You are on page 1of 4

Suara Merdeka

Minggu, 16 Maret 2008


Agonia Senja
Cerpen: Novieta Tourisia
KAMI melanggar peraturan. Seharusnya batas waktu penggunaan kolam renang
apartemen adalah pukul delapan, namun lewat dari dua jam yang ditentukan kami justru
baru menceburkan diri ke dalam kolam. Saya katakan padanya bahwa saya tidak bisa
berenang, saya takut air dan takut tenggelam. Karena itu ia menuntun saya dari sisi
depan. Gerakannya sangat tenang, terlihat jelas ia sedang berusaha menciptakan
keberanian pada diri saya untuk melenyapkan segala macam ketakutan yang ada.
Namun di pertengahan kolam, saya menghilang. Menyelam dengan bebas pada
kedalaman dua koma lima meter hingga membuatnya kesal bukan kepalang. Sudah
capek-capek menuntun sampai tiga puluh meter jauhnya, ternyata yang dituntun mahir
berenang, bahkan menyelam hingga nyaris menyentuh dasar kolam. Maka ia menantang
saya menyelam dalam kolam renang berukuran olimpiade ini bolak-balik tanpa jeda, dan
menerima tantangannya tanpa berpikir dua kali.
***
IA tidak menyadari, saya tak sedikit pun berusaha memenangkan perlombaan ini. Saya
terlalu menikmati air kolam yang hangat beradu dengan dingin menusuknya sang bayu.
Saya mengayun kedua tangan dan kaki seirama dengan roda waktu, seolah saya
diciptakan sebagai makhluk air bernama penyu bermata sayu.
Ketika ia telah jauh mendahului saya, tiba-tiba saya berhenti. Sesuatu yang hilang seperti
menyeret saya ke belakang serupa jalinan memento, membuat penasaran akan rasanya
kematian. Semakin penasaran karena degup jantung tak juga menemukan titik
pemberhentian. Saya tak berkedip hingga tiga puluh detik pertama, menanti. Setelahnya
menutup masing-masing kelopak mata perlahan, masih menanti. Saya segera mengerti
bagaimana rasanya berada di tengah palung menuju alam bawah sadar. Saya dapat
mencium aroma kematian: serupa wangi sedap malam yang membusuk, sebagai
pengiring dayang-dayang langit berlentera kelam. Saya kesurupan, dirasuki setan malam
nan pendiam.
Seperti tersadar akan pemberhentian yang tidak wajar, ia menyelam ke arah saya lantas
menarik lekas-lekas tubuh yang nyaris tak menyisakan kehidupan ini. a mengangkat lalu
merebahkan saya di atas ga!ebo pinggir kolam berkelambu sutra abu-abu. "ertanya: apa,
kenapa, bagaimana, atas nama apa. #pa dan apa dan apa dan hanya ada apa. $idak
apa-apa, jawab saya. a diam tetapi saya tahu ia bicara, tidak melalui kata-kata yang lahir
dari suara.
Semilir angin semakin merengkuh saya jauh dari realita menuju kedamaian imitasi.
%elukan tak lagi terasa hangat, malah kelewat panas seperti hendak melebur saya untuk
dijadikan santapan tengah malam. #kan tetapi dan terus-terusan hanya ada tetapi, saya
ingin, ingin, dan semakin ingin dipeluk oleh ia tanpa harus dilepaskan, tanpa harus lagi-
lagi kedinginan. &emi $uhan. Keinginan saya untuk dipeluk semakin menjadi-jadi,
semakin tak tertahankan, semakin sulit dilawan. &an demi setan saya malah hanya bisa
diam, bungkam, bahkan tak mampu berdeham.
Mungkin dingin bisa saja membuat saya ngilu, tapi tak seharusnya menjadikan saya bisu.
Sekarang saya benar-benar sekarat. 'asanya mau mampus saja buru-buru, tanpa harus
dihibahkan kelu seperti itu. Kenapa, kenapa, kenapa, saya bertanya. $idak akan terjadi
apa-apa, semoga saja, saya meyakinkan diri, dan mencari doa.
&oa. &atanglah melalui tarian angin mahagemulai. "isikkan mantra penyuci jiwa lewat
telinga dan biarkan ia meranggas di jantung nan rapuh ini tanpa perlu dilukai. Kan
kunikmati sayat demi sayat pada permukaannya hingga ruh dan raga sama-sama terkulai.
&atang, datanglah, walau tengah malam ini saja. "eri kesempatan agar hati ini
mendorong mulut untuk melayangkan suara kepadanya atas nama rasa. !inkan diri
menyampaikan keinginan untuk dipeluk oleh ia, sang pelindung nan setia melagukan
kasih penidur, sebagai penawar rasa sakit akan ketidakabadian. #jarkan jiwa ini menerima
segala yang sepatutnya diterima, meski lewat sebait doa.
