkan pada state 2 (El-
Nio) untuk wilayah I-III terjadi dari Mar -Nov
1961, Juni 1987-April 1988, dan Jan Nov 1998.
State 3 (La-Nia) tidak terjadi dalam beberapa
waktu yang lama seperti Mar-Juli 1976 untuk
wilayah I, II, dan IV .

Berdasarkan hasil pengklasifikasian selanjutnya
dilakukan identifikasi perpindahan state, sehingga
diperoleh tabel perpindahan state dan peluang
transisi state di Nio 3.4. Analog pada masing-
masing wilayah I-IV untuk identifikasi
perpindahan state. Hasilnya diperoleh pada bulan
Juni 1952- Feb 1953 mengalami perpindahan dari
state 11. Maret-Juni 1971 mengalami
perpindahan dari state 22. Perpindahan dari
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 200
state 33 pada bulan Des 1964 dan Jan-Feb
1974, dan seterusnya.

Setelah dilakukan proses klasifikasi dan
identifikasi perpindahan state dari keadaan saat
ini dengan keadaan sebelumnya, diperoleh pola
perpindahan state untuk Nio 3.4 :

Tabel 2. Pola perpindahan state (dalam frekuensi)
Daerah Dari/ke
State
1
State
2
State
3
Total
Nio
3.4
State 1 167 50 43 260
State 2 48 248 11 307
State 3 44 9 73 126

Perpindahan state pada keadaan El-Nio sering
diikuti pula oleh keadaan La-Nia dalam jangka
waktu beberapa bulan hingga 1 tahun lebih.
Seperti pada bulan Sept 1986 - Mar 1988
mengalami perpindahan dari state 2 2 (El-Nio)
selama 19 bulan. Pada keadaan normal (state
11) perpindahan terjadi pada Agust 1959 - Juni
1960 selama 11 bulan. Sedangkan dari Agust
1988 - Juni 1989 (11 bulan) terjadi keadaan La-
Nia.

Pada wilayah I-IV pola perpindahan state sering
terjadi dari state 11 (normal). Masing-masing
wilayah sebanyak 265 kali, 289 kali, 310 kali, dan
331 kali. Hasil perpindahan state lainnya dan
peluang transisi seperti dibawah ini,

Tabel 3. Pola Perpindahan state dan peluang transisi
state untuk wilayah kajian
Daerah
Pola Perpindahan State/ Peluang Transisi State
Dari/ke State 1 State 2 State 3 Total
Wilayah
I
State 1 265 0.732 69 0.191 28 0.077 362
State 2 72 0.246 218 0.744 3 0.010 293
State 3 25 0.658 5 0.132 8 0.211 38
Wilayah
II
State 1 289 0.747 70 0.181 28 0.072 387
State 2 75 0.278 193 0.715 2 0.007 270
State 3 23 0.639 6 0.167 7 0.194 36
Wilayah
III
State 1 310 0.752 73 0.177 29 0.070 412
State 2 76 0.311 163 0.668 5 0.020 244
State 3 26 0.703 7 0.189 4 0.108 37
Wilayah
IV
State 1 331 0.763 73 0.168 30 0.069 434
State 2 75 0.346 139 0.641 3 0.014 217
State 3 28 0.667 4 0.095 10 0.238 42

Dari pola tersebut dihasilkan nilai peluang transisi
state yang menggambarkan nilai peluang kejadian
setiap perpindahan state. Nilai peluang transisi
state di daerah Nio 3.4 :





Tabel 4. Peluang transisi state
Daerah Dari/ke
State
1
State
2
State
3
Total
Nio
3.4
State 1 0.642 0.192 0.166 1
State 2 0.156 0.808 0.036 1
State 3 0.349 0.071 0.579 1

Nilai peluang transisi state 11 adalah 0.642,
sehingga kemungkinan besar akan terjadi
perpindahan state berbeda sebesar 0.358 yaitu ke
state 2 (0.192) dan ke state 3 (0.166). Peluang
terbesar yaitu 0.808 yang terjadi (state 2 2),
berarti peluang keadaan El-Nio lebih kuat terjadi
daripada keadaan lainnya.

Wilayah I, nilai peluang transisi state terbesar
terjadi (state 22) atau terjadi keadaan El-Nio
(0.744). Sedangkan wilayah II-IV nilai peluang
transisi state terbesar terjadi pada keadaan normal
(state 11). Masing-masing wilayah sebesar
0.747, 0.752, dan 0.763. Nilai peluang transisi
state lainnya terdapat pada tabel 2. Secara
keseluruhan dari hasil nilai peluang transisi state
yang diamati, pada daerah Nio 3.4 dan wilayah I
kejadian El-Nio berlangsung lebih dominan.
Sedangkan di wilayah II-IV kejadian normal lebih
dominan (tabel 3).

Kejadian El-Nio memberikan dampak pada
cuaca dan iklim secara global. Walaupun kejadian
ENSO terjadi pada daerah Nio 3.4 dampak yang
dirasakan sampai pada daerah provinsi Aceh.
Ketika El-Nio, kondisi kemarau atau kekeringan
akan berlangsung panjang dan berakibat luas.
Seperti gagal panen, krisis air bersih, dan
gangguan kesehatan. Keadaan La-Nia juga
terjadi seperti pada tahun 1998-1999 yang
memberi kerugian pada bidang pertanian seperti
banjir. Keadaan ini berulang pada Nov-09- Jan
10. Namun mendatangkan keuntungan bagi
nelayan karena menguatnya upwelling.

Hubungan untuk variabel ASPL dan tekanan
udara di wilayah I-bervariasi. Pada tahun normal
misalnya (1996) wilayah I-IV tampak bahwa data
rata-rata berada pada kisaran -0.5 hingga 0.5.
Sedangkan pada tahun El-Nio, tekanan udara
bernilai positif berbanding terbalik pada daerah
Nio 3.4 (bernilai negatif) dan ASPL bernilai
positif sama dengan daerah Nio 3.4. Sedangkan
pada kondisi tahun La-Nia, variabel tekanan
udara dan ASPL berbanding terbalik di Nio 3.4.
Tekanan udara bernilai negatif dan ASPL bernilai
positif. Hal ini menjelaskan keadaan yang terjadi
di Nio 3.4 akan berpengaruh terhadap kondisi di
provinsi Aceh tergantung intensitas El-Nio dan
La-Nia.

Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI
201






St 1
St 2 St 3
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12










St 3
3
6
7
8
9
St 1
St 2 St 3
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

a. Variabel IOS b. Variabel Anomali SPL




St

St 3
3
4
5
6 7
8
9
10
12
11
St 2
St 1
St 3
1
2
3
4
5
6
7
8 9
10
11
12






7
8
9
10

St 1
St 3 St 2
2
1
3
4
5
6
7 8
9
10
11 12




St 1










c. Variabel SPL d. Variabel Angin
Gambar 4. Pola perpindahan state tahun normal (1996)

Pola perpindahan state pada tahun normal untuk
variabel IOS, ASPL, SPL dan angin dapat dilihat
pada gambar 4. Matriks peluang transisi state
untuk Nio 3.4 :

(
(
(

=
566 . 0 074 . 0 361 . 0
033 . 0 809 . 0 158 . 0
167 . 0 190 . 0 643 . 0
P
(13)

Nilai peluang transisi state dari state 11
(normal) sebesar 0.643, state 2 2 (El-Nio)
sebesar 0.809, state 33 (La-Nia) sebesar
0.566. Terlihat bahwa nilai peluang terbesar
berada pada garis diagonal. Hasil peluang tersebut
dapat divisualisasikan,



00

St 1
St 2 St 3
0.643
0.167 0.190
0.158
0.809
0.033
0.361
0.074
0.566


P





Gambar 5. Diagram nilai peluang transisi state untuk
daerah Nio 3.4

RM untuk daerah Nio 3.4 dan wilayah I-IV
bersifat irreducible dimana
1
11
< P
,
1
22
< P
, dan
1
33
< P
. Melalui persamaan Chapman-
Kolgomorov (7), dapat diketahui bahwa peluang
transisi state untuk n langkah berikutnya. Dari
matriks (13) hasil peluang transisi state untuk
daerah Nio 3.4 di atas sebagai
1
P , dilanjutkan
untuk mendapatkan peluang pada 2, 4, 6, 8, 10,
dan 12 periode mendatang (Feb, Apr, Jun, Agust,
Okt, dan Des 2008).
(
(
(

=
383 . 0 170 . 0 448 . 0
072 . 0 687 . 0 241 . 0
208 . 0 288 . 0 504 . 0
2
P

(
(
(

=
252 . 0 312 . 0 439 . 0
127 . 0 554 . 0 319 . 0
205 . 0 379 . 0 417 . 0
4
P

(
(
(

=
210 . 0 383 . 0 409 . 0
155 . 0 494 . 0 352 . 0
193 . 0 415 . 0 393 . 0
6
P

(
(
(

=
193 . 0 417 . 0 393 . 0
167 . 0 467 . 0 366 . 0
185 . 0 431 . 0 385 . 0
8
P

(
(
(

=
186 . 0 433 . 0 385 . 0
174 . 0 455 . 0 372 . 0
182 . 0 439 . 0 381 . 0
10
P

(
(
(

=
182 . 0 439 . 0 382 . 0
177 . 0 449 . 0 375 . 0
181 . 0 442 . 0 379 . 0
12
P


Hasil yang diperoleh nilai peluang transisi state
terbesar pada P
1
(0.809) yaitu P
22
(state 22).
Selanjutnya pada P
2
hingga P
12
(artinya dari Feb -
Des 2008) nilai peluang transisi state P
22

mengalami penurunan. Dari 0.687 menjadi 0.554,
selanjutnya 0.494, 0.467, 0.455, dan akhirnya
0.449. Artinya ada perubahan keadaan untuk 2
periode mendatang dengan peluang keadaan
sebesar 0.687, sedangkan untuk 4 periode
mendatang sebesar 0.554 dan seterusnya.

Nilai peluang transisi state lainnya, dari state
12 P
12
; pada P
1
nilai peluangnya 0.190, untuk
P
2
(0.288), P
4
(0.379), P
6
(0.415), P
8
(0.431),
P
10
(
0.439), dan P
12
(
0.442). Pada perpindahan dari
state 31 (P
31
) nilai peluangnya P
1
(0.361), P
2
(0.448), dan P
4
(0.439). Adapun perubahan nilai
peluang transisi state untuk 28 periode mendatang
(Sept 08- Des 2010) di Nino 3.4, seperti matriks-
matriks berikut,
(
(
(

=
579 . 0 071 . 0 349 . 0
036 . 0 808 . 0 156 . 0
165 . 0 192 . 0 642 . 0
1
P

(
(
(

=
233 . 0 348 . 0 415 . 0
148 . 0 516 . 0 335 . 0
202 . 0 399 . 0 395 . 0
5
P
(
(
(

=
193 . 0 420 . 0 380 . 0
176 . 0 456 . 0 364 . 0
187 . 0 431 . 0 375 . 0
9
P

(
(
(

=
185 . 0 435 . 0 372 . 0
182 . 0 443 . 0 369 . 0
184 . 0 437 . 0 371 . 0
13
P

(
(
(

=
183 . 0 437 . 0 369 . 0
183 . 0 440 . 0 370 . 0
183 . 0 438 . 0 369 . 0
17
P

(
(
(

=
182 . 0 436 . 0 368 . 0
182 . 0 438 . 0 369 . 0
182 . 0 437 . 0 368 . 0
21
P

(
(
(

=
181 . 0 436 . 0 367 . 0
182 . 0 457 . 0 369 . 0
182 . 0 436 . 0 368 . 0
25
P

(
(
(

=
181 . 0 435 . 0 367 . 0
182 . 0 436 . 0 368 . 0
181 . 0 435 . 0 367 . 0
28
P

Analog untuk masing-masing wilayah I-IV
diperoleh nilai peluang transisi state.

Estimasi Parameter dengan Metode Maximum
Likelihood Estimation (MLE)

Dari matriks (10) dapat ditaksir matriks peluang
transisinya. Pada daerah Nio 3.4 telah diperoleh
pola perpindahan state, dalam matriks
(
(
(

=
(
(
(

=
73 9 44
11 248 48
43 50 167
33 32 31
23 22 21
13 12 11
m m m
m m m
m m m
M
(14)
Sehingga diperoleh taksiran peluang matriks
(
(
(

=
(
(
(
(
(

566 . 0 074 . 0 361 . 0


033 . 0 809 . 0 158 . 0
167 . 0 190 . 0 643 . 0
33 32 31
23 22 21
13 12 11
P P P
P P P
P P P
P

Nilai taksiran untuk

11
P
(0.643),

22
P
(0.809), dan

33
P
(0.566). Artinya nilai taksiran untuk peluang
dari state 2 2 (atau kejadian El-Nio 0.809),
begitu pula untuk nilai taksiran 0.566 untuk
perpindahan state 33 (La-Nia). Analog untuk
wilayah I-IV menggunakan (Tabel 3).



Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 202
Kaitan Relasi Ekivalen dalam ENSO

Hubungan komunikasi merupakan suatu relasi
ekivalen yang bersifat refleksi, simetri, dan
transitif. Berdasarkan pada persamaan (9), untuk
daerah Nio 3.4 diperoleh gambaran relasi
ekivalen antar state saat ini dan state sebelumnya.
Perpindahan state pada bulan April ke Mei 1951
yaitu dari state 22, relasi ekivalennya bersifat
refleksi. Pada Mei ke Juni 1951 perpindahan state
21 bersifat simetri. Sedangkan dari Jan-Mar
1951 relasinya bersifat transitif state 31 dan
diteruskan ke state 2. Analog relasi ekivalen
untuk masing-masing wilayah I-IV. Hasil
frekuensi relasi ekivalen terdapat pada tabel 5.

Pada daerah Nio 3.4 tampak terjalin suatu
komunikasi dimana relasi ekivalen yang paling
sering terjadi adalah refleksi.Wilayah I memiliki
hubungan refleksi terbanyak 487 kali (baik dari
state 11, state 22, atau state 33) dengan
interval waktu yang panjang. Seperti pada Mei
1951-Feb 1952, Mei 1952-Feb 1953, dan Juli
1953-April 1954 (selama 8 bulan) sifat refleksi
yang terjadi yaitu state 11 (berarti adanya
keadaan normal). Relasi ekivalen dari state 22
(El-Nio) terjadi pada bulan Mar-Nov 1961 dan
Feb-Okt 1990 (selama 9 bulan).

Tabel 5. Frekuensi relasi ekivalen antar state
Tahun Daerah Refleksi Simetri Transitif
1951-2007
Nio 3.4 481 173 28
Wilayah I 487 174 22
Wilayah II 485 177 20
Wilayah
III
471 188 24
Wilayah
IV
475 189 19

Relasi ekivalen bersifat simetri paling banyak
terjadi pada wilayah IV (189 kali). Hubungan ini
dapat terjadi dari state 12 atau ke state 3
ataupun sebaliknya. Sebanyak 68 kali terjadi dari
state 21 dan 61 kali (state 12). Sedangkan
sifat transitif yang melibatkan hubungan ketiga
state dalam pola perpindahannya. Sifat transitif
lebih banyak terjadi pada daerah Nio 3.4 (28
kali). Sebagai contoh, state 31 dilanjutkan ke
state 2 yang lebih tepatnya terjadi dari bulan Jan-
Mar terjadi pada tahun 1951, 1986, dan 1997.
Artinya pada tahun tersebut adanya suatu
hubungan dari keadaan La-Nia ke normal,
kemudian terjadi perubahan lagi ke keadaan El-
Nio.






Orde Rantai Markov

Pengujian terhadap RM (0) artinya setiap
keadaannya tidak bergantung satu sama lain. Dari
hasil pengklasifikasian data, diperoleh hasil untuk
setiap daerah kajian,

Tabel 6. Rantai Markov (0)
Daerah
Pola Perpindahan State Peluang Transisi State
State
1
State
2
State
3
Total
State
1
State
2
State
3
Total
Nio
3.4
258 304 122 684 0.377 0.444 0.178 1
Wilayah
I
362 284 38 684 0.529 0.415 0.056 1
Wilayah
II
387 261 36 684 0.566 0.382 0.053 1
Wilayah
III
410 237 37 684 0.599 0.346 0.054 1
Wilayah
IV
432 210 42 684 0.632 0.307 0.061 1

RM (1) artinya proses state dalam suatu kurun
waktu dipengaruhi secara langsung oleh state di
satu kurun waktu sebelumnya (adanya
ketergantungan satu sama lain). Sedangkan RM
(2) yaitu proses state dalam suatu kurun waktu
dipengaruhi secara langsung oleh state di 2 kurun
waktu sebelumnya. Pengolahan data untuk (1)
dan (2) dilakukan terlebih dahulu melalui
klasifikasi data menurut kriteria state, sehingga
dihasilkan pola dan peluang transisi state. Hasil
RM (2) terdapat elemen-elemen bernilai nol
seperti,
0
323 322 321
= = = m m m
untuk daerah Nio
3.4. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
matriks peluang transisi dengan orde lebih dari 1
untuk data pada daerah Nio 3.4 Pada wilayah I,
II dan IV elemen-elemen yang bernilai nol pada
0
323 322 321
= = = m m m
, sedangkan wilayah III
pada
0
333 332 331
= = = m m m
.

Uji kesesuaian yang dilakukan untuk
membandingkan hasil penggunaan RM dimana
dibandingkan (0) dan (1) untuk setiap wilayah
kajian. Sebagai contoh di Nio 3.4, dari
persamaan (14) dan tabel 6 dibandingkan
penggunaan (0) dan (1). Hipotesisnya:
H
0
:
j ij
P P =
(penggunaan (1) tidak berbeda
dengan (0)) vs H
1
:
j ij
P P

Statistik uji

= =

=
3
1
3
1
2
2
)) ( (
i j j i
j i ij
hit
P m
P m m

474 . 392 =

Berdasarkan hasil pengujian di atas diperoleh
bahwa H
0
ditolak karena >
2
hit
103 . 0
2
2 , 95 . 0
2
= =
tabel
.
Artinya penggunaan (1) ternyata berbeda
dengan (0),
2
hit

untuk wilayah I-IV masing-


masing adalah 224.282, 204.595, 165.717, dan
177.096. Dengan demikian
2
2 , 95 . 0
2
>
hit
, berarti
penggunaan (1) lebih baik daripada (0).


Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI
203
KESIMPULAN

Perubahan state dalam wilayah kajian (lokal) dan
Nino 3.4 (global) melalui pendekatan RM 3-state
menunjukkan bahwa frekuensi perubahan secara
urut: lebih dominan dari state 22, state 11
dan state 33, di Nino 3.4; Sedangkan wilayah I
IV secara urut: dari state 11, state 22 dan
state 33. Perubahan ini akan mempengaruhi
besar peluang transisi state. Gambaran pola
perpindahan state untuk wilayah kajian (lokal)
menunjukkan lebih variatif dibandingkan dengan
Nino 3.4 (global).

Nilai peluang transisi state terbesar pada daerah
Nio 3.4 terjadi pada perpindahan state 22 (El-
Nio) sebesar 0.809. Untuk wilayah I (kab.
Simeulue, Singkil, Subulussalam, dan Aceh
Selatan bagian selatan) nilai peluang transisi state
terbesar terjadi pada keadaan El-Nio (state 22)
sebesar 0.739. Untuk wilayah II (kab. Aceh
Tenggara, Gayo Lues, dan sekitarnya), wilayah III
(kab. Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Bener
Meriah, dan sekitarnya), dan wilayah IV
(kotamadya Sabang, Banda Aceh, dan sekitarnya)
nilai peluang transisi state terbesar terjadi dari
state 11 (normal) sebesar 0.747, 0.754, dan
0.764.

Dari variabel yang digunakan menunjukkan
bahwa variabel IOS dan ASPL hanya terjalin
hubungan antara state 1 dan state 3. Umumnya
perpindahan state terjadi pada variabel IOS dari
state 33 dan ASPL dari state 11, (relasi
ekivalen yang bersifat refleksi). Untuk variabel
SPL terjalin hubungan antara state 12,
walaupun perpindahan state lebih bersifat refleksi.
Demikian pula variabel angin walaupun terdapat
hubungan antara state 1, 2, dan 3, tetapi lebih
bersifat refleksi di state 2 dan 3. Dari hasil uji khi-
kuadrat menunjukkan bahwa penggunaan orde
rantai markov, (1) lebih baik daripada (0) dan
(2).





UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada DP2M
Dikti yang telah membiayai penelitian ini melalui
Hibah Bersaing tahun 2009. Terima kasih pula
kepada Lembaga Penelitian Unsyiah, Jurusan
Matematika dan Jurusan Kelautan FMIPA
Unsyiah, serta semua pihak yang telah membantu
dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Effendy, S., 2001, Urgensi Prediksi Cuaca
dan Iklim di Bursa Komoditas Unggulan
Pertanian, Makalah Falsafah Sains PPs IPB
http://www.rudyct.tripod.com.Diakses
tanggal 24 Mei 2008.
[2] Irawan, B, 2006, Fenomena Anomali Iklim
El-Nino dan La-Nina, Forum penelitian
Agro Ekonomi Volume 24 No.1 (28-45).
[3] Lockwood, J. G., J. R. Mather, 2005,
Encyclopedia of World Climatology,
Springer, New York.
[4] Osaki, S., 1992, Applied Stochastic System
Modelling, Springer-Verlag, New York.
[5] Reza, M. A., 2007, Penentuan Peluang
Transisi t Langkah dan Uji Orde Dari Suatu
Rantai Markov (r) Studi Kasus: Barisan
Basa Nukleotida Spesies Homo Sapiens,
Skripsi, ITB, Bandung.
[6] Ross, M. S., 1996, Stochastic Processes 2
nd
,
John Wiley & Sons, Inc., New York.
[7] Ross, M. S., 2000, Introducion to
Probability Models. Seventh Edition, John
Wiley & Sons, Inc.
[8] Setiawan, A., 2005, Oseanografi Awal
Bermula Kehidupan di laut (ENSO),
http://www.oseanografi.blogspot.com.
Diakses tanggal 17 Februari 2008.
[9] Suprayogi, 2008, Rantai Markov,
http://www.ti.itb.ac.id/~myti/ files/Diakses
tanggal 14 Januari 2009.
[10] Taylor, H. M., S. Karlin, 1993, An
Introduction to Stochastic Modelling,
Academic Press, California.
[11] Tjasyono, B, 1999, Klimatologi Umum, ITB,
Bandung.


Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI
205
PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK ANALISIS EKONOMI
DENGAN PARAMETER KETIDAKPASTIAN MENGGUNAKAN
METODA LATI N HYPERCUBE SAMPLI NG

Mike Susmikanti, Dinan Andiwijayakusuma, Entin Hartini
Pusat Pengembangan Informasi Nuklir-BATAN
Kawasan PUSPIPTEK Gd. 71, Serpong, Tangerang

mike@batan.go.id


ABSTRAK

Pemodelan dan simulasi dapat digunakan sebagai pendekatan berbagai penyelesaian masalah yang berhubungan
dengan analisis ekonomi yang mempunyai beberapa parameter ketidakpastian. Pada umumnya nilai parameter
ketidakpastian berada dalam batasan tertentu. Dalam tulisan ini dilakukan pengembangan perangkat lunak untuk
analisis propagasi ketidakpastian terhadap model ekonomi dengan beberapa parameter ketidakpastian yang dapat
memberikan hasil yang optimal sebagai pendukung keputusan. Simulasi perhitungan terhadap model ekonomi
dengan parameter ketidakpastian akan dikembangkan menggunakan metoda Latin Hypercube Sampling (LHS).
Dalam hal ini dilakukan simulasi pembangkitan sampel acak menggunakan LHS terhadap beberapa parameter
ketidakpastian berbasis metoda Monte Carlo. Metode Latin Hypercube Sampling merupakan prosedur sampling
yang digunakan untuk mendapatkan simulasi sebaran data acak yang akurat dengan melibatkan beberapa parameter
ketidakpastian yang masing-masing memiliki sebaran peluang. Data simulasi diambil dari data Reservoir-X
Lapangan Badak Kalimantan Timur. Dapat ditentukan hasil ketidakpastian dari model ekonomi yang disebabkan
oleh ketidakpastian parameter masukan yang berpengaruh. Diharapkan simulasi ini dapat membantu dalam hal
pengambilan keputusan dengan beberapa parameter ketidakpastian yang memberikan hasil optimal. Dilakukan pula
analisis sensitivitas terhadap parameter-parameter ketidakpastian yang berpengaruh. Sistem perangkat lunak ini
dikembangkan menggunakan open source dan multiplatform.

Kata kunci : Ketidakpastian, Sensitivitas, Latin Hypercube Sampling, Monte Carlo, Analisis Ekonomi


PENDAHULUAN

Pengembangan perangkat lunak terhadap simulasi
dan pemodelan digunakan sebagai pendekatan
berbagai penyelesaian masalah yang berhubungan
dengan analisis ekonomi terhadap beberapa
parameter ketidakpastian. Pada umumnya nilai
parameter ketidakpastian berada dalam batasan
tertentu. Pengembangan perangkat lunak untuk
analisis propagasi ketidakpastian terhadap model
ekonomi ini diharapkan dapat memberikan hasil
yang optimal sebagai alternatif pengganti
perangkat lunak siap pakai seperti perangkat
lunak Crystal Ball, sehingga dapat dilakukan
penekanan biaya serta dimodifikasi sesuai
kebutuhan.

Analisis ekonomi dengan parameter
ketidakpastian akan dikembangkan menggunakan
metoda Latin Hypercube Sampling (LHS). Metode
ini merupakan prosedur sampling untuk
mendapatkan simulasi sebaran data acak yang
akurat dengan melibatkan beberapa parameter
ketidakpastian yang masing-masing memiliki
sebaran peluang. Pembangkitan bilangan acak
dilakukan berdasarkan metoda Monte Carlo
sesuai dengan sebaran peluangnya. Dapat
ditentukan hasil ketidakpastian dari model
ekonomi yang disebabkan oleh ketidakpastian
parameter masukan yang berpengaruh. Data
simulasi diambil dari data reservoir gas-X
Lapangan Natural Gas (LNG) Badak Kalimantan
Timur yang ditemukan pada lingkungan delta.
Biaya pengembangan produksi reservoir tersebut
cukup rendah, karena merupakan reservoir
alamiah dan pemboran dilakukan cukup dangkal.
Gas tersebut diekspor ke Jepang, Korea Selatan
dan Taiwan. Analisis ekonomi dilakukan untuk
mengetahui profitabilitas suatu proyek. Beberapa
parameter yang digunakan dalam menganalisa
profitabilitas suatu proyek adalah Net Present
Value (NPV) dan Rate of Return (ROR) yang
dipengaruhi parameter Original Gas in Place
(OGIP), laju penurunan produksi pertahun
(decline rate) dan waktu penurunan produksi.
Dilakukan pula analisis sensitivitas terhadap
parameter-parameter ketidakpastian yang
berpengaruh. Sistem perangkat lunak ini
dikembangkan menggunakan open source dan
multiplatform.


BAHAN DAN METODE

Analisis ketidakpastian meliputi tahapan
pendefinisian sebaran peluang untuk menyatakan
karakteristik beberapa parameter ketidakpastian,
prosedur sampling, propagasi sampel input
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 206
terhadap model, penampilan hasil analisis
ketidakpastian. Adapun batasan parameter
ketidakpastian diketahui berdasarkan pengalaman
dan informasi para ahli ataupun hasil eksperimen
sebelumnya, sehingga diketahui masing-masing
sebaran peluangnya.

LHS adalah metoda pengambilan sampel
stratified dalam n interval yang dapat
diaplikasikan untuk peubah atau parameter ganda.
Metoda ini digunakan untuk mengurangi jumlah
simulasi Monte Carlo sehingga mencapai sebaran
acak yang akurat dan setiap parameter tercakup
penuh dalam daerah tertentu
[4]
. Sampel acak
yang dibangkitkan dapat mempunyai sebaran
normal, segitiga, seragam dan lainnya

dalam
interval (0,1)
[1,3]
. Parameter ketidakpastian
nx
x x x ,..., ,
2 1
dengan masing-masing nilai batas
dan sebaran peluangnya merupakan masukan
model
)] ( ),..., ( ), ( [ ) (
2 1
x y x y x y x y
ny
=
. Hasil dari
model dapat pula merupakan parameter
ketidakpastian yang akan menjadi masukan
parameter ketidakpastian untuk model lain
[2]
.

Algoritma LHS dapat dinyatakan berikut ini
[4, 9
];
(i) Membagi fungsi kepadatan kumulatif (CDF)
dari setiap parameter kedalam N interval yang
mungkin.
(ii)Untuk setiap interval dipilih suatu nilai secara
acak, pada interval ke-i peluang kumulatif
suatu sampel dapat ditulis sebagai
N i r N i P / ) 1 ( ) / 1 ( ) ( + = : bilangan acak,
sesuai distribusinya dengan range (0,1), N =
banyaknya sampel (trial)
(iii)Transformasi nilai peluang sampel x
menggunakan kebalikan dari fungsi
sebarannya yaitu )) ( (
1
i P F x

=
Untuk analisis model, digunakan model ekonomi
y =f(x), dan x
1
, x
2
, .......x
n
merupakan masukan
parameter ketidakpastian masukan dengan
masing-masing sebaranpeluang dan dalam batasan
tertentu.

Tahapan analisis ketidakpastian dan sensitivitas
dapat dinyatakan sebagai berikut
[6,7]
:
1. Penentuan sampel untuk masing-masing
parameter x
i
.
2. Pembangkitan sampel menggunakan metoda
Latin Hypercube Sampling untuk masing-
masing parameter x
i
:
[ ]
in i i i
x x x x ,..., ,
2 1
= , i = 1, 2, ..., m
dimana n : jumlah parameter masukan dan m:
ukuran sampel.
3. Model ekonomi dihitung untuk masing-
masing parameter
( )
in i i i
x x x f y ,... ,
2 1
= , i=1,2,......m
4. Hasil model ketidakpastian ydinyatakan
dengan diskripsi untuk nilai tengah,

=
=
m
i
i
m y y E
1
/ ) (

dan nilai ragam,
[ ] ) 1 /( ) ( ) (
2
1
=

=
m y E y y V
m
i
i

5. Analisis sensitivitas meliputi kajian hasil
terhadap perubahan parameter tertentu dan
hubungan antara masing-masing parameter

Tahapan Latin Hypercube Sampling untuk
analisis ketidakpastian dapat digambarkan dalam
bentuk diagram alur pada Gambar 1, yaitu
mendefinisikan parameter dan model. Sedangkan
diagram alur untuk membangkitkan sampel
ditunjukkan pada Gambar 2.
















Gambar 1. Diagram alur mendefinisikan parameter
Xi dan model



















Gambar 2 Diagram alur membangkitkan sampel X

Transformasi peluang bagi parameter X
[4]
, jika X
mempunyai sebaran normal dinyatakan dalam
persamaan (1),

+ = ) 1 ) ( * 2 ( * 2 * i P X
(1)
P(i) : Peluang ke-i, : simpangan baku, : nilai
tengah). Persamaan (2) menyatakan, transformasi
START
Memilih Distribusi X
(Normal, Tiangular,Uniform)

Memasukkan parameter karakteristik
sesuai dengan Distribusi X

Men-generate sampel X
1. Mendefinisikan
Y(Xi)
2. Mendefinisikan parameter Xi
3. Menghitung model Y
4. Deskripsi model Y
(Nilai tengah dan ragam)

START
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI
207
peluang jika parameter X mempunyai sebaran
Uniform (a : batas bawah dan b : batas atas),
a a b i P X + = ) ( * ) ( (2)
Persamaan (3) dan (4) menyatakan transformasi
peluang jika parameter X mempunyai sebaran
triangular (Mod : nilai modus, Min : nilai
minimum, Maks : nilai maksimum). Untuk
peluang ke-i P(i) ,dimana
) ( / ) ( ) ( Min Max Min Mod i P , maka
) ( * ) ( * ) ( Min Mod Min Max i P Min X + = (3)
tetapi jika peluang ke-i,
) /( ) ( ) ( Min Max Min Mod i P > , maka
) ( * ) ( * )) ( 1 ( Mod Max Min Max i P Max X =
(4)
dapat pula parameter X mempunyai sebaran lain
misalnya log normal dan lainnya. Diagram alur
perhitungan transformasi peluang X dinyatakan
pada Gambar 3.





































Gambar 3. Diagram alur transformasi peluang X

Analisis ekonomi dilakukan untuk mengetahui
profitabilitas suatu proyek. Beberapa parameter
yang digunakan dalam menganalisa profitabilitas
suatu proyek adalah Net Present Value (NPV) dan
Rate of Return (ROR). NPV merupakan indikator
terhadap seberapa besarnya nilai tambah suatu
investasi proyek untuk perusahaan. NPV
didefinisikan sebagai total nilai sekarang dari
sederetan waktu alur kas dikurangi investasi awal.
NPV merupakan metoda standard untuk proyek
jangka panjang. Dalam ekonomi, ROR
didefinisikan sebagai laju pengembalian modal
(interest rate) dimana jumlah arus kas masuk dan
arus kas keluar sama besar. Penilaian secara
teknik terhadap investasi proyek, harus
menghasilkan berapa besar modal yang
dibutuhkan pada saat investasi serta apakah
investasi tersebut nantinya menghasilkan
keuntungan
[8]
.

Untuk memenuhi permintaan gas, pengembangan
lapangan dan eksplorasi sumur, faktor yang
mempunyai peranan penting yaitu penentuan gas
ditempat atau Original Gas in Place (OGIP), laju
produksi gas atau decline rate (a), waktu
penurunan produksi (t) dan analisis ekonominya
yaitu Nilai Net Present Value (NPV) dan Rate of
Return (ROR). Adapun NPV dan ROR
dipengaruhi oleh parameter Original Gas in Place
(OGIP) atau disingkat GIP, laju penurunan
produksi pertahun (decline rate) dan waktu
penurunan produksi
[8]
. Dalam hal ini dibahas pula
akibat perubahan laju produksi gas terhadap NPV
dan akibat perubahan diskon faktor terhadap
ROR, menggunakan simulasi LHS. Analisis
ekonomi untuk reservoir gas dapat diuraikan
berikut ini. Untuk memperkirakan jumlah gas
mula-mula ditempat atau Original Gas in Place
(OGIP) digunakan metoda penentuan cadangan
secara volumetris yang dinyatakan dengan
persamaan (5)
g
w b
B
S x x V x
OGIP
) 1 ( 43560
=

(5)
OGIP merupakan fungsi dari porositas batuan ,
Saturasi air
w
S , faktor volume formasi gas
g
B ,
Volume bulk reservoir
b
V (Acre-feet) dan nilai
43560 adalah koefisien recovery factor. Bila
dianggap cadangan didalam reservoir seluruhnya
dapat diproduksikan semua, maka nilai gas in
place (GIP) dinyatakan dalam persamaan (6):
a qa qi GIP / ) ( = (6)
sehingga laju penurunan pertahun (%) dapat
dihitung dalam persamaan (7) (GIP = OGIP)

GIP
q q
a
a i
) (
=
(7)
a = laju penurunan per tahun (%);
i
q = laju produksi gas awal (MSCF/hari);
a
q = laju produksi gas abandonment (MSCF/hari)
Banyak sampel (n)
Hitung P(i)=r(1/n)+(i-1)(1/n)
Generate bilangan random (r)
Berdistribusi Normal ?
X= *Sqrt(2)*
(2*P(i)-1)+
Berdistribusi Uniform ?
X=P(i)*
(b-a)+a
Distribusi Triangular
P(i)<=(Mod-min)/(Max-Min)


X=Min+Sqrt(P(i))*(Max-Min)*(Mod-Min)

X=Max-Sqrt(1-P(i))*
(Max-Min)*(Max-Mod)
START
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 208
SCF:Standard Cubic Feet, 1 MMSCF=10
6
SCF
[5]
.
Dengan diperolehnya nilai laju penurunan per
tahun, maka dapat diperkirakan lamanya waktu
(jumlah tahun dari awal hingga akhir penurunan
produksi) yang dinyatakan dalam persamaan (8)
(t dalam tahun),
a
q q
t
a i
) / ln(
= (8)
Kemudian pada tahap akhir dapat dihitung
besarnya nilai tambah perusahaan yang
dinyatakan dalam persamaan (9) (NPV dalam
US$)
TC C
x
e
GP x t x q NPV
x
i

=

)
1
(
(9)
x = (a + j) x t ; GP = harga gas (US$) ;
j = discount factor; C= Biaya Bor (US$);
TC = Total Cost (US$);
NPV = Nilai tambah perusahaan (US$).
Perhitungan laju pengembalian modal diberikan
pada persamaan (10) ( ROR dalam %),
1
/ 1

=
n
Co
NPV
ROR
(10)
Co = Investasi awal (US$) ; n = waktu (tahun)

































Gambar 4 : Sistem diagram alur perhitungan NPV,
ROR laju penurunan dan waktu penurunan produksi
Sistem diagram alur perhitungan NPV, ROR, laju
penurunan dan waktu penurunan produksi dengan
simulasi LHS dinyatakan pada Gambar 4 untuk
masing-masing parameter terhadap kebalikan
fungsi CDF, sesuai sebarannya (normal, seragam,
segitiga) dalam batasan tertentu, sebanyak n
percobaan .

Diagram alur membangkitkan sampel masing-
masing parameter sesuai sebarannya, perhitungan
GIP, a, t, NPV, ROR, laju penurunan, dan waktu
penurunan produksi diuraikan dalam tahap 0
sampai tahap 5 pada Gambar 5.
Tahap 0 :


















Tahap 1 :













Tahap 2 :













START
g
w b
B
S x x V x
GIP
) 1 ( 43560
=



365
) (
x
GIP
q q
a
a i

=

GIP
LHS
q
a


Vb:Uniform; :Segitiga
Sw:Segitiga; q
i
= Segitiga


Bq:Konstanta
Hasil LHS
a

B
q
S
w
Vb


Simulasi LHS

qa

q





GIP


t a



a ; t
NPV

ROR



qi
DATA

Simulasi LHS
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI
209
Tahap 3 :







Tahap 4 :




















Tahap 5 :













Gambar 5. Diagram alur tahap membangkitkan
sampel, perhitungan GIP, NPV, ROR, laju penurunan a,
dan waktu penurunan produksi t


HASIL DAN DISKUSI

Berikut ini hasil pengembangan perangkat lunak
analisis ekonomi beberapa parameter
ketidakpastian, menggunakan Open Source dan
Multi Platform. Adapun bentuk tampilan Menu
Utama dinyatakan dalam Gambar 6,


Gambar 6. Menu utama Distribusi Parameter

Pilihan Distribusi Parameter, akan tampil menu
Nama Parameter dan Jenis Distribusinya.
Pilihan menu <Nama Parameter>, mulai
memilih sub menu masing-masing parameter
antara lain untuk porositas batuan ( ), Saturasi
air (
w
S ), Volume bulk reservoir (
b
V ), jenis
masing-masing distribusinya serta banyak trial.
Pilihan menu <Jenis Distribusi> Triangular,
Uniform, Normal, jika dipilih Normal, akan
tampil isian nilai rata-rata dan standard deviasi.
Kemudian untuk generate sampling LHS, pilih
Generate LHS. Dengan cara yang sama untuk
jenis parameter Volume bulk reservoir (
b
V )
dengan distribusi Uniform diisi nilai minimal dan
maksimal kemudian pilih Generate LHS.
Sedangkan distribusi segitiga diisi nilai minimum,
maksimal dan Modul, Setelah nilai-nilai
parameter porositas batuan ( ), Saturasi air (
w
S
),dan jenis distribusinya dimasukkan dan dipilih,
Pilih Menu GIP untuk Perhitungan Original
Gas in Place. Model (Fungsi Y) yang telah
diberikan, isian nilai tetapan faktor volume
formasi gas (
g
B ), menampilkan analisis
ketidakpastian hasil perhitungan Gas in Place
(GIP). Untuk menampilkan nilai rata-rata dan
simpangan baku, hasil perhitungan GIP serta
confidence interval pilih Deskripsi. Perhitungan
nilai masing-masing korelasi antara GIP dengan
masing-masing jenis parameter porositas batuan (
), Saturasi air (
w
S ) dan Volume bulk reservoir
(
b
V ), pilih Korelasi, seperti halnya ditampilkan
pada Gambar 7.

a
q q
t
a i
) / ln(
=

t

x = k x t
k = a + j
GP, j, c
TC C
x
e
GP x t x q NPV
x
i

=

)
1
(

NPV
Co, n
1
/ 1

=
n
Co
NPV
ROR
ROR
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 210

Gambar 7. Menu perhitungan GIP

Parameter q
i
mempunyai distribusi segitiga diisi
nilai minimal, maksimal dan modus kemudian
pilih Generate LHS. Pilih Menu NPV untuk
Perhitungan Net Present Value. Untuk
menampilkan nilai rata-rata dan simpangan baku,
hasil perhitungan NPV serta confidence interval
pilih Deskripsi. Perhitungan nilai masing-masing
korelasi antara NPV dengan masing-masing jenis
parameter yang mempengaruhi, pilih Korelasi,
seperti halnya ditampilkan pada Gambar 8.


Gambar 8. Menu perhitungan NPV,
Laju dan waktu penurunan produksi

Setelah perhitungan GIP, a, t dan NPV
selanjutnya dilakukan perhitungan ROR dengan
memilih menu ROR. Menampilkan nilai rata-rata
dan simpangan baku, hasil perhitungan ROR serta
confidence interval pilih Deskripsi. Perhitungan
nilai korelasi antara ROR dengan parameternya,
pilih Korelasi, seperti halnya ditampilkan pada
Gambar 9.


Gambar 9. Menu perhitungan ROR

Berikut ini diberikan nilai batas parameter untuk
masing-masing perhitungan GIP, NPV dan ROR
dalam tabel 1, tabel 2 dan tabel 3
[7]
.

Tabel 1. Nilai parameter dan konstanta GIP
Parameter Jenis
Distribusi
Batas
Bawah
Modus Batas
Atas
Vb (Are-ft) Seragam 315,4 - 1422,4
(%)
Segitiga 7,3 12,373 19,4
Sw (%) Segitiga 29,2 44,46 56,8
Bg
(cuft/MSCF)

konstanta

-

3,23

-

Pada tabel 2 diberikan nilai konstanta untuk
perhitungan ROR

Tabel 2. Nilai parameter dan konstanta ROR
Parameter Jenis
Distribusi
Batas
Bawah
Modus Batas
Atas
Co (US$) Konstanta - NPV -
n (tahun) Konstanta - > t -

Pada tabel 3 diberikan nilai parameter q
i
yang
berbeda yaitu (0;1000;2000) atau (0;1000;5000)
MSCF/hari untuk melihat akibat perubahan laju
produksi gas, serta diskon faktor yang berbeda
yaitu 10% atau 20% untuk melihat akibat
perubahan diskon faktor terhadap NPV dan ROR.

Tabel 3. Nilai parameter dan konstanta NPV, Laju
penurunan (a) dan Waktu penurunan (t)
Parameter Jenis
Distribusi
Batas
Bawah
Modus Batas
Atas
qi(MSCF/hr) Segitiga 0 1000 2000
qa(MSCF/hr) Konstanta - 300 -
GP
(US$/MSCF)

Konstanta

-

2,25
-
j (%) Konstanta - 10 -
C(Juta US$) Segitiga 4,00 5,30 7,00
TC
(US$/STB
MSCF)


Konstanta


-


29,35


-

Hasil simulasi perhitungan GIP, NPV, a, t dan
ROR diperoleh dibawah ini dengan asumsi nilai C
dan TC sama dengan 0,

I. Laju produksi gas awal (0;1000;2000)
MSCF/hari dengan diskon faktor 10%;

No Distribusi
Vb
Distribusi

Distribusi
Sw
Hasil
GIP
1 7,37E+02 1,21E-01 4,23E-01 6,97E+05
2 1,03E+03 1,39E-01 4,58E-01 1,04E+06
3 5,88E+02 1,14E-01 4,08E-01 5,35E+05
4 1,22E+03 1,55E-01 4,90E-01 1,31E+06
5 6,82E+02 1,19E-01 4,17E-01 6,36E+05
6 6,62E+02 1,18E-01 4,15E-01 6,14E+05
7 1,02E+03 1,39E-01 4,57E-01 1,04E+06
8 1,25E+03 1,57E-01 4,95E-01 1,34E+06
......
...........
999 4,88E+02 1,09E-01 1,09E-01 4,33E+05
1000 5,09E+02 1,10E-01 1,10E-01 4,53E+05


Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI
211
Nilai rata-rata GIP : 8,7713E05

Simpangan baku GIP :3,8317E05
Nilai rata-rata NPV: 4,5517E03

Simpangan baku NPV:1,8772E03
Nilai rata-rata a: 0,24655
(24,6%) (24,6%)

Simpangan baku a : 0,099697
Nilai rata-rata t : 4,138 tahun

Simpangan baku t:1,0200E00

No Distribusi NPV Hasil ROR
1 3,73E+03 0.00131681
2 5,42E+03 0.00169086
3 2,89E+03 0.00106331
4 6,64E+03 0.00189433
5 3,42E+03 0.00122965
6 3,31E+03 0.00119644
7 5,39E+03 0.00168575
8 6,79E+03 0.00191732
...... ........
999 2,35E+03 0.00206798
1000 2,46E+03 0.00148630

Nilai rata-rata ROR: 0,14168%
Simpangan baku ROR : 0,047%

II. Laju produksi gas awal (0;1000;5000)
MSCF/hari dengan discount factor 10%;

Nilai rata-rata GIP : 8,7713E05

Simpangan baku GIP :3,8314E05

Confidence Level 95% ( 8,5339E05;9,0088E05)
Korelasi Vb dengan GIP adalah 0,99789

Korelasi phi dengan GIP adalah 0,98985

Korelasi Sw dengan GIP adalah0,98981

Korelasi qi dengan GIP adalah 0,96623

Nilai rata-rata NPV : 4,7962E03

Simpangan baku NPV:2,0189E03

Confidence Level 95% (4,6711E03; 4,9213E03)

Nilai rata-rata a :4,8167E-01

Simpangan baku a:1,2265E-01

Confidence Level 95% (4,7407E-01;4,8927E-01)

Nilai rata-rata t :3,1314

Simpangan baku t :7,3951E-01

Confidence Level 95% : (3,0855;3,1772)

Korelasi qi dengan NPV : 0,97256
Korelasi t dengan NPV : 0,94650

Nilai investasi Co = 1,00E03 dan n = 5 tahun
Nilai tengah ROR : 0,14653%

Simpangan baku ROR:0,047888%

Confidence Level 95% (0,14356%;0,14950%)
Korelasi NPV dengan ROR : 0,97579

III. Laju produksi gas awal (0;1000;2000)
MSCF/hari dengan discount factor 20%;


Nilai tengah GIP : 8,7712E05

Simpangan baku GIP :3,8318E05

Nilai tengah NPV : 4,2906E03

Simpangan baku NPV:1,7496E03


Nilai rata-rata a : 4,8173E-01

Simpangan baku a:1,2242E-01

Nilai tengah t : 3,1310E00

Simpangan baku t:7,3993E-01

Nilai investasi Co = 1,00E03 dan n = 5 tahun
Nilai tengah ROR : 1,3587E-03
Simpangan baku ROR:4,6928E-04

IV. Laju produksi gas awal (0;1000;5000)
MSCF/hari dengan discount factor 20%;

Nilai tengah GIP : 8,7712E05

Simpangan baku GIP :3,8318E05

Nilai tengah NPV : 4,2907E03

Simpangan baku NPV:1,7492E03

Nilai rata-rata a : 4,8171E-01

Simpangan baku a:1,2245E-01
Nilai tengah t : 3,1302

Simpangan baku t: :7,3616E-01

Nilai investasi Co = 1,00E03 dan n = 5 tahun
Nilai tengah ROR : 0,13589%
Simpangan baku ROR : 0.0046876

Diperoleh nilai rata-rata GIP 0,87713 BSCF
dengan simpangan baku 0,38317 BSCF. Pada
discount factor 10% dan laju alir gas
abandonment 300 MSCF per hari diperoleh laju
penurunan rata-rata per tahun sebesar 24,6%. Dari
perhitungan laju penurunan rata-rata per tahun,
dapat dihitung lamanya rata-rata umur reservoir
atau sumur berproduksi sampai laju alir gas
abandontment yaitu sekitar 4,14 tahun atau sekitar
4 tahun. Perubahan laju alir gas terhadap nilai
NPV menyatakan bahwa pada laju produksi gas
awal (0;1000;2000) MSCF/hari diperoleh nilai
NPV sebesar 4551,7 US$ sedangkan pada laju
produksi gas awal (0;1000;5000) MSCF/hari
diperoleh nilai NPV sebesar 4796,2 US$.
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 212
Perubahan discount factor terhadap ROR
diperoleh sebagai berikut untuk discount factor
10%, ROR diperoleh 0,14168% untuk investasi
sebesar 1000 US$ dalam waktu 5 tahun.
Sedangkan pada discount factor 20% ROR
diperoleh 0,13587%.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil perhitungan pada analisis
ekonomi, metoda Latin Hypercube Sampling
dapat diterapkan untuk model yang mempunyi
beberapa parameter ketidakpastian. Simulasi LHS
mencakup pengolahan sebaran data acak yang
akurat. LHS dapat diaplikasikan pada kegiatan
eksplorasi dan pada tahap pengembangan awal.
Telah dibuat sistem perangkat lunak berbasis open
source dan multiplatform yang dapat diterapkan
pada model ekonomi maupun model lainnya yang
mempunyai beberapa parameter ketidakpastian.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Athanasion Papoulis S. Unnikrishna Pillai,
2002, Probability, Random Parameters and
Stochastic Proses, McGraw-Hill Education.
[2] Eduardo Sabili, 1997, Descriptive Sampling:
An Improvement Over Latin Hypercube
Sampling, Proceeding of the Winter
Simulation Conference.
[3] http://mathwold.Wolfram.com/2008,
Statistical Distribution.
[4] http://mathieu.fenniak.net/2008, Latin
Hypercube Sampling.
[5] Iwasaki, S.; Kamijo, T.;Takashina, T.;
Tanaka, H, 2004, Large Scale Flue Gas CO2
Recovering/CO2 Cost and Total System for
O2 Enhanced Oil Recovery, Mitsubishi
Heavy Industries, Ltd. Technical Review
Vol. 41 No. 4.



















[6] J.C. Helton and F.J. Davis, 2002, Latin
Hypercube Sampling and the Propagation of
Uncertainty in Analyses of Complex
System, Sandia National Laboratoris, USA.
[7] J.C. Helton and J.D. Johnson, 2006, Survey
of Sampling-Based Methods for Uncertainty
and Sensitivity Anaysis, Sandia National
Laboratoris, USA.
[8] Nuraeni, S; Sugiatmo; Prasetyawan, O;
1997, Analisis Ekonomi dengan
menggunakan simulasi Monte Carlo pada
resevoir-X Lapangan Badak Kalimantan
Timur, Lokakarya Komputasi Dalam Sains
dan Teknologi Nuklir VI, BATAN, Jakarta.
[9] Wahanani, Nursinta, A.; Purwaningsih,
Anik; Setiadipura, Topan; 2009, Latin
Hypercube Sampling for Uncertainty
Analysis, Jurnal of Theoretical and
Computational Studies, Volume 8 - 0408,
ISSN 1979-3898.







Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 213
BIPLOT DAN KORELASI FRAKSI FOSFOR TANAH KAOLINITIK DAN
SMEKTITIK DENGAN SERAPAN FOSFOR PADI SAWAH

Mohammad Masjkur dan I Made Sumertajaya
Departemen Statistika FMIPA-IPB, Bogor, 16680

masjkur@gmail.com


ABSTRAK

Biplot merupakan tampilan grafis ragam dan korelasi antar peubah serta hubungan antar unit dan peubah. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui korelasi bentuk-bentuk P dengan sifat-sifat tanah dan serapan P padi sawah
menggunakan biplot. Hasil biplot menunjukkan bahwa fraksi P-H2O, P-HCl dan Po-NaOH tanah kaolinitik lebih
rendah daripada tanah smektitik, sedangkan fraksi Pi-NaOH tanah kaolinitik lebih tinggi daripada tanah smektitik.
Adapun fraksi Pi-NaHCO3, Po-NaHCO3, P-residu dan P-total tanah kaolinitik dan smektitik relatif sama. Pada tanah
kaolinitik fraksi P-H2O berkorelasi positif dengan serapan P padi sawah, sedangkan fraksi Pi-NaOH berkorelasi
negatif dengan serapan P padi sawah. Adapun Pi-NaHCO3, Po-NaHCO3, , Po-NaOH, P-HCl, P-residu dan P total
berkorelasi tidak nyata. Pada tanah smektitik fraksi Pi-NaHCO3, Po-NaHCO3, dan P-HCl berkorelasi positif dengan
serapan P padi sawah, sedangkan fraksi P-H2O, Pi-NaOH, Po-NaOH, P-residu dan P total berkorelasi tidak nyata.
Metode biplot dapat digunakan untuk tampilan grafis posisi relatif dan korelasi antar peubah fraksi fosfor, sifat-sifat
tanah dan serapan P padi sawah, tetapi untuk tingkat signifikansinya perlu uji nyata beda atau korelasi antar peubah.

Keywords: biplot, korelasi, fraksi fosfor, serapan fosfor, padi sawah.

PENDAHULUAN

Status P tanah umumnya dipelajari dengan
metode ekstraksi sekuensial (Hedley et al., 1982;
Sah and Mikkelsen, 1986). Prosedur-prosedur
fraksionasi sekuensial berdasarkan pada asumsi
bahwa ekstraktan kimia secara selektif melarutkan
kelompok-kelompok senyawa P berbeda.

Prosedur fraksionasi P pada dasarnya berusaha
mengkuantifikasi P tersedia bagi tanaman yaitu P-
terekstrak H2O atau NaHCO3, P berasosiasi
dengan Ca (P teresktrak HCl), P anorganik
berasosiasi dengan Fe-oksida dan Al-oksida (P
terekstrak NaOH), seperti halnya P organik labil
dan stabil (Zheng et al., 2002; Saleque et al.,
2004, Zhang et al., 2006). Tingkat ketersediaan
hara P bagi tanaman dipengaruhi juga oleh sifat-
sifat tanah dan jenis tanaman.

Prosedur statistika biasa digunakan untuk
mengetahui tingkat ketersediaan hara P bagi
tanaman adalah korelasi sederhana Pearson.
Sehubungan dengan hal tersebut biplot
merupakan metode alternatif yang dapat
digunakan untuk menampilkan secara visual data
dua arah (two- way data) satuan tanah dengan
fraksi P, sifat-sifat tanah dan respons tanaman.
Metode biplot merupakan tampilan grafis ragam
dan korelasi antar peubah serta hubungan antar
unit dan peubah (Yan, 2001; Yan et. al., 2001;
Yan, 2002).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi
bentuk-bentuk P tanah kaolinitik dan smektitik
dengan sifat-sifat tanah dan serapan P padi sawah
menggunakan biplot.

TEKNIK BIPLOT

Metode biplot didasarkan pada penguraian nilai
singular (singular value decomposition, SVD).
Misalkan X merupakan matriks data dengan n
obyek pengamatan dan p peubah, maka matriks
data tersebut dapat dituliskan sebagai
penggandaan tiga matriks X = U L A. dengan :
1. U dan A merupakan matriks berukuran (nxr)
dan (pxr) dengan lajur ortonormal.
2. L matriks diagonal berukuran (rxr) dengan
unsur-unsur diagonalnya adalah akar kuadrat
dari akarciri-akar ciri XX atau XX.
3. r pangkat dari matriks X.
Unsur-unsur diagonal matriks L disebut sebagai
nilai singular matriks X. Lajur-lajur matriks A
disebut vektor singular baris yang merupakan
landasan ortonormal baris-baris matriks X dalam
ruang berdimensi p. Sedangkan lajur-lajur
matriks U disebut vektor singular lajur yang
merupakan landasan ortonormal lajur-lajur
matriks X dalam ruang dimensi n (Gabriel, 1971;
Jolliffe, 1986).
Berdasarkan kaidah SVD tersebut Jolliffe (1986)
menjelaskan metode biplot sebagai berikut :
X = U L

L
1-
A = G H
dimana G =U L

, H = L
1-
A. Dengan
demikian setiap unsur matriks X dapat dinyatakan
sebagai
x
ij
= g
i
h
j


Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 214
Jika X berpangkat dua maka representasi vektor
baris (g
i
) dan vektor lajur (h
j
) dapat digambarkan
dalam ruang berdimensi dua. Apabila matriks X
berpangkat lebih dari dua dilakukan aproksimasi
dengan matriks berpangkat dua sehingga
diperoleh,
x
ij
= g
i
*
h
j
*

sedangkan g
i
*
dan h
j
*
berturut-turut memuat dua
unsur pertama vektor g
i
dan h
j
. Dengan
aproksimasi itu matriks X dapat disajikan sebagai
tebaran titik pada bidang datar.
Jika =0 , maka G = U dan H = LA, sehingga
diperoleh :
XX = H H
Karena XX = HH = (n-1) S, maka hasil kali
h
j
h
k
akan sama dengan (n-1) kali peragam s
jk
;
dan h
k
h
k
menggambarkan keragaman peubah ke-
k. Oleh karena itu korelasi antara peubah ke-j dan
ke-k ditunjukkan oleh nilai kosinus sudut antara
vektor h
j
dan h
k
. Jarak Euclidus antar obyek
pengamatan dalam biplot akan sebanding dengan
jarak Mahalanobis antara pengamatan ke-h dan
ke-i (Jolliffe, 1986).
Jika =1, maka G = UL dan H = A, sehingga
diperoleh hubungan :
XX = GG
Pada keadaan ini jarak Euclidus antara g
h
dan g
i

akan sama dengan jarak Euclidus antara x
h
dan x
i
.
Selain itu vektor pengaruh baris ke-i dari g
i
akan
sama dengan skor komponen utama untuk obyek
pengamatan ke-i dari hasil analisis komponen
utama. Hal ini dapat dijelaskan karena G= UL
sehingga unsur-unsur ke-k dari g
i
adalah u
ik

k

= z
ik
yang merupakan skor komponen utama ke-k
dari pengamatan ke-i. Dan dari H=A diperoleh
bahwa vektor pengaruh lajur h
j
sama dengan a
j

yaitu vektor pembobot peubah ke-j pada
komponen utama ke-k (Jolliffe, 1986).

Gabriel (1971) mengemukakan ukuran
aproksimasi matriks X yang dihasilkan biplot
dalam bentuk :

2
= (
1
+
2
) /
k

Jika nilai
2
semakin mendekati nilai satu berarti
biplot yang diperoleh dari matriks aproksimasi
berpangkat dua akan memberikan penyajian yang
semakin baik mengenai informasi-informasi data
asal.
Yan (2001) mengembangkan GGE biplot untuk
melakukan analisis biplot data dua arah dengan
asumsi struktur entry x tester. Yan (2002)
membandingkan empat metode penskalaan nilai
singular (singular value) pada data percobaan
multi-lingkungan dan mendapatkan bahwa
penskalaan simetris lebih sesuai karena
mempunyai sifat-sifat antara metode penskalaan
fokus entry dan tester.

BAHAN DAN METODE

Bahan

Penelitian ini menggunakan data fraksionasi P
pada tanah kaolinitik dan smektitik masing-
masing sebanyak tiga lokasi. Fraksionasi P
menggunakan prosedur Sui et al. (1999) terdiri
dari fraksi P-H2O, Pi-NaHCO3, Po-NaHCO3, Pi-
NaOH, Po-NaOH, P-HCl, P-residu dan P-total.
Jenis penetapan sifat-sifat tanah terdiri dari : pH
H
2
O, C organik, Ca dapat ditukar (NH
4
OAc 1 M
pH 7), Fe dapat ditukar (DTPA), dan Al dapat
ditukar (KCl 1 N). Respons tanaman yang
diamati ialah serapan P padi.

Metode

Analisis biplot dilakukan terhadap data yang
ditransformasi/dibakukan berdasarkan lokasi.
Dalam analisis ini lokasi percobaan diperlakukan
sebagai individu (obyek pengamatan), sedangkan
unsur-unsur yang ditetapkan dari contoh tanah
dan serapan P padi diperlakukan sebagai peubah.

Perbedaan masing-masing fraksi P antar tipe liat
dengan kadar hara P sama (P sedang dan P sangat
tinggi) digunakan uji t dua contoh bebas
(independent two-sample t-test) (Montgomery,
2001).

Uji t dua contoh bebas adalah sebagai berikut :
t
0
=
2 / 1 1 / 1
2 1
n n Sp
y y
+


dimana y1 dan y2 masing-masing rataan fraksi P
tipe liat kaolinitik dan smektitik, n1 dan n2 = 8
(banyaknya contoh), S
2
p
= dugaan ragam
gabungan
2
1
=
2
1
=
2

.

Korelasi bentuk-bentuk P dengan sifat-sifat tanah
dan serapan P pada tanah kaolinitik dan smektitik
juga dianalisis dengan korelasi Pearson.

HASIL DAN DISKUSI

Biplot Fraksi P Tanah Kaolinitik dan
Smektitik

Biplot fraksi P anorganik dan organik tanah
kaolinitik dan smektitik dapat dilihat pada
Gambar 1, menerangkan 74.8 persen keragaman
data. Adapun hasil uji t berpasangan terdapat
pada Tabel Lampiran 1.

Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 215
Gambar 1. Biplot Fraksi P pada tanah kaolinitik dan smektitik
Gambar 1 menunjukkan bahwa tanah smektitik
berada pada posisi sebelah kanan dari biplot,
sedangkan tanah kaolintik berada pada posisi
sebelah kiri dari biplot. Posisi tanah smektitik
relatif berdekatan dan searah dengan vektor
peubah fraksi P-H2O, P-HCl, Po-NaOH, kadar
liat, pH, dan Cadd, sedangkan tanah kaolinitik
berlawanan arah dengan vektor peubah tersebut.
Hal ini berarti bahwa tanah smektitik berasosiasi
dengan nilai tinggi peubah fraksi P-H2O, P-HCl,
Po-NaOH, kadar liat, pH, dan Cadd.

Posisi tanah kaolinitik relatif berdekatan dan
searah dengan vektor peubah fraksi Pi-NaOH,
Aldd dan Fedd, sedangkan tanah smektitik
berlawanan arah dengan vektor peubah tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa tanah kaolinitik
berasosiasi dengan nilai tinggi peubah fraksi Pi-
NaOH, Aldd dan Fedd.

Dengan perkataan lain konsentrasi fraksi P-H2O,
P-HCl dan Po-NaOH tanah smektitik lebih tinggi
(nyata) daripada tanah kaolinitik, sedangkan
konsentrasi fraksi Pi-NaOH, Aldd dan Fedd tanah
kaolinitik lebih tinggi (nyata) daripada tanah
smektitik (Tabel Lampiran 1).

Lebih tingginya konsentrasi fraksi P-H2O, P-HCl
dan Po-NaOH tanah smektitik daripada tanah
kaolinitik nampaknya disebabkan karena posisi
peubah fraksi P-H2O, P-HCl, dan Po-NaOH
searah dengan peubah kadar liat, pH dan Cadd,
tetapi berlawanan arah dengan peubah Fedd dan
Aldd (Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa
fraksi P-H2O, P-HCl dan Po-NaOH berkorelasi
positif (nyata) dengan kadar liat (masing-masing
0.65**, 0.59**, dan 0.56**), pH (masing-masing
0.75**, 0.72**, dan 0.54**), dan Cadd (masing-
masing 0.72**, 0.75**, dan 0.53**); tetapi
berkorelasi negatif (nyata) dengan Fedd (masing-
masing -0.74**, -0.65**, -0.54**) dan Aldd
(masing-masing -0.43*, -0.83**, dan -0.47*)
(Gambar 1 dan Tabel Lampiran 2). Jika kadar liat,
pH dan Cadd tanah semakin tinggi, maka P-H2O,
P-HCl dan Po-NaOH cenderung semakin tinggi
pula. Adapun semakin tingginya Aldd dan Fedd
tanah menunjukkan cenderung semakin
rendahnya P-H2O, P-HCl dan Po-NaOH tanah
bersangkutan.
Lebih tingginya fraksi Pi-NaOH tanah kaolinitik
daripada tanah smektitik disebabkan karena posisi
fraksi Pi-NaOH searah dengan Fedd dan Aldd,
tetapi berlawanan arah dengan pH dan Cadd. Hal
ini menunjukkan bahwa fraksi Pi-NaOH
berkorelasi negatif (nyata) dengan pH dan Cadd
(masing-masing -0.49* dan -0.54*), tetapi
berkorelasi positif nyata dengan Fedd (0.41*) dan
Aldd (0.47*) (Gambar 1 dan Tabel Lampiran 2).
Sesuai dengan temuan Havlin et al. (1999) bahwa
mineral Al-P dan Fe-P (fraksi Pi-NaOH) terutama
terdapat pada tanah masam, sedangkan mineral
Ca-P terdapat pada tanah netral dan berkapur
(calcareous soils).

Biplot menunjukan bahwa peubah fraksi Pi-
NaHCO3, P-residu dan P-total berada pada posisi
bagian tengah dari biplot (Gambar 1). Hal ini
berarti bahwa konsentrasi fraksi Pi-NaHCO3, P-
residu dan P-total tanah kaolinitik dan smektitik
relatif sama (tidak berbeda nyata) (Gambar 1 dan
Tabel Lampiran 1).

Biplot Fraksi P dan Serapan P Padi pada
Tanah Kaolinitik

Biplot fraksi P dan serapan P padi pada tanah
kaolinitik dapat dilihat pada Gambar 2,
menerangkan 68.1 persen keragaman data.
Adapun hasil korelasi Pearson terdapat pada
Tabel Lampiran 3.
KAOL1
KAOL1
KAOL1
KAOL1
KAOL2
KAOL2 KAOL2
KAOL2
SMEK1 SMEK1
SMEK1 SMEK1
SMEK2
SMEK2 SMEK2
SMEK2
pHH
Ca
Fe
Al
PH2O
PI NaC
PONaC
PI NaO
PONaO PHCl
PRes
PTot
Li at
Corg
-1
0
1
2
Di mensi on 1 (55. 9%)
-2 -1 0 1 2
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 216

Gambar 2. Biplot Fraksi P dan Serapan P Padi pada tanah kaolinitik

Gambar 2 menunjukkan bahwa pada tanah
kaolinitik fraksi P-H2O nampak berlawanan arah
(sudut > 90 derajat) dengan Pi-NaHCO3, Po-
NaHCO3, Pi-NaOH, Po-NaOH, P-HCl, dan P-
residu. Hal ini berarti bahwa fraksi P-H2O
berkorelasi negatif dengan Pi-NaHCO3, Po-
NaHCO3, Pi-NaOH, Po-NaOH, P-HCl, dan P-
residu (masing-masing -0.63*, -0.39
tn
, -0.57
tn
,
0.10
tn
, -0.12
tn
, dan -0.26
tn
) (Gambar 2 dan Tabel
Lampiran 3). Korelasi positif (nyata) antara P-
H2O dan Pi-NaHCO3 menunjukkan bahwa
terdapat keseimbangan reaksi antara P-H2O
dengan Pi-NaHCO3. Sesuai dengan temuan
Zheng et al. (2002) bahwa fraksi P-H2O dan Pi-
NaHCO3 keduanya merupakan fraksi P labil,
sehingga meningkatnya fraksi P-H2O akan
mengakibatkan menurunnya fraksi Pi-NaHCO3
atau sebaliknya.

Posisi fraksi Pi-NaHCO3 nampak searah (sudut <
90 derajat) dengan Pi-NaOH, P-HCl, P-residu,
Po-NaHCO3, dan Po-NaOH. Hal ini berarti
bahwa Pi-NaHCO3 berkorelasi positif dengan Pi-
NaOH, P-HCl, P-residu, Po-NaHCO3, dan Po-
NaOH (masing-masing 0.59*, 0.75**, 0.67*,
0.38
tn
dan 0.26
tn
) (Gambar 2 dan Tabel Lampiran
3). Sesuai dengan hasil Buehler et al. (2002)
bahwa fraksi Pi-NaHCO3 (Pi-labil), Pi-NaOH (Pi-
agak labil), P-HCl (P-stabil) dan P-residu masing-
masing berada dalam reaksi keseimbangan.
Zheng et al. (2002) mengemukakan bahwa Pi-
NaOH merupakan sumber dari Pi-NaHCO3 pada
sistem pemupukan mineral, sedangkan P-HCl
dapat terlarut dan bertransformasi menjadi Pi-
NaHCO3.

Pada tanah kaolinitik fraksi P-H2O nampak
searah dengan serapan P tanaman, menunjukkan
bahwa fraksi P-H2O berkorelasi positif (nyata)
dengan serapan P tanaman (0.68*) (Gambar 2 dan
Tabel Lampiran 3). Semakin tinggi fraksi P-H2O,
maka serapan P tanaman cenderung semakin
tinggi pula. Sesuai dengan temuan Stevenson and
Cole (1999) bahwa fosfat larut dalam air
merupakan sumber langsung P bagi tanaman.
Fraksi Pi-NaOH nampak berlawanan arah (sudut
180 derajat) dengan serapan P tanaman,
menunjukkan bahwa fraksi Pi-NaOH berkorelasi
negatif (nyata) dengan serapan P tanaman (-
0.75**) (Gambar 2 dan Tabel Lampiran 3). Hal
ini berarti bahwa fraksi Pi-NaOH pada tanah
kaolinitik cenderung tidak tersedia bagi tanaman.

Biplot menunjukkan bahwa vektor fraksi Pi-
NaHCO3, Po-NaHCO3, P-HCl, dan P-residu serta
P-total nampak berlawanan arah dengan serapan P
tanaman, menunjukkan bahwa fraksi Pi-
NaHCO3, Po-NaHCO3, P-HCl, dan P-residu serta
P-total berkorelasi negatif (tidak nyata) dengan
serapan P tanaman (masing-masing -0.48
tn
, -
0.28
tn
, -0.2
tn
, -0.06
tn
, dan -0.09
tn
) (Gambar 2 dan
Tabel Lampiran 3).
Dengan demikian pada tanah kaolinitik fraksi P-
H2O dapat digunakan sebagai indeks ketersediaan
P bagi padi sawah, sedangkan fraksi Pi-NaHCO3,
Po-NaHCO3, Pi-NaOH, P-HCl, dan P-residu serta
P-total kurang terandalkan sebagai indeks
ketersediaan P padi sawah.

Biplot dan Korelasi Fraksi P dan Serapan P
Padi pada Tanah Smektitik

Biplot fraksi P dan serapan P padi pada tanah
smektitik dapat dilihat pada Gambar 3,
menerangkan 78.9 persen keragaman data.
Adapun hasil korelasi Pearson terdapat pada
Tabel Lampiran 4.
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 217
Gambar 3. Biplot Fraksi P dan Serapan P Padi pada tanah smektitik
Gambar 3 menunjukkan bahwa pada tanah
smektitik vektor peubah fraksi P-H2O nampak
searah (sudut < 90 derajat) dengan P-residu, Pi-
NaHCO3, Po-NaHCO3, Pi-NaOH, Po-NaOH, dan
P-HCl), menunjukkan bahwa fraksi P-H2O
berkorelasi positif dengan P-residu, Pi-NaHCO3,
Po-NaHCO3, Pi-NaOH, Po-NaOH, dan P-HCl
(masing-masing 0.91**, 0.11
tn
, 0.40
tn
, -0.22
tn
,
0.49
tn
, dan 0.17
tn
) (Gambar 3 dan Tabel
Lampiran 4). Korelasi positif (nyata) antara P-
H2O dengan P-residu menunjukkan bahwa
terdapat keseimbangan reaksi antara P-H2O
dengan P-residu. Sesuai dengan hasil Zhang et al.
(2006) bahwa P-H2O dapat bertransformasi
menjadi P-residu atau sebaliknya P-residu dapat
terlarut dan bertransformasi menjadi P-H2O.
Posisi searah (korelasi positif (nyata)) antara
fraksi Pi-NaHCO3 dengan Po-NaHCO3 dan P-
HCl (masing-masing 0.87** dan 0.79**),
menunjukkan adanya keseimbangan reaksi antara
Pi-NaHCO3 dan Po-NaHCO3 (P labil) dengan P-
HCl (P stabil).

Berdasarkan hasil di atas dapat dikatakan bahwa
pada tanah smektitik peningkatan P-residu
cenderung meningkatkan P-H2O, sedangkan
peningkatan P-HCl cenderung meningkatkan Pi-
NaHCO3 dan Po-NaHCO3 atau sebaliknya.
Biplot menunjukkan bahwa pada tanah smektitik
fraksi Pi-NaHCO3, Po-NaHCO3, dan P-HCl
nampak berdekatan dan searah dengan serapan P
tanaman, menunjukkan bahwa fraksi Pi-NaHCO3,
Po-NaHCO3, dan P-HCl berkorelasi positif
(nyata) dengan serapan P tanaman (masing-
masing 0.91**, 0.58*, 0.90**) (Gambar 3 dan
Tabel Lampiran 4).

Fraksi P-H2O, Po-NaOH, dan P-residu serta P-
total juga nampak searah (sudut < 90 derajat)
dengan serapan P tanaman, namun berkorelasi
tidak nyata dengan serapan P tanaman (masing-
masing -0.14
tn
, -0.30
tn
, 0.02
tn
, -0.25
tn
, dan 0.47
tn
)
(Gambar 3 dan Tabel Lampiran 4). Adapun Pi-
NaOH nampak berlawanan arah (sudut > 90
derajat) dengan serapan P tanaman, namun
berkorelasi negatif tidak nyata (-0.30
tn
).

Berdasarkan hasil di atas dapat dikatakan bahwa
fraksi Pi-NaHCO3, Po-NaHCO3 dan P-HCl
terandalkan sebagai indeks ketersediaan P padi
sawah pada tanah smektitik, sedangkan fraksi P-
H2O, Pi-NaOH, Po-NaOH, dan P-residu serta P-
total kurang terandalkan sebagai indeks
ketersediaan P padi sawah.

Diskusi

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa
metode biplot dapat digunakan untuk tampilan
grafis posisi relatif dan korelasi antar peubah
fraksi fosfor, sifat-sifat tanah dan serapan P padi
sawah; namun untuk mengetahui tingkat
signifikansinya perlu uji nyata beda atau korelasi
antar peubah.

Misalnya, Gambar 1 menunjukkan bahwa tanah
smektitik berada pada posisi sebelah kanan dari
biplot, sedangkan tanah kaolintik berada pada
posisi sebelah kiri dari biplot. Tanah smektitik
relatif berdekatan dan searah dengan vektor
peubah fraksi P-H2O, P-HCl, Po-NaOH, kadar
liat, pH, dan Cadd, sedangkan tanah kaolinitik
berlawanan arah. Hal ini berarti bahwa
konsentrasi fraksi P-H2O, P-HCl dan Po-NaOH
tanah smektitik lebih tinggi daripada tanah
kaolinitik. Namun demikian kita tidak tahu
apakah perbedaan tersebut nyata atau tidak,
sehingga untuk mengetahui tingkat
SMEK3
SMEK3
SMEK3
SMEK3
SMEK1
SMEK1
SMEK1
SMEK1
SMEK2
SMEK2
SMEK2
SMEK2
PH2O
PI NaC
PONaC
PI NaO
PONaO
PHCl
PRes
PTot
SerP
-2
-1
0
1
2
Di mensi on 1 (50. 3%)
-1 0 1 2
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 218
signifikansinya perlu uji t dua contoh masing-
masing peubah seperti tercantum pada Tabel
Lampiran 1.

Contoh lainnya adalah Gambar 2 menunjukkan
bahwa fraksi P-H2O nampak berlawanan arah (90
derajat < sudut < 180 derajat) dengan Pi-
NaHCO3, Po-NaHCO3, Pi-NaOH, Po-NaOH, P-
HCl, dan P-residu. Hal ini berarti bahwa fraksi P-
H2O berkorelasi negatif (0 < cosinus sudut (r) < -
1) dengan Pi-NaHCO3, Po-NaHCO3, Pi-NaOH,
Po-NaOH, P-HCl, dan P-residu. Namun
demikian hasil analisis korelasi menunjukkan
bahwa P-H2O berkorelasi negatif (nyata) hanya
dengan Pi-NaHCO3 (-0.63*), sedangkan dengan
fraksi P lainnya (Po-NaHCO3, Pi-NaOH, Po-
NaOH, P-HCl, dan P-residu) berkorelasi tidak
nyata (masing-masing -0.39
tn
, -0.57
tn
, 0.10
tn
, -
0.12
tn
, dan -0.26
tn
) (Gambar 2 dan Tabel
Lampiran 3). Persen keragaman dari biplot dua
dimensi yang tidak mencapai 100 persen (hanya
68, 1 persen) nampaknya menyebabkan cosinus
sudut tidak 100 persen sama dengan koefisien
korelasi, disamping tidak dapat diketahui tingkat
signifikansinya. Dengan demikian analisis biplot
perlu didampingi dengan analisis korelasi untuk
mengetahui tingkat signifikansinya.

KESIMPULAN

Konsentrasi fraksi P-H2O, P-HCl (Ca-P) dan Po-
NaOH tanah kaolinitik nyata lebih rendah
daripada tanah smektitik, sedangkan fraksi Pi-
NaOH (Al-P, Fe-P) tanah kaolinitik nyata lebih
tinggi daripada tanah smektitik. Adapun fraksi
Pi-NaHCO3, Po-NaHCO3, P-residu dan P-total
tanah kaolinitik dan smektitik relatif sama.

Pada tanah kaolinitik fraksi P-H2O cukup baik
sebagai indeks ketersediaan P padi sawah,
sedangkan fraksi Pi-NaHCO3, Po-NaHCO3, Pi-
NaOH, Po-NaOH, P-HCl, P-residu dan P total
kurang terandalkan sebagai indeks ketersediaan P
padi sawah.

Pada tanah smektitik fraksi Pi-NaHCO3, Po-
NaHCO3, dan P-HCl cukup baik sebagai indeks
ketersediaan P padi sawah, sedangkan fraksi P-
H2O, Pi-NaOH, Po-NaOH, P-residu dan P total
kurang terandalkan sebagai indeks ketersediaan P
padi sawah.

Metode biplot dapat digunakan untuk tampilan
grafis posisi relatif dan korelasi antar peubah
fraksi fosfor, sifat-sifat tanah dan serapan P padi
sawah, tetapi untuk tingkat signifikansinya perlu
uji nyata beda atau korelasi antar peubah.



DAFTAR PUSTAKA

[1] Buehler, S., A. Oberson, I. M. Rao, D. K.
Friesen, and E. Frossard. 2002. Sequential
Phosphorus Extraction of 33P-Labeled
Oxisol under Contrasting Agricultural
Systems. . Soil Sci. Am. J. 66:868-877.
[2] Gabriel, K. R. 1971. The Biplot Graphic
Display of Matrices with Application to
Principal Component Analysis. Biometrics
58 : 453-467.
[3] Havlin, J.L., J.D.Beaton, S.L. Tisdale, and
W.L. Nelson. 1999. Soil Fertility and
Fertilizers. An Introduction to Nutrient
Management. Prentice-Hall, New Jersey.
[4] Hedley, M. J., J. W. B. Stewart, and B. S.
Chauhan. 1982. Changes in Inorganic and
Organic Soil Phosphorus Fractions Induced
by Cultivation Practices and by Laboratory
Incubations. Soil Sci. Am. J. 46:970-976.
[5] Jolliffe, I. T. 1986. Principal Component
Analysis. Springer Verlag, New York.
[6] Montgomery, D. C. 2001. Design and
Analysis of Experiments. John Wiley and
Sons, New York.
[7] Sah, R. N., and D. S. Mikkelsen. 1986.
Transformation of Inorganic Phosphorus
During the Flooding and Draining Cycles of
Soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 50:62-67.
[8] Saleque, M. A., U. A. Naher, A. Islam, A. B.
M. B. U. Pathan, A. T. M. S. Hossain, and
C. A. Meisner. 2004. Inorganic and Organic
Phosphorus Fertilizer Effects on the
Phosphorus Fractionation in Wetland Rice
Soils. Soil Sci. Am. J. 68: 1635-1644.
[9] Stevenson, F. J., and M. A. Cole. 1999.
Cycles of Soil. John Wiley and Sons, New
York.
[10] Sui, Y., M. L. Thompson, and C. Shang.
1999. Fractionation of Phosphorus in a
Mollisol Amended with Biosolids. Soil Sci.
Soc. Am. J. 63:1174-1180.
[11] Yan, W., P. L. Cornelius, J. Crossa, and L.
A. Hunt. 2001. Two Types of GGE Biplots
for Analyzing Multi-Environment Trial
Data. Crop Sci. 41:656-663.
[12] Yan, W. 2002. Singular-Value Partitioning
in Biplot Analysis of Multienvironment Trial
Data. Agron. J. 94:990-996.
[13] Yan, W. 2001. GGEbiplot-A Windows
Application for Graphical Analysis of
Multienvironment Trial Data and Other
Types of Two-Way Data. Agron. J.
93:1111-1118.






Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 219
[14] Zhang, Q., G. H. Wang, Y. K. Feng, Q. Z.
Sun, C. Witt, and A. Dobermann. 2006.
Changes in Soil Phosphorus Fractions in a
Calcareous Paddy Soil under Intensive Rice
Cropping. Plant Soil 288:141-154.
[15] Zheng, Z., R. R. Simard, J. Lafond, and L. E.
Parent. 2002. Pathways of Soil Phosphorus
Transformations after 8 Years of Cultivation
under Contrasting Cropping Practices. Soil
Sci. Soc. Am. J. 66:999-1007.


Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 220





Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 221


Statistika


Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 223
MODEL REGRESI POLINOMIAL LOKAL
DAN APLIKASINYA PADA DATA JUMLAH KASUS DEMAM BERDARAH
DENGUE DI KOTA DEPOK

Nurma Nugraha, Yekti Widyaningsih, Sarini Abdullah
Departemen Matematika FMIPA Universitas Indonesia

lagi_bingubg@yahoo.com, yektiwidyaningsih@yahoo.com, sarini@ui.edu


ABSTRAK

Regresi polinomial lokal adalah suatu metode regresi nonparametrik, dengan fungsi regresi yang ditaksir
menggunakan bentuk polinomial. Jika pada regresi polinomial biasa persamaan regresi di-fit untuk seluruh wilayah
data, namun pada regresi polinomial lokal persamaan regresi di-fit sepotong-sepotong. Kemulusan kurva taksiran
regresi ini tergantung pada pemilihan parameter pemulus atau bandwidth, sehingga diperlukan pemilihan bandwidth
yang optimal, yaitu bandwidth yang meminimumkan GCV (Generalized Cross-Validation). Penerapan metode
regresi polinomial lokal ini, dilakukan untuk mendapatkan kurva regresi yang menggambarkan kaitan antara
banyaknya kasus Demam Berdarah Dangue (DBD) dan kepadatan penduduk di Kota Depok pada tahun 2006, 2007,
dan 2008. Hasil yang diperoleh dari pembandingan kurva regresi tersebut adalah terjadi kesamaan pola (trend) kasus
Demam Berdarah Dangue (DBD) di kota Depok pada tahun 2006, 2007 dan 2008.

Keywordas: regresi polinomial lokal, bandwidth, gcv, demam berdarah


PENDAHULUAN

Analisis regresi merupakan suatu metode statistik
untuk menyelidiki dan memodelkan hubungan
antara satu variabel respon Y dengan satu atau
lebih variabel prediktor X . Misalnya, diberikan
himpunan data {
) , (
i
Y
i
X
}, i = 1, , n. Secara
umum hubungan antara Y dan X dapat ditulis
sebagai :
i i
X m
i
Y + = ) (
(1)
dengan
) (x m
adalah suatu fungsi regresi, dan
i

adalah suatu variabel acak yang menggambarkan
variasi Y di sekitar
) (x m
. Permasalahan dalam
analisis regresi adalah menentukan fungsi dugaan
)) ( ( x m yang mewakili keterkaitan antara X dan
Y pada data yang diberikan [1].
Penentuan fungsi dugaan regresi dapat dilakukan
secara parametrik dan nonparametrik. Penaksiran
fungsi dugaan yang paling umum dan sering kali
digunakan adalah penaksiran fungsi dugaan
secara parametrik. Pada penaksiran fungsi secara
parametrik biasanya fungsi regresi diasumsikan
merupakan suatu fungsi yang diketahui bentuknya.
Fungsi tersebut digambarkan oleh sejumlah
hingga parameter yang harus ditaksir. Dalam
regresi parametrik terdapat beberapa asumsi
mengenai model, sehingga diperlukan pengecekan
akan terpenuhinya asumsi tersebut. Namun,
apabila tidak ada referensi bentuk kurva tertentu
maka digunakan penaksiran fungsi regresi secara
nonparametrik yang lebih fleksibel. Salah satu
metode dari regresi nonparametrik adalah metode
regresi polinomial lokal [1].
Dalam tulisan ini akan dibahas metode regresi
polinomial dan penerapan metode ini dilakukan
untuk mendapatkan kurva regresi yang
menggambarkan kaitan antara banyaknya kasus
demam berdarah dangue dan kepadatan penduduk
di Kota Depok pada tahun 2006, 2007, dan 2008.

METODE DAN DATA

Regresi Polinomial Lokal

Regresi polinomial lokal adalah suatu metode
regresi nonparametrik, dimana fungsi regresi
) (x m ditaksir menggunakan bentuk polinomial.
Pada regresi polinomial biasa persamaan regresi
di-fit untuk seluruh wilayah data sedangkan dalam
regresi polinomial lokal persamaan regresi di-fit
hanya dalam lingkungan * x saja.
Menurut Takezawa (2006), persamaan regresi
pada polinomial lokal orde ke- p , untuk nilai
prediktor ) (x yang dekat dengan * x ,
*)) , ( ( x x m
didefinisikan sebagai berikut :

=
+ =
p
j
j
j
x x x a x a x x m
1
0
*) *)( ( *) ( *) , (
(2)
Persamaan (2) bersesuaian dengan sebuah
hampiran yang menggunakan p suku pertama
perluasan deret Taylor dari
) (x m
di sekitar * x dan
*)} ( , *), ( *), ( *), ( {
2 1 0
x a x a x a x a
p

konstanta dan
koefisien dari
j
x x *) (
diperoleh dengan
meminimumkan :
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 224
( ) ( )

= =
=
|
|
.
|

\
|
|
|
.
|

\
|
+ |
.
|

\
|
=
|
|
.
|

\
|
|
.
|

\
|
=
n
i
i
p
j
j
i j
i
n
i
i i
i
lokal
Y x X x a x a
h
x X
w
Y x X m
h
x X
w x E
1
2
1
0
1
2
*) *)( ( *) (
*
* ,
*
*) (
(3)
dengan :
x : Variabel prediktor yang nilainya tidak
teramati namun akan digunakan untuk
menaksir Y
* x : nilai tetap yang ditentukan
h : bandwidth, yaitu konstanta positif yang
menentukan lebarnya lingkungan di
sekitar * x
i
Y
: variabel respon pengamatan i ke
i
X
: variabel prediktor pengamatan i ke
) ( w :fungsi kernel yang dijadikan sebagai
fungsi pembobot.

Bandwith merupakan suatu konstanta positif
untuk menentukan kemulusan kurva taksiran
regresi. Dengan memilih bandwidth yang
mendekati 0 maka taksiran yang didapatkan tidak
mulus bahkan hanya menonjolkan plot datanya
saja. Jika nilai bandwidth semakin besar maka
taksiran yang akan didapat semakin mulus tetapi
dengan konsekuensi biasnya semakin besar. Oleh
karena itu, diperlukan pemilihan bandwidth yang
optimal, yaitu bandwidth meminimumkan nilai
GCV (Generalized Cross-Validation) yang
dinyatakan dengan formula berikut :
2
1
1
2
] [
1 .
)) ( (
|
|
|
|
.
|

\
|

=
=
n
n
X m Y
GCV
n
i
ii
n
i
i i
H
(4)
dengan

=
n
i
ii
1
] [H
adalah trace dari matriks hat (H)
dan n adalah banyaknya pengamatan [1].
Matriks hat berperan penting dalam regresi secara
umum, untuk pendugaan yang menggunakan
penduga linier. Hubungan matriks hat dalam
regresi secara umum adalah :
HY Y =

(5)
dengan
t t
X X X X H
1
) (

=
matriks yang berukuran
nxn [2]. Dalam regresi polinomial lokal, entri dari
matriks hat adalah
|
|
.
|

\
|
=

h
X X
w
k j
j
t t t
kj
' ) ( ] [
1
1
e X WX X e H (6)
dengan elemen diagonal
[H]
kk = ) 0 ( .
11
]
t 1
)
t
( [ w X WX X

(7)
e
1
adalah vektor kolom (1, 0, 0 , 0)
t
yang
berukuran (p+1) x 1.
Fungsi kernel biasanya adalah sebuah fungsi yang
bernilai 0 atau bernilai positif dan w akan
bernilai maksimum ketika 0 * = x X
i
, serta akan
menurun ketika * x X
i
membesar. Ini berarti
data yang berada dalam lingkungan * x akan
memberikan kontribusi yang lebih besar [1].
*) , ( x x m
akan memberikan hampiran yang baik
ketika x dekat dengan * x . Sehingga taksiran
*) , ( x x m
pada saat * x x = adalah
*) ( *) *, (
0
x a x x m =
dan
*)} ( , *), ( *), ( *), ( {
2 1 0
x a x a x a x a
p
didapat dengan
cara yang sama seperti
*)} ( , *), ( *), ( *), ( {
2 1 0
x a x a x a x a
p

, yaitu dengan
meminimumkan persamaan (3) [3].
Fungsi kernel
|
.
|

\
|
h
x X
w
i
*
yang akan digunakan
dalam makalah ini adalah fungsi kernel Gaussian,
yaitu :
|
|
.
|

\
|
|
.
|

\
|
= |
.
|

\
|
2
*
2
1
exp
*
h
x X
h
x X
w
i i
(8)
Untuk mempermudah proses pe-minimum-an
persamaan (3), maka persamaan tersebut dapat
ditulis dalam notasi matriks sebagai berikut :
Matriks X adalah matriks berukuran n x (p+1)
dan X di sini merupakan fungsi dari * x :
(
(
(
(
(
(





=
p
n n n
p
p
p
x X x X x X
x X x X x X
x X x X x X
x X x X x X
*) ( *) ( *) ( 1
*) ( *) ( *) ( 1
*) ( *) ( *) ( 1
*) ( *) ( *) ( 1
2
3
2
3 3
2
2
2 2
1
2
1 1

X
matriks y adalah matriks kolom berukuran n x 1 :
(
(
(

=
n
Y
Y

1
y

matriks diagonal W dengan ukuran n x n :
(
(
(
(
(
(
(
(

|
|
.
|

\
|
|
|
.
|

\
|
|
|
.
|

\
|
=
h
x X
w
h
x X
w
h
x X
w
n
*
0 0
0
*
0
0 0
*

2
1

W

serta matriks a , berukuran (p+1) x 1 :
(
(
(

=
*) (
*) (

0
x a
x a
p
a
Sehingga persamaan (3) dapat ditulis ulang dalam
bentuk matriks sebagai berikut :
) ( ) ( *) ( y Xa W y Xa =
t
x E
lokal
(9)
Maka dengan meminimumkan *) (x E
lokal
maka
akan didapat :
Wy X WX X a
t 1 t
] [

= (10)
Maka
*) ( *) *, (
0
x a x x m =
yang merupakan taksiran
*) , ( x x m pada saat * x x = menjadi :
Statistika


Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 225
0 50 100 150 200 250
x
0
5
0
1
0
0
1
5
0
2
0
0
y
Wy X WX X e a e
t 1 t
1 1
0
] [
0
0
*) (
*) *, (

= =
(
(
(
(

=
t t
x a
x x m


(11)
dengan e
1
adalah vektor kolom (1, 0, 0 , 0)
t

yang berukuran (p+1) x 1.

Data

Kota Depok merupakan salah satu kota yang
setiap tahunnya terkena wabah penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD). DBD merupakan salah
satu penyakit menular yang berbasis lingkungan.
Artinya, kejadian dan penularannya dipengaruhi
oleh berbagai faktor lingkungan. Lingkungan
yang padat penduduk dan sanitasi yang buruk
dapat meningkatkan perkembangbiakan nyamuk
demam berdarah, sehingga meningkatkan jumlah
korban demam berdarah [4].
Dengan menggunakan metode regresi polinomial
lokal berderajat 2 (p = 2) akan dicari kurva regresi
yang menggambarkan kaitan antara banyaknya
kasus demam berdarah dangue dan kepadatan
penduduk di Kota Depok pada tahun 2006, 2007,
dan 2008. Variabel prediktor pada kurva regresi
dalam kasus ini adalah kepadatan penduduk di
tiap kelurahan di Kota Depok dengan variabel
respon adalah banyaknya kasus DBD di setiap
kelurahan tersebut.
Berikut ini adalah hasil pengolahan data mengenai
keterkaitan antara banyaknya kasus DBD dan
kepadatan penduduk di Kota Depok tahun 2006,
2007, 2008 [5], dengan menggunakan metode
regresi polinomial lokal berderajat 2 (p = 2)
fungsi kernel Gaussian dengan memilih
bandwidth yang optimal [6]:










Gambar 1. Plot kurva regresi banyaknya kasus DBD
tahun 2006 dengan metode Regresi Polinomial Lokal
berderajat 2 (p = 2), dengan h = 23.2




















Gambar 2. Plot kurva regresi banyaknya kasus DBD
tahun 2007 dengan metode Regresi Polinomial Lokal
berderajat 2 (p = 2), dengan h = 18.6













Gambar 3. Plot kurva regresi banyaknya kasus DBD
tahun 2008 dengan metode Regresi Polinomial Lokal
berderajat 2 (p = 2), dengan h = 22

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada plot kurva regresi banyaknya kasus DBD
pada tahun 2006, 2007, dan 2008 terlihat bahwa
terjadi kesamaan pola (trend) dan dari ketiga
kurva regresi tersebut (Gambar 1, Gambar 2,
Gambar 3) terlihat bahwa semakin padat
penduduk di suatu daerah maka banyaknya kasus
DBD di daerah tersebut cenderung akan
meningkat.

Ada yang menarik dari kurva regresi tersebut
yaitu pada data ke 57 dan data ke 61, terlihat
bahwa daerah tersebut cukup padat namun
banyaknya kasus DBD pada tahun 2006, 2007,
dan 2008 tidak terlalu tinggi.
Selain untuk melihat pola dari hubungan
banyaknya kasus DBD dengan kepadatan
penduduk di Kota Depok, kurva regresi yang
dihasilkan dengan metode regresi polinomial
lokal ini juga dapat digunakan untuk menaksir
banyaknya kasus DBD yang belum diketahui pada
daerah tertentu.






x
y
0 50 100 150 200 250
0
2
0
4
0
6
0
8
0
1
2
0
x
y
0 50 100 150 200 250
0
5
0
1
0
0
1
5
0
2
0
0
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 226
KESIMPULAN

Regresi polinomial lokal adalah suatu metode
regresi nonparametrik, dimana fungsi regresi
ditaksir menggunakan bentuk polinomial. Jika
pada regresi polinomial biasa persamaan regresi
di-fit untuk seluruh wilayah data maka dalam
regresi polinomial lokal persamaan regresi di-fit
sepotong-sepotong. Dengan menggunakan metode
tersebut data yang tidak berpola dan menyebar
tidak beraturan, tetap dapat dicari kurva
regresinya.

Untuk mendapatkan taksiran kurva yang baik
diperlukan lebar bandwidth yang optimal, yaitu
bandwidth yang meminimumkan GCV.

Dalam penerapan metode Regresi Polinomial
Lokal pada kasus Demam Berdarah Dangue
(DBD) di Kota Depok, terlihat kesamaan pola
(trend) pada kurva regresi yang dihasilkan pada
tahun 2006, 2007, dan 2008. Trend yang
dihasilkan adalah trend naik yiatu semakin padat
penduduk di suatu daerah maka banyaknya kasus
DBD di daerah tersebut cenderung akan
meningkat, tetapi pada data ke 57 dan data ke 61,
terlihat bahwa daerah tersebut cukup padat namun
banyaknya kasus DBD pada tahun 2006, 2007,
dan 2008 tidak terlalu tinggi. Dan kurva regresi
yang dihasilkan oleh metode regresi polinomial
lokal ini juga dapat digunakan untuk menaksir
banyaknya kasus DBD yang belum diketahui
asalkan besar kepadatan penduduk di daerah
tersebut diketahui .
Untuk mendapatkan taksiran yang lebih teliti,
penulis menyarankan untuk membuat jarak antar
* x sekecil mungkin. Pada tulisan ini penulis
menyadari keterbatasan metode yang dibahas
hanya untuk polinomial orde 2 dan menggunakan
fungsi kernel Gaussian saja, padahal pemilihan
fungsi Kernel juga penting dalam mencari
taksiran kurva regresi. Untuk itu metode ini dapat
dikembangkan untuk polinomial orde 3 dan
pemilihan fungsi kernel.
DAFTAR PUSTAKA

[1] Badan Pusat Statistik Kota Depok . Kota
Depok Dalam Angka Tahun 2008.
[2] Dinas Kesehatan Kota Depok . Data
rekapitulasi kasus DBD di Kota Depok
menurut kelurahan tahun 2006, 2007, dan
2008..
[3] Edwin J Purcell, Dale Varberg, Steven E.
Rigdon. 2003. Kalkulus. Prentice Hall, Inc.
[4] Hardle, Wolfgang. 1990. Smoothing
Techniques With Implementation in S. New
York: Springer Verlag.
[5] Montgomery, Douglas. 1991. Introduction
To Linear Regression Analysis. New York:
John Wiley & Sons, Inc
[6] Takezawa, Konio. 2006. Introduction to
Nonparametric Regression. New Jersey:
John Wiley & Sons, Inc.

























Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 227
PENAKSIRAN PARAMETER PADA
CLASSI CAL ERROR I N VARI ABLE MODEL

Raisa Pratiwi , Siti Nurrohmah , Dian Lestari

Departemen Matematika FMIPA- UI

rap50@ui.ac.id, nurohmah@ui.ac.id, aurora@ui.ac.id


ABSTRAK

Error in variable model adalah model regresi dimana variabel independennya mengandung error. Hal ini
dikarenakan nilai sebenarnya dari variabel independen tidak diketahui dan tidak dapat diukur dengan tepat sesuai
dengan nilai sebenarnya (disebut dengan variabel independen yang tidak terobservasi), sehingga nilai sebenarnya dari
variabel independen ini diwakilkan oleh nilai yang didapat dari suatu proses pengukuran yang belum tentu sesuai
dengan nilai sebenarnya. Salah satu jenis error in variable model adalah classical error in variable model. Pada
classical error in variable model, terdapat dua jenis variabel independen yang tidak terobservasi, yaitu fixed dan
random. Pada makalah ini akan dibahas mengenai penaksiran parameter pada classical error in variable model
dimana variabel independen yang tidak terobservasi berdistribusi normal dengan menggunakan metode maksimum
likelihood.

Keywords: classical error in variable model ; error in variable model ; metode maksimum likelihood


PENDAHULUAN

Analisis regresi merupakan suatu metode untuk
menyelidiki hubungan fungsional antara variabel-
variabel. Variabel yang dipengaruhi oleh variabel
lain disebut dengan variabel dependen, sedangkan
variabel yang mempengaruhi variabel dependen
disebut dengan variabel independen. Hubungan
ini dinyatakan dalam bentuk suatu persamaan atau
model yang menghubungkan variabel dependen
dengan variabel-variabel independen yang disebut
dengan model regresi (Montgomery & Peck,
1992).

Pada model regresi, biasanya seorang peneliti
menganggap variabel independen merupakan
suatu nilai yang diperhitungkan dengan tepat
sehingga variabel independen pada model regresi
tidak mengandung komponen error. Walaupun
sebenarnya pada model regresi tersebut ada error
yang muncul pada variabel independen, hanya
saja error yang muncul kecil, sehingga error pada
kasus tersebut tidak diperhatikan. Tetapi pada
kenyataanya, terdapat beberapa situasi yang
mengharuskan peneliti untuk memperhatikan
error yang muncul pada variabel independen
karena error tersebut berpotensi mempengaruhi
analisis yang digunakan dalam perhitungan.

Model regresi dimana variabel independennya
mengandung error disebut dengan error in
variable model. Error yang muncul pada variabel
independen disebut dengan measurement error.
Munculnya error pada variabel independen
dikarenakan nilai sebenarnya dari variabel
independen tidak diketahui dan tidak dapat diukur
dengan tepat sesuai dengan nilai sebenarnya,
sehingga nilai sebenarnya dari variabel
independen ini diwakilkan oleh suatu nilai yang
didapat melalui suatu proses pengukuran yang
belum tentu sesuai dengan nilai sebenarnya. Pada
error in variabel model, nilai sebenarnya dari
variabel independen yang tidak diketahui dan
tidak dapat diukur dengan tepat sesuai dengan
nilai sebenarnya disebut dengan variabel
independen yang tidak terobservasi. Sedangkan
nilai variabel independen yang didapat dari proses
pengukuran disebut dengan variabel independen
yang terobservasi.

Berkson dalam (Berkson, 1950) membagi Error
in variable model menjadi dua jenis, yaitu :
1. Classical error in variable model
Classical error in variable model adalah
error in variable model yang mengasumsikan
bahwa variabel independen yang tidak
terobservasi independen terhadap
measurement error. Pada classical error in
variable model, peneliti tidak mengontrol
nilai variabel independen yang terobservasi.
Selisih antara nilai terobservasi dengan nilai
sebenarnya disebut dengan measurement
error.

2. Error in variable model kasus Berkson
Error in variable model kasus Berkson
adalah error in variable model yang
mengasumsikan bahwa variabel independen
yang tidak terobservasi dependen terhadap
measurement error. Pada error in variable
model kasus Berkson, nilai variabel
independen yang terobservasi telah dikontrol
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 228
(ditargetkan) secara langsung oleh peneliti
sedangkan nilai variabel independen
sebenarnya yang tidak terobservasi bervariasi
untuk masing-masing observasi.

Pada classical error in variable model, terdapat
dua jenis variabel independen yang tidak
terobservasi, yaitu fixed dan random (Fuller,
1987). Sehingga berdasarkan variabel independen
yang tidak terobservasi, classical error in
variable model dibagi menjadi dua jenis model
yaitu functional relationship model dan structural
relationship model. Functional relationship
model yaitu classical error in variable model
dimana variabel independen yang tidak
terobservasi diasumsikan sebagai suatu nilai fixed
yang tidak diketahui nilainya. Sedangkan
structural relationship model yaitu classical error
in variable model dimana variabel independen
yang tidak terobservasi diasumsikan sebagai suatu
variabel random.

Makalah ini membahas tentang penaksiran
parameter pada structural relationship model.
Metode yang digunakan adalah maksimum
likelihood, karena penaksiran dengan metode
OLS menghasilkan taksiran yang bias.

MODEL DAN METODE

Model

Classical error in variable model dapat
dinyatakan oleh persamaan (1)

0
T
i i i
y e = + + u
i i i
+ x =u d 1, 2, ..., i n =
(1)

dimana
n adalah banyaknya sampel;
i
y merupakan variabel dependen untuk observasi
ke i ;
i
u merupakan vektor dari variabel independen
yang tidak terobservasi berukuran ( ) 1 1 k
untuk observasi ke i ;
i
u merupakan vektor dari variabel independen
yang tidak terobservasi berukuran ( ) 1 1 k
untuk observasi ke i ;
i
x merupakan vektor dari variabel independen
yang terobservasi berukuran ( ) 1 1 k untuk
observasi ke i ;
0
adalah intercept ;
adalah vektor koefisien atau parameter dari
model berukuran ( ) 1 1 k ;
i
e adalah error observasi ke i dimana
( ) NIID 0,
ee
e ;
i
d adalah vektor dari measurement error
berukuran ( ) 1 1 k untuk observasi ke i
dimana ( ) NIID ,
dd
0 d ;
u
i
dan d
i
independen
Secara umum, asumsi pada classical error in
variable model adalah
0 ,
i u uu
i ee ed
i de dd
e NI
| | ( ( (
|
( ( (
|
( ( (
\ .
0 0
0
0 0

u
d



serta diasumsikan
dd
,
ed
,
de
diketahui
(Fuller, 1987).

Penaksiran Parameter dengan Metode
Maksimum Likelihood

Langkah pertama dalam penaksiran parameter
adalah mendefinisikan vektor
( )
1
2
1
i
i
i
i
i
i
i k
y
x
y
x
x

= =
(
(
( (
( (

(
(

z
x
.
Berdasarkan distribusi dari
i
y dan
i
x , didapat
bahwa ( ) ,
i k z zz
N z .
z
merupakan vektor
mean dari
i
z dan
zz


merupakan matriks
varians-kovarians dari
i
z dimana
, , ( ) ( )
T
uu zz
= + I I
dan
0 0
.
T T
y u
u
x u
z
( ( + ( (
= = +
( ( ( (

0 I



=
Kemudian didefinisikan statistik sebagai berikut
1
1 n
i
i
y
n
=
=
(
(

z = z
x

dan
( )
( )
( )
( ) ( )
1
1 1 1 1
1 1
1 1
1
1

( )
n T
zz i i
i
yy yx
k
xy xx
k k
k
n
=



=

(
(
(
(

m
m m
m m
z z z z
=


Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 229
1 2 1
1 1 1 1 2 1 1
2 1 2 2 2 2 1
1 1 1 2 1 1 1
m m m m
m m m m
m m m m
m m m m
k
k
k
k k k k k
yy x y x y x y
x y x x x x x x
x y x x x x x x
x y x x x x x x


=
(
(
(
(
(
(
(



Dengan menggunakan metode maksimum
likelihood, didapat fungsi ln-likelihood yaitu
( )
( )
( )
( ) ( )
1
1
ln 2 ln
1
ln ; 1 tr
2
zz
z zz zz zz
T
z zz z
kn n
L n
n


=

| |
|
|
(

|
|
(
|
\ .
m


z z


Penaksir dari variansi dengan memaksimalkan
( ) ln ;
z zz
L menghasilkan penaksir yang biased
, yaitu
( ) 1

zz zz
n
n

= m
. Sehingga untuk
mendapatkan penaksir yang unbiased
( )

zz zz
= m ,
ln
zz
n
pada
( ) ln ;
z zz
L
diganti
dengan
( ) 1 ln
zz
n , sehingga menghasilkan
fungsi baru yang disebut dengan ln likelihood
adjusted for degrees of freedom yang dinotasikan
oleh
( ) ln ;
c z zz
L
(Fuller, 1987).

Ln likelihood adjusted for degrees of freedom
dinyatakan dalam persamaan berikut
( )
( ) ( )
( )
( ) ( )
1
1
.
ln 2 1 ln
1
ln ; 1 tr
2
zz
c z zz zz zz
T
z zz z
kn n
L n -
n


=

| |
|
|
(

|
|
(
|
\ .
m


z z

z


dan
zz
merupakan vektor yang mengandung
parameter
0
, ,
u
,
uu
, serta
ee
.
Sehingga taksiran dari parameter-parameter
tersebut dapat dicari dari taksiran
z


dan
zz
.
Taksiran untuk
z


dan
zz
diperoleh dengan
cara memaksimumkan fungsi Ln likelihood
adjusted for degrees of freedom secara simultan
yaitu dengan mencari turunan parsial dari ln
likelihood adjusted for degrees of freedom
terhadap masing-masing parameter dan
menyamakannya dengan nol.
ln
c
z
L
=

dan
( )
ln
vech
c
zz
L
=

.
Berdasarkan aturan turunan untuk matriks
(Magnus, Jan R. & Neudecker, 2007) didapat
taksiran untuk
z
adalah
1
1

n
i
i
z
n
=
=

z = z
dan taksiran untuk
zz
adalah
( )
1
1

1
( )
n T
i i
i
zz zz
n
=
= =


m z z z z

Berdasarkan invariance property dari penaksir
maksimum likelihood (Hogg & Craig, 1995),
didapat taksiran parameter pada classical error in
variable model adalah sebagai berikut:

( )( )
0
1
1

( ) ( )


1
1

2 2


T
xx dd xy de
u
uu xx dd
n
i i dd
i
ee yy yx ed
T T
xx dd
T
n

=
=
=
=
=

= +
+
| |
|
\ .
m m
m
m m
m

y x
x
x x x x



Taksiran dari
0
dan merupakan taksiran
yang tak bias (Fuller, 1987).

STUDI KASUS

Pada contoh kasus berikut ini, hanya satu variabel
independen yang digunakan untuk dilihat
hubungannya dengan variabel dependen. Data
yang dipakai adalah data yang diambil dari buku
Measurement Error Models (Fuller, 1987).
Data diberikan pada tabel 1, yaitu data dari
banyaknya panen jagung dan kadar nitrogen pada
tanah yang dikumpulkan pada 11 ladang di Iowa.
Tujuan dari penelitian yaitu untuk melihat
hubungan antara panen jagung
( y ) dan ketersediaan kadar nitrogen pada tanah
( u ). Untuk menentukan nilai sebenarnya dari
kadar nitrogen pada tanah ( u ) harus melalui suatu
analisis laboratorium. Sehingga nilai kadar
nitrogen pada tanah yang didapat dari hasil
laboratorium ( x ) bukanlah suatu nilai yang tepat
sesuai dengan nilai sebenarnya dari kadar nitrogen
pada tanah. Oleh karena itu, nilai kadar nitrogen
pada tanah yang ada pada data merupakan kadar
nitrogen pada tanah yang didapat dari hasil
laboratorium ( x ).





Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 230
Tabel 1. Data Panen Jagung dan Kadar Nitrogen
pada Ladang di Iowa

ladang
Banyaknya
panen jagung (
y )
Kadar nitrogen
pada tanah
( x )
1 86 70
2 115 97
3 90 53
4 86 64
5 110 95
6 91 64
7 99 50
8 96 70
9 99 94
10 104 69
11 96 51

Variabel yang digunakan adalah :
Variabel dependen pada contoh kasus ini
adalah banyaknya panen jagung ( y ).
Variabel independen pada contoh kasus ini
adalah kadar nitrogen pada tanah ( u ).

Diasumsikan bahwa
dd
diketahui yaitu sebesar
57 dan 0
de ed
= = , serta diasumsikan pula
model
0 1
y u e = + + merupakan suatu
aproksimasi yang sesuai untuk hubungan hasil
panen dan kadar nitrogen.
Classical error in variable model untuk satu
variabel independen adalah

0 1 i i i
i i i
y u e
u x d
= + +
= +

Taksiran maksimum likelihood adjusted for
degrees of freedom dari parameter pada classical
error in variable model adalah sebagai berikut
70.6364
u
x = =
m 247.8545
uu xx dd
= =

1
1

(m ) (m ) 0.4232
xx dd xy de

= =

0 1

67.5613 y x = =

2
1

m 43.2910
ee yy uu
= =
Didapat taksiran classical error in variable model
adalah sebagai berikut
67.5613 0.4232
i i
y u = + .

KESIMPULAN

Model regresi dimana beberapa variabel
independennya mengandung error disebut dengan
error in variable model. Error yang muncul pada
variabel independen sering disebut dengan
measurement error. Error in variable model
dibagi menjadi dua jenis, yaitu classical error in
variable model dan error in variable model kasus
Berkson. Classical error in variable model
adalah error in variable model yang
mengasumsikan bahwa antara variabel
independen yang tidak terobservasi dan
measurement error saling independen.
Sedangkan error in variable model kasus
Berkson adalah error in variable model yang
mengasumsikan bahwa antara variabel
independen yang tidak terobservasi dan
measurement error tidak independen.

Pada classical error in variable model, terdapat
dua jenis variabel independen yang tidak
terobservasi, yaitu fixed dan random. Classical
error in variable model dimana variabel
independen yang tidak terobservasi diasumsikan
sebagai suatu nilai fixed yang tidak diketahui
nilainya disebut dengan functional relationship
model. Sedangkan classical error in variable
model dimana variabel independen yang tidak
terobservasi diasumsikan sebagai suatu variabel
random disebut dengan structural relationship
model.

Pada makalah ini, classical error in variable
model yang digunakan adalah structural
relationship model. Penaksiran parameter pada
classical error in variable model tidak dapat
diselesaikan dengan metode OLS karena
menghasilkan taksiran yang bias. Dengan
menggunakan metode maksimum likelihood
diperoleh taksiran parameter yang tak bias.


UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis ingin mengucapakan terima kasih kepada
Emily Berg atas segala bantuan dan penjelasan
kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Berkson, Joseph. 1950. Are There Two
Regression?. Journal of the American
Statistical Association, 45(250): 164- 180.
[2] Fuller, W.A. 1987. Measurement Error
Models. John Wiley & Sons, Inc., New
York.
[3] Hogg, Robert V. & Allen T. Craig. 1995.
Introduction to Mathematical Statistics . 5th
ed. Prentice-Hall, New Jersey.
[4] Magnus, Jan R. & Heinz Neudecker. 2007.
Matrix Differential Calculus with
Applications in Statistics and Econometrics.
3rd ed. John Wiley & Sons Ltd, Chichester.
[5] Montgomery, Douglas C. & Peck, Elizabeth
A. 1992. Introduction to Linear Regression
Analysis. John Wiley & Sons, Inc., New
York.
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 231
PENAKSIRAN PARAMETER PADA
MODEL REGRESI DATA PANEL SPATI AL ERROR

Rifki Kosasih, Siti Nurrohmah, Dian Lestari
Departemen Matematika FMIPA Universitas Indonesia

{riko50, nurohmah, aurora}@ui.ac.id


ABSTRAK

Model spasial dependen merupakan suatu model regresi dimana nilai pengamatan pada suatu lokasi bergantung pada
nilai pengamatan pada lokasi di sekelilingnya. Terdapat dua macam model spasial dependen yaitu model spasial lag
dan model spasial error. Model spasial lag adalah suatu model regresi linier sederhana dimana terdapat korelasi
variabel dependen dari suatu individu dengan individu di sekitarnya. Dalam hal ini asumsi bahwa pengamatan saling
bebas tidak terpenuhi. Model spasial error adalah suatu model regresi linier dimana error dari individu yang diamati
saling berkorelasi. Dalam hal ini asumsi bahwa error saling bebas tidak terpenuhi. Jika efek spasial ini ada tetapi
diabaikan keberadaannya maka model yang dibentuk menjadi kurang tepat. Makalah ini akan membahas tentang
penaksiran parameter pada model regresi spasial error dimana datanya merupakan data panel. Yang dimaksud
dengan data panel adalah data yang merupakan gabungan data cross section dan data longitudinal. Metode penaksiran
parameter yang akan digunakan dalam makalah ini adalah Metode Maksimum Likelihood.

Keywords: model spasial dependen, model spasial lag, model spasial error, data panel, Metode Maksimum
Likelihood


PENDAHULUAN

Dalam analisis regresi, sering ditemui bahwa nilai
observasi pada suatu lokasi bergantung pada nilai
observasi di lokasi sekitarnya atau dengan kata
lain ada korelasi spasial antar observasi. Keadaan
ini disebut dengan spatial dependent. Model
spatial dependent dibedakan menjadi dua, yaitu
model spatial lag dan model spatial error. Model
spasial lag memperhatikan dependensi variabel
dependen antar lokasi. Model spatial error
memperhatikan dependensi error antar lokasi
(Anselin, 1988b). Jika pengaruh spasial ini ada
tetapi tidak dilibatkan dalam model maka asumsi
error antar observasi saling bebas tidak terpenuhi,
sehingga model yang diperoleh menjadi kurang
tepat.

Regresi data panel merupakan suatu regresi yang
menggabungkan dua jenis data, yaitu data cross-
section dan data longitudinal. Data panel sendiri
dibagi menjadi dua yaitu data panel lengkap dan
data panel tidak lengkap. Data panel lengkap
adalah data dimana setiap individu terobservasi
pada kurun waktu yang sama. Data panel tidak
lengkap adalah data dimana setiap individu yang
terobservasi, berada pada kurun waktu yang
berbeda-beda (Baltagi, 2005).

Berdasarkan komponen error-nya, model regresi
data panel dibagi menjadi dua yaitu model regresi
data panel komponen error satu arah dan
komponen error dua arah. Model komponen error
satu arah menyatakan bahwa error model


hanya dipengaruhi oleh faktor individu saja,
sedangkan faktor lain dianggap error yang benar-
benar tidak diketahui. Sedangkan model
komponen error dua arah menyatakan bahwa
error model dipengaruhi oleh faktor waktu dan
faktor individu (Baltagi, 2005).

Berdasarkan asumsi yang digunakan pada model
regresi komponen error, model regresi komponen
error dibedakan atas fixed effects dan random
effects. Pada fixed effects, penentuan karakteristik
level faktor ditentukan oleh peneliti, sedangkan
pada random effects, penentuan level faktor
ditentukan secara acak sehingga perbedaan
karakteristik individu dan waktu merupakan
variabel random (Baltagi, 2005).

Model yang melibatkan pengaruh spasial dalam
analisis data panel dinamakan spatial panel data
model. Makalah ini hanya akan membahas tentang
penaksiran parameter pada model regresi data
panel yang melibatkan pengaruh spatial
dependent yang berupa spatial error.

MODEL

Model Regresi Data Panel Komponen Error
Satu Arah

Menurut Elhorst (Elhorst, 2003), model regresi
data panel komponen error satu arah dengan fixed
effects dinyatakan dalam persamaan (1)
it
y =
it it
u x + (1)

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 232

dimana
it i it
u + =
it
y = variabel dependen untuk individu ke-i
waktu ke t
it
x = variabel independen untuk individu ke-i
waktu ke-t
= pengaruh variabel independen
it
u = komponen error yang terdiri dari
i
dan
it

i
= pengaruh individu ke-i yang tidak
terobservasi, diasumsikan merupakan
parameter tetap.
it
= error individu ke-i waktu ke-t ( error yang
benar-benar tidak terobservasi)
Dimana error (
it
) berdistribusi normal dengan
mean nol dan variansi konstan serta error antar
observasi saling bebas.

Model Regresi Spatial Error Panel Data Satu
Arah

Model regresi spatial error panel data satu arah
adalah regresi data panel yang melibatkan
pengaruh spatial error yang disebabkan karena
adanya korelasi spasial antar error di lokasi-
lokasi yang berdekatan.

Menurut Elhorst (Elhorst, 2003), model spasial
error panel individual pada lokasi i dinyatakan
pada persamaan berikut :
1
K
it itk k i it
k
y x
=
= + +

, (2)

1
N
it ij jt it
j
w
=
= +

(3)
Atau dalam notasi matriks :
Y = X +( ) +
N T
I
+ =
NT
W
Dimana :
Y = vektor variabel dependen berukuran
1 NT
X = matriks variabel independen berukuran
NT k
= vektor error berukuran 1 NT yang
independen dan berdistribusi identik
multivariat normal dengan mean nol dan
matrik kovariansi
2
NT
I .
= vektor parameter yang berukuran 1 k
= koeffisien spasial lag
= Spatial specific effect berukuran N 1
W
N
= matriks bobot spasial berukuran
N N

diketahui.
T

= vektor berukuran T 1 yang setiap entrinya


berisi 1.

Fungsi Likelihood Model Regresi Spatial Error
Panel Satu Arah

Untuk menaksir parameter pada model regresi
spatial error panel satu arah digunakan metode
maksimum likelihood. Fungsi likelihood dari
variabel dependen Y adalah

2
) 2 (
) (
) ,..., , , , , (
2
11
2
NT
N N T
NT
W I I
y y L




=
( ) ( )( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( ) ( )
(
(
(
(

2
2
2
.
2
'
exp




N T N N T
N T N N T
I X Y W I I
I X Y W I I


(4)

Taksiran Parameter Model Regresi Spatial
Error Panel Satu Arah

Taksiran parameter untuk model regresi spasial
error panel didapatkan dengan cara
memaksimumkan fungsi likelihood yang
ekuivalen dengan memaksimumkan logaritma
dari fungsi likelihood pada persamaan (4)
(Elhorst, 2003). Logaritma dari fungsi likelihood
dari variabel dependen Y dapat ditulis sebagai
berikut

( ) ( )
2
1 1
1
1 1 1
2
2
.
2
2


= =
=
= = =

|
|
.
|

\
|

|
|
.
|

\
|

+ =
N
i
T
t
N
j
j ij i
N
j
K
k
N
j
jtk ij itk k jt ij it
N N T
w
x w x y w y
W I I Ln Ln
NT
LnL

(5)

Taksiran untuk
2
, , , diperoleh dengan
cara memaksimumkan fungsi log likelihood pada
persamaan (5) secara simultan yaitu dengan
mencari turunan parsial dari persamaan (5)
terhadap masing-masing parameter dan
menyamakannya dengan nol, yaitu:
0 =

LnL
, 0 =

LnL
, 0
2
=

LnL
, 0 =

LnL
.



Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 233
Hasilnya adalah sebagai berikut:
a. Penaksir untuk adalah :
1 1
1

T K
i it itk k
t k
y x
T

= =
| |
=
|
\ .


b. Penaksir untuk
2
adalah :

( ) ( )( ) ( ) ( )( )
* * * *
2
'

T N N T N N
I I W Y X I I W Y X
NT

(


=

c. Penaksir untuk adalah :
( ) ( ) ( ) ( ) ( )
1
* * * *

'
T N T N
X I W X X I W X

(
=


( ) ( ) ( )
( ) ( )
* * * *
'
T N T N
X I W X Y I W Y

Dimana
*
Y QY =
,
*
X QX =
*
T N T N
(I W )Y =Q(I W )Y
( )
1
'
NT T T N
Q I i i I
T
=

c. Penaksir untuk adalah :

Untuk mendapatkan panaksir untuk yang
memaksimumkan fungsi log likelihood tersebut
diperlukan suatu iterasi numerik (Pace & Barry,
1997). Hal ini disebabkan oleh adanya suku
( )
N N
Ln I W
yang merupakan fungsi dari
parameter .

STUDI KASUS

Bagian ini membahas tentang penggunaan model
regresi data panel dan model regresi spatial error
panel data satu arah untuk melihat hubungan
antara variabel konsumsi rokok di 46 negara
bagian Amerika selama 6 tahun dan variabel-
variabel harga rokok, pendapatan perkapita dan
rata-rata harga rokok dari negara bagian yang
bertetangga (Baltagi, 2005).

Data

Pada kasus ini digunakan data penjualan rokok di
46 negara bagian Amerika selama 6 tahun
(Baltagi & Li, 2004).

Variabel yang digunakan adalah :
Variabel respon :
it
LogC
= konsumsi rokok oleh perokok yang
berusia 14 tahun atau lebih di negara
bagian ke-i pada waktu ke-t (dalam skala
logaritma)
Variabel independen :
it
LogP = harga rokok (dalam skala logaritma)
it
LogY = pendapatan perkapita (dalam skala
logaritma
it
LogPn = rata-rata harga rokok dari negara bagian
yang bertetanggaan (dalam skala
logaritma)
Pengolahan data menggunakan bantuan software
SPSS 13, Eviews 3 dan Matlab 7.

Model Regresi Data Panel

Sebelum dimodelkan dengan model regresi
spatial lag error, terlebih dahulu data dimodelkan
dengan model regresi data panel satu arah dengan
efek tetap, yaitu:

it i it it
x y + + =

dimana
i
merupakan pengaruh individu ke-i
yang tidak terobservasi. Untuk kasus ini,
i

antara lain menyatakan tentang adanya aturan
larangan merokok pada suatu wilayah yang
menyebabkan menurunnya penjualan rokok pada
suatu wilayah.

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan Eviews
3 (Nachrowi & Usman, 2006) diperoleh taksiran
model regresi panel sebagai berikut:
= it C
^
log 1.605485-1.041989logP
it
+
0.146363logPN
it
+0.703143logY
it

dengan nilai R-squared sangat kecil yaitu
0.386135. Hal ini menunjukkan bahwa taksiran
model yang didapat kurang baik.

Karena observasi diambil dari lokasi lokasi yang
saling berdekatan maka muncul dugaan bahwa
nilai observasi pada suatu lokasi bergantung pada
nilai observasi di lokasi disekitarnya atau dengan
kata lain ada korelasi spasial antar observasi. Oleh
karena itu akan dibuat gray-scale map dari
variabel Penjualan Rokok.

Gray-Scale Map dari Variabel Penjualan
Rokok

Gray-scale map digunakan untuk melihat
distribusi spasial dari sebuah variabel.
Gambar1. Gray-scale map dari variabel
penjualan rokok

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 234
Dari gambar diatas terlihat bahwa terdapat pola
spasial dari variabel penjualan rokok. Daerah
yang berdekatan cenderung memiliki nilai yang
similar yang digambarkan dengan intensitas
warna yang sama. Selanjutnya pada bagian
berikut akan dibuat model regresi panel satu arah
yang melibatkan pengaruh spatial error.

Model Regresi Spasial Error Panel Satu Arah

Model regresi spatial error panel satu arah
dengan efek tetap adalah :
it it i it
y x = + +
1
N
it ij it it
j
w
=
= +


Berdasarkan hasil dari program Matlab 7, maka
taksiran model regresi spasial error panel satu
arah (
i
)dengan efek tetap didapat sebagai
berikut :
= it C
^
log -0.618106logP
it
+0.129409logPN
it
+
0.335804logY
it
+ 0.299957log

=
N
j
jt ij
w
1


Untuk model ini didapatkan bahwa nilai R-
squared sudah sangat besar yaitu 0.9742,
sehingga untuk kasus ini model regresi spasial
error panel satu arah (
i
) dengan efek tetap
sudah bagus.

Dari hasil pemeriksaan asumsi diperoleh hasil
bahwa error pada model regresi panel tidak saling
bebas dan tidak berdistribusi normal, sedangkan
pada model regresi spatial lag panel, error yang
dihasilkan saling bebas dan mendekati distribusi
normal.

Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan
bahwa ada pengaruh spasial pada data penjualan
rokok di 46 negara bagian Amerika Serikat,
sehingga dibutuhkan model regresi data panel
yang melibatkan pengaruh spasial, yaitu spatial
error.

KESIMPULAN

Model spatial dependent merupakan suatu model
regresi dimana nilai pengamatan pada suatu lokasi
bergantung pada nilai pengamatan di lokasi
sekelilingnya. Model spasial dependen dibagi
menjadi dua, yaitu spatial lag dan spatial error.
Model spatial lag adalah model regresi linier
sederhana dimana nilai observasi variabel
dependen pada suatu lokasi berkorelasi dengan
nilai observasi variabel dependen di lokasi
sekitarnya. Sedangkan model spatial error adalah
model regresi linier sederhana dimana nilai error
pada suatu lokasi berkorelasi dengan nilai error di
lokasi sekitarnya.

Dalam analisis regresi data panel, jika pengaruh
spasial ini ada tetapi diabaikan keberadaannya
dalam model maka asumsi error antar observasi
saling bebas tidak terpenuhi, sehingga model yang
di peroleh menjadi kurang tepat. Untuk itu
dibutuhkan suatu model yang melibatkan
pengaruh spasial. Model yang melibatkan
pengaruh spatial error dinamakan spatial error
panel data model. Dengan memperhatikan
pengaruh spasial dependen ini model yang didapat
menjadi lebih baik dalam mempresentasikan data.
Untuk menaksir parameter digunakan metode
maksimum likelihood.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Anselin, Luc.1998b. Lagrange Multiplier
Test Diagnostics for Spatial Dependence and
Spatial Heterogenity, Geographical Analysis
20, 1- 17.
[2] Anselin, Luc. Le Gallo J., Jayet H. 2006.
Spatial Panel Econometrics. In: Matyas L,
SevestreP. (eds) The Econometrics of Panel
Data, Fundamentals and Recent
Developments in Theoryand Practice, 3rd
edn. Kluwer, Dordrecht, pp 901-969
[3] Baltagi, Badi H. 2005. Econometric Analysis
of Panel Data. 3rd ed. John Wiley & Sons
Ltd, Chichester.
[4] Elhorst , J P. 2003. Specification and
Estimation of Spatial Panel Data Models.
International Regional Science Review
26(3):244-268
[5] Nachrowi, D.N. & H. Usman. 2006.
Pedoman Populer dan Praktis Ekonometrika
untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan.
Lembaga Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta.





Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 235
MENGUJI KESAMAAN DUA RATA-RATA
UNTUK VARIANS BERBEDA

Sudartianto
Jurusan Statistika FMIPA-UNPAD, Bandung

sudartianto_354@yahoo.com


ABSTRAK

Dalam uji kesamaan dua rata-rata untuk varians berbeda banyak sekali solusi yang ditawarkan di antaranya ada uji
Welch, uji Welch-Aspin, uji Cochran-Cox, dan lain-lain. Dalam makalah ini akan dibandingkan secara teori dari uji-
uji tersebut uji manakah yang merupakan uji terbaik dengan melihat dan membandingkan kestabilan dari ukuran
pengujian dan kuasa-ujinya, ternyata setelah dibandingkan uji Welch-Aspin merupakan uji terbaik untuk menguji
kesamaan dua rata-rata dengan varians yang berbeda.

Kata Kunci : Hipotesis, ukuran pengujian, kuasa uji, uji kesamaan dua rata-rata.


1. PENDAHULUAN

Salah satu masalah yang sering timbul bagi para
peneliti yang menggunakan statistika, adalah
membandingkan rata-rata dari dua populasi.
Ketika membandingkan rata-rata dari dua
populasi kadang-kadang timbul persoalan, yaitu
jika varians dari kedua populasi tersebut berbeda.
Perumusan persoalan dalam membandingkan rata-
rata dari dua populasi, tampaknya disediakan
untuk populasi yang variansnya tidak diketahui,
dan diasumsikan bahwa kedua populasi tersebut
mengikuti distribusi normal, sedangkan kedua
sampel acak yang diambil dari masing-masing
populasi adalah bebas. Karena banyaknya
pengujian untuk masalah ini, maka perlu dicari
yang manakah dari pengujian-pengujian tersebut
yang merupakan pengujian terbaik, caranya
dilihat dari kestabilan ukuran daerah kritis untuk
masing-masing pengujian, yang terbaik adalah
pengujian yang mempunyai ukuran daerah kritis
yang lebih stabil. Selanjutnya juga dari ukuran-
ukuran daerah kritis yang stabil kita akan
bandingkan kuasa uji dari pengujian, untuk lebih
meyakinkan kita mana yang merupakan pengujian
terbaik.

2. METODE-METODE UNTUK MENGUJI
KESAMAAN DUA RATA-RATA

Misalkan kita mempunyai dua populasi yang
masing-masing berdistribusi normal dengan rata-
rata
1
dan
2
serta variansnya
1
2
dan
2
2
. Dari
tiap populasi diambil sampel acak yang saling
bebas, misalkan sampel acak yang diambil dari
populasi kesatu berukuran n
1
, dengan rata-rata

1

dan varians S
1
2
, sedangkan yang diambil dari
populasi kedua berukuran n
2
dengan rata-rata

2
dan varians S
2
2
. Berdasarkan sampel-sampel
tersebut diuji kesamaan rata-rata dari dua
populasi. Pada umumnya
1
2
dan
2
2
tidak
diketahui, oleh sebab itu nilainya ditaksir oleh S
1
2

dan S
2
2
. Untuk menguji kesamaan dua rata-rata
dari dua populasi normal dengan varians berbeda
digunakan statistik uji yaitu :

t =
(

)(

/
(1)

Yang menjadi persoalan adalah bagaimana
menentukan distribusi dari t seperti pada
persamaan (1). Untuk memudahkan pembahasan
selanjutnya digunakan notasi sebagai berikut :
n
i
= Ukuran sampel dari populasi ke i (i =1,2) .

i
= Rata-rata sampel dari populasi ke i.
d =

2

=
Selisih antara rata-rata sampel
dari populasi. ke 1 dengan rata-rata
sampel dari populasike 2.
S
i
2
= varians sampel dari populasi ke i
f
i
= n
i
1 = derajat kebebasan dari sampel ke i.
S
d
2
=

/n
1
+

/n
2
= Gabungan varians sampel.

d
2
=
1
2/
n
1
+
2
2
/n
2
= Gabungan varians
populasi.
=
1
-
2
= Selisih antara rata-rata populasi ke-1
dengan rata-rata populasi ke 2.
Berdasarkan notasi-notasi di atas, maka
persamaan (1),dapat disederhanakan menjadi :

t' = ( d- )/Sd

(2)



Uji Welch

Jika X
11
, X
12
, ... X
1
n
1
dan X
21
, X
22, ...
X
2
n
2

merupakan dua sampel acak yang saling bebas
dari masing-masing populasi yang berdistribusi
normal dengan rata-rata
1
,
2
dan variansnya
1
2

dan
2
2
, maka berdasarkan uji Welch criteria uji
untuk uji dua pihak adalah terima H
0
jika :
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 236
- t(1-/2 ;

) t t(1- /2 ;

) dan tolak H
0

dalam keadaan yang lainnya untuk ;

=
(

(3)

Uji Welch-Aspin

Misalkan merupakan parameter populasi dan
ditaksir oleh hasil pengamatan Y, yang
berdistribusi normal dengan rata-rata dan
variansnya

, dalam hal ini,


=
,
dengan

merupakan bilangan positif


yang diketahui dan

adalah varians populasi


yang ke i, yang harganya tidak diketahui.
Misalkan

merupakan penaksir untuk

,
distribusi peluang dari

diperoleh dengan
mentransformasikan X =

terhadap

dimana
X berdistribusi chi-kuadrat dengan derajat
kebebasan f
i
= n
i
-1. Maka distribusi peluang dari

adalah :

p(

) =
(

/
(

/
(

/
. exp



untuk s
i
2
> 0. (4)

Setiap peubah s
i
2
( i = 1,2, ..., k) adalah bebas dan
juga bebas terhadap y. Misalkan h (s
1
2
, s
2
2
, ... s
k
2

; Q ) = h(s
2
) merupakan fungsi dari s
i
2
dan Q,
sehingga
P[(y - ) < h(s
2
)] = Q (5)

Kita sulit dapat menentukan h(s
2
) secara umum
dalam membandingkan dua rata-rata dari dua
populasi normal, yakni untuk k=2 sedemikian
rupa sehingga =
1
-
2
; y =
1
-
2
, yang
menjadi persoalan, adalah menentukan suatu
bentuk fungsi h(s
2
) secara umum. Welch [12]
menurunkan solusi dari h(s
2
) sampai order f
i
-2

kemudian dilanjutkan lagi oleh Aspin [1] sampai
order f
i
-4
.Selanjutnya dalam menguji kesamaan
dua rata-rata dari dua populasi normal, untuk titik
kritisnya digunakan h'(s ). Yang dalam hal ini
h'(s
2
) = h(s
2
)/(
1
s
1
2
+
2
s
2
)
Sedangkan untuk
pemakaian praktisnya dalam praktek, untuk
harga-harga f
1
,f
2
, (
1
s
1
2
)/(
1
s
1
2
+
2
s
2
2
) yang
diberikan, nilai h'(s
2
) dapat dilihat dalam tabel
yang dihitung oleh Trickett , Aspin dan James
dalam Pearson [7] yaitu untuk :
P[t>h'(s
2
)]= Q (dengan Q = 0,05 ; 0,025 ; 0,001
; 0,005).
Harga f
1
dan f
2
yang tercantum dalam tabel
adalah ; 6 Jika Q=0,05 ; 8 Jika Q = 0,025 ;
10 jika Q = 0,02 atau 0,01. Jadi daerah kritis
untuk pengujian hipotesis kriteria ujinya adalah :
Terima H
0
jika - h'
/2
(s
2
) t' h'
/2
(s
2
). Tolak
H
0
dalam keadaan yang lainnya.

Uji Cochran-Cox

Cara lain yang sering digunakan untuk menguji
hipotesis tersebut di atas dikemukakan oleh
Cochran dan Cox,

yang penjelasannya adalah
sebagai berikut : titik kritisnya merupakan rata-
rata dengan bobot untuk t
(1-/2 ; f1)
dan t
(1-/2 ; f2)

dalam hal ini bobotnya adalah

s
1
2
dan
2
s
2
2
,
yakni :

V =

;
+

(6)

Yang dalam hal ini, t
(1-/2 ; f1)
dan t
(1-/2 ; f2)
masing-
masing merupakan nilai yang diperoleh dari tabel
distribusi student t dengan derajat kebebasan f
1

= n
1
- 1 dan f
2
= n
2
1 dengan peluang 1-/2.
Dengan demikian, kriteria pengujiannya adalah :
Terima H
0
jika V t V, tolak H
0
dalam
keadaan yang lainnya.

Uji Mc. Cullough-Banerjee

Untuk uji hipotesis tersebuit di atas, dipergunakan
pula suatu cara yang tidak berbeda jauh dengan uji
yang dikemukakan oleh Cochran-Cox, yaitu uji
Mc Cullough-Banerjee. Uji tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut : Titik kritis dari uji Mc.
Cullough -Banerjee adalah sebagai berikut:

V =[

]
1/2
(7)


Yang dalam hal ini, t
( / 2
;
fi)
diperoleh dari tabel
distribusi student t dengan derajat kebebasan f
i

dan peluangnya adalah /2.

Maka kriteria pengujiannya adalah : Terima H
0

jika dalam hal ini -V t

V , tolak H
O
dalam
keadaan yang lainnya.

Uji Wald

Untuk uji hipotesis tersebuit di atas, jika ukuran
sampel sama, pengujian untuk masalah ini
pertama kali dikemukakan oleh Wald [10], yang
daerah kritisnya sebagai berikut:

V = t
/2

; f
- 4(t
/2 ; f
- t
/2 ;2f
)

(1-

) (8)

Yang dalam hal ini, f=f
1
=f
2
sedangkan t
/2 ;f

diperoleh dari tabel distribusi student t dengan
derajat kebebasan f dan peluangnya /2 .
Sedangkan

= (

) / (
1

). Maka
kriteria pengujiannya adalah : Terima H
0
jika
dalam hal ini -V t V, dan tolak H
0
dalam
keadaan yang lainnya.



Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 237
Uji Pagurova

Uji Pagurova merupakan perluasan dari uji Wald
untuk ukuran sampel berbeda, yang
penjelasannya adalah sebagai berikut : Pada taraf
signifikansi , dengan menggunakan statistik uji
seperti pada Persamaan (2), maka Pagurova [6],
mengajukan pengujian dengan titik kritis sebagai
berikut :
V =

. (1-g)(-g)
2
+

/
;(+)

()

g(1-g) [(1-
) + (g-) (2-1)] +

;
()

. g(-g)
2
(9)

Yang dalam hal ini, =

+
dan g=C(1-

)+2C
2
(

)-2C
3
(

). Sedangkan t
/2 ;


(i=1
r
2) diperoleh dari distribusi student t dengan
derajat kebebasan f
i
dan peluangnya /2.
Maka kriteria pengujiannya adalah : Terima H
0

jika dalam hal ini -V t

V , dan tolak H
0
dalam
keadaan yang lainnya.

3. UKURAN DAERAH KRITIS

Misalkan x
11
,x
12
,x
1n1
dan x
21
,x
22
x
2n2
adalah
nilai-nilai pengamatan dari dua sampel acak yang
saling bebas, yang berasal dari populasi yang
berdistribusi normal dengan rata-rata
1
,
2
dan
Variansnya
1
2
,

2
2
. Sekarang kita misalkan
bahwa :
R =
1
2
/
2
2
; C =(
1
2
/ n
1
) / (
1
2
/n
1
+
2
2
/n
2
) ;


= ( S
1
2
/n
1
)/( s
1
2
/n
1
+ s
2
2
/n
2
) Untuk i = 1,2 maka
:

i
=

=
; S
i
2
=

=
; f
i
=n
i

1.

Untuk memudahkan mencari ukuran daerah kritis
maka akan diambil uji satu pihak. Misalkan
hipotesis yang diuji adalah H
0
:
1
=
2
melawan
H
1
:
1
>
2
atau H
0
: =0 melawan H
1
: > 0.
Beberapa uji untuk masalah ini sudah diberikan.
Daerah kritis untuk uji seperti di atas mempunyai
bentuk umum,

t > V(

) (10)

Yang mana t=(
1
-
2
)/(s
1
2
/n
1
+ s
2
2
/n
2
)
1/2
dan V()
= h (,n
1,
n
2
,) yaitu suatu fungsi dari , n
1
, n
2

dan yang ditentukan sebelumnya (disebut juga
nominal ) . Fungsi kuasa dari uji ini dapat ditulis
sebagai K
V(

)(
( , C)= P [t > V()] yang dalam
hal ini, ukuran dari suatu pengujian adalah
peluang menolak H
0
Jika H
0
benar, ini berarti
bahwa = 0. Jika ini kita terapkan ke dalam
Persamaan (10.) akan kita peroleh :
K
V(

)
(0,C) = -

/
()
/
(/) (/)

()

[()]
+
!(+)

=

. [( + + + )/] dw (11)
Kuasa-Uji adalah peluang menolak H
0
jika H
1

yang benar. jadi tergantung kepada . Dengan
menerapkan aturan binomium Newton pada
Persamaan (20) maka akan kita peroleh :
K
V(

)
( , C) = -


/
()
/
(/) (/)


( )

!(+)

()
+ +
=
[V*(W)]
j
dw
Yang mana :
b
kj
=
+

[(f
1
+f
2
+j) / 2] , k=0.1, .., M ; j =
0.1, , 2k+1. Untuk memperlihatkan ketepatan
Rumus di atas, maka kita ambil uji Welch-Aspin,
karena uji ini jika kita bandingkan dengan Uji
yang lain, yang ada mempunyai ukuran yang
lebih stabil. Untuk menghitung ukuran dari uji ini,
digunakan dua metoda yaitu metoda yang
dikemukakan oleh Wang [11] dan dengan.
Persamaan (11), yang hasil. perhitungannya
diberikan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1
Ukuran dari Uji Welch-Aspin untuk n
1
=n
2
=7 dan
= 0,05

C Wang Persamaan (11)
0,1 0,0494 0,0500
0,2

0,0495

0,0501

0,3

0,0493

0,0501





0,4

0,0492

0,0499

0,5

0,0491

0,0499

Dari hasil-hasil di atas terlihat bahwa persamaan
(11), memberikan hasil yang lebih baik dari pada
hasil yang diperoleh dengan menggunakan
metoda Wang.

Uji baru yang diusulkan

Sudah dikatakan bahwa uji Welch-Aspin
merupakan uji terbaik untuk menguji kesamaan
dua rata-rata apabila variansnya berbeda, akan
tetapi bentuk penyelesaiannya (bentuk titik
kritisnya) sangat kompleks. Oleh sebab itu perlu
dicari suatu uji baru yang lebih sederhana yang
mempunyai ukuran stabil dan kuasa ujinya cukup
tinggi, kita akan mencari suatu fungsi V(c)
sehingga
K
V(

)
(0,C) = P { t' > V(

)} = , 0 C 1

Secara umum sudah diakui oleh para
statistikawan, bahwa tidak ada fungsi V(

) yang
sederhana, yang dalam hal mana secara tepat
persamaan (11) berlaku. Meskipun demikian
secara praktis dan teoritis menarik sekali untuk
mencari suatu solusi pendekatan V(

) di mana
persamaan (11) berlaku hanya dengan kekeliruan
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 238
yang masih diperbolehkan. V(

) yang akan kita


cari tersebut harus memenuhi :
1. Fungsi V(

) harus mempunyai bentuk yang


sederhana dalam pemakaiannya kita dan
dengan mudah kita dapat menghitung titik
kritisnya.
2. Ukuran dari pengujian dengan daerah
kritis t
1
> V(

) harus stabil dalam seluruh


interval 0 < C < 1.
3. Kuasa ujinya harus tinggi.

Setelah membandingkan beberapa bentuk V(

)
maka ditemukan bahwa rasio dari dua polinom,

V(

) =

(12)

memberikan hasil yang lebih memuaskan. Agar
kriteria dua di atas terpenuhi, maka nilai-nilai a.
harus dicari sedemikian rupa sehingga jumlah
kuadrat kekeliruan, [

(. )

=
]


adalah minimum, dengan syarat : K
V(

)
(0,0) =
dan K
V(

)
(0,1)= .

Penggunaan syarat di atas
sama dengan pembentukan V(0)= t
f 2
() dan V(1)
= t
f 1
(). Ternyata uji yang baru ini kita beri
notasi V
0
(

), mempunyai ukuran yang stabil


dibandingkan dengan uji-uji lain, yang ada
sebelumnya kecuali dengan uji Welch-Aspin
seperti terlihat pada gambar di bawah ini.




Gambar 1.
Ukuran dari beberapa Uji untuk
n
1
= 5 , n
2
= 9 dan = 0,05

Yang dalam hal ini :
V
mb
= Uji Mc Cullough-Banerjee.
V
cc
= Uji Cochran-Cox.
V
p
= Uji pagurova.
V
wt
= Uji Welch dengan pendekatan terhadap
distribusi student t.
Vw = Uji Welch sampai order f
1
-2
, i = 1,2
Vwa = Uji Welch Aspin yaitu Uji Welch di
atas yang dilanjutkan oleh Aspin sampai
order f
i
-4
, i = 1,2.

Setelah kita perhatikan maka terlihat bahwa uji
Welch-Aspin masih tetap merupakan Uji terbaik
untuk masalah Behrens-Fisher, kemudian diikuti
oleh pengujian yang baru ini, dimana ukuran dari
pengujian memperlihatkan,bahwa grafiknya tidak
menyimpang jauh dari garis =0,05. Setelah kita
tahu bahwa uji Welch-Aspin dan uji yang baru ini
memperlihatkan ukuran dari pengujian yang stabil
(tidak menyimpang jauh dari garis = 0,05 ), tentu
kita ingin pula mengetahui kuasa-uji untuk
masing- masing pengujian, untuk berbagai harga
dan C di mana hasilnya dapat.diperlihatkan
pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.
Kuasa-Uji dari Uji Welch-Aspin dan Uji yang baru
untuk berbagai nilai dari dan C dengan n
1
=n
2
=7
serta = 0
r
05










C

1 2






3

4






V
wa

V
o

V
wa


V
o

V
wa


V
o


V
wa


V
o


.001

.2251

.2251

.5498

.4496

.8405

.8405

.9635

.9685
.010

.2256

.2254

.5510

.4506

.8416

.4414

.9669

.9649

.05

.2275

.2272

.4563

.4557

.8463

.4460

.9707

.9706

.100



.2301

.2299

.4628

.4659

.4521

.6518

.9729

.9727

.150

.2326

.2326

.5692

.5691

.4578

.4576

.9749

.9748

.200

.2349

.2349

.4753

.4754


.4631

.8631

.9767

.9767

.250

.2369

.2369

.4808

.4809

.4680

.4680

.9784

.9784

.300

.2385

.2385

.5655

.4856

.8722

.4723

.9799

.9799

.350

.2397

.2397

.4893

.4894

.4757

.4757

.9810

.9811

.400

.2406

.2408

.5920

.4920




.4782

.9819

.9819

.450

.2411

.2411

.4937

.4937

.4798

.4798

.9825

.9825

.50

.2413

.2413

.4942

.4942

.8803

.4803

.9826

.9626


Nampak terlihat pada tabel bahwa uji Welch-
Aspin pada umumnya mempunyai kuasa uji
yang lebih besar dibandingkan dengan uji yang
baru ini, Oleh sebab itu uji Welch-Aspin lebih
baik dipergunakan untuk pengujian masalah
Behrens-Fisher, dibandingkan dengan uji yang
baru ini, karena mempunyai ukuran stabil dan
kuasa-ujinya tinggi. Dengan demikian untuk
menyelesaikan masalah Behrens -Fisher, yang
didasarkan kepada pengujian yang baru ini,
dengan bentuk hipotesis : H
0
: = 0 melawan
H
1
: 0 Pada taraf signifikansi , serta
dengan statistik uji seperti pada Persamaan (2)
dengan titik kritis seperti pada Persamaan (12)
maka kriteria pengujiannya adalah :
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 239
Terima H
0
jika - V
/2
() t V
/2
(), dan tolak
H
0
dalam keadaan yang lainnya, Jika H
0
benar.


4. KESIMPULAN

Dari uraian yang terdahulu mengenai pengujian
kesamaan dua rata-rata dari dua populasi normal
dengan varians berbeda, maka dengan ini dapat
diambil beberapa kesimpulan
.

1. Untuk menguji kesamaan dua rata-rata dari
dua populasi normal maka perlu terlebih
dahulu dilakukan pengujian kesamaan dua
varians. Jika kedua varians tersebut tidak
berbeda maka kita pergunakan statistik uji
yang berdistribusi eksak.
2. Masalah menguji kesamaan dua rata-rata
untuk varians berbeda dan tidak diketahui
statistiknya merupakan statistic pendekatan
3. Untuk mencari pengujian terbaik, maka kita
perlu mencari pengujian yang mempunyai
ukuran dari pengujian yang stabil dan kuasa
ujinya cukup tinggi.
4. Sampai sekarang uji Welch-Aspin masih tetap
merupakan pengujian terbaik untuk menguji
kesamaan dua rata-rata apabila variansnya
berbeda dan tidak diketahuoi karena sampai
saat ini jika kita bandingkan dengan uji yang
lainnya, uji Welch-Aspin mempunyai
ukuran pengujian yang stabil dan kuasa
ujinya cukup besar.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Aspin, A.A.," An Examination and
Further . Development of a Formula Arising
in the Problem of Comparing Two Mean
Values," Biometrika 35 (May 1998), 88 -
96.
[2] Austin F.S. Lee and John Gurland," Size
and Power of Tests for Equality of Means of
Two Normal Population with Unequal
Variances," Journal of- American Statistical
Association. 70 (December 1999), 933-941.
[3] Banerjee, S.K.," On Confidence Interval for
Two- Means Problem Based of Separate
Estimated of Variances and' Tabulated
values of t-Table," Sankhya. Ser. A, 23
(Nopember 1991), 359-378.
[4] Fisher, R.A. and Yates, F. Statistical
Tables for Biological, Agricultural and
Medical Research. Third Ed., Oliver &
Boyd Ltd, Edinburg, 1957.
[5] Hogg,, R.V. and Craig, A.T.," Introduction
to Mathematical Statistics," Macmillan
Publishing Co. Inc. New York, Fourth
Edition, 1978.
[6] Pagurova, Y.I. On a Comparison of Means
of Two Normal Samples,." Theory of
Probability and Its Applications. 13, No. 3
(1968), 527-534.
[7] Pearson, E.S. and Hartley,
H.O.,Biometrika Tables for
Statician,Third Ed., The Biometrika
Trustees, Cambridge, 1966.
[8] Ray, W.D. and Pitman, A.E.N.T. " An ;
Exact Distribution of The Behrens-Fisher-
Welch Statistic for Testing the Difference
Between the Means of Two Normal
'Population with Unknown Variances,"
Journal of the Royal ; Statistical Society. 23
(1961), 377-384.,
[9] Scheffe, H." Practical Solution of The
Behrens-Fisher Problems," Journal of the
American Statistical Associati'on, 65 (
December 1970), 1501-1508.
[10] Wald. A." Testing the Difference Between
the Means of Two : Normal Population
with Unknown Standart Deviation in T.W.
Anderson and others, eds, Selected Papers
in Statistics and Probability by Abraham
Wald, New York : Me Graw-Hill Book Co,
1955, 669-69.
[11] Wang Y.Y." Probabilities of the Type I
Errors of the Welch Tests for the Behrens-
Fisher Problem;,." Journal of American
Statistical Association 66 ( Sep. 1991 ),
605-608.
[12] Welch, B'.L. The Generalization of
'Students' Problem When Several Different
Population Variances Are Involved, "
Biometrika. 36 (December 1995), 293-296,,
[13] ______, Trickett, W.H. and James, G.S.
"Further Critical Values for the two Means
Problem," Biometrika 34 (1998), 203-205.


Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 241
HUBUNGAN BOBOT DAN FISHER SCORI NG DENGAN FUNGSI HUBUNG
DALAM DISTRIBUSI BINOMIAL PADA GENERALI ZED LI NEAR MODELS
(GLM)

Titin Siswantining
Departemen Matematika FMIPA Universitas Indonesia

titinsh@yahoo.com


ABSTRAK

Terdapat dua metode dalam menaksir parameter pada Generalized Linear Models (GLM) yaitu Fisher Scoring dan
Newton Raphson. Pada makalah ini akan dibahas tentang Fisher Scoring. Persamaan dalam metode Fisher Scoring
memuat bobot, padahal bobot untuk masing-masing fungsi hubung dalam Binomial berbeda-beda tergantung dari
fungsi hubung yang digunakan. Bobot yang paling sederhana adalah bobot dalam fungsi hubung logit karena
merupakan diagonal dari matriks varians kovarians. Akan tetapi setelah dilakukan beberapa contoh kasus ternyata
menaksir parameter dengan menggunakan Fisher Scoring tidak lebih cepat konvergen apabila fungsi hubung yang
digunakan adalah fungsi hubung logit. Dari beberapa kasus tersebut juga tidak dapat ditentukan fungsi hubung yang
paling sesuai untuk distribusi Binomial.

Keywords : GLM, Fisher Scoring, distribusi binomial, fungsi hubung, bobot


PENDAHULUAN

Menurut Dobson, 1990, dalam semua model
linear, variabel respon y dimodelkan sebagai
variabel acak normal dan linear. Padahal, untuk
beberapa data, model demikian tidak selalu
sesuai. Misalnya jika variabel respon y merupakan
variabel kategorik dengan dua kemungkinan
hasil,atau variabel respon y bernilai antara 0 dan
1, maka tidak mungkin menggunakan distribusi
normal. Demikian juga apabila variabel respon y
mempunyai hubungan nonlinear. Dalam menaksir
parameter menggunakan minimum dari Sum of
Squares Residual (SSR) atau maximum likelihood.
Dalam menguji hipotesis menggunakan likelihood
ratio test.

Generalized Linear Models (GLM) merupakan
pengembangan dari model linear umum (General
Linear Model) untuk model dari variabel respon
non normal. Dalam menaksir parameter
menggunakan maximum likelihood atau
meminimalkan deviance. Deviance = 2(likelihood
model full likelihood model reduced). Dalam uji
hipotesis menggunakan deviance yang
dibandingkan dengan distribusi chi-squares
(Nelder, 1972).

Dalam GLM, sebaran variabel respon y
diasumsikan termasuk dalam keluarga
eksponensial. Distribusi yang termasuk pada
keluarga eksponensial adalah distribusi normal,
distribusi binomial, distribusi multinomial,
distribusi Poisson, distribusi Gamma, distribusi
exponensial dan distribusi binomial negatif.
Pada makalah ini akan dibahas tentang observasi
yang berdistribusi Binomial, dengan observasi
sebanyak m dan parameter atau disingkat
dengan Binomial (m, )

Probability Density Function (pdf) dari distribusi
binomial adalah
m y
y
m
y f
y m y
,...., 2 , 1 , 0 , ) 1 ( ) ; ( =
|
|
.
|

\
|
=



dan fungsi transformasi x g
i i 2 1
) ( + = =


Terdapat beberapa macam link function (fungsi
hubung) yaitu fungsi yang menghubungkan antara
komponen random y dengan komponen
sistematik. Fungsi hubung dalam distribusi
binomial yaitu : logit, probit, log-log dan
complementary log-log. Dalam makalah ini hanya
dibahas logit, probit dan complementary log-log
(CLL).

METODE

Fungsi hubung

Dalam makalah ini akan dibahas tiga fungsi
hubung dalam distribusi binomial yaitu fungsi
hubung untuk model logit yaitu
|
|
.
|

\
|

=
i
i
i

1
log
=
j j
x
, fungsi hubung untuk model probit
yaitu ) (
1
i i


= dan fungsi hubung untuk
fungsi complementary log-log (CLL) yaitu =
log(log(1
i
)) dan merupakan fungsi
distribusi.


Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 242
Peluang sukses

Peluang sukses untuk masing-masing fungsi
hubung logit adalah
( )
2 2 1 1 0
2 2 1 1 0
exp 1
) exp(
x x
x x

+ + +
+ +
=
, untuk fungsi
probit yaitu = () dan untuk fungsi
complementary log-log yaitu ) exp( 1

e = =
) exp(
1 ) exp(

e
e
.

Fungsi log likelihood


Log likelihood dari distribusi binomial adalah


=
(

|
|
.
|

\
|
+ +
|
|
.
|

\
|

=
n
i i
i
i i
i
i
i
y
m
m y y L
1
log ) 1 log(
1
log ) ' ; (



+ = ) exp( 1 log(
j ij i j ij i
x m x y

Turunan pertama dari loglikelihood terhadap
i

adalah
) 1 (
i i
i i i
i
m y L


, sedangkan turunan kedua


loglikelihood terhadap
i
adalah
2 2 2
2
) 1 (
)) 1 ( (
i i
i i i
i
m L




=




Matrix informasi Fisher

Secara umum, jika merupakan parameter, maka
kuantitas
|
|
.
|

\
|
|
|
.
|

\
|

=
2
1
) | ( log

n
i
i
X f E
disebut
sebagai bilangan informasi (information number)
atau informasi Fisher (Fisher information) dari
sampel. Istilah ini bermula dari kenyataan bahwa
bilangan informasi merupakan invers dari variansi
estimator unbiased terbaik dari parameter .
Sebagai bilangan informasi yang terbesar, tetapi
mempunyai variansi terkecil dari estimator
unbiased terbaik, yang memberi informasi lebih
tentang parameter .

Dalam hal distribusi Binomial, parameternya
adalah
i
, sedangkan dalam fungsi linear adalah
maka :

r
i
i i
i i i
r
m y L



) 1 (
dimana
r
i
i
i
r
i

=
ir
i
i
x

ir
i
i
i i
i i i
r
x
m y L



) 1 (


Fisher information untuk adalah

|
|
.
|

\
|

s r
L
E

2
=
s
i
r
i
i i
i
m

) 1 (

=

=


n
i
is ir
i i
i i
i
x x m
1
2
) 1 (
) / (



= { }
rs
WX X'

Matrix bobot
2
(1 )
i
i
i
i i
m
W diag



| |

|


\ .
=
`



)
dan
( )

Y X
L
'


Untuk distribusi Binomial,

i
i
i

=
1
log
maka
|
.
|

\
|
+
=
i
e
i
i

1
exp
=
e
e

+ 1


Turunan pertama dari
i
terhadap
i
adalah :

2
) exp 1 (
) )(exp (exp ) exp 1 ( exp
i
i i i i
i
i

+
+
=

=
2
) exp 1 (
exp
i
i

+
=
) exp 1 (
1
.
) exp 1 (
exp
i i
i

+ +

= ) 1 (
i i

Sehingga
) 1 (
i i
i
i

dan

ir
i
i
i i
i i i
r
x
m y L

) 1 (
=
ir i i
i i
i i i
x
m y
) 1 (
) 1 (



=
ir i i i
x m y

) (

Oleh karena itu, secara umum bobot

|
|
.
|

\
|

=
) 1 (
2
i i
i
i
i
m
diag W


Untuk fungsi hubung logit maka bobot W menjadi

Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 243
( )

=
i i
i i i
m
diag W


1 (
1 (
2

= )} 1 ( {
i i i
m diag


Untuk fungsi hubung probit

) (
) (
i
i
i
i
i
f
d
d

= =


Dan

i
i
i i
i i i
r
m y L



) 1 (
=
) (
) 1 (
i
i i
i i i
f
m y



) (
1
i i


= dan
) (
2
2
i
i
i
f

=
|
|
.
|

\
|



Sehingga bobot W untuk fungsi hubung probit
adalah

W =
( )
)
`

) 1 (
) (
2
i i
i i
f m
diag




Untuk fungsi hubung Complementary log-log

i
= log(log(1)) maka
| | )) (exp(

e e
( )

e = exp 1 =
e e
e e

. dan
2
2
|
.
|

\
|
=
|
|
.
|

\
|

e
e


Sehingga bobot W untuk fungsi hubung
Complementary log-log adalah


2( )
(1 )
e
i
i i
W diag m
e



| |

|
=
`
|

\ . )


Deviance

Untuk mengukur kelayakan model digunakan
deviance. Deviance didefinisikan sebagai dua kali
beda antara log likelihood maksimum yang
dicapai dengan log likelihood model yang di-
fitted (disesuaikan).

( ; ) log 1 exp
i ij j i ij j
i j i j
L y y x m x
| |
= +
|
\ .


{ }
^ ^ ^
( , ) log ( ) log(1 )
i i i i i
i
L y y m y = +


Deviance =
^ ^ ^ ^
( ; ) 2 ( ; ) 2 ( ; ) D y L y L y =

=
^ ^
2 log ( ) log
i i i
i i i
i
i i i
y m y
y m y
m
| | | |

| |
+
`
| |

\ . \ . )



Overdispersi

Istilah overdispersi berarti bahwa variansi dari Y
i

melampaui nilai nominal variansi, dalam hal
binomial berarti melampaui m(1).
Overdispersi merupakan fenomena yang kadang-
kadang terjadi pada data berdistribusi Binomial
atau Poisson. Jika taksiran dispersi sesudah di-
fitting (dicocokkan, disesuaikan) sebagai
ukuran deviance atau pearson chi squares dibagi
dengan derajat bebas tidak mendekati 1 maka
kemungkinan terjadi dispersi (taksiran dispersi
lebih besar dari 1), atau dikatakan underdispersion
jika taksirannya kurang dari 1. Untuk
memodelkan situasi ini adalah mengikuti fungsi
variansi dari distribusinya, yang mempunyai
faktor pengali overdispersi (kemungkinan terjadi
multikolinearitas).

Dalam praktek, overdispersi bukan merupakan
kejadian yang tidak biasa. Overdispersi biasanya
terjadi pada saat clustering populasi (Lexis,
1979).Contoh overdispersi dalam clustering,
var(Y) =
2
m(1).Overdispersi hanya terjadi
jika n > 1. Terjadi overdispersi jika rasio antara
var(Y) secara teori dengan variansi dalam praktek
= 1 berarti tidak terjadi overdispersi atau ditulis
dengan
) 1 (
) var(
m
Y
=1 berarti tidak terjadi
overdispersi.


Taksiran parameter

Untuk menaksir parameter digunakan beberapa
fungsi.

i
i
i
i i i
i i
m
m y
Z


+ =


Taksiran Maksimum likelihood memenuhi
persamaan :
XW X
^
= XWZ, sehingga

- Untuk fungsi hubung logit maka
( ) ( ) WZ X WX X ' '
1
1
^

dengan
)} 1 ( {
i i i
m diag W =

- Untuk fungsi hubung probit maka
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 244
( ) ( ) WZ X WX X ' '
1
1
^

dengan
( )
)
`

=
) 1 (
) (
2
i i
i i
f m
diag W




- Untuk fungsi hubung Complementary
log-log maka
( ) ( ) WZ X WX X ' '
1
1
^

dengan

|
|
.
|

\
|

) 1 (
) ( 2
i i
e
i
e
m diag W



Dari beberapa persamaan ini terlihat bahwa untuk
menaksir parameter tergantung dari weight
(bobot), sedangkan bobot dari setiap fungsi
hubungnya berbeda. Oleh karena itu, bobot
tergantung dari fungsi hubung yang
digunakan.Bobot pada fungsi hubung logit lebih
sederhana yaitu hanya diagonal dari matriks
varian kovarian.

Fisher Scoring

Untuk menaksir parameter dengan menggunakan
iterasi (perhitungan numerik) biasanya digunakan
Fisher Scoring dan metode Newton Raphson.
Pada tulisan ini akan dibahas penaksiran
parameter menggunakan Fisher Scoring.

Persamaan Maksimum Likelihood untuk
j

diberikan oleh :

( ) 0
j
d
W y x
d

untuk setiap
kovariat x
j
dengan menyatakan jumlahan untuk
semua unit dan
2
1
d
W V
d

| |
=
|
\ .
dan V =
d
d

=
b().

Log likelihood untuk observasi tunggal dalam
bentuk kanonik diberikan oleh
{ ( )}
( , )
( )
y b
L c y
a

= +
.

j j
L L d d
d d



=

dengan b() = dan
b() = V.

=
j j i
x maka
j
j
i
x =

.
Sehingga
( ) 1
( )
j
j
L y d
x
a V d



=

=
( )
( )
j
W d
y x
a d



Metode Fisher Scoring menggunakan gradient
vector
L
u

dan minus dari nilai harapan


matriks Hessian.
2
r s
L
E A

| |
=
|

\ .
. Jika b merupakan taksiran
untuk maka dapat didefinisikan penyelesaian
A b = u

( )
r r
d
u W y x
d

sehingga

r
rs
s
u
A E


=
( ) ( )
r r
s s
d d
E y W x W x y
d d



(
+
` (

)



r r s
i i s
d
W x Wx x
d


.

A merupakan weighted sum-of-squares and
product matrix kovariat dengan bobot W.

Taksiran baru dari yaitu b* = b + b sesuai
dengan persamaan

Ab* = Ab + Ab = Ab + u

( )
rs s r
r
s
Ab A b Wx = =



Oleh karena itu taksiran baru b* sesuai dengan

( ) * ( )
r
r
i
d
Ab Wx y
d


= +
`
)

dengan
2
1
d
W V
d

| |
=
|
\ .
dan
( )
d
z y
d

= +

(McCullagh & Nelder, 1989.


Nelder dan Wedderburn (1972) mengusulkan
bahwa Fisher scoring sebagai metode umum
untuk perhitungan numerik
^
dalam GLM.
Dengan memberikan taksiran dengan
memperbarui

new
diberikan oleh
1
2
new
r s
L L
E


| |
= +
` |

\ . )
.

Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 245
Nilai diganti dengan

new
dan diupdate sampai
konvergen.

( )
1
' '
new
X WX X WZ


=

dengan
i
i
i
i i i
i i
m
m y
Z


+ = dan
W =

|
|
.
|

\
|

) 1 (
2
i i
i
i
i
m
diag



Catatan :
b* menurut McCullagh & Nelder sama dengan

new
menurut Nelder & Weederburn.

Dengan demikian, apabila dalam menyelesaikan
menggunakan fungsi hubung tertentu maka nilai
W atau bobot diganti dengan fungsi hubung yang
bersesuaian.

CONTOH KASUS

Untuk melihat hubungan antara bobot, fungsi
hubung dan Fisher Scoring dalam menaksir
parameter , maka diberikan beberapa contoh
kasus.
1. Data tentang pemberian racun pada dan
jumlah kumbang yang mati setelah terkena
racun. Data ini diambil dari Mc Cullagh &
Nelder (1990) dicatat seperti pada Tabel 1
sebagai berikut :

Tabel 1. Tabel data kumbang
Data kumbang
Dosis x
i

(logCS
2
mgl
-1
)
Jumlah
kumbang, n
i
Jumlah yang
mati, y
i
1.6907 59 6
1.7242 60 13
1.7552 62 18
1.7842 56 28
1.8113 63 52
1.8369 59 53
1.8610 62 61
1.8839 60 60
Data pada Tabel 1 tersebut kemudian dianalisis.
Dari hasil analisis yang dilakukan menggunakan
software SAS dapat dirangkum dalam Tabel 2
berikut :







Tabel 2. Rangkuman hasil analisis data pertama
Logit Probit CLL
Iterasi 3 4 3
Deviance 11,1156 9,98 3,5143
Deviance/
df
1,8526 1,1645 0,5857
Loglikelih
ood
-186,1771 -185,6128 -182,3765
Persamaan -2,204 +
0,3235X
-2,404 +
0,3235X
1,4261 -
0,2507X

Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa
fungsi hubung yang sesuai untuk data
tersebut adalah fungsi hubung
complementary log-log karena lebih cepat
konvergendibandingkan dengan yang lain
dan mempunyai deviance paling kecil.

2. Data tentang ada atau tidaknya symptom
senility yang didasarkan pada nilai Wechsler
Adult Intelligent Scale (WAIS) seperti pada
Tabel 3 berikut :

Tabel 3. Rangkuman hasil data kedua
Logit Probit CLL
Iterasi 4 4 4
Deviance 9,419 9,419 9,7123
Deviance/df 0,6279 0,6279 0,6476
Loglikelihood -26,5087 -25,498 -25,6554
Persamaan -2,204 +
0,3235X
-2,404 +
0,3235X
1,4261-
0,2507X

Dari hasil tersebut belum dapat dikatakan
bahwa fungsi hubung mana yang sesuai
untuk data tersebut karena semua fungsi
hubung konvergen pada iterasi sama. Nilai
deviance/df hampir semua sama.Dari data
ini ternyata log likelihood dengan metode
CLL juga mempunyai nilai log likelihood
terkecil.

3. Data tentang dosis obat yang diberikan, jenis
kelamin terhadap sembuh atau tidaknya
terhadap penyakit tertentu. Data ini
merupakan data dengan banyak trial n yang
sama untuk semua variabel independen x.
Diperoleh hasil seperti pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Rangkuman hasil data ketiga
Logit Probit CLL
Iterasi 4 4 4
Deviance 29,7913 28,9847 36,4713
Deviance/df 2,9791 2,8985 3,6471
Loglikelihoo
d
-112,1842 -111,781 -115,5243
Persamaan -2,7963 +
0,9975X
-1,679 +
0,5933X
-2,3019 +
0,6368X
Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa fungsi
hubung yang sesuai untuk data ketiga tersebut
adalah fungsi hubung probit karena mempunyai
deviance paling kecil, tetapi sedikit mempunyai
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 246
overdispersi. Nilai log likelihood pada metode
CLL terkecil.


PEMBAHASAN

Dari beberapa contoh kasus, tidak dapat
ditunjukkan mana fungsi hubung yang paling
sesuai untuk distribusi binomial dan tidak dapat
dibandingkan kecepatan perhitungan numerik
dengan perbedaan fungsi hubung dan bobot,
padahal secara teori, Fisher scoring untuk bobot
dengan fungsi hubung logit mempunyai bentuk
paling sederhana. Hal ini kemungkinan adanya
pemilihan angka awal dalam melakukan
penaksiran parameter melalui Fisher scoring yang
kurang tepat, dan jumlah data yang cukup besar,
bukan karena fungsi hubung dan bobot yang
berpengaruh dalam Fisher Scoring.

KESIMPULAN

1. Turunan pertama dari log likelihood untuk
ketiga fungsi berbeda peluang sukses,
tergantung dari masing-masing fungsi
hubungnya. Nilai yang tetap adalah m
2. Matrix Informasi juga tergantung dari bobot
pada masing-masing fungsi penghubungnya
3. Sesuai bentuk fungsi hubung logit lebih
sederhana dibandingkan dengan dua fungsi
hubung yang lain pada distribusi Binomial,
maka seyognyanya fungsi hubung logit lebih
cepat konvergen dibandingkan dengan dua
fungsi hubung yang lain dalam
mengestimasi parameter menggunakan
Fisher scoring. Berdasarkan iterasi, nilai
deviance, nilai deviance/df, dan log
likelihood ternyata ketiganya tidak
menunjukkan fungsi hubung mana yang
sesuai. Sehingga hubungan antara bobot,
Fisher scoring dengan fungsi hubung dalam
distribusi Binomial tidak dapat digunakan
untuk mencari fungsi hubung yang sesuai
karena tergantung dari nilai awal, jumlah
data dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Darren Glosemeyer. 2009. The Wolfram
Demonstrations Project.
http://demonstrationswolfram.com.
[2] Maul, A. 1981. Application of Generalized
Linear Models to The Analysis of Toxicity
Test Data. University de Metz, Departemen
Statistiques, 57000 Mets, France.
[3] McCullagh, P. & J.A. Nelder. 1990.
Generalized Linear Models. 2
nd
ed. London,
Chapman & Hall.
[4] Nelder, J.A. & Wedderburn, R.W.M. 1972.
Generalized Linear Models. J. Roy. Statist.
Soc. A, 135, 370-384.
[5] Green, P.J. & B.W. Silverman. 1995.
Nonparametric Regression & Generalized
Linear Models. London, Chapman & Hall.
[6] Dobson, A.J. 2002. Introduction to
Generalized Linear Models. 2
nd
ed. Boca
Ranton, Chapman & Hall.
[7] Cody, R.P. & J.K. Smith.1999. Applied
Statistics and the SAS Programming
Language, 4
th
ed. SAS Institute Inc. NC,
New Jersey,USA, Prentice Hall.




Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 247
MENCARI FUNGSI HUBUNG YANG SESUAI DALAM DISTRIBUSI POISSON
MELALUI RESIDUAL

Titin Siswantining
Departemen Matematika FMIPA Universitas Indonesia

titinsh@yahoo.com


ABSTRAK

Residual merupakan hal yang sangat penting dalam statistika parametrik maupun nonparametrik. Tulisan
ini akan membahas residual Pearson yang dikaitkan dengan fungsi hubung yang digunakan, baik dalam
membangkitkan data maupun dalam pembentukan model pada distribusi Poisson. Prosedur yang
digunakan adalah prosedur informal dan prosedur formal. Dari kedua metode diperoleh bahwa dalam
distribusi Poisson, fungsi hubung yang relatif tidak terlalu salah adalah fungsi hubung logaritma.

Keywords: distribusi Poisson, residual Pearson, fungsi hubung.


PENDAHULUAN

Generalized Linear Models (GLM) merupakan
model tipe regresi untuk data yang tidak
berdistribusi normal, yang dicocokkan (di-fit)
dengan menggunakan metode maximum
likelihood, tidak menggunakan metode ordinary
least squares (Pierce & Schafer, 1986).
McCullagh dan Nelder (1983) memperlihatkan
survey yang sangat bagus tentang GLM dengan
perhatian pada definisi residual.

Residual biasanya didefinisikan dalam
hubungannya dengan model linear (Cox & Snell,
1968). Sebagian besar fenomena yang alami
sangat rumit, dan ketika dampak dan semua
penyebab yang diketahui dapat diperkirakan
dengan kepastian, dan dikurangi dengan fakta
(kenyataan), residual tergabung dalam bentuk
fenomena yang baru dan menuntun kepada
kesimpulan yang paling penting (Aitkin, 1989).
Residual mungkin timbul dari beberapa sumber
diantaranya pemilihan fungsi hubung dan
pemilihan model yang kurang tepat. Dalam
tulisan ini akan dibahas mengenai seberapa jauh
kaitan residual dalam memilih fungsi hubung dan
pemilihan model pada distribusi Poisson.
Probability density function (pdf) dari distribusi
Poisson diberikan oleh :
... 2, 1, 0, y ;
!
) ( = = =

y
y Y P
y
e

(1)










Secara umum, eksperimen dimodelkan oleh :

(i) Sekelompok observasi atau pengamatan y
i
(i
= 1, 2, , n) saling independen dengan
mean E(y
i
) =
i
.
(ii) Fungsi densitas pada keluarga eksponensial
secara umum berbentuk :
)} , ( )] ( )[ ( exp{ ) , , (
i i i i i i
y h g y r y f + =
(2)
dimana
i
merupakan parameter;
merupakan nuisance parameter.
(iii) Parameter
i
bervariasi dari satu titik data ke
titik data yang lain. Parameter ini yang
menghubungkan fungsi densitas ke variabel
regressor melalui fungsi linear x
i
.
(iv) Kuantitas x
i
adalah prediktor linear dari
i

= E(y
i
)
(v) Fungsi yang menghubungkan antara
i
dan
x
i
melalui parameter
i
;dan diberikan oleh
x
i
= s(
i
).
Menurut Collect (2003),
i
tidak selalu mean

i
; mungkin median atau yang lain. Akan
tetapi, untuk membawa variabel independen
dan model linear yang mengikuti pada
formulasi (rumus), lebih mudah
menggunakan mean untuk menghubungkan

i
pada
i
.
(vi) Mean
i
tidak selalu berhubungan langsung
dengan variabel independen pada model
linear tetapi lebih sering menggunakan
hubungan nonlinear. E(y
i
) diasumsikan
fungsi yang monoton, dan differentiable dari
x
i

.

Dari hal yang sudah dijelaskan tersebut terlihat
bahwa fungsi hubung menentukan model yang
menghubungkan antara
i
= E(y
i
) dengan fungsi
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 248
linear x
i
. Hasil dari regresi sangat bergantung
pada pemilihan fungsi hubung. Dalam hal
distribusi Poisson, fungsi yang diberikan hanya
bernilai positif
i
(nilai dalam distribusi Poisson
selalu positif). Fungsi hubung diturunkan dari
x
i
=
i
dimana
i
merupakan parameter.

Dalam mean distribusi Posson,
i
(x
i
, ),
regressor melalui fungsi hubung x
i

= log (
i
) .

i
x
i
e = (3)
Sebagai hasilnya, untuk mencocokkan (mem-fit)
regressi Posson diberikan oleh :
i
x
i
i
e y

+ =

(4)
Jika persamaan (4) dilogaritmakan, maka
i i i
y x log log ' = =

Dalam hal ini fungsi hubung yang digunakan
adalah fungsi hubung log. x
i

dapat dituliskan
dalam bentuk
0
+
1
x
1
++
p
x
p
; jika variabel
independennya sebanyak p.

Jadi, jika menggunakan fungsi hubung log dalam
model dengan satu variabel independen maka
i i
x
1 0
log + = (5)
Sedangkan jika menggunakan fungsi hubung
identitas model dengan satu variabel independen
maka
i i
x
1 0
+ = (6)

Fungsi hubung yang digunakan dalam distribusi
Poisson ada dua yaitu fungsi hubung log dan
fungsi hubung identitas.

Dari gambaran yang sudah dijelaskan tersebut
dapat terlihat bahwa penggunaan fungsi hubung
yang sesuai sangat berkaitan erat dengan residual
sehingga menarik untuk dikaji.

Dari gambaran pada persamaan (5) dan (6) diduga
bahwa fungsi hubung identitas (persamaan 6)
lebih sesuai (dalam hal ini lebih cepat konvergen)
karena hubungannya secara langsung, dengan x
i

dibandingkan dengan persamaan (5), dimana
i

dengan x
i
dihubungkan melalui fungsi
logaritma.

METODE

Residual merupakan selisih antara nilai
sebenarnya dengan nilai taksiran sehingga
semakin dekat nilai sebenarnya dengan nilai
taksiran berarti semakin yakin bahwa model yang
diasumsikan benar. Residual membawa informasi
penting berkenaan dengan asumsi yang sesuai.
Prosedur analisis yang digunakan pada tulisan ini
meliputi prosedur grafik( informal), yang
digunakan untuk memberikan gambaran secara
umum, dan prosedur atau metode formal
digunakan untuk mendeteksi asumsi tertentu.
Metode formal yang digunakan adalah deviance
dan jumlah kuadrat. Alasan mengapa
menggunakan prosedur formal dan informal
karena prosedur formal dan informal saling
melengkapi satu dengan yang lain dalam analisis
residual (Cook, R.D. & S. Weisberg, 1980).

Untuk model linear, variabel dependen dapat
dinyatakan dalam bentuk :
) (
^ ^
+ =
i i
y y

(7)

Atau dapat dikatakan bahwa data observasi
merupakan jumlah nilai fit ditambah dengan
residual. Residual dapat digunakan untuk
mengeksplorasi ketepatan model terhadap
pemilihan fungsi variansi, fungsi hubung dan
prediktor linear. Residual dapat menunjukkan
kehadiran nilai anomali dalam penyelidikan
selanjutnya.(McCullagh & Nelder, 1989).

Pada makalah ini menggunakan residual Pearson.
Menurut Myer (1990), residual Pearson
didefinisikan sebagai :
) (

V
y
r
P

=

(8)
Residual yang digunakan merupakan residual
Pearson karena disesuaikan dengan nama yang
diambil dari residual distribusi Poisson adalah
akar kuadrat dari komponen Pearson X
2

Goodness-of-fit statistic sedemikian hingga

=
2 2
X r
P


Untuk mencari fungsi hubung yang sesuai dalam
distribusi Poisson digunakan prosedur (metode)
informal dan prosedur (metode) formal. Untuk
metode informal, menggunakan grafik (plot),
sedangkan metode formal menggunakan deviance
dan jumlah kuadrat residual.

Deviance merupakan selisih fungsi likelihood
data sebenarnya dengan prediksi (taksiran). Nilai
deviance kecil menunjukkan log likelihood antara
data sebenarnya dengan log likelihood prediksi
(taksiran).
Ukuran kesenjangan deviance ini didefinisikan
dengan :
) ( ( ln[ 2 ) (
^ ^
L L = (9)
dimana ) (

merupakan deviance; ) (
^
L
merupakan maximum likelihood dari model yang
dicocokkan (di-fit) dan ) (
^
L adalah likelihood
yang dimaksimumkan oleh estimator
i i
y =
^
.

Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 249
Demikian juga halnya dengan jumlah kuadrat
residual. Jumlah kuadrat residual kecil
menunjukkan ketepatan dari prediksi, karena
selisih kuadrat antara data sebenarnya dengan
hasil prediksi, kecil, yang berarti bahwa data
sebenarnya dekat dengan prediksi. Residual yang
digunakan adalah residual Pearson, seperti pada
persamaan (8).

APLIKASI

Untuk mengetahui data yang benar-benar
mempunyai distribusi tertentu dilakukan dengan
pembangkitan data melalui model tertentu.
Dalam hal ini, membangkitkan data yang
berdistribusi Poisson dengan menggunakan fungsi
hubung tertentu, yaitu fungsi hubung log dan
fungsi hubung identitas.
Terdapat empat kasus yang mungkin terjadi yaitu:
1. Data dibangkitkan dengan fungsi hubung
identitas kemudian model yang digunakan
adalah model dengan fungsi hubung
identitas. Residual Pearson dari kasus ini
ditandai dengan pidid.
2. Data yang dibangkitkan dengan fungsi
hubung identitas akan tetapi menggunakan
model dengan fungsi hubung log. Residual
Pearson dari kasus ini ditandai dengan
pidlog.
3. Data yang dibangkitkan menggunakan
fungsi hubung log kemudian menggunakan
model dengan fungsi hubung identitas.
Residual Pearson dari kasus ini ditandai
dengan plogid.
4. Data yang dibangkitkan menggunakan
fungsi hubung log tetapi model yang
digunakan dengan fungsi hubung log.
Residual Pearson dari kasus ini ditandai
dengan ploglog.

Dalam prosedur (metode) informal, residual
Pearson dari masing-masing kasus dibuat plot
untuk mengetahui fungsi hubung yang relatif
tidak terlalu salah. Kemudian dibuat plot yang
dapat dilihat pada Gambar 1 sampai dengan
Gambar 5 dengan perincian berikut :
1. Untuk melihat data yang dimodelkan dengan
fungsi hubung identitas tetapi dibangkitkan
dengan fungsi hubung identitas (pidid) dan
data yang dibangkitkan dengan fungsi
hubung log(plogid), maka dibuat plot antara
residual Pearson pidid dengan residual
Pearson plogid (Gambar 1).
2. Untuk melihat residual Pearson yang berasal
dari fungsi hubung yang digunakan tertukar
yaitu data yang dibangkitkan dengan fungsi
hubung log tetapi dimodelkan dengan fungsi
hubung identitas, begitu sebaliknya, maka
residual Pearson seperti ini ditandai dengan
residual Pearson plogid dengan residual
Pearson pidlog (Gambar 2).
3. Residual Pearson data yang dimodelkan
dengan fungsi hubung logaritma yang
dihasilkan dari pembangkitan data
menggunakan fungsi hubung identitas
(pidlog) dengan residual Pearson dari hasil
pembangkitan data menggunakan fungsi
hubung logaritma (ploglog). Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 3.
4. Residual yang diperoleh dari data yang
dibangkitkan dan dimodelkan dengan fungsi
hubung yang sama, yaitu ploglog dan pidid,
dapat dilihat pada Gambar 4.
5. Residual dari data yang dibangkitkan
dengan fungsi hubung identitas kemudian
dimodelkan dengan fungsi hubung logaritma
(pidlog) dan residual data yang dibangkitkan
dengan fungsi hubung identitas kemudian
dimodelkan dengan fungsi hubung identitas
(pidid) digambarkan pada Gambar 5.



Gambar 1. Plot res pidid dengan res plogid



Gambar 2. Plot res plogid dengan pidlog



Gambar 3. Plot res idlog dengan loglog
-2
-1
0
1
2
3
4
1 11 21
p_re
sidi
d
plog
id
-2
0
2
4
1 11 21
plo
gid
p_ri
dlo
g
-2
0
2
4
1 11 21
p_ri
dlo
g
p_rl
ogl
og
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 250

Gambar 4. Plot res loglog dengan idid


Gambar 5. Plot res idid dengan id log

Dari plot pada Gambar 4, yang menunjukkan plot
residual dari data yang dibangkitkan dan
dimodelkan dengan fungsi hubung yang sama,
terlihat bahwa kedua plot seiring.

Hal ini menunjukkan bahwa data yang
dibangkitkan dengan fungsi hubung log kemudian
dimodelkan dengan fungsi hubung log dan data
yang dibangkitkan dengan fungsi hubung identitas
kemudian dimodelkan dengan fungsi hubung
identitas ternyata menghasilkan grafik yang lebih
tepat atau lebih dekat. Atau dapat dikatakan
bahwa jika data dibangkitkan dan dimodelkan
dengan fungsi hubung yang sama, maka hasil plot
lebih bagus.

Gambar 1, 2, 3 dan 5 menunjukkan hasil plot data
yang dibangkitkan dengan fungsi hubung yang
berbeda dengan fungsi hubung pemodelan. Dari
Gambar 1,2,3, dan 5 tersebut terlihat bahwa
fungsi hubung log merupakan fungsi hubung yang
relatif sesuai walaupaun ada perbedaan antara
fungsi hubung pada saat data dibangkitkan dengan
fungsi hubung pada saat pemodelan. Dari hasil
dengan menggunakan informal dapat dikatakan
bahwa fungsi hubung log lebih mendekati nilai di
sekitar angka nol.

Gambar 4 menyatakan hasil plot yang dihasilkan
dari data yang menggunakan fungsi hubung yang
sama antara data pembangkitan dan pemodelan.
Dari Gambar 4 ini terlihat bahwa residual p-
_rloglog (berwarna biru) lebih stabil
dibandingkan dengan residual presidid (warna
merah).

Kemudian hasil yang diperoleh melalui metode
informal dibandingkan dengan hasil melalui
prosedur formal yaitu melalui pembandingan
jumlah kuadrat residual dan deviance dari masing-
masing kasus (Tabel 1).

Tabel 1. Rangkuman deviance dan jumlah kuadrat
residual
Pembang-
kitan
Pemo-
delan
Deviance
Jumlah
kuadrat
residual
Identitas Identitas 35.457528 0.708942
Identitas Logaritma 39.4743 0.595579
Logaritma Identitas 43.2541 0.603534
Logaritma Logaritma 33.4715 0.8761

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa :
1. Apabila residual Pearson dari data hasil
pembangkitan dan model menggunakan
fungsi hubung yang sama (idid atau loglog)
maka nilai deviance kecil. Hal ini dapat
dilihat terutama pada fungsi hubung
logaritma mempunyai deviance paling kecil,
artinya selisih antara loglikelihood model
sebenarnya dengan model yang ditaksir
kecil, akan tetapi mempunyai jumlah kuadrat
lebih besar dari yang lain.
2. Apabila residual dari data hasil
pembangkitan dan model yang digunakan
berbeda fungsi hubungnya maka deviance
besar (idlog atau logid). Untuk residual dari
data hasil pembangkitan data dengan
menggunakan fungsi hubung identitas tetapi
menggunakan model dengan fungsi hubung
logaritma(idlog), ternyata mempunyai
deviance tidak terlalu besar akan tetapi
jumlah kuadrat terkecil, sedangkan untuk
residual Pearson hasil pembangkitan data
menggunakan fungsi hubung logaritma
tetapi menggunakan model dengan fungsi
hubung identitas (logid) mempunyai
deviance terbesar tetapi jumlah kuadrat
masih relatif kecil.

Dapat dikatakan bahwa jika fungsi hubung yang
digunakan untuk membangkitkan dan
memodelkan data sesuai(sama),maka residual
Pearson mempunyai deviance dan jumlah kuadrat
kecil. Fungsi hubung yang relatif tidak terlalu
salah dalam distribusi Poisson adalah fungsi
hubung logaritma karena mempunyai deviance
paling kecil walaupun mempunyai jumlah
kuadrat yang relatif sedikit lebih besar dari yang
lain.

KESIMPULAN

1. Dengan metode informal dan metode formal
diperoleh hasil yang hampir sama dalam
mencari fungsi hubung yang sesuai dalam
distribusi Poisson melalui residual.
-2
0
2
4
1 9 17 25
p_rlo
glog
p_re
sidid
-2
0
2
4
1 9 17 25
p_re
sidid
p_rid
log
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI 251
2. Fungsi hubung logaritma merupakan fungsi
hubung yang relatif sesuai (tidak terlalu
salah) dalam distribusi Poisson.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Aitkin, M. et all. (1989). Statistical
Modelling in GLIM. Oxford,Clarendon
Press.
[2] Cook, R.D. & S. Weisberg. (1986).
Residuals and influence in Regression. New
York, Chapman & Hall.
[3] Collet, D. (2003). Modelling Binary Data,
2
nd
ed. Boca Raton, Chapman & Hall.
[4] Cox, D.R. & E.J. Snell.(1968). A General
Definition of Residuals. Journal of the Royal
Statistical Society. Series B
(Methodological). Vol. 30. No. 2, pp. 248
275.
[5] McCullagh, P. & J.A. Nelder. (1983).
Generalized Linear Models, 1
st
ed. London,
Chapman & Hall
[6] McCullagh, P. & J.A. Nelder. (1989).
Generalized Linear Models, 2
nd
ed. London,
Chapman & Hall.
[7] Myers, R.H. (1990). Classical and Modern
Regression with application, 2
nd
ed. Boston,
PWS-KENT Pub.
[8] Pierce, D.A. & D.W. Schafer. (1986).
Residuals in Generalized Linear Models.
JASA, vol. 81. No. 396(Dec., 1986), pp.
977 986.
[9] Weisberg, S. (1980). Applied Linear
Regression, 2
nd
ed. New York. John Wiley
& Sons.


Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 253
PENGGUNAAN METODE DI RECT SAMPLING DAN I NVERSE SAMPLI NG
DALAM MENGESTIMASI UKURAN POPULASI KUCING DI PERUMAHAN
BUKIT RIVARIA SAWANGAN DEPOK PADA BULAN DESEMBER 2009

Tri Handhika dan Murni

Pusat Studi Komputasi Matematika (PSKM), Kampus D 139 Universitas Gunadarma, Depok, 16424

cocoms_college46@yahoo.com, moernie_19862000@yahoo.com



ABSTRAK

Dalam sejumlah penelitian, seringkali ukuran populasi sebenarnya dari objek yang sedang diamati tidak dapat
diperoleh dengan mudah. Oleh karena itu, sebagian besar peneliti mengasumsikan bahwa ukuran populasi tersebut
diketahui nilainya guna mendapatkan jumlah sampel yang sesuai untuk penelitian yang sedang berlangsung. Padahal,
asumsi tersebut akan berpengaruh besar terhadap hasil penelitian yang diperoleh. Besarnya pengaruh informasi
ukuran populasi dari objek yang sedang diamati terhadap hasil suatu penelitian membuat sebagian peneliti berusaha
mengembangkan berbagai metode dalam mengestimasi ukuran populasi tersebut. Dengan demikian, diperlukan suatu
metode untuk mengestimasi ukuran populasi dari objek yang sedang diamati sehingga tujuan dari penelitian tersebut
dapat tercapai. Beberapa metode untuk mengestimasi ukuran populasi tersebut di antaranya adalah Metode Direct
Sampling dan Metode Inverse Sampling. Metode Direct Sampling dan Inverse Sampling dapat digunakan untuk
mengestimasi ukuran populasi dari objek-objek bergerak yang sulit untuk diketahui berapa ukuran atau jumlah
sebenarnya. Pada makalah ini akan dijelaskan Metode Direct Sampling dan Inverse Sampling dalam mengestimasi
ukuran populasi dari objek yang sedang diamati.

Kata kunci: Direct Sampling; Inverse Sampling; Ukuran Populasi.


PENDAHULUAN

Dalam sejumlah penelitian, seringkali ukuran
populasi sebenarnya dari objek yang sedang
diamati tidak dapat diperoleh dengan mudah. Oleh
karena itu, sebagian besar peneliti
mengasumsikan bahwa ukuran populasi tersebut
diketahui nilainya guna mendapatkan jumlah
sampel yang sesuai untuk penelitian yang sedang
berlangsung. Padahal, asumsi tersebut akan
berpengaruh besar terhadap hasil penelitian yang
diperoleh. Besarnya pengaruh informasi ukuran
populasi dari objek yang sedang diamati terhadap
hasil suatu penelitian membuat sebagian peneliti
berusaha mengembangkan berbagai metode dalam
mengestimasi ukuran populasi tersebut. Salah satu
metode untuk mengestimasi ukuran populasi
adalah Metode Direct Sampling. Selain itu, akan
dijelaskan pula Metode Inverse Sampling dalam
mengestimasi ukuran populasi dari objek-objek
bergerak yang sedang diamati di mana Metode ini
merupakan perkembangan dari Metode Direct
Sampling yang terlebih dahulu diperkenalkan.


BAHAN DAN METODE

Prosedur awal yang akan digunakan dalam
Metode Direct Sampling sama dengan Metode
Inverse Sampling, yakni mengambil sampel
secara acak berukuran t dari populasi yang akan
diamati berukuran N . Selanjutnya, sampel
tersebut diberi tanda pengenal untuk selanjutnya
dikembalikan ke populasi. Dengan demikian,
proporsi sampel yang diberi tanda pengenal dalam
populasi tersebut ( ) p adalah sebesar
t
N
p = .
Oleh karena itu, ukuran populasi dapat diestimasi
melalui
t
N
p
= dengan terlebih dahulu
melakukan estimasi terhadap p , yakni p ,
sehingga diperoleh taksiran ukuran populasi, yaitu

t
N
p
= . Pada Metode Direct Sampling, beberapa
waktu kemudian (tahap kedua), dilakukan
pengambilan sampel secara acak kembali
berukuran n dari populasi yang sama guna
memperoleh taksiran p . Dari sampel yang
diperoleh tersebut, misalkan terdapat sampel
sejumlah s yang diperoleh dari pengambilan
sebelumnya, yaitu sampel yang memiliki tanda
pengenal. Dengan demikian, proporsi sampel
yang diberi tanda pengenal dalam sampel kedua
tersebut ( ) p adalah sebesar
s
n
p = sehingga
taksiran ukuran populasi menjadi

t
p s
nt
N = =
[7].
Berbeda dengan Metode Direct Sampling, tahap
kedua dari Metode Inverse Sampling dilakukan
melalui pengambilan sampel kembali secara acak
dari populasi yang sama hingga terdapat sampel
sejumlah s yang berasal dari pengambilan
sebelumnya, yakni sampel yang memiliki tanda
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 254
pengenal. Misalkan, jumlah sampel yang terambil
pada tahap kedua adalah sebanyak n sampel,
yaitu terdiri dari sampel yang sebelumnya
terambil pada pengambilan pertama dan yang
bukan. Pengambilan sampel tahap kedua ini
dilakukan guna memperoleh taksiran p . Dengan
demikian, proporsi sampel yang diberi tanda
pengenal dalam sampel kedua tersebut ( ) p
adalah sebesar
s
n
p = sehingga taksiran ukuran
populasi menjadi

t
p s
nt
N = = [7].
Beberapa asumsi yang digunakan dalam
penggunaan Metode Direct Sampling untuk
mengestimasi ukuran populasi ini adalah sebagai
berikut [1]:
1. Tanda pengenal yang dikenakan oleh sampel
pada pengambilan pertama tidak dapat
hilang dan harus dapat dilihat.
2. Tidak ada tambahan objek dalam populasi,
baik melalui reproduksi, imigrasi, maupun
pertumbuhan.
3. Objek-objek yang diberi tanda pengenal
ataupun yang tidak harus sama dalam segala
hal, seperti tingkat kematian, aktivitas,
respon terhadap jebakan dan lain sebagainya.
Akan tetapi, ditemukan kembali atau
tidaknya objek yang diberi tanda pengenal
tersebut tidak harus sama.
4. Pengambilan sampel pada tahap pertama dan
tahap kedua haruslah acak.


HASIL DAN DISKUSI

Pertama-tama, akan diberikan estimasi ukuran
populasi menggunakan Metode Direct Sampling.
Berdasarkan Bahan dan Metode sebelumnya,
diketahui bahwa taksiran ukuran populasi adalah

s
nt
N = di mana s adalah jumlah sampel pada
pengambilan kedua yang sebelumnya terambil
pada tahap pertama. Oleh karena itu,
1
n
i
i
I s
=
= di
mana
i
I bernilai 1, jika sampel yang terambil
pada tahap kedua sebelumnya terambil pada tahap
pertama dan bernilai 0, jika sampel yang terambil
pada tahap kedua sebelumnya tidak terambil pada
tahap pertama. Dengan demikian,
i
I berdistribusi
Bernoulli dengan probabilitas bahwa sampel yang
terambil pada tahap kedua sebelumnya terambil
pada tahap pertama adalah sebesar
t
N
atau
dengan kata lain
( )
i
t
E I
N
=
. Selanjutnya, akan
diperiksa apakah

N merupakan taksiran yang


unbiased untuk ukuran populasi sebenarnya ( ) N
atau tidak. Akan tetapi, sebelumnya akan
diberikan nilai ekspektasi dan variansi dari s
berikut ini.
( )
( )
( ) ( ) ( )
1
1
1 2



n
i
i
n
i
i
n
s
t
N
E E I
E I
E I E I E I
n
=
=
| |
|
\ .
=
=
=
=
+ + +

( )
( )
( ) ( ) ( )
1
1
1 2
1



n
i
i
n
i
i
n
Var s
t t
N N
Var I
Var I
Var I I I
n
Var Var
=
=
| |
|
\ .
| |

|
\ .
=
=
=
=
+ + +

Oleh karena itu, diperoleh ekspektasi dari

N [5]
sebagai berikut:
( )
( )
( )
( ) ( )
2
dengan aproksimasi
Taylor (Lampiran 1)
1 1

1


E
E s
E s
nt
E N E
s
nt E
s
nt
| |
|
\ .
| |
|
\ .

=
=

( )
( ) ( )
( )
( ) ( )
3
2 3
1

1 1 1
0 1
cov 1,

E s
nt t
nt
N N
nt nt
N
N N
s Var s
nt
| |
|

|
\ .
| |
|
| |

|
|
\ .
|
\ .
+
= +

( )
( )
3
3
1
.


N nt t
nt N N
nt
N
nt
N
N N t
nt
| |
| |
|

|
|
\ .
\ .
= +
= +

Dengan demikian,

N bukan merupakan taksiran


yang unbiased untuk N kecuali ukuran
sampelnya besar, yakni t dan n sehingga
membuat ( )
N
N t
nt
menjadi kecil nilainya, atau
dengan kata lain bias dari

N mendekati nol.
Selain itu, berikut ini diberikan variansi dari

N
[5].
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 255
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( ) ( )
( )
( ) ( )
( )
( ) ( )
2
2
2
2 2
dengan aproksimasi
Taylor (Lampiran 2)
1 1 2 cov 1,
1
1

1

Var
nt Var
E Var Var s s
nt
E s E E s
E E s
nt
Var N
s
s
| |
=
|
\ .
| |
=
|
\ .
|
| |

+
|
|

\ .
\

| |
|
|
|
|
|
|
. \ .

( )
( )
( )
( )
( ) ( )
( )
( ) ( )
2
2
2 2
2
2
2
2
2
2
1
1 0 2 0

1 1
1
0 0
1

nt t
N N
nt
nt
nt
N N
N
t
N N
nt
nt
nt
N
t
N N
nt
nt
nt
N
nt
| |
| | | |
|
| | | |

\ . |
| | = +
|
| |
\ .
| |
\ . \ .
| |
| | | |
|
| |
\ . |
| = +
|
|
| |
\ . \ .
| | |

|
\ .
=
\
( )
3
2
1



t
N
N t
N
nt
N
nt
|
|
|
|
|
.
| |

|
\ .
=

=

Dengan mensubstitusikan

s
nt
N = ke dalam N ,
berikut ini diperoleh taksiran dari variansi

N ,
yaitu

( )

N Var [7].

( )
( )
( )
( )
2
2
2
3
2
3

N t
N
nt nt
t
s s
nt
nt t
s
nt nt ts
nt n s
N
Var
nt
nt
s
s
s

=
| | | |

| |
\ . \ .
=
| |

|
\ .
=

=


Selanjutnya, akan diberikan pula penggunaan
Metode Inverse Sampling dalam mengestimasi
ukuran populasi. Berdasarkan Bahan dan Metode
sebelumnya, diketahui bahwa taksiran ukuran
populasi adalah

s
nt
N = di mana n adalah
jumlah sampel pada pengambilan kedua setelah
sampel sejumlah s yang berasal dari
pengambilan sebelumnya diperoleh. Oleh karena
itu, n dikatakan berdistribusi Binomial Negatif
dengan probabilitas bahwa sampel yang terambil
pada tahap kedua sebelumnya terambil pada tahap
pertama adalah sebesar
t
N
. Selanjutnya, akan
diperiksa apakah

N merupakan taksiran yang


unbiased untuk ukuran populasi sebenarnya ( ) N
atau tidak.
( )
( )
( )
( )
( )


+ 1


1
= 1
1
1
1
1
+ 1 1
+ 1 1
=
1
s n s
n s
s s s
s s s
t
n
s
t
s
t
s
nt
E N E
s
E
n
t t
n
N N s
s
t t
s
N N s
s
t t
s
N N
s

| |
|
\ .
| |
| |
| | | |
|
| | |
|
\ . \ .
\ . \ .
| |
| | | |
| | |
\ . \ .
\ .
| |
| | | |
+
|
| |
|
\ . \ .
\ .
=
=

( )
( )
( ) + 2

+ 2 1
+ 2 1
1

s s s
s
t t
s
N N
s

| |
|
|
|
|
|
|
|
| |
| | | | |
+
|
| | |
|
\ . \ .
\ .
|
|
+
\ .


( )
( ) ( )
( )
( ) ( )
2
2


2!
1

2!
+ 1 1
+ 1 + 2
= 1
+ 1 1
+ 1 + 2
= 1
s s
s
s
t
s
t t
s N
t t t
s s s
N N N
s s s t t
N N
t
s
N
s s t
s
N

| |
| | | | | |
| +
| | |
\ . \ . \ . |
|
| | | |
|
+
| |
|
\ . \ .
|
+
|
|
|
\ .
| | | |
+
| |
\ .
|
|
| | | |
|
+
| |
\ . | \ .
|
+

\ .




|
|


2
0
1

+ 1
1
1
+ 2
= 1
2
+
= 1
s
s k
k
t
N
t
N
s
t
N
s
t
t
N
s k
t
t
N k

=
| | | |
| |
+ | | |
\ .
| \ .
|
| |
| | | | |
+
| | |
|
\ . \ .
\ .
|
|
+
|
|
\ .
| |
| |
| | | |
|
| | |
| |
\ . \ .
\ . \ .



Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 256
( )
( )
( )
+ 1
+ 1
Lampiran 3 = 1 1
=
=
=
s s
s s
t
N
t t
N N
N
t
t
t
N
t
t
N

| |
| | | | | |
|

| | |
|
\ . \ . \ .
\ .
| | | |

| |
\ . \ .


Dengan demikian, diperoleh bahwa

N
merupakan taksiran yang unbiased untuk N .

Dalam melengkapi pembahasan mengenai
estimasi ukuran populasi menggunakan Metode
Direct Sampling dan Inverse Sampling, maka
selanjutnya diberikan sebuah contoh estimasi
ukuran populasi kucing di Perumahan Bukit
Rivaria Sawangan Depok pada bulan Desember
2009. Dalam pengambilan sampel pertama kali,
peneliti memperoleh 40 kucing yang kemudian
diberi tanda pengenal untuk selanjutnya
dilepaskan kembali. Dengan menggunakan
Metode Direct Sampling, beberapa hari
kemudian, dilakukan pengambilan sampel untuk
kedua kalinya dan diperoleh 70 kucing dengan 24
di antaranya memiliki tanda pengenal yang
diberikan pada tahap pertama. Dengan demikian,
taksiran ukuran populasi kucing di lingkungan
tersebut adalah sebagai berikut:
( ) ( )
( )
70 40
116, 67
24

N

= = atau 117

N =
dengan variansi

( )
( ) ( )
( )
2
70 40 70 24

372, 69
3
24
Var N

= =
sedemikian sehingga diperoleh standar error

( )

372,69 19, 31. N Var = =


Oleh karena itu, aproksimasi interval kepercayaan
95% terletak di antara
( ) 117 1, 96 19, 31 117 37, 85 79,15; 154,85 = =
atau ( ) 79, 155 .

Sedangkan, dengan menggunakan Metode Inverse
Sampling, beberapa hari kemudian, dilakukan
pengambilan sampel untuk kedua kalinya di mana
ditetapkan bahwa pengambilan sampel yang
kedua ini dapat dihentikan jika telah diperoleh
kucing sejumlah 15 ekor yang berasal dari
pengambilan sebelumnya. Setelah dilakukan
pengambilan kembali dengan ketentuan di atas,
sampel yang diperoleh pada tahap kedua ini
adalah sebanyak 42 ekor. Dengan demikian,
taksiran ukuran populasi kucing adalah sebagai
berikut:
( ) ( )
( )
42 40
112
15

N

= = .
KESIMPULAN

Berdasarkan Hasil dan Diskusi di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa baik menggunakan
Metode Direct Sampling maupun Metode Inverse
Sampling, estimasi ukuran populasinya adalah
banyaknya sampel yang diambil dari populasi
pada tahap pertama dibagi dengan proporsi
sampel yang diberi tanda pengenal dalam sampel
tahap kedua.

Untuk Metode Direct Sampling, taksiran ukuran
populasi yang diperoleh tersebut dapat dikatakan
baik jika ukuran sampel pengambilan tahap
pertama dan kedua besar.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Brewer, R. and Margaret T. McCann. 1982.
Laboratory and Field Manual of Ecology,
New York: Saunders.
[2] Chapman, Douglas G. 1952. Inverse,
Multiple, and Sequential Sample Censuses,
Biometrics, Vol. 8, Num. 4, 286 306.
[3] Haag, M. and William N. Tonn. 1998.
Sampling, Density Estimation, and Spatial
Relationship, Tested studies for laboratory
teaching, Vol. 19, 197 216.
[4] McDonald, Trent L. and Steven C. Amstrup.
2001. Estimation of Population Size Using
Open Capture Recapture Models, Journal
of Agricultural, Biological, and Environment
Statistics, Vol. 6, Num. 2, 206 220.
[5] Mood, A. M., F. A. Graybill, and D. E.
Boes. 1974. Introduction to the Theory of
Statistics, New York: McGraw-Hill.
[6] Scheaffer, Richard L. 1974. On Direct
versus Inverse Sampling from Mixed
Populations, Biometrics, Vol. 30, Num. 1,
187 198.
[7] Scheaffer, Richard L., W. Mendelhall, and
Lyman Ott. 1996. Elementary Survey
Sampling, California: Wadsworth.
[8] Sekar, C. C., and W. E. Deming. 1949. On a
Method of Estimating Birth and Death Rates
and the Extent of Registration, Journal of the
American Statistical Association, Vol. 44,
Num. 245, 101 115.
[9] Thompson, Steven K. 2002. Sampling,
Canada: Wiley.










Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 257
LAMPIRAN 1

Akan dibuktikan bahwa

| | | |
2 2
1
cov , var
x x
y y y
X
E X Y Y
Y


+
(
(


di mana X dan Y merupakan variabel random.
Aproksimasi dari formula
X
E
Y
(
(

diperoleh dari
ekspansi Deret Taylor untuk 2 variabel di sekitar
( ) , a b berikut ini:
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )( ) ( )
( ) ( )
2
2
, , , ,
, 2 ,
1

2!
,
x y
xx xy
yy
f x y f a b x a f a b y b f a b
x a f a b x a y b f a b
y b f a b
+ + +
+
+
(
(
(


Pertama-tama akan dibuat ekspansi Deret Taylor
untuk ( ) ,
x
f x y
y
= dengan beberapa turunan
parsialnya adalah sebagai berikut:
( ) ( ) ( )
( ) ( )
2
2 3
1 1
, , , 0, ,
2
, , ,
x xx xy
y yy
f x y f x y f x y
y y
x x
f x y f x y
y y

= = =

= =
Dengan demikian, ekspansi Deret Taylor untuk
( ) ,
x
f x y
y
= di sekitar ( ) ,
X Y
adalah sebagai
berikut:
( ) ( )
( ) ( )( )
( )
( ) ( )
( )( )
( )
2
2
2
2
3
2
2
2 3

1
1
0 2
1

2!
2
=
X X
X Y
Y Y Y
X X Y
Y
X
Y
Y
X X Y X
Y Y Y
X Y X
Y
Y Y
X
X Y
Y
X X Y
Y
X Y
X Y
Y



+ + +

+
+

+

+
| | | |
| |
\ . \ .
(
| |
(
|
\ . (
(
(

( ) ( ) ( )( )
( )
( )
( )
( )
( )
2
2
3
2
2 3
2
2 3
=
2
=
2
=
X
Y
Y X X Y X Y
Y
X
Y
Y
Y X Y X X
Y
Y Y Y
Y X Y X X
Y
Y Y Y
X Y X Y
Y
X XY
Y
XY X
Y



+
+

+ +
+
+

atau
( )
( )
2
2 3
.
2
Y X Y X X
Y
Y Y Y
XY X X
Y
Y


+
+

sehingga
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 258
( )
( )
( )
( )
( )
( )
2
2
3
2
2
3
2
2
3


2
2

1
2
Y X Y X
Y Y
X
Y
Y
Y X Y X
Y Y
X
Y
Y
X
Y X Y
Y Y
X
Y
Y
XY X
X
E E
Y
Y
XY X
E E
E Y
E XY X
E Y

+
+
=
+
= +
+
(
(
(
(
(
(

(

( (
( (

(
(

(

| | | | | | ( )
( )
| | | | ( )
( )
2
2
3
2
2
3


1
2
1
2
X
Y X Y
Y Y
X
Y
Y
X
Y X Y
Y Y
X
Y
Y
E XY E X E
E Y
E XY E X
E Y

= +
+
= +
+
(

(

(


| | ( )
( )
| | ( )
( )
| |
| |
2
2
3
2
2
3
2 3


1
2
1

cov ,

X
Y X X Y
Y Y
X
Y
Y
X
X Y
Y Y
X
Y
Y
X X
Y Y Y
Var
E XY
E Y
E XY
E Y
X Y
Y



= +
+
=
+
= +
(

(


Jadi, terbukti bahwa
| | | |
2 2
.
1
cov ,
x x
y y y
Var Y
X
E X Y
Y


+
(
(











LAMPIRAN 2

Akan dibuktikan bahwa
| | | | | |
2
2 2
2cov ,
x
y x y x y
Var Var
Var
X Y X Y X
Y


+
| | | |
(
| |
( | |

\ . \ .

Sebelumnya, diberikan ekspansi Deret Taylor
untuk dua variabel di sekitar ( ) , a b

berikut ini:
( ) ( ) ( ) ( )
( ) ( )
, , ,
,
x
y
f x y f a b x a f a b
y b f a b
+
+

Dengan demikian, ekspansi Deret Taylor untuk
( ) ,
x
f x y
y
= di sekitar ( ) ,
X Y
adalah
sebagai berikut:
( ) ( )
2
2
1
=
X X
X Y
Y Y Y
X X X X
Y Y Y Y Y
X
X Y
Y
Y X




+ +
+ +
| | | |
| |
\ . \ .

2
=
= 1
X X
Y Y Y
X
Y X Y
Y X
X Y


+
+
| |
|
\ .

sehingga
| |
2
2
1
1
1
2cov ,
2cov ,1 2cov ,1
X
Y X Y
X
Y X Y
X Y
X
Y X Y
X Y
X X Y
Var Var
Y
X Y
Var
X Y
Var Var
X Y
Var
X Y



+
= +
+
= +
+
( | |
(
( |
(

\ .
| | (
| (
\ .
| | ( (
|
( (

|

| | (

| (
\ .

( (

( (

\ .
| | | |
| |
| | | | | |
2
2 2
2
2 2
0

2cov ,
0 0
2cov ,

X Y X
Y
X Y
X
Y X Y X Y
X Y
X Y
Var Var
X Y
X Y Var Var


+ +
=
+
= +
|
|
|
|
|
|
| |
|
| |
|
|
|
\ .
|
\ .
| | | |
| |
\ . \ .

Dengan demikian, terbukti bahwa
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 259
| | | | | |
2
2 2
2cov ,
.
x
y x y x y
Var X Var Y X Y
X
Var
Y


| | | |
(
+
| |
(
| |

\ . \ .


LAMPIRAN 3

Deret Taylor untuk ( ) f x di sekitar x a =
didefinisikan sebagai:
( ) ( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( ) ( )
2 3 ' ' ' ' '
'
2! 3!
f a x a f a x a
x f a f a x a f

= + + + +

Misalkan ( ) ( ) 1
t
x f x = dan 0 a = maka:
( ) ( )
( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )
1 '
2 ' '
3 ' ' '
1
1 1
1 2 1
1 1 2 1 1
t
t
t
j t j j
f x t x
f x t t x
f x t t t x
f x t t t t j x

=
=
=
= +



sehingga
( ) ( )
( ) ( ) ( )
( ) ( )
( ) ( )
2 ' '
'
3 ' ' '
0 0
0 0 0
0 0
1

2!
3!

f x
f f x
f x
t
f x x

+ +

=
=
+ +
( )
( ) ( ) ( ) ( )
2 2
1 1 2
1
2! 3!
t t x t t t x
t x

+ = + + +

substitusikan t n = , sehingga:
( ) ( )
( )
( ) ( ) ( )
( )
( ) ( ) ( ) ( )
( )
( ) ( ) ( ) ( )
2
2
2 2
2 2
1 2 3
1
1 2
1 1 2
1 1 2
1 1 2 1 3 1
1 2 3
1
1 1
2!
3!
1
2! 3!
1
2! 3!
1


n n x
n x
n n n x
n n x n n n x
n x
n n x n n n x
n x
n n n
x x x
n k
x
k
n
x

+

+ + +
+
+ + +
+
| | | | | | + + +
| | |
\ . \ . \ .
+ | |
|
\ .

= +
= +
= +
= +
=
+ +
+ +
+ +
+ + +

( )
0
, 1 1 ..............
k
k
x iii
=

< <






Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
261
PEMODELAN BAYESIAN UNTUK PEMETAAN KASUS PENYAKIT
(BAYESIAN MODELLING FOR DISEASES MAPPING)

Yekti Widyaningsih
Mathematics Department, University of Indonesia

yekti@ui.ac.id


ABSTRAK

Pemodelan Bayesian adalah suatu metode statistika yang menggunakan distribusi probabilitas untuk pendugaan
parameter-parameternya. Makalah ini membahas pendekatan Bayesian untuk analisis data terhitung spasial. Data
yang digunakan adalah data kasus demam berdarah pada kecamatan Beji, kota Depok. Model Bayesian memerlukan
penetapan distribusi probabilitas untuk tingkat (rate) terjadinya kasus yang diperhatikan (DBD) di setiap area (sub-
district). Tujuan dari studi ini adalah untuk menduga tingkat terjadinya kasus demam berdarah menggunakan
pemodelan Bayesian dan perhitungan nilai SMR (standardized morbidity ratio) menggunakan metode maksimum
likelihood. Hasil yang diperoleh dari kedua metode adalah ada dua kelurahan (sub sub-district) yang tergolong tinggi
tingkat kasus DBD nya, yaitu kelurahan Beji dan Tanah Baru.

ABSTRACT

This paper presents a Bayesian approach for the analysis of spatial count data. A demonstration involving incidence
rates of dengue fever in Beji sub-district, Depok city is used to highlight the methodology. The model allows us to
make probability statements on the incidence rates around point sources with making any parametric assumptions
about the nature of the influence between the sources and the surrounding location. The objective of this paper is to
estimate the rate of dengue cases using Bayesian modeling and compute the standardized morbidity ratio (SMR) of
the disease through Maximum Likelihood. The results show that some sub sub-districts are statistically significant as
the high dengue cases; they are Beji and Tanah Baru sub sub-district.

Keywords: Bayesian modeling; dengue fever case; the standardized morbidity ratio (SMR); spatial count data.


INTRODUCTION

The analysis of spatial data is of importance to
researchers in many fields, including
environmental engineering, ecology, and medical
statistics [1],[2]. This paper is an introduction to a
spatial problem, focuses on the specific problem
of estimating a disease incidence surfaces using
records taken at a number of locations in a given
area of interest, but the model introduced could be
adapted for other applications.

This paper provides methods for the analysis of
aggregate count data in the context of disease
mapping and Bayesian modeling. SMR
(standardized morbidity ratio) calculation is the
result of disease mapping method, and parameters
estimation is the result of Bayesian modeling,
which the Poisson-Gamma model that appropriate
to the data was used for Bayesian Modeling.

Some advantages of Bayesian Statistics are direct
interpretation of confidence intervals and p-
values, knowledge synthesis, that is formalizes
process of learning from data to update beliefs,
comprehensive and robust estimation of models
that cannot be fitted otherwise - multilevel
models, nested random effects etc. Bayesian
Statistics analysis is available for the sparse data
sets or missing data problems, full distributional
profile of parameters, classical methods - often
special cases of Bayesian methods [3][4].

METHODS AND DATA

Bayesian inference is the process of fitting a
probability model to a set of data and
summarizing the result by a probability
distribution on the parametrs of the model.

The methods that be used for this study are
disease mapping and poisson-gamma Bayesian
model. Disease mapping method is traditional and
frequentist, while poisson-gamma Bayesian
model based on a Bayesian philosophy.

Disease mapping

A very common area of biostatistical and
epidemiological interest is that of disease
mapping. Here typically count data of the
following sort:
Y
i
= observed number of cases of disease in sub
sub-district i, i = 1, I
E
i
= expected number of cases of disease in sub
sub-district i, i = 1, I
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 262
The Y
i
are thought of as random variables, while
E
i
are thought of as fixed and known function of
n
i
, the number of persons at risk for the disease in
county i. The study area is partitioned into non
overlapping areas. As a simple starting point, we
might assume that

i
i
i
i
i i i
n
y
n r n E

i.e., r is the overall disease rate in the entire
study region. These E
i
thus correspond to a kind
of null hypothesis, where we expect a constant
disease rate in every county. This process is called
internal standardization, since it centers the data
(some counties will have observed rates higher
than expected, and some less) but uses only the
observed data to do so. If E
i
is not too large (i.e.,
the disease is rare or the regions i are sufficiently
small), the usual model for the Y
i
is the Poisson
model,
( ), ~ |
i i i i
E Po Y
where
i
is the true relative risk of disease in
region i. The maximum likelihood estimate
(MLE) of
i
is readily shown to be
,

i
i
i i
E
Y
SMR =

The standardized morbidity ratio (SMR
i
), i.e., the
ratio of observed to expected disease cases in sub
sub-district i [2].

Poisson-gamma Bayesian Model

Let
i i i
E =
, as a simple initial model, consider
( ) I i E Po Y
i i
ind
i
,..., 1 , ~ =


) , ( ~ G
iid
i

Where G(, ) denotes the gamma distribution
with mean = / and variance
2 2
/ =
; note
that this is the gamma parameterization used by
the WinBUGS package. Solving these two
equations for and we get
2 2
/ =
and
2
/ =
[2].

