You are on page 1of 15

Penyakit Hemolitik Et Causa Inkompatibilitas ABO

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jl. Arjuna Utara No. 6, Kebon Jeruk, Jakarta Barat
Mathyas Thanama | 102011222 | D2
mathyas_091109@yahoo.com
Pendahuluan
Bayi atau janin-baru lahir, merupakan kelompok individu yang seringkali mengalami
anemia, berupa anemia normositik-normokromik, dan biasanya hal ini dapat terjadi akibat
inkompatibilitas komponen darah di dalam darah ibu dengan komponen darah di dalam darah
janin, dapat berupa inkompatibilitas pada sistem Rh maupun inkompatibilitas pada sistem ABO.
Saat ini, inkompatibilitas antigen golongan darah utama A dan B merupakan kasus tersering
yang menyebabkan anemia, yaitu jenis anemia hemolitik pada neonatus. Sekitar 20 persen bayi
mengalami inkompatibilitas golongan darah ABO dengan ibunya, dan 5 persen saja yang
mengalami gejala klinis. Untungnya, inkompatibilitas ABO hampir selalu menyebabkan
penyakit yang ringan yang bermanifestasi sebagai ikterus pada neonatus atau anemia, tetapi
bukan eritroblastosis fetalis (hidrops imun) dan terapi umumnya hanya terbatas pada fototerapi
semata, kecuali bila ditemukan ikterus yang berkepanjangan dan mengharuskan untuk
melakukan transfusi tukar. Lebih jauh, pemahaman yang baik mengenai jenis inkompatibilitas
beserta gejala klinis yang muncul, dapat sangat membantu praktisi kesehatan untuk dapat
membedakan jenis inkompatibilitas yang dihadapi sehingga dapat pula menentukan jenis terapi
yang tepat-guna bagi janin. Meski inkompatibilitas ABO tidak menyebabkan hidrops fetalis
seperti pada kasus isoimunisasi Rh, namun penyakit ini masih berpotensi menjadi alasan di balik
kasus anemia dan ikterus pada neonatus. Oleh sebab itulah, inkompatibilitas ABO perlu untuk
dipelajari dan dicermati secara saksama.
1,2



Anamnesis
Anamnesis yang dapat dilakukan untuk bayi dengan ikterus, umumnya ditanyakan
langsung kepada ibu, sehingga anamnesis bersifat allo-anamnesis, beberapa hal yang perlu
ditanyakan kepada ibu mengenai ikterus pada bayinya, antara lain:
1. Identitas pasien, yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, anak ke-berapa
2. Keluhan utama, sejak kapan.
3. Riwayat penyakit sekarang
o Pada pasien terjadi ikterus (bayi kuning), maka ditanyakan:
Sejak kapan?
Bagaimana riwayat kelahiran?
Apakah bayi sudah diberi ASI atau belum?
Apakah sebelumnya mendapat transfusi darah?
4. Keluhan penyerta/keluhan lain
5. Riwayat penyakit dahulu (ditujukan pada ibu pasien)
o Usia kehamilan?
o Pasien adalah anak ke-berapa?
Jika pasien bukan anak pertama, tanyakan apakah terjadi hal yang sama
(ikterik juga/tidak) pada anak yang sebelumnya?
o Apakah selama atau sebelum masa kehamilan ibu sedang menderita penyakit
infeksi tertentu? (contoh: hepatitis, malaria, dll)
o Apakah selama atau sebelum kehamilan ibu sedang mengkonsumsi obat-obatan
tertentu?
o Apakah golongan darah ibu dan ayah? Apakah rhesus ibu dan ayah? (jika
diketahui)
o Apakah dulu pernah mengalami sakit yang cukup berat sehingga harus dirawat di
rumah sakit?
o Adakah riwayat diabetes melitus?
o Adakah riwayat penyakit berat yang lain?
6. Riwayat pribadi (ditujukan pada ibu pasien)
o Bagaimana riwayat vaksinasi pasien? (Lengkap/tidak)
o Bagaimana kebiasaan pasien? (seperti makanan, minuman, pengguna obat-obatan,
dan lain sebagainya)
o Apakah ada riwayat alergi?
o Apakah melahirkannya cukup bulan? Normal atau tidak?
o Dimana terjadi proses kelahiran si bayi?
o Apakah si bayi minum asi?
7. Riwayat keluarga
o Apakah di keluarga juga ada yang sedang atau pernah menderita penyakit yang
sama?
o Apakah ada riwayat penyakit yang diturunkan?
3

