You are on page 1of 137

Journal of Business and Entrepreneurship

ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013





Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan
Journal of Business and Entrepreneurship


Volume 1, No 1, January 2013


Contents

PENGARUH KETIDAKPASTIAN LINGKUNGAN, STRATEGI BISNIS DAN KEBIJAKAN
TEKNOLOGI TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN: STUDI EMPIRIK PERUSAHAAN
TEKSTIL DAN GARMEN INDONESIA, 2005-2008
Pulung Peranginangin

ANALISIS KARAKTERISTIK PERUSAHAAN MELALUI ALIANSI STRATEJIK
INTERNASIONAL
Chandra Alamsyah

NET INTEREST MARGIN: BANK PUBLIK DI INDONESIA
Adler Haymans Manurung dan Anugraha Dezmercoledi

PELUANG KEWIRAUSAHAAN SEKOLAH MELALUI KREATIVITAS DAN INOVASI
Hendra Manurung

KINERJA REKSA DANA TERPROTEKSI DI INDONESIA
Bayu Bandono, Noer Azzam A, Nunung Nuryartono, dan Adler H. Manurung














Sampoerna School of Business
Building D. Mulia Business Park
Jl. Letjen MT. Haryono Kav. 58-60
Jakarta 12780
Telepon + 62 21 794 2340
Fax + 62 21 794 2330
jurnal.bisnis@ssb.ac.id
www.ssb.ac.id
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

ISSN: 2302 4119
Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan
Volume 1, Nomor 1, Januari 2013

Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan diterbitkan atas kerjasama Sampoerna School of Business, dengan frekuensi terbit
tiga kali setahun, pada bulan Januari, Mei, Oktober.

Editor In Chief
Prof. Dr. Adler Haymans Manurung Sampoerna School of Business

Managing Editor
Romora Edward Sitorus, M.Sc. Sampoerna School of Business

Advisory Board
Budi Widjaja Soetjipto, Ph.D Sampoerna School of Business
Dr. Chandra Alamsyah Sampoerna School of Business
Prof. Dr. Paulina Pannen Sampoerna School of Education
Prof. Rositsa Bateson Universitas Siswa Bangsa Internasional

Peer Reviews
Prof. Ferdinand D. Saragih Universitas Indonesia
Hilda Rosieta Argawal Ph.D Universitas Indonesia
Bambang Setiono, Ph. D Sampoerna School of Business
Dr. Siti Nurwahyuningsih Harahap Universitas Indonesia
Tatang Ary Gumanti, Ph.D University of Jember
Dr. Koes Pranowo, SE., MSM PT Transocean Maritime
Dr. Andam Dewi PT Bursa Berjangka, Jakarta
Wahyu Soedarmono, S.Si, DEA Ph.D Sampoerna School of Business
Ir. Muhril Ardiansyah, M.Sc., Ph.D Sampoerna School of Business
Hoetomo Lembito, MBA., PT. United Total Support
Dr. Pulung Peranginangin PT Vivere Multi Kreasi
Dr. Arlan Septia A. R. PT. Reka Raga Resources
Dr. Sjamsul Arifin Bank Indonesia

Editorial Board
Ir. Hilarius Bambang Winarko, MM. Sampoerna School of Business
Lufina Mahadewi, S.Kom, MM, M.Sc. Sampoerna School of Business
Nuruzzaman Arsyad, M.Sc. Sampoerna School of Business
Anugraha Dezmercoledi, M.Sc. Sampoerna School of Business

Editorial Office
Redaksi Bisnis dan Kewirausahawan

Sampoerna School of Business
Building D. Mulia Business Park
Jl. Letjen MT. Haryono Kav. 58-60
Jakarta 12780
Telepon + 62 21 794 2340
Fax + 62 21 794 2330
jurnal.bisnis@ssb.ac.id
www.ssb.ac.id

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013



Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan
Journal of Business and Entrepreneurship




Volume 1, Nomor 1, Januari 2013


PENGARUH KETIDAKPASTIAN LINGKUNGAN, STRATEGI BISNIS DAN KEBIJAKAN
TEKNOLOGI TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN: STUDI EMPIRIK PERUSAHAAN
TEKSTIL DAN GARMEN INDONESIA, 2005-2008
Pulung Peranginangin


ANALISIS KARAKTERISTIK PERUSAHAAN MELALUI ALIANSI STRATEJIK
INTERNASIONAL
Chandra Alamsyah


NET INTEREST MARGIN: BANK PUBLIK DI INDONESIA
Adler Haymans Manurung dan Anugraha Dezmercoledi


PELUANG KEWIRAUSAHAAN SEKOLAH MELALUI KREATIVITAS DAN INOVASI
Hendra Manurung


KINERJA REKSA DANA TERPROTEKSI DI INDONESIA
Bayu Bandono, Noer Azzam A, Nunung Nuryartono, dan Adler H. Manurung
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

i

Dari Redaksi


Perkenankan kami dari Journal of Business and Entrepreneurship mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak atas terbitnya jurnal ini. Jurnal ini diterbitkan 3 edisi dalam setahun
atau satu volume oleh Sampoerna School of Business. Topik yang menjadi pembahasan dalam
jurnal ini sangat beragam mengingat nama jurnal juga mengandung semua aspek.
Pada Jurnal pertama ini, kami memuat lima tulisan yang dimulai oleh Sdr. Pulung
Peranginangin dari PT PT Vivere Multi Kreasi dan juga Dosen di Sampoerna School of Business
dengan judul yaitu: PENGARUH KETIDAKPASTIAN LINGKUNGAN, STRATEGI
BISNIS DAN KEBIJAKAN TEKNOLOGI TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN:
STUDI EMPIRIK PERUSAHAAN TEKSTIL DAN GARMEN INDONESIA, 2005-2008.
Penelitian ini ingin melihat gambaran perusahaan tekstil dan garmen Indonesia pada bulan
September 2008 sampai November 2008. Penelitian menggunakan analisis ANOVA untuk
melihat ada tidaknya perbedaan antara kelompok responden bidang usaha yang terbagi tiga,
yakni tekstil, garmen dan produk campuran tekstil/garmen (mixed textiles and garment) dalam
empat aspek yaitu: environment uncertainty, business strategy, technology policy dan firm
performance, menganalisa ada tidak perbedaan antara Area (Wilayah) Pemasaran yaitu:
domestik, ekspor dan campuran domestik/ekspor (mixed domestic/export) untuk aspek-aspek
yang sama. Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu perusahaan tekstil yang
memiliki penjualan rata-rata 100-500 miliar rupiah/tahun, dengan jumlah pegawai 100-3000
orang, mempunyai kontribusi paling besar yang dihasilkan dari area pemasaran domestik, dan
terdapat perbedaan antara kelompok bidang usaha campuran (mixed textiles/garment) dengan
garmen saja pada satu variable yakni technology policy dan antara bidang usaha mixed dengan
tekstil saja pada satu variable firm performance, sedangkan untuk aspek lainnya tidak terdapat
perbedaan. Selain itu, ditemukan pula perbedaan antara kelompok area pemasaran ekspor-saja
dengan area pemasaran campuran (mixed domestic/export) dan dengan area pemasaran
domestik-saja pada satu variable yakni firm performance, sedangkan untuk aspek lainnya tidak
terdapat perbedaan.
Tulisan kedua berjudul ANALISIS KARAKTERISTIK PERUSAHAAN MELALUI
ALIANSI STRATEJIK INTERNASIONAL ditulis oleh Sdr. Chandra Alamsyah, Dosen di
Sampoerna School of Business. Tulisan ini mempunyai tujuan untuk mendapatkan gambaran
secara deskriptif mengenai karakteristik perusahaan yang melakukan alih pengetahuan tacit
melalui aliansi stratejik internasional antara negara maju dengan negara berkembang ditinjau dari
sudut pandang negara berkembang sebagai penerima pengetahuan. Sampel penelitian dilakukan
terhadap 101 responden yang terdiri dari para CEO atau TMT dari perusahan lokal. Adapun hasil
penelitian ini mengindikasikan masih terdapatnya kesenjangan terhadap technical skill serta
gaya manajemen yang berbeda antara negara maju sebagai pemberi pengetahuan dengan negara
berkembang sebagai penerima pengetahuan. Namun demikian walaupun R&D masih lemah,
beberapa perusahaan lokal juga telah mampu mengembangkan ide baru menuju ke inovasi.
Untuk itu kepercayaan merupakan salah satu faktor kunci yang sangat penting untuk
keberhasilan alih pengetahuan serta mendapatkan pengetahuan yang berkualitas.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

ii

Tulisan ketiga ditulis oleh Adler Haymans Manurung dan Anugraha Dezmercoledi,
Pengajar dari Sampoerna School of Business dengan judul NET INTEREST MARGIN:
BANK PUBLIK DI INDONESIA. Tulisan ini bertujuan mempelajari determinan dari Net
Interest Margin di Indonesia dengan sampel bank yang menjadi perusahaan publik. Adapun
sampel yang menjadi penelitian yaitu bank yang mempunyai pendapatan positif selama lima
tahun 2007 sampai dengan 2011. Penelitian ini menggunakan metode panel data dalam
menganalisis determinan net interest margin. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa NIM
bank yang sahamnya diperdagangkan di BEI sebesar 6,04% dan variasinya 2,46 persen. Peubah
yang signifikan secara statistik mempengaruhi NIM yaitu peubah BOPO, kekuatan pasar (MPR)
dan size bank tersebut. BOPO dan kekuatan pasar mempunyai hubungan positif dengan Net
Interest Margin sementara size mempunyai hubungan negative.
Tulisan keempat berjudul PELUANG KEWIRAUSAHAAN SEKOLAH MELALUI
KREATIVITAS DAN INOVASI ditulis Sdr. Hendra Manurung, Dosen dari Universitas
Presiden. Tulisan ini membahas pengembangan kewirasusahaan sekolah yang dilakukan dengan
kreatifitas dan invovasi. Adapun pemikiran yang disampaikan dalam tulisan dalam rangka
pengembangan kewirausahaan bahwa semangat dan jiwa wirausaha tidak hanya dimiliki oleh
pengusaha tetapi juga semua orang, minimal mampu berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk
meningkatkan nilai tambah (manfaat) dari hasil usahanya. Oleh karenanya diharapkan adanya
upaya aktualisasi jiwa dan semangat kewirausahaan dalam sikap dan perilaku kepala sekolah
bersama warga sekolah. Pada akhirnya, berkembang good practice kewirausahaan sekolah dan
tata kelola sekolah yang baik (good school governance) bernuansa kewirausahaan.
Tulisan kelima berjudul KINERJA REKSA DANA TERPROTEKSI DI INDONESIA
ditulis oleh Bayu Bandono dari Bapepam; Noer Azzam A dan Nunung Nuryartono dari Institut
Pertanian Bogor, dan Adler H. Manurung dari Sampoerna School of Business. Tujuan paper ini
membahas kinerja Reksa Dana Terproteksi dengan menggunakan risk adjusted return yang
diperkenalkan Treynor, Sharpe dan Jensen. Adapun hasil penelitian ini memberikan kesimpulan
yaitu hasil tingkat pengembalian Reksa Dana Terporteksi dapat melebihi patokanya tingkat
pengembalian SBI bahkan tingkat pengembalian IHSG.
Kami dari redaksi melalui pengantar editorial ini kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang membantu terbitnya jurnal ini. Kami berharap teman-teman pengajar di
seluruh penjuru dunia dapat mengirimkan tulisan untuk dipublikasikan pada jurnal ini.

Hormat kami,

Prof. Dr.Adler Haymans Manurung
Chief Editor








Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

iii



Daftar Isi

DARI REDAKSI i ii
DAFTAR ISI .. iii

PENGARUH KETIDAKPASTIAN LINGKUNGAN, STRATEGI BISNIS DAN KEBIJAKAN
TEKNOLOGI TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN: STUDI EMPIRIK PERUSAHAAN
TEKSTIL DAN GARMEN INDONESIA, 2005-2008
Pulung Peranginangin.............................................................................................................................1 - 27

ANALISIS KARAKTERISTIK PERUSAHAAN MELALUI ALIANSI STRATEJIK
INTERNASIONAL
Chandra Alamsyah .... .........28 - 63

NET INTEREST MARGIN: BANK PUBLIK DI INDONESIA
Adler Haymans Manurung dan Anugraha Dezmercoledi ...64 - 79

PELUANG KEWIRAUSAHAAN SEKOLAH MELALUI KREATIVITAS DAN INOVASI
Hendra Manurung ......................80 - 119

KINERJA REKSA DANA TERPROTEKSI DI INDONESIA
Bayu Bandono, Noer Azzam A, Nunung Nuryartono, dan Adler H. Manurung..120 - 130
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

1

Pengaruh Ketidakpastian Lingkungan, Strategi Bisnis dan Kebijakan
Teknologi terhadap Kinerja Perusahaan: Studi Empirik Perusahaan Tekstil
dan Garmen Indonesia, 2005-2008

Pulung Peranginangin
PT Vivere Multi Kreasi

The purpose of this paper is to examine the textile and garment companies in Indonesia
between September 2008 and November 2008. This study use ANOVA analysis, to find out
whether there is a difference existed between three types of respondents, such as textile only,
garments only, and mixed textiles and garments in 4 aspects which are: environment
uncertainty, business strategy, technology policy dan firm performance, and to analyze the
difference between Marketing areas such as: domestic only, export only, and mixed
domestic/export for the same aspects.
The result of this study is that the textile companies have average sales between 100-500
million rupiahs/year, with the number of employee 100-3000 persons, and the largest
contribution is performed by the domestic sales area, and the difference exists between mixed
textiles/garment and garments only exists in a variable (technology policy) and the
difference between mixed and textiles only on one variable (firm performance), and for
other aspects the difference does not exist. Moreover, the study finds the difference between
marketing area of export only and marketing area of mixed domestic/export and the
difference between sales area of export only and domestic only exist on one variable which
is firm performance, and for other aspects the difference does not exist.

Keywords: ketidakpastian lingkungan, strategi bisnis, kebijakan teknologi, kinerja perusahaan,
product-market, cost leadership dan process automation.






Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

2

Pengaruh Ketidakpastian Lingkungan, Strategi Bisnis dan Kebijakan
Teknologi terhadap Kinerja Perusahaan: Studi Empirik Perusahaan Tekstil
dan Garmen Indonesia, 2005-2008

Latar Belakang Penelitian
Pada saat ini perusahaan berkompetisi tidak hanya di pasar lokal namun juga di pasar
global sehingga diakui ada kebutuhan terhadap peningkatan peran teknologi untuk determinasi
sukses pemasaran (Council on Competitiveness, 1991; Franko, 1989; Fusfeld, 1989; Mitchell,
1990). Sebagai respon terhadap pengakuan tersebut di atas, banyak perusahaan termasuk
perusahaan dalam industri pertekstilan (Ghemawat dan Nueno, 2006) selain meningkatkan
pengadaan teknologi maju (advanced technology) untuk proses, juga memperkenalkan
produknya yang berteknologi mutahir (technologically sophisticated products), misalnya produk
tekstil untuk kesehatan. Perubahan yang terjadi ini merupakan sinyal tentang perlunya kebijakan
teknologi (technology policy) yang konsisten dan sesuai dengan strategi bisnis (Clark dan Hayes,
1985; Collier, 1985).
Firm Technology policy yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu kebijakan teknologi
untuk level perusahaan yang merupakan proses pemilihan teknologi yang hendak digunakan,
dikembangkan dan ditempatkan dalam perusahaan untuk mendukungstrategi bisnis (Adler, 1989;
Zahra dan Covin, 1993). Kesesuaian (fit)dimaksudkan di atas untuk memastikan suksesnya
penempatan (deployment) dari pada kapabilitas teknologi diantara sumber daya perusahaan
secara keseluruhan untuk mencapai tujuan (goal) yang telah ditetapkan. Suatu penempatan
sumber daya teknologikal yang effektif akan membantu membangun daya saing unggul
berkesinambungan (sustainable competitive advantage - SCA) yang akhirnya akan
menghasilkan peningkatan kinerja finansial perusahaan (Porter, 1985).
Namun sejauh ini belum ada kesepakatan dari para peneliti
1
manajemen stratejik tentang
isi (content) daripada firm technology policytersebut sehingga tidak mudah mengungkapkan

1
Maidique dan Patch (1988) mengusulkan technology policy terdiri dari 6 dimensi yakni: type of technology,
desired level of technology competence (closeness to state of the art), internal vs external sources of technology,
R&D investment, timing of technology introduction dan R&D Organization; Hambrick, MacMillan dan Barbosa
(1983) hanya mengusulkan technology policy yaitu intensity of product innovation yang diuji kecocokannya dengan
strategi bisnis dan Miller (1988) mengusulkan technology policy dalam 3 konstruk yakni; production methods, rate
of innovation dan product sophistication.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

3

tentang kontribusi kebijakan tersebut sebagai satu sumber daya yang dikatakan dapat
meningkatkan kinerja untuk keunggulan bersaing (Adler, 1989; Zahra dan Covin, 1993).
Strategi adalahsalah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan kinerja
perusahaan (Hambrick, 1980;Hatten dan Schendel, 1977; Hatten, Schendel dan Cooper, 1978;
Parnell, 1997, 2002, 2006;Porter, 1980, 1985, 1996; Schendel dan Patton, 1978).Oleh sebab itu
penelitian manajemen stratejik tentang pengaruh strategi terhadap kinerja perusahaan,paling
banyak mendapat perhatian (Ghobadian, ORegan, Gallear, dan Viney,2004; Hambrick, 1980;
Henderson dan Mitchell, 1997; Parnell, Wright dan Tu, 1996; Parnell, 1997, 2002, 2006). Salah
satu pemikiran sentral dalam manajemen stratejik menekankan bahwa strategi perusahaan yang
dirumuskan untuk mencapai kinerja yang diinginkan harus memperhatikan dan menyesuaikan
(fit) dengan perubahan lingkungan yang dihadapi baik lingkungan makro (general environment)
maupun lingkungan mikro (Ansoff, 1982; Bourgeois III, 1980; Dess dan Miller, 1993; Glueck
dan Jauch, 1980; Porter, 1996; Sapp dan Smith, 1984). Penelitian tentang pengaruh strategi
terhadap kinerja perusahaan belum mencapai suatu konklusi yang final (Henderson dan Mitchell,
1997; Morgan dan Strong, 2003;Parnell, 1997) dikarenakan antara lain masih adanyaperdebatan
tentang sejauh mana teori strategi Market Based (MBV) versusteori strategi Resource Based
(RBV) yang lebih berperan dalam menjelaskan pengaruh strategi terhadap kinerja perusahaan
(Henderson dan Mitchell, 1997; Parnell, 2002, 2006).

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah, sebagai berikut: (1) Melihat gambaran perusahaan tekstil
dan garmen Indonesia pada bulan September 2008 sampai November 2008, dengan
menggunakan analisis ANOVA , (2) melihat ada tidaknya perbedaan antara kelompok responden
bidang usaha yang terbagi tiga, yakni tekstil, garmen dan mixed dalam empat aspek yaitu:
environment uncertainty, business strategy, technology policy dan firm performance, (3)
menganalisa ada tidak perbedaan antara Area (Wilayah) Pemasaran yaitu: Mixed
(domestik/ekspor) untuk aspek-aspek yang sama.



Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

4

Tinjauan Literature
Strategi
2
dan kinerja perusahaan merupakan topik yang paling banyak diteliti hingga kini
(Hambrick, 1980; Parnell, 1997, 2002, 2006). Pengaruh strategi terhadap kinerja perusahaan
menurut berbagai literatur tidak berdiri sendiri namun dipengaruhi oleh berbagai faktor
kontinjensi baik eksternal maupun internal (Ginsberg dan Venkatraman, 1985; Lenz, 1981;
Parnellet al.,2000;Tvorik dan McGivern, 1997). Secara spesifik DeSarbo et al. (2005)
danHenderson dan Mitchell (1997)menyatakan bahwa pengaruh strategi terhadap kinerja
perusahaan ditentukan oleh lingkungan dan kapabilitas.
Pembahasan tentang pengaruh lingkungan persaingan (eksternal) terhadap strategi dan
implikasinya pada kinerja perusahaan termasuk di dalamteori utama dalam ranah manajemen
stratejik yakni Market Based View (MBV), sedangkan pembahasan pengaruh kebijakan
teknologiyang merupakan kebijakan salah satu kapabilitas atau sumber daya internal serta
implikasinya pada kinerja perusahaan (DeSarbo et al., 2005; Henderson dan Micthell,
1997)termasuk di dalamteori utama lainnya yaitu Resource Based View(RBV).

Konsep Strategi Product-Market dan Teknologi
Di dalam literatur diungkapkan bahwa perusahaan yang menawarkan dan membawa
produk dan jasanya (products) ke pasar (market) harus didukung oleh teknologi
3
yang
digunakan (Burgelman, Maidique dan Wheelwright, 2001; Sriram dan Anikeeff, 1991).Untuk
lebih jelasnya, di Figur-1 berikut ini ditunjukkan bagaimana hubungan (matrix)product-market
dengan teknologi tersebut.


2
Strategi adalah cara bagaimana perusahaan dapat mencapai tujuan. Strategy is the psychological sense defined as a
sequence of means to achieve a goal (Miller, Galanter & Pribram, 1960).
3
a). Hard technology (Engineering and Manufacturing function of the firms):
Suatu perangkat atau sistem yang melekat (embodied) di mesin atau peralatan yang berfungsi untuk
memacu produktifitas, out-put, kualitas dan keakuratan hasil.
b). Technology (extends beyond Engineering and Manufacturing function of the firms):
(1) Refers to the theoretical and practical knowledge, skillsand artifacts that can be used to developed
products and services as well as their production and delivery systems (Burgelman, Maidique dan
Wheelwright, 2001).
(2) The process by which organization transforms labor, capital, materialsand information into products and
services (Christensen dan Bower, 1996).
Definisi (b) nomor 1 dan 2: merupakan definisi teknologi yang digunakan dalam penelitian ini.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

5

Product A Product B Product N
Technology 1
Technology 2



Technology K
-
-


-
-
-


-
-
-


-
-
-


-
Figur-1. Product/Technology Matrix
Sumber: Fusfeld, How to Put Technology into Corporate Planning,Technology Review,
May 1978 dalam Burgelman, Maidique dan Wheelwright (2001).

Dari matrix diatas dapat dijelaskan bahwa setiap produk yang hendak dibuat dan
dipasarkan yang terdiri mulai dari Produk-A sampai Produk-N sebenarnya mempunyai pilihan
teknologi yang mendukungnya yakni mulai Teknologi-1 sampai Teknologi-K. Suatu teknologi
dapat digunakan untuk produk tertentu namun tak tertutup kemungkinan menggunakan
satuteknologi saja untuk semua produk yang dipasarkan pada segmen yang berbeda. Teknologi
yang dipakai tersebut seharusnya dapat dibandingkan (bench-marked) dengan teknologi yang
dipakai oleh rival dan juga denganteknologi yang paling canggih (state-of-the-art) disegmennya
(market segment). Secara lebih luas strategi product-market yang oleh Porter (1983)
diterjemahkan ke dalamgeneric competitve strategydihubungkan dengan technology policy.
4

Teknologi produk maupun untuk proses harus berubah (technological change) ke arah
yangsesuai dengan strategi bisnis sehinggateknologi yang digunakan mendukung strategi bisnis
tersebut. Posisi unik untuk memperoleh keunggulan daya saing dan kinerja superior menurut
Porter(1980, 1983 dan 1996) hanya dapat diperoleh dengan menerapkan salah satu strategi
generik tersebut yaitu biaya rendah (cost leadership),diferensiasi(differentiation) atau fokus
(focus). Untuk penelitian ini,strategi bisnis bukan diadopsi dari strategi generik Porter seperti
disebutkan sebelumnya karena untuk industri tekstil dan garmen yang telah termasuk industri

4
Technology policy dan Generic competitve strategy oleh Porter (1983) digambarkan pengaruhnya
secara lengkap yakni antara masing-masing strategi generik terpilih dengan teknologi yang digunakan
yang berubah sesuai strategi tersebut.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

6

yang mature sehingga strategi bisnis yang dijelaskan berikut ini adalah yang lebih sesuai (Zahra
dan Covin, 1993). Adapun strategi bisnis tersebut terdiri dari: Specialty Product, Marketing
intensity, Cost leadership dan breadth, serta Firm Technology Policy adalah Aggressive
Technology Posture, Process Automation dan Innovation and R&D yang kedua-duanya
bersumberdari Zahra dan Covin (1993) yang telah disesuaikan untuk perusahaan tekstil dan
garmen. Strategi bisnis product-market yang dikemukakan di atas notabene termasuk dalam
salah satu teori besar dalam ranah ilmu manajemen stratejik yaitu MBV
5
.
MBV menyatakan bahwa kinerja ditentukan oleh posisi unik stratejik (unique strategic
positioning) perusahaan dalam menghadapi persaingan pasar (Hoskisson, Hitt dan Ireland, 2004;
Porter, 1980, 1985, 1996). MBV menekankan pentingnya peran pasar yang kompetitif sebagai
penentu perilaku perusahaan yang kemudian memberikan implikasi pada kinerja perusahaan.
Teori ini merupakan modifikasi teori Organisasi Industri (O/I)
6
ke dalam ranah
manajemen stratejik (Spanos dan Liokas, 2001). Lingkungan kompetitif serupa dengan
lingkungan kerja yang dimaksud oleh Dill (1976) dan Dess dan Beard (1984) yaitu elemen
lingkungan yang memiliki pengaruh langsung terhadap kehidupan perusahaan melalui sumber
informasi maupun sumber daya (Kreiser dan Marino, 2002; Tan dan Litschert, 1994).
Berbagai pemikiran MBVdalam riset manajemen stratejik mengarah pada paradigma
Environment Strategy Performance atau ESP (Luo dan Park, 2001). Posisi unik perusahaan
bisajuga berupa kombinasi pola perilaku yang unik (Venkatraman, 1989b) seperti yang
ditunjukkan oleh penelitian (Lukas, Tan dan Hult,2001;Tan dan Litschert, 1994; Tan dan Tan,
2005).

5
MBV,berpandangan bahwa kinerja dan keunggulan daya saing tergantung pada posisi unik stratejik
perusahaan dalam lingkungan persaingan (Hokisson, Hitt dan Ireland, 2004; Porter, 1980, 1985, 1996)

6
Teori O/I sangat dikenal dengan rerangka pemikiran Structure Conduct Performance yaitu struktur industri
menentukan perilaku dan kinerja industri (Bain, 1956; Mason, 1939). Struktur industri dimaksud terdiri dari: entry
barriers, jumlah pembeli dan penjual, struktur biaya, diferensiasiproduk,integrasi vertikal dan diversifikasi (Scherer,
1980). Perilaku dimaksud terdiri dari strategi produk, perilaku harga, advertensi dan promosi, riset dan inovasi,
investasi pabrik dan taktik legal (Scherer, 1980).
Menurut Porter (1981), modifikasi yang dimaksud di atas adalah unit analisis,yang dalam teori O/I fokus pada
tingkat industri sedangkandalam MBV fokus pada unit analisis di tingkat perusahaan. Modifikasi teori O/I ke dalam
teori MBV dipelopori oleh Porter (1980,1981,1996) dengan mengajukanFive forces frameworkyang intinya
menyatakan bahwa kinerja superior tergantung pada posisi unik perusahaan dalam lingkungan kompetitif yang
terbentuk dari lima kekuatan persaingan yakni: pembeli, pemasok, ancaman pesaing baru, ancaman substitusi dan
intensitas persaingan.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

7

Berbagai penelitian terdahulu tentang strategi mengindikasikan kesimpulan bahwa
kinerja perusahaan ditentukan oleh strategi yang berupa kombinasi unik berbagai langkah
stratejik sebagai respon terhadap konteks lingkungan tertentu. Namun demikian berbagai
literatur manajemen stratejik mengatakan bahwa pengaruh strategi terhadap kinerja perusahaan
tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan eksternal saja namun dipengaruhi juga oleh lingkungan
internal (Parnell, 2002, 2006; Parnel et al., 2000). Lingkungan internal dimaksud (DeSarbo et al.,
2005; Henderson dan Micthell, 1997) adalah kapabilitas organisasi atau kapabilitas perusahaan
yang salah satu diantaranya dan penting yaitu kapabilitas teknologi (Itami dan Numagami, 1992).

Kebijakan Teknologi Perusahaan dan Kapabilitas
Di dalam literatur diungkapkan bahwa firms value activities sangat dipengaruhi oleh
teknologi (Porter, 1985) dan technological know-how dapat meningkatkan firms value (Robins
dan Wiersema, 1995).Sejak tahun 1980 peneliti manajemen stratejik mulai mengenal teknologi
sebagai satu elemen penting di dalam bisnis dan strategi bersaing (Burgelman, Maidique dan
Wheelwright, 2001). Kapabilitas teknologi adalah salah satu dari dimensi utama kapabilitas
stratejik selain dimensi kapabilitas manajemen/ sumber daya manusia dan dimensi kapabilitas
pemasaran serta teknologi merupakan faktor paling utama dalam menentukan aturan persaingan
atau rules of competition (Porter, 1983). Selain itu, teknologi diketahui sebagai satu dimensi
yang esensial di dalam bisnis dan tercatat sebagai satu karakter yang menambah kedinamisan
dunia bisnis karena suatu teknologi yang digunakan cepat atau lambat akan digantikan oleh
teknologi lain (Abell, 1980).Konsep Value-Chain yang dikemukakan pertama kali oleh Porter
yang terdiri dari aktivitas utama (prime activities) dan aktivitas pendukung (support activities)
mempunyai komponen dan dipengaruhi oleh teknologi yang dipilih dan digunakan oleh
perusahaan. Konsep Value-Chain mempunyai komponen atau aktivitas yang hampir seluruhnya
berasal dan di drive dari internal perusahaan sehingga tak dapat dipungkiri bahwa konsep ini
adalah termasuk di dalam RBV.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

8

Teori RBV
7
mengatakankeunggulan daya saing dan kinerja superior bertumpu pada
kapabilitas spesifik perusahaan (Barney, 1991; Dierickx dan Cool, 1989; Penrose, 1959;
Prahalad dan Hamel, 1990;Wernerfelt, 1984).Sekalipun para peneliti menggunakan berbagai
terminologi yang berbeda untuk kapabilitas namun semuanya memiliki pengertian yang mirip
satu sama lain (Lenz, 1980; Stalk, Evansdan Shulman, 1992)yaitu kemampuan yang
memberikan keunggulan daya saing dan kinerja unggul (superior) bagi perusahaan. Barney
(1991, 2002) mengemukakan sumber daya yang merupakan kapabilitas tersebut dengan rerangka
(frameworks) VRIO
8
. Kapabilitas bukan hanya menjadi basis keunggulan daya saing dan kinerja
superior tetapi juga merupakan basis dalam menentukan strategi perusahaan (Barney, 1991;
Collis, 1991; Conner, 1991; Grant, 1991;Lawless, Berg dan Wilsted, 1989).
Teori Resource Advantage (R-A) yang termasuk dan merupakan turunan RBV
didasarkan pada pendapat bahwa persaingan dalam dunia usaha tidak sempurna (imperfect
competition). Oleh sebab itu teori R-A (Hunt dan Morgan, 1995) menyatakan bahwa penguasaan
perusahaan terhadap sumber daya tertentu (merupakan advantage) akan mendatangkan
keunggulan kompetitif yang menghasilkan posisi pasar lebih unggul dibanding pesaing yang
pada akhirnya akan menciptakan kinerja unggul perusahaan. RBV menekankan pada sumber
daya yang dimiliki perusahaan (a bundle of productive resources) sedangkan R-A menekankan
pada advantage dibanding pesaing dari segi resources yang dimiliki perusahaan. Sumber daya
yang dimaksud adalah sesuatu yang bersifat tangible dan intangible dimiliki perusahaan dalam
memproduksi produk yang mempunyai nilai unggul bagi konsumennya dan merupakan fungsi
dari keunggulan sumber daya yang dimiliki tersebut. Sesuatu resources yang bersifat tangible
antara lain adalah peralatan fisik perusahaan, seperti: lahan, peralatan pabrik/mesin-mesin
berikut teknologinya dan bahan baku produksi disamping kemampuan finansial, sumber daya
manusia dan kemampuan pemasaran.

7
Teori Resource Based View (RBV) diperkenalkan melalui karya seminal Penrose (1959) yakni Teori Pertumbuhan
Perusahaan (Theory of the Growth of the Firm), berpandangan bahwa keunggulan daya saing dan kinerja
perusahaan bertumpu pada sumber daya atau kapabilitas perusahaan (Barney, 1991; Penrose, 1959; Wernerfelt,
1984).Ini disanggah oleh Rugman dan Verbeke (2002) dan uraian tentang RBV dapat dilihat di Barney (1991,
2002); Mahoney dan Pandian (1992); Peteraf (1993) dan Collies dan Montgomery (1995).
8
VRIO berarti:bernilai (Valuable), langka (Rare), tidak bisa ditiru sepenuhnya (Imitable imperfectly) dan tidak bisa
digantikan karena secara kombinasi melekat di organisasi (Organizational combined capabilities).
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

9

Sesuai dengan sifat teknologi yang sama dengan resources, bisa berbentuk tangible dan
intangible maka teknologi tersedia juga di luar perusahaan dalam arti tidak harus dikembangkan
sendiri secara internal akan tetapi dapat diakses langsung terhadap teknologi itu sendiri (Hunt,
1995). Teknologi pada umumnya juga dapat diperoleh melalui proses make or buy (Capon
dan Glazer, 1987; Khalil, 2000). Proses make berarti teknologi tersebut dikembangkan sendiri
sedangkan proses buy berarti teknologi tersebut dibeli, disewa atau dipakai dengan membayar
lisensi teknologi proses maupun produk. Karena proses persaingan sifatnya dinamis dan terus
menerus maka kapabilitas termasuk teknologi yang dibangunpun seharusnya juga dinamis
(Teece, Pisano dan Shuen, 1997). Kebijakan teknologi dalam penelitian ini seperti telah
dikemukakan sebelumnya adalah proses memilih teknologi yang hendak
digunakan/dikembangkan/ditempatkan di dalam perusahaan (firm technology policy) sehingga
tidak membahas proses make or buy.

