You are on page 1of 33

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Dalam eksplorasi mineral sangatlah penting untuk mengetahui proses distribusi
secara vertikal maupun horizontal dari cebakan tersebut. Dengan mengetahui genesis
cebakan dapat menentukan strategi eksplorasi.
Dalam zona hidrotermal, fluida yang berasal dari pembentukan magma terdiri atas
klorida komplek, bisulfida komplek dan bikarbonat komplek dimana masing masing fliuda
tersebut memiliki karakteristik tertentu seperti kecenderungan untuk bersenyawa, temperatur
pembentukan, mobilitas, volume, kadar air meteorik dan batuan induk. Fliuda tertransportasi
oleh tekanan dan temperatur menuju daerah daerah permiabel yang menimbulkan
terjadinya proses mineralisasi. Mineral mineral yang terbentuk oleh proses mineralisasi
karena kekhasannya tadi dapat disebandingkan dengan model mineralisasi yang sudah ada
untuk mengetahui posisi pengendapan atau proses terjadinya mineralisasi sehingga dapat
diketahui karakterisasi mineralisasi di daerah penelitian.
Endapan vein memilki suatu karakteristik tahapan mineralisasi tertentu yang secara
general dapat menjadi bahan perbandingan proses mineralisasinya dengan vein yang
memilki proses tahapan mineralisasi yang sama.

1.2 Latar Belakang

Distribusi proses mineralisasi secara horizontal pada suatu vein akan membentuk
tahapan-tahapan mineralisasi yang merupakan karakteristik dari genesis endapan vein
tersebut.
Dari hasil pengamatan karakteristik ini dapat diteruskan pada pembuatan model
mineralisasi yang dapat dijadikan perbandingan dalam menginterpretasikan suatu endapan
yang memiliki ciri ciri sama dengan model yang telah ada.

1.3 Permasalahan
Endapan epitermal memiliki karakteristik pembentukan tertentu yaitu relatif terbentuk
pada temperatur rendah (<300
o
C) dan pada posisi yang tidak terlalu dalam (1 2 km dari
permukaan). Dan memiliki mineral mineral tertentu sebagai penciri endapan epitermal
namun kadang mineral mineral lain ditemukan juga sehingga kadang kala dapat
menyulitkan dalam menginterpretasi endapan epitermal. Dengan pengamatan inklusi fluida
maka akan lebih meyakinkan dalam pengamatan temperatur pembentukan mineral, dan

2


salinitas dari larutan yang dapat mengindikasikan data kedalaman dari pembentukan
mineral.

1.4 Daerah Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada daerah kontrak kerja tambang PT. Aneka Tambang. Tbk
unit Geomin.
Secara geografis terletak pada 106
0
1330 BT 106
0
1530 BT dan 06
0
4430 LS
06
0
4630 LS dan secara administratif termasuk kedalam Daerah Pondok Patat, Kecamatan
Panggarangan, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
















Gambar 1. Lokasi Penelitian Daerah Pondok Patat dan Sekitarnya, Kecamatan Panggarangan, Kabupaten Lebak
, Banten

3


Daerah
penelitian

BAB 2
TINJAUAN UMUM

2.1 FISIOGRAFI DAERAH PENELITIAN

Daerah penelitian tepatnya di daerah Pondok Patat. Daerah tersebut merupakan bagian
utara dari daerah eksplorasi emas yang sedang dilakukan oleh PT. Aneka Tambang tbk,
unit Geomin. Secara administratif daerah tersebut termasuk ke dalam wilayah Kecamatan
Panggarangan, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten.
Daerah penelitian dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda empat ataupun roda
dua dari sukabumi atau Cikotok menuju Desa Cigintung kemudian dilanjutkan dengan
berjalan kaki selama kurang lebih 1 jam ke arah Timur Laut Desa Cigintung.
Secara geografis, daerah penelitian berada pada 9.254.400 mU 9.253.300 mU dan
636.800 mU 637.700 mU. Daerah tersebut merupakan bagian dari kuasa pertambangan
PT. Aneka Tambang tbk. Yang memiliki elevasi antara 560 837 m dpl.




















Gambar 2.1 Peta Topografi daerah Pondok Patat




4



2.2 TATANAN GEOLOGI

2.2.1 GEOLOGI REGIONAL

Secara regional, daerah penyelidikan termasuk pada Leuwidamar (Sujatmiko, S.Santosa,
1986), Koolhoven (1932) telah memetakan daerah ini, yang kemudian dimodifikasi oleh Yaya
Sunarya (1989)
Penyelidik-penyelidik terdahulu membagi daerah ini menjadi 3 jalur erupsif :
1. Jalur sedimen Utara yang terdiri dari Formasi Cimapag, ,Sareweh, Cimandiri dan
ditutupi oleh Sedimen Tersier Muda. Jalur Sedimen Utara berumur Paleogen yang
pada umumnya tersebar sangat luas dengan patahan berarah utara selatan,
sedangkan sumbu perlipatanya cenderung berarah BBl Tteng.
2. Jalur Erupsi Tengah terdiri dari Formasi Andesit Tua dan Sedimen Tertier Tua. Jalur
ini merupakan daerah yang paling potensial dalam pembentukan mineralisasi emas.
3. Jalur Sedimen Selatan terdiri dari Formasi Bayah, Cijengkol, Cicarucup dan Citarate.

2.2.2 GEOLOGI DAERAH PONDOK PATAT
2.2.2.1 Geologi
Secara umum daerah penelitian didominasi oleh satuan batuan yang dikorelasikan dengan
Formasi Andesit Tua Cikotok yang berumur Miosen, yang terdiri dari tufa andesitik terubah
(propilit), tufa terubah (terkersikan terargilitkan) dengan fragmen andesitik basaltik dan
satuan lava andesitik dan batu gamping..
Secara regional struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian antara lain sesar
geser dan sesar normal berarah Barat Daya Timur Laut dan Utara Selatan.
Pola struktur sesar berhubungan erat dengan zona zona mineralisasi yang ditunjukan oleh
adanya urat urat kuarsa baik yan berupa jarinan- jaringan , barik barik atau jalur urat
kuarsa utama.

