You are on page 1of 32

1

BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Analisis mengenai puisi kebanyakan dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh
mana kemampuan sebuah puisi dalam mempengaruhi masyarakat. Kemampuan
mempengaruhi sebuah puisi terjadi karena pengarang menyampaikan ide dan gagasan
melalui kata yang dipilih pengarang untuk menimbulkan perasaan marah, benci, senang,
gundah, cinta dan segala hal yang menimbulkan kedekatan emosional.
Bahasa puisi yang dibuat sebagai sarana estetika untuk memberikan tenaga
ekspresif serta emotif dalam mengungkapkan gambaran suasana batin seorang
pengarang.Maka untuk dapat mengungkapkan nuansa konkretisasi pengalamannya,
pengarang memunculkan kata-kata yang penuh dengan kiasan.Bahasa kiasan puisi dapat
menunjukkan sejauh mana interaksi pengarang dengan lingkungannya.
Kemampuan sebuah puisi dalam memberikan arti lain dari bahasa biasa, puisi
memiliki aturan sendiri. Bentuk aturan tersebut berupa anggapan bahwa bahasa puisi
merupakan sarana untuk menyatakan ekspresi secara tidak langsung, yaitu ekspresi
pengarang di dalam kata-kata untuk menunjuk arti lain.
Bahasa dalam puisi selain sebagai sarana ekspresi juga sebagai bentuk
pengungkapan maksud dan tujuan.Maksud dan tujuan dapat tercapai karena bahasa
puisi yang bersifat ekspresif itu dipahami sebagai bagian dari stilistika.Analisis stilistika
digunakan dengan tujuan untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi
estetis dan makna.Hubungannya dengan manipulasi kebahasaan yang diciptakan
pengarang sebagai suatu sarana komunikasi antara pengarang dengan pembaca
(Aminudin, 1995:2).
Sesuai dengan kajian penelitian ini yaitu melihat ekspresi tidak langsung dalam
tiga puisi karya A. Mustofa Bisri (Gus Mus) yakni, "Bila Kutitipkan, Di Arafah, dan
Sujudmaka pendekatan stilistika digunakan untuk memaknai sajak yang terdapat pada
puisi karya A. Mustofa Bisri (Gus Mus) yang bukan hanya berwujud arti bahasa.

b. Rumusan Masalah
c. Tujuan Masalah
d. Manfaat Penelitian
2











































3

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Puisi
Secara etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poites, yang
berarti pembangun, pembentuk, pembuat. Dalam bahasa Latin dari kata poeta, yang
artinya membangun, menyebabkan, menimbulkan, menyair.Dalam perkembangan
selanjutnya, makna kata tersebut menyempit menjadi hasil seni sastra yang kata-katanya
disusun menurut syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak dan kadang-kadang
kata kiasan (Sitomorang, 1980:10).
Bahasa puisi yang bersifat ekspresif mengatur, memadatkan, dan kadang-kadang
menyimpang dari kaidah bahasa yang ada. Dengan demikian, pembaca akan lebih
memperhatikan sekaligus menyadari bahwa hal itu merupakan usaha pengarang untuk
menciptakan suasana tertentu.

B. Pengertian Stilistika Stile dan Unsur Stile

Stile (style atau gaya bahasa) menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007: 276)
adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa atau bagaimana seorang pengarah
mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Stile ditandai oleh ciri-ciri formal
kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif,
penggunaan kohesi dan lain-lain.
Makna stile menurut Leech & Short (via Nurgiyantoro, 2007: 276-277), suatu
hal yang pada umumnya tidak lagi mengandung sifat kontroversial, menyaran pada
pengertian cara penggunaan bahasa dalam kontek tertentu, oleh pengarang tertentu,
untuk tujuan tertentu, dan sebagainya. Dengan demikian stile dapat bermacam-macam
sifatnya, tergantung konteks di mana dipergunakan, selera pengarang, namun juga
tergantung apa tujuan penuturan itu sendiri.
Stile pada hakikatnya merupakan teknik, teknik pemilihan ungkapan kebahasaan
yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Teknik itu sendiri dipihak
lain juga merupakan suatu bentuk pilihan dan pilihan itu dapat dilihat pada bentuk
ungkapan bahasa seperti yang dipergunakan dalam sebuah karya (Nurgiyantoro, 2007:
277). Stile atau wujud performansi kebahasaan, hadir kepada pembaca dalam sebuah
fiksi melalui proses penyeleksian dari berbagai bentuk linguistik yang berlaku dalam
4

system bahasa itu. Pengarang, dalam hal ini memiliki kebebasan yang luas untuk
mengekspresikan struktur maknanya ke dalam struktur lahir yang dianggap paling
efektif (Nurgiyantoro, 2007: 279).
Unsur stile (stylistics features) terdiri dari unsur fonologi, sintaksis, leksikal,
retorika (rhetorica, yang berupa karakteristik penggunaan bahasa figuratif, pencitraan,
dan sebagainya) (Nurgiyantoro, 2007: 289). Leech & Short dalam Nurgiyantoro (2007:
289) mengemukakan bahwa unsur stile (stylistic categories) terdiri dari unsur (kategori)
leksikal, gramatikal, figures of speech, konteks dan kohesi.


1. Fonologi
Bunyi dalam susunan sajak berkaitan erat dengan segi semantik.Kemiripan bunyi, baik
vokal maupun konsonan, menyarankan pada kesamaan makna.Bunyi-bunyi dalam sajak
juga mempunyai hubungan yang erat antara pengucapan dengan nilai
simboliknya.Bunyi vokal [a] yang diucapkan dengan bagian tengah lidah agak merata
dan mulut yang terbuka lebar dapat kesan sesuatu yang terbuka, lebar, dan lapang.
Bunyi vokal [i] yang diucapkan dengan kedua bibir agar terentang ke samping dengan
posisi tinggi di depan dapat memberi kesan sesuatu yang tinggi, kecil, mungil, sempit,
tajam, dan nyaring.
Bunyi vokal [u] yang diucapkan dengan kedua bibir agak maju ke depan dan sedikit
membundar dengan posisi lidah belakang yang tinggi dapat memberi kesan yang
murung, suram, sendu, dan haru. Bunyi vokal [e] yang diucapkan dengan daun lidah
dinaikkan dalam posisi yang lebih rendah dari [i] dan diiringi bentuk bibir yang netral,
tidak terentang dan tidak membundar, dapat memberi kesan sejuk, sedang, dan lemah
gemulai.Bunyi vokal [o] yang diucapkan dengan pangkal lidah dinaikkan dalam posisi
yang lebih rendah daripada vokal [u] memberi kesan sesuatu yang pokok dan kokoh
(Luxemburg via Santoso, 2009: 110).

