You are on page 1of 28

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


Proses pengelasan bawah air merupakan salah satu teknik
yang digunakan untuk mereparasi atau memperbaiki kerusakan
yang terjadi pada badan kapal, bangunan lepas pantai,
penyambungan pipa-pipa minyak dan gas bumi maupun
konstruksi-konstruksi lainnya yang terendam air. Namun bagi
Indonesia pengelasan bawah air masih merupakan hal yang asing
sehingga dengan penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi
industri maupun masyarakat luas. Kontribusi yang diberikan
dengan melakukan pengelasan bawah air menggunakan metode
pengelasan SMAW dan menganalisa pengaruhnya terhadap hasil
pengelasan.
Pada proses ini banyak faktor yang mempengaruhi hasil
pengelasan seperti proses pengelasan, besarnya arus listrik yang
digunakan, jenis elektroda untuk mengelas, bahkan pengaruh air
tawar atau air laut terhadap struktur makro dan mikro daerah
Heat Affected Zone (HAZ) dan sifat mekanik secara umum.

2.1 Pengelasan Bawah Air (Underwater Welding)
Proses pengelasan bawah air dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yakni:
1. Pengelasan kering (dry welding)
2. Pengelasan basah (wet welding)

2.1.1 Pengelasan kering (Dry Welding)
Proses pengelasan ini berlangsung dalam keadaan kering,
tidak ubahnya seperti pengelasan di udara terbuka. Hal ini dapat
dilakukan dengan bantuan suatu sungkup atau ruang kedap air
(dry chamber) yang bertekanan tinggi sesuai dengan
kedalamannya sehingga air tidak mungkin masuk. Cara ini lebih
dikenal dengan istilah Hyperbaric Welding. Metoda pengelasan
5




kering memberikan hasil sambungan yang baik tetapi biaya tinggi
karena harus meyediakan ruangan yang kedap air dan bertekanan
tinggi agar proses pengelasan dapat berlangsung dalam keadaan
kering. Gambar 2.1 dan 2.2 merupakan contoh desain ruang
kedap air berdasarkan banyaknya welder.


Gambar 2.1 Desain ruang kedap air untuk satu welder


Gambar 2.2 Desain ruang kedap air untuk lebih dari dua
welder
6




Gambar 2.3 merupakan contoh dry hyperbaric weld yang
biasanya digunakan dengan keterangan setiap nomernya sebagai
berikut :
1. Full encirclement reinforcing saddle
2. Valve assembly for connecting pipeline
3. Preheat blanket
4. Welders hood
5. Topside dive station box with knife switch, volt and amp
meters, and radio for communications
6. Trunk line (main pipeline)


Gambar 2.3 Dry hyperbaric weld chamber

Proses pengelasannya adalah pada waktu terjadi
hubungan singkat antara elektroda las dan benda kerja, terjadilah
aliran arus listrik yang sangat besar dan menghasilkan temperatur
7




yang cukup tinggi. Dalam waktu yang sangat singkat media yang
ada (dalam hal ini udara) diantara elektroda las dengan benda
kerja akan terionisasi sebagai akibat temperatur yang sangat
tinggi tersebut. Media yang terionisasi tersebut akan membentuk
saluran ion yang bersifat sebagai penghantar listrik (konduktor).
Akibatnya, arus listrik yang terjadi akan tetap mengalir melalui
media konduktor tersebut walaupun kontak hubungan singkat
sudah berakhir (elektroda dipisahkan dari benda kerja pada jarak
tertentu). Maka terjadilah busur listrik dengan temperatur yang
cukup tinggi yang justru dapat mempertahankan kondisi ionisasi
tadi yang menyebabkan busur listrik dalam kondisi stabil yang
dapat dimanfaatkan untuk melelehkan logam yang akan dilas.

2.1.2 Pengelasan basah (Wet Welding)
Proses pengelasan ini berlangsung dalam keadaan basah,
dalam arti bahwa elektroda las maupun benda kerja berhubungan
langsung dengan air. Metoda pengelasan basah dengan
menggunakan batang elektroda las (stick elektroda) pada SMAW,
memberikan hasil yang kurang memuaskan, disamping
memerlukan juru las yang memiliki keahlian menyelam yang
tangguh dan memerlukan pakaian khusus selam, gelembung gas
yang terjadi selama proses pengelasan sangat mengganggu
pengamatan juru las.
Pengelasan dengan las busur listrik (SMAW) dalam
keadaan basah memungkinkan:
Busur listrik menjadi tidak stabil sehingga bentuk lasan tidak
teratur dan terjadi banyak inklusi.
Lapisan fluks (terak) langsung terkelupas sehingga terak tidak
berfungsi sebagaimana mestinya, kecuali bila pada elektroda
yang akan digunakan, sebelumnya diberi perlakuan khusus.
Sambungan las mendingin dengan cepat sehingga kekerasan,
terutama di daerah yang terkena pengaruh panas (HAZ), akan
meningkat disertai penurunan keuletan dan ketangguhan.
8




