You are on page 1of 8

Klasifikasi Anemia Anemia berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi dua, yaitu anemia gizi dan anemia non-gizi.

Klasifikasi anemia dapat berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan, yaitu anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg; anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg; anemia makrositer, bila MCV > 95 fl. Anemia gizi umumnya di dunia dapat diklasifikasikan sebagai makrositik, mikrositik atau hemolitik seperti pada Tabel 1. Makrositik (ukuran besar) dan mikrositik (ukuran sel kecil) adalah bagian beda fitur proses yang telah diubah. Hasil anemia makrositik dari rendah-jenis kemampuan untuk mensintesis sel-sel baru dan DNA, karena kekurangan dalam cyanocobalamin, asam folat, tiamin dan piridoksin. Kekurangannya mungkin karena makanan atau genetik. Anemia mikrositik disebabkan oleh sintesis heme seperti gangguan, sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk menyerap, mengangkut, menyimpan atau menggunakan besi atau kekurangan keterampilan masalah sintetis askorbat protein, zat besi, vitamin A, piridoksin, tembaga atau mangan. Mikrositosis juga dapat disebabkan oleh penyakit kronis. Kemampuan untuk mensintesis heme juga dapat terganggu oleh toksisitas tembaga, seng, timah, kadmium, atau logam berat lainnya. Anemia hemolitik mungkin karena defisiensi atau kelebihan tandatanda klinis dari vitamin E. Tabel 1 Anemia gizi Tipe anemia makrositik Hubungan defisiensi gizi Defisiensi pada cyanocobalamin folate thiamin pyridoxine Defisiensi pada protein iron ascorbate vitamin A

mikrositik

Toksik pada: Logam berat lainnya Tembaga Seng Cadmium

pyridoxine copper manganese

Anemia non-gizi (Hemoglobinopathies) secara garis besar dibagi menjadi lima kelas utama hemoglobinopati yang bersifat struktural yaitu anemia sel sabit, thalassemia, varian hemoglobin thalassemic, keturunan dari hemoglobin janin, dan hemoglobinopati yang didapat (misalnya, anemia sekunder terhadap paparan racun atau keadaan penyakit seperti kanker).

Anemia Defisiensi Besi Anemia defisiensi besi adalah anemia mikrositik hipokromik yang terjadi akibat defisiensi besi dalam gizi, atau hilangnya darah secara lambat dan kronik. Anemia defisiensi besi disebabkan oleh karena rendahnya asupan besi, gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun yaitu kehilangan besi sebagai akibat dari perdarahan menahun yang dapat berasal dari saluran cerna; saluran genitalia pereempuan; saluran kemih; dan saluran nafas, selain karena perdarahan, kehilangan besi juga dapat disebabkan oleh faktor nutrisi akibat kurangnya besi total dalam makanan atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C dan rendah daging). Peningkatan kebutuhan zat besi dan gangguan absorpsi besi juga menjadi pemicu kehilangan besi akibat perdarahan menahun. Perdarahan menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin menurun. Keadaan ini di tandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorpsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus, maka cadangan besi menjadi kosong. Penyediaan besi untuk eritropoesisi berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan kadar free protophorpyhrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan total iron binding capacity meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoesisi semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya. Anemia defisiensi Fe dicegah dengan memelihara keseimbangan antara asupan Fe dengan kebutuhan dan kehilangan Fe. Jumlah Fe yang dibutuhkan untuk memelihara keseimbangan ini bervariasi antara satu wanita dengan lainnya, tergantung pada riwayat reproduksi dan jumlah kehilangan darah selama menstruasi. Peningkatan konsumsi Fe untuk memenuhi kebutuhan Fe dilakukan melalui peningkatan konsumsi makanan yang mengandung heme iron, bersifat mempercepat (enhancer) non heme iron, dan meminimalkan konsumsi makanan yang

