You are on page 1of 19

MAKALAH BHP TUTORIAL B4

Gastrointestinal System
ASPEK HUMANIORA PADA TRANSPLANTASI GINJAL

Di Susun Oleh :























FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
Tahun Ajaran 2014-2015

1. Dwi Try Gunawan 111 0211 120
2. Nesty Vavirya Kartika Dewi 111 0211 052
3. Saffanah Nur Hidayah 111 0211 152
4. M. Dimas Rizaputra 111 0211 129
5. Danar Pratama Putra 111 0211 155
6. Rizky Takdir Ramadhan 111 0211 089
7. Fajar Arismunandar 111 0211 077
8. Sabrina 111 0211 181
9. Farras Cantika Abiyyah 111 0211 086
10. Grace Livia Nurul Husna 101 0211 105

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah melimpahkan
kepada kami selaku penyusun, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini berdasarkan
analisa penyusun dari berbagai sumber.

Penyusunan makalah ini, kami lakukan untuk pembelajaran dan memenuhi standar penilaian
di bidang BHP. Makalah ini berisikan materi mengenai ASPEK HUMANIORA PADA
TRANSPLANTASI GINJAL.

Dalam proses penyusunan makalah ini, kami telah memperoleh banyak dorongan dan
bantuan baik berupa bimbingan serta sumbangan materi dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih untuk teman-teman tutorial B4
dan teman-teman lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kesalahan dan
kekurangan, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.

Kami berharap, semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan kami
sendiri sebagai penyusun pada khususnya. Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan.
Terima kasih.



Jakarta, Mei 2014


Tutorial B4





2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar 1
Daftar Isi 2
BAB I Pendahuluan 3
BAB II Pembahasan 6
BAB III Penutup
16
Daftar Pustaka 18



3
BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman, dunia juga mengalami
perkembangannya di berbagai bidang. Salah satunya adalah kemajuan di bidang kesehatan
yaitu teknik transplantasi organ. Transplantasi organ merupakan suatu teknologi medis
untuk penggantian organ tubuh pasien yang tidak berfungsi dengan organ dari individu
yang lain. Sampai sekarang penelitian tentang transplantasi organ masih terus dilakukan.

Sejak kesuksesan transplantasi yang pertama kali berupa ginjal dari donor kepada pasien
gagal ginjal pada tahun 1954, perkembangan di bidang transplantasi maju dengan pesat.
Permintaan untuk transplantasi organ terus mengalami peningkatan melebihi ketersediaan
donor yang ada. Sebagai contoh di Cina, pada tahun 1999 tercatat hanya 24 transplantasi
hati, namun tahun 2000 jumlahnya mencapai 78 angka. Sedangkan tahun 2003 angkanya
bertambah 356. Jumlah tersebut semakin meningkat pada tahun 2004 yaitu 507 kali
transplantasi. Tidak hanya hati, jumlah transplantasi keseluruhan organ di China memang
meningkat drastis. Setidaknya telah terjadi 3 kali lipat melebihi Amerika Serikat.
Ketidakseimbangan antara jumlah pemberi organ dengan penerima organ hampir terjadi di
seluruh dunia.

Sedangkan transplantasi organ yang lazim dikerjakan di Indonesia adalah pemindahan
suatu jaringan atau organ antar manusia, bukan antara hewan ke manusia, sehingga
menimbulkan pengertian bahwa transplantasi adalah pemindahan seluruh atau sebagian
organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain atau dari satu tempat ke tempat yang lain di tubuh
yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk mengganti organ yang rusak atau tak
berfungsi pada penerima.

Saat ini di Indonesia, transplantasi organ ataupun jaringan diatur dalam UU No. 23 tahun
1992 tentang Kesehatan. Sedangkan peraturan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis
serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia. Hal ini tentu saja menimbulkan

4
suatu pertanyaan tentang relevansi antara Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang
dimana Peraturan Pemerintah diterbitkan jauh sebelum Undang-Undang.
(Binchoutan,2008).