Konsep Kebijakan Teknologi dan Dinamika Persaingan
Salah satu dimensi utama dari kapabilitas stratejik adalah teknologi (Itami dan
Numagami, 1992). Perubahan teknologi adalah salah satu forces penting yang mempengaruhi
kinerja dan posisi daya saing perusahaan (Afuah, 2000; Ahuja, 2000; Khalil, 2000; Kilmann,
1991; Narayanan, 2001). Oleh sebab itu inovasi dan perubahan teknologi yang pada mulanya
dilakukan oleh satu perusahaan (technology leader), apabila berhasil akan dapat merubah
lanskap persaingan karena akan terjadi dinamika kompetisi (Teece, Pisano dan Shuen, 1997)
berupa aksi dan reaksi antar pelaku bisnis (competitive dynamics). Peluang mendapatkan untung
besar (high-profit opportunity) akan menarik para pesaing untuk berusaha menetralisir,
menandingi bahkan mengalahkan keunggulan dari pada leader (Day dan Reibstein, 1997).
Banyak inovasi yang terjadi berbasis teknologi, seperti contoh: disposable diapers dalam bidang
tekstil kesehatan (non-woven medical textiles), electronic fuel injections untuk otomotif dan
personal computers, disamping inovasi yang terjadi difasilitasi oleh teknologi, yakni penemuan
dan pengembangan produk baru melalui kegiatan R&D, antara lain dalam bisnis retail dan
services, yaitu teknologi elektronika dan data processing (Maidique, Burgelman dan
Wheelwright, 2001).
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

10

Karena sekarang perusahaan berkompetisi tidak hanya di pasar lokal namun juga global
maka diakui ada kebutuhan terhadap peningkatan peran teknologi untuk determinasi sukses
persaingan bidang pemasaran (Council on Competitiveness, 1991; Franko, 1989; Fusfeld, 1989;
Mitchell, 1990). Sebagai respon terhadap pengakuan tersebut di atas danagar dapat bersaing di
pasar global, banyak perusahaan termasuk perusahaan tekstil dan garmen telah menggunakan
teknologi terkini (advanced technology) untuk teknologi proses maupun produk.Teknologi
pertekstilan bukan termasuk dalam kategori teknologi high-tech (Dickens, 2003) namun
perubahan yang terjadi tersebut merupakan indikator atau sinyal tentang perlunya kebijakan
teknologi perusahaan (firm technology policy) yang konsisten dan sesuai dengan strategi bisnis
(Clark dan Hayes, 1985; Collier, 1985).
Menurut Fusfeld (1978), pada dasarnya yang diperlukan adalah tentang seberapa penting
elemen teknologi dalam penyusunan perencanaan strategis sebuah perusahaan. Kebanyakan
perusahaan terkecuali yang bidang bisnis intinya in-line secara langsung dengan teknologi, tidak
memuat elemen teknologi secara eksplisit dalam perencanaan strategisnya atau dengan perkataan
lain tidak mempunyai konsep kebijakan teknologi. Akibatnya banyak perusahaan (termasuk
perusahaan tekstil dan garmen Indonesia) tidak dapat mengantisipasi perubahan teknologi yang
pada kenyataannya berdampak sangat luas. Bahkan para manajer dan eksekutif perusahaan
akhirnya harus rela dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa mereka sama sekali tidak memiliki
kemampuan yang memadai dibidang technological frameworks. Seharusnya menurut Teece,
Pisano dan Shuen (1997) perusahaan harus selalu berada dalam situasi membangun kapabilitas
yang dinamis (firm must remain in a dynamic capability building-mode), termasuk di dalam hal
teknologi. Atas dasar ini timbul dorongan agar perusahaan mempersiapkan langkah antisipatif
dengan menempatkan elemen teknologi sebagai bagian penting (konsep kebijakan teknologi)
dalam perumusan perencanaan perusahaan (corporate planning). Beberapa alasan perlu
dipertimbangkan dalam menetapkan kebijakan teknologi dalam perusahaan (firm technology
policies), yaitu memilih dan menentukan jenis ataupun cakupan teknologi apa yang relevan bagi
perusahaan sehingga perlu dituangkan dalam corporate planning.
Implikasi kepemimpinan dalam teknologi (technology leadership) telah dieksplorasi
terlebih dahulu dalam teknologi dan strategi antara lain oleh: Ansoff dan Stewart (1967) serta
Maidique dan Patch (1979). Keagresifan dalam postur teknologi (aggressive technology
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

11

posture) sering dihubungkan dalam hal timing of entry dari pengadaan dan penggunaan teknologi
yang dimaksud secara komersial relatif terhadap pesaing dalam bisnis. Julukan pemimpin dalam
teknologi didapatkan oleh satu perusahaan sebagai hasil dari pada komitmen untuk selalu
berperan sebagai pioneer dalam mengembangkan teknologinya (Rosenbloom dan Cusumano,
1987). Pemimpin teknologi mempunyai kapasitas untuk selalu menjadi yang pertama (to be first
movers) untuk mendapatkan first mover advantages- FMA, namun dia juga dapat memilih untuk
tidak melakukannya. Insentif sebagai first-movers (Hitt, Hoskisson dan Ireland, 2007) yakni bisa
mendapatkan; (1) customers loyalty karena pelanggan akan tetap (committed) pada produk atau
jasa yang pertama mereka dapatkan yaitu dari first-movers, (2) pangsa pasar (market share) yang
telah didapatoleh first-movers dalam kompetisi selanjutnya akan sulit direbut oleh followers atau
late-entrants terutama bila first-movers terus mempertahankan posisinya sehingga mencapai
level unggul berkesinambungan (sustainable competitive advantage- SCA). Para first-movers
atau technology leaders akan dapat mempertahankan posisinya bila dapat menaikkan entry-
barriers, antara lain dengan; (1) beroperasi pada skala-ekonomi (economies of scale)
menjadikan biaya per unit produk sangat rendah (lowest-cost) sehingga tidak tertandingi, (2)
mempertinggi tingkat keunikan (differentiation) produk yang ditawarkan, (3) Switching-cost
dibuat setinggi mungkin sehingga perlu biaya mahal untuk mensubstitusi produk yang sudah
dipasok first-movers, (4) Membangun distribution channel yang kuat sehingga pesaing sulit
mendapatkan akses pasar, (5) Mendaftarkan paten proses, teknologi dan brand produk kepada
pemerintah sehingga sampai waktu tertentu terlindungi dan tidak dapat ditiru (costly to imitate)
dan (6) melakukan Inovasi dan R&D terus menerus, bahkan kalau perlu melakukan apa yang
disebut Schumpeter (1934) sebagai creative-destruction agar sulit dikejar oleh pesaing.
Schumpeter menggunakan kata creative-destruction untuk menjelaskan siklus hidup dari inovasi
(the life cycle of innovations) yang dari perspektif dinamis mengartikan bahwa inovasi-baru akan
menggantikan/ menghilangkan yang lama (new innovations drive-out old ones) termasuk
sumber daya, profesi, keuntungan bahkan perusahaan dari pengusaha sebelumnya (previous
entrepreneur). Tingkat keuntungan akan mengalir mengikuti siklus kontinual (continual cycle)
yang tinggi pada tahap inovasi lalu menurun pada waktu imitasi mulai merebak dan diikuti siklus
declining.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

12

Keunggulan kompetitif dan kinerja superior perusahaan yang agresif menggunakan
teknologi (technology leader),disamping yang telah dikemukakan di atas yakni membangun
barriers to entry, bisa juga didapatkan dari aspek keunikan teknologi yang dimiliki yang apabila
berlangsung dalam jangka waktu lama akan menjadi keunggulan yang sukar ditiru. Kemampuan
mempertahankan keunikan yang dimiliki perusahaan yang agresif dalam teknologi mengandung
implikasi yaitu; perusahaan harus secara terus menerus mengamati apa yang dilakukan oleh
pesaing dan tidak boleh mengisolasi diri namun sebaliknya berorientasi outward dan sekaligus
inward-looking. Sebagai first-movers disamping mempunyai insentif namun juga mempunyai
resiko, yakni biaya untuk melakukan inovasi dan R&D yang signifikan jumlahnya belum tentu
sesuai dengan apa yang diharapkan didapatkan dari penjualan dan apabila hasil inovasi gagal
dipasarkan maka cadangan dana (slack) yang sebelumnya selalu tersedia akan berkurang
sehingga kemampuan melakukan inovasi selanjutnya menurun dan tak mampu seterusnya
menjadi first-movers (Hitt, Hoskisson dan Ireland, 2007). Disamping itu second-movers dapat
memanfaatkan jalan yang telah dibuka oleh first-mover yang telah melakukan customers
education tentang produk sehingga memudahkan bagi second-mover untuk memasuki
persaingan. Sebagai contoh first-mover yang pernah kehilangan keunggulan kompetitifnya pada
tahun 1980-an adalah Macintosh PC dari Apple Computer (Yoffie dan Slind, 2008). Selanjutnya
persaingan akan terjadi kalau ada pesaing yang bereaksi terhadap first-movers dengan strategi
imitasi dan perbaikan fitur (imitated and improved).

Analisis Hasil Penelitian
Gambaran Umum dan Profil Responden
Tahap awal penelitian lapangan adalah melakukan Pre-Test dengan mengukur validitas
instrumen utama penelitian yakni kuesioner yang berjumlah 80 buah pertanyaan, yang masing-
masing pertanyaan mewakili dimensi dari variabel laten serta variabel terukur model penelitian
disertasi. Pertanyaan kuesioner dinilai valid jika nilai Standard Loading Factor (SLF)> 0.50.
Jika nilai SLF <0.50, maka pertanyaan kuesioner tersebut tidak valid atau dapat dikatakan tidak
mengukur apa yang ingin diukur pada penelitian disertasi ini. Hasil dari Pre-Test terdapat 5
buah pertanyaan yang tidak valid sehingga tersisa 75 buah pertanyaan kuesioner yang valid
untuk selanjutnya digunakan sebagai instrumen penelitian ini.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

13

Survei penelitian ini dilakukan mulai bulan September 2008 sampai dengan November
2008 terhadap 580 perusahaan tekstil dan garmen diseluruh Indonesiadengan mengirimkan
kuesioner yang dipakai sebagai instrumen. Jumlah kuesioner yang dikirim dan kembali dari
responden serta persentasenya ditunjukkan pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Sampel dan tingkat pengembalian
Total kuesioner yang dikirim 580
Perusahaan yang menolak berpartisipasi 3
Pengembalian keseluruhan 158
Total kuesioner kembali yang diolah 153
Tingkat pengembalian keseluruhan 158/580x100% = 27.2 %
Tingkat pengembalian berdasarkan kuesioner yang diolah 153/580x100% = 26.4 %
Sumber data: Diolah oleh penulis (2008)

Dari 580 kuesioner yang dikirim ada 3 perusahaan yang mengatakan mereka tidak
bersedia berpartisipasi. Total pengembalian 158 dengan 5 kuesioner dijawab tetapi kurang
lengkap sehingga ada 153 sampel yang dapat diolah selanjutnya. Tingkat pengembalian
kuesioner yang mencapai lebih 26 % dapat dikatakan sangat baik bila dibandingkan dengan
tingkat pengembalian survei penelitian manajemen stratejik dengan target responden adalah
pimpinan perusahaan sebagai key informant yang berkisar 20 25 % (Barringer dan Bluedorn,
1999; Kreiser et al., 2002b; Miller dan Friesen, 1982; Morgan dan Strong, 2003; Robinson dan
Pearce, 1988).
Jumlah sampel yang berkisar antara 100- 200 untuk penelitian yang bila mengolah data
dengan SEM adalah jumlah yang baik (appropriate) khususnya dari segi overall fit measures
yang fundamental yakni likelihood-ratio chi-square statistic (Hair et al., 1998). Profil
perusahaan dan responden ditunjukkan di Tabel- 2 berikut ini.

Tabel -2 Profil Responden Perusahaan tekstil dan garmen
Deskripsi Frekuensi Persentase
Aset Perusahaan
10 100 Miliar rupiah 61 40%
>100 500 Miliar rupiah 63 42%
>500 Miliar rupiah 28 18%
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

14

Jumlah 152 100%
Penjualan Pertahun
10 100 Miliar rupiah 51 34%
>100 500 Miliar rupiah 79 52%
>500 Miliar rupiah 22 14%
Jumlah 152 100%
Bidang Usaha
Terintegrasi (mixed tekstil dengan garmen) 22 15%
Tekstil saja 95 62%
Garmen saja 34 23%
Jumlah 151 100%
Jumlah pegawai
30- 300 orang 42 28%
>300 3000 orang 97 64%
>3000 orang 12 8%
Jumlah 151 100%
Usia Perusahaan
3 10 tahun 21 14%
>10 20 tahun 73 48%
>20 tahun 57 38%
Jumlah 151 100%
Area Pemasaran
Domestik dan Ekspor (mixed) 117 76%
Domestik 100% 27 18%
Ekspor 100 % 9 6%
Jumlah 153 100%
Kontribusi Pemasaran
Total Domestik NA 58%
Total Ekspor NA 42%
Jumlah NA 100%
Jabatan Responden
Manajer Senior 64 42%
GM/Direktur 76 50%
Presiden Direktur 12 8%
Jumlah 152 100%
Jenis Kelamin Responden
Laki-laki 132 86%
Perempuan 21 14%
Jumlah 153 100%
Sumber: Diolah oleh penulis dari data-data survei (2008)

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

15

Profil responden dalam bentuk pie diagram ditunjukkan pada gambar berikut beserta
penjelasannya masing-masing.
Aset Perusahaan dalam Miliar Rupiah
40%
42%
18%
10-100 M
>100-500 M
>500 M

Penjualan Rata-rata Pertahun (Miliar Rupiah)
34%
52%
14%
10-100 M
>100-500 M
>500 M

Gambar-1 Profil Aset Perusahaan Gambar-2 Profil Penjualan Pertahun

Dari Gambar-1 terlihat bahwa dari jumlah aset, perusahaan yang memiliki aset > 100
500 Miliar (42%) hampir berimbang dengan yang memiliki aset 10-100 Miliar (40%) sedangkan
sisanya (18%) adalah perusahaan yang memiliki aset > 500 Miliar.
Berdasarkan jumlah penjualan yang ditunjukkan di Gambar-2 perusahaan dengan
penjualan >100 500 Miliar mendominasi (52%) disusul oleh perusahaan dengan jumlah
penjualan 10- 100 Miliar (34%) dan sisanya dengan jumlah penjualan >500 Miliar. Terlihat
pattern yang mirip antara profil yang memiliki jumlah aset dan penjualanper tahun yang
seimbang.
Bidang Usaha
15%
62%
23%
Mixed Teks & Gar
Tekstile
Garmen

Jumlah Pegawai
28%
64%
8%
30-300 Org
>300-3000 Org
>3000 Org

Gambar-3 Profil Bidang Usaha Gambar-4 Profil Jumlah Pegawai
Dari Gambar-3 tentang profil responden berdasarkan bidang usaha terlihat bahwa
perusahaan tekstil mendominasi (62%) sampel, disusul oleh perusahaan garmen (23%) dan yang
terakhir dan paling sedikit adalah bidang usaha terintegrasi (mixed) atau mempunyai bisnis
tekstil dan juga garmen (15%).
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

16

Dari profil jumlah pegawai seperti ditunjukkan di Gambar-4, responden didominasi oleh
perusahaan yang memiliki >300 - 3000 pegawai (64%) disusul oleh perusahaan dengan 30 - 300
pegawai (28%) dan yang terakhir adalah perusahaan yang memiliki > 3000 pegawai (8%).

Usia Perusahaan
14%
48%
38%
3-10 th
>10-20 th
>20 th

Gambar-5 Profil Usia Perusahaan

Berdasarkan usia perusahaan dari sejak didirikan seperti ditunjukkan di Gambar-5,
perusahaan yang telah berusia > 10 20 tahun berjumlah paling banyak (48%) lalu disusul oleh
perusahaan yang telah berusia > 20 tahun (38%) dan yang paling kecil (14%) adalah perusahaan
yang relatif masih muda yakni berusia 3-10 tahun. Dari profil tersebutdi atas terlihat bahwa
jumlah perusahaan yang telah berusia > 10 tahun berjumlah 86% yang dapat diartikan positif
karena telah berpengalaman namun dari sisi negatif seperti telah dikemukakan sebelumnya
bahwa mesin-mesin yang digunakan kemungkinan sudah ketinggalan zaman sehingga
produktifitasnya relatif rendah dibanding yang baru.

Area Pemasaran
18%
6%
76%
Domestik
Ekspor
Mixed

Kontribusi Pemasaran
58%
42%
Domestik
Ekspor

Gambar-6 Profil Area Pemasaran Gambar -7 Profil Kontribusi Pemasaran
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

17

Di Gambar-6 terlihat bahwa dari profil area pemasaran, jumlah responden (perusahaan)
didominasi oleh yang melayani kedua-duanya (mixed) baik pasar domestik maupun ekspor
(76%) lalu disusul oleh perusahaan yang khusus melayani pemasaran domestik (18%) dan paling
kecil (6%) adalah perusahaanyang hanya untuk melayani pemasaran ekspor. Dari profil ini dapat
ditarik kesimpulan bahwa dari segi jumlah (frekuensi) perusahaan yang menjadi responden
ternyata lebih banyak yang melayani kedua-duanya yakni pasar domestik dan ekspor.
Khusus untuk Profil Kontribusi Pemasaran yang ditunjukkan di Gambar-7, data-datanya
didapatkan dari jawaban setiap responden terhadap pertanyaan tentang berapa persen penjualan
untuk wilayah pemasaran domestik dan berapa persen untuk ekspor, lalu masing-masing
persentase tersebut dijumlahkan dan dibagi jumlah perusahaan, yang ternyata 58% untuk
domestik dan sisanya 48% untuk ekspor. Berbeda dengan persentase wilayah pemasaran yang
berdasarkan frekuensi atau jumlah perusahaan, dalam hal kontribusi pemasaran yang dihitung
adalah berapa persentasi jumlah yang diekspor dan berapa besar yang dijual di pasar domestik
oleh masing-masing perusahaan. Dengan demikian angka rerata (mean) untuk hal ini menjadi
tidak relevan.
Jabatan
42%
50%
8%
Manajer Senior
GM/ Direktur
Presiden Direktur

Jenis Kelamin
86%
14%
Male
Female

Gambar-8 Profil Jabatan Gambar-9 Profil Jenis Kelamin
Dari segi jabatan responden seperti yang ditunjukkan di Gambar-8, walaupun kuesioner
untuk perusahaan tekstil dan garmen Indonesia ditujukan kepada para CEO/Presiden Direktur
dengan tembusan kepada GM/Direktur dan Manajer Senior, kuesioner tersebut lebih banyak
dijawab oleh para GM/Direktur (50%) disusul oleh Manajer Senior (42%) dan terakhir oleh
CEO/Presiden Direktur (8%) atau sebanyak 12 orang dari 153 responden. Disadari bahwa dari
ketiga kelompok jabatan (posisi) responden tersebut terdapat perbedaan namun khusus di
industri tekstil dan garmen, para Manajer Senior, GM/Direktur dan CEO/Presiden pada
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

18

umumnya telah berkecimpung lama di industri tersebut sehingga dari heterogenitas kompetensi
dan pengalaman tidak terlalu berbeda.
Untuk profil jenis kelamin responden yang terdiri dari pimpinan unit bisnis hampir sama
dengan industri manufaktur lainnya yang pada umumnya didominasi oleh laki-laki, dalam
perusahaan tekstil dan garmen juga demikian. Di Gambar-9 terlihat bahwa responden laki-laki
masih mendominasi (86%) dan perempuan hanya selisihnya (14%). Karena posisi pimpinan yang
menjadi responden penelitian ini masih didominasi laki-laki (86%), maka respon yang diberikan
oleh responden perempuan (14%) tidak akan berbeda jauh sehingga dapat mempengaruhi hasil
secara keseluruhan.

Analisis Deskriptif
Berikut di Tabel-3 ditunjukkan hasil analisis deskriptif yang dilakukan berdasarkan nilai
rerata (mean) dari jawaban responden atas pertanyaan yang berhubungan dengan komponen
utama/variabel laten penelitian.

Tabel-3 Analisis Statistik Deskriptif Skor Komponen Utama / Variabel Laten
No. Komponen Utama / Variabel Laten Nilai Rerata (Mean)
2nd-Order Mid 1st-Order
1 Environment Uncertainty 3.75
1a Environment Complexity (EnvComp) 3.86
1.a1. Diversity (Diver) 4.01
1.a2. Heterogenity (Hetero) 3.70
1b Environment Dynamic (EnvDyn) 3.79
1b1 Variability (Variab) 3.87
1b2 Predictability (Predict) 3.70
1c Environment Hostility (EnvHost) 3.62
1c1 Criticality (Critic) 3.73
1c2 Resources Capacity (ResCap) 3.50
2 Business Strategy (BStrat) 3.92
2a Specialty Product (Sp) 3.93
2b Marketing Intensity (MarkIn) 3.56
2c Cost Leadership (CostLD) 4.23
2d Product Linebreadth (ProdLB) 3.97
3 Technology Policy (TechPol) 3.66
3a Aggressive Technology Posture (AggTP) 3.78
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

19

3b Process Automation (PAuto) 3.68
3c Innovation and Reasearch & Development
(InRD)
3.53
4 Firm Performance (FirmPerf) 4.17
4a Financial Performance (FinPerf) 3.73
4b Non-Financial Performance (NonFin)

4.60
Sumber: Diolah oleh penulis dari data-data survei (2008)
Jawaban kuesioner yang menggunakan skala6-angka, sesuai konteksnya berarti:
Skala 1: sangat sedikit, sangat homogen, sangat rendah dan sangat mudah.
Skala 2 : sedikit, homogen, rendah dan mudah.
Skala 3 : agak sedikit, agak homogen, agak rendah dan agak mudah.
Skala 4 : agak banyak, agak heterogen, agak tinggi dan agak sulit.
Skala 5 : banyak, heterogen, tinggi dan sulit.
Skala 6 : sangat banyak, sangat heterogen, sangat tinggi dan sangat sulit.

Dari data-data yang tertera di Tabel-3 tersebut diatas terlihat bahwa semua
variabel/komponen menunjukkan skor rerata jawaban: mulai 3.50 sampai 4.60 dari skala
maksimum 6.0.

Analisis ANOVA dari Data Pengukuran antar Kelompok Perusahaan
Analisis ANOVA ditujukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan rerata hitung antara
kelompok responden bidang usaha tekstil dan bidang usaha garmen serta antara kelompok
responden area pemasaran ekspor dan pemasaran domestik sesuai dengan yang dikemukakan di
depan. Dengan menggunakan ANOVA (One wayAnalysis of Variance) diuji perbedaan rerata
(mean difference) variabel pengukuran utama penelitian.

Perbedaan Rerata (mean) menurut kelompok Bidang Usaha
ANOVA dilakukan untuk analisis apakah terdapat perbedaan antara kelompok responden
bidang usaha yang terbagi tiga, yakni: Mixed tekstil dan garmen sebanyak 22 unit perusahaan
(15%),Tekstilsebanyak 97 unit perusahaan (62%) dan Garmen sebanyak 33 unit perusahaan
(23%)yang didasarkan pada mean difference dari setiap variabel laten; Environment Uncertainty
(EnvUnc),Business Strategy (BStrat), Technology Policy (TechPol) dan Firm Performance
(FirmPerf) dengan menggunakan SPSS versi 16.0. Data-data perhitungan ANOVA
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

20

menunjukkan bahwa ditemukan perbedaan antara kelompok bidang usaha campuran (mixed)
dengan garmen pada satu variabel yakni technology policydan antara bidang usaha campuran
(mixed) dengan tekstil pada satu variabel firm performance, sedangkan yang lainnya tidak ada
perbedaan. Rangkuman analisis antar kelompok bidang usaha dapat dilihat pada Tabel-4
sebagai berikut:

Tabel-4.Rangkuman Hasil ANOVA Berdasarkan kelompok Bidang Usaha
Variabel Bidang
Usaha (I)
Bidang
Usaha (J)
Mean Difference
(I J)
Keterangan

EnvUnc
MIXED TEKSTIL
GARMEN
0.13743
0.16273
Tidak terdapat perbedaan
Tidak terdapat perbedaan
TEKSTIL GARMEN 0.02530 Tidak terdapat perbedaan

BStrat
MIXED TEKSTIL
GARMEN
0.20333
0.11439
Tidak terdapat perbedaan
Tidak terdapat perbedaan
TEKSTIL GARMEN -0.08894 Tidak terdapat perbedaan

TechPol
MIXED TEKSTIL
GARMEN
0.35361
0.56061*
Tidak terdapat perbedaan
Ada perbedaan
TEKSTIL GARMEN 0.20700 Tidak terdapat perbedaan

FirmPerf
MIXED TEKSTIL
GARMEN
0.32847*
0.27000
Ada perbedaan
Tidak terdapat perbedaan
TEKSTIL GARMEN -0.05847 Tidak terdapat perbedaan
* Keterangan: Mean Difference Signifikan pada level 0.05

Perbedaan Rerata (mean) menurut kelompok Area Pemasaran
ANOVA dilakukan untuk analisis apakah terdapat perbedaan antara Area (Wilayah)
Pemasaran yaitu: Mixed (domestik/ekspor) sebanyak 117 perusahaan (76%), domestik saja
sebanyak 27 perusahaan (18%) dan ekspor saja sebanyak 9 perusahaan (6%). Analisis didasarkan
pada mean difference dari setiap variabel laten: Environment Uncertainty (EnvUnc), Business
Strategy (BStrat), Technology Policy (TechPol) dan Firm Performance (FirmPerf) dengan
menggunakan SPSS versi 16.0. Data-data perhitungan ANOVA menunjukkan bahwa
ditemukan perbedaan antara kelompok area pemasaran ekspor dengan area pemasaran campuran
(mixed) dan dengan area pemasaran domestik pada satu variabel yakni firm performance,
sedangkan yang lainnya tidak ada perbedaan. Rangkuman analisis antar kelompok area
pemasaran dapat dilihat pada Tabel-5. sebagai berikut:
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

21

Tabel -5. Rangkuman Hasil ANOVA Berdasarkan kelompok Area Pemasaran

Variabel Area
pasar(I)
Area
pasar (J)
Mean Difference
(I J)
Keterangan

EnvUnc
MIXED DOMESTIK

EKSPOR
0.21313

-0.11316
Tidak terdapat
perbedaan
Tidak terdapat
perbedaan
DOMESTIK EKSPOR -0.32630 Tidak terdapat
perbedaan

BStrat
MIXED DOMESTIK

EKSPOR
0.08621

-0.13564
Tidak terdapat
perbedaan
Tidak terdapat
perbedaan
DOMESTIK EKSPOR -0.22185 Tidak terdapat
perbedaan

TechPol
MIXED DOMESTIK

EKSPOR
0.01538

0.30427
Tidak terdapat
perbedaan
Tidak terdapat
perbedaan
DOMESTIK EKSPOR 0.28889 Tidak terdapat
perbedaan

FirmPerf
MIXED DOMESTIK

EKSPOR
0.00501

-0.53128*
Tidak terdapat
perbedaan
Ada perbedaan
DOMESTIK EKSPOR -0.53630* Ada perbedaan
* Keterangan: Mean Difference Signifikan pada level 0.05

Kesimpulan
Berdasarkan kombinasi interaksi dari seluruh variabel dan dimensi penelitian ini, dapat
dikemukakan beberapa kesimpulan akhir sebagai berikut:
Pertama, melihat gambaran perusahaan tekstil dan garmen Indonesia pada bulan
September 2008 sampai November 2008, penelitian menggunakan analisis ANOVA,
perusahaan tekstil yang memiliki penjualan rata-rata 100-500 miliar rupiah, dengan jumlah
pegawai 100-3000 orang dan mempunyai kontribusi penjualan paling besar yang datang dari
pasar domestik .
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

22

Kedua, ditemukan adanya perbedaan antara kelompok bidang usaha campuran (mixed)
dengan garmen pada satu variable yakni technology policy dan antara bidang usaha campuran
(mixed) antara tekstil pada satu variable firm performance, sedangkan untuk aspek lainnya tidak
terdapat perbedaan.
Ketiga, terdapat perbedaan antara kelompok area pemasaran ekspor dengan area
pemasaran campuran (mixed) dan dengan area pemasaran domestik pada satu variable yakni firm
performance, sedangkan untuk aspek lainnya tidak terdapat perbedaan.

Daftar Pustaka
Abell, D. (1980), Defining the Business: The Starting Point in Strategic Planning, Prentice Hall,
Englewood Cliffs, NJ.

Adler, P. (1989), Technology Strategy: Guide to the literature, Dalam R.S. Rosenbloom and
R.A. Burgelman (eds), Research on Technological Innovation, Management and Policy, JAI
Press, Greenwich, CT, 1-25.

Afuah, A. (2000), How much do your co-opetitors capabilities matter in the face of technological
change?, Strategic Management Journal, Special Issue, 21, 387-404.

Ahuja, G. (2000), The duality of collaboration: Inducements and opportunities in interfirm
linkages, Strategic Management Journal, 21: 317-343.

Ansoff, I.(1965),Corporate Strategy: An Analytical Approach to Business Policy for Growth and
Expansion, McGraw Hill, New York.

Barney, J. B. (1991), Firm resources and sustained competitive advantage, Journal of
Management, 17: 99-120.

Bourgeois, L. J. III. (1980),Strategy and environment: a conceptual integration,Academy of
Management Review, 5(1): 25-39.

Burgelman, R. A., Maidique, M. A., dan Wheelwright, S.C. (2001), Strategic Management
of Technology and Innovation, McGraw-Hill Irwin, Singapore.

Capon, N., dan Glazer, R. (1987), Marketing and Technology: A strategic coalignment, Journal
of Marketing, 51: 1-14.

Clark, K., dan Hayes, R. (1985), Exploring factors affecting innovation and productivity
growth within the business unit, Dalam K. Clark and C. Lorenz (eds.), The Uneasy Alliance:
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

23

Managing the Productivity Technology Dilemma, Harvard Business School Press, Boston, MA,
365-384.

Collis, D. (1991), A resource-based analysis of global competition: the case of the bearings
industry,Strategic Management Journal, 12: 49-68.

Conner, K. R. (1991), A historical comparison of resource-based theory and five schools of
thought within industrial organization economics: do we have a new theory of the firm?,Journal
of Management, 17(1): 121-154.

Council on Competitiveness, (1991), Gaining New Ground: Technology Priorities for Americas
Future, Council on Competitiveness, Washington, DC.

Day, G. S., dan Reibstein, D. J. (1997), Wharton on Dynamic Competitive Strategy, John Wiley
& Son, Inc.

DeSarbo, W., Di Benedetto, C. A., Song, M., dan Sinha, I. (2005),Revisiting the Miles and Snow
strategic framework: Uncovering interrelationships between strategic types,
capabilities,environmental uncertainty and firm performance,Strategic Management Journal,
26:47-74.

Dess, G. G., dan Beard, D. (1984), Dimensions of organizational task
environments,Administrative Science Quarterly, 29: 52-73.

Dicken, P. (2003), Global Shift, Reshaping the Global Economic Map in the 21st Century, 4th
ed., The Guilford Press, New York.

Dierickx, I., dan Cool, K. (1989), Asset stock accumulation and sustainability of competitive
advantage,Management Science, 35: 1504-1511.

Dill, W. R. (1976), Environment as an influence on managerial autonomy, Administrative
Science Quarterly, 409-443.

Domicone, H.A. (1997), Management Characteristics, Business Strategy and TechnologyPolicy:
An Empirical Investigation, Unpublished Dissertation, UMI 1996.

Franko, L.G. (1989), Global corporate competition: Whos winning, whos losing and the R&D
factor as one reason why, Research Management, 29 (4): 17-20.

Fusfeld, A. (1978), Technology Review, MIT Alumni Association.

Fusfeld, A. (1989), Formulating technology strategies to meet the global challenges of the 1990s,
International Journal of Technology Management, 4(6): 601-612.

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

24

Ghobadian, A., ORegan, N., Gallear, D., dan Viney, H. (2004),Strategy and Performance
Achieving Competitive Advantage in the Global Markets, Palgrave, New York.

Ghemawat, P., dan Nueno, J. L. (2006), ZARA: Fast Fashion, Harvard Business School
Publishing, Boston, MA.

Ghemawat, P., Collis, D. J., Pisano, G.P., dan Rivkin, J.W. (2001), Strategy and the Business
Lanscape, Prentice Hall, New Jersey.

Ginsberg, A., dan Venkatraman, N. (1985),Contingency perspectives of organizational
strategy: a critical review of the empirical research,Academy of Management Review, 10(3):
421-434.

Grant, R. M. (1991),The resource-based theory of competitive advantage: implications for
strategy formulation,California Management Review, Spring: 114-135.

Hambrick, D. (1980), Operationalizing the concept of business-level strategy in
research,Academy of Management Review, 5(4): 567- 575.

Hatten, K. J., dan Schendel, D. E. (1977), Heterogenenity within industry: firm conduct in the
U.S brewing industry, 1952-71,The Journal of Industrial Economics, 26(2): 97-113.

Hatten, K. J., Schendel, D. E., dan Cooper, A. C. (1978),A strategic model of the U.S. brewing
industry: 1952-1971, Academy of Management Journal, 21(4): 592-610.

Henderson, R., dan Mitchell, W. (1997),The interactions of organizational and competitive
influences on strategy and performance,Strategic Management Journal, 18: 5-14.

Hitt, M. A., Hoskisson, R. E., dan Ireland, R. D. (2007), Management Strategy: Concepts and
Cases,Thomson South-Western, Mason.

Hoskisson, R. E., Hitt, M. A., dan Ireland, R.D. (2004),Competing for Advantage, Thomson,
Ohio.

Hunt, S. D., dan Morgan, R.M. (1995), The Comparative Advantage Theory of Competition,
Journal of Marketing, 59(4): 1-15.

Itami, H., dan Numagami, T. (1992), Dynamic Interaction Between Strategy and Technology,
Strategic Management Journal 13 (Winter, 1992): 119-136.

Khalil, T. M. (2000), Management of Technology:The Key to Competitiveness and Wealth
Creation, Singapore: McGraw-Hill Companies Inc.

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

25

Kilmann, R. H; Kilmann, I and Associates. (1991), Making organizations competitive:
Enhancing networks and relationships accross tradidional boundaries, California: Jossey- Bass
Inc.

Kreiser, P. M., Marino,L. D., dan Weaver, K. M. (2002a), Assessing the psychometric properties
of the entrepreneurial orientation scale: a multi-country analysis,Entrepreneurship Theory and
Practice,Summer: 71-94.

Lawless, M. W., Bergh, D., dan Wilsted, W. D. (1989), Performance variations among strategic
group members: an examination of individual firm capability,Journal of Management, 15(4):
649-661.

Lenz, R. T. (1980), Strategic capability: a concept and framework for analysis,Academy of
Management Review, 5(2): 225-234.

Lenz, R. T. (1981), Determinants of organizational performance: an interdisciplinary
review,Strategic Management Journal, 2: 131-154.

Maidique, M,A., dan Patch, P. (1988), Corporate strategy and technology policy, Dalam M.L.
Tushman., dan W.L. Moore (eds), Reading in management of Innovation (2nd ed), Balringer,
Cambridge, MA: 236-248.

Mitchel, G. (1990), Alternative frameworks for technology strategy, European Journal of
Operational Research, 47 (4):153-161.

Narayanan, V. K. (2001), Managing technology and Innovation for competitive advantage,New
Jersey: Prentice Hall, Inc.

Pangestu, M., dan Sato. Y.(1997), Wave of change in Indonesias manufacturing industry,
Institute of developing economies, IDE, ASEDP Series no 42, Tokyo.

Parker, A.R. (2000), Impact on the Organizational Performance of the Strategy Technology
Policy Interaction, Journal of Business Research, 47: 55-64.

Parnell, J. A. (1997), New evidence in the generic strategy and business performance debate: a
research notes,British Journal of Management, 8:175-181.

Parnell, J. A. (2002), Competitive strategy research,Journal of Management Research, 2(1): 1-
12.

Parnell, J. A. (2006), Generic strategies after two decades: A re-conceptualization of competitive
strategy,Management Decision, 44(8): 1139-1154.

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

26

Parnell, J. A, Wright, P., dan Tu, H. S. (1996), Beyond the strategy-performance linkage: the
impact of the strategy-organization-environment fit on business performance,American Business
Review, June: 41-50.

Penrose, E. (1959),The Growth of the Firm, Basil Blackwell, Oxford.

Porter, M. (1980),Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and competitors,
Free Press, New York.

Porter, M., (1983), The technological dimension of competitive strategy dalam R.S.
Rosenbloom (ed), Research on Technological Innovation, Management and Policy, 1, JAI Press,
Greenwich, CT: 1-33.

Porter, M. (1985),Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance, Free
Press, New York.

Porter, M. (1996),On Competition, Harvard Business Review Book, Boston.

Prahalad, C. K .,dan Hamel, G. (1990), The core competence of the corporation,Harvard
Business Review, 64: 79-91.

Robins, J. A., dan Wiersema, M. (1995), A resource-based approach to the multibusiness firm:
emprical analysis of portfolio interrelationships and corporate financial performance, Startegic
Management Journal, 24 (1): 39-59.

Schendel, D., dan Patton, G. R. (1978),A simultaneous equation model of corporate
strategy,Management Science, 24(15): 1611-1621.

Schumpeter, J. A. (1934), The Theory of Economic Development. Cambridge, MA: Harvard
University Press.