Pada anamnesis didapatkan bahwa ibu mengatakan bayi mulai kuning sejak 10 jam
dilahirkan, bayi dilahirkan secara normal per vaginam, aktif, dan kuat menangis. Sampai saat ini,
bayi hanya menerima ASI eksklusif, dan kuat menyusu.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada neonatus, terutama terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan tanda-
tanda vital mencakup tekanan darah, suhu tubuh, frekuensi nadi dan frekuensi pernapasan bayi
untuk mengetahui apakah ada kelainan pada bayi yang baru saja dilahirkan, setelah itu
pemeriksaan fisik dilanjutkan dengan pengamatan ikterus pada bayi.
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa
tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang. Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk
mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan. Tentukan keparahan ikterus
berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.
Selain itu dapat juga kita melakukan penilaian icterus berdasarkan penilaian Kramer.
Menurut Kramer, ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Untuk penilaian ikterus,
Kramer membagi tubuh bayi baru lahir dalam 5 bagian yang dimulai dari kepala dan leher, dada
sampai pusar, pusar bagian bawah sampai tumit, tumit-pergelangan kaki dan bahu pergelangan
tangan dan kaki serta tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan. Cara pemeriksaannya
ialah dengan menekan jari telunjuk di tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,
tulang dada, lutut dan lain-lain.
Selain temuan berupa warna kuning pada tubuh dan sklera bayi, dapat pula ditemukan
adanya hepatosplenomegali, petekie, dan microcephaly pada bayi-bayi dengan anemia hemolitik,
sepsis, dan infeksi kongenital. Temuan diagnosis yang tipikal pada bayi dengan ibu allo-
imunisasi ialah ikterik, kulit pucat dan hepatosplenomegali, hidrops fetal dapat ditemukan pada
kasus yang hebat. Ikterus yang terjadi umumnya baru bermanisfestasi segera setelah lahir atau di
dalam 24 jam pertama kehidupan bayi setelah dilahirkan dengan peningkatan cepat dari kadar
bilirubin tidak terkonjugasi. Kadang-kadang, hiperbilirubinemia yang terkonjugasi dapat
ditemukan dikarenakan disfungsi plasenta atau sistem hepatik pada bayi-bayi dengan kasus
hemolitik yang berat. Anemia yang terjadi sering oleh karena destruksi sel darah merah yang
diselimuti oleh antibodi oleh sistem retikuloendotelial dan pada beberapa janin, anemia terjadi
karena destruksi intravaskuler. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, bahwa pada kasus
berat dapat ditemukan hidrops fetal dan hidrops fetal ini merupakan hasil akhir dari kombinasi
beberapa mekanisme tubuh yang terjadi di dalam tubuh janin, yaitu oleh karena hipoksia janin,
anemia, gagal jantung kongestif, dan hipoproteinemia sekunder akibat disfungsi hepatik. Secara
klinis, ikterus yang signifikan terjadi pada 20% janin dengan inkompatibilitas ABO.
4,5