2. Unsur leksikal
Unsur leksikal dalam stilistika fiksi ini mempunyai pengertian yang sama dengan kata. Kata
merupakan sesuatu yang mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja
dipilih oleh pengarang dalam karya yang diciptakan.Pemilihan kata-kata tersebut harus
melewati pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dimaksudkan untuk mendapatkan efek
5

estetis (keindahan).Ketepatan kata-kata tersebut dapat dipertimbangkan dari segi bentuk dan
makna atau isi.Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah kata tersebut mampu mendukung
efek estetis dari karya itu sendiri, mampu mengkomunikasikan makna, pesan, dan gagasan
pengarang.
Menurut Chapman (via Nurgiantoro, 2007: 290-292), pemilihan kata dapat melalui
pertimbangan-pertimbangan formal tertentu yaitu pertimbangan fonologis,
pertimbangan mode, pertimbangan masalah sintagmatik, pertimbangan masalah
paradigmatik, dan identifikasi jenis kata.Setelah identifikasi selesai dilakukan masing-
masing bentuk dan makna yang muncul dihitung untuk menentukan jumlah frekuensi
masing-masing.
Pertimbangan fonologis biasanya terdapat dalam karya sastra yang berwujud
puisi.Pertimbangan fonologis digunakan untuk kepentingan aliterasi, irama, dan efek
bunyi tertentu.Dalam karya fiksi, unsur fonologi juga dipertimbangkan walaupun tidak
seintensif karya sastra yang berbentuk puisi.Pertimbangan dari segi mode, bentuk, dan
makna dimaksudkan sebagai media memusatkan atau mengkonsentrasikan gagasan.
Masalah pemusatan gagasan sangat penting, karena hal inilah yang membedakan bahasa
sastra dengan bahasa nonsastra.Penggunaan kata dalam karya sastra dapat menggunakan
ragam bahasa kolokial (keseharian) selama mampu mewakili gagasan yang ditawarkan
oleh si pengarang.Pertimbangan sintagmatik mengacu pada hubungan antarkata secara
linier untuk membentuk sebuah kalimat.
Pertimbangan paradigmatik mengacu pada kata atau pilihan kata di antara sejumlah kata
yang memilki hubungan makna.Pengarang harus mampu memilih kata-kata yang
konotasinya paling tepat untuk mengungkapkan gagasan sehingga pengarang mampu
mencapai efek yang diinginkan.Identifikasi jenis kata sangat diperlukan dalam analisis
leksikal sebuah karya fiksi.
Menurut Nurgiyantoro (2010: 292), identifikasi juga dapat dilakukan berdasarkan jenis
kata. Identifikasi ini melibatkan disiplin ilmu morfologi.Kata-kata dalam wacana karya
sastra kemudian dapat dikaji berdasarkan kata benda, kata kerja, kata sifat, kata
bilangan, dan kata tugas.

3. Unsur Gramatikal
6

Unsur gramatikal pada kajian stilistika mengacu pada pengertian struktur kalimat.
Menurut Nurgiyantoro (2007: 292), bahwa dalam kegiatan komunikasi bahasa juga jika
dilihat dari kepentingan stile, kalimat lebih penting dan bermakna dari pada sekedar
kata meskipun gaya kalimat dalam banyak hal juga dipengaruhi oleh pilihan katanya
(kata). Sebuah gagasan atau amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang dapat
menggunakan berbagai kalimat yang berbeda-beda struktur dan kosa katanya. Jadi,
penyampaian isi yang sama dapat diungkapkan dengan bentuk yang berbeda-beda.
Setiap pengarang mempunyai kebebasan penuh dalam mengkreasikan bahasa.Oleh
karena itu, unsur deviasi atau penyimpangan dalam bahasa sastra menjadi suatu hal
yang wajar.Seperti yang diungkapkan oleh Chapman (via Nurgiyantoro, 2007: 293),
secara teoretis jumlah kata yang berhubungan secara sintagmatik dalam sebuah kalimat
tak terbatas, dapat berapa saja sehingga mungkin panjang sekali.Secara formal tak ada
batas berapa jumlah kata yang seharusnya dalam sebuah kalimat.
Penyimpangan struktur kalimat dalam karya sastra dapat berupa pembalikan,
pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu, dan lain-lain.Penyimpangan
struktur kalimat dimaksudkan untuk memperoleh kesan estetis dan sebagai sarana utnuk
menekankan pesan tertentu. Menurut Nurgiyantoro (2007: 293), hal seperti di atas
dikenal sebagai pengendapan atau foregrounding yang dianggap oleh sebagian orang
sebagai salah satu bahasa sastra.

4. Sarana Retorika
Nurgiyantoro (2007: 295) menyatakan bahwa retorika adalah suatu cara penggunaan
bahasa untuk memperoleh efek estetis. Pengungkapan bahasa dalam sastra
mencerminkan sikap dan perasaan pengarang, tetapi sekaligus dimaksudkan untuk
memengaruhi sikap dan perasaan pembaca yang tercermin dalam nada. Retorika
berkaitan dengan pendayagunaan semua unsur bahasa, baik yang menyangkut masalah
pilihan kata dan ungkapan, struktur kalimat, segmentasi, penyusunan dan penggunaan
bahasa kias, pemanfaatan berntuk citraan, dan sebagainya yang semuanya disesuaikan
dengan situasi dan tujuan penuturan.
Menurut Abrams (via Nurgiyantoro (2007: 296), unsur retorika meliputi penggunaan
bahasa figuratif (figurative language) dan wujud pencitraaan (imagery). bahasa figuratif
(figurative language) dapat dibedakan ke dalam (1) figures of thought atau tropes,
7

dan(2) figures of speech, rhetorical figures, atau schemes. Yang pertama menyaran pada
penggunaan unsur kebahasaan yang menyimpang dari makna yang harfiah dan lebih
menyaran pada makna literal (literal meaning), sedang yang kedua lebih menunjuk pada
masalah pengurutan kata, masalah permainan struktur. Jadi, yang pertama
mempersoalkan pengungkapan dengan cara kias (pemajasan), sedang yang kedua
mempersoalkan cara penstrukturan (penyiasatan struktur).