B. Pokok Permasalahan
1. Apa pengertian humaniora ?
2. Bagaimana humaniora dalam Praktik Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan ?
3. Bagaimana humanisme & etika dalam penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran ?
4. Apa pengertian transplantasi organ ?
5. Apa saja klasifikasi transplantasi organ ?
6. Apa penyebab transplantasi organ ?
7. Bagaimana humaniora dalam transplantasi ginjal ?
8. Bagaimana pandangan agama mengenai transplantasi organ ?
9. Bagaimana aturan transplantasi organ dari segi hukum ?
10. Bagaimana transplantasi organ dilihat dari segi norma masyarakat ?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui masalah transplantasi organ di Indonesia dilihat dari aspek humaniora.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian humaniora
b. Mengetahui bagaimana humaniora dalam praktik kedokteran dan pelayanan
kesehatan
c. Mengetahui bagaimana humanisme dan etika dalam pengembangan ilmu kedokteran
d. Mengetahui pengertian transplantasi organ
e. Mengetahui Klasifikasi transplantasi organ
f. Mengetahui penyebab transplantasi organ
g. Mengetahui transplantasi organ dari segi humaniora
h. Mengetahui transplantasi organ dari segi agama
i. Mengetahui transplantasi organ dari segi hukum
j. Mengetahui transplantasi organ dari segi norma masyarakat




5
D. Manfaat
1. Manfaat Bagi Penulis :
a. Makalah ini disusun sebagai syarat mengikuti seminar bhp
b. Sebagai sarana memperluas wawasan mengenai transplantasi ginjal dilihat dari aspek
humaniora.
c. Memahami mengenai aspek humaniora pada transplantasi ginjal dan hal-hal terkait
lainnya.
d. Sebagai bahan untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapat selama ini
e. Sebagai bahan latihan untuk menulis karya ilmiah
f. Meningkatkan kerja sama tim
2. Bagi Pembaca, Dokter, dan Instansi Terkait :
a. Mengenal lebih jauh mengenai transplantasi organ
b. Memahami aspek humaniora pada transplantasi ginjal dan hal-hal terkait lainnya
c. Sebagai bahan masukan dalam melakukan tindakan serupa ataupun dalam menyusun
kebijakan mengenai hal yang diapaparkan



















6
BAB II
PEMBAHASAN


A. Humaniora
A.1. Definisi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (Balai Pustaka: 1988), humaniora adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang
dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti membuat manusia
lebih berbudaya.

Humaniora merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala hal yang
diciptakan atau menjadi perhatian manusia baik itu ilmu filsafat, hukum, sejarah, bahasa,
teologi, sastra, seni dan lain sebagainya. Atau makna intrinsik nilai-nilai kemanusiaan
(Kamus Umum Bahasa Indonesia). Dalam bahasa Latin, humaniora artinya manusiawi.

Menurut Martiatmodjo, BS dalam Catatan Kecil tentang Humaniora dikatakan sebagai
Ilmu Budaya Dasar yang merupakan mata kuliah wajib di Perguruan Tinggi dan
merupakan juga terjemahan dari istilah Basic Humanities atau pendidikan humaniora.
Humaniora ini menyajikan bahan pendidikan yang mencerminkan keutuhan manusia dan
membantu agar manusia menjadi lebih manusiawi. Martiatmodjo menegaskan bahwa
perlunya humaniora bagi pendidik berarti menempatkan manusia di tengah-tengah proses
pendidikan.

Pengetahuan tentang humaniora sangat luas. Pengetahuan ini harus dapat diterapkan di
segala bidang kehidupan Anda kelak sebagai dokter. Bidang yang dimaksud antara lain:
kteran




Berbicara tentang humaniora, berarti berbicara tentang beberapa aspek yang memiliki
pengertian yang saling berkaitan, di antaranya mengenai humanisme, etika, kebudayaan

7
dan perilaku. Humaniora memberikan wadah bagi lahirnya makna 5 intrinsik nilai-nilai
humanisme. Humanisme sendiri adalah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa
perikemanusiaan/mencita-citakan pergaulan yang lebih baik. Ada juga yang berpendapat
humanisme sebagai sikap/tingkah laku mengenai perhatian manusia dengan menekankan
pada rasa belas kasih serta martabat individu.

A. 2. Manfaat Humaniora bagi Seorang Dokter

Lantas, apa relevansinya mempelajari humaniora bagi seorang dokter? Dokter adalah
salah satu profesi yang berhubungan langsung dengan manusia sebagai lawan
interaksinya. Karena itu seorang dokter harus mengetahui segala hal yang berkaitan
dengan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Salah satunya
dengan pengetahuan humaniora ini.