Terjadi kenaikan kandungan hydrogen dalam logam las
sehingga mudah terjadi retak.
Terjadi struktur logam las yang relatif berbeda dengan struktur
logam las jika proses pengelasan berlangsung pada kondisi
atmosfir.
Jumlah endapan logam las relatif lebih rendah dibandingkan
dengan pengelasan di udara.
Memerlukan arus yang lebih tinggi.
Makin rentan terhadap porositas.

Gambar 2.4 merupakan contoh suatu proses perbaikan
dengan melakukan wet underwater welding. Struktur yang akan
diperbaiki, lihat Gambar 2.5, akan melalui proses pada Gambar
2.4, sedangkan Gambar 2.6 merupakan hasil dari struktur yang
telah diperbaiki dengan menggunakan wet underwater welding.


Gambar 2.4 Proses wet underwater welding
9





Gambar 2.5 Struktur sebelum dilakukan wet underwater
welding


Gambar 2.6 Struktur sesudah dilakukan wet underwater
welding

10




Pada prinsipnya, pengelasan basah tidaklah berbeda jauh
dengan pengelasan di udara terbuka. Yang menjadi perbedaan
utama adalah media antara elektroda las dengan benda kerja yaitu
air tawar atau air laut yang juga dapat mengalami proses ionisasi
bila mengalami proses pemanasan yang tinggi. Dalam hal ini, air
lebih bersifat konduktor daripada udara sehingga memungkinkan
terjadi kebocoran arus ke sekelilingnya, akibatnya diperlukan arus
yang lebih besar supaya proses las basah dalam air dapat
berlangsung kontinyu. Untuk mengurangi kebocoran arus listrik,
maka fluks yang ada pada elektroda diberi lapisan kedap air
(waterproof coating).
Pada waktu terjadi hubungan singkat antara elektroda las
dengan benda keja, selain terjadi proses ionisasi dalam air yang
akan membentuk saluran ion yang konduktif, terjadi juga
gelembung gas disekitar kawah (weld pool) sebagai hasil dari
proses disosiasi air dan gas-gas yang terbentuk sebagai akibat
terbakarnya bahan fluks. Dalam kasus ini seolah-olah terjadi
mini hyperbaric welding process yang memungkinkan
terjadinya busur listrik yang sempurna. Namun tidak lama
kemudian, gelembung gas ini membesar dan mengambang naik
meninggalkan kawah las. Sebagai akibatnya busur listrik akan
padam karena air masuk kedalam kawah las. Untuk memulainya
lagi harus dilakukan hubungan singkat kembali dan demikian
seterusnya. Dengan demikian karakteristik busur listrik dalam
proses pengelasan basah tidak pernah stabil. Karena itu, pada
proses pengelasan basah, selama proses pengelasan batang
elektroda tidak boleh diangkat dari benda kerja bahkan harus
selalu digoreskan pada benda kerja agar selalu dalam kondisi
hubungan singkat hal ini dimaksudkan agar diperoleh busur listrik
yang lebih stabil. Dengan kondisi busur listrik yang lebih stabil,
diharapkan hasil pengelasan menjadi lebih baik.
(4)



11




2.2 Shielded Metal Arc Welding (SMAW)
2.2.1 Prinsip SMAW
Las busur elektroda terbungkus atau Shielded Metal Arc
Welding (SMAW) adalah proses pengelasan dengan busur nyala
listrik, dimana panas didapat dari busur nyala yang memancar
antara elektroda dengan selubung fluks dan benda kerja.
Elektroda, daerah busur nyala dan sekitar molten metal dilindungi
dari pengotoran udara sekeliling dengan adanya gas yang terjadi
karena pembakaran dan penguraian dari fluks. Sedangkan molten
metal mendapat tambahan perlindungan dari adanya molten slag.
Skema pengelasan SMAW dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Prinsip kerja SMAW