1) Pemajasan
Pemajasan merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang
maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya,
melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat. Jadi, ia merupakan gaya
yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias (
Nurgiyantoro, 2007: 297).
Pengungkapan gagasan dalam dunia sastra banyak mendayagunakan pemakaian bentuk-
bentuk bahasa kias itu. Pemakaiannya di samping untuk membangkitkan suasana dan
kesan tertentu, tanggapan indera tertentu, juga dimaksudkan untuk memperindah
penuturan itu sendiri. Jadi, ia menunjang tujuan-tujuan estetis penulisan karya itu
sebagai karya seni khususnya karya sastra (Nurgiyantoro, 2007: 297).
Keraf (via Nurgiyantoro, 2007: 298) membagi gaya bahasa menjadi dua bagian yaitu
gaya langsung atau gaya retoris (rhetorical figures) dan bahasa kiasan (tropes). Untuk
mendapatkan efek estetis yang diharapkan gaya retoris dan bahasa kiasan tersebut harus
tepat dalam penggunaannya, gaya bahasa tersebut harus mampu mengarahkan
interpretasi pembaca yang kaya dengan asosiasi-asosiasi, di samping juga dapat
mendukung terciptanya suasana dan nada tertentu.

a) Gaya Bahasa Retoris
Gaya bahasa retoris merupakna gaya bahasa yang mengacu pada makna yang diartikan
menurut nilai lahirnya. Oleh karena itu, tidak akan menemui kesulitan dalam pemakaian
selama katanya tepat. Berikut ini merupakan bentuk-bentuk dari bahasa retoris.
8

Aliterasi
Aliterasi merupakan gaya bahasa yang memakai kata-kata yang dimulai dengan
konsonan yang sama. Biasanya digunakan dalam karya sastra berbentuk puisi.
Anastrof
Anastrof merupakan inversi atau pembalikan susunan kata-kata dalam sebuah kalimat,
berbeda dari susunan biasa.
Apostrof
Apostrof merupakan gaya bahasa yang berbentuk sebuah amanat yang disampaikan
kepada sesuatu yang tidak hadir. Makna apostrof adalah berpaling atau berputar.
Sesuatu yang tidak hadir dimaksudkan kepada mereka yang sudah meninggal, atau
kepada barang atau obyek khayalan atau abstrak.
Inuendo
Inuendo merupakan sindiran dengan mengecilkan kenyatan yang sebenarnya. Inuendo
menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung dan sering tampak tidak
menyakitkan hati pada mulanya.
Perifrasis
Perifrasis merupakan gaya atau acuan untuk menyatakan maksud secara tidak langsung
atau dapat dikatakan suatu cara yang abstrak untuk mengungkapkan suatu maksud.
Pleonasme atau tautology
Pleonasme atau tautalogi merupakan acuan yang mempergunakan kata-kata lebih
banyak daripada yang diperlukan.
Prolepsis
Prolepsis atau antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang mempergunakan
lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan yang
sebelumnya terjadi.
Pertanyaan retoris
Pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pembicaraan
atau penulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang baik dan penekanan yang
wajar, dan tidak menghendaki suatu jawaban.
Silepsis dan Zeugma
Silepsis atau zeugna adalah gaya di mana orang mempergunakan sepatah kata dalam
hubungannya dengan dua kata atau lebih yang disangka sama tapi sebenarnya tidak.
9

Apofais
Apofais merupakan gaya bahasa di mana pengarang menegaskan sesuatu tapi tampak
menyangkalnya.
Asindeton
Asindenton merupakan gaya bahasa yang bersifat padat dan mampat di mana beberapa
kata yang sederajat berurutan, atau klausa-klausa yang sederajat, tidak dihubungkan
dengan kata sambung.
Kiasmus (Chiasmus)
Kiasmus adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang mengandung dua bagian, baik
frasa atau klausa, yang sifatnya berimbang yang dipertentangan satu sama lain, tetapi
susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa, klausa, atau
lainnya.
Elipsis
Elipsis merupakan gaya bahasa dengan menghilangkan satu kata atau lebih yang dengan
mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga
struktur gramatikalnya memenuhi pola yang berlaku.
Eufemismus
Eufemismus merupakan acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung
perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk mengantikan acuan-acuan
yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan, atau mensugestikan sesuatu
yang tidak menyenangkan.
Histeron Portenon
Histeron portenon merupakan gaya bahasa kebalikan dari sesuatu yang logis atau
kebalikan dari urutan yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terakhir pada
awal.
Ironi
Ironi atau sindiran merupakan semacam acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan
makna atau maksud yang berlainan daripada yang terkandung dalam rangkaian kata-
katanya itu.
Litotes
Litotes merupakan gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan
merendahkan diri.
10

b) Gaya Bahasa Kiasan
Gaya bahasa kiasan adalah gaya bahasa yang dilihat dari segi makna dan tidak dapat
ditafsirkan sesuai dengan kata-kata yang membentuknya.
Persamaan atau simile
Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Perbandingan yang
bersifat eksplisit ini dimaksudkan bahwa ia langsung menyatakan sesuatu yang sama
dengan hal yang lain dan menggunakan kata-kata seperti, sama, sebagai, bagaikan,
laksana, dsb.
Personifikasi
Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda
mati atau barang-barang yang tak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat
kemanusiaan.
Alusi
Alusi adalah semacam acuan yang berusaha untuk mensugestikan kesamaan antara
orang, tempat, atau, peristiwa.
Metonimia
Metonimia merupakan gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk
menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat erat.
Metafora
Metafora adalah perbandingan yang tanpa menggunakan kata-kata: bagaikan, seperti,
laksana, dsb. Jadi, pokok yang pertama langsung dihubungkan dengan pokok yang
kedua.
Sinekdoke
Sinekdoke merupakan bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal
untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk
menyatakan sebagian (totum pro parte)
Eponim
Eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering
dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat
itu
11

Epilet
Epilet adalah acuan yang berwujud sebuah frasa deskriptif yang menjelaskan atau
menggantikan nama seseorang atau suatu barang.
Pun atau paronomasia
Pun atau paranomasia adalah permainan kata-kata yang didasarkan pada kemiripan
bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya
Hiperbola
Hiperbol merupakan gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan
dengan membesar-besarkan segala sesuatu.
Paradoks
Paradoks merupakan gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan
fakta-fakta yang ada.
Oksimoron
Oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha menggabungkan kata-kata untuk
mencapai objek yang bertentangan.
Hipalse
Hipalse merupakan semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu digunakan
untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata lain.
2) Penyiasatan Struktur
Menurut Nurgiyantoro (2007: 300-303) Pencapaian efek estetis yang diharapkan
dipengaruhi oleh bangunan struktur kalimat secara keseluruhan bukan semata-mata oleh
gaya bahasa tertentu. Namun dari keseluruhan unsur tertentu ada struktur yang
menonjol yang mampu menghadirkan kesan yang berbeda. Dalam sebuah karya fiksi,
pendayagunaan struktur kalimat pun menghasilkan suatu bentuk stile yang lain. Pertama
menekankan pengungkapkan melalui penyiasatan makna dan yang kedua melalui
penyiasatan struktur.Dalam pencapaian efek retoris, peranan penyiasatan struktur
(rhetorical figures/figure of speech) lebih menonjol dari pemajasan. Namun keduanya
bisa digabungkan untuk memperoleh suatu yang lebih segar. Dengan demikian, sebuah
kalimat penuturan dapat saja mengandung gaya pemajasan dan gaya penyiasatan
struktur.
Ada banyak hal yang biasa digunakan dalam penyiasatan struktur diantaranya repetisi,
paralelisme, anafora, polisindenton, asindenton, antitesis, aliterasi, klimaks, antiklimaks,
12