Spanos, Y. E., dan Lioukas, S. (2001),An examination into the causal logic of rent generation:
contrasting Porters competitive strategy framework and the resource-based
perspective,Strategic Management Journal, 22: 907-934.

Sriram, V., dan Anikeeff, M. A. (1991), Product-market strategies among development firms,The
Journal of Real Estate Research, 7(1): 99-114.

Stalk, G., Evans, P., dan Shulman, L. E. (1992), Competing on capabilities: the new rules of
corporate strategy,Harvard Business Review, March-April: 57-69.

Tan, J dan Litschert, R. (1994),Environment-strategy relationship and its performance
implications: an empirical study of the Chinese electronics industry,Strategic Management
Journal, 15: 1-20.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

27


Tan, J., dan Tan, D. (2005),Environment-strategy co-evolution and co-alignment: a staged model
of Chinese SOEs under transition,Strategic Management Journal, 26: 141-157.

Teece, D. J., Pisano, G., dan Shuen, A. (1997),Dynamic capabilities and strategic
management,Strategic Management Journal, 18(8): 509-533.

Tvorik, S., dan McGivern, M. (1997), Determinants of organizational performance,Management
Decision, 35(6): 417-435.
Wernerfelt, B. (1984),A resource-based view of the firm,Strategic Management Journal, 5: 171-
180.

Yoffie, B.D., dan Slind, M. (2008), Apple Inc, Harvard Business School, 9: 708-480.

Zahra, S. A., dan Covin, J. G. (1993), Business Strategy, Technology Policy and Firm
Performance, Strategic ManagementJournal, 14: 451-478.



Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

28

ANALISIS KARAKTERISTIK PERUSAHAAN
MELALUI ALIANSI STRATEJIK INTERNASIONAL

Chandra Alamsyah
Sampoerna School of Business

Knowledge transfer through strategic alliance has thrived from years to years and has
been perceived very important by practitioners and academics. The reason of this is because, in
the era of knowledge-based economy, the demand of knowledge as a factor of production as a
source of competitiveness can not be generated internally by company, so it requires cooperation
with other firms. Therefore, the main purpose of this paper is to get a descriptive picture about
company characteristics that has performed tacit knowledge transfer through international
strategic alliance between developed and developing countries from the point of view of
developing company as the recipient of knowledge. The study was done for 101 respondents,
consisted of CEOs and TMTs of local companies. The result of this study indicates that there is a
gap existed between technical skill and different management style between developed
company as the source of knowledge and developing country as the recipient of knowledge.
Eventhough R&D is weak, several local companies have been able to develop new ideas into
innovation. Thus, trust becomes a key factor that is very important for the success of knowledge
transfer process and to acquire good quality knowledge.

Keywords: Knowledge transfer, Competitiveness, technical skill, management style, trust.












Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

29

ANALISIS KARAKTERISTIK PERUSAHAAN
MELALUI ALIANSI STRATEJIK INTERNASIONAL

Pendahuluan
Pengetahuan sebagai komponen utama untuk memperoleh keunggulan daya saing
perusahaan (Hitt, Hoskisson, & Ireland, 2007), telah memperoleh perhatian yang semakin besar
dari para akademisi maupun praktisi (Chiva & Alegre, 2005; Chen, 2006). Berhubung tidak ada
satu perusahaanpun yang dapat memenuhi atau menghasilkan semua pengetahuan yang
dibutuhkan secara mandiri (Dussauge, Garrette, & Mitchell, 2000), maka alih pengetahuan antar
perusahaan melalui aliansi stratejik (Chen, 2006) menjadi penting.
9
Dengan mentransfer
(mengalihkan) pengetahuan antar perusahaan, maka keunggulan daya saing yang dibangun dari
pengetahuan dapat dimaksimalkan (Murray, 2003) melalui akses ke sumber daya unik utamanya
pengetahuan yang bersifat tacit (tersembunyi, sulit untuk dikomunikasikan dan diartikulasikan)
(Amit & Schoemaker, 1993).
Penggunaan aliansi stratejik internasional terus meningkat dengan salah satu motivasi
untuk mendapatkan akses pengetahuan (know-how) serta menginternalkan teknologi baru secara
cepat (Lam, 2004). Walaupun popularitasnya terus meningkat, namun tingkat kegagalan aliansi
stratejik juga tinggi hingga 70% dengan outcome yang dikehendaki tidak tercapai (Das & Teng,
2000). Alih pengetahuan internasional khususnya apabila menyangkut mitra dengan latar
belakang budaya yang berbeda merupakan sebuah proses yang kompleks (Yin & Bao, 2006),
dimana keberhasilan atau kegagalan alih pengetahuan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
karakteristik pengetahuan, karakteristik pengirim pengetahuan, karakteristik penerima
pengetahuan, dan konteks alih pengetahuan (Szulanski, 1996). Sehingga penting untuk mengkaji
berbagai karakteristik perusahaan baik di awal aliansi stratejik maupun selama proses alih
pengetahuan untuk mendapatkan outcome/performance yang dikehendaki.
Namun demikian, sebagian besar penelitian terdahulu hanya meneliti berbagai
karakteristik perusahaan secara terpisah dan terisolasi (Westphal & Shaw, 2005). Padahal,
sebagai suatu proses multi tahap (Inkpen & Dinur, 1998), alih pengetahuan dapat dipahami

9
Bentuk kerjasama selain aliansi stratejik adalah merger dan akuisisi (M&A), namun di luar lingkup penelitian ini.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

30

secara lengkap apabila dilakukan analisis secara komprehensif yang melibatkan anteseden
(struktur), mekanisme (conduct) dan kinerja (outcome) (Becker & Knudsen, 2006, Klint &
Sjoberg, 2003). Selain itu, alih pengetahuan melalui aliansi stratejik umumnya dikaji dari sudut
pandang pemberi dan bukan penerima pengetahuan (Yin & Bao, 2006), dan terpusat pada
perusahaan di negara maju, sehingga aplikasinya di negara berkembang menjadi kurang
diketahui, yang menjadikannya kesenjangan penelitian (Murray, Kotabe, & Zhou, 2005).
Untuk mengatasi kesenjangan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
berbagai karakteristik perusahaan yang melakukan alih pengetahuan tacit melalui aliansi stratejik
internasional antara negara maju dengan negara berkembang dari persepsi negara berkembang
sebagai penerima pengetahuan. Melalui kajian komprehensif, karakteristik perusahaan yang
terdiri dari faktor struktural berupa kecocokan mitra aliansi (partner fit), faktor mekanisme
berupa proses kognitif (interorganizational learning) serta behavioral (relational capital), dan
faktor outcome (kualitas pengetahuan alihan) dianalisis secara deskriptif disamping
menggunakan juga analisis varians dan korelasi. Rangkuman statistik deskriptif dinyatakan
sebagai salah satu bagian terpenting dari laporan setiap hasil penelitian serta dapat digunakan
sebagai masukan dalam proses pengambilan keputusan (Agung, 2004).
Bagian berikut dari artikel ini akan menguraikan karakteristik perusahaan yang
melakukan aliansi stratejik diikuti dengan metode penelitian yang melibatkan 101 perusahaan
lokal sebagai responden yang beraliansi dengan perusahaan asing. Selanjutnya diakhiri dengan
diskusi, kesimpulan, implikasi, keterbatasan dan penelitian lanjutan yang disarankan.

Karakteristik Perusahaan
Karakteristik perusahaan merupakan elemen penting untuk keberhasilan alih pengetahuan
(Reid, Bussiere, & Greenaway, 2001). Berdasarkan telaah literatur (Becker & Knudsen, 2006),
karakteristik perusahaan untuk penelitian ini dapat disarikan menjadi tiga kelompok yaitu:
pertama, faktor struktural meliputi kecocokan mitra (partner fit) (Kale et al., 2000; Sucahyo et
al., 2005) yang terdiri dari komplementaritas sumber daya, kompatibilitas operasi dan
kompatibilitas budaya (Parkhe, 1991; Sarkar et al., 2001). Kedua, faktor mekanisme yang
meliputi faktor kognitif berupa pembelajaran terdiri dari learning intent, receptivity, dan
transparansi (Larsson et al., 1998; Hamel, 1991) dan faktor behavioral berupa relational capital
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

31

(Kale et al., 2000; Sucahyo et al., 2005) yang terdiri dari kepercayaan (trust), reciprocity,
komunikasi, dan ketertarikan (Sarkar et al., 2001; Muthusamy & White, 2005). Ketiga, kinerja
(outcome) yakni kualitas pengetahuan alihan (quality of knowledge transferred) dengan dimensi
fitness for use dan applicability (Juran, 1992; Dalkir, 2005).

Kecocokan Mitra
Dalam melakukan alih pengetahuan melalui aliansi stratejik, seringkali perusahaan tidak
mempunyai informasi latar belakang yang memadai, serta mengalami ketidaksamaan bahasa dan
ketidaksamaan kepentingan, sehingga membatasi kemampuan untuk mengakses dan membagi
pengetahuan secara signifikan (Carlile, 2004). Perbedaan karakteristik perusahaan akan
membatasi kemampuan perusahaan untuk bekerjasama (Parkhe, 1991), sehingga diperlukan
adanya kecocokan mitra agar dapat terjadi sinergi. Dengan demikian kecocokan karakteristik
perusahaan yang bermitra yang terdiri dari tiga komponen yaitu komplementaritas sumber daya,
kompatibilitas operasi dan kompatibilitas budaya merupakan salah satu faktor penentu sukses
atau gagalnya alih pengetahuan melalui aliansi (Kale et al., 2002).

Komplementaritas sumber daya
Komplementaritas sumber daya merupakan tingkat penggabungan sumber daya yang
unik dan berharga, tidak identik tapi saling melengkapi yang dibawa oleh masing-masing pihak
ke dalam kolaborasi yang tidak mungkin untuk dikembangkan sendiri (Sarkar et al., 2001; Hitt,
Ireland, & Harrison, 2001). Komplementaritas sumber daya menciptakan ketergantungan, yang
mendorong timbulnya komitmen dan interaksi yang tinggi sehingga meningkatkan potensi
pembelajaran antara satu sama lainnya dan menciptakan kondisi menguntungkan untuk
terjadinya alih pengetahuan (Dussauge et al., 2000). Selain itu juga timbul sinergi, yang
meningkatkan core capabilities perusahaan (Murray, 2001) dan masing-masing pihak dapat
mempelajari kapabilitas pihak lain (Hitt et al., 2001).

Kompatibilitas operasi
Kompatibilitas operasi merupakan tingkat kesesuaian dalam operasi perusahaan (Sarkar
et al., 2001). Kompatibilitas operasi menyebabkan mitra aliansi berkooperasi lebih efektif, lebih
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

32

komunikatif dan lebih mudah berbagi sumber daya yang dapat meningkatkan kualitas hubungan
(Sarkar et al., 2001) dan kapabilitas (Hitt et al., 2001). Perusahaan dengan kapabilitas teknis
yang kompatibel akan meningkatkan proses pembelajaran antar mitra (Cohen & Levinthal,
1990). Sebaliknya perbedaan keahlian akan menghalangi proses pembelajaran (Crossan &
Inkpen, 1995). Demikian juga perusahaan dengan bisnis yang sama memiliki dasar kompetensi
yang sama, karena menggunakan teknologi serta memenuhi kebutuhan pelanggan yang sama dan
oleh karenanya memiliki dominant logic yang sama, sehingga dapat belajar lebih mudah
(Dussauge & Garrette, 2000).
10


Kompatibilitas budaya
Kompatibilitas budaya yang merupakan tingkat kesesuaian dalam budaya perusahaan
akan meningkatkan saling pengertian, kepercayaan antar mitra aliansi (Holtbrugge, 2004),
komitmen dan pertukaran informasi serta berdampak terhadap pembelajaran (Sarkar et al.,
2001). Perusahaan yang memiliki kesamaan dalam budaya organisasi akan memiliki kualitas
hubungan yang lebih baik. Sebaliknya budaya organisasi yang tidak kompatibel akan membawa
hubungan kerja yang kontra-produktif karena objektif yang tidak kompatibel dapat menimbulkan
konflik ataupun kecurigaan dan perselisihan (Sarkar et al., 2001). Kurangnya keahlian atau
kesalahan dalam menginterpretasikan sesuatu disebabkan perbedaan budaya atau kurangnya
pemahaman terhadap lintas budaya antar mitra, akan mengganggu kemampuan pembelajaran dan
pengembangan kepercayaan (Nielsen, 2001).

Pembelajaran
Pembelajaran antar organisasi pada dasarnya merupakan alih pengetahuan dari satu
perusahaan ke perusahaan lain (Hitt, Lee, & Yucel, 2002; Muthusamy & White, 2005) atau
definisi lain berupa proses penciptaan pengetahuan secara bersama-sama melalui interaksi antar
perusahaan (Larsson et al., 1998; Lubatkin, Florin, & Lane, 2001). Pengetahuan yang dialihkan
dapat berbentuk pengetahuan eksplisit, pengetahuan tacit atau keduanya. Pembelajaran selain

10
Dominant Logic merupakan mindset atau konseptualisasi bisnis yang menjadi alat administratif untuk
memenuhi sasaran (goal) dan membuat keputusan bisnis (Prahalad & Bettis, 1986).
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

33

menghasilkan private benefit juga menghasilkan common benefit (Khanna et al., 1998; Inkpen,
2000). Apabila pada transfer pengetahuan yang ada membutuhkan mitra untuk berlaku sebagai
teacher atau expert, maka pada penciptaan pengetahuan baru secara bersama, para mitra
bertindak sebagai co-reseacher atau co-inventor (Lubatkin et al., 2001). Dimensi pembelajaran
antar perusahaan terdiri dari learning intent, transparansi dan receptivity (Hamel, 1991; Larsson
et al., 1998).

Learning intent.
Dalam konteks pembelajaran melalui aliansi stratejik, learning intent (Hamel, 1991)
merupakan hasrat (desire) dan kemauan (will) untuk belajar serta menginternalisasikan keahlian
dan kompetensi mitra atau belajar dari lingkungan yang kolaboratif (Simonin, 2004). Dengan
demikian learning intent merupakan kecenderungan untuk melihat kolaborasi sebagai peluang
pembelajaran sehingga menjadi faktor penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran.
Learning intent akan mempengaruhi komitmen dan alokasi sumberdaya terhadap proses
pembelajaran dan khususnya akan mempengaruhi putusan untuk mengawali mekanisme
pembelajaran (Inkpen, 2000a) dengan memperhitungkan sifat kompetitif dan kooperatif kegiatan
pembelajaran antar perusahaan (Wu & Cavusgil, 2006). Sehingga apabila perusahaan
menganggap pengetahuan yang dimiliki mitra aliansinya menarik atau bernilai tinggi, hal
tersebut yang mendorong keinginan (learning intent) perusahaan untuk mempelajarinya (Inkpen,
2000b; Pak & Park, 2004).

Receptivity.
Hamel (1991) memperkenalkan konsep receptivity sebagai kapasitas organisasi untuk
belajar dari mitra aliansi, dan bersama-sama dengan intent (desire to learn) dan transparansi
(learning opportunity) merupakan dogma dalam proses pembelajaran. Receptivity berkenaan
dengan motivasi dan kemampuan untuk menyerap kecakapan (skill) atau pengetahuan yang
dikemukakan oleh mitra. Dengan kata lain organisasi harus mempunyai kapasitas untuk
menyerap input untuk menghasilkan output (Tsai, 2001). Dalam studinya, Lyles & Salk (1996)
mengamati bahwa kapasitas pembelajaran (diukur dengan fleksibilitas joint venture, kreativitas
dan pengetahuan tentang pegawai) mempengaruhi secara signifikan tingkat akuisisi pengetahuan.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

34

Perusahaan dapat meningkatkan receptivity pembelajaran dengan cara memaksimalkan jumlah
akses potensial ke dalam perusahaan mitra, mengkaji bahasa mitra, melakukan benchmarking
terhadap keahlian mitra, dan melakukan kesetaraan dalam fasilitas dan peralatan (Doz & Hamel,
1998).

Transparansi.
Transparansi merupakan tingkat keterbukaan perusahaan terhadap mitra sehingga
menentukan potensi mitra terhadap pembelajaran dan peluangnya (Hamel, 1991). Transparansi
penting, karena tanpa peluang untuk mengamati perbedaan (discrepancy) keahlian mitra, maka
tidak ada insentif untuk pembelajaran. Transparansi juga merupakan kesiapan membuka diri
terhadap pengujian menerima umpan balik (feedback) (Popper & Lipshitz, 2000) dimana
komunikasi secara terbuka dan jujur diperlukan (Nielsen, 2001). Sebuah perusahaan akan lebih
mudah belajar dari mitra aliansi apabila tingkat keterbukaan atau transparansi tinggi (Hamel,
1991; Doz & Hamel, 1998). Ketidaktransparansian akan mengakibatkan semakin besarnya
ambiguity dan secara langsung menghalangi alih pengetahuan (Simonin, 2004). Terdapat
paradoks di satu sisi perusahaan harus transparan terhadap pengetahuan yang dialihkan agar
aliansi berhasil, namun di sisi lain perusahaan mempertahankan keunggulan kompetitifnya
apabila pesaing tidak dapat mengakuisisi kapabilitas yang merupakan basis keunggulan
perusahaannya (Amit & Schoemaker, 1993).

Relational Capital
Kale et al. (2000) mendefinisikan relational capital sebagai tingkat saling percaya
(mutual trust), hormat (respect) dan bersahabat (friendship) antara anggota aliansi. Relational
capital yang kuat akan melahirkan interaksi yang kuat, yang memfasilitasi pertukaran dan
transfer informasi dan know-how antar mitra aliansi, dan akan mengekang perilaku oportunis dari
mitra aliansi yang secara sepihak menyerap atau mencuri informasi atau know-how yang dimiliki
mitra lainnya. Relational capital memberikan akses pengetahuan serta motivasi bagi mitra untuk
melakukan pembelajaran (Nahapiet, Gratton, & Rocha, 2005) serta saling bertukar informasi dan
know-how (Kale et al., 2000). Tiga aspek kunci relational capital yaitu mutual trust yang
merupakan tingkat kepercayaan (confidence) satu pihak terhadap integritas pihak lain, mutual
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

35

commitment yaitu tingkatan dimana kedua pihak bersedia menanamkan sumberdaya masing-
masing dalam aliansi dan information exchange yang merupakan komunikasi formal maupun
informal (Sarkar et al., 2001). Gelfand et al. (2006) menambahkan mutual attraction yang
terbentuk apabila mitra aliansi mengembangkan saling ketertarikan satu sama lainnya. Dengan
merangkum dimensi relational capital kedua penelitian terdahulu, maka elemen berikut ini yaitu
kepercayaan (trust), reciprocity (mutual commitment), komunikasi (information exchange), dan
ketertarikan (attraction) diasumsikan merupakan dimensi relational capital.

Kepercayaan
Agar alih pengetahuan melalui aliansi berjalan lancar, dibutuhkan adanya saling percaya
(Davenport & Prusak, 1998). Satu pihak akan berkenan membagi pengetahuannya kepada pihak
lain apabila memiliki kepercayaan (Davenport & Prusak, 1998) dan alih pengetahuan akan lebih
berhasil dengan adanya kepercayaan antar kedua pihak (Ford, 2002). Kepercayaan sedemikian
pentingnya untuk pertukaran hubungan (relational exchange) sehingga dianggap sebagai kriteria
sentral kemitraan stratejik (Mohr & Spekman, 1994). Menurut Ring & Van de Ven (1992), dua
definisi yang berbeda terhadap kepercayaan sering digunakan dalam literatur yaitu keyakinan
(confidence) atas ekspektasi satu pihak dan confidence pihak tersebut terhadap goodwill pihak
lain. Dengan adanya kepercayaan maka diharapkan mitra aliansi cenderung tidak melakukan
tindakan oportunis. Dengan kata lain kepercayaan antar mitra aliansi merupakan sebuah
ekspektasi bahwa mitra akan bertindak/berlaku secara jujur (Hamel, 1991; Inkpen & Currall,
2004).

Reciprocity
Reciprocity atau saling berkomitmen dalam sebuah pertukaran (exchange)
dimanifestasikan dalam bentuk kewajiban moral (moral obligation) satu pihak untuk
memberikan kepuasan kepada pihak lain (Muthusamy & White, 2005). Sebuah komitmen
bersama untuk bekerjasama adalah kritikal (Doz & Hamel, 1998), dan komitmen tersebut harus
dimiliki oleh seluruh jajaran perusahaan. Komitmen perlu untuk membina hubungan jangka
panjang agar mitra membatasi kehendaknya mencari alternatif lain ataupun komitmen jangka
pendek untuk memperkuat hubungan jangka panjang. Adanya komitmen bersama yang kuat
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

36

dapat menghindari terjadinya konflik antar anggota aliansi, sehingga kestabilan dan kontinuitas
aliansi stratejik dapat terpelihara (Soetjipto, 2003). Keterlibatan pimpinan puncak dalam aliansi
menunjukkan bahwa perusahaan memandang penting hubungan antar mitra dan menggalakkan
tumbuhnya perilaku timbal balik dengan mitra (Yoshino & Rangan, 1995).

Komunikasi
Komunikasi dapat didefinisikan secara luas sebagai berbagi (sharing) informasi yang
berarti dan tepat waktu antar perusahaan baik secara formal maupun informal (Sarkar et al.,
2001; Yao & Murphy, 2005). Komunikasi memungkinkan satu pihak mempelajari
kespesifikasian pihak lain, mengembangkan sikap saling pengertian (Young-Ybarra & Wiersma,
1999) serta sangat penting untuk keberhasilan aliansi stratejik internasional (Wahyuni, 2003).
Terdapat tiga aspek penting komunikasi yang akan meningkatkan hubungan (relationship) antar
mitra yaitu aspek kualitas informasi (termasuk di dalamnya aspek keakurasian, ketepatan waktu,
keabsahan dan kredibilitas dari informasi yang dipertukarkan), aspek pertukaran informasi secara
efektif yang akan meningkatkan nilai informasi tersebut dan pada akhirnya meningkatkan
kepercayaan serta komitmen dan mengurangi potensi terjadinya konflik, dan peran serta
keterlibatan mitra dalam penyusunan perencanaan dan sasaran aliansi (Kauser & Shaw, 2004).

Ketertarikan
Ketertarikan (attraction) dapat didefinisikan sebagai tingkatan sejauh mana satu pihak
memandang pihak lain mempunyai daya tarik profesional dalam hal kemampuan untuk
memberikan keuntungan ekonomi yang tinggi, akses kedalam sumberdaya yang utama dan
kompatibilitas sosial (Harris, OMalley & Patterson, 2003). Ketertarikan menjadi landasan untuk
interaksi ke depan (Jacobs, 1991). Ketertarikan merupakan persyaratan awal untuk terjadinya
interaksi dan selanjutnya menentukan apakah kedua pihak termotivasi untuk memelihara
hubungan tersebut (Harris et al., 2003). Menurut Blau (1964), terjalinnya mutual attraction
merupakan kekuatan yang merangsang para pihak untuk berinteraksi.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

37

Kualitas Pengetahuan Alihan
Paradigma knowledge-based view menekankan pentingnya pengelolaan pengetahuan
sebagai upaya perusahaan untuk meningkatkan keunggulan daya saing, dengan alih pengetahuan
menjadi faktor yang kritikal baik untuk keberhasilan maupun keunggulan daya saing perusahaan.
Davenport & Prusak (1998) mengatakan bahwa alih pengetahuan baru bernilai apabila alih
pengetahuan membawa beberapa perubahan perilaku, atau pengembangan ide yang
menghasilkan perilaku baru dan digunakan. Dengan adanya perilaku yang membawa perubahan,
serta digunakan berarti alih pengetahuan harus menghasilkan suatu pengetahuan yang
berkualitas. Kualitas pengetahuan merupakan isu yang signifikan untuk pemecahan masalah
(problem solving) dan pembuatan keputusan (decision making). Menurut Dalkir (2005) kualitas
pengetahuan meliputi akurasi, pemahaman (understandability), aksesibilitas, keterkinian dan
kredibilitas. Dari definisi tersebut, untuk keperluan penelitian ini, maka kualitas pengetahuan
yang dialihkan mempunyai dua dimensi yaitu tingkat kecocokan penggunaan (fitness for use)
serta tingkat aplikasi (applicability).

Fitness for use
Berangkat dari Dalkir (2005) dan Juran (1992), fitness for use dalam penelitian ini
didefinisikan sebagai tingkat kecocokan pengetahuan yang meliputi tingkat akurasi,
understandability, aksesibilitas, kredibilitas dan pengkodifikasian. Pengetahuan dikatakan
memiliki keakurasian apabila pernyataan, kesimpulan dan rekomendasi yang dihasilkan
berdasarkan informasi/pengetahuan yang relevan dan sesuai (Pawson et al., 2003).
Understandability artinya dapat dipahami secara jelas, bermakna dan tidak mendua. Aksesibilitas
artinya pengetahuan menjadi sumber daya perusahaan yang berharga hanya apabila dapat
diakses. Selain itu nilainya meningkat sejalan dengan tingkat aksesibilitasnya (De Pablos, 2004).
Kredibilitas artinya dapat dipercaya dan kodifikasi artinya dapat didokumentasikan.
Pengkodifikasian penting untuk menterjemahkan pengetahuan ke dalam bentuk eksplisit agar
memudahkan penyebaran (Dalkir, 2005) dan menjadikannya memori organisasi yang dapat
diakses (Daghfous, 2004).
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

38

Applicability
Pengetahuan yang dialihkan baru akan bernilai apabila dapat diaplikasikan sebagaimana
dikatakan oleh Alavi & Leidner (2001) bahwa aspek penting dalam pengelolaan pengetahuan
adalah mengalihkan pengetahuan ke lokasi yang membutuhkan dan dapat digunakan.
Keberhasilan alih pengetahuan bukan terbatas apabila pengetahuan tersebut telah terkirim tapi
tingkat aplikasinya. Pengetahuan bisa saja diakses dan diasimilasikan namun tidak diaplikasikan,
karena beberapa hal seperti tidak mempercayai sumber pengetahuan tersebut, kurangnya waktu
atau peluang menggunakan pengetahuan tersebut, atau menghindari risiko (Alavi & Leidner,
2001). Kogut & Zander (1995) mengatakan bahwa alih teknologi berhasil apabila penerima
pengetahuan menerapkan teknik baru produksi. Perusahaan belajar dari aliansi apabila
pengetahuan tersebut dapat diinternalisasikan dan diaplikasikan di luar kegiatan aliansi yang
berjalan (Harrison et al., 2001).

Metode Penelitian
Populasi dan Sampel
Target populasi penelitian ini adalah perusahaan lokal dalam sektor industri berbasis
pengetahuan (knowledge-intensive industry) yang melakukan aliansi stratejik dengan perusahaan
asing. Termasuk dalam sektor industri berbasis pengetahuan adalah industri farmasi, kimia,
elektronik, telekomunikasi, otomotif dan perminyakan. Sebagai responden dipilih para eksekutif
puncak dari perusahaan lokal. Sebagaimana Hambrick & Mason (1984) menyatakan bahwa
outcome organisasi baik berupa strategi maupun efektivitas dapat direfleksikan dari persepsi
eksekutif (manager) puncaknya. Demikian juga kualitas informasi dari eksekutif puncak cukup
kaya untuk membangun teori (Tsang, 2002), disamping juga sebagai pembuat keputusan utama
yang menentukan orientasi stratejik perusahaan (Lohrke, Kreiser & Weaver, 2006).
Metode pemilihan sampel dilakukan dengan menerapkan metode pemilihan sukarela atau
convenient sampling (Agung, 2004). Hal ini dilakukan mengingat tidak mudah untuk
mendapatkan data primer dari para eksekutif puncak yang pada umumnya sangat sibuk dan
mempunyai waktu yang terbatas. Selain itu juga dilakukan random sampling dengan memilih
perusahaan yang terdaftar dalam Standard Trade & Industry Directory of Indonesia 2004.

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

39

Variabel Penelitian dan Pengukuran
Dalam penelitian ini terdapat 12 (dua belas) karakteristik perusahaan yang merupakan
variabel laten berdasarkan himpunan variabel terukur (indikator) seperti disajikan dalam tabel 1.
Kedua belas variabel tersebut terdiri dari komplementaritas sumber daya, kompatibilitas operasi,
kompatibilitas budaya, learning intent, receptivity, transparansi, kepercayaan, reciprocity,
komunikasi, ketertarikan, fitness for use dan applicability. Kedua belas variabel tersebut
membentuk empat variabel laten utama yaitu kecocokan mitra, pembelajaran, relational capital
dan kualitas pengetahuan alihan (tabel 1). Sesuai Agung (2004), berhubung penelitian ini
menggunakan variabel berukuran subjektif, dan untuk mempersingkat waktu maka sebagai alat
ukur untuk variabel yang telah ada pengukurannya, dimanfaatkan kuesioner yang telah
dikembangkan oleh para peneliti/ilmuwan lain dengan modifikasi seperlunya sesuai substansi.
Selanjutnya, variabel berukuran subjektif tersebut diukur oleh responden yang kebetulan
terpilih dalam bentuk persepsi terhadap himpunan pernyataan berskala Likert dengan alternatif
jawaban 1 sampai dengan 6, sehingga para responden dapat diklasifikasi secara tepat menjadi
dua kelompok (Agung, 2004). Namun tidak semua instrumen yang dikembangkan oleh peneliti
terdahulu tersedia untuk penelitian ini, sehingga instrumen baru untuk fitness for use dan
applicability dikembangkan sendiri berdasarkan literatur yang ada.
Untuk itu dihitung skor rerata berdasarkan masing-masing himpunan variabel terukur
yang dipakai sebagai nilai/ukuran dari variabel laten yang bersangkutan (contoh: skor
komplementaritas sumber daya dihitung berdasarkan skor rerata dari variabel terukur yang terdiri
dari lima pertanyaan). Berdasarkan skor masing-masing variabel, dipakai nilai batas (cut-off
point) 4 dari rentang 1 sampai 6, sehingga perusahan yang memberi nilai variabel laten lebih
kecil dari 4, dinyatakan sebagai memberikan jawaban tidak terhadap variabel laten tersebut.







Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

40

Tabel 1. Rangkuman Definisi Operasional Variabel Penelitian
Variabel Laten
Utama
Variabel Laten Indikator Referensi
Kecocokan
Mitra
Komplementaritas
sumber daya
Lima pertanyaan mencakup tingkat
komplementaritas sumberdaya seperti tingkat
perbedaan, sinergi dan saling menguntungkan.

Sarkar et al. (2001)
Kompatibilitas
operasi
Lima pertanyaan mencakup tingkat kompatibilitas
operasi seperti tingkat kemampuan teknis, prosedur
organisasi, gaya manajemen dan mekanisme operasi.


Sarkar et al. (2001)
Kompatibilitas
budaya
Lima pertanyaan mencakup tingkat kompatibilitas
budaya seperti nilai, norma, filosofi, tujuan dan visi
perusahaan.

Sarkar et al. (2001)
Pembelajaran
Learning intent
Lima pertanyaan mencakup seberapa besar tekad,
peluang pembelajaran dan sarana pengembangan
ide baru.

Simonin (2004);
Wu & Cavusgil (2006)
Receptivity
Lima pertanyaan mencakup tingkat karyawan yang
terlatih, latar belakang akademis, program
pendidikan dan komitmen.

Simonin (2004);
Pak & Park (2004)
Transparansi
Lima pertanyaan mencakup tingkat keterbukaan
dalam hal informasi teknis/pemasaran/strategis serta
komunikasi di lini karyawan.

Norman (2002)
Relational
capital
Kepercayaan
Lima pertanyaan mencakup tingkat kepercayaan
terhadap pengambilan keputusan, perjanjian dan
ketrampilan teknologi.

Norman (2002); Aulakh et
al. (1996);
Mohr & Spekman (1994)
Reciprocity
Lima pertanyaan mencakup komitmen terhadap
keberhasilan, investasi, upaya serta kepedulian
terhadap aliansi.

Muthusamy & White (2005)

Komunikasi
Lima pertanyaan mencakup frekwensi bertukar
informasi, bertatap muka secara informal, dan
ketepatan waktu.

Young-Ybarra & Wiersema
(1999); Paulraj & Chen
(2005)
Ketertarikan
Lima pertanyaan yang merefleksikan keakraban,
hubungan profesionalisme, saling mengisi dan
hormat.

Jacobs (1991); Soetjipto
(2002)
Kualitas
pengetahuan
alihan
Fitness for use
Lima pertanyaan mencakup tingkat akurasi,
pemahaman, aksesibilitas, kredibilitas dan
pendokumentasian.

Dalkir (2005); Norman
(2002)
Applicability Enam pertanyaan mencakup tingkat aplikasi serta
peningkatan kualitas produksi/SDM/ R&D, kinerja
bisnis dan pengembangan ide baru.

Simonin (2004)
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

41


Sebelum dilakukan pengukuran ke lapangan dilakukan terlebih dahulu pre-test agar
diketahui sejauh mana kuesioner tersebut dapat diterima serta dimengerti dengan jelas, dan
dipastikan tidak ada permasalahan dalam hal terminologi atau interpretasi terhadap kuesioner
(Yli-Renko et al., 2001; Thietart et al., 2001). Cronbachs bervariasi dari nilai tertinggi 0.8802
untuk fitness for use hingga nilai terendah 0.7217 untuk komplementaritas sumber daya.

Proses Pengumpulan Data
Dari 441 perusahaan yang dikirim kuesioner, yang mengembalikan sebanyak 110
perusahaan dan yang valid sebanyak 101 responden terdiri dari sektor industri farmasi (15),
kimia (19), elektronik (24), telekomunikasi (13), otomotif (8) dan perminyakan (22) sehingga
memberikan 23% response rate. Sebagian besar responden (89.1%) merupakan bagian dari TMT
(Top Management Team) yaitu CEO, Vice President, Direktur atau General Manager. Mereka
telah terlibat secara langsung dengan aliansi yang diteliti untuk jangka waktu rata-rata sembilan
tahun, sehingga cukup mempunyai keahlian berkaitan dengan kerjasama tersebut. Ukuran
perusahaan menunjukkan bahwa sekitar 30.7% responden mempekerjakan kurang dari 100 orang
dan 30.7% responden mempekerjakan antara 100 hingga 500 orang. Sisanya sekitar 38.6%
mempunyai karyawan lebih dari 500 orang. Periode aliansi yang dilakukan kurang dari 5 tahun
sebanyak 20.5 % dan lebih dari 10 tahun sebanyak 48.9%. Mayoritas mitra asing aliansi berasal
dari Asia (khususnya Jepang, Korea, China, Singapura) (41.6%) diikuti oleh Amerika (29.7%),
Eropa (19.8%) dan Australia (2%).

Metode Analisis Data
Metode analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menyajikan rangkuman statistik
dalam bentuk tabulasi, berdasarkan kelompok-kelompok variabel yang terpilih (Agung, 2004).
Rangkuman hasil analisis tersebut menyajikan rerata (mean), standar deviasi (S.D), nilai
minimum, nilai maksimum, dan frekuensi untuk kedua belas variabel laten. Selain analisis
deskriptif dilakukan juga analisis varians untuk menguji hipotesis tentang perbedaan rerata kedua
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

42

belas variabel laten antar ketiga negara mitra aliansi (Amerika, Eropa dan Asia
11
) dan analisis
korelasi bivariat untuk mempelajari pengaruh linier dari masing-masing variabel laten terhadap
variabel laten lainnya.

Hasil Penelitian
Selanjutnya analisis deskriptif serta uji hipotesis antar negara mitra dilakukan untuk
mengkaji karakteristik perusahaan yang melakukan aliansi melalui dimensi kecocokan mitra,
pembelajaran, relational capital dan kualitas pengetahuan alihan.