Pada pengelasan SMAW, elektroda yang digunakan
adalah jenis elektroda terumpan atau sekaligus berfungsi sebagai
logam pengisi (filler). Elektroda ini terbungkus oleh fluks. Pada
saat elektroda mencair, fluks akan membentuk terak yang
berfungsi melindungi logam cair terhadap udara disekitarnya
(oksidasi). Disamping itu, pada saat elektroda mencair, fluks akan
12




menghasilkan selubung gas yang akan mencegah busur dari
kontak dengan udara luar. Dengan adanya fluks, maka diharapkan
hasil pengelasan tidak mengalami pengotoran oleh unsur luar
bahkan fluks dapat menjadi unsur-unsur paduan.
(12)


2.2.2 Peralatan SMAW
Peralatan yang digunakan pada pengelasan manual
SMAW adalah:
1. Sumber tenaga yang biasanya disebut mesin las
2. Elektroda holder serta kabel yang menghubungkan antara
elektroda holder dengan mesin las (sumber tenaga) dan
antara base metal dengan sumber tenaga.


Gambar 2.8 Skema peralatan SMAW
(2)


2.2.3 Kondisi proses pengelasan
Dalam proses pengelasan persiapan awal sangat penting
agar dalam proses pengelasan tidak terjadi hambatan dan nantinya
dapat dihasilkan lasan yang bagus dan bebas dari cacat seperti
crack, porosity dan cacat yang terjadi akibat turut mencairnya
logam pengisi pada groove dan bercampur dengan logam induk
atau undercut. Kondisi-kondisi pengelasan juga mempengaruhi
13




ukuran daerah Heat Affected Zone (HAZ), ukuran bead, bentuk
bead, kedalaman penetrasi dan juga komposisi kimia dari deposit
material.

2.2.3.1 Arus dan polaritas elektroda
Dalam pengelasan dengan menggunakan busur nyala listrik
sebagai sumber panas, arus listrik yang digunakan dapat berupa
arus bolak-balik (AC) ataupun arus searah (DC). Mesin las
dengan arus bolak-balik banyak dipakai karena pertimbangan
harga, mudahnya panggunaan dan sederhananya perawatan.
Keunggulan mesin las arus searah adalah mantapnya busur yang
ditimbulkan dan dapat dioperasikan dengan generator arus searah
yang digerakkan dengan motor bakar.
Pada pengelasan dengan arus bolak-balik, tidak terdapat
masalah polaritas. Namun dalam pemakaian arus searah maka
polaritas harus benar-benar diperhatikan sebelum mulai
pengelasan, sebab pemakaian polaritas yang berlawanan dengan
yang seharusnya dipakai untuk jenis elektroda tertentu akan
mengakibatkan buruknya hasil pengelasan seperti nyala busur
tidak stabil, reduksi gas berlebihan sehingga menimbulkan
percikan dan gelembung gas
Terdapat dua jenis polaritas pengelasan dalam mesin DC
yaitu polaritas lurus (straight polarity) yang biasa disebut DCSP
dan polaritas terbalik (reserve polarity) yang biasa dikenal
dengan sebutan DCRP. Material yang akan dilas, jenis elektroda
dan penetrasi adalah faktor-faktor yang mempengaruhi di dalam
pemilihan polaritas. Yang dimaksud polaritas lurus (DCSP) ialah
apabila tangkai las (holder) dihubungkan dengan kutub negatif
dan klem las dihubungkan dengan kutub positif pada mesin las,
biasanya disebut elektroda negatif. Sedangkan yang dimaksud
polaritas terbalik (DCRP) ialah jika tangkai las (holder)
dihubungkan dengan kutub positif dan klem dihubungkan dengan
kutub negatif pada mesin las yang biasa disebut elektroda positif.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.9 dan 2.10.
14





Gambar 2.9 Skema polaritas terbalik (DCRP)


Gambar 2.10 Skema polaritas lurus (DCSP)
(3)


Pada pengelasan bawah air menggunakan sumber DCSP.
Sifat elektron yang cenderung menuju positif searah dengan arah
pelelehan elektoda dan menumbuk logam induk atau plat dengan
15




