You are on page 1of 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

AIDS (Acquired lmmunodeficiency Sydrome) adalah sindrom atau

kumpulan gejala penyakit yang disebabkan akibat menurunnya sistem kekebalan

tubuh yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Penyakit ini

pertama kali ditemukan pada tahun 1981 di Amerika Serikat dan sampai saat ini

telah menyerang sebagian besar negara didunia. Penyakit ini berkembang secara

pandemi, menyerang baik negara maju maupun negara yang sedang berkembang1.

Penyakit HIV/AIDS telah menjadi masalah internasional karena dalam

waktu singkat terjadi peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin banyak

negara. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS sehingga

menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan,

krisis pembangunan negara, krisis pendidikan, ekonomi dan juga krisis

kemanusiaan1.

Data jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia pada dasarnya bukanlah

merupakan gambaran jumlah penderita yang sebenarnya. Pada penyakit ini

berlaku teori “Gunung Es“ dimana penderita yang kelihatan hanya sebagian kecil

dari yang semestinya. Untuk itu WHO mengestimasikan bahwa dibalik 1

penderita yang terinfeksi telah terdapat kurang lebih 100-200 penderita

HIV/AIDS yang belum diketahui1.

1
BAB II

ISI

2.1 Pengerertian HIV/AIDS

AIDS dapat diartikan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh

menurunnya sistem kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human

Immunodeficiency Virus) yang termasuk dalam famili retroviridae. Penyakit ini

ditandai oleh infeksi oportunistik dan atau beberapa jenis keganasan tertentu.

AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV1,2.

HIV/AIDS dapat juga dapat berupa sindrom akibat defisiensi imunitas

seluler tanpa penyebab lain yang diketahui, ditandai dengan infeksi oportunistik

dan keganasan berakibat fatal. Munculnya sindrom ini erat hubungannya dengan

berkurangnya zat kekebalan tubuh dimana proses ini tidak terjadi seketika

melainkan sekitar 5-10 tahun1.

2.2 Epidemiologi AIDS

Infeksi AIDS pertama kali dilaporkan di Amerika oleh CDC (Central for

Disease Control) pada tahun 1981 pada orang dewasa homoseksual sedangkan

pada anak tahun 1983. Di Indonesia kasus AIDS pertama kali dilaporkan pada

1987 yang menimpa seorang warga negara asing di Bali. Tahun berikutnya mulai

dilaporkan adanya kasus di beberapa provinsi3.

Karena AIDS bukan penyakit maka AIDS tidak menular, yang menular

adalah HIV yaitu virus yang menyebabkan kekebalan tubuh mencapai masa

2
AIDS. Virus ini terdapat dalam larutan darah, cairan sperma dan cairan vagina,

dan bisa menular pula melaui kontak darah atau cairan tersebut. Pada cairan tubuh

lain konsentrasi HIV sangat rendah sehingga tidak bisa menjadi media atau

saluran penularan 4.

Tidak ada gejala khusus jika seseorang sudah terinfeksi HIV atau dengan

kata lain orang yang mengidap HIV tidak bisa dikenali melalui diagnosis gejala

tertentu, disamping itu orang yang terinfeksi HIV bisa tidak merasakan sakit.

Berbulan-bulan atau tahun seseorang yang sudah terinfeksi dapat bertahan tanpa

menunjukkan gejala klinis yang khas tetapi baru tampak pada tahap AIDS5.

Secara epidemiologik yang penting sebagai media perantara virus HIV

adalah semen, darah dan cairan vagina atau serviks. Penularan virus HIV secara

pasti diketahui melalui hubungan seksual (homoseksual, biseksual dan hetero-

seksual) yang tidak aman, yaitu berganti-ganti pasangan, seperti pada

promiskuitas. Penyebaran secara ini merupakan penyebab 90% infeksi baru di

seluruh dunia. Penderita penyakit menular seksual terutama ulkus genital,

menularkan HIV 30 kali lebih mudah dibandingkan orang yang tidak

menderitanya. Parenteral, yaitu melalui suntikan yang tidak steril, misalnya pada

pengguna narkotik suntik, pelayanan kesehatan yang tidak memperhatikan

sterilitas, mempergunakan produk darah yang tidak bebas HIV, serta petugas

kesehatan yang merawat penderita HIV/AIDS secara kurang hati-hati. Perinatal,

yaitu dari ibu yang mengidap HIV kepada janin yang dikandungnya. Transmisi

HIV-I dari ibu ke janin dapat mencapai 30%, sedangkan HIV-2 hanya 10%.

Penularan secara ini biasanya terjadi pada akhir kehamilan atau saat persalinan.

3
Bila antigen p24 ibu jumlahnya banyak, dan/ atau jumlah reseptor CD4 kurang

dari 700/ml, maka penularan lebih mudah terjadi. Ternyata HIV masih mungkin

ditularkan melalui air susu ibu6,7,8,9.