mengandung faktor penghambat absorpsi Fe (inhibitor). Sumber zat besi yang baik yang mengandung sejumlah besar zat besi dalam kaitannya untuk kandungan kalorinya (kepadatan nutrisi tinggi) dan berkontribusi pada sedikitnya 10% dari US penyisihan diet yang direkomendasikan GDA) untuk besi. Hati; ginjal; sapi; fruis kering; kacang polong kering dan kacang-kacangan; kacang; hijau leafii sayuran, dan diperkaya gandum roti,muffins, sereal adalah makanan sumber zat besi (Mahan and Stump 2008). Jika kebutuhan Fe tidak cukup terpenuhi dari diet makanan, dapat ditambah dengan suplemen Fe terutama bagi wanita hamil dan masa nifas. Suplementasi fe adalah salah satu strategi untuk meningkatkan intake Fe yang berhasil hanya jika individu mematuhi aturan konsumsinya. Bentuk strategi lain yang digunakan untuk meningkatkan kepatuhan mengonsumsi Fe adalah melalui pendidikan tentang pentingnya suplementasi Fe dan efek samping akibat minum Fe (Fatmah 2010). Gejala akibat anemia defisiensi zat besi Anemia Megalobastik Anemia megalobastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis DNA dan ditandai oleh sel megalobastik. Kebanyakan anemia megalobastik disebabkan karena defisiensi vitamin B12 (kobalamin) dan atau asam folat. Asam folat dan vitamin B12 adalah zat yang berhubungan dengan unsur makanan yang sangat penting bagi tubuh. Peran utama asam folat dan vitamin B12 ialah metabolisme intraseluler. Adanya defisiensi kedua zat tersebut akan menghasilkan tidak sempurnanya sintesis DNA pada setiap sel, dimana pembelahan kromosom sedang terjadi. Anemia akibat defisiensi B12 disebut dengan anemia pernisiosa, sedangkan anemia akibat defisiensi asam folat disebut anemia defisiensi folat. Penyebab terjadinya anemia megalobastik adalah asupan kedua zat yang tidak cukup, terjadinya malabsobsi, keperluan yang meningkat, metabolisme yang terganggu, obat-obat yang menggangu metabolisme DNA, defisiensi transkobalamin II. Nutrisi terapi untuk penyebab anemia megaloblastik harus diperlakukan secara istimewa. Suplementasi dengan vitamin B12 dan atau folat dianjurkan. Hal ini sering tepat untuk memberikan multivitamin dan mineral dalam hubungannya dengan administrasi suplemen tunggal pada pasien dengan anemia. Jika anemia sekunder untuk penyerapan terganggu, intramuskular atau intranasal administrasi adalah lebih baik. Tingkat homosistein, MMA, transcobalamin II dan langkah-langkah lain pada status hematologi harus dipantau secara rutin. Edukasi pasien pada peningkatan kepadatan nutrisi diet dengan makanan yang menggabungkan tinggi folat dan B12 dianjurkan. Lansia adalah yang paling berisiko, terutama mereka yang menerima layanan tambahan seperti makanan di atas roda. Biasanya, orang-orang tua dan tidak dapat menerima layanan ini yaitu orang-orang dengan sakit kronis dan cacat, memiliki status gizi buruk dan status sosial ekonomi rendah, yang berarti mereka kurang memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan konseling. Status Folat juga buruk pada pasien yang lebih tua, khususnya mereka yang dilembagakan atau fungsional Dete-tion, fisik atau mental.

Anemia Aplastik Anemia aplastik juga dikenal sebagai anemia Fanconi. Anemia aplastik adalah anemia normokromik normositik yang disebabkan oleh disfungsi sumsum tulang sehingga sel-sel darah yang mati tidak diganti. Anemia ini adalah hasil dari kegagalan sumsum yang diwariskan. Sel dari sumsum Fanconi memiliki siklus oksigen metabolisme normal. Anemia aplastik disebabkan oleh kanker sumsum tulang, perusakan sumsum tulang oleh proses autoimun, keracunan, trauma, autoimun penyakit, berbagai obat. Ada juga yang diwarisi sindrom kegagalan sumsum yang hadir sebagai anemia aplastik, meskipun etiologi yang benar adalah mieloproliferatif (Roschella 2010). Dahulu, anemia aplastik dihubungkan erat dengan paparan terhadap bahan-bahan kimia dan obat-obatan. Anemia aplastik disebabkan paparan terhadap bahan-bahan toksik seperti radiaasi, kemotrapi, obat-obatan atau senyawa kimia tertentu. Penyebab lainnya meliputi kehamilan, hepatitis viral, dan fascitis eosinofilik. Anemia aplastik terkait obat terjadi hipersensitivitas atau dosis obat yang berlebihan. Obat-obat yang banyak menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mileran atau nitrosourea. Bahan kimia terkenal yang dapat menyebabkan anemia aplastik ialah senyawa benzena. Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia aplastik sementara atau permanen misalnya virus epstein-barr, influenza A, dengue, tuberkulosis (milier). Sitomegalovirus dapat menekan produksi sel sumsum tulang melalui gangguan pada sel-sel stroma sumsusm tulang. Infeksi oleh human imunodefisiensi virus (HIV) yang berkembang menjadi acquired imunodfisiensi sindrom (AIDS) dapat menurunkan pansitopenia. Infeksi kronik oleh parfovirus pada pasien dengan defisiensi imun juga dapat menimbulkan pansitopenia. Nutrisi terapi untuk anemia aplastik dan anemia langka lainnya termasuk pemeliharaan kecukupan makronutrien dan mikronutrien melalui terapi transfusi, transplantasi sumsum tulang (BMT), dan perawatan lainnya. Strategi untuk pasien yang menjalani perawatan dosis tinggi kortikosteroid harus termasuk pemeliharaan fluid yang normal dan status elektrolit sebagai serta pemantauan kalsium dan vitamin D.

