You are on page 1of 31

12

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Depresi
Pengertian depresi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
keadaan tertekan dan perasaan semangat menurun dengan ditandai muram,
sedih, loyo; karena tekanan jiwa; keadaan merosotnya hal-hal yang berkenaan
dengan semangat hidup (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(Depdikbud), 1997).
Sedangkan menurut seorang ilmuwan yang bernama Rice, P. L. (1992)
dalam Sabilla (2010), menurutnya depresi adalah gangguan mood, kondisi
emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir,
berperasaan dan berperilaku) seseorang. Pada umumnya mood yang secara
dominan muncul adalah perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan.
Depresi ditandai dengan perasaan sedih yang psikopatologis, kehilangan
minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju kepada
meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata sesudah bekerja sedikit
saja, dan berkurangnya aktivitas.
Menurut Kaplan dan Sadock (1998) dalam Sabilla (2010), depresi
merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan
alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada
pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan,
rasa putus asa dan tidak berdaya, serta gagasan bunuh diri.
13

Menurut Hawari (2001) dalam Soep (2009), depresi adalah gangguan


alam perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan, kesedihan yang
mendalam dan berkelanjutan sehingga hilangnya kegairahan hidup, apatis dan
pesimisme kemudian dapat dikuti gangguan perilaku. Depresi merupakan
masalah kesehatan jiwa yang utama dewasa ini, hal ini amat penting karena
orang dengan depresi produtivitasnya akan menurun dan ini amat buruk
akibatnya bagi suatu masyarakat, bangsa dan negara yang sedang
membangun. Depresi juga sebagai penyebab utama tindakan bunuh diri, dan
tindakan ini menduduki urutan ke-6 dari penyebab kematian utama di
Amerika Serikat.
Albin (1991) dalam Sabilla, (2010), bahwa individu yang mengalami
depresi sering merasa dirinya tidak berharga dan merasa bersalah. Mereka
tidak mampu memusatkan pikirannya dan tidak dapat membuat keputusan.
Individu yang mengalami depresi selalu menyalahkan diri sendiri, merasakan
kesedihan yang mendalam dan rasa putus asa tanpa sebab. Mereka
mempersepsikan diri sendiri dan seluruh alam dunia dalam suasana yang
gelap dan suram. Pandangan suram ini menciptakan perasaan tanpa harapan
dan ketidakberdayaan yang berkelanjutan.
Setiap orang sering mengalami perasaan sedih, tetapi perasaan ini
biasanya akan hilang dalam beberapa hari. Ketika seseorang mengalami
gangguan depresi, hal itu akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari, fungsi
sebagai manusia yang normal, dan menyebabkan perasaan sakit baik untuk
orang yang mengalami gangguan depresi maupun orang-orang terdekatnya.
14

Depresi umum terjadi, tetapi merupakan penyakit yang serius, dan mayoritas
orang yang pernah mengalami depresi membutuhkan perawatan untuk
menjadi lebih baik (National Institute of Mental Health (NIMH), 2008).
1. Macam-macam depresi
Ada beberapa macam dari gangguan depresi, yaitu (NIMH, 2008):
a Major depressive disorder (gangguan depresi berat), karakteristik dari
gangguan ini adalah adanya beberapa gejala yang mengganggu
seseorang untuk bekerja, tidur, belajar, makan dan menikmati kegiatan
yang seharusnya menyenangkan. Depresi berat merupakan
ketikdakmampuan seseorang untuk berfungsi secara normal. Depresi
berat mungkin hanya terjadi sekali selama hidup seseorang, tetapi
adakalanya hal itu terjadi berulang kali dalam hidup seseorang yang
lain.
b Dysthymic disorder (dysthymia), ditandai dengan waktu yang lama
(dua tahun atau lebih) tidak terdapat gejala-gejala yang dapat
mengganggu kemampuan seseorang tetapi dapat mengganggu
fungsinya secara normal seperti perasaan yang nyaman. Orang dengan
dysthymia mungkin juga mengalami sekali atau lebih peristiwa
depresi berat selama hidupnya (NIMH, 2008).
Beberapa bentuk gangguan depresi menunjukkan sedikit perbedaan
karakteristik dari yang digambarkan di atas, atau mungkin saja beberapa
gangguan depresi berkembang dalam keadaan yang unik. Tidak semua
15

ilmuwan setuju dalam hal menggolongkan dan mendefinisikan bentuk-


bentuk dari depresi ini. Hal tersebut meliputi (NIMH, 2008):
a Psychotic depression, terjadi ketika gangguan depresi dibarengi
dengan gangguan psikosis, seperti memungkiri kenyataan, halusinasi
dan delusi.
b Postpartum depression (depresi postpartum), yang terjadi pada
seorang ibu yang baru melahirkan.
c Seasonal affective disorder/SAD, ditandai dengan gangguan depresi
selama musim dingin, dimana pada musim tersebut tidak ada cahaya
matahari. Depresi ini secara umum akan menghilang selama musim
gugur dan musim semi. SAD biasanya diberi perlakuan berupa terapi
cahaya.
2. Gejala-gejala depresi
Orang dengan gangguan depresi tidak selalu memiliki gejala yang
sama satu dengan yang lain. Frekuensi, durasi dan beratnya gejala akan
bervariasi tergantung pada masing-masing orang.
Gejala-gejala depresi antara lain (NIMH, 2008) :
a Perasaan sedih yang menetap, khawatir atau perasaan kosong
b Perasaan putus asa dan atau pesimisme
c Perasaan bersalah, perasaan tidak berharga dan atau putus asa
d Cepat marah, tidak dapat istirahat
e Insomnia, terjaga dipagi buta, atau tidur yang berlebihan
f Pikiran untuk bunuh diri, usaha bunuh diri
16

