You are on page 1of 4

JANGAN TENANG-TENANG BILA SI KECIL

PASIF
Bayi Anda lebih suka nonton teve dan didongengi daripada beraktivitas aktif atau
berinteraksi? Segera ubah pola asuh Anda.

Di usia 0-12 bulan, bayi memang belum bisa


melakukan banyak hal seperti anak batita. Namun ia
sudah memiliki naluri lahiriah untuk selalu aktif,
entah bergerak, bersuara, dan memandang. Jadi
patut dipertanyakan jika si kecil sampai tak memiliki
hasrat untuk berkegiatan aktif atau lebih banyak diam
tak mengeluarkan suara, jarang bergerak,
pandangannya tidak antusias, dan malas diajak
bermain yang menuntut keaktifan panca indra dan
anggota tubuh.

Menurut Erfianne Cicilia, Psi., dengan bayi aktif


bergerak, bersuara, memandang, dan merespons setiap stimulus yang datang atau
diberikan, menandakan panca indranya baik, otaknya aktif, ciri sedang belajar dan
ingin mengembangkan kemampuannya. Malah aktifnya si kecil, tambah psikolog dari
LPT UI yang akrab disapa Fifi ini, "Sebenarnya merupakan ciri bahwa bayi mau dan
ingin menerima hal-hal baru untuk dipelajari dan digunakan demi kepentingan dan
kebaikannya."

Karena itu, sungguh disayangkan jika bayi hanya menerima masukan dari satu sisi
saja. Sementara tugas perkembangan bayi itu banyak sekali, yang tentunya tak
akan cukup distimulasi dan dikembangkan jika aktivitasnya hanya mendengar dan
menonton saja. Jikapun kecerdasannya tampak bagus, ya sebatas bidang itu saja.
Bagaimana dengan kecerdasan yang lain, seperti sosialisasi dan motorik, mampukah
dikembangkan oleh si bayi dengan baik?

Jelas, orang tua harus mempertanyakan jika bayinya jarang menangis, tak kunjung
bersuara, kurang menggerakkan anggota badan, atau tenang saja meski telat diberi
ASI atau makanan pendamping ASI, karena pasti ada apa-apa pada diri si kecil.
Untuk itu, sarannya, "Orang tua harus banyak belajar supaya mengetahui
perkembangan dan kondisi anak yang seharusnya. Sehingga saat bayinya tidak
menunjukkan sesuatu yang semestinya terjadi, orang tua bisa lekas tanggap untuk
mengatasi dan memeriksakan ke ahlinya."

PENYEBAB BAYI MENJADI PASIF


Ada banyak penyebab bayi lebih senang kegiatan pasif, tetapi yang paling umum
dan sering ditemukan, menurut Fifi, adalah karena:

1. Fisik si bayi tak memungkinkan dirinya untuk aktif alias kegemukan. Jadi dia
cukup kerepotan dan kecapekkan untuk menggerakan anggota tubuhnya.

2. Si bayi memiliki gangguan neurologi atau kelainan fungsi saraf. Bisa juga ada
kelainan pada panca indra atau anggota tubuh lainnya. Tentu hal ini harus
diperiksakan ke dokter dan hanya dokter yang bisa memutuskan ada apa pada diri si
bayi.

3. Orang tua memiliki keyakinan bahwa bayi yang anteng adalah anak yang penurut
dan baik. Karena itu orang tua mengondisikan bayinya untuk selalu anteng dengan
memberikan stimulasi yang membuat si kecil pasif, seperti menonton teve.

4. Orang tua sudah cukup puas dengan bayinya yang dianggapnya baik dan pintar
karena diam saja, lebih banyak melihat dan mendengar. Karena menurutnya, bayi
yang rewel itu nyusahin. Padahal, bayi anteng itu bisa karena dia tidak menerima
stimulus apa-apa, atau ada apa-apa pada anggota tubuh juga panca indranya.

5. Orang tua tidak ekspresif. Sekalipun berinteraksi, tetapi ekspresinya datar


sehingga si anak tak terpancing untuk memberikan respons. Reaksinya pasti jauh
berbeda bila kita menyapanya dengan ekspresi muka dan gerak tubuh yang
ekspresif. Si kecil jadi lebih ceria, tertantang, dan aktif bergerak jika stimulusnya
ekspresif.

6. Orang tua mengajak bayi berinteraksi secara pasif. Misalnya, menggendong bayi
sambil ngobrol dengan orang lain atau malah nonton teve.

7 EFEK YANG HARUS DIWASPADAI


Anak-anak yang lebih senang berkegiatan pasif besar kemungkinan tak mencapai
tahap-tahap perkembangan yang seharusnya ia tapaki. Kecuali jika orang tua cepat
tanggap dan lekas memperbaiki diri. Kalau tidak, ujar Fifi, anak kurang mendapat
pengalaman dan kesempatan emas yang mungkin akan sangat baik untuknya di
kemudian hari.

Selain itu, tambahnya, ada hal-hal tertentu yang bisa kita lihat langsung, yang
merupakan efek jika si kecil lebih pasif dari anak normal pada umumnya:

1. Motorik bayi tidak terstimulasi dengan baik. Bisa jadi perkembangan dan
kemampuan motoriknya akan lebih jelek dari bayi normal lainya.

