Utama Tbk. Tahun 2009 (Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pengganti Ujian Mata Kuliah Keselamatan Kerja III)
Dosen Pengampu: Yeremia Rante Ada, S.Sos., M.Kes
Oleh:
Ira Pracinasari (R.0012048) (Kelas B)
PROGRAM DIPLOMA 3 HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2014 2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 3 A. Latar Belakang ............................................................................................... 3 B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 2 C. Tujuan ............................................................................................................ 3 BAB II. LANDASAN TEORI ................................................................................... 6 A. Tinjauan Pustaka ........................................................................................... 6 BAB III. ISI ................................................................................................................ 18 BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 23 A. Kesimpulan ..................................................................................................... 23 B. Saran ............................................................................................................... 23 DAFTAR PUSTAKA
3
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konstruksi merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi rancang bangun, pengadaan material dan pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Pekerjaan konstruksi termasuk padat karya dan pekerjaan ini dilaksanakan secara manual dan juga menggunakan mesin. Pekerjaan yang dilakukan baik secara manual maupun dengan menggunakan mesin tetap dapat menimbulkan kecelakaan. Kecelakaan itu dapat terjadi karena peralatan yang sudah tidak layak pakai atau pekerja yang lalai sehingga terjadi kecelakaan. Riset yang dilakukan badan dunia ILO (2005) menghasilkan kesimpulan setiap hari rata-rata 6.000 orang meninggal, setara dengan satu orang setiap 15 detik, atau 2,2 juta orang per tahun akibat sakit atau kecelakaan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Secara keseluruhan, kecelakaan di tempat kerja telah menewaskan 350.000 orang. Sisanya meninggal karena sakit yang diderita dalam pekerjaan seperti membongkar zat kimia beracun (Suardi, 2005: 1). Berdasarkan hasil penelitian kecelakaan kerja pada 75.000 industri oleh Herbert W. Heinrich, menyatakan bahwa 88% kecelakaan disebabkan oleh unsafe act, 10% kecelakaan disebabkan oleh unsafe condition dan 2% merupakan kecelakaan yang tidak dapat dihindarkan (Geotsch, 1993). Demikian pula halnya dengan negara kita. Tingkat keselamatan kerja di Indonesia masih tergolong sangat rendah. Berdasarkan data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) RI, dalam satu hari lima orang pekerja meninggal dunia saat melakukan pekerjaannya (www.pikiran- rakyat.com/cetak/ 2007/032007/21/0308.htm). Selama tahun 2005, tingkat kecelakaan kerja di 4
Indonesia mencapai 95.418 kasus. Ini merupakan tingkat kecelakaan kerja tertinggi di ASEAN. Dari jumlah tersebut tercatat 1.736 pekerja meninggal dunia, 60 pekerja cacat total, 2.932 pekerja cacat sebagian, dan 6.114 pekerja mengalami cacat ringan Pekerja merupakan sumber daya yang paling penting dalam pengoperasian dan produksi barang-barang atau jasa, untuk itu diperlukan pekerja yang ahli dalam bidangnya masing-masing agar tidak terjadi hal-hal yang dapat merugikan baik kerugian jiwa, aset perusahaan/harta benda, proses produksi, lingkungan dan citra perusahaan. Menurut teori H.W. Heinrich (Colling, 1990) dan human error model yang dikemukakan oleh Ferrel (Colling, 1990) bahwa kecelakaan di tempat kerja sebagian besar disebabkan karena perilaku tidak aman. Salah satu faktor penyebab dasar terjadinya perilaku ini adalah faktor individu yang mencakup pengetahuan pekerja. Perilaku dapat diartikan sebagai suatu respon organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus dari luar subyek tersebut). Respon ini berbentuk dua macam, yaitu bentuk pasif (sikap dan pengetahuan) dan bentuk aktif (Notoatmodjo, S, 1989). Bila kita memahami serta menyadari bahwa bahaya yang ada di tempat kerja dapat terjadi pada siapa saja dan dapat menghasilkan kecelakaan kerja, maka kita harus bersikap hati-hati dalam bekerja. Kecelakaan kerja dapat menimbulkan kerugian seperti man, money, material, machine, lingkungan dan citra perusahaan. Berdasarkan salah satu pertimbangan tersebut maka diperlukan suatu peraturan yang mengatur keselamatan pekerja dari berbagai sisi. Hal ini menuntut perilaku aman dan kepatuhan pekerja dalam mematuhi peraturan perusahaan agar tercipta lingkungan kerja yang kondusif. Identifikasi bahaya- bahaya yang meliputi seluruh tahapan proses produksi sangat perlu dilakukan untuk mengendalikan risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja (Teknik Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Setelah itu dilakukan evaluasi tingkat risiko untuk pada akhirnya dilakukan tahapan pengendalian terhadap kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Melalui tahap identifikasi yang 5
baik dan kesadaran yang tinggi dari pekerja dan adanya dukungan dari pihak manajemen, maka akan tercipta suatu lingkungan kerja yang aman, sehat dan dapat mencapai produktivitas yang tinggi.