kecepatan tinggi menyebabkan penetrasi yang dalam. Karena
pada elektroda tidak terjadi tumbukan elektron maka secara relatif
temperatur elektroda tidak terlalu tinggi dengan persentase 30%
pada elektroda dan 70% pada base metal, sehingga dengan
polaritas ini dapat digunakan arus yang besar.
Penetrasi yang paling dalam umumnya menggunakan
DCRP polaritas yang baik dilihat dari keunggulannya yaitu
tampilan permukaan, bentuk bead dan sifat resistant terhadap
porosity arus searah. Polaritas DCSP sering digunakan untuk
proses pengelasan baja yang dibatasi oleh sifat-sifat weldability.
Pada gambar dibawah dapat dilihat perbedaan dari
masing-masing variasi polaritas akan menghasilkan kedalaman
penetrasi dan bentuk bead yang berbeda. Gambar 2.11
menunjukkan perbedaannya bahwa pada DCRP, penetrasi yang
dihasilkan dalam dan weld depositnya kecil, sebaliknya bila
DCSP, penetrasinya dangkal dan weld depositnya besar. Untuk
AC, penetrasinya dalam tetapi tidak sedalam DCRP, weld
depositnyapun besar tetapi tidak sebesar DCSP.

Gambar 2.11 Variasi polaritas DCSP, AC, DCRP pada
sambungan
(5)


2.2.3.2 Elektroda las
Elektroda las adalah suatu logam pengisi yang dilelehkan
untuk mengisi celah-celah pada sambungan yang akan dilas.
Elektroda ini bermacam-macam jenisnya, tergantung dari material
apa yang dilas dan cara pengelasan apa yang akan dilaksanakan.
16




Untuk tiap-tiap jenis pengelasan terdapat bermacam-macam
elektoda sehingga pemilihan perlu dipertimbangkan bermacam-
macam faktor antara lain:
Harus diketahui jenis logam yang akan dilas
Tebal dan bentuk logam yang akan dilas. Logam yang tebal
dengan desain yang sulit memerlukan kawat las yang bersifat
kenyal (high ductility)
Bentuk sambungan
Posisi pengelasan
Spesifikasi teknis yang diharapkan
Jenis arus listrik yang tersedia

Pada penelitian ini menggunakan elektroda jenis E 6013
dengan 2.6 mm, 3.2 mm dan 4.7 mm. Semua posisi pada
elektroda jenis ini dapat digunakan, power supplynya dapat
berupa AC atau DCRP atau DCSP, sedangkan tipe slagnya adalah
Rutile (TiO
2
).

2.2.3.3 Voltase dan arus pengelasan
Dalam pengelasan SMAW digunakan sumber tenaga
constant current. Gambar 2.12 merupakan kurva yang
menunjukkan hubungan antara voltase dan arus. Tingginya
tegangan busur tergantung pada panjang busur yang dikehendaki
dan jenis elektroda yang digunakan. Makin dekat jarak busur
dengan benda kerja maka tegangan yang digunakan semakin
kecil. Pada elektroda yang sejenis, tingginya tegangan busur yang
diperlukan berbanding lurus dengan panjang busur. Pada
dasarnya busur listrik yang terlalu panjang tidak dikehendaki
karena stabilitasnya mudah terganggu sehingga hasil pengelasan
tidak rata. Tingginya tegangan tidak banyak mempengaruhi
kecepatan pencairan, sehingga tegangan yang terlalu tinggi hanya
akan membuang-buang energi saja. Hal yang paling sulit dalam
las busur listrik manual adalah mempertahankan panjang busur
17




agar selalu konstan. Oleh sebab itu pada pengelasan manual
seperti SMAW digunakan constant current, pada Gambar 2.12
digambarkan oleh kurva yang steep slope (curam).


Gambar 2.12 Kurva ampere voltase
(2)

18





Gambar 2.13 Pengaruh besar arus, voltase dan kecepatan
pengelasan
(2)


Parameter las yang memiliki pengaruh terhadap bentuk
bead dan penetrasi diantaranya adalah arus, voltase, dan
kecepatan pengelasan. Berbagai macam bentuk dan penetrasi
yang dihasilkan apabila ketiga parameter diatas diubah-ubah
terlihat pada Gambar 2.13. Pada gambar tersebut menunjukkan
bahwa untuk Gambar A : arus, voltase, dan kecepatan pengelasan
dalam kondisi normal, Gambar B : arus terlalu kecil, Gambar C :
arus terlalu besar, Gambar D : voltase terlalu kecil, Gambar E :
voltase terlalu besar, Gambar F : kecepatan pengelasan terlalu
kecil, dan Gambar G : kecepatan pengelasan terlalu besar.

