You are on page 1of 5

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

239
RESIDU AFLATOKSIN M1 PADA SUSU SAPI SEGAR
DI PANGALENGAN DAN BOGOR JAWA BARAT
(Aflatoxin Residues (AFM1) in Fresh Dairy Milk in Pangalengan
and Bogor District, West Java)
R. WIDIASTUTI, R. MARYAM, S. BAHRI dan R. FIRMANSYAH
Balai Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata 30, Bogor 16114
ABSTRACT
Aflatoxin M1 is a toxic metabolite compound produced from animal ingested aflatoxin B1. In May 2003,
37 samples of fresh dairy cattle milk were randomly collected from small holder dairy farms in Pangalengan
(Bandung) and Bogor, West Java province. Those samples were investigated for aflatoxin M
1
(AFM
1
) and
detected by an HPLC. AFM1 was detected in 29 (78,38%) of 37 milk samples at 0,001 1,200 g/L, with a
mean of 0,129 g/L, and only 1 sample above the MRL. The levels of AFM1 in both locations considered
safe for human consumption.
Key Words: Residue, Aflatoxin M1, Fresh Dairy Milk
ABSTRAK
Aflatoksin M1 adalah senyawa toksik hasil metabolisme aflatoksin B1 pada hewan yang mengkonsumsi
aflatoksin B1. Pada bulan Mei 2003 dikoleksi sebanyak 37 sampel susu sapi segar dari peternakan rakyat di
Pangalengan (Bandung) dan Bogor, Jawa Barat. Sampel-sampel tersebut dianalisis terhadap residu aflatoksin
M1 (AFM1) dan dideteksi menggunakan alat KCKT. AFM1 terdeteksi pada 29 (78,38%) dari 37 sampel yang
diperiksa dengan kisaran konsentrasi 0,001 1,200 g/L dan konsentrasi rata-rata 0,129 g/L serta hanya
ditemukan 1 sampel yang melebihi BMR. Konsentrasi rata-rata residu AFM1 pada susu di kedua lokasi
tersebut belum membahayakan kesehatan manusia.
Kata Kunci: Residu, Aflatoksin M1, Susu Segar

PENDAHULUAN
Aflatoksin adalah senyawa toksik yang
dihasilkan terutama oleh kapang Aspergillus
flavus dan A. parasiticus. Salah satu jenis
aflatoksin yang paling banyak ditemukan pada
berbagai bahan pakan dan bersifat paling
toksik adalah aflatoksin B1. Afaltoksin B1 ini
apabila termakan oleh hewan ruminansia akan
diekresikan terutama pada produk susu dalam
bentuk hidroksilasinya yaitu aflatoksin M1.
Ekskresi aflatoksin M1 ke dalam susu sangat
bervariasi antara hewan ke hewan (meskipun
dari satu peternakan yang sama), dari hari ke
hari dan waktu pemerahan yang yang satu ke
waktu yang lain (KIERMEIER et al., 1975;
1977). International Agency for Research on
Cancer (IARC) mengklasifikasikan
karsinogenisitas AFM1 dalam grup 2B (IARC,
1993) dan dilaporkan kurang berbahaya bila
dibandingkan AFB1.
Susu merupakan salah satu bahan pangan
asal hewan yang potensial sebagai sumber
masuknya aflatoksin ke dalam rantai makanan
manusia melalui terbentuknya residu aflatoksin
M1. Aflaltoksin M1 ini dapat terkonsumsi oleh
manusia terutama bayi dan anak-anak melalui
susu segar, susu pasteurisasi, susu UHT
(ROUSSI et al., 2002; MARTINS dan MARTINS,
2000), susu bayi (OLIVEIRA et al., 1997)
bahkan air susu ibu (ABDULRAZZAQ et al.,
2003), maupun produk olahannya seperti keju
(AYCICEK et al., 2001).
Salah satu kendala dalam pengamanan
pangan terhadap aflatoksin M1 dalam susu
adalah sifatnya yang stabil terhadap pemanasan
pasteurisasi dan penyimpanan (STOLOFF et al.,
1975). Oleh karenanya keberadaan aflatoksin
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
240
M1 dalam susu merupakan ancaman serius
terutama terhadap anak-anak yang tentunya
lebih peka disbanding orang dewasa.
ABDULRAZZAQ et al. (2004) dalam
penelitiannya mendapati adanya korelasi antara
tingkat kontaminasi aflatoksin M1 yang
terdeteksi pada air susu ibu dengan rendahnya
berat bayi yang dilahirkan. Oleh karena itu
banyak negara yang membatasi konsentrasi
residu maksimum untuk aflatoksin M1 dalam
susu maupun produk olahannya sebesar 0,5
g/L (FDA, Amerika) dan 0,05 g/L (negara-
negara Uni Eropa). Sedangkan untuk Indonesia
adalah 1 g/L atau 1 ppb (SNI, 2001).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
ada tidaknya residu aflatoksin M1 serta tingkat
residunya pada susu sapi segar yang berasal
dari peternakan rakyat yang ada di Kodya
Bogor dan Pangalengan, Kabupaten Bandung
Propinsi Jawa Barat.
BAHAN DAN METODE
Bahan
Sebanyak 37 sampel susu sapi segar
dikumpulkan pada bulan Mei 2003 di
peternakan rakyat di daerah Kodya Bogor (n =
17) dan daerah Pangalengan (n = 20),
Kabupaten Bandung. Sampel ditampung dalam
botol plastik yang bersih dan kemudian
disimpan beku hingga saat analisis.
Metoda ekstraksi dan deteksi
Metode ekstraksi diadopsi dari metode
AOAC (2000). Susu yang telah disimpan beku,
dicairkan pada suhu ruang dan diambil
sebanyak 20 mL dan ditambah dengan 20 mL
air, kemudian dikocok hingga homogen.
Selanjutnya 40 mL campuran susu dan air
tersebut dimasukkan ke kolom SPE C
18