g Perasaan sakit yang menetap, sakit kepala, kram atau gangguan


pencernaan yang tidak mudah disembuhkan walaupun dengan
perawatan.
3. Penyebab depresi
Tidak ada alasan yang jelas penyebab dari depresi, disini ada
beberapa alasan mengapa seseorang mengalami depresi :
a Genetik (riwayat keluarga), jika seseorang memiliki riwayat keluarga
dengan depresi, orang tersebut beresiko mengalami depresi. Di lain
kasus, banyak juga orang yang mengalami gangguan depresi tanpa
memiliki riwayat keluarga dengan depresi.
b Ketidakseimbangan bahan kimia, otak pada orang yang normal
terlihat berbeda dibanding dengan yang megalami gangguan depresi.
Hal itu dikarenakan bagian dari otak yang mengatur suasana hati,
pikiran, tidur, keinginan, dan perilaku tidak memiliki keseimbangan
yang benar terhadap bahan kimia.
c Faktor hormonal, perubahan siklus menstruasi, melahirkan,
pembawaan, periode postpartum, perimenopouse, dan menopouse
merupakan penyebab depresi pada wanita
d Stress, peristiwa hidup yang penuh dengan tekanan seperti trauma,
kehilangan seseorang yang berarti, hubungan yang buruk,
tanggungjawab pekerjaan, mengasuh anak dan lansia,
penyalahgunaan, kemiskinan mungkin memicu gangguan depresi pada
beberapa orang
17

e Penyakit medis, menghadapi penyakit yang serius, seperti stroke,


serangan jantung, atau kanker bisa memicu keadaan depresi.

B. Postpartum (Pasca Persalinan)
Manurut Chaplin (1981) dalam Kartono (2006), postpartum adalah
sesudah kelahiran, satu istilah yang digunakan untuk mencirikan kondisi
normal atau kondisi patologis, sesudah kelahiran bayi.
Periode postpartum adalah masa enam minggu sejak bayi lahir sampai
organ-organ reproduksi kembali ke keadaan normal sebelum hamil. Periode
ini kadang disebut puerperium atau trimester ke empat kehamilan (Bobak, et
al., 2004).
Perubahan fisiologis yang terjadi sangat jelas, walaupun dianggap
normal, dimana proses-proses pada kehamilan berjalan terbalik. Banyak
faktor, termasuk tingkat energi tingkat kenyamanan, kesehatan bayi baru
lahir, dan perawatan serta dorongan semangat yang diberikan tenaga
kesehatan profesional ikut membentuk respons ibu terhadap bayinya selama
masa ini. Untuk memberi perawatan yang menguntungkan ibu, bayi, dan
keluarganya, seorang perawat harus memanfaatkan pengetahuannya tentang
anatomi dan fisiologi ibu pada periode pemulihan, karakteristik fisik dan
perilaku bayi baru lahir, dan respons keluarga terhadap kelahiran seorang
anak (Bobak, et al., 2004).
Pada ibu pasca persalinan terjadi 2 proses adaptasi, yaitu adaptasi
fisiologis dan adaptasi psikologis. Adaptasi fisiologis berupa perubahan fisik,
18

sedangkan adaptasi psikologis berupa perubahan psikologis ibu pasca


persalinan (Maryunani, 2009).
1. Adaptasi Fisiologis Ibu Pasca Persalinan
Menurut Bowes (2003) dalam Soep (2009), yang mengutip
pendapat Pillitteri faktor perubahan fisiologis ibu pada periode
postpartum meliputi perubahan adaptasi fisik yang juga dapat
mempengaruhi keadaan psikologis ibu, yaitu :
a Uterus
Proses kembalinya uterus kekeadaan sebelum hamil setelah
melahirkan disebut involusi. Proses ini dimulai segera setelah
plasenta keluar akibat kontraksi otot-otot polos uterus. Pada akhir
tahap ketiga persalinan, uterus berada pada garis tengah, kira-kira 2
cm di bawah umbilicus dengan fundus bersandar pada promotorium
sakralis. Pada waktu 12 jam tinggi fundus mencapai kurang lebih 1
cm di atas umbilikus. Dalam beberapa hari kemudian perubahan
involusio berlangsung dengan cepat. Fundus turun kira-kira 1-2 cm
setiap 24 jam. Pada hari ke-6 fundus berada diantara umbilikus
dengan pinggir atas simpisis pubis. Uterus tidak dapat dipalpasi pada
abdomen pada hari ke 9 postpartum. Seminggu setelah melahirkan
uterus sudah berada didalam panggul dan pada minggu ke 6 beratnya
menjadi 50-60 gram.