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang berguna terutama ialah dengan pemeriksaan darah.
Pengukuran status anemia akan lebih akurat menggunakan darah vena sentral atau arteri
dibandingkan dengan menggunakan darah kapiler. Pemeriksaan darah akan memberikan
gambaran sel darah merah yang ternukleasi, retikulositosis, polikromasia, anisositosis, sferosit,
dan fragmentasi sel. Hitung retikulosit dapat mencapai 40% pada pasien tanpa intervensi
intrauterine. Hitung sel darah merah yang ternukleasi meningkat disertai peningkatan palsu
leukosit, menunjukkan keadaan eritropoiesis. Sferosit lebih umum ditemukan pada kasus
inkompatibilitas ABO. Hitung retikulosit yang rendah dapat diamati pada bayi yang sudah
melakukan transfusi intravaskuler, disertai dengan konsentrasi hemoglobin normal, dan temuan
apus darah yang normal.
Pemeriksan Coombs, terutama yang direk berguna untuk mengetahui apakah terdapat
antibodi maternal pada sirkulasi darah korda fetus. Janin kemudian dievaluasi dengan uji
Coombs direk, karena antibodi anti-sel darah merah yang dihasilkan oleh ibu Rh-negatif
umumnya diserap oleh eritrosit janin D-positif. Neonatus juga dievaluasi dengan uji Coombs
direk. Antibodi ibu yang terdeteksi pada janin saat lahir, secara bertahap lenyap dalam periode 1
hingga 4 bulan. Jika ditemukan antibodi sel darah merah ibu, antibodi itu perlu diidentifikasi dan
ditentukan apakah IgG atau IgM. Hanya antibodi IgG yang menimbulkan kekhawatiran karena
antibodi IgM biasanya tidak melewati plasenta dan menyebabkan hemolisis. Titer antibodi
dikuantifikasi kemudian. Jika antibodinya ialah IgG dan diketahui menyebabkan anemia
hemolitik, dan jika titer di atas ambang kritis diindikasikan untuk evaluasi lebih lanjut. Untuk
antibodi titer-D, titer di bawah 1:16 biasanya tidak menyebabkan kematian janin pada penyakit
hemolitik, meskipun hal ini bervariasi antara lab. Titer yang sama atau lebih dari kritis ini
menandakan kemungkinan penyakit hemolitik yang parah.
Pemeriksaan Coombs ini dibagi menjadi 2 jenis, yaitu jenis direk dan indirek. Uji
Coombs indirek dan direk biasanya akan positif pada ibu dan bayi baru lahir yang terkena pada
inkompatibilitas Rh. Tidak seperti allo-imunisasi Rh, test antibodi direk akan positif hanya pada
20-40% bayi dengan inkompatibilitas ABO.
Karena pada kasus disebutkan bahwa anak tersebut datang dengan keluhan kuning, maka
sebaiknya kita juga melakukan pemeriksaan kadar bilirubin. Pemeriksaan bilirubin serum
merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan
perlunya intervensi lebih lanjut. Dalam uji laboratorium, bilirubin diperiksa sebagai bilirubin
total dan bilirubin direk. Sedangkan bilirubin indirek diperhitungkan dari selisih antara bilirubin
total dan bilirubin direk. Ikterik kerap nampak jika kadar bilirubin mencapai >5 mg/dl.
Kadar bilirubin (total) pada bayi baru lahir bisa mencapai 15 mg/dl, namun jika masih <15mg/dl
masih dikatakan ikterus fisiologis dan akan hilang dalam 14 hari, sedangkan jika kadarnya >15
mg/dl maka hal tersebut sudah masuk ke dalam ikterus patologik.
6
Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi : untuk mengetahui apakah terjadi
inkompatibilitas ABO, rhesus dan abnormalitas sel darah merah.
Diagnosis Kerja
Dari skenario tersebut dan dari semua pemeriksaan yang dilaksanakan maka
ditegakkanlah diagnose kerja yaitu penyakit hemolitik ec inkompabilitas ABO. Inkompatibilitas
ABO ialah penyebab tersering dari kasus hemolitik pada neonatus. Sekitar 15% dari bayi yang
lahir berisiko untuk mengalami hal ini, namun manifestasi nyata hanya terjadi pada sekitar 0,3-
2,2%. Inkompatibilitas pada kelompok golongan darah mayor di antara ibu dan fetus umumnya
akan berakhir pada kasus yang lebih ringan dibandingkan pada kasus inkompatibilitas Rh.
Antibodi maternal dapat dibentuk untuk melawan sel B apabila ibu bergolongan darah A atau
melawan sel A apabila ibu bergolongan darah B. Biasanya ibu bergolongan darah O dan bayi
yang dilahirkannya bergolongan darah A atau B. Walaupun inkompatibilitas ABO terjadi pada
20-25% kehamilan, kasus hemolitik baru dapat berkembang pada sekitar 10% bayi baru lahir
pada kehamilan tertentu, dan janin umumnya bergolongan darah A
1
yang lebih antigenik
dibandingkan dengan A
2
. Antigenisitas yang rendah dari faktor ABO pada fetus dan bayi yang
baru dilahirkan dapat menjadi sebab insidens yang rendah untuk kasus hemolitik yang berat.
Walaupun antibodi yang melawan faktor A dan faktor B terjadi tanpa imunisasi sebelumnya
(antibodi natural), umumnya antibodi ini ialah IgM yang tidak melewati plasenta. Namun,
antibodi IgG terhadap antigen A dapat terbentuk dan inilah yang melewati plasenta, jadi kasus
hemolitik akibat isoimun A-O dapat ditemukan pada anak pertama. Ibu yang sudah diimunisasi
melawan faktor A atau faktor B dari kehamilan sebelumnya yang tidak kompatibel, dapat
menghasilkan antibodi IgG. Inilah yang menjadi mediator primer dari kasus isoimun ABO.
Diagnosis presumptif didasarkan pada keberadaan inkompatibilitas ABO, baik lemah
hingga hasil tes Coombs positif yang moderat, sferosit pada sediaan apus sel darah, yang
mungkin saja mengindikasikan adanya sferositosis herediter. Hiperbilirubinemia dapat menjadi
satu-satunya abnormalitas pada pemeriksaan lab. Kadar hemoglobin umumnya normal, namun
dapat juga mencapai angka 10-12 g/dL. Retikulosit dapat meningkat hingga 10-15%, dengan
polikromasia meluas dan peningkatan dari sel darah merah yang mengalami nukleasi. Pada 10-
20% janin yang terkena, kadar bilirubin serum yang tidak terkonjugasi dapat mencapai 20 mg/dL
atau lebih kecuali fototerapi segera dimulai.
7