2.3 Klasifikasi Baja Karbon
Baja pada dasarnya adalah paduan besi karbon dengan
kadar karbon tidak lebih dari 2.0 % disamping juga mengandung
sejumlah unsur paduan dan unsur pengotor. Baja dibuat dari besi
kasar dengan mengurangi kadar karbon dan unsur lain yang ridak
19




disukai. Baja adalah logam yang paling banyak digunakan. Sifat
baja banyak ditentukan oleh kadar karbonnya disamping juga
unsur paduannya (jenis dan jumlah). Berdasarkan kadar
karbonnya baja dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :

2.3.1 Baja Karbon Rendah
Baja karbon rendah atau mild steel dalam AISI
mempunyai seri C-1008 sampai C-1025. karbon mempunyai
range antara 0.1 0.25 %, mangan mempunyai range antara 0.25
1.50 %, fosfor dengan kadar maksimum 0.40 % dan sulfur
dengan kadar maksimum 0.50 %. Baja dalam tipe ini digunakan
secara luas untuk konstruksi dan industri. Baja ini sering
digunakan sebagai baja struktural, gear, bagian dari mesin, kawat
dan lainnya.

2.3.2 Baja Karbon Menengah
Dalam AISI baja tipe baja karbon menengah ini memiliki
seri C-1030 sampai C-1050. Komposisinya hampir sama dengan
baja karbon rendah kecuali range karbon antara 0.25 0.50 % dan
mangan antara 0.60 1.65 %. Baja ini biasanya digunakan
sebagai crane hooks, shafts, rotor, bagian mesin yang mendapat
pengerjaan laku panas, rel kereta api, ban kereta api, dan lainnya.

2.3.3 Baja Karbon Tinggi
Dalam AISI baja karbon tinggi memiliki seri C-1050
sampai C-1095. Komposisinya hampir sama dengan baja karbon
menengah kecuali range karbon antara 0.50 1.03% dan mangan
antara 0.30 1.00 %. Contoh penggunaan dari baja ini adalah :
1. 0.50 0.60 % C : Roda kereta api, rel, tali kawat.
2. 0.60 0.70 % C : Drop hammer, gunting, mandrel.
3. 0.70 0.80 % C : Palu, bemper mobil, cetakan, cetakan besar
untuk cold press, band saws, anvil faces.
4. 0.80 0.90 % C : Cold chisels, punches, rock drills, shear
blades.
20




Pada Gambar 2.14 dapat dilihat diagram fase
kesetimbangan antara Fe dengan Fe
3
C dimana karbon memiliki
kelarutan maksimum dalam Fe sebesar 6.67 %. Dalam besi cair
karbon dapat larut, tetapi dalam keadaan padat kelarutan karbon
dalam besi akan terbatas. Selain sebagai larutan padat, besi dan
karbon juga dapat membentuk senyawa interstitial (interstitial
compound), eutektik dan eutektoid atau juga mungkin juga
karbon akan terpisah sebagai grafit. Pengaruh kadar karbon
terhadap struktur mikro dan sifat mekanik utama dari baja karbon
dapat dilihat pada Gambar 2.15.


Gambar 2.14 Diagram fase Fe Fe
3
C

21





Gambar 2.15 Hubungan antara kadar karbon dengan
struktur mikro

Dari Gambar 2.15 dapat dilihat bahwa semakin besar
kadar karbon dalam suatu baja, maka nilai kekerasan baja tersebut
akan semakin tinggi. Ini berlawanan dengan nilai ductility baja
tersebut dimana semakin tinggi kadar karbon maka semakin kecil
nilai ductility atau dengan kata lain baja tersebut semakin brittle
(getas). Untuk kekuatan tarik (tensile strength) dapat dilihat
bahwa kenaikan kadar karbon sampai nilai tertentu harga
kekuatan tariknya naik kemudian turun. Untuk baja karbon
rendah, sifat mekanik yang dimiliki adalah ketangguhannya dan
kekerasannya lebih rendah dibanding dengan baja karbon
22




menengah maupun tinggi. Kekuatannya juga tinggi namun
ductility atau keuletannya rendah.
Komposisi baja juga tersusun atas beberapa elemen.
Unsur-unsur penyusun baja antara lain adalah Silikon (Si),
Mangan (Mn), Sulfur (S), dan Phosfor (P). Unsur penyusun ini
memiliki pengaruh :
1. Silikon (Si) : Sebagai penstabil ferrite dan dapat menaikkan
temperatur transformasi. Silikon cenderung
membentuk grafit dan terdapat pada hampir
semua jenis baja dimana silikon berfungsi
sebagai deoksidiser.
2.Mangan (Mn) : Mangan dapat meningkatkan kekuatan dan
kekerasan, membentuk karbida, menaikkan
hardenability, menurunkan range temperatur
transformasi. Mangan dengan kadar yang cukup
dapat memproduksi baja austenitik dan hampir
selalu terdapat dalam baja karena berfungsi
sebagai deoksidiser.
3. Sulfur (S) : Dapat menurunkan ketangguhan, kekuatan dan
weldability.
4. Phosfor (P) : Dapat menaikkan kekuatan dan hardenability,
menurunkan keuletan dan ketangguhan.
Menaikkan machineability dan ketahanan
terhadap korosi.