Analisis Berdasarkan Dimensi Kecocokan Mitra
Tabel 2 menyajikan rangkuman statistik untuk ketiga dimensi kecocokan mitra
(komplementaritas sumber daya, kompatibilitas operasi dan kompatibilitas budaya) dan
pengujian hipotesis tentang perbedaan parameter rerata antar ketiga negara mitra aliansi.

Tabel 2. Perbedaan Rerata Dimensi Kecocokan Mitra
Variabel
Negara Asal Mitra Aliansi
Frekuensi
4
(%)
Amerika
(N= 30)

Eropa
(N=20)
Asia
(N=42)
F Sig. Min Maks
Komplementaritas
sumber daya

Mean*)
S.D
Sig.
5.240
.6021
.392
5.200
.4634
.629
5.129
.5316

.386 .681 3.6 6.0 98
Kompatibilitas
operasi

Mean*)
S.D
Sig.

4.393
.7017
.466
4.290
.8620
.891
4.262
.7305

.277 .758 2.2 5.8 67
Kompatibilitas
budaya

Mean*)
S.D
Sig.

5.087
.6678
.601
5.100
.6207
.593
5.005
.6574

.206 .814 3.0 6.0 94
*) Nilai mean diperoleh dengan merata-ratakan skor total kuesioner untuk masing-masing variabel.


11
Negara Australia diabaikan karena ukuran sampel yang hanya dua, sementara ukuran sampel sebaiknya 5
(Agung, 2006).
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

43

Untuk ketiga dimensi kecocokan mitra, walaupun terlihat rerata (mean) skor yang
berbeda antar ketiga negara mitra, namun berdasarkan statistik uji F (p = 0.681; 0.758; 0.814
semuanya > 0.05) perbedaan rerata skor antara ketiga negara asal mitra aliansi tidak signifikan.
Demikian juga berdasarkan statistik uji-t disimpulkan parameter rerata skor Amerika (p = 0.392;
0.466; 0.601) dan Eropa (p = 0.629; 0.891; 0.593) tidak mempunyai perbedaan yang signifikan
dengan rerata skor Asia. Namun demikian statistik deskriptif kompatibilitas operasi
memperlihatkan frekuensi yang hanya 67% (skor 4) (tabel 3), dengan dua butir pernyataan
yang mempunyai skor rata-rata kurang dari empat yaitu technical skill dengan rata-rata 3.85
(37.6% dengan skor <4) dan management style dengan rata-rata 3.63 (43.6% dengan skor <4)
sebagaimana disajikan pada tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Kompatibilitas Operasi
a. Technical Skill
1
b. Management Style
2


Skor Frequency Percent
Cumulative
Percent

Skor Frequency Percent
Cumulative
Percent
1
2 2.0 2.0
1
2 2.0 2.0
2
14 13.9 15.8
2
16 15.8 17.8
3
22 21.8 37.6
3
26 25.7 43.6
4
28 27.7 65.3
4
32 31.7 75.2
5
29 28.7 94.1
5
23 22.8 98.0
6
6 5.9 100.0
6
2 2.0 100.0

Total 101 100.0

Total 101 100.0
1
Mean = 3.85
2
Mean = 3.63

Analisis Berdasarkan Dimensi Pembelajaran
Tabel 4 menyajikan rangkuman statistik untuk ketiga dimensi pembelajaran (learning
intent, receptivity, dan transparansi) dan pengujian hipotesis antar ketiga negara mitra aliansi.






Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

44

Tabel 4. Perbedaan Rerata Dimensi Pembelajaran
Variabel
Negara Asal Mitra Aliansi Frekuensi
4
(%)
Amerika
(N= 30)
Eropa
(N=20)
Asia
(N=42)
F Sig. Min Maks.
Learning
Intent
Mean*)
S.D
Sig.
5.280
.5108
.341
5.170
.5322
.930
5.157
.5562

.498 .609 3.4 6.0 96
Receptivity

Mean*)
S.D
Sig.

5.200
.4909
.118
4.940
.6621
.398
4.814
.5196

1.291 .280 3.0 6.0 96
Transparansi

Mean*)
S.D
Sig.

4.647
.7385
.258
4.540
.7570
.626
4.438
.7905

.650 .524 2.4 6.0 82
*) Nilai mean diperoleh dengan merata-ratakan skor total kuesioner untuk masing-masing variabel.

Untuk ketiga dimensi kecocokan mitra, walaupun terlihat rerata (mean) skor yang
berbeda antar ketiga negara mitra, namun berdasarkan statistik uji F (p = 0.609; 0.280; 0.524
semuanya > 0.05) perbedaan rerata skor antara ketiga negara asal mitra aliansi tidak signifikan.
Demikian juga berdasarkan statistik uji-t disimpulkan parameter rerata skor Amerika (p = 0.341;
0.118; 0.258) dan Eropa (p = 0.930; 0.398; 0.626) tidak mempunyai perbedaan yang signifikan
dengan rerata skor Asia.

Analisis Berdasarkan Dimensi Relational Capital
Tabel 5 menyajikan rangkuman statistik untuk keempat dimensi relational capital
(kepercayaan, reciprocity, komunikasi dan ketertarikan) dan pengujian hipotesis antar ketiga
negara mitra aliansi.






Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

45

Tabel 5. Perbedaan Rerata Dimensi Relational Capital
Variabel
Negara Asal Mitra Aliansi
Frekuensi
4
(%)

Amerika
(N= 30)
Eropa
(N=20)
Asia
(N=42)
F Sig Min Maks.
Kepercayaan

Mean*)
S.D
Sig.
5.187
.6301
.028
5.040
.6636
.250
4.829
.7048

2.548 .084 3.2 6.0 96
Reciprocity

Mean*)
S.D
Sig.
5.153
.5818
.942
4.850
.7536
.077
5.143
.5324

1.912 .154 3.2 6.0 94
Komunikasi

Mean*)
S.D
Sig.

4.767
.6172
.974
4.610
.5999
.337
4.771
.6209

.526 .593 2.6 6.0 94
Ketertarikan

Mean*)
S.D
Sig.

5.100
.6074
.839
4.930
.6530
.377
5.071
.5352

.557 .575 3.4 6.0 96
*) Nilai mean diperoleh dengan merata-ratakan skor total kuesioner untuk masing-masing variabel.

Dari rangkuman statistik tersebut, untuk kepercayaan, Amerika mempunyai rerata skor
tertinggi dan Asia terendah. Berdasarkan statistik uji F (p = 0.084) perbedaan rerata skor antara
ketiga negara mitra aliansi tidak signifikan. Tetapi, berdasarkan statistik uji-t, rerata skor
Amerika (p= 0.028) mempunyai perbedaan yang signifikan dengan rerata skor Asia sedangkan
rerata skor Eropa (p = 0.250) tidak mempunyai perbedaan yang signifikan dengan rerata skor
Asia.
Selanjutnya, untuk ketiga dimensi lainnya (reciprocity, komunikasi, ketertarikan),
walaupun terlihat rerata (mean) skor yang berbeda antar ketiga negara mitra, namun berdasarkan
statistik uji F (p = 0.154; 0.575; 0.593 semuanya > 0.05) perbedaan rerata skor antara ketiga
negara asal mitra aliansi tidak signifikan. Demikian juga berdasarkan statistik uji-t disimpulkan
parameter rerata skor Amerika (p = 0.942; 0.839; 0.974) dan Eropa (p = 0.077; 0.377; 0.337)
tidak mempunyai perbedaan yang signifikan dengan rerata skor Asia.

Analisis Berdasarkan Dimensi Kualitas Pengetahuan Alihan
Tabel 6 menyajikan rangkuman statistik untuk kedua dimensi kualitas pengetahuan alihan
(fitness for use dan applicability) dan pengujian hipotesis antar ketiga negara mitra aliansi.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

46

Tabel 6. Perbedaan Rerata Dimensi Kualitas Pengetahuan Alihan
Variabel
Negara Asal Mitra Aliansi
Amerika
(N= 30)
Eropa
(N=20)
Asia
(N=42)
F Sig. Min Max
Frekuensi
4
(%)
Fitness for
Use
Mean*)
S.D
Sig.
4.567
.6305
.181
4.320
.6437
.858
4.352
.6982

1.170 .315 2.0 6.0 80
Applicability

Mean*)
S.D
Sig.
4.410
.6493
.283
4.295
.9350
.706
4.219
.6940

.585 .559 2.0 5.5 75
*) Nilai mean diperoleh dengan merata-ratakan skor total kuesioner untuk masing-masing variabel

Untuk kedua dimensi kualitas pengetahuan alihan, walaupun terdapat rerata skor yang
berbeda antar ketiga negara mitra, namun berdasarkan statistik uji F (p = 0.315; 0.559 keduanya
> 0.05) perbedaan rerata skor antara ketiga negara asal mitra aliansi tidak signifikan. Demikian
juga berdasarkan statistik uji-t disimpulkan parameter rerata skor Amerika (p = 0.181; 0.283) dan
Eropa (p = 0.858; 0.706) tidak mempunyai perbedaan yang signifikan dengan rerata skor Asia.
Selanjutnya, statistik deskriptif applicability menunjukkan frekuensi yang hanya 75%
(skor 4) (tabel 6), dengan satu butir pernyataan yang menyangkut R&D mempunyai skor
rata-rata 3.96 (32.7% dengan skor <4) (tabel 7a). Butir pernyataan lain yang perlu mendapat
perhatian adalah kemampuan untuk melakukan ide/produk baru (79.1% > 3) (tabel 7b).










Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

47

Tabel 7. Kemampuan Menerapkan Pengetahuan Alihan
pada R&D dan Ide/Produk Baru
a. R&D
1
b. Ide/Produk Baru
2


Skor Frequency Percent
Cumulative
Percent

Skor Frequency Percent
Cumulative
Percent
1 1 1.0 1.0 1 3 3.0 3.0
2 10 9.9 10.9 2 6 5.9 8.9
3 22 21.8 32.7 3 12 11.9 20.8
4 30 29.7 62.4 4 36 35.6 56.4
5 35 34.7 97.0 5 40 39.6 96.0
6 3 3.0 100.0 6 4 4.0 100.0
Total 101 100.0 Total 101 100.0
1
Mean = 3.96
2
Mean = 4.15

Analisis Korelasi Bivariat
Korelasi Pearson.
Sebelum melakukan analisis deskriptif, pertama-tama diperiksa korelasi Pearson
(bivariat) antar seluruh dimensi dari variabel karakteristik perusahaan yang terdiri dari
komplementaritas sumber daya, kompatibilitas operasi, kompatibilias budaya, kepercayaan,
reciprocity, komunikasi, ketertarikan, learning intent, receptivity, transparansi, fitness for use
dan applicability sebagaimana disajikan pada Tabel 8.












Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

48

Tabel 8. Matriks Korelasi Pearson
a


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1. Komplemen.
Sumber daya


2. Kompatibilitas
Operasi
.250(*)
.012
3. Kompatibilitas
Budaya
.434(**) .556(**)
.000 .000
4. Kepercayaan .358(**) .317(**) .633(**)
.000 .001 .000
5. Reciprocity .442(**) .337(**) .592(**) .548(**)
.000 .001 .000 .000
6. Komunikasi .391(**) .342(**) .624(**) .519(**) .621(**)
.000 .000 .000 .000 .000
7. Ketertarikan .439(**) .430(**) .701(**) .662(**) .664(**) .686(**)
.000 .000 .000 .000 .000 .000
8. Learning
Intent
.289(**) .312(**) .337(**) .440(**) .381(**) .295(**) .502(**)
.003 .001 .001 .000 .000 .003 .000
9. Receptivity .363(**) .502(**) .448(**) .384(**) .424(**) .343(**) .345(**) .301(**)
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .002
10. Transparansi .371(**) .447(**) .563(**) .663(**) .430(**) .540(**) .628(**) .490(**) .444(**)
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
11. Fit for Use .343(**) .399(**) .329(**) .452(**) .288(**) .347(**) .487(**) .554(**) .379(**) .636(**)
.000 .000 .001 .000 .003 .000 .000 .000 .000 .000
12. Applicability .191 .312(**) .246(*) .344(**) .107 .189 .298(**) .401(**) .336(**) .522(**) .628(**)
.056 .001 .013 .000 .287 .058 .003 .000 .001 .000 .000
a
n = 101, tingkat signifikansi tertera di bawah korelasi
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Berdasarkan hasil analisis dalam Tabel 8 dapat disimpulkan bahwa hampir setiap pasangan
variabel mempunyai koefisien korelasi positif yang signifikan pada = 0.01 dan 0.05.

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

49

Diskusi
Memiliki sumber daya yang saling digabungkan ataupun saling dipertukarkan serta
bersifat komplementaritas dipandang penting oleh perusahaan Indonesia sebagai negara
berkembang yang melakukan aliansi. Artinya perusahaan melakukan link alliance dengan tujuan
utama mencapai sinergi antar mitra dalam penciptaan nilai dan bukan untuk mencapai skala
ekonomi.
12
Hal ini mendukung penelitian Shenkar & Li (1999) yang menyimpulkan bahwa
perusahaan lokal dalam beraliansi, cenderung memilih mitra asing dengan pengetahuan yang
bersifat komplementer. Dengan penggabungan sumber daya komplementer tersebut maka
perusahaan lokal dapat memperoleh keunggulan daya saing (Harrison et al., 2001).
Namun demikian penelitian ini mengindikasikan kalau kompatibilitas operasi masih
rendah, terlihat adanya kesenjangan kemampuan teknis (technical skill) yang cukup besar dan
gaya manajemen perusahaan yang berbeda. Walau telah banyak mengalami perubahan, gaya
manajemen lokal bersifat konvensional seperti pengutamaan hirarkhi, otoritas, pengutamaan
keluarga/teman, dan lebih banyak menggunakan intuisi (Widjaja & Yip, 2000). Dalam hal
kompatibilitas budaya perusahaan, walaupun mitra aliansi mempunyai tujuan dan sasaran
individu yang berbeda, terhadap aliansi kedua belah pihak mempunyai sasaran dan tujuan yang
kompatibel sehingga konflik kepentingan dapat terhindarkan. Hal ini menerangkan mengapa
sebagian besar aliansi telah berlangsung relatif lama (lebih dari 5 tahun). Apabila sasaran dan
tujuan tidak kompatibel, maka konflik akan muncul disebabkan oleh perbenturan kepentingan
yang menimbulkan oportunistik dan kurangnya kepercayaan (Sivadas & Dwyer, 2000).
Berkaitan dengan pembelajaran, penelitian ini mengindikasikan kalau perusahaan
Indonesia umumnya mempunyai motivasi dan hasrat (learning intent) yang kuat untuk
mempelajari pengetahuan mitra asing. Sejalan dengan praktik bisnis negara Barat yang lebih
menekankan pengetahuan eksplisit melalui kecakapan analisis dan bentuk konkrit presentasi
visual dan lisan seperti dokumen, manual, dan database komputer (Nonaka & Takeuchi, 1995),

12
Dussage, Garrette & Mitchell (2000) membagi bentuk aliansi menjadi dua macam, pertama yang disebutnya
dengan link alliance dan yang kedua adalah scale alliance. Pada link alliance, perusahaan yang bermitra saling
mengkombinasikan sumber daya dan keahlian yang berbeda dan bersifat komplementer. Sedangkan pada scale
alliance, perusahaan yang bermitra menyumbangkan sumber daya yang sama. Dengan demikian, link alliance
memberikan potensi serta peluang lebih besar terhadap pembelajaran dibandingkan scale alliance.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

50

dijumpai hasrat belajar dengan mitra Amerika lebih tinggi dibandingkan dengan mitra Asia
(Tabel 5). Prosedur, manual dan percakapan yang umumnya berbahasa Inggris dengan mitra
Amerika, nampaknya lebih memudahkan bagi perusahaan lokal, dibandingkan umpamanya
dengan manual ataupun signal lain yang berbahasa Jepang, Korea atau China.
Berikutnya faktor receptivity penting, sebagaimana dinyatakan oleh Leonard-Barton
(1995) dan Gooderham & Nordhaug (2003) kapasitas untuk menerima akan menentukan tingkat
kapasitas perusahaan dalam mengakuisisi pengetahuan.
13
Kemampuan menyerap pengetahuan
yang dialihkan terindikasi cukup tinggi, terlihat mitra lokal memiliki banyak karyawan yang
terlatih, berlatar belakang akademis, serta aktif menyelenggarakan berbagai program pendidikan
dan pelatihan dan menciptakan iklim yang kondusif untuk belajar. Selanjutnya dalam penelitian
ini terlihat mitra asing cukup transparan sehingga meningkatkan peluang pembelajaran mitra
lokal. Mitra Amerika terindikasi lebih transparan dari mitra asing lainnya sebagaimana Park &
Ungson (2001) menyatakan Amerika diketahui bersifat lebih transparan dibandingkan Jepang
atau Korea. Uniknya separuh dari mitra lokal yang menyatakan mitra asing tidak transparan,
telah beraliansi lebih dari 5 tahun dan dengan kinerja keuangan perusahaan yang rendah. Sesuai
teori resource dependency, maka berlangsungnya aliansi hingga sedemikian lamanya
kemungkinan disebabkan adanya saling ketergantungan terhadap sumber daya masing-masing.
Berkaitan dengan tingkat kepercayaan (trust), mitra lokal yakin mitra asing akan
mematuhi kerjasama yang telah disepakati (artinya tidak akan bertindak oportunistik) serta yakin
bahwa kebijakan/tindakan mitra asing serta teknologi yang dialihkan akan membawa manfaat
bagi perusahaan. Berdasarkan penelitian terdahulu di industri perminyakan, juga didapati
perusahaan Indonesia mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap mitra asing.
(Alamsyah et al., 2006). Namun kepercayaan terhadap mitra Asia lebih rendah dibandingkan
dengan mitra Amerika (lihat Tabel 6). Pengetahuan dari negara Amerika lebih bersifat eksplisit,
dengan manual, standard operating procedure, visi serta objektif yang jelas (Takeuchi &
Nonaka, 2004; Burrows et al., 2005). Hal tersebut berakibat perilaku oportunistik dapat

13
Leonard-Barton (1995) dan Gooderham & Nordhaug (2003) membagi empat kapasitas (in-transfer capacity)
perusahaan dalam mengakuisisi pengetahuan yang terdiri dari level 1 sampai dengan level 4.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

51

dihindarkan karena sesuatunya jelas serta mudah dipahami bahkan tanpa kontrak sekalipun, yang
berdampak tingginya tingkat kepercayaan kepada mitra dari Amerika.
Sebaliknya pengetahuan dari Asia lebih bersifat tacit (Takeuchi & Nonaka, 2004),
sehingga peluang untuk bertindak oportunistik cukup besar. Untuk mengatasinya perlu ada
kontrak yang jelas. Namun dengan keterbatasan manusia (bounded rationality), tidak mungkin
membuat kontrak yang sangat lengkap (Williamson, 2001) sehingga perlunya monitoring atau
kontrol yang lebih ketat. Hal ini yang menyebabkan tingkat kepercayaan perusahaan lokal
terhadap negara Asia lebih rendah dibandingkan Amerika. Karena apabila perusahaan melihat
adanya perilaku oportunis dari mitra, persepsi tersebut akan menurunkan tingkat kepercayaan
(Young-Ybarra & Wiersema, 1999).
Hal di atas juga dapat diterangkan melalui pembagian masyarakat dunia menjadi
individualist dan collectivist (Hofstede, 1991). Termasuk dalam masyarakat individualist
umumnya Amerika dan Eropa. Sedangkan Asia yang dalam penelitian ini diwakili oleh Jepang,
Korea dan China merupakan masyarakat collectivist (Hofstede, 1991), dimana masyarakat
kolektif mempunyai perilaku yang kurang percaya terhadap kelompok di luar anggota kelompok
mereka sendiri (Zaheer & Zaheer, 2006). Hal ini membuat hubungan saling percaya dengan
mitra luar menjadi lebih sulit. Sebaliknya Amerika yang merupakan masyarakat individu lebih
mudah membina saling percaya dengan mitra luarnya (Huff & Kelley, 2003). Faktor lain yang
cukup beralasan adalah pendapat umum di masyarakat kalau orang kulit putih (Amerika)
dianggap jauh lebih mampu dari orang kulit berwarna (Asia) yang menyebabkan tingkat
kepercayaan yang tinggi terhadap orang Barat. Temuan ini mendukung penelitian terdahulu yang
menyatakan bahwa tingkat kepercayaan terhadap Jepang (Holtbrugge, 2004), Asia (Zaheer &
Zaheer, 2006) serta China dan Korea rendah (Anonymous, 2006).
Reciprocity atau saling berkomitmen menjadi persyaratan dasar untuk keberhasilan
aliansi (Aulakh et al., 1996), sebagaimana juga perusahaan Indonesia memandang mitra asing
(dan mitra lokal itu sendiri) memiliki komitmen yang tinggi terhadap kelangsungan serta
keberhasilan aliansi. Komitmen yang tinggi ini akan menghindari terjadinya konflik dan
kontinuitas aliansi terjaga (Soetjipto, 2003), yang juga merupakan salah satu alasan dapat
berlangsung lamanya aliansi perusahaan Indonesia dengan mitra asingnya. Komunikasi intensif
dalam industri berbasis pengetahuan sangat diperlukan mengingat pengetahuan yang umumnya
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

52

cukup kompleks, spesifik dan tacit, melalui kontak personal, tatap muka dan informal (Yao &
Murphy, 2005). Dalam hal ini, umumnya perusahaan Indonesia menjalin komunikasi yang baik
dengan mitra asingnya. Meskipun menurut teori social exchange tingkat dan kualitas komunikasi
antar mitra aliansi berhubungan positif dengan tingkat kepercayaan (Young-Ybarra & Wiersma,
1999), namun penelitian ini mengindikasikan tingkat komunikasi justru lebih tinggi dengan mitra
Asia dibandingkan dengan mitra negara Amerika. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifat
Asia (contoh Jepang) yang lebih suka berdiskusi (Park & Ungson, 2001) dan lebih sering
melakukan interaksi (Nonaka & Takeuchi, 1995).
Ketertarikan merupakan kekuatan yang akan merangsang orang untuk berinteraksi (Blau,
1964) dan menentukan apakah kedua pihak termotivasi untuk memelihara hubungan (Harris,
OMalley & Patterson, 2003). Adanya ketertarikan tersebut membuat perusahaan Indonesia
menjalin hubungan yang akrab dan bersifat profesional serta hormat terhadap mitra asingnya,
sekaligus mendukung asumsi penelitian ini bahwa hubungan perusahaan Indonesia dengan mitra
asingnya dalam hal pengalihan teknologi adalah hubungan lebih bersifat teacher-student.
Berkaitan dengan kualitas pengetahuan alihan, terindikasi tidak semua pengetahuan yang
dialihkan tersebut cocok (fit for use). Hal ini diduga karena technological know-how yang
dialihkan bersifat tacit, sementara kemampuan sebagian mitra lokal masih terbatas pada
pengetahuan eksplisit. Jadi pengetahuan tacit tersebut belum bisa diserap ataupun dimanfaatkan
seluruhnya, sebagaimana dinyatakan oleh Akyuz (2003) bahwa umumnya alih pengetahuan ke
negara berkembang terbatas pada tahap perakitan saja. Meskipun pengetahuan teknologi
umumnya sarat dengan kompleksitas, spesifisitas dan tacit, namun kemampuan negara
berkembang dalam alih teknologi sebagaimana studi Gooderham & Nordhaug (2003) dan
Leonard-Barton (1995) pada umumnya masih sebatas eksplisit saja (level 1 atau level 2).
Dalam hal penerapan pengetahuan yang dialihkan (applicability), teridentifikasi banyak
perusahaan Indonesia yang belum mampu meningkatkan kualitas R&D (lihat Tabel 8a). Hal ini
terjadi karena adanya kesenjangan yang cukup besar dalam kemampuan teknis sebagaimana
temuan dalam penelitian ini, dan pada lingkup yang lebih luas, kemampuan negara berkembang
termasuk Indonesia masih rendah untuk menerima pengetahuan bersifat tacit, dan belum mampu
untuk mencapai tingkat 3 atau 4 sebagaimana tingkat kemampuan alih pengetahuan dari
Leonard-Barton (1995). Namun demikian, terdapat juga mitra lokal (Tabel 8b) yang telah
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

53

mampu mengembangkan ide/produk baru, yang mencerminkan kemampuan melakukan inovasi.
Jadi, walaupun pada umumnya negara berkembang baru terbatas pada level 1 dalam kemampuan
alih pengetahuannya (Gooderham & Nordhaug, 2003), namun berdasarkan temuan penelitian ini,
terdapat perusahaan-perusahaan yang telah mampu mencapai level 2 menuju ke level 3.
14


Kesimpulan
Sebagaimana yang lazim dilakukan oleh kerjasama aliansi antar negara berkembang
dengan negara maju (Shenkar & Li, 1999), perusahaan Indonesia lebih memilih melakukan
aliansi yang bersifat link alliances dengan tujuan mencapai sinergi. Namun terdapat kesenjangan
kemampuan teknis yang cukup besar antara karyawan lokal dengan mitra asing. Demikian juga
terdapat gaya manajemen yang berbeda. Berdasarkan kelompok perusahaan yang diobservasi,
perusahaan Indonesia memandang mitra asing dari Amerika sebagai mitra yang paling dapat
dipercaya, sebaliknya tingkat kepercayaan terhadap mitra dari negara Asia lebih rendah.
Walaupun merupakan negara berkembang yang kemampuan alih pengetahuan tacit masih
terbatas, sebagaimana terlihat R&D yang masih lemah, namun sebagian perusahaan Indonesia
telah mampu meningkatkan kapabilitasnya dalam melakukan inovasi.

Implikasi
Penelitian ini memberikan implikasi teoritis pentingnya mengkaji berbagai karakteristik
perusahaan yang melakukan aliansi stratejik yaitu kecocokan mitra (struktur), pembelajaran dan
relational capital (proses) serta kualitas pengetahuan alihan (outcome) secara bersama-sama.
Temuan ini memperkuat penelitian Taylor (2005) yang mencoba mengkaji mana yang lebih
penting struktur atau proses aliansi dalam pencapaian kinerja perusahaan.
Kesenjangan technical skill antara mitra lokal dengan mitra asing akan mempengaruhi
tingkat pembelajaran, khususnya kemampuan untuk menyerap pengetahuan yang dialihkan, dan

14
Hal ini tentunya didukung oleh upaya pemerintah Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
dengan meningkatkan investasi barang modal dan teknologi tinggi serta lebih terbuka terhadap masuknya
investasi asing dan pekerja asing untuk bekerja pada perusahaan lokal (Widjaja & Yip, 2000).

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

54

berdampak terhadap kualitas pengetahuan alihan. Untuk mengatasi hal tersebut, selain merekrut
karyawan muda yang berpendidikan akademis, perlu pula pengrekruitan senior staff yang
berkualitas. Karyawan yang potensial haruslah diberikan berbagai pendidikan tambahan atau
pelatihan. Di samping itu diupayakan mengurangi turnover karyawan khususnya yang telah
terlatih. Selain itu penting sejak awal sebelum melakukan aliansi untuk memeriksa secara
seksama kecocokan mitra (melakukan due dilligence) yaitu komplementaritas sumber daya,
kompatibilitas operasi, dan kompatibilitas budaya. Kecocokan mitra ini sangat berguna untuk
mengatasi ataupun mengurangi berbagai permasalahan seperti perselisihan/kesalahpahaman yang
mungkin timbul dalam perjalanan aliansi seperti sasaran (goal) yang bertentangan.
Penelitian ini menunjukkan pentingnya memelihara kepercayaan dengan mitra aliansi
sebagai faktor keberhasilan. Kepercayaan akan berfungsi untuk mengurangi transaction cost
antara lain dengan mengurangi kontrol serta penulisan kontrak yang sangat rinci, dan akan dapat
mencegah tindakan untuk kepentingan diri sendiri (opportunis). Dengan adanya saling percaya,
iklim pembelajaran akan menjadi kondusif dan efektif. Melalui kepercayaan, mitra asing akan
bersedia untuk mengalihkan dan berbagi pengetahuan tanpa ada kekhawatiran terhadap tindakan
opportunis. Berhubung kepercayaan dibangun melalui interaksi dengan mitra secara terus
menerus, maka penting di awal aliansi untuk memilih mitra yang mempunyai reputasi baik.
Dengan adanya kepercayaan, maka transparansi mitra asing akan meningkat sehingga
meningkatkan peluang pembelajaran mitra lokal. Tanpa adanya transparansi dari mitra asing
(ataupun tingkat transparansi rendah), sulit bagi mitra lokal untuk mendapatkan akses
kepengetahuan. Perusahaan yang mempunyai kepercayaan terhadap mitranya akan lebih
transparan. Hal ini didasari tidak adanya kekhawatiran bahwa mitra akan bertindak oportunis,
sehingga mitra asing akan lebih berkenan untuk membagi pengetahuan terutama yang bersifat
tacit mengingat pengetahuan tacit hanya dapat dialihkan melalui interaksi serta hubungan yang
harmonis. Disamping itu juga terdapat kondisi reciprocal, kalau mitra asing lebih transparan
maka mitra lokal juga akan semakin lebih percaya kepada mitra asingnya yang telah bersedia
memberikan akses sedemikian luas ke dalam pengetahuannya. Dengan demikian, sebagaimana
Cohen & Prusak (2001) menyebutnya kepercayaan membangun kepercayaan.


Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

55

Keterbatasan dan Penelitian Mendatang
Keterbatasan penelitian ini adalah bersifat nodal dengan hanya mengkaji sisi mitra lokal
(satu arah) dan tidak mengkaji secara dyadic (dua arah) untuk mendapatkan pandangan mitra
asing terhadap aliansi. Selain itu, kuesioner yang dalam penelitian ini hanya menggunakan
persepsi satu responden untuk setiap perusahaan yang terdiri dari CEO atau TMT (top
management team), bisa menimbulkan resiko bias terhadap persepsi tersebut. Oleh karenanya,
untuk penelitian mendatang penelitian bersifat dua arah (dyadic) perlu dilakukan agar dapat
dikaji persepsi kedua belah pihak yang melakukan aliansi, serta menggunakan responden pada
tingkat yang lebih rendah dan yang terlibat langsung dengan kegiatan alih pengetahuan serta
aliansi, dengan jumlah lebih dari satu untuk setiap perusahaan agar didapatkan hasil yang lebih
relevan dan mengurangi resiko bias.


Daftar Pustaka
Agung, I. G. N. (2004), Manajemen penulisan skripsi, tesis dan disertasi: Kiat-kiat untuk
mempersingkat waktu penulisan karya ilmiah yang bermutu, Bahan kuliah S3 Universitas
Indonesia.

Agung, I. G. N. (2006), Statistika penerapan model rerata-sel multivariat dan model
ekonometri dengan SPSS. Yayasan SAD Satria Bhakti, Jakarta.

Akyuz, Y. (2003), Developing Countries and World Trade, Unctad, Switzerland.

Alamsyah, C., Supratikno, H., & Wijanto, S. H. (2006), Peranan ambiguity dalam proses alih
pengetahuan melalui aliansi stratejik: Studi empiris di Indonesia, Journal Ekonomi & Bisnis
Indonesia, 21(2), 156-174.

Alavi, M., & Leidner, D. E. (2001), Review: Knowledge management and knowledge
management systems: Conceptual foundations and research issues, MIS Quarterly, 25(1), 107-
136.

Amit, R., & Schoemaker, P. J. H. (1993), Strategic assets and organizational rent, Strategic
Management Journal, 14, 33-46.

Anonymous. (2006), Trust across border, PRweek, 9(14).

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

56

Aulakh, P. S., Kotabe, M., & Sahay, A. (1996), Trust and performance in cross-border
marketing partnerships: A behavioral approach, Journal of International Business Studies, 27(5),
1005-1032.

Becker, M. C., & Knudsen, M. P. (2006), Intra and inter-organizational knowledge transfer
processes: identifying the missing links, DRUID Working Paper No. 06-32.

Blau, P. M. (1964), Exchange and power in social life, New York: John Wiley & Sons, Inc.

Burrows, G. R., Drummond, D. L., & Martinsons, M. G. (2005), Knowledge management in
China, Communication of the ACM, 48(4), 73-76.

Carlile, P. R. (2004), Transferring, translating, and transforming: An integrative framework for
managing knowledge across boundaries, Organization Science, 15(5), 555-568.

Chen, L - Y. (2006), Effect of knowledge sharing to organizational marketing effectiveness in
large accounting firms that are strategically aligned, Journal of American Academy of Business,
Cambridge, 9(1), 176-182.

Chiva, R., & Alegre, J. (2005), Organizational learning and organizational knowledge. Towards
the integration of two approaches, Management Learning, 36(1), 49-68.

Cohen, W. M., & Levinthal, D. A. (1990), Absorptive capacity: A new perspective on learning
and innovation, Administrative Science Quarterly, 35(1), 128-152.

Cohen, D., & Prusak, L. (2001), In good company: How social capital makes organizations
work, Boston: Harvard Business School Press.

Crossan, M. M., & Inkpen, A. C. (1995), The subtle art of learning through alliances, Business
Quarterly Winter, 69-78.

Daghfous, A. (2004), Knowledge management as an organizational innovation: An absorptive
capacity perspective and a case study, International Journal Innovation and Learning, 1(4), 409-
422.

Dalkir, K. (2005), Knowledge management in theory and practice, Burlington, USA: Elsevier
Butterworth-Heinemann.

Davenport, T. H., & Prusak, L. (1998), Working knowledge, How organizations manage what
they know, Boston: Harvard Business School Press.

De Pablos, P. O. (2004), Knowledge flow transfers in multinational corporations: knowledge
properties and implications for management, Journal of Knowledge Management, 8(6), 105-116.

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

57

Doz, Y. L., & Hamel, G. (1998), Alliance advantage: The art of creating value through
partnering, Harvard Business School Press.

Dussauge, P., Garrette, B., & Mitchell, W. (2000), Learning from competing partners: Outcomes
and durations of scale and link alliances in Europe, North America and Asia, Strategic
Management Journal, 21(2), 99-126.

Ford, D. P. (2002), Trust and Knowledge Management.
Http://business.queensu,ca/kbe/consortium2002/TrustAndKM.pdf.

Gelfand, M. J., Major, V. S., Raver, J. L., Nishii, L. H., & OBrien, K. (2006), Negotiating
relationally: The dynamics of the relational self in negotiations, Academy of Management
Review, 31(2), 427-451.

Gooderham, P. N., & Nordhaug, O. (2003), International management: Cross-Boundary
Challenges, USA: Blackwell Publishing.

Hambrick, D. C., & Mason, P. A. (1984), Upper echelons: The organization as a reflection of its
top managers, Academy of Management Review, 9(2), 193-206.

Hamel, G. (1991), Competition for competence and inter partner learning within international
strategic alliances, Strategic Management Journal, 12, 83-103.

Harris, L. C., OMalley, L., & Patterson, M. (2003), Professional interaction: exploring the
concept of attraction, Marketing Theory, 3(1), 9-36.

Harrison, J. S., Hitt, M. A., Hoskisson, R. E., & Ireland, R. D. (2001), Resource
complementarity in business combinations: extending the logic to organizational alliances,
Journal of Management, 27, 679-690.

Hitt, M. A., Hoskisson, R. E., & Ireland, R. D. (2007), Management of strategy, concepts and
cases, China: Thomson South-Western.

Hitt, M. A., Ireland, R. D., & Harrison, J. S. (2001), Mergers and acquitions: a value creating or
value destroying strategy? In Hitt, M.A., Freeman, R. E., & Harrison, J. S (Ed.), Blackwell
Handbook of Strategic Management, Oxford, U.K.: Blackwell Pubishers, 384-408.

Hitt, M. A., Lee, H., & Yucel, E. (2002), The importance of social capital to the management of
multinational enterprises: relational networks among Asian and Western firms, Asia Pacific
Journal of Management, 19, 353-372.

