You are on page 1of 10

1.

Anatomi hidung
Rongga hidung merupakan suatu ruangan yang kaku yang letaknya memanjang dari
nares anterior ke arah koana bergabung dengan nasofaring. Bagian dalam hidung
panjangnya 10-12 cm. Rongga hidung dibagi 2 oleh septum nasi. Katup hidung (nasal
valve) berada lebih kurang 1,3 cm dari nares anterior dan merupakan segmen
tersemput serta tahanan terbesar dari jalan nafas hidung. Di dinding lateral hidung
terdapar konka superior, konka media, dan konka inferior serta meatus superior,
meatus media, dan meatus inferior. Konka dapat berubah ukuran sehingga dapat
mempertahankan lebar rongga udara yang optimum. Tiga fungsi utama hidung adalah
sebagai organ pembau (olfactory). Respirasi dan proteksi. Obstruksi saluran nafas
dapat terjadi karena vasodilatasi, edema mukosa, sumbatan bronkus dan kontraksi otot
polos. Pada rinitis pernan vasodilatasi ini sangat menonjol.
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah
- Pangkal hidung
- Dorsum nasi
- Puncak hidung
- Ala nasi
- Lubang hidung







2. Rhinitis Alergi
Rhinitis alergi merupakan suatu proses inflamasi dari mukosa hidung yang diperantai
oleh immunoglobulin E (IgE) setelah terpapar alergen. Meurut WHO rhinitis alergi
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantai oleh IgE.






3. Etiologi
Rhinitis alergi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik
memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran
penting. Apabila kedua orang tua atopi, maka resiko atopi menjadi 4 kali lebih besar
atau mencapai 50%. Peran lingkungan dalam rhinitis alergi yaitu alergen. Adapun
alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama usaha
pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk
sari dan lain-lain.
Berdasarkan cara masuknya alegen dibagi atas:
a. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan
Misalnya: tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan
serta jamur.
b. Alergen Ingestan yang masuk ke saluran cerna berupa makanan,
Misalnya: susu sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, dan kacang-
kacangan.
c. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan
Misalnya: penisilin dan sengatan lebah
d. Alergen kontakan, yangmasuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa
Misalnya: bahan kosmetik, perhiasan.




4. Patofisiologi
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang di awali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
reaksi alergi fase cepat (RFAC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4
jam denga puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-28 jam.
Pada tahap pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, magrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berploriferasi menjadi Th1 dan Th2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL 2, IL4, IL5 dan IL 13.
IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan di ikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifiik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dindinng sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk terutama histamin. Selain itu juga dikeluarkan mediator
prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien D4, leukotrin C4, bradikinin, platelet activating
factor (PAF) dan berbagai sitokin. IL3, IL4, IL5,IL6 inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Tipe Cepat.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung syaraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hiper sekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sunusoid.




5. Klasifikasi
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi
menjadi:
a. Intermiten
Bila gejala kurang dari 4 hari/ minggu
Atau bila kurang dari 4 minggu.
b. Persisten
Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu
dan atau lebih dari 4 minggu

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
a. Ringan
Bila tidak ditemukan ganguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga,
belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.
b. Sedang-berat
Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

6. Gejala Klinis
Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari lebih dari 5 kali
setiap serangan, keluar ingus(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat baik
menetap atau hilang timbul, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).
Pada anak-anak sering gejala tidak khas dan yang sering dikeluhkan adalah hidung
tersumbat. Pada anak-anak, akan ditemukan tanda yang khas seperti:
Allergic salute adalah gerakan pasien menggosok hidung dengan tangannya
karena gatal.
Allergic crease adalah alur yang melintang di sepertiga bawah dorsum nasi
akibat sering menggosok hidung.
Allergic shiner adalah bayangan gelap di bawah mata yang terjadi akibat stasis
vena sekunder akibat obstruksi hidung.
"Bunny rabbit" nasal twiching sound adalah suara yang dihasilkan karena
lidah menggosok palatum yang gatal dan gerakannya seperti kelinci
mengunyah.