Sebetulnya, pengetahuan ini haruslah terintegrasi ke dalam seluruh kurikulum kedokteran
(demikian juga semua pokok bahasan yang ada dalam blok ini harus diintegrasikan ke
dalam tiap-tiap blok). Karena yang kita harapkan adalah lahirnya dokter-dokter yang
tidak saja kompeten dalam keilmuannya, tapi juga memiliki perilaku yang manusiawi,
memperlakukan pasiennya seperti dirinya ingin diperlakukan. Tentu saja perilaku tersebut
tidak akan muncul tanpa adanya pengetahuan tentang apa dan bagaimana sebetulnya sifat
yang manusiawi itu.


A.3. Humaniora dalam Praktik Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan

Humanisme adalah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan/mencita-
citakan pergaulan yang lebih baik. Ada juga yang berpendapat humanisme sebagai
sikap/tingkah laku mengenai perhatian manusia dengan menekankan pada rasa belas
kasih serta martabat individu. Humanisme sangat dibutuhkan oleh pribadi seorang dokter
agar seorang dokter tidak hanya memandang pasien sebagai objek penyakit yang akan
ditangani atau tidak menempatkan diri sebagai penderita atau memperhitungkan cost-
benefit dalam pekerjaannya karena hal itu akan menghapus nilai empati dan berujung
pada hubungan dokter-pasien yang menjadi kurang manusiawi.


8
Aspek humaniora berisi tentang etika, budaya, serta perilaku manusia dalam melakukan
kegiatan sosial yang dimana disini dikaitkan dengan sikap dokter terhadap pasien dalam
melakukan suatu praktik dan pelayanan kesehatan. Etika dalam kedokteran merupakan
prinsip-prinsip mengenai tingkah laku profesional yang tepat berkaitan dengan hak
dirinya sebagai dokter, hak pasiennya, dan hak teman sejawatnya. Bila dikaitkan dengan
budaya, dokter dan pasien adalah sama-sama mahkluk yang berbudaya, keduanya
berhubungan langsung sebagai lawan interaksinya. Karena itu seorang dokter harus
mengetahui segala hal yang berkaitan dengan manusia untuk menunjang profesinya
dalam mendapatkan nilai-nilai sosial agar tetap terjaga. Oleh karena itu, pengetahuan
kebudayaan menjadi konsep dasar dalam membangun jati diri sebagai petugas layanan
kesehatan.

Selain itu, prilaku dapat meningkatkan nilai humanisme seorang dokter. Perilaku erat
kaitannya dengan pengetahuan, pola piker, nilai dan norma seseorang. Dengan
pengetahuan dan wawasan luas serta nilai norma yang baik akan melahirkan perilaku
yang baik pula. Kesalahan berpikir dari seorang dokter berarti akan bertentangan dengan
hati nurani manusia yang melekat dalam pribadi sang dokter. Sebaliknya kesuksesan
dokter akan selalu menjunjung tinggi dan mengangkat nama harumnya karena segala
kesuksesan itu tentu dilandasi oleh budi/pikiran manusia secara sadar.

Clauser (1990) berpendapat bahwa mempelajari humaniora sastra, filsafat, sejarah
dapat meningkatkan kualitas pikir (qualities of mind) yang diperlukan dalam ilmu
kedokteran. Meskipun ilmu kedokteran tampak seperti ilmu yang berisikan materi baku,
konsep mati, dan hafalan-hafalan yang harus dikuasai mutlak oleh seorang dokter namun
kualitas pikir seorang dokter tak perlu lagi terfokus pada itu melainkan dapat
dikembangkan dengan kemampuan kritik, perspektif yang lentur, tidak terpaku pada
dogma, dan penggalian nilai-nilai yang berlaku didalam ilmu kedokteran.

Humaniora membebaskan kita dari terkunci dalam satu mindset. Kita perlu kelenturan
dalam mengubah perspektif, dan mengubah interpretasi bila diperlukan. Dengan sastra,
seseorang (mahasiswa kedokteran) dapat mengembangkan empati dan toleransi, mencoba
menempatkan diri dalam gaya hidup, imaginasi, keyakinan yang berbeda.