It is conventional to represent hierarchical models
by stacking the parametric specifications from
the data-level specification to the highest-level
hyperprior specification. For the above model,
prior probability of and :
) , ( ~ B A Gamma

) , ( ~ D C Gamma

where and are assumed independent. Here we
can see that not only does the Poisson intensity
parameter have its own specification distribution,
but also the two gamma parameters that determine
this Poisson distribution have their own
specification as well. Since each hyperprior is a
prior for a lower-level prior distribution, it is
possible to assemble the joint distribution
multiplicatively using Bayes Law and the
definition of conditional probability includes each
of the hierarchical specifications (by dropping
conditionality on constants on the left-hand side),
then a complete specification for the posterior
distribution, even though there is additional
complexity of having higher levels can be written
in the model:
( )
( ) ( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( ) ( ) [
( ) ( ) ( ) ( ) ]
1 1 1 1
1
1 1 1
1
exp exp
exp exp !
, | , | , | |
, , ,

=

=

=
=

C C A A
n
i
i i i
y
i i
n
i
i i i
D C D B A B
y
D C p B A p p y p
y p
i





so,
( ) ( )
( ) [ ]. 1 exp
, , ,
1 1 1 1
D B
p
i
C A y
i i
i



+

+ +
y


This looks forbidding, especially since there are
three posterior parameters of interest. Note the
role of exchangeability here for the
i i i
E =
since
the
i
y all have the same relationship to the
hyperprior specification through the
i
. Once the
y data are observed, we can obtain the join
posterior distribution of interest according to:

( )
( )
( )

=



d d d p
p
i
, ,
, ,
| , ,
i
i
y,
y,
y

( ) ( ) [ ]
( ) ( ) [ ]
,
1 exp
1 exp
1 1 1 1
1 1 1 1




d d d D B
D B
i
C A y
i
i
C A y
i
i
i

+
+
=
+ +
+ +
( ) ( ) [ ]/ 1 exp
1 1 1 1
D B
i
C A y
i
i


+ =
+ +

( ) (
( ) [ ] )


d d d D B
i
C A y
i
i
+

+ +
1 exp
1 1 1 1


which is unpleasant. If we can get the full
conditional distributions for each of the
coefficients in the posterior, we can run the Gibbs
sampler and obtain the marginal posterior
distributions with MCMC. The hierarchical model
expressed in stacked notation immediately gives
conditional expressions for the specified variables
[5].

Consider the full conditional distribution for ,
using the properties of conditional probabilities,
and the assumption that and are independent:

( )
( )
( )
( )
( )
( )
( ) ( )






p p
p
p
p
p
p y
y
y | , ,
,
, ,
| ,
| , ,
, | = = =
( ) [ ]

+
+
1 exp
1
i
y
.
Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
263
So the random variable
( ), 1 , ~ , | + +
i
y G

and given values for and , we can sample from
the distribution for . This turns out to be the only
real hard work required since: ( ) , | p is just
( ) p , and ( ) ( ) p p = , | , by the initial
assumptions of the hierarchical model. Therefore
we now have all three full conditional
distributions required and Gibbs sampler can be
implemented quite easily [5][6].

The Data

The data is about the number of dengue cases (y)
in N=6 different sub sub-districts in Beji sub-
district, Depok in 2008 and the number of
population, n [7].
Bayesian analysis of hierarchical models where
the conjugate prior is adopted at the first level, the
joint posterior is of closed form. The number of
cases y
i
is assumed to follow a Poisson
distribution

y
i
~ Poisson(
i
), i = 1,...,10

i
=
i
n
i,
where
i
is the case rate for sub sub-
district i and n
i
is the number of population in
each subsub-district. The data are shown at Table
1.

Table 1. Dengue Cases in Beji Sub-district

Sub sub-district n
i
y
i

Beji 45158 143
Beji Timur 10696 21
Kemiri Muka 41725 26
Pondok Cina 17184 10
Tanah Baru 23924 63
Kukusan 14564 9

A conjugate gamma prior distribution is adopted
for the failure rates:
( ) 6 ,..., 1 , , ~ = i Gamma
Gill (2008) assumed the following prior
specification for the hyperparameters and
) 1 . 0 , 1 ( ~ Gamma
) 1 , 1 . 0 ( ~ Gamma
They show that this gives a posterior for which
is a gamma distribution, but leads to a non-
standard posterior for . Consequently, they use
the Gibbs sampler to simulate the required
posterior densities.

BUGS language for Poisson Model

WinBUGS software is an interactive Windows
version of the BUGS program for Bayesian
analysis of complex statistical models using
Markov chain Monte Carlo (MCMC) techniques.
WinBUGS allows models to be described using a
slightly amended version of the BUGS language,
or as Doodles (graphical representations of
models) as showed at Figure 1 which can, if
desired, be translated to a text-based description.
Figure 2 is command for Poisson-Gamma model
at the WinBug tamplate that appropriate to the
graphical at Figure 1 [8].
for(i IN 1 : N)
beta alpha
t[i] theta[i]
lambda[i]
x[i]
Figure 1. Doodle Graphical for model for the
disease rate

model
{
for (i in 1 : N) {
theta[i] ~ dgamma(alpha, beta)
lambda[i] <- theta[i] * n[i]
y[i] ~ dpois(lambda[i])
}
alpha ~ dgamma(0.2, 1)
beta ~ dgamma(1, 0.1)
}
list(t = c(45158, 10696, 41725, 17184, 23924,
14564), y = c( 143, 21, 26, 10, 63, 9), N = 6)

Figure 2. Poisson-Gamma Model Command in
WinBug Language

RESULTS

Table 2 shows the SMR of dengue cases in every
sub sub-district, which is the result of Disease
Mapping method. It shows that Beji and Tanah
Baru sub sub-districts are statisticaly significant
as high areas of dengue case. Table 3 and Table 4
are the results of Bayesian calculation by the
Poisson-Gamma model. The prior distribution of
parameter is Gamma(alpha, beta) with the mean
from the previous data is 0.002. The mean error of
y from posterior distribution of 15000 simulation
is 0.157 and mean error of 20000 simulation is
0.116.

Figure 3 shows the densites of parameters of sub
sub-districts results of 15000 simulations. Alpha
Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 264
has gamma distribution with parameters value
=0.2 and =1. Beta has Gamma distribution with
parameters value =1 and =0.1. Lambda[i] and
theta[i] for i = 1,2,3,4,5,6 are the estimate
numbers of dengue cases and case rate of 6 sub
sub-districts, respectively, with index order area is
the same as the order on the tables. These results
are appropriate to the SMR computations.
According to these results, a conclussion for the
method application is, Beji and Tanah Baru sub
subdistrict are high dengue case areas in Beji sub-
district in 2008.

Table 2. SMR of Dengue Cases
No. Sub sub-district n
i
y
i
SMRi p-value
1 Beji 45158 143 1.78 0.000000
2 Beji Timur 10696 21 1.11 0.273248
3 Kemiri Muka 41725 26 0.35 1.000000
4 Pondok Cina 17184 10 0.33 0.999984
5 Tanah Baru 23924 63 1.48 0.001226
6 Kukusan 14564 9 0.35 0.999874

Table 3. Posterior Summary Statistics, Dangue Cases (simulation = 15000)
Parameters mean sd MC error 2.50% median 97.50%
alpha 0.1723 0.07191 6.70E-04 0.06217 0.1622 0.3397
beta 1.121 1.135 0.01047 0.01216 0.7655 4.1


i
Lambda ()
parameters Mean sd MC error 2.50% median 97.50% |y
i
mean|
1
Beji 143.1 11.84 0.1008 120.4 142.8 167 0.100
2
Beji Timur 21.17 4.591 0.03921 13.07 20.89 31.15 0.170
3
Kemiri Muka 26.18 5.131 0.04276 17.15 25.84 37.26 0.180
4
Pondok Cina 10.14 3.202 0.02559 4.926 9.826 17.31 0.140
5
Tanah Baru 63.17 7.982 0.06489 48.63 62.76 79.91 0.170
6
Kukusan 9.179 3.02 0.02152 4.249 8.829 15.91 0.179

Average of Bias = 0.157

i
Rate ()
parameters mean sd MC error 2.50% median 97.50%
1
Beji 0.0031700 0.0002621 0.0000022 0.0026670 0.0031620 0.0036990
2
Beji Timur 0.0019790 0.0004293 0.0000037 0.0012220 0.0019530 0.0029130
3
Kemiri Muka 0.0006274 0.0001230 0.0000010 0.0004111 0.0006192 0.0008930
4
Pondok Cina 0.0005903 0.0001863 0.0000015 0.0002867 0.0005718 0.0010080
5
Tanah Baru 0.0026400 0.0003336 0.0000027 0.0020330 0.0026230 0.0033400
6
Kukusan 0.0006303 0.0002073 0.0000015 0.0002917 0.0006062 0.0010920
Sd: standard error mean, MC: Monte Carlo


alpha sample: 15000
0.0 0.2 0.4
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0

beta sample: 15000
0.0 5.0 10.0 15.0
0.0
0.25
0.5
0.75
1.0

lambda[1] sample: 15000
75.0 125.0 175.0
0.0
0.01
0.02
0.03
0.04

lambda[2] sample: 15000
0.0 10.0 20.0 30.0 40.0
0.0
0.025
0.05
0.075
0.1

Statistika
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
265
lambda[3] sample: 15000
0.0 20.0 40.0
0.0
0.025
0.05
0.075
0.1

lambda[4] sample: 15000
0.0 10.0 20.0
0.0
0.05
0.1
0.15

lambda[5] sample: 15000
20.0 40.0 60.0 80.0
0.0
0.02
0.04
0.06

lambda[6] sample: 15000
0.0 10.0 20.0
0.0
0.05
0.1
0.15

theta[1] sample: 15000
0.002 0.003 0.004
0.0
500.0
1.00E+3
1500.0
2.00E+3

theta[2] sample: 15000
0.0 0.001 0.003
0.0
250.0
500.0
750.0
1.00E+3


theta[3] sample: 15000
2.50E-4 5.00E-4 7.50E-4 0.001
0.0
1.00E+3
2.00E+3
3.00E+3
4.00E+3

theta[4] sample: 15000
0.0 5.00E-4 0.001 0.0015
0.0
1.00E+3
2.00E+3
3.00E+3

theta[5] sample: 15000
0.001 0.002 0.003 0.004
0.0
500.0
1.00E+3
1500.0

theta[6] sample: 15000
0.0 5.00E-4 0.001 0.0015
0.0
1.00E+3
2.00E+3
3.00E+3

Figure 3. Density of parameters

Table 4. Posterior Summary Statistics, Dangue Cases (simulation = 20000)
Parameters mean sd MC error 2.50% median 97.50%
alpha 0.1454 0.06472 6.46E-04 0.04893 0.1351 0.2984
beta 0.959 1.046 0.009737 0.006154 0.6189 3.786


i
Lambda ()
parameters Mean sd MC error 2.50% median 97.50% |y
i
mean|
1
Beji 143 11.98 0.0898 120.5 142.7 167.6 0.000
2
Beji Timur 21.13 4.579 0.0326 13.2 20.76 31.05 0.130
3
Kemiri Muka 26.09 5.137 0.03414 17.09 25.73 37.19 0.090
4
Pondok Cina 10.14 3.171 0.02208 4.902 9.818 17.2 0.140
5
Tanah Baru 63.15 7.984 0.04933 48.47 62.71 79.95 0.150
6
Kukusan 9.184 3.039 0.0229 4.219 8.86 16.1 0.184

Average of Bias = 0.116


Statistika

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 266

i
Rate ()
parameters mean sd MC error 2.50% median 97.50%
1
Beji 0.0031680 0.0002653 0.0000020 0.0026690 0.0031600 0.0037110
2
Beji Timur 0.0019750 0.0004281 0.0000030 0.0012340 0.0019410 0.0029030
3
Kemiri Muka 0.0006253 0.0001231 0.0000008 0.0004096 0.0006165 0.0008913
4
Pondok Cina 0.0005902 0.0001845 0.0000013 0.0002853 0.0005713 0.0010010
5
Tanah Baru 0.0026400 0.0003337 0.0000021 0.0020260 0.0026210 0.0033420
6
Kukusan 0.0006306 0.0002086 0.0000016 0.0002897 0.0006083 0.0011060
Sd: standard error mean, MC: Monte Carlo


CONCLUSION

As the frequentist philosophy, SMR (standardized
morbidity ratio) give the result of disease
mapping method, which is traditional and using
maximum likelihood estimation. P-value is the
measurement for statistically significant, while
Bayesian statistics, which is based on distribution
parameter, give the interval of parameter through
the simulation.

Some advantages of Bayesian Statistics are direct
interpretation of confidence intervals and p-
values, knowledge synthesis, that is formalizes
process of learning from data to update beliefs,
comprehensive and robust estimation of models
that cannot be fitted otherwise - multilevel
models, nested random effects etc.








REFERENCES

[1] Banerjee, S., Carlin, B., Gelfand, AE. 2004.
Hierarchical Modeling and Analysis for
Spatial Data, Chapman & Hall/CRC,
Florida.
[2] Banerjee, Sudipto. 2004. Overview of
Bayesian Statistics, A lecture Note,
University of Minnesota
[3] Gelman, et.al, 2004. Bayesian Data
Analysis, Chapman & Hall/CRC, Florida.
[4] Gill, Jeff. 2008. Bayesian Methods: A Social
and Behavioral Sciences Approach, 2
nd

edition. Chapman & Hall/CRC.
[5] Lee, J.C. and Sabavala, D.J. 1987. Bayesian
Estimation and Predicting for the Beta-
Binomial Model, Journal of Business &
Economic Statistics, Vol.5, No.3 (Jul.,
1987), pp. 357-367. ASA.
[6] Spiegelhalter, D. et al. 2003. Winbug
Software and User Manual, Version 1.4.
[7] Wakefield, J. 2007. Disease Mapping and
Spatial Regression with Count Data,
Biostatistics, 8, 2, pp. 158-183.
[8] ____. 2008. Profil Kesehatan Kota Depok
2008. Dinas Kesehatan Kota Depok.

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
267
PENYELESAIAN PERSAMAAN DIFERENSIAL BESSEL
SECARA NUMERIK

Akhmad Saefudin, Sri Mardiyati, Al Haji Akbar B
Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia, Depok,16424

aksays_33@yahoo.com, sri_mardiyati@hotmail.com, alhaji1104@yahoo.com


ABSTRAK

Fungsi Bessel yang berbentuk deret merupakan solusi persamaan diferensial Bessel yang banyak digunakan dalam
matematika terapan. Beberapa perangkat lunak telah menyediakan program yang dapat menghitung nilai fungsi
Bessel tersebut. Dalam makalah ini nilai fungsi Bessel yang berupa deret akan dihitung, sedangkan untuk persamaan
diferensial Bessel diselesaikan secara numerik dengan menggunakan perangkat lunak. Metode linear shooting dan
finite-difference dipilih untuk menyelesaikan persamaan diferensial Bessel tersebut secara numerik. Ketiga hasil
perhitungan ini, yaitu perhitungan fungsi Bessel menggunakan deret, linear shooting, dan finite-difference,
dibandingkan dengan nilai fungsi Bessel hasil perhitungan langsung yang dihasilkan oleh perangkat lunak.

Kata kunci: fungsi Bessel, linear shooting, finite-difference


1. PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sehari-hari, fenomena atau
gejala alam yang terjadi di dunia ini tidak selalu
tetap, akan tetapi sering kali berubah-ubah atau
fenomena tersebut bersifat dinamis. Fenomena ini
dapat dimodelkan secara matematis dan salah satu
bentuknya dapat berupa persamaan diferensial.

Persamaan diferensial juga banyak digunakan
untuk menyelesaikan berbagai masalah fisika
seperti getaran (vibrasi), medan elektrosatatik atau
rambatan (konduksi) panas. Salah satu persamaan
diferensial yang banyak digunakan dalam masalah
fisika adalah persamaan diferensial Bessel [6]:

+ (
2

2
) = 0, 0
,

dengan parameter n adalah suatu bilangan yang
diketahui. Persamaan diferensial tersebut
mempunyai solusi umum =

() +

() ;
dimana a dan b adalah konstan

() disebut
fungsi Bessel jenis pertama order n dan

()
disebut fungsi Bessel jenis kedua order n.

Dalam proses pemecahan masalah suatu
persamaan diferensial parsial, sering dijumpai
penyelesaian dengan bentuk akhirnya berupa
persamaan integral yang melibatkan fungsi
Bessel. Sehingga untuk menyelesaikan masalah
tersebut diperlukan nilai-nilai dari fungsi Bessel
di titik-titik pada suatu interval. Perhitungan nilai
fungsi Bessel ini dapat dilakukan dengan
bermacam cara. Pada makalah ini, perhitungan
dilakukan dengan dua cara :
1. Menghitung fungsi Bessel yang telah
dinyatakan sebagai deret tak hingga yang di
dalamnya mengandung fungsi Gamma.
2. Menyelesaikan langsung secara numerik dari
persamaan diferensial Bessel dengan
menggunakan metode linear shooting dan
finite-difference untuk mendapatkan nilai
aproksimasi dari fungsi Bessel.

Beberapa perangkat lunak juga telah menyediakan
nilai-nilai aproksimasi dari fungsi Bessel dan
perangkat lunak yang akan digunakan pada
makalah ini adalah Matlab 7. Nilai-nilai
aproksimasi dari fungsi Bessel jenis pertama order
n dengan metode linear shooting dan finite-
difference, serta nilai perhitungan untuk deret
akan dibandingkan dengan hasil perhitungan yang
ada pada perangkat lunak.


2. PERSAMAAN DIFERENSIAL BESSEL
DAN METODE PENYELESAIAN

2.1 Masalah Nilai Batas

Masalah nilai batas terdiri atas suatu persamaan
diferensial beserta nilai-nilai batas yang diberikan.
Masalah nilai batas pada makalah ini
melibatkan persamaan diferensial order dua dalam
bentuk

= () + () + (), (2.1.1)
dengan kondisi batas yang diketahui
() = dan () = .

Persamaan diferensial Bessel adalah bentuk
khusus dari persamaan (2.1.1) untuk (), (),
dan () tertentu. Dengan memenuhi kondisi
tertentu, persamaan masalah nilai batas order dua
di atas akan mempunyai solusi tunggal [2].


Komputasi



Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI

268
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
x
J0(x)
aproksimasi
matlab
2.2 Fungsi Bessel Jenis Pertama

Fungsi Bessel jenis pertama merupakan solusi
analitik dari persamaan diferensial Bessel yang
diperoleh dengan menggunakan metode
Frobenius. Metode Frobenius adalah metode
penyelesaian suatu persamaan diferensial dengan
memisalkan solusi berbentuk deret pangkat.
Fungsi Bessel jenis pertama dilambangkan

()

dan mempunyai bentuk

() =
(1)

! ( + + 1)

+2

=0

Dengan n menyatakan order dari fungsi Bessel
dan k menyatakan banyaknya suku yang ada pada
deret tersebut.

2.3 Metode Linear Shooting

Metode linear shooting merupakan metode yang
didasarkan pada penggantian masalah nilai batas
linier order dua dengan dua masalah nilai awal.
Misalkan terdapat masalah nilai batas :

= () + () + (), ,
dengan kondisi batas () = dan () =
.

Masalah nilai batas di atas dapat dimisalkan
menjadi dua masalah nilai awal sebagai berikut

= ()

+ () + (), ,
() = , () = 0,
dan

= ()

+ () + (), ,
() = 0, () = 1.
Jika solusi untuk dua masalah nilai awal di atas
adalah
1
() dan
2
() , maka solusi untuk
masalah nilai batasnya adalah

() =
1
() +

1
()

2
()

2
(),

Sedangkan untuk mendapatkan nilai
1
() dan

2
()

dapat menggunakan teknik tertentu.

2.4 Metode Finite-difference

Metode finite-difference digunakan untuk
menyelesaikan masalah nilai batas order dua
dengan cara mengganti setiap turunan pada
persamaan diferensial dengan aproksimasi
difference quotient, yaitu
(
0
+)(
0
)

.
Difference quotient tersebut digunakan untuk
mengaproksimasi nilai

dan

pada masalah
nilai batas

= () +() + (), ,
() =
,
() =
.

Metode finite-difference didefinisikan
() =
0
=

dan () =
+1
= serta

+1
+2

2
+ (

+1

1
2


+(

= (

),
untuk setiap = 1,2, , .

Persamaan tersebut dapat ditulis menjadi

(1 +

2
(

))
1
+ (2 +
2
(

))


(1

2
(

))
+1
=
2
(

),

Sehingga dapat dinyatakan sebagai matriks
tridiagonal berukuran N N berikut

2 +
2
(
1
) 1 +

2
(
1
) 0
1

2
(
2
) 2 +
2
(
2
) 1 +

2
(
2
)
0

0

0


1

2
(

0
1 +

2
(
1
)
2 +
2
(

2
.


2
(
1
) + 1 +

2
(
1
)
0

2
(
2
)
.

2
(
1
)

2
(

) +1 +

2
(

)
+1



Persamaan matriks di atas dapat diselesaikan
dengan faktorisasi Crout[2] dimana

digunakan
untuk mengaproksimasi nilai (

).


3. HASIL DAN DISKUSI

3.1 Perhitungan Fungsi Bessel dalam Bentuk
Deret Tak Hingga

Fungsi Bessel jenis pertama mempunyai
persamaan berbentuk

() =
(1)

! ( + + 1)

+2

=0

yang merupakan deret tak hingga dengan tiga
parameter yaitu n, x, dan k. Untuk nilai tertentu
pada setiap parameter, akan diperoleh hasil
tertentu untuk aproksimasi dari fungsi Bessel.











Gambar 3.1.1 Grafik J0(x), k=10
Gambar (3.1.1) memperlihatkan grafik fungsi
Bessel jenis pertama order 0. Dari semua hasil
perhitungan yang dilakukan untuk nilai n yang
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
269
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
x
J2(x)
aproksimasi
matlab
berbeda-beda, ada dua hal yang dapat digaris
bawahi. Pertama untuk nilai x tetap, semakin
besar nilai k, hasil perhitungan akan mendekati
nilai fungsi Bessel yang dihasilkan oleh Matlab.
Kedua, jika nilai k tetap sedangkan nilai x yang
diperbesar, maka hasil perhitungan semakin
menjauhi nilai fungsi Bessel yang dihasilkan oleh
Matlab. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa untuk suatu nilai k tertentu, hasil
perhitungan fungsi Bessel jenis pertama yang
berbentuk deret hanya dapat mengaproksimasi
nilai fungsi Bessel jenis pertama yang dihasilkan
oleh Matlab sampai nilai x tertentu.

3.2 Penyelesaian Penyelesaian Persamaan
Diferensial Bessel Menggunakan Metode
Linear Shooting

Perhatikan persamaan diferensial Bessel berikut

2

+ +(
2

2
) = 0, 0, 0.
dimana n adalah suatu konstanta yang diketahui.
Persamaan tersebut dapat ditulis menjadi

=
1

+ (

2
1) = 0, 0, 0.
yang kemudian dapat dipandang sebagai fungsi
tiga variabel, dengan
() =
1

, () =

2
1 , () = 0.
Jika diambil titik ujung nilai x yaitu , , dan
kondisi batas , , maka persamaan di atas dapat
diselesaikan dengan metode linear shooting.
Gambar 3.2.1 Grafik J0(x) linear shooting, x=0.1...20

Gambar (3.2.1) memperlihatkan perbandingan
grafik fungsi Bessel jenis pertama antara nilai
yang dihasilkan oleh Matlab dengan nilai
aproksimasi menggunakan metode linier
shooting. Pada gambar tersebut terlihat bahwa
metode linear shooting cukup dekat dalam
mengaproksimasi nilai fungsi Bessel yang
dihasilkan oleh Matlab. Gambar (3.2.1)
mempunyai maksimum absolute error [2] dan
maksimum relative error berturut-turut
0.000006148966 dan 0.000003750133.

3.3 Penyelesaian Persamaan Diferensial Bessel
Menggunakan Metode Finite-difference

Seperti pada pada penyelesaian metode linear
shooting, dengan mengambil fungsi
() =
1

, () =

2
1 , () = 0,
dan kondisi batas y() = dan y() = ,
persamaan diferensial Bessel juga dapat
diselesaikan dengan metode finite-difference.













Gambar 3.3.1 Grafik J2(x) finite-difference, x=0.1..20

Gambar (3.3.1) memperlihatkan perbandingan
grafik fungsi Bessel jenis pertama antara nilai
yang dihasilkan oleh Matlab dengan nilai
aproksimasi menggunakan metode finite-
difference. Pada gambar tersebut juga terlihat
bahwa metode finite-difference cukup dekat
dalam mengaproksimasi nilai fungsi Bessel yang
dihasilkan oleh Matlab. Gambar (3.3.1)
mempunyai maksimum absolute error dan
maksimum relative error berturut-turut
0.001474120362 dan 0.001573278957.
Dari hasil semua simulasi yang dilakukan, untuk
setiap pengambilan interval syarat batas yang
berbeda akan menghasilkan maksimum absolute
error dan maksimum relative error yang berbeda.

3.4 Perbandingan Hasil Numerik

Berikut diberikan tabel perbandingan nilai
maksimum dari absolute error dan relative error
ketiga metode yaitu, perhitungan fungsi Bessel
berbentuk deret, metode linear shooting, dan
metode finite-difference.

Tabel 3.4.1 Perbandingan maksimum absolute
dan relative error untuk
0
(), [0.1,20].

Deret ( k = 28 ) Linear shooting Finte-difference
Maks.
abs.error
0.000115049838 0.000006148966 0.001888200408
Maks.
rel. error
0.000098583896 0.000003750133 0.001708180343


Tabel 3.4.2 Perbandingan maksimum absolute
dan relative error untuk
1
(), [0.1,20].
Deret ( k = 28 ) Linear shooting Finte-difference
Maks. 0.000038474553 0.000017971611 0.010747720972
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
-0.5
0
0.5
1
x
J0(x)
aproksimasi
matlab
Komputasi



Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI

270
abs.error
Maks.
rel. error
0.000036064265 0.000016996984 0.009703727091

Tabel 3.4.3 Perbandingan maksimum absolute
dan relative error untuk
2
(), [0.1,20].
Deret ( k = 28 ) Linear shooting Finte-difference
Maks.
abs.error
0.000012450347 0.000038488797 0.001474120362
Maks.
rel. error
0.000014827868 0.000038297945 0.001573278957

Tabel 3.4.4 Perbandingan maksimum absolute
dan relative error untuk
8
(), [0.1,20].
Deret ( k = 28 ) Linear shooting Finte-difference
Maks.
abs.error
0.000000007620
0.000002442864
0.001949229935
Maks.
rel. error
0.000000008228 0.000002336589 0.001757202023

Tabel 3.4.1 sampai 3.4.4 memperlihatkan
perbandingan nilai maksimum absolute error dan
relative error yang dihasilkan oleh tiga metode
yang dibahas dalam subbab sebelumnya. Nilai
absolute dan relative error tersebut dihitung
terhadap nilai fungsi Bessel jenis pertama yang
dihasilkan oleh Matlab. Secara umum dapat
disimpulkan bahwa dalam kasus tertentu dimana
untuk order dan interval yang sama, metode linear
shooting mempunyai maksimum absolute dan
relative error lebih kecil dibandingkan dengan
metode finite difference, sedangkan untuk
aproksimasi menggunakan deret, sudah cukup
baik dengan pengambilan suku sebanyak 28
(k = 28).


4. KESIMPULAN

Nilai fungsi Bessel jenis pertama dapat diperoleh
dengan menyelesaikan persamaan diferensial
Bessel. Ada dua metode yang dapat digunakan
untuk menyelesaikan masalah tersebut, yaitu
1. Menurunkan persamaan diferensial Bessel
hingga diperoleh bentuk umum fungsi Bessel
jenis pertama dalam bentuk deret tak hingga.
Dengan mensubtitusikan nilai parameter yang
ada yaitu k, x, dan n dapat diperoleh nilai
fungsi Bessel jenis pertama yang diinginkan.
2. Menyelesaikan persamaan diferensial Bessel
secara langsung dengan metode numerik.
Metode linear shooting dan finite-difference
dipilih untuk menyelesaikan persamaan
diferensial Bessel tersebut.
Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan,
untuk metode pertama, semakin besar nilai k hasil
aproksimasi semakin mendekati nilai fungsi
Bessel yang dihasilkan oleh Matlab (Gambar
3.1.1), sedangkan untuk metode kedua,
berdasarkan nilai error dari nilai fungsi Bessel
yang dihasilkan dengan metode linear shooting
dan finite-difference terhadap nilai fungsi Bessel
yang dihasilkan oleh Matlab, Tabel 3.4.1, 3.4.2,
3.4.3 dan 3.4.4 mennunjukkan bahwa metode
linear shooting dan finite-difference sudah cukup
baik dalam mengaproksimasi nilai fungsi Bessel
jenis pertama.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Boyce, William E, Richard C Diprima. 1997.
Elementary Differentia Equations, Canada,
ch.1, pp.1-3.
[2] Burden, Richard L, Douglas Faires. 2001.
Numerical Analysis, Youngstown State
University, 7thEdition.
[3] Edwards, David E. Penney. 1996.
Differential Equations, Computing and
Modeling, University of Georgia, ch.1, pp.1.
[4] Hogg, Robert V., Allen T. Craig. 1995.
Introduction to Mathematical Statistics,
USA, ch.3, pp.131.
[5] Keller, H.B. 1968. Numerical Methods for
Two-Point Boundery Value Problems,
Blaisdell, Waltham, MA, ch.1, pp.9-12.
[6] ONeil, Peter V. 2003. Fourier Advanced
Engineering Mathematics, Unversity of
Alabama at Birmingham, ch.15, pp. 785-
787.
[7] Ward Brown, James, Ruelv. Churchill. 1993.
Fourier Series and Boundery Value
Problems, McGraww-Hill International
Edition, ch.7, pp.242-250.


Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
271
BRAIN CANCER (ASTROCYTOMA) CLUSTERING MENGGUNAKAN
METODE FUZZY C-MEANS

Akmal Fikri
1
, Zuherman Rustam
1
, Jacub Pandelaki
2
1
Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia
2
Departement Radiologi, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

akfi50@ui.edu, rustam@ui.edu, jacubp@gmail.com


ABSTRAK

Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) adalah suatu modalitas dari pemeriksaan Magnetic resonance imaging
(MRI). MRS didasari oleh distribusi dan sifat fisika-kimia dari air sehingga dengan perbedaan medan magnet dapat
dinilai konsentrasi metabolit di dalam jaringan otak. Sehingga dengan MRS kita lebih mengetahui kelainan di tingkat
metabolisme seluler sebelum terjadinya kelainan yang dapat dilihat dengan MRI konvensional. Salah satu kegunaan
dari MRS adalah menentukan derajat keganasan pada tumor glioma jenis Astrocytoma. Selama ini, penentuan apakah
suatu tumor Astrocytoma berderajat High grade atau low grade, dilakukan melalui pemeriksaan di dalam
laboratorium Patologi Anatomi. Penelitian yang dilakukan oleh dokter ahli, menunjukkan derajat Astrocytoma dapat
dilihat dari kenaikan choline serta penurunan Naa. Akan tetapi untuk menentukannya melalui data MRS, masih
dilakukan secara manual.

Pada makalah ini, akan dilakukan clustering data MRS terhadap grade dari Astrocytoma untuk menentukan tingkat
keganasan dari Astrocytoma tersebut, apakah termasuk ke dalam tingkat keganasan low grade, High grade atau
Normal. Metode yang digunakan pada makalah ini adalah Fuzzy C-Means (FCM). Keakuratan metode FCM yang
digunakan untuk klasifikasi, sangat tergantung pada parameter-parameter yang terdapat pada algoritma FCM,
sehingga diperlukan nilai optimal dari parameter-parameter tersebut. Pencarian parameter yang optimal dilakukan
dengan meneliti fungsi jarak serta derajat kefuzzyan yang digunakan. Macam-macam fungsi jarak yang digunakan
antara lain Eucledian, Hamming, Frobenius serta Infinity. Hasil percobaan yang dilakukan menunjukkan bahwa
metode FCM mempunyai nilai akurasi terbaik sebesar 86.6667% dengan menggunakan fungsi jarak Euclidian.
Selain itu, metode FCM juga dibandingkan dengan metode K-Means. Dari hasil perbandingan yang didapat, dapat
disimpulkan bahwa metode FCM lebih baik dalam melakukan clustering data MRS dibandingkan dengan metode K-
Means.

Kata Kunci : astrocytoma; fuzzy c-means; fcm; mrs; analisis cluster; hierarchical; non- hierarchical;

1. PENDAHULUAN

Analisis pengelompokkan (cluster analysis) adalah
salah satu analisis data eksplorasi yang bertujuan
untuk menentukan kelompok dari sekelompok data.
Pada mulanya metode ini dikembangkan dengan
mencari struktur pengelompokkan di antara objek
yang akan dikelompokkan. Algoritma yang ada
pada analisis cluster, dirancang untuk dapat
melakukan mekanisme tersebut. Pada dasarnya
metode Analisis Cluster dibagi menjadi dua, yaitu
metode hierarchical dan metode non- hierarchical.
Metode hierarchical biasanya digunakan jika belum
adanya informasi mengenai jumlah cluster yang
akan dibuat. Secara garis besar metode ini
membentuk sebuah tree diagram yang biasa disebut
dendogram. Dendogram biasanya mendeskripsikan
pengelompokkan berdasarkan jarak. Sedangkan
metode non- hierarchical biasanya digunakan
untuk mengelompokkan sejumlah n data ke dalam c
cluster (c < n ).

Perkembangan terakhir dari analisis cluster yaitu
mempertimbangkan tingkat keanggotaan yang
mencakup himpunan fuzzy sebagai dasar
pembobotan yaitu pengelompokan yang disebut
dengan fuzzy clustering [1]. Metode ini merupakan
pengembangan dari metode K-Means.

Secara umum teknik dari Fuzzy C-Means adalah
meminimumkan fungsi objektif

(, , , , ) = (

=1

=1

)

Salah satu penelitianya adalah penelitian yang
dilakukan J. Yang dkk (2002) [2], dalam jurnalnya
yang menggunakan metode Fuzzy C-Means untuk
memprediksi derajat keganasan dari tumor benigna
dan menigna. Penulisan tersebut dilakukan atas
dasar penelitian pada data MRI.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
J.Yang dkk, penulisan kali ini didasarkan pada data
Magnetic Resonance Spectroscopy, yaitu
pemeriksaan radiologi penunjang. Pemeriksaan
radiologi, biasanya dipakai oleh dokter ahli setelah
dilakukan pemeriksaan klinis. Pemeriksaan
radiologi yang kita kenal selama ini adalah MRI
dan CT-Scan. Kedua pemerikasan tersebut hanya
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
272
menghasilkan gambar atau keadaan anatomi antara
yang normal dan yang ada kelainan, tetapi tidak
memperlihatkan metabolisme kimia jaringan.

Proton magnetic resonance spectroscopy (MRS),
merupakan suatu modalitas dari permerikasaan
MRI (magnetic resonance imaging). MRS didasari
oleh distribusi dan sifat fisika-kimia dari air
sehingga dengan perbedaan medan magnet dapat
dinilai konsentrasi metabolit di dalam jaringan
otak. Sehingga dengan MRS kita lebih mengetahui
kelainan di tingkat metabolisme seluler sebelum
terjadinya kelainan yang dapat dilihat dengan MRI
konvensional.

Salah satu kegunaan dari MRS adalah menentukan
derajat keganasan pada tumor glioma jenis
astrocytoma. Selama ini, penentuan apakah suatu
tumor Astrocytoma berderajat High grade atau low
grade, dilakukan melalui pemeriksaan di dalam
laboratorium Patologi Anatomi. Penelitian yang
dilakukan oleh dokter ahli, menunjukkan derajat
Astrocytoma dapat dilihat dari kenaikan choline
serta penurunan Naa. Akan tetapi untuk
menentukannya melalui data MRS, dilakukan
secara manual.

Pada penulisan tugas akhir kali ini, akan dicoba
dilakukan clustering terhadap data MRS terhadap
grade dari Astrocytoma. Pen-cluster-an yang akan
dilakukan pada penulisan kali ini adalah melakukan
clustering terhadap jenis glioma low grade dan
High grade. Metode clustering yang digunakan
adalah Fuzzy C-Means.


2. MAGNETIC RESONANCE
SPECTROSCOPY

Untuk mendapatkan data Spectroscopy, para dokter
terlebih dahulu melakukan proses pengambilan
MRI. Dari gambaran MRI, ditentukan lokasi yang
dicurigai adalah Astrocytoma, lokasi ini disebut
localizer. Dari gambaran localizer ditentukan
lokasi volume of interest (VOI). Pada Lokasi VOI
yang sudah ditentukan, dilakukan penekanan air
oleh alat MRI pada lokasi VOI tersebut. Penekanan
air pada lokasi VOI tersebut mengakibatkan
perbedaan resonansi, masing-masing metabolit
sehingga menimbulkan gambar grafik metabolit.
[4]

Posisi peak mengidentifikasi metabolit yang ada,
sedangkan tingginya puncak spektrum merupakan
nilai kuantitas metabolit tersebut Posisi puncak
pada sumbu frekuensi masing-masing metabolit
mengindikasikan nilai kuantitas dari masing-
masing metabolit tersebut. Proton dari molekul
yang berbeda akan mempunyai lokasi puncak yang
berbeda proyeksinya pada sumbu horizontal,
sehingga setiap resonansi neurokimia dengan
frekuensi mempunyai struktur molekul kimia yang
tidak sama dengan grup molekul yang lain.



Ada 7 metabolit utama yang diukur dalam
menentukan keganasan suatu penyakit
Astrocytoma. Metabolit utama adalah N-Acetil
Aspartate (NAA), Creatine (Cr), Choline (Cho).
Lipid (Lip), Lactate (Lac), myoinositol (mI),
Glutamine-glutamate (Glx) dan Glucose (Glu).
Berikut akan diberikan chemical shift masing-
masing molekul utama.

Tabel 1. Ukuran ppm dari metabolit yang diatur
pada mesin GE pada saat pengambilan data.
[4],[5],[6]

Metabolit ppm
Choline
Creatine
NAA
Lipid
MI
Glutamin
Lactate
3.19 3.34
2.97 3.12
1.96 2.13
0.81 1.3
3.49 3.65
2.1 2.54
1.31 1.35




Gambar 2. [a.b]. a. Pengambilan spectrum
multivoxel MRS. b. Grafik Metabolit MRS dalam
keadaan normal

Untuk melakukan clustering data dengan
menggunakan Fuzzy C-Means, data yang didapat,
dibentuk menjadi sebuah vektor =
[
1
,
2
, ,
7
], dimana
x
1
= Choline
x
2
= Cr atau Creatine
x
3
= Naa
x
4
= Lipid
x
5
= MI
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
273
x
6
= Glutamin
x
7
= Lactat

Data yang diperoleh sudah diketahui kelas-kelasnya
berdasarkan hasil pemeriksaan patologi anatomi.
Pengambilan data yang sudah diketahui kelasnya
ditujukan untuk menghitung akurasi metode Fuzzy
C-Means dalam menklasifikasian data Brain cancer
(Astrocytoma) Pengambilan voxel yang bersesuaian
dilakukan berdasarkan petunjuk dokter ahli
radiologi.


3. FUZZY C-MEANS

Fuzzy C-Means pertama kali dikemukakan oleh
Dunn[3] dan kemudian dikembangkan oleh Bezdek
[1]. Metode ini termasuk bagian dari metode pada
Non-Hierarchical Clustering, karena pada awalnya
kita sudah menentukan jumlah dari banyaknya
cluster., kemudian dilakukan pengulangan untuk
mendapatkan fungsi keanggotaannya.

Dunn (1973) serta Bezdek (1981) memaparkan
bahwa dasar dari metode Fuzzy C-Means adalah
mengoptimalkan fungsi objective dari Fuzzy C-
Means yang diformulasikan

(, , , , ) = (

=1

=1

)
(1)

dengan fungsi kendala

=1
untuk
[1, , ] dimana :

V dan U adalah dua variabel yang akan dicari
kondisi optimalnya , untuk matriks U kondisi
optimalnya menandakan konvergensi
keanggotaan kelompok dalam Fuzzy C-Means
X, c, m adalah parameter input dari J
FCM
,
dimana:
1. c adalah banyak cluster yang memenuhi X
(jumlah cluster yang diinginkan, 2 c N
)
2. w 1 adalah derajat ke-fuzzy-an dari hasil
pengelompokkan. Parameter ini disebut
dengan fuzzier (Klawonn dan Hppner,
2001). Nilai dari w yang sering dipakai
dan dianggap yang paling halus adalah
w=2.
3. u
ik
adalah tingkat keanggotaan yang
merupakan elemen dari matriks U.
4. N adalah banyaknya data.
5.

2
adalah jarak data dengan pusat cluster
yang dapat dirumuskan sebagai berikut

2
=

= (

)
(2)

6. X adalah data yang dicluster
=

11

1



(3)

7. Dan V adalah matriks pusat cluster
=

11

1



(4)


Nilai
W
J terkecil adalah yang terbaik
sehingga:

, ) = min

(, , )

(5)


Kondisi minimum fungsi objektif

(, , , , )
= (

=1

2
(

=1

diberikan melalui optimasi parameter u
ik

dan v
i
,dengan [1, ].

Algoritma Fuzzy C-Means secara lengkap
diberikan sebagai berikut :
Langkah 1: Tentukan
a. Banyaknya data training yang
diinginkan, dimasukkan pada matriks
X, dengan ukuran n x m. dimana n=
banyaknya jumlah data training, dan
m adalah banyaknya parameter.
b. Tentukan jumlah cluster yang akan
dibentuk c 2
c. Derajat fuzzy (w > 1 )
d. Maksimum iterasi N
e. Kriteria penghentian ( = nilai
positif yang sangat kecil).
f. Tentukan centroid data mula-mula,
yaitu dengan menghitung nilai rata-
rata dari setiap cluster.
Memulai Iterasi untuk t=1 ,2, ,N

Langkah 2 : Perbaiki derajat keanggotaan
fuzzy setiap data pada setiap cluster (perbaiki
matriks membership) u=[ u
ik
, ] k =1, 2, , n

2

1
1

=1

1


(6)

Dimana

2
=

= (

)

Langkah 3: Hitung pusat V untuk setiap cluster
ke i.

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
274

=1

=1

(7)
Langkah 4: Tentukan kriteria penghentian iterasi,
yaitu centroid pada iterasi sekarang ( t ) dan iterasi
sebelumnya ( t 1).
=


(8)

Apabila < maka iterasi dihentikan


4. METODE K-MEANS

Pada penulisan ini, metode Fuzzy C-Means akan
dibandingkan dengan metode Non-Hierarki yang
lain yaitu K-Means. Pada dasarnya metode Fuzzy
C-Means merupakan pengembangan dari metode
K-Means. Pengalokasian data ke dalam cluster pada
metode K-Means didasarkan pada perbandingan
jarak antara centroid dengan dengan data yang ada.
Data dialokasikan ke dalam cluster yang memiliki
centroid terdekat dengan data tersebut. Secara
umum metode K-Means menggunakan fungsi
objective
(, ) =

=1

=1

2
(

)

dimana
N = Jumlah data
c = Jumlah cluster
a
ik
= Keanggotaan data ke-k
terhadap cluster ke i, yang bernilai


1 = min(

)
0



v
i
= Nilai centroid cluster ke i.

Adapun secara umum algoritma K-Means diberikan
sebagai berikut.

Langkah 1: Tentukan jumlah cluster c.
Langkah 2: Alokasikan data yang sudah diketahui
berdasarkan clusternya
Langkah 3 : Hitung nilai masing-masing centroid
cluster dengan menggunakan persamaan

=1

(9)

dimana N
i
adalah Jumlah data pada cluster ke i
Langkah 4 : Alokasikan masing-masing data
kedalam centroid yang terdekat.
Langkah 5. Kembali ke step 3, apabila masih
terdapat pepindahan data dari satu cluster ke cluster
lainnya, atau apabila perubahan pada nilai centroid
masih kurang dari nilai treshold yang ditentukan.


5. METODE PENGUJIAN

Data yang ada digunakan untuk mencari kondisi
parameter Fuzzy C-Means yang terbaik untuk
melakukan penklasifikasian Brain Cancer
(Astrocytoma). Metode Fuzzy C-Means yang
terbaik nantinya akan dibandingkan dengan metode
Non-Hierarki lainnya yaitu Metode K-Means.

Adapun metode pengujian umum yang dilakukan
dengan menggunakan kedua metode tersebut
adalah sebagai berikut:

1. Tentukan jumlah cluster yang akan
digunakan.
2. Pisahkan data berdasarkan jenis cluster,
dalam kasus ini, data yang digunakan
dipisahkan berdasarkan kategori Normal,
Low grade dan High-grade.
3. Tentukan persentase data yang akan
digunakan sebagai data training untuk
mengukur centroid (pusat data) pada
masing-masing cluster.
4. Sisa dari data tersebut dijadikan sebagai
data penguji keakuratan metode yang
digunakan. Pengambilan data yang akan
digunakan sebagai penguji dilakukan
secara acak, sehingga akan diperoleh hasil
yang berbeda-beda pada setiap kali
menjalankan program Perhitungan tingkat
akurasi metode yang digunakan ditentukan
oleh
% =


100%

dimana

= data uji yang akurat


sesuai dengan kelasnya, serta
uji
x = data
uji.
5. Ulangi langkah 3-4 untuk persentase data
20%, 30%, .., 80%.
Pada pengujian metode Fuzzy C-Means,
akan dilakukan pengujian terhadap
perubahan nilai beberapa parameter,
diantaranya adalah fungsi jarak yang
digunakan serta perubahan derajat
kefuzzy-an.


Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
275
Tabel 2. Macam-macam norm yang digunakan
(sudah terdefinisi pada Matlab)

Keterangan :




6. HASIL PERCOBAAN PENGUJIAN
METODE FUZZY C-MEANS
MENGGUNAKAN BEBERAPA FUNGSI
JARAK.

Salah satu parameter yang digunakan adalah
fungsi jarak yang digunakan. Pada pengujian kali
ini ada 4 fungsi jarak yang akan dibandingkan.
Pengujian dilakukan dengan menggunakan derajat
fuzzy w =2,dan tingkat toleransi =10
-5

Tabel 3. Persentase Hasil Akurasi Percobaan
Percobaan Metode Fuzzy C-Mean untuk clustering
data Brain Cancer pada beberapa persen data
training menggunakan beberapa fungsi jarak

Tabel 4. Running Time Percobaan Metode Fuzzy
C-Mean untuk clustering data Brain Cancer pada
beberapa persen data training menggunakan
beberapa fungsi jarak


Gambar 3. Grafik Perbandingan akurasi metode
Fuzzy C-Means untuk clustering data Brain
Cancer terhadap persen data training
menggunakan beberapa fungsi jarak.

Dari gambar 3, kita dapat melihat bahwa fungsi
jarak Eucledean paling bagus digunakan dalam
metode Fuzzy C-Means. Perhitungan jarak dengan
menggunakan fungsi jarak Eucledean
menghasilkan perhitungan akurasi metode Fuzzy
C-Means terbaik sebesar 86.6667%, yaitu pada
60% data training. Dari tabel 4, kita juga dapat
melihat bahwa persentase data training tidak
berbanding linier dengan tingkat akurasi program.

- Pengujian Metode Fuzzy C-Means
menggunakan beberapa derajat kefuzzy-an.
Pada pengujian ini, akan dilakukan pengujian
akurasi metode Fuzzy C-Means menggunakan
beberapa derajat kefuzzy-an. Pengujian dilakukan
dengan menggunakan fungsi jarak Eucledean.

Tabel 5. Persentase Akurasi Metode Fuzzy C-
Mean untuk clustering data Brain Cancer
menggunakan beberapa nilai derajat fuzzy


Tabel 6. Running Time Metode Fuzzy C-Means
untuk clustering data Brain Cancer menggunakan
beberapa nilai derajat fuzzy.

20 30 40 50 60 70 80
55
60
65
70
75
80
85
90
Persentase Data Training
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e

A
k
u
r
a
s
i


Euclidian
Hamming
Infinity
Frobenius
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
276
Gambar 4. Grafik Perbandingan Akurasi Metode
Fuzzy C-Means untuk clustering data Brain cancer
terhadap persentase data training dengan beberapa
nilai derajat Fuzzy

Dari gambar 4., terlihat bahwa perubahan derajat
kefuzzy-an juga berpengaruh pada akurasi metode
Fuzzy C-Means. Jika dilihat dari grafik, w = 3 dan
w = 4, adalah derajat fuzzy yang baik untuk
melakukan clustering data Brain Cancer.

- Perbandingan akurasi Metode Fuzzy C-Means
terhadap metode K-Means
Pada pengujian ini akan dilakukan perbandingan
antara metode Fuzzy C-Means terhadap Metode
K-Means. Perbandingan dilakukan menggunakan
metode Fuzzy C-Mean dengan parameter derajat
fuzzy (w = 3). Pengujian dilakukan dengan
menggunakan fungsi jarak Eucledean.

Tabel 7. Perbandingan Metode Fuzzy C-Means
dengan Metode K-Means untuk clustering data
Brain Cancer pada beberapa persen data training.



Gambar 5. Grafik Perbandingan akurasi metode
Fuzzy C-Means dengan K-Means untuk clustering
data Brain cancer terhadap persentase data
training.

Dari tabel 7, dapat dilihat, bahwa running time
metode K-Means selalu lebih cepat dibandingkan
dengan Fuzzy C-Means. Akan tetapi, metode K-
Means tidak terlalu baik dalam melakukan
clustering terhadap data brain cancer, hal ini dapat
dilihat dari gambar 5, dimana akurasi metode K-
Means tidak pernah lebih baik dibandingkan Fuzzy
C-Means dalam melakukan clustering terhadap
data Brain Cancer.


7. KESIMPULAN

Berdasarkan percobaan yang dilakukan pada bab
sebelumnya, metode Fuzzy C-Means (FCM)
merupakan metode yang lebih baik dibandingkan
dengan K-Means dalam melakukan proses
clustering terhadap data MRS. Hal ini dapat dilihat
dari grafik akurasi kedua metode dimana metode
K-Means selalu mempunyai akurasi yang lebih
rendah dibandingkan dengan FCM. Perbedaan
keakuratan ini disebabkan karena FCM
menggunakan membership dalam mencari centroid
dari kelas data tersebut. Secara keseluruhan
metode FCM dapat digunakan untuk melakukan
clustering data MRS, Hal ini dapat dilihat dari
tingkat akurasi metode yang bagus di setiap
pengujian yang dilakukan. Fungsi jarak Eucledean
adalah fungsi jarak yang paling baik digunakan
untuk melakukan clustering data MRS. Sedangkan
derajat ke fuzzy-an yang paling baik digunakan
adalah w=3.

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa fungsi
jarak Eucledean dengan derajat fuzzy w =3, adalah
parameter terbaik untuk melakukan clustering
terhadap data MRS. Dengan mengetahui parameter
terbaik untuk melakukan clustering, diharapkan
dapat mempercepat proses clustering terhadap data
MRS dengan menggunakan metode FCM.

20 30 40 50 60 70 80
60
65
70
75
80
85
90
Persentase Data Training
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e

A
k
u
r
a
s
i


w = 2
w = 3
w = 4
w = 5
w = 6
20 30 40 50 60 70 80
60
65
70
75
80
85
90
Persentase Data Training
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e

A
k
u
r
a
s
i


FCM
K-Means
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
277
DAFTAR PUSTAKA

[1] Bezdek, J., 1981. Pattern Recognition with
Fuzzy Objective Function Algorithm. New
York: Plenum Press.
[2] Yang.J dkk. 2002. Fuzzy rules to predict
degree of malignancy in brain glioma.
Med. Biol. Eng. Comput., 2002, 40, 145-
152 J 1
[3] Dunn, J.C.1973. A Fuzzy Relative of the
ISODATA Process and Its Use in
Detecting Compact well-Separated
Cluster, Journal of Cybernetic 3, 32-57
[4] Danielsen ER, Ross B. 1999. Magnetic
Resonance Spectroscopy Diagnosis of
Neurological Diseases, New York : Basel
[5] Brandao LA. 2004. MR Spectroscopy of
the Brain. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins.
[6] Jacub, Pandelaki.dr, Sp.Rad(K).2009.
Makalah Seminar S-3.














































Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
279
KARAKTERISASI REKONSTRUKSI DAN PENCACAHAN POLA BARISAN
DNA DENGAN PENGULANGAN

Alberta Parinters Makur, Denny Riama Silaban, Kiki Ariyanti Sugeng

Departemen Matematika FMIPA UI, Depok, 16424


{alberta.makur ,denny-rs , kiki}@ui.ac.id


ABSTRAK

Barisan DNA diperoleh dengan cara menyusun subuntai barisan DNA dengan aturan tertentu. Salah satu cara yang
digunakan adalah dengan menggunakan teori graf. Barisan DNA bisa didapatkan dengan melakukan pencarian jalur
Euler pada digraf DNA. Digraf DNA ini merupakan suatu graf berarah yang busur-busurnya merepresentasikan
subuntai barisan DNA. Pembentukan digraf DNA dapat dilakukan dengan konsep graf de Bruijn. Pengulangan dalam
barisan DNA terjadi apabila terdapat sub untaian yang muncul lebih dari satu kali. Dalam pembentukan barisan
DNA, terjadinya pengulangan dapat menghalangi pembentukan barisan yang unik. Banyaknya kemungkinan
pembentukan barisan DNA bergantung pada pola pengulangan pada barisan DNA tersebut. Untuk setiap bentuk
pengulangan DNA, banyaknya kemungkinan pembentukan barisan DNA dapat dihitung dengan bantuan digraf
tereduksi dari digraf DNA. Digraf tereduksi adalah bentuk penyederhanaan dari digraf DNA di mana simpulnya
merepresentasikan busur berarah yang mengalami pengulangan pada digraf DNA. Sedangkan pola pengulangan
barisan DNA dikarakterisasikan dengan menggunakan graf pola. Graf pola didefinisikan sebagai suatu lingkaran
yang di dalamnya terdapat poligon-poligon yang mewakili simpul-simpul. Banyaknya sisi poligon merepresentasikan
derajat masuk dari simpul (d) pada digraf tereduksi. Unsur-unsur pada graf pola yang tidak mempengaruhi banyaknya
jalur Euler dapat dihapus. Dalam hal ini, semua 2-fold repeat yang tidak memotong poligon lain dapat dihapus.
Untuk barisan DNA dengan n pengulangan, bentuk pengulangan DNA yang dihasilkan dihitung sehingga akan
menghasilkan k-cara pembentukan.

Kata kunci: Digraf DNA, digraf tereduksi, graf pola, graf pola utama, dan pengulangan.


PENDAHULUAN

DNA merupakan elemen terpenting dalam
kehidupan. Dalam srukturnya, DNA membawa
informasi hereditas yang menentukan struktur
protein. Instruksi pengaturan sel agar tumbuh dan
membelah diri dikodekan oleh DNA. Karena
DNA terdapat di dalam berbagai jenis zat kimia,
maka DNA merupakan dasar dalam proses
evolusi yang telah menghasilkan berjuta-juta
kehidupan yang berbeda. Pada tahun 1953,
terungkap fakta mengenai struktur heliks ganda
DNA. Ini menjadi titik tolak pengungkapan
misteri genetik organisme. Rahasia genetik
organisme merupakan langkah awal yang
ditempuh ke arah pemahaman akhir dari
rangkaian rumit sejumlah reaksi kimia yang
terjadi di dalam tubuh organisme.

Salah satu permasalahan genetika yang ingin
dipecahkan adalah bagaimana membaca atau
mengenali struktur suatu barisan DNA. Banyak
metode yang telah dikembangkan untuk
mengenali struktur barisan DNA. Salah satu
metode yang digunakan adalah Sequencing by
Hybridization (SBH).

Kromosom organisme berderajat tinggi disusun
oleh nukleoprotein yaitu suatu gabungan asam
nukleat (asam-asam organik yang terdapat dalam
nukleus sel) dan protein seperti histon dan
protamin. Hanya asam nukleat yang membawa
informasi genetik. Asam nukleat yang berfungsi
sebagai pembawa materi genetik pada semua
organisme (kecuali beberapa virus) adalah asam
deoksiribonukleat (Deoxyribo Nucleic Acid,
DNA).

Molekul DNA memiliki struktur dua pita yang
terjalin (double helix) yang bersatu dan berfungsi
sebagai penyusun materi genetik. Hal ini
ditemukan pada tahun 1953 oleh Watson dan
Crick [6]. Setiap pita dibentuk oleh untaian
dengan 4 nukleotida yaitu A (Adenin), T (Timin),
G (Guanin), C (Sitosin). Setiap nukleotida pada
pita akan berhubungan dengan satu nukleotida di
pita yang lain dengan sifat complementary.
Nukleotida A berpasangan dengan nukleotida T
dan nukleotida G berpasangan dengan nukleotida
C.

Barisan DNA merupakan untaian nukleotida yang
membawa informasi yang dibutuhkan untuk
membangun dan mengatur kehidupan. DNA
sequencing adalah proses untuk menemukan
barisan DNA. Dibutuhkan suatu metode untuk
mengenali barisan nukleotida DNA. Salah satu
metode yang digunakan adalah metode
Sequencing by Hybridization (SBH). Metode ini
pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988 [3].

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
280
Sequencing by Hybridization (SBH) merupakan
proses penyusunan fragmen dalam l-spektrum
yang telah diperoleh menjadi barisan DNA utuh.
SBH adalah pendekatan yang paling populer
untuk menemukan semua fragmen dalam barisan
DNA [2]. Untuk suatu panjang l, terdapat 4
l

untaian, disebut fragmen (probes atau
oligonukleotida), yang disintesiskan. Dengan
SBH, spektrum dari barisan DNA dapat diketahui.
Tetapi, berapa kali suatu fragmen muncul dalam
target DNA tidak diketahui.

Banyaknya kemungkinan rekonstruksi barisan
DNA bergantung pada pola pengulangan pada
barisan DNA. Oleh karena itu pada makalah ini
akan dilakukan karakterisasi pola pengulangan
pada barisan DNA untuk mengetahui berapa
banyak kemungkinan rekonstruksi barisan DNA
yang dapat dikonstruksi dari digraf DNA yang
diberikan. Karakterisasi pola pengulangan barisan
DNA dibatasi untuk maksimal 6-cara
rekonstruksi.

DIGRAF TEREDUKSI DAN GRAF POLA
UTAMA

Fragmen dalam l-spektrum yang diperoleh dari
SBH, perlu disusun untuk mendapatkan barisan
DNA. Proses penyusunan fragmen ini dapat
dilakukan dengan menggunakan de Bruijn graf.
Prosesnya adalah sebagai berikut. Semua fragmen
yang ada pada l-spektrum direpresentasikan
dengan busur berarah. Busur berarah x dan y
bertetangga jika l-1 fragmen paling kanan dari
label busur berarah x sama dengan l-1 fragmen
paling kiri label busur berarah y. Graf yang
terbentuk ini disebut dengan digraf DNA.

Barisan DNA dapat diperoleh dengan mencari
jalur Euler pada digraf DNA. Proses pembuatan
digraf DNA ini dilakukan dengan menggunakan
aturan pembentukan graf de Bruijn. Apabila suatu
subuntai dengan panjang l muncul d > 1 kali
dalam barisan DNA yang berarti terjadi
pengulangan fragmen maka busur berarah yang
terkait dalam digraf DNA, G
D
, akan dilewati d
kali pada jalur yang membentuk barisan DNA.
Saat ini terjadi, DNA sequencing akan lebih rumit
dan mungkin menghasilkan kemungkinan
banyaknya jalur Euler yang lebih banyak. Apabila
pada G
D
tidak terdapat jalur Euler maka perlu
dilakukan modifikasi agar dapat ditemukan jalur
Euler pada G
D
.

Digraf tereduksi, G
R
, digunakan untuk
pencacahan banyaknya kemungkinan pola barisan
DNA yang mengalami pengulangan fragmen.
Digraf G
R
adalah bentuk penyederhanaan dari
digraf DNA, G
D
, di mana simpulnya
merepresentasikan busur berarah yang mengalami
pengulangan pada G
D
.

Cara merekonstruksi G
R
dari G
D
adalah sebagai
berikut. Diberikan suatu G
D
. Jika terdapat simpul
dengan derajat masuk atau derajat keluar nol
maka simpul tersebut adalah simpul awal atau
simpul akhir dari G
D
. Jika pada G
D
terdapat
subgraf berbentuk jalur berarah maka jalur itu
dapat digabungkan menjadi satu busur berarah
dengan label subbarisan DNA yang dibentuk oleh
jalur. Untuk busur-busur berarah yang tidak
berinsiden dengan simpul awal dan simpul akhir,
pengulangan direpresentasikan oleh suatu busur
berarah yang ekornya memiliki derajat masuk
lebih besar dari pada derajat keluar dan kepalanya
memiliki derajat keluar lebih banyak dari pada
derajat masuk. Pada G
R
busur berarah yang
berulang beserta ke dua simpul ujungnya
direpresentasikan sebagai suatu simpul baru.
Dengan demikian, derajat masuk (dan derajat
keluar) simpul ini menyatakan berapa kali busur
berarah dilewati dalam membentuk jalur
minimum.

Graf pola adalah graf yang dapat
menggambarkan pola pengulangan DNA dengan
lebih efektif. Graf pola, G
P
, didefinisikan sebagai
suatu lingkaran yang di dalamnya terdapat
poligon-poligon yang mewakili simpul-simpul.
Banyaknya sisi poligon merepresentasikan derajat
masuk dari simpul (d). Khusus untuk simpul
dengan derajat masuk 2, direpresentasikan dengan
chord (garis). Perpotongan poligon/chord dengan
lingkaran diberi label searah jarum jam. Setiap
poligon akan diberi satu label yang sama karena
menggambarkan satu simpul.

Pemberian label searah jarum jam
mempertahankan ketetanggaan di G
R
. Pada G
P
,
setiap simpul dengan d derajat masuk akan
muncul d kali pada keliling lingkaran. Karena
setiap simpul pada G
R
hanya mungkin memiliki
derajat masuk 2, 3 , atau 4 maka poligon yang
mungkin pada G
P
adalah chord, segitiga, atau
segiempat. Poligon yang bersesuaian dengan
derajat masuk d, disebut juga d-fold repeat.

Cara merekonstruksi G
P
dari G
R
adalah sebagai
berikut. Buatlah suatu lingkaran, Kemudian
mulai dari sembarang simpul di G
R,
mengikuti
jalur Euler beri titik-titik pada lingkaran. Label
menurut arah jarum jam mengikuti urutan simpul
jalur Euler di G
R
. Titik-titik dengan label yang
sama dihubungkan sehingga akan membentuk
poligon/chord.

Setelah diperoleh G
P
maka G
MP
dapat dengan
mudah didapatkan. Unsur-unsur pada graf pola
yang tidak mempengaruhi banyaknya jalur Euler
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
281
dihilangkan. Dalam hal ini, semua 2-fold repeat
yang tidak memotong poligon lain dapat dihapus.

Contoh:
Diberikan barisan DNA
1
:
CCATGCATGTGAACATGAAT. Misalkan 4-
spektrum untuk barisan ini adalah {CCAT, CATG,
ATGC, TGCA, GCAT, ATGT, ATGA, TGTG,
GTGA, TGGA, GAAC, AACA, ACAT, GAAT}.
Digraf G
D1
untuk barisan ini ditunjukan pada
Gambar 1.

Simpul CCA merupakan simpul dengan derajat
masuk nol. Maka simpul CCA ini merupakan
simpul awal pada G
D.
Simpul AAT merupakan
simpul dengan derajat keluar nol. Maka simpul
AAT ini merupakan simpul akhir pada G
D.

Pada Gambar 1(a), busur berarah CATG dilewati
3 kali agar semua busur berarah dilalui dan busur
berarah TGAA dilewati 2 kali agar semua busur
berarah dilalui. Subgraf yang membentuk jalur
berarah digabungkan menjadi satu busur berarah
dengan label subbarisan DNA yang dibentuk oleh
jalur seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1(b).

Untuk busur-busur berarah yang tidak berinsiden
dengan simpul awal dan simpul akhir,
pengulangan direpresentasikan oleh suatu busur
berarah yang ekornya memiliki derajat masuk
lebih besar dari pada derajat keluar dan kepalanya
memiliki derajat keluar lebih banyak daripada
derajat masuk seperti busur berarah CATG dan
TGAA pada Gambar 1(b). Busur berarah yang
berulang beserta ke dua simpul ujungnya
direpresentasikan sebagai simpul baru v dan w
seperti pada Gambar 1(c). Derajat masuk (dan
derajat keluar) simpul v dan w menyatakan berapa
kali busur berarah CATG dan TGAA dilewati
dalam membentuk jalur minimum.

Pada G
D
terdapat simpul awal dan akhir. Jadi,
simpul awal dan akhir serta busur berarah yang
berinsiden dengannya diganti dengan busur
berarah yang berawal di ekor terminal busur
berarah ke kepala dari simpul awal seperti pada
Gambar 1(d). Gambar 1(d) merupakan G
R
untuk
barisan DNA
1
.
CATG ATGA
TGTG
TGAA
AACA
TGCA
A
T
G
C
A
T
G
T
G
T
G
A
G
C
A
T
A
C
A
T
C
C
A
T
G
A
A
T
G
A
A
C
(a) (b)

(c)
(d)

Gambar 1 Konstruksi G
R1
dari G
D1
Pada G
R
derajat masuk setiap simpul sama dengan
derajat keluar pada simpul tersebut. Derajat
maksimal pada setiap simpul adalah 4 karena
barisan DNA hanya tersusun oleh 4 macam
nukleotida.
Dari Gambar 1, telah didapatkan G
R
untuk barisan
DNA
1
. Untuk mengubah digraf tereduksi menjadi
graf pola terlebih dahulu dibuat lingkaran untuk
peletakan label dari simpul. Label dari simpul
berdasarkan jalur adalah v - w - v - w - v seperti
pada Gambar 2. Setelah itu, tarik garis yang
menghubungkan label yang sama sehingga
diperoleh Gambar 2(c).
Poligon terbentuk pada G
P
adalah segitiga dan
chord. Berdasarkan definisi G
P
di mana poligon
merepresentasikan derajat masuk dari simpul
maka diketahui bahwa simpul v mempunyai
derajat masuk 3 dan simpul v mempunyai derajat
masuk 2. Poligon yang bersesuaian dengan simpul
v adalah segitiga maka disebut juga 3-fold repeat
dan poligon yang bersesuaian dengan simpul
adalah garis maka disebut juga 2-fold repeat Hal
ini sesuai dengan derajat masuk G
R
. Graf pola G
P

ini terdiri dari satu komponen terhubung.
Graf pola utama G
MP
diperoleh dengan
menghapus chord yang tidak berpotongan dengan
poligon lain. Karena pada G
P
sudah tidak terdapat
chord yang tidak berpotongan maka G
P
ini
sekaligus merupakan G
MP
untuk G
R
pada Gambar
2(c).
v
w
(a)
w
v
v
w
(b)
v
w
v
v
w
v
(c)

Gambar 2 Konstruksi G
MP
dari G
R

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
282
KARAKTERISASI REKONSTRUKSI DAN
PENCACAHAN POLA BERDASARKAN
GRAF POLA UTAMA

Apabila terdapat k jalur Eulerian pada digraf DNA
maka dikatakan terdapat k-cara rekonstruksi dari
barisan DNA. Teorema-teorema berikut akan
memberikan graf pola utama yang terbentuk
apabila diketahui banyaknya jalur Eulerian adalah
k. Lemma 1 memberikan banyaknya jalur Euler
pada digraf. Bukti Lemma ini dapat dilihat di [1].

Lemma 1 [1]. Misalkan G adalah multigraf
berarah dengan himpunan simpul V(G) =
{v
1
,,v
n
}, sedemikian sehingga d
+
(v
i
) = d
-
(v
i
).
Misalkan s(G) menotasikan banyaknya jalur Euler
pada G dan t
i
(G) menotasikan banyaknya pohon
rentangan yang menuju i. Maka
+
=
=
= = =

1 2
( ) ( ) ( ( ) 1)! , 1
( ) ( ) .... ( )
n
i j
j i
n
s G t G d v i n
t G t G t G

Teorema 2 sampai Teorema 4 akan digunakan
untuk mengkarakterisasi graf pola utama [3].

Teorema 2 [3]. Untuk suatu pola pengulangan
DNA, banyaknya kemungkinan rekonstruksi
barisan DNA adalah sebagai berikut
a. Jika barisan DNA hanya mempunyai suatu d-
fold repeat maka banyaknya kemungkinan
rekonstruksi barisan DNA adalah (d-1)!
b. Jika barisan DNA memiliki minimal 2
macam pengulangan DNA di mana setiap
pengulangannnya adalah d
i
-fold repeat dan t
adalah banyaknya banyaknya pohon
rentangan yang menuju simpul tertentu, maka
banyaknya kemungkinan rekonstruksi barisan
DNA adalah
=

1
( 1)!
n
i
i
t d
.

Teorema 3 [3]. Misalkan G
P
adalah graf pola dari
target barisan DNA S dengan 2-fold repeat. Maka
akan berlaku salah satu kasus berikut:
a. S dapat dibangun secara unik jika dan hanya
jika semua chord (untuk 2-fold repeat) di G
P

tidak berpotongan.
b. S adalah 2-cara rekonstruksi jika dan hanya
jika chord-chord di G
P
hanya memiliki satu
perpotongan.
c. Banyaknya kemungkinan rekonstruksi S
minimal tiga.

Teorema 4 [3]. Banyaknya kemungkinan
rekonstruksi barisan DNA sama dengan perkalian
banyaknya kemungkinan rekonstruksi yang
dihasilkan dari setiap komponen terhubung dalam
graf pola.
Teorema 5 sampai Teorema 10 [2] memberikan
hubungan antara graf pola utama dengan k cara
rekonstruksi. Bukti dari teorema ini hampir sama.
Jadi hanya akan dibuktikan Teorema 5 dan
Teorema 7.

Teorema 5 [2]. Suatu barisan DNA S merupakan
1-cara rekonstruksi jika dan hanya jika S
mempunyai 2-fold repeats tanpa perpotongan di
G
P
.

Gambar 3 Graf pola untuk rekonstruksi unik
Bukti. Misalkan S adalah barisan yang dapat
dibangun dengan 1-cara rekonstruksi. Untuk
sembarang barisan S yang memiliki d-fold repeat
nilai d yang mungkin adalah 2, 3, dan 4. Jika S
memiliki d-fold repeat untuk d = 3 atau d = 4,
maka berdasarkan Teorema 3.3.2(a) S dapat
memiliki lebih dari satu kemungkinan
rekonstruksi. Jadi, S hanya memiliki 2-fold
repeat.
Misalkan S adalah barisan DNA yang hanya
memiliki 2-fold repeat tanpa perpotongan. Maka
berdasarkan Teorema 3.4.1(a) dan Teorema 3.4.2,
S dapat dibangun secara unik.

Teorema 6 [2]. Suatu barisan DNA S merupakan
2-cara rekonstruksi jika dan hanya jika S salah
satu di antara kasus berikut.
a. S hanya memiliki 2-fold repeat dengan 1
perpotongan
b. S memiliki satu 3-fold repeat dan 2-fold
repeat tanpa perpotongan.

(a)

(b)

Gambar 4 Graf pola utama untuk 2-cara rekonstruksi
Teorema 7 [2]. Suatu barisan DNA S merupakan
3-cara rekonstruksi jika dan hanya jika S memiliki
graf pola utama seperti pada Gambar 5.
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
283
X
X
Y Y
Z Z

Gambar 5 Graf pola utama untuk 3-cara rekonstruksi
Gambar 6 merupakan digraf tereduksi dari
Gambar 5. Terdapat 3 pohon rentangan menuju
simpul tertentu dan derajat masuk (dan derajat
keluar) dari setiap simpul di digraf tereduksi
adalah 2. Jadi, berdasarkan Teorema 2(b)
banyaknya kemungkinan rekonstruksi adalah
=
=

3
1
3 (2 1)! 3
i
.
X Y
Z

Gambar 6 Digraf tereduksi dari graf pola utama
Gambar 5
Teorema 8 [2]. Suatu barisan DNA S merupakan
4-cara rekonstruksi jika dan hanya jika S dapat
direpresentasikan sebagai salah satu di antara graf
pola utama berikut.
a. Graf pola utama mengandung suatu komponen
terhubung seperti pada Gambar 7(a).
b. Graf pola utama mengandung dua komponen
terhubung seperti pada Gambar 7(b).
(a)
(i)
(ii) (iii)

(b)
(i)
(ii) (ii)i

Gambar 7 Graf pola utama untuk 4-cara rekonstruksi
Teorema 9 [2]. Suatu barisan DNA S adalah 5-
cara rekonstruksi jika dan hanya jika barisan
tersebut memiliki graf pola utama seperti pada
Gambar 8.
(a) (b)
(c)

Gambar 8 Graf pola utama untuk 5-cara rekonstruksi
Teorema 10 [2]. Suatu barisan adalah 6-cara
rekonstruksi jika dan hanya jika barisan tersebut
memiliki graf pola utama seperti pada gambar
berikut.
a. Graf pola utama memiliki suatu komponen
terhubung seperti pada Gambar 9(a).
b. Graf pola utama memiliki dua komponen
terhubung seperti pada Gambar 9(b).

(iv)
(iii) (i) (ii)
(v) (vi) (vii)
(a)
(b)
(i) (ii) (iii) (iv)
Gambar 9 Graf pola utama untuk 6-cara rekonstruksi

KESIMPULAN

Barisan DNA pada digraf DNA diperoleh dengan
mencari jalur Euler pada digraf DNA. Setiap jalur
Eulerian pada digraf DNA merepresentasikan
barisan DNA yang mungkin terbentuk
berdasarkan spektrum yang ada. Apabila pada
digraf DNA tidak terdapat jalur Eulerian maka
digraf DNA tersebut perlu direduksi sedemikian
sehingga mempunyai jalur Eulerian. Digraf DNA
baru di mana setiap simpulnya merepresentasikan
fragmen yang mengalami pengulangan disebut
digraf DNA tereduksi. Berdasarkan digraf DNA
tereduksi ini, dapat diketahui banyaknya
kemungkinan rekonstruksi barisan DNA.
Banyaknya kemungkinan pembentukan barisan
DNA bergantung pada pola pengulangan pada
sebuah barisan DNA.

Pola pengulangan pada sebuah barisan DNA
dapat dikarakteristikan dengan menggunakan graf
pola utama yang merupakan penyederhanaan dari
graf pola yang diperoleh dari digraf tereduksi.
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
284
Berdasarkan graf pola utama ini, dapat dilihat
digraf DNA yang memiliki k-cara pembentukan
barisan DNA.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Bollobas, B. 1998. Modern Graph Theory.
Memphis: Springer .
[2] Chang, HW dan Tsai, PF. 2007.
Characterizing the reconstruction and
enumerating the patterns of DNA sequences
with repeats. J.Comb Optim (2007)14:331-
347.
[3] Pevzner, PA,Tang, HX, Waterman, MS.
2001. An Eulerian Path Approach to DNA
Fragment Assembly. PNAS vol. 98 no.17:
9748-9753.
[4] Watson, James D dan Crick. A. 1983. DNA
Rekombinan (Terj). Jakarta: Erlangga.
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika Departemen Matematika FMI PA UI 285
PREDIKSI PERGERAKAN NILAI EURO TERHADAP US DOLLAR DENGAN
MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DAN
MODEL PERGERAKAN NILAI VALAS

Andreas Sri Harjoko, Liem Chin
Jurusan Matematika Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 40141

andreas_s_h@yahoo.co.id, chin@home.unpar.ac.id


ABSTRAK

Ada banyak pendekatan yang telah dikembangkan untuk mencapai hasil yang optimal dari suatu peramalan seperti
metode pemulusan, metode Box-Jenkins, metode jaringan syaraf tiruan (JST), model pergerakan nilai valas, dan lain-
lain. Ada dua pendekatan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu metode jaringan syaraf tiruan dan model
pergerakan nilai valas. Dalam model pergerakan nilai valas akan digunakan metode GARCH (1,1) untuk
mendapatkan nilai volatilitasnya. Hasil peramalan dari dua pendekatan yang dibahas ini, akan dibandingkan dalam
bentuk Mean Square Error (MSE) dan Mean Absolute Percentage Error (MAPE). Data yang digunakan adalah nilai
tukar mata uang Euro terhadap US Dollar. Dalam hal memprediksi harga pembukaan, metode JST akan memberikan
hasil yang lebih baik dibanding model pergerakan nilai valas.

Keywords: JST, model pergerakan nilai valas, GARCH (1,1).


PENDAHULUAN

Valuta asing (valas) sudah menjadi barang
komoditi perdagangan yang banyak diperjual
belikan. Para investor berlomba-lomba untuk
meraih keuntungan dari selisih harga valas yang
terus berubah. Untuk memaksimalkan
keuntungan, diperlukan suatu analisa terhadap
harga valas. Analisa tersebut bertujuan agar para
investor dapat mengetahui perkembangan nilai
valas di masa yang akan datang. Hasil analisa
tersebut dapat tertuang dalam suatu nilai
peramalan yang menjadi suatu tolak ukur
pengambilan keputusan disaat ini.

Untuk dapat memprediksi nilai valas dapat
digunakan beberapa cara seperti metode jaringan
syaraf tiruan (JST) yang telah dibahas oleh Siana
Halim [2] dan juga model pergerakan nilai valas
yang dibahas oleh Stefiany [6]. Pada makalah ini
dua cara tersebut akan digunakan untuk
memprediksi nilai valas lalu dipilih cara yang
cocok untuk memprediksikan nilai valas.

Hasil peramalan dari dua pendekatan yang
dibahas ini, akan dibandingkan dalam bentuk
Mean Square Error (MSE) dan Mean Absolute
Percentage Error (MAPE). Nilai valas yang akan
digunakan pada makalah ini adalah nilai valas
Euro (EUR) terhadap US Dolar (USD).







METODE

1. Jaringan Syaraf Tiruan (JST)

Metode ini terinspirasi dari syaraf-syaraf manusia
yang terdiri dari sistem yang cukup kompleks.
JST mencoba untuk mensimulasikan proses
pembelajaran pada otak manusia tersebut. Istilah
buatan disini digunakan karena jaringan syaraf ini
diimplementasikan dengan menggunakan progam
komputer yang mampu menyelesaikan sejumlah
proses perhitungan selama proses pembelajaran.

Seperti halnya otak manusia, jaringan syaraf juga
terdiri dari beberapa neuron dan ada hubungan
antara neuron-neuron tersebut. Neuron-neuron
tersebut akan mentransformasikan informasi yang
diterima melalui sambungan keluarnya menuju ke
neuron-neuron yang lain. Pada JST, hubungan ini
dikenal dengan nama bobot. Informasi tersebut
disimpan dalam suatu nilai dengan bobot tertentu.

Struktur JST sendiri memiliki 3 bagian utama
yang dihubungkan dengan bobot tertentu yang
terus berubah hingga mencapai suatu nilai yang
diharapkan. Tiga bagian utama yang menjadi
syarat membangun JST adalah input, lapisan
tersembunyi (hidden layer), dan output. Bagian
input diisi oleh data yang ingin diproses. Untuk
bagian lapisan tersembunyi terdapat suatu proses
perhitungan bobot yang cocok untuk
menghubungkan tiap lapisan. Bagian output
adalah hasil akhir dari proses JST tersebut.
Struktur JST sederhana tampak seperti gambar
berikut ini:

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
286


Gambar 1 Arsitektur Jaringan Syaraf Tiruan

Arsitektur Jaringan Syaraf Tiruan pada Gambar 1
adalah contoh JST yang sederhana. JST tersebut
terdiri dari:

Tiga unit (neuron) pada lapisan input, yaitu
x
1
, x
2
, x
3.

Satu lapisan tersembunyi dengan 2 neuron,
yaitu z
1
, z
2
.
Satu neuron pada lapisan output.

Bobot yang menghubungkan lapisan input dengan
lapisan tersembunyi diberi variabel v. Sedangkan
bobot yang menghubungkan lapisan tersembunyi
dengan output diberi variabel w. Pada arsitektur
JST terdapat suatu indeks bias yang diwakilkan
oleh angka 1. Bobot yang menghubungkan indeks
bias dengan lapisan tersembunyi diberi nama b
1
,
sedangkan bobot yang menghubungkan indeks
bias dengan output diberi nama b
2
. Untuk setiap
indeks bias yang terhubung dengan lapisan
tersembunyi maupun lapisan output diberi nama
bobot bias.

Jika ingin menggunakan JST untuk meramalkan
nilai valas, maka dapat melakukan langkah-
langkah sebagai berikut:



Gambar 2 Tahap Membangun JST

Data nilai valas yang akan digunakan dalam
metode JST adalah data nilai valas EUR/USD
mulai dari tanggal 1 Januari 2009 sampai dengan
30 November 2009. Data tersebut akan
dikelompokan sesuai kebutuhan. Data pada
tanggal 2 Januari 2009 sampai dengan 30 Oktober
2009 akan digunakan sebagai data pelatihan,
sedangkan data pada tanggal 2 november 2009
sampai dengan 30 November akan digunakan
untuk data pengujian. Data nilai valas yang akan
digunakan terdiri dari 4 jenis, yaitu harga
pembukaan, harga penutupan, harga tertinggi,
harga terendah.

Peramalan dengan mengunakan JST dapat
dilakukan dengan mengunakan bantuan software
MATLAB. Ada beberapa parameter yang harus
ditentukan jika ingin mengunakan bantuan
MATLAB seperti dibawah ini:
Maksimum epoh = 5000
Kinerja tujuan = 10
-5

Learning rate = 0.5
Jumlah epoh yang akan ditunjukkan
kemampuannya = 200
Momentum = 0.8

2. Model Pergerakan Nilai Valas (MPNV)
Perubahan nilai valuta asing dapat dimodelkan
1

dengan:
dS = (r r
f
) S dt + S dz (1)
dengan:
S = nilai valuta asing
R = suku bunga domestik
r
f
= suku bunga valuta asing
= volatilitas
dz = , dengan ~ N(0, 1)

1
John C. Hull,Options, Futures, and Other Derivatives,
2002, hlm. 276.
Z

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika Departemen Matematika FMI PA UI 287

Volatilitas suatu nilai valas tidak dapat diketahui
secara pasti. Namun, nilai volatilitas tersebut
dapat ditaksir dengan menggunakan data historis
pergerakan nilai valas. Salah satu cara yang dapat
digunakan untuk menaksir volatilitas nilai valas
adalah mengunakan model GARCH(1,1).

Model GARCH(1,1)
2
dapat ditulis sebagai
berikut:

2
=

+
1
2
+
1
2
(2)
dengan :
= parameter untuk


= parameter untuk
1

= parameter untuk
1

= nilai variansi rata-rata jangka panjang

1
= persentase perubahan harga valas pada
hari ke-(n 1)

1
= nilai volatilitas hari ke-(n 1)

Parameter-parameter yang terdapat pada model
GARCH(1,1) dapat dicari menggunakan bantuan
solver pada Microsoft excel dengan
memaksimumkan fungsi :

1
2

2
2

=1
(3)
dengan :

2


Parameter model GARCH(1,1) dapat ditaksir
dengan memberikan tebakan awal terlebih dahulu.
Syarat yang harus dipenuhi untuk menaksir
parameter model GARCH(1,1) adalah jumlah dari
parameter , dan sama dengan satu dan nilai
, , 0. Data yang akan digunakan untuk
memprediksi sama dengan data yang digunakan
metode JST yaitu data nilai valas EUR/USD pada
tanggal 2 Januari 2009 sampai dengan 30
November 2009.

Parameter-parameter yang sudah didapat
digunakan untuk menaksir volatilitas pada hari
ke-(n + k). Taksiran nilai volatilitas pada hari ke-
(n + k) dapat dihitung dengan persamaan
3
:

(
+
2
) =

+ ( +)

) (4)









2
John C. Hull,Options, Futures, and Other Derivatives,
2002, hlm. 376.
3
Ibid, hlm. 383.

HASIL DAN DISKUSI

1. Jaringan Syaraf Tiruan (JST)
Model JST yang dikembangkan menunjukkan
tanda-tanda bahwa model tersebut dapat
digunakan untuk memprediksi nilai valas. Untuk
itu, bobot-bobot akhir pada JST dapat digunakan
untuk memprediksi nilai valas EUR/USD. Nilai
valas yang ingin diprediksi adalah nilai valas pada
tanggal 2 Desember 2009. Untuk itu yang akan
dimasukan sebagai input adalah data nilai valas
pada tanggal 1 Desember 2009. Dengan
menggunakan program yang sudah dibangun
sebelumnya, didapat hasil bahwa nilai pembukaan
untuk tanggal 2 Desember 2009 adalah 1.5063.

2. Model Pergerakan Nilai Valas (MPNV)
Hasil taksiran parameter yang diperoleh dengan
menggunakan Solver menghasilkan nilai V
L
yang
mendekati suatu nilai tertentu dengan
menggunakan beberapa taksiran awal yang
berbeda. Nilai fungsi objektif yang terbesar yaitu
1750.804222 diperoleh dari parameter =
4.76239E-05, = 0.023360367, dan =
0.254653137 dengan parameter awal = 0.25,
= 0.1, dan = 0.35. Nilai V
L
yang didapat dengan
fungsi objektif terbesar adalah 6.59624E-05.

Nilai volatilitas dicari dengan menggunakan
persamaan (3). Diperoleh nilai taksiran volatilitas
sebesar 0.008122373. Setelah nilai volatilitas
diketahui maka nilai valas dapat diprediksi
dengan menggunakan model pergerakan nilai
valas.

Nilai suku bunga untuk mata uang Euro adalah
1% dan suku bunga untuk mata uang US Dollar
adalah 0.25%. Hasil prediksi nilai valas mata
uang Euro terhadap US Dollar dengan model
pergerakan nilai valas untuk tanggal 2 Desember
2009 adalah 1.5010.

Kedua hasil prediksi tersebut akan dibandingkan
dengan harga valas yang sesungguhnya.
Membandingkan hasil prediksi dengan data
aktualnya dapat dilakukan dengan mencari nilai
keakuratan prediksi. Nilai keakuratan prediksi
dapat berupa nilai MSE (Mean Squared Error)
dan MAPE (Mean Absolute Percentage Error).

=
(

)
2

(5)

=1


=

(100)

(=1)

(6)



Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
288
dengan:


= nilai aktual (sebenarnya)

= hasil prediksi
= banyaknya data yang diuji

Perbandingan kedua hasil prediksi untuk tanggal 2
Desember tersebut dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:

Tabel 1. Perhitungan MSE dan MAPE dari hasil
prediksi

MSE MAPE
MPNV 5.041 x 10
-5
0.4708
JST 3.24 x 10
-6
0.1193

Tampak pada tabel bahwa nilai galat dari JST
lebih kecil dibandingkan dengan nilai galat model
pergerakan nilai valas. Artinya, untuk kasus yang
dibahas di makalah ini performansi JST dalam hal
memprediksi nilai valas, lebih baik dibandingkan
dengan MPNV.


KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan
makalah ini adalah sebagai berikut :
JST dapat memprediksi nilai valas secara
akurat jika dapat mendesainnya secara baik.
Desain JST yang baik berbeda untuk setiap
peramalan, untuk itu diperlukan beberapa
kali percobaan sampai dirasa cukup baik
desain JSTnya.
Prediksi yang diperoleh dari JST untuk kasus
memprediksi harga pembukaan EUR/USD,
menghasilkan nilai yang lebih akurat jika
dibandingkan dengan hasil prediksi
menggunakan model pergerakan nilai valas.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Bambang D.P., Budi, et.al., 1999. Teknik
Jaringan Syaraf Tiruan Feedforward Untuk
Prediksi Harga Saham pada Pasar Modal
Indonesia. Jurnal Informatika, Vol.1 No.1
Mei 1999, hal. 33-37. Program Pascasarjana
Peran Teknik Kendali, Institut Teknologi
Bandung.
[2] Halim, Siana dan Adrian M. W. 2000.
Penerapan Jaringan Saraf Tiruan Untuk
Peramalan. Jurnal Teknik Industri Vol.2
No.2 Desember 2000, hal. 106-114.
Universitas Kristen Petra.

[3] Hull, John C. 2002. Options, Futures, and
Other Derivatives ed 5. New Jersey. Prentice
Hall.
[4] Kusumadewi, Sri. 2004. Membangun
Jaringan Syaraf Tiruan Menggunakan
Matlab & Exel. Link. Graha Ilmu.
[5] Makridakis, Spyros. 1998. Forecasting
Methods and Applications (Terjemahan). ed
3. John Wiley and Sons, Inc.
[6] Norimarna, Stefiany. 2008. Prediksi
Pergerakan Nilai Euro Terhadap US Dollar
dengan Menggunakan Indikator Teknis dan
Model Pergerakan Nilai Valuta Asing
(Skripsi). Universitas Katolik Parahyangan.
[7] Pissarenko, Dimitri. 2002. Neural Networks
For Financial Time Series Prediction
(Thesis). University of Derby.

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 289
CLUSTERING BRAIN CANCER
MENGGUNAKAN POSSIBILISTIC C-MEANS

Anggi Pandyo Wibowo
1
, Zuherman Rustam
1
, Jacub Pandelaki
2

1
Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia
2
Departemen Radiologi, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

gyo.pandyo@gmail.com, rustam@ui.edu, jacubp@gmail.com


ABSTRAK

Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) melengkapi Magnetic Resonance Imaging (MRI) dalam membantu ahli
radiologi untuk mengetahui tingkat keganasan dari brain cancer (astrocytoma). Astrocytoma adalah kanker otak yang
berasal dari bagian pada otak yang disebut astrocytes. Astrocytoma bisa digolongkan menjadi beberapa tingkat
keganasan [WHO]. Data yang digunakan dalam makalah ini berasal dari hasil MRS di RSU Pusat Nasional Dr. Cipto
Mangunkusumo, Salemba, Jakarta. Dalam makalah ini akan dilakukan proses klasifikasi terhadap data hasil MRS
untuk mengetahui tingkat keganasan dari astrocytoma yang terdiri dari Tingkat rendah (Low Grade), Tingkat tinggi
(High Grade), dan Normal. Penelitian yang terkait mengenai klasifikasi astrocytoma ini sudah pernah dilakukan
dengan menggunakan metode Fuzzy C-means [Akmal Fikri, 2009]. Masalah klasifikasi astrocytoma ini selain
dengan menggunakan metode clustering pada Komputasi Intelegensia (KI), bisa juga melalui metode dalam statistik.
Metode yang digunakan dalam makalah ini menggunakan metode dari KI yaitu dengan menggunakan metode
Possibilistic C-means (PCM). Tingkat keakuratan dari metode Possibilistic C-means ini bergantung pada parameter-
parameter. Untuk itu dibutuhkan kondisi optimal dari parameter tersebut agar didapatkan tingkat keakuratan yang
optimal. Parameter-parameter yang akan dioptimalkan dalam makalah ini diantaranya adalah fungsi jarak dan derajat
kefuzzy-an. Fungsi jarak yang akan digunakan adalah fungsi jarak eucledean, hamming, infinity, dan frobenius.
Selain itu dalam makalah ini akan dibahas juga perbandingan tingkat keakuratan dari metode PCM dengan Fuzzy C-
means (FCM). Hasil Percobaan menunjukkan, metode PCM dalam clustering data astrocytoma menghasilkan tingkat
keakuratan 90,9090%. Percobaan terbaik didapatkan dengan menggunakan fungsi jarak eucledean. Hasil tersebut
lebih tinggi dibandingkan dengan metode FCM. Dari hasil tersebut, maka untuk melakukan clustering data
astrocytoma berdasarkan hasil MRS lebih baik menggunakan metode PCM.

Kata Kunci: astrocytoma, metabolit, clustering, possibilistic, PCM


1. PENDAHULUAN
Clustering telah menjadi pendekatan yang populer
untuk unsupervised pattern recognition. Salah
satu metode yang sangat baik dalam melakukan
clustering adalah Fuzzy C-means. Sebagian besar
pendekatan fuzzy clustering diturunkan dari
algoritma Bezdeks Fuzzy C-means (FCM) [5].
Algoritma FCM tersebut telah berhasil dalam
banyak aplikasi seperti pattern classification dan
image segmentation. FCM menggunakan kendala
probabilistik dimana memberships dari data point
pada semua kelas harus memiliki jumlah sama
dengan satu. Pada beberapa kasus metode FCM
ini akan memberikan hasil kurang maksimal,
untuk mengatasinya dilakukan beberapa
pendekatan (perubahan). Perubahan ini
dikemukakan oleh Raghu Krishnapuram dan M.
Keller (1993) dalam metode Possibilistic C-
means. Secara umum metode PCM adalah
meminimumkan fungsi objektif [5]

(, ) =

=1

=1
+

=1

=1

Metode PCM ini dapat mengatasi beberapa
masalah yang dihadapi oleh metode FCM
diantaranya adalah masalah yang berhubungan
dengan Noise pada data. Dalam pembahasan kali
ini, metode PCM akan digunakan untuk clustering
pada Brain Cancer (astrocytoma) berdasarkan dari
data hasil Magnetic Resonance Spectroscopy
(MRS). Dimana MRS digunakan sebagai
pemeriksaan radiologi penunjang. Pemeriksaan
radiologi dilakukan setelah dilakukannya
pemeriksaan klinis pada pasien. Pemeriksaan
radiologi yang umum adalah MRI dan CT-scan,
yang mana pemeriksaan tersebut hanya
menghasilkan gambar atau keaadaan anatomi.

2. MAGNETIC RESONANCE
SPECTROSCOPY (MRS)
MRS dihasilkan sama seperti melakukan
pemeriksaan MRI yaitu, tanpa sepengetahuan
pasien. Gambar yang didapat dari area yang
dipilih (localizer), lalu dibuat volume of interest
(VOI) dan hasil akhirnya akan ditampilkan
sebagai grafik atau pengkodean (coding) warna
dari konsentrasi metabolit tersebut setelah alat
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
290
MRI menekan air (water suppression) pada area
tersebut (VOI) [4].

Gambar 1. Gambar Hasil MRI yang Memuat VOI
Setelah ditentukan lokasi VOI pada gambar MRI,
lalu diproduksi spektrum metabolit dari jaringan
pada lokasi tersebut. Puncak dari spektrum
menggambarkan jumlah proton didalam grup
molekul tersebut. Terdapat tujuh metabolit utama
yaitu, N-Acetil Aspartate (NAA), Creatine (Cr),
Choline (Cho), Lipid (Lip), Lactate (Lac),
myoinositol (mI), Glutamine-glutamate (Glx), dan
Glucose (Glu). Metabolit memiliki lokasi atau
area tertentu dalam spektrum dengan satuan parts
per million (ppm). Lokasi untuk ke-tujuh
metabolit tersebut adalah:
Tabel 1. Ukuran ppm dari metabolit yang digunakan
pada saat pengambilan data. [1],[2],[3],[4]
Metabolit ppm
Choline
Creatine
NAA
Lipid
mI
Glutamine
Lactate
3.19 3.34
2.97 3.12
1.96 2.13
0.81 1.3
3.49 3.65
2.1 2.54
1.31 1.35

Data yang sudah didapat kemudian dibentuk
menjadi sebuah vektor = [
1
,
2
, ,
7
],
dimana

1
= Choline
5
= mI

2
= Creatine
6
= Glutamine

3
= NAA
7
= Lactate

4
= Lipid

Gambar 2. Grafik Hasil MRS
Data yang telah diperoleh sudah diketahui
kelasnya berdasarkan hasil pemeriksaan patologi
anatomi.


3. POSSI BI LI STI C CLUSTERI NG
Formula awal dari Fuzzy C-Means (FCM) adalah
meminimumkan fungsi objektif [5]:
(, ) =

=1

=1

dengan kendala

= 1

=1
untuk setiap (1)
Dimana, = (
1
, ,

),

2
adalah jarak titik


ke centroid

, adalah jumlah total vektor,


adalah jumlah cluster, dan =

adalah
matriks yang disebut matriks fuzzy C-
partition, yang memenuhi kondisi:

[0, 1] untuk setiap dan


0 <

=1
< untuk setiap , dan

=1
= 1 untuk setiap
Disini,

adalah tingkat membership dari titik


di dalam cluster

, dan [1, ) adalah


weighting exponent yang disebut derajat ke-fuzzy-
an (fuzzifier). Pada metode Possibilistic C-means
fungsi objektif dapat diubah menjadi [5]:

(, ) =

=1

=1
+

=1

=1

(2)
Dengan kendala

[0, 1] untuk setiap dan


Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 291
0 <

=1
< untuk setiap , dan
max

> 0 untuk setiap


Dimana

adalah bilangan positif yang sesuai.


Sumasi pertama menyatakan bahwa jarak dari
vektor ke centroid sekecil mungkin, dimana
sumasi kedua memaksa

sebesar mungkin,
untuk menghindari solusi trivial.
Algoritma Possibilistic C-means yang digunakan
adalah sebagai berikut [5]:
Langkah 1: Tentukan
a. Data yang akan digunakan untuk
training, matriks berukuran
, dimana adalah banyak data dan
adalah banyaknya komponen dari
tiap data.
b. Banyak cluster,
c. Pusat data (centroid) dari masing-
masing cluster,
d. Derajat kefuzzy-an (fuzzifier),
e. Konstanta,
f. Maksimum iterasi,
g. Kriteria penghentian,
h. Matriks berukuran , dimana
banyak data training dan adalah
banyaknya cluster.
Langkah 2: Hitung

=1

=1
(3)
dimana

2
=


dan adalah sembarang konstanta. Pada
umumnya konstanta yang digunakan = 1.
Langkah 3: Perbaharui centroid

=1

=1
(4)
Langkah 4: Perbaharui matriks membership
= [

], = 1,2, ,

=
1
1+


1
1
(5)
dimana

2
=


Langkah 5: Hitung
=


jika < maka algoritma selesai, jika tidak maka
ulangi langkah 3 s/d 5.

4. METODE PENGUJIAN
Metode pengujian yang dilakukan adalah:
1. Tentukan jumlah cluster yang akan
digunakan
2. Pisahkan data berdasarkan cluster
3. Tentukan persentasi data yang digunakan
sebagai data training
4. Inisialisasi matriks U berdasrkan
presentasi data training yang digunakan
5. Sisa data yang tidak digunakan sebagai
data training, digunakan sebagai data uji.
Pengambilan data uji dilakukan secara
acak, sehingga akan memberikan hasil
yang berbeda-beda pada setiap
menjalankan program
6. Perhitungan tingkat akurasi ditentukan
oleh
% akurasi =


100%

Lakukan pengujian untuk data training 20%, 30%,
. . ., 80%. Pengujian juga dilakukan menggunakan
beberapa fungsi jarak yang telah terdefinisi pada
Matlab.

5. HASIL PERCOBAAN
Parameter pertama yang akan di uji adalah fungsi
jarak yang digunakan. Hasil pengujian
ditampilkan dalam tabel berikut:
Tabel 2 Persentase akurasi program possibilistic c-
means dengan menggunakan beberapa fungsi jarak
Persentase
Data
Training
Persentase akurasi program possibilistic c-means
dengan menggunakan beberapa fungsi jarak (%)
Eucledean Hamming Infinity Frobenius
20 70,37037 66,66667 70,37037 74,07407
30 70,83333 66,66667 75 75
40 80 70 75 75
50 75 75 75 81,25
60 80 80 73,33333 80
70 90,90909 72,72727 72,72727 72,72727
80 87,5 75 75 75

Dari tabel 2, terlihat metode PCM paling baik
menggunakan fungsi jarak eucledean. Hasil yang
didapat mencapai tingkat keakuratan 90,90909%.
Parameter berikutnya yang akan diuji adalah
derajat kefuzzy-an (). Hasil pengujian
ditampilkan dalam tabel berikut:
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
292
Tabel 3. Persentase akurasi program possibilistic c-
means dengan menggunakan beberapa derajat kefuzzy-
an
Persentase
Data
Training
Persentase akurasi program possibilistic c-means
dengan menggunakan beberapa derajat kefuzzy-an
(%)
= 2 = 3 = 4 = 5 = 6
20 70,37037 70,37037 74,07407 70,37037 70,37037
30 70,83333 75 70,83333 70,83333 70,83333
40 75 70 75 75 80
50 68,75 81,25 75 75 75
60 73,33333 80 73,33333 80 80
70 72,72727 72,72727 81,81818 81,81818 90,90909
80 75 75 75 87,5 87,5

Dari tabel 3 terlihat bahwa derajat kefuzzy-an
terbaik yang digunakan dalam metode PCM
adalah = 6.
Parameter berikutnya yang akan diuji adalah
konstanta (). Hasil pengujian ditampilkan dalam
tabel berikut:
Tabel 4. Persentase akurasi program possibilistic c-
means dengan menggunakan beberapa konstanta K
Persentase
Data
Training
Persentase akurasi program possibilistic c-means
dengan menggunakan beberapa konstanta (%)
= 1 = 2 = 3 = 4 = 5
20 70,37037 70,37037 74,07407 70,37037 70,37037
30 70,83333 66,66667 79,16667 75 70,83333
40 80 70 70 75 70
50 75 68,75 75 68,75 75
60 80 73,33333 73,33333 80 73,33333
70 90,90909 72,72727 81,81818 72,72727 81,81818
80 87,5 87,5 75 75 75

Dari tabel 4, terlihat bahwa akurasi terbaik
didapat dengan paramater = 1.
Berikutnya akan diuji perbandingan antara
metode PCM dengan FCM. Hasil pengujian
ditampilkan dalam tabel berikut:
Tabel 5. Persentase akurasi program PCM dan FCM
[1]
.
Persentase
Data Training
Persentase akurasi program
PCM dan FCM (%)
PCM FCM
[1]
20 70,37037 70,3704
30 70,83333 75
40 80 80
50 75 75
60 80 86,6667
70 90,90909 81,8182
80 87,5 75

Dari tabel 5, terlihat metode PCM memiliki
akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan
metode FCM. Perbandingan tersebut
menggunakan parameter yang memberikan hasil
terbaik untuk masing-masing metode. Metode
PCM mencapai akurasi tertinggi 90,90909%
sementara metode FCM 86,6667%.

6. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang didapat dari pengujian,
parameter terbaik untuk clustering data
astrocytoma berdasarkan hasil MRS yaitu, fungsi
jarak yang digunakan adalah fungsi jarak
eucledean, kemudian derajat kefuzzy-an yang
sebaiknya dinggunakan, yaitu = 6, dan
konstanta yang paling baik dan juga pada
umumnya digunakan dalam metode Possibilistic
C-means yaitu = 1. Metode Possibilistic c-
means ini merupakan modifikasi dari metode
Fuzzy c-means dimana metode Possibilistic c-
means lebih bagus dalam klasifikasi data yang
memiliki noise (gangguan). Berdasarkan hasil
pengujian terlihat bahwa metode Possibilistic
memiliki akurasi yang lebih baik dibandingkan
dengan metode Fuzzy c-means. Dimana metode
Possibilistic mencapai akurasi tertinggi
90,90909% sementara metode Fuzzy c-means
86,6667%. Jadi dapat disimpulkan dalam masalah
clustering data astrocytoma lebih baik
menggunakan metode Possibilistic C-means.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Akmal Fikri. 2009. Brain Cancer
(Astrocytoma) Menggunakan Metode Fuzzy
C-Means. Universitas Indonesia
[2] Brandao LA. 2004. MR Spectroscopy of the
Brain. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins.
[3] Danielsen ER, Ross B. 1999. Magnetic
Resonance Spectroscopy Diagnosis of
Neurological Diseases. New York : Basel
[4] Jacub, Pandelaki.dr, Sp.Rad(K). 2009.
Makalah Seminar S-3.
[5] Raghu Krishnapuram and James M. Keller.
1993. A Possibilistic Approach to
Clustering. IEEE Transactions on Fuzzy
Systems, Vol. 1, No. 2, pp. 98-110.
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
293
APLIKASI SPHERICAL K-MEANS PADA PENGKLASIFIKASIAN BRAIN
CANCER

Ardibian Krismanti
1
, Zuherman Rustam
1
, Jacub Pandelaki
2

1
Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia
2
Departemen Radiologi, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo

ardhy_chris@yahoo.com, rustam@ui.edu, jacubp@gmail.com


ABSTRAK

Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) melengkapi Magnetic Resonance Imaging (MRI) dalam pemeriksaan
astrocytoma (kanker otak). Dari pemeriksaan MRI, hanya diperoleh informasi berupa gambar jaringan. Informasi ini
akan digunakan proton MRS untuk menentukan konsentrasi metabolit otak pada jaringan yang didiagnosa
astrocytoma, seperti metabolit N-asetil aspartate (NAA), choline (Cho), creatine (Cr), Lipid (Lip), Lactate (Lac),
Myoinositol (MI), dan Glutamine-glutamate (Glx). Dari hasil ini, astrocytoma dapat diklasifikasi berdasarkan tingkat
keganasannya, yaitu high grade, low grade, dan normal. Proses klasifikasi biasa dilakukan secara statistik.
Dalam makalah ini, akan dibahas proses klasifikasi astrocytoma berdasarkan tingkat keganasannya dengan
menggunakan algoritma Spherical K-Means (SPKM) dan Online Spherical K-Means (OSKM) terhadap data MRS.
Algoritma Spherical K-Means merupakan algoritma K- Means dengan cosine similarity atau mengukur persamaan
antar vektor data melalui inner product. Algoritma ini adalah salah satu metode clustering yang sering digunakan
untuk mengelompokan data yang berdimensi banyak. Dalam algoritma ini, tiap data dan pusat data direpresentasikan
sebagai vektor satuan. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data yang berasal dari laboratorium radiologi
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Data ini akan dibagi menjadi data training dan data uji, lalu
akan diproses berdasarkan algoritma SPKM dan OSKM. Dari penelitian yang sudah dilakukan, diketahui bahwa
pengklasifikasian dengan metode OSKM akan menghasilkan pengklasifikasian dengan tingkat akurasi yang lebih
tinggi dibanding pengklaifikasian dengan metode SPKM.

Keywords: astrocytoma; MRS; Spherical K-Means; Online Spherical K-Means


PENDAHULUAN

Clustering merupakan proses pengelompokan
data ke dalam kelas-kelas atau cluster-cluster
sehingga data dalam suatu cluster memiliki
tingkat persamaan yang tinggi satu dengan
lainnya tetapi berbeda dengan data dalam cluster
lain. Metode clustering yang paling banyak
digunakan adalah metode K-means, karena
metode tersebut sederhana dan mudah untuk
diimplementasikan. Dalam melakukan
pengelompokan pada data yang berdimensi
banyak, dilakukan penormalisasian, sehingga data
dalam algoritma K-means merupakan vektor
satuan dan dapat dianggap sebagai titik-titik pada
bola yang berdimensi banyak (hypersphere).
Karena titik-titik tersebut berada pada unit
hypersphere, maka algoritma ini disebut algoritma
Spherical K-Means (SPKM).

Spherical K-means bertujuan untuk
memaksimumkan fungsi objektif =

()

[1]. Jika algoritma ini dikombinasikan dengan
competitive learning, akan menghasilkan suatu
algoritma yang dinamakan Online Spherical K-
Means (OSKM) [1]. OSKM mempunyai tujuan
yang sama dengan SPKM, perbedaan yang
mendasari antara keduanya adalah OSKM meng-
update hanya satu pusat cluster per data input,
sedangkan SPKM meng-update seluruh pusat
cluster untuk setiap data input [1].

Dalam makalah ini, akan dilihat keakuratan
algoritma Spherical K-Means dan Online
Spherical K-Means dalam mengklasifikasi kanker
otak (astrocytoma) berdasarkan grade (tingkat
keganasan)-nya, yaitu high grade, low grade, dan
normal. Pengklasifikasian ini berdasarkan data
Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS). MRS
adalah pemeriksaan yang digunakan untuk
mengukur perbedaan metabolit dalam suatu
jaringan, dalam hal ini jaringan otak. Dengan
adanya pola khusus pada metabolit-metabolit
yang diperlihatkan oleh hasil MRS, tingkat
keganasan kanker otak dapat dibedakan. Oleh
karena itu, data ini dapat digunakan untuk
clustering.


MAGNETIC RESONANCE
SPECTROSCOPY (MRS)

Kanker otak dapat dibedakan berdasarkan tempat
terbentuknya tumor. Dalam makalah ini, akan
diklasifikasikan kanker otak yang terbentuk di
astrocytes yang disebut dengan astrocytoma.
WHO membedakan astrocytoma menjadi 4 grade,
akan tetapi dapat disederhanakan menjadi 2 grade,
yaitu high grade dan low grade.
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 294
MRS merupakan suatu teknik yang melengkapi
teknik Magnetic Resonance Imaging (MRI) dalam
menentukan tingkat keganasan kanker otak. Pada
awalnya, pasien penderita kanker otak akan
melalui pemeriksaan MRI, yang akan
menghasilkan gambar potongan otak. Gambar
yang diperoleh dari area yang dipilih yang disebut
localizer. Lalu akan ditentukan Volume of Interest
(VOI) pada localizer. Pada lokasi VOI, dilakukan
water signal suppression atau penekanan air oleh
alat MRI, yang akan menghasilkan perbedaan
resonansi pada masing-masing metabolit.
Perbedaan resonansi ini, akan menunjukkan letak
peak dari masing-masing metabolit. Tinggi dari
peak-peak tersebut merupakan jumlah masing-
masing metabolit. Metabolit- metabolit yang akan
diperiksa untuk mengukur tingkat keganasan
kanker otak adalah N-Acetil Aspartate (NAA),
Creatine (Cr), Choline (Cho), Lipid (Lip), Lactate
(Lac), Myoinositol (MI), dan Glutamine-
glutamate (Glx).

Berikut adalah ukuran proton (ppm) dari masing-
masing metabolit yang memperlihatkan lokasi
metabolit tersebut dalam spektrum.

Tabel 1. Ukuran ppm dari metabolit yang diatur pada
saat pengambilan data. [2], [3], [4].
Metabolit ppm
Choline
Creatine
NAA
Lipid
MI
Glutamin
Lactate
3.19 3.34
2.97 3.12
1.96 2.13
0.81 1.3
3.49 3.65
2.1 2.54
1.31 1.35





Gambar 1. Gambar hasil MRI yang menggambarkan
pengambilan spektrum multivoxel MRS



Gambar 2. Gambar hasil MRS dari salah satu voxel

Data yang akan digunakan adalah data yang
berasal dari laboratorium radiologi Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Data ini
sudah diketahui kelasnya berdasarkan
pemeriksaan ahli patologi anatomi. Kemudian
data tersebut akan dibentuk sebagai sebuah vektor
x = [
1
,
2
, ,
7
], dengan ketentuan sebagai
berikut:
x
1
= Choline
x
2
= Cr atau Creatine
x
3
= Naa
x
4
= Lipid
x
5
= MI
x
6
= Glutamin
x
7
= Lactat


SPHERICAL K-MEANS (SPKM)

Spherical K-means merupakan salah satu bentuk
dari clustering yang digunakan untuk
mengelompokan data yang berdimensi banyak.
Algoritma Spherical K-Means ditemukan oleh Shi
Zhong. Algoritma ini merupakan algoritma K-
Means dengan cosine similarity atau mengukur
persamaan antar vektor data melalui inner
product. Algoritma ini bertujuan untuk
memaksimumkan fungsi objektif [1]:

=

()

(1)
dimana:
() = arg


x = data dalam bentuk vektor.
V
k
= pusat cluster (mean vektor) pada
cluster ke-k

Perbedaan utama SPKM dari K-means yang biasa
adalah penaksiran kembali pusat cluster harus
dinormalisasi agar menjadi vektor satuan.

Algoritma dari spherical k-means adalah sebagai
berikut [1]:
Langkah 1: Tentukan
a. Data training yang akan digunakan yaitu
= {
1
,
2
, ,

}
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
295
b. K = banyaknya cluster, dalam hal ini K =
3.
c. Pusat data awal, V, dengan memilih data
secara acak.

Langkah 2: Tentukan, pusat cluster terdekat untuk
tiap vektor data x
n
,

= arg max



Langkah 3: Dengan

= {

= }, tentukan
estimasi dari pusat cluster dengan:




Jika Y tidak berubah, dimana = {
1
, ,

},

{1, , }, algoritma berhenti.


Jika Y berubah, ulang ke langkah 2.


ONLINE SPHERICAL K-MEANS (OSKM)

Online spherical k-means ditemukan oleh Shi
Zhong dan merupakan metode clustering yang
menggunakan metode competitive learning.
Online spherical k-means mempunyai tujuan yang
sama dengan spherical k-means yaitu
memaksimumkan fungsi objektif [1]:

=

()


Perbedaan antara online spherical k-means
dengan spherical k-means adalah pada penaksiran
kembali pusat cluster untuk sebuah vektor data x.
Pada OSKM dilakukan penaksiran kembali hanya
satu pusat cluster per data input, sedangkan pada
SPKM penaksiran kembali dilakukan pada
seluruh pusat cluster untuk setiap data input.
Untuk memaksimumkan fungsi objektif,
penaksiran kembali pusat cluster dilakukan
dengan [1]

()
( )
=

()
+

()

()
+

()



=

()
+

()
+
(2)

dimana = learning rate dan

()
.

Algoritma OSKM adalah sebagai berikut [1]:
Langkah 1: Tentukan
a. Data training yang akan digunakan yaitu
= {
1
,
2
, ,

}
b. K = banyaknya cluster, yaitu 3.
c. Pusat data awal, V, dengan memilih data
secara acak.
d. Batas maksimum iterasi yang akan
digunakan, M.
e. Learning rate, = 0.05.

Langkah 2: Tentukan, pusat cluster terdekat untuk
tiap vektor data x
n
,

= arg max



Langkah 3: Estimasi pusat cluster tiap data
training dengan [1]

[1]

Dalam langkah ini, estimasi pusat cluster
dimodifikasi agar mendapatkan tingkat akurasi
yang lebih baik. Oleh karena itu, estimasi
dilakukan dengan



Algoritma dilakukan sampai mencapai batas
maksimum iterasi, M.


METODE PENGUJIAN

Metode pengujian secara umum adalah sebagai
berikut:
1. Tentukan banyaknya cluster yang akan
digunakan, yaitu 3.
2. Pisahkan data berdasarkan cluster, yaitu
normal, high grade, dan low grade.
3. Tentukan banyak data training yang akan
digunakan untuk mencari pusat dari masing-
masing cluster, yaitu 10%. Sisa data akan
digunakan sebagai data uji. Pengambilan
data training dan data uji dilakukan secara
acak.
4. Data uji akan digunakan untuk menguji
keakuratan algoritma yang digunakan dalam
pengklasifikasian.
5. Tingkat akurai dihitung dengan rumus:

% =


100%

Dimana X
akurat
= data uji yang sesuai dengan
kelasnya dan X
seluruh
= seluruh data uji yang
digunakan.
6. Ulangi langkah 3, 4, dan 5 untuk data
training 20%, 30%, 40%, 50%, 60%, 70%,
80%, 90%, dan 100%.
7. Norm yang digunakan dalam metode ini
adalah norm Euclidean.

Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 296
HASIL PERCOBAAN

Akan diperlihatkan hasil dari percobaan dengan
menggunakan algoritma Spherical K-Means dan
Online Spherical K-Means dengan menggunakan
MATLAB.

a. Hasil Percobaan Menggunakan Spherical K-
Means.

Tabel 2. Rata-rata presentase tingkat akurasi pada
berbagai presentase data training dengan menggunakan
algortima SPKM.
Presentase Data
Training
Rata-Rata Akurasi
(%)
10% 51.7273
20% 72.4138
30% 52.0000
40% 77.2727
50% 72.2222
60% 73.3333
70% 75.0000
80% 75.0000
90% 50.0000
100% 76.4706



Gambar 3. Grafik tingkat akurasi algoritma SPKM
terhadap presentase data training.

Dari gambar terlihat bahwa rata-rata akurasi
tertinggi terletak pada saat menggunakan 40%
data training. Dari percobaan yang dilakukan
didapatkan tingkat akurasi tertinggi, yaitu
77.2727%, didapatkan pada iterasi pertama
dengan data training sebanyak 40%.





b. Hasil Percobaan Menggunakan Online
Spherical K-Means

Tabel 3. Rata-rata presentase tingkat akurasi pada
berbagai presentase data training dengan
menggunakan algortima OSKM.
Presentase Data
Training
Rata-Rata Akurasi
(%)
10% 48.2286
20% 59.7403
30% 60.0000
40% 72.3810
50% 91.4286
60% 84.2857
70% 67.7922
80% 63.0252
90% 55.5102
100% 64.5813


Gambar 4. Grafik tingkat akurasi algoritma OSKM
terhadap presentase data training.

Walaupun dari gambar terlihat bahwa rata-rata
akurasi tertinggi terletak pada saat menggunakan
50% data training. Akan tetapi, dari percobaan
yang dilakukan, tingkat akurasi tertinggi, yaitu
94.2857%, didapatkan pada iterasi ke-7 dengan
data training sebanyak 30%.


KESIMPULAN

Dari percobaan yang dilakukan terhadap data
MRS dengan menggunakan dua algoritma, yaitu
Spherical K-Means dan Online Spherical K-
Means, dapat dilihat bahwa Online Sherical K-
means memberikan hasil yang lebih baik daripada
Spherical K-Means. Hal ini dapat dilihat dari
tingkat akurasi yang dihasilkan algoritma OSKM
lebih besar, yaitu 94.2857%, dibandingkan tingkat
akurasi yang dihasilkan algoritma SPKM, yaitu
77.2727%.
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
50
55
60
65
70
75
80
banyak data training (%)
a
k
u
r
a
s
i

(
%
)
Plot akurasi SPKM
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
95
banyak data training (%)
a
k
u
r
a
s
i

(
%
)
Plot akurasi OSKM
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
297
DAFTAR PUSTAKA

[1] Zhong, Shi. 2005. Efficient Online Spherical
K-Means Clustering. Canada: Montreal.
[2] Danielsen ER, Ross B. 1999. Magnetic
Resonance Spectroscopy Diagnosis of
Neurological Diseases, New York : Basel.
[3] Brandao LA. 2004. MR Spectroscopy of the
Brain. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins.
[4] Jacub, Pandelaki.dr, Sp.Rad(K).2009.
Makalah Seminar S-3.


















Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 299
PENGENALAN WAJAH BERBASIS KAMERA
MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN

Asep Sholahuddin
1
, Rustam E. Siregar
2
,Iping Supriana
3
,Setiawan Hadi
4

1
Mahasiswa S3 FMIPA Universitas Padjadjaran
2
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran
3
Institut Teknologi Bandung
4
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Padjadjaran

asep_sholahuddin@yahoo.com cc: asol@unpad.ac.id


ABSTRAK

Penelitian tentang wajah sangat menarik untuk dibicarakan, karena wajah manusia adalah unik dan memegang
peranan yang penting dalam mengidentifikasi seseorang. Jaringan Syaraf Tiruan (JST) adalah suatu cabang ilmu dari
Artificial Intelligence (AI) yang menitikberatkan pada pengenalan pola.

Pada makalah ini akan dijelaskan suatu penelitian pengenalan wajah dengan menggunakan kamera sebagai input
wajah yang akan dikenali kemudian dideteksi wajahnya setelah terdeteksi wajah tersebut maka dilanjutkan dengan
mengenali wajahnya siapa. Metode yang digunakan adalah backpropagation pada JST .

Pada penelitian ini data wajah yang dipakai sebanyak 10 wajah dengan ukuran 32 x 32 pixel yang direkam dari
kamera. Neuron yang digunakan sebanyak 10 buah, Program yang digunakan adalah Matlab. Hasilnya adalah wajah
yang dilatih tersebut bisa dikenali.

Kata Kunci : Pengenalan Wajah, Jaringan Syaraf Tiruan


1. PENDAHULUAN

Penelitian tentang pengenalan wajah masih
banyak dibicarakan dalam kurun waktu 10 tahun
ini namun penerapannya masih banyak dalam
bentuk gambar wajah statis sehingga kendalanya
tidak terlalu besar, padahal banyak pengenalan
wajah yang diperlukan secara dinamis. Oleh
karena itu penelitian ini kami mencoba
menggunakan kamera dalam mengambil data
wajah.
JST diilhami dari ilmu biologi. JST ini tersusun
dari elemen-elemen yang melakukan kegiatan
seperti fungsi-fungsi biologis neuron yang paling
elementer. Elemen-elemen ini terorganisasi
sebagaimana layaknya anatomi otak manusia
walaupun tidak persis sama. JST dapat belajar
dari pengalaman, melakukan generalisasi dari
contoh-contoh yang diperolehnya dan
mengabstraksi karakteristik esensial dari masukan
(input) yang berisi data dalam melakukan proses
belajar, JST dapat memodifikasi tingkah lakunya
sesuai dengan keadaan untuk menghasilkan suatu
respon yang konsisten terhadap serangkaian
masukan.
Manusia adalah mahluk yang mempunyai
pengenalan pola yang sangat baik, sehingga
manusia dapat mengenali wajah dengan baik.
Manusia mempunyai 100 juta neuron
(Haykin,1994). Untuk hal tersebut maka perlu
dicoba ditiru otak manusia dengan menggunakan
JST yang diterapkan pada komputer melalui
sebuah kamera sebagai alat inputnya.

2. BAHAN DAN METODE

2.1. Metode Jalar Balik (Backpropagation)
Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah
metode jalar balik. Algoritma jalar balik
menggunakan error output untuk mengubah nilai
bobot-bobotnya dalam arah mundur (backward).
Untuk mendapatkan error ini, tahap perambatan
maju (forward propagation) harus dikerjakan
terlebih dahulu. Untuk lebih jelasnya tentang
arsitektur skema JST dapat dilihat pada gambar 1.




Gambar 1. Skema JST
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
300
Algoritma jalar balik (Kusumadewi, 2003)
adalah :

- Inisialisasi Bobot
Ambil bobot awal dengan nilai random yang
cukup kecil.
- kerjakan langkah-langkah berikut selama kondisi
berhenti bernilai FALSE
- untuk tiap-tiap pasangan elemen yang akan
dilakukan pembelajaran, kerjakan:
Feedforward:
a. Tiap-tiap unit input (Xi, i= 1,2,3,...,n)
menerima sinyal Xi dan meneruskan
sinyal tersebut kesemua unit pada lapisan
yang ada di atasnya (lapisan tersembunyi)

b. Tiap-tiap unit tersembunyi (Zj, j=
1,2,3,...,p) menjumlahkan sinyal-sinyal
input terbobot:

n
z_in
j
= V
0j
+ X
i
V
ij
(1)

i=1
gunakan fungsi aktivasi untuk
menghitung sinyal outputnya:

z
j
= f(z_in
j
) (2)

dan kirimkan sinyal tersebut kesemua unit
di lapisan atasnya (unit-unit output).

c. Tiap-tiap unit output (Y
k
, k= 1,2,3,...,m)
menjumlahkan sinyal-sinyal input
terbobot.

p
y_in
k
= w
0k
+ x
i
w
jk
(3)

i=1

gunakan fungsi aktivasi untuk menghitung
sinyal outputnya:

y
k
= f(y_in
k
) (4)
dan kirimkan sinyal tersebut kesemua unit
di lapisan atasnya (unit-unit output).

Backpropagation
d. Tiap-tiap unit outputnya (Yk, k=
1,2,3,...,m) menerima target pola yang
berhubungan dengan pola input
pembelajaran, hitung informasi errornya:


k
= (t
k
-y
k
)f(y_in
k
) (5)

kemudian hitung koreksi bobot (yang
nantinya akan digunakan untuk
memperbaiki nilai w
jk
)
w
jk
=
k
z
j
(6)
Hitung juga koreksi bias (yang nantinya
akan digunakan untuk memperbaiki nilai
w
0k
:
w
0k
=
k
(7)
kirimkan
k
ini ke unit-unit yang ada
dilapisan bawahnya.

e. Tiap-tiap unit tersembunyi (Zj, j=
1,2,3,...,p) menjumlahkan delta inputnya
(dari unit-unit yang berada pada lapisan di
atasnya):


m
_in
j
=
i
w
jk
(8)

k=1

kalikan nilai ini dengan turunan dari
fungsi aktivasinya untuk menghitung
informasi error:

j
= _in
j
f(z_in
j
) (9)

kemudian hitung koreksi bobot (yang
nantinya akan digunakan untuk
memperbaiki nilai v
ij
):
v
jk
=
j
x
k
(10)

hitung juga koreksi bias (yang nantinya
akan digunakan untuk memperbaiki nilai
v
oj
):
v
0j
=
j
(11)

f. Tiap-tiap unit output (Yk, k= 1,2,3,...,m)
memperbaiki bias dan bobotnya
(j=0,1,2,...,p):

w
jk
(baru) = w
jk
(lama) + w
jk
(12)
Tiap-tiap unit tersembunyi (Zj, j=
1,2,3,...,p) memperbaiki bias dan bobotnya
(i=0,1,2,...,n):

v
ij
(baru) = v
ij
(lama) + v
ij
(13)

-Tes kondisi berhenti









Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 301
3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada tahapan penelitian ini proses pengenalan
wajah dapat digambarkan sebagai berikut :










Diagram 1. Skema pengenalan wajah

Pada penelitian ini gambar yang digunakan
sebanyak 10 gambar dengan masing-masing
gambar berukuran 32 x 32 pixel Hasil dari capture
pada kamera. Gambar tersebut dilatihkan pada
komputer. setelah komputer bisa mengenali maka
setiap wajah di uji cobakan ternyata semuanya
dapat dikenali dengan baik.
Program yang digunakan adalah Matlab dengan
spesifikasi JST yang digunakan (Demoth,1995)
adalah :
1. Neuron sebanyak 10
2. sse=0.01
3. epoch=300
4. momentum=0.95
5. Neuron input =32 x 32 = 1024
6. Neuron output = 10 (masing-masing nilai
antara 0 sampai dengan 1)

Pada percobaan ini kami melatih 10 gambar yang
berukuran 32 x 32 pixel dengan nama file
W1.PNG sampai dengan nama file W10.PNG
dengan ouput yang ditampilkan dilayar adalah
NAMA WAJAH tersebut. Output yang
diharapkan terlihat pada tabel-1.









Tabel-1 : Data wajah dan nama file serta outputnya
NO GAMBAR
WAJAH
INPUT
(NAMA
FILE)
OUTPUT
NAMA
WAJAH
1

W1.BMP Darsono
2

W2.BMP Dede
3

W3.BMP Reza
4

W4.BMP Solihin
5

W5.BMP Yanto
6

W6.BMP Asep
Sholahuddin
7

W7.BMP Azmi
8

W8.BMP Rida
9

W9.BMP Adiansyah
10

W10.BMP Rani
Haerani

Data dari tabel-1 adalah data wajah yang akan di
latih yang telah di capture dari wajah-wajah
sebanyak 10 orang kemudian di simpan pada file
W1.BMP sampai file W10.BMP dengan nama
orang-orang tersebut.
Program yang telah dibuat dengan menggunakan
Matlab pada gambar 2 dan gambar 3 sebagai
contoh hasilnya.
Salah satu hasil percobaan dari kamera

Gambar 2. Hasil pengenalan wajah
Deteksi wajah
Cropping
Scalling 32x32
Pengenalan
wajah
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
302
Wajah dan nama sesuai dengan hasil
pengenalannya. Pada contoh, nilai dapat dilihat
yang mendekati 1 adalah data ke-6 dan ke-10 .

Hasil pengenalan wajah yang lain



Gambar 3. Hasil pengenalan wajah yang lain


Tabel-2 : Hasil pengenalan Data wajah
NO INPUT
WAJAH
GAMBAR
(NAMA
FILE)
KETERA
NGAN
1 Wajah ke-1 W1.BMP Dikenali
2 Wajah ke-2 W2.BMP Dikenali
3 Wajah ke-3 W3.BMP Dikenali
4 Wajah ke-4 W4.BMP Dikenali
5 Wajah ke-5 W5.BMP Dikenali
6 Wajah ke-6 W6.BMP Dikenali
7 Wajah ke-7 W7.BMP Dikenali
8 Wajah ke-8 W8.BMP Dikenali
9 Wajah ke-9 W9.BMP Dikenali
10 Wajah ke-10 W10.BMP Dikenali

Dari tabel-2 di atas data wajah di lihat dari
kamera kemudian di masukan pada JST dan
kemudian di coba dikenali ternyata semua
wajah dapat dikenali. Percobaan ini dibuat
dengan cara pencahayaan pada waktu
merekam gambar sama dengan pada saat
melihat wajah dari kamera serta posisi
gambar yang dilatih dengan yang di uji tidak
jauh berbeda.



4. KESIMPULAN

Pada penelitian ini data wajah sebanyak 10 orang
dengan ukuran gambar yang di capture adalah 32
x 32 dapat dikenali melalui kamera.


5. DAFTAR PUSTAKA

[1] Demoth, Howard.(1995). Neural Networks
Toolbox, The Mathworks, Inc,
Massachusetts.
[2] Haykin. Simon.(1994). Neural Networks: A
Comprehensive Foundation, New Yorks:
Macmillan, Inc.
[3] Kusumadewi. Sri.(2003). NArtificial
Intelligence, Graha Ilmu.


Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 303
SOLUSI SISTEM PERSAMAAN TAK LINEAR
DENGAN METODE HOMOTOPI
DAN APLIKASINYA PADA BIDANG KEUANGAN

Betty Subartini
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Padjadjaran

bettysubartini@yahoo.com


ABSTRAK

Dalam makalah ini dibahas salah satu metode numerik untuk mencari solusi sistem persamaan tak linear yaitu
Metode Homotopi. Metode yang akan dibahas adalah Metode Homotopi Newton dan Metode Homotopi Titik Tetap.
Solusi sistem persamaan tak linear biasanya memiliki tiga kemungkinan , mendapatkan satu akar real, banyak akar
real atau tak ada solusi. Metode Homotopi Newton menghasilkan satu akar real, sedangkan metode titik tetap
menghasilkan semua akar real dalam satu cabang lintasan homotopi, hal ini sangat diharapkan terutama ketika
jumlah akar real dari sistem persamaan tak diketahui. Berikutnya disajikan pula aplikasi dari metode tersebut dalam
bidang keuangan.

Kata Kunci: Kekontinuan, Metode Runge-Kutta, Metode Newton


I. PENDAHULUAN

Solusi sistem persamaan tak linear harus didasari
oleh solusi persamaan tak linear seperti metode
bagi dua, posisi palsu, metode Newton-Raphson
dan penyelesaian eksplisit persamaan transenden.
Dalam kehidupan sehari-hari atau berbagai
penelitian sering ditemukan model matematika
berbentuk sistem persamaan tak linear yang
kadang-kadang sulit ditemukan solusinya secara
analitik. Oleh karena itu maka dilakukan secara
numerik antara lain menggunakan metode
homotopi Newton dan homotopi titik tetap.

Tujuan penulisan metode homotopi ini adalah
untuk membantu para peneliti dalam
menyelesaikan model sistem persamaan tak
linear tersebut.

II. BAHAN DAN METODE
Dalam penyelesaian sistem persamaan tak linear
ini perlu ada pemahaman mengenai kekontinuan
fungsi, turunan parsial dan metode Runge-Kutta,
karena syarat penyelesaian dengan menggunakan
metode homotopi adalah fungsi harus kontinu,
dapat diturunkan serta berikutnya akan ditemukan
bentuk persamaan differensial biasa yang akan
diselesaikan menggunakan salah satu metode
penyelesaian masalah nilai awal persamaan
differensial biasa yaitu metode Runge-Kutta.
Dalam makalah ini digunakan metode Runge-
Kutta orde 4.
Metode Runge-Kutta adalah salah satu metode
standar untuk menyelesaikan sistem persamaan
diferensial biasa.

= (, )
Dengan syarat awal
(
0
) =
0

Metode Runge-Kutta dapat dibangun sampai orde
berapapun, namun yang paling terkenal adalah
metode Runge-Kutta orde 4, Metode ini lebih
akurat dan stabil jika dibandingkan dengan
metode Euler atau metode yang lainnya.
Programnya juga tidak sulit. Banyak penulis
menyatakan tidak perlu menggunakan orde yang
lebih tinggi dari 4 karena hal tersebut akan
menambah perhitungan. Oleh karena itu, jika
memerlukan ketelitian yang lebih tinggi,
sebaiknya gunakan ukuran langkah (h) yang lebih
kecil.
Mulai dengan titik awal (
0
,
0
) kemudian
bangkitkan barisan dengan menggunakan
pendekatan

+1
=

+

6
(
1
+ 2
2
+ 2
1
+
4
),
dengan

1
= (

),

2
=

+

2
,

+

2

3
=

+

2
,

+

2

4
= (

+ ,

+
3
)


III. HASIL DAN DISKUSI

Sistem persamaan tak linear yang dibahas dalam
makalah ini adalah sistem persamaan dengan
persamaan dan variabel , ditulis :
() = 0 (3.1)
dengan :

fungsi kontinu dapat


diturunkan dan

adalah variabel. Sebuah


Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 304
vektor

yang memenuhi sistem persamaan (3.1)


disebut penyelesaian dari sistem. Secara Umum,
sistem (3.1) dapat memiliki satu atau takhingga
banyak penyelesaian, mungkin juga tidak
memiliki penyelesaian. Dua metode untuk
menyelesaikan sistem persamaan(3.1) adalah
3.1 Metode Homotopi Newton
Bentuk umum metode Homotopi Newton adalah
(, ) = () (1 )() = 0,
[0,1] (3.2)
dengan () merupakan sistem persamaan tak
linear yang akan diselesaikan. adalah parameter
homotopi skalar pada interval [0,1], dan (0)
adalah titik awal yang digunakan dalam mencari
penyelesaian sistem persamaan tak linear.
Didefinisikan :
: [0,1]


Perhatikan persamaan (, ) yang merupakan
pemetaan dari
+1
ke

, juga merupakan
kurva di
+1
dengan parameter t. Jika kita pilih
nilai = 0, maka persamaan (3.2) menjadi
() = (). Jika kita pilih = 1, kedua
persamaan (3.2) menjadi
(1, ) = () = 0
dan = (1) adalah solusinya.
Untuk menemukan lintasan () sebagai solusi
dari , () = 0, maka digunakan aturan
rantai untuk membentuk sistem persamaan
differensial biasa yang disebut persamaan
Davidenko
0 =

. 1 +
x
. x

(t)
Sehingga diperoleh
x

(t) =
x
1
.


dengan
x

=

(, ()) =

1
(())

1

(())

1
(())

(())


= (())

(()) disebut matriks jacobian
dan

= ()
((0)) =
(, ())


sistem persamaan diferensial menjadi

() = ()
1
. (0), 0 1

Selanjutnya, untuk mencari () digunakan
metode Runge-Kutta orde 4.

Pertama kita asumsikan bahwa ()adalah solusi
unik dari persamaan
(, ) = 0, [0,1]
Himpunan {()0 1} dapat dipandang
sebagai kurva di

dari (0) sampai (1) =


dengan parameter . Jika

= 0 <
1
< <

= 1 dengan Metode Homotopi, maka


ditemukan barisan {(

)}
=0

,
Teorema : Misalkan () kontinu dan dapat
diturunkan untuk

.diberikan matriks
jacobian () nonsingular untuk semua


dan konstanta, ada suatu konstanta dengan
()
1
, untuk semua

. Maka,
untuk sebarang (0) di

, terdapat fungsi ()
tunggal, sedemikian sehingga
, () = 0
Untuk semua di [0,1]. Bagaimanapun juga ()
kontinu, dapat diturunkan dan

() = ()
1
. (0), [0,1]
Algoritma Metode Homotopi
Untuk mencari nilai pendekatan dari sistem
persamaan tak linear () = 0, dengan nilai
pendekatan awal .

INPUT Bilangan n dari persamaan yang tidak
diketahui; bilangan bulat > 0; nilai awal
=
1
,
2,

3
, ,


OUTPUT Solusi Pendekatan
=
1
,
2,

3
, ,


Step 1 Set =
1

;
= ()
Step 2 For i = 1,2,...,N kerjakan langkah 3-7
Step 3 Set = ();
Selesaikan sistem persamaan linear

1
= untuk
1

Step 4 Set = +
1
2

1
;
Selesaikan sistem persamaan linear

2
= untuk
2

Step 5 Set = ( +
1
2

2
);
Selesaikan sistem persamaan linear

3
= untuk
3

Step 6 Set = ( +
1
2

3
);
Selesaikan sistem persamaan linear

4
= untuk
4

Step 7 Set
= + (
1
+ 2
2
+2
3
+
4
)/6
Step 8 OUTPUT
1
,
2,,

;
STOP

3.2 Metode Homotopi Titik Tetap Global

Metode Homotopi titik tetap memiliki pendekatan
yang berbeda dengan Metode Newton.
Pendekatan pada Metode Homotopi ini
memaparkan bagaimana memperoleh lintasan
penyelesaian ketika nilai tidak selalu bertambah,
tetapi berkurang atau bahkan keluar dari interval
[0,1], seperti ditunjukkan pada gambar (3.1).

Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 305
Bentuk umum Metode Homotopi Titik Tetap
ditulis
(, ) = (1 ) (0) + () = 0,
(3.3)
Jika = 0, maka persamaan (3.3) menjadi
= (0). Dan jika kita pilih = 1, kedua
persamaan (3.3) menjadi
(1, ) = () = 0
dan = (1) adalah solusinya.


(

, )





0

1

Gambar 3.1

Dimulai dengan menjadikan dan sebagai
fungsi dari peubah bebas , yang
merepresentasikan panjang busur dari lintasan.
Jadi, ((), ()) adalah titik pada lintasan yang
dicapai setelah berjalan sejauh sepanjang
lintasan dari awal (0, ).
Karena kita mempunyai
(), () = ()() +
1 ()(() ) =0, (3.4)
untuk setiap 0, maka turunan totalnya
terhadap .

(), ()
() +

(), () () = 0 (3.5)
Dengan (
(), ()) =

.
Vektor (
(), ()) adalah vektor singgung
lintasan penyelesaian pada suatu nilai , seperti
pada Gambar 3.1. Dari persamaan (3.3) dapat
dilihat bahwa vektor ini berada dalam kernel dari
matriks yang berukuran x( + 1):

((), ())


((), ()) (3.6)

Jika matriks ini memiliki rank penuh, maka
kernelnya berdimensi 1. Artinya, vektor-vektor
singgung sebagai solusi sistem persamaan (3.5)
hanya dibangun oleh satu vektor saja. Hal ini
sesuai dengan karakteristik vektor singgung pada
kurva di suatu titik, yaitu vektor-vektor yang
arahnya sama atau kebalikannya, dengan panjang
bervariasi. Oleh karena itu, vektor singgung ini
akan terdefinisi dengan baik jika matriks di atas
mempunyai rank penuh

Dalam melintasi lintasan penyelesaian, arah
vektor singgung harus diatur sedemikian sehingga
lintasan penyelesaian diperoleh secara utuh pada
selang yang diberikan.

Pemilihan ini dimaksudkan agar vektor singgung
yang diperoleh memiliki arah sedemikian
sehingga kita selalu bergerak maju pada lintasan
penyelesaian. Adapun kriteria pemilihan ini
adalah memberikan tanda positif atau negatif pada
vektor singgung hasil perhitungan, agar sudut
antara vektor singgung ini pada suatu dengan
vektor singgung sebelumnya pada interval 0,

2
.

Karena dan merupakan fungsi yang dapat
diturunkan terhadap , maka vektor singgung ini
merupakan vektor satuan, hal ini berdasarkan
suatu teorema yang menyatakan bahwa panjang
vektor singgung pada suatu kurva dengan panjang
kurva sebagai parameter adalah satu, secara
matematis dapat ditulis

2
+


2
+


2
+ +


2
=1 (3.7)
atau
|

()|
2
+ | ()|
2
= 1 untuk setiap ,
Dengan panjang kurva di titik [0, ] sampai
((), ()). Jadi, dalam proses perhitungan
vektor singgung, selain dilakukan pemberian
tanda sesuai kriteria di atas, juga dilakukan
normalisasi agar panjang vektor ini satu.
Sistem persamaan (3.4) dapat ditulis sebagai

((), ())

((), ()) = 0 (3.8)


Dengan vektor singgung = (
(), ())

+1
. Sistem persamaan (3.8) merupakan sistem
persamaan linear, karena matriks persamaan (3.6)
merupakan matriks skalar jika dievaluasi di suatu
titik dan ruas kanan sistem ini adalah vektor nol.
Sistem persamaan (3.8) diselesaikan dengan
vaktorisasi , karena faktorisasi lebih stabil,
tidak membutuhkan pivoting, karena dalam
prosesnya tidak menimbulkan pertumbuhan
koefisien. Artinya, panjang Euclid dari setiap
matriks

, yaitu matriks yang dibangun pada


langkah ke- pada faktorisasi untuk matriks
, akan sama dengan panjang Euclid matriks itu
sendiri.
Didalam faktorisasi , jika matriks berukuran
x( + 1) difaktorkan, maka diperoleh bentuk
matriks = ( ), dengan matriks
ortogonal dan matriks segitiga atas, masing-
masing berukuran x dan vektor

. Jadi,
sistem persamaaan (3.8) jika diselesaikan dengan
faktorisasi , maka dapat ditulis sebagai
( ) = 0. Karena matriks ortogonal,
diperoleh
( ) = 0 (3.9)
Dengan asumsi matriks segitiga atas memiliki
invers dan karena
( )

1
= (
1
) = 0
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 306
Maka

1
memenuhi persamaan (3.9). Jadi
penyelesaian (3.8) adalah vektor singgung
=

1

Karena vektor singgung yang kita cari adalah
vektor satuan, maka kita tuliskan
(
(), ()) sebagai

2

Dengan pemilihan tanda seperti kriteria yang telah
disebutkan di atas.

Selanjutnya untuk mencari solusi yang
bersesuaian dengan = 1, dilakukan dengan
Metode Prediksi-koreksi, uraiannya sebagai
berikut :

Pertama, ambil sembarang nilai awal (0, )
kemudian hitung vektor singgung (
(), ())
seperti diatas. Ambil satu langkah kecil sebesar ,
sepanjang arah vektor singgung ini untuk
mendapatkan sebuah titik prediksi (

), yaitu
(

) = (, ) + (

, ). (3.10)
Biasanya titik prediksi ini tidak terletak pada
lintasan penyelesaian. Oleh karena itu, dibutuhkan
iterasi koreksi untuk membawa titik tersebut
kembali pada lintasan penyelesaian. Hasil ini
dituliskan sebagai (

) dengan syarat
(

) = 0. Proses ini dapat dilihat pada


Gambar 3.2 berikut




(

)

(, ) (

)



Gambar 3.2. Prosedur Prediksi-koreksi dengan
sebagai komponen tetap.
Selama proses koreksi, kita pilih sebuah
komponen tetap sebagai titik prediksi yaitu
sebuah komponen yang perubahannya paling
cepat pada langkah terakhir dan kita
menjadikannya tetap selama proses koreksi
berlangsung. Jika indeks dari komponen ini , dan
jika kita menggunakan proses koreksi Newton,
maka langkah berikutnya seperti pada metode
Newton.
Karena fungsi dari
+1
ke

, maka dapat
ditulis sebagai
() =

1
()

()

dengan = (, ) = (,
1
,
2
, ,

. Deret
Taylor untuk

() di =
0
adalah

() = (
0
)

(
0
) +

(
0
)
+
1

1
0

1

+
2

2
0

2
(
0
) +
+

(
0
)
+
untuk = 1,2, ,
Dengan mengabaikan orde kedua deret Taylor di
atas dan memisalkan sebagai akar dari , maka
diperoleh

2


1

0

Semua fungsi
1
sampai

dan turunan
parsialnya dievaluasi di
0
.
Penulisan sistem diatas dapat disederhanakan
menjadi
=


Berkaitan dengan komponen tetap, maka sistem
menjadi

0
(3.11)

dengan

dan dievaluasi di titik prediksi


terakhir. Pada baris terakhir di dalam sistem
persamaan(3.11), ditentukan mana dari komponen
(, ) yang bernilai nol.
Vektor


+1
adalah vektor dengan panjang
( + 1) dan semua komponennya nol, kecuali
pada komponen ke- bernilai 1. Pada Gambar 3.2,
komponen berperan sebagai komponen tetap
pada iterasi yang bersangkutan. Pada iterasi
selanjutnya, mungkin saja kita memilih salah satu
pada komponen dari sebagai komponen tetap,
sebagaimana ketika kita menemukan titik pada .
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 307
Pendekatan diatas dapat menghasilkan lintasan
penyelesaian seperti pada Gambar 3.1 dalam
penyelesaian sistem persamaan tak linear. Dengan
jaminan matriks (3,6) mempunyai rank penuh
untuk semua titik (, ) sepanjang lintasan, maka
vektor singgung akan terdefinisi dengan baik. Hal
ini didukung oleh teorema berikut, yang
menunjukkan bahwa rank penuh dapat menjamin
eksistensi lintasan penyelesaian.
Teorema (Watson dalam nocedal)
Misalkan dapat diturunkan secara kontinu dua
kali. Maka untuk hampir semua vektor

,
ada lintasan penyelesaian dari (0, ) selama
matriks(3.6) yang berukuran x( + 1)
mempunyai rank penuh. Jika lintasan ini terbatas
untuk [0,1], maka ia memiliki titik akumulasi
(1,

) sedemikian sehingga (

) = 0. Lebih
jauh lagi, jika matriks Jacobi, (

), tak singular,
lintasan penyelesaian antara (0, ) dan (1,

)
mempunyai panjang terbatas.
Teorema diatas meyakinkan kita bahwa jika
pemilihan titik awal tepat, maka dengan
pendekatan diatas akan diperoleh lintasan yang
konvergen yang menuju ke penyelesaian tak
linear.

Algoritma Metode Homotopy titik tetap

1. Ambil sebarang titik awal sebagai titik
corrector pertama. Didalam program, titik
ini ditulis : {}
2. Evaluasi matriks di {} sehingga
diperoleh matriks {}.
3. Lakukan faktorisasi pada matriks {}
sehingga diperoleh bentuk {} =
( )
4. Tulis =

1

5. Tuliskan vektor singgung, sebagai
normalisasi vektor . Jadi {} =

2
.
Untuk {1} kita pilih tanda negatif agar
lintasan bergerak ke kanan pada permulaan
iterasi. Untuk 2, tanda dipilih
berdasarkan kriteria yang telah dijelaskan
sebelumnya.
6. Hitung titik Prediksi, yaitu :
- Pilih sigma,
- Definisikan {} = {} + {}
7. Pilih komponen tetap :
- Tuliskan {} = {}
- Cari maksimum dari nilai absolut
komponen vektor {}, sebut sebagai
maks
8. Tuliskan matriks berukuran ( + 1)
( +1) pada persamaan (3.13) sebagai
{}, jika maksimum adalah komponen ke-
dari vektor {}, maka tulisan {} sebagai
{} =
{}


Dengan matriks {} adalah matriks
dievaluasi di {}.
9. Hitung titik koreksi untuk iterasi ke-( + 1)
, yaitu :
- Hitung vektor {}, yaitu vektor diruas
kanan persamaan (3.13) yang
dievaluasi di {}
- Cari penyelesaian persamaan (3.13),
sebut sebagai {}
- Hitung titik koreksi untuk iterasi ke-
( + 1) sebagai prediksi ke- ditambah
{}.
Algoritma di atas berlaku untuk sistem persamaan
tak linear dengan 2 peubah atau lebih, sedangkan
untuk fungsi satu peubah, ada sedikit perbedaan,
yaitu tidak dilakukan faktorisasi pada saat
perhitungan vektor singgung.


IV. IMPLEMENTASI

Pada kesempatan ini penulis meninjau beberapa
kasus model sistem persamaan tak linear yang
dapat diselesaikan dengan metode homotopi
berikut:
Contoh 1:
Perhatikan sistem persamaan tak linear berikut:

1
(
1
,
2
,
3
) = 3
1
cos(
2

3
) 0,5 = 0

2
(
1
,
2
,
3
) =
1
2
81(
2
+0.1)
2
+ sin
3
+ 1,06 = 0

3
(
1
,
2
,
3
) =

2
+20
3
+
10 3
3
= 0
Diperoleh matriks jacobynya sebagai berikut:
()
=
3
3

3

2

2

3
2
1
162(
2
+ 0.1) cos
3

2

1

2
20

Misalkan nilai awal (0) = (0,0,0)

, diperoleh
((0)) =
1,5
0,25
10/3

Dan sistem persamaan diferensialnya adalah

()

()

()

=
3
3

3

2

2

3
2
1
162(
2
+0.1) cos
3

2

1

2
20

1

1,5
0,25
10/3

dengan menggunakan metode Runge-Kutta orde 4
dan h=0,25, diperoleh

1
= (0)
1
(0)
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 308
= 0,25
3 0 0
0 16,2 1
0 0 20

1,5
0,25
10/3

=
1,125
0,4442222
0,13089969

= (1,125 0,4442222 0,13089969)

2

= [(0,0525 0,0021111
0,065449847)]
1
1,5 0,25
10
3


= (0,12499997 0,00331178
0,13092324)

3
= [(0,06249999 0,00329624
0,06546162)]
1
1,5 0,25
10
3


= (0,12499998 0,00329624
1,13092034)

4
= [(0,124999998 0,00329624
0,13093469)]
1
1,5 0,25
10
3


= (0,12499998 0,00230206
0,13093469)


dan
(
1
) =
1
=
0
+
1
6
[
1
+ 2
2
+ 2
3
+
4
]
= (0,12499996 0,00329004 0,13092026)


Dan seterusnya dengan cara yang sama, diperoleh
(
2
) =
2
= (0,24999976 0,00450740 0,261855766)


(
3
) =
3
= (0,374999969 0,00343035 0,39276344)


dan
(
4
) = (1) =
4
= (0,4999999 0,126782 10
7
0,52359877)


Sedangkan solusi eksaknya
(0,5 0 0,52359877)

maka dapat
disimpulkan keakuratan metode ini dapat diakui
untuk kasus.
Contoh 2: Dalam bidang keuangan kita
mengenal adanya perhitungan nilai call opsi Asia
atau Amerika. Perhitungan nilai call Asia dengan
menggunakan persamaan Black-Scholes. Sebagai
berikut:
() = (
1
)
()
(
2
)
dengan

1
=
ln

+ ( + 0.5
2
)( )


2
=
1

dan
() =
1
2

2
2



S = Stock price
K = Strike Price
T = maturity time
= = nilai volatilitas
t = waktu awal

Jika didefinisikan
() = ()

, 0 2

Misalkan diambil nilai = 30, = 34, =
0,08, = 0, = 0,25 dan

= 0,2383, Jika
digambar dalam lintasan () =

dengan
menggunakan pemrograman Matlab, maka fungsi
tersebut memiliki satu akar seperti yang
ditunjukkan pada gambar 4.1.



Gambar 4.1 Grafik fungsi () = ()

, 0
1

Untuk soal ini, persamaan kriteria untuk memilih

0
adalah
() +
0
= 0


0
= ()
Jika menggunakan pemrograman Matlab dengan
mengambil
0
= 0,01,
0
= 0,1 maka dapat dilihat
lintasan homotopi untuk fungsi () = ()

, seperti pada Gambar 4.1. tempat titik yang


memiliki banyaknya akar real satu berada pada
0,2383, sedangkan pada
0
> 0,3285
banyaknya akar nol. Karena banyaknya akar real
yang ingin kita cari ada satu, maka banyaknya
akar real haruslah satu. Titik awal yang digunakan
yaitu pada 0,01 dan 0,1.


KESIMPULAN

Metode Homotopi ini dapat bekerja dengan baik
untuk yang satu peubah contohnya pada kasus
financial tetapi masih ada kesulitan dalam fungsi
banyak peubah karena agak sulit dalam
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 309
menentukan nilai awal. Tetapi jika sampai 3
peubah pada contoh 1, masih akurat.
Diharapkan pada penelitian selanjutnya dapat
menambahkan kriteria sehingga semua akar dapat
diperoleh dalam satu lintasan homotopi.


UCAPAN TERIMA KASIH

Saya ucapkan terima kasih kepada Ketua Jurusan
Matematika FMIPA Unpad yang telah
memberikan motivasinya sehingga
terselesaikannya makalah ini.





DAFTAR PUSTAKA

[1] Burden, Richard L.and Faires, J. Douglas.,
2005, Numerical Analysis, eight edition,
America, Thomson Brooks/Cole
[2] Mathew, J.H.and Fink, K. D., 1999,
Numerical Methods using MATLAB, third
edition, Prentice Hall.
[3] Maryana, Rina,2007, Metode Homotopi Titik
Tetap Global untuk mendapatkan semua
solusi real sistem persamaan tak Linear,
Tesis, ITB
[4] Bout, M. And Richards. D., 2005, homotopy
continuation, computational algorithm for
Astrostatistics, summer School in Statistics
for Astronomers & Phisicists,
http://astrostatistics.ps4.edu/su05/max_homot
opy 061605.pdf, diakses Agustus 2005


Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 311
IMPLEMENTASI METODE BI NOMI AL TREE
PADA MODEL BLACK-DERMAN-TOY
DALAM MENGAPROKSIMASI HARGA ZERO-COUPON BOND

Dwi Rahmayuni Hajar, Gatot F. Hertono

Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Indonesia, 16424

hajar.yuni@gmail.com, gatot-f1@ui.ac.id


ABSTRAK

Zero-coupon bond adalah salah satu jenis obligasi yang tidak memberikan pembayaran kupon. Besar kecilnya harga
zero-coupon bond dipengaruhi oleh tingkat bunga. Namun dengan sifat tingkat bunga yang berubah-rubah sepanjang
waktu sehingga sulit untuk memprediksi pergerakannya, sulit pula untuk melihat pergerakan harga zero-coupon bond.
Makalah ini akan membahas pergerakan tingkat bunga (dalam hal ini short rate) pada model Black-Derman-Toy dan
implementasinya dalam mengaproksimasi harga zero-coupon bond. Untuk mengetahui perilaku pergerakan short rate
pada model Black-Derman-Toy digunakan metode binomial tree. Short rate pada model Black-Derman-Toy yang
diaproksimasi menggunakan metode binomial tree digunakan untuk mengaproksimasi pergerakan harga zero-coupon
bond Hasil implementasi menunjukan bahwa metode binomial tree cukup baik dalam mengaproksimasi pergerakan
short rate dan harga zero-coupon bond. Data tingkat bunga yang digunakan adalah data dari Bank of England.

Keywords: binomial tree, Black-Derman-Toy, short rate, zero- coupon bond.


PENDAHULUAN

Secara tradisional, sekuritas dapat diklasifikasikan
dalam instrumen pasar uang dan pasar modal.
Pasar uang adalah pasar yang memperdagangkan
sekuritas jangka pendek (kurang dari satu tahun),
sedangkan pasar modal adalah pasar yang
memperdagangkan sekuritas jangka panjang
(lebih dari satu tahun). Salah satu sekuritas yang
diperdagangkan dalam pasar modal adalah
obligasi. Obligasi seringkali dikeluarkan oleh
perusahaan agar perusahaan mendapatkan modal
sesegera mungkin. Sedangkan investor membeli
obligasi dengan harapan mendapatkan kupon dan
nilai pari. Sekuritas ini memberikan kupon yang
tetap secara periodik.

Jenis obligasi yang tidak memberikan kupon
secara periodik disebut zero-coupon bond.
Obligasi jenis ini dijual di bawah nilai parinya
yang tertera dalam kontrak obligasi. Keuntungan
yang diperoleh seorang yang membeli zero-
coupon bond hanya berasal dari selisih antara
harga zero-coupon bond tersebut dengan nilai
parinya(face value). Selisih harga zero- coupon
bond dengan nilai parinya muncul akibat adanya
bunga. Sehingga harga zero- coupon bond
dipengaruhi oleh tingkat bunga. Namun tingkat
bunga tidak dapat diamati secara langsung atau
dengan kata lain perkembangan tingkat bunga
sulit diperkirakan. Oleh karena itu sulit pula untuk
mengetahui pergerakan harga zero-coupon bond.
Dibutuhkan suatu model matematika yang dapat
melihat perilaku pergerakan tingkat bunga pada
selang waktu tertentu. Tingkat bunga yang
berubah-ubah sepanjang waktu menyebabkan
pergerakan tingkat bunga dimodelkan sebagai
proses stokastik, yaitu dalam bentuk persamaan
differensial stokastik.

Terdapat dua pendekatan yang berbeda dalam
mengimplementasikan persamaan differensial
stokastik dalam model pergerakan tingkat bunga
yaitu pendekatan equilibrium dan no-arbitrage[3].
Model pergerakan tingkat bunga dengan kedua
pendekatan ini dapat digunakan untuk
menentukan harga obligasi dan sekuritas derivatif.
Salah satu model no-arbitrage yang cukup
popular adalah model Black-Derman-Toy. Model
ini dianggap cukup relevan dalam
menggambarkan pergerakan tingkat bunga yang
berlaku di pasar walaupun solusi analitiknya sulit
diketahui. Model ini diselesaikan dengan
menggunakan metode binomial tree. Dengan
adanya model ini diharapkan pergerakan harga
zero-coupon bond tidak lagi sulit untuk diketahui.
Makalah ini menjelaskan tentang penggunaan
metode binomial tree dalam mengaproksimasi
pergerakan short rate model Black-Derman-Toy
dan selanjutnya short rate tersebut akan
digunakan untuk mengaproksimasi pergerakan
harga zero-coupon bond menggunakan data yang
dikeluarkan oleh Bank of England pada tanggal 1
Oktober 2009. Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa metode binomial tree pada model Black-
Derman-Toy cukup baik dalam mengaproksimasi
pergerakan short rate dan harga zero-coupon
bond menggunakan data Bank of England tanggal
1 Oktober 2009.

Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 312
MODEL BLACK-DERMAN-TOY

Model Black-Derman-Toy(BDT) me-rupakan
salah satu model no-arbitrage yang
dikembangkan oleh Fischer Black, Emanuel
Derman and William Toy pada tahun 1990[4].
Model ini cukup popular dan biasa digunakan
untuk menentukan harga obligasi dan sekuritas
derivatif[6].

Persamaan differensial stokastik yang
menggambarkan pergerakan short rate pada
model BDT dapat ditulis dalam persamaan [9]

ln () = [() + () ln ()] +()(), (1)

di mana,

r(t) = short rate pada saat t.
() = merupakan reversion rate.
( ()

ln () =

()
()
)

()
()
= mean reversion level
dari perubahan short rate.
() = volatilitas yang bergantung
pada waktu t.

Model BDT dalam bentuk persamaan (1) tidak
dapat diselesaikan secara analitik, oleh karena itu
dibutuhkan sebuah metode numerik. Model BDT
pertama kali diperkenalkan dengan menggunakan
metode binomial tree.


METODE BI NOMI AL TREE

Metode binomial tree untuk pergerakan tingkat
bunga, secara geometris dapat dijelaskan sebagai
berikut yaitu pada setiap interval waktu, setiap
tingkat bunga awal r
0
bergerak menuju salah satu
dari dua nilai baru, r
u
dengan probabilitas atau
r
d
dengan probabilitas 1 dimana r
u
> r
d.
Agar
lebih efisien, digunakan kondisi rekombinasi
sehingga bentuk binomial tree dengan asumsi
probabilitas p = adalah sebagai berikut



Gambar 1 binomial tree dengan kondisi rekombinasi

Untuk merepresentasikan pergerakan short rate(r)
pada binomial tree, digunakan indeks k yang
menyatakan waktu dan indeks j yang menyatakan
state. Jadi r
k,j
adalah short rate pada waktu k dan
state j (di mana k = 0n dan j = 0k) yang
berlaku dalam jangka waktu [k,k+1] dengan
asumsi bahwa probabilitas pergerakan short rate
sebesar .Seperti pada gambar berikut




Gambar 2 Short rate binomial tree
untuk n periode


APROKSIMASI SHORT RATE

Pada subbab ini akan dijelaskan bagaimana
mengaproksimasi pergerakan short rate pada
model Black-Derman-Toy menggunakan metode
binomial tree. Aproksimasi numerik dari model
BDT persamaan (1) dengan menggunakan metode
Euler Maruyama adalah

+1
=

exp[

ln

] +

. (2)

Persamaan tersebut yang akan digunakan dalam
mengaproksimasi pergerakan short rate dan harga
zero-coupon bond mengikuti model Black-
Derman-Toy menggunakan metode binomial tree.
Pada persamaan (2), untuk pergerakan short rate
dari

adalah variable random yang bernilai 1


untuk pergerakan naik dengan probabilitas dan
bernilai -1 untuk pergerakan turun dengan
probabilitas [7] . Maka persamaan (2) dapat
ditulis sebagai berikut

+1
=

exp[

ln

] +

, (3)

+1
=

exp[

ln

. (4)

Untuk merepresentasikan pergerakan naik dan
pergerakan turun, persamaan (3) dan (4) diberi
indeks j yang menyatakan state, dimana state j+1
adalah pergerakan naik dan state j adalah
pergerakan turun.


+1, +1
=
,
exp

ln
,
+

, (5)

+1,
=
,
exp

ln
,

. (6)

Dari persamaan (5) dan (6) didapat hubungan
yang akan digunakan dalam mengaproksimasi
short rate pada tiap node yaitu,

,
=
,0
exp2

, (7)

untuk = 0, 1, 2 dan = 0, 1, 2, .
r
0
r
u
r
d
r
uu
r
ud
r
dd
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 313
(15)
Bentuk metode binomial tree pada model Black-
Derman-Toy dalam mengaproksimasi pergerakan
short rate sesuai dengan persamaan (7) dapat
ditunjukkan pada gambar sebagai berikut




Gambar 3 Short rate binomial tree Model Black-
Derman-Toy

Berdasarkan persamaan (7) dibutuhkan nilai

k

dan r
k,0
untuk mengaproksimasi short rate r
k,j
.
Untuk menaksir parameter

k
digunakan model
GARCH(1,1) yang memiliki bentuk sebagai
berikut[2].

2
= +
1
2
+
1
2
, > 0, 0, 0, (8)

di mana , , dan adalah parameter-parameter
yang dapat diestimasi menggunakan metode
taksiran maksimum likelihood. Parameter-
parameter tersebut digunakan untuk mencari
parameter
k
yaitu menggunakan persamaan[5]

+
2
=

+ ( +)

) , (9)

di mana

=

1
.

Untuk mengaproksimasi short rate pada model
Black-Derman-Toy, pertama-tama di-definisikan
dahulu P
k
sebagai harga zero-coupon bond pada t
=0 dengan nilai pari $1 yang jatuh tempo pada
waktu k. P
k
dapat dinyatakan sebagai[10]

= exp(

), (10)

dengan r
k
adalah tingkat bunga majemuk kontinu
yang dikenakan mulai saat ini hingga waktu jatuh
tempo k = 1, 2, n (continous compound spot
rate) yang diperoleh dari data. D
k,j
didefinisikan
sebagai faktor diskon pada waktu k dan state j
yang berlaku untuk periode [k, k+1] dan dapat
dinyatakan sebagai


,
= exp(
,
). (11)
Dalam mengaproksimasi short rate r
k,j
menggunakan metode binomial tree, juga di-
butuhkan penghitungan state prices atau dikenal
dengan sebutan Arrow-Debreu prices.

,
menyatakan nilai state prices pada waktu k
dan state j di mana k = 0, , n dan j = 0, , k.
State prices
,
adalah nilai kini dari suatu
sekuritas yang membayar 1 jika node (k, j)
tercapai dan 0 untuk yang lainnya. Untuk mencari
nilai dari state prices setiap node pada binomial
tree menggunakan hubungan rekursif sebagai
berikut[8]


, +1
=
1
2

1, +1
exp(
1, +1
)
+
1
2

1,
exp(
1,
), (12)

untuk k 1 dan -1 j k-1,di mana
0,0
= 1,dan

,
= 0 jika k< 0 atau j < 0 atau j > k.

Setelah mengetahui nilai dari state prices tiap
node pada binomial tree, maka kita bisa mencari
nilai dari suatu instrument keuangan dengan cara
mengalikan nilai state prices dengan nilai yang
bersesuaian pada interest rate binomial tree.
Dengan kata lain,harga zero-coupon bond yang
jatuh tempo pada waktu k+1 dapat dinyatakan
sebagai

+1
=
,

,
j
,

Sesuai dengan konsep no-arbitrage yaitu suatu
transaksi di mana dua aset yang sama dijual
dengan harga yang sama pada waktu yang
bersamaan (harga zero-coupon bond menurut
model sesuai dengan harga zero-coupon bond
yang dikeluarkan oleh pasar), maka

+1
=
+1
, (14)

Menggunakan persamaan (14), definisi faktor
diskon pada persamaan (11), dan persamaan (7) .
Maka, didapatkan persamaan sebagai berikut


,

=0
exp
,0
exp2

=
+1
,
di mana
,
menyatakan nilai state prices yang
dapat dicari menggunakan persamaan (12), P
k+1

menyatakan harga zero-coupon bond pada pasar
yang dapat dicari menggunakan persamaan (10),
dan
k
yang dapat dicari dengan menggunakan
persamaan (9). Persamaan (15) adalah formula
yang digunakan untuk mencari nilai short rate r
k,0
.
Karena persamaan (15) cukup sulit diselesaikan
secara analitik, dibutuhkan suatu metode numerik
untuk menyelesaikan persamaan non linier, dalam
hal ini digunakan metode Newton Raphson.


(13)
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 314
APROKSIMASI HARGA ZERO-COUPON
BOND

Pergerakan short rate pada model Black-Derman-
Toy yang diperoleh menggunakan metode
binomial tree akan digunakan untuk
mengaproksimasi pergerakan harga zero-coupon
bond. Karena short rate yang diaproksimasi
direpresentasikan dalam bentuk binomial tree,
pergerakan harga zero-coupon bond juga
direpresentasikan dalam bentuk binomial tree.
Berikut adalah gambar binomial tree untuk harga
zero-coupon bond



Gambar 4 Zero-coupon bond price tree

Gambar 4 adalah bentuk dari zero-coupon bond
price tree di mana tiap node adalah harga zero-
coupon bond (
,
) pada waktu k dan state j untuk
= 0, 1, 2, dan = 0, . Interpretasi dari
gambar tersebut adalah berdasarkan definisi harga
zero-coupon bond , yaitu investor akan menerima
pembayaran sebesar nilai pari obligasi pada saat
jatuh tempo(diasumsikan nilai pari sebesar $1).
Maka
,
bernilai $1 untuk = dan = 0, k.
Sedangkan
,
untuk = 0, 1, 1 dan
= 0, adalah ke-mungkinan harga zero-
coupon bond pada waktu k yang jatuh tempo
pada waktu k = n.

Untuk mengaproksimasi harga zero-coupon bond
berdasarkan tingkat bunga short rate pada model
Black-Derman-Toy dengan asumsi probabilitas
percabangan pada binomial tree adalah p =
,digunakan formula sebagai berikut secara
backward[10]

,
=
1
2
exp(
,
)
+1, +1
+
+1,
, (16)

di mana
,
= 1, untuk = dan = 0, .


IMPLEMENTASI

Sebagai contoh implementasi metode binomial
tree pada model Black-Derman-Toy digunakan
data historis tingkat bunga Bank of England yaitu
data spot curve dan data spot rate harian. Data
tersebut diperoleh dari website dengan
alamat www.bankofengland.com. . Data spot rate
harian merupakan data spot rate yang dikeluarkan
setiap hari dan berlaku untuk satu masa jatuh
tempo zero- coupon bond. Data ini digunakan
untuk menaksir parameter pada model Black-
Derman-Toy. Data spot curve merupakan data
spot rate yang berlaku pada suatu hari untuk
berbagai masa jatuh tempo zero- coupon bond
(dinyatakan dalam bulan). Data spot curve
digunakan sebagai input dalam persamaan yang
digunakan untuk mengaproksimasi short rate.
Data yang diambil adalah data spot rate harian
yaitu 1 tahun hingga tanggal 1 Oktober 2009
yang jatuh tempo 1 bulan hingga 60 bulan, dan
data spot curve dengan berbagai masa jatuh
tempo, mulai dari 1 bulan hingga 60 bulan
tertanggal 1 Oktober 2009. Perhitungan taksiran
parameter dilakukan dengan menggunakan
GARCH Toolbox yang terdapat dalam software
Matlab versi 7.1.0.246 (R14) Service Pack 3.
Nilai yang didapatkan ditampilkan dalam
bentuk grafik di bawah ini



Gambar 5 Hasil taksiran parameter

Hasil aproksimasi short rate dan data
sebenarnya(data forward rate periode tunggal)
ditampilkan dalam bentuk grafik sebagai berikut


Gambar 6 Hasil Implementasi metode binomial tree
pada model Black-Derman-Toy dalam
mengaproksimasi pergerakan short rate.

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 315
Dari gambar 6, terlihat bahwa semakin lama
lintasan rata-rata aproksimasi pergerakan short
rate semakin menjauhi lintasan data forward rate
periode tunggal. Forward rate periode tunggal
dicari dengan menggunakan persamaan berikut

(
1
,
2
) =

1
, (17)

Alasan mengapa aproksimasi short rate di-
bandingkan dengan forward rate periode tunggal
dikarenakan pengertian dari short rate sendiri
yang menyatakan bahwa short rate merupakan
forward rate periode tunggal [1] dan tidak
terdapat data short rate pada pasar.

Error maksimum yang diperoleh adalah sebesar
0.024498. Error ini diperoleh dengan mencari
relative error terbesar antara data forward rate
dengan rata-rata aproksimasi short rate pada tiap
periode. Relative error yang didapatkan, dicari
dengan menggunakan persamaan berikut

Relative error =
|

|
||
, 0, (18)

di mana p adalah nilai sebenarnya dan p* adalah
nilai aproksimasi.

Aproksimasi pergerakan harga zero-coupon bond
menggunakan metode binomial tree ini
menggunakan persamaan (16). Hasil
implementasi metode binomial tree dalam
mengaproksimasi harga zero-coupon bond untuk
waktu jatuh tempo 5 tahun dengan nilai pari
sebesar $1 ini dapat dilihat pada grafik sebagai
berikut


Gambar 7 Hasil Implementasi metode binomial tree
pada model Black-Derman-Toy dalam
mengaproksimasi pergerakan harga zero-coupon bond

Dari gambar 7 terlihat bahwa hasil aproksimasi
harga zero-coupon bond yang jatuh tempo 5
tahun mulai tanggal 1 Oktober 2009 cukup baik,
terlihat dari lintasan rata-rata aproksimasi harga
zero-coupon bond yang berhimpit dengan lintasan
harga zero-coupon bond sebenarnya, dengan kata
lain tidak terdapat perbedaan yang cukup
signifikan. Error maksimum yang diperoleh dari
aproksimasi harga zero-coupon bond sebesar
0.005648.


KESIMPULAN

Berdasarkan hasil implementasi, metode binomial
tree cukup baik dalam mengaproksimasi
pergerakan short rate pada model Black-Derman-
Toy dan harga zero-coupon bond menggunakan
data historis tingkat bunga yang dikeluarkan oleh
Bank of England pada tanggal 1 Oktober 2009.
Hal ini terlihat dari kecilnya relative error antara
nilai rata-rata aproksimasi pergerakan short rate
dengan data sebenarnya dan nilai rata-rata
aproksimasi pergerakan harga zero-coupon bond
dengan harga zero-coupon bond sebenarnya.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Bodie-Kane-Marcus.2001. Invesments, 5
th

Edition. The Mcgraw-Hill Companies
[2] Bollerslev.1986.GeneralizedAutoregressive
Conditional Heteroskedasticity. Journal of
Econometrics 31, 307-327.
[3] Buetow, Gerald W. 2001. Impact of
Different Interest Rate Models on Bond
Value Measures. The Journal of Fixed
Income.
[4] Derman, E.Black, F. Toy,W. 1990.A One-
Factor Model of Interest Rates and Its
Application to Treasury Bond Options.
Financial Analysis Journal 46, 33-39.
[5] Hull, John C. 2002. Options, futures, and
other derivatives, 6
th
Edition. Prentice-Hall.
[6] Klose, C. Li C. Y. 2003. Implementation of
Black Derman and Toy Model. Seminar
Financial Engineering, University of Vienna.
[7] Lyuu, Yuh-Dauh. 2004. Financial
Engineering and Computation :Principles,
Mathematics, Algorithms. Cambridge
University Press.
[8] Senturk, Huseyin. 2008. An Empirical
Comparison of Interest Rate Modelfor
Pricing Zero Coupon Bond Options. Master
Thesis, The Middle East Technical
University.
[9] Sochacki, J. 2001. Term Structure Models
Using Binomial Tree. The Research
Foundation of AIMR.
[10] Svoboda, Simona. 2004. Interest Rate
Modelling. Palgrave Macmillan




Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 317
QROCK, ALGORITMA KLASTERING UNTUK DATA KATEGORI

Dyah Paminta Rahayu
Jurusan Matematika-FMIPA, Universitas Terbuka

dyahp@mail.ut.ac.id


ABSTRAK

Klastering merupakan suatu teknik data mining untuk mengelompokkan dataset ke dalam beberapa klaster hanya
berdasarkan kemiripan karakteristik dari atribut yang dimiliki oleh data objek. Pada umumnya algoritma klastering
menggunakan distance sebagai ukuran kemiripan untuk mengelompokkan data objek sedemikian sehingga data objek
yang berada di dalam klaster yang sama memiliki kemiripan satu sama lain tetapi tidak mirip dengan data objek yang
berada dalam klaster yang berbeda. Algoritma klastering yang menggunakan distance sebagai ukuran kemiripan,
tidak tepat jika diterapkan terhadap dataset dengan tipe kategori. Pada makalah ini dibahas algoritma QROCK,
algoritma klastering untuk data kategori yang menerapkan rumus Weighted similarity untuk menghitung ukuran
kemiripan antar data objek dan metode MFSET untuk membentuk klaster. Input dari algoritma QROCK adalah
dataset dan threshold. Proses dimulai dengan menghitung ukuran kemiripan antar data objek. Berdasarkan matrik
kemiripan dan threshold yang diberikan, teridentifikasi tetangga dari setiap data objek. Selanjutnya secara bertahap
dibentuklah klaster-klaster yang berisi data objek yang saling bertetangga. Kualitas hasil klastering setiap threshold
diukur dengan cara menjumlahkan nilai kohesi dari tiap-tiap klaster yang terbentuk. Semakin tinggi total nilai
kohesi, semakin baik klaster yang dihasilkan. Untuk melihat karakteristik klaster yang dihasilkan oleh algoritma
QROCK, dilakukan percobaan dengan sebelas variasi nilai threshold dari 0.90 s/d 1.0. Dataset input berjumlah 4132
record dengan enam atribut kategori. Hasil klastering terbaik diperoleh pada threshold 0,98 yang menghasilkan 44
klaster dengan nilai kohesi 2044. Karakteristik klaster yang dihasilkan dipengaruhi oleh empat atribut yang memiliki
status dengan jumlah sedikit.

Kata kunci : klastering, data kategori, algoritma QROCK.


PENDAHULUAN

Klastering sangat berguna untuk menemukan pola
dari suatu dataset. Dalam kehidupan sehari-hari,
sesungguhnya kita sudah terbiasa dengan proses
klastering. Ketika kita mengelompokkan
setumpuk baju berdasarkan ukuran atau
warnanya, maka kita telah melakukan klastering
terhadap baju tersebut. Klastering telah dipelajari
dalam berbagai bidang : psikologi, biologi,
statistik, pengenalan pola, machine learning, dan
sebagainya. Saat ini, klastering merupakan salah
satu bidang utama yang dikembangkan dalam
data mining.

Masalah dalam data mining semakin lama
semakin berkembang sejalan dengan
perkembangan teknologi komputasi. Adanya
segudang data yang dimiliki oleh bank,
perusahaan retail, telekomunikasi, sebenarnya
menyimpan berbagai informasi tentang
karakteristik pelanggan. Perusahaan dapat
memanfaatkan informasi tersebut, sebagai contoh:
untuk memasarkan produk baru. Teknik klastering
dalam data mining dapat membantu untuk
menemukan pola atau karakteristik data yang
belum pernah diketahui sebelumnya, dalam data
berukuran sangat besar. Secara umum terdapat
dua pendekatan klastering : partitioning dan
hierarchical clustering. Partitioning clustering
mengelompokkan data objek ke dalam klaster
yang terpisah, sedangkan Hierarchical clustering
memungkinkan suatu klaster memiliki sub-
klaster.

Sampai saat ini, algoritma klastering telah banyak
dikembangkan. Pada umumnya algoritma
klastering menggunakan distance sebagai dasar
untuk menggabung atau memisahkan data objek .
Namun demikian, distance hanya dapat digunakan
terhadap dataset dengan tipe numerik, tetapi tidak
dapat digunakan terhadap dataset dengan tipe
kategori. Sebagai contoh, jika terdapat data
dengan tipe numerik, maka algoritma klastering
akan mengelompokkan data berdasarkan jarak
antar objek sedemikian sehingga jarak antar objek
dalam satu klaster minimal, sedangkan jarak antar
klaster maksimal (Gambar 1). Bagaimana jika
terdapat sekumpulan bola dengan 3 macam
warna: merah, kuning, dan biru? Algoritma
klastering akan mengelompokkan bola
berdasarkan kemiripan warnanya (bukan
jaraknya), sehingga bola dalam satu kelompok
memiliki kesamaan warna sehingga berbeda
dengan warna bola dari kelompok lain (Gambar
2).

Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 318


Gambar 1. Ilustrasi klastering data numerik



Gambar 2. Ilustrasi klastering data kategori


Makalah ini membahas tentang klastering pada
dataset kategori dengan menerapkan algoritma
QROCK (Quick version of ROCK), dan
menganalisis karakteristik klaster yang
dihasilkannya.


KLASTERING

Menurut definisi, klastering adalah suatu teknik
data mining untuk mengelompokkan dataset ke
dalam beberapa grup/klaster hanya berdasarkan
kemiripan karakteristik dari atribut yang dimiliki
oleh data objek sedemikian sehingga data objek
yang berada di dalam klaster yang sama memiliki
kemiripan satu sama lain tetapi mereka tidak
mirip dengan data objek yang berada dalam
klaster yang berbeda (Han & Kamber 2001).
Semakin besar tingkat kemiripan antar objek di
dalam klaster dan semakin besar tingkat
perbedaan antar klaster, semakin baik klastering
yang dihasilkan.

Salah satu pendekatan yang digunakan oleh
algoritma klastering untuk mengelompokkan data
objek adalah agglomerative hierarchical
clustering. Secara umum, proses agglomerative
hierarchical clustering dimulai dengan setiap
objek berfungsi sebagai klaster, kemudian secara
bertahap menggabungkan setiap pasang klaster
terdekat berdasarkan ukuran kedekatannya/
kemiripannya, sampai akhirnya semua klaster
tergabung dalam satu klaster.

Pada dasarnya komponen utama dari klastering
adalah dataset input, proximity measure dan
metode penggabungan yang digunakan.
Tipe Data
Dataset sebagai data input merupakan komponen
dasar dalam proses data mining. Setiap dataset
terdiri dari kumpulan data objek/data observasi.
Karakteristik dari data objek digambarkan dengan
beberapa atribut, dimana setiap atribut memiliki
nilai dengan tipe yang berbeda-beda. Tipe dari
atribut tersebut menentukan teknik yang akan
digunakan untuk menganalisis dataset. Pada
umumnya dataset dinyatakan dalam matrik data
nxp (n objek dan p atribut).

Secara umum terdapat dua tipe data, yaitu
numerik dan kategori. Data numerik adalah suatu
data dimana atribut yang dimilikinya bertipe
numerik. Atribut dengan tipe numerik memiliki
dua ciri penting, yaitu bisa diurutkan (2<4, 5<8),
dan memiliki hubungan jarak (d(3,4) = 5).
Contoh atribut dengan tipe numerik adalah Umur,
Tinggi Badan, dan Berat Badan. Data kategori
adalah suatu data dimana atribut yang dimilikinya
bertipe kategori. Ciri dari atribut dengan tipe
kategori adalah : tidak bisa diurutkan dan tidak
memiliki hubungan jarak. Hubungan yang ada
hanyalah sama atau tidak sama (biru=biru, merah
kuning). Contoh atribut dengan tipe kategori
adalah Jenis Kelamin dan Warna Kulit. Secara
prinsip, data kategori dapat dikonversi ke dalam
bilangan numerik, dimana satu bilangan numerik
mewakili satu nilai kategori. Atribut kategori
yang demikian disebut dengan dummy variable

Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 319
(Kandardzic 2003). Sebagai contoh, jika atribut
Warna Kulit memiliki tiga nilai yaitu putih,
coklat, dan hitam, maka ketiga warna tersebut
dapat dikonversi kedalam tiga kode numerik,
misalnya putih=01 , coklat=02, dan
hitam=03.
Proximity Measure
Proximity measure merupakan hal yang sangat
mendasar dalam klastering. Algoritma klastering
menggunakan Proximity measure untuk
menggabung atau memisahkan data objek dari
suatu dataset. Proximity measure dapat berarti
ukuran ketidakmiripan atau ukuran kemiripan,

Ketidakmiripan sering kali disebut dengan
distance/jarak, digunakan untuk mencari jarak
antara pasangan objek di dalam dataset. Jarak
antara pasangan objek x dan y dinyatakan dengan
d(x,y). d(x,y) akan bernilai besar jika x dan y
merupakan pasangan objek yang tidak mirip,
sebaliknya d(x,y) akan bernilai kecil jika x dan y
merupakan pasangan objek yang mirip. Untuk
setiap objek x dan y berlaku kondisi berikut (Han
& Kamber 2001) :
1. d(x,y) 0, jarak merupakan bilangan non-
negatif.
2. d(x,x) = 0, jarak suatu objek dengan dirinya
sendiri = 0.
3. d(x,y) = d(y,x), jarak bersifat simetri.
4. d(x,y) d(x,h) + d(h,y).
Pada umumnya algoritma klastering
menggunakan ukuran jarak untuk menggabung
atau memisahkan data objek dari suatu dataset.
Salah satu konsep jarak yang biasa digunakan
adalah Euclidean Distance. Jarak antara objek x
dan y dihitung menggunakan rumus berikut :
2
i i ) - ( (
d
1 i

=
= y x y x d ) , ( , dimana
x = (x
1
,x
2
, . . . ,x
d
) dan
y = (y
1
,y
2
, . . . , y
d
) adalah dua data objek dengan
d-atribut
Rumus ukuran jarak tersebut bekerja baik jika
digunakan untuk mencari proximity measure data
numerik tetapi sangat tidak tepat jika digunakan
untuk mencari proximity measure data kategori.
Untuk data kategori, proximity measure dihitung
berdasarkan ukuran kemiripan. Ukuran kemiripan
antar pasangan objek x dan y dinyatakan dengan
sim(x,y). sim(x,y) akan bernilai besar jika x dan y
merupakan pasangan objek yang mirip,
sebaliknya sim(x,y) akan bernilai kecil jika x dan y
merupakan pasangan objek yang tidak mirip.
Untuk setiap pasangan objek x dan y, berlaku 3
kondisi berikut (Kandardzic 2003):
1. 0 sim(x,y) 1, kemiripan bernilai antara
0 dan 1.
2. sim(x,x) = 1, setiap objek mirip dengan
dirinya sendiri.
3. sim(x,y) = sim(y,x), kemiripan bersifat
simetri.

Biasanya ukuran kemiripan dihitung berdasarkan
rumus Jaccard coefficient Similarity. Jaccard
coefficient pada mulanya digunakan sebagai dasar
untuk menghitung kemiripan pada data transaksi
market-basket. Data transaksi market-basket
dinyatakan dalam matrik data mxn ( m transaksi
dan n atribut ), dimana setiap atribut
merepresentasikan item yang dijual. Semua
atribut bertipe boolean, dengan kata lain suatu
atribut akan bernilai 1 jika terjadi transaksi pada
item yang bersesuaian, dan bernilai 0 jika tidak
terdapat transaksi pada item yang bersesuaian.
Jika terdapat dua transaksi x dan y, maka ukuran
kemiripan antara x dan y dihitung berdasarkan
rumus Jaccard coefficient berikut :
sim(x,y) =
| |
| |
y x
y x

(1)

|x y| menyatakan banyaknya item yang sama
pada transaksi x dan transaksi y, sedangkan |x
y| menyatakan banyaknya gabungan item pada
transaksi x dan transaksi y. Data kategori
merupakan generalisasi dari data transaksi,
dimana setiap atribut memiliki beberapa
kemungkinan nilai, tidak hanya 1 dan 0. Data
kategori dapat dikonversi kedalam data transaksi
market-basket dengan menganggap pasangan nilai
atribut sebagai suatu item: bernilai 1 jika
pasangan atribut bernilai sama, dan bernilai 0 jika
pasangan atribut bernilai tidak sama.

Dalam menghitung ukuran similarity, rumus
Jaccard coefficient Similarity tidak
memperhitungkan banyaknya nilai/status yang
dimiliki oleh masing-masing atribut, dan
menganggap bahwa setiap atribut memiliki bobot
yang sama. Weighted similarity merupakan rumus
yang memasukkan faktor bobot untuk menghitung
ukuran kemiripan. Bobot yang dimaksud
tergantung dari banyaknya domain yang dimiliki
masing-masing atribut. Dua objek yang berbeda
pada atribut dengan 2 status nilai seharusnya
memiliki kemiripan yang berbeda dengan dua
objek yang berbeda pada atribut dengan 39 status
nilai. Hal tersebut bisa dipahami karena
kemungkinan bahwa dua objek memiliki nilai
tidak sama akan berbeda untuk setiap atribut
(Dutta et al. 2005). Didefinisikan rumus weighted
similarity berikut :
sim(x,y) =

y x k
k D
y x
y x
1
2 | |
| |
(2)


|x y| menyatakan banyaknya irisan nilai atribut
antara x dan y, D
k
menyatakan banyaknya status
pada atribut k.
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 320
Metode Penggabungan
Metode penggabungan adalah suatu ukuran
kuantitatif yang digunakan oleh algoritma
klastering hierarchical agglomerative untuk
menggabungkan dua klaster C
x
dan C
y
yang
dianggap mirip/dekat berdasarkan ukuran
kemiripan/jarak kedua klaster.

ALGORITMA QROCK (QUI CK VERSI ON
OF ROCK)
Algoritma QROCK diperkenalkan oleh Dutta et al
pada tahun 2005, merupakan percepatan dari
algoritma ROCK yang dikembangkan oleh Guha
et al pada tahun 1999. Algoritma ROCK
menggunakan rumus Jaccard coefficient
Similarity untuk menghitung ukuran similarity
antar objek, sedangkan QROCK menggunakan
rumus weighted similarity. QROCK sangat
efisien untuk membentuk klaster sebagaimana
klaster yang dibentuk oleh algoritma ROCK
ketika tidak lagi ada link antar klaster. Algoritma
QROCK tidak menentukan jumlah klaster yang
akan terbentuk dan tidak perlu menghitung link
antar objek sebagaimana algoritma ROCK.
Setelah menghitung matrik tetangga, setiap objek
dalam matrik tetangga tersebut dihubungkan
untuk membentuk klaster-klasternya. Parameter
yang digunakan dalam algoritma QROCK
adalah:
Tetangga
Diberikan suatu threshold bernilai antara 1 dan
0. Dua objek x dan y dikatakan tetangga jika
ukuran kemiripan, sim(x,y) . Threshold
merupakan parameter yang ditentukan oleh
pengguna yang dapat digunakan untuk
mengontrol seberapa dekat hubungan x dan y
sehingga kedua objek tersebut bisa dikatakan
sebagai tetangga. Semakin besar threshold,
semakin mirip pasangan yang bertetangga
tersebut. Setiap objek yang bertetangga dengan
objek i disusun dalam suatu matrik tetangga
nbrlist[i].
MFSET (Merge Find Set)
Algoritma QROCK menggunakan konsep
MFSET untuk membentuk klaster-klasternya.
MFSET terdiri dari tiga operasi berikut :
1. Merge(A,B) : gabungan dari himpunan A
dan himpunan B
2. Find(x) : mencari himpunan yang
salah satu anggotanya
adalah elemen x.
3. Initial(x) : membentuk himpunan yang
hanya beranggotakan
elemen x.

Secara formal langkah-langkah algoritma
QROCK ditulis sebagai berikut :
Input : Dataset D
1. Hitung matrik kemiripan antar objek.
2. Tentukan matrik tetangga nbrlist[i] untuk
setiap i D berdasarkan
3. Untuk setiap objek x dalam D, initial(x)
4. Untuk setiap i dalam D
Ambil objek x dalam nbrlist[i]
5. Untuk setiap objek lain y dalam nbrlist[i]
A = find(x)
B = find(y)
Jika A B, maka merge (A,B)
6. Selesai


EVALUASI KLASTER

Dalam klasifikasi, evaluasi merupakan bagian
yang tak terpisahkan dengan pengembangan
model. Tidak demikian halnya dengan evaluasi
klaster. Dalam analisis klaster, terdapat beberapa
tipe klaster yang berbeda, -setiap algoritma
klastering menghasilkan klaster dengan tipenya
masing-masing- . Oleh karenanya, masing-masing
kondisi akan membutuhkan ukuran evaluasi yang
berbeda. Sebagai contoh, k-mean clustering
dievaluasi menggunakan SSE, tetapi pada density
based cluster SSE sama sekali tidak dapat bekerja
dengan baik. Walaupun evaluasi klaster pada
umumnya bukan merupakan bagian yang menyatu
dengan analisis klaster, tetapi evaluasi klaster
cukup penting dan sebaiknya merupakan bagian
dari analisis klaster (Tan et al. 2006). Beberapa
metode evaluasi klaster yang dikenal antara lain
Cohesion dan Separation. Cohesion (kohesi)
adalah ukuran kepadatan antar anggota di dalam
klaster, digunakan untuk mengukur seberapa
dekat hubungan antar objek didalam klaster.
Sedangkan separation (separasi) digunakan
untuk mengukur seberapa jauh hubungan satu
klaster dengan klaster yang lain. Secara umum,
kohesi dan separasi dihitung dengan persamaan
berikut :

Cohesion (C
i
) =

Ci y
Ci x
y x proximity ) , (



Separation (C
i
, C
j
) =

Cj y
Ci x
y x proximity ) , (


Untuk graph based clusters, kohesi dari klaster
didefinisikan sebagai jumlah dari bobot link
dalam proximity matrix yang menghubungkan
objek-objek dalam klaster tersebut. Proximity
matrix terdiri dari tiga komponen: data objek
sebagai nodes, link antar dua data objek, dan
bobot yang diberikan untuk tiap link antar objek.
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 321
Sedangkan separasi antar dua klaster dapat diukur
dengan menjumlahkan bobot dari link yang
menghubungkan objek dalam satu klaster dengan
objek dalam lain klaster. Pada umumnya bobot
diperoleh dari jumlah anggota klaster (Tan et al.
2006). Semakin besar kohesi dan semakin kecil
separasi maka semakin baik klaster yang
dihasilkan


METODE DAN BAHAN

Percobaan dilakukan dengan menerapkan
algoritma QROCK yang menggunakan
pendekatan agglomerative hierarchical
clustering. Input dari algoritma QROCK adalah
Dataset dan threshold. Algoritma QROCK
diterjemahkan ke dalam fungsi just_qrock_edit
menggunakan Matlab 7.0 yang dikembangkan
oleh Marisa pada tahun 2008. Dataset percobaan
diperoleh dari Pusat Komputer Universitas
Terbuka, bersumber dari satu basis data
kemahasiswaan M_DATA_PRIBADI. Basis
data tersebut menyimpan informasi yang
berkaitan dengan pribadi mahasiswa Universitas
Terbuka. Dataset percobaan yang kemudian kita
sebut DataKategori berjumlah 4132 record
dengan enam(6) atribut kategori yaitu:
1. Jurusan Asal, berisi kode numerik yang
menerangkan jurusan dari pendidikan terakhir
yang dimiliki mahasiswa. Sebagai contoh,
jika mahasiswa memiliki pendidikan terakhir
SLTA, maka bisa jadi berasal dari jurusan
IPA, IPS atau STM. Terdapat 79 kode status
pada atribut Jurusan Asal.
2. UPBJJ, berisi kode numerik yang
menerangkan wilayah keberadaan mahasiswa
di unit perwakilan UT di daerah. Terdapat 39
kode status pada atribut UPBJJ.
3. Pendidikan Akhir, berisi kode numerik yang
menerangkan pendidikan terakhir dari
mahasiswa sebelum yang bersangkutan
menjadi mahasiswa UT. Terdapat enam kode
status pada atribut Pendidikan Akhir:
1(SLTA), 2(D1), 3(D2), 4(D3), 5(S1), dan
6(S2)
4. Status Kerja, berisi kode numerik yang
menerangkan status atau jenis pekerjaan dari
mahasiswa. Terdapat lima kode status pada
atribut Status Kerja: 2(PNS), 3(Swasta),
4(Wiraswasta), 5(Tidak Bekerja), dan
6(Bekerja).
5. Status Kawin, berisi kode numerik yang
menerangkan status perkawinan dari
mahasiswa. Terdapat dua kode status pada
atribut Status Kawin: 0(Tidak Kawin) dan
1(Kawin).
6. Jenis Kelamin, berisi kode numerik yang
menerangkan jenis kelamin dari mahasiswa.
Terdapat dua kode status pada atribut Jenis
Kelamin: 0(Perempuan) dan 1(Laki-laki).

Dalam percobaan ini, digunakan sebelas variasi
threshold: 0, 90, 0,91, 0,92, 0,93, 0,94, 0,95, 0,96,
0,97, 0,98, 0,99, dan 1,0. Proses algoritma
QROCK dimulai dengan menghitung kemiripan
antar objek. Berdasarkan matrik kemiripan dan
threshold yang diberikan, ditentukan matrik
tetangga nbrlist[i] untuk setiap objek i. Inisialisasi
setiap objek berfungsi sebagai himpunan. Untuk
setiap i, diambil objek x dalam nbrlist[i],
kemudian menggabungkannya dengan komponen
lain dalam nbrlist [i].

Untuk setiap threshold yang diinputkan, output
dari algoritma QROCK akan menghasilkan
jumlah klaster, anggota tiap-tiap klaster, dan nilai
kohesi untuk masing-masing klaster. Klaster yang
dihasilkan oleh algoritma QROCK merupakan
graph based clusters. Nilai kohesi tiap klaster
didapat dengan cara menghitung jumlah edge
yang menghubungkan tiap data objek dalam
klaster, dibagi dengan jumlah anggota klaster.
Separasi antar klaster akan selalu bernilai 0
karena klaster-klaster yang dihasilkan oleh
algoritma QROCK saling asing, tidak lagi ada link
yang menghubungkan dua klaster. Jadi, kualitas
hasil klastering DataKategori setiap threshold
diukur dengan cara menjumlahkan nilai kohesi
dari tiap-tiap klaster yang dihasilkan. Semakin
tinggi total nilai kohesi suatu hasil klastering,
semakin baik klaster yang dihasilkan.


HASIL DAN DISKUSI

Hasil klastering untuk keseluruhan threshold
dirangkum dan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil klastering keseluruhan threshold
Threshold
Jumlah Klaster
yang dihasilkan
Total Nilai
Kohesi
0,90 5 1044,63
0,91 9 1008,23
0,92 13 968,54
0,93 22 1607,19
0,94 44 2044,00
0,95 44 2044,00
0,96 44 2044,00
0,97 44 2044,00
0,98 44 2044,00
0,99 504 1814,00
1,0 1115 1508,50

Pada tabel diatas tampak bahwa nilai kohesi
tertinggi, 2044, dicapai oleh threshold 0,94 s/d
0,98. Hasil klastering terbaik adalah kelompok
klaster yang memiliki total nilai kohesi tertinggi
yang dihasilkan oleh threshold tertinggi. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa hasil klastering
terbaik diperoleh pada threshold 0,98,
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 322
menghasilkan 44 klaster. Klaster-klaster yang
dihasilkan oleh klastering DataKategori memiliki
karakteristik yang dipengaruhi oleh Pendidikan
Akhir, Status Kerja, Status Kawin, dan Jenis
Kelamin. Sedangkan Jurusan Asal dan UBBJJ
tidak mempengaruhi karakteristik klaster yang
dihasilkan. Dengan kata lain, dua objek akan
berada dalam klaster yang sama hanya jika
memiliki kesamaan paling tidak pada empat
atribut Pendidikan Akhir, Status Kerja, Status
Kawin, dan Jenis Kelamin tetapi dapat memiliki
Jurusan Asal dan/atau UPBJJ yang tidak sama.
Sebaliknya, walaupun Jurusan Asal dan/atau
UPBJJ sama tetapi jika salah satu dari Pendidikan
Akhir, Status Kerja, Status Kawin, dan Jenis
Kelamin tidak sama, maka kedua objek dipastikan
akan berada dalam klaster yang berbeda. Pada
Tabel 2 dan Tabel 3 ditampilkan dua contoh
klaster hasil klastering algoritma QROCK
terhadap DataKategori pada threshold 0,98, yaitu
Klaster 21 dan Klaster 23.

Tabel 2 Anggota Klaster 21
No
Urut
Objek
Jurus
Asal
UPBJJ
Pnddk
Akhir
Stat
Kerja
Stat
Kawin
Jenis
Kelamin
118 999 24 5 6 0 0
141 281 21 5 6 0 0
424 220 24 5 6 0 0
908 268 21 5 6 0 0
1213 245 41 5 6 0 0
1898 101 21 5 6 0 0
1999 250 23 5 6 0 0
2734 287 71 5 6 0 0
3006 268 21 5 6 0 0
3104 287 74 5 6 0 0
3824 101 21 5 6 0 0

Tabel 3 Anggota Klaster 23
No
Urut
Objek
Jurus
Asal
UPBJJ
Pnddk
Akhir
Stat
Kerja
Stat
Kawin
Jenis
Kelamin
162 110 41 2 6 0 0
556 235 22 2 6 0 0
660 108 22 2 6 0 0
855 199 22 2 6 0 0
1251 235 42 2 6 0 0
1313 256 74 2 6 0 0
1419 300 21 2 6 0 0
1698 110 74 2 6 0 0
1975 101 21 2 6 0 0
2381 219 13 2 6 0 0
2608 101 21 2 6 0 0
2789 199 21 2 6 0 0
3253 199 24 2 6 0 0
3415 101 21 2 6 0 0
3764 224 21 2 6 0 0
3833 235 41 2 6 0 0
4068 256 84 2 6 0 0

Terlihat pada Tabel 2 bahwa Klaster 21 memiliki
sebelas (11) anggota yang terdiri dari data objek
ke 118, 141, 424, 908, 1213, 1898, 1999, 2734,
3006, 3104, dan 3824. Kesebelas data objek
tersebut memiliki Pendidikan Akhir, Status Kerja,
Jenis Kelamin, dan Status Kawin yang sama tetapi
berasal memiliki Jurusan Asal dan UPBJJ yang
bervariasi. Demikian juga dengan Klaster 23
pada Tabel 3, semua anggota dalam Klaster 23
memiliki Pendidikan Akhir, Status Kerja, Jenis
Kelamin, dan Status Kawin yang sama tetapi
berasal dari Jurusan Asal dan UPBJJ yang
bervariasi. Kita coba menghitung ukuran
kemiripan dua objek dalam Klaster 21( misalnya
objek nomor 118 dan objek nomor 141) dan dua
objek dalam Klaster 23 (misalnya objek nomor
556 dan objek nomor 660). Ukuran kemiripan
yang digunakan oleh algoritma QROCK adalah
weighted similarity sebagaimana ditulis pada
persamaan (2). Objek 118 dan 141 pada Klaster
21 memiliki persamaan status nilai pada empat(4)
atribut, dan memiliki perbedaan status nilai pada
dua atribut Jurusan Asal dan UPBJJ. Sedangkan
objek 556 dan 660 pada Klaster 23 memiliki
persaman lima(5) atribut, dan memiliki perbedaan
hanya pada atribut Jurusan Asal. Ukuran
kemiripan yang diperoleh adalah :
9812 , 0
)
39
1
79
1
( 2 4
4
) 141 , 118 ( =
+ +
= sim

9950 , 0
)
79
1
( 2 5
5
) 660 , 556 ( =
+
= sim

Sekarang kita perhatikan objek nomor 1898 yang
berada dalam Klaster 21, dan objek nomor 1975
yang berada dalam Klaster 23. Kedua objek
memiliki persamaan pada lima(5) atribut : Jurusan
asal, UPBJJ , Status Kerja, Jenis Kelamin, dan
Status Kawin, dan memiliki perbedaan hanya
pada atribut Pendidikan Akhir. Ukuran kemiripan
dari kedua objek adalah :
9375 , 0
)
6
1
( 2 5
5
) 1975 , 1898 ( =
+
= sim
Terlihat bahwa walaupun pasangan objek 1898
dan 1975 memiliki persamaan pada lima(5)
atribut tetapi memiliki ukuran kemiripan yang
lebih kecil dibanding dengan pasangan objek 556
dan 660. Hal tersebut terjadi karena pasangan
objek 556 dan 660 memiliki perbedaan pada
atribut Jurusan Asal yang memiliki 79 status,
sedangkan pasangan 1898 dan 1975 memiliki
perbedaan pada Pendidikan Akhir yang memiliki
6 status.

Algoritma QROCK menggunakan rumus
weighted similarity untuk menghitung ukuran
kemiripan antar pasangan objek. Berdasarkan
rumus tersebut ukuran kemiripan antar pasangan
objek dipengaruhi oleh letak perbedaan atribut.
Atribut Jurusan Asal dan UPBJJ masing-masing
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 323
memiliki 79 dan 39 status, sedangkan atribut
Pendidikan Akhir, Status Kerja, Status Kawin,
dan Jenis Kelamin masing-masing memiliki
enam(6), lima(5), dua(2), dan dua(2) status. Jika
perbedaan antara pasangan objek terletak pada
atribut Jurusan Asal atau UPBJJ yang memiliki
status cukup banyak, maka kedua objek memiliki
ukuran kemiripan tinggi yang memungkinkan
kedua objek berada dalam klaster yang sama.
Sebaliknya jika perbedaan terletak pada atribut
Pendidikan Akhir atau Status Kerja atau Status
Kawin atau Jenis Kelamin yang memiliki status
sedikit, maka kedua objek akan memiliki ukuran
kemiripan kecil yang membuat kedua objek
berada dalam klaster yang berbeda. Oleh sebab itu
bisa dipahami bahwa klaster yang terbentuk
dipengaruhi oleh empat(4) atribut yang memiliki
status nilai dengan jumlah sedikit , yaitu
Pendidikan Akhir, Status Kerja, Status Kawin,
dan Jenis Kelamin.

Algoritma QROCK memiliki kompleksitas O(n
2
)
yang diperoleh hanya dari perhitungan matrik
tetangga (Dutta et al. 2005).


KESIMPULAN

Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa
permasalahan klastering data dengan tipe kategori
dapat diselesaikan dengan menggunakan
Algoritma QROCK. Karakteristik yang dimiliki
oleh klaster-klaster yang dihasilkan oleh
klastering DataKategori dipengaruhi oleh atribut
yang memiliki status nilai dengan jumlah sedikit ,
yaitu Pendidikan Akhir, Status Kerja, Status
Kawin, dan Jenis Kelamin.


UCAPAN TERIMA KASIH

Penghargaan dan ucapan terima kasih saya
sampaikan kepada :
1. Ibu Dra. Atun Ismawati, S.Si, selaku Kepala
Jurusan Matematika-FMIPA, Universitas
Terbuka yang telah memberi kesempatan
untuk mengikuti Seminar Nasional
Matematika 2010.
2. Bapak Prof. Dr. Djati Kerami, yang telah
memberi pengarahan dan motivasi sehingga
makalah ini dapat tersujud.
3. Teman-teman sejawat: Asmara dan Sitta,
yang selalu saling mendukung.
4. Suami dan anak-anakku atas dukungan dan
pengertiannya.




DAFTAR PUSTAKA

[1] Dutta M, Mahanta AK, Arun KP. 2005.
QROCK : A Quick Version of the ROCK
Algorithm for Clustering of Categorical Data.
Proceedings of the15IEEE International
Conference on Data Engineering, 2004.
[2] Guha S, Rastogi R, Shim K. 2000. ROCK : A
Robust Clustering Algorithm for Categorical
Attributes. http://ee.snu.ac.kr/~shim/is-
rock.pdf
[3] Han J, Kamber M. 2001. Data Mining :
Concepts and Techniques. USA : Academic
Press.
[4] Kantardzic M. 2003. Data Mining: Concepts,
Models, Methods, and Algorithms. USA :
John Wiley & Son.
[5] Larose DT. 2005. Discovering Knowledge In
Data. An Introduction to Data Mining.
Canada : John Wiley & Son.
[6] Marisa A. 2008. Perbandingan Algoritme
Clustering Rock Dan Qrock Untuk Data
Kategorik [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian
Bogor.
[7] Tan P, Steinbach M, Kumar V. 2006.
Introduction to Data Mining. USA: Pearson
Education,Inc


















Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 325
KETIDAKPASTIAN INPUT DALAM SIMULASI EKONOMI PADA
RESERVOIR-X BERBASIS METODE PROBABILISTIK


Entin Hartini, Dinan Andiwijayakusuma
Pusat Pengembangan Informatika Nuklir- Batan, Tangerang, 15310

entin @batan.go.id


ABSTRAK

Dalam pemodelan suatu reservoir untuk simulasi ekonomi pada pengeboran suatu sumur pada zona-zona yang
dalam terdapat ketidakpastian dari input parameter yang stochastic. Dalam tulisan ini kami menggunakan
metodologi pendekatan ketidakpastian statistik dengan simulasi metode Monte Carlo. Penilaian indikator ekonomi
adalah laju pengembalian modal sepadan dengan kebutuhan investor dengan risiko dan modal yang dikeluarkan pada
saat investasi untuk memperoleh keuntungan. Faktor yang mempunyai peranan penting dan akan dilakukan
perhitungan yaitu penentuan gas di tempat (GIP) , laju produksi gas dan analisis ekonominya yaitu nilai NPV dan
ROR. Dimana dalam perhitungan persamaannya terdapat inputan stochastic seperti: laju produksi gas, porositas,
saturasi air dan volume bulk dan parameter lainnya dianggap konstan. Inputan stochastic dibangkitkan dengan
menggunakan Latin Hypercube Sampling (LHS) berbasis fungsi densitas peluang dari parameter-parameter tersebut.
Tahapan yang dilakukan meliputi: studi model, menentukan fungsi densitas peluang, prosedur sampling, analisis
ketidakpastian dan analisis hasil.

Kata Kunci: Ketidakpastian, Latin Hypercube Sampling,, NPV, ROR, GIP


PENDAHULUAN

LHS telah banyak digunakan baik dalam teknik
dan simulasi deterministic untuk eksperimen serta
analisis risiko secara Komputasi. LHS biasanya
digunakan untuk ketidakpastian dan sensitivitas
studi untuk menilai dampak dari ketidakpastian
subyektif untuk mendukung analisis yang harus
dibatasi. Misalnya, totalitas dari model
perhitungan. Latin hypercube sampling sangat
populer untuk efisien model secara komputasi dan
merupakan teknik sampling dengaan reduksi
varian dan dianggap sebagai teknik penyaringan,
dimana pemilihan nilai sampel sangat dikontrol.
Dasar dari LHS adalah stratifikasi penuh dari
distribusi sampel dengan seleksi acak dalam
setiap strata

Lapangan Badak adalah lapangan gas utama di
Kaltim dengan kontraktor vico dan pertamina,
menghasilkan supplai gas rata-rata perhari lebih
dari 0,6 BSCF LPG plan dan fertilizer plan.
Dalam keadaan lingkungan yang dinamis, rencana
pengembangan lapangan harus
mempertimbangkan kemampuan produksi yang
diambil untuk meyakinkan suplai gas yang
tersedia dan efisiensi penggunaan cadangan gas
yang maksimum.

Dalam Pemodelan suatu reservoir untuk simulasi
ekonomi pada pengeboran suatu sumur pada
zona-zona yang dalam terdapat ketidakpastian
dari input parameter yang stochastic. Dalam
tulisan ini kami menggunakan metodologi
pendekatan ketidakpastian statistik dengan
simulasi metode Monte Carlo. Penilaian indikator
ekonomi adalah laju pengembalian modal sepadan
dengan kebutuhan investor dengan risiko dan
modal yang dikeluarkan pada saat investasi untuk
memperoleh keuntungan.

Faktor yang mempunyai peranan penting dan
akan dilakukan perhitungan yaitu penentuan gas
di tempat (GIP) , laju produksi gas dan analisis
ekonominya yaitu nilai NPV dan ROR. Dimana
dalam perhitungan persamaannya terdapat inputan
stochastic seperti: laju produksi gas, porositas,
saturasi air dan volume bulk dan parameter
lainnya dianggap konstan. Inputan stochastic
dibangkitkan dengan menggunakan Latin
Hypercube Sampling (LHS) berbasis fungsi
densitas peluang dari parameter-parameter
tersebut. Tahapan yang dilakukan meliputi: studi
model, menentukan fungsi densitas peluang,
prosedur sampling, analisis ketidakpastian dan
analisis hasil.


METODE
LATIN HYPERCUBE SAMPLING(LHS)

Pada Latin hypercube sampling memastikan
cakupan penuh dari kisaran setiap variabel dari
region tertentu pada ruang sampel. Secara khusus,
masing-masing rentang variabel X
j
dibagi ke
dalam nLHS interval probabilitas yang sama
dipilih secara acak dari masing-masing Interval.
Satu set nLHS untuk nX dibentuk sebagai
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 326

X
k
= [x
kl
, x
k2
, .... x
k
,
nX
], k = 1, ..nLHS, (1)

Generate dari sebuah LHS dengan ukuran nLHS
dari distribusi D1, D2,, Dnx yang terkait
dengan elemen x = [x1, x2, , Xnx]. Kisaran
setiap x
j
dibagi menjadi nLHS interval dari
probabilitas sama dan satu nilai x
ij
dipilih secara
acak dari masing-masing interval. Sampel input
dihasilkan berdasarkan metode inverse transform,
dan diberikan oleh

Xh
i,j
= F
-1
(Pm) , i =1, .., n
j
, j= 1,.., k (2)

F
-1
(Pm), Pm [0,1], adalah inverse transform
dari distribusi tersebut. Nilai Pm dinyatakan
sebagai

Pm =r(1/N)+(m-1)(1/N) (3)

Dengan r untuk random number distribusi
tertentu. N adalah banyaknya sample (trial)
dan m urutan dari 1 s/d N. F
-1
tergantung dari
jenis fungsi distribusinya, seperti berikut ini :
Uniform, parameter n1 dan n2, maka
X=Pm(n2-n1)+n1 dan
Triangular, parameter min, mod dan max jika Pm
<= (mod-min)/(max-min)
X=min+sqr(Pm*(max-min)*(mod-min)) dan jika
Pm > (mod-min)/(max-min) maka,
X=max-sqr((1-u)*(max-min)*(max-mode))

Alur model dan sumber ketidakpastian terlihat
pada Gambar1


Gambar.1 Model dan sumber ketidakpastian


PERHITUNGAN VOLUME GAS DITEMPAT
DAN EKONOMI

Untuk memperkirakan besarnya jumlah gas mula-
mula ditempat atau Original Gas in place
digunakan metode penentuan cadangan secara
volumetris, dengan persamaan sebagai berikut:


Bq
Sw x xVbx
OGIP
) 1 ( 43560
=

(4)

Dimana: OGIP adalah original gas in place, SCF
dan Vb adalah volume bulk reservoir, Acre-feet.

Indikator Ekonomi
Dalam ekonomi teknik ROR (Rate of Return)
dapat didefinisikan sebagai interest rate yang
digunakan dimana jumlah cash in flow dan cash
out flow sama besar bila cash in flow tersebut di
discount dengan suatu factor tertentu. ROR
ditentukan dengan rumus:

1
/ 1

=
n
Co
NPV
ROR (5)

Dimana: ROR adalah rate of return (laju
pengambilan modal), persen, NPV = net present
value (keuntungan bersih) US$ , Co merupakan
Investasi awal, US$ dan n adalah tahun ke n.

Kriteria keuntungan dari NPV (Net Present
Value) sama dengan satu harga khusus ROR,
yang sebelumnya spesifik discount rate digunakan
pada seluruh analisa ekonomi. Harga NPV
dipengaruhi oleh penurunan produksi gas, yang
mana dipergunakan eksponensial decline rate

Dimana total produksi menurun secara
eksponensial decline, SCF sedangkan a adalah
decline rate pertahun, qi adalah laju gas awal,
SCF perhari dan qa laju produksi gas , SCF
perhari. Bila dianggap cadangan didalam reservoir
seluruhnya dapat diproduksikan semua maka


a
qa qi
GIP
) (
= (6)

Dengan diperolehnya harga decline rate pertahun,
maka dapat diperkirakan lamanya waktu atau
jumlah tahun dari awal hingga akhir penurunan
produksi:

( )
a
qa qi
t
/ ln
= (7)

Tahap akhir kita dapat menghitung besarnya NPV
adalah:


=

x
e
GP t qi NPV
x
1
. . (8)

Dengan x = (a+j)t , GP adalah harga gas (US$), e
adalah eksponensial dan j merupakan discount
factor.

Parameter yang stokastik pada tabel 1 dan
parameter lainnya konstan .


Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 327
Tabel 1. Parameter Uncertainty dan Parameter Konstan

Parameter Distribusi
Porositas () % Segitiga (7,3 12,373 19,4 )
Saturasi air(Sw) % Segitiga (56,8 44,46 )
Volume bulk(Vb) Segiempat(29,2 315,4
1422,4)
Laju produksi gas
awal (q)
Segitiga (0.0 1.0 2,0 )
MMSCF
Laju produksi gas
(qa)
300 MSCF
Vaktor volume
formasi gas (Bq)
0,00323 cutf/SCF
Discount factor 10 %


HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN

Pada pemodelan suatu reservoir dengan simulasi
ekonomi dengan adanya factor ketidakpastian
pemboran suatu sumur dilakukan simulasi LHS
dengan pembangkitan sample X sebagai
parameter stochastic. Untuk pembangkitan sample
X terdapat inputan dan dipilih jenis fungsi
distribusi , banyaknya trial (sample yang
diinginkan), parameter sesuai dengan
distribusinya, distribusi segiempat (a,b), distribusi
segitiga (minimum, modus dan maksimal).

Untuk parameter yang stochastic seperti pada
table 1 merupaka parameter yang dibangkitkan
sedangkan parameter lainya diinput sebagai nilai
konstan seperti laju produksi gas, vaktor volume
formasi gas dan discount factor serta investasi
awal. Banyaknya trial untuk simulasi perhitungan
volume gas ditempat, Net Present Value dan rate
of return (laju pengambilan modal) diambil 1000.
Hasil simulasi terlihat pada tampilan 1 dan 2.
Tampilan 1 merupakan simulasi dari distribusi qi
( laju produksi gas awal) dengan banyaknya trial
1000 dan qi berdistribusi segitiga (0,00 1,00
2,00)


Tampilan 1. Simulasi distribusi qi

Hasil simulasi perhitungan volume gas ditempat
dengan harga parameter Vb, , dan Sw pada
tabel 1, konstanta Bq diinput, diperoleh rata- rata
untuk GIP adalah 8,7713E08 dengan interval
kepercayaan 95% GIV adalah 8,5338E08 sampai
dengan 9,0088E08


Simulasi Perhitungan NPV dengan input
konstanta discount rate 10% dan harga gas 2,25
US$ dengan laju produksi gas 300 MSCF pada
tampilan 2. Diperoleh NPV rata-rata 4,5518E06
dengan interval kepercayaan 95% NPV adalah
4,4355E06 sampai dengan 4,6681E06


Tampilan 2. Simulasi NPV


Siimulasi perhitungan ROR dengan input
konstanta biaya invsetasi awal Co sebesar 1.E06
dan konstanta n = 5,0 diperoleh hasil rata-rata
ROR 1,4168E-03 dengan interval kepercayaan
95% ROR adalah 1,3877E03 sampai dengan
1,4460E-0,3



KESIMPULAN

Telah dilakukan analisis ketidakpastian untuk
analsis ekonomi dimana pada data inputannya
terdapat ketidakpastian. Dari hasil NPV semakin
besar laju produksi gas maka kemungkinan untuk
memperoleh keuntungan semakin besar. Harga
ROR diperoleh dengan simulasi investasi awal
dan banyaknya tahun produksi untuk melihat laju
pengembalian modal.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Athanasion Papoulis S. Unnikrishna Pillai,
2002 Probability, Random Variables and
Stochastic Proses, McGraw-Hill Education
[2] http://mathwold.Wolfram.com/2008,Statistica
l Distribution,
[3] J.c. Helton, J.D. Johnson, 2006, Survey of
Sampling-Based Methods for Uncertainty
and Sensitivity Anaysis, Sandia National
Laboratoris , USA
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 328
[4] Eduardo Sabili, 2006, Descriptive
Sampling: An Improvement Over Latin
Hypercube Sampling,
[5] Vico Indonesia, 1990, Estimated Reserves,
East Kalimantan Contract Area
[6] Hayu Susili P and Entang H, 1990 Risk
analysis and Economic Evaluation in Capital
Invesment Using Simulation Technique
Proceeding Indonesian Petroleum
Association 19 th Annual convention, Vico.


Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 329
EFEKTIFITAS ALGORITMA PERTURBASI WALK

I Made Sulandra
Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Negeri Malang

sulandra@um.ac.id, sulandraum@yahoo.co.id


ABSTRAK

Penghitungan langsung basis Groebner dari ideal polinom terhadap order eliminasi, misalnya order leksikografis,
lebih sulit dari order-order lainnya (Buchberger (1985), Faugere, dkk (1993), dan Bayer & Stillmann, (1987)). Tetapi,
basis Groebner leksikografis bermanfaat untuk menyelesaikan sistem persamaan polinom (Trinks (1978), Kalkbrener
(1989), dan Czapor (1989)). Oleh karena itu Faugere, dkk (1993), Traverso (1997), dan Collart, dkk (1997)
mengembangkan algoritma konversi basis. Algoritma Groebner walk dari Collart, dkk (1997) masih tidak efisien
(Amrhein, dkk (1996, 1997), Tran (2000), dan Sulandra (2009)). Vektor beban-akhir masih terletak di banyak kerucut
Groebner dan ideal homogen pada langkah terakhir dibangun oleh banyak polinom dengan banyak monom.
Akibatnya, Algoritma Hilbert-driven gagal menghitung basis Groebner tereduksi dari ideal tersebut, karena semua
memory komputer telah terpakai dan proses penghitungan terhenti. Selanjutnya, Amrhein, dkk (1996, 1997)
mengembangkan Algoritma Perturbasi Walk. Pada algoritma ini, vektor beban-awal dan -akhir dari lintasan diperoleh
melalui perturbasi terhadap vektor beban-awal dan -akhir dari lintasan Algoritma Groebner Walk.Artikel ini
menyajikan hasil eksperimen dari pengimplementasian Algoritma Perturbasi Walk pada Sistem Aljabar Komputer
Singular yang menggunakan bilangan bulat diantara
31
2 dan
31
2 . Akibatnya, vektor beban-antara atau -akhir
mungkin lebih dari
31
2 (atau tidak terletak pada kerucut Groebner yang sesuai). Jika kasus tersebut terjadi, maka
Algoritma Buchberger diaplikasikan untuk menghitung basis Groebner yang dicari (model pertama) atau Algoritma
Groebner Walk diaplikasikan secara iteratif dengan memperturbasi vektor beban akhir dengan derajat perturbasi
menurun (model kedua). Hasil eksperimen menunjukkan bahwa efektifitas dari Algoritma Perturbasi Walk sangat
tergantung pada derajat perturbasi, Algoritma Perturbasi Walk lebih cepat dari Algoritma Groebner Walk, dan model
kedua lebih efisien dari model pertama.