Anemia Sel Sabit Anemia sel sabit adalah suatu gangguan resesif otosom yang disebabkan oleh pewarisan dua salinan gen hemoglobin defektif, satu dari masing-masing orangtua. Hemoglobin yang cacat tersebut, yang diberi nama sabit apabila terpajan oksigen berjadar rendah. Sel darah merah pada anemia sel sabit ini kehilangan kemampuannya berubah bentuk sewaktu melewati pembuluh yang sempit sehingga aliran darah ke jaringan disekitarnya tersumbat. Hal ini menyebabkan iskemia dan infark di berbagai organ disekitarnya, terutama tulang dan limpa. Rangsangan yang sering menyebabkan terbentuknya sel sabit adalah stres fisik, demam, atau trauma (Corwin 2000).

Tanda terjadinya anemia sel sabit yaitu tanda-tanda siskemik anemia, nyeri hebat akibat sumbatan vaskular pada serangan-serangan penyakit, infeksi bakteri berulang, splenomegali. Pencegahan dan terapi yang dapat diberikan kepada pasien yang mengalami anemia sel sabit yaitu menghindari situasi kekurangan oksigen atau aktivitas yang membutuhkan oksigen, antibiotik profilaktik dapat diberikan untuk mencegah infeksi, mengkonsumsi suplemen asam folat, dan transfusi sel darah merah.

Bentuk sel sabit pada penderita anemia sel sabit

Thalasemia Talasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan secara resesif karena adanya gangguan sintesis alfa abnormal atau beta globin. Pengurangan ketersediaan globin menurunkan sintesis hemoglobin. Tingkat keparahan anemia yang dihasilkan tergantung pada sejauh mana sintesis terganggu. Warisan dari beberapa gen abnormal memperburuk fenotipe klinis. Sel darah merah menjadi hipokromik, elips, dan tidak teratur. Penyebab anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder. Primer adalah berkurangnya sintesis HbA dan eritropoesisi yang tidak efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit intrameduler. Sedangkan yang sekunder ialah karena defisiensi asam folat, bertambahnya volume plasma intravaskular yang mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati. Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang. Terjadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfusi berulang, peningkatan absorbsi besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis, serta proses hemolisis. Tanda pada bayi baru lahir dengan talasemia beta mayor tidak anemis. Gejala awal pucat mulanya tidak jelas, biasanya menjadi lebih beratt dalam tahun pertama kehidupan dan pada kasus yang berat terjadi dalam beberapa minggu setelah lahir. Bila penyakit ini tidak ditangani dengan baik, tumbuh kembang masa kehidupan anak akan terlambat. Anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan lemak tubuh, dapat disertai demam berulang akibat infeksi. Anemia berat dan lama biasanya menyebabkan pembesaran jantung. Terapi yang dilakukan untuk penderita talasemia yitu dengan transfusi PRC (packed red cell). Transfusi hanya diberikan bila saat Hb < 8 g/dl. Imunisasi terhadap virus hepatitis B dan C untuk mencegah virus melalui transfusi darah. Kelebihan zat besi pada jaringan tubuh diberikan kelas besi, yaitu Desferal secara im atau iv untuk mengeluarkannya.

Anemia Hemolitik Pada Bayi Baru Lahir Anemia hemolitik pada bayi baru lahir adalah suatu anemia normositik normokromik pada bayi positif Rh yang lahir dari ibu negatif Rh yang sebelumnya telah membentuk antibodi terhadap antigen Rh. Penyakit ini dapat terjadi akibat ketidakcocokan ABO atau Rh antara bayi dan ibunya. Bentuk yang lebih parah biasanya berkaitan dengan ketidakcocokan faktor Rh. Karena banyaknya antibodi maternal terhadap sel darah merah janin, maka dapat terjadi lisis sel darah merah janin yang berlebihan. Lisis sel darah merah menyebabkan pelepasan bilirubin serta aglutinasi sel-sel. Hal ini dapat terjadi sebelum atau sesudah kelahiran, sehingga kapasitas hati bayi yang memang sudah rendah tersebut dibebani secara berlebihan untuk mengkonjugasi bilirubin. Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir mungkin sangat ringan atau parah, bergantung pada derajat antibodi ibu dan banyaknya sel darah merah yang mengalami lisis pada bayi. Apabila penyakitnya ringan maka kulit tampak sedikit pucat dan hati mungkin sedikit membesar. Apabila penyakitnya parah, maka akan dijumpai ikterus, hepatomegali, dan splenomegali. Untuk kasus ringan pada penyakit hemolitik pada bayi baru lahir fototerapi dapat menyembuhkan penyakit. Untuk hiperbilirubinemia yang parah, bayi diterapi dengan transfusi darah yaitu bayi ditransfusi darah positif Rh yang tidak mengandung antibodi Rh. Aspek terpenting dalam pengobatan penyakit hemolitik pada bayi baru lahir adalah pencegahan penyakit melalui identifikasi ibu yang beresiko membentuk antibodi Rh, yaitu dengan pemberian antibodi positif Rh atau disebut imunoglobulin Rh.