7. Diagnosis
a. Anamnesis
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Pada anamnesis
didapati keluhan serangan bersin yang berulang. Gejala rhinitis alergi yang khas
adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala
yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah
besar debu.
Hal ini merupakan meknisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri
( self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan
kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Karena itu
perlu ditanyakan riwayat atopi pada pasien. Gejala lain adalah keluar ingus
(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).

b. Pemeriksan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertaiadanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior ta
mpak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas
tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di
daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak
anak menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan
ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garismelintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah,
yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-
langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi
(facies adenoid ). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance).

c. Pemeriksaan Penunjang
Uji Kulit Cukit (Skin Prick Test). Tes ini mudah dilakukan untuk
mengetahui jenis alergen penyebab alergi. Tes ini mempunyai sensitifitas
dan spesifitas tinggi terhadap hasil pemeriksaan IgE spesifik.
Pemeriksaan sitologis atau histologis, bila diperlukan untuk menindak
lanjuti respon terhadap terapi atau melihat perubahan morfologik dari
mukosa hidung. Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh
darah (vaskular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk
mucus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel eosinofil pada jaringan
mukosa dan submukosa hidung.
Tes Provokasi Hidung (Nasal Challenge Test), dikerjakan dengan cara
menempelkan atau menyemprotkan sejumlah kecil alergen/antigen kepada
mukosa inferior hidung. Tes ini dilakukan bila ada keraguan dan kesulitan
dalam mendiagnosis rinitis alergi, dimana riwayat alergi positif, tetapi
hasil tes alergi selalu negatif.