Berdasarkan cara penularan, insidensi tertinggi penularan AIDS melalui

hubungan heteroseksual diikuti pengguna narkotika (nafza). Secara umum ada 5

faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber

infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman

dan tempat masuk kuman (port’d entree). Gambaran insidensi jumlah penderita

AIDS berdasarkan cara penularan AIDS dapat dilihat pada grafik 2.2.110.

Nafza Heteroseksual Homoseksual Perinatal Tansfusi darah Tidak diketahui

Gambar 2.2.1 Jumlah penderita AIDS berdasarkan Cara Penularan berdasarkan

Tahun Pelaporan sd 31 Desember 200810

Pada 10 tahun pertama sejak penderita AIDS pertama ditemukan di Indonesia,

peningkatan jumlah kasus AIDS masih rendah. Pada akhir 1997 jumlah kasus

AIDS kumulatif 153 kasus dan HIV positif baru 486 orang yang diperoleh dari

serosurvei di daerah sentinel. Pada akhir abad ke 20 terlihat kenaikan yang sangat

berarti dari jumlah kasus AIDS dan di beberapa daerah pada sub-populasi tertentu,

4
angka prevalensi sudah mencapai 5%, sehingga sejak itu Indonesia dimasukkan

kedalam kelompok negara dengan epidemi terkonsentrasi. Peningkatan jumlah

penderita AIDS di Indonesia tiap tahun ditunjukkan pada gambar 2.2.210.

Gambar 2.2.2 Jumlah Kasus AIDS di Indonesia 10 Tahun Terakhir Berdasarkan

Tahun Pelaporan sd 31 Desember 200810

Distibusi umur penderita AIDS pada tahun 2008 memperlihatkan

presentasi tertinggi pada golongan umur 20-29 tahun dan penderita laki-laki lebih

banyak daripada perempuan. Hal ini dapat dilihat pada grafik 2.2.3.

5
Gambar 2.2.3 Jumlah Kasus AIDS di Indonesia 10 Tahun Terakhir Berdasarkan

Kelompok Umur Tahun Pelaporan sd 31 Desember 200810

Gambar 2.2.4 Jumlah Kasus AIDS di Indonesia 10 Tahun TerakhirBerdasarkan

Jenis Kelamin Tahun Pelaporan sd 31 Desember 200810

2.3 Etiologi AIDS

Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang disebut Human

Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier

dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy

Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984

mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986

nama virus dirubah menjadi HIV. HIV terdiri dari 2 tipe yaitu virus HIV-1 dan

6
HIV-2. Keduanya merupakan virus RNA (Ribonucleic Acid) yang termasuk

retrovirus dan lentivirus.11,12,13

Karakteristik HIV12,13 :

 Tidak dapat hidup di luar tubuh manusia

 Merupakan virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia

 Kerusakan sistem kekebalan tubuh menimbulkan kerentanan terhadap

infeksi penyakit

 Semua orang dapat terinfeksi HIV

 Orang dengan HIV + terlihat sehat dan merasa sehat

 Orang dengan HIV + tidak tahu bahwa dirinya sudah terinfeksi HIV

 Seorang pengidap HIV yang belum menunjukkan gejala dapat menularkan

kepada orang lain. Satu-satunya cara untuk mendapatkan kepastian infeksi

HIV yaitu dengan tes darah.

Virus HIV termasuk virus RNA positif yang berkapsul. Diameternya

sekitar 100 nm dan mengandung dua salinan genom RNA yang dilapisi oleh

protein nukleokapsid seperti terlihat pada gambar 2.3.1. Pada permukaan kapsul

virus terdapat glikoprotein transmembran gp41 dan glikoprotein permukaan

gp120. Di antara nukleokapsid dan kapsul virus terdapat matriks protein. Selain

itu juga terdapat tiga protein spesifik untuk virus HIV, yaitu enzim reverse

transkriptase (RT), protease (PR), dan integrase (IN). Retrovirus juga memiliki

sejumlah gen spesifik sesuai dengan spesies virusnya, antara lain gag (fungsi

struktural virus), pol (fungsi struktural dan sintesis DNA), serta env (untuk fusi