B. Rumusan masalah Bagaimana penerapan Behavior Based Safety pada pada pekerja di Divisi Steel Tower PT. Bukaka Teknik Utama Tbk. tahun 2009?
C. Tujuan Mengetahui dan menganalisis penerapan Behavior Based Safety pada pada pekerja di Divisi Steel Tower PT. Bukaka Teknik Utama Tbk. tahun 2009.
6
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka Tindakan Tidak Aman 1. Pengertian Tindakan Tidak Aman Menurut Heinrich (1931) seperti yang dikutip oleh Bayu Dwinanda (2007), tindakan tidak aman adalah tindakan atau perbuatan dari seseorang atau beberapa orang pekerja yang memperbesar kemungkinan terjadinya kecelakaan terhadap pekerja. Tindakan tidak aman yang sering dijumpai, antara lain: a. Menjalankan yang bukan tugasnya, gagal memberikan peringatan b. Menjalankan pesawat melebihi kecepatan c. Melepaskan alat pengaman atau membuat alat pengaman tidak berfungsi d. Membuat peralatan yang rusak e. Tidak memakai alat pelindung diri f. Memuat sesuatu secara berlebihan g. Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya h. Mengangkat berlebihan i. Posisi kerja yang tidak tepat j. Melakukan perbaikan pada waktu mesin masih berjalan k. Bersenda gurau l. Bertengkar m. Berada dalam pengaruh alkohol atau obat-obatan (Suardi, 2005: 6)
2. Macam-Macam Tindakan Tidak Aman Secara umum, HFACS (Human Factors Analysis and Classification System) mengklasifikasikan tindakan tidak aman (unsafe acts) menjadi kesalahan (errors) dan pelanggaran (violations). Kesalahan adalah representasi dari suatu aktivitas mental dan fisik seseorang yang gagal mencapai sesuatu yang diinginkan. Pelanggaran di sisi lain mengacu pada niat untuk mengabaika 7
petunjuk atau aturan yang telah ditetapkan untuk melakukan suatu tugas tertentu (Wiegman, 2007: 2). Kesalahan manusia yang paling dasar dapat dibagi menjadi tiga, yaitu kesalahan memutuskan (decision errors), kesalahan sebab kemampuan (skill- based errors), dan kesalahan perseptual (perceptual errors). Sedangkan pelanggaran terdiri atas routine violations dan exceptional violations (Wiegman, 2007: 2-3). Menurut Rasmussen, ada tiga jenjang kategori kesalahan yang dapat terjadi pada manusia, yaitu: 1. Salah sebab kemampuan (skill-based error) Adalah suatu kesalahan manusia yang disebabkan oleh karena ketidakmampuan seseorang secara fisik atau tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu tugas tertentu. Seseorang bisa saja tahu apa yang seharusnya dilakukan tetapi ia tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya. 2. Salah sebab aturan (rule-based error) 3. Adalah suatu kesalahan manusia karena tidak melakukan aktivitas yang seharusnya dilakukan atau melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan. 4. Salah sebab pengetahuan (knowledge-based error) Adalah kesalahan manusia yang disebabkan karena tidak memiliki pengetahuan yang dibutuhkan untuk memahami situasi dan membuat keputusan untuk bertindak atau melakukan suatu aktivitas. Menurut Reason (1990) kesalahan manusia (human error) dapat dikategorikan menjadi sebagai berikut: 1. Mistakes Kesalahan ini disebabkan oleh kegagalan atau tidak lengkapnya proses penilaian atau proses menyimpulkan suatu pilihan sasaran atau merinci cara mencapai sesuatu, terlepas dari apakah tindakan yang dilakukan sesuai atau tidak dengan kerangka keputusan yang telah direncanakan. 2. Lapse 8
Adalah kesalahan dalam mengingat dan tidak selalu harus tampil dalam perilaku aktual dan kadangkala hanya dirasakan oleh pribadi yang bersangkutan. 3. Slips Adalah kesalahan akibat penerapan yang tidak sesuai dengan rencana yang telah ditentukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu, terlepas dari apakah rencana tersebut benar atau tidak. 3. Perilaku a. Pengertian Perilaku Menurut Geller (2001: 136), perilaku mengacu pada tindakan individu yang dapat diamati oleh orang lain. Robert Kwick mendefinisikan perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dipelajari (Notoatmodjo, 1993: 61). Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Dengan demikian, perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas, antara lain berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati pihak luar (Notoatmodjo, 2003: 114). Skinner (1938), seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori S-O-R atau Stimulus- Organisme-Respons. Skinner membedakan adanya dua respons, yaitu: 1. Respondent respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut eliciting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap. 9
2. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang, kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer karena memperkuat respon. (Notoatmodjo, 2003: 114-115)
Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Perilaku tertutup (covert behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati dengan jelas oleh orang lain. 2. Perilaku terbuka (overt behavior) Respons seseorang terhadap stimulus dalamn bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. (Notoatmodjo, 2003: 115)
b. Faktor Penentu Perilaku Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respons tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Faktor internal, yaitu karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. 10
2. Faktor eksternal, yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan mewarnai perilaku seseorang. (Notoatmodjo, 2003: 120-121)
B. Keselamatan Berbasis Perilaku (Behavior-Based Safety) Keselamatan berbasis perilaku adalah proses pendekata untuk meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja dengan jalan menolong sekelompok pekerja untuk: 1. Mengidentifikasi perilaku yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan kerja. 2. Mengumpulkan data kelompok pekerja. 3. Memberikan umpan balik dua arah mengenai perilaku K3. 4. Mengurangi atau meniadakan hambatan sistem untuk perkembangan lebih lanjut. (Krausse, 1999:13) Geller (2001) menyebutkan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Stephen Guastello pada tahun 1993 menemukan bahwa pendekatan keselamatan berbasis perilaku merupakan program yang paling efektif dalam menurunkan kecelakaan kerja dibandingkan pendekatan lainnya, seperti pengendalian teknik, manajemen stres, manajemen audit, dan lain-lain. 1. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Bekerja a. Pelatihan Salah satu cara yang baik untuk mempromosikan keselamatan di tempat kerja adalah dengan memberikan pelatihan bagi pekerja. Pelatihan keselamatan awal harus menjadi bagian dari proses orientasi pekerja baru. Pelatihan selanjutnya diarahkan pada pembentukan pengetahuan yang baru, spesifik, dan lebih dalam serta memperbarui pengetahuan yang sudah ada (Goestsch, 1996: 407). Pelatihan memberikan manfaat ganda dalam promosi keselamatan. Pertama, pelatihan memastikan pekerja tahu bagaimana cara bekerja dengan aman 11
dan mengapa hal itu penting. Kedua, pelatihan menunjukkan bahwa manajemen memiliki komitmen terhadap keselamatan (Goestsch, 1996: 407). Pelatihan merupakan komponen utama dalam setiap program keselamatan. Pelatihan dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman pekerja terhadap hazard dan risiko. Dengan adanya peningkatan kesadaran terhadap risiko, pekerja dapat menghindari kondisi tersebut dengan mengenali pajanan dan memodifikasinya dengan mengubah prosedur kerja menjadi lebih aman (Leamon, 2007). Latihan keselamatan adalah penting mengingat kebanyakan kecelakaan terjadi pada pekerja baru yang belum terbiasa dengan bekerja secara selamat. Sebabnya adalah ketidaktahuan tentang bahaya atau ketidaktahuan cara mencegahnya, sekalipun tahu tentang adanya suatu risiko bahaya tersebut. Ada pula tenaga kerja baru yang sebenarnya menaruh perhatian terhadap adanya bahaya, tetapi ia tidak mau disebut takut dan akhirnya menderita kecelakaan. Segi keselamatan harus ditekankan pentingnya kepada tenaga kerja oleh pelatih, pimpinan kelompok, atau instruktur (Sumamur, 1996: 310). Pelatihan dibutuhkan baik bagi manajemen, pengawas, maupun pekerja sehingga mereka memahami tugas dan tanggung jawab mereka serta meningkatkan kesadaran mereka terhadap potensi hazard. Pekerja harus dibekali dengan prosedur kerja yang jelas dan tidak membingungkan. Mereka harus memahami hazard dalam pekerjaan yang mereka lakukan dan efek yang dapat diakibatkan daripadanya. Sebagai tambahan, manajer, pengawas, dan pekerja harus familiar dengan prosedur untuk meminimalisasi kerugian ketika terjadi kecelakaan (Leamon, 2007). b. Peraturan Peraturan merupakan dokumen tertulis yang mengkomunikasikan standar, norma, dan kebijakan untuk perilaku yang diharapkan. (Geller, 2001). Peraturan memiliki peran besar dalam menentukan perilaku mana yang dapat diterima dan tidak dapat diterima (Roughton, 2002: 201). 12