Anemia PascaPerdarahan Anemia pascaperdarahan adalah anemia normositik normokromik yang terjadi akibat kehilangan darah secara mendadak pada orang sehat. Perdarahannya dapat jelas atau samar. Pada perdarahan mendadak, tekanan darah menurun. Respon refleks terhadap menurun tekanan darah adalah peningkatan pengaktivan susunan saraf simpatis. Hal ini menyebabkan peningkatan resistensi vaskular, kecepatan denyut jantung, dan isi sekuncup, yang semuanya bertujuan untuk mengembalikan tekanan darah ke tingkat normal. Respon ginjal terhadap penurunan tekanan darah adalah penurunan pengeluaran urin dan peningkatan pelepasan hormon renin. Terjadi reabsorbsi garam dan air dengan tujuan mengembalikan tekanan darah. Produksi sel darah merah dirangsang oleh pelepasan eritropoetin oleh ginjal. Pada penderita anemia ini akan muncul tanda-tanda sistemik anemia yang segera dan dramatik. Penyebab perdarahan akan dijumpai pada penderita yang memperlihatkan gejala-gejala klinis. Pemulihan volume darah pada penderita anemia ini yaitu dengan pemberian plasma secara intravena atau darah utuh yang telah dicocokkan golongannya.

Anemia Prematuritas Anemia terlihat pada bayi prematur biasanya terkait dengan tingkat yang rendah dari erythropoietin karena ginjal terbelakang dan kegagalan mekanisme umpan balik untuk eritropoiesis. Terapi nutrisi yang dapat diberikan yaitu dengan pemberian suplementasi vitamin E selama pengobatan eritropoietin pada anemia prematuritas ini yang berkhasiat untuk melindungi membran sel darah merah dan mengurangi hemolisis. Dextran besi dalam larutan harus diberikan melalui rute parenteral (jika mungkin), dan status folat harus dipantau ketat. Tanda dan gejala Gejala umum anemia adalah apabila gejala yang timbul pada setiap kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun di bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena anoreksia organ dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen. Gejala umum anemia menjadi jelas apabila kadar hemoglobin telah turun dibawah 7 g/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada derajat penurunan hemoglobin, kecepatan penurunan hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya. Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu: 1. Gejala umum anemia Gejala umum anemia timbul karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (hb <7 g/dl). Gejala umum anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas, dan dispepsia. 1. Gejala khas masing-masing anemia Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, yaitu :

anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papi lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok. Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12. Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali, hepatomegali, anemia aplastik: peningkatan kecepatan denyut jantung, perdarahan dan tanda-tanda infeksi, penurunan kualitas rambut dan kulit.

1. Gejala penyakit dasar Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi, tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan.

Pengobatan pada Penderita Anemia Screening diperlukan untuk mengidentifikasi kelompok wanita yang harus diobati dalam mengurangi morbiditas anemia. CDC menyarankan agar remaja putri dan wanita dewasa yang tidak hamil harus di screening tiap 5-10 tahun melalui uji kesehatan, meskipun tidak ada faktor risiko anemia seperti perdarahan, rendahnya intake Fe, dan sebagainya. Namun, jika disertai adanya faktor risiko anemia, maka screening harus dilakukan secara tahunan. Penderita anemia harus mengonsumsi 60-120 mg Fe per hari dan meningkatkan asupan makanan sumber Fe. Satu bulan kemudian harus dilakukan screening ulang. Bila hasilnya menunjukkan peningkatan konsentrasi Hb minimal 1 g/dL atau hematokrit minimal 3 persen, pengobatan harus diteruskan sampai tiga bulan. Bagi wanita hamil harus dilakukan screening pada kunjungan ANC Idan ruti pada setiap trimester. Wanita penderita anemia tingkat ringan harus diberikan Fe dosis 60-120 mg/hari, dosis berikutnya dikurangi menjadi 30 mg/hari saat konsentrasi Hb atau hematokrit menjadi normal untuk usia kehamilan. Wanita hamil dengan konsentrasi di bawah atau sama dengan 9 g/dL atau hematokrit kurang dari 27 persen saat screening harus dirujuk untuk pengobatan medis lebih lanjut. CDC menyarankan screening anemia dilakukan pada wanita nifas dalam waktu 4-6 minggu pasca persalinan jika wanita itu menderita anemia saat hamil trimester III, atau melahirkan bayi kembar, atau mengalami banyak perdarahan saat melahirkan.

You might also like