kapsul virus dengan membran plasma sel pejamu).14,15,16

7
Gambar 2.3.1 Struktur virus HIV16

Infeksi HIV terjadi saat HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–

helper dengan melekatkan dirinya pada protein permukaan CD4+. CD4+

berikatan dengan gp120 berupa glikoprotein yang terdapat pada selubung virus

HIV. Setelah terjadi ikatan maka RNA virus masuk kedalam sitoplasma sel dan

berubah menjadi DNA dengan bantuan enzim RT. Setelah terbentuk DNA, virus

menerobos masuk kedalam inti sel. Dalam inti sel, DNA HIV disatukan pada

DNA sel yang terinfeksi dengan bantuan enzim integrase. Waktu sel yang

terinfeksi menggandakan diri, DNA HIV diaktifkan dan membuat bahan baku

untuk virus baru. Virus yang belum matang mendesak ke luar sel yang terinfeksi

dengan proses yang disebut budding atau tonjolan. Virus yang belum matang

melepaskan diri dari sel yang terinfeksi. Setelah melepaskan diri, virus baru

menjadi matang dengan terpotongnya bahan baku oleh enzim protease dan

8
kemudian dirakit menjadi virus yang siap bekerja. Keseluruhan siklus hidup HIV

dapat dilihat pada gambar 2.3.2.17,18,19

Gambar 2.3.2 Siklus hidup HIV19

2.4 Patogenesis HIV/AIDS

Perkembangan penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV

untuk menghancurkan sistem imun pejamu dan ketidakmampuan sistem imun

untuk menghancurkan HIV. Penyakit HIV/AIDS dimulai dengan infeksi akut

yang tidak dapat diatasi sempurna oleh respons imun adaptif dan berlanjut

menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang kronik dan progresif. Perjalanan

penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah

sel CD4+ dalam darah.18,19

9
Setelah terjadi infeksi primer, sel dendrit di epitel akan menangkap virus

kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan

protein yaitu CCR5 yang berperan dalam pengikatan HIV, sehingga sel dendrit

berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid,

sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel CD4+ melalui kontak langsung antar sel.

Dari jaringan limfoid, HIV masuk ke dalam aliran darah dan kemudian

menginfeksi organ-organ tubuh. Proses penyebaran HIV dapat dilihat pada

gambar 2.3.3.20,21

Gambar 2.4.1 Proses terjadinya infeksi HIV19

Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam

jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini

10
menyebabkan viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda

nonspesifik seperti infeksi virus lainnya). Setelah terjadi penyebaran infeksi HIV,

terbentuk respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap antigen

virus. Respons imun ini dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus

yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan

pertama.18,19

Setelah terjadi infeksi akut dilanjutkan dengan fase kedua dimana kelenjar

getah bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada

tahap ini, sistem imun masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik

dan belum muncul manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga

masa laten klinis (clinical latency period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan

sebagian besar sel tidak mengandung HIV. Kendati demikian, penghancuran sel

CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel CD4+ yang

bersirkulasi semakin berkurang. Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan

sel CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa tahun siklus

infeksi virus, kematian sel dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya

menyebabkan penurunan jumlah sel CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.20

Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain dan r espons

imun terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi

jaringan limfoid. Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut

AIDS dimana terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel CD4+

dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien

AIDS menderita infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting

11
syndrome), gagal ginjal dan degenerasi susunan saraf pusat. Gambaran jumlah

CD+ dalam perjalanan infeksi HIV sampai tahap AIDS dapat dilihat pada gambar

2.4.2.21,22

Gambar 2.4.2 Manifestasi klinik AIDS berdasarkan

jumlah CD4+22

Virus HIV yang menginfeksi seseorang dapat menimbulkan gejala klinis

berbeda-beda. Lesi-lesi yang muncul sesuai dengan tahap infeksi, mulai dari akut

sampai dengan gambaran AIDS yang sempurna (full-blown AIDS). Kecepatan

perkembangan penyakit bervariasi antar individu, berkisar antara 6 bulan hingga

lebih 20 tahun. Waktu yang diperlukan untuk berkembang menjadi AIDS adalah

sekitar 10 tahun. Perjalanan infeksi HIV dapat dilihat pada gambar 2.3.5.23

12
Gambar 2.4.3 Manifestasi klinik AIDS23

2.5 Diagnosis HIV/AIDS

Dalam menentukan diagnosis HIV positif dapat ditegakkan berdasarkan

beberapa hal. Dalam menentukan diagnosis awal dapat dilihat dari riwayat

penyakit-penyakit yang pernah diderita yang menunjukkan gejala HIV dan pada

pemeriksaan fisik terdapat tanda-tanda infeksi opurtunistik. Selain itu riwayat

pergaulan dapat membantu dalam menegakkan diagnosa AIDS karena dapat

menjadi sumber informasi awal penularan penyakit, hal ini seperti yang terlihat

pada tabel 2.5.1.24,25

Tabel 2.5.1 Cara menentukan diagnosis dini infeksi HIV berdasarkan riwayat dan

pemeriksaan fisik25

13
Pemeriksaan laboratorium dalam menentukan diagnosis infeksi HIV

dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan menunjukkan adanya antibodi

spesifik. Berbeda dengan virus lain, antibodi tersebut tidak mempunyai efek

perlindungan. Pemeriksaan secara langsung dapat dilakukan, yaitu antara lain

dengan melakukan biakan virus, antigen virus (p24), asam nukleat virus.25,26

Pemeriksaan adanya antibodi spesifik dapat dilakukan dengan Rapid Test,

Enzime Linked Sorbent Assay (ELISA) dan Western Blot. Sesuai dengan pedoman

nasional, diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan 3 jenis pemeriksaan Rapid Test