Notoatmodjo (1993: 115) menyebutkan salah satu strategi perubahan perilaku adalah dengan menggunakan kekuatan/kekuasaan misalnya peraturan- peraturan dan perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat. Cara ini akan menghasilkan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung lama karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri. Secara umum, kewajiban manajemen dalam peraturan keselamatan dapat dirangkum sebagai berikut: 1. Manajemen harus memiliki peraturan yang memastikan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja. 2. Manajemen harus memastikan bahwa setiap pekerjanya memahami peraturan tersebut. 3. Manajemen harus memastikan bahwa peraturan tersebut dilaksanakan secara objektif dan konsisten. Manajemen yang tidak memenuhi kriteria di atas dianggap teledor. Memiliki peraturan saja tidak cukup, demikian juga memiliki peraturan dan meningkatkan kesadaran pekerja terhadap peraturan. Manajemen harus merumuskan peraturan yang sesuai, mengkomunikasikan peraturan tersebut kepada pekerja, dan menegakkan peraturan tersebut di tempat kerja. Penegakkan peraturan merupakan hal yang sering dilupakan (Goestsch, 1996: 405). Objektivitas dan konsistensi merupakan hal yang penting ketika menegakkan peraturan. Objektivitas maksudnya peraturan tersebut berlaku bagi semua pekerja dari mulai pekerja baru hingga kepala eksekutif. Konsistensi maksudnya peraturan tersebut ditegakkan dalam setiap kondisi tanpa ada pengaruh dari luar. Hal ini berarti hukuman diberikan kepada setiap pelanggar. Gagal untuk menjadi objektif dan konsisten dapat menurunkan kredibilitas dan efektivitas upaya perusahaan untuk mempromosikan keselamatan (Goestsch, 1996: 405). Peraturan keselamatan akan lebih efektif jika dibuat dalam bentuk tertulis, dikomunikasikan, dan didiskusikan dengan seluruh pekerja yang terlibat. 13
Hubungan antara peraturan keselamatan dan konsekuensi yang diterima akibat pelanggaran dapat didiskusikan bersama dengan pekerja. Pekerja kemudian diminta untuk menandatangani pernyataan bahwa mereka telah membaca dan memahami peraturan tersebut dan juga telah mendapatkan penjelasan tentang konsekuensi yang akan mereka terima bila melanggarnya. Ketika pekerja ikut dilibatkan dalam perumusan peraturan, mereka akan lebih memahami dan mau mengikuti peraturan tersebut (Roughton, 2002: 202). Petunjuk untuk membangun peraturan keselamatan: 1. Kurangi jumlah peraturan. Terlalu banyak peraturan dapat menimbulkan overload. 2. Tulis peraturan dalam bahasa yang jelas dan mudah dipahami. Langsung pada poin pentingnya saja dan hindari penggunaan kata-kata yang memiliki makna ambigu atau sulit dipahami. 3. Tulis hanya peraturan yang penting untuk memastikan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja saja. 4. Libatkan pekerja dalam perumusan peraturan yang berlaku bagi area operasi tertentu. 5. Rumuskan hanya peraturan yang dapat dan akan ditegakkan. 6. Gunakan akal sehat dalam merumuskan peraturan. (Goestsch, 1996: 406)
c. Pengawasan Kelemahan dari peraturan keselamatan adalah hanya berupa tulisan yang menyebutkan bagaimana seseorang bisa selamat, tetapi tidak mengawasi aktivitasnya. Pekerja akan cenderung melupakan kewajibannya dalam beberapa hari atau minggu. (Roughton, 2002: 199). Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan untuk menegakkan peraturan di tempat kerja. Menurut Roughton (2002: 205-206), beberapa tipe individu yang harus terlibat dalam mengawasi tempat kerja yaitu: a. Pengawas (supervisor) Setiap pengawas yang ditunjuk harus mendapatkan pelatihan terlebih dahulu mengenai bahaya yang mungkin akan ditemuinya juga pengendaliannya. 14
b. Pekerja Ini merupakan salah satu cara untuk melibatkan pekerja dalam proses keselamatan. Setiap pekerja harus mengerti tentang potensi bahaya dan cara melindungi diri dan rekan kerjanya dari bahaya tersebut. Mereka yang terlibat dalam pengawasan membutuhkan pelatihan dalam mengenali dan mengendalikan potensi hazard. c. Safety Professional Safety Professional harus menyediakan bimbingan dan petunjuk tentang metode inspeksi. Safety professional dapat diandalkan untuk bertanggung jawab terhadap kesuksesan atau permasalahan dalam program pencegahan dan pengendalian bahaya. d. Pesan Keselamatan Membuat pesan keselamatan secara visual merupakan cara yang efektif untuk mempromosikan keselamatan. Sebagai contoh, rambu keselamatan yang tampak secara visual bagi operator mesin dapat mengingatkannya untuk menggunakan pengaman mesin. Rambu diletakkan di dekat mesin tersebut. Jika operator tidak dapat mengaktifkan mesin tanpa membaca rambu ini, maka operator tersebut akan selalu diingatkan untuk menggunakan cara aman setiap kali mengoperasikan mesin (Goestsch, 1996: 408-409). Hal-hal yang dapat meningkatkan efektivitas tanda keselamatan: 1. Ganti rambu, poster, dan alat bantu visual lainnya secara periodik. Pesan visual yang terlalu lama digunakan lama kelamaan akan menyatu dengan latardan tidak dikenali lagi. 2. Libatkan pekerja dalam membuat pesan yang akan ditampilkan pada rambu atau poster. 