2.2.2.2 Stratigrafi Daerah Penelitian
Stratigrafi daerah penelitian mengacu kepada stratigrafi daerah Banten Selatan yang
disusun oleh Koolhoven (1932) dan dimodifikasi oleh Kusumadinata, meliputi :
Satuan batuan yang tertua termasuk kedalam Formasi Bayah yang berumur Eosen, batuan
ini terdiri dari lempung , lempung napalan dan batu gamping,
Kemudian di atas Formasi Bayah diendapkan secara selaras Formasi Cicarucup yang terdiri
dari konglomerat dengan komponen batuan andesitik-basaltik. Batupasir kuarsa,
batulempung dan batugamping yang berumur Eosen. Kemudian di atas satuan batuan ini

5


diendapkan Formasi Cijengkol yang terdiri dari konglomerat dan breksi dengan komponen
utama andesit, batupasir , tufa lempung dan napal yang diatasnya diendapkan batugamping.
Formasi Citarate diendapkan secara selaras di atas Formasi Cijengkol. Pada bagian bawah
formasi ini terdiri dari batugamping koral, sedangkan bagian atasnya terdiri dari kerakal,
napal dan batugamping dari Formasi Andesit Tua Cikotok.
Formasi batuan yang lebih tua ini secara selaras ditutupi oleh Formasi Cimapag yang tediri
breksi aneka bahan dengan fragmen batuan yang lebih tua, batuan volkanik berkomposisi
andesit sampai dasit, kadang kadang berselingan dengan konglomerat, batupasir,
batulempung dan batugamping,
Terobosan terobosan batuan granodiorit Cihara, diorite kuarsa G. Malang dan G. Lukut
yang berhubungan dengan kegiatan volkanik pada masa pengendapan Formasi Cimapag
diduga sebagai penyebab mineralisasi daerah ini.
Satuan batuan daerah penelitian didominasi oleh satuan batuan yang disebandingkan
dengan Formasi Andesit Tua Cikotok yang terdiri dari tufa andesitik terubah (propilitik) , tufa
terubah (terkersikan terargilitkan) dengan fragmen andesitik dan basaltic dan satuan lava
andesitik.















Gambar 2.2 Stratigrafi daerah Banten Selatan

6






Gambar 2.3. Peta Geologi daerah pasir Paku, kec. Panggarangan, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten






7


BAB 3
TEORI UMUM

3.1 Sistem Epitermal

Sisitem hidrotermal dibedakan berdasarkan perubahan sifat fisik dan kimia, pada
kedalaman sekitar 1 1,5 km pada umumnya mengkarakterisikan endapan epitermal.
Terbentuknya endapan tersebut disebabkan perubahan tekanan hidrostatik menjadi tekanan
hidrodinamik terjadi proses pemanasan, interaksi fluida terjadi pada kedalaman sekitar muka
air, pada perubahan permeabilitas dan interaksi antara fluida dan host rock (batuan induk).
Perubahan di sekitar permukaan menghasilkan lingkungan bijih epitermal, adanya
transportasi fluida yang mengandung larutan logam, serta perubahan sifat kimia dan fisik
fluida akan menyebabkan terjadi proses pengendapan logam.

3.2 Tatanan Mineralisasi Epitermal

Endapan epitermal ditemukan dalam berbagai lingkungan geologi dimana
merefleksikan gabungan dari kedudukan batuan beku, tektonik dan struktur.
Dalam kebanyakan kasus endapan epitermal pada sub areal vulkanik dan
subvulkanik intrusi, terutama pada areal vulkanik dimana sumber panas magma akan
mempengaruhinya. Aktivitas magma merupakan sesuatu yang penting sebagai ukuran pada
formasi kebanyakan endapan epitermal., jika sumber panas tersebut sebagai pembentuk
convection cell pada zona hidrotermal. Kadang kadang magma terdiri dari komponen yang
relatif kecil dari total gas pada sebuah proses hidrotermal sehingga magma tersebut tidak
begitu mempengaruhi keberadan logam.
Karakteristik dari tatanan vulkanik sebagai batuan beku pada endapan epitermal
pada umumnya memusat dan mempengaruhi daerah sekitarnya, dimana batuan beku
sebagai tipe pembentuk berupa effusive dan piroklastik. Beberapa endapan epitermal
banyak terbentuk pada areal tatanan vulkanik akan tetapi banyak juga endapan epitermal
yang terbentuk pada zona menengah sampai vulkanik asam, dan hal itu banyak terbentuk
dalam bimodal volcanic suite , tetapi kadang kadang terbentuk dalam vulkanik basa, calc-
alkali sampai alkali yang mencirikan endapan epitermal. Untuk basic volcanic jarang
ditemukan , jenis vulkanik yang sering ditemukan pada umumnya shoshonitic sampai
alkaline affinities. Banyak peneliti berusaha membedakan batuan beku berdasarkan
komposisi kimia.


8


Tabel 3.1 Karakteristik Tipe Endapan Emas Epitermal (J. W. Hedenquist dan N.C. White,
1989)
Low Sulfidation High Sulfidation
Host Rock




Pengontrol
struktur

Kedalaman
formasi

Temperatur
formasi

Karakter fluida










Assosiasi
alterasi










Asam sampai intermediate pada
subareal vulkanik dan di bawah
lapisan beberapa batuan
basement

Patahan dan kekar tertutupi
aktifitas vulkanik

+ 0 sampai 1000 m


100 sampai 320
o
C (terutama 150
250
o
C)

salinitas rendah
Water meteoric, adanya interaksi
dengan fluida
Magmatik pH sekitar netral,
pembentukan alunit karena
boiling dari magma
Reduksi
Kandungan total S rendah
Kandungan base metal (pb, Zn)
mungkin rendah

Alterasi propylit extensive
disekitar daerah dengan water
meteoric rendah
Pada endapan yang dalam
tingkat piropylit-alterasi mika putih
tinggi
Alterasi clay menjadi dominan
dengan bertambahnya
temperatur
Dari boiling menghasilkan argilic
dan advanced argilic