yang berbeda atau 2 jenis pemeriksaan Rapid Test yang berbeda dan 1

pemeriksaan ELISA.27,28

Pada pemeriksaan ELISA, hasil test ini positif bila antibodi dalam serum

mengikat antigen virus murni di dalam enzyme-linked antihuman globulin. Pada

14
minggu 23 masa sakit telah diperoleh basil positif, yang lama-lama akan menjadi

negatif oleh karena sebagian besar HIV telah masuk ke dalam tubuh .Interpretasi

pemeriksaan ELISA adalah pada fase pre AIDS basil masih negatif, fase AIDS

basil telah positif. Hasil yang semula positif menjadi negatif, menunjukkan

prognosis yang tidak baik.27,28,29

Pemeriksaan Western Bolt merupakan penentu diagnosis AIDS setelah test

ELISA dinyatakan positif. Bila terjadi serokonversi HIV pada test ELISA dalam

keadaan infeksi HIV primer, harus segera dikonfirmasikan dengan test WB ini.

Hasil test yang positif akan menggambarkan garis presipitasi pada proses

elektroforesis antigen-antibodi HIV di sebuah kertas nitroselulosa yang terdiri atas

protein struktur utama virus. Setiap protein terletak pada posisi yang berbeda pada

garis, dan terlihatnya satu pita menandakan reaktivitas antibodi terhadap

komponen tertentu virus.28,29,30

Berdasarkan kriteria WHO, serum dianggap positif antibodi HIV-1 bila 2

envelope pita glikoprotein terlihat pada garis. Serum yang tidak menunjukkan

pita-pita tetapi tidak termasuk 2 envelope pita glikoprotein disebut indeterminate.

Hasil indeterminate harus dievaluasi dan diperiksa secara serial selama 6 bulan

sebelum dinyatakan negatif. Bila hanya dijumpai 1 pita saja yaitu p24, dapat

diartikan hasilnya fase positif atau fase dini AIDS atau infeksi HIV-1.31,32

Waktu antara infeksi dan serokonversi yang berlangsung beberapa minggu

disebut antibody negative window period. Pada awal infeksi, antibodi terhadap

glikoprotein envelope termasuk gp41 muncul dan menetap seumur hidup.

Sebaliknya antibodi antigen inti (p24) yang muncul pada infeksi awal, jumlahnya

15
menurun pada infeksi lanjut. Pada infeksi HIV yang menetap, titer antigen p24

meningkat, dan ini menunjukkan prognosis yang buruk. Penurunan cepat dan

konsisten antibodi p24 juga menunjukkan prognasi yang buruk.31,32

2.6 Stadium Klinis HIV/AIDS

WHO telah menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS untuk dewasa maupun

anak dimana stadium klinis HIV/AIDS masing-masing terdiri dari 4 stadium. Jika

dilihat dari gejala yang terjadi pembagian stadium klinis HIV/AIDS adalah

sebagai berikut :33

Tabel 2.6.1 Stadium klinik HIV/AIDS35

 Clinical Stage 1
 Asymptomatic
 Persistent generalized lymphadenopathy
 Clinical Stage 2
 Moderate unexplained weight loss  Herpes zoster
(<10% of presumed or measured  Angular cheilitis
body weight)  Recurrent oral ulceration
 Recurrent respiratory infections  Papular pruritic eruptions
(sinusitis, tonsillitis, otitis media,  Seborrheic dermatitis
and pharyngitis)  Fungal nail infections

 Clinical Stage 3
 Unexplained severe weight loss  Severe presumed bacterial
(>10% of presumed or measured infections (eg, pneumonia,
body weight) empyema, pyomyositis, bone
 Unexplained chronic diarrhea for or joint infection, meningitis,
>1 month bacteremia)
 Unexplained persistent fever for >1  Acute necrotizing ulcerative
month stomatitis, gingivitis, or
(>37.6°C, intermittent or constant) periodontitis
 Persistent oral candidiasis (thrush)  Unexplained anemia
 Oral hairy leukoplakia (hemoglobin <8 g/dL)
 Pulmonary tuberculosis (current)  Neutropenia (neutrophils <500
cells/µL)

16
 Chronic thrombocytopenia
(platelets <50,000 cells/µL)
 Clinical Stage 4
 HIV wasting syndrome, as  Chronic cryptosporidiosis (with
defined by the CDC diarrhea)
 Pneumocystis pneumonia  Chronic isosporiasis
 Recurrent severe bacterial  Disseminated mycosis (eg,
pneumonia histoplasmosis,
 Chronic herpes simplex infection coccidioidomycosis,
(orolabial, genital, or anorectal penicilliosis)
site for >1 month or visceral  Recurrent nontyphoidal
herpes at any site) Salmonella bacteremia
 Esophageal candidiasis (or  Lymphoma (cerebral or B-cell
candidiasis of trachea, bronchi, or non-Hodgkin)
lungs)  Invasive cervical carcinoma
 Extrapulmonary tuberculosis  Atypical disseminated
 Kaposi sarcoma leishmaniasis
 Cytomegalovirus infection  Symptomatic HIV-associated
(retinitis or infection of other nephropathy
organs)  Symptomatic HIV-associated
 Central nervous system cardiomyopathy
toxoplasmosis  Reactivation of American
 HIV encephalopathy trypanosomiasis
 Cryptococcosis, extrapulmonary (meningoencephalitis or
(including meningitis) myocarditis)
 Disseminated nontuberculosis
Mycobacteria infection
 Progressive multifocal
leukoencephalopathy
 Candida of the trachea, bronchi,
or lungs

Klasifikasi CDC merupakan pembagian HIV/AIDS berdasarkan jumlah

sel CD4+ dan kondisi tubuh penderita yang berhubungan dengan diagnosa HIV.

