2.1. Syarat Sah Perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 11
Melalui perjanjian terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat perjanjian. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk mematuhi perjanjian yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi perjanjian sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Secara hukum, perjanjian dapat di-paksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran perjanjian atau ingkar janji (wanprestasi). 12
Pengaturan tentang perjanjian terdapat terutama di dalam KUH Perdata, tepatnya dalam Buku III, disamping mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari undang-undang misalnya tentang perbuatan melawan hukum. Dalam KUH Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus) yang namanya sudah diberikan undang- undang.
11 Subekti (a), op.cit., hal. 1.
12 Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 2. Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 Contoh perjanjian khusus, antara lain jual beli, sewa- menyewa, tukar-menukar, pinjam-meminjam, pemborongan, pem-berian kuasa, dan perburuhan. Selain KUH Perdata, masih ada sumber hukum perjanjian lainnya di dalam berbagai produk hukum, misalnya Undang-undang Perbankan dan Keputusan Presiden tentang Lembaga Pembiayaan. Di samping itu, juga dalam yurisprudensi misalnya tentang sewa beli, dan sumber hukum lainnya. Suatu asas hukum penting berkaitan dengan berlakunya perjanjian adalah asas kebebasan berkontrak. Artinya, pihak-pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja, baik yang sudah ada pengaturannya maupun yang belum ada pengaturannya dan bebas menentukan sendiri isi perjanjian. 13 Namun, kebebasan tersebut tidak mutlak karena terdapat pembatasannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang- undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. 14
Aspek-aspek kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yang menyiratkan adanya 3 (tiga) asas yang seyogyanya dalam perjanjian: 15
a. Mengenai terjadinya perjanjian Asas yang disebut konsensualisme, artinya menurut KUH Perdata perjanjian hanya terjadi apabila telah adanya persetujuan kehendak antara para pihak (consensus, consensualisme). b. Tentang akibat perjanjian Bahwa perjanjian mempunyai kekuatan yang mengikat antara pihak-pihak itu sendiri. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menegaskan bahwa perjanjian dibuat secara sah
13 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 1338 ayat (1).
14 Ibid., pasal 1337.
Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 di antara para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang melakukan perjanjian tersebut. c. Tentang isi perjanjian Sepenuhnya diserahkan kepada para pihak (contracts-vrijheid atau partijautonomie) yang bersangkutan. Dengan kata lain, selama perjanjian itu tidak ber-tentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, kepen-tingan umum, dan ketertiban, maka perjanjian itu diper-bolehkan. J adi, semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi syarat, berlaku bagi para pembuatnya, sama seperti perundang-undangan. Pihak-pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja dan menuangkan apa saja di dalam isi sebuah kontrak. Dari bunyi Pasal 1338 ayat (1) jelas bahwa perjanjian yang mengikat hanyalah perjanjian yang sah. Supaya sah pembuatan perjanjian harus berpedoman pada Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu:
a Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak- pihak yang membuat perjanjian tersebut. 16 Kesepakatan tidak ada apabila perjanjian dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau kekhilafan.
b Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan
16 Ibid.
Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 Kecakapan di sini artinya para pihak yang membuat perjanjian haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum. 17 Pada dasarnya semua orang menurut hukum cakap untuk membuat perjanjian. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa. Anak-anak adalah mereka yang belum dewasa yang menurut Pasal 330 KUH Perdata belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun. Meskipun belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian 18 .
c Suatu Hal Tertentu Hal tertentu maksudnya obyek yang diatur perjanjian tersebut harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. J adi, tidak boleh samar- samar. 19 Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada para pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif, misalnya jual beli sebuah mobil, harus jelas merek apa, buatan tahun berapa, warna apa, nomor mesinnya berapa, dan sebagainya. Semakin jelas semakin baik. Tidak boleh misalnya jual beli sebuah mobil saja, tanpa penjelasan lebih lanjut.
d Suatu Sebab yang Halal Maksudnya isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertib-an umum, dan
17 Ibid.
18 Indonesia (a), Undang-undang Tentang Perkawinan, UU No. 14, LN No. 14 Tahun 1974, TLN No. 3019, pasal 7 ayat (1).
19 V. Febrina Kusumaningrum, loc. cit. Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 atau kesusilaan, misalnya jual beli bayi adalah tidak sah karena bertentangan dengan norma-norma tersebut. 20
KUH Perdata memberikan kebebasan berkontrak kepada pihak- pihak untuk membuat perjanjian secara tertulis maupun secara lisan. Baik tertulis maupun lisan mengikat, asalkan memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. J adi, perjanjian tidak harus dibuat secara tertulis.
2.2. Perjanjian yang Memuat Klausula Baku Sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, maka ciri- ciri perjanjian baku mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan tuntutan masyarakat. Ciri-ciri tersebut men-cerminkan prinsip ekonomi dan kepastian hukum yang berlaku di negara-negara yang bersangkutan. Prinsip ekonomi dan kepastian hukum dalam perjanjian baku dilihat dari kepen-tingan pelaku usaha, yaitu: 21
setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelengaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi,
bukan dari kepentingan konsumen, yaitu: 22
20 Ibid.
21 Indonesia (b), Undang-undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8, LN No. 42 Tahun 1999, TLN No. 3821, pasal 1 angka 3.
22 Ibid., pasal 1 angka 2.
Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009
setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Dengan pembakuan syarat-syarat perjanjian, kepentingan ekonomi pengusaha lebih terjamin karena konsumen hanya menyetujui syarat- syarat yang disodorkan oleh pengusaha. Dalam praktek klausul-klausul yang berat sebelah dalam perjanjian baku tersebut biasanya mempunyai wujud sebagai berikut: a. Dicetak dengan menggunakan bentuk huruf yang kecil; b. Bahasa yang sulit dipahami artinya; c. Tulisan yang kurang jelas dan susah dibaca; d. Kalimat yang disusun secara kompleks dan rumit; e. Bentuk perjanjian dan klausulanya tidak berwujud seperti suatu perjanjian (tersamar) pada umumnya. f. Kalimat-kalimatnya ditempatkan pada tempat-tempat yang kemungkinan besar tidak dibacakan oleh salah satu pihak. Misalnya, jika klausul eksemsi di dalam kotak barang yang dibeli. 23
Hampir sebagian besar transaksi bisnis saat ini dilakukan dengan menggunakan klausula baku, baik itu ter-jadi pada negara maju ataupun terjadi di negara berkembang seperti halnya di Indonesia. Bahkan karena
23 Munir Fuady, Hukum kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti 2003), hal. 76 Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 begitu banyak digunakannya klausula baku tersebut mendorong seorang penulis berkebangsaan Amerika bernama Slawson melaporkan bahwa: 24
Standard form contracts probably account for more than ninety percent of all the contracts now made. Most person have difficult remembering the last time they contracted other than by standard form.
Namun, secara resmi definisi dari klausula baku yang dapat kita jadikan acuan adalah definisi yang diberikan oleh UU Nomor 8 Tahun 1999, yaitu: 25
setiap peraturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/ atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Untuk lebih jelasnya, maka akan diuraikan dengan singkat mengenai karakteristik yang seyogyanya terdapat pada klausula baku sebagai berikut:
a. Bentuk Perjanjian Tertulis Yang dimaksud dengan perjanjian di sini adalah naskah perjanjian keseluruhan dan dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. Kata-kata atau kalimat per-nyataan kehendak yang termuat dalam syarat-syarat baku dibuat secara tertulis berupa akta otentik atau akta di bawah tangan. Karena dibuat secara tertulis, maka perjanjian yang memuat syarat-syarat baku itu menggunakan kata-kata atau
24 Mariam Darus Badrulzaman (b), Perlindungan terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku (Standard), (Makalah disampaikan pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, diselenggarakan oleh Badan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, J akarta, 16-18 Oktober 1980), hal. 4.