8. Penatalaksanaan
Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia seperti histamin yang dilepaskan oleh
sel mast yang dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE spesifik yang melekat
pada reseptornya di permukaan sel tersebut. Tujuan pengobatan rinitis alergi adalah:
Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan
inflamasi.
Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas
sehari-hari.
Mengurangi efek samping pengobatan.
Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat. Termasuk dalam hal
mengubah gaya hidup seperti pola makan.
Untuk mencapai tujuan pengobatan rinitis alergi, dapat diberikan obat-obatan
sebagai berikut.
a. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya.
b. Antihistamin
Antihistamin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan rinnitis alergi.
Obat ini bekerja secara kompetitif dengan mediator alergi, histamin, pada reseptor
Histamin-1. Efeknya berupa mengurangi vasodilatasi, hipersekresi kelenjar
mukus, dan refleks iritasi untuk bersin. Antihistamin yang bekerja pada reseptor
H-1 dibagi menjadi dua generasi berdasarkan sifat sedatifnya, generasi pertama
bersifat sedatif karena bersifat lipofilik dan generasi kedua bersifat lipofobik.
Contoh antihistamin generasi pertama adalah klorfeniramin, difenhidramin,
siproheptadin. Antihistamin generasi kedua memiliki keuntungan tidak
menyebabkan sedasi, namun efek samping lain ternyata dilaporkan suatu kasus
kecil berupa anemia aplastik dan golongan tertentu tidak boleh diberikan pada
penderita dengan gangguan jantung karena menyebabkan aritmia.
Antihistamin generasi kedua yang aman adalah loratadin, setirizin, feksofenadin.
Dianjurkan konsumsi antihistamin agar diminum secara reguler dan bukan
diminum seperlunya saja karena akan memberikan efek meredakan gejala alergi
yang efektif. Apabila antihistamin generasi pertama dipilih, maka pemberian
secara reguler akan memberi toleransi kepada pasien terhadap efek sedasi
sehingga ia mampu tetap toleran terhadap pekerjaanya.
c. Dekongestan
Dekongstan oral berkerja mengurangi edema pada membran mukus hidung karena
bersifat vasokonstriksi (alfa adrenergik), sehingga efek obat ini melengkapi
pengobatan gejala rinitis alergi oleh antihistamin dengan mengurangi edema
membran mukus. Efek vasokontriksi terjadi dalam 10 menit, berlangsung selama
1 sampai 12 jam. Contoh obat dekongestan oral adalah pseudoefedrin,
fenilpropanolamin, fenilefrin. Pemakainnya terbtas selama 10 hari. Dianjurkan
pemberian dekongestan oral dibandingkan dekongestan topikal karena efek
"rebound phenomena" obat tersebut terhadap mukosa hidung yang dapat
menyebabkan rinitis medikamentosa. Pemberian obat ini merupakan
kontraindikasi bila pasien sedang mengonsumsi atau dalam fase"tappering off"
dari obat-obatan monoamin oksidase inhibitor karena bahaya akan terjadi krisis
hipertensi.
d. Kortikosteroid
Kadar histamin dikurangi dengan mencegah konversi asam amino histidin
menjadi histamin, selain itu kortikosteroid juga meningkatkan produksi c-AMP sel
mast. Secara umum kortikosteroid mencegah epitel hidung bersifat sensitif
terhadap rangsangan alergen baik pada fase cepat maupun lambat. Efek
kortikosteroid bekerja secara langsung mengurangi peradangan di mukosa hidung
dan efektif mengurangi eksaserbasi. Preparat yang tersedia seperti beklometason,
budesonid, dan flunisolid. Efek samping kortikosteroid inhalasi lebih kecil
dibanding steroid sistemik kecuali pasien diberikan dalam dosis sangat tinggi
atau sedang menjalani pengobatan penyakit paru. Efek Kortikosteroid topical
(beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan triamsino
lon). Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada
mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,
mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan
epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada
respons fase cepat dan lambat). Efek samping sistemik dari pemakaian jangka
panjang kortikosteroid sistemik baik peroral atau parenteral dapat berupa
osteoporosis, hipertensi, memperberat diabetes, obesitas, katarak, glaukoma.
e. Imunoterapi
Cara ini lebih dikenal sebagai desensitisasi atau hiposensitisasi.Caranya adalah
dengan memberikan injeksi berulang dan dosis yang ditingkatkan dari alergen,
tujuannya adalah mengurangi beratnya reaksi tipe I atau bahkan menghilangkan
sama sekali. Imunoterapi bekerja dengan pergeseran produksi antibodi IgE
menjadi produksi IgG atau dengan cara menginduksi supresi yang dimediasi
oleh sel T (lebih meningkatkan produksi Th1 dan IFN-y). Dengan adanya IgG,
maka antibodi ini akan bersifat "blocking antibody" karena berkompetisi dengan
IgE terhadap alergen, kemudian mengikatnya, dan membentuk kompleks antigen-
antibodi untuk kemudian difagosit. Akibatnya alergen tersebut tidak ada dalam
tubuh dan tidak merangsang membran mastosit.
f. Sodium kromolin
Bekerja pada intraseluler dengan menstabilkan dinding sel mastosit yaitu berupa
mencegah pelepasan mediator-mediator ke luar sel. Kerja dari obat ini adalah
dengan menghambat influks Ca2+ lebih banyak ke dalam sel mast sehingga
degranulasi mediator terhambat. Obat ini dapat diberikan sebagai pilihan
alternatif apabila antihistamin tidak dapat ditoleransi pada pasien.

9. Diagnosis Banding
NARES (non-allergic rhinitis with eosinophilic syndrome) dapat disingkirkan bila tes
kulit menunjukkan positif terhadap alergen lingkungan. Penyebab keluhan pada
NARES adalah alergi pada makanan. Rinitis vasomotor dapat dibedakan dengan
rinitis alergi dengan keluhan bersin pada perubahan suhu ekstrim,rokok, tidak terdapat
gatal pada mata, udara lembab, hidung tersumbat pada posisi miring dan
bergantian tersumbatnya. Selain itu mukosa yang pucat atau merah gelap, licin,edema
juga mendukung rinitis vasomotor. Pada tes kulit bernilai negatif.
Rinitis alergi dan vasomotor dapat pula terjadi bersamaan dengan memberi gambaran
rinoskopi anterior yang bercampur seperti mukosa pucat tetapi positif pada tes kulit.
Sekresi hidung yang kekuningan dan tampak purulen tetapi eosinofilik sering terjadi
pada rinitis alergi, tetapi pada sekresi yang berbau busuk dan purulen dan terjadi
unilateral perlu dicurigai adanya benda asing.
10. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
Polip Hidung
Alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip
hidung dan kekambuhan polip hidung.
Sinusitis Para Nasal









JURNAL READING

You might also like