Hofstede, G. (1991), Cultures and organizations: software of the mind, London, McGraw-Hill.

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

58

Holtbrugge, D. (2004), Management of international strategic business cooperation: Situational
conditions, performance criteria and success factor, Thunderbird International Business
Review.

Huff, L., & Kelley, L. (2003), Levels of organizational trust in individualist versus collectivist
societies: A seven-nation study, Organization Science, 14(1), 81-90.

Inkpen, A. C. (2000a), A note on the dynamic of learning alliances: competition, cooperation
and relative scope, Strategic Management Journal, 21(7), 775-779.

Inkpen, A. C. (2000b), Learning through Joint Venture: A framework of knowledge acquisition,
Journal of Management Studies, 37(7), 1019-1043.

Inkpen, A. C., & Currall, S. C. (2004), The coevolution of trust, control, and learning in joint
ventures, Organization Science, 15(5), 586-599.

Inkpen, A. C., & Dinur, A. (1998a), Knowledge management processes and international joint
ventures, Organization Science, 9(4), 454-468.

Jacobs, R. S. (1991), Understanding marketing relationships: The role of self - disclosure
reciprocity in buyer - seller interactions, Doctoral Dissertation, Arizona State University, 1991.
Juran, J. M. (1992), Juran on quality by design, New York: The Free Press.

Kale, P., Dyer, J. H., & Singh, H. (2002), Alliance capability, stock market response, and long-
term alliance success: The role of the alliance function, Strategic Management Journal, 23, 747-
767.

Kale, P., Singh, H., & Perlmutter, H. (2000), Learning and protection of proprietary assets in
strategic alliances: Building relational capital, Strategic Management Journal, 21, 217-237.

Kauser, S., & Shaw, V. (2004), The influence of behavioral and organizational characteristics
on the strategic alliances, International Marketing Review, 21(1), 17-52.

Khanna, T., Gulati, R., & Nohria, N. (1998), The dynamics of learning alliances: Competition,
cooperation, and relative scope, Strategic Management Journal, 19(3), 193-210.

Klint, M. B. & Sjoberg, U. (2003), Towards a comprehensive SCP-model for analyzing strategic
neworks/alliances, International Journal of Physical Distribution & Logistics Management,
33(5), 408-426.

Kogut, B., & Zander, U. (1995), Knowledge, market failure and the multinational enterprise: A
reply , Journal of International Business Studies, 26(2), 417-426.

Lam, M. D. (2004), Why alliances fail, Pharmaceutical Executive, 24(6), 56-66.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

59


Larsson, R., Bengtsson, L., Henriksson, K., & Sparks, J. (1998), The interorganizational learning
dilemma: Collective knowledge development in strategic alliances, Organization Science, 9(3),
286-301.

Leonard-Barton, D. (1995), Wellsprings of knowledge, Building and sustaining the sources of
innovation, Boston: Harvard Business School Press.

Lubatkin, M., Florin, J., & Lane, P. (2001), Learning together and apart: A model of reciprocal
interfirm learning, Human Relations, 54(10), 1353-1382.

Lyles, M. A., & Salk, J. E. (1996), Knowledge acquisition from foreign partners in international
joint ventures: An empirical examination in the Hungarian context, Journal of International
Business Studies, 27(5), 877-904.

Mohr, J., & Spekman, R. (1994), Characteristics of partnership success: partnership attributes,
communication behavior, and conflict resolution techniques, Strategic Management Journal, 15,
135-152.

Murray, J. Y. (2001), Strategic alliance-based global sourcing strategy for competitive
advantage: A conceptual framework and research propositions, Journal of International
Marketing, 9(4), 30-58.

Murray, S. R. (2003), A quantitative examination to determine if knowledge sharing activities
given the appropriate media richness, lead to knowledge transfer and if implementation factors
influence the use of these knowledge sharing activities, Doctoral dissertation, Mississippi State
University.

Muthusamy, S. K., & White, K. M. (2005), Learning and knowledge transfer in strategic
alliances: a social exchange view, Organization Studies, 26(3), 415-441.

Nahapiet, J., Gratton, L., & Rocha, H. O. (2005), Knowledge and relationships: when
cooperation is the norm, European Management Review, 2, 3-14.

Nielsen, B. B. (2001), Trust and learning in international strategic alliances, Working Paper 8.
Nonaka, I., & Takeuchi, H. (1995), The knowledge-creating company, New York: Oxford
University Press, Inc.

Norman, P. M. (2002), Protecting knowledge in strategic alliances: Resource and relational
characteristics, Jurnal of High Technology Management Research, 13, 177-202.

Pak, Y. S., & Park, Y. (2004), A framework of knowledge transfer in cross-border joint
ventures: An empirical test of the Korean context, Management International Review, 44, 417-
434.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

60

Park, S. H., & Ungson, G. R. (2001), Interfirm rivalry and managerial complexity: A conceptual
framework of alliance failure, Organization Science, 12(1), 37-53.

Parkhe, A. (1991), Interfirm diversity, organizational learning, and longevity in global strategic
alliances, Journal of International Business Studies, 22, 579-601.

Paulraj, A., & Chen, I. J. (2005), Strategic supply management and dyadic quality performance:
A path analytical model, Journal of Supply Chain Management, 41(3), 4-18.

Popper, M., & Lipshitz, R. (2000), Organizational learning: mechanisms, culture, and feasibility,
Management Learning, 31(2), 181-196.

Pawson, R., Boaz, A., Grayson, L., Long, A., & Barnes, C. (2003), Types and quality of
knowledge in social care, UK: The Policy Press.

Prahalad, C. K., & Bettis, R. A. (1986), The dominant logic: A new linkage between diversity
and performance, Strategic Management Journal, 7(6), 485-501.

Reid, D., Bussiere, D., & Greenaway, K. (2001), Alliance formation issues for knowledge-based
enterprises, International Journal of Management Reviews, 3(1), 79-100.

Ring & Van de Ven. (1992), Structuring cooperative relationships between organizations,
Strategic Management Journal, 13(7), 483-498.

Sarkar, M. B., Echambadi, R., Cavusgil, S. T., & Aulakh, P. S. (2001), The influence of
complementarity, compatibility, and relationship capital on alliance performance, Academy of
Marketing Science Journal, 29(4), 358-373.

Saxton, T. (1997), The effects of partner and the relationship characteristics on alliance
outcomes, Academy of Management Journal, 40: 443-461.

Shenkar, O., & Li, J. (1999), Knowledge search in international coperative ventures,
Organization Science, 10(2), 134-143.

Simonin, B. L. (2004), An empirical investigation of the process of knowledge transfer in
international strategic alliances, Journal of International Business Studies, 35, 407-428.

Sivadas, E., & Dwyer, F. R. (2000), An examination of organizational factors influencing new
product success in internal and alliance-based processes, Journal of Marketing, 64(1), 31-49.

Soetjipto, B. W. (2003), The dynamics of power in strategic alliances, Dalam kumpulan artikel
mata kuliah organization theory, S3 Universitas Indonesia.

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

61

Soetjipto, B. W. (2002), Downward influence in leader-member relationships, Doctoral
dissertation, Cleveland State University.

Sucahyo, D., Scheela, W., & Huseini, M. (2005), Do strategic alliances sustain competitiveness
for pharmaceutical firms in Asia? Jurnal Manajemen Indonesia, II (1), 29-47.

Szulanski, G. (1996), Exploring internal stickiness: impediments to the transfer of best practice
within the firm, Strategic Management Journal, 17, 27-43.

Takeuchi, H., & Nonaka, I. (2004), Knowledge creation and dialectics. In Takeuchi, H., &
Nonaka, I (Ed.), Hitotsubashi on knowledge management, USA: John Wiley & Sons.

Thietart, R. (2001), Doing management research. A comprehensive guide, London, UK: SAGE
Publication Ltd.

Tsai, W. (2001), Knowledge transfer in intraorganizational networks: effect of network position
and absorptive capacity on business unit innovation and performance, Academy of Management
Journal, 44(5), 996-1004.

Tsang, E. W. K. (2002b), Sharing international joint venturing experience: a study of some key
determinants, Management International Review, 42, 183-205.

Wahyuni, S. (2003), Strategic alliance development. A study on alliances between competing
firms, Doctoral dissertation Rijksuniversiteit Groningen.

Westphal, T. G., & Shaw, V. (2005), Knowledge transfers in acquisitions An exploratory study
and model, Management International Review, 2, 75 -100.

Widjaja, A., & Yip, G. S. (2000), Indonesia- finding ways to take off. In Yip, G. S (Ed.), Asian
advantage, Key strategies for winning in the Asia-Pacific region, UK: Perseus Books.

Williamson, O.E. (2001), Transaction-cost economics: the governance of contractual relations.
In Buckley, P. J., & Michie, J (Ed.), Firms organizations and contracts, UK: Oxford University
Press.

Wu, F., & Cavusgil, S. T. (2006), Organizational learning, commitment, and joint value creation
in interfirm relationships, Journal of Business Research, 59, 81-89.

Yao, Y., & Murphy, L. (2005), A state-transition approach to application service provider client-
vendor relationship development, Database for Advances in Information Systems, 36(3), 8-25.

Yin, E., & Bao, Y. (2006), The acquisition of tacit knowledge in China: An empirical analysis of
the supplier-side individual level and recepient-side factors, Management International
Review, 46(3), 327-348.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

62


Yli-Renko, H., Autio, E., & Sapienza, H. J. (2001), Social capital, knowledge acquisition, and
knowledge exploitation in young technology-based firms, Strategic Management Journal,
22(6/7), 587-613.

Yoshino, M. Y., & Rangan, U. S. (1995), Strategic alliances: An entrepreneurial approach to
globalization, Boston: Harvard Business School Press.

Young-Ybarra & Wiersma. (1999), Strategic flexibility in information technology alliances:
The influence of transaction cost economics and social exchange theory, Organization Science,
10(4), 439-459.

Zaheer, S., & Zaheer, A. (2006), Trust across borders, Journal of International Business Studies,
37, 21-9.

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

63

Net Interest Margin: Bank Publik di Indonesia

Adler Haymans Manurung
dan
Anugraha Dezmercoledi
Sampoerna School of Business


This paper has objective to explore the net interest margin and its determinants for
Public company has listed in BEI. Panel Data used to explore determinan net interest margin
which data period is 2007 to 2011. This paper found that ratio BOPO, market power and size
significantly affected net interest margin, which BOPO and market power has positive
relationship with net interest margin and size has negative relationship.

Keywords: Net Interet Margin, Market Power, BOPO, Loan to deposits ratio, Non performing
loan; size, data panel.



Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

64

Net Interest Margin: Bank Publik di Indonesia

Pendahuluan
Bank Sentral (Bank Indonesia) menetapkan bunga SBI pada bulan September tetap pada
tingkat bunga sebesar 5,75 persen. Artinya, bunga SBI pada bulan Oktober tidak berubah dari
bunga SBI sebelumnya yang ditetapkan sebesar 5,75 persen. Tidak adanya perubahan tingkat
bunga yang dilakukan oleh Bank Indonesia akan berpengaruh terhadap tingkat bunga yang
ditetapkan oleh bank-bank sebagai pelaksana atau intermediary institution di perekonomian
nasional. Biasanya penurunan atau kenaikan tingkat bunga SBI akan berpengaruh terhadap
tingkat bunga tabungan dan pinjaman pada perbankan. Tingkat bunga yang ditentukan Bank
Indonesia melalui SBI menjadi salah satu faktor yang menentukan perbankan untuk menentukan
tingkat bunganya.
Pada sisi lain, Bank Indonesia juga meminta kepada bank-bank untuk mengumumkan
tingkat bunga yang diberikan kepada konsumen baik itu tingkat bunga tabungan dan juga tingkat
bunga pinjaman. Transparansi atas tingkat bunga yang diminta oleh Bank Indonesia menjadi
sebuah fenomena terbaru pada perbankan nasional. Adanya transparansi tingkat bunga ini
membuat bank harus jelas menentukan tingkat bunganya. Penentuan tingkat bunga tersebut juga
akan memasukkan penentuan net interest margin. Walaupun Bank bisa melakukan pengenaan fee
atas transaksi yang dilakukan investor di bank.
Salah satu variabel yang sering digunakan bank untuk menentukan net interest margin
bank yang bersangkutan yaitu besarnya pinjaman yang diberikan oleh bank tersebut. Bila
pinjaman yang diberikan kepada konsumen seluruha dana yang didapatkan maka net interest
margin bisa lebih kecil, tetapi bank juga harus memikirkan risiko pinjaman yang diberikan.
Penelitian mengenai net interest margin ini cukup bervariasi yang telah dilakukan,
misalnya Saunders dan Schumacher (2000); Afanasieff dkk (2002); Doliente (2003); Ben-Ameur
dkk (2006); Gambacorta (2008); Ozdemir (2009); Dia dan Giuliodori (2009); Khawaja (2011);
Sharma dan Gounder (2011); Nasab dan Roomi (2012); Saad dan El-Moussawi (2012); dan
Hamadi dan Awdeh (2012). Penelitian tersebut merupakan penelitian yang dilakukan diluar
Indonesia. Sementara penelitian di Indonesia seperti Sidabalok dan Viverita (2011). Artinya
masih terbatasnya penelitian mengenai penentuan net interest margin di Indonesia.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

65

Sangat terbatasnya penelitian mengenai net interest margin di Indonesia membuat sebuah
alasan dilakukannya penelitian ini. Adanya penelitian ini memberikan masukan kepada
perbankan di Indonesia dan juga regulator dalam rangka menentukan net interest margin. Oleh
karenanya, penelitian ini sangat berguna bagi semua pihak dalam kerangka memahami
penentuan tingkat bunga.

Tujuan Penelitian
Paper ini mencoba membahas sebagai berikut:
1. Mempelajari Net Interest Margin untuk perusahaan publik di BEI
2. Mempelajari determinan net interest margin perusahaan publik di BEI

Tinjauan Teori
Determinan margin bunga bersih dapat diketahui melalui dua pendekatan yaitu
pendekatan tradisional dan pendekatan modern. Pendekatan tradisional dilihat dari variabel yang
mempengaruhi margin bunga bersih dan bisa dilakukan dengan memperhatikan neraca
perusahaan. Sementar pendekatan modern dengan memperhatikan permintan dan penawaran
tingkat bunga yang didekati dengan struktur mikro dari bank tersebut.
Net interest margin merupakan selisih antara bunga yang diperoleh (interest income)
dengan bunga yang dibayarkan (interest expense) dimana dibuat persamaanya sebagai berikut:

D i L r ni * * = (1)

dimana
ni = net interest
L = pinjaman yang diberikan
D = deposits
E = ekuitas
r = tingkat bunga pinjaman yang diberikan kepada nasabah
i = bunga yang dibayarkan kepada pihak ketiga.

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

66

Selanjutnya, L = D + E , dan umumnya jumlah L merupakan persentase dari (D+E) dikarenakan
adanya tuntutan cadangan dari Bank Sentral, maka persamaan (1) dapat ditulis kembali menjadi
sebagai berikut:

[ ] D i E D r ni * ) ( * ) 1 ( * + = (2)

[ ] D i r E r ni * * ) 1 ( * ) 1 ( * + = (3)

Jika persamaan (3) diturunkan pada turunan pertama terhadap D, maka diperoleh sbb:
i r
D
ni
=

* ) 1 ( (4)

Bila turunan pertama sama dengan nol maka terjadi nilai r sebagai berikut:

) 1 (
=
i
r (5)

Persamaan (5) memberikan arti bahwa bank bisa menarik atau mengumpulkan dana pihak ketiga
sebanyak-banyaknya bila tingkat bunga yang dikenakan pada pinjaman merupakan hasil bagi
dari tingkat nybunga yang diberikan kepada dana pihak ketiga dengan rasio dana yang bisa
dipinjamkan.

Ho dan Saunders (1981) mengemukakan determinan margin bunga bank dengan pendekatan bid-
ask spread dimana modelnya sebagai berikut:

Q R b a s
I
2
2
1

+ = + =
dimana

= mengukur kekuatan pasar (market power)


Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

67

R = bank risk aversion

2
I
=varians dari tingkat bunga deposit dan pinjaman
Q = size transaksi bank.

Teori Ho dan Saunders ini menjadi dasar penelitian bagi akademis dalam membuat model
margin bunga bank.

Penelitian Sebelumnya
Dalam kerangka pembahasan penelitian net interest margin maka perlu dipahami
penelitian sebelumnya dan sekaligus mempelajari peubah yang dipergunakan untuk menentukan
net interest margin. Penelitian mengenai net interest margin telah banyak dilakukan dan sangat
bervariasi dan sangat sedikit yang dilakukan di Indonesia. Angbazo (1997) melakukan
penelitian menenai margin bunga bersih bank, risiko default, risiko tingkat bunga dan off-
balance sheet. Penelitian ini menggunakan data periode tahun 1989 sampai dengan tahun 1993.
Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa margin bunga bersih dipengaruhi risiko default
tetapi tidak dengan risiko tingkat bunga dimana konsisten dengan besarnya konsentrasi pada aset
jangka pendek dan instrument pelindung nilai yang dicatat pada neraca yang terpisah (off-
balance sheet). Bank regional sangat sensitif terhadap risiko tingkat bunga tetapi tidak pada
risiko default.
Maudos dan de Guevara (2004) melakukan penelitian faktor yang menguraikan margin
bunga pada sektor perbankan di uni Eropa (Jerman, Perancis, UK, Itali dan Spanyol). Penelitian
menggunakan data panel sebanyak 15.888 sampel data untuk periode 1993 sampai dengan 2000.
Metodologi yang dipergunakan model Ho dan Saunders (1981). Hasil penelitian ini menyatakan
bahwa turunnya margin di sistim perbankan Eropa sesuai dengan relaksisasi kondisi kompetisi
(peningkatan pada kekuatan pasar dan konsentrasi) sebagai pengaruh untuk menghadapi
penurunan risiko tingkat bunga, risiko kredit dan biaya operasional bank.
Gambacorta (2008) melakukan penelitian mengenai bank menentukan tingkat bunga
untuk bank di Italia. Penelitian ini menggunakan data pada periode 1993 Q3 sampai dengan
2001 Q3 dengan jumlah bank sebanyak 73 bank. Penelitian ini memberikan kesimpulan yaitu
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

68

keragaman bank membuat tingkat bunga yang disampaikan kepada konsumen tergantung kepada
likuiditas, kapitalisasi bank dan hubungan bank dalam pinjaman.
Valverde dan Fernandez (2007) melakukan penelitian determinan margin bank untuk
negara Eropa. Penelitian ini mempergunakan model Ho dan Saunders (1981). Sampel penelitian
ini sebanyak 19.322 bank di Eropa dengan data tahunan pada periode tahun 1994 sampai dengan
tahun 2001. Penelitian ini menyimpulkan bahwa bank-bank di Eropa lebih bagus sebagai
laboratorium dibandingkan bank di Amerika Serikat . Penelitian ini juga menyatakan bahwa
kekuatan pasar meningkat sesuai ouput menjadi lebih terdiversifikasi menuju aktifitas non-
tradisional pada perbankan Eropa.
Claeys dan Vennet (2008) melakukan penelitian mengenai determinan margin bunga
bank pada pusat dan Timur Eropa dengan perbandingan bagian barat Eropa. Penelitian ini
menggunakan sampel sebanyak 1.130 bank selama periode tahun 1994 sampai dengan 2001 di
Eropa Barat dan Timur. Penelitian ini memberikan hasil yaitu hipotesis Structure-conduct-
performance (SCP) tidak dapat ditolak di pasar bank Eropa Barat dan Negara yang mempunyai
peraturan kuat (accession countries). Adanya pengendalian terhadap keberadaan bank asing,
penelitian ini tidak menemukan keberadaan hipotesis SCP dan RMP di kedua Negara tersebut.
Keberadaan bank asing secara efektif mengurangi margin bunga bank dikarenakan tuntutan
besarnya pangsa pasarnya.
Hawtrey dan Liang (2008) melakukan penelitian mengenai margin bunga bank untuk
negara-negara OECD. Penelitian ini menggunakan data periode 1987 sampai dengan 2001 dan
model panel data yang dipergunakan dalam menganalisisnya. Penelitian ini menemukan bahwa
market power, biaya operasi, risiko aversion, volatilitas tingkat bunga , risiko kredit dan cost
opportunity dan pembayaran bunga berhubungan positif dengan margin bunga bersih. Penelitian
ini juga menyatakan bahwa model Efek Tetap lebih baik dibandingkan model Efek Acak.
Maudos dan Solis (2009) melakukan penelitian mengenai pendapatan bersih bunga (net
interest income) di system perbankan Negara Mexico dengan model terintegrasi. Periode data
yang dipergunakan dalam penelitian tersebut yaitu tahun 1993 sampai dengan tahun 2005 dengan
pendekatan Ho dan Saunders (1981). Hasil penelitian ini menyatakan bahwa margin yang tinggi
dapat diterangkan oleh rata-rata biaya operasi dan kekuatan pasar. Pendapatan non-bunga cukup
mengalami peningkatan tetapi pengaruhnya terhadap ekonomi cukup kecil.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

69

Sharma dan Gounder (2011) melakukan penelitian untuk menentukan margin bunga bank
di Negara Fiji. Penelitian ini menggunakan data pada periode tahun 2000 sampai dengan 2010.
Penelitian ini menggunakan model Ho dan Saunders (1981) tetapi dengan pendekatan data panel.
Penelitian ini mempunyai hasil yaitu NIM mempunyai hubungan positif dengan pembayaran
bunga, biaya operasi dan kekuatan pasar dan risiko kredit. Tetapi, NIM mempunyai hubungan
negatif dengan kualiatas manajemen dan risiko likuiditas.
Sidabalok dan Viverita (2011) melakukan penelitian terhadap determinan margin bunga
bersih bank di Indonesia dengan pendekatan dinamis. Penelitian ini menggunakan data periode
2003 sampai dengan 2009 dimana metodologinya panel data yang dinamis. Penelitian ini sangat
mendukung penelitian sebelumnya yaitu adanya persisten dan tingginya margin bunga bersih di
Indonesia. Tingginya margin bunga bersih bank dikarenakan luas spread bunga tersebut, faktor
spesifik bank dan juga kekuatan pasar. Disamping itu, margin bunga bersih sebelumnya juga
turut mempengaruhi atau sebagai determinan margin bunga bersih sekarang ini dan penelitian
tidak mengkonfirmasi perilaku pro-cyclical bank.
Espinosa dkk (2011) melakukan penelitian mengenai margin bunga bersih bank di tahun
2000 untuk 15 Negara maju dan Negara sedang berkembang. Penelitian ini menggunakan data
akuntansi , keuangan dan makroekonomi periode 1999 sampai 2008 untuk 15 negara yaitu
Argentinga, Belgium, Brazil, Perancis, Jerman, Indonesia, Jepang, Mexico, Belanda, Polandia,
Republik Korea, Rusia, Spanyol, Inggris dan Amerika Serikat. Penelitian ini menemukan bahwa
pengenalan IFRS (International Financial Reporting Standards) memberikan kontribusi terhadap
lebih kecilnya variasi margin bunga bersih yang tidak dijelaskan oleh peubah akuntansi baku.
Volatilitas tingkat bunga juga ditemukan mempunyai hubungan positif dan sangat kuat
hubungannya terhadapa margin bunga bersih dinamis. Risiko Inflasi ditemukan sangat relevan
yang mendorong perbedaan margin bunga bersih antar Negara yang diteliti.
Fungacova dan Poghosyan (2011) melakukan penelitian mengenai margin bunga bersih
di Rusia dan pengaruh kepemilikan bank. Penelitian ini menggunakan data bank di Rusia untuk
periode 1999 sampai dengan 2007. Penelitian ini menemukan struktur pasar, risiko likuiditas,
size dan pengendali seperti pemerintah, swasta dan asing sebagai determinan dari margin bunga
bersih di Rusia dimana peubah tersebut juga merupakan peubah yang biasa digunakan dalam
penelitian. Tetapi, penelitian ini juga menemukan biaya operasional dan aversion risk homogeny
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

70

terhadap semua kelompok kepemilikan bank. Penelitian ini menekankan bahwa bentuk
kepemilikan bank sangat dibutuhkan dipertimbangkan dalam menganalisa determinan margin
bunga bersih bank.
Saad dan El-Moussawi (2012) melakukan penelitian juga mengenai determinan net
interest margin untuk bank komersil do Libanon. Adapun periode penelitian ini yaitu tahun
2000 sampai dengan tahun 2010 untuk 39 bank komersil. Model yang dipergunakan dalam
menganalisis determinan net interest margin yaitu model fixed effect. Peubah risiko kredit,
kapitalisasi bank, struktur pasar, off-balance, size; pertumbuhan ekonomi dan biaya kesempatan
(opportunity cost) sebagai peubah yang menentukan (determinan) net interest margin.
Lin dkk (2012) melakukan penelitian terhadap determinan margin bunga dan
pengaruhnya kepada diversifikasi bank di bank-bank Asia. Penelitian ini menggunakan data
bank komersil untuk sembilan Negara di Asia yaitu Cina, India, Indonesia, Jepang, Filipina,
Singapura, Korea Selatan, Taiwan dan Tailand dengan periode data tahun 1997 sampai dengan
tahun 2005. Model regressi switching endogen dipergunakan dalam menganalisis penelitian ini
dalam mengkategorisasi bank ke dalam diversifikasi regime tinggi dan rendah. Hasil penelitian
ini yaitu margin bunga bersih bisa sedikit lebih sensitif terhadap fluktuasi pada factor risiko bank
untuk bank yang mendifersifikasikan secara fungsional dibandingkan dengan kepada bank yang
lebih special. Adanya diversifikasi sumber pendapatan membuat bank dapat mengurangi
goncangan kepada margin bunga bersih yang ditimbulkan dari risiko idiosunkratik.

Metodologi
Adapun model yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu model data panel dimana modelnya
(Gujarati, 2011) sebagai berikut:

it it it it it i it
DM X X X X Y + + + + + + =
6 5 5 4 4 3 3 2 2 1
(1)
i = 1,2,...,k ; t = 1,2,....,n
Yit dalam penelitian ini peubah net interest margin (NIM). Peubah bebas yang dipergunakan
untuk mempengaruhi NIM yaitu Loan to Deposits Ratio (LDR); Non-performing loan (NPL)
dipergunakan Espinosa dkk (20110 dan Fungacova dan Poghosyan (2011), Size bank
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

71

dipergunakan Fungacova dan Poghosyan (2011); rasio biaya operasional terhadap pendapatan
operasional (BOPO) dipergunakan Hawtrey dan Liang (2008); konsentrasi bank terhadap kredit
yang dikenal dengan kekuatan pasar (MPR) digunakan Wong (1997) dan juga diperkenalkan Ho
dan Saunders (1981). Pada penelitian ini dimasukkan sebuah variabel boneka untuk menyatakan
selama periode ada timbul periode krisis.

Data
Penelitian ini menggunakan data keuangan perbankan yang dipublikasikan setiap
tahunnya oleh perusahaan sebagai kewajiban dari perusahaan publik, terutama sahamnya
ditransaksikan di Bursa Efek Indonesia. Periode penelitian yang dipergunakan yaitu tahun 2007
sampai dengan tahun 2011. Bank yang mempunyai laba bersih negatif selama periode penelitian
dikeluarkan dari sampel penelitian ini dan bank harus mempunyai data lengkap selama 5 tahun.

Peubah
Dalam penelitian ini dipergunakan peubah sebagai berikut:
Net Interest Margin (NIM) = (Pendapatan Bunga Biaya Bunga) / Earning Asset
BOPO = biaya operasional / pendapatan operasional
SIZE = Ln Total Asset
Non Performing Loan (NPL) = jumlah kredit macet / Total kredit
Loan Deposits Ratio (LDR) = loan / deposits
Market Power (MPR) = kredit yang diberikan / Kredit Nasional

Lima peubah (Size, NPL, BOPO, LDR dan MPR) dipergunakan sebagai peubah bebas
untuk mempengaruhi peubah tak bebas NIM.

Hasil Pembahasan
Hasil pembahasan ini akan menguraikan dua pembahasan yang dimulai dengan analisis
statistik deskriptif dan dilanjutkan dengan analisis determinan net interest margin.


Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

72

Statistik Deskriptif
Sesuai uraian sebelumnya maka analisis yang dilakukan pada bagian ini mengenai
statistik deskriptif. Tabel 1 memperlihatkan statistik deskriptif dari peubah NIM, Size, NPL,
LDR, BOPO, dan MPR untuk semua periode dan sampel yang dilakukan. Adapun rata-rata NIM
bank yang sahamnya diperdagangkan di Bursa sebesar 6,04% dimana maksimum senilai 12,37
persen dan minimum senilai 1,77%. Variasi data peubah NIM ini sebesar 2,46 persen dan
merupakan variasi terkecil ketiga dari seluruh data variasi peubah yang dipakai dalam penelitian
ini. Atas hasil pengujian terhadapan distribusi data NIM ini maka ditemukan data NIM tidak
berdistribusi normal. Tidak berdistribusi normal data NIM didukung oleh nilai Skewness dan
Kurtosis yang tidak sesuai dengan nilai normal. Rata-rata Size perbankan sebagai sampel
penelitian bernilai10,93 dimana size minimum senilai 7,3 dan maksiumum bernilai 13,22.
Tingginya nilai rata-rata tersebut dikarenakan sampel yang mempunyai asset tertingi pada
perbankan ikut menjadi sampel. Variasi size ini mempunyai variasi yang juga cukup kecil dan
merupakan urutan kedua untuk semua variasi peubah yang dipergunakan dalam penelitian ini.
Pengujian distribusi normal terhadap data peubah size memberikan kesimpulan bahwa data
peubah size tidak berdistribusi normal.

Rata Min Max STDEV SKEW Kurtosis JB-TEST
NIM 6.04% 1.77% 12.37% 2.46% 90.66% 0.16595 35.3746**
SIZE 10.4913 7.2883 13.2211 1.7543 -0.1799 -1.28361 57.7464**
NPL 2.75% 0.48% 8.20% 1.52% 109.07% 1.85196 18.9888*
LDR 74.67% 40.22% 103.88% 14.96% -20.99% -0.56693 40.3099**
BOPO 73.30% 41.60% 102.64% 18.59% -52.44% -1.26791 60.3592**
MPR 3.93% 0.09% 14.38% 4.62% 113.27% -0.07607 45.6069**
Sumber: Hasil Olahan
Tabel 1: Statistik Deskriptif NIM, Size, NPL, LDR, BOPO dan MPR


Rata-rata NPL perusahaan yang menjadi sampel penelitian sebesar 2,75 persen dimana
nilai minimumnya senilai 0,48 persen dan nilai maksimum sebesar 8,2 persen. Variasi dari data
peubah NPL cukup kecil sebesar 1,52 persen dan merupakan nilai paling kecil dari seluruh
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

73

variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Pengujian terhadap distribusi data peubah NPL
ditemukan bahwa datanya tidak berdistribusi normal.
LDR sebagai peubah penelitian mempunyai nilai rata-rata sebesar 74,67 persen dimana
nilai minimum sebesar 40,22 persen dan nilai maksimum sebesar 103,88 persen. Adapun variasi
data LDR ini sebesar 14,96 persen dan merupakan nilai variasi terbesar kedua dari seluruh
peubah yang dipergunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan pengujian distribusi normal
terhadap data peubah LDR maka disimpulkan bahwa data peubah LDR tidak berdistribusi
normal.
Rata-rata BOPO sampel perbankan pada penelitian sebesar 73,3 persen dimana nilai
minimum sebesar 41,6 persen dan nilai maksimum 102,64 persen. Angka ini menyatakan bahwa
terdapat bank yang kurang efisien dikarenakan BOPOnya melebihi 100 persen. Variasi BOPO
dari sampel penelitian ini cukup tinggi senilai 18,59 persen dan merupakan nilai variasi tertinggi
dari seluruh variasi peubah yang dipergunakan dalam penelitian ini. Data peubah BOPO ini
ditemukan tidak berdistribusi normal dengan pengujian kai-kuadrat.
Konsentrasi pasar yang disimbol dengan MPR mempunyai rata-rata sebesar 3,93 persen
dimana nilai minimum sebesar 0,09 persen dan maksimum sebesari 14,38 persen. Pada data asli
terlihat bahwa konsentrasi pasar dikuasai oleh Bank Mandiri dan Bank Rakyat Indonesia dimana
nilai konsentrasi pasar bergantian untuk tertinggi bagi kedua bank. Variasi MPR senilai 4,62
persen dan merupakan nilai variasi tertinggi ketiga dari seluruh peubah yang digunakan dalam
penelitian ini. Data peubah MPR disimpulkan tidak berdistribusi normal dengan menggunakan
pengujian kai-kuadrat.

Determinan NIM
Sesuai dengan judul penelitian ini maka bagian ini akan menyelidiki peubah yang
mempengaruhi NIM. Analisis dimulai dengan pengujian model panek acak atau model panel
tetap dan dilanjutkan menganalisis peubah yang mempengaruhi NIM.
Tabel berikut ini memperlihatkan pengujian Hausman untuk menentukan model panel
yang akan dipergunakan. Pada tabel berikut diperlihatkan nilai statistik Kai-Kuadrat sebesar 0
dimana nilai Tabel kai kuadrat dengan derajat kebebasan 6 diperoleh nilai yang lebih tinggi dari
nol.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

74


Test cross-section random effects


Test Summary
Chi-Sq.
Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.


Cross-section random 0.000000 6 1.0000


* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.


Hasil yang dapat disimpulkan berdasarkan pengujian dengan menggunakan Kai-Kuadrat
maka model yang dapat dipergunakan yaitu model panel acak (Model of Random Effect).
Tabel berikut memperlihatkan model panel efek acak untuk NIM dimana peubah
bebasnya DM, LDR, NPL, Size, BOPO, MPR.

Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f.corrected)


Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.


C 0.132154 0.038992 3.389247 0.0012
DM -0.000936 0.001399 -0.669162 0.5057
BOPO? -0.027284 0.011275 -2.419875 0.0182
LDR? 0.018908 0.012880 1.468048 0.1467
MPR? 0.242108 0.101689 2.380860 0.0201
SIZE? -0.007045 0.003440 -2.047967 0.0444
NPL? -0.041736 0.038972 -1.070927 0.2880

Random Effects
(Cross)
_1C 0.003350
_2C 0.027869
_3C -0.030955
_4C 0.004928
_5C -0.010398
_6C -0.013622
_7C 0.006361
_8C -0.020995
_9C -0.019862
_10C 0.033575
_11C -0.020006
_12C 0.005738
_13C -0.000754
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

75

_14C 0.042674
_15C -0.007904


R-squared 0.142539 Mean dependent var 0.009551
Adjusted R-squared 0.066881 S.D. dependent var 0.007310
S.E. of regression 0.007062 Sum squared resid 0.003391
F-statistic 1.883984 Durbin-Watson stat 1.541561
Prob(F-statistic) 0.096160


Pada Tabel diatas terlihat bahwa koefisien determinasi (R-squared) sebesar 14,25 persen
yang menyatakan bahwa variasi seluruh peubah BOPO, LDR, NPL. Size dan MPR dapat
menjelaskan variasi peubah NIM hanya sebesar 14,25 persen dan 85,75 persen dijelaskan oleh
peubah lain. Hasil ini juga menjelaskan bahwa banyak peubah yang menjelaskan NIM yang
belum termasuk dalam penelitian ini.
Pada Tabel terlihat bahwa DM mempunyai hubungan negative dengan NIM yang
memberikan arti bila ada krisis maka NIM menurun dan secara kebetulan tidak signifikan.
BOPO mempunyai hubungan negatif dengan NIM yang memberikan arti bila BOPO mengalami
peningkatan maka NIM mengalami penurunan yang besarannya 0,027 unit untuk satu unit
BOPO. Peubah ini signifikan mempengaruhi NIM pada level signifikansi 5 persen. LDR
mempunyai hubungan positif terhadap NIM dimana kenaikan satu unit LDR mempengaruhi
kenaikan NIM sebesar 0,019 unit. Peubah LDR ini tidak signifikan mempengaruhi NIM.
Kekuatan pasar (MPR) mempunyai hubungan positif dengan NIM dimana MPR naik satu unit
mempengaruhi NIM naik 0,24 unit demikian juga kebalikannya. Peubah MPR ini signifikan
mempengaruhi NIM pada level signifikansi 5 persen. Size bank sebagai satu peubah yang
diikutkan serta untuk menyatakan besaran bank, maka size mempunyai hubungan negatif dengan
NIM. Bila size perusahaan naik satu unit maka nilai NIM turun sebesar 0,007 unit. Size ini
secara statistic signifikan mempengaruhi peubah NIM pada level signifikansi 5 persen. NPL
mempunyai hubungan dengan negatif dengan NIM tetapi secara statistik tidak signifikan pada
level signifikansi 5 persen bahkan 10 persen.
Selanjutnya, pembahasan terhadap besaran koefisien dari masing-masing sampel
ditunjukkan oleh tabel diatas. Model panel efek acak diatas memperlihatkan bahwa nilai intersep
tetap sebesar 0,132154 dan nilai intersep efek acak pada bagian bawah dari model. Intersep acak
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

76

sangat bervariasi dan nilainya bisa mengurangi dan menambah intersep tetap. Untuk sampel
pertama maka nilai intersep sebesar 0,132154 + 0,003350 = 0,135504. Untuk sampel 8 maka
nilai intersepnya sebesar 0,132154 0,020995 = 0,111159. Sedangkan untuk sampel terakhir
(sampel 15) maka nilai intersep yaitu 0,132154 0,007904 = 0,124250.
Model panel efek acak ini dapat dipergunakan dengan level signifikansi sebesar 10
persen dimana probabilita (F-Statistic) sebesar 9,6.