25 Indonesia (b), op. cit., pasal 1 butir 10. Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 susunan kalimat yang teratur dan rapi. J ika huruf yang dipakai kecil-kecil, kelihatan isinya sangat padat dan sulit dibaca dalam waktu singkat. Ini merupakan kerugian bagi konsumen. Contoh perjanjian baku adalah perjanjian jual beli, polis asuransi, charter party, dan kredit dengan jaminan, sedangkan contoh dokumen bukti perjanjian adalah konosemen, nota pesanan, nota pembelian, dan tiket pengangkutan. 26
b. Format Perjanjian Dibakukan Format perjanjian meliputi model, rumusan, dan ukuran. Format ini dibakukan, artinya sudah ditentukan model, rumusan, dan ukurannya, sehingga tidak dapat diganti, diubah, atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa blanko naskah perjanjian lengkap atau blanko formulir yang dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. Rumusan syarat-syarat perjanjian dapat dibuat secara rinci dengan menggunakan nomor atau pasal-pasal atau secara singkat berupa klausula-klausula tertentu yang mengandung arti tertentu yang hanya dipahami oleh pengusaha, sedangkan konsumen sulit atau tidak memahaminya dalam waktu singkat. Ini merupakan kerugian bagi konsumen. Ukuran kertas perjanjian ditentukan menurut model, rumusan isi perjanjian, bentuk huruf dan angka yang dipergunakan. Contoh format perjanjian baku adalah polis asuransi, akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, perjanjian sewa beli, penggunaan kartu kredit, konosemen, dan obligasi. 27
c. Syarat-syarat Perjanjian Ditentukan oleh Pengusaha Syarat-syarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak ditentukan sendiri secara sepihak oleh pengusaha atau organisasi
26 Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 6.
27 Ibid., hal. 7. Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 pengusaha. Karena syarat-syarat perjanjian itu dimonopoli oleh pengusaha daripada konsumen, maka sifatnya cenderung lebih menguntungkan pengusaha daripada konsumen. Hal ini tergambar dalam klausula eksonerasi berupa pembebasan tanggung jawab pengusaha, dimana tanggung jawab itu menjadi beban konsumen. Pembuktian oleh pihak pengusaha yang membebaskan diri dari tanggung jawab sulit diketahui oleh konsumen karena ketidaktahuannya. Penentuan secara sepihak oleh pengusaha dapat diketahui melalui format perjanjian yang sudah pakai, jika konsumen setuju, tanda tanganilah perjanjian tersebut. 28
d. Konsumen Hanya Menerima atau Menolak J ika konsumen bersedia menerima syarat-syarat per-janjian yang disodorkan kepadanya, maka ditandatanganilah perjanjian itu. Penandatangan tersebut menunjukkan bahwa konsumen bersedia memikul tanggung jawab walaupun mungkin ia tidak bersalah. J ika konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat perjanjian yang disodorkan itu, ia tidak boleh menawar syarat-syarat yang sudah dibakukan itu. Menawar syarat-syarat baku berarti menolak perjanjian. Pilihan menerima atau menolak ini dalam bahasa Inggris diungkapkan dengan take it or leave it. 29
e. Penyelesaian Sengketa Melalui Musyawarah/Peradilan Dalam syarat-syarat perjanjian terdapat klausula standar (baku) mengenai penyelesaian sengketa. J ika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
28 Ibid., hal. 8.
29 Ibid.
Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 arbitrase. Tetapi jika ada pihak yang mengendaki, tidak tertutup kemungkinan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Negeri. Sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, maka pengusaha di Indonesia sebelum menye-lesaikan sengketa di pengadilan, menyelesaikan sengketa melalui musyawarah. 30
f. Perjanjian Baku Menguntungkan Pengusaha Kenyataan ini menunjukkan bahwa kecenderungan perkem- bangan perjanjian adalah dari lisan ke bentuk tulisan, dari perjanjian tertulis biasa ke perjanjian tertulis yang dibakukan, syarat-syarat baku dimuat lengkap dalam naskah perjanjian, atau ditulis sebagai lampiran yang tidak terpisah dari formulir perjanjian, atau ditulis dalam dokumen bukti perjanjian. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perjanjian baku yang dirancang secara sepihak oleh pengusaha akan menguntungkan pengusaha berupa: 31
a. efisiensi biaya, waktu, dan tenaga; b. praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau blanko yang siap diisi dan ditandatangani; c. penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan atau menandatangani perjanjian yang disodorkan kepada-nya; d. homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.
g. Jenis-jenis Perjanjian Baku Mariam Darus dalam tulisannya membedakan perjanjian baku ke dalam empat jenis, yaitu: 32
30 Ibid.
31 Ibid., hal. 8-9.
Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 a. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya dalam perjanjian itu (pihak yang kuat ialah pihak kreditur). Perjanjian ini disebut perjanjian adhesi. b. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua pihak, yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya buruh (debitur). c. Perjanjian baku ditetapkan pemerintah adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai obyek hak- hak atas tanah (formulir seperti diatur dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/ Dja/ 1977, akta jual beli, model 1156727, akta hipotik model 1045055, dan sebagainya). d. Perjanjian baku yang dipergunakan di lingkungan notaris atau advokat.
2.3. Syarat-syarat Perjanjian yang Memuat Klausula Baku Dalam uraian ini yang dimaksud dengan syarat-syarat perjanjian adalah ketentuan-ketentuan yang wajib dipenuhi oleh pihak-pihak dalam pelaksanaan perjanjian guna menca-pai tujuan perjanjian. Syarat- syarat perjanjian meliputi ketentuan-ketentuan mengenai: 33
a. kewajiban dan hak para pihak; b. wanprestasi; c. akibat wanprestasi; d. tanggung jawab;
32 Mariam Darus Badrulzaman (c), Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya di Indonesia, Pidato Pengukuhan J abatan Guru Besar dalam Mata Pelajaran Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Sumatera Utara, (Medan, 1980), hal. 8.
33 Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 11. Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 e. penyelesaian sengketa.
a. Kewajiban dan Hak Para Pihak Yang disebut kewajiban adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain dengan pembebanan sanksi jika lalai atau dilalaikan. J ika kewajiban itu ditentukan oleh undang- undang, disebut kewajiban undang-undang. J ika kewajiban itu ditentukan oleh perjanjian, disebut kewajiban perjanjian. Berdasarkan asas pelengkap dalam hukum perjanjian, jika para pihak menen-tukan lain dalam perjanjian yang mereka buat, maka kewajib-an undang- undang dikesampingkan. Sebaliknya, jika para pihak tidak menentukan apa-apa, maka berlakulah kewajiban undang-undang. Kewajiban terdiri atas dua macam, yaitu kewajiban material dan kewajiban formal. 34 Kewajiban material adalah kewajiban yang berkenaan dengan benda/obyek perjanjian sesuai dengan identitasnya (jenis, jumlah, ukuran, nilai/ harga, kebergunannya). Bentuk kewajiban material antara lain adalah: a. dalam perjanjian jual beli, menyerahkan barang dan membayar harga barang; b. dalam perjanjian tenaga kerja, melakukan pekerjaan dan membayar upah; c. dalam perjanjian sewa menyewa, menyerahkan barang dan membayar sewa; d. dalam perjanjian tukar-menukar, menyerahkan barang dan imbalan menyerahkan barang juga; e. dalam perjanjian penitipan, menyerahkan barang dan memelihara barang titipan; f. dalam perjanjian utang-piutang, menyerahkan uang dan membayar uang.