Inkompatibilitas ABO berbeda dengan inkompatibilitas Rh (antigen CDE) dikarenakan
oleh beberapa alasan: (1) penyakit ABO sering dijumpai pada bayi yang lahir pertama (2)
penyakitnya hampir selalu ringan daripada isoimunisasi Rh dan jarang menyebabkan anemia
yang bermakna (3) sebagian besar isoantibodi A dan B adalah immunoglobulin M, yang tidak
dapat menembus plasenta dan melisiskan eritrosit janin, oleh karena itu meski dapat
menyebabkan penyakit hemolitik pada neonatus, namun isoimunisasi ABO tidak menyebabkan
hidrops fetalis dan lebih merupakan penyakit pediatrik daripada obstetris (4) inkompatibilitas
ABO dapat mempengaruhi kehamilan mendatang, tetapi tidak seperti penyakit Rh CDE, jarang
menjadi semakin parah.
Tidak diperlukan deteksi antenatal, induksi persalinan dini, atau amniosentesis, karena
inkompatibilitas ABO tidak menyebabkan anemia janin yang parah. Akan tetapi, pada masa
neonatus diperlukan perawatan yang cermat karena dapat terjadi hiperbilirubinemia yang
membutuhkan terapi. Kriteria yang lazim digunakan untuk menegakkan hemolisis neonatus
akibat inkompatibilitas ABO adalah sebagai berikut: (1) ibu memiliki golongan darah O dengan
antibodi anti-A dan anti-B di dalam serumnya, sedangkan janin memiliki golongan darah A,B,
atau AB; (2) ikterus dengan awitan dalam 24 jam pertama; (3) terdapat anemia, retikulositosis,
dan eritroblastosis dengan derajat bervariasi; dan (4) kasus hemolisis yang lain telah disingkirkan
dengan teliti.
Manifestasi klinis: Sebagian besar kasus bersifat ringan, dengan ikterus menjadi
manifestas klinis satu-satunya. Bayi tidak terlalu terpengaruh di saat kelahiran, pucatnya kulit
juga tidak ada, dan hidrops fetalis sangatlah jarang terjadi. Hati dan limpa tidak mengalami
pembesaran yang berarti. Ikterus baru terjadi selama 24 jam pertama. Namun, kasus ini dapat
menjadi parah dan tanda-tanda dari kernicterus dapat terlihat, walaupun sangat jarang terjadi.
Diagnosis Banding
Hemolitik ec Inkompatibilitas Rh
Hemolisis biasanya terjadi bila ibu mempunyai Rhesus NEGATIF dan anak mempunyai
Rhesus POSITIF. Bila sel darah janin masuk ke peredaran darah ibu, maka ibu akan dirangsang
oleh antigen Rh sehingga membentuk antibodi terhadap Rh. Zat antibodi Rh ini dapat melalui
plasenta dan masuk ke peredaran darah janin dan selanjutnya mengakibatkan penghancuran
eritrosit janin (hemolisis). Hemolisis ini terjadi dalam kandungan dan akibatnya ialah
pembentukan sel darah merah dilakukan oleh tubuh bayi secara berlebihan, sehingga akan
didapatkan sel darah merah berinti yang banyak. Oleh karena keadaan ini disebut Eritroblastosis
Fetalis. Pengaruh kelainan ini biasanya tidak terlihat pada anak pertama, tetapi akan nyata pada
anak yang dilahirkan selanjutnya.
5