19

b Afterpain
Setelah melahirkan tonus uterus meningkat sehingga fundus
tetap kencang. Relaksasi dan kontraksi yang periodik sering dialami
multipara dan bisa menimbulkan nyeri yang bertahan sepanjang awal
puerperium yang disebut afterpains. Proses menyusui dan pemberian
oksitosin tambahan biasanya meningkatkan nyeri ini karena
keduanya dapat merangsang kontraksi uterus.
c Lokia
Pengeluaran lokia setelah melahirkan, jumlahnya berkurang
secara perlahan dan disertai perubahan warna. Lokia ini mengalami
perubahan, pada awalnya disebut lokia rubra berwarna merah
terutama mengandung darah dan debris desidua serta debris
trofoblastik. Aliran menyembur, menjadi merah muda atau coklat
setelah 3-4 hari yang disebut lokia serosa. Lokia serosa terdiri dari
darah lama, serum, leukosit dan debris jaringan. Sekitar 10 hari
setelah bayi lahir, warna cairan ini menjadi kuning sampai putih
disebut lokia alba. Lokia alba biasanya bertahan selama 2-6 minggu
setelah bayi lahir dan berangsur berhenti.
d Payudara
Konsentrasi hormon yang menstimulasi perkembangan
payudara selama hamil (estrogen, progesteron, human chorionic
gonadotoprin, prolaktin, kortisol dan insulin) menurun dengan cepat
setelah bayi lahir. Waktu yang dibutuhkan hormon-hormon ini untuk
20

kembali ke kadar sebelum hamil sebagian ditentukan oleh ibu


menyusui atau tidak. Apabila wanita memilih untuk tidak menyusui
dan tidak menggunakan obat antilaktogenik, kadar prolaktin akan
turun dengan cepat. Sekresi dan ekskresi kolostrum menetap selama
beberapa hari pertama setelah melahirkan. Pada hari kedua atau
ketiga ditemukan adanya nyeri seiring dimulainya produksi air susu.
Pada hari ketiga atau keempat bisa terjadi pembengkakan
(engorgement). Payudara teregang, bengkak, keras dan nyeri bila
ditekan serta hangat jika diraba. Apabila bayi belum mengisap atau
dihentikan, laktasi berhenti dalam beberapa hari atau satu minggu.
e Vagina dan perineum
Struktur penopang uterus dan vagina bisa mengalami cedera
sewaktu melahirkan. J aringan penopang dasar panggul yang
teregang memerlukan waktu sampai enam bulan untuk kembali
ketonus semula. Relaksasi panggul berhubungan dengan
pemannjangan dan melemahnya topangan permukaan struktur
panggul. Struktur ini terdiri atas uterus, kandung kemih dan rektum.
Walupun relaksasi dapat terjadi pada setiap wanita, tetapi biasanya
merupakan komplikasi langsung yang timbul terlambat akibat
melahirkan.
f Perubahan hormonal (sistem endokrin)
Pengeluaran plasenta menyebabkan penurunan signifikan
hormon-hormon seperti human placental lactogen (HPL), estrogen,
21

progesteron dan kortisol serta placental enzyme insulinase membalik


efek diabetagonik kehamilan sehingga gula darah menurun secara
bermakna. Selama menyusui kadar prolaktin meningkat sehingga
ovarium tidak berespons terhadap folikel stimulasi hormon (FSH).
2. Adaptasi Psikologis Ibu Pasca Persalinan
Menurut Maryunani (2009), yang mengutip pendapat Reva Rubin
(1963) faktor adaptasi psikologis yang terjadi pada ibu postpartum terdiri
dari 3 fase juga dapat menyebabkan depresi postpartum, yaitu :
a Fase taking in disebut juga periode ketergantungan. Pada fase ini
ibu berfokus pada diri sendiri dan tergantung pada orang lain.
Pikiran ibu masih berfokus pada persalinan dan tenaganya
diarahkan untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya, dibandingkan
dengan merawat bayinya. Perilaku yang ditunjukkan pasif dan
tergantung, ibu memerlukan bantuan untuk memenuhi kebutuhan
fisik dan emosionalnya. Fase ini terjadi dalam 1 sampai 2 hari dan
dapat diobservasi pada satu jam setelah persalinan.
b Fase taking hold merupakan perpindahan dari periode
ketergantungan menjadi mandiri. Pada fase ini tenaga ibu
meningkat. Ibu merasa lebih nyaman dan lebih berfokus pada bayi
daripada dirinya sendiri. Ibu lebih mandiri untuk memulai
perawatan diri dan berfokus pada fungsi tubuh. Ibu dapat menerima
tanggungjawab dalam perawatan bayi seperti mengontrol tubuhnya
sendiri. Menurut Rubin, fase ini sangat ideal untuk memberikan
22

edukasi tentang perawatan diri dan bayinya. Fase ini berlangsung


mulai hari ketiga sampai sampai hari ketujuh.
c Fase ketiga adalah letting go, yang merupakan periode kemandirian
dalam mennjalankan peran sebagai ibu baru. Ibu mulai dapat
menjalankan peran barunya sebagai ibu secara penuh sejalan
dengan kemampuan merawat bayi dan semakin percaya diri. Fase
ini mulai sekitar dua minggu postpartum.
Menurut Whibley (2006) dalam Yusdiana (2009) perubahan
emosi ibu postpartum secara umum antara lain adalah :
a Thrilled dan excaited, ibu merasakan bahwa persalinan merupakan
peristiwa besar dalam hidup. Ibu terheran-heran dengan
keberhasilan melahirkan seorang bayi dan selalu bercerita seputar
peristiwa persalinan dan bayinya.
b Overwhelmed, merupakan masa kritis bagi ibu dalam 24 jam
pertama untuk merawat bayinya. Ibu mulai melakukan tugas-tugas
baru.
c Let down, status emosi ibu berubah-ubah, merasa sedikit kecewa
khususnya dengan perubahan fisik dan perubahan peran.
d Weepy, ibu mengalami baby blues pasca salin, karena perubahan
yang tiba-tiba dalam kehidupan, merasa cemas dan takut dengan
ketidakmampuan merawat bayinya dan merasa bersalah. Perubahan
emosi ini dapat membaik dalam beberapa hari setelah ibu dapat
merawat diri dan bayinya serta mendapat dukungan keluarga.
23

e Feeling beat up, merupakan masa kerja keras fisik dalam hidup dan
akhirya merasa kelelahan.