Asam sampai intermediate pada subareal
vulkanik dan di bawah lapisan beberapa
batuan basement

Patahan regional utama atau subvulkanik
intrusi


+ 500 2000 m


100 sampai 320
o
C


Pada umumnya salinitas rendah
Fluida magma bercampur dengan water
meteoric
pH asam dari magmatik HCl dan
pemecahan dari SO
2
menjadi netral
bereaksi dengan batuan samping
Oksidasi
Kandungan total S tinggi
Kandungan base metal (cu) mungkin tinggi


Alterasi propylit extensive disekitar daerah
dengan water meteoric rendah.
Pada endapan yang dalam tingkat piropylit-
alterasi mika putih tinggi.
Pada endapan yang rendah membentuk
silica masif (dari pencucian asam dan
mobilisasi silica), Pada daerah selitar
margin terdiri dari alunit dan kaolinit, bagian
luarnya mika putih dan perlapisan lempung,
pada endapan permukaan adalah
perlapisan clay.


9



Karakter
mineralisasi





Karaktteristik
tekstur








Karakteristik
mineralogi

Mineralisasi bijih
dikarakteristiksasi oleh open
space, cavity filling, kontak
dengan batuan samping tajam,
vein berlapis, breksiasi
mempunyai beberapa tahap.
Pada permukaan mungkin
membentuk stockwork atau
disseminated tergantung pada
permeabilitas batuan. Crustiform
banding,comb tektur berbutir
halus, colloform banding,
banding kuarsa dan kalsedon,
vugs, vein breksi , silica
pseudeomorf pada banded
kalsit Kalsedon mineral umum ,
Adularia pada vein dan
disseminated, Alunit sedikit,
Piropylit sedikit enargite- luzonit
tidak ada

Mineralisasi bijih disseminated piropylit
mika putih atau silica masif. Open space
dan cavity filling tidak umum
Mineralisasi pada umumnya berasosiasi
dengan alterasi advanced argilic dan
kelimpahan pirit sangat banyak

Vuggy silica (kuarsa berbutir halus)
Masif silikca (kuarsa berbutir halus)







Kalsedon pada umumnya tidak ada ,
Adularia tidak ada, Alunit mungkin
berlimpah. Piropylit mungkin berlimpah,
Enargite-Luzonit

3.3 Inklusi Fluida
Selama proses pembentukan kristal/ proses kristalisasi dari suatu mineral yang
umumnya adalah perubahan fasa karena penurunan suhu dari fasa cair menjadi padat ada
kemungkinan bahwa sebagian cairan atau larutan akan terperangkap dalam kristal tersebut
yang disebut inklusi fluida.
Inklusi fluida ini berdasarkan genesanya dapat dibagi menjadi tiga jenis :
1. Inklusi primer dimana inklusi ini terjadi bersamaan dengan pertumbuhan kristal yaitu
larutan yang terperangkap dan karena penurunan suhu mengakibatkan terbentuknya
inklusi.
2. Inklusi sekunder dimana setelah kristal terbentuk kemudian karena adanya peristiwa
geologi tertentu yang menyebabkan terbentuknya rekahan yang berukuran halus dan
apabila terdapat larutan hidrotemal maka dapat mengisi rekahan tersebut dan
terperangkap karena adanya proses healing atau perekatan kembali menyebabkan
terbentuknya inklusi fluida.

10


3. Inklusi pseudosekunder dimana pada saat pembentukan kristal terjadi rekahan yang
kemudian terisi oleh larutan hidrotermal, sehingga teksturnya menunjukan tekstur
inklusi sekunder namun prosesnya merupakan primer karena terbentuk bersamaan
dengan pembentukan kristal.

Selain itu dapat juga diklasifikasikan berdasarkan komposisi seperti inklusi silikat,
sulfida, air, organic, CO
2
dan sebagainya. Atau berdasarkan perbandingan fase yang ada
seperti inklusi kaya cairan (liquid rich), inklusi kaya uap/gas (vapour rich).


Data inklusi fluida dapat diperoleh dari urat urat hasil dari system hidrotermal
semakin besar dan tebal urat maka data yang diperoleh akan lebih baik namun harus dipilih
yang tidak mengalami pelapukan dan dibuat sayatan jenis wafer (double polished section)
yaitu sayatan yang dipoles bagian atas dan bawahnya. Mineral mineral sekunder yang baik
untuk dianalisa yang umum hadir pada system hidrotermal adalah kwarsa, kalsit, gypsum
serta flourit dan untuk mineral bijih yang baik adalah sfalerit.
Inklusi fluida dipakai sebagai geothermometer karena dapat memberikan data
temperatur pada saat pembentukan mineral dan juga dapat memberikan data tingkat
salinitas larutan yang berhubungan dengan jarak dari sumber.

3.4 Pengamatan Inklusi Fluida
Sebelum pengamatan inklusi fluida dilakukan lebih dahulu pengamatan petrografi
untuk mengetahui jenis jenis inklusi dan tekstur tekstur inklusi. Kemudian baru dilakukan
analisis analisis selanjutnya. Dari analisis inklusi fluida maka akan didapat :
o Tt = Temperature of trapping
o Th = Temeperatur homogen
o Tm = Temperature of melting
o Tf = Temperature of freezing
Dimana Th dianggap sama dengan Tt walaupun sesugguhnya tidak sama namun secara
teoritis harga Th mendekati harga Tt.
Untuk melakukan pengukuran suhu suhu tersebut dipakai seperangkat alat yang
disebut freezing dan heating stage yang dipasang pada mikroskop polarisasi
konvensional. Pemanasan menggunakan filamen dan pendinginannya menggunakan
nitrogen cair.
Prosedur pengkuruan diawali dengan pembekuan , pada saat seluruh cairan
membeku disebut sebagai Tf. Setelah itu suhu dinaikan secara perlahan, pada saat seluruh
es mencair atau butiran es terakhir mencair disebut Tm. Setelah itu suhu dinaikan kembali
secara perlahan dan pada saat gelembung yang terdapat pada dalam inklusi fluida tersebut
menghilang disebut Th.