3. Buat pesan visual yang sederhana dan dengan pesan yang jelas. 4. Buat pesan visual yang cukup besar agar mudah dilihat dalam jarak tertentu. 5. Tempatkan pesan visual pada tempat-tempat tertentu yang akan menghasilkan efek maksimum. 15
6. Gunakan permainan warna agar pesan visual dapat menarik perhatian. (Goestsch, 1996: 409)
e. Alat Pelindung Diri (APD) Penggunaan APD merupakan penyambung dari berbagai upaya pencegahan kecelakaan lainnya atau ketika tidak ada metode atau praktek lain yang mungkin untuk dilakukan (Roughton, 2002: 199). Aneka alat-alat perlindungan diri adalah kaca mata, sepatu pengaman, sarung tangan, topi pengaman, sekor, perlindungan telinga, perlindungan paru- paru, dan lain-lain (Sumamur: 296-298). Menurut Lawrence Green, perilaku dapat terbentuk dari 3 faktor, salah satunya faktor pendukung (enabling) yaitu ketersediaan fasilitas atau sarana kesehatan. Ketersediaan APD dalam hal ini merupakan salah satu bentuk dari faktor pendukung perilaku, dimana suatu perilaku otomatis belum terwujud dalam suatu tindakan jika tidak terdapat fasilitas yang mendukung terbentuknya sikap tersebut (Notoatmodjo, 2005: 60). Pekerja membutuhkan pelatihan tentang APD agar dapat mengerti arti pentingnya penggunaan APD dan bagaimana cara menggunakan serta merawatnya dengan baik. Pekerja juga harus diberitahu tentang keterbatasan dari APD. APD tidak selalu cocok untuk digunakan dalam setiap situasi karena memang didesain secara khusus untuk suatu pekerjaan saja. Selain pelatihan, penguatan positif dan peraturan yang mengatur tentang penggunaan APD juga sangat dibutuhkan (Roughton, 2002: 200). Beberapa pekerja mungkin menolak untuk menggunakan APD karena APD tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan menambah beban stress pada tubuh. Stress ini dapat menimbulkan rasa tidak nyaman atau kesulitan untuk bekerja dengan aman (Roughton, 2002: 200). Oleh karena itu, desain dan pembuatan APD harus memenuhi standar-standar tertentu dan harus diuji terlebih dahulu kemampuan perlindungannya (Sumamur, 1996: 296).
16
f. Hukuman dan Penghargaan Hukuman merupakan konsekuensi yang diterima individu atau kelompok sebagai bentuk akibat dari perilaku yang tidak diharapkan. Hukuman dapat menekan atau melemahkan perilaku (Geller, 2001). Hukuman tidak hanya berorientasi untuk menghukum pekerja yang melanggar peraturan, melainkan sebagai kontrol terhadap lingkungan kerja sehingga pekerja terlindungi dari insiden (Roughton, 2002: 211). Penghargaan adalah konsekuensi positif yang diberikan kepada individu atau kelompok dengan tujuan untuk mengembangkan, mendukung, dan memelihara perilaku yang diharapkan. Jika digunakan sebagaimana mestinya, penghargaan dapat memberikan yang terbaik kepada setiap orang karena penghargaan membentuk perasaan percaya diri, penghargaan diri, pengendalian diri, optimisme, dan rasa memiliki (Geller, 2001: 380-381). Meskipun hukuman dan penghargaan memiliki pengaruh yang kuat dalam mengendalikan perilaku manusia, tetapi bukan tanpa masalah. Penghargaan berguna hanya jika penerimanya menganggap bahwa penghargaan tersebut bernilai pada saat diterima. Menghukum perilaku yang di luar kendali pekerja (slip) juga tidak efektif. Bahkan kemungkinan pelanggaran diketahui atau dilaporkan kurang efektif dalam mengubah perilaku, karena masih ada kesempatan pelanggaran tidak diketahui atau dilaporkan. Jika di tempat kerja terdapat kesempatan ini, orang akan secara otomatis memilih perilaku yang tidak diharapkan tanpa mempedulikan hukuman atau penghargaan yang akan mereka terima. Keefektifan pendekatan ini biasanya hanya untuk jangka pendek (Groeneweg, 2007). Penekanan pada hukuman dapat memotivasi perilaku seseorang dalam keselamatan, namun bukti dari efektivitasnya tidak diketahui dengan pasti. Adapun kelemahan dari hukuman yaitu: 1. Efek atribusi. Sebagai contoh, menilai seseorang sebagai karakteristik yang tidak diharapkan dapat merangsang seseorang untuk berperilaku seperti mereka benar-benar memiliki karakteristik itu. Menilai 17