Kesimpulan
Sesuai dengan uraian sebelumnya dapat diberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. NIM bank yang sahamnya diperdagangkan di BEI sebesar 6,04% dan variasinya 2,46
persen.
2. Peubah yang signifikan secara statistik mempengaruhi NIM yaitu peubah BOPO,
kekuatan pasar (MPR) dan size bank tersebut.


Daftar Pustaka

Afanasieff, T. S.; Lhacer, P. M. V. and M. I. Nakane (2002); The Determinants of Bank Interest
Spread in Brazil; Working Paper Banco Central do Brasil.

Angbazo, Lazarus (1997); Commercial Bank Net Interest Margins, Default Risk, Interest-rate
Risk, and off-balance Sheet Banking; Journal of Banking and Finance, Vol. 21; pp. 55 -87.

Beck, Thorsten and Heiko Hesse (2009); Why are Interest Spread so High in Uganda; Journal of
Development Economics, Vol. 88; pp. 192 204.

Ben-Ameur, H.; Breton, M.; Karoui, L. and P. LEcuyer (2006); A Dynamic Programming
Approach for Pricing Options Embedded in Bonds; Journal of Economic Dynamics & Control,

Claeys, Sophie and Rudi V. Vennet (2008); Determinants of Bank Interest Margins in Central
and Eastern Europe: A Comparison with the West; Economic Systems, Vol. 32; pp. 197 216.

Davies, George R. (1920); Factors Determining the Interest Rate; Quarterly Journal of
Economics, Vol. 34, No. 3; pp. 445 461.

Dia, Enzo and M. Giuliodori (2009); The Determinants of Bank Interest Margins: Estimates of a
Dynamic Model; Working Paper of Departments of Economics, University of Milan - Bicocca

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

77

Dietrich, A.; Wanzenried, G. and Rebel A. Cole (2009); Why are net-interest margins across
countries so different ?; Working paper

Doliente, Jude S. (2003); Determinants of Bank Net Interest Margin of Southeast Asia; Working
Paper University of the Philippones.

English, William B. (2002); Interest Rate Risk and Bank Net Interest Margins; BIS Quarterly
Review, Desember; pp. 67 82.

Espinosa, G. Lopez; Moreno, Antonio and Fernando Perez de Gracia (2011); Banks Net Interest
Margin in the 2000s: A Macro-Accounting International Perspective; Journal of International
Money and Finance, Vol. 30; pp. 1214 1233.

Fellows, James A. (1978); A Theory of the Banking Firm; American Economist. Vol. 22, No. 1;
pp. 22 25.

Fungacova, Zuzana and Tigran Poghosyan (2011); Determinants of Bank Interest Margins in
Russia: Does Bank Ownership Matter; Economic Systems, Vol. 35; pp. 481 495.

Gambacorta, Leonardo (2008); How do Banks set Interest rates ?; European Economics Review,
Vol. 52; pp. 792 819.

Hamadi, Hassan and Ali Awdeh (2012); The Determinants of Bank Net Interest Margin:
Evidence from the Lebanese Banking Sector; Journal of Money, Investment and Banking, Issue
23;

Hawtrey, Kim and Hanyu Liang (2008); Bank Interest Margins in OCED Countries; North
American Journal of Economics and Finance, VOl. 19; pp. 249 260.

Ho, Thomas S. Y. and Anthony Saunders (1981); The Determinants of Bank Interest Margins:
Theory and Empirical Evidence; Journal of Financial and Quantitative Analysis, VOl. 6, No. 4;
pp. 581 600.

Horvath, R. and Anca Podpiera (2012); Heterogeneity in Bank Pricing Policies: The Czech
Evidence; Economic Sytems, Vol. 36; pp. 87 108.

Khawaha, Idrees (2011); Interest Margin and Banks Asset-Liability Composition; Lahore
Journal of Economics; Vol. 16; pp. 255 270.

Klein, Michael A. (1971); A Theory of Banking Firm; Journal of Money, Credit and Banking,
Vol. 3, No. 2; pp. 205 218.

Liebeg, David and M. S. Schwaiger ( ); Determinants of the Interest Rate Margins of Austrian
Banks; Financial Stability Report, Vol. 12; pp. 104 116.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

78


Lin, Jane-Raung, Chung, Huimin; Hsieh, Ming-Hsiang and Soushan Wu (2012); The
Determinants of Interest Margins and Their Effect on Bank Diversification: Evidence from Asian
Banks; Journal of Financial Stability, Vol. 8; pp. 96 106.

Lin, Jyh-Horng; Lin, Jyh-Juan and Pai-Chou Huang (2010); Modeling Bank Interest Margin and
Loan Quality under Troubled Asset Relief Program: An Option-Pricing Approach; WSEAS
TRANSACTIONS on CIRCUITS and SYSTEMS, Issue 11, Vol. 9; pp. 689 699.

Maudos, Joaquin and Juan F. de Guevara (2004); Factor Explaining the interest margin in the
Banking Sectors of the European Union; Journal of Banking and Finance, Vol. 28; pp. 2259
2281.

Maudos, Joaquin and Liliana Solis (2009); The Determinants of Net Interest Income in the
Mexican Banking System: An Integrated Model; Journal of Banking and Finance, Vol. 33; pp.
1920 1931.

Nasab, A. A. and A. S. Roomi (2012); An Analysis of Effective Factors on Bank Interest Margin
Rate: A Case Study Ansar Bank; Interdisciplinary Journal and Contemporary Research in
Business, Vol. 4, No. 2; pp. 1084 1090.

OHara, Maureen (1983); A Dynamic Theory of Banking Firm; Journal of Finance, Vol. 38, No.
1; pp. 127 140.

Ozdemir, Bilge Kagan (2009); Retail Bank Interest Rate Pass-Through: The Turkish Experience;
International Research Journal of Finance and Economics, Issue 28.

Saad, Wadad and Chawki El-Moussawi (2012); The Determinants of Net Interest Margin of
Commercial Banks in Lebanon; Journal of Money, Investment Banking, Issue 23.

Santomero, A. M. (1984); Modeling the Banking Firm: A Survey; Journal of Money, Credit and
Banking, Vol. 16, No. 4; pp. 576 602.

Saunders, A. and L. Schumacher (2000); The Determinants of Bank Interest Rate Margins: An
International Study; Journal of International Money and Finance, Vol. 19; pp. 813 832.

Schwaiger, M. S. and D. Lieberg ( ); Determinants of Bank Interest Margins in Central and
Eastern Europe; Financial Stability Report, Vol. 14; pp. 68 84

Scott, J. W. and J. C. Arias (2011); Banking Profitability Determinants; Business Intelligence
Journal, Vol. 4, No. 2; pp. 209 - 230.

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

79

Sharma, P. and N. Gounder (2011); Determinants of Bank Net Interest Margins in a Small Island
Developing Economy: Panel Evidence from Fiji; Discussion Papers Finance, Griffith Business
School.

Sidabalok, L. R. and Viverita (2011); The Determinants of Banks Net Interest Margin in
Indonesia: A Dynamic Approach; http://ssrn.com/abstract=1990175

Valverde, Santiago C. and Francisco R. Fernandez (2007); The Determinants of Bank Margins in
European Banking; Journal of Banking and Finance, Vol. 31; pp. 2043 2063.

Wong, Kit P. (1997); On the Determinants of Bank Interest Margins under Credit and Interest
rate risks; Journal of Banking & Finance, Vol. 21; pp. 251 271.



Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

80

Peluang Kewirausahaan Sekolah Melalui Kreativitas dan Inovasi

Hendra Manurung
Universitas Presiden

Understanding the entrepreneurship as a way to increase the quality of life. Even though
until now, there is no terminology which is exactly the same with entrepreneurship, but in
general, it has the same characteristics that refer to features that attached to someone who has
strong will to realize the innovative ideas in a real world and could develop it with efforts (Peter
F. Drucker 1994). The entrepreneurship development in the school is a new trend that supports
the development of education in many levels. This is based on the reality that the spirit and the
entrepreneurship spirit that is not owned by the businessman but also to everybody who is
minimal, and can think creatively and act innovatively to increase value-added from its effort.
The expected result is the actualization effort and entrepreneurship spirit in the spirit and
behavior of the head of the school with the students. Therefore, the good practice of
entrepreneurship in the school and the good school governance in the school with
entrepreneurship spirit develops very well

Keywords: kewirausahaan, kualitas hidup, kreativitas dan inovasi, good school governance,
sekolah mandiri.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

81

Peluang Kewirausahawan Sekolah Melalui Kreativitas dan Inovasi

Pendahuluan
A high level of entrepreneurship in every components of the nation can generate a
domino effect for the social economy transformation of the country.
15
Dalam kehidupan sehari-
hari masih banyak yang menafsirkan dan memandang bahwa kewirausahaan identik dengan apa
yang dimiliki baru dilakukan usahawan atau wirausaha pandangan tersebut kurang tepat,
karena jiwa dan sikap kewirausahaan (entrepreneurship) tidak hanya dimiliki oleh usahawan
16
,
namun dapat dimiliki oleh setiap orang yang berfikir kreatif, dan bertindak inovatif baik
kalangan pemerintah swasta, mahasiswa, guru, dosen, dan pimpinan organisasi lainnya.
17

Pertumbuhan yang signifikan dalam jumlah usaha kecil dan menengah (UKM) di
Indonesia telah tumbuh terus menerus, menunjukkan persentase dari total pertumbuhan sebesar
10% dengan pertumbuhan awal sebesar 7,9% menjadi 17,9% pada tahun 2006-2008.
Berdasarkan data dari Kementerian Negara Koperasi dan UKM, jumlah UKM di Indonesia terus
meningkat secara signifikan karena pada tahun 2006 jumlah UKM berkisar 48.611.233 unit,
2007 naik menjadi 49.824.123 unit, dan 2008 sedangkan secara drastis meningkat menjadi
51.257.537 unit.
18
Dari data ini dapat dilihat pertumbuhan UKM meningkat signifikan sebesar
5,4% dilihat dari pertumbuhan UKM pada tahun 2006 dan dibandingkan dengan pertumbuhan
UKM pada tahun 2008,
19
kontribusi UKM terhadap perekonomian cukup signifikan.
20
Karena itu
membuktikan adanya perkembangan pesat yang membutuhkan organisasi yang baik dan
manajemen dalam rangka memasuki pasar ASEAN Economic Community pada tahun 2015.
21



15
Paper on Entrepreneurship by DR. Ciputra, Bandung, 2009.
16
Akib, Haedar. 2005. Kreativitas Dalam Organisasi, Disertasi Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia,
Jakarta.
17
Ibid.
18
Data Kementerian Negara Koperasi dan UKM, 2006-2008
19
Ibid.
20
Ibid.
21
Manurung, Hendra. 2012. Strategi Diplomasi Ekonomi Indonesia, Jakarta: The President Post, Edisi Oktober 2012
No.5, h. A3.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

82

Kewirausahaan adalah
22
: Kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kitar dan
sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses inti dari kewirausahaan adlaah
kemampuan utnuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda melalui berfikir kreatif dan
bertidak inovatif untuk menciptakan peluang.

Setelah mengalami sistem pendidikan di berbagai negara dan melihat sistem pendidikan
di Indonesia, ada sejumlah masalah yang dihadapi.
23
Sistem pendidikan yang berlaku selama ini
di Indonesia ternyata tidak dapat menempa sumber daya manusia Indonesia yang memiliki
potensi yang tidak kalah dibanding dengan sumber daya manusia dari negara lain, termasuk
negara maju sekalipun.
24

Potensi yang ada pada sumber daya manusia,
25
tidak akan mempunyai arti yang
signifikan dan maksimal bila penempaan atas mereka melalui sistem pendidikan tidak dilakukan
secara benar.
26

Tulisan ini mencoba mengidentifikasi sejumlah problem yang dihadapi oleh sistem
pendidikan di Indonesia menyikapi berbagai kreatifitas dan inovasi sebagai peluang
kewirausahaan di sekolah, sehingga manfaatmya belum maksimal dalam menyiapkan sumber
daya manusia yang handal.

Permasalahan
Krisis global dunia telah menggagalkan, bahkan membangkrutkan banyak bisnis di
dunia.
27
Di tengah krisis global yang melanda dunia tahun 2008-2009, Indonesia menjadi salah
satu negara korban krisis global,
28
walaupun kita telah belajar dari pengalaman sebelumnya
bahwa sektor UKM tahan krisis, namun tetap saja harus ada kewaspadaan akan dampak krisis ini

22
Hisrich, et. al. 2009. Entrepreneurship. New York: McGraw-Hill. Inc.
23
Depdiknas. 2002. Memiliki dan Melaksanakan Kreativitas, Inovasi dan Jiwa Kewirausahaan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama, Jakarta.
24
Kasim, Azhar. Reformasi Administrasi Negara, Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 2 (4), Oktober 1998, h. 43.
25
Semiawan, Conny. 1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, PT. Gramedia Widisarana Indonesia, Jakarta.
26
Isaak, Robert A., Ekonomi Politik Internasional, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1995.
27
Depdiknas. 2002. Memiliki dan Melaksanakan Kreativitas, Inovasi dan Jiwa Kewirausahaan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama, Jakarta.
2828
Manurung, Hendra. 2012. Strategi Diplomasi Ekonomi Indonesia, Jakarta: The President Post, Edisi Oktober
2012 No.5, h. A3.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

83

terhadap sektor UKM.
29
Mudradjad Kuncoro mengatakan ada tujuh tantangan yang harus
dihadapi UKM dalam era krisis global, yaitu:
30

1) Tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi.
Kebanyakan UKM dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus
pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat
dekatnya.
2) Rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga kredit formal, sehingga mereka
cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber lain,
seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir.
3) Sebagian besar kegiatan usaha kecil menengah ditandai dengan belum memiliki status
badan hukum yang jelas. Mayoritas UKM merupakan perusahaan perorangan yang tidak
berakta notaris, 4,7% tergolong perusahaan perorangan berakta notaris, dan hanya 1,7%
yang sudah memiliki badan hukum (PT/ NV, CV, Firma, atau Koperasi).
4) Tren nilai ekspor menunjukkan betapa sangat berfluktuatif dan berubah-ubahnya
komoditas ekspor Indonesia selama periode 1999-2006.
5) Persoalan pengadaan bahan baku merupakan masalah utama yang dihadapi dalam
pengadaan bahan baku adalah mahalnya harga, terbatasnya ketersediaan, dan jarak yang
relatif jauh. Ini karena ketersediaan bahan baku bagi UKM yang berorientasi ekspor
sebagian besar berasal dari luar daerah usahan tersebut berlokasi.
6) Masalah utama yang dihadapi dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja adalah tidak
terampil dan mahalnya biaya tenaga kerja. Regenerasi perajin dan pekerja terampil relatif
lambat. Akibatnya, di banyak sentra ekspor mengalami kelangkaan tenaga terampil untuk
sektor tertentu. (October 2009 Research Days, Faculty of Economics - Padjadjaran
University, Bandung).
7) Dalam bidang pemasaran, masalahnya terkait dengan banyaknya pesaing yang bergerak
dalam industri yang sama, relatif minimnya kemampuan bahasa asing sebagai suatu
hambatan dalam melakukan negosiasi, dan penetrasi pasar di luar negeri.

29
Ibid.
30
Bisnis Indonesia, Edisi 21 Agustus 2008.

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

84

Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian pendahuluan, salah satu langkah strategis
untuk mengamankan UKM dari ancaman dan tantangan krisis global adalah dengan melakukan
penguatan pada multi-aspek.
31
Salah satu yang dapat berperan adalah aspek kewirausahaan.
32

Seorang wirausaha dapat mendayagunakan segala sumber daya yang dimiliki, dengan
proses yang kreatif dan inovatif, menjadikan usaha kecil dan menengah (UKM) siap menghadapi
tantangan krisis global.
33
Beberapa peran kewirausahaan dalam mengatasi tantangan di UKM
adalah:
34


1) Memiliki daya pikir kreatif, yang meliputi:
a. Selalu berpikir secara visionaris (melihat jauh ke depan), sehingga memiliki
perencanaan tidak saja jangka pendek, namun bersifat jangka panjang (stratejik).
b. Belajar dari pengalaman orang lain, kegagalan, dan dapat terbuka menerima kritik dan
saran untuk masukan pengembangan UKM.
2) Bertindak inovatif, yaitu:
a. Selalu berusaha meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas dalam setiap
aspek kegiatan UKM.
b. Meningkatkan kewaspadaan dalam menghadapi persaingan bisnis.
3) Berani mengambil resiko, dan menyesuaikan profil resiko serta mengetahui resiko dan
manfaat dari suatu bisnis.
35
UKM harus memiliki manajemen resiko dalam segala
aktivitas usahanya. Sementara untuk mengatasi masalah yang ada di UKM saat ini, tidak
saja dibutuhkan 3 (tiga) sikap di atas, namun juga diperlukan langkah-langkah pendukung
dari manajemen UKM, dalam aspek penataan manajemen UKM .

a. Stigma Masyarakat
Pendidikan di Indonesia penuh dengan stigma yang dapat berpengaruh pada kualitas
pendidikan yang dimiliki oleh individu.
36
Sumber daya manusia Indonesia yang menyimpan

31
Alma, H. Buchari. 2006. Kewirausahaan, Alfabeta, Bandung, h. 2-6.
32
Ibid.
33
Ibid.
34
Ibid.
35
Manurung, Hendra. 2012. Strategi Diplomasi Ekonomi Indonesia, Jakarta: The President Post, Edisi Oktober 2012 No.5, h. A3.
36
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 162 Tahun 1992 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

85

banyak potensi ternyata tidak terdidik secara baik dan terarah.
37
Perbedaan antara IPA/Eksakta
dengan pilihan lain sejak di SMA. Bagi orang tua dan individu mereka harus masuk IPA meski
bukan menjadi keinginan.
38
Akibatnya mereka yang memasuki bidang studi ilmu sosial di
perguruan tinggi bukanlah orang-orang pilihan.
39
Hal ini berpengaruh dalam jangka panjang
terhadap sumber daya manusia yang memasuki sektor-sektor bidang pekerjaan ilmu sosial,
seperti hukum.
40

Stigma di masyarakat pada pendidikan adalah perbedaan pendidikan universitas dan
pendidikan vokasi.
41
Pasca kelulusan di sekolah menengah banyak yang memilih pendidikan di
universitas daripada vokasi.
42
Kalaupun ada yang memasuki bidang vokasi ini sekedar jembatan
untuk masuk universitas. Ini semua karena terdapat beragam perbedaan bagi mereka yang lulus
pendidikan universitas dengan pendidikan vokasi, mulai dari status sosial hingga perbedaan
gaji.
43
Sistem pendidikan nasional belum mampu mendayagunakan segala sumber daya manusia
yang dimiliki, dengan adanya proses yang kreatif dan inovatif, menjadikan peserta didik siap
mengelola usaha kecil dan menengah (UKM) dalam menghadapi tantangan krisis global.
44


b. Persepsi Salah
Selain pengaruh stigma pendidikan, terdapat pula persepsi yang salah terkait dengan
pendidikan kewirausahaan reatif dan inovatif di Indonesia.
45
Masyarakat sendiri cenderung
memiliki persepsi yang salah dalam membedakan pendidikan vokasi dengan pendidikan
profesi.
46
Ini terlihat dalam peraturan perundang-undangan yang mempersamakan antara
pendidikan vokasi dengan profesi.
47
Persepsi salah lainnya adalah label gelar pendidikan,
terutama melalui pemberian gelar diploma dan sarjana, dianggap sebagai penentu utama rendah
tingginya status sosial seseorang di lingkungan masyarakat. Pada akhirnya banyak masyarakat

37
Semiawan, Conny. 1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, PT. Gramedia Widisarana Indonesia, Jakarta.
38
Ibid.
39
Ibid.
40
Ibid.
41
Boon, Rolf J. Cultural Creativity: the Importance of Creativity in Organizational and Educational Contexts, May 4 1997,
http://www.lobstrick.com/BOON.HTM, diakses 25 Mei 2003.
42
Ibid.
43
Ibid.
44
Alma, H. Buchari. 2006. Kewirausahaan, Alfabeta, Bandung, h. 6-8.
45
Ibid.
46
Ibid.
47
Ibid.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

86

hanya mengejar gelar sarjana, bukan bagaimana penerapan ilmu pendidikannya untuk
kepentingan masyarakat luas. Munculnya berbagai lembaga pendidikan yang menjual ijazah pun
sangat diminati oleh masyarakat.
Mereka yang mengikuti pendidikan sejak dini (Pendidikan Anak Usia Dini, PAUD)
hingga pendidikan tinggi bukan untuk mendapatkan ilmu melainkan lebih memperhatikan
formalitas, seperti kehadiran (absensi), nilai, hingga ijazah. Persepsi yang salah tentang
pendidikan ini yang mengakibatkan kualitas pendidikan sama sekali tidak berkolerasi dengan
kemajuan bangsa.

c. Pendidikan Kewirausahaan Menentukan Kualitas Sumber Daya Manusia
Pendidikan di Indonesia lebih menekankan pada tercapainya target materi muatan
daripada menumbuhkan dan merangsang keingin-tahuan dari peserta didik.
48
Pada akhirnya
keinginan untuk berinovasi dan berimprovisasi oleh peserta didik (sense of innovation and
improvisation) sangat rendah,
49
terutama pendidikan kewirausahaan. Ketiadaan instruksi
pendidikan kewirausahaan yang terangkum dalam kurikulum sekolah dan sistem pendidikan
nasional membuat kemampuan berinovasi dan berimprovisasi mengalami kemandekan.
50

Padahal sumber daya manusia di Indonesia menyimpan berbagai potensi luar biasa.
Ketiadaan keingin-tahuan tidak semata-mata bisa ditimpakan pada pengajar atau
kurikulum, tetapi juga pada infrastruktur yang jauh dari memadai. Bila berbagai lembaga
pendidikan tidak mampu menyedikan perpustakaan ataupun akses ke internet, maka sangat sulit
mengharapkan peserta didik untuk memenuhi rasa ingin tahunya di bidang pendidikan dan
penerapan kewirausahaan.
Sistem pendidikan nasional yang menekankan pada target pencapaian materi ajar akan
menghasilkan manusia-manusia yang kehabisan energi ketika justru energi memberdayakan
kewirausahaan mandiri sangat dibutuhkan. Seringkali mereka memeroleh materi bahan ajar yang
mereka tidak tahu manfaatnya. Individu yang pandai bukan berarti individu yang harus tahu
semua. Individu yang pandai adalah individu yang secara mudah mencerna materi pengajaran.

48
Dharma, Surya dan Haedar Akib. Budaya Organisasi Kreatif, Manajemen USAHAWAN Indonesia, No. 03/TH. XXXIII Maret 2004a, h. 22-27.
49
Ibid.
50
Ibid.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

87

Oleh karenanya pandai tidak perlu digantungkan pada materi tetapi pada keinginan individu
untuk mengetahui lebih banyak.

d. Terlalu Berorientasi pada Indonesia
Orientasi sistem pendidikan di Indonesia sangat Indonesia.
51
Meskipun tidak sedikit
jumlah orang Indonesia yang berhasil untuk bekerja di luar Indonesia namun keberhasilan
sebenarnya tidak ditunjung pada sistem pendidikan yang mereka peroleh ketika berada di
Indonesia.
52
Keberhasilan lebih ditunjang karena kemampuan diri untuk mau belajar hal baru.
Harus diakui sistem pendidikan yang berorientasi pada Indonesia tidak membekali
peserta didik untuk dapat bersaing secara global.
53
Padahal saat ini pasar kerja tidak hanya
terpaku pada pasar kerja domestik, tetapi internasional. Disinilah indikasi mengapa jumlah
pekerja tidak terampil (unskilled workers) lebih banyak bekerja di luar negeri daripada pekerja
terampilnya (skilled workers). Sistem pendidikan di Indonesia pun kurang dapat diminati oleh
para peserta didik asing. Padahal saat ini lembaga pendidikan Indonesia yang berorientasi pada
Indonesia harus bersaing dengan lembaga pendidikan yang berorientasi pada pendidikan asing.
Negara seperti Singapura mempunyai kepercayaan yang tinggi sistem pendidikannya diminati
oleh masyarakat Indonesia. Merekapun membuka sekolah Singapura.
Di sejumlah negara pendidikan mulai dari dasar, menengah dan tinggi diorientasikan
tidak hanya untuk negaranya sendiri. Mereka telah mampu mengembangkan sistem pendidikan
yang diminati oleh berbagai warga masyarakat yang berasal dari berbagai negara.

e. Pentingnya Otonomi Universitas
Permasalahan lain yang dihadapi oleh sistem pendidikan di Indonesia adalah pada level
Universitas. Universitas kurang diberi otonomi sehingga masih dalam kendali pemerintah.
Pemerintah seolah masih ingin mengatur, tidak pada level yang sangat umum, tetapi juga hal-hal
yang bersifat teknis. Di sejumlah perguruan tinggi peran pemerintah dalam menentukan
adminstrator, mulai dari Rektor hingga para pembantu dekan sangat dominan. Tidak heran bila

51
Dharma, Surya dan Haedar Akib. Kreativitas sebagai Esensi dan Orientasi Pengembangan SDM, Manajemen
USAHAWAN Indonesia, Akreditasi Dikti No. 134/DIKTI/KEP 2001, No. 06/TH. XXXIII Juni 2004b, h. 29-36.
52
Ibid.
53
Ibid.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

88

universitas di Indonesia tidak mampu bersaing dengan universitas-universitas luar negeri.
Mereka terikat oleh berbagai peraturan perundang-undangan dan birokrasi.

f. Kurang Relevannya Pendidikan dengan Kebutuhan Industri
Masalah lain yang kerap dilontarkan sebagai kritik adalah sistem pendidikan kurang
sesuai dengan kebutuhan industri. Para peserta didik harus menyesuaikan diri dan menempuh
pendidikan lanjutan agar benar-benar diterima oleh industri.
54
Bila ditelusuri ada dua sumber
masalah. Pertama, para pengambil kebijakan ketika mengambil kebijakan memiliki ide apa yang
baik untuk peserta didik tanpa memperhatikan apa yang diinginkan oleh sektor industri.
55

Kedua, industri memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi dari para peserta didik. Padahal
peserta didik tidak mungkin diajarkan atau diberi materi yang sangat spesifik yang dibutuhkan
oleh industri. Sistem pendidikan hanya dapat memberikan pengetahuan dasar (basic) kepada
peserta didiknya untuk kemudian dikembangkan oleh peserta didik tersebut atau oleh industri
yang membutuhkan.
56


Pembahasan
Mencermati berbagai kelemahan sistem pendidikan di Indonesia dan penerapan
pendidikan kewirausahaan
57
, kesimpulan yang dapat diambil adalah diperlukan pembenahan
yang bersifat fundamental.
58
Pembenahan tidak bisa sepotong-sepotong (piece meal) sehingga
dapat memberikan dampak tidak dalam satu, lima atau sepuluh tahun mendatang tetapi pada
satu, dua bahkan generasi-generasi berikut bagi sumber daya manusia Indonesia.
59
Apa yang
dilakukan pada hari ini merupakan investasi untuk masa mendatang.
60
Apa yang dilakukan pada

54
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 162 Tahun 1992 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai
Kepala Sekolah.
55
Eoh, Jeni. 2001. Pengaruh Budaya Perusahaan, Gaya Manajemen, dan Pengembangan Tim Terhadap Kinerja
Karyawan, Disertasi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta.
56
Ibid.
57
Kasim, Azhar. Reformasi Administrasi Negara, Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 2 (4), Oktober 1998, h. 43.
58
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
59
West, Michael A. 2000. Mengembangkan Kreativitas Dalam Organisasi, terjemahan, Kanisius, Yogyakarta.
60
Ibid.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

89

hari ini adalah langkah awal untuk memulai suatu perubahan yang signifikan bagi generasi
mendatang.
61

Menurut M. P. Todaro, bahwa ada empat bidang luas yang terbuka bagi intervensi
pemerintah masing-masing berkaitan erat dengan keempat element pokok yang merupakan
faktor-faktor penentu utama atau baik tidaknya kondisi-kondisi distribusi pendapatan di sebagian
negara berkembang. Adapun keempat elemen pokok tersebut adalah :
62
(1) Distribusi fungsional;
(2) Distribusi ukuran; (3) Program redistribusi pendapatan; (4) Peningkatan distribusi pendapatan
langsung, terutama bagi kelompok-kelompok masyarakat yang berpenghasilan relatif rendah.
Menurut Adler Manurung, melebarnya kesenjangan kedua kelompok sosial ekonomi
diakibatkan oleh belum terarahnya distribusi belanja pemerintah. Ketidakterarahan ini
menyebabkan belanja investasi menjadi tersendat. Akibatnya, meski secara nilai pertumbuhan
ekonomi cukup tinggi, namun secara realitas kurang berkualitas. Pada gilirannya, ini
memerlukan optimalisasi belanja pemerintah. Ini akan mampu memberikan suntikan investasi
bagi yang lain. Perbaiki itu jalan jalan. Itu akan mendorong rakyat kecil mendapatkan
pendapatan. Kalau mereka dapat uang, daya beli mereka akan naik.
63

Namun demikian ada sejumlah elemen yang perlu menjadi perhatian dalam melakukan
pembenahan sistem pendidikan kewirausahaan di Indonesia. Berikut akan diuraikan elemen-
elemen dimaksud.

a. Kesabaran
Kesabaran merupakan hal terpenting dalam melakukan suatu perubahan yang berkaitan
dengan manusia. Kesabaran dibutuhkan karena perubahan tidak dilakukan atas sistem, tetapi
yang terpenting adalah cara berpikir (mindset) dari setiap manusia yang ada dalam sistem.
Dalam sistem pendidikan ada sejumlah manusia yang berperan. Ada pengambil
kebijakan, ada pengajar, ada mahasiswa, ada orang tua dan ada pula manusia yang berperan
dalam mendukung proses belajar mengajar.

61
Ibid.
62
Todaro, MP. 2004. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Jakarta : Erlangga, h. 262-269.
63
Manurung, Adler. Kompas, 18 Desember 2005.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

90

Perubahan yang dilakukan atas sistem pendidikan tidak berada dalam suatu kekosongan
atau kevakuman. Perubahan juga tidak dapat menafikan apa yang pernah ada. Oleh karenanya
perlu masa transisi yang sedapat mungkin tidak dirasakan oleh para pemangku kepentingan.

b. Konsistensi kebijakan
Disamping kesabaran juga dibutuhkan suatu konsistensi dalam menjalankan kebijakan.
Bagi Indonesia ini merupakan suatu masalah besar. Pengambil kebijakan dari tingkat yang
tertinggi hingga paling bawah kerap tidak konsisten. Setiap pimpinan baru ingin melakukan
perubahan yang sebenarnya tidak terlalu signifikan tetapi harus melalui suatu proses yang
melelahkan.
Bagi sebagian besar pemimpin di Indonesia berlaku pemikiran bahwa saat menjadi
pemimpin harus mampu untuk melakukan perubahan. Perubahan diartikan sebagai sesuatu yang
berbeda dengan pemimpin sebelumnya. Padahal cara berpikir seperti ini tidak membawa
kebaikan bagi bangsa dan negara. Bukannya pembangunan sistem yang dilakukan tetapi yang
terjadi adalah memindahkan pendelum dari satu ekstrim ke ekstrim yang lainnya. Oleh
karenanya konsistensi dalam melakukan perubahan sangat penting bagi Indonesia sebagai negara
yang sedang membangun. Pemimpin harus dianggap berhasil bila mampu meneruskan apa yang
telah diletakkan oleh para pendahulunya. Sebaliknya pemimpin dianggap tidak berhasil ketika ia
tidak mampu membaca visi para pendahulunya. Dalam implementasi kebijakan di bidang
pendidikan kerap yang terjadi adalah ganti menteri ganti kebijakan. Bahkan ganti Direktur
Jenderal ganti pula kebijakan atas sistem pendidikan yang menjadi tanggung jawabanya.
Tidak heran bila satu generasi akan mengalami sistem pendidikan yang berbeda dengan
generasi terdahulu dan generasi sesudahnya. Oleh kareanya konsistensi merupakan elemen yang
perlu mendapat perhatian bagi para stakeholders dan mereka harus mengawal konsistensi
perubahan sistem pendidikan yang dilakukan oleh para pengambil kebijakan.
64


c. Kemampuan mengidentifikasi Masalah

64
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

91

Elemen lain yang perlu mendapat perhatian adalah kemampuan untuk mengidentifikasi
masalah dari pengambil kebijakan. Memang dalam makalah ini telah disampaikan sejumlah
masalah seputar pendidikan di Indonesia. Namun masalah yang telah disampaikan tidak hanya
itu saja. Masih banyak masalah yang harus diidentifikasi dalam rangka pembenahan sistem
pendidikan di Indonesia. Salah satu yang penting adalah kondisi Indonesia yang harus diakui
antara satu propinsi, bahkan kabupaten dan kotamadya yang berbeda, baik infrastruktur,
masyarakat maupun kemampuan pemerintah daerah dalam memberikan pendidikan kepada
masyarakatnya.
Masalah lain adalah koordinasi antar instansi yang kerap sangat lemah. Pembenahan
sistem pendidikan bukanlah tanggung jawab dan beban dari Kementerian Pendidikan Nasional,
namun melibatkan sejumlah instansi pemerintah. Instansi pemerintah yang perlu mendapat
koordinasi adalah instansi dilevel horizontal maupun vertikal.

d. Pelibatan Stakeholders
Perubahan dalam sistem pendidikan harus muncul sense of ownership dari seluruh
pengambil kebijakan, tetapi juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Oleh karenanya perlu pelibatan para stakeholders di Indonesia atas perubahan yang akan
dilakukan. Proses pengambil keputusan yang memperhatikan ciri-ciri demokrasi harus
diperhatikan. Namun demikian ketika keputusan oleh mayoritas telah diambil maka semua harus
tunduk pada keputusan tersebut. Perlu dihindari proses yang memojokkan satu kelompok yang di
kemudian hari kelompok ini menjadi oposisi untuk tidak membenarkan terjadinya perubahan.