2.4 Sifat Metalurgi dan Mekanik Baja Karbon Rendah
Baja karbon rendah mempunyai kadar karbon mulai dari
0.1% sampai 0.25% dan termasuk baja hypoeutektoid Dari kadar
karbon yang dimiliki maka dapat diketahui bahwa struktur mikro
dari baja karbon menengah adalah ferrite dan pearlite. Struktur
mikro diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Ferrit : Merupakan larutan padat karbon dalam besi .
Kelarutan karbon maksimum 0.025% (pada 723C)
dan hanya 0.008% pada temperatur kamar. Kekuatan
23




dari ferrite rendah tetapi memiliki keuletan yang
tinggi. Kekerasan dari ferrite adalah kurang dari 90
R
B
.
2. Pearlite : Adalah suatu eutectoid mixture dari cementite dan
ferrite. Mengandung 0.83%C dan terbentuk pada
temperatur 723C. Kekuatannya dan kekerasannya
sedang.
Dibawah ini merupakan struktur mikro dari baja
hypoeutektoid. Baja jenis ini pada temperatur kamar terdiri dari
ferrite dan perlite dimana pada Gambar 2.16 warna putih
menunjukkan ferrit dan untuk warna gelap menunjukkan perlit.


Gambar 2.16 Struktur mikro baja Hypoeutektoid
(11)


2.5 Weldability Baja Karbon Rendah
Weldability merupakan kemampuan untuk membentuk
gabungan atau penyambungan yang kuat akibat terjadinya
pembekuan dari keadaan cair dengan kata lain kesanggupan untuk
disambung dengan proses pengelasan dan menghasilkan
penyambungan yang memuaskan. Pengelasan tidak hanya
melekatkan dua logam yang disambung, sehingga terlihat weld
24




bead diantara logam-logam induknya, tetapi hasil dan mutu dari
lasan tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu
baik ditinjau dari beban-beban yang bekerja, perubahan sifat-sifat
mekaniknya, ketahanan terhadap korosi, berubahnya struktur
mikro dari bagian lasan, adanya cacat baik yang makro maupun
yang mikro, dan sebagainya. Untuk baja karbon rendah tidak akan
menimbulkan masalah selama tebal spesimen tidak lebih dari satu
inch. Pada karbon jenis ini tidak diperlukankan pre maun post
heat.
(10)


2.6 Metalurgi Las
Pengelasan merupakan proses penyambungan antara dua
bagian logam atau lebih dengan menggunakan energi panas.
Karena proses ini maka didaerah sekitar lasan mengalami siklus
termal cepat yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan
metalurgi yang rumit, deformasi dan tegangan-tegangan termal.
Pada umumnya struktur mikro dari baja tergantung pada
kecepatan pendinginannya dari temperatur daerah austenite
sampai ke temperatur kamar. Terjadinya perubahan struktur
mikro maka sifat mekanik yang dimilikinya akan berubah juga.

2.6.1 Siklus Termal dan Daerah Lasan
Siklus termal menunjukkan hubungan antara proses
pemanasan dan proses pendinginan dimana setelah terjadi
temperatur puncak dalam susunan sumbu T versus t. Siklus
termal ini dipengaruhi oleh dimensi benda (ketebalan), input
panas, temperatur benda (T
o
), dan konduktivitas panas logamnya.
Untuk input panas berpengaruh terhadap siklus termal, lebar
HAZ, TKTP (Tempat Kedudukan Temperatur Puncak) dan CRW.
Lamanya pendinginan dalam suatu daerah temperatur tertentu
dari suatu siklus termal las sangat mempengaruhi kualitas
sambungan. Karena itu banyak sekali usaha-usaha pendekatan
untuk menentukan lamanya waktu pendinginan tersebut. Contoh
siklus termal pada daerah las dapat dilihat pada Gambar 2.17.
25






Gambar 2.17 Siklus termal las daerah yang berjarak 10
sampai 25 mm
(1)