dan pertanyaan retoris. Repetisi dan anafora adalah dua bentuk gaya pengulangan
dengan menampilkan pengulangan kata atau kelompok kata yang sama. Kata atau
kelompok kata yang diulang bisa terdapat dalam satu kalimat atau lebih dan berada pada
posisi awal, tengah, ataupun akhir.Sementara itu, anafora menampilkan pengulangan
kata pada awal beberapa kalimat yang berurutan.
Di pihak lain, paralelisme mengacu pada penggunaan bagian-bagian kalimat yang
mempunyai kesamaan struktur gramatikal (dan menduduki fungsi yang sama pula)
secara berurutan. Bentuk-bentuk gramatikal yang paralel dapat berupa struktur kata,
frasa, kalimat, ataupun alinea. Di samping paralelisme, ada gaya lain yang
menggunakan unsur paralelisme dan dimaksudkan untuk menyampaikan gagasan yang
bertentangan. Bentuk gaya bahasa tersebut disebut antitesis. Bentuk gaya pengulangan
yang lain adalah polisendenton dan asindenton.
Polisindenton berupa penggunaan kata tugas tertentu, misalnya kata dan, sedangkan
asidenton yaitu pengulangan yang menggunakan pungtuasi yang berupa tanda
koma.Selain itu ada penggunaan aliterasi, aliterasi adalah penggunaan kata-kata yang
sengaja dipilih karena memiliki kesamaan fonem konsonan, baik yang berada di awal
maupun di tengah kata.
3) Pencitraan
Dunia kesusastraan dikenal istilah citra (image) dan pencitraan (imagery) yang
keduanya mengacu pada reproduksi mental. Citra adalah gambaran pengalamanindra
yang diungkapkan lewat kata-kata, gambaran berbagai pengalaman sensoris yang
diangkat oleh kata-kata. Sementara itu, pencitraan merupakan kumpulan citra, the
collection of image, yang dipergunakan untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan
indra yang dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi secara harfiah
maupun secara kias (Abrams via Nurgiyantoro, 2007 : 304).
Pencitraan terdiri dari lima bentuk yaitu citraan penglihatan (visual), pendengaran
(auditoris), gerakan (kinestetik), rabaan (taktik termal), dan penciuman (olfaktori).Akan
tetapi, kelima pencitraan tersebut berbeda intensitas pemanfaatannya dalam karya
sastra.Bentuk pencitraan dalam karya sastra tidak mutlak secara harfiah.Akan tetapi
bentuk pencitraan yang muncul dalam karya sastra dapat juga bersifat kiasan, misalnya
yang berupa perbandingan-perbandingan. Dengan demikain, bentuk atau gaya
13

pencitraan dapat muncul sekaligus lewat kalimat dengan gaya pemajasan, dan keduanya
pun dapat bergabung dalam satu kalimat dengan gaya penyiasatan struktur.















BAB III
HASIL KAJIAN STILISTIKA PUISI BILA KUTITIPKAN, DI ARAFAH,
DAN STASIUN
KARYA A. MUSTOFA BISRI (GUS MUS)


HASIL KAJIAN

1. Unsur Fonologi
Pengkajian puisi A. Mustofa Bisri mengenai unsur fonologi
akandideskripsikan satu persatu yang pertama puisi Bila Kutitipkan, yang
kedua, Di Arafah, dan yang ketiga, Stasiun.
Puisi Bila Kutitipkan dari unsur fonologi dilihat dari pemilihan unsur
leksikalnya dapat dikategorikan menjadi 3 jenis yakni (1) Asonansi, (2)
Aliterasi, dan (3) penggabungan antara asonansi dan aliterasi. Permainan bunyi
yang pertama adalah asonansi, dalam puisi ini terdapat 5 jenis bunyi yang
berasonansi yakni bunyi-bunyi vokal [a], [i], [u],[e],dan [o]. Frekuensi bunyi
vokal [a] sebanyak 67kali, frekuensi bunyi vokal [i] sebanyak 44kali, frekuensi
bunyi vokal [u] sebanyak 31 kali, frekuensi bunyi vokal [e] sebanyak 20 kali,
dan frekuensi bunyi vokal [o] sebanyak 2 kali. Frekuensi tertinggi pada
14

permainan bunyi berjenis asonansi terjadi pada bunyi vokal [a] yakni 51 kali
sedangkan frekuensi terendah terjadi pada bunyi vokal [o] yang hanya muncul
sebanyak 2 kali.
Jenis permaianan bunyi yang kedua adalah aliterasi, dalam puisi ini terdapat
12 bunyi konsonan yakni,[b], [d], [g], [h], [k], [l], [m], [n], [p], [], [t], dan [s].
Frekuensi pemunculan yang sama oleh konsonan [d] dan [k] sebanyak 25 kali,
konsonan [s] dan [] sebanyak 15, dan konsonan [l] dan [p] sebanyak 22 kali.
Konsonan [h]dan [b] adalah frekuensi pemunculan dengan tingkat rendah yakni
7 kali. Berikut asonansi dan aliterasi dalam penggalan puisi Bila Kutitipkan
karya A. Mustofa Bisri (Gus Mus).
Bila kutitipkan dukakupadalangit
Pastilahlangitmemanggilmendung
Bila kutitipkan resahkupadaangin
Pastilahangin menyerubadai


Pada penggalan puisi di atas dapat dilihat deretan pengulangan bunyi
vokal dan bunyi konsonan.Dari larik satu dengan larik lainnya asonansi dan
aliterasi diulang-ulang sehingga menimbulkan efek keindahan dan
keharmonisan tiap fona yang diulang-ulang.A. Mustofa Bisri sangat pandai
dalam meracik fona-fona sehingga muncul efek estetis dalam wujud asonansi
dan aliterasi.Efek estetis ini dapat memanjakan para pembaca dan tidak
membuat bosan pembaca.
Jenis permainan bunyi selanjutnya adalah penggabungan antara asonansi dan
aliterasi.Terdapat 40 penggabungan antara asonansi dan aliterasi.Frekuensi
pemunculan penggabungan antara asonansi dan aliterasi yakni [ku] sebanyak 21
kali.Berikut penggabungan antara asonansi dan aliterasi dalam penggalan puisi
Bila Kutitipkan karya A. Mustofa Bisri (Gus Mus).
Kusimpansendiribadairesahku
Dalam angin desahku
Kusimpansendirigelombanggeramku
15