seseorang tidak bertanggung jawab akan membuat mereka berperilaku seperti itu. 2. Penekanan pada pengendalian proses pembentukan perilaku. Sebagai contoh menggunakan alat pelindung atau mematuhi batas kecepatan kerja daripada menekankan pada hasil akhir yang ingin dicapai yaitu keselamatan. Pengendalian proses tidak praktis untuk didesain dan diimplementasikan serta tidak dapat merangkum seluruh perilaku yang tidak diharapkan dari pekerja dalam setiap waktu. 3. Hukuman membawa efek samping negatif. Hukuman menimbulkan disfungsi iklim organisasi yang ditandai oleh dendam, tidak mau bekerja sama, sikap antagonis, bahkan sabotase. Hasilnya, perilaku yang tidak diharapkan mungkin muncul. (Wilde, 2007) g. Dampak Perilaku Tidak Aman Praktek di bawah standar (unsafe acts) merupakan penyebab langsung suatu kecelakaan (Suardi, 2005: 4). Suatu kecelakaan dapat menimbulkan kerugian berupa kerusakan pada tubuh korban maupun kerusakan pada harta benda. Kerusakan dapat langsung terlihat (luka, patah, luka bakar, dan lain-lain), atau baru terlihat setelah waktu yang lama (penyakit akibat kerja yang tidak segera terlihat gejala-gejalanya). Demikian juga kerusakan pada harta benda, ada yang terlihat langsung dan ada juga yang akan memberikan akibat setelah beberapa lama kemudian. Misalnya, peralatan baru yang menimbulkan stres berlebihan (Suardi, 2005: 7). Ketika kita menginginkan pekerja untuk bekerja dengan aman, kita biasanya menekankan kepada mereka bahwa mereka harus bekerja dengan aman agar terhindar dari kecelakaan. Seringkali yang menjadi masalah adalah pekerja merasa puas dengan hasilnya dan mulai memotong beberapa prosedur keselamatan. Jika kemungkinan untuk celaka cukup tinggi, kepuasan diri ini tidak menjadi masalah. Namun, kemungkinan untuk celaka biasanya terlalu kecil untuk memelihara perilaku aman secara konsisten. Setiap kali pekerja memotong prosedur keselamatan dan tidak terluka, mereka sedikit demi sedikit mulai kehilangan rasa takut yang memotivasi keselamatan (McSween, 2003: 8-9). 18
BAB III
ISI
A. Profil PT. Bukaka Teknik Utama PT. Bukaka Teknik Utama, Tbk adalah perusahaan swasta pribumi yang bergerak dalam bidang konstruksi, permesinan (engineering), transportasi, telekomunikasi, dan manufaktur terutama dalam bidang sarana umum. PT. Bukaka Teknik Utama atau yang dikenal dengan PT. BTU didirikan pada tanggal 25 Oktober 1978, dan pada awalnya merupakan anak perusahaan NV. H. Kalla yang pada saat itu di pimpin oleh Drs. M. Yusuf Kalla. Nama Bukaka berasal dari sebuah nama desa yang berada di Sulawesi Selatan. Ide pertama untuk mendirikan PT. BTU ini yaitu ketika diumumkannya Surat Keputusan Menteri Perindustrian No.168/M/SK/1978, mengenai penegasan kembali Surat Keputusan Menteri No.307/MIS/81/1976 tentang keputusan mengenai keharusan menggunakan komponen dalam negeri dalam perakitan kendaraan bermotor. Pada saat itu juga pemerintah sedang merencanakan membeli unit mobil pemadam kebakaran secara besar-besaran. Ini merupakan kesempatan besar bagi perusahaan-perusahaan dalam negeri untuk menunjukkan kemampuannya, termasuk PT. BTU. Dengan dikelola oleh tenaga-tenaga ahli dari Indonesia dan dengan fasilitas yang sederhana, perusahaan ini berhasil memenuhi prmintaan pemerintah walaupun dengan perjuangan yang tidak mudah. Sebelum berkembang menjadi perusahaan yang besar dan maju, PT. BTU hanya mempunyai sebuah bengkel dengan luas tanah 4000 m2 yang bertempat di desa Babakan, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor dengan jumlah karyawannya yang masih sangat sedikit yaitu berjumlah 12 orang termasuk direktur dan sekretaris, selain itu sumber daya yang dimiliki pun masih kurang memadai, seperti 4 buah mesin las 200 A, 1 buah kompresor dan bor duduk, masing-masing 2 buah tabung las karbitan, bor tangan dan gerinda, 60 KVA listrik genset, dan 12 orang karyawan termasuk 2 direktur dan sekretaris. 19