34 Ibid. Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009
Kewajiban formal adalah kewajiban yang berkenaan dengan tata cara atau pelaksanaan pemenuhan kewajiban material, yaitu oleh siapa, bagaimana caranya, dimana, kapan, dan dengan apa penyerahan, pembayaran, pekerjaan, dan pemeliharaan dilakukan. Hasil pelaksanaan kewajiban itu merupakan hak pihak lain dalam perjanjian. Hak adalah sesuatu yang diperoleh dari pihak lain dengan kewenangan menuntut jika tidak dipenuhi oleh pihak lainnya itu. Setiap kewajiban selalu disertai dengan hak yang nilainya seimbang. Kewenangan menuntut tidak bersifat memaksa, boleh digunakan dan boleh tidak digunakan. Sebaliknya, pelaksanaan kewajiban ber-sifat memaksa, jika lalai atau dilalaikan dikenai sanksi. J ika pihak yang mempunyai kewajiban tidak melaksanakan sendiri kewajibannya, maka ada pihak lain yang dapat memaksakan pelaksanaan atau pembebanan sanksi, yaitu pengadilan. 35
b. Wanprestasi Menurut Wirjono Prodjodikoro prestasi adalah pelaksanaan janji, sedang wanprestasi adalah ketiadaan pelaksanaan janji. 36 Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melaku-kan wanprestasi. Ia alpa atau lalai atau ingkar janji. Atau ia juga melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk. 37 Faktor penyebab wanprestasi ada dua kemungkinannya, yaitu faktor dari luar dan faktor
37 Subekti (a), op. cit., hal. 45. Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 dari dalam diri para pihak. Faktor dari luar adalah peristiwa yang tidak diharapkan terjadi dan tidak dapat diduga akan terjadi ketika perjanjian dibuat. Faktor ini disebut keadaan memaksa, yang menghalangi pihak dalam perjanjian memenuhi kepada pihak lainnya. Pihak yang tidak memenuhi kewajiban itu tidak dapat dipersalahkan dan tidak dapat dikenai sanksi. Dalam hal ini tidak ada yang bertanggung jawab. Akan tetapi, dalam perjanjian baku pengusaha dapat merumuskan syarat-syarat yang membebankan tanggung jawab kepada pihak konsumen. Syarat tersebut dirumuskan sedemi-kian rapi, sehingga dalam waktu relatif singkat konsumen tidak sempat memahaminya. Karena diperlukan, konsumen me-nerima saja perjanjian yang disodorkan kepadanya. Padahal dalam Pasal 1245 KUH Perdata ditentukan, jika karena ke-adaan memaksa, debitur berhalangan memenuhi kewajibannya, ia tidak diharuskan memikul beban kerugian. Dengan peneri-maan perjanjian yang disodorkan oleh pengusaha, konsumen mengenyampingkan pasal ini, sehingga akhirnya ia memikul beban kerugian walaupun kerugian tersebut sebagai akibat dari keadaan memaksa. Sesuai dengan asas pelengkap dalam hukum perjanjian, jika para pihak menentukan lain dalam perjanjian yang mereka buat, maka ketentuan undang-undang dikesampingkan. 38
Di samping itu, menurut ketentuan Pasal 1244 KUH Perdata, debitur tetap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena wanprestasi yang disebabkan oleh keadaan memaksa, jika ia tidak mampu membuktikan adanya keadaan memaksa itu, atau jika ia mampu membuktikannya tetapi mempunyai itikad buruk (te kwader trouw). J adi, supaya konsumen dapat dibebaskan dari tanggung jawab membayar kerugian, ia harus mampu membuktikan bahwa wanprestasinya itu semata-mata karena keadaan memaksa dan ia mempunyai itikad baik. Beban pembuktian ada pada konsumen, dan ini merupakan beban berat bagi konsumen. Keadaan ini tetap menguntungkan pengusaha
38 Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 13. Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 walaupun dirumuskan atau tidak dirumuskan dalam syarat-syarat perjanjian. 39
Selain dari keadaan memaksa, wanprestasi dapat juga terjadi karena faktor dari dalam diri para pihak, yaitu kesalahan sendiri. Supaya dapat dikatakan wanprestasi, pihak tertentu harus berada dalam keadaan: 40
a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Untuk menyatakan sejak kapan pihak dalam perjanjian berada dalam keadaan wanprestasi, biasanya ditetapkan jangka waktu tertentu dalam syarat-syarat perjanjian, atau jika tidak ditentukan, sejak waktu yang ditetapkan dalam pemberitahuan. Pemberitahuan itu biasanya dilakukan ter-tulis tidak resmi (ingbreke stelling), atau secara resmi melalui Pengadilan Negeri (sommatie). 41
Keadaan wanprestasi dirumuskan sedemikian rupa dalam syarat- syarat perjanjian, sehingga dalam waktu relatif singkat tidak terbaca oleh konsumen, bahkan kesalahan pengusaha pun dibebankan kepada konsumen.
c. Akibat Wanprestasi
39 Ibid.
40 Subekti (a), op.cit., hal. 45.
41 Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 14. Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 Tidak dilaksanakannya kewajiban perjanjian dapat menimbulkan bebagai kemungkinan akibat, baik yang berkenaan dengan perjanjiannya sendiri maupun yang berkenaan dengan kewajiban para pihak. Berbagai kemungkinan yang timbul itu adalah sebagai berikut: 42
a. pemutusan/pembatalan perjanjian; b. pelaksanaan kewajiban sebagaimana mestinya; c. pembayaran ganti kerugian; d. pemutusan perjanjian ditambah pembayaran ganti kerugian; e. pelaksanaan kewajiban ditambah pembayaran ganti kerugian.
J ika salah satu atau kedua pihak tidak melaksanakan kewajibannya, perjanjian dapat dibatalkan. Pembatalan dilakukan oleh para pihak dalam hal ada kesepakatan dalam perjanjian. Tetapi jika tidak diperjanjikan dan salah satu pihak tidak setuju, pembatalan itu dilakukan melalui putusan pengadilan. 43 J ika terjadi pembatalan, maka per-janjian berakhir. Kewajiban yang sudah dilaksanakan di-pulihkan kembali dan yang belum dilaksanakan dihentikan pelaksanaannya, atau tidak perlu dilaksanakan sama sekali. Ketentuan pembatalan dirumuskan sedemikian rapi dalam syarat-syarat perjanjian, sehingga pengusaha tidak dirugikan. Karena suatu halangan, debitur tidak dapat memenuhi kewajiban perjanjian. Penundaan ini bersifat sementara dan dapat dipenuhi sebagaimana mestinya jika halangan itu sudah lenyap. Dengan pemenuhan kewajiban tadi, maka perjanjian berakhir. Halangan ini tidak memutuskan perjanjian, melain-kan hanya menunda pelaksanaan kewajiban. J adi, kewajiban masih dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, dan per-janjian berakhir karena pelaksanaan tersebut.
42 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 1243, 1266, dan 1267.
43 Ibid., pasal 1266. Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 Perjanjian berakhir karena pembayaran dan dalam pengertian pembayaran termasuk juga penyerahan barang 44 . Tidak dilaksanakan kewajiban oleh debitur menimbulkan kerugian langsung atau tidak langsung bagi kreditur, misalnya kerugian berupa biaya, kerugian berupa kerusakan benda dan kerugian berupa tidak memperoleh keuntungan yang diharapkan. Untuk menghindari kerugian tersebut, pengusaha merumuskan syarat-syarat sedemikian rapi, sehingga kon-sumen bertanggung jawab walaupun kerugian timbul akibat tidak dipenuhinya kewajiban perjanjian. Bahkan karena rapinya rumusan syarat-syarat itu, pengusaha bebas dari tanggung jawab walaupun kerugian timbul karena kelalai-annya. 45
Mungkin juga terjadi bahwa wanprestasi itu meng-akibatkan tidak hanya pemutusan perjanjian, melainkan juga ditambah dengan pembayaran ganti kerugian jika karena wanprestasi itu timbul kerugian secara nyata. Dalam dunia perdagangan dapat terjadi wanprestasi karena ketidak-mampuan pembeli, atau keengganan pembeli membayar uang angsuran jual beli. 46
Di samping itu, mungkin juga terjadi bukan pemutusan perjanjian, melainkan pelaksanaan kewajiban sebagaimana mestinya, ditambah dengan pembayaran ganti kerugian. Cara ini lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan pemutusan perjanjian berdasarkan berbagai macam pertimbangan, misal-nya jenis barang yang diperjualbelikan, faktor kemampuan dan kejujuran pembeli, serta peristiwa yang tidak terduga. 47
44 Ibid., pasal 1381 jo pasal 1389.
45 Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 16.
46 Ibid., hal. 16-17.
47 Ibid. Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 d. Tanggung Jawab Perlu diterangkan bahwa pihak yang mempergunakan secara teratur perjanjian baku biasanya tidak mengharapkan para pelanggannya untuk memahami atau bahkan membaca syarat-syarat atau klausulanya. Bahkan terdapat pembakuan untuk meniadakan tawar-menawar tentang rincian transaksi individual, yang jumlahnya banyak, tidak ekonomis, dan tidak praktis. Slawson pada tahun 1971 menulis bahwa kontrak-kontrak bentuk perjanjian baku (standard form) telah dipakai di seluruh dunia, khususnya Amerika. 48
Tanggung jawab merupakan realisasi dari kewajiban terhadap pihak lain. Untuk merealisasikan kewajiban tesebut perlu ada pelaksanaan (proses). Hasilnya adalah terpenuhi-nya hak pihak lain secara sempurna atau tidak sempurna. Dikatakan terpenuhi secara sempurna apabila kewajiban itu dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga pihak lain memperoleh haknya sebagaimana mestinya pula. Hal ini tidak menimbulkan masalah. Dikatakan tidak terpenuhi secara sempurna apabila kewajiban itu dilaksanakan tidak sebagai-mana mestinya, sehingga pihak lain memperoleh haknya tidak sebagaimana mestinya pula (pihak lain dirugikan). Hal ini menimbulkan masalah, yaitu siapa yang bertanggung jawab, artinya siapa yang wajib memikul beban kerugian itu, pihak debitur atau kreditur, pihak konsumen atau pengusaha? Dengan adanya pertanggungjawaban ini hak pihak lain diper-oleh sebagaimana mestinya (haknya dipulihkan). J ika pihak yang mempunyai kewajiban tidak melaksanakan kewajibannya, ia dikatakan tidak bertanggung jawab. 49
Masalah tanggung jawab dirumuskan di dalam syarat-syarat perjanjian. Dalam rumusan tersebut terdapat tanggung jawab yang
48 Todd D. Rakoff, Contracts of Adhesion an Essay Inrecontruction, (Harvard Law Review, April 1983), hal. 1189.
49 Ibid., hal. 18.
Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 menjadi beban konsumen dan yang menjadi beban pengusaha. Apabila ditelaah secara cermat, beban tanggung jawab konsumen lebih ditonjolkan daripada beban tanggung jawab pengusaha. Bahkan terlihat kesan bahwa pengusaha berusaha keras supaya terbebas dari tanggung jawab. Keadaan ini dirumuskan sedemikian rapi di dalam syarat-syarat perjanjian, sehingga dalam waktu relatif singkat kurang dapat dipahami oleh konsumen ketika membuat perjanjian dengan pengusaha.