Siklus ini menggambarkan kecepatan kenaikan temperatur
pada proses las dan lama proses pendinginan serta dapat
menunjukkan daerah pada lasan dimana kedudukan temperatur
tertinggi yang dipengaruhi oleh input panas. Pemanasan yang
lambat menyebabkan perambatan panas kesegala arah, sehingga
menambah pemanasan yang dibutuhkan yang berarti
memperlambat pencairan tetapi menambah kemungkinan
terjadinya penyusutan logam.
Dari siklus tersebut dapat dilihat adanya temperatur
puncak pada saat jarak tertentu dari sumber panas dan waktu yang
digunakan untuk mencapai temperatur puncak. Dengan
26




diketahuinya temperatur puncak, dapat diprediksi lebar HAZ-nya.
Selain temperatur dan waktu, dari siklus termal dapat dilihat
seberapa besar kecepatan pemanasan dan kecepatan pendinginan.
Semua ini memiliki hubungan yang sangat erat.
Dasar pemikiran aliran panas dalam pengelasan terutama
dari segi pengaruh sumber panas terhadap material yang akan
dilas menjadi konsep input energi. Untuk mendapatkan energi
input netto maka digunakan rumus sebagai berikut :

V
EI f
H
nett
1
= ................................... (3.1)
Dimana :

nett
H = energi input netto (J/mm)
E = volts
I = amperage

1
f = efisiensi perpindahan panas (biasanya
diasumsikan 0.9)
V = kecepatan bergerak sumber panas (mm/det)


Gambar 2.18 Daerah lasan

Gambar 2.18 menunjukkan daerah lasan yang terdiri dari
tiga bagian yaitu weld metal, daerah pengaruh panas atau daerah
HAZ dan logam induk (base metal) yang tidak terpengaruh proses
las. Weld metal adalah pencairan sebagaian logam induk dan
logam pengisi. Daerah HAZ adalah daerah pengaruh panas,
logam induk yang mengalami perubahan struktur mikro dan sifat
27




mekanis. Logam induk adalah bagian logam dasar di mana panas
dan temperatur pengelasan tidak menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan struktur dan sifat. Kemudian ada lagi satu
daerah khusus dari daerah lasan yaitu daerah batas las yang
membatasi antara logam las dengan daerah HAZ atau disebut
fusion line.

2.6.2 Kecepatan Pemanasan
Perubahan kecepatan pemanasan dipengaruhi oleh energi
input netto atau H
nett
. Apabila H
nett
nilainya diperbesar maka
kecepatan pemanasannya pun ikut besar dalam artian
kecepatannya bertambah. Begitu pula sebaliknya, apabila nilai
H
nett
-nya diperkecil maka kecepatannya menurun. Kecepatan
pemanasan mempunyai pengaruh terhadap perambatan panas ke
daerah lasan, apabila kecepatannya lambat maka akibatnya
perambatannya kesegala arah artinya lebih banyak panas yang
menyebar ke bagian logam. Selain itu berpengaruh pada
temperatur puncak yang dicapai, semakin cepat kecepatannya
maka semakin tinggi temperatur puncak yang dicapai. Menurut C.
M. Adams, temperatur puncak dapat dilakukan pendekatan
dengan perhitungan, tetapi perhitungan ini hanya dapat diterapkan
pada HAZ saja. Persamaannya adalah sebagai berikut :

o m nett o p
T T H
CtY
T T
+ =

1 13 . 4 1
..................... (3.2)
Dimana :

p
T = temperatur puncak (
o
C)

m
T = temperatur melting (
o
C)

o
T = temperatur awal dari plat (
o
C)
= density material (g/mm
3
)
C = specific heat material (J/g
o
C)
t = tebal plat (mm)
28




Y = jarak dari weld fusion boundary (mm)

nett
H = energi input netto (J/mm)

2.6.3 Kecepatan Pendinginan
Struktur mikro dan sifat mekanis akhir lasan sangat
ditentukan oleh laju pendinginan. Kecepatan pendinginan kritis
atau critical cooling rate (CCR) adalah kecepatan pendinginan
dimana pada batas ini cenderung timbulnya crack (retak) besar
sekali, untuk baja akan terbentuk struktur martensit yang keras
dan brittle (getas).