Keywords: Basis Groebner, Algoritma Groebner Walk, Algoritma Perturbasi Walk


PENDAHULUAN

Collart, Kalkbrener, dan Mall (1997) mengem-
bangkan Algoritma Groebner Walk untuk
menghitung basis Groebner melalui
pengkonversian basis Groebner dari suatu order
ke order yang diinginkan, khususnya order
eliminasi. Penggunaan order eliminasi, khususnya
order leksikografis, sangat penting sekali dalam
menyelesaikan sistem persamaan polinom, karena
basis Groebner dari ideal yang dibangun oleh
polinom-polinom pada sistem persamaan polinom
tersebut menghasilkan sistem persamaan polinom
yang mudah diselesaikan (Trinks (1978),
Kalkbrener (1989), dan Czapor (1989)). Akan
tetapi Algoritma Groebner Walk masih tidak
efisien (Amrhein dkk (1996, 1997), Amrhein dan
Gloor (1998), Tran (2000), dan Sulandra (2009)).

Sulandra (2009) menunjukkan bahwa pada
langkah terakhir dalam Algoritma Groebner Walk
tersebut diperoleh himpunan pembangun yang
masih kompleks, terdiri dari banyak polinom
yang masih merupakan kombinasi linear dari
banyak monom. Akibatnya, pengaplikasian
Algoritma Hilbert-driven pada himpunan
pembangun tersebut untuk memperoleh basis
Groebner menjadi gagal, karena memakan waktu
yang lama dan menghabiskan memory komputer.
Himpunan pembangun yang besar tersebut
diperoleh karena vektor-beban ) 0 , , 0 , 0 , 1 ( =
terletak di irisan dari banyak kerucut Groebner.
Untuk menghindari hal tersebut, maka Amrhein,
Gloor, dan Kchlin (1996, 1997) memilih lintasan
lain yang titik pangkal dan titik ujungnya masih
terletak pada kerucut Groebner yang dipilih pada
Algoritma Walk.

Tulisan ini menyajikan hasil eksperimen dari
penghitungan basis Groebner dari beberapa ideal
melalui pengimplementasian Algoritma Perturbasi
pada sistem aljabar komputer Singular versi 3.0.0
di Komputer (PC) Pentium IV, 2.40 GHz
Processor dan 1 Gegabyte RAM. Ternyata,
Algoritma Perturbasi Walk pun masih tidak
efisien, terutama untuk ideal yang terdiri dari
banyak peubah. Selain itu, juga adanya kesulitan
untuk memilih tingkat perturbasi yang tepat.
Pengkajian lanjut tentang Algoritma Perturbasi
Walk dapat dilihat di Amrhein, Gloor, dan
Kchlin (1996, 1997), Algoritma Groebner Walk
pada Collart, dkk (1997) Sedangkan konsep-
konsep dasar tentang ring polinom, order monom,
dan basis Groebner dapat dilihat di Adams &
Loustaunau (1994), Cox, dkk (1997), dan Becker
& Weispfenning (1998).
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 330
ALGORITMA PERTURBASI WALK

Misalkan suatu order monom yang
didefinisikan pada ] , , , [ ] [
2 1 n
x x x K x K = dan
himpunan bagian } , , , {
2 1 t
g g g G = dari ideal
] [x K I adalah suatu basis Groebner tereduksi
dari I terhadap order . Kerucut Groebner
) , ( I Cone dari ideal I terhadap order
didefinisikan sebagai penutup topologi di
n
R
yang didefinisikan dengan
{ }

I I R I Cone
n
= =

: cl : ) , (
0
,
dengan

G
g in g in g in
I f f in I
t
:
) ( , ), ( ), (
: ) ( :
2 1
=
=
=

dan



G
g in g in g in
I f f in I
t
:
) ( , ), ( ), (
: ) ( :
2 1
=
=
=
.
Kerucut Groebner ini merupakan suatu polihedral
konveks di
n
R
0
dengan interior yang tidak
kosong. Selanjutnya, himpunan semua kerucut
Groebner dari I , yaitu
{ } ] [ di monom order : ) , ( ) ( x K I Cone I GF =
adalah hingga, disebut fan Groebner dan berlaku
n
I GF I Cone
R I Cone
0
) ( ) , (
) , (


(Mora dan Robbiano, 1988).
Akibatnya, untuk setiap dua vektor beban
) , , , (
2 1 n
= dan ) , , , (
2 1 n
= di
n
R
0
yang berturut-turut diperhalus oleh dua order
1
dan
2
berlaku


t
i i
I Cone
1
2
) , (
1 =



untuk suatu bilangan positif t.
Selanjutnya akan diperoleh vektor-vektor beban
= =
t
, , , ,
2 1 0
sehingga
) , (
1
2 1

i
I Cone
i i

dan
) , ( ) , (
1 1
2 2


i i
I Cone I Cone
i


untuk setiap t i , , 2 , 1 = .
Kenyataan inilah yang digunakan Collart dkk
(1997), yaitu Algoritma Groebner Walk untuk
menghitung basis Groebner tereduksi dari ideal I
terhadap order
2
yang memperhalus vektor
beban . Pertama-tama akan dihitung basis
Groebner tereduksi dari I terhadap suatu order
cepat
1
yang memperhalus . Selanjutnya,
dipilih lintasan (ruas garis) yang terbagi-bagi
menjadi t ruas garis
i i

1
dengan . , , 2 , 1 t i =
Dengan kata lain, Algoritma Groebner Walk
memerlukan t langkah untuk menghasilkan basis
Groebner tereduksi dari I terhadap
2
. Berarti,
konversi basis langsung akan diterapkan sebanyak
t kali. Pada setiap langkah (konversi langsung) ke-
i akan dihitung basis Groebner tereduksi dari ideal
I terhadap order beban
i

2
.

Algoritma Konversi basis langsung tersebut benar
berdasarkan tiga teorema berikut yang
pembuktiannya dapat dilihat pada Collart, dkk
(1997).
Teorema 1. Jika G adalah basis Groebner
tereduksi dari I terhadap order yang
memperhalus , maka

G adalah suatu
basis Groebner dari

I terhadap .
Teorema 2. Misalkan order
1
dan
2

memperhalus dan } , , , {
2 1 r
g g g G =
merupakan basis Groebner tereduksi dari I
terhadap
1
. Jika } , , , {
2 1 s
m m m M =
adalah basis Groebner tereduksi dari

I
terhadap
2
, maka untuk setiap s i , , 2 , 1 =
terdapat polinom homogen
ir i i
h h h , , ,
2 1
yang memenuhi

=
=
r
j
j ij i
g in h m
1
) (


dengan
)) ( ( deg ) ( deg
j ij i
g in h m

=
untuk semua r j , , 2 , 1 = dengan . 0
ij
h
Teorema 3. Jika
ij
h M G I , , , , , ,
2 1
seperti pada
Teorema 2 dan } , , , {
2 1 s
f f f F = dengan

=
r
j ij i
g h f
1
untuk semua , , , 2 , 1 s i =
maka F adalah suatu basis Groebner dari I
terhadap
2
.

Amrhein, dkk (1996, 1997) menunjukkan bahwa
Algoritma Groebner Walk masih belum efisien,
karena vektor beban-akhir masih terletak di
banyak kerucut Groebner. Oleh karena itu dipilih
) , ( :
1
2

=
i
I rGB G

) , ( :
2
i
I GB F

=
) , ( :
1 1
2

=
i i i
I GB G



) , ( :
2
i
i
I rGB M

=
Diagram 1: Konversi Basis Langsung
dari G ke F
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 331
lintasan yang lainnya dengan memperturbasi
vektor beban awal dan akhir dari lintasan yang
dipilih pada Algoritma Groebner Walk.

Dari order pada ] , , , [ ] [
2 1 n
x x x K x K = dapat
diperoleh matriks rasional A berukuran n n
yang mendefinisikan order
A
yang sama dengan
order , yaitu untuk setiap vektor kolom
n
R , berlaku

A A
A
x x x x
(Robbiano, 1985). Secara analog diperoleh,
. dan
atau
1 1
1 1



x x
x x
n
i
i i
n
i
i i
n
i
i i
n
i
i i



= =
= =
=
>


Untuk setiap n i , , 2 , 1 = dimisalkan
n
n
Q
0 2 1
, , ,

adalah vektor-vektor baris
dari matriks A dengan
n
in i i i
Q
0 2 1
) , , , (

= dan
}. 1 |: max{| : ) max( n j
ij i
=
Selanjutnya, jika R suatu bilangan positif
yang kecil dan d adalah bilangan bulat positif
kurang atau sama dengan n, maka vektor-beban
d
d
e
1
3
2
2 1
:

+ + + + = dan
1
akan
terletak pada kerucut Groebner yang sama.
Vektor-beban disebut vektor-beban-perturbasi
dari
1
berderajat d.

Amrhein, Gloor, dan Kchlin (1996) memilih
dengan syarat Z

1
dan
. , ) max( ) deg(
1
1
G g g
d
i
i
>

=


Dalam pengimplementasiannya di Sistem Aljabar
Komputer Singular dipilih
n
in i i i
Z
0 2 1
) , , , (

=
dan
. : 1 ) max( ) deg( max
1
1

+ =

=
G g g
d
i
i


Dengan demikian vektor-beban dan
kelipatannya
( )
( ) ( ) ( )
d
d d d
d


+ + + + =
=

3
3
1
2
2
1
1
1
1
1
1
: '

akan terletak dalam kerucut Groebner yang sama.
Vektor beban ' disebut juga vektor-beban-
perturbasi dari
1
berderajat d. Algoritma berikut
akan menghasilkan vektor-beban-perturbasi dari
vektor beban yang merupakan baris pertama dari
matriks yang mendefinisikan suatu order monom.
PertVector(G, M, d)
Input: Triple (G, M, d) dengan G adalah basis
Groebner tereduksi dari ideal
] , , , [
2 1 n
x x x K I terhadap order monom
yang didefinisikan oleh matriks M dan d
adalah derajat perturbasi dengan . 1 n d
Output: Vektor-beban-terperturbasi dari
vektor baris pertama
1
dari matriks M.
Initialize:
n
in i i i
Z
0 2 1
) , , , (

= adalah
vektor baris ke-i dari matriks M untuk setiap
. , , 2 , 1 n i =
Begin
} , , 2 , 1 { }, 1 |: max{| : n i n j m
ij i
= ;

=
=
n
i
i
m m
2
: ;
} : ) max{deg( : G g g e = ;
1 : + = me e ;

d d
d d d d
e e e + + + + =


1
) 1 (
2
2
1
1
:
Return( );
End
Algoritma 1. Vektor Perturbasi

Mengingat kenyataan bahwa ada banyak lintasan
yang termuat di


t
i i
I Cone
1
2
) , (
1 =

dan vektor
beban dan vektor perturbasinya terletak pada
kerucut Groebner yang sama, maka Amrhein, dkk
(1996, 1997) memilih lintasan ' ' , dimana '
dan ' berturut-turut merupakan perturbasi dari
vektor beban dan . Dengan kata lain,
vektor beban-awal dan -akhir dari lintasan pada
Algoritma Perturbasi Walk diperoleh melalui
perturbasi terhadap vektor beban-awal dan -akhir
dari lintasan pada Algoritma Groebner Walk.

Mengingat keterbatasan dari sistem aljabar
komputer Singular, vektor beban yang dipakai
adalah vektor beban dengan koefisien bilangan
bulat antara
31
2 dan
31
2 (Greuel dan Pfister
(2002)), maka satu dari dua kasus berikut
mungkin terjadi: (1) ada komponen dari vektor
beban kurang dari
31
2 atau lebih dari
31
2 atau
(2) vektor beban antara atau akhir tidak terletak
pada kerucut Groebner yang sesuai. Oleh karena
itu, Algoritma Perturbasi Walk perlu perlu
dimodifikasi. Jika satu dari dua kasus tersebut
terjadi, maka basis Groebner tereduksi yang
diinginkan akan dihitung dengan
mengimplementasikan Algoritma Buchberger
(model pertama) atau Algoritma Groebner Walk
secara iteratif dengan memperturbasi vektor
beban akhir dengan derajat perturbasi menurun
(model kedua). Kedua model tersebut disajikan
sebagai berikut.
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 332

Model Pertama Algoritma Perturbasi Walk
Mod_1_Pertwalk ) , , , , (
2 1 2 1
d d G
Input:
o dua order monom
1
dan
2

o basis Groebner tereduksi G dari I G =
terhadap
1

o dua bilangan bulat positif
2 1
dan d d
Output:
o Basis Groebner tereduksi dari I terhadap
2

Initialize:
o A : matriks yang baris pertamanya
diperhalus oleh
1

o B : matriks yang baris pertamanya
diperhalus oleh
2

o = : PertVector ) , , (
1
d A G
o = : PertVector ) , , (
2
d A G
o
2
: d d =
while (1) do
o ) , ( m InitialFor :

G G =
o ) , ( ReduksiGB :
2

G M =
o ) , , , ( LiftGB :
2

M G G F =
o ) , ( Reduksi :
2

F G =
o If ) ( = then break
o ) , , ( nantara Vektorbeba G =
If )) , ( cone (
2
G then return(G)
Return )) , ( _ (
2
G BA redGB
Algoritma 2: Model Pertama Algoritma Perturbasi
Walk

Model Kedua Algoritma Perturbasi Walk
Mod_2_Pertwalk ) , , , , (
2 1 2 1
d d G
Input:
o dua order monom
1
dan
2

o basis Groebnertereduksi G dari I G =
terhadap
1

o dua bilangan bulat positif
2 1
dan d d
Output:
o Basis Groebner tereduksi dari I terhadap
2

Initialize:
o A : matriks yang baris pertamanya
diperhalus oleh
1

o B : matriks yang baris pertamanya
diperhalus oleh
2

o = : PertVector ) , , (
1
d A G
o = : PertVector ) , , (
2
d A G
o
2
: d d =
1. while (1) do
a. ) , ( m InitialFor :

G G =
b. ) , ( ReduksiGB :
2

G M =
c. ) , , , ( LiftGB :
2

M G G F =
d. ) , ( Reduksi :
2

F G =
e. If ) ( = then break
f. ) , , ( nantara Vektorbeba G =
2. If )) , ( cone (
2
G then return(G)
3. If ) 1 ( = d then return )) , ( _ (
2
G BA redGB
4. 1 : = d d
5. = : PertVector ) , , ( d A G
6. Go to (1)
Algoritma 3: Model Kedua Algoritma Perturbasi Walk

Catatan:
o Prosedur ) , ( m InitialFor G menghitung
komponen utama ) (g in

dari setiap polinom


g di G terhadap vektor beban . Himpunan
yang dihasilkan dari prosedur InitialForm
adalah } | ) ( { G g g in G =

yang sekaligus
merupakan suatu basis Groebner dari ideal

I dengan G I = (Teorema 1).


o Prosedur ) , ( ReduksiGB
2

G menghi-
tung basis Groebner tereduksi dari ideal
homogen

G terhadap order beban

2

melalui penerapan Algorima Hilbert-driven.
Algoritma Hilbert-driven merupakan
algoritma yang terefisien untuk menghitung
basis Groebner dari ideal homogen (Traverso,
1997).
o Prosedur ) , , , ( LiftGB
2

M G G meng-
hasilkan basis Groebner dari ideal G
terhadap order beban

2
tanpa melalui
penghitungan langsung, tetapi menerapkan
Teorema 2 dan Teorema 3.
o Prosedur ) , ( Reduksi
2

F menghasilkan
basis Groebner tereduksi dari ideal I F =
terhadap order beban

2
dengan mereduksi
setiap pelinom di F, yaitu mencari sisa
pembagian dari setiap polinom F f
dengan } { f F , karena F sendiri sudah
merupakan suatu basis Groebner.
o Prosedur ) , , ( nantara Vektorbeba G meng-
hasilkan vektor beban antara sehingga ruas
garis terletak pada satu kerucut Groebner
dan terletak di penutup dua kerucut
Groebner yang berdekatan.
o Langkah ke-1.a sampai dengan 1.f pada
model kedua Algoritma Perturbasi Walk
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 333
tersebut merupakan langkah utama pada
Algoritma Groebner Walk. Oleh karena itu,
maka model kedua ini dikatakan memanggil
atau menerapkan Algoritma Groebner Walk
secara iterativ, apabila vektor beban akhir
terpertubasi tidak terletak pada kerucut
Groebner yang sesuai.

Contoh 1: (Contoh Trinks1 di Tran (2000)
Penghitungan basis Groebner tereduksi dari ideal
x v uv zt, xy v
x, tu yz t, z x v yu
u, t z y , v u y
99 2 3 11 2 3 11
9 20 15 30 18 15 2 165 25
27 40 25 36 36 165 35 45 I
+ + + +
+ + +
+ + + =
di ] , , , , , [ v u t z y x Q terhadap order leksikografis
lex
dengan . v u t z y x > > > > >
1. Untuk derajat perturbasi (1,1), algoritma
memerlukan 2 langkah dari (1,1,1,1,1,1) ke
(1,0,0,0,0,0), karena vektor beban-antara
sudah sama dengan vektor beban-akhir.
2. Untuk derajat perturbasi (2,2), algoritma
memerlukan 2 langkah dari (4,4,4,4,4,3) ke
(4,1,0,0,0,0), karena vektor beban-antara
sudah sama dengan vektor beban-akhir.
3. Untuk derajat perturbasi (3,3), algoritma
memerlukan 4 langkah dari (16, 16, 16, 16,
15, 12) ke (49, 7, 1, 0, 0, 0). Sedangkan
vektor beban-antaranya adalah (163, 37, 19,
16, 15, 12), (800, 128, 32, 16, 15, 12), dan
(49, 7, 1, 0, 0, 0).
4. Untuk derajat perturbasi (4,4), algoritma
memerlukan 8 langkah dari (64, 64, 64, 63,
60, 48) ke (8, 4,2,1,0,0). Sedangkan vektor
beban-antaranya adalah (76, 54, 43, 37, 30,
24), (116, 74, 53, 42, 30, 24), (212, 122, 77,
54, 30, 24), (220, 126, 79, 55, 30, 24), (260,
146, 89, 60, 30, 24), (500, 266, 149, 90, 30,
24), dan (8, 4, 2, 1, 0, 0).
5. Untuk derajat perturbasi (5,5), algoritma
memerlukan 0,17 detik dan 10 langkah dari
(256, 256, 255, 252, 240, 192) ke (16, 8, 4, 2,
1, 0). Sedangkan vektor beban-antaranya
adalah (3088, 2056, 1536, 1266, 1089, 768),
(2224, 1240, 747, 498, 363, 192), (2560,
1408, 831, 540, 384, 192), (4384, 2320, 1287,
768, 498, 192), (7456, 3856, 2055, 1152, 690,
192), (11776, 6016, 3135, 1692, 960, 192),
(17920, 9088, 4671, 2460, 1344, 192),
(24064, 12160, 6207, 3228, 1728, 192), dan
(16, 8, 4, 2, 1, 0).
6. Untuk derajat perturbasi (6,6), algoritma
memerlukan waktu 0,03 detik dan 5 langkah
dari (1024, 1023, 1020, 1008, 960, 768) ke
(32, 16, 8, 4, 2, 1). Sedangkan vektor beban-
antaranya adalah (2944, 1983, 1500, 1248,
1080, 828), (4608, 2815, 1916, 1456, 1184,
880), (12832, 6927, 3972, 2484, 1698, 1137),
(42496, 21759, 11388, 6192, 3552, 2064),
(42496, 21759, 11388, 6192, 3552, 2064).
Proses ini berhenti pada langkah kelima,
karena vektor beban-antara terakhir sama
dengan vektor beban sebelumnya.Tetapi,
karena vektor beban-akhir terperturbasi (32,
16, 8, 4, 2, 1) tidak terletak pada kerucut
Groebner yang sesuai, maka basis Groebner
tereduksi terhadap order leksikografis perlu
dihitung dari ideal yang dibangun oleh basis
Groebner yang telah diperoleh. Model
pertama memerlukan waktu 0,08 detik.
Sedangkan model kedua memerlukan waktu
keseluruhan 0,19 detik. Dalam hal ini,
penerapan Algoritma Groebner Walk dengan
memperturbasi vektor beban akhir
(1,0,0,0,0,0) dengan derajat perturbasi (1,5)
dari (42496, 21759,11388, 6192, 3552, 2064)
ke (256, 64, 16, 4, 1, 0) memerlukan 7
langkah dengan vektor beban antaranya
adalah (306688, 87807, 27900, 10320, 4584,
2064), (718336, 190719, 53628, 16752, 6192,
2064), (1775104, 454911, 119676, 33264,
10320, 2064), (2831872, 719103, 185724,
49776, 14448, 2064), (3888640, 983295,
251772, 66288, 18576,2064), dan (256,64,16,
4, 1, 0).

Tabel 1: Waktu hitung (dalam detik), banyak
langkah, dan penggunaan memory (Kilobyte)

Algo.
Derajat Perturbasi
Ket
.
(1,1) (2,2) (3,3) (4,4) (5,5) (6,6)
Mod-1
13,08 1,68 6,82 0,33 0,17
0.28
Waktu
Mod-2 0,19
Mod-1
2 2 4 8 10
5 Lang-
kah Mod-2 5+7
Mod-1
4584 1541 3127 805 785
1415 Me-
mory Mod-2 902

Contoh 2: (contoh 3.3 di Tran (2000)) Penghi-
tungan basis Groebner tereduksi dari ideal
. 13 7 17 6
, 14 16 3 16
2 3 2 2 2 2 3
3 2 2 3
z x z xy z x z y
y x z x x I
+ + + +
+ + + =

di ] , , [ z y x Q terhadap order leksikografis
lex

dengan . z y x > >
Pada langkah terakhir, baik untuk derajat
perturbasi (2,2) maupun (3,3), vektor beban-akhir
terperturbasi tidak terletak pada kerucut Groebner
yang sesuai. Oleh karena itu, basis Groebner
tereduksi dihitung dari ideal yang telah diperoleh
pada langkah terakhir dengan menerapkan
Algoritma Buchberger (model pertama) atau
Algoritma Groebner Walk secara iteratif (model
kedua). Ternyata, model kedua dapat
menghasilkan basis Groebner yang dicari. Dalam
hal ini Algoritma Groebner Walk hanya
diterapkan sekali, yaitu dengan memperturbasi
vektor beban akhir dengan derajat perturbasi (1,1)
untuk derajat perturbasi awal (2,2) atau (1,2)
untuk derajat perturbasi awal (3,3).
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 334

Tabel 2: Waktu hitung (dalam detik), banyak
langkah, dan penggunaan memory (Kilobyte); >xM:
pada menit ke-x proses perhitungan terhenti, karena
tidak ada memori lagi)

Algo.
Derajat Perturbasi
Ket.
(1,1) (2,2) (3,3)
Mod-1
4585,21
>212M 4884,55
Waktu
Mod-2 23,16 10,96
Mod-1
16
21 44 Lang-
kah Mod-2 21+6 44+8
Mod-1
231355
165257 Me-
mory Mod-2 21189 7035

Contoh 3: Penghitungan basis Groebner tereduksi
dari ideal I (cylcic 6 di Faugere, dkk (1993) ) yang
dibangun oleh polinom:
1
,
,
,
,
,
6 5 4 3 2 1
6 5 4 3 2 6 5 4 3 1 6 5 4 2 1
6 5 3 2 1 6 4 3 2 1 5 4 3 2 1
6 5 4 3 5 4 3 2
6 5 4 1 6 5 2 1 6 3 2 1 4 3 2 1
6 5 4 5 4 3
4 3 2 6 5 1 6 2 1 3 2 1
6 5 5 4 4 3 3 2 6 1 2 1
6 5 4 3 2 1

+ +
+ + +
+
+ + + +
+
+ + + +
+ + + + +
+ + + + +
x x x x x x
x x x x x x x x x x x x x x x
x x x x x x x x x x x x x x x
x x x x x x x x
x x x x x x x x x x x x x x x x
x x x x x x
x x x x x x x x x x x x
x x x x x x x x x x x x
x x x x x x

di ] , , , , , [
6 5 4 3 2 1
x x x x x x Q terhadap order leksi-
kografis
lex
dengan
6 5 4 3 2 1
x x x x x x > > > > >
Pada derajat perturbasi (5,5) dan (6,6), beberapa
komponen dari vektor beban antara lebih dari
31
2
dan algoritma memerlukan 2 langkah saja. Tetapi,
tidak mengeluarkan hasil.

Tabel 3: Waktu penghitungan (dalam detik) *:
beberapa komponen dari vektor beban-antara lebih
besar dari . 2
31


Algo.
Derajat Perturbasi
Ket.
(1,1) (2,2) (3,3) (4,4) (5,5) (6,6)
Mod-1 >51
M
>24
M
>35
M
47.13 --- --- Waktu
Mod-2
Mod-1
2 9 69 124 2* 2*
Lang-
kah Mod-2
Mod-1
34245
Me-
mory Mod-2


Kegagalan pada derajat perturbasi (1,1), (2,2), dan
(3,3) terjadi, karena himpunan pembangun

G
dari ideal homogen

G terdiri dari banyak


polinom dengan banyak monom, sehingga
penghitungan basis Groebner tereduksi dari ideal
tersebut memakan semua memori dan proses
terhenti pada ) , ( ReduksiGB :
2

G M = .
1. Pada derajat perturbasi (1,1), himpunan

G
terdiri dari 1 monom dan 69 polinom dengan
rincian: 1 polinom dengan 9 monom, 15
polinom dengan 24 monom, 16 polinom
dengan 25 monom, 17 polinom dengn 26
monom, dan 20 polinom dengan 27 monom.
2. Pada derajat perturbasi (2,2), himpunan

G
terdiri dari 2 monom dan 45 polinom dengan
rincian: 4 polinom dengan 2 monom dan 41
polinom dengan 26 monom.
3. Pada derajat perturbasi (3,3), himpunan

G
terdiri dari 4 monom dan 35 polinom dengan
rincian: 6 polinom dengan 2 monom dan 29
polinom dengan 24 monom.

Basis Groebner leksikografis tereduksinya sendiri
terdiri 17 polinom yang masing-masing terdiri
dari 6, 8, 10, 11, 18, 18, 20, 22, 23, 23, 23, 23, 24,
24, 25, 25, dan 27 monom.


HASIL DAN DISKUSI

Pada bagian ini akan disajikan beberapa hasil
eksperimen dari pengimplementasian Algoritma
Perturbasi Walk (model kedua) untuk menghitung
basis Groebner tereduksi dari ideal polinom
dengan koefisien di lapangan rasional, yaitu
waktu penghitungan total untuk setiap derajat
perturbasi, banyak langkah, dan analisa
penggunaan waktu.

Tabel 4: Waktu penghitungan (dalam detik) (#: vektor
beban akhir terperturbasi tidak terletak pada kerucut
Groebner yang sesuai)

Contoh N
Derajat Perturbasi
(1,1) (2,2) (3,3) (4,4) (5,5) (6,6)
Ex1 3 0,20 0.15# 0.09# --- --- ---
Ex2 3 1698,66 0.58 0,16# --- --- ---
Ex3 3 6999,66 0.49 0.56 --- --- ---
Kats5 5 665,83 0,84 0,59 0,55 * ---
S6 6 0,22 0,18 0,08 0,09 * *


Tabel 5: Banyak langkah yang digunakan

Contoh N
Derajat Perturbasi
(1,1) (2,2) (3,3) (4,4) (5,5) (6,6)
Ex1 3 13 35# 31# --- --- ---
Ex2 3 11 46 42# --- --- ---
Ex3 3 13 50 56 --- --- ---
Kats5 5 2 4 11 23 4* ---
S6 6 2 12 29 39 1* 1*



Tabel 6: Analisa Waktu Hitung dari prosedur
InitialForm (Info), ReduksiGB (RGB), LiftGB (Lift),
Reduksi (Red), dan Vektorbebanantra (VBA)
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 335

Contoh DP
Waktu Hitung (%) untuk
InFo RGB Lift Red VBA
Ex1 (3,3) 0,00 7,69 7,69 48,96 0,00
Ex2 (2,2) 5,17 7,90 3,45 84,48 0,00
Ex3 (2,2) 4,17 2,08 14,58 75,00 0,00
Kats5 (4,4) 20,00 0,00 0,00 80,00 0,00
S6 (3,3) 12,50 37,50 12,50 12,50 12,50


KESIMPULAN

Berdasar hasil-hasil yang disajikan pada Tabel 1
sampai dengan Tabel 6 dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut:

1. Banyak langkah dan waktu perhitungan dari
Algoritma Perturbasi Walk sangat tergantung
dengan derajat perturbasinya. Apabila semua
komponen dari vector beban-antara kurang
dari
31
2 dan vektor beban akhir terperturbasi
terletak pada kerucut Groebner yang sesuai,
maka dapat disimpulkan bahwa semakin
besar derajat perturbasi, maka semakin
banyak langkah yang digunakan oleh
algoritma dan waktu perhitungan semakin
kecil.
2. Apabila derajat perturbasinya cukup besar,
maka satau atau beberapa komponen dari
vektor beban antara lebih dari
31
2 atau
vektor beban akhir terperturbasi tidak terletak
pada kerucut Groebner yang sesuai.
3. Oleh karena Algoritma Groebner Walk itu
sendiri merupakan Algoritma Perturbasi
Walk dengan derajat perturbasi (1,1), maka
dapat disimpulkan bahwa Algoritma
Perturbasi Walk dengan derajat terbaiknya
senantiasa lebih efisien dan efektif dari
Algoritma Groebner Walk.
4. Sebagian besar (lebih dari 75%) waktu
perhitungan digunakan untuk mereduksi basis
Groebner (lihat Tabel 6). Dengan kata lain,
proses reduksi dari satu polinom oleh
himpunan polinom yang lain masih tidak
efisien.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Adams, W. dan Loustaunau, P. 1994. An
Introduction to Groebner Bases, Graduate
Studies in Mathematics 3. Providence: AMS,
[2] Amrhein, B., Gloor, O., dan Kchlin, W.
1996. Walking Faster di Proceeding of
DISCO'96, Karlsruhe, Germany. Berlin:
Springer-Verlag.
[3] Amrhein, B., Gloor, O., dan Kchlin W.
1997. On the Walk (preprint).
[4] Bayer, D. dan Stillman, M. 1987. A
Theorem on Refining Division Orders by the
Reverse Lexicographic Order. Duke Journal
Math. 55. 321-328.
[5] Becker, T. dan Weispfenning, V. 1998.
Groebner Basis. A Computationd Approach
to Commutative Algebra. New York:
Springer-Verlag.
[6] Cox, D., Little, J., dan O'Shea, D. 1997.
Ideals, Varities and Algorithms. New York:
Springer-Verlag.
[7] Collart. S., Kalkbrener. M., dan Mall, D.
1997. Converting Bases with the Groebner
Walk. Journal Symbolic Computation 24.
465-469.
[8] Czapor, S.R. (1989). Solving Algbraic
Equations via Buchbergers Algorithm, in
Proceeding EUROCAL87, Lecture Notes in
Computer Science 378, New York: Springer-
Verlag, 260-269
[9] Faugere, J.C., Gianni, P., Lazard, D., dan
Mora, T. 1993. Efficient Computation of
Zero-dimensional Groebner Bases by
Change of Ordering. Journal Symbolic
computation 16. 329-344.
[10] Greuel, G.-M. dan Pfister, G. 2002. A
Singular Introduction to Commutative
Algebra. Berlin: Springer-Verlag.
[11] Kalkbrener, M. (1989). Solving systems of
Algebraic Equations by Using Groebner
Bases, in Proceeding EUROCAL87,
Lecture Notes in Computer Science 378,
New York: Springer- Verlag, 282-292.
[12] Mora, T. dan Robbiano, L. 1988. The
Groebner Fan of an Ideal. Journal Symbolic
computation 6, 183-208.
[13] Robbiano, L. 1985. Term Orderings on the
Polynomial Ring, in Proceedings of
EUROCAL'85, Lecture Notes in Computer
Science 204. Berlin: Springer-Verlag, 513-
156.
[14] Sulandra, I Made. 2009. Algoritma Groebner
Walk Lambat? Makalah disajikan pada
Seminar Nasional Matematika dan Pendi-
dikan Matematika yang diselenggarakan
oleh dan di UNY, Yogyakarta, 5 Desember
2009.
[15] Tran, Quoc-Nam . 2000., A Fast Algorithm
for Groebner Basis Conversion and its
Applications, Journal Symbolic Computation
30. 451-467.
[16] Traverso, C. 1996. Hilbert Functions and the
Buchberger Algorithm, Journal Symbolic
Computation 2, 355-376.
[17] Trinks, W. (1978). Ueber B. Buchbergers
Verfahrens, Systeme algebraischer
Gleichungen zu loesen, Journal of Number
Theory 10, 475-488.


Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 336
Lampiran
A. Contoh Ideal
Contoh Ex1: Ideal I dibangun oleh 3 polinom:
. 2 3 2
, 2 2
, 2
3 3 2
2 3 2
3 3 2 4 3
yz y x y x
xyz y x y x
xz z yz y xy
+ +
+ +
+ +


Contoh Ex2: Ideal I dibangun oleh 3 polinom:
. 2 3
, 3 2 2
, 3
3 2 2 3
2 2 2 3 2
2 4 3
xz yz xy x
xyz yz z z y z x
yz y xy x
+ +
+ + + +
+ + +


Contoh Ex3: Ideal I dibangun oleh 3 polinom:
. 2 2
, 3
, 2
2 2 2 4
3 3 3 2 2
3 3 4 2
xyz z y z x y
yz z z y y x
xz yz z x y x
+
+ + +
+ + +


Contoh Kats5: Ideal I dibangun oleh 5 polinom:
. 2 2 2
2 2 2
2 2 2 2
2 2 2 2
1 2 2 2 2
2
2 2 2 2 2
d be bc ad
c ce bd b ac
de cd b bc ab
e d c b a a
e d c b a
+ +
+ + +
+ + +
+ + + +
+ + + +


Contoh S6: Ideal I dibangun oleh 6 polinom:
. 2 2 2
, 2 2
, 2 2
, 2 2
, 2 2 2
2 2
2 2
2 2
2 2
dc eb f fa
c db e ea f
cb d da fe
b c ca e fd
b ab ed fc
a a d ec fb
+ + +
+ + + +
+ + +
+ + + +
+ + +
+ + + +

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 337
EKSTRAKSI FITUR DATA REMOTE SENSING
MENGGUNAKAN PRI NCI PAL COMPONENT ANALYSI S

Ismail Djakaria
1
, Suryo Guritno
2
, Sri Haryatmi Kartiko
2

1
Mathematics Department, Gorontalo State University, Gorontalo
2
Mathematics Department, Gadjah Mada University, Yogyakarta

iskar@ung.ac.id, suryoguritno@ugm.ac.id, s_kartiko@yahoo.com


ABSTRAK

Klasifikasi data citra hasil penginderaan jauh (remote sensing) menjadi suatu persoalan yang menantang, dalam
hubungannya dengan kemajuan teknologi terbaru remote sensor. Persoalan mendeteksi atau mengklasifikasi wilayah
perkotaan (padat) pada citra penginderaan jauh dengan resolusi rendah akan menemukan persoalan yang lebih besar
dalam hal analisis, terutama permasalahan dimensionalitas. Pada makalah ini disajikan penggunaan Principal
Component Analysis (PCA) dalam mengekstraksi fitur dan mereduksi dimensi data remote sensing, serta kaitannya
dengan metode-metode lain dalam hal identifikasi dan klasifikasi.

Keywords: klasifikasi, remote sensing, wilayah perkotaan, PCA


Pendahuluan

Pada domain spektral, piksel merupakan vektor
dengan komponen-komponennya memuat
informasi panjang gelombang khusus yang
diberikan oleh jaringan khusus pula (Chang dalam
[5]). Ukuran vektor disesuaikan dengan
banyaknya saluran (band) di mana sensor dapat
dikumpulkan. Untuk data hiperspektral, ada 200
atau lebih berkas spektral dari suatu tempat
(scene) yang sama, sedangkan untuk citra
multispektral sekitar sepuluh berkas yang dapat
diakses, dan hanya ada satu berkas untuk citra
pankromatik [5].

Aplikasi pengenalan data remote sensing
memerlukan kecepatan proses yang lebih baik dan
analisis yang akurat. Analisis yang dimaksudkan
terdiri atas sejumlah langkah, misalnya, proses
persiapan, peningkatan akurasi dimensi,
identifikasi, klasifikasi pencitraan, dan lain-lain.
Berbagai proses pencitraan, keterhubungan pola,
teknik pengenalan, dan metodologi yang
digunakan adalah untuk menganalisis informasi
yang terdapat dalam citra [1]. Teknologi yang
digunakan dapat dibedakan dalam dua bagian,
yaitu yang digunakan untuk pendekatan statistika
dan pendekatan non statistika. Metodologi
statistika seperti FDA, RBFNN, dan SVM [3,9,
12] dapat digabungkan untuk melakukan analisis
terhadap citra remote sensing. Sedangkan untuk
teknik non-statistika, Neural Network merupakan
pendekatan yang sering digunakan [2] untuk
pemrosesan citra. Metodologi-metodologi yang
digunakan mempunyai beberapa keterbatasan,
antara lain, memerlukan waktu training (latihan)
yang lebih lama, lebih mengeksploitasi waktu
pemrosesan, dan keterbatasan akurasi sekitar 70%
(Haykin dalam [1]). Penurunan tingkat akurasi ini
sering akan menurunkan klasifikasi citra remote
sensing, sehingga akan mengurangi ketelitian
dalam identifikasi.

Pereduksian dimensionalitas merupakan suatu
teknik yang bertujuan untuk mereduksi dimensi
data dengan memetakannya ke dalam ruang yang
lain dengan dimensi yang lebih rendah, tanpa
mengurangi beberapa informasi yang penting.
Informasi yang penting ditentukan pada proses
selanjutnya, misalnya, klasifikasi, pendeteksian,
representasi, dan seterusnya. Pemilihan fitur
adalah teknik memilih sebuah subset fitur yang
relevan, sedangkan mengekstraksi fitur adalah
suatu metode penggabungan fitur. Kedua metode
ini digunakan untuk memperoleh representasi data
yang relevan dalam ruang dimensi yang lebih
rendah.

Pada makalah ini akan diuraikan pendekatan
analisis komponen utama (Principal Component
Analysis, PCA) untuk mengidentifikasi dan
menganalisis data citra remote sensing, dan
sebagai tarning area, digunakan data remote
sensing citra satelit Compact Airborne
Spectographic Imager (CASI), yang digunakan
[10]. CASI adalah spektrometer perekam citra
yang relatif portabel dan mudah digunakan untuk
skala laboratorium dan/atau dapat dipasang pada
pesawat terbang berukuran kecil. Ketinggian
terbang biasanya berkisar antara 900 meter sampai
1800 meter [6]. Sensor CASI dapat dioperasikan
dalam dua mode, pertama mode spasial, dengan
masing-masing baris mempunyai 512 piksel dan
bisa mencapai 18 band.Lebar band,jumlah dan
resolusi spasial lapangan pada mode spasial dapat
diatur (programable) sesuai kebutuhan. Kedua
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 338
adalah mode spektral, dimana CASI dapat
membentuk 288 band dari panjang gelombang
417 nm sampai dengan 927 nm, dengan rata-rata
band sekitar 1,76 nm. Pada mode ini, setiap baris
hanya mempunyai 39 piksel, sehingga wilayah
cakupannya hanya berupa strip memanjang
sepanjang jalur terbang pesawat.

Data yang digunakan untuk mensimulasikan
penggunaan PCA adalah citra CASI mode spasial
hasil perekaman yang dilakukan oleh PT.
Comserve Indonesia pada 29 Januari 1998 di atas
Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Jumlah band 15 buah, dengan lebar sapuan (swath
width) 512 piksel, resolusi spasial 1 meter,
resolusi radiometrik 16 bit, dan resolusi spektral
1,8 nm. Luas sapuan 672 Ha dengan koordinat
daerah liputan 672
300
mT 676
500
mT dan 9374
000

mU 9375
600
mU, zone 48 UTM yang dipotret
dalam dua jalur terbang (strip). Kemudian data
hasil rekaman ini dibuat dalam citra wilayah di
atas Pulau Kelapa. Beberapa contoh data citra
CASI diberikan pada Gambar 2.

Untuk mengidentifikasi fitur-fitur dalam citra
remote sensing dilakukan dengan klasifikasi
menggunakan metode maximum likelihoood
classification. Akan dibandingkan hasil klasifikasi
dari data orijinal dan data yang telah
ditransformasi melalui PCA.


Principal Component Analysis

Analisis komponen utama atau Principal
Component Analysis (PCA) berperan penting
dalam pemrosesan citra remote-sensing. Meskipun
keterbatasan teori untuk analisis data hiperspektral
sebagaimana diuraikan Landgrebe serta Lenno
(dalam [5]), namun dalam prakteknya hasil-hasil
yang diperoleh menggunakan PCA masih bisa
berkompetisi dalam hal klasifikasi. Keunggulan
PCA tidak terlalu kompleks dalam perhitungan
dan tidak adanya parameter yang
dipertimbangkan, namun hanya mampu hingga
statistik orde kedua, yang berakibat membatasi
efektivitas metode ini. PCA merupakan teknik
rotasi yang sangat spesifik, yang diterapkan pada
sistem koordinat multiband (saluran atau dimensi
yang banyak, bahkan lebih dari 3 dimensi)
sehingga menghasilkan sumbu-sumbu baru atau
citra baru dengan band yang tidak saling
berkorelasi, menghilangkan gangguan (noise) dan
mengurangi dimensionalitas data sehingga
diperoleh citra baru dengan band lebih sedikit
namun dengan informasi yang efisien. Karena
citra multispektral biasanya saling berkorelasi
tinggi, PCA sangat baik digunakan untuk
menghasilkan band yang tidak saling berkorelasi.
Principal Component band merupakan kombinasi
dari band asli dan tidak berkorelasi. Citra hasil
PCA menghasilkan komposit warna yang lebih
baik dibanding komposit warna biasa karena
datanya yang tidak saling berkorelasi [11].
Semakin rendah korelasi band-band tersebut,
semakin tinggi potensi band-band itu untuk saling
melengkapi. PC1 (sumbu utama) mengandung
persentase tertinggi dari variansi datanya. PC1
terletak pada posisi distribusi piksel yang paling
besar variansinya. PC2 adalah sumbu baru yang
dibuat tegaklurus terhadap PC1 dan variansi
datanya terbesar kedua setelah PC1 dan
seterusnya [4].

PCA membutuhkan informasi tentang statistik
citra, khususnya korelasi antar band, variansi dan
kovariansi matriks. Semakin tinggi korelasi antar
band maka semakin kecil potensinya untuk saling
melengkapi. Variansi adalah nilai yang
menunjukkan besarnya perbedaan nilai spektral
yang terdapat pada tiap-tiap band. Semakin tinggi
variansinya maka objek yang dapat dikenali pada
band tersebut semakin banyak. Kovariansi
digunakan sebagai dasar perhitungan untuk
memperoleh nilai eigen. Nilai eigen ini
memberikan informasi mengenai panjang sumbu
utama yang baru pada elipsoida piksel. Selain itu
juga diturunkan informasi vektor eigen yang
menjelaskan arah dari sumbu utama. Panjang
sumbu utama yang baru dan arahnya yang
ditentukan oleh nilai eigen dan vektor eigen
memberikan nilai-nilai piksel yang baru, yang
telah terdistribusi kembali.

Pada umumnya berapa pun jumlah band
masukannya, hanya tiga komponen saja yang
memuat informasi seluruh band [4].

Secara aljabar, PCA merupakan metode untuk
mereduksi p variabel observasi menjadi k variabel
baru yang saling ortogonal, yang masing-masing k
variabel baru itu merupakan kombinasi linear dari
p variabel lama. Pemilihan k variabel baru
dilakukan sedemikian rupa sehingga variansi yang
dimiliki oleh p variabel lama, sebagian besar
dapat diterangkan/dimiliki oleh k variabel baru.
PCA akan cukup efektif apabila antar p variabel
asal memiliki korelasi yang cukup besar. PCA
juga merupakan sebuah teknik klasik dalam
analisis data statistik, yang bertujuan untuk tidak
mengkorelasikan variable-variabel dalam vektor
random X
] [
c c
E Y Y
n
, X
1
, , X
n
, yang diberikan.
Variabel vektor proyeksi Y = PX tidak
berkorelasi dengan variabel lainnya, sehingga
matriks kovariansinya
Y
= merupakan
matriks
diagonal, dimana Y
c
adalah vektor terpusat Y.
Matriks kovariansi dapat ditulis sebagai:


Y
= E[(Y m
Y
)(Y m
Y
)]
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 339
= PE[(X m
X
)(X m
X
)]P = P
X
P. (1)









Gambar 1. Matriks kovariansi untuk data set
hiperspektral yang diperoleh dari data satelit CASI,
area di atas Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, DKI
Jakarta

X
adalah matriks simetri bernilai real dengan
dimensi berhingga, dan dapat didiagonalkan
dengan sebuah matriks orthogonal M (M = M
-1
),
M
-1

X
M =
Y
(dari (1)). Melalui identifikasi, P
adalah sebuah matriks ortonormal yang diperoleh
dengan menyelesaikan masalah nilai eigen ()
dengan syarat norm vektor eigen (v) adalah satu:

v =
X
v, ||v||
2
= 1 (2)

Kondisi ini tidak sesuai aturan bahwa P terdiri
dari himpunan seluruh vektor eigen v dari
X
,
dengan satu vektor eigen setiap kolom.



(a) (b) (c)
Gambar 2. Data citra CASI di atas area Pulau Kelapa, (a) Band 1 (b) Band 6 (c) Band 10


Mereduksi Dimensi dengan PCA

Nilai eigen yang diperoleh menyatakan variansi
dari variabel Y, yaitu, var(Y
i
) =
i
, dengan
1
>

2
> >
n
dan
j i

e e ,

+ =
n
k i
i
1

n
=
ij
, dengan

=
1, =
0,

. Mereduksi fitur dengan
menggunakan dalil: semakin besar variansi, maka
semakin besar juga kontribusinya untuk
representasi. Jadi, variabel yang berhubungan
dengan nilai eigen yang besar perlu
dipertimbangkan dan harus tetap setelah
pereduksian fitur. Masalahnya terletak dalam
memilih komponen utama yang memadai
sehingga kesalahan rekonstruksi menjadi kecil.
Hal ini ditunjukkan [7] bahwa kesalahan dalam
rekonstruksi, dalam mean kuadrat (MSE), dari X
hanya menggunakan k komponen utama pertama

MSE = (3)

Oleh karena itu, k dipilih agar MSE berkurang
hingga batas (taraf signifikansi) yang diberikan
t
PCA
, umumnya 5% atau 10% dari total variansi:

=
+ =
n
i
i
n
k i
i
1
1

t
PCA
. (4)


Komputasi PCA

PCA yang berhubungan dengan diagonalisasi
matriks auto-korelasi dari vektor random awal,
yang diestimasi:

X
= E[(X m
X
)(X m
X
)]


1
) )( (
1
1
i
i i
m m
X X
X X (5)
dan nilai rata-rata diestimasi:
m
X
= E(X)

1
1
i
i
X (6)
di mana banyaknya data observasi. Untuk
jelasnya dapat dilihat Algoritma di bawah ini.

Algoritma PCA
1: m
X
=
1



=1

2: X
c
= X m
X

3:
X
=
1
1

=1

4: Hitung: v =
X
v dengan
2
= 1
5: Mencari k komponen utama pertama:
X
pc
= [
1
| |

]

Dengan menyelesaikan masalah nilai eigen (2),
menggunakan data citra satelit CASI di atas area
Pulau Kelapa, memberikan hasil dalam Tabel 1.
Nilai eigen kumulatif pada komponen utama
pertama telah mencapai 78,37%, dua komponen
utama pertama mencapai sekitar 95,09%, dan tiga
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 340
PC1 PC2 PC3
Gambar 3. Tiga principal component pertama, dataset Pulau Kelapa

Tabel 1. PCA: Prosentase nilai eigen dan kumulatif
matriks kovariansi data remote sensing di atas Pulau
Kelapa, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

Komponen
Area di atas Pulau Kelapa
Eigen value % % Kum
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
8135168.8105
1736214.5419
315237.6541
79391.1900
48643.2962
29070.8057
10720.6928
8457.2662
6132.7594
4578.7801
2804.6612
1661.3670
1023.3077
867.1829
808.6724
78.37
16.68
3.04
0.76
0.47
0.28
0.11
0.08
0.06
0.04
0.03
0.01
0.01
0.01
0.01
78.37
95.09
98.13
98.89
99.36
99.64
99.75
99.83
99.89
99.93
99.96
99.97
99.98
99.99
100.00

10380780.9881

komponen utama pertama 98,13% dari variansi
total. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
menggunakan informasi orde kedua, data remote
sensing yang disediakan oleh CASI dapat
direduksi menjadi ruang tiga dimensi (band).

Transformasi PCA

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa PCA
adalah teknik rotasi yang diterapkan pada
koordinat multiband sehingga menghasilkan citra
baru dengan jumlah band yang lebih sedikit, maka
untuk memutuskan rotasi, diperlukan informasi
tentang statistik satelit, khususnya korelasi antar
band, variansi-kovariansi, eigenvalue dan
eigenvector, yang diperoleh melalui aljabar linear.
Dari data statistik ini diperoleh perubahan nilai
kecerahan (brightness value, BV), dengan BV
baru yang telah redistribusi atau tereproyeksi pada
tiap komponen. Formula yang digunakan untuk
memperoleh BV baru pada newBV
i,j,p
merupakan
nilai kecerahan baru pada baris ke-i, kolom ke-j,
dan komponen ke-p adalah [8]:

newBV
i,j,p
=

=1
BV
i,j,k
(7)

dimana a
kp
adalah eigenvector, BV
i,j,k
adalah nilai
kecerahan pada band k untuk piksel baris ke-i,
kolom ke-j, dan n banyaknya band.

Dalam makalah ini, transformasi PCA pada citra
CASI, dari 15 band diperoleh tiga band, yang
merupakan tiga komponen utama pertama,
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3.

Pembuatan Citra Komposit Warna

Pembuatan citra komposit merupakan salah satu
teknik penajaman citra untuk mendapatkan citra
yang secara visual mudah diinterpretasi. Hasil
citra komposit ini digunakan untuk pengkodean
klasifikasi. Citra CASI memiliki 15 band spektral
yang terdiri dari 4 band utama yaitu band biru
(band 1-3), hijau (band 4-7), merah (band 8-12),
dan inframerah (band 13-15). Untuk mendapatkan
citra komposit yang baik secara visual dilakukan
beberapa kali perubahan kombinasi untuk
masukan band red, green, dan blue. Dari berbagai
kombinasi yang dilakukan diperoleh komposit
terbaik dengan kombinasi band 10_6_2, yang
menjadi true color (Gambar 4)

Klasifikasi

Klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi
supervised (terselia), yaitu maximum likelihood,
yang mengasumsikan bahwa statistik dari setiap
kelas untuk masing-masing band terdistribusi
secara normal dan menghitung probabilitas dari
setiap piksel sehingga menjadi milik kelas
tertentu. Klasifikasi ini dilakukan dengan software
The Environmental of visual image (ENVI) versi
4.4. Jika parameter probability threshold tidak
dimasukkan pada jendela klasifikasi maximum
likelihood, maka semua piksel akan terklasifikasi.
Hasil klasifikasi seperti pada Gambar 5.

Klasifikasi maximum likelihood ini didasarkan
pada fungsi diskriminan untuk setiap piksel dalam
citra [11]:

g
i
(X)-ln p(
i
)- ln |
i
| - (X-m
i
)
i
-1
(X-m
i
)
(8)

dimana:
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 341
Tabel 2. Informasi Kelas untuk Data CASI di atas Area
Pulau Kelapa

No. Kelas
Banyaknya
Sampel
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Gedung beratap seng
Gedung beratap asbes
Pohon
Pasir darat
Pasir laut
Tanah kosong
Bayangan
1168
1670
2350
389
2133
6975
482


i = kelas
X = data dimensi n (n banyaknya band)
p(
i
) = probabilitas kelas
i
yang muncul pada
citra dan diasumsikan sama untuk seluruh kelas

i
= matriks kovariansi data dalam kelas
i

m
i
= vektor mean

Citra CASI yang digunakan ini terdiri atas 333
228 piksel. Klasifikasi data citra terhadap area
yang diperhatikan, yaitu di atas Pulau Kelapa,
dapat dilihat pada Gambar 6, dan informasi
kelasnya pada Tabel 2.















Gambar 4. Citra CASI komposit true color
band 10, 6, 2


(a) (b) (c)
Gambar 5. Klasifikasi yang diperoleh menggunakan metode maximum likelihood, (a) true color
(b) tiga PC pertama (c) tujuh PC pertama: gedung atap seng, gedung atap asbes, pohon,
pasir darat, pasir laut, tanah kosong, bayangan



















Hasil klasifikasi ini menunjukkan bahwa akurasi
maximum likelihood terhadap citra CASI true
color dan transformasi tiga principal component
pertama hampir tidak terdapat perbedaan. Namun,
ketika digunakan pada tujuh principal component
pertama, obyek yang diklasifikasi sebagai pasir
laut telah membuat posisi di wilayah laut
dibandingkan dengan klasifikasi terhadap dua data
sebelumnya (Gambar 5(a) dan (b)). Dalam hal
akurasi klasifikasi, perlu adanya komparasi dengan
data sampel yang lebih besar atau dengan data
hasil survei lapangan. Dengan kata lain, klasifikasi
spektral dan klasifikasi spasial, jika dilakukan
secara bersama-sama maka akan menghasilkan
tingkat akurasi yang baik.
Kontribusi setiap band spektral terhadap
komponen utama dinyatakan dalam factor loading,
yang dapat dihitung dengan [8]:

R
kp
=

Var

(9)

dimana:
a
kp
: vektor eigen band k dan komponen p

p
: nilai eigen ke-p
Var
k
: variansi band k dalam matriks kovariansi.

Semakin tinggi nilai factor loading, maka
pengaruh atau masukan band spektral pada
komponen tersebut semakin tinggi pula
kontribusinya. Factor loading setiap band terhadap
Gambar 6. Data referensi klasifikasi area di atas Pulau
Kelapa: gedung atap seng, gedung atap asbes, pohon,
pasir darat, pasir laut,
tanah kosong, bayangan
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 342
tiga komponen utama dapat dilihat pada Tabel 4,
berdasarkan nilai eigen pada Tabel 1 dan vektor
eigen Tabel 3. Dari Tabel 4, nampak bahwa untuk
ketiga komponen pertama, band 1 yang paling
berkontribusi.

Tabel 3. Vektor eigen tiga principal component pertama

Eigenvector PC1 PC2 PC3
Band 1
Band 2
Band 3
Band 4
Band 5
Band 6
Band 7
Band 8
Band 9
Band 10
Band 11
Band 12
Band 13
Band 14
Band 15
0,2033
0,1565
0,3649
-0,6398
-0,6143
0,1042
0,0509
-0,0117
0,0245
-0,0054
-0,0095
0,0042
-0,0032
-0,0004
-0,0023
0,2407
0,1698
0,3299
-0,1952
0,6301
0,6047
0,0426
-0,0095
0,0387
-0,0017
-0,0070
0,0036
0,0009
0,0033
0,0011
0,2462
0,1540
0,2615
0,0062
0,1485
-0,3953
-0,7740
-0,2159
0,1460
0,0006
-0,0269
0,0003
0,0303
0,0151
0,0040


Tabel 4. Factor loading tiga principal component
pertama

Band Spektral PC1 PC2 PC3
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
0.8440
0.2688
0.2717
-0.2411
-0.1696
0.0214
0.0066
-0.0012
0.0023
-0.0005
-0.0006
0.0002
-0.0001
0.0000
-0.0001
0,9996
0,2916
0,2457
-0,0736
0,1739
0,1239
0,0055
-0,0010
0,0037
-0,0001
-0,0004
0,0002
0,0000
0,0001
0,0000
1,0224
0,2644
0,1947
0,0023
0,0410
-0,0810
-0,1000
-0,0228
0,0138
0,0001
-0,0016
0,0000
0,0013
0,0004
0,0001


Penutup

Dari hasil simulasi di atas, dapat disimpulkan
bahwa ekstraksi fitur dengan PCA dapat
memberikan pemahaman klasifikasi yang memadai
terhadap data citra urban area di atas Pulau
Kelapa, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Namun
demikian, dari segi tingkat akurasi belum dapat
diukur secara pasti, karena masih harus
dikomparasikan dengan data survei lapangan, atau
dengan melakukan klasifikasi spektral dan
klasifikasi spasial secara bersama.



Daftar Pustaka

[1] Bajwa et al. 2009. Feature Based Image
Classification by using Principal Component
Analysis, ICGST-GVIP Journal, ISSN 1687-
398X, Volume (9), Issue (II)
[2] Barsi et al. 2002. Detecting road junctions by
Artificial Neural Networks JEANS,
International Archives of Photogrammetry,
Remote Sensing and Spatial Information
Science (34) 3B: 18-21
[3] Cai, L. Dan Thomas H. 2004. Hierarchical
Document Categorization with Support
Vector Machines. CIKM04, November 813,
Washington, DC, USA
[4] Danoedoro, Projo. 1996. Pengolahan Citra
Digital, Teori dan Aplikasinya dalam Bidang
Penginderaan Jauh, Yogyakarta: Fakultas
Geografi UGM
[5] Fauvel, Mathieu. 2007. Spectral and Spatial
Methods for the Classification of Urban
Remote Sensing Data. Doctoral Thesis.
Iceland: Faculty of Engineering, Iceland
University
[6] Gong et al. 1995. Coniferous leaf area index
estimation along the oregon transect using
Compact airborne spectrographic imager
data, Photogrammetric Engineering and
Remote Sensing, Vol 61 (9): 1107-1117
[7] Hyvrinen, A. et al. 2000. Independent
component analysis: Algorithms and
applications. Neural Networks, 13: 411-430.
[8] Jensen, J.R. 1996. Introductory Digital Image
Processing (A remote sensing perspective),
2
nd
edition, New Jersey: Prentice Hall
[9] Knorn et al. 2009. Land cover mapping of
large areas using chain classification of
neighboring Landsat satellite images.
Elsevier, RSE-07330: No of Pages 8
[10] Palapa, J. 2002. Pengolahan citra digital
CASI-THEMAP untuk identifikasi dan
pemetaan terumbu karang (coral reef) di
Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, DKI
Jakarta. Skripsi. Yogyakarta: UGM
[11] Richards, J.A dan Xiuping J. 2006. Remote
Sensing Digital Image Analysis, An
introduction, 4
th
edition, New York:
Springer-Verlag
[12] Zhang, T. 2004. Statistical Behavior and
Consistency of Classification Methods Based
on Convex Risk Minimization. The Annals of
Statistics, Vol. 32(1): 56134
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 343
ENHANCEMENT CITRA SIDIK JARI KOTOR DENGAN
TEKNIK GABOR FILTER

Muhammad Nasir
1,3
, Rahmat Syam
2,3
, Mochamad Hariadi
3


1
Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Lhokseumawe, NAD,24312

2
Jurusan Matematika, Universitas Negeri Makassar, Makassar, 90222

3
Jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, 60111

masnasir_poli@yahoo.com, rahmat_syam@yahoo.co.id, mochar@ee.its.ac.id


ABSTRAK

Sistem pengenalan sidik jari bertujuan untuk mengindentifikasi seseorang, namun kendala utama dalam pengenalan
sidik jari seseorang pada umumnya citra sidik jari memiliki kualitas yang rendah, antara lain disebabkan oleh jenis
kulit (berminyak, kering, kotor) dan jenis hardware fingerprint yang digunakan. Kualitas citra sidik jari merupakan
faktor utama penentu tingkat akurasi hasil pengenalan citra sidik jari pada sistem biometrik. Agar citra sidik jari kotor
mudah diinterpretasi oleh manusia maupun mesin, maka perlu dienhancement dengan meminimalkan bagian yang
kotor. Penelitian ini bertujuan untuk enhancement kualitas citra sidik jari kotor dengan metode Gabor filter. Gabor
filter merupakan band-pass filter yang dapat diatur mendekati kelompok frekuensi manapun pada domain frekuensi.

Keywords: Enhancement, Gabor Filter, Peningkatan Kualitas Citra, Sidik Jari


1. PENDAHULUAN

Pengolahan citra (image) adalah pemrosesan citra,
khususnya menggunakan komputer, menjadi citra
yang kualitasnya lebih baik. Sebagai contoh, citra
sidik jari yang tampak agak gelap, lalu dengan
operasi pengolahan citra kontrasnya diperbaiki
sehingga lebih terang dan tajam.

Salah satu citra yang telah lama digunakan dalam
sistem biometrik untuk mengidentifikasi pada
berbagai kondisi sosial termasuk kontrol akses,
penyelidikan kejahatan dan tindak kriminal, serta
identitas pribadi adalah citra sidik jari. Sistem
biometrik adalah sistem untuk melakukan
identifikasi menggunakan ciri-ciri fisik atau
anggota tubuh manusia, seperti sidik jari
(fingerprint), wajah, iris dan retina mata, suara.
Teknologi biometrik memiliki beberapa kelebihan
seperti tidak mudah hilang, tidak dapat lupa, tidak
mudah dipalsukan, dan memiliki keunikan yang
berbeda antara manusia satu dengan yang lain [1].
Salah satu anggota tubuh yang sangat sering
digunakan oleh para ahli forensik di dalam
investigasi kriminal dalam sistem biometrik
dengan kehandalan sangat tinggi adalah sidik jari.

Sistem pengenalan sidik jari bertujuan untuk
mengidentifikasi sidik jari seseorang. Kendala
utama dalam pengenalan sidik jari dengan metode
minutiae adalah pada umumnya citra sidik jari
memiliki kualitas yang rendah, antara lain
disebabkan oleh jenis kulit (berminyak, kering,
kotor) ataupun karena kualitas peralatan
fingerprint yang digunakan. Oleh karena itu,
peningkatan kualitas citra sidik jari seharusnya
menjadi salah satu prioritas utama sebelum
mengidentifikasi parameter-parameter yang
diasosiasikan oleh ciri (feature) dari obyek di
dalam citra, untuk selanjutnya parameter tersebut
digunakan dalam menginterpretasi citra.

Agar citra yang mengalami gangguan mudah
diinterpretasi (baik oleh manusia maupun mesin),
maka citra tersebut perlu dimanipulasi menjadi
citra lain yang kualitasnya lebih baik. Bidang
yang terkait tentang hal ini adalah pengolahan
citra (image processing). Salah satu metode yang
digunakan untuk meningkatkan kualitas citra
adalah image enhancement, yakni proses
peningkatan kualitas pada citra.

Metode image enhancement telah banyak
ditemukan dan digunakan oleh para peneliti dalam
meningkatkan kualitas citra secara umum, antara
lain: Image enhancement, yang dilakukan oleh
(Jianwei Yang, dkk., 2003) telah mempelopori
sebuah teknik memodifikasi sebuah Gabor filter,
dimana peneliti (Jianwei Yang, dkk., 2003)
terinspirasi dari Traditional Gabor Filter (TGF).
Dari hasil penelitiannya dikembangkan sebuah
filter baru yaitu Modified Gabor Filter (MGF).
Dari hasil modifikasi filter tersebut dapat
mengurangi FRR 2% dan FAR 0,01%.
Fingerprint Matching using Gabor Filters, yang
dilakukan oleh (Muhammamd Umer Munir dan
Dr. Muhammmad Younas Javed, 2004) dimana
pencocokan sidik jari ini didasarkan pada jarak
Euclidean antara dua vektor fitur yang sesuai.
Keaslian penerimaan tingkat filter Gabor berbasis
matcher diamati ~ 10% sampai 15% lebih tinggi
daripada minutiae-based matcher dengan nilai
rata-rata rendah. Ekstraksi fitur sidik jari dan
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 344
pencocokan mengambil ~ 7,1 detik menggunakan
Pentium IV, prosesor 2,4 GHz.

Namun secara khusus pada peningkatan kualitas
citra sidik jari yang kotor masih kurang didalami.
Oleh karena itu, kami mengusulkan enhancement
citra sidik jari kotor menggunakan metode Gabor
Filter.


2. BAHAN DAN METODE

2.1. Pengolahan Citra Digital

Istilah citra (image) secara harfiah adalah gambar
pada bidang dua dimensi. Ditinjau dari sudut
pandang matematis, citra merupakan fungsi
menerus (continue) dari intensitas cahaya pada
bidang dua dimensi. Sumber cahaya menerangi
obyek, obyek memantulkan kembali sebagian dari
berkas cahaya tersebut. Pantulan cahaya ini
ditangkap oleh alat-alat optik, misalnya mata pada
manusia, kamera, pemindai (scanner), dan
sebagainya, sehingga bayangan objek yang
disebut citra tersebut terekam.











Gambar 2.1 Gambar Citra Sidik Jari [3]

Sebuah citra diubah ke bentuk digital agar dapat
disimpan dalam memori komputer atau media
lain. Proses mengubah citra ke bentuk digital bisa
dilakukan dengan beberapa perangkat, misalnya
scanner, kamera digital, dan handycam. Ketika
sebuah citra sudah diubah ke dalam bentuk digital
(selanjutnya disebut citra digital), bermacam-
macam proses pengolahan citra dapat
diperlakukan terhadap citra tersebut [8].

Teknik-teknik pengolahan citra digital dapat
dilakukan sebagai berikut :
1. Perbaikan kualitas citra (image
enhancement). Jenis operasi ini bertujuan
untuk memperbaiki kualitas citra dengan cara
memanipulasi parameter-parameter citra.
Dengan cara operasi ini, maka ciri-ciri khusus
yang terdapat di dalam citra dapat
ditonjolkan. Contoh dari operasi ini yaitu
perbaikan kontras (gelap/terang), perbaikan
tepi obyek (edge enhancement), penajaman
(sharpening), reduksi derau [7].
2. Segmentasi citra (image segmentation). Jenis
operasi ini bertujuan untuk memecah dan
memilih suatu area ke dalam beberapa
segmen dengan suatu kriteria tertentu. Dalam
operasi ini, kasus yang sering terjadi terkait
dengan pengenalan pola. Misal segmentasi
mata, hidung, wajah atau yang lainnya [7].
3. Analisis citra (image analysis). Tujuan dari
operasi ini adalah menghitung besaran
kuantitatif dari citra untuk menghasilkan
suatu deskripsi informasi citra tersebut.
Misalkan, teknik mengekstraksi suatu ciri
tertentu untuk membantu menghasilkan
identifikasi obyek. Dalam operasi ini
segmentasi juga sering digunakan [7].

2.2. Sidik Jari

Sidik jari adalah suatu bentuk pola garis (ridge)
pada permukaan sebuah ujung jari. Sebuah sidik
jari berkualitas baik dapat dibedakan berdasarkan
pola-pola dan ciri-ciri (feature) yang
menyediakan ekstraksi feature yang bermanfaat
untuk pencocokan sidik jari. Sebuah algoritma
pencocokan sidik jari otomatis berbasis minutiae
menggunakan ciri-ciri yang membandingkan
karakteristik-karakteristik ridge lokal (minutiae)
dari dua sidik jari.

Berdasarkan pola garis (ridge) dan lembah
(valley), sidik jari dapat diklasifikasikan menjadi
tiga kelas utama, yaitu: Arch, Loop dan Whorl
(Prabakar).



(a) (b) (c)

Gambar 2.2 Klasifikasi Jenis Sidik Jari
(a) Arch,(b) Loop dan (c) Whorl [3]

Dari klasifikasi ini dapat di bagi menjadi beberapa
subklasifikasi (prabakar), yaitu :
1. Arch dibagi menjadi arch dan tented arch,
dari beberapa populasi arch mempunyai
presentasi sebesar 5%.
2. Loop dibagi menjadi left loop, right loop
dan double loop. Berbeda dengan arch,
jumlah individu yang mempunyai
klasifikasi loop sangat besar yaitu sebesar
60 %
3. Whorl pada klasifikasi ini jumlah
prosentasi individu sebesar 35%.


Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 345
2.3. Image Enhancement

Definisi dari image enhancement adalah berasal
dari kata enhancement yang artinya mempertinggi
atau meningkatkan. Jadi image enhancement
memiliki arti secara utuh adalah mempertinggi
atau meningkatkan kualitas citra dengan metode-
metode tertentu. Proses-proses dalam image
enhancement terdiri dari sekumpulan teknik yang
dilakukan untuk meningkatkan tampilan visual
dari sebuah citra, atau untuk mengkonversikan
citra ke dalam bentuk yang lebih cocok untuk
analisa mata manusia atau analisa mesin. Untuk
pemprosesan mesin, definisi dari image
enhancement adalah untuk menghentikan data-
data yang hilang dalam ekstraksi citra. Sebagai
contoh, sebuah sistem image enhancement
menguatkan garis tepi sebuah citra dengan
filtering menggunakan frekuensi tinggi. Gambar
yang telah di-enhance kemudian digunakan
sebagai input ke dalam sebuah mesin yang akan
melacak garis tepi dari sebuah objek dan mungkin
saja membuat sebuah pengukuran dari bentuk dan
ukuran dari objek tersebut.

Saat ini pada dasarnya tidak ada teori penyatuan
umum dari image enhancement, karena tidak ada
ukuran yang standar dari kualitas citra yang dapat
digunakan sebagai standar desain untuk sebuah
image enhancement processor.

2.4. Gabor Filter
Fungsi Gabor merupakan modulasi sinusoida dari
rotasi Gaussian. Bovik et al. mengusulkan
pembatasan pemilihan Gabor filter dengan
gaussian isometric (aspek rasio 1). Persamaan
domain-spatial dari korespondensi fungsi Gabor
ditunjukkan pada persamaan A1 dengan koordinat
rotasi x,y seperti ditunjukkan persamaan A2.
Transformasi fourier dan koordinat rotasi
ditunjukkan pada persamaan A3 dan A4 [9].

] 2 exp[ ). , ( ) , ( x jF y x g y x h =
(A1)
) cos sin , sin cos ( ) , ( + = y x y x y x
(A2)
]} ) [( 2 exp{ ) , (
2 2 2 2
v F u v u H + =
(A3)
) cos sin , sin cos ( ) , ( + = y u y u y u
(A4)

( x ', y ') = ( x cos y sin , x sin + y cos )
menyatakan koordinat garis lurus dari domain
spasial yang dirotasikan.
Dimana:
F = Frekuensi
g(x, y) = Amplitudo di pusat koordinat.
h(x, y) = Nilai fungsi pada setiap posisi.

Frekuensi pusat dari fungsi Gabor didefinisikan
dengan (U,V). Pusat frekuensi radial di
definisikan sebagai F =
2 2
V U + dan orientasi
sebagai = tan
-1
(V /U). Fungsi Gabor paling
menarik ketika dipelajari pada frekuensi domain.
Itu jika fungsi Gausian di gantikan dengan
frekuensi untuk posisi (U,V) pada F dari orientasi
asli dari . Gambar 2.3 memperlihatkan contoh
dari Gabor Filter.


Gambar 2.3 Transform Fourier dari Fungsi Gabor
dengan F=75
o
, =45
o
[9]

Gabor filter memiliki banyak properties yang
membuatnya cocok untuk segmentasi tekstur. Hal
ini ditunjukkan oleh fungsi Gabor yang
merupakan band-pass filter yang dapat diatur
mendekati secara seksama kelompok frekuensi
manapun pada domain frekuensi. Bovik et., al.
juga menjelaskan bahwa Gabor filter mencapai
resolusi bersama yang optimal pada frekuensi dan
domain spasial. Hal ini juga ditunjukkan
kelompok terbatas dari Gabor filter dapat
digunakan untuk aproksimasi koefisien ekspansi
Gabor dari band-limited image. Keluaran dari
parameter yang baik, kanal Gabor juga dapat
digunakan untuk merekonstruksi ciri yang paling
penting dari citra bertekstur [9].

2.5. Metodologi

Penelitian yang kami lakukan ada enam tahapan,
yaitu:
1. Pengambilan data citra sidik jari
2. Preprocessing
3. Deteksi dan pengelompokan jenis citra
sidik jari kotor
4. Enhancement citra sidik jari kotor
5. Feature extraction
6. Fingerprint recognition

Adapun metode enhancement citra sidik jari kotor
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
metode Gabor filter, sehingga kotoran pada citra
sidik jari dapat diminimalkan agar tingkat akurasi
pengenalan sidik jari dalam sistem biometrik
dapat ditingkatkan.

Sebelum enam tahapan penelitian ini
dilaksanakan, penulis terlebih dahulu melakukan
pengumpulan referensi sebagai acuan dalam
penelitian lalu kemudian menelaah referensi
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 346
tersebut dengan melakukan studi pustaka tentang
enhancement citra terutama pada citra sidik jari
yang kotor. Adapun tahapan proses dalam
penelitian antara lain.

2.5.1. Pengambilan Data Citra Sidik Jari
Pengambilan data citra sidik jari akan dilakukan
dari berbagai latar belakang pekerjaan obyek
penelitian (mahasiswa, karyawan, buruh, petani).
Data sidik jari akan diambil dengan merujuk pada
pedoman pengambilan data Fingerprint
Verification Competition (FVC) Database-2
(DB2), yakni menggunakan optical sensor
fingerprint U.are.U 4000 yang diproduksi oleh
digital persona. Data diambil dari 110 orang
dengan 8 sampel per jari (880 citra sidik jari).

Pada penelitian ini telah dilakukan ujicoba
terhadap 200 sampel citra sidik jari dari 880
sampel citra sidik jari yang kami miliki.

2.5.2. Preprocessing
Pada tahap ini terdapat proses untuk membuat
sidik jari yang telah diakuisisi menjadi file citra
sidik jari ternormalisasi yang siap untuk
diekstraksi cirinya. Pertama citra sidik jari dicari
reference point-nya kemudian berpusat pada titik
tersebut dilakukan sektorisasi. Wilayah yang
disektorisasi disebut Region of Interest (ROI).
Selanjutnya pada wilayah ROI ini dilakukan
normalisasi intensitas warna citra tiap sektor
dengan Metode Histogram untuk mendapatkan
hasil intensitas warna yang lebih merata dan jelas.

2.5.3. Deteksi dan Pengelompokan Jenis Citra
Sidik Jari Kotor
Mengevaluasi citra untuk mendeteksi dan
menentukan kategori citra sidik jari kotor, lalu
kemudian mengelompokkan (klasterisasi) jenis-
jenis citra sidik jari kotor. Deteksi citra sidik jari
kotor dilakukan berdasarkan intensitas piksel
tetangga terdekat.

Klasterisasi jenis kotor citra sidik jari akan
dilakukan dengan metode Learning Vector
Quantization (LVQ).

2.5.4. Enhancement Citra Sidik Jari Kotor
Setelah citra kotor dapat diketahui, selanjutnya
diterapkan metode enhancement citra sidik jari
kotor. Metode Gabor filter akan diterapkan dalam
enhancement citra sidik jari kotor. Metode Gabor
filter dalam melakukan enhancement citra sidik
jari kotor merupakan bagian utama penelitian ini
untuk meningkatkan kualitas citra sidik jari kotor.

Setelah empat langkah di atas selesai, langkah
selanjutnya adalah feature extraction (ekstraksi
ciri) sidik jari kemudian dilanjutkan dengan
fingerprint recognition (pengenalan sidik jari)
citra sidik jari untuk mengetahui tingkat akurasi
pengenalan citra.

2.5.5. Feature Extraction
Jumlah dimensi yang tinggi dari citra sidik jari,
akan menyebabkan waktu komputasi yang lama
dan ruang penyimpanan besar. Oleh karena itu
dibutuhkan feature extraction (ekstraksi ciri)
terlebih dahulu sebelum tahap pengenalan yang
juga sekaligus berfungsi mereduksi dimensi.

2.5.6. Fingerprint Recognition
Fingerprint recognition (pengenalan sidik jari)
adalah langkah untuk mengetahui tingkat
pengenalan citra. Untuk mengetahui keberhasilan
penelitian ini, maka pengenalan citra dilakukan
dari dua sisi, yakni pengenalan citra sidik jari
tanpa enhancement citra sidik jari kotor dan
pengenalan citra sidik jari menggunakan proses
enhancement citra sidik jari kotor. Kedua hasil
pengenalan tersebut akan dibandingkan untuk
mengetahui seberapa besar tingkat keberhasilan
enhancement citra yang telah dilakukan. Selisih
tingkat akurasi pengenalan menggunakan proses
enhancement dan tanpa proses enhancement
merupakan tingkat keberhasilan metode
enhancement yang telah dibuat.



Gambar 2.4 Framework Usulan Sistem Enhancement
Citra Sidik Jari Kotor


3. HASIL DAN DISKUSI

Citra sidik jari diambil menggunakan scanner
flatbed dengan cara meletakkan jempol kiri diatas
scanner dengan posisi tegak. Pengujian dilakukan
terhadap 200 sampel sidik jari menggunakan
median filter, hight pass filter dan Gabor Filter.

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 347





















Gambar 3.1 Enhancement dengan Median Filter
(a) Original Image; (b) Median Filter
(c) Salt and Paper ; (d) Result






















Gambar 3.2 Enhancement dengan Hight Pass Filter
(a) Original Image; (b) HPF1
(c) HPF2 ; (d) HPF3


























Gambar 3.3 Proses Verifikasi Metode Gabor Filter

Dari hasil pengujian dengan menggunakan dua
buah filter terlihat dimana untuk peningkatan
kualias citra sidik jari masih jauh dari harapan,
pada median filter dimana frekuensi yang
dilewatkan hanya frekuensi rendah sehingga
bagian kotornya masih belum sepenuhnya bisa
dihilangkan. Sedangkan dengan menggunakan
Hight Pass Filter malah merusak citra dari sidik
jarinya sendiri karena frekuensi yang di lewatkan
adalah frekuensi tinggi. Illustrasi dari proses
verifikasi metode Gabor Filter seperti
ditunjukkan pada gambar 3.3, dimana pada
prinsipnya suatu citra sidik jari yang telah
ternormalisasikan di konvolusi dengan 8 buah
Filter Gabor dengan arah orientasi yang berbeda
(0
o
,

22.5
o
, 45
o
, 67.5
o
, 90
o
, 112.5
o
, 135
o
, 157.5
o
).
Sehingga pada akhirnya terbentuk 8 buah citra
baru terfilterisasi. Karena permasalahan diatas
maka digunakan Gabor filter yang merupakan
band pass filter sehingga diharapkan dapat
meningkatkan kualitas sidik jari tanpa harus
merusak citra dari sidik jari.


4. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang didapat dari penelitian
awal ini antara lain :
1. Untuk mendapatkan intensitas citra yang
merata sebelum citra diekstraksi cirinya maka
terlebih dahulu perlu dilakukan normalisasi.
2. Dengan menggunakan median filter hasil
yang di harapkan belum terpenuhi dimana
tingkat kotornya masih tinggi.
3. Dengan metode Gabor filter diharapkan
dapat menghasilkan citra baru yang
terfilterisasi.







(a)
(b)
(c) (d)
(a) (b)
(c) (d)
90
o
0
o
22.5
o
45
o
67.5
o
112.5
o
135.5
o
157.5
o
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 348
5. DAFTAR PUSTAKA

[1] Arun, R. Jain, A. dan Resimen, J., 2002, A
Hybrid Fingerprint Matcher, Proceedings Of
International Conference on Pattern
Recognition (ICPR), Quebec City, hal. 11-15.
[2] Chaohong Wu, Zhixin Shi, Fingerprint
Image Enhancement Method Using
Directional Median Filter
[3] D. Maltoni, D. Maio, A.K. Jain, S. Prabhakar,
2003, Handbook of Fingerprint Recognition,
Springer, New York.
[4] Eun-Kyung Yun, Sung-Bae Cho, 2006 ,
Adaptive fingerprint image enhancement with
fingerprint image quality analysis.
[5] Jianwei Yang, Lifeng Liu, Tianzi Jiang,
2003. A modified Gabor filter design method
for fingerprint image enhancement. 1805-
1817, National Laboratory of Pattern
Recognition, Institute of Automation,
Chinese Academy of Sciences
[6] Munir, Umer Muhammad; Javed,Younas
Muhammad, 2004. Fingerprint Matching
Using Gabor Filter.
[7] Peng Yang et.al. 2002, Face Recognition
Using Ada-Boosted Gabor Feature. Institute
of Computing Technology of Chinese
Academy Science and Microsoft Research
Asia, China
[8] Rafel C. Gonzalez, Richard E. Woods. 2002.
Digital Image Processing (Second Edition).
Prentice-Hall. New Jersey.
[9] Vincent Levesque, 2003, Texture
Segmentation Using Gabor Filters, Center
For Intelligent Machines, McGill University
[10] Yiang Zhang, Yuhua Jiao, A Fingerprint
Enhancement Algorithm using a Federated
Filter.

Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI
349
PENGUJIAN STRUKTUR ALJABAR GROUP, RI NG & FI ELD
BERBASIS KOMPUTER

Ngarap Im Manik

Jurusan Matematika FST BINUS University,
Jln.K.H Sjahdan No.9 Palmerah, Jakarta 11480

manik@binus.edu


ABSTRAK

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan & teknologi komunikasi informasi khususnya di bidang komputer juga
diiringi oleh pesatnya perkembangan teknologi komputer yang pada akhirnya membuat segala sesuatunya menjadi
lebih cepat dan efisien.Dari hal inilah muncul ide untuk melakukan penelitian tentang pemanfaatan komputer dalam
bidang Matematika khususnya aljabar abstrak melalui perancangan, pembuatan dan implementasi piranti lunak
komputer untuk pengujian struktur aljabar group, ring dan field. Piranti lunak komputer yang dirancang
dikembangkan dengan menggunakan bahasa pemograman delphi 7.0 yang dijalankan dengan menggunakan sistem
operasi Microsoft Windows 2000. Hasil yang dicapai bahwa dengan adanya piranti lunak komputer ini, dapat
membantu para mahasiswa untuk lebih meminati bidang ilmu matematika, antisipasi penggunaan lisensi paket
software Matematika yang telah ada (Maple, Matlab) dan sebagai alat bantu dalam pembelajaran aljabar abstrak.
Aplikasi ini belum dapat menyelesaikan masalah berbagai inputan dalam unsur seperti grup permutasi atau bentuk
matriks dan pengujian masih menggunakan tabel Cayley.

Keywords : Grup, ring, field.


PENDAHULUAN

Struktur aljabar adalah salah satu materi
Matematika yang mempelajari tentang set,
proposisi, kuantor, relasi, fungsi, bilangan,
grupoid, grup, ring hingga field. Secara khusus
struktur aljabar adalah himpunan tak kosong
dengan satu komposisi biner atau lebih dan
bersifat tertutup. Banyak hal yang tercakup di
dalam struktur Aljabar, namun dalam tulisan ini
yang dibahas hanya grup, ring dan field.

Berbicara tentang grup. ring dan field adalah
bagaimana kita dapat melakukan pengujian
terhadap suatu himpunan tertentu sebagai input
sehingga dapat diuji apakah merupakan suatu
grup, ring dan field dengan hanya memasukkan
data input yang sesuai atau simulasi data maka
hasil hitungannya sudah diperoleh.

Makalah ini membahas perancangan Piranti
lunak komputer dengan menggunakan bahasa
pemrograman Delphi 7.0. dijalankan dengan
menggunakan sistem operasi Microsoft Windows
2000 yang dalam tulisan ini dimaksud berbasis
komputer. Hal lain yang ingin dicapai bahwa
dengan adanya piranti lunak komputer ini, dapat
bermanfaat membantu para mahasiswa untuk
lebih meminati bidang ilmu matematika dan juga
untuk antisipasi penggunaan lisensi paket
software yang telah ada (Maple, Matlab) yang bila
digunakan harus memiliki lisensi dari
pembuatnya.

Grup
Grup adalah suatu sistem atau struktur aljabar
yang sederhana. Jika suatu himpunan G
dengan suatu operasi yang didefinisikan bagi
elemen-elemen G bersifat tertutup, asosiatif,
mempunyai elemen identitas dan setiap elemen G
mempunyai invers terhadap operasi biner tersebut,
maka himpunan G terhadap operasi biner itu
membentuk suatu grup. Selanjutnya keempat sifat
tersebut dinamakan aksioma-aksioma suatu grup
.(Rowland, 2006)
Suatu himpunan G yang tidak kosong dan suatu
operasi biner yang didefinisikan pada G
membentuk suatu grup bila dan hanya bila
memenuhi sifat sifat berikut ini:
1. Tertutup, a,b G berlaku (ab) G.
2. Operasi pada G bersifat asosiatif, yaitu
untuk setiap G , c , b , a maka
) c b ( a c ) b a ( = .
3. G terhadap operasi biner mempunyai
elemen identitas, yaitu ada G e

sedemikian sehingga a a e e a = = utk
setiap G a .
4. Setiap elemen G mempunyai invers
terhadap operasi biner dalam G, yaitu
untuk setiap G a ada G a
1


sedemikian hingga e a a a a
1 1
= =


adalah elemen identitas dari G.

Jika himpunan G terhadap operasi biner
membentuk suatu grup, maka grup G ini
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI
350
dinyatakan dengan notasi ) , G ( . Tidak setiap
grup memiliki sifat komutatif terhadap binernya.
Operasi biner pada G bersifat komutatif yaitu
untuk setiap G b , a maka a b b a = .
Sehingga grup ) , G ( disebut grup abelian atau
grup komutatif. (DogFrey, 1999)

Ring
Ring adalah suatu struktur aljabar dengan dua
operasi biner yaitu + dan *. Terhadap operasi +,
struktur aljabar itu merupakan grup abelian,
terhadap * struktur aljabar itu semi grup, dan
operasi * bersifat distribusi kiri dan distribusi
kanan terhadap +. Himpunan yang tidak kosong R
terhadap dua operasi yang disajikan dengan tanda
+ dan * merupakan suatu ring bila dan hanya bila
memenuhi sifat-sifat berikut ini.
1. Sifat tertutup terhadap operasi + ;
Untuk setiap R b , a berlaku
R ) b a ( + .
2. Sifat asosiatif terhadap operasi +
Untuk setiap R c , b , a berlaku
) c b ( a c ) b a ( + + = + + .
3. Ada elemen identitas terhadap operasi +
Ada R 0 sedemikian hingga untuk
setiap R a berlaku a a 0 0 a = + = + .
4. Setiap elemen R mempunyai invers
terhadap operasi + untuk setiap elemen
R a dapat ditemukan ( ) R a
1

shg
0 a a a a
1 1
= + = +

.
5. Sifat komutatif terhadap operasi + ;
Untuk setiap R b , a berlaku
a b b a + = + .
6. Sifat tertutup terhadap operasi * ;
Untuk setiap R b , a berlaku
R ) b * a ( .
7. Sifat asosiatif terhadap *
Untuk setiap R c , b , a berlaku
) c * b ( * a c * ) b * a ( = .
8. Sifat distributif operasi * terhadap +
Setiap a,b,c R berlaku
c a b a ) c b ( a + = + dan
( ) c b c a c b a + = + . (Sukriman, 1999)

Field
Field adalah suatu struktur aljabar dengan dua
operasi biner yaitu + dan . Terhadap operasi
+ struktur aljabar itu merupakan grup abelian.
Terhadap operasi struktur aljabar juga
merupakan grup abelian tetapi dengan
mengecualikan angka unkes aditif, dan terhadap
operasi bersifat distributif kiri dan distributif
kanan terhadap +.
Himpunan yang tidak kosong R terhadap dua
operasi yang disajikan dengan tanda + dan
merupakan suatu ring bila dan hanya bila
memenuhi sifat-sifat berikut ini.
1. Sifat tertutup terhadap operasi +;
Untuk setiap R b , a berlaku
R ) b a ( + .
2. Sifat asosiatif terhadap operasi + ;
Untuk setiap R c , b , a berlaku
) c b ( a c ) b a ( + + = + + .
3. Ada elemen identitas terhadap operasi +
Ada R 0 sedemikian hingga untuk
setiap R a berlaku a a 0 0 a = + = + .
4. Setiap elemen R mempunyai invers
terhadap operasi +
Untuk setiap elemen R a dapat
ditemukan ( ) R a sedemikian
( ) ( ) 0 a a a a = + = + .
5. Sifat komutatif terhadap operasi + ;
Untuk setiap R b , a berlaku
a b b a + = + .
6. Sifat tertutup terhadap operasi :
Untuk setiap }) 0 { R ( b , a berlaku
}) 0 { R ( ) b a ( + .
7. Sifat asosiatif terhadap
Untuk setiap }) 0 { R ( c , b , a berlaku
) c b ( a c ) b a ( = .
8. Ada elemen identitas terhadap operasi
ada }) 0 { R ( 1 sedemikian hingga
untuk setiap }) 0 { R ( a berlaku
a a 1 1 a = = .
9. Setiap elemen R mempunyai invers terhadap
operasi
Untuk setiap elemen }) 0 { R ( a dapat
ditemukan ( ) }) 0 { R ( a
1


1 a a a a
1 1
= =

.
10. Sifat komutatif terhadap operasi ;
Untuk setiap }) 0 { R ( b , a berlaku
a b b a = .
11. Sifat distributif terhadap +
Untuk setiap R c , b , a berlaku
( ) c b c a c b a + = + dan
( ) c a b a c b a + = + . (Malik, 1997)


METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dimaksud dalam makalah
ini adalah langkah-langkah yang dilakukan dalam
proses pembuatan piranti lunak komputer. Dalam
rancangan pembuatan piranti lunak komputer ini
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI
351
diawali dengan studi kepustakaan sesuai dengan
topik bahasan grup, ring dan field. Selanjutnya
dari teori yang telah ada dilanjutkan dengan
perancangan dan pengembangan piranti lunak
komputer (software). Kegiatan dalam
perancangan piranti lunak Komputer (software)
dilakukan sesuai dengan prosedur siklus
pengembangan software yang lebih dikenal
dengan istilah SDLC (System Development Life
Cycle) meliputi langkah-langkah sbb: Planning,
Analisis, Perancangan, Implementasi dan
Perawatan/perbaikan seperti yang ditunjukkan
dalam tahapan berikut: (Pressman, 2005)

Untuk merancang piranti lunak komputer
pengujian grup, ring dan field, digunakan
Borland Delphi 7.0 yang di operasikan pada
Microsoft Windows 2000.
Sesuai tahapan di atas kemudian dilakukan
kegiatan :

1. Perancangan Layar

Perancangan Layar Pembukaan
Layar menu utama ini berfungsi sebagai layar
utama ketika user menjalankan program. Pada
layar pembukaan ini akan terdapat nama program,
identitas penulis, dan sebuah tombol Masuk
Form Utama. Tombol ini berfungsi untuk
melanjutkan ke layar input.

Perancangan Layar I nput
Pada layar input unsur terdapat sebuah EditBox,
sebuah ListBox, dan empat tombol. EditBox
berfungsi untuk memasukkan data unsur oleh
user. ListBox berfungsi untuk menampilkan data
unsur yang dimasukkan oleh user.

Tombol Masukkan Ke List >> berfungsi untuk
memindahkan data unsur dari EditBox ke
ListBox. Tombol Hapus Dari List << berfungsi
untuk menghapus data unsur yang diinginkan dari
ListBox. Tombol Bersihkan Semua Isi List
berfungsi untuk menghapus semua data unsur dari
ListBox. Tombol NEXT>> berfungsi untuk
melanjutkan ke layar Cayley.

Perancangan Layar Cayley
Pada layar Cayley terdapat dua StringGrid, dua
EditBox, tombol << BACK dan tombol NEXT
>>. StringGrid1 befungsi untuk memasukkan
hasil operasi unsur dari operasi1. StringGrid2
berfunsi untuk memasukkan hasil operasi unsur
dari operasi2.

EditBox1 dan EditBox2 berfungsi untuk
memasukkan nama operasi pertama dan kedua.
EditBox ini bersifat optional, yang berarti boleh
diisi atau pun tidak. Tombol Bersihkan Semua
Isi Tabel Cayley Operasi 1 berfungsi untuk
menghapus semua hasil operasi unsur pada
operasi1. Tombol Bersihkan Semua Isi Tabel
Cayley Operasi 2 berfungsi untuk menghapus
semua hasil operasi unsur pada operasi2. Tombol
<< BACK berfungsi untuk kembali ke layar
input. Tombol NEXT >> berfungsi untuk
melanjutkan ke layar hasil ring. Hal ini dilakukan
juga untuk lainnya.

2. Perancangan Modul

Untuk melakukan pengujiannya dilakukan dengan
menyusun beberapa modul antara lain,

Modul Masuk_Menu_Utama_click
Fungsi: perpindahan dari Layar Pembukaan ke
Layar Input
Begin
Aktifkan Layar Input
Nonaktifkan Layar Pembukkan
End

Modul Masukkan_Ke_List_click
Fungsi: memindahkan unsur dari EditBox ke
ListBox
var
flag : boolean;
i : integer;
Begin
if edit1 kosong then
Begin
flag := True;
for i := 0 to
ListBox1.Items.Count - 1 do
If edit1 = ListBox1 ke-i then
flag := False
if flag then tampilkan unsur pada
ListBox1
else
Tampilkan pesan 'Unsur sudah ada di
dalam list.'
End
else
Begin
Tampilkan pesan 'Unsur yang akan dimasukkan
ke dalam list tidak boleh kosong.'
End
End

Modul Hapus_Dari_List_click
Fungsi: menghapus data unsur yang diinginkan
pada ListBox1.
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI
352
Begin
Hapus unsur ListBox1 yang dipilih
End

Modul Next_click
Fungsi: mengecek ListBox dan melanjutkan ke
Layar Cayley
var
i : integer;
Begin
if ListBox1.Count lebih besar dari 0 then
Begin
Aktifkan Layar Cayley
Nonaktifkan Layar Input;
form2.StringGridOperasi1.ColCount :=
ListBox1.Items.Count + 1
form2.StringGridOperasi1.RowCount :=
ListBox1.Items.Count + 1
Form2.StringGridOperasi1.Cells[0,0] := '+';
for i := 0 to ListBox1.Items.Count - 1 do
Begin
Form2.StringGridOperasi1.Cells[i+1,0] :=
ListBox1.Items[i];
Form2.StringGridOperasi1.Cells[0,i+1] :=
ListBox1.Items[i];
End
form2.StringGridOperasi2.ColCount:=ListBox1.It
ems.Count +1
form2.StringGridOperasi2.RowCount :=
ListBox1.Items.Count + 1
Form2.StringGridOperasi2.Cells[0,0] := '*';
for i := 0 to ListBox1.Items.Count - 1 do
Begin
Form2.StringGridOperasi2.Cells[i+1,0] :=
ListBox1.Items[i];

Form2.StringGridOperasi2.Cells[0,i+1]
:= ListBox1.Items[i];
End
End
else
Begin
Tampilkan pesan 'Belum ada unsur yang akan
dioperasikan.'
End
End

Modul Bersihkan_Semua_Isi_List_click
Fungsi: menghapus semua unsur dalam ListBox1.
Begin
Hapus semua unsur pada ListBox1
End


3. Implementasi

Setelah rancangan program selesai kemudian
dilakukan pembuatan program/koding dan testing
modul program dan kemudian diintegrasikan.
Adapun Spesifikasi perangkat keras yang dipakai
dalam mengoperasikan program ini adalah:
Processor: Pentium 4(1,7GHz) ;Memory 256 MB
Harddisk :40 GB VGA Card:64MB Standard
VGA Monitor :SVGA 15; Mouse dan
Keyboard. Di samping kebutuhan perangkat keras
tersebut di atas, dibutuhkan perangkat lunak
dengan spesifikasi Operating System
Windows2000 dan Compiler Borland Delphi 7.0.


HASIL DAN DISKUSI

Untuk menguji piranti lunak komputer yang telah
dikembangkan, serta melihat hasil yang diperoleh
maka dilakukan uji coba program dengan
membuat satu contoh kasus berikut.

Contoh
Tunjukkan bahwa untuk A = {0, 1, 2, 3, 4 }
dengan operasi +
5
dan x
5
pada tabel berikut
apakah merupakan Ring ?

+
5
0 1 2 3 4
0 0 1 2 3 4
1 1 2 3 4 0
2 2 3 4 0 1
3 3 4 0 1 2
4 4 0 1 2 3

x
5
0 1 2 3 4
0 0 0 0 0 0
1 0 1 2 3 4
2 0 2 4 1 3
3 0 3 1 4 2
4 0 4 3 2 1

Hasil :
(A, +
5
) ~ Tertutup
~ +
5
asosiatif
~ unsur kesatuan = 0
~ 0
-1
= 0; 1
-1
= 4; 2
-1
= 3
3
-1
= 2, 4
-1
= 1
~ +
5
komutatif

(A, x
5
) ~ Tertutup
~ x
5
asosiatif
~ x
5
distributif terhadap
~ a x
5
(b +
5
c) = (a x
5
b) +
5
(a x
5
c)
Maka (A, +
5
, x
5
) adalah sebuah Ring

Berikutnya bila contoh di atas diselesaikan
dengan menggunakan program Komputer yang
telah dikembangkan, diperoleh hasil berikut :

Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMI PA UI
353

Gambar 1. Menu program utama


Gambar 2. Menu pilihan


Gambar 3. Input data Contoh


Gambar 4. Hasil Akhir Uji Ring (R,+,*)

Diskusi :
Berdasarkan hal yang dapat diperoleh dari hasil
run program tersebut sebagai berikut.
1. Program yang dibuat telah dapat menguji
suatu sistem terbatas apakah merupakan
group,ring atau field sesuai dengan pengujian
secara manual dan program sejenis belum ada
yang mengembangkan.
2. Jika dibandingkan dengan cara pengerjaan
manual maka dengan program aplikasi ini waktu
yang diperlukan untuk pengujian lebih singkat
sekitar 50% dari waktu manual.
3. Kelemahan program ini adalah tidak dapat
memberikan hasil pengujian (F-{0},*) jika hasil
yang ada sudah bukan merupakan ring dan
inputan masih merupakan alfanumerik terbatas.


PENUTUP

Program aplikasi pengujian Group, Ring dan
Field yang telah dibuat dapat menjadi alat bantu
untuk memudahkan pengujian dan lebih efisien
sekitar 50% dari waktu proses manual. Demikian
pula bahwa hasil pengujian yang dilakukan
program komputer tersebut sama dengan bila
diselesaikan secara manual, seperti yang
ditampilkan sebelumnya. Program aplikasi ini
belum dapat menyelesaikan masalah berbagai
inputan dalam unsur seperti grup permutasi atau
bilangan terbatas dan pengujian masih
menggunakan tabel Cayley.


UCAPAN TERIMAKASIH

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada Sri Martuti yang telah
membantu penulis dalam menyusun program
komputer yang diperlukan.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Dogfrey,Arfur. (1998). Finite Groups and
CayleyTables.http://members.tripod.com/~dogsc
hool/cayley.html
[2] Malik,D.S, John N.Mordeson, M.K.Sen.
(1997). Fundamentals of Abstract Algebra.
McGraw-Hill Internationl Editions.
Singapura.
[3] Pressman, Roger S (2005). Software
Engineering A Practitioners Approach 6
th

Edition, McGraw Hill, Singapore.
[4] Rowland, Todd.(2006) Group.
http://mathworld.wolfram.com/Group.html
[5] Sukirman, (1999). Aljabar Abstrak
Universitas Terbuka. Jakarta.
[6] W.Edwin Clark (2001). Elementary Abstract
Algebra, University of South Florida.
http://shell.cas.usf.edu/~wclark/Elem_abs_al
g.pdf

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 355
KAJIAN IMPLEMENTASI METODE MARKOV CHAI N MONTE CARLO
(MCMC) DALAM MENGAPROKSIMASI PERGERAKAN MODEL TINGKAT
BUNGA CONSTANT ELASTI CI TY OF VARI ANCE (CEV)

Noor Indah Ekawati, Bevina D. Handari, Mila Novita
Departemen Matematika FMIPA Universitas Indonesia, Depok 16424

{noor.indah, bevina1, novita}@ui.ac.id


ABSTRAK

Investasi adalah penanaman modal untuk satu atau lebih aset yang dimiliki dan biasanya berjangka waktu lama
dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa-masa yang akan datang. Salah satu faktor yang mempengaruhi
keputusan seseorang berinvestasi adalah pergerakan tingkat bunga. Pada makalah ini akan dibahas kajian
implementasi metode Markov Chain Monte Carlo (MCMC) dalam mengaproksimasi pergerakan tingkat bunga short
rate. Dalam hal ini pergerakan tingkat bunga short rate diasumsikan mengikuti model Constant Elasticity of
Variance (CEV).

Pada prinsipnya informasi untuk mengestimasi parameter model CEV dapat diperoleh dari distribusi parameter
bersyarat variabel terobservasi. Dalam hal ini variabel terobservasi untuk model CEV adalah data short rate tahun-
tahun sebelumnya. Untuk mendapatkan informasi mengenai distribusi parameter bersyarat variabel terobservasi
tersebut cukup sulit, karena: (1) model CEV diasumsikan mengikuti waktu kontinu, sedangkan data short rate
diobservasi dalam waktu diskrit , (2) model CEV memiliki bentuk model yang tidak linier, (3) model CEV tidak
memiliki solusi analitik untuk parameternya, dan (4) distribusi variabel model CEV bukan distribusi standar. Metode
MCMC dapat memberikan solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan menggunakan prinsip Bayesian.

Metode MCMC merupakan metode simulasi yang membangkitkan sampel secara random dari distribusi posterior,
yakni distribusi parameter bersyarat variabel terobservasi. Untuk kasus sampel yang dapat dibangkitkan langsung dari
distribusi posterior, salah satu algoritma MCMC yang dapat digunakan adalah Gibbs Sampling. Sedangkan untuk
kasus sampel yang tidak dapat dibangkitkan langsung, algoritma MCMC yang dapat digunakan diantaranya algoritma
Metropolis-Hastings dan algoritma accept-reject Metropolis-Hastings. Dari algoritma MCMC tersebut dapat
dihasilkan barisan variabel random parameter yang merupakan rantai Markov (Markov Chain). Kemudian metode
Monte Carlo menggunakan sampel-sampel tersebut untuk mengestimasi parameter model CEV. Parameter yang
dihasilkan akan digunakan untuk mengaproksimasi pergerakan tingkat bunga short rate model CEV.

Keywords: Constant Elasticity of Variance, Markov Chain Monte Carlo, Gibbs Sampling, Algoritma Accep-Reject
Metropolis-Hastings.


1. PENDAHULUAN

Pergerakan tingkat bunga adalah salah satu faktor
yang mempengaruhi keputusan seseorang dalam
berinvestasi. Pada kenyataannya, pergerakan
tingkat bunga selalu berubah-ubah secara tidak
pasti. Oleh karena itu model pergerakan tingkat
bunga mengandung suatu proses stokastik, yaitu
proses yang melibatkan variabel yang nilainya
berubah-ubah secara tidak pasti terkait dengan
waktu.

Salah satu model pergerakan tingkat bunga short
rate adalah model Constant Elasticity of Variance
(CEV). Model CEV pertama kali dikenalkan oleh
Cox (1975) sebagai model heteroscedastisitas
yang pertama kali digunakan untuk menentukan
return dari saham. Kemudian model ini diadaptasi
menjadi model short rate karena pergerakan short
rate seperti pergerakan harga saham yang
variansinya tidak konstan.

Untuk mengaproksimasi pergerakan tingkat bunga
yang diasumsikan mengikuti model CEV
diperlukan estimasi parameter terlebih dulu. Pada
prinsipnya informasi untuk mengestimasi
parameter model CEV dapat diperoleh dari
distribusi parameter bersyarat variabel
terobservasi. Dalam hal ini variabel terobservasi
untuk model CEV adalah data short rate tahun-
tahun sebelumnya. Untuk mendapatkan informasi
mengenai distribusi parameter bersyarat variabel
terobservasi tersebut cukup sulit, karena: (1)
model CEV diasumsikan mengikuti waktu
kontinu, sedangkan data short rate diobservasi
dalam waktu diskrit , (2) bentuk model CEV tidak
linier, (3) distribusi variabel model CEV bukan
distribusi standar, dan (4) model CEV tidak
memiliki solusi analitik untuk parameternya.
Metode Markov Chain Monte Carlo (MCMC)
dapat memberikan solusi untuk menyelesaikan
masalah tersebut dengan menggunakan prinsip
Bayesian.

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 356
Pada makalah ini dibahas kajian bagaimana
mengimplementasikan metode MCMC dalam
mengaproksimasi pergerakan tingkat bunga yang
diasumsikan mengikuti model CEV, terutama
dalam mengestimasi parameter model CEV.

Pada makalah ini hanya dibahas implementasi
metode MCMC dalam mengestimasi parameter
model tingkat bunga CEV. Pembahasan mengenai
hasil aproksimasi pergerakan tingkat bunga belum
dibahas di makalah ini.


2. LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan dibahas teori-teori yang terkait
dengan pembahasan masalah pada makalah ini.
Adapun teori-teori yang berkenaan dengan
makalah ini meliputi teori tentang tingkat bunga,
proses stokastik, proses Wiener, persamaan
diferensial stokastik, model short rate CEV,
teorema Bayes, dan metode MCMC.

Model pergerakan tingkat bunga yang dibahas
pada makalah ini adalah model tingkat bunga
short rate. Menurut teori term structure, tingkat
bunga diklasifikasikan menjadi spot rate, forward
rate, dan short rate. Spot rate,

didefinisikan
sebagai tingkat bunga yang dikenakan atas modal
yang dipinjam di waktu sekarang ( = 0) hingga
waktu jatuh tempo . Forward rate,

1
,
2

didefinisikan sebagai tingkat bunga yang
dikenakan atas modal yang dipinjam pada waktu

1
dan akan dibayarkan pada waktu
2
, dimana
1

dan
2
adalah waktu di masa yang akan datang,
namun kesepakatan mengenai pinjaman tersebut
dilakukan di waktu sekarang. Sedangkan short
rate didefinisikan sebagai tingkat bunga yang
berlaku untuk suatu interval waktu, . Short rate
juga dapat diartikan sebagai forward rate yang
merentang diantara periode waktu tunggal,

1
,
2
. Secara sistematis, hubungan antara spot rate
dengan short rate adalah
(1 +

= (1 +
1
)(1 +
2
) . . (1 +

).
Sedangkan hubungan antara spot rate dengan
forward rate adalah
1 +

= (1 +

1 +
,


.

Model pergerakan tingkat bunga dikatakan
mengikuti suatu proses stokastik karena selalu
berubah-ubah secara tidak pasti. Secara formal,
proses stokastik didefinisikan sebagai koleksi
variabel random {()| } yang merupakan
barisan dari variabel random yang diberi indeks
himpunan terurut . Proses stokastik yang
umumnya digunakan pada model pergerakan
tingkat bunga adalah proses Wiener. Adapun
secara formal proses Wiener didefinisikan sebagai
suatu variabel random () dengan [0, ]
yang memenuhi sifat-sifat berikut
1. (0) = 0 dengan probabilitas 1.
2. () adalah fungsi kontinu dari .
3. () -W(s) berdistribusi (0, ) untuk
0 < .
4. () () dan () () saling
bebas untuk 0 < < < .

Secara umum, model pergerakan tingkat bunga
short rate merupakan suatu persamaan diferensial
stokastik yang memiliki bentuk sebagai berikut

= (

, ) +(

, )

. Fungsi (

, )
dinamakan fungsi drift dan fungsi (

, )
dinamakan fungsi diffusion. Fungsi drift untuk
model CEV adalah (

, ) = (

)
sedangkan fungsi diffusion untuk model CEV
adalah (

, ) =

. Sehingga bentuk model


CEV adalah

= (

) +

(1)
dimana

menyatakan tingkat bunga (short rate)


pada saat , menyatakan kecepatan mean
reversion, menyatakan level mean reversion,

menyatakan volatilitas perubahan short rate,


2 menyatakan konstanta elastisitas dari variansi
perubahan short rate yang nilainya dibatasi
0 1, dan

menyatakan proses Wiener.



Model CEV mengikuti teori mean reversion.
Ketika short rate tinggi, permintaan akan
pinjaman berkurang sehingga short rate menurun
menuju suatu level tertentu. Sebaliknya ketika
short rate rendah, permintaan pinjaman
bertambah sehingga short rate meningkat menuju
suatu level tertentu. Level ini disebut level mean
reversion yang dinyatakan dalam . Kecepatan
mean reversion dari short rate model CEV
dinyatakan dalam . Jika tinggi maka yield
curve bergerak cepat menuju sedangkan jika
rendah maka yield curve bergerak secara lambat
menuju .

Model CEV pada persamaan (1) ekivalen dengan
bentuk berikut

= ( +

) +

(2)
dimana

adalah variabel terobservasi yang


menyatakan tingkat bunga (short rate) pada saat
dan = (, , , ) adalah parameter-parameter
model CEV yang akan diestimasi menggunakan
metode MCMC. Untuk analisis selanjutnya,
bentuk model CEV yang digunakan pada makalah
ini mengunakan persamaan (2).

Metode MCMC merupakan metode estimasi yang
menggunakan prinsip bayesian. Pada prinsipnya
simulasi metode MCMC adalah membangkitkan
sampel secara random dari suatu distribusi
posterior yaitu distribusi parameter bersyarat
variabel terobservasi. Misalkan menyatakan
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 357
parameter dan menyatakan variabel
terobservasi. Distribusi posterior dapat diperoleh
dengan menggunakan teorema Bayes, yaitu
(|) =
(|)()
()

(|) (|)()

(|) menyatakan distribusi posterior yaitu
distribusi bersyarat untuk parameter diberikan
variabel terobservasi atau data terobservasi.
(|) menyatakan fungsi likelihood. ()
menyatakan distribusi prior parameter. Sedangkan
() menyatakan distribusi marginal variabel
terobservasi.

Secara sederhana algoritma MCMC adalah
1. Diberikan sembarang himpunan nilai awal

(0)
.
2. Pada iterasi ke , bangkitkan sampel secara
random untuk parameter dari distribusi
posterior atau dapat juga disebut distribusi
target,
()
~(|) dengan menyatakan
data short rate.
3. Ulangi langkah (2) hingga diperoleh sampel.

Algoritma ini menghasilkan rantai Markov

(g)

=1

karena probabilitas transisi dari


(g1)

ke
(g)
hanya bergantung pada
(g1)
bukan pada

(1)
,
(2)
, ,
(g2)
. Distribusi rantai Markov ini
akan konvergen ke distribusi targetnya yaitu
(|) sebagai distribusi stasionernya. Misalkan
setelah
1
iterasi, rantai Markov
(g)

=1

ini
mencapai distribusi stasionernya, estimasi
parameter model dapat diperoleh dengan
mengaplikasikan metode Monte Carlo, seperti
berikut

=
1

1

(g)

=
1
(3)
dimana

adalah nilai estimasi parameter,


adalah jumlah sampel.

Untuk kasus sampel yang dapat dibangkitkan
langsung dari distribusi posterior, salah satu
algoritma MCMC yang dapat digunakan adalah
Gibbs Sampling. Sedangkan untuk kasus sampel
yang tidak dapat dibangkitkan langsung,
algoritma MCMC yang dapat digunakan
diantaranya algoritma Metropolis-Hastings dan
algoritma accept-reject Metropolis-Hastings.


3. ESTIMASI PARAMETER MODEL CEV

Informasi untuk mengestimasi parameter model
short rate CEV dapat diperoleh dari distribusi
posterior model CEV yang dapat ditentukan dari
distribusi prior, () dan fungsi
likelihood, (|) yang bergantung pada
distribusi

. Namun, distribusi

sulit dicari.
Oleh karena itu dilakukan pendekatan waktu
diskrit. Model CEV yang kontinu akan
didiskritisasi terlebih dahulu. Berikut bentuk
diskrit model CEV adalah

= ( +

) +

(4)
dengan

variabel random berdistribusi

(0, ). Aproksimasi diskrit ini menyebabkan

berdistribusi

(( +

),
2

2
) .
Bila mengkondisikan bahwa observasi pertama
diketahui maka diperoleh

|
1
, berdistribusi

(
1
( +
1
),
2

1
2
).

Bentuk diskrit ini akan mengaproksimasi bentuk
kontinu jika interval diskritisasinya cukup kecil
yaitu, 0 . Data short rate tersedia untuk
diskrit waktu tertentu. Jika memilih = 1 ,
berarti diskritisasi waktu berdasarkan waktu
observasi. Akibatnya diskritisasi ini akan
menghasilkan bias yang cukup besar karena
yang dipilih tidak cukup kecil. Oleh karena itu
pilih =
1

dengan adalah bilangan bulat


positif maka bias yang dihasilkan dari diskritisasi
cukup kecil. Akan tetapi, akan muncul masalah
lain yaitu missing data.

Misalkan

menyatakan short rate pada periode


ke

. Ketika interval waktu [0, ] dibagi menjadi


= waktu diskrit, 0 =
0
<
1
<
2
< <

1
<

= , maka data short rate

tersedia
hanya jika bilangan bulat merupakan kelipatan
dari

. Jika bukan bilangan bulat kelipatan dari
maka data short rate

untuk periode ke


menjadi missing data. Sehingga untuk =
waktu diskrit, terdapat ( 1) missing data.

Data

yang missing tersebut akan disubstitusi


dengan nilai simulasi

. Gabungan data yang


terobservasi dan data hasil simulasi tersebut
disebut augmented data. Jika

menyatakan
matriks baris yang berisi augmented data atau
dapat disebut sebagai augmented matrix, maka
matriks


adalah

+1

.

Misalkan

menyatakan kolom ke dari matriks

. Dengan mengkondisikan bahwa observasi


pertama diketahui maka diperoleh distribusi
posterior bersama, yaitu distribusi bersama
parameter dan missing data bersyarat data short
rate terobservasi), (,

), sebagai berikut
,

()

=1
(5)
dimana () menyatakan distribusi prior untuk
parameter = (, , , ) yang dalam hal ini
menggunakan flat prior yaitu () 1 dan
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 358

menyatakan distribusi posterior bersyarat


untuk data short rate diberikan parameter, yaitu

exp
1
2
(

1
(+

1
))
2

1
2

.
Berdasarkan teorema Bayes, distribusi posterior
bersyarat untuk parameter, (|

) diberikan data
short rate sebanding dengan persamaan (5) yaitu

()

=1
. (6)

3.1 Distribusi Posterior Bersyarat untuk
Missing data

Sampel Monte Carlo untuk parameter dapat
diperoleh dengan membangkitkan sampel secara
random parameter dari distribusi posterior
bersyarat untuk parameter diberikan data short
rate lengkap. Oleh karena itu diperlukan data
short rate yang lengkap, dalam hal ini data short
rate yang missing perlu disubstitusi dulu dengan
hasil dari simulasi. Nilai simulasi untuk missing
data ini diperoleh dengan membangkitkan sampel
secara random dari distribusi posterior bersyarat
untuk missing data.

Distribusi posterior bersyarat untuk missing data,
yaitu distribusi missing data bersyarat data short
rate terobservasi dan parameter,

\
,
adalah

\
,

1
,

+1
, .
Misalkan distribusi posterior untuk missing data,

1
,

+1
, dapat ditulis sebagai (

),
maka
(

exp
1
2
(

1
+

1
)
2

1
2

exp
1
2
(

+1

)
2


(7)
dan

\
menyatakan semua elemen augmented
matrix

.

Akan tetapi, membangkitkan sampel langsung
dari distribusi posterior tersebut cukup sulit
karena distribusi posteriornya bukan distribusi
standar yang umum digunakan. Oleh karena itu
pengambilan sampel untuk missing data tidak
menggunakan Gibbs Sampling. Dalam hal ini,
algoritma Accept/Reject Metropolis Hastings
(AR-MH) dipilih untuk mengambil sampel untuk
missing data. Untuk menggunakan algoritma AR-
MH dalam pengambilan sampel, diperlukan
distribusi tujuan yang mengaproksimasi distribusi
posteriornya. Berdasarkan Eraker [3],distribusi
tujuan (proposal ditribution) yang digunakan
adalah distribusi normal dengan mean

=
1
2

1
+

+1
dan variansi
1
2

1
2
. Jadi,
distribusi tujuan untuk missing data adalah

1
,

+1

1
2

1
+

+1
,
1
2

1
2
.
Misalkan

1
,

+1
, menyatakan
distribusi tujuan untuk missing data yang dapat
ditulis sebagai

, maka

1
1
2

exp
(


1
2

1
+

+1
)
2

1
2

. (8)

Berikut algoritma AR-MH dalam pengambilan
sampel untuk missing data:
1. Untuk = 1,2, , diberikan sembarang nilai
awal

. Inisialisasi augmented matrix,


dapat menggunakan interpolasi.
2. Pada iterasi ke , bangkitkan sampel
kandidat

()
|

1
()
,

+1
(1)
, dari distribusi
tujuan

()
pada persamaan (8) dengan
probabilitas penerimaan

()

.

()

, 1
dengan (

()
) pada persamaan (7).
3. Bangkitkan sampel dari distribusi uniform
(0, 1).
4. Jika <

maka sampel kandidat diterima


dengan probabilitas

. Sebaliknya jika
>

maka sampel kandidat ditolak dan


kembali ke tahap ke-2 sampai sampel kandidat
diterima.
5. Misalkan sampel kandidat diterima, maka
probabilitasnya adalah

1 ,

(1)
< .

(1)

.

(1)

(1)

(1)
> .

(1)
,

()
< .

()

()

(1)

(1)

()

, 1 ,

(1)
> .

(1)
,

()
> .

()




6. Jika <

maka sampel kandidat


diterima dengan probabilitas

.
Sebaliknya jika >

maka sampel
kandidat ditolak dan

()
=

(1)
.

Pada algoritma AR-MH tersebut, konstanta
dipilih sedemikian sehingga menjadi
aproksimasi yang baik untuk distribusi posterior .
Menurut Eraker [3], pilih =
(

1
,

+1
,)
(

1
,

+1
,)

dengan

=
1
2

1
+

+1
yaitu mean dari

,
= 1,2, , .

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 359
Algoritma AR-MH tersebut menghasilkan sampel

, = 1,2, , yang akan disubstitusi ke dalam


augmented matrix

.

3.2 Distribusi Posterior Bersyarat untuk
Parameter

Setelah mendapatkan augmented data

yang
lengkap, barisan variabel random
(g)

=1

,
= (, , , ) yang dibangkitkan dari distribusi
posterior bersyarat parameter (|

) dapat
diperoleh. Akan tetapi, sampel untuk masing-
masing parameter tidak dapat dibangkitkan
bersama-sama dari distribusi posterior bersyarat
parameter (|

) seperti pada persamaan (6).


Berdasarkan Teorema Hammersley-Clifford,
distribusi posterior bersama dapat ditentukan dari
koleksi lengkap disribusi bersyaratnya.
Olehkarena itu perlu dicari dulu distribusi
posterior bersyarat untuk masing-masing
parameter = (, , , ).

Misalkan

1
1
,
=

, dan

untuk = 1,2, , . Maka


persamaan (4) dapat ditulis menjadi bentuk
berikut

11

21

21

22


= + . (9)
Persamaan (9) merupakan persamaan model
regrasi linier berganda dengan variabel dependen
, variabel independen , dan ~

(0,
2
) .
Dari hubungan regresi linier tersebut dapat
diperoleh
|, ,

~(

,
2
(

)
1
) (10)
dan

2
|,

~(
2
2
,
2

2
) (11)
dengan menyatakan distribusi multivariate
normal, menyatakan distribusi square root
inverted gamma,

= (

)
1
() dan
2
=
(

). Parameter = (, ) dan
2

memiliki bentuk distribusi yang umum digunakan.
Olehkarena itu sampel untuk masing-masing
parameter tersebut dapat dibangkitkan langsung
dari distribusinya masing-masing menggunakan
Gibbs Sampling.

Berikut algoritma Gibbs Sampling untuk
parameter , ,
2
:
1. Diberikan sembarang himpunan nilai awal

(0)
,
(0)
,
(0)
,

(0)
.
2. Bangkitkan
(1)
(|
(0)
,
(0)
,

(1)
)
menggunakan persamaan (10).
3. Bangkitkan
(1)
(|
(0)
,

(1)
)
menggunakan persamaan (11).
4. Pada iterasi ke , bangkitkan
()

(|
(1)
,
(1)
,

()
) dan
()

(1)
,

()
.
5. Ulangi langkah 4 hingga diperoleh sampel.

Dari algoritma Gibbs Sampling tersebut, akan
diperoleh rantai Markov
()
,
()
,
()

=1


yang akan digunakan untuk estimasi parameter
tersebut.

Distribusi posterior bersyarat untuk parameter ,

, , , adalah

, , ,

1

=1
exp
1
2
(

1
+

1
)
2

1
2

.

Untuk mengambil sampel dari distribusi posterior
tersebut cukup sulit karena distribusinya bukan
distribusi standar. Olehkarena itu algoritma
Metropolis Hastings (MH) digunakan untuk
mendapatkan sampel untuk parameter .
Berdasarkan Eraker [3], perhatikan bahwa turunan
kedua dari log posterior bersyarat (|

, , , )
adalah
2
(

1
+

1
)
2

1
2

=1
log

2

yang nilainya negatif. Hal ini mengimplikasikan
bahwa distribusi ini merupakan distribusi log
concave. Dengan menggunakan ekspansi deret
Taylor order dua pada log posterior bersyarat
tersebut, dipilih distribusi tujuan
()
|
(1)

untuk algoritma MH adalah

(
(1)
)

(
(1)
)
,

(1)

1

dengan () = log (|

, , , ).

Berikut algoritma AR-MH dalam pengambilan
sampel untuk parameter :
1. Diberikan sembarang nilai awal
(0)
.
2. Pada iterasi ke , bangkitkan sampel
kandidat
()
|
()
,
()
,
()
,

()
dari
distribusi tujuan
()
|
(1)
dengan
probabilitas penerimaan

()

(1)

(
(1)
)(
()
)
, 1.
3. Bangkitkan sampel dari distribusi uniform
(0, 1).
4. Jika <

maka sampel kandidat diterima


dengan probabilitas

. Sebaliknya jika
>

maka sampel kandidat ditolak dan


kembali ke langkah 2 sampai sampel kandidat
diterima.
5. Ulangi kembali langkah 2, 3, 4 hingga
diperoleh sampel.

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 360
Algoritma MH tersebut menghasilkan rantai
Markov {}
=1

yang digunakan untuk estimasi


parameter tersebut.

3.3 Algoritma untuk Estimasi Parameter
Model CEV

Pada sub bab 3.1 dan 3.2 telah dijelaskan
bagaimana mendapatkan distribusi posterior untuk
missing data dan parameter serta bagaimana cara
mendapatkan sampel untuk estimasi parameter
model CEV tersebut. Pada sub bab ini akan
dibahas algoritma untuk estimasi parameter model
CEV secara utuh. Berikut algoritma keseluruhan
untuk mengestimasi parameter model CEV:
1. Inisialisasi semua parameter.
2. Tentukan , dimana adalah bilangan bulat
positif. Kemudian tentukan interval diskritisasi
waktu, dimana =
1

.
3. Inisialisasi missing data pada augmented
matrix

. Inisialisasi missing data dapat


menggunakan interpolasi Lagrange.
4. Tentukan

dan jalankan algoritma ini hingga
iterasi. Artinya iterasi ke berjalan dari
= 1 sampai = .
5. Untuk setiap = 1,2, , , bangkitkan

()
|

1
()
,

+1
(1)
, dengan menggunakan
algoritma AR-MH seperti yang telah dibahas
di sub bab 3.1.
6. Bangkitkan
()
= (
()
,
()
) dan
()

dengan menggunakan Gibbs sampling seperti
yang telah dibahas pada sub bab 3.2.
7. Bangkitkan sampel
()
|
()
,
()
,
()
,

()

menggunakan algoritma MH seperti yang
telah dijelaskan pada sub bab 3.2.
8. Tambahkan nilai dan kembali ke langkah 5.
9. Setelah diperoleh sampel untuk masing-
masing parameter,
{ }
( ) ( ) 2( ) ( )
1
, , ,
G
g g g g
g

=
dengan mengaplikasikan metode Monte Carlo,
lakukan estimasi masing-masing parameter
tersebut seperti berikut
a.
1
( )
1 1
1
G
g
g g
G g

= +



b.
1
( )
1 1
1
G
g
g g
G g

= +



c.
1
( )
1 1
1
G
g
g g
G g

= +



d.
1
( )
1 1
1
G
g
g g
G g

= +




Algoritma tersebut menghasilkan nilai estimasi
untuk masing-masing parameter. Nilai estimasi
parameter-parameter tersebut dapat digunakan
untuk mengaproksimasi pergerakan tingkat bunga.
Metode numerik yang dapat digunakan untuk
mengaproksimasi pergerakan tingkat bunga
tersebut diantaranya metode Euler-Maruyama
atau metode Milstein. Makalah ini belum
membahas hingga tahap aproksimasi pergerakan
tingkat bunga, baru sampai pada tahap estimasi
parameter.


4. KESIMPULAN

Makalah ini membahas implementasi metode
MCMC dalam mengestimasi parameter model
tingkat bunga CEV. Model CEV merupakan
model tingkat bunga short rate dengan
karakterisasi sebagai berikut: (1) bentuk model
CEV tidak linier, (2) distribusi variabel model
CEV bukan distribusi standar, dan (3) model CEV
tidak memiliki solusi analitik untuk parameternya.
Pada prinsipnya informasi untuk mengestimasi
estimasi parameter suatu model dapat diperoleh
dari distribusi bersyarat parameter diberikan
variabel terobservasi. Namun untuk kasus model
CEV, mendapatkan informasi tersebut tidak
mudah. Oleh karena itu diperlukan suatu metode
estimasi yang dapat mengatasi masalah model
CEV tersebut. Metode MCMC memberikan
penyelesaian untuk masalah tersebut. Dengan
menggunakan prinsip bayesian, metode MCMC
membangkitkan sampel secara random untuk
parameter dari suatu distribusi posterior. Adapun
tahap-tahap estimasi parameter model CEV
adalah (1) diskritisasi model CEV, (2) mencari
distribusi posterior untuk missing data, (3)
mencari distribusi posterior untuk parameter, dan
(4) estimasi paramater. Pada model CEV, sampel
untuk missing data diperoleh dari algoritma AR-
MH. Sedangkan sampel untuk parameter , ,
diperoleh dari algoritma Gibbs Sampling dan
sampel untuk parameter diperoleh dari
algoritma MH. Barisan variabel random
parameter yang dihasilkan dari algoritma MCMC
ini merupakan rantai Markov. Setelah diperoleh
barisan variabel random untuk masing-masing
parameter, metode Monte Carlo diaplikasikan
untuk mendapatkan estimasi parameter-parameter
model CEV tersebut.


5. DAFTAR PUSTAKA

[1] Ahlgrim, Kevin C., DArcy, Stephen P.,
Gorvertt, Richard W. 1999. Parameterizing
Interest Rate Models.
[2] Chib, Siddhartha, dan Edward Greedberg.
1995.Understanding the Metropolis-Hastings
Algorithm. The American Statistician Vol.49,
327-335.
[3] Eraker, Bjorn. 2001. MCMC Analysis of
Diffusion Models With Application to
Finance, Journal of Business and Economic
Statistics Vol.19, 177-191.
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 361
[4] Hull, John C. 1997. Options, Futures, and
Other Derivatives. New Jersey: Pearson
Presntice Hall.
[5] Johannes, Michael, dan Polson, Nicholas.
2002. MCMC Methods for Financial
Econometrics.
[6] Yolcu, Yeliz. 2005. One-Factor Interest
Rate Models: Analytical Solutions and
Approximations. Master thesis, The Middle
East Technical University, Department of
Financial Mathematics.

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 363
PENERAPAN ALGORITMA GENETIK PADA DNA SEQUENCI NG BY
HYBRI DI ZATI ON

Novi Murniati, Dhian Widya, Denny R.Silaban
Departemen Matematika FMIPA Universitas Indonesia, Depok

novi.murniati@gmail.com


ABSTRAK

DNA (Deoxyribose Nucleic Acid) adalah asam nukleat yang mengandung materi genetik dan berfungsi untuk
mengatur perkembangan biologis suatu kehidupan secara seluler. DNA dapat memiliki jutaan nukleotida yang
terangkai seperti rantai membentuk suatu barisan. Barisan nukleotida yang pendek dinamakan fragmen atau
oligonukleotida. DNA sequencing adalah proses pembentukan barisan nukleotida dari suatu rantai DNA. Salah satu
metode DNA sequencing adalah DNA Sequencing by Hybridization (DNA SBH), yakni suatu proses pembentukan
barisan nukleotida suatu rantai DNA dari kumpulan fragmen yang disebut spektrum. Spektrum tersebut diperoleh dari
proses biokimia yang disebut hibridisasi. DNA SBH dapat dipandang sebagai masalah optimisasi yang dapat
diselesaikan dengan menggunakan algoritma genetik. Prinsip kerja algoritma genetik berdasarkan pada teori evolusi
Charles Darwin. Pada makalah ini akan dibahas kinerja algoritma genetik pada DNA SBH. Terdapat tiga tahapan
penting dalam algoritma genetik, yakni proses seleksi, crossover, dan mutasi. Jenis metode yang digunakan pada
proses seleksi, crossover, dan mutasi secara berturut-turut adalah metode yang merupakan kombinasi antara roulette
wheel dan deterministic, structured crossover, dan swap mutation. Kinerja algoritma genetik akan diuji dengan
menggunakan data dari Gen Bank dan masalah DNA SBH yang dibuat secara acak. Selain itu juga akan dilihat
pengaruh perubahan nilai probabilitas crossover (c) dan probabilitas mutasi (m) terhadap kinerja algoritma genetik
untuk DNA SBH. Berdasarkan hasil percobaan diperoleh bahwa algoritma genetik cukup baik digunakan pada DNA
SBH. Selain itu, perubahan nilai probabilitas crossover (c) dan probabilitas mutasi (m) ternyata mempengaruhi
kinerja algoritma genetik dalam memperoleh solusi.

Keywords: algoritma genetik; DNA Sequencing by Hybridization


PENDAHULUAN

DNA (Deoxyribose Nucleic Acid) adalah asam
nukleat yang mengandung materi genetik dan
berfungsi untuk mengatur perkembangan biologis
seluruh bentuk kehidupan secara seluler. DNA
dapat memiliki jutaan nukleotida yang terangkai
seperti rantai yang terlihat seperti membentuk
suatu barisan. Nukleotida merupakan satu
komponen pembangun DNA yang terdiri atas 1
gula pentosa, 1 gugus fosfat, dan 1 basa nitrogen
(adenin, sitosin, timin, atau guanin). Karena pada
tiap nukleotida hanya terdapat satu jenis basa
nitrogen, maka suatu nukleotida biasanya
dinyatakan dengan A (adenin), C (sitosin), T
(timin), atau G (guanin) sesuai jenis basa nitrogen
yang terkandung dalam nukleotida. Oleh sebab
itu, barisan DNA dinyatakan sebagai barisan dari
alphabet A, C, T, dan G.

DNA sequencing adalah proses pembentukan
barisan nukleotida dari suatu rantai DNA,
sedangkan yang dimaksud dengan DNA
sequencing by hybridization (DNA SBH) adalah
proses pembentukan barisan nukleotida suatu
rantai DNA dari spektrum yang dihasilkan dari
hibridisasi [1]. SBH diperkenalkan oleh Southern
(1988), Bains dan Smith (1988), dan Drmanac
(1989) [3]. DNA SBH dibagi menjadi dua tahap.
Tahap pertama adalah proses biokimia yang akan
menghasilkan suatu spektrum. Tahap selanjutnya
adalah merekonstruksi barisan dari spektrum
tersebut [3].

DNA sequencing dapat dilakukan dengan
menggunakan metode yang dipelajari dalam teori
graf yakni de Bruijn graphs dan Eulerian circuit.
Selain itu, masalah DNA sequencing juga dapat
dipandang sebagai masalah optimisasi.
Kombinatorik yaitu menentukan kombinasi dari
urutan fragmen anggota spektrum yang
membentuk suatu barisan DNA dengan panjang
tertentu sedemikian sehingga error positif dan
error negatif dari pembentukan barisan DNA
tersebut minimum. Masalah optimisasi ini dapat
diselesaikan dengan berbagai cara, salah satunya
adalah menggunakan algoritma genetik.

Algoritma genetik merupakan salah satu
algoritma yang biasa digunakan untuk
menyelesaikan masalah optimisasi kombinatorik.
Algoritma genetik pertama kali diperkenalkan
oleh John Holland sekitar tahun 1970-an [2].
Prinsip kerja dari algoritma genetik didasari oleh
teori evolusi Charles Darwin [4]. Secara umum,
tahapan dari algoritma genetik diawali dengan
pembentukan populasi awal. Selanjutnya
dilakukan proses-proses yang menggunakan
operator genetik seleksi, crossover, dan mutasi
untuk membentuk populasi baru yang akan
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 364

digunakan untuk generasi berikutnya. Banyaknya
proses crossover dan mutasi yang terjadi
bergantung pada nilai parameter probabilitas
crossover dan probabilitas mutasi.

Pada makalah ini diberikan algoritma genetik
untuk melakukan SBH pada DNA dan melihat
kinerja dari algoritma tersebut. Kinerja algoritma
genetik diuji dengan menggunakan data dari Gen
Bank dan masalah DNA SBH yang dibuat secara
acak. Selain itu juga akan dilihat pengaruh
perubahan nilai probabilitas crossover (c) dan
probabilitas mutasi (m) terhadap kinerja algoritma
genetik untuk DNA SBH.









SEQUENCI NG BY HYBRI DI ZATI ON

Hibridisasi merupakan suatu proses biokimia,
dimana rantai tunggal DNA diurai menjadi
kumpulan fragmen, atau barisan nukleotida yang
pendek. Kumpulan fragmen dinamakan spektrum
(S). Hibridisasi secara klasik menggunakan
prinsip isometric oligonucleotide library of size
untuk mendapatkan spektrum dengan panjang
sama [3]. Panjang suatu fragmen didefinisikan
sebagai banyaknya nukleotida pada fragmen
tersebut.

Contoh 1
Diberikan S = {AAC, ACG, ATA, ATT, CGT,
GTA, TAA, TAT}. Spektrum S terdiri dari fragmen
AAC, ACG, ATA, ATT, CGT, GTA, TAA, dan TAT.
Tiap fragmen anggota spektrum dibentuk oleh 3
nukleotida, sehingga tiap fragmen dikatakan
memiliki panjang 3. Jadi, spektrum S merupakan
salah satu contoh spektrum hasil dari hibridisasi
secara klasik yang menggunakan isometric
oligonucleotide library dengan panjang 3.

Suatu hibridisasi tidak selalu berlangsung dengan
sempurna, kadang menghasilkan suatu error.
Error yang terjadi pada proses hibridisasi bisa
berupa error positif atau error negatif [3]. Error
positif terjadi jika terdapat suatu fragmen di
dalam spektrum yang bukan merupakan bagian
dari rantai DNA asal. Sedangkan error negatif
terjadi jika terdapat fragmen yang sebenarnya
merupakan bagian dari barisan DNA asal tetapi
tidak terdapat di dalam spektrum. Error negatif
biasanya terjadi karena dalam hibridisasi, dua
fragmen identik yang merupakan bagian dari
rantai DNA asal hanya muncul satu kali dalam
spektrum. Error pada spektrum berpengaruh pada
proses DNA sequencing, karena akan
menyebabkan barisan DNA yang terbentuk
berbeda dari barisan DNA asal. Spektrum yang
tidak mengandung error disebut spektrum ideal.


PENERAPAN ALGORITMA GENETIK
DALAM DNA SEQUENCI NG BY
HYBRI DI ZATI ON

Selanjutnya akan dibahas mengenai penggunaan
algoritma genetik dalam melakukan DNA SBH.
Tujuan dari algoritma ini, dari suatu spektrum S
akan dicari suatu barisan DNA dengan panjang
tertentu sedemikian sehingga error positif dan
error negatif dari pembentukan barisan DNA
minimum. Dalam algoritma ini, individu atau
kromosom yang terbentuk kadang
berkorespondensi dengan barisan DNA yang
panjangnya lebih dari panjang barisan DNA yang
akan dicari (n). Namun demikian, subsequence
dengan panjang tidak lebih dari n akan dipilih
menjadi solusi yang mungkin. Jadi, masukan
(input) dari algoritma ini adalah spektrum (S) dan
panjang dari barisan DNA yang akan dicari (n).
Sedangkan keluaran (output) adalah urutan
fragmen sedemikian sehingga barisan DNA yang
terbentuk memiliki subsequence sepanjang n
dengan error positif dan error negatif minimum.
Spektrum yang digunakan sebagai masukan
merupakan spektrum ideal, yakni spektrum tanpa
error positif dan error negatif. Selain itu,
spektrum yang digunakan merupakan spektrum
hasil hibridisasi yang menggunakan prinsip
isometric oligonucleotide library, yakni spektrum
yang beranggotakan fragmen dengan panjang
sama. Adapun tahapan algoritma genetik untuk
SBH adalah sebagai berikut:

Representasi kromosom dan pembentukan
populasi awal. Jenis representasi kromosom
dalam algoritma genetik ini adalah representation
in multiple matters yakni tiap individu
direpresentasikan oleh beberapa simbol atau
karakter yang berbeda. Langkah awalnya adalah
mengkodekan fragmen-fragmen pada spektrum ke
dalam bilangan bulat positif 1, 2, 3,, |S|, dimana
|S| menyatakan kardinalitas dari spektrum S. Tiap
kode dari fragmen dapat dianggap sebagai gen
pada kromosom, sehingga kromosom adalah
Gambar 1a. de Bruijn graphs dari spektrum S

Gambar 1b. Urutan fragmen berdasarkan de Bruijn
graphs

Dari spektrum S={ATA,
TAA, AAC, ACG, CGT,
GTA, TAT, ATT}, didapat
barisan DNA
ATAACGTATT.
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 365
untaian dari kode-kode fragmen pada spektrum
yang tidak berulang. Populasi awal terdiri dari N
kromosom, dengan N didefinisikan sebagai
setengah dari panjang barisan DNA (n) yang akan
dicari [3]. Populasi awal menyatakan kumpulan
solusi awal yang mungkin. Banyaknya populasi
pada tiap generasi dibuat selalu sama dengan
banyaknya populasi awal. Setiap kromosom pada
populasi berkorespondensi dengan suatu barisan
DNA. Barisan DNA yang bersesuaian dengan
suatu kromosom dapat diperoleh dengan
mendekodekan gen 1, 2, , |S| menjadi fragmen
dan merangkai fragmen sesuai urutan gen pada
kromosom dengan memperhatikan nukleotida-
nukleotida yang tumpang tindih pada fragmen-
fragmen yang bertetangga atau berdekatan.

Evaluasi fungsi fitness. Nilai fitness dari suatu
kromosom didefinisikan sebagai banyaknya
fragmen yang terpakai untuk membentuk best
subsequence, yakni subsequence terpanjang yang
panjangnya tidak lebih dari panjang barisan DNA
yang akan dicari (n) dan mencakup fragmen
terbanyak. Subsequence dalam hal ini
didefinisikan sebagai berikut:
Misalkan

menyatakan fragmen pada urutan ke-


I pada kromosom. Jika kromosom memiliki
urutan fragmen sebagai berikut
1
,
2
,
3
, ,
||
,
maka subsequence yang terbentuk merupakan
sequence yang dibentuk dengan urutan fragmen


dengan

1
<
2
<
3
< <

(1

||,


+
).

Dalam urutan fragmen pada kromosom,
fragmen

harus merupakan predecessor dari


fragmen

+1
yakni fragmen

berada pada
urutan tepat sebelum fragmen

+1
. Dengan kata
lain, fragmen

+1
adalah successor dari fragmen

, yakni fragmen

+1
berada pada urutan tepat
setelah fragmen

.

Seleksi. Seleksi adalah suatu proses untuk
memilih individu-individu terbaik pada populasi
yang akan digunakan pada proses selanjutnya,
yakni proses crossover. metode seleksi yang
digunakan dalam algoritma genetik ini
menggabungkan antara prinsip metode seleksi
roulette wheel dan deterministic. Deterministic
selection adalah metode seleksi yang memilih
sejumlah individu dengan nilai fitness terbaik dari
populasi. Roulette-wheel adalah suatu metode
seleksi yang mengaitkan kemungkinan
terpilihnya suatu kromosom dengan kekuatannya
(biasanya diukur berdasarkan nilai fitness).
tahapan proses seleksi adalah sebagai berikut:

Tahap 1. Hitung nilai fitness dari masing-masing
kromosom.

Tahap 2. Hitung nilai rata-rata fitness dari semua
kromosom. Jika

menyatakan nilai fitness dari


kromosom ke-i, i = 1, 2, 3, .., N (N menyatakan
ukuran populasi), maka nilai rata-rata fitnessnya
adalah

=1

.

Tahap 3. Pilih secara acak bilangan r pada
interval (0,1].

Tahap 4. Hitung nilai harapan untuk tiap
kromosom, yang dinyatakan dengan array fp,
dimana
[1] =

1

, [] =

1

+ [ 1], = 2, ,

Tahap 5. Pemilihan kromosom dengan algoritma
sebagai berikut.
begin
i = 1
count = 1
whilecount

N do
I f r < fp[i] do
select = 1 (kromosom ke-i dipilih)
r = r + 1
count = count + 1
else
select = 0 (kromosom ke-i tidak dipilih)
i = i + 1
end if;
end while;
end;

Dalam metode seleksi ini, suatu kromosom
kadang terpilih lebih dari sekali. Kromosom-
kromosom yang terpilih tersebut akan membentuk
populasi orang tua. Selanjutnya, kromosom-
kromosom yang akan digunakan pada proses
crossover akan diambil secara acak dari populasi
orang tua.

Crossover. Crossover merupakan suatu proses
persilangan sepasang kromosom orang tua untuk
menghasilkan kromosom anak yang akan menjadi
individu pada populasi di generasi berikutnya.
Kromosom anak yang dihasilkan dari proses
crossover diharapkan mewarisi sifat-sifat unggul
yang dimiliki oleh kromosom orang tua. Metode
crossover yang digunakan adalah structured
crossover yang memperhatikan struktur tertentu
dalam pembentukan kromosom anak. Struktur
yang diperhatikan adalah tumpang tindih antara
fragmen-fragmen yang bertetangga dan susunan
fragmen pada kromosom orang tua. Misalkan c
menyatakan probabilitas crossover dan N
menyatakan ukuran populasi, maka banyaknya
proses crossover yang terjadi pada setiap generasi
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 366

dalam algoritma genetik ini adalah c x N kali.
Adapun tahapan proses crossover adalah sebagai
berikut:

Tahap 1. Pilih dua kromosom berbeda pada
populasi orang tua secara acak.

Tahap 2. Pilih secara acak fragmen pertama yang
terdapat pada keturunan (anak), sebut sebagai o
i
.
Misalkan o
f
(first) dan o
l
(last) secara berturut-
turut menyatakan fragmen pada urutan pertama
dan terakhir pada suatu kromosom anak. Berarti
pada tahap awal o
f
= o
i
= o
l.


Tahap 3. Identifikasi letak fragmen o
i
pada kedua
kromosom orang tua. Perhatikan predecessor dan
successor dari o
i
pada masing-masing kromosom
orang tua.

Tahap 4. Hitung fits antara o
i
dengan masing-
masing predecessor atau successor yang
ditemukan. Pilih fragmen yang memberikan nilai
fits terbesar. Jika terdapat lebih dari satu fragmen
maka pilih salah satu fragmen secara acak.
Misalkan menyatakan spektrum dan

)
menyatakan kumpulan fragmen pada block
kromosom anak (kromosom dengan gen yang
belum lengkap yang terbentuk dalam
pembentukan kromosom anak). Kemudian
misalkan

dan

. Jika sequence
*
adalah barisan DNA yang dibentuk oleh

}, dan |

}| menyatakan kardinalitas dari

}, dan l(sequence
*
) menyatakan panjang
sequence
*
, maka fungsi fits didefinisikan sebagai
(

) =
|

}|
(

)


Tahap 5. Tentukan o
f
dan o
l
pada block kromosom
anak.

Tahap 6. Identifikasi o
f
dan o
l
pada masing-
masing kromosom orang tua. Perhatikan
predecessor dari o
f
dan successor dari o
l
.

Tahap 7. Hitung fits antara barisan nukleotida
pada block kromosom anak dengan masing-
masing predecessor atau successor yang
ditemukan. Pilih fragmen yang memberikan nilai
fits terbesar. Jika terdapat lebih dari satu fragmen
maka pilih salah satu secara acak. Jika semua
predecessor dan successor sudah terdapat dalam
kromosom anak, maka pilih fragmen yang belum
terdapat pada kromosom anak dan menghasilkan
nilai od terbesar terhadap o
f
atau o
l
. Ulangi tahap
5 sampai dengan tahap 7 hingga semua fragmen
terdapat pada kromosom anak.

Mutasi. Mutasi adalah suatu proses yang
dilakukan untuk mempertahankan
keanekaragaman genetik populasi. Hal tersebut
dilakukan untuk mencegah populasi terjebak
dalam solusi optimal lokal. Dalam algoritma
genetik ini, proses mutasi dapat terjadi baik pada
populasi orang tua maupun populasi anak yang
dihasilkan dari proses crossover. Metode mutasi
yang digunakan adalah swap mutation. Proses
mutasi dilakukan dengan cara menukar posisi atau
letak suatu fragmen pada kromosom. Misalkan m
menyatakan probabilitas terjadinya mutasi, N
menyatakan ukuran populasi, dan |S| menyatakan
kardinalitas dari spektrum, maka banyaknya
proses mutasi yang terjadi pada tiap generasi
adalah m x N x |S|. Adapun tahapan mutasinya
adalah sebagai berikut:

Tahap 1. Pilih satu kromosom dari populasi orang
tua atau populasi anak secara acak.

Tahap 2. Hitung nilai tod(pred o
i
, o
i
, suc o
i
) untuk
tiap fragmen o
i
. Pilih fragmen dengan nilai
tod(pred o
i
, o
i
, suc o
i
) terkecil. Jika terdapat lebih
dari satu fragmen dengan nilai tod(pred o
i
, o
i
, suc
o
i
) terkecil, maka dari fragmen-fragmen tersebut
pilih fragmen yang pertama kali ditemukan. Nilai
tod(pred o
i
, o
i
, suc o
i
) didefinisikan sebagai
tod(pred o
i
, o
i
, suc o
i
) = od(pred o
i
, o
i
) + od(o
i
,suc
o
i
), dimana od(o
i
, o
j
) menyatakan nilai overlap
degree antara o
i
dan o
i
. Yang dimaksud overlap
degree (od) adalah banyaknya nukleotida yang
saling tumpang tindih antara dua fragmen yang
bertetangga.

Tahap 3. Pada fragmen yang didapat pada tahap 2,
misalkan fragmen tersebut dinyatakan dengan o
m
,
tukar posisi o
m
dengan predecessor atau
successornya yang memberikan nilai od terkecil.
Jika ternyata od antara o
m
dengan predecessor dan
successor bernilai sama maka pilih secara acak
antara predecessor atau successor yang akan
bertukar posisi dengan o
m
. Jika fragmen yang
terpilih merupakan fragmen dengan urutan
pertama (terakhir) pada kromosom, maka
pindahkan posisi fragmen yang terpilih tersebut
ke posisi urutan terakhir (pertama).

Pada algoritma genetik ini, semua kromosom
anak yang dihasilkan dari proses crossover baik
yang belum maupun yang telah mengalami mutasi
akan digunakan sebagai bagian dari populasi
untuk generasi berikutnya. Selain itu, beberapa
kromosom orang tua baik yang belum maupun
yang telah mengalami mutasi akan menjadi
bagian populasi untuk generasi berikutnya.
Kromosom orang tua yang terpilih adalah
kromosom dengan kualitas terbaik yang diukur
berdasarkan nilai fitness-nya.

Proses seleksi, crossover, dan mutasi dalam
algoritma genetik, akan terus berulang sampai
mencapai suatu kriteria berhenti tertentu. Jenis
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 367
kriteria berhenti pada algoritma genetik ini adalah
batas generasi.


IMPLEMENTASI DAN BEBERAPA HASIL
PERCOBAAN

Percobaan dilakukan untuk melihat kinerja
algoritma genetik dalam melakukan DNA SBH
dengan berbagai variasi ukuran masalah. Masalah
SBH yang digunakan untuk menguji algoritma
dibagi menjadi dua jenis. Jenis 1 merupakan
masalah SBH yang diambil dari Gen Bank [5]
terdiri dari 3 masalah dengan masing-masing
spektrum terdiri dari 191 fragmen dengan tiap
fragmen memiliki panjang 10, dan panjang
barisan DNA yang akan dicari adalah 200 (Tabel
1a). Masalah jenis 2 merupakan masalah yang
dibuat secara acak, terdiri dari tiga kelompok,
yakni barisan DNA dengan panjang 25, 50, dan
75. Dari tiap barisan DNA tersebut, masing-
masing dibentuk spektrum dengan panjang
fragmen 6, 8, dan 10 (Tabel 1b).

Tabel 1a Barisan DNA Masalah Penguji Jenis 1
Masalah
Penguji
Barisan DNA
Sbh-200a
AGAATTGTGTGCTAAGTACTGGGGTAACACAGAGATG
GTAATTAATTCTTTCTGGAGAAACAGCAGTGAATGTG
ACAACCTGAGTGAGGGTGGAAAGCAGGAGAATTTCTA
GACTCTGAATTTCAGAAGCTTCCGGAACTAAAATGAT
GTGGAAGTTGAGTGAGTCTCGGTGGGATATTGCTGCT
GCACCTGGTCAAGGC
Sbh-200b
ATGGGAAATGTGGTCTCCGACGGATGGCCTACACCCG
GGAGGAGTCCAGGAACTCTAGGTGGACAGTTACTTCC
GCACACGCGTAGTAGGACGGTAGCCGGTATTCAATCT
TCAAATCAGCGCCGCGGGAAGTGCGGGCGGGTGTTGC
TCCCCTGTCTCTGGACGACGCTGTGACTGATCCCAGGC
TTGGAGCCGGAGCT
Sbh-200c
TCTCATCCCCCTGGAAAGAAATTTCAAGGGATAAAGC
ACCATGGATCTAACTTATATTCCCGAAGACCTATCCAG
TTGTCCAAAATTTGTAAATAAATCCTGTCCTCCCACCA
ACCGCTCTTTTCATGTCCAGGTGATAATGTATTCGGTT
ATGACTGGAGCCATGATTATCACTATTTGGAAACTTGG
TTATAATGGTT

Tabel 1b. Barisan DNA Masalah Penguji Jenis 2
Masalah
Penguji
Barisan DNA
Sbh-25
TTAACGCATTATTCCGAATAGGTTC
Sbh-50
ATGACTTTAAGATTTCCCATTGGAACCTGAAATTACGG
ATAGCCCCTTAG
Sbh-75
AAAATGGTTTAAGTGGGAATTGGAGGGGTTGAGTATTA
GAGTTATAGCCTGACCTGCCTAACCGCTATCGAACGG

Masalah jenis 1 digunakan saat menguji
keakuratan algoritma genetik untuk melakukan
DNA Sequencing by Hybridization (DNA SBH)
yang benar-benar telah dilakukan dalam
kehidupan nyata seperti data yang terdapat pada
Gen Bank. Sedangkan masalah penguji jenis 2
digunakan saat menguji pengaruh perubahan
parameter probabilitas crossover dan probabilitas
mutasi terhadap kinerja algoritma genetik.

Percobaan dilakukan dengan mengubah nilai
parameter probabilitas crossover dan probabilitas
mutasi. Sedangkan batas generasi untuk tiap
percobaan dibuat sama, yakni menggunakan batas
generasi sampai generasi ke-50. Percobaan
pertama menggunakan nilai probabilitas crossover
(c) = 0.9 dan probabilitas mutasi (m) = 0.001,
yang merupakan kombinasi nilai parameter
terbaik untuk masalah DNA SBH menurut [3].
Percobaan kedua menggunakan nilai probabilitas
mutasi (m) = 0.001 dan nilai probabilitas
crossover (c) berubah-ubah, selanjutnya
percobaan ketiga menggunakan nilai probabilitas
crossover (c) = 0.9 dan nilai probabilitas mutasi
(m) berubah-ubah. Hal yang diperhatikan pada
tiap percobaan adalah banyaknya solusi yang
sesuai dengan barisan DNA asal yang diketahui.

Algoritma genetik diimplementasikan dalam
bentuk program komputer. Program dijalankan
pada Personal Computer dengan prosesor Intel
Pentium M, memori 512 MB, dan sistem operasi
Microsoft Windows XP Professional.

Hasil percobaan diberikan pada Tabel 2a, 2b, 3,
dan 4, dimana kolom Masalah Penguji
menyatakan masalah yang diuji, sedangkan kolom
Banyak Solusi Optimal menyatakan banyaknya
solusi yang sesuai dengan barisan DNA asal.

Untuk masalah penguji jenis 1, dibutuhkan waktu
komputasi sekitar 8 jam untuk melakukan satu
kali percobaan. Karena keterbatasan waktu yang
ada, maka untuk masing-masing masalah penguji
jenis 1 akan dilakukan percobaan sebanyak 5 kali.
Sedangkan untuk masing-masing masalah penguji
jenis 2, akan dilakukan percobaan sebanyak 10
kali.

Berdasarkan hasil percobaan yang terlihat pada
Tabel 2a, dalam 5 kali percobaan yang dilakukan,
algoritma genetik memberikan hasil yang cukup
baik. Untuk masalah penguji sbh-200a dan sbh-
200c, dalam 5 kali percobaan didapat 4 solusi
yang sama dengan barisan DNA asal. Sedangkan
untuk masalah penguji sbh-200b, dalam 5 kali
percobaan didapat 3 solusi yang sama dengan
barisan DNA asal.

Selanjutnya dengan menggunakan nilai parameter
dan panjang fragmen yang sama seperti pada data
pada Gen Bank (c = 0.9, m = 0.001, generasi = 50,
dan panjang fragmen = 10) akan dilihat apakah
untuk barisan DNA yang lebih pendek, algoritma
genetik juga memberikan hasil yang baik atau
tidak. Selain itu juga akan dilihat akibat yang
dihasilkan jika panjang fragmen diperpendek.
Hasil percobaan untuk masalah penguji sbh-25,
sbh-50, dan sbh-75 diberikan pada Tabel 2b.

Berdasarkan data pada Tabel 2b, terlihat bahwa
dengan menggunakan nilai parameter dan panjang
fragmen yang sama dengan data pada Gen Bank
(c = 0.9, m = 0.001, generasi = 50, dan panjang
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 368

fragmen = 10), untuk barisan DNA dengan
panjang 25, 50, dan 75, algoritma genetik juga
memberikan hasil yang cukup baik. Untuk barisan
DNA dengan panjang 25 dan 50, dalam 10 kali
percobaan didapat solusi yang sama dengan
barisan DNA asal, masing-masing sebanyak 9 dan
10. Sedangkan untuk barisan DNA dengan
panjang 75, dalam 10 kali percobaan hanya
didapat 5 solusi yang sama dengan barisan DNA
asal. Pada hasil percobaan yang didapat juga
terlihat bahwa untuk barisan DNA dengan
panjang 25, 50, dan 75, semakin pendek fragmen
maka solusi yang sama dengan barisan DNA asal
yang diperoleh semakin sedikit.

Tabel 2a. Hasil Percobaan untuk Masalah Penguji Jenis 1
dengan c = 0.9, m= 0.001, dan generasi = 50
(5 kali percobaan)
Masalah
Penguji
Panjang
Fragmen
Banyak
Fragmen
Ukuran
Populasi
Banyak
Solusi
Optimal
Sbh-200a 10 191 100 4
Sbh-200b 10 191 100 3
Sbh-200c 10 191 100 4

Tabel 2b. Hasil Percobaan untuk Masalah Penguji Jenis 2
dengan c = 0.9, m= 0.001, dan generasi = 50
(10 kali percobaan)
Masalah
Penguji
Panjang
Fragmen
Banyak
Fragmen
Ukuran
populasi
Banyak
Solusi
Optimal
Sbh-25 6 20 13 6
Sbh-25 8 18 13 7
Sbh-25 10 16 13 9
Sbh-50 6 45 25 4
Sbh-50 8 43 25 6
Sbh-50 10 41 25 10
Sbh-75 6 70 38 2
Sbh-75 8 68 38 5
Sbh-75 10 66 38 5

Pada Tabel 3 terlihat bahwa penambahan nilai
probabilitas crossover mengakibatkan banyak
solusi optimal yang didapat cenderung menjadi
semakin banyak, seperti yang terjadi pada
masalah penguji sbh-25 dengan semua panjang
fragmen yang dicoba, sbh-50 dengan panjang
fragmen 6 dan 8, dan sbh-75 dengan semua
panjang fragmen. Untuk masalah penguji sbh-50
dengan panjang fragmen 10 ternyata perubahan
nilai probabilitas crossover dari 0.9 menjadi 0.95
justru menyebabkan banyaknya solusi optimal
yang diperoleh menjadi berkurang. Hal tersebut
kemungkinan terjadi karena pengaruh faktor
random pada algoritma genetik.

Berdasarkan hasil percobaan pada Tabel 4,
terlihat bahwa untuk masalah penguji sbh-25
dengan semua panjang fragmen yang digunakan,
pertambahan nilai probabilitas mutasi
menyebabkan semakin banyak solusi optimal
yang diperoleh. Hal yang sama terjadi untuk
masalah penguji sbh-75. Namun, hasil yang
diperoleh pada masalah penguji sbh-75 tidak
sebaik pada masalah penguji sbh-25. Pada
masalah penguji sbh-25 dengan semua panjang
fragmen, penambahan nilai probabilitas mutasi
hingga bernilai 0.01 dan 0.015 menyebabkan
banyak solusi optimal yang diperoleh sama
dengan banyaknya percobaan yang dilakukan.
Untuk masalah penguji sbh-50 dengan panjang
fragmen 10, penambahan nilai probabilitas dari
0.005 menjadi 0.01 justru mengurangi banyak
solusi optimal yang diperoleh. Seperti yang
terjadi pada percobaan sebelumnya, hal tersebut
kemungkinan disebabkan oleh faktor random
yang terjadi pada algoritma genetik.

Tabel 3. Hasil Percobaan untuk Masalah Penguji Jenis 2 dengan Mengubah Nilai Parameter c (10 kali Percobaan)
Masalah
Penguji
Panjang
Fragmen
Banyak
Fragmen
Banyak Solusi Optimal untuk Tiap Probabilitas Mutasi
0.001 0.005 0.01 0.015
Sbh-25 6 20 6 7 10 10
Sbh-25 8 18 7 7 10 10
Sbh-25 10 16 9 9 10 10
Sbh-50 6 45 4 4 3 4
Sbh-50 8 43 6 5 6 6
Sbh-50 10 41 10 10 6 6
Sbh-75 6 70 2 3 5 5
Sbh-75 8 68 5 5 6 6
Sbh-75 10 66 5 5 7 7

Tabel 4. Banyaknya Proses Mutasi yang Terjadi untuk Masalah Penguji Jenis 2 dengan Mengubah Nilai Parameter m
Masalah
Penguji
Panjang
Fragmen
Banyak
Fragmen
Banyak Mutasi untuk Tiap Probabilitas Mutasi
0.001 0.005 0.01 0.015
Sbh-25 6 20 0 1 3 4
Sbh-25 8 18 0 1 2 4
Sbh-25 10 16 0 1 2 3
Sbh-50 6 45 1 6 11 17
Sbh-50 8 43 1 5 11 16
Sbh-50 10 41 1 5 10 15
Sbh-75 6 70 3 13 27 40
Sbh-75 8 68 3 13 26 39
Sbh-75 10 66 3 13 25 38
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 369
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dan hasil percobaan,
dapat dikatakan bahwa algoritma genetik cukup
baik digunakan pada DNA sequencing by
hybridization untuk tiga masalah yang diambil
dari Gen Bank dengan barisan DNA pada masing-
masing masalah mempunyai panjang 200 dan
panjang fragmen anggota spektrum adalah 10.
Untuk dua masalah yang diambil dari Gen Bank,
dari 5 kali percobaan yang dilakukan dengan
menggunakan probabilitas mutasi m = 0.001,
probabilitas crossover c = 0.9, dan generasi = 50,
ternyata didapat solusi yang sesuai dengan barisan
DNA asal sebanyak 4. Sedangkan untuk masalah
lainnya, dalam 5 kali percobaan didapat solusi
yang sesuai sebanyak 3. Selain itu, hasil yang
cukup baik juga didapat saat percobaan tersebut
(m = 0.001, c = 0.9, generasi = 50, dan panjang
fragmen = 10) dilakukan dengan menggunakan
barisan DNA dengan panjang 25, 50, dan 75.
Untuk barisan DNA dengan panjang 25, 50, dan
75, dari 10 kali percobaan yang dilakukan, solusi
yang sesuai dengan barisan DNA asal yang
diperoleh tidak kurang dari 5. Untuk masalah
penguji sbh-25, sbh-50, dan sbh-75, ternyata jika
digunakan panjang fragmen 6 dan 8, banyaknya
solusi yang sesuai dengan barisan DNA asal
menjadi lebih sedikit.

Selain itu, hasil percobaan yang dilakukan juga
menunjukkan bahwa nilai probabilitas crossover
dan probabilitas mutasi berpengaruh pada kinerja
algoritma genetik dalam memperoleh solusi. Dari
hasil percobaan yang diperoleh terlihat bahwa
ketika nilai probabilitas crossover dinaikkan dari
0.8 menjadi 0.85, 0.9, dan 0.95, solusi yang
diperoleh semakin mirip dengan barisan DNA
asal, yang ditandai dengan semakin banyak solusi
yang sama dengan barisan DNA asal. Hal yang
sama juga terjadi ketika nilai probabilitas mutasi
dinaikkan dari 0.001 menjadi 0.005, 0.01, dan
0.015.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Blazewicz, Jacek dan Kasprzak, Marta. 2006.
Computational complexity of isothermic
DNA sequencing by hybridization. Discrete
Applied Mathematics 154. 718 729.
[2] Introduction to Genetic Algorithm.
http://lancet.mit.edu/~mbwall/presentations/I
ntroToGAs/
[3] Jacek, B. , Glover, F. , Kasprzak, M. ,
Markiewicz, W.T. 2006. Algoritm Dealing
with repetitions in sequencing by
hybridization. Computational Biology and
Chemistry 30. 313 320.
[4] Metaheuristic Algoritm.
www.lapetoule.com/meta/en/metaheuristic_e
n.pdf .
[5] Download Standard Spectra.
http://bio.cs.put.poznan.pl/index.php/research
/36-current-research/64-download-spectra.




Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 371
PEMANFAATAN MEMORY EKSTRA UNTUK OPTIMISASI J OI N QUERY
MENGGUNAKAN METODE HYBRI D HASH J OI N

R. Sudrajat
Jurusan Matematika FMIPA UNPAD

r_sudrajat@unpad.ac.id, asudrajat79@gmail.com


ABSTRAK

Join query dalam sistem basis data terdistribusi dapat melibatkan proses komputasi dan formula yang cukup
komplek. Analisis join query dapat dilakukan dengan menggunakan metode nested-loops-join, sort-merge-join dan
hash join yang didasarkan pada fungsi biaya. Metoda hash-join dapat menyelesaikan join query dengan jumlah data
yang besar, tetapi masih terbatas sampai seratus ribu record dengan hitungan jam, sehingga fragmentasi dan partisi
untuk jumlah data yang cukup besar tetap diperlukan agar optimisasi join query dapat tercapai. Metode hybrid hash
join menawarkan solusi join query dengan pemanfaatan memori ekstra untuk jumlah data besar diatas seratus ribu
record

Kata Kunci : hybrid hash join, join query, optimisasi


PENDAHULUAN

Proses query adalah salah satu masalah yang
penting dan cukup rumit dalam basis data
terdistribusi. Permasalahan umum dalam basis
data terdistribusi antara lain mengenai
penggunaan metoda optimasi query dengan
melibatkan penggunaan formula-formula atau
biaya-biaya query. Dalam penelitian-penelitian
yang berkembang para ahli mencoba
menggunakan teknik-teknik basis data
terdistribusi dilandasi oleh perkembangan
otonomi, karena dalam teknik pengelolaan data,
pengembangan teknologi komputasi diarahkan
pada teknologi distribusi. Dalam hal ini sistem
perlu melindungi users dari kompleksitas basis
data terdistribusi tersebut sehingga query yang
didistribusikan dapat optimal dan mudah
dikontrol. Hybrid Hash Join adalah
pengembangan dalam optimisasi join query dari
hash join. Para programmer dalam menggunakan
optimisasi lebih banyak mengandalkan optimizer
yang terdapat dalam DBMS, contoh : Oracle 9is
selalu menemukan yang ideal untuk
mengeksekusi query, karena bahasa SQL-nya
besar, dan kontruksinya juga besar, sehingga user
dapat melakukan query dari berbagai jalur secara
cepat, juga dapat menemukan baris (row) dengan
cara full-table scan, via b-tree index ,
menggabungkan dua tabel dengan beberapa
teknik Sort/Merge. Goal dari query tidak akan
optimal apabila tidak ditunjang CPU dan memory.
Pada perkembangan penelitian terdapat sebuah
tantangan lain, yaitu signifikansi mungkin akan
tercapai bilamana komputasi dilakukan secara
partikular dengan memadukan karakteristik dari
statistik basis data dan spesifikasi client tempat
melakukan proses query.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan dengan mencoba
menggunakan dua tabel dengan jumlah record
3,6 juta dan 3,8 juta. Diasumsikan jumlah data
tersebut cukup besar dan memenuhi syarat untuk
diteliti, karena penelitian-penelitian yang banyak
dilakukan masih dalam kapasitas puluhan ribu
record. Penelitian tidak dilandaskan kepada
bentuk atau isi dari tabel, tetapi lebih ditekankan
kepada kompleksitas jumlah data dalam tabel.
Pada saat bersamaan, dikumpulkan berbagai
informasi mengenai data yang dapat diakses oleh
user dari tabel-tabel tersebut. Kemudian dianalisa
proses penggunaan tabel yang terkait dengan
proses optimisasi pada metode nested-loops-join,
sort-merge-join, hash join dan hybrid hash join.
Data-data dan informasi yang telah dikumpulkan
kemudian dikompilasi untuk melakukan analisis
perintah query sederhana. Penelitian juga
dilakukan untuk mencari solusi yang terbaik dan
mencari signifikansi optimisasi query disesuaikan
dengan sumber-sumber hardware (dibutuhkan
memory ekstra 2 gb) dan software yang
digunakan, fokus kepada karaktersitik basis data,
sehingga diharapkan dapat menghasilkan
rancangan yang optimal.


HASIL DAN DISKUSI

Terdapat dua tabel relasi yang diuji, misalkan
tabel pst_ke1 dan tabel pstaktif.

Penulis mencoba menggunakan skema berikut :
a. pst_ke1 (no_tsp,
b. pstaktif (nippa, tgl_lhr, tmt_pst, sex,
tgl_lhr, tmt_pst, kd_bup)
gaji_pokok, blth_gapok, suskel, pangkat)

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 372
Tabel 1 : Tabel informasi data tabel relasi
Nama
Tabel
(Alias)
Jml
Atri
but
Jml
Record
Jml
memory
(MB)
Ukuran
(Byte)
Key
pst_ke1
(P)
4 3873324 132 30 no_tsp
pstaktif
(F)
8 3619423 165 50 nippa

Record dari pst_ke1 panjangnya 30 byte, dengan
asumsi sebuah halaman yang akan masuk dalam
buffer dapat menangani 100 record pst_ke1,
maka dalam pst_ke1 akan mempunyai
3.873.324/100 = 38.730 halaman dalam buffer,
demikian juga record dari pstaktif panjangnya 50
byte, mempunyai 3.619.423 record, sebuah
halaman dapat menangani 80 record pstaktif,
sehingga mempunyai 3.619.423 /80 = 45.242
halaman. Operasi query dijalankan menggunakan
algoritma dengan partisi relasi-relasi dengan
menggunakan metode-metode Nested-Loops-Join,
Sort-Merge-Join, Hash Join dan Hybrid Hash
Join. Contoh kasus perintah query sederhana di
bawah ini:
SELECT *
FROM pst_ke1 P, pstaktif F
WHERE P. no_tsp = F. nippa
Perintah Query di atas dapat dinyatakan sebagai
operasi ( P F ) dan perintahnya sangat
sederhana, meskipun join dapat didefinisikan
sebagai cross product yang diikuti oleh seleksi
dan proyeksi, join lebih sering muncul dalam
praktek dibandingkan dengan cross product
murni. Cross product biasanya lebih besar
daripada hasil join. Dalam hal ini sangat penting
untuk mengimplementasikan join tanpa
menampilkan cross product.

Untuk mengimplementasikan Nested-Loops-Join
Nested-Loops-J oin
dapat digunakan algoritma simple-nested-loops-
join dan block-nested-loops-join, yang pada
dasarnya menghitung semua record dalam cross
product dan membuang record yang tidak
memenuhi syarat join. Selanjutnya menghindari
perhitungan cross product dengan menggunakan
partisi. Secara intuitif jika syarat join terdiri dari
equality, maka record dalam dua relasi dapat
dianggap tercakup dalam partisi, sehingga hanya
record yang berada dalam partisi yang sama yang
dapat join satu sama lain atau record dalam partisi
tersebut berisi nilai yang sama dalam kolom join.
Indeks nested-loops-join men-scan salah satu
relasi, untuk masing-masing record didalamnya,
dengan menggunakan indeks pada kolom join dari
relasi kedua untuk menemukan record yang
berada dalam partisi yang sama. Jadi hanya subset
relasi kedua yang dibandingkan dengan record
tertentu dari relasi pertama, seluruh cross-product
tidak dihitung. Untuk join dari dua relasi P dan F,
dengan syarat join P
i
= F
j,
menggunakan tanda
posisional. Diasumsikan M halaman dalam P
dengan
P
P ( page P) record per halaman M, dan
N halaman dalam F dengan
P
F

(page F) record
per halaman dalam N, dimana P adalah tabel
relasi pst_ke1 dan F adalah tabel relasi pstaktif.
Apabila menggunakan algoritma Nested-Loops-
Join, record dievaluasi pada saat nested loops.
Algoritma men-scan relasi P tabel relasi pertama,
untuk tiap record pP, kemudian men-scan
semua relasi kedua dalam F . Biaya men-scan P
adalah M I/O, dimana M adalah jumlah halaman
dalam P, kemudian men-scan F sebanyak
P
P M
kali, dan tiap scanning biayanya N I/O, dimana N
adalah jumlah halaman dalam F. Algoritma
Simple-Nested-Loops-Join tidak memanfaatkan
fasilitas buffer. Andaikan memilih P menjadi
pst_ke1 dan F menjadi pstaktif , maka nilai M
adalah 38.730 halaman dan
p
P adalah 100,
kemudian nilai N adalah 45.242
P
F

adalah 80.
Menurut Ramakrishna Raghu & Gehrke Johanes
(2003) biaya simple-nested-loops-join adalah :
M +M* N. Dalam contoh join dari relasi pst_ke1
dan pstaktif, biayanya, adalah : 38.733 + 38.733
* 45.242 = 1.752.397.119 halaman I/O.
1.752.397.119 * 0,0000028 = 4867,769775 jam.
4867,769775 / 24 = 202,9 hari. Algoritma
simple-nested-loops-join tidak memanfaatkan
halaman buffer B secara efektif. Andaikan CPU
mempunyai memory yang cukup untuk
mempertahankan relasi P, diasumsikan paling
sedikit terdapat dua halaman buffer ( B-2) ekstra
yang tersisa. Kemudian menggunakan salah satu
dari halaman buffer ekstra untuk men-scan relasi
F. Untuk tiap record
f
F, memeriksa P dan
menghasilkan record ( p, f ) untuk record f yang
memenuhi syarat (misalnya, p
i
=f
j
). Halaman
buffer ekstra kedua digunakan sebagai buffer
output. Tiap relasi hanya di scan sekali, sehingga
biaya total : I/O M + N . Berikutnya mempartisi
relasi P menjadi blok yang dapat masuk ke
halaman buffer, kemudian men-scan semua F
untuk tiap blok P. P adalah relasi pertama, cukup
di-scan sekali, dan F adalah relasi kedua dan di-
scan banyak kali. Jika memori tersedia sebanyak
B halaman buffer, maka P dapat masuk kedalam
B-2, dan men-scan relasi dalam F dengan
menggunakan satu dari dua halaman yang masih
ada. Kita dapat menulis record (p, f), dimana p
P blok,
f
F halaman, dan p
i
= f
j
dengan
menggunakan halaman buffer terakhir untuk
menulis output. Cara yang efisien untuk
menemukan pasangan record yang cocok
(misalnya record yang memenuhi syarat join p
i
=
f
j
) adalah membentuk main memory hash table
( yaitu tabel sementara hasil join tersimpan dalam
memori utama) untuk blok P. Karena hash tabel
melibatkan pertukaran ukuran blok P yang efektif,
dalam hal ini jumlah record per blok dikurangi.
Biaya strategi metode di atas adalah M I/O untuk
membaca P (di-scan sekali), F di-scan sebanyak
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 373
(
(
(

2 B
M
kali, ini diperlukan berkenaan dengan
in-memory hash tabel (yaitu tabel yang akan
dibuat sementara dalam memori utama berisi tabel
hasil join), dan biaya tiap scan N I/O.
Jadi biaya totalnya adalah =
(
(
(

+
2
*
B
M
N M
dimana : M : Jumlah halaman pada tabel
relasi pertama P
N : Jumlah halaman pada tabel
relasi kedua F
B : Blok halaman buffer
Relasi pst_ke1 adalah relasi pertama P dan
pstaktif adalah relasi kedua F. Asumsikan bahwa
kita mempunyai buffer yang cukup untuk
menahan in-memory hash tabel untuk 100
halaman pst_ke1, sehingga harus men-scan
pst_ke1 dengan biaya 38.730 I/O. Untuk tiap 100
halaman blok pst_ke1, harus di-scan pstaktif.
Oleh karena itu akan menampilkan 10 halaman
scan dari pstaktif, yang masing-masing biayanya
adalah 45.242 I/O, maka biaya totalnya adalah :
38.730 + 10 * 45.242 = 491.150 halaman I/O. jika
tersedia buffer yang cukup untuk menahan 90
halaman pst_ke1, maka harus men-scan pstaktif
38.730 / 90 = 430 kali, dan biaya total akan
menjadi : 38.730 + 430 * 45.242 = 19.509.380
halaman I/O. Jika kemampuan perangkat keras
I/O mempunyai kecepatan 10ms, maka total biaya
di atas adalah : 19.509.380 * 0,0000028 = 54,2
jam. 542 / 24 = 2,26 hari. Hasilnya menunjukkan
lebih baik dari metode nested-loops-join yang
tidak memanfaatkan blok buffer.

Penggunaan Sort- Merge-J oin berbeda. Dasar
pemikiran dari Sort-Merge-Join adalah
mengurutkan kedua relasi pada atribut yang akan
melakukan join, lalu mencari record yang
memenuhi syarat p
Sort-Merge-J oin
P dan
f
F , dengan
menggabungkan dua relasi. Langkah pengurutan
mengelompokkan semua record yang mempunyai
nilai sama dalam kolom join, untuk memudahkan
dalam mengidentifikasi partisi, atau grup record
dengan nilai sama dalam kolom join. Sort-Merge-
Join memanfaatkan partisi dengan
membandingkan record P dalam partisi hanya
dengan record F dalam partisi yang sama (dengan
semua record F), dengan demikian dapat
menghindari perhitungan cross-product P dan F.
(Pendekatan secara spesifik hanya bekerja untuk
syarat equality join). Jika relasi telah diurutkan
berdasarkan atribut join, selanjutnya memproses
penggabungan secara terperinci. Pertama
scanning relasi P dan F untuk mencari record
yang memenuhi syarat (misalnya, record T
p

dalam P dan T
f
, dalam F sehingga T
pi
=T
fj
).
Kedua, scanning dimulai pada record pertama
dalam tiap relasi dan scan P selama record P
terbaru kurang dari record F terbaru (mengacu
pada nilai atribut join ). Ketiga, scan F selama
record F terbaru kurang dari record P terbaru,
dan memilih sampai menemukan P record T
p
dan
F record T
f
dengan syarat T
p i
=T
f j
. Pada saat
menemukan record T
p
dan T
f
yaitu T
p i
=T
f j
,
hasilnya perlu dikeluarkan. Tetapi pada
kenyataannya dapat terjadi beberapa record P dan
beberapa record F mempunyai nilai yang sama.
Disini mengacu pada record tersebut sebagai
partisi P terbaru dan partisi F terbaru. Untuk tiap
record
p
dalam partisi P terbaru, scan semua
record
f
dalam partisi F terbaru yang akan
menghasilkan record hasil join ( p, f ), kemudian
dilanjutkan scan P dan F, mulai dengan record
pertama dan mengikuti partisi yang baru diproses.
Algoritma Sort-Merge-Join menetapkan nilai
record pada variable T
p
, T
f
dan G
f,
menggunakan
nilai eof untuk menandai bahwa tidak ada record
lagi dalam relasi yang sedang di-scan. Subscripts
mengidentifikasi field, T
pi
menyatakan atribut ke i
dari record T
p
. jika T
p
mempunyai nilai eof, maka
setiap perbandingan yang melibatkan T
Pi

didefinisikan untuk mengevaluasi kondisi false,
dengan syarat join yang menjadi equality pada
atribut no_tsp. Relasi pst_ke1 diurutkan pada
no_tsp, relasi pstaktif diurutkan pada atribut
nippa. Tahap penggabungan pada algoritma sort-
merge-join mulai dengan scan pada record
pertama pada masing-masing relasi. Dahulukan
scan pst_ke1, karena nilai no_tsp = 131909235
pada pst_ke1 kurang dari nilai nippa =
131909236 pada pstaktif. Record kedua
pst_ke1 mempunyai nilai 131909236, sama
dengan nilai nippa record pstaktif terbaru. Hasil
join mendapatkan sepasang record, satu dari
pst_ke1 dan satu dari pstaktif, dalam partisi
terbaru (berisi nippa = no_tsp =131909236).
Karena hanya mempunyai satu record pst_ke1
dengan nilai no_tsp=131909236 dan satu record
dari pstaktif, maka selanjutnya menuliskan satu
record hasil pada partisi keluaran. Tahap
selanjutnya pemposisikan scan pstaktif pada
record pertama dengan nippa = 131909237.
Sama halnya dalam memposisikan scan
sebelumnya, karena record kedua tersebut
mempunyai nilai yang sama dengan no_tsp record
ketiga yaitu '131909237' dari pst_ke1, maka jika
telah ditemukan partisi yang cocok, tulis lagi
record yang dihasilkan oleh partisi ini pada partisi
keluaran. Atribut no_tsp dan nippa sama-sama
key sehingga paling banyak hanya satu record
yang cocok dalam partisi. Selanjutnya scanning
pada pst_ke1 diposisikan pada
no_tsp=131909238, scanning pstaktif
diposisikan pada record nippa=131909238,
tahap penggabungan selanjutnya dilakukan
dengan cara yang sama. Secara umum, algoritma
harus men-scan partisi record dalam relasi kedua
dalam F sesering jumlah record dalam partisi
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 374
yang sesuai dengan relasi pertama P. Biaya Sort-
Merge-J oin adalah biaya sorting P adalah O(M
log M) dan biaya sorting F adalah O(N logN).
Biaya dari tahap penggabungan adalah M + N jika
tidak terdapat partisi F di-scan beberapa kali (atau
halaman yang diperlukan ditemukan dalam buffer
setelah tahap pertama). Pendekatan ini sangat
menarik jika setidaknya terdapat satu relasi yang
telah disortir pada atribut join atau mempunyai
clustered indek pada atribut join.Perhatikan join
dari relasi pst_ke1 dan pstaktif, asumsikan
bahwa kita mempunyai 100 halaman buffer,
kemudian dapat mengurutkan pstaktif dalam dua
tahap. Tahap pertama menghasilkan 10 run tiap
100 halaman yang diurutkan secara internal.
Tahap kedua menggabungkan 10 run tersebut
untuk menghasilkan relasi yang disortir. Karena
membaca dan menulis dalam tiap tahap biaya
sortingnya adalah :
2 * 2 * 38.730 = 154..920 halaman I/O
Sama halnya kita dapat menyortir pstaktif dalam
dua tahap dengan biaya
2 * 2 * 45.242 = 180.968 halaman I/O
Selain itu tahap kedua algoritma sort-merge-join
meminta scan tambahan kedua relasi , jadi total
biaya adalah :
154.920 + 180.968 + 38.730 + 45.242 = 419.860
halaman I/O.
Apabila kecepatan perangkat keras 10 ms, maka :
419.860 * 0,0000028 = 1,166277778 jam .

Algoritma Hash join mengidentifikasi partisi
dalam P dan F dalam tiap partisi dan dalam tahap
equality berikutnya membandingkan record
dalam partisi P hanya dengan record dalam F
yang sesuai untuk menguji syarat equality join.
Berbeda dengan sort-merge-join, hash join
menggunakan hashing untuk mengidentifikasi
partisi dalam pengurutan. Tahap partisi ini dapat
disebut juga sebagai building dari hasil hash join
serupa dengan partisi dalam proyeksi hash based.
Hash J oin
Jika terdapat sejumlah besar (misalkan B halaman
buffer relatif) dengan jumlah halaman P, maka
pendekatan hash-based sangat perlu, karena
terdapat dua tahap pekerjaan yaitu : partisi dan
eliminasi duplikat.
1. Baca partisi satu halaman per satu waktu.
Hash tiap record dengan mengaplikasikan
fungsi hash h2 ( h ) pada kombinasi dari
semua field dan kemudian menyisipkannya
ke dalam in-memory hash tabel. Jika record
baru meng-hash nilai yang sama seperti
beberapa record yang ada, maka bandingkan
keduanya untuk memeriksa apakah record
baru tersebut merupakan duplikat, buang
duplikat saat ditemukan.
Dalam tahap partisi dipunyai
satu halaman buffer input dari B-1 halaman buffer
output. Relasi P dibaca ke dalam halaman buffer
input, setiap satu halaman. Halaman input
diproses sebagai berikut : Untuk tiap record,
diproyeksikan sesuai atribut yang diinginkan, dan
kemudian mengaplikasikan fungsi hash h pada
kombinasi dari semua atribut yang ada. Fungsi h
dipilih sehingga record didistribusikan secara
seragam pada satu B-1 partisi; dan terdapat satu
halaman output per partisi. Setelah proyeksi
record diisi ke halaman buffer output yang di
hash menurut h. Pada akhir tahap partisi,
mempunyai B-1 partisi, masing-masing berisi
kumpulan record menggunakan nilai hash umum
(dihitung dengan mengaplikasikan h pada semua
field, dan hanya mempunyai field yang
diinginkan. Dua record yang tercakup dalam
partisi yang berbeda dijamin tidak menjadi
duplikat karena mereka mempunyai nilai hash
yang berbeda. Jadi jika dua record merupakan
duplikat, maka mereka berada dalam partisi yang
sama. Dalam tahap eliminasi duplikat dibaca B-1
partisi satu per satu untuk menghilangkan
duplikat, dasar pemikirannya adalah membentuk
in-memory hash tabel seperti memproses record
untuk mendeteksi duplikat. Untuk tiap partisi
dihasilkan dalam tahap pertama :
2. Setelah semua partisi telah dibaca, tulis
record dalam hash tabel (dimana tidak
terdapat duplikat) ke file hasil, kemudian
bersihkan in-memory hash tabel untuk
mempersiapkan partisi berikutnya.
Untuk persoalan join idenya adalah meng-hash
kedua relasi pada atribut join, menggunakan
fungsi hash h yang sama. Jika meng-hash tiap
relasi (idealnya secara seragam) ke dalam k
partisi, maka yakin bahwa record P dalam partisi
i hanya dapat join dengan record F dalam partisi j
yang sama. Pengamatan ini dapat digunakan
untuk pengaruh yang baik, yaitu dapat membaca
dalam partisi secara lengkap dari relasi P yang
lebih kecil dan hanya men-scan partisi sesuai
dengan F untuk kesesuaian. Dan selanjutnya tidak
perlu memperhatikan record P dan F lagi. Jadi
setelah P dan F di partisi, maka dapat dilakukan
join dengan hanya membaca P dan F sebanyak
satu kali saja. Dan menyediakan memory yang
cukup diperkenankan untuk menyimpan semua
record dalam partisi P tertentu. Dalam praktek
sistem membentuk in-memory hash tabel untuk
partisi P, menggunakan fungsi hash h2 yang
berbeda dari h ( karena h2 dimaksudkan untuk
mendistribusi record dalam partisi yang
berdasarkan h ), untuk mengurangi biaya CPU.
Hal ini sangat memerlukan memory yang cukup
untuk memegang hash tabel, yang sedikit lebih
besar daripada partisi P itu sendiri. Dalam tahap
partisi harus men-scan P dan F sekali dan
menulisnya sekali. Oleh karena itu biaya tahap ini
adalah 2 ( M + N ). Pada tahap kedua men-scan
tiap partisi sekali, dengan asumsi bahwa tidak
terdapat partisi overflow, dengan besar biayanya
adalah : ( M + N ) I/O sehingga biaya total
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 375
adalah : 3 ( M + N ) dengan asumsi bahwa tiap
partisi dapat dimasukkan dalam memory pada
tahap kedua. Pada contoh join dari pst_ke1 dan
pstaktif biaya total adalah :
3 * ( 38.733 + 45.242) = 251.925 halaman I/O.
Apabila unjuk kerja komputer diasumsikan 10 ms
per I/O, hash join memerlukan waktu sebesar:
251.925 * 0,0000028 = 0,699791667 jam
hal tersebut dikarenakan algoritma hash join
memanfaatkan buffer ekstra (in-memory) dan
menggunakan variabel dinamis dimana memory
yang sudah tidak digunakan dapat dibersihkan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa algoritma
mem-partisi tabel-tabel relasi dengan
menggunakan metode hash join secara parsial
dapat menunjukkan unjuk kerja query secara
signifikan. Tetapi prinsip Hash Based harus
dirancang sebelum aplikasi digunakan, karena
tabel-tabel relasi harus berupa hash tabel yang
mana terdapat fungsi hash berupa variabel pointer
yang dapat menunjuk langsung pada alamat
tertentu sesuai keperluan yang dilakukan dalam
hash join. Proses scanning relasi yang berulang
kali dari sebuah partisi akan memerlukan biaya
yang mahal. Untuk meningkatkan kesempatan
suatu partisi dapat masuk kedalam memory yang
tersedia dalam tahap equality, besaran partisi
harus diminimalkan dengan memaksimalkan
jumlah partisi. Dalam tahap partisi, untuk mem-
partisi P (sama halnya dengan F) ke dalam k
partisi memerlukan k buffer output dan satu buffer
input. Misalkan terdapat B halaman buffer, jumlah
maksimum partisi k =B-1, dengan asumsi bahwa
ukuran partisi sama, maka ukuran tiap partisi P
adalah
1 B
M
(M adalah jumlah halaman P ).
Jumlah halaman dalam (in-memory hash tabel)
partisi terbentuk selama tahap equality adalah
1 B
cM
, dimana c adalah nilai konstanta yang
digunakan untuk meningkatkan ukuran antara
partisi dan hash tabel. Dalam tahap equality selain
hash tabel untuk partisi P diperlukan halaman
buffer untuk scanning partisi F dan halaman
buffer untuk keluaran. Maka buffer yang
diperlukan sebanyak 2
1
.
+

>
B
M c
B , dan
buffer M c B . > , agar algoritma hash join
dapat dilakukan dengan baik. Partisi P diharapkan
sesuai dengan tersedianya buffer, sehingga buffer
B
1
>
B
M
, maka jumlah halaman buffer yang
diperlukan lebih kecil daripada M c B . > .
Resiko akan timbul jika fungsi hash h tidak
mempartisi P secara seragam, maka hash tabel
untuk satu partisi P atau lebih mungkin tidak
dapat masuk ke dalam memory selama tahap
equality. Situasi ini secara signifikan dapat
menurunkan unjuk kerja. Proyeksi Hash-based
adalah salah satu cara untuk menangani masalah
overflow partisi, yaitu mengaplikasikan teknik
hash join secara berulang pada join partisi P yang
overflow dengan partisi F yang bersangkutan.
Pertama membagi partisi P dan F ke dalam
subpartisi, berikutnya melakukan join subpartisi
secara berpasangan. Semua subpartisi P masuk ke
dalam memory dengan mengaplikasikan teknik
hash join secara berulang. Memori ekstra adalah
memori yang tersedia dalam memori utama
berupa RAM atau chace memori dan metode
hybrid hash join adalah salah satu metode yang
memanfaatkan memori ekstra. Jika tersedia lebih
banyak memory (memory ekstra), maka hybrid
hash join dapat digunakan.

|
.
|

\
|
>
k
M
c B .
Hybrid Hash J oin
Andaikan bahwa , k adalah jumlah
partisi yang dapat dibentuk. Jika P dibagi menjadi
k partisi ukuran
|
.
|

\
|
k
M
, in-memory hash tabel
dapat dibentuk untuk tiap partisi. Untuk partisi P (
sama halnya dengan F) menjadi k partisi
dibutuhkan k buffer output dan satu buffer input,
yaitu k+1 halaman, dan akan menyisakan
sebanyak B-(k+1) halaman ekstra selama tahap
partisi. Jika
|
.
|

\
|
> +
k
M
c k B . ) 1 ( , berarti
mempunyai cukup memory ekstra selama tahap
partisi. Metode hybrid hash join adalah
membentuk in-memory hash tabel untuk partisi
pertama P selama tahap partisi, yang berarti
bahwa dapat menulis partisi ke disk. Sama halnya
saat mempartisi F, dapat langsung melakukan
equality dalam in-memory hash tabel dengan
partisi P pertama. Pada akhir tahap partisi telah
menyelesaikan equality join, selanjutnya
algoritma bekerja seperti dalam hash join.
Penghematan melalui hybrid hash join yaitu
menghindari untuk menulis partisi pertama P dan
F ke disk selama tahap partisi, dan membacanya
kembali selama tahap equality. Apabila dilihat
contoh pada pst_ke1 yang terdapat 38.730
halaman dalam relasi P lebih kecil dari 45.242
dari relasi F. Jika buffer tersedia B=300 halaman,
maka dapat dengan mudah membentuk in-
memory hash tabel untuk partisi P pertama saat
mempartisi P menjadi dua partisi. Selama tahap
partisi P algoritma dapat membaca P dan menulis
satu partisi, biayanya adalah:
38.730 + 19.366 = 58.096 halaman I/O
Jika diasumsikan bahwa partisi mempunyai
ukuran yang sama, kemudian selanjutnya
membaca F dan menulis satu partisi, biayanya
adalah : 45.242 + 38.730 = 83.972 halaman I/O.
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 376
Pada tahap equality membaca partisi kedua P dan
F, biayanya adalah : 19.366 + 38.730 = 58.096
halaman I/O. Biaya totalnya adalah : 58.096 +
83.972 + 58.096 = 200.164 halaman I/O. Jika
kecepatan 1 halaman I/O memakan waktu 10 ms,
maka kecepatan totalnya adalah : 200.164 *
0,0000028 = 0,556 jam. Dilihat dari hasil
perhitungan, terdapat penurunan waktu runtime
yang signifikan antara algoritma hash join dengan
nilai 0,69 jam dan algoritma hybrid hash join
sebesar 0,56 jam , yaitu sebesar ( 0, 69 jam 0,56
jam = 0,13 jam). Jika mempunyai cukup memori
untuk menyimpan in-memory hash tabel untuk
semua P, maka penghematannya akan lebih besar.
Misalkan jika B> c.N+2, yaitu k = 1, maka dapat
membentuk hash tabel ini dan membaca F sekali
untuk menyelidiki hash tabel P sehingga biayanya
menjadi : 38730 + 45242 = 83.972 I/O. Apabila
unjuk kerja komputer mempunyai kecepatan I/O
10 ms, yaitu : 83.972 * 0,0000028 = 0,233 jam
Metode hybrid hash join, saat ini untuk DBMS
komersial terdapat dalam Oracle, IBM DB2, dan
Informix.


KESIMPULAN

Analisis perhitungan optimisasi query dengan
metode hybrid-hash-join, hasilnya menunjukkan
bahwa proses optimisasi query dapat dicapai
secara signifikan apabila memory CPU dapat
menampung sejumlah buffer dan bucket-bucket
(in-memory hash tabel dengan sejumlah halaman)
yang sedang diproses. Apabila hash tabel tidak
dapat dibentuk, maka selama tahap partisi dan
tahap equality, hasil query akan selalu ditulis ke
disk yang tentunya akan memakan waktu yang
cukup lama. Untuk mengatasi proses query yang
cukup lama dan menghindari partisi overflow
dapat dilakukan fragmentasi horizontal sesuai
dengan rentang atau kriteria tertentu, hasil
fragmentasi disebar dibeberapa server dan
diasumsikan penyebaran data seragam.

















DAFTAR PUSTAKA

[1] Sudrajat, R. 2007. Analisis Optimisasi
Formula Distributed Query Dalam Basis
Data Relasional , Tesis Ilkom IPB hal. 27-53
[2] zsu MT, Valduriez P. 1999. Principles of
Distributed Database Systems. Ed ke-2 New
Jersey : Prentice Hall. hal. 75-233
[3] Ramakrishna Raghu & Gehrke Johanes.
2003. Database Management Systems. Third
Edition The McGraw-Hill Companies, Inc.
Ed. ke 3. hal. 299-317, 336-354, 559-564
[4] Vlach Richard. 2000. Query Processing in
Distributed Database Systems. Departement
of Software Engineering, Charles University.
hal. 1-3
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 377
IMPLEMENTASI METODE BI NOMI AL DAN TRI NOMI AL TREE PADA
MODEL HO-LEE DALAM MENGAPROKSIMASI HARGA ZERO-COUPON
BOND

Ratna Dewi Hidayati, Gatot F. Hertono
Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia

ratna.dh66@gmail.com, gatot-f1@ui.ac.id


ABSTRAK

Tingkat bunga memegang peranan penting dalam kegiatan berinvestasi. Akan tetapi, sangat sulit untuk
memprediksi pergerakan tingkat bunga secara langsung, maka digunakan suatu alat investasi keuangan
yang berupa zero-coupon bond. Zero-coupon bond merupakan jenis obligasi yang tidak memberikan
pembayaran kupon, sehingga harga zero-coupon bond hanya dipengaruhi oleh tingkat bunga. Makalah ini
membahas pergerakan tingkat bunga short rate model Ho-Lee dan implementasinya dalam
mengaproksimasi harga zero-coupon bond. Untuk mengetahui pergerakan tingkat bunga model Ho-Lee
ini digunakan metode binomial dan trinomial tree. Tingkat bunga model Ho-Lee yang dibentuk
menggunakan metode binomial dan trinomial tree ini akan digunakan untuk mengaproksimasi pergerakan
harga zero-coupon bond dengan menggunakan data tingkat bunga Bank of England yang diperoleh
dari www.bankofengland.co.uk . Hasil implementasi menunjukkan bahwa metode binomial dan trinomial
tree cukup baik dalam mengaproksimasi pergerakan short rate dan harga zero-coupon bond.

Kata Kunci : binomial tree, model Ho-Lee, short rate, trinomial tree, zero-coupon bond.


PENDAHULUAN

Di dalam pasar finansial, ada berbagai jenis
perangkat keuangan yang diperdagangkan, seperti
saham, obligasi, dan lainnya. Saham memberikan
hak kepemilikan atas perusahaan penerbit kepada
pemegangnya. Sedangkan obligasi merupakan
suatu pernyataan hutang dari penerbit obligasi
kepada pemegang obligasi beserta janji untuk
membayar kembali pokok hutang yang tertera
pada obligasi (nilai pari) pada saat jatuh tempo
dan biasanya penerbit obligasi juga memberikan
suatu pembayaran periodik yang disebut kupon
(coupon). Salah satu jenis obligasi yang dikenal
luas adalah zero-coupon bond, di mana obligasi
jenis ini tidak memberikan pembayaran kupon
secara periodik kepada pemegang obligasi dan
dijual di bawah nilai pari yang tertera di kontrak
obligasi. Sehingga keuntungan yang diperoleh
seorang pembeli zero-coupon bond berasal dari
selisih antara harga obligasi tersebut dengan nilai
parinya. Selisih harga obligasi dengan nilai pari
muncul akibat adanya bunga. Sehingga dapat
dikatakan bahwa harga zero-coupon bond
dipengaruhi oleh tingkat bunga yang berlaku di
pasar. Namun, dalam pasar finansial, perilaku
tingkat bunga selalu berubahubah karena
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Perilaku
tingkat bunga yang berubahubah tersebut
menyebabkan para pelaku pasar finansial sulit
untuk menentukan harga-harga perangkat
finansial.

Menentukan harga untuk suatu perangkat
finansial yang dipengaruhi oleh tingkat bunga
sangat rumit karena dibutuhkan model yang dapat
menggambarkan perilaku term structure of
interest rate yang konsisten dengan harga obligasi
di pasar finansial, yang dinyatakan dalam kurva
yield dari zero-coupon bond [10]. Selain itu,
model juga harus memenuhi prinsip no-arbitrage.
Secara umum, ada dua pendekatan untuk
membangun model no-arbitrage, yaitu dengan
mendeskripsikan evolusi instantaneous forward
rate dan mendeskripsikan evolusi tingkat bunga
dalam waktu singkat (short rate) [3]. Pada
makalah ini, akan dibahas mengenai salah satu
model no-arbitrage dengan mendeskripsikan
evolusi tingkat bunga dalam waktu singkat (short
rate), yaitu model Ho-Lee. Model Ho-Lee
dikemukakan oleh Thomas Ho dan Sang-Bin Lee
pada tahun 1986 [2]. Model ini dapat
menggambarkan tingkat bunga short rate r(t)
yang merupakan tingkat bunga yang digunakan
pada periode t. Harga obligasi, harga opsi, dan
perangkat keuangan lainnya bergantung pada
proses yang dimiliki oleh r. Model ini mengambil
term structure awal sebagai input dan
menghasilkan tingkat bunga untuk periode
selanjutnya, sehingga tingkat bunga yang
dihasilkan selalu konsisten dengan tingkat bunga
saat ini (keadaan no-arbitrage). Thomas Ho dan
Sang-Bin Lee [2] mengusulkan perubahan tingkat
bunga dalam bentuk bond price tree, di mana
harga dari suatu zero-coupon bond pada periode
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 378
selanjutnya dapat memiliki beberapa
kemungkinan nilai.

Makalah ini menjelaskan tentang penggunaan
metode binomial dan trinomial tree dalam
mengaproksimasi pergerakan short rate model
Ho-Lee dan selanjutnya short rate tersebut akan
digunakan untuk mengaproksimasi pergerakan
harga zero-coupon bond menggunakan data yang
dikeluarkan oleh Bank of England pada tanggal 1
Juni 2009. Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa metode binomial dan trinomial tree pada
model Ho-Lee cukup baik dalam
mengaproksimasi pergerakan short rate dan harga
zero-coupon bond menggunakan data Bank of
England tanggal 1 Juni 2009.


BI NOMI AL TREE PADA MODEL HO-LEE

Pada bagian ini, akan dibahas binomial tree pada
model Ho-Lee dalam mengaproksimasi
pergerakan short rate dan harga zero-coupon
bond.

Model Ho-Lee memiliki dinamika sebagai berikut

() = () +

, (1)

Diskritisasi persamaan (1) menggunakan Euler-
Maruyama menjadi

r(t
k+1
) = r(t
k
) + (t
k
)t+(t
k
)t, (2)

dengan t
k
=k x t dan untuk selanjutnya, r(t
k
) akan
ditulis sebagai r(t), dengan pengertian r(t) = r(k).
Persamaan tersebut yang akan digunakan dalam
mengaproksimasi pergerakan short rate dan harga
zero-coupon bond mengikuti model Ho-Lee
menggunakan metode binomial dan trinomial
tree.

Untuk membentuk binomial dan trinomial tree
pada model Ho-Lee, pertama-tama didefinisikan
dahulu D(t) sebagai faktor diskon untuk periode
(0,t) atau dapat dianggap sebagai harga zero-
coupon bond pada t=0 dengan nilai pari $1 yang
jatuh tempo pada waktu t. D(t) dapat dinyatakan
sebagai
D(t) = e
-rt
, (3)

dengan r adalah tingkat bunga bebas resiko dan
diperoleh dari data.

Sesuai dengan definisi D(t) sebelumnya, maka
pada binomial dan trinomial tree, D(t, j)
didefinisikan sebagai faktor diskon pada periode
waktu t dan state j untuk periode [t, t+1] dan
dapat dinyatakan sebagai

D(t, j) = e
-r(t, j)t
, (4)

dengan r(t, j) adalah short rate pada waktu t dan
state j. Disini digunakan asumsi r(0,0) = r(1) dan
t merupakan selisih dari periode t ke t+1.
Berdasarkan persamaan (2) tersebut, dalam
pembentukan short rate binomial tree model Ho-
Lee, untuk suatu short rate yang bergerak dari
periode t ke periode t+1, bernilai 1 jika tingkat
bunga bergerak naik dan bernilai -1 jika tingkat
bunga bergerak turun, pergerakan tersebut
masing-masing ditulis dalam persamaan sebagai
berikut

( + 1, + 1) = (, ) + () +,
(5)
dan
( +1, ) = (, ) + () .
(6)

Dari persamaan (5) dan (6) di atas, didapat
hubungan antar node pada tiap periode binomial
tree sebagai berikut

2 = ( + 1, +1) ( + 1, ) .
(7)

Dalam pembentukan short rate binomial tree
model Ho-Lee ini, juga dibutuhkan penghitungan
Arrow-Debreu prices. Arrow-Debreu prices yaitu
suatu keadaan pada saat t yang bernilai 1 jika
suatu state tercapai dan 0 untuk yang lainnya [9].
Arrow-Debreu prices pada node (t,j) adalah nilai
kini dari probabilitas node tersebut tercapai dan
dinotasikan dengan G(t,j) di mana t menyatakan
periode dan j menyatakan state, dengan t = 0, ,
n dan j = 0, , k. Untuk mencari nilai dari Arrow-
Debreu prices pada tiap node binomial tree dapat
digunakan persamaan berikut

Untuk node (t,0)
(, 0) =
1
2
( 1,0)
(1,0)
(8)

Untuk node (t,t)
(, ) =
1
2
( 1, 1)
(1,1)

(9)

Untuk node (t,j)
G(t,j) = G(t-1,j)e
-r(t-1,j)t
+
G(t-1,j-1) e
-r(t-1,j-1)t
, (10)

di mana t=0,, n dan j=0,,k, G(0,0) adalah 1,
dan nilai dari r(0,0) adalah r(1). Setelah
mengetahui nilai dari Arrow-Debreu prices pada
tiap node binomial dan trinomial tree, maka kita
bisa mencari nilai dari suatu perangkat keuangan
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 379
dengan cara mengalikan nilai Arrow-Debreu
prices dengan nilai yang bersesuaian pada interest
rate tree [1].
Selanjutnya, untuk dapat membentuk short rate
binomial tree model Ho-Lee ini, dicari dengan
membentuk suatu portofolio yang bebas resiko
sebagai berikut :
Pertimbangkan dua portofolio pada periode waktu
t = 0 berikut :
Portofolio A yang terdiri dari zero-
coupon bond yang jatuh tempo pada
waktu t = 2 dengan nilai pari $1
Portofolio B yang terdiri dari suatu
perangkat keuangan dengan nilai D(1,0)
pada node (1,0) dan bernilai D(1,1) pada
node (1,1).
Nilai dari portofolio A pada waktu t=0 menurut
persamaan (3) adalah


(2) =
2
,
(11)
sedangkan nilai dari portofolio B pada waktu t=0
menurut konsep Arrow-Debreu prices seperti
telah disebutkan sebelumnya adalah
G(1,0)D(1,0) + G(1,1)D(1,1), (12)

di mana G(1,1) dan G(1,0) adalah Arrow-Debreu
prices yang sudah diketahui nilainya. D(1,0) dan
D(1,1) merupakan faktor diskon seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya. Kemudian menurut
prinsip no-arbitrage maka kedua portofolio
tersebut pada saat jatuh tempo harus bernilai
sama, yaitu
D(2) = G(1,0)D(1,0) + G(1,1)D(1,1). (13)

Kemudian, dengan menggunakan persamaan (13),
definisi faktor diskon, dan modifikasi aljabar,
dapat diperoleh persamaan

(1,0) =
ln
(2)
(1,0)+(1,1)
2

,
(14)
dengan D(t+1) merupakan faktor diskon pada
waktu t+1.

Secara umum, misalkan t 0, r(t, j), dan G(t, j)
diketahui atau sudah dihitung dengan
menggunakan persamaan Arrow-Debreu prices,
maka dapat diperoleh bentuk umum r(t,0) sebagai
berikut

(, 0) =
(, )
2
=0
ln (+1)

,
(15)

dengan D(t+1) merupakan faktor diskon pada
waktu t+1. Berdasarkan persamaan (15) tersebut,
dapat dicari nilai short rate pada state 0 di tiap
periode binomial tree. Kemudian, untuk mencari
nilai pada node lain di periode tersebut (untuk j =
1, , k), digunakan persamaan (7). Dengan
melakukan langkah-langkah tersebut untuk tiap
periode selama waktu yang ditentukan, maka
dapat dibentuk suatu short rate binomial tree
yang mengaproksimasi pergerakan short rate
model Ho-Lee. Bentuk metode binomial tree pada
model Ho-Lee dalam mengaproksimasi
pergerakan short rate seperti ditunjukkan oleh
Gambar 1 berikut



Gambar 1 Short rate binomial tree model Ho-
Lee

Selanjutnya, short rate binomial tree model Ho-
Lee tersebut akan digunakan untuk
mengaproksimasi pergerakan harga zero-coupon
bond dengan cara backward menggunakan
persamaan

P(t,j)=(pP(t+1,j+1)+(1-p)P(t+1,j))e
-r(t,j)t
, (16)

di mana p merupakan probabilitas percabangan
pada binomial tree, P(t,j) merupakan harga zero-
coupon bond pada periode t dan state j, dan r(t,j)
merupakan nilai short rate yang sudah didapatkan
sebelumnya. Asumsi yang digunakan adalah
probabilitas p untuk percabangan pada binomial
tree bernilai .

Persamaan (16) di atas diperoleh dengan
menggunakan prinsip risk neutral. Prinsip ini
menyatakan bahwa untuk setiap asset A pada
waktu t, nilai asset A pada t = 0 adalah sama
dengan nilai ekspetasi dari asset waktu t yang
didiskon pada waktu sekarang ( saat t = 0 )
dengan menggunakan tingkat bunga bebas resiko.
Hal ini dapat dituliskan dalam bentuk persamaan

(, 0) =

[(, )], (17)



di mana V menyatakan nilai asset dan r
menyatakan tingkat bunga bebas resiko yang
bersifat continuous compound [8].


TRI NOMI AL TREE PADA MODEL HO-LEE

Selain menggunakan metode binomial tree dalam
mengaproksimasi pergerakan short rate dan
pergerakan harga zero-coupon bond yang
mengikuti dinamika model Ho-Lee ini, pada
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 380
makalah ini juga akan digunakan metode
trinomial tree.

Pembentukan short rate trinomial tree model Ho-
Lee ini, mengikuti pembentukan trinomial tree
model Hull-White [4] yang terdiri dari 2 tahap.
Akan tetapi, karena ada perbedaan antara model
Ho-Lee dengan model Hull-White, maka
pembentukan short rate trinomial tree model Ho-
Lee ini tidak sepenuhnya mengikuti langkah-
langkah pembentukan short rate trinomial tree
untuk model Hull-White, yaitu model Ho-Lee
tidak mempertimbangkan mean reversion
sehingga percabangan pada tiap node merupakan
percabangan normal [7].

Tahap Pertama

Tujuan tahap pertama ini adalah untuk
membentuk suatu tree sementara r*, dengan
variabel
r*(0,0) = 0
dan tanpa
mempertimbangkan parameter (t) terlebih dulu.
Nilai dari tiap node pada tree sementara ini,
didapatkan dengan menggunakan persamaan
berikut

r j j t r = ) , (
*
*, (18)


dengan r* = 3 x t , di mana r* merupakan
jarak antar short rate pada suatu periode trinomial
tree, bernilai konstan dan t juga bernilai
konstan.

Nilai r* dipilih menggunakan
persamaan tersebut dalam hal meminimumkan
error [4]. Karena model Ho-Lee tidak
mengandung mean reversion, maka nilai
probabilitas untuk percabangan pada tiap node
(up, mid, dan down) pada trinomial tree masing-
masing adalah 1/6, 2/3, dan 1/6 [7].


Bentuk tree tahap pertama dalam pembentukan
short rate trinomial tree model Ho-Lee ini adalah
sebagai berikut



Gambar 2 Tree sementara r* dalam pembentukan
short rate trinomial tree model Ho-
Lee



Tahap Kedua

Pada tahap kedua pembentukan short rate
trinomial tree ini, tree sementara r* pada tahap
pertama akan diganti dengan short rate r yang
sudah mempertimbangkan parameter (t). Nilai
tiap node pada tree tahap kedua ini didapatkan
dengan menggunakan persamaan

(, ) = () + (, ), (19)

di mana (t) merupakan aproksimasi untuk (t)
pada dinamika model Ho-Lee.

Nilai (t) diperoleh dengan menggunakan prinsip
yang sama dalam mencari nilai r(t,0) pada
binomial tree. Hanya saja, persamaan untuk
mendapatkan nilai Arrow-Debreu prices pada tiap
node di trinomial tree ini berbeda dengan
binomial tree. Hal ini dapat dilihat dari
percabangan pada trinomial tree yang lebih
banyak 1 cabang pada tiap node dan nilai
probabilitas yang tidak sama pada tiap cabang.
Untuk mendapatkan nilai Arrow-Debreu prices
pada trinomial tree ini, menggunakan persamaan
berikut [5]
(, ) = (, )(
(1)
=(1)
1, )
(1,)
,
(20)

di mana q(k,j) menyatakan probabilitas dari node
(t-1,k) menuju node (t,j), G(t,j) menyatakan nilai
Arrow-Debreu prices pada periode t dan state j, di
mana t = 0,1,, n dan j = -k,, 0,, k, nilai dari
G(0,0) adalah 1, dan nilai dari r(0,0) adalah r(1).
Setelah mendapatkan nilai Arrow-
Debreu prices, maka dapat dicari nilai (t) dengan
menggunakan persamaan berikut
() =
(, )

(+1)

, (21)
dengan D(t+1) merupakan faktor diskon pada
waktu t+1.

Nilai (t) digunakan untuk mencari nilai short
rate pada tiap node di trinomial tree tahap kedua
ini dengan menggunakan persamaan (19).

Dengan melakukan langkah-langkah tersebut
untuk tiap periode sampai waktu yang ditentukan,
maka terbentuklah suatu short rate trinomial tree
yang mengikuti dinamika model Ho-Lee. Bentuk
short rate trinomial tree model Ho-Lee ini adalah
sebagai berikut
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 381



Gambar 3 Short rate trinomial tree model Ho-
Lee

Selanjutnya, short rate trinomial tree model Ho-
Lee tersebut juga akan digunakan untuk
mengaproksimasi pergerakan harga zero-coupon
bond dengan cara backward menggunakan
persamaan

P(t,j)=(p
u
P(t+1,j+1)+p
m
P(t+1,j)+p
d
P(t+1,j-1))
e
-r(t,j)t
, (22)

dengan P(t,j) menyatakan harga zero-coupon
bond pada periode t dan state j, di mana p
u
, p
m
,
dan p
d
merupakan probabilitas untuk naik, mid,
dan turun dengan nilai masing-masing
probabilitasnya adalah 1/6, 2/3, dan 1/6 seperti
yang telah disebutkan sebelumnya. Pada
persamaan (22), r(t,j) merupakan nilai short rate
yang sudah didapatkan sebelumnya. Persamaan
(22) tersebut didapatkan dengan menggunakan
prinsip risk neutral seperti yang telah disebutkan
sebelumnya.


HASIL DAN DISKUSI

Pada bagian ini, akan diaproksimasi pergerakan
short rate dan harga zero-coupon bond yang
mengikuti dinamika model Ho-Lee dengan
menggunakan metode binomial dan trinomial tree
pada data Bank of England yang diperoleh
dari www.bankofengland.co.uk untuk tanggal 1
Juni 2009.

1) Aproksimasi Pergerakan Short Rate

Aproksimasi pergerakan short rate model Ho-Lee
ini dilakukan dengan menggunakan persamaan
(15) dan (7) untuk metode binomial tree,
sedangkan untuk metode trinomial tree digunakan
persamaan (19). Parameter yang dibutuhkan
adalah , yang diperoleh dengan mencari standar
deviasi dari forward rate zero-coupon bond untuk
waktu jatuh tempo yang ditentukan [9]. Pada
makalah ini, data untuk mencari nilai adalah
data forward rate untuk waktu jatuh tempo 5
tahun dari tanggal 1 Juni 2008 sampai 29 Mei
2009, zero-coupon bond yang digunakan adalah
bond yang jatuh tempo 5 tahun dengan nilai
parinya adalah $1, dan t adalah 1 bulan. Nilai
yang didapatkan adalah 0.0053486154614.

Hasil implementasi tersebut dapat dilihat pada
Gambar 4 berikut



Gambar 4 Hasil Implementasi metode binomial
dan trinomial tree pada model Ho-
Lee dalam mengaproksimasi
pergerakan short rate

Terlihat dari Gambar 4 bahwa metode binomial
dan trinomial tree berhimpit dengan data forward
rate periode tunggal dalam mengaproksimasi
pergerakan short rate model Ho-Lee ini. Hasil
implementasi metode binomial dan trinomial tree
pada model Ho-Lee ini dibandingkan dengan
forward rate periode tunggal yang dicari
menggunakan persamaan berikut

(
1
,
2
) =

1
,

di mana s merupakan nilai spot rate dan
didapatkan dari data pada tanggal 1 Juni 2009.
Hal tersebut dilakukan terkait pengertian dari
short rate sendiri yang menyatakan bahwa short
rate merupakan forward rate periode tunggal [6]
dan karena tidak terdapat data short rate. Dalam
implementasi, terlihat dari nilai maksimum
relative error, yang didapatkan dengan mencari
nilai maksimum dari relative error pada tiap node
dengan menggunakan persamaan

=
||
||
,

di mana x* merupakan nilai aproksimasi untuk x,
untuk metode binomial dan trinomial tree dalam
mengaproksimasi pergerakan model Ho-Lee ini
sama-sama memberikan nilai yang cukup baik
yaitu
rel err maks = 0.008326.

2) Aproksimasi Pergerakan Harga Zero-
coupon Bond

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 382
Aproksimasi pergerakan harga zero-coupon bond
menggunakan metode binomial dan trinomial tree
ini berturut-turut menggunakan persamaan (16)
dan (22). Hasil Implementasi metode binomial
dan trinomial tree dalam mengaproksimasi harga
zero-coupon bond untuk waktu jatuh tempo 5
tahun dengan nilai pari sebesar $1 ini dapat dilihat
pada Gambar 5 berikut



Gambar 5 Hasil Implementasi metode binomial
dan trinomial tree pada model Ho-
Lee dalam mengaproksimasi
pergerakan harga zero-coupon bond

Terlihat pada Gambar 5 bahwa metode binomial
dan trinomial tree tidak memberikan perbedaan
yang signifikan dengan data sebenarnya dalam
mengaproksimasi pergerakan harga zero-coupon
bond. Selain itu, nilai maksimum relative error
yang dihasilkan metode binomial dan trinomial
tree cukup baik dalam mengaproksimasi
pergerakan harga zero-coupon bond yang jatuh
tempo 5 tahun dengan nilai pari $1 pada tanggal 1
Juni 2009 menggunakan data yang dikeluarkan
oleh Bank of England, yaitu masing-masing
adalah
maks rel err binom = 0.001946,
dan
maks rel err trinom 0.0065.


KESIMPULAN

Berdasarkan hasil implementasi metode binomial
dan trinomial tree pada model Ho-Lee
menggunakan data yang dikeluarkan oleh Bank of
England tanggal 1 Juni 2009, dapat disimpulkan
bahwa kedua metode tersebut cukup baik dalam
mengaproksimasi pergerakan short rate dan harga
zero-coupon bond pada tanggal tersebut.







DAFTAR PUSTAKA

[1] Abuhawas, Soad, Burnett, J. , Diaz, O., Han
C.H., Panagoda, M., Zhao Y. 2001. Pricing
Interest Rate Related Instruments. IMMW
Center for Research in Scientific
Computation : 39-57.
[2] Ho S.Y.T. and Lee S. 1986. Term Structure
Movements and Pricing Interest Rate
Contingent Claims. Journal of Finance,
41:1011-1029.
[3] Hull, John and White, Alan. 1993. One-
Factor Interest-Rate Models and the
Valuation of Interest-Rate Derivative
Securities. Journal of Financial and
Quantitative Analysis (28-2) : 235-254.
[4] Hull, John and White, Alan. 1994. Numerical
Procedures for Implementing Term Structure
Models I : Single-Factor Models. Journal of
Derivatives (2-1) : 7-16.
[5] Hull, John C. 2002. Options, Futures, and
Other Derivatives, 6
th
ed. Prentice-Hall.
[6] Luenberger, David G. 1998. Investment
Science. USA : Oxford University Press, Inc.
[7] Lund, Jesper. 1998. Lecture notes on Fixed
Income Analysis : Calibration in Lattice
Models.
[8] Saifudin, Kartina Widyani. 2007. Model Cox,
Ingersol dan Ross (CIR) dan Penghitungan
Harga Zero-Coupon dengan Tingkat Bunga
Spot Mengikuti Model CIR. Skripsi Sarjana,
Departemen Matematika FMIPA UI, Depok.
[9] Senturk, Huseyin. 2008. An Empirical
Comparison of Interest Rate Models for
Pricing Zero-coupon Bond Options. Master
Thesis, The Middle East Technical
University.
[10] Theresia, Esbby Rachael. 2006. Perancangan
Program Aplikasi Perhitungan Harga Put
Option pada zero-coupon bond dengan
trinomial tree Hull-White. Skripsi Sarjana,
Universitas Bina Nusantara, Jakarta.
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 383
PENYEJAJARAN BARISAN DNA DENGAN MENGGUNAKAN
ALGORITMA X-DROP DAN ALGORITMA GREEDY

Siti Aminah, Eny Christiningsih, Denny Riama Silaban
Departemen Matematika FMIPA-UI, Depok, 16424

aminah1209@yahoo.co.id


ABSTRAK

Penyejajaran barisan DNA dilakukan untuk melihat tingkat kemiripan antara barisan tersebut. Sebagian besar metode
dalam penyejajaran barisan DNA menggunakan pendekatan pemrograman dinamik. Salah satu metode yang sering
digunakan adalah Metode Needleman-Wunsch. Pada metode tersebut, semua kemungkinan penyejajaran
dipertimbangkan untuk memperoleh penyejajaran yang optimum.

Makalah ini membahas tentang penyejajaran barisan DNA dengan menggunakan Algoritma X-drop dan Algoritma
Greedy. Pada Algoritma X-drop dan algoritma Greedy, tidak semua kemungkinan penyejajaran dipertimbangkan.
Hanya daerah yang mempunyai potensi untuk mencapai penyejajaran yang optimum yang akan ditelusuri, sementara
daerah yang tidak mempunyai potensi untuk mencapai penyejajaran yang optimum akan diabaikan. Algoritma X-
drop dan Algoritma Greedy membatasi daerah pencarian dengan menggunakan konsep X-drop. Daerah yang
ditelusuri adalah daerah yang tidak memenuhi kondisi X-drop, yaitu kondisi yang bergantung pada nilai X yang
dipilih oleh pengguna, sehingga kinerja dari kedua algoritma tersebut bergantung pada pemilihan nilai X yang tepat.
Pada simulasi yang telah dilakukan, dengan menggunakan nilai X yang sama, kedua algoritma memberikan hasil
penyejajaran yang sama, dengan waktu eksekusi algoritma Greedy lebih baik dari algoritma X-drop.