Dalamlautpahamku
Kusimpansendiriapidendamkudalamgunung resamku
Kusimpansendiri
Seperti halnya asonansi dan aliterasi, penggabungan kedua pun memberikan
efek estetis pada tiap larik puisi yang ditulis oleh A. Mustofa Bisri.
Puisi yang kedua yakni Di Arafah.Pada puisi terdapat permainan bunyi
asonansi sebanyak 5 jenis bunyi yang berasonansi yakni bunyi-bunyi vokal [a],
[i], [u],[e],dan [o].Frekuensi bunyi vokal [a] sebanyak 142kali, frekuensi bunyi
vokal [i] sebanyak 55kali, frekuensi bunyi vokal [u] sebanyak 43 kali, frekuensi
bunyi vokal [e] sebanyak 45 kali, dan frekuensi bunyi vokal [o] sebanyak 3
kali. Frekuensi tertinggi pada permainan bunyi berjenis asonansi terjadi pada
bunyi vokal [a] yakni 142kali sedangkan frekuensi terendah terjadi pada bunyi
vokal [o] yang hanya muncul sebanyak 3 kali.
Jenis permaianan bunyi yang kedua adalah aliterasi, dalam puisi ini terdapat
13 bunyi konsonan yakni,[b], [d], [ny], [r],,[h], [k], [l], [m], [n], [p], [], [t], dan
[s]. Frekuensi pemunculan paling tinggi bunyi konsonan [ny] yakni sebanyak 78
kali. Frekuensi pemunculan yang sama oleh konsonan[d], [p] dan [l] sebanyak
17 kali, Konsonan [h] adalah frekuensi pemunculan dengan tingkat rendah yakni
14 kali. Berikut adalah penggalan asonansi dan aliterasi.
ratusanribuhatiputih
menggetarkanbibir,
melepas dzikir,
menjagamu
dari jutaanmilyarmalaikat
menyiramkanberkat.
(A. Mustofa Bisri, Di Arafah )
Pada penggalan puisi di atas dapat dilihat deretan pengulangan bunyi vokal
dan bunyi konsonan.Dari larik satu dengan larik lainnya asonansi dan aliterasi
diulang-ulang sehingga menimbulkan efek keindahan dan keharmonisan tiap
fona yang diulang-ulang.A. Mustofa Bisri sangat pandai dalam meracik fona-
fona sehingga muncul efek estetis dalam wujud asonansi dan aliterasi.Efek
estetis ini dapat memanjakan para pembaca dan tidak membuat bosan pembaca.
16

Jenis permainan bunyi selanjutnya adalah penggabungan antara asonansi dan
aliterasi.Terdapat penggabungan antara asonansi dan aliterasi yakni bunyi [me],
frekuensi kemunculannya sebanyak 7 kali.
Setan mengira dapat mengendarai
matahari,
mengusik khusukku apa tak melihat
ratusan ribu hati putih
menggetarkan bibir,
melepas dzikir,
menjagamu
dari jutaan milyar malaikat
menyiramkan berkat.
Seperti halnya asonansi dan aliterasi, penggabungan kedua pun memberikan
efek estetis pada tiap larik-larik puisi yang ditulis oleh A. Mustofa Bisri.
Puisi yang ketiga yakni Stasiun.Pada puisi ini terdapat permainan bunyi
asonansi sebanyak 4 jenis bunyi yang berasonansi yakni bunyi-bunyi vokal [a],
[i], [u],dan [e].Frekuensi bunyi vokal [a] sebanyak 54kali, frekuensi bunyi vokal
[i] sebanyak 22kali, frekuensi bunyi vokal [u] sebanyak 31 kali,dan frekuensi
bunyi vokal [e] sebanyak 38 kali. Frekuensi tertinggi pada permainan bunyi
berjenis asonansi terjadi pada bunyi vokal [a] yakni 54kali sedangkan frekuensi
terendah terjadi pada bunyi vokal [i] yang hanya muncul sebanyak 22 kali.
Jenis permaianan bunyi yang kedua adalah aliterasi, dalam puisi ini terdapat
13 bunyi konsonan yakni,[b], [d], [g], [r],,[h], [k], [l], [m], [n], [p], [], [t], dan
[s]. Frekuensi pemunculan paling tinggi bunyi konsonan [n] yakni sebanyak 18
kali.Frekuensi pemunculan yang sama oleh konsonan [g], [p] dan [h] sebanyak 9
kali, Konsonan [] adalah frekuensi pemunculan dengan tingkat rendah yakni 5
kali. Berikut asonansi dan aliterasi dalam penggalan puisi Stasiun karya A.
Mustofa Bisri.
keretarindukudatangmenderu
gemuruhnyameningkahigelisahdalamkalbu
membuatkumerasaterburu-buru
taklamalagibertemu, taklamalagibertemu
17

Pada penggalan puisi di atas dapat dilihat deretan pengulangan bunyi vokal
dan bunyi konsonan.Dari larik satu dengan larik lainnya asonansi dan aliterasi
diulang-ulang sehingga menimbulkan efek keindahan dan keharmonisan tiap
fona yang diulang-ulang.A. Mustofa Bisri sangat pandai dalam meracik fona-
fona sehingga muncul efek estetis dalam wujud asonansi dan aliterasi.Efek
estetis ini dapat memanjakan para pembaca dan tidak membuat bosan pembaca.
Jenis permainan bunyi selanjutnya adalah penggabungan antara asonansi dan
aliterasi. Terdapat3 penggabungan antara asonansi dan aliterasi yakni bunyi [ru],
[mu], dan [ku]. Contoh penggabungan antara asonansi dan aliterasi
kereta rinduku datang menderu
gemuruhnya meningkahi gelisah dalam kalbu
membuatku semakin merasa terburu-buru
tak lama lagi bertemu, tak lama lagi bertemu
sudah kubersih-bersihkan diriku
sudah kupatut-patutkan penampilanku
tetap saja dada digalau rindu
sabarlah rindu, tak lama lagi bertemu
(A. Mustofa Bisri Stasiun)
Seperti halnya asonansi dan aliterasi, penggabungan kedua pun memberikan
efek estetis pada tiap larik puisi yang ditulis oleh A. Mustofa Bisri.



2. Unsur Leksikal
a. Jenis kata
Pada puisi Bila Kutitipkan terdapat 48 kata yang sengaja dipilih
pengarang berdasarkan tujuan estetika tertentu. Tujuan estetika tersebut
antara lain, untuk memanfaatkan kata yang maknanya dapat terkesan pada
pembaca. Jenis kata yang terdapat dalam puisi ini adalah kata benda yang
berjumlah 17 kata, kata kerja berjumlah 13 kata, kata sifat berjumlah 9 kata,
dan kata tugas berjumlah 9 kata.Pilihan kata-kata tersebut dapat
menimbulkan efek estetis dan member kesan makna yang mendalam.
18

