You are on page 1of 3

Kasus Malpraktik Bisa Dikenakan Pada Perawat

Kasus-kasus yang terjadi berkaitan dengan malpraktik memang bisa menimbulkan berbagai
konsekuensi hukum yang harus ditanggung perawat dengan adanya perubahan status mereka.
Dari aspek pidana ini bisa-bisa mereka terkena hukuman badan atau kurungan. Dan, dari sisi
perdata, pasien bisa menuntut ganti rugi; dari segi profesi, mungkin terkena sanksi dari
Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan atau Keperawatan menyangkut etik dan disiplin.
Dan, dari rumah sakit, perawat bisa di-PHK-kan kalau sampai terjadi sesuatu yang
merugikan majikannya.

BAGAIMANA peran perawat di Indonesia? Menurut salah seorang panelis, secara nyata
belum tampak adanya perubahan yang jelas. Di banyak rumah sakit, perawat tampaknya
masih diperlakukan dan mendapat tugas dan wewenang seperti sebelumnya.
Padahal, ketentuan tentang perubahan dan lembaga pendidikan untuk meningkatkan
kemampuan perawat telah terbentuk. Dalam hal ini telah diselenggarakan jenjang pendidikan
keperawatan yang lebih tinggi, mulai dari akademi perawat, fakultas untuk program S1,
bahkan sampai program pascasarjana.
Selain itu, juga telah dikeluarkan Kepmenkes Nomor 647 Tahun 2000 tentang registrasi dan
praktik perawat. Menurut peraturan tersebut, perawat dapat melaksanakan praktik tidak saja
pada sarana pelayanan kesehatan, tetapi dapat pula melakukan praktik perseorangan atau
berkelompok. Meski begitu, dalam praktik memang belum ada perubahan peran atau tugas
perawat di Indonesia.
Dalam diskusi, beberapa peserta berpendapat, perubahan status perawat memang sudah
waktunya diberlakukan. Namun, baik panelis maupun peserta masih melihat beberapa
ketentuan belum mendukung ke arah itu.
Dari sisi profesi harus ditetapkan dulu tingkatan tanggung jawab untuk tiap jenjang
keperawatan. Organisasi keperawatan atau Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI)
harus menjelaskan perbedaan antara tugas dan tanggung jawab perawat profesional yang
berpendidikan sarjana dan diploma.
Berkaitan dengan perannya yang semakin besar, semestinya profesi perawat juga harus
mengetahui tanggung jawabnya dilihat dari aspek hukum. Namun, hal ini ternyata belum
diajarkan kepada mereka, seperti diungkapkan seorang panelis. "Di program D3 perawat
belum ada kurikulum atau pelajaran tentang hukum. Yang diberikan hanya soal etika.
Pelajaran hukum baru diberikan pada program S1," ujarnya.
Para perawat hendaknya perlu tahu sedikit banyak tentang hukum kedokteran atau hukum
kesehatan, misalkan tentang bioetik standar profesi kedokteran, rekam medik, dan etika
kedokteran.

Hal itu antara lain karena belum adanya asuransi untuk malpraktik keperawatan, dan belum
ada hal yang mengatur tentang solusi bila terjadi perselisihan dengan profesi dokter atau
masalah malpraktik, dan kesalahan dalam pemberian advokasi atau konsultasi oleh seorang
perawat kepada pasiennya.
Dari sisi peraturan, panelis juga mengungkapkan ada satu celah yang belum terisi yang
menyangkut perlindungan konsumen kesehatan. Saat ini memang ada Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dari undang-undang itu kemudian keluar
peraturan pemerintah. Namun, belum ada peraturan pelaksanaan (PP) tentang standar profesi
keperawatan, hak pasien, dan ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan, termasuk perawat.
Sementara itu, pihak perawat, seperti yang terungkap dalam diskusi, belum melihat adanya
pengaturan atau konsep tentang cara dan pemberian imbalan yang seimbang dengan
penambahan tanggung jawab hukum yang diembannya. "Dengan imbalan yang kecil, kami
tentu keberatan bila harus menanggung risiko dan tanggung jawab yang besar," ungkap salah
seorang perawat dari sebuah rumah sakit umum di Jakarta.
Menurut panelis, dalam hal ini harus ada upaya untuk menetapkan imbalan untuk setiap
pelayanan yang diberikan oleh perawat. Perawat hendaknya tidak hanya mendapat gaji, tetapi
juga imbalan lain sesuai dengan jasa yang diberikan.

Sementara itu, panelis lain berpendapat, dengan adanya ketentuan baru maka hal lain yang
mendesak dilakukan adalah penyiapan rekomendasi dari organisasi keperawatan, dalam hal
ini PPNI. Karena menurut Kepmenkes tersebut, Surat Izin Kerja Perawat (SIKP)-Pasal 9-dan
Surat Izin Praktik Perawat (SIPP)-Pasal 12-mensyaratkan adanya rekomendasi dari organisasi
profesi perawatan untuk pengeluaran izin tersebut.
Registrasi pada Konsil Keperawatan diperlukan sebagai tindakan untuk memperoleh
kewenangan formal melakukan pekerjaan keperawatan yang dapat membahayakan pasien
atau klien. Dalam hal ini, harus ditetapkan persyaratan apa saja yang diperlukan bagi anggota
PPNI untuk dapat diregistrasi pada konsil tersebut. Konsil Keperawatan tersebut sudah ada
naskah akademik dan rancangan UU-nya, namun belum sampai masuk ke DPR.
Registrasi keperawatan ini harus diatur dalam UU karena praktik keperawatan menyangkut
masalah hak asasi manusia, atau dapat mengakibatkan konsekuensi hilangnya nyawa pasien.
Registrasi yang dilakukan di konsil (council) itu juga merupakan satu usaha atau proses yang
diperlukan untuk membantu perawat memperoleh kewenangan formalnya, yang dengan itu ia
juga dapat meningkatkan kemampuan dan kesejahteraannya. Sebagai seorang karyawan yang
mendapat kewenangan, ia juga mendapatkan hak pendapatan yang dijamin oleh UU itu.
Dengan meningkatkan perubahan status, tanggung jawab, dan wewenang, seorang perawat
memang harus menghadapi peluang dan tantangan. Selain dapat meningkatkan kemampuan
profesi dan kesejahteraannya, di balik itu ia juga harus berani menanggung risiko bila terjadi
hal-hal negatif dalam menjalankan tugasnya

You might also like