Klasifikasi CDC dapat dilihat pada Tabel 2.6.1.34,35

Tabel 2.6.2 Klasifikasi AIDS berdasarkan CDC34

17
2.7 Penatalaksanaan HIV/AIDS

Secara umum penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri atas beberapa jenis yaitu

pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV),

18
pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi opportunistik menyertai

infeksi HIV/AIDS dan pengobatan suportif.

a. Terapi antiretroviral (ARV)

Terapi anti-HIV yang dianjurkan saat ini adalah HAART (Highly Active

Antiretroviral Therapy), yang menggunakan kombinasi minimal tiga obat

antiretroviral. Terapi ini terbukti efektif dalam menekan replikasi virus (viral

load) sampai dengan kadar di bawah ambang deteksi. Waktu memulai terapi ARV

harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV akan diberikan dalam

jangka panjang. ARV dapat diberikan apabila infeksi HIV telah ditegakkan

berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan dibuktikan secara laboratoris. Alur

pemberian terapi ARV dapat dilihat pada gambar 2.7.1.36,37

Gambar 2.7.1 Langkah-langkah dalam pengobatan infeksi HIV.36

Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukkan

gejala yang termasuk dalam kriteria diagnoss AIDS atau menunjukkan gejala

yang sangat berat tanpa melihat jumlah CD4+. Obat ini juga direkomendasikan

19
pada pasien asimptomatik dengan jumlah limfosit CD4 kurang dari 200 sel/mm3.

Pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200-350 sel/mm3 dapatditawarkan

untuk memulai terapi. Pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari

350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai,

namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien

dengan jumlah limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari

100.000 kopi/ml. Keadaan untuk memulai terapi ARV ditunjukkan pada tabel

2.7.2.37

Tabel 2.7.1 Keadaan klinik dalam penentuan pemberian terapi ARV37

Terapi HIV/AIDS saat ini adalah terapi kimia yang menggunakan obat

ARV yang berfungsi menekan perkembangbiakan virus HIV. Obat ini adalah

inhibitor dari enzim yang diperlukan untuk replikasi virus seperti reverse

transcriptase (RT) dan protease. Inhibitor RT ini terdiri dari inhibitor dengan

senyawa dasar nukleosid (nucleoside-based inhibitor) dan nonnukleosid

(nonnucleoside-based inhibitor). Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti

20
nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI), non-nucleoside reverse

transcriptase inhibitor (NNRTI), protease inhibitor (PI).36,37,38

Nucleoside Reverse Transcriptase Iinhibitor atau NRTI merupakan analog

nukleosida. Obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim reverse

transkriptase selama proses transkripsi RNA virus pada DNA host. Analog NRTI

akan mengalami fosforilasi menjadi bentuk trifosfat, yang kemudian secara

kompetitif mengganggu transkripsi nukleotida. Akibatnya rantai DNA virus akan

mengalami terminasi sedangkan analog NNRTI akan berikatan langsung dengan

enzim reverse transkriptase dan menginaktifkannya. Obat yang termasuk dalam

golongan NRTI antara lain Abacavir (ABC), Zidovudine (AZT), Emtricitabine

(FTC), Didanosine (ddI), Lamivudine (3TC) dan Stavudine (d4T), Tenofovir.

Obat yang termasuk NNRTI antara lain Efavirenz (EFV) Nevirapine (NVP),

Delavirdine.36,37,38

Protese Inhibitor (PI) bekerja dengan cara menghambat protease HIV.

Setelah sintesis mRNA dan poliprotein HIV terjadi, tahap selanjutnya protease

HIV akan memecah poliprotein HIV menjadi sejumlah protein fungsional.