e. Penyelesaian Sengketa Dalam melaksanakan perjanjian mungkin terjadi per-bedaan penafsiran mengenai kewajiban para pihak yang meng-akibatkan sengketa, sehingga perjanjian sulit dilaksanakan, atau dilaksanakan tidak sebagaimana mestinya, atau tidak dilaksanakan sama sekali. Dalam perjanjian biasanya dimuat syarat-syarat yang memberi kesempatan kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui musyawarah. Prinsip musyawarah ini sesuai dengan nilai-nilai budaya Pancasila. Penyelesaian musyawarah penting sekali artinya bagi konsumen, karena keberlakuan klausula eksonerasi dapat ditawar atau dirundingkan, sehingga dapat meringankan atau membebaskan konsumen dari beban tanggung jawab. 50
Tetapi jika musyawarah tidak menghasilkan penyele-saian, para pihak diberi kesempatan menyelesaikan sengketa mereka secara hukum melalui peradilan arbitrase atau per-adilan negara. Untuk menentukan penyelesaian melalui per-adilan, biasanya didasari oleh pertimbangan, yaitu jika melalui peradilan, mana yang lebih menguntungkan melalui arbitrase atau melalui peradilan negara? Walaupun dalam perjanjian dirumuskan syarat penyelesaian melalui arbi-trase, menurut yurisprudensi
50 Ibid., hal. 22-23. Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 tidak ditutup kemungkinan penyelesaian melalui peradilan negara, sebab klausula arbitrase dalam perjanjian tidak mengikat secara mutlak. 51
2.4. Cara Memberlakukan Syarat-syarat Baku Syarat-syarat baku diberlakukan melalui perjanjian lisan atau tertulis. Untuk mengetahui cara memberlakukan syarat-syarat baku dalam praktek perusahaan, perlu di-telaah melalui kasus yang sudah diputus oleh pengadilan, karena putusan pengadilan telah memberikan kepastian hukum pada metode penerapan syarat-syarat baku. Berdasarkan praktek perusahaan yang diakui oleh pengadilan yang paling banyak terjadi, Hondius (1976) mengemukakan empat cara atau metode memberlakukan syarat-syarat baku, yaitu: 52
a. penandatanganan dokumen perjanjian; b. pemberitahuan melalui dokumen perjanjian; c. penunjukan dalam dokumen perjanjian; d. pemberitahuan melalui papan pengumuman.
a. Penandatanganan Dokumen Perjanjian Dalam dokumen perjanjian dimuat secara lengkap dan rinci syarat-syarat baku. Ketika membuat perjanjian, dokumen tersebut disodorkan kepada konsumen untuk dibaca dan ditandatangani. Dengan penandatanganan itu konsumen menjadi terikat pada syarat- syarat baku (yurisprudensi). Dokumen perjanjian itu dapat berupa naskah perjanjian, formulir permintaan asuransi, formulir pemesanan barang, surat angkutan barang, surat tanda servis, polis asuransi, dan sebagainya. 53
51 Indonesia (c), Putusan Mahkamah Agung RI No. 1851K/SIP/1984.
52 Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 24.
53 Ibid. Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 Dalam perjanjian tertulis, pembuatan perjanjian dapat didahului oleh dokumen permintaan atau pemesanan yang diisi oleh konsumen. Atas dasar dokumen ini kemudian oleh peng-usaha disiapkan naskah perjanjiannya untuk ditandatangani oleh konsumen yang bersangkutan. Naskah perjanjian ini memuat secara lengkap dan rinci syarat-syarat baku. Contoh-nya, polis asuransi dan perjanjian sewa beli barang ter- tentu. Dalam perjanjian tidak tertulis (lisan), pembuatan perjanjian dibuktikan dengan dokumen perjanjian tanpa naskah perjanjian. 54
Dalam dokumen perjanjian itu dimuat syarat-syarat baku, terutama mengenai tanggung jawab konsumen atau eksonerasi pengusaha. Contohnya, dokumen pengangkutan, dokumen pemesanan busana, dan dokumen servis barang. 55
b. Pemberitahuan Melalui Dokumen Perjanjian Menurut kebiasaan yang berlaku, syarat-syarat baku dicetak di atas dokumen perjanjian yang tidak ditanda-tangani oleh konsumen, misalnya konosemen, surat angkutan, surat penerimaan, surat pesanan, dan nota pembelian. Syarat-syarat baku tersebut ditetapkan oleh pengadilan sebagai bagian dari isi perjanjian yang diberitahukan melalui dokumen perjanjian. Dengan demikian, konsumen terikat pada syarat- syarat baku itu. Dalam hal ini tidak dibedakan apakah dokumen perjanjian memuat naskah syarat-syarat baku atau hanya menunjuk kepada naskah syarat-syarat baku. Supaya konsumen terikat pada syarat-syarat baku, dokumen perjanjian harus sudah diserahkan atau
54 Ibid.
55 Ibid. Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 dikirimkan kepada konsumen sebelum, atau pada waktu, atau sesudah dibuat perjanjian. 56
c. Penunjukan dalam Dokumen Perjanjian Dalam dokumen perjanjian tidak dimuat atau tidak ditulis syarat- syarat baku, melainkan hanya menunjuk pada syarat-syarat baku, misalnya dalam dokumen jual beli perdagangan ditunjuk syarat penyerahan barang atas dasar klausula Free On Board (FOB) atau Cost, Insurance, and Freight (CIF). Ini berarti bahwa syarat baku mengenai penyerahan barang atas dasar ketentuan FOB atau CIF berlaku dalam perjanjian itu. Selain itu, yurisprudensi juga menetapkan bahwa dengan penunjukan kepada suatu tanda suatu badan atau organisasi berarti berlaku syarat-syarat baku yang ditetapkan oleh badan atau organisasi yang ber-sangkutan, misalnya dalam formulir permohonan penutupan asuransi kerufian tertera tanda atau lambang Llyod, ini berarti bahwa terhadap asuransi kerugian yang oleh penanggung dan tertanggung itu berlaku syarat-syarat baku yang ditetapkan oleh badan asuransi Llyod. 57
d. Pemberitahuan Melalui Papan Pengumuman Syarat-syarat baku dapat dijadikan bagian dari isi perjanjian dengan cara pemberitahuan melalui papan peng-umuman. Melalui pemberitahuan itu konsumen terikat pada syarat-syarat perjanjian yang ditetapkan oleh pengusaha. Untuk itu pengadilan menetapkan bahwa papan pengumuman itu harus dipasang di tempat yang jelas, mudah terlihat, ditulis dalam bentuk huruf dan bahasa yang sederhana, serta mudah dibaca sebelum perjanjian dibuat. Papan pengumuman
56 Ibid., hal. 25.
57 Ibid.
Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 semacam ini dapat dijumpai pada perusahaan perbengkelan, perusahaan pengangkutan, toko swalayan, dan lain-lain. 58
Pemberitahuan melalui papan pengumuman pada perusaha-an- perusahaan yang disebutkan tadi lebih sesuai karena mereka berusaha di bidang pelayanan umum yang melayani banyak orang dalam waktu yang bersamaan. Lagipula per-janjian yang mereka buat itu selalu dalam bentuk lisan yang hanya dibuktikan dengan dokumen yang diterbitkan dan di-tandatangani oleh pengusaha, misalnya tiket, surat angkut-an, nota jual beli, nota pemesanan, dan surat servis. 59
2.5. Dasar Berlakunya Syarat-syarat Baku Permasalahan yang muncul sekarang ialah apa yang menjadi dasar berlakunya syarat-syarat baku bagi konsumen, atau apa sebab konsumen terikat pada syarat-syarat baku yang ditetapkan oleh pengusaha? Berbagai macam alasan sebagai dasar berlaku telah dikemukakan oleh penulis dengan argumentasinya masing-masing. Ada yang melihatnya dari aspek hukum, aspek kemasyarakatan, dan aspek ekonomi.