11


Namun harus diperhatikan pada saat peleburan es dipengaruhi oleh kandungan
garam atau komposisi NaCl dan KCl. Air murni akan mencair pada suhu 0
o
C pada tekanan
1 atm, namun apabila larutan tersebut lebih pekat karena komposisi garam maka akan
mencair dibawah suhu 0
o
C, dengan mengetahui itu maka kita dapat menyimpulkan apakah
larutan tersebut pekat atau tidak karena berpengaruh pada tempat pembekuannya, semakin
pekat maka relatif semakin dekat dengan sumber magma, dan apabila pekat pada umumnya
akan muncul daughter mineral yaitu fasa kristal dari inklusi di dalam inklusi fluida tersebut
yang berasal dari kristal halite dan silvit.

3.5 Ruang Lingkup dan Metoda Penelitian
Ruang lingkup penelitian,dibatasi pada pembahasan komponen komponen genetik
endapan :
1. Studi alterasi hidrotermal, mineralisasi, dan hubungan antara aletrasi mineralisasi
tersebut.
2. Studi inklusi fluida meliputi kondisi fisika (temperature,tekanan,densitas) dan kimia
(salinitas) saat pembentukan endapan, dan penafsiaran horizon mineralisasi dan
elevasi yang masih mengandung bijih emas perak.
3. Pendekatan model genetik berdasarkan komponen komponen tersebut dan
aplikasinya pada program eksplorasi selanjutnya.

Metode pendekatan yang digunakan dan dilakukan adalah :
Studi pustaka yang meliputi studi literatur yang berhubungan, yaitu studi geologi
regional dan studi studi geologi lokal yang meliputi geomorfologi,litologi dan
mineralisasi dan alterasi serta struktur yang berkembang di daerah penelitian.
Penelitian lapangan untuk mengumpulkan data.
Analisis petrografi, yang diharapkan dapat membantu menjelaskan fase dan genesa
pengendapan kuarsa sebagai pembawa emas- perak.
Analisis mineragrafi untuk mengetahui jenis mineral bijih yang terdapat pada urat
kuarsa.
Analisis inklusi fluida untuk mengetahui kondisi fisika (temperature,tekanan dan
densitas) dan kondisi kimia (salinitas) larutan hidrotermal pembawa bijih emas- perak
epitermal.






12


3.6 Hasil Yang Diharapkan

Hasil yang diharapkan setelah mengetahui model genetik endapan emas perak epitermal
daerah penelitian :
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi kegiatan
eksplorasi selanjutnya.
Hasil penelitian diharapan dapat menjadi analogi dan bahan perbandingan bagi
perencanaan eksplorasi daerah lain yang memiliki kemiripan model genetik.

























Gambar 3.1 Bagan alir metode penelitian




13



BAB IV
HASIL PEMBAHASAN

4.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan pengumpulan data sekunder yang berupa hasil
peneliti terdahulu dan data data yang telah ada sebelumnya dan dilakukan juga
pengambilan data lapangan untuk dilakukan analisis selanjutnya dan analisis laboratorium.

4.2 Data lapangan dan analisis laboratorium
Pengambilan data lapangan dilakukan sepanjang lintasan yang dianggap menarik
dengan mempertimbangkan kedudukan serta kegunaannya, juga diambil conto untuk
dianalisis dan analisis inklusi fluida dengan kriteria conto yang diambil untuk analisis inklusi
fluida diambil dari urat kuarsa karena kuarsa memiliki fluid inklusi yang baik dan juga
memiliki range temperatur yang panjang. Dan juga conto yang dipilih yang tidak mengalami
pelapukan dan berukuran kristal besar, dan berukuran kristal besar kemudian dibuat sayatan
tipisnya (berrukuran lebih tebal dari ukuran sayatan tipis standar), dan dipoles bagian atas
dan bawahnya. Sayatan ini disebut wafer.

4.3 Alterasi Hidrotermal dan Mineralisasi
4.3.1 Tinjauan Umum
Alterasi hidrotermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara
mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal dengan
batuan yang dilaluinya pada kondisi fisikakimia tertentu (Pirajno, 1992). Beberapa factor
yang berpengaruh pada proses alterasi hidrotermal adalah temperatur, kimia, fluida,
konsentrasi dan komposisi batuan samping, durasi aktifitas hidrotermal dan permeabilitas.
Namun faktor kimia dan temperatur fluida merupakan factor yang paling berpengaruh
(Browne, 1994 dalam Corbett dan Leach, 1995)
Alterasi dapat menghasilkan mineral bijih dan mineral penyerta (gangue mineral). Namuin
demikian, tidak semua batuan yang mengalami alterasi hidrotermal dapat mengalami
mineralisasi bijih. Tipe alterasi tertentu biasanya akan menunjukan zonasi himpunan mineral
tertentu akibat ubahan oleh larutan hidrotermal yang melewati batuan sampingnya (Guilbert
dan Park, 1986, Evans, 1993). Himpunan mineral ubahan tersebut terbentuk bersamaan
pada kondisi keseimbangan yang sama (aqulibrium assemblage). Mineral-mineral baru yang
terbentuk, diendapkan mengisi rekahan-rekahan halus atau dengan proses penggantian
(replacement). Mineral-mineral baru ini dikenal sebagai mineral sekunder (Anonim, 1996)

14


Klasifikasi tipe alterasi hidrotermal pada endapan telah banyak dilakukan oleh para ahli,
antara lain Creassey (1956,1966). Lowell dan Guilbert (1970), Rose (1970), Meyer dan
Hemley (1967) serta Thomson dan Thomson (1996). Lowell dan Guilbert membagi tipe
alterasi kedalam potasik (K-feldspar, biotit, serisit,klorit, kuarsa),filik (kuarsa,serisit,pirit
hidromika,klorit), argilik (kaolinit,monmorilonit,klorit) dan propilitik (klorit,epidot).