Kata kunci: algoritma X-drop, algoritma Greedy, kondisi X-drop, penyejajaran barisan, pemrograman dinamik.


PENDAHULUAN

Bioinformatika merupakan bidang keilmuan yang
menggabungkan matematika, statistika, dan
komputasi yang digunakan dalam bidang biologi
[1]. Salah satu topik yang dibahas dalam
bioinformatika adalah barisan-barisan DNA
(deoxyribonucleid acid).

Suatu barisan DNA dalam jangka waktu tertentu
dapat berevolusi menjadi barisan DNA yang
memiliki kemiripan dengan DNA awal. Evolusi
barisan DNA dapat berupa perubahan
(subtitution) karakter, penghilangan (deletion)
karakter, dan penyisipan (insertion) karakter.

Untuk melihat tingkat kemiripan barisan DNA,
dilakukanlah penyejajaran barisan. Dalam
penyejajaran barisan, dimungkinkan untuk
menyisipkan spasi di awal, di tengah, atau di akhir
barisan.

Dalam penyejajaran dua barisan, pemasangan
antar karakter yang sama, pemasangan antar
karakter yang berbeda, dan pemasangan karakter
dengan spasi, masing-masing akan diberikan skor.
Penyejajaran yang optimum adalah penyejajaran
dengan total skor maksimum.

Umumnya penyejajaran barisan DNA
menggunakan pendekatan pemrograman dinamik,
yang mempertimbangkan semua kemungkinan
penyejajaran, seperti pada metode Needleman-
Wunsch. Algoritma X-drop dan Algoritma
Greedy juga menggunakan pendekatan
pemrograman dinamik, dengan suatu pembatasan
pencarian penyejajaran hanya pada jalur yang
potensial menjadi penyejajaran terbaik. Pencarian
dilanjutkan jika tidak memenuhi kondisi X-drop,
dengan suatu nilai X yang ditententukan.

Makalah ini membahas algoritma X-drop dan
Greedy untuk penyejajaran. Kedua algoritma ini
akan diimplementasikan untuk digunakan
melakukan simulasi dari beberapa pasang barisan
yang dibentuk secara acak.

PENYEJAJARAN DUA BARISAN

Diberikan dua barisan, yaitu =
1
,
2
, ,


dan =
1
,
2
, ,

dengan x
i
menyatakan
karakter ke-i pada barisan X dan y
j
menyatakan
karakter ke-j pada barisan Y. Penyejajaran barisan
X dan Y dapat didefinisikan sebagai himpunan
berurutan dari pasangan karakter (x
i
, y
j
) dan dari
pasangan karakter dengan spasi, yaitu ( _, y
j
) dan
(x
i
, _), dengan kendala jika spasi ( _ ) dihapus,
akan diperoleh barisan awal [7].

Pemasangan antar karakter bisa berupa
pemasangan suatu karakter dari barisan pertama
dengan karakter yang sama dari barisan kedua
(match) maupun pemasangan suatu karakter dari
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 384
barisan pertama dengan karakter yang berbeda
dari barisan kedua (mismatch). Berkaitan dengan
hal itu, skor penyejajaran yang digunakan adalah
1. pemasangan antarkarakter yang sama diberi
skor 2,
2. pemasangan antarkarakter yang berbeda
diberi skor -1, dan
3. pemasangan karakter dengan spasi diberi
skor -2.

Penyejajaran optimal adalah penyejajaran yang
memiliki total skor penyejajaran paling besar dari
semua penyejajaran yang mungkin.

MENYAJIKAN PENYEJAJARAN BARISAN
DNA DALAM GRAF

Penyejajaran dua barisan DNA dapat
digambarkan dalam suatu graf dimana
penyejajaran yang optimal dapat diperoleh dengan
mencari lintasan terpanjang pada graf tersebut.
Lintasan terpanjang adalah lintasan yang memiliki
skor maksimum.

ASUMSI GRAF

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
menyajikan penyejajaran dua barisan DNA dalam
bentuk graf. Pada makalah ini beberapa syarat
graf yang dipakai adalah sebagai berikut.
1. Graf adalah graf erarah yang tidak
mengandung cycle.
2. Himpunan simpulnya berupa {0, 1, 2, , n}.
Pemberian nomor pada simpul berdasarkan
canonical topological numbering, yaitu
pemberian nomor dilakukan berdasarkan
urutan simpul yang dikunjungi.
3. Setiap simpul dapat dicapai oleh suatu
lintasan yang berawal dari simpul 0.
4. Banyak busur yang meninggalkan suatu
simpul (outdegree dari simpul) terbatas oleh
nilai suatu konstan.
5. Setiap busur (p, q) memiliki bobot w(p, q).

MENGGAMBARKAN GRAF DARI
PENYEJAJARAN

Misalkan terdapat dua barisan DNA, yaitu
=
1
,
2
, ,

dan =
1
,
2
, ,

di mana
panjang karakter barisan X dan Y masingmasing
adalah m dan n. Graf penyejajaran dari dua
barisan tersebut terdiri dari (m + 1) (n + 1)
simpul. Simpul-simpul ini disusun berjajar
dengan tiap kolom terdiri dari (m + 1) simpul dan
tiap baris terdiri dari (n + 1) simpul.

Misalkan v
i, j
menyatakan simpul pada baris ke- i
dan kolom ke- j, dan v
i, j
adalah pangkal dari suatu
busur, i = 1, 2, 3, , m dan j = 1, 2, 3, , n.
Ujung dari busur tersebut adalah
v
i+1, j
, jika j = n,
v
i, j+1
, jika i = m,
v
i+1, j
, v
i, j+1
, dan v
i+1, j+1
, jika lainnya.

PENENTUAN BOBOT TIAP BUSUR

Bobot pada suatu busur adalah w(p, q). Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, pemberian
skor pada tiap pemasangan yaitu; skor untuk
pemasangan antarkarakter yang sama adalah 2,
skor untuk pemasangan karakter yang berbeda
adalah -1, dan skor pemasangan karakter dengan
spasi adalah -2.

Contoh 1
Diberikan dua barisan DNA, yaitu barisan
pertama T C G A dengan panjang karakter 4, dan
barisan kedua T G T dengan panjang karakter 3.
Banyak simpul pada graf adalah (4+1)(3+1)=20.
Pemberian nomor pada simpul dimulai dari
simpul pada baris 1 kolom 1. Penyajian graf untuk
penyejajaran barisan T C G A dan T G T dapat
dilihat pada Gambar 1.



Gambar 1. Graf edit berbobot untuk barisan TCGA dan TGT

PENGERTIAN DIAGONAL DAN
ANTIDIAGONAL PADA GRAF EDIT

Penyejajaran DNA menggunakan algoritma X-
drop dilakukan dengan menelusuri simpul-simpul
yang terletak pada antidiagonal graf edit,
sementara penyejajaran DNA menggunakan
algoritma greedy dilakukan dengan menelusuri
simpul-simpul yang terletak pada diagonal graf
tersebut.

Misalkan terdapat dua barisan DNA =

1
,
2
, ,

dan =
1
,
2
, ,

, dengan
panjang M dan N. Diagonal * adalah himpunan
titik-titik (, ) dimana 0 , 0
(0,0)
-2
(0,1) (0,2)
-2
-2
(1,0)
(2,0)
(3,0)
(1,1)
-2
2
(2,1)
(3,2)
(2,2)
(1,2)
(3,1)
-2 -2
-2 -2
-2
-
1
-
1
-
1
-
1 2
-2
-2 -2 -2
-2 -2
-2 -2
T G
T
C
G
(0,3)
-2
-2
-2
-2
(2,3)
(1,3)
(3,3)
-2
-2
-2
2
-
1
-
1
(4,0) (4,2) (4,1)
-2 -2
-
1
-
1 -2 -2 -2
-2
(4,3)
-2
-
1
A
T
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 385
sedemikian sehingga
*
= ,
*
,
(, )
*
(, ) . Antidiagonal
adalah himpunan setiap titik titik (, )dimana
0 , 0 sedemikian sehingga
= +, , 0 +.

Contoh 2.
Menggunakan permasalahan pada contoh 1.
Diagonal * adalah himpunan titik-titik (, )
dimana 0 , 0 sedemikian
sehingga
*
= ,
*
, (, )
*

(, ), maka diagonal * pada graf edit
dari barisan DNA pada contoh 1, dapat dilihat
pada Gambar 2.

(0,0) (0,1) (0,2)
(1,0)
(2,0)
(3,0)
(1,1)
(2,1)
(3,2)
(2,2)
(1,2)
(3,1)
T G
T
C
G
k* = -1
k* = -2
k* = 0
k* = 1 k* = 2 k* = 3
(0,3)
(2,3)
(1,3)
(3,3)
(4,0) (4,2) (4,1) (4,3)
k* = 4
k* = -3
T
A

Gambar 2. Diagonal pada graf edit penyejajaran barisan
TCGA dan TGT

Antidiagonal adalah himpunan setiap titik titik
(, )

dimana 0 , 0 sedemikian
sehingga = + , , 0 + ,
maka antidiagonal l pada graf edit dari barisan
DNA pada contoh 1, dapat dilihat pada Gambar 3.

KONDISI X-DROP

Kondisi X-drop adalah kondisi untuk
mengevaluasi apakah suatu sub penyejajaran
potensial untuk dilanjutkan. Kondisi ini
bergantung pada skor terbaik yang diperoleh
hingga saat ini dan skor penyejajaran yang sedang
dilakukan. Suatu sub penyejajaran dikatakan
memenuhi kondisi X-drop jika selisih antara skor
terbaik yang diperoleh hingga saat ini dengan skor
penyejajaran yang sedang dilakukan melebihi
suatu nilai X. Penyejajaran yang memenuhi
kondisi X-drop tidak berpotensi untuk dilanjutkan.
Algoritma X-drop dan algoritma greedy
menggunakan kondisi X-drop untuk memangkas
penyejajaran penyejajaran yang tidak potensial
untuk menghasilkan penyejajaran yang optimal.


Gambar 3. Antidiagonal pada graf edit penyejajaran barisan
TCGA dan TGT

Nilai X ditentukan dengan syarat X merupakan
suatu bilangan nonnegatif. Nilai X akan
mempengaruhi hasil penyejajaran. Jika nilai X
yang digunakan terlalu kecil, besar kemungkinan
bahwa penyejajaran tidak akan memberikan hasil
yang optimal, sementara nilai X yang terlalu besar
akan menyebabkan algoritma X-drop dan
algoritma greedy mempertimbangkan hampir
semua kemungkinan hasil penyejajaran sehingga
menjadi tidak lebih efisien dibandingkan
algoritma dengan pemrograman dinamik yang
lain seperti algoritma Needleman Wunsch.

ALGORITMA X-DROP

Algoritma X-drop adalah suatu algoritma untuk
mencari penyejajaran optimal dari dua barisan
DNA. Penyejajaran dilakukan dengan hanya
melanjutkan subpenyejajaran yang potensial
untuk menjadi penyejajaran optimal.

Pada algoritma X-drop, skor untuk pemasangan
karakter yang sama (match) disebut mat, skor
untuk pemasangan karakter yang berbeda
(mismatch) disebut mis, dan skor untuk
penyejajaran dengan gap (indel) disebut ind. Pada
graf edit, penyejajaran dilakukan dengan
menghitung skor penyejajaran pada setiap simpul
(, ) yang dinotasikan sebagai (, ), mulai dari
simpul (0,0) sampai dengan simpul (, ). Nilai
(, ) adalah skor terbaik penyejajaran barisan

1
,
2
, ,

dan
1
,
2
, ,

untuk dan
. Untuk sembarang > 0 dan > 0, (, )
diperoleh dari tiga kemungkinan, yaitu (
1, 1), ( 1, ), dan (, 1) . Sehingga
diperoleh persamaan rekursif
(, ) =

( 1, 1) +
( 1, 1) +
(, 1) +
( 1, ) +

> 0, > 0

> 0, > 0

> 0
> 0

(0,0) (0,1) (0,2)
(1,0)
(2,0)
(3,0)
(1,1)
(2,1)
(3,2)
(2,2)
(1,2)
(3,1)
T G
T
C
G
k = 1 k = 2 k = 3
k = 4
k = 0
k = 5
(0,3)
(2,3)
(1,3)
(3,3)
(4,0) (4,2) (4,1) (4,3)
k = 6
k = 7
T
A
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 386
Jika = 0 dan = 0 , skor simpul (0, 0) yaitu
(0, 0) adalah .

Karena panjang dari setiap antidiagonal dapat
berbeda, maka digunakan suatu peubah untuk
menyatakan batas bawah baris dari antidiagonal
dan suatu peubah untuk menyatakan batas atas
baris dari antidiagonal, sehingga [, ]. Nilai
dan ini juga nantinya tidak hanya dipengaruhi
oleh perubahan antidiagonal yang ditelusuri,
tetapi juga karena pemangkasan yang dilakukan
algoritma X-drop (Gambar 4)

S(i-1, j-1)
j
i
L
L
U + 1
U
U
S(i-1, j)
S(i, j) S(i, j-1)
T
T-S > X
T-S < X
k - 2 k - 1 k

Gambar 4. Batas atas dan batas bawah antidiagonal

Setiap nilai (, ) dihitung, dilakukan pengujian
untuk menentukan apakah simpul (, ) akan
dipangkas atau tidak. Pemangkasan simpul (, )
menggambarkan suatu penyejajaran yang berakhir
pada karakter

dan

tidak potensial untuk


dilanjutkan. Jika menyatakan skor penyejajaran
terbaik yang diperoleh hingga saat ini, maka
simpul akan dipangkas ketika nilai (, )
. Jika kondisi ini tidak dipenuhi maka
penyejajaran yang melibatkan simpul (, )
dilanjutkan.

Pada relasi rekursif di atas, skor (, )
didapatkan dengan mengetahui skor (
1, ), (, 1), dan ( 1, 1) dimana jika
(, ) terletak pada antidiagonal , maka (
1, ), (, 1) terletak pada antidiagonal 1

dan ( 1, 1) terletak pada antidiagonal
2 . Dapat disimpulkan bahwa nilai skor
(, ) pada antidiagonal dihitung berdasarkan
skor simpul yang berada pada antidiagonal 1
dan 2. Dengan relasi rekursif seperti ini,
dibutuhkan memori ekstra untuk menyimpan skor
skor simpul yang terletak pada antidiagonal
1 dan antidiagonal 2. Untuk mengurangi
ketergantungan ini, relasi rekursif dapat
dimodifikasi sehingga hanya membutuhkan skor
simpul yang terletak pada antidiagonal 1 .
Modifikasi itu dilakukan dengan menggunakan
simpul setengah yang diletakkan tepat di tengah
busur diagonal yang menghubungkan simpul
( 1, 1) dan (, ). Simpul setengah (
1
2
,

1
2
) menggambarkan simpul ( 1, 1),
yang diletakkan pada antidiagonal 1. Skor
dari simpul setengah didefinisikan sebagai
setengah dari penjumlahan ( 1, 1) dan
(, ) . Skor pada simpul tersebut akan
ditambahkan dengan setengah dari skor match
atau mismatch, karena simpul setengah hanya
melibatkan busur diagonal.

Secara umum, skor (, ) dapat dinyatakan dalam
relasi rekursif berikut
If and is integer than
(, )


1
2
,
1
2
+

2

1
2
,
1
2
+

2
(, 1) +
( 1, ) +


1
2


1
2


1


(, )
1
2
,
1
2
+

2

+
1
2
=
+
1
2

+
1
2

+
1
2

.
Algoritma X-drop yang lengkap diberikan pada
Lampiran 1 [6].

Contoh 2.
Berikut merupakan contoh penyejajaran barisan
DNA TCGA dan TGT dengan menggunakan
algoritma X-drop. Misalkan skor match,
mismatch, dan indel masing-masing adalah 2, 1,
dan 2, dan dengan mengambil nilai X = 2, maka
hasil penyejajaran barisan tersebut dapat dilihat
pada Gambar 5.


(0,2)
(2,0)
(3,0)
(2,1)
(3,2)
(2,2)
(1,2)
(3,1)
T G
T
C
G
(0,3)
(2,3)
(1,3)
(3,3)
(4,0) (4,2) (4,1) (4,3)
T
A
(0,0)
-2
(0,1)
-2
(1,0) (1,1)
1
(1/2,1/2)
-2
-2
1
-1
/2
-1
/2
(1/2,3/2)
(3/2,1/2) (3/2,3/2)
-1
/2
-2
-2
-1
/2
(3/2,5/2)
(5/2,3/2)
1
-2
-2
-1
/2
-2
(5/2,5/2)
1
-1
/2
S(4,3) = 1
-2
-1
/2
(7/2,5/2)
-2
-1
/2

Gambar 5. Penyejajaran barisan TCGA dan TGT
menggunakan algoritma X-drop dengan X = 2


Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 387
Pada Gambar 5 terlihat bahwa skor simpul
terakhir adalah 1, yang merupakan total skor
penyejajaran optimal yang diperoleh. Dengan
melakukan penelusuran kembali dari simpul akhir
sampai ke simpul awal, didapatkan satu lintasan
yang menggambarkan penyejajaran barisan
TCGA dan TGT yaitu lintasan
(0,0) (1,1) (2,1) (3,2) (4,3).
Lintasan tersebut menggambarkan penyejajaran
TCGA
T_GT

ALGORITMA GREEDY

Pada umumnya algoritma greedy memberikan
hasil yang lebih cepat dibandingkan dengan
algoritma lainnya, namun tidak menjamin
keoptimalan hasil yang didapat. Algoritma
greedy yang dibahas disini adalah algoritma yang
dibangun berdasarkan algoritma X-drop dan
keoptimalan yang dijamin pada algoritma X-drop
dipertahankan pada alagoritma ini. Algoritma
greedy ini sangat efisien jika tingkat kemiripan
dari dua barisan DNA yang disejajarkan sangat
tinggi.

Algoritma greedy bekerja dengan memeriksa
kesamaan pasangan nukleotida pada barisan DNA
dan mempertimbangkan perbedaan yang terjadi
antara kedua barisan DNA tersebut. Perbedaan
yang terjadi dapat disebabkan oleh pemasangan
antar karakter yang berbeda atau pemasangan
karakter dengan gap, yang menandakan terjadinya
substitution, insertion, atau deletion. Ketika suatu
perbedaan ditemukan, penyebab perbedaan
tersebut akan diidentifikasi.

Misalkan terdapat dua barisan DNA
1
,
2
, ,


dan
1
,
2
, ,

. Untuk memeriksa kesamaan


dari kedua barisan digunakan pengulangan while
berikut dengan terlebih dahulu menginisialisasi
nilai = 0 dan = 0,
< <
+1
=
+1

+ 1 + 1
Pengulangan di atas akan memasangkan karakter
karakter yang sama pada kedua barisan sampai
ditemukan karakter yang berbeda, yaitu ketika

+1

+1
.

Skor penyejajaran dihitung berdasarkan jumlah
perbedaan. Oleh karena itu dua penyejajaran
yang berbeda namun mempunyai jumlah
perbedaan yang sama harus mempunyai skor
penyejajaran yang sama. Persyaratan ini
memberikan kendala dalam menentukan skor
penyejajaran.
Sebagai ilustrasi, misalkan terdapat potongan
penyejajaran yang mempunyai dua pemasangan
karakter yang berbeda (mismatch), yaitu A
dengan C dan G dengan T seperti yang
diilustrasikan pada Gambar 6 (a). Kedua
perbedaan ini yang berupa dua mismatch ini dapat
ditransformasi menjadi dua perbedaan yang lain
seperti yang diilustrasikan pada Gambar 6 (b).
Mismatch pertama ditransformasi menjadi
pemasangan karakter pada barisan pertama
dengan gap pada barisan kedua (perbedaan
pertama) dan pemasangan karakter pada barisan
kedua dengan gap pada barisan pertama
(perbedaan kedua). Mismatch kedua
ditransformasi menjadi match dengan mengganti
karakter pada salah satu barisan.

Gambar 6. Transformasi barisan DNA [6]


Transformasi seperti ini selalu dapat dilakukan,
sehingga secara umum diperoleh persyaratan
hubungan skor mat, mis, dan ind yaitu 2 =
2 + atau = /2. Skor
penyejajaran menggunakan algoritma greedy
dijelaskan pada Lema 1.

Lema 1 [6].
Misalkan parameter skor penyejajaran memenuhi
= /2 . Maka sembarang
penyejajaran =
1
,
2
, ,



dan =

1
,
2
, ,

dengan perbedaan mempunyai


skor
(, ) = ( + , ) = ( + ) /2
( ).

Pada algoritma greedy skor penyejajaran dihitung
berdasarkan banyak perbedaan minimum.
Didefinisikan ( , ) sebagai minimum dari
banyaknya perbedaan atas tiap penyejajaran yang
dapat dilakukan antara dua subbarisan DNA
dengan panjang subbarisan dan . Jika
banyaknya perbedaan adalah minimum yaitu
= ( , ) maka skor penyejajaran (, ) =

( + , ) akan maksimum. Nilai (, ) = 0


hanya terjadi ketika = yaitu saat penyejajaran
memasangkan nukleotida nukleotida yang sama.
Penyejajaran subbarisan
1
,
2
, ,

dan

1
,
2
, ,


dengan banyaknya perbedaan
( , ) dimana harus mengandung
setidaknya satu indel.

Algoritma greedy bekerja dengan
mempertimbangkan banyak perbedaan antara dua
barisan DNA dan menelusuri simpul simpul
yang terletak pada diagonal graf edit. Misalkan
semua simpul simpul yang memiliki perbedaan
1 telah diketahui, algoritma dilanjutkan
dengan mencari simpul yang mempunyai
perbedaan pada sembarang diagonal

.

...A...G... ...A_...G...
...C...T... ..._C...G...
(a) (b)
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 388
Seperti telah dibahas sebelumnya, perbedaan
dapat dihasilkan oleh tiga kemungkinan yaitu
pemasangan antar karakter yang berbeda,
pemasangan karakter dengan gap, atau
pemasangan gap dengan karakter. Misalkan
(,
1

) adalah baris dari simpul terakhir dengan


perbedaan 1 pada sembarang diagonal
1

dan
(,
2

) adalah baris dari simpul terakhir dengan


perbedaan pada sembarang antidiagonal
2


maka dua perbedaan yang awal yaitu pemasangan
antar karakter yang berbeda dan pemasangan
karakter dengan gap, akan menambah nilai
dengan 1, sedangkan perbedaan yang terakhir
yaitu pemasangan gap dengan karakter tidak
mengubah nilai R, sehinggga secara umum nilai
(, ) dapat diperoleh secara rekursif sebagai
berikut
(, )

( 1, 1) + 1
( 1, ) + 1
( 1, +1)

> 0, >
> 0,
> 0, <


Penyejajaran menggunakan algoritma greedy
dilakukan dengan menelusuri diagonal graf edit.
Untuk mencari simpul dengan perbedaan,
penelusuran akan dilakukan pada simpul-simpul
yang terletak pada diagonal dengan < <
. Oleh karena itu, digunakanlah suatu peubah
dan yang merupakan batas bawah dan batas
atas diagonal yang ditelusuri saat mencari simpul
dengan perbedaan.
Secara umum batas bawah akan bernilai dan
batas atas akan bernilai dan [, ] .
Sehingga relasi rekursif di atas dapat ditulis
kembali sebagai menjadi
(, )

( 1, 1) + 1
( 1, ) + 1
( 1, + 1)

<

<


Nilai dan nantinya tidak hanya dipengaruhi
oleh perubahan perbedaan yang dicari namun juga
karena pemangkasan yang dilakukan algoritma
greedy dengan menggunakan konsep X-drop
seperti pada algoritma X-drop yang telah dibahas.
Algoritma greedy juga menerapkan konsep
kondisi X-drop sehingga dibutuhkan suatu cara
untuk mengatakan bahwa (, ) yang
bergantung pada banyak perbedaan. Hal ini
diberikan pada Lema 2.

Lema 2.
Misalkan (, ) = , didefinisikan

=
+ /2

1
dan misalkan [

] = max{(, ): (, )
}. Maka kondisi berikut ini ekuivalen.
1: [] (, )
2: (, ) (, ) ,
(, ) + < +

Jika [] (, ) , maka penyejajaran
barisan yang berakhir pada karakter

dan


dilanjutkan, sebaliknya jika [] (, ) >
penyejajaran tidak dilanjutkan. Pengujian ini
hanya diperlukan saat simpul ( , ) pada diagonal
dengan (, ) = pertama kalinya ditemukan.
Algoritma greedy yang lengkap dapat dilihat pada
Lampiran 2 [6].

Contoh 3.
Berikut merupakan contoh penyejajaran barisan
TCGA dan TGT dengan menggunakan algoritma
greedy. Misalkan skor match, mismatch dan indel
masing-masing adalah 2, 1, dan 2 . Dengan
mengambil nilai = 2, maka hasil penyejajaran
kedua barisan dapat dilihat pada Gambar 7.

(0,0) (0,1) (0,2)
(1,0)
(2,0)
(3,0)
(1,1)
2
(2,1)
(3,2)
(2,2)
(1,2)
(3,1)
-2
-
1
2
-2
T G
T
C
G
(0,3)
-2
-2
-2
(2,3)
(1,3)
(3,3)
-
1
-
1
(4,0) (4,2) (4,1)
-2
(4,3)
-
1
R(2,0)=3,S(3,3)= 0
R(1,-2)=1, S(1,3)= -2
R(2,-1)=1, S(2,3)= -1
T
A
R(2,1)=4, S(4,3)= 1
R(2,2)=4, S(4,2)= 0

Gambar 7. Penejajaran barisan TCGA dan TGT
menggunakan algoritma greedy dengan = 2

Dari Gambar 7 terlihat bahwa skor simpul
terakhir adalah 1, yang merupakan total skor
penyejajaran optimal yang diperoleh. Dengan
melakukan penelusuran kembali dari simpul akhir
sampai ke simpul awal menggunakan nilai
(, ) yang telah diperoleh, didapatkan satu
lintasan yang memberikan penyejajaran barisan
TCGA dan TGT yaitu lintasan (0,0) (1,1)
(2,1) (3,2) (4,3). Lintasan tersebut
menggambarkan penyejajaran
TCGA
T_GT

IMPLEMENTASI ALGORITMA X-DROP
DAN ALGORITMA GREEDY

Menggunakan komputer dengan prosesor intel
centurion core 2 duo 1,83 ghz dan dan RAM 1
gb, algoritma X-drop dan algoritma greedy
dimplementasikan dan dilakukan simulasi untuk
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 389
menyejajarkan beberapa pasang barisan DNA
yang 200 karakter, yang dibangun secara acak.
Pada Lampiran 3 diperlihatkan tabel hasil
penyejajaran dan running time (dalam detik)
algoritma X-drop dan algoritma greedy dengan
barisan yang diambil secara random dan panjang
barisan yang berbeda.

Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa algoritma
greedy mempunyai running time yang lebih cepat
dibandingkan dengan algoritma X-drop. Rasio
kecepatan antara kedua algoritma tersebut selalu
bertambah seiring dengan pertambahan panjang
barisan DNA.

KESIMPULAN

Dari hasil simulasi yang dilakukan baik secara
manual maupun dengan menggunakan program,
jika algoritma X-drop dan algoritma greedy
menyejajarkan barisan yang sama dengan
menggunakan skor match, mismatch, indel dan
nilai X yang sama juga, maka kedua algoritma
tersebut akan memberikan hasil penyejajaran
yang sama.

Secara umum, dengan menggunakan simulasi
program pada komputer,untuk menyejajarkan
barisan yang sama dengan menggunakan skor
match, mismatch, dan indel serta nilai X yang
sama, algoritma greedy membutuhkan waktu yang
lebih cepat dibandingkan dengan algoritma X-
drop. Jika barisan yang disejajarkan mempunyai
tingkat kemiripan yang tinggi, algoritma greedy
membutuhkan waktu yang semakin cepat
dibandingkan dengan algoritma X-drop untuk
memperoleh hasil penyejajaran.

Hasil dan kecepatan penyejajaran kedua algoritma
tersebut tergantung pada pemilihan nilai X.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Isaev, A. Introduction to Mathematical
Methods in Bioinformatics. Springer. 2006.
[2] Junior, S. A. Sequence Alignment Algorithm.
Thesis in Advance Computing. Kings
College London. 2003.
[3] Myers, E.W. An O(ND) Difference Algorithm
and Its Variations. Algorithmica 1, pp 251
266. 1986.
[4] Melati, E. Penyejajaran Barisan DNA
dengan Menggunakan Metode Simpul Akhir
dari Lintasan Skor Terbatas. 2008
[5] Xia, X. Bioinformatics and The Cell: Modern
Computational Approaches in Genomics,
Proteomics, and Transcriptomics. Springer.
2007.
[6] Zhang, Z., Schwartz, S., Wagner, L., Miller,
W. A Greedy Algorithm for Aligning DNA
Sequence. Journal of Computational Biology
7, pp 203 214. 2000.
[7] Zhang, Z., Berman, P., and Miller, W.
Alignments Without Low-Scoring Regions.
Journal of Computational Biology 5, pp197
210. 1998.


LAMPIRAN 1. Algoritma X-drop
1

(0,0) 0
2 0
3 repeat
4 + 1
5 +1
1
2

6
7
8 (, )


1
2
,
1
2
+

2

1
2
,
1
2
+

2
(, 1) +
( 1, ) +


1
2


1
2


1

9
10 (, )
1
2
,
1
2
+

2


+
1
2
=
+
1
2

+
1
2

+
1
2

11

max

, (, )
12 (, ) > (, )
13 {: (, ) > }
14 {: (, ) > }
15 {, + 1 }
16 {, 1}
17


18 > + 1
19

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 390

LAMPIRAN 2. Algoritma Greedy
1 0
2 < {, }
+1
=
+1
+ 1
3 (0,0)
4 [0] ( + , 0)
5 0
6 repeat
7 + 1
8


+ /2

1
9 1 + 1
10
( 1, 1) + 1
( 1, ) +1
( 1, + 1)

<

<

11
12 >

( + , )


13 < , < ,
+1
=
+1

14 + 1; +1
15 (, )
16

, ( + , )
17 (, )
18 []
19 {: (, ) > }
20 {: (, ) > }
21 {, {: (, ) = +} +2}
22 {, {: (, ) = } 2}
23 > +2
24

LAMPIRAN 3. Tabel hasil penyejajaran dan running time(detik) algoritma X-drop dan algoritma
greedy
No Panjang Hasil Penyejajaran Running Time Rasio
X-drop / Greedy X-drop Greedy
1 4
4
GTCC
ATGC
0.008970 0.003377 2.65
2 8
6
CGGCACCC
_ATCT_CT
0.011006 0.002485 4.43
3 20
15
CAATAAACATAACCATCCAC
_AGTGAA_TTG___ATCCGA
0.058274 0.005714 10.20
4 30
25
CCAGCCGACTGA_AAACG__G__GAGA_AAA
_GAGCATACAGACAATCGTCGTCGATACTCT
0.133153 0.010293 12.94
5 70
55
AACCAGAATGGCAGTACCAGC TCGACA
_TGGA__A__G_AGCGCCA_C ATG_TA

TTCGCGTGCCCCCGGCCAACCGTT
TT_GCCT__AATGGGCC_T_C_TT

CATATTGGAGCA__ATAAG_
__T_TTGG_TCATGCTAGGC
2.516215 0.035025 71.84
6 200
180
CACCACAGAGTACGACGATTTGCGATGGAAC
_A_CA_AG_CTCCAAAGATTT_C_AA_G_TC

TTGGAGTCTACGAGGGTTTCCTAACGTGC_TT
_CGTAGGCT_C_AGGCTTTAAAGAC_TGCC_T

GCATGT_AG_CTACCTGACAGGAACTGAATCC
ACTAGTCAGTGTATC_CATGGTATCTGTA_CG

_TG__TC_GTAGCCCTTATATTCGCTCAGTAC
TTGTATCAGAAGCCC______CCG_AAACTA_
447.905230 0.240358 1863.49


Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 391
APROKSIMASI TINGKAT BUNGA DENGAN MODEL HO-LEE

Stefani, Bevina D Handari, Mila Novita
Departemen Matematika Universitas Indonesia, Depok

{stefani61, bevina1, novita}@ui.ac.id


ABSTRAK

Keuntungan yang diperoleh dari investasi sangat dipengaruhi oleh tingkat bunga. Namun, pergerakan tingkat bunga
tidaklah sederhana melainkan mengikuti proses stokastik. Makalah ini membahas model Ho-Lee yang mempelajari
pergerakan tingkat bunga serta mengimplementasikannya untuk mengaproksimasi tingkat bunga. Parameter-
parameter pada model Ho-Lee diestimasi dengan menggunakan model Svensson, Maksimum Likelihood dan Newton
Raphson. Sedangkan, untuk implementasi digunakan metode Monte Carlo. Hasil implementasi menunjukkan bahwa
model Ho-Lee cukup baik dalam mengaproksimasi pergerakan tingkat bunga ketika hasil aproksimasi grafik
instantaneous forward rate cukup baik. Sedangkan ketika grafik instantaneous forward rate tidak dapat
diaproksimasi dengan baik, aproksimasi tingkat bunga dapat dilakukan dengan metode partisi interval. Data yang
digunakan adalah data di www.bankofengland.co.uk

Kata kunci: Ho-Lee, tingkat bunga, Svensson, Monte Carlo.


PENDAHULUAN

Investasi perlu dilakukan untuk memperoleh
keuntungan. Keuntungan yang diperoleh
dipengaruhi oleh tingkat bunga. Oleh karena itu,
penting untuk memahami pergerakan tingkat
bunga. Tingkat bunga berubah-ubah secara tidak
pasti mengikuti proses stokastik, sehingga untuk
mengamati pergerakannya diperlukan model
tingkat bunga stokastik. Adapun model Ho-Lee
merupakan salah satu dari model tingkat bunga
stokastik. Tujuan makalah adalah menjelaskan
model Ho-Lee, mengestimasi parameter-
parameter model Ho-Lee dan meng-
implementasikan model Ho-Lee untuk
mengaproksimasi pergerakan tingkat bunga. Pada
makalah ini, fungsi instantaneous forward rate
(0, ) diaproksimasi dengan model Svensson,
parameter diestimasi dengan metode
Maksimum Likelihood, dan proses simulasi
menggunakan metode Monte Carlo. Alat investasi
yang digunakan sebagai acuan pembahasan
adalah zero-coupon bond, sehingga data tingkat
bunga yang digunakan adalah data spot rate yang
terkait dengan zero-coupon bond. Pada
pembahasan metode akan dibahas teori-teori
yang mendukung pembahasan pada bagian hasil,
seperti pencarian solusi analitik dari persamaan
diferensial stokastik
= [() + ()()] + [() + ()()]

,
model Svensson, Ordinary Least Square, metode
Maksimum Likelihood, dan metode Newton
Raphson. Bagian hasil berisi pembahasan solusi
analitik model Ho-Lee, proses estimasi parameter
dan hasil simulasi.


METODE
Model Ho-Lee dapat ditulis dalam persamaan [1]
= () +

(1)
r menyatakan short rate dengan drift rate ( ) t
dan variance rate
2
. Drift rate menyatakan rata-
rata perubahan r per satuan waktu dan variance
rate menyatakan variansi dari perubahan r per
satuan waktu. ( ) t merupakan fungsi deterministik
yang dapat dinyatakan sebagai
() =

(0, ) +
2
(2)
Pada model ini, (0, ) menyatakan instantaneous
forward rate pada saat t dan menyatakan
simpangan dari perubahan short rate.
Keunggulan model Ho-Lee adalah drift rate
merupakan fungsi yang bergantung terhadap
waktu, dan model ini dapat diturunkan secara
analitik. Kelemahan model Ho-Lee adalah
sifatnya yang no-mean reversion (short rate tidak
memiliki kecenderungan untuk menuju ke suatu
nilai tertentu dalam jangka waktu yang panjang),
dan dapat menghasilkan short rate yang negatif.
Hal ini karena pada model Ho-Lee, short rate
berdistribusi normal [4] dengan domain
( , ). D =
Untuk memperoleh solusi analitik dari model Ho-
Lee, pandang persamaan differensial stokastik
dengan bentuk
= [() + ()()] + [() +()()]


(3)
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 392
Berdasarkan [2], penyelesaian persamaan
differensial stokastik di atas dibagi menjadi 2
kasus, yaitu:
Kasus () = 0

dan () = 0
Dengan () = 0 dan () = 0 serta dimisalkan
( ) ( ) r t U t = , persamaan (3) menjadi
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) .
t
dU t t U t dt t U t dW = + (4)

Dengan modifikasi aljabar dapat diperoleh
2
0 0
1
( ) (0 ) ex p ( ) ( ) ( ) ,
2
t t
s
U t U s s ds s dW
| | | |
= +
| |
\ . \ .

(5)
dengan U(0) = 1
Kasus () 0

dan () 0
Untuk menyelesaikan persamaan (3) dengan
() 0

dan () 0, solusi dimisalkan
berbentuk ( ) ( ) ( ), r t U t V t =

dengan ( ) U t seperti
pada persamaan (5) dan ( ) dU t seperti persamaan
(4). ( ) dV t dimisalkan
( ) ( ) ( ) .
t
dV t c t dt d t dW = +
Dengan menggunakan aturan rantai pada
pemisalan solusi ( ) ( ) ( ) r t U t V t = dan
menggunakan persamaan (3) dapat diperoleh
solusi ( ) r t berbentuk
0 0
( ) ( ) ( ) ( )
( ) ( ) (0 ) .
( ) ( )
t t
s
s s s s
r t U t r ds dW
U s U s
| |
= + +
|
\ .

(6)
Estimasi Fungsi (, ) dan Parameter
Untuk mengestimasi fungsi (0, ) digunakan
model Svensson [5] yang berbentuk
0 1
1
2 3
1 1 2 2
(0, ) exp
exp exp ,
t
f t
t t t t



| |
= + +
|
\ .
| | | | | | | |
+
| | | |
\ . \ . \ . \ .

dengan
0


dan
i
harus bernilai positif dan
2 1
> .
0 1
+ menyatakan nilai awal (ketika
waktu jatuh tempo sama dengan nol). Grafik
instantaneous forward rate dibentuk dari data
instantaneous forward rate pada selang waktu
tertentu. Tanda negatif dari
2
menyatakan
bentuk pertama dari grafik instantaneous forward
rate berbentuk U-shape, sedangkan tanda positif
menyatakan bentuk pertama dari grafik
instantaneous forward rate berbentuk hump-
shape. Grafik instantaneous forward rate dengan
bentuk U menyatakan instantaneous forward rate
pada awal periode mengalami penurunan
kemudian naik kembali, sedangkan instantaneous
forward rate dengan bentuk hump menyatakan
instantaneous forward rate pada awal periode
mengalami kenaikan kemudian turun kembali.
Begitu pula tanda dari
3
menyatakan bentuk
kedua dari grafik instantaneous forward rate yang
menjelaskan hal sama seperti pada penjelasan
2
.
i
menyatakan titik belok ke-i dari grafik
instantaneous forward rate untuk i = 1,2. Setelah
menentukan kedua titik belok, parameter
0 1 2
, , dan
3
diestimasi dengan metode
Ordinary Least Square (OLS).
Prinsip dari metode OLS adalah meminimumkan
jumlah kuadrat error. Jumlah kuadrat ini
dinamakan fungsi least square dan dinyatakan
sebagai berikut
2
0 1
1
( , ,..., )
n
p i
i
S
=
=



2
0 1 1 2 2
1
( ... ) ,
n
i i i p pi
i
y x x x
=
=


dengan
i
y adalah nilai ( ) f x pada pengamatan
ke-i dan indeks i pada variabel x menyatakan nilai
variabel tersebut pada pengamatan ke-i. Untuk
mempermudah pencarian taksiran least square,
variabel y dan x dapat dituliskan dalam bentuk
matriks menjadi , = + Y X
dengan
1
2
n
y
y
y
(
(
(
=
(
(

Y
, vektor kolom variabel dependen
berukuran n x 1,
11 1
21 2
1
1
1
1
p
p
n np
x x
x x
x x
(
(
(
=
(
(
(

X
(7)
matriks variabel independen berukuran n x (p+1),
dengan p menyatakan banyaknya variabel
independen,
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 393
0
1
p

(
(
(
=
(
(
(

, vektor kolom parameter berukuran


(p+1) x 1, dan
1
2
n

(
(
(
=
(
(

, vektor kolom error berukuran n x 1.


Taksiran least square untuk yaitu

1
( ) .
T T
= X X X Y (8)
Pada model Svensson terdapat 3 variabel
independen, yaitu
1
exp ,
t

| |

|
\ .

1 1
exp
t t

| | | |

| |
\ . \ .
dan
2 2
exp
t t

| | | |

| |
\ . \ .
yang berturut-turut dimisalkan
sebagai
1 2
,
t t
X X dan
3t
X . Lalu tentukan nilai
1 2
,
t t
X X dan
3t
X untuk setiap t sehingga
menghasilkan matriks kolom
1 2
, X X dan
3
. X
Matriks X pada persamaan (7) dibentuk dari
( )
1 2 3
1 . = X X X X Matriks Yberisi data
instantaneous forward rate untuk setiap t .
Dengan demikian, taksiran least square untuk
0 1 2
, , dan
3
dapat diperoleh menggunakan
persamaan (8).
Selanjutnya, akan dijelaskan proses estimasi
parameter menggunakan metode Maksimum
Likelihood. Oleh karena pada model Ho-Lee,
short rate berdistribusi normal, parameter
diestimasi dengan menggunakan probability
density function (pdf) untuk short rate yang
mengikuti pdf distribusi normal, yaitu
2
2
2
1 ( )
( ) exp , ,
2
2
r
f r r
v
v

| |

= < < |
|
\ .

dengan dan
2
v berturut-turut menyatakan mean
dan variansi dari solusi analitik model Ho-Lee
pada persamaan (6). Mean dari solusi analitik r(t)
adalah E[r(t)] dan variansi dari solusi analitik
dihitung dengan menggunakan rumus
| | | | ( )
2
2
var ( ) ( ) ( ) . r t E r t E r t
(
=

Selanjutnya,
fungsi likelihood dapat dibentuk dari pdf
bersyarat r(t
i
) diketahui variabel sebelumnya r(t
i-1
)
yaitu
( )
( )
2
2
2
1
1
( ) exp 2 exp ,
2
n
i
L dt A B
dt

=
= +


dengan
1
( ) ( ) (0, ),
i i i
A r t r t f t

= dan
2 2 2
1 1
1
(0, ) ( ).
2
i i i
B f t t t

=
Parameter diperoleh dengan memaksimumkan
fungsi ln likelihood. Nilai yang
memaksimumkan fungsi tersebut, yaitu

yang
merupakan solusi dari
()

= 0 dipilih sebagai
taksiran parameter .
Idealnya,

dapat dinyatakan dalam bentuk solusi


eksplisit. Namun, ada kalanya solusi eksplisit
tersebut sulit diperoleh, sehingga untuk
memperoleh

digunakan pendekatan numerik.


Dalam makalah ini, pendekatan numerik yang
digunakan adalah metode Newton Raphson.
Metode iteratif Newton Raphson membentuk
barisan solusi
0
( )
n n
p

=
yang memenuhi
1
( )
, 0,
'( )
n
n n
n
f p
p p n
f p
+
=

dengan nilai awal
0
. p
Proses iteratif ini akan diulang hingga
1 n n
n
p p
p
+


lebih kecil dari toleransi error yang dikehendaki.

yang merupakan solusi dari


ln ( )
0
d L
d

=
dapat diperoleh menggunakan metode Newton
Raphson berbentuk


1
2
1
2
ln ( ) ln ( )
,
k
k
k k
d L d L
d
d



+
=
=
| |
|
=
|
\ .

dengan k=1,2,..N hingga
1 k k
k

lebih kecil
dari toleransi yang dikehendaki. Ambil
1 k


sebagai solusi aproksimasi dari
ln ( )
0.
d L
d

=

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 394
HASIL & PEMBAHASAN
Model Ho-Lee pada persamaan (1) merupakan
persamaan (3) dengan
( ) ( ), ( ) ( ) 0, ( ) . t t t t t = = = =
Untuk memperoleh solusi analitik model Ho-Lee
digunakan pencarian solusi persamaan (3) dengan
mensubtitusi ( ) ( ), ( ) ( ) 0, ( ) t t t t t = = = =
pada persamaan (3), sehingga diperoleh U(t) = 1
dan solusi analitik model Ho-Lee yaitu
2 2 2
1
( ) ( ) (0, ) (0, ) ( ) ,
2
t
s
u
r t r u f t f u t u d W = + + +


untuk . u s t < <
Selanjutnya, data yang digunakan untuk
mengestimasi parameter (0, ) dan adalah
data instantaneous forward rate harian dari Bank
of England [6] untuk zero-coupon bond dengan
masa jatuh tempo 5 tahun mulai dari tanggal 2
Januari 2002 sampai dengan 31 Desember 2002.
Dari data tersebut, diperoleh

0
= 4,2649,

1
= 0,7468,

2
= 0,5270, dan

3
= 2,8843.
Berikut tampilan instantaneous forward rate dari
data (kurva merah) dan instantaneous forward
rate hasil aproksimasi (kurva biru).

Gambar 1. Grafik Instantaneous Forward Rate tahun
2002 (kurva merah) dan Instantaneous Forward Rate
hasil aproksimasi (kurva biru)
Dari Gambar 1, dapat dilihat bahwa instaneous
forward rate hasil aproksimasi memiliki trend
arah pergerakan yang sama dengan instantaneous
forward rate sebenarnya pada tahun 2002.
Selanjutnya, dengan bantuan software Matlab dan

0
= 0,0499

diperoleh hasil pada Gambar 2
berikut.


Taksiran Parameter dengan Metode Newton Raphson
------------------------------------------
Nilai taksiran Awal:
sigma(0) = 0.049900
Toleransi =1.000000e-006
Hasil Taksiran Parameter:
sigma_cap = 0.515545
Gambar 2. Output Matlab: Taksiran Parameter dari
data spot rate dan instantaneous forward rate harian
pada tahun 2002 dengan
0
0.0499 =

Setelah parameter (0, ) dan diestimasi,
menurut [3], spot rate dapat diaproksimasi
menggunakan metode Monte Carlo dengan
formula:
2 2 2
1 1 1
1
( ) ( ) (0, ) (0, ) ( )
2
, 1,..., .
i i i i i i
r t r t f t f t t t
dt i n


= + +
+ =


Simulasi Monte Carlo dilakukan hingga diperoleh
1000 lintasan pergerakan tingkat bunga. Dari
lintasan-lintasan ini, dibentuk satu buah lintasan
rata-rata. Lintasan rata-rata inilah yang akan
digunakan untuk mengaproksimasi pergerakan
tingkat bunga.
Sebelum model digunakan untuk
mengaproksimasi tingkat bunga pada tahun-tahun
berikutnya, diaproksimasi terlebih dahulu tingkat
bunga pada tahun yang sama dengan data tahun
yang digunakan untuk mengestimasi parameter
(0, ) dan , yaitu tahun 2002. Gambar 3 adalah
tampilan spot rate harian dari Bank of England
untuk zero-coupon bond dengan masa jatuh tempo
5 tahun dari tanggal 2 Januari 2002 hingga 31
Desember 2002 (kurva merah) dan spot rate hasil
aproksimasi (kurva biru).

Gambar 3. Grafik spot rate (kurva merah) dan lintasan
rata-rata (kurva biru) untuk data spot rate harian tahun
2002 dengan parameter 0.515545 =


0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1
4.5
4.6
4.7
4.8
4.9
5
5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
Instantaneous Forward Rate Sebenarnya dan Instantaneous Forward Rate Hasil Aproksimasi


data sebenarnya
hasil aproksimasi
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1
4
4.5
5
5.5
Spot Rate dari Data Sebenarnya dan Spot Rate Hasil Aproksimasi


spot rate sebenarnya
spot rate hasil aproksimasi
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 395
Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa tingkat bunga
hasil aproksimasi dapat mengaproksimasi tingkat
bunga sebenarnya pada tahun 2002 dengan baik
(relative error maksimum sebesar 0.092946).
Gambar 4 menunjukkan hasil implementasi model
Ho-Lee untuk mengaproksimasi spot rate harian
dari Bank of England untuk zero-coupon bond
dengan masa jatuh tempo 5 tahun yang diamati
sepanjang tahun 2003 menggunakan parameter
yang diestimasi dari data tahun 2002.

Gambar 4. Grafik spot rate (kurva merah) dan lintasan
rata-rata (kurva biru) untuk data spot rate harian tahun
2003 dengan parameter 0.515545 =


Dari Gambar 4 terlihat bahwa lintasan hasil
aproksimasi spot rate untuk tahun 2003 tidak
dapat mengaproksimasi spot rate yang sebenarnya
dengan baik (relative error maksimum sebesar
0.229971). Gambar 5 menunjukkan hasil
aproksimasi spot rate harian dari Bank of England
untuk zero-coupon bond dengan masa jatuh tempo
5 tahun yang diamati sepanjang tahun 2004
dengan menggunakan parameter yang diestimasi
dari data tahun 2002.

Gambar 5. Grafik spot rate (kurva merah) dan lintasan
rata-rata (kurva biru) untuk data spot rate harian tahun
2004 dengan parameter 0.515545 =


Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa lintasan hasil
aproksimasi untuk tahun 2004 menggunakan
parameter (0, ) dan yang diestimasi dari data
tahun 2002 memiliki trend arah pergerakan yang
sama dengan pergerakan tingkat bunga
sebenarnya pada tahun 2004.
Berikut akan dianalisa penyebab buruknya hasil
aproksimasi tingkat bunga tahun 2003
menggunakan parameter yang diestimasi dari data
tahun 2002.
Pada tahun 2003, grafik instantaneous forward
rate tidak dapat diaproksimasi dengan baik oleh
model Svensson. Hal ini dapat dilihat melalui
Gambar 6 yang merupakan grafik instantaneous
forward rate harian dari Bank of England untuk
zero-coupon bond dengan masa jatuh tempo 5
tahun yang diamati sepanjang tahun 2003 (kurva
merah) dengan instantaneous forward rate hasil
aproksimasi menggunakan parameter yang
diestimasi dari data tahun 2002 (kurva biru).

Gambar 6. Grafik Instantaneous Forward Rate tahun
2003 (kurva merah) dan Instantaneous Forward Rate
aproksimasi (kurva biru), yang diaproksimasi dari data
Instantaneous Forward Rate tahun 2002
Sedangkan pada tahun 2004, grafik instantaneous
forward rate harian dari Bank of England untuk
zero-coupon bond dengan masa jatuh tempo 5
tahun yang diamati sepanjang tahun 2004 dapat
diaproksimasi dengan baik oleh model Svensson
dari data instantaneous forward rate tahun 2002.
Hal ini dapat dilihat melalui Gambar 7 berikut.

Gambar 7. Grafik Instantaneous Forward Rate tahun
2004 (kurva merah) dan Instantaneous Forward Rate
aproksimasi (kurva biru), yang diaproksimasi dari data
Instantaneous Forward Rate tahun 2002
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1
3.4
3.6
3.8
4
4.2
4.4
4.6
4.8
5
5.2
Spot Rate dari Data Sebenarnya dan Spot Rate Hasil Aproksimasi


spot rate sebenarnya
spot rate hasil aproksimasi
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1
4.2
4.4
4.6
4.8
5
5.2
5.4
5.6
5.8
Spot Rate dari Data Sebenarnya dan Spot Rate Hasil Aproksimasi


spot rate sebenarnya
spot rate hasil apoksimasi
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1
4
4.5
5
5.5
Instantaneous Forward Rate Sebenarnya dan Instantaneous Forward Rate Hasil Aproksimasi


data sebenarnya
data hasil aproksimasi
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1
4.4
4.5
4.6
4.7
4.8
4.9
5
5.1
5.2
5.3
5.4
Instantaneous Forward Rate Sebenarnya dan Instantaneous Forward Rate Hasil Aproksimasi


instantaneous forward rate sebenarnya
instantaneous forward rate hasil aproksimasi
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 396
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pergerakan spot rate di tahun 2003 tidak dapat
diaproksimasi dengan baik menggunakan data
tahun 2002 karena grafik instantaneous forward
rate tahun 2003 tidak dapat diaproksimasi
dengan baik menggunakan data instantaneous
forward rate tahun 2002. Sedangkan, pergerakan
spot rate di tahun 2004 dapat diaproksimasi
dengan baik menggunakan data tahun 2002
karena grafik instantaneous forward rate tahun
2004 dapat diaproksimasi cukup baik
menggunakan data instantaneous forward rate
tahun 2002.
Strategi lain untuk mengaroksimasi tingkat bunga
adalah dengan menggunakan metode partisi
interval. Pada metode ini, tingkat bunga di tahun
2003 tidak sekaligus diaproksimasi untuk 1 tahun,
melainkan secara bertahap setiap 3 bulan. Tingkat
bunga bulan Januari-Maret 2003 (periode 1)
diaproksimasi dengan menggunakan estimasi
parameter dari data spot rate dan instantaneous
forward rate 1 tahun sebelumnya, yaitu tahun
2002. Tingkat bunga bulan April-Juni 2003
(periode 2) diaproksimasi dengan menggunakan
parameter yang diestimasi dari data spot rate dan
instantaneous forward rate tepat 1 tahun
sebelumnya, yaitu data 9 bulan terakhir (April-
Desember) tahun 2002 dan 3 bulan pertama
(Januari-Maret) tahun 2003. Begitu seterusnya
untuk bulan Juli-September 2003 (periode 3) dan
Oktober-Desember 2003 (periode 4). Hasil
aproksimasi dengan metode ini akan
dibandingkan dengan hasil aproksimasi tingkat
bunga tahun 2003 secara sekaligus yang hasilnya
telah ditampilkan pada Gambar 4 dengan relative
error sebesar 0.229971.
Hasil aproksimasi tingkat bunga dengan metode
partisi interval untuk periode 1 menghasilkan
relative error maksimum sebesar 0.113920. Hasil
aproksimasi tingkat bunga untuk periode 2
menghasilkan relative error maksimum sebesar
0.182360. Aproksimasi tingkat bunga untuk
periode 3 menghasilkan relative error maksimum
sebesar 0.212149. Terakhir, hasil aproksimasi
tingkat bunga periode 4 diberikan pada Gambar 8,
dengan relative error maksimum sebesar
0.054064.

Gambar 8. Grafik spot rate (kurva merah) dan lintasan
rata-rata (kurva biru) dengan metode partisi interval
untuk data spot rate harian pada periode 4 (Oktober-
Desember) tahun 2003, dengan parameter 0.0911 =


Relative error maksimum untuk masing-masing
periode dengan metode partisi interval
dirangkum dalam Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Tabel Relative Error Maksimum per Periode
Tahun 2003
Periode Relative Error
Maksimum
1 0.113920
2 0.182360
3 0.212149
4 0.054064

Dari Tabel 1, terlihat bahwa relative error
maksimum untuk setiap periode dengan
menggunakan metode partisi interval lebih kecil
dari relative error maksimum yang diperoleh
ketika data instantaneous forward rate dan spot
rate tahun 2002 digunakan untuk
mengaproksimasi spot rate tahun 2003 untuk 1
tahun sekaligus, yaitu sebesar 0.229971. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa metode partisi
interval adalah salah satu alternatif yang baik
untuk mengaproksimasi tingkat bunga jika grafik
instantaneous forward rate tidak dapat
diaproksimasi dengan baik oleh model Svensson.

KESIMPULAN
Parameter (0, ) pada model Ho-Lee dapat
diaproksimasi dengan model Svensson, dan
parameter diaproksimasi dengan metode
Maksimum Likelihood dan pendekatan numerik
Newton Raphson.
Hasil implementasi menunjukkan bahwa model
Ho-Lee cukup baik dalam mengaproksimasi
tingkat bunga harian ketika aproksimasi grafik
instantaneous forward rate juga cukup baik.
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1
4.4
4.5
4.6
4.7
4.8
4.9
5
5.1
5.2
Spot Rate dari Data Sebenarnya dan Spot Rate Hasil Aproksimasi


spot rate sebenarnya
spot rate hasil aproksimasi
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 397
Metode partisi interval dapat digunakan sebagai
salah satu alternatif untuk mengaproksimasi
tingkat bunga model Ho-Lee ketika grafik
instantaneous forward rate tidak dapat
diaproksimasi dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Hull, John C. 2006. Options, Futures and
Other Derivatives, 6
th
edition. Prentice Hall.
[2] Klebaner, Fima C. 2005. Introduction to
Stochastic Calculus with Applications, 2
nd

edition. Imperial College Press.
[3] Stefani. 2009. Aproksimasi Tingkat Bunga
dengan Model Ho-Lee, skripsi, Universitas
Indonesia.
[4] Svensson, L.E.O. 1994. Estimating and
Interpreting Forward Interest Rates. NBER
Working Paper.
[5] West, Graeme. 2009. Interest Rate
Derivatives: Lecture Notes. Financial
Modelling Agency.
[6]
http://www.bankofengland.co.uk/statistics/yie
ldcurve/index.htm






Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 399
KAJIAN IMPLEMENTASI MODEL PARETO-BETA J UMP-DI FFUSI ON
DENGAN VOLATILITAS STOKASTIK DALAM MENGAPROKSIMASI
HARGA SAHAM DENGAN LOMPATAN

Susatyo
1
, Bevina D.H
2
, Dian Lestari
2

1
Program Magister Departemen Matematika FMIPA UI, Depok, 16424
2
Departemen Matematika FMIPA UI, Depok, 16424

satyomath_ui@yahoo.com, bevina1@ui.ac.id, aurora@ui.ac.id


ABSTRAK

Pada kondisi tertentu, harga saham dapat mengalami fluktuasi yang cukup tajam (lompatan). Jika model harga saham
tidak memperhatikan kemungkinan terjadinya lompatan, prediksi harga saham kurang dapat mencerminkan kondisi
yang sebenarnya. Karena itu dibutuhkan model Jump-Diffusion (JD) yang dapat menangkap lompatan tersebut. Salah
satu model JD adalah model Pareto-Beta Jump-Diffusion (PBJD). Model yang diusulkan oleh C.A Ramezani dan Y.
Zeng (1998) ini merupakan perluasan model Merton Jump-Diffusion (MJD) (1976). Pada model PBJD, waktu dan
besar lompatan harga saham dibedakan untuk lompatan ke atas dan ke bawah. Waktu muncul lompatan
direpresentasikan oleh dua proses Poisson, sedangkan besar lompatan ke atas berdistribusi Pareto(
u
), dan besar
lompatan ke bawah berdistribusi Beta(
d
,1). Model PBJD ini memiliki volatilitas konstan, dan volatilitas konstan ini
akan diganti menjadi volatilitas stokastik yang mengikuti model Heston (1993). Model PBJD dengan volatilitas
stokastik selanjutnya disebut sebagai PBJDVS. Model PBJDVS digunakan untuk mengaproksimasi pergerakan harga
saham yang mengandung lompatan. Parameter model PBJDVS diaproksimasi dengan metode Maximum Likelihood
Estimation (MLE). Probability density function (pdf) log-return satu periode model PBJDVS sudah didapatkan.
Optimisasi dalam MLE menggunakan metode Powell. Simulasi solusi aproksimasi model PBJDVS akan dilakukan
dengan menggunakan metode Euler-Maruyama (EM). Untuk melihat akurasi solusi aproksimasi, solusi aproksimasi
dibandingkan dengan solusi eksak. Rumus solusi eksak dan aproksimsi sudah didapatkan. Selain itu, solusi
aproksimasi juga akan dibandingkan dengan data harga saham harian Lehman Brothers Holdings Inc. (LEHMQ.PK).
Diharapkan model PBJDVS dapat digunakan sebagai alternatif dalam mengaproksimasi pergerakan harga saham
yang mengandung lompatan.

Kata kunci: PBJDVS; metode Powell; metode Euler-Maruyama; rumus It


PENDAHULUAN

Perubahan harga saham dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu perubahan harga saham yang wajar
dan perubahan harga saham yang drastis.
Perubahan harga saham yang drastis ini berarti
bahwa harga saham mengalami fluktuasi yang
cukup tajam, atau yang disebut sebagai lompatan.

Model harga saham yang paling sederhana adalah
model Black-Scholes (BS), tetapi model BS ini
hanya cocok diterapkan pada data harga saham
tanpa lompatan. Jika model harga saham tidak
memperhatikan kemungkinan terjadinya
lompatan, maka prediksi harga saham kurang
dapat mencerminkan kondisi yang sebenarnya.
Karena itu dibutuhkan model Jump-Diffusion (JD)
yang dapat menangkap lompatan tersebut. Model
Merton Jump-Diffusion (MJD) diusulkan oleh
R.C Merton (1976), adalah salah satu model JD
yang merupakan perluasan model BS. Sedangkan
C.A Ramezani dan Y. Zeng (1998) memperluas
model MJD yang dikenal sebagai model Pareto-
Beta Jump-Diffusion (PBJD). Bentuk model
PBJD telah dibahas di [13] dan [6].

Model PBJD memiliki volatilitas konstan.
Berdasarkan [4], jika volatilitas konstan model JD
diganti menjadi volatilitas stokastik, maka model
JD tersebut mempunyai hasil empiris yang cukup
baik. Karena model PBJD adalah salah satu model
JD, maka volatilitas konstan model PBJD dapat
diganti menjadi volatilitas stokastik. Dalam
makalah ini, volatilitas konstan pada model PBJD
diganti menjadi volatilitas stokastik. Model PBJD
dengan volatilitas stokastik selanjutnya disingkat
sebagai PBJDVS. Pada makalah ini, volatilitas
stokastik mengikuti model Heston (1993). Model
MJD dengan volatilitas stokastik mengikuti model
Heston telah dibahas pada [2].

Simulasi pergerakan harga saham model PBJDVS
dimungkinkan jika parameter model PBJDVS
memiliki nilai tertentu. Nilai parameter dapat
diperoleh dengan melakukan penaksiran. Pada
makalah ini, penaksiran parameter menggunakan
metode maximum likelihood estimation (MLE).
Pada metode MLE dicari nilai parameter yang
memaksimumkan fungsi likelihood. Fungsi
likelihood dibentuk dari probability density
function (pdf). Untuk optimisasi loglikelihood
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 400
digunakan metode Powell. Oleh karena itu
ditentukan pdf model PBJDVS.

Untuk melihat akurasi simulasi pergerakan harga
saham model PBJDVS, diperlukan solusi model
PBJDVS. Dalam makalah ini, ditentukan solusi
eksak dan aproksimasi model PBJDVS. Selain itu,
solusi aproksimasi juga direncanakan dibandingkan
dengan data harga saham harian LEHMQ.PK.
Metode numerik yang digunakan untuk
mengaproksimasi solusi model PBJDVS adalah
metode Euler Maruyama (EM).

Pada [13] telah dibahas pdf model PBJD, metode
penaksiran parameter model PBJD menggunakan
metode MLE, optimisasi loglikelihood
menggunakan metode Powell, dan solusi eksak
model PBJD.

Pada makalah ini, dibahas solusi model PBJDVS,
pdf log-return satu periode model PBJDVS,
penaksiran parameter model PBJDVS dengan
metode MLE, optimisasi loglikelihood parameter
model PBJDVS menggunakan metode Powell,
dan solusi aproksimasi model PBJDVS
menggunakan metode EM.

Karena makalah ini masih merupakan kajian,
maka nilai taksiran parameter model PBJDVS,
simulasi solusi aproksimasi model PBJDVS yang
akan menggunakan metode EM, solusi
aproksimasi yang akan dibandingkan dengan
solusi eksak dan data harga saham harian
LEHMQ.PK belum dibahas.

Berikut adalah proses bagaimana model PBJDVS
dibentuk.


MODEL PBJDVS

Model Black-Scholes (1973)

F. Black dan M. Scholes (1973) memperkenalkan
sebuah model Model Black-Scholes (BS) [12].
Harga saham ( ) t S adalah solusi dari Persamaan
Diferensial Stokastik (PDS)
( )
( )
( ) t dW dt
t S
t dS
+ = , 0 t . (1.1)
adalah instantaneous expected return saham,
instantaneous volatility return saham, dan
( ) t W proses Wiener standar. Solusi (1.1) dalam
bentuk log-return saham adalah
( )
( )
( ) t W t
S
t S

+
|
|
.
|

\
|
=
|
|
.
|

\
|
2 0
log
2
.
Model BS memiliki 2 buah parameter,
( ) , =
BS
.

Selanjutnya dibahas model MJD sebagai
perluasan model BS.

Model MJD (1976)

R.C Merton (1976) memperluas model BS yang
dikenal sebagai model Merton Jump-Diffusion
(MJD). Berdasarkan [9], ( ) t S adalah solusi dari
PDS
( )
( )
( ) ( ) ( )
( )
|
|
.
|

\
|
+ + =

=

t N
i
i
V d t dW dt k
t S
t dS
1
1 (1.2)
adalah instantaneous expected return saham,
instantaneous volatility return saham tanpa
lompatan,
i
V besar lompatan harga saham ke-i,
besar lompatan adalah rasio harga saham setelah
melompat dengan harga saham sebelum
melompat, ( ) t W proses Wiener standar, ( ) t N
proses Poisson dengan intensitas dengan ( ) t N
menyatakan banyaknya lompatan yang sudah
terjadi sampai waktu t, intensitas lompatan
harga saham. Tanda minus pada ( )

t S berarti jika
terjadi lompatan, ( )

t S adalah harga saham sesaat


sebelum melompat. Diasumsikan
( )
2
, . ~ log Normal iid V Y
i i
= dan ( ) 1 =
i
V E k ,
serta ( ) t W , ( ) t N , dan
i
V adalah saling bebas.
Model MJD memiliki 5 buah parameter,
( ) , , , , =
MJD
.

Dengan kondisi terjadi lompatan dan tidak terjadi
lompatan, ( )
( )
|
|
.
|

\
|

=
t N
i
i
V d
1
1 dapat ditulis sebagai
( )
( )
( )
( ) ( ) t dN V V d
t N
t N
i
i
1 1
1
=
|
|
.
|

\
|

=
(1.3)
dengan
( )

=
tidak jika , 0
lompatan terjadi jika , 1
t dN
Jadi bentuk lain dari (1.2) adalah
( )
( )
( ) ( )
( )
( ) ( ) t dN V t dW dt k
t S
t dS
t N
1 + + =

. (1.4)

Berdasarkan [11], solusi (1.4) dalam bentuk log-
return saham adalah

( )
( )
( )
( )

=
+ +
|
|
.
|

\
|
=
|
|
.
|

\
|
t N
i
i
Y t W t k
S
t S
1
2
2 0
log

.

Selanjutnya dibahas model PBJD sebagai
perluasan model MJD.

Model PBJD (1998)

C.A Ramezani dan Y. Zeng (1998) memperluas
model MJD yang dikenal sebagai model Pareto-
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 401
Beta Jump-Diffusion (PBJD) [13]. Pada model
PBJD, waktu muncul dan besar lompatan harga
saham dibedakan untuk lompatan ke atas dan ke
bawah. Berdasarkan [6], ( ) t S adalah solusi dari
PDS
( )
( )
( ) ( )
( )
( ) ( ) t dN V t dW dt
t S
t dS
u u
t N
u 1 + + =



( )
( ) t dN V
d d
t N
d
|
.
|

\
|
+ 1 , (1.5)
dengan
1 1 +

=
d
d
u
u

.
adalah instantaneous expected return saham,
instantaneous volatility return saham tanpa
lompatan, ( ) t W proses Wiener standar,
u
i
V dan
d
i
V besar lompatan ke atas dan ke bawah yang ke-
i, ( ) t N
u
dan ( ) t N
d
berturut-turut adalah proses
Poisson dengan intensias
u
dan
d
, ( ) t N
u
dan
( ) t N
d
berturut-turut menyatakan banyaknya
lompatan ke atas dan ke bawah yang sudah terjadi
sampai waktu t, ( ) t N
u
dan ( ) t N
d
saling bebas,
notasi d u, berturut-turut menyatakan lompatan
ke atas dan ke bawah.

Berdasarkan (1.3), bentuk lain (1.5) adalah

( )
( )
( ) ( ) t dW dt
t S
t dS
1
+ =


( )
( )
( )
( )
|
|
.
|

\
|
+
|
|
.
|

\
|
+

= =
t N
i
d
i
t N
i
u
i
d u
V d V d
1 1
1 1
(1.6)

Assumsi yang digunakan dalam model ini adalah
besar lompatan ke atas
u
i
V berdistribusi Pareto
( )
u
dan besar lompatan ke bawah
d
i
V
berdistribusi Beta ( ) 1 ,
d
. Waktu muncul lompatan
ke atas dan ke bawah diasumsikan saling bebas.
Model PBJD mempunyai 6 buah parameter,
( )
d u d u PBJD
, , , , , = .

Berdasarkan [13], solusi (1.5) dalam bentuk log-
return saham adalah

( )
( )
( ) t W t
S
t S

+
|
|
.
|

\
|
=
|
|
.
|

\
|
2 0
log
2


( ) ( )

= =
+ +
t N
i
d
i
t N
i
u
i
d u
Y Y
1 1
,
dengan ( )
u
i
u
i
V Y log = dan ( )
d
i
d
i
V Y log = .

Selanjutnya dibahas model Heston yang
digunakan untuk pembentukan model PBJDVS.

Model Heston (1993)

Berdasarkan [7], model Heston berbentuk

( )
( )
( ) ( ) ( ) t dW t v dt t
t S
t dS
1
+ = (1.7)
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) t dW t v dt b t v a t dv
2
+ = (1.8)
dengan
( ) ( ) ( ) dt t dW t dW Cov =
2 1
, . (1.9)
a adalah kecepatan pembalikan ( ) t v ke rata-rata
jangka panjang b, volatilitas dari volatilitas,
0 , , > b a dan | | 1 , 1 [1]. Berdasarkan [1],
dengan kondisi (1.9), berarti ( ) t dW
1
berkorelasi
dengan ( ) t dW
2
, yaitu
( ) ( ) ( ) t dW t dW t dW
3
2
2 1
1 + = . (1.10)
( ) t W
2
dan ( ) t W
3
proses Wiener standar yang
saling bebas.

Dalam makalah ini volatilitas ( ) t v pada (1.7)
yang memenuhi (1.8) dan (1.9) digunakan sebagai
pengganti volatilitas konstan pada model PBJD
seperti pada (1.6), sehingga dihasilkan model
PBJDVS berikut.

Model PBJDVS

Model PBJDVS berbentuk

( )
( )
( ) ( ) ( ) t dW t v dt
t S
t dS
1
+ =


( )
( )
( )
( )
|
|
.
|

\
|
+
|
|
.
|

\
|
+

= =
t N
i
d
i
t N
i
u
i
d u
V d V d
1 1
1 1 (1.11)
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) t dW t v dt b t v a t dv
2
+ = , (1.12)
dengan
( ) ( ) ( ) t dW t dW t dW
3
2
2 1
1 + = . (1.13)
( ) t W
2
dan ( ) t W
3
proses Wiener standar yang
saling bebas, dan
1 1 +

=
d
d
u
u

. Model
PBJDVS mempunyai 9 buah parameter,
( )
d u d u PBJDVS
b a , , , , , , , , = .

Selanjutnya dibahas beberapa teori yang
digunakan untuk menentukan solusi eksak model
PBJDVS, pdf log-return satu periode model
PBJDVS, dan solusi aproksimasi model PBJDVS.


METODE SOLUSI MODEL PBJDVS

Berikut adalah materi-materi metode solusi yang
berkaitan dengan solusi eksak, pdf, dan solusi
aproksimasi model PBJDVS.

Rumus It untuk Proses J ump-Diffusion

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 402
Jika diberikan sebuah PDS jump-diffusion
( ) ( ) ( ) ( )
( )
|
|
.
|

\
|
+ + =

=
t N
i
i
X d t dW t dt t b t dX
1
, (1.14)
dengan T t 0 , berdasarkan [2], rumus It
untuk (1.14) berbentuk
( ) ( )
( ) ( )
( )
( ) ( )
dt
x
t X t f
t b dt
t
t X t f
t X t df

=
, ,
,

( ) ( ) ( )
( )
( ) ( )
( ) t dW
x
t X t f
t dt
x
t X t f t

+
, ,
2
2
2 2


( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) t t X f t t X t X f , ,

+ + .
(1.15)
( ) t b berkaitan dengan koefisien drift dan ( ) t
berkaitan dengan suku volatilitas dari (1.14).

Integral It

Jika diberikan sebuah fungsi ( ) ( ) t X g , maka
berdasarkan [8], integral It ( ) ( ) ( )

T
t dW t X g
0
dapat
diaproksimasi dengan menggunakan jumlah
Riemann left-hand berikut
( ) ( ) ( ) ( ) ( )

=
+

1
0
1
N
j
j j j
t W t W t X g . (1.16)
( ) t j t
j
+ =
+
1
1
merupakan titik-titik diskritisasi,
dengan t konstan. Nilai dari ( ) ( ) ( )

T
t dW t X g
0

dapat didefinisikan sebagai limit 0 t dari
jumlah Riemann pada (1.16). Fungsi ( ) ( ) t X g
diintegralkan atas sebuah proses Wiener.

Teorema 1. Berdasarkan [13],
(i) Jika ( )
u
u
Pareto V ~ , maka
( ) ( )
u u
u u
V Y , 1 exp ~ log = = .
(ii) Jika ( ) 1 , ~
d
d
Beta V , maka
( ) ( )
d d
d d
V Y , 1 exp ~ log = = .
(iii) Jika
n
Y Y Y X + + + =
2 1
, dimana
( ) exp ~
i
Y dan Y
i
saling bebas, maka
( ) , ~ n X .

Selanjutnya untuk menentukan solusi aproksimasi
model PBJDVS digunakan metode EM.

Metode EM

Berdasarkan [3], sebuah PDS jump-diffusion
berbentuk
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )
( )

+ + + =
t N
i
i i
t t
V T X c s dW s X ds s X a X t X
1
0 0
, 0
(1.17)
dengan T t 0 , nilai awal ( ) 0 X , ( ) ( ) t X a
koefisien drift, ( ) ( ) t X b koefisien difusi, ( ) t W
proses Wiener standar, ( ) t N proses Poisson
dengan intensitas dengan ( ) t N menyatakan
banyaknya lompatan yang sudah terjadi sampai
waktu t.
i
T adalah waktu terjadi lompatan ke-i,
( )

i
T X nilai sebelum waktu
i
T yang
didefinsikan sebagai limit kiri pada waktu
i
T ,
yaitu ( ) ( ) u X T X
i
T u
i

= lim .
i
V menyatakan besar
lompatan ke-i, ( ) ( )
( )

t N
i
i i
V T X c
1
, proses Poisson
majemuk dimana ( ) ( )
i i
V T X c ,

bergantung pada
( )

i
T X dan
i
V .

Berdasarkan [3], metode EM untuk PDS jump-
diffusion (1.17) adalah
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )
j j j j j
t W t X g t t X f t X t X + + =
+1

( ) ( )
( )
( )

+
+ =
+
1
1
,
j
j
t N
t N i
i j
V t X c . (1.18)
( ) t j t
j
+ =
+
1
1
adalah titik-titik diskritisasi,
dengan t konstan, 1 , , 2 , 1 , 0 = N j ,
( )
0 0
X t X = nilai awal, ( ) ( ) ( ) ( )
j j j
t W t W t W =
+1

increment proses Wiener standar, dan V
i
besar
lompatan ke-i.

Jika suku ke-3 ruas kanan (1.17) tidak ada, maka
berdasarkan [8], metode EM untuk PDS tanpa
lompatan adalah

( ) ( ) ( ) ( ) t t X f t X t X
j j j
+ =
+1

( ) ( ) ( )
j j
t W t X g + . (1.19)

Di bawah ini didiskusikan penentuan solusi eksak
model PBJDVS, pdf log-return satu periode
model PBJDVS, dan solusi aproksimasi model
PBJDVS.


HASIL DAN DISKUSI

Solusi Model PBJDVS

Rumus It pada (1.15) diterapkan ke (1.11).
Dalam penulisan ini, pemilihan fungsi pada rumus
It adalah fungsi log. Jadi
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 403
( )
( )
( ) ( )
( )
( )
dt
t S
t S
t S dt
t
t S
t S d

=
log log
log
( ) ( ) ( ) ( ) ( )
( ) ( )
dt
t S
t S t S t v
2
2
2
2
log
2

+
( ) ( )
( )
( )
( ) t dW
t S
t S
t S t v
1
log

+
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )

+ + t S t S t S log log .
Dengan manipulasi aljabar dan mengintegralkan
selama interval waktu | |
1
,
+
=
i i
t t S , diperoleh
( ) ( ) ( )

+ + +
=
1 1 1
2
1
log
i
i
i
i
i
i
t
t
t
t
t
t
dt t v dt t S d
( ) ( )
( )
( )

+ +
|
|
.
|

\
|
+ +

1 1
log
1
i
i
i
i
t
t
t
t
t S
t S
t dW t v . (2.1)

Integran
( )
( )
|
|
.
|

\
|

t S
t S
log tidak akan nol jika terjadi
lompatan. Lompatan tersebut terbagi menjadi dua,
yaitu lompatan ke atas dan ke bawah.

Suku ke-4 ruas kanan pada (2.1) artinya
( )
( )
|
|
.
|

\
|

t S
t S
log dijumlahkan secara kontinu. Hasil
jumlahan secara kontinu tersebut adalah jumlahan
( )
( )
|
|
.
|

\
|

t S
t S
log ketika
( )
( )
|
|
.
|

\
|

t S
t S
log tidak nol.

Misalkan M
i
dan D
i
berturut-turut menyatakan
banyaknya lompatan ke atas dan ke bawah selama
interval waktu | |
1
,
+
=
i i
t t S . ( )
1 + i
u
t N dan ( )
i
u
t N
berturut-turut menyatakan banyaknya lompatan ke
atas sampai waktu t
i+1
dan t
i
.
( ) ( )
i
u
i
u
i
t N t N M =
+1
, dan lompatan ke atas
yang terjadi di interval | |
1
,
+
=
i i
t t S adalah
lompatan ke ( ) 1 +
i
u
t N sampai ke ( )
i i
u
M t N + .
Demikian juga ( )
1 + i
d
t N dan ( )
i
d
t N berturut-
turut menyatakan banyaknya lompatan ke bawah
sampai waktu t
i+1
dan t
i
. ( ) ( )
i
d
i
d
i
t N t N D =
+1

dan lompatan ke bawah yang terjadi di interval
| |
1
,
+
=
i i
t t S adalah lompatan ke ( ) 1 +
i
d
t N
sampai ke ( )
i i
d
D t N + .

Persamaan (2.1) menjadi
( )
( )
( )( ) ( )

+
=
|
|
.
|

\
|
+
+
1
2
1
log
1
1
i
i
t
t
i i
i
i
dt t v t t
t S
t S

( ) ( )
( )
( )

+
+ =
+ +
+
i i
u
i
u
i
i
M t N
t N j
u
j
t
t
V t dW t v
1
1
log
1


( )
( )

+
+ =
+
i i
d
i
d
D t N
t N j
d
j
V
1
log , (2.2)
atau ekivalen dengan
( ) ( ) ( )( ) ( )

\
|
=

+
+ +
1
2
1
exp
1 1
i
i
t
t
i i i i
dt t v t t t S t S
( ) ( )
( )
( )
( )
( )
|
|
|
.
|
+ + +

+
+ =
+
+ =
+
i i
d
i
d
i i
u
i
u
i
i
D t N
t N j
d
j
M t N
t N j
u
j
t
t
V V t dW t v
1 1
1
log log
1

(2.3)
Persamaan (2.2) adalah solusi eksak model
PBJDVS dalam bentuk log-return. Sedangkan
(2.3) adalah solusi eksak untuk ( ) t S dimana di
dalamnya terdapat ( ) t v .

Sedangkan ( ) t v dapat diperoleh dengan
menyelesaikan persamaan (1.12) saja. Tetapi
menyelesaikan persamaan (1.12) sulit atau
mengalami kendala. Sehingga dalam makalah ini
solusi eksak untuk ( ) t v tidak diturunkan. Untuk
keperluan simulasi, kendala ini diatasi dengan
mengaproksimasi ( ) t v menggunakan metode
numerik.

Untuk menyelesaikan suku ke-2 dan ke-3 ruas
kanan pada (2.2), perlu dicari bentuk ( ) t v
menggunakan (1.12). Dalam makalah ini, metode
numerik yang digunakan adalah metode EM.
Dengan menerapkan metode EM untuk PDS tanpa
lompatan seperti pada (1.19) ke (1.12) diperoleh
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) t b t v a t v t v
j j j
+ =
+1

( ) ( )
j j
t W t v
2
+ . (2.4)
( ) t j t
j
+ =
+
1
1
merupakan titik-titik diskritisasi,
dengan t konstan, 1 , , 2 , 1 , 0 = N j , ( )
0 0
v t v =
nilai awal, dan ( ) ( ) ( ) ( )
j j j
t W t W t W
2 1 2 2
=
+

increment proses Wiener. Nilai-nilai ( )
j
t W
2

dibangun dari distribusi normal.

Selanjutnya suku ke-2 ruas kanan pada (2.2)
dihitung dengan aturan trapeisum majemuk
(composite trapezoidal rule). Untuk
mempermudah penulisan,

+1 i
i
t
t
dinotasikan dengan

q
p
, jadi
( ) ( ) ( ) ( )
|
|
.
|

\
|
+ +


=
q v t v p v
t
dt t v
N
j
j
q
p
1
1
2
2
, (2.5)
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 404
dengan
j j
t t t =
+1
.

Sedangkan suku ke-3 ruas kanan pada (2.2)
dihitung dengan jumlah Riemann left-hand seperti
pada (1.16), diperoleh
( ) ( ) ( ) ( )


=

1
0
1 1
N
j
j j
q
p
t W t v t dW t v , (2.6)
( ) ( ) ( ) ( )
j j j
t W t W t W
1 1 1 1
=
+
increment proses
Wiener standar. Berdasarkan (1.13), nilai-nilai
( )
j
t W
1
dibangun berdasarkan hubungan
( ) ( ) ( )
j j j
t W t W t W
3
2
2 1
1 + = (2.7)
( ) ( ) ( ) ( )
j j j
t W t W t W
3 1 3 3
=
+
increment proses
Wiener standar. Nilai-nilai ( )
j
t W
2
yang
digunakan untuk membangun ( )
j
t W
1
adalah
nilai-nilai ( )
j
t W
2
pada (2.4). Sedangkan nilai-
nilai ( )
j
t W
3
dibangun dari distribusi normal
yang saling bebas dari nilai-nilai ( )
j
t W
2
.

Pada makalah ini, penentuan taksiran parameter
model PBJDVS menggunakan metode MLE, oleh
sebab itu dicari bentuk pdf model PBJDVS. Pdf
model PBJDVS yang dimaksud adalah pdf log-
return satu periode yang diturunkan dari solusi
eksak model PBJDVS.

Pdf Model PBJDVS

Misalkan 1
1
= =
+ i i
t t t .
( )
( )
|
|
.
|

\
|
=
+
i
i
i
t S
t S
R
1
log
adalah variabel acak log-return satu periode.
Dalam penulisan ini, periode (satuan waktu) yang
digunakan adalah hari. Pada (2.2), R
i
adalah
penjumlahan dua variabel acak, yaitu variabel
acak bagian yang tidak ada lompatan
(penjumlahan suku ke-1, 2, dan 3) dan variabel
acak bagian yang ada lompatan (penjumlahan
suku ke-4 dan 5).

Untuk mempermudah penulisan, indeks i pada
variabel-variebel acak dan nilai-nilai variabel acak
akan dihilangkan, dengan tetap mengingat bahwa
dalam penurunannya sebenarnya adalah dalam
interval | |
1
,
+
=
i i
t t S .

Secara keseluruhan, (2.2) mengandung M dan D,
tepatnya pada bagian lompatan. Karena M dan D
masing-masing adalah increment dari proses
Poisson, maka M dan D masing-masing
berdistribusi Poisson dengan parameter berturut-
turut
u
dan
d
.

Misalkan ( ) n m r f , | adalah pdf dari R bersyarat
bahwa dalam selang waktu | |
1
,
+
=
i i
t t S telah
terjadi m kali lompatan ke atas dan n kali
lompatan ke bawah, yaitu M = m dan D = n ,
dengan r adalah nilai R. Maka pdf marginal dari
R adalah
( ) ( ) ( ) ( )

=
=
0 0
, |
m n
d u
n m r f n h m h r f . (2.8)

Bentuk ( ) n m r f , | pada (2.8) dapat diturunkan
dalam 4 kasus, yaitu 0 = m dan 0 = n (tidak
terjadi lompatan), 1 m dan 0 = n (hanya terjadi
lompatan ke atas), 0 = m dan 1 n (hanya terjadi
lompatan ke bawah), 1 m dan 1 n (terjadi
lompatan, baik lompatan ke atas maupun ke
bawah). Jadi, (2.8) dapat dinyatakan sebagai
( )
( )
( ) ( ) ( )

=
+
+ =
1
0 , | 0 , 0 |
m
u
m r f m h e r f e r f
d d u


( ) ( )

+
1
, 0 |
n
d
n r f n h e
u


( ) ( ) ( )

=
+
1 1
, |
m n
d u
n m r f n h m h , (2.9)
dengan
( ) ( ) ( ) ( ) ( )
z z z
dP P F r iP xp e r f
1
2
1
0 , 0 | + =


(2.10)
dimana
( )

\
|
+ |
.
|

\
|

=
2 2
2 2
1
2
cosh log
2

ab ab
P F
z


|
|
.
|
|
.
|

\
|
+
2
sinh 2 ,
z
P i a + = , dan
( ) ( ) ( )
z z
iP P r + =
2 2 2
,
( )
( )
( )
( )
( )

=
r
x r m
m
u
dx r f e x r
m
m r f
u
0 , 0 |
! 1
0 , |
1

(2.11)
( )
( )
( )
( )
( )

=
r
x r n
n
d
dx r f e r x
n
n r f
d
0 , 0 |
! 1
, 0 |
1

,
(2.12)
( )
( ) ( )
( ) ( )
( )



=
x r
m
n
d
m
u
y x r
n m
n m r f
, 0 min
1
(
! 1 ! 1
, |

( )
( ) ( )
) ( )dx r f dy e y
y y x r n
d u
0 , 0 |
1 +
.
(2.13)

Jadi pdf dari (2.2) adalah (2.9), dengan ( ) 0 , 0 | r f ,
( ) 0 , | m r f , ( ) n r f , 0 | , dan ( ) n m r f , | berturut-
turut seperti pada (2.10), (2.11), (2.12), dan
(2.13).

Selanjutnya pdf log-return satu periode model
PBJDVS digunakan untuk penentuan taksiran
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 405
parameter model PBJDVS menggunakan metode
MLE.

Penaksiran Parameter Model PBJDVS
Menggunakan Metode MLE

Misalkan ( ) ( ) ( ) ( ) { }
L
t S t S t S t S Q , , , ,
2 1 0
=
menyatakan data harga saham pada waktu-waktu
berjarak sama
i
t dengan L i , , 2 , 1 , 0 = . Dengan
1
1
=
+ i i
t t . Log-return satu periode
( )
( )
|
|
.
|

\
|
=
+
i
i
i
t S
t S
R
1
log dianggap Independent and
Identically Distributed (IID) dengan pdf seperti
pada (2.9) yang bergantung pada
PBJDVS
.
Dimana disebut ruang parameter. Karena
variabel-variabel acak
1 1 0
, , ,
L
R R R saling
bebas dan memiliki distribusi yang sama, maka
pdf bersama
1 1 0
, , ,
L
R R R adalah
( ) ( )

=
1
0
1 1 0
; ; , , ,
L
i
PBJDVS i PBJDVS L
r f r r r f .
Likelihood
PBJDVS
adalah pdf bersama
1 1 0
, , ,
L
R R R yang bergantung pada parameter
PBJDVS
, yaitu
( ) ( )

=
=
1
0
;
L
i
PBJDVS i PBJDVS
r f L .

Selanjutnya dicari solusi dari
PBJDVS
yang
memaksimumkan fungsi ( )
PBJDVS
L . Untuk
mempermudah pencarian solusi
PBJDVS
,
digunakan log ( )
PBJDVS
L yang disebut sebagai
fungsi loglikelihood, yang dinotasikan sebagai
( )
PBJDVS
l . Nilai
PBJDVS
yang
memaksimumkan ( )
PBJDVS
l juga
memaksimumkan ( )
PBJDVS
L . Jadi
( ) ( ) ( )

=
=
1
0
; log
L
i
PBJDVS i PBJDVS
r f l .

Adanya kendala dalam optimisasi ( )
PBJDVS
l ,
maka digunakan metode Powell. Untuk
mempermudah penulisan,
PBJDVS
ditulis sebagai
.

Optimisasi Loglikelihood Parameter Model
PBJDVS Menggunakan Metode Powell

Misalkan
0
adalah tebakan awal lokasi
minimum fungsi ( ) l z = ,
| | { } 9 , , 2 , 1 : 0 0 1 0 0 0 = = k
k k
E adalah
himpunan vektor basis standar
| | | |
T T T T T T
9 2 1 9 2 1
E E E U U U U = = (2.14)
dan i = 0.
(i) Tetapkan
i
P =
0
.
(ii) Untuk 9 , , 2 , 1 = k , cari nilai
k
yang
meminimumkan ( )
k k k
l U P +
1
dan
tetapkan
k k k k
U P P + =
1
.
(iii) Tetapkan j dan U
j
sama dengan penurunan
maksimum -l dan arah penurunan maksimum
itu, secara berturut-turut, atas semua vektor
arah dalam langkah (ii).
(iv) Tetapkan 1 + = i i .
(v) Jika ( ) ( )
0 0 9
2 P P P l l atau
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) +
0 9 9 0
2 2 2 P P P P l f l
( ) ( ) ( ) ( )
2
9 0
2 j l l P P
( ) ( ) ( ) ( ) ( )
2
0 9 0
2 P P P l l j
maka tetapkan
9
P =
i
dan kembali ke
langkah (i), lainnya lanjutkan ke langkah (vi).
(vi) Tetapkan
0 9
P P U =
j
.
(vii) Cari nilai yang meminimumkan
( )
r
l U P +
0
. Tetapkan
j i
U P + =
0

(viii) Ulangi langkah (i) sampai (vii).
Kriteria berhenti berdasarkan
TOL
i i

1
yang dicari dari langkah (v) dan
(vii).

Berikut dibahas solusi aproksimasi model
PBJDVS menggunakan metode EM.

Solusi Aproksimasi Model PBJDVS
Menggunakan Metode EM untuk PDS J ump-
Diffusion

Dengan menerapkan (1.18) ke (1.11) diperoleh
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )
j j j j j
t W t v t t S t S t S
1 1
+ + =
+

( )( ) ( )
( )
( )

+
+ =
+
1
1
1
j
u
j
u
t N
t N i
u
i j
V t S
( )( ) ( )
( )
( )

+
+ =
+
1
1
1
j
d
j
d
t N
t N i
d
i j
V t S . (2.15)
j j
t t t =
+1
, ( )
0 0
S t S = nilai awal, dan
( ) ( ) ( ) ( )
j j j
t W t W t W
1 1 1 1
=
+
increment proses
Wiener.

Sedangkan solusi aproksimasi untuk (1.12) adalah
seperti yang sudah diperoleh pada (2.4).

Pada makalah ini, yang belum dilakukan adalah
menaksir nilai parameter model PBJDVS,
simulasi solusi aproksimasi model PBJDVS,
solusi aproksimasi dibandingkan dengan solusi
eksak dan data harga saham harian LEHMQ.PK.


Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 406
KESIMPULAN

Solusi eksak model PBJDVS sudah didapatkan,
yaitu rumus ( ) t S dimana di dalamnya terdapat
( ) t v .

Solusi eksak untuk ( ) t v tidak diturunkan. Untuk
keperluan simulasi, kendala ini diatasi dengan
mengaproksimasi ( ) t v menggunakan metode EM
untuk PDS tanpa lompatan.

Berdasarkan solusi eksak model PBJDVS, sudah
didapatkan pdf log-return satu periode model
PBJDVS.

Karena adanya kendala dalam optimisasi
loglikelihood parameter model PBJDVS, maka
digunakan metode Powell.

Solusi aproksimasi model PBJDVS sudah
didapatkan menggunakan metode EM.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Andersen, Leif. (2006). Efficient Simulation
of the Heston Stochastic Volatility Model.
Banc of America Securities.
[2] Broadie, Mark, & Ashish Jain. (2008). The
Effect of Jumps and Discrete Samplimg on
Volatility and Variance Swaps.
[3] Bruti-Liberati, N., & E. Platen. (2005). On
the Strong Approximation Jump-Diffusion
Processes. University of Technology
Sydney.
[4] Cont, Rama, & Peter Tankov. (2004).
Financial Modelling With Jump Processes.
Chapman & Hall/CRC Financial
Mathematics Series. CRC Press.
[5] Dragulescu, Adrian A., & Victor M
Yakovenko. (2002). Probability Distribution
of Returns in the Heston Model with
Stochastic Volatility.
[6] Dupoyet, Brice. (2004). Asymmetric Jump
Processes: Option Pricing Implications.
[7] Gatheral, Jim, & Merrill Lynch. (2002).
Lecture 1: Stochastic Volatility and Local
Volatility. Case Studies in Financial
Modelling Course Notes, Courant Institute of
Mathematical Sciences.
[8] Higham, Desmond J. (2001). An Algorith-mic
Introduction to Numerical Simulation of
Stochastic Differential Equations. SIAM
Review, Vol.43. No.3 pp. 525-546.
[9] Kou, S.G. (2008). Jump-Diffusion Models for
Asset Pricing in Financial Engineering.
[10] Mathews, John H., & Kurtis D Fink.(2004).
Numerical Methods Using Matlab. (4th

Ed).
Prentice-Hall Inc.
[11] Matsuda, Kazuhisa. (2004). Introduction to
Merton Jump-Diffusion Model. Department
of Economics. The Graduate Center, The
City University of New York, 365 Fifth
Avenue, New York, NY 10016-4309.
[12] Pszczola, Agnieszka, & Grzegorz
Walachowski. (2009). Testing for Jumps in
Face of the Financial Crisis. Application of
Barndoff-Nielsen Shephard Test and the
Kou Model. School of Information Science,
Computer and Electrical Engineering.
Halmstad University.
[13]Ramezani, Cyrus A., & Yong Zeng. (2006).
Maximum Likelihood Estimation of the
Double Exponential Jump-Diffusion Process.
Springer-Verlag.
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 407
MODEL HIDDEN MARKOV UNTUK
MEMPERKIRAKAN STRUKTUR SEKUNDER PROTEIN

Tigor Nauli
Pusat Penelitian Informatika - LIPI

tigor.nauli@lipi.go.id


ABSTRAK

Bentuk struktur tiga dimensi protein sangat menentukan berbagai fungsi biokimianya dan penting untuk dipelajari
dalam perancangan obat baru. Struktur sekunder protein adalah tingkatan struktur yang memperlihatkan adanya
tekukan pada susunan molekulnya dalam konformasi -helix, -sheet dan turn. Pengetahuan tentang struktur amat
diperlukan dalam memahami interaksi protein dan ligan obat, namun sangat sulit ditentukan secara eksperimen.

Sebuah model Hidden Markov telah dirancang agar dapat digunakan dalam algoritma untuk memprediksi struktur
sekunder protein. Ketiga konformasi molekul tersebut merupakan state tersembunyi (hidden) pada model, yang akan
memunculkan simbol-simbol dari dua puluh jenis asam amino. Frekuensi munculnya suatu asam amino tertentu di
salah satu konformasi ditentukan melalui analisis terhadap protein yang struktur tiga dimensinya telah diketahui dari
percobaan. Dengan memasukan sekuen protein tertentu pada model dan menerapkan algoritma Viterbi, maka akan
ditemukan sekuen paling mungkin (most probable) untuk state konformasi yang dicari.

Implementasi model Hidden Markov untuk memperkirakan struktur sekunder Adamalysin, yakni racun pada ular
berbisa Crotalus adamanteus, memperlihatkan adanya lima konformasi -helix dan lima konformasi -sheet. Akurasi
prediksi sebesar 65.3% masih dapat ditingkatkan lagi dengan memperbesar jumlah data struktur protein pada training
set dan memasukan state tambahan pada model yang memperhitungkan kemungkinan adanya pola berulang (motif)
pada sekuen asam amino dari protein.

Keywords: model Hidden Markov, prediksi, protein, struktur sekunder


PENDAHULUAN

Protein merupakan molekul besar dan rumit, yang
tersusun dari 20 jenis asam amino. Protein
melakukan ribuan fungsi penting bagi kehidupan
dengan cara berinteraksi dengan molekul-molekul
lainnya. Interaksi ini dimungkinkan dengan
terdapatnya posisi spesifik asam amino di dalam
protein tersebut. Keterikatan ligan (yaitu atom,
ion, atau molekul) pada sisi aktif protein dengan
sensitivitas dan selektivitas yang tinggi
merupakan bagian penting dalam mekanisme
proses biomolekuler. Apabila sebuah molekul
kecil, baik yang disintesis ataupun yang alamiah,
dapat menggantikan peran ligan dalam interaksi
tersebut, maka ia dapat bertindak sebagai obat
ketika kemudian fungsi protein menjadi aktif atau
terhambat [7].

Telah dikembangkan berbagai metode prediksi
untuk mempelajari sisi ikatan pada protein.
Pendekatan sekuen, melihat pada kemungkinan
adanya bagian tak berubah atau bagian yang
mengalami mutasi, dibandingkan dengan bagian
lainnya pada protein. Sedangkan pendekatan
struktur, menggunakan kriteria geometri dan
energi untuk menemukan cekungan pada
permukaan protein. Prediksi-prediksi semacam ini
sangatlah berguna sebagai panduan menuju
analisis protein secara eksperimental [5].
Di dalam studi ini, dirancang sebuah model
Hidden Markov orde satu untuk mendeduksi
susunan tiga-dimensi asam-asam amino di dalam
sebuah protein, berdasarkan pada data konformasi
sejumlah protein yang telah diketahui bentuk dan
fungsinya. Model ini kemudian diterapkan untuk
memprediksi struktur sekunder protein hewan dari
informasi tentang deretan asam aminonya.

Struktur Protein
Dikenal ada empat hirarki berbeda dari struktur
protein. Struktur primer adalah rantai panjang
asam amino yang saling terkait oleh ikatan
peptida. Struktur ini dapat ditentukan secara
eksperimen dengan metode Edman degradation.
Struktur sekunder memperlihatkan tekukan-
tekukan (folding) akibat terjadinya ikatan
hidrogen antara gugus karbonil dan gugus imida
pada rantai peptida. Akan terbentuk pola-pola
substruktur lokal (dari sekuen asam amino yang
bersebelahan), yaitu -helix dan -sheet, atau
potongan rantai yang tidak memiliki bentuk yang
stabil, yaitu turn. Sebuah molekul protein tunggal
dapat memiliki struktur sekunder yang berbeda-
beda, sehingga bentuknya sangat sulit ditentukan
secara eksperimen. Struktur tersier merupakan
bentuk keseluruhan dari sebuah protein tunggal,
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 408
yang menghubungkan struktur sekunder satu
dengan struktur sekunder lainnya. Struktur tersier
dapat ditentukan secara kristalografi sinar-X.
Sedangkan struktur terner adalah gabungan lebih
dari satu molekul protein.

Meskipun dapat ditampilkan dalam bentuk tiga-
dimensi, namun struktur protein sangatlah rumit,
sehingga sulit untuk diinterpretasikan secara
visual. Struktur sekunder merupakan pilihan
representasi protein yang lebih sederhana
dibandingkan dengan struktur tersiernya. Dengan
struktur sekunder, kita dapat melihat keseluruhan
topologi protein tanpa diganggu oleh detil dari
atom-atomnya. Gambar 1 memperlihatkan
konformasi -helix berbentuk pita melingkar
searah sumbu, dengan perbandingannya terhadap
struktur tersier untuk protein yang sama.



Gambar 1. Struktur sekunder -helix dan struktur
tersier suatu protein.

Struktur sekunder -sheet menekuk sejajar dan
menyerupai lembaran kain yang berlipat (pleated
sheet), yang divisualkan (pada Gambar 2) sebagai
panah lebar yang menunjuk ke arah tekukannya.



Gambar 2. Struktur sekunder -sheet dan struktur
tersier suatu protein.

Konformasi turn dalam struktur sekunder protein
digambarkan sebagai untaian benang tak
beraturan yang berada diantara -helix (pada
Gambar 1) atau diantara -sheet (pada Gambar 2).



Model Hidden Markov (HMM)

Model Hidden Markov adalah model probabilistik
yang lazim digunakan dalam menyelesaikan kasus
pemberian label (labeling) pada sekuen linear.
Sebuah model Hidden Markov, M, didefinisikan
oleh:
, yaitu alfabet simbol;
Q, sekumpulan state, yang masing-masingnya
akan menampilkan sebuah simbol dari alfabet ;
A = (a
kl
) adalah sebuah matriks |Q| x |Q| yang
berisikan probabilitas transisi ke state l setelah
HMM berada di state k; dan
E = (e
k
(b)) adalah sebuah matriks |Q| x || yang
berisikan probabilitas munculnya (emisi) simbol
b saat HMM berada di state k [8].

Lintasan =
1
, ,
n
pada M adalah sederetan
state. Digunakan notasi P (x
I
|
i
) untuk
menyatakan probabilitas simbol x
i
telah muncul
dari state
i
(yang nilainya diberikan oleh matriks
E).
e
k
(b) = P (x
i
= b |
i
= k)
Digunakan notasi P (
I
|
i-1
) untuk menyatakan
probabilitas transisi dari state
i
ke state
i-1
(yang
nilainya diberikan oleh matriks A).
a
kl
= P (
i
= l |
i-1
= k)
Probabilitas sekuen x akan dihasilkan dari lintasan
, dengan model M, adalah

=
=
+
+
=
=
n
i
i
n
i
i i i i
i i i
a x e a
P x P P x P
1
, ,
1
1 1 0
1 1 0
) (
) | ( ) | ( ) | ( ) | (



dimana P (
0
|
1
) adalah kondisi awal.
Diperkenalkan
0
and
n+1
sebagai state inisiasi
dan terminasi: awal dan akhir.

Lintasan Paling Mungkin

Banyak sekali lintasan state yang dapat dihasilkan
dari sekuen yang sama. Tetapi yang diinginkan
adalah menemukan sebuah lintasan dengan
probabilitas tertinggi. Algoritma Viterbi yang
efisien, dapat menjamin ditemukannya lintasan
state paling mungkin (most probable) untuk
sebuah sekuen dan sebuah HMM [11],
* = argmax

P (x | )
Lintasan paling mungkin * dapat ditemukan
secara rekursif. Seandainya, probabilitas v
k
(i)
adalah lintasan paling mungkin yang berhenti di
state k dengan observasi i telah diketahui untuk
semua state k. Maka, probabilitas lainnya dapat
dihitung dari observasi x
i+1
sebagai
v
l
(i+1) = e
l
(x
i+1
) max
k
(v
k
(i) a
kl
)
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 409
Semua sekuen dimulai dari state 0 (state awal),
sehingga kondisi awal adalah v
0
(0) = 1. Dengan
mengandalkan pada pointer, maka sekuen state
dapat ditemukan melalui suatu penelusuran balik
(backtracking).

Algoritma Viterbi adalah sebagai berikut:

Inisiasi (i = 0): v
0
(0) = 1, v
k
(0) = 0 k > 0
Rekursi (i = 1n): v
l
(i) = e
l
(x
i
) max
k
(v
k
(i-1) a
kl
)
ptr
i
(n) = argmax

(v
k
(i-1) a
kl
)
Terminasi: P (x | *) = max
k
(v
k
(n) a
k0
)

n
* = argmax

(v
k
(n) a
k
0)
Telusur (i = n1):
i-1
* = ptr
i
(
i
*)


BAHAN DAN METODE

HMM untuk Perkiraan Struktur Sekunder
Protein

Model Hidden Markov untuk memperkirakan
struktur sekunder protein diperlihatkan pada
Gambar 3. Terdapat tiga state tersembunyi H, E,
dan T yang masing-masingnya berkaitan dengan
konformasi helix, -sheet, dan turn. State ini
memunculkan simbol-simbol asam amino dengan
probabilitas e
H
(j), e
E
(j), dan e
T
(j), yang
diestimasikan dari frekuensi keberadaan asam
amino j, j = 1, , 20, pada konformasi tertentu.
State awal dan state akhir tidak memunculkan
simbol. Parameter HMM lainnya adalah
probabilitas inisiasi a
0H
, a
0E
, a
0T
, a
00
; probabilitas
transisi a
HH
, a
HE
, a
HT
, a
EH
, a
EE
, a
ET
, a
TH
, a
TE
, a
TT
;
dan probabilitas terminasi a
H0
, a
E0
, a
T0
. Sehingga,
jumlah keseluruhan parameter HMM untuk
prediksi struktur ini adalah tujuh puluh enam.

H E T awal akhir


Gambar 3. Diagram state dari model Hidden Markov
yang digunakan pada algoritma untuk memperkirakan
struktur sekunder protein. State tersembunyi H (-
helix), E (-sheet), dan T (turn) akan memunculkan
simbol-simbol dari 20 jenis asam amino.

Parameter HMM

Untuk mengestimasi parameter HMM, termasuk
probabilitas emisi e
k
(b), digunakan data struktur
sekunder protein dari pengukuran eksperimental
yang telah dilaporkan sebelumnya [6]. Dipilih
sebanyak 31 protein hewan spesies ular sebagai
training set, yang mengandung 173 konformasi
-helix, 204 -sheet, dan 335 turn.
Frekuensi asam amino tertentu saat berada pada
konformasi tertentu dihitung sebagai probabilitas
emisi (e
k
(b)). Sedangkan frekuensi pasangan
struktur tertentu ditemukan pada seluruh sekuen
yang dipilih, dihitung sebagai probabilitas transisi
(a
kl
).

Penentuan Struktur Sekunder

Protein yang akan ditentukan struktur
sekundernya adalah Adamalysin, yakni racun
pada ular berbisa Crotalus adamanteus (eastern
diamondback rattlesnake). Struktur tersiernya
telah diketahui dan terdiri dari 202 asam amino
[2].

Penentuan struktur sekunder protein dilakukan
secara in silico melalui komputasi terhadap data
proteomik terpilih. Sekuen asam amino target
(dalam format satu huruf) dibaca oleh program
komputer sebagai sekuen simbol (x). Kemudian
dengan menerapkan algoritma Viterbi terhadap
parameter HMM, akan ditemukan lintasan paling
mungkin (*) dari state HMM.

Lintasan * yang ditampilkan sebagai deretan
huruf H, E, dan - adalah merupakan hasil
prediksi struktur sekunder yang kita cari. Analisis
terhadap hasil prediksi dilakukan dengan
menjajarkan lintasan * terhadap struktur
sekunder yang sebenarnya dari protein target.

Akurasi Prediksi

Gambar 4 menunjukan sebuah sekuen protein
beserta keterangan tentang konformasinya dan
hasil prediksi struktur sekunder. Q
indeks
adalah
persentase asam amino yang diprediksikan secara
tepat sebagai -helix (Q
H
), -sheet (Q
E
), turn
(Q
C
), atau sebagai ketiga-tiganya (Q
3
). Dalam
contoh ini, Q
3
adalah 52% = ((0+3+10)/25) x 100.

> prot1.ent
Sekuen : VLLIWKRHRYIEDNAQFITNSLNFE
Struktur : ------------EEEE--HHHH---
Prediksi : -----HHHHHHHEEE----------

Gambar 4. Sebuah sekuen protein beserta
keterangan struktur and hasil prediksi.


HASIL DAN DISKUSI

Estimasi probabilitas emisi terhadap sejumlah
data protein pada training set, memperlihatkan
kemungkinan struktur yang tak sama untuk 20
jenis asam amino (Gambar 5). Seperti misalnya,
asam amino Asparagin (N) kemungkinan akan
memiliki struktur sekunder -helix. Sebaliknya,
Alanin (A) cenderung lebih banyak terdapat pada
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 410
konformasi -sheet. Sedangkan Prolin (P) hanya
memiliki kemungkinan struktur turn saja.

Beberapa asam amino terlihat tidak memiliki
kepastian struktur, karena mereka memiliki
kemungkinan yang sama untuk masing-masing
konformasinya. Seperti misalnya, asam amino
Leusin (L) atau Valin (V) yang berpeluang sama
memiliki struktur -helix atau -sheet.


Gambar 5. Probabilitas emisi dari 20 jenis asam amino.


Kenyataan ini menunjukkan bahwa pembentukan
struktur lebih ditentukan oleh interaksi antara
asam amino satu dengan asam amino lainnya,
ketimbang oleh sifat intrinsik asam amino itu
sendiri. Dalam kaitannya dengan model Hidden
Markov, maka struktur asam-asam amino ini lebih
bergantung pada probabilitas transisi dari atau ke
asam amino tetangganya.

Tabel 1 menunjukan estimasi probabilitas transisi
dari satu struktur sekunder tertentu ke struktur
sekunder lainnya. Terlihat bahwa kemungkinan
terjadinya transisi dari E ke H lebih besar dari
sebaliknya. Struktur protein yang diprediksi
melalui HMM, kemungkinan akan lebih banyak
mengandung struktur -sheet dibandingkan
dengan jumlah struktur -helix.

Tabel 1. Probabilitas transisi untuk tiga struktur.

H E T
H 0.19068 0.00877 0.10418
E 0.03670 0.20657 0.05970
T 0.07485 0.15158 0.16697

Gambar 6 memperlihatkan hasil prediksi struktur
sekunder protein sesuai model Hidden Markov
yang telah dirancang. Sekuen protein Adamalysin
sepanjang 202 asam amino memiliki struktur
sekunder yang terdiri dari lima -helix dan tujuh
-sheet.

Prediksi dengan HMM memperlihatkan struktur
sekunder yang terdiri dari lima -helix dan lima
-sheet. Struktur -sheet yang keenam di posisi
157-165 dapat diprediksi secara tepat. Demikian
pula dengan struktur -sheet terakhir di posisi
175-178 yang diprediksi di posisi 176-179.
Sedangkan struktur -sheet pertama (5-15) yang
menempel dengan struktur -helix pertama,
diprediksi sedikit lebih pendek di posisi 7-14.

Struktur -helix yang pertama di posisi 16-23,
diprediksi sedikit lebih pendek dan bergeser ke
kanan pada posisi 19-24. Struktur -helix yang
kedua (26-44) diprediksi lebih panjang di posisi
27-54. Sedangkan struktur -helix yang keempat
di posisi 134-148 dapat diprediksi pada posisi
133-152. Demikian juga dengan struktur -helix
yang kelima di posisi 180-192 dapat diprediksi
dengan sedikit lebih pendek di lokasi 185-194.
0.000
0.005
0.010
0.015
0.020
0.025
0.030
0.035
0.040
0.045
0.050
A C D E F G H I K L M N P Q R S T V W Y
p
Asam Amino
a-helix b-sheet turn
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 411
Namun struktur -sheet yang ke tiga (93-100),
yang keempat (108-111), dan yang kelima (122-
128), diprediksi saling menempel menjadi sebuah
struktur panjang di posisi 94-116. Ini
menunjukkan bahwa probabilitas a
ET
dan a
TE
tidak
dapat memberikan deskriminasi yang baik
terhadap transisi -sheet dan turn.
Hasil prediksi yang telah dilakukan, memiliki
akurasi sebesar ((58 + 34 + 40) / 202) x 100 =
65.3 %, dengan probabilitas lintasan paling
mungkin, P (x | *) = 6.36018 x 10
-6
.

> Adamalysin
---------|---------|---------|---------|---------|
Sekuen : ENLPQRYIELVVVADRRVFMKYNSDLNIIRTRVHEIVNIINKFYRSLNIR
VSLTDLEIWSGQDFITIQSSSSNTLNSFGEWRERVLLIWKRHDNAQLLTA
INFEGKIIGKAYTSSMCNPRSSVGIVKDHSPINLLVAVTMAHELGHNLGM
EHDGKDCLRGASLCIMRPGLTPGRSYEFSDDSMGYYQKFLNQYKPQCILN
KP
Struktur : ----EEEEEEEEEEEHHHHHHHH--HHHHHHHHHHHHHHHHHHH---EEE
EEEEEEEEEE----------HHHHHHHHHHHHHH--------EEEEEEEE
-------EEEE----------EEEEEEE-----HHHHHHHHHHHHHHH--
------EEEEEEEEE---------EEEE-HHHHHHHHHHHHH--------
--
Prediksi : ------EEEEEEEE----HHHHHH--HHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH
HHHH----EEEEE---------HHHHHHHHHHHHHHHHHHHH-EEEEEEE
EEEEEEEEEEEEEEEE----------------HHHHHHHHHHHHHHHHHH
HH----EEEEEEEEE----------EEEE-----HHHHHHHHHH------
--

Gambar 6. Struktur sekunder protein Adamalysin yang sebenarnya dan hasil prediksi.


Secara umum, sekitar 50% dari asam amino di
dalam struktur protein yang telah dikenal, akan
menekuk menjadi -helix atau -sheet. Kedua
konformasi itu adalah bentuk yang optimal,
karena tekukan tersebut dapat mempertahankan
kestabilan energi melalui ikatan hidrogen.
Struktur -sheet memerlukan -sheet lainnya
dalam orientasi paralel atau anti-paralel untuk
memperoleh keadaan stabil. Sementara -helix
dapat secara mandiri menekuk untuk
mempertahankan kestabilannya [3]. Fakta ini
menyebabkan prediksi struktur -sheet lebih sulit
ketimbang menemukan struktur -helix. Seperti
juga terlihat dari hasil prediksi dengan HMM,
ternyata sebagian dari -sheet tidak dapat
diperkirakan lokasinya secara benar.

Visualisasi struktur sekunder protein Adamalysin
yang sebenarnya dan hasil prediksi menggunakan
program MolScript [4] adalah seperti pada
Gambar 7. Perbedaan yang paling menonjol
terlihat pada struktur -sheet yang panjang di
tengah gambar, yang menunjukan bahwa model
Hidden Markov yang telah dirancang, tidak cukup
sensitif mengenali batas dari masing-masing
struktur -sheet yang ada.

Berbeda dengan pendekatan struktur, seperti
halnya studi ini, sebagian peneliti melakukan
prediksi dengan pendekatan sekuen. Sejumlah
homolog sekuen protein (yang struktur tersiernya
telah diketahui) dijajarkan bersama (multiple
alignment) untuk mencari bagian-bagian yang
mirip. Selanjutnya, prediksi struktur sekunder
protein dilakukan dengan mengambil konsensus
terhadap struktur terbanyak diantara bagian yang
mirip tadi. Dengan cara ini, diperkirakan bahwa
akurasi prediksi dapat melebihi 80% [9].

Tetapi sebagian peneliti lain menyarankan bahwa
evaluasi prediksi seharusnya didasarkan pada
hasil tumpang-tindih (overlap) antara segmen
yang telah dikenal dan segmen yang diprediksi,
dan bukan dengan hanya menghitung jumlah
posisi segmen yang sama saja [10].
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 412



Gambar 7. Struktur sekunder protein Adamalysin yang sebenarnya (kiri) dan hasil prediksi (kanan).


Asam amino Serin (S) atau Valin (V) memiliki
kemungkinan yang sama untuk struktur -helix
atau -sheet. Namun model Hidden Markov yang
dirancang, tidak dapat memastikan bentuk
struktur tersebut pada pola sekuen yang berulang,
seperti misalnya untuk VVV di posisi 11-13,
atau pola SSSS di posisi 69-72. Untuk itu, perlu
dipertimbangkan adanya state tambahan atau
ketentuan minimum subsekuen, yang dapat
memperhitungkan adanya pola berulang (motif)
pada sekuen protein target.

Peningkatan akurasi prediksi dapat dilakukan
antara lain dengan memilih data yang memiliki
struktur -helix dan -sheet lebih panjang, serta
memperbanyak jumlah data pada training set.
Sehingga, sekuen training dapat menjamin
aproksimasi yang lebih baik terhadap nilai
sebenarnya dari probabilitas transisi [1].


KESIMPULAN

Dari hasil studi ini, dapat disimpulkan beberapa
hal sebagai berikut:
1. Model Hidden Markov yang dirancang
dengan tiga state tersembunyi dan memiliki
76 parameter, dapat digunakan untuk
memperkirakan struktur sekunder protein.
2. Implementasi HMM pada prediksi struktur
sekunder protein Adamalysin (dari ular
Crotalus adamanteus) dapat menemukan lima
konformasi -helix dan lima konformasi
-sheet dengan akurasi 65.3%.







DAFTAR PUSTAKA

[1] Durbin, R., Eddy, S., Krogh, A. and G.
Mitchison 2006. Biological Sequence
Analysis, Cambridge: The University Press.
[2] Gomis-Ruth, F. X., Kress, L. F. and W.
Bode 1993. First structure of a snake venom
metalloproteinase: a prototype for matrix
metalloproteinases/collagenases, EMBO J.,
12 (11), 4151-4157.
[3] Herings, J. and W.R. Taylor 1997. Three-
deminsional domain duplication, swapping
and stealing, Curr. Opin. Struct. Biol., 7,
416-421.
[4] Kraulis, P.J. 1991. MolScript: A program to
produce both detailed and schematic plots of
protein structures, J. of Applied
Crystallography 24, 946-950.
[5] Lopez, G., Valencia, A. and M. Tress 2007.
Prediction of functionally important residues
using structural templates and alignment
reliability. Nucleic Acids Res. 35, W573-
W577.
[6] National Center for Biotechnology
Information 2008, GenBank, Retrieved
Nopember 23, 2008, from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Genbank/
[7] Neidle, S. and D. E. Thurston 2005.
Chemical approaches to the discovery and
development of cancer therapies, Nature
Reviews Cancer 5, 285-296.
[8] Rabiner, L. R. 1989. A tutorial on hidden
markov models and selected applications in
speech recognition, Proc. IEEE 77, 257 -
286.
[9] Russell, R. B. and G. J. Barton 1993. The
limit of protein secondary structure
prediction accuracy from multiple sequence
alignment, J. Mol. Biol. 234, 951-957.
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 413
[10] Taylor, W. R. 1984. An algorithm to compare
secondary structure predictions, J. Mol. Biol.,
173, 512-521.
[11] Viterbi, A. 1997. Error Bounds for
Convutional Codes and An Asymptotically
Optimal Decoding Algorithm, IEEE Trans.
Information Theory 13, 260 - 269.







Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 415
SIMULASI SISTEM PARAMETER TERDISTRIBUSI MENGGUNAKAN
METODE GARIS LATERAL DI LINGKUNGAN PSE SCILAB

Verawati
1
, Prasetyaning Diah R.L
1
, A.D. Garnadi
2

1
Institut Teknologi Bandung, Bandung, 40116
2
Institut Pertanian Bogor, Bogor, 16680

vera.math42@gmail.com, prasetyaning.diah@gmail.com, agah.garnadi@gmail.com


ABSTRAK

Pemodelan komputasional sudah menjadi hal umum sebagai prosedur yang esensial dalam analisis dinamika dari
proses yang muncul di bidang sains dan rekayasa. Banyak dari proses ini merupakan sistem parameter terdistribusi,
i.e., sistem dengan peubah keadaan bergantung kepada sejumlah peubah bebas (seperti ruang dan waktu) yang
dinyatakan oleh sekumpulan persamaan differensial parsial (pdp). Metode garis lateral merupakan satu metode
penyelesaian numerik pdp dengan cara menyelesaikan masalah syarat batas secara berturutan, dan tujuan tulisan ini
ialah melaporkan pengembangan toolbox pdp berbasis-Scilab. Filosofi pengembangan ialah memberikan kepada
pengguna dengan sebuah metode yang mudah dipahami dan sekumpulan contoh aplikasi yang dapat digunakan
sebagai template Scilab untuk mengembangkan simulasi numerik di bidang baru. Dalam tulisan ini tiga buah ilustrasi
yaitu, persamaan panas satu dimensi, model Opsi Jual Eropa, dan model perlakuan panas buah untuk membunuh
serangga akan digunakan untuk memperlihatkan bagaimana template metode garis lateral digunakan untuk
menyelesaikan permasalahan.

Keywords: Metode garis lateral, scilab, model simulasi.


PENDAHULUAN

Persamaan diferensial parsial parabolik,
merupakan salah satu dari sekian banyak
persamaan dierensial yang sangat berperan
dalam memodelkan berbagai masalah yang timbul
dari ragam fenomena di sekitar kita. Meskipun
beberapa persamaan panas yang tergolong
sederhana dapat dicari solusi eksaknya, namun
banyak permasalahan yang dimodelkan dalam
persamaan panas dimana solusi eksak sulit dicari
atau bahkan sama sekali tidak memiliki solusi
eksak. Alternatifnya, bila solusinya ada dan tidak
dapat diperoleh secara eksak, adalah dengan
menyelesaikan persamaan panas tersebut secara
numerik. Untuk itu dibutuhkan rutin (program)
yang mampu menyelesaikan Persamaan
Dierensial Parsial (PDP) secara numerik. Namun
hingga saat ini sedikit sekali perangkat lunak
numerik yang menyediakan rutin untuk keperluan
ini. Di lain pihak, rutin-rutin yang mampu
menyelesaikan Persamaan Dierensial Biasa
(PDB) telah banyak berkembang dan sudah
menjadi paket yang sudah jadi di hampir setiap
perangkat lunak numerik yang ada saat ini.

Tujuan tulisan ini menyajikan tutorial yang
menunjukkan teknik penyelesaian persamaan
panas secara numerik dengan memanfaatkan rutin
numerik untuk menyelesaikan Masalah Syarat
Batas (MSB) untuk PDB. Rutin yang digunakan
adalah rutin yang tersedia di dalam Scilab yang
bernama bvode. Untuk tutorial penggunaan serta
keterangan mengenai bvode dapat dilihat pada
[4]. Salah satu metode untuk menyelesaikan
secara numerik persamaan evolusi, dikenal
dengan metode garis ([8, 9]). Metode ini
dilakukan dengan cara melakukan diskretisasi
ruang dengan mempergunakan beda hingga ([9])
atau kolokasi ([8, 12]) misalnya, sehingga
diperoleh sebuah masalah nilai awal untuk sebuah
sistem PDB. Kemudian, dapat digunakan berbagai
rutin numerik yang tersedia untuk menyelesaikan
sistem PDB tersebut. Di dalam PSE komersial
MATLAB disediakan pdepe untuk menyelesaikan
persamaan parabolik 1-dimensi spasial, rutin ini
didasarkan pada ([12]) yang mempergunakan
metode kolokasi untuk diskretisasi ruang.
Pendekatan lain untuk menyelesaikan persamaan
diferensial parsial evolusi ialah menggunakan
strategi diskretisasi waktu terlebih dulu, sehingga
diperoleh MSB PDB untuk setiap langkah waktu.
Dengan demikian, secara bertingkat diselesaikan
secara berturutan harus diselesaikan MSB PDB.
Teknik seperti ini sering sekali dikenal sebagai
metode garis lateral, atau dikenal juga dengan
metode Rothe. Dalam [7], terdapat ulasan singkat
mengenai metode garis lateral ini. Salah satu
tujuan tulisan ini ialah sebagai tutorial
penggunaan perangkat lunak numerik untuk
menyelesaikan persamaan diferensial parabolik
secara umum. Tujuan lain dari tulisan ini ialah
mendukung Indonesian Goes Open Source
(IGOS) di bidang Scientic Computing,
mengingat Scilab merupakan perangkat lunak
yang bebas. Selain itu, tulisan ini sebagai langkah
awal penyediaan perangkat alternatif dari
perangkat lunak komersial MATLAB yang cukup
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 416
populer, dimana tersedia pdepe. Tulisan ini
disusun seperti berikut ini, pertama akan
diingatkan terkait dengan persamaan panas.
Kemudian secara singkat akan diperlihatkan
diskretisasi waktu, sehingga diperoleh bentuk
masalah syarat batas PDB untuk setiap langkah
waktu diskret. Dengan demikian, bentuk ini dapat
dikonversikan sehingga dapat diselesaikan dengan
mempergunakan bvode dalam SCILAB.
Dilanjutkan dengan bagian berikutnya yang
memperlihatkan susunan lengkap implementasi
metode garis lateral untuk menyelesaikan
persamaan panas dan aplikasinya dalam SCILAB.


BAHAN DAN METODE

Pada makalah ini akan dibahas tiga ilustrasi, yaitu
persamaan panas satu dimensi, model Opsi Jual
Eropa, dan model perlakuan panas buah untuk
membunuh serangga dengan menggunakan
metode garis lateral.

1. Persamaan Panas

Jika pada waktu t = 0 sebuah batang
konduktor termal, selanjutnya kita katakan
konduktor, dengan panjang L memiliki suhu
yang terdistribusi menurut rumus ( )
0 0
Q u x =
, maka setelah beberapa saat suhu di batang
tersebut akan terdistribusi pada batang
konduktor menurut persamaan

( ) ( )
2
2
, ,
,
0 , 0
u t x u t x
C
t x
x L t

=


(1)
Sebagai tambahan, untuk t 0, jika batang
konduktor tersebut dipanasi atau didinginkan
akibat adanya sumber panas
( ) ,
eksternal
Q f t x = , maka persamaan (1) akan
menjadi

( ) ( )
( )
2
2
, ,
, ,
0 , 0
u t x u t x
C f t x
t x
x L t

= +


(2)
Persamaan (1) dan (2) dikenal dengan nama
persamaan panas dimana C adalah
diusivitas termal benda yang dipanasi.
Bersama dengan nilai-nilai awal yang
diketahui, persamaan (1) dan (2) merupakan
masalah syarat batas

( ) ( )
( )
( ) ( ) ( ) ( )
2
2
0
, ,
, ,
0 , 0;
, 0 , , 0 , , .
a b
u t x u t x
C f t x
t x
x L t
u x u x u t u u t L u

= +


= = =
(3)
dengan
a
u dan
b
u masing-masing
menyatakan suhu pada ujung-ujung batang
konduktor tersebut.
Dengan metode diskretisasi waktu, selang t
yang kontinu digantikan oleh titik-titik diskrit
yang membentuk mesh. Turunan waktu yang
ada pada persamaan (3) dihampiri dengan
beda hingga (nite dierence), sehingga
persamaan (3) menjadi

( ) ( ) ( )
( )
( ) ( ) ( ) ( )
1 2 1
1
2
0 1 1
0
,
0 , 0,1, 2,....;
, 0 , .
k k k
k
k k
a b
u x u x d u x
C f x
t dx
x L k
u x u x u u u L u
+ +
+
+ +

= +

=
= = =


(4)
Perhatikan bahwa persamaan (4) merupakan
masalah syarat batas dari persamaan
dierensial biasa orde 2 yang dapat dicari
solusi numeriknya menggunakan bvode
untuk setiap langkah waktu ke k. Dengan
menyusun kembali penulisannya, persamaan
(4) akan menjadi

( ) ( ) ( )
( )
( ) ( ) ( ) ( )
2 1 1
1
2
0 1 1
0
1
,
0 , 0,1, 2,....;
, 0 , .
k k k
k
k k
a b
d u x u x u x
f x
C t dx
x L k
u x u x u u u L u
+ +
+
+ +

=
= = =
(5)
Persamaan dierensial biasa (5) berorde 2.
Dengan demikian, akibat diskretisasi pada
langkah waktu, memungkinkan penggunaan
bvode untuk mencari solusi numerik MSB,
sehingga untuk setiap langkah waktu
diperoleh prol distribusi panas.

2. Model Opsi Jual Eropa

Persamaan Black-Scholes biasa digunakan
untuk mencari nilai opsi Eropa. Persamaan
ini merupakan persamaan diferensial parsial
berupa persamaan panas (parabolik) dengan
syarat batas Dirichlet. Akan tetapi, yang
diperhatikan di sini bukan waktu awalnya,
melainkan waktu akhir. Ada banyak program
yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
persamaan panas tetapi tulisan ini hanya akan
membahas cara menyelesaikan persamaan
panas dalam Scilab, khususnya untuk
persamaan Black-Scholes, dengan bvode.

Untuk persamaan panas Black-Scholes
didefinisikan waktu akhir suatu opsi
( ) T t = . Persamaan panas Black-Scholes
berupa:

2
2 2
2
1
0
2
0 , 0
C C C
S rS rC
S S
S L T


+ =


(6)
dengan nilai awal:
( ) ( ) ( )
0, max 0 , 0 C S S E =
dan syarat batas:
( ) ( ) , 0 0, ,
r
C C S S Ee



=
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 417
untuk S yang besar.
Perhatikan bahwa persamaan (6) di atas
memiliki bentuk yang mirip dengan
persamaan panas

( ) ( )
( )
2
2
, ,
,
0 , 0
u t x u t x
C f t x
t x
x L t

= +


(7)
Dengan menuliskan

( )
( )
( )
2 2
1
2
a S S
b S rS
c S r
=
=
=

maka persamaan (6) dapat dituliskan lengkap
bersama dengan nilai awal dan syarat
batasnya dalam bentuk berikut:

( )
( )
( )
( )
( )
( ) ( )
( ) ( ) ( ) ( ) ( )
2
2
, , ,
,
0 , 0
0, max 0 , 0 , , 0 0, ,
r
C S C S C S
a S b S c S C S
S S
S L T
C S S E C C S S Ee




= + +


= =
(8)
Rutin bvode tidak dapat mencari solusi
numerik persamaan (8) karena bentuknya
yang parsial. Namun demikian, metode
diskretisasi utuh memungkinkan penggunaan
bvode untuk mencari solusi numerik
persamaan panas.

Dengan melakukan diskretisasi pada waktu,
selang yang kontinu digantikan oleh titik-
titik diskrit yang membentuk mesh. Turunan
terhadap waktu pada persamaan (8)
digantikan dengan menggunakan pendekatan
beda hingga, sehingga persamaan (8) menjadi
( ) ( )
( )
( )
( )
( )
( ) ( )
( ) ( ) ( ) ( ) ( )
1 2 1 1
1
2
0 1 1
0, , 2 ,....., , 0,1, 2,...
max 0 , 0 , 0 0,
k k k k
k
k k r
C S C S d C S d CS
a S b S c S C S
dS dS
S S S L k
C S S E C C S S Ee

+ + +
+
+ +

= + +

= =
= =
(9)
Persamaan (9) dapat dicari solusi numeriknya
menggunakan bvode secara iteratif dengan
menganggap k sebagai indeks iterasinya.
Dengan memisahkan variabel-tak-bebasnya,
persamaan (9) akan menjadi

( )
( )
( ) ( )
( )
( )
( ) ( )
( ) ( ) ( ) ( ) ( )
2 1 1 1
1
2
0 1 1
1
0, , 2 ,....., , 0,1, 2,...
max 0 , 0 , 0 0,
k k k k
k
k k r
d C S C S C S d CS
b S c S C S
a S dS dS
S S S L k
C S S E C C S S Ee

+ + +
+
+ +

=


= =
= =
(10)

3. Model perlakuan panas buah untuk
membunuh serangga

Di negara yang yang beriklim tropis seperti
Indonesia ini, petani buah banyak dihadapi
pada masalah pasca panen yaitu serangan
hama larva serangga seperti ulat atau pun
kutu. Penggunaan bahan kimia untuk
mengatasi masalah ini akan membawa
dampak buruk bagi kesehatan, sedangkan
penggunaan control agent biologi yang
merupakan antagonis potensial bagi hama
tersebut membutuhkan biaya yang besar lagi
sulit untuk diterapkan. Salah satu cara yang
relatif murah dan mudah untuk mengatasi
serangan hama larva serangga adalah dengan
cara pencelupan buah ke dalam uida (air)
bersuhu cukup tinggi sehingga dapat
membunuh hama tersebut. Permasalahan
yang timbul adalah buah tidak boleh terlalu
lama dicelup karena dikhawatirkan akan
mengalami kerusakan sik sehingga
mengurangi kualitas buah tersebut. Petani
dapat memperoleh waktu celup yang efektif
untuk proses ini dengan cara mencoba
beberapa kali pencelupan dan menerka
berapa lama buah harus sudah diangkat agar
hama bisa diberantas tanpa merusak buah.
Namun alangkah baiknya bila ada suatu cara
cepat untuk mengetahui waktu celup efektif
tanpa harus melakukan percobaan sik,
dengan catatan diketahui sifat sik dan sifat
termal buah. Tulisan ini juga
memformulasikan suatu model matematika
untuk tujuan memprediksi waktu celup yang
efektif guna mendapatkan hasil terbaik pada
proses pemberantasan hama dengan cara
pencelupan buah ke medium bersuhu tinggi.

Akan dijelaskan model yang akan digunakan
untuk model persamaan dalam buah ini.
Proses konduksi panas pada suatu medium
secara s ik dipengaruhi oleh koe sien
disfusivitas panas, yaitu besaran yang
menyatakan kemampuan medium untuk
menghantarkan panas. Dengan
mengasumsikan bahwa medium berbentuk
batang, dapat dibuat suatu formulasi dalam
bentuk persamaan diferensial yang secara
matematis dapat menjelaskan proses
konduksi panas. Menurut asumsi di atas
hanya ada dua variabel bebas, yaitu t dan x,
yang masing masing menyatakan besaran
waktu dan jarak (posisi di ruang) setiap titik
pada medium berbentuk batang. Jika ( ) , t x
adalah fungsi yang menyatakan besarnya
temperatur medium pada waktu t dan pada
posisi x, maka konduksi panas dapat
dinyatakan dalam bentuk
.
t

(11)
Keadaan panas yang tersebar pada awal
pengamatan, yaitu pada saat t = 0, dinyatakan
dalam bentuk persamaan nilai awal
( ) ( )
0
0, x x = (12)
Jika diasumsikan bahwa buah yang akan
dicelupkan berbentuk bola berjari-jari R dan
disfusivitas panas konstan, maka persamaan
(11) akan menjadi
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 418

2
2
1
. r
t r r r


=

(13)
dengan r adalah variabel koordinat bola
untuk buah yang akan dicelupkan.

Untuk menyatakan bahwa tidak ada laju
perubahan suhu di pusat bola, yaitu pada
0 r = , dan bahwa suhu di permukaan buah
pada saat dicelupkan adalah T, diperlukan
dua syarat batas berikut

0
0
r
r

(14)
( ) , . t R T = (15)
Meskipun persamaan diferensial (13)
memiliki solusi analitik, akan tetapi
bentuknya tidak dapat dijabarkan dalam
bentuk fungsi elementer. Maka diperlukan
solusi numerik. Karena persamaan (13)
merupakan persamaan diferensial parsial,
diperlukan diskretisasi sehingga dihasilkan
persamaan diferensial biasa yang dapat
diselesaikan menggunakan metode numerik.
Dalam tulisan ini digunakan metode Rothe,
atau dikenal dengan nama metode garis
lateral [Ascher dkk, 1988], yaitu diskretisasi
terhadap waktu t terlebih dahulu dilakukan
sehingga untuk setiap langkah waktu
diperoleh masalah syarat batas persamaan
diferensial biasa berikut
( ) ( ) ( ) ( )
1 1 2 1
2
1 2
k k k k
r r d r d r
t r dr dr

+ + +

= +

(16)
( ) 0 0,
d
dr

= (17)
( )
1
.
k
R T
+
= (18)
Dengan demikian solusinya dapat dicari
menggunakan metode yang dapat
menyelesaikan masalah syarat batas
persamaan diferensial biasa secara numerik.
Di Scilab, sebuah perangkat lunak yang
bebas, memiliki rutin untuk menyelesaikan
masalah syarat batas sehingga metode Rothe
dengan mudah dapat diimplementasikan.


HASIL DAN DISKUSI

Dari tiap ilustrasi yang telah dikemukakan pada
bagian sebelumnya, akan dibahas tentang hasil
apa yang diperoleh dengan menyelesaikan
permasalahan di atas dengan menggunakan
Scilab.

1. Persamaan Panas

Jika z menyatakan satu vektor baris
berdimensi 2 yang memuat u dan u

1
2
'
z
u
z
z u


= =





maka persamaan dierensial pada persamaan
(5) dapat didenisikan sebagai berikut ini.
Nomor-nomor di sebelah kiri sintaks adalah
penomoran baris, bukan bagian dari sintaks.
01: function f = fsub(x,z)
02: f=(1/C)*(1/tau)*(z(1)-u0(x));
03: endfunction
Langkah selanjutnya adalah menyusun syarat
batas. Syarat batas pada persamaan (5) dapat
dituliskan sebagai

( )
( )
1
1
0 0,
0 .
k
a
k
b
u x u pada x dan
u x u pada x L
+
+
= =
= =

Sehingga sintaks untuk syarat batas persaman
(5) adalah
01: zeta = [0,L];
02: function g = gsub(x,z)
03: f = [z(1)ua,z(1)ub];g=g(i);
04: endfunction
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa nilai
batas 0 x = dan x L = dituliskan secara
berurutan ( ) ( ) ( )
0 1 2 zeta zeta L .
Selain dua fungsi di atas (fsub dan gsub),
diperlukan pula dua fungsi yang
merepresentasikan matriks Jacobi dari kedua
fungsi tersebut (dfsub dan dgsub). Kedua
fungsi ini didapat dengan cara menurunkan
masing-masing fsub dan gsub terhadap u
dan u.

( )
( ) ( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
1 1
2 2
fsub fsub
dfsub=Jac fsub
'
fsub fsub
1 2
sub sub
'
dgsub=Jac gsub
sub sub
'
sub 1 sub 1
1 2
sub 2 sub 2
1 2
u u
z z
g g
u u
g g
u u
g g
z z
g g
z z

=





=







=








=







Maka script rangkaian perintah untuk
matriks-matriks di atas adalah
01: function df = dfsub(x,z)
02: df = [1/C*tau, 0];
03: endfunction
04: function dg=dgsub(x,z)
05: dg=[1,0 ; 1,0]; dg=dg(i,:)
06: endfunction
Diberikan sebuah contoh kasus persamaan
panas sederhana seperti berikut. Diketahui
sebuah batang konduktor dengan panjang L =
1 dengan diusivitas termal konduktor
tersebut C = 8.5. Pada saat t = 0 dimisalkan
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 419
distribusi panas pada batang konduktor
tersebut diberikan oleh ( )
0
5sin Q x = . Panas
di ujung kiri dan kanan selalu bernilai 0.
Akan digambarkan perubahan distribusi
panas pada batang konduktor tersebut hingga
t = 7.

Model permasalahan ini dapat dituliskan
sebagai persamaan seperti berikut ini

( ) ( ) ( ) ( )
8.5
0 1, 0 10,
0, 5sin , , 0 0, ,1 0.
t xx
u u
x t
u x x u t u t
=

= = =
(19)
dan dengan mengambil x = 0.1 dan = t =
1, berikut adalah gambar grak dua dimensi
perubahan distribusi panas untuk masalah di
atas.


Gambar 1. Evolusi distribusi batang untuk
sejumlah waktu diskret divisualisasi dalam satu
bidang gambar.

2. Model Opsi Jual Eropa

Dari bagian sebelumnya persamaan
differensial biasa (10) berorde 2. Misalkan z
adalah suatu vektor (kolom) berdimensi 2
yang memuat C dan C

1
2
.
'
z
c
z
z c


= =





Karena persamaan differensial biasa (10)
yang dihasilkan dari pendiskretisasian (9)
berorde 2 maka persamaan (10) dapat
dinotasikan sebagai ( ) ( ) ( )
, , , ' , f C S C S .
Dengan menggunakan pemisalan di atas,
notasi persamaan (10) menjadi ( ) , f z ..
Dalam Scilab, semua variabel berstruktur
data array. Karena vektor , z , dapat
direpresentasikan dalam bentuk array, maka
kita dapat dengan mudah mendefinisikan
persamaan (10) dalam bentuk fungsi Scilab
seperti berikut. Nomor-nomor di sebelah kiri
sintaks adalah penomoran baris, bukan
bagian dari sintaks.
01: function f=fsub(S,z)
02: f=(1/a(S))*(
03: (1/tau)*(z(1)-C(S))
04: -b(S)*z(2)
05: -c(S)*z(1)
06: );
07: endfunction
Langkah selanjutnya adalah menyusun syarat
batas. Syarat batas pada persamaan (10) dapat
dituliskan sebagai

( )
( )
1
1
0 0,
k
k r
C S pada S dan
C S S Ee pada S L

+
+
= =
+

sehingga sintaks untuk syarat batas
persamaan (10) adalah
01: zeta=[0,L];
02: function g=gsub(S,z)
03: g=[z(1),z(1)-L+E*Exp(-r*tau);
04: g=g(i);
05: endfunction
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa nilai
batas S = 0 dan S = L dituliskan secara
berurutan ( ) ( ) ( )
0 1 2 zeta zeta L .

Selain dua fungsi di atas (fsub dan gsub),
diperlukan pula dua fungsi yang
merepresentasikan matriks Jacobi dari kedua
fungsi tersebut (dfsub dan dgsub). Kedua
fungsi ini didapat dengan cara menurunkan
masing-masing fsub dan gsub terhadap C dan
C.

( )
( ) ( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
1 1
2 2
fsub fsub fsub fsub
dfsub=Jac fsub
' 1 2
sub 1 sub 1
sub sub
1 2
'
dgsub=Jac gsub
sub sub sub 2 sub 2
'
1 2
C C z z
g g
g g
z z
C C
g g g g
C C
z z

= =










= =







Sintaks untuk matriks-matriks di atas adalah
01: function df=dfsub(S,z)
02: df=[(1/tau)-c(S)/a(S),-
b(S)/a(S)];
03: endfunction
04: function dg=dgsub(S,z)
05: dg=[1,0 ; 1,0]; dg=dg(i,: );
06: endfunction

Berikut diberikan contoh numerik
menyelesaikan persamaan Black-Scholes
dengan cara menyusun beberapa fungsi dan
setting variabel yang menjadi argumen bagi
bvode. Diberikan E = 4, = 0.5, r = 0.03,
T = 1, NS = 11, NT = 29, dan L = 10, berarti
k = T = T/NT dan h = S = L/NS.
Permasalahan ini dapat dimodelkan sebagai
berikut:

( )
( )
( ) ( )
( )
( ) ( ) ( ) ( ) ( )
2
2
2
2
, , , 1
0.5 0.03 0.03 ,
2
0 10, 0 1
0, max 0 , 0 , , 0 0, ,
r
C S C S C S
S S C S
S S
S
C S S E C C S S Ee




= +


= =


Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 420
Contoh di atas menghasilkan grafik
perubahan nilai opsi (Black-Scholes) dari
waktu ke waktu dalam bentuk dua dimensi
(Gambar 2) maupun tiga dimensi (Gambar 3)
seperti berikut.

Gambar 2. Perubahan nilai opsi (Black-Scholes)
dari waktu ke waktu dalam bentuk dua dimensi

Gambar 3. Perubahan nilai opsi (Black-Scholes)
dari waktu ke waktu dalam bentuk tiga dimensi

3. Model perlakuan panas buah untuk
membunuh serangga

Model simulasi dalam tulisan ini diterapkan
pada buah apel malang (Malus Sylvestris
Mill) dengan dua perlakuan, masing-masing
perlakuan menggunakan suhu medium celup
yang berbeda.

3.1 Apel Malang.
Buah yang digunakan dalam percobaan
ini adalah buah apel malang yang
diasumsikan berbentuk bola. Asumsi
untuk suhu awal apel adalah homogen
sebesar
0
29 C . Dalam tulisan ini
dilakukan dua kali simulasi, masing-
masing dengan suhu medium (air)
sebesar
0
47 C dan
0
60 C dengan catatan
bahwa suhu medium adalah homogen
dan dijaga tetap sepanjang waktu.
Dengan kadar air apel 83.33%, didapat
besaran-besaran konduktivitas panas
sebesar
0
0.005979 Watt / cm C dan
disfusivitas panas
3 2
2.0990 10 cm /dtk

.
[Fahmi, 2004].

3.2 Lalat Buah (Rhagoletis Pomonella).
Menurut Fields (2002), suhu mematikan
bagi serangga terletak pada rentang yang
dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Efek temperatur letal serangga

Rentang temperatur
mematikan (
0
) C
Efek
Di atas 62 Mati kurang dari 1
menit
50 hingga 62 Mati kurang dari 1 jam
45 hingga 50 Mati kurang dari 1 hari
35 hingga 42 Serangga mulai
mencari tempat yang
lebih dingin

Tulisan ini mengasumsikan larva lalat buah
hidup pada daerah yang tidak lebih dalam
daripada 0.5 cm dari kulit buah. Dari data-
data tersebut dapat dilakukan simulasi
pencelupan buah dengan menggunakan
metode numerik. Dengan menggunakan
software Scilab, solusi numerik persamaan
panas di atas dapat digunakan untuk
memprediksi waktu celup efektif.

Berikut ini disajikan hasil simulasi dua kasus
untuk suhu medium yang berbeda.

Kasus Pertama. Dengan mengambil suhu
medium luar sebesar
0
47 C didapatkan hasil
dalam bentuk kurva sebaran panas seperti
berikut. Simulasi dilakukan dengan
mengambil langkah waktu 5 menit, selama 80
menit. Suhu awal buah dianggap sama
dengan suhu ruang yaitu
0
29 C .

Gambar 4. Hasil simulasi dengan suhu medium
0
47 C



Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 421
Kasus Kedua. Dengan mengambil suhu
medium sebesar
0
60 C didapatkan hasil
dalam bentuk kurva sebaran panas seperti
berikut. Seperti halnya kasus pertama,
langkah waktu, jangka waktu dan suhu awal
buah kita ambil sama.


Gambar 5. Hasil simulasi dengan suhu medium
0
60 C

Untuk kasus pertama, di akhir simulasi
diketahui bahwa suhu pada kedalaman 0.5cm
dari kulit buah mencapai sekitar
0
41.5 C .
Artinya, menurut tabel 1, bahwa proses
pencelupan untuk kasus pertama ini gagal
mengusir serangga yang ada pada kedalaman
tersebut. Serangga yang terusir akibat proses
pencelupan ini hanyalah serangga yang ada
hingga kedalaman 0.7 cm dari kulit buah.
Karena dikhawatirkan bahwa jika waktu
pencelupan buah diperpanjang maka akan
mengakibatkan kerusakan sik buah, maka
yang perlu dilakukan adalah menaikkan suhu
medium tempat buah dicelup. Pada kasus
kedua diperoleh bahwa setelah buah
dicelupkan selama 80 menit, suhu pada
kedalaman 0.5 cm dari kulit mencapai
0
51 C .
Kembali mengacu pada tabel 1, dapat
diketahui bahwa serangga yang hidup hingga
kedalaman tersebut dapat terusir oleh
penetrasi panas yang terjadi akibat proses
pencelupan. Kesimpulan Proses pencelupan
buah ke dalam medium bersuhu tinggi dapat
dilakukan guna mengusir serangga yang
berpotensial hidup dalam daging buah.
Namun perlu diperhatikan bahwa penetrasi
panas yang terjadi akibat proses ini dapat
menyebabkan kerusakan sik buah yang pada
akhirnya akan menurunkan kualitas buah.
Untuk itu suhu medium dan waktu celup
harus diambil sedemikian sehingga serangga
yang hidup dalam daging buah dapat diusir
tanpa merusak buah. Simulasi menggunakan
model persamaan panas dapat digunakan
untuk mengetahui kombinasi yang tepat
antara suhu medium dan waktu celup
sehingga proses pencelupan memberikan
hasil yang optimal.


KESIMPULAN

Telah didemonstrasikan implementasi
penyelesaian numerik persamaan dierensial
parsial evolusi dengan satu dimensi spasial dalam
SCILAB dengan memanfaatkan rutin untuk
menyelesaikan masalah syarat batas yang
disediakannya.

Terbuka kesempatan pengembangan teknik
metode garis lateral sebagai pustaka numerik di
lingkungan SCILAB, menjadi pustaka yang setara
dengan pdepe dengan mengikuti rancangan yang
digariskan oleh Schryer [11] . Dengan kerangka
yang diberikan Schryer tersebut, dimungkinkan
memanfaatkan metode ini untuk menyelesaikan
berbagai aplikasi dari persamaan panas, model
opsi jual Eropa, dan model perlakuan panas buah
untuk membunuh serangga.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Ascher, U., J. Christiansen, and R.D. Russel.
1981. Collocation Software for Boundary
Value ODEs, ACM Transactions on
Mathematical Software, Vol.7, No.2.
[2] Ascher, U., R. M. Mattheij, and R.D Russel.
1988. Numerical Solution of Boundary
Value Problem, New Jersey: Prentice-Hall.
[3] Campbell, S.L., J.P. Chancelier, and R..
Nikoukhah. 2005. Modeling and Simulation
in Scilab/Scicos, Springer.
[4] Ekastrya, D., F. Ayatullah dan A.D.
Garnadi. 2006. Menyelesaikan Persamaan
Dierensial Biasa - Syarat Batas dalam
Scilab menggunakan bvode. JMA v7n1, 1-
10.
[5] Fahmi, A. 2004. Kajian Penetrasi panas pada
buah apel (Malus Sylvestris Mill) selama
proses heat treatment. Tesis (Pascasarjana)-
Institut Pertanian Bogor.
[6] Fields, P.G. 2002. Alternatives to Methyl
Bromide Treatments for Stored-Product and
Quarantine Insects. Annu. Rev. Entomol,
47:X.X. Cereal Research Centre, Agriculture
and Agri-Food Canada.
[7] Garnadi, A.D. 2004. Masalah Syarat Batas
Bebas Persamaan Diferensial Parsial
Parabolik Satu Dimensi. JMA, v3n2, pp-pp.
[8] Madsen, N.K. and R.F. Sincovec. 1979.
ALGORITHM 540: PDECOL, General
Collocation Software for Partial Dierential
Equations, ACM Transactions on
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 422
Mathematical Software, Vol. 5, No.3, 326-
327.
[9] May, R.L. 1990. Numerical Solution of
PDEs using The Methods of Lines, TR No.
2, Dept. Math., RMIT.
[10] Poulikakos, D. 1994. Conduction Heat
Transfer, New Jersey: Prentice-Hall
International.
[11] Schryer, N.L. 1990. Designing Software for
One-Dimensional Partial Dierential
Equations, ACM Transactions on
Mathematical Software. Vol. 16, No.1,72-
85.
[12] Skeel, R.D. and M. Berzins. A Method for
the Spatial Discretization of Parabolic
Equations in One Space Variable, SIAM J.
Sci.Stat.Comp., v11, 1-32.
[13] Wirakartakusumah, M.A., K. Abdullah dan
A. M. Syarif. 1992. Sifat Fisik Pangan.
Departemen pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi,
Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
423
VARIAN MODIFIKASI METODE HALLEY DENGAN
KONVERGENSI ORDE EMPAT

Wartono, Hari Saputra
Jurusan Matematika, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

wartono_s@hotmail.com


ABSTRAK

Metode Halley merupakan pengembangan metode Newton yang dihasilkan dari pemotongan deret Taylor orde dua.
Hasil aproksimasi bentuk turunan kedua pada Metode Halley dan dengan menerapkan kembali bentuk Newton,
memberikan bentuk Metode Halley Termodifikasi dengan orde konvergensi kubik. Makalah ini membahas tentang
konvergensi Metode Halley Termodifikasi dengan melibatkan aturan Trapesium untuk menggantikan bentuk integral
tentu. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh bahwa konvergensi modifikasi Metode Halley dengan
aturan Trapesium (MHT) berorde empat, yang secara umum konvergensi hampiran terhadap akar persamaan non
linear menjadi lebih baik dengan jumlah iterasi yang lebih sedikit. Komputasi Numerik menunjukkan bahwa
konvergensi modifikasi Metode Halley dengan aturan Trapesium lebih cepat dibandingkan dengan konvergensi
Metode Newton.


PENDAHULUAN

Penyelesaian persamaan non-linear merupakan
persoalan yang penting pada analisa numerik.
Salah satu metode iteratif yang cukup populer dan
banyak digunakan untuk menyelesaikan
persamaan nonlinear dengan variabel tunggal, f(x)
= 0 adalah metode Newton yang ditulis
(1)
untuk n = 0, 1, 2, 3, . Metode Newton dikenal
juga sebagai metode tangent dengan orde
konvergensi kuadratik. Pada proses iterasinya,
metode Newton menghampiri akar-akar
persamaan nonlinear dengan cara mengevaluasi
fungsi dan derivatifnya berdasarkan algoritma
yang cukup sederhana.

Oleh karena, kecepatan pendekatan akar-akar
penyelesaian persamaan nonlinear bergantung
kepada orde konvergensi, beberapa modifikasi
metode Newton dengan konvergensi kubik telah
dikembangkan. Weerakoon & Fernando (2000)
melakukan modifikasi metode Newton dengan
mempertimbangkan aturan Trapesium. Modifikasi
Newton dengan mempertimbangkan aturan Titik
Tengah dilakukan oleh Ozban (2004), Jisheng, et.
al (2007), melakukan kajian modifikasi Newton
dengan melibatkan rata-rata aritmatik,
Selanjutnya Kanwar (2006), memodifikasi
metode Newton dengan mengevaluasi fungsi.
Kajian modifikasi Newton dengan operator
Aggregasi dilakukan oleh Lukic, et. al. (2006)
yang juga menghasilkan konvergensi orde tiga.

Selain itu, untuk meningkatkan konvergensi
Metode Newton, dapat juga dilakukan dengan
mengkon-truksi bentuk iteratif berdasarkan pada
deret Taylor orde dua yang biasa disebut metode
Halley, ditulis
(3)
dengan


Oleh karena metode Halley pada persamaan (3)
memuat turunan kedua, maka untuk meng-hindari
penggunaan turunan kedua, Jisheng (2006)
melakukan modifikasi Halley dengan melakukan
ekspansi deret Taylor orde kedua untuk
mengaproksimasi turunan kedua yang diberikan
oleh,
(4)
dengan

dan orde konvergensi persamaan (4) diberikan
oleh
(5)

Makalah ini membahas modifikasi persamaan (4)
dengan melibatkan aturan Trapesium yang
bertujuan untuk meningkatkan orde konvergensi.


BAHAN DAN METODE

Definisi 1. Jika barisan {x
n
} cenderung ke limit
sedemikian rupa sehingga
(6)
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 424
Untuk sembarang C 0 dan p 1, maka orde
konvergensi dari barisan tersebut adalah p, dan C
disebut konstanta asimptotik galat.

Jika p = 1, maka konvergensi barisan berode
linear, p = 2, maka konvergensi barisan berorde
kuadratik dan p = 3, maka konvergensi barisan
berorde kubik. Misalkan adalah
galat pada iterasi ke-n dari suatu metode iteratif
yang menghasilkan barisan , maka berlaku
hubungan
(7)
disebut persamaan galat dan p adalah orde
konver-gensi pada metode iteratif tersebut.

Pertimbangkan kembali ekspansi deret Taylor
orde dua disekitar x = x
n
,
f(x) f(x
n
) + f(x
n
)(x x
n
) + f(x
n
)(x x
n
)
2

(8)
Misalkan x
n+1
adalah aproksimasi akar persamaan
non-linear pada iterasi ke (n + 1), maka
f(x
n+1
) = 0,
sehingga persamaan (8) menjadi
0 = f(x
n
) + f '(x
n
)(x
n+1
x
n
) + f ''(x
n
)(x
n+1

x
n
)
2
,
dan dengan menggunakan manipulasi aljabar
diperoleh,
2f(x
n
)f'(x
n
) + (2[f '(x
n
)]
2
f(x
n
)f ''(x
n
))(x
n+1
x
n
) = 0
(9)
Oleh karena x
n+1
adalah akar-akar hampiran
persamaan nonlinear, maka penyelesaian
persamaan (9) untuk x
n+1
adalah

) ( '
) (
) ( 1
1
1
n
n
n f
n n
x f
x f
x L
x x

=
+
(10)
dengan

) ( '
) ( ) ( ' '
2
1
) (
n
n n
n f
x f
x f x f
x L =
(11)

Selanjutnya untuk menghindari evaluasi fungsi
derivatif kedua, maka persamaan (11) akan
diubah dengan melibatkan ungkapan bentuk
Newton,

) ( '
) (
n
n
n n
x f
x f
x y =

dan ekspansi Taylor terhadap f(y
n
) disekitar x
n
,
f(y
n
) f(x
n
) + f '(x
n
)(y
n
x
n
)+ f '' (x
n
)(y
n
x
n
)
2

memberikan

2
) ( '
) (
) ( ' '
2
1
) (
|
|
.
|

\
|

n
n
n n
x f
x f
x f y f
(12)
atau
f ''(x
n
) 2f(y
n
)
2
) (
) ( '
(

n
n
x f
x f
(13)
Selanjutnya, dengan mensubstitusikan kembali
persamaan (13) ke persamaan (11), maka
diperoleh
1 L
f
(x
n
) =
) (
) ( ) (
n
n n
x f
y f x f
(14)
Berdasarkan persamaan (14), maka persamaan
(10) dapat ditulis kembali menjadi

) ( '
)] ( [
) ( ) (
1
2
1
n
n
n n
n n
x f
x f
y f x f
x x

=
+
(15)
Ungkapan pada persamaan (15) disebut metode
Halley Termodifikasi.


HASIL DAN DIKSUSI

1. Metode Halley-Trapesium

Selanjutnya, pandang kembali definisi integral
(16)
dan gantikan suku integral pada persamaan (16)
dengan menggunakan hampiran aturan Trapesium

(17)
atau

(18)

Penyelesaian persamaan nonlinear untuk iterasi
ke-(n+1) akan diperoleh jika f(x
n+1
) = 0, sehingga
persamaan (18) menjadi


atau
(19)
dan
*
1 + n
x adalah akar hampiran metode Halley
Termodifikasi yang diberikan pada persamaan
(15).

2. Analisa Konvergensi

Misalkan adalah akar persamaan f(x) = 0, maka
galat pada iterasi ke-n adalah e
n
= x
n
. dan
ekspansi Taylor untuk f(x
n
) di sekitar x =
diberikan oleh
) (
n
x f
= ) (
n
e f +
= f() + f ()e
n
+
2
) ( "
n
e f
+
3
1 3
) ( ' ' '
n
e f + ) (
4
n
e O (20)
Oleh karena f() = 0, maka
f(x
n
) = f() (e
n
+
2
2 n
e c +
3
3 n
e c + ) (
4
n
e O ) (21)
f (x
n
) = ) ( ' f (1 +
n
e c
2
2 +
2
3
3
n
e c + ) (
3
n
e O ) (22)
dan
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
425

) ( '
1

+ n
x f
= ) ( ' f ( 1 + 2
3 3
2 n
e c + O(
4
n
e )) (23)
dengan
c
n
=
) ( ' !
) (
) (

f n
f
n
, n = 1, 2, 3, .

Selanjutnya, substitusikan persamaan (21), (22)
dan (23) ke persamaan (19), diperoleh

) (
2
1
2
1
5 4
3 2
3
3 1 n n n n
e O e c c e c x + + =
+

(24)
Oleh karena,
+ =
+ + 1 1 n n
e x
maka persamaan (24) menjadi
) (
2
1
2
1
5 4
3 2
3
3 1 n n n n
e O e c c e c e + + = +
+
(25)
atau
e
n+1
=
2
1
3
c (
3
n
e
4
2 n
e c ) + ) (
5
n
e O (26)

3. Simulasi Numerik

Selanjutnya, akan digunakan simulasi numerik
dengan menggunakan Bahasa Pemograman
Matlab 6.5 untuk menentukan penyelesaian
persamaan nonlinear berdasarkan metode iteratif
yang diberikan pada persamaan (19) yang disebut
dengan Modifikasi Halley-Trapesium (MHT).
Untuk menunjukkan bahwa konvergensi
Modifikasi Halley-Trapesium berorde empat,
maka akan dibandingkan dengan dengan metode
Newton (N) yang konvergensinya berorde dua
dan dan Modifikasi Newton-Trapesium (NT)
yang konvergensinya berorde tiga sebagaimana
yang di ungkapkan oleh Weerakon dan Fernando
(2000). Simulasi numerik dilakukan pada
beberapa fungsi dan nilai awal.
f
1
(x) = 10 4
2 3
+ x x , f
2
(x). 1 sin
2 2
+ x x ,
f
3
(x) = 2 3
2
+ x e x
x
, f
4
(x) = 1 ) 1 (
3
x ,
f
5
(x) =
4 3
) 2 ( ) 2 ( + x x , f
6
(x) =
30
30 7
2

+ x x
e

Tabel. 1. Tabel perbandingan jumlah iterasi pada
beberapa metode iterasi.
Fungsi Nilai awal
(x
0
)
Jumlah Iterasi
N NT MHT
f
1
(x)
0.5 131 6 5
5 8 5 4
f
2
(x)
2 6 5 4
5 8 6 5
f
3
(x)
0.5 5 3 3
1 4 3 3
f
4
(x)
0 9 15 8
5 8 6 5
f
5
(x)
1.4 80 57 48
1 114 82 70
f
6
(x)
3.5 12 8 7
3.25 8 6 5

Berdasarkan hasil perhitungan secara numerik
yang ditunjukkan pada Tabel 1, diperoleh
informasi bahwa metode Modifikasi Halley-
Trapesium lebih baik dan efesien dibandingkan
dengan kedua metode lainnya. Hal ini terlihat dari
jumlah iterasi yang dibutuhkan oleh HT lebih
sedikit.


KESIMPULAN

Pada uraian sebelumnya telah ditunjukkan
metode Halley yang dimodifikasi dengan
melibatkan aturan Trapesium. Berdasarkan hasil
pembahasan diperoleh bahwa modifikasi Halley
dengan mempertimbang-kan aturan Trapesium
mempunyai konvergensi orde empat. Begitu juga
dengan hasil simulasi numerik yang menunjukkan
bahwa iterasi yang dibutuhkan oleh modifikasi
Halley-Trapesium membutuhkan lebih sedikit
iterasi, sehingga metode ini lebih efisien dalam
menentukan penyelesaian persamaan nonlinear
dibandingkan dengan metode newton dan metode
modifikasi Newton-Trapesium.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Jisheng, K., et. al. 2006. Modified Halleys
method free from second derivative,.
Applied Mathematics and Computation 183:
704 708.
[2] Jisheng, K., et. al. 2007. Third-order
modification of Newtons method. Journal
of Computaitonal and Applied Mathe-
matics. 205:1 5.
[3] Kanwar, V. 2006. A family of third-orde
multipoint methods for solving nonlinear
equations. Applied Mathematics and
Computation.. 176: 409 413.
[4] Ozban, A.Y. 2004. Some new variants of
Newtons method. Applied Mathematics
Letters. 13:87 93.
[5] Traub, J. F. 1964. Iterative Methods for the
Solution of Equations. Prentice-Hall, Inc.
New York.
[6] Weerakon, S. & Feernando, T. G. I. 2000. A
variant of Newtons method with accelered
third-order convergence. Applied
Mathematics Letters. 13: 87 93.

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 427
PERANCANGAN PROGRAM APLIKASI PENGURANGAN NOISE PADA
CITRA DIGITAL MENGGUNAKAN METODE BERBASIS WAVELET

Wikaria Gazali, Haryono Soeparno
Universitas Bina Nusantara

wikaria@binus.edu


ABSTRAK

Semakin populernya penggunaan citra digital oleh masyarakat di berbagai bidang keilmuan menuntut tingginya
kualitas citra digital yang digunakan. Di lain pihak, kehadiran noise pada citra digital yang disebabkan oleh berbagai
sumber menyebabkan turunnya kualitas citra digital. Untuk menangani masalah ini, perlu dilakukan perbaikan citra
dengan mengurangi noise pada citra digital agar kualitas citra dapat diperbaiki. Transformasi Wavelet dapat
digunakan untuk proses perbaikan citra digital. Dengan Transformasi Wavelet, citra digital dapat diuraikan menjadi
beberapa komponen. Selanjutnya terhadap komponen-komponen ini dilakukan operasi pengurangan noise dengan
metode Context-Based Cycle Spin Bayes Shrink. Hasil yang didapat kemudian ditransformasi invers wavelet menjadi
citra yang intensitas noisenya telah tereduksi dengan signifikan. Citra hasil proses pengurangan noise relatif jauh
lebih berkualitas daripada citra sebelumnya yang tercemar oleh kehadiran noise.

Keywords: citra digital, transformasi Wavelet, context-based cycle spin Bayes Shrink


PENDAHULUAN

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia telah
menjadi saksi datangnya era baru ilmu
pengetahuan tentang pengambilan citra. Mulai
dari pengambilan citra dari satelit, pengambilan
gambar dengan sinar X, hingga pengambilan
gambar CT, MRI, dan PET dengan bantuan
komputer yang modern, penglihatan manusia
dengan mata telanjang kini tidak lagi dibatasi oleh
masalah waktu, ruang, skala, dan visibilitas.

Berkat kemajuan di bidang teknologi pencitraan
ini, bidang-bidang lain pun ikut merasakan
manfaat yang cukup signifikan. Dalam dunia
fotografi, munculnya kamera digital membuat
orang semakin mudah mengambil gambar yang
berkualitas tinggi. Dunia kedokteran mungkin
salah satu bidang merasakan manfaat yang paling
signifikan dari perkembangan teknologi
pencitraan. Gambar-gambar medis yang dahulu
tidak mungkin didapatkan, seperti gambar otak
dan berbagai organ dalam tubuh manusia, kini
bisa didapatkan dengan teknik radiografi atau
ultrasonografi, melalui proses-proses scanning.
Kehadiran gambar-gambar medis ini tentunya
akan sangat membantu para praktisi dunia
kedokteran dalam melakukan tugasnya, misalnya
untuk menganalisis adanya penyakit atau kelainan
tertentu dalam tubuh pasien.

Walau demikian, citra pun tidak lepas dari adanya
masalah. Salah satu masalah yang umum ditemui
pada citra, baik digital maupun analog, adalah
munculnya noise pada citra. Noise pada citra
adalah variasi acak, yang biasanya tidak
diinginkan, pada tingkat keterangan atau
informasi warna pada sebuah citra. Noise ini bisa
berasal dari banyak sumber. Pada gambar
astronomis, noise bisa bersumber dari ketidak-
homogenan atmosfer dalam hal ketebalan,
temperatur, indeks bias, dan lainnya. Dalam
gambar medis, noise bisa berasal dari gerakan
spontan dan ketidak-homogenan jaringan atau
organ. Pada penglihatan malam (night vision),
noise bersumber dari fluktuasi panas, temperatur,
dan radiasi inframerah. Dalam pengambilan
gambar secara umum, munculnya noise bisa
disebabkan oleh gangguan suhu yang muncul
secara alamiah pada alat pengambilan gambar,
atau kondisi pengambilan gambar yang kurang
baik. Hasilnya adalah citra digital dengan bintik-
bintik yang membuat image tampak kasar dan
tidak halus.

Ketika memperhatikan citra yang tercemar noise
semacam ini, bahkan penglihatan manusia pun
dapat mengalami kesulitan mendeteksi fitur atau
pola penting, meskipun penglihatan manusia
adalah yang paling lebih superior dan efisien. Hal
ini mungkin saja berakibat fatal secara klinis bila
sampai terjadi kesalahan interpretasi gambar oleh
praktisi dunia kedokteran, seperti misalnya dalam
pendeteksian tumor. Selain itu, beberapa operasi
pemrosesan citra yang penting, seperti perbaikan
kontras (contrast enhancement), penyamaan
histogram (histogram equalization), dan
perbaikan sisi (edge enhancement), mungkin
terganggu oleh kehadiran noise pada citra. Oleh
karena itu, pengurangan noise pada citra telah
menjadi topik penting sejak awal kemunculan
pemrosesan sinyal dan gambar.

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 428
Untuk menyelesaikan masalah tersebut,
dibutuhkan suatu aplikasi pemrosesan citra digital
untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan
keberadaan noise pada citra digital tersebut.
Setelah diproses untuk direduksi intensitas noise-
nya, diharapkan kualitas citra digital yang rendah
karena kehadiran noise tersebut dapat
ditingkatkan. Dengan demikian, diharapkan pula
masalah-masalah yang mungkin timbul dari
penggunaan citra yang terkontaminasi oleh noise
dapat dihindari atau diminimalisir.


BAHAN DAN METODE

Wavelet adalah sekumpulan fungsi dalam ruang
L2(R) yang memiliki sifat-sifat :
a. Berenergi terbatas
b. Merupakan fungsi band-pass
c. Merupakan hasil translasi dan dilasi dari
sebuah fungsi tunggal.
Kumpulan fungsi ini memiliki bentuk umum :
( )
,
1
a b
t b
t
a a

| |
=
|
\ .
(1)
Sumber : ([4], hal 12)
Kumpulan fungsi pada persamaan (1) dihasilkan
melalui proses translasi oleh parameter b dan
proses dilasi (skala) oleh parameter a pada fungsi
wavelet induk (t). Tiap-tiap fungsi hasil translasi
dan dilasi disebut wavelet anak.

Wavelet digunakan untuk membagi sebuah fungsi
atau sinyal kontinu menjadi komponen-komponen
frekuensi yang berbeda dan mempelajari tiap
komponen dengan resolusi yang sesuai dengan
skalanya.

Transformasi Wavelet Diskrit

Transformasi wavelet adalah proses transformasi
(dekomposisi) suatu sinyal ke dalam bentuk
superposisi dari fungsi wavelet, yeng merupakan
hasil dilasi dan translasi fungsi tunggal wavelet
induk. Transformasi wavelet dapat dipandang
sebagai bentuk representasi waktu-frekuensi
untuk sinyal yang kontinu terhadap waktu (sinyal
analog).

Secara singkat, dalam Transformasi Wavelet,
sebuah sinyal dilewatkan pada filter lolos tinggi
dan filter lolos rendah, yang menyaring bagian
(subband) berfrekuensi tinggi dan rendah dari
sinyal. Prosedur ini diulang-ulang, dan setiap
kalinya beberapa bagian dari sinyal yang
koresponden dengan frekuensi tertentu
dihilangkan dari sinyal (di-downsample). Operasi
demikian disebut juga sebagai dekomposisi.

Secara garis besar, Transformasi Wavelet terbagi
dua, yaitu Transformasi Wavelet Kontinu dan
Transformasi Wavelet Diskrit. Transformasi
Wavelet yang digunakan dalam makalah ini
adalah Transformasi Wavelet Diskrit. Pada
Transformasi Wavelet Diskrit, parameter geser
dan skalanya bersifat diskrit. Koefisien-koefisien
wavelet dari sinyal diskret f(x) dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
( ) ( )
mn mn
C f x x dx

(2)
Sumber : ([4], hal 15)
dan persamaan sintesanya
( ) ( )
, m n mn mn
f x C x =

(3)
Sumber : ([4], hal 15)
dapat digunakan untuk menghasilkan kembali
fungsi f(x) dari koefisien-koefisien waveletnya.

Untuk dapat membuat wavelet induk (x) terlebih
dahulu kita harus menentukan fungsi skala (x)
yang memenuhi persamaan beda dua skala:
( ) ( ) ( ) 2 2
k
x h k x k =

(4)
Sumber : ([9], hal 20)
Fungsi wavelet (x) dihubungkan dengan fungsi
skala (x) melalui persamaan :
( ) ( ) ( ) 2 2
k
x g k x k =

(5)
Sumber : ([9], hal 21)
di mana
( ) ( ) ( ) 1 1 , 0,1, 2, , 1
k
g k h K k k K = = (6)
Sumber : ([9], hal 21)
Koefisien-koefisien skala h(k) dan koefisien-
koefisien wavelet g(k) pada persamaan di atas
memainkan peranan utama dalam Transformasi
Wavelet Diskrit. Untuk melakukan transformasi,
kita tidak membutuhkan bentuk eksplisit dari (x)
dan (x), tetapi hanya bergantung pada nilai h(k)
dan g(k). Tiap jenis wavelet memiliki nilai h(k)
dan g(k) yang berbeda-beda.

Jika kita memiliki koefisien-koefisien data
(sinyal)
k j
c
,
pada skala j dan koefisien-koefisien
data
n j
c
, 1 +
dan
n j
d
, 1 +
pada skala j+1, maka
koefisien-koefisien data pada skala j+1 ini
dihubungkan dengan koefisien-koefisien
k j
c
,

pada skala j melalui persamaan
) 2 (
, , 1
n k h c c
k
k j n j
=
+
(7)
Sumber : ([9], hal 22)
) 2 (
, , 1
n k g c d
k
k j n j
=
+
(8)
Sumber : ([9], hal 22)
di mana harga j berada antara 0 dan J.

Persamaan (7) dan (8) di atas adalah algoritma
rekursif untuk dekomposisi wavelet dengan
menggunakan h(k) dan g(k). Kedua persamaan
tersebut dapat dilihat sebagai proses melewatkan
sinyal
k j
c
,
pada pasangan filter H dan G,
kemudian sinyal yang telah difilter tersebut di-
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 429
downsampling dengan 2. Hasil pemfilteran
dengan filter lolos bawah H adalah subband
frekuensi rendah dengan nilai-nilai
n j
c
, 1 +
yang
disebut nilai tren, dan hasil pemfilteran dengan
filter lolos atas G adalah subband frekuensi tinggi
dengan nilai-nilai
n j
d
, 1 +
yang disebut nilai
fluktuasi. Nilai-nilai tren
n j
c
, 1 +
dapat dianggap
sebagai sinyal pada skala j+1 untuk kemudian
dilewatkan kembali pada pasangan filter H dan G.
Proses demikian disebut dengan filter bank atau
pohon wavelet dan contohnya ditunjukkan pada
gambar 1.

Gambar 1 Filter Bank (pohon wavelet) 3 Tingkat

Algoritma rekursif untuk fungsi sintesis diberikan
oleh persamaan berikut:
( ) ( )
, 1, 1,
2 2
j n j k j k
n n
c c h k n d g k n
+ +
= +

(9)
Sumber : ([9], hal 24)

Transformasi Wavelet 2 Dimensi

Sebuah citra diskrit f adalah matriks berukuran M
baris dan N kolom dari angka real :
1,1 2,1 ,1
1,2 2,2 ,2
1, 2, ,
N
N
M M N M
f f f
f f f
f
f f f
| |
|
|
=
|
|
|
\ .

(10)
Sebuah Transformasi Wavelet 2 Dimensi dari
sebuah citra diskrit dapat dilakukan kapanpun
citra memiliki jumlah baris dan jumlah kolom
yang genap. Sebuah level Transformasi Wavelet 1
tingkat dari sebuah citra f didefinisikan,
menggunakan Transformasi Wavelet 1 Dimensi,
dengan melakukan beberapa langkah berikut.
1. Lakukan sebuah Transformasi Wavelet 1
Dimensi 1 tingkat pada setiap baris dari f,
yang akan menghasilkan sebuah citra baru.
2. Pada citra baru yang dihasilkan dari
langkah pertama, lakukan Transformasi
Wavelet 1 Dimensi yang sama pada setiap
kolomnya.

Kedua langkah ini dapat dibalik dan hasilnya akan
tetap sama. Sebuah Transformasi Wavelet 1
tingkat dari sebuah citra f dapat disimbolisasikan
sebagai berikut:
1 1
1 1
|
|
a v
f
h d
| |
|

|
|
\ .
(11)
di mana masing-masing sub-citra
1
a ,
1
h ,
1
v , dan
1
d memiliki M/2 baris dan N/2 kolom.

Thresholding

Thresholding merupakan salah satu metode
pengurangan noise yang paling sederhana dan
menjadi dasar bagi beberapa metode pengurangan
noise yang lain. Untuk melakukan thresholding,
terlebih dahulu ditetapkan sebuah nilai yang
dianggap sebagai batas atau threshold. Nilai
threshold ini ditetapkan sedemikian rupa supaya
besarnya melebihi nilai-nilai fluktuasi yang kecil
yang mewakili noise pada citra yang dianalisis.
Kemudian dilakukan operasi thresholding pada g
. Ada 2 jenis thresholding, yaitu hard
thresholding dan soft thresholding. Rumus untuk
hard thresholding adalah berikut:
( )
0
,

h
jika y
g T y
y jika y

<

= =

(12)
Sumber : ([11], hal 1)
sedangkan rumus untuk soft thresholding adalah
berikut:
( )

,
0
s
y jika y
g T y y jika y
jika y

= = +

<

(13)
Sumber : ([11], hal 1)
dengan y adalah nilai-nilai pada sinyal dan
menyatakan nilai threshold.

BayesShrink

BayesShrink merupakan sebuah algoritma untuk
thresholding yang bergantung pada distribusi
lokal dari koefisien-koefisien wavelet, yang
mengusulkan penggunaan nilai threshold yang
berbeda untuk sub-band dan level Transformasi
Wavelet yang berbeda. Karena isi dari sub-band
antara tingkatan yang satu dengan yang lain
adalah berbeda, penggunaan beberapa threshold
yang nilainya bergantung pada distribusi lokal
dari nilai-nilai yang ada lebih masuk akal
daripada menggunakan sebuah threshold uniform
untuk semua subband-nya pada setiap tingkatan
dekomposisi.

Pada BayesShrink, digunakan beberapa threshold
yang berbeda untuk setiap sub-band yang berbeda
pada level dekomposisi yang berbeda.
BayesShrink mengadopsi pendekatan Bayesian
yang berasumsi bahwa distribusi peluang dari
sinyal asli diketahui dan berusaha
mengoptimalkan nilai threshold dengan tujuan
meminimalkan peluang resiko. Secara lebih rinci,
diasumsikan koefisien-koefisien wavelet ,
sub
j
X
berukuran
j
M dan terletak pada subband sub
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 430
{horisontal, vertikal, diagonal} dari level
dekomposisi j {1,2,...,J} dapat dimodelkan
dengan distribusi Gaussian umum atau
Generalized Gaussian Distribution (GGD).

Untuk menentukan nilai threshold Bayes

,
Bayes


parameter GGD, yaitu simpangan baku
sub
j
X
dan
parameter bentuk , perlu diestimasi. Parameter
tidak perlu secara eksplisit dimasukkan ke
persamaan

.
Bayes

Maka dari itu, kita cukup


langsung mengestimasi
sub
j
X
. Model observasi
kita adalah ,
sub sub
j j
Y X W = + dengan X adalah
sinyal asli, Y sinyal terkontaminasi dan W adalah
noise. Karena X dan W independen satu sama
lain, maka berlaku
2 2 2
sub sub
j j
Y X
= + (14)
Sumber : ([10], hal 462)
, di mana
2
adalah ragam dari noise dan
2
sub
j
Y

adalah ragam dari Y yang dapat dihitung dengan:
2
2
,
1
j
sub
j
M
sub
j m
m Y
j
Y
M
=

(15)
Sumber : ([10], hal 462)
, dengan
j
M adalah ukuran subband yang sedang
dipermasalahkan. Nilai threshold optimal

sub
j

dapat dihitung dengan rumus berikut.
2

sub
j
sub
j
X

= (16)
Sumber : ([10], hal 463)
, di mana
( )
2 2
max , 0
sub sub
j j
X Y
= (17)
Sumber : ([10], hal 463)
Jika
2 2
,
sub
j
Y
maka diambil 0
sub
j
X
= . Hal ini
berarti

,
sub
j
= atau dalam prakteknya
1,2, , ,

max
j
sub sub
j m M j m
Y
=
=

.
Secara ringkas, metode thresholding BayesShrink
melakukan soft thresholding dengan threshold
optimal yang bersifat adaptif, digerakkan oleh
data, dan bergantung pada subband dan tingkatan
dekomposisi, yang diberikan oleh rumus
2
2 2
1,2, , ,
,

max ,
sub
j
sub
j
j
Y
sub
X
j
sub
m M j m
jika
Y jika lainnya

<



(18)
Sumber : ([10], hal 463)
untuk setiap subband sub {horisontal, vertikal,
diagonal} dan tiap level dekomposisi
1, 2, , j J = .
Algoritma Cycle Spin

Salah satu masalah dengan penggunaan
Transformasi Wavelet tradisional yang paling
umum adalah sering munculnya artifak visual
yang mengganggu, yaitu fenomena pseudo-Gibbs
yang cenderung mudah diperhatikan pada bagian
tepi. Hal ini muncul karena tidak adanya
invariansi pergeseran dari basis wavelet.

Untuk mengurangi masalah ini, dapat digunakan
teknik cycle spin. Cycle spin mendapatkan atribut
invariansi pergeseran dengan cara merata-ratakan
semua pergeseran dari citra digital. Lebih
lengkapnya, citra digital digeser secara vertikal,
horisontal atau diagonal, kemudian dilakukan
reduksi noise terhadap citra hasil pergeseran
menggunakan metode thresholding wavelet,
kemudian menggeser balik citra yang telah
direduksi noisenya. Hal ini dilakukan sebanyak
beberapa pergeseran, kemudian seluruh hasilnya
dirata-ratakan.

Karena pada dasarnya algoritma cycle spin adalah
pengulangan, maka algoritma ini sangat
konsumtif secara komputasi. Melakukan
algoritma ini sebanyak K pergeseran untuk
metode reduksi noise apapun akan memultiplikasi
kompleksitas komputasi sebanyak K kali.

Context-Based Thresholding

Untuk sebuah nilai threshold , operasi soft
thresholding dan hard thresholding secara alami
bersifat global dan non-adaptif. Mereka
diaplikasikan pada koefisien-koefisien wavelet
dengan cara yang sama tanpa memperhatikan
lokasi atau konteksnya. Koefisien threshold hanya
bergantung pada nilai koefisien noise dan
independen terhadap koefisien tetangga atau
konteksnya.

Walaupun Transformasi Wavelet melakukan
dekorelasi hingga batas tertentu, terbukti bahwa
ada sejumlah redundansi dalam pohon
dekomposisi wavelet. Faktanya, struktur citra
natural pada umumnya memiliki kesamaan antara
skala-skala resolusi dari koefisien-koefisien
waveletnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa ada dependensi hingga tingkat tertentu
antara koefisien-koefisien wavelet yang
bertetangga yang berkoresponden dengan sub-
area beraktivitas tinggi pada citra. Maka,
melakukan thresholding terhadap koefisien-
koefisien ini secara independen merupakan hal
yang kurang baik.

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 431
Seperti dijelaskan di atas, tampaknya merupakan
hal yang beralasan untuk mempertimbangkan
beberapa konteks dari tiap koefisien wavelet
sebelum melakukan thresholding. Ada banyak
cara untuk mendefinisikan sebuah konteks yang
sesuai untuk sebuah koefisien wavelet. Di sini
akan dijelaskan sebuah operasi thresholding yang
bersifat context-based dan terlokalisasi. Sebuah
konteks sederhana, yang memuat koefisien-
koefisien wavelet tetangga yang berpusat pada
koefisien yang hendak di-threshold
dipertimbangkan. Yaitu, untuk setiap koefisien
wavelet,
, i j
y , konteksnya didefinisikan oleh mask
berukuran m m yang berpusat pada
, i j
y ,
dinotasikan sebagai
( )
,
.
m m i j
C y

Untuk konteks
ini, nilai maksimum dari konteks ini adalah
, i j
M
yang didefinisikan sebagai berikut:
l k y C l k ij
y M
j i mxm
, ) ( ) , (
,
max

= (19)
Sumber : ([11], hal 1)
Untuk sebuah nilai threshold , digunakan
operator context-based soft dan hard thresholding
yang telah termodifikasi berikut:
a. Operator context-based hard thresholding
( )
, , ,
,
,
,
0,
i j i j i j c
h i j
y jika y atau M
g T y
jika lainnya

= =

(20)
Sumber : ([11], hal 2)
b. Operator context-based soft thresholding

( )

<
+

= =

lainnya jika 0,
M jika ,
jika ,
jika ,
,
j i, , ,
, ,
, ,
,


dan y y
y y
y y
y T g
j i j i
j i j i
j i j i
j i
c
s
(21)
Sumber : ([11], hal 2)


HASIL DAN DISKUSI

Dalam pengujian masalah digunakan 2 buah citra
digital yang diberi Gaussian white noise aditif
menggunakan program Adobe Photoshop CS3.
Masing-masing dari citra digital tersebut akan
diberi Gaussian white noise dengan 3 tingkat
intensitas yang berbeda. Kriteria yang digunakan
untuk melakukan pengukuran adalah Mean
Square Error (MSE) dan Peak Signal to Noise
Ratio (PSNR). Nilai-nilai ini adalah nilai hasil
perbandingan antara citra yang bersih dengan citra
hasil pemrosesan program aplikasi reduksi noise.
Untuk MSE, semakin kecil nilainya, maka
semakin mirip citra tersebut dengan citra aslinya.
Sedangkan pada PSNR, semakin besar nilainya,
maka semakin mirip citra tersebut dengan citra
aslinya

Citra digital yang telah diberi Gaussian white
noise aditif diproses menggunakan program
aplikasi reduksi noise. Hasilnya kemudian
diperbandingkan dengan citra digital aslinya dan
selanjutnya dihitung MSE dan PSNRnya. Hasil
pengujian program aplikasi reduksi noise dapat
dilihat pada gambar-gambar dan tabel-tabel
berikut.


(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)
Gambar 2 Pemrosesan terhadap lena512.bmp dengan
beberapa tingkatan noise
(a) citra dengan noise 7% (b) hasil proses pada citra
dengan noise 7%
(c) citra dengan noise 10% (d) hasil proses pada citra
dengan noise 10%
(e) citra dengan noise 12% (f) hasil proses pada citra
dengan noise 12%

Tabel 1 berikut menunjukkan perhitungan MSE
dan PSNR dari gambar-gambar tersebut.

Tabel 1 Hasil pengujian reduksi noise terhadap citra
lenna512.bmp
No
Inten
-sitas
noise
MSE PSNR
Sebelum
Pemro-
sesan
Sesudah
pemro-
sesan
Sebelum
Pemro-
sesan
Sesudah
pemro-
sesan
1 7 % 675.12 423.66 19.84 21.86
2 10 % 1012.71 440.00 18.07 21.66
3 12 % 1261.10 453.02 17.12 21.57


(a) (b)

(c) (d)
Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 432

(e) (f)
Gambar 3 Pemrosesan terhadap lenna.bmp dengan
berbagai tingkatan noise
(a) citra dengan noise 7% (b) hasil proses pada citra
dengan noise 7%
(c) citra dengan noise 10% (d) hasil proses pada citra
dengan noise 10%
(e) citra dengan noise 12% (f) hasil proses pada citra
dengan noise 12%

Tabel 2, tabel 3 dan tabel 4 berikut menunjukkan
perhitungan MSE dan PSNR dari gambar-gambar
tersebut.

Tabel 2 Hasil pengujian reduksi noise terhadap citra
lenna.bmp saluran Red
No
Inten-
sitas
noise
MRE PSNR
Sebelum
Pemro-
sesan
Sesudah
pemro-
sesan
Sebelum
Pemro-
sesan
Sesudah
pemro-
sesan
1 7 % 293.91 51.02 23.44 31.05
2 10 % 615.06 76.84 20.24 29.27
3 12 % 845.06 92.40 18.86 28.47

Tabel 3 Hasil pengujian reduksi noise terhadap citra
lenna.bmp saluran Green
No
Inten-
sitas
noise
MRE PSNR
Sebelum
Pemro-
sesan
Sesudah
pemro-
sesan
Sebelum
Pemro-
sesan
Sesudah
pemro-
sesan
1 7 % 290.12 65.97 23.50 29.94
2 10 % 619.47 100.20 20.21 28.12
3 12 % 862.89 123.85 18.77 27.20

Tabel 4 Hasil pengujian reduksi noise terhadap citra
lenna.bmp saluran Blue
No
Inten-
sitas
noise
MRE PSNR
Sebelum
Pemro-
sesan
Sesudah
pemro-
sesan
Sebelum
Pemro-
sesan
Sesudah
pemro-
sesan
1 7 % 304.34 66.01 23.30 29.93
2 10 % 664.79 94.43 19.90 28.38
3 12 % 935.40 109.21 18.42 27.75

Dari keempat tabel di atas, tampak bahwa
program aplikasi reduksi noise berhasil
meningkatkan kualitas visual dari citra digital
yang terkontaminasi oleh Gaussian white noise.
Hal ini dapat dilihat dari menurunnya angka MSE
dan meningkatnya angka PSNR secara cukup
signifikan antara citra yang masih terkontaminasi
oleh noise dengan citra hasil pemrosesan oleh
program aplikasi reduksi noise.

Dari pengamatan dan persepsi visual oleh mata
manusiapun, tampak bahwa ada penurunan
intensitas noise yang cukup signifikan antara citra
yang telah terkontaminasi oleh noise sebelum
pemrosesan dan citra hasil pemrosesan, yang
terlihat dari halusnya citra hasil pemrosesan oleh
program aplikasi reduksi noise dibandingkan
dengan citra sebelum pemrosesan.

Kelebihan dari program aplikasi reduksi noise ini
adalah hasil reduksi noise yang cukup signifikan.
Sedangkan kelemahan utamanya adalah konsumsi
waktu untuk proses reduksi noise yang cukup
lama.


KESIMPULAN

Kehadiran noise pada citra digital merupakan
masalah yang cukup mengganggu. Selain
menurunkan kualitas visual dari citra digital itu
sendiri, efek lain yang lebih buruk mungkin
terjadi bila terjadi kesalahan persepsi atas citra
digital, terlebih bila kesalahan persepsi itu terjadi
pada bidang-bidang yang kritis seperti dalam
dunia kedokteran. Oleh karena itu, reduksi
terhadap intensitas noise pada citra digital yang
terkontaminasi noise merupakan hal yang esensial
untuk dilakukan. Program aplikasi berhasil
dengan baik dalam melakukan reduksi terhadap
kehadiran noise pada citra digital. Dengan
demikian diharapkan masalah yang akan muncul
akibat adanya noise pada citra digital dapat
dicegah. Untuk perancangan program aplikasi
serupa di masa depan, dapat digunakan metode
lain yang hasilnya mungkin lebih baik. Beberapa
metode yang mendapat perhatian penulis adalah
metode Gaussian Scale Mixture yang diajukan
oleh Portilla, metode Scale-Space Atoms yang
dikemukakan oleh Bruni, dan metode fraktal
wavelet yang dikemukakan oleh Ghazel.


UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada Varian Citrajaya, S.Si., S. Kom.
yang telah membantu dalam menyelesaikan
masalah ini, terutama dalam pembuatan program
komputer, sehingga masalah ini dapat
diselesaikan dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Baldock, R., Graham J. 2000. Image
Processing and Analysis, Oxford University
Press Inc., New York.
[2] Bruni, V., Piccoli, B., Vitulano, D. 2006.
Time Scale Dependencies for Image
Compression, Journal of Multimedia. Vol
1(1), pp44-55.

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 433
[3] Bruni, V., Piccoli, B., Vitulano, D. 2008.
Wavelet and partial different equations for
image denoising, Electronic Letters on
Computer Vision and Image Analysis. Vol
6(2), pp36-53.
[4] Debnath, L. 2002. Wavelet Transforms and
Their Applications. Birkhuser, Boston.
[5] Miller, M., Kingsbury, N. 2008. Image
Denoising using Derotated Complex
Wavelet Coefficients, IEEE transactions on
image processing. Vol 17(9), pp1500-1511.
[6] Schulte ,S., Huysmans, B., Piurica, A.,
Kerre, Etienne E., Philips, W. 2006. A New
Fuzzy Based Wavelet Shrinkage Image
Denoising Technique, Lecture Notes in
Computer Science. Vol 4179, pp12-23.
[7] Vaseghi, Saeed V. 2006. Advanced Digital
Signal Processing and Noise Reduction, Jilid
3. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken.
[8] C Yoon, Byung J., Vaidynathan, P.P. 2004.
Wavelet-based denoising by customized
thresholding, Accoustics, Speech, and Signal
Processing. Vol 2, ppii-925-8.
[9] Antoine, J.P. 2004. Two Dimensional
Wavelets an Their Relatives, Cambridge
University Press.
[10] Elyasi, I., Zarmehi, S .2009. Elimination
Noise by Adaptive Wavelet Threshold,
World Academy of Science, Engineering
and Technology 56.
[11] Marpe, D., Context-based Denoising of
Images Using Iterative Wavelet
Thresholding, University of Applied
Sciences (FHTW Berlin).










Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 435
REPRESENTASI FUNGSI BOOLEAN
PADA DIAGRAM KEPUTUSAN BINER

Yahma Wisnani
Departemen Matematika, FMIPA-UI, Depok,

ywisnani@yahoo.com


ABSTRAK

Manipulasi fungsi Boolean adalah bagian terpenting pada ilmu komputer, masalah-masalah tentang perancangan dan
testing dari sistem digital seperti pada prosesor VLSI CAD dan VHDL(VeryHigh Speed Integrated Circuit Hardware
Description Language) dapat diekspresikan sebagai barisan dari operasi fungsi Boolean. Untuk memanipulasi fungsi
Bolean diperlukan representasi struktur data yang baik. Berbagai metode untuk merepresentasikan dan memanipulasi
fungsi Bolean antara lain dengan ekspresi aljabar, parse tree, cube sets, sirkuit Boolean, tabel kebenaran, dan lain-
lain. Dari tabel kebenaran dapat dibangun pohon keputusan biner, kemudian dapat pula direpresentasikan menjadi
diagram keputusan biner (DKB).
Jika variabel pada setiap lintasan dari akar (akar) sampai vertek terminal pada DKB terurut sesuai urutan variabel
input, maka struktur DKB tersebut dinamakan Ordered Binary Decision Diagram (OBDD). Jika pada OBDD
dilakukan operasi reduksi, maka dihasilkan Reduced Ordered Binary Decision Diagram (ROBDD). ROBDD adalah
representasi fungsi Boolean yang paling efisien.
Makalah ini memperlihatkan 2 cara membangun ROBDD, secara langsung dan tidak langsung. Jika dari ekspresi
Boolean yang diberikan dibangun OBDD, kemudian dari OBDD yang terbentuk dilakukan operasi reduksi yang
akhirnya menghasilkan suatu struktur ROBDD, proses membentuk ROBDD seperti ini adalah cara tidak langsung.
Sedangkan cara langsung yaitu dari ekspresi Boolean yang diberikan diterapkan suatu algoritma Build yang
menggunakan suatu tabel bernama Tabel unik sehingga akhirnya ROBDD dapat dibentuk. Kedua cara tersebut
mengadopsi ekspansi Shannon. Makalah ini juga memperlihatkan bagaimana mencari fungsi Boolean dari ROBDD
yang diberikan.

Kata kunci: Fungsi Boolean, metode formal, Ekspansi Shannon, VLSI CAD, VHDL.


PENDAHULUAN

Penggunaan komputer untuk proses manipulasi
sangat sesuai dengan tabel kebenaran, khususnya
penggunaan CPU berkecepatan tinggi atau
paralel, tetapi membutuhkan memori sangat besar,
karena untuk n input fungsi tautology diperlukan
ruang sebanyak 2
n
bit dalam memori, dengan
waktu komputasi eksponen pula, jadi penggunaan
tabel kebenaran tidak praktis. Sedangkan metode
parse tree untuk ekspresi Boolean kadang
memberikan representasi yang lebih kompak,
tetapi pemeriksaan ekivalensi dari 2 ekspresi
merupakan NP problem. Disamping itu Cubes
sets (disebut juga PLA form, atau two-level logics)
merepresentasikan ekspresi Bolean lebih kompak
dari pada tabel kebenaran khususnya untuk
operasi AND-OR dengan 2 level, tetapi operasi
NOT tidak dapat dilakukan dengan mudah. Ketiga
metode diatas tidak praktis untuk masalah-
masalah berskala besar, DKB dapat menjawab
tantangan tersebut [3].

Lee (1959) memperkenalkan DKB untuk
merepresentasikan fungsi Boolean, Akers (1978)
memperkuat penelitian tersebut, selanjutnya
Bryant (1986) mengusulkan Ordered Binary
Decision Diagram (OBDD) sebagai representasi
kanonik dari fungsi Boolean, dan mengusulkan
Reduced Ordered Binary Decision Diagram
(ROBDD). Algoritma ROBDD melakukan
komputasi terhadap operasi-operasi Boolean
secara efisien.

Seiring dengan tuntutan kebutuhan manusia,
semakin canggih suatu sistem maka semakin
meningkat pula jumlah komponen-komponen
pada sistem. Akibatnya muncul masalah tentang
waktu komputasi dan peningkatan kebutuhan
ruang dalam memori. Dalam aplikasi di dunia
nyata, jumlah 100 status bahkan 1000 status
dianggap kecil, misalnya pada sistem digital.
Berbagai usaha dilakukan oleh para peneliti,
diantaranya focus pada metode perancangan di
level lebih tinggi seperti abstraksi, compositional
reasoning, partial ordering reduction dan
symmetry reduction. Akhirnya kebutuhan ruang
dapat diatasi dengan memanipulasi bahasa
spesifikasi yang dituangkan dalam fungsi Boolean
yang dipresentasikan kedalam DKB. Dengan
merepresentasikan fungsi logika kedalam DKB
atau variannya, power dari MC meningkat secara
signifikan. MC telah sukses memverifikasi robot
Nomad dan NASA Deep Space One spacecraft
[4].

Teknik verifikasi yang mempergunakan DKB
disebut Symbolic Model Checking )SMC). SMC
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 436
sukses dalam berbagai bidang, seperti rancangan
sistem concurrent, rancangan sirkuit digital,
protocol cache yang koheren, algoritma
penjadwalan pada prosesor superscalar, juga pada
pengaturan lalu-lintas pesawat udara, sistem
telepon, sistem reaktor, rancangan sistem
concurrent, dan lain-lain. Kunci sukses rancangan
tersebut tak lepas dari penggunaan DKB, bahkan
DKB juga memberi andil pada pengembangan
dalam teori logika matematika dan pada
kecerdasan buatan [4].


BAHAN DAN METODE

Sebelum diperkenalkan bagaimana membangun
DKB, perhatikan notasi berikut: 0 representasi
untuk false (salah) dan 1 representasi untuk true
(benar). Gunakan notasi + (penjumlahan) untuk
representasi operator Boolean OR dan notasi .
(perkalian) untuk representasi operator Boolean
AND. Kadang perkalian antara 2 variabel cukup
hanya menuliskan kedua variabel tersebut secara
berdampingan. Himpunan variabel, konstanta 0
dan 1, operasi-operasi Boolean serta himpunan
aksioma atau postulat membentuk Aljabar
Boolean.

Fungsi Boolean [8][6]
Misal V adalah variabel Boolean yang digunakan
oleh sistem dan misalkan pula n = |V|. Misalkan
0
|
v
f

dan
1
|
v
f

adalah kofaktor dari fungsi f
terhadap variabel Boolean v V, dimana
0
|
v
f

,
dapat ditulis sebagai f
low(v)
(x
1
, x
2
, , x
n
), atau
dapat pula ditulis sebagai LSON artinya
kofaktor_0 adalah f dengan variabel v diberikan
nilai 0, begitu pula
1
|
v
f

= f
high(v)
(x
1
, x
2
, , x
n
)
= HSON adalah kovaktor_1, sama dengan f diberi
nilai 1.

Definisi logika pada fungsi Boolean sebagai
berikut:
Untuk (v) V, B = {0,1}, f: (
B
)
n
B, dan
g: B
n
B, n bilangan bulat positif dan
x B
n
berlaku:
(f (x) + g)(x) := (v.f)(x) :=
(
1
|
v
f

)(x) + (
0
|
v
f

)(x)

Pohon Keputusan Biner (PKB)[1],[2],[6],[8]

PKB adalah graf berarah dengan akar, terminal
dan vertek bukan terminal, dimana setiap vertek
bukan terminal v dilabel oleh variabel var(v) dan
mempunyai 2 anak:
o Low(v) yang berkorespondensi
untuk kasus dimana variabel v
diberi nilai 0.
o High(v) yang berkorespondensi
untuk kasus dimana variabel v
diberi nilai 1.
Setiap vertek terminal dilabel oleh nilai(v) dalam
{0,1}.

Gambar 1. Tabel Kebenaran untuk
f
1
=
1 1 2 2
( ) ( ) a b a b

Gambar 1 memperlihatkan tabel kebenaran untuk
f
1
=
1 1 2 2
( ) ( ) a b a b . Sedangkan Gambar 2
merupakan PKB yang tidak terurut juga untuk f
1
=
1 1 2 2
( ) ( ) a b a b . Sebagai contoh, perhatikan
baris pertama pada Gambar 1 dimana semua
variabel bernilai 1 menghasilkan f
1
bernilai 1,
maka pada Gambar 2 perhatikan dari akar dengan
mengikuti busur sebelah kanan yang semua
bernilai 1 sampai ke vertek terminal yang juga
bernilai 1, . . . dan seterusnya.




Gambar 2. PKB dari f
1


Diagram Keputusan Biner
Definisi
Suatu DKB G(v) = (V,E) pada himpunan variabel
Boolean X
n
= {x
1
, x
2
, .., x
n
} adalah suatu graf
berarah yang tidak siklis, dengan 3 macam vertek
berlabel, sebagai berikut:
o Vertek terminal v mempunyai label l(v)
{0,1} dengan derajat busur yang keluar
darinya sama dengan 0, artinya vertek
terminal sebagai leaf.
o Vertek bukan terminal v mempunyai
label l(v) = x
i
, (x
i
Xn) dengan anak kiri
dan kanan, masing-masing low(v),
high(v) V
o Akar dengan label l(v) dan operasi
Boolean dengan anak kiri dan kanan,
juga low(v), high(v) V
Busur dari v ke low(v) dan high(v) masing-
masing merupakan busur_0 dan busur_1, busur_0
dinyatakan dengan garis putus-putus, sedangkan
busur_1 dengan garis kontinu, atau keduanya


Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 437
dengan garis kontinu tapi garis tersebut diberi
label 0 untuk low(v) dan diberi label 1 untuk
high(v).

Semantik: Setiap node v pada DKB menyatakan
secara unik fungsi Boolean f
v
: {0,1}
n
{0,1},
secara rekursif f
v
berlaku:
o Jika v vertek terminal dimana value(v) =
1 maka f
v
: (x
1
, x
2
, .., x
n
) = l, kalau
tidak value(v) = 0 maka f
v
: (x
1
, x
2
, ,
x
n
) = 0
o Jika v bukan vertek terminal dengan l(v)
= x
i
, maka f
v
(x
1
, x
2
, , x
n
) = (
i
x

f
low(v)

(x
1
, x
2
, .., x
n
) + x
i
f
high(v)
(x
1
, x
2
, ,
x
n
).
o Jika v akar maka f
v
(x
1
, x
2
, .., x
n
) =
f
low(v)
(x
1
, x
2
, .., x
n
) + f
high(v)
(x
1
,x
2
,
.., x
n
).


Gambar 3. Representasi fungsi Boolean pada DKB

Arsitektur DKB
DKB adalah PKB dengan sepasang vertek bernilai
true dan false. DKB juga merupakan Directed
acyclic graph (DAG), semua path (lintasan)
mulai dari vertek akar dan berakhir di vertek
terminal, vertek terminal merepresentasikan
status sistem.

Input: fungsi Boolean f
Output: DKB untuk f
Jika pada f terdapat variabel xi {
Untuk setiap variabel xi f {
Buat vertek dengan var (v) = xi;
f dalam siku empat dihubungkan dengan xi;
Buat busur sebagai anak kiri dan kanan untuk vertek xi+1
dengan masing-masing busur berlabel 1 dan 0
atau dengan garis kontinu dan putus-putus;
busur_1 dihubungkan dengan siku empat
berlabel
1
|
v
f

sedangkan busur_0 dihubungkan
dengan siku empat berlabel
0
|
v
f

;
kedua busur dihubungkan dengan vertek berlabel xi+1 ;
Selagi
1
|
v
f

atau
0
|
v
f

tidak dihubungkan
dengan vertek terminal (konstanta 1 atau 0);
ulangi membuat vertek baru untuk xi+1 ;
}
Edit Struktur yang dihasilkan dengan menghapus semua

1
|
v
f

dan
0
|
v
f

sehingga busur_1 dan busur_0
dari xi langsung dihubungkan dengan xi+1;
hapus redundant vertek terminal dengan mengarahkan
semua busur_1 hanya ke satu vertek terminal_1,
begitu pula semua busur_0 hanya mengarah
ke satu vertek terminal_0;
Jika f konstanta, DKB adalah vertek terminal
dengan var(v) = kostanta yang bersangkutan;
}

Gambar 4. Algoritma membangun DKB
Membangun DKB
Jika diberikan suatu fungsi Boolean f, maka dapat
dibangun DKB yang sesuai menurut algoritma
sebagaimana yang tertulis pada Gambar 4.

Contoh
Misalkan akan dibangun representasi fungsi
Boolean T = AB + BCD pada struktur DKB.

input variabel A:


a
Input variabel B:

b
input variabel C:

c
input variabel D:

d

Tahap akhir, merupakan DKB untuk f=AB+BCD

e
Gambar 5. Proses membangun DKB

Gambar 5a memperlihatkan proses menginputkan
variabel satu persatu, mula-mula diinputkan
variabel A dengan T=AB+BCD, busur_1 dari A
artinya memberi nilai_1 kepada T sehingga
diperoleh B+BCD, dan seterusnya sehingga DKB
terbentuk seperti yang terlihat pada Gambar 5e.


Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 438
Isomorfis
Definisi
Dua (sub)-graf dengan akar di v dan w, masing-
masing G'(v)dan G''(w) dikatakan isomorfis jika
terdapat pemetaan satu-satu : {V
G
} {V
G
},
dari vertek pada G'(v) ke vertek G''(w) demikian
sehingga untuk setiap vertek v' dalam G', terdapat
vertek w' = (v') dalam G yang memenuhi
dimana v' maupun w' merupakan vertek terminal
dengan value(v') = value(w'), atau v' maupun w'
bukan vertek terminal, jika dimisalkan indek(v) =
id(v) maka id(v') = id(w'), (low(v')) = low(w')
and (high(v')) = high(w').


Ordered Binary Decision Diagram (OBDD)
OBDD adalah PKB dengan input terurut dan
o Semua bagian tree yang isomorfis
digabung
o Semua vertek dengan anak yang
isomorfis dieliminasi, dan
o Aturan terminal, Remove duplicate
terminals, Hapus semua vertek terminal
yang sama, kemudian arahkan busur
vertek bukan terminal ke vertek terminal
yang sesuai, vertek_1 atau vertek_0.
Contoh:



Setiap vertek pada OBDD berlaku:
id (v) < id(low(v)) < id(high(v)).
Tanda < bukan tanda lebih kecil seperti dalam
pengertian matematika, melainkan merupakan
urutan pengerjaan selama proses berlangsung.
Gambar 5e memperlihatkan OBDD dari f
1
=
AB+BCD dengan A < B < C < D.
Gambar 6a, 6b, 6c maupun 6d merupakan
beberapa struktur OBDD dari f
2
= 1.

Gambar 6. OBDD f
2
= 1


Reduced Ordered Binary Decision Diagram
(ROBDD)
Jika diberikan suatu fungsi f dengan n input tetapi
dengan urutan yang berbeda, maka yang satu
kompleksitasnya bisa eksponensial, sedangkan
untuk lainnya dapat saja linier.
Contoh [4]
f
3
= x
1
x
2
+ x
3
x
4
+ x
5
x
6
, Gambar 7a adalah ROBDD
untuk f
3
dengan urutan x
1
<x
2
<x
3
<x
4
<x
5
<x
6

sedangkan Gambar 7b merupakan ROBDD untuk
f
3
dengan urutan x
1
<x
3
<x
5
<x
2
<x
4
<x
6
.


a b

Gambar 7. ROBDD dari f
3



Struktur ROBDD pada Gambar 7 memperlihatkan
bahwa untuk urutan yang berbeda representasi
fungsi Boolean f yang sama pada OBDD tidak
unik. Bahkan untuk f sama, dan urutan yang sama
dapat saja menghasilkan OBDD yang berbeda.
Bryant menemukan agar untuk f yang sama dan
urutan yang sama, struktur OBDD dapat menjadi
unik (disebut kanonik), dengan cara melakukan
proses reduksi, sehingga OBDD tersebut menjadi
Reduced OBDD (ROBDD), ROBDD yang
dihasilkan meminimalisir jumlah vertek dalam
struktur sehingga proses yang diinginkan menjadi
efisien. Proses reduksi tersebut adalah
menerapkan 2 aturan sebagai berikut [2], [3], [5]:
o Elimination Rule (ER), Remove
redundant test, jika busur_0 dan busur_1
dari vertek v mengarah ke vertek yang
sama dengan vertek u, maka hapus
vertek v dan hubungkan semua busur
yang ke v menuju ke u. Contoh:

o Merging rule (MR), Removed duplicate
bukan terminals, jika terminal vertek u
dan v dilabel oleh variabel yang sama,
dan busur_1 dan busur_0 dari u dan v
mengarah ke vertek yang sama, jika
var(u) = var(v), low(u) = low(v) dan
high(u) = high(v), maka hapus salah satu
dari u dan v, kemudian hubungkan
semua busur yang mengarah ke vertek
yg dihapus ke vertek sisa.


Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 439
Contoh:




Reduce(P){
/*Input: OBDD P untuk f
Output: ROBDD untuk f */

Beri nomor setiap vertek v secara bijektif, = id(v)
for i = n, . . ., 1 {
V(i) = {vertek vP: var(v) = xi };
for semua vV(i) { /* elimination rule */
if id(low(v)) = id(high(v)) {
hapus v dari V(i);
hubungkan semua busur yang menuju v ke low(v);
hapus v;
else {
key(v) = (id(low(v), id(high(v));
}
} /*merging rule */
Oldkey = (0,0);
For semua vV(i) urutkan berdasarkan key(v) {
If key(v) = oldkey {
hapus v dari V(i);
hubungkan semua busur yang menuju v
ke oldnode;
hapus v;
}
else {
oldnode = v;
oldkey = key(v);
}
}
}

Gambar 8. Algoritma reduksi


Jika dari suatu OBDD tidak lagi dapat dilakukan
ketiga tahapan tersebut maka struktur yang
dihasilkan merupakan suatu ROBDD.




Gambar 9. Contoh proses OBDD menjadi ROBDD

Gambar 9 adalah contoh proses suatu OBDD
untuk f
4
= x
2
yang direduksi dengan
mengimplementasikan algorima reduksi pada
Gambar 8 sehingga akhirnya terbentuk struktur
ROBDD dari f
4
= x
2
.


Ekspansi Shannon [2]
Ada beberapa operasi logika pada ROBDD,
diantaranya ekspansi Shannon.
Misalkan diberikan variabel Boolean: (x
1
, x
2
, ,
x
n
) dan fungsi Boolean f(x
1
, x
2
, .., x
n
) maka f
dapat ditulis sebagai:
o f = ( ) ( )
i
i
i x i
x
x f x f + atau
o f = ( )( )
i
i
i x
x
x f x f + +
dimana i x sebagai komplemen dari x
i,

i
x
f = (x
1
, x
2
, .., 1, .., x
n
)
sebagai kofaktor positif, sedangkan

i x
f = (x
1
, x
2
, .., 0, .., x
n
)
sebagai kofaktor negative.
i x
adalah komplemen dari x
i
, dapat juga ditulis
sebagai
'
i
x
atau x
i
.

Contoh [1]
Representasi ekspresi Boolean f
1
=(x
1
y
1
)^
(x
2
y
2
), x
1
< y
1
< x
2
< y
2
menjadi struktur DKB
dengan mempergunakan ekspansi Shannon.

Tahapan membangun PKB untuk t = (x
1
y
1
)^
(x
2
y
2
), x
1
< y
1
< x
2
< y
2
dengan ekspansi
Shannon, sebagai berikut:



Untuk lebih jelas, perhatikan uraian berikut:
untuk x
1
:
t= x
1
t
1
,t
0
artinya, (x
1
t
1
) ^ (x
1
t
0
)
dimana t
1
=
1
1
|
x
t

, t
0
=
1
0
|
x
t


valuasi t
1
=(1y
1
)^(x
2
y
2
)
t
0
=(0 y
1
)^(x
2
y
2
)
untuk y
1
,
t
1
= y
1
t
11
,t
10

dimana t
11
=
1
1 1
|
y
t

, t
10
=
1
1 0
|
y
t



valuasi t
11
=(11)^(x
2
y
2
)=(x
2
y
2
)
t
10
=(1 0)^(x
2
y
2
)=0
jadi t
1
= y
1
t
11
,0

t
0
= y
1
t
01
,t
00

dimana t
01
=
1
01 1
|
x
t

, t
00
=
1
01 0
|
x
t


evaluasi t
01
=(01)^(x
2
y
2
)=0
t
00
=(0 0)^(x
2
y
2
)=(x
2
y
2
)
jadi t
0
= y
1
0, t
00

Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 440
Untuk x
2
,
t
11
= x
2
t
111
,t
110

dimana t
111
=
2
11 1
|
x
t

, t
110
=
2
11 0
|
x
t


evaluasi t
111
= 1y
2

t
110
= 0y
2

jadi t
00
= x
2
t
001
, t
000

dimana t
001
=t
00
[1/ x
2
], t
000
=t
00
[0/ x
2
]
evaluasi t
001
= 1y
2

t
000
= 0y
2

Untuk y
2
,


t
001
= y
2
t
0011
, t
0010

dimana t
0011
=
2
001 1
|
y
t

,
t
0010
=
2
001 0
|
y
t


evaluasi t
0011
=(11)=1
t
0010
=(1 0) =0
jadi t
001
= y
2
1,0
t
000
= y
2
t
0001
, t
0000

dimana t
0001
=
2
000 1
|
y
t

,
t
0000
=
2
000 0
|
y
t


evaluasi t
0001
=(01)=0
t
0010
=(0 0) =1
jadi t
000
= y
2
0,1
Dengan cara yang sama dapat dicari:
t
111
= y
2
t
1110
, t
1111


= y
2
1,0
t
110
= y
2
t
1101
, t
1100


= y
2
0,1


Gambar 10. PKB untuk t = (x
1
y
1
) ^ (x
2
y
2
)
dengan urutan x
1
< y
1
< x
2
< y
2


Dari Gambar 10. terlihat beberapa ekspresi
banyak yang sama, misalnya t
110
dengan t
000
, t
111

dengan t
oo1
, jika disubstitusikan t
000
untuk t
110

disebelah kanan dari t
11
dan juga t
001
untuk t
111
, t
00
identik dengan

t
11
maka pada t
1
,

t
11
dapat diganti
dengan t
00
, dengan melakukan proses reduksi,
maka t yang digunakan menjadi:

Urutan pada setiap lintasan pada OBDD di
Gambar 10 sesuai dengan urutan input, dengan
melakukan elimination rule dan merge rule maka
akhirnya terbentuk suatu ROBDD seperti yang
terlihat pada Gambar 11.


Gambar 11. ROBDD dari f
1
= (x
1
y
1
) ^ (x
2
y
2
)
dengan x
1
< y
1
< x
2
< y
2


Dari contoh diatas terlihat bahwa dalam
membangun BDD, variabel input di masukkan
satu persatu sehingga menjadi OBDD, selanjutnya
dilakukan proses reduksi sehingga menghasilkan
suatu ROBDD; karena itu membangun DKB tak
lain dan tak bukan adalah membangun ROBDD,
sehingga dalam banyak referensi membangun
DKB berarti membangun ROBDD. Untuk
selanjutnya ROBDD disebutkan DKB saja.

Shared OBDD
Beberapa fungsi dapat dipresentasikan dalam satu
DAG dengan beberapa akar, dengan demikian
graf bagian dari beberapa OBDD hanya
dipresentasikan sekali saja. Representasi seperti
ini dinamakan shared OBDD.
Gambar 12 memperlihatkan shared OBDD dari
fungsi switching f
5
= (x
1
+ x
2
), f
6
=
2
x dan f
7
=
x
1
(
2
x ).

Gambar 12. Shared OBDD.

Membangun DKB secara langsung [6]
Berikut ini akan diperlihatkan membangun DKB
secara langsung, artinya tidak melalui proses
reduksi. Fungsi Boolean didekomposisi dengan
ekspansi Shanon kemudian gunakan algoritma
Build pada Gambar 13.

Build ROBDD(F) {
If (terminal = Vertek_terminal (F))
return terminal;
Else {
v = Top_variabel(F);
F
v
=kofaktor(F,v);
F
v
=kovaktor(F,v);
HSON = Build_ROBDD(F
v
);
LSON = Build_ROBDD(F
v
);
return Tabel unik (v, HSON, LSON);
}
}
Gambar 13. Algoritma Build

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 441
Dalam prosesnya algoritma Build memanggil
fungsi Terminal dan fungsi Tabel Unik, masing-
masing pada Gambar 14 dan Gambar 15.

Terminal (F) {
if (F = = 0) return ROBDD(0);
else if (F = = 1) return ROBDD(1);
else return NON_Terminal;
}

Gambar 14. Algoritma Terminal

Tabel Unik (UT) digunakan untuk menjamin
bahwa hanya ada satu dan hanya satu vertek
untuk setiap variabel. UT berfungsi sebagai daftar
pasangan (key, value), dan diimplementasikan
sebagai tabel Hash, sebagai berikut
o UT memetakan triple (v, G, H), sebagai
key ke suatu vertek di ROBDD F = (v,
G, H), sebagai value. G adalah anak kiri
dari F untuk v bernilai_1, sedangkan H
merupakan anak kanan F untuk v
bernilai_0.
o Setiap ROBDD mempunyai entri dalam
UT.
o Sebelum membuat vertek baru di
ROBDD, periksa apakah ada dalam UT.
Jika ada return pointer ke vertek tsb,
kalau tidak ada buat vertek baru,
tambahkan ke UT kemudian pointer
menunjuk ke vertek baru tersebut.
o UT juga menyimpan informasi tentang
apakah fungsi Boolean pernah di
komputasi.

Tabel_Unik (v, HSON,LSON){
if (HSON= =LSON) return HSON;
else if (vertek=Ada_Tabel_Unik (v, HSON,LSON))
return vertek;
else{
vertek_baru = Insert_Tabel_Unik(v, HSON,LSON)
return vertek_baru;
}
}

Gambar 15. Algoritma Tabel unik

Tahap pertama dalam membangun ROBDD
adalah mendekomposisi f menggunakan ekspansi
Shannon sampai ke vertek terminal, kemudian
menerapkan fungsi Build yang bekerja secara
bottom up, menghasilkan shared OBDD dan tabel
unik sehingga akhirnya ROBDD sebagai
representasi fungsi Boolean yang dimaksud dapat
dibentuk.

Contoh [6]
Akan dibangun ROBDD dari fungsi Boolean
f
8
= (a + b) . c + d
dengan urutan input a < b < c < d.



Ekspansi Shannon untuk f
8

Mula-mula dekomposisi f
8
dengan
ekspansi Shannon seperti yang terlihat
pada Gambar 16.

f8

fa=c+d fa=bc+d


fab=c+d fab=c+d fab=c+d fab=d


fabc fabc fabc fabc fabc fabc fabc fabc
= 1 =d =1 =d =1 =d =1 =d

Gambar 16. Dekomposisi Shanon dari f
8
.

Pada Gambar 16

anak kiri dari f
8
=(a+b).c+d
artinya mensubstitusikan nilai a = 1 pada f
8
,
8 1
|
a
f

yaitu (1 atau b) adalah 1 (1+b=1),
kemudian (1 dan (c+d)) adalah c+d artinya
(1.(c+d)=c+d) sehingga didapat
8 1
|
a
f

= f
a
=c+d
=HSON, sedangkan anak kiri f adalah f
a
artinya
mensubstitusikan nilai a=0 pada f
8
didapat
8 0
|
a
f

= f
a
= bc+d = LSON, dan seterusnya.

Anak kiri dari f
8
sampai ke vertek terminal
adalah:
f
a
= c + d
f
ab
= f
ab
= (=f
a
) = c + d
f
abc
= f
abc
= 1
f
abc
= f
abc
= d

Sedangkan anak kanan dari f
8
sampai ke vertek
terminal adalah:
f
a
= bc + d
f
ab
= c + d, f
ab
= d
f
abc
= 1
f
abc
= d

Menentukan tabel unik:
ROBDD untuk semua variabel input a, b,
c, dan d terlihat pada Gambar 17, serta
tabel unik mula-mula dari semua variabel
input dapat dibentuk seperti terlihat pada
Gambar 18.