Dalam pelibatan stakeholders, peran media massa sangat penting. Media massa harus mampu
menterjemahkan kebijakan yang diambil dalam bahasa yang sederhana dan mudah dipahami
kepada masyarakat.

e. Keterbatasan anggaran
Satu hal yang tidak kalah penting dalam pembenahan sistem pendidikan di Indoensia
adalah anggaran. Anggaran yang dibutuhkan sangatlah besar. Oleh karenanya anggaran harus
memadai demi suksesnya perubahan yang akan dilakukan.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

92

Dalam kaitan dengan anggaran hal yang perlu mendapat perhatian adalah mencegah
kebocoran atau terjadinya korupsi. Korupsi mempunyai dampak yang luar biasa terhadap upaya-
upaya pembenahan bangsa dan negara. Korupsi telah mampu melumpuhkan reformasi dan
restorasi yang dilakukan oleh berbagai komponen.
Oleh karenanya, maka pemanfaatan anggaran yang cukup besar bagi pembenahan sistem
pendidikan harus dapat diawasi agar tidak mudah disalahgunakan. Proses kreatif dan inovatif
tersebut biasanya diawali dengan memunculkan ide-ide dan pemikiran-pemikiran baru untuk
menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda.
65
Kewirausahaan merupakan suatu kemampuan
dalam menciptakan nilai tambah melalui proses pengelolaan sumber daya dengan cara-cara baru
dan berbeda melalui :
66

1. Pengembangan teknologi baru
2. Penemuan pengetahuan ilmiah baru
3. Perbaikan Produk barang dan jasa yang ada
4. Penemuan cara-cara baru untuk menghasilkan barang lebih banyak dengan sumber daya
yang lebih efisien.
Kreativitas adalah :
67
Kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan cara-cara
baru yang dalam pemecahan masalah dan menemukan peluang atau dengan kata lain
kemampuan untuk memikirkan sesuatu yang baru dan berbeda.
Inovasi adalah :
68
Kemampuan untuk menerapkan kreatifitas dalam rangka pemecahan
masalah dan menemukan peluang serta kemampuan untuk sesuatu yang baru dan berbeda.
Sesuatu yang baru dan berbeda tersebut dapat dalam bentuk hasil seperti barang dan jasa dan
bias dalam bentuk proses seperti ide, metode dan cara.

Jiwa Dan Sikap Kewirausahaan
Proses kreatif dan inovatif hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jiwa dan
sikap kewirausahan, yaitu :
69


65
Hisrich, et. al. 2009. Entrepreneurship. New York: McGraw-Hill. Inc.
66
Ibid.
67
Ibid.
68
Ibid.
69
Ibid.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

93

1) Orang-orang yang percaya diri yakni, optimis dan penuh komitmen, berinisiatif,
enerjik dan pecaya diri;
2) Memiliki motif berperstasi, berorientasi hasil dan berwawasan kedepan;
3) Memiliki jiwa kepemimpinan, berani tambil beda;
4) Berani mengambil resiko dengan penuh perhitungan, karena itu suatu tantangan.

Proses Kewirausahaan
Kewirausahaan diawali dengan :
70

1. Proses imitasi dan duplikasi
2. Proses pengembangan
3. Proses menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (inovasi)
Pada tahap proses penciptaan sesuatu yang baru dan berbeda itulah yang disebut tahap
kewirausahaan.
Faktor pribadi yang memicu kewirausahan :
71

5) Motif berprestasi
6) Komitmen
7) Nilai-nilai pribadi
8) Pendidikan dan Pengalaman
Faktor lingkungan sebagai pemicu pada masa inovasi :
72

9) Peluang
10) Model Peran
11) Aktivitas

Fungsi dan Peran Wirausaha
Secara umum wirausaha memiliki dua peran yaitu :
73

1. Sebagai Penemu ( Innovator )

70
Ibid.
71
Adiwarman Karim, EKONOMI ISLAM suatu kegiatan EKONOMI MAKRO. Kanin Bisnis Consultan, Jakarta; 2002.
72
Ibid.
73
Ibid.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

94

Wirausaha menemukan dan menciptakan produk baru, teknologi, dan cara baru, ide
baru, dan organisasi usaha baru.
2. Sebagai Perencana (Planner)
Wirausaha berperan merancang usaha baru merencanakan strategi perusahaan baru,
menanamkan ide-ide dan berbagai peluang dalam peusahaan dan menciptakan
organisasi perusahaan baru.

Peluang Kewirausahaan
Ide dapat menjadi peluang apabila wirausaha bersedia melakukan evaluasi terhadap
peluang secara terus menerus melalui proses penciptaan sesuatu yang baru dan berbeda,
mengamati pintu peluang, menganalisa proses secara mendalam dan memperhitungkan resiko
yang mungkin terjadi. Untuk memperoleh peluang wirausaha harus memiliki berbagai
kemampuan dan pengetahuan seperti :
74

1) Kemampuan untuk menghasilkan produk atau jasa baru
2) Menghasilkan nilai tambah baru
3) Merintis usaha baru
4) Melakukan proses atau teknik baru
5) Mengembangkan organisasi baru

Pengetahuan dan keterampilan Kewirausahaan
Selain bekal kemampuan, wiraushaa juga perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan.
Modal pengetahuan yang harus dimiliki wirausaha meliputi :
75

1. Bekal pengetahuan mengenai usaha yang akan dimasuki / dirintis dan lingkungan usaha
yang ada.
2. Bekal pengetahuan tentang peran dan tanggung jawab.
3. Bekal pengetahuan tentang manajemen dan organiasi bisnis.
Modal keterampilan yang harus dimiliki wirausaha meliputi :
76


74
Boone and Curtz, 2007. Contemporary Business. New York: Thomson Learning
75
Ibid.
76
Ibid.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

95

1. Bekal keterampilan konseptual dalam mengatur strategi dan memperhitungkan resiko
2. Bekal keterampilan kreatif dalam menciptakan nilai tambah
3. Bekal Keterampilan dalam memimpin dan mengelola
4. Bekal keterampilan berkomunikasi dan berinteraksi
5. Bekal keterampilan teknik usaha yang akan dilakukan.

Bagaimana Merintis Usaha Baru
Pada umumnya ada 3 cara yang dikenal untuk memasuki suatu usaha bisnis :
77

1. Merintis Usaha baru sejak dari awal
2. Membeli perusahaan yang ada
3. Kerjasama manajemen ( Franchising )
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merintis usaha baru antara lain:
78

1. Bidang usaha dan jenis usaha yang akan dirintis
2. Bentuk usaha dan bentuk kepemilikan usaha yang akan dipilih
3. Tempat atau lokasi usaha yang akan dipilih
Untuk mengelola usaha tersebut harus diwali dengan :
79

1. Perencanaan Usaha
2. Pengelolaan Keuangan Hasil Usaha
3. Aksi Strategis Usaha
4. Teknik Pengembangan Usaha

Kompetensi Kewirausahaan
Kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan individu
(personality) yang langsung berpengaruh pada kinerja, kinerja bagi wirausaha merupakan tujuan
yang selalu ingin dicapainya
80
.
a. Intelectual Capital = Competency x Commitment

77
Griffin and Ebert. 2005. Business Essential. New Jersey: Prentice Hall.
78
Ibid.
79
Ibid.
80
Hisrich, et. al. 2009. Entrepreneurship. New York: McGraw-Hill. Inc.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

96

Artinya meskipun seseorang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi apabila tidak
disertai dengan komitmen tinggi, maka wirausaha tersebut tidak akan dapat
menggunakan modal intelektualnya.
81

b. Competence = Capability x Authority
Artinya bahwa wirausaha yang kompeten adalah wirausaha yagn memiliki kemampuan
dan wewenang sendiri dalam pengelolaan usahanya (kemandirian) wirausaha selalu
bebas menentukan usahanya, tidak hanya tergantung pada orang lain.
82

c. Capability = Skill x knowledge
Artinya bahwa kapabilitas wirausaha sangat ditentukan oleh pengetahuan dan
keterampilan atau kecakapan.
83


Perubahan yang terjadi secara multidimensional dalam dunia pendidikan mensyaratkan
kemampuan kepala sekolah yang handal untuk menjalankan tugas dan fungsinya secara
optimal.
84
Pengetahuan dan keterampilan yang pernah diserap kepala sekolah ketika mengikuti
pendidikan dan latihan seringkali dianggap terbatas dan kurang sesuai dengan tuntutan
persyaratan pekerjaannya saat ini.
85
Oleh karena itu, para calon/kepala sekolah perlu selalu
melakukan pembelajaran agar dapat mengikuti dinamika perkembangan IPTEKS dan dunia
pendidikan, serta peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Beberapa peraturan seperti PP Nomor
19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
86
Kepmen Nomor 162 tentang Pedoman
Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah
87
, dan PP Nomor 38 Tahun 1992 tentang Tenaga
Kependidikan pasal 20 ayat (4)
88
pada intinya menyebutkan bahwa tenaga kependidikan yang
akan ditugaskan untuk bekerja mengelola satuan pendidikan dipersiapkan melalui pendidikan
khusus.
89
Meskipun di dalam PP tersebut tidak disebutkan tentang pendidikan khusus

81
Ibid.
82
Ibid.
83
Ibid.
84
Kwik Kian Gie, Surat Kabar Harian Kompas, 5 Mei 2003.
85
Ibid.
86
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
87
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 162 Tahun 1992 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai
Kepala Sekolah.
88
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1992 Tentang Tenaga Kependidikan.
89
Bisnis Indonesia, Edisi 21 Agustus 2008
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

97

kewirausahaan bagi calon/kepala sekolah, namun di sini ada komitmen kuat dari pemerintah
untuk mempersiapkan, secara khusus, pendidikan dan latihan bagi pengelola satuan
pendidikan.
90
Pendidikan khusus yang bermuatan kewirausahaan bagi para calon/kepala sekolah
diperlukan agar nantinya mereka dapat lebih kreatif dan inovatif memanfaatkan sumber daya dan
aset yang dimiliki dalam mengembangkan jiwa kewirausahaan warga sekolah yang
dipimpinnya.
91

Kelemahan manajemen kewirausahaan lembaga pendidikan kita saat ini sebagian besar
disebabkan oleh ketidakmampuan pengelola sekolah maupun universitas menjalankan fungsinya
manajerialnya secara profesional.
92
Efek lanjutan dari kelemahan sistem manajemen
kewirausahaan yang berkepanjangan adalah semakin tertinggalnya kemajuan pendidikan
kewirausahaan dilihat dari sudut kemajuan di sektor ekonomi, industri dan perdagangan.
93

Sentuhan kreativitas dan inovasi dalam berbagai bidang pendidikan kewirausahaan seperti
kurikulum, sarana dan prasarana, pola pendidikan kepada anak didik, dan sebagainya tidak akan
banyak manfaatnya tanpa kemampuan wirausaha yang memadai dari para pengelolanya.
Pengembangan kewirausahaan berbasis kreativitas dan inovasi ini bertujuan untuk membekali
calon/kepala sekolah dengan wawasan kewirausahaan dalam menjalankan tugasnya, khususnya
dalam mempersiapkan sekolah mandiri yang menjadi roh dari otonomi sekolah.
94
Oleh karena
itu, pemahaman komprehensif dan aplikatif tentang kompetensi kewirausahaan sangat penting
diberikan bagi peserta dalam pelatihan calon/kepala sekolah. Pada akhirnya, diharapkan supaya
perumusan dan implementasi kebijakan atau keputusan kepala sekolah dapat dikembangkan
secara kreatif dan inovatif untuk mendukung penanaman jiwa kewirausahaan bagi semua warga
sekolah.

Kewirausahaan : Kreativitas dan Inovasi
Ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan atau kesen-jangan ekonomi dan
tingkat kemiskinan merupakan dua masalah besar di banyak negara berkembang, termasuk

90
Ibid.
91
Semiawan, Conny. 1997. Perspektif pendidikan Anak Berbakat, PT. Gramedia Widisarana Indonesia, Jakarta.
92
Ibid.
93
Ibid.
94
Ibid.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

98

Indonesia. Berawal dari distribusi pendapatan yang tidak merata yang kemudian memicu
terjadinya kesenjangan pendapatan sebagai dampak dari kemiskinan. Hal ini akan menjadi sangat
serius apabila kedua masalah tersebut berlarut-larut dan dibiarkan semakin parah, yang pada
akhirnya akan menimbulkan konsekuensi politik dan sosial yang berdampak negatif.
Pada pertengahan tahun 1997 dan 1998 terjadi krisis moneter yang merupakan
pukulan yang sangat berat bagi pembangunan Indonesia. Bagi kebanyakan orang, dampak dari
krisis yang terparah dan langsung dirasakan, diakibatkan oleh inflasi. Antara tahun 1997 dan
1998 inflasi meningkat dari 6% menjadi 78%, sementara upah riil turun menjadi hanya sekitar
sepertiga dari nilai sebelumnya. Akibatnya, kemiskinan meningkat tajam. Pada tahun 1996 dan
1999 proporsi orang yang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah dari 18% menjadi 24%
dari jumlah penduduk.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu dapat menjadikan tingkat kemiskinan,
pengangguran, dan ketimpangan yang semakin menurun dalam pembagian pendapatan
(ketimpangan relatif). Akan tetapi hal itu tentu tidak akan mengherankan bagi ahli-ahli ekonomi
pembangunan yang dimulai dari Adam Smith, Ricardo, Marx, sampai pada Kuznets, telah
mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses yang tidak merata.
Seperti telah dikatakan secara ironis oleh Arthur Lewis, kalau ada yang mengherankan, ialah
keheranan tersebut (bahwa proses per-tumbuhan ekonomi merupakan suatu proses yang tidak
merata ).(Thee Kian Wie, 1981 : 21 ).
95

Kreativitas merupakan salah satu aset organisasi yang terbesar di tempat kerja, misi
setiap kegiatan dan pusat keberhasilan organisasi (Kilby, 2001). Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa kreativitas merupakan esensi dan orientasi pengembangan sumber daya
manusia (Dharma dan Akib, 2004b). Kreativitas dapat mencirikan perkembangan dan
keunggulan daya saing organisasi (Ford dan Gioia, 2000). Kreativitas merupakan ramuan dalam
pelayanan publik, pengembangan produk dan strategi serta berbagai proses dan perilaku yang
lebih baik, unik, baru, asli, berbeda atau bermanfaat. Kreativitas mendasari semua praktik
organisasi tanpa memandang rutinitasnya (DeGraff, 2003).

95
Thee Kian Wie. 1983. Pembangunan Ekonomi Dan Pemerataan. Jakarta: LP3ES, h. 1-3.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

99

Kreativitas terlihat melalui gagasan, produk, pelayanan, usaha, mode atau model baru
yang dihasilkan dan perilaku yang diperankan oleh individu, kelompok dan organisasi. Tujuan
akhir pengembangan kreativitas dalam organisasi ialah menciptakan berbagai bentuk nilai
(manfaat), termasuk pertumbuhan, produktivitas, efektivitas, efisiensi dan inovasi. Sejumlah
pakar sepakat bahwa kreativitas merupakan salah satu dimensi pengukuran kinerja organisasi
selain efisiensi, efektivitas dan kepuasan kerja (Kasim, 1998; Scott dalam Eoh, 2001; French et
al, 2000). Kreativitas bersifat alamiah, dapat dikembangkan dan berlangsung seumur hidup
(Kilby, 2001; Akib, 2005).
Pada mulanya, kreativitas hanya dipahami sebagai proses berpikir dengan
menggunakan teknik berpikir kreatif (Ivanyi dan Hoffer, 1999). Kreativitas diartikan sebagai
proses menggunakan imajinasi dan keahlian untuk melahirkan gagasan baru, asli, unik, berbeda
atau bermanfaat (Couger, 1996; Linberg, 1998; Oldham dan Cummings, 1996). Saat ini,
kreativitas juga dipahami sebagai kemampuan melahirkan, mengubah dan mengembangkan
gagasan, proses, produk, mode, model dan pelayanan serta perilaku tertentu. Dalam definisi
kreativitas terkandung ciri keaslian (baru, tidak lazim, tidak terduga) dan potensi utilitas
(berguna, baik, adaptif, sesuai) gagasan, produk, mode atau model dan proses yang dihasilkan
serta perilaku yang diperankan oleh aktornya. Ciri kreativitas dideskripsikan dalam pendekatan
atau model 4-P Kreativitas, yakni Produk, Proses, Person (perilaku individu dan kelompok) dan
Pers (lingkungan) kreatif (Bostrom dan Nagasundaram, 1998; Barlow, 2000; Henry, 1991).
96

Selain itu, fokus tulisan ini diarahkan pada person atau perilaku individu dan
kelompok kreatif dalam menciptakan produk, proses dan pers atau lingkungan kreatif. State of
the science kreativitas (Anderson et al, 2003) termasuk ke dalam bidang studi manajemen
sumber daya manusia (Dharma dan Akib, 2004b; Timpe, 2000) dan perilaku organisasi (Szilagyi
Jr dan Wallace Jr, 1990; Robbins, et.al. 1994) yang dikaji pada tingkat individu, kelompok dan
organisasi. Perspektif tersebut diakui oleh Boon (1997) bahwa fenomena kreativitas dan proses
kreatif merupakan objek kajian yang sangat luas,
97
namun sedikit sekali hasil penelitian ilmiah

96
Henry, Jane (ed.). 1991. Creative Mangement, Sage Publications London, p. 50-56
97
Ibid.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

100

dalam areal transfer konsep kreativitas ke dalam perilaku organisasi,
98
sementara kreativitas dan
proses kreatif sangat krusial bagi pengembangan individu, tim, organisasi dan masyarakat.
99

Dalam konteks persekolahan, seorang (calon) kepala sekolah tidak cukup hanya
memiliki kreativitas yang tinggi, melainkan juga harus memiliki kemampuan dan kemauan untuk
melaksanakannya.
100
Untuk melaksanakan ide-ide baru tersebut diperlukan kemampuan inovatif
yang merupakan konsep pembaharuan baik sistem, prosedur dan cara maupun aturan untuk
menghasilkan produk, proses, perilaku dan lingkungan kreatif yang optimal.
101
Seorang kepala
sekolah yang inovatif harus mampu melahirkan cara baru untuk menerapkan ide kreatifnya
sehingga berdaya guna dan berhasil guna bagi lembaganya.
102
Dalam implementasi praktis
kreativitas dapat dilakukan mulai dari lingkungan (kecil) di dalam kelas sampai pada manajemen
sekolah yang lebih kompleks.
Berdasarkan pemahaman konsep kreativitas tersebut inovasi dipahami sebagai proses
penerapan kreativitas secara faktual ke dalam kehidupan sehari-hari.
103
Inovasi merupakan
proses pengenalan cara baru dan lebih baik dalam mengerjakan berbagai hal dalam lembaga
pendidikan (sekolah).
104
Dengan definisi yang lebih kompleks, inovasi merupakan pengenalan
dan penerapan ide,
105
proses,
106
produk atau prosedur baru secara sengaja dalam suatu
pekerjaan,
107
tim kerja atau organisasi pendidikan dengan tujuan mendapatkan hasil yang lebih
baik dan menguntungkan bagi tim kerja atau lembaga tersebut.
108

Ada hubungan erat antara konsep kreativitas dan inovasi yang keduanya sangat
diperlukan dalam mengembangkan sekolah. Kreativitas tanpa inovasi bagaikan pisau tajam yang
tidak pernah dipakai, sedangkan inovasi tanpa dilandasi kreativitasi tidak menghasilkan sesuatu
yang baru bagi organisasi sekolah. Kreativitas umumnya akan terlihat pada proses kognitif

98
Ibid.
99
Ibid.
100
Depdiknas. 2002. Memiliki dan Melaksanakan Kreativitas, Inovasi dan Jiwa Kewirausahaan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama, Jakarta.
101
Ibid.
102
Ibid.
103
Henry, Jane (ed.). 1991. Creative Mangement, Sage Publications London, p. 60-63.
104
Ibid.
105
Kilby, Jan. Creativity is one of the greatest assets in the workplace http://www.bizjournals.com/css, From the
July 13, 2001, diakses 19 Maret 2003.
106
Ibid.
107
Ibid.
108
Ibid.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

101

seseorang, di mana pikiran dan ide-ide kreatifnya terlihat dalam proses, perilaku, produk dan
lingkungan pembelajaran. Misalnya, strategi pembelajaran kreatif dengan memanfaatkan sumber
belajar yang ada di lingkungannya (contextual learning)
109
atau penataan ruangan kelas yang
memungkinkan peserta didik mendapatkan akses yang sama dengan guru atau sumber belajar
lainnya atau pola administrasi kelas dengan pola komputerisasi.
Pada tataran implementasi, inovasi terbatas pada usaha sengaja (sadar) untuk
memperoleh keuntungan atau hasil yang lebih baik dengan melakukan perubahan,
110
di mana
perubahan tersebut meliputi aspek ekonomis,
111
pengembangan pribadi,
112
kepuasan kerja,
113

kohesi kelompok dan komunikasi organisasional (lembaga sekolah) yang lebih baik,
114
maupun
produktivitas,
115
efisiensi,
116
efektivitas dan profitabilitas kelembagaan.
117
Inovasi tidak selalu
berwujud perubahan radikal lembaga pendidikan namun dapat berupa perubahan kecil dan
sederhana yang melibatkan berbagai komponen sekolah.
118
Inovasi tidak harus didominasi
perubahan dengan teknologi tinggi, namun sentuhan teknologi hanyalah merupakan salah satu
faktor inovasi dalam mengelola sekolah.
119
Contoh, dikenalkannya layanan pendidikan yang
lebih menekankan pada faktor potensi/kemampuan anak dengan melakukan pembelajaran semi-
individual (tidak selalu klasikal).
120
Ilustrasi lain yang lebih canggih dapat dilakukan melalui
pengenalan layanan pendukung komputer baru di sekolah. Inovasi bisa juga ditemukan dalam
perubahan administratif sekolah dengan menerapkan model database baik untuk guru dan siswa
maupun tenaga pendukung sekolah lainnya (tenaga administrasi). Inovasi dapat dikembangkan
dalam upaya menerapkan strategi baru peningkatan sumber daya manusia, kebijakan sekolah
atau pengenalan kerja tim guru pada bidang-bidang yang spesifik.

109
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
110
Depdiknas. 2002. Memiliki dan Melaksanakan Kreativitas, Inovasi dan Jiwa Kewirausahaan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama, Jakarta.
111
Ibid.
112
Ibid.
113
Ibid.
114
Ibid.
115
Ibid.
116
Depdiknas, 2002.
117
Ibid.
118
Dharma, Surya dan Haedar Akib. Kreativitas sebagai Esensi dan Orientasi Pengembangan SDM, Manajemen
USAHAWAN Indonesia, Akreditasi Dikti No. 134/DIKTI/KEP 2001, No. 06/TH. XXXIII Juni 2004b, h. 29-36.
119
Ibid.
120
Ibid.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

102

Dalam bahasa yang lebih eksplisit inovasi tidak selalu mengisyaratkan atau
mengharuskan pembaharuan absolut. Perubahan dapat dipandang sebagai suatu inovasi apabila
perubahan tersebut baru bagi seseorang, kelompok atau organisasi kelembagaan yang
memperkenalkannya. Kerja tim atau manajemen partisipatif yang diperkenalkan dalam suatu
lembaga pendidikan juga dianggap sebagai suatu inovasi jika baru dalam lembaga tersebut,
terlepas dari apakah model kerja tim tersebut pernah disosialisasikan pada lembaga lain. Dengan
demikian, proses inovasi tidak selalu menuntut hal-hal yang canggih. Persepsi demikian kadang-
kadang justru menghambat proses inovasi, karena selalu takut melangkah untuk berinovasi.
Dalam proses implementasi kreativitas di sekolah, inovasi bisa bervariasi dari inovasi
yang relatif ringan hingga inovasi yang dapat merombak sistem kelembagaan sekolah yang
dianggap sangat penting. Inovasi tidak harus setara dengan proses penemuan modul
pembelajaran Quantum Learning
121
misalnya. Inovasi adalah segala usaha yang menghasilkan
produk, proses, prosedur yang lebih baik, atau cara baru dan lebih baik dalam mengerjakan
berbagai hal, yang diperkenalkan oleh individu, kelompok atau institusi sekolah. Beberapa
inovasi bisa diperkenalkan dalam waktu yang singkat (misalnya, memutuskan untuk menerapkan
model Classroom Management
122
yang baru dengan mengubah posisi duduk siswa dan guru),
sementara bentuk inovasi lainnya mungkin memerlukan waktu yang cukup lama, sebagaimana
diterapkan dalam pendidikan dewasa ini dengan istilah Community Based Education.
123


Penerapan Ilmu Kewirausahaan
Ilmu kewirausahaan adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai,
kemampuan (ability) dan perilaku seseorang dalam menghadapi tantangan hidup untuk
memperoleh peluang dan berbagai resiko yang mungkin dihadapinya. Dalam konteks bisnis,
menurut Thomas W. Zimmer ( 1996 ), kewirausahaan adalah hasil dari suatu disiplin, proses
sistematis penerapan kreativitas dan inovasi dalam memenuhi kebutuhan dan peluang dipasar.
Dahulu, kewirausahaan dianggap hanya dapat dilakukan melalui pengalaman langsung di
lapangan dan merupakan bakat yang dibawa sejak lahir, sehingga kewirausahaan tidak dapat
dipelajari dan diajarkan sekarang, kewirausahaan bukan hanya urusan lapangan, tetapi

121
Depdiknas, 2002.
122
Ibid.
123
Ibid.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

103

merupakan disiplin ilmu yang dapat dipeljari dan diajarkan. Artinya kewirausahaan tidak hanya
bakat bawaan sejak lahir atau urusan pengalaman lapangan tetapi juga dapat dipelajari dan
diajarkan. Seorang yang memiliki bakat kewirausahaan dapat mengembangkan bakat melalui
pendidikan.

Objek Studi Kewirausahaan
Objek studi kewirausahaan adalah nilai-nilai dan kemampuan seseorang yang
diwujudkan dalam bentuk perilaku. Menurut Soeparman Soemahamidjaya
124
, kemampuan
seseorang yang menjadi objek kewirausahaan meliputi :
1. Kemampuan Merumuskan Tujuan Hidup / Usaha
Dalam merumuskan tujuan hidup / usaha tersebut perlu perenungan koreksi, yang
kemudian berulang-ulang dibaca dan diamati sampai memahami apa yang menjadi
kemauannya.
2. Kemampuan Memotivasi diri
Untuk melahrikan suatu tekad yang menyala-nyala perlu dilakukan bagi seorang
wirausaha.
3. Kemampuan untuk Berinisiatif
Mengerjakan sesuatu yang baik tanpa menunggu perintah, yang dilakukan berulang-ulang
sehingga menjadi kebiasaan berinisiatif.
4. Kemampuan berinovasi
Inovasi melahirkan kreativitas (daya cipta) setelah dibiasakan berulang-ulang akan
melahirkan motivasi. Kebiasaan inovatif adalah desakan dalam diri untuk selalu mencari
berbagai kemungkinan baru atau komvinasi baru apa saja yang dapat dijadikan peran
dalam menyajikan barang dan jasa bagi kemakmuran masyarakat.
5. Kemampuan untuk membentuk modal uang atau barang modal
6. Kemampuan untuk mengatur waktu dan membaisakan diri selalu tepat waktu dalam
segala tindakan melalui kebiasaan selalu menunda pekerjaan.
7. Kemampuan mental yang dilandasi dengan agama

124
Soeparman Soemahamidjaya, 1997, hal. 14 15
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

104

8. Kemampuan untuk membiasakan diri dalam mengambil hikmah dan pengalaman baik
maupun menyakitkan

Hakekat Kewirausahaan
Pada dasarnya kewirausahaan merujuk pada sifat, watak dan ciri-ciri yang melekat pada
individu yang memiliki kemauan keras untuk mewujudkan dan mengembangkan gagasan kreatif
dan inovatif yang dimiliki ke dalam kegiatan yang bernilai.
125
Jiwa dan sikap kewirausahaan
tidak hanya dimiliki oleh usahawan,
126
melainkan juga pada setiap orang yang berpikir kreatif
dan bertindak inovatif.
127
Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan
dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari dan memanfaatkan peluang menuju sukses.
128
Inti
kewirausahaan menurut Drucker (1959) yang dikutip oleh Alma (2006),
129
adalah kemampuan
untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda melalui pemikiran kreatif dan tindakan
inovatif demi terciptanya peluang. Jiwa, sikap dan perilaku kewirausahaan memiliki lima ciri
yakni:
130

1) Penuh percaya diri, dengan indikator penuh keyakinan, optimis, disiplin, berkomitmen dan
bertanggung jawab;
2) Memiliki inisiatif, dengan indikator penuh energi, cekatan dalam bertindak dan aktif;
3) Memiliki motif berprestasi dengan indikator berorientasi pada hasil dan berwawasan ke
depan;
4) Memiliki jiwa kepemimpinan dengan indikator berani tampil beda, dapat dipercaya dan
tangguh dalam bertindak;
5) Berani mengambil risiko dengan penuh perhitungan.
Aksioma yang mendasari proses kewirausahaan adalah adanya tantangan dalam berpikir kreatif
dan bertindak inovatif untuk menghasilkan nilai tambah dari apa yang diusahakan. Ide kreatif
dan inovatif wirausaha tidak sedikit yang diawali dengan proses imitasi dan duplikasi, kemudian
berkembang menjadi proses pengembangan dan berujung pada proses penciptaan sesuatu yang

125
Alma, H. Buchari. 2006. Kewirausahaan, Alfabeta, Bandung, h. 15-18.
126
Ibid.
127
Ibid.
128
Ibid.
129
Alma, H. Buchari. 2006. Kewirausahaan, Alfabeta, Bandung, h. 22-35.
130
Ibid.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

105

baru, berbeda dan bermakna.
131
Tahap penciptaan sesuatu yang baru, berbeda dan bermakna
inilah yang disebut tahap kewirausahaan.
132
Berikut ini dapat digambarkan dalam tabel tentang
ciri-ciri dan watak kewirausahaan seperti dibawah ini :
133


Ciri ciri Watak
(1) Percaya Diri

(2) Berorientasi Pada
Tugas Dan Hasil

(3) Pengambilan Resiko
Dan Suka Tantangan
(4) Kepemimpinan

(5) Keorisinilan

(6) Berorientasi kemasa
depan
Keyakinan, ketidaktergantungan, individualitas, optimis
Kebutuhan untuk berprestasi, berorientasi laba,
ketekunan dan ketabahan, tekad dan kerja keras
mempunyai dorongan kuat, enerjik dan inisiatif
Kemampuan untuk mengambil resiko yang wajar


Perilaku sebagai pemimpin, bergaul dengan orang lain,
menanggapi saran-saran dan kritik
Inovatif, kreatif, dan fleksibel

Belajar dari pengalaman masa lalu dan selalu memiliki
pandangan untuk kemajuan dan pencapaian tujuan.

Wirausaha adalah seorang pembuat keputusan yang membantu terbentuknya sistem
kegiatan suatu lembaga yang bebas dari keterikatan lembaga lain.
134
Sebagian besar pendorong
perubahan, inovasi dan kemajuan dinamika kegiatan di sekolah akan datang dari kepala sekolah
yang memiliki jiwa wirausaha. Kepala sekolah tersebut adalah orang yang memiliki kemampuan
untuk mengambil risiko dan mempercepat pertumbuhan dan dinamika kegiatan di lembaganya.
Sampai pada tataran tertentu keberhasilan seorang wirausaha tergantung pada kesediaan untuk
bertanggung jawab atas pekerjaannya sendiri.

131
Ivanyi, Attila Szilard and Ilona Hoffer. 1999. The Role of Creativity in Innovation, Society and Economy Vol.
XXI No. 4, http://www.lib.bke.hu/gt/1999-4e/994-06.html, diakses 7 Mei 2003.
132
Ibid.
133
Ibid.

134
Ivanyi, Attila Szilard and Ilona Hoffer. 1999. The Role of Creativity in Innovation, Society and Economy Vol.
XXI No. 4, http://www.lib.bke.hu/gt/1999-4e/994-06.html, diakses 7 Mei 2003.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

106

Seorang wirausaha ikhlas belajar banyak tentang diri sendiri jika bermaksud mencapai tujuan
yang sesuai dengan apa yang diinginkan dalam kehidupannya.
135
Kekuatan seorang wirausaha
datang dari dirinya sendiri dan bukan dari tindakan orang lain.
136
Meskipun risiko kegagalan
selalu mengintip, wirausaha mengambil risiko dengan jalan menerima tanggung jawab atas
tindakannya. Kegagalan diterima sebagai pengalaman yang terbaik dalam belajar. Beberapa
wirausaha dapat mencapai tujuan yang diinginkan setelah mengalami rintangan dan kegagalan.
Belajar dari pengalaman akan membantu wirausaha menyalurkan kegiatan untuk mencapai hasil
yang lebih produktif dan positif, sehingga keberhasilan merupakan buah dari usaha yang tidak
mengenal lelah.
Wirausaha adalah orang yang mempunyai tenaga dan keinginan untuk terlibat dalam
petualangan inovatif.
137
Wirausaha juga memiliki kemauan menerima tanggung jawab pribadi
dalam mewujudkan keinginan yang dipilih.
138
Menurut McClelland, terdapat sembilan ciri
wirausahawan, yaitu:
139

1) Keinginan untuk berprestasi
2) Bertanggung jawab
3) Preferensi kepada risiko menengah
4) Persepsi pada kemungkinan berhasil
5) Rangsangan oleh umpan balik
6) Enerjik dalam beraktivitas
7) Berorientasi ke masa depan
8) Terampil dalam pengorganisasian
9) Sikap positif terhadap uang.
140

Seorang wirausaha memiliki daya inovasi yang tinggi, di mana dalam proses inovasinya
menunjukkan cara-cara baru yang berbeda, lebih baik dan bermanfaat dalam mengerjakan

135
Robbins, Stephen P, Terry Waters-Marsh, Ron Cacioppe, Bruce Millett. 1994. Organizational Behaviour,
Prentice-Hall of Australia Pty Ltd, Sydney, h. 22, 50 dan 704.
136
Ibid.
137
Ibid.
138
Ibid.
139
Ibid.
140
Depdiknas, 2002
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

107

pekerjaan.
141
Dalam kaitannya dengan tugas kepala sekolah, kebanyakan di antaranya tidak
menyadari keragaman dan keluasan bidang yang menentukan tindakannya untuk memajukan
sekolah.
Mencapai kesempurnaan dalam melakukan rencana merupakan sesuatu yang ideal dalam
mengejar tujuan,
142
tetapi bukan merupakan sasaran yang realistik bagi kebanyakan kepala
sekolah yang berjiwa wirausaha. Bagi kepala sekolah yang realistik, hasil yang dapat diterima
lebih penting daripada hasil yang sempurna. Setiap orang termasuk kepala sekolah yang kreatif
dan inovatif adalah individu yang unik dan spesifik.
Pada umumnya, setiap orang termasuk kepala sekolah memiliki pengalaman masa lampau yang
bervariasi. Pengalaman dan pengetahuan masa lampau kepala sekolah yang memiliki jiwa
wirausaha biasanya unik dan kadang-kadang tidak dimiliki orang lain. Namun, kebanyakan
kepala sekolah yang berjiwa wirausaha juga memiliki kemauan untuk meniru dan mengkiblat
pada keberhasilan kepala sekolah lain yang lebih berhasil mengelola sekolah. Model meniru dan
mengikuti peran kepala sekolah lain yang berhasil mengembangkan sekolah dengan prinsip
kewirausahaan menghasilkan sosok wirausaha yang memiliki keterampilan mengelola sekolah.
Kepala sekolah yang memiliki jiwa wirausaha pada umumnya mempunyai tujuan dan
pengharapan tertentu yang dijabarkan ke dalam visi, misi, tujuan dan rencana strategis yang
realistik. Realistik berarti tujuannya disesuaikan dengan sumber daya pendukung yang dimiliki.
Semakin jelas tujuan yang ditetapkan semakin besar peluang untuk dapat meraihnya. Dengan
demikian, kepala sekolah yang berjiwa wirausaha harus memiliki tujuan yang jelas dan terukur
dalam mengembangkan sekolah. Untuk mengetahui apakah tujuan tersebut dapat dicapai maka
visi, misi, tujuan dan sasarannya dikembangkan ke dalam indikator yang lebih terinci dan terukur
untuk masing-masing aspek atau dimensi. Dari indikator tersebut juga dapat dikembangkan
menjadi program dan subprogram yang lebih memudahkan implementasinya dalam
pengembangan sekolah.