Tabel 4.1 Klasifikasi tipe alterasi dan himpunan mineralnyapada endapan epitermal sulfidasi rendah
(Thompson dan Thomson,1996)

Tipe alterasi Zone (himpunan mineral)
Silisik Kuarsa,kalsedon,opal pirit,hematit
Adularia Ortoklas (adularia),kuarsa,serisit-illit,pirit
Serisitik,Argilik Serisit (muskovit), illit-smektit, monmorilonit
kaolinit,kuarsa,kalsit,dolomit,pirit
Argilik lanjut-Acid Sulphate Kaolinit,alunit,kritobalit (opal,kalsedon),native sulphur, jarosit, pirit
Silika-karbonat Kuarsa, kalsit
Propilitik,Alterasi Zeolitik Kalsit,epidot,wairakit,klorit,albit, illit-smektit, monmorilonit,pirit

4.3.1.1 Alterasi DaeraH Pondok Patat
Berdasarkan himpunan mineral ubahan dan mengacu pada klasifikasi Thomson dan
Thomson,1996 maka alterasi hidrotermal daerah penelitian terbagi dalam tiga zonasi alterasi
yaitu : Zone kuarsa-kalsedon-pirit (tipe silisik), zone lempung-kuarsa-serisit (tipe argilik) dan
zone klori (tipe propilitik)

Tipe Silisik
Dari pengamatan megaskopis pada singkapan yang terdapat pada daerah zona silisik
memperlihatkan zone alterasi kuarsa-kalsedon-pirit. Zone kuarsa-kalsedon-pirit ini terdapat
pada daerah puncak dari daerah penelitian.Pada batuan yang tersilisifikasi ini terdapat urat
urat kuarsa yang mempunyai kenampakan massive banded, dengan kristal kristal kuarsa
yang besar dan terdapat permineralan pirit halus.










15



















Foto 4.1. Kenampakan ubahan silisifikasi pada batuan tufa di daerah punggungan sungai Pondok Patat (foto
penulis, 2002)


Tipe Argilik
Tipe aleterasi argilik menempati sekitar 30 % daerah penelitian. Tipe argilik ini dicirikan oleh
hadirnya mineral lempung yang banyak, kuarsa dan serisit sebagai mineral tambahan. Tipe
altersi ini merupakan ubahan dari tufa yang terkersikan dan teragilikan. Secara megaskopis
tipe alterasi argilik ini memperlihatkan warna kecoklatan sampai putih kekuningan,
kandungan mineral lempung yang banyak dan berdasarkan hasil analisis dari PIMA maka
mineral lempung yang hadir berupa illite,kaolinit dan monmorilonit. Zona argilik ini
menempati bagian tengah daerah penelitian, dan menempati zona zona sesar disertai
mineral pirit halus, pada zona argilik ini biasa nampak urat urat kuarsa halus yang
membentuk stockwork.
Mineralisasi emas dan perak hanya terdeteksi dari hasil analisis kimia dalam urat urat
kuarsa dari ketebalan beberapa centimeter sampai beberapa meter.








16

















Foto 4.2 Kenampakan argilik pada dinding sungai Cipondok Patat. (foto penulis, 2002)















Foto 4.3 Kenampakan ubahan si-clay-pyrit (Argilik) pada punggungan sungai Cipondok Patat (foto penulis,2002)






17













Foto 4.4 Kenampakan ubahan si-clay-pyrit (Argilik) pada punggungan sungai Cipondok Patat (foto penulis,2002)

Tipe Propilitik
Tipe alterasi propilitik menempati sekitar 70 % daerah penelitian. Secara megaskopis tipe
propilitik ini memperlihatkan warna abu abu kehijauan. Tipe alterasi propilitik ini merupakan
tufa andesitik yang terubahkan yang dikorelasikan dengan Formasi Andesit Tua Cikotok.











Foto 4.5 Kenampaan andesit yang terpropilitkan pada sungaiCigintung Leutik. (foto penulis, 2002)

18












































Gambar. 4.1 Peta Geologi dan Alterasi daerah PondokPatat, Kec. Panggarangan, Kab.Lebak, Propinsi Banten

19
















Gambar. 4.2 Penampang C-D














Gambar. 4.3 Penampang A B

Pengamatan mineragrafi
Pengamatan mineragrafi dari sayatan poles, mineral yang hadir didominasi oleh kehadiran
pirit
Berdasarkan himpunan mineral bijih yang terbentuk, mineralisasi hipogen daeah penelitian
diperkirakan berlangsung pada temperatur 200 360
o
C.



20













Foto 4.6 Kenampakan ubahan pirit pada conto sayatan poles (foto penulis,2002)










Foto 4.7 Kenampakan pirit pada conto sayatan poles (foto penulis,2002)















Foto 4.8 Kenampakan pirit pada conto sayatan poles (foto penulis,2002)


21













Foto 4.9 Kenampakan pirit pada conto sayatan poles (foto penulis,2002)

4.4 STUDI INKLUSI FLUIDA
4.4.1 Tinjauan umum
Inklusi fluida adalah material dalam bentuk fasa cair, gas atau padat berukuran mikro yang
terperangkap saat pertumbuhan kristal suatu mineral (Roedder, 1984). Studi ini penting
dalam menentukan kondisi fisika dan kimia saat pembentukan endapan tersebut (Bodnar, et
al, 1987). Kondisi fisika yang dibahas pada tulisan ini meliputi temperature, tekanan dan
densitas, ,sedangkan kondisi kimianya merupakan salinitas.
Klasifikasi paragenetik inklusi fluida terbagi tiga yaitu : inklusi primer, inklusi sekunder dan
inklusi pseudosekunder (Roedder, 1984;Sheperd, et al, 1985). Inklusi primer terjadi
bersamaan dengan proses kristalisasi suatu mineral dimana sebagian endapan cairan atau
larutan akan terperangkap di dalam kristal. Inklusi sekunder terjadi dimana cairan atau
larutan mengisi rekahan yang berukuran halus dan kemudian rekahan tersebut tertutup
kembali dan membentuk inklusi. Sedangkan inklusi pseudosekunder merupakan transisi dari
kedua inklusi di atas dan terbentuk karena larutan mengisi rekahan halus saat pertumbuhan
kristal, jadi secara deskriptif inklusi pseudosekunder merupakan inklusi sekunder namun
secara genetis merupakan inklusi primer. Sedangkan untuk mengetahui temperature
pembentukan endapapan maka harus mengukur temperature homogenisasi (th, temperature
of homogenization), temperature peleburan (tm,temperature of melting), yang diukur dengan
alat Freezing and heating stage. Prosedur pengukuran diawali dengan cara pembekuan,
pada saat seluruh membeku menjadi es suhu yang dicatat pada saat itu merupakan
temperature pembekuan (temperature of freezing), kemudian suhu dinaikan secara perlahan
lahan dan pada saat seluruh es mencair maka suhu yang dicatat pada saat itu sebagai
Tm, kemudian suhu dinaikan kembali sampai gelembung gas yang terdapat dalam inklusi