9
Terminologi humanisme adalah sebuah sikap yang berkenaan dengan perhatian manusia
pada sesamanya dengan menekankan pada compassion -belas kasihan- dan martabat
individual.

Saat hal tersebut dikaitkan dengan profesi dokter, kita diyakinkan bahwa masalah
sosialnya berakar pada sikap humanisme, belas kasih terhadap penderitaan pasien, dan
keinginan untuk memberikan pelayanan kesehatan. Dokter praktek dan spesialis saat ini
memiliki hubungan dokter-pasien one-to-one yang unik dan sangat pribadi, melibatkan
kepatuhan, ketergantungan, dan kepercayaan yang utuh dari pasien terhadap otoritas,
pengetahuan dan keterampilan dokternya. Dengan otoritas tersebut terciptalah unsur
kewajiban sosial untuk melayani dengan belas kasih kepada mereka yang percaya dan
bergantung kepada kita.

Pola praktek dokter pada awal abad delapan belas bersifat biaya pelayanan tunggal yaitu
seorang dokter memberikan pelayanan medis dan untuk itu dia dibayar, baik berupa uang
maupun berupa hasil-hasil pertanian seperti yang masih terdapat di negara-negara
berkembang di beberapa daerah dan desa yang miskin. Ini adalah masa dokter pedesaan
atau dokter kuno atau dokter keluarga yang mengetahui dengan baik keluarga tersebut,
berkeliling ke rumah-rumah, dan bertindak sebagai teman dan penuntun yang dapat
dipercaya, di samping merawat orang-orang sakit dalam keluarga itu.

Perkembangan kota-kota besar dan rumah-rumah sakit di abad 18 dan 19 membuat
dokter-dokter desa perlahan menghilang dan semakin banyak dokter menetap di daerah
kota untuk berpraktek. Hilangnya dokter pedesaan atau dokter keluarga memulai
timbulnya pelayanan dehumanisasi di rumah-rumah sakit.

Dalam dekade terakhir abad 20, pola praktik di negara-negara industri berubah sama
sekali dengan ekonomi berorientasi pasar. Dari praktek mandiri, sekarang kebanyakan
dokter praktek berkelompok di bawah persetujuan formal penggunaan fasilitas dan
peralatan medis bersama-sama dan pendapatan didistrubusikan sesuai perjanjian awal
dengan melibatkan personalia kesehatan.

Kalangan bisnis melihat pasar besar dalam lapangan kesehatan, hasilnya adalah
meningkatnya komersialisasi layanan medis dan bertumbuhnya industri medis yang

10
kompleks. Kedokteran tidak lagi merupakan industri rakyat seperti saat dokter berpraktek
mandiri. Manager di bidang kesehatan ini ekonom dan CEO (pejabat eksekutif), yang
semakin sering memutuskan jenis praktik pelayanan dan jenis organisasi dibandingkan
para dokter. Harga-harga obat melambung dan penggunaan peralatan medis yang canggih
berkonsekuensi dengan pembayaran yang tinggi. Telah dikatakan, semakin dokter
bergantung pada teknologi semata, semakin mereka kehilangan rasa kemanusiaannya,
yang berujung pada pelayanan dehumanisasi. Hal tersebut ditambah dengan ketakutan
akan tuntutan malapraktek, dokter membayar asuransi untuk dirinya, yang tentu
berdampak pada pasien sehingga biaya layanan kesehatan semakin tinggi.

Perubahan ini mewarnai sikap dan tingkah laku profesi yang menekankan pada aspek
finansial dan teknologi dalam terapi dan merusak panggilan altruistik dan humanistik
sang dokter.


A.4. Humanisme dan Etika Dalam Penelitian dan Pengembangan Ilmu Kedokteran

Kesadaran sosial, tanggung jawab sosial dan akuntabilitas sosial telah menjadi ciri profesi
dokter, dan karakteristik ini dapat diterapkan juga kepada para peneliti di bidang
kedokteran. Etika dan humanisme dapat diaplikasikan ke dalam seluruh spektrum
kegiatan penelitian, mulai dari pemilihan topik penelitian, hingga pada cara penelitian
yang dilakukan dan pada aplikasi hasil penelitian dan pengembangan.