Pada tahun 1981, PT. BTU dipercaya oleh pemerintah untuk membuat Asphalt Mixing Plant (AMP), yaitu merupakan suatu alat untuk membuat hot mix yang saat itu hanya diproduksi di negara Jepang. Pada tahun 1982, PT. BTU dipindahkan ke daerah Limus Nunggal yang areanya seluas 3 Ha. Lokasi ini cukup strategis, karena selain tidak begitu jauh dari kota juga dekat dengan jalan tol Jagorawi dan jalan tol JakartaCikampek. Daerah ini merupakan daerah kawasan industri yang perkembangannya sangat pesat. Perkembangan ini membuat PT. BTU perlu menambah luas area pabrik, sehingga PT. BTU dipindahkan dari daerah Babakan ke daerah Cileungsi, hingga sekarang dengan menempati area seluas 65 hektar. Pada tahun 1986, PT. BTU semakin menunjukkan kemampuannya dengan mengembangkan produknya, seperti High Voltage Transmission Electric Tower, Galvanizing Plant, serta Conveyor dan Control System. Pada tahun 1988, PT. BTU membuat Prototype dari Passenger Boarding Bridge dan memproduksi Asphalt Finisher. Karena prestasi PT. BTU yang mampu memproduksi alat-alat berat tersebut, maka pada tahun 1989 PT. BTU menerima penghargaan Upakarti. Tidak itu saja, pada tahun 1990, PT. BTU berhasil mengekspor satu set Garbarata (Boarding Bridge) ke negara Jepang. Di samping itu, PT. Bukaka juga terus memperbaiki mutu produk dan berhasil mendapatkan sertifikasi ISO 9001 untuk produk Steel Tower, Boarding Bridge dan jembatan serta API Spec Q1 (sertifikasi mutu di bidang produk perminyakan) untuk produk Pompa angguk. Tahun 1995 PT. Bukaka Teknik Utama melakukan penawaran saham kepada umum (Go Public). Hal ini bertujuan antara lain untuk meningkatkan profesionalisme, meningkatkan kepercayaan berbagai pihak pada perusahaan dan meningkatkan kesempatan untuk mengembangkan perusahaan. Sambutan publik terhadap saham PT. Bukaka sangat tinggi.
B. Visi, Misi dan Tujuan PT. Bukaka Teknik Utama Untuk memberi panduan dalam menjalankan usahanya maka manajemen PT. Bukaka Teknik Utama menetapkan visi, misi dan tujuan perusahaan yaitu: 20
Visi Menjadi Perusahaan Nasional kelas dunia yang unggul dibidang rekayasa dan industri. Misi Ikut serta memajukan bangsa dengan menjadi Perusahaan Nasional kelas dunia yang unggul di bidang rekayasa dan konstruksi dengan mengandalkan inovasi, kreativitas dan mutu. Tujuan Perusahaan Profitability Growth Market share Social Responsiveness C. Gambaran Behavior Based Safety di PT. Bukaka Teknik Utama, Tbk Hubungan antara Safety Message dengan Perilaku Bekerja Selamat Berdasarkan hasil analisis bivariat, perilaku bekerja selamat lebih banya terdapat pada pekerja yang menyatakan bahwa safety message/poster sudah baik (59,7%) dibandingkan dengan pekerja yang menyatakan keberadaan safety message/poster masih kurang baik (22,2%). Hasil uji statistik memperoleh nilai p>0,05 (0,07), sehingga tidak terdapat hubungan yang bermakna antara safety message dengan perilaku bekerja selamat. 1. Hubungan antara Ketersediaan APD dengan Perilaku Bekerja Selamat Berdasarkan hasil analisis bivariat, perilaku bekerja selamat lebih banyak terdapat pada pekerja yang menyatakan ketersediaan APD sudah baik (57,4 %) dibandingkan dengan yang merasa peraturan masih kurang baik yaitu 37,5 %. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna dengan p value >0,05, yaitu 0,456. 2. Hubungan antara Sanksi dengan Perilaku Bekerja Selamat Berdasarkan hasil analisis bivariat, perilaku bekerja selamat lebih banyak terdapat pada pekerja yang menyatakan menilai sanksi sudah baik (57,6 %) dibandingkan dengan pekerja yang menilai sanksi masih kurang baik (40 %). 21
Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna dengan p value >0,05, yaitu 0,33. 3. Hubungan antara Penghargaan dengan Perilaku Bekerja Selamat Berdasarkan hasil analisis bivariat, perilaku bekerja selamat lebih banyak terdapat pada pekerja yang menyatakan keberadaan penghargaan sudah baik (64,2 %) dibandingkan dengan pekerja yang menyatakan keberadaan penghargaan masih kurang baik (34,8 %). Hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan antara penghargaan dengan perilaku bekerja selamat dengan p value <0,05, yaitu 0,03. Dari hasil analisis diperoleh nilai OR 3,36, yang artinya pekerja yang menyatakan penghargaan sudah baik berpeluang 3,36 kali lebih besar untuk bekerja selamat dibandingkan dengan pekerja yang menyatakan keberadaan penghargaan masih kurang baik. 4. Hubungan antara Dampak Tindakan Tidak Aman dengan Perilaku Bekerja Selamat Berdasarkan hasil analisis bivariat, perilaku bekerja selamat lebih banyak terdapat pada pekerja dengan pemahaman dampak tindakan tidak aman yang baik (58,7%) dibandingkan dengan pekerja dengan pemahaman dampak tindakan tidak aman yang kurang baik (38,5 %). Hasil uji statistik menyimpulkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara dampak tindakan tidak aman dengan perilaku bekerja selamat. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p=0,30 (lebih besar dari 0,05).