2. Karena kepasifannya itu, tentu si bayi tidak terstimulasi dengan baik dan lengkap
untuk urusan sosialisi, kepekaan sosial, dan interaksi sosial. Kelak di usia berikutnya
ia mungkin akan mengalami kesulitan dalam berteman, bergaul, sharing, mengerti
orang lain, dan saling membantu.

3. Tak menutup kemungkinan ia tumbuh menjadi anak yang hanya mau enaknya
saja alias selalu minta "disuapi". Mengapa? Karena ia selalu saja dikondisikan untuk
menjadi penerima pasif.
4. Karena selalu anteng, seumpama pipis diam saja, lapar asyik saja, haus tak
pernah protes, dan lainnya, maka kemungkinannya si kecil tak bisa mengenali diri
sendiri, tidak tajam sensitivitasnya, dan kurang baik emosinya.

5. Bisa juga ia menjadi takut mencoba segala sesuatu yang baru.

6. Efek lainya yang mungkin saja terjadi adalah kekurangan gizi.

7. Lebih buruk lagi, ia punya suatu masalah neurologis. Empat masalah terakhir ini
mesti ditangani oleh ahlinya jika sampai terjadi.

Memang, diakui Fifi, ketujuh efek tadi belum tentu terbawa si bayi hingga besar.
Walau bagaimana pun, di usia 1-3 tahun nanti ia akan memasuki lingkungan yang
lebih luas jika dimasukkan ke sebuah kelompok bermain, lalu di usia 3-5 tahun
masuk TK, dan di usia 6-12 tahun masuk SD. "Jadi, perubahan-perubahan mungkin
saja terjadi seiring bertambahnya usia dan pengalaman si anak."

Hanya saja, biasanya kecerdasan anak yang di masa bayinya pasif tidak akan
setingkat dengan anak-anak yang banyak mendapat stimulasi aktif di masa bayinya.
Maksudnya, anak-anak seperti ini tentu memiliki PR yang berat dan sulit untuk bisa
mengejar ketertinggalanya. Ibarat, orang lain sudah ke bulan, dia baru belajar bikin
pesawatnya dan menjadi astronot. Saat dia baru bisa sampai di bulan, orang lain
malah sudah sampai planet Mars. Begitulah kondisi si kecil.

BERIKAN STIMULASI AKTIF


Nah, agar terhindar dari efek negatifnya, mulai detik ini juga imbangi aktivitas pasif
si bayi. Caranya? Simak saran Fifi berikut ini!

* Langkah pertama yang harus orang tua lakukan adalah mengubah kebiasaan diri
sendiri atau si pengasuh yang tidak ekspresif dan ogah-ogahan dalam menghadapi
anak. Mengapa? Karena, program apa pun yang akan diberikan, jika interaksi
dengan anak tidak ekspresif dan ogah-ogahan, maka sama juga bohong.

* Ingatlah, tak ada kata terlambat dalam menstimulasi anak. Sekalipun hal ini baru
orang tua sadari setelah si bayi berusia 5 bulan, misal. Orang tua tetap bisa
memberikan stimulasi aktif untuk memperbaikinya.

* Ketahui lebih dulu, apa saja tugas-tugas perkembangan anak di usia 0-12 bulan.
Kemudian, mulailah memberikan stimulasi dari kekurangan anak pada saat itu,
tanpa melihat tugas perkembangan yang seharusnya dicapai anak pada saat itu.
Contoh, sekarang si kecil berusia 10 bulan. Karena dia lebih suka kegiatan pasif,
maka dia belum bisa mencapai tahapan berdiri sambil berpegangan dan menjimpit.
Nah, saat itu kita jangan dulu memberikan stimulasi sesuai dengan usianya, tapi
berikanlah stimulasi dari ketertinggalanya terlebih dahulu. Misalnya mengajari bayi
berjalan dengan ditatih dan memberinya butiran makanan yang kecil dan aman
supaya motorik halusnya terlatih dengan baik.
* Jangan hilangkan optimisme dalam hati orang tua. Yakinlah, anakku pasti bisa.
Tinggal bagaimana saya dan si pengasuh bisa membingbing dan mengarahkanya.

* Orang tua jangan terlalu cemas menghadapi masalah ini, apalagi sampai
membanding-bandingkan bayi sendiri dengan bayi lain. Tak ada gunanya mendorong
terlalu keras, karena anak akan menolak. Apalagi setiap anak itu unik! Bila kita rajin
memberikan stimulasi walau agak terlambat, kelak dia bisa kok mencapai tahapan-
tahapan perkembangan dengan baik.

* Untuk lebih pasti seperti apa cara menstimulasi anak yang mengalami problema
ini, disarankan agar orang tua berkonsultasi pada dokter dan psikolog. Bisa jadi, cara
menstimuasi anak A dengan anak B belum tentu sama, sekalipun kasusnya sama.

* Lakukan selalu stimulasi pada si kecil dengan sungguh-sungguh dan ekspresif.


"Halo, Sayang... ada apa panggil-panggil Ayah? Oh, mau belajar jalan ya! Yuk,
belajar jalannya di halaman. Satu... dua... tiga... horeee bisa! Yuk, kita coba lagi
sampai bisa. Kalau sudah capek bilang ya, nanti kita istirahat dulu," misalnya.

Gazali Solahuddin. Foto: Iman/nakita

You might also like