Pada puisi kedua Di Arafah terdapat 82 kata yang sengaja dipilih
pengarang berdasarkan tujuan estetika tertentu. Tujuan estetika tersebut
antara lain, untuk memanfaatkan kata yang maknanya dapat terkesan pada
pembaca. Jenis kata yang terdapat dalam puisi ini adalah kata benda yang
berjumlah 34 kata, kata kerja berjumlah 24 kata, kata sifat berjumlah 4 kata,
kata tugas berjumlah 12 kata, kata bilangan 6 kata, kata tanya berjumlah 1
kata, dan kata tunjuk berjumlah 1 kata. Pilihan kata-kata tersebut dapat
menimbulkan efek estetis dan member kesan makna yang mendalam.
Pada puisi ketiga Stasiun terdapat 28 kata yang sengaja dipilih
pengarang berdasarkan tujuan estetika tertentu. Tujuan estetika tersebut
antara lain, untuk memanfaatkan kata yang maknanya dapat terkesan pada
pembaca. Jenis kata yang terdapat dalam puisi ini adalah kata benda yang
berjumlah 7 kata, kata kerja berjumlah 13 kata, kata sifat berjumlah 5 kata,
dan kata tugas berjumlah 3 kata.. Pilihan kata-kata tersebut dapat
menimbulkan efek estetis dan member kesan makna yang mendalam.

b. Penggunaan kata berdasarkan tujuan
Berikut pemaparan kata dalam puisi Bila Kutitipkan yang
digunakan oleh pengarang berdasarkan tujuan estetis.
No. Kata Makna/maksud
dalam puisi

Tujuan Hubungan
Paradigmatik
Penggalan dalam
puisi
1. duka sedih dan lara Penulis menggunkan kata
tersebut untuk
mempertegas makna
sedih atau lara sehingga
memberikan makna yang
mendalam.

Sedih dan lara /Bila kutitipkan duk
aku pada langit/
2. Mendu
ng
awan Penulis menggunkan kata
tersebut untuk
mempertegas makna
sehingga menimbulkan
makna yang mendalam.

Awan /Pastilah langit
memanggil
mendung/
3. Resah Perasaan yang
tidak tentu

Penulis menggunakan
kata tersebut untuk
mempertegas makna
gelisah,
gundah, galau,
bimbang
/Bila kutitipkan resa
hku pada angin/
19

sehingga menimbulkan
makna yang mendalam.

4. Menye
ru
menarik
perhatian
dengan suara
nyaring
Penulis ingin
menunjukkan adanya
ironi, maksudnya kata
menyeru yang
bermakna menarik
perhatian dengan suara
nyaring disandingkan
dengan badai yang
bermakna bencana.

memanggil /Pastilahangin
menyeru badai/
5. Geram marah sekali,
kemarahan
Penulis ingin
menunjukkan kemarahan
dengan menggunkan kata
geram. geram lebih
bermakna mendalam
dibanding marah.

Marah sekali,
kemarahan
/Bila kutitipkan gera
mku pada laut/
6. Mengg
iring
menghalau,
menghantarkan
Kata menggiring
dipilih penulis untuk
mempertegas makna.
menghalau,
menghantarkan
/Pastilah laut
menggiring
gelombang/
7. Denda
m
Keinginan keras
untuk membalas
Penulis ingin
menunjukan perasaan
dendamnya

mendendam /Bila kutitipkan dend
amku pada gunung/
8. Melua
p
Menjadi banyak Kata meluap dipilih
penulis untuk
mempertegas makna.

Meluap /Pastilah gunung
meluapkan api.
Tapi/
9. Desah membuang
napas kuat-kuat
untuk
menghilangkan
kesal hati

Tujuan kata desah
menunjukkan makna
membuang napas kuat-
kuat untuk
menghilangkan kesal
hati.

Mendesah,
berdesah
/Dalam angin
desahku/

10. Paham Mengerti benar Pemakaian kata tersebut
bertujuan untuk
menjelaskan pemahaman
penulis.

Pengertian,
pengetahuan,
landasan
/Dalam laut
pahamku/
Berikut pemaparan kata dalam puisi Di Arafah yang digunakan
oleh pengarang berdasarkan tujuan estetis.
No. Diksi Makna/maksud Tujuan Hubungan Penggalan dalam puisi
20

dalam puisi Paradigmatik
1. Seenaknya Sesuka hati Penggunaan diksi
seenaknya
menunjukkan kebebasan
si aku.
Sesuka hati / seenaknya dalam
pelukan bukit-bukit /
2. Isyarat Segala sesuatu
yang dipakai
untuk tanda
Penggunaan diksi
isyarat digunakan
untuk menunjukkan
suatu tanda-tanda
Tanda-tanda /isyarat bertanya-tanya/
3. Setan Yang selalu
menggoda
manusia untuk
berlaku jahat
Penggunaan diksi
setan tepat untuk
membungkus makna
yang selalu menggoda
manusia untuk berlaku
jahat.
Roh jahat / Setan mengira dapat
mengendarai/
4. Mengendarai Mengemudikan
kendaraan
Penggunaan diksi
mengendarai lebih
apik untuk melengkapi
larik puisi daripada
mengemudi atau pun
menunggang.
Mengemudi,
menunggang
/ Setan mengira dapat
mengendarai/
/matahari/
5. Mengusik Mengganggu Penggunaan diksi
mengusik lebih puitis
sehingga timbul efek
estetis.
Mengangggu,
menggodai
/ mengusik khusukku apa
tak melihat/
6. melihat Menggunakan
mata untuk
memandang
Penggunaan diksi
melihat lebih umum
dan tepat untuk larik
puisi tersebut.
Memandang,
menonton
/ seperti melihat arak-
arakan/
7. arak-arakan iring-iringan
orang dsb yang
berarak
Penggunaan diksi arak-
arakkan lebih terkesan
dalam larik puisi
tersebut.
Pawai /seperti melihat arak-
arakan/
8. Riang Suka hati Penggunaan diksi
riang lebih simpel
untuk menggambarkan
suasana yang bersuka
hati.
Suka hati,
girang sekali
/ karnaval menari-nari
dengan riangnya/
9. tumpukan barang yang
ditumpuk
Penggunaan diksi
tumpukan untuk stu
diantara jutaan
tumpukan, sesuatu yang
bertumpuk-tumpuk.

Timbunan,
onggokan
/satu diantara jutaan
tumpukan/
10. Menindih menaruh sesuatu
yg berat di atas
Penggunaan diksi
menindih
menunjukkan pekerjaan
yang berat.
Tekan, himpit /dosa yang mencoba
menindih/
21

11. Pulas Tertidur
nyenyak
Penggunaan diksi
pulas menunjukkan
keadaan si anak yng
tertidur nyenyak dalam
pangkuan si aku.