cartridge (yang telah dibasahi dengan 5 mL
metanol dan 5 ml air) hingga habis. Setelah
semua sampel masuk ke dalam kolom SPE C
18
,
masukkan 10 mL campuran air-asetonitril
(95 : 5). Kemudian bilas kolom SPE C
18

tersebut dengan 150 L asetonitril dan biarkan
meresap. Pasangkan kolom silika (yang telah
dibilas dengan 5 mL eter) berurutan di bawah
kolom SPE C
18
yang telah mengandung sampel.
Bilas melalui kolom SPE C
18
dengan 5 mL
eter, ulang bilas dengan 7 mL eter. Kemudian
residu aflatoksin M1 diderivatisasi dengan 50
l trifluoroasetat dan 200 l heksana. Residu
aflatoksin M1 dideteksi menggunakan alat
kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)
dengan kolom -Bondapak C
18
(Waters,
Millipore) dan fasa gerak yang terdiri atas
campuran air-asetonitril-isopropanol (80 : 8 :
12) dengan kecepatan alir 1 ml/menit dengan
detektor fluoresen (
emisi
425 nm dan
eksitasi

365 nm) dengan waktu retensi sekitar 5 menit.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode deteksi yang digunakan pada
penelitian (AOAC, 1996) ini berbeda dengan
yang dilakukan BAHRI et al (1994) yang
mengadopsi metoda TYCZKOSWSKA et al.
(1984). Metode AOAC (1996) mempunyai
keunggulan lebih cepat dan mengurangi
kemungkinan residu terbuang karena tidak
adanya proses dekantasi menggunakan Pb-
asetat 20% dan lebih bersih pada kromatogram
yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan
adanya proses clean-up lebih lanjut
menggunakan kolom SPE silika setelah SPE
C
18
. Deteksi limit dari metoda ini adalah 0,001
g/L dan hasil uji perolehan kembali pada
penambahan 0,05 g/L (3 ulangan) ke dalam
sampel blanko susu adalah 80,76%. Hasil uji
profisiensi untuk aplikasi metoda pada sampel
susu segar yang diselenggarakan FAPAS
(2003) memberikan nilai z-score sebesar 1,2
yang berarti hasilnya memuaskan (z-score 2).
Hasil analisis untuk sampel yang positif
terhadap residu AFM1 di Bogor dan
Pangalengan dapat dilihat pada Tabel 1,
sedangkan persentase distribusi dapat dilihat
pada Tabel 2.
Untuk 17 sampel asal Bogor, ditemukan 12
(70,59%) sampel positif terhadap AFM1
dengan kisaran 0,001 0,343 g/L dengan
konsentrasi rata-rata 0,050 g/L dan tidak
melebihi batas maksimum residu (BMR).
Sedangkan untuk 20 sampel Pangalengan,
ditemukan 17 (85,00%) sampel positif terhadap
AFM1 dengan kisaran konsentrasi 0,002
1,200 g/L serta terdapat 1 sampel yang
melebihi BMR dengan konsentrasi rata-rata
0,177 g/L. Sedangkan untuk keseluruhan
(total) sampel asal kedua lokasi (Bogor dan
Pangalengan) ditemukan 29 sampel (78,38%)
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
241
Tabel 1. Residu aflatoksin M
1
(AFM1) pada susu sapi segar di 2 lokasi di Jawa Barat
Konsentrasi AFM1 (g/L)*
Asal sampel n
Jumlah sampel
positif (%)
Kisaran Rata-rata
Jumlah sampel
melebihi BMR**
Bogor 17 12 (70,59) 0,001 0,343 0,050 0,095 -
Pangalengan 20 17 (85,00) 0,002 1,200* 0,177 0,293 1
Total 37 29 (78,38) 0,001 1,200 0,129 0,241 1
*Deteksi limit AFM1 adalah 0,001 g/L
**Sampel positf yang konsentrasinya melebihi BMR (1 g/L) (SNI, 2001)
Tabel 2. Persentase distribusi residu AFM1 pada susu sapi segar di 2 lokasi di Jawa Barat
Bogor Pangalengan Konsentrasi (g/L)
Jumlah % Jumlah %
tt 5 29,41 3 15
0,001 0,010 2 11,76 5 25
0,011 0,100 9 52,94 5 25
0,101 1,000 1 5,88 6 30
1,001 - - 1 5
tt : Tidak terdeteksi