Gambar 2.19 TTT (Time-Temperature-Transformation)
diagram untuk baja hypoeutectoid
(6)


29




Kurva CCR ini ditunjukkan dengan adanya kurva yang
menempel pada nose TTT (time-temperature-transformation)
diagram, lihat pada Gambar 2.19. Pada baja karbon rendah
memiliki kecepatan pendinginan kritis yang tinggi.Bila sebuah
logam memiliki CCR, kurva yang tepat menempel pada nose,
maka pada pendinginan udara biasa dapat dipastikan bahwa
struktur lasnya bukan martensit dengan alasan karena kecepatan
pendinginan pengelasan atau cooling rate welding (CRW) dengan
udara berada disebelah kanan dari CCR-nya. Sebaliknya bila
kurva CRW-nya berada pada sebelah kiri CCR-nya (lebih cepat
dari CCR-nya) maka akan mempermudah timbulnya crack. Untuk
mengatasi hal ini, diperlukan preheat dan atau postheat. Karena
pada baja karbon rendah kecepatan pendinginan kritis yang
dimiliki tinggi maka tidak diperlukannya preheat maupun
postheat. Pada akhir pengelasan akan menghasilkan struktur yang
ulet sehingga sambungan diharapkan tahan terhadap internal
stress yang terjadi dari proses las dan tidak menyebabkan retak.
Kecepatan pendinginan suatu logam dapat dicari dengan
melakukan pendekatan perhitungan. Menurut C. M. Adams, jika
plat relatif tebal dalam artian memerlukan beberapa layer (lebih
dari enam layer) untuk melengkapi sambungan maka kecepatan
pendinginannya dapat dihitung dengan persamaan sebagai
berikut:

nett
o c
H
T T k
R
) ( 2
=

............................ (3.3)
Dimana :
R = kecepatan pendinginan di titik weld center line (
o
C/s)
k = konduktivitas termal logam (J/mm s
o
C)

Sedangkan jika plat relatif tipis, hanya memerlukan kurang dari
empat layer, maka persamaannya menjadi seprti berikut :
30




( )
3
2
2
o c
nett
T T
H
t
C k R

= ...................(3.4)
Untuk membedakan antara persamaan untuk plat tebal dan plat
tipis maka terdapat persamaan lain yang membantu kapan
menggunakan persamaan untuk plat tebal dan kapan
menggunakan persamaan untuk plat tipis. Persamaan tersebut
adalah sebagai berikut :

nett
o c
H
T T C
t
) (
=

.............................. (3.5)
Apabila nilai lebih besar dari 0.9 maka menggunakan
persamaan plat tebal, sedangkan bila nilai kurang dari 0.6
maka menggunakan persamaan plat tipis. Bila nilai -nya
diantara 0.6-0.9 maka apabila = 0.75 akan dianggap sebagai
nilai acuan, apabila -nya lebih besar dari 0.75 maka digunakan
persamaan plat tebal sedangkan bila nilainya lebih kecil dari 0.75
maka yang digunakan adalah persamaan plat tipis, dengan
memberikan nilai error tidak lebih dari 15% dari nilai kecepatan
pendinginannya.
(1)


2.6.4 Ketangguhan daerah lasan
Logam las adalah logam yang dalam proses pengelasan
mencair dan kemudian membeku, sehingga logam las ini banyak
sekali mengandung oksigen dan hidrogen serta gas-gas lain.
Komposisi logam ini tergantung pada proses pengelasan yang
digunakan, tetapi dapat diperhitungkan bahwa komposisinya akan
terdiri dari komponen logam induk dan kompenen bahan las yang
digunakan. Karena itu dalam menganalisa ketangguhan harus
diperhatikan pengeruh unsur lain yang terserap selama proses
pengelasan terutama oksigen, hydrogen dan pengaruh dari
strukturnya sendiri. Pengujian impact strength dapat mewakili
penganalisaan ketangguhan ini.
(10)

31




2.7 Metalurgi Las pada Pengelasan Bawah Air
Untuk lingkungan pengelasan bawah air, metalurgi lasnya
agak sedikit berbeda. Mulai dari parameter las, seperti input
panas. Pada pengelasan bawah air untuk mencapai H
nett
yang
sama dengan pengelasan di udara dibutuhkan input panas yang
lebih besar. Untuk sifat mekanis dari benda kerjanya, seperti
logam lasan dan HAZ yang dihasilkan, akan bersifat lebih getas.
Selain itu juga kecepatan pendinginan sangat berpengaruh
terhadap hasil lasan bersifat ulet atau tidak. Untuk ketangguhan
pada logam lasan dapat dipengaruhi oleh unsur lain, dalam hal ini
hidrogen. Kandungan hidrogen pada pengelasan bawah air lebih
banyak dibandingkan pengelasan di udara sehingga ini
menyebabkan baik logam lasan maupun HAZ bersifat brittle,
mudah retak dan terbentuknya porositas.

You might also like