Misalnya dalam memilih topik penelitian, harus disadari bahwa peneliti memiliki
tanggung jawab sosial untuk mencoba mencari solusi dari masalah-masalah yang paling
banyak menyebabkan munculnya penyakit dan penderitaan dalam masyarakat.

Dalam melakukan percobaan yang melibatkan manusia sebagai relawan, peneliti haruslah
dibawah kontrol etis yang ketat. Dan seperti halnya seorang dokter harus memiliki
perilaku medis yang baik dengan hubungan manusiawi dengan pasiennya, begitu juga
seharusnya seorang peneliti.

Tanggung jawab dan akuntabilitas sosial dalam penelitian dimaksudkan agar penelitian
tersebut dilakukan bukan hanya untuk kepentingannya saja. Peneliti diwajibkan melihat

11
kegunaan hasil penelitiannya. Jadi hasilnya tidak hanya berakhir di kertas jurnal saja, tapi
harus mencapai ke penentu kebijakan, pembuat keputusan dalam pelayanan kesehatan,
dan para profesi di bidang kesehatan serta para konsumen.

A.5. Humaniora dalam Transplantasi Ginjal

Di Indonesia pengaturan hukum transplantasi organ adalah dalam UU No 23/1992
tentang Kesehatan dan PP No. 18/1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat
Anatomis, serta Transplantasi Alat dan Jaringan Tubuh Manusia. PP ini merupakan
pelaksanaan dari UU No 9/1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan, yang telah dicabut.
Akan tetapi PP ini masih tetap berlaku karena berdasarkan pasal 87 UU No 23/1992
tentang Kesehatan, semua peraturan pelasksanaan dari UU No 9/1960 masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan UU No.
23/1992.
Sebelum transplantasi organ dilakukan, beberapa aspek yang perlu ditinjau adalah aspek
etik, hukum, dan agama (etikomedikolegal transplantasi).

Menurut segi hukum, tranplantasi organ, jaringan dan sel tubuh dipandang sebagai
tindakan mulia dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia, walaupun ini
tindakan ini melawan hukum pidana yaitu tindak pidana penganiayaan. Tetapi karena
adanya alasan pengecualian hukuman, atau paham melawan hukum secara material, maka
perbuatan tersebut tidak lagi diancam pidana, dan dapat dibenarkan (Hanafiah dan Amir,
1999).

Dari segi agama (Islam), transplantasi organ diperbolehkan, selama tidak membahayakan
donor dan tidak ada tujuan komersialisasi (jual-beli organ). (Anonim, 2009).
Dalam hukum di Indonesia, pada prinsipnya ada beberapa larangan:

1. Larangan komersialisasi organ atau jaringan tubuh: Pasal 16 PP 18/1981 menyatrakan
bahwa donor dilarang menerima imbalan material dalam bentuk apapun. Pasal 80 ayat 3
UU No 23/1992 menyatakan bahwa barangsiapa dengan sengaja melakukan perbuatan
dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh
atau tranfusi darah dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana
denda paling banyak 300 juta rupiah.

12

2. Larangan pengiriman dan penerimaan organ jaringan dari dan keluar negeri (pasal 19
PP No. 18/1981)Menurut segi etik, transplantasi merupakan upaya terakhir untuk
menolong seorang pasien dengan kegagalan fungsi salah satu organ tubuhnya. Tindakan
ini wajib dilakukan apabila ada indikasi, berdasarkan beberapa pasal dalam KODEKI
yaitu pasal 2, pasal 7D, dan pasal 11 (Hanafiah dan Amir, 1999).


B. Transplatasi Ginjal

B.1. Definisi

Transplantasi adalah memindahkan alat atau jaringan tubuh dari satu orang ke orang lain
(Baratawidjaja, 2006).
Transplantasi ginjal harus dipertimbangkan untuk semua pasien dengan kronis dan
stadium akhir penyakit ginjal yang sesuai secara medis. Sebuah transplantasi ginjal sukses
menawarkan peningkatan kualitas dan durasi kehidupan dan lebih efektif (medis dan
ekonomis) daripada panjang terapi dialisis jangka.Transplantasi adalah modalitas
pengganti ginjal pilihan untuk pasien dengan nefropati diabetes dan pasien anak.