22


cair itu menghilang , saat gelembung gas tersebut menghilang maka suhu yang dicatat
merupakan Th. (Roedder,1984 dalam Yuwono,1994)

Tabel 4.2 Klasifikasi fasa inklusi fluida pada suhu kamar (Shepperd, et al, 1985)

Fasa Inklusi Komposisi fasa Contoh singkatan
Fasa tunggal
(cairan)
L = 100 % L

Fase ganda (kaya cairan)

L > 50 % L + V

Fase ganda ( kaya
gas)

V = 50 80 % V + L
Fase tunggal (gas)

V + 100 %
V

Multifase (padatan)

L = bervariasi S < 50 % S +L+V
Multisolid S >50 % ; L,V bervariasi S +L+V

Immiscible liquid

L1,L2 L1+L2+V

Gelas

Gl > 50 % Tidak teramati GL+V+S
L = cairan, V = gas, S = padatan, Gl = gelas

Perhitungan salinitas larutan hidrotermal dalam persen berat NaCl ekuivalen, menggunakan
persamaan Roedder,1984 (Hedenquist dan Houghton,1988), sebagai berikut ;

Wt NaCl (eq) = 1,76958(-Tm) -4,2384 x 10
-2
x (-Tm)
2
+5,2778x10
-4
x (-Tm)
3


Data salinitas dipergunakan untuk menentukan besarnya tekanan dan memilih kurva
salinitas yang sesuai dengan system hidrotermal daerah penelitian.

4.4.2. Hasil analisis inklusi fluida daerah Pondok Patat
Analisis inklusi fluida dilakukan dengan mengukur diameter dari fluida dan kemudian
pengukuran temperatur homogenasi (Th), temperature pelelehan (Tm) dan salinitas (% berat
NaCl equivalent) larutan hidrotermal.




23


4.4.2.1 Jenis Fasa dan Paragenetik Inklusi Fulida
Pengamatan inklusi fluida dilakukan pada delapan conto sayatan urat kuarsa yang diambil
secara representative pada singkapan urat kuarsa daerah Pondok Patat.
Berdasarkan pengamatan delapan conto tersebut, kisaran diameter inklusi (dalam satuan
m), conto P.010 berukuran (8,9 x 9,1)- (26,5 x 22,5), P.014 berukuran (6,9 x 7,9) (12,1
x 7,9) , P.016 berukuran (13,0 x 18,1) (22,0 x 21,2), P.023 berukuran (6,3 x 6,8) (13,2
7,5), P.151 berukuran (4,4 x 4,9) (8,8 x 9,2), P.302 berukuran (8,9 x 9,1) (16,1 x 12,1)
m. Ukuran diameter inklusi inklusi ini cukup ideal untuk mengukur temperature
oembentukan endapan epitermal.
Pada semua conto yang diamati, jenis fasa inklusi umumnya disusun oleh fasa ganda yang
kaya cairan, dan dari conto yang diamati dijumpai inklusi sekunder yang dicirikan oleh
bentuknya yang tidak beraturan.

4.4.2.2 Temperatur Homogenisasi
Hasil pengamatan menggunakan alat freezing and heating stage mengasilkan temperature
homogenisasi (Th), temperature pelelehan(Tm) dan salinitas larutan hidrotermal.
Kisaran temperature homogenisasi untuk setiap conto adalah sebagai berikut :
P.010 (kisaran 253,70 264,30
o
C, mod 255
o
C)
P.014 (kisaran 226,10 260,30
o
C, mod 247
o
C)
P.016 (kisaran 251,80 260,10
o
C, mod 252
o
C)
P.023 (kisaran 223,90 231,50
o
C, mod 224
o
C)
P.151 (kisaran 188,70 237,50
o
C, mod 237
o
C)
P.302 (kisaran 187,10 211,30
o
C, mod 193
o
C)
Berdasarkan kisaran di atas maka harga Th daerah penelitian berkisar antara 193
o
255
o
C.
Dalam eksplorasi geothermal dan epitermal harga Th dianggap sama dengan harga Tt
(Temperature of trapping ) yaitu suhu pada saat inklusi terperangkap oleh kristal induknya.

Gambar 4.4 Histogram kisaran Th (
o
C) terhadap jumlah inklusi fluida (n) dari histogram ini diambil Th inklusi fluida
daerah penelitian berkisar 193-255
o
C











24


Histogram Th analisis inklusi fluida P.302
0
2
4
6
8
10
12
14
16
1
8
7
,
1
0
1
9
2
,
9
0
1
9
3
,
1
0
1
9
3
,
1
0
1
9
3
,
2
0
1
9
3
,
4
0
1
9
3
,
4
0
1
9
3
,
5
0
1
9
3
,
6
0
1
9
5
,
1
0
1
9
5
,
2
0
2
1
0
,
9
0
2
1
1
,
3
0
2
1
5
,
1
0
Temperatur
J
u
m
l
a
h

i
n
k
l
u
s
i
4.4.2.3 Temperatur Pelelehan
Pada analisis temperatur pelelehan, Tm inklusi sekunder pada setiap conto adalah sebagai
berikut :
P.010 (kisaran -0.30 -0.20
o
C, mod -0.20
o
C)
P.014 (kisaran -0.30 -0.20
o
C, mod -0.20
o
C)
P.016 (kisaran -0.30 -0.20
o
C, mod -0.20
o
C)
P.023 (kisaran -0.20
o
C, mod -0.20
o
C)
P.151 (kisaran -0.10
o
C, mod -0.10
o
C)
P.302 (kisaran -0.20
o
C, mod -0.20
o
C)
Berdasarakan kisaran di atas maka harga Tm daerah penelitian berkisar antara -0,30
o

0,10
o
C. Harga Tm ini dipakai untuk mengetahui perkiraan komposisi cairan yang
terperangkap. Inklusi fluida pada system hidrotermal umumnya kaya akan air, sebagai
pembanding apabila cairan tersebut merupakan H
2
O murni maka akan memberikan nilai Tm
0
o
C. Apabila larutan tersebut berisi larutan lain maka akan memberikan harga Tm negative.
Semakin pekat larutannya maka harga Tm akan semakin rendah.