C. Depresi Postpartum
Depresi postpartum pertama kali ditemukan oleh Pitt pada tahun 1988.
Pitt dalam Ryan (2009), depresi postpartum adalah depresi yang bervariasi
dari hari ke hari dengan menunjukkan kelelahan, mudah marah, gangguan
nafsu makan, dan kehilangan libido (kehilangan selera untuk berhubungan
intim dengan suami).
Masih menurut Pitt (1988) dalam Ryan (2009), tingkat keparahan
depresi postpartum bervariasi. Keadaan ekstrem yang paling ringan yaitu saat
ibu mengalami kesedihan sementara yang berlangsung sangat cepat pada
masa awal postpartum, ini disebut dengan the blues atau maternity blues.
Gangguan postpartum yang paling berat disebut psikosis postpartum atau
melankolia. Diantara 2 keadaan ekstrem tersebut terdapat kedaan yang relatif
mempunyai tingkat keparahan sedang yang disebut neurosa depresi atau
depresi postpartum.
Menurut Pillitteri dan Regina (2001) dalam Soep (2009), depresi
postpartum adalah depresi pasca persalinan yang mulai terjadi pada hari
ketiga setelah melahirkan dan berlangsung sampai berminggu-minggu atau
bulan yang dikategorikan sebagai sindrom gangguan mental ringan dengan
menunjukan kelelahan, perasaan sedih, mudah marah, gangguan tidur,
24

gangguan nafsu makan, dan kehilangan libido (kehilangan selera untuk


berhubungan dengan suami).
Menurut Erikania (1999) dalam Soep (2009), depresi postpartum adalah
munculnya gangguan mood dan kondisi emosional berkepanjangan yang
mewarnai seluruh proses mental yang muncul setelah melahirkan (pascasalin)
pada periode mulai hari ke 4 sampai kurang lebih 3-4 minggu dengan disertai
gejala mimpi buruk, tidak dapat tidur, cemas, meningkatnya sensitivitas, dan
perubahan mood seperti sedih, kurang nafsu makan, mudah marah, kelelahan,
sulit berkonsentrasi, perasaan tidak berharga, menyalahkan diri, dan tidak
mempunyai harapan untuk masa depan.
Sedangkan menurut Beck (2002) dalam Records, Rice, Beck (2007),
depresi postpartum adalah episode depresi mayor yang bisa terjadi selama 12
bulan pertama setelah melahirkan.
1. Determinan Depresi Postpartum
Beberapa determinan terhadap terjadinya depresi postpartum, antara
lain : a) faktor fisiologis berupa tidak berfungsinya kekebalan tubuh pada
depresi, gangguan tidur/fatigu, perasaan sakit, hormon reproduksi; b)
pengalaman dalam proses melahirkan yang buruk; c) karakteristik bayi; d)
faktor psikologis berupa tipe kepribadian, riwayat gangguan kejiwaan
sebelumnya, self-esteem, self efficacy, dan expectation; e) karakteristik
sosial berupa abusive atau dysfunctional family of origin, dukungan sosial
(suami, orang tua, teman), kehilangan, status sosial ekonomi, stres dalam
hidup (Kendall-Tackett et al., 2007).
25

Menurut Beck, faktor-faktor yang menyebabkan depresi postpartum


ada 13, yaitu (Varney, et al., 2008) :
a Depresi prenatal
Depresi prenatal (selama kehamilan) merupakan salah satu
faktor pemicu terjadinya depresi postpartum yang paling kuat. Depresi
prenatal bisa terjadi pada beberapa atau keseluruhan dari trimester
kehamilan (Beck, 2001). Depresi prenatal ini dialami oleh 10%
sampai 20% dari seluruh wanita (Department of Health New York,
2006).
Paykel, Emms, Fletcher dan Rassaby (1980) dalam Hagen
(1999), menyimpulkan bahwa depresi selama masa prenatal dapat
menyebabkan depresi postpartum.
Menurut Zuckerman, Amaro, Bauchner, Cabral (1989) dalam
UNC Center for Womens Mood Disorders (2008), mengungkapkan
bahwa depresi prenatal atau bisa juga disebut dengan depresi antenatal
terjadi karena beberapa faktor, antara lain rendahnya jumlah kenaikan
berat badan ibu hamil, ibu hamil yang merokok dan frekuensinya
lebih sering dan juga banyak, minuman alkohol dan penggunaan zat-
zat kimia lainnya, ambivalen tentang kehamilan dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan status kesehatan yang buruk.
b Stress merawat anak
Hal-hal yang membuat stres yang berhubungan dengan
perawatan anak meliputi faktor-faktor seperti masalah kesehatan yang
26

dialami bayi, dan kesulitan dalam perawatan bayi khususnya


mengenai masalah makanan dan tidur (Beck, 2001).
c Stress dalam kehidupan
Stres dalam kehidupan merupakan penunjuk terjadinya stres
selama kehamilan dan setelah kehamilan. Stres yang terjadi dalam
hidup seseorang, bisa karena hal yang positif maupun negatif, dan
termasuk juga sebuah pengalaman seperti, perubahan status
perkawinan (contohnya, bercerai, menikah kembali), perubahan
pekerjaan, dan krisis yang terjadi (contohnya, kecelakaan,
perampokan, krisis ekonomi, dan penyakit kronis) (Beck, 2001).
Hal tersebut di atas, sesuai dengan pernyataan yang
diungkapkan oleh American Psychiatric Association (APA) (2010),
bahwa wanita yang mempunyai masalah-masalah berat dalam
hidupnya merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya depresi
postpartum.
d Dukungan sosial
Ibu yang baru saja mengalami proses reproduksi sangat
membutuhkan dukungan psikologis dari orang-orang terdekatnya.
Kurangnya dukungan dari orang-orang terdekat dapat menyebabkan
penurunan psikologis seperti mudah menangis, merasa bosan, capek,
tidak bergairah, dan merasa gagal yang akan menyebabkan ibu
menjadi depresi (Anonim).
27