Dengan pemberian PI, produksi virion dan perlekatan dengan sel pejamu masih

terjadi, namun virus gagal berfungsi dan tidak infeksius terhadap sel. Yang

termasuk golongan PI antara lain Ritonavir (RTV), Atazanavir (ATV), Fos-

Amprenavir (FPV), Indinavir (IDV), Lopinavir (LPV) and Saquinavir

(SQV).36,37,38

Terapi lini pertama yang direkomendasikan WHO adalah kombinasi dua

obat golongan NRTI dengan satu obat golongan NNRTI. Kombinasi ini

21
mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan kombinasi obat yang lain dan

membutuhkan biaya yang lebih sedikit karena terdapat generiknya. Analog

thiacytadine (3 TC atau FTC) merupakan obat pilihan dalam terapi lini pertama. 3

TC atau FTC dapat dikombinasi dengan analog nukleosida atau nukleotida seperti

AZT, TDF, ABC atau d4T. Didanosine (ddI) merupakan analog adenosine

direkomendasikan untuk terapi lini kedua. Obat golongan NNRTI, baik EFV atau

NVP dapat dipilih untuk dikombanasikan dengan obat NRTI sebagai terapi lini

pertama. Terapi lini pertama dapat juga dengan mengkombinasikan 3 obat

golongan NRTI apabila obat golongan NNRTI sulit untuk diperoleh. Pemilihan

regimen obat ARV sebagai lini pertama dapat dilihat pada gambar 2.7.2.38

Tabel 2.7.2 Lini pertama pengobatan ARV.38

Evaluasi pengobatan dapat dilihat dari jumlah CD4+ di dalam darah dan

dapat digunakan untuk memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat

HIV. Kegagalan terapi dapat dilihat secara klinis dengan menilai perkembangan

22
penyakit secara imunologis dengan penghitungan CD4+ dan atau secara virologi

dengan mengukur viral-load. Kegagalan terapi terjadi apabila terjadi penurunan

jumlah CD4+.38

Selain itu terjadinya toksisitas terkait dengan ketidakmampuan untuk

menahan efek samping dari obat, sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup

berat. Hal tersebut dapat dipantau secara klinis, baik dari keluhan atau dari hasil

pemeriksaan fisik pasien, atau dari hasil pemeriksaan laboratorium, tergantung

dari macam kombinasi obat yang dipakai.39

Penilaian klinis toksisitas harus dibedakan dengan sindrom pemulihan

kekebalan (immuno reconstitution inflammatory syndrome / IRIS), yaitu keadaan

yang dapat muncul pada awal pengobatan ARV. Sindrom ini ditandai oleh

timbulnya infeksi oportunistik beberapa minggu setelah ART dimulai sebagai

suatu respon inflamasi terhadap infeksi oportunistik yang semula subklinik.

Keadaan tersebut terjadi terutama pada pasien dengan gangguan kebalan tubuh

yang telah lanjut. Kembalinya fungsi imunologi dapat pula menimbulkan gejala

atipik dari infeksi oportunistik.39,40

Apabila terjadi penurunan jumlah CD4+ dalam masa pengobatan terapi

lini pertama dan didapat tanda terjadinya toksisitas dapat dipertimbangkan untuk

mengganti terapi. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.7.2.39,40

Tabel 2.7.3 Langkah pertimbangan untuk mengganti terapi ARV.40

23
Pada kegagalan terapi dianjurkan untuk mengganti semua obat lini

pertama dengan rejimen lini kedua. Rejimen lini kedua pengganti harus terdiri

dari obat yang kuat untuk melawan galur/strain virus. Terapi lini kedua yang

direkomendasikan WHO terdiri dari kombinasi 2 regimen obat golongan NRTI

dengan regimen obat golongan PI dosis rendah. Ritonavir merupakan pilihan

utama golongan PI dalam terapi lini kedua. Golongan NRTI yang menjadi pilihan

untuk terapi lini kedua adalah ddI atau TDF. Penambahan golongan NNRTI dapat

digunakan apabila pada terapi lini pertama menggunakan 3 obat golongan NRTI.

Pemilihan regimen obat ARV untuk lini kedua dapat dilihat pada gambar 2.8.5.40

Tabel 2.7.4 Terapi lini kedua pengobatan ARV.40

b. Terapi Infeksi Opportunistik

24
Infeksi oportunistik adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas

AIDS, dengan angka sekitar 90%. Terapi antibiotik atau kemoterapeutik

disesuaikan dengan infeksi-infeksi yang sebetulnya berasal dari mikroorganisme

dengan virulensi rendah yang ada di sekitar kita, sehingga jenis infeksi sangat

tergantung dari lingkungan dan cara hidup penderita.41

Tabel 2.7.5 Infeksi Oportunistik pada penderita HIV/AIDS41

System Examples of Infection/Cancer


Respiratory system  Pneumocystis jirovecii Pneumonia (PCP)
 Tuberculosis (TB)
 Kaposi's Sarcoma (KS)
Gastro-intestinal system  Cryptosporidiosis
 Candida
 Cytomegolavirus (CMV)
 Isosporiasis
 Kaposi's Sarcoma
Central/peripheral Nervous  Cytomegolavirus
system  Toxoplasmosis
 Cryptococcosis
 Non Hodgkin's lymphoma
 Varicella Zoster