Histogram hasil analisis inklusi fluida
















Gambar 4.5 Histogram kisaran Th (
o
C) terhadap jumlah inklusi fluida (n) pada sample P.302

















25


Histogram Th analisi inklusi fluida P.016
0
1
2
3
4
5
6
7
251,80 252,00 252,10 252,40 252,60 260,10
Temperatur
J
u
m
l
a
h

i
n
k
l
u
s
i

















Gambar 4.6 Histogram kisaran Th (
o
C) terhadap jumlah inklusi fluida (n) pada sample P.151














Gambar 4.7 Histogram kisaran Th (
o
C) terhadap jumlah inklusi fluida (n) pada sample P.014














Gambar 4.8 Histogram kisaran Th (
o
C) terhadap jumlah inklusi fluida (n) pada sample P.016



Histogram Th analisis inklusi fluida P.151
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
188,70 230,10 235,10 236,70 237,10 237,40 237,50 237,60
Temperatur
J
u
m
l
a
h

i
n
k
l
u
s
i
Histogram Th. analisis inklusi fluida P.014
0
2
4
6
8
10
12
14
16
2
2
5
,
1
0
2
2
6
,
1
0
2
3
1
,
5
0
2
4
5
,
1
0
2
4
6
,
9
0
2
4
7
,
0
0
2
4
7
,
1
0
2
4
7
,
1
0
2
4
7
,
2
0
2
4
7
,
3
0
2
4
7
,
4
0
2
4
7
,
6
0
2
4
7
,
9
0
2
6
0
,
3
0
Temperatur
u
m
l
a
h

i
n
k
l
u
s
i

26












Gambar 4.9 Histogram kisaran Th (
o
C) terhadap jumlah inklusi fluida (n) pada sample P.010












Gambar 4.10 Histogram kisaran Th (
o
C) terhadap jumlah inklusi fluida (n) pada sample P.023


4.4.2.4 Salinitas
Perhitungan salinitas inklusi di daerah penelitian menggunakan formula Roedder, 1984. Dari
hasil analisis di dapat salinitas setiap conto adalah sebagai berikut :
P.010 sebesar 0,380 ; P.014 sebesar 0,380 ; P.016 sebesar 0,380 ; P.023 sebesar 0,380 ;
P.151 sebesar 0,204 ; P.302 sebesar 0,380.
Maka berdasarkan data di atas salinitas daerah penelitian berkisar antara 0,204 0,380 %
berat NaCl.
Berdasarkan data di atas bila di plot kedalam diagram fasa H
2
O NaCl dari Craig dan
Vaughan, 1981;Roedder. 1984; Shepherd, et al.1985, maka larutan hidrotermal tersebut
berada pada fasa es+larutan.


Histogram Th. analisis inklusi fluida P.010
0
2
4
6
8
10
12
14
2
5
3
,
7
0
2
5
4
,
9
0
2
5
5
,
0
0
2
5
5
,
1
0
2
5
5
,
4
0
2
5
5
,
5
0
2
5
5
,
6
0
2
5
5
,
6
0
2
5
5
,
6
0
2
5
7
,
1
0
2
6
1
,
2
0
2
6
4
,
1
0
2
6
4
,
3
0
Temperatur
J
u
m
l
a
h

i
n
k
l
u
s
i
Histogram Th analisis inklusi fluida
P.023
0
1
2
3
4
5
6
7
8
223,90 224,00 224,10 224,30 224,50 226,50 231,50
Temperatur
J
u
m
l
a
h

i
n
k
l
u
s
i

27





















Gambar 4.11 Fasa larutan hidrotermal daeah Pondok Patat yang berada pada fasa es+larutan, bila diplot pada
diagram fasa Craig dan Vaughan(1981);Roedder (1984);Shepperd,et el, (1985)

Salinitas ini dianggap sebagai salinitas larutan hidrotermal pembawa bijih emas perak saat
pembentukannya . Salinitas yang rendah ini menunjukan bahwa larutan pembawa bijih emas
perak sangat encer. Larutan hirotermal yang encer menyebabkan penyebaran unsur Au
dan Ag di daerah penelitian akan lebih homogen (Basuki,1994).
Kehadiran daughter mineral tidak ditemukan sesuai dengan salinitas yang rendah yang juga
sebagai salah satu karakteristik dari endapan epitermal.

TOTAL DENSITAS DAN TEKANAN PEMERANGKAPAN
Total densitas ( tot) dan tekanan pemerangkapan Pt ( Pressure of trapping ) adalah sifat
fisik larutan hidrotermal yang dihasilkan secara tidak langsung dari analisis inklusi fluida.
Mtoda yang dipakai dalam penentuan densitas dan tekanan pemerangkapan ini adalah
berdasarkan derajat pengisian inklusi fluida (F), yaitu proporsi relatif cairan terhadap volume
total inklusi (V
tot
= V
L
+ Volume gas,V
V
) (Shepherd, et al, 1985) dengan formula :
F = V
L
/(V
L
+V
V
)

Tot
=


L
F +
V
(1-F), bila diasumsikan
V
= 0
Maka
TOT
=
L
F
Berdasarkan formula tersebut, diketahui f inklusi daerah penelitian sekitar 60% - 90%,
salinitas rendah ( 0,204 0,380 % berat NaCl ) , maka total densitas daerah penelitian
sekitar 0,60 0.90 gr/cm
3








28























Gambar 4.12 Total densitas ( TOT )inklusi fluida endapan Pondok Patat
pada suhu kamar sekitar 0,60-0.90 gr/cm
3
, bila diplot pada Diagram F - Shepherd,et al, 1985.