Gambar 17. ROBDD mula-mula dari f
8

Label V Hson Lson
A a 1 0
B b 1 0
C c 1 0
D d 1 0
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 442
Gambar 18. Inisialisasi tabel unik untuk f
8
Proses menghitung nilai setiap vertek terbagi 2,
yaitu bagian anak kiri dari f
8
, dan bagian anak
kanan dari f
8
, secara bottom up, jadi dimulai dari
dari vertek terminal, pada Gambar 19 garis vertek
ditebalkan artinya yang sedang diinstantiasi:

ROBDD kovaktor_d,
f
abc
= f
111
= (1+1).1+d= 1,
f
abc
= f
110
= (1+1).0+d= d,
f
abc
= f
101
= (1+0).1+d=1,
f
abc
= f
100
= (1+0).0+d=d,
. . . dan seterusnya, untuk semua vertek
terminal 1 dan D sudah ada di Tabel unik, jadi
tabel unik tetap.

ROBDD kovaktor_c:
f
ab
= f
11
= (1+1).c+d = c+d
Posisi f
ab
pada saat meng-inputkan
variabel c, var(f
ab
) = c, jadi
1
|
ab c
f

=1+d=1, sedangkan
0
|
ab c
f

=0+d = d, d
ditunjuk oleh pointer D (lihat Gambar
17) atau berlabel D (lihat Gambar 18),
sehingga ROBDD dari f
ab
terlihat pada
Gambar 19, dan tabel unik menjadi
seperti terlihat pada Gambar 20.

Gambar 19. ROBDD dari fab

Label v Hson Lson
A a 1 0
B b 1 0
C c 1 0
D d 1 0
fab c 1 D
Gambar 20. Tabel unik setelah fab dihitung pada f8

f
ab
= f
10
= (1+0).c + d = c+d
f
ab
= c+d, f
ab
= d
1 dan d sudah ada di tabel unik

ROBDD kovaktor_b
f
a
= c+d, sudah ada. Tabel unik
tetap.
f
a
= (0+b).c+d=bc+d


Gambar 21. ROBDD f
a
dari f
8

Sehingga tabel unik setelah f
a
terlihat pada
Gambar 22.

Label v Hson Lson
A a 1 0
B b 1 0
C c 1 0
D d 1 0
fab c 1 D
fa b fab D
Gambar 22. Tabel unik setelah f
a
dihitung pada f
8

. . . dan seterusnya sehingga tabel unik
untuk f
8
= (a + b) . c+d terlihat pada
Gambar 23.

Label v Hson Lson
A a 1 0
B b 1 0
C c 1 0
D d 1 0
fab c 1 D
fa b fab D
f8 a fab fa
Gambar 23. Tabel unik setelah f
a
dihitung pada f
8

Gambar 24 adalah shared OBDD yang dihasilkan.


Gambar 24. Shared OBDD dari f
8


Akhirnya DKB dari f
8
terlihat pada Gambar 25.


Gambar 25. ROBDD dari f
8

Menentukan fungsi Boolean dari setiap vertek
pada strutur ROBDD.
Selanjutnya akan diperkenalkan suatu algoritma
untuk mencari fungsi Boolean f(x) jika diberikan
suatu ROBDD, pemanggilan fungsi dilakukan
secara rekursif menurut Algoritma Fungsi
Boolean pada Gambar 26, sebagai berikut:

Menentukan Fungsi Boolean f(v)
Input: ROBDD
Output: fungsi Boolean
Misal akar ROBDD adalah v
Jika v konstan, return besaran konstan tersebut
else
misalkan x dan y masing-masing merupakan
anak v yang ditunjuk oleh busur_1 dan busur_0
return
v(ROBDD Boolean(x)+v ROBDD Boolean(y)

Gambar 26. Fungsi Boolean f dari ROBDD v

Komputasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 443
HASIL DAN DISKUSI

o DKB adalah DAG yang mempunyai vertek
terminal berlabel 0 dan 1 yang
merepresentasikan fungsi Boolean. Setiap
vertek bukan terminal dilabel oleh variable
Boolean v dan mempunyai busur_1 dan
busur_0.
o Struktur DKB untuk fungsi yang sama tidak
unik, tergantung dari urutan variabel input.
o Jika urutan variabel sepanjang lintasan dari
akar sampai vertek terminal sama pada DKB
maka struktur DKB tersebut dinamakan
OBDD.
o Untuk suatu f dengan urutan yang berbeda
menghasilkan OBDD yang berbeda, dengan
kompleksitas berbeda, yang satu linier yang
lain bisa saja eksponensial.
o Jumlah vertek pada OBDD dapat
diminimalisir dengan melakukan proses
reduksi, proses ini menghasilkan ROBDD.


KESIMPULAN

o Jumlah vertek pada DKB dapat
diminimumkan dengan melakukan proses
reduksi sehingga terbentuk ROBDD.
o Struktur ROBDD untuk fungsi yang sama
dan urutan yang sama adalah unik (kanonik).
o Setiap vertek pada ROBDD menyatakan
fungsi logika Boolean yang berbeda.
o ROBDD bersifat kompak, artinya jumlah
variabel input pada fungsi Boolean tidak
menyebabkan jumlah vertek pada ROBDD
meningkat tajam.
o ROBDD dapat dibangun dengan 2 cara,
secara langsung dengan menggunakan
algoritma Build dan table unik, atau secara
tidak langsung yaitu membangun OBDD
terlebih dahulu kemudian lakukan proses
reduksi. Keduanya menerapkan ekspansi
Shannon.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Andersen, Henrik, R. 1999. An Introduction
to Binary Decision Diagram, Lecturer notes
for Efficient Algorithms and Programs, the
IT University of Copenhagen.
[2] Alizadeh, Bijan. 2006. Binary Decision
Diagrams. Verification Course.
[3] Bryant, Randal, E. 1986. Graph-Based
Algorithms for Boolean Function
Manipulation. IEEE Transactions on
Computers.
[4] Bwolen Yang. 1999. Optimizing Model
Checking Based on DKB Characterization.
Submitted in partial fulfillment of the
requirements for the degree of PhD. School
of Computer Science, Carnegie Mellon
University.
[5] Christoph Meinel Thorsten Theobald. 1998.
Algorihms and Data Structures in VLSI
Design-OBDD Foundations and
Applications. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg.
[6] Hsieh, Harry.2010. CAD of VLSI, Binary
Decision Diagrams. Tutorial5. Departement
of Computer Science and Engineering
University of California at Riverside.
[7] Clarke, E.M. Grumberg, O. Peled, D. 2000.
Model Checking, MIT Press.
[8] Lhotk, Ondej. 2006. Program Analysis
Using Binary Decision Diagrams. Ph.D
Thesis. School of Computer Science, McGill
University, Montreal.

Komputasi


Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 445
FEATURE ORDERI NG MENGGUNAKAN MATRIKS KERNEL

Zuherman Rustam
Departemen Matematika FMIPA Universitas Indonesia

rustam@ui.ac.id


ABSTRAK

Aplikasi Komputasi Intelligensia pada data-data: Medis, Intrusion Detection Systems dan Microarray terdiri dari
data dengan feature yang banyak dan beberapa diantaranya tidak berpengaruh pada hasil yang ingin dicapai.
Umumnya data medis memiliki jumlah sample yang sedikit sedangkan komponen yang diukur jauh lebih
banyak.Pemilihan feature merupakan langkah awal dalam proses klasifikasi pada data microarray.Pemilihan feature
ini akan mempengaruhi keakuratan hasil klasifikasi.Dalam makalah ini akan digunakan Matriks Kernel untuk
mengurutkan feature dalam proses klasifikasi. Berdasarkan hasil percobaan klasifikasi dengan menggunakan
metode Iterative SVM pada data-data: Iris, Wine, WDBC, Ionosphere menunjukkan keakuratan yang makin
meningkat.

Keywords : Kernel, Matriks Kernel, Iterative SVM


PENDAHULUAN

Pemilihan feature merupakan bidang yang
penting dalam Komputasi Intelligensia. Pemilihan
feature digunakan untuk untuk menghilangkan
feature yang tidak memuat informasi yang
penting dalam suatu proses klasifikasi. Data
Cancer terdiri dari ribuan gen yang tidak
semuanya berpengaruh pada hasil klasifikasi
Cancer ganas atau tidak ganas. Untuk itu perlu
dipilih gen-gen (feature) yang sangat menentukan
tingkat keganasan Cancer tersebut. Disamping itu
umumnya data medis yang tersedia jumlahnya
sedikit dan jumlah pasien untuk penyakit
tertentu juga sedikit, sedangkan data patologi
yang harus dikumpulkan dari satu pasien harus
banyak. Masalah yang akan muncul adalah jika
tidak semua data bisa diambil dari pasien baru.
Pemilihan feature diperlukan untuk menentukan
data mana saja yang dominan untuk dianalisa
lebih lanjut. Untuk data Intrusion Detection
Systems dan data Citra melibatkan feature yang
tidak banyak tetapi banyaknya data mencapai
ratusan ribu. Banyaknya data yang digunakan
dalam klasifikasi mempengaruhi pembentukan
model, tingkat keakuratan algoritma dan waktu
komputasi. Pemilihan feature untuk kasus ini
digunakan untuk untuk mempercepat waktu
komputasi dan meningkatkan kinerja algoritma
klasifikasi.

Metode pemilihan feature dapat dibagi menjadi
dua metode yaitu yang berbasis pada Model Filter
dan berbasis pada Model Wrapper. Pembagian ini
berdasarkan pada ukuran evaluasi yang
digunakan. Model Filter mengevaluasi
karakteristik data dan banyak digunakan dalam
klasifikasi data berdimensi tinggi sedangkan
Model Wrapper mengevaluasi hasil kinerja
algoritma yang digunakan.

Salah satu cara pemilihan feature adalah
menggunakan Principal Component Analysis
(PCA) [1]. Semua feature digunakan untuk
mendapatkan feature baru yang berbeda dengan
feature asli. Diantara feature baru ini dipilih
beberapa fature yang dapat mewakili atau memuat
semua informasi dari feature yang asli. Metode
PCA ini digunakan juga untuk menghindari
course dimensionality.

Pada makalah ini akan dilakukan pengurutan data
yang menggunakan Matriks Kernel. Berdasarkan
percobaan empiris ternyata pengurutan feature ini
berpengaruh pada tingkat keakuratan klasifikasi.
Setelah feature diurutkan, untuk proses klasifikasi
digunakan metode Iterative Support Vector
Machines [4]. Disamping itu metode Matriks
Kernel ini dapat juga digunakan untuk pemilihan
feature yang akan digunakan untuk klasifikasi
data [3].

MATRIKS KERNEL

Misalkan = {
1
,
2
, . . ,

} kumpualan n buah
data yang terdiri dari k buah kelas, dimana
= (
1
,
2
, ,

, |

| =

. Pada
setiap kelas data dihitung mean dari masing-
masing kelas dan

=
1
,
2
, ,


menyatakan mean dari kelas ke k dengan f
sebagai banyaknya feature. Dari k buah vector ini
dibentuk matriks = [
1

2


berukuran kxf.

Misalkan

adalah mean dari kelas berbeda,


kedua vector mean tersebut ditransformasikan
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 446
menggunakan fungsi (

) , transformasi dari
ruang data ke ruang Feature dalam bentuk :

(

):
(1)

Dalam makalah ini digunakan fungsi :
(

) = exp(

2
) (2)
yang dikenal juga sebagai fungsi kernel Radial
Basis Function. Hasil tranformasi ini dituliskan
dalam bentuk matriks kernel:
= [(

)]=

.
(3)
Misalkan

=1
= 1,2, . . , jumlah
dari kolom ke i, yang menunjukkan feature ke i.
Nilai total feature ini diurutkan menurun. Urutan
ini menunjukan feature yang akan digunakan
dalam klasifikasi.
Secara singkat proses ini dituliskan sebagai
berikut :
Data : = {
1
,
2
, . . ,

}, = (
1
,
2
, ,

, |

| =


1. Hitung mean setiap kelas :

1
,
2
, ,


2. Bentuk matriks = [
1

2


ukuran
3. Hitung matrks kernel = [(

)]
4. Hitung

=1
= 1,2, . . ,
5. Urutkan nilai

secara menurun
6. Indeks dari urutan tersebut menunjukkan
urutan feature yang akan digunakan
Untuk proses klasifikasi digunakan Metode
Iterative Support Vector Machine [4].

HASIL PERCOBAAN

Data yang digunakan dalam percobaan ini
diambil dari UCI Machine Learning Repository
sebagai berikut :
A. Data Iris terdiri dari 150 data , 4 feature dan
tiga kelas Iris Setosa , Iris Versicolour dan
Iris Virginica

Table 1. Keakuratan klasifikasi data Iris
Data Training Urutan
Feature
1 ,3 , 2, 4
Urutan Normal
1 ,2 , 3 ,4
10% 93 92
20% 92 90
30% 96 93
40% 97 89
50% 97 96
60% 98 97
70% 94 82
80% 96 93
90% 97 96
100% 97 93

B. Data BC WD (Breast Cancer Wisconsin
Diagnostic) terdiri dari 569 data , 30 feature
dan 2 kelas yaitu Malignant dan Benign.
Urutan feature yang digunakan : 4 ,24 , 23 ,3
, 22 ,14 ,21 ,1 , 2 ,5 ,6 ,7 ,8 ,9 ,10 ,11 ,12
,13,15 ,16,17 ,18 ,19 ,20,25 ,26 ,27 ,28 ,29
,30

Table 2. Keakuratan klasifikasi Data BCWD
Data Training Urutan
Feature

Urutan Normal

10% 91 81
20% 93 91
30% 89 84
40% 87 84
50% 87 85
60% 90 88
70% 95 89
80% 96 93
90% 100 96
100% 95 93

C. Data CAR 1728 data, 6 feature dan 4 kelas
yaitu unacceptable, acceptable, good dan
very good.

Table 3. Keakuratan klasifikasi Data CAR
Data Training UrutanFeature
2 3 1 5 6 4
Urutan Normal

10% 99 95
20% 99 95
30% 99 96
40% 92 99
50% 89 95
60% 91 96
70% 93 99
80% 91 99
90% 89 99
100% 90 96



















Komputasi


Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 447
D. Data SPAMBASE terdiri dari 4601 data, 57
feature dan 2 kelas yaitu spam dan
nonspam.

Table 4. Keakuratan klasifikasi Data Spambase
Data Training UrutanFeature

Urutan Normal

10% 90 80
20% 90 77
30% 91 76
40% 91 72
50% 90 79
60% 91 80
70% 92 80
80% 92 79
90% 90 74
100% 91 81

E. Data Sonar Terdiri dari 260 data, 60 feature
dan 2 kelas yaitu rock dan mine.

Table 5. Keakuratan klasifikasi Data Sonar
Data Training Urutan
Feature

Urutan Normal

10% 99 84
20% 96 92
30% 90 90
40% 88 94
50% 88 92
60% 93 98
70% 98 90
80% 100 90
90% 90 100
100% 96 97

F. Data Ionosphere
Terdiri dari 351 data, 34 feature dan 2 kelas
yaitu : Good dan Bad

Table 6. Keakuratan klasifikasi Data Ionosphere
Data Training Urutan
Feature

Urutan Normal

10% 99 64
20% 96 64
30% 97 64
40% 92 68
50% 89 69
60% 95 73
70% 89 67
80% 94 64
90% 100 71
100% 86 69





KESIMPULAN

Berdasarkan hasil percobaan diatas, penggunaan
Metode Matriks Kernel dalam proses klasifikasi
meningkatkan tingkat keakuratan klasifikasi.

DAFTAR PUSTAKA

[1]. Fukunaga, K.Introduction to Statistical
Pattern Recognition. Academic Press
(1990), page 400-407
[2]. V.Vapnik ,The Nature of Statistical
Learning Theory , New York , Springer-
Verlag, 1999
[3]. Z.Rustam, Intrusion Detection System
Menggunakan Fuzzy Support Vector
Machines, Seminar Nasional Matematika
FMIPA UI, 6 Februari 2010,Jakarta.
[4]. Z.Rustam , Iterative Support Vector
Machines dan Fuzzy Clustering berbasis
Kernel Eksponensial Nonparametrik,
Disertasi Doktor Fasilkom, Universitas
Indonesia,2006


Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 449
INTRUSION DETECTION SYSTEMS MENGGUNKAN FUZZY SUPPORT
VECTOR MACHINES

Zuherman Rustam
Departemen Matematika FMIPA Universitas Indonesia

rustam@ui.ac.id


ABSTRAK

Intrusion Detection Systems(IDS) dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu : Pendeteksian Penyalahgunaan dan
Pendeteksian Anomali . Pendeteksian Penyalahgunaan dilakukan dengan cara memonitor aktifitas yang
diperkirakan merupakan suatu intrusi sedangkan Pendektesian Anomali didasari pada pengamatan aktifitas yang
tidak sesuai dengan prilaku-prilaku dalam kondisi normal dan memungkinkan untuk mengetahui jenis-jenis
serangan baru dalam system. Beberapa model Komputasi Intelligensia sudah banyak dikembangkan untuk untuk
Pendeteksi Intrusi antara lain Neural Network dan Neuro Fuzzy .Salah satu alasan penggunaan metode ini adalah
IDS melibatkan data yang besar dengan feature yang banyak dengan tingkat keakuratan yang cukup baik. Tetapi
dampak banyaknya feature yang ada akan berkibat pada tingkat keakuratan dan waktu komputasi yang terpakai.
Beberapa cara yang sudah untuk mengurangi banyaknya feature dengan menggunakan Nave Bayes dan Decision
Tree(C4.5). Dalam makalah ini akan dibahas penggunaan Fuzzy SVM untuk Pendeteksian Intrusi dan Pemilihan
Feature IDS mengunakan Matriks Kernel.

Keywords: Intrusion Detection System, Fuzzy SVM


PENDAHULUAN

System komputer makin lama makin maju,
kompleks dan sangat berperan penting di
masyarakat saat ini.Pentingnya peranan komputer
dalam kehidupan modern menjadikannya target
mencari informasi untuk keuntungan pribadi.
Penyusupan kedalam system untuk mencari
informasi dan mencari kelemahan system
merupakan tujuan para outsider atau attacker.
Oleh karena itu diperlukan cara untuk
memproteksi system. Salah satunya menggunakan
Intrusion Detection System (IDS) yang bertugas
untuk : memonitor dan menganalisa aktifitas user
dan system, menjaga integritas data dan system,
mengenal pola aktifitas yang menunjukan suatu
serangan , merespon secara automatis aktifitas
yang terdeteksi sebagai suatu serangan, membuat
laporan semua aktifitas pendeteksian dan mampu
mendeteksi jenis serangan atau serangan yang
tidak diketahui.

Untuk membatasi masuknya attacker ke dalam
system, dapat dilakukan dengan cara
menggunakan otentikasi (password,biometrik),
menghindari kesalahan pemrograman dan
memproteksi informasi (enkripsi). Karena system
makin lama makin kompleks maka selalu saja ada
cara untuk memfaatkan kelemahan system yang
disebabkan oleh kesalahan dalam perancangan
atau pemrograman.Tugas terpenting dari IDS
adalah melindungi target yang menjadi serangan
yaitu : user password, file systems, system kernel.



Teknik Intrusion Detection System dapat dibagi
menjadi dua bagian: Pendektesian Anomali
yaitu pendeteksian berbasis pada aturan
prilaku/heuristic dan Pendeteksian
Penyalahgunaan yaitu pendeteksian berbasis
pada pola aktifitas dan signatures. Sedangkan
teknik serangan pada system dapat dibagi menjadi
dua kelompok yaitu host-based attacks [1] dan
network-based attacks [2]. Host-based attacks
bertujuan masuk kedalam system untuk
menggunakan sumber daya yang ada dalam
mesin. Sedangkan Network-based attacks adalah
membuat user terotorisasi sulit untuk
menggunakan sumber daya yang tersedia.Hal ini
dilakukan dengan cara membuat lalu lintas
jaringan maupun host menjadi overload.

Penelitian terkait dengan IDS antara lain
dilakukan oleh Chou [3], dalam makalahnya Chou
mengunakan Decision Tree (C4.5) dan Nave
Bayes baik untuk klasifikasi data maupun untuk
pemilihan feature. Dalam makalah ini akan
dilakukan klasifikasi data IDS dengan
menggunakan Fuzzy Support Vector Machines
dan pemilhan feature menggunakan Matriks
Kernel[4]

INTRUSION DETECTION SYSTEMS

Tujuan dari makalah ini adalah melakukan
klasifikasi data KDD99 yang merupakan data
Benchmark bagi para peneliti IDS. Banyaknya
data kurang lebih 500 ribu buah yang terdiri dari
24 jenis serangan. Jenis serangan tersebut dapat
dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu :
Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 450
1). Denial of Service Attacks (DOS): Penyerang
(attacker) membuat komputasi terlalu sibuk
atau membuat memory penuh sedemikian
sehingga legimate user tidak dapat
mengakses system. Contoh: Apache2, Back,
Land, Mail bomb, SYN Flood, Ping of death,
Process table,Smurf, Syslogd, Teardrop,
Udpstorm.
2). User to Superuser atau Root Attacks (U2R):
Penyerang mengakses system menggunakan
account normal user dan mencari kelemahan
sytem untuk masuk ke root system. Contoh:
Eject, Ffbconfig, Fdformat, Loadmodule,
Perl, Ps, Xterm.
3). Remote to Local Attacks (R2L): Penyerang
mengirimkan packets ke system melalui
jaringan dan mencari kelemahan system
untuk dapat berfungsi sebagai local user.
Contoh : Dictionary, Ftp_write, Guest, Imap,
Named, Phf,Sendmail, Xlock, Xsnoop.
4). Probing Attacks (Probe): Penyerang
melakukan scanning pada suatu jaringan
komputer untuk mendapatkan informasi atau
untuk menemukan kelemahan system dan
mengekploitasi system. Contoh : Ipsweep,
Mscan, Nmap, Saint, Satan.
Setiap data KDD99 terdiri dari 42 buah feature
pada table 1.

Tabel 1. Feature dari setiap Data KDD9
N0 Nama Feature
1 duration
2 protocol_type
3 service
4 flag
5 src_bytes
6 dst_bytes
7 land
8 wrong_fragment
9 urgent
10 hot
11 num_failed_logins
12 logged_in
13 num_compromised
14 root_shell
15 su_attemted
16 num_root
17 nu_file_creations
18 num_shells
19 num_access_file
20 num_outbond_cmds
21 is_host_login
N0 Nama Feature
22 is_guest_login
23 count
24 srv_count
25 serror_rate
26 srv_serror_rate
27 rerror_rate
28 srv_rerror_rate
29 same_srv_rate
30 diff_srv_rate
31 srv_diff_host_rate
32 dst_host_count
33 dst_host_srv_count
34 dst_host_same_srv_rate
35 dst_host_diff_srv_rate
36 dst_host_same_src_port_rate
37 dst_host_srv_diff_host_rate
38 dst_host_serror_rate
39 dst_host_srv_serror_rate
40 dst_host_rerror_rate
41 dst_host_srv_rerror_rate
42 attack_type

PEMBENTUKAN MODEL FUZZY
SUPPORT VECTOR MACHINES

Support Vector Machine (SVM) merupakan salah
satu metode yang digunakan dalam proses
kelasifikasi. Data yang akan diklasifikasikan
dipetakan ke ruang feature, yang berdimensi
lebih besar dibandingkan dengan ruang dari data
tersebut. Pemetaan dilakukan dengan
menggunakan suatu fungsi, yang dinamakan
fungsi kernel. Setelah semua data dipetakan ke
ruang feature, dilakukan proses kelasifikasi pada
data hasil pemetaaan, dengan cara dibentuk suatu
bidang pemisah, yang dapat memisahkan data
diruang feature menjadi dua kelas, yaitu kelas
positif dan kelas negatif, Persamaan dari bidang
pemisah didapat dengan cara membentuk suatu
masalah pemrograman kuadratik (PK)
berkendala.Berdasarkan penyelesaian dari
masalah PK tersebut dapat dibentuk suatu bidang
pemisah yang dapat memisahkan data menjadi
dua kelas. Berdasarkan hal ini, terlihat bahwa
masalah kelasifikasi data dirubah menjadi
masalah pemrograman kuadratik. Salah satu
kesulitan dari SVM ini adalah, masalah optimisasi
yang terbentuk berukuran cukup besar, sehinga
membutuhkan waktu dan memori yang cukup
besar[6].

Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 451
Untuk mengatasi kesulitan ini, dapat dilakukan
dengan cara mencari metode baru penyelesaian
PK yang lebih effisien dan dan effektif [7], atau
melibatkan teori-teori lain yang dapat
digabungkan dengan metode SVM. Dalam
makalah ini, SVM digabungkan dengan teori
Fuzzy Perceptron [8,9]. Metode dinamakan juga
sebagai Fuzzy Support Vector Machines
merupakan pengembangan dari Support Vector
Machines.

Misalkan diberikan data
N i i i
y x D
,.., 1
)} , {(
=
=
., dan suatu hyperplane dengan persamaan
0 = + b x w . Data akan ditempatkan dikelas
+
A ,(disebelah kanan hyperplane), jika nilai dari
0 > + b x w . Dan akan ditempatkan dikelas

A jika nilai dari 0 < + b x w . Hyperplane


pemisah ini dinamakan decision boundary.
Misalkan
+
x dan

x menunjukkan vektor terluar


dari masing-masing yang paling dekat dengan
decision boundary .Bidang yang yang melalui
masing-masing vektor tersebut dinotasikan
dengan
+
H dan

H . Jarak antara
+
H dan

H
dinamakan margin.Sedangkan
+
d dan

d
menunjukkan jarak antara decision boundary
dengan
+
H dan

H . Sehingga margin dapat


dinyatakan sebagai
+
+ = d d d .
Fungsi keputusan yang digunakan dalam masalah
kelasifikasi ini adalah :
) ( ) , ( b x w sign w x f + = (1)
Dimana w merupakan vektor normal dari
hyperplane ( vektor bobot) dan b konstanta yang
menunjukkan jarak hyperplane ke titik pusat.
Dua data set dikatakan linearly separable
oleh suatu hyperplane, jika dapat ditentukan
pasangan } , { b w sedemikian sehingga , data
dapat dipisahkan kedalam kelas
+
A dan kelas

A
.
Jika D x
i
maka :
1 ) ( + + b x w
i
jika 1
1
= y
1 ) ( + + b x w
i
jika 1
1
= y (2)
Kedua persamaan ini dapat ditulis dalam bentuk
1 ) .( + + b x w y
i i
, D x
i
(3)
Banyaknya pasangan } , { b w , yang dapat
membentuk hyperplane, tidak hanya satu
,sehingga hyperplane yang dapat ditemukan juga
bukan satu-satunya.Yang akan dicari adalah
adalah hyperplane optimal, yang
memaksimumkan margin antara dua kelas
tersebut.
Misalkan
+
d adalah jarak dari data
+
x ke
hyperplane dan

d adalah jarak dari data

x ke
hyperplane, maka margin didefinisikan sebagai
+
+ = d d d . Suatu margin maksimal jika
+
= d d
w
d d d
2
= + =
+
(4)
Berdasarkan hal ini , masalah mencari margin
maksimal (
+
= d d ) , sama artinya dengan
meminumkan
2
w .
Sehingga model matematis masalah kelasifikasi
biner dapat dinyatakan sebagai :


N i b x w y
w
i i
,..., 1 , 1 ) ) ((
2
1
min
2
= +
(5)
Persamaan (3) dapat ditulis dalam bentuk

b x x y x f
N
i
i i i
+ =

=1
) ( ) ( (6)
Sedangkan fungsi keputusan untuk data x ,
adalah
)) ( ( ) ( x f sign x g = (7)
Dengan menggunakan Pers. (1) dan fungsi
kernel

(8)
maka Pers. (6) dapat dinyatakan sebagai :
) ) ( ( ) , ( ) (
1
b x x K y x w K x f
N
i
i i i
+ + =

=
(9)

Untuk memisahkan data menjadi dua kelas ,
Hunt dan Lin [7,8] menggunakan fungsi
keanggotaan [ ] 1 , 0 ) ( x u
i
, suatu data x akan
ditempatkan ke i kelas, jika ) (x u
i
bernilai
positif. Untuk kelasifikasi biner harus memenuhi
persamaan (8) , (9) dan (10),

1 ) ( ) (
2 1
= + x u x u . (10)
Jika
1
A x maka

)
) exp( ) exp(
) exp( ]
) (
exp[
1 ( 5 . 0 ) (
1 2
1



+ =
d
d d
x u (11)

) ( 1 ) (
1 2
x u x u =
Jika
2
A x maka
)
) exp( ) exp(
) exp( ]
) (
exp[
1 ( 5 . 0 ) (
2 1
2



+ =
d
d d
x u (12)
) ( 1 ) (
2 1
x u x u =



Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 452
dimana :
) (
1
x d jarak antara vektor x dengan mean vektor
kelas pertama,

) (
2
x d jarak antara vektor x
dengan mean vektor kelas kedua.
Setelah ditentukan fungsi keanggotaan,proses
pembentukan hyperplane pemisah secara iteraratif
sebagai berikut : [7,8]

Jika diberikan vektor ) (t x maka vektor ) (t w
,yang merupakan vektor normal untuk hiperplane
pemisah dihitung secara iteratif sebagai berikut :
Jika
1
A x dan

0 maka
( + 1) = () +()
(13)
Jika
2
dan

0 maka
( + 1) = () ()
(14)
dimana = |
1

2
| dan t menunjukkan tahap
iterasi.
Suatu vektor ) (t x akan ditempatkan kedalam
kelas A
1
atau kelas A
2
, tergantung pada fungsi
keputusan
)) ) ( ( ) , ( ( ) (
1
b x x K y x w K sign x f
N
i
i i i
+ + =

=

(15)

=
+ =

1 ) (
1 ) (
2
1
x f jika A kelas
x f jika A kelas
x

(16)
Setiap dilakukan kelasifikasi biner antara kelas A
i

atau kelas A
j
, persamaan (15) dinyatakan sebagai
) ( ) ( x f x fij = . Suatu data x, akan ditempatkan
ke kelas t , dimana ) ( max
,.. 2 , 1
x D t
i
k i =
=

HASIL PERCOBAAN

Dari keempat data jenis serangan tersebut akan
dibandingan dengan data Normal. Tabel 2
menunjukkan klasifikasi dua kelas antara data
Normal dengan data serangan, yang masing-
masing terdiri dari 41 feature yang akan
digunakan semuanya.

Tabel 2. Data KDD99
Data Feature
Banyak
data Class
Normal-DoS 41 488,735 2
Normal-Probe 41 101,384 2
Normal-U2R 41 97,329 2
Normal-R2L 41 98,403 2

Perobaan kedua klasifikasi dengan menggunakan
memilih feature tertentu saja. Pemilihan feature
ini menggunakan metode Matriks kernel yang
dibahas oleh Rustam [4]

Tabel 3. Feature yang digunakan FSVM
Klasifikasi Feature terpilih
Normal-DoS 38 26 39 25 5 33
Normal-Probe 5 6 33 32 1
Normal-U2R 5 6 33 1 3 23
Normal-R2L 5 6 33 32

Sedangkan feature-feature yang digunakan Chou
menggunakan C4.5 dan Nave Bayes adalah :

Tabel 4. Feature yang digunakan Chou
Klasifikasi Feature terpilih
Normal-DoS 1-6,12,23,24,31,32,37
Normal-Probe 1-4,12,16,25,27-29,30, 40
Normal-U2R 1-3,10,16
Normal-R2L 1-5,10,22

Hasil percobaan dapat dilihat pada tabel 4 . Dalam
percobaan dihitung nilai Detection Rate (DR),
False Positif Rate (FPR) dan Keakuratan
Klasifikasi (Classification Rate CR) yang
didefinisikan sebagai berikut :
FN TP
TP
DR
+
=

TN FP
FP
FPR
+
=
TN FP FN TP
TN TP
CR
+ + +
+
=

dimana
True Positive (TP): Banyaknya malicious records
yang tepat diklasifikasi.
True Negatives (TN): Banyaknya legitimate
records yang tepat diklasifikasi.
False Positive (FP): Banyaknya malicious
records diklasifikasikan sebagai legitimasi.
False Negative (FN): Banyaknya legitimate
records diklasifikasikan sebagai malicious.

Tabel 5. Hasil klasifikasi data KDD99 menggunakan
FSVM dan hasil Chou menggunakan C4.5 dan Naive
Bayes
Data Set FSVM
41feature
FSVM
Seleksi Feature
DR DR FPR CR
NormalDoS 99.97 100 25.72 87.14
NormalProbe 98.51 100 2.08 97.96
Normal-U2R 48.08 100 2.08 97.96
Normal-R2L 93.52 100 0.56 99.45

Komputasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 453

Tabel 6. Hasil klasifikasi Chou menggunakan C4.5
dan Naive Bayes
Data Set C4.5
Seleksi
Feature
Nave Bayes
Seleksi
Feature
DR FPR DR FPR
Normal-DoS
99.98
0.03 99.16 0.01
Normal-Probe 97.98 0.38 96.94 0.87
Normal-U2R 48.08 0 69.23 0.5
Normal-R2L 97.69 0.01 93.25 0.49


KESIMPULAN

Berdasarkan hasil percobaan terlihat bahwa
FSVM dengan menggunakan keseluruhan feature
memiliki detection rate cukup baik keculai untuk
klasifikasi data Normal-U2R. Dengan pemilihan
Feature, detection rate FSVM sudah mencapai
100% , hal ini lebih baik dibandingkan dengan
C4.5 dan Nave Bayes, terutama pada klasifikasi
data Normal-U2R. FSVM juga memberikan
tingkat keakuratan diatas 97% kecuali pada
klasifikasi Normal-DoS.

































DAFTAR PUSTAKA

[1] Axelsson, S, Research in intrusion
detection systems: a survey. Technical
Report TR 98-17 (revised in 1999).
Chalmers University of Technology,
Goteborg, Sweden (1999)
[2] Marchette, D, A statistical method for
profiling network traffic. In: Proceedings of
the First USENIX Workshop on Intrusion
Detection and Network Monitoring, pp.
119128. Santa Clara, CA (1999)
[3] S. Chou, K. K. Yen, and J. Luo, Network
Intrusion Detection Design Using Feature
Selection of Soft Computing Paradigms,
International Journal of Computational
Intelligence 4;3 www.waset.org Summer
2008
[4] Z.Rustam, Feature Ordering Menggunakan
MatriksKernel,SeminarNasional Matematika
FMIPA UI, 6 Februari 2010, Jakarta.
[5] V.Vapnik,The Nature of Statistical Learning
Theory , New York , Springer-Verlag, 1999
[6] 6.J.Platt,Fast Training of Support Vector
machine using SOM, MITPress Cambridge ,
1999
[7] 7.J.M Keller and D.J.Hunt, Incorporating
Fuzzy Membership Functions into the
Perceptron Algorithm, IEEE Trans.Pattern
Anal.Machine Intell, vol PAMI-7,pp 693-
699, June 1985.
[8] 8.C.J. Lin , Formulations of Support Vector
Machines : A Note from an Optimization
Point of View, Neural Computation, vol 13,
pp 307-317,2001.
.


Kriptografi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 455
PERLUASAN ALGORITMA HILL CIPHER
MENGGUNAKAN PINVERS

Akik Hidayat
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Jatinangor Km 21, Jatinangor.


ABSTRAK

Ada dua tipe dasar teknik kriptografi, yaitu symmetric-key (secret/privat key) dan asymmetri-key (public key). Pada
symmetric-key, untuk proses enkripsi dan dekripsi digunakan kunci yang sama. Pada asymmetric-key, digunakan
kunci yang berbeda untuk proses enkripsi dan dekripsinya. Pada asymmetric-key, kunci untuk enkripsi dibuat secara
umum disebut public-key, tapi untuk proses dekripsinya dibuat satu kunci yang hanya diketahui oleh yang berhak
disebut private-key.
Hill Cipher merupakan salah satu algoritma kriptografi symmetric-key. Algoritma Hill Cipher menggunakan matriks
berukuran m x m sebagai kunci untuk melakukan enkripsi dan dekripsi. Dasar teori matriks yang digunakan dalam
Hill Cipher antara lain adalah perkalian antar matriks dan melakukan invers pada matriks. Hill Cipher menggunakan
matriks persegi sebagai kuncinya. Pada makalah ini akan dikembangkan Hill Cipher agar kunci tidak terbatas pada
matriks persegi yang kita sebut perluasan Hill Cipher dengan menggunakan P-Invers.

Keywords : symmetric-key, public-key, private-key,P-Invers


1. PENDAHULUAN

Kriptografi adalah ilmu yang mempelajari teknik-
teknik matematika yang berhubungan dengan
aspek keamanan informasi seperti kerahasiaan,
integritas data, serta otentikasi. Kriptografi
mempunyai dua bagian yang penting, yaitu
enkripsi dan dekripsi. Enkripsi adalah proses dari
penyandian pesan asli menjadi pesan yang tidak
dapat diartikan seperti aslinya. Dekripsi sendiri
berarti merubah pesan yang sudah disandikan
menjadi pesan aslinya. Pesan asli disebut
plaintext, sedangkan pesan yang sudah disandikan
disebut ciphertext. Tujuan pokok dari proses
enkripsi dan dekripsi adalah metode untuk
merahasiakan pesan agar tidak mudah diketahui
oleh pihak lain. Ada dua tipe dasar teknik
kriptografi, yaitu symmetric-key (secret/privat
key) dan asymmetri-key (public key). Pada
symmetric-key, untuk proses enkripsi dan dekripsi
digunakan kunci yang sama. Pada asymmetric-
key, digunakan kunci yang berbeda untuk proses
enkripsi dan dekripsinya. Pada asymmetric-key,
kunci untuk enkripsi dibuat secara umum disebut
public-key, tapi untuk proses dekripsinya dibuat
satu kunci yang hanya diketahui oleh yang berhak
disebut private-key. Hill Cipher merupakan salah
satu algoritma kriptografi symmetric-key.
Algoritma Hill Cipher menggunakan matriks
berukuran m x m sebagai kunci untuk melakukan
enkripsi dan dekripsi. Dasar teori matriks yang
digunakan dalam Hill Cipher antara lain adalah
perkalian antar matriks dan melakukan invers
pada matriks. Hill Cipher menggunakan matriks
persegi sebagai kuncinya. Pada skripsi ini akan
dikembangkan Hill Cipher agar kunci tidak
terbatas pada matriks persegi.
2. PEMBAHASAN

Pada metode Hill Cipher disyaratkan matriks enkripsi
haruslah matriks persegi yang invertibel di

. Pada
paper ini mencoba menerapkan teori p-invers pada
metode Hill Cipher, sehingga nantinya matriks yang
digunakan tidak harus persegi. Pengembangan akan
dibahas secara khusus pada

, dengan p bilangan
prima, yang selanjutnya pada contoh dan implementasi
dipilih atas
29
.

Diberikan m,n bilangan bulat positif, didefinisikan
=

dan =

dengan P himpunan
plainteks dan C himpunan cipherteks. Diketahui K
adalah himpunan matriks kunci (yang syarat-syaratnya
akan dibahas). Jika diambil matriks berukuran
m n sebagai kunci maka proses enkripsi bisa
dijelaskan sebagai berikut.
Untuk setiap P x x x
n
= ) (
1
, dihitung
) ( ) (
1 m k
y y x e y = =
dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
.
|

\
|
|
|
|
|
|
|
|
.
|

\
|
=
|
|
|
|
|
|
.
|

\
|
n n m m m m
n
n
n
m
x
x
x
x
k k k k
k k k k
k k k k
k k k k
y
y
y
y

3
2
1
, 3 , 2 , 1 ,
, 3 3 , 3 2 , 3 1 , 3
, 2 3 , 2 2 , 2 1 , 2
, 1 3 , 1 2 , 1 1 , 1
3
2
1

Jadi dari plainteks yang panjangnya n akan didapatkan
cipherteks yang panjangnya m. Dapat dilihat bahwa
fungsi enkripsi memetakan dua himpunan yang
diperlihatkan pada gambar berikut:


Kriptografi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 456
Dipilih bilangan prima p, bilangan bulat
+
Z n m, , dengan m n ,
n
p
Z P ) ( = ,
m
p
Z C ) ( = ,
{ } n M rank Z M M K
p n m
= =

) ( | ) (
. Untuk suatu K k , untuk setiap
P x x x x
T
n
= ) ... (
2 1
,
terdapat
T







Fungsi enkripsi
k
e
injektif jika pernyataan berikut
ini benar: Diambil sebarang ) Im(
k
e y = maka
terdapat dengan tunggal P x sedemikian
sehingga
y x e
k
= ) (
.
Banyak anggota dari himpunan P dan C
dinotasikan dengan
P
dan C . Untuk memenuhi
syarat injektif, harus dipenuhi C P , dengan
kata lain haruslah m n . (1.1)

Fungsi dekripsinya diturunkan dari fungsi
enkripsi diatas. Karena kx y = ,

k adalah
iunvers adri matrik K, jika

k ada dalam
p
,
maka dengan mengalikan kedua ruas dengan

k
didapatkan
) (kx k y k

=
x k k ) (

= (sifat asosiatif)
x I
n
=
x =
Didapatkan x y k =

sebagai fungsi dekripsi.


Proses dekripsi dapat dipandang sebagai suatu
sistem persamaan linier, yaitu: y k x

= , dengan
n
p
P x ) ( = ,
m
p
C y ) ( =
dan K k .
Selanjutnya akan dibahas keadaan

k supaya
dapat dijamin bahwa sistem ini punya solusi
(konsisten) untuk setiap x.

3. Algoritma Hill Cipher Yang Diperluas
pada
p


Algoritma dari Hill Cipher yang diperluas
(dikembangkan dari algoritma Hill Cipher
(Stinson, D.R.,1995))













Dapat dilihat bahwa dalam algoritma Hill Cipher
yang diperluas ini terjadi ekspansi pesan. Setiap
pesan yang panjangnya n setelah dienkripsi
mempunyai panjang m. Hal ini akan lebih
menyamarkan pesan.



Proses Enkripsi

Untuk proses enkripsi dilakukan langkah-langkah
berikut :
1. Pilih matriks A berukuran n m sebagai kunci
2. Masukan plainteks p yang mempunyai panjang l
huruf, dengan 0 ) (mod = n l .Nyatakan
plainteks p menjadi blok-blok S1, S2, ,Si
n
l
i . . . . . . 1 =
. Untuk 0 ) (mod n l maka
panjang plainteks l ditambah dengan huruf X
sampai 0 ) (mod = n l .
3. Transposkan tiap-tiap blok S1, S2, ,Si
n
l
i . . . . . . 1 =
.
4. Setiap blok Si di enkripsi menjadi blok Ri dengan
menggunakan matriks kunci A.

Proses Dekripsi

Untuk proses dekripsi dilakukan langkah-langkah
berikut :
1. Pilih matriks B berukuran m n yaitu p-invers
dari A sebagai kunci
2. Masukan cipherteks. Nyatakan cipherteks c
menjadi blok-blok R1, R2, ,Ri
n
l
i . . . . . . . . 1 =

3. Transposkan tiap-tiap blok R1, R2, ,Ri
n
l
i . . . . . . 1 =
.
4. Setiap blok Ri di dekripsi menjadi blok Si dengan
menggunakan matriks B yang merupakan p-
invers dari A.

Contoh Kasus yang Dibahas

Untuk membahas proses enkripsi dan dekripsi
dipilih contoh plainteks GUNUNG. Matriks
kunci yang digunakan adalah matriks A berukuran
5 3 .
(
(
(
(
(
(

=
19 17 11
16 9 6
14 10 13
15 22 20
2 7 4
A


Pembahasan diawali dengan cara perhitungan
secara matematis untuk proses inisialisasi kunci,
enkripsi dan dekripsi pesan. Kemudian akan
dicoba dimasukkan ke dalam suatu sistem
program untuk lebih memudahkan pembaca
dalam memahami algoritma Hill Cipher yang
diperluas ini. Berikut ini tabel yang digunakan
Kriptografi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 457
untuk mengkorespondensikan antara huruf dan
bilangan dalam
29
Z .

A B C D E F G H I J
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

K L M N O P Q R S T
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

U V W X Y Z
20 21 22 23 24 25

(titik) (koma) (spasi)
26 27 28

Pembahasan studi kasus untuk enkripsi dan
dekripsi diawali dengan proses inisialisasi kunci.
Akan dihasilkan matriks A dan B yang akan
digunakan sebagai kunci dalam proses enkripsi
dan dekripsi pesan. Matriks A digunakan sebagai
kunci untuk mengenkrip pesan menjadi ciphertext
dan matriks B yang merupakan p-invers dari A
digunakan untuk mendekrip ciphertext menjadi
plaintext semula.

Inisialisasi Kunci

Matriks yang akan digunakan sebagai kunci
adalah
(
(
(
(
(
(

=
19 17 11
16 9 6
14 10 13
15 22 20
2 7 4
A
.
matrik A harus full column rank, yaitu rank A
harus sama dengan 3. Untuk mengetahui rank A
maka dilakukan eliminasi gauss terhadap A
sehingga didapatkan bentuk eselon baris dari A.

(
(
(
(
(
(
(

0 0 0
0 0 0
52
135
0 0
5 13 0
2 7 4


Banyaknya baris tak nol setelah dibentuk ke
dalam bentuk eselon baris adalah 3 maka rank(A)
= 3 sehingga A memenuhi syarat awal sebagai
kunci. Selanjutnya dicari B dengan cara
menggunakan
T T
A A A B
1
) (

= yang merupakan
p-invers dari A.
(
(
(

=
14 26 19 20 0
21 8 24 17 21
12 0 26 1 1
B

Karena B merupakan p-invers dari A maka sifat-
sifat berikut harus dipenuhi.
1. BAB = B
2. ABA = A
3. (BA)
H
= BA
4. (AB)
H
= AB

Untuk sifat yang pertama dihitung nilai BAB,
berikut ini adalah hasilnya

Karena hasilnya sama dengan B maka sifat yang
pertama dipenuhi. Untuk sifat yang kedua sama
seperti pada sifat pertama dihitung dulu nilai
ABA.
(
(
(
(
(
(

=
19 17 11
16 9 6
14 10 13
15 22 20
2 7 4
ABA

Nilai ABA sama dengan A maka sifat kedua
dipenuhi.

Pada sifat ketiga (BA)
H
merupakan konjugat
transpos dari BA. Untuk membuktikan apakah
(BA)
H
= BA maka dihitung nilai BA.
(
(
(

=
1 0 0
0 1 0
0 0 1
BA

Karena konjugat dari BA adalah identitas maka
transpose dari konjugatnya juga identitas. Dengan
demikian nilai (BA)
H
sama dengan nilai BA jadi
sifat ketiga dipenuhi. Dengan cara yang sama
maka sifat keempat juga dipenuhi karena konjugat
dari AB adalah identitas maka transpose dari
konjugatnya juga identitas.

Karena A full column rank dan sifat-sifat p-invers
dipenuhi maka matriks A dan B dapat digunakan
sebagai kunci untuk enkripsi dan dekripsi.

Proses Enkripsi

Setelah A diketahui dapat digunakan sebagia
kunci, langkah selanjutnya dilakukan proses
enkripsi dengan inputan plainteks yaitu
GUNUNG. Plainteks akan dienkrip menggunakan
kunci A yaitu matriks 5 3 dengan entri sebagai
berikut.

(
(
(
(
(
(

=
19 17 11
16 9 6
14 10 13
15 22 20
2 7 4
A



Kriptografi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 458
Langkah pertama mengubah huruf plainteks
menjadi bilangan desimal dalam
29
Z
G U N U N G
6 20 13 20 13 6

Didapat bilangan desimal dalam
29
Z untuk
plainteks GUNUNG yaitu 6,20,13,20,13,6 . Maka
didapat matriks plainteks
| | 6 13 20 13 20 6 = S .
Langkah kedua membagi plainteks menjadi blok-
blok. Tiap blok harus mempunyai jumlah elemen
yang sama dengan jumlah kolom matriks A. Di
dapat dua blok dari plainteks untuk dienkripsi
yaitu
| | 13 20 6
yang berkorespondensi dengan
GUN dan
| | 6 13 20
yang berkorespondensi
dengan UNG.
Langkah ketiga melakukan proses enkripsi untuk
tiap-tiap blok dengan cara mengalikan tiap blok
dengan matriks kunci A. Sebelum dikalikan
dengan A tiap blok ditransposkan dulu.
blok pertama :
| |
(
(
(

(
(
(
(
(
(

=
13
20
6
19 17 11
16 9 6
14 10 13
15 22 20
2 7 4
13 20 6
T
A


29 mod
653
424
460
755
190
(
(
(
(
(
(

=

(
(
(
(
(
(

=
15
18
25
1
16

didapat hasil enkripsi blok pertama
| |
T
15 18 25 1 16 dan hasil korespondensinya
dengan huruf dalam
29
Z adalah QBZSP.
Dengan cara yang sama didapat hasil enkripsi
blok kedua adalah | |
T
4 14 10 22 9 dan hasil
korespondensinya dengan huruf dalam
29
Z
adalah
JWKOE.
Langkah keempat tiap blok hasil enkripsi
digabungkan sehingga didapat cipherteks
QBZSPJWKOE. Korespondensi antara cipherteks
dan bilangan dalam
29
Z dapat dilihat dalam table
berikut.

16 1 25 18 25 9 22 10 14 4
Q B Z S Z J W K O E

Proses Dekripsi

Cipherteks yang dihasilkan dari proses enkripsi di
atas akan didekripsi sehingga akan manghasilkan
plainteks yang dapat di baca kembali. Untuk
mendekrip cipherteks digunakan B sebagai kunci.
Langkah dalam proses dekripsi sama
dengan langkah proses enkripsi. Langkah pertama
adalah ubah cipherteks menjadi bilangan dalam
29
Z . Didapat matriks cipherteks
| | 4 14 10 22 9 25 18 25 1 16 = R .
Selanjutnya membagi cipherteks menjadi blok
yang tiap-tiap blok harus memiliki elemen yang
jumlahnya sama dengan jumlah kolom B.
blok pertama :
| |
(
(
(
(
(
(

(
(
(

=
25
18
25
1
16
14 26 19 20 0
21 8 24 17 21
12 0 26 1 1
25 18 25 1 16
T
B
29 mod
1173
1412
847
(
(
(

=
(
(
(

=
13
20
6

didapat hasil dekripsi blok pertama
| |
T
13 20 6 dan hasil korespondensinya dengan
huruf dalam
29
Z adalah GUN.
Dengan cara yang sama didapat hasil dekripsi
blok kedua adalah | |
T
6 13 20 dan hasil
korespondensinya dengan huruf dalam
29
Z
adalah UNG

Dari proses dekripsi blok pertama dan blok ke dua
maka didapatkan hasil berupa plainteks semula
dengan menggabungkan blok-blok tersebut
menjadi satu bagian. Hasil yang diperoleh yaitu
plaintext : | | 6 13 20 13 20 6 = S . Dari
bilangan desimal ini untuk dapat dibaca maka
dikorespondensikan dengan huruf dalam
29
Z
yang telah ditentukan sebelumnya. Setelah
dikorespondensikan maka diperoleh plaintext :
GUNUNG. Proses dekripsi telah berhasil dan data
yang disandikan dapat dibaca lagi.


Kesimpulan

Dari pembahasan-pembahasan sebelumnya
diperoleh kesimpulan :
1.
1. Hill Cipher yang belum diperluas hanya
dapat menggunakan matriks persegi sebagai
kunci, tetapi setelah diperluas menggunakan
teori p-invers dapat juga digunakan matriks
persegi panjang sebagai kunci. Berikut ini
adalah algoritma Hill Cipher yang telah
diperluas menggunakan p-invers.
Dipilih bilangan prima p, bilangan bulat
+
Z n m, , dengan m n ,
n
p
Z P ) ( = ,
Kriptografi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 459
m
p
Z C ) ( = ,
{ } n M rank Z M M K
p n m
= =

) ( | ) ( .
Untuk suatu K k , untuk setiap
P x x x x
T
n
= ) ... (
2 1
, terdapat
C y y y y
T
m
= ) ... (
2 1
sehingga
dapat didefinisikan :
kx x e
k
= ) (
dan
y k y d
k

= ) (
dengan
T T
k k k k
1
) (

=
dimana semua operasi tersebut atas
p
Z
2. Setiap pesan yang dienkripsi harus
mempunyai panjang kelipatan dari n yaitu
banyaknya kolom pada matriks kunci.
3. Setelah dienkripsi, pesan yang mempunyai
panjang kelipatan dari n akan menghasilkan
cipherteks yang mempunyai panjang
kelipatan dari m yaitu banyaknya baris pada
matriks kunci.
4. Hasil enkripsi plainteks yang sama dengan
menggunakan matriks kunci yang berbeda
akan menghasilkan cipherteks yang berbeda.
5. Panjang cipherteks yang dihasilkan akan
lebih besar dari plainteksnya sehingga akan
lebih menyamarkan pesan.

Saran

1. Dalam makalah ini algoritma Hill Cipher
diperluas memakai p-invers dengan matriks
yang akan dipakai sebagai kunci harus
matriks yang full column rank. Perlu diteliti
apakah berlaku untuk matriks yang full row
rank.
2. Pesan yang dienkripsi dan didekripsi pada
skripsi ini adalah teks. Selanjutnya
diharapkan bagaimana Hill Cipher
diaplikasikan pada selain teks, seperti data
numerik maupun citra.
3. Perlu juga implementasi program
menggunakan software selain Maple 8
seperti Matlab.


Daftar Pustaka

[1] Ariyus, Dony. 2008. Pengantar Ilmu
Kriptografi Teori, Analisis, dan
Implementasi. Yogyakarta: Andi Offset
[2] Munir, Rinaldi. 2004. Bahan Kuliah ke-16
IF5054 Algoritma Knapsack. Bandung
[3] Stinson, Douglas R. 1995. Cryptography
Theory and Practice : CRC Press

Kriptografi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 461
UKURAN SHARE
PADA KONSTRUKSI PEMBAGIAN RAHASIA

I Ketut Tri Martana, Retno Indah
Program Magister Departemen Matematika FMIPA UI, Depok, 16424

toetz_tri@yahoo.com, retno_ind@yahoo.com


ABSTRAK

Keamanan data (data security) terhadap informasi rahasia (secret) dalam berbagai bidang dewasa ini sangat penting
dan krusial. Pembagian (sharing) master kunci untuk mengakses informasi rahasia perlu diatur agar pihak yang tidak
berkompeten tidak dapat mengakses informasi rahasia tersebut. Salah satu metode dalam pembagian data rahasia
yang sering digunakan adalah Konstruksi Pembagian Rahasia (KPR). KPR merupakan suatu skema dimana hanya
anggota kelompok (partisipan) dengan kualifikasi tertentu saja yang dapat merekonstruksi informasi rahasia. Suatu
KPR dikatakan perfect jika bagian dari partisipan yang tidak mempunyai kualifikasi tidak mempunyai informasi
secret S, atau bagian dari partisipan yang tidak mempunyai kualifikasi dalam share, secara statistik independen dari
secret. Apabila tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka dikatakan nonperfect. Information rate suatu KPR
merupakan perbandingan antara ukuran informasi rahasia |S| dengan besarnya share |V
i
| dari setiap partisipan, untuk
i=1,...,n. Dalam paper ini akan dibahas kajian tentang perbandingan ukuran share dari KPR yang perfect dan
nonperfect.

Keywords: KPR perfect, KPR nonperfect, information rate.


1. PENDAHULUAN

Keamanan data (data security) baik dalam bidang
Cryptography, perbankan, teknologi dan
informasi, maupun bidang lainnya menjadi sangat
penting dan krusial dewasa ini. Sebagai contoh
pengamanan kunci rahasia pada brankas,
password untuk akses pada jaringan komputer,
master kunci peluncuran misil (senjata/rudal)
dalam bidang militer, dan sebagainya, merupakan
informasi rahasia penting (secret) yang
membutuhkan tingkat pengaman tinggi. Akses
terhadap informasi rahasia tersebut sangat terbatas
bahkan biasanya hanya diserahkan pada satu
orang saja. Permasalahan timbul ketika orang
yang bertanggung jawab untuk membuka atau
mengakses data tersebut berhalangan, tidak
ditempat atau meninggal dunia, bahkan apabila
terjadi bencana alam, maka informasi rahasia
tidak bisa diakses. Solusi yang mungkin
dilakukan adalah dengan membagi (share) master
kunci menjadi beberapa bagian yang dipegang
oleh orang dengan kualifikasi tertentu dan tingkat
pengamanan data yang tinggi. Salah satu metode
dalam pembagian (sharing) data rahasia yang
sering digunakan adalah konsep secret sharing
scheme atau Konstruksi Pembagian Rahasia
(KPR).

Dalam KPR, akses terhadap informasi rahasia
diberikan kepada beberapa orang dengan
kualifikasi tertentu disebut sebagai partisipan,
misalnya n orang, maka dalam merekonstruksi
suatu data rahasia (secret) dibutuhkan k orang
diantara n orang tersebut. Apabila kurang dari k
maka secret tidak bisa direkonstruksi. KPR
pertama kali diperkenalkan oleh A. Shamir dan G.
Blackley pada tahun 1979, yang dikenal dengan
threshold scheme atau Shamirs Secret Sharing
Scheme [9].

Dalam threshold scheme, suatu share adalah suatu
bagian dari informasi rahasia yang dimiliki oleh
setiap anggota dalam suatu kelompok. Suatu
(k,n)-threshold scheme adalah suatu skema
dimana setiap k anggota kelompok (partisipan)
dari kelompok yang totalnya berjumlah n anggota,
dapat menyusun kembali secret yang sudah
didistribusikan.

Suatu KPR dikatakan perfect jika bagian dari
partisipan yang tidak mempunyai kualifikasi tidak
mempunyai informasi mengenai secret S, atau
bagian dari partisipan yang tidak mempunyai
kualifikasi dalam share secara statistik
independen dari secret. Apabila tidak memenuhi
persyaratan tersebut, maka KPR dikatakan
nonperfect.

Itoh dkk. [5] menguraikan secara umum metode
pembagian rahasia yang lebih umum dan
menunjukkan bahwa suatu KPR dikatakan perfect
jika dan hanya jika struktur aksesnya monoton.
Suatu struktur akses adalah kumpulan subset dari
partisipan dengan kualifikasi tertentu yang dapat
menyusun secret. Famili dari struktur akses
dikatakan monoton jika:

' '
, A A A A

Kriptografi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 462
Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam
iplementasi skema pembagian rahasia adalah
ukuran atau besarnya share, karena keamanan
skema pembagian rahasia akan berkurang jika
ukuran/besarnya share bertambah.

Dalam paper ini akan dibahas tentang kajian
perbandingan ukuran share dari KPR yang perfect
dan nonperfect.


2. I NFORMATI ON RATE DAN
PEMBAGIAN RAHASIA

2.1. I nformation Rate

Misalkan { }
1
, ...,
n
P P P = adalah himpunan
partisipan, dealer D merupakan partisipan khusus,
dengan asumsi D bukan elemen dari P.
Himpunan dari elemen-elemen s, dinotasikan
dengan S, disebut dengan secret. Sedangkan V
adalah himpunan dari elemen-elemen V
i
yang
disebut share untuk partisipan P
i
, dimana
i=1,,n. Suatu dealer D membagikan secret S
kepada partisipan sehingga partisipan ke-i akan
mendapatkan share ke-i atau V
i
.

Jika S dan V
i
diterjemahkan dalam rangkaian
biner, maka ukuran dari S adalah
2
log , S
sedangkan ukuran dari V
i
adalah
2
log .
i
V
Information rate dari KPR merupakan
perbandingan dari ukuran secret dengan ukuran
share, atau dinyatakan dengan:


( )
( )
( )
2
2
log
max log max
i i
H S S
V H V
= =


dimana H(S) adalah ukuran dari secret dan H(V
i
)
adalah ukuran share [4].


2.2. Konstruksi Pembagian Rahasia

Misalkan { }
1
,...,
n
P P P = adalah himpunan
patisipan. Secret s didistribusikan kepada
himpunan berhingga P, dimana S adalah variabel
acak dari s. Share dari P
i
dinyatakan dengan v
i
,
dimana V
i
adalah variabel acak dari v
i
.
Himpunan variabel acak V
i
dinyatakan dengan
( )
1
, ...,
n
V V V = . Suatu pemetaan memetakan
secret S dan rangkaian acak r ke sebuah vektor
yang terdiri dari n

share ( )
1
,...,
n
v v , yang dapat
dinyatakan dengan:
( )
1
: ( , ) ,...,
n
s r v v


Definisi 2.2.1 [8]
( ) , , S V adalah suatu KPR.

Definisi 2.2.2 [8]
Misalkan 2
V
, maka ( ) , , , S V adalah KPR
yang perfect, jika ( ) , , S V merupakan KPR dan
memenuhi:
1) Untuk setiap A , A dapat merekonstruksi
S.
2) Untuk setiap , C C tidak dapat
merekonstruksi S.
dimana:
A disebut himpunan akses.
C disebut himpunan non-akses.
disebut stuktur akses dari KPR perfect.

Definisi 2.2.3 [8]
Misalkan ( )
1 2 3
, , adalah partisi dari 2 ,
V
dimana
1 2 3
2
V
= dan
1 2 2 3 3 1
= = =
maka ( ) ( )
1 2 3
, , , , , S V merupakan suatu KPR
nonperfect, jika ( ) , , S V merupakan KPR,

1
dan memenuhi:
1) Untuk setiap
1
A , A dapat merekonstruksi
S.
2) Untuk setiap
2
B , B mempunyai suatu
informasi tentang S, tetapi tidak dapat
merekonstruksi S.
3) Untuk setiap
3
, C C tidak dapat
merekonstruksi S.
Dapat dikatakan bahwa ( )
1 2 3
, , disebut
struktur akses dari KPR nonperfect.

Definisi 2.2.4 [8]
Suatu famili dari struktur akses akan monoton,
jika memenuhi:

' '
, A A A A

Teorema 2.2.5 [1, 5]
( ) , , , S V adalah KPR yang perfect jika dan
hanya jika monoton.

Teorema 2.2.6 [8]
Misalkan 2 S . Misalkan ( )
1 2 3
, , adalah
suatu partisi dari 2
V
, maka terdapat KPR
nonperfect dengan struktur akses ( )
1 2 3
, ,
jika dan hanya jika
1
dan
1 2
adalah
monoton.




Kriptografi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 463
3. BATAS BAWAH DARI UKURAN SHARE

3.1 KPR perfect

Dalam KPR perfect diketahui bahwa ukuran dari
share lebih besar dari atau sama dengan ukuran
secret, dapat dinyatakan dengan


2 2
log log ( )
i
V S

sehingga information rate dari KPR perfect
adalah 1 . [4]
Terdapat beberapa bentuk dari KPR
perfect, salah satunya adalah KPR dari Shamirs
atau sering disebut ( ) , k n - threshold scheme.
KPR dari Shamir memenuhi:

{ }
A V A k =

Menurut Karnin dkk. [6], untuk setiap ( ) , k n -
threshold scheme mempunyai batas bawah share:

2
log (S)
i
V H
Sedangkan menurut Kurosawa dkk. [7] telah
membuktikan bahwa
i
V S .

( ) , k n - threshold scheme
KPR dari Shamir atau sering dituliskan ( ) , k n -
threshold scheme [9], adalah suatu metode untuk
membagi secret S menjadi n bagian, yaitu V
1
,
V
2
,,V
n
dalam sebuah cara, sedemikian
sehingga:
1. Dengan mengetahui share sembarang dari V
i

sebanyak k atau lebih akan dapat
merekonstruksi S.
2. Dengan mengetahui share V
i
sebanyak 1 k
atau kurang, maka S tidak dapat
direkonstruksi.
Jika k n = , maka semua partisipan diperlukan
untuk merekonstruksi secret. KPR dari Shamir ini
didasarkan pada interpolasi polinomial. Agar k-
share dari n partisipan dapat merekonstruksi
secret yang diberikan, maka dikonstruksi
polinomial berderajat ( ) 1 k atas lapangan
GF(p), dimana p adalah bilangan prima, dengan
bentuk:


1
0 1 1
( ) ...
k
k
f x a a x a x

= + + +

sedemikian sehingga
0
a adalah secret dan
koefisien-koefisien yang lain adalah bilangan-
bilangan acak dalam lapangan tersebut. Masing-
masing dari n-share tersebut ( )
i
V merupakan
pasangan ( ) , ( )
i i
x f x yang memenuhi ( )
i i
f x y =
dan 0
i
x > . Sehingga jika diberikan sembarang k
share, maka polinomialnya dapat ditentukan,
sehingga secret
0
a dapat dihitung menggunakan
interpolasi Lagrange.
Sebagai contoh, misalkan 1234 s = atas
field Z
7789
. Secret s ini akan di-share menjadi 6
bagian, dimana 3 share-nya akan dapat digunakan
untuk merekonstruksi S. Maka 6 dan 3. n k = =
Karena 3 k = , maka polinom yang akan dibuat
berbentuk:

( )
2
0 1 2
( ) f x a a x a x = + +
dengan
0
1234 a s = =
Sedangkan koefisien
1
a dan
2
a merupakan suatu
bilangan yang dipilih secara acak. Misalkan
diambil
1 2
166 dan 94. a a = = Maka polinom yang
terbentuk adalah:

2
( ) 1234 166 94 f x x x = + + ( mod 7789 )
Dari polinom diatas, untuk 1, 2,..., 6 i = akan
diperoleh:

1 4
2 5
3 6
(1) 1494, (4) 3402,
(2) 1942, (5) 4414,
(3) 2578, (6) 5614
V f V f
V f V f
V f V f
= = = =
= = = =
= = = =

Nilai-nilai ( ) , ( )
i i i
V x f x = ini didistribusikan
kepada partisipan ke-i, dimana i=1,,6.
Untuk merekonstruksi s, diperlukan 3 buah
titik sembarang dari 6 nilai V
i
yang dimiliki.
Misalkan 3 nilai yang digunakan adalah V
1
,V
2
,
dan V
3
, sehingga:

( ) ( )
( ) ( )
( ) ( )
0 0
1 1
2 2
, 1,1494 ;
, 2,1942 ;
, 3, 2578 .
x y
x y
x y
=
=
=


Untuk merekonstruksi polinom digunakan
interpolasi Lagrange :

1
0
( )
k
i
k
i k i
i k
x x
l x
x x



( ) ( )
( ) ( )
( )
1 2
0
0 1 0 2
2
2 3
( )
1 2 1 3
2 3 1
5 6
1 2 2
x x x x x x
l x
x x x x
x x
x x

= =


= = +




( ) ( )
( )
( )
0 2
1
1 0 1 2
2
1 3
( )
2 1 2 3
1 3
4 3
1
x x x x x x
l x
x x x x
x x
x x

= =


= = +



Kriptografi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 464

( ) ( )
( )
0 1
2
2 0 2 1
2
1 2
( )
3 1 3 2
1 2 1
3 2
2 2
x x x x x x
l x
x x x x
x x
x x

= =


= = +


2
0
( ) ( ) ( mod 7789)
j j
j
f x y l x
=
=



( ) ( )
( )
2 2
2
1
1494 5 6 1942 4 3
2
1
2578 3 2 ( mod 7789)
2
x x x x
x x
| |
= + + +
|
\ .
| |
+ +
|
\ .


( ) ( )
( )
2
747 1942 1289 3735 7768 3867
4482 5826 2578 (mod 7789)
x x = + + +
+ +


2
2
2 1 0
94 166 1234 (mod 7789)
(mod 7789)
x x
a x a x a
= + +
= + +

Sehingga diperoleh
0
1234 s a = = .
Dari contoh diatas diperoleh bahwa
13
2 S = dan
13
2
i
V = , sehingga ukuran secret sama dengan
ukuran share-nya. Sedangkan Information rate-
nya adalah:


( )
2
13
1
max log 13
i
H S
V
= = =


3.2. KPR nonperfect


Salah satu contoh dari KPR nonperfect adalah
( ) , , d k n - ramp scheme [2], dengan:

suatu akses jika B
adalah
non akses jika B
k
B
k d



Jika B k d k < < maka B mempunyai
informasi tentang secret tetapi tidak dapat
merekonstruksi secret.
Dalam ( ) , , d k n - ramp scheme berlaku:

{ }
{ }
{ }
1
2
3
A V A k
B V k d B k
C V C k d
=
= < <
=


Suatu KPR nonperfect mempunyai ukuran
share yang lebih pendek, yaitu ukuran share lebih
kecil dari ukuran secret-nya atau dapat dinyatakan
dengan:

2
log (S)
i
V H <


Pandang
d
S p = , untuk sembarang bilangan
prima p dan setiap secret ( )
0 1
, ...,
d
S s s

= dengan
i
s adalah elemen dari ( ) GF p . Untuk membagi
secret ( )
0 1
, ...,
d
S s s

= , suatu dealer akan memilih
polinomial atas ( ) GF p , yaitu:
1 1
0 1 1 1
( ) ... ...
d d k
d d k
f x s s x s x a x a x


= + + + + + +

Blakley dan Meadows [2] menentukan
( )
i
v f i =
dan memberikan v
i
pada P
i
untuk 1 i n .
Sehingga k atau lebih partisipan dapat
merekonstruksi S, sedangkan k-d atau kurang
tidak.

Teorema 3.2.1 [3]
Dalam setiap ( ) , , d k n - linear ramp scheme
berlaku ( ) ( )
i
H V H S d

Menurut Blundo [3], dalam setiap ( ) , , d k n - ramp
scheme, jumlah dari besarnya share untuk setiap
grup dari d partisipan, adalah paling sedikit
log S .

Sebagai contoh, misalnya diberikan ( ) 2, 4,15 -
linear ramp scheme, maka 2, d = 4, k = dan
5. n = Dengan ( ) ( )
0 1
, 12,1 S s s = = atas lapangan
Z
17
, maka polinomialnya adalah:

( )
2 3
0 1 2 3
2 3
( )
12 5 7 mod17
f x s s x a x a x
x x x
= + + +
= + + +

share ke-i diberikan oleh ( )
i
v f i = , sehingga
diperoleh:

1 6 11
2 7 12
3 8 13
4 9 14
5 10 15
8 10 0
5 13 5
11 14 14
0 4 1
14 8 8
v v v
v v v
v v v
v v v
v v v
= = =
= = =
= = =
= = =
= = =


Jika diambil 4 k = share sembarang, misalkan
1 2 3 4
, , , v v v v , untuk merekonstruksi s, maka
dengan menggunakan interpolasi Lagrange
diperoleh:

1
0
( )
k
i
k
i k i
i k
x x
l x
x x



( )
3 1 2
0
0 1 0 2 0 3
3 2
( ) .
1
9 26 24
6
x x x x x x
l x
x x x x x x
x x x

=

= +

Kriptografi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 465


( )
0 3 2
1
1 0 1 2 1 3
3 2
( ) .
1
8 19 12
2
x x x x x x
l x
x x x x x x
x x x

=

= +



( )
0 3 1
2
2 0 2 1 2 3
3 2
( ) .
1
7 14 8
2
x x x x x x
l x
x x x x x x
x x x

=

= +



( )
0 1 2
3
3 0 3 1 3 2
3 2
( ) .
1
6 11 6
6
x x x x x x
l x
x x x x x x
x x x

=

= +


3
0
( ) ( )
j j
j
f x y l x
=
=



( )
0 0 1 1 2 2 3 3
3 2
3 2
1 0
( ) ( ) ( ) ( ) mo d 1 7
8 13
12
6 6
8 13

6 6
y l x y l x y l x y l x
x x x
x x s x s
= + + +
= + + +
= + + +


Sehingga secret ( ) ( )
0 1
, 12,1 S s s = = , dapat
direkonstruksi dengan menggunakan 4 share.

Jika diambil 3 share, misalnya
3 6
, , v v dan
15
, v
maka akan diperoleh
1 3 6 15
5 7 9 s v v v = + + ,
sehingga dari share
3 6 15
, , v v v hanya bisa
merekonstruksi
1
s . Sehingga dapat dikatakan jika
digunakan 3 share untuk merekonstruksi secret,
maka hanya diperoleh sebagian dari secret.

Dari contoh diatas diperoleh
5
2
i
V = dan
( )
2
5 5 5
2 .2 2 S = = , sehingga ukuran share-nya
lebih kecil dari ukuran secret-nya. Information
rate yang diperoleh adalah:

( ) ( )
( )
2
5
2
5
2 2
log 2
2
max log log 2
i
H S
V
= = =


4. PENUTUP

Dalam paper ini diberikan dua contoh KPR,
masing-masing satu contoh untuk KPR perfect
dan nonperfect. Contoh-contoh ini memberikan
ilustrasi bahwa ukuran share dari KPR perfect
lebih besar atau sama dengan ukuran secret-nya.
Sedangkan untuk KPR nonperfect, ukuran
share-nya bisa lebih kecil dari ukuran secret-nya


UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Ibu Kiki A. Sugeng, atas segala
dukungan, saran, diskusi, dan koreksi yang
diberikan, sehingga paper ini dapat diselesaikan.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Benaloh, J.C., Leichter, J., Generalized
Secret Sharing and Monotone Functions,
Proc. of Crypto88, Lecture Notes on
Comput. Sci., 27-86, Springer Verlag, 1990.
[2] Blakley GR, Meadows C, Security of Ramp
Schemes, Proc. of Crypto84, Lecture
Notes on Comput.Sci.,196, Springer Verlag,
242-268, 1984.
[3] Blundo,C., De Santis, A., Gargano, L.,
Vaccaro, U., Efficient Sharing of Many
Secret, Proc. of STACS93, Lecture Notes
in Computer Science, 665, Springer Verlag,
1993.
[4] Brickell, E.F., Stinson, D.R., Some
Improve Bounds on the Information Rate of
Perfect Secret Sharing Schemes, Journal of
Cryptology, 5, 3, 153-166, Springer-Verlag,
1992.
[5] Itoh, M., Saito, A., Nishizeki, T., Secret
Sharing Scheme Realizing General Access
Structure, Proc. IEEE Global
Telecommunication
Conference,Globecom87, Tokyo, 99-102,
1987.
[6] Karnin, E.D., Green, J.W., Helman, M.E.,
On Secret Sharing Systems, IEEE Trans.
on Inform, Theory, IT-29, 35-41, 1992.
[7] Kurosawa. K, Okada. K, Sakano. K, Ogata.
W, Tsuji. S, Nonperfect Secret Sharing
Schemes and Matroid , Proc. Eurocrypt93,
Lecture Notes on Comput. Sci. 765, Springer
Verlag, 126-141, 1993.
[8] Ogata. W, Kurosawa. K, Some Basic
Properties of General Nonperfect Secret
Sharing Schemes, Journal of Universal
Computer Science, vol. 4, no. 8, 690-704,
1998.
[9] Shamir, A., How to Share a Secret,
Communications of the ACM, 22, (11), 612-
613, 1979.





Pemodelan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 467
PREDIKSI PENYAKIT IKAN GURAME BERDASARKAN GEJALA KLINIS
DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITMA LEVENBERG-MARQUARDT

Erick Paulus
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Padjadjaran, Bandung, 45363

erick_paulus@yahoo.com


ABSTRAK

Algoritma Levenberg-Marquardt merupakan salah satu algoritma pembelajaran propagasi balik yang terawasi dan
biasanya digunakan oleh perceptron dengan banyak lapisan untuk mengubah bobot-bobot yang terhubung dengan
neuron-neuron yang ada pada lapisan tersembunyinya. Sistem pembelajaran ini diterapkan dalam memprediksi jenis
penyakit berdasarkan gejala-gejala klinis yang terlihat secara fisik pada ikan gurame. Data input yang digunakan saat
proses pembelajaran dan pengujian adalah data gejala klinis. Sedangkan data output adalah data jenis penyakit dan
cara penanggulanggannya.

Perangkat lunak, yang dibangun dengan memanfaatkan Matlab 7, dapat memprediksi jenis penyakit ikan gurame
berdasarkan gejala klinis dengan tingkat akurasi hampir 99,99%. Perangkat lunak ini juga memberikan informasi cara
pertolongan pertama dalam menanggulangi penyakit pada ikan gurame.

Keywords: Levenberg-Marquardt, Jaringan Saraf Tiruan, Propagasi Balik


PENDAHULUAN

Peternakan merupakan salah satu sumber
penghasilan bagi masyarakat kabupaten
Tasikmalaya khususnya adalah peternakan ikan
gurame. Di Jawa Barat, Hampir semua tempat
makan atau restoran khas sunda menyediakan
menu makanan ikan gurame. Ada beberapa faktor
yang menghambat pertumbuhan ikan. Salah
satunya adalah penyakit. Penyakit tersebut bisa
menyebabkan kematian dini atau pertumbuhan
tidak normal. Karena jenis dan ciri-ciri penyakit
ikan sangat banyak, maka penyakit tersebut perlu
ditangani orang yang ahli dalam bidangnya, yaitu
ahli penyakit ikan. Penanganan yang tidak
profesional akan mengakibat permasalahan baru
ke depannya.

Di sisi yang lain, sedikitnya jumlah seorang ahli
penyakit ikan menjadi permasalahan baru.
Ditambah lagi keterbatasan seorang manusia yang
mana seiring dengan lemahnya kondisi fisik dan
mental, maka menurun pula tingkat ketelitian,
kejelihan dan kepekaan terhadap suatu penyakit.
Keterbatasan-keterbatasan di atas dapat diatasi
dengan cara membangun suatu perangkat lunak
yang memiliki kemampuan sama seperti seorang
ahli penyakit ikan. Adapun kelebihan dari
perangkat lunak yang dibangun adalah
kemampuannya yang lebih konsisten dan teliti
dalam menghadapi ciri-ciri penyakit. Agar
menyerupai seorang ahli penyakit ikan, maka
perangkat lunak tersebut harus dibangun
berdasarkan sistem jaringan syaraf tiruan yang
memerlukan berbagai pelatihan. Materi
pelatihannya adalah data ciri-ciri dan jenis-jenis
penyakit ikan serta cara penanganannya. Oleh
karena itu, penelitian ini akan menelaah berbagai
ciri dan jenis penyakit ikan khususnya ikan
gurame serta cara penanggulanganya.

TINJAUAN PUSTAKA

Jaringan Syaraf adalah merupakan salah satu
representasi buatan dari otak manusia yang selalu
mencoba untuk mensimulasikan proses
pembelajaran pada otak manusia tersebut. Istilah
buatan di sini digunakan karena jaringan syaraf
ini diimplementasikan dengan menggunakan
program komputer yang mampu menyelesaikan
sejumlah proses perhitungan selama proses
pembelajaran (Fausett, 1994).

Secara matematis, cara kerja jaringan syaraf
tiruan yang diusulkan McCulloch dan Pitts (1943)
digambarkan terdiri dari masukan x
0
, x
1
, ... x
n
dan
bobot yang menyertainya w
0
, w
1
,... w
n
, serta
fungsi aktivasi sigmoid f dan kelajuan
pembelajaran . Jaringan syaraf secara
matematika dapat dilihat pada gambar 1.

Jaringan syaraf tiruan dikembangkan berdasarkan
1. Informasi diproses oleh elemen-elemen
sederhana yang disebut neuron.
2. Sinyal-sinyal dilewatkan antara neuron yang
saling berhubungan.
3. Setiap sambungan antara dua neuron ada
bobotnya masing-masing yang akan
mengalikan sinyal yang ditransmisikan.
4. Tiap neuron memiliki fungsi aktivasi yang
akan menentukan besaran keluaran.

Pemodelan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
468
O W0
O W1
O W2
O Wn

y
0
1
2






Gambar 1. Jaringan Syaraf secara Matematis

Arsitektur Jaringan Syaraf

Ada beberapa tipe jaringan syaraf, namun
demikian, hampir semuanya memiliki komponen-
komponen yang sama. Jaringan syaraf juga terdiri
dari beberapa neuron, dan antara neuron-neuron
tersebut saling berhubungan. Neuron-neuron
tersebut akan mentransformasikan informasi yang
diterima melalui sambungan keluarnya menuju ke
neuron-neuron yang lain. Pada jaringan syaraf
hubungan ini dikenal dengan nama bobot.
Informasi tersebut disimpan pada suatu nilai
tertentu pada bobot tersebut.

Hubungan antar neuron dalam jaringan syaraf
mengikuti pola tertentu tergantung pada arsitektur
jaringan syarafnya. Arsitektur jaringan yang
dipakai adalah jaringan syaraf dengan banyak
lapisan (multilayer net). Jaringan dengan banyak
lapisan memiliki satu atau lebih lapisan yang
terletak diantara lapisan input dan lapisan output
(memiliki satu atau lebih lapisan tersembunyi).
Umumnya, ada lapisan bobot-bobot yang terletak
atara 2 lapisan yang bersebelahan. Jaringan
dengan banyak lapisan ini dapat menyelesaikan
permasalahan yang lebih sulit daripada lapisan
dengan lapisan tunggal, tentu saja dengan
pembelajaran yang lebih rumit. Gambar 2
merupakan salah satu contoh arsitektur jaringan
syaraf dengan banyak lapisan.

X1
X2
X3
N1 F1
F1
N1
NK NL
F2
F2
V11
VNK
Z_in1
Z_inK
W11
WKL
Y_in1
Y_inL
Y1
YL

Gambar 2. Arsitektur Jaringan Syaraf dengan banyak
lapisan

Fungsi Sigmoid Biner

Fungsi Sigmoid Biner digunakan untuk jaringan
syaraf yang dilatih dengan menggunakan metode
propagasi balik. Fungsi sigmoid biner memilki
nilai pada range 0 sampai 1. Oleh karena itu,
fungsi ini sering digunakan untuk jaringan syaraf
yang membutuhkan nilai output yang terletak
pada interval 0 sampai 1. Namun, fungsi ini bisa
juga digunakan oleh jaringan syaraf yang nilai
outputnya 0 atau 1. Fungsi sigmoid biner
dirumuskan sebagai :

x
e
x f y

+
= =
1
1
) ( (1)
dengan :
)] ( 1 )[ ( . ) ( ' x f x f x f =

1
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
-10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10
= 0.5
= 1
= 2
y
x
Gambar 3. Fungsi aktivasi : Sigmoid Biner

Propagasi Balik

Propagasi balik merupakan algoritma
pembelajaran yang terawasi dan biasanya
digunakan oleh perceptron dengan banyak lapisan
untuk mengubah bobot-bobot yang terhubung
dengan neuron-neuron yang ada pada lapisan
tersembunyinya. Algoritma propagasi balik
menggunakan error output untuk mengubah niai
bobot-bobotnya dalam arah mundur (backward).
Untuk mendapatkan error ini, tahap perambatan
maju (forward propagation) harus dikerjakan
terlebih dahulu. Pada saat perambatan maju,
neuron-neuron diaktifkan dengan menggunakan
fungsi aktivasi yang dapat dideferensiasikan,
seperti sigmoid, lihat persamaan 1:

atau tansig:

x x
x x
e e
e e
x f y

= = ) ( (2)
atau

x
x
e
e
x f y
2
2
1
1
) (

= =
dengan:
)] ( 1 )][ ( 1 [ ) ( ' x f x f x f + =

atau purelin
x x f y = = ) ( (3)
dengan:
1 ) ( ' = x f

Pengujian Jaringan Syaraf Tiruan

Pada proses pengujian, sistem melakukan simulasi
untuk menguji arsitektur jaringan. Hasil pengujian
dianalisis berdasarkan nilai error yang dihasilkan.
Nilai error adalah selisih dari nilai data hasil
simulasi dengan data sebenarnya. Adapun analisis
Pemodelan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 469
error yang digunakan adalah sebagai berikut
(Enders, 1995)

1. Sum Square Error

=
=
n
I
I
e SSE
1
2
(4)
2. Mean Square Error

=
=
n
I
I
e
n
MSE
1
2
1
(5)


HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses Pelatihan

Pelatihan jaringan dengan Matlab menggunakan
parameter pembelajaran :
Momentum : 0.1 0,8
Learning Rate : 0.01 0,1
Neuron Hidden : 10 20
Jumlah Neuron Input Layer : 8
Jumlah Neuron Output Layer : 3
Iterasi : 2000
Target Error : 10
-3


Setiap arsitektur jaringan, sistem akan
menampilkan grafik hasil pelatihan dengan
menampilkan parameter kinerja, target error, dan
jumlah iterasi untuk mencapai target error.
Sebagai contoh, grafik hasil pelatihan arsitektur
jaringan 13 12 7 dengan Momentum 0,4 dan
Learning Rate 0,05 menunjukan parameter kinerja
2,31826e-008, target error 0,001 dan jumlah
iterasi 112, lihat gambar 4. Contoh lainnya adalah
arsitektur jaringan 13 12 7 dengan
Momentum 0,5 dan Learning Rate 0,08
menunjukan parameter kinerja 1,2328e-007,
target error 0,001 dan jumlah iterasi 25, lihat
gambar 5.













Gambar 4. Arsitektur 13 12 7 dengan Momentum
0,4 dan Learning Rate 0,05


Gambar 5. Arsitektur 13 127 dengan Momentum
0,5 dan Learning Rate 0,08

Proses Pengujian

Proses pengujian jaringan syaraf tiruan
menggunakan 20% dari total data. Hasil
pengujian untuk 10 arsitektur jaringan terbaik
dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 1. Analisa Kesalahan
Mc Lr Arsitektur SSE MSE
0.4 0.05 12 5.68E-06 2.32E-08
0.5 0.08 12 3.02E-05 1.23E-07
0.3 0.04 12 5.18E-05 2.12E-07
0.2 0.1 11 5.7E-05 2.32E-07
0.3 0.01 16 0.000421 1.72E-06
0.1 0.09 14 0.000716 2.92E-06
0.8 0.1 13 0.000763 3.12E-06
0.8 0.09 20 0.000832 3.4E-06
0.7 0.09 20 0.000927 3.78E-06
0.7 0.06 13 0.001736 7.08E-06

Model arsitektur yang akan digunakan untuk
memprediksi jenis penyakit ikan gurame adalah
arsitektur dengan nilai MSE terkecil. Oleh karena
itu, arsitektur terbaik adalah arsitektur 13 12 7
untuk momentum 0,4 dan learning rate 0,05
dengan nilai MSE sebesar 2.3182610428273E-08.
Tingkat keberhasilan dari arsitektur tersebut
adalah sebesar 99,99%.

Proses Prediksi

Arsitektur jaringan terbaik digunakan dalam
proses deteksi. Selain itu, Proses deteksi
menerima masukan berupa data gejala klinis dan
mengeluarkan data jenis penyakit. Sebagai
contoh, pengguna umum memasukan data klinis
penyakit sebagai berikut:
1. Badan pucat dan ada bintik-bintik putih
2. Mnggosokan badan ke dasar kolam
3. Megap-megap seperti kekurangan oksigen

Setelah memilih kriteria, pengguna selanjutnya
menekan tombol DETEKSI sehingga pada
tampilan menu muncul nama jenis penyakit
Pemodelan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
470
Trichodiniasis dan cara penanggulangannya, lihat
gambar 6. Jika hasil deteksi ini dibandingkan
dengan data sebenarnya, kedua data tersebut
menunjukan bahwa ada kesamaan. Jadi sistem
yang dibangun berhasil mendeteksi jenis penyakit
berdasarkan gejala klinis yang diberikan.


Gambar 6. Tampilan Menu Hasil Proses Deteksi

Perangkat lunak yang dibangun menggunakan
Matlab 7 dibagi menjadi 4 bagian, yaitu daftar
gejala klinis, tombol deteksi, nama penyakit, dan
penanggulangannya


KESIMPULAN

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada
bagian sebelumnya tentang pendeteksian penyakit
pada ikan gurame secara komputerisasi dengan
menggunakan metode levenberg-marquardt
propagasi balik, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut
1. Arsitektur terbaik terpilih pada jaringan 13
12 7 untuk momentum 0,4 dan learning
rate 0,05 dengan nilai MSE sebesar
2.3182610428273E-08.
2. Perangkat lunak berbasis jaringan syaraf
tiruan yang bekerja menyerupai seorang
tenaga ahli penyakit ikan gurame, memiliki
tingkat keakurasian diatas 99,99%
3. Perangkat lunak ini dapat berguna sebagai
pertolongan pertama bagi para peternak
pemula dalam menanggulangi penyakit pada
ikan gurame. Peternak cukup memasukan
data atau gejala klinis yang dihadapi, maka
sistem cerdas ini akan memberkan informasi
tentang jenis penyakit dan cara
penanggulangannya.



Saran yang peneliti dapat sampaikan adalah
1. Pendeteksian jenis penyakit ikan gurame
dengan sistem cerdas ini perlu dilengkapi
dengan uji laboratorium agar informasi yang
disampaikan bisa lebih akurat dan terpercaya
2. Perangkat lunak ini dapat dikembangkan lagi
untuk jenis penyakit lainnya dengan
menambahkan daftar gejala klinis dan
penanggulangannya untuk setiap jenis
penyakit


DAFTAR PUSTAKA

[1] Chester, Michael. 1986. Neurol Networks A
Tutorial. PTR Prentice Hall, Englewood
Cliffs, New Jersey.
[2] Enders, Walter. 1995. Applied Econometric
Time Series. Nee York: Wiley.
[3] Fausett, L. 1994, Fundamentals of Neural
Networks. Prentice Hall. Englewood Cliffs,
New Jersey.
[4] Hritev, R.M.1998. Artificial Neural
Networks, Edition1. GNU Public Licence.
[5] Kusumadewi, Sri. 2003. Artificial
Intelligence, Teknik dan Aplikasinya. Graha
Ilmu, Yogyakarta.
[6] McCulloch, W. dan Pitts, W. 1943. A logical
calculus of the ideas immanent in nervous
activity. Bulletin of Mathematical
Biophysics


Pemodelan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 471
DINAMIKA GLOBAL PADA MODEL EPIDEMIK TIPE SEIR

Jonner Nainggolan
(1)
, Sudradjat
(2)
, Rustam E. Siregar
(3)


(1)
Dosen Jurusan Matematika FMIPA Universitas Cenderawasih Jayapura
(2)
Dosen Jurusan Matematika FMIPA Universitas Padjadjaran Bandung
(3)
Dosen Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran Bandung

jonn_cesil@yahoo.co.id



ABSTRAK

Model penyebaran epidemik tipe SEIR merupakan pengembangan model epidemik tipe SIR dengan menambahkan
variabel exposed. Individu yang imigran pada variabel susceptible dan exposed adalah konstan. Dari analisis titik
tetap diperoleh satu titik equilibrium bebas penyakit, dan satu titik equilibrium endemik. Kemudian dengan
menggunakan next generation matrix diperoleh basic reproduction number. Jika basic reprodution number lebih
kecil dari satu, equilibrium bebas penyakit stabil asimtotik global, sedangkan jika basic reproduction number lebih
besar dari satu, equilibrium endemik stabil asimtotik lokal.

Keywords: Model Epidemik; tipe SEIR ; Basic reproduction number, Stabil Global


PENDAHULUAN

Model penyebaran epidemik ada yang
deterministik dan stokastik dengan beberapa tipe
antara lain: SI, SIS, SIR, SIRS, SEIR, SEIRS dan
lain-lain. Beberapa peneliti bidang epidemiologi
telah mengembangkan model tipe SEIR dengan
menambah beberapa variabel, dan memperoleh
parameter penentu penyebaran infeksinya. Model
epidemik tipe SEIR dimana susceptible (S) adalah
individu kelas yang rentan terhadap penyakit,
exposed (E) adalah individu kelas masa inkubasi,
penyakit belum terdeteksi tetapi sudah ada gejala
terinfeksi, infectious (I) adalah individu kelas
terinfeksi dan dapat menularkan kepada individu
kelas susceptible, dan recovered (R) individu
kelas kebal terhadap penyakit, atau yang sudah
terisolasi. Model epidemik tipe SEIR merupakan
pengembangan tipe SIR. Pengembangan model
epidemik tipe SEIR pada kestabilan global telah
dikembangkan oleh Li, G., [4,5], Li, M. Y.,
[6,7,8] mengembangkan pada dinamik global,
Zhang, J. [9,10] kontak saturating dengan
imigran pada kelas yang berbeda. Sedangkan
aplikasi tipe SEIR pada penyakit yang mempunyai
periode waktu inkubasi yang cukup lama antara
lain pada penyakit malaria, demam berdarah,
HIV/AIDS seperti yang telah diteliti oleh
Anderson, [1], sedangkan Castillo, [2]
mengaplikasikan strategi vaksinasi optimal pada
penyakit TB. Model yang akan dikaji penulis
adalah model Li, G. [4] dengan menambah
individu imigran pada kelas exposed. Model yang
diperoleh kemudian dianalisis kestabilan lokal
equilibrium bebas penyakit, equilibrium endemik,
serta menetukan formula basic reproduction
number.

Dinamika Global pada Model epidemik tipe
SEI R

Pada model epidemik tipe SEIR, populasi terdiri
kelas susceptible (S), kelas exposed (E), kelas
infectious (I), dan kelas recovered (R). Total
populasi N = S + E + I + R. Penyebaran
epidemik tipe SEIR dinyatakan seperti Gambar 1
di bawah ini:
A


SI E I

S E I R
Gambar 1. Diagram Model SEIR

Asumsi model yaitu:
(a) Populasi homogen
(b) Individu sebelum terinfeksi melalui
periode inkubasi (exposed)
(c) Tingkat transmisi dari kelas suscpetible
ke exposed yaitu SI
(d) Individu yang baru lahir masuk dalam
kelas susceptible
(e) Kematian masingmasing kelas
dinotasikan dengan
(f) Semua parameter dan keadaan variabel
adalah nonnegatif.
Model epidemik dari diagram di atas dapat
dinyatakan dalam sistem persamaan diferensial
berikut:
, 0 ) 0 ( ; = S S SI A
dt
dS

(1)
, 0 ) 0 ( ; ) ( + = E E SI
dt
dE

(2)
, 0 ) 0 ( ; ) ( + = I I E
dt
dI

(3)
S E I
R
R
Pemodelan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 472
, 0 ) 0 ( ; = R R I
dt
dR

(4)
dimana A adalah masuknya individu susceptible
secara konstan. Dari sistem (1) (4) di atas semua
variabel dan parameter pada model adalah non-
negatif. Dengan menjumlahkan semua
persamaan-persamaan (1) (4) diperoleh

) ( R I E S A
dt
dN
+ + + =

= A - N. (5)
Untuk mengetahui keadaan populasi pada waktu
yang akan datang akan dianalisis basic
reproduction number dan kestabilan seperti yang
diuraikan pada sub bab 2.1 dan 2.2 berikut.

Basic Reproduction Number

Basic reproduction number didefinisikan sebagai
ekspektasi dari banyaknya kasus sekunder yang
muncul akibat satu orang terinfeksi masuk ke
populasi tertutup yang seluruhnya susceptible
(Diekmann, O dan Heesterbeek, [3]).
Dari persamaan (1) (3) agar tercapai kondisi
yang bebas endemik, dianalisis titik tetapnya,
yaitu
0 = = =
dt
dE
dt
dI
dt
dS
.
A - SI - S = 0 (6)
SI ( + )E = 0 (7)
E ( + )I = 0 (8)
Dari persamaan (6) dan (8) secara berturut-turut
diperoleh
+
=
I
A
S

I E

) ( +
=
, E dan S substitusi ke
persamaan (7), maka diperoleh
0
) )( (
=
|
|
.
|

\
| + +

+
I
I
A

.
Agar tercapai kondisi bebas epidemik maka
haruslah
0
dt
dE
dan I = 0, sedemikian sehingga

0
) )( (

|
|
.
|

\
| + +

A


0 1
) )( (

|
|
.
|

\
|

+ +
A
.
Dari pertidaksamaan di atas diperoleh nilai basic
reproduction number:

) )( (
R
0


+ +
=
A
. (9)
Jika terdapat lebih dari satu infeksi berikutnya
yang diakibatkan oleh satu infeksi utama, berarti
R
0
> 1 yang menunjukkan bahwa terjadi
epidemik.

Stabilitas Lokal Equilibrium Bebas Penyakit

Untuk menganalisis kondisi populasi pada saat
t , dapat dianalisa dengan menentukan titik
kestabilan pertumbuhan populasi dengan
mereduksi sistem persamaan (1) (4) menjadi
tiga variabel S, E, dan I karena variabel R tidak
muncul pada tiga persamaan yang lainnya. Sistem
persamaan (1) (4) selalu mempunyai titik satu
equilibrium bebas penyakit, yaitu pada saat kelas
E
0
= I
0
= 0. Dari persamaan (1) untuk E
0
= I
0
= 0,
diperoleh

A
S =
0
, sehingga titik equilibrium
bebas penyakit P
0
=

(

A
,0,0) yang berhubungan
dengan kepunahan penyakit.
Kestabilan equilibrium bebas penyakit dapat
dianalisis dari persamaan (1) (3), maka sistem
tersebut di atas dapat direduksi menjadi:

, S SI A
dt
dS
=
(10)

, ) ( E SI
dt
dE
+ =
(11)

. ) ( I E
dt
dI
+ =
(12)
Matriks Jacobian pada sistem tersebut adalah
|
|
|
.
|

\
|



=



0
0
S I
S I
J
. (13)
Pada titik P
0
, diperoleh
|
|
|
|
|
|
|
.
|

\
|

0
0
0
) (
0
A
A
P J
.
Persamaan karakteristik dari matriks J(P
0
) adalah

+
|
|
.
|

\
|
+ + + + + + + + +

) 2 ( ) )( ( ) 3 (
2 3
A
. 0 ) )( ( = + + A

Salah satu nilai eigen adalah -, dan dua akar
lainnya adalah penyelesaian persamaan kuadrat
berikut
. 0 ) )( ( ) 2 (
2
= + + + + + +


A
Agar equilibriumnya stabil asimtotik lokal, maka
semua bagian real nilai eigennya negatif, yaitu
memenuhi pertidaksamaan A<( + )( + ).
Dari pertidaksamaan
A < ( + )( + )
0 1
) )( (
<
+ +
A

R
0
< 1
Dari uraian di atas dapat diperoleh Teorema 1
berikut.






Pemodelan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 473
Teorema 1 (Guihua Li, dkk., [5])

Equilibrium bebas penyakit,
) 0 , 0 , (
0

A
P =
,
adalah stabil asimtotik lokal jika R
0
< 1, untuk
yang lain tidak stabil. Equilibrium bebas
penyakit, merupakan kestabilan global seperti
yang akan dikemukakan berikut.

Stabilitas Global pada Equilibrium bebas
Penyakit P
0

Untuk mengetahui di daerah mana sistem (1) (4)
stabil asimtotik global, digunakan teorema
Lyapunov-Lasalle sebagai berikut.

Teorema Lyapunov-Lasalle
(Guihua Li, dkk., [5])

Misalkan terdapat suatu fungsi V(x):R
n
R
sedemikian sehingga
V adalah definite positif
, 0 ) 0 ( , 0 jika , 0 ) ( = <

V x x V
untuk x
*
= 0, dimana x
*
adalah equilibrium
Maka setiap trayektory

x = f(x) konvergen ke 0
untuk t (yaitu sistem V(x) stabil asimtotik
global).
Perhatikan fungsi Lyapunov
F = E + ( + )I. (14)
Fungsi F merupakan definite positif.
Turunan pertama fungsi Lyapunov
F = E + ( + )I =
( ) ( ) I E E SI ) ( ) ( ) ( + + + =

E E I SI ) ( ) ( ) )( ( + + + + + =


( ) D
A
S I S dalam karena , ) )( (

+ + =


I
A
|
|
.
|

\
|

+
+ + 1
)( (
) )( (




, ) 1 )( )( (
0
I R + +

dimana
. 0 : ) , , , (
4
)
`

+ + + =
+

A
R I E S R R I E S D
Pada waktu R
0
1, F 0; hanya memenuhi
persamaan untuk
(a) R
0
= 1, dan E = I = R = 0, atau (b) I = 0.
Himpunan I = 0 dan E 0 adalah tidak invarian,
sedangkan untuk I 0, diperoleh F < 0. Jika
I = E = 0, maka E = I = 0, dan R = -R; maka
R 0. Oleh karena itu invarian positif terbesar
(gabungan dari semua himpunan invarian dengan
D) pada himpunan bagian dimana F = 0 pada
waktu (E,I,R) = (0,0,0). Maka menurut theorema
Lyapunov-Lasalle equilibrium trivial, stabil
asimtotik global, yaitu semua penyelesaian
berada dalam daerah feasible (E,I,R) | E 0
(Guihua Li, dkk., [5]),
I 0, R 0, E + I + R

A
mendekati P
0
.
Dalam suatu sistem selain kestabilan lokal
equilibrium bebas penyakit, juga mempunyai
equilibrium endemik seperti yang akan
diungkapkan berikut.

Equilibrium Endemik P
*

Equilibrium endemik, dimana paling sedikit satu
komponen E atau I tidak nol, dinotasikan
P
*
= (S
*
, E
*
, I
*
) diperoleh dari persamaan
(6) (8), yaitu

.
* *
I E

+
=

Dari persamaan (7)
SI ( + )E = 0
dengan mensubstitusi E
*
diperoleh
S
*
I
*

*
) )( (
I

+ +
= 0.
Sehingga I
*
= 0 atau

) )( (
*
+ +
= S

atau
0
*
R
A
S =
.
Substitusi ke persamaan (6)

0
0 0
=
|
|
.
|

\
|

|
|
.
|

\
|

R
A
I
R
A
A



|
|
.
|

\
|
=
0
0 *
R
A
A
A
R
I

=
R
0
1).
Selanjutnya susbstitusi I
*
ke persamaan (8),
diperoleh

). 1 (
) (
0
*

+
= R E



Dari uraian di atas, maka diperoleh teorema
berikut.

Teorema 2 (Guihua Li, dkk., [5])
Equilibrium endemik P
*
ada jika dan hanya jika
R
0
> 1.

Stabilitas Lokal pada Equilibrium
Endemik P
*

Akan diselidiki kestabilan P
*
, dimulai dari
matriks Jacobian sistem (10) (12) di
P
*
= (S
*
, E
*
, I
*
), yaitu

|
|
|
.
|

\
|



=



0
0
) (
* *
* *
*
S I
S E
P J
.(15)
Substitusi E
*
dan S
*
ke dalam matriks Jacobian
persamaan (15), sehingga diperoleh
Pemodelan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 474
|
|
|
|
|
|
|
.
|

\
|



=

0
R
) 1 (R
R
0 R
) (
0
0
0
0
*

P J
.
Persamaan karakteristik dari matriks Jacobian
diperoleh
+ +
|
|
.
|

\
|
+ + + + + + + ) R (
R
) ( ) ( ) )( (
0
0
2



, 0 ) 1 (R
R
0
0
=

(16)
atau

3
+ a
2

2
+ a
1
+ a
0
= 0,
dimana a
0
= ( + )( + )(R
0
1),

a
1
= [( + )+ ( + )]R
0
> 0,
a
2
= ( + ) + ( + )+ R
0
> 0,
a
0
> 0, jika R
0
> 1, dan a
0
< 0, jika R
0
< 1
a
1
a
2
- a
0
=
( )( ) ), )( ( R )] ( ) [( R ) ( ) (
0 0
+ + + + + + + + +
bila disederhanakan menjadi
a
1
a
2
a
0
=
+ + + + + + + +
0
2 2 2 2
0
2
R ) 2 4 4 4 ( R ) 2 (

. 0 ) (
2
> + + +

Menurut kriteria Routh-Hurwitz nilai eigen dari
matriks Jacobian mempunyai bagian realnya
negatif, jika dan hanya jika memenuhi
a
1
,

a
2
, a
0
> 0
a
1
a
2
a
0
> 0,
Untuk R
0
> 1, akan memenuhi a
1
,

a
2
, a
0
> 0 dan
a
1
a
2
a
0
> 0, maka equilibrium endemik P
*
stabil
asimtotik lokal, sedangkan pada waktu R
0
= 1
terjadi perubahan kestabilan.

Solusi sistem persamaan diferensial
(1) - (4) secara analisis sulit dikerjakan,
pendekatan penyelesaian digunakan metode
grafik dengan mengambil parameter-parameter
A = 0,3; = 0,1; = 0,09; = 0,12; = 0,4
diperoleh grafiknya seperti Gambar 2 di samping
ini:


Gambar 2. Model Epidemik tipe SEIR
Persamaan (1) (4)
Dinamika pada Model Epidemik Tipe SEI R
dengan Imigran

Formulasi Model

Populasi terdiri dari individu susceptible, exposed
(periode latent), infectious, dan recovered secara
bertutut-turut dinotasikan dengan S(t), E(t), I(t),
dan R(t). Jumlah populasi pada waktu t
dinotasikan dengan N(t) dengan N = S + E + I +
R. Alur diagram dinyatakan seperti Gambar 3
berikut:
(1-p)A pA



0
SI
0
E
0
I

S E I I R
Gambar 3. Diagram Model SEIR

Model epidemik SEIR dari diagram di atas dengan
asumsi sebagai berikut:
(a) Populasi tergabung secara homogen.
(b) Individu yang akan terinfeksi melalui periode
inkubasi masuk dalam kelas exposed.
(c) Individu yang imigran masuk ke dalam
kelas susceptible dengan peluang 1 p.
(d) Individu yang imigran masuk dalam kelas
exposed dengan peluang p.
(e) Tingkat meninggal tiap-tiap kelas dinyatakan
dengan .
(f) Tingkat meninggal karena infeksi dinotasikan
dengan
0
.
(g) Semua parameter dan variabel adalah
nonnegatif.
Diagram di atas adalah modifikasi dari model Li,
G. dkk., [4] yang dijelaskan dalam sistem
persamaan diferensial berikut:

dt
dS
= (1 p)A -
0
SI - S; S(0) 0, (17)
dt
dE
=
0
SI + pA ( +
0
)E; E(0) 0, (18)
dt
dI
=
0
E ( +
0
+
0
)I; I(0) 0, (19)
dt
dR
=
0
I - R; R(0) 0, (20)
dimana parameter
0
dinotasikan tingkat transfer
dari exposed ke infectious. Konstan
0
tingkat
perubahan dari individu infectious ke recovered,

0
adalah tingkat kontak efisien dalam latent. (1
p)A, pA masuknya individu susceptible secara
konstan, dan exposed secara berturut-turut.
Sedangkan
0
1

adalah rata-rata periode latent


dan
0
1

adalah rata-rata periode infectious.


Dari persamaan (17) (21) diatas, dengan
memisalkan
0 5 10 15 20 25 30
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Waktu
S
E
I
R
Grafik Sistem PD Persamaan (1) - (4)
Susceptible
Exposed
Infectious
Recovered
S E I
R
R
Pemodelan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 475
. , , , , ,
0 0 0 0

= = = = = =
A
c t
Diperoleh sistem persamaan diferensial yang
ekivalen dengan sistem persamaan berikut:
, ) 1 ( S SI c p
d
dS
=

(21)
, ) 1 ( E SI pc
d
dE
+ + =

(22)
, ) 1 ( I E
d
dI
+ + =

(23)
. R I
d
dR
=

(24)
Total populasi pada waktu t adalah N(t) = S(t)
+ E(t) + I(t) + R(t), dengan menjumlahkan
persamaan (21) (24) diperoleh
. I N c
d
dN

=
Variabel S diganti dengan N E I R, sehingga
persamaan di atas menjadi
, ) ( E R I E N I pc
d
dE

+ =
(25)
,

= E
d
dI
(26)
, R I
d
dR
=

(27)
, I N c
d
dN

=
(28)
dimana = 1 + , = + +1. Sistem
persamaan (21) (24) analog dengan (25)
(28). Secara biologi dalam himpunan tertutup

. 0 : ) , , , (
4
1
)
`

= + + =
+

A
c N R I E R N R I E D

Dari daerah D
1
di atas dapat diperoleh teorema
berikut:

Teorema 3 (Guihua Li, dkk., [4])
Misalkan S(0) > 0, E(0) > 0, I(0) > 0 dan R(0) > 0.
Penyelesaian S(t), E(t), I(t) dan R(t) pada sistem
(17) (20) adalah positif untuk setiap t 0.
Model sistem (17) (20), daerah D
1
adalah
invarian positif dan semua penyelesaian sistem
tersebut berada dalam D
1
.

Bukti:
Dengan menggunakan asumsi, syarat awal adalah
positif, akan dibuktikan dengan kontradiksi bahwa
penyelesaian sistem (17) (20) adalah positif jika
diasumsikan bahwa terdapat pada waktu awal,
t
1
: S(t
1
) = 0, S(t
1
) < 0 dan S(t) > 0, E(t) > 0,
I(t) > 0, dan R(t) > 0, untuk 0 < t < t
1
, atau
terdapat, t
2
: E(t
2
) = 0, E(t
2
) < 0 dan S(t) > 0,
E(t) > 0, I(t) > 0, R(t) > 0, untuk 0 < t < t
2
, atau
terdapat, t
3
: I(t
3
) = 0, I(t
3
) < 0 dan S(t) > 0,
E(t) > 0, I(t) > 0, R(t) > 0, untuk 0 < t < t
3
,
atau terdapat, t
4
: R(t
4
) = 0, R(t
4
) < 0 dan
S(t) > 0, E(t) > 0, I(t) > 0, R(t) > 0, untuk 0 < t <
t
4
. Dalam kasus pertama S(t
1
) = (1 p)A > 0. Hal
ini kontradiksi dengan asumsi bahwa S(t
1
) < 0.
Akibatnya bahwa S akan positif untuk setiap t .
S(t
1
) adalah turunan dari S pada waktu t
1
.
Untuk variabel sisanya diperoleh
E(t
2
) =
0
SI > 0,
I(t
3
)= E > 0,
R(t
4
) =
0
I > 0.
Ini kontradiksi dengan pemisalan masing-masing
variabel sisanya positif untuk setiap t. Sehingga
semua penyelesaian dengan syarat awal berada
dalam daerah D
1
. Oleh karena itu daerah feasible
D
1
tetap positif untuk setiap t > 0.

Dari persamaan (25) (28), jika = 0, sehingga
tidak terjadi transmisi dari kelas susceptible ke
exposed, sistem direduksi ke dalam sistem non-
homogen linear

, E pc
d
dE

=
(29)
, I E
d
dI

= (30)

, R I
d
dR
=

(31)
. I N c
d
dN

= (32)
Penyelesaian dengan pendekatan equilibrium
, ,
0 0

pc
I I
pc
E E = = = =

pc
c N N
pc
R R = = = =
0 0
,
.
Diperkirakan suatu equilibrium dengan > 0,
mengakibatkan E E
0
, I I
0
, R R
0
, N N
0
.
Misalkan persamaan (25) (28) sisi kanannya
sama dengan nol, sehingga diperoleh
pc + I (N E I R) - E = 0,
E - I = 0,
I R = 0,
c N - I = 0.
Urutan menentukan equilibrium untuk > 0,
substitusi N = c - I ke persamaan
pc + I(N E I R) - E = 0,
diperoleh persamaan kuadrat

, 0 ) ( ) ( = + I I I I I c I pc




. 0 ) ( ) (
2
= + + + + pc I c I
Jika p = 0, maka salah satu akarnya adalah I
*
= 0,
dan akar lainnya adalah

.
) (
*


+ + +

=
c
I

Positif jika dan hanya jika c - > 0.
Jika p > 0, persamaan kuadratik
0 ) ( ) (
2
= + + + + pc I c I
Pemodelan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 476
mempunyai satu akar positif dan satu akar
negatif. Equilibrium bebas penyakit, I = 0, terjadi
pada p = 0, jika negatif (secara biologi tidak
feasible). Akar positifnya adalah
I
*
=
) ( 2
) ( 4 ) (
2


+ + +
+ + + + + pc c c
,
dengan
=
+ + +
+
=

) ( 2
| |
lim
*
0

c c
I
p

.
0 jika ,
) (
0 ) ( jika , 0

>
+ + +

<




c
y
c
c
(33)
Maka untuk c - = 0 adalah suatu threshold,
ada suatu basic reproduction number
R
0
=
) 1 )( 1 ( + + +
=

c c
. (34)
Berdasarkan bentuk basic reproduction number di
atas, diperoleh Teorema 4 dan Teorema 5 berikut.

Analisis Kestabilan

Teorema 4 (Guihua Li, dkk., [4])
Jika R
0
1, equilibrium bebas penyakit P
0
ketika
p = 0 adalah stabil secara asimtotik global di T.
Sistem (25) - (28) hanya mempunyai equilibrium
endemik P
*
= (E
*
,I
*
,R
*
,N
*
).
Berikut diberikan teorema kestabilan equilibrium
endemik yang dinyatakan dalam Teorema 5
berikut.

Teorema 5 (Guihua Li, dkk., [4])
Pada sistem (25) (28) jika R
0
> 1, equilibrium
endemik P
*
pada waktu p 0 adalah stabil
asimtotik lokal.
Bukti:
Matriks Jacobian sistem (25) (28) di titik
) , , , (
*
1
*
1
*
1
*
1
*
1
N R I E P =
=
|
|
.
|

\
|

c
c
c c c
, , ,
2

dimana
) ( + + + =


|
|
|
|
|
.
|

\
|


=
1 0 0
0 1 0
0 0
) (
) (
*


I I I R I E N I
P J



,
1 0 0
0 1 0
0 0
|
|
|
|
|
|
.
|

\
|

i i i
i
pc
i

dimana

) (
) (

+ + +

= =
c
I i
.


Persamaan karakteristiknya
det(I J(P
*
)) = 0, dimana I matriks
identitas adalah
+ |
.
|

\
|
+ + + + + + + + + + ) (
1
) 1 ( ) 1 (
2 2 2 2 3
i pc i i i i
i
i

( ) 0
) 1 (
2 2 2 2
= + + +
+

i i i pc i
i
.

Persamaan karakteristiknya dapat dinyatakan
dalam bentuk
, 0 ) )( 1 (
0 1
2
2
3
= + + + + a a a
dimana
,
2 2 2 2
0
i i i pc i a + + + =
,
2 2 2
1
i pc i i i i a + + + + =
. 1
2
+ + + = i a
Untuk
2 2 2 2
i i i pc i > + + + dan
,
2 2 2
i pc i i i i > + + + +
maka a
0
, a
1
, a
2
> 0 dan a
1
a
2
> a
0.
Menurut kriteria
Hurwitz, equilibrium epidemik
*
1
P stabil
asimtotik lokal.
Untuk membuktikan stabil global pada
equilibrium, misalkan = 0 pada sistem (25)
(28) dan definisikan variabel baru
. , , , R
A
r I
A
i E
A
e S
A
s

= = = =

Sehingga sistem persamaan (21) (24) menjadi
, ) 1 ( s si c p
d
ds
=

(35)
, ) 1 ( e si c p
d
de
+ + =

(36)
, ) 1 ( i e
d
di
+ =

(37)

, r i
d
dr
=

(38)
dengan N
1
(t) = s(t) + e(t) + i(t) + r(t). Persamaan
diferensial total populasi N
1
adalah
1
1
1 N
d
dN
=

.
Karena variabel r tidak terlibat pada persamaan
(35) (38), maka persamaan tersebut dapat
dinyatakan dalam persamaan berikut:

, ) 1 ( s si c p
d
ds
=

(39)

, ) 1 ( e si c p
d
de
+ + =

(40)

, ) 1 ( i e
d
di
+ =

(41)
dengan N
2
(t) = s(t) + e(t) + i(t). Persamaan
diferensial total populasi N
2
adalah

. 1
2
2
N i
d
dN
=


Daerah feasiblenya adalah
{ }. 1 0 , 0 , , : ) , , (
2
3
2
+ + =
+
N i e s i e s R i e s D
Pemodelan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 477
Misalkan ) , , (
*
1
*
1
*
1
*
i e s Q = adalah titik
equilibrium tunggal positif dari sistem persamaan
(39) (41). Matriks Jacobian dari sistem
persamaan (39) (41) adalah
.
1 0
1
0 1
(
(
(




=



s c i c
s c i c
J
(42)
Li dan Muldowney, [8], memperoleh
syarat cukup keadaan penyakit di Q
*
adalah stabil
asimtotik global, dengan pendekatan secara
geometri.

Misalkan x f(x) R
n
adalah suatu fungsi,
untuk x pada himpunan terbuka T R
n
.
Equilibrium x dikatakan stabil global di T, jika
x stabil lokal dan semua trayektory di T
konvergen ke x .

Solusi sistem persamaan diferensial (17) - (20)
secara analisis sulit dikerjakan, pendekatan
penyelesaiannya digunakan metode grafik dengan
mengambil parameter-parameter A = 0,08; p =
0,05; = 0,15; = 0,1; = 0,2; = 0,03;
= 0,04, sehingga diperoleh grafiknya seperti
Gambar 4 di bawah ini.

Gambar 4. Model Epidemik tipe SEIR dengan
Imigran Persamaan (17) (20)

KESIMPULAN

Model SEIR merupakan pengembangan dari
model SIR dengan menambahkan variabel
E(exposed). Pada model epidemik tipe SEIR ada
dua kemungkinan equilibrium, yaitu equilibrium
nonendemik dan equilibrium endemik. Jika basic
reproduction number R
0
< 1 equilibrium bebas
penyakit stabil asimtotik global. Jika basic
reproduction number R
0
> 1 equilibrium endemik
stabil asimtotik lokal. Pada saat R
0
= 1 terjadi
transcritical bifurcation. Pada waktu
0
=0, tidak
ada kejadian recovery penyakit, sehingga model
pada persamaan (17) (20) dapat direduksi
menjadi tipe SEI.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Anderson, R. M., dan May, R. M., 1992.
Infectious Diseases of Human, Dynamics
and Control. Oxport University Press.
[2] Castilo-Chaves, C and Feng, Z., 1998.
Global Stability of an Age-Structure Model
for TB and its Applications to Optimal
Vaccination Strategies, Mathematical
Biosciences 151: 135-154.
[3] Diekmann, O dan Heesterbeek, 2000.
Mathematical Epidemology of Infectious
Diseases, John Wiley & Sons Ltd.
[4] Guihua Li, Wendi Wang, and Zhen Jin,
2006. Global Stability of an SEIR Epidemic
Model with Constan Immigration, Chaos
Solution and Fractals 30:1012-1019.
[5] Guihua Li and Zhen Jin, 2005. Global
Stability of a SEIR Epidemic Model with
Infectious Force in Latent, Infected and
Immune Period, Chaos Solution and
Fractals, 25: 1177-1184.
[6] Li, G. and Jin, Z., 2005. Global Stability of
a SEIR Epidemic Model with Infectious
Force in Latent, Infected and Immune
Period, Chaos, Solitons and Fractals 25:
11771184.
[7] Li, M. Y. et al. 1999. Global dynamics of a
SEIR Model with Varying Total Population
Size. Mathematical Biosciences 160: 91-213.
[8] Li, M.Y and Muldowney, J. S., 1996. A
Geometric Approach to the Global-Stability
Problems. SIAM J Math Anal, 27:107083.
[9] Li, M. Y. and Muldowney, J. S., 1995.
Global Stability for the SEIR Model in
Epidemiology, Math. Biosci., 125:155-164.
[10] Zhang, J. and Ma, Z., 2003. Global
dynamics of an SEIR Epidemic Model with
saturating Contact rate, M
0 5 10 15 20 25 30
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Waktu
S
E
I
R
Grafik Sistem PD Persamaan (17) - (20)
Susceptible
Exposed
Infectious
Recovered

Pemodelan



Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 479
ANALISIS BASI C REPRODUCTI ON NUMBER
MODEL DETERMINISTIK KECANDUAN NARKOBA
DENGAN FAKTOR REHABILITASI

Kasbawati
Jurusan Matematika Universitas Hasanuddin, Makassar, 90245

kasbawati_sains_98@yahoo.com


ABSTRAK

Masalah kecanduan narkoba merupakan masalah yang cukup meresahkan pemerintah dan masyarakat pada
umumnya. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk menanggulangi hal tersebut, salah satunya melalui program
rehabilitasi bagi para pecandu narkoba. Dalampenelitian ini dilakukan pendekatan deterministik untuk memodelkan
masalah kecanduan narkoba dengan memanfaatkan model epidemiologi untuk mengetahui secara umumbagaimana
model pertumbuhan pecandu narkoba dalam suatu populasi yang tertutup, dan melihat sejauh mana efektifitas
programrehabilitasi yang telah dilakukan untuk mengurangi jumlah pemakai narkoba. Basic Reproduction Number
(R
0
) merupakan suatu besaran tak berdimensi dalam model epidemiologi yang dapat menunjukkan tingkat
keendemikan kasus kecanduan dalamsuatu populasi. Analisis nilai R
0
dari model yang terbentuk diperlukan untuk
menyelidiki seberapa besar pengaruh rehabilitasi dan parameter-parameter lain yang terlibat dalamproses pemodelan,
yang dapat dijadikan sebagai kontrol dalamhal penurunan jumlah pecandu narkoba. Analisis model yang dilakukan
secara kualitatif menggunakan metode linearisasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat suatu nilai ambang
yang akan mengakibatkan tingkat pertambahan jumlah pecandu narkoba dapat ditekan sehingga kondisi endemik
akibat narkoba dapat dihindari. Selain faktor rehabilitasi yang harus ditingkatkan dalam hal penurunan jumlah
pemakai narkoba, secara interpretasi, hasil analisis juga menunjukkan bahwa isolasi terhadap para pecandu yang
berperan ganda sekaligus sebagai pengedar, juga harus dilakukan karena hal tersebut akan berakibat pada penekanan
intensitas peredaran narkoba itu sendiri.

Keywords: Kasus narkoba, model epidemiologi, linerisasi, basic reproduction number.


PENDAHULUAN

Masalah narkoba merupakan masalah yang sangat
memprihatinkan karena menyangkut perilaku
sebagian generasi muda yang terperangkap pada
penyalahgunaan narkoba tersebut. Sasaran pasar
peredaran narkoba sekarang ini tidak terbatas
pada orang-orang yang berasal dari keluarga yang
broken home, orang yang frustasi maupun orang-
orang yang berkehidupan malam, namun telah
merambah ke kalangan mahasiswa dan pelajar
[5]. Meskipun pada dasarnya narkoba merupakan
obat atau bahan yang bermanfaat di bidang
pengobatan, pelayanan kesehatan, dan
pengembangan ilmu pengetahuan, namun
pemakaian yang salah dan tidak terkontrol oleh
pihak yang berwenang dapat menimbulkan
ketagihan dan ketergantungan. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah
tersebut adalah dengan menangkap para pengedar
dan para pecandu narkoba serta merehabilitasi
para pecandu [6].

Masalah kecanduan narkoba ini merupakan salah
satu fenomena yang menarik untuk dikaji secara
matematika karena menyangkut perilaku
menyimpang dari kalangan pengguna obat-obatan
tersebut. Analisis secara matematika dapat
menghasilkan suatu policy yang dapat diterapkan
untuk menekan laju pertambahan jumlah pecandu
narkoba khususnya dikalangan remaja. Pada
penelitian ini akan dikembangkan model
deterministik pada masalah kecanduan narkoba
dengan memasukkan faktor rehabilitasi dan
menganalisis seberapa besar pengaruh faktor
rehabilitasi tersebut terhadap penurunan jumlah
pecandu narkoba dan bagaimana menentukan
faktor lain yang dapat dijadikan parameter
pengontrol dalam hal penurunan jumlah pecandu
narkoba.

Makalah ini akan dibagi dalam beberapa bagian.
Pada bagian kedua dijelaskan mengenai bahan
dan metode dalam penelitian ini, bagian ketiga
akan diformulasikan model matematika dari kasus
ini dan hasil yang diperoleh akan diberikan pada
bagian keempat beserta diskusi mengenai hasil
yang diperoleh. Kesimpulan penelitian akan
diberikan pada akhir bagian makalah ini.

BAHAN DAN METODE

Proses pemodelan dilakukan secara bertahap,
yang diawali dengan studi literatur, referensi dan
berbagai situs internet mengenai kasus kecanduan
narkoba sehingga data yang digunakan pada
umumnya adalah data sekender. Pengumpulan
parameter dan variabel model dilakukan setelah
Pemodelan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 480
studi literatur. Model yang terbentuk berupa
sistem persamaan differensial non linier yang
solusinya sulit diperoleh secara eksplisit.
Akibatnya dalam analisis kualitatif model, akan
ditinjau solusi kesetimbangan model. Metode
yang digunakan dalam menganalisis kestabilan
solusi keseimbangan tersebut adalah metode
linearisasi, yakni dengan memanfaatkan bagian
linier dari model dengan asumsi bahwa untuk
pendekatan yang cukup kecil, kelakuan dari
bentuk linier model tidak akan jauh berbeda dari
bentuk non liniernya.

FORMULASI MODEL MATEMATIKA

Pada penelitian ini, model yang akan dikaji adalah
model deterministik dengan memanfaatkan model
epidemiologi, dengan batasan pengamatan pada
populasi yang tertutup. Seperti yang terlihat
dalam Gambar 1, populasi yang diamati dibagi
menjadi empat kompartemen yaitu manusia sehat
(S); manusia yang kecanduan narkoba baik secara
pasif maupun aktif (P), dimana para pecandu aktif
berpeluang untuk menyebabkan bertambahnya
jumlah pecandu; manusia pecandu yang
direhabilitasi dengan cara diterapi (T); dan
manusia yang sembuh dari kecanduan secara
permanen akibat terapi yang sukses dilakukan
terhadap pecandu (R).


Gambar 1. Diagramskematik model kecanduan
narkoba dengan faktor rehabilitasi.

J umlah populasi setiap saat dianggap konstan
sehingga jumlah populasi yang masuk ke dalam
sistem ( ) N diasumsikan akan sama dengan
jumlah populasi yang keluar dari tiap
kompartemen ( ) R T, P, , S dengan

1
menyatakan lamanya seseorang akan berada
dalam sistem (lama hidup seseorang).
Diasumsikan seseorang akan menjadi pecandu
hanya jika berinteraksi dengan para pecandu aktif.
Pengaruh tersebut dapat terjadi melalui kontak (c)
yang didefinisikan sebagai rata-rata banyaknya
interaksi secara acak berupa pergaulan antara para
pecandu aktif dengan manusia sehat yang rentan
per satuan waktu dengan peluang berhasilnya
pengaruh dari pecandu aktif sebesar . Interaksi
ini dimodelkan dalam bentuk perkalian antara P
dan S yaitu
N
P
S
, dengan . c = J adi jika
seseorang yang sehat bergaul dengan para
pecandu aktif maka orang tersebut akan menjadi
pecandu pula dengan peluang tertentu, karena
dipicu oleh keinginan untuk mecoba. Selanjutnya,
jumlah pecandu yang mendapatkan terapi
kesembuhan per satuan waktu dimodelkan dalam
bentuk P , dengan

1
menyatakan lamanya
seseorang menjadi pecandu dan kemudian
direhabilitasi (diterapi). J umlah pecandu yang
sembuh setelah diterapi, dimodelkan dalam
bentuk T , dengan

1
adalah lamanya seseorang
diterapi dan kemudian sembuh. Pecandu yang
berhasil sembuh akibat terapi tidak dimasukkan
dalam kelas manusia sehat yang rentan karena
dianggap bahwa kesembuhan tersebut akan
permanen. Terdapat pecandu yang telah diterapi,
tetapi setelah terapi dilakukan orang tersebut
kembali menjadi pecandu per satuan waktu, yang
dimodelkan dalam bentuk T , dimana waktu
rata-rata yang dibutuhkan untuk kembali menjadi
pecandu setelah diterapi sebesar

1
. Dari asumsi-
asumsi di atas diperoleh model matematika dari
kasus narkoba dalam bentuk sistem persamaan
differensial non linier sebagai berikut:
( )
( )
( )
( ) ,
N
t P
t S N
t S
t S =
dt
d
( )
( )
( )
( ) ( ) ( ) , t P t P t T
N
t P
t S
t P
+ =
dt
d
( )
( ) ( ) ( ) ( ) , t T t T t T t P
t T
=
dt
d
( )
( ) ( ) . t R t T
t R
=
dt
d

Semua parameter yang terlibat dalam model (1)
diasumsikan positif. Karena populasi konstan
maka R. T P S N + + + = Untuk mempermudah
proses analisis maka persamaan (1) akan
dinormalkan sehingga diperoleh parameter dan
variabel yang sudah tidak bergantung pada
dimensi masing-masing. Misalkan diberikan
variabel baru, yaitu:
N
R
W ,
N
T
Z ,
N
P
Y ,
N
S
X = = = = dan t. =
J ika variabel baru (2) disubtitusi ke persamaan
(1), maka diperoleh model yang tidak bergantung
pada dimensi, yaitu:
, Y X

1
X
X =
d
d
, Y Y Z Y X

Y
+ =
d
d

, Z Z Z Y
Z
=
d
d

. W Z
W
=
d
d

dengan

=
,

=
,

= , dan

=

merupakan parameter yang tidak berdimensi.
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
Pemodelan



Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 481
J adi proses normalisasi mereduksi parameter N
dan sehingga model yang akan dianalisis pada
bagian selanjutnya akan lebih sederhana.

HASIL DAN DISKUSI

Eksistensi dan Kestabilan Titik
Kesetimbangan yang Bebas Pecandu

Titik kesetimbangan yang bebas pecandu dalam
model epidemiologi disebut sebagai titik tak
endemik yaitu salah satu solusi kesetimbangan
sistem yang memberikan makna bahwa populasi
pecandu sudah hilang sama sekali di dalam
sistem. Kestabilan titik kesetimbangan ini dapat
ditentukan melalui nilai karateristik dari matriks
J acobi sistem yang diperoleh melalui linearisasi
sistem di sekitar titik kesetimbangan ([4]).
Sebelumnya, didefinisikan daerah keberadaan
sistem, yaitu
( ) { }. 0 R T, P, S, R T, P, S, : = D
Solusi kesetimbangan sistem (3) yang memenuhi
(4) salah satunya adalah
( ) ( ) 0 , 0 , 0 , 1 W , Z , Y , X T
1
= =


yang merupakan titik kesetimbangan yang bebas
pecandu. Analisis kestabilan titik kesetimbangan
tersebut diberikan dalam teorema berikut.

Teorema 1.
Misalkan T
1
adalah titik kesetimbangan yang
bebas pecandu dari persamaan (3). Titik tersebut
stabil asimtotik secara lokal jika R
0
< 1, dengan
nilai
1

0
+ + + +
+ +
=


R
.
Bukti:
Tinjau sistem dalam persamaan (3). J ika
persamaan tersebut dilinearkan di sekitar titik
kesetimbangan T
1
diperoleh matriks J acobi, yaitu:
( ) .
1 0 0
0 1 0
0 1

0
0 0

1
1




T J

Persamaan karateristik dari matriks tersebut
adalah

( )
1 0 0
0 1 0
0
1
0 1 0
0 0 1
J T I

= =


yang menghasilkan nilai karateristik, dua
diantaranya adalah
12
1 =
dan dua nilai
karakteristik lainnya dapat diperoleh dengan
meninjau trace dan determinan dari matriks

1

1
A




=



.

Dua akar-akar karakteristik lainnya akan bernilai
negatif jika det( ) 0 A > dan trace( ) 0 A < . Syarat
ini akan dipenuhi jika dan hanya jika
. 1
1

<
+ + + +
+ +


J ika
1

:
0
+ + + +
+ +
=


R

maka terbukti bahwa titik kesetimbangan T
1
akan
stabil asimtotik secara lokal jika . 1
0
< R

Eksistensi dan Kestabilan Titik
Kesetimbangan Pecandu

Titik kesetimbangan pecandu dalam model
epidemiologi disebut sebagai titik kesetimbangan
endemik, yang memberikan makna bahwa
populasi pecandu aktif akan selalu ada dan
berpeluang untuk menyebabkan orang lain
menjadi pecandu. Seperti halnya dengan titik
kesetimbangan tak endemik, syarat kestabilan titik
kesetimbangan endemik dapat ditentukan melalui
nilai karateristik dari matriks J acobi sistem yang
diperoleh melalui linearisasi sistem di sekitar titik
kesetimbangan. Titik kesetimbangan kedua yang
diperoleh dari persamaan (3) adalah T
2
=(X
**
, Y
**
,
Z
**
, W
**
), dimana

1
X
+ +
+ + + +
=

,
( )
( )

1
Y
+ + + +
+ + + +
=

,
( )
( )( )
( )
( )( )
.
1 1

1
W
1 1

1
Z
+ + + + + +
+ + + +
=
+ + + + + +
+ + + +
=






Titik kesetimbangan tersebut dapat pula ditulis
dalam bentuk lain, yaitu
0
R
1
X =

,
( )

1 R
Y
0

=

,
( )
( )

1 R
Z
0
+ +

=

,
( )
( )

1

1 R
W
0
+ +

=


, dengan
1

0
+ + + +
+ +
=


R
.
Dari bentuk di atas terlihat dengan jelas bahwa
titik T
2
akan berada di D jika dan hanya jika nilai
. 1
0
> R Analisis kestabilan titik tersebut diberikan
dalam teorema berikut.

Teorema 2.
Misalkan T
2
adalah titik kesetimbangan endemik
dari persamaan (3). Titik tersebut stabil asimtotik
secara lokal jika R
0
> 1, dengan
1

:
0
+ + + +
+ +
=


R
.

Bukti:
(6)
(4)
Pemodelan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 482
Seperti yang dilakukan dalam pembuktian
teorema sebelumnya, diperoleh linearisasi
persamaan (3) di sekitar titik kesetimbangan T
2
,
yaitu:
( )
( )




=

1 0 0
0 1 0
0 1
R

1 R
0 0
R

R
0
0
0
0
2

T J
.
Persamaan karakteristik dari matriks tersebut
adalah
( )
( )
0
1 0 0
0 1 0
0 1
R

1 R
0 0
R

R
0
0
0
0
2
=




=



I T J
.
yang menghasilkan salah satu nilai eigen 1
1
=
dan persamaan
0
2 3
= + + + c b a ,
dengan

+ + + +
=
0
0 0 0 0
2
0
R
R R R 2 R R
a
,
,
R
R R R 2 R R R R R R 2
0
0 0 0 0
2
0
2
0
2
0 0
2
0

+ + + + + + + +
=

b

+ + + +
=
0
2
0
2
0
2
0
2
0
2
0
R
R R R R R
c
.
Dengan menggunakan kriteria kestabilan Routh
Hurwitz ([3]) maka diperoleh hasil bahwa
persamaan (5) akan mempunyai tiga akar real
yang negatif atau kompleks dengan bagian real
yang negatif jika
1
1

>
+ + + +
+ +


.
J ika
1

:
0
+ + + +
+ +
=


R
maka terbukti bahwa
titik kesetimbangan T
2
akan stabil asimtotik
secara lokal jika . 1
0
> R

Analisis Basic Reproduction Number Model

Tinjau nilai R
0
yang diperoleh melalui eksistensi
T
2
dan analisis kestabilan T
1
dan T
2
dalam dua
teorema pada bagian sebelumnya, yaitu
( )
( ) ( ) 1 1
1

0
+ + + +
+ +
=


R .
Dalam masalah kecanduan narkoba, R
0

didefinisikan sebagai jumlah rata-rata kasus
sekunder yang dihasilkan oleh seorang pecandu
aktif, pada saat ia berinteraksi dalam sebuah
populasi yang sehat tanpa pecandu. Besaran ini
juga dapat didefinisikan sebagai rata-rata
pertumbuhan awal (multiplication factor) dari
kasus kecanduan narkoba sehingga besaran ini
mempunyai nilai ambang 1 ([1,2]). Dari analisis
eksistensi titik T
2
, khususnya untuk populasi
pecandu aktif, yaitu
( )

1 R
Y
0

=

, terlihat
bahwa keberadaan
**
Y di dalam feasible region D
sangat bergantung dari nilai
0
R (Gambar 2).


Gambar 2. Diagramperubahan eksistensi
**
Y dan
sekaligus perubahan kestabilan dari T
2
.

Kestabilan titik kesetimbangan yang bebas
pecandu dalam model ini sangat diharapkan
karena jika titik ini stabil maka solusi pada
akhirnya akan bergerak menuju titik tersebut
untuk . Ini berarti bahwa pada akhirnya
populasi pecandu, khususnya para pecandu aktif,
akan hilang dari dalam sistem sehingga jumlah
pecandu dapat direduksi sedikit demi sedikit.
Analisis sebelumnya menunjukkan bahwa untuk
membuat titik kesetimbangan tersebut stabil maka
nilai R
0
harus kurang dari 1. Dalam bentuk
parameter yang berdimensi, R
0
dapat dituliskan
menjadi
( )
( ) ( )
. :
0


+ + + +
+ +
= R

Beberapa parameter yang dapat dikontrol agar
nilai R
0
cukup kecil diantaranya adalah parameter
rata-rata lamanya seseorang berada dalam sistem
( ) , rata-rata kontak ( ) , rata-rata rehabilitasi ( ),

rata-rata kesembuhan setelah rehabilitasi ( ), dan
parameter rata-rata kegagalan setelah rehabilitasi
( ) . Parameter yang menarik untuk ditinjau
adalah rata-rata kontak dan rata-rata rehabilitasi,
walaupun pada kenyataannya, kontak atau
interaksi antara pecandu aktif yang berperan
ganda sebagai pengedar dengan manusia sehat,
sulit untuk dideteksi bahkan dibatasi. Berbeda
dengan rata-rata rehabilitasi, hal ini dapat
dikontrol dengan cara meningkatkan program
(5)
Pemodelan



Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 483
rehabilitasi bagi para pecandu dan berusaha
meningkatkan keberhasilan terapi tersebut.

Tinjau kembali nilai R
0
yang telah diperoleh
sebelumnya. J ika nilai R
0
= 1 (nilai bifurkasi
sistem), maka diperoleh persamaan
( )
( )
.



+ +
+
+ =

J ika diasumsikan parameter lain tetap, maka
diperoleh hubungan parameter yang berbanding
lurus dengan (Gambar 3). Ini berarti bahwa
semakin banyak manusia yang kecanduan
narkoba akibat gencarnya peredaran narkoba oleh
para pecandu aktif, maka program rehabilitasi
juga harus semakin ditingkatkan.


Gambar 3. Grafik hubungan antara rata-rata kontak,
dengan rata-rata banyaknya terapi, .

Selain itu, secara matematis juga dapat dikatakan
bahwa program rehabilitasi yang dilakukan akan
efektif untuk mengontrol nilai R
0
jika
( )
( )
( )
.




+

+ >

Perbandingan antara rata-rata rehabilitasi yang
dilakukan dengan rata-rata keberhasilannya dapat
dilihat dalam Gambar 4.


Gambar 4. Daerah efektifitas rehabilitasi.

Dalam gambar tersebut dapat dilihat bahwa
terdapat suatu nilai ambang dimana proses
rehabilitasi yang dilakukan sebagai bentuk usaha
untuk menurunkan tingkat endemik akibat kasus
kecanduan narkoba dapat berhasil, selama
parameter dapat terkontrol untuk berada dalam
daerah efektifitas rehabilitasi. Perbandingan
antara keberhasilan dan kegagalan usaha
rehabilitasi yang dilakukan dapat dilihat dalam
Gambar 5.


Gambar 5. Grafik hubungan antara rata-rata
rehabilitasi dengan rata-rata keberhasilan dan kegagalan
rehabilitasi tersebut.

Dalam gambar tersebut terlihat bahwa daerah
keberhasilan rehabilitasi lebih luas dibanding
daerah kegagalannya. Ini berarti bahwa
keberhasilan usaha rehabilitasi untuk
menanggulangi para pecandu mempunyai
persentase yang lebih besar dibanding kegagalan
usaha tersebut. Keberhasilan rehabilitasi tersebut
pada kenyataannya dapat diukur berdasarkan
banyaknya pecandu yang sembuh secara
permanen, sedangkan kegagalan rehabilitasi dapat
diukur berdasarkan banyaknya pecandu yang
mengikuti terapi kesembuhan akan tetapi setelah
masa tertentu, mereka tetap kembali menjadi
pemakai.


KESIMPULAN

Dalam penelitian ini, telah dimodelkan masalah
kecanduan narkoba dengan faktor rehabilitasi bagi
pecandu. Hasil analisis menunjukkan bahwa
terdapat suatu nilai ambang yang akan
mengakibatkan tingkat pertambahan jumlah
pecandu narkoba dapat ditekan sehingga kondisi
endemik akibat narkoba dapat dihindari.

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa isolasi
terhadap para pecandu yang berperan ganda
sekaligus sebagai pengedar, juga harus dilakukan
karena hal tersebut akan berakibat pada
penekanan intensitas peredaran narkoba itu
sendiri. Akan tetapi, pada kenyataannya hal ini
tampaknya sulit untuk dilakukan karena pada
umumnya para pelaku, dalam hal ini pengedar,
beroperasi dengan sangat hati-hati sehingga cukup
sulit membedakan antara pecandu yang pasif dan
yang aktif.

Peningkatan program rehabilitasi terhadap para
pemakai merupakan hasil analisis lain yang
diperoleh dan pada kenyataannya dapat dilakukan.
Analisis besaran R
0
model yang diperoleh
(9)
Pemodelan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 484
menunjukkan bahwa rata-rata peluang
kesembuhan seseorang akibat terapi sangat besar,
sehingga hal tersebut dapat menjadi jalan yang
cukup efektif dalam hal menurunkan jumlah
pecandu narkoba.

Pembuktian secara matematis ini diharapkan
dapat dijadikan acuan, khususnya bagi pihak yang
terkait, untuk menetapkan suatu kebijakan
(policy) yang tepat, yang berkaitan dengan
pengadaan program rehabilitasi bagi para pecandu
narkoba, sehingga kondisi endemik akibat
bertambahnya para pemakai obat-obatan terlarang
yang juga berpeluang menjadi pengedar, dapat
dicegah.













































DAFTAR PUSTAKA

[1] Brauer, Fred dan Castillo-Chavez, Carlos,
2000, Mathematical Models In Population
Biology and Epidemiology, Springer,
Vancouver, B.C., Canada.
[2] Diekmann, O dan J . A. P. Heesterbeek,
2000, Mathematical Epidemiology of
Infectious Diseases, J ohn Wiley & Sons Ltd.
New York.
[3] Murray, J .D., 1990, Mathematical biology,
biomathematics texts, Second corrected
edition, Springer-Verlag, New York.
[4] Verhulst, Ferdinand, 1996, Nonlinear
Differential Equation and Dynamical
System, Springer-Verlg., J erman.
[5] Wordpress, 2007, Jenis-jenis Narkoba,
http://antigadis.wordpress.com/, diakses
pada tanggal 18 J uni 2009.
[6] Wordpress, 2008, Jenis-jenis dan Bahaya
Narkoba, http://michelle180594.wordpress.c
om diakses pada tanggal7 Maret 2009.

Pemodelan



Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 485
ANALISIS KESTABILAN PROSES DAUR ULANG NUTRISI
DALAM SUATU KOLAM NUTRISI

Yusfridawati
Program Pascasarjana Matematika Universitas Indonesia

usekesandung@ yahoo.com


ABSTRAK

Proses daur ulang nutrisi yang dibahas pada tulisan ini adalah suatu proses daur ulang nutrisi dalam skala kecil pada
suatu ekosistem sederhana. Dari proses daur ulang nutrisi yang dibahas dalam tulisan ini diperoleh sebuah model
matematika sederhana yang melibatkan tiga komponen di atas yang berada pada kolam nutrisi. Dalam menganalisis
model tersebut ditentukan titik tetapnya dan kestabilannya. Selanjutnya ditetapkan dua kelompok parameter yang
berbeda, masing-masing mempunyai kestabilan yang berbeda dari titik tetapnya. Secara analitik kestabilan ditetapkan
dengan menggunakan kriteria Routh-Hourwitz. Secara analitik diperoleh bahwa untuk kelompok nilai yang pertama,
titik tetap yang pertama bersifat tak stabil, dan titik tetap yang kedua bersifat stabil. Sedangkan untuk kelompok nilai
parameter yang kedua diperoleh titik tetap yang pertama dan kedua bersifat stabil.

Keywords: daur ulang nutrisi, titik tetap, Routh-Hourwitz, kestabilan

PENDAHULUAN

Alam semesta memiliki ekosistem yang
merupakan interaksi antara makhluk hidup
dengan lingkungannya. Di dalam ekosistem
tersebut terdapat satu atau lebih rantai makanan
yaitu proses mengalirnya energi dari proses
memakan dan dimakan. Rantai makanan tersebut
disebut juga proses daur ulang nutrisi.

Pada makalah ini akan dibahas rantai makanan
pada ekosistem air tawar yang disebut juga kolam
nutrisi. Didalam ekosistem air tawar tersebut
terdapat nutrisi abiotik, autotrof, dan detritus.

Dalam beberapa penelitian tentang rantai
makanan, autotrof berperan sebagai produsen
menduduki tingkat trofi yang paling rendah.
Autotrof menjadi sumber makanan bagi spesies
lain yang berada pada tingkat trofi yang lebih
tinggi. Tingkat trofi adalah posisi organisme
dalam suatu rantai makanan.

Dalam tulisan ini akan dianalisis dinamika model
kestabilan dengan menggambarkan orbit dan
melihat kestabilan yang ditinjau. Selanjutnya akan
diinterpretasikan secara fisis.

Untuk menganalisis kestabilan dan
menggambarkan orbit serta dinamika dari model
yang ditinjau, terlebih dahulu akan ditentukan
titik tetapnya, dibantu oleh software Mathematica.

KONSEP DASAR

Komponen proses daur ulang nutrisi yang diteliti
adalah terdiri dari tiga komponen, yaitu:
1. Nutrisi abiotik seperti kalium (K), fosfor (P),
oksigen (O
2
), karbondioksida (CO
2
) dan mineral-
mineral lainnya yang berperan sebagai bahan
mentah yang nantinya digunakan oleh autotrof
untuk membuat makanannya sendiri.
2. Autotrof berperan sebagai produsen.
3. Detritus adalah organisme mati yang nantinya
akan diuraikan menjadi nutrisi abiotik oleh
detritivor dan dekomposer.

Dalam makalah ini, model yang diturunkan dari
proses daur ulang nutrisi di atas merupakan model
yang dibuat oleh Angelis [2].

Dengan demikian proses daur ulang nutrisi dalam
kasus ini dimodelkan oleh sistem persamaan
berikut :

1
+
+

, (1)

=

1

1
+
(
1
+
1
) , (2)

=
1

, (3)

dengan

berturut-turut adalah laju


perubahan dari: nutrisi abiotik, autotrof dan
detritus. adalah jumlah nutrisi abiotik yang
terlarut di dalam air. adalah biomassa autotrof
(gram), dan adalah jumlah detritus (gram).
Parameter

adalah jumlah nutrisi abiotik yang


masuk ke dalam kolam air tawar per satuan
waktu.

adalah tingkat kehilangan nutrisi abiotik


karena keluarnya air dalam kolam.
1
adalah
koefisien tingkat jenuh nutrisi.
1
adalah tingkat
pertumbuhan autotrof.
1
dan
1
adalah berturut-
turut mewakili tingkat kematian autotrof yang
masih berada dalam kolam dan yang keluar
kolam.

adalah laju remineralisasi dari detritus.

adalah banyaknya detritus yang meninggalkan


kolam, dan adalah konstanta yang menyatakan
Pemodelan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 486
perbandingan banyaknya nutrisi dengan
banyaknya organisme autotrof dan detritus.

PENENTUAN TITIK TETAP DAN
PELINEARAN

Setelah dilakukan proses penentuan titik tetap,
diperoleh titik tetapnya yaitu :
1
=

, 0,0 dan

2
= (
2

,
2

,
2

) dengan

=

1
(
1
+
1
)

1

1

1

1
(
1
+
1
)

1

1

1

1
+
1

1

1

=

1

+

1

1
(
1
+
1
)

1

1

1

1
(
1
+
1
)(

)


Bentuk linear persamaan (1), (2) dan (3) adalah

=
dengan
=


= [ ]



Pada persamaan diatas, merupakan matriks
Jacobi yang didefinisikan sebagai berikut :
=

(4)
Diperoleh matriks Jacobi dalam bentuk

1
(
1
+

)
2

(
1
+

1
(
1
+

)
2

(
1
+

)

1

1
0
0
1


(5)

Persamaan karakteristik dari persamaan (5),
adalah
det( ) = 0
dengan nilai eigen , dan matriks identitas.

Berdasarkan bentuk pada persamaan (5)
diperoleh persamaan karakteristik berikut :

3
+

(
1
+

)
2

2
+

(
1
+

)
2
+

(
1
+

)
3
+

1
(
1
+

)
2
= 0 (6)





ANALISIS KESTABILAN TITIK TETAP

Untuk menganalisis kestabilan masing-masing
titik tetap, dapat digunakan dua cara. Pertama,
menggunakan kriteria nilai-nilai eigen dari
matriks Jacobi. Kedua menggunakan kriteria
Routh-Hourwitz. Dalam kriteria Routh-Hourwitz,
sistem akan stabil jika persamaan karakteristiknya
berbentuk
3
+
2
+ + = 0 dengan
> 0, > 0 dan > 0.

Kestabilan pada titik tetap pertama

Tinjau titik tetap
1
=

, 0,0. Jika titik tetap


1

disubstitusikan ke dalam matriks Jacobi pada
persamaan (5), maka diperoleh :

1
+

0
1

1
+

1
+

0
0
1



Persaman karakteristiknya adalah
(

)
1

1
+

1
+

) = 0
dengan solusi dalam bentuk :

1
=

2
=
1

1
+

1
+

3
=



Titik tetap
1
=

, 0,0 merupakan titik tetap


stabil, jika
1
+
1
>

1
+

. Sebaliknya titik
tetap
1
tidak stabil, jika
1
+
1
<

1
+

.

Kestabilan pada titik tetap kedua

Dengan cara yang sama, substitusikan titik tetap

2
= (
2

,
2

,
2

) ke dalam matriks Jacobi pada


persamaan (5), diperoleh matriks Jacobi hasil
substitusi sebagai berikut :

11

12

13

21

22

23

31

32

33
,
dengan

11
=

+
(
1
+
1
)
1

1

1

1

1
+
(
1
+
1
)
1

1

1

1

1

1
+

1

1
+
1

21
=

1

+
(
1
+
1
)
1

1

1

1

1
+
(
1
+
1
)
1

1

1

1

1

1
+

1

1
+
1


Pemodelan



Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 487

31
= 0

12
=
(
1
+
1
)
1

(
1

1

1
)
1
+
(
1
+
1
)
1

1

1

1

22
=
1

1

(
1
+
1
)
1
(
1

1

1
)
1
+
(
1
+
1
)
1

1

1

1

32
=
1

13
=

23
= 0

33
=




Dengan demikian, persamaan karakteristik dari
titik
2
adalah

3
+
2
+ + = 0
dengan
=

+
(
1
+
1
)
1

1

1

1

1
+
(
1
+
1
)
1

1

1

1

1

1
+

1

1
+
1

(
1
+
1
)
1
2

1
2

+
(
1
+
1
)
1

1

1

1

(
1

1

1
)
1
+
(
1
+
1
)
1

1

1

1

1

1
+

1

1
+
1

+
(
1
+
1
)
1

1

1

1

1
+
(
1
+
1
)
1

1

1

1

1

1
+

1

1
+
1

+
(
1
+
1
)
1

1

1

1

1
+
(
1
+
1
)
1

1

1

1

1

1
+

1

1
+
1



Berdasarkan kriteria Routh-Hourwitz, titik
2

stabil jika syarat berikut dipenuhi :

<
(
1
+
1
)
1

1

1

1

dan
(
1
+
1
) <

1

1
+
1


Sedangkan jika syarat tersebut tidak dipenuhi
maka titik tetap
2
bersifat tidak stabil.

ORBIT DAN DINAMIKA SISTEM KOLAM

Untuk menganalisis kestabilan dari kedua titik
tetapnya diperlukan dua kelompok nilai parameter
(berdasarkan nilai-nilai parameter

, ,
1
,
1
,

,
1
,
1
,

yang diperoleh dari beberapa


percobaan menggunakan software Mathematica).
Nilai kedua kelompok tersebut diberikan pada
tabel berikut.





Tabel 1. Kelompok nilai-nilai parameter

Parameter
Kelompok Nilai Parameter
Pertama Kedua

0,01 0,1
0,02 0,02

1
0,3 0,05

1
0,5 0,01

1 1

0,05 0,05

1
0,01 0,05

1
0,005 0,005

0,1 0,1

Setelah menggambarkan orbit untuk masing-
masing kasus di sekitar titik-titik tetapnya
selanjutnya digambarkan dinamika dari nutrisi,
organisme autotrof, dan organisme detritus pada
masing-masing kasus dengan menggunakan kedua
kelompok parameter yang telah ditentukan di atas
serta mengambil nilai-nilai awal: [0] = 50,
[0] = 0,005, [0] = 0,005.

Orbit di sekitar titik tetap pertama
(untuk parameter kelompok yang kedua)


Gambar 1. Orbit kestabilan
titik
1
= (2,0,0) pada bidang (, )

Gambar 2. Orbit Kestabilan
titik
1
= (2,0,0) pada bidang (, )

Pemodelan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 488

Gambar 3. Orbit kestabilan
titik
1
= (2,0,0) pada bidang (, )

Berdasarkan gambar orbit diatas dapat dilihat
bahwa orbit-orbit bergerak mendekati titik tetap

1
. Hal ini memberikan kestabilan bagi titik tetap

1
untuk parameter kelompok yang kedua.

Dinamika pada titik tetap pertama

Gambar 4. Dinamika nutrisi abiotik
dengan nilai awal [0] = 50


Gambar 5. Dinamika organisme autotrof
dengan nilai awal [0] = 0,005

Gambar 6. Dinamika organisme detritus
dengan nilai awal [0] = 0,005

Gambar 4, 5, dan 6 di atas memperlihatkan
dinamika dari nutrisi abiotik, autotrof, dan
detritus. Selama proses daur ulang nutrisi
berlangsung pada kelompok parameter yang
kedua. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa
pada saat proses berlangsung, banyaknya nutrisi
abiotik mengalami penurunan karena nutrisi
abiotik tersebut digunakan oleh autotrof untuk
membuat makanannya sendiri. Karena itulah
banyaknya autotrof mengalami peningkatan.
Tetapi seiring dengan meningkatnya jumlah
autotrof, jumlah detritus tidak mengalami
peningkatan melainkan jumlah detritus tersebut
menurun. Hal ini dikarenakan oleh tingginya
kematian autotrof yang keluar dari sistem yang
disebabkan oleh kebocoran kolam.

Selanjutnya, autotrof mengalami penurunan
karena jumlah nutrisi abiotik yang digunakan
autotrof makin lama makin menurun. Sementara
itu, jumlah detritus terus menerus mengalami
penurunan.

Dalam kasus ini, organisme autotrof yang terus
mengalami penurunan, pada akhirnya tidak dapat
berkembang sehingga mendekati kepunahan. Hal
tersebut dikarenakan oleh beberapa hal,
diantaranya adalah input nutrisi abiotik yang
dibutuhkan oleh autotrof tersebut kurang dan
mengalami kejenuhan, atau tingkat kebocoran dari
kolam yang tinggi sehingga nutrisi abiotik keluar
dari sistem. Penyebab lainnya adalah tingginya
tingkat kematian autotrof, atau juga dikarenakan
rendahnya tingkat pertumbuhan autotrof tersebut.
Kepunahan autotrof dapat menyebabkan
kepunahan bagi detritus yang diawali dengan
menurunnya jumlah detritus. Penurunan detritus
tentu saja diakibatkan oleh kurangnya jumlah
autotrof yang sudah mati yang masih berada
dalam kolam. Oleh karena jumlah autotrof yang
mati dan berada dalam kolam terus mengalami
penurunan dan pada akhirnya mendekati
kepunahan, maka hal ini menyebabkan jumlah
nutrisi abiotik yang dihasilkan oleh hasil urai
detritus pun juga akan mengalami penurunan.
Dengan demikian, jumlah detritus tidak
bertambah sampai mendekati kepunahan,
mengakibatkan nutrisi mengalami kesetimbangan.

Orbit di sekitar titik tetap kedua
(untuk parameter kelompok yang pertama)



Gambar 7. Orbit kestabilan titik

2
= (0.0263158,41,5332,0.188787)
pada bidang (, )
Pemodelan



Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 489

Gambar 8. Orbit kestabilan titik

2
= (0.0263158,41,5332,0.188787)
pada bidang (, )

Gambar 9. Orbit kestabilan titik

2
= (0.0263158,41,5332,0.188787)
pada bidang (, )

Gambar 7, 8, dan 9 di atas menggambarkan titik
tetap
2
yang bersifat stabil untuk parameter
kelompok pertama. Orbit bergerak mendekati titik

2
tersebut.

Dinamika pada titik tetap kedua

Gambar 10. Dinamika nutrisi abiotik
dengan nilai awal [0] = 50


Gambar 11. Dinamika organisme autotrof
dengan nilai awal [0] = 0,005

Gambar 12. Dinamika organisme detritus
dengan nilai awal [0] = 0,005

Berbeda dengan gambar dinamika sebelumnya,
dari gambar dinamika di atas dapat dilihat pada
awal terjadinya proses daur ulang nutrisi, jumlah
nutrisi mengalami penurunan yang menyebabkan
kenaikan jumlah autotrof, karena autotrof
menggunakan nutrisi abiotik tersebut sebagai
bahan untuk membuat makanannya sendiri.
Peningkatan jumlah autotrof tersebut
menyebabkan peningkatan pada detritus, seiring
dengan tingginya tingkat kematian autotrof yang
masih berada dalam kolam. Hasil uraian dari
detritus akan kembali menjadi nutrisi abiotik. Hal
inilah yang menyebabkan pada selang waktu
berikutnya jumlah nutrisi abiotik akan mengalami
peningkatan sampai akhirnya setimbang. Namun
sebelum mengalami peningkatan, pada selang
waktu tertentu jumlah nutrisi akan terus menurun
sehingga mengakibatkan jumlah organisme
autotrof berkurang, karena jumlah bahan makanan
yang digunakan untuk membuat makanannya
sendiri juga berkurang. Seiring dengan
berkurangnya jumlah autotrof, maka hal ini
menyebabkan penurunan jumlah detritus.
Akhirnya, pada selang waktu kemudian keadaan
menjadi setimbang yang mengakibatkan jumlah
ketiga komponen pada kolam akan konstan.

KESIMPULAN

Proses daur ulang yang dibahas pada makalah ini
adalah suatu proses daur ulang nutrisi dalam skala
kecil dengan mengambil suatu ekosistem
sederhana berupa kolam kecil yang didalamnya
terdapat tiga komponen, yaitu nutrisi abiotik,
autotrof, dan detritus.

Dari analisis kestabilan titik tetap model diperoleh
dua kelompok parameter yang menghasilkan
kestabilan berbeda.

Untuk kelompok nilai parameter pertama,
organisme autotrof dan detritus dalam sistem
akan menuju kepunahan sehingga dalam sistem
hanya tinggal nutrisi abiotik.

Oleh karena itu dalam model ini disarankan untuk
memilih kelompok parameter pertama agar
populasi sistem tidak mengalami kepunahan.
Pemodelan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 490
Dari kedua kasus yang berbeda ini digambarkan
dinamika dari perilaku ketiga komponen pada
proses daur ulang tersebut.

Penelitian pada makalah ini merupakan awal dari
penelitian selanjutnya. Dalam hal ini,
penambahan dua komponen didalamnya yaitu:
herbivora, dan karnivora, serta dinamika
sistemnya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Ali Kusnanto dan Bapak Jaharuddin, keduanya
dari IPB, yang telah membimbing penulis pada
awal penelitian. Selanjutnya kapada Bapak Djati
Kerami yang mengenalkan penulis tentang
penyusunan makalah ilmiah, juga mengarahkan
penelitian berikutnya.









DAFTAR PUSTAKA

[1] Anton, H. 1995. Aljabar Linier Elementer.
Edisi ke-7. Terjemahan Pantur
Silaban & I Nyoman Susila. Erlangga,
Jakarta.
[2] DeAngelis, D, L. 1986. Nutrient Recycling
and Systems Resilience in a Model of an
Experimental Aquatic System.
Mathematical ecology. 189-215.
[3] DeAngelis, D, L. 1989. Effects of Nutrient
Recycling an Food-Chain Length on
Resilience. The American Naturalist. Vol
134, No 5. 778-805.
[4] Grimshaw, R. 1990. Nonlinear Ordinary
Differential Equation. Blackwell Scientific
Publications, Oxford.
[5] Kreyszig, E. 1998. Advanced Engineering
Mathematica. Sixth Edition John Wiley
and Sons.
[6] Tu, P. N. V. 1994. Dynamical System. An
introduction with Application in
Economics and Biology. Springer-Verlag.
Heidelberg, Germany.
[7] Verhulst, F. 1990. Nonlinear Differential
Equation and Dynamical Systems.
Springer-Verlag. Heidelberg, Germany.




















Pemodelan


Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 491
MODEL-MODEL PEMELIHARAAN YANG OPTIMAL
DENGAN PERBAIKAN MINIMAL, PEMERIKSAAN BERKALA
DAN PEMBAHARUAN SECARA LENGKAP

Yusup Supena
Universitas Padjadjaran, Bandung, 40132

yusup_supena@yahoo.com


ABSTRAK

Penyelidikan terhadap situasi keputusan pemeliharaan berupa tiga tindakan yaitu perbaikan minimal, pemeriksaan
berkala, dan pembaharuan secara lengkap bisa diaplikasikan pada sistem yang sedang dalam pertimbangan. Model
matematika diajukan untuk menjelaskan sistem perbaikan yang mengarah kepada pemeliharaan tindakan pemeriksaan
dengan teliti yang berbeda dari pendekatan umur yang nyata dengan mempertimbangkan pengurangan secara
langsung pada sistem yang memiliki tingkat kegagalan.

Berdasarkan pada model perbaikan ini, dua model memerlukan pembiayaan selama penetapan interval pemeriksaan
secara optimal dan jumlah pemeriksaan di dalam suatu siklus pembaharuan yang memperkecil biaya unitwaktu
(unittime cost) yang diharapkan atau total biaya yang tak hingga (total discounted cost) yang disesuaikan. Suatu
kondisi solusi optimal yang diperoleh dan kasus-kasus khusus dari kedua model biaya yang dibahas.

Keywords : perbaikan minimal, permeriksaan berkala, pembaharuan secara lengkap

PENDAHULUAN

Perbaikan minimal dan pemeriksaan berkala
adalah dua tindakan pemeliharan umum untuk
sistem-sistem yang luas dan kompleks seperti
perlengkapan modal. Perbaikan minimal biasanya
dilakukan untuk menghapuskan kegagalan pada
usaha yang minimal. Sistem yang kompleks berisi
banyak komponen, umumnya diasumsikan bahwa
perbaikan minimal tidak mengubah tingkat
kegagalan pada sistem tersebut. Penyelidikan
sistem-sistem yang mengarah pada perbaikan
minimal dan pembaharuan secara berkala dan
model-model optimisasi yang disesuaikan untuk
menentukan interval penggantian yang optimal
berdasarkan suatu proses Poisson non homogen
(Barlow dan Hunter, 1960;90-100). Rangkuman
dari suatu survey yang telah dilakukan oleh Pham
dan Wang (1996, 425-438) berpendapat bahwa
perkerjaan yang diperluas pada perbaikan-
perbaikan yang tidak sempurna membuat sistem
lebih baik daripada yang sebelumnya namun
tidak sebagai lebih baik sebagai sesuatu yang
baru.

Pemeriksaan dengan teliti biasanya berisi
kumpulan dari tindakan pemeliharaan pencegahan
seperti penggantian oli, pembersihan, pelumasan,
dan penggantian beberapa komponen yang rusak
pada sistem, dan hal tersebut sering dilakukan
dalam pelatihan. Dalam prakteknya, banyak
sistem terutama perlengkapan modal, mengarah
pada pemeriksan dengan teliti secara berkala,
misalnya truk-truk pengangkutan di
pertambangan, gerbong-gerbong kereta api pada
industri jalan kereta api, mesin-mesin derek yang
digerakan oleh arus udara dan lain-lain.
Kenyataannya pemeriksan dengan teliti
meningkatkan kondisi sistem namun tidak
mengembalikan sistem pada kondisi lebih baik
sebagai sesuatu yang baru , sehingga hal ini
dapat diperlakukan sebagai perbaikan yang tidak
sempurna.

Penulis mempertimbangkan masalah
pemeliharaan berkelanjutan untuk sistem yang
dapat diperbaiki. Sistem diarahkan pada tiga
macam tindakan pemeliharaan yaitu perbaikan
minimal, pemeriksaan berkala dan pembaharuan
secara lengkap, dengan biaya yang berbeda.
Sistem tersebut mendapatkan perbaikan minimal
kapanpun kegagalan terjadi dan sistem secara
lengkap diperbaharui selama mencapai usia
tertentu sesudah pembaharuan yang terakhir kali.
Dalam siklus antara dua pembaharuan-pembaruan
yang bertalian, sejumlah m yang telah ditentukan
dari pemeriksan dengan teliti, membagi siklus
dalam periode m + 1 dengan suatu panjang yang
sama s. Sasarannya adalah ganda : pertama,
mempelajari kemajuan sistem yang mengarah
pada tindakan pemeliharaan dari pemeriksaan
dengan teliti dan mengajukan model perbaikan
baru yang mengatasi beberapa kekurangan dari
yang sudah ada. Kedua, berdasarkan model
perbaikan, membentuk model-model yang
memerlukan biaya untuk menemukan optimal m
dan s sehingga biaya unit waktu yang diharapkan
atau total biaya yang tak terduga dapat
diminimalisasi.

Perbaikan sistem mengarah pada perbaikan yang
tidak lengkap merupakan hal yang fundamental
Pemodelan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 492
untuk membentuk model pemeliharaan yang
tepat. Dua model sistem perbaikan telah diajukan
dalam Malik (1979;221-228) yang
memperkenalkan konsep umur yang nyata atau
faktor perbaikan yang perlu, dimana intinya
bahwa perbaikan yang tidak lengkap membuat
sistem lebih muda daripada sebelum
diberlakukan tindakan; dan Nakagawa (1986;331-
332) berasumsi bahwa perbaikan yang tidak
lengkap mengembalikan sistem menjadi seburuk
dulu dengan probabilitas a dan menjadi baik
seperti baru dengan probabilitas 1 a.
Keuntungan dari model Malik adalah bahwa
model ini relatif mudah untuk dianalisis.
Kekhawatiran pada model ini merupakan asumsi
bahwa perbaikan yang tidak lengkap membuat
sistem lebih muda namun tidak pernah
mengubah fungsi tingkat kegagalan sistem.
Dengan kata lain, model Nakagawa
mengungkapkan bahwa fungsi tingkat kegagalan
setelah perbaikan yang tidak lengkap berbeda dari
fungsi sebelumnya. Dengan probabilitas a (0 < a <
1) yang ditetapkan agar membuat model ini
mudah untuk digunakan, model Nakagawa
menyiratkan bahwa pemeriksaan dengan teliti
kemudian memperbaiki kondisi sistem-sistem
menjadi lebih penting daripada yang sebelumya.
Namun dalam banyak kasus, model ini sangat
menekankan perbaikan yang mengarah pada
pemeriksaan dengan teliti. Sebagai contoh, bila
tingkat kegagalan orsinil dari sistem (tanpa
pemeriksan dengan teliti) merupakan fungsi yang
kuat, tingkat kegagalan dari sistem dengan
pemeriksaan selalu dibatasi. Karakteristik ini
membatasi kesesuaian model.

Dalam makalah ini, dibahas sistem model
perbaikan baru dengan mempertimbangkan
pengurangan secara langsung pada tingkat
kegagalan sistem yang mengarah pada tindakan
pemeliharaan pemeriksaan, sebagai alternatif pada
dua model yang ada. Model perbaikan berasumsi
bahwa masing-masing pemeriksaan dengan teliti
membuat tingkat kegagalan sistem diantara
buruk seperti yang dulu dan baik seperti
periode pemeriksaan dengan teliti sebelumnya
dengan derajat yang tetap. Sebagai hasilnya,
model tersebut membiarkan fungsi tingkat
kegagalan sistem berubah dari periode
pemeriksaan dengan teliti terhadap periode
pemeriksaan dengan teliti. Selanjutnya akan
dibuktikan model yang mempunyai sifat yang
lebih menarik perhatian bila tingkat kegagalan
sistem orsinil adalah tidak terbatas, tingkat
kegagalan sistem setelah pemeriksaan dengan
teliti juga tidak terbatas. Sifat ini sesuai dengan
situasi dalam banyak kasus pemeliharaan,
meskipun pemeriksaan dengan teliti dilakukan,
sistem membutuhkan untuk ditempatkan kembali
pada tempatnya ketika sistem tersebut terlalu tua.

Berdasarkan model perbaikan yang diajukan,
penulis membuat dua model optimisasi : yaitu
meminimalisasi biaya unit waktu yang
diharapkan, yang menyimpulkan model dasar
Barlow dan Hunter, dan yang lainnya
meminimalisasi biaya total yang tak terduga.
Untuk model unit-biaya, penulis memperoleh
beberapa sifat yang berguna seperti kondisi yang
terjadi dari solusi-solusi optimal dan range yang
dibatasi. Penulis juga menyerderhanakan rumusan
untuk dua kasus khusus yang penting, sebagai
contohnya, eksponensial dan tingkat kegagalan
Weibull. Untuk kedua model biaya, penulis
mengilustrasikan melalui contoh-contoh numerik
bagaimana cara memperoleh sejumlah
pemeriksaan dengan teliti dan interval
pemeriksaan dengan teliti yang optimal.

Pembahasan yang dilakukan Liu et al. (1995;
1063-1079) dan Nakagawa (1986; 536-542) pada
sistem-sistem ditujukan pada pemeriksaan yang
lebih teliti secara periodik dan perbaikan minimal.
Anggapan bahwa masing-masing pemeriksaan
dengan teliti membuat sistem lebih muda
dengan faktor yang tetap, Liu et al. menyelidiki
interval pemeriksaan dengan teliti yang optimal
dan jumlah pemeriksaan dengan teliti yang
meminimalisasi biaya unit waktu. Nakagawa
telah menyelidiki pula model minimalisasi unit
biaya di bawah asumsi bahwa fungsi tingkat
kegagalan secara tegas meningkat dari periode
pemeriksaan dengan teliti awal sampai akhir.
Meskipun hasil Nakagawa secara teori menarik,
fungsi-fungsi tingkat kegagalan pada keseluruhan
periode pemeriksaan dengan teliti membutuhkan
untuk diestimasi satu demi satu, yang membuat
hasilnya sulit untuk digunakan secara langsung
dalam prakteknya. Dalam studi yang dilakukan
Malik (1979, 1985), Lie dan Chun (1986) dan
Olorunniwo dan Izuchuku (1991) memberikan
kontribusi dalam menyelidiki masalah dari
penambahan reliabilitas sistem dengan
penjadwalan secara tepat pada pemeriksaan yang
teliti dan penempatan kembali menggunakan
pendekatan umur yang nyata.

Membandingkan model-model optimisasi yang
dipresentasikan pada makalah ini, bentuk umum
dari model unit biaya dipertimbangkan dalam
makalah ini serupa dengan yang dikemukakan
oleh Nakagawa dan Liu et al.; namun asumsi yang
dibuat pada perbaikan sistem adalah berbeda.
Demikian juga tidak seperti Nakagawa, penulis
tidak memerlukan fungsi tingkat kegagalan
meningkat tajam dari periode pemeriksaan dengan
teliti dari awal sampai akhir. Untuk sistem-sistem
yang besar seperti perlengkapan modal, konsep
biaya total yang tak hingga memainkan peran
Pemodelan


Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 493
penting dalam pembuatan keputusan mengenai
penggantian perlengkapan.

MODEL SISTEM PERBAIKAN

Tingkat kegagalan sistem juga disebut tingkat
kejadian kegagalan (Rate of Occurrence of
Failures) contohnya di Ascher dan Feingold
(1984; 9-10), merupakan indikator kunci dari
kondisi sistem. Sistem diperbaiki bila tingkat
kegagalannya dikurangi. Dalam hal ini perbaikan
mengarah pada pemeriksaan dengan teliti yang
didefinisikan berikut ini :
Dalam kasus dimana V
k-1
(t) merupakan fungsi
tingkat kegagalan sistem tepat sebelum
pemeriksaan dengan teliti, V
k
(t) merupakan fungsi
tingkat kegagalan tepat setelah pemeriksaan
dengan teliti, s merupakan interval pemeriksaan
dengan teliti dan p [0, 1] adalah konstanta,
sistem diperbaiki oleh derajat p dengan
pemeriksaan dengan teliti, untuk semua t setelah
pemeriksaan dengan teliti yaitu,

v
k
(t) = pv
k-1
(t s) + (1 p)v
k-1
(t). (1)

Bila derajat perbaikan p = 0, maka v
k
(t) = v
k-l
(t).
Dalam hal ini, tingkat kegagalan tidak diganggu
dan pemeriksaan dengan teliti ekuivalen dengan
perbaikan minimal. Bila p = 1, maka v
k
(t) = v
k-l

(t s). Dalam hal ini, masing-masing perbaikan
dengan teliti mengembalikan sistem pada kondisi
periode pemeriksaan dengan teliti sebelumnya,
jadi hal ini ekuivalen dengan pembaharuan
lengkap. Perlu diingat, meskipun definisinya
dibuat dalam bentuk pemeriksaan dengan teliti,
hal tersebut dapat diperluas untuk tindakan-
tindakan pemeliharaan reguler yang memperbaki
sistem.

Hasil utama dari bagian ini, memperhatikan
tingkat kegagalan dari sistem setelah serangkaian
pemeriksaan dengan teliti.

Teorema 1 : (Ascher, H. and Feingold, H. 1984).
Andaikan masing-masing pemeriksaan dengan
teliti memperbaiki sistem dengan derajat p.
Misalkan v(t) menyatakan tingkat-tingkat
kegagalan dari sistem tanpa pemeriksaan dengan
teliti, v (t) menyatakan sistem dengan
pemeriksaan-pemeriksaan teliti secara berkala
dengan interval s, dan q = 1 p. Selanjutnya
ambil untuk semua bilangan bulat k I dan t
[0,s), maka

v (ks + t) =

=
|
|
.
|

\
|
k
i
i
k
0
p
k-i
q
i
v(is + t). (2)

Bukti : Ambil v
k
(ks + t), k 0, menyatakan
tingkat kegagalan dari sistem sedemikian hingga
membuat hanya pemeriksaan-pemeriksaan dengan
teliti dan perbaikan minimal k pertama yang
digunakan. Dengan definisi ini, v (ks + t) = v
k
(ks
+ t) untuk 0 t < s dan k 0. Akan dibuktikan (2)
dengan induksi pada k. Nyatakan bahwa v
0
(t) =
v(t). Untuk k = 1, (2) berpengaruh selama v (s +
t) = v
1
(s + t) = pv(t) + qv(s + t). Pilih k > 1,
asumsikan (2) berpengaruh untuk k 1,

v (ks + t) = v
k
(ks + t) = pv
k
-1 k - 1)s + t) + qv
k
-1
(ks+t) = p

=
|
|
.
|

\
|
1
0
1
k
i
i
k
p
k-1-i
q
i
v(is +t)
+ q

=
|
|
.
|

\
|
1
0
1
k
i
i
k
p
k-1-i
q
i
v((i +1)s+t)
=

=
|
|
.
|

\
|
1
0
1
k
i
i
k
p
k-i
q
i
v(is +t) +

=
|
|
.
|

\
|
1
0
1
k
i
i
k
p
k-(i+1)
q
i+1
v((i +1)s+i)
=

=
|
|
.
|

\
|
1
0
1
k
i
i
k
p
k-i
q
i
v(is +t) +

=
|
|
.
|

\
|

k
i
i
k
1
1
1
p
k-i
q
i
v((is+t)
= p
k
v(t) +

=
|
|
.
|

\
|
|
|
.
|

\
|

+
|
|
.
|

\
|
1
1
1
1 1
k
i
i
k
i
k

x p
k-i
q
i
v((is+t) + q
k
v(ks+t)
=

=
|
|
.
|

\
|
k
i
i
k
0
p
k-i
q
i
v(is +t)
(dengan Identitas Pascal)

Oleh karena itu, (2) berlaku untuk setiap k 1.




MODEL BIAYA UNIT-WAKTU

Notasi

v(t) = tingkat kegagalan orsinil sistem,
dimana tingkat kegagalan dari sistem
tanpa pemeriksaan;
v (t) = kegagalan nyata tingkat sistem,
dimana tingkat kegagalan dari sistem
dengan pemeriksaan berkala;
H(t) = kegagalan orsinil yang diharapkan
dalam interval [0, t), dengan

t
dx x v
0
) (

H
(t) = kegagalan yang benar-benar
diharapkan dalam interval [0,t),
dengan

t
dx x v
0
) ( ;
s = Interval pemeriksaan
n = satu ditambah banyaknya pemeriksaan
di dalam suatu siklus pembaruan;
Pemodelan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 494
p, q = p merupakan derajat peningkatan dan
q = 1;
c
m
,c
o
,c
r
, = biaya-biaya dari perbaikan minimal,
pemeriksaan dan pembaruan, secara
berturut-turut;
f(n,s) = biaya unit-waktu yang diharapkan
ketika sistem diperiksa (n 1) dengan
interval s di dalam suatu siklus
pembaruan.

Asumsi-asumsi

(1) Pemeriksaan dengan teliti memperbaiki
sistem dengan derajat p yang tetap.
(2) Perbaikan minimal tidak merubah tingkat
kegagalan,
(3) Semua siklus-siklus pembaharuan memiliki
jumlah pemeriksaan dengan teliti yang sama
yang membagi masing-masing siklus dalam
periode-periode panjang yang sama.
(4) Semua siklus-siklus pembaharuan memiliki
panjang yang sama
(5) Waktu yang dihabiskan untuk perbaikan-
perbaikan dan pemeriksaan-pemeriksaan
dengan teliti diabaikan.
(6) p, c
m
, c
o
, c
r
, v(t) dan H(t) diketahui ; c
r
> c
o
>
0 dan c
r
> c
m
> 0; p < 1.

Fungsi Objektif

Total biaya yang diharapkan dalam siklus
pembaharuan adalah c
r
+c
o
(n 1) + c
m H

(ns) dan
panjang siklus adalah ns. Jadi, biaya unit waktu
yang diharapkan di atas waktu yang tanpa batas
diberikan dengan
f(n,s) =
ns
ns H c n c c
m o r
) (

) 1 ( + +
(3)
dimana
H
(ns) =

=
|
|
.
|

\
|
n
i
i
n
0
p
n-i
q
i-1
H (is) (4)
Secara umum
H
(ns) itu rumit, solusi optimal
untuk min
s.n
f(n, s) mungkin sulit untuk diperoleh.
Di bawah ini, disediakan beberapa sifat-sifat
berguna dengan memperhatikan fungsi objektif f
(n.s) dan selanjutnya diusulkan pendekatan umum
untuk menemukan solusi-solusi optimal
berdasarkan sifat-sifat ini.

Sifat-sifat Penting

Dalam kondisi v(t) kontinu, tak terhingga dan
non-decreasing, mempunyai konsekuensi
mengenai minimisasi dari f(n,s).
(1) Ketika n adalah tetap, suatu solusi optimal
terhadap adanya min
s
f(n,s) dan merupakan suatu
solusi terhadap persamaan di bawah ini
t
s
H

(ns)s
H
(ns) [c
r
+ c
o
(n 1)]/c
m
= 0 (5)
Persamaan (5) kenyataannya ekivalen dengan
menentukan derivatif untuk f(n.s) dengan
memperhatikan s mendekati nol.
(2) min
s,n
f(n,s) mempunyai solusi optimal terbatas
dan terdapat suatu batas n
b
demikian sehingga
min
s,n
f(n,s) = min{min
s
f(n,s) : 1 n n
b
} (6)
(3) Untuk setiap s > 0 yang ditetapkan, suatu
solusi optimal ke min
n
f(n,s) ada dan dapat
diperoleh seperti bilangan bulat pertama n
sehingga bahwa f(n + 1,s) f(n,s).
Suatu pendekatan umum untuk meminimisasi
f(n.s), yang didasarkan pada sifat di atas, adalah
pertama untuk menaksir suatu range di mana
jumlah yang optimal dari pemeriksaan
dialokasikan, kemudian untuk mendapatkan s
n

yang meminimisasi f(n,s) untuk setiap n tetap di
dalam range tersebut, dan akhirnya pilih n dalam
range s
n
sehingga bahwa f(n,s
n
) dapat
diminimisasi.

Tingkat Kegagalan Eksponensial

Untuk tingkat kegagalan eksponensial v(t) = exp
(
0
+
i
t), dapat menyederhanakan
H
(ns) dan
f(n.s), dan hal tersebut menggambarkan
bagaimana cara menggunakan model melalui
suatu contoh numerik.

Proposisi 2 : (Nakagawa. T. 1979).
Pilih v(t) = exp (
0
+
i
t), dengan
1
> 0.
Kemudian,
H
(ns) = e
o
[(p + qe
is
)
n
1]/(q
1
), dan
f(n.s) =
ns
q qe p e c n c c
n s o
m o r
) / ] 1 ) [( ) 1 (
1
1


+ + +

Bukti
H
(ns) =

=
|
|
.
|

\
|
n
i
i
n
0
p
n-i
q
i-1
h(is)
=

=
|
|
.
|

\
|
n
i
i
n
0
p
n-i
q
i-1

is
0
v(x) dx
=

=
|
|
.
|

\
|
n
i
i
n
0
p
n-i
q
i-1

1
0

e
(
si
e
1

- 1)
=
1
0

q
e
(

|
|
.
|

\
|

|
|
.
|

\
|

=

n
i
i i n
n
i
i s i n
q p
i
n
qe p
i
n
i
0 0
) (

= e
0
[p +
s
i
qe

)
n
1] / q
1
)

Contoh 1. Misalkan biaya-biaya pemeliharaan
sistem adalah c
r
= $200000, C
o
= $8000 dan c
m
=
$2000, tingkat kegagalan orsinil diberikan sebagai
v(t)= exp(
0
+
1
t), di mana
0
= 15 dan
1
=
0.01. Maka

f(n,s) =
ns
1]/(0.01q) - ) qe [(p 2000e 1) - 8000(n 200000
n 0.01s -15
+ + +

Pemodelan


Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 495
Minimisasikan f(n.s) untuk p = 0.7, diperoleh
n
*
= 11. s
*
= 195.6 dan f(n
*
,s
*
) = 138.7. Hasil ini
dapat ditafsirkan sebagai interval pemeriksaan
yang optimal adalah 195.6 hari; sistem harus
diperbaharui setelah 2156 hari atau sekitar 6
tahun; biaya pemeliharaan per hari adalah $138,7.
Tabel 1 memberikan solusi yang optimal untuk
berbagai derajat perbaikan yang mengasumsikan
tingkat kesalahan dan struktur biaya yang sama.
Derajat perbaikan terbesar adalah pemeriksaan
yang lebih haruslah dilakukan.

Contoh di atas dan suatu contoh berikutnya semua
dipecahkan oleh software LINDO [Schrage ;
1991].

Tabel 1. Solusi optimal untuk p yang berbeda
p n
*
s
*
f(n
*
, s
*
)
0.5
0.6
0.7
0.8
6
8
11
15
260.3
223.3
195.6
186.2
165.1
153.9
138.7
118.5

Proposisi 3 : (Nakagawa. T. 1979).
Misalkam v(t) = exp(
0
+
1
t). Kemudian, untuk
setiap bilangan bulat tetap n 1, s
*
meminimisasi
f(n.s) jika dan hanya hal ini merupakan suatu
solusi

q e
s
1

|
|
.
|

\
|

1
1

ns

+
1
1 ) 1 (

o
e c
q n c c
m
o r (p+
s
qe
1

)
1-n
=
1

p

(7)

Bukti : Dengan :

1

s
H (ns) =
0

ne (p +
s
qe
1

)
n-1 s
e
1



Persamaan (5) menjadi :
c
r
+c
o
(n 1) + c
m

1
] 1 ) [(
1 0


q
qe p e
n s
+

= c
m

0

nse (p +
s
qe
1

)
n-1
s
e
1


yang mana hasilnya ekivalen dengan persamaan
(7), selama v(t) kontinu, tak terhingga dan non-
decreasing.

Tingkat Kesalahan Weibull

Fungsi Weibull v(t) = (/)(t/)
-1
merupakan
tingkat kegagalan lain yang sering digunakan.

Proposisi 4. (Ascher, H. and Feingold, H. 1984).
Misal v(t) = (/)(t/)
-1
dengan > 1.
Kemudian,
) (

ns H
= (s/)

=
|
|
.
|

\
|
n
i
i
n
0
p
n-i
q
i-1
i

dan
f(n,s) = (c
r
+c
o
(n-1)+c
m
(s/)

=
|
|
.
|

\
|
n
i
i
n
0
p
n-i
q
i-1
i

) / ns

Bukti :
) (

ns H
=

=
|
|
.
|

\
|
n
i
i
n
0
p
n-i
q
i-1
H(is)
=

=
|
|
.
|

\
|
n
i
i
n
0
p
n-i
q
i-1
(is/)


= (s/)

=
|
|
.
|

\
|
n
i
i
n
0
p
n-i
q
i-1
i



Ekspresi dari f(n,s) diperoleh dengan membawa
ekspresi dari
H
(ns).

Teorema 5 : (Ascher, H. and Feingold, H. 1984).
Misalkan v(t) =(/)(t/)
-1
. Selanjutnya (n
*
,s
*
)
meminimisasi f(n,s) jika dan hanya jika n
*

meminimisasi (8) di bawah ini

|
|
.
|

\
|
+

=

n i q p
i
n
n c c
n
i
i i n
o r
) ) 1 / ( min
0
1 1 :
untuk semua
)
`

1 n
(8)
dan

=

|
|
.
|

\
|

+
=
*
*
0
1
*
*
*
) 1 (
) ) 1 ( (
n
i
i i n
m
o r
i q p
i
n
c
c n c
s
(9)
Bukti : Untuk setiap n, misal F(n) menyatakan
min
s
f(n,s). Perhatikan bahwa (n
*
s
*
) meminimisasi
f(n,s) jika dan hanya jika n
*
meminimisasi F(n),
dan s
*
meminimisasi f(n
*
,s).

Untuk setiap n tetap, s meminimisasi f(n,s) jika
memenuhi (5), diperoleh
c
r
+ c
o
(n 1) + c
m
(s/)

=
|
|
.
|

\
|
n
i
i
n
0
p
n-i
q
i-1
i

= c
m
(s/)

=
|
|
.
|

\
|
n
i
i
n
0
p
n-i
q
i-1
i

Sehingga
(s/)

= (c
r
+ c
o
(n1))/(c
m
( - 1)

=
|
|
.
|

\
|
n
i
i
n
0
p
n-i
q
i-1
i

)
dan


|
|
.
|

\
|
|
|
.
|

\
|
|
|
.
|

\
|
+ =

=

n
i
i i n
m o r
i q p
i
n
c c n c s
0
1
) 1 ( ) ) 1 ( (

dengan menempatkan s ke dalam f(n,s) diperoleh
|
|
.
|

\
|
|
|
.
|

\
|
+ =

=

n
i
i i n
m o r
i q p
i
n
c c n c n F
0
1 1
] ) 1 ( [ ) (

( )


1
) 1 (

n

|
|
.
|

\
|
|
|
.
|

\
|
|
|
.
|

\
|
+ =

=

n i q p
i
n
n c c
n
i
i i n
r


0
1 1
0
) 1 / (



1
1
) 1 (

o m
c c
x


Pemodelan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 496
Sehingga n
*
meminimisasi F(n) jika dan hanya
jika hal ini meminimisasi

n i q p
i
n
n c c
n
i
i i n
r
|
|
.
|

\
|
|
|
.
|

\
|
+

=

0
1 1
0
) 1 / (

Jika menjadi bilangan bulat yang lebih besar
dari 1, hal ini memungkinkan untuk memperoleh
suatu ekspresi yang pendek dari

=

|
|
.
|

\
|
n
i
i i n
i q p
i
n
0
1

Sebagai contoh, misal n

=

|
|
.
|

\
|
n
i
i i n
i q p
i
n
0
1

= + +
= +
=
=
3 ) 1 ( 3 ) 2 )( 1 (
2
1
2
2

untuk n q n n q n n n
untuk np q n
untuk n


Contoh 2. Misal bahwa c
r
= $200000, C
o
= $8000,
C
m
= $2000, p = 0.7 dan v(t) = (/)(t/)
-1
dengan
= 2 dan = 100. selama

=

|
|
.
|

\
|
n
i
i i n
i q p
i
n
0
2 1
= n
2
q + np
fungsi objektif (8) menjadi ( c
r
/c
o
1 + n) (n
2
q +
np)/n
2
= q(c
r
/c
o
1) + p + nq + p (c
r
/c
o
1)/n

dan hal ini diminimisasi jika nq = p(c
r
/c
o
1)/n.
Selanjutnya, n
*
salah satu dari

| | 7 / ) 1 / ( = q c c p
o r
| | 8 1 / ) 1 / ( = + q c c p atau
o r


Selama q(c
r
/c
o
1) + p + nq + p(c
r
/c
o
1)/n =
12.4 untuk n = 7 dan 8, kedua n
*
= 7 dan n
*
= 8
memiminisasi F(n). Untuk n
*
= 7, maka

269 )) ( /( ) 1 ( (
* * * *
= + + = p q n n c c n c s
m o r
.


MODEL BIAYA TAK HINGGA

Akan ditetapkan suatu model untuk memiminisasi
biaya total tak hingga melalui suatu waktu tanpa
batas. Asumsi yang sama dibuat seperti di Bagian
2 dan dua notasi tambahan di bawah akan
digunakan di samping yang digambarkan di dalam
Bagian 2.
e
-t
= fungsi tak hingga yang kontinu dimana
(> 0) adalah konstan.
g(n,s) = biaya total tak hingga

Biaya tak hingga dalam siklus pembaharuan yang
pertama adalah

=

+ +
ns
t
m
n
i
s i
o
s n
r
dt e t v c e c e c
0
0
1
1
) (


Selanjutnya, biaya total tak hingga melalui suatu
waktu tanpa batas adalah



=

=

(

+ + =
0
1
1
0
) ( ) , (
i
s in
n
i
ns
t
m
s i
o
s n
r
e dt e t v c e c e c s n g

\
|
+ =

) 1 /( ) (
s s n s
o
s n
r
e e e c e c


s n
n
i
s
x s i
m
e dx e x is v e c

|
|
.
|
+ +


1 ) (
1
1
0
(10)


Proposisi 6 : (Barlow, R. and Hunter. L. 1960).
Misalkan v(t) = exp (
0
+
1
t) dengan
1
> 0.
Kemudian, untuk k= 0,..., n 1, 0 t < s,
selanjutnya
v (ks + t) = ( p +
s
qe
1

)
k

t
e
1 0
+

dan

\
|


+ =

) 1 (
) (
) , (
s
s n s
o s n
r
e
e e c
e c s n g


] 1 ) ( )[ (
1 ) ( )[ 1 (
1
1 1 0
1
) (
+
+
+


s s
n s sn s
m
qe p e
qe p e e e
c




) 1
s n
e



Bukti: Dari Teorema 1 dan Teorema Binomial

=
+ +
|
|
.
|

\
|
= +
k
i
ist t i i k
e q p
i
k
t ks v
0
1 0
) (


= ( )
t
k
s
e qe p
1 0 1
+
+
Menggunakan ekspresi ini, diperoleh

=

+
1
0
0
) (
n
i
s
x s i
dx e x is v e


=

1
0
1
) 0 (
1
) (
1
0
n
i
s
i s s i
e
qe p e e
i



=
] 1 ) ( )[ (
] 1 ) ( )[ 1 (
1
0
0
1
) (
+
+


s s
n s sn s
qe p e
qe p e e e
i t





Dari hasil di atas untuk (10), diperoleh ekspresi
dari g(n,s).

Contoh 3. Anggap bahwa data menjadi sama
halnya seperti di dalam Contoh 1. yaitu c
r
=
$200000, C
o
= $8000 dan c
m
=$2000; v(t) = exp(
0

+
1
t), dimana
0
= 15 dan
1
= 0.01; p = 0.7.
Misal = 0.00035, yang ekivalen terhadap faktor
tak hingga tahunan exp (-3650)= 0.88.
Meminimisasi g(n,s), dimiliki suatu solusi optimal
n
*
= 11, s
*
= 199, dengan suatu biaya total tak
hingga g(n
*
,s
*
) = $300200. Tabel 2
memperlihatkan solusi yang optimal untuk fungsi
exp(t) yang berbeda dengan biaya yang sama,
tingkat kegagalan dan suatu faktor perbaikan
p = 0.7.


Pemodelan


Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 497






Tabel 2. Solusi optimal untuk yang berbeda
e
-365
n
*
s
*
g(n
*
, s
*
)
0.000 15
0.000 25
0.000 35
0.000 45
0.000 60
0.947
0.913
0.88
0.849
0.803
11
11
11
11
10
197.3
198.3
199.4
200.5
215.5
821 800
455 333
300 188
215 466
143 261

KESIMPULAN

Dalam Makalah ini, penulis mengusulkan suatu
model baru untuk menguraikan perbaikan sistem
dalam kaitannya dengan pemeriksaan, dua model-
model optimisasi ditentukan untuk meminimisasi
biaya unit-waktu yang diharapkan atau biaya total
tak hingga, kondisi-kondisi yang ada yang
diperoleh dari solusi optimal dan
mengilustrasikannya bagaimana cara
menggunakan model-model untuk menemukan
jumlah pemeriksaan optimal dan interval
pemeriksaan. Walaupun kedua bahasan ini dan
bahasan Liu et al. diarahkan pada temuan jumlah
pemeriksaan optimal dan interval pemeriksaan,
berbeda satu sama lain dalam kaitannya dengan
pola perbaikan yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Ascher, H. and Feingold, H. 1984.
Repairable Systems Reliability, Marcel
Dekker, New York: pp. 9-10.
[2] Barlow, R. and Hunter. L. 1960. Optimum
Preventive Maintenance Policies, Operations
Research, 8, 90-100.
[3] Liu, X.G., Makis, V. and Jardine, A.K.S.
1995. A Replacement Model with Overhauls
and Repairs. Naval Research Logistics, 42,
1063-1079.
[4] Lie C.H. and Chun, Y.H. 1986. An
Algorithm for Preventive Maintenance
Policy. IEEETransactions on Reliability, R-
35, 71-75.
[5] Malik, M.A.K. 1985. Equipment
Replacement and its Real Causes.
Maintenance Management International, 5,
51-61.
[6] Malik M.A. K. 1979. Reliable Preventive
Maintenance Schedulling, AIIE
Transactions, 11, 221-228.
[7] Nakagawa, T. 1986. Periodic and Sequential
Preventive Maintenance Policies. Journal of
Applied Probability, 23, 536-542.



[8] Nakagawa. T. 1979. Optimal Policies when
Preventive Maintenance is Imperfect. IEEE
Transactions on Reliability, R-28, 331-332.
[9] Pham, H. and Wang. H. 1996. Imperfect
Maintenance. European Journal of
Operational Research, 94, 425-438.
[10] Olorunniwo, F. and Izuchuku, A. 1991.
Schedulling Imperfect Preventive and
Overhaul Maintenance. International
Journal of Quality and Reliability
Management, 8, 67-79.
[11] Schrage, L. 1991. LINDO: An Optimization
Modelling System, Scientific Press, San
Francisco, CA.

Riset Operasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
499
FORMULASI I NTEGER PROGRAMMI NG
PADA MASALAH PENJADWALAN UJIAN
DI UNIVERSITAS TERBUKA

Asmara Iriani Tarigan
1
, Amril Aman
2
, Farida Hanum
2

1
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Terbuka
2
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

asmara@mail.ut.ac.id


ABSTRAK

Penjadwalan ujian adalah proses pengalokasian semua mata kuliah yang ditawarkan pada waktu yang terbatas. Jadwal ujian
yang dihasilkan dapat memberikan kebebasan kepada mahasiswa dalam menentukan mata kuliah yang akan diregistrasi pada
suatu semester. Jadwal ujian diperlukan mahasiswa sebelum melakukan registrasi mata kuliah untuk memilih mata kuliah.
Mata kuliah yang dipilih adalah mata kuliah yang diujikan pada waktu yang berbeda sehingga dapat mengikuti ujian dari
semua mata kuliah-mata kuliah yang diregistrasi. Mata kuliah yang ditawarkan memiliki beberapa karateristik, namun yang
dilihat dalam penelitian ini adalah pengelompokan dan pengelolaan terhadap mata kuliah, dan hubungan keterkaitan materi
antarmata kuliah. Karakteristik mata kuliah menjadi batasan dalam memodelkan masalah penjadwalan ujian yang kemudian
diformulasikan menjadi masalah integer programming 1 0 . Masalah penjadwalan ujian adalah masalah optimisasi,
tujuannya adalah memaksimalkan banyaknya pasangan mata kuliah yang mempunyai hubungan prasyarat dijadwalkan pada
waktu yang sama. Penelitian ini mempunyai dua variabel keputusan, yaitu setiap mata kuliah akan dijadwalkan tepat pada
satu jam yang tersedia
( )
, i j
x
, dan pasangan mata kuliah yang mempunyai hubungan prasyarat langsung akan dijadwalkan
pada waktu yang sama
( )
( , ), i k j
y . Model diselesaikan dengan software LINGO 8.0. Mata kuliah yang akan dijadwalkan
adalah mata kuliah yang ditawarkan oleh Program Studi Matematika FMIPA-UT.

Kata kunci: penjadwalan, integer programming, penjadwalan ujian


PENDAHULUAN

Kegiatan penjadwalan banyak dilakukan di institusi
pendidikan tinggi. Satu diantaranya adalah membuat
jadwal ujian semester, kegiatan ini sudah menjadi
kegiatan rutin di fakultas atau program studi.
Pembuatan jadwal ujian disesuaikan dengan sumber
yang tersedia. Setiap perguruan tinggi memiliki
karakteristik sumber yang berbeda-beda.
Penjadwalan juga dilakukan sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai sehingga jadwal yang diperoleh
bermanfaat bagi pengguna jadwal.

Universitas Terbuka (UT) adalah perguruan tinggi
negeri yang menerapkan sistem pendidikan terbuka
dan jarak jauh (PTJJ) di Indonesia. Jadwal ujian
merupakan informasi penting yang dibutuhkan
mahasiswa UT sejak awal semester. Setiap mata
kuliah yang ditawarkan dilengkapi jadwal ujian,
tujuannya agar mahasiswa dapat memilih mata kuliah
pada saat melakukan registrasi mata kuliah.
Mahasiswa mempunyai kebebasan dalam
menentukan mata kuliah yang akan diregistrasi, tetapi
program studi juga menyarankan mahasiswa agar
meregistrasi mata kuliah yang mempunyai jam ujian
yang berbeda karena mahasiswa diperbolehkan
mengikuti ujian hanya satu mata kuliah dalam satu
jam ujian.
Penjadwalan ujian adalah proses pengalokasian
semua mata kuliah yang ditawarkan pada waktu yang
terbatas. UT melaksanakan ujian akhir semester
selama dua hari dan setiap hari tersedia lima jam
ujian. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana
membuat jadwal ujian yang tetap memberikan
kebebasan kepada mahasiswa tetapi juga dapat
mengarahkan mahasiswa dalam menentukan mata
kuliah yang akan diregistrasi.

UT menawarkan semua mata kuliah yang menjadi
beban studi mahasiswa dalam mengikuti suatu
program studi setiap semester. Ini berarti bahwa
setiap mata kuliah yang ditawarkan akan diujikan
setiap semester.

Mata kuliah yang ditawarkan mempunyai beberapa
karakteristik, seperti pengelompokan dan pengelolaan
mata kuliah, dan hubungan keterkaitan materi
antarmata kuliah. Sifat-sifat ini harus dapat
digambarkan dalam jadwal ujian yang dihasilkan.
Tujuan penelitian adalah membuat suatu formulasi
masalah penjadwalan ujian ke dalam model linear
programming. Masalah penjadwalan ujian adalah
masalah optimisasi, dimana tujuannya adalah
memaksimalkan banyaknya pasangan mata kuliah
yang mempunyai hubungan prasyarat langsung agar
dapat dijadwalkan pada waktu yang sama.
Riset Operasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 500

BAHAN DAN METODE

Penjadwalan ujian dilakukan terhadap semua mata
kuliah yang ditawarkan pada waktu yang tersedia.
Mata kuliah yang ditawarkan dibagi atas tiga
kelompok. Pengelompokan mata kuliah dilakukan
untuk mendapatkan informasi bahwa suatu mata
kuliah sudah atau belum mempunyai waktu ujian. Isi
materi setiap mata kuliah dapat dilihat pada deskripsi
masing-masing mata kuliah.

Melalui deskripsi semua mata kuliah yang
ditawarkan, maka dapat diketahui bagaimana
hubungan keterkaitan materi antarmata kuliah. Setiap
mata kuliah mempunyai hubungan yang saling
berbeda. Hubungan keterkaitan materi yang terlihat
dapat dibuat menjadi suatu rangkaian mata kuliah
yang disebut dengan precedence relation mata kuliah.
Pengelompokan mata kuliah, dan hubungan
keterkaitan materi antarmata kuliah adalah batasan-
batasan yang digunakan untuk memodelkan masalah
penjadwalan ujian. Model diformulasikan menjadi
masalah integer programming 1 0 .

Yang menjadi varibel keputusan dalam penjawalan
adalah keputusan bahwa setiap mata kuliah
dijadwalkan tepat pada satu jam yang tersedia ( )
j i
x
,
,
dan keputusan pasangan mata kuliah yang
mempunyai hubungan prasyarat langsung
dijadwalkan pada waktu yang sama ( )
j k i
y
), , (
. Fungsi
tujuannya adalah memaksimalkan banyaknya
pasangan mata kuliah yang mempunyai hubungan
prasyarat langsung dijadwalkan pada waktu yang
sama. Mata kuliah yang dijadwalkan adalah mata
kuliah PS Matematika FMIPA-UT dan diselesaikan
dengan menggunakan metode branch and bound
dengan bantuan software optimisasi LINGO 8.0.


HASIL DAN DISKUSI

Model integer programming atau integer linear
programming adalah suatu model linear
programming dengan satu atau lebih variabel
keputusan disyaratkan bilangan bulat (integer). Jika
semua variabel harus berupa bilangan integer, maka
masalah tersebut disebut pure integer programming.
Jika hanya sebagian yang harus integer maka disebut
mixed integer programming (Hillier & Lieberman
1995).

Bentuk umum model matematis integer programming
diformulasikan seperti berikut:
Maksimumkan , cx = Z
terhadap b Ax
dan 0 x dan integer
dimana ; ) ..., , , ); ..., , ,
2 1 2 1
T
n n
x x x c c c ( x ( c = =

. ) ..., , ,
; berukuran matriks ),
2 1
T
m
ij
b b b
n m a
( b
( A
=
=

(Hillier & Lieberman 1995).

Bentuk umum model matematis integer programming
sama dengan model matematis linear programming,
hanya pada model integer programming diberikan
syarat tambahan, yaitu nilai semua variabel
keputusannya harus integer.

Model integer programming dapat juga digunakan
untuk menyelesaikan masalah yang membutuhkan
jawaban ya atau tidak (yes or no decision).
Keputusan yang membutuhkan hanya dua pilihan
jawaban digambarkan dengan memberikan nilai
keputusan, 0 dan 1. Keputusan ya atau tidak
diwakili oleh variabel, misalkan ,
j
x dimana

=
ak. adalah tid ke keputusan jika , 0
ya adalah ke keputusan jika , 1
j
j
x
j

Setiap variabel disebut variabel biner (variabel 1 0 ).
Sehingga model integer programming yang
mempunyai variabel keputusan 1 0 disebut sebagai
masalah integer programming 1 0 (Hillier &
Lieberman 1995).

Daskalaki et al. (2004) memformulasikan masalah
penjadwalan di universitas dengan integer
programming. Variabel biner didefinisikan pada
struktur elemen yang menjadi parameter. Yang
menjadi parameter adalah mata kuliah, peserta,
pengajar, hari, periode waktu, dan ruang kelas. Model
memberikan penyelesaian yang optimal untuk
meminimalkan fungsi ongkos yang memerlukan dua
syarat yaitu, fungsi objektif diarahkan pada ongkos
penempatan mata kuliah pada suatu periode dalam
suatu hari, dan penempatan mata kuliah harus pada
satu jam yang berurutan dalam suatu hari dan dalam
satu minggu.

Dimopoulou & Miliotis (2001) membuat jadwal yang
mengombinasikan jadwal kuliah dan jadwal ujian
pada suatu universitas. Solusi masalah jadwal kuliah
digunakan untuk membangun suatu solusi awal dari
jadwal ujian. Dimopoulou & Miliotis
memformulasikan masalah dengan membagi dua
konsep dasar pengelompokan yang berbeda yaitu:
pengelompokan mata kuliah
pengelompokan periode waktu.
Ng & Martin (2002) memodelkan penjadwalan kuliah
di Universitas Minnesota Morris (UMM) dengan
mengasumsikan bahwa keinginan pengajar dapat
dipenuhi. Untuk menyelesaikan masalah,
penjadwalan mata kuliah dibagi menjadi dua tahap,
Riset Operasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
501
yaitu tahap pertama semua mata kuliah dialokasikan
ke suatu ruang pada waktu tertentu, dan tahap kedua
menyesuaikan waktu perkuliahan dengan kesediaan
pengajar. Masalah penjadwalan di UMM dimodelkan
dalam integer programming dan diselesaikan dengan
menggunakan metode branch and bound.

Sumber yang tersedia

Masalah penjadwalan ujian sangat bergantung
sumber yang terkait. Sumber yang tersedia untuk
penjadwalan ujian di UT adalah mata kuliah, dan
waktu.

Mata kuliah yang dijadwalkan adalah semua mata
kuliah yang ditawarkan oleh program studi. Ujian
dilaksanakan selama 2 hari dan setiap hari tersedia 5
jam ujian. Setiap jam ujian mempunyai waktu yang
sama yaitu 90 menit. Mahasiswa diperbolehkan
mengikuti ujian hanya satu mata kuliah pada satu jam
ujian.

Karakteristik mata kuliah

Program pendidikan reguler di UT menawarkan
semua mata kuliah yang menjadi beban studi
mahasiswa untuk memperoleh gelar kesarjanaan
setiap semesternya. Semua mata kuliah yang
ditawarkan wajib diregistrasi mahasiswa . Mata
kuliah dibagi atas 3 kelompok, yaitu:
1. mata kuliah dasar umum (MKDU)
2. mata kuliah program studi, dan
3. mata kuliah bersama..

Kelompok MKDU, dan mata kuliah bersama adalah
mata kuliah yang dikelola oleh PS di luar PS yang
akan membuat jadwal ujian dan waktu ujiannya
sudah ditentukan, sehingga PS yang menggunakan ke
dua kelompok mata kuliah ini langsung
mengalokasikannya pada jadwal ujian. Kelompok
mata kuliah program studi adalah mata kuliah yang
dikelola program studi yang akan membuat jadwal
dan belum mempunyai jadwal ujian.

Hubungan antarmata kuliah

Hubungan keterkaitan materi antarmata kuliah
digambarkan pada suatu rangkaian mata kuliah.
Rangkaian mata kuliah memberikan beberapa
gambaran seperti ada mata kuliah yang tidak
mempunyai hubungan secara materi dengan mata
kuliah yang lain (lepas), ada mata kuliah yang
menjadi prasyarat bagi mata kuliah lainnya secara
langsung atau tidak langsung. Bagi seorang
mahasiswa, untuk menentukan mata kuliah yang akan
diregistrasi pada suatu semester maka diasumsikan
mahasiswa akan lebih mudah memahami suatu materi
mata kuliah apabila telah memahami mata kuliah
prasyarat dari mata kuliah tersebut. Mata kuliah yang
mempunyai hubungan prasyarat langsung yang
disebut dengan pasangan mata kuliah akan
dikelompokkan ke dalam suatu kelas relasi. Mata
kuliah yang masuk dalam pasangan mata kuliah
tersebut akan dijadwalkan pada waktu yang sama.
Selain itu, rangkaian mata kuliah juga
memperlihatkan adanya urutan prasyarat. Mata
kuliah program studi yang mempunyai urutan
prasyarat yang sama akan dibuat menjadi satu grup
yang sama dan akan dijadwalkan pada waktu yang
berbeda.

Formulasi I nteger Programming untuk masalah
penjadwalan ujian

Untuk keperluan memformulasikan masalah
penjadwalan ujian, diasumsikan bahwa hubungan
keterkaitan materi antarmata kuliah seperti yang
sudah diidentifikasi pada penelitian ini.
Didefinisikan:
I himpunan semua mata kuliah yang ditawarkan,
J himpunan jam ujian yang tersedia,
IM himpunan kelompok MKDU,
IP himpunan kelompok mata kuliah program studi,
IB himpunan kelompok mata kuliah bersama,
IG himpunan grup dari mata kuliah program studi,
IR himpunan pasangan mata kuliah yang berelasi
yaitu pasangan mata kuliah yang mempunyai
hubungan prasyarat langsung.
IM I , IP I , IB I , IG IP .

Variabel keputusan adalah variabel biner, yaitu:
1.
,
1, jika mata kuliah dijadwalkan
pada jam ke -
0, lainnya
i j
i
x j


adalah keputusan untuk menjadwalkan mata kuliah
pada satu jam ujian.

2.
( )
( )
, , , ,
1, jika mata kuliah dan dijadwalkan
pada jam ke - 1 dan 1
0, lainnya
i j k j i k j
i k
y j x x

= = =


adalah keputusan untuk menjadwalkan pasangan
mata kuliah yang mempunyai hubungan prasyarat
dijadwalkan pada jam yang sama, dimana , k i
dan ( ) I I IR k i = , .

Batasan-batasan

Batasan diberikan pada model integer programming
untuk menghasilkan solusi fisibel, yaitu penjadwalan
yang memenuhi batasan-batasan tersebut. Batasan
masalah penjadwalan ujian terdiri dari batasan yang
sudah ditetapkan institusi (hard constraints) dan
Riset Operasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 502
batasan yang memberikan penyelesaian yang optimal
sesuai dengan tujuan penjadwalan (soft constraints).

Fungsi objektif penjadwalan ujian didefinisikan
seperti berikut:
maksimalkan
( )
( )
, ,
, ,
i k j
i k j
z y =

.

Tujuannya adalah memaksimalkan banyaknya
pasangan mata kuliah yang mempunyai hubungan
prasyarat langsung dijadwalkan pada waktu yang
sama.
Batasan-batasan yang diberikan adalah:
1. Setiap mata kuliah yang ditawarkan harus
dialokasikan tepat pada satu jam ujian.
,
1,
i j
j
x i =

.
2. MKDU dan mata kuliah bersama dialokasikan
pada jam yang sudah ditentukan.
,
1,
dengan dan , dan .
i j
x
i i IM i IB j J
=


3. Mata kuliah program studi dalam satu grup yang
sama akan dialokasikan pada jam yang berbeda.
,
1, dengan .
i j
i
x j i IG


4. Setiap pasangan matakuliah yang mempunyai
hubungan prasyarat langsung dialokasikan pada
jam yang sama.
( )
, , ,
0,
i j i k j
y x
( )
, , ,
0, dan
k j i k j
y x
( )
( )
( )
, , , ,
1,
, , dengan ,
dan , .
i j k j i k j
x x y
i k j i k
i k IR I I
+

=

5. Variabel keputusan
j i
x
,
dan
( ) j k i
y
, ,
adalah
variabel biner.
{ }
( )
{ } ( )
,
, ,
0,1 , , ,
0,1 , , , .
i j
i k j
x i j
y i k j




Implementasi

Model integer programming masalah penjadwalan
ujian diimplementasikan pada mata kuliah Program
Studi Matematika FMIPA-UT.
Mata kuliah yang ditawarkan ada sebanyak 45
mata kuliah dengan pengelompokan sebagai
berikut:
1. mata kuliah dasar umum (MKDU): 6 mata
kuliah
2. mata kuliah program studi: 25 mata kuliah
3. mata kuliah bersama: 14 matakuliah.
Dari 45 mata kuliah, ada sebanyak 20 mata kuliah
yang sudah dapat dialokasikan waktu ujiannya, dan
sebanyak 25 mata kuliah yang belum dapat
dialokasikan.

Penentuan grup mata kuliah program studi
berdasarkan urutan prasyarat terdiri dari: grup
mata kuliah yang tidak mempunyai mata kuliah
prasyarat tetapi menjadi mata kuliah prasyarat bagi
mata kuliah lain, grup mata kuliah yang
mempunyai mata kuliah prasyarat dan menjadi
mata kuliah prasyarat bagi mata kuliah lain, dan
grup mata kuliah yang mempunyai mata kuliah
prasyarat tetapi tidak menjadi mata kuliah
prasyarat bagi mata kuliah lain. Grup-grup tersebut
dapat dilihat pada Tabel 1-6.

Tabel 1. Grup mata kuliah yang tidak mempunyai mata
kuliah prasyarat dan menjadi mata kuliah prasyarat bagi
mata kuliah lain
No. Mata kuliah
1 Kalkulus I
2 Aljabar Linear Elementer I
3 1Fisika Dasar I

Tabel 2. Grup mata kuliah yang mempunyai mata kuliah
prasyarat pada Tabel 1
No. Mata kuliah
1 Kalkulus II
2 Aljabar Linear Elementer II
3 Analisis I
4 Himpunan Kabur
5 Fisika Dasar II
6 Analisis Jaringan

Tabel 3. Grup mata kuliah yang mempunyai mata kuliah
prasyarat pada Tabel 2
No. Mata kuliah
1 Kalkulus III
2 Metode Numerik
3 Analisis II
4 Aljabar I
5 Riset Operasional I
6 Matematika Finansial

Tabel 4. Grup mata kuliah yang mempunyai mata kuliah
prasyarat pada Tabel 3
No. Mata kuliah
1 Analisis Numerik
2 Aljabar II
3 Fungsi Kompleks
4 Persamaan Diferensial Biasa
5 Pemodelan Matematis

Tabel 5. Grup mata kuliah yang mempunyai mata kuliah
prasyarat pada Tabel 4
No. Mata kuliah
1 Riset Operasional II
2 Metode Matematis I



Riset Operasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
503
Tabel 6. Grup mata kuliah yang mempunyai mata kuliah
prasyarat pada Tabel 5
No. Mata kuliah
1 Riset Operasional II

Dari seluruh mata kuliah yang ditawarkan maka
terdapat sebanyak 15 mata kuliah yang materinya
tidak berkaitan dengan materi mata kuliah lainnya.
Adapun mata kuliah tersebut dapat dilihat pada
Tabel 7.

Tabel 7. Mata kuliah yang materinya tidak berkaitan
dengan materi mata kuliah lain
No. Mata kuliah
1. Ilmu Budaya Dasar
2. Pendidikan Pancasila
3. Pendidikan Kewarganegaraan
4. Bahasa Indonesia
5. Bahasa Inggris I
6. Pendidikan Agama
7. Kimia Dasar I
8. Geometri
9. Pengantar Ilmu Komunikasi
10. Biologi Umum
11. Asas-asas Manajemen
12. Komputer I
13.
Pengetahuan Dasar Ilmu
Lingkungan
14. Pengantar Ilmu Ekonomi
15. Metodologi Penelitian

Dari precedence relation mata kuliah yang
dihasilkan, ada 34 pasang mata kuliah yang
mempunyai hubungan prasyarat langsung.
Pasangan mata kuliah tersebut ada pada Tabel 8.

Tabel 8. Mata kuliah yang mempunyai hubungan prasyarat
langsung
No. Mata kuliah Mata kuliah
Prasyarat
1. Kalkulus II
Kalkulus I
2. Analisis I
3. Himpunan Kabur
4. Analisis Jaringan
5. Kalkulus III
Kalkulus II
6. Metode Numerik
7. Aljabar I
8. Riset Operasional I
9. Matematika Finansial
10. Pengantar Probabilitas
11. Asuransi I
12. Metode Peramalan
13.
Pengantar Statistika
Matematis I
14. Fungsi Kompleks
Kalkulus III
15. Persamaan Diferensial
Biasa
16. Metode Statistik I
17. Aljabar Linear
Elementer II
Aljabar Linear
Elementer I
18. Himpunan Kabur
19. Metode Numerik
Aljabar Linear
Elementer II
20. Aljabar I
21.
Persamaan Diferensial
Biasa
22. Pemodelan Matematis
23. Riset Operasional I
24. Analisis Numerik Metode Numerik
25. Analisis II Analisis I
26. Pemodelan Matematis Analisis II
27. Fisika Dasar II Fisika Dasar I
28. Aljabar II Aljabar I
29. Metode Matematis I
Persamaan
Diferensial Biasa
30. Riset Operasional II
Pemodelan
Matematis
31. Metode Matematis II Metode Matematis I
32. Riset Operasional I Analisis Jaringan
33. Riset Operasional I Program Linear
34.
Pengantar Statistika
Matematis II
Pengantar Statistika
Matematis I
Sumber: Katalog UT (2008)


Hasil penjadwalan

Implementasi model integer programming pada
masalah penjadwalan ujian yang dilakukan pada mata
kuliah Program Studi Matematika FMIPA-UT
menghasilkan jadwal ujian seperti pada Lampiran.
Pasangan mata kuliah yang mempunyai hubungan
prasyarat langsung yang dapat dialokasikan pada
waktu yang sama dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Pasangan mata kuliah yang dapat dijadwalkan
pada waktu yang sama
No.
Mata kuliah
Mata kuliah
Prasyarat
Hari/Jam
ke-
1. Himpunan
Kabur
Kalkulus I
II/5
2. Matematika
Finansial
Kalkulus II II/2
3. Pengantar
Probabilitas
4. Metode
Peramalan
5. Persamaan
Diferensial
Biasa Kalkulus III II/5
6. Metode Statistik
I
7. Aljabar Linear
Elementer II
Aljabar Linear
Elementer I
I/2
8.
Aljabar I
Aljabar Linear
Elementer II
I/2
9. Analisis
Numerik
Metode
Numerik
I/3
10. Analisis II Analisis I I/1
11. Pemodelan
Matematis
Analisis II I/1
12. Fisika Dasar II Fisika Dasar I I/3
13. Aljabar II Aljabar I I/2
Riset Operasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 504
14.
Metode
Matematis I
Persamaan
Diferensial
Biasa
II/5
15. Riset
Operasional II
Pemodelan
Matematis
I/1
16. Metode
Matematis II
Metode
Matematis I
II/5
17. Riset
Operasional I
Analisis
Jaringan
II/3
18. Riset
Operasional I
Program
Linear
II/3


KESIMPULAN

Model masalah penjadwalan ujian yang di
formulasikan dalam bentuk model integer
programming memberikan penyelesaian optimal dan
memenuhi semua batasan yang diberikan. Jadwal
ujian dapat mengalokasikan 18 pasangan mata kuliah
yang mempunyai hubungan prasyarat langsung pada
waktu yang sama.



DAFTAR PUSTAKA

[1] Daskalaki S, Birbas T, Housos E. 2004. An
integer programming formulation to a case
study in university timetabling. Eur J Operat
Res 153:117-135.
[2] Dimopoulou M, Miliotis P. 2001.
Implementation of a university course and
examination timetabling system. Eur J Operat
Res 130: 202-213.
[3] Hillier FS, Lieberman GJ. 1995. Introduction to
Operations Research. Ed ke-6. New York :
McGraw-Hill.
[4] Tarigan AI, Aman A, Hanum F. 2009. Model
optimasi jadwal ujian dan implementasinya pada
Universitas Terbuka [tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
[5] [UT] Universitas Terbuka. 2007. Katalog
Universitas Terbuka 2008. Jakarta: Universitas
Terbuka.