Bila ibu sebelum mengandung anak pertama pernah mendapat transfusi darah yang
inkompatibel atau ibu mengalami keguguran dengan janin yang mempunyai Rhesus POSITIF,
pengaruh kelainan inkompabilitas Rhesus ini akan terlihat pada bayi yang dilahirkan
kemudian.
2,3,6

Characteristics Rh ABO
Clinical aspects First born 5% 50%
Later pregnancies More severe No increased severity
Stillborn/hydrops Frequent Rare
Severe anemia Frequent Rare
Jaundice Moderate to severe, frequent Mild
Late anemia Frequent Rare
Laboratory findings Direct antibody test Positive Weakly positive
Indirect Coombs test Positive Usually positive
Spherocytosis Rare Frequent
Tabel 1. Perbandingan Antara Inkompatibilitas Rh dan ABO
6
Etiologi
Kasus hemolitik akibat inkompatibilitas ABO disebabkan oleh ketidakcocokan dari
golongan darah ibu dengan golongan darah janin, dimana umumnya ibu bergolongan darah O
dan janinnya bergolongan darah A, atau B, atau AB. Dikarenakan dalam kelompok golongan
darah ini, terdapat antibodi anti-A dan anti-B yang muncul secara natural, dan dapat melewati
sawar plasenta. Situasi ini dapat disebabkan oleh karena robekan pada membran plasenta yang
memisahkan darah maternal dengan darah fetal, sama halnya seperti pada previa plasenta,
abruptio placenta, trauma, dan amniosentesis.
7
Epidemiologi
Inkompatibilitas ABO merupakan penyebab tersering penyakit hemolitik pada neonatus.
Inkompatibilitas ABO paling sering terjadi pada kehamilan pertama dan terjadi pada kira-kira
12% kehamilan, dengan 3% neonatus mengalami gejala klinis. Kurang dari 1% kehamilan
berkaitan dengan hemolisis signifikan.
Patofisiologi
Hemolisis yang terkait oleh karena inkompatibilitas ABO secara eksklusif terjadi pada
ibu dengan golongan darah O, dengan fetus yang memiliki tipe golongan darah A atau B. Pada
ibu dengan golongan darah A atau B, terdapat antibodi alami yang terbentuk dengan jenis
antibodi kelas IgM dan tidak dapat melewati plasenta, dimana pada 1% ibu dengan golongan
darah O, memiliki titer antibodi IgG yang tinggi melawan baik A mauapun B. Antibodi ini akan
melewati plasenta dan menyebabkan hemolisis pada fetus.
5,7