2.5.1. Dari Aspek Hukum Secara yuridis masalah ini dapat diselesaikan melalui Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang dinyatakan bahwa, perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya. Berlaku sebagai undang-undang artinya mempunyai kekuatan mengikat sama dengan undang-undang, sehingga ada kepastian hukum. Konse-kuensinya di dalam Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata dinyata-kan, pihak dalam perjanjian tidak dapat membatalkan
58 Ibid., hal. 25-26.
59 Ibid., hal. 26 Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 secara sepihak (tanpa persetujuan pihak lawannya) perjanjian yang telah dibuat dengan sah itu. Keterikatan pihak-pihak dapat dibuktikan dengan penandatanganan perjanjian atau penerima-an dokumen perjanjian. 60
Hondius yang merupakan ahli hukum lainya berpendapat bahwa perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan (gebruik) yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan 61 .
2.5.2. Dari Aspek Kemasyarakatan Permasalahan filosofis yang muncul ialah apa dasarnya konsumen mau menandatangani perjanjian atau menerima dokumen perjanjian itu? Zeylemaker (1948) mengemukakan ajaran penundukan kemauan (wiisonderwerping) yang menyata-kan bahwa orang mau tunduk karena ada pengaturan yang aman dalam lalu lintas masyarakat, yang disusun oleh orang yang ahli dalam bidangnya, dan tidak berlaku sepihak, sehingga orang tidak dapat berbuat lain selain tunduk. Tetapi Stein (1957) menyatakan bahwa kebutuhan praktis dalam lalu lintas masyarakatlah yang menyebabkan pihak lain terikat pada semua syarat baku tanpa mempertimbangkan apakah ia memahami syarat-syarat itu atau tidak, asal ia dapat mengetahuinya. 62
Tanggapan Hondius (1976) terhadap Zeylemaker ialah bahwa pendapat beliau ini dapat dipakai sebagai dasar keterikatan konsumen, tetapi dengan ketentuan bahwa keterikatan itu dilengkapi dengan
60 Ibid., hal. 26-27.
61 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (J akarta: Institut banker Indonesia, 1993), hal. 129.
62 Abdulkadir Muhamad, Op.cit, hal. 27. Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009 alasan kepercayaan. J adi, menurut Hondius penandatangan atau penerima tidak hanya terikat karena ia mau, melainkan juga karena ia percaya pada pihak lain itu berdasarkan perhitungannya. 63
2.5.3. Dari Aspek Ekonomi Menanggapi permasalahan filosofis tadi, Zonderland (1976) menggunakan pendekatan riil. Ia menyatakan bahwa keterikatan konsumen pada syarat-syarat baku karena konsumen ingin menukar prestasi dan sekaligus menerima apapun yang tercantum dalam syarat- syarat baku dengan harapan ia luput dari musibah (halangan), satu harapan yang dilihat secara statistik kemungkinan besar terpenuhi. J adi, pendekatan riil Zonderland ini ialah kebutuhan ekonomi yang hanya akan terpenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pengusaha, walaupun dengan syarat-syarat baku yang lebih berat berdasarkan pengalaman tidak senantiasa merugikan konsumen. Kalaupun memang timbul kerugian karena suatu halangan, itu adalah resiko. 64
63 Ibid.
64 Ibid., hal. 27-28.
Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009
BAB 3 Perjanjian Asuransi Jiwa 3.1. Pengaturan Perjanjian Asuransi Sampai saat ini di Indonesia secara umum, perjanjian asuransi diatur dalam dua kodifikasi, baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) maupun dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) 64 . Secara umum dapat juga dikatakan bahwa perjanjian asuransi mempunyai tujuan utama untuk memberikan ganti kerugian, sehingga perjanjian asuransi dapat diartikan sebagai perjanjian ganti rugi. Dalam KUHPer, perjanjian asuransi diklasifikasikan sebagai salah satu dari yang termasuk perjanjian untung-untungan sebagaimana yang tercantum pada Pasal 1774 KUHPer yang berbunyi:
Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung dari sebuah kejadian yang belum tentu. Demikian adalah: perjanjian pertanggungan; bunga cagak-hidup; perjudian dan pertaruhan; perjanjian yang pertama diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Pasal pertama dalam KUHD yang mengatur perjanjian asuransi dimulai dalam Pasal 264 yaitu yang memberikan batasan perjanjian asuransi sebagai berikut:
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung , dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tertentu.
Batasan tersebut di atas oleh Prof. Emmy Pangaribuan secara luwes dikembangkan sebagai berikut 64 : Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009
Pertanggungan adalah suatu perjanjian, dimana penanggung dengan menikmati suatu premi mengikat dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskan dari kerugian karena kehilangan, kerugian atau ketidakadaan keuntungan yang diharapkan yang akan dapat diderita olehnya, karena suatu kejadian yang belum pasti.
Dari batasan tersebut di atas, Prof. Emmy Pangaribuan selanjutnya menjabarkan lebih lanjut bahwa perjanjian asuransi atau pertanggungan itu mempunyai sifat-sifat sebagai berikut 64 : 1. Perjanjian asuransi atau pertanggungan pada asasnya adalah suatu perjanjian pengantian kerugian. Penanggungan mengikatkan diri untuk menggantikan kerugian karena pihak tertanggung menderita kerugian dan yang diganti itu adalah seimbang dengan kerugian yang sungguh-sungguh diderita. 2. Perjanjian asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian bersyarat. Kewajiban menganti rugi dari penanggung hanya dilaksanakan kalu peristiwa yang tidak tertentu atas mana diadakan pertanggungan itu terjadi. 3. Perjanjian asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian timbal balik. Kewajiban penanggung mengganti rugi diharapkan dengan kewajiban tertanggung membayar premi. 4. Kerugian yang diderita adalah sebagai akibat dari peristiwa yang tidak tertentu atas mana diadakannya pertanggungan.
Mengingat arti pentingnya perjanjian asuransi sesuai tujuannya, yaitu sebagai suatu perjanjian yang memberikan proteksi, maka perjanjian ini sebenarnya menawarkan suatu kepastian dari suatu ketidakpastian mengenai kerugian-kerugian ekonomis yang mungkin diderita karena suatu peristiwa yang belum pasti 64 . Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 Pasal 3 ayat (a)1 dikatakan:
Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009
Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam pertanggungan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya sesorang yang dipertanggungkan.
Asuransi jiwa menurut H.M.N Purwosutjipto adalah:
Perjanjian timbal balik antara tertanggung untuk mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan membayar premi kepada penanggung, sedangkan sebagai akibat langsung dari meninggalnya tertanggung atau setelah lampaunya suatu jangka waktu yang diperjanjikan, mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada tertangung. 64
3.1.1 Pengertian dan Tujuan Asuransi Jiwa Sepanjang hidup, manusia selalu dihadapkan kepada kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang dapat menyebabkan lenyap atau berkurang nilai ekonomi kehidupannya. Ini mengakibatkan kerugian bagi diri sendiri dan keluarganya atau orang lain yang berkepentingan. Dengan perkatan lain manusia selalu menghadapi peristiwa-peristiwa yang menimbulkan risiko antara lain sebagai berikut 64 : a. Meninggal dunia baik secara alamiah atau meninggal pada umur muda, misalnya dikarenakan sakit, kecelakaan dll; b. Cacat badan karena sakit atau kecelakaan; c. Hilang atau meosotnya keadaan kesehatan; d. Umur Tua.
Dalam rangka inilah lembaga peransuransian jiwa berusaha mengalihkan ketidakpastian dari perseorangan ke dalam kelompok besar orang. Di sini risiko perseorangan akan dibagi rata pada banyak orang. Lembaga peransuransian jiwa dapat melakukan ini, sekalipun tidak dapat menentukan umur orang per orang (individu) namun rata-rata dari kelompok besar orang secara statistik dapat ditentukan 64 .
Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009
Pada Hakekatnya dasar dari asuransi jiwa adalah adanya sekelompok orang yang menyadari bahwa 64 : a. Setiap orang pasti akan meninggal dunia, tetapi tidak pasti kapan terjadinya kematian tersebut; b. Kematian pencari nafkah akan berakibat hilangnya sumber pendapatan bagi yang berkepentingan. Oleh karena itu diperlukan jaminan keuangan dalam jangka waktu tertentu selama yang ditinggalkan belum dapat menyesuaikan diri dengan kondisi baru; c. Hari tua mengakibatkan hilang/berkurangnya pendapatan bagi yang berkepentingan, oleh karena itu diperlukan jaminan keuangan pada hari tuanya sampai meninggal.