Banyak penelitian yang mendukung masalah dukungan sosial


ini, diantaranya adalah penelitian Campbell, Cohn, Flanagan (1992),
menyimpulkan bahwa depresi postpartum disebabkan oleh tidak
adekuatnya support secara emosiona. Begitu juga dalam penelitian
OHara (1983), Cutrona dan Troutman (1986), Richman (1991),
Spangenberg dan Pieters (1991), yang menyimpulkan bahwa depresi
postpartum disebabkan oleh kurangnya dukungan sosial (Hagen,
1999)
Di Indonesia, hal di atas senada dengan hasil penelitian Soep
(2009), yang menunjukkan bahwa dukungan suami berpengaruh besar
terhadap kejadian depresi postpartum. Hal tersebut dikarenakan
dukungan suami merupakan strategi koping penting pada saat
mengalami stress dan berfungsi sebagai strategi preventif untuk
mengurangi stress (Ingela, 2009 dalam Darsana, 2011).
e Ansietas pranatal
Ansietas pada masa kehamilan bisa terjadi selama beberapa
trimester dan kadang terjadi diseluruh masa kehamilan. Ansietas ini
merupakan suatu perasaan ketakutan pada sesuatu yang akan terjadi
mengenai sesuatu yang tidak jelas, ancaman yang belum jelas (Beck,
2001). Hal ini sesuai dengan pernyataan dari U.S. Department of
Health and Human Services, Office on Womens Health dalam
Schmitt (2011), yang menyebutkan bahwa ansietas merupakan salah
satu faktor penyebab terjadinya depresi postpartum.
28

f Kepuasan perkawinan
Derajat kepuasan dengan sebuah hubungan perkawinan ditandai
dengan seberapa bahagia atau puasnya seorang wanita pada hal-hal
tertentu dari perkawinannya, seperti komunikasi, keterbukaan,
kesamaan dalam saling menghargai, saling membantu, menghargai
terhadap suatu keputusan, dan hal-hal yang baik secara global lainnya
(Beck, 2001).
Sarafino dalam Ryan (2009), menyatakan pula bahwa faktor lain
yang dianggap sebagai penyebab munculnya gejala ini adalah masa
lalu ibu tersebut, yang mungkin mengalami penolakan dari orang
tuanya atau orang tua yang overprotective, kecemasan yang tinggi
terhadap perpisahan, dan ketidakpuasaan dalam pernikahan.
Terdapat beberapa penelitian yang mendukung, antara lain
adalah penelitian Affonso dan Arizmedi (1986), yang menyatakan
bahwa buruknya hubungan antara bayi dengan ayahnya, penelitian
Dimitrovsky (1987), Kumar dan Robson (1984), Longsdon , McBride,
dan Birkimer (1994), OHara (1983), menyimpulkan bahwa masalah
di dalam perkawinan merupakan salah satu penyebab terjadinya
depresi postpartum (Hagen, 1999).
g Riwayat depresi sebelumnya
OHara dan Swains menyatakan bahwa beberapa prediktor dari
depresi postpartum adalah riwayat psikopatologi yang lalu, gangguan
psikiatri selama kehamilan, dan dinamika hubungan perkawinan,
29

rendahnya dukungan sosial, dan tingkat stress dalam kehidupan


keseharian (Anonim).
Sarafino dalam Ryan (2009), menyatakan bahwa perempuan
yang memiliki sejarah masalah emosional rentan terhadap gejala
depresi ini, kepribadian dan variabel sikap selama masa kehamilan
seperti kecemasan, kekerasan dan kontrol eksternal berhubungan
dengan munculnya gejala depresi (Ryan, 2009).
h Temperamen bayi
Temperamen bayi yang sulit digambarkan sebagai seorang bayi
yang lekas marah, rewel, dan susah dihibur (Beck, 2001). Hal tersebut
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Whiffen dan Gotlib
(1989) dalam Hagen (1999), yang menyimpulkan bahwa temperamen
sebagai salah satu penyebab terjadinya depresi postpartum.

i Maternity blues
Maternity blues adalah sebuah fenomena yang hanya sekilas
dari perubahan suasana hati yang dimulai pada beberapa hari pertama
setelah melahirkan dan paling sedikit 1 sampai 10 hari atau lebih.
Keadaan tersebut ditandai dengan perasaan ingin menangis, cemas,
kesulitas konsentrasi, lekas marah, dan suasana hati yang labil (Beck,
1998a dalam Beck, 2001).


30

j Harga diri
Harga diri ditunjukkan kepada perasaan seorang wanita secara
umum dalam hal harga diri dan penerimaan diri sendiri, artinya adalah
kepercayaan diri dan kepuasan terhadap diri sendiri. Rendahnya harga
diri menggambarkan negatifnya evaluasi terhadap diri sendiri dan
perasaan terhadap diri seseorang atau kemampuan seseorang (Beck,
2001).
k Status sosioekonomi
Segre, Lisa, Losch, OHara dalam Wikipedia (2010),
mengungkapkan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan
kejadian depresi postpartum. Semakin rendah pendapatan keluarga,
semakin tinggi pula resiko terjadinya depresi postpartum.
Penelitian Howell, Elizabeth, Mora, Leventhal (2006) dalam
Wikipedia (2010), juga mendukung pernyataan Segre et al., bahwa
wanita dengan kulit hitam dan social ekonomi yang rendah berpotensi
lebih tinggi mengalami depresi postpartum.
l Status perkawinan
Status demografi ini berfokus pada kedudukan seorang wanita
dalam hal pernikahan. Tingkatannya adalah tidak menikah,
menikah/hidup bersama, bercerai, janda, berpisah, memiliki pasangan
(Beck, 2001).