Riset Operasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI
505


Riset Operasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 507
PEMROGRAMAN LINIER DENGAN KENDALA FUZZY
UNTUK OPTIMISASI PRODUKSI

Ino Suryana
Jurusan MatematikaFMIPA Universitas Padjadjaran

zand_only@gmail.com


ABSTRAK

Pemrograman linier banyak diterapakan pada bidang yang memerlukan optimasi, salah satunya bidang produksi.
Pemrograman linier menentukan nilai yang pasti, pada satu nilai, padahal kenyataan nilai itu ada pada interval
(range) tertentu atau kondisi kefuzian. Masalah terakhir ini tidak dapat diselesaikan menggunakan pemrograman
linier yang biasa. Untuk ini diperlukan pemrograman linier fuzzy.

Bentuk permasalahan pemrograman linier ditulis dalam bentuk
minimum z = cx dengan kendala
Ax b
x 0,
dengan c = (
n
c c c , , ,
2 1
), x =
T
n
x x x ) , , , (
2 1
, b =
T
m
b b b ) , , , (
2 1
, dan A = (
ij
a ) sebagai matriks m x
n. Dengan kendala fuzzy, bentuk pemrograman linier di atas diubah dengan teknik fuzzifikasi menjadi
cx z
0

Ax b
x 0.
Bentuk kedua sangat berbeda dengan bentuk pertama, sehingga akan menghasilkan solusi yang berbeda. Bentuk
kedua tersebut yang akan dicari dan sekaligus solusinya menggunakan metoda simpleks.

Keywords : pemrograman linier, fuzzy, metoda simpleks


PENDAHULUAN

Sejak konferensi pertama tentang membuat
keputusan dengan kriteria multiple di University
of South Carolina th. 1972 (Sakawa, 1993),
menyimpulkan bahwa penyelesaian menggunakan
pemrograman linier meningkat sesuai dengan
permasalahan nyata pembuatan keputusan yang
melibatkan banyak, ketidaksepadanan, konflik,
dan mempertimbangkan berbagai aspek secara
bersamaan (simultan). Pendekatan masalah
menggunakan sistem pemrograman linier multi
objektif merupakan perluasan pada optimasi
pemrograman linier single objective.

Penyelesaian pada masalah optimasi multi
objektif biasanya dikompromikan atau dapat
memuaskan dengan solusi pembuat keputusan.
Masalah ini dibahas pada pemrograman linier.
Makalah ini menyajikan pada masalah single
objektif.

Masalah pemrograman linier (PL) dengan single
objektif ditulis dalam bentuk
minimumkan z = cx
kendala Ax b
x 0 (1)
dengan c = ) (
2 1 n
c c c ,
1 2
( )
T
n
x x x x = ,
1 2
( )
T
m
b b b b =
, dan A
=
) (
, j i
a
merupakan matriks m x n. Masalah ini bila
diselesaikan menggunakan metoda simpleks (bisa
menggunakan metoda lainnya) akan diperoleh
satu nilai solusi. Bila pembuat keputusan
(decissian maker) PK, memiliki/menginginkan
keputusan tidak satu nilai, tetapi banyak yang ada
dalam suatu interval. Permasalah ini harus
diselesaikan secara fuzzy, dan dinamakan
pemrograman linier fuzzy. Masalah pemrograman
linier fuzzy juga dapat diselesaikam
menggunakan metoda simpleks.


PERMASALAHAN DAN METODA

Masalah yang dibahas terbagi dua, yaitu masalah
pemrograman linier (klasik), dan masalah
pemrograman linier fuzzy. Langkah
penyelesaianya pada masalah pemrograman linier
menggunakan metoda simpleks.

Pada masalah pemrograman linier fuzzy, langkah
penyelesaiannya melalui dua tahap. Tahap
pertama mengubah bentuk pemrograman linier
(klasik) ke bentuk persamaan linier fuzzy sesuai
dengan kendala-kendala (constrains) yang
ada/diberikan sesuai pengalaman dari pembuat
keputusan. Tahap kedua menyelesaikan masalah
Riset Operasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 508
menggunakan metoda simpleks (bisa dengan
metoda lain).

Masalah Pemrograman Linier

Untuk ini akan diberikan langsung kasus
permasalahan perencanaan produksi dan metoda
penyelesaian menggunakan metoda simpleks yang
ada pada program aplikasi Lindo sebagai berikut.
(contoh 1)

Contoh 1.
Sebuah perusahaan ingin memkasimalkan
keuntungan untuk dua macam produksi barangnya
P
1
, dan P
2
yang dibuat dari 3 macam bahan baku
M
1
, M
2
, dan M
3
. Untuk memproduksi 1ton P
1

diperlukan bahan 2 ton M
1
, 8 ton M
2
, dan 3 ton
M
3
. Untuk memproduksi 1 ton P
2
diperlukan
bahan 6 ton M
1
, 6 ton M
2
, dan 1 ton M
3
. Bahan-
bahan yang tersedia 27 ton M
1
, 45 ton M
2
, dan 15
ton M
3
. Keuntungan dari P
1
setara dengan 1 juta
rupiah,per ton dan P
2
setara dengan 2 juta rupiah
per ton. Dengan kondisi ini, perusahaan ingin
memproduksi P
1
dan P
2
untuk mendapatkan total
keuntungan yang maksimum.

Dari narasi masalah di atas, dibuat tabel kondisi
(Tabel 1).

Tabel 1 Kondisi Produksi dan Keuntungan
Nama
Bahan
Barang
Produksi
Bahan
Tersedi
a P1 P2
M1 2 6 27
M2 8 6 45
M3 3 1 15
Untung
(Juta
Rp)
1 2 -

Masalah ditulis dalam sistem pemrograman linier,
sebagai berikut
maks z = cx
kendala Ax b
x 0
dengan c = (1 2), x = (x
1
x
2
)
T
, b = (27 45
15),
dan A =
(
(
(

1
6
6
3
8
2
(2)

Untuk kesesuaian bahasan, fungsi objektif dibuat
kebalikanya (opposite) menjadi min z = -c x
dengan c = (-1 -2), dan yang lainya tidak
berubah.

Masalah ini diselesaikan menggunakan metoda
simpleks dan diperoleh nilai-nilai x
1
= 3, dan x
2
=
3,5 sehingga z = -10.
Masalah Pemrograman Linier Fuzzy

Persamaan (1) diubah ke bentuk fuzzy dengan
persyaratan kefazian (batas kendala/ketersediaan
bahan bukan berupa satu nilai. Juga nilai fungsi
objektif bukan satu nilai) yang diberikan oleh
seorang pembuat keputusan (pembuat keputusan
memberikan beberapa nilai pada nilai kendala dan
nilai fungsi objektif), sehingga didapat bentuk

cx z
0
Ax b
x 0 (3)

Bentuk fuzzy goal (tujuan fuzzy) cx z
0
dan
fuzzy constrains (kendala fuzzy) Ax b pada (3)
digabung sehingga menjadi (Sakawa, 1993)

Bx b
x 0 (4)
dengan B =
(

A
c
, b =
(

b
z
0


Fungsi keanggotaan dari (Bx)
i
b
i
yang
merupakan kesamaan dari kendala fuzzy Bx b
adalah


i
((Bx)
i
) =

+
+


i i i
i i i i
i
i i
i
i i
d b Bx
d b Bx b
d
b Bx
b Bx
'
' '
'
) ( ; 0
) ( ;
) (
1
) ( ; 1
(5)
d
i
= beda nilai subjektif (jarak) yang ada pada
kondisi fuzzy. b
i
dan d
i
masing-masing ditulis
dalam vector adalah b=(b
i
)=(b
1
, b
2
, , b
n
) dan
d=(d
i
)=(d
1
, d
2
, , d
n
).










Gambar 1 Grafik Fungsi Keanggotaan

Keputusan fuzzy berikut keanggotaan linier pada
masalah tersebut, yaitu dengan mendapatkan nilai
maksimum dari x* sehingga
(x*) = max min {
i
((Bx)
i
)}
x0 i=0,1,,m

Dengan kata lain, penyelesaian masalah adalah
dengan mendapatkan x* > 0 yang
memaksimumkan pada minimum nilai fungsi
keanggotaan.
0
1
b

b
i
+d


B(x)




d

Riset Operasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 509
Dengan cara konstanta sistem pada persamaan 4
dibagi dengan d
i
, didapat

i i i
d b b
' ' '
= , (Bx)
i
= (Bx)
i
/d
i
(6)
Sehingga masalah dapat ditulis menjadi
(x*) = max min {1 +
' '
i
b - ((Bx)
i
)} (7)
x0 i=0,1,,m

Dengan memperkenalkan variable , masalah
ditransformasikan ke bentuk pemrograman linier
(klasik) sebagai
maks
kendala 1 +
' '
i
b - (Bx)
i
; I = 0, 1, . . . , m (8)
x 0

Bentuk persamaan (8) dapat langsung
diselesaikan menggunakan metoda simpleks.

Contoh 2
Pada contoh 1, sekarang pembuat keputusan (PK)
memiliki fuzzy goal dan fuzzy constrains (yang
pada sistem ada pada sisi kanan) untuk nilai
fungsi keanggotaan =0, dan =1 seperti disajikan
pada Tabel 2.

Tabel 2 Kendala nonfuzzy dan fuzzy

Nonfuzz
y
Kondisi
Fuzzy (dari
PK)
=0 =1
Fungsi
Objektif
-10 -9,5 -10,5
Kendala 1 27 30 27
Kendala 2 45 50 45
Kendala 3 15 17 15

Ambil z
0
= -10,5 (dengan nilai fungsi
keanggotaan =1), maka persamaan (2) dengan
fungsi objektif yang dikebalikanya (opposite)
diperoleh bentuk fuzzy
-cx z
0
Ax b
x 0
dengan menggabungkan fuzzy objektif dan fuzzy
kendala didapat bentuk

B
x b
x 0
dengan B =
(

A
c
=
(
(
(
(


1
6
6
2
3
8
2
1
, dan
b =
(
(
(
(

15
45
27
5 , 10
(9)


Dari kondisi fuzzy pada tabel 2 didapat d
i
(jarak
yang dimungkinkan dari PK), yaitu d
0
= -9,5 (-
10,5) = 1, d
1
= 30-27=3, d
2
= 5, dan d
3
= 2.
Selanjutnya ditulis d = (1 3 5 2)
T
. Fungsi
keanggotaanya adalah


i
((Bx)
i
) =

+
+ +
+ +
+ +
+

i i i
i i
d b Bx
x x x x
x x x x
x x x x
x x x x
b Bx
'
2 1 2 1
2 1 2 1
2 1 2 1
2 1 2 1
'
) ( ; 0
17 ) 3 ( 15 ; 2 / ) 15 ) 3 (( 1
50 ) 6 8 ( 45 ; 5 / 45 ) 6 8 (( 1
30 ) 6 2 ( 27 ; 3 / ) 27 ) 6 2 (( 1
5 , 9 ) ( 5 , 10 ); 5 , 10 ) (( 1
) ( ; 1


(10)

Nilai-nilai pada persamaan (9) dan d
i
diperoleh

= =
i i i
d b b
' ' '
(-10,5 9 9 7,5)
T
dan
(Bx)
i
= (Bx)
i
/d
i
=
(
(
(
(
(

5 , 0
2 , 1
2
2
5 , 1
6 , 1
3
2
1
.

Bentuk pemrograman linier fuzzy dengan vaiabel
(persamaan (8)) adalah
min
kendala
0 ,
5 , 9 2
5 , 8 5 , 0 5 , 1
10 2 , 1 6 , 1
10 2
3
2
2 1
2 1
2 1
2 1
2 1

+
+ +
+ +
+ +
x x
x x
x x
x x
x x

(11)

Persamaan (11) diselesaikan menggunakan
metoda simpleks, diperoleh x1 = 3,0789, x2 =
3,5921, dan = 0,7632.

Solusi optimal menggunakan pemrograman linier
fuzzy lebih baik dari solusi pemrograman linier
nonfuzzy seperti diuraikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Solusi Nonfuzzy dan Fuzzy PL
Nonfuzzy Fuzzy
x
1
= 3
x
2
= 3,5
z = -10
x
1
= 3,0789
x
2
= 3,5921
z = -10,2631
Kendala Kendala
1: 27
2: 45
3: 12,5
1: 27,71
2: 46,18
3: 12,83

Hasil dari solusi PL fuzzy mendapat konstrain
yang baru, dan nilai fungsi objektif yang lebih
optimum (dari PL [klasik]).


Riset Operasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 510
KESIMPULAN

Dengan menggunakan logika fuzzy dihasilkan
solusi yang lebih optimal dibandingkan dengan
tanpa menggunakan logika fuzzy. Penyelesaian
PL fuzzy membutuhkan upaya yang lebih dari
sekadar menyelesaikan PL (klasik).
Penyelesaianya sama-sama menggunakan metoda
simpleks.

Nilai-nilai yang diperoleh dari penyelesaian PL
fuzzy bukan sekedar nilai fungsi objektif saja,
juga ikut menentukan nilai-nilai kendala yang
baru. Cakupan dalam kasus ini hanya PL fuzzy
dengan satu fungsi objektif.



DAFTAR PUSTAKA

[1] Kocay, William. Krehen, L Donald. 2005.
Graph, Algorithm, and Optimization. Boca
Raton, London, New York, Washington D.C.
CARC Press Company.
[2] Sakawa, Matasatoshi. 1993. Fuzzy Sets And
Interactive Multiobjective Optimization. New
York & London. Plenum Press
[3] Suryana, Ino. 2005. Logika Fuzzy Pada
Pengaturan Lampu Lalu Lintas. Universitas
Indonesia Depok, Jakarta. Seminar Nasional
Matematika.
[4] Tartilah, Tjutju Dimyati. Dimyati, Ahmad.
2004. Operations Research: Model-model
Pengambilan Keputusan. Bandung. Sinar
Baru Algensindo.

Riset Operasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 511
PELINEARAN SUATU MODEL MI XED I NTEGER NONLI NEAR
PROGRAMMI NG

Sitta Alief Farihati
1
, Amril Aman
2
, I.N.K Kutha Ardana
2
1
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Terbuka

2
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor


sitta@mail.ut.ac.id


ABSTRAK

Penerapan sistem distribusi terpusat di Indonesia untuk distribusi barang/jasa merupakan suatu permasalahan yang
cukup rumit. Hal ini disebabkan keterbatasan transportasi di daerah. Keterbatasan tersebut menjadi kendala untuk
meminimisasi biaya distribusi. Salah satu solusi untuk masalah sistem distribusi terpusat adalah dengan mengubah
sistem tersebut menjadi sistem distribusi tidak terpusat. Sistem distribusi tidak terpusat yang dirancang adalah sistem
yang menempatkan pabrik/perusahaan tetap terpusat dan menempatkan agen di daerah tertentu untuk menjadi gudang
dan penyuplai ke agen kecil/konsumen. Penentuan lokasi agen tersebut merupakan masalah lokasi fasilitas tak
berkapasitas. Masalah tersebut kemudian dimodelkan sebagai masalah mixed integer nonlinear programming
(MINP).

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan model distribusi tidak terpusat dan mengimplementasikannya pada
masalah distribusi bahan ajar di Universitas Terbuka (UT). Oleh karena model distribusi tidak terpusat merupakan
suatu masalah MINP, maka untuk memperoleh nilai yang optimal dilakukan pelinearan. Salah satu cara pelinearan
adalah mengubah masalah lokasi fasilitas tak berkapasitas (uncapacitated facility location problem) menjadi masalah
lokasi fasilitas berkapasitas (capacitated facility location problem). Pelinearan tersebut akan mengakibatkan adanya
biaya penalti pada pemodelannya.

Hasil dari penelitian ini adalah model distribusi tidak terpusat yang berupa mixed integer linear programming dan
implementasinya pada masalah distribusi bahan ajar di UT. Model yang diperoleh merupakan model dari masalah
lokasi fasilitas berkapasitas yang dikombinasikan dengan masalah penentuan jenis kendaraan (vehicle decision
problem).

Keywords: (sistem distribusi terpusat, pelinearan, sistem distribusi tidak terpusat)


PENDAHULUAN

Perkembangan perekonomian di Indonesia masih
belum merata. Hal ini disebabkan keberadaan
pusat perekonomian dan pemerintahan masih
berada di Pulau Jawa. Akibatnya pusat
perindustrian untuk barang/jasa juga banyak yang
berada di Pulau Jawa. Salah satu cara untuk
meningkatkan pemerataan perekonomian adalah
dengan memperlancar jalur perekonomian. Jalur
perekonomian terkait dengan jalur distribusi
barang/jasa.

Distribusi barang/jasa dapat melalui transportasi
darat, laut ataupun udara. Namun tidak setiap
propinsi memiliki semua jenis transportasi
tersebut. Hal ini disebabkan setiap propinsi di
Indonesia memiliki karakteristik wilayah yang
berbeda. Keberagaman jenis transportasi tersebut
mengakibatkan biaya distribusi untuk jenis
barang/jasa yang sama ke setiap propinsi akan
berbeda. Oleh sebab itu diperlukan solusi untuk
meminimumkan biaya distribusi tersebut.

Biaya distribusi terkait dengan sistem distribusi.
Sistem distribusi yang sering digunakan oleh
perusahaan/industri adalah sistem distribusi
terpusat. Hal ini disebabkan masih terpusatnya
perekonomian dan pemerintahan Indonesia. Salah
satu perusahaan/industri yang menerapkan sistem
distribusi terpusat adalah Universitas Terbuka
(UT). UT berkantor Pusat di Pondok Cabe,
Tangerang dan mempunyai Kantor Cabang (Unit
Program Belajar Jarak Jauh (UPBJJ)-UT) di
propinsi di seluruh Indonesia sebanyak 37 UPBJJ-
UT.

UT merupakan Perguruan Tinggi Jarak Jauh yang
menerapkan sistem industri dalam mengelola
layanan pendidikannya. Salah satu layanan
pendidikan yang dikelola adalah penjualan bahan
ajar (modul). Bahan ajar merupakan media belajar
utama bagi mahasiswa UT. Oleh sebab itu bahan
ajar harus selalu tersedia di UPBJJ-UT yang
langsung melayani Kelompok Belajar Mahasiswa
(KBM)/mahasiswa. Dalam sistem distribusi suatu
perusahaan industri, UPBJJ-UT setara dengan
agen, dan KBM/mahasiswa setara dengan agen
kecil/konsumen.

Penerapan sistem distribusi terpusat di UT
tersebut dipandang tidak efisien (Farihati, 2009).
Riset Operasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 512
Oleh sebab itu akan dikaji suatu sistem distribusi
tidak terpusat yang sesuai dengan karakteristik
wilayah Indonesia. Sistem distribusi tidak terpusat
yang dirancang adalah sistem yang menempatkan
pabrik/perusahaan tetap terpusat dan
menempatkan agen di daerah tertentu untuk
menjadi gudang dan penyuplai ke agen
kecil/konsumen. Penentuan lokasi agen tersebut
merupakan masalah lokasi fasilitas tak
berkapasitas. Masalah tersebut kemudian
dimodelkan sebagai masalah mixed integer
nonlinear programming (MINP). Tujuan dari
penelitian ini adalah menentukan model dari
sistem distribusi tidak terpusat berupa mixed
integer linear programming (MILP) dan
mengimplementasikannya pada kasus distribusi di
UT.


BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dibagi menjadi empat tahap, yaitu
(1) pendeskripsian dan formulasi masalah, (2)
pemodelan, (3) solusi model dan (4) implementasi
model.

Pada tahap pemodelan, masalah awal dari model
distribusi tidak terpusat adalah masalah MINP.
Oleh sebab itu untuk memperoleh nilai yang
optimal dilakukan pelinearan, sehingga masalah
MINP dapat menjadi masalah MILP. Salah satu
cara pelinearan adalah dengan mengubah masalah
lokasi fasilitas tak berkapasitas (uncapacitated
facility location problem) menjadi masalah lokasi
fasilitas berkapasitas (capacitated facility location
problem).

Model dari masalah distribusi yang berupa MILP
akan diselesaikan dengan metode Branch and
Bound dengan bantuan software Lingo 8.0.
Implementasi model dilakukan dengan cara
menyimulasikan model dengan menggunakan
data koordinat geografi bumi dan data UT. Data
UT yang digunakan adalah data perkiraan
permintaan bahan ajar Pendidikan Dasar (Pendas)
dan data biaya pengiriman berdasarkan
subkontrak tahun 2008.


HASIL DAN DISKUSI

Deskripsi Masalah
Sistem distribusi yang dijadikan contoh kasus
adalah sistem distribusi bahan ajar di UT. Pada
tahap pendeskripsian masalah ini istilah yang
akan digunakan selanjutnya adalah sistem
distribusi bahan ajar terpusat dan sistem distribusi
bahan ajar tidak terpusat. Sistem bahan ajar
terpusat juga dibahas karena akan digunakan
sebagai pembanding saat melakukan verifikasi
model.

Sistem Distribusi Bahan Ajar Terpusat
Sistem distribusi bahan ajar terpusat
menempatkan Kantor Pusat UT sebagai pusat
produksi dan pemasok utama bahan ajar ke
UPBJJ-UT di seluruh Indonesia. Sistem distribusi
terpusat memberlakukan pengiriman dari Kantor
Pusat UT langsung ke UPBJJ-UT. Biasanya
UPBJJ-UT mengajukan permintaan ke Kantor
Pusat UT minimal 2 kali dalam setahun karena
terdapat 2 masa registrasi dalam setahun untuk
Program Pendas.

Sistem Distribusi Bahan Ajar Tidak Terpusat
Jika percetakan terpusat di Kantor Pusat UT,
maka ditempatkan gudang-gudang yang berfungsi
sebagai lokasi penyimpanan dan pemasok bahan
ajar ke UPBJJ-UT terdekat. Gudang-gudang
tersebut akan menempati lokasi yang sama
dengan UPBJJ-UT yang terpilih.
Pada sistem ini, karakteristik sistem yang perlu
dibatasi adalah :
(1) percetakan bahan ajar terpusat di Kantor Pusat
UT sehingga di Kantor Pusat UT terdapat
gudang utama yang akan memasok gudang-
gudang di UPBJJ-UT terpilih.
(2) gudang utama hanya akan memasok gudang di
UPBJJ-UT terpilih dan jumlah gudang yang
akan dipasok oleh gudang utama lebih dari
satu.
(3) UPBJJ-UT yang ditempati sebagai gudang
juga akan menerima pasokan bahan ajar dari
gudang tersebut, sehingga biaya transportasi
bahan ajar sama dengan nol.
(4) setiap UPBJJ-UT hanya akan dipasok oleh
satu gudang.
(5) jumlah seluruh UPBJJ-UT yang dipasok sama
dengan 37, hal ini sesuai dengan jumlah
seluruh UPBJJ-UT yang ada.
(6) bahan ajar akan dikirim melalui transportasi
darat, laut dan udara. Penentuan penggunaan
transportasi dipertimbangkan berdasarkan
kapasitas kendaraan, hal ini disebabkan bahan
ajar merupakan produk yang tahan lama
sehingga tidak perlu dipertimbangkan lama
waktu perjalanan.
Formulasi Masalah
Tujuan utama masalah distribusi bahan ajar
adalah meminimalkan biaya distribusi. Dalam
pemodelan, biaya percetakan dan biaya
penggudangan di gudang utama diabaikan karena
komponen biaya distribusi hanya meliputi biaya
pengiriman, biaya penggudangan dan biaya
penalti, seperti yang dinyatakan oleh Kotler et al.
(2002).


Riset Operasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 513
Diberikan asumsi-asumsi berikut :
1. Setiap UPBJJ-UT dan gudang mempunyai
permintaan
2. Jumlah permintaan setiap UPBJJ-UT dan
gudang tetap
3. Jumlah permintaan setiap UPBJJ-UT,
kapasitas setiap gudang dan kapasitas setiap
jenis kendaraan pengangkut diketahui
4. Setiap kendaraan hanya melewati satu rute
5. Total biaya transportasi dari setiap jenis
kendaraan diketahui, biaya tersebut termasuk
biaya perjalanan kembali dari tujuan ke
sumber
6. Biaya transportasi setiap jenis kendaraan
meliputi biaya bongkar muat dan biaya
penyewaan gudang
7. Biaya pembuatan gudang baru dan biaya
operasional gudang baru dalam satu tahun
diketahui
8. Biaya operasional gudang utama diabaikan
9. Biaya percetakan bahan ajar diabaikan.
Model
Setiap sistem distribusi bahan ajar akan disusun
dalam suatu model yang terdiri dari batasan-
batasan (constraints). Model I merupakan
pemodelan sistem distribusi bahan ajar terpusat,
model II merupakan pemodelan sistem distribusi
bahan ajar tidak terpusat. Kedua model
menggunakan variabel dan parameter yang sama.

Didefinisikan :
{ } 0,1, , , , ; 3 7 I i n n =

adalah himpunan
indeks yang menyatakan lokasi gudang,
dengan 0 i = adalah indeks gudang utama di
Kantor Pusat UT
{ } 1, , , , 3 7 J j = adalah himpunan indeks yang
menyatakan lokasi konsumen
{ } 1, , , , K k k =

adalah himpunan indeks yang
menyatakan jenis kendaraan

Variabel dan parameter yang digunakan adalah :
ij
a = jumlah bahan ajar yang dikirim dari gudang
i ke konsumen j,
ij
a
+


j
q = jumlah permintaan bahan ajar per tahun
setiap konsumen j ,
j
q
+

Cap = kapasitas gudang, Cap
+

k
Q = kapasitas kendaraan jenis k,


k
Q
+

f = biaya penggudangan , f
+


= biaya penalti bahan ajar yang tidak dikirim
(tersisa di gudang),
+
,

0 >

M = jumlah minimal bahan ajar yang dikirim
per tahun, M
+

i
v = jumlah bahan ajar yang dikirim dari gudang
i ,
i
v
+

k
ij
c

= biaya transportasi dari gudang i ke
konsumen j menggunakan kendaraan k,

k
ij
c
+


ij
w = frekuensi pengiriman per tahun dari gudang
i ke konsumen j ,
ij
w
+

k


= konstanta biaya untuk setiap kendaraan
jenis k ,

k

+

ij
d

= jarak (pada permukaan bumi) antara
gudang i dan konsumen j , jika titik
koordinat gudang/konsumen pada sistem
koordinat geografi adalah ( ) , ,

koordinat lintang dan

koordinat bujur,
maka
( )
1
cos sin sin cos cos cos
ij i j i j i j
d

= +
ij
d
+
(Chang, 2004).

Variabel keputusan yang digunakan untuk
menentukan terpilih tidaknya UPBJJ-UT sebagai
gudang adalah :

1, jika gudang ditempatkan di
0, selainnya
i
i
x

=



Selain itu diperlukan pula variabel keputusan
untuk menentukan kendaraan yang digunakan
sebagai alat transportasi pengiriman yaitu :

jika kendaraan jenis digunakan
1,
dari gudang ke konsumen
0, selainnya
k
ij
k
i j
y




Model I
Diasumsikan stok bahan ajar di gudang utama
tersedia sebesar permintaan seluruh konsumen.
Fungsi objektifnya adalah :
Minimumkan

37
0 0 0
1 1
k
k k
j j j
j k
y c a

= =


Fungsi
37
0 0 0
1 1
k
k k
j j j
j k
y c a

= =


menyatakan jumlah
biaya pengiriman dari gudang utama ke
konsumen.



Batasan yang digunakan adalah :
1. Satu kali pengiriman bahan ajar tidak lebih
dari permintaan konsumen
0 j j
w M q untuk j J

Riset Operasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 514
Kendala ini untuk menentukan frekuensi
pengiriman bahan ajar ke setiap konsumen.

2. Pengiriman bahan ajar ke konsumen
dilakukan minimal dua kali dalam setahun
0
2
j
w untuk j J

Kendala ini untuk menentukan frekuensi
pengiriman bahan ajar ke setiap konsumen
minimal dua kali dalam setahun.

3. Jumlah bahan ajar yang disuplai sama dengan
jumlah permintaan bahan ajar

0 0 j j j
w a q = untuk j J

Kendala ini untuk memastikan setiap
permintaan konsumen dipenuhi .

4. Setiap gudang dan konsumen dapat dilayani
dengan kendaraan jenis k

0 0
k
j j k
y a Q untuk k K ; j J

Kendala ini untuk menentukan jenis
kendaraan yang akan mengirim bahan ajar
dari gudang utama ke konsumen berdasarkan
kapasitas kendaraan.

5. Setiap konsumen hanya disuplai oleh satu
kendaraan jenis k
'
0
1 1
1
n k
k
j
i k
y
= =
=

untuk j J

Kendala ini untuk memastikan kendaraan
yang akan mengirim bahan ajar dari gudang
utama ke setiap konsumen hanya satu jenis.

6. Hubungan antara biaya transportasi dan jarak

0 0
k
j k j
c d = untuk k K ; j J

Kendala ini untuk menentukan biaya
transportasi setiap jenis kendaraan dari
gudang utama ke konsumen.

Model II
Pada model II diasumsikan stok bahan ajar di
gudang terpilih tersedia sebesar permintaan
konsumen yang dilayaninya. Oleh sebab itu
jumlah bahan ajar yang dikirim dari gudang
utama sebanyak jumlah bahan ajar yang dikirim
dari gudang terpilih ke seluruh konsumen.

Fungsi objektifnya adalah :
Minimumkan
' 37
0 0
1 1 1 1 1 1
n k n k n
k k k k
i i i ij ij ij i
i k i j k i
y c v y c a x f

= = = = = =
+ +


Fungsi
'
0 0
1 1
n k
k k
i i i
i k
y c v
= =


menyatakan jumlah biaya
pengiriman dari gudang utama ke gudang terpilih.
Fungsi
37
1 1 1
n k
k k
ij ij ij
i j k
y c a

= = =


menyatakan jumlah
biaya pengiriman dari gudang terpilih ke
konsumen.
Fungsi
1
n
i
i
x f
=


menyatakan jumlah biaya
penggudangan di gudang terpilih.

Batasan yang digunakan adalah :
1. Satu kali pengiriman bahan ajar tidak lebih
dari permintaan konsumen
ij j
w M q untuk { } ( )
0 i I ; j J


2. Pengiriman bahan ajar ke konsumen
dilakukan minimal dua kali dalam setahun
2
ij
w untuk { } ( )
0 i I ; j J


3. Jumlah bahan ajar yang disuplai gudang sama
dengan jumlah permintaan konsumen

ij ij j
w a q = untuk { } ( )
0 i I ; j J


4. Setiap gudang dan konsumen dapat dilayani
dengan kendaraan jenis k

0
k
i k
y Cap Q untuk k K ,

{ } ( )
0 i I

k
ij ij k
y a Q untuk k K ; { } ( )
0 i I ;
j J


5. Setiap konsumen hanya disuplai oleh satu
gudang
' 37
1 1
k
k
ij ij i
k j
y a x Cap
= =


untuk { } ( )
0 i I


Kendala ini untuk memastikan konsumen j
tidak dapat dilayani dari i kecuali gudang
ditempatkan di i dan setiap gudang akan
menyuplai konsumen terdekat.

6. Setiap konsumen hanya disuplai oleh satu
kendaraan jenis k
'
0
1
k
k
i i
k
y x
=
=

untuk { } ( )
0 i I

'
1 1
1
n k
k
ij
i k
y
= =
=

untuk j J


7. Jumlah bahan ajar yang dikirim oleh gudang
terpilih sama dengan jumlah permintaan
seluruh konsumen yang dilayaninya
' 37
1 1
k
k
ij ij i
k j
y a v
= =
=


untuk { } ( )
0 i I

Riset Operasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 515
Kendala ini untuk memastikan jumlah
permintaan seluruh konsumen yang dilayani
oleh setiap gudang terpilih terpenuhi.

8. Hubungan antara biaya transportasi dan jarak

0 0
k
i k i
c d = untuk k K ; { } ( )
0 i I


k
ij k ij
c d = untuk k K ; { } ( )
0 i I ;
j J

Model II merupakan model mixed integer
nonlinear programming. Hal ini dapat dilihat
pada fungsi objektifnya. Fungsi objektif model II
yaitu fungsi
'
0 0
1 1
n k
k k
i i i
i k
y c v
= =

adalah fungsi
nonlinear. Dikatakan fungsi nonlinear karena
' 37
1 1
k
k
ij ij i
k j
y a v
= =
=

. Oleh karena seluruh kendala


pada model II merupakan fungsi linear , maka
pelinearan hanya dilakukan pada fungsi
objektifnya.

Pelinearan Model II
Tujuan pelinearan adalah untuk melinearkan
fungsi objektif dan kendala suatu model. Jika
fungsi objektif dan kendala berupa fungsi linear
maka solusi yang diperoleh adalah suatu nilai
optimal. Selain itu pelinearan juga dimaksudkan
untuk mempermudah proses komputerisasi dalam
Lingo 8.0. Hal ini disebabkan Lingo 8.0 hanya
dapat menyelesaikan masalah nonlinear dengan
jumlah variabel dan kendala terbatas.

Pelinearan terhadap model II dilakukan dengan
cara mengubah asumsinya terlebih dahulu. Jika
semula pada model II diasumsikan stok bahan ajar
di gudang terpilih tersedia sebesar permintaan
seluruh konsumen, maka asumsi dirubah menjadi
stok bahan ajar di gudang terpilih sebesar
kapasitas gudang terpilih. Oleh sebab itu stok
bahan ajar di gudang utama tersedia sebanyak
permintaan seluruh gudang terpilih. Kemudian
diasumsikan juga bahwa stok bahan ajar di
gudang terpilih pada saat pengiriman awal dari
gudang utama sama dengan nol. Hal ini
disebabkan jumlah bahan ajar yang dikirim
pertama kali dari gudang utama ke gudang terpilih
sebanyak kapasitas gudang terpilih tersebut,
sehingga tidak mungkin jika ada stok bahan ajar
di gudang terpilih.

Hasil perubahan fungsi objektifnya adalah :
Minimumkan
( )
' 37
0 0
1 1 1 1 1
1 1
n k n k
k k k k
i i ij ij ij
i k i j k
n n
i i i
i i
y c Ca p y c a
x f x Cap v

= = = = =
= =
+
+ +




Fungsi
'
0 0
1 1
n k
k k
i i
i k
y c Cap
= =


menyatakan jumlah
biaya pengiriman dari gudang utama ke gudang
terpilih.
Fungsi ( )
1
n
i i
i
x Cap v
=


menyatakan jumlah
biaya penalti di gudang terpilih.

Biaya penalti muncul disebabkan adanya sisa
bahan ajar di gudang . Hasil pelinearan ini yang
disebut masalah lokasi fasilitas berkapasitas
(capacitated facility location problem).
Implementasi Model

Data Simulasi
Simulasi dilakukan dengan menggunakan data
koordinat geografi bumi, data perkiraan
permintaan bahan ajar Pendas UT dan data biaya
pengiriman berdasarkan subkontrak tahun 2008.
Konstanta pengali (
k
) pada biaya transportasi
ditentukan dengan metode Least Squares, dan
diperoleh nilai
k
untuk kendaraan darat* 1,467
rupiah/km.kg ; trucking 9113 rupiah/km ; laut
2,317 rupiah/km.kg ; udara 5,315 rupiah/km.kg.
Dimisalkan kapasitas kendaraan jenis darat*
maksimal 4.000 kilogram, trucking maksimal
8.000 kilogram, laut maksimal 8.000 kilogram
dan udara maksimal 1.000 kilogram. Biaya penalti
terhadap bahan ajar yang tersisa di gudang
sebesar Rp. 5.000,- per kilogram. Jumlah minimal
pengiriman bahan ajar setiap tahun 1.000
kilogram.

Verifikasi Model
Pada verifikasi ini akan digunakan data simulasi.
Hasil yang diharapkan adalah apabila pada model
II gudang terpilih tidak digunakan maka seluruh
konsumen akan dilayani oleh gudang utama. Hal
ini menunjukkan model akan sama dengan model
I. Dari hasil verifikasi, diperoleh bahwa model
valid, biaya penggudangan di setiap gudang
terpilih untuk satu kali pengiriman sebesar
kapasitas 4.000 kilogram senilai Rp. 4.000.000,-
dan kapasitas gudang di gudang utama sebesar
40.000 kilogram.
Simulasi Model
Riset Operasi

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 516
Setelah dilakukan pembandingan biaya distribusi
dengan kapasitas gudang 4.000 ; 5.000 ; 6.000 ;
7.000 ; dan 8.000 kilogram, gudang dengan
kapasitas 8.000 kilogram direkomendasikan
sebagai solusi terbaik untuk model II.

Hasil simulasi model II menunjukkan bahwa
gudang utama akan mengirimkan bahan ajar ke
gudang terpilih menggunakan kendaraan jenis
trucking. Gudang terpilih berada di Palembang,
Jakarta, Bogor, Surakarta dan Majene. Gudang
terpilih akan mengirimkan bahan ajar ke UPBJJ-
UT yang dilayani menggunakan kendaraan jenis
darat*. UPBJJ-UT yang dilayani oleh setiap
gudang terpilih itu adalah :
Gudang terpilih Palembang melayani UPBJJ-
UT Banda Aceh, Medan, Batam, Padang,
Pekanbaru, Jambi, Palembang dan Bengkulu.
Gudang terpilih Jakarta melayani UPBJJ-UT
Pangkal Pinang, Bandar Lampung, Jakarta,
Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin,
Samarinda dan Ternate.
Gudang terpilih Bogor melayani UPBJJ-UT
Serang, Bogor, Bandung, Purwokerto dan
Semarang.
Gudang terpilih Surakarta melayani UPBJJ-
UT Surakarta, Yogyakarta, Surabaya,
Malang, Jember, Denpasar, Mataram dan
Kupang.
Gudang terpilih Majene melayani UPBJJ-UT
Makassar, Majene, Palu, Kendari, Manado,
Gorontalo, Ambon dan Jayapura.














Gambar 1. Lokasi gudang terpilih dan UPBJJ-UT
yang dilayaninya pada sistem distribusi bahan ajar tidak
terpusat.











KESIMPULAN

Sistem distribusi terpusat dapat diubah menjadi
sistem distribusi tidak terpusat. Salah satu bentuk
sistem distribusi tidak terpusat adalah sistem yang
menempatkan pabrik/perusahaan tetap terpusat
dan menempatkan agen di daerah tertentu untuk
menjadi gudang dan penyuplai ke agen
kecil/konsumen. Model dari sistem tersebut
berupa mixed integer nonlinear programming.
Model ini merupakan masalah lokasi fasilitas tak
berkapasitas. Dengan pelinearan, maka solusi
model dapat menjadi optimal. Hasil pelinearan
merupakan masalah lokasi fasilitas berkapasitas.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Chang, K.T. 2004. Geographic Information
System. New York : The McGraw-Hill
Companies inc.
[2] Farihati SA. 2009. Model Distribusi Bahan
Ajar Universitas Terbuka dan
Implementasinya (Tesis). Bogor : IPB.
[3] Kotler P, Swee Hoon Ang, Siew Meng
Leong, Chin Tiong Tan. 2002. Manajemen
Pemasaran Perspektif Asia Buku 2. Ed ke-1.
Handoyo P & Hamin, penerjemah.
Yogyakarta : Andi Offset.



Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 517
PENGARUH BIAS IONOSFER PADA AKURASI PENGUKURAN
JARAK SATELIT GPS

Buldan Muslim
Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi
Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN
Jl. Dr. Junjunan 133 Bandung 40173

Email: mbuldan@yahoo.co.id


ABSTRAK

Pengukuran jarak satelit GPS yang digunakan sebagai dasar penentuan posisi berbasis satelit mengalami kesalahan
yang berasal dari berbagai sumber antara lain dari karakteristik propagasi gelombang radio ketika menjalar dari satelit
ke receiver. Ada dua macam kesalahan propagasi sinyal GPS yang tergantung pada sifat medium yang dilaluinya
yaitu kesalahan propagasi nondispersif ketika menjalar di troposfer dan kesalahan propagasi dispersif ketika menjalar
melalui ionosfer yang bisa disebut dengan bias ionoser. Untuk penentuan posisi dengan akurasi sampai level mm
bias ionosfer perlu direduksi. Perumusan indek bias ionosfer dapat dilakukan menggunakan ekspansi deret Taylor
sampai orde tertentu sehingga bias ionosfer juga terdiri dari beberapa orde. Bias ionosfer orde satu secara langsung
berhubungan dengan total electron content (TEC) di ionosfer dan frekuensi sinyal GPS. Bias ionosfer orde 2 selain
tergantung TEC juga tergantung pada medan magnet bumi, sedangkan bias ionosfer orde 3 memerlukan integrasi
kuadrat kerapatan elektron ionosfer. Makalah ini membahas pengaruh bias ionosfer tiap-tiap orde pada akurasi
pengukuran GPS. Data TEC global dari model Global Ionospheric MAP (GIM) digunakan untuk estimasi bias
ionosfer. Bias ionosfer orde 1, 2 dan 3 dianalisis untuk kondisi ekstrim ionosfer yaitu pada kondisi badai ionosfer 29
Oktober tahun 2003, pada saat siklus tinggi tahun 2001 dan kondisi siklus minimum tahun 2009 dalam kaitannya
dengan efek pengabaikan kesalahan bias ionosfer orde tinggi tersebut pada akurasi pengukuran GPS.

Kata kunci: Ionosfer, sinyal GPS, indek bias, pengukuran jarak, akurasi.


1. PENDAHULUAN

Propagasi sinyal GPS melalui ionosfer mengalami
pembiasan sehingga pengukuran jarak dengan
GPS mengalami kesalahan propagasi ionosfer
yang tergantung pada total elektron content
(TEC) dan frekuensi sinyal GPS. Pada band L
kesalahan pengukuran GPS karena bias ionosfer
memberikan kontribusi terbesar yang membatasi
akurasi pengukuran GPS. Sebagian besar bias
ionosfer tersebut dapat direduksi dengan
menggunakan pengukuran GPS frekuensi ganda
karena sifat dispersif ionosfer. Tetapi dengan GPS
frekuensi ganda hanya dapat menghilangkan
komponen linier dari efek ionosfer yaitu indek
bias ionosfer orde satu saja yang sudah
mencukupi keperluan aplikasi navigasi dengan
GPS. Untuk keperluan penentuan posisi akurasi
tinggi kesalahan ionosfer orde 2 dan 3 perlu
dipertimbangkan apalagi untuk ionosfer lintang
rendah seperti di Indonesia. Pada tingkat aktivitas
matahari yang tinggi bias ionosfer bisa mencapai
beberapa puluh sentimeter pada kesalahan
pengukuran jarak. Bruner dan Gu (1991)
menggunakan bentuk penuh dari indek bias
ionosfer untuk menghitung kesalahan jarak
residual dari bias ionosfer orde pertama. Model
tersebut meliputi pengaruh medan magnet bumi
dan pembelokan lintasan gelombang pada
frekeunsi L1 dan L2. Untuk mencapai akurasi bias
ionosfer sampai level millimeter, nilai kerapatan
maksimum yang aktual dan komponen
longitudinal medan magnet bumi sepanjang
lintasan gelombang sinyal GPS perlu diketahui.
Untuk keperluan praktis akses informasi dua
parameter tersebut tidak mudah dan estimasinya
juga sulit dilakukan (Wang dkk., 2005).
Bassiri dan Hajj (1993) melakukan penelitian
yang sama pada bias ionosfer orde tinggi. Bentuk
profil kerapatan elektron diperlukan untuk
keperluan ini dan koreksi ionosfer orde tinggi
tidak seakurat yang diklaim oleh Bruner dan Gu
(1991). Model tersebut cukup mudah diterapkan
asal ada data ionosfer yang akurat saat dilakukan
pemrosesan data yang diperlukan.
Wang dkk. (2005) menggunakan metode tiga
frekuensi untuk koreksi bias ionosfer orde tinggi
dan mendapatkan bahwa bias ionosfer orde tinggi
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 518
diperlukan untuk mendapatkan akurasi
pengukuran jarak GPS sampai level millimeter.
Pada makalah ini telah diturunkan formulasi bias
ionosfer orde 1 sampai 3 dan analisis pengaruh
bias ionosfer pada kondisi ektrim setelah terjadi
badai matahari CME 28 Oktober 2003 yang
menyebabkan badai ionosfer positif dan negatif
beberapa puluh jam setelahnya, pada saat aktivitas
matahari tinggi 2001 dan minimum 2009.

1. Pengamatan GPS
Penerima sinyal GPS frekuensi ganda yang
digunakan di stasiun referensi berisi pengamatan
kode dan fase pada frekuensi L
1
(f
1
= 1575,42
MHz) dan L
2
(f
2
= 1227,60 MHz) yang
dinotasikan dengan P
i
dan
i
(i = 1, 2). Secara
matematik pengamatan-pengamatan tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut (Gao dkk, 2002,
dengan sedikit perubahan notasi)

Untuk frekuensi L
i
:

( )
i pi m i i i trop orb i
p d Bp bp I d d dT dt c P + + + + + + + =
/ 0

(1)

( )
i i m i i i trop orb i i i
d B b I d d N dT dt c

+ + + + + + + =
/ 0


(2)

di mana:

0
adalah jarak geometri sebenarnya antara
satelit dan penerima (m),
c adalah kecepatan cahaya (m/s),
dt adalah kesalahan jam satelit terhadap waktu
GPS (s),
dT adalah kesalahan jam penerima terhadap
waktu GPS (s),
i
adalah panjang gelombang sinyal GPS
pada frekuensi L
i
(m)

,
N
i
adalah ambiguitas integer fase gelombang
pembawa (siklus),
d
trop
adalah waktu tunda troposfer (m),
I
i
adalah waktu tunda ionosfer pada frekuensi
L
i
(m),
d
orb
adalah kesalahan orbit satelit (m),
d
m
adalah efek multipath (m) ,
b adalah waktu tunda hardware satelit (m),
B adalah waktu tunda hardware penerima (m),
adalah derau pengukuran (m).


Dalam persamaan (1) dan (2) terdapat kesalahan-
kesalahan pengamatan jarak satelit GPS besarnya
dalam satuan meter sebagai berikut: bias ionosfer
2-60 (tergantung aktivitas matahari, bias troposfer
sekitar 2,3 (pada tekanan atmosfer rata-rata
1010,243 mb, orbit satelit kurang dari 1,6
(tergantung jenis produk orbit), kesalahan jam
antara 1 2 (tergantung kondisi satelit), bias
instrumental satelit sampai 1,2 (tergantung
satelit), derau penerima kurang dari 0,5 (untuk
penerima yang baik), multipath kurang dari 1
(dalam posisi antenna yang baik), bias
instrumental penerima bisa sampai 1,2
(tergantung jenis dan antenna penerima) dan bias
jam penerima sekitar 1,5 (tergantung kualitas jam
penerima) (http://edu-observatory.org/gps)

Sebagian besar kesalahan-kesalahan pengamatan
GPS tersebut dapat dieliminasi menggunakan
kombinasi pengamatan pada frekuensi L1 dan L2
kecuali bias ionosfer, bias instrumental antar
frekuensi receiver, bias instrumental antar
frekuensi satelit, derau penerima dan multipath.
Pada makalah ini difokuskan pada analisis efek
bias ionosfer I orde satu sampai tiga dari data
TEC GIM pada akurasi pengkuran jarak satelit
GPS.

2. Kesalahan propagasi karena adanya
pembiasan di ionosfer
Propagasi gelombang radio dalam plasma seperti
ionosfer memenuhi persamaan Appleton Hartree
yang mengekspresikan indeks refraksi lokal di
dalam plasma. Ketika melewati ionosfer maka
kecepatan sinyal GPS tidak sama dengan
kecepatan sinyal di ruang hampa. Indek refraksi
ionosfer didefinisikan sebagai perbandingan
antara kecepatan sinyal di ruang hampa (c)
dengan kecepatan sinyal di ionosfer (c
ion
),
ion
r
c
c
n = .
(3)
Di dalam medium yang dispersif seperti ionosfer
kecepatan fase gelombang pembawa berbeda
dengan kecepatan gelombang yang dimodulasi,
yang disebut dengan kecepatan grup gelombang.
Jika ada dua gelombang dengan frekuensi f
1
dan f
2

dan kecepatan fasenya v
1
dan v
2
menjalar dalam
arah x, maka penjumlahan dari dua gelombang
tersebut dapat dituliskan sebagai (Kaplan, 1996)
|
|
.
|

\
|

|
|
.
|

\
|
= + =
2
2
1
1 2 1
sin sin ) , ( ) , ( ) , (


x
v
x
t t x s t x s t x s


(4)
Menggunakan rumus trigonometri persamaan
tersebut dapat disusun menjadi
( )
( )
(

|
|
.
|

\
|
+ +
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(

|
|
.
|

\
|

+ = x t
v v
x
t t x s
2
2
2
1
2 1
2
2
1
1
2 1
2 1
2
1
2
1
sin
2
1
2
1
) (
2
1
cos 2 ) , (






(5)
Bagian pertama dari persamaan (5) adalah
gelombang termodulasi yang bergerak dengan
kecepatan grup v
g

Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 519
( )
|
|
.
|

\
|

=
|
|
.
|

\
|

|
|
.
|

\
|

=
|
|
.
|

\
|

=
|
|
.
|

\
|

=
2 2
1 2
1
2 1
2
2
1
1
2
2
1
1
2 1
2
2
1
1
2 1
1 1
2
1
) (
2
1




v v
v
v v
v
f
v
f
f f
v v
v
g

(6)
dengan
1
dan
2
adalah panjang gelombang
masing-masing sinyal. Dengan menganggap
bahwa v
1
-v
2
dan
2 1
adalah sangat kecil
maka persamaan tersebut dapat dituliskan sebagai
f
f
f f g
d
dv
v v

=
(7)
Di mana v
1
= v
f
, v
2
= v
1
+ dv
f
,
1
=
f
dan
2
=
1
+
f
d .
Persamaan diatas dapat dituliskan kembali dalam
bentuk indek refraksi grup dan fase yang masing-
masing didefinisikan sebagai
g
n =
g
v
c
dan
f
f
v
c
n = ,
df
dn
f n n
f
f g
+ = (8)
Indek refraksi fase gelombang di dalam plasma
dijelaskan dengan persamaan Appleton- Hartree
(Davies, 1990)
( ) ( )
|
|
.
|

\
|
+

=
2
2
4 2
2
1 4 1 2
1
1
L
T T
f
Y
X
Y
X
Y
X
n
(9)

dengan X,
L
Y dan
T
Y mengekspresikan
persamaan-persamaan gerak elektron bebas dalam
plasma. Nilai X dihitung untuk gerak termal
elektron yang merupakan kuadrat dari
perbandingan frekuensi plasma terhadap frekuensi
gelombang radio, yang dinyatakan sebagai
(Davies, 1990)
X=
2
|
.
|

\
|

n
(10)
dengan
n
=
( )
m
q r N
e
0
2

(11)
sehingga X dapat ditulis sebagai
X=
( )
2 2
0
2
4 f m
q r N
e

(12)
di mana
e
N adalah kerapatan elektron plasma
lokal, m massa elektron, q

adalah muatan
elektron.
Y
L
adalah perbandingan komponen longitudinal
frekuensi giro terhadap frekuensi gelombang
radio,
f
k
m
q
r B
Y
L
2
) (
= . (13)
Sedangkan Y
T
adalah untuk komponen transversal
f
k
m
e
r B
Y
T
2
) (
= . (14)
Tanda plus dan minus pada persamaan (9) untuk
membedakan antara gelombang ordiner dan ekstra
ordiner. Sebagai gambaran frekuensi plasma di
ionosfer sekitar antara 2 - 15 MHz (tergantung
lokasi, waktu lokal, siklus matahari dll.),
frekuensi gyro sekitar 1 MHz, dan frekuensi
tumbukan sekitar 10 KHz.
Persamaan (9) dapat diekspresikan sebagai
| |
2 / 1
2 2 2 2
2
) 1 ( 4 ) 1 ( 2
) 1 ( 2
1
L T T
f
Y X Y Y X
X X
n
+

. (15)
Sesuai dengan teori magnetoionik gelombang
elektromagnetik terpolarisasi bidang akan
terpecah menjadi dua macam yaitu gelombang
ordiner yang mendekati kelakuan gelombang
tanpa pengaruh medan magnet (dalam persamaan
dengan tanda +) dan gelombang yang bertanda
berupa gelombang ekstra ordiner.
Persamaan ini dapat diekspansikan menggunakan
deret Taylor dan didekati hanya sampai orde tiga
yaitu (Datta-Barua dkk., 2008) dalam bentuk
( )
4
cos 1
8 2 2
1
2 2 2
+
=
Y X X XY X
n
L
f
(16)
Yang dengan memasukkan konstanta-konstanta
fisis dalam persamaan (16) dapat diperoleh:

= 1

2
8
2

2


3
16
3

3



4

2
128
4

0
2


4

2
1+
2

64
4

0

1

4

(17)
dalam persamaan tersebut q adalah muatan
elektron, m adalah masa elektron, Ne adalah
kerapatan elektron, B adalah besar medan magnet
bumi, f adalah frekuensi,
0
dan
0
adalah
konstanta-konstanta fisis yang masing-masing
adalah permeabilitas magnetik dan permitivitas
elektrik ruang hampa.
Bagian ke dua dari suku ke 4 pada sisi kanan
persamaan (17) dapat diabaikan karena sangat
kecil dibandingkan dengan bagian pertama suku
ke 4 sehingga persamaan (17) dapat dirinkas
menjadi

= 1

1

2


2

3


3

4
(18)
Di mana a
1
, a
2
dan a
3
adalah konstanta-konstanta
penyederhanaan sebagai berikut

1
=

2
8
2

0
(19)

2
=

3
16
3

0
(20)
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 520

3
=

4
128
4

0
2
(21)
Jarak tempuh propagasi fase sinyal GPS dari
satelit ke receiver dapat dituliskan sebagai
=

(22)
Substitusi persamaan indek bias (18) ke
persamaan (22) dapat menghasilkan
=

(23)
Dengan asumsi bahwa ionosfer sebagai lapisan
tipis pada ketinggian 350 km maka persamaan
tersebut menjadi
=
0


1

2


2

3
||

(24)
Dengan =

(25)
Jika nilai TEC dan N
m
dapat dihubungkan melalui
persamaan Nm = TEC/k dengan k sekitar 2,27 x
10
5
dan dengan mengambil nilai = 0,66
(Hartmann dan Leitinger, 1984; dan Brunner,
1991) dan memasukkan nilai konstanta-konstanta
fisis dalam koefisien a maka persamaan (24)
dapat ditulis sebagai
=
0

40,309

2

1,128310
12

3
| |

2,362.10
3

4
()
2
(26)
Suku pertama sisi kanan persamaan (26) adalah
jarak satelit yang sebenarnya dari receiver atau
yang disebut jarak geometri. Suku kedua sampai
ke 4 adalah bias ionosfer orde 1, 2 dan 3 yang
masing-masing dapat dituliskan sebagai:

1
=
40,309

2
(27)

2
=
1,281.10
12
| |

3
(28)

3
=
2,362.10
3

4
()
2
(29)

2. DATA DAN METODOLOGI

Dengan menggunakan persamaan (27), (28) dan
(29), dan dengan data TEC dari model Global
Ionospheric Map (GIM) yang dapat diunduh dari
ftp://aiub.unibe.ch/CODE pada saat kondisi badai
ionosfer karena badai matahari CME 28 Oktober
2003 yang efeknya di ionosfer terjadi pada
tanggal 29 Oktober 2003, saat kondisi matahari
tinggi 2001 dan minimum 2009 dapat dianalisis
kontribusi masing-masing orde bias ionosfer
tersebut pada akurasi pengukuran jarak satelit
GPS pada beberapa kondisi ionosfer dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
Komputasi bisa ionosfer orde satu dan dengan
cepat bisa diperoleh dengan memasukkan nilai
TEC pada persamaan (27) dan (29). Nilai TEC
pada persamaan-persamaan tersebut adalah nilai
TEC sepanjang lintasan sinyal GPS dari satelit ke
receiver. Oleh karena itu dari data TEC GIM tidak
langsung dapat dimasukkan dalam persamaan bias
ionosfer tetapi diperlukan konversi dari TEC arah
vertikal ke aras lintasan sinyal GPS menggunakan
fungsi pemetaan yang dituliskan dalam bentuk
= () (30)
Dengan fungsi pemetaan
() =
1
1[cos ()/(1+/)]
2
(31)
Untuk komputasi bias ionosfer orde 2 sesuai
dengan persamaan (28) diperlukan juga besar
medan magnet bumi dalam arah propagasi sinyal
GPS. Untuk itu model magnet bumi IGRF telah
digunakan dalam perhitungan ini. Dengan data
orbit satelit GPS dan koordinat receiver serta
asumsi ketinggian ionosfer adalah 350 km maka
koordinat titik potong lintasan sinyal GPS dapat
ditentukan sehingga vektor medan maget bumi di
titik tersebut dapat dihitung. Setelah sudut antara
garis lurus lintasan sinyal GPS dan medan magnet
bumi dapat ditentukan maka proyeksi medan
magnet bumi ke arah lintasan sinyal dapat
dihitung yang kemudian nilainya dimasukkan
pada persamaan (28) beserta nilai STEC yang
dapat menghasilkan nilai bias ionosfer orde 2.
Untuk melihat efek pengabaian bias ionosfer orde
2 dan 3 ini pada pengukuran GPS nilai bias
ionosfer antar orde dibandingkan satu sama lain
sehingga berapa persen efek bias ionosfer pada
kesalahan pengukuran GPS dapat diketahui pada
saat kondisi ionosfer sedang terganggu atau pada
sata matahari tinggi dan minimum.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Telah terjadi badai ionosfer positif pada 29
Oktober 2003 sebagaimana diperlihatkan pada
Gambar 1. Sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 1. Nilai TEC rata-rata mingguan
ditampilkan pada panel atas di mana TEC tidak
melebihi 70 TECU. Pada panel tengah
diperlihatkan nilai TEC bisa mencapai 120 TECU.
Jadi terjadi kenaikan TEC yang disebut sebagai
badai ionosfer positif di sebelah barat laut pulau
Jawa dengan peningkatan sekitar 50 TECU seperti
dapat dilihat pada panel bawah dari Gambar 1.
Kenaikan TEC sebesar 50 TECU di sebelah
selatan ekuator geomagnet dan di sebelah utara
ekuator geomagnet besarnya sama yaitu 50 TECU
ini disebabkan oleh adanya transport sebagai efek
kombinasi drift elektrodinamika karena gerakan
ionosfer dalam medan listrik dan medan magnet
dan difusi karena gaya gravitasi bumi. Ini
disebabkan oleh adanya arus listrik di ionosfer
karena masuknya partikel bermuatan dari
matahari yang keluar dalam bentuk badai
matahari yang terjadi beberapa jam sebekumnya
yaitu jam 10.50 UT pada tanggal 28 Oktober
2003.
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 521
Adanya medan listrik pada sore hari ini yang
menambah besar medan listrik arah timur siang
hari menjadikan plasma ionosfer terangkat lebih
tinggi sehingga penumpukan ionosfer terjadi di
sore hari beberapa jam setelah mencapai
maksimum dan akumulasi plasma ionosfer ini
terjadi pada jam 10 UT. Biasanya pada waktu
tersebut nilai TEC sudah mulai menurun seperti
dapat dilihat pada TEC rata-rata mingguan yang
pada waktu tersebut hanya sebesar 70 TECU.



Gambar 1. Badai ionosfer positif tanggal 29
Oktober terjadi di sekitar wilayah Indonesia
bagian barat dan Asia Timur.

Pada Gambar 2 ditunjukkan bahwa bias ionosfer
orde 1 pada saat terjadi badai ionosfer kesalahan
pengukuran jarak satelit GPS sampai sekitar 20,1
m pada jam 10 UT atau jam 17 WIB. Pada saat
aktivitas matahari rendah tahun 2009 tepatnya
tanggal 15 Juni nilai kesalahan bias ionosfer
sekitar 4,4 m dan terjadinya secara normal pada
jam 06:00 UT.



Gambar 2. Bias ionosfer orde 1 pada kondisi
badai ionosfer (atas), siklus matahari rendah
(b) dan siklus matahari tinggi (c)

Sedangkan pada kondisi aktivitas matahari sedang
tinggi pada 10 September 2001 nilai kesalahan
bias ionosfer orde 1 sekitar 16,9 m. Jika
dibandingkan nilai kesalahan pengukuran jarak
satelit GPS pada kondisi badai ionosfer dengan
kondisi matahari tinggi terlihat bahwa pada
kondisi badai ionosfer kesalahan pengukuran GPS
3,2 m lebih besar dari konsisi tanpa badai
walaupun pada kondisi aktivitas matahari tinggi.
Gambar 3 menunjukkan variasi diurnal bias
ionosfer orde 2 pada kondisi aktivitas matahari
yang berbeda. Pada malam hari setelah jam 22
WIB (15 UT) bias ionosfer orde 2 nilainya kurang
dari 2 mm untuk kondisi aktivitas matahari tinggi
dan kondisi ada badai ionosfer, sedangkan pada
kondisi aktivitas matahari minimum nilainya
kurang dari 0,2 mm. Sehingga pada waktu
tersebut bias ionosfer orde 2 dapat diabaikan
untuk pengukuran jarak satelit GPS dengan
akurasi sampai level kurang dari 1 mm.
0 5 10 15 20 25
0
5
10
15
20
25
UT
I
1

(
m
e
t
e
r
)
Bias Ionosfer orde 1, lokasi BAKO, 29 Oktober 2003
0 5 10 15 20 25
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
UT
I
1

(
m
e
t
e
r
)
Bias Ionosfer Orde 1, BAKO, 15 Juni 2009
0 5 10 15 20 25
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
UT
I
1

(
m
e
t
e
r
)
Bias Ionosfer Orde 1, BAKO, 10 September 2001
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 522



Gambar 3. Bias ionosfer orde 2 pada kondisi
kondisi ionosfer yang berbeda.
.
Sebagai perbandingan nilai maksimum bias
ionosfer orde 1, 2 dan 3 secara lengkap
ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan nilai maksimum bias
ionosfer.
Waktu Orde 1
(m)
Orde
2
(mm)
Orde 3
(mm)
29 Oktober 2003 20,1 10,8 0,59
15 Juni 2009 4,4 2,0 0,28
10 September
2001
16,9 10,8 0,42

Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa bias ionosfer
pada kondisi badai ionosfer 29 Oktober nilainya
tertinggi untuk orde 1 dan 3 sedangkan untuk orde
2 nilainya sama karena adanya faktor medan
magnet bumi. Diketahui juga bahwa bias ionosfer
orde 2 (kolom ke 3 dari kanan) pada kondisi badai
dan aktivitas matahari tinggi pengaruhnya pada
pengukuran jarak satelit GPS sekitar 10,8 mm
atau 1,08 cm. Ini berarti jika pengukuran GPS
diinginkan akurasi level cm maka bias ionosfer
orde 2 perlu dikoreksi dari data pengamatan GPS.
Pada kolom terakhir diketahui bahwa bias
ionosfer orde 3 nilainya kurang dari 0,6 mm.
Maka untuk pengukuran jarak satelit GPS dengan
akurasi level mm bias ionosfer orde 3 perlu
dikoreksi.
Tetapi jika dibandingkan dengan derau penerima
yang besarnya bisa sampai 50 cm maka bias
ionosfer orde 2 dan 3 ini tertutup oleh derau alat
penerima sehingga koreksi bias ionosfer orde 2
dan 3 ini hanya efektif untuk jenis penerima
dengan kualitas yang baik dengan derau yang
kurang dari beberapa cm sehingga eliminasi bias
ionosfer orde 2 dan 3 menjadi signifikan dapat
meningkatkan akurasi pengukuran GPS.
4. Kesimpulan
Ionosfer mempengaruhi propagasi sinyal GPS
sehingga pengukuran jarak satelit GPS mengalami
kesalahan yang disebut sebagai bias ionosfer. Bias
ionosfer dapat diuraikan menjadi bias ionosfer
orde satu, dua dan tiga. Pada frekuensi tertentu
bias ionosfer orde pertama hanya tergantung TEC,
bias ionosfer orde dua selain tergantung TEC juga
dipengaruhi oleh medan magnet bumi. Sedangkan
bias ionosfer orde tiga dipengaruhi oleh TEC dan
profil kerapatan elektron.
Untuk penentuan posisi dengan akurasi yang
tinggi pengukutan jarak satelit GPS perlu
dikoreksi dari bias ionosfer. Berdasarkan analisis
bias ionosfer yang diamati dari lokasi stasiun
BAKO yang terletak di Cibinong pada kondisi
aktivitas matahari tinggi dan ada badai ionosfer,
untuk wilayah Indonesia koreksi bias ionosfer
orde 2 diperlukan untuk pengukuran GPS yang
lebih akurat dari 1 cm, koreksi bias ionosfer orde
3 dibutuhkan untuk pengukuran GPS yang lebih
akurat dari 1 mm. Pada kondisi aktivitas matahari
minimum dan tanpa badai ionosfer bias ionosfer
orde 2 mencapai maksimum sekitar 2 mm pada
siang hari, tetapi pada malam hari tidak lebih dari
0,5 mm. Oleh karena itu pengukuran jarak satelit
GPS saat kondisi aktivitas matahari minimum bias
ionosfer orde 2 dapat diabaikan jika dilakukan
pada malam hari dengan akurasi sampai level
mm.

DAFTAR RUJUKAN

[1] Bassiri S.; Hajj G.A. (1993): Higher-order
ionospheric effect on the Global Positioning
System observables and mean of modeling
them. Manuscripta Geodaetica, 18:280-289.
[2] Brunner, F., and M. Gu., 1991, An improved
model for the dual frequency ionospheric
correction of GPS observations, Manuscr.
Geod., 16, 205214.
0 5 10 15 20 25
0
2
4
6
8
10
12
UT
I
2

(
m
i
l
i
m
e
t
e
r
)
Bias Ionosfer Orde 2, BAKO, 29 Oktober 2003
0 5 10 15 20 25
0
0.5
1
1.5
2
2.5
UT
I
2

(
m
i
l
i
m
e
t
e
r
)
Bias Ionosfer Orde 2, BAKO, 15 Juni 2009
0 5 10 15 20 25
0
2
4
6
8
10
12
UT
I
1

(
m
i
l
i
m
e
t
e
r
)
Bias Ionosfer Orde 2, BAKO, 10-Sep-2001
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 523
[3] Davies, K., (1990) : Ionospheric Radio,
Institution of Electrical Engineers, London,
United Kingdom.
[4] Datta-Barua, S., Walter, T., Blanch, C.,
Enge, P., 2008, Bounding higher-order
ionosphere errors, for the dual-frequency
GPS user, Radio Sci., 43, RS5010,
doi:10.1029/2007RS003772
[5] Hartmann GK.; Leitinger R. (1984):
Range errors due to ionospheric and
tropospheric effects for signal
frequencies above 100 MHz, Bull. Geod.,58:
109-136.
[6] Kaplan, E.D., (1996) : Understanding GPS
Principles and Applications, Artech House,
Boston.
[7] Wang, Z., Wu, Y., Zhang, K., Meng, Y.,
2005, Triple-Frequency Method for High-
Order Ionospheric Refractive
Error Modelling in GPS Modernization
Journal of Global Positioning Systems, Vol.
4, No. 1-2:291-295.
[8] GPS Erros & Estimating Your Receivers
Accuracy, http://edu-
observatory.org/gps/gps_accuracy.html,
diakses 1 Oktober 2008.



Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 525
SISTEM AVR BERBASIS TYPE-2 FUZZY PI

Dedy Kurniawan, M. Budi R. Widodo, Muhammad Abdillah, Imam Robandi
Power System Operation and Control Laboratory
Jurusan Teknik Elektro, FTI - ITS, Surabaya, 60111

de_kur05@elect-eng.its.ac.id


ABSTRAK

Logika fuzzy (fuzzy logic) digunakan secara luas karena dapat mengambil keputusan secara cepat dan tanpa rumusan
matematika yang rumit. Pada logika fuzzy biasa atau bisa disebut sebagai Type-1 Fuzzy Logic (T1FL), sering kali
basis pengetahuan yang digunakan untuk membangun aturan-aturan dalam sistem logika fuzzy tidak pasti karena kata
yang digunakan dapat memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda. Type-2 Fuzzy Logic (T2FL) digunakan
mengatasi kelemahan T1FL dengan membuat fungsi keanggotaan ganda, yaitu lower membership function (LMF)
dan upper membership function (UMF). Dalam penelitian ini, Type-2 Fuzzy Logic dikombinasikan dengan Kontroler
Proporsional-Integral (PI) sebagai Type-2 Fuzzy PI Controller (T2FPIC) dan diterapkan pada Automatic Voltage
Regulator (AVR). AVR digunakan untuk menjaga tegangan terminal generator pada nilai nominal, maka kontroler
yang diusulkan digunakan untuk meningkatkan stabilitas tegangan terminal generator. Simulasi dilakukan
menggunakan Software Matlab. Sistem ini diuji dengan memberikan perubahan tegangan. Setelah gangguan
diberikan ke dalam sistem, hasil penelitian menunjukkan bahwa Type-2 Fuzzy PI Controller menghasilkan
peredaman overshoot yang signifikan dan mempercepat time settling dibandingkan dengan Kontrol PI konvensional
dan Tipe-1 Fuzzy PI. Penggunaan T2FPIC mampu mempercepat settling time sebesar 271% jika dibandingkan
dengan kontrol PI biasa dan 113% dibandingkan dengan Type-1 Fuzzy Logic Controller. Sedangkan nilai overshoot
yang terekam pada simulasi menunjukkan T2FPIC mampu meredam hingga sebesar 0,0004 pu dibandingkan dengan
T1FLC

Keywords: Type-2 Fuzzy Logic, Automatic Voltage Regulator, Kontrol PI


I. PENDAHULUAN
Salah satu parameter kualitas tenaga listrik
yang baik adalah stabilitas tegangan. Pada sistem
tenaga listrik yang dibebani, tegangan dapat
berfluktuasi karena terjadi perubahan beban.
Fluktuasi tegangan dapat mencapai diluar batas
yang ditentukan. Kondisi ini dapat menyebabkan
kerusakan pada generator ataupun peralatan
listrik.
Pengaturan tegangan pada generator dikerja-
kan oleh sistem eksitasi generator dengan
mekanisme yang disebut Automatic Voltage
Regulator (AVR). Beberapa penelitian dilakukan
untuk menyempurnakan performansi AVR
dengan cara mendesain kontrol handal dan cerdas
sehingga mampu menjaga stabilitas tegangan
meskipun perubahan beban terjadi setiap saat.
Kontrol Proporsional Integral (PI controller)
masih dipercaya dan diaplikasikan selama
setengah abad, dan ekstensif di gunakan untuk
otomasi dan proses kontrol pada industri. Alasan
utama digunakan kontrol PI adalah karena
sederhana, mudah dioperasikan, desain tidak
teralu rumit, dan sangat efektif dipakai di
sebagian besar mesin. Perkembangan teknologi
seperti mikroelektronik dan prosessor memper-
cepat perkembangan kontrol PI, sehingga dihasil-
kan kontrol PI analog hingga kontrol PI dengan
menggunakan mikropessesor digital [2,3,5].
Untuk menyempurnakan desain kontrol PI,
para ilmuwan mulai mengembangkan aplikasi
logika fuzzy. Logika fuzzy telah dikenal sebagai
metode yang efektif dan handal untuk mengatasi
permasalahan yang amat rumit dan sulit diselesai-
kan secara matematis. Kelebihan menggunakan
teori fuzzy adalah memanfaatkan bahasa manusia
dalam menyatakan batasan elemen input dan
elemen output untuk memperoleh penyelesaian.
Aplikasi logika fuzzy terbukti efektif untuk mem-
perbaiki performansi pada sistem [1,4]
Type-2 Fuzzy (T2 Fuzzy) Logic dikembang-
kan untuk menyempurnakan logika fuzzy biasa
atau Type-1 Fuzzy (T1 Fuzzy) Logic. T2 Fuzzy
Logic memperbaiki kelemahan pendefinisian
antacedent dan consequent dari T1 Fuzzy Logic
dengan menerapkan fungsi keanggotaan
(membership function) ganda yaitu Lower
Membership Function (LMF) dan Upper
Membership Function (UMF).
Dalam paper ini, T2 Fuzzy Logic digabung-
kan dengan kontroler PI sebagai T2 Fuzzy PI
Controller (T2FPIC). Kontroler yang diusulkan
digunakan untuk memperbaiki performansi
tegangan terminal pada sistem eksitasi generator
sinkron.
Struktur penulisan pada makalah ini terdiri
dari empat bab sebagai berikut :. Pada Bab II
dibahas Pemodelan Sistem dan Metode Kontrol,
Bab III dibahas mengenai Hasil Simulasi dan
Pembahasan, Bab IV berisi Kesimpulan.
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 526
Generator Kontrol
s
A
A
k
+ 1 s
E
E
k
+ 1
s
k
F
F
+ 1
Amplifier Exciter
Pengukuran
Vref
F
V
R
V
c
V
t
V
s
V
II. PEMODELAN SISTEM DAN KONTROL

Pemodelan AVR
Automatic Voltage Regulator (AVR)
terletak pada sistem eksitasi generator sinkron.
Fungsi utama AVR adalah menjaga tegangan
terminal generator tetap bekerja pada level
tegangan yang diinginkan. Model AVR berbeda-
beda tergantung pada metode pemberian sumber
arus DC pada sistem eksitasi. Gambar 2.1
menunjukkan susunan sistem eksitasi















Gambar 2.1. Susunan AVR

Bagian-bagian utama pada AVR terdiri atas
lima komponen utama, yakni amplifier, exciter,
excitation voltage limiter, generator dan sensor
pengukuran. Untuk menganalisa performansi
dinamik AVR pemodelan menggunakan transfer
function.

Amplifier
Model transfer function amplifier adalah
s
k
s V
s V
A
A
c
R
+
=
1 ) (
) (
(1)
dengan V
R
(s) adalah output amplifier, V
C
(s)
adalah sinyal kontrol. Penguatan (gain) amplifier
k
A
bernilai khas antara 10 s.d. 400 dengan
konstanta waktu
A
bernilai khas antara 0,02 detik
s.d. 0.1 detik.


Exciter
Model transfer function exciter adalah :
s
k
s V
s V
E
E
R
F
+
=
1 ) (
) (
(2)
dengan V
F
(s) adalah output exciter, V
R
(s) adalah
output amplifier. Penguatan (gain) exciter k
E
ber-
nilai khas antara 0.8 s.d 1 dengan konstanta waktu
bernilai khas antara 0.5 s.d 1 detik

Generator
Pemodelan generator yang digunakan pada
penelitian ini menggunakan model mesin tunggal
dengan momen inesia M dan nilai redaman D.
Model lengkap generator dengan bagian-
bagiannya disediakan pada lampiran

Sensor pengukuran
Sensor pengukuran digunakan sebagai input
dari AVR. Pengukuran menggunakan trafo
tegangan (potensial transformer). Blok diagram
sensor pengukuran ini termasuk penyearah dan
filter yang dimodelkan pada persamaan 3.

s
k
s V
s V
F
F
t
s
+
=
1 ) (
) (
(3)
dengan V
s
(s) adalah output sensor, V
t
(s) adalah
tegangan pada trafo tegangan. Konstanta waktu
F

bernilai khas antara 0,001 detik s.d. 0.006 detik.

Voltage Limiter
Tegangan dari sistem eksitasi dibatasi
dengan limiter untuk menghindari terjadinya
overexcitation ataupun underexcitation. Tujuan
dari limiter adalah untuk menghindari terjadinya
pemanasan berlebih karena arus lebih pada
kumparan medan.
Diagram blok transfer function sistem AVR
digambarkan pada Gambar 2.2.










Gambar 2.2. Diagram blok sistem AVR

2.2. Susunan T2 Fuzzy PI Controller

Kontroler Proporsional Integral (PI) merupa-
kan kontroler kombinasi dari kontrol proporsional
dan kontrol integral. Untuk kontrol PI, sinyal
error e(t) merupakan masukan kontrol sedangkan
keluaran kontroler adalah sinyal kontrol u(t).
Hubungan antara masukan sinyal error e(t) dan
sinyal kontrol u(t) adalah :
) ( ) ( ) ( ) ( t d t e K t e K t u
c
i
c
p PI
+ = (4)
Jika ditansformasikan dalam laplace diperoleh :

) ( ) ( ) ( s E K s E K s U
c
i
c
p PI
+ = (5)

dengan K
p
adalah penguatan (gain) proporsional
dan K
i
adalah penguatan (gain) integral.
Persamaan (5) dapat ditransformasikan ke
dalam bentuk diskrit dengan transformasi bilinier
s=(2/T)((z-1)/(z-1)) dengan T > 0

sehingga diper-
oleh hasil,
) ( )
1 2
( ) (
1
.
z E
z
T K T K
K z u
c
i
c
i c
p PI

+ =
(6)
dengan asumsi bahwa,
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 527
T2 Fuzzy
upi
K
p
K
i
K
T
1
1
Z
) (nT u
pi

) (nT u
pi
) (nT e
v
) (nT e
p
+
-
1
Z
-
+
+
+
AVR
) (nT r
) (nT y
Fuzzification
Defuzzification
Type
Reducer
Fuzzy
Inference
Fuzzy
Rule Bases
Output
Input
) (nT e K
v p
) (nT e K
p i
) (nT u
pi

2
.T K
K K
c
i c
p p
=
dan T K K
c
i i
=
maka dengan menggunakan invers transformasi z
diperoleh hasil :
) (
)] ( ) ( [ ) ( ) (
nT Te K
T nT e nT e K T nT u nT u
i
p pi pi
+
=
(7)
Persamaan (7) dibagi dengan T, maka diper-
oleh,
) ( ) ( ) ( nT u T T nT u nT u
pi pi pi
+ = (8)
dengan
) ( ) ( ) ( nT e K nT e K nT u
p i v p pi
+ = (9)

T
T nT e nT e
nT e
v
) ( ) (
) (

=
(10)
) ( ) ( nT e nT e
p
= (11)

dengan u
pi
(nT) adalah output incremental
control, e
p
(nT) adalah sinyal error dan e
v
(nT)
adalah perubahan sinyal error.
Dengan mengganti Tu
pi
(nT) dengan aksi
kontrol fuzzy K
u
PIu
pi
(nT) maka diperoleh
) ( ) ( ) ( nT u K T nT u nT u
pi upi pi pi
+ = (12)
dengan K
u
PI adalah penguatan konstan.













2.3. Operasi T2 Fuzzy PI Controller

Cara kerja T2 Fuzzy Logic hampir sama
dengan logika fuzzy biasa (T1 Fuzzy Logic).
Kelemahan T1 Fuzzy Logic adalah pada saat pen-
definisian aturan. Kata yang digunakan untuk
mendefinisikan fungsi keanggotaan antecedent
dan consequent sangat mungkin memiliki makna
yang berbeda-beda pada orang yang berbeda. T2
Fuzzy Logic mengatasi masalah ini dengan
membuat fungsi keanggotaan bersifat fuzzy.
Solusi yang diusulkan adalah dengan membagi
fungsi keanggotaan menjadi dua bagian, yakni
lower membership function (LMF) dan upper
membership function (UMF). Ketidakpastian
suatu fungsi keanggotaan dinyatakan dalam
footprint of uncertainly (FOU).









Gambar 2.4. Footprint of Uncertainty (FOU)

Perbedaan lain antara T1 Fuzzy Logic dan T2
Fuzzy Logic adalah pada fungsi defuzzifikasi.
Pada T1 Fuzzy Logic, keluaran dari fungsi
inferensi yang masih berupa himpunan fuzzy
langsung didefuzzifikasi.. Sedangkan pada T2
Fuzzy Logic diperlukan suatu mekanisme type-











reduction sebelum didefuzzifikasikan menjadi
himpunan crisp.
Sesuai dengan persamaan (9), maka input dari
blok T2 Fuzzy pada gambar 2.3 adalah besarnya
error, K
i
e
p
(nT) dan perubahan error, K
p
e
v
(nT).
sedangkan output adalah u
pi
(nT). Operasi pada
blok T2 Fuzzy terdiri dari fungsi fuzifikasi
(fuzzification), fungsi pengambilan kesimpulan
(fuzzy inference) berdasarkan aturan yang dibuat
(fuzzy rule bases), dan fungsi defuzifikasi
(defuzzification) yang dilengkapi dengan type
reducer dan terakhir adalah. Diagram operasi blok
T2 Fuzzy ditunjukkan pada Gambar 2.5.









Gambar 2.5. Operasi blok T2 Fuzzy

2.3.1. Fuzzifikasi

Pada penelitian ini, input fuzzy terdiri atas
dua fungsi keanggotaan, yakni input positif dan
input negatif. Masing-masing fungsi keanggotaan
dibagi dua menjadi LMF dan UMF. Fungsi
keanggotaan input ditunjukkan pada gambar 2.6.
Untuk memudahkan penulisan, input sinyal error
K
i
e
p
(nT) diwakili oleh e
p
(nT) dan input sinyal
perubahan error K
p
e
v
(nT) diwakili oleh e
v
(nT).
Gambar 2.3. Susunan T2 Fuzzy PI Controller
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 528
Nilai L1 adalah batas nilai positif, sedangkan
nilai L1 adalah batas nilai negatif dan P1 adalah
jarak FOU. Pada penelitian ini, nilai L1 pada
input adalah 1,5 sedangkan nilai P1 input adalah
0.15
-L1- P1 -L1 L1 0 -L1+P1 L1+P1 L1- P1
I N LMF I N I P LMF I P I P UMF
(e
p,,
e
v
)
1
I N UMF
e
p,,
e
v
Gambar 2.6. Fungsi keanggotaan input

Output fuzzy adalah u
pi
(nT). Fungsi
keanggotaan output dibagi menjadi 3 himpunan
nilai, yakni output negatif, output zero dan output
positif. Masing-masing himpunan nilai output
memiliki fungsi keanggotaan ganda yakni LMF
dan UMF. Fungsi keanggotaan output ditunjukkan
pada gambar 2.7. Nilai L1 output ditentukan 1.5
dan P1 output 0.15

-L1- P1 -L1 L1 0 -L1+P1 L1+P1 L1- P1
OP OP LMF
1
OP UMF
ON UMF ON LMF ON
(u
pi
(nT))
OZ LMF
OZ UMF
u
pi
(nT
. Gambar 2.7. Fungsi keanggotaan output

2.3.2.I nferensi
Penalaran yang digunakan pada penelitian ini
menggunakan metode Min-Max Mamdani karena
mudah digunakan. Tabel 2.1. menunjukkan aturan
(rule) yang dibangun untuk pengambilan ke-
simpulan.

Tabel 2
Rule Base Fuzzy Type-2
Rule
if (e
p
)
is
and (e
v
)
is
Then output
is
R1
IN_LMF IN_LMF ON_LMF
IN_UMF IN_UMF ON_UMF
R2
IN_LMF IP_LMF OZ_LMF
IN_UMF IP_UMF OZ_UMF
R3
IP_LMF IN_LMF OZ_LMF
IP_UMF IN_UMF OZ_UMF
R4
IP_LMF IP_LMF OP_LMF
IP_UMF IP_UMF OP_UMF
Logika pengambilan keputusan pada Tabel 2
didapatkan dari sifat sistem AVR. Pada saat
tegangan terminal generator yang dihasilkan
kurang dari tegangan referensi, maka sinyal error
bernilai positif dan sinyal kontrol harus bernilai
positif untuk meningkatkan nilai tegangan agar
mencapai nilai tegangan yang diinginkan.
Sebaliknya pada saat tegangan terminal melebihi
nilai tegangan referensi maka sinyal yang
dihasilkan bernilai negatif dan sinyal kontrol yang
dihasilkan harus bernilai negatif untuk
menurunkan tegangan sampai mencapai tegangan
yang diinginkan.

2.3.3. Defuzzifikasi

Pada interval type 2 fuzzy set, proses
pencarian centroid dilakukan pada Upper
Membership Function (UMF) dan Lower
Membership Function (LMF). Metode pencarian
ini dirumuskan oleh Karnik dan Mendel yang
terkenal dengan Karnik-Mendel Algorithm. Flow
chart algoritma ini digambarkan oleh Gambar 2.8.

Inisialisasi i
( ) ( )

+ =

i A i
A
i
x x
2
1

Hitung c
( )

=
=
= =
N
1 i
i
N
1 i
i i
N 1

x
,... c c'
Cari nilai K
1 k k
x c' x
+

C =C C =C
Centroid = ( Cl + Cr ) /2
STOP
START
Y
T
Y
T
C=C
r

( ) ( )
( ) ( )


+ =

=

+ =

=

+
+
=
N
1 k i
i
A
k
1 i
i
A
N
1 k i
i A i
k
1 i
i
A
i
r
x x
x x x x
" c
Hitung c untuk Cr Hitung c untuk Cl
( ) ( )
( ) ( )


+ =

=

+ =

=

+
+
=
N
1 k i
i
A
k
1 i
i A
N
1 k i
i
A
i
k
1 i
i A i
l
x x
x x x x
" c
C=C
l


Gambar 2.8 Flow Chart Karnik-Mendel Algorithm

Flow chart pada Gambar 2.24 dapat
dijelaskan sebagai berikut:

Penentuan c
l

1. Inisialisasi i, dengan

( ) ( )

+ =

i A i
A
i
x x
2
1

, i=1,2,3.N

Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 529
2. Hitung ' c

( )

=
=
= =
N
1 i
i
N
1 i
i i
N 1

x
,... c c'

3. Cari nilai K, sehingga

1 k k
x c' x
+


4. Hitung " c


( ) ( )
( ) ( )


+ =

=

+ =

=

+
+
=
N
1 k i
i
A
k
1 i
i A
N
1 k i
i
A
i
k
1 i
i A i
x x
x x x x
c"

5. Cek, jika " c = ' c stop, c
l
= " c . Jika tidak
set ' c = " c dan kembali ke langkah nomor
2.

Penentuan c
r

1. Inisialisasi i, dengan

( ) ( )

+ =

i A i
A
i
x x
2
1

, i= 1,2,3.N
2. Hitung ' c

( )

=
=
= =
N
1 i
i
N
1 i
i i
N 1

x
,... c c'

3. Cari nilai K, sehingga

1 k k
x c' x
+


4. Hitung " c

( ) ( )
( ) ( )


+ =

=

+ =

=

+
+
=
N
1 k i
i
A
k
1 i
i
A
N
1 k i
i A i
k
1 i
i
A
i
x x
x x x x
c"

5. Cek, jika " c = ' c stop, c
r
=c. Jika tidak
set ' c = " c dan kembali ke langkah nomor
2.

Penghitungan Centroid
Setelah didapat cl dan cr maka nilai
centroid dapat didapatkan dengan cara sebagai
berikut.

Centroid = (cl+cr)/2

Meskipun proses pencarian centroid tersebut,
merupakan proses iterasi, jumlah iterasi tidak
akan melebihi N.

III. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN

Pengujian performansi T2 Fuzzy PI
Controller (T2PIC) pada sistem AVR dilakukan
dengan simulasi menggunakan software Matlab
pada notebook dengan spesifikasi processor AMD
Turion X2, RAM 1G dan VGA Card 216 MB.
Gangguan sebesar 0,01 pu diberikan pada
tegangan referensi untuk mendapatkan respon
transien kenaikan tegangan pada terminal
generator.
Hasil simulasi menunjukkan respon tegangan
pada sistem AVR. Hasil simulasi dibandingkan
antara sistem AVR tanpa kontrol, sistem AVR
menggunakan kontrol PI, sistem AVR
menggunakan T1PIC dan sistem AVR meng-
gunakan T2PIC.
Dengan nilai-nilai parameter kontrol ditetap-
kan sesuai dengan Tabel 2.2, sedangkan respon
tegangan sistem AVR ditunjukkan pada Gambar
3.1.

Tabel 3.1.
Parameter kontrol

Pada sistem tanpa kontrol, respon tegangan
terminal berada pada nilai yang stabil, tetapi
tegangan tidak dapat mencapai nilai yang
diinginkan. Dengan menggunakan kontrol PI,
performasi tegangan dapat ditingkatkan, respon
tegangan dapat mencapai nilai yang diinginkan,
tetapi sistem cukup lambat (28,2 detik) untuk
dapat mencapai nilai yang diharapkan.
T1FPIC mampu mempercepat settling time
hingga mencapai 16,2 detik. T2FPIC mampu
memperbaiki respon tegangan sehingga sistem
lebih cepat mencapai nlai yang diharapkan (7,6
detik) dan hampir tidak terdapat overshoot yang
signifikan.














Gambar 3.1. Respon tegangan terminal




Tipe Kontrol K
i
K
p
K
uPI

Tanpa Kontrol - - -
PI 0.31 0.71 -
T1FPI 0.31 0.71 30
T2FPI 0.31 0.71 30
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 530
Tabel 2.3. Performansi AVR


Diagram bode sistem ditunjukkan pada
gambar 3.2. Sedangkan perbandingan nilai eigen
value antara T1FPIC dan T2FPIC ditunjukkan
oleh Tabel 3.2.
















Gambar 3.2. Diagram bode sistem

Tabel 3.2. Nilai eigen value
Eigen T1FPIC T2FPIC

1
-96.2035 -96.2027

2
-19.7175 -19.9297

3
-10.9800 -10.2711

4
-0.8637 + 1.952i -4.7262

5
-0.8637-1.952i -1.1388 + 0.806i

6
-4.8055 -1.1388 - 0.806i

7
-2.5288 -2.5554

Berdasarkan Gambar 3.2 seluruh sistem yang
diuji pada penelitian ini sudah menunjukkan
stabilitas yang baik dengan stabilitas terbaik
adalah T2FPIC. Sedangkan untuk analisis eigen
value sesuai dengan Tabel 3.2 dapat ditunjukkan
bahwa T2FPIC mampu meningkatkan eigen value
kritis pada T2FPIC sehingga sistem menjadi lebih
stabil.


IV. KESIMPULAN

Dengan menganalisis hasil simulasi,
diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan metode
kontrol T2 Fuzzy PI dapat menaikkan performansi
sistem AVR yang ditunjukkan dengan perbaikan
respon tegangan terminal dan settling time yang
cukup singkat pada saat terjadi gangguan.
Penggunaan T2FPIC juga mampu meningkat-
kan eigen value untuk menghindari titik-titik kritis
kestabilan.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Hadi Sadaat. 2004. Power System Analysis,
New York : McGraw-Hill,Inc.
[2] Imam Robandi. 2006. Desain Sistem Tenaga
Modern, Yogyakarta : Penerbit ANDI.
[3] Imam Robandi, and Bedy Kharisma.2008.
Design of Interval Type-2 Fuzzy Logic Based
Power System Stabilizer PWASET Volume 31,
ISSN 1307-6884.
[4] Jerry M.Mandel and Robert I. Bob John.
2002. Type-2 Fuzzy Sets Made Simple, IEEE
Transaction on Fuzzy Systems Vol 10
No.2,1063-6706
[5] Juan R.Castro and Oscar Castillo.2007.
Interval Type-2 Fuzzy Logic for Intelligent
Control Aplication, IEEE Transaction,1-
4244-1214-5
[6] K.S.Tang, Kim Fung Man, Guanrong Chen
and Sam Kwong. 2001. An Optimal Fuzzy
PID Controller,IEEE Transactions on
Industrial Electronic Vol 48 No.4,0278-0046
[7] Kundur, P. 1994. Power System Stability and
Control, New York : McGraw-Hill,Inc.
[8] Majid Zamani, Masoud Karimi, Nasser
Sadati, Mostafa. 2009. Design of a fractional
order PID controller for an AVR using
particle swarm optimization. Control
Engineering Practice 17 Elvesier, 1380-1387.
[9] Qilian Liang and Jerry M. Mandel. 2000.
Interval Type-2 Fuzzy Logic System Theory
and Design, IEEE Transaction on Fuzzy
System Vol 8, 1063-6706
[10] V. Mukherjee and S.P. Ghospal. 2007.
Inteligent particle swarm optimized fuzzy PID
controller for AVR system, Electic Power
System Research 77 Elvesier, 1689-1698
[11] Xinyu Du and Hao Ying. 2008. Deriving
Analitical Stucture of Type-2 Fuzzy PD/PI
Controller, IEEE Transaction, 978-1-4244-
2352.


APENDIKS

Data konstanta penguatan (gain) :
K
1
=2.3983; K
2
=1.4755; K
3
=0.1921; K
4
=1.3095;
K
5
=0.5625; K
6
=0.0583;
Data sistem eksitasi:
K
Ei
=1; T
Ei
=0.46; K
Ai
=46; T
Ai
=0.06; K
Fi
=0.1;
T
Fi
=1.
Data turbin:
K
gi
=0.15; T
gi
=0.4 ;T
wi
= 0.4;R
i
=0.05.
Tipe Kontrol
Over-
shoot
(p.u.)
Time
settling
(detik)
Steady
state
(p.u.)
No Kontrol 0 34,1 0,41
PI 0 28,2 1,0
Fuzzy PI 0.001 16,2 1,0
T2 Fuzzy PI 0,0002 7,6 1,0
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 531
Data generator:
f=50; W
0
=2*pi*f; M
i
=8; D
i
=4; T
d0i
=12.8.
NOMENKLATUR
Y
i
= Ketinggian kutub
T
gi
= Waktu tanggap pengatur turbin
K
gi
= Penguat pengaturan turbin
R
i
= Konstanta Pengaturan Turbin air
U
1i
= Perubahan sinyal kontrol mesin ke-i
T
Wi
= Waktu tanggap turbin air
U
2i
= Perubahan sinyal kontrol waktu ke-i
V
FDi
= Tegangan eksitasi mesin ke-i
T
doi
= Konstanta waktu transient mesin i
T
m
= Perubahan Torka mesin ke-i
T
ei
= Perubahan torka elektrik mesin ke-i

i
= Perubahan sudut rotor mesin ke-i

i
= Perubahan besar sudut antara sumbu q
mesin ke-i dengan sumbu-d (referen-
si)

oi
= Kecepatan dasar mesin dasar ke-i
M
i
= Konstanta Inersia mesin ke-i
D
i
= Konstanta peredaman mesin ke-i
E
qi
= Perubahan transien mesin ke-i
V
Fi
= Perubahan tegangan keluaran penye-
arah mesin ke-i
V
i
= Perubahan tegangan bus mesin ke-i
V
Ai
= Perubahan tegangan amplifier mesin
ke-i
P
Di
= Perubahan beban mesin ke-i


Model Mesin Sinkron dilengkapi AVR










controler
i
1
R
gi
gi
k
1 sT +
Ai
Ai
k
1 sT +
Ei Ei
1
k sT +
Fi
Fi
sk
1 sT +
wi
wi
1 sT
1 0 5sT .

+
Pengaturgovernoor
Turbin
2 ii
K
,
1 ii
K
,
6 ii
K
,
4 ii
K
,
5 ii
K
,
i
D
3 ii
doi 3 ii
K
T sK 1
,
,
+
Sistemexitasi
FDi
V
Fi
V
Ai
V
i
V
i
Y
mi
T
i
1
M s
0
s

Di
P
qi
E
'

2i
U
StabilizerPortVp
1i
U
+
_
+
+
+
_
_
+
+
+
+
_
+
+
+
_
_

Teknik

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 533
VALIDASI MODEL foF
2
GIM-MSILRI PADA SAAT AKTIVITAS MATAHARI
MINIMUM TAHUN 2009 MENGGUNAKAN DATA IONOSONDE
TANJUNGSARI

Dyah RM dan Buldan M
Pusfatsainsa LAPAN, Bandung-40173

Email: dyahrm09@gmail.com


ABSTRAK

Validasi model foF
2
GIM-MSILRI telah dilakukan menggunakan data ionosonde Tanjungsari selama siklus matahari
minimum tahun 2009 dengan cara membandingkan grafik foF
2
model dan pengamatan, analisis korelasi dan analisis
kesalahan model dari pengamatan. Koefisien korelasi foF
2
kedua data setiap hari dihitung kemudian dirata-ratakan
setiap bulan mulai bulan Januari Oktober 2009. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai koefisen korelasinya hampir
mendekati 1 untuk data foF
2
harian dengan nilai koefisien korelasi tertinggi adalah sebesar 0,9972 dan koefisien
korelasi terendah adalah sebesar 0,8052. Demikian juga simpangan model dalam satu hari selama satu bulan dirata-
ratakan. Simpangan tertinggi adalah 1,7564 MHz dan simpangan terendah adalah 0,2991 MHz. Simpangan model
pada jam tertentu selama satu bulan juga dirata-ratakan sehingga didapatkan rata-rata simpangan terbesar terjadi pada
jam 01.00 dini hari bulan April (1,6693 MHz), dan rata-rata simpangan terkecil terjadi pada jam 07.00 bulan Juni
(0,3307 MHz) . Penjelasan dan analisis fisis kenapa model memiliki kemiripan dan perbedaan dikaitkan dengan
proses ionisasi , transport dan rekombinasi lapisan F
2
di N
maks
dan proses proses tersebut di seluruh lapisan yaitu D,
E, dan F
1
juga akan diberikan. Variasi bulanan simpangan antara model juga dikaitkan dengan proses-proses tersebut
dalam kaitannya dengan posisi garis edar matahari pada bulan tertentu.

Kata kunci: Model foF
2
GIMMSILRI, foF
2
ionosonde, simpangan model, korelasi, variasi diurnal (harian)
simpangan model, variasi bulanan simpangan model


PENDAHULUAN

Sejak tahun 90-an telah dibangun beberapa model
ionosfer oleh para peneliti ionosfer. Hal itu seiring
dengan semakin berkembangnya pemanfaatan
GPS dalam sistem navigasi dan semakin dipahami
bahwa lapisan ionosfer berperan penting dalam
operasional sistem navigasi. Model-model
ionosfer tersebut antara lain adalah Global
Ionospheric Maps (GIM) yang dibuat berdasarkan
data jam-an dan data harian dari hampir 100
stasiun GPS yang termasuk dalam jaringan IGS
(International GPS Service) dan institusi lainnya.
Total Electron Content (TEC) vertical dimodelkan
menggunakan splines bi-kubik, sementara filter
Kalman digunakan untuk memecahkan adanya
bias alat dan VTEC pada grid. Model lainnya
dibuat oleh CODE (Center for Orbit
Determination in Europe), University of Berne,
Switzerland. Model CODE menggambarkan Total
Electron Content (TEC) dalam suatu persamaan
harmonik sampai orde 8 dari data GPS jaringan
global IGS (International GPS Service).

Salah satu model ionosfer lain yang cukup dikenal
di Eropa adalah model SIRM (Simplified
Ionospheric Regional Model), yang dibuat oleh
Zolesi dkk tahun 1991. Zolesi berusaha
membangun model ionosfer di suatu area tertentu
dengan jaringan ionosonda yang letaknya
berjauhan dan menggunakan data yang diperoleh
dari periode pengamatan yang tidak sama antara
satu stasiun ionosonda dengan stasiun ionosonda
yang lainnya. Model SIRM menggambarkan
beberapa parameter lapisan ionosfer seperti
frekuensi kritis lapisan F
2
(foF
2
), faktor propagasi
untuk mendapatkan MUF pada jarak 3000 km
(M(3000)F2), ketinggian semu lapisan F (hF),
frekuensi kritis lapisan F
1
(foF
1
) dan frekuensi
kritis lapisan E (foE) di atas Eropa sebagai fungsi
koordinat geografi, waktu lokal atau universal,
dan rata-rata bulanan bilangan sunspot, R12
(Zolesi dkk., 1993). Prosedur pembuatannya
berdasarkan pada asumsi bahwa pada waktu lokal
tertentu tidak ada ketergantungan parameter
ionosfer pada bujur (longitude) dan bahwa variasi
diurnal dan musimannya dapat dinyatakan secara
baik menggunakan ekspansi Fourier dengan
jumlah koefisien yang relatif sedikit. Penerapan
model ini untuk daerah lintang tengah lainnya
menunjukkan hasil yang baik (Zolesi et. al.,
1996).

Berdasarkan pada model SIRM di Eropa maka
Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi LAPAN
berusaha mengembangkan model ionosfer
regional lintang rendah Indonesia dengan
melakukan modifikasi pada model SIRM tersebut.
Modifikasinya antara lain adalah merubah fungsi
linier menjadi tak linier untuk menggambarkan
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 534
hubungan antara variasi lintang dan parameter
ionosfer. Hal itu mengingat bahwa posisi
Indonesia berada pada daerah anomali ionisasi
(crest region), baik secara spasial maupun secara
temporal.

Model Sederhana Ionosfer Lintang Rendah
Indonesia(MSILRI) dikembangkan pertama kali
tahun 2001. Model ini dibuat dengan
memanfaatkan data ionosonde vertikal dari
stasiun-stasiun Darwin, Vanimo, Manila,
Singapura, dan Tanjungsari. Dengan berjalannya
waktu, model terus dikembangkan dan divalidasi
menggunakan data pengamatan di sekitar wilayah
Indonesia (Buldan, dkk, 2007 ; Asnawi dan
Buldan, 2003,2007; Dyah dan Buldan, 2008,
2009).

Persamaan model MSILRI adalah sbb :

5
)
12 5 5
(
4
)
12 4 4
(
3
)
12 3 3
(
2
)
12 2 2
(
)
12 1 1
(
12 0 0 0
L R
m
b
m
a L R
m
b
m
a
L R
m
b
m
a L R
m
b
m
a
L R
m
b
m
a R
m
b
m
a
m
A
+ + + +
+ + + +
+ + + =
(1)

5
)
12 5 5
(
4
)
12 4 4
(
3
)
12 3 3
(
2
)
12 2 2
(
)
12 1 1
(
12 0 0
L R
m
n
b
m
n
a L R
m
n
b
m
n
a
L R
m
n
b
m
n
a L R
m
n
b
m
n
a
L R
m
n
b
m
n
a R
m
n
b
m
n
a
m
n
A
+ + + +
+ + + +
+ + + =
(2)

5
)
12 5 5
(
4
)
12 4 4
(
3
)
12 3 3
(
2
)
12 2 2
(
)
12 1 1
(
12 0 0
L R
m
n
d
m
n
c L R
m
n
d
m
n
c
L R
m
n
d
m
n
c L R
m
n
d
m
n
c
L R
m
n
d
m
n
c R
m
n
d
m
n
c
m
n
B
+ + + +
+ + + +
+ + + =
(3)

(Buldan, dkk, 2007)

Dengan l = 6 ( ekspansi Fourier orde 6)
diperlukan 6 koefisien untuk masing-masing A
dan B dan satu koefisien A
0
setiap bulannya
sehingga akan diperoleh 13 koefisien Fourier.
Koefisien-koefisien tersebut kemudian dicari
hubungannya dengan lintang dan indeks R12
seperti dirumuskan dengan persamaan (1) (3)
sehingga akan diperoleh setiap bulannya sebanyak
13 12 = 156 koefisien. Jadi dalam satu tahun (m
= 1 12) akan diperlukan koefisien model
sebanyak 156 12 = 1872 koefisien. Penentuan
orde ekspansi Fourier ini didasarkan atas hasil
evaluasi model awal yang semula sampai orde 11,
ternyata justru menimbulkan efek variasi yang
tidak sesuai dengan karakteristik ionosfer
bulanan. Disamping itu juga mengikuti model
ionosfer lainnya yang telah dikembangkan lebih
dahulu yaitu The Fully Analytical Ionospheric
Model (Anderson, 1989; Forbes, 1989).

Perbaikan model MSILRI terus dilakukan, dan
pada tulisan ini akan dilakukan validasi model
MSILRI yang model Total Electron Content
(TEC) nya diperoleh dari model GIM sehingga
didapatkan model foF
2
GIM-MSILRI. Perlu
diperhatikan bahwa ada model hubungan antara
TEC dan foF
2
yang dinyatakan sebagai berikut :

( ) kTEC = foF
2
2
(4)
Dimana k adalah koefisien ketergantungan
kuadrat foF
2
dengan TEC.

DATA DAN METODOLOGI

Data yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi data parameter ionosfer foF
2
keluaran
model GIM-MSILRI dan data foF
2
hasil
pengamatan alat ionosonde stasiun Tanjungsari
tahun 2009 (kecuali bulan September, November,
dan Desember).

Metodologi meliputi pengolahan data foF
2
baik
dari model maupun dari pengamatan untuk
mendapatkan koefisen korelasi keduanya.
Demikian juga simpangan model dalam satu hari
selama satu bulan dirata-ratakan, simpangan
model pada jam tertentu selama satu bulan juga
dirata-ratakan untuk melihat pada jam berapa
model memiliki simpangan terbesar dan terkecil,
dan pada bulan apa model memiliki
kemiripan yang baik dan perbedaan yang
mencolok serta berapa persen kesalahan model
terhadap data pengamatan.

HASIL DAN DISKUSI

Gambar 1 memperlihatkan sebagian dari data foF
2

hasil keluaran model maupun hasil pengamatan
ionosonde Tanjungsari.

Gambar 1. Perbandingan antara foF2 Keluaran Model
GIMMSILRI dengan foF2 Hasil Pengamatan Ionosonde
Sta. Tanjungsari Tanggal 1 s.d. 6 Januari 2009.

Kedua data parameter foF
2
kemudian dicari
koefisien korelasinya sehingga diperoleh gambar
0 9 19 29
0
5
10
15
Waktu
f
o
F
2
(
M
H
z
)
0 9 19
0
5
10
15
Waktu
f
o
F
2
(
M
H
z
)
0 9 19 29
0
5
10
15
Waktu
f
o
F
2
(
M
H
z
)
0 9 19 29
0
5
10
15
Waktu
f
o
F
2
(
M
H
z
)
0 9 19 29
0
5
10
15
Waktu
f
o
F
2
(
M
H
z
)
0 9 19 29
0
5
10
15
Waktu
f
o
F
2
(
M
H
z
)


Model
Obs.
Teknik

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 535
2 yang menunjukkan bagaimana hubungan antara
foF
2
keluaran model GIM-MSILRI dengan foF
2

hasil pengamatan di stasiun Tanjungsari. Hasilnya
menunjukkan bahwa nilai koefisen korelasinya
hampir mendekati 1 untuk data foF
2
harian
dengan nilai koefisien korelasi tertinggi adalah
sebesar 0,9972 dan koefisien korelasi terendah
adalah sebesar 0,8052. Hasil ini memberi
informasi bahwa pola antara foF
2
keluaran model
GIM-MSILRI dan foF
2
hasil pengamatan adalah
mirip, atau data keluaran model cukup baik
mendekati data pengamatan.

Gambar 2. Time Series Koefisien Korelasi antara foF2
Keluaran Model GIMMSILRI dengan foF2 Hasil
Pengamatan Ionosonde Sta. Tanjungsari.

Rata-rata bulanan koefisien korelasi juga
menunjukkan nilai yang cukup baik yaitu dalam
selang 0,9454 dan 0,9712 seperti ditunjukkan
pada gambar 3.

Gambar 3. Rata-rata Koefisien Korelasi bulanan foF2
Tanjungsari antara model GIMMSILRI dan pengamatan
ionosonde

Untuk lebih jauh mengetahui apakah model GIM-
MSILRI cukup baik perlu dilihat bagaimana
fluktuasi foF
2
keluaran model terhadap data
pengamatan. Gambar 4 memperlihatkan
bagaimana fluktuasi model terhadap data
pengamatan. Rata-rata simpangan tertinggi adalah
1,7564 MHz dan rata-rata simpangan terendah
adalah 0,2991 MHz. Lebih jauh akan dilihat
kapan model memperlihatkan simpangan terbesar
dan terkecilnya.


Gambar 4. Simpangan nilai foF2 antara model dan
pengamatan Sta. Tanjungsari 2009

Data rata-rata simpangan pada jam tertentu telah
dihitung sehingga diketahui bahwa rata-rata
simpangan model foF
2
terbesar terjadi pada jam 01.00
dini hari bulan April (1,6693 MHz), dan rata-rata
simpangan terkecil terjadi pada jam 07.00 bulan Juni
(0,3307 MHz) seperti dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Simpangan nilai foF2 antara model dan
pengamatan Sta. Tanjungsari 2009 pada jam tertentu.

Ketika radiasi extreme ultra violet (EUV)
matahari melalui lapisan ionosfer pada ketinggian
antara 50-1000 km, maka akan menyebabkan
molekul-molekul dan atom-atom pada lapisan
ionosfer pecah membentuk sekumpulan partikel
bermuatan berupa elektron dan ion. Proses inilah
yang disebut dengan ionisasi. Bila terjadi proses
sebaliknya maka disebut dengan proses
rekombinasi. Proses ionisasi dan rekombinasi
inilah yang menyebabkan lapisan ionosfer
bervariasi, baik secara harian maupun musiman.
Oleh karena itu frekuensi kritis lapisan F
2
juga
akan bervariasi baik secara diurnal (harian)
maupun secara musiman.

Variasi diurnal frekuensi kritis lapisan F
2
(foF
2
)
mengikuti posisi relatif matahari terhadap rotasi
bumi seperti dapat dilihat pada gambar 1. Nilai
0 50 100 150 200 250 300
0.8
0.82
0.84
0.86
0.88
0.9
0.92
0.94
0.96
0.98
1
Time Series Januari s.d Oktober 2009
K
o
e
f
i
s
i
e
n

K
o
r
e
l
a
s
i
1 2 3 4 5 6 7 8 9
0.945
0.95
0.955
0.96
0.965
0.97
0.975
0.98
Bulan; dengan bulan 9=Oktober
R
a
t
a
-
r
a
t
a

K
o
e
f
i
s
i
e
n

K
o
r
e
l
a
s
i

b
u
l
a
n
a
n
0 50 100 150 200 250 300
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
Banyak Data Tahun 2009
R
a
t
a
-
r
a
t
a

S
i
m
p
a
n
g
a
n

a
n
t
a
r
a

M
o
d
e
l

d
a
n

P
e
n
g
a
m
a
t
a
n
Jam
B
u
l
a
n


3 7 11 15 19 23
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 536
terbesar terjadi antara jam 13.00 s.d jam 15.00
dimana kerapatan elektron pada lapisan ionosfer
juga besar akibat proses ionisasi yang telah
berlangsung.

Sementara variasi musiman foF
2
juga mengikuti
posisi garis edar matahari yang berubah setiap 3 bulan,
mendekati dan menjauhi daerah ekuator.

Radiasi matahari yang melalui lapisan ionosfer
akan menyebabkan perbedaan kerapatan di
lapisan ionosfer sehingga terbentuk lapisan-
lapisan D (50-90 km), lapisan E (90-120 km), dan
F(120-400 km).

Ketika matahari aktif maka radiasi sinar X akan
menyebabkan ionisasi lapisan ionosfer pada siang
hari dan pada malam hari sinar kosmik
menyebabkan terjadinya residu ionisasi.
Rekombinasi di lapisan D lebih dominan sehingga
efek ionisasi lemah akibatnya gelombang radio
HF tidak dapat dipantulkan. Pada siang hari
terjadi penyerapan frekuensi gelombang radio HF
sehingga mengganggu operasional gelombang
radio HF.

Lapisan E hanya bisa memantulkan gelombang
dengan frekuensi kurang dari 10 MHz dan
menyerap sebagian frekuensi gelombang radio di
atas 10 MHz. Pada malam hari lapisan E mulai
hilang karena tidak terjadi lagi proses ionisasi.
Pada suatu saat akan terjadi Es (E sporadic) yang
berlangsung beberapa menit sampai beberapa
jam), sehingga beberapa frekuensi gelombang
radio yang sebelumnya tidak dapat dipantulkan
menjadi dapat dipantulkan.

Lapisan ionosfer terluar adalah lapisan F. Pada
siang hari lapisan F akan terbagi menjadi 2 .
Lapisan inilah yang berperan penting bagi
penjalaran gelombang radio sehingga dibuatlah
model lapisan F dengan memanfaatkan data
frekeunsi kritis lapisan F
2
(foF
2
).

Berbagai proses fisis yang terjadi di lapisan
ionosfer tersebut dipertimbangkan dalam
pembuatan model global seperti model GIM,
sementara model regional MSILRI hanya
mempertimbangkan kondisi lapisan F.
Mengkombinasikan kedua model tersebut untuk
mendapatkan koefisien k diharapkan memberikan
nilai foF
2
model GIMMSILRI lebih baik. Dari
hasil pengolahan data prosentase kesalahan model
terhadap data pengamatan menunjukkan nilai
kesalahan tertinggi 15,12% (Agustus) dan nilai
kesalahan terendah 3,92% (Maret). Hasil
selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1.




Tabel 1. Prosentase Kesalahan Model

No. Bulan Prosentase Kesalahan
Model (%)
1. Januari 4,61
2. Februari 7,14
3. Maret 3,92
4. April 4,9
5. Mei 4,96
6. Juni 8,17
7. Juli 9,48
8. Agustus 15,12
9. Oktober 4,72

Masalah yang berhubungan dengan anomali
regional wilayah Indonesia sudah dapat diatasi.
Hal itu terlihat dari simpangan model terhadap
data pengamatan pada siang hari yang kecil,
walaupun masih terjadi simpangan yang cukup
besar pada tengah malam menjelang dini hari.

KESIMPULAN

Hasil validasi parameter foF
2
keluaran model
GIM-MSILRI dengan data pengamatan
memberikan hasil yang cukup baik dengan rata-
rata koefisen korelasi mendekati 1 (0,9454 s.d.
0,9712). Demikian juga dengan simpangan model
terhadap data pengamatan dalam selang antara
0,2991 MHz s.d. 1,7564.

Posisi matahari terhadap rotasi bumi dan posisi
garis edar matahari menyebabkan variasi lapisan
ionosfer baik secara diurnal (harian) maupun
musiman. Hal tersebut juga terlihat pada data
pengamatan dan model.

Masalah simpangan antara model dan data
pengamatan pada siang hari akibat anomali daerah
ekuator sudah dapat diantisipasi oleh model.
Namun masih didapatkan adanya simpangan yang
tinggi pada tengah malam menjelang pagi hari.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Ibu Shinta Tresnawati dan
Bapak Drs. Gatot Wikanto yang telah membantu
menyiapkan data parameter foF2 Tanjungsari
2009

DAFTAR PUSTAKA

[1] Asnawi dan Buldan Muslim (2003). Validasi
foF2 dan M(3000)F2 Model MSILRI
Terhadap Data Observasi Ionosonde Vertikal
di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional
Fisika dan Aplikasinya, Jurusan Fisika
FMIPA-ITS, Surabaya; ISBN: 979-97932-0-
3; 342-345.
Teknik

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 537
[2] Dyah RM dan Buldan Muslim (2008).
Validasi Model MSILRI Stasiun Pontianak
dengan Data Pengamatan dan Model Global
(Model IRI). Prosiding Seminar Nasional
Matematika, Jurusan Matematika Universitas
Katolik Parahyangan, Bandung; ISSN:1907-
3909; 2008.
[3] Dyah RM dan Buldan Muslim (2009).
Analisis Data Pengamatan Frekuensi Kritis
Lapisan F2 (foF2) Ionosfer untuk Validasi
Model Ionosfer Near Real Time Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Matematika
2009; Fakultas Teknologi dan Sains,
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung,
Vol. 4, ISSN:1907-3909; 2009.
[4] Muslim, B. dkk (2007). Pengembangan
Model Ionosfer Regional Indonesia, Buku
Ilmiah Pemodelan Ionosfer Regional
Indonesia, Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN) , ISBN: 978-
979-1458-05-4.
































































































Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 539
PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK
UNTUK PENENTUAN NILAI EIGEN PADA ANALISIS SIFAT GETAR
KOMPONEN BERBASIS METODE ELEMEN HINGGA.

Elfrida Saragi
PPIN, BATAN Serpong

Email : frida@batan.go.id


ABSTRAK

Salah satu aspek keselamatan suatu sistem atau komponen adalah ketahanan terhadap getaran yang terjadi dalam
sistem atau komponen. Aspek keselamatan pengoperasian suatu sistem atau komponen ditentukan oleh sifat getar
sistem atau komponen. Sifat getar sistem atau komponen ini sulit ditentukan dengan hanya perhitungan tangan biasa,
karena bentuk dan syarat batas yang komplek. Untuk itu diperlukan program komputer untuk menentukan sifat getar
suatu sistem atau komponen. Penelitian ini bertujuan mengembangkan sebuah program komputer untuk menentukan
sifat getar sistem atau komponen yang berbasis elemen hingga dengan elemen berbentuk segitiga linier. Metode
elemen hingga ini akan memberikan persamaan matriks yang akan memberikan penyelesaian deformasi posisi.
Persamaan matriks terdiri dari matriks kekakuan, matriks masa, matriks beban, dan matriks perpindahan. Persamaan
matriks seperti ini akan memberikan nilai eigen dan vektor eigen. Nilai eigen memberikan nilai frekuensi wajar
(natural frequency), sedang vektor eigen memberikan posisi suatu ragam (mode) getar sistem. Nilai eigen dan vektor
eigen akan menentukan sifat getar sistem atau komponen, salah satu diantaranya adalah transient- dynamic.

Kata kunci: Elemen hingga, nilai eigen, vektor eigen, ragam getar


PENDAHULUAN

Salah satu aspek keselamatan suatu
sistem atau komponen adalah ketahanan terhadap
getaran yang terjadi dalam sistem atau komponen.
Aspek keselamatan pengoperasian suatu sistem
atau komponen ditentukan oleh sifat getar sistem
atau komponen. Sifat getar sistem atau komponen
ini sulit ditentukan dengan hanya perhitungan
tangan biasa, karena bentuk dan syarat batas yang
komplek. Untuk itu diperlukan program
komputer yang dikembangkan sendiri dengan
alasan perangkat lunak yang dijual dipasar
nilainya sangat mahal. Ketiadaan data data
komponen y ang dipakai untuk kerperluan
pengembangan perangkat lunak sifat getar
komponen maka kami menggunakan data dummy
seperti sifat material, ukuran, dan beban.
Penyelesaian analisis sifat getar
komponen dengan perangkat lunak (program
komputer) berbasis elemen hingga, yang terdiri
dari tiga buah modul. Masing - masing adalah
program PRE PROCESSOR, PROCESSOR, dan
POST PROCESSOR. Perangkat lunak untuk
penyelesaian analisis sifat getar komponen yang
dikembangkan ini didasarkan pada perangkat
lunak distribusi tegangan yang telah
dikembangkan sebelumnya. Untuk ini akan
dikembangkan bagian yang berpengaruh pada
proses untuk menentukan sifat getar yaitu nilai
eigen dan vektor eigen , sedangkan sebagian yang
lain masih dapat dipertahankan. Dengan cara ini
diharapkan pengembangan perangkat lunak dapat
dilakukan dengan lebih cepat. Hasil program
akan divalidasi dengan software ANSYS atau
dengan NISA.

TEORI
Getaran Bebas tanpa redaman pada sistem yang
terdiri dari pegas dan masa yang terpusat, seperti
pada gambar dibawah ini;

Gambar 1 : Pegas
Kesetimbangan terjadi antara gaya pegas dan
kelembaman yang terbagi pada dua dimensi
dengan persamaan dibawah ini :
0
2
2
= +

K
dt
d
M
.... 1)
dengan:
M = matriks masa
K = matriks kekakuan
= matriks posisi (ke arah x dan y)
Persamaan 1 memberikan penyelesaian:
K = M ..... 2)
dengan: = nilai eigen (Eigen value) = 2f
= matriks vektor Eigen (amplitudo
Eigen)
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 540

(
(
(
(
(
(





=
nm nk nj ni
m k j
m k j i
m k j i
. . . .
3 2 2 31
2 2 2 2
1 1 1 1


PENYELESAIAN DENGAN ELEMEN
HINGGA
Dalam makalah ini akan diuraikan analisis sifat
getar tanpa redaman dua dimensi dengan elemen
segitiga linier. Model matematik sifat getar tanpa
redaman dapat ditulis dengan persamaan dibawah
ini :
) (
' '
t f KX M
X
= + ..... 3)
dimana : M = matriks konsisten massa
K = matriks kekakuan pegas (spring)
= B
T
D B t A
B = Matriks fungsi bentuk
D = Matriks sifat material
X = matriks pergeseran
f(t) = matriks vektor beban
Matriks fungsi bentuk (B) dengan persamaan
dibawah ini;
B =
(
(
(

23 33 22
33 32
23
32
22
21
31
31
21
0
0 0
0
0
0
m m m
m m
m
m
m
m
m
m
m


Matriks Konsisten massa dengan persamaan
dibawah ini;
(
(
(
(
(
(
(
(

=
2 0 1 0 1 0
0 2 0 1 0 1
1 0 2 0 1 0
0 1 0 2 0 1
1 0 1 0 2 0
0 1 0 1 0 2
12
A t
M
e


dimana ; A = luas elemen
t = tebal
= masa jenis
m
ij
= fungsi koordinat node

Penyelesaiaan persamaan 1 digunakan untuk
mencari nilai eigen dan vektor eigen dengan
persamaan dibawah ini :
(K - M ) X = 0 .. 4)
dimana :
X = simpangan posisi yang akan menjadi
vektor eigen = ) ( sin
o
t t
= nilai eigen =
2
= 2f
f = frekuensi wajar (natural frequency)

Banyaknya nilai eigen () secara teoritis sebanyak
jumlah node. Berdasarkan asas ortogonalitas
dapat dituliskan sebagai berikut:

=
= =

j i untuk
j i untuk
M
j
T
i
; 0
; 1


=
= =

j i untuk
j i untuk
K
j
T
i
; 0
;

Dengan: adalah vektor Eigen (banyaknya
koefisien sejumlah node)

i
=
i
/m
i

m
i
=
i
T
Karena berlaku untuk seluruh vektor Eigen
(sesuai banyaknya nilai Eigen), maka dapat
dituliskan:
M
i



T
M = I

T
K = diag(
2
)
Dimana; = [
1
,
2
,
3
,
n
] = matriks
dari vektor Eigen

PENENTUAN NILAI DAN VEKTOR EIGEN
Penentuan nilai eigen dan vektor eigen dilakukan
dengan metode Power iteration yang digabung
dengan metode Gram-Schmidt Ortogonalization
dari persamaan 4). Salah satu metode power
iteration menggunakan metode inverse iteration
dengan persamaan dibawah ini;
k k
MX X K =

+1


2 / 1
1
1
1
1
) (

+
+

+
+
=
k
T
k
k
k
X M X
X
X .... 5)

dimana; X
1
adalah bukan M - ortogonal ke
i

yang artinya bahwa 0
1

i
T
M X , yang
diperoleh nilai X
k+1
menjadi
1
= vektor eigen
untuk k =>

Penentuan nilai eigen dengan mengasumsikan
bahwa y
1
= Mx
1
, untuk
K= 1,2,..., maka :
k k
y X K =

+1
.... 6a)

+ +

=
1 1 k k
X M y .... 6b)
) (
) (
1 1
1
1
+

+
=
k
T
k
k
T
k
k
y X
y X
X . 6c)

dimana ; 0
1 1

T
y
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 541
) (
1

+ k
X menjadi
1
= nilai eigen pertama.
Salah satu metode untuk menentukan nilai eigen
berikutnya berdasarkan nilai eigen pokok adalah
menggunakan matriks deflaksasi dan Gram-
Schmidt Ortogonalization.
Penyelesaian persamaan K = , bila M
adalah matriks identitas pada K = M atau
merupakan deflaksasi
~ ~ ~
= K . Kestabilan
matriks deflaksasi yang dibawa keluar dengan
memperoleh matriks orthogonal P bila kolum
pertama adalah menghitung vektor eigen. Matriks
P dapat dituliskan sebagai berikut;
P = [
k
,p
2
,...,p
n
] 7)

dibutuhkan 0
1
= i
T
untuk i = 2,...,n maka
persamaan 7 dituliskan kembali sebagai berikut;
(

=
1
0
0
K
KP P
k T

sebab 1 = k
T
k

Eigen vektor P
T
KP dengan
~
i
, maka diperoleh
i
i
P
~
=
Pada metode Gram-Schmidt Ortogonalization,
vektor
~
1
X merupakan vektor M-orthogonal ke
vektor eigen
i,
dimana i = 1, ...,m yang dihitung
menggunakan persamaan dibawah ini;
i
m
i
i
X X =

=1
1
1
~
..... 8)


dimana ; Koefisien
i
diperoleh menggunakan
kondisi bahwa
0
~
=
i
T
i
X M ,
i = 1,2,,m

ij j
T
i
M =
Untuk memperoleh nilai
i
dengan persamaan
dibawah ini;
1
MX
T
i i
= untuk i = 1,2,3,...,m

SPESIFIKASI PROGRAM
A. CAKUPAN DAN TUJUAN PROGRAM
Metode Elemen Hingga merupakan suatu
metode yang digunakan untuk
menyelesaikan persoalan teknik maupun
fisika. Salah satu pemakaian metode ini
untuk menyelesaikan persoalan sifat
getar.
Penyelesaian sifat getar melibatkan tiga
tahapan yaitu Pre Processor (untuk
penyiapan data), Processor (untuk
penyelesaian / solver) dan Post
Processor (untuk menginterpretasikan
data hasil dalam bentuk superposisi.
Program Preprocessor untuk sifat getar
sama dengan Preprocessor pada analisis
distribusi tegangan (stress). Program
processor yaitu program untuk
menyelesaikan persamaan sifat getar
tanpa redaman seperti pada persamaan 3.
Persamaan sifat getar tanpa redaman ini
akan menghitung nilai eigen dan vektor
eigen dimana nilai eigen digunakan
untuk menentukan superposisi dan
vektor eigen digunakan untuk
menentukan frekuensi getaran. Program
PostProcessor adalah untuk
menginterpretasikan data yang dihasilkan
secara cepat dan mudah kedalam bentuk
superposisi untuk setiap vektor eigen.
Penulisan program menggunakan bahasa
Visual Basic.

B. STRUKTUR PROGRAM
Struktur program processor ini dapat
digambarkan seperti gambar berikut ini.

MULAI
A
B
SELESAI
SUSUN
MATRIKS
EIGEN
OPTIMASI
HASIL
BACA FILE


Gambar 2 : Diagram aktivitas program Processor

Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 542
A
HARGA AE_AWAL
SIMPAN
MATRIKS AWAL
IF JK > 1
UE#() = AE#()
GRAM SCHMIDT
BEBAN AWAL (VE# ) = 0
JK=1.,N
DO
BENTUK BEBAN BERIKUTNYA
VE#() = VE#() + MTX() * UE()
1. TUMPUAN
2. LU DECOMPOSISI
3. HASIL
SUSUN BEBAN
FB#() = VE#()
SCALLING
TOL <= 10E-6 LOOP
JK
HASIL


Gambar 3 : Diagram alur penentuan
nilai eigen dan vektor eigen


C. I NSTALL SOFTWARE.
Sebelum melakukan install Software ini,
hendaknya terlebih dahulu mempersiapkan
komputer atau perangkat keras yang akan
digunakan untuk mengoperasikan software sifat
getar. Pada saat ini komputer telah berkembang
dengan pesat, sehingga dipasaran telah banyak
komputer dengan spesifikasi yang tinggi.

Spesifikasi minimal komputer untuk
pengembangan program ini adalah :
Pentium IV ke atas
Memory 1 GB
Monitor SVGA
Harddisk 60 Giga
Operating System Windows XP
Visual Basic 5


HASIL DAN PEMBAHASAN

Bentuk Tampilan Program Pengembangan
Aplikasi Perangkat lunak Sifat Getar

Gambar 4 : Tampilan Program

Program Pengembangan aplikasi perangkat lunak
dikembangkan dengan bahasa Visual Basic
berbasis Metode Elemen Hingga (MEH) dengan
bentuk geometri empat persegi panjang.
Diskritisasi bidang dilakukan pada program
preprocessor dengan bentuk elemen segitiga
linier. Tahapan penyediaan data pada program
preprocessor sifat getar sama dengan program
preprocessor pada analisis distribusi tegangan
yang terdiri dari bentuk geometri, diskritisasi
bidang, penulisan nomor node dan elemen, sifat
material, dan beban gaya serta beban simpul
seperti pada gambar dibawah ini;

Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 543

Gambar 5a :. Contoh masukan data geometri


Gambar 5 b: Contoh masukan data material


Gambar 5c : Contoh masukkan data beban

Tahapan proses eksekusi program yang dijalankan
pada program processor yang pertama adalah
membaca data program preprocessor seperti
gambar 5 yang berisi jumlah node dan elemen,
data node, data elemen, karakteristik material,
data beban berupa beban gaya, syarat batas berupa
tumpuan. Hasil eksekusi berupa gambar geometri
seperti gambar 6 , proses penentuan variabel
kunci dan selanjutnya dilakukan menyusun
matriks kekakuan, matriks massa, beban dan nilai
eigen.



Gambar 6: Model Geometri


MENENTUKAN VARIABEL KUNCI.
Variabel kunci adalah variabel yang diperlukan
untuk menyusun matriks kekakuan, matriks
massa. Matriks kekakuan dan matriks massa yang
diperoleh akan simetri dan sparse. Variabel kunci
tersebut diberi nama JSTK(), ISTK(), JDIAG().


Tabel 1. Nama variable pada penentuan
variable kunci

PENENTUAN NILAI EIGEN
Penyelesaian nilai eigen untuk sifat getar tanpa
redaman adalah menyelesaikan persamaan 3
Proses penyelesaian processor/ solver mengikuti
persamaan persamaan 4 , dimana tahapan proses
dimulai dari :
1. Menyusun beban awal
2. Menyusun beban yang akan berubah selama
iterasi
3. Penentuan nilai dan vektor eigen dengan
persaman persamaan 4. Penentuan nilai dan
vektor eigen pertama menggunakan metode
power iteration. Salah satu metode power
iteration adalah metode inverse iteration
dengan algoritma sebagai berikut;
a)
Ambill nilai nilai vektor sebarang X
k
.
Nilai vektor X
k
diambil dari hasil
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 544
eksekusi matriks kekakuan, massa dan
beban

b)
Bentuk persamaan :
k k
MX X K =

+1
Selesaikan
persamaan nomer 2 untuk 1 +

k X sesuai
dengan penyelesaian matriks

c) Menyelesaikan persamaan Ka=VE#()
atau KX=F #
d) Bentuk nilai baru X
k
(dengan
normalisasi)
e) Ganti X
k
lama dengan X
k+1

f) Ulangi langkah nomer (a)

Bila iterasi dilakukan berkali-kali maka vektor
eigen akan diperoleh dengan persamaan 5 dimana
nilai X
k+1
akan konvergen ke vektor Eigen dan
akan konvergen ke nilai Eigen pada persamaan
6c.
Nilai
k
y dan
1 + k
y diselesaikan dengan
menggunakan persamaan 6a dan 6b. Dan nilai
1 + k
y diperoleh dari hasil iterasi berikutnya. Nilai
eigen () yang didapat merupakan nilai paling
rendah yang disebut eigen pokok. Penentuan
nilai Eigen berikutnya dihitung berdasarkan nilai
eigen pertama dengan matriks deflaksasi dan
Gram Schmidt ortogonalitas yang dilakukan pada
persamaan 8. Hasil eksekusi sub program
penentuan nilai eigen seperti gambar 7 dimana
akan tertera hasil berupa jumlah node dan
elemen, data node, mode (nilai eigen), transilasi X
dan Y berdasarkan node.





Gambar 7 : Hasil program processor sifat getar
tanpa redaman

Dari hasil program processor berupa data
transilasi pada mode frekuensi digambarkan
seperti gambar 8 yang trendnya sama dengan
trend pada teori (buku).



Gambar 8 : Superposisi balok
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 545
KESIMPULAN.

Penguasaan teori dasar metode elemen
hingga (MEH) yang melibatkan tiga tahapan
yaitu preprocessor, processor dan
postprocessor beserta pemrograman akan
mempermudah penyelesaian persoalan
analisis sifat getar berdimensi dua dengan
elemen segitiga linier. Proses penyelesaian
sifat getar pada dasarnya mengambil data
hasil distribusi tegangan sebagai data input
yang digunakan uintuk menyelesaikan
persamaan sifat getar tanpa redaman.
Penentuan nilai dan vektor eigen pada sifat
getar memerlukan perangkat lunak yang
mempunyai presisi yang tinggi.

UCAPAN TERIMAKASIH.

Penulis ingin menyampaikan terimaksih kepada
Ir. Utaja dari PRPN, BATAN yang telah banyak
membantu penulis dalam penyusunan
Pengembagan Program aplikasi Perangkat lunak
Sifat getar dua dimensi dengan bentuk elemen
segitiga linier.

DAFTAR PUSTAKA.

[1] David Jung, Pierre Boutquin, Jhon D. Conley
III, Loren Eidahl, Lowel Mauver, Jack
Purdum, Visual Basic 6 SuperBible, Sams
Publishing, 1999.
[2] Frank L Stasa, Applied Finite Element
Analysis For Engineers, Florida Institute of
Technology ,1985.
[3] Introduction To Finite Elements in
Engineering, Tirupathi R. Chandrupatla,
Belegundu Ashok. D, Prentice Hall, New
Jersey, 1991
[4] Klaus-Jurgen Bathe, Finite Element
Procedures, Prentice Hall international
,Inc.1996
[5] Saeed Moaveni, Finite Element Analysis,
Theory and Application with ANSYS,
Prentice Hall, Upper Saddle River, New
Jersey 07458 ,198








Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 547
KOMPENSASI DAYA REAKTIF PADA SISTEM 500 KV JAMALI
MENGGUNAKAN BACTERI A FORAGI NG ALGORI THM

Juningtijastuti
1)
, Muhammad Abdillah
2)
, Imam Robandi
3)
1)
Teknik Elektro FT-UNDIP,
2)
Teknik Elektro FTI-ITS,
3)
Teknik Elektro FTI-ITS

1)
E-mail: juningastika@yahoo.com / jun.astika@gmail.com
2)
E-mail: abdillah_power_elits@yahoo.co.id,
3)
E-mail: robandi@ee.its.ac.id


ABSTRAK

Dalam sebuah sistem tenaga listrik yang ideal, tegangan dan frekuensi pada setiap titik penyaluran
diharapkan konstan, bebas dari harmonik dan faktor daya mendekati nilai satu. Tegangan dan frekuensi
sangat dipengaruhi karakteristik beban konsumen. Kebutuhan beban yang bervariasi, membutuhkan
jaring transmisi daya reaktif yang bervariasi pula. Karena daya reaktif tidak bisa disalurkan pada jaring
transmisi yang panjang, maka perlu dipasang alat untuk mengontrol daya reaktif dan tegangan pada
sistem tenaga listrik. Salah satu peralatan yang dimaksud adalah kapasitor. Rugi daya merupakan
permasalahan yang familiar bagi industri kelistrikan. Berbagai teknik untuk optimisasi dan kontrol telah
banyak dipelajari dan dikembangkan oleh para peneliti, kemajuan teknologi mendorong para ilmuawan
mempelajari suatu sistem yang terinpirasi dari sistem biologis, seperti Artificial Neural Network (ANN),
Genetic Algorithm dan lain-lain. Salah satunya adalah K.M.Pasino, pada tahun 2002 berhasil menerapkan
social behavior dalam mencari dan memilih nutrisi untuk dijadikan sebuah algoritma yang dikenal
dengan Bacteria Foraging (BF) melalui bakteri E-Coli yaitu sebuah metode untuk menyelesaikan
optimisasi dengan pendekatan kecerdasan tiruan. Foraging merupakan kemampuan untuk mengetahui
lokasi nutrisi, meraih dan mencerna makanan dengan memaksimalkan energi yang dimiliki per satuan
waktu. Proses pencernaan nutrisi pada bakteri E-Coli termasuk salah satu proses foraging yang diadaptasi
untuk mengembangkan teknik optimisasi dan kontrol. Kemudian teknik optimisasi tersebut dikenal
dengan Bacteria Foraging Optimization (BFO) dan S.Mishra telah berhasil mengaplikasikan pada sistem
tenaga listrik. BFO melalui bakteri E-Coli terdiri dari empat proses yang disebut dengan Chemotactixis,
Swarming, Reproduction, Elimination and Dipersal, yang merupakan kekuatan komputasi kecepatan
cukup tinggi. Dalam penelitian ini metode BFO akan dicoba untuk menyelesaikan masalah rugi daya
dengan mengoptimalkan penempatan dan ukuran kapasitor pada sistem 500 kV Jamali. Hasil dari
penelitian melalui Load Flow metode Newton Rapshon menunjukkan, nilai rugi daya yang terjadi pada
sistem sebelum dipasang kapasitor adalah 93.944 MW, 774.430 MVAR. Setelah dipasang kapasitor
dengan metode GA nilai rugi daya menurun dari 93.944 MW, 774.430 MVAR menjadi 88.379 MW,
713.423 MVAR. Dengan metode BFO menurun dari 93.944 MW, 774.430 MVAR menjadi 86.763 MW,
694.517 MVAR. Nilai tegangan sistem sebelum dan setelah dipasang kapasitor untuk kedua metode
relatif sama dan memenuhi nilai standar yang diijinkan, yaitu antara 0.950 pu sampai dengan 1.050 pu.

Keywords : BFA, Power losses, Compensator


I. PENDAHULUAN

Daya reaktif diperlukan dan dikonsumsi pada
elemen-elemen jaring transmisi dan
pengoperasian peralatan seperti : motor listrik,
transformator dan peralatan elektronika daya.
Disisi lain kebutuhan daya reaktif akan
memperkecil nilai rugi daya aktif, rugi tegangan
dan tegangan bus atau penyulang pada sistem.
Sehingga keberadaan daya reaktif pada sistem
tenaga listrik sangat dibutuhkan untuk
memperbaiki power faktor agar sistem tegangan
pada bus tetap stabil, dan rugi daya aktif dan rugi
tegangan dapat diminimais [11,4]. Pemasangan
kapasitor yang tepat pada sistem dapat
menurunkan rugi daya, perbaikan profil tegangan
dan power faktor serta frekuensi shingga sistem
stabil [2]. Menentukan nilai rugi daya pada sistem
menggunakan cara konvensional telah banyak
dilakukan, dengan berkembangnya teknologi telah
banyak peneliti dan berhasil diaplikasikan
komputasi dengan berbagai metode untuk
mendapatkan nilai minimais rugi daya dengan
proses iterasi lebih cepat dan hasil lebih baik
[1,6,9,10]. Perkembangan teknologi dan
komputasi begitu pesat, mendorong Kevin M.
Passino, Mishra. dan kawan-kawan sebagai
pelopor utama yang telah berhasil menerapkan
metode social behavior dari bakteri E-Coli untuk
diadaptasi menjadi sebuah algoritma yang disebut
Bacteria Foraging (BF), untuk menyelesaikan
permasalahan optimisasi dengan pendekatan
kecerdasan tiruan [7,8,12]. Ide BFA muncul atas
dasar kenyataan alam, strategi social behavior
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 548
dalam mencari dan memilih nutrisi yang baik,
melalui sebuah bakteri E-Coli dan ditiru oleh para
peneliti untuk dijadikan rumusan algoritma dalam
menyelesaikan optimisasi pada sistem tenaga
listrik. Untuk itu dalam penelitian ini penulis
mencoba mengaplikasikan BFO pada sistem 500
kV Jamali dengan menggunakan shoftware
Matlab 7.1

2. PEMODELAN dan FORMULASI

2.1. Daya Reaktif :
Penambahan beban dapat membuat
tegangan menurun dan permintaan daya reaktif
yang bertambah dapat memperkecil faktor
daya.Dengan menambahkan kapasitor pada bus
dapat memperbaiki faktor daya, dengan perbaikan
faktor daya tersebut akan dapat mengurangi
penurunan tegangan pada sisi terima sistem
seperti yang terlihat pada Gambar 1, dengan V
R

adalah tegangan pada sisi terima. dan V
S
adalah
tegangan pada sisi pengirim. Dengan
penambahkan shunt capacitor akan dapat
meningkatkan kapasitas penyaluran daya kepada
konsumen.
Z = R +jXL
I
IC
I
VR VS
R
L



1
V
R1
V
S
IXs
IR
2
V
R2
V
S
IR
IXs


Gambar 1 : Diagram segaris sistem tenaga listrik
(a). Rangkaian ekivalen sistem
(b). Phasor diagram sebelum dipasang kapasitor
(c). Phasor diagram setelah dipasang kapasitor

Berdasarkan Gambar1, secara matematik
diperoleh persamaan berikut :
- Sebelum dipasang kapasitor :
V
S
= V
R1
+ IR cos
1
+ j IR sin
1
+ IX
S
sin
1
+
j IX
S
cos
1

Vs = V
R1
+ (IR + j IX
S
) cos
1
+ ( j IR + IX
S
) sin
1

........ (2-1)
- Setelah dipasang kapasitor :
V
S
= V
R2
+ IR cos
2
+ j IR sin
2
+ IX
S
sin
2
+
j IX
S
cos
2

Vs = V
R2
+ (IR + j IX
S
) cos
2
+ ( j IR + IX
S
) sin
2

......... (2-2)
Persamaan (2-1) dan (2-2) menyatakan bahwa
dengan tegangan kirim yang sama didapatkan
tegangan terima yang lebih besar ketika sistem
ditambahkan shunt capacitor (kapasitor)
Penambahan sebuah kapasitor pada sistem akan
mempengaruhi arus dari I = I menjadi I = I + Ic,
akibatnya nilai daya aktif dan nilai reaktif akan
mengalami perubahan,demikian juga nila sudut
daya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar.2.

MVAr
C
MVAr - MVAr
C
1
2
MW
MVA
2
MVA
1

Gambar 2 : Diagram pashor daya

2.2. Studi Aliran Daya (Load Flow)
Gambar 3 berikut meenunjukkan diagram
segaris dari system tenaga listrik.

Iij
Bus-i,Vi Bus-j,Vj
Ii
Iji
Iio
Ijo
Yio Yjo


Gambar.3: Diagram Segaris Sistem Tenaga listrik

Berdasarkan Gambar 3, akan diperoleh
formulasi persamaan berikut :
a). Menentukan arus yang mengalir dari bus i :
I
i
= |Y
ij
|.|V
j
|
ij
+
j
.............. (2-3)
b) Menentukan daya aktif :
P
i
= |Y
ij
|.|V
j
|.|V
j
| cos (
ij
-
i
+
j
) ...... (2-4)

c) Menentukan daya reaktif :

Q
i
= |Y
ij
|.|V
j
|.|V
j
| sin (
ij
-
i
+
j
) ....... (2-5)
d). Menentukan rugi daya saluran dari i ke j atau j
ke i
adalah :
(c)
(a)
(b)
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 549
S
ij
= V
i
*I
ij

Sij = V
i
(V
i
* - V
j
*).Y
ij
+ V
i
.V
i
*.Y
io
......... (2-6)
S
ji
= V
j
.I*
ji
= V
j
(V
j
* - V
i
*) + V
j
.V
j
*.Y
jo
.... (2-7)

Nilai P dan Q dari persamaan (2-6) dan (2-7)
adalah nilai rugi daya yang merupakan sistem
linier. Untuk memperoleh nilai rugi daya yang
sebenarnya, maka persamaan tersebut dilinierkan
menjadi persamaan berikut dalam bentuk matrik :

) (
) (
2
) (
) (
2
) (
) (
2
) (
) (
2
) (
2
) ( ) (
2
) (
) (
2
2
) (
2
) (
2
2
) (
2
) (
2
) ( ) (
2
) (
) (
2
2
) (
2
) (
2
2
) (
2
k
n
k
k
n
k
V
Q
V
Q Q Q
V
Q
V
Q Q Q
V
P
V
P P P
V
P
V
P P P
k
n
k
k
n
k
V
V
Q
Q
P
P
n
k
n
k
n
n
k
n
k
n
n
k k
n
k k
n
k
n
k
n
n
k
n
k
n
n
k k
n
k k

.. (2-8)

Dalam matrik Jacobian dapat dilihat bahwa terjadi
perbandingan linear antara perubahan terkecil
sudut tegangan (
) (k
i

) dan besarnya tegangan (
) (k
i
V
) dengan perubahan daya aktif dan reaktif
) ( ) ( k
i
k
i
Q dan P
dan secara umum bentuk
persamaa (2-8) menjadi :

V J J
J J
Q
P
4 3
2 1
..... (2-9)
Elemen diagonal J
1
dapat dituliskan seperti :
) sin(
1
j i ij ij j
n
j
i
i
i
Y V V
P

+ =


j i ij ii j i
j
i
Y V V
P

+ =

sin(
j i
Elemen diagonal J
2
dapat dituliskan seperti :
ii ii i j i ij ij
n
j i
i
Y V Y Vj
V
P
cos 2 ) cos(
1
+ + =



) ( cos
j i ij ij j i
j
i
Y V V
V
P
+ =


Elemen diagonal J
3
dapat dituliskan seperti :
) cos(
1
j i ij ij j
n
j
i
i
i
Y V V
Q

+ =



) ( cos
j i ij ij i
i
Y V
j
Q

+ =

j i
Elemen diagonal J
4
dapat dituliskan seperti

) sin( sin 2
1
j i ij ij j
n
j
i ii ii i
i
i
Y V V Y V
V
Q
+ =

=
) sin(
j i ij ij i
j
i
Y V
V
Q
+ =



2.2. Bacteria Foraging (BF)
Bakteri E-Coli hidup dalam sel-sel pada
tubuh manusia,mempunyai alat yang dipakai
untuk bergerak atau berenang dalam media cair
dan disebut flagela. Flagela adalah alat gerak
yang keluar dari permukaan cell-to-cell, fungsinya
sebagai sensor dan penggerak dalam pencarian
nutrisi. Bentuk dan strategi Bakteri dalam mencari
nutrisi selengkapnya ditunjukkan pada Gambar.4
[7,8,11]. Apabila flagela bergerak searah jarum
jam, maka flagela berkumpul dan bergerak searah
dalam mencari nutrisi. Sebaliknya jika flagela
bergerak berlawanan arah jarum jam, maka
flegela terlepas secara acak dalam mencari nutrisi.


(b)
Gambar 4 : Struktur Bakteri dan Flagela
(a) Bentuk bacteri E-Coli
(b) Posisi Flagela saat bergerak (search)

Posisi flagela merupakan kemampuan merespon
adanya nutrisi dan berusaha mendapatkan nutrisi
yang terbaik. Bakteri E-Coli dengan flagela
memiliki empat kekuatan proses dalam mencari
nutrisi, yaitu :
a).Chemotacxis : merupakan proses pergerakan
Bakteri E-Coli dalam media menggunakan
flagela (alat gerak seperti baling-baling yang
keluar dari permukaan cell), yaitu bergerak
searah (swamming) atau bergerak bersama
dengan arah yang acak (tumbling) sesuai
dengan lifetime dari bacteri tersebut. Secara
matematik dinyatakan dalam persamaan berikut
:

i
(j+1,k,l) =
i
(j,k,l) + C(i).(j) ........ (2-
10)

i.
i
(j+1,k,l)= proses chemotacxis bacteri
dari i ke j
dimana :
ii. k = proses reptoduksi dari bacteri
iii. l = proses eliminasi dan dispersal dari
bacteri
(a)
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 550
iv. Ci = ukuran langkah/arah secara
random dari tumble.
v. j = pembangkitan yang akan digunakan
untuk menentukan arah setelah terjadi
tumble.
b).Swarming : proses bacteri dalam mencari dan
menemukan nutrisi yang optimum yang
diinginkan, dengan cara membentuk kelompok
(grup) dan bergerak kosentrasi untuk
menemukan nutrisi. Secara metematika
dinyatakan dalam persamaan berikut :
J
cc
(,P(j,k,l)) = J
i
cc
(,
i
(j+1,k,l))
= {-d
attract
.exp(-
attract
.(
m
-
i
m
)
2
} +
{-h
repelent
.exp(-
repelent
.(
m
-
i
m
)
2
}
..................................................... (2-7)
dengan
i. J
cc
(,P(j,k,l)) = nilai cost fuction awal yang
bervariasi terhadap waktu.
:
ii. S = jumlah total bacteri
iii. p = jumlah parameter yang dioptimisasi.
iv. d
attract,

attract,
h
repelent,

repelent =
koefisien-
koefisien yang dibutuhkan untuk
memperkecil perbedaan dalam menentukan
pilihan.
c).Reproduction : proses dimana bacteri yang
tidak sehat dibuang (tidak dipakai) dan bacteri
yang sehat akan membelah menjadi
dua,sehingga jumlah populasi dari bacteri pada
titik tersebut tetap sama.
d).Elimination and dispersal : proses
mengevaluasi kemungkinan bacteri yang hidup
dalam populasi tidak mengalami perubahan,
sehingga kebutuhan nutrisi tetap terpenuhi. Jika
pada proses eliminasi ada bacteri yang tidak
sehat, maka bacteri tersebut dibuang dan
populasi bacteri akan berubah, akibat proses
untuk mendapatkan nutrisi gagal dan kembali
ke proses chemotacxis (a) di atas, demikian
seterusnya sehingga akan diperoleh bakteri
yang mendapatkan nutrisi yang paling sedikit
sebagai solusi optimisasi.

3. IMPLEMENTASI BFO PADA SISTEM
3.1. BFO Algoritma .
Berdasarkan diagram alir yang ditunjukkan
pada Gambar.4, proses optimisasi menggunakan
metode BFO ntuk menemukan parameter lokasi
dan kapasitas dari kapasitor yang akan dipasang
pada sistem.
Proses foraging pada bakteria E-Coli yang
diadaptasi untuk optimisasi terdiri dari empat
proses yaitu chemotaxis, swarming, reproduksi,
dan elimination-dispersal. Untuk inisialisasi awal
dipilih p, S, N
c
, N
s
, N
re
, N
ed
, P
ed
, dan C(i),
i=1,2,...S. Apabila menggunakan proses
swarming, maka juga mengambil parameter dari
fungsi cell-to-cell attractant. Parameter-parameter
yang diberikan akan digunakan. Initial value dari
, 1, 2,...,
i
i S =
harus dipilih. Peningkatan pada
i
secara otomatis akan meningkatkan P.
Langkah-langkah utama proses BFA adalah
sebagai berikut,
1.Elimination and Dispersal Loop, l=l+1;
2.Reproduction Loop, k=k+1;
3.Chemotatic Loop, j=j+1;
a. For i=1,2,...,S,ambil step chemotatic untuk
bakteri i
b. Hitung J(i,j,k,l)= J(i,j,k,l)+ J
cc
(i,j,k,l)
c. J
last
(i,j,k,l)= J(i,j,k,l)
d. Tumble, bangkitkan vektor acak ( )
p
i
e. Move, nyatakan

( 1, , ) ( 1, , )
( )
( )
( ) ( )
i i
T
j k l j k l
i
C i
i i
+ = +

+


f. Hitung,

( , 1, , ) ( , 1, , )
( ( 1, , ), ( 1, , )
i
cc
J i j k l J i j k l
J j k l P j k l
+ = +
+ + +

g. Swim,
i) m=0 (counter dari swim length)
ii) While m<N
s

a) m=m+1
b) If J(i,j+1,k,l)< J
last
(apabila lebih
baik), nyatakan
J
last
= J(i,j+1,k,l), dan nyatakan

( 1, , ) ( 1, , )
( )
( )
( ) ( )
i i
T
j k l j k l
i
C i
i i
+ = +

+


c) Else m= N
s
4. If j<Nc, go to step 3;
5. Reproduction;
6. If k<N
re
, go to step 2;
7. Eliminatioan-dispersal;
8. If l<N
ed
go to step 1, Else end

Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 551
Start
Inisialisasi parameter
dan variabel
Proses Eliminasi dan
dispersal untuk
l = l+1
Jika l > Ned
Proses reproduksi
untuk k = k +1
Stop
Jika k > Nre
No
Yes
Proses chemotactic
Untuk j = j +1
Jika j > Nc
Yes
Yes
No
B
A
A
Cost function, J(i,j,k,l)
evaluasi
(J =J1 + a.J2)

J(i,j) < J(i,j-l)

Swim
SL = SL+1

SL < Ns
Tumble
i > S
B
No
Yes
No

No
Yes
Yes


Gambar 5. : Diagram alir proses BFO

3.2. Inisialisasi variabel BFO :
i. Jumlah populasi bacteri yang digunakan untuk
search = S
ii. Jumlah parameter yang dioptimisasi = p
iii.Jumlah step maksimum swim selama
pengurangan cost function = Ns
iv.Panjang life time bakteri yang diukur dengan
jumlah step chemotactic yang diambil bakteri
selama hidupnya = Nc, dengan catatan (Nc >
Ns)
v. Jumlah step reproduksi = Nre
vi Jumlah elimination and dispersal = Ned
vii.Probabilitas dari elimination and dispersal =
Ped
Lokasi masing-masing bakteri adalah P(p,S,l),
secara random
Dalam simulasi dipilih : Nc = 100, S = 50, Ns
= 4, Nre = 2, Sr = 25, Ned = 5, ped = 0.5, flag = 2,
inisial kandidat = 22 bus.

3.3. Sistem 500 kV-Jamali
Single line diagram dari sistem tenaga listrik
500 kV-JAMALI ditunjukkan pada Gambar 6.

Base yang digunakan pada perhitungan adalah:
a. Base tegangan : 500 kV
b. Base daya : 1000 MVA

Batas tegangan yang diijinkan sesuai standar PLN
:

max min
V V V
i


atau

05 . 1 95 . 0
i
V


Bus-bus yang ada diklasifikasikan sebagai :
a. Slack bus (swing bus): Bus Suralaya.
b. Bus generator: Bus Muaratawar, Bus Cirata,
Bus Saguling, Bus Paiton, Bus Grati, dan Bus
Gresik.
c. Bus beban: Bus Bekasi, Bus Cilegon, Bus
Cawang Bus Kembangan, Bus Gandul, Bus
Bandung, Bus Cibinong, Bus Cibatu, Bus
Maduracan, Bus Pedan, Bus Kediri, Bus
Krian, dan Bus Ungaran.

Kapasitor yang dipasang pada tiap bus
mempunyai batasan maksimal, diasumsikan = 400
MVAR.
Data-data transmisi, beban dan pembangkit dari
sistem 500 kV-Jamali, masing masing
ditunjukkan pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut
ini:



Gambar 6. Diagram segaris sistem 500 kV Jamali

Tabel 1 : Data Jaring Transmisi 500 kV Jamali
Line ij R (pu) X (pu) 1/2 B Tap
1 12 0.00063 0.00701 0.00000 1
2 14 0.00651 0.06258 0.00599 1
3 25 0.01313 0.14693 0.00353 1
4 34 0.00151 0.01693 0.00000 1
5 45 0.00125 0.01198 0.00000 1
6 418 0.00069 0.00667 0.00000 1
7 57 0.00444 0.04268 0.00000 1
8 58 0.00621 0.05968 0.00000 1
9 67 0.00197 0.01896 0.00000 1
10 68 0.00563 0.05405 0.00000 1
11 89 0.00282 0.02711 0.00000 1
12 910 0.00274 0.02632 0.00000 1
13 1011 0.00147 0.01417 0.00000 1

Paito

Grat

Surabaya

Gresi

Tanjung

Ungara

Kedir

Peda

Mandiraca

Sagulin

Tasikmalay
Cirat

Cibat

Muarataw

Bekas

Bandun

Depo

Gandu

Cilego

Suralay

Kembanga

Cawan

Cibinon

1
2
3
4
5
6
7
8
9
1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

2

2

2

2

Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 552
14 1112 0.00196 0.02190 0.00000 1
15 1213 0.00699 0.06717 0.00643 1
16 1314 0.01348 0.12949 0.01239 1
17 1415 0.01353 0.15141 0.00364 1
18 1416 0.01580 0.151784 0.00363 1
19 1420 0.00904 0.086814 0.00000 1
20 1516 0.03754 0.360662 0.00863 1
21 1617 0.00139 0.01340 0.00000 1
22 1623 0.00399 0.04460 0.00000 1
23 1819 0.01406 0.15725 0.01511 1
24 1920 0.01531 0.17129 0.01646 1
25 2021 0.01029 0.11513 0.01107 1
26 2122 0.01029 0.11513 0.01107 1
27 2223 0.00444 0.04962 0.00477 1


Tabel 2.: Data Beban dan Generator Sistem 500 kV Jamali
Bus Nama Bus
Load (Mega) Gen (Mega)
P Q P Q
1 Suralaya 146 43 3098 0.0
2 Cilegon 672 217 0.0 0.0
3 Kembangan 727 249 0.0 0.0
4 Gandul 521 174 0.0 0.0
5 Cibinong 667 206 0.0 0.0
6 Cawang 727 174 0.0 0.0
7 Bekasi 618 163 0.0 0.0
8 Muaratawar 0.0 0.0 1178 0.0
9 Cibatu 787 304 0.0 0.0
10 Cirata 651 234 629 0.0
11 Saguling 0.0 0.0 634 0.0
12 BDG- Selatan 564 336 0.0 0.0
13 Mandirancan 380 130 0.0 0.0
14 Ungaran 314 347 0.0 0.0
15 Tanjung Jati 0.0 0.0 668 0.0
16 SBY - Barat 824 304 0.0 0.0
17 Gresik 201 87 821 0.0
18 Depok 0.0 0.0 0.0 0.0
19 Tasikmalaya 265 16 0.0 0.0
20 Pedan 501 233 0.0 0.0
21 Kediri 343 197 0.0 0.0
22 Paiton 803 260 2806 0.0
23 Grati 125 184 0.0 0.0

4. ANALISIS HASIL SIMULASI
4.1. Pengujian sistem dengan LF-NR [3]
Proses awal menentukan bus-bus kritis yaitu
bus-bus yang memiliki rugi daya terbesar diantara
bus yang ada pada sistem, dengan asumsi pada
sistem belum dipasang alat untuk injeksi daya
reaktif. Hasil dari simulasi dengan Matlab
menunjukkan bahwa bus yang kritis adalah bus 13
(bus Maduracan), bus 14 (bus Ungaran) dan bus
20 (bus Pedan). Untuk minimais rugi daya pada
sistem, maka pada bus 13,14 dan 20 yang akan
dipasang kapasitor.

4.2. Proses BFO algoritma
Proses BFO dilakukan untuk optimisasi
ukuran kapasitor yang akan dipasang pada sistem,
dengan Matlab akan diperoleh hasil berikut :




Tabel.3 : Perbandingan tegangan sebelum dan setelah
dipasang kapasitor

No.
Bus
Nilai tegangan
sebelum
dipasang
kapasitor
Nilai tegangan
setelah
dipasang
kapasitor
dengan GA
Nilai
tegangan
setelah
dipasang
kapasitor
dengan BFO
1 1.020 1.020 1.000
2 1.016 1.016 0.998
3 0.971 0.975 0.968
4 0.977 0.980 0.973
5 0.978 0.981 0.976
6 0.977 0.979 0.976
7 0.974 0.976 0.973
8 1.000 1.000 1.000
9 0.979 0.985 0.985
10 0.970 0.980 0.980
11 0.970 0.980 0.980
12 0.957 0.969 0.972
13 0.945 0.963 0.975
14 0.947 0.964 0.973
15 1.000 1.000 1.000
16 0.993 0.994 0.994
17 1.000 1.000 1.000
18 0.976 0.980 0.973
19 0.956 0.967 0.971
20 0.939 0.958 0.973
21 0.951 0.961 0.969
22 1.000 1.000 1.000
23 1.000 1.000 1.000

Berdasarkan Table.3, menunjukkan nilai tegangan
bus sebelum dan setelah dipasang kapasitor,
secara umum masih memenuhi batas yang
diijinkan PT.PLN yaitu sebesar 5% dari
tegangan nominal atau antara 0,95 s/d 1.05 pu
Perbandingan nilai rata-rata total rugi daya
pada sistem sebelum dan setelah dipasang
Kapasitor, dengan menggunakan metode BFO dan
GA dapat dilihat pada Tabel 4.berikut.
Tabel 4. : Perbandingan Rugi Daya pada Jaring
Transmisi
Rugi
Daya
Sebelum
dipasang
Kapasitor
Metode GA -
Setelah
dipasang
Kapasitor
Metode BFA
Setelah dipasang
Kapasitor
Real
(MW)

93.944 88.379 86.763
Imaginer
(MVAR)

j.774.430 j.713.423 j.694.517

Tabel 5 menunjukkan bahwa pada sistem 500 kV-
Jamali setelah dipasang Kapasitor mempunyai
nilai total rugi-rugi daya yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan sebelum dipasang
Kapasitor.






Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 553
Tabel 5. : Ukuran Kapasitor Terpasang pada Sistem
Bus Kritis
Ukuran
Kapasitor
13
(Maduracan)
14
(Ungaran)
20
(Pedan)
1. Metode GA 105.982
(MVAR)
103.527
(MVAR)
162.721
(MVAR)
2. Metode BFO

247.064
(MVAR)
116.818
(MVAR)
356.428
(MVAR)
Apabila ditinjau dari metoda yang digunakan,
menunjukkan bahwa setelah dipasang Kapasitor,
nilai total rugi-rugi menggunakan metode BFO
lebih rendah dari nilai total rugi daya dengan
menggunakan metode GA

5. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
bahwa untuk nilai tegangan bus rata-rata
memenuhi batas tegangan antara 0.950 pu dan
1.050 pu.
Sebelum dipasang kapasitor nilai rugi daya
total adalah 93.944 Mw, 774.430 MVAR, setelah
dipasang kapasitor menunjukkan penurunan.
Apabila ditinjau dari metode yang digunakan,
metode BFO dapat menurunkan total rugi daya
menjadi 86.763 MW, 694.517 MVAR. Nilai
tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan
metode GA yang hanya menurunkan rugi daya
menjadi 88.379 MW, 713.423 MVAR
Berdasarkan metode, menunjukkan bahwa
metode BFO lebih baik dibandingkan dengan
metode GA. Untuk itu dalam pemasangan
kapasitor pada sistem 500 kV Jamali, dipilih :
- Bus Maduracan : 247.064 MVAR
- Bus Ungaran : 116.818 MVAR
- Bus Pedan : 356.428 MVAR

6. REFERENSI

[1] Arijit Biswas, Sambarta Dasgupta, Swagatam
Das, and Ajith Abraham, Synergy of PSO
and Bacterial Foraging Optimization-A
Comperative Study on Numerical
Benchmarks , E.Corchado et.al : Innovation
in Hybrid Intellegent Systems, ASC 44,
pp.255-263, 2007
[2] Ervianto and Edy, Optimisasi Alokasi
Kapasitor Pada Jaring Tenaga Listrik
Menggunakan Artififisial Imum Sistem
Dengan Metode Negative Selection, Tesis,
ITS..
[3] Hadi Saadat,Power System Analysis, Mc
Graw- Hill, 1999.
[4] Jerome, Efficien Reactive Power
Compensation Algoritma for Distribution
Network, AJSTD, Vol.20, Issue 3 & 4,
pp.373-384, 2003
[5] K.Iba,Reactive power optimization by
genetic algorithm, IEEE Trans. Power Syst.
9 (2) (1994) 685692.
[6] K.Y. Lee, X. Bai, Y.-M. Park, Optimization
method for reactive power planning by using
a modified simple genetic algorithm, IEEE
Trans. Power Syst. 10 (4) (1995) 18431849..
[7] Kevin M. Passino, Biomimicry for
Optimizaation, Control, and Automation,
Dept. Electric Engineering, The Ohio State
University 2015 Neil Avenue, Columbus,
Copyright March, 2003.
[8] M.Tripathy and S.Mishra, Bacteria
Foraging Based Solution to Optimize Both
Real Power Loss and Voltage Staability
Limit , IEEE Transaction on Power
Syatems, Vol.22,No.1, February 2007.
[9] Marwan Rosyadi Optimisasi Kompensasi
Daya Reaktif pada jariong transmisi 500 kV
sistem JAMALI menggunakan Artificial
Immune System melalui Clonal Selection
Algorithm (CSA), Tesis.Prog.Pasca ITS,
2006
[10] Rukmi Hartati dan kawan-kawan,Penerapan
Theorema Fuzzy Untuk Menentukan Lokasi
Pmasangan Kapasitor pada Sistem Distribusi
Primer,Teknologi Elektro, Vol.6, No.2, Juli
2007.
[11] R.Fetea and A.Petroianu, Reactive Power :
A Strange Concept, Departement of
Electrical Engineering,University of Cape
Town Private Bag,7701, Rondebosch, South
Africa
[12] TjahjadiPurwoko,S.Si,M.Si,
FisiologiMikroba, Mikroba, Bumi
Aksara, Jakarta, 2007, ISBN (13) 978-979-
010-011-4.





Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 555
PENERAPAN PROPAGASI MATRIKS UNTUK SIMULASI ARUS LISTRIK
TEROBOSAN PADA STRUKTUR DUA DINDING POTENSIAL

Ratno Nuryadi
Pusat Teknologi Material, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi,
BPPT Gedung II Lt. 22. Jl. M.H. Thamrin No. 8 Jakarta 10340

ratnon@gmail.com


ABSTRAK

Makalah ini membahas kalkulasi arus listrik yang melewati dua dinding potensial berketebalan nanometer dari
material GaAs/Al
x
Ga
1-x
As/GaAs/Al
x
Ga
1-x
As/GaAs. Kalkulasi arus listrik dilakukan dengan melakukan perhitungan
probabilitas terobosan yang berawal dari penyelesaian persamaan Schrodinger melalui propagasi matriks pada
struktur dua dinding potensial tersebut. Pada penyelesaikan persamaan Schrodinger, digunakan metoda propagasi
matriks yang menghasilkan produk simulasi dengan akurasi tinggi. Hal ini diketahui dari munculnya efek fisika
kuantum berupa interferensi gelombang elektron pada level energy diskrit, yang mana hasil semacam ini tidak
didapatkan ketika dilakukan perhitungan dengan metoda klasik, yaitu metoda WKB (Wentzel-Kramers-Brillouin).
Karakteristik arus listrik-tegangan pada simulasi ini juga menghasilkan negative differential resistance yang
merupakan karakter dasar dari resonance tunneling diode (RTD). Hasil simulasi ini mendekati hasil-hasil penelitian
sebelumnya dan menunjukkan bahwa metoda perhitungan ini akurat dan sangat berguna untuk menerangkan
fenomena fisika yang terjadi pada divais nanoelektronika, khususnya resonance tunneling diode dan divais lainnya
yang berbasis efek terobosan (tunneling effect).

Keywords: propagasi matriks, arus listrik terobosan, dua dinding potensial, resonance tunneling diode


PENDAHULUAN

Sejak ditemukan oleh Tsu dan Esaki pada tahun
1973 [Tsu dan Esaki, 1973], resonance tunneling
diode (RTD) telah menjadi perhatian yang
menarik bagi para peneliti karena potensi
aplikasinya pada divais elektronika berkecepatan
tinggi. RTD mempunyai struktur dasar dua
dinding potensial yang mengapit satu sumur
potensial, dan bekerja berbasis pada efek
terobosan pada mekanika kuantum. Karakteristik
arus listrik-tegangan dari RTD menghasilkan
karakter negative differential resistance, yang
muncul karena interferensi gelombang elektron
pada level energi diskrit pada sumur potensial
[Tsu dan Esaki, 1973].
Selama ini telah dikembangkan secara
eksperimental RTD berbasis pada berbagai
material seperti Si [Gennser, 1990], Si/SiGe
[Ismail, 1991] dan InAlAs/InGaAs [Day, 1990].
Selain riset RTD berbasis eksperimental, riset
berbasis teori dan simulasi menjadi hal yang
sangat penting dalam menjelaskan aspek
fenomena yang terjadi dalam divais [Ando dan
Itoh, 1987; Chandra dan Eastman, 1982; Lui dan
Fukuma, 1986]. Riset ini juga sangat penting
dalam proses disain dan analisis divais RTD
sebelum memasuki tahap eksperimen untuk
mengurangi biaya riset berbasis eksperimen. Satu
dari sekian banyak tema dalam riset simulasi RTD
adalah bagaimana menentukan karakteristik
transport elektronik RTD. Dengan kata lain,
metode perhitungan arus listrik yang mengalir
melalui divais RTD merupakan tema penting.
Selama ini telah ada beberapa penelitian yang
membahas bagaimana menghitung arus listrik
RTD. Yang banyak menjadi rujukan adalah
metode perhitungan yang dipakai oleh Ando dan
Itoh, yang telah berhasil menghitung arus listrik
RTD berbasis propagasi matriks [Ando dan Itoh,
1987; Simion dan Ciucu, 2007; Zarifkar dan
Bagherabadi, 2008].
Makalah ini membahas kalkulasi arus listrik yang
mengalir pada divais RTD dengan menggunakan
metoda propagasi matriks. Metode ini sangat
praktis dan mempunyai akurasi yang tinggi,
karena bisa menghasilkan karakteristik negative
differential resistance yang merupakan karakteristik
dasar dari RTD. Perhitungan arus listrik ini
dihasilkan dari perhitungan probabilitas
terobosan, distribusi fungsi Fermi dan kerapatan
keadaan melalui kalkulasi numerik. Kalkulasi
numerik dilakukan dengan program MATLAB
pada Windows XP.

PROPAGASI MATRIKS

Untuk menghitung probabilitas terobosan
digunakan metoda propagasi matriks dalam
penyelesaian persamaan Schrodinger [Ando dan
Itoh, 1987; Simion dan Ciucu, 2007; Zarifkar dan
Bagherabadi, 2008; Levi, 2003]. Metode ini
berawal dari persamaan Schrodinger pada dimensi
satu sebagaimana persamaan di bawah ini.

Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 556


2
2

2

2
+()() = (), (1)
di mana m masa efektif elektron, konstanta
Planck, fungsi gelombang, V potensial energy
dan E adalah energi elektron.
Memperhatikan Gambar 1, fungsi gelombang
j

pada posisi j, yang merefleksikan sebuah elektron
dengan energi E yang bergerak tegak lurus pada
dinding, dapat ditulis sebagai:

() =

. (2)

di mana,

=
2

2
. (3)

dan adalah konstanta Planck. ( ) x ik A
j j
exp
adalah gelombang yang bergerak ke kanan,
sedangkan ( ) x ik B
j j
exp adalah gelombang
yang bergerak ke kiri.
Gambar 1. Diagram potensial energy dengan
struktur dinding potensial ganda (garis normal)
dan pendekatan fungsi potensial (garis putus-
putus).

Dengan menimbang kondisi batas, di mana
j

dan ( )( ) dx d m
j j

*
1 akan bersifat kontinyu
pada batas
1
=
j
x x , maka hubungan propagasi
matriks amplituda gelombang
j
A dan
j
B pada
persamaan (2) antara posisi awal
0
x dan posisi x
pada titik j,
j
x bisa ditulis sebagai berikut,

|
|
.
|

\
|
=
|
|
.
|

\
|

0
0
0 2 1
...
A
B
j j
A
B
M M M
j
j
(4)
di mana,

(
(

+
+

1
1
1
1
1
1
1
1
) 1 (
) 1 (
) 1 (
) 1 (
1
2
1
j
x
j
K i
j
j
x
j
K i
j
j
x
j
K i
j
j
x
j
K i
j
e S
e S
e S
e S
j
M


dan
j
j
j
j
j
k
k
m
m
S
1
*
1
*
1

=

) (
1

=
j j j
k k K .

Karena probabilitas terobosan adalah
( )
2
0 1 0 1
A A v v T
N N + +
= , di mana v
0
dan v
N+1

masing-masing adalah kecepatan elektron pada
posisi x
0
dan x
N+1
, maka untuk menentukan
hubungan antara A
N+1
dan A
0
, persamaan (4) bisa
diubah menjadi,

|
|
.
|

\
|
=
|
|
.
|

\
|

+
+
0
0
1
1
0 1
...
A
B
N N
A
B
M M M
N
N
(5)

|
|
.
|

\
|
|
|
.
|

\
|
=
0
0
12
22
11
21
A
B
M
M
M
M
(6)

di mana,
|
|
.
|

\
|
=

12
22
11
21
0 1
...
M
M
M
M
N N
M M M
(7)

Di sini, dengan mengambil kondisi bahwa
amplituda A
0
=1 dan B
N+1
=0 (artinya tidak ada
refleksi gelombang pada posisi N+1), maka
persamaan (6) menjadi

|
|
.
|

\
|
|
|
.
|

\
|
=
|
.
|

\
|
+
1
0
0
12
22
11
21
1
B
M
M
M
M
A
N
(8)

Dari hubungan persamaan (4) sampai dengan (8),
harga A
N+1
bisa ditulis

Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 557
22 1
0
*
0
*
1
1
1
M k
k
m
m
A
N
N
N
+
+
+
= , (9)

dan probabilitas terobosan T menjadi
2
1
0
1
*
1
*
0
+
+
+
=
N
N
N
A
k
k
m
m
T
. (10)

PROBABILITAS TEROBOSAN DENGAN
METODE WKB

Persamaan (10) merupakan hasil akhir
probabilitas terobosan yang dihitung berdasarkan
persamaan Schrodinger pada persamaan (1). Pada
simulasi di makalah ini akan dibandingkan hasil
probabilitas terobosan tersebut dengan nilai
probabilitas yang dihitung berdasarkan metode
klasik, yaitu metode WKB (Wentzel-Kramers-
Brillouin). Pada metode WKB, fungsi gelombang
pada setiap titik x di dalam dinding potensial
dinyatakan sebagai exp((x)x) dan (x)
merupakan konstanta peluruhan 2m(U(x) E)/
, maka probabilitas terobosan dinyatakan dengan
persamaan sebagai berikut [Simmons, 1963],

= exp2 2m(U(x) E)/


x
2
x
1
. (11)

di mana, w adalah tebal dinding potensial dan x
1
,
x
2
adalah batas awal dan akhir dalam sumbu x saat
penyelesaian integral.

PERHITUNGAN ARUS LISTRIK

Arus listrik yang mengalir menerobos dinding
potensial bisa dihitung dari perkalian antara
jumlah elektron yang mengalir N dan muatan
elektron q, sehingga menjadi qN. Dalam hal ini N
merupakan net jumlah elektron yang mengalir
dari kiri ke kanan (

) dan jumlah electron yang


mengalir dari kanan ke kiri (

) , sehingga
=

. Merujuk pada makalah John G.


Simmons, N dinyatakan dengan persamaan
sebagai berikut [Simmons, 1963],

= (

0


4

3

[() ( +)]

, (12)

di mana nilai () adalah distribusi fungsi Fermi
() = 1 [1 + exp(

)] . Maka kerapatan
arus listrik (current density) J bisa didapatkan dari
persamaan,

= . (13)


HASIL DAN DISKUSI

Simulasi numerik dilakukan dengan program
MATLAB yang diinstal pada Windows XP.
Pertama dibahas hasil perhitungan probabilitas
terobosan dinding potensial ganda yang terdiri
atas struktur material GaAs/Al
x
Ga
1-
x
As/GaAs/Al
x
Ga
1-x
As/GaAs. Dinding potensial
Al
x
Ga
1-x
As mempunyai tinggi 1.355 eV (nilai
x=1) dan ketebalan 3.1 nm, sedangkan sumur
potensial GaAs yang diapit oleh kedua lapisan
Al
x
Ga
1-x
As mempunyai lebar 7.0 nm. Masa
efektif elektron (m
eff
) sebesar 0.07m
0
, di mana m
0

adalah masa elektron pada ruang gempa.
Diasumsikan bahwa lapisan GaAs di sebelah kiri
dan sebelah kanan bertipe n dengan konsentrasi
doping phospor yang tinggi, sehingga tidak
terbentuk daerah akumulasi di lapisan GaAs
sebelah kiri dan daerah deplesi di lapisan GaAs
sebelah kanan. Gambar 2 menunjukkan hasil
simulasi probabilitas terobosan dari struktur
dinding potensial ganda dengan parameter
sebagaimana dijelaskan sebelumnya dalam fungsi
energi. Terlihat nyata bahwa probabilitas
terobosan semakin besar ketika energi elektron
dinaikkan. Yang lebih menakjubkan adalah
adanya 4 buah nilai puncak yang terlihat. Harga
probabilitas yang tinggi ini disebabkan karena
interferensi gelombang refleksi di dalam sumur
potensial yang kemudian dikenal sebagai efek
resonance tunneling. Level energi terjadinya
interferensi gelombang ini bersifat diskrit, dan
selanjutnya secara lebih mudah bisa digambarkan
sebagaimana Gambar 3.



Gambar 2. (a) Probabilitas terobosan T dalam
fungsi energi E pada struktur dinding potensial
ganda. Dinding potensial AlGaAs mempunyai
tinggi 1.355 eV dan ketebalan 3.1 nm, sedangkan
sumur potensial GaAs yang diapit oleh kedua
lapisan AlGaAs mempunyai lebar 7.0 nm.

Selanjutnya dilakukan perhitungan arus listrik
yang melewati struktur potensial ganda tersebut
dengan memberi tegangan 0 Volt pada lapisan
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 558
GaAs paling dan tegangan sebesar V Volt pada
lapisan GaAs paling kanan. Diagram potensial
yang terbentuk sebagaimana digambarkan pada
Gambar 4. Hasil dari simulasi arus listrik ini dapat
dilihat pada Gambar 5. Pada simulasi ini, dinding
potensial Al
x
Ga
1-x
As mempunyai tinggi 0.3767
eV (nilai x=0.5) dan ketebalan 5 nm, sedangkan
sumur potensial GaAs yang diapit oleh kedua
lapisan Al
x
Ga
1-x
As mempunyai lebar 5 nm.
Terlihat hasil bahwa arus listrik membesar ketika
tegangan V diperbesar. Bisa sangat jelas juga
terlihat nilai-nilai puncak yang dikenal dengan
negative differential resistance (NDR),
sebagaimana yang terlihat pada grafik garis
normal. NDR adalah karakteristik dasar dari
divais resonance tunneling diode (RTD). Karakter
NDR ini merupakan refleksi dari nilai probabilitas
terobosan yang dihitung dengan cara propagasi
matriks sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya
pada persamaan (10). Sedangkan grafik garis
putus-putus merupakan arus listrik yang
perhitungan probabilitas terobosannya dilakukan
dengan metode WKB. Hasil simulasi ini
menunjukkan perbedaan hasil yang jelas antara
metode penyelesaian persamaan Schrodinger dan
metode WKB.



Gambar 3. Struktur dinding potensial ganda
dengan sumur potensial yang diapitnya. Energi
distrit E
1
, E
2
, E
3
dan E
4
terbentuk di dalam sumur
potensial.


Gambar 4. Diagram potensial energi ketika
tegangan 0 Volt diberikan pada lapisan GaAs
paling dan tegangan sebesar V Volt pada lapisan
GaAs paling kanan.


Gambar 5. Hasil perhitungan arus listrik versus
tegangan yang dilakukan dengan metode
penyelesaian persamaan Schrodinger (garis
normal) dan melalui metode WKB (garis putus-
putus).

Untuk konfirmasi bahwa karakter NDR
merupakan refleksi dari nilai probabilitas
terobosan, dilakukan kalkulasi probabilitas
terobosan berbasis persamaan Schrodinger dan
metode WKB sebagaimana Gambar 6. Terlihat
pada Gambar 6 bahwa grafik garis normal yang
merupakan hasil kalkulasi berbasis persamaan
Schrodinger mempunyai bentuk yang sama
dengan grafik arus listrik garis normal pada
Gambar 5. Demikian juga berlaku pada grafik
probabilitas terobosan berbasis perhitungan
dengan metode WKB. Hasil simulasi
menunjukkan bahwa metode perhitungan arus
listrik berbasis propagasi matriks menghasilkan
nilai yang akurat sebagaimana yang telah
dipublikasikan sebelumnya.



Gambar 6. Hasil perhitungan probabilitas
terobosan versus tegangan yang dilakukan dengan
metode penyelesaian persamaan Schrodinger
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 559
(garis normal) dan melalui metode WKB (garis
putus-putus).


KESIMPULAN

Makalah ini telah memaparkan kalkulasi arus
listrik yang melewati divais resonance tunneling
diode (RTD) yang berstruktur dua dinding
potensial dan satu sumur potensial yang diapitnya.
RTD terdisi atas material GaAs/Al
x
Ga
1-
x
As/GaAs/Al
x
Ga
1-x
As/GaAs. Didapatkan hasil
bahwa karakter khusus yang muncul pada arus
lisrik, yaitu sifat negative differential resistance
(NDR), merupakan refleksi dari nilai probabilitas
terobosan yang dihitung berbasis pada persamaan
Schrodinger. Kesimpulan ini bisa didapatkan
dengan membandingkan hasil arus listrik yang
dihitung berdasarkan persamaan Schrodinger dan
metode WKB. Perhitungan probabilitas terobosan
berbasis persamaan Schrodinger dilakukan
dengan propagasi matriks. Metode perhitungan
dengan propagasi matriks ini bisa diaplikasikan
pada struktur yang lebih luas, seperti struktur tiga
dinding potensial dan struktur superlattice.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Ando, Y. dan Itoh, T. 1987. Calculation of
transmission tunneling current across
arbitrary potential barriers, Journal of
Applied Physics 61(4), 1497-1502.
[2] Chandra, A dan Eastman, L.F. 1982.
Quantum mechanical reflection at triangular
``planar-doped'' potential barriers for
transistors, Journal of Applied Physics 53,
9165-9169.
[3] Day, D. J. 1990. Double quantum well
resonant tunneling diodes, Applied Physics
Letters, 57, 1260-1261.
[4] Gennser, U. 1990. Resonant tunneling of
holes through silicon barriers. Journal of
Vacuum Science & Technology B:
Microelectronics and Nanometer Structures,
8, 210-213.
[5] Ismail, K. 1991. Electron resonant tunneling
in Si/SiGe double barrier diodes, Applied
Physics Letters, 59, 973-975.
[6] Levi, A.F.J. 2003. Applied quantum
mechanics, Cambridge University Press.
[7] Lui, W.W. dan Fukuma, M. 1986. Exact
solution of the Schrodinger equation across
an arbitrary one-dimensional piecewise-linear
potential barrier, Journal of Applied Physics
60, 1555-1559.
[8] Simion, C. E. dan Ciucu, C. I. 2007. Triple
barrier resonant tunneling : A transfer matrix
approach, Romanian Reports in Physics 59(3),
803-814.
[9] Simmons, J.G. 1963. Generalized Formula
for the Electric Tunnel Effect between
Similar Electrodes Separated by a Thin
Insulating Film, Journal of Applied Physics
34(6), 1793-1803.
[10] Tsu, R. dan Esaki, L. 1973. Tunneling in a
finite superlattice, Applied Physics Letters 22,
562-564.
[11] Zarifkar, A. dan Bagherabadi, A.M. 2008.
Numerical Analysis of Triple Barrier GaAs/
AlxGa1-xAs Resonant Tunneling Structure
Using PMM Approach, IJCSNS International
Journal of Computer Science and Network
Security, 8(6), 266-270.




Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 561
ADAPTI VE PREDI CTI VE CONTROL BERBASIS ANFIS-PI UNTUK
PENGATURAN TEMPERATUR HEAT EXCHANGER

Ruslim
1
, Rusdhianto Effendie
2

1
Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Borneo Tarakan
2
Jurusan Teknik Eelektro, Fakultas Teknologi Industri, ITS Surabaya

ruslim_s@yahoo.co.id


ABSTRAK

Permasalahan yang ada pada proses pengaturan temperatur Heat Exchanger adalah terbatasnya area kerja sensor dan
aktuator pada plant tersebut. Keterbatasan area kerja ini akan menyebabkan keterlambatan respon dari sistem kontrol
jika kontroler hanya berbasis pada sistem kontrol PID biasa. Pada penelitian ini dikembangkan sebuah Model
Predictive Control menggunakan algoritma Intelligent Control System dengan fokus kajian dengan topik Adaptive
Predictive Control berbasis Neuro Fuzzy Inference System (ANFIS) yang dikombinasikan dengan Proportional
Integral (PI) untuk proses pengaturan temperatur Heat Exchanger. Kontroler yang didesain kemudian diujikan pada
model plant Heat Exchanger dari Temperature Process Rig Trainer 38-600 pada kondisi setpoint dan beban plant
yang beruba-ubah. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa kontroler yang telah didesain mampu berdaptasi dengan
baik pada kondisi tersebut, di mana tracking error yang terjadi kurang dari 1,4%, dan tidak terjadi osilasi pada sinyal
respon dari plant.

Keywords: predictive control, ANFIS-PI predictive


PENDAHULUAN

Heat exchanger merupakan suatu alat untuk
proses pertukaran panas, berfungsi untuk
memindahkan panas antara dua fluida yang
berbeda temperatur dan dipisahkan oleh suatu
sekat pemisah. Heat Exchanger memegang
peranan sangat penting pada industri pengolahan
yang mempergunakan atau memproses energi.
Proses perpindahan panas ini perlu untuk
dikontrol agar diperoleh temperatur fluida sesuai
dengan kriteria yang diinginkan, dan pemanfaatan
sumber energi yang tersedia benar-benar dapat
lebih optimal.
Untuk mencapai kriteria sebagaimana dimaksud
diatas, terdapat permasalahan yang muncul.
Masalah ini adalah akibat dari terbatasnya area
kerja sensor dan aktuator pada plant Heat
Exchanger. Keterbatasan area kerja ini akan
menyebabkan keterlambatan respon dari sistem
kontrol jika kontroler hanya berbasis pada sistem
kontrol PID biasa, dan salah satu teknik yang bisa
dikembangkan untuk mengatasi kelemahan sistem
tersebut adalah dengan menggunakan kontroler
model prediksi (Model Predictive Control).
Kontroler model prediksi merupakan jenis sistem
kontrol yang didesain berdasarkan model suatu
proses. Model tersebut digunakan untuk
menghitung sejumlah nilai prediksi keluaran
proses. Berdasarkan sejumlah nilai prediksi
tersebut, sinyal kontroler yang akan diberikan ke
proses dihitung dengan melakukan minimalisasi
suatu fungsi kriteria, sehingga selisih antara nilai
prediksi keluaran proses dengan sejumlah
masukan referensi yang bersesuaian adalah
minimal[5].
Biasanya model berbasis kontrol prediksi (Model
Based Predictive Control) menggunakan model
linier dengan algoritma on-line least square untuk
menentukan parameter. Akan tetapi Heat
Exchanger memiliki proses yang sangat tidak
linier, sehingga metode ini akan sulit jika ingin
diterapkan secara langsung pada proses tersebut
[10]. Oleh karena itu diperlukan beberapa
pengembangan dalam mendesain model sistem
kontrol berbasis kontrol prediksi tersebut.
Sebuah model yang dapat menghasilkan nilai
prediksi dengan tepat akan dapat menghasilkan
keluaran proses yang tepat pula jika ia menerima
masukan yang sama seperti pada proses, namun
demikian terkadang Heat Exchanger juga harus
bekerja pada beban bervariasi yang akan
menyebabkan terjadinya perubahan parameter
plant tersebut. Ketika nilai prediksi tidak lagi
sesuai dengan yang diharapkan akibat parameter
model yang tidak dapat menyesuaikan, maka
perlu ditambahkan mekanisme adaptasi yang
dapat menyesuaikan model dari error melalui
perbandingan antara proses dan keluaran model.
Pada penelitian ini dikembangkan sebuah sistem
kontrol yang mampu memprediksi nilai keluaran
dari Heat Exhcanger serta mampu beradaptasi
dengan baik jika terjadi perubahan beban pada
plant, dimana sinyal respon tetap dapat terjaga
mengikuti trayektori nilai setpoint yang diberikan.
Sistem kontrol prediksi adaptif dirancang
sedemikian rupa dengan menggunakan komputer
yang berbasis Sistem Inteligent Control, yaitu

Teknik

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 562

Gambar 1. Blok diagram Kontrol Prediksi Adaptif Berbasis ANFIS-PI

Adaptive Neuro Fuzzy Inference System
(ANFIS) yang dikombinasikan dengan kontroler
Proportional Integral (PI).


HEAT EXCHANGER

Plant Heat Exchanger yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Temperature Process Rig
Trainer 38-600, yang digunakan sebagai trainer
dalam proses pengendalian temperatur secara real.
Pada plant terdapat dua aliran fluida dengan
temperatur yang berbeda, yaitu aliran fluida
bertemperatur tinggi (primary flow), dan fluida
bertemperatur rendah (secondary flow). Proses
kontrol temperatur dilakukan dengan cara
mengatur aliran kedua jenis fluida tersebut
menggunakan servo valve. Model matematis
Heat Exhanger dari Temperature Process Rig
Trainer 38-600 adalah:
1 009566 , 8 03829 , 16
9538 , 0
2
+ +
=
s s
G (1)
untuk beban nominal, dan
1 1574 , 4 321 , 4
5395 , 0
2
+ +
=
s s
G (2)
untuk beban bertambah. Model matematis plant
diperoleh dari hasil identifikasi statis dengan
metode Strejc [1].


DESAIN KONTROLER

Adaptive Predictive Control berbasis Adaptive
Neuro Fuzzy Inference System Proportional
Integral (ANFIS-PI) yang dikembangkan dalam
penelitian ini adalah sebagaimana yang
dipelihatkan pada blok diagram Gambar 1.
1) Arsitektur ANFI S
Arsitektur ANFIS yang dirancang untuk
kebutuhan desain kontroler dan pemodelan sistem
adalah sebagimana terlihat pada Gambar 2.
Jumlah variabel masukan pada ANFIS terdiri dari
empat variabel masukan. Struktur dari model
ANFIS yang digunakan tersebut adalah
berdasarkan pada [7]:
Model fuzzy Sugeno orde-satu, di mana bagian
consequent dari aturan fuzzy if-then adalah
persamaan linier.
Operator T-norm yang membentuk fuzzy AND
adalah keluaran aljabar.
Tipe fungsi kenggotaan dari masukan adalah
fungsi generalized bell yang merupakan
persamaan yang tidak linier.

a. Layer-1
Membangkitkan derajat keanggotaan. Dari
arsitektur ANFIS yang terlihat pada Gambar 2,
derajat kenggotaan yang akan dibangkitkan
adalah [3, 11]:
16 15, 14, 13, untuk ), (
atau 12 11, 10, 9, untuk ), (
atau 7,8 6, 5, untuk ), (
atau 3,4 2, 1, untuk ), (
3 12 ,
3 8 ,
2 4 ,
1 ,
= =
= =
= =
= =

i x O
i x O
i x O
i x O
i D i l
i C i l
i B i l
i A i l

(3)
dimana x
1
, x
2
, x
3
dan x
4
adalah masukan pada node
i dan A
i
, B
i-4
, C
i-8
dan D
i-12
adalah fuzzy set yang
berhubungan dengan node ini yang berbetnuk
fungsi generalized bell [3,12]:

i
b
i
i
A
a
c x
x
2
1
1
) (

+
= (4)
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 563


Gambar 2. Arsitektur ANFIS dengan empat variabel masukan dan empat aturan

dimana a
i
, b
i
, dan c
i
adalah parameter-parameter
dari fungsi keanggotaan yang disebut sebagai
parameter premise. Pada penelitian ini nilai b
i

ditentukan sama dengan 1.

b. Layer-2
Membangkit firing strength dari suatu aturan
yaitu dengan mengalikan setiap sinyal masukan,
sebagai berikut:
) ( ) (
) ( ) (
4 3
2 1 , 2
x x
x x w O
i D i C
i B i A i i

= =
(5)
dimana i=1, ..., 4.

c. Layer-3
Bagian untuk menghasilkan keluaran yang
menormalkan firing strength, sebagai berikut:

4 3 2 1
, 3
w w w w
wi
w O
i i
+ + +
= = (6)
dimana i=1, ..., 4.

d. Layer-4
Menghitung keluaran kaidah berdasarkan
parameter consequent. Dari Gambar 2 ditentukan
parameter-parameter consequent adalah p
i
, q
i
, r
i
,
s
i
, t
i
. Maka persamaan pada layer-4 ini adalah:
)
(
3
3 2 1 , 4
i i
i i i
i
i
i
i
t x s
x r x q x p w f w O
+
+ + + = =
(7)

e. Layer-5
Menghitung sinyal keluaran ANFIS dengan
menjumlahkan semua sinyal yang masuk:

= =
i
i
i
i i
w
f w
fi wi O


5
(8)

2) Algoritma Pembelajaran Hybrid
Proses adaptasi yang terjadi dalam sistem ANFIS
dikenal juga dengan pembelajaran. Parameter
ANFIS selama proses belajar akan diperbaharui
menggunakan algoritma pembelajaran hybrid.
Algoritma ini terdiri dari dua bagian yaitu bagian
arah maju dan bagian arah mundur. Pada bagian
arah maju, proses adaptasi dilakukan
menggunakan metode LSE dan terjadi pada
parameter consequent. Sedangkan pada bagian
arah mundur, proses adaptasi dilakukan
menggunakan metode Gradient Descent (Back-
Propagation) dan terjadi pada parameter premise.

a. Bagian Arah Maju
Ketika nilai parameter-parameter bagian premise
telah ditentukan, maka total keluaran dapat
dinyatakan sebagai kombinasi linier dari
parameter-parameter consequent.
2
4 3 2 1
2
1
4 3 2 1
1
f
w w w w
w
f
w w w w
w
f
+ + +
+
+ + +
=
(9)
4 4 4
4
4 3
4
4 2
4
4 1
4
3
3
3 4
3
3 3
3
3 2
3
3 1
3
2
2
2 4
2
2 3
2
2 2
2
2 1
2
1
1
1 4
1
1 3
1
1 2
1
1 1
1
4
4 3 2 1
4
3
4 3 2 1
3
) ( ) ) ( ) ( ) (
) ( ) ( ) ( ) (
) ( ) ( ) ( ) (
) ( ) ( ) ( ) (
) ( ) ( ) ( ) (

t w s x w r x w q x w
p x w t w s x w r x w
q x w p x w t w s x w
r x w q x w p x w t w
s x w r x w q x w p x w
f
w w w w
w
f
w w w w
w
+ + +
+ + + +
+ + + +
+ + + +
+ + + + =
+ + +
+
+ + +
+

di mana linier pada parameter consequent p
1
, q
1
,
r
1
, s
1
, t
1
, p
2
, q
2
, r
2
, s
2
, t
2
, p
3
, q
3
, r
3,
s
3
, t
3
, dan p
4
, q
4
,
r
4,
s
4
, t
4
.
X f = (10)
dimana X adalah matrik nilai input system, dan
adalah matrik nilai parameter system. Jika matrik
X dapat dibalik, maka
f X
1
= (11)
Dengan menggunakan metode invers dan dengan
mengasumsikan jumlah baris dari pasangan X dan
f adalah k, maka diperoleh nilai parameter ke-k
(
k
):
Teknik

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 564
f X X X
T T
k
) (
1
= (12)
Karena jumlah parameter ada sebanyak n, maka
dapat diselesaikan matrik n x n dengan metode
invers sebagai berikut:
1
) (

=
n
T
n n
X X P (13)
f X P
T
n n n
= (14)
Dengan LSE rekursif, selanjutnya iterasi dimulai
dari data ke (n+1), dengan nilai P
k+1
dan
k+1

dapat dihitung sebagai berikut:
T
k k
k
T
k
k
X P X
X X P
P P
) 1 ( 2 0 ) 1 ( 2
) 1 ( 2 ) 1 ( 2 0
0 1
1

+ +
+ +
+
+
=
(15)
) (
0 ) 1 ( 2 1 ) 1 ( 2 1 0 1

+ + + + +
+ =
k k
T
k k k
X y X P
(16)
Pada penelitian ini nilai P
0
dan
0
merupakan nilai
awal yang ditentukan secara acak.

b. Bagian Arah Mundur
Pada bagian mundur, sinyal error (E) dipropagasi
mundur dan parameter-parameter premise
diperbaharui dengan Gradient Descent.
ij
ij ij
a
E
t a t a

+ = + ) ( ) 1 ( (17)
di mana adalah laju pembelajaran untuk a
ij
.
Kaidah berantai yang digunakan untuk
menghitung turunan parsial digunakan untuk
memperbaharui parameter fungsi keanggotaan.
ij
ij
ij
i
i
i
i ij
a
w
w
f
f
f
f
E
a
E

(18)
Turunan parsial diperoleh sebagai
2
) (
2
1

= f f E , sehingga
e f f
f
E
= =


) ( (19)

=
=
n
i
i
f f
1
, sehingga
1 =

i
f
f
(20)
) (
3 2 1
1
i i i i
n
i
i
i
s x r x q x p
w
w
fi + + + =

=
, sehingga

=
+ + +
=

n
i
i
i i i i
i
i
w
f s x r x q x p
w
f
1
3 2 1
) (
(21)

=
=
m
j
Aji i
w
1
, sehingga
ij
i
ij
i
w w

=

(22)
Turunan parsial yang terakhir tergantung pada
tipe dari fungsi keanggotaan yang digunakan.
Parameter-parameter pada fungsi keanggotaan
yang lain diperbaharui dengan cara yang sama.
Gradient kemudian diperoleh sebagai berikut:
ij
ij
ij
i
n
i
i
i i i i
ij
a
w
w
f s x r x q x p
e
a
E

+ + +
=

1
3 2 1
) (
(23)
Sebelum melakukan proses pembelajaran, harus
didefinisikan nilai awal dari parameter-parameter
premise a, b, dan c.

3) Model Prediksi Dengan ANFI S
Model dinamik dari sistem Heat Exchanger dalam
kasus ini diperlukan agar sistem tersebut dapat
dikendalikan. Jika terjadi perubahan beban plant,
parameter plant tersebut kemungkinan akan
berubah dari kondisi awal. Disisi lain parameter-
parameter ini akan berpengaruh pada nilai
keluaran prediksi dari sistem, yang akan
mempengaruhi pengendalian sistem secara
keseluruhan. Hubungan proses dari sistem
tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Dengan
adanya pemodelan sistem ini, maka setiap
perubahan nilai parameter-parameter plant yang
diakibatkan oleh perubahan beban plant, dapat
didapatkan melalui proses pembelajaran dari
pemodelan plant Heat Excahnger. Dari parameter
yang didapat kemudian nilai keluaran prediksi
dari sistem dapat diketahui.
Salah satu model standar yang biasa digunakan
untuk merepresentasikan sistem yang tidak linier
dalam waktu diskrit secara umum adalah model
Nonlinear Autoregressive-Moving Average
(NARMA). Bentuk persamaan dari model ini
adalah:
)] 1 ( ),...., 1 ( ), (
), 1 ( ),...., 1 ( ), ( [ ) (
+
+ = +
n k u k u k u
n k y k y k y N d k y
(24)
di mana N() adalah suatu fungsi yang tidak linier,
dengan d adalah jumlah langkah didepan nilai
keluaran y(k) yang diprediksi, u(k) adalah
masukan ke sistem, dan y(k) adalah keluaran dari
sistem.
Sebuah model berbasis ANFIS yang berhubungan
dengan persamaan (24) diatas dapat diperoleh
dengan memperbaiki nilai parameter-parameter
model plant baik parameter premise maupun
cosequent dengan jalan menggeser waktu tunda
untuk masukan ANFIS sebesar waktu prediksi
yang dinginkan. Parameter diperbaiki sedemikian
rupa sehigga nilai keluraran model dari plant
) ( k y sama dengan keluaran plant y(k). Dari
persamaan (24) diatas, keluaran dari model
ANFIS pada waktu (k) diberikan oleh:
)] 1 ( ),...., 1 ( ), (
), 1 ( ),...., 1 ( ), ( [ ) (
+
+ =
n d k u d k u d k u
n d k y d k y d k y F k y
(25)
di mana F(.) adalah fungsi model identifikasi dari
plant.



Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 565

Gambar 3. Kontrol adaptif dengan model reference

4) Model Invers Dengan ANFI S
Model invers adalah kebalikan dari pemodel
plant. Fungsi dari model invers dalam kasus ini
adalah untuk memperbaiki nilai parameter-
parameter invers baik parameter premise maupun
cosequent dari plant sedemikian rupa sehingga
sinyal u
m
(k-1) dari model invers sama dengan
sinyal u(k-1) dari keluaran kontroler. Model
struktur yang digunakan adalah sama seperti pada
identifikasi model plant, sehingga:
)], 1 ( ),...., 1 (
) 1 ( ),...., 1 ( ), ( [ ) (
+
+ =
n d k u d k u
n d k y d k y d k y H d k u
(26)
di mana H(.) adalah fungsi model invers dari
plant.

5) Kontroler Neuro Fuzzy
Kontroler Neuro Fuzzy adalah bagian yang
melakukan proses untuk menentukan nilai
keluaran dari sinyal kontrol u(k). Besarnya nilai
dari sinyal ditentukan oleh parameter-parameter
kontroler Neuro Fuzzy, nilai masukan yang
berasal dari output model y
m
, sinyal keluaran
sistem y(k) serta sinyal kontrol u(k).
Pada kasus kontrol prediksi yang dibahas ini,
untuk menghasilkan keluaran sisten sesuai dengan
yang diinginkan, maka paramater kontroler Neuro
Fuazzy harus diperbaiki sedemikian rupa,
sehingga nilai dari keluaran sistem y(k) sama
dengan nilai referensi y
r
(k+1). Namun demikian
dalam struktur kontroler yang dirancang ini,
proses pembelajaran untuk memperbaiki
parameter kontroler tidak terjadi pada bagian
kontroler. Parameter-parameter kontroler diambil
secara online dari bagian invers model plant yang
melakukan proses pembelajaran untuk mencari
nilai ) 1 ( k u yang mendekati nilai u(k-1),
sehingga besarnya sinyal kontroler yang
dihasilkan oleh kontroler Neuro Fuzzy adalah:
)] 1 ( ),...., 1 (
), 1 ( ),...., 1 ( ), ( ), ( [ ) (
+
+ + =
n k u k u
n k y k y k y d k y G k u
m
(27)
di mana G(.) adalah fungsi kontroler sistem.

6) Kontroler Proportional Integral (PI )
Fungsi dari kontroler PI pada sistem ini adalah
untuk menyempurnakan sinyal kontroler yang
dihasilkan oleh kontroler Neuro Fuzzy jika terjadi
ketidak stabilan pada model invers. Dengan
demikian dapat dibentuk persamaan sinyal
kontroler u(k) sebagai berikut:
) ( ) ( ) ( k u k u k u
PI NF
+ = (28)
di mana u(k)
NF
adalah sinyal kontroler dari Neuro
Fuzzy sedangkan u(k)
PI
adalah sinyal kontroler PI.

7) Model Prediksi Error
Model prediksi error adalah bagian yang
menghasilkan model prediksi error yang akan
datang sesuai dengan kriteria yang diinginkan.
Model ini diturunkan dari model persamaan
sistem adaptif yang dijelaskan berdasarkan
diagram kontroler dari model sistem sebagaimana
terlihat pada Gambar 3.
Jika desain dari kontroler sudah tepat, maka nilai
dari y
m
y sehingga nilai dari e akan sama dengan
nol. Persamaan sistem dapat diturunkan sebagai
berikut:
y y e
r
= (29)
m r
y y =
Dalam bentuk persamaan kontinyu
) ( ) ( ) ( s y s y s E
m r
= (30)
)
1
1
1 (
) (
) (
2
+ +
=
bs as
s y
s E
r
(31)
Bila ditransformasikan kedalam bentuk
persamaan diskrit, maka persamaan (31) dapat
diturunkan menjadi persamaan seperti berikut:
2
2
1
1 0
2
2
1
1 0
) (
) (


+ +
+ +
=
z z
z z
z y
z E
r


(32)
Dengan menggunakan persamaan beda, maka
persamaan (32) dapat diturunkan kedalam sebuah
persamaan sebagai berikut:
) 2 ( ) 1 (
) 2 ( ) 1 ( ) ( ) (
0
2
0
1
0
2
0
1
0
0

+ + =
k e k e
k y k y k y k e
r r r


sehingga
+ + = ) 1 ( ) ( ) (
*
2
*
1
k y k y k e
r r

) 2 ( ) 1 ( ) 2 (
*
2
*
1
*
3
k e k e k y
r
(33)
Pada sebuah sistem kontrol prediksi, dari
persmaan (33) tersebut dapat diturunkan sebuah
persamaan prediksi, di mana:
) 1 ( ) 1 ( ) 1 ( + + = + k e k y k y
r
(34)
Teknik

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 566


Waktu (detik)
Gambar 4. Respon plant dengan kontroler prediksi adaptif berbasis
ANFIS-PI terhadap variasi setpoint yang diberikan

sehingga akhirnya apabila persamaan (34) ini
dijabarkan berdasarkan Gambar 1, maka akan
didapatkan persamaan error dari model prediksi
suatu sistem sebagai berikut:
+ + + = + ) ( ) 1 ( ) 1 (
*
2
*
1
k y k y k e
r r

) 1 ( ) ( ) 1 (
*
2
*
1
*
3
k e k e k y
r
(35)
di mana
1
*
,
2
*
,
3
*
,
1
*
,
2
*
adalah parameter-
parameter dari persamaan model error prediksi.
Pada penelitian ini ditentukan sebuah model yang
dijadikan sebagai referensi untuk menentukan
nilai parameter model error sebagai berikut:
1 2
1
2
+ +
=
s s
G
m
(36)
Dari fungsi alih tersebut, parameter-parameter
model error yang didapatkan dari hasil
perhitungan perdasarkan persamaan (29) sampai
dengan persamaan (35) adalah
1
*
=1,
2
*
=-1,

1
*
=0,7358, dan ,
2
*
=-0,1353.


PENGUJIAN KONTROLER

Untuk mengetahui sejauh mana kontroler yang
telah didesain dapat bekerja, maka kontroler
tersebut perlu untuk diuji. Pengujian dilakukan
secara offline dengan menggunakan program
Matlab, pada dua kondisi pengujian.

1) Pengujian Dengan Setpoint Berubah
Pengujian sistem kontroler pada Heat Exchanger
dengan setpoint yang berubah-ubah bertujuan
untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dari
kontroler yang didesain untuk bekerja pada
kondisi tersebut, dengan harapan bahwa nilai
keluaran dari plant akan selalu dapat mengikuti
setpoint yang diberikan dengan tracking error
yang sekecil mungkin. Mula-mula sistem Heat
Exchanger diberi setpoint sebesar 75
o
C, pada
detik ke-900 setpoint diubah ke nilai 60
o
C, dan
pada detik ke-1800 nilai setpoint diubah ke posisi
90
o
C, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4.
Saat sistem diberi setpoint sebesar 75
o
C, nilai
keluaran plant dengan kontroler prediksi adaptif
berbasis ANFIS-PI pada kondisi steady state
adalah sebesar 76,34
o
C, nilai keluaran plant
dengan kontroler prediksi berbasis PI adalah
sebesar 76,34
o
C dan nilai keluaran plant dengan
kontroler prediksi berbasis ANFIS adalah sebesar
72,19
o
C. Sedangkan nilai keluaran prediksi pada
waktu ke-(k+1) adalah 75
o
C. Pada nilai setpoint
ini respon plant dari kontroler prediksi adaptif
berbasis ANFIS-PI memperlihatkan hasil yang
lebih stabil, dengan evershoot yang lebih kecil
serta tidak terjadi osilasi.
Kemudian sistem diberi setpoint sebesar 60
o
C,
nilai keluaran plant dengan kontroler prediksi
adaptif berbasis ANFIS-PI pada kondisi steady
state adalah sebesar 60,60
o
C, nilai keluaran plant
dengan kontroler prediksi berbasis PI adalah
sebesar 60,60
o
C dan nilai keluaran plant dengan
kontroler prediksi berbasis ANFIS adalah sebesar
57,40
o
C. Sedangkan nilai keluaran prediksi pada
waktu ke-(k+1) adalah 60
o
C. Respon plant dari
kontroler prediksi adaptif berbasis ANFIS-PI
tetap memperlihatkan hasil yang lebih stabil,
dengan evershoot yang lebih kecil serta tidak
terjadi osilasi. Pada saat setpoint sebesar 90
o
C
0 300 600 900 1200 1500 1800 2100 2400 2700
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130
140
150


Setpoint
Respon Kontroler ANFIS-PI
Output prediksi
Respon Kontroler PI
Respon Kontroler Neuro Fuzzy
O
u
t
p
u
t

(
o
C
)


O
u
t
p
u
t

(
o
C
)


Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 567

Waktu (detik)
Gambar 5. Respon plant dengan kontroler prediksi adaptif berbasis
ANFIS-PI terhadap perubahan beban plant

dengan evershoot yang lebih kecil serta tidak
terjadi osilasi. Pada saat setpoint sebesar 90
o
C
yang diberikan pada sistem, nilai keluaran plant
dengan kontroler prediksi adaptif berbasis ANFIS-
PI pada kondisi steady state adalah sebesar 91,34,
nilai keluaran plant dengan kontroler prediksi
berbasis PI adalah sebesar 91,34
o
C dan nilai
keluaran plant dengan kontroler prediksi berbasis
ANFIS adalah sebesar 88,61
o
C. Sedangkan nilai
keluaran prediksi pada waktu ke-(k+1) adalah
90
o
C. Respon plant dari kontroler prediksi adaptif
berbasis ANFIS-PI juga masih tetap
memperlihatkan hasil yang lebih stabil, dengan
evershoot yang lebih kecil serta tidak terjadi
osilasi.
Pengujian kontroler prediksi adaptif berbasis
ANFIS-PI dengan setpoint berubah ini, nilai
tracking error pada setpoint 75
o
C saat kondisi
steady state adalah 1,34%, pada setpoint 60
o
C
nilainya adalah 0,61% dan pada setpoint 90
o
C
nilainya adalah 1,33%. Pada kodisi di mana
setpoint berubah tracking error yang terjadi pada
sistem tidak mengalami perubahan besar, ini
menunjukkan bahwa kontroler masih mampu
beradaptasi dengan baik pada kondisi tersebut.

2) Pengujian Dengan Beban Plant Berubah
Pengujian sistem kontroler pada Heat Exchanger
dengan beban berubah bertujuan untuk
mengetahui sejauh mana kemampuan dari
kontroler yang didesain untuk beradaptasi pada
kondisi tersebut, dan nilai keluaran dari plant
masih tetap dapat mengikuti setpoint yang
diberikan dengan error yang sekecil mungkin.
Kontroler yang mampu beradaptasi terhadap
perubahan setpoint yang diberikan pada plant
belum tentu mampu beradaptasi terhadap
berubahan beban yang terjadi pada plant yang
terjadi.
Pada proses pengujian setpoint dijaga tetap yaitu
75
o
C, baik pada beban nominal maupun setelah
detik ke-900 di mana beban plant dinaikkan. Pada
detik ke-1800 beban plant diubah kembali ke
beban nominal atau kondisi awal dengan setpoint
yang juga tidak diubah sebagaimana detik ke-0
hingga detik ke-1800. Hasil pengujian adalah
sebagimana yang terlihat pada Gambar 5.
Respon plant pada kondisi steaady state dengan
kontroler prediksi adaptif berbasis ANFIS-PI
untuk beban nominal adalah 76,34
o
C, nilai ini
sama dengan respon plant dari kontroler prediksi
berbasis PI. Akan tetapi respon yang dihasilkan
dari kontroler prediksi adaptif berbasis ANFIS-PI
memiliki tingkat kestabilan yang lebih baik
dengan overshoot yang lebih kecil. Saat beban
dinaikkan terjadi gangguan pada respon plant
yang dihasilkan hingga mencapai nilai steady
state pada nilai 73,66
o
C. Nilai tersebut juga sama
dengan respon plant dari kontroler prediksi
berbasis PI, tetapi masih terlihat bahwa respon
yang dihasilkan dari kontroler prediksi adaptif
berbasis ANFIS-PI tetap memiliki tingkat
kestabilan yang lebih baik dengan overshoot yang
lebih kecil. Dan begitu juga saat beban plant
dikembalikan ke posisi awal (nominal), respon
yang dihasilkan dari kontroler prediksi adaptif
berbasis ANFIS-PI masih tetap lebih baik.
Jika kontroler prediksi adaptif berbasis ANFIS-PI
kemudian dibandingkan dengan kontrol prediksi
berbasis ANFIS, dari gambar jelas terlihat bahwa
0 300 600 900 1200 1500 1800 2100 2400 2700
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130
140
150


Setpoint
Respon Kontroler ANFIS-PI Prediksi
Output Prediksi
Respon Kontroler PI Prediksi
Respon Kontroler ANFIS Prediksi
Beban Nominal
Beban Nominal
Beban Bertambah
Mulai Terjadinya Perubahan
Teknik

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 568
respon plant dengan kontrol prediksi berbasis
ANFIS tidak mampu untuk mendekati nilai
setpoint yang diberikan, bahkan tracking error
yang terjadi akan semakin besar jika beban plant
bertambah. Hal ini disebabkan oleh model invers
yang tidak mampu beradaptasi dengan baik,
sebagaimana disebutkan pada sub bab
sebelumnya.
Pada pengujian kontroler prediksi adaptif berbasis
ANFIS-PI dengan beban berubah ini, nilai
tracking error pada beban nominal saat kondisi
steady state adalah 1,33%, pada beban bertambah
nilainya adalah 1,31% dan saat beban kembali ke
beban nominal nilainya adalah 1,33%. Pada
kondisi ini kontroler yang didesain juga dapat
beradaptasi dengan baik, hal ini terlihat dari nilai
tracking error yang tidak begitu besar
perubahannya pada setiap berubahan beban yang
terjadi, dan nilai tracking error juga sangat kecil.


KESIMPULAN

Desain kontroler prediksi adaptif berbasis ANFIS-
PI untuk pengendalian temperatur Heat
Exchanger pada penelitian ini telah bekerja sesuai
dengan kriteria yang dinginkan, di mana respon
plant yang dihasilkan dari sistem kontroler
tersebut tetap dapat mengikuti nilai trayektori
setpoint dengan rata-rata nilai tracking error
kurang dari 1,4%, walaupun pada kondisi dimana
terjadi perubahan beban maupun perubahan
setpoint pada sistem Heat Exchanger tersebut.
Dari hasil pengujian juga dapat diketahui bahwa
model invers dengan metode ANFIS tidak
maksimal pada proses kerjanya karena kurang
mampu beradaptasi dengan baik terhadap
perubahan setpoint yang diberikan kepada sistem
tersebut, maupun terhadap perubahan beban yang
terjadi pada plant, oleh karena itu kedepan perlu
dikembangkan model invers dengan metode atau
struktur yang berbeda dari yang digunakan dalam
penelitian ini, sehingga kontroler untuk kebutuhan
plant Heat Exchanger dapat didesain tanpa
menggunakan kontroler Proportional Integral
(PI).


DAFTAR PUSTAKA

[1] Angga Saputro, (2008), Implementasi
Kontroler Neural Network Untuk Pengaturan
Temperatur Pada Feedback 38-600
Temperature Process Rigg, Tugas Akhir
Bidang Keahlian Teknik Sistem Pengaturan
Jurusan Teknik Elektro ITS, Surabaya.
[2] Feedback instrument Ltd, (2003), PROCON
Temperature Process Rig Trainer 38-600
Instruction Manual, Feedback Instrument
Ltd., UK
[3] Jang J.-S.R., Sun C.-T., Mizutani E., (1997),
Neuro-Fuzzy And Soft Computing: A
Computational Approach To Learning And
Machine Intelligence, Prentice-Hall, Inc.
[4] Johnson, Curtis D., (2003), Process Control
Instrumentation Technology-7
th
ed, Prentice-
Hall, New Jersey.
[5] Juan M. Marthin Sanchez, Jose Rodellar,
(1996), Adaptive Predictive Control: From
the Concepts to Plant Optimization, Prentice
Hall, London
[6] Mahdi Jalili-Kharajoo, Babak N. Araabi
(2004), Neural Network Based Predictive
Control of a Heat Exchanger Nonlinear
Process, Journal of Electrical & Electronic
Engineering, Instambul University, Vol. 4,
No. 2, hal. 1219-1226.
[7] M.A. Dena, F. Palis, A. Zeghbib, (2007),
Modeling And Control Of Non-Linear
Systems Using Soft Computing Techniques,
Applied Soft Computing, Vol. 7, hal. 728-738.
[8] Landu, Ioan Dore, (1990), System
Identification and Control Design Using
P.I.M + Software, Prentice Hall Inc.
[9] Ogata, Katsuhito, (1997), Modern Control
Engineering, Prentice-Hall, New Jersey.
[10] Radu Blan, Vistrian Mtie, Victor Hodor,
Olimpiu Hancu, and Sergiu Stan, (2007),
Applications of a Model Based Predictive
Controlto Heat-Exchangers, Proceeding of
The 15th Mediterranian Conference On
Control And Automation, Athens-Greece,
T27-010.
[11] Risfendra (2007), Disain Dan Implementasi
Kontroler Kaskade Robust Pada Sistem
Pressure Control Trainer Feedback 38-714,
Tesis Program Magister Bidang Keahlian
Teknik Sistem Pengaturan Jurusan Teknik
Elektro ITS, Surabaya.
[12] Sri Kusumadewi, Sri Hartati (2006), Neuro-
Fuzzy: Integrasi Sistem Fuzzy dan Jaringan
Syaraf, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 569
PERHITUNGAN ANALITIK GAYA DAN TEGANGAN UNTUK
PERANCANGAN STRUKTUR NOSE CONE ROKET RX-200 LPN

Setiadi
Peneliti, Pusat Teknologi Wahana Dirgantara, Detekgan LAPAN
Jl. Raya LAPAN Rumpin, Serpong Jawa Barat.

e-mail address : seti1159@biz.net.id


ABSTRAK

Struktur cangkang merupakan struktur kulit tipis, dimana ketebalannya jauh lebih kecil dibandingkan dimensi arah
memanjang maupun arah melintang. Nose cone roket adalah komponen yang terpasang pada ujung paling depan dari
suatu roket. Untuk mengetahui distribusi gaya-gaya dan tegangan yang terjadi, struktur dinding nose cone roket RX-
200-LPN di sini disimulasikan sebagai struktur cangkang , karena ketebalan dindingnya jauh lebih kecil
dibandingkan ukuran panjang ataupun diameternya (rasio = 0,03). Harga gaya dan tegangan dianalisis dengan
memecahkan persamaan kuadrat dari bentuk kelengkungan cangkang. Untuk memudahkan dalam perhitungan,
besarnya beban-luar yang bekerja dianggap sebagai beban terbagi-rata. Bentuk geometri dari nose cone yang dipilih
adalah conical dome (kerucut putar), dan sebagai alternatif dianalisis bentuk elliptical dome (ellips putar).

Dari perhitungan analitik pada struktur nose cone roket LPN-200-LPN dengan ukuran OD = 203 mm pada
sambungan dengan tabung payload dan panjang nose cone b = 600 mm, didapatkan untuk bentuk Ellips-putar harga
tegangan maksimum yang terjadi sebesar

= -2,0149 MPa dan

= 0,057 MPa. Harga faktor keamanan yang


diperoleh S.F = 6,34. Untuk bentuk Kerucut-putar harga tegangan maksimum yang terjadi sebesar

= -2,05 MPa
dan

= -0,114 MPa. Harga faktor keamanan material bahan yang diperoleh S.F = 6,22.