Pengertian asuransi jiwa menurut Prof.Dr. Wirjono Prodjodikoro adalah sebagai berikut 64 :
Perjanjian asuransi jiwa adalah perjanjian tentang pembayaran uang dengan nikmat dari premi dan yang berhubungan dengan hidup atau matinya seseorang, termasuk juga perjanjian asuransi kembali/ulang dengan pengertian/catatan bahwa perjanjian dimaksud tidak termasuk perjanjian asuransi kecelakan.
Berdasarkan Undang-undang Usaha Perasuransian, Asuransi J iwa adalah asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan. Selanjutnya D.S. Hansel memberikan pengertian asuransi jiwa sebagai berikut 64 : Asuransi jiwa dapat diartkan sebagai suatu rencana sosial yang bertujuan memberikan santunan untuk suatu akibat musibah, yang pembayarannya dilakukan dari iuran-iuran yang dikumpulkan dari semua pihak ang ikut serta dalam rencana dimaksud.
Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009
J adi asuransi jiwa dapat diartikan suatu rencana atau alat dalam masyarakat untuk mengumpulkan dana melalui iuran-iuran dari para anggotanya. Sumbangan-sumbangan itu dibayar dalam bentuk premi, dan sebagai imbalannya setiap anggota berhak menuntut pembayaran sejumlah tertentu dari dana itu apabila mengalami peristiwa atau musibah tertentu. Purwosutjipt, S.H di dalam buku Hukum Pertanggungan mengatakan bahwa pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung, dengan mana penutup asuransi mengikatkan diri selama jalanya pertanggungan membayar uang premi kepada penanggung. Sedangkan penanggung, sebagai akibat langsung dari meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah lampau suatu jangka waktu yang diperjanjikan, mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang yang ditunjuk oleh penutup asuransi sebagai penikmatnya. Lebih lanjut Purwosutjipto menjabarkan hal-hal tersebut sebagai berikut 64 : a. Penutup atau pengambil asuransi adalah pihak dalam perjanjian pertanggungan yang mengikatkan diri untuk membayar premi dengan teratur kepada penanggung, akibatnya ia memiliki polis; b. Tertanggung adalah orang yang jiwanya dipertanggungkan, mungkin si penutup asuransi sendiri dan mungkin juga orang lain yang ditunjuk oleh si penutup asuransi; c. Penikmat mungkin si penutup asuransi sendiri atau ahli warisnya dan mungkin orang lain yang ditunjuk oleh penutup asuransi.
Molengraff, mengajukan dua macam definisi asuransi jiwa 64 : a. Pertanggungan jiwa dalam arti luas meliputi semua perjanjian tentang pembayaran sejumlah uang pokok atau suatu bunga, yang didasarkan atas kemungkinan hidup atau matinya seseorang, dan oleh karena itu pembayaran uang pokok atau pembayaran uan premi atau kedua-duanya bagi segala jenis pertanggungan jiwa dipertanggungkan pada hidup atau matinya satu atau beberapa orang tertentu. Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009
b. Dalam arti sempit, pertanggungan jiwa adalah perjanjian tetang pembayara uang pokok, satu jumlah sekaligus pada waktu hidup atau matinya orang yang ditunjuk.
Tujuan dari semua asuransi ialah untuk menutup suatu kerugian yang diderita selalu akibat dari suatu peristiwa yang bersangkutan dan yang belum dapat ditentukan semula akan terjadi atau tidak. Sedangkan menurut Prof.Wirjono Prodjodikoro, tujuan asuransi adalah jaminan oleh asurador kepada seseorang untuk tidak dirugikan oleh suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi. Sehingga hakikat asuransi jiwa adalah suatu pelimpahan risiko atas kerugian keuangan oleh tertanggung kepada enanggung. Risiko yang dilimpahkan kepada penanggung bukanlah risiko hilangnya jiwa seseorang, melainkan kerugian keuangan sebagai akibat hilangnya jiwa seseorang atau karena mencapai umur tua sehingga tidak produktif lagi 64 .
3.1.2 Syarat Sahnya Perjanjian Asuransi Jiwa Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu: a. Sepakat mereka yang saling mengikatkan dirinya; b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; c. Mengenai suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal.
Syarat sepakat dan kecakapan disebut syarat-syarat subjektif karena mengenai orang/badan hukum atau subjek yang mengadakan perjanjian itu sendiri. Sedangkan syarat hal tertentu dan sebab yang halal disebut syarat-syarat objektif karena menyangkut objek atau tujuan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian 64 . Syarat adanya sepakat dalam perjanjian dimaksudkan bahwa kedua pihak yang mengadakan perjanjian secara bebas tidak ada paksaan, penipuan dari Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009
siapapun, menyepakati apa yang diisyaratkan atau diminta oleh masing-masing pihak. Misalnya, calon pemegang polis menghendaki jumlah uang pertanggungan tertentu, atas permintaan tersebut penanggung mengajukan syarat-syarat calon tertanggung wajib memeriksakan kesehatan dan pemegang polis menyetujuinya. J ika kemudian terbukti kesehatan baik, baru dinyatakan dapat disetujui asuransinya. J ika persyaratan yang diajukan penanggung disetujui oleh pemegang polis, maka terjadi kesepakatan bebas 64 . Seseorang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum, artinya bahwa ia berwenang berbuat dan mampu mempertanggungjawabkan perbutannya. Disamping itu ia telah dewasa, sehat akal dan budidaya serta tidak didalam pengampuan. Di dalam Pasal 1330 KUHPerdata, disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: a. Orang-orang yang belum dewasa; b. Mereka yang berada di bawah pengampuan; c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- udang telah melarang membuat perjanjian tertentu. Seseorang belum dewasa, menurut Pasal 330 KUHPerdata, adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Syarat ketiga sahnya suatu perjanjian menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, yang berarti ada objek yang diperjanjikan. Sejumlah uang yang menjadi objek perjanjian, yang dalam praktek asuransi jiwa disebut uang pertanggungan, merupakan kewajiban yang akan diserahkan kepada pemegang polis. Pihak penanggung akan membayar premi. Kewajiban-kewajiban pihak-pihak tersebut disebut prestasi 64 . Syarat Keempat untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya sebab yang halal, maksudnya adalah adanya dasar dan alasan diadakannya perjanjian. Perjanjian itu sah bila tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau nilai-nilai kesusilaan (Pasal 1337 KUHPerdata). Perjanjian asuransi jiwa merupakan perjanjian yang sah, tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan nilai-nilai Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009
kesusilaan, sebab prosedur pendiriaannya diatur oleh peraturan pemerintah (Keputusan Mentri keuangan No. 292/KMK.011/1982). Bila sebab atau perjanjian itu tidak halal atau bertentangan dengan undang-undang, maka perjanjian itu tidak sah 64 .
3.1.3 Prinsip Umum Asuransi Jiwa Prinsip Umum Asuransi J iwa, yaitu 64 : a. Prinsip Ekonomi (Economic Principles); b. Prinsip Hukum (Legal Principles); c. Prinsip Aktuaria (Actuaria Principles); d. Prinsip kerja Sama (Cooperation Principles).
Ad 1. Prinsip Ekonomi (Economic Principles) Yang dimaksud ialah alasan-alasan ekonomi yang mendorong manusia menggunakan jasa asuransi jiwa. Tiga jenis risiko yang mempengaruhi nilai ekonomi hidup manusia dan menjadi alasan timbulnya kebutuhan/memerlukan asuransi jiwa, adalah sebagai berikut: a. Risiko kematian Peristiwanya pasti terjadi kapan terjadinya, tidak diketahui. Peristiwa kematian menyebabkan penghasilan lenyap dan mengakibatkan kerugian ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan atau orang-orang yang menjadi tanggungan. b. Risiko sebagai akibat hari tua Peristiwa hari tua pasti akan terjadi, tetapi berapa lama kehidupan hari tua itu berlangsung tidak diketahui. c. Risiko kecelakan/sakit Peristiwanya tidak pasti menyebabkan kematian atau ketidakmampuan. Merosotnya kondisi kesehatan dapat menimbulkan ketidakmampuan sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi bagi dirinya sendiri maupun Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009
keluarga. Kerugian ekonomi dimaksud dapat dikurangi karena di dalam asuransi jiwa terdapat unsur-unsur perlindungan dan tabungan.
