You are on page 1of 5

L E T T E R F O R A L A I N | D E V I M A Y A S A R I | 1

Letter for Alain


Kalender bergambar menara Eiffel disudut kamar mengingkatkanku bahwa, hari ini adalah
tanggal 20 Maret 2014. Tadi pagi, ketika hendak berangkat ke kantor, aku mendapat telepon dari
Indonesia. Pembicaraan di telepon berakhir, tepat disaat Alain masuk ke apartmentku di Bibliothqe
Nationale. Dia berjanji akan mengajakku sarapan pagi pada saat book-launching nya di Paris hari ini.
Bonjour, Rossei. Telepon dari siapa? tanya Alain sambil meletakkan tasnya di meja.
Kak Ria, Alain. Dia akan melahirkan anaknya bulan depan. Kak Ria ingin aku melihat
keponakanku yang ketiga. Lagipula, aku sudah lama tidak berkunjung. jawabku sambil meletakkan
ganggang telepon.
Oh, iya? Sampaikan ucapan selamatku kepada Kak Ria dan suaminya. Kapan kau akan
berangkat, chrie
(1)
?
Besok, Alain. Kak Ria sudah menyiapkan tiket penerbangan untukku.
***
Pesawat yang membawaku dari Prancis ke Jakarta mendarat sekitar pukul 08.00 WIB di
Soekarno-Hatta International Aiport. Setelah mengambil barang-barang dibagasi, aku segera menuju
pintu keluar terminal 2D. Dari kejauhan aku dapat melihat Kak Ria sedang melambai-lambaikan tangan
padaku. Dia bersama suaminya dan kedua keponakanku. Mereka membawa dua troli penuh berisi koper
dan beberapa kardus. Kak Ria memang tidak terduga. Dia sudah memesan tiket penerbangan ke Medan
sesampainya aku di Jakarta. Setelah kurang lebih 12 jam di pesawat, aku harus menikmati 2 jam
berikutnya untuk sampai di Medan. Dan masih harus menempuh perjalanan 4 jam dari Kota Medan untuk
sampai di Toba, kampung halaman ku dan Kak Ria.
How are you my little sister? sambut Kak Ria sambil memelukku. Sudah 12 tahun semenjak
keberangkatanmu ke Prancis.
Im good. But, honestly Im not ready to meet Mom.
Dia sudah memaafkanmu, sayang. Kau adalah anak kebanggaan Inang. Berhentilah
menyalahkan dirimu sendiri. Kau harus bertemu dengannya. Dia sangat merindukanmu. kata Kak Ria.
Aku berusaha tersenyum mendengar ucapan Kak Ria. Semoga Inang dapat menerimaku kembali.
Apa kabar, Alain? Kudengar dia sedang launching buku baru.
L E T T E R F O R A L A I N | D E V I M A Y A S A R I | 2

Oui. Buku barunya disambut dengan baik di Avignon. Dia sedang launching di Paris.
Rencananya, tahun depan kami akan menikah. Kuharap kakak datang ke pernikahan kami.
Are you serious, Ros?! Oh my God! Kak Ria kembali memelukku. Aku pasti datang Rossei.
Mana mungkin aku melewatkan moment paling penting dalam hidup adikku satu-satunya ini. Inang pasti
senang sekali memiliki menantu seperti dia.
Merci, Kak Maria.
Hari itu adalah hari dengan perjalanan paling melelahkan sekaligus menjadi hari yang paling
menegangkan dalam hidupku. Setelah 12 tahun meninggalkan tanah air, akhirnya aku kembali
menginjakkan kaki disini dan bertemu dengan orang yang paling aku cintai.
***
Kepadamu yang terkasih, Alain Bouvier.
Bonjour ma chrie, Alain? Comment tes-vous l? Aku harap keadaanmu baik-baik saja seperti
saat terakhir aku bertemu denganmu di Aroport Paris-Charles de Gaulle. Alain, suratku kali ini
mungkin akan menyita waktumu lebih lama. Aku harap kau sedang tidak ada deadline. Sebenarnya, aku
ingin terbang ke Avignon sekarang juga, berlari sekencang mungkin ke flat, dan menceritakan semuanya
padamu. Aku ingin sekali menangis dalam pelukanmu. Tapi maaf Alain, keindahan alam disini menahan
langkahku untuk ke Perancis. Toba sudah banyak berubah selama 12 tahun. Aku bahkan lupa jalan
menuju rumah Inang.
Ketika aku menulis surat ini, aku sedang duduk santai di balkon kamar hotelku. Dari tempat ini,
aku bisa melihat indahnya matahari terbenam di ufuk barat. Siluet cahaya matahari berwarna jingga
memantul indah diatas birunya danau toba. Pulau Samosir yang berdiri kokoh ditengah-tengahnya
menambah kesempurnaan ciptaan Tuhan tersebut. Keagungan Tuhan ini tidak bisa kuungkapkan dalam
kata-kata, ma chrie. Mungkin kau harus datang ke Toba dan menikmatinya sendiri.
Alain, dibalik keindahan danau toba, sebenarnya ada kesedihan, lebih tepatnya penyesalan, yang
sangat dalam dan sudah kupendam selama 12 tahun terakhir ini. Aku berharap setelah mengetahui hal ini,
kau masih mau menerimaku sebagai calon istrimu.
***
Pada suatu pagi di tahun 1998, seorang guru matematika favoritku, Mr. Pandi, memanggil-
manggil namaku sambil berlari-lari kecil di koridor sekolah. Aku yang saat itu hendak ke kelas, melihat
L E T T E R F O R A L A I N | D E V I M A Y A S A R I | 3