Sedangkan dalam penafsiran tekanan pemerangkapan terdapat empat metode (Dhepherd,
et al, 1985), yaitu :
1. Tekanan gas suatu fluida pada Th tertentu.
2. Isochore fluida , dihubungkan dengan geotermometer bebas.
3. Perpotongan isochore fluida untuk fluida fluida sejenis.
4. Pelarutan mineral-mineral anakan (halit), bila temperatur pelarutan(Ts) lebih besar
dari Th.
Namun dikarenakan penulis tidak memiliki data geotermometer bebas, komposisi CO
2
dan
sebagainya, maka penulis menggunakan metode pertama dalam penafsiran tekanan
pemerangkapan, yaitu berdasarkan tekanan gas suatu fluida pada temperatur homogenisasi.
Tekanan yang dihasilkan dianggap sebagai tekanan minimum cairan pada temperatur dan
komposisi NaCl tertentu (Roedder,1984;Shepherd, et al, 1985). Dari data didapatkan Th
sekitar 193
o
255
o
C, maka tekanan pemerangkapan larutan hidrotermal pembawa bijih
emas perak daerah penelitian berkisar 25 30 bar.







29





















Gambar 4.13 Pt inklusi berkisar antara 25 30 bar pada Th 197 255
o
C, bila diplot pada kurva Roedder,
1984;Shepherd et, al, 1985

HORISON MINERALISASI
Untuk menafsirkan horison mineralisasi daerah penelitian , penulis mengacu pada model
empiris endapan epitermal Buchanan 198. Pemilihan model ini karena relatif cocok dengan
tipe endapan epitermal daeah penelirian yang diperkirakan tipe sulfidasi rendah.
Penafsiran horison mineralisasi menggunakan data slinitas dan Th untuk menentukan
kedapalam pemerangkapan. Kedalaman yang dihasilkan merupakan kedalaman minimum,
karena larutan hidrotermal tidak dalam keadaan mendidih (boiling) (Shepherd, et, al, 1985).
Inklusi fluida daerah penelitian berkisar 193
o
255
o
C dan salinitas 0,204 0,380 % berat
NaCl, bila diplot dalam kurva Haas 1971 (Roedder,1984;Shepherd et, al, 1985) maka
kedalam pemerangkapan inklusi fluida daerah penelitian berkisar 200 400 m di bawah
paleo surface.







30






























Gambar 4.14 Kedalaman pemerangkapan inklusi daeah Pondok Patat, bila diplot pada kurva Haas, 1971 dalam
Roedder, 1984

Maka bila diketahui elevasi conto inklusi fluida yang dianalisis sekitar 685 840 m, maka
paleo elevasinya sekitar 920 1220 m, kedalaman pemerangkapan tersebut dianggap
kedalam pembentukan endapan epitermal di bawah paleo surface pada daerah penelitian.
Bila kedalaman pembentukan tersebut diplot pada model buchanan (1981), maka endapan
emas perak epitermal daerah penelitian masih berada pada horison mineralisasi bagian
atas dari zona logam berharga (precious metal zone)






31



Gambar 4.15 Model empiris endapan epitermal Buchanan, 1981

















Gambar 4.16 Ilustrasi kondisi mineraliasi daerah penellitian dibandingkan dengan model empiris Buchannan,1981



















32


BAB V
KESIMPULAN

Model genetik (konsepsual) endapan epithermal daerah penelitian meliputi :
1. Zona alterasi hidrothermal meliputi :
1. Zona kuarsa-kalsedon- pirit (alterasi silisik)
2. Zona lempung-kuarsa-serisit (alterasi argilik)
3. Zona klorit yang membentuk altersi propilitik.
2. Pengamatan mineragrafi daerah penelitian didominasi oleh kehadiran pirit.
3. Kondisi endapan epithermal daerah penelitian terletak pada kondisi fisika-kimia;
temperatur 197
o
-255
o
C, tekanan 25-30 bar, densitas sekitar 0,60 0,90 gr/cm
3
dan
salinitas rendah 0,204-0,380 % berat NaCl.
4. Endapan epitermal tersebut terendapkan pada kedalaman 180 400 m di bawah
paleo surface atau pada paleo elevasi sekitar 920 1220 m. Bila diplot pada model
empiris Buchanan endapan epitermal ini terletak pada bagian atas zona logam
berharga dan pada zone logam berharga (precious metal zone ).
5. Kondisi mineralisasi daerah penelitian terletak pada zone precious metal dan pada
elevasi dibawah 635 m dpl diperkirakan telah berada di bawah zone precious metal
sehingga daerah prospek untuk cebakan logam mulia diperkirakan pada elevasi
diatas 640 m dpl.


















33



DAFTAR PUSTAKA

Craig, J.R., Vaughan, D.J, 1981, Ore Microscopy and Ore Petrography, Jhon Wiley and
Sons, new york, 406 hal.
Corbett, G.J., Leach, T.M, 1996. Southwest Pasific Rim Gold-Copper System; Structure,
Alteration and Mineralization., Manual for Exploration Workshop presented at jakarta,
186 hal.
Evans, A,M., Ore geology and Industrial Minerals, Blackwell scientific publication.
Hedenquist,J.W., 1998, Hydrotermal System in Volcanic arc, Original of and exploration
for epitermal Gold Deposit, catatan kursus 13 Mei 1998, PT Geoservice Bandung.
Roedder, E, 1984., Fluid Inclusions., Review in Mineralogy,Volume 12., Mineralogy Society
of America, 644 hal.
Stanton RL ,1972, Ore Petrology, Mc. Graw-Hill book Co. New York.
Siegel, F.K., 1974, Applied Geochemistry, Wiley Intersciene Publication, Jhon Wiley and Son
Inc New York.
Vaughan,C,1981, Ore Microscopy and Ore Petrography , Wiley intersciene Publication,
Jhon Wiley and Son Inc New York.
Yuwono, F.S.,1994 Inklusi cair, Proceedings IAGI 1994.

You might also like