Sejumlah penyakit yang mampu menghancurkan fungsi ginjal pada semua kelompok
umur. Penyebab paling umum dari penyakit ginjal yang mengarah ke transplantasi ginjal
adalah sebagai berikut :
Diabetes - 31%.
Glomerulonefritis kronis - 28%.
Penyakit ginjal polikistik - 12%.
Nephrosclerosis (hipertensi) - 9%.
Nefritis interstisial - 3%.

B.2. Penyebab transplantasi organ
Ada dua komponen penting yang mendasari tindakan transplantasi, yaitu:


13
1. Eksplantasi : usaha mengambil jaringan atau organ manusia yang hiudp atau yang
sudah meninggal.
2. Implantasi : usaha menempatkan jaringan atau organ tubuh tersebut kepada bagian
tubuh sendiri atau tubuh orang lain.

Disamping itu, ada dua komponen penting yang menunjang keberhasilan tindakan
transplantasi, yaitu :
1. Adaptasi donasi, yaitu usaha dan kemampuan menyesuaikan diri orang hidup yang
diambil jaringan atau organ tubuhnya, secara biologis dan psikis, untuk hidup dengan
kekurangan jaringan atau organ. (anonim,2006).

2. Adaptasi resepien, yaitu usaha dan kemampuan diri dari penerima jaringan atau organ
tubuh baru sehingga tubuhnya dapat menerima atau menolak jaringan atau organ
tersebut, untuk berfungsi baik, mengganti yang sudah tidak dapat berfungsi lagi.

Organ atau jaringan tubuh yang akan dipindahkan dapat diambil dari donor yang hidup
atau dari jenazah orang baru meninggal dimana meninggal sendiri didefinisikan
kematian batang otak. Organ-organ yang diambil dari donor hidup seperti : kulit, ginjal,
sumsum tulang dan darah (tranfusi darah). Organ-organ yang diambil dari jenazah
adalah : jantung, hati, ginjal, kornea, pancreas, paru-paru dan sel otak.

B.3. Aspek Humaniora Pada Pasien Transplantasi
Hubungan pasien dan dokter merupakan suatu perjanjian yang objeknya berupa
pelayanan medik atau upaya penyembuhan, yang dikenal sebagai transaksi terapetik.
Perikatan yang timbul dari transaksi terapetik itu disebut inspanningverbintenis, yaitu
suatu perikatan yang harus dilakukan dengan hati-hati dan usaha keras (met zorg en
inspanning). Pada dasarnya transaksi terapetik ini bertumpu pada dua macam hak asasi
yang merupakan hak dasar manusia, yaitu:
1) Hak untuk menentukan nasibnya sendiri (the right to self-determination).
2) Hak atas informasi (the right of information).

Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman menyatakan bahwa kita harus menghormati
martabat manusia, karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang merupakan tujuan

14
pada dirinya. Manusia adalah pusat kemandirian, persona yang memiliki harkat intrinsik
dan karena itu harus dihormati sebagai tujuan pada dirinya.
Kant memperkenalkan suatu golden rule atau kaidah emas sebagai landasan etika, yang
dapat membantu implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.
One of the most popular rules or principles people put forth when asked what they base
their ethics on is the Golden Rule, or what Kant called the reversibility criterion. It can
be stated many ways, but the usual way is, Do unto others as you would have them do
unto you..
Kaidah emas ini menyatakan agar seseorang melakukan suatu tindakan seperti apa yang
diharapkannya dilakukan orang lain bagi dirinya. Kaidah dapat digunakan apabila kita
mengalami kebimbangan dan kebingungan tentang apa yang harus dilakukan dalam
situasi tertentu. Meski demikian, kaidah emas tidak secara nyata memberikan panduan
tentang hal yang harus kita lakukan, namun memberikan bantuan untuk memilih hal
yang terbaik yang dapat kita berikan.
Titik tolak pemikiran Kant adalah kehendak baik. Maksudnya adalah kehendak yang
mau melakukan apa yang menjadi kewajibannya, murni demi kewajiban itu sendiri,
bukan karena mencari nama baik, keuntungan atau sekedar mengikuti perasaannya.
Etika medik mengenal 4 (empat) prinsip dasar. Di Indonesia, dalam Mukadimah Kode
Etik Kedokteran Indonesia disebutkan bahwa etik profesional mengutamakan penderita
dan memuat prinsip-prinsip beneficence, non maleficence, autonomy dan justice, yaitu :
Respect for the individual autonomy of each patient as a decision maker. 15