***
SAYA yakin &ia di #tas sana mendengar dan mewujudkan permohonan saya akan
kiriman surga bernama doa. Sebab kengiluan tak lagi ada, digantikan bara hangat yang
berembus lewat napasnya pada mulut saya. a melukis lengkung lidah mesra di dalamnya,
sembari dihantui kepanikan akan degup jantung saya yang meski tak lagi ngilu namun
semakin melemah dan memberi getaran kecil seolah memohon ampun untuk segera
diakhiri. (antung saya berbicara, mewakili pita suara yang sungguh tak sanggup
melahirkan kata. &etik itu pula saya percaya, segalanya akan mati sia-sia sekali pun cinta
sebagai peran utama. Saya tahu, keabadian selalu tamat secara berkala dan sudah
semestinya saya siap digantung koma.
Sepertinya saya memang sengaja disiksa) tak dii!inkan hidup secara utuh, mati pun perlu
serti*ikasi. $erlebih karena seumur hidup dapat dihitung dengan jari seberapa sering saya
berdoa demi kebaikan. ngatan hilang dihantam sunyi. Nyeri membebat kepala hingga
meruntuhkan kapabilitas memori. Nyeri itu turut mengendap di setiap persendian,
membuat saya terbujur kaku. Saya mati rasa, namun berada di ambang ketidaksadaran
justru menguatkan saya untuk tetap bertahan, meski kekuatan itu terletak pada titik tengah
kelemahan. Mungkin ini yang dinamakan *ase kematian. Sakit yang menegarkan, perih
yang membebaskan. Seperti dibuai akan panorama duniawi ketika naik gondola raksasa
yang putarannya senantiasa mendebarkan.
a yang saya cintai masih terus berusaha menciptakan keajaiban, menjemput kehidupan
agar kembali menyulut ruh saya yang perlahan memadam. Saya merasa kalut, sebab ruh
saya tak mau hidup kembali untuk mencicipi manis cinta yang justru perih di dada karena
ketulusannya tak akan mampu terbayarkan oleh saya, manusia pesakitan dengan berjuta
obsesi akan kematian. Saya yakin ia akan bahagia justru tanpa saya, tanpa halusinasi
saya yang berlebihan, dan tanpa harus dibuat tersiksa karenanya.
$ersirat dalam benak yang mulai redup ini untuk menghisap cintanya terlebih dulu sampai
habis, sampai ia tak sudi lagi memberi satu keping di antaranya, sampai ia muak dengan
perasaannya sendiri, sampai akhirnya tidak memedulikan saya bersama jasad kaku ini di
sini. Namun rasanya percuma. Sebab hingga detik ini ia tak putus-putus mentrans*er doa
dalam lirih bisikan melalui telinga saya sembari mengatakan agar tetap bertahan
menguatkan diri dan senantiasa menyadari bahwa ia selalu berada di sisi saya.
***
SAYA memang digantung koma, namun bukan berarti tak lagi tersisa air mata. $etesan itu
menyeruak keluar dari lingkar mata serupa guratan pada cabang pepohonan. Saya
menangis bukan untuknya, melainkan diri sendiri. (ika harus saya hitung satu demi satu
pengkhianatan yang telah saya lakukan di belakangnya tanpa pernah sekali pun ia ketahui
hingga hari ini, akan ada lebih dari sepuluh nama yang tertera di dalamnya, lebih dari
sepuluh cerita yang nantinya terbaca, dan lebih dari sepuluh hati yang tercabik dan
meluka, bagian yang tersulit untuk diobati dengan penawar apa pun kecuali hati itu sendiri.
Saya pengkhianat, tapi saya mencintainya. Mencintainya tanpa mengharap balasan
namun pada kenyataannya cinta saya kepadanya kalah telak oleh cinta yang ia berikan
kepada saya. $ak akan pernah mampu saya mengimbangi perasaannya yang sudah
berada di puncak dari segala tingkat. Saya pengkhianat, tapi saya tak pernah
meninggalkannya. #da magnet yang menarik saya dan kutub-kutubnya memompa lembut
jantung hati ini untuk terus berdegup setiap kali saya bersamanya. Saya pengkhianat, tapi
saya takut dikhianati. Mungkin karena itu tak henti-hentinya saya menyiksa diri dengan
berkhianat ke sana kemari, menikmati perih luka pada jiwa-jiwa yang dikhianati, mengais
habis kebahagiaan mereka. Saya pengkhianat, tapi pada akhirnya saya tak mendapatkan
apa-apa. Saya kehilangan hampir segalanya, dan bukan tak mungkin segera kehilangan
ia juga.