positif terhadap AFM1 dengan konsentrasi
rata-rata 0,129 g/L. Persentase distribusi
residu AFM1 tertinggi diperoleh untuk sample
positif asal Bogor adalah dalam kisaran 0,011
0,100 g/L (52,94%), sedangkan untuk sampel
asal Pangalengan adalah 0,101 1,000 g/L
(30%).
BATTACONE et al. (2003) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa sekitar 0,01
6,6% AFB1 dikonversikan menjadi AFM1.
Dengan asumsi konversi rata-rata AFB1
menjadi AFM1 0,35% untuk kondisi di
Indonesia (BAHRI et al., 1994), maka tingkat
kontaminasi AFB1 dalam pakan di Bogor
adalah dalam kisaran 0,28 98 g/kg dengan
konsentrasi rata-rata 14,28 g/kg, sedangkan di
Pangalengan dengan kisaran 0,56 342,86
g/kg dan konsentrasi rata-rata 35,86 g/kg.
Persentase distribusi keberadaan residu
AFM1 di Bogor cukup tinggi (52,94%)
kemungkinan karena pola pemeliharaan dan
sumber pakan yang relatif sama karena lokasi
peternakan di daerah tersebut yang tidak terlalu
luas. Sedangkan tingkat residu AFM1 di
Pangalengan lebih tinggi dibandingkan di
Bogor kemungkinan terkait oleh adanya
perbedaan kondisi lingkungan (Pangalengan
2500 di atas permukaan laut, vs Bogor 700
dpl), suhu (Pangalengan 10 17C vs Bogor
25 30C), kelembaban (Pangalengan 75
87% vs Bogor 70%) dan curah hujan
(Pangalengan 4000-5000 mm vs Bogor 3500
mm) yang sangat menunjang pertumbuhan
kapang penghasil aflatoksin serta terbentuknya
aflatoksin pada pakan di Pangalengan
dibandingkan di Bogor. Hal lain yang
kemungkinan berpengaruh terhadap perbedaan
tingkat residu tersebut misalnya adalah
penyimpanan terlalu lama dan kurang baik di
Pangalengan dibandingkan di Bogor.
Kandungan rata-rata AFM1 dalam susu di
kedua lokasi masih di bawah BMR bila
dikonsumsi manusia, namun keberadaan
AFM1 tetap harus diwaspadai karena bersifat
karsinogenik terhadap manusia, terutama
karena konsumen terbanyak susu adalah anak-
anak yang lebih rentan dibandingkan orang
dewasa. Sedangkan apabila susu tersebut
dikonsumsi oleh ibu yang menyusui
menyebabkan timbulnya residu AFM1 pada air
susu ibu (SAAD et al., 1995; EL-NEZAMI et al.,
1995).
Untuk menanggulangi kandungan AFM1
yang melebihi atau mendekati BMR, dapat
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
242
dilakukan beberapa perlakuan kimiawi maupun
fisika untuk menghilangkan ataupun
mendegradasi aflatoksin. Penggunaan senyawa
kimia yang diijinkan sebagai bahan tambahan
dalam pangan diantaranya adalah formaldehida
(HEIMBECHER et al., 1988), hidrogen peroksida
(AMAN, 1992) ataupun asam laktat (PIERIDES
et al., 2000). Sedangkan perlakuan fisika
diantaranya adalah radiasi dengan sinar ultra
violet (YOUSEF dan MARTH, 1986). Namun
cara yang paling efektif dalam pengendalian
aflatoksin M1 dalam pangan termasuk susu