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis untuk penyakit hemolitik yang ringan biasanya asimtomatik disertai
hepatomegaly ringan dan peningkatan bilirubin minimal. Jika sedang sampai parah akan
bermanifestasi sebagai tanda anemia berat. Hiperbilirubinemia dapat menyebabkan icterus.
Komplikasi
Komplikasi dari penyakit hemolitik adalah kernicterus yaitu keadaan dimana bilirubin
terbawa oleh darah sampai ke otak sehingga menyebabkan kerusakan otak baik sementara
maupun permanen. Selain itu jika terjadi anemia yang berat dapat menyebabkan gagal jantung.
Dapat juga menyebabkan hidrops fetalis dimana janin yang cacat keluar spontan kira-kira pada
usia kehamilan 17 minggu.
Penatalaksanaan
Tatalaksana dari hiperbilirubinemia adalah salah satu fokus utama pada bayi dengan
inkompatibilitas ABO. IVIG, dinyatakan sangat efektif ketika diberikan di awal terapi. Porfirin
Tin (Sn), sebuah inhibitor heme oksigenase yang poten, telah dinyatakan dapat menurunkan
produksi dari bilirubin dan mengurangi kebutuhan untuk melakukan transfusi tukar. Fokus utama
ditekankan pada manajemen dari hiperbilirubinemia.
6




Farmakologi:
1. Obat Pengikat Bilirubin
Pemberian oral arang aktif atau agar menurunkan secara bermakna kadar bilirubin rata-
rata selama 5 hari pertama setelah lahir pada bayi sehat, tetapi potensi terapeutik
nodalitas ini belum diteliti secara ekstensif.
2. Pem-blokade Perubahan Heme Menjadi Bilirubin
Modalitas terapi ini ialah dengan mencegah pembentukan bilirubin dengan cara
menghambat secara kompetitif heme oksigenase yang akan menghambat penguraian
hem. Dapat digunakan metaloporfirin sintetik seperti protoporfirin timah dan yang
terbukti dapat menghambat heme oksigenase, mengurangi kadar bilirubin serum dan
meningkatkan ekskresi heme yang tidak dimetabolisasi melalui empedu. Karena potensi
toksisitas dari modalitas terapi ini belum diketahui secara pasti, maka jenis obat ini belum
diterapkan secara klinis pada anak. Selain protoporfirin timah, tersedia juga protoporfirin
seng atau mesoporfirin
4,8