25
 Herpes simplex
Skin  Herpes simplex
 Kaposi's sarcoma
 Varicella Zoster

Hampir 65% penderita HIV/AIDS mengalami komplikasi pulmonologis

dimana pneumonia karena P.carinii merupakan infeksi oportunistik tersering,

diikuti oleh infeksi M tuberculosis, pneumonia bakterial dan jamur, sedangkan

pneumonia viral lebih jarang terjadi.Alasan terpenting mengapa sering terjadi

komplikasi pulmonologis pada infeksi HIV adalah konsekuensi anatomis paru

sehingga terpapar secara kronis terhadap bahan-bahan infeksius maupun

noninfeksius dari luar (eksogen), di sisi lain juga terjadi paparan secara hematogen

terhadap virus HIV (endogen) yang melemahkan sistem imun. Komplikasi

pulmonologis, terutama akibat infeksi oportunistik merupakan penyebab

morbiditas dan mortalitas utama serta bisa terjadi pada semua stadium dengan

berbagai manifestasi. 42

Pneumocystis carinii (P. cranii) diklasifikasikan sebagai jamur. P. cranii

merupakan penyebab Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP) yang merupakan

infeksi oportunistik tersering pada infeksi HIV/AIDS.Lebih dari separuh (70-

80%) penderita AIDS mendapatkan paling sedikit satu episode PCP pada

perjalanan klinis penyakitnya, denganmortalitas berkisar antara 10-40%.42

Manajemen PCP tergantung dari derajat berat-ringannya pneumonia yang

terjadi. Pada pneumonia yang sedang-berat atau berat, penderita harus di rawat di

rumah sakit karena mungkin memerlukan bantuan ventilator (sekitar 40% kasus).

Obat pilihan adalah kotrimoksazol intravena dosis tinggi. Terapi antibiotika ini

26
diberikan selama 21 hari. Penderita yang berespon baik dengan antibiotika

intravena, dapat melanjutkan terapi dengan antibiotika per oral untuk jika sudah

memungkinkan. Hipoksemia yang signifikan (PaO2 < 70 mmHg atau gradien

arterial-alveoler > 35), memerlukan kortikosteroid dan diberikan sesegera

mungkin (dalam 72 jam) belum terapi antibiotika untuk menekan risiko

komplikasi dan memperbaiki prognosis.16,18 Pada kasus-kasus ringan-sedang

dapat diberikan kotrimoksazol oral dengan dosis 2 x 960 mg selama 21 hari.

Alternatif terapi lainnya untuk PCP berat adalah pentamidin intravena (pilihan

kedua) dan klindamisin plus primakuin (pilihan ketiga), sedangkan PCP ringan-

sedang dapat diberikan dapsone plus trimetoprim, klindamisin plus primakuin,

atovaquone atau trimetrexate plus leucovorin.42,43

Tuberkulosis paru (TB paru) masih merupakan problem penting pada

infeksi HIV/AIDS dan menjadi penyebab kematian pada sekitar 11% penderita.

Berdasarkan data World Health Organization (WHO), pada akhir tahun 2000 kira-

kira 11,5 juta orang penderita infeksi HIV di dunia mengalami ko-infeksi M.

tuberculosis dan meningkatkan risiko kematian sebesar 2 kali lipat dibandingkan

tanpa tuberkulosis, dan seiring dengan derajat beratnya imunosupresi yang

terjadi.44

Penatalaksanaan TB paru dengan infeksi HIV pada dasarnya sama dengan

tanpa infeksi HIV. Saat pemberian obat pada koinfeksi TBC-HIV harus

memperhatikan jumlah CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada (tabel

2.8.6.). Namun pada beberapa atudi mendapatkan tingginya angka kekambuhan

27
pada penderita yang menerima Obat Anti Tuberkulosis (OAT) selama 6 bulan

dibandingkan dengan 9-12 bulan.44,45

Terdapat interaksi antara obat ARV dengan OAT, terutama rifampicin

karena rangsangannya terhadap aktivitas sistem enzim liver sitokrom P450 yang

memetabolisme PI dan NNRTI, sehingga terjadi penurunan kadar PI dan NNRTI

dalam darah sampai kadar sub-terapeutik yang berakibat incomplete viral

suppresion dan timbulnya resistensi obat. Protease inhibitor dan NNRTI dapat

pula mempertinggi atau menghambat sistem enzim ini dan berakibat terganggunya

kadar rifampicin dalam darah. Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat tidak

efektifnya sehingga terjadi penurunan kadar PI dan NNRTI dalam darah sampai

kadar sub-terapeutik yang berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya

resistensi obat. Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi atau

menghambat sistem enzim ini dan berakibat terganggunya kadar rifampicin dalam

darah. Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat tidak efektifnya obat ARV dan

terapi tuberkulosis serta meningkatnya risiko toksisitas obat, sehingga pemakaian

bersama obat-obat tersebut tidak direkomendasikan.44,45

Tabel 2.7.4 Rekomendasi untuk memulai terapi TBC pada penderita HIV/AIDS 45

Jumlah sel CD4 Regimen yang Keterangan


(per mm3) dianjurkan
< 200 Mulai terapi TBC Dianjurkan ARV:
Mulai ARV segera EFV adalah kontrainkasi untuk ibu
setelahditerapi hamil atau perempuan usia subur
TBC dapat ditoleransi tanpa kontrasepsi, sehingga EFV
(antara 2 minggu-2 dapat diganti
bulan) Paduan yang
mengandung
EFV
200 -350 Mulai terapi TBC Pertimbangan ARV:

28
Mulai salah satu paduan di bawah
ini setelah fase Intensif :
 Paduan yang mengandung
EFV
 Paduan yang mengandung
NVP jika paduan TBC fase
lanjutan tidak menggunakan
rifampisin
> 350 Mulai terapi TBC Tunda ARV
CD4 tidak Mulai terapi TBC Pertimbangan ARV
memungkinkan
untuk diperiksa
.

Sarkoma Kaposi jenis endemik, merupakan manifestasi keganasan yang

paling sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS. Penyakit yang disebabkan oleh

Cytomegalovirus ini ditandai dengan lesi-lesi tersebar di daerah mukokutan,

batang tubuh, tungkai atas dan bawah, muka dan rongga mulut. Bentuk lesi

berupa makula eritematosa agak menimbul, berwarna hijau kekuningan sampai

violet. Cara penularannya melalui kontak seksual. Karsinoma sel skuamosa tipe in

situ maupun invasif di daerah anogenital; limfoma terutama neoplasma sel

limfosit B; keganasan kulit non melanoma serta nevus displastik dan melanoma,

merupakan neoplasma lainnya yang sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS.44

Seperti halnya keganasan lain, tetapi sarkoma Kaposi akan lebih efektif

bila dalam keadaan baru dan besarnya terbatas. Radiasi, kemoterapi dan

imunomodulator interferon telah dicoba, yang sebenarnya lebih ditujukan untuk

memperpanjang masa hidup, sehingga lama terapi sulit ditentukan.44,45

Dalam keadaan tidak dapat mengurus dirinya sendiri atau dikhawatirkan

sangat menular, sebaiknya penderita dirawat di Rumah Sakit tipe A atau B yang

mempunyai berbagai disiplin keahlian dan fasilitas ICU. Perawatan dilakukan di

29
Unit sesuai dengan gejala klinis yang menonjol pada penderita. Harapan untuk

sembuh memang sulit, sehingga perlu perawatan dan perhatian penuh, termasuk

memberikan dukungan moral sehingga rasa takut dan frustrasi penderita dapat

dikurangi. Guna mencegah penularan di rumah sakit terhadap penderita lain yang

dirawat maupun terhadap tenaga kesehatan dan keluarga penderita, perlu

diberikan penjelasan-penjelasan khusus. Perawatan khusus diperuntukkan dalam

hal perlakuan spesimen yang potensial sebagai sumber penularan. Petugas yang

merawat perlu mempergunakan alat-alat pelindung seperti masker, sarung tangan,

yang jasa pelindung, pelindung mata, melindungi kulit terluka dari kemungkinan

kontak dengan cairan tubuh penderita dan mencegah supaya tidak terkena

bahan/sampah penderita.44,45

c. Pencegahan

Kegiatan pencegahan bagi kemungkinan penyebarluasan HIV/AIDS dapat

dilakukan dengan tujuan:45,46

a) Mencegah tertular virus dari pengidap HIV/AIDS.

b) Mencegah agar virus HIV tidak tertularkan kepada orang lain

Cara penularan dan beberapa hal yang perlu diperhatikan agar tidak

tertular oleh virus HIV ini adalah :46,47

1) Berperilaku seksual secara wajar

Risiko tinggi penularan secara seksual adalah para pelaku homoseksual,

biseksual dan heteroseksual yang promiskuitas. Penggunaan kondom pada

hubungan seks merupakan usaha yang berhasil untuk mencegah penularan;

30
sedangkan spermisida atau vaginal sponge tidak menghambat penularan

HIV.

2) Berperilaku mempergunakan peralatan suntik yang suci hama Penularan

melalui peralatan ini banyak terdapat pada golongan muda pengguna

narkotik suntik, sehingga rantai penularan harus diwaspadai. Juga

penyaringan yang ketat terhadap calon donor darah dapat

mengurangipenyebaran HIV melalui transfusi darah(38).

3) Penularan lainnya yang sangat mudah adalah melalui cara perinatal.

Seorang wanita hamil yang telah terinfeksi HIV, risiko penularan kepada

janinnya sebesar 50%.

Untuk mencegah agar virus HIV tidak ditularkan ke orang lain dapat

dilakukan dengan cara bimbingan kepada penderita HIV yang berperilaku seksual

tidak aman, supaya menjaga diri agar tidak menjadi sumber penularan. Pengguna

narkotik suntik yang seropositif agar tidak memberikan peralatan suntiknya

kepada orang lain untuk dipakai; donor darah tidak dilakukan lagi oleh penderita

seropositif dan wanita yang seropositif lebih aman bila tidak hamil lagi.

31

You might also like