31

m Kehamilan tidak diinginkan atau tidak direncanakan


Kehamilan yang tidak direncanakan, bisa disebabkan oleh
perasaan ragu-ragu terhadap kehamilan yang dialami. J ika kehamilan
itu direncanakan, mungkin saja 40 minggu bukanlah waktu yang
cukup bagi pasangan untuk menyesuaikan diri terhadap perawatan
bayi yang ada kalanya membutuhkan usaha yang cukup keras (The
American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG), 2009).
Seorang bayi mungkin dilahirkan lebih awal dari perkiraan
lahirnya, hal ini juga dapat menjadi faktor pemicu terjadinya depresi
postpartum, karena jika bayi lahir lebih awal dapat menyebabkan
perubahan secara tiba-tiba, baik di lingkungan rumah maupun
perubahan terhadap rutinitas kerja yang tidak diharapkan oleh orang
tua (ACOG, 2009).
2. Pencegahan Depresi Postpartum
Pencegahan terjadinya depresi postpartum dapat dilakukan dengan
melakukan kursus untuk perawat maternitas dan profesi kesehatan lain.
Hal ini disebabkan pada umumnya bantuan yang diberikan pertama kali
adalah dari tenaga kesehatan. Ibu biasanya gagal keluar dari kondisi yang
sulit karena perasaan yang kurang nyaman, sehingga sangat penting
memberikan pelatihan atau kursus pada tenaga kesehatan professional agar
mampu menolong ibu secara professional.
Menyelenggarakan kelas antenatal bagi ibu hamil dan keluarga.
Keluarga mendapatkan pengetahuan tentang persalinan dan perawatan
32

bayi, pengetahuan dan perhatian pada aspek emosional serta bagaimana


penyelesaian masalah emosional. Kenyataan menunjukkan bahwa
pemberian informasi tentang depresi postpartum dapat mengurangi
kejadian depresi postpartum (Zahra, 2010).
Konseling perkawinan bagi pasangan yang akan menikah ataupun
sudah menikah. Konseling perkawinan bertujuan untuk membangun dan
membina keluarga yang harmonis. Seorang konselor menjelaskan tentang
tujuan perkawinan, mempersiapkan perkawinan, membina perkawinan,
membina hubungan seksual dalam perkawinan, dan mengasuh serta
membimbing anak dalam keluarga. Konselor juga membantu untuk
mengatasi masalah dalam kehidupan keluarga (Nurbaeti, 2002).
3. Penatalaksanaan Depresi Postpartum
Banyak perempuan tidak mau bercerita bahwa mereka menderita
depresi postpartum, karena merasa malu, takut dan merasa bersalah karena
merasa depresi disaat seharusnya merasa bahagia, dan takut dikatakan
tidak layak untuk menjadi ibu. Tidak berarti bila menderita depresi
postpartum tidak pantas menjadi ibu, ada beberapa bantuan yang dapat
dilakukan untuk mengatasi depresi tersebut antara lain : 1) banyak istirahat
sebisanya, tidurlah selama bayi tidur; 2) hentikan membebani diri sendiri
untuk melakukan semuanya sendiri. Kerjakan apa yang dapat dilakukan
dan berhenti saat merasa lelah; 3) mintalah bantuan untuk mengerjakan
pekerjaan rumah tangga dan pemberian makan pada malam hari, mintalah
pada suami untuk mengangkat bayi untuk disusui saat malam hari
33

sehingga ibu dapat menyusui di tempat tidur tanpa harus banyak bergerak;
4) bicarakan dengan suami, keluarga, teman, mengenai perasaan yang
dimiliki; 5) jangan sendirian dalam jangka waktu lama, pergilah keluar
rumah untuk merubah suasana hati; 6) bicaralah dengan ibunda agar dapat
saling bertukar pengalaman; 7) ikuti grup support untuk perempuan
dengan depresi melalui edukasi; 8) jangan membuat perubahan hidup yang
sangat drastis selama kehamilan seperti pindah pekerjaan, pindah rumah,
memulai usaha baru, merenovasi atau membangun rumah. Bila perubahan
drastis tidak dapat dielakkan, buatlah perencanaan yang matang dan
bantuan ataupun support untuk persiapan kelahiran bayi (Schmitt, 2009).
Depression and Bipolar Support Alliance (DBSA) (2010), J ika
mengalami depresi postpartum hal-hal yang dapat dilakukan adalah 1)
bicaralah dengan ahli kesehatan tentang semua gejala-gejalanya, riwayat
kesehatan yang lalu; 2) bergabunglah dengan sebuah kelompok, dimana
bisa berbagi perasaan dan pikiran di dalamnya; 3) makan secara seimbang
dan teratur; 4) lakukan olahraga ringan, seperti jalan kaki; 5) beri
kesempatan kepada keluarga dan teman untuk menolong, seperti
mengerjakan pekerjaan rumah dan mengasuh anak.
4. Alat untuk Mengukur Depresi Postpartum
1) Edinburgh Postnatal Depresi Scale (EPDS)
Menurut Cox (2000), untuk mendeteksi adanya depresi postpartum
atau resiko mengalami depresi postpartum, dapat digunakan alat ukur
Edinburgh Postnatal Depresi Scale (EPDS) pada awal postpartum
34