Non-farmakologi
1. Fototerapi
Fototerapi saat ini masih menjadi modalitas terapeutik yang umum dilakukan
pada bayi dengan ikterus dan merupakan terapi primer pada neonatus dengan
hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi.
Bilirubin yang bersifat fotolabil, akan mengalami beberapa fotoreaksi apabila
terpajan ke sinar dalam rentang cahaya tampak, terutama sinar biru (panjang gelombang
420 nm - 470 nm) dan hal ini akan menyebabkan fotoisomerasi bilirubin. Turunan
bilirubin yang dibentuk oleh sinar bersifat polar oleh karena itu akan larut dalam air dan
akan lebih mudah `diekskresikan melalui urine. Bilirubin dalam jumlah yang sangat kecil
juga akan dipecah oleh oksigen yang sangat reaktif secara irreversibel yang diaktifkan
oleh sinar. Produk foto-oksidasi ini juga akan ikut diekskresikan melalui urine dan
empedu. Fototerapi kurang efektif diterapkan pada bayi dengan penyakit hemolitik, tetapi
mungkin dapat berguna untuk mengurangi laju akumulasi pigmen setelah melakukan
transfusi tukar. Beberapa penelitian menemukan bahwa seperti yang telah dikatakan
sebelumnya, bahwa terapi sinar mengubah senyawaan tetrapirol yang sulit larut dalam air
menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air. Namun, teori tersebut belum
sepenuhnya benar dikarenakan adanya temuan bahwa penurunan kadar bilirubin darah
yang tidak sebanding dengan jumlah dipirol yang terjadi, di samping itu pada terapi sinar
juga ditemukan peninggian konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan empedu duodenum.
McDonagh dkk (1981) menemukan fakta bahwa secara in vitro maupun in vivo terjadi
isomerisasi bilirubin pada bayi dengan terapi sinar, fotobilirubin inilah yang
menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus sehingga
peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus.
Fototerapi terutama harus dilakukan sebelum bilirubin mencapai konsentrasi
kritis, penurunan konsentrasi mungkin belum tampak pada 12-24 jam, dan harus terus
dilanjutkan sampai konsentrasi bilirubin serum tetap di bawah 10 mg/dL. Walaupun telah
digunakan secara luas, terapi sinar masih belum dapat menggantikan transfusi tukar untuk
kasus hiperbilirubinemia yang memiliki risiko kernicterus. Oleh karena itu, bagian IKA
FKUI-RSCM, menyatakan beberapa kondisi terapi sinar dapat dilakukan, antara lain pada
(a) setiap saat apabila bilirubin indirek lebih dari 10 mg%, (b) pra-transfusi tukar, (c)
pasca-transfusi tukar, (d) terdapat ikterus di hari pertama yang disertai proses hemolisis.
Melihat beberapa keadaan itu, dapat disimpulkan bahwa terapi sinar terutama dilakukan
untuk mencegah hiperbilirubinemia agar tidak mencapai tingkat yang mengharuskannya
dilakukan transfusi tukar.
Efektivitas terapi sinar terutama dipengaruhi oleh seberapa luas bagian kulit bayi
yang terpapar oleh sinar dikarenakan proses isomerisasi terbanyak terjadi pada bagian
perifer yaitu di kulit atau kapiler jaringan subkutan, jumlah energi cahaya yang menyinari
kulit bayi, pengubahan posisi bayi secara berkala, jarak antara sumber cahaya dengan
bayi diatur agar bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (tidak boleh melebihi 50
cm dan kurang dari 10 cm). Energi cahaya yang optimal bisa didapatkan dari lampu neon
20 Watt yang ada di pasaran dengan panjang gelombang sinar antara 350-470 nm. Selain
penggunaan lampu neon, dibutuhkan pula pleksiglas untuk memblokade sinar ultraviolet,
dan filter biru untuk memperbesar energi cahaya yang sampai pada bayi. Beberapa hal
yang perlu diperhatikan selama berlangsung terapi sinar ini ialah:
a. Diusahakan agar tubuh bayi terpapar sinar seluas mungkin, bila perlu bukalah
pakaian bayi
b. Kedua mata dan gonad ditutup dengan penutup yang memantulkan cahaya
untuk melingungi sel-sel retina dan mencegah gangguan maturasi seksual
c. Bayi diletakkkan 8 inci di bawah sinar lampu, jarak ini ialah jarak terbaik
untuk mendapat energi cahaya yang optimal
d. Posisi bayi diubah setiap 18 jam agar seluruh badan terpapar sinar
e. Pengukuran suhu bayi setiap 4-6 jam/kali
f. Kadar bilirubin diukur setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya sekali dalam 24
jam
g. Perhatikan hidrasi bayi, bila perlu tingkatkan konsumsi cairan bayi
h. Lama terapi sinar dicatat
Bila terapi sinar tidak menunjukkan ada penurunan kadar bilirubin serum yang
berarti, dapat diduga kemungkinan lampu yang tidak efektif atau adanya komplikasi pada
bayi berupa dehidrasi, hipoksia, infeksi atau gangguan metabolisme yang harus
diperbaiki.
Beberapa efek samping yang dapat terjadi pada bayi dengan terapi sinar, antara
lain peningkatan insensible water loss pada bayi sehingga perlu diberikan pemberian
cairan yang lebih diperhatikan, frekuensi defekasi bayi meningkat akibat peningkatan
peristatltik usus, dapat terjadi diskolorasi gelap di kulit (bronze baby) akibat penimbunan
fotoderivatif bilirubin yang kecoklatan dalam darah, kerusakan retina yang dilaporkan
pada hewan percobaan bersamaan dengan meningkatnya risiko retinopati pada bayi oleh
karena itu perlindungan mata bayi sangatlah penting, hipokalsemia yang lebih umum
nampak pada bayi prematur, kenaikan suhu bayi yang berlebihan. Walau begitu, terapi
sinar masih dianggap sebagai terapi yang sangat aman dan tidak memiliki efek samping
serius yang berkelanjutan, efek samping akan hilang ketika terapi dihentikan segera.
4,8