adalah dengan mengendalikan kontaminasi
aflatoksin B1 misalnya dengan menambahkan
HSCAS (hydrated sodium calcium
aluminosilicate) (HARVEY et al., 1991) maupun
amonia (FREMY et al., 1988) ke dalam pakan.
KESIMPULAN
Tingkat kejadian residu aflatoksin M1
(AFM1) pada susu segar asal Bogor dan
Pangalengan cukup tinggi yaitu 70,59% untuk
sampel asal Kodya Bogor dengan kisaran
konsentrasi 0,001 hingga 0,343 g/L dan
konsentrasi rata-rata 0,050 g/L, dan 85,00%
untuk sampel Pangalengan dengan kisaran
konsentrasi 0,002 hingga 1,200 g/L dan
konsentrasi rata-rata 0,177 g/L. Konsentrasi
AFM1 yang melebihi BMR yang ditetapkan
SNI (1 g/L) hanya ditemukan pada 1 sampel
asal Pangalengan. Secara umum, tingkat residu
tersebut belum membahayakan untuk
dikonsumsi. Namun monitoring residu AFM1
maupun kontaminasi aflatoksin (terutama
AFB1) pada pakan harus secara reguler
dilakukan untuk mengetahui pola
keberadaannya (yang dipengaruhi lokasi,
waktu, penyimpanan, asal bahan baku) serta
langkah pencegahannya.
DAFTAR PUSTAKA
ABDULRAZZAQ, Y.M., N. OSMAN, Z.M. YOUSIF and
S. AL-FALAHI. 2003. Aflatoxin M1 in breast-
milk of UAE women. Ann. Trop. Paediatr.
23(3): 173 179.
ABDULRAZZAQ, Y.M., Y. OSMAN, Z.M. YOUSIF and
O. TRAD. 2004. Morbidity in neonates of
mothers who have ingested aflatoxins. Ann
Trop Paediatr. 24(2): 145 151.
AMAN, I. 1992. Reduction of aflatoxin M1 in milk
using hydrogen peroxide and hydrogen
peroxide plus heat treatment. Zentralbl
Veterinarmed B. 39(9): 692 694.
AOAC. 1996. Aflatoxins M1 and M2 in fluid milk.
Liquid Chromatographic Method. 49.3.06.
Natural Toxins. AOAC Official Method
986.16. 26
th
Ed. Chapter 49. p. 34.
AOAC. 2000. Aflatoxins M1 and M2 in fluid milk.
Liquid Chromatographic Method. 49.3.06.
Natural Toxins. AOAC Official Method
982.16. 26
th
E. Chapter 49. p. 40.
AYCICEK, H., E. YARSAN, B. SARIMEHMETOGLU and
O. CAKMAK. 2002. Aflatoxin M1 in white
cheese and butter consumed in Istanbul,
Turkey. Vet. Human Toxicol. 44: 295 296.
BAHRI, S., OHIM dan R. MARYAM. 1994. Residu
aflatoksin M1 pada air susu sapi dan
hubungannya dengan keberadaan aflatoksin
B1 pada pakan sapi. Pros. Seminar
Perhimpunan Mikologi Kedokteran Indonesia.
hlm. 269 275.
BATTACONE, G., A. NUDDA, A. CANNAS, A. CAPPIO
BORLINO, G. BOMBOI and G. PULINA. 2003.
Excretion of Aflatoxin M1 in Milk of Dairy
Ewes Treated with Different Doses of
Aflatoxin B1. J. Dairy Sci. 86: 2667 2675.
EL-NEZAMI, H.S, G. NICOLETTI, G.E. NEAL, D.C.
DONOHUE and J.T. AHOKAS. 1995. Aflatoxin
M1 in human breast milk samples from
Victoria, Australia and Thailand. Food Chem
Toxicol. 33(3): 173 179.
FAPAS. 2003. Aflatoxin Analysis. Series 4 Round
50. DEFRA. Report No. 0450: 1 18.
HARVEY R.B., T.D. PHILLIPS, J.A. ELLIS, L.F.
