You are on page 1of 5

Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT dan yang dilaksanakan di Indonesia sesuai rekomendasi

WHO, dengan obat alternative sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan. Yang paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS, karena DDS adalah obat antikusta yang paling banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai dengan para penderita yang ada dinegara berkembang dengan sosial ekonomi rendah.

DDS Tentang sejarah pemakaian DDS, pada 20 tahun pertama digunakan sebagai monoterapi. Pada tahun 1960 SHEPARD berhasil melakukan inokulasi M.leprae ke dalam telapak kaki mencit. Pada tahun 1964, pembuktian pertama kali dengan inokulasi adanya resistensi terhadap DDS oleh PETTIT dan REES, disusul secara beruntun pembuktian adanya resistensi yang meningkat di berbagai Negara. Dengan adanya pembuktian resistensi tersebut berubahlah pola berpikir dan tindakan kemoterapi kusta dari monoterapi ke MDT. Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan, yaitu relaps sensitive (persisten)dan relaps resisten. Pada relaps sensitive secara klinis, bakerioskopik, histopatologi dapat dinyatakan penyakit tiba-tiba aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan bakterioskopik positif kembali. Tetapi setelah dibuktikan dengan pengobatan dan inokulasi pada mencit, ternyata M. Leprae masih sensitive terhadap DDS. M.Leprae yang semula dorman, sleeping, atau persisten, bangun dan aktif kembali. Pada pengobatan sebelumnya, basil dorman sukar dihancurkan dengan obat atau MDT apapun. Pada relaps resistensdengan gejala klinis, bakterioskopik, dan histopatologik yang khas, dapat dibuktikan dengan percobaan pengobatan dan inokulasi pada mencit, bahwa M.Leprae resistens terhadap DDS. Cara pembuktiannya ialah dengan percobaan pengobatan dengan DDS 100 mg sehari selama 3 bulan sampai 6 bulan disertai pengamatan secara klinis, bakterioskopik, dan histopatologik. Apabila fasilitas mengizinkan, dapat ditentukan gradasi resistensinya dari yang rendah, sedang, sampai yang tinggi. Inokulasi mencit di Indonesia, baru dapat dilaksanakan pada tahun 1980 di Bagian Mikrobiologi FKUI Jakarta. Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi sekunder terjadi oleh karena :

Monoterapi DDS Dosis terlalu rendah Minum obat tidak teratur Pengobatan terlalu lama, setelah 4-24 tahun.

Resistensi hanya terjadi pada kusta multibasiiar, tetapi tidak pada pausibasiiar, oleh karena SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relative singkat. Resistensi primer, terjadi bila orang yang telah resisten, dan manifestasinya dapat dalam berbagai tipe (TT, BT, BB, BL, LL), bergantung pada SIS penderita. Derajat resisten yang rendah masih dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi, sedangkan pada derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi. Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk : Mencegah dan mengobati resistensi Memperpendek masa pengobatan Mempercepat pemutusan mata rantai penularan

Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain : Efek terapautik obat Efek samping obat Harga obat Kemungkinan penerapannya.

Kalau kombinasinya terlalu kompleks dan terlalu mahal, maka tidak dapat dilaksanakan dan sebaliknya jika kombinasinya terlalu sederhana dan terlalu murah, akan mengandung resistensi baru. Pengertian MDT pada saat ini ialah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan obat-obat lain. Dosis DDS 1-2 mg/kg berat badan setiap hari. Efek samping yang mungkin timbul antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.

Rifampisin Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS dengan dosis 10mg/kg berat badan; diberikan setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya. Ditemukan dan dipakai sebagai obat antituberkulosis pada tahun 1965 dan sebagai obat kusta pada tahun 1970 oleh REES dkk., serta LEIKER dan KAMP. Resistensi pertama terhadap M. Leprae dibuktikan pada tahun 1976 oleh JACOBSON dan HASTINGS. Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, gejala gastrointestinal, flulike syndrome, dan erupsi kulit. Klofazimin (lamprene) Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh BROWN dan HOOGERZEIL. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat antinflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan E.N.L. dengan dosis lebih tinggi yaitu 200 mg 300 mg/hari, namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu. Resistensi pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982. Efek sampingnya ialah warna kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada sclera, sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh klofazimin yang merupakan zat warna dan dideposit terutama pada sel system retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Obat ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek samping hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan. Perubahan warna tersebut akan mulai menghilang setelah 3 bulan obat dihentikan.

Protionamid Dosis diberikan 5-10 mg/kg berat badan setiap hari, dan untuk Indonesia obat ini tidak atau jarang dipakai. Distribusi protionamid dalam jaringan tidak merata, sehingga kadarhambat minimalnya sukar ditentukan. Kadar hambat minimal (KHM) berbagai obat antilepra dapat dilihat pada table 10-6. Ofloksasin Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukan dan biasanya tidak membutuhkan penghentian pemakaian obat. Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati, karena pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati. Selain ofloksasin dapat pula digunakan levofloksasin dengan dosis 500 mg sehari; obat tersebut lebih baru, jadi lebih efektif. Minosiklin Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daipada rifampisin. Dosis standar harian 100 mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai simton saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan. Klaritromisin Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian

500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg. MDT dengan beberapa terapi alternative telah ditetapkan pada Rapat Konsultasi Kusta Nasional (RKKN) yang kiranya sesuai dan dapat diterapkan di Indonesia.

You might also like