ada tetesan keringat mengalir peluh dari kening Mr. Pandi dan sebuah amplop putih tergenggam erat
ditangan kanannya. Sembari mencuri-curi nafas, Mr. Pandi menyerahkan amplop putih itu kepadaku.
Masih teringat jelas dibenakku kop surat didalam amplop putih itu bertuliskan nama universitas terbaik di
negeriku, Universitas Indonesia. Isi surat itu mengatakan bahwa aku menerima beasiswa penuh untuk
program Sarjana jurusan Ekonomi Pembangunan. Tanganku bergetar hebat, Alain. Aku ingin sekali
berteriak, menangis, dan memeluk Mr. Pandi. Tapi, di negeriku memeluk seorang guru, apalagi berbeda
gender, bukanlah hal yang wajar. Akhirnya, aku meminta ijin kepada Mr. Pandi untuk pulang ke rumah.
Aku ingin sekali memeluk Inang. Inang adalah orang pertama yang ingin aku beritahu mengenai kabar
gembira ini.
Tetapi sesampainya dirumah, bukan pelukan yang aku dapatkan, Alain. Inang terdiam kaku
ketika membaca surat itu. Wajahnya tidak menunjukkan raut kebahagiaan. Jangankan memeluk,
tersenyum pun tidak.
Kalau kau pergi ke Jakarta, siapa yang akan menemaniku disini, Ros? kata Inang, sambil
melipat surat itu dan memasukkannya kembali ke dalam amlop.
Mak, ini adalah cita-citaku. Aku sudah berjuang untuk mendapatkan beasiswa ini. Tidak
mungkin kulepas begitu saja. Ini impianku dari dulu, Mak. Kumohon, berikan aku restumu.
Kita hanya bertiga setelah kematian Bapakmu. Kakakmu sudah merantau ke Bandung, dan kau
akan meninggalkanku. Jika terjadi sesuatu, siapa yang akan merawatku? Aku tidak muda lagi, Nak.
Inang masih berusaha menahanku untuk tidak mengambil beasiswa itu. Tapi, impianku sudah
kutanam terlalu dalam, Alain. Ini adalah kesempatan aku menuainya, tidak mungkin aku kubur kembali.
Pada akhirnya, Inang mengijinkanku berangkat ke Jakarta. Melihatku menangis semalaman tanpa makan
dan minum berhasil meluluhkan hati kecilnya.
***
Kakakku, Maria, sudah menginjakkan kakinya di pulau Jawa dua tahun sebelum
keberangkatanku. Ia adalah wanita yang cerdas, Alain. Dan parasnya lebih cantik daripada kekasihmu ini.
Aku harap kau tidak menaruh hati padanya setelah melihatnya di pesta pernikahan kita nanti.
Kak Ria, panggilanku terhadapnya, menjemputku di Bandara Internasional Soekarno-Hatta di
hari keberangkatanku menuju Jakarta. Inang tidak menemaniku. Beliau takut tak bisa melepasku dan
kembali ke Toba ketika melihat aku berjuang sendirian di Jakarta. Akhirnya ia meminta Kak Ria untuk
membantuku melengkapi keperluan selama kuliah di Jakarta.
L E T T E R F O R A L A I N | D E V I M A Y A S A R I | 4