Ad. 2. Prinsip hukum (Legal Principles) Kontrak asuransi jiwa harus dibuat dalam akta yang disebut polis. Polis merupakan suatu perjanjian yang memuat hak dan kewajiban pihak pelimpah risiko (pemegang polis) dan pihak penerima risiko (penanggung). Dua prisip hukum penting di dalam asuransi jiwa ialah prinsip itikad baik dan prinsip hubungan kepentingan. a. Prinsip itikad baik (utmost good faith) Semua data dan keterangan yang diberikan oleh pihak yang melimpahkan risiko dianggap dilakukan dengan itikad baik dan dijadikan dasar bagi penerima pelimpahan risiko. Apabila prinsip ini kemudian terbukti tidak dipatuhi (tidak beritikad baik) maka kontrak dapat dibatalkan oleh pihak penerima pelimpahan risiko. Demikian pula kebalikannya karena kekurangan pengetahuan tentang asuransi jiwa pemegang polis hanya percaya pada itikad baik dari perusahaan asuransi jiwa. Biasanya hal ini diatur oleh undang-undang dan juga perusahaan asuransi jiwa berada dalam pengawasan Direktorat Asuransi, Direktorat J endral lembaga Keuangan, Departemen keuangan Republik Indonesia (Insurance Commissioner). b. Prinsip hubungan kepentingan (Insurable Interest) Pada abad ke 16 di Inggris pernah diperdagangkan sebagai suatu kontrak taruhan. Di dalam kondisi demikian oleh banyak orang, asuransi jiwa dianggap sebagai immoral dan merupakan perjudian atas hidup manusia karena tidak terdapat hubungan insurable interest antara pemegang polis dengan tertanggung sebab di dalam ada unsur spekulasi. Baru pada abad ke 17 dibuat ketentuan bahwa kontrak asuransi jiwa hanya dapat berlaku menurut hukum apabila terdapat unsur hubungan kepentingan antara pemegang polis, tertanggung dan tertunjuk (penerima faedah). Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009
Ad. 3. Prinsip Aktuaria (Actuarial principles) Dalam asuransi jiwa terdapat hubungan antara hak dan kewajiban yang dinyatakan di dalam jumlah tertentu seperti jumlah uang pertanggungan dan premi. Premi ditentukan dengan menggunakan dasar-dasar perhitungan: tingkat kematian; suku bunga majemuk dan biaya. Demikian pula perhitungan unsur tabungan dan perlindungan, cadangan premi, nilai tebus, pinjaman atas polis dan sebagainya, semua ditentukan atas dasar prinsip aktuaria.
Ad. 4. Prinsip Kerja sama Asuransi jiwa pada dasarnya merupakan suatu benuk kerjasama dari orang-orang yang ingin menghindari atau setidak-tidaknya memperingan kerugian akibat terjadinya risiko. Kerja sama tesebut dikoordiasikan oleh perusahaan asuransi jiwa yang bekerja atas dasar hukum bilangan besar. Kerja sama dalam bentuk penyebaran risiko kepada perusahaan asuransi lainnya disebut co-insurance. Kerja sama dalam bentuk mengasuransikan di atas risiko yang ditanggung sendiri kepada perusahaan reasuransi disebut reasuransi.
3.1.4 Pihak Pihak Dalam Perjanjian Asuransi Jiwa Para pihak dalam pertanggungan jiwa terbagi atas tertanggung dan penanggung. Pihak tertanggung dapat memecah diri menjadi dua bentuk, yaitu penutup pengambil) asuransi dan penikmat, yang dapat diuraikan lebih lanjut sebagai berikut 64 :
a. Penutup asuransi Penutup atau pengambil asuransi adalah orang yang menutup perjanjian pertanggungan jiwa dengan penanggung. Penutup asurasi adalah lawan pihak dari penanggung, yang mengikatkan diri untuk membayar uang premi dan berhak menerima polis. Penutup asuransi juga berhak menetapkan atau menunjuk orang lain yang jiwanya dipertanggung dan dapat pula menunjuk orang yang berhak Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009
menerima (menikmati) santunan dari penanggung yang berupa sejumlah uang sebagai yang telah ditetapkan pada saat ditutupnya pertanggungan jiwa tersebut.
b. Penikmat Penikmat adalah orang yang ditunjuk oleh penutup asuransi sebagai orang yang berhak menerima santunan berupa sejumlah uang tertentu dari penanggung. Penunjukan ini terjadi sesuai dengan kehendak si penutup asuransi sendiri, sepanjang tidak melanggar ketentuan hukum. Penutup asuransi dapat menunjuk dirinya sendiri atau orang lain sebagai penikmat. Penutup asuransi juga dapat mengubah penunjukannya kepada penikmat lain, asal penikmat pertama belum menyatakan akan memanfaatkan janji itu. Maka dapat disimpulkan bahwa penikmat berkedudukan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal 1317 ayat 2 KUHPerdata).
3.1.5 Hak dan Kewajiban para Pihak dalam Perjanjian Asuransi Jiwa Pasal 246 KUHD menetapkan bahwa pertanggungan itu adalah perjanjian, dimana penanggung berkewajiban untuk mengganti kerugian bila terjadi peristiwa yang merugikan tertanggung serta berhak untuk menerima uang premi, sedangkan tertanggung berkewajiban untuk membayar uang premi dan berhak untuk mendapat penggantian kerugian. Pasal 257 ayat (1) KUHD menetapkan bahwa hak dan kewajiban itu mulai berlaku pada saat perjanjian pertanggungan itu ditutup. Hak dan Kewajiban yang bersifat timbal balik antara penanggung dan tertanggung adalah sebagai berikut 64 : a. Kewajiban membayar uang premi dibebankan kepada tertanggung atau orang yang berkepeningan (Pasal 246 KUHD); b. Kewajiban pemberitaan yang lengkap dan jelas dibebankan kepada tertanggung (Pasal 251 KUHD); Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009
c. Kesalahan-kesalahan tertanggung yang tidak termasuk dalam kesalahan orang yang berkepentingan, tidak dapat dilimpahkan kepada orang yang berkepentingan (Pasal 276 KUHD); d. Tertanggung bukan orang yang berkepentingan dalam pertanggungan, tidak dibebani kewajiban sebagaimana yang disebut dalam Pasal 283 KUHD yaitu kewajiban mengusahakan segala sesuatu untuk mencegah dan mengurangi kerugian yang mungkin terjadi; e. Tertanggung mempunyai hak untuk menuntut penyerahan polis (Pasal 257 ayat (2) KUHD), sedangkan orang yang berkepentingan berhak untuk menuntut ganti rugi kepada penanggung (Pasal 264 KUHD).
Hubungan hukum antara tertanggung dengan orang yang berkepentingan itu dapat berwujud pemberian kuasa, dan penyelenggaraan urusan. Hubungan hukum antara tertanggung dan penanggung adalah hubungan antara para pihak dalam perjanjian. Sedangkan hubungan hukum antara pihak yang berkepentingan dengan penanggung adalah hubungan bukan pihak, tetapi orang yang berkepentingan menanggung semua akibat hukum dari pertangunggan yang dibuat oleh tertanggung. Adapun para pihak dalam perjanjian asuransi jiwa dalam arti sempit, maka terdapat dua pihak yaitu penaggung dan tertanggung. Sedangkan dalam arti luas, para pihak yang terdapat pada perjanjian asuransi jiwa yaitu penanggung, tertanggung, pemegang polis dan tertunjuk. 64
Dalam perjanjian asuransi jiwa perlu diketahui para pihak yang melakukan perjanjian. Untuk itu, berikut ini menerangkan mengenai masing-masing para pihak dalam perjanjian asuransi dalam arti luas: a. Penanggung Pihak yang menerima risiko dari perjanjian asuransi, kemudian menannggung pembayaran uang pertanggungan dan mengikatkan Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009
diri untuk pembayaran jumlah pertanggungan tersebut. Perusahaan asuransi hanya boleh melakukan satu jenis usaha, apakah asuransi kerugian atau asuransi jiwa. 64
b. Tertanggung Orang yang lama hidupnya atau umurnya menjadi dasar daripada perjanjian asuransi. Kemudian dari hidupnya itu digantungkan penyelesaian dari perjanjian asuransi jiwa. c. Pemegang Polis Merupakan orang yng mengadakan perjanjian dengan penanggung dan orang itu ikut serta dalam melakukan perjanjian. Orang itu mempunyai kewajiban membayar premi dan berhak menerima polis.J ika seseorang mempertanggungjawabkan jiwanya sendiri maka ia berfungsi sebagai pemegang polis dan tertanggung. J ika pemegang polis mempertanggung dirinya sendiri untuk waktu tertentu, yaitu setelah jangka waktu tertentu ternyata ia masih hidup maka pemegang polis dapat menjadi tertunjuk. d. Tertunjuk Merupakan pihak yang berhak atas penerimaan uang pertanggungan berdasarkan perjanjian asuransi jiwa. Tertunjuk sangat penting dalam perjanjian sebagai imbangan dari penanggung yang harus membayar uang pertanggungan. Uang pertanggungan baru dapat diterima jika waktu jangka waktu pertanggungan sudah berakhir dan tertanggung masih hidup atau tertanggung meninggal dunia pada waktu pertanggungan. J ika pemegang polis dan tertanggung adalah orang sama maka tertunjuk menggantikan kedudukannya sebagai pemegang polis. J ika terdapat lebih dari lebih dari satu nama tertunjuk maka salah satu nama tertunjuk maka salah satu diantaranya mereka akan bertindak atas nama yang Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009
lainnya sebagai pemegag polis. Apabila dalam keadaan dimana pemegang polis belum menunjuk siapa yang menjadi tertunjuk, padahal ia sendiri berkedudukan sebagai tertanggung, kemudian ia meninggal dunia maka para ahli waris dan orang-orang yang memperoleh hak dari pemegang polis berhak atas uang pertanggungan.