Nyeyak / tertidur dipangkuanku
pulas sekali/
Berikut pemaparan kata dalam puisi Stasiun yang digunakan
oleh pengarang berdasarkan tujuan estetis.
No. Diksi Makna/maksud
dalam puisi

Tujuan Hubungan
Paradigmatik
Penggalan dalam puisi
1. rindu sangat ingin dan
berharap benar
terhadap sesuatu
Penulis ingin
mengungkapkan
kerinduannya
rindu, kangen /kereta rinduku datang
menderu/

2. datang tiba di tempat
yangg dituju
Tempat tujuan si penulis datang, hadir /kereta rinduku datang
menderu/

3. menderu berbunyi keras
gemuruh
Penulis ingin
mengabarkan bahwa
kereta rindunya sudah
datang dengan adanya
suara yang menderu
gemuruh /kereta rinduku datang
menderu/

4. meningkahi meningkah Penggunaan diksi
meningkahi lebih
puitis disbanding
memukul
memukul / gemuruhnya meningkahi
gelisah dalam kalbu/

5. gelisah tidak tenteram Penulis ingin
memberitahukan bahwa
ia sedang gelisah
was-was, resah,
gundah
/ gemuruhnya meningkahi
gelisah dalam kalbu/

6. kalbu pangkal
perasaan batin
Penggunaan diksi
kalbu dipilih penulis
untuk memberitahukan
hati yang suci /gemuruhnya meningkahi
gelisah dalam kalbu/

22


3. Unsur Gramatikal
Deviasi struktur gramatikal terjadi dalam bentuk pelesapan fonem dan
enjabemen. Pelesapan fonem berjumlah 3 dalam penggalan puisi Bila
Kutitipkan berikut ini.
Ku simpan sendiri badai resahku
Dalam angin desahku
Ku simpan sendiri gelombang geramku
Dalam laut pahamku
Ku simpan sendiriapi dendamku dalam gunung resamku
Ku simpan sendiri
Kata Ku simpan ku di sini seharusnya (a)ku. Pengarang sengaja
melesapkan fonem (a) untuk menciptakan efek estetis.Begitu juga dengan
penyimpangan dalam bentuk enjabemen.
Bila kutitipkan dendamku pada gunung
Pastilah gunung meluapkan api. Tapi
Akan kusimpan sendiri mendung dukaku
Dalam langit dadaku

Deviasi struktur gramatikal pada puisi Di Arafah terjadi dalam bentuk
enjabemen. Perhatikan penggalan puisi berikut!
bahwa rasa yang ia miliki
suci.
7. terburu-
buru
simpulan
mutlak yg
ditarik
terlalu
tergesa-
gesa;

Menunjukkan bahwa ia
sedang terburu-buru.
tergesa-gesa / membuatku semakin
merasa terburu-buru/

23

mengikuti anak mataku
dan dalam
isyarat bertanya-tanya
kapan Tuhan turun?
Kata dan isyarat, kapan sengaja di larik berikutnya adalah untuk
tujuan estetis.Hampir seluruh larik dalam puisi ini bentuk penyimpangannya
adalah enjabemen.
Deviasi struktur gramatikal pada puisi Stasiun terjadi dalam bentuk
pemendekan dan enjabemen. Perhatikan penggalan puisi berikut!
/tak lama lagi bertemu, tak lama lagi bertemu/
Kata tak yang seharusnya tidak merupakan pemendekan dengan
tujuan estetis.Begitu pula dengan enjabemen. Perhatikan penggalan puisi
berikut!
meninggalkanku sendiri lagi
Termangu




















No. Bentuk Majas Jenis Majas Keterangan
24

4. Sarana Retorika
a. Pemajasan
Puisi Stasiun


Puisi Di Arafah
No. Penggalan puisi Jenis majas Keterangan

1. /seenaknya dalam pelukan bukit-
bukit/
Personifikasi Menyematkan
kegiatan yang biasa
dilakukan oleh
manusia.
2. /batu bertenda langit biru/ Hiperbola Hal ini berlebihan
karena batu tidak
mungkin
bertenda/mendirikan
tenda/
3. /ratusan ribu hati putih/ Hiperbola ratusan ribu
menunjukkan sesuatu
yang berlebihan.
4. /dari jutaan milyar malaikat/

Hiperbola jutaan milyar
menunjukkan sesuatu
yang berlebihan.
1. /kereta rinduku datang menderu/

Hiperbola kereta rinduku
sesuatu yang
berlebihan.
2. /gemuruhnya meningkahi gelisah
dalam kalbu/

Personifikasi Menyematkan
perilaku/kegiatan
yang biasa dilakukan
oleh manusia
3. / sabarlah rindu, tak lama lagi
bertemu/

Personifikasi Menyematkan sifat
yang biasa dilakukan
oleh manusia
25

5. /entah berkebangsaan apa
seperti melihat arak-arakan
karnaval menari-nari
dengan riangnya/

Simile

Personifikasi
seperti merupakan
kata pembanding
yang menunjukkan
kiasan satu hal
dengan hal lain.

menari-nari
merupakan kegiatan
yang biasa dilakukan
oleh manusia.



6. / satu diantara jutaan tumpukan/ Hiperbola jutaan tumpukan
merupakan sesuatu
hal yang berlebihan.
7. /kiranya bertahan dari banjir/
/air mata penyesalan/

Hiperbola banjir air mata
merupakan sesuatu
yang berlebihan.
8. /Gunung-gunung batu
menirukan tasbih kami/
Personifikasi Menyematkan
kegiatan yang biasa
dilakukan oleh
manusia.
9. /pasir menghitung wirid kami/ Personifikasi Menyematkan
kegiatan yang biasa
dilakukan oleh
manusia.








26



Pemajasan dalam Puisi Bila Kutitipkan
No. Bentuk Majas Jenis Majas Keterangan
1. Bila kutitipkan dukaku pada langit Hiperbola Hal ini berlebihan
karena langit tidak
mungkin dapat
dititipi duka
manusia.
2. Pastilah langit memanggil mendung Personifikasi Menyematkan
kegiatan yang biasa
dilakukan oleh
manusia.
3. Bila kutitipkan resahku pada angin Hiperbola Hal ini berlebihan
karena angin tidak
mungkin dapat
dititipi resah
manusia.
4. Pastilah angin menyeru badai Personifikasi Menyematkan
kegiatan yang biasa
dilakukan oleh
manusia.
5. Bila kutitipkan geramku pada laut Hiperbola Hal ini berlebihan
karena laut tidak
mungkin dapat
dititipi geram
manusia.
6. Pastilah laut menggiring gelombang Personifikasi Menyematkan
kegiatan yang biasa
dilakukan oleh
manusia.
7. Bila kutitipkan dendamku pada
gunung
Hiperbola Hal ini berlebihan
karena gunung
tidak mungkin
dapat dititipi
dendam manusia.
8. Pastilah gunung meluapkan api Hiperbola Diksi meluap
menunjukkan
sesuatu yang
berlebihan.
9. Akan kusimpan sendiri mendung Hiperbola Diksi mendung
27



b. Penyiasatan Struktur
Puisi Bila Kutitipkan
Repetisi
dukaku dukaku
menunjukkan
sesuatu yang
berlebihan.
10. Dalam langit dadaku Hiperbola Diksi langit
dadaku
menunjukkan
sesuatu yang
berlebihan.