Awalnya sulit untuk beradaptasi di ibu kota yang penuh dengan kemacetan dan hiruk pikuk,
Alain. Beberapa bulan pertama di Jakarta, mungkin aku sudah 5 kali ganti dompet karena kecopetan.
Tetapi ini adalah pahit yang harus aku hadapi untuk menuai manisnya hidup. Sampai pada akhirnya manis
hidup itu bisa kunikmati dihari kelulusanku. Bahkan, manis itu semakin bertambah manis, ketika aku
mendapat kabar bahwa aku dapat melanjutkan studi S2 di salah satu universitas di Avignon, Prancis.
Universit d'Avignon, notre universit-universitas kita.
Hari dimana aku mendapatkan gelar sarjana adalah hari dimana aku dapat melihat Inang
tersenyum. Senyum yang ikhlas, senyum yang tulus, senyum yang tidak dibuat-buat. Wisuda berarti
perjuanganku di Jakarta sudah berakhir. Inang berharap setelah aku lulus, aku dapat bekerja di Toba dan
menemani sisa-sisa harinya disana. Kehidupan rumah tangga Kak Ria dan suaminya di Bandung tidak
memungkinkan dia untuk kembali ke Toba dan menemani Inang disana. Dan kecintaan Inang terhadap
tanah Toba membuatnya enggan untuk hidup di Bandung bersama Kak Ria. Pilihan terakhir Inang adalah
aku, anak bungsunya. Tapi, untuk kedua kalinya aku harus mengecewakan beliau demi keinginanku
bersekolah di Prancis. Inang mengetahui sifatku yang keras kepala dan berpendirian kuat. Maka, disaat
aku memberi tahunya mengenai Universit d'Avignon lewat telepon, Inang hanya berpesan agar aku dapat
menjaga diri. Tidak ada perlawanan. Tetapi aku tahu Inang sangat kecewa, Alain.
***
13 Juni 2002 adalah tanggal dimana aku meninggalkan Indonesia. Dan hari terakhir dimana aku
melihat Inang dalam hidupku. Inang memutuskan untuk mengantarku ke bandara setelah didesak oleh
Kak Ria. Jujur saja, aku tak ingin melihat Inang dihari saat aku berangkat. Aku tak ingin tiba-tiba
keputusanku ke Prancis batal hanya karena hatiku tidak kuat melihat Inang menangis dihadapanku.
Ternyata Inang jauh lebih kuat dari yang kuduga, Alain. Ia memelukku erat, penuh kehangatan, tanpa air
mata. Ada senyum tersungging dibibirnya. Senyuman terakhir Inang bagiku.
***
Kuliahku di Avignon berjalan dengan baik, Alain. Kau tahu itu. Pekerjaan yang aku dapat di Paris
membuatku semakin jatuh cinta akan Prancis. Terlebih keberadaanmu disaat-saat aku harus melawan
penyakitku, membuatku enggan untuk meninggalkan Prancis dan kembali ke Indonesia.
22 Maret 2009 adalah tanggal kematian Inang. Oui Alain, ini adalah tanggal dimana aku operasi
kanker payudara. Kak Ria sengaja tidak memberi tahuku, karena takut operasiku terhambat. Dia memberi
kabar kematian Inang kepadaku setelah keadaanku cukup membaik. Dua minggu setelah kematian Inang.
Aku merasa terpukul, Alain. Aku merasa sangat berdosa karena sudah mengecewakan Inang. Aku tidak
L E T T E R F O R A L A I N | D E V I M A Y A S A R I | 5

bisa menemani beliau disaat-saat terakhirnya. Semenjak saat itu, aku tidak punya keberanian untuk
pulang ke Indonesia. Aku merasa malu menunjukkan wajahku dihadapan nisan Inang.
Sampai akhirnya aku menerima telepon dari Kak Ria untuk peringatan 5 tahun kematian Inang.
Maaf, Alain. Aku berbohong kepadamu. Aku kembali ke Indonesia bukan karena Kak Ria akan
melahirkan anak ketiganya. Aku kembali karena aku ingin meminta maaf kepada Inang. Maaf juga karena
tidak memberitahumu selama ini. Aku takut kau akan menganggapku sebagai anak yang tidak tahu diri
karena meninggalkan Inang yang berjuang demi aku, hanya untuk kebahagiaanku sendiri. Aku harap kau
tidak melakukan kesalahan yang sama sepertiku, Alain. Ada mimpi yang bisa kau wujudkan tanpa harus
menyakiti hati orang lain. Terlebih, orang itu adalah orang yang sangat mencintaimu.
Sampai disini dulu suratku kali ini, chrie. Kudoakan semoga Tuhan memeluk buku-buku
karanganmu.
Dari yang mengasihimu, Rossei Hutagalung.

You might also like