Hasil distribusi gaya dan tegangan pada kedua bentuk ini cukup menarik, terutama pada arah melingkar (hoop),
karena ternyata ada peralihan tegangan pada arah melingkar,

, yakni dari tegangan tekan ke tegangan tarik di daerah


sambungan antara nose cone dengan tabung payload, sehingga perlu dicermati terhadap kekuatan bahan. Hasil
perhitungan analitik ini kemudian divalidasi dengan metoda lain, yang menggunakan perangkat lunak berbasis
Metoda Elemen Hingga (Finite Element Methods-FEM). Harga faktor keamanan material bahan S.F yang diperoleh
secara analitik sebesar 1,35 kali lebih besar dibandingkan hasil analisis FEM untuk bentuk Ellips-putar. Untuk bentuk
Kerucut-putar S.F berharga 2,84 kali lebih besar dibandingkan hasil analisis FEM. Kedua bentuk tersebut
memberikan nilai aman terhadap material bahan yang digunakan.
Kata Kunci : Nose Cone, Cangkang, Tegangan, Conical Dome, FEM


PENDAHULUAN

Nose Cone dari suatu roket merupakan
salah satu komponen yang dipasang pada ujung
paling depan dari struktur roket, yang berfungsi
untuk memberikan bentuk aerodinamik pada
badan roket. Biasanya di dalam struktur nose cone
ini digunakan untuk menyimpan antenna radar
sistem TT&C (Tracking, Telemetry and
Command). Agar gaya tahanan aerodinamis yang
terjadi seminimal mungkin, maka bentuk struktur
nose cone harus dirancang dengan bentuk-bentuk
tertentu, seperti Ogive, Ellips, Parabola, Conical
Domes atau bentuk lainnya. Oleh karena itu,
struktur nose cone roket ini benar-benar harus
dirancang seoptimal mungkin, agar diperoleh
struktur nose cone yang kuat dan aerodinamis,
namun beratnya cukup ringan sehingga dapat
menghasilkan rasio-massa motor roket sekecil
mungkin
Dalam pengembangan roket terbaru di
LAPAN telah dirancang roket RX-200-LPN,
dengan menggunakan struktur nose cone tipis dari
material bahan komposit Glass Fiber Reinfored
Plastics-GFRP. Ilustrasi bentuk struktur nose cone
ini seperti yang terlihat dalam Gambar-1. Ukuran
dimensi nose cone ini adalah panjang b = 60 cm,
diameter luar pada sambungan ke tabung payload
OD = 2003 mm (a =10,15 cm) dan tebal t = 3 mm.
Ada 2 bentuk struktur nose cone yang akan
dianalisis, yaitu bentuk Conical Dome (Kerucut-
putar) dan Elliptical Dome (Ellips-putar).
Kegiatan penelitian dan pengembangan
struktur roket di LAPAN, khususnya nose cone
roket, sampai sekarang masih terus dilakukan
guna memperoleh rancangan struktur roket yang
optimal dengan rasio-massa yang sekecil
mungkin.

Gambar-1 : Ilustrasi bentuk Struktur Nose Cone
Roket.
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 570
Salah satu metoda yang dikembangkan adalah
perhitungan secara analitik gaya dan tegangan
yang terjadi pada struktur nose cone, dengan cepat
namun cukup akurat. Dari besarnya tegangan
yang didapatkan, harga faktor keamanan material
bahan akibat pembebanan pada struktur dapat
diketahui.
Di dalam perhitungan secara analitik di
sini, struktur nose cone roket RX-200 LPN, dapat
didefinisikan sebagai elemen struktur cangkang
(shell), karena perbandingan ketebalan dengan
jari-jari nose cone cukup rendah, yaitu 3/100 =
0,03 (syarat memenuhi persamaan membrane <
0,05). Bentuk geometri dari cangkang dari
struktur nose cone diperoleh dari permukaan atau
kurva lengkung yang diputar pada satu sumbu,
seperti yang terlihat dalam Gambar-2.
Lengkungan yang diputar disebut meridian, dan
bidangnya sendiri disebut bidang meridian.
Bidang-bidang normal terhadap sumbu putar akan
memotong permukaan cangkang berupa
lingkaran-lingkaran yang sejajar, yang disebut
sebagai pararel circles. Jadi, meridian dan
pararel circles merupakan principal
curvature suatu struktur cangkang.



R = 10,15 cm (a = 10,15 cm)

(a). Geometri struktur cangkang berbentuk
kerucutputar



R= 10,15 cm (a = 10,15 cm)

(b). Geometri struktur cangkang berbentuk ellips
putar

Gambar-2 : Bentuk geometri struktur cangkang.



METODOLOGI, TEORI DAN
PERHITUNGAN GAYA DAN
TEGANGAN STRUKTUR NOSE CONE
ROKET SECARA ANALITIK

Metodologi Penelitian

Perhitungan secara analitik gaya dan
tegangan pada struktur nose cone roket dilakukan
dengan menggunakan persamaan kuadrat
kelengkungan cangkang silindris. Melalui analisa
keseimbangan gaya dan momen pada elemen
struktur cangkang, besarnya gaya-gaya dan
momen yang terjadi akibat pembebanan
aerodinamik pada struktur nose cone ditentukan
besarnya. Tegangan yang terjadi dapat dihasilkan
dengan membagi gaya oleh luas bidang lingkaran.
Hasil dari perhitungan tegangan statik ini akan
divalidasi dengan metode lain yang baku, yaitu
menggunakan Metoda Elemen Hingga.


Teori Perhitungan Gaya dan Gaya-Tegangan
pada Struktur Nose cone

Pada struktur cangkang harga kekakuan
lenturnya rendah, sehingga menjadikan gaya
aksial sebagai sistem pemikul beban utama
dibandingkan dengan tegangan lentur akibat
momen. Sifat struktur cangkang yang memikul
beban sepenuhnya dengan menimbulkan hanya
tegangan-tegangan yang langsung bekerja dalam
bidang permukaan struktur cangkang itu sendiri,
yang dikenal sebagai sifat sebuah membrane.
Untuk memudahkan perhitungan analitik
ini, tinjau elemen kecil pada struktur cangkang
putar seperti yang ditunjukkan dalam Gambar-3.

(a) Struktur cangkang putar
b =60cm

b =60 cm
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 571

(b). Hubungan geometris pada elemen struktur
cangkang

Gambar-3 : Struktur cangkang putar

Dari Gambar-3(a) dapat didefinisikan bahwa
sudut adalah besarnya sudut yang dibentuk oleh
R
o
pada bidang meridian. Sedangkan sudut
adalah besarnya sudut yang dibentuk oleh sumbu
cangkang dengan garis normal cangkang pada
titik yang ditinjau (meridian.angle), seperti yang
ditunjukkan dalam Gambar-3(b).
Untuk kondisi keseimbangan gaya dan
momen yang terjadi pada elemen cangkang
berlaku hubungan :
0 =

x
F ,
0 =
y
F
, 0 =

z
F (1)
0 =

x
M ,
0 =
y
M
, 0 =

z
M (2)
Dari keseimbangan elemen dengan gaya dan
momen dalam arah sumbu-x akan menghasilkan
persamaan :
- Gaya dalam arah x :
( )
+

sin . . .
.
.
1 1
R Q
R
N
R N
N
R
o
o
0 . .
1
= R R X
o
(3)
- Momen dalam arah- x :

( )
0 . .
.
.
1 . 1
= +

R R Q
M
R
R M
R
M
o
o


(4
Keseimbangan elemen dengan gaya dan momen
dalam arah sumbu-y akan menghasilkan
persamaan :
- Gaya dalam arah y :

( )
+

o
o
o
R Q
R
N
R N N
R . .
.
.
2



0 . .
1
= R R Y
o
(5)
- Momen dalam arah- y :
( )
0 . .
.
.
1 . 1
= +

R R Q
M
R
R M
R
M
o
o


(6)
Keseimbangan elemen dengan gaya dan momen
dalam arah sumbu-z akan menghasilkan
persamaan :
- Gaya dalam arah z :

( )
+ + +

sin . . .
.
.
1 1
R N R N
R Q
Q
R
o
o

0 . .
1
= R R Z
o
(7)
- Momen dalam arah- z :

0 . . . . . . . . =

R R N R R N
o o
(8)

Dari pers.(8) didapatkan :

N N =
Dalam keseimbangan elemen struktur
cangkang, variable M

, M

, M

, dan M


saling meniadakan. Kemudian untuk struktur
cangkang tipis harga Q

dan Q

dapat diabaikan,
sehingga akan diperoleh :
0 = = = = = =

Q Q M M M M
(9)
Harga-harga yang belum diketahui adalah


N

, N

, N

, dan N


R
o
= R
2
.sin
di mana :
N
=
N

;
cos

.
1
R
R
o
atau

cos .
1
R
R
o
=


Dengan memasukkan harga-harga ini ke dalam
pers.(3), pers.(5) dan pers.(7) didapatkan
persamaan untuk gaya dalam arah x, arah y dan
arah z sebagai :
( )
+ +

cos . .
.
.
1 1
R N
R N
N
R
o
0 . .
1
= R R X
o
(10)
( )
0 . . cos . .
.
.
1 1 2
= +

R R Y R N
R N N
R
o
o




(11)

0
2
1
= + + Z
R
N
R
N

(12)

Dalam perhitungan gaya dan tegangan
struktur nose cone roket di sini diambil bentuk
nose cone Elliptical dome (Ellips putar) dan
Conical dome (Kerucut putar).
- Bentuk ellips putar :
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 572

Gambar-4 : Ellips-putar dengan beban terbagi rata
q

Persamaan lengkung dari struktur cangkang
bentuk ellips putar dinyatakan oleh :

1
2
2
2
2
= +
b
y
a
x
(13)
Bentuk differensial dari pers.(13) ditulis sebagai

0
. 2 . 2
2 2
= +
b
dy y
a
dx x
(14)
Sudut yang dibentuk pada suatu titik di
garis meridian dinyatakan oleh

y
x
a
b
tg
dx
dy
.
2
2
= =
atau

5 . 0 2 2
2
) .(
.
y b
y a
b
dx
dy
=
(15)
Besarnya jari-jari kelengkungan dinyatakan
sebagai :
( ) [ ]
5 . 1 2 2 2 4
1
. b a y b R + = (16)
Dalam koordinat polar, jari-jari kelengkungan
dalam pers.(16) ini dapat dituliskan dengan :
[ ]
5 . 0 2 2 2 2
2
1
. cos sin b a
a
R
+
=

(17)
Untuk menentukan besarnya gaya dan
tegangan yang terjadi pada struktur ellips-putar
nose cone, akan digunakan komponen beban
dalam arah-x dan arah-z (lihat Gambar-5).
Komponen beban :
arah-x : X = q.cos .sin
arah-y : Y = 0
arah-z : Z = q.cos
2


Gambar-5 : Proyeksi Komponen Beban dalam
arah-x dan arah-z

Apabila dianggap beban-luar yang bekerja adalah
beban terbagi-rata, q, maka dengan memasukkan
pers.(17) dan harga komponen gaya X, Y, Z ke
dalam pers.(10), pers.(11), pers.(12), besarnya
gaya-gaya yang terjadi dapat dinyatakan dengan :

2 2 2
2 2
.
1 .
.
2
tg a b
tg a q
N
+
+
=
(18)


2 2 2 2
2 2 2
2
2
1 . .
) . (
.
2
tg tg a b
tg a b
b
a q
N
+ +

=
(19)

Gaya-gaya yang diperoleh ini merupakan
garya-normal per satuan panjang. Untuk
mendapatkan harga tegangan per satuan panjang,
maka gaya-gaya pada pers.(18) dan pers.(19)
tinggal dibagi dengan tebal struktur ellips-putar
tersebut. Didapat :

t
N

=
(20)

t
N

=
(21)
- Bentuk kerucut putar :
Sudut yang dibentuk pada suatu titik di
garis meridian di sini akan berharga konstan, yaitu
sebesar . Dari Gambar-6 terlihat bahwa harga
= .
Sudut yang dibentuk pada suatu titik di
garis meridian di sini akan berharga konstan, yaitu
sebesar . Dari Gambar-6 terlihat bahwa harga
= .
Harga tg dapat dinyatakan sebagai :

z
R
z
x
tg

= =
(22)

Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 573

Gambar-6 : Kerucut-putar dengan beban terbagi-
rata q

Sedangkan besarnya jari-jari kelengkungan R
1
=

Dengan asumsi bahwa beban yang
diberikan terbagi-rata, q, maka dari pers.(10),
pers.(11), pers.(12) dan komponen X = q.cos, Y
= 0, Z = q.cos, akan didapatkan bentuk gaya per
satuan panjang yang bekerja sebesar :

cos . 2
. .
tg
z q N =
(23)

sin . . .
2
tg z q N = (24)

Untuk mendapatkan harga tegangan per
satuan panjang, maka gaya-gaya pada pers.(23)
dan pers.(24) tinggal dibagi dengan tebal struktur
kerucut-putar tersebut. Didapat :

t
N

=
(25)

t
N

=
(26)


Perhitungan Analitik Gaya-gaya dan
Tegangan Struktur Nose Cone Roket RX-200-
LPN

Nose cone roket RX-200-LPN yang
dianalisis terbuat dari material bahan komposit
Glass-Fiber Reinforced Plastic-GFRP, dengan
diameter pada sambungan ke tabung payload OD
= 203 mm (a = 10,15 cm), panjang b = 60 cm, dan
tebal t = 0,3 cm. Pada perhitungan di sini,
besarnya beban luar berasal dari gaya tahanan
(drag) diberikan untuk roket pada kecepatan
terbang Mach = 2.0 (V = 680 m/detik), di mana
harga koefisien gaya-tahanan C
D
= 0,4455.
Beban aerodinamik yang bekerja pada
struktur nose cone dapat dinyatakan dengan :

A V C Drag
D
. . .
2
1
.
2
=
(27)
di mana : C
D
- koefisien gara-tahanan
- massa jenis udara
V - kecepatan roket
A - luas frontal nose cone
(a) Perhitungan gaya dan tegangan pada
bentuk elliptical-domes (ellips putar)
Data yang diberikan :
a = 10,15 cm, b = 60 cm
= 1,16 kg/m
3
= 1.16x10
-6
kg/cm
3
.
V = 2,0x340 m/detik = 680 m/detik
Luas frontal nose cone :
A = .a
2
= 323,65 cm
2
= 0,032365 m
2
.
Dari pers.(27) didapatkan harga beban
aerodinamik sebesar :

Drag = (0,4455)(0,5)(1.16)(680)
2
(0,032365)

= 3.867 kg.m/detik
2
(=Newton)
Beban merata dari gaya aerodinamik ditulis :
q = (3867)/(323,65) N/cm
2

= 11,9479 N/cm
2

Dengan tebal dinding nose cone t = 0,3
cm, maka dengan menggunakan pers.(18),
pers.(19), pers.(20) dan pers.(21) akan diperoleh
harga-harga distribusi gaya dan tegangan pada
struktur dinding nose cone roket RX-200-LPN
seperti yang ditunjukkan dalam Tabel-1.
Dari Tabel-1 dipilih harga tegangan
terbesar, diperoleh :

= -16,8573.q
= (-16,8573)(11,9479)
= - 201,49 N/cm
2
(= -2,0149 MPa)

= 0,4770 .q
= (0,4770)(11,9479)/
= 5,699 N/cm2 (= 0,057 MPa)
Tegangan resultan :
2 2

+ =
r

, didapatkan harga
r
= 2,0157 MPa
Dari data material bahan untuk GFRP harga
tegangan ultimate
u
= 12,78 MPa. Jadi, harga
faktor keamanan S. F material bahan dari struktur
nose cone paling kecil untuk bentuk struktur
ellips-putar didapat :
S.F =
u
/
r
= (12,78)/(2,0157)
= 6,34



Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 574
Tabel-1 : Hasil Perhitungan Secara Analitis Gaya dan Tegangan
untuk Struktur Nose Cone bentuk Ellips-Putar

y/b Y r tan N/q N/q /q /q
(cm) (cm) (o)
0 0 10.15 60.00 89.05 -5.0512 0.1431 -16.8375 0.4770
0.1 6 10.10 58.80 89.03 -5.0503 0.1430 -16.8343 0.4767
0.2 12 9.95 28.97 88.02 -4.9755 0.1363 -16.5849 0.4543
0.3 18 9.68 18.80 86.95 -4.8481 0.1247 -16.1604 0.4156
0.4 24 9.30 13.55 85.78 -4.6641 0.1075 -15.5470 0.3582
0.5 30 8.79 10.24 84.42 -4.4160 0.0835 -14.7199 0.2782
0.6 36 8.12 7.88 82.77 -4.0925 0.0504 -13.6418 0.1681
0.7 42 7.25 6.03 80.58 -3.6734 0.0040 -12.2447 0.0132
0.8 48 6.09 4.43 77.29 -3.1215 -0.0661 -10.4050 -0.2204
0.9 54 4.43 2.86 70.75 -2.3436 -0.1949 -7.8120 -0.6498
0.93 55.8 3.80 2.38 67.19 -2.0542 -0.2589 -6.8475 -0.8630
0.95 57 3.17 1.94 62.75 -1.7812 -0.3332 -5.9375 -1.1107
0.97 58.2 2.47 1.48 56.01 -1.4894 -0.4363 -4.9646 -1.4543
0.985 59.1 1.75 1.04 46.02 -1.2178 -0.5692 -4.0592 -1.8972
0.99 59.4 1.43 0.84 40.16 -1.1121 -0.6363 -3.7070 -2.1210
0.995 59.7 1.0150 0.59 30.71 -0.9936 -0.7270 -3.3120 -2.4232
1 60 0 0.00 0.00 -0.8585 -0.8585 -2.8617 -2.8617

(b). Bentuk Conical-domes (Kerucut-putar )
Data yang diberikan : = 9.6
o
, b = 60 cm
Dengan menggunakan pers.(23),
pers.(24), pers.(25) dan (26) akan diperoleh gaya
dan tegangan sebagai berikut
untuk Z = 0 cm : N

= 0 ;

= 0
N

= 0 ;

= 0
untuk Z = 60 cm :
N

= -q.60.

) 6 , 9 cos( . 2
) 6 , 9 (
o
o
tg

= - 5,1462.q

= -5,1462q /0,3 = -17,16.q


N

= -q.60.tg
2
(9.6
o
).sin (9.6
o
)
= - 0,2862q

= -0,2862q/0,3 = -0,954q
Besarnya distribusi gaya yang terjadi pada
dinding struktur nose cone bentuk kerucut-putar
ini seperti yang terlihat dalam Gambar-7(b).
Besarnya tegangan yang terjadi :

= -17,16.q
= (-17,16)(11,9479)

(a) 20,3 cm

(a) -17,16q -0,954q
Gambar-7 : Bentuk nose cone kerucut-putar

= -205,02 N/cm
2
= - 2,05 MPa

= -0,954 .q
= (-0,954)(11,9479)
9,6
o

60 cm
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 575
= -11,4 N/cm2 (= -0,114 MPa)
Tegangan resultan :
2 2

+ =
r

, didapatkan harga
r
= 2,0532 MPa
Besarnya faktor keamanan material
bahan struktur nose cone bentuk kerucut-putar
didapat :
S.F = 12,78/2,0532 = 6,22
Jadi, material bahan cukup aman terhadap
pembebanan aerodinamik yang terjadi.


Perhitungan Analitik Tegangan-Statik
Struktur Nose Cone dengan menggunakan
Metode Lain

Untuk memvalidasi hasil perhitungan
analitik dari tegangan struktur nose cone roket
RX-200-LPN, di sini akan dikemukakan analisis
kekuatan struktur nose cone dengan menggunakan
suatu perangkat-lunak yang berbasis Metoda
Elemen Hingga (MSCNastran versi Windows4.5).
Ketebalan struktur nose cone dan diameter yang
diberikan sama, yaitu t = 3 mm dan OD pada
sambungan ke tabung = 203 mm, dengan
pembebanan luar gaya-tahanan aerodinamik
sebesar 3.867 Newton (untuk C
D
= 0.4455 , Mach
= 2.0).
Material bahan struktur nose cone
diambil GFRP, dengan spesifikasi bahan :
Modulus Elastisitas E = 6.894E10 N/m
2
, Shear
Modulus G = 2.802E10 N/m
2
, Poisson Ratio =
0,23, Limit Stress : Tension = 1.0342E9 N/m
2
,
Compression = 1.3789E8 N/m
2
, Shear =
4.1369E8 N/m
2
, Mass Density = 245.7 N/m
3
.
Pada bentuk struktur nose cone ellips-putar,
dibuat pemodelan FEM dengan 504 elemen dan
1010 nodal. Kemudian diberikan constraint-
fixed (arah 1,2,3,4,5,6) pada daerah ujung-kanan
nose cone atau sambungan ke tabung payload,
maka dapat diperoleh distribusi tegangan-statik
seperti dalam Gambar-8. Harga tegangan
maksimum yang didapatkan sebesar

= 2,71
MPa dan

= 0,038 MPa, sehingga diperoleh


harga
r
= 2,7103 MPa Dari harga tegangan
ultimate untuk material bahan GFRP diperoleh
harga faktor keamanan bahan
S.F =
u
/
r
=12,78/2,7103 = 4,71
Material bahan dari struktur nose cone roket RX-
200-LPN ini aman terhadap pembebanan
aerodinamik yang terjadi.
Untuk bentuk struktur nose cone kerucut-
putar, dibuat pemodelan FEM dengan 528 elemen
dan 891 nodal (Gambar-9). Harga tegangan
maksimum yang didapatkan sebesar

= 5,25
MPa dan

= 2,52MPa, sehingga diperoleh harga

r
= 5,82 MPa Harga faktor keamanan bahan :
S.F =
u
/
r
=12,78/5,82
= 2,19
Material bahan dari struktur nose cone roket RX-
200-LPN ini masih aman terhadap pembebanan
aerodinamik yang terjadi.



Gambar-8 : Distribusi Tegangan pada Nose Cone
Roket-RX-200-LPN bentuk ellips-putar



Gambar-9 : Distribusi Tegangan pada Nose Cone
Roket-RX-200-LPN bentuk kerucut-putar.


HASIL DAN DISKUSI

Perhitunganan secara analitik gaya dan
tegangan pada struktur nose cone dari roket RX-
200-LPN dengan menggunakan pers.(18),
pers.(19), pers.(20) dan pers.(21) untuk bentuk
ellips-putar akan menghasilkan harga tegangan
yang lebih besar, dibandingkan dengan hasil
perhitungan tegangan dengan Metode Elemen
Hingga (FEM). Dari hasil perhitungan pada
Tabel-1 terlihat bahwa harga tegangan terbesar
yang didapatkan

= -2,0149 MPa dan

= 0,057
MPa, serta harga S.F = 6,34. Sedangkan dari hasil
analisis dengan FEM diperoleh harga tegangan
sebesar
r
= 2,71 MPa dan harga S.F = 4,71.
Dari harga tegangan resultan, besarnya
faktor keamanan terhadap bahan untuk
pembebanan aerodinamik yang terjadi diperoleh
S.F = 6,34. Hasil ini menunjukkan bahwa secara
analitik harga S.F diperoleh 1,35 x lebih besar
dibandingkan S.F hasil analisis dengan FEM.
Atau dapat dikatakan bahwa tegangan resultan
hasil perhitungan analitik akan mempunyai harga
yang lebih kecil 1,35 kalinya terhadap hasil
analisis FEM. Artinya, hasil secara analitik dapat
memberikan kondisi yang lebih aman terhadap
material bahan.
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 576
Perhitungan secara analitik untuk bentuk
kerucut-putar juga memberikan harga tegangan
yang lebih kecil, dibandingkan dengan hasil
perhitungan tegangan dengan analisis FEM. Dari
hasil perhitungan analitik untuk kerucut-putar
terlihat bahwa harga tegangan terbesar yang
didapatkan

= -2.0502 MPa dan

= -0,114
MPa. Dari harga tegangan resultan, maka
besarnya faktor keamanan S.F terhadap bahan
untuk pembebanan aerodinamik yang terjadi
adalah S.F = 6,22. Sedangkan dari hasil analisis
dengan FEM didapatkan harga tegangan
maksimum sebesar

= 5,25 MPa dan

= 2,52
MPa dan harga S.F = 2,19. Hasil ini menunjukkan
bahwa secara analitik harga S.F yang dapat
diperoleh 2,84 x lebih besar dibandingkan S.F
hasil analisis dengan FEM.
Jadi hasil perhitungan analitik ini
memberikan harga S.F lebih besar dari analisis
FEM. Perhitungan tegangan secara analitik bisa
membantu sekali, terutama pada waktu tahap
perancangan-awal, seperti untuk penentuan
bentuk nose cone, tebal, diameter dan material
bahan nose cone yang akan dipakai secara cepat.
Hasil yang juga menarik dari hasil analik
ini terlihat bahwa harga tegangan tangensial
dalam arah , yaitu
,
kondisinya berubah, dari
bentuk tegangan tekan berubah menjadi tegangan
tarik, yang terjadi pada lokasi 42,0 cm (posisi 0
cm dihitung dari sambungan nose cone dengan
tabung payload).


KESIMPULAN

Dari perhitungan besarnya gaya dan
tegangan pada struktur nose cone Roket RX-200-
LPN secara analitik dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
(a). Harga gaya dan tegangan dari struktur nose
cone roket secara analitik dapat dihitung
melalui pemecahan persamaan kesimbangan
gaya dan momen yang terjadi pada struktur
cangkang.
(b). Dari data dimensi, material bahan nose cone
dan beban dari gaya-tahanan aerodinamik,
maka besarnya gaya dan tegangan yang
terjadi dapat ditentukan, baik untuk bentuk
ellips-putar maupun kerucut-putar. Harga
faktor keamanan material bahan untuk bentuk
ellips-putar didapatkan sebesar S.F = 6,34.
Sedangkan untuk bentuk kerucut putar
diperoleh S.F = 6,22.
(c). Validasi hasil perhitungan analitik gaya dan
tegangan pada struktur nose cone dilakukan
dengan pembanding dari hasil analisis
pendekatan, dengan menggunakan suatu
perangkat-lunak berbasis Metoda Elemen
Hingga. Untuk bentuk ellips-putar dari hasil
analisis FEM didapatkan harga faktor
keamanan sebesar S.F = 4,71.
Di sini terlihat bahwa untuk bentuk ellips-
putar harga S.F yang diperoleh secara analitik
1,35 kali lebih besar. Untuk bentuk kerucut-
putar hasilnya hampir sama, yaitu harga S.F
yang diperoleh 2,84 x lebih besar
dibandingkan S.F hasil analisis dengan FEM.
(d). Metode perhitungan gaya dan tegangan
secara analitik pada struktur nose cone roket
ini sangat bermanfaat, terutama pada waktu
tahap perancangan-awal, seperti untuk
penentuan diameter, tebal dan material bahan
nose cone yang akan dipakai secara cepat.


DAFTAR PUSTAKA
[1] Braham Lewis,H.,Structural Design of
Missiles and Spacecraft, New York. Mc
Graw-Hill Book Co, Inc, New York, 1962.
[2] Baker,E.H, Kovalesvsky, L, Rish,F.L.,
Structural Analysis of Shells, Mc.Graw Hill
Book Co, Inc.,1972
[3] Fampel, Joseph Herman, Engineering
Design, Asynthesis of Stress Analysis and
Material Engineering, John Willey & Sons
Inc. Second Edition, Canada, 1981.
[4] Huebuer, Kenneth,H., The Finite Element
Method for Engineers, John Wiley & Sons
Inc., New York, 1974.
[5] Pepper,D.W., Heinrich,J.C., The Finite
Element Method : Basic Concepts and
Applications, Hemisphere Publishing Co.,
Washington-Philadelphia-London, 1992.
[6] Thimoshenko and Krieger, Theory of Plate
and Shells, Mc.Grw-Hill, New York,USA,
1984.
[7] MSC/Nastran for Windows, Installation and
Application Manual, Version 4.5, The
Mac.Neal Schwendler Co., 1994.

Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 577
PENENTUAN KETEBALAN DINDING STRUKTUR CAP MOTOR ROKET
RX-200 LPN SECARA ANALITIK DENGAN PEMBANDING HASIL ANALISIS
DARI METODA ELEMEN HINGGA

Sugiarmadji HPS
Peneliti, Pusat Teknologi Wahana Dirgantara, Detekgan LAPAN
Jl. Raya LAPAN Rumpin, Serpong Jawa Barat.

e-mail address : sugiarmaji@yahoo.com


ABSTRAK

Cap dari suatu motor roket merupakan komponen yang terletak pada ujung-depan dari tabung motor roket.
Fungsi cap pada motor roket adalah untuk menutup tabung motor roket serta menahan gaya tekanan (internal
pressure) dari hasil gas pembakaran propelan roket. Oleh karena itu, struktur cap harus dirancang sekuat mungkin,
namun cukup ringan, sehingga mampu menahan beban tekanan tersebut. Besarnya ketebalan dinding cap sangat
menentukan kekuatan dari struktur cap.
Untuk memudahkan dalam penentuan secara analitik ketebalan dinding struktur cap pada motor roket RX-
200-LPN dapat dilakukan dengan asumsi bahwa struktur cap hanya berupa pelat bundar pipih, yang dijepit pada tepi-
tepinya. Besarnya momen dan gaya lintang yang terjadi pada pelat bundar dapat ditentukan dengan memecahkan
persamaan differensial orde-4 dari lendutan struktur cap. Untuk analisis pelat bundar ini bentuk persamaan
differensial tersebut lebih mudah dinyatakan dalam sistem koordinal polar, dengan melakukan transformasi koordinat
Cartesian ke koordinat polar, sehingga akan diperoleh bentuk persamaan lendutan yang lebih sederhana dan fungsi
dari jari-jari cap. Kemudian di sini digunakan operator Laplace dalam koordinat polar, maka akan didapatkan
persamaan differensial pelat bundar (lingkaran), yang dapat menghasilkan bentuk persamaan untuk momen arah
melintang, momen arah radial dan gaya lintang.
Untuk bentuk pelat bundar dengan beban merata dan dijepit pada tepinya, besarnya momen dan gaya
lintang dapat ditentukan dengan memberikan beban tekanan yang terjadi akibat tekanan gas pembakaran propelan
secara variatif, yaitu dari 50 kg/cm
2
, 60 kg/cm
2
, 70 kg/cm
2
sampai dengan 80 kg/cm
2
, serta data material bahan yang
digunakan untuk cap. Dalam penentuan ketebalan struktur cap motor roket RX-200-LPN akan digunakan material
Baja Karbon S-45C. Dengan mengambil faktor keamanan bahan S.F = 2.3 , maka harga ketebalan struktur cap yang
paling optimal dapat ditentukan, yaitu minimal sebesar t = 0,827 cm. Hasil perhitungan analitik ini kemudian akan
divalidasi dengan hasil analisis dengan Metoda Elemen Hingga (Finite Element Methods-FEM).

Kata Kunci : Cap, Roket RX-200-LPN, Pelat Bundar, Lendutan, FEM


PENDAHULUAN

Pada tahap perancangan-awal
(preliminary design) dari suatu komponen roket,
diperlukan sekali data dimensi komponen secara
cepat dan akurat. Oleh karena itu diperlukan suatu
metoda perhitungan yang dapat digunakan untuk
menunjang penentuan ukuran dimensi dari
komponen roket tersebut. Di sini akan dicoba
dikemukakan salah satu cara perhitungan
matematik untuk menentukan dimensi dari cap
roket.
Cap dari suatu motor roket merupakan
suatu komponen yang terletak pada ujung-depan
dari tabung motor roket. Fungsi cap pada motor
roket adalah untuk menutup tabung motor roket
serta menahan gaya tekanan dari hasil gas
pembakaran propelan roket. Oleh karena itu,
struktur cap harus dirancang sekuat mungkin,
namun cukup ringan, sehingga mampu menahan
beban tekanan tersebut. Besarnya ketebalan
dinding cap sangat menentukan kekuatan dari
struktur cap. Bentuk struktur cap yang akan
dihitung adalah cap dari motor roket RX-200-
LPN, yang merupakan motor roket terbaru
berdiameter OD = 203 mm yang sedang
dikembangkan di LAPAN, seperti yang
ditunjukkan dalam Gambar-1. Bagian tengahnya
tidak disediakan lubang untuk pemasangan
igniter.


Gambar-1 : Cap Motor Roket
Untuk memudahkan dalam penentuan
secara analitik ketebalan dinding struktur cap
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 578
dilakukan dengan asumsi bahwa struktur cap
hanya berupa pelat bundar pipih, yang dijepit
pada tepi-tepinya. Besarnya momen dan gaya
lintang yang terjadi pada pelat bundar dapat
ditentukan dengan memecahkan persamaan
differensial orde-4 dari lendutan struktur cap.
Solusi dari persamaan lendutan ini akan
memperoleh harga-harga momen dan gaya-lintang
yang terjadi, yang dapat digunakan untuk
menghitung besarnya tebal cap. Untuk
mengetahui keakuratannya, hasil penentuan tebal
cap roket secara analitik kemudian divalidasi
dengan metoda lain, yaitu menggunakan suatu
perangkat lunak berbasis Metoda Elemen Hingga
(MEH).



METODOLOGI, TEORI DAN PENENTUAN
SECARA ANALITIK KETEBALAN
STRUKTUR CAP ROKET


Metodologi Penelitian

Penentuan ketebalan struktur cap roket
dilakukan dengan mencari pemecahan secara
analitik persamaan differensial orde-4 lendutan
dari pelat bundar pipih yang dijepit pada tepi-
tepinya. Hasil dari solusi persamaan differensial
ini kemudian divalidasi dengan metode lain yang
sudah baku.


Teori Perhitungan Ketebalan Cap Roket

Untuk memudahkan perhitungan
ketebalan cap secara analitik, di sini struktur cap
dipandang hanya sebagai pelat bundar pipih
(lingkaran), yang dijepit pada tepi-tepinya.
Persamaan lendutan pelat bundar ini dapat
dituliskan sebagai

D
xy Pz
y
w
w
y x
x
w ) (
2
4
4
4
2 2
4
4
=

(1)

di mana :
w = lendutan pelat bundar
P
z
= beban kerja
D = ketegaran lentur (flexural rigidity)
=
) 1 ( 12
.
2
2

t E
(2)
E = Modulus elastisitas bahan
t = tebal pelat
= Poisson ratio
P
z
= beban kerja pada pelat
Dalam analisis untuk bentuk pelat
lingkaran akan lebih mudah menyatakan
persamaan differensial dalam koordinat polar. Hal
ini dapat dilakukan dengan transformasi koordinat
dan berdasarkan pada kondisi keseimbangan
elemen pelat kecil, seperti yang terlihat dalam
Gambar-2.


(a) Dalam Koordinat Cartesian



(b). Dalam Koordinat Polar

Gambar-2 : Elemen Kecil Pelat Bundar


Hubungan koordinat Cartesian ke koordinat Polar
:
x = r cos y = r sin
2 2
y x r + =

) ( tan
1
x
y
=

Karena x merupakan fungsi dari r dan y, turunan
w(r,) terhadap x dapat ditransformasikan ke
turunan terhadap r dan , ditulis

x
w
x
r
r
w
x
w

(3)

di mana :
cos = =

r
x
x
w
(4)

dan

sin =

x

Sehingga dapat diperoleh
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 579

w
r r
w
x
w
sin
1
cos
(5)
Analog dapat diperoleh

w
r r
w
y
w
cos
1
sin
(6)
Selanjutnya perlu dicari harga-harga

y x
w
dan
y
w
x
w

.
; ;
2
2
2
2
2

Untuk memudahkan penyelesaian
persamaan lendutan pada pelat bundar ini, akan
digunakan operator Laplace

2
2
2
2
2
y x

=
(7)
Dalam koordinat polar, operator Laplace dapat
ditulis sebagai


r r r r
r

=
1 1
2
2
2 2
2
2

(8)

Apabila suatu pelat bundar memikul
beban yang simetris secara radial terhadap sumbu
sistem koordinat polar, maka permukaan
lendutannya juga akan simetris rotasional. Dalam
hal ini, w tidak tergantung terhadap , sehingga
dengan demikian operator Laplace menjadi

dr
d
r dr
d
r
1
2
2
2
+ =
(9)

Sehingga pers.(1) dari lendutan pelat bundar
dalam koordinat polar dapat ditulis kembali
sebagai
+ + =
2
2
2 3
3
4
4
2 2
1 2
) (
dr
w d
r dr
w d
r dr
w d
r w r r

D
r Pz
dr
dw
r
) ( 1
3
=
(10)

Dengan memisahkan bagian momen dan gaya
lintang (geser) pada pers.(10) akan didapatkan:

- Momen arah tangensial :

+ =
dr
dw
r dr
w d
D M
r

2
2
(11)

- Momen arah radial :

+ =
dr
dw
r
dr
w d
D M
1
2
2

(12)
- Gaya lintang :

+ = =
dr
dw
r dr
w d
r
dr
w d
D V q
r r
2 2
2
3
3
1 1
(13)
Dengan memasukkan syarat batas pada struktur
cap ini, maka persamaan differensial dari momen
dan gaya lintang tersebut menjadi lebih sederhana
dan mudah dipecahkan.


Aplikasi Penentuan Ketebalan Cap Motor
Roket RX-200-LPN untuk Pembebanan
Tekanan

Untuk kasus motor roket RX-200-LPN,
di mana struktur cap dari tabung dianggap sebagai
pelat bundar pipih yang dijepit pada tepinya (lihat
Gambar-3), maka akan didapat syarat batas
berikut :
- pada titik pusat pelat bundar : r = 0
- pada tepi pelat (dijepi tepinya) :
r = r
o
, = 0. , dw/dr = 0


Gambar-3(a) : Beban merata pada Pelat Bundar dengan
jari-jari r
o
.


Gambar-3(b) Pelat Bundar yang dijepit ditepinya

Gambar-3 : Pelat Bundar dengan beban merata
yang dijepit pada tepinya.

Jika syarat batas ini dimasukkan, maka pers.(11),
pers.(12 dan pers.(13) dapat ditulis kembali
bentuknya menjadi
[ ]
2 2
) 3 ( ) 1 (
16
r r
p
M
o
o
r

+ + =
(14)

[ ]
2 2
) 3 1 ( ) 1 (
16
r r
p
M
o
o

+ + =
(15)
r
r p
q
o o
r
2
2
=
(16)

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 580
di mana :
p
o
= tekanan gas pembakaran, akan diberikan
variatif , dari 50~ 80 kg/cm
2
.
= Poisson ratio (untuk Baja Karbon S45C
harganya = 0,32).
r
o
= 95 mm (jari-jari cap, di mana diameter-luar
tabung motor roket RX-200-LPN sebesar
203 mm, tebal t = 6,5 mm)

Harga r bergerak dari titik pusat pelat ke tepi pelat
bundar, dari 0 mm sampai dengan harga r
o
= 95
mm.
- Untuk r = 0 (titik pusat pelat) , p = 50 kg/cm
2

, besarnya momen:
[ ]
2 2
) 0 )( 32 . 0 3 ( ) 5 . 9 )( 32 . 0 1 (
16
50
+ + =

Mr

= 118,5 kg.cm


[ ]
2 2
) 0 ))( 32 , 0 .( 3 1 (( ) 5 . 9 )( 32 . 0 1 (
16
50
+ + =

M

= 118,5 kg.cm
- Untuk r = 9,5 cm (tepi pelat) , p = 50 kg/cm
2

, besarnya momen :

[ ]
2 2
) 5 . 9 )( 32 . 0 3 ( ) 5 . 9 )( 32 . 0 1 (
16
50
+ + =

Mr

= - 179,55 kg.cm
[ ]
2 2
) 5 . 9 ))( 32 , 0 .( 3 1 (( ) 5 . 9 )( 32 . 0 1 (
16
50
+ + =

M

= -57,49 kg.cm

Dari data material struktur cap Baja
Karbon-S45C diperoleh harga tegangan ultimate
tarik sebesar
u
= 5.800 kg/cm
2
. Dengan
mengambil nilai momen sebesar -179,55 kg.cm
(tepi pelat), maka akan didapatkan tebal struktur
cap dari hubungan

2
6
t
Mr
=
(17)

2
) 55 , 179 )( 6 (
5800
t
=


atau
43097 , 0
5800
) 55 , 179 )( 6 (
= = t
cm
Ketebalan struktur cap ditengah pelat dengan
momen sebesar 118,5 kg.cm, didapatkan tebal
pelat t = 0,36 cm.
Jadi, harga ketebalan cap yang berupa
pelat bundar ini secara teoritis akan berubah, dari t
= 0,36 cm di titik pusat sampai t = 0,43097 cm di
tepi pelat. Dengan cara yang sama, untuk beban
tekanan bervariasi dari 60~ 80 kg/cm
2
, akan
diperoleh harga ketebalan struktur cap seperti
yang terlihat dalam Tabel-1. Pada aplikasi praktis,
umumnya ketebalan struktur cap ini dibuat
dengan ketebalan yang sama untuk mempermudah
dalam manufakturingnya, dan diambil harga
terbesar guna memperoleh faktor keamanan
bahan.
Dari Tabel-1 dapat ditunjukkan bahwa
harga ketebalan minimal struktur cap motor roket
RX-200-LPN ini secara teoritis bisa mencapai
harga t = 0,545 cm, untuk beban tekanan yang
diberikan sebesar 80 kg/cm
2
. Apabila diambil
faktor keamanan bahan S.F = 2.3 dan harga
tegangan tarik ultimate dari bahan Baja Karbon S-
45C sebesar 5.800 kg/cm
2
, maka ketebalan
struktur cap minimal akan menjadi t = 0,827 cm.
Perhitungan gaya-lintang atau gaya geser
q
r
dapat dilakukan untuk mengecek harga
ketebalan cap yang diperoleh dari perhitungan
teoritis ini.

Tabel-1 : Harga Ketebalan Struktur Cap Motor
Roket RX-200-LPN



Penentuan Ketebalan Struktur Cap dengan
menggunakan Metode Lain

Untuk memvalidasi hasil perhitungan
analitik ketebalan struktur cap motor roket RX-
200-LPN, di sini akan dikemukakan analisis
kekuatan struktur cap dengan menggunakan suatu
perangkat-lunak yang berbasis Metoda Elemen
Hingga (Finite Element Methods) MSCNastran
versi Windows4.5 . Bentuk geometri struktur cap
adalah seperti yang terlihat dalam Gambar-4.
Ketebalan struktur cap akan diberikan dari t =
0,65 ~ 0,83 cm, dengan pembebanan tekanan dari
50 ~ 80 kg/cm
2
. Material bahan struktur cap
diambil Baja Karbon S-45C, dengan spesifikasi
bahan : Modulus Elastisitas E = 1.96E11 N/m
2
,
Shear Modulus G = 4.0E10 N/m
2
, Poisson Ratio
= 0,32, Limit Stress : Tension = 4.0E8 N/m
2
,
Compression = 4.0E8 N/m
2
, Shear =3.2E8 N/m
2
,
Mass Density = 7864 N/m
3
. Harga tegangan yield
dari Baja Karbon S-45C adalah
yield
= 275,68
MPa.
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 581

139 mm

Gambar-4 : Gemometri Struktur Cap RX-200

Dengan menggunakan suatu perangkat-
lunak yang berbasis Metoda Elemen Hingga,
bentuk struktur cap secara utuh dapat dianalisis
dengan membuat pemodelan FEM (Finite
Element Methods). Model FEM dibuat dengan
jumlah 336 elemen dan 674 nodal, dan di
constaint fixed (arah 1,2,3,4,5,6) pada
permukaan cap yang bersambungan dengan
tabung. Kemudian diberikan beban tekanan pada
bidang muka struktur cap sebesar p = 50 kg/m
2
,
sehingga akan didapatkan distribusi tegangan
geser maks. (max shear stress), seperti yang
terlihat dalam Gambar-5. Untuk pembebanan
tekanan yang variatif dari p = 50 ~ 80 kg/cm
2
dan
ketebalan cap yang berbeda dari ketebalan t =
0,65 ~ 0,827 cm, maka dapat diperoleh besarnya
tegangan geser maksimum dan harga faktor
keamanan bahan S.F, seperti yang ditunjukkan
dalam Tabel-2.




Gambar-5: Ditribusi Tegangan Geser Maksimum
pada struktur Cap RX-200-LPN.


Dari hasil analisis dengan menggunakan
pendekatan Elemen Hingga terlihat bahwa hasil
perhitungan analitik pada ketebalan struktur cap
roket ini dapat memberikan harga faktor
keamanan sebesar 2,6 ~ 3,1x lebih kecil. Artinya,
ketebalan struktur cap yang diperoleh secara
analitik terhadap pembebanan yang terjadi cukup
aman untuk bahan material yang digunakan.
Harga faktor keamanan S.F bahan
terhadap pembebanan yang terjadi dapat diperoleh
dari hubungan :

geser
u
F S

= .
(18)
di mana :

u
= tegangan ultimate bahan (5.800 kg/cm2
untuk Baja Karbon S-45C)

geser
= tegangan geser yang diperoleh akibat
pembebanan yang terjadi.


Tabel-2 : Harga Tegangan Geser Maks. Dan
Faktor Keamanan S.F





HASIL DAN DISKUSI

Penentuan secara analitik ketebalan
struktur cap dari motor roket RX-200-LPN
dengan menggunakan pers.(14), pers.(15),
pers.(16) dan pers.(17) ternyata dapat memberikan
hasil yang cukup aman, dalam arti dapat
memberikan faktor keamanan terhadap bahan
yang digunakan untuk pembuatan struktur cap.
Harga ketebalan cap yang berupa pelat
bundar secara teoritis akan berubah, dari t = 0,36
cm di titik pusat sampai t = 0,43097 cm di tepi
pelat. Atau dengan memasukkan harga faktor
keamanan S.F = 2,3, maka harga ketebalan pelat
akan menjadi t = 0,571 ~ 0,672 cm di pusat
lingkaran sampai dengan t = 0,654 ~ 0,827 cm di
tepi lingkaran.
Pada penerapan praktek, umumnya
ketebalan struktur cap ini dibuat dengan ketebalan
yang sama untuk mempermudah dalam
manufakturingnya, dan diambil harga terbesar
guna memperoleh faktor keamanan bahan.
Memang idealnya bentuk struktur cap ini
sebaiknya dibuat berbentuk parabola atau
setengah bola untuk meminimumkan besarnya
190 mm

t
cap

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 582
tegangan geser yang terjadi, seperti pada tabung
gas Elpiji yang ada di pasaran. Namun untuk
struktur cap dari suatu motor roket
manufakturingnya akan mengalami kesulitan.
Apalagi struktur cap ini merupakan komponen
motor roket yang sangat vital untuk menahan
beban tekanan akibat gas pembakaran propelan
roket. Oleh karena itu, biasanya untuk lebih
menjamin keamanan bahan maka harga Faktor
Keamanan ini diambil S.F = 3 ~ 5. Hal ini bisa
diterima karena akibat beban thermal, dari
perbedaan temperatur di dalam dengan di luar
dinding cap, yang dapat memberikan penambahan
besarnya tegangan geser sekitar 10 ~ 15 % belum
diperhitungkan dalam pemecahan analitik ini.
Pemecahan analitis problematika
pembebanan tekanan pada struktur cap suatu
motor roket dapat dilakukan dengan cepat dan
memberikan faktor keamanan bahan cukup baik.
Hal ini sangat diperlukan terutama pada tahap-
tahap awal dari perancangan motor roket. Di sini
untuk menghitung ketebalan cap tidak
memerlukan perangkat-lunak dan komputer,
cukup dengan alat kalkulator saja, asal diberikan
data geometri cap, beban yang terjadi, dan bahan
struktur cap.



KESIMPULAN

Dari penentuan ketebalan dinding
struktur Cap Motor Roket RX-200-LPN dengan
bahan Baja Karbon S-45C secara analitik ini dapat
ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
(a). Harga ketebalan dinding cap dari motor roket
secara analitik dapat ditentukan melalui
pemecahan persamaan differensial orde-4
dari lendutan yang terjadi pada struktur cap,
melalui asumsi bahwa struktur cap hanya
berupa pelat bundar (lingkaran) pipih.
Dengan mengambil faktor keamanan S.F =
2,3 akan diperoleh ketebalan dinding cap
sebesar t = 0,654 ~ 0,827 cm. Dengan
memperhitungkan adanya beban thermal pada
struktur cap, bisa diambil harga S.F = 5,
sehingga akan diperoleh ketebalan dinding
cap menjadi sebesar t = 0,964 ~ 1,219 cm.
(b). Validasi hasil perhitungan analitik ketebalan
dinding cap dapat dilakukan dengan
pembanding dari hasil analisis pendekatan
dengan menggunakan suatu perangkat-lunak
berbasis metoda elemen hingga. Hasil
validasi menunjukkan bahwa hasil
perhitungan secara analitik ini dapat
memberikan harga yang cukup aman
terhadap bahan material struktur cap. Atau
dapat juga sebaliknya, hasil dari perhitungan
analitik ini bisa dijadikan data nilai-awal
perhitungan ketebalan dinding cap dengan
menggunakan perangkat-lunak tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
[1] Braham Lewis,H.,Structural Design of
Missiles and SpaceCraft, New York. Mc
Graw-Hill Book Co, Inc, New York, 1962.
[2] Baker,E.H, Kovalesvsky, L, Rish,F.L.,
Structural Analysis of Shells, Mc.Graw Hill
Book Co, Inc.,1972
[3] Cook,R.D., Malkus,D.S., and Plesha,M.I.,
Concepts and Application of Finite Element
Analysis, 3
rd
Edition, John Wiley & Sons
Inc., New York USA, 1984.
[4] Fampel, Joseph Herman, Engineering
Design, Asynthesis of Stress Analysis and
Material Engineering, John Willey & Sons
Inc. Second Edition, Canada, 1981.
[5] Huebuer, Kenneth,H., The Finite Element
Method for Engineer, John Wiley & Sons
Inc., New York, 1974.
[6] Pepper,D.W., Heinrich,J.C., The Finite
Element Method : Basic Concepts and
Applications, Hemisphere Publishing Co.,
Washington-Philadelphia-London, 1992.
[7] Thimoshenko and Krieger, Theory of Plate
and Shells, Mc.Grw-Hill, New York,USA,
1984.
[8] MSC/Nastran for Windows, Installation
and Application Manual, Version 4.5, The
Mac.Neal Schwendler Co., 1994.
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 583
ANALISIS PERHITUNGAN BESARNYA TEGANGAN STATIK PADA
STRUKTUR TABUNG MOTOR ROKET RX-4012 LPN DENGAN METODA
ANALITIK


Sugiarmadji HPS
1)
, Setiadi
2)

1)
Peneliti, Pusat Teknologi Wahana Dirgantara, Detekgan LAPAN
2)
Peneliti, Pusat Teknologi Wahana Dirgantara, Detekgan LAPAN

Jl. Raya LAPAN Rumpin, Serpong Jawa Barat.
e-mail address : sugiarmaji@yahoo.com atau : seti1159@biz.net.id

ABSTRAK
Perhitungan secara analitik struktur tabung motor roket RX-4012 LPN, yang dapat disimulasikan sebagai
elemen struktur cangkang, dilakukan untuk mengetahui distribusi tegangan statik yang terjadi. Tabung motor roket
RX-4012-LPN dapat dianggap sebagai elemen struktur cangkang silindris, karena perbandingan ketebalan dengan
jari-jari tabung cukup rendah, yaitu 3/200 = 0,015 (syarat memenuhi persamaan membrane < 0,05). Harga tegangan
statik yang terjadi dapat dihitung secara analitik dengan memecahkan persamaan differential orde-4 dari lendutan
cangkang. Untuk memudahkan dalam perhitungan, beban-luar yang berasal dari terjadinya tekanan gas pembakaran
propelan roket (internal-pressure) dianggap sebagai beban merata.
Struktur tabung motor roket RX-4012-LPN terbuat dari material Stainless Steel 17.7PH, dengan dimensi
panjang L = 4012 mm dengan tebal t = 3 mm dan diameter OD = 400 mm. Dengan menerapkan hukum Hooke untuk
regangan-tegangan serta hubungan ketegaran-lentur (flexural rigidity) cangkang, maka persamaan differensial orde-4
dari lendutan cangkang silindris tersebut akan diubah menjadi persamaan differensial orde-4 untuk ketebalan
cangkang silinder. Solusi dari persamaan ini akan mendapatkan harga besarnya momen lentur dan lendutan dari
cangkang silindris. Setelah digabungkan dengan tegangan membrane akan didapat tegangan aksial longitudinal atau
arah memanjang.
Dari harga momen lentur dan lendutan struktur cangkang silindris, maka besarnya tegangan statik pada
permukaan sebelah luar dari cangkang silindris dapat ditentukan. Tegangan yang bekerja kurang lebih sebesar 30%
lebih besar daripada tegangan membrane arah aksial-longitudinal. Selanjutnya harga tegangan digunakan untuk
mengetahui distribusi tegangan yang bekerja pada dinding tabung roket arah melingkar (tangensial). Resultante dari
kedua tegangan ini memberikan tegangan resultan yang bekerja pada dinding tabung sebesar
r
= 4.842 kg/cm
2
, untuk
beban tekanan p = 50 kg/cm
2
. Harga faktor keamanan material bahan yang dihasilkan sebesar S.F = 1,26.
Dibandingkan dengan hasil analisis perhitungan dengan menggunakan metoda lain, yang berbasis pada Metoda
Elemen Hingga, harga S.F dari perhitungan secara analitik 1,4 x lebih kecil.
Kata Kunci : Tabung, Cangkang, Tegangan, Internal Pressure, Lendutan


PENDAHULUAN

Struktur Tabung dari motor roket
merupakan salah satu komponen utama pada
struktur roket, karena di dalamnya dimuati dengan
bahan bakar propelan roket. Pada ujung depan
tabung akan ditempatkan komponen Cap roket,
yang berfungsi sebagai penutup lubang tabung
dan penempatan igniter (penyala propelan).
Sedangkan pada ujung belakang tabung akan
terpasang Nozzle roket, yang berfungsi untuk
mengubah tekanan gas pembakaran propelan
menjadi gaya dorong roket. Oleh karena itu,
struktur tabung motor roket ini benar-benar harus
dirancang seoptimal mungkin, agar diperoleh
struktur tabung yang kuat namun beratnya cukup
ringan, sehingga dapat menghasilkan rasio-massa
motor roket sekecil mungkin (idealnya harga
rasio-massa struktur roket dengan massa
keseluruhan roket 0,25 ~ 0.3).
Dalam pengembangan motor roket
terbaru di LAPAN telah dirancang motor roket
RX-4012-LPN, dengan menggunakan struktur
tabung tipis dari material bahan Baja Stainless
17.7PH (Gambar-1). Ukuran dimensi tabung ini
adalah panjang L = 4012 mm, diameter luar OD =
400 mm dan tebal 3 mm.
Upaya penelitian dan pengembangan
pada struktur roket, khususnya tabung motor
roket, sampai sekarang masih terus dilakukan,
guna memperoleh rancangan struktur roket yang
optimal dengan rasio-massa yang sekecil
mungkin. Salah satu metoda yang dikembangkan
adalah metode untuk perhitungan secara analitik
dengan cepat namun cukup akurat dari tegangan
yang terjadi pada struktur tabung. Dari besarnya
tegangan ini harga faktor keamanan bahan akibat
pembebanan pada struktur dapat diketahui.

Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 584



Gambar-1 : Roket RX-4012-LPN

Di dalam perhitungan secara analitik di
sini, struktur tabung motor roket RX-4012 LPN,
dapat didefinisiikan sebagai elemen struktur
cangkang (shell) silindris, karena perbandingan
ketebalan dengan jari-jari tabung cukup rendah,
yaitu 3/200 = 0,015 (syarat memenuhi persamaan
membrane < 0,05).


METODOLOGI, TEORI DAN
PERHITUNGAN TEGANGAN STATIK
STRUKTUR TABUNG SECARA ANALITIK

Metodologi Penelitian

Perhitungan tegangan statik struktur
tabung roket dilakukan dengan mencari
pemecahan secara analitik persamaan differensial
orde-4 lendutan cangkang silindris. Penyelesaian
umum dari persamaan diturunkan dengan
memasukkan kondisi ujung-ujung silinder. Hasil
dari perhitungan tegangan statik ini akan
divalidasi dengan metode lain yang baku, yaitu
menggunakan Metoda Elemen Hingga (Finite
Element Methods-FEM)).


Teori Perhitungan Tegangan Statik pada
Struktur Tabung

Pada struktur cangkang ini harga
kekakuan lenturnya rendah, sehingga menjadikan
gaya aksial sebagai sistem pemikul beban utama
dibandingkan dengan tegangan lentur akibat
momen. Sifat struktur cangkang yang memikul
beban sepenuhnya dengan menimbulkan hanya
tegangan-tegangan yang langsung bekerja dalam
bidang permukaan struktur cangkang itu sendiri,
yang dikenal sebagai sifat sebuah membrane.
Untuk memudahkan perhitungan analitik
ini, tinjau elemen kecil pada struktur cangkang
silindris seperti yang ditunjukkan dalam Gambar-
2.


(a) Elemen kecil rusuk cangkang, posisi
horizontal dan sejajar sb-x


(b) Gaya-gaya yang bekerja pada sisi
cangkang

Gambar-2 : Elemen Cangkang Silindris

Keseimbangan elemen dengan gaya-gaya
searah sumbu-x akan menghasilkan persamaan

0 = +

dx Xrd dx d
N
dx rd
x
N
x


(1)
Keseimbangan elemen dengan gaya-gaya searah
sumbu-y, yaitu arah yang menyinggung
penampang normal, akan menghasilkan hubungan

0 = +

dx Yrd dx d
N
dx rd
x
N
x
x

(2)
Keseimbangan elemen dengan gaya-gaya searah
sumbu-z, yaitu arah yang tegak-lurus terhadap
cangkang, akan menghasilkan persamaan
0 = + dx Zrd dx d N


(3)
Pers.(1), pers.(2) dan pers.(3) dapat
disederhanakan menjadi bentuk

X
N
r x
N
x
=

1
(4)
Y
N
r x
N
x
x
=

1
(5)


Zr N =


(6)
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 585
Apabila elemen dari cangkang silindris
ini diberikan beban simetris terhadap sumbunya
(lihat dalam Gambar-3), maka dari persamaan
keseimbangan besarnya gaya-geser selaput tipis
berlaku : N
x
= N
x
di mana harga gaya ini akan
hilang. Demikian juga harga momen puntir M
x
=
M
x
akan hilang. Sedangkan harga gaya N

dan
momen lentur M

akan konstan sepanjang
kelilingnya.


Gambar-3 :Elemen Cangkang dengan Beban
Simetris

Dengan asumsi bahwa gaya luar yang
bekerja tegak-lurus pada permukaan, maka untuk
kondisi simetris akan didapatkan persamaan
0 = rdxd
dx
dN
x
(7)
0 = + +

Zrdxd dxd N rdxd
dx
dQ
x
(8)
0 = rdxd Q rdxd
dx
dM
x
x

(9)
Bila diambil harga N
x
= 0 pada pers.(7), maka dari
pers.(8) dan pers.(9) diperoleh bentuk persamaan
yang lebih sederhana, yaitu

Z N
r dx
dQx
= +

1
(10)
0 =
x
Q
dx
dMx
(11)
Besaran yang belum diketahui adalah N

, Q
x
dan
M
x
.
Untuk dapat menyelesaikan persamaan
ini perlu diperhatikan terjadinya lendutan. Dari
sifat simetris pada pembebanan yang diberikan,
didapat hubungan
dx
du
x
=
dan
r
w
=

(12)
Dengan menggunakan pers.(12) dan hubungan
tegangan-regangan pada hukum Hooke akan
didapat

( )

=
x x
Et
N
2
1


(

=
r
w
dx
du Et

2
1
= 0 (13)

( )
x
Et
N

=
2
1

(

=
r
w
dx
du Et

2
1
= 0 (14)
Dari pers.(13) diperoleh harga

r
w
dx
du
=
(15)
Pers.(15) ini digunakan pada pers.(14) akan
diperoleh harga

r
w
Et N =

(16)
Jadi, di sini terlihat bahwa dengan memperhatikan
momen lentur dan sifat simetrisnya, maka tidak
ada perubahan apapun pada besarnya gaya arah
keliling lengkungan (tangensial).
Besarnya momen dalam arah sumbu-x
dapat ditulis sebagai

2
2
dx
w d
D M
x
=
(17)
di mana :
( )
2
3
1 12
=
Et
D
merupakan ketegaran lentur
(flexural rigidity) cangkang
- Rasio Poission material bahan
E - Modulus Elastisitas material bahan
t - ketebalan cangkang
Dari harga N

pada pers.(16) dan momen


arah sumbu-x pada pers (17), maka dengan
menghilangkan Q
x,
bentuk pers.(11) menjadi
Z N
r dx
Mx d
= +

1
2
2
(18)
Z w
r
Et
dx
w d
D
dx
d
= +
(
(

2
2
2
2
(19)
atau
Z w
r
Et
dx
w d
D = +
2 4
4
(20)
Dengan mengambil notasi baru , di mana
( )
2 2
2
2
4
1 3
4 t r D r
Et


= =

atau
( )
4
2 2
2
1 3
t r


=
(21)
Pers.(20) dapat disederhanakan menjadi
persamaan orde-4 lendutan cangkang :

D
Z
w
dx
w d
= +
4
4
4
4
(22)

Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 586
Solusi umum dari pers.(22) dapat
dinyatakan sebagai
w =e
x
(c
1
.cosx + c
2
.sinx) +
e
-x
(c
3
.cosx + c
4
.sinx) + f(x) (23)

di mana f(x) merupakan penyelesaian utama
dan c
1
, c
2
, c
3
, c
4
konstanta yang dapat ditentukan
berdasarkan kondisi batas pada ujung struktur
cangkang silindris tersebut.
Sebagai contoh di sini diambil struktur
cangkang silindris yang diberi beban momen
lentur Mo dan gaya geser Qo sepanjang
lengkungan yang terbagi secara merata pada tepi x
= 0, seperti yang terlihat dalam Gambar-4.

Gambar-4 : Struktur Cangkang Silindris dengan
beban momen Mo dan gaya Qo pada x = 0.

Pada ujung cangkang, x = 0, gaya yang
diberikan akan menimbulkan lenturan lokal, yang
akan hilang dengan cepat bila jarak x bertambah.
Dalam hal ini tidak ada beban tekanan yang
didistribusikan ke seluruh permukaan cangkang
dan f(x) = 0. Jadi, suku pertama ruas kanan dari
pers.(23) harus hilang, sehingga didapat harga
konstanta c
1
= c
2
= 0, dan diperoleh bentuk
w = e
-x
(c
3
cos x + c
4
sin x) (24)

Selanjutnya harga konstanta c
3
dan c
4
dapat
ditentukan dari kondisi ujung cangkang yang
dibebani, dan dapat ditulis sebagai
( )
o
o x
o x
M
dx
w d
D Mx =
(
(

=
=
=
2
2
(25)
( )
o
o x
o x
o x
Q
dx
w d
D
dx
dMx
Qx =
(
(

=
=
=
=
2
2

(26)

Dengan menggunakan pers.(25) dan pers.(26) ke
dalam pers.(24) akan diperoleh harga konstanta
( )
o o
M Q
D
C

+ =
3
3
2
1

D
M
C
o
2
4
2
=

Apabila harga konstanta c
3
dan c
4
dimasukkan ke
pers.(24), maka bentuk persamaan akhir lendutan
w menjadi
( ) | | x Q x x M
D
e
w
o o
x


cos cos sin
2
3
=

(27)
di mana :
4
2
4 D r
Et
=
konstanta lendutan

Harga lendutan w pada ujung yang dibebani (x=0)
adalah :
| |
o o o x
Q M
D
w + =
=

3
2
1
) (
(28)
Tanda negatif pada lendutan ini dihasilkan dari
keadaan bahwa w diambil postitif menurut arah
sumbu silinder x.
Selanjutnya diambil notasi berikut
) sin (cos ) ( x x e x
x


+ =


) sin cos ( ) ( x x e x
x


+ =


) (cos ) ( x e x
x


=
) (sin ) ( x e x
x


=
Persamaan lendutan dan turunannya pada
pers.(27) dapat dinyatakan dengan
| | ) ( ) (
2
1
3
x Q x M
D
w
o o

+ =
(29)
| | ) ( ) ( 2
2
1
2
x Q x M
D dx
dw
o o

+ =

(30)
| | ) ( 2 ) ( 2
2
1
2
2
x Q x M
D dx
w d
o o

+ =

(31)
Sekarang tinjau struktur cangkang
silindris dengan pembebanan tekanan-dalam
(internal pressure), p, yang merata seperti yang
ditunjukkan dalam Gambar-5. Oleh karena tepi
cangkang bebas, tekanan p akan menghasilkan
tegangan lingkar (hoop stress)

t
r
p
t
=
(32)
di mana :
p - tekanan-dalam (internal pressure)
r - jari-jari cangkang silindris
t - tebal cangkang silindris

Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 587

Gambar-5 : Struktur cangkang silindris dengan
beban tekanan-dalam.

Akibat beban tekanandalam, lendutan atau
pengembangan jari-jari silinder akan bertambah
sebesar :

Et
pr
E
t
r
2
= =

(33)
di mana : E Modulus Elastisitas bahan
Apabila ujung-ujung cangkang dijepit
pada tumpuannya, maka ujung-ujung itu tidak
dapat bergerak keluar, dan akan timbul lenturan
lokal pada tepi-tepinya. Untuk panjang L dari
cangkang silindris ini cukup besar, harga w dari
pers.(29) di atas dapat diselesaikan.
Pada harga x= 0 (ujung cangkang)
karena dijepit harga lendutan = 0, sehingga dari
pers.(28) didapatkan hubungan

| |

= +
o o
Q M
D
3
2
1

(34)
dan
| | 0 2
2
1
2
= +
o o
Q M
D

(35)
Diperoleh harga M
o
dan Q
o
sebesar :

2 2
2
2
p
D M
o
= =
(36)


p
D Q
o
= =
3
4
(37)
Karena teori membrane tidak dapat
menggambarkan tegangan yang sebenarnya pada
cangkang didekat ujung silinder (kondisi tepi),
maka pada tepi ini biasanya tidak dapat dipenuhi
selengkapnya dengan hanya memperhitungkan
tegangan membrane saja. Pada kondisi riil dari
tabung motor roket, di daerah sambungan antara
tabung dengan cap roket bisanya terjadi tegangan
lokal yang didistribusikan secara simetris terhadap
sumbu silinder.
Untuk jarak secukupnya dari ujung
silinder, besarnya lendutan atau pengembangan
jari-jari cangkang silindris dapat dituliskan
sebagai
|
.
|

\
|
=
2
1
2
v
Et
pR
(38)
di mana :
R - jari-jari silinder agak jauh dari tepi
- rasio Poisson dari material bahan
Pada sambungan antara tabung dengan
cap (tutupnya) harus bekerja suatu gaya geser Q
o

dan momen lentur M
o
yang terbagi secara merata
sepanjang keliling, sehingga dapat menghilangkan
ketidak-sambungan (diskontinyuitas). Dalam
menghitung besaran Q
o
dan M
o
diasumsikan
bahwa lenturnya memiliki karakter lokal, dan
pers.(29) dapat dipakai dengan cukup akurat. Di
sini penyelesaian pendekatan perlu
memperhatikan lenturan terutama pada daerah
dekat sambungan.Harga Q
o
akan menimbulkan
rotasi yang sama besar pada sambungan.
Dari pers.(34) dan pers.(35), dan dengan
menggunakan pers.(38) akan diperoleh gaya geser
Q
o
:

|
.
|

\
|
= =
2
1
2
2
v
Et
pR
D
Q
o


atau

|
.
|

\
|
=
2
1
2 3
v
Et
DpR
Q
o

(39)
Selanjutnya harga lendutan w
x
dan momen lentur
M
x
dapat dihitung di sebarang titik pada dinding
cangkang silindris tersebut. Dengan menggunakan
pers.(29), pers.(30) dan pers.(31) akan dihasilkan

) (
2
3
x
D
Q
w
o
x

=
(40)

) (
2
2
x
Q
dx
w d
D Mx
o

= =
(41)
Dengan mensubstitusikan harga Q
o
dari
pers.(39) ke dalam pers.(41), akan diperoleh
momen lentur :

) (
.
2
1
2 2
x
t E
DpR
Mx

|
.
|

\
|

=
(42)
Setelah digabungkan dengan tegangan membrane
akan didapat tegangan aksial longitudinal atau
arah sumbu-x :

2
6
2 t
M
t
pR
x
x
+ =

atau

( )
2
2 2
1 2
2
1
2

|
.
|

\
|

+ =
pR
t
pR
x
(43)
L
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 588
Dalam menghitung tegangan menurut
arah keliling (tangensial), di samping tegangan
membrane (p.R/t), maka tegangan lingkar yang
disebabkan oleh lendutan w maupun tegangan
lentur yang dihasilkan oleh momen M

= .M
x

harus diperhitungkan. Dengan demikian, akan
diperoleh tegangan pada permukaan sebelah luar
dari cangkang silinder, ditulis sebagai

2
6
t
M
t
EW
t
pR
x x
t

+ + =

atau
( )
) (
1 2
2
1
2
2 2
x
pR
t
EW
t
pR
x
t

|
.
|

\
|

+ =

(44)

Tegangan yang bekerja ini kurang lebih 30 %
lebih besar daripada tegangan membrane aksial
longitudinal. Harga
x
ini yang akan digunakan
untuk mengetahui distribusi tegangan pada
dinding tabung roket.


Perhitungan Analitik Tegangan Statik
Struktur Tabung Motor Roket RX-4012-LPN

Dimensi dari struktur tabung motor roket
RX-4012-LPN yang dianalisis adalah seperti yang
terlihat dalam Gambar-6. Tabung terbuat dari
material bahan Baja Stainless 17.7PH, dengan
diameter OD = 400 mm, panjang L = 4012 mm
dan tebal t = 3 mm. Pada perhitungan di sini,
besarnya beban dari tekanan gas pembakaran
propelan akan diberikan secara variatif, yaitu dari
p = 50 ~ 80 kg/cm
2
.
Tegangan statik yang terjadi pada
struktur tabung ini secara analitik dapat dilakukan
dengan menggunakan persamaan untuk
menghitung besarnya tegangan dalam arah aksial
longitudinal dan tegangan dalam arah tangensial,
yaitu pers.(43) dan pers.(44).
Tegangan resultan atau kritis pada
dinding tabung dapat diperoleh dari hubungan :

( )
2 2
t x r
+ =
(45)

t = 3 mm R= 200 mm

L = 4012 mm
Gambar-6 : Tabung Motor Roket RX-4012-

Harga faktor keamanan bahan S.F dapat
dinyatakan dari hubungan :

r
yield
F S

= .
(46)
Data masukan untuk perhitungan :
E = 1,965E11 N/m
2
(Modulus Elastisitas)
= 0,27 (rasio Poisson Baja Stainless 17.7PH)
p = 50 ~ 80 kg/cm
2
(internal pressure)
L = 4012 mm (panjang tabung)
R = 200 mm (jari-jari luar tabung)
t = 3 mm (ketebalan tabung)
D =
( )
2
3
1 12
.

t E
ketegaran lentur
( )
4
2 2
2
1 3
t R


=
konstanta lendutan
struktur/panjang
(x) =notasi dengan nilai e
-x
.sin x
(x) =notasi dengan nilai e
-x
.cos x
Harga konstanta lendutan struktur /satuan panjang
:
( )
4
2 2
4
2 2
2
) 3 . 0 ( ) 20 (
) 27 . 0 1 ( 3 1 3
=

=
t R


= 0.4966 /cm
Harga ketegaran lentur :
( ) ) 27 . 0 1 ( 12
) 3 . 0 )( 10 00351 . 2 (
1 12
2
3 6
2
3

=
x Et
D


= 4.8624x10
3
kg.cm
Besarnya tegangan aksial longitudinal dapat
dihitung dengan menggunakan pers.(43),
diperoleh :
( )
2
2 2
1 2
2
1
2

|
.
|

\
|

+ =
pR
t
pR
x

=
( )
2
2 2
27 . 0 1 2
2
27 . 0
1 ) 20 ( ) 4966 . 0 (
) 3 . 0 ( 2
) 20 (

|
.
|

\
|

+
p
p

= (79,3483)p kg/cm
2
.
Besarnya tegangan tangensial pada permukaan
tabung pada jarak x = 25 cm dari tepi (ujung kiri
tabung) dapat dihitung dengan menggunakan
pers.(44), diperoleh
( )
) ( .
1 2
2
1
2
2 2
x
pR
t
EW
t
pR
x
t

|
.
|

\
|

+ =

( )
) ( .
1 . 2
2
1 . . . .
) ( .
. 2
)
2
1 .( .
.
2
2 2
2
2
x
R p
x
t
R p
t
R p

|
.
|

\
|


=

) cos( . .
) 3 . 0 .( 2
)
2
27 . 0
1 .( ) 20 ).( (
) 3 . 0 (
) 20 .(
2
2
x e
p
p
x


( )
) sin( . .
) 27 . 0 ( 1 . 2
2
27 . 0
1 ). 27 . 0 .( ) 20 .( . ) 4966 . 0 (
2
2 2
x e
p
x

|
.
|

\
|


Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 589
atau

t
= (66,67).p - p.(1913,3).e
-x
.cos(x) -
p.(12,4250).e
-x
.sin(x)
Besarnya tegangan resultan yang terjadi dapat
dihitung dari hubungan pada pers (45).
Pada jarak x = 25 cm dari ujung kiri (tepi
kiri) tabung, didapat harga (x) = 12,415,
sehingga akan diperoleh harga-harga (x) dan
(x). Harga tegangan yield dari Baja Stainless
17.7PH adalah
yield
= 6.110 kg/cm
2
. Untuk beban
tekanan yang variatif, p = 50 ~ 80 kg/cm
2
, hasil
perhitungan tegangan statik secara analitik dan
harga S.F pada struktur tabung roket RX-4012-
LPN adalah seperti yang ditunjukkan dalam
Tabel-1.
Tabel-1 : Hasil Perhitungan Tegangan dan S.F
pada Tabung Motor Roket RX-4012-LPN

p
x

t

r
S.F
(kg/cm
2
) (kg/cm
2
) (kg/cm
2
) (kg/cm
2
)
50 3517.42 3328.09 4842.35 1.26
60 4220.90 3993.70 5810.82 1.05
70 4924.38 4659.32 6779.29 0.90
80 5627.86 5324.94 7747.76 0.79


Perhitungan Analitik Tegangan-Statik
Struktur Tabung dengan menggunakan
Metode Lain

Untuk memvalidasi hasil perhitungan
analitik dari tegangan statik struktur tabung motor
roket RX-4012-LPN, di sini akan dikemukakan
analisis kekuatan struktur tabung dengan
menggunakan suatu perangkat-lunak yang
berbasis Metoda Elemen Hingga (Finite Element
Methods) MSCNastran versi Windows4.5 .
Bentuk geometri struktur tabung diambil seperti
dalam Gambar-6. Ketebalan struktur tabung dan
diameter yang diberikan sama, yaitu t = 3 mm dan
OD = 400 mm, dengan pembebanan tekanan dari
50 ~ 80 kg/cm
2
.
Material bahan struktur tabung diambil
Baja Stainless 17.7PH, dengan spesifikasi bahan :
Modulus Elastisitas E = 1,965E11 N/m
2
, Shear
Modulus G = 7,722E10 N/m
2
, Poisson Ratio =
0,27, Limit Stress : Tension = 9,997E8 N/m
2
,
Compression = 9,584 E8 N/m
2
, Shear = 6,5E8
N/m
2
, Mass Density = 7864 N/m
3
. Dengan
membuat pemodelan FEM (1.344 elemen dan
2.736 nodal) dan memberikan constraint-fixed
(arah 1,2,3,4,5,6) pada daerah ujung-ujung
tabung, maka dapat diperoleh. harga-harga
tegangan statik dan faktor keamanan S F, seperti
dalam Gambar-7 dan Tabel-2.

Gambar-7 : Distribusi Tegangan Statik
padaTabung Motor Roket-4012

Tabel-2 : Harga Tegangan Statik dan Faktor
Keamanan S.F pada Tabung.

p
vM

vM
S.F
(kg/cm
2
) (MPa) (kg/cm2)
50 323.43 3296.9 1.76
60 388.11 3956.3 1.47
70 427.96 4362.5 1.33
80 517.48 5275 1.10



HASIL DAN DISKUSI
Penentuan secara analitik ketebalan
struktur tabung dari motor roket RX-200-LPN
dengan menggunakan pers.(43), pers.(44) dan
pers.(45) akan menghasilkan harga tegangan
statik yang lebih besar, dibandingkan dengan hasil
perhitungan tegangan dengan Metode Elemen
Hingga (FEM). Dari hasil perhitungan pada
Tabel-1 dan Tabel-2 terlihat bahwa besarnya
faktor keamanan S.F terhadap bahan untuk
beberapa pembebanan tekanan p = 50 ~ 80 kg/cm
2

yang sama, secara analitik menunjukkan harga
1,4x lebih kecil dibandingkan S.F hasil analisis
dengan FEM. Hal ini berarti tegangan resultan
hasil perhitungan analitik akan mempunyai harga
yang selalu lebih besar rata-rata 1,4 kalinya
terhadap hasil analisis FEM.
Pada analisis dengan FEM, struktur
tabung di daerah yang bersambungan dengan Cap
dan Nozzle roket di constraint-fixed
(1,2,3,4,5,6) atau semua derajad kebebasan dari
nodal-nodal elemen tabung dikunci. Pada contoh
perhitungan di sini nodal-nodal akan dikunci dari
jarak x = 0 sampai dengan x = 6 cm dari ujung
kiri tabung, sehingga secara perhitungan analitik
harga (x) dan (x) akan berubah, serta harga
tegangan yang diperoleh akan berbeda. Secara
perhitungan analitik akan dihitung harga (x) dan
(x) pada posisi x = 14 cm, didapat harga (x) =
6,9524. Dengan harga baru dari (x) = 6,9524,
akan didapatkan sedikit penurunan pada harga
tegangan tangensialnya. Namun ternyata harga
S.F yang diperoleh secara keseluruhan tidak
berubah banyak
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 590
Walaupun demikian, perhitungan
tegangan statik secara analitik ini sangat
membantu sekali, terutama pada waktu tahap
perancangan-awal, seperti untuk penentuan tebal
tabung, diameter tabung dan material bahan
tabung yang akan dipakai secara cepat. Dari harga
S.F yang didapat, harga S.F sebenarnya tinggal
mengalikan dengan faktor 1,4 kalinya.


KESIMPULAN

Dari perhitungan besarnya tegangan
statik pada struktur tabung Motor Roket RX-
4012-LPN dengan bahan Baja Stainless 17.7PH
secara analitik dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
(a). Harga tegangan statik dari struktur tabung
motor roket secara analitik dapat dihitung
melalui pemecahan persamaan differensial
orde-4 lendutan dari cangkang silindris.
Dengan asumsi beban tekanan-dalam yang
merata dan memasukkan kondisi batas pada
ujung-ujung cangkang silindris, solusi umum
dari persamaan orde-4 dapat diselesaikan.
(b). Dari data dimensi, material bahan untuk
tabung motor roket RX-4010-LPN dan beban
tekanan yang diberikan, besarnya tegangan
statik secara analitik dapat diperoleh dengan
menggunakan pemecahan persamaan untuk
tegangan aksial longitudinal
x
dan tegangan
tangensial
t
pada cangkang silindris. Untuk
beban tekanan p = 50 kg/cm
2
didapatkan
besarnya tegangan resultan sebesar
r
=
4.842,35 kg/cm
2
, sehingga diperoleh harga
faktor keamanan material bahan sebesar S.F
= 1,26.
(c). Validasi hasil perhitungan analitik dari
tegangan statik pada struktur tabung motor
roket RX-4012-LPN dilakukan dengan
pembanding dari hasil analisis pendekatan
dengan menggunakan suatu perangkat-lunak
berbasis metoda elemen hingga (FEM).
Untuk pembebanan tekanan p = 50 kg/cm
2

didapatkan besarnya tegangan statik sebesar

vM
= 3.296,9 kg/cm
2
. Harga faktor
keamanan material bahan yang diperoleh
sebesar S.F = 1,76. Jadi, terlihat bahwa harga
S.F yang diperoleh secara analitik 1,4x lebih
kecil.
(d). Perhitungan tegangan statik secara analitik
pada struktur tabung motor roket bisa
dimanfaatkan, terutama pada waktu tahap
perancangan-awal, seperti untuk penentuan
diameter, tebal dan material bahan tabung
yang akan dipakai secara cepat.


DAFTAR PUSTAKA
[1] Braham Lewis,H.,Structural Design of
Missiles and SpaceCraft, New York. Mc
Graw-Hill Book Co, Inc, New York, 1962.
[2] Baker,E.H, Kovalesvsky, L, Rish,F.L.,
Structural Analysis of Shells, Mc.Graw Hill
Book Co, Inc.,1972
[3] Cook,R.D., Malkus,D.S., and Plesha,M.I.,
Concepts and Application of Finite Element
Analysis, 3
rd
Edition, John Wiley & Sons
Inc., New York USA, 1984.
[4] Fampel, Joseph Herman, Engineering
Design, Asynthesis of Stress Analysis and
Material Engineering, John Willey & Sons
Inc. Second Edition, Canada, 1981.
[5] Pepper,D.W., Heinrich,J.C., The Finite
Element Method : Basic Concepts and
Applications, Hemisphere Publishing Co.,
Washington-Philadelphia-London, 1992.
[6] Thimoshenko and Krieger, Theory of Plate
and Shells, Mc.Grw-Hill, New York,USA,
1984.
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 591
BELAJAR MENGAJAR LIMIT SECARA SEDERHANA DAN PRAKTIS
MELALUI KOMPUTER

Abraham Salusu
Jurusan Matematika , Binus University, Jakarta Barat

abraham_salusu@yahoo.com


ABSTRAK

Limit merupakan suatu topik pembela-jaran d alam bidang matematika yang pada umumnya agak sulit dalam
pemahamannya karena adanya beberapa variable didalamnya terutama tentang pengertian epsilon dan delta yang
biasanya tidak diperhatikan bahkan diabaikan dalam pembelajaran.

Kemajuan teknologi saat ini telah dimanfaatkan para ahli matematika dalam pemahaman pembelajaran matematika
khususnya limit dalam bentuk grafik maupun analisis. Adanya interaktif yang dihasilkan dari penggunaan rangkaian
Java Applet akan membantu siswa dan guru dalam pemahaman limit.

Keywords: Limit, Epsilon, delta , Java Applet.


PENDAHULUAN

Limit adalah salah satu konsep kalkulus yang
sangat penting dan sebagai dasar dari teori
aproksimasi, kontinuitas , diferensial dan integral
kalkulus. Dari pengalaman menunjukkan bahwa
konsep limit ini oleh para guru dan murid
mengalami banyak kesulitan dalam belajar
mengajar limit. Sebuah studi yang dilakukan oleh
Bezuidenhout [1] menunjukkan bahwa alasan
utama dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh
siswa dalam belajar kontinuitas, diferensiasi dan
integrasi adalah kekurangan dalam pembelajaran
konsep limit. Kesulitan para siswa dalam
pengertian limit, menghitung limit suatu fungsi
serta bagaimana menggunakan aplikasi dari limit
pada suatu titik tertentu. Salah satu cara untuk
mengetahui apakah siswa telah belajar konsep
limit atau tidak adalah apakah siswa
menggunakan konsep limit untuk memecahkan
masalah pada waktu yang tepat, yaitu adanya
hubungan antara nilai fungsi , nilai limit pada
suatu titik c dan nilai-nilai fungsi pada titik-titik
yang cukup dekat dengan c.

Definisi Limit :
Suatu fungsi dikatakan mempunyai limit L di
suatu titik c bila untuk setiap bilangan positip
epsilon () terdapat bilangan positip delta ()
sedemikian hingga untuk setiap
x ( ) c - , c + , .
Selanjutnya variabel delta ( ) , epsilon (),
titik c dan nilai limit L dengan mudah dapat
diperlihatkan melalui gambar.
Pembelajaran limit dengan bantuan komputer
sangat membantu dalam pengertian penyelesaian
persoalan baik dalam langkah , gambar , analisis
maupun animasi.

TEKNOLOGI KOMPUTER

Kehadiran Maple 13 pada tahun 2009
merupakan versi terbaru yang telah memberikan
perubahan dan tampilan bentuk matematika, serta
tambahan beberapa menu baru yang memudahkan
para pengguna dalam penyelesaian persoalan
matematika. Maple 13 telah memberikan
terobosan baru berupa interaksi antara user
dengan komputer, dimana para akhli programmer
melakukan perubahan dalam kreasi tampilan yang
lebih mudah digunakan oleh user tanpa mereka
menguasai program. Program yang dibuat dalam
bentuk MAPLET akan memberikan kemudahan
bagi para pengguna / siswa dalam belajar dan
mengajar matematika bahkan dapat juga sebagai
tutor , namun untuk menjalankannya maka
haruslah software maple diinstall terlebih dahulu
dalam komputer [3].

METODE PEMBELAJARAN

Limit kiri, limit kanan dan nilai fungsi serta
kontinuitas.

Instruksi : Clik New Function maka akan muncul
suatu fungsi dalam bentuk gambar (1): Tujuannya
: user memahami tentang apa yang dimaksud
dengan limit kiri, limit kanan dan kontiuitas
dengn menggunakan grafik.
f(x) - L <
Pendidikan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 592

Gambar 1.Limit kiri, kanan, kontinu dengan
grafik
Step 1

Pada kotak sebelah kanan akan muncul limit kiri,
limit kanan dan harga fungsi di suatu titik yang
ada dalam gambar . Ketiga kotak ini diisi dengan
angka (bilangan bulat) yang ketiganya bisa sama
atau berbeda satu sama lain.
Step 2.
Tentukan apakah fungsi yang dinyatakan dalam
bentuk gambar , mempunyai limit, kontinu dari
kiri, kontinu dari kanan atau kontinu pada suatu
titik. Bila fungsi mempunyai limit , pilih T
(benar) , sebaliknya F ( salah ) , demikian juga
untuk pertanyaan lainnya. Penjelasan tentang apa
yang dimaksud dengan limit dan sebagainya dapat
dilihat dengan mengclik
Hint
Selanjutnya clik Chek untuk melihat apakah
jawaban yang ditulis benar atau salah, dan clik
Show untuk melihat jawaban yang benar. Hal ini
ditunjukkan oleh gambar (1) dan (2). Untuk
fungsi yang lain ulangi langkah dari atas



Gambar2. Limit kiri, kanan, kontinu dengan
grafik

Limit kiri, Limit kanan dan kontinuitas
dengan angka.

Instruksi : Clik New Function maka akan muncul
limit fungsi pada suatu titik misalnya untuk x
mendekati 4 .
Tujuannya : user dapat memahami limit kiri,
limit kanan, kontinuitas dengan menggunakan
angka .
Step 1
Untuk mengisi limit kiri maka hitung f(3.9) akan
muncul angka 2.95 dan ambil bilangan bulat yaitu
limit kiri = 3 , demikian juga untuk limit kanan
dan harga fungsi di x = 4. Ketiga angka ini dapat
sama atau tidak sama.

Gambar 3. Limit kiri, kanan, kontinu dengan
angka
Step 2.
Tentukan apakah fungsi mempunyai limit,
kontinu dari kiri, kontinu dari kanan atau kontinu
pada titik x = 4. Bila fungsi mempunyai limit ,
pilih T (benar) , sebaliknya F ( salah ) , demikian
juga untuk pertanyaan lainnya. Penjelasan tentang
apa yang dimaksud dengan limit dan sebagainya
dapat dilihat dengan mengclik Hint Selanjutnya
clik Chek untuk melihat apakah jawaban yang
ditulis benar atau salah, dan clik Show untuk
melihat jawaban yang benar. Hal ini ditunjukkan
oleh gambar (3) dan (4). Untuk fungsi yang lain
ulangi langkah dari atas


Gambar 4. Limit kiri, kanan, kontinu dengan
angka
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 593

Fungsi Piecewise yang kontinu.

Instruksi : Clik New Function maka akan muncul
fungsi Piecewise seperti pada gambar berikut :


Tujuannya mencari C sedemikian hingga fungsi
yang ditampilkan di atas kontinu di x = -2.
Selanjutnya cari limit kiri dan limit kanan di x = -
2 , keduanya disamakan diperoleh nilai C. Clik
Plot untuk melihat kurva dari fungsi tersebut .
Untuk fungsi yang lain ulangi langkah dari atas (
Gambar 5 )

Gambar 5. Membuat Fungsi Piecewise kontinu

Limit kiri, Limit Kanan dengan Fungsi
Piecewise
Instruksi : Clik New Function maka akan muncul
fungsi :

Tujuannya : user dapat menacari limit kiri, limit
kanan, kontinu dari piecewise fungsi.
Step 1
Masukkan nilai Limit kiri, Limit kanan dan nilai
fungsi pada kotak sebelah kanan. Untuk contoh
di atas limit kiri = 3, limit kanan = 3 dan harga
fungsi = 4
Step 2.
Tentukan apakah fungsi mempunyai limit,
kontinu dari kiri, kontinu dari kanan atau kontinu
pada titik x = 5
Bila fungsi mempunyai limit , pilih T (benar) ,
sebaliknya F ( salah ) , demikian juga untuk
pertanyaan lainnya. Penjelasan tentang apa yang
dimaksud dengan limit dan sebagai nya dapat
dilihat dengan mengclik Hint .

Gambar 6. Limit kiri, kanan, kontinu dengan
Piecewise fungsi

Selanjutnya clik Chek untuk melihat apakah
jawaban yang ditulis benar atau salah, dan clik
Show untuk melihat jawaban yang benar. Hal ini
ditunjukkan oleh gambar (6). Untuk fungsi yang
lain ulangi langkah dari atas.

Definisi Limit
Gambar 7a. Layar Utama Definisi Limit
Tujuannya : user memahami hubungan antara
epsilon dan delta dalam definisi limit.


Instruksi :
Clik Tulis Soal Baru Setelah mengclik Tulis Soal
Baru, muncul gambar 7b,


Gambar 7b. Definisi Limit Fungsi

dan mengisi kotak yang kosong ,seperti pada
gambar 7c.
Pendidikan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 594


Gambar 7c. Mengisi Limit Fungsi

Tutup layar ini dengan mengclik Save soal dan
tutup, muncul gambar 7d
Setelah mengclik Definisi pada gambar 7d maka
muncul gambar 7e yang memper lihatkan
Definisi Limit


Gambar 7d. Definisi Limit


Gambar 7e. Definisi Limit

Langkah-Langkah Penyelesaian Limit
Gambar 8a memperlihatkan layar utama dimana
pada baris pertama terdapat beberapa menu
seperti Definisi .


Gambar 8a. Layar Utama Penyelesaian

Dengan mengclik Definisi maka akan muncul
beberapa pilihan (Gambar 8b ) misalnya


Gambar 8b. Rumus tentang Limt

Jumlahan maka akan muncul aturan Jumlahan
(Gambar 8c)


Gambar 8c. Aturan Jumlahan

Sebagai contoh penyelesaian Limit masukkan
fungsi pada kotak fungsi di layar utama misalnya
(x^3-1)/(x-1), variabel x di titik 1. Dengan
mengclik Start atau Penyelesaian Lengkap akan
muncul langkah penyelesaian seperti pada
Gambar 8d serta keterangan setiap langkah, dapat
dilihat pada kotak sebelah kanan atas.


Gambar 8d. Langkah Penyelesaian Limit
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 595

KESIMPULAN

1. mengevaluasi limit dari f (x) pada saat x
mendekati suatu titik.
2. mengevaluasi limit kiri dan limit kanan.
3. mengetahui hubungan antara limit suatu
fungsi , limit kiri, limit kanan, dan nilai
fungsi pada suatu titik.
4. mengevaluasi limit dari penjumlahan ,
pengurangan,perkalian dan pembagian dari
suatu fungsi .
5. mengevaluasi limit yang melibatkan nilai-
nilai mutlak.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Bezuidenhout, 'Understanding the Concepts
of Limit and Continuity in Calculus Courses
at the High School and/or Early College
Level', MLA, 2006
[2] Nezahat , International Journal of
Mathematical Mathematical Education
Science and Technology (2009 )
[3] T. Gyer , Computer Algebra Systems as
Mathematics Teaching Tool, World Applied
Science Journal 3(1): 132-139,2008


Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 597
MATEMATIKA REKREATIF SEBAGAI PENDEKATAN
DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Al Jupri
Jurusan Pendidikan Matematika, FPMIPA, Universitas Pendidikan Indonesia

E-mail: al_jupri2009@yahoo.com


ABSTRACT
This article discusses recreational mathematics as an alternative approach in learning-teaching mathematics. The
discussion includes: a literature review of the recreational mathematics as a learning-teaching approach, comparison
between learning-teaching strategies in mathematics (especially problem solving strategy) and strategies in
recreational mathematics, and several examples of mathematical concepts that are delivered using recreational
mathematics. It is expected that this discussion will be useful for mathematics teachers in implementing learning-
teaching mathematics.

Keywords: Learning-teaching Approach, Learning-teaching Mathematics, Recreational Mathematics, Problem
Solving Strategy.

PENDAHULUAN

Salah satu tugas utama seorang guru matematika
adalah dapat menyampaikan materi matematika
dengan baik kepada siswa-siswinya. Untuk itu,
para guru sekurang-kurangnya perlu menguasai
dua hal. Pertama, menguasai materi matematika
yang akan disampaikan. Dan kedua, menguasai
berbagai strategi, metode, dan pendekatan
pembelajaran matematika agar materi yang
disampaikan dapat dipahami siswa dengan baik.

Menyadari pentingnya penguasaan dua
kemampuan tersebut, tampaknya pemerintah kita
sudah cukup tanggap. Hal ini tampak dari upaya
Pemerintah dengan mengeluarkan berbagai
kebijakan berupa peningkatan kualifikasi guru dan
calon guru serta kebijakan inovasi kurikulum
pembelajaran untuk sekolah. Harapannya adalah
para guru memiliki kemampuan profesional
(berupa penguasaan materi, matematika misalnya)
dan kemampuan pedagogik (berupa penguasaan
berbagai strategi, pendekatan dan metode
pembelajaran) yang mumpuni.

Di sisi lain, dari dahulu hingga sekarang, pada
umumnya para siswa kurang menyukai pelajaran
matematika, bahkan membenci pelajaran yang
satu ini (Maulana, 2002; Ruseffendi, 1982). Hal
ini mengindikasikan bahwa proses pembelajaran
matematika yang terjadi selama ini masih belum
sepenuhnya mengakomodasi berbagai
karakteristik siswa.

Para siswa kurang menyukai dan bahkan
membenci pelajaran matematika, kemungkinan
besar, diakibatkan oleh penyampaian materi
matematika yang kurang menyenangkan dan
kurang bermakna bagi mereka. Hal ini sejalan
dengan yang dikemukakan oleh Wahyudin (1999)
bahwa para guru matematika dalam
pembelajarannya amatlah prosedural
(menekankan pada pengingatan fakta-fakta dan
langkah-langkah pengerjaan matematika) yang
akibatnya adalah pembelajaran kurang bermakna
dan menjemukan bagi siswa.

Berdasarkan uraian di atas, dalam artikel ini akan
didiskusikan tentang matematika rekreatif sebagai
alternatif pendekatan pembelajaran matematika.
Harapannya adalah pendekatan ini dapat
dimanfaatkan oleh para guru matematika dalam
menyampaikan materi matematika secara
menyenangkan dan bermakna bagi para siswa.
Adapun uraian diskusinya meliputi: pengertian
matematika rekreatif, rasional tentang penggunaan
matematika rekreatif sebagai pendekatan
pembelajaran matematika, matematika rekreatif di
antara berbagai pendekatan pembelajaran
matematika, dan beberapa contoh penggunaan
matematika rekreatif dalam pembelajaran
matematikadalam artikel ini contoh-contoh
matematika rekreatif yang disajikan secara
gamblang ditujukan bagi siswa Sekolah Dasar
(SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), atau
siswa Sekolah Menengah Atas (SMA).

APA, MENGAPA, DAN BAGAIMANA
MATEMATIKA REKREATIF ITU?

Menurut Singmaster (1992), terdapat sekurang-
kurangnya tiga pengertian tentang matematika
rekreatif. Pertama, matematika rekreatif adalah
matematika yang sifatnya menyenangkan. Namun
demikian, pengertian ini tampaknya kurang begitu
tepat karena hampir semua matematikawan
menyenangi kegiatannya dalam bermatematika.
Oleh karena itu pengertian tersebut mencakup
semua aspek matematika, dan karenanya
pengertian ini terlalu umum. Kedua, matematika
Pendidikan
Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 598
rekreatif adalah matematika yang menyenangkan
dan sifatnya populeryakni matematika yang
dikenal secara luas dan dapat dipahami oleh
masyarakat awam. Dan ketiga, secara pedagogik,
matematika rekreatif adalah matematika yang
menyenangkan dan digunakan baik sebagai
pembelokan dari matematika yang serius atau
sebagai upaya dalam membuat matematika yang
serius dan sulit menjadi lebih mudah dipahami
oleh masyarakat secara luas. Selain itu, menurut
Ruseffendi (1982), Sumilih (2000) dan Wikipedia
(2010), matematika rekreatif atau matematika
rekreasi itu mencakup dua hal, yaitu permainan
dan teka-teki matematika. Dengan demikian,
berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat
dikatakan bahwa matematika rekreatif adalah
matematika yang sifatnya menyenangkan dan
populer, meliputi teka-teki dan permainan
matematika, dan digunakan untuk menyampaikan
matematika yang serius menjadi lebih mudah
dipahami.

Dari pengertian terakhir tadi, dapat dikatakan
bahwa matematika rekreatif dapat dipandang
sebagai sebuah pendekatan dalam pembelajaran
matematika, sebab menurut Turmudi (2001)
pendekatan pembelajaran matematika adalah cara
yang ditempuh guru dalam pelaksanaan
pembelajaran agar konsep yang disajikan dapat
diadaptasi dan dipahami siswa.

Gagasan mengenai penggunaan matematika
rekreatif sebagai sebuah pendekatan pembelajaran
matematika secara implisit sudah dikemukakan
oleh beberapa ahli, misalnya Kamii dan Ernest
(dalam Turmudi, 2002), yang menyatakan bahwa
teka-teki dan permainan matematika dapat
digunakan sebagai pendekatan dalam
pembelajaran matematika.

Ada beberapa alasan mengapa matematika
rekreatif dapat digunakan sebagai suatu
pendekatan pembelajaran matematika yang patut
dicoba oleh para guru matematika. Pertama,
dilihat dari sudut pandang psikologi, pada
umumnya, anak-anak masih dalam masa
perkembangan yang penuh keceriaan, masih
senang bermain-main dan berteka-teki. Kedua,
pembelajaran yang disajikan dalam suasana
menyenangkan dalam bentuk permainan atau
teka-teki dapat memberi kesempatan pada siswa
untuk mengembangkan kemampuannya dalam
berpikir kritis, kreatif, dan eksploratif sesuai
potensi yang dimilikinya (Herman, 2002). Dan
ketiga, menurut Ernest (dalam Turmudi, 2002)
matematika rekreatif dapat mengajarkan
matematika secara efektik karena dapat melatih
siswa dalam hal keterampilan matematika,
memotivasi siswa dalam belajar matematika, dan
dapat membantu siswa dalam mengembangkan
pemahaman konsep matematika.

Lantas bagaimana matematika rekreatif itu
digunakan dalam pembelajaran matematika?
Sebagai sebuah pendekatan pembelajaran,
matematika rekreatif dapat diterapkan baik di
awal, di inti atau pertengahan, dan di akhir
pembelajaran.

Di awal pembelajaran, matematika rekreatif
berfungsi sebagai pembakar motivasi dan
penggugah rasa ingin tahu para siswa agar mau
belajar matematika secara menyenangkan. Di inti
atau pertengahan pembelajaran, matematika
rekreatif dapat berfungsi sebagai contoh aplikasi
suatu konsep matematika, jembatan antar konsep
matematika, latihan pemecahan masalah, atau bisa
juga untuk mengurangi rasa jenuh belajar
matematika. Dan di akhir pembelajaran,
matematika rekreatif selain berfungsi untuk
meregangkan pikiran, membuat rasa senang dan
gembira siswa, juga dapat dijadikan sebagai
sebuah proyek atau pekerjaan rumah bagi para
siswa.

Dengan demikian, untuk dapat menerapkan
matematika rekreatif dalam pembelajaran, guru
hendaknya perlu memiliki dan menguasai
berbagai jenis matematika rekreatif serta
mengetahui dan dapat mengaitkannya dengan
berbagai topik materi matematika yang digariskan
oleh kurikulum yang berlakusehingga materi
yang disampaikan dapat diterima oleh siswa
dengan cara yang menyenangkan. Selain itu, guru
pun perlu mengetahui posisi matematika rekreatif
di antara berbagai pendekatan pembelajaran
matematika. Tujuannya adalah agar secara variatif
matematika rekreatif dapat terimplementasi
dengan baik dalam proses pembelajaran.

MATEMATIKA REKREATIF DI ANTARA
BERBAGAI PENDEKATAN
PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Seperti yang diutarakan pada bagian sebelumnya,
matematika rekreatif mencakup dua hal, yakni
permainan dan teka-teki matematika. Menurut
Posamentier dan Stepelman (1990) strategi yang
digunakan dalam permainan dan strategi
pemecahan masalah dalam matematika memiliki
kemiripan atau analogi, seperti tampak pada Tabel
1 berikut.






Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 599
Tabel 1. Perbandingan antara Strategi Permainan
dan Pemecahan Masalah
Strategi Permainan Strategi Pemecahan
Masalah
Bacalah aturan
permainannya
Bacalah permasalahan
Pahami aturannya Apa yang diketahui,
apa yang ditanyakan
Buatlah rencana Tulislah persamaan
Laksanakan rencana Selesaikan persamaan
Bila kamu menang,
tersenyumlah, bila
kalah mengapa?
Cek jawabanmu

Selanjutnya, bila dicermati, strategi yang
digunakan untuk menjadi pemenang dalam
permainan dan strategi yang digunakan untuk
memecahkan teka-teki matematika juga memiliki
kesamaan-kesamaan. Hal ini dapat dilihat dalam
Tabel 2. berikut.

Tabel 2. Perbandingan antara Strategi Permainan
dan Teka-teki
Strategi Permainan Strategi Pemecahan
Teka-teki
Baca aturan
permainan
Bacalah teka-tekinya
Pahami aturan
permainannya
Pahami apa yang
diketahui dan apa
yang perlu dipecahkan
Buatlah rencana
pemenangan
permainan
Membuat rencana
penyelesaian
Laksanakan rencana Laksanakan rencana
Bila kamu menang,
tersenyumlah, bila
kalah mengapa?
Cek kembali apa yang
sudah dilakukan

Dari dua perbandingan di atas, dapat dikatakan
bahwa strategi yang digunakan dalam matematika
rekreatif (baik berupa permainan ataupun teka-
teki matematika) memiliki kemiripan dengan
strategi yang digunakan dalam pemecahan
masalah matematika. Ini berarti, bila strategi-
strategi dalam matematika rekreatif diterapkan
sebagai pendekatan dalam pembelajaran
matematika, maka pendekatan ini mirip dengan
pendekatan pemecahan masalah dalam
pembelajaran matematika.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
pendekatan matematika rekreatif analog dengan
pendekatan pemecahan masalah dalam
pembelajaran matematika. Implikasinya adalah
bahwa matematika rekreatif dapat
diimplementasikan secara integratif dengan
berbagai pendekatan pembelajaran yang lain
seperti pendekatan open-ended, pendekatan
matematika realistik, dan pendekatan berbasis
masalahyang fokus utamanya adalah
pemecahan masalah.

BEBERAPA CONTOH PENGGUNAAN
MATEMATIKA REKREATIF DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Dalam bagian ini akan diberikan beberapa contoh
penggunaan matematika rekreatif sebagai
pendekatan dalam pembelajaran matematika.

Contoh 1. Permainan Menebak Bilangan
Permainan dilakukan oleh dua orang. Aturan
permainannya yaitu: pikirkanlah sebuah bilangan,
kemudian kalikan bilangan tersebut dengan 4.
Hasil perkaliannya dikurangi dengan 5. Sebutkan
hasilnya. Dengan melakukan proses kebalikan
operasi-operasi hitung tadi, maka bilangan yang
dipikirkan dapat ditebak.
Ilustrasi dari permainan ini adalah
sebagai berikut.
Siswa 1: Pikirkanlah sebuah bilangan!
Siswa 2: Sudah.
Siswa 1: Kalikan bilangan yang kamu pikirkan
dengan 4.
Siswa 2: Sudah.
Siswa 1: Lalu hasilnya dikurangi 5.
Siswa 2: Sudah.
Siswa 1: Berapa hasilnya?
Siswa 2: 7
Siswa 1: Pasti bilangan yang kamu pikirkan
adalah 3. [Yang dilakukan oleh Siswa1
dalam menebak adalah: 7 + 5 = 12, lalu
12 : 4 = 3].
Permainan ini dapat disajikan untuk
siswa SD, SMP atau SMA dengan tujuan yang
berbeda-beda. Untuk siswa SD, permainan ini
dapat digunakan untuk melatih keterampilan
operasi hitung penjumlahan, pengurangan,
perkalian, dan pembagian. Sedangkan bagi siswa
SMP, permainan ini dapat dijadikan sebagai
langkah awal dalam menanamkan konsep
persamaan linear satu variabelyakni sebagai
berikut:
Misalkan bilangan yang dipikirkan adalah x,
maka dengan mengikuti aturan permainan,
diperoleh sebuah persamaan linear 4x
5 = .
Jadi, bila hasil perhitungan diperoleh, maka
untuk menebak bilangan yang dipikirkan, sama
saja dengan mencari nilai x yang memenuhi
persamaan linear tersebut.
Dan, bagi siswa SMA, mereka diharapkan dapat
dengan mudah membuat teka-teki yang serupa
bahkan yang lebih kompleks: tak hanya terkait
dengan konsep persamaan linear, bisa juga terkait
dengan konsep persamaan kuadrat misalnya.
Dengan cara ini, diharapkan, siswa dapat belajar
matematika secara menyenangkan dan bermakna.


Pendidikan
Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 600
Contoh 2. Hasilnya Selalu 3087 (Blum, 1996)
Permainan ini dapat dilakukan oleh dua orang.
Aturannya terdeskripsi dalam ilustrasi berikut.
Siswa 1: Cobalah pikirkan sebuah bilangan
empat angka dengan urutan angka yang
menurun!
Siswa 2: Ya sudah! (Misalkan, 5432. Siswa 2
tidak memberi tahu bilangan yang
dipikirkan)
Siswa 1: Baliklah bilangan yang kamu pikirkan
tadi!
Siswa 2: Ya sudah! (Misalkan, 2345)
Siswa 1: Kurangkan bilangan yang kamu
pikirkan mula-mula, dengan bilangan
kebalikannya tadi!
Siswa 2: Ya sudah! (5432 2345 = 3087).
Siswa 1: Pasti hasil akhirnya adalah 3087.

Permainan ini dapat disajikan untuk siswa SD,
SMP atau SMA dengan tujuan yang berbeda-
beda. Untuk siswa SD atau SMP, permainan ini
bertujuan untuk membangkitkan motivasi belajar,
menimbulkan rasa takjub serta keingintahuan
siswa, dan dapat melatih keterampilan operasi
hitung (pengurangan) antar bilangan ribuan.
Sedangkan bagi siswa SMA, mereka
diharapkan dapat tertantang untuk mengungkap
rahasia permainan ini: mengapa hasilnya selalu
3087? Hal yang diharapkan, yakni pembuktian
rahasia permainan tersebut, misalnya sebagai
berikut.
Misalkan bilangan empat angka itu adalah
abcd, dengan b = a 1, c = a 2, dan d = a
3. Oleh karena itu, sesuai aturan, maka
diperoleh: abcd dcba = [1000.a + 100 (a 1)
+ 10 (a 2) + a 3] [1000(a 3) + 100 (a
2) + 10 (a 1) + a] = 3087.

Contoh 3. Teka-teki Segitiga Bilangan
Pertama, para siswa diminta untuk mengamati dan
mempelajari segitiga bilangan yang berisi
bilangan-bilangan berikut.











Gambar 1. Segitiga Bilangan yang Lengkap

Kedua, setelah para siswa mengerti Gambar 1,
kemudian mereka diminta untuk melengkapi
segitiga bilangan berikut dengan mengganti a, b,
dan c dengan bilangan yang sesuai.













Gambar 2. Segitiga Bilangan yang Belum
Lengkap

Teka-teki di atas dapat disajikan untuk siswa SD,
SMP, dan bahkan SMA dengan tujuan berbeda-
beda. Untuk siswa SD, teka-teki ini selain melatih
keterampilan berhitung juga melatih kemampuan
pemecahan masalah matematika. Cara yang dapat
dilakukan untuk memecahkan teka-teki tersebut
misalnya dengan melakukan tebak dan periksa
atau dengan cara lain, hingga diperoleh suatu
alternatif cara pemecahan, misalnya sebagai
berikut:
(36 + 35 + 27)/2 = 98/2 = 49.
Jadi, a = 49 27 = 22, b = 49 35 = 14,
dan c = 49 36 = 13.
Sedangkan bagi siswa SMP atau SMA, selain
dapat menyelesaikan teka-teki seperti di atas,
mereka diharapkan mampu memandang teka-teki
tersebut sebagai sebuah permasalahan sistem
persamaan linear tiga variabel berikut:
a + b = 36
a + c = 35
b + c = 27.
Dengan demikian, teka-teki ini dapat melatih
keterampilan dalam menyelesaikan sistem
persamaan linear tiga variabel.

Contoh 4. Menentukan Banyaknya Persegi
Untuk menggugah rasa ingin tahu para siswa,
mintalah mereka untuk menentukan banyaknya
persegi dalam Gambar 3. berikut.







Gambar 3. Persegi Panjang yang Tersusun dari
Persegi-persegi Satuan

Lebih lanjut, teka-teki ini dapat diperluas dengan
menanyakan banyaknya persegi panjang dalam
gambar tersebut.

Teka-teki ini dapat disajikan untuk siswa SD atau
SMP. Fungsinya, selain untuk memantapkan
pemahaman konsep tentang persegi dan segiempat
27
12
23
15
35
38
36
a
c
b
35
27

Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 601
lainnya, juga untuk melatih daya tilik siswa dalam
geometri.

Contoh 5. Teka-teki Aljabar
Teka-teki aljabar yang disajikan berikut adalah
teka-teki yang berupa kekeliruan aljabar
(algebraic fallacy). Berikut ini disajikan beberapa
contoh teka-teki aljabar tersebut.
Contoh 5.1. Bila ada, periksalah di mana
kekeliruannya?
4 16 = 36 48
4 16 + 16= 36 48 + 16
(2 4)
2
= (6 4)
2
(2 4) = (6 4)
2 = 6
Contoh 5.2. Bila ada, periksalah di mana
kekeliruannya?
x = 2
x
2
= 4
x
2
2x = 4 2x
x(x 2) = 2(2 x)
x(x 2) = 2(x 2)
x = 2
Jadi, 2 = 2.

Contoh 5.3. Bila ada, periksalah di mana
kekeliruannya?
4. 4 = (4)(4) = 16 = 4
Bandingkan dengan
4. 4 = 4
2
= 4
Jadi, 4 = 4.

Contoh 5.4. Berapakah solusinya?
Dengan menggunakan metode substitusi, tentukan
penyelesaian sistem persamaan linear berikut:
3x + y = 12
x = 6

3
.
Berbagai teka-teki aljabar di atas dapat
disajikan untuk siswa SMP atau SMA. Tujuannya
adalah selain untuk melatih keterampilan
manipulasi aljabar, teka-teki aljabar di atas dapat
dijadikan sebagai alat untuk mengetahui tingkat
pemahaman konsep matematika yang mereka
miliki.

KESIMPULAN

Uraian tentang penggunaan matematika rekreatif
sebagai pendekatan dalam pembelajaran
matematika di atas, diharapkan dapat
dimanfaatkan oleh para guru matematika, sebagai
tambahan kemampuan pedagogik dan profesional
mereka, untuk kemudian dapat diterapkan dalam
proses pembelajaran. Dalam penerapannya, guru
diharapkan dapat membawa siswa dari suasana
permainan atau teka-teki matematika yang
mengasyikkan ke dalam dunia matematika yang
bermakna. Sehingga citra pelajaran matematika
diharapkan dapat bergeser sedikit demi sedikit,
dari yang kurang disukai dan dibenci para siswa,
menjadi pelajaran yang disukai dan dicintai
mereka.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Blum, R. 1996. Matemajik. Bandung:
Angkasa.
[2] Herman, T. 2002. Matematika dan
Pembelajaran Matematika di SD dan SLTP:
Suatu Refleksi Menyeluruh. Bandung:
Prosiding Seminar Matematika Tingkat
Nasional (ISSN: 1693-0800).
[3] Maulana. 2002. Peranan Lembar Kerja Siswa
dalam Pembelajaran Aritmetika Sosial
Berdasarkan Pendekatan Realistik.
Bandung: Prosiding Seminar Matematika
Tingkat Nasional (ISSN: 1693-0800).
[4] Posamentier, A.S.,& Stepelman, J. 1990.
Teaching Secondary School Mathematics,
Techniques and Enrichment Units (Third
Edition). Ohio: Meril Publishing Company.
[5] Ruseffendi, E.T. 1982. Dasar-dasar
Matematika Modern untuk Guru. Bandung:
Tarsito
[6] Singmaster, D. 1992. The Unreasonable
Utility of Recreational Mathematics.
http://www.eldar.org/~problemi/singmast/ec
mutil.html
[7] Sumilih, G. 2000. Matematika Rekreasi.
Mojokerto: Galang Sarana Pustaka.
[8] Turmudi. 2001. Common Text Book Strategi
Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Bandung: JICA.
[9] Turmudi. 2002. Permainan dan Teka-teki
dalam Pembelajaran Matematika. Bandung:
Prosiding Seminar Matematika Tingkat
Nasional (ISSN: 1693-0800).
[10] Wahyudin. 1999. Kemampuan Guru
Matematika, Calon Guru Matematika, dan
Siswa dalam Pelajaran Matematika. Disertasi
Doktor pada PPS IKIP Bandung: Tidak
Diterbitkan.
[11] Wikipedia. 2010. Recreational
Mathematics.<http://en.wikipedia.org/wiki/R
ecreational_mathematics>


Pendidikan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 603
MANFAAT INTERNET DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN
MATEMATIKA DI SMA
(Studi Evaluatif terhadap Siswa SMA Negeri 66 Jakarta)

Dedi Sukarsana
Guru Matematika SMA 66 Jakarta

dedisukarsana@hotmail.com


ABSTRAK
Internet mempunyai potensi yang besar, baik sebagai sumber belajar, media, maupun pendukung dalam kegiatan
pembelajaran. Sehubungan dengan potensi internet ini, SMA Negeri 66 telah merintis pemanfaatan internet dalam
kegiatan pembelajaran dengan e-learning bagi peserta didiknya. Untuk mengetahui bagaimana penggunaan internet
oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran matematika, dilakukanlah kegiatan penelitian ini.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan responden peserta didik kelas XI IPA yang berjumlah 78 anak terdiri dari dua
kelas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peserta didik menyenangi dan menambah ilmu pengetahuan dalam
kegiatan pembelajaran dengan memanfaatkan internet di sekolah. Selain itu diperoleh temuan bahwa strategi
pembelajaran heuristik dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dengan E-learning yang lebih optimal dengan
pendekatan bekerja mundur untuk menyajikan materi dan pendekatan analogi untuk pelaksanaan latihan. Dari
pengalaman memanfaatkan internet, peserta didik menyarankan agar pemanfaatan internet dijadikan sebagai salah
satu sumber belajar.

Kata-kata kunci: Internet, e-learning, strategi pembelajaran, heuristik

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek) yang pesat memungkinkan setiap orang
memperoleh informasi melimpah, cepat, dan
mudah dari berbagai sumber dengan alat bantu
yang disebut komputer .Komputer sudah
digunakan pada hampir setiap bidang kehidupan
yang memerlukan pengolahan kata (word
processing), pengolahan data (database),
pengolahan citra (image processing), dan
pengolahan angka (spreadsheet). Bagi kalangan
tertentu komputer sudah menjadi salah satu
peralatan rumah tangga sehari-hari.

Ketergantungan orang terhadap komputer
semakin lama semakin tinggi. Pada abad
keduapuluhsatu ini yang merupakan era ekonomi
global dan era ilmu pengetahuan atau informasi,
peran komputer semakin tinggi. Selaras dengan
perkembangan kepentingannya, komputer sudah
menjadi peralatan multi-media yang merupakan
perpaduan teknologi komputer, audio, video, dan
komunikasi. Selain sebagai alat kerja, komputer
juga dipakai untuk transaksi informasi, baik
secara bebas atau melalui proses jual-beli.

Dengan perkembangan yang pesat, perubahan
juga terjadi dengan cepat. Karena itu, diperlukan
kemampuan untuk memperoleh, mengelola dan
memanfaatkan informasi agar dapat bertahan atau
bahkan menyesuaikan diri dengan keadaan yang
selalu berubah,tidak pasti,dan kompetitif.
Kecenderungan teknologi pada era globalisasi
saat ini telah memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap dunia pendidikan. Beberapa
pendidikan menengah sudah membuka jurusan
yang memiliki misi mengembangkan sumber daya
manusia di bidang perkomputeran, seperti jurusan
ilmu komputer, jurusan Informatika, atau jurusan
lain dengan konsentrasi ke bidang komputer.
Terhadap pendidikan menengah lain yang misi
utamanya tidak menghasilkan sumberdaya
manusia di bidang perkomputeran, pendidikan
menengah juga mengusahakan penguasaan
teknologi komputer kepada peserta didiknya.
Usahayang ditempuh adalah penggunaan
komputer pada berbagai variasi pembelajaran dan
pemanfaatan internet sebagai sumber belajar.
Kebijakan pemerintah menetapkan dalam
kurikulum pendidikan menengah memberi
keleluasaan kepada setiap satuan pendidikan
untuk mengatur kurikulumnya,agar lulusan yang
dihasilkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kesempatan itu dilakukan oleh SMA Negeri 66
Jakarta, sejak tahun akademik 1996/1997 telah
memasukkan komputer sebagai salah satu mata
pelajaran alternatif ke dalam kurikulumnya.

Sasaran yang ingin dicapai adalah memberi
kompetensi tambahan untuk membantu peserta
didik memecahkan permasalahan dalam
pembelajaran khususnya mata pelajaran
matematika.

Pendidikan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 604
Permasalahan pokok dalam bidang pendidikan
yang dihadapi bangsa Indonesia adalah rendahnya
mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan
pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan
menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk
meningkatkan mutu pendidikan nasional, antara
lain melalui berbagai latihan dan peningkatan
kompetensi pendidik, pengadaan buku dan alat
pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana
pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen
sekolah. Namun demikian, berbagai indikator
mutu pendidikan belum menunjukkan
peningkatan berarti (Depdiknas, 2002:1).

Pendidik adalah salah satu komponen yang
mengusahakan terbentuknya manusia yang
berbudaya, maka pendidik pun dituntut untuk
lebih profesional. Salah satu keprofesionalan
tersebut adalah melaksanakan kegiatan
pembelajaran di kelas dengan berbagai macam
model pembelajaran dan strateginya.

Pemilihan strategi pembelajaran dalam
pembelajaran matematika menjadi amat penting
mengingat: (1) karakteristik peserta didik yang
harus diakomodasi dalam proses pembelajaran
sangat beragam, (2) alokasi waktu pembelajaran
sangat terbatas, dan (3) perkembangan teknologi
yang amat cepat.

Sedangkan model pembelajaran konvensional
yang banyak mewarnai pembelajaran di
Indonesia, dirasakan masih memiliki berbagai
kekurangan, baik dalam proses pembelajaran
maupun hasil belajarnya. Selain masih berpusat
pada peserta didik, model pembelajaran
konvensional ini belum dapat melayani peserta
didik sesuai dengan kebutuhan masing-masing,
karena proses pembelajarannya dilakukan di
ruang kelas dalam jangka waktu tertentu
(Yaniawati,2007).

Melihat kesenjangan ini, dipandang perlu untuk
mengkaji strategi pembelajaran lain yang dapat
memberi kemampuan dalam belajar matematika
yang lebih baik dalam waktu yang relatif pendek.
Salah satu strategi pembelajaran yang ingin dikaji
adalah strategi pembelajaran heuristik. Strategi
pembelajaran heuristik memiliki beberapa
pendekatan, yaitu pendekatan bekerja mundur dan
pendekatan analogi

Pergeseran paradigma dalam pranata pendidikan
yang semula terpusat menjadi desentralistis
membawa konsekuensi dalam pengelolaan
pendidikan, khususnya di tingkat satuan
pendidikan. Kebijakan tersebut dapat dimaknai
sebagai pemberian otonomi yang seluas-luasnya
kepada satuan pendidikan dalam mengelola
sekolah, termasuk didalamnya berinovasi dalam
pengembangan kurikulum dan model-model
pembelajaran (Sutrisno, 2007)

Salah satu model pembelajaran yang dapat
meningkatkan motivasi belajar peserta didik
dengan memanfaatkan teknologi adalah melalui e-
learning (pembelajaran elektronik). E-learning
adalah model pembelajaran yang masih relatif
baru di Indonesia. Pemanfaatannya membutuhkan
infrastruktur yang relatif mahal maka e-learning
belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat
(Yaniawati, 2007).

Model pembelajaran berbasis teknologi informasi
dan komunikasi (TIK) yang memanfaatkan e-
learning membawa akibat pada perubahan budaya
belajar. Setidaknya ada empat komponen penting
dalam membangun budaya belajar dengan
menggunakan model e-learning di sekolah.
Pertama, peserta didik dituntut
menggunakansebagian besar waktu belajarnya
untuk belajar mandiri dengan pendekatan yang
sesuai agar mampu mengarahkan, memotivasi,
dan mengatur dirinya sendiri dalam belajar.
Kedua, pendidik dituntut untuk mengembangkan
pengetahuan dan keterampilannya, memfasilitasi
peserta didik dalam kegiatan belajar, memahami
konsep belajar dan hal-hal yang dibutuhkan dalam
pembelajaran. Ketiga, infrastruktur yang
dibutuhkan harus tersedia secara memadai.
Keempat, administrator dituntut untuk lebih
kreatif dalam penyiapan infrastruktur untuk
memfasilitasi kegiatan pembelajaran (Sutrisno,
2007). Pengaruh pendidikan dapat dilihat dan
dirasakan secara langsung dalam perkembangan
kehidupan masyarakat, kelompok, dan individu
(Mulyasa, 2005a). Lebih lanjut dikemukakan
Mulyasa bahwa pendidikan menentukan model
manusia yang akan dihasilkannya. Pendidikan
juga memberikan kontribusi yang sangat besar
terhadap kemajuan suatu bangsa dan sarana dalam
membangun watak bangsa. Oleh karena itu, para
orangtua, guru, dan masyarakat harus benar-benar
memberikan hal-hal positif yang mendukung
perkembangan pendidikan.

Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya
kualitas pembelajaran menurut Mulyasa adalah
belum dimanfaatkannya berbagai sumber belajar
secara maksimal, baik oleh pendidik maupun
peserta didik (Mulyasa, 2005b). Dengan
memanfaatkan berbagai sumber belajar secara
optimal, peserta didik akan dapat termotivasi
untuk berpikir logis dan sistematik sehingga
memiliki pola pikir yang nyata dan semakin
mudah memahami hubungan materi pelajaran
dengan lingkungan alam sekitar serta kegunaan
belajar dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidikan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 605
Sekalipun para pendidik memahami bahwa
strategi pembelajaran dengan memanfaatkan
berbagai sumber belajar sangat menunjang atau
membantu meningkatkan tingkat penguasaan
peserta didik terhadap materi pelajaran, namun
pada kenyataannya, masih banyak pendidik yang
menyelenggarakan kegiatan pembelajaran tanpa
didukung oleh berbagai sumber belajar.

Sebagian pendidik mengatakan bahwa walaupun
mengajar dengan menggunakan buku teks, namun
para peserta didik sudah memperlihatkan prestasi
belajar yang memadai atau bahkan cukup
membanggakan. Sebagian pendidik lainnya
mengatakan bahwa mencari sumber-sumber
belajar lainnya di diluar buku teks yang sudah
ditetapkan menyita waktu dan membutuhkan
biaya besar. Sebagian pendidik lainnya
mengatakan bahwa untuk apa repot-repot
memikirkan pemanfaatan berbagai sumber belajar
dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) jika tidak
ada konsekuensinya yang dapat dirasakan
(Siahaan,2007). Atas dasar pemikiran tersebut
diatas diperoleh permasalahan yang terkait
dengan proses pembelajaran dalam
penyelenggaraan pembelajaran matematika di
kelas dan tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui tanggapan/pendapat peserta didik
SMA 66 Jakarta terhadap pemanfaatan internet
dalam kegiatan pembelajaran Matematika.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan permasalahan yang telah
dikemukakan di atas, menitik beratkan pada
penelitian evaluatif pelaksanaan pembelajaran
matematika dengan memanfaatkan internet yang
ditinjau dari tahapan-tahapan masukan, proses,
dan hasil. Adapun rumusan masalah adalah
sebagai berikut 1) bagaimanakah ketersediaan
sarana prasarana di kelas sehingga dapat
mendukung tercapainya tujuan yang ditetapkan,
2) bagaimanakah kegiatan belajar di kelas yang
terdiri dari; a) penguasaan pendidik dalam
penyiapan pembelajaran; b) penguasaan pendidik
dalam kegiatan pembelajaran; dan interaksi
pendidik dan peserta didik, 3) bagaimanakah
kemampuan peserta didik dalam pemanfaatan
internet.

KAJIAN LITERATUR DAN METODOLOGI
PENELITIAN

Kemampuan E-learning

Kemampuan didefinisikan sebagai kapasitas
untuk melakukan sesuatu, yang dihasilkan dari
proses belajar (Lefrancois, 1995). Apabila
individu sukses mempelajari cara melakukan satu
pekerjaan yang kompleks dari sebelumnya tidak
bisa maka pada diri individu tersebut pasti sudah
terjadi perubahan kemampuan. Kemampuan
mengalami perubahan secara terus menerus
karena setiap kali individu belajar dan berhasil
maka terjadi perubahan kemampuan.

Kata E-learning atau elektronic learning terdiri
dari dua bagian, yaitu e yang merupakan
singkatan dari electronica dan learning yang
berarti pembelajaran. pada saat sekarang ini
semakin dikenal sebagai salah satu cara untuk
mengatasi masalah pendidikan, baik di negara-
negara yang sudah maju maupun di negara-negara
yang sedang berkembang. Banyak orang
menggunakan istilah yang berbeda-beda
mengenai e-learning, namun pada prinsipnya e-
learning adalah pembelajaran yang menggunakan
jasa elektronika sebagai alat bantunya. Dalam
pelaksanaannya, e-learning menggunakan jasa
audio, video, dan perangkat komputer atau
kombinasi dari ketiganya. Menurut Soekartawi
(2002) e-learning adalah pembelajaran yang
pelaksanaannya didukung oleh jasa teknologi
seperti telepon, audio, videotape, transmisi satelit
atau komputer.

Lebih lanjut, Soekartawi mengemukakan tiga hal
yang mendorong mengapa e-learning menjadi
salah satu pilihan untuk menyelesaikan masalah
pendidikan, yaitu: a) pesatnya kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi yang tidak hanya
menjangkau negara-negara maju melainkan juga
negara-negara berkembang, b) tersedianya
infrastruktur telekomunikasi yang memungkinkan
terbukanya secara meluas peluang masyarakat
untuk mengakses internet, dan c) makin
meningkatnya jumlah organisasi dan anggota
masyarakat yang berpartisipasi dalam
menyediakan jasa layanan internet.

Dari uraian tersebut diatas dapatlah dikemukakan
beberapa karakteristik e-learning, diantaranya
sebagai berikut: memanfaatkan jasa teknologi
elektronik, 1) untuk memudahkan komunikasi
antara pendidik dengan peserta didik, peserta
didik dengan sesama peserta didik, atau pendidik
dengan pendidik yang relatif mudah tanpa dibatasi
oleh hal-hal yang protokoler; 2) dalam
keunggulan komputer; 3) dalam penggunaan
bahan belajar mandiri ( self-learning materials)
yang disimpan pada jaringan komputer sehingga
dapat diakses oleh pendidik dan peserta didik
kapan dan di mana diperlukan; dan 4) mengelola
adminsitrasi kelas yang berkaitan dengan jadwal
pembelajaran, kurikulum, dan hasil kemajuan
belajar.

Manfaat e-learning tidak lepas dari jasa internet
karena berbagai teknik pembelajaran yang
tersedia di internet begitu lengkap sehingga akan
Pendidikan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 606
memberikan pengaruh terhadap tugas pendidik
dalam proses pembelajaran.

Interconnected Network atau yang lebih populer
dengan sebutan Internet adalah suatu sistem
komunikasi global yang menghubungkan jutaan
komputer dan jaringan komputer di seluruh dunia.
Dengan pertumbuhan teknologi informasi dan
komunikasi, internet mempunyai potensi yang
besar dalam pembelajaran matematika yang
sudah menjadi suatu medium belajar dan
mengajar baik sebagai sumber balajar maupun
pendukung pengelolaan proses belajar-mengajar
(Koesnandar, dkk., 2007). Dalam pemanfaatan
internet ataupun e-learning, pendidik dan peserta
didik sebagai pemakai komputer harus dapat
memprogram komputer.

Memprogram komputer dipandang sebagai
pemberian serangkaian perintah dalam satu
kesatuan agar komputer melakukan sesuatu
(Ghezzi, dkk., 1991). Rangkaian perintah itu
disebut program komputer, untuk menjembatani
komunikasi antara komputer dengan pemakainya
karena komputer memahami bahasa mesin
sedangkan pemakai komputer di lain pihak
memahami bahasanya sendiri.

Memprogram komputer melibatkan berbagai
kemampuan, kemampuan yang banyak terlibat
adalah aturan dan aturan tingkat tinggi. Aturan
dan aturan tingkat tinggi disusun menjadi desain
program, yaitu hubungan antara komponen-
komponen yang diketahui dan komponen-
komponen yang dicari dalam bentuk semantik
dengan bahasa sehari-hari. Selain mampu
menerapkan kemampuan memprogram pada
berbagai permasalahan baru, peserta didik juga
diharapkan mampu menggunakan bahasa
pemrograman yang berbeda atau memprogram
pada perangkat keras yang berbeda. Sasaran
utamanya adalah mengantisipasi perkembangan
komputer yang pesat, baik perangkat keras
maupun perangkat lunak.

Strategi Pembelajaran

Rencana untuk membantu peserta didik dalam
usaha belajarnya pada setiap tujuan belajar, yang
dapat berupa rencana materi pembelajaran atau
satu unit produksi sebagai media pembelajaran
(Gagne Strategi pembelajaran didefinisikan
sebagai, dkk., 1992). Seels dan Richey (1994)
menambahkan bahwa strategi pembelajaran
adalah spesifikasi untuk memilih dan
mengurutkan kejadian dan aktivitas pembelajaran.
Aktivitas pembelajaran meliputi penyajian materi,
pemberian contoh, pemberian latihan, serta
pemberian umpan balik. Agar tujuan
pembelajaran tercapai secara optimum maka
semua aktivitas harus diatur dengan
mempertimbangkan karakteristik peserta didi,
media, dan situasi sekitar proses pembelajaran.

Mengacu pada teori-teori yang telah diuraikan
maka yang dimaksud dengan strategi
pembelajaran adalah rencana yang mencakup
berbagai spesifikasi dalam pengorganisasian
informasi pembelajaran dan pengambilan
keputusan tentang bagaimana cara
menyajikannya. Strategi pembelajaran ditekankan
pada pengorganisasian materi, yang
berimplikasipada cara penyajian dan pelaksanaan
latihan.

Strategi Pembelajaran Heuristik

Proses heuristik adalah proses yang terdiri dari
serangkaian operasi yang tidak elementer atau
serangkaian operasi elementer yang tidak terjadi
secara reguler (Romizowski, 1990). Pemilihan
alat untuk memecahkan masalah di mana tidak
tersedia alat khusus untuk itu merupakan contoh
proses heuristik. Dalam situasi seperti ini pelaku
dapat melakukan serangkaian operasi yang belum
pernah dilakukan, dan mungkin berbeda untuk
setiap orang walaupun pada kondisi yang sama.
Komplesitas proses heuristik sebagai sebuah
sistem sangat dinamis dan operasi-operasi di
dalamnya sangat terbuka terhadap perubahan.
Heuristik juga menunjuk kepada koleksi strategi,
petunjuk praktis, bimbingan, atau saran yang
saling lepas untuk penyelesaian masalah
(Amstrong, 1994).

Kondisi saling lepas menekankan bahwa koleksi
strategi, petunjuk praktis, bimbingan, atau saran
yang digunakan dalam memecahkan masalah
tidak tetap, baik banyaknya maupun urutannya.
Pelaku memiliki kebebasan untuk menetapkan
dari mana harus memulai proses dan menentukan
proses apa yang harus dilakukan berikutnya.
Pendekatan yang sering digunakan dalam strategi
pembelajaran heuristik adalah pendekatan
bekerja mundur dan pendekatan analogi.

Pendekatan Bekerja Mundur

Pembelajaran dengan strategi heuristik bekerja
mundur memulai pembelajaran dari langkah akhir
proses pembelajaran, kemudian secara perlahan-
lahan membahas langkah-langkah lainnya mulai
dari belakang menuju ke depan (Romiszowsky,
1990). Bila tujuan akhir langsung tercapai maka
proses pembelajaran dinyatakan selesai.
Sebaliknya bila tujuan akhir pembelajaran belum
tercapai maka harus dirumuskan beberapa sub
tujuan. Sub tujuan mana yang harus dirumuskan
tergantung kapada informasi terkait dengan tujuan
akhir. Pembahasan berlangsung sampai tidak ada
Pendidikan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 607
informasi terkait dengan tujuan akhir yang belum
di kuasai.

Strategi pembelajaran heuristik dengan
pendekatan bekerja mundur dalam pembelajaran,
dimulai dari contoh program. Bermula dari
program yang sudah jadi dilakukan pembelajaran
analisis permasalahan, desain program,
pengkodean, dan validasi program. Urutan
pembahasan tersebut dapat berubah setiap waktu,
bahkan dapat tidak dibahas, tergantung
permasalahan.

Pendekatan Analogi

Analogi adalah perbandingan secara eksplisit
antara dua obyek atau peristiwa di mana
persamaan dan perbedaan di antara keduanya
jelas. Jadi strategi pembelajaran heuristik dengan
pendekatan analogi adalah pendekatan
pembelajaran dengan membandingkan materi
yang dipelajari dengan materi lain yang memiliki
kesamaan dan sudah dikuasai. Latihan melalui
strategi heuristik dengan pendekatan analogi
dimulai dari pemberian contoh program untuk
dicoba. Peserta didik diminta untuk memodifikasi
program tersebut untuk tujuan yang sudah
ditentukan. Jika peserta didik mampu
memodifikasi contoh program, maka peserta didik
diminta mengembangkan program baru.

Peningkatan kemampuan peserta didik dalam
pembelajaran matematika dengan e-learning
dapat dinyatakan sebagai proses transformasi
yang mampu merubah peserta didik, yang
ditentukan melalui hasil proses pembelajaran.
Proses pembelajaran tersebut diawali dengan
masukan (input) yang meliputi peserta didik,
fasilitas, tenaga pengajar, prasarana, dan strategi.
Kemudian, diikuti dengan proses pembelajaran
dalam kelas yang menghasilkan hasil (outcomes)
seperti peningkatan kompetensi, prestasi
akademik yang secara nyata dapat diamati. Robert
E. Stake (2006) memfokuskan terhadap
pencapaian evaluasi program pembelajaran secara
efektif yang disebut dengan model Stake. Model
evaluasi pendidikan ini merupakan salah satu
model evaluasi berbasis tujuan yang didasarkan
atas tiga komponen yaitu komponen masukan,
komponen proses dan komponen hasil. Diukur
dengan menggunakan observasi dan dokumen.

Target Populasi dan Sampel

Populasi yang menjadi sasaran dalam penelitian
ini adalah peserta didik SMA Negeri 66 Jakarta.
Sedangkan teknik pengambilan sampel dengan
cara purposif dan klaster dengan kesepakatan.
Penelitian ini bersifat deskriptif, jenis penelitian
evaluasi dengan model survei. Responden peserta
didik kelas XI IPA yang berjumlah 78 anak terdiri
dari dua kelas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Hasil Evaluasi

Efektivitas masukan yang berhubungan dengan
Manfaat Internet dalam kegiatan pembelajaran
Matematika di SMA Negeri 66 menghasilkan
data/informasi yang telah dikumpulkan melalui
angket dan dokumen, dianalisis secara deskriptif.
Efektifitas masukan merupakan suatu yang
dipersyaratkan dan orientasi utama evaluasi
masukan dapat mengemukakan suatu program
yang akan dicapai atau apa yang diinginkan.
Fokus perhatian penelitian ini yaitu seperti yang
dikemukakan diatas.

Peserta didik.

Penelusuran berdasarkan studi dokumen yang
dapat diambil peserta didik yang terdapat pada
kelas XI IPA pada tahun pelajaran 2008/2009
adalah 78 anak untuk 2 kelas yang menunjukkan
bahwa persentase yang berjenis kelamin
perempuan lebih banyak dari laki-laki. Distribusi
yang berjenis kelamin laki-laki adalah 34 (44%),
sedangkan yang berjenis perempuan adalah 44
(56%). Penentuan jumlah peserta didik perkelas
berdasarkan hasil studi kelayakan untuk kelas
kurang efektif.

Tenaga Pengajar

Berdasarkan hasil temuan dilapangan dengan
penelusuran studi dokumen bahwa dari 6
pendidik, terdapat 4 orang sebagai PNS dan
memiliki pendidikan sarjana, 2 orang tenaga
honorer. Dari ke 6 pendidik, semuanya sesuai
dengan latar belakang pendidikannya yakni
pendidikan matematika. Simpulan yang dapat
diambil tentang persyaratan administrasi dilihat
dari latar belakang pendidikannya, pengalaman
mengajar dan pengalaman diklat yang pernah
diikuti yakni para pendidik tersebut memenuhi
persyaratan. Dalam penilaian berada pada
kategori tinggi dan dapat diterima pada evaluasi
ini.

Sarana dan Prasarana Belajar

Informasi sarana dan prasarana belajar yang ada
dikelas dengan berpedoman pada hasil penilaian
diperoleh data sebagai berikut: (94,2%) dinilai
lengkap dan baik, (5,8%) ada tapi tidak lengkap
seperti tenaga listrik, AC di kelas kurang
berfungsi, sehingga kadang-kadang peserta didik
sedang mengoperasikan komputer lampu mati.
Simpulan yang dapat diperoleh adalah sarana dan
Pendidikan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 608
prasarana pembelajaran dikelas berada pada
kategori tinggi. Hal yang menarik ditemukan
adalah semua pendidik dapat memanfaatkan
sarana teknologi dalam proses pembelajaran
terutama internet.

Evaluasi proses adalah evaluasi terhadap proses
penilaian pelaksanaan kegiatan belajar mengajar
di kelas. Kegiatan evaluasi mencakup:
penguasaan pendidik dalam kegiatan
pembelajaran menggunakan strategi pembelajaran
heuristik dengan pendekatan bekerja mundur dan
pendekatan analogi , interaksi pendidik dan
peserta didik, penyusunan bahan pembelajaran,
dan pengelolaan pembelajaran. Hasil observasi
dan analisis statistik dari yang dikemukakan
diatas berada pada kategori tinggi dan
simpulannya dapat diterima pada evaluasi ini
kecuali dalam pengoperasian komputer
mengalami kesulitan.

Evaluasi Hasil adalah evaluasi yang dilakukan
untuk mengukur keberhasilan pencapaian
pembelajaran dikelas dengan e-learning.
Penelusuran berdasarkan studi dokumen yang
dapat diambil hasil belajar peserta didik dari
tugas-tugas yang diberikan dan tes formatif dapat
disimpulkan bahwa pendidik yang melakukan
pembelajaran dengan strategi pembelajaran
heuristik dapat meningkatkan kemampuan peserta
didik dengan E-learning yang lebih optimal
dengan pendekatan bekerja mundur untuk
menyajikan materi dan pendekatan analogi untuk
pelaksanaan latihan.

PEMBAHASAN

Pembahasan hasil temuan yang terkait dengan
penyelesaian masalah yang ditinjau, didukung
dengan experts judgement (2003)
Evaluasi proses memberikan informasi tentang
penguasaan pendidik , yang didasarkan atas unsur
yang lain yaitu interaksi pendidik dan peserta
didik, penyusunan bahan pelajaran, dan
pengelolaaan pembelajaran adalah yang terkuat
(tertinggi), yang menampilkan proses
pembelajaran menggunakan pengembangan
strategi pembelajaran heuristik dengan
pendekatan bekerja mundur dan pendekatan
analogi yang dapat menghasilkan kemampuan
memprogram komputer lebih tinggi. Tanpa
mengamati unsur-unsur tersebut diatas, dapat
disimpulkan bahwa kualitas penguasaan pendidik
mempunyai pengaruh kuat dalam pembelajaran.
Sebagai contoh pemberian materi pembelajaran
yang relevan dengan menggunakan media
pembelajaran elektronik (e-learning) akan
menambah motivasi pembelajaran yang kuat dan
mudah memahami materi. Sehingga peningkatan
kemampuan yang diperoleh peserta didik dapat
dinyatakan sebagai tanggapan proses transformasi
yang mampu merubah hasil belajar peserta didik
melalui proses pembelajaran. Strategi
pembelajaran yang berorientasi pada peserta didik
dengan inovasi pembelajaran (pengetahuan dan
teknologi) yang diperoleh dari pembelajaran
matematika merupakan perubahan-perubahan
positif dalam perkembangan dunia pendidikan.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian,serta berdasarkan
rumusan masalah ada beberapa hal yang dapat
disimpulkan:
Seluruh peserta menyatakan bahwa mereka
pernah menggunakan internet dalam kegiatan
pembelajaran di sekolah sebagai salah satu
sumber belajar. Alasan peserta didik menyenangi
pemanfaatan internet sebagai salah satu sumber
balajar dalam kegiatan pembelajaran matematika
di sekolah adalah karena dapat menambah
wawasan dalam proses belajar dan ilmu
pengetahuan,. Sebagian besar peserta didik
menyatakan kegiatan pembelajaran menjadi
sangat menyenangkan dan menarik apabila
dilaksanakan dengan menggunakan internet.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Agung, I.G.N., 2003. Statistika Penerapan
Metode Aanalisis untuk Tabulasi Sempurna
dan tak Sempurna dengan SPSS, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
[2] Departemen Pendidikan Nasional. 2002.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah, Konsep Dasar, Jakarta: Direktorat
SLTP Ditjen Dikdasmen Depdiknas.
[3] Gagne, Robert M., Leslie J, Briggs and
Walter W. Wager, 1992. Principles of
Instructional Design. For Worth: Harcout
Brace Jovanovich College Publishers.
[4] Ghezzi, Carlo, Mehdi Jzayeri and Dino
Mandrioli. 1991. Fundamentals of Software
Engineering. EnglewoodCliffs: Prentice-
Hall International, Inc.
[5] Koesnandar, Uwes A Chaeruman, dan Ika
Kurniawati. 2007. Studi Pemanfaatan
Edukasinet di Sekolah. Sumber:
http://www.e-
dukasi.net/artikel/index.php?=46. Yang
diakses selama tahun 2007.
[6] Lefrancois, Guy R, 1995. Theories of
Human Learning. Kro: Kros Report.
[7] Mulyasa. 2005a. Kurikulum berbasis
Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan
Implementasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
[8] Mulyasa. 2005b. Menjadi Guru Profesional
Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Pendidikan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 609
Menyenangkan. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
[9] Romiszowski, A.J. 1990. Designing
Instructional Systems. London: Kogan Page.
[10] Seels, Barbara B, and Rita c. Richey. 1994.
Instructional Technology: The Definition
and Domain of the Field. Washington D.C:
Association for Educational Communication
and Technology.
[11] Siahaan, Sudirman. 2007. Perkembangan
Siaran Televisi (TVE): Persepsi dan
Penyikapan Guru. Jakarta: Pustekkom-
Depdiknas.
[12] Soekartawi. 2002. E-learning:, Konsep dan
aplikasinya. Bahan-ceramah/Makalah
disampaikan pada Seminar yang
diselenggarakan oleh Balitbang Depdiknas,
Jakarta, 18 Desember 2002
[13] Stake Robert E. 2006. Paper, The
Countenance of Educational Evaluation,
Center for Instructional Research and
Curriculum Evaluation, University of
Illinois.
[14] Sutrisno, 2007. E-Learning di Sekolah dan
KTSP. E-dukasi.net. Pustekkom Depdiknas.
Sumber: http://www.e-
dukasi.net/artikel/index.php?id=60, yang
diakses selama tahun 2007.
[15] Yaniawati, Poppy, 2007. Peran E-
Learning Dalam Pembelajaran. Sumber:
http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/2007/042007/12/0902.htm,
yang diakses selama tahun2007.


Pendidikan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 611
BAGAIMANA MATEMATIKA DAPAT MENDUKUNG PENDIDIKAN
UNTUK PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN
(Education for Sustainable Development)

Dianne Amor Kusuma, Asep K. Supriatna
Jurusan Matematika FMIPA Unpad

bravedex@yahoo.com, aksupriatna@bdg.centrin.net.id


ABSTRAK

Pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development) adalah suatu konsep yang dicanangkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebagai suatu pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa merusak
kemampuan generasi akan datang untuk memenuhi kebutuhannya, dan pendidikan dilaksanakan untuk menjadi pusat
keberlanjutan tersebut. EfSD (Education for Sustainable Development) adalah pengetahuan yang didasarkan pada
lingkungan, ekonomi dan sosial, yang memuat keterampilan belajar, pandangan, serta nilai yang memandu dan
memotivasi orang-orang untuk berusaha mencari mata pencaharian yang berkelanjutan, berpartisipasi dalam
perkumpulan demokratis, serta tinggal dalam suatu kebiasaan (adat) yang berkelanjutan. Oleh sebab itu antara
pendidikan dan keberlanjutan terdapat keterkaitan yang sangat erat.

Matematika merupakan salah satu bidang ilmu yang mendukung pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable
Development), dan ini adalah tantangan bagi para pendidik untuk dapat mengupayakan bagaimana
mengimplementasikan pembangunan yang berkelanjutan dalam proses pembelajaran matematika.

Keywords: Matematika, pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan (EfSD)


PENDAHULUAN

Pembangunan yang Berkelanjutan
(Sustainable Development)

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun
1987 mengeluarkan Komisi Brundtland
(Brundtland Commission) yang merupakan pola
pemanfaatan sumber daya alam yang bertujuan
memenuhi kebutuhan manusia sambil menjaga
lingkungan sehingga kebutuhan tersebut tidak
hanya dapat dimanfaatkan untuk saat ini, tetapi
juga untuk generasi yang akan datang.
Pembangunan yang berkelanjutan saling terikat
untuk membawa fungsi sistem alam pada berbagai
tantangan sosial yang berkaitan dengan
kemanusiaan. Di awal tahun 1970-an
keberlanjutan digunakan untuk menggambarkan
suatu keseimbangan antara ekonomi dengan
sistem dasar ekologi. Pembangunan yang
berkelanjutan meliputi lingkungan, ekonomi dan
sosial. Oleh karena itu diperlukan bekal
pengetahuan dasar dari ilmu pengetahuan
alam,ilmu pengetahuan sosial dan ilmu
kemanusiaan untuk memahami prinsip-prinsip
pembangunan yang berkelanjutan, bagaimana
cara mereka mengimplementasikannya,
memahami nilai-nilai yang termuat di dalamnya,
serta pengaruh dari implementasi tersebut. Contoh
peranan matematika dalam pembangunan yang
berkelanjutan, khususnya dalam pemanfaatan
sumber daya alam dapat dilihat pada
pengimplementasian beberapa model matematika
yang digunakan untuk mengatasi berbagai
masalah lingkungan, contoh: dalam pengaturan
sumber minyak bumi, dan lain-lain.

Pendidikan untuk Pembangunan yang
Berkelanjutan (Education for Sustainable
Development - EfSD)

Pendidikan merupakan kunci dalam proses
pencapaian pembangunan yang berkelanjutan.
Bagaimanapun, agar pendidikan formal dapat
mendukung keberlanjutan, maka sistem dan
metodologi tradisional perlu diorientasikan
kembali.
Pendidikan dalam pembangunan yang
berkelanjutan (EfSD) tidak hanya merupakan
ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada
lingkungan, ekonomi dan sosial, tetapi juga
memuat keterampilan belajar, pandangan, serta
nilai yang memandu dan memotivasi orang-orang
untuk berusaha mencari mata pencaharian yang
berkelanjutan, berpartisipasi dalam perkumpulan
demokratis, serta tinggal dalam suatu kebiasaan
(adat) yang berkelanjutan. EfSD pun memuat
pembelajaran lokal dan isu global. Oleh karena
itu, kelima hal tersebut, yakni pengetahuan,
keterampilan, pandangan, nilai dan isu, haruslah
terangkum dalam suatu kurikulum formal yang
telah diorientasikan kembali pada arah
keberlanjutan.Penambahan sederhana pada
kurikulum dirasa tidak sesuai pada sebagian besar
sekolah-sekolah/lembaga pendidikan karena
mereka telah memiliki kurikulum yang utuh.
Pendidikan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 612
Memutuskan apa yang harus dibuang serta apa
yang harus ditambah untuk menunjang
keberlanjutan, merupakan bagian terpenting dari
proses pengorientasian kembali.

Pengetahuan

Pembangunan yang berkelanjutan meliputi
lingkungan, ekonomi dan sosial. Namun
bagaimanapun, diperlukan pengetahuan dasar
ilmu-ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan
sosial dan kemanusiaan untuk memahami prinsip-
prinsip pembangunan yang berkelanjutan, cara
pengimplementasiannya, nilai-nilai yang termuat
di dalamnya, serta dampak dari
pengimplementasian pembangunan yang
berkelanjutan. Tantangan bagi masyarakat dalam
proses pembuatan kurikulum EfSD adalah dengan
memilih pengetahuan yang mendukung sasaran
keberlanjutan yang mereka lakukan.

Isu

Sebagian besar EfSD terfokus pada isu sosial,
ekonomi dan lingkungan, yang mengancam
keberlanjutan planet ini. Pemahaman dan arah
isu-isu tersebut merupakan pusat EfSD dan
beberapa isu yang relevan dan sebaiknya termuat
dalam program yang berkaitan dengan pendidikan
dalam keberlanjutan, karena isu-isu tersebut
penting bagi pemahaman keberlanjutan.

Keterampilan

Agar dapat berhasil, EfSD harus melebihi
pengajaran tentang berbagai isu global. EfSD pun
harus dapat memberi berbagai keterampilan pada
orang-orang, yang memungkinkan mereka
melanjutkan pembelajaran setelah lulus sekolah,
untuk memperoleh matapencaharian yang
berkelanjutan, serta untuk dapat hidup
berkelanjutan. Keterampilan-keterampilan ini
akan berbeda dengan kondisi masyarakat. Berikut
ini adalah jenis-jenis keterampilan peserta didik
yang diperlukan pada saat mereka dewasa, yang
meliputi:
1. Keterampilan berkomunikasi secara efektif,
baik lisan maupun tulisan
2. Keterampilan berfikir tentang sistem, baik
sistem ilmu pengetahuan alam ataupun
sosial
3. Keterampilan membuat perencanaan
4. Keterampilan berfikir kritis tentang makna
isu-isu yang terjadi
5. Keterampilan memisahkan bilangan,
kuantitas, kualitas, dan nilai
6. Keterampilan memindahkan kesadaran akan
pengetahuan pada tindakan
7. Keterampilan bekerjasama dengan orang lain
8. Keterampilan melakukan proses-proses:
mengetahui, menemukan,
bertindak,memutuskan, membayangkan,
menghubungkan, menilai serta memilih
9. Keterampilan mengembangkan respon
estetika terhadap lingkungan.

Pandangan

EfSD tidak dapat dipisahkan dari pandangan
bahwa sangatlah penting untuk memahami
berbagai isu global sebaik isu lokal dalam suatu
konteks global. Setiap isu memiliki sejarah dan
masa depan. Kemampuan mempertimbangkan isu
dari sudut pandang yang berbeda, sangatlah
esensial bagi EfSD. Berikut ini adalah beberapa
pandangan yang berkaitan dengan EfSD, meliputi
pemahaman peserta didik dalam:
1. Masalah sosial dan lingkungan yang berubah
seiring waktu, memiliki sejarah dan masa
depan
2. Isu-isu lingkungan global dalam satu masa
saling terkait antara isu yang satu dengan
lainnya
3. Manusia memiliki hubungan yang bersifat
universal
4. Mempertimbangkan perbedaan pandangan
sebelum memutuskan sesuatu
5. Nilai-nilai ekonomi, agama, dan sosial,
bersaing untuk kepentingan orang banyak
dengan kepentingan dan latar belakang yang
berbeda
6. Teknologi dan ilmu pengetahuan tidak dapat
menyelesaikan seluruh permasalahan yang
ada

Nilai

Nilai merupakan bagian penting pula dalam
EfSD. Di beberapa budaya, nilai-nilai diajarkan
secara terang-terangan di sekolah-
sekolah/lembaga pendidikan. Namun ada
sebagian budaya, walaupun tidak diajarkan secara
terang-terangan tetapi nilai-nilai tersebut
dicontohkan, dijelaskan, dianalisa, atau
didiskusikan. Kedua kondisi tersebut
menunjukkan bahwa nilai pemahaman merupakan
suatu bagian yang esensial dari pemahaman yang
berasal dari diri sendiri dan juga yang berasal dari
pandangan orang lain. Pemahaman dari nilai diri
sendiri, nilai dari masyarakat tempat kita tinggal,
serta nilai yang berasal hal lain, merupakan
bagian pokok dari pendidikan untuk masa depan
yang berkelanjutan. Pada EfSD, nilai-nilai
memiliki tugas yang berbeda dalam kurikulum.
Dalam beberapa usaha yang dilakukan EfSD,
peserta didik mengadopsi nilai-nilai tertentu
sebagai suatu dampak langsung dari instruksi atau
pemodelan nilai-nilai yang dapat diterima.
Sedangkan dalam budaya yang lain, mempelajari
Pendidikan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 613
hubungan antara masyarakat dengan lingkungan
mengarahkan peserta didik untuk mengadopsi
nilai-nilai yang berasal dari apa yang mereka
pelajari.

Karena matematika merupakan salah satu bidang
ilmu eksakta, maka adalah tantangan bagi para
pendidik untuk dapat mengimplementasikan EfSD
dalam proses pembelajaran matematika. Oleh
karena itu, pada paper ini akan dicobakan
pengimplementasian EfSD di Jurusan Matematika
FMIPA Unpad.

PEMBAHASAN

Pendidikan untuk Pembangunan yang
Berkelanjutan (EfSD) di Jurusan Matematika
FMIPA Unpad

Seperti yang telah kita ketahui bahwa EfSD tidak
hanya memuat pengetahuan yang memiliki
keterkaitan dengan lingkungan, ekonomi dan
sosial (kemasyarakatan), tetapi juga memuat
keterampilan belajar, pandangan, serta nilai-nilai
yang memandu dan memotivasi peserta didik agar
mereka dapat memperoleh mata pencaharian yang
berkelanjutan, dapat berpartisipasi dalam
masyarakat demokratis, serta hidup dalam
lingkungan dengan kebiasaan (adat) yang
berkelanjutan. Dalam EfSD pun memuat beberapa
hal yang meliputi:
1. Kita harus memperhatikan kepentingan
intergenerational (dalam arti, bahwa sumber
alam tidak hanya dapat dimanfaatkan oleh
kita, tetapi harus pula dapat dimanfaatkan
dan dinikmati oleh anak cucu kita)
2. Ada batasan dalam eksploitasi agar sumber
alam tidak rusak/punah.

Untuk itu sebaiknya EfSD dapat
diimplimentasikan dalam setiap bidang ilmu,
salah satunya adalah matematika.
Selama ini proses pembelajaran matematika selalu
mengacu pada kurikulum baku yang menuntut
peserta didik agar mampu serta menguasai topik-
topik/pokok bahasan yang diberikan di kelas
tanpa menyertakan unsur EfSD di dalamnya,
sehingga yang diperoleh perserta didik di kelas
adalah murni pengetahuan matematikanya saja,
tanpa pemahaman EfSD.

Karena matematika memuat topik-topik yang
tidak seluruhnya dapat menyertakan EfSD di
dalamnya, maka harus dilakukan pemilihan topik
yang sesuai. Untuk itu EfSD akan dicoba
diimplementasikan pada mata kuliah Pemodelan
Matematika.

Ada beberapa langkah yang akan dilakukan untuk
mengimplementasikan EfSD dalam mata kuliah
Pemodelan Matematika, meliputi:
1. Memilih topik/pokok bahasan yang tepat,
dalam arti pemilihan topik harus disesuaikan
dengan konsep EfSD yang ingin dicapai.
2. Menyampaikan pokok bahasan tersebut
dengan pendekatan pembelajaran yang
sesuai, dalam hal ini adalah pendekatan
pembelajaran Problem Based Learning
(PBL), dengan cara memberikan
kasus/permasalahan yang harus diselesaikan
oleh peserta didik (boleh dalam bentuk
proyek sederhana) dalam bentuk kelompok
kecil (masing-masing kelompok terdiri atas
5 orang). Dalam hal ini harus dibuat pula
skenario pembelajaran PBL yang tepat agar
tujuan yang kita harapkan mengena pada
sasarannya.
3. Kasus atau permasalahan yang diberikan
pada peserta didik harus dikemas sedemikian
rupa sehingga selain dapat memahami
konsep matematika yang termuat di
dalamnya, mahasiswa dapat pula memahami
EfSD yang termuat dalam
kasus/permasalahan tersebut.

Contoh Pengimplementasian EfSD dalam
bentuk PBL

Mata Kuliah : Pemodelan Matematika
I. Topik : Pemanfaatan Sumber
Daya Alam
II. Tujuan :
Melatih mahasiswa untuk
berfikir kritis tentang isu yang
terjadi
Melatih mahasiswa untuk
membangun dan menganalisis
model matematika
Melatih mahasiswa untuk
merumuskan interpretasi solusi
matematis
III. Skenario masalah :
1. Mahasiswa diminta untuk membentuk
kelompok dengan beranggotakan
maksimum 5 orang. Setiap kelompok
diminta untuk membuat essay tentang
pemanfaatan sumber daya alam dan
permasalahannya terhadap lingkungan.
Essay didasarkan pada referensi hasil
penelusuran dari berbagai sumber, sepert:
buku, surat kabar, radio, televisi, hasil
wawancara, paper pada jurnal atau
internet. Essay ditekankan pada apa
kelebihan dan kekurangan
metode/kebijakan pemanfaatan sumber
daya alam yang ada sejauh ini serta
bagaimana dampaknya terhadap
lingkungan hidup.
Pendidikan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 614
2. Berdasarkan essay tersebut, masing-
masing kelompok diminta untuk
memformulasikan masalah secara
matematis (membangun model) dan
menganalisis model yang terbentuk
untuk memperoleh solusi matematisnya
(lamanya waktu ketuntasan analisis
sangat bergantung pada masalah yang
dihadapi dan metode matematika yang
dipakai). Selama proses pengembangan
dan analisis model, bimbingan yang
intensif dari dosen pengampu sangatlah
diperlukan.
3. Kemudian setiap kelompok tersebut
harus menyampaikan interpretasi dan
rekomendasi hasil pemodelan yang
dilakukannya, baik dalam bentuk paper
dan laporan penelitian, mampu dalam
bentuk oral presentation.

Contoh Permasalahan EfSD yang diterapkan
dalam Mata Kuliah Pemodelan Matematika

Masalah:
Jika diketahui suatu sumber alam
tertentu (dalam hal ini, ikan) yang
memiliki pertumbuhan logistik yakni
() = (1

), dengan dan
adalah konstanta yang diketahui,
maka tentukanlah tingkat pemanenan
yang optimal sedemikian sehingga
sumber alam tersebut tidak punah.
Dari masalah yang diberikan, diharapkan
mahasiswa/anak didik akan memiliki
pengetahuan serta sikap (attitude) agar
mereka mempunyai pemahaman bahwa
lingkungan tidak boleh rusak dan sumber
alam tidak punah. Dalam hal ini dengan
model matematika yang mereka buat,
mahasiswa/anak didik diajak untuk dapat
memahami bahwa ada batasan dalam
eksploitasi sumber alam agar tidak punah.
Tentang temperatur global dan
ketinggian permukaan air laut. Jika
temperatur global naik (tinggi), maka
air akan meluap dan puncak es
mencair yang mengakibatkan
permukaan laut menjadi tinggi. Dan
jika hal itu terjadi berulang-ulang,
maka lambat laun pantai akan
musnah. Apa yang harus kita lakukan
agar emisi
2
tidak meningkat dan
mengakibatkan temperatur global
naik?
Dari masalah tersebut, dengan model
matematika yang dibuat oleh
mahasiswa/anak didik, diharapkan mereka
akan memiliki pengetahuan dan sikap
(attitude) untuk mengupayakan agar
pantai tidak terkikis habis.

KESIMPULAN

Setelah dicoba mengimplementasikan EfSD pada
mata kuliah Pemodelan Matematika di Jurusan
Matematika FMIPA Unpad, diharapkan untuk ke
depannya EfSD pun dapat diimplementasikan
pada mata kuliah lain, sehingga dengan
mempelajari matematika diharapkan mahasiswa
pun dapat memahami pentingnya EfSD.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Clark, Collin. (1976). Mathematical
Bioeconomisc: The Optimal Management of
Renewable Resources. John Wiley and Sons,
Inc.
[2] Hucle, J. (1996). Education for
Sustainability. London: Earthscan.
[3] IISD. (2004). Basic & Issues. International
Institute of Sustainable.
http://www.iisd.org/sd/
[4] IMS. (2003). IMS Learning Design Best
Practice and Implementation Guide. IMS
Global Learning
http://www.imsglobal.org/learningdesign/ldv
1p0/imsld_bestv1p0.html
[5] Schaufele, C ; Zumoff, N. (1993). Earth
Algebra. Harper Collins College Publishers.
[6] Tilbury, D ; Stevenson, R. B. ; Fien, J ;
Schreuder, D. (2002). Education for
Sustainable Development: Dimensions of
Work. IUCN The World Conservation
Union. Concortium, Inc. January, 200
http://www.iucn.org/themes/cec/education/di
mensions.htm
[7] PR I PR 5. (2009). Dokumen Evaluasi
Indeks Kinerja Kunci. UNPAD
[8] Walter, J. Meyer. (1984). Concept of
Mathematical Modeling. Mc. Grawhill.








Pendidikan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 615
y = + x + , i = 1, 2,..., n
i i i 0 1
,
0 1 1 2 2
1, 2, ...,
y x x x
p i pi i i i
i n
= + + + + +
=

HUBUNGAN NILAI UJIAN TULIS


TERHADAP KEBERHASILAN MAHASISWA DI PERGURUAN TINGGI
STUDI KASUS : IT TELKOM

Erni D. Sumaryatie, Jondri
Prodi Ilmu Komputasi, Fakultas Sains, IT Telkom, Bandung

ds.erni@rocketmail.com, suryadi_joni@yahoo.com


ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk melihat sejauh mana hubungan nilai ujian masuk perguruan tinggi, yang berbentuk
ujian tulis terhadap keberhasilan mahasiswa di Perguruan Tinggi, yang dinyatakan dengan nilai IPK (Indeks Prestasi
Kumulatif) di Institut Teknologi Telkom (IT Telkom). Metoda yang digunakan untuk melihat hubungan antara ujian
tulis dan nilai IPK adalah metoda regresi dengan variabel prediktor nilai ujian tulis yang terdiri dari nilai
matematika,fisika, bahasa inggris, dan test potensi akademik (TPA). Matematika dan fisika merupakan mata kuliah
dasar untuk mahasiswa teknik, dengan demikian diasumsikan jika seorang calon mahasiswa mendapatkan nilai ujian
matematika dan fisika yang tinggi, diharapkan dia akan berhasil dalam perkuliahan yang ditandai dengan tingginya
IPK yang diperoleh. Selain itu, bahasa inggris merupakan unsur pendukung untuk kelancaran mahasiswa dalam
memahami materi perkuliahan, karena sebagian besar buku referensi disajikan dalam bahasa inggris. Penelitian
dilakukan terhadap sejumlah mahasiswa angkatan 2008 yang dipilih secara acak. Hasil analisis menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara nilai ujian tulis dan IPK. Jika nilai ujian tulis tersebut dijabarkan lebih lanjut ternyata nilai
ujian tulis fisika dan matematika pengaruhnya lebih dominan dibandingkan dengan nilai ujian tulis untuk bahasa
inggris dan TPA terhadap IPK.

Keywords: ujian tulis, indeks prestasi kumulatif (IPK), regresi


PENDAHULUAN

Untuk memperoleh calon mahasiswa yang
bermutu, IT Telkom merancang test yang dapat
menyaring calon mahasiswa yang bermutu.
Sehingga calon mahasiswa yang lulus dapat
mengikuti perkuliahan dengan baik dan
memperoleh nilai yang memuaskan. Materi test
yang digunakan adalah Matematika, Fisika, Test
Potensi Akademik (TPA), dan Bahasa Inggris.
Materi test ini digunakan dengan asumsi calon
mahasiswa teknik harus mempunyai kemampuan
dasar Matematika, Fisika, dan Bahasa Inggris
yang cukup. Pada penelitian ini akan dikaji
hubungan antara nilai ujian masuk dan Indeks
Prestasi Kumulatif (IPK) mahasiswa. Analisa
yang akan digunakan adalah regresi linear dengan
variabel bebas nilai ujian dan variabel tak bebas
IPK.

METODE

Analisis hubungan antara dua buah variabel atau
lebih, yang terdiri dari variabel bebas (dependent
variable) dan variabel tak bebas (independent)
dinyatakan dengan :
Analisis Regresi, untuk melihat model
hubungannya,
Analisis Korelasi, untuk melihat keeratan
hubungannya.


Model regresi linear sederhana mengasumsikan
bahwa hubungan fungsional antara variabel tak
bebas (dependent/response variable) dan variabel
bebas (independent/explanatory variable)
dinyatakan dalam suatu fungsi linear, yaitu
(1)
dimana :
y
i
: variabel tak bebas (dependent variable)
x
i
: variabel bebas (independent variable)

0
: intercept

1
: slope (koefisien regresi)
: error,
2
~ (0, ) N
i


Model multiple linear regression merupakan
pengembangan dari model regresi linear
sederhana, dimana variabel bebas (explanatory
variables)-nya terdiri dari lebih dari satu variabel.
Model regresi linear multiple :

(2)

Nilai-nilai
i
, i = 0,1,, p, diperoleh dengan
menggunakan metoda kuadrat terkecil (least
squared methods), yaitu dengan meminimumkan
harga SSE (Sum Square Error) :
2
SSE e
i
i
= (3)
dan hasilnya ditampilkan dalam tabel ANOVA.
Salah satu cara yang sering digunakan dalam
pemilihan model regresi yang cocok adalah
dengan menghitung coefficient of multiple
determination :
Pendidikan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 616
,
0 1 1 2 2
1, 2, ...,
y b b x b x b x
n i ni i i
i n
= + + + +
=

( )
( )
2

2
2
y y
SSR
i
R
SST
y y
i

= =

(4)
dimana
i
y adalah estimator untuk y
i
yang
berbentuk :

(5)

dengan b
i
(i = 0, 1, , n) adalah estimator untuk

i
.

HASIL

Untuk mengetahui hubungan nilai ujian tulis
terhadap keberhasilan mahasiswa di perguruan
tinggi, penelitian dilakukan di IT Telkom
terhadap 318 orang mahasiswa angkatan 2008,
yang dipilih secara acak. Dari masing-masing
mahasiswa tersebut dicatat nilai hasil ujian
masuk-nya, yang terdiri dari nilai matematika,
fisika, bahasa inggris, TPA, dan total keseluruhan
nilai-nilai tersebut, beserta IPK. Plot IPK dan total
nilai ujian masuk dapat dilihat dalam Gambar 1.


Gambar 1. Plot IPK vs Total Nilai Ujian

Dari Gambar 1 terlihat bahwa hubungan antara
IPK dan total nilai ujian masuk relatif tidak
berpola, atau dapat diduga mempunyai korelasi
yang rendah. Untuk itu dilakukan analisis
korelasi, dan diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 1. Model Summary
b

Model R R Square Sig.
1 .412
a
.169 .000
a

a. Predictors: (Constant), Total

b. Dependent Variable: IPK


Dari Tabel 1, terlihat bahwa terdapat hubungan
yang cukup erat antara IPK dan total nilai (R =
0.412).
Analisis model hubungan (regresi) antara IPK dan
nilai ujian masuk, dinyatakan dalam Tabel 2
berikut.

Tabel 2. Model Regresi
Model Predictor Coefficients Sig. R
1 Constant
Mat
Fis
BIng
TPA
1.700
0.010
0.012
-5.63E-5
-3.09E-5
0.000
0.000
0.000
0.984
0.994
0.456
2 Constant
Mat
Fis
BIng
1.699
0.010
0.012
-5.789E-5
0.000
0.000
0.000
0.985
0.456
3 Constant
Mat
Fis
1.698
0.010
0.012
0.000
0.000
0.000
0.456
4 Constant
Mat
1.773
0.014
0.000
0.000
0.400
5 Constant
Total
1.352
0.008
0.000
0.000
0.412

Tabel 3. Model Summary
a

Model R R Square Sig.
1 0.456 0.208 0.000
2 0.456 0.208 0.000
3 0.456 0.208 0.000
4 0.400 0.160 0.000
5 0.412 0.169 0.000
a. Dependent variable : IPK

Dari Tabel 2 dan 3, terlihat bahwa model 3 adalah
model yang paling cocok untuk kasus hubungan
nilai ujian tulis dan IPK. Hal ini terlihat dari nilai
R Square yang relatif lebih besar dibandingkan
dengan model-model lainnya dan nilai
signifikansi koefisien-koefisien regresinya < 0.05.
Plot dari error untuk model regresi 3, Gambar 2,
memperlihatkan bahwa nilai error dari model
prediksi hampir semua berada pada garis lurus
yang berarti model cocok dengan kondisi data.
Pendidikan

Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 617

Gambar 2. Plot Error Model Regresi 3


KESIMPULAN

Model regresi yang cocok untuk menggambarkan
hubungan antara IPK dan nilai ujian tulis, adalah
multiple linear regression yang berbentuk :
Fis Mat y 012 . 0 010 . 0 698 . 1 + + =
dengan nilai korelasi sebesar 0.456, atau 20.8%
IPK mahasiswa dipengaruhi oleh nilai ujian tulis
(matematika dan fisika), sedangkan 79.2%
sisanya adalah faktor lain yang perlu diteliti lebih
lanjut. Selain itu, hasil analisis menunjukkan
bahwa nilai bahasa inggris dan TPA sangat kecil
berkontribusi terhadap tinggi-rendahnya IPK
mahasiswa, sehingga jika materi ujian tersebut
tidak diujikan pada ujian-ujian tulis berikutnya
pun, tidak akan memberikan efek yang signifikan
terhadap IPK mahasiswa.





















DAFTAR PUSTAKA

[1] Fleming, M.C., Nellis, J.G.,1994, Principles
of Applied Statistics, Routledge, London.
[2] Myers, R.H., 1990, Classical and Modern
Regression with Applications, PWS-KENT
Publishing Co., Boston
[3] Walpole, R.E., Myers, R.H., and Myers,
S.L., 2007, Probability & Statistics for
Engineers & Scientists, 8
th
Edition, Pearson
Education Inc., London.




Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 619
PEMBELAJARAN KAIDAH PENCACAHAN DENGAN PENDEKATAN RME

Ervin Azhar
Universitas Muhammadiyah Prof.Dr.Hamka, Jakarta

ervin_azhar@yahoo.co.id


ABSTRAK

Kaidah pencacahan merupakan salah satu topik dalam KTSP Mata Pelajaran Mata Pelajaran SMA yang diajarkan
pada semester satu kelas XI untuk Program IPA dan IPS, sedangkan untuk Program Bahasa di ajarkan pada kelas XI
semester dua. Materi ini mencakup penggunaan aturan perkalian, permutasi, dan kombinasi dalam pemecahan
masalah. RME adalah singkatan dari Realistic Mathematics Education yaitu pendekatan pembelajaran matematika
dari hal yang real bagi siswa. RME pertama kali dikembangkan tahun 1971 oleh Institut Freudenthal di Negeri
Belanda, berdasarkan pandangan Freudenthal. Ada 3 prinsip RME yaitu: (a) Guided Reinvention through
Progressive Mathematizating, (b) Didactical Phenomenologyca, dan (c) Emergent models. Berdasarka ketiga prinsip
ini muncul 3 karekteristik RME yaitu : 'real' world, free productions and constructions, mathematization, interaction
and integrated learning strands. Pembelajaran Kaidah Pencacahan dengan pendekatan RME adalah pembelajaran
materi kaidah pencacahan dengan menggunakan ketiga prinsip dan kelima karakteristik RME. Pembelajaran dimulai
dengan konsep aturan perkalian, dilanjutkan dengan konsep permutasi dengan membuat keterkaitannya
(intertwinment) dengan konsep aturan perkalian. Kemudian konsep permutasi untuk beberapa elemen yang sama
dibuat keterkaiatannya dengan konsep permutasi. Untuk konsep kombinasi di buat keterkaitannya dengan konsep
permutasi. Pembelajaran konsep aturan perkalian dimulai dari masalah nyata bagi siswa. Pemilihan masalah nyata ini
mempertimbangkan didactical phenomenology, lalu menggunakan model yang menjembatani masalah nyata
(kontektual) dengan matematika formal. Model yang dimunculkan tergantung kontribusi dan produksi siswa melalui
interaksi dalam pembelajaran.

Keywords: realistik mathematic, kaidah pencacahan.


PENDAHULUAN

Salah satu tujuan Mata Pelajaran Matematika
yang tercantum dalam KTSP adalah agar peserta
didik memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa
ingin tahu, prihatin, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri
dalam pemecahan masalah (Diknas 2006) . Agar
siswa dapat memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika, maka perlunya siswa mengetahui
kegunaan suatu materi matematika sebelum
mempelajari materi itu sendiri. Untuk itu dalam
pembelajaran matematika perlu di mulai dari
aplikasi suatu materi kemudian di hubungkan
dengan pemodelan matematika, lalu penyelesaian,
dan di kembalikan kedunia nyata. Cara
pembelajaran seperti ini adalah suatu
pembelajaran dengan pendekatan realistik
matematik atau Realistic Mathematic Education
(RME).

Pembelajaran matematika dengan pendekatan
RME berdasarkan ide Freudenthal yang
menyatakan: mathematics as an human activity
(dalam Gravemeijer: 1995). Maksudnya
matematika adalah aktivitas manusia.
Berdasarkan pandangan ini, maka di kembangkan
3 prinsip dasar pembelajaran matematika, yaitu :
(a) guided reinvention through progressive
mathematization, (b) didactical pheno-
menological analysis, dan (c) emergent models
(Gravemeijer: 1995). Sesuai dengan ketiga prinsip
di atas, dalam proses pembelajaran matematika,
Van Reeuwijk (dalam Drijver 1995) menyatakan:
provides the following characteristics of
Realistic Mathematics Education: 'real' world, free
productions and constructions, mathematization,
interaction and integrated learning strands.

Pembelajaran dengan pendekatan RME atau
Pembelajaran Matematik Realistik Indonesia
(PMRI) telah di ujicobakan di beberapa SD dan
SMP di Indonesia. Untuk SD, tim PMRI telah
membuat penelitian pada beberapa SD, seperti
penelitian Team PMRI Bandung tentang
Pengukuran dengan Manik-manik di SD
Setiabudhi, penelitian Armanto(2003) di Medan
tentang Konvensional vs Realistik dalam
Pembagian, dan penelitian Fauzan (2002)
tentang Traditional Mathematics Educatioan vs
RME untuk topic luas dan keliling. Sedangkan
untuk SMP, tim PMRI yang di wakili Hadi
(2002) dan Zulkardi melakukan penelitian di
Yogyakarta dan Bandung. Seluruh penelitian ini
menunjukan antusias belajar siswa yang tinggi
setelah belajar dengan pendekatan RME.

Penelitian tentang penerapan RME di SMP juga
dilakukan di Turki dan Inggris. Di Turki
penelitian di lakukan oleh Devrim Uzel dan Sevin
Mert Uyangor dari Bahkesir University yang di
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 620
publikasikan dalam Jurnal International
Mathematical Forum No.39. Penelitian ini melihat
pengaruh pembelajaran matematika dengan
pendekatan RME terhadap skala sikap siswa
terhadap matematika. Dari hasil penelitian ini
disimpulkan bahwa: (1) terjadi peningkatan skor
skala sikap secara signifikan pada siswa yang
diajarkan dengan pendekatan RME, sedangkan
pada siswa yang diajarkan dengan pendekatan
biasa tidak terjadi peningkatan, (2) siswa yang
diajarkan dengan pendekatan RME tidak mau lagi
diajarkan dengan cara konvensional. Sedangkan di
Inggris penelitian oleh para Dosen Manchester
Metropolitan Univer-sity dari tahun 2004 s/d
2006. Subyek dalam penelitian ini sebanyak 400
siswa kelas 7 (identik dengan kelas 1 SMP di
Indonesia) dari beberapa sekolah di Kota
Metropolitan Manchester . Hasil penelitian
menunjukan prestasi siswa yang diajarkan dengan
pendekatan RME lebih baik dari pada siswa yang
diajarkan dengan pendekatan konvensional.

Sedangkan penelitian RME di SMA telah
dilakukan oleh Zulkardi yang membandingkan
skala sikap siswa yang diajarkan dengan
pendekatan RME dan pendekatan konvensional di
beberapa SMA di Bandung. Hasil penelitian juga
menunjukan bahwa siswa bersikap lebih positip
bila diajarkan dengan pendekatan RME.

Dengan melihat beberapa penelitian tentang
penerapan RME di SD dan SMP yang dapat
mening-katkan motivasi dan hasil belajar siswa,
juga pening-katan motivasi belajar siswa di SMA,
maka mungkin pendekatan RME dapat juga di
gunakan untuk meningkatkan hasil belajar siswa
SMA, khususnya materi tersulit bagi siswa.

Untuk wilayah Jabotabek Materi Kaidah
Pencacahan merupakan materi tersulit bagi siswa
SMA. Hal ini terlihat dari hasil angket yang
penulis berikan terhadap 100 mahasiswa
semester tiga UHAMKA tahun akademik
2007/2008 yang berasal dari berbagai SMA se
Jabotabek. Kesulitan materi ini juga di sampaikan
oleh seluruh Guru Matema-tika SMA yang
mengikuti PLPG Rayon 09 UNJ tahun 2007. Hal
senada juga di sampaikan para guru yang
mengikuti PLPG Rayon 37 UHAMKA dan
Rayon 35 UNPAK tahun 2009. Mereka adalah
guru-guru yang aktif dalam kegiatan MGMP
Matematika. Kesulitan serupa juga di rasakan
siswa-siswi sekolah berstandar internasional
SMAN 62 Jakarta, informasi ini diperoleh penulis
dari beberapa guru matematika sekolah tersebut
ketika penulis memonitoring kegiatan PPL
Mahasiswa UHAMKA sini, mereka juga
menginginkan adanya bahan ajar dan metode yang
dapat memudahkan siswa memahami materi ini.

Kesulitan siswa memahami materi Kaidah
Pencacahan tidak hanya dirasakan di Indonesia
tapi juga di negara maju seperti di ungkapkan
dalam penelitian Pratt (2000:612-621) yang
menemukan masih ada siswa yang tidak dapat
menentukan banyaknya titik sampel dan titik
kejadian dari total mata dua dadu. Kemampuan
menentukan banyaknya titik sampel dan titik
kejadian ini terkait dengan materi Kaidah
Pencacahan.

Kesulitan siswa-siswi kita dalam memahami
materi kaidah pencacahan berdasarkan studi
pendahuluan yang penulis lakukan terletak pada
menghubungkan konteks dengan prosedur
(rumus) apa yang digunakan. Oleh sebab itu tentu
sangatlah cocok jika kita menggunakan
pendekatan RME, karena dalam RME dibuat
pemodelan yang menjembatani matematika
nonformal dengan matematika formal. Hubungan
itu terdiri dari model of berbentuk diagram yang
membuat model secara khusus, dan model for
yang membuat model secara umum.

Dalam Kurikulum KTSP materi kaidah
pencacahan diajarkan pada semester satu kelas XI
untuk Program IPA dan IPS, sedangkan untuk
Program Bahasa di ajarkan pada kelas XI
semester dua. Materi ini mencakup penggunaan
aturan perkalian, permutasi, dan kombinasi dalam
pemecahan masalah

KONSEP-KONSEP KAIDAH
PENCACAHAN

Aturan Perkalian

Bila suatu operasi dapat dikerjakan dengan n
1
cara, dan bila untuk setiap cara ini operasi kedua
dapat dikerjakan dengan n
2
cara, dan bila untuk
setiap kedua cara operasi tersebut operasi ketiga
dapat dilakukan dengan n
3
cara, dan seterusnya,
maka deretan k operasi dapat dikerjakan dengan
n
1
n
2
.n
k
cara. (Walpole,1995:20).

Konsep Permutasi

Suatu permutasi ialah suatu susunan yang dapat
dibentuk dari satu kumpulan benda yang diambil
sebagian atau seluruhnya.
(Walpole,1995:21).

Banyak susunan yang dapat dibentuk dari satu
kumpulan benda yang diambil sebagian dihitung
dengan prosedur permutasi
n
P
r
, yaitu:

=
!
()!

(Walpole,1995:22).

Sedangkan banyak susunan yang dapat dibentuk
dari satu kumpulan benda yang diambil
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 621
seluruhnya dihitung dengan prosedur faktorial n!,
yaitu:
n!= n.(n-1)(n-2)3.2.1 (Walpole,1995:23).

Konsep Kombinasi

Dalam banyak masalah kita ingin mengetahui
banyaknya cara memilih r benda dari sejumlah n
benda tanpa memperdulikan urutan pemilihannya.
Pemilihan seperti ini dinyatakan oleh Walpole
(1995:25) sebagai kombinasi, dan dinyatakan
dengan lambang
n
C
r
. Banyaknya kombinasi dari
n benda yang berlainan bila diambil sebanyak r
sekaligus adalah

=
!
!()!
(Walpole,1995:26).

RME

RME adalah singkatan dari Realistic Mathematics
Education yaitu pendekatan pembelajaran
matematika dari hal yang real bagi siswa.
Pendekatan Matematika Realistik pertama kali
dikembangkan tahun 1971 oleh Institut
Freudenthal di Negeri Belanda, berdasarkan
pandangan Profesor Hans Freudenthal yang
menyatakan matematika adalah aktivitas manusia.
Di Indonesia pembelajaran matematika dengan
pendekatan RME dikembangkan oleh tim
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.
(PMRI) yang di bentuk tahun 1990 oleh Dosen
beberapa perguruan tinggi yaitu: ITB, UPI
keduanya di Bandung, UNJ Jakarta, UNESA
Surabaya, UNY dan USD keduanya Yogyakarta
(Sembiring, 2008;60).

Prinsip Dasar RME

Berdasarkan pandangan matematika sebagai
aktivitas manusia, dikembangkan tiga prinsip
dasar RME, yaitu: (a) Guided Reinvention
through Progressive Mathematizating
(Penemuan terbimbing melalui bermatematika
secara Progressif; (b) Didactical
Phenomenologyca (Penomena dalam
Pembelajaran); dan (c) Emergent
models (Memunculkan model) (Gravemeijer,
1995:7).

Guided Reinvention through Progressive
Mathematization (Penemuan Terbimbing
melalui Bermatematika secara Progressif)

Guided Reinvention through Progressive
Mathematization mengandung arti siswa mene-
mukan konsep-konsep matematika melalui
bimbingan guru. Dalam proses pembelajaran
terjadi matematika horizontal dan matematika
vertikal.

Matematisasi horizontal berproses mulai dari soal-
soal kontekstual, mencoba menguraikan dengan
bahasa dan simbol yang dibuat sendiri, kemudian
menyelesaikan soal tersebut. Dalam proses ini,
setiap orang dapat menggunakan cara mereka
sendiri. Dalam matematisasi vertikal merupakan
proses yang terjadi di dalam sistem matematika
itu sendiri, misalnya: penemuan strategi
menyelesaikan soal, mengkaitkan hubungan antar
konsep-konsep matematis atau menerapkan
rumus yang telah ditemukan (Freudenthal dalam
Heuvel-Panhuizen, 2001).

Didactical Phenomenology (Fenomena dalam
Pembelajaran)

Didactical Phenomenology merupakan kajian
tentang kaitan antara konsep matematika dengan
fenomena yang muncul dalam proses belajar
mengajar (Bakker, 2000).

Seringkali fenomena yang memungkinkan
dikaitkan dengan suatu konsep matematika yang
tidak mungkin semuanya diberikan kepada siswa,
sehingga guru atau perancang materi harus
memilih fenomena yang dijadikan sebagai titik
awal (starting point) pembelajaran (Gravemeijer,
1995).

Emergent models (Memunculkan model)

Emergent models berfungsi untuk menjembatani
antara pengetahuan matematika non formal
dengan formal dari siswa. Model matematika
dimunculkan dan dikembangkan secara mandiri
berdasarkan model-model matematika yang telah
diketahui siswa.

Gravemeijer (1995) mengatakan bahwa model
diartikan sebagai jembatan dari masalah real ke
dalam masalah matematika formal.

Karakteristik RME

Sesuai dengan ketiga prinsip di atas, dalam proses
pembelajaran matematika Van Reeuwijk (dalam
Drijver 1995) mengatakan: provides the
following characteristics of Realistic Mathematics
Education: 'real' world, free productions and
constructions, mathematization, interaction and
integrated learning strands. Maksudnya
karekteristik dari RME yaitu : menggunakan
masalah ril, menggunakan hasil berfikir dan
konstruksi model dari siswa, pemodelan
matematika, terjadinya interaksi dalam
pembelajaran di kelas, dan keterkaitan antara
materi pelajaran.



Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 622
Menggunakan Masalah Ril

Pengertian ril sini maksudnya adalah ril dalam
pikiran siswa, seperti yang dijelaskan Drijver
(1995): Learning of mathematics starts from
problem situations that students perceive as real or
realistic. These can be real life contexts, but they
can also arise from mathematical situations to the
students. The word 'real' thus refers to
'experientially real' rather than to 'real world.

Menggunakan hasil berfikir dan konstruksi
model dari siswa

Kontribusi yang besar dalam proses pembelajaran
diharapkan datang dari siswa sendiri, dimana
siswa dituntut untuk dapat memproduksi dan
mengkonstruksi sendiri model secara bebas
melalui bimbingan guru. Guru membimbing siswa
sampai mampu merefleksi bagian-bagian penting
dalam belajar yang akhirnya mampu
mengkonstruksi model dari informal sampai ke
bentuk formal. Strategi-strategi informal siswa
berupa skema, grafik, diagram, manipulasi
aljabar, algoritma serta prosedur pemecahan
masalah kontekstual sebagai sumber inspirasi
dalam mengkonstruk pengetahuan matematika
formal diharapkan dapat berkembang ke arah
yang positif.

Menggunakan Pemodelan Matematika

Ketika menghadapi permasalahan kontekstual,
siswa akan menggunakan strategi pemecahan
untuk mengubah permasalahan kontekstual
menjadi permasalahan matematik. Dengan
melakukan representasi inilah yang disebut
sebagai pemodelan matematika. Dalam proses
pemodelan, siswa diharapkan dapat menemukan
hubungan antara bagian-bagian masalah
kontekstual dan mentransfernya ke dalam model
matematika melalui penskemaan, perumusan,
serta pemvisualan. Pemodelan bisa berupa
lambang-lambang matematik, skema, grafik,
diagram, manipulasi aljabar, serta yang lain.

Interaksi dalam Pembelajaran di Kelas

Interaksi antara siswa dengan siswa dan siswa
dengan guru maupun sebaliknya merupakan
bagian penting dalam pendekatan matematika
realistik. Bentuk interaksi ini digunakan siswa
untuk memperbaiki atau memperbaharui model-
model yang dikonstruksi sehingga diperoleh
model yang tepat. Sedangkan guru
menggunakannya untuk menuntun dan
membimbing siswa sehingga sampai memahami
konsep matematika formal.

Keterkaitan Antar Materi

Keterkaitan adalah karakteristik lain dalam
pembelajaran matematika realistik. Konsep yang
dipelajari siswa dengan prinsip-prinsip belajar-
mengajar matematika realistik harus merupakan
jalinan dengan konsep atau materi lain baik dalam
matematika itu sendiri maupun dengan yang lain,
sehingga matematika bukanlah suatu pengetahuan
yang bercerai berai melainkan merupakan suatu
ilmu pengetahuan yang utuh dan terpadu. Hal ini
dimaksudkan agar proses pemahaman siswa
terhadap konsep dapat dilakukan secara bermakna
dan holistik.

PEMBELAJARAN KAIDAH PENCACAHAN
DENGAN PENDEKATAN RME

Dalam mengajarkan konsep-konsep Kaidah
Pencacahan dimulai dengan konsep aturan
perkalian, dilanjutkan dengan konsep permutasi
dengan membuat keterkaitannya (intertwinment)
dengan konsep aturan perkalian. Kemudian
konsep permutasi untuk beberapa elemen yang
sama dibuat keterkaitannya dengan konsep
permutasi. Untuk konsep kombinasi di buat
keterkaitannya dengan konsep permutasi.
Keterkaitan keempat konsep diatas dapat
digambarkan sebagai berikut.













Gambar 1. Keterkaitan Konsep Kaidah
Pencacahan

Aturan Perkalian

Pembelajaran konsep aturan perkalian dimulai
dari masalah nyata bagi siswa. Pemilihan masalah
nyata ini mempertimbangkan didactical
phenomenology. Kita dapat memulai
pembelajaran dengan masalah kontektual seperti
permasalahan 1a berikut ini .
Permasalahan 1a :
Si Asep memiliki 4 jenis baju dan 3 jenis
celana. Dengan berapa cara ia dapat
berpakaian?
Penyelesaian:
Guru mengajak siswa membuat pemisalan
untuk jenis baju si Asep B
1
, B
2
, B
3
, dan B
4
,
sedangkan jenis celananya C
1
, C
2
, dan C
3
.
Aturan perkalian
Konsep permutasi
Konsep kombinasi
Banyak cara pengambilan pertama adalah n cara
Banyak cara pengambilan kedua adalah (n-1) cara
Banyak cara pengambilan ke-r adalah (n-r+1) cara
Pertukaran posisi dari r unsur-unsur yang
sama dianggap satu cara
Gambar 1
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 623
Pemisalan ini tidak baku tergantung
kesepakatan di kelas. Kemudian guru
mengarahkan siswa agar dapat membentuk
gambar 2. Lalu guru mengarahkan siswa
memperhatikan banyak garis yang terdapat
pada gambar 2 berikut. Dengan diagram ini
akan siswa akan menemukan model untuk
menentukan banyak cara berpakaian. Jika
siswa masih kesulitan guru mengarahkan
siswa untuk membentuk gambar 3 berikut.










Gambar 2. Diagram Model Menentukan
Cara Berpakaian

Lalu guru menyuruh siswa menghitung
banyak segala kemungkinan berdasarkan
gambar tersebut. Bila siswa sudah menemukan
bahwa banyaknya cara berpakaian adalah
banyak baju di kali banyak celana, guru
menanyakan alasan mereka. Gambar 2 dan
Gambar 3 merupakan model of , sedangkan
bentuk perkalian banyak baju dengan banyak
celana merupakan model for yang akan
mengarahkan siswa pada bentuk formal yaitu:
Bila suatu operasi dapat dikerjakan dengan n
1
cara, dan bila untuk setiap cara ini operasi
kedua dapat dikerjakan dengan n
2
cara, dan
bila untuk setiap kedua cara operasi tersebut
operasi ketiga dapat dilakukan dengan n
3
cara,
dan seterusnya, maka deretan k operasi dapat
dikerjakan dengan n
1
n
2
.n
k
cara.
(Walpole,1995:20).

Selanjutnya guru memberikan permasalahan
dalam konteks berbeda seperti tertera dalam
permasalahan 1b berikut.
Permasalahan 1b :
Dari kota M ke kota N ada 3 jalan. Dari kota N
ke kota P ada 4 jalan. Dengan berapa cara kita
dapat berjalan dari kota M ke kota P melalui
kota N?
Penyelesaian:
Guru mengajak siswa membuat pemisalkan
nama jalan yang menghubungkan kota M
dengan kota N, seperti mn
1
, mn
2
, dan mn
3
.
Pemisalan ini tergantung negoisasi dikelas.
Setelah itu guru juga mengajak siswa
membuat pemisalan jalan yang
menghubungkan kota N dengan kota P, seperti
np
1
, np
2
, np
3
, dan np
4
. Pemisalan ini juga
tergantung negoisasi di kelas. Kemudian guru
membiarkan dulu siswa membuat pemodelan,
bila kesulitan guru membimbing dengan
prinsip guided reinvention through progressive
mathematization.

Permutasi

Dalam menanamkan konsep permutasi, guru
memilih konteks yang sudah pamiliar dalam kehi-
dupan siswa. Jika guru memilih konteks
banyaknya pertandingan dalam Liga Super
Indonesia, mungkin tidak semua siswa menyukai
sepak bola, sehingga pemilihan konteks ini secara
didactical phenome-nology tidak tepat. Mungkin
lebih tepat bila guru memberikan permasalahan 2
berikut ini .
Permasalahan 2:
Kelas XI A akan memilih Ketua Kelas,
Seketaris, dan Bendahara dari 4 calon.
Pertama dipilih Ketua Kelas, lalu Seketaris
Kelas, dan terakhir Bendahara kelas.
Berapa macam kemungkinan susunan
pengurus kelas tersebut?

Penyelesaian:
Guru memisalkan calonnya si A, si B, si C,
dan Si D. Maka guru bertanya pada siswa
dengan pertanyaan-pertanyaan berikut: (1)
dalam pemilihan ketua kelas ada berapa calon?
(2) siapa saja? (3) jika si A terpilih sebagai
ketua kelas, bolehkah si A dipilih lagi jadi
seketaris atau bendahara? (4) bila si A sudah
terpilih jadi ketua kelas dengan berapa cara
pemilihan sekataris? (5) bila si B terpilih jadi
ketua kelas dengan berapa cara pemilihan
seketaris? Selanjutnya guru menyuruh dan
mengarahkan siswa agar dapat membentuk
bagan seperti Gambar 4. Selanjutnya guru
bertanya lagi dengan pertanyaan-pertanyaan:
(1) bila si A terpilih jadi ketua kelas dan B jadi
seketaris mungkinkah si A atau si B jadi
bendahara lagi? (2) jika A terpilih jadi ketua
kelas dan B jadi seketaris, dengan cara
pemilihan bendahara? (3) jika C terpilih jadi
ketua kelas dan D jadi seketaris, dengan cara
pemilihan bendahara? (4) mengapa jawaban
nomor 2 dan 3 sama? Lalu guru membimbing
siswa melengkapi Gambar 4 menjadi Gambar
5. Setelah siswa mampu melengkapi Gambar 4
menjadi Gambar 5, guru mengarahkan siswa
untuk melihat hubungan banyak cara dengan
pemilihan 3 dari 4 orang. Sampai siswa
menemukan bentuk 432.







B1
B2
B3
B4
C1
C2
C3
Gambar 2
C1 baju B1 celana C1
C2 baju B1 celana C2
B1
C3 baju B1 celana C3
C1 baju B2 celana C1
C2 baju B2 celana C2
B2
C3 baju B2 celana C3
C1 baju B3 celana C1
C2 baju B3celana C2
B3
C3 baju B3 celana C3
Gambar 3
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 624

























Gambar 3.

Selanjutnya guru mengarahkan siswa menemukan
hubungan konsep permutasi dengan konsep aturan
perkalian yaitu ada 4 cara pertama, ada (4-1) cara
kedua, dan ada (4-2) cara ketiga sehingga
banyaknya cara 4(4-1)(4-2) cara.

Kombinasi

Sama dengan cara penanaman konsep permu-tasi,
penanaman konsep kombinasi juga di mulai
dengan konteks ril yang ada dalam pikiran siswa.
Lalu di bawa kedalam bentuk permutasi dan di
cari hubungan konsep permutasi dengan
kombinasi. Salah satu contoh adalah
permasalahan 3 berikut.
Permasalahan 3a:
Kelas XI akan mengirim 2 orang utusan untuk
mengikuti rapat OSIS. Karena pengurus kelas
ada 4 orang yaitu Ketua, Wakil, Seketaris, dan
Bendahara kelas. Maka diadakan pemilihan 2
dari 4 orang pengurus kelas tersebut. Berapa
macam kemungkinan utusan yang dikirim?
Penyelesaian:
Guru mengingatkan tentang konsep permutasi,
lalu mengajak siswa memisalkan 4 orang
tersebut si A, B, C dan D. Pemisalan ini tidak
baku tergantung negoisasi di kelas sesuai
dengan karekteristik kedua (menggunakan
hasil berfikir dan konstruksi model dari siswa)
dan karekteristik keempat (interaksi dalam
pembelajaran di kelas) dari RME. Kemudian
guru membimbing siswa untuk membuat
Gambar 6 berikut.

















Gambar 4.

Selanjutnya guru menyuruh siswa memperha-
tikan dan membandingkan : nomor 1 dengan
nomor 4, nomor 2 dengan 7, nomor 3 dengan 10,
nomor 5 dengan nomor 8, nomor 6 dengan nomor
11, dan nomor 9 dengan nomor 12 pada Gambar
6. Lalu guru menyajukan beberapa pertanyaan
berikut: (1) Apakah sama pernyataan utusan
dari kelas XI adalah si A dan si B dengan
pernyataan utusan dari kelas XI adalah si B dan
si A ?, (2) berbe-dakah nomor 1 dengan nomor
4?, (3) apakah perubahan posisi dari sekumpulan
unsur yang sama dianggap sama? Gambar 6 dan
pertanyaan (1), (2), dan (3) merupakan jembatan
yang menghubungkan konsep kombinasi dengan
konsep permutasi yang sudah ril dalam pikiran
siswa, jadi tidak harus selalu dengan benda
konkrit. Hal ini sesuai dengan pernya-taan
Heuvel-Panhuizen (1995): called realistic is not
just the connection with the real world, but is
related to the emphasis that RME puts on offering
the students problem situations which they can
imagine. Akhirnya guru membimbing siswa
sampai menemukan model for
2
4
=

2
4

2
2
=
4!
(42)!
2!
(22)!
=
4!
(42)!
2!
1
=
4!
(42)!2!
=
4.3.2!
2!.2.1
= 6

Setelah siswa memahami model for diatas, guru
memberikan beberapa soal lagi tentang kombinasi
seperti berikut ini.
3b. Bagaimana kalau utusan yang dikirim 3 orang
yang dipilih dari 4 orang?
3c. Bagaimana kalau utusan yang dikirim 2 orang
yang dipilih dari 5 orang?
3d. Bagaimana kalau utusan yang dikirim 3 orang
yang dipilih dari 5 orang?
3e. Bagaimana kalau utusan yang dikirim 4 orang
yang dipilih dari 5 orang?

Selanjutnya guru membiarkan siswa berdiskusi
dengan temannya sampai menemukan jawaban
A
B
Ketua
Kelas
Seketaris
Kelas
Ketua
Kelas
Seketaris
Kelas
Bendahara
Kelas
C
D
B
A
C
D
C
A
B
D
D
A
B
C
Gambar 4
C 1
D 2
B
B 3
D 4
B 5
D 6
C
D
A
C 7
D 8
A
A 9
D 10
A 11
C 12
C
D
B
B 13
D 14
A
A 15
D 16
A 17
B 18
B
D
C
B 19
C 20
A
A 21
C 22
A 23
B 24
B
C
D
Gambar 5
AB 1
AC 2
AD 3
B
D
C
A
BA 4
BC 5
BD 6
A
D
C
B
CA 7
CB 8
CD 9
A
D
B
C
DA 10
DB 11
DC 12
A
C
B
D
Gambar 6
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 625
berupa model for yaitu
3
4
=

3
4

3
3
=
4!
(43)!
3!
(33)!
=
4!
(43)!
3!
1
=
4!
(43)!3!
=
4.3!
1.3!
= 4 (untuk jawaban
soal 3b),
2
5
=

2
5

2
2
=
5!
(52)!
2!
(22)!
=
5!
(52)!
2!
1
=
5!
(52)!2!
=
5.4.3!
3!2.1
= 10 (untuk jawaban soal 3c),
3
5
=

3
5

3
3
=
5!
(53)!
3!
(33)!
=
5!
(53)!
3!
1
=
5!
(53)!3!
=
5.4.3!
2!3!
=
5.4.3!
2.1.3!
=
10 (untuk jawaban soal 3d), dan
4
5
=

4
5

4
4
=
5!
(54)!
4!
(44)!
=
5!
(54)!
4!
1
=
5!
(54)!4!
=
5.4!
1.4!
= 5 (untuk
jawaban soal 3e). Dari model for ini
digeneralisasikan menjadi bentuk formal

=
!
()!
!
()!
=
!
()!
!
1
=
!
()!!
.

Selanjutnya terbentuklah rumus kombinasi

=
!
()!!
.

KESIMPULAN

Salah satu tujuan Mata Pelajaran Matematika
yang tercantum dalam KTSP adalah agar peserta
didik memiliki sikap menghargai kegunaan mate-
matika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa
ingin tahu, prihatin, dan minat dalam mempelajari
mate-matika, serta sikap ulet dan percaya diri
dalam pemecahan masalah (Diknas 2006) . Agar
siswa dapat memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika, maka perlunya siswa mengetahui
kegunaan suatu materi matematika sebelum
mempelajari materi itu sendiri. Untuk itu dalam
pembelajaran matematika perlu di mulai dari
aplikasi suatu materi kemudian di hubungkan
dengan pemodelan matematika, lalu penyelesaian,
dan di kembalikan kedunia nyata. Cara
pembelajaran seperti ini adalah suatu
pembelajaran dengan pendekatan realistic
mathematic.

Dalam mengajarkan konsep-konsep Kaidah
Pencacahan dengan pendekatan RME, dimulai
dengan konsep aturan perkalian, dilanjutkan
dengan konsep permutasi dengan membuat
keterkaitannya (intertwinment) dengan konsep
aturan perkalian. Kemudian konsep permutasi
untuk beberapa elemen yang sama dibuat
keterkaiatannya dengan konsep permutasi. Untuk
konsep kombinasi di buat keter-kaitannya dengan
konsep permutasi. Pembelajaran konsep aturan
perkalian dimulai dari masalah nyata bagi siswa.
Pemilihan masalah nyata ini mempertim-bangkan
didactical phenomenology, lalu menggu-nakan
model yang menjembatani masalah nyata
(kontektual) dengan matematika formal. Model
yang dimunculkan tergantung kontribusi dan
produksi siswa melalui interaksi dalam pembela-
jaran.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Arends, R.I (2004). Learning to Teach 6
th

Edition. Boston: mc Graw Hill.
[2] Armanto, Dian (2003). Konvensional vs
Realistik Matematika dalam Pembagian.
Buletin PMRI. Bandung: KPPMT ITB
[3] Azhar, Ervin (2003).Pengetahuan Konseptual
dan Pengetahuan Prosedural Kaidah
Pencacahan Pada Siswa Kelas II SMU
Laboratorium Universitas Negeri Malang.
Malang : UM. Tesis tidak di terbitkan.
[4] Dosen Manchester University (2007).
Realistic Mathematics Education. Dalam
jurnal online Tersedia
: http://www.mei.org.uk/files/
gcse2010/Realistic_Mathematics_ Education
_final_.pdf. ( 20 Oktober 2008)
[5] Drijver, Paul (1995). Students encountering
obstacles using a CAS. Standards for
Mathematics Education. Netherlands:
Freudenthal Institute.
[6] Fauzan, Slettenhar, dan Plom (2002).
Tradisional Mathematics Education vs.
Realistic Mathematics Education: Hoping for
Changes. Dalam Centre for Research in
Learning Mathematics, hal. 1-4.
Tersedia: http://www. mes3. learning.
aau.dk/Projects/Fauzan.pdf (13 Nopember
2008)
[7] Gravemeijer, Koeno. (1995). Developmental
Research: Fostering a Dialectic Relation
between Theory and Practice. Standards for
Mathematics Education. Netherlands:
Freudenthal Institute.
[8] Hadi, Sutarto dan Ahmad Fauzan (2003).
Mengapa PMRI. Buletin PMRI. Bandung:
KPPMT ITB
[9] Heuvel-Panhuizen, Marja van den (2001).
Realistic Mathematics Education as work in
progress. Dalam F. L. Lin (Ed.) Common
Sense in Mathematics Education, 1-43.
Proceedings of 2001 The Netherlands and
Taiwan Conference on Mathematics
Education.
Taipei.Tersedia http://www.fi.uu.nl/
publicaties/literatuur/4966.pdf (12 April
2009)
[10] Imas (2003). Pengukuran Dengan Manik-
manik. Buletin PMRI. Bandung: KPPMT
ITB Buletin PMRI. Bandung: KPPMT ITB
[11] Pratt, Dave (2000). Making Sense of The
Total of Two Dice. Dalam Journal for
Research in Mathematics Education, 31(5):
602-625.
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 626
[12] Walpole, Ronald E. dan Myers. 1989. Ilmu
Peluang dan Statistika Untuk Insyinyur dan
Ilmuwan. Terjemahan oleh R.K.Sembiring.
1995. Bandung : ITB.
[13] Uzel dan Uyangor (2006). Attitudes of 7th
Class Students Toward Mathematics in
Realistic Mathematics Education. Dalam
International Mathematical Forum No. 39,
hal 1951-1959. Tersedia:
http//www.m.hikari.com/imf-password/ 37-
40-2006 /uzel (1 Januari 2009).

[14] Zulkardi, Nieven, dan Lange (2002).
Implementing European Aproach to
Mathematics Education in Indonesia Through
Teacher Education [online]. Tersedia:
http:/www.math.uoc.
gr/~ictm2/proceedings/pap81.pdf (2 Jan
2009).









Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 627
PEMBELAJARAN EKSPLORASI BERBASIS BUDAYA LOKAL:
PEMBELAJARAN MATEMATIKA INDAH DAN BERMAKNA DI ERA
GLOBALISASI UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA

Euis Eti Rohaeti
STKIP Siliwangi Bandung

e2rht@yahoo.com


ABSTRAK

Dalam spektrum budaya yang lebih luas, telah tampak tanda-tanda terkoyaknya simbol-simbol yang membentuk jati
diri bangsa kita. Untuk itu diperlukan kiat dan strategi budaya tersendiri melalui evaluasi diri yang terus menerus.
Pembelajaran eksplorasi berbasis budaya lokal diharapkan dapat menghasilkan anak bangsa yang memiliki karakter
mentalitas yang kokoh dan berkepribadian, yang dapat mengambil sikap untuk memberdayakan diri di dalam
pergeseran-pergeseran nilai di era globalisasi. Pembelajaran ini merupakan salah satu cara yang dipersepsikan dapat
menjadikan pembelajaran matematika bermakna dan kontekstual yang sangat terkait dengan komunitas budaya
dimana suatu bidang ilmu dipelajari dan akan diterapkan nantinya dengan komunitas dimana peserta didik berasal.
Selain itu dengan eksplorasi diyakini dapat menstimulasi anak untuk menggunakan kemampuan berpikirnya yang
melahirkan pembelajaran yang kaya dan reflektif. Konteks dunia nyata digunakan untuk merangsang petualangan
anak karena mudah diingat, anak terlibat langsung di dalamnya dan berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-
hari anak. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan Pretest-Postest Control Group Design. Hasil
Penelitian menunjukkan bahwa pemahaman matematik siswa yang menggunakan pembelajaran eksplorasi berbasis
budaya lokal lebih baik daripada yang menggunakan cara biasa.

Keywords: Eksplorasi, Budaya lokal, Bermakna, Pemahaman


PENDAHULUAN

Berlakunya Kurikulum 2004 Berbasis
Kompetensi yang telah direvisi melalui
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
menuntut paradigma baru dalam pendidikan dan
pembelajaran, khususnya pada jenis dan jenjang
pendidikan formal (persekolahan). Salah satu
perubahan paradigma pembelajaran tersebut
adalah orientasi pembelajaran yang semula
berpusat pada guru beralih berpusat pada siswa,
metode yang semula lebih didominasi
ekspositori berganti ke partisipatori,
pendekatan yang semula lebih bersifat tekstual
berubah menjadi kontekstual. Dengan kata lain
paradigma mengajar diganti dengan paradigma
belajar. Paradigma belajar ini sejalan dengan teori
konstruktivisme. Dalam paradigma belajar, siswa
diposisikan sebagai subyek. Pengetahuan bukan
sesuatu yang sudah jadi, tapi suatu proses yang
harus digeluti, dipikirkan, dan dikonstruksi siswa,
tidak dapat ditransfer kepada mereka yang hanya
menerima secara pasif.
Pembelajaran matematika di sekolah dapat efektif
dan bermakna bagi siswa jika proses
pembelajaran matematika memperhatikan konteks
siswa.

Konteks nyata dari kehidupan siswa yang
mencakup latar belakang keluarga, keadaan
sosial, politik, ekonomi, budaya, dan kenyataan-
kenyataan hidup yang lain. Pengertian-pengertian
yang dibawa siswa ketika memulai proses belajar,
pendapat dan pemahaman yang diperoleh dari
studi sebelumnya atau dari lingkungan hidup
mereka, juga perasaan, sikap dan nilai-nilai yang
diyakini, itu semua merupakan konteks nyata
siswa. Konsekuensinya, pembelajaran matematika
harus dilakukan sedemikian rupa sehingga setiap
siswa dengan berbagai latar belakang dan
konteksnya mendapat kesempatan untuk
mengonstruksi pengetahuannya dengan strategi
sendiri.

Selain itu seperti kita ketahui dalam spektrum
budaya yang lebih luas, telah tampak tanda-tanda
terkoyaknya simbol-simbol yang membentuk jati
diri bangsa kita. Menurut Sachari (2007:7)
kondisi tersebut diperburuk oleh lemahnya
program pewarisan nilai, sehingga terdapat proses
pengeroposan nilai-nilai di kalangan generasi
muda. Hal ini diperparah lagi oleh para kaum
cerdik pandai dan para pelaku media yang konon
selalu mengagung-agungkan kebudayaan asing
secara berlebihan. Selain itu dalam beberapa
kegiatan intelektual, seperti penulisan, penelitian,
dan bahkan belajar mengajar, buah karya pemikir-
pemikir baratlah yang menjadi rujukan utama.
Tampak bahwa masyarakat akademis
meninggalkan sejarah intelektual bangsanya
sendiri yang sebenarnya padat dan bermutu.
Untuk itu diperlukan kiat dan strategi tersendiri
untuk melaksanakan pembelajaran matematika
yang memperhatikan konteks siswa, sejalan
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 628
dengan teori konstruktivisme dan dapat
mewariskan nilai-nilai budaya kepada siswa.
Salah satu kiat dan strategi tersebut adalah dengan
melaksanakan pembelajaran eksplorasi berbasis
budaya lokal. Pembelajaran eksplorasi merupakan
suatu pembelajaran yang bertujuan untuk
membimbing siswa menemukan suatu konsep
atau memecahkan suatu permasalahan sehingga
dapat memberikan kesempatan kepada siswa
tersebut untuk berinovasi dengan ide-ide dan cara-
cara yang berbeda. Di dalam pembelajaran ini
guru membimbing siswa mengkonstruksi
pengetahuannya secara aktif melalui sejumlah
pertanyaan-pertanyaan dan perintah-perintah.
Pengambilan konteks budaya lokal dalam
pembelajaran eksplorasi diharapkan dapat
menghasilkan anak bangsa yang memiliki
karakter mentalitas yang kokoh dan
berkepribadian, yang dapat mempertahankan jati
diri budaya bangsanya.


BAHAN DAN METODE

Pemahaman Matematika

Pemahaman atau pengertian (insight) menurut
psikologi Gestalt (Purwanto, 1996:100)
merupakan faktor yang penting dalam belajar.
Menurut para ahli psikologi Gestalt, manusia
bukanlah hanya sekedar makhluk reaksi yang
hanya berbuat atau beraksi jika ada perangsang
yang mempengaruhinya. Sebagai individu,
manusia bereaksi atau lebih tepat berinteraksi
dengan dunia luar dengan caranya yang unik pula.
Sebagai pribadi, manusia tidak secara langsung
bereaksi kepada suatu perangsang, dan tidak pula
reaksinya itu dilakukan secara membabi buta atau
secara trial and error seperti dikatakan oleh
penganut teori conditioning dan connectionism.
Reaksi manusia terhadap dunia luar tergantung
kepada bagaimana ia menerima stimuli dan
bagaimana serta apa motif-motif yang ada
padanya. Manusia adalah makhluk yang
mempunyai kebebasan. Ia bebas memilih cara
bagaimana bereaksi dan stimuli mana yang
diterimanya dan mana yang ditolaknya.
Pemahaman merupakan aspek kemampuan yang
termasuk ke dalam Cognitive Domain (ranah
kognitif). Ranah kognitif berisi perilaku-perilaku
yang menekankan aspek intelektual, seperti
pengetahuan, pengertian, dan keterampilan
berpikir. Pemahaman dalam mempelajari
matematika ada beberapa macam. Ruseffendi
(1991:221) menyatakan bahwa ada 3 macam
pemahaman yaitu:
a. Pengubahan (translation) misalnya
mengubah soal kata-kata ke dalam
simbol dan sebaliknya.
b. Pemberian arti (interpretation) misalnya
mampu mengartikan suatu kesamaan.
c. Pembuatan ekstrapolasi (extrapolation)
misalnya mampu memperkirakan suatu
kecenderungan dari diagram.
Polya (Sumarmo, 2002:12) membedakan 4 level
pemahaman yaitu:
a. Pemahaman mekanikal : dapat
mengingat dan menerapkan sesuatu
secara rutin atau perhitungan sederhana
b. Pemahaman induktif: dapat mencobakan
sesuatu dalam kasus sederhana dan tahu
bahwa sesuatu itu berlaku dalam kasus
serupa.
c. Pemahaman rasional: dapat
membuktikan kebenaran sesuatu
d. Pemahaman intuitif: dapat
memperkirakan kebenaran sesuatu tanpa
ragu-ragu, sebelum menganalisis secara
analitik.
Penciptaan makna dapat terjadi pada dua jenjang
yaitu pemahaman mendalam (inert
understanding) dan pemahaman terpadu
(integrated understanding). Pemahaman
mendalam merupakan hasil belajar siswa
berdasarkan informasi yang diterimanya melalui
proses belajar dan disimpan di dalam ingatannya.
Penemuan kembali terhadap pemahaman yang
sudah tersimpan adalah relative minimal,
mungkin ditemukan kembali untuk kebutuhan
ujian atau tes, tetapi sangat kecil
kemungkinannnya untuk ditemukan kembali
dalam keperluan diaplikasikan dalam situasi baru
atau situasi lain.

Pemahaman terpadu merupakan penciptaan
makna yang menunjukkan kemampuan siswa
untuk menciptakan hubungan bermakna antara
beragam ide dan konsep dalam bidang ilmu, dan
antara pengalaman dan konteks pribadi dengan
konsep dan prinsip ilmiah dalam bidang ilmu.
Pemahaman terpadu merupakan pengetahuan
yang dapat digunakan untuk memecahkan
masalah dalam berbagai konteks dan situasi.
Pemahaman terpadu membuat siswa mampu
untuk bertindak secara mandiri berdasarkan
prinsip-prinsip ilmiah untuk menyelesaikan
permasalahan yang dihadapinya dalam konteks
komunitas budaya, dan mendorong siswa untuk
kreatif terus mencari dan menemukan gagasan
berdasarkan konsep dan prinsip ilmiah.

Berbeda dengan pemahaman pada umumnya,
pemahaman matematik diantaranya didasarkan
pada konsep skema dari Skemp dan Dubinsky
(Sponsel, 2003:2). Skemp berpendapat bahwa
skema menentukan struktur yang berperan dalam
proses-proses dan pengetahuan seseorang serta
menyediakan hubungan di antara pengetahuan
tersebut. Ketika kita mempelajari matematika kita
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 629
memiliki skema melalui proses asimilasi dan
merekonstruksi sementara skema melalui proses
akomodasi. Dubinsky berpendapat bahwa skema
harus diinterelasikan dalam suatu hal yang besar
yaitu suatu organisasi yang kompleks.
Pemahaman matematik terjadi ketika hubungan
antara konsep-konsep berlangsung, dan
sebaliknya akan menjadi sebuah kesulitan yang
besar jika hubungan antara konsep tersebut
terpisah-pisah.
Sejalan dengan pendapat Skemp dan Dubinsky,
Van Hille (Sponsel, 2003:3) menyatakan bahwa
pemahaman matematika adalah :
a. Sebuah proses yang dibangun dari skema
sebelumnya dan jaringan hubungan antar
konsep-konsep tersebut.
b. Sebuah proses yang dibangun dengan
menggunakan multiple representasi
dalam lima tahap berpikir individu yaitu
pengenalan, analisis, pengurutan,
deduksi dan keakuratan.

Kemampuan pemahaman matematik memiliki
indikator tertentu. NCTM (1989:223) menyatakan
bahwa pemahaman terhadap konsep matematika
dapat dilihat dari: (1) Mendefinisikan konsep
secara verbal dan tulisan; (2) Mengidentifikasi
dan mebuat contoh dan bukan contoh; (3)
Menggunakan model, diagram dan symbol-simbol
untuk merepresentasikan suatu konsep; (4)
Mengubah suatu bentuk representasi ke bentuk
lainnya; (5) Mengenal berbagai makna dan
interpretasi konsep; (6) Mengidentifikasi sifat-
sifat suatu konsep dan mengenal syarat yang
menentukan suatu konsep; (7) Membandingkan
dan membedakan konsep-konsep.
Alfeld (2004:44) menyatakan bahwa seorang
siswa dikatakan sudah memiliki kemampuan
pemahaman matematik jika ia sudah dapat
melakukan hal-hal berikut ini:
a. Menjelaskan konsep-konsep dan
fakta-fakta matematika dalam istilah
konsep dan fakta yang lebih
sederhana.
b. Dapat dengan mudah membuat
hubungan logis di antara konsep dan
fakta yang berbeda tersebut
c. Menggabungkan hubungan yang ada
ke dalam sesuatu hal yang baru (baik
di dalam atau di luar matematika)
berdasarkan pemahaman yang
dimilikinya
d. Mengidentifikasi prinsip-prinsip yang
ada dalam matematika sehingga
membuat segala pekerjaannya
berjalan dengan baik.