D. Analisis Penerapan BBS Pada Pekerja di Divisi Tower PT. Bukaka Teknik Utama, Tbk Menuru saya dari penerapan BBS pada pekerja di Divisi Tower PT. Bukaka Teknik Utama, Tbk. tergolong baik karena mayoritas responden (55,3%) sudah memiliki perilaku selamat dalam bekerja. Mayoritas pekerja memiliki persepsi yang baik terhadap variabel peraturan (51,3%), pengawasan (88,2%), pelatihan (71,1%), safety message (88,2%), sanksi (86,8%) dan penghargaan (69,7%). Sebagian besar pekerja (89,5%) menyatakan bahwa ketersediaan APD sudah memadai. Sebagian besar pekerja (82,9%) sudah memiliki pemahaman yang baik terhadap dampak tindakan tidak aman. Dapat 22
dilihat dari berbagai keuntungan dari adanya penerapan Behavior Based Safety di perusahaan tersebut antara lain seperti menurun nyaangka ketidakhadiran karyawan karena merasa nyaman dan senang bekerja di Perusahaan, terjaganya kualitas kesehatan karyawan yang otomatis menurunkan jumlah karyawan yang sakit, hingga diganjar berbagai penghargaan yang berdampak pada publisitas nama baik perusahaan sehingga bisa dikenal lebih luas karena keistimewaannya itu dan masih banyak lagi yang lainnya, maka dapat kita simpulkan bahwa Behavior Based Safety bagi perusahaan adalah penting dan sangat membantu untuk meningkatkan nama baik perusahaan sehingga bisa terpublisitas dengan tinggi
23
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan 1. Perilaku bekerja selamat pada pekerja di Divisi Tower PT. Bukaka Teknik Utama, Tbk. tergolong baik karena mayoritas responden (55,3%) sudah memiliki perilaku selamat dalam bekerja. 2. Mayoritas pekerja memiliki persepsi yang baik terhadap variabel peraturan (51,3%), pengawasan (88,2%), pelatihan (71,1%), safety message (88,2%), sanksi (86,8%) dan penghargaan (69,7%). 3. Sebagian besar pekerja (89,5%) menyatakan bahwa ketersediaan APD sudah memadai. 4. Sebagian besar pekerja (82,9%) sudah memiliki pemahaman yang baik terhadap dampak tindakan tidak aman.
B. Saran 1. Intensitas pelatihan harus ditingkatkan. Misalnya satu tahun sekali. Bila hal tersebut tidak memungkinkan, maka sebaiknya dibuat prioritas peserta pelatihan. Pelatihan harus ditekankan pada karyawan baru, karyawan yang sering dan baru mengalami kecelakaan, dan karyawan yang telah lama tidak mendapatkan pelatihan.
24
DAFTAR PUSTAKA
Dwinanda, Bayu. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Selamat dalam Bekerja pada Karyawan Unit Produksi PT. Goodyear Indonesia Tbk. Tahun 2007. Depok: Skripsi FKMUI, 2007. Notoatmodjo, Soekidjo. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003. Notoatmodjo, Soekidjo. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2005. Pangesty. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Telinga (APT) pada Pekerja di Unit Stamping PT. IPPI Tahun 2007. Depok: Skripsi FKMUI, 2007. Zaendar, Aldo. Gambaran Aspek Perilaku Kerja Selamat Pada Karyawan di Divisi Steel Tower PT. Bukaka Teknik Utama, Tbk.. Depok: Skripsi FKMUI, 2009.
Pengambilan keputusan dalam 4 langkah: Strategi dan langkah operasional untuk pengambilan keputusan dan pilihan yang efektif dalam konteks yang tidak pasti