Maksudnya adalah autonomy merupakan suatu bentuk kebebasan bertindak dan
mengambil keputusan, dan dokter wajib melakukan beneficence atau berbuat baik
terhadap keputusan pasien, non-maleficence dokter diwajibkan melakukan yang terbaik
terhabap pasiennya termasuk tidak merugikan, serta memperlakukan pasien sesuai
dengan porsinya sesuai dengan justice atau keadilan.
Pelanggaran etik kedokteran dipergunakan untuk menyebut kelakuan yang tidak sesuai
dengan mutu profesional yang tinggi, kebiasaan dan cara-cara yang lazim digunakan.
Melanggar etik kedokteran berarti juga melanggar prinsip-prinsip moral, nilai-nilai dan
kewajiban yang menuntut diambilnya tindakan-tindakan berupa teguran, skorsing atau
dikeluarkan dari keanggotaan (profesi).
Pada dasarnya etika dan hukum beranjak dari landasan yang sama, yaitu moral.
Pelanggaran terhadap norma dan nilai etik juga dianggap pelanggaran terhadap norma

15
dan nilai hukum. Etik dan hukum memiliki tujuan yang sama, demi ketertiban umum
dalam masyarakat. Beberapa contoh bidang etik yang menjadi kasus hokum, yaitu over
utilization, under treatment, tidak menerima pasin dalam keadaan terminal, abortus,
penghentian alat bantu napas, bayi tabung dan lain-lain.






























16
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan dari pembahasan ini adalah transplantasi organ :

Menurut segi hukum
Tranplantasi organ, jaringan dan sel tubuh dipandang sebagai tindakan mulia dalam upaya
menyehatkan dan mensejahterakan manusia, walaupun tindakan ini melawan hokum pidana,
yaitu tindak pidana penganiayaan. Tetapi karena adanya alas an pengecualian hukuman, atau
paham melawan hukum secara material, maka perbuatan tersebut tidak lagi diancam pidana,
dan dapat dibenarkan (Hanafiahdan Amir, 1999).

Menurut segi etik
Transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien dengan kegagalan
fungsi salahsatu organ tubuhnya. Tindakan ini wajib dilakukan apabila ada indikasi,
berdasarkan beberapa pasal dalam KODEKI yaitu pasal 2, pasal 7D, dan pasal 11
(Hanafiahdan Amir, 1999).

Menurut kaidah bioetika dan humaniora
Bioetik transplantasi organ manusia diatur dalam medical ethic, yang lebih mengarah pada
aturan suatu organisasi profesi, yaitu kode etik kedokteran, yang mengatur hubungan dokter-
pasien-keluarga pasien (Rotgers, 2007).
Pada transplantasi organ akan terlibat dokter, donor dengan keluarganya dan resepien dengan
keluarganya. Ada suatu prosedur yang harus dipahami oleh semua orang yang terlibat dalam
transplantasi organ. Boleh dilakukan, asalkan sesuai dengan indikasi, sebagai jalan terakhir,
ada persetujuan, dan agama Islam mensyaratkan bahwa organ tidak boleh diperjual-belikan.

Saran untuk pembahasan ini adalah bila ingin dilakukannya transplantasi organ (ginjal),
selain dilihat dari aspek bioetik / humaniora, aspek hukum dan agama juga harus
diperhatikan.


17
Demikian makalah yang telah kami buat, kami harapkan adanya kritik maupun saran yang
dapat membangun kemampuan kami kedepannya baik dalam segi bahan yang akan
disampaikan, referensi, maupun cara penyampaian.
































18
DAFTAR PUSTAKA

Research, dalam The First Myanmar Academy of Medical Science Oration. Myanmar. 2001.
Samil, RS. Etika Kedokteran Indonesia. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohrdjo. Jakarta. 2001.
Susalit, Endang. 2007. Transplantasi Ginjal dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi,
Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Tu, U.M. Humanism and Ethics in Medical Practice, Health Service, Medical Education and Medical
Hanafiah, M. Jusuf. Amir, Amri. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC.

You might also like