Pembelajaran Eksplorasi Berbasis Budaya
Lokal

Pembelajaran eksplorasi merupakan suatu
pembelajaran yang bertujuan untuk menggali ide-
ide, argumen-argumen dan cara-cara yang
berbeda dari siswa melalui sejumlah pertanyaan-
pertanyaan terbuka dan perintah-perintah
sehingga dapat mengantarkan siswa tersebut
kepada pemahaman suatu konsep serta
penyelesaian masalah-masalah. Dalam
pendekatan ini siswa menjadi penjelajah aktif
(active explorer) dan guru hanya berperan sebagai
pembimbing dan fasilitator eksplorasi tersebut.
Pembelajaran eksplorasi dikemas ke dalam tiga
strategi yaitu: (1) Strategi mengungkap, yang
merupakan upaya guru untuk memfasilitasi
kemungkinan terungkapnya kemampuan siswa
dalam mengemukakan ide-ide, argumen-argumen,
dan cara-cara yang berbeda dalam menemukan
konsep atau memecahkan masalah melalui
berbagai pertanyaan atau perintah-perintah.
Pertanyaan-pertanyaan dan perintah-perintah
tersebut memberi kesempatan kepada siswa
menggunakan pengetahuan awalnya dalam
mengidentifikasi konsep, prinsip, dan
menghubungkan konsep yang telah mereka
ketahui sebelumnya dengan konsep baru yang
sedang dipelajarinya. (2) Strategi mendorong,
yang merupakan upaya guru untuk mendorong
siswa mencoba-coba berbagai ide atau cara dan
memotivasi siswa untuk tidak takut berbeda
dengan temannnya yang lain. Guru juga
membantu siswa mengkomunikasikan
pemahamannya terhadap suatu konsep disertai
penjelasan atau argumen yang memadai, dan guru
juga mengenalkan istilah-istilah atau simbol-
simbol dari konsep yang baru; (3) Strategi
mengembangkan, yang merupakan upaya guru
untuk memfasilitasi siswa dalam pengembangan
konsep dengan memberikan berbagai masalah
matematis dengan konteks yang berbeda untuk
diselesaikan siswa baik secara individu maupun
kelompok. Siswa belajar menerapkan konsep baru
yang dipelajarinya untuk memecahkan masalah
tersebut, menginterpretasikan,
menggeneralisasikan, dan mengkomunikasikan
hasilnya dengan bahasanya sendiri.
Secara garis besar eksplorasi dalam pembelajaran
ini dibagi ke dalam 3 tahap yaitu tahap persiapan,
eksplorasi penemuan konsep baru dan eksplorasi
aplikasi konsep baru. Agar interaksi dan
komunikasi antar siswa yang terjadi selama
pembelajaran berjalan dengan efektif maka
sebelum pembelajaran dimulai untuk tahap
persiapan dan eksplorasi penemuan konsep baru,
tempat duduk siswa diatur sedemikian rupa
sehingga siswa pandai duduk dengan siswa
kurang, siswa sedang duduk dengan siswa sedang.
Kehadiran siswa pandai dapat menjadi tutor
sebaya bagi siswa kurang. Tim MKPBM (2001:
233) menyatakan, Bantuan belajar oleh teman
sebaya dapat menghilangkan kecanggungan.
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 630
Bahasa yang digunakan teman sebaya lebih
mudah dipahami. Dengan teman sebaya tidak ada
rasa enggan, rendah diri, malu dan sebagainya
untuk bertanya ataupun minta bantuan.
Sedangkan untuk eksplorasi aplikasi konsep baru
maka siswa diorganisasikan dalam kelompok-
kelompok kecil yang terdiri dari kurang lebih 4
orang siswa. Pengelompokkan ini bertujuan untuk
memungkinkan terjadinya komunikasi dan
interaksi yang lebih berkualitas dan multi arah.
Kramarski (2000:167) mengatakan bahwa
mempertinggi kemampuan mengkomunikasikan
penalaran matematik secara alami dengan
mempertinggi kesempatan belajar siswa dalam
kelompok kecil dimana mereka dapat berinteraksi.

Dari uraian tentang pendekatan eksplorasi
tersebut kita dapat melihat bahwa pembelajaran
dengan pendekatan eksplorasi mensyaratkan
keaktifan siswa selama proses pembelajaran.
Salah satu keaktifan siswa akan terlihat pada saat
mereka terlibat secara aktif dalam mengemukakan
ide-ide atau cara-cara yang berbeda dalam
menjawab pertanyaan atau mengikuti petunjuk-
petunjuk yang diberikan. Dengan belajar lebih
aktif banyak manfaat yang dapat diperoleh oleh
siswa. Ruseffendi (1991:283) mengatakan bahwa
belajar aktif dapat menumbuhkan sikap kreatif,
dan anak kreatif hidupnya di kemudian hari lebih
berhasil. Maksudnya ialah lebih dapat mengatasi
persoalan di masyarakat.
Pertanyaan-pertanyaan terbuka dan perintah-
perintah yang diberikan pada pembelajaran
melalui pembelajaran eksplorasi juga membuat
siswa aktif menemukan suatu konsep. Hudoyo
(2003) mengatakan bahwa diharapkan jika siswa
aktif melibatkan diri dalam menemukan suatu
konsep dasar, anak itu akan mengerti konsep
tersebut lebih lama dan mampu menggunakan
konsep tersebut dalam konteks lain. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut juga menurut teori Gestalt
membuat siswa berada dalam ketidakseimbangan
kognitif secara terus menerus sampai siswa dapat
menjawab pertanyaan tersebut. Keadaan tidak
seimbang ini dianggap sebagai motivasi yang
menyebabkan siswa bergerak menuju
keseimbangan.
Pemberian kesempatan untuk mengajukan ide dan
cara yang berbeda dalam menemukan konsep atau
memecahkan masalah akan membuat siswa lebih
bergairah dalam belajar matematika.
Ibrahim(1991:54) mengatakan bahwa pada
umumnya setiap murid lebih senang dan bergairah
bila ia diminta untuk melakukan percobaan atau
upaya menemukan cara memecahkan masalah
daripada hanya mendengarkan dan mencatat apa
yang disampaikan guru.

Berdasarkan pandangan konstruktivisme yang
menjadi landasan utama pengembangan
pembelajaran eksplorasi, jelaslah bahwa
pemberian pertanyaan dan petunjuk untuk
mengeksplorasi ide-ide dan cara-cara yang
berbeda agar siswa mampu menemukan konsep
dan memecahkan masalah telah memposisikan
siswa pada lingkungan pembelajaran yang sesuai
sehingga siswa dapat mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri secara aktif. Eksplorasi
kelompok juga menempatkan siswa dalam
lingkungan kerjasama antar siswa dan siswa
dengan guru, yang menyebabkan
pengkonstruksian pengetahuan berlangsung
dengan baik.
Agar pembelajaran eksplorasi menjadi
pembelajaran bermakna maka materi pelajaran
dikaitkan dengan konteks yang sudah dikenal
siswa. Pembelajaran berbasis budaya lokal
menurut Sofa (2008) dapat menggambarkan
keterkaitan antar konsep dalam suatu bidang ilmu
dengan budaya komunitas siswa, serta membantu
peserta didik untuk dapat menunjukkan atau
mengekspresikan keterkaitan bidang ilmu yang
dipelajarinya dengan budaya komunitasnya.

Pembelajaran eksplorasi berbasis budaya lokal
juga menurut Sofa (2008) merupakan salah satu
cara yang dipersepsikan dapat menjadikan
pembelajaran bermakna dan kontekstual yang
sangat terkait dengan komunitas budaya dimana
suatu bidang ilmu dipelajari dan akan diterapkan
nantinya dengan komunitas dimana peserta didik
berasal. Akibatnya pembelajaran menjadi menarik
dan menyenangkan karena memungkinkan
terjadinya penciptaaan makna secara kontekstual
berdasarkan pengalaman awal peserta didik
sebagai seorang anggota suatu masyarakat
budaya.

Pembelajaran eksplorasi berbasis budaya lokal
berfokus pada penciptaan suasana belajar yang
dinamis, yang mengakui keberadaan siswa dengan
segala latar belakang, pengalaman, dan
pengetahuan awalnya, yang memberi kesempatan
kepada siswa untuk bebas bertanya, berbuat salah,
bereksplorasi, dan membuat kesimpulan tentang
beragam hal dalam kehidupan. Dalam hal ini,
peran guru menjadi berubah, bukan sebagai satu-
satunya pemberi informasi yang mendominasi
kegiatan pembelajaran, tetapi menjadi perancang
dan pemandu proses pembelajaran sebagai proses
penciptaan makna oleh siswa, oleh siswa dan juga
guru secara bersama. Guru juga diharapkan,
bukan hanya berbicara kepada siswa, tetapi juga
mendengarkan dan menghargai pendapat siswa.

Satu hal yang harus dihindari guru dalam
pembelajaran berbasis budaya lokal adalah
menyatakan salah terhadap pendapat siswa.
Perlu diingat, pembelajaran eksplorasi berbasis
budaya lokal percaya bahwa setiap pendapat
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 631
adalah unik, dan penciptaan makna terjadi secara
individual, sehingga tidak ada yang salah atau
benar dalam hal ini. Pernyataan salah akan
menyakitkan hati siswa, dan siswa merasa
pendapatnya tidak dihargai, sehingga siswa
cenderung pasif dan tidak mau mengambil risiko.
Jika pendapat siswa berbeda, yang perlu
dilakukan guru adalah bernegosiasi melalui
interaksi dengan siswa, sampai Siswa mencapai
kesimpulan apakah pendapatnya sesuai dengan
kaidah keilmuan yang dipelajarinya atau tidak.
Dalam pembelajaran eksplorasi berbasis budaya
lokal, guru berfokus untuk dapat menjadi
pemandu siswa, negosiator makna yang handal,
dan pembimbing siswa dalam eksplorasi, analisis,
dan pengambilan kesimpulan. Guru harus
menahan diri agar tidak menjadi otoriter, atau
menjadi satu-satunya sumber informasi bagi
siswa. Guru juga harus dapat merancang proses
pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menarik,
sehingga guru tidak hanya berceramah dan siswa
hanya mendengarkan tetapi merancang strategi
secara kreatif agar dapat mengetahui beragam
kemampuan dan keterampilan yang dicapai siswa
per siswa dalam proses belajar

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu studi
eksperimen dengan Pretest-Postest Control
Group Design, yang digambarkan sebagai berikut:
A O X O
A O O

A : Pemilihan sampel secara acak sekolah untuk
tiap level sekolah dan secara acak kelas pada
masing-masing level sekolah.
O : Tes awal dan Tes akhir pemahaman
matematik
X : Pembelajaran dengan menggunakan
pembelajaran eksplorasi berbasis budaya lokal
Di dalam proses belajar mengajar banyak faktor
yang mempengaruhinya. Untuk itu dalam
mengkaji pengaruh penggunaan pendekatan
pembelajaran yang digunakan terhadap
pemahaman matematik siswa dilibatkan 2 faktor
lainnya yaitu level sekolah dan kemampuan awal
siswa.

Data dalam penelitian ini ditelaah dengan
menggunakan perangkat lunak MINITAB-14 dan
Microsoft-Office-Excel 2007, dengan tingkat
kepercayaan 95%. Analisis terhadap data
kemampuan pemahaman matematik
menggunakan Uji t, dimana sebelumnya diuji
normalitas dan homogenitas varians populasi.

HASIL DAN DISKUSI

Dari analisis data hasil penelitian diperoleh
kesimpulan bahwa kemampuan pemahaman
matematik siswa yang pembelajarannya
menggunakan pembelajaran eksplorasi berbasis
budaya lokal (PEBBL) lebih baik daripada siswa
yang menggunakan cara biasa (CB), dimana
kemampuan pemahaman matematik siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan pembelajaran
eksplorasi berbasis budaya lokal dan CB berada
dalam kualifikasi sedang dimana rata-rata hasil
belajar siswa berada pada rentang 22-32 dari Skor
Maksimum Ideal 40. Hasil penelitian ini sejalan
dengan teori psikologi Gestalt yang mengatakan
bahwa belajar adalah suatu proses dan rentetan
penemuan dengan bantuan pengalaman-
pengalaman yang sudah ada (Purwanto,
1996:101). Dengan belajar melalui pembelajaran
eksplorasi berbasis budaya lokal siswa mencoba
memahami konsep dengan cara melihat hubungan
konsep tersebut dengan konsep-konsep yang
sudah dikenalnya, kemudian ia melihat adanya
kejelasan, dan memahami makna konsep tersebut.
Jadi ketika siswa sedang belajar dengan
pembelajaran eksplorasi berbasis budaya lokal, ia
sedang melakukan belajar penemuan dengan
bantuan pengalaman-pengalaman yang sudah ada.

Hasil ini pun sejalan dengan pendapat Sponsel
(2003:2) yang melihat pemahaman matematik
didasarkan pada konsep skema dari Skemp dan
Dubinsky. Menurutnya pemahaman matematik
terjadi ketika hubungan diantara konsep-konsep
berlangsung, dan sebaliknya akan menjadi sebuah
kesulitan yang besar jika hubungan antara konsep
tersebut terpisah-pisah. Pendapat Van Hille
(Sponsel, 2003:3) juga sejalan dengan hasil
penelitian ini, karena menurutnya pemahaman
matematika merupakan sebuah proses yang
dibangun dari skema sebelumnya, pemahaman
sebelumnya dan jaringan hubungan antar konsep-
konsep tersebut. Selain itu pemahaman
matematikpun merupakan sebuah proses yang
dibangun dengan menggunakan multiple
representasi dari berbagai level berfikir.

Karena di dalam pembelajaran eksplorasi berbasis
budaya lokal siswa didorong untuk mengaitkan
konsep matematika yang sudah ada dengan
dengan konsep lain sehingga pemahaman
konsepnya menjadi lebih baik, maka hasil
penelitian ini pun sejalan dengan teori Piaget yang
dipengaruhi filsafat sainsnya Toulmin yang
mengatakan bahwa bagian terpenting dari
pemahaman manusia adalah perkembangan
konsep secara evolutif, dengan terus manusia
berani mengubah ide-idenya, Tahap pertama
dalam perubahan konsep disebut asimilasi, yakni
siswa menggunakan konsep yang sudah
dimilikinya untuk menghadapi fenomena baru.
Namun demikian, suatu ketika siswa dihadapkan
fenomena baru yang tak bisa dipecahkan dengan
pengetahuan lamanya, maka ia harus membuat
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 632
perubahan konsep secara radikal, inilah yang
disebut tahap akomodasi.
Hasil pencapaian kemampuan pemahaman
matematik siswa berdasarkan faktor pendekatan
pembelajaran dan level sekolah yang disajikan
pada Tabel 1.

Tabel 1. Kemampuan Pemahaman Matematik
berdasarkan Faktor Pendekatan Pembelajaran dan
Level Sekolah
Level
Sekolah
Pendekatan Pembelajaran
PEBBL CB
MEAN SD n MEAN SD N
Tinggi 28,94 5,78 39 25,44 5,17 39
Sedang 27,98 5,11 38 25,16 5,42 40
Rendah 26,57 5,44 40 23,68 5,65 39
TOTAL 27,84 5,53 117 25,16 5,52 118
Keterangan: Skor maksimum ideal 40

Hasil pencapaian kemampuan pemahaman
matematik siswa berdasarkan faktor pendekatan
pembelajaran dan Kemampuan awal siswa
disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kemampuan Pemahaman Matematik
berdasarkan Faktor Pendekatan Pembelajaran dan
Kemampuan Awal Siswa
Kemampuan
Awal Siswa
Pendekatan Pembelajaran
PEBBL CB
MEAN SD n MEAN SD N
Baik 36,35 2,22 12 32,74 1,80 15
Sedang 30,42 2,89 63 28,12 2,52 60
Kurang 21,48 2,44 42 19,98 2,69 43
TOTAL 29,84 2,64 11
7
25,06 2,52 118
Keterangan: Skor maksimum ideal 4

Dari Tabel 1 terlihat bahwa pada level sekolah
sedang dan rendah pendekatan pembelajaran lebih
berperan daripada peringkat level dalam
pencapaian kemampuan pemahaman matematik.
Sedangkan dari Tabel 2 terlihat bahwa faktor
kemampuan awal siswa lebih berperan daripada
pendekatan pembelajaran dalam pencapaian
kemampuan pemahaman matematik siswa.
Sehingga dari dua tabel tersebut kita memperoleh
kesimpulan bahwa di antara faktor pendekatan
pembelajaran, level sekolah dan kemampuan awal
siswa maka faktor kemampuan awal siswa
memiliki peran yang lebih besar dibandingkan
dengan faktor yang lainnnya dalam pencapaian
kemampuan pemahaman matematik siswa. Hasil
ini sejalan dengan psikologi Gestalt (Purwanto,
1996:101) yang mengatakan bahwa dalam belajar
pribadi atau organisme memegang peranan yang
paling sentral. Belajar tidak hanya dilakukan
secara reaktif mekanistis belaka tetapi dilakukan
dengan sadar, bermotif dan bertujuan.
Untuk melihat ada tidaknya asosiasi antara
kualifikasi kemampuan awal siswa dan
pemahaman matematik siswa digunakan juga
asosiasi kontingensi. Hasil penggolongan tersebut
disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Banyaknya Siswa Berdasarkan Kualitas
Kemampuan Awal Siswa dan Pemahaman
Matematik
Kemampuan
Awal Siswa
Pemahaman Matematik
JUMLAH
Kurang Sedang Baik
Kurang 68 17 0 85
Sedang 0 99 24 123
Baik 0 1 26 27
JUMLAH 68 117 50 235
Keterangan: Skor maksimum ideal 40

Dari hasil perhitungan disimpulkan terdapat
asosiasi yang signifikan antara KMU dan
kemampuan pemahaman matematik siswa dengan
asosiasi termasuk ke dalam kriteria tinggi.

KESIMPULAN

1. Pemahaman matematik siswa yang
pembelajarannya menggunakan pembelajaran
eksplorasi berbasis budaya lokal lebih baik
daripada yang menggunakan cara biasa.
2. Penerapan pembelajaran eksplorasi berbasis
budaya lokal lebih efektif pada sekolah level
sedang dan rendah.
3. Penerapan pembelajaran eksplorasi berbasis
budaya lokal lebih efektif pada siswa dengan
kemampuan awal sedang dan kurang.
4. Faktor kemampuan awal siswa lebih berperan
dalam meningkatkan pemahaman matematik
siswa daripada faktor pendekatan
pembelajaran dan level sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Alfeld, P. 2004. Understanding Mathematics.
[online]. Tersedia:
http://www.math.utah.edu/pa/math.html.
(30Desember2008)
[2] Cotton, K. 1991. Teaching Thinking Skills.
School Improvement Research Series.
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 633
[3] Hudoyo, H .2003. Strategi Belajar
Mengajar Matematika. Malang: IKIP
Malang.
[4] Ibrahim, S. 1991. Pengembangan dan Inovasi
Kurikulum. Jakarta: Depdikbud Proyek
Penatara Guru SD Setara D-2
[5] NCTM. 1989. Curriculum and Evaluation
Standards for School Mathematics. Reston,
V.A: Author.
[6] Ruseffendi, E.T. 1991. Pengantar kepada
Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran
matematika untuk Meningkatkan CBSA.
Bandung: Tarsito.
[7] Sachari, A. 2007. Budaya Visual Indonesia.
Jakarta: Erlangga.
[8] Sofa, P 2008. Pembelajaran Berbasis
Budaya. [Online]. Tersedia:
http://duniaguru.com/index.php?option=com
_content&task=view&id=1014&Itemid=1



[9] Sponsel 2003. Mathematical Understanding.
[Online]. Tersedia:
http://209.85.175.104/search?q=cache:WS7h
u4ibvjIJ:www.math.ksu.edu/math791/midter
ms03/barbaracomment.pdf+mathematical+un
derstanding&hl=id&ct=clnk&cd=5&gl=id&c
lient=firefox-a (12 Februari 2009)
[10] Sumarmo,U 2002. Pembelajaran
Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan
Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah
disajikan pada Pelatihan Guru Mts Agustus
2002 di Bandung.
[11] Tim MKPBM 2001. Strategi Pembelajaran
Matematika Kontemporer. UPI: JICA.

*) Penulis adalah Dosen Kopertis Wilayah IV dpk
di STKIP Siliwangi Bandung. Lahir di Sumedang,
9 Desember 1968. Pendidikan S1,S2, S3
Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan
Indonesia.








Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 635
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIKA
SISWA MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA YANG
MENGGUNAKAN PENDEKATAN METAPHORICAL THINKING

Heris Hendriana
STKIP Siliwangi Bandung

herishen@yahoo.com


ABSTRAK

Berpikir kreatif merupakan suatu hal yang amat penting dalam masyarakat modern, karena dapat membuat manusia
menjadi lebih fleksibel secara mental, terbuka dan mudah menyesuaikan diri dengan berbagai situasi dan
permasalahan. Untuk itu dunia pendidikan sebagai salah satu wadah yang bertugas mempersiapkan siswa untuk
berperan dalam masyarakatnya dituntut untuk membekali siswa dengan kemampuan ini. Salah satu pendekatan
pembelajaran yang diharapkan dapat memunculkan banyak gagasan dari para siswa, kemudian para siswa dapat
mencari kombinasi terbaik dari gagasan tersebut dan pada akhirnya dapat memutuskan mana kombinasi terbaik untuk
melakukan suatu tindakan adalah pendekatan Methaporical Thinking. Metaphorical thinking merupakan konsep
berfikir yang menekankan pada kemampuan menghubungkan ide matematika dan penomena yang ada. Metaphorical
thinking merupakan jembatan antara model dan interpretasi yang diharapkan dapat memberikan peluang yang besar
kepada siswa untuk mengeksplorasi pengetahuannya dalam belajar matematika. Dengan menggunakan metaphorical
thinking belajar siswa menjadi bermakna karena ia dapat melihat hubungan antara konsep yang dipelajarinya dengan
konsep yang dikenalnya. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan Postest Control Group Design.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematika siswa yang menggunakan
pembelajaran methaporical thinking lebih baik daripada yang menggunakan cara biasa sehingga metaphorical
thinking dapat meningkatkan kemampuan berfikir kreatif matematika siswa.

Keywords: Berpikir Kreatif, Metaphorical Thinking


PENDAHULUAN

Dalam menghadapi kemajuan teknologi dan
informasi siswa harus memiliki kemampuan
berpikir kreatif. Kemampuan berpikir kreatif
merupakan suatu hal yang amat penting dalam
masyarakat modern, karena dapat membuat
manusia menjadi lebih fleksibel secara mental,
terbuka dan mudah menyesuaikan dengan
berbagai situasi dan permasalahan.

Sebagai ilmu pengetahuan yang diperoleh dari
hasil pemikiran manusia yang diproses dalam
dunia rasio, diolah secara analisis dan sintesis
dengan penalaran di dalam struktur kognitif,
matematika yang diajarkan di sekolah diharapkan
dapat menjadi sarana bagi siswa untuk berlatih
berpikir kreatif. Untuk itu pembelajaran
matematika hendaknya didesain untuk dapat
memunculkan banyak gagasan dari para siswa,
kemudian para siswa dapat mencari kombinasi
terbaik dari gagasan tersebut dan pada akhirnya
dapat memutuskan mana kombinasi terbaik untuk
melakukan suatu tindakan.

Proses kreatif tersebut juga hendaknya diiringi
dengan proses pembelajaran bermakna bagi
siswanya dimana siswa dapat mengemukakan
gagasan-gagasan dengan mengaitkan konsep baru
yang akan dipelajarinya dengan fenomena nyata
yang sudah dikenalnya. Carreira (2001: 262)
menyatakan bahwa menemukan hubungan antara
matematika dan fenomena nyata adalah sebuah
proses dan usaha memainkan model yang penting.
Ini dikarenakan model matematika merupakan
rangkuman sejumlah konsep matematika dan
rangkuman sejumlah interpretasi yang
memerlukan interpretasi yang akurat. Konsep
berfikir yang menekankan pada kemampuan
menghubungkan ide matematika dan penomena
yang ada disebut metaphorical thinking (Carreira,
,2001: 67)

Metaphorical thinking merupakan proses berpikir
yang menggunakan metafora-metafora untuk
memahami suatu konsep. Metafora berawal dari
suatu konsep yang diketahui siswa menuju
konsep lain yang belum diketahui atau sedang
dipelajari siswa. Metaphorical thinking dalam
matematika dimulai dengan memodelkan suatu
situasi secara matematis, kemudian model-model
itu dimaknai dengan pendekatan dari sudut
pandang semantik.

Proses berpikir dengan cara ini dapat menjadi
jembatan antara model dan interpretasi sehingga
bisa memberikan peluang yang besar kepada
siswa untuk mengeksplorasi pengetahuannya
dalam belajar matematika. Melalui cara berpikir
ini siswa didorong untuk kreatif membuat
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 636
metafora-metafora dalam memaknai suatu konsep
matematika sehingga pada akhirnya ia dapat
membuat solusi atau generalisasi yang
menggambarkan pemahamannya terhadap konsep
yang sedang dipelajari.

BAHAN DAN METODE

Berpikir Kreatif Matematika

Kemampuan berpikir kreatif dikembangkan oleh
otak kanan. Kemampuan ini berkenaan dengan
kemampuan menghasilkan atau mengembangkan
sesuatu yang baru, yaitu sesuatu yang tidak biasa
yang berbeda dari ide-ide yang dihasilkan
kebanyakan orang. Coleman dan Hammen
(Yudha, 2004: 63) menyatakan bahwa berpikir
kreatif merupakan cara berpikir yang
menghasilkan sesuatu yang baru dalam konsep,
pengertian, penemuan dan karya seni. Sejalan
dengan pendapat Coleman dan Hammen,
Sukmadinata (2004:177) mengemukakan,
Berpikir kreatif adalah suatu kegiatan mental
untuk meningkatkan kemurnian (originality) dan
ketajaman pemahaman (insight) dalam
mengembangkan sesuatu (generating).

Kemampuan berpikir kreatif juga berkenaan
dengan kemampuan seseorang mengajukan ide-
ide dan melihat hubungan yang baru. Musbikin
(2006) mengartikan kreativitas sebagai
kemampuan memulai ide, melihat hubungan yang
baru atau tak diduga sebelumnya, kemampuan
memformulasikan konsep yang tak sekedar
menghapal, menciptakan jawaban baru untuk
soal-soal yang sudah ada, dan mendapatkan
pertanyaan baru yang perlu dijawab. Lebih lanjut
dikatakan bahwa kreativitas harus berdiri di atas
akhlak yang mulia yang bisa diwujudkan bila kita
mendidik anak dengan didasarkan pada
pendidikan akhlak dan tauhid yang kuat.

Untuk menjadi seseorang yang berpikir kreatif
ada berbagai tahap yang harus dilalui. Yudha
(2004: 1) mengemukakan lima tahap berpikir
kreatif yang meliputi: (1) Orientasi masalah,
merumuskan masalah dan mengidentifikasi aspek-
aspek masalah tersebut; (2) Preparasi, dimana
pikiran harus mendapat sebanyak mungkin
informasi yang relevan dengan masalah tersebut;
(3) Inkubasi, ketika proses pemecahan masalah
menemui jalan buntu, biarkan pikiran beristirahat
sebentar; (4) Iluminasi, dimana pemikir mulai
mendapatkan ilham serta serangkaian pengertian
(insight) yang dianggap dapat memecahkan
masalah; (5) Verifikasi, pemikir harus menguji
dan menilai secara kritis solusi yang diajukan
pada tahap iluminasi. Bila ternyata cara yang
diajukan tidak dapat memecahkan masalah,
pemikir sebaiknya kembali menjalani kelima
tahap itu, untuk mencari ilham baru yang lebih
tepat.

Sejalan dengan itu Papu (2001:1) mengatakan
bahwa secara umum ada 4 tahapan kreativitas
yaitu; (1) Exploring, mengidentifikasi hal-hal apa
saja yang ingin dilakukan dalam kondisi yang ada
pada saat ini; (2) Inventing, melihat atau
mereview berbagai alat, teknik, dan metode yang
telah dimiliki yang mungkin dapat membantu
dalam menghilangkan cara berpikir yang
tradisional; (3) Choosing, mengidentifikasi dan
memilih ide-ide yang paling mungkin untuk
dilaksanakan; (4) Implementing, bagaimana
membuat suatu ide dapat diimplementasikan.
Untuk melaksanakan tahap-tahap yang
dikemukakan tadi, diperlukan kegiatan mental
tertentu. Kegiatan mental tersebut menurut
Sukmadinata (2004:181) diantaranya: (1)
Mengajukan pertanyaan; (2) Menimbang
informasi dalam pemikiran baru dan sikap
terbuka; (3) Mencari hubungan terutama di antara
yang tidak sama; (4) Melihat hubungan bebas
antara yang satu dengan yang lain; (5)
Menerapkan pemikirannya dalam setiap situasi
untuk menghasilkan hal baru yang berbeda; (6)
Mendengarkan intuisi. Perkins (Hassoubah,
2004:55) menyatakan bahwa berpikir kreatif itu
melibatkan banyak komponen yaitu:
a. Berpikir kreatif melibatkan sisi estetik dan
standar praktis. Artinya kreativitas bukan saja
berhubungan dengan penemuan yang bagus
dan menarik tetapi lebih banyak berhubungan
dengan penemuan yang menunjukkan
penerapan.
b. Berpikir kreatif bergantung pada besarnya
perhatian terhadap tujuan dan hasil.
c. Berpikir kreatif lebih banyak bergantung
kepada mobilitas daripada kelancaran.
d. Berpikir kreatif tidak hanya obyektif tapi juga
subyektif. Kita tidak bisa terpaku pada satu
hal karena kaku dan terobsesi dengan
obyektivitas, kadang-kadang perlu bersikap
subyektif dan memperhatikan pendapat yang
berdasarkan perasaan
e. Berpikir kreatif lebih banyak bergantung
kepada motivasi intrinsik daripada motivasi
ekstrinsik.

Berkaitan dengan berpikir kreatif, Alvino
(Cotton, 1991) menyatakan bahwa berpikir kreatif
adalah berbagai cara untuk melihat atau
melakukan sesuatu yang dikarakterisasikan ke
dalam empat komponen yaitu (1) Kelancaran
(membuat berbagai ide); (2) Kelenturan (kelihaian
memandang ke depan dengan mudah); (3)
Keaslian (menyusun sesuatu yang baru); (4)
Elaborasi (membangun sesuatu dari ide-ide
lainnya). Sejalan dengan pendapat Alvino
tersebut, Zizhao dan Kiesswetter (dalam
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 637
Meissner, 2006) mengatakan bahwa ciri-ciri
orang yang berpikir kreatif dapat dilihat dari
kemandirian, keaslian yang relatif, dan kelenturan
berpikir.

Berkenaan dengan kemampuan berpikir kreatif
matematik, Balka (Mann, 2005:20) menyatakan
bahwa kemampuan berpikir kreatif matematik
meliputi kemampuan berpikir konvergen dan
berpikir divergen. Kemampuan-kemampuan
tersebut diperinci Balka (Mann, 2005: 29)
menjadi: (1) Kemampuan untuk
memformulasikan hipotesis matematika yang
difokuskan pada sebab dan akibat dari suatu
situasi masalah matematis ; (2) Kemampuan
untuk menentukan pola-pola yang ada dalam
situasi-situasi masalah matematis; (3)
Kemampuan memecahkan kebuntuan pikiran
dengan mengajukan solusi-solusi baru dari
masalah-masalah matematis; (4) Kemampuan
mengemukakan ide-ide matematika yang tidak
biasa dan dapat mengevaluasi konsekuensi-
konsekuensi yang ditimbulkannya; (5)
Kemampuan untuk merasakan adanya informasi
yang hilang dari masalah yang diberikan dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk
mendapatkan jawaban atas informasi yang hilang
tersebut; (6) Kemampuan untuk merinci masalah
umum ke dalam sub-sub masalah yang lebih
spesifik. Meissner (2006) mengatakan bahwa
untuk mengajar berpikir kreatif dalam matematika
kita harus memperhatikan pengembangan
kemampuan individu dan sosial, selain itu kita
juga memerlukan soal-soal yang menantang, dan
kita juga memerlukan lebih banyak ide-ide
spontan dan lebih banyak pengetahuan yang
berhubungan dengan penalaran.

Metaphorical Thinking

Dalam retorika tradisional, metafora digolongkan
sebagai sebuah kiasan, yakni sebagai sebuah
gambaran yang mengklasifikasikan adanya variasi
makna dalam penggunaan kata dan lebih tepatnya
dalam proses denotasi. Sebuah metafora
dijelaskan sebagai pengaplikasian sesuatu dari
sebuah nama yang menjadi milik sesuatu yang
lain dan secara proporsional dengan cara
perbandingan yang ditandai secara eksplisit oleh
suatu tema komparatif, misalnya seperti.,
dengan kata lain perbandingan merupakan sebuah
bentuk perluasan metafora. Secara sederhana
dapat dikatakan metafora adalah komparasi yang
menjembatani hubungan makna literal dengan
makna figuratif, dimana metafora memberi
karakter yang unik pada suatu keutuhan hubungan
makna eksplisit dan implisit dari suatu konsep.

Dalam kaitannya dengan metafora ini, Lakoff dan
Johnson (1980) menyatakan bahwa metafora
bukan semata-semata dalam kata-kata yang kita
gunakan tetapi lebih dari itu ia merupakan fakta
bahwa sebagian proses berpikir manusia dan
sistem pemahamannya adalah metaforis. Wahab
(1995) mengatakan bahwa metafora terletak pada
perannya yang penting dalam memahami
hubungan antara bahasa pengetahuan manusia
dengan dunia yang diinginkannya. Ia
menambahkan bahwa metafora sebagai ungkapan
kebahasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau
secara langsung dari lambang karena makna yang
dimaksud terdapat pada prediksi ungkapan
kebahasaan itu. Dengan kata lain, metafora adalah
pemahaman dari pengalaman akan sejenis konsep
yang dimaksudkan untuk perihal yang lain.
Contoh-contoh metafora adalah sebagai berikut:
a. Terang adalah pengetahuan dan gelap adalah
kebodohan.
b. Cinta adalah tumbuhan.
c. Tubuh manusia adalah sebuah truk
gandengan.

Dari contoh-contoh tersebut kita dapat melihat
bahwa metafora adalah perbandingan langsung
dari dua hal yang berbeda makna baik yang
berhubungan atau tidak berhubungan. Metafora
dapat membuka cakrawala baru untuk
pemahaman seseorang secara nyata dan dapat
membantu meningkatkan kemampuan komunikasi
siswa dengan menerangkan konsep yang sukar
melalui gabungan hal-hal yang familiar.

Metaphorical thinking dalah proses berpikir yang
menggunakan metafora-metafora untuk
memahami suatu konsep. Metafora berawal dari
suatu konsep yang diketahui siswa menuju
konsep lain yang belum diketahui atau sedang
dipelajari siswa. Metafora tergantung kepada
sejumlah sifat dari konsep dan benda yang
dimetaforkan.

Dalam matematika digunakan untuk memperjelas
jalan pikiran seseorang yang dihubungkan dengan
aktivitas matematiknya. Konsep-konsep abstrak
yang diorganisasikan melalui berpikir metaforik,
dinyatakan dalam hal-hal kongkrit berdasarkan
struktur dan cara-cara bernalar yang didasarkan
system sensori-motor yang disebut dengan
konseptual metafor.

Bentuk konseptual metafor meliputi:
a. Grounding methapors merupakan dasar untuk
memahami ide-ide matematika yang
dihubungkan dengan pengalaman sehari-hari.
b. Linking methapors : membangun keterkaitan
antara dua hal yaitu memilih, menegaskan,
membiarkan, dan mengorganisasikan
karakteristik dari topic utama dengan
didukung oleh topic tambahan dalam bentuk
pernyataan-pernyataan metaforik.
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 638
c. Redefinitional methapors: Mendefinisikan
kembali metafor-metafor tersebut dan memilih
yang paling cocok dengan topik yang akan
diajarkan.
Sejalan dengan itu Careira (2003)
mengembangkan konsep metaphorical thinking
sebagai berikut :









Gambar 1. Diagram Konsep Metaphorical Thinking

Metaphorical thinking dalam matematika dimulai
dengan memodelkan suatu situasi secara
matematis, kemudian model-model itu dimaknai
dengan pendekatan dari sudut pandang semantik.
Di dalam pembelajaran matematika penggunaan
metafora oleh siswa merupakan suatu cara untuk
menghubungkan konsep-konsep matematika
dengan konsep-konsep yang telah dikenal siswa
dalam kehidupan sehari-hari, dimana dia
mengungkapkan konsep matematika dengan
bahasanya sendiri yang menunjukkan pemahaman
siswa terhadap konsep tersebut. Sebagai ilustrasi
berikut diberikan contoh perbedaan berpikir
metaforik dalam matematika dan metaforik biasa:
1). Metafora matematika
Ruas garis AC panjangnya 20cm. Titik B
terletak pada ruas garis AC. Bentuklah persegi
ABGF dan BCDE, dengan
mempertimbangkan keliling dari bangun yang
dibentuk dari dua persegi tersebut
(ABCDEGF). Jika posisi B berubah
bagaimana dengan perubahan kelilingnya ?
Dalam menyelesaikan soal ini metaphorical
thinking siswa dapat dilihat dalam
merepresentasikan titik statis B yang bergerak
pada segmen AC, dimana ia menggerakkan
jari-jari tangannya dari kiri ke kanan atau
sebaliknya untuk menunjukkan rangkaian
pergeseran titik B pada segmen AC.
Kemudian ia menyatakan simbol pergeseran
tadi dalam sebuah variabel k sehingga pada
akhirnya diperoleh suatu fungsi yang
menyatakan hubungan antara perubahan nilai
k dengan keliling bangun ABCDEGF.
2). Metafora Biasa
Penulis Shakespeare dalam bukunya menulis
bahwa Juliet itu seperti matahari bagi Romeo,
karena Juliet itu begitu sentral dan amat
penting dalam kehidupan Romeo. Metafora
yang dilakukan Shakespeare terhadap Juliet
hanya sebatas untuk menggambarkan sosok
Juliet. Berbeda dengan penggambaran siswa
dalam menunjukkan rangkaian pergeseran titik
B dengan jari tangannya untuk
mengaplikasikan konsep matematika dan
mencari solusi dari masalah matematika yang
ada.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu studi
eksperimen dengan Postest Control Group
Design, yang digambarkan sebagai berikut:

A X O
A O

Keterangan
A : Pemilihan sampel secara acak sekolah untuk
tiap level sekolah dan secara acak kelas pada
masing-masing level sekolah.
O : Tes berpikir kreatif matematika
X : Pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan Metaphorical Thinking

Di dalam proses belajar mengajar banyak faktor
yang mempengaruhinya. Untuk itu dalam
mengkaji pengaruh penggunaan pendekatan
pembelajaran yang digunakan terhadap berpikir
kreatif matematika siswa dilibatkan 2 faktor
lainnya yaitu level sekolah dan tingkat
kemampuan awal siswa (TKAS).
Data dalam penelitian ini ditelaah dengan
menggunakan perangkat lunak MINITAB-14 dan
Microsoft-Office-Excel 2007, dengan tingkat
kepercayaan 95%. Analisis terhadap data
kemampuan kreatif matematika menggunakan
Uji t, dimana sebelumnya diuji normalitas dan
homogenitas varians populasi.

HASIL DAN DISKUSI

Kemampuan Berpikir Kreatif Ditinjau dari
Faktor Pendekatan Pembelajaran dan Level
Sekolah

Dari tes kemampuan berpikir kreatif yang
dilakukan penulis terhadap 3 sekolah yang
mewakili sekolah level tinggi, sedang dan kurang
dimana dari masing-masing sekolah diambil 2
kelas sebagai sampel. Kelas yang satu mendapat
pembelajaran dengan pendekatan metaphorical
thingking dan kelas yang lain mendapat
pembelajaran dengan cara biasa. Pembagian level
sekolah didasarkan pada kluster sekolah yang
ditentukan oleh Dinas Pendidikan setempat.
Dimana kluster 1 mewakili sekolah level tinggi,
kluster 2 mewakili sekolah level sedang dan
kluster 3 mewakili sekolah level kurang.
Hasil pengolahan data yang dilakukan
menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kreatif
matematika siswa yang memperoleh pembelajaran
metaphorical thinking (MT) lebih baik daripada
Applied problem
situation
interpretation
Metaphorical
thinking
Production
of meaning
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 639
yang memperoleh pembelajaran dengan cara biasa
(CB). Dari skor maksimum ideal 50, kemampuan
berpikir kreatif siswa yang memperoleh
pembelajaran MT (rata-rata 29,83) berada dalam
kualifikasi sedang (dalam rentang 29-39) dan
yang memperoleh pembelajaran dengan CB (rata-
rata 27,91) berada dalam kualifikasi kurang
(dalam rentang <29). Hasil tersebut memberikan
gambaran bahwa pendekatan pembelajaran yang
diterapkan cukup berpengaruh terhadap
kemampuan berpikir kreatif matematik, meskipun
hasilnya belum optimal. Hal ini disebabkan
pembelajaran MT lebih memberikan akses
kepada siswa untuk mengemukakan ide-ide, cara-
cara dan argumen-argumen yang berbeda kepada
siswa, sehingga pada akhirnya membuat siswa
tidak takut dan memiliki kepercayaan diri untuk
berbeda dengan teman-temannya yang
lain.Pertanyaan-pertanyaan terbuka dan perintah-
perintah dalam pembelajaran MT lebih
mengaktifkan siswa dalam belajar dan lebih
memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar
matematika secara bermakna karena untuk
mempelajari konsep baru harus dihubungkan
dengan konsep yang sudah dikenalnya
sebelumnya. Hasil pencapaian kemampuan
berpikir kreatif matematik siswa berdasarkan
faktor pendekatan pembelajaran dan level sekolah
yang disajikan pada Tabel 1

Tabel 1. Kemampuan Berpikir Kreatif
berdasarkan Faktor Pendekatan Pembelajaran dan
Level Sekolah
LEVEL
SEKOLAH
PENDEKATAN
PEMBELAJARAN
MT CARA BIASA
Rata-
Rata
Jml
Siswa
Rata-
Rata
Jml
Siswa
Tinggi 33,49 41 28,73 40
Sedang 28,70 40 27,21 40
Kurang 27,93 40 26,06 39
TOTAL 29,83 121 27,91 119
Keterangan: Skor Maksimum Ideal 50

Dari Tabel 1 terlihat bahwa pada level sekolah
kurang, level sekolah lebih berperan daripada
pendekatan pembelajaran, sedangkan pada level
sekolah sedang dan tinggi faktor pendekatan
pembelajaran lebih berperan. Kita ketahui bahwa
pada level sekolah kurang, raw input-nya pada
umumnya siswa dengan kemampuan yang lebih
rendah daripada siswa yang diterima di sekolah
level sedang dan tinggi. Banyaknya siswa yang
mempunyai kemampuan matematika yang baik
sangat membantu efektivitas suatu kegiatan
belajar mengajar karena membuat siswa lebih
banyak mempunyai sumber belajar yang berasal
dari siswa yang lebih pandai. Menurut
Harsunarko (Tim MKPBM ,2001: 233) siswa
yang lebih pandai itu bisa menjadi tutor bagi
siswa lain dan tutor tersebut bisa berupa: (1) Tutor
sebaya yaitu teman sebaya yang lebih pandai; (2)
Tutor kakak yaitu tutor dari kelas yang lebih
tinggi. Selain itu sarana dan prasarana yang
menunjang kegiatan belajar mengajar di sekolah
level sedang dan tinggi lebih memadai daripada
sarana dan prasarana di sekolah level kurang.
Kelengkapan sarana dan prasarana merupakan
sumber daya yang dapat mempengaruhi hasil dari
proses belajar mengajar. Wijaya (Tim MKPBM,
2001:233) mengatakan bahwa keberhasilan suatu
program pengajaran tidak disebabkan oleh satu
macam sumber daya tetapi disebabkan oleh
perpaduan antara berbagai sumber-sumber daya
yang saling mendukung menjadi satu sistem yang
integral.

Hasil ini pun sejalan dengan teori perkembangan
kognitif dari Piaget menyatakan bahwa
perkembangan kognitif siswa ditentukan oleh
manipulasi dan interaksi anak dengan
lingkungannnya. Pengetahuannya datang dari
tindakannya. Piaget yakin bahwa pengalaman-
pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan
penting bagi terjadinya perubahan perkembangan.
Sementara interaksi sosial dengan teman sebaya,
khususnya berargumentasi dan diskusi membantu
memperjelas pemikiran, yang pada akhirnya
membuat pemikiran menjadi lebih logis.

Kemampuan Berpikir Kreatif Ditinjau dari
Faktor Pendekatan Pembelajaran dan Tingkat
Kemampuan Awal Siswa (TKAS)

Selain sekolah yang dibedakan menjadi 3 level,
kemampuan siswa dari tiga sekolah yang menjadi
sampel penelitian dibagi pula menjadi 3 kategori
yaitu siswa dengan tingkat kemampuan awal
tinggi, sedang dan kurang. Penggolongan ini
didasarkan kepada rata-rata nilai harian dan nilai
ujian akhir semester yang telah berlangsung.
Pencapaian kemampuan kreatif matematika
berdasarkan faktor pendekatan pembelajaran dan
TKAS disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kemampuan Berpikir Kreatif
berdasarkan Faktor Pendekatan Pembelajaran dan
TKAS
TKAS
PENDEKATAN
PEMBELAJARAN
MT CARA BIASA
Rata-
Rata
Jml
Siswa
Rata-
Rata
Jml
Siswa
Tinggi 35,20 25 32,50 22
Sedang 29,83 74 27,50 72
Kurang 24,41 22 24,21 25
TOTAL 29,83 121 27,91 119
Keterangan: Skor Maksimum Ideal 50
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 640
Dari Tabel 2 kita dapat melihat bahwa faktor
TKAS lebih berperan daripada pendekatan
pembelajaran. Hasil ini memberi konsekuensi
bahwa pengetahuan awal siswa memberi
kontribusi yang besar dalam kemampuan berpikir
kreatifnya. Hal ini sejalan pendapat Musbikin
(2006:36) yang mengatakan bahwa berpikir
kreatif adalah proses mencipta sesuatu dengan
melibatkan elemen-elemen dan pengalaman-
pengalaman yang ada pada saat ini untuk diproses
di dalam otak guna menghasilkan sesuatu yang
baru.

Peran Pendekatan Pembelajaran, Level
Sekolah dan TKAS dalam
Menghasilkan Kemampuan Berpikir Kreatif
Matematik Siswa

Setelah kita mengkaji peran pendekatan
pembelajaran dibandingkan dengan level sekolah
dan pendekatan pembelajaran dengan TKAS,
sekarang kita akan mengkaji 3 faktor sekaligus
dari faktor pendekatan pembelajaran, level
sekolah dan TKAS dalam pencapaian kemampuan
berpikir kreatif matematik siswa. Kita akan
melihat mana dari ketiga faktor tersebut yang
paling berperan dalam pencapaian kemampuan
berpikir kritis dan kreatif matematik siswa. Secara
umum pencapaian kemampuan berpikir kreatif
matematik siswa dengan faktor pendekatan
pembelajaran, level sekolah dan TKAS disajikan
pada Tabel 3.

Tabel 3. Kemampuan Berpikir Kreatif berdasarkan
Faktor Pendekatan Permbelajaran, Level Sekolah dan
TKAS

LEVEL
SEKOLAH
TKAS
PENDEKATAN
PEMBELAJARAN
MT
CARA
BIASA
Rata-
Rata
Jml
Siswa
Rata-
Rata
Jml
Siswa
Tinggi
Tinggi
36,51 17 32,2
16
Sedang
31,77 23 27,4
23
Kurang
24,02 1 22,7
1
SUB TOTAL
33,49 41 28,73
40
Sedang
Tinggi
33,7 5 33,45
3
Sedang
28,9 30 28,41
29
Kurang
25,2 5 25,14
8
SUB TOTAL
28,70 40 27,21
40
Kurang
Tinggi
30,24 3 30.03
3
Sedang
27,41 21 26,41
20
Kurang
22,86 16 22,14
16
SUB TOTAL
27,93 40 26,06
39
TOTAL 29,83 121 27,91 119
Keterangan: Skor Maksimum Ideal 50
Dari Tabel 3 terlihat bahwa dari ketiga faktor
yang ada, faktor TKAS yang paling berperan
dalam pencapaian kemampuan berpikir kreatif
matematik siswa. Oswald Kulpe (Purwanto,
1990:49) berdasarkan eksperimennya terhadap
mahasiswa-mahasiswanya dengan menggunakan
metode instrospeksi-eksperimental menyimpulkan
bahwa pada waktu berpikir, aku atau pribadi
orang itu memegang peranan penting. Si aku
bukanlah faktor yang pasif melainkan faktor yang
mengemudikan perbuatan sadar.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan
bahwa:
1. Kemampuan berpikir kreatif matematika
siswa yang pembelajarannnya menggunakan
pembelajaran metaphorical thinking lebih
baik daripada yang menggunakan cara biasa.
2. Pembelajaran matematik dengan
metaphorical thinking dapat meningkatkan
kemampuan berfikir kreatif matematika
siswa.
3. Tingkat kemampuan awal siswa (TKAS)
lebih berperan dalam pencapaian
kemampuan berfikir kreatif matematika
siswa daripada level sekolah dan pendekatan
pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Carreira, S. (2001). Where Theres a Model,
Theres a Metaphor: Metaphorical Thinking
in Students Understanding of a
Mathematical Model. An International
Journal Mathematical Thinking and
Learning. 3(4), 261-28
[2] Cotton, K (1991). Teaching Thinking
Skills. School Improvement Research Series.
[3] Hassoubah, Z. I. (2004). Develoving Creative
& Critical Thinking Skills (Cara Berpikir
Kreatif dan Kritis). Bandung: Yayasan
Nuansa Cendekia.
[4] Lakoff,G and Johnson,M (1999). Philosophy
in the Flesh. Basic Books
[5] Mann, E.L. (2005). Mathematical Creativity
and School Mathematics: Indicators of
Mathematical Creativity in Middle School
Students. Connecticut: University of
Connecticut.
[6] Meissner,H. (2006). Creativity and
Mathematics Education [Online]. Tersedia:
www.math.ecnu.cn/earcome3/sym1/sym104.
pdf . [2 Februari 2007]
[7] Musbikin, I. (2006). Mendidik Anak Kreatif
ala Einstein. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
[8] Papu, J (2001). Menumbuhkan Kreativitas
di Tempat Kerja [Online]. Tersedia:
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 641
http://www.epsikologi.com/manajemen/kreati
vitas.htm. [27 Mei 2006].
[9] Purwanto, N (1996). Psikologi
Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
[10] Sukmadinata, N.S (2004). Kurikulum dan
Pembelajaran Kompetensi. Bandung:
Yayasan Kesuma Karya.
[11] Tim MKPBM (2001). Strategi Pembelajaran
Matematika Kontemporer. UPI: JICA.
[12] Wahab,A. (1995). Isu Linguistik :
Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya:
Airlangga University Press
[13] Yudha,A.S. (2004). Berpikir Kreatif
Pecahkan Masalah. Bandung: Kompas
Cyber Media.

*) Penulis adalah Dosen Kopertis Wilayah IV
Jabar dan Banten dpk di STKIP Siliwangi
Bandung, lahir di Ciamis, 11 September 1969.
Pendidikan S1, S2, S3 Pendidikan Matematika
Universitas Pendidikan Indonesia.


Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 643
UJI KOMPARATIF EFISIENSI UJIAN MASUK PERGURUAN TINGGI
STUDI KASUS : IT Telkom

Indwiarti
1
, Jondri
2

1,2
Prodi Ilmu Komputasi IT Telkom, Bandung, 40257

1
ind@ittelkom.ac.id, tindwiarti@yahoo.com
2
jdn@ittelkom.ac.id, suryadi_joni@yahoo.com


ABSTRAK

Seleksi mahasiswa baru IT Telkom secara garis besar dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui ujian tulis dan tanpa
ujian tulis. Seleksi tanpa ujian tulis, biasa disebut Jalur Penelusuran Potensi Akademik Nasional (JPPAN) dilakukan
dengan melihat nilai rapor calon mahasiswa, sedangkan seleksi yang dilakukan melalui ujian tulis disebut Ujian Tulis
Gelombang Pertama dan Kedua (UTG1 dan UTG2). Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan efisiensi kedua
metoda ujian masuk perguruan tinggi tersebut, dikaitkan dengan nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang mereka
peroleh. Mata pelajaran yang dinilai atau diujikan untuk kedua metoda tersebut adalah Matematika, Fisika, dan
Bahasa Inggris. Penelitian ini diawali dengan adanya dugaan bahwa IPK mahasiswa IT Telkom yang masuk dengan
menggunakan metoda ujian tulis lebih baik dibandingkan dengan metoda seleksi melalui nilai rapor, sehingga perlu
dilakukan pengujian untuk membuktikan dugaan tersebut. Penelitian dilakukan terhadap sejumlah mahasiswa yang
diterima pada tahun 2005 2008 yang dipilih secara acak. Untuk seluruh mahasiswa, mahasiswa angkatan tahun
2005 2007, IPK mahasiswa yang masuk melalui seleksi Ujian Tulis (UTG) lebih rendah dibandingkan dengan IPK
mahasiswa yang diterima melalui seleksi JPPAN. Sedangkan untuk mahasiswa angkatan 2008, IPK mahasiswa yang
diterima melalui UTG tidak berbeda dengan IPK mahasiswa yang diterima melalui JPPAN. Apabila dilihat dari sisi
pelaksanaan seleksi, metode yang menggunakan nilai rapor lebih bagus, karena seleksi ini menjangkau wilayah yang
lebih luas. Berdasarkan dua hal ini, maka kedua metode seleksi ini dapat dipertahankan untuk digunakan dalam
proses seleksi mahasiswa baru.

Keywords : Uji komparatif, ujian masuk , IPK


PENDAHULUAN

Untuk memperoleh calon mahasiswa yang
bermutu, IT Telkom berusaha merancang seleksi
penerimaan mahasiswa baru dengan sebaik
mungkin. Secara garis besar metoda seleksi yang
digunakan adalah dengan ujian tulis dan tanpa
ujian tulis, yang diberi nama JPPA Nasional.
Ujian tulis diadakan pada beberapa kota di pulau
Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan
Lombok. Sementara seleksi tanpa ujian tulis
dilakukan dengan cara mempertimbangkan nilai
rapor calon mahasiswa.
Masing-masing ujian mempunyai keunggulan dan
kelemahan. Ujian tulis dapat dipertanggung
jawabkan validitasnya, karena soal dan
pelaksanaan ujian telah dipersiapkan dan diawasi
dengan baik. Kelemahannya adalah, tidak semua
calon mahasiswa di seluruh Indonesia dapat
mengikuti ujian ini. Sementara JPPA Nasional
mempunyai keunggulan dari segi keluasan
cakupannya. Setiap calon peserta di seluruh
Indonesia dapat mengikuti jalur seleksi ini, karena
peserta cukup mengirimkan nilai rapor pada
panitia. Pola ujian seperti ini mempunyai titik
lemah pada validitas rapor yang dikeluarkan oleh
sekolah dan beragamnya standar pemberian nilai
rapor oleh sekolah yang berbeda.
Pada penelitian ini akan dibandingkan efektifitas
kedua macam ujian tersebut. Parameter yang akan
dilihat adalah prestasi mahasiswa yang masuk
melalui ujian tulis dan tanpa ujian tulis. Prestasi
mahasiswa diukur dengan IPK yang diperoleh.

BAHAN DAN METODE

Untuk membandingkan kedua model ujian diatas
dilakukan analisa perbandingan terhadap IPK
mahasiswa yang masuk melalui jalur ujian tulis
dan tanpa ujian tulis (JPPA Nasional).
Perbandingan dilakukan secara total dan untuk
setiap tahun sejak 2005 - 2008. Pada tabel 1 dapat
dilihat data deskriptif IPK mahasiswa IT Telkom
berdasarkan jalur seleksi dan pada tabel 2
perbandingan IPK untuk setiap jalur dan tahun
masuk.

Tabel 1. Perbandingan IPK Mahasiswa IT
Telkom yang Masuk Melalui UTG dan JPPAN

No Jalur Seleksi Jumlah
data
Mean IPK
1 Ujian Tulis 3301 2,589
2 JPPA
Nasional
663 2,73


Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 644
Tabel 2. Perbandingan IPK Mahasiswa IT
Telkom yang Masuk Melalui UTG dan
JPPAN pertahun masuk.
No
Jalur
seleksi
Rata-Rata IPK
Thn
2005
Thn
2006
Thn
2007
Thn
2008
1
Ujian
Tulis
2.76 2.63 2.56 2.50
2
JPPA
Nasion
al
2.95 2.86 2.79 2.55

Dari Tabel 1 dan Tabel 2 terlihat bahwa rata-rata
IPK mahasiswa yang masuk melalui jalur JPPAN
lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa yang
masuk melalui jalur UTG.
Metoda yang digunakan untuk membandingkan
data dari dua populasi adalah pengujian hipotesis
terhadap rataan dua populasi. Secara umum
hipotesis yang digunakan adalah :
Hipotesis Nol atau H
0
, yaitu hipotesis yang
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara rataan populasi dari sampel
pertama dengan rataan populasi dari sampel
kedua. Hipotesis Nol dinyatakan dalam bentuk :
H
0
:
1
=
2
, dimana
1
dan
2
adalah notasi
rataan dari dua populasi yang tidak diketahui.
Sedangkan hipotesis tandingannya dapat memilih
salah satu dari ketiga bentuk di bawah ini :
H
1
:
1

2

H
1
:
1
<
2

H
1
:
1
>
2


Statistika uji dan daerah kritis yang digunakan
adalah :
1. Apabila
1
dan
2
diketahui

2
2
2
1
2
1
2 1
n n
X X
z

+

= (1)
Daerah kritis untuk uji dwipihak adalah :
tolak H
0
apabila
2
z z > atau
2
z z < ,
sedangkan uji ekapihak adalah :
Tolak H
0
apabila

z z < untuk hipotesis


tandingan H
1
:
1
<
2
, dan tolak H
0
apabila

z z > untuk hipotesis tandingan H


1
:
1
>
2


2. Apabila
1
dan
2
tidak diketahui
Dalam penelitian ini digunakan asumsi bahwa

1
=
2
= .

2 1
2 1
1 1
n n
s
X X
t
p
+

= (2)
2
) 1 ( ) 1 (
2 1
2
2
2 1
2
1
+
+
=
n n
n s n s
s
p
(3)
Daerah kritisnya :
Untuk uji dwipihak : tolak H
0
apabila
2 , 2 /
2 1
+
>
n n
t t

atau
2 , 2 /
2 1
+
<
n n
t t


Untuk uji ekapihak : tolak H
0
apabila
2 ,
2 1
+
<
n n
t t

untuk H
1
:
1
<
2

2 ,
2 1
+
>
n n
t t

untuk H
1
:
1
>
2

HASIL DAN DISKUSI

Untuk membandingkan efektifitas kedua model
ujian diatas dilakukan pengujian hipotesis
terhadap rataan IPK mahasiswa yang diterima
melalui ujian tulis dan IPK mahasiswa yang
diterima melalui JPPA Nasional. Adapun
hipotesis yang digunakan adalah :
H
0
:
UTG
=
JPPAN
(tidak ada perbedaan nilai
rataan populasi mahasiswa yang diterima melalui
ujian tulis dengan mahasiswa yang diterima tanpa
ujian tulis / JPPAN).
Hipotesis tandingan yang digunakan adalah :
1. H
1
:
UTG

JPPAN
(ada perbedaan antara nilai
rataan populasi mahasiswa yang diterima
melalui ujian tulis dengan mahasiswa yang
diterima tanpa ujian tulis / JPPAN).
2. H
1
:
UTG
<
JPPAN
(nilai rataan populasi
mahasiswa yang diterima melalui ujian tulis
lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa
yang diterima tanpa ujian tulis / JPPAN).

Hasil analisis data dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Pengujian Hipotesis Rataan IPK
Mahasiswa Angkatan 2005 - 2008
Angkatan H
1
:
UTG

JPPAN

H
1
:
UTG

<
JPPAN

Total
T= -4.72
P=0.0000
DF= 3962
T= -4.72
P=0.0000
DF= 3962
2005
T= -4.29
P=0.0000
DF= 747
T= -4.29
P=0.0000
DF= 747
2006
T= -3.15
P=0.0017
DF= 802
T= -3.15
P=0.0008
DF= 802
2007
T= -3.75
P=0.0002
DF= 1249
T= -3.75
P=0.0001
DF= 1249
2008
T= -0.89
P=0.37
DF= 1278
T= -0.89
P=0.19
DF= 1278

Dengan menggunakan derajat kepercayaan 95%,
diperoleh hasil :
1. Seluruh mahasiswa (total) dan mahasiswa
Angkatan 2005, 2006, dan 2007
Untuk pengujian hipotesis : H
0
:
UTG
=
JPPAN

melawan H
1
:
UTG

JPPAN
dan H
1
:
UTG
<
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 645

JPPAN
, karena nilai p < dari 0.05, maka
diperoleh hasil penolakan H
0
.

2. Mahasiswa angkatan 2008
Untuk pengujian hipotesis : H
0
:
UTG
=
JPPAN

melawan H
1
:
UTG

JPPAN
, H
1
:
UTG
<

JPPAN
, karena nilai p > 0.05, maka diperoleh
hasil penerimaan H
0
.

KESIMPULAN

Untuk seluruh mahasiswa (total), dan mahasiswa
angkatan tahun 2005, 2006, 2007, IPK mahasiswa
yang masuk melalui seleksi Ujian Tulis (UTG)
lebih rendah dibandingkan dengan IPK
mahasiswa yang diterima melalui seleksi tanpa
ujian tulis (JPPA Nasional). Sedangkan untuk
mahasiswa angkatan 2008, IPK mahasiswa
angkatan 2008 yang diterima melalui UTG tidak
berbeda secara signifikan dengan IPK mahasiswa
yang diterima melalui JPPAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka kedua
metode seleksi yang selama ini dilakukan, yaitu
seleksi melalui JPPAN dan UTG dapat
dipertahankan untuk digunakan dalam proses
seleksi mahasiswa baru.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Fielding, J., Gilbert, N., 2000, Understanding
Social Statistics, Sage Publications Ltd,
London
[2] Fleming, M.C., Nellis, J.G.,1994, Principles
of Applied Statistics, Routledge, London
[3] Walpole, R.E., Myers, R.H., and Myers, S.L.,
2007, Probability & Statistics for Engineers
& Scientists, 8
th
Edition, Pearson Education
Inc., London.




Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 647
PEMECAHAN MASALAH KONTEKSTUAL
OLEH SISWA KELAS III SD LAB UNESA SURABAYA

Janet Trineke Manoy
Universitas Negeri Surabaya

Email: janet_manoy@yahoo.com


ABSTRAK

Pemecahan masalah matematika merupakan suatu proses mental yang kompleks dan memerlukan visualisasi,
imajinasi, manipulasi, analisasi, abstraksi dan penyatuan ide. Masalah pada umumnya timbul karena adanya suatu
kesenjangan antara kondisi nyata dengan kondisi yang diharapkan. Suatu pertanyaan akan merupakan masalah jika
seseorang tidak mempunyai aturan/hukum tertentu yang segera dapat dipergunakan untuk menemukan jawaban
pertanyaan tersebut. Pemecahan masalah matematika tidak terlepas dari pengetahuan seseorang terhadap masalah
yang diberikan, misalnya bagaimana pemahaman seseorang terhadap suatu masalah?, aturan/rumus apa yang
digunakan dalam memecahkan masalah tersebut?. Pertanyaan penelitian yang diajukan ialah bagaimanakah cara
pemecahan masalah kontekstual yang jawabannya terkait operasi hitung campuran oleh siswa. Tujuan penelitian ini
adalah untuk memperoleh gambaran tentang pemecahan masalah kontekstual yang jawabannya terkait operasi hitung
campuran. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif yaitu penelitian yang mengkaji fenomena dalam keadaan
seadanya dan berusaha mendeskripsi fenomena tersebut. Subjek yang dipilih ialah seorang siswa kelas III SD Lab
Unesa Surabaya.Terdapat 10 cara pemecahan masalah yang dibuat siswa yaitu dengan: pembagian biasa, gambar,
perkalian, pengurangan bertingkat, penjumlahan bertingkat, garis bilangan, pembagian bersusun (porogapit),
penjumlahan melalui pengelompokan, penjumlahan biasa, dan gabungan perkalian dan pengurangan dengan bantuan
gambar.

Keywords : Pemecahan masalah, masalah kontekstual.


PENDAHULUAN

Pemecahan masalah adalah suatu proses yang
dilakukan siswa dalam menyelesaikan suatu
masalah matematika. Masalah pada umumnya
timbul karena adanya suatu kesenjangan antara
kondisi nyata dengan kondisi yang diharapkan.
Menurut Hudojo (2001) pertanyaan akan
merupakan masalah jika seseorang tidak
mempunyai aturan/hukum tertentu yang segera
dapat dipergunakan untuk menemukan jawaban
pertanyaan tersebut. Pertanyaan merupakan
masalah tergantung pada individu; pertanyaan
merupakan suatu masalah bagi seorang siswa,
tetapi mungkin bukan merupakan masalah bagi
siswa yang lain.

Polya (1973) membagi pemecahan masalah ke
dalam empat langkah penyelesaian, yaitu: 1)
memahami masalah (understanding the problem);
2) merencanakan penyelesaian (devising a plan);
3) menyelesaikan masalah sesuai rencana
(carrying out the plan); 4) melakukan pengecekan
kembali (looking back). Pada langkah pertama,
siswa harus memahami masalah yang diberikan
agar dapat menyelesaikan masalah tersebut
dengan benar. Setelah siswa memahami masalah,
dilanjutkan pada langkah kedua, yaitu menyusun
rencana penyelesaian masalah. Langkah kedua ini
sangat bergantung pada pengalaman siswa dalam
menyelesaikan masalah. Pada umumnya semakin
bervariasi pengalaman siswa, ada kecenderungan
semakin kreatif dalam menyusun rencana
penyelesaian masalah. Bila penyusunan rencana
telah dibuat, selanjutnya dilakukan penyelesaian
masalah sesuai rencana. Langkah terakhir adalah
melakukan pengecekan terhadap apa yang telah
dilakukan, mulai langkah pertama sampai langkah
ketiga. Menurut Kurikulum Tingkat Satuan
pendidikan (KTSP), 2006 kemampuan
memecahkan masalah meliputi kemampuan: (1)
memahami masalah, (2) merancang model
matematika, (3) menyelesaikan model, dan (4)
menafsir solusi yang diperoleh.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam makalah
ini akan diuraikan bagaimana proses pemecahan
masalah kontekstual yang jawabannya terkait
operasi hitung campuran, yang meliputi (1)
memahami masalah, (2) merencanakan
pemecahan, (3) menyelesaikan masalah, dan (4)
memeriksa kembali hasil yang diperoleh.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan untuk menjawab
pertanyaan penelitian meliputi: jenis penelitian,
subjek penelitian, pengumpulan data dan analisis
data.

Berdasarkan pertanyaan penelitian, jenis
penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 648
penelitian yang mengkaji fenomena dalam
keadaan seadanya dan berusaha mendeskripsi
fenomena tersebut. Subjek penelitian adalah
seorang siswa kelas III SD Lab Unesa Surabaya.
Instrumen utama dalam penelitian ini adalah
peneliti sendiri sehingga peneliti akan mengkaji
hal-hal yang diperoleh dari subjek. Usaha
mendeskripsi fenomena dilakukan dengan cara
mendeskripsi pemecahan masalah yang dilakukan
subjek ketika subjek memecahkan masalah
kontekstual yang jawabannya terkait operasi
hitung campuran, mengacu pada empat langkah
penyelesaian Polya.

HASIL DAN DISKUSI

Uraian berikut merupakan analisis dari hasil
wawancara dan hasil pekerjaan seorang siswa
kelas III SD Lab Unesa Ketintang Surabaya
dalam memecahkan masalah yang jawabannya
berkaitan dengan operasi hitung campuran.

Soal yang diberikan adalah:
Ibu Janet membeli sekotak telur, isinya 20 butir.
Telur tersebut dimasukkan dalam kantong-
kantong plastik, tiap kantong plastik berisi 3 butir
telur. Berapa kantong plastik yang harus
disiapkan ibu Janet agar semua telur ada
tempatnya? Tunjukkan sebanyak mungkin cara
penyelesaian menurut pendapatmu.

Dalam menjawab permasalahan, siswa
menyelesaikan dengan cara berikut.
a.



b.


c.


d.



e.



f.



g.






h.



i.



j.






Langkah Pemecahan Masalah
a) Memahami Masalah

Pertanyaan awal yang disampaikan yaitu untuk
mengetahui apakah A mengerti tentang soal yang
diberikan, jawaban A menunjukkan bahwa A
tidak mengalami masalah. Perhatikan petikan
wawancara berikut.

S1... = nomor baris hasil wawancara
A = kode nama siswa
P = peneliti
......... = ada jeda waktu

S1003 P : Apakah A mengerti
soal tersebut?
S1004 A : Mengerti

Pertanyaan apa yang diketahui dan apa
yang ditanyakan dijawab dengan benar oleh A,
tetapi pertanyaan yang berkaitan dengan syarat
tidak ditanyakan. Perhatikan petikan hasil
wawancara berikut.
............
S1005 P : Apa yang diketahui dari soal
tersebut?
S1006 A : Yang
diketahui....sepertinya ibu janet
membeli sekotak telur yang
isinya 20 butir,.
S1007 P : Apa lagi yang diketahui?
S1008 A : 20 butir itu mau
dibagikan menjadi beberapa
kantong plastik setiap kantong
plastik berisi 3 butir?
S1009 P : Apa yang ditanya dari soal
tersebut?
S1010 A : Berapa kantong
plastik yang dibutuhkan oleh ibu
janet?
............
A memahami soal yang diberikan sehingga
dengan lancar dapat menjawab pertanyaan apa
Gambar 7
Gambar 1
Gambar 6
Gambar 8
Gambar 9
Gambar 10.
Gambar 5
Gambar 4

Gambar 3
Gambar 2
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 649
yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam
soal tersebut.

b) Merencanakan Pemecahan

Ide awal yang muncul setelah diberikan
permasalahan atau soal matematika yang
jawabannya berkaitan dengan operasi hitung
campuran ialah menyelesaikannya dengan cara
pembagian, tetapi saat wawancara, ide awal yang
muncul atau yang terlintas dalam pemikiran A
bagaimana mendapatkan perkalian tiga yang
hasilnya mendekati 20. Berikut petikan
wawancara dengan A.
............
S1013 P : Pertama saat A melihat soal ini,
apa yang terlintas didalam
pikiran A?
S1014 A : Yang terlintas dipikiran saya
ya cara yang saya pikirkan
seperti ini... apabila kalo
misalnya 35=15, 36=18 tapi
kalo 73=21 maka yang
digunakan adalah 36 karena
36 = 18 maka hasilnya berarti
6,2
............

Menurut pemaparan A yang terlintas pertama
dalam pemikirannya adalah bagaimana
mendapatkan perkalian tiga yang hasilnya
mendekati 20. Jawaban A menggunakan 36
karena 36 = 18 maka hasilnya berarti 6,2 tetapi
kenyataannya pada jawaban, A pertama
menggunakan pembagian yaitu 20:3=6,2.
Menurut A ide ini diperoleh dari perkalian yang
dipelajarinya (S1068) seperti pada petikan
wawancara berikut.
............
S1067 P : Pinter!. Ok.. sekarang cara yang
ketiga 63=18 dari mana ide ini
A dapat?
S1068 A : Idenya saya dapat dari
perkalian yang saya pelajari.
S1069 P : Apa ada kaitannya dengan cara
yang pertama dan kedua?
S1070 A : Saya pikir ya ada...
............

Menurut A, ide 63 ada kaitannya dengan
pekerjaan yang sudah diselesaikan sebelumnya
yaitu cara pembagian dan cara gambar. A
menjelaskan bahwa dalam memunculkan ide (a
sampai i) tidak kesulitan tetapi mulai penyelesaian
j, A mendapat kesulitan. Perhatikan petikan
wawancara berikut.
............
S1161 P : Apakah saat A menyelesaikan
soal ini, A mendapat kesulitan?
Memunculkan ide sulit tidak?
S1162 A : Dari a-i tidak ada...tapi
masuk soal J,aku kesulitan....
............

Dari uraian di atas dan petikan wawancara dengan
A dapat disimpulkan bahwa dalam merencanakan
pemecahan, Ide awal yang muncul ialah dengan
cara perkalian yaitu 63 tetapi jawaban yang
ditulis ialah pembagian yaitu 20:3 = 6 sisa 2. Cara
penulisan 6 sisa 2 mulanya ditulis dengan 6,2.
Dalam memunculkan ide, A tidak mendapat
kesulitan, sedangkan ide awal diperoleh dari apa
yang telah dipelajari sebelumnya.

c) Menyelesaikan Masalah

Cara pertama yang muncul dalam jawaban A
ialah 20:3 = 6,2. Cara kedua yang dibuat A
dengan menggunakan gambar. Perhatikan petikan
wawancara berikut.
............
S1029 P : Itu cara yang pertama... hebat
sekali A!! lalu bagaimana cara
yang kedua ?
S1030 A : Digambar
S1031 P : Gambarnya bagaimana ?
S1032 A : Pertama saya buat
kotak kemudian saya buat
gambar telur 20 lalu saya kasih
garis telur yang sudah
dimasukkan ke dalam kantong.
Terus masih sisa 2 yang belum
dimasukkan ke dalam kantong
karena tidak sesuai dengan 3
butir
............
Seperti pada penyelesaian yang ke dua, pertama A
menggambar 20 bunderan dalam satu kotak.
Menurut A gambar tersebut menunjukkan 20 telur
dalam sebuah kotak. Gambar berikutnya, setiap
tiga bunderan dilingkari menjadi satu dan 2
bunderan terakhir tidak dilingkarinya. Menurut
A, ia memberi tanda untuk setiap 3 butir telur
yang dimasukkan ke dalam kantong yang dibuat
pada gambar berikutnya, sedangkan 2 bunderan
terakhir tetap dimasukkan pada kantong. Gambar
berikutnya, A meletakkan setiap 3 bunderan
dalam satu kotak dan kotak ke tujuh isinya 2
bunderan.

Penyelesaian c, A menulis: 63=18 jika ada telur
20 maka 2018=2. Jadi kalau sisa hasilnya 6,2.
Saat wawancara peneliti bertanya (S1071) jika
telur ada 20 hasilnya berapa? Jawaban A yaitu
6,2. Berikut petikan wawancara dengan A.
............
S1067 P : Pinter!. Ok.. sekarang cara yang
ketiga 63=18 dari mana ide ini
A dapat?
............
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 650
S1071 P : Ok... jika telur ada 20, hasilnya
berapa? (membaca tulisan A)
S1072 A : 6,2
S1073 P : Ini 6,2 maksudnya apa?
S1074 A : Saya melakukan
pengurangan, 2 ini sisanya...
S1075 P : Jadi yang 2 ini artinya sisanya
(sambil menunjuk tulisan 6,2)
...... mana yang lebih
dimengerti 6,2 atau 6 sisa 2?
Ok pintar ya ... cara berikutnya?
S1076 A : saya kurangi terus
sampai beberapa kali...hasilnya
pun tidak menjadi nol...kan
masih sisa 2 kalo dikurangi 3
tidak bisa...
............

Pada wawancara di atas, A menjelaskan bahwa A
melakukan pengurangan sisanya 2. Jadi angka 2
pada 6,2 artinya sisa. Peneliti mengarahkan cara
penulisan yang mungkin jika temannya membaca
bisa dimengerti. Peneliti memberikan pilihan
penulisan 6,2 atau 6 sisa 2 dan A memilih 6 sisa
2 sehingga semua penulisan sebelumnya yang
ditulis 6,2 dicoret tanpa diberi aba-aba dari
peneliti, A mengganti dengan 6 sisa 2.
Wawancara berikutnya (S1076) tentang
penyelesaian d yang telah dikerjakan A. Menurut
A, 20 dikurangi 3 sampai beberapa kali dan
hasilnya tetap ada sisanya yaitu 2.

Wawancara berikutnya berkaitan dengan cara
penyelesaian e yaitu dikerjakan dengan cara
penjumlahan. Berikut petikan wawancara dengan
A.
............
S1093 P : Bagaimana jawaban cara d?
(menunjuk jawaban d : 6,2) Loh
masih ada cara yang kelima,
cara apa yang digunakan?
S1094 A : Penjumlahan.....
S1095 P : Ada berapa kali A
menambahkan 3nya??.
S1096 A : 6 kali..
S1097 P : Hasilnya berapa?
S1098 A : 18...
S1099 P : A disini menulis 63 apa
maksudnya ?
S1100 A : artinya semua
penjumlahan ini sama saja
dengan 63
S1101 P : Ini bagaimana? (menunjuk
jawaban e : 6,2) 6 sisa dua
kantong plastik apa artinya?
(menunjuk jawaban e : 6,2
diganti 6 sisa 2)
S1102 A : jadi untuk semua butir
telur dikantong maka diperlukan
7 kantong plastik
............

A menjelaskan bahwa terdapat sebanyak 6 kali
penambahan 3 dan hasilnya 18 sehingga ditulis
18=63. A menjelaskan semua penjumlahan ini
sama saja dengan 63. A membuat kesimpulan
bahwa untuk semua butir telur diperlukan 7
kantong plastik.

Jawaban tertulis sebelum wawancara, A hanya
menjawab sampai jawaban e. Jawaban selanjutnya
dimunculkan A saat wawancara berlangsung.
Perhatikan petikan wawancara berikut.
...........
S1103 P : Pinter yach. A pernah
tahu/belajar tentang garis
bilangan?
S1104 A : Pernah
S1105 P : Mulainya dari berapa?
S1106 A : Mulainya biasanya dari
kiri ke kanan
S1107 P : Kalau A melihat soal ini,
lompatannya berapa?
S1108 A : Berapa ya
lompatannya?
S1109 P : Bagaimana menggambarkannya
pada garis bilangan?
S1110 A : Mulai dari 3
S1111 P : Mulainya dari berapa ?
S1112 A : Mulainya dari 0
S1113 P : Lompatnya berapa?
S1114 A : Lompatnya 3
S1115 P : Pinter... kalau gambarnya
bagaimana ?
S1116 A : (sambil menggambar
garis bilangan)
S1117 P : Setelah 18 lompatnya berapa?
S1118 A : kalo dari 18 lompat 3
hasilnya jadi 21
S1119 P : Pada soal, telurnya ada 20.
letaknya 20 ada dimana ?
...........

Saat wawancara peneliti mencoba menanyakan
tentang garis bilangan, ternyata A memahami apa
yang akan dikerjakannya. A membuat garis
bilangan dengan benar serta menulis lompatannya
dengan benar yaitu lompatnya 3. Selanjutnya
perhatikan wawancara berikut,
...........
S1120 A : Letak 20nya ada
disekitar sini (menunjuk gambar
garis bilangan)
S1121 P : Coba beri tanda 20nya ada
dimana!! diantara berapa?
S1122 A : Diantara 18 dan 21
S1123 P : Letaknya 20 dimana ?
S1124 A : Sebelumnya 21
S1125 P : Beri tanda pada garis bilangan.
Coba hitung, kalau pada garis
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 651
bilangan kira-kira cara
menghitung kantong plastiknya
bagaimana?
S1126 A : Ok.. dari sini ke tiga
ada satu, jadi kalau sampai 18
ada 6 lalu 18 ke 20 jadi ada
tujuh kali lompatnya
S1127 P : Jadi artinya ada berapa kantong
plastik?
S1128 A : 7
............

Dari wawancara di atas A dapat menempatkan
posisi 20 berada diantara 18 dan 21 dan memberi
tanda dengan benar serta A dapat menghitung
bagaimana caranya menentukan jawaban yang
diminta yaitu 7 kantong plastik. Walaupun garis
yang dibuat tidak lurus dan penempatan titik yang
satu dengan titik yang lainnya tidak sama
jaraknya, tetapi dari apa yang dikerjakan A
terlihat bahwa A sangat memahami apa yang
dikerjakannya.

Peneliti masih bertanya kemungkinan cara lain
yang dapat dibuat oleh A, A langsung menjawab
dengan porogapit dan langsung dengan cekatan
membuat pembagian dengan cara bersusun.
Berikut petikan wawancara dengan A
...........
S1129 P : Menurut A masih ada cara lain
lagi?
S1130 A : Ada.. Mungkin dengan
menggunakan cara porogapit
S1131 P : Kalau misalnya A melihat soal
ini. Gambar 2 butir dikantong
plastik, apakah A dapat
membuat kombinasi yang lain
lagi dengan cara yang ini?
(menunjuk cara b)
S1132 A : Cara lain? mungkin
dari kantong plastik
ditambahkan ini
S1133 P : Ok coba
S1134 A : mungkin dari kantong
plastik yang diberikan, ditambah
tiga, jadi ada 6 butir telur untuk
dua kantong plastik (sambil
membuat cara h)
S1135 P : 2 kantong plastik ini apa?
S1136 A : Ini isinya 6 butir
telur...jadi 6 kantong untuk 18
butir telur...sisanya 2
S1137 P : Lalu diapakan
S1138 A : Kan sisa dua, lalu
dimasukkan ke dalam satu
kantong lagi...jadi ada 7
kantong....
............

Peneliti masih bertanya kemungkinan jawaban
lain yang dapat dibuat A dengan membuka
wawasan A, kemungkinan kalau dibuat kombinasi
dari jawaban yang sudah ada. Dengan cekatan A
membuat cara h dan menjawab setiap pertanyaan
peneliti dengan benar. Peneliti masih bertanya
kemungkinan cara lain yang dapat dibuat A.
Perhatikan petikan wawancara berikut.
............
S1141 P : Melihat gambar yang seperti ini
(menunjuk cara h), apakah A
bisa membuat cara lain lagi?
S1142 A : Bagaimana ya...emmm
(subjek langsung menulis sambil
berbicara) 3+3...baru ditambah
dengan 3. 3 butir + 3 butir =
6+3= 9+3=12+3=15+3=18...jadi
ada sisa 2. jadi kalau ada 20
butir, 6 kantong berisi 3 butir
dan satu kantong berisi 2 butir,
maka semuanya 7 kantong
plastik.
S1143 P : Jadi sudah banyak sekali cara ya
yang A buat. Apakah masih ada
cara lain lagi?
S1144 A : Mungkin dengan
mengkombinasikan perkalian
dengan pengurangan
S1145 P : Ok... Coba
S1146 A : 63=18... kalau begitu
20-18=2... kalau dua ini
dimasukkan ke dalam satu
kantong plastik, jadi kantongnya
ada 7 kantong. (membuat cara j)
S1147 P : Masih ada cara yang lain lagi?
S1148 A : Sudah tidak ada...
............

A menyelesaikan dengan cara g, ide yang
dilontarkan ini seperti cara e yang telah dibuatnya
tetapi penulisannya yang berbeda. Peneliti masih
bertanya kemungkinan cara lain yang dapat
dibuatnya. A menjawab mungkin dengan
mengkombinasikan penjumlahan dan
pengurangan (S1144), peneliti memberi
kesempatan dan A membuat 20 bunderan dalam
satu kotak serta menulis 63=18. Dengan cara
bersusun dikuranginya 20 dengan 18 dan sisa 2.
Penjelasan A dengan cara j, jawabannya tetap 7
kantong. Peneliti masih memberi kesempatan bagi
A untuk menyelesaikan dengan cara yang lain
tetapi A menjawab sudah tidak ada artinya A
tidak mempunyai ide lagi untuk menjawab
pertanyaan tersebut. Ternyata A dapat
menyelesaikan dengan 10 cara. Berikut petikan
wawancara dengan A.
............
S1151 P : Pinter ya...ada berapa cara
semuanya?
S1152 A : Ada 10 cara...
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 652
............

Berdasarkan analisis jawaban tertulis dan
klarifikasi yang dilakukan, peneliti berkesimpulan
bahwa dalam merencanakan pemecahan A
menggunakan pembagian, menggambar,
perkalian, pengurangan, penjumlahan, dan garis
bilangan. Terdapat beberapa gambar yang
muncul, pembagian bersusun, penjumlahan
melalui kumpulan atau gambar, dan pengurangan
bersusun. Ide yang dimunculkan berasal dari ide
sebelumnya, sehingga cara penyelesaian yang
dibuat A saling berkaitan.

d) Memeriksa Kembali Hasil yang Diperoleh

Pertanyaan pada langkah terakhir ini lebih
terfokus pada hasil yang diperoleh. Peneliti
mengarahkan pertanyaan pada cara penyelesaian
yang telah dilakukan A. Menurut A cara yang
dibuatnya berbeda, tetapi saling berhubungan dan
hasilnya sama. Perhatikan petikan wawancara
berikut.
............
S1153 P : Dari cara-cara tersebut
bagaimana hasilnya?
S1154 A : Hasilnya sama
S1155 P : Lalu bagaimana cara-cara
penyelesaiannya?
S1156 A : Cara-caranya
berhubungan
S1157 P : Bagaimana cara penyelesaian
yang satu dengan yang lain?
S1158 A : Berbeda
S1159 P : Jawabannya?
S1160 A : Sama...
............

Pada kegiatan pembelajaran dikelas III
menurut KTSP, urutan materi pembelajaran
Operasi Hitung yakni: Penjumlahan,
pengurangan, perkalian, dan pembagian. Dengan
memperhatikan cara pemecahan masalah yang
dilakukan A serta hasil wawancara yang
dilakukan peneliti, maka dapat disimpulkan
bahwa siswa menguasai teknik dasar operasi
hitung, dan dapat membuat kombinasi antar
operasi hitung.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan
hal-hal sebagai berikut.
1. Pertanyaan yang diberikan merupakan
masalah bagi siswa tersebut.
2. Pada langkah pemecahan masalah yaitu : (a)
memahami masalah: Pertanyaan apa yang
diketahui dan apa yang ditanyakan dijawab
dengan benar oleh A. (b)Merencanakan
pemecahan: Ide awal yang muncul yakni
dengan cara perkalian 63 tetapi jawaban
yang ditulis A pembagian 20:3=6 sisa 2.
Dalam memunculkan ide, A tidak mendapat
kesulitan, sedangkan ide awal diperoleh dari
apa yang telah dipelajari sebelumnya.(c)
Menyelesaikan masalah: A menggunakan
pembagian, gambar, perkalian, pengurangan,
penjumlahan, dan garis bilangan. Secara
keseluruhan A membuat 10 cara penyelesaian.
(d) Cara yang dibuat A berbeda, tetapi saling
berhubungan dan hasilnya sama yaitu 7
kantong. Keyakinan A terhadap apa yang
dikerjakan dan langkah yang dibuat telah
teruji dengan setiap penyelesaian dan
penjelasan yang dibuatnya.
3. Terdapat 10 cara pemecahan masalah yang
dibuat A yaitu dengan: (a) pembagian biasa,
(b) gambar, (c) perkalian, (d) pengurangan
bertingkat, (e) penjumlahan bertingkat, (f)
garis bilangan, (g) pembagian bersusun
(porogapit), (h) penjumlahan melalui
pengelompokan, (i) penjumlahan, (j)
Gabungan perkalian dan pengurangan dengan
bantuan gambar.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Depdiknas. 2006. Peraturan Mentri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi
Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah (Permen No. 22, 23, 24, tahun
2006) Jakarta: Depdiknas
[2] Hudoyo, Herman. 2001. Mengembangkan
Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UM
Malang.
[3] Polya, G. 1973. How to Solve It. Second
Edition. Princeton University Press.
Princeton, New Jersey
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 653
PENERAPAN PEMBELAJARAN CONCEPTUAL UNDERSTANDI NG
PROCEDURE SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR
MATEMATIKA SISWA DI SMPIT AL-FATAH BEKASI

Nila Sari
1
, Wardani Rahayu
2
, Tri Murdiyanto
3
Program Studi Pendidikan Matematika, Jurusan Matematika, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Jakarta

alin_iras@yahoo.com


ABSTRAK

Metode pembelajaran yang digunakan guru cenderung monoton karena hanya menggunakan metode ekspositori yang
tidak melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran matematika. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor
yang mempengaruhi rendahnya hasil belajar matematika siswa.

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas VII SMPIT Al-Fatah Bekasi
dengan pembelajaran Conceptual Understanding Procedure (CUP). Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan jenis Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research). Kegiatan awal adalah penelitian
pendahuluan yang berupa observasi proses kegiatan belajar mengajar di kelas VII. Kemudian dilanjutkan dengan
penelitian tindakan kelas yang terdiri dari tiga siklus. Setiap siklus terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap perencanaan,
pelaksanaan tindakan, serta analisis dan refleksi.

Berdasarkan hasil penelitian, didapat bahwa seiring dengan meningkatnya keaktifan siswa saat belajar matematika di
kelas maka meningkatlah hasil belajar matematika siswa. Ini terlihat dari kenaikan nilai rata-rata siswa pada setiap
siklus yaitu 57 pada siklus I, 62 pada siklus II, dan 71 pada siklus III. Demikian juga dengan persentase banyaknya
siswa yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 60 (KKM yang ditetapkan sekolah) mengalami
peningkatan pada setiap siklusnya yaitu 52,7% pada sikus I, 57,9% pada silus II, dan 73,7% pada siklus III. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar matematika siswa dengan pembelajaran Conceptual
Understanding Procedure (CUP).

Keywords: Conceptual Understanding Procedure, hasil belajar



PENDAHULUAN

Pendidikan Indonesia masih jauh tertinggal dari
negara-negara lain. Pada survey PISA
(Programme for International Student Assesment)
tahun 2006, peringkat Indonesia un-tuk
matematika turun dari 38 diantara 40 negara
menjadi 52 dari 57 negara, dengan angka rata-rata
turun dari 411 (2003) menjadi 391 (2006).
Berdasarkan survey ini terlihat hasil belajar
matematika siswa di Indonesia masih jauh
tertinggal dari negara-negara lain.

Masalah rendahnya hasil belajar matematika
siswa juga dialami oleh siswa kelas VII SMPIT
Al-Fatah Bekasi. Berdasarkan data hasil tes siswa
kelas VII pada materi unsur-unsur aljabar, KPK
dan FPB bentuk aljabar didapat rata-rata kelas
58,89. Rata-rata nilai tersebut masih di bawah
KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) matematika
yang ditetapkan oleh SMPIT Al-Fatah Bekasi
sebesar 60.

Berdasarkan pengamatan keadaan kelas serta
wawancara guru dan siswa pada tanggal 22 Juli



2009 sampai 5 Oktober 2009, didapat data-data
sebagai berikut :
1. Secara umum pembelajaran matematika yang
digunakan adalah pembelajaran kompetisi
dengan metode ekspositori.
2. Guru tidak mendorong siswa untuk aktif
bertanya atau mengemukakan pendapat
selama proses pembelajaran.
3. Banyak waktu yang terbuang saat guru
menilai pekerjaan siswa.
4. Diskusi kelompok hanya dilakukan satu kali.
Siswa diberi kebebasan untuk memilih teman
satu kelompok. Saat diberi tugas kelompok,
dari 5 kelompok, 3 kelompok di an-taranya
dengan bekerjasama dalam kelompoknya.
Sedangkan di kelompok lain, tugas kelompok
dikerjakan dengan cara pembagian tugas.

Berdasarkan data-data tersebut, terlihat bahwa
pembelajaran matematika belum terjadi secara
efektif. Siswa juga belum terlibat secara aktif
dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu,
diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran matematika sehingga tercipta
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 654
pembelajaran yang lebih efektif dan lebih me-
libatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran.
Upaya ini pada akhirnya diharapkan dapat
meningkatkan hasil belajar matematika.

Banyak metode pembelajaran matematika yang
dapat diterapkan untuk menciptakan pembe-
lajaran matematika yang melibatkan siswa secara
aktif dalam proses pembelajaran. Salah satunya
adalah Conceptual Understanding Procedure
(CUP). CUP menggunakan pende-katan
konstruktivisme, yaitu didasarkan pada keyakinan
bahwa siswa membangun pemaham-an mereka
sendiri tentang konsep dengan mem-perluas atau
mengubah pandangan yang sudah ada pada
mereka.

Fokus pada penelitian ini adalah upaya me-
ningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas
VII SMPIT Al-Fatah Bekasi dengan dengan pe-
nerapan metode pembelajaran CUP. Untuk da-pat
mengukur fokus penelitian di atas, diajukan
beberapa pertanyaan yang akan terjawab setelah
melakukan penelitian, yaitu sebagai berikut:
1. Apakah pembelajaran CUP dapat mening-
katkan keaktifan siswa dalam pembelajaran
matematika?
2. Apakah pembelajaran CUP dapat mening-
katkan hasil belajar matematika siswa?

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil
belajar siswa kelas VII SMPIT Al-Fatah Bekasi
dengan pembelajaran CUP.

BAHAN DAN METODE

CUP adalah prosedur pembelajaran yang
dirancang untuk membantu mengembangkan
pemahaman konsep yang sulit yang dialami
siswa. CUP terdiri dari tiga tahap pembelajaran
yaitu individual, triplet, dan seluruh kelas. Pada
tahap individual, memungkinkan siswa berpikir
tentang jawaban mereka mengenai pertanyaan
yang diberikan guru. Pada tahap triplet, siswa
berdiskusi dalam kelompok yang terdiri dari tiga
orang. Siswa membahas tanggapan mereka dan
mencoba untuk mencapai kesepakatan atas
jawaban pertanyaan yang pada lembar kerja
mereka. Pada tahap terakhir, setiap triplet me-
nampilkan lembar kerja kelompok di depan kelas.
Tahap ini memungkinkan siswa sekelas
berdiskusi untuk mencapai suatu kesepakatan
tentang masalah yang diselesaikan.

Hasil belajar matematika adalah kemampuan-
kemampuan yang dimiliki siswa dalam me-
mahami konsep matematika setelah ia menerima
pengalaman belajarnya. Hasil belajar ini diukur
dengan instrumen penilaian seperti ulangan atau
kuis yang diberikan oleh guru di akhir pelajaran.
Hasil belajar matematika siswa dalam penelitian
ini adalah nilai hasil belajar materi operasi dan
pecahan pada bentuk aljabar.

Penelitian ini menggunakan pendekatan pe-
nelitian kulitatif. Penelitian kulitatif adalah
prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan prilaku yang dapat di-amati.

Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan
kelas (Classroom Action Research). Prosedur
penelitian tindakan kelas dilaksanakan dalam
bentuk siklus berulang. Setiap siklus terdiri dari
beberapa tahapan yaitu tahap perencanaan, tahap
pelaksanaan tindakan, tahap pengamatan, dan
tahap terakhir yaitu analisis dan refleksi terhadap
siklus yang telah dilalui untuk me-rancang siklus
berikutnya.

Pada penelitian ini, penulis bertindak sebagai
kolaborator dalam penelitian yang berposisi
sebagai partcipant observer. Penulis bersama-
sama guru sebagai peneliti melakukan pe-
rencanaan, pengamatan, menganalisis data serta
melaporkan hasil penelitian. Guru bertindak se-
bagai pelaksana tindakan yang telah direncana-
kan oleh penulis dan guru. Dalam melakukan
pengamatan, penulis dibantu oleh dua orang
observer.

Penelitian dilaksanakan di SMPIT Al-Fatah
Bekasi yang terletak di Jalan Masjid Al-
Muawanah, Aren Jaya, Bekasi Timur. Pe-nelitian
ini dilakukan terhadap siswa kelas VII dengan
jumlah siswa 19 orang pada semester ganjl tahun
pelajaran 2009/2010.

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini
adalah data kuantitatif yaitu berupa hasil tes awal
dan hasil tes setiap akhir siklus, serta data
kualitatif yaitu berupa data hasil wawancara, data
yang memuat aktivitas siswa dan guru berupa
tabel pengamatan dan catatan lapangan, dan
dokumentasi atau foto untuk melengkapi
kejadian-kejadian penting di kelas.

Sumber data pada penelitian ini adalah seluruh
siswa kelas VII SMPIT Al-Fatah Bekasi.

Validasi data dilakukan dengan triangulasi. Pa-da
penelitian ini, data hasil pengamatan akan di-
badingkan dengan wawancara dan hasil do-
kumentasi pada setiap siklus.

Proses analisis data diawali dengan mendata
seluruh data dari berbagai sumber, baik berupa
data kuantitatif maupun kualitatif. Setelah itu,
mengadakan reduksi data, menyusunnya dalam
satuan-satuan, mengkategorikan data yang di-
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 655
peroleh berupa kalimat-kalimat dan aktivitas-
aktivitas guru dan siswa diubah menjadi kalimat
yang bermakna dan ilmiah.

Penelitian ini diawali dengan dilakukannya pe-
nelitian pendahuluan, dilanjutkan dengan siklus I,
siklus II, dan seterusnya. Setiap siklus terdiri dari
perencanaan tindakan, pelaksanaan tindak-an,
observasi serta analisis dan refleksi.

HASIL DAN DISKUSI

Paparan data

A. Penelitian pendahuluan

Penelitian pendahuluan berlangsung dilakukan
dengan pengamatan keadaan kelas serta wawan-
cara guru dan siswa. Berdasarkan pengamatan
selama kegiatan penelitian pendahuluan di-
peroleh informasi bahwa aktivitas siswa dalam
proses pembelajaran matematika masih pasif,
sehingga hasil belajarnya pun rendah. Metode
yang sering digunakan guru dalam mengajar
adalah metode ekspositori. Siswa menyukai
belajar kelompok karena mereka bisa berdiskusi
dalam mengerjakan tugas.
Hasil belajar matematika kelas VII masih rendah.
Hal ini terlihat dari rata-rata nilai tes awal pada
materi unsur-unsur aljabar, KPK dan FPB bentuk
aljabar yaitu sebesar 58,89. Ber-dasarkan hasil tes
awal dan diskusi dengan guru, dipilih enam orang
siswa yang akan dijadikan subjek penelitian (SP).
Pemilihan SP didasarkan atas tingkat kemampuan
siswa yang dibagi kepada tiga kelas yaitu siswa
kelas atas (SP1 dan SP4), siswa kelas menengah
(SP2 dan SP5), dan siswa kelas bawah (SP3 dan
SP6).

Penelitian Siklus I

Siklus I terdiri dari 3 kali pertemuan dengan sub
pokok bahasan operasi penjumlahan dan pe-
ngurangan aljabar.
Berdasarkan pengamatan selama kegiatan siklus I,
saat tahap berpikir individual, masih ada siswa
yang mengobrol atau bercanda dengan teman
semejanya. Saat tahap diskusi kelompok, masih
ada siswa yang tidak berdiskusi dalam
kelompoknya. Ada siswa yang hanya menyalin
jawaban dari lembar kerja individu ada pula siswa
yang hanya menebalkan jawaban dengan spidol.
Pada tahap diskusi kelas, guru sudah memimpin
diskusi kelas dengan baik. Guru lebih banyak
bertanya kepada kelompok yang jawabannya tidak
tepat. Pada tahap ini, terlihat bahwa masih ada
siswa yang tidak memahami jawaban
kelompoknya karena bukan ia yang mengerjakan
soal tersebut. Rata-rata kelas un-tuk nilai tes
akhir siklus I adalah 57.
Aktivitas siswa pada saat belajar dalam kelompok
pada siklus I belum sesuai dengan apa yang
diharapkan. Keaktifan siswa masih kurang dan
interaksi yang terjadi dalam diskusi kelompok
belum maksimal. Hal ini dikarenakan pada saat
belajar kelompok masih ada beberapa kelompok
yang tidak mau berdiskusi.

Berdasarkan hasil diskusi dengan guru, untuk
perbaikan pada tahap berikutnya, yaitu siklus II,
jumlah soal untuk diskusi dikurangi dibanding-
kan dengan soal diskusi pada siklus I. Hal ini
bertujuan agar siswa sempat mengerjakan semua
soal pada tahap individual dengan alokasi waktu
yang sama dengan siklus I. Pe-ngurangan jumlah
soal ini tetap memperhatikan keragaman jenis
soal. Jadi semua soal tetap me-wakili bentuk-
bentuk soal yang ada pada materi siklus II.
Susunan anggota kelompok juga di-ubah agar
siswa lebih nyaman berdiskusi pada siklus II.

Pada tahap diskusi triplet siklus II, lembar kerja
individu juga dikumpulkan agar siswa benar-
benar dapat berdikusi, tidak hanya menyalin
jawaban pada lembar kerja individu. Pada tahap
diskusi kelas, guru juga akan lebih banyak ber-
tanya tidak hanya pada kelompok yang ja-
wabannya salah tetapi pada kelompok yang
jawabannya benar. Guru juga akan lebih banyak
mendorong siswa untuk mengemukakan pen-
dapat.

Penelitian Siklus II

Siklus II terdiri dari tiga kali pertemuan dengan
sub pokok bahasan operasi perkalian dan pem-
bagian bentuk aljabar.

Pada siklus II, waktu untuk mengerjakan tahap
berpikir individu tidak ditambah namun jumlah
soal lebih sedikit daripada soal pada siklus I.
Namun sebagian besar siswa masih belum me-
nyelesaikan soal.

Pada tahap diskusi triplet pengubahan kelompok
membuat siswa lebih bisa memaksimalkan
perannya dalam kelompok seperti yang terjadi
pada beberapa siswa. Jika dibandingkan dari
siklus I, siswa sudah lebih banyak mengemuka-
kan pendapat pada saat diskusi kelompok siklus II
ini. Pada tahap diskusi kelas, guru lebih banyak
lagi bertanya kepada siswa. Tidak hanya kepada
siswa yang jawaban kelompoknya salah tapi juga
kepada siswa yang jawaban kelom-poknya benar.
Guru juga lebih mendorong siswa untuk
mengemukakan pendapat. Rata-rata kelas untuk
nilai tes akhir siklus II yaitu 62.

Penerapan metode CUP pada pembelajaran
matematika di siklus II sudah lebih baik daripada
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 656
di siklus I. Hal ini terlihat dari aktivitas siswa juga
dari hasil tes akhir siklus II. Ber-dasarkan hasil tes
akhir siklus II, nilai rata-rata kelas sudah di atas
KKM. Namun sebanyak delapan orang siswa
(42,1%) nilainya masih berada di bawah KKM.
Pada tahap diskusi triplet, ada siswa yang tidak
berdiskusi dalam kelompoknya. Selain itu, ada
siswa yang kurang memperhatikan diskusi kelas
yang dipimpin oleh guru.

Berdasarkan hasil diskusi dengan guru, untuk
perbaikan pada tahap berikutnya yaitu siklus III
akan dilakukan beberapa perubahan pada siklus
III. Susunan anggota kelompok diubah agar siswa
lebih nyaman berdiskusi pada siklus III. Pada
tahap diskusi triplet siklus III, spidol di-bagikan
saat siswa telah menyelesaikan semua soal diskusi
triplet dengan pensil. Hal ini ber-tujuan agar tidak
ada siswa yang hanya me-nebalkan jawaban
dengan spidol saat teman sekelompoknya
berdiskusi.

Penelitian Siklus III

Siklus III terdiri dari tiga kali pertemuan dengan
subpokok bahasan operasi pada pecahan bentuk
aljabar.

Pada siklus III, waktu untuk mengerjakan tahap
berpikir individu tidak ditambah. Namun siswa
sudah benar-benar memanfaatkan waktu dengan
sebaik-baiknya untuk mengerjakan soal pada
lembar kerja individu. Sehingga sebagian besar
siswa telah menyelesaikan seluruh soal pada kerja
individu.

Pada tahap diskusi triplet pengubahan kelompok
membuat siswa lebih bisa memaksimalkan
perannya dalam kelompok seperti yang terjadi
pada beberapa siswa. Siswa yang memiliki
kemampuan matematika yang lebih baik dari-pada
teman sekelompoknya dapat mengajarkan kedua
teman sekelompoknya itu dengan baik.
Pada siklus III ini, siswa lebih banyak menge-
mukakan pendapat daripada saat siklus II. Siswa
lebih banyak bertanya kepada temannya dari-pada
kepada guru. Dibandingkan dengan siklus
sebelumnya, aktivitas menyanggah pendapat
teman juga sudah meningkat. Hal ini menanda-
kan sudah terjadi diskusi yang cukup baik.

Pada tahap diskusi kelas seperti pada siklus II,
guru tetap bertanya kepada siswa mengenai
jawaban kelompoknya. Tidak hanya pada
kelompok yang jawabannya salah namun pada
kelompok yang jawabannya benar. Pada saat di-
tanya oleh guru, tidak ada siswa yang me-
ngatakan bahwa soal tersebut bukan ia yang
mengerjakannya. Hal ini karena diskusi kelom-
pok siklus III sudah lebih baik daripada siklus II.
Penerapan CUP pada pembelajaran matematika
materi aljabar sudah memberikan hasil yang
cukup baik. Hal ini terlihat dari aktivitas siswa
juga dari hasil tes akhir siklus III.

Aktivitas yang selalu meningkat di setiap siklus
pada setiap SP adalah aktivitas mengemukakan
pendapat. Aktivitas bertanya pada guru secara
umum menurun seiring naiknya aktivitas ber-
tanya pada teman sekelompok. Aktivitas me-
nyanggah pendapat teman secara umum juga
meningkat pada setiap SP. Ini menunjukkan su-
dah terjadi diskusi yang lebih baik di siklus III.
Berdasarkan hasil tes akhir siklus III, nilai rata-
rata kelas lebih baik dari siklus II yaitu sebesar
71. Jumlah siswa yang nilainya masih berada di
bawah KKM sudah semakin berkurang yaitu
hanya 5 orang (26,3%). Dengan demikian ter-jadi
peningkatan hasil belajar siswa pada tiap siklus.

B. Hasil dan pembahasan

Berdasarkan data yang telah dipaparkan dan
dianalisis pada sub bab sebelumnya, didapatlah
beberapa hal yang merupakan hasil penelitian ini.
Hal tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penerapan pembelajaran CUP dapat
meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar
matematika.
Proses pembelajaran pada hakikatnya untuk
mengembangkan aktivitas dan kreativitas siswa.
Metode CUP menciptakan suasana pembelajar-an
yang menuntut siswa untuk aktif. Tidak seperti
metode kooperatif lainnya, pada CUP siswa
dikelompokkan dalam kelompok kecil yang
masing-masing kelompok terdiri dari tiga orang.
Dalam kelompok kecil ini, peran siswa akan lebih
maksimal dalam berdiskusi me-nyelesaikan soal.
Menurut Anita Lie, kelompok bertiga mempunyai
kelebihan yaitu jumlah ganjil sehingga ada
penengah, lebih banyak kesempatan masing-
masing anggota kelompok untuk berkontribusi,
interaksi antar anggota lebih mudah, serta lebih
mudah dan cepat membentuknya.
Tahap diskusi triplet memungkinkan siswa
mengemukakan pendapat, bertukar pikiran,
menjelaskan apa yang mereka pikirkan, me-
nemukan kesalahan dalam pemikiran dan
akhirnya mencapai kesepakatan terbaik yang ke-
mudian dituliskan pada lembar kerja triplet.
Seperti yang diungkapkan oleh Nana Sudjana:
Diskusi pada dasarnya ialah tukar me-
nukar informasi, pendapat, dan pengalam-an
untuk mendapat pengertian bersama yang
lebih jelas dan lebih teliti tentang sesuatu.
Diskusi triplet juga memungkinkan siswa untuk
mengajarkan anggota sekelompoknya. Pengajar-
an oleh teman sekelompok tidak terbatas pada
pengajaran dari siswa kelompok atas kepada
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 657
siswa kelompok menengah atau bawah, namun
dapat terjadi sebaliknya.
Tahap diskusi triplet ini tidak menutup ke-
mungkinan untuk siswa bertanya kepada guru.
Saat menemukan kesulitan atau perbedaan pen-
dapat antar anggota kelompok, tidak hanya sis-wa
dari kelompok atas, tapi siswa dari kelom-pok
bawah maupun dari kelompok menengah tidak
enggan untuk bertanya kepada guru.
Pada tahap diskusi kelas, siswa diberi ke-
sempatan untuk mempresentasikan jawaban
kelompoknya di depan kelas. Diskusi kelas juga
menjadikan siswa lebih berani mengemukakan
pendapat sekalipun tidak ditunjuk guru. Siswa
juga aktif menjawab pertanyaan yang diberikan
oleh guru. Menurut Johnson, Johnson, dan Smith
seperti yang dikutip oleh Anita Lie:
Pendidikan adalah interaksi pribadi di
antara para siswa dan interaksi antara guru
dan siswa. Belajar adalah suatu proses
pribadi tetapi juga proses sosial yang ter-jadi
ketika masing-masing orang ber-hubungan
dengan orang lain dan mem-bangun
pengertian dan pengetahuan ber-sama.
Pada CUP, interaksi pribadi di antara para siswa
lebih banyak terjadi saat diskusi kelompok
sedangkan interaksi antara guru dan siswa lebih
banyak terjadi pada saat diskusi kelas. Interaksi
yang membangun pengertian dan pengetahuan
bersama seperti ini sudah terangkum dalam semua
tahap pembelajaran CUP.
Berdasarkan data pada setiap siklus, aktivitas
siswa pada setiap siklus yang selalu meningkat
adalah aktivitas mengemukakan pendapat.
Aktivitas yang lain kadang mengalami kenaikan
dan penurunan. Dengan demikian, pembe-lajaran
CUP dapat meningkatkan keaktifan siswa
khususnya dalam hal mengemukakan pendapat
dalam diskusi kelompok untuk memecahkan soal.
Seperti yang dikatakan oleh Nana Sudjana,
keaktifan dapat dilihat dalam hal se-bagai berikut:
a. Turut serta dalam melaksanakan tugas
belajarnya.
b. Terlibat dalam pemecahan masalah.
c. Bertanya kepada siswa lain atau kepada guru
apabila tidak memahami persoalan yang di-
hadapi.
d. Berusaha mencari informasi yang diperlukan
untuk pemecahan masalah.
e. Melaksanakan diskusi kelompok sesuai de-ngan
petunjuk guru.
f. Menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil
yang diperolehnya.
g. Melatih diri dalam memecahkan soal atau
masalah yang sejenis.
h. Kesempatan menggunakan atau menerapkan
apa yang telah diperolehnya dalam me-
nyelesaikan tugas atau persoalan yang di-
hadapinya.

2. Penerapan pembelajaran CUP dapat me-
ningkatkan hasil belajar matematika siswa
Penerapan pembelajaran CUP sangat ber-
pengaruh terhadap hasil belajar matematika siswa
pada materi aljabar. Hasil belajar yang diperoleh
siswa khususnya subjek penelitian selalu
mengalami kenaikan pada tiap siklus. Nilai rata-
rata kelas pun selalu meningkat yaitu 57 pada
siklus I, 62 pada siklus II, dan 71 pada siklus III.
Demikian juga dengan persentase banyaknya
siswa yang memperoleh nilai lebih dari atau sama
dengan 60 (KKM yang ditetap-kan sekolah)
mengalami peningkatan pada setiap siklusnya
yaitu 52,7% pada sikus I, 57,9% pada silus II, dan
73,7% pada siklus III.
Pada CUP, siswa yang masih menemukan
masalah pada tahap berpikir individual bisa
menemukan jawaban atas masalah tersebut pada
tahap diskusi triplet.
Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelum-nya,
diskusi kelompok CUP memungkinkan siswa
mengajarkan teman sekelompoknya. Pengajaran
oleh teman sebaya ini ternyata cukup efektif.
Seperti yang diungkapkan ole Anita Lie:
Alur proses belajar tidak harus berasal
dari guru menuju siswa. Siswa juga bisa
saling mengajar dengan sesama siswa yang
lainnya. Bahkan banyak penelitian me-
nunjukkan pengajaran oleh rekan sebaya
(peer teaching) ternyata lebih efektif daripada
pengajaran oleh guru.
Pada setiap siklusnya, siswa dari kelompok
menengah dan bawah yang diajarkan oleh siswa
dari kelompok atas, mengalami pe-ningkatan hasil
belajar. Pengajaran oleh rekan sebaya ini
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
meningkatnya hasil belajar siswa.
Siswa dari kelompok atas yang mengajarkan
teman sekelompoknya juga mengalami pe-
ningkatan hasil belajar. Hal ini berarti peng-ajaran
oleh rekan sebaya tidak hanya ber-pengaruh bagi
siswa yang diajarkan namun juga bagi siswa yang
mengajarkan Hal ini sejalan dengan yang
dikatakan oleh Dede Rosyada:
Peer teaching atau tutorial sebaya
menjadi bagian penting yang keuntungan-nya
tidak semata untuk yang diajari tapi juga
untuk yang mengajari, karena siswa yang
mengajari temannya akan semakin matang
penguasaannya sementara siswa yang diajari
akan memperoleh bantuan teman sebayanya
dalam proses pemahaman bahan ajar yang
mereka pelajari.
Tahap diskusi kelas membuat siswa menjadi tahu
mana jawaban yang benar dan yang salah. Semua
masalah yang mereka dapati mulai dari tahap
individual dan tahap diskusi triplet dapat mereka
temukan penyelesaiannya pada tahap diskusi
kelas.
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 658
Dalam diskusi kelas, siswa dapat meng-
ungkapkan kembali pengetahuan yang se-
belumnya telah mereka dapatkan. Menurut Gagne,
fase pengungkapan kembali adalah salah satu fase
yang terjadi saat siswa belajar. Peng-ungkapan
kembali ini merupakan salah satu hal yang
penting yang menambah pemahaman siswa.
Ketiga rangkaian tahap CUP ini membuat siswa
lebih memahami langkah penyelesaian soal
karena soal tersebut tidak hanya dikerjakan
sendiri namun dibahas dalam kelompok dan
dalam diskusi kelas. Saat diskusi kelas pun guru
sering mengulang konsep-konsep yang telah
dipelajari siswa. Ini sejalan dengan Thorndike
yang mengatakan bahwa makin sering suatu
konsep matematika diulangi maka makin di-
kuasailah konsep matematika itu.
CUP dapat menciptakan pembelajaran yang
menyenangkan. Pada diskusi triplet siswa bebas
menuliskan jawabannya pada lembar kerja triplet
dengan spidol berwarna-warni. Tahap diskusi
kelas adalah tahap yang dinanti oleh siswa karena
pada tahap ini mereka dapat me-mamerkan hasil
kerja kelompok mereka kepada seluruh kelas.
Pada saat guru menempelkan lembar kerja
kelompok di papan tulis, siswa sangat antusias
ingin melihat hasil karya ke-lompoknya dan
kelompok lainnya. Mereka pun senang membantu
guru dalam menempel lem-bar kerja kelompok.
Penerapan pembelajaran CUP pada pelaksana-an
kegiatan siklus I sampai siklus III membuat siswa
aktif dalam belajar sehingga berpengaruh pada
meningkatnya hasil belajar siswa. Peran serta
siswa dalam berbagai kegiatan belajar secara aktif
akan meningkatkan keterlibatan mental siswa
yang bersangkutan dalam proses belajar mengajar.
Pengalaman belajar yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mencoba sendiri
mencari jawaban sesuatu masalah, bekerja sama
dengan teman sekelas akan lebih menantang siswa
dan menarik per-hatian siswa dibandingkan
dengan situasi yang di dalamnya siswa hanya
berkesempatan untuk menerima info secara
searah. Sejalan dengan hal ini, Imaduddin
mengatakan bahwa belajar adalah proses yang
aktif, semakin bertambah aktif anak dalam belajar
semakin ingat anak akan pelajaran itu.
Penerapan CUP juga menjadikan proses pem-
belajaran matematika menyenangkan sehingga
berpengaruh pada meningkatnya hasil belajar
siswa. Hal ini dikarenakan siswa memerlukan
rasa enak dalam bersikap, berpikir, dan belajar.
Rasa enak atau senang pada siswa me-megang
peranan yang menentukan apakah hal-hal yang
dilakukan akan berhasil atau tidak.





KESIMPULAN

Berdasarkan analisis data yang diperoleh dari
penelitian ini, didapat kesimpulan sebagai berikut:
1. Pembelajaran CUP dapat meningkatkan
keaktifan siswa dalam pembelajaran mate-
matika. Hal ini dapat dilihat dari jumlah
aktivitas yang dilakukan oleh siswa pada se-tiap
siklus. Siswa menjadi semakin berani
mengemukakan pendapat baik dalam diskusi
kelompok maupun diskusi kelas. Siswa juga
lebih aktif menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diberikan guru.
2. Pembelajaran CUP dapat meningkatkan hasil
belajar matematika siswa. Hal ini dapat di-lihat
dari meningkatnya nilai rata-rata tes siswa dari
siklus I sampai siklus III. Jumlah siswa yang
memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan
60 (KKM yag dietapkan se-kolah) juga
mengalami peningkatan di setiap siklus.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Anonim. Conceptual Understanding
Procedures (CUPs), [ONLINE]
Tersedia:http://www.education.monash.edu.a
u/ Rabu 4 Februari 2009 Pukul 14.00 WIB
[2] Anonim. Mengkritisi Ramalan Masa Depan
Indonesia [ONLINE] Tersedia:
http://Ponpes.Tebuireng.Net/Blog_View_4_
Mengkritisi Ramalan Masa Depan Indonesia-
.html, Kamis 27 November 2008 Pukul
08.52 WIB
[3] Arikunto, Suharsimi. 2007. Penelitian
Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara
[4] Hudojo, Herman. 1988. Mengajar Belajar
Matematika. Jakarta: Dirjen Pendidikan
tinggi Depdiknas
[5] Lie, Anita. 2005. Cooperative Learning
(Mempraktikkan Pembelajaran Kooperative
di ruang-ruang Kelas).Jakarta: Grasindo
[6] Majid, Abdul. 2008. Perencanaan
Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya
[7] Moleong, Lexy. J. 1990. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya
[8] Mulyasa, E, Menjadi Guru Profesional.
Bandung: Remaja Rosdakarya,2005
[9] Naja, Hakam. UU Guru Dan Dosen : Upaya
Peningkatan Kualitas Pendidikan, [ONLINE]
Tersedia: www.e-
dukasi.net/artikel/index.php, Minggu 16
November 2008 pukul 14.54 WIB
[10] Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta
: Ghalia Indonesia
[11] Purwanto, Ngalim. 2000. Psikologi
Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya

Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 659
[12] Rosyada, Dede. 2004. Paradigma Pendidikan
Demokratis .Jakarta : Prenada Media
[13] Sardiman. 2007. Interaksi dan Motivasi
Belajar Mengajar, Jakarta: Raja Grafindo
Persada
[14] Simanjuntak Lisnawaty,dkk. 1993. Metode
Mengajar Matematika 1. Jakarta: Rineka
Cipta
[15] Sudjana, Nana. 1995. Penilaian Hasil Proses
Belajar Mengajar. Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya
[16] Suherman, Erman dkk. 2003. Strategi
Pembelajaran Matematika Kontemporer,
Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika
FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia
[17] Syah, Muhibbin. 1985. Psikologi Pendidikan
dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja
Rosdakarya
[18] Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa. 1996. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta : Depdikbud
[19] Wijaya, Cece., Djadja Djadjuri, dan Tabrani
Rusyan. 1990. Upaya Pembaharuan dalam
Pendidikan dan Pengajaran. Bandung:
Remaja Rosdakarya






Pendidikan


Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 661
PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK YANG
MENGEMBANGKAN KREATIVITAS SISWA

Syaiful
Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
FKIP Universitas Jambi

pak_bakri@yahoo.com

ABSTRAK

Kreativitas merupakan salah satu ciri umum pembelajaran matematika yang realistik, yaitu pembelajaran matematika
yang nyata dalam kehidupan siswa. Kreativitas tersebut diwujudkan dengan memberi ruang bagi siswa untuk
memecahkan masalah dengan berbagai cara, menggunakan masalah yang menantang dan pertanyaan-pertanyaan
yang terbuka, dan menempatkan siswa sebagai seorang penemu (inquirer), tidak hanya sebagai penerima fakta-fakta
dan prosedur-prosedur. Ciri tersebut tampak nyata pada pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI). Terdapat beberapa ciri dan prinsip dari PMRI yang sejalan dengan konsep kreativitas atau berpikir kreatif
dalam pembelajaran matematika yang realistik. Pada tulisan ini akan menguraikan ciri-ciri pembelajaran tersebut
yang dapat mengembangkan kreativitas siswa.

Keywords: Matematika Realistik, Kreativitas


PENDAHULUAN

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa
pengajaran matematika belum menekankan pada
pengembangan daya nalar (reasoning), logika dan
proses berpikir siswa. Pengajaran matematika
umumnya didominasi oleh pengenalan rumus-
rumus serta konsep-konsep secara verbal, tanpa
ada perhatian yang cukup terhadap pemahaman
siswa. Selain itu, proses belajar mengajar hampir
selalu berlangsung dengan metode ceramah yang
mekanistik, dengan guru menjadi pusat dari
seluruh kegiatan di kelas. Siswa mendengarkan,
meniru atau mencontoh dengan persis sama cara
yang diberikan guru tanpa inisiatif. Siswa tidak
dibiarkan atau didorong mengoptimalkan potensi
dirinya, mengembangkan penalaran maupun
kreativitasnya. Pembelajaran matematika juga
seolah-olah dianggap lepas untuk
mengembangkan kepribadian siswa. Pembelajaran
matematika dianggap hanya menekankan faktor
kognitif saja, padahal pengembangan kepribadian
sebagai bagian dari kecakapan hidup merupakan
tugas semua mata pelajaran di sekolah.
Pembelajaran yang demikian menjauhkan siswa
dari sifat kemanusiaannya. Siswa seolah-olah
dipandang sebagai robot atau benda/alat yang
dipersiapkan untuk mengerjakan atau
menghasilkan sesuatu. Guru melakukan demikian
karena beberapa alasan, seperti diungkapkan
Haglund (tanpa tahun), antara lain guru
matematika tersebut tidak menyukai matematika
dan sulit mengadaptasi strategi-strategi baru, guru
memandang matematika sebagai hierarkhis yang
harus diajarkan sesuai urutan kurikulum dan tidak
perlu menambahkan tujuan lain, dan waktu yang
digunakan dapat lebih cepat.
Menghadapi kondisi itu, pembelajaran
matematika harus mengubah citra dari
pembelajaran yang mekanistis menjadi
matematika yang menyenangkan. Pembelajaran
yang dulunya memasung kreativitas siswa
menjadi yang membuka kran kreativitas.
Pembelajaran yang dulu berkutat pada aspek
kognitif menjadi yang berkubang pada semua
aspek termasuk kepribadian dan sosial.
Pembelajaran matematika harus mengubah
pandangan dari as tool menjadi as human
activity. Pertanyaaannya bagaimanakah ciri
pembelajaran matematika yang realistik itu?,
bagaimana kaitannya dengan berpikir kreatif
atau kreativitas siswa?, dan apakah PMRI
sejalan dengan pembelajaran matematika realistik
sekaligus mengembangkan kreativitas siswa?.

PEMBELAJARAN MATEMATIKA
REALISTIK

Pembelajaran matematika realistik bukanlah hal
baru dalam matematika, sebab para
matematikawan terdahulu seperti Plato, Euclid,
atau Mandelbrot telah mengaitkan matematika
dengan keindahan, kreativitas, atau imajinasi
dalam matematika. Pada dasarnya matematika
realistik melibatkan pengajaran yang isinya fakta-
fakta dengan menggunakan benda-benda konkrit
dalam keyakinan bahwa kekurangan motivasi
siswa merupakan akar penyebab dari masalah-
masalah sikap dan literasi dalam pendidikan
matematika. Gerakannya adalah mencari kembali
proses-proses pendidikan yang menyenangkan
(excitement) dan menantang (wonderment)
dengan kegiatan-kegiatan penemuan (discovery)
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 662
dan kreasi/karya cipta (Haglund, tanpa tahun).
Dengan demikian matematika realistik
mengarahkan pada pembelajaran yang
memberikan keleluasaan siswa untuk belajar
secara aktif yang menyenangkan dan memberikan
kebebasan siswa untuk tertantang melakukan
kreasi-kreasi sehingga mendorong kreativitasnya.

White (dalam Susilo, 2004) menjelaskan bahwa
matematika realistik mencakup dua aspek
pembelajaran, yaitu; Aspek pertama berkaitan
dengan proses pembelajaran matematika yang
menempatkan siswa sebagai subjek untuk
membangun pengetahuannya dengan memahami
kondisi-kondisi, baik dalam diri sendiri maupun
lingkungan sekitarnya. Pengetahuan matematika
tidak terbentuk dengan menerima atau menghafal
rumus-rumus dan prosedur-prosedur, tetapi
dengan membangun makna dari apa yang sedang
dipelajari. Siswa aktif mencari, menyelidiki,
merumuskan, membuktikan, mengaplikasikan apa
yang dipelajari. Siswa juga mungkin melakukan
kesalahan dan dapat belajar dari kesalahan tanpa
takut untuk berbuat salah dengan melakukan
ujicoba atau eksperimen. Guru berperan sebagai
fasilitator dan motivator. Guru menumbuhkan
motivasi dalam diri siswa untuk mempelajari dan
memahami matematika secara bermakna serta
memberikan dorongan dan fasilitas untuk belajar
mandiri maupun kelompok. Proses pembelajaran
tidak hanya berfokus pada aspek kognitif, tetapi
juga intuisi dan kreativitas siswa. Pembelajaran
matematika secara realistik akan membentuk
nilai-nilai kemanusiaan dalam diri siswa. Selain
memahami dan menguasai konsep matematika,
siswa akan terlatih bekerja mandiri maupun
bekerjasama dalam kelompok, bersikap kritis,
kreatif, konsisten, berpikir logis, sistematis,
menghargai pendapat, jujur, percaya diri, dan
bertanggung jawab. Pada aspek ini kreativitas
guru untuk memfasilitasi kegiatan belajar siswa
dengan berbagai metode dan kreativitas siswa
untuk menemukan atau membangun
pengetahuannya sendiri saling terpadu dan
menunjang bagi keberhasilan tujuan belajar siswa.

Pembelajaran matematika yang realistik berkaitan
dengan usaha merekonstruksi kurikulum
matematika sekolah, sehingga matematika dapat
dipelajari dan dialami sebagai bagian kehidupan
manusia. Kaitan matematika dan dunia nyata atau
mata pelajaran lain perlu dijabarkan secara
konkrit. Brown (2002) menyebutkan beberapa
topik yang dapat dikaitkan dengan dunia nyata
atau mata pelajaran lainnya, misalkan seni
(simetri, perspektif, representasi spasial, dan pola
(termasuk fraktal) untuk menciptakan karya-karya
artistik), biologi (penggunaan skala untuk
mengidentifikasi faktor pertumbuhan bermacam
organisme), bisnis (optimasasi dari suatu jaringan
komunikasi), industri (penggunaan matematika
untuk mendesain objek-objek tiga dimensi seperti
bangunan), pengobatan (pemodelan suntikan
untuk mengeliminasi infeksi penyakit), fisika
(penggunaan vektor untuk memodelkan gaya).

Berdasar pandangan di atas, maka dapat
dijabarkan beberapa ciri umum dari pembelajaran
matematika realistik, seperti disebutkan oleh
Haglund (tanpa tahun) yaitu:
1. Menempatkan siswa sebagai penemu
(inquirer) bukan hanya penerima fakta-fakta
dan prosedur-prosedur;
2. Memberi kesempatan siswa untuk saling
membantu dalam memahami masalah dan
pemecahannya yang lebih mendalam;
3. Belajar berbagai macam cara untuk
menyelesaikan masalah, tidak hanya dengan
pendekatan aljabar;
4. Menunjukkan latar belakang sejarah bahwa
matematika sebagai suatu penemuan atau
usaha keras (endeavor) dari seorang
manusia;
5. Menggunakan masalah-masalah yang
menarik dan pertanyaan terbuka (open-
ended) tidak hanya latihan-latihan;
6. Menggunakan berbagai teknik penilaian
tidak hanya menilai siswa berdasar pada
kemampuan mengingat prosedur-prosedur
saja;
7. Mengembangkan suatu pemahaman dan
apresiasi terhadap ide-ide besar matematika
yang membentuk sejarah dan budaya;
8. Membantu siswa melihat matematika
sebagai studi terhadap pola-pola, termasuk
aspek keindahan dan kreativitas;
9. Membantu siswa mengembangkan sikap-
sikap percaya diri, mandiri, dan penasaran
(curiosity);
10. Mengajarkan materi-materi yang dapat
digunakan dalam kehidupan sehari-hari,
seperti dalam sains, bisnis, ekonomi, atau
teknik.

Beberapa ciri yang diungkapkan Haglund tersebut
sebenarnya mengarah pada ciri-ciri pembelajaran
yang menekankan pada aspek berpikir kreatif atau
kreativitas siswa. Berpikir kreatif sebagai proses
mental dan kreativitas sebagai sebuah produk dari
berpikir kreatif diindikasikan dengan beberapa
aspek yang akan dijelaskan berikut.

KREATIVITAS DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA

Pengertian kreativitas yang beraneka ragam
sangat sulit untuk dicari kesepakatannya.

Cropley (dalam Haylock, 1997) menjelaskan
bahwa terdapat paling sedikit dua cara utama
Pendidikan


Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 663
menggunakan istilah kreativitas. Satu sisi,
kreativitas mengacu pada suatu jenis khusus dari
berpikir atau fungsi mental yang sering disebut
berpikir divergen. Sisi lain, kreativitas digunakan
untuk menunjukkan pembuatan (generation)
produk-produk yang dipandang (perceived)
kreatif, seperti karya seni, arsitektur atau musik.
Dalam pengertian pengajaran anak-anak di
sekolah, Cropley cenderung pada istilah pertama
tersebut dan mengambil pendirian bahwa
kreativitas adalah kemampuan untuk
mendapatkan ide-ide, khususnya yang bersifat asli
(original), berdaya cipta (inventive), dan ide-ide
baru (novelty). Pendefinisian ini menekankan
pada aspek produk yang diadaptasikan pada
kepentingan pembelajaran, sehingga kreativitas
ditekankan pada produk berpikir untuk
menghasilkan sesuatu yang baru dan berguna.
Jadi, kreativitas merupakan suatu produk berpikir
(dalam hal ini berpikir kreatif) untuk
menghasilkan suatu cara atau sesuatu yang baru
dalam memandang suatu masalah atau situasi.
Berpikir kreatif diartikan sebagai suatu kegiatan
mental yang digunakan seorang untuk
membangun ide atau gagasan yang baru
(Ruggiero, 1998; Evans, 1991). Tulisan ini akan
menyebutkan secara saling tukar antara kreativitas
dan berpikir kreatif dengan menekankan bahwa
kreativitas adalah produk dari kemampuan
berpikir kreatif atau berpikir kreatif menghasilkan
suatu kreativitas.

Untuk mengetahui ciri kreativitas seseorang
banyak ahli yang memberikan kriteria tergantung
pada pengertian kreativitas atau berpikir kreatif
yang dianut. Munandar (1999) menunjukkan
indikasi berpikir kreatif dalam definisinya bahwa
kreativitas (berpikir kreatif atau berpikir
divergen) adalah kemampuan menemukan banyak
kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah,
dimana penekanannya pada kuantitas,
ketepatgunaan, dan keberagaman jawaban.
Pengertian ini menunjukkan bahwa kemampuan
berpikir kreatif seseorang makin tinggi, jika ia
mampu menunjukkan banyak kemungkinan
jawaban pada suatu masalah. Semua jawaban itu
harus sesuai dengan masalah dan tepat. Selain itu
jawaban harus bervariasi. Misalkan anak diminta
memikirkan penggunaan yang tidak lazim dari
benda sehari-hari.

Indikator kreativitas yang lebih umum
ditunjukkan dari ciri-ciri individu, seperti
disebutkan Evans (1991), yaitu kesadaran dan
sensitivitas terhadap masalah, memori/ingatan,
fasih (fluency), fleksibel, orisinal, disiplin dan
tekun (persistence), mampu beradaptasi/terbuka,
keingintahuan, humoris, tidak kompromi,
toleransi pada ambiguitas, percaya diri, skeptis,
dan mempunyai intelegensi yang cukup. Olson
(1996) menjelaskan bahwa untuk tujuan riset
mengenai berpikir kreatif, kreativitas (sebagai
produk berpikir kreatif) sering dianggap terdiri
dari dua unsur, yaitu kefasihan dan keluwesan
(fleksibilitas). Kefasihan ditunjukkan dengan
kemampuan menghasilkan sejumlah besar
gagasan pemecahan masalah secara lancar dan
cepat. Keluwesan mengacu pada kemampuan
untuk menemukan gagasan yang berbeda-beda
dan luar biasa untuk memecahkan suatu masalah.

Dalam penerapannya, kriteria itu berkembang dan
sesuai dengan bidang kajian (lingkup) dari
kemampuan kreativitas itu. Krutetskii (1976)
mengutip gagasan Shaw dan Simon memberikan
indikasi berpikir kreatif, yaitu (1) produk aktivitas
mental mempunyai sifat kebaruan (novelty) dan
bernilai baik secara subjektif maupun objektif; (2)
proses berpikir juga baru, yaitu memerlukan suatu
transformasi ide-ide yang diterima sebelum
maupun penolakannya; (3) proses berpikir
dikarakterisasikan oleh adanya motivasi yang kuat
dan kestabilan, yang teramati pada periode waktu
yang lama atau dengan intensitas yang tinggi.
Pendapat ini menunjukkan bahwa kemampuan
berpikir kreatif dari segi produk didasarkan pada
kebaruan dan nilai produk tersebut. Selain itu,
dari segi proses ditunjukkan dengan kebaruan
transformasi ide-ide dan adanya motivasi yang
kuat.

Haylock (1997) mengatakan bahwa berpikir
kreatif hampir dianggap selalu melibatkan
fleksibilitas. Bahkan Krutetskii (1976)
mengidentifikasi bahwa fleksibilitas dari proses
mental sebagai suatu komponen kunci
kemampuan kreatif matematis pada siswa-siswa.
Haylock (1997) menunjukkan kriteria sesuai tipe
Tes Torrance dalam kreativitas (produk berpikir
kreatif), yaitu kefasihan artinya banyaknya
respons (tanggapan) yang dapat diterima atau
sesuai, fleksibilitas artinya banyaknya jenis
respons yang berbeda, dan keaslian artinya
kejarangan tanggapan (respons) dalam kaitan
dengan sebuah kelompok pasangannya. Haylock
(1997) mengatakan bahwa dalam konteks
matematika, kriteria kefasihan tampak kurang
berguna dibanding dengan fleksibilitas. Contoh,
jika siswa diminta untuk membuat soal yang
nilainya 5, siswa mungkin memulai dengan 6-1,
7-2, 8-3, dan seterusnya. Nilai siswa tersebut
tinggi, tetapi tidak menunjukkan kreativitas.
Fleksibilitas menekankan juga pada banyaknya
ide-ide berbeda yang digunakan. Jadi dalam
matematika untuk menilai produk divergensi
dapat menggunakan kriteria fleksibilitas dan
keaslian. Kriteria lain adalah kelayakan
(appropriateness). Respons matematis mungkin
menunjukkan keaslian yang tinggi, tetapi tidak
berguna jika tidak sesuai dalam kriteria matematis
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 664
umumnya. Contoh, untuk menjawab 8 ,
seorang siswa menjawab 4. Meskipun
menunjukkan keaslian yang tinggi tetapi jawaban
tersebut salah. Jadi, berdasar beberapa pendapat
itu kemampuan berpikir kreatif dapat ditunjukkan
dari fleksibilitas, kefasihan, keaslian, kelayakan
atau kegunaan. Indikator ini dapat disederhanakan
atau dipadukan dengan melihat kesamaan
pengertiannya menjadi fleksibilitas, kefasihan,
dan keaslian. Kelayakan atau kegunaan tercakup
dalam ketiga aspek tersebut.

Silver (1997) menjelaskan bahwa untuk menilai
kemampuan berpikir kreatif anak-anak dan orang
dewasa sering digunakan The Torrance Tests of
Creative Thinking (TTCT). Tiga komponen kunci
yang dinilai dalam kreativitas menggunakan
TTCT adalah kefasihan (fluency), fleksibilitas dan
kebaruan (novelty). Kefasihan mengacu pada
banyaknya ide-ide yang dibuat dalam merespons
sebuah perintah. Fleksibilitas tampak pada
perubahan-perubahan pendekatan ketika
merespons perintah. Kebaruan merupakan
keaslian ide yang dibuat dalam merespons
perintah. Dalam masing-masing komponen,
apabila respons perintah disyaratkan harus sesuai,
tepat atau berguna dengan perintah yang
diinginkan, maka indikator kelayakan, kegunaan
atau bernilai dalam berpikir kreatif sudah
dipenuhi. Indikator keaslian dapat ditunjukkan
atau merupakan bagian dari kebaruan. Jadi
indikator atau komponen berpikir itu dapat
meliputi kefasihan, fleksibilitas dan kebaruan.

Bergqvist (2006) juga memberikan kriteria
penalaran kreatif matematis (berpikir kreatif
dalam matematika), yaitu: kebaruan (novelty),
fleksibilitas, masuk akal (plausibility), dan dasar
matematis (mathematical foundation). Kebaruan
ditunjukkan bahwa penalarannya baru bagi
dirinya sendiri atau suatu penciptaan kembali dari
solusi-solusi yang sudah tidak diingat.
Fleksibilitas ditunjukkan bahwa penalarannya
yang lancar (fluency) memuat pendekatan-
pendekatan dan adaptasi-adaptasi yang berbeda
pada suatu situasi. Masuk akal (plausibilitas)
ditunjukkan bahwa penalarannya didasarkan pada
argumen-argumen yang didukung pilihan strategi
dan implementasinya yang benar atau logis. Dasar
matematis ditunjukkan bahwa penalarannya
berdasarkan argumen-argumen yang ditemukan
pada sifat-sifat intrinsik matematis dari
komponen-komponen yang terlibat dalam
penalaran tersebut. Kriteria ini lebih melihat
bagaimana penalarannya atau proses berpikir
siswa daripada produknya. Sehingga dapat terjadi
produk penyelesaiannya tunggal dan tidak baru
bagi orang lain tetapi proses untuk menghasilkan
tersebut sesuai dengan penalaran kreatif.

Dalam pembelajaran guru dapat menggunakan
beberapa indikator yang disebutkan para ahli
tetapi tergantung pada orientasi pembelajaran
yang diberikan, serta pengertian kreativitas yang
diyakini. Paling tidak dalam mengajar guru perlu
menyediakan bahan-bahan atau materi yang
membiarkan siswa mencipta tulisan-tulisan atau
karya-karya yang membangun prinsip-prinsip
matematis dan memungkinkannya belajar
matematika melalui aktivitas-aktivitas penemuan.
Selain itu, juga memberikan pemahaman
matematika siswa dengan membiarkan mereka
mengenal contoh-contoh ide matematis dalam
kehidupan sehari-hari, mentransfer pengetahuan
dari kelas ke kehidupan sehari-hari dan
mengapresiasikan penerapan matematika yang
menyebar dalam kehidupan sekitarnya.

Dalam usaha mengembangkan kreativitas dalam
matematika digunakan konsep masalah dalam
suatu situasi tugas. Pendekatan yang paling
banyak digunakan pada banyak negara dan
menjadi fokus pembelajaran matematika saat ini
yang terdapat pada Kurikulum 2007 (KTSP)
adalah pemecahan masalah. Pemecahan masalah
diajarkan dan secara eksplisit menjadi tujuan
pembelajaran matematika dan tertuang dalam
kurikulum matematika, karena pemecahan
masalah memiliki manfaat (Pehkonen,1997),
yaitu: (1) mengembangkan keterampilan kognitif
secara umum, (2) mendorong kreativitas, (3)
pemecahan masalah merupakan bagian dari
proses aplikasi matematika, dan (4) memotivasi
siswa untuk belajar matematika. Selain
pemecahan masalah, pendekatan pengajuan
masalah juga dapat digunakan untuk mengetahui
kemampuan berpikir kreatif siswa. Evans (1991)
mengatakan bahwa formulasi masalah (problem
formulation) dan pemecahan masalah menjadi
tema-tema penting dalam penelitian kreativitas.
Langkah pertama dalam aktivitas kreatif adalah
menemukan (discovering) dan memformulasikan
masalah sendiri. Penjelasan itu menunjukan
bahwa secara umum kemampuan berpikir kreatif
dapat dikenali dengan memberikan tugas
membuat suatu masalah atau tugas pengajuan
masalah.

Dunlap (2001) menjelaskan bahwa pengajuan
masalah sedikit berbeda dengan pemecahan
masalah, tetapi masih merupakan suatu alat valid
untuk mengajarkan berpikir matematis. Moses
(dalam Dunlap, 2001) membicarakan berbagai
cara yang dapat mendorong berpikir kreatif siswa
menggunakan pengajuan masalah. Pertama,
memodifikasi masalah-masalah dari buku teks.
Kedua, menggunakan pertanyaan-pertanyaan
yang mempunyai jawaban ganda. Masalah yang
hanya mempunyai jawaban tunggal tidak
mendorong berpikir matematika dengan kreatif,
Pendidikan


Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 665
siswa hanya menerapkan algoritma yang sudah
diketahui.

Penelitian tentang berpikir kreatif dalam
matematika telah dilakukan Leung (1997) yang
melihat hubungan antara kreativitas verbal umum
(general verbal creativity) dengan pengajuan
masalah aritmetika. Penelitian bersifat kuantitatif
menunjukkan bahwa subjek yang mempunyai
kemampuan kreatif verbal lebih tinggi dalam
kefasihan cenderung lebih fasih juga dalam
pengajuan masalah dan subjek yang
fleksibilitasnya tinggi dalam kreativitas verbal
tidak pasti fleksibel dalam pengajuan masalah.
Dalam penelitian itu tugas pengajuan masalah
dipandang sebagai suatu tes berpikir kreatif,
seperti Balka (Leung, 1997) yang menskor tugas
pengajuan masalah menurut kefasihan,
fleksibilitas dan keasliannya.

Silver (1997) menjelaskan hubungan kreativitas
(produk berpikir kreatif) dengan pengajuan
masalah dan pemecahan masalah. Menurutnya
berdasar observasi, hubungan kreativitas terutama
tidak hanya pada pengajuan masalah sendiri tetapi
lebih kepada saling pengaruh antara pemecahan
masalah dan pengajuan masalah. Keduanya,
proses dan produk kegiatan itu dapat menentukan
sebuah tingkat kreativitas dengan jelas. Dengan
demikian, untuk melihat kemampuan atau tingkat
berpikir kreatif tidak cukup dari pengajuan
masalah saja, tetapi gabungan antara pemecahan
masalah dan pengajuan masalah. Oleh karena itu,
dalam pembelajaran keduanya perlu dimunculkan
secara bersama-sama, atau bergantian. Sedang
indikator untuk menilai kreativitas menggunakan
aspek kebaruan, kefasihan, dan fleksibilitas
(Siswono, 2007). Kefasihan dalam pemecahan
masalah mengacu pada kemampuan siswa
memberi jawaban masalah yang beragam dan
benar, sedang dalam pengajuan masalah mengacu
pada kemampuan siswa membuat masalah
sekaligus penyelesaiannya yang beragam dan
benar. Beberapa jawaban masalah dikatakan
beragam, bila jawaban-jawaban tampak berlainan
dan mengikuti pola tertentu, seperti jenis bangun
datarnya sama tetapi ukurannya berbeda. Dalam
pengajuan masalah, beberapa masalah dikatakan
beragam, bila masalah itu menggunakan konsep
yang sama dengan masalah sebelumnya tetapi
dengan atribut-atribut yang berbeda atau masalah
yang umum dikenal siswa setingkatnya. Misalkan
seorang siswa membuat persegipanjang dengan
ukuran berbeda, soal pertama menanyakan
keliling persegi panjang dan soal kedua
menanyakan luasnya. Fleksibilitas dalam
pemecahan masalah mengacu pada kemampuan
siswa memecahkan masalah dengan berbagai cara
yang berbeda. Fleksibilitas dalam pengajuan
masalah mengacu pada kemampuan siswa
mengajukan masalah yang mempunyai cara
penyelesaian berbeda-beda. Kebaruan dalam
pemecahan masalah mengacu pada kemampuan
siswa menjawab masalah dengan beberapa
jawaban yang berbeda-beda tetapi bernilai benar
atau satu jawaban yang tidak biasa dilakukan
oleh individu (siswa) pada tingkat
pengetahuannya. Beberapa jawaban dikatakan
berbeda, bila jawaban itu tampak berlainan dan
tidak mengikuti pola tertentu, seperti bangun datar
yang merupakan gabungan dari beberapa macam
bangun datar. Kebaruan dalam pengajuan masalah
mengacu pada kemampuan siswa mengajukan
suatu masalah yang berbeda dari masalah yang
diajukan sebelumnya. Dua masalah yang diajukan
berbeda bila konsep matematika atau konteks
yang digunakan berbeda atau tidak biasa dibuat
oleh siswa pada tingkat pengetahuannya.

Ciri-ciri pembelajaran matematika realistik sesuai
dan dilakukan pada pembelajaran yang
berorientasi pada pemecahan dan pengajuan
masalah. Ciri-ciri yang sesuai tersebut
ditunjukkan uraian di bawah ini:


PMRI: PEMBELAJARAN MATEMATIKA
REALISTIK YANG MENDORONG
KREATIVITAS SISWA

PMRI (Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia) merupakan salah satu inovasi
pembelajaran matematika di Indonesia. PMRI
mendasarkan pada teori pendidikan matematika
yang dikembangkan di Belanda yang dinamakan
Realistics Mathematics Educations (RME).
Kemudian dikembangkan dengan situasi dan
kondisi serta konteks di Indonesia, maka
ditambahkan kata Indonesia untuk memberi ciri
yang berbeda. Prinsip dan karakteristik dasar dari
PMRI tetap sama mendasarkan pada RME.

RME dikembangkan oleh Freudenthal Instituut,
Belanda dan koleganya IOWA. Proyek pertama
yang berhubungan dengan RME adalah proyek
Wiskobas oleh Wijdeveld dan Goffree. Bentuk
dari RME dikembangkan oleh Freudentahl pada
tahun 1977. Menurutnya, matematika harus
dihubungkan dengan kenyataan, berada dekat
dengan siswa dan relevan dengan kehidupan
masyarakat agar memiliki nilai manusiawi.
Pandangannya menekankan bahwa materi-materi
matematika harus dapat ditransmisikan sebagai
aktifitas manusia (human activity). Pendidikan
seharusnya memberikan kesempatan siswa untuk
re-invent (menemukan/menciptakan)
matematika melalui praktek (doing it). Dengan
demikian dalam pendidikan matematika,
matematika seharusnya tidak sebagai sistem yang
tertutup tetapi sebagai suatu aktivitas dalam
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 666
proses pematematikaan. Terdapat dua proses
pematematikaan, yaitu pematematikaan horisontal
dan vertikal (http://www.fi.uu.nl).
Pematematikaan horisontal adalah siswa dengan
pengetahuan yang dimilikinya (mathematical
tools) dapat mengorganisasikan dan memecahkan
masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sedang pematematikaan vertikal adalah proses
reorganisasi dalam sistem matematika itu sendiri,
sebagai contoh menemukan cara singkat
menemukan hubungan antara konsep-konsep dan
strategi-strategi, dan kemudian menerapkan
strategi-strategi itu. Singkatnya, pematematikaan
horisontal berkaitan dengan perubahan dunia
nyata menjadi simbol-simbol dalam matematika,
sedangkan pematematikaan vertikal adalah
pengubahan dari simbol-simbol ke simbol
matematika lainnya (moving within the world of
symbols). Meskipun perbedaan antara 2 tipe ini
menyolok, tetapi tidak berarti bahwa 2 tipe
tersebut terpisah sama sekali. Freudenthal
menekankan bahwa 2 tipe tersebut sama-sama
bernilai.

Pemerintah Belanda mereformasikan pendidikan
matematika dengan istilah realistic tidak hanya
berhubungan dengan dunia nyata saja, tetapi juga
menekankan pada masalah nyata yang dapat
dibayangkan ( to imagine). Kata to imagine
sama dengan zich Realise-ren dalam Bahasa
Belanda. Jadi penekanannya pada membuat
sesuatu masalah itu menjadi nyata dalam pikiran
siswa. Dengan demikian konsep-konsep yang
abstrak (formal), dapat saja sesuai dan menjadi
masalah siswa, selama konsep itu nyata berada
(dapat diterima oleh) pikiran siswa.

Penggunaan masalah nyata (context problem)
sangat signifikan dalam PMRI. Berbeda dengan
pembelajaran tradisional, yang menggunakan
pendekatan mekanistik, yang memuat masalah-
masalah matematika secara formal (naked
problems). Sedangkan jika menggunakan
masalah nyata, dalam pendekatan mekanistik,
sering digunakan sebagai penyimpulan dari proses
belajar. Fungsi masalah nyata hanya sebagai
materi aplikasi (penerapan) pemecahan masalah
nyata dan menerapkan apa yang telah dipelajari
sebelumnya dalam situasi yang terbatas.

Dalam PMRI, masalah nyata berfungsi sebagai
sumber dari proses belajar masalah nyata dan
situasi nyata, keduanya digunakan untuk
menunjukkan dan menerapkan konsep-konsep
matematika. Ketika siswa mengerjakan masalah-
masalah nyata mereka dapat mengembangkan ide-
ide/konsep-konsep matematika dan
pemahamanya. Pertama, mereka mengembangkan
strategi yang mengarah (dekat) dengan konteks.
Kemudian aspek-aspek dari situasi nyata tersebut
dapat menjadi lebih umum., artinya model atau
strategi tersebut dapat digunakan untuk
memecahkan masalah lain. Bahkan model
tersebut memberikan akses siswa menuju
pengetahuan matematika yang formal.

Untuk menjembatani antara tingkat informal dan
formal tersebut, model/strategi harus ditingkatkan
dari model of menjadi model for. Perbedaan
lain dari PMRI dan pendekatan tradisional adalah
pendekatan tradisional menfokuskan pada bagian
kecil materi, dan siswa diberikan prosedur yang
tetap untuk menyelesaikan latihan dan sering
individual. Pada PMRI, pembelajaran lebih luas
(kompleks) dan konsep-konsepnya bermakna.
Siswa diperlakukan sebagai partisipan yang aktif
dalam pembelajaran, sehingga dapat
mengembangkan ide-ide matematika. Kaitan
PMRI dengan pembelajaran matematika realistik
sekaligus mengembangkan kreativitas
ditunjukkan pada prinsip dan ciri dari PMRI
tersebut.

PMRI memiliki 5 karakteristik, yaitu:
1. Menggunakan konteks
Konteks adalah lingkungan keseharian siswa
yang nyata. Dapat juga sesuatu yang telah
dipahami siswa atau dapat dibayangkan
siswa. Belajar matematika adalah membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimiliki
siswa dengan yang akan dipelajarinya.
2. Menggunakan model
Model diarahkan pada model konkret,
meningkat ke abstrak atau model dari situasi
nyata atau model untuk arah abstrak.
Penggunaan model ini memberikan
kesempatan kepada siswa mengembangkan
penalaran maupun kreativitas.
3. Menggunakan kontribusi siswa
Kontribusi yang besar pada proses belajar
mengajar diharapkan dari kontsruksi peserta
didik sendiri yang mengarahkan mereka dari
metode informal mereka ke arah yang lebih
formal atau baku. Ciri ini juga mendorong
kreativitas maupun penalaran dan
kepribadian siswa untuk berani dan mau
berbagi pemikiran maupun pendapat dalam
menyelesaikan suatu masalah.
4. Interaktivitas
Dalam pembelajaran konstruktif
diperhatikan interaksi, negosisasi secara
eksplisit, intervensi, kooperasi dan evaluasi
sesama peserta didik, peserta didik-guru, dan
guru-lingkungannya. Proses belajar
mengajar berlangsung secara interaktif, dan
siswa menjadi fokus dari semua aktifitas di
kelas. Kondisi ini mengubah otoritas guru
yang semula sebagai satu-satunya pusat dan
sumber pengetahuan menjadi seorang
pembimbing. Guru harus melatih otoritas ini
Pendidikan


Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 667
dengan cara memilih kegiatan-kegiatan
instruksional yang akan dilaksanakan,
melaksanakan dan membimbing pelaksanaan
diskusi, dan menyeleksi kontribusi-
kontribusi yang diberikan siswa (untuk
dibahas secara klasikal). Dalam proses ini
pembelajaran matematika mengembangkan
aspek-aspek afektif, seperti demokrasi,
menghargai pendapat, antusias, aktif dan
berbagi-berdiskusi dengan teman lain
ataupin guru.
5. Terintegrasi dengan topik pembelajaran
lainnya
Dalam pembelajaran menggunakan
pendekatan holistik, artinya bahwa topik-
topik belajar dapat dikaitkan dan
diintegrasikan sehingga memunculkan
pemahaman suatu konsep atau operasi secara
terpadu. Hal ini memungkinkan efisiensi
dalam mengajarkan beberapa topik
pelajaran.

Apabila mencermati prinsip dan karakteristik
PMRI tersebut sebenarnya PMRI sudah
mengembangkan pembelajaran matematika
realistik dan kreativitas siswa. Kaitan prinsip dan
karakteristik PMRI dengan pembelajaran realistik
dapat dilihat di bawah ini:

Kaitan PMRI dengan Ciri Pembelajaran
Matematika Realistik

P1: Menemukan Kembali (Memunculkan aspek
kreativitas), terkait atau ditunjukkan dengan:
- Menempatkan siswa sebagai penemu
(inquirer) bukan hanya penerima fakta-fakta
dan prosedur-prosedur
- Memberi kesempatan siswa untuk saling
membantu dalam memahami masalah dan
pemecahannya yang lebih mendalam

P2: Fenomena Didaktik (Memunculkan aspek
kreativitas), terkait atau ditunjukkan dengan:
- Memberi kesempatan siswa untuk saling
membantu dalam memahami masalah dan
pemecahannya yang lebih mendalam
- Menunjukkan latar belakang sejarah bahwa
matematika sebagai suatu penemuan atau
usaha keras (endeavor) dari seorang manusia
- Menggunakan masalah-masalah yang
menarik dan pertanyaan terbuka (open-ended)
tidak hanya latihan-latihan

P3: Pengembangan Model Sendiri
(Memunculkan aspek kreativitas: kefasihan,
kebaruan, fleksibilitas, percaya diri, mandiri,
ingintahu), terkait atau ditunjukkan dengan:
- Belajar berbagai macam cara untuk
menyelesaikan masalah, tidak hanya dengan
pendekatan aljabar
- Membantu siswa mengembangkan sikap-
sikap percaya diri, mandiri, dan penasaran
(curiosity)

K1: Penggunaan Konteks (Fokus terhadap
masalah ), terkait atau ditunjukkan dengan:
- Menunjukkan latar belakang sejarah bahwa
matematika sebagai suatu penemuan atau
usaha keras (endeavor) dari seorang manusia
- Menggunakan masalah-masalah yang
menarik dan pertanyaan terbuka (open-ended)
tidak hanya latihan-latihan
- Mengembangkan suatu pemahaman dan
apresiasi terhadap ide-ide besar matematika
yang membentuk sejarah dan budaya
- Mengajarkan materi-materi yang dapat
digunakan dalam kehidupan sehari-hari,
seperti dalam sains, bisnis, ekonomi, atau
teknik
-
K2: Penggunaan Model (Memunculkan
orisionalitas, sensitivitas, fleksibilitas,
kefasihan), terkait atau ditunjukkan dengan:
- Menempatkan siswa sebagai penemu
(inquirer) bukan hanya penerima fakta-fakta
dan prosedur-prosedur
- Memberi kesempatan siswa untuk saling
membantu dalam memahami masalah dan
pemecahannya yang lebih mendalam
- Belajar berbagai macam cara untuk
menyelesaikan masalah, tidak hanya dengan
pendekatan aljabar
- Menggunakan berbagai teknik penilaian tidak
hanya menilai siswa berdasar pada
kemampuan mengingat prosedur-prosedur
saja
- Membantu siswa melihat matematika sebagai
studi terhadap pola-pola, termasuk aspek
keindahan dan kreativitas

K3: Penggunaan Kontribusi Siswa
(Memunculkan aspek kreativitas: kefasihan,
kebaruan, fleksibilitas, percaya diri, mandiri,
ingintahu, disiplin, tekun ), terkait atau
ditunjukkan dengan:
- Menempatkan siswa sebagai penemu
(inquirer) bukan hanya penerima fakta-fakta
dan prosedur-prosedur
- Memberi kesempatan siswa untuk saling
membantu dalam memahami masalah dan
pemecahannya yang lebih mendalam
- Belajar berbagai macam cara untuk
menyelesaikan masalah, tidak hanya dengan
pendekatan aljabar
- Menggunakan berbagai teknik penilaian tidak
hanya menilai siswa berdasar pada
kemampuan mengingat prosedur-prosedur
saja
Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 668
- Mengembangkan suatu pemahaman dan
apresiasi terhadap ide-ide besar matematika
yang membentuk sejarah dan budaya
- Membantu siswa melihat matematika sebagai
studi terhadap pola-pola, termasuk aspek
keindahan dan kreativitas
- Membantu siswa mengembangkan sikap-
sikap percaya diri, mandiri, dan penasaran
(curiosity)

K4: Interaktivitas (Memunculkan
toleransi,kerjasama), terkait atau ditunjukkan
dengan:
- Memberi kesempatan siswa untuk saling
membantu dalam memahami masalah dan
pemecahannya yang lebih mendalam
- Menggunakan berbagai teknik penilaian tidak
hanya menilai siswa berdasar pada
kemampuan mengingat prosedur-prosedur
saja

K5: Intertwining (Memunculkan fleksibilitas),
terkait atau ditunjukkan dengan:
- Menunjukkan latar belakang sejarah bahwa
matematika sebagai suatu penemuan atau
usaha keras (endeavor) dari seorang manusia
- Mengembangkan suatu pemahaman dan
apresiasi terhadap ide-ide besar matematika
yang membentuk sejarah dan budaya
- Mengajarkan materi-materi yang dapat
digunakan dalam kehidupan sehari-hari,
seperti dalam sains, bisnis, ekonomi, atau
teknik


PENUTUP

Penerapan pembelajaran matematika realistik
yang mengembangkan kreativitas siswa melalui
PMRI dapat dilakukan guru dengan
memperhatikan dan disesuaikan dengan kondisi
lingkungan siswa. Dalam penerapannya harus
dilakukan secara bertahap dengan penuh
kesabaran dan ketelatenan. Penerapan tersebut
jika bertujuan untuk menghasilkan siswa dengan
kemampuan komprehensif yang real, mensyarat
perubahan budaya guru yang selama ini sudah
mendarah daging. Guru dituntut kreativitasnya,
bersikap terbuka, kerja keras, tekun, sabar dan
iklas untuk memberi manfaat kepada siswa yang
sebesar-besarnya. PMRI diakui memberi manfaat
mendorong kreativitas, karena PMRI dianggap
sebagai suatu pendekatan pemecahan masalah
(Pehkonen, 1997). Oleh karena itu, PMRI dapat
digunakan untuk mencapai tujuan tersebut, selain
memang prinsip dan karakteristiknya yang sudah
sesuai. Sekarang tinggal melihat bagaimana
penerapan di kelas yang sebenarnya.

Sebaiknya kita ingat, sebaik apapun alat atau
kendaraan yang kita pakai, tetap tergantung pada
pelaku atau sopir yang memakai ataupun
mengarahkannya. Semoga tulisan ini dapat
menjadi wacana guru untuk meningkatkan mutu
proses pembelajaran..

DAFTAR PUSTAKA

[1] Anonim. tanpa tahun. Web-site Freudenthal
Institute. http://www.fi.uu.nl
[2] Bergqvist, Ewa. 2006. Mathematics and
Mathematics Education.Two Sides of the
Same Coin. Doctoral Thesis, Department of
Mathematicsand Mathematical statistics,
Umea University.
[3] Buletin PMRI dalam beberapa edisi
Penerbitan (Oktober 2003, Januari 2004,
Oktober 2004, Juni 2005, April 2007).
[4] Brown, Stephen I. 2002. Humanistic
Mathematics: Personal Evolution and
Excavations.
http://www2.hmc.edu/www_common/hmjn/b
rown.pdf
[5] Dunlop, James. 2001. Mathematical
Thinking. http://www.mste.uiuc.edu/courses/
ci431sp02/students /jdunlap/ WhitePaperII
Download 21 November 2003
[6] Evans, James R. 1991. Creative Thinking in
the Decision and Management Sciences.
Cincinnati: South-Western Publishing Co.
[7] Haglund, Roger. tanpa tahun. Using
Humanistic Content and Teaching Methods
to Motivate Students and Counteract
Negative Perceptions of Mathematics.
http://www2.hmc.edu/
www_common/hmjn/haglund.doc
[8] Haylock, Derek. 1997. Recognising
Mathematical Creativity in Schoolchildren.
http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/z
dm ZDM Volum 29 (June 1997) Number 3.
Electronic Edition ISSN 1615-679X.
Download 6 Agustus 2002
[9] Isaksen, Scott G. 2003. CPS: Linking
Creativity and Problem Solving..
www.cpsb.com. Download 22 Agustus 2004
[10] Kompas, Jumat, 28 Januari 2005
[11] Krutetskii, V.A. 1976. The Psychology of
Mathematical Abilities in Schoolchildren.
Chicago: The University of Chicago Press
[12] Leung, Shukkwan S. 1997. On the Role of
Creative Thinking in Problem posing.
http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/z
dm ZDM Volum 29 (June 1997) Number 3.
Electronic Edition ISSN 1615-679X.
Download 6 Agustus 2002



Pendidikan


Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 669
[13] Mann, Eric Louis. 2005. Mathematical
Creativity and School Mathematics:
Indicators of Mathematical Creativity in
Middle School Students. Dissertation of
Doctor of Philosophy, University of
Connecticut.
http://www.gifted.uconn.edu/siegle/
Dissertation/EricMann.pdf. Download 7 Mei
2007
[14] Munandar, S.C. Utami. 1999.
Mengembangkan Bakat dan KreativitasAnak
Sekolah. Petunjuk Bagi Para Guru dan
Orang Tua. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia
[15] Olson, Robert W. 1996. Seni Berpikir
Kreatif. Sebuah Pedoman Praktis.
(Terjemahan Alfonsus Samosir). Jakarta:
Penerbit Erlangga
[16] Pehkonen, Erkki 1997. The State-of-Art in
Mathematical Creativity.
http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/z
dm ZDM Volum 29 (June 1997) Number 3.
Electronic Edition ISSN 1615-679X.
Download 6 Agustus 2002
[17] Ruggiero, Vincent R. 1998. The Art of
Thinking. A Guide to Critical and Creative
Thought. New York: Longman, An Imprint
of Addison Wesley Longman, Inc.
[18] Silver, Edward A. 1997. Fostering Creativity
through Instruction Rich in Mathematical
Problem Solving and Thinking in Problem
Posing. http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/
publications/zdm ZDM Volum 29 (June
1997) Number 3. Electronic Edition ISSN
1615-679X. Download 6 Agustus 2002
[19] Solso, Robert L. 1995. Cognitive Psychology.
Needham Heights, MA: Allyn & Bacon
[20] Susilo, Frans. 2004. Matematika Humanistik.
Yogyakarta: Basis


Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 671
THE FORMULA OF VOLUME AND SURFACE AREA OF A SPHERE
THROUGH ABSTRACT MATHEMATICS USING PYTHAGORAS AND
SIMILARITY THEOREM

Warman
State Junior High School 1 Gandusari Blitar, East Java

warmanmomon@ymail.com


ABSTRAK

This paper discusses the finding of a formula of volume and surface area of a sphere with abstract mathematics using
Pythagoras and similarity theorem for high school students. The finding of a volume formula and surface area of a
sphere is actually simple. However, sometimes teachers explain a certain instructional material using a certain
formula to students without telling the story of how the formula is found. Some teachers explain directly to students
how to use the formula or give the formula using a simple theorem. For example they use a cone and hemisphere
(half-sphere) and the altitude of a cone is the same as the radius of a sphere. They express the volume of hemisphere
is equal twice the volume of a cone, or they use a cylinder with the altitude of which the same as the measure of
diameter of a sphere in such a way that the volume of cylinder is equal with the volume of three times of a
hemisphere (half-sphere).

This material needs to be developed in order that students, especially those with high achievement, are interested in
this material. Sometimes they do not believe that the volume of a half-sphere is equal twice the volume of a cone, or
the volume of cylinder is equal with the volume of three times of a hemi-sphere using measurement. Naturally we can
call for integral; however, they have not yet learned it. Therefore, we have to find another way on the basis of the
students ability or their learning experience. The writer finds the way to get the formula of volume and area of
sphere through abstract mathematics using Pythagoras and similarity theorem, and then this material is developed to
the volume of spherical cap without integral. This is a new theorem, because it is not yet discussed in the theorem
before.

Keywords: Volume, area, sphere, abstract, similarity.


1. INTRODUCTION

The material of volume and surface area of a
sphere is given to the third year students of Junior
High School in the first semester. This material
needs to be developed to another theorem in other
that students are interested in this material,
especially for the students of high achievement.

In general some teachers explain this material to
the students directly by giving formula of volume
and formula of surface area of a sphere and then
giving some examples. Sometimes the teachers
explain the material with real life mathematics.
They use a hemisphere (half-sphere) filled with
rice or flour or powder and then it is poured to
cylinder that the radius of which is equal to the
radius of a sphere, and the altitude of a cylinder is
equal to the diameter of a sphere. The cylinder
will be filled full with three times of a
hemisphere. It is traditional/primitive way. I want
to pin down students to abstract mathematics
based on their ability and experience.

I try to develop another theorem and I present
some other related materials such as: Pythagoras
theorem, similarity theorem, and then this
material is developed to the volume of spherical
cap without integral. This is a new theorem,
because it is not yet discussed in the theorem
before.

2. DISCUSSION

2.1 Real Life Mathematics ( Concrete
Theorem/The primitive way)

2.1.1 The First Alternative (Usually it is used by a
teacher in teaching)

The Students find formula of volume of a sphere
through real life mathematics. They prepare
plastic ball and cut it in to two equal parts. They
make a cylinder with the altitude of the cylinder
the same as the diameter of the plastic ball, and
the radius the of the base of cylinder the same as
the plastic ball. The hemisphere is filled with rice
or powder and then it is poured to the cylinder,
such that the volume of the cylinder is equal to the
volume of three times of a hemisphere (half-
sphere).

Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 672


Figure 1

Let the volume of a cylinder is V
1
, the volume of
a hemisphere is V
2
, and the volume of a sphere is
V, with measurement V
1
= 3V
2


V
1
= r
2
t t = 2r
= r
2
(2r)
= 2r
3

V
1
= 3V
2
V
2
=
1
/
3
V
1

=
1
/
3
(2r
3
)
=
2
/
3
r
3

V = 2V
2

= 2(
2
/
3
r
3
)
=
4
/
3
r
3


The Formula of volume of a Sphere:
V =
4
/
3
r
3


2.1.2 The Second Alternative (Usually it is used
by a teacher in teaching)

They prepare plastic ball and they cut it into two
equal parts. They make a cone with the altitude of
the cone is the same as the radius of a plastic ball,
and the radius of the base of the cone is the same
as the radius of a plastic ball. The cone is filled
with rice or powder and then it is poured to the
hemisphere, such that the volume of a hemisphere
is equal to the volume twice of a cone.


Figure 2

Let the volume of a cone is V
1
, the volume of a
hemisphere is V
2
, and the volume of a sphere is
V, with measurement, m V
2
= m 2V
1


V
1
=
1
/
3
r
2
t t = r
=
1
/
3
r
2
(r)
=
1
/
3
r
3


V
2
= 2V
1

= 2(
1
/
3
r
3
)
=
2
/
3
r
3


V = 2V
2

= 2(
2
/
3
r
3
)
=
4
/
3
r
3


The Formula of volume of a Sphere:
V =
4
/
3
r
3


2.1.3 Finding the formula of the surface area of
Sphere (Usually it is used by a teacher in
teaching)

The Students prepare plastic rope and a solid ball,
and on each of the lower and upper ends of the
ball are embedded with a nail. The total surface
area of the ball is turned with the rope. The center
of the plane is embedded with a nail and the rope
is turned such that the chord-winding form a
circle.


Figure 3
Chord-winding on a plastic ball


Figure 4
Chord-winding on a plane

The figure above is with measurement m r
1
= m
2r. The surface area of a plastic ball is equal the
area of a circle.

Let the surface area of a sphere is A, and the area
of a circle A
1
, then A = A
1.
Therefore:
A = A
1
= (r
1
)
2
= (2r) = .4r
2
= 4r
2


The Formula of surface area of a Sphere:
A = 4r
2





Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 673
2.2 Abstract Mathematics

2.2.1 Finding the volume of the sphere through
Integral way

This theory is impossible to be explained to
students of Junior High School, because they have
not yet learned integral.


Figure 5

The semicircle =
2

2
is revolved about
the x-axis to generate a sphere. We sketch the
sphere and a typical cross-section disk. The radius
of the disk is
=
2

2
.

Volume = (radius)
2


= (
2

2
)
2


= (
2

2
)
2


=
2


3
3



The volume of the sphere is therefore
V =
3
4
3
r


2.2.2 Finding the volume of the sphere through
Pythagoras and Similarity

In developing the theorem to determine the
volume of a sphere, it is necessary for us to find a
solid where every cross section of that solid has
an area that is equal to the area of the
corresponding cross section of the sphere. To do
this we work with half of the sphere rather than
the total one. Therefore, when the proof is
completed we will have to double the volume
found to determine the volume of the sphere.

To create the solid needed, we construct a right
circular cylinder where the radius of the base and
the altitude of the cylinder are both congruent to
the radius of the sphere. We then construct a right
circular cone whose base is the upper base of the
cylinder while its altitude is the altitude of the
cylinder.



Figure 6


It is the solid at the left above to which we are
referring.

Specifically, our objective is to prove that the
volume bounded between the cone and the
cylinder is equal to the volume of the hemisphere.
To do this we will show that the areas of the
shaded regions in the two solids are equal. Since
they represent sections formed by any plane
parallel to the plane containing the bases of the
two solids, we can conclude that the solids have
equal volumes.

For the shaded region of the hemisphere:
Since this is a circle its area will be,
A
1
= y
2

But, y
2
= r
2
x
2

Therefore A
1
= (r
2
x
2
)

For the shaded region of the solid at the left:
Since ABC ADE, x : AB = z : r
But, AB is the measure of the altitude of the
cylinder and hence it is the same as the measure
of the radius.
Therefore, x : r = z : r or x = z
The area of the shaded region at the left is,
A
2
= r
2
- z
2
or A
2
= (r
2

z
2
)
Since x = z
The area is, A
2
= (r
2
x
2
)
Thus, the areas of the shaded regions are equal
and hence the volumes of the solids are equal. But
the volume of the solid at the left is the difference
between the volume of the cylinder and that of the
cone. Hence,
V
h
= r
2
.r
1
/
3
r
2
.r
or V
h
= r
3

1
/
3
r
3
=
2
/
3
r
3

Therefore, the volume of the hemisphere is,
V
h
=
2
/
3
r
3


And, in turn, the volume of the sphere is,
V =
4
/
3
r
3


Theorem: The volume of a sphere can be
expressed by the formula,
V =
4
/
3
r
3

where r is the measure of the radius of the sphere.


Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 674
2.2.3 Finding the formula surface area of a
sphere with abstract mathematics.

Consider the possibility of cutting up a sphere as
shown in figure below. Each of the solids
resembles a pyramid except for the fact that the
base is region of the surface of a sphere rather
than a polygon.



Figure 7

How ever, should each of these regions be taken
small enough, then for all practical purposes the
areas of the bases of these solids could be
considered to be the same as the areas of the bases
of pyramids. By accepting this, we can find the
volume of the sphere by adding the volumes of all
the pyramids.
Hence,
Volume of sphere =
1
/
3
A
1
h
1
+
1
/
3
A
2
h
2
+
1
/
3
A
3
h
3

+ +
1
/
3
A
n
h
n


But the altitude of each of the pyramids is the
radius of the sphere.
Therefore,
V =
1
/
3
A
1
r +
1
/
3
A
2
r +
1
/
3
A
3
r + +
1
/
3
A
n
r
And by factoring,
V =
1
/
3
r (A
1
+ A
2
+ A
3
+ +A
n
)
However, (A
1
+ A
2
+ A
3
+ +A
n
) represents the
surface area of the sphere which we call A.
Hence,
V =
1
/
3
r A

The volume, though, can be replaced by
4
/
3
r
3
.
Thus,

4
/
3
r
3
=
1
/
3
r A
And finally we can conclude that,
A = 4r
2
r is the measure of the radius of the sphere.











2.2.4 Volume of spherical cap

1. The altitude of spherical cap less than of the
radius of the sphere slice (t < y)


Figure 8

The volume of spherical cap
V = r
2
t [
1
/
3
r
3

1
/
3
(r t)
3
]
= r
2
t -
1
/
3
r
3
+
1
/
3
(r t)
3

=
1
/
3
[

r
2
(3t r) + (r t)
3
]
=
1
/
3
t
2
(3r t)

We get a new formula of spherical cap:
V =
1
/
3
t
2
(3r t)

Example:

The altitude of spherical cap is 2 cm, and the
radius of spherical cap is 8 cm. Find the radius of
sphere and the volume of spherical cap.

Look at the figure below!

Figure 9

r
2
= (r 2)
2
+ 8
2

= r
2
4r + 4 + 64
4r = 68
r = 17 cm

V =
1
/
3
t
2
(3r t)
=
1
/
3
2
2
(3(17) 2)
=
1
/
3
4 (51 2)
=
1
/
3
(196)
= 65
1
/
3


Compare it with integral
V = (radius)
2

17
15

= (
2

2
)
2

17
15

= (
2

2
)
2

17
15

=
2


3
3

15
17

= 65
1
/
3




Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 675
2. The altitude of spherical cap more than of
the sphere slice radius ( t > y )


Figure 9

Volume of the below the spherical cap is equal
with the volume of a sphere - upper the spherical
cap.

V =
4
3

3

1
3

1
2
(3
1
)
=
4
3

3

1
3
(2 )
2
3 (2 )
=
4
3

1
3
(4
2
4 +
2
)( + )
=
4
3

1
3
(4
3
+4
2
4
2
4
2
+
2
+
3
)
=
2

1
3

3

=
1
3

2
(3 )

Example:

The altitude of spherical cap is 16 cm, and the
radius of the base of spherical cap is 8 cm. Find
the radius of a sphere and the volume of spherical
cap.
Look at the figure below!

Figure 10
CE = 16 cm, and CD = 8 cm, then CA = (2r 16)
cm, CO = (16-r) cm and OD = r = 10 cm.

V =
4
3

3

1
3

2
(3 )
=
4
3
10
3

1
3
4
2
(3(10) 4)
=
4
3
1000
1
3
16(30 4)
=
4
3
1000
1
3
416
= 1333
1
/
3
- 138
2
/
3

= 1194
2
/
3


Compared with integral
V = (
2

2
)
2

6
10

=
2


3
3

10
6

= 1194
2
/
3



3. CONCLUSION &
RECOMMENDATION


Conclusion:
1. The volume of spherical cap t < y is the
same as with t > y, i.e: V = 1/3 t
2
(3r t)
2. The Formula of sphere volume can be
determined with abstract mathematics
through Pythagoras and similarity theorem.
3. The solution of volume of spherical cap can
be found without integral

Recommendation
1. For further development, the material of
spherical cap can be learned by students of
Junior High School.
2. For high achievement students, the finding
formula of sphere volume can be explained
with abstract mathematics through
Pythagoras and similarity theorem.


4. REFERENCES

[1] Dewi Nurharini, and Tri Wahyuni. 2008.
Matematika Konsep dan Aplikasinya.
Surakarta: CV Pratama Mitra Aksara.
[2] George B. Thomas, JR.1988.Calculus and
Analytic Geometry. Massachusetts Institute of
Technology California: Addison-Wesley
Publishing Company.
[3] Harry Lewis. 1968. Geometry A
Contemporary Course. New Jersey: D. Van
Nostrand Company, Inc.
[4] Husein Tampomas. 2005.Matematika Untuk
SMP/MTs Kelas IX. Jakarta: Yudistira.
[5] Philip Gillett. 1984. Calculus and Analytic
Geometry. Lexington, Massachusetts
Toronto: D.C. Heath and Company.



Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 677
STUDI PREKURSOR GEMPA BUMI MENGGUNAKAN ANALISIS FRAKTAL
DATA GEOMAGNETIK ULTRA LOW FREQUENCY

Imran Hilman Mohammad
1
, Sarmoko Saroso
2
1
Jurusan Fisika, Universitas Padjadjaran
2
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

imran.hilman@ phys.unpad.ac.id


ABSTRAK

Indonesia dikenal sebagai salah satu kawasan tektonik aktif di dunia. Studi-studi mengenai peringatan dini (early
warning precursor) untuk memprediksi gempa bumi berskala besar terus dilakukan sebagai upaya mitigasi terhadap
bencana kegempaan. Dalam penelitian ini dilakukan pengamatan perubahan dimensi fraktal data geomagnetik Ultra
Low Frequency (ULF, <1 Hz) sebagai salah satu indikator prediksi kemunculan gempa bumi berskala besar. Data
geomagnetik dikumpulkan dari stasiun pengamat geomagnetik LAPAN di Kototabang, Sumatera Barat dalam periode
Maret 2004 April 2005. Penentuan dimensi fraktal gempa dilakukan dengan metode Higuchi dalam selang waktu
satu jam setelah tengah malam. Perubahan dimensi fraktal yang dihasilkan dari eksekusi tersebut kemudian
digunakan sebagai parameter untuk mengidentifikasi aktivitas litosfer bawah permukaan, terutama menjelang gempa
besar Aceh (26 Desember 2004, 9.2 SR) dan Nias (28 Maret 2005, 8.5 SR)
Keywords: Metode Higuchi, Ultra Low Frequency, medan geomagnetic


1. PENDAHULUAN
Indonesia dikenal sebagai salah satu kawasan
tektonik aktif di dunia. Keberadaan tiga lempeng
tektonik utama Eurasia, Pasifik dan Indo Australia
yang saling bertumbukan menjadikan Indonesia
sebagai salah satu kawasan dengan tingkat
kerawanan gempa bumi paling tinggi di dunia.
Banyaknya korban jiwa dan kerugian material
yang ditimbulkan gempa bumi setiap tahun
merupakan salah satu dampak buruk gempa bagi
kehidupan manusia. Berbagai metode untuk
memprediksi kemunculan gempa bumi berskala
besar terus dikembangkan sebagai upaya mitigasi
bencana alam yang efektif dan efisien. Salah satu
metode prediksi yang dikembangkan cukup
intensif saat ini adalah dengan menggunakan
analisis fraktal data geomagnetik.

Dalam banyak studi mengenai emisi seismogenik,
emisi Ultra Low Frequency (ULF, frekuensi lebih
kecil dari 1 Hz) merupakan kandidat terkuat
dalam prediksi gempa bumi jangka pendek
(Hayakawa dan Fujinawa 1994; Hayakawa 1999;
Hayakawa dan Molchanov 2003). Emisi ULF
dihasilkan oleh microcracks (Molchanov dan
Hayakawa, 1995, 1998), sehingga dapat dijadikan
prekursor dari general fracture suatu gempa
bumi. Studi mengenai analisis karakteristik
dimensi fraktal sinyal ULF untuk gempa bumi
berskala besar antara lain dilakukan Hayakawa et.
al (1999) dengan menggunakan metode FFT,
Smirnova et. al (2001) yang menganalisis gempa
Guam, Gotoh et. al (2003,2004) dan Ida dan
Hayakawa (2006). Gotoh et . al (2003, 2004)
melakukan analisis dimensi fraktal gempa Guam
tanggal 8 Agustus 1993 dengan menggunakan
data ULF terfilter, sedangkan Ida dan Hayakawa
(2006) menggunakan data full waveform ULF.
Hasil yang dikemukakan Ida dan Hayakawa
(2006) menunjukkan adanya peningkatan dimensi
fraktal secara signifikan beberapa saat sebelum
gempa bumi Guam terjadi pada 8 Agustus 1993.

Pada studi ini telah dilakukan analisis dimensi
fraktal data geomagnetik ULF yang dikumpulkan
stasiun pengamat Kototabang pada selang waktu
antara Maret 2004 April 2005. Penentuan
dimensi fraktal dilakukan dengan menggunakan
metode Higuchi pada data geomagnetik full
waveform. Analisis fraktal terutama dilakukan
sebagai prekursor menjelang gempa besar Aceh
(26 Desember 2004) dan Nias (28 Maret 2005).

2. ANALISIS FRAKTAL METODE
HIGUCHI
Ada beberapa metode untuk menghitung dimensi
fraktal dari data deret waktu yang telah
diusulkan: (1). Kemiringan spektra dalam spektra
frekuensi atau metode FFT (Hayakawa et. al,
1999), (2). Metode Burlaga-Klein (Burlaga dan
Klein, 1986), (3). Metode Higuchi (1988) (Ida
dan Hayakawa, 2006). Gotoh et. al (2003,2004)
membandingkan ketiga metode tersebut dan
menyimpulkan keunggulan metode Higuchi
dibandingkan dua metode yang lain. Dalam
penelitian ini akan digunakan metode Higuchi
untuk menghitung dimensi fraktal dari data
geomagnetik.

Penentuan dimensi fraktal (D) dari suatu data
deret waktu (dalam kasus ini adalah ULF data
dengan sampling 1 s) didasarkan pada estimasi
panjang kurva X(t). Deret waktu X(t) digunakan
untuk mendefinisikan deret waktu baru berikut.
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 678


Gambar 1. Seismisitas Indonesia periode 1/1/2004-1/1/2006


( ) k m k
k
m N
m X
k m X k m X m X k X
m
,... 2 , 1
),..., 2 ( ), ( ), ( ); (
~
=


+
+ +

Kemudian ditentukan panjang kurva untuk tiap
) (
~
k X
m
, ) (k L
m
( k m ,..., 2 , 1 = )
( )
k
k i m X ik m X
k L
k
m N
i
m

+ +
=


=1
) 1 ( (
) (


(1)

dengan
k
k
m N
N



=
1
merupakan faktor
normalisasi.

Selanjutnya ditentukan panjang kurva rata-rata
sebagai berikut:
( )
k
k L
k L
k
m
m
=
=
1
) ( (2)
Dimensi fraktal ditentukan berdasarkan hubungan
berikut (Ida dan Hayakawa, 2006):
( )
0
D
k k L

(3)

3. PENGOLAHAN DATA DAN
METODOLOGI ANALISIS
Data geomagnetik yang dikumpulkan stasiun
Kototabang diolah sebagai berikut. Mula-mula
dilakukan filtering pada data dengan
menggunakan filter median. Langkah ini perlu
untuk menghilangkan derau pada data Kototabang
yang cukup fluktuatif. Selanjutnya dilakukan
pemilihan periode waktu untuk melihat evolusi
dimensi fraktal menjelang gempa besar Aceh (26
desember 2004, 9.2 SR) dan Nias (28 Maret 2005,
8.5 SR). Periode yang dipilih adalah mulai Maret
2004 hingga April 2005. Eksekusi dilakukan
menggunakan metode Higuchi untuk selang
waktu satu jam pertama setelah tengah malam
(00.00 - 01.00 WIB). Pemilihan selang waktu ini
dilakukan dengan asumsi waktu setelah tengah
malam merupakan waktu yang paling bebas
gangguan. Hasil eksekusi ditampilkan dalam
bentuk kurva dimensi fraktal untuk komponen
medan geomagnetik H, D dan Z terhadap waktu.
Dimensi fraktal yang ditampilkan juga dirata-
ratakan per sebelas hari, yaitu perata-rataan
dimensi fraktal satu hari yang dijumlahkan
dengan lima hari sebelum dan lima hari
sesudahnya. Perubahan dimensi fraktal kemudian
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 679
dibandingkan dengan perubahan aktivitas
geomagnetik yang dinyatakan dalam indeks Kp
dan Dst, untuk melihat adanya gangguan akibat
pengaruh surya dan aktivitas terrestrial.
.
Gambar 2. Evolusi temporal dimensi fraktal medan H, D, dan Z. Hari terjadinya gempa ditandai dengan garis
vertikal dengan notasi 26/12 untuk gempa Aceh dan 28/3 untuk gempa Nias. Panel pertama dan kedua
mengindikasikan aktivitas geomagnetik yang dinyatakan dalam indeks Kp dan Dst. Panel ketiga, keempat dan
kelima memperlihatkan evolusi temporal dimensi fraktal medan H, D dan Z. Nilai harian dimensi fraktal dinyatakan
oleh garis tipis,nilai rata-rata + 5 hari dinyatakan oleh garis tebal, nilai rata-rata dimensi fraktal seluruh periode
dinyatakan oleh garis horizontal tegas sementara garis horizontal putus-putusmenyatakan sipangan baku seluruh
periode



Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 680
4. HASIL ANALISIS DAN DISKUSI
Dimensi fraktal untuk data geomagnetik medan
H, D dan Z ditunjukkan pada gambar 2. Aktivitas
geomagnetik dinyatakan dengan indeks Kp pada
panel teratas, diikuti indeks Dst dan perubahan
dimensi fraktal medan H, D dan Z terhadap
waktu. Nilai harian dimensi fraktal diplot pada
panel ketiga, keempat dan kelima gambar 2
dengan garis tipis. Garis tebal menyatakan nilai
rata-rata dimensi fraktal yang dihitung +5 hari
dari hari perhitungan, sehingga merupakan perata-
rataan sebelas hari (running average). Untuk
menunjukkan signifikansi statistik puncak-puncak
pada dimensi fraktal, nilai rata-rata dimensi
fraktal untuk keseluruhan interval juga dihitung,
dinyatakan dengan garis horizontal tegas, dan +
simpangan baku yang dinyatakan dengan garis
horizontal putus-putus. Kejadian gempa Aceh (26
Desember 2004) dan Nias (28 Maret 2005)
dinyatakan dengan garis vertikal tegas yang
ditandai dengan notasi 26/12 dan 28/3.

Puncak-puncak pada nilai Kp dan Dst
menunjukkan adanya anomali pada aktivitas
medan geomagnet. Dari data Kp dan Dst, terlihat
adanya beberapa puncak yang cukup signifikan
yang terjadi pada bulan April 2004, J uli 2004,
September 2004, November 2004 dan Januari
2005. Puncak tertinggi terjadi pada bulan
November 2004 ketika terjadi badai geomagnetik
yang cukup signifikan. Terihat pada saat
terjadinya anomali puncak pada data Kp dan Dst,
nilai dimensi fraktal pada ketiga komponen
cenderung menurun. Kecenderungan penurunan
ini akan dijadikan indikator adanya anomali
geomagnetik lain yang tidak diakibatkan aktivitas
matahari atau aktivitas terestrial lainnya.

Evolusi dimensi fraktal medan H, D dan Z
terhadap waktu ditunjukkan pada panel 3 hingga
panel 5 pada gambar 2. J eda pada dimensi fraktal
dikarenakan error teknis dari data Kototabang
antara 15-19 Oktober 2004. Pada periode awal
tahun 2004, yaitu sekitar Maret hingga Oktober,
terlihat kecenderungan evolusi running average
dimensi fraktal berada pada kisaran di atas nilai
rata-rata untuk seluruh interval. Setelah Oktober
2004, terutama setelah adanya jeda, terlihat
kecenderungan penurunan running average di
bawah nilai rata-rata. Hal yang perlu diperhatikan
adalah penyebab penurunan running average
setelah jeda. Pada periode November 2004
Maret 2005 indeks Kp dan Dst memperlihatkan
nilai yang relatif lebih berfluktuasi dibandingkan
periode awal 2004. Puncak anomali terjadi pada
bulan November 2004, dimana terdapat badai
dengan nilai anomali Kp-Dst tertinggi di seluruh
interval. Penurunan running average dimensi
fraktal pada periode ini diperkirakan berasal dari
anomali aktivitas geomagnet tersebut. Secara
umum bulan November 2004 merupakan periode
dengan gangguan tertinggi di seluruh interval,
sehingga perubahan anomali dimensi fraktal pada
periode mendekati gempa besar Aceh 26
Desember 2004 kurang teramati. Meski
demikian, terdapat suatu perubahan yang menarik
pada nilai running average dimensi fraktal medan
H, D dan Z pada hari-hari awal Desember 2004.
Terdapat suatu minima yang diikuti peningkatan
nilai running average yang mencapai suatu
maksima pada tanggal 26 Desember 2004, dimana
fluktuasi nilai Kp dan Dst lumayan stabil.

Untuk periode awal 2005, yaitu sekitar
pertengahan J anuari hingga April 2005, aktivitas
geomagnetik relatif lebih tenang. Pada periode ini
terjadi penurunan running average hingga
mencapai minima pada awal Maret 2005 diikuti
kenaikan hingga mencapai suatu maksima,
kemudian menurun kembali. Running average
untuk medan H memperlihatkan penuunan dan
peningkatan yang paling signifikan dibanding
medan D dan Z. Nilai Kp dan Dst relatif cukup
stabil, sehingga evolusi dimensi fraktal pada
periode ini cukup signifikan untuk menandai
perubahan nonlinear litosfer menjelang terjadinya
gempa besar Nias 2005.

Studi yang dilakukan Ida dan Hayakawa (2006)
untuk menganalisis evolusi dimensi fraktal
menjelang gempa besar Guam 8 Agustus 1993
(magnitude 8.2 SR) menunjukkan adanya osilasi
running average dengan kecenderungan naik.
Terdapat lima maksima yang terjadi pada 99, 75,
52, 21, dan 9 hari menjelang gempa Guam.
Evolusi dimensi fraktal yang teramati di stasiun
Kototabang memperlihatkan adanya osilasi yang
cukup signifikan pada periode awal 2004 sebelum
terjadi badai geomagnet November 2004. Nilai
maksima-minima yang cukup tajam terjadi pada
periode tenang Mei-J uli 2004 dan September-
November 2004, dengan medan H
memperlihatkan perubahan yang paling
signifikan. Osilasi dimensi fraktal pada periode
tenang ini diperkirakan berasal dari dinamika
litosfer, sebagai prekursor jangka panjang
menjelang gempa besar Aceh dan Nias. Selain itu
perlu juga diperhatikan koordinat stasiun
pengamat relatif terhadap episenter gempa. Pada
pengamatan gempa Guam, stasiun pengamat ULF
berada pada jarak 65 km dari episenter, sedangkan
pada pengamatan gempa Aceh dan Nias, stasiun
pengamat Kototabang berada pada jarak 439 km
dari Nias dan 620 km dari Aceh. J arak yang jauh
cukup berpengaruh pada kekuatan sinyal anomali
akibat aktivitas litosfer yang teramati pada stasiun
pengamat.



Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 681
KESIMPULAN
Studi pengamatan evolusi dimensi fraktal
menjelang gempa besar Aceh dan Nias
memperlihatkan adanya perubahan dimensi
fraktal yang cukup signifikan beberapa saat
sebelum terjadinya gempa. Aktivitas
geomagnetic yang relatif stabil pada periode
tenang mengindikasikan perubahan nilai dimensi
fraktal akibat anomali yang dihasilkan aktivitas
non linier litosfer. Keberadaan stasiun pengamat
yang relatif cukup jauh dari episenter gempa
mengakibatkan menurunnya kekuatan sinyal
anmali akibat aktivitas litosfer. Dibutuhkan
stasiun pengamat yang cukup dekat terhadap
sumber gempa (dalam radius 100 km) untuk
memperoleh hasil yang lebih baik.


UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini didanai program penelitian In House
PUSFATSAINSA LAPAN 2008. Data
geomagnetik Kototabang diperoleh berkat
kerjasama LAPAN dengan STELAB Universitas
Nagoya, J epang. Data indeks Kp dan Dst
diperoleh dari WDC C2 Universitas Kyoto,
J epang.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Gotoh, K., Hayakawa, M., Smirnova, N.A.,
Fraktal Analysis of the ULF Geomagnetic
Data Obtained at Izu Peninsula, Japan in
Relation to the Nearby Earthquake Swarm of
June August 2000. Natural Hazards and
Earth System Sciences (2003), 3: 229-236
[2] Gotoh, K., Hayakawa, M., Smirnova, N.A.,
and Hattori, K. Fraktal Analysis of
Seismogenic ULF Emissions. Physics and
Chemistry of the Earth 29, 419-424, 2004.
[3] Hayakawa, M., Itoh, T., and Smirnova, N.
Fraktal Analysis of ULF geomagnetic data
associated with the Guam earthquake o 8
August 1993, Geophys. Res. Lett., 26, 2797-
2800, 1999.
[4] Higuchi, T. Approach to an irregular time
on the basis of fractal theory, Physica D, 31,
277 283, 1988.
[5] Ida, Y., Hayakawa, M., Adalev, A., and
Gotoh, K. Multifraktal Analysis for the ULF
Geomagnetic Data During the 1993 Guam
Earthquake. Nonlinear Processes in
Geophysics, 12:157-162, 2005.
[6] Ida, Y and Hayakawa, M. Fraktal Analysis
for the ULF Data During the 1993 Guam
Earthquake to study Prefacture Critically,
Nonlinear Processes in Geophysics, 13, 409-
412, 2006.












Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 683
VALIDASI DATA TEC GPS WATUKOSEK MENGGUNAKAN DATA foF2
TANJUNG SARI, SUMEDANG.

Mumen Tarigan dan Buldan Muslim
Peneliti bidang Ionosfer dan telekomunikasi, Pusfatsainsa Lapan, Bandung, 40173

momentarigan@yahoo.com


ABSTRAK

Ionosfer yang merupakan daerah atmosfer atas terionisasi, dimana elektron elektron bebasnya didominasi pada
ketinggian sekitar 50 sampai dengan ketinggian 1000 km, dapat berpengaruh terhadap perambatan gelombang
elektromagnetik pada frekuensi tinggi dan navigasi. Ionosfer dapat dibagi menjadi 4 daerah yaitu daerah D, E, F (F1
dan F2). Secara pendekatan ketinggian : Daerah D terletak pada ketinggian sekitar 50 90 km, daerah E antara 90
140 km, daerah F1 antara 140 210 km dan daerah F2 diatas 210 km. Frekuensi kritis lapisan F2 (foF2) adalah
frekuensi maksimum gelombang radio yang dapat dipantulkan secara tegak lurus oleh ionosfer dilapisan F2. Adapun
foF2 berhubungan linier dengan kerapatan elektron. Total electron content (TEC) ionosfer adalah jumlah kandungan
elektron total dalam satu silinder dengan luas penampang 1 meter2 dapat diamati dengan GPS ( Global Positioning
System). Hubungan antara foF2 dan TEC dapat digunakan untuk mengevaluasi data TEC pada suatu daerah
pengamatan tertentu. Adapun data foF2 yang digunakan dalam tulisan ini berasal dari stasiun pengamat ionosfer di
Tanjung Sari Sumedang, J awa Barat (6.90 LS : 107.80 BT), bulan Maret, J uni dan Desember 2008.
Dengan menggunakan model hubungan kuadrat antara foF2 dan TEC, yang telah diuji dengan data keluaran model
IRI (International Reference International) 2007, dengan rata rata simpangan relatif IRI (harga TEC perhitungan
TEC keluaran IRI) dibawah 15 %, diperoleh harga simpangan relatif TEC pengamatan GPS Watukosek terhadap
TEC Tanjungsari hasil perhitungan lebih besar dari 200 %.

Kata Kunci : Ionosfer, foF2 dan TEC


1. PENDAHULUAN
Dalam menentukan profil kerapatan electron
lapisan ionosfer dapat dibagi menjadi 2 lapisan,
yaitu lapisan bagian bawah (bottom side) dan
bagian atas (top side) ionosfer (Reinhat Leitinger
et.al, 2005). Bagian bawah ionosfer, yang
merupakan suatu plasma, yang mengalami
ionisasi oleh radiasi matahari, yaitu perubahan
atom atau molekul menjadi ion, yang mayoritas
merentang dari ketinggian sekitar 50 km hingga
1000 km, dapat dibagi menjadi 4 daerah yaitu
daerah D, E, F (F1 dan F2). Daerah D terletak
pada ketinggian sekitar 50 90 km, daerah E
antara 90 140 km, daerah F1 antara 140 210
km dan daerah F2 diatas 210 km. Setiap lapisan
pada dasarnya dapat menjadi lapisan pemantul
terhadap gelombang radio. Frekuensi maksimum
yang dapat dipantulkan oleh suatu lapisan
ionosfer disebut dengan frekuensi kritis.
Frekuensi kritis lapisan F2 (foF2) adalah
frekuensi maksimum gelombang radio yang dapat
dipantulkan secara tegak lurus oleh ionosfer
dilapisan F2. Secara teori, frekuensi kritis lapisan
ionosfer berbanding lurus dengan kerapatan
elektronnya, melalui hubungan fc : Nm =fc2 /
80.6, dengan Nm adalah jumlah kerapatan
electron maksimum yang dinyatakan dalam
elektrron per meter pangkat dua dan fc dalam Hz.
Elekton-elektron bebas di ionosfer ini akan
berpengaruh pada sinyal GPS yang melaluinya.
Pengaruh ini berupa perlambatan kecepatan sinyal
kode GPS saat menjalar melalui ionosfer sehingga
waktu propagasi dari satelit sampai penerima GPS
akan mendapat tambahan waktu yang tergantung
pada total electron content (TEC) ionosfer dan
frekuensi sinyal GPS yang digunakan. TEC
adalah jumlah elektron dalam kolom dengan luas
penampang 1m
2
sepanjang lintasan antara dua titik
(point) yang dinyatakan dalam satuan TECU
(TEC Unit) di mana 1 TECU sebesar 10
16

elektron/m
2
(Abdullah M, 2009). Indonesia
sendiri berada pada lintang rendah dimana
ionosfer yang membentang diatas wilayah kita
memiliki keunikan karena ionosfer wilayah
Indonesia terletak di puncak anomali ionisasi
lintang rendah dan berapa di atas kepulauan yang
merupakan daerah konveksi paling aktif di dunia
(Fukao, 2004).
Buldan dkk, telah mengembangkan model
sederhana ionosfer lintang rendah Indonesia untuk
parameter foF2 dari data ionosonda Darwin,
Vanimo, Singapura dan Manila. Model tersebut
terus divalidasi dan dikembangkan baik dari
jumlah output maupun akurasi model dengan
menambahkan data pengamatan ionosfer dari
SPD Tanjungsari). Salah satu pengembangan
model MSILRI adalah pemodelan hubungan foF2
MSILRI dengan TEC GPS BAKO. Model
hubungan foF2 dan TEC tersebut dapat digunakan
untuk pemodelan foF2 dari model TEC regional
Indonesia near real time ( Buldan, 2009).
Model IRI ( International Reference Ionosphere )
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 684
2007, merupakan model dengan keluaran,
diantaranya berupa foF2 dan TEC dengan
masukan lintang (-90 sampai 90 derajat )dan bujur
( 0 sampai dengan 360 derajat ) pada suatu waktu
(tahun, bulan dan tanggal) tertentu yang ditinjau.
Software Iri dapat diperoleh 2007 diperoleh dari
web (http://omniweb.gsfc.nasa.gov/vitmo/iri).
Makalah ini memaparkan tentang validasi data
TEC GPS Watukosek menggunakan data foF2
Tanjung sari, Sumedang, hasil dan
pembahasannya yang meliputi perbandingan
antara TEC hasil keluaran IRI 2007, hasil
perhitungan TEC dari keluaran foF2 IRI dan
Tanjungsari dengan menggunakan model
hubungan kuadrat antara foF2 dan TEC, serta
hasil TEC meter.

2. DATA DAN METODOLOGI
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah
data foF2 Tanjung Sari dan TEC Meter
Watukosek, bulan Maret, Juni dan Desember
tahun 2008. Penggunaan data ini dilakukan
berkaitan dengan posisi matahari yang ekstrim,
dimana posisi matahari pada bulan maret berada
di ekuator atau garis khatulistiwa bumi, J uni
posisi matahari berada di belahan paling utara
yaitu pada 23.5 derajat lintang utara dan
Desember matahari berada dibelahan paling
selatan yaitu 23.5 derajat lintang selatan.
Berkaitan dengan tujuan dari penulisan makalah
ini adalah untuk memvalidasi data TEC meter
dari Watukosek dengan menggunakan data foF2
Tanjung Sari, hal yang ingin ditinjau adalah data
TEC meter GPS yang menyatakan kondisi TEC
vertikal di Tanjung sari.
Telah diperoleh hubungan antara foF2 dan TEC
( Buldan, 2009) :

TEC aR b F f
o
) 12 (
2
+ = (2-1)

Atau dapat ditulis:
12
2
2
aR b
F f
TEC
o
+
= (2-2)
Dengan,
a dan b adalah konstanta, yang mempunyai harga
tertentu untuk setiap bulan.
R12 =Smoothed monthly mean sunspot.
Harga a, b dan R12 untuk bulan Maret, Juni dan
Desember 2008 ditunjukkan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Harga a, b dan R12 pada Maret, Juni
dan Desember 2008
Bulan

a b R12
Maret -1.10E-02 3.49E+00 3.30
J uni -7.93E-03 3.07E+00 3.30
Desember -4.76E-03 3.16E+00 1.70
Adapun langkah yang dilakukan, pertama tama
adalah menjalankan software IRI 2007 untuk
memperoleh harga foF2 dan TEC, dengan
masukan Lintang dan Bujur posisi Tanjung Sari
pada bulan Maret, J uni dan Desember tahun 2008
pada tanggal dan jam tertentu. Untuk mengetahui
apakah TEC hasil keluaran IRI 2007 dapat
dihubungkan dengan foF2 melalui persamaan
(2.2), harga foF2 setiap jam ( jam 00 23 LT),
hasil keluaran IRI dimasukkan kepersamaan (2.2)
untuk memperoleh harga TEC setiap jam pada
bulan dan tahun tertentu. Hasil perhitungan TEC
tersebut kemudian dibandingkan dengan keluaran
TEC IRI 2007.
Dalam membandingkan antara TEC IRI hasil
perhitungan dan keluaran TEC model IRI,
dihitung korelasi dengan menggunakan
persamaan (2.3)

Korelasi antar dua parameter (Sudjana, M.A,
1992) TEC dapat dinyatakan sebagai :

( )( )
( ) { } ( ) { }




=
2
2
2
2
i i i i
i i i i
y y n x x n
y x y x n
r (2-3)

Dengan :
X
i
adalah TEC model,
Y
i
adalah TEC pengamatan atau perhitungan,
n jumlah data.

dan simpangan simpangan relatif TEC (TEC
perhitungan TEC IRI) setiap jam (mulai jam 0.1
sampai dengan jam 23.1) dalam persen dengan
persamaan (2-4).

Simpangan relatif (%) :

( ) ( )
( )
% 100
.
. .
x
Mod TEC
Mod TEC Per TEC
S

= (2-4)


Selanjutnya dihitung harga rata rata simpangan
harian dari TEC dengan menggunakan persamaan
(2-5).

Rata rata simpangan (%) :

n
PS
n
i
i
RS

=
=
1
____
(2-5)
Dengan,
S adalah simpangan relatif,
__
RS adalah rata rata simpangan dalam persen,
n adalah jumlah data dalam 1 hari.
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 685
Harga korelasi dan simpangan relatif yang
diperoleh selanjutnya digunakan menjadi acuan
apakah pada saat tersebut hubungan antara TEC
dan foF2 dari persamaan (2.2) dapat dipakai
untuk menghitung TEC dengan menggunakan
data pengamatan foF2 Tanjung sari. Hasil
perhitungan TEC dengan menggunakan data
pengamatan foF2 Tanjung Sari selanjutnya
dibandingkan dengan data TEC hasil TEC meter
GPS Watukosek pada waktu sama. Lokasi
pengamatan TEC yang diambil adalah lokasi yang
terdekat dengan tanjung sari. Hasil TEC yang
diperoleh dari GPS kemudian divalidasi dengan
TEC tanjung sari yang diperoleh dari Tanjung
sari, dengan menggunakan korelasi dan
simpangan relatif antara kedua TEC tersebut
(TEC tanjung Sari dan Watukosek)


3. HASIL DAN DISKUSI
Dengan memasukkan harga foF2, hasil running
model IRI 2007, pada lokasi Tanjung Sari, untuk
setiap jam (jam 0.1 sampai dengan jam 23.1 LT)
pada tanggal 1 Maret 2008, pada persamaan 2
diperoleh hasil bahwa pola TEC hasil
perhitungan mempunyai pola yang sama dengan
pola TEC hasil model IRI 2007 (gambar 1a)
dengan koefisien korelasi sebesar 1 dan
persentase (%) rata rata simpangan relatif harian
sebesar 10.7 (Tabel 3.1).

Tabel 3.1. Koefisien korelasi dan Rata rata
simpangan antara TEC hasil perhitungan dan TEC
keluaran IRI, bulan Maret, J uni dan Desember
2008.

Tanggal
Koefisien
Korelasi

Rata rata
Simpangan
(%)
1 Maret 1.00 10.7
10 Maret 1.00 10.1
15 Maret 1.00 9.7
30 Maret 0.98 14.5
8 Juni 1.00 6.9
9 Juni 1.00 7.3
20 J uni 1.00 6.3
30 J uni 1.00 7.0
1 Desember 1.00 5.8
10 Desesember 1.00 6.2
15 Desember 1.00 6.6
30 Desember 1.00 7.3

Hasil ini selanjutnya digunakan menjadi dasar
untuk menghitung TEC Tanjung Sari dengan
menggunakan persamaan 2.2. Adapun hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa pola TEC
Tanjungsari menunjukkan kemiripan pola dengan
TEC IRI (gambar 3.1a), dimana koefisien
korelasinya sebesar 0.82 (tabel 3.2). Walaupun
harga TEC Watukosek lebih besar dengan TEC
Tanjungsari, dengan persentase rata rata
simpangan relatif cukup besar yaitu 497.5 %
(tabel 3.2).

Tabel 3.2. Koefisien korelasi : antara TEC hasil
model IRI dan TEC Tj. Sari dan juga antara TEC
Watukosek dan TEC Tj.Sari serta rata rata
simpangan antara Watukosek dan Tj. Sari, bulan
Maret, Juni dan Desember 2008.



Tanggal
Koefisien
Korelasi TEC



Rata rata
Simp. (%) IRI
dan
Tj.Sari
Wtks
Dan
Tj. Sari
1 Maret 0.82 0.85 497.5
10 Maret 0.94 0.85 439.9
15 Maret 0.96 0.74 397.6
30 Maret 0.88 0.85 370.9
8 Juni 0.90 0.54 496.2
9 Juni 0.84 0.42 468.1
20 J uni 0.85 0.72 562.4
30 J uni 0.81 0.56 855.5
1 Des. 0.88 0.56 362.8
10 Des. 0.94 0.65 478.7
15 Des. 0.84 0.79 251.7
30 Des. 0.79 0.77 292.9
Diperoleh bahwa nilai minimum TEC Tanjung
sari berada pada rentang 1.39 TECU (gambar
3.1d) hingga 2.18 TECU (tabel 3.3 dan gambar
3.1c) dengan waktu kejadian dari jam 0.1 hingga
jam 5.1 LT. Hal tersebut diakibatkan oleh
terjadinya proses rekombinasi sehingga elektron
elektron bebas menjadi berkurang yang pada
ahirnya menurunkan harga TEC. Harga
maksimum dan minimum TEC Tanjungsari dari
hasil perhitungan dan dari TEC meter Watukosek
Maret, Juni dan Desember 2008 ditunjukkan pada
tabel 3.3

Tabel 3.3. Harga TEC mimimum dan Maksimum
dari Tj. Sari yang diperoleh dari perhitungan dan
TEC meter Watukosek.

Tanggal

TEC Tj. Sari,
Perhitungan
(TECU)

TEC Meter
Wtk
(TECU)
Min Max Min Max
1 Maret 1.66 42.08 14.2 79.9
10 Maret 1.48 51.65 13.83 80.26
15 Maret 2.18 48.67 16.63 79.66
30 Maret 1.39 64.86 19.27 80.50
8 Juni 2.22 13.84 10.52 55.64
9 Juni 1.33 30.92 15.13 66.53
20 J uni 1.04 42.18 13.74 53.14
30 J uni 1.42 44.22 14.44 70.98
1 Desember 2.02 31.80 18.09 67.05
10 Desesember 1.28 33.67 19.80 62.87
15 Desember 2.71 38.26 19.14 64.24
30 Desember 1.55 25.82 12.45 52.23
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 686
Harga maksimum TEC pada rentang 42.08 TECU
(tabel 3.3 dan gambar 3.1a) hingga 64.86 TECU
(tabel 3.3 dan gamba 3.1d) yang terjadi pada
rentang waktu jam 13 sampai dengan jam 15 LT,
merupakan hasil proses ionisasi oleh sinar
matahari khususnya sinar ultraviolet pada saat
tersebut, sehingga meningkatkan jumlah elektron
yang mengakibatkan kenaikan harga TEC.

(3.1a)


(3.1b)
(3.1c)


(3.1d)


Gambar 3.1 : TEC hasil keluaran IRI 2007, IRI
perhitungan , Tanjung Sari dan GPS Watukosek
pada tanggal (a) 1, (b) 10, (c) 15 dan (d) 30
Maret tahun 2008.

TEC hasil model IRI, perhitungan TEC dari foF2
IRI dan Tanjungsari serta data TEC hasil TEC
meter bulan Juni ditunjukkan pada gambar 3.2
(gambar 3.2a-3.2d). Pada tanggal 8, 9, 20 dan 30
J uni 2008 tampak bahwa koefisien korelasi
antara TEC IRI dan Tanjungsari cukup besar yaitu
atara 0.81 pada tanggal 30 Juni hingga 0.90 pada
TEC hasi l IRI, IRI Perhi tungan, Tj . Sari Perhi tungan dan GPS
Watukosek, 1 Maret 2008
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0.1 2.1 4.1 6.1 8.1 10.1 12.1 14.1 16.1 18.1 20.1 22.1
Waktu ( J am)
T
E
C

(
T
E
C
U
)
TEC IRI 07
TEC IRI perhitungan
TEC Tj. Sari Perhitungan
TEC GPS WTK
TEC hasi l IRI, IRI Perhi tungan, Tj . Sari Perhi tungan dan
GPS Watukosek, 10 Maret 2008
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0.1 2.1 4.1 6.1 8.1 10.1 12.1 14.1 16.1 18.1 20.1 22.1
Waktu ( J am )
T
E
C

(
T
E
C
U
)
TEC IRI 07
TEC IRI perhitungan
TEC Tj.Sari Perhitungan
TEC GPS WTK
TEC hasi l IRI, IRI Perhi tungan, TJ. Sari Perhi tungan dan GPS
Watukosek, 15 Maret 2008
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0.1 2.1 4.1 6.1 8.1 10.1 12.1 14.1 16.1 18.1 20.1 22.1
Waktu ( J am)
T
E
C
(
T
E
C
U
)
TEC IRI 07
TEC IRI perhitungan
TEC Tj. Sari Perhitungan
TEC GPS WTK
TEC hasil IRI, IRI Perhitungan, Tj Sari Perhitungan
dan GPS Watukosek, 30 Maret 2008
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0.1 2.1 4.1 6.1 8.1 10.1 12.1 14.1 16.1 18.1 20.1 22.1
Waktu (j am)
T
E
C

(
T
E
C
U
)
TEC IRI 07
TEC IRI perhitungan
TEC Tj. Sari Perhitungan
TEC GPS WTK
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 687
tanggal 8 Juni. Koefiien korelasi antara TEC hasil
TEC meter Watukosek dan TEC Tanjung sari
berkisar antara 0.5 hingga 0.7, kecuali pada
tanggal 9 Juni hanya 0.42 (tabel 3.2).

(3.2a)



(3.2b)

(3.2c)




(3.2d)



Gambar 3.2. TEC hasil keluaran IRI 2007, IRI
perhitungan , Tanjung Sari dan GPS Watukosek
pada tanggal (a) 8, (b) 9 (c) 20 dan 30 Juni
tahun 2008.

Pola TEC yang mirip tanggal 1, 10, 15 dan 30
Desember secara berurutan tampak pada gambar
(3.3a), (3.3b), (3.3c) dan gambar 3d, dengan nilai
TEC hasil IRI, IRI Perhitungan, Tj. Sari Perhitungan dan GPS Watukosek, 8 Juni
2008
0
10
20
30
40
50
60
0.1 2.1 4.1 6.1 8.1 10.1 12.1 14.1 16.1 18.1 20.1 22.1
Waktu (J am)
T
E
C

(
T
E
C
U
)
TEC IRI 07
TEC IRI perhitungan
TEC Tj. Sari Perhitungan
TEC GPS WTK
TEChasil IRI, IRI Perhitungan, TJ. sari Perhitungan dan GPS Watukosek, 9 Juni 2008
0
10
20
30
40
50
60
70
0.1 2.1 4.1 6.1 8.1 10.1 12.1 14.1 16.1 18.1 20.1 22.1
Waktu( jam)
T
E
C
(
T
E
C
U
)
TECIRI 07
TECIRI perhitungan
TECTj. Sari Perhitungan
TECGPSWTK
TEC hasil IRI, IRI perhitungan, Tj. Sari perhitungan dan GPS
Watukosek, 20 Juni 2008
0
10
20
30
40
50
60
0.1 2.1 4.1 6.1 8.1 10.1 12.1 14.1 16.1 18.1 20.1 22.1
Waktu ( j am)
T
E
C
(
T
E
C
U
)
TEC IRI 07
TEC IRI per hit ungan
TEC Tj. Sar i Per hit ungan
TEC GPS WTK
TEC hasil IRI, IRI perhitungan, Tj Sariperhitungan dan GPS
Watukosek, 30 Juni 2008
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0.1 2.1 4.1 6.1 8.1 10.1 12.1 14.1 16.1 18.1 20.1 22.1
Waktu (j am)
T
E
C
(
T
E
C
U
)
TEC IRI 07
TEC IRI perhi tungan
TEC Tj . Sari
Perhi tungan
TEC GPS WTK
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 688
koefisien korelasi antara 0.56 yang terjadi pada
tanggal 1 Desember dan 0.79 pada tanggal 15
Desember 2008. J uda diperoleh rata rata
simpangan relatif antara 292.92 % pada tanggal
30 desember dan 478.70 % pada tanggal 10
desember 2008.
Secara keseluruhan data TEC yang dihitung
dengan memasukkan harga foF2 setiap jam dari
hasil IRI 2007, ke hubungan kuadrat foF2 dan
TEC pada persamaan (2.2) , menunjukkan pola
yang sama pada seluruh bulan data yang ditinjau
(Maret, Juni dan September 2008). Hal tersebut
(kesamaan pola) dapat terlihat dari harga
koefisien sebesar 1, kecuali pada tanggal 30 Maret
adalah 0.98. Dan juga diperoleh harga rata rata
simpangan relatifnya, kurang dari 15 % sepanjang
data yang ditinjau (tabel 2.2).

(3.3a)


(3.3b)

(3.3c)



(3.3d)


Gambar 3.3. TEC hasil keluaran IRI 2007, IRI
perhitungan , Tanjung Sari dan GPS Watukosek
pada tanggal (a) 1, (b) 10, 15 dan 30 Desember,
tahun 2008.







TEC hasi l IRI, IRI perhi tungan, Tj . Sari Perhi tungan dan
GPS Watukosek, 1 Desember 2008
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0.1 2.1 4.1 6.1 8.1 10.1 12.1 14.1 16.1 18.1 20.1 22.1
Waktu ( j am)
T
E
C

(
T
E
C
U
)
TEC IRI 07
TEC IRI perhitungan
TEC Tj. Sari Perhitungan
TEC GPS WTK
TEC hasi l IRI, IRI perhi tungan, Tj . Sari Perhi tungan dan
GPS Watukosek, 10 Desember 2008
0
10
20
30
40
50
60
70
0.1 2.1 4.1 6.1 8.1 10.1 12.1 14.1 16.1 18.1 20.1 22.1
Waktu ( j am)
T
E
C

(
T
E
C
U
)
TEC IRI 07
TEC IRI perhitungan
TEC Tj. Sari Perhitungan
TEC GPS WTK
TEC hasi l IRI, IRI perhi tungan, Tj Sari perhi tungan
dan GPS Watukosek, 15 Desember 2008
0
10
20
30
40
50
60
70
0.1 2.1 4.1 6.1 8.1 10.1 12.1 14.1 16.1 18.1 20.1 22.1
Waktu (jam)
T
E
C

(
T
E
C
U
)
TEC IRI 07
TEC IRI perhitungan
TEC Tj. Sari Perhitungan
TEC GPS WTK
TEC hasi l IRI, IRI Perhi tungan , Tj . Sari Perhi tungan dan
GPS Watukosek, 30 Desember 2008
0
10
20
30
40
50
60
0.1 2.1 4.1 6.1 8.1 10.1 12.1 14.1 16.1 18.1 20.1 22.1
Wakt u ( jam)
T
E
C

(
T
E
C
U
)
TEC IRI 07
TEC IRI perhitungan
TEC Tj. Sari Perhitungan
TEC GPS WTK
Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 689
IV. KESIMPULAN
Pengujian model hubungan antara kuadrat foF2
dan TEC, dengan menggunakan foF2 keluaran
model IRI (International Reference International)
2007, pada bulan Maret, Juni dan Desember 2008,
diperoleh bahwa korelasi antara TEC hasil
perhitungan dengan TEC model IRI adalah 1
kecuali pada tanggal 30 Maret dimana koefisien
korelasinya adalah 0.98.
Harga rata rata simpangan relatif IRI perhitungan
terhadap model dibawah 15 %. Diperoleh
koefisien korelasi harga simpangan relatif TEC
pengamatan GPS Watukosek terhadap TEC
Tanjungsari, pada bulan Maret berada antara 0.7
dan 0.9, Juni adalah antara 0.5 - 0.7 kecuali 9
J uni adalah 0.42, dan Desember adalah antara 0.6
dan 0.8. Harga simpangan relatif TEC pengamatan
GPS Watukosek terhadap TEC Tanjungsari hasil
perhitungan lebih besar dari 200 %. Mengingat
simpangan relatif ini cukup besar, data TEC hasil
pengamatan GPS watukosek perlu dikalibrasi
sebelum digunakan untuk kepentingan lain
seperti, komunikasi, koreksi posisi dan navigasi.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dessy
Marlia yang telah membantu kami khususnya
berkaitan dengan mendownload data TEC
Watukosek dan Syarifudin berkaitan dengan
scalling data foF2 Tanjung Sari, Sumedang.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Abdullah, M., Zain A.F.M., Ho Y.H., dan
Abdullah S (2009) TEC and Scintillation
Study of Equatorial Ionosphere: A Month
Campaign over Sipitang and Parit Raja
Stations, Malaysia American J . 0f
engineering and Applied Sciences 2.
[2] Buldan. M dan J iyo (2009) Pengembangan
model frekuensi kritis lapisan F2 ionosfer
dari data GPS near real time untuk aplikasi
komunikasi radio HF di wilayah Indonesia
Prisiding SIPTEKGAN XIII-2009.
[3] Fukao, S., Ozawa, Y., Yokoyama, T., dan
Yamamoto, M. (2004) : First observations
of the spatial structure of F region 3-m-scale
field-aligned irregularities with the
Equatorial Atmosphere Radar in Indonesia,
J. Geophys. Res., Vol. 109
[4] Reinhat Letinger., et al ( 2005 ) An
improved bottomside for the ionospheric
electron density model NeQuick., Anals.
of Geophysical Vol. 48.
[5] Sudjana. M.A (1992 ) Metode Statistika.,
Penerbit Tarsito Bandung





Lampiran

Contoh keluaran foF2 dan TEC pada tanggal 1
Maret 2008 jam 0.1 LT, hasil running Software
IRI 2007 :

Required input parameters
Year=2008., Month=03, Day=01, Hour=0.17,
Time_type =Local
Coordinate_type =Geographic
Latitude=-6.9, Longitude=107.8, Height=100.
Prof. parameters: Start=100. Stop=2000. Step=
100.

Optional input parameters:
Sunspot number(Rz12) =not specifyed
Ionospheric index(IG12) =not specifyed
Upper limit for Electron content =20000.
F peak model =URSI
Ne Topside =NeQuick
foF2 Storm model =on
Bottomside Thickness =B0 Table
F1 occurrence probability =IRI-95
D-Region Ne =IRI-95
Topside Te =TTSA-2000
Ion Composition =DS95/TT05
A value of -1 indicates that the parameter is not
available for the specified range
TEC=-1, means you have not entered an upper
boundary height in the OPTIONAL INPUT
section.
Selected parameters are:
1 Height, km
2 TEC, 10^16 m-2
3 foF2, MHz

1 2 3
100.00 3.8 3.495
200.00 3.8 3.495
300.00 3.8 3.495
400.00 3.8 3.495
500.00 3.8 3.495
600.00 3.8 3.495
700.00 3.8 3.495
800.00 3.8 3.495
900.00 3.8 3.495
1000.00 3.8 3.495
1100.00 3.8 3.495
1200.00 3.8 3.495
1300.00 3.8 3.495
1400.00 3.8 3.495
1500.00 3.8 3.495
1600.00 3.8 3.495
1700.00 3.8 3.495
1800.00 3.8 3.495
1900.00 3.8 3.495
2000.00 3.8 3.495

Teknik
Prosiding Seminar Nasional Matematika 2010 Departemen Matematika FMIPA UI 690

You might also like