11. Kusimpan sendiri badai resahku Hiperbola Diksi badai
resahku
menunjukkan
sesuatu
yang berlebihan.
12. Dalam angin desahku Hiperbola Diksi angin
desahku
menunjukkan
sesuatu yang
berlebihan.
13. Kusimpan sendiri gelombang
geramku
Hiperbola Diksi gelombang
menunjukkan
sesuatu yang
berlebihan.
14. Dalam laut pahamku Hiperbola Diksi laut
pahamku
menunjukkan
sesuatu yang
berlebihan.
15. Kusimpan sendiri api dendamku
dalam gunung resamku

Hiperbola Diksi api
dendamku, dan
gunung resamku
menunjukkan
sesuatu yang
berlebihan.
28

Bila kutitipkan dukaku pada langit
Pastilah langit memanggil mendung


Bila kutitipkan resahku pada angin
Pastilah angin menyeru badai

Bila kutitipkan geramku pada laut
Pastilah laut menggiring gelombang

Bila kutitipkan dendamku pada gunung
Pastilah gunung meluapkan api. Tapi

Aliterasi dan asonansi
Hampir seluruh baris dalam bait puisi mengunakan pengulangan
bunyi vokal dan konsonan. Bunyi vocal tersebut yaitu,bunyi vokal
[a] sebanyak 67 kali, bunyi vokal [i] sebanyak 44 kali, bunyi vokal
[u] sebanyak 31 kali, bunyi vokal [e] sebanyak 20 kali, bunyi vokal
[o] sebanyak 2 kali. Sedangkan pengulangan bunyi konsonan [b]
sebanyak 7 kali, bunyi konsonan [d] sebanyak 25 kali, bunyi
konsonan [g] sebanyak 8 kali, bunyi konsonan [h] sebanyak 7 kali,
bunyi konsonan [k] sebanyak 25 kali, bunyi konsonan [l] sebanyak
22 kali, bunyi konsonan [m] sebanyak 21 kali, bunyi konsonan [n]
sebanyak 24 kali, bunyi konsonan [p] sebanyak 22 kali, bunyi
konsonan [r] sebanyak 12 kali, bunyi konsonan [s] sebanyak 15 kali,
bunyi konsonan [t] sebanyak 19 kali, bunyi konsonan [ng] sebanyak
15 kali. Aliterasi dan asonansi yang digunakan dalam puisi tersebut
dapat menimbulkan efek estetis.

c. Citraan
#Pusi Bila Kutitipkan
29

Citraan kinestetik
Terdapat 10 citraan kinestetik dalam puisi Bila
Kutitipkan.Kesepuluh citraan tersebut seperti berikut.
1. /Bila kutitipkan dukaku pada langit/
2. /Bila kutitipkan resahku pada angin/
3. /Bila kutitipkan geramku pada laut/
4. /Pastilah laut menggiring gelombang/
5. /Bila kutitipkan dendamku pada gunung/
6. /Akan kusimpan sendiri mendung dukaku/
7. /Ku simpan sendiri badai resahku/
8. /Ku simpan sendiri gelombang geramku/
9. /Ku simpan sendiri api dendamku dalam gunung resamku/
10. /Ku simpan sendiri /

Citraan visual
Citraan visual seperti pada penggalan puisi berikut ini.
/Pastilah gunung meluapkan api. Tapi/

#Puisi Di Arafah
Citraan kinestetik
Terdapat 14 citraan kinestetik dalam puisi Di
Arafah.Keempatbelas citraan tersebut adalah seperti berikut.
1. /Terlentang aku/
2. /seenaknya dalam pelukan bukit-bukit/
3. /mengikuti anak mataku/
4. /Aku tersenyum/
5. / Setan mengira dapat mengendarai
matahari/
6. / mengusik khusukku/
7. / menggetarkan bibir/
8. /melepas dzikir/
9. /menyiramkan berkat/
30

10. /karnaval menari-nari
dengan riangnya/
11. /dosa yang mencoba menindih/
12. /Gunung-gunung batu
menirukan tasbih kami/
13. /pasir menghitung wirid kami/
14. /tertidur dipangkuanku/

Citraan visual
Terdapat 4 citraan visual dalam puisi Di Arafah.Citraan-citraan
tersebut seperti berikut.
1. /batu bertenda langit biru/
2. /ratusan ribu hati putih/
3. / Kulihat diriku/
/terapung-apung/
4. /seperti melihat arak-arakan/

#Puisi Stasiun
Citraan kinestetik
Terdapat 6 citraan kinestetik dalam puisi Stasiun.Citraan tersebut
adalah sebagai berikut.
1. /kereta rinduku datang menderu/
2. / membuatku semakin merasa terburu-buru/
3. / sudah kubersih-bersihkan diriku/
4. / sabarlah rindu, tak lama lagi bertemu/
5. / stasiun persinggahan pun berlalu/
6. /meninggalkanku sendiri lagi/

Citraan visual
Terdapat 2 citraan visual dalam puisi Stasiun.Citraan tersebut
adalah sebagai berikut.
1. / sudah kupatut-patutkan penampilanku/
31

2. / tapi sekejap terlena/

Citraan auditoris
Terdapat 2 citraan visual dalam puisi Stasiun.Citraan tersebut
adalah sebagai berikut.
1. kereta rinduku datang menderu/
2. /gemuruhnya meningkahi gelisah dalam kalbu/



BAB IV
KESIMPULAN
Setiap kehidupan manusia tak lepas dari perjalanan yang indah, bahagia, cobaan,
dan masalah. Puisi merupakan karya sastra yang bisa menggambarkan perasaan,
masalah dimasyarakat bahkan masalah pada diri sendiri, mengungkapkan perasaan
dalam hati dengan sebuah sajak yang dipilih dengan diksi-diksi yang baik sehingga
dapat terbuat karya yang baik, mempunyai nilai seni yang tinggi merupakan sebuah
karya yang baik dapat menyentuh perasaan penulis dan pembaca.
Pembacapun dapat memahami karya puisi dengan mudah dan tersentuh hatinya.
Maka dari itu penulis membuat karyanya dengan pemilihan kata (diksi) yang dapat
mewakili perasaan sang penulis dan diungkapkan dengan tulisan atau karya satra
puisi.Dapat diambil kesimpulan bahwa penulis A. Mustofa Bisri (Gus Mus) membuat
puisi sangat memperhitungkan arti, makna, dan diksi dalam pembentukan sajaknya.
Puisi Bila Kutitipkan, Di Arafah, dan Stasiun memiliki banyak diksi yang
digunakan berdasarkan tujuan tertentu untuk menciptakan permainan bunyi dan
memakai leksikon yang paling tepat dengan gagasan penulis. Puisi-puisi tersebut pun
penuh dengan permainan bunyi.
Selain itu, pencitraan yang paling dominan muncul adalah citra kinesik. Hal
tersebut karena stile penulis yang cenderung menciptakan Sementara, majas yang paling
dominan muncul adalah hiperbola, walaupun muncul majas lain seperti personifikasi,
aliterasi, dan lain-lain.

32












DAFTAR PUSTAKA
Budianta, Melani. 2002. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera Anggota IKAPI.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

Nurgiyantoro,Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

KBBI offline

You might also like