untuk mengidentifikasi penyebab depresi postnatal. EPDS adalah alat


yang berbentuk skala yang berfungsi untuk mengidentifikasi risiko
timbulnya depresi postpartum selama 7 (tujuh) hari pasca salin dengan
10 (sepuluh) pertanyaan. EPDS juga telah teruji validitasnya di
beberapa negara seperti Belanda, Swedia, Australia, Italia, dan
Indonesia. EPDS dapat dipergunakan dalam minggu pertama pasca
salin dan bila hasilnya meragukan dapat diulangi pengisiannya 2 (dua)
minggu kemudian (Soep, 2009).
Di luar negeri skrining untuk mendeteksi gangguan mood depresi
sudah merupakan acuan pelayanan pasca salin yang rutin dilakukan.
Untuk skrining depresi postpartum dapat dipergunakan kuesioner
Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) merupakan kuesioner
dengan validitas yang teruji yang dapat mengukur intensitas perubahan
perasaan selama 7 (tujuh) hari pasca salin. Pertanyaan-pertanyaannya
berhubungan dengan labilitas perasaan, kecemasan, perasaan bersalah,
keinginan untuk bunuh diri serta mencakup hal-hal lain yang terdapat
pada depresi postpartum. Kuesioner EPDS terdiri dari 10 (sepuluh)
pertanyaan, dimana setiap pertanyaan memiliki 4 (empat) pilihan
jawaban yang mempunyai nilai skor dan harus dipilih satu sesuai
dengan gradasi perasaan yang dirasakan ibu postpartum. Pertanyaan
harus dijawab sendiri oleh ibu dan rata-rata dapat diselesaikan dalam
waktu 5 menit. J umlah skor dari sepuluh pertanyaan yang diajukan
dalam EPDS 30 skor, semakin besar jumlah skor gejala depresi semakin
35

berat. Skor di atas 12 (dua belas) memiliki spesifisitas 92,5%,


sensitivitas 88% dan nilai prediksi positif 73% untuk mendiagnosis
kejadian depresi postpartum (Fraser dan Cooper, 2009).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Leverton dan Elliott (2000)
dalam Records, et al. (2009), menyebutkan bahwa validasi EPDS
memiliki sensitifitas 70%, specifisitas 93%, dan nilai prediksi positif
73%. Demikian juga hasil penelitian yang dilakukan Renaud (2005)
dalam Soep (2009), konsistensi internal EPDS dengan menggunakan
dua teknik pengukuran pada minggu pertama dan minggu ketiga
postpartum memenuhi persyaratan untuk digunakan pada sebuah test
untuk screening awal depresi postnatal di unit maternitas. EPDS
memiliki sensitivitas 92,5% dengan nilai prediksi 76,7% dan koefisien
alpha 0,95% dengan sampel 100 orang wanita postpartum.
2) Postpartum Depression Predictors Inventory Revised (PDPI-R)
Hasil dari meta-analisis Beck (1996a, 1996b, 2001), adalah
sebuah alat yaitu Postpartum Depression Predictors Inventory Revised
(PDPI-R) yang digunakan untuk memprediksi faktor resiko dari
depresi postpartum (Records, et al., 2007).
PDPI-R berisi 13 prediktor atau faktor resiko terjadinya depresi
postpartum. Prediktor ini terdiri dari depresi prenatal, stress merawat
anak, stres kehidupan, dukungan sosial, ansietas pranatal, kepuasan
perkawinan, riwayat depresi sebelumnya, temperamen bayi, maternity
36

blues, harga diri, status sosioekonomi, status perkawinan, kehamilan


tidak diinginkan atau tidak direncanakan pada ibu postpartum.
PDPI-R terdiri dari 39 pertanyaan dengan ya atau tidak, dan
masing-masing jawaban diberi diberi nilai 0 atau 1. Nilai setiap
pertanyaan dijumlahkan untuk mendapatkan total skor, dengan
tingginya nilai yang dihasilkan, maka mengindikasikan tingginya
resiko depresi postpartum.

D. Primipara
Primipara adalah wanita yang pernah mengandung, yang melahirkan
fetus mencapai berat 500gram atau umur gestasional 20 minggu, tanpa
tergantung apakah anak tersebut hidup pada saat dilahirkan, dan apakah
kelahiran tunggal atau kembar (Kamus Kedokteran Dorland, 2002).
Primipara adalah wanita yang telah melahirkan bayi aterm sebanyak
satu kali (Manuaba, 1998).
Primipara adalah seorang wanita yang pernah melahirkan bayi hidup
untuk pertama kalinya (Mochtar, 1998).
Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak, yang
cukup besar untuk hidup di dunia luar matur atau prematur (Anonim, 2010).
Perbedaan Primigravida dan Multigravida
Primigravida :
1. Buah dada tegang
2. Puting susu runcing
37

3. Perut tegang dan menonjol kedepan


4. Striae lividae
5. Perineum utuh
6. Vulva tertutup
7. Hymen perforatusvagina sempit dan teraba rugae
8. Portio runcing, ost. Ext. Tertutup
Multigravida :
1. Lembek, menggantung
2. Puting susu tumpul
3. Perut lembek dan tergantug
4. Striae lividae dan striae albicans
5. Perineum berparut
6. Vulva mengangah
7. Carunculae myrtiformis
8. Vagina longgar, selaput lendir licin
9. Portio timpul dan terbagi dalam bibir depan dan bibir belakang.