Seharusnya saya lekas mengakhiri hidup ketika masih menyelam tadi dan menjauh dari
jangkauannya agar ia tak bisa menarik saya ke daratan yang alih-alih malah membuat
saya tersiksa seperti ini. #tau seharusnya saya tak pernah berkhianat kepada siapa pun,
sehingga tak perlu ada balasan semacam ini. #tau seharusnya ia tak mencintai saya lebih
dari cinta yang saya berikan, sebab kini jurang perbedaan kadarnya terlihat kian
membesar. Selalu ada ++seharusnya++. Seharusnya selalu ada.
Saya sempat mengira astana dasamuka mengirimkan musikalisasi dari gending lembah
ngarai sebagai lagu pengiring kematian saya, namun suara samar-samar itu terdengar
semakin jelas dan bukan gending lembah ngarai yang mendamaikan, melainkan sirine
ambulans putih dengan lampu merah nyalang di atasnya. 'uh saya marah. a menghujat
orang-orang yang berkerumun di sini dan menganggap saya sebagai tontonan cuma-
cuma. a mengamuk pada dayang-dayang langit berlentera kelam yang tak datang
membawanya ke astana dasamuka untuk dibunuh dan dilahirkan kembali. a mencabik
jantung saya yang degupnya tak juga berhenti sedari tadi.
Saya ingin merengkuhnya ke dalam jasad ini kembali, agar kami menyatu lagi dan kelak
membenahi segala sesuatu yang telah kami hancurkan hingga porak poranda. Namun ia
tak sudi dan malah berteriak lantang tepat mengena di ulu hati saya. a tahu, jika ia
kembali bersatu dengan jasad ini, saya hanya akan menyiksanya perlahan-lahan dengan
menjadi makhluk $uhan yang terpuji. $idak akan ada lagi pengkhianatan dan dusta yang
kelak melahirkan dosa. #dapun ia terlahir sebagai pendosa sejati. &osa adalah sumber
kehidupannya. a akan mengupayakan segalanya untuk bisa memenangkan peperangan
dengan jasad saya yang menginginkan kebaikan dan membutuhkan penyucian diri,
karenanya saya pasti akan kalah. &i sinilah kali terakhir saya diberi kesempatan untuk
memberdayakan akal pikiran sebagai manusia. Saya diberikan pilihan: berperang dengan
ruh sendiri selama jasad ini menopangnya kembali demi pembersihan jiwa, atau
mengi!inkan ruh itu mendapatkan kehendaknya untuk terlepas dari jasad saya
selamanya.
#khirnya pilihan saya jatuh pada pilihan kedua. Sebab walau bagaimana pun, saya pasti
kalah dan ia selalu menang. (ika saya terus-terusan berperang dengannya tanpa ada titik
temu di bibir pintu, saya yakin, ketika suatu saat nanti kesalahan kami terulang kembali,
jasad ini telah membusuk bahkan sebelum saya menyadarinya. Saya tak ingin itu terjadi.
Saya juga sadar, ruh ini telah berusaha membebaskan diri dari saya sekian lama, namun
saya tak pernah peduli, sebab saya mencintai lelaki itu, dan untuk mencintai seorang
manusia dengan ruh dan jasad yang saling melengkapi, saya harus tetap hidup dan tidak
boleh mati.
Saya terharu bahwa pada detik-detik menjelang babak akhir kehidupan ini, masih ada hati
yang mencintai saya, yang tidak semata-mata menginginkan saya, meski ia tak berhasil
menolong saya. #ir mata tak lagi berupa cairan, ia telah menyatu dengan angin, sehingga
kekasih saya tak tahu betapa pedih yang saya rasakan saat harus meninggalkannya,
sebelum saya sempat mengatakan maa* dan mengecup kelopak bibirnya untuk terakhir
kalinya.
***
SAYA pasrah. 'uh saya menari-nari gemulai, menyeringai lebar dengan lidah api yang
terjulur dari mulutnya. a akan dilahirkan kembali nun jauh di sana, di astana dasamuka.
Sementara jasad yang selama ini menjadi topangannya, tempat saya merelakan tubuh ini
berkhianat ke sana kemari pada tubuh-tubuh yang juga pengkhianat oleh sebab hasrat ruh
yang melewati batas, harus rela juga ketika pada akhirnya hanya akan berakhir di kotak
kayu pengap dan panjangnya pas-pasan yang dinamakan peti mati.,,,
-atatan:
agonia: rasa sakit yang amat sangat
Jumat, 01 Februari 2008
11:55 WIB

You might also like