2. Transfusi Tukar
Pada umumnya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:
a. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek < 20 mg%
b. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam
c. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
d. Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat <14 mg% dan uji Coombs direk
positif
Transfusi tukar dilakukan dengan indikasi untuk menghindari efek toksisitas
bilirubin ketika semua modalitas terapeutik telah gagal atau tidak mencukupi. Sebagai
tambahan, prosedur ini dilakukan dengan bayi yang memiliki indikasi eritroblastosis
dengan anemia hebat, hidrops, atau bahkan keduanya bahkan ketika tidak adanya kadar
bilirubin serum yang tinggi.
Transfusi tukar terutama direkomendasikan ketika terapi sinar tidak berhasil dan
ketika bayi mengalami ikterus akibat Rh isoimunisasi dan inkompatibilitas ABO
sehingga jenis ikterusnya dapat dikatakan sebagai ikterus hemolitik dan memiliki risiko
neurotoksisitas yang lebih tinggi dibanding ikterus non-hemolitik. Prosedur ini dilakukan
dengan mengurangi kadar bilirubin hingga hampir 50% dan juga menghilangkan sekitar
80% sel darah merah abnormal yang telah tersensitisasi serta melawan antibodi agar
proses hemolisis tidak terjadi. Prosedur ini bersifat invasif dan bukan prosedur yang
bebas risiko, karena prosedur ini memiliki risiko mortalitas sebesar 1-5%, dapat pula
berkomplikasi menjadi necrotizing enterocolitis (NEC), infeksi, gangguan elektrolit,
ataupun trombositopenia sehingga prosedur ini harus dilakukan secara hati-hati. Sebelum
dilakukan transfusi dapat diberikan albumin 1,0 g/kg untuk mempercepat keluarnya
bilirubin ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya akan lebih mudah
dikeluarkan dengan transfusi tukar, lalu kemudian diberikan IVIG 0,5-1 g/kg untuk kasus
hemolisis yang diperantarai oleh antibodi.
4,8

Tabel 2. Pedoman pengelolaan ikterus menurut waktu timbul dan kadar bilirubin
4


Prognosis
Secara keseluruhan, angka survival dapat mencapai 85-90%, namun dapat berkurang
sebanyak 15% pada janin dengan hidrops fetus. Kebanyakan janin yang bertahan hidup dari
gestasi allo-imunisasi, tetap memiliki keutuhan fungsi neurologis. Walau begitu, abnormalitas
neurologis telah dilaporkan berkaitan dengan derajat beratnya anemia dan asfiksia perinatal.
Risiko tuli sensori-neural juga dapat meningkat.
5

Pencegahan
Bentuk-bentuk pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari kemungkinan
hiperbilirubinemia pada bayi, antara lain:
1. Pengawasan antenatal yang baik.
2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa gestasi dan
kelahiran, seperti sulfafurazole, novobiosin, oksitosin, dan lain-lain.
3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonates
4. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir
5. Pemberian makanan dini
6. Pencegahan infeksi, bahkan jauh sebelum masa kehamilan.
8

Kesimpulan
Hipotesis diterima. Berdasarkan gejala klinis yang terdapat pada anak berupa kuning
yang dimulai sejak 10 jam kelahiran, disertai dengan keterangan bahwa anak dilahirkan dari
orang tua dengan golongan darah yang berbeda-beda, maka anak tersebut menderita kasus
hemolitik akibat inkompatibilitas ABO.







Daftar Pustaka
1. Subekti NB, alih bahasa. Buku saku patofisologi corwin. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2007.h.421-3.
2. Pendit BU, alih bahasa. Obstetri williams: panduan ringkas. Ed ke-21. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2004. 307-16.
3. Miall L, Rudolf M, Levene M. Paediatrics at a glance. Second edition. USA: Blackwell
Publishing, 2007.p.53
4. Hansen TWR. Neonatal jaundice. Medscape 2012 Jun 21. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/974786-overview#a0101
5. Wagle S. Hemolytic disease of newborn. Medscape 2013 May 2. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/974349-overview
6. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, et al. Nelson textbook of pediatrics.19
th
ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.p.619.
7. Madara B, Avery CT, Denino VP, et al. Obstetric and pediatric pathophysiology. Canada:
Jones and Bartlett Publishers; 2008.p.108-10.
8. Hassan R, Alatas H, penyunting. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Jakarta:
Indomedika;2007.h.1101-14.

You might also like