3.2. Polis Asuransi Jiwa Pada Umumnya Pada dasarnya setiap perjanjian pasti membutuhkan adanya suatu dokumen. Setiap dokumen secara umum mempunyai arti yang sangat penting karena berfungsi sebagai alat bukti. Arti pentingnya dokumen sebagai alat bukti tidak hanya bagi para pihak saja, tetapi juga bagi pihak ketiga yang mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan perjajian bersangkutan 64 . Asuransi dalam terminologi merupakan suatu perjanjian. Oleh karena itu perjanjian itu sendiri perlu dikaji sebagai acuan menuju pada pengertian perjanjian asuransi. Pasal 255 KUHD menentukan bahwa semua asuransi haruslah dientuk secara tertulis dengan suatu akta yang dinamakan polis. Undang-undang menentukan bahwa untuk setiap polis harus memenuhi syarat-syarat minimal diatur oleh Pasal 256 KUHD sebagai syarat-syarat umum. Di samping syarat-syarat umum setiap jenis polis sesuai dengan jenis asuransi masih harus ditambah dengan syarat-syarat khusus pula 64 . Pada dasarnya syarat- syarat tersebut adalah berfungsi sebagai ketentuan umum. Kadang-kadang dianggap belum/kurang cukup mengatur bagi para pihak dalam perjanjian- perjanjian yang mereka adakan. Oleh karena itu selanjutnya timbullah suatu kebutuhan untuk menambah syarat-syarat lain yang khusus berlaku bagi para pihak pada suatu persetujuan tertentu yang bersangkutan. Syarat-syarat tambahan yang sifatnya khusus tadi biasanya ditulis atau diketik pada bagian kertas polis Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009
yang khusus disediakan untuk keperluan itu. Lambat laun dalam perjalanan waktu dan sesuai dengan berkembangnya berbagai jenis risiko yang dapat timbul serta karena kebutuhan proteksi yang makin luas, maka syarat khusus itu makin merupakan suatu kebetulan. Oleh perusahaan-perusahaan pertanggungan syarat- syarat tambahan itu kemuian dicetak pula. Sehingga apabila diperlukan kemudian secara dapat dilekatkan pada polis-polis yang bersangkutan (tujuannya untuk mempermudah pelaksanaan). Tentu saja syarat-syarat tambahan yang dilekatkan pada polis hanyalah sah apabila dilandasi oleh klausula yang menyebutkan bahwa terhadap pertanggungan yang bersangkutan, disamping syarat-syarat yang telah disebut dalam polis juga berlaku syarat-syarat tambahan yang dilekatkan pada kertas polis termaksud. Syarat tambahan ialah syarat-syarat lain yang belum diatur dalam polis, tetapi oleh para pihak/satu pihak dianggap penting baginya. J adi klausua yang mengatur penting artinya 64 . Isi polis yang dikeluaran oleh perusahaan asuransi masih harus ditambahkan atau diubah untuk memenuhi berbagai kebutuhan antara lain kemungkinan adanya perubahan nama, perubahan alamat, penambahan atau pengurangan ahli waris, penambahan atau pengurangan jumlah pertanggungan dan sebagainya. Setiap perubahan atau penambahan isi polis, baik yang bersifat syarat atau bersifat pemberitahuan harus dicatat pada polis yang bersangkutan, agar perubahan ini dapat dianggap sah dan mengikat para pihak 64 . Pada dasarnya setiap polis terdiri dari empat bagian, yaitu 64 : a. Deklarasi Merupakan suatu pernyataan yang dibuat oleh calon ertanggung, yang pada dasarnya memberikan keterangan mengenai jati dirinya atau mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan penutupan perjanjian asuransi. Informasi atau keterangan dari calon tertanggung, pada dasarnya dapat diberikan baik secara lisan maupun secara tertulis. Apabila secara tertulis, Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009
dilaksanakan dengan cara pengisian daftar isian/form aplikasi yang sudah disiapkan oleh penanggung. Aplikasi permohonan untuk menjadi nasabah juga berisikan informasi yang dibutuhkan huna pengisian pada bagian deklarasi suatu polis. Blanko isian yang sudah diisi kemudian ditandatangani oleh calon tertanggung sebagai pemohon. Aplikasi yang bersangkutan dapat disiapkan secara rinci atau tidak di samping tertanggung pada jenis asuransi juga sangat dipengaruhi oleh kebutuhan keterangan-keterangan penting yang perlu dan harus diketahui oleh penanggung.
b. Klausula Pertanggungan Klausula pertanggungan merupakan bagian yang utama dari suatu polis. Pada bagian klausula ini dengan jelas diatur ketentuan mengenai risiko apa saja dari polis yang bersangkutan, yang ditanggung oleh penanggung, syarat-syarat yang diminta dan ruang lingkup tanggung jawab penanggung. c. Pengecualian-pengecualian Dalam setiap polis dengan kondisi apapun juga selalu terdapat bagian yang mengandung Pasal-Pasal mengenai pengecualian. Dengan tegas polis menentukan terhadap hal-hal apa saja terdapat pegecualian; apakah bencana atau bahanya atau mengenai kerugian-kerugian tertentu yang dikecualikan dari perjanjian pertanggungan yang dimaksud. Untuk ini seorang tertanggung harus tahu persis apa saja yang dikecualikan dari penutupan polis termaksud. d. Kondisi-kondisi Pada bagian polis ini dijelaskan tentang apa yang menjadi hak dan kewajiban para pihak baik penanggung atau tertanggung. Kondisi-kondisi Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009
termaksud biasanya mengenai: pembayaran premi, kewajiban tertanggung bila terkena suatu peristiwa, gugurnya hak ganti rugi, dan perselisihan. Sedangkan menurut Pasal 304 KUHD polis pertanggungn jiwa memuat 64 : Hari ditutupnya pertanggungan Hari dan tanggal ditutupnya pertanggungan perlu disebut dalam polis untuk mengetahui kapan mulainya masa pertanggungan, dalam jangka waktu mana risiko menjadi beban pertanggungan. Nama tertanggung Kata tertanggung masih dipakai dalam undang-undang, sedangkan dalam ilmu dan praktek telah mempergunakan kata penutup/pengambil asuransi. Sebagai pihak dalam perjanjian pertanggungan jiwa, penutup asuransi mempunyai kewajiban yang kurang daripada tertanggung. Penutup asuransi hanya mempunyai kewajiban untuk membayar premi dan berhak menerima polis, sedangkan tertanggung disamping berhak untuk menerima polis, juga berhak untuk menerima penggantian kerugian dari penanggung bila terjadi klaim. Dalam pertanggungan jiwa nama orang yang berhak menerima sejumlah uang tertentu dari penanggung disebut penikmat. Nama penikmat ini seharusnya ditulis dalam pertanggungan jiwa. Badan tertanggung Istilah yang diberikan kepada orang yang jiwanya dipertanggungkan. Masa pertanggungan Yang dimaksud dengan masa pertanggunagn adalah suatu jangka waktu tertentu, dalam jangka waktu mana, mulai dan berakhirnya risiko menjadi beban penanggung, misalnya suatu pertanggungan jiwa mulai pada tangga 1 J uni 193 sampai tanggal 1 J uni 1993, yakni masa pertangungan selama 10 tahun. Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009
J umlah pertanggungan J umlah pertanggungan adalah suatu jumlah uang tertentu yang diperjanjikan pada saat ditutupnya pertanggungan sebagai jumlah santunan yang harus dibayarkan oleh penanggung kepada penikmat, bila terjadi klaim. Uang premi Uang premi adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan oleh penutup asuransi kepada penanggung setiap bulan atau setiap jangka waktu tertentu selama jalannya pertanggungan. Besarnya jumlah uang premi itu tergantung dari jumlah pertanggungan yang dikehendaki oleh penutup asuransi yang ditetapkan pada saat ditutupnya pertanggungan.
Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009