KUBENA, W.E. HUFF and H.D. PETERSEN.
1991. Effects of aflatoxin M1 residues in milk
by addition of hydrated sodium calcium
aluminosilicate to aflatoxin-contaminated
diets of dairy cows. Am. J. Vet. Res. 52(9):
1556 1559.
HEIMBECHER, S.K., K.V. JORGENSEN and R.L. PRICE.
1988. Interactive effects of duration of storage
and addition of formaldehyde on levels of
aflatoxin M1 in milk. J. Assoc. Anal. Chem.
71(2): 285 287.
IARC. 1993. IARC Monographs on the evaluation
of carcinogenic risks to human. Vol. 56. Some
naturally occurring substances: food items and
constituents, heterocyclic aromatic amines and
mycotoxins. International Agency for Research
on Cancer, Lione.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
243
MARTINS, M.L. and H.M. MARTINS. 2000. Aflatoxin
M1 in raw and ultra high temperature-treated
milk commercialized in Portugal. Food Addit
Contam. 17(10): 871 874.
PIERIDES, M, H. EL-NEZAMI, K. PELTONEN, S.
SALMINEN and J. AHOKAS. 2000. Ability of
dairy strains of lactic acid bacteria to bind
aflatoxin M1 in a food model. J Food Prot.
63(5):645 650.
OLIVEIRA, C.A, P.M. GERMANO, C. BIRDD and C.A.
PINTO. 1997. Immunochemical assessment of
aflatoxin M1 in milk powder consumed by
infants in Sao Paulo, Brazil. Food Addit
Contam. 14(1): 7 10.
ROUSSI, V., A. GOVARIS, A. VARAGOULI and N.A.
BOTSOGLOU. 2002. Occurrence of aflatoxin
M(1) in raw and market milk commercialized
in Greece. Food Addit Contam. 19(9): 863
868.
SAAD, A.M., M.A ABDELGAADIR and M.O. MOSS.
1995. Exposure of infants to aflatoxin M1
from mothers breast milk in Abu Dhabi,
UAE. Food Addit. Contam. 12: 255 261.
SNI. 2001. Standar Nasional Indonesia. Batas
maksimum cemaran mikroba dan batas
maksimum residu dalam bahan makanan asal
hewan. Direktorat Kesehatan Masyarakat
Veteriner. Dirjen Bina Produksi Peternakan.
Departemen Pertanian. hlm. 7.
STOLOFF, L., M. TRUCKSESS, N. HARDIN, O.J.
FRANCIS, J.R. HAYES, C.E. POLAN and T.C.
CAMPBELL. 1975. Stability of aflatoxin M in
milk. J Dairy Sci. 58(12): 1789 1793.
TYCZKOWSKA, K, J.E. HUTCHINS and W.M.
HAGLER JR. 1984. Liquid chromatographic
determination of aflatoxin M1 in milk.
J. Assoc. Anal. Chem. 1984. 67(4): 739 741.
YOUSEF, A.E. and E.H MARTH. 1986. Use of
ultraviolet energy to degrade aflatoxin M1 in
raw or heated milk with and without added
peroxide. J. Dairy Sci. 69(9): 2243 1147.

DISKUSI
Pertanyaan:
Bagaimana jalan keluar yang praktis untuk menghindari pakan yang mengandung residu
aflatoksin dan pestisida?
Jawaban:
Cara pencegahan adanya aflatoksin B1 pada pakan adalah dengan menambahkan senyawa
pengikat aflatoksin (contoh: Zeolitt, HSCAS), sedangkan untuk penanggulangn AFM1 pada susu
dapat dengan cara radiasi.

You might also like