E. Konsep Adaptasi
Konsep adaptasi dalam penelitian ini mengacu pada teori adaptasi yang
dikembangkan oleh Calista Roy (1991). Teori adaptasi Roy adalah sebagai
berikut (George, 1995):


38

1. Self-concept mode
Adalah salah satu dari mode psikososial dan memusat secara rinci
pada aspek rohani dan psiologis yang ada pada diri. Kebutuhan dasar
mendasari self-concept mode telah dikenali seperti integritas mempunyai
kekuatan batin adalah kebutuhan untuk mengetahui siapa yang menjadi
satu bahwa seseorang dapat ada dengan suatu kesatuan perasaan.
Integritas mempunyai kekuatan batin adalah dasar permasalahan adaptasi
dan kesehatan dalam area ini boleh bertentangan dengan kemampuan
orang untuk menyembuhkan atau yang dikerjakan apa yang penting
untuk memelihara aspek lain kesehatan.
Pada ibu pasca persalinan, ibu akan mengalami perubahan
fisiologis dan psikologis yang akan sangat mempengaruhi kehidupannya,
dan akan berdampak negatif jika tidak ada dukungan sosial dari orang-
orang terdekat, tidak ada kepuasan dalam perkawinan, dan juga harga diri
yang tinggi.
2. Model peran fungsi
Adalah salah satu dari dua mode sosial dan fokus pada peran
seseorang dalam masyarakat. Suatu peran sebagai unit masyarakat yang
berfungsi adalah sebagai satuan harapan tentang bagaimana seseorang
menduduki satu posisi bertindak ke arah seseorang menduduki posisi
yang lain. Model fungsi peran telah dikenali seperti integritas sosial yang
harus mengetahui seseorang dalam hubungan dengan orang yang lain
sedemikian sehingga seseorang dapat bertindak.
39

Suatu penggolongan peran sebagai primer, sekunder, dan tersier


telah sesuai menggunakan dalam Model Adaptasi Roy. Berhubungan
dengan peran masing-masing adalah perilaku sebagai penolong dan
perilaku ekspresif, penilaian di mana menyediakan suatu indikasi
adaptasi sosial sehubungan dengan peran berfungsi.
Masing-masing jenis perilaku dapat digambarkan dengan peran ibu.
Mengawasi kebutuhan fisik bayi melibatkan perilaku sebagai penolong,
memegang dan memeluk bayi adalah perilaku ekspresif.
Pada ibu yang tidak mengalami depresi, maka pemenuhan dalam
pengharapan peranan ini diindikasikan sebagai peran yang berfungsi, dan
begitu juga sebaliknya, karena pada ibu yang mengalami depresi, ibu
akan kehilangan rasa percaya diri untuk menjalani peran sebagai ibu
sebagaimana mestinya (Schmitt, 2009).
3. Interdependen mode
Adalah suatu adaptasi yang berfokus pada interaksi yang
berhubungan dengan memberi atau menerima rasa hormat dan nilai.
Kebutuhan dasar dalam interdependen mode sangat terkecukupan dalam
rasa aman untuk pemeliharaan hubungan.
Ibu pasca persalinan akan membutuhkan banyak dukungan dari
orang-orang sekitar, karena pada masa ini ibu berada pada fase taking in,
yang artinya bahwa ibu masih sangat tergantung pada orang lain karena
disebabkan oleh kondisi pasca persalinan (Rubin, 1963 dalam
Maryunani, 2009).
40

E. Kerangka Teori
Kerangka teori adaptasi ibu pasca persalinan mengacu pada teori
adaptasi Roy adalah sebagai berikut :
Gambar 2.1. Kerangka Teori Penelitian






















Sumber : Modifikasi teori Beck dalam Varney, et.al, (2008), Roy, C., &
Andrews, H.A. (Eds.). (1991) dalam George J ulia B. (1995).

Prediktor depresi postpartum :
1. depresi prenatal 8. temperamen bayi
2. stress merawat anak 9. maternity blues
3. stres kehidupan 10. harga diri
4. dukungan social 11. status sosioekonomi
5. ansietas prenatal 12. status perkawinan
6. kepuasan perkawinan 13. kehamilan tidak diinginkan atau
7. riwayat depresi sebelumnya tidak direncanakan.
Kebutuhan
yang berlebih
pada
pascapersalinan
Defisit
kebutuhan pada
pascapersalinan
Depresi
Mekanisme
koping
Respon
adaptif
Respon
maladaptif
41

F. Kerangka Konsep
Karangka konsep penelitian ini menggambarkan bahwa yang akan
diteliti adalah factor-faktor yang mempengaruhi kejadian depresi postpartum.

Gambar 2.2 Kerangka konsep penelitian





Predictor depresi postpartum :

1. depresi prenatal 8. temperamen bayi
2. stress perawatan anak 9. maternity blues
3. stress kehidupan 10. harga diri
4. dukungan social 11. status social ekonomi
5. ansietas prenatal 12. status perkawinan
6. kepuasan perkawinan 13. kehamilan tidak diinginkan
atau tidak direncanakan
i d i b l
Ibu pascapersalinan primipara
Mekanisme koping
Depresi Tidak Depresi
42

G. Hipotesis
Ada hubungan antara faktor-faktor depresi postpartum (depresi prenatal,
stress merawat anak, stres kehidupan, dukungan sosial, ansietas pranatal,
kepuasan perkawinan, riwayat depresi sebelumnya, temperamen bayi,
maternity blues, harga diri, status sosioekonomi, status perkawinan,
kehamilan tidak diinginkan atau tidak direncanakan) dengan kejadian depresi
postpartum.

You might also like