141
Robbins, Stephen P, Terry Waters-Marsh, Ron Cacioppe, Bruce Millett. 1994. Organizational Behaviour,
Prentice-Hall of Australia Pty Ltd, Sydney, h. 22, 50 dan 704.
142
Robbins, Stephen P, Terry Waters-Marsh, Ron Cacioppe, Bruce Millett. 1994. Organizational Behaviour, Prentice-Hall of Australia Pty Ltd,
Sydney, h. 22, 50 dan 704.

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

108

Dalam pencapaian keberhasilannya, seorang wira usaha memiliki ciiri-ciri tertentu pula.
dalamentrepreneurship and small enterprise development report[1986] yang dikutip oleh
M.Scarborough dan Thomas W.zimmerer[1993:5] dikemukakan beberapa karakteristik kewira
usahaan yang berhasil,di antara nya memiliki ciri-ciri:
1) Proaktif, yaitu berinisiatif dan tegas (proactive)
2) Beriorentasi pada prestasi (achievement oriented)
Yang tercermin dalam pandangan dan tindakan [sees and acts] terhadap peluang, orientasi
efisiensi, mengutamakan kualitas pekerjaan, berencana dan mengutamakan monitoring.
3) Komitmen kepada orang lain, misalnya dalam mengadakan kontrak dan hubungan bisnis
(commitment).

Nilai-nilai Kewirausahaan
Milton Rockoach (1973: 4) membedakan konsep nilai menjadikan dua yaitu nilai
sebagai:
1. Sesuatu yang dimiliki oleh manusia ( person has a value )
2. Sesuatu yang berkaitan dengan objek ( an object has value )
Pandangan pertama manusia memiliki nilai yaitu sesuatu yang dijadikan ukuran baku
bagi prinsipnya terhadap dunia luar. Menurut Sidharta Poespadibrata (1993 : 91) untuk
seseorang merupakan perilaku yang melekat pada kewirausahaan dan menjadi ciri-ciri
kewirausahaan dapat dipandang sebagai system nilai kewirausahaan. Nilai-nilai kewirausahaan
diatas identik dengan system nilai yang melekat pada system nilai manajer. Sejuti Yahya ( 1977 )
membagi nilai-nilai kewirausahaan kedalam dua dimensi nilai yang berpasangan yaitu :
1. Sistem nilai kewirausahaan yang berorientasi materi dan berorientasi non materi
2. Nilai-nilai yang berorientasi pada kemajuan dan nilai-nilai kebiasaan.
Ada empat nilai dengan orientasi dan cirri masing-masing dan dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Wirausaha yang berorientasi kemajuan untuk memperoleh materi
Ciri-cirinya :
a) Pengambil resiko
b) Terbuka terhadap teknologi
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

109

c) Mengutamakan materi
1. Kewirausahaan yang berorientasi kemajuan tetapi bukan untuk mengejar materi
Ciri-cirinya :
a) Hanya ingin mewujudkan rasa tanggung jawab
b) Pelayanan
c) Sikap positif
d) Kreativitas
2. Wirausaha yang berorientasi materi
Berpatokan pada kebiasaan yang sudah ada, misalnya dalam perhitungan usaha kira-kira
sering menghadap kerarah tertentu (fengshui maupun hongshui) supaya berhasil
3. Wirausaha yang berorientasi non materi
Ciri-cirinya :
a) Bekerja berdasarkan kebiasaan
b) Tergantung pada pengalaman
c) Berhitung dengan menggunakan mistik
d) Taat pada tata cara leluhur

Penerapan masing-masing nilai sangat tergantung pada focus dan tujuan masing-masing
wirausaha. Dari beberapa ciri kewirausahaan diatas ada nilai hakiki penting dari kewirausahaan
yaitu :
1. Percaya diri
Kepercayaan diri adalah sikap dalam keyakinan seseroang dalam melaksanakan dan
menyelesaikan tugas-tugasnya.
Kepercayaan diri dari berpengaruh pada gagasa, karsa, inisiatif, kreativitas, keberanian,
ketekunan, semangat kerja keras, dan kegairahan berkarya.
2. Beroritentasi tugas dan hasil
Seorang yang sellau mengutamakan tugas dan hasil adalah orang yang selalu
mengutamakan nilai-nilai motif berprestasi, berorientasi pada laba, ketekunan dan
ketabahan, tekad dan kerja keras, enerjik dan berinisiatif.
3. Keberanian mengambil resiko
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

110

Kemauan dan kemampuan untuk mengambil resiko merupakan salah satu nilai utama
dalam kewirausahaan. Wirausaha yang tidak mau mengambil resiko akan sukar memulai
atau berinisiatif. Keberanian menanggung resiko tergantung pada :
1. Daya tarik setiap alternatif
2. Kesediaan untuk rugi
3. Kemungkinan relative untuk sukses atau gagal
Untuk bisa memilih sangat tergantung atau ditentukan oleh kemampuan wirausaha untuk
mengambil resiko. Selanjutnya kemampuan untuk mengambil resiko ditentukan oleh :
1. Keyakinan pada diri sendiri
2. Kesediaan untuk menggunakan kemampuan dalam mencari peluang dan
kemungkinan untuk memperoleh keuntungan
3. Kemampuan untuk nilai situasi resiko secara realistis

Diatas ditemukan bahwa pengambilan resiko berkaitan dengan kepercayaan diri sendiri,
artinya semakin besar keyakinan seseorang pada kemampuan diri sendiri, maka semakin besar
keyakinan orang tersebut akan keanggupan untuk mempengaruhi hasil dan keptuusan, dan
semakin besar pula kesediaan seseorang untuk mencoba apa yang menurut orang lain sebagai
resiko (Meredith 1996: 39). Jadi pengaruh seorang wirausaha dalam pengambilan resiko
berkaitan erat dengan adanya tantangan dan peluang bisnis. Oleh sebab itu, maka seringkali
pengambil resiko ditemukan pada orang-orang inovatif dan kreatif yang merupakan bagian yang
terpenting dari perilaku kewirausahaan.
4. Kepemimpinan
Seseorang wirausaha yang berhail selalu memiliki sifat kepemimpinan, kepelaporan,
keteladangan, selalu ingin tambil berbeda lebih dulu, lebih menonjol. Dengan menggunakan
kemampuan kreativitas dan inovasi ial selalu menampilkan barang dan jasa yang
dihasilkannya dengna lebih cepat lebih dulu dan segera berada dipasar.
5. Berorientasi ke masa depan
Berorientasi kemasa depan adalah selalu mencari peluang tidak cepat puas dengan
keberhasilan dan berpandangan jauh kemasa depan. Pandangan yang jauh kemasa depan,
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

111

membuat wirausaha tidak cepat puas dengan karsa dan karya yang sudah ada sekarang. Oleh
karena itu, selalu mempersiapkannya dengan mencari suatu peluang.
6. Keorsinilan Kreativitas dan inovasi
Nilai inovasi kreatif dan fleksibel merupakan unsur-unsur keorsinilan seseorang. Wirausaha
yang inovatif adlah orang yang kreatif dan yakin dengna adanya cara-cara baru yang lebih
baik (Yuyun Wirasasmita, 1994: 7) ciri-cirinya adalah :
a. Tidak pernah puas dengan cara-cara yang dilakukan saat ini meskipun cara tersebut
cukup baik
b. Selalu menuangkan imajinasi dalam pekerjaannya
c. Selalu ingin tambil berbeda atau selalu memanfaatkan perbedaan

Fungsi Kreativitas, Inovatif & Jiwa Kewirausahaan dalam Organisasi
Kreativitas, inovasi dan jiwa kewirausahaan sangat penting dimiliki karena merupakan
kemampuan yang sangat berguna dalam proses kehidupan manusia. Makna dan posisi kreativitas
dan inovasi dinyatakan oleh Treffinger (1986) bahwa tidak ada seorang pun yang tidak memiliki
kreativitas. Sementara itu, Timpe (2000: 59) menjelaskan bahwa setiap individu kreatif dengan
cara-cara dan derajat yang berbeda. Dengan demikian, setiap orang memiliki dasar kreativitas
dan inovasi pada dirinya. Masalahnya adalah bagaimana cara potensi kreativitas dan inovasi
tersebut dikembangkan dan diimplementasikan dalam kegiatan riil sesuai dengan wawasan
kewirausahaan dalam organisasi, khususnya di sekolah.
Suatu karya kreatif dan inovatif sebagai hasil kreasi kepala sekolah dapat mendorong
potensi kerja dan kepuasan pribadi yang tak terhingga besarnya. Dengan terobosan kreatif kepala
sekolah dapat mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki untuk mengubah tantangan menjadi
peluang dan untuk memajukan sekolah. Hal ini menunjukkan terjadinya perwujudan diri
sepenuhnya yang merupakan salah satu esensi dalam kehidupan manusia (Munandar, 1992).
Menurut Maslow (1968),
143
dalam perwujudan diri manusia kreativitas dan inovasi merupakan
manifestasi dari individu yang memiliki fungsi penuh. Di sini terlihat bahwa potensi kreativitas

143
Depdiknas, 2002
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

112

dan inovasi penting untuk mengembangkan prestasi kerja, termasuk prestasi kerja kepala sekolah
bersama warga sekolah.
Pada masa sekarang di mana otonomi daerah tengah digalakkan, konsekuensi logis
pergeseran kebijakan tersebut adalah perlunya dipersiapkan tenaga handal dalam mengelola
sistem pemerintahan, termasuk sistem ketenagaan di sektor pendidikan. Disadari bahwa pola
rekruitmen tenaga kependidikan di daerah masih sangat lemah dan satu di antaranya adalah
kompetensi kepala sekolah. Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan fungsi kreativitas,
inovasi dan kewirausahaan dalam organisasi pendidikan (calon) kepala sekolah menjadi salah
satu kajian pokok dalam peningkatan aspek tersebut. Kewirausahaan berbasis kreativitas dan
inovasi juga penting dipahami oleh para guru dalam tugas dan tanggung jawabnya sebagai
pendidik dan pengajar yang membimbing dan mengantar anak didik ke arah pertumbuhan dan
perkembangan prestasinya secara optimal. Di sisi lain, kepala sekolah karena kelemahan
rekuritmen kadang-kadang tidak memiliki kemampuan tersebut. Padahal, kedudukan kepala
sekolah menjadi sangat sentral dan penting dalam mengoptimalkan fungsi kreativitas, inovasi
dan wawasan kewirausahaan di lembaga pendidikan yang dipimpinnya.
Selain makna kreativitas, inovatif dan wawasan kewirausahaan perlu pula dipelajari
kepentingannya dalam kehidupan di masyarakat dan di tempat kerja. Kreativitas yang merupakan
pangkal dari langkah inovatif mempunyai nilai penting dalam kehidupan individu dan organisasi.
Semiawan (1997)
144
menguraikan konsep Treffinger (1986) bahwa ada empat alasan penting
mengapa seseorang (termasuk kepala sekolah) perlu belajar menjadi lebih kreatif, yaitu: 1)
belajar kreatif membantu seseorang (kepala sekolah) menjadi lebih berhasil guna dalam
melakukan pekerjaan; 2) belajar kreatif menciptakan kemungkinan untuk memecahkan masalah
yang tidak mampu diramalkan yang timbul di masa kini dan di masa depan; 3) belajar kreatif
menimbulkan akibat yang besar dalam kehidupan seseorang, dapat mempengaruhi, bahkan dapat
mengubah karir pribadi serta menunjang kesehatan jiwa dan badan seseorang; 4) belajar kreatif
dapat menimbulkan kepuasan dan kesenangan yang besar. Secara lebih luas, belajar kreatif dapat
menimbulkan ide, cara dan hasil yang baru, unik dan bermanfaat.

144
Semiawan, Conny. 1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, PT. Gramedia Widisarana Indonesia, Jakarta, h.
16-19.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

113

Dalam kaitannya dengan perwujudan fungsi kreativitas, inovasi dan wawasan
kewirausahaan perlu ada komitmen yang tinggi dari para kepala sekolah dan guru dalam
mengembangkan proses pembelajaran di sekolah.
145
Bagi guru sebagai salah satu pilar
pelaksanaan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS),
146
perlu memiliki
kemampuan dan kesanggupan menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif agar siswa
terangsang untuk lebih ingin mengetahui materi pelajaran, senang bertanya dan berani
mengajukan pendapat serta melakukan percobaan yang menuntut pengalaman baru.
147
Hal ini
penting dipahami dan dipraktekkan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar dengan harapan
agar siswa mendapat kesempatan mengukir prestasi. Selanjutnya, yang lebih penting adalah
peran kepala sekolah, yang juga merupakan salah satu pilar dari tiga pilar pelaksanaan MPMBS
agar memiliki kepedulian yang lebih tinggi dari sisi manajemen sekolah.

Strategi Memperkenalkan Inovasi
Banyak cara yang dapat dipilih dalam mensosialisasikan konsep kreativitas dan inovasi,
dari cara yang radikal sampai pada cara halus dan tersamar. Pada prinsipnya, apapun strategi
yang diterapkan memiliki tujuan yang sama agar perubahan dan pembaruan terjadi dalam
organisasi. West (2000) mengemukakan empat strategi memperkenalkan inovasi, yakni strategi
pengaruh minoritas, strategi partisapatif, strategi eklektik dan strategi pemaksaan kekuasaan
(Depdiknas, 2002). Tiga strategi yang erat kaitannya dengan pengembangan kreativitas dan
inovasi dalam konteks pendidikan diuraikan berikut ini.
Strategi partisipatif peserta didik, ini cocok dikembangkan apabila kebutuhan akan
inovasi dirasakan oleh personil kelembagaan dan tersedia cukup waktu dan sumber daya untuk
menggalakkan partisipasi khususnya bagi kelompok yang dianggap tidak terlibat langsung dalam
proses inovasi. Sebagai ilustrasi pada konteks persekolahan, strategi partisipasi melibatkan tiga
unsur, yakni 1) kepala sekolah, guru dan warga sekolah, 2) mensosialisasikan informasi kepada
mereka, dan 3) melibatkan kepala sekolah, guru dan warga sekolah termasuk komite sekolah,
orang tua siswa, pengusaha, penguasa dan masyarakat selaku pemangku kepentingan dalam

145
Ibid.
146
Ibid.
147
Ibid.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

114

pembuatan keputusan. Strategi partisipasi dapat diterapkan apabila basis untuk tim sudah ada di
sekolah tersebut.
Strategi Ekletik, menurut Daft (1992) merupakan gabungan dari beberapa metode dalam
mengimplementasikan inovasi. Pendekatan ini melibatkan tujuh teknik mengubah implementasi,
yakni 1) diagnosis kebutuhan akan perubahan; 2) memenuhi ide-ide yang sesuai kebutuhan; 3)
mendapatkan dukungan manajemen puncak; 4) merancang perubahan untuk implementasi
bertahap; 5) mengembangkan rencana untuk mengatasi resistansi terhadap perubahan; 6)
membentuk tim perubahan; dan 7) merangkul dan membina personil yang kaya ide.
Strategi Pemaksaan Kekuasaan, ini lazim digunakan untuk perubahan paradigma yang
radikal dan tidak mungkin dilakukan dengan cara lain. Pemaksaan kekuasaan dilakukan jika
kelompok organisasi memiliki kemampuan berpikir yang timpang antara kelompok pimpinan
dengan kelompok yang dikenai inovasi. Di samping itu, pemaksaan kekuasaan diterapkan
apabila tidak ada waktu yang cukup untuk menjalankan konsultasi, komunikasi atau partisipasi
dalam menerapkan inovasi. Perlu diingat bahwa strategi pemaksaan hanya efektif digunakan oleh
aktor yang memiliki kekuasaan dan pengaruh cukup besar dalam organisasi untuk mendesak
implementasi inovasi. Konsekuensi penggunaan strategi pemaksaan kekuasaan adalah adanya
kecenderungan memunculkan sikap permusuhan yang cukup besar di antara anggota organisasi.
Pemaksaan kekuasaan merupakan satu-satunya cara untuk mewujudkan perubahan yang tidak
popular. Contoh, perampingan kelembagaan akan sangat mungkin menimbulkan resistansi besar-
besaran, bahkan proses konsultasi, komunikasi dan partisipasi tidak akan efektif. Program
perubahan kultur juga seringkali menuntut pemaksaan kekuasaan untuk mengatasi resistansi
terhadap perubahan dalam diri orang yang sudah begitu lama menggeluti kultur lama.
Misalnya, kepala sekolah sering menentang pengenalan participative management atau
participative leadership karena melihat bahwa kewenangan, kekuasaan dan kontrol
manajemennya akan dipangkas.

Good Practice Semangat Kewirausahaan Sekolah
Berdasarkan trend selama ini dapat dikatakan bahwa di masa datang banyak sekolah
swasta yang maju dan kualitasnya lebih baik dibanding sekolah negeri, bahkan di kota-kota besar
fenomena tersebut sudah mulai terlihat. Sekolah negeri yang selama ini terlalu mengandalkan
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

115

subsidi pemerintah lambat laun akan mulai ketinggalan apabila cara berpikirnya tidak segera
diubah. Pada saat itu, jika sekolah negeri ingin maju harus dikelola secara profesional dan tidak
hanya bergantung pada arahan kebijakan dan alokasi dana pemerintah melainkan juga harus
mampu mandiri seperti sekolah swasta. Kepala sekolah harus memahami prinsip
kewirausahaan untuk diaplikasikan dalam mengelola sekolah.
Kepala sekolah yang berjiwa wirausaha adalah orang yang memiliki sikap dan perilaku
kreatif dan inovatif dalam memimpin dan mengelola organisasi sekolah dengan cara mencari dan
menerapkan cara kerja dan teknologi baru yang bermanfaat bagi terwujudnya prinsip good
school governance (pengelolaan sekolah yang baik). Adapun contoh bentuk kewirausahaan
sekolah ada enam, yaitu 1) penggunaan sarana dan prasarana secara optimal untuk bisnis di
lingkungan sekolah dengan dasar kebutuhan akan peningkatan kemampuan dan kebutuhan
kehidupan bersama warga sekolah dan masyarakat; 2) membangun kerja sama dan kemitraan
usaha dengan dunia usaha dan industri, masyarakat, pemerintah daerah dan lain-lain; 3)
melakukan restrukturisasi organisasi sekolah dengan cara membentuk tim kerja untuk bisnis dan
memilih tenaga yang profesional untuk mendukung pelaksanaan kewirausahaan; 4) mengadakan
pelatihan kemampuan dan keterampilan tambahan yang sesuai dengan kemajuan ipteks dan
imtak untuk meningkatkan kemampuan SDM sekolah; dan 5) mengembangkan usaha produktif
dengan cara bekerja sama dengan lembaga penyandang dana, investor, kontraktor dan lain-lain
yang bermanfaat bagi warga dan dapat mengembangkan modal serta keuntungan unit produksi
atau koperasi secara berlipat ganda.
Contoh good practice kewirausahaan sekolah adalah simulasi Business Takesover Your Class
yang diselenggarakan oleh Sekolah Bisnis Prasetya Mulya (kemampuan melipatgandakan
modal), model bisnis sekolah dasar kota pada SD Negeri Banjarsari I di Kota Bandung (pola
aktivitas bisnis yang menekankan produksi, dengan berorientasi pada pembelajaran bermutu
untuk memupuk kepercayaan masyarakat), dan KPN SMPN 138 (unit usaha simpan pinjam,
pengadaan alat sekolah, konsumsi dan kantin, jasa percetakan, tabungan anggota) (dikutip dari
Sarbini, 1994).



Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

116

Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Pengembangan kreativitas dan inovasi sebagai basis kewirausahaan sekolah merupakan
ikon baru bagi kepala sekolah bersama warga sekolah. Kewirausahaan sekolah dipahami sebagai
kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari dan
memanfaatkan peluang menuju sukses. Inti kewirausahaan sekolah adalah kemampuan kepala
sekolah bersama warga sekolah untuk menciptakan sesuatu yang baru, unik, berbeda atau
bermakna (bernilai) melalui pemikiran kreatif dan tindakan inovatif demi terciptanya peluang,
ruang dan uang. Tiga dari empat strategi pengembangan kreativitas dan inovasi, selain strategi
pengaruh minoritas relevan diterapkan di sekolah yakni strategi eklektif, strategi pemaksaan
kekuasaan dan strategi partisipatif.
Sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia yang diandalkan untuk menempa sumber
daya manusia ternyata belumlah sempurna. Masih banyak kelemahan yang menjangkiti sistem
pendidikan. Oleh karena itu perubahan terhadap sistem pendidikan perlu untuk dilakukan.
Perubahan yang dilakukan harus memperhatikan berbagai elemen yang dapat membuat
kebijakan tersebut gagal.
Melalui peran generasi muda diharapkan ada satu visi untuk melakukan pembenahan dan
pengawalan terhadap sistem pendidikan Indonesia. Sistem pendidikan yang handal akan
menyiapkan sumber daya manusia Indonesia untuk menghadapi kompetisi global yang semakin
hari semakin kompetitif.

Saran
Agar kepala sekolah dapat meraih sukses menerapkan pola kewirausahaan di sekolah,
kepala sekolah bersama guru dan tenaga kependidikan lainnya berpikir kreatif dan bertindak
inovatif untuk menghasilkan nilai tambah dari apa yang diusahakan. Kepala sekolah perlu
memberi pembelajaran kepada guru dan staf untuk memahami dan mengaktualisasikan semangat
dan jiwa kewirausahaan sekolah dengan cara menyesuaikan dengan bidang tugasnya masing-
masing. Kepala sekolah diharapkan mampu menyakinkan semua pihak bahwa sekolah adalah
lahan garapan bersama dan maju mundurnya sekolah menjadi tanggung jawab bersama. Jika
sekolah maju, maka kemajuan itu menjadi milik bersama artinya semua pihak mendapatkan
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

117

manfaat dalam segala bentuknya. Manajemen partisipatif yang diterapkan di sekolah akan
memberikan kepercayaan kepada guru dan staf sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Sekolah harus mampu mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki dan mengoptimalkan peran
serta masyarakat sebagai salah satu pilar dalam pengembangan sekolah berbasis kewirausahaan.


Daftar Pustaka

Akib, Haedar. 2005. Kreativitas Dalam Organisasi, Disertasi Ilmu Administrasi FISIP
Universitas Indonesia, Jakarta.

Anderson, Neil, Carsten K.W. De Dreu, and Bernard A. Nijstad. The Routinization of Innovation
Research: A Constructively Critical Review of the State-of-the-Science, Department of Work and
Organizational Psychology University of Amsterdam Nederland,
http://users.fmg.uva.nl/nanderson/JOBSI.pdf, diakses 11 September 2003, h. 3.

Alma, H. Buchari. 2006. Kewirausahaan, Alfabeta, Bandung.

Barlow, Cgristopher M. Deliberate Insight in Team Creativity, Journal of Creative Behaviour
2nd qtr 2000, h. 101-117.

Bostrom, Robert P and Murli Nagasundaram. Research in Creativity and GSS, Proceedings of
the Thirty-First Hawaii International Conference on System Science, Januari 6-9, Vol. 6, h. 391-
505, http://www.idbsu.edu/business/murli/, diakses 2 Agustus 2003.

Boon, Rolf J. Cultural Creativity: the Importance of Creativity in Organizational and
Educational Contexts, May 4 1997, http://www.lobstrick.com/BOON.HTM, diakses 25 Mei
2003.

Couger, J.D. 1996. Creativity and Innovation in Information System Organization, Boyd and
Fraser Publishers, Danvers MA.

Daft, Richard L. 1992. Organization Theory and Design, West Publishing Company Singapore.

DeGraff, Jeff. Creating Value through Creativity, Copyright 2003, h. 1; Creativity at Work,
http://www.creativity-at-work.com.pdf, diakses 15 Sept 2003, h. 1.

Depdiknas. 2002. Memiliki dan Melaksanakan Kreativitas, Inovasi dan Jiwa Kewirausahaan,
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Tingkat
Pertama, Jakarta.

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

118

Dharma, Surya dan Haedar Akib. Budaya Organisasi Kreatif, Manajemen USAHAWAN
Indonesia, No. 03/TH. XXXIII Maret 2004a, h. 22-27.

Dharma, Surya dan Haedar Akib. Kreativitas sebagai Esensi dan Orientasi Pengembangan SDM,
Manajemen USAHAWAN Indonesia, Akreditasi Dikti No. 134/DIKTI/KEP 2001, No. 06/TH.
XXXIII Juni 2004b, h. 29-36.

Eoh, Jeni. 2001. Pengaruh Budaya Perusahaan, Gaya Manajemen, dan Pengembangan Tim
Terhadap Kinerja Karyawan, Disertasi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta.

Ford, Cameron M and Dennis A. Gioia. Factors Influencing Creativity in the Domain of
Managerial Decision Making, Journal of Management, Vol. 26, No. 4, 2000, p. 705-732.

French, Wendell L, Cecil H. Bell, Jr, Robert A. Zawacki (ed.) 2000. Organization Development
and Transformation, Irwin McGrall-Hill Singapore.

Henry, Jane (ed.). 1991. Creative Mangement, Sage Publications London.

Ivanyi, Attila Szilard and Ilona Hoffer. 1999. The Role of Creativity in Innovation, Society and
Economy Vol. XXI No. 4, http://www.lib.bke.hu/gt/1999-4e/994-06.html, diakses 7 Mei 2003.

Kasim, Azhar. Reformasi Administrasi Negara, Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 2 (4), Oktober
1998, h. 43.

Kilby, Jan. Creativity is one of the greatest assets in the workplace
http://www.bizjournals.com/css, From the July 13, 2001, diakses 19 Maret 2003.

Linberg, Kurt R. 1998. Managing the Creative Organization, KAM IV,
http://ourworld.compuserve.com/homepages/linberg/pdf, diakses 5 Juni 2003.

Manurung, Adler. 2005. Kompas, 18 Desember 2005.

Manurung, Hendra. 2012. Strategi Diplomasi Ekonomi Indonesia. Jakarta: The President Post,
Edisi Oktober 2012 No.5.

Munandar, Utami. 1992. Anak-anak Berbakat, Rajawali Jakarta.

Oldham, Grey R and Anne Cummings. Employee Creativity, Academy of Management Journal,
Vol. 39 No. 3 June 1996.

Robbins, Stephen P, Terry Waters-Marsh, Ron Cacioppe, Bruce Millett. 1994. Organizational
Behaviour, Prentice-Hall of Australia Pty Ltd, Sydney, h. 22, 50 dan 704.

Sarbini, H. Makmur dalam Majalah Warta Koperasi, No. 57 Thn XIII, 1994.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

119


Szilagyi Jr, Andrew D and Marc J. Wallace, Jr. 1990. Organizational Behaviour and
Performance, HarperCollins Publishers, h. 757.

Semiawan, Conny. 1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, PT. Gramedia Widisarana
Indonesia, Jakarta.

Timpe, Dale A. 2000. Creativity, alih bahasa Sofyan Cikmat, PT Elex Media Komputindo,
Jakarta.

Todaro, MP. 2004. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Jakarta : Erlangga

Treffinger, D. J. 1986. Research on Creativity, Gifted Child Quarterly. Allyn & Bacon, Boston.

West, Michael A. 2000. Mengembangkan Kreativitas Dalam Organisasi, terjemahan, Kanisius,
Yogyakarta.

Peraturan:
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 162 Tahun 1992 tentang Pedoman Penugasan
Guru sebagai Kepala Sekolah.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1992 Tentang Tenaga Kependidikan.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.





Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

120

KINERJA REKSA DANA TERPROTEKSI DI INDONESIA

Bayu Bandono
a
, Noer Azzam A
b
, Nunung Nuryartono
c
, Adler H. Manurung
d
a
Bapepam;
b, c
Institut Pertanian Bogor;
d
Sampoerna School of Business


A protected mutual fund is a type of mutual fund that provides protection for the initial
investment value of trust unit holders through the mechanisme of portfolio management.
Protected mutual funds expected relatively safer than other types of mutual funds. This study
refers to previous studies, such as Markowitz (1952), Sharpe (1964), Mossin (1966), Lintner
(1966), Treynor (1966), Jensen (1968) and Chen, Roll dan Ross (1986). The objectives of this
study are to measure the performance of protected mutual funds in Indonesia compared to the
benchmark. Data to answer objectives of the research is secondary data which is monthly time
series data of Net asset Value (NAV), Indonesia Stock Price Composite Index (IHSG), and
Certificate of Bank Indonesia (SBI). The method of analysis used in this study is hhe adjusted
Return that introduced by Sharpe, Treynor and Jensen. Based on the analysis can be seen that
protected mutual funds in Indonesia is able to beat its bencmark of Certificate of Bank Indonesia
(SBI), even overcome Indonesia Stock Price Composite Index (IHSG).

Keywords: Protected Mutual Fund, Net Asset Value (NAV), Indonesia Stock Price Composite
Index (IHSG), Certificate of Bank Indonesia (SBI).

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

121

KINERJA REKSA DANA TERPROTEKSI DI INDONESIA

Pendahuluan
Perkembangan industri Reksa Dana cukup pesat di Pasar Modal Indonesia. Menurut data e-
monitoring Reksa Dana Bapepam-LK, pada tahun 2004 terdapat 246 Reksa Dana yang terdiri
dari 4 (empat) jenis Reksa Dana yaitu Reksa Dana Saham, Reksa Dana Pasar Uang, Reksa Dana
Campuran dan Reksa Dana Pendapatan Tetap. Sampai dengan Juni 2012, jumlah Reksa Dana
telah bertambah menjadi 685 Reksa Dana dengan tambahan 6 (enam) jenis Reksa Dana baru
yaitu Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Indeks, Reksa Dana Exchange Trade Fund (ETF)
Saham, Reksa Dana Exchange Trade Fund (ETF) Pendapatan Tetap, Reksa Dana Penyertaan
Terbatas, serta Reksa Dana Syariah.

( Sumber : e-monitoring Reksa Dana Bapepam-LK )
Gambar 1. Perkembangan NAB Reksa Dana 2004 Oktober 2012

Menurut Gambar 1 di atas, Total Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana (NAB) pada Oktober
2012 mencapai Rp 176.63 triliun atau meningkat 98 % jika dibandingkan dengan NAB pada
Desember 2004 yang jumlahnya sebesar Rp 89,15 triliun. .
Reksa Dana Terproteksi adalah jenis Reksa Dana yang memberikan proteksi atas nilai
investasi awal pemegang Unit Penyertaan melalui mekanisme pengelolaan portofolionya dan
penjaminan pihak lain. Reksa Dana Terproteksi hadir di pasar modal Indonesia saat krisis
keuangan menghantam industri Reksa Dana tahun 2005. Pada saat itu, menurut data e-
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

122

monitoring Reksa Dana Bapepam-LK, para pemegang Unit Penyertaan melakukan redemption
secara masif sehingga menyebabkan penurunan Nilai Aktiva Bersih (NAB) keseluruhan Reksa
Dana dari Rp 113,7 triliun pada Februari 2005 menjadi hanya Rp 29,41 triliun pada Desember
2005.
Bapepam-LK sebagai regulator pada awalnya mengeluarkan produk Reksa Dana
Terproteksi sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pada awalnya,
tujuan dari munculnya Reksa Dana Terproteksi ini adalah untuk menerima limpahan investor
Reksa Dana Pendapatan Tetap yang NAB-nya terus anjlok, sebagai akibat dari adanya
gelombang redemption. Perkembangan Reksa Dana Terproteksi ini cukup menggembirakan.
Menurut data e-monitoring Reksa Dana Bapepam-LK pada bulan Oktober 2005, NAB
keseluruhan Reksa Dana Terproteksi adalah Rp 2,8 triliun. Jumlah ini semakin meningkat tajam
dimana pada akhir November 2012, NAB Reksa Dana Terproteksi telah mencapai Rp 42,7
triliun atau 23,5 % dari jumlah seluruh NAB Reksa Dana yang ada.
Menurut Manurung (2008) Reksa Dana Terproteksi diminati oleh investor karena
Manajer Investasi (MI) memberikan target tingkat pengembalian bila melakukan investasi yang
terbaik serta transparan untuk struktur investasi nilai pokok sehingga investor dapat menilai
resikonya. Dima, Bogdan, Barna dan Nachescu (2006) melakukan penelitian di pasar modal
Rumania dengan variabel dependen kinerja Reksa Dana dan variabel independennya variabel
ekonomi makro dan Indeks Saham. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa indeks harga
saham merupakan main determinant yang secara positif mempengaruhi kinerja Reksa Dana.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Sharpe (1966) pada Pasar Modal Amerika Serikat
dengan variabel dependen kinerja Reksa Dana sedangkan variabel independennya adalah biaya
Reksa Dana, ukuran perusahaan, dan kinerja sebelumnya, pemilihan asset/alokasi asset dan biaya
transaksi. Hasil penelitiannya menunjukan hubungan antara ukuran perusahaan dan kinerja
Reksa Dana adalah tidak signifikan (pengaruhnya hanya 3% -5%) sedangkan rasio biaya dan
kinerja sebelumnya dianggap sebagai variabel yang mampu mengukur kinerja Reksa Dana. Oleh
karena itu perlu adanya suatu penelitian yang lebih spesifik mengenai Kinerja Reksa Dana
Terproteksi Di Indonesia .
Berdasarkan penjelasan di atas , maka tujuan Penelitian ini adalah untuk: Mengukur
kinerja Reksa Dana Terproteksi dibandingkan dengan benchmark. Adapun ruang lingkup
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

123

penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Reksa Dana Terproteksi yang mendapat ijin dari
Bapepam-LK dari tahun 2008- 2010. (2) Manajer Investasi yang telah mendapatkan ijin dari
Bapepam-LK.

Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di BapepamLK Departemen Keuangan RI dan Bank Indonesia di
Jakarta. Penelitian ini berlangsung pada April 2010 hingga Desember 2010.

Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian ini adalah data sekunder
yaitu data time series bulanan NAB Reksa Dana Terproteksi dari Manajer Investasi yang
mendapat izin dari BapepamLK mulai Januari 2008 sampai Desember 2010, data time series
IHSG dari Bursa Efek Indonesia dan data SBI dari Bank Indonesia.

Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan pengambilan data langsung di BapepamLK
Departemen Keuangan RI dan Bank Indonesia di Jakarta.

Teknik Analisis Data
Pengukuran Kinerja Reksa Dana dilakukan dengan 3 cara yaitu:
1. Ukuran Sharpe: S = (AR
p
AR
f
) /
2. Ukuran Treynor: T = ( AR
p
AR
f
) /
p

3. Ukuran Alfa Jensen: R
pt
R
ft
=
p
+
p
(R
mt
R
ft
) +
pt


Hasil dan Pembahasan
Deskripsi Statistik Data Variabel
Dari Tabel di bawah dapat diuraikan bahwa IHSG mempunyai nilai rata-rata 0,0128 dan
median 0,0331. IHSG mempunyai ukuran skwness sebesar -1.1714, ukuran kurtosis 6.2522 dan
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

124

ujji Jarque-Bera sebesar 24.0988 menunjukan data tidak terdistribusi normal. Sedangkan nilai
terendah adalah -0,3142 dan tertinggi 0,2013.
SBI mempunyai nilai rata-rata 0,0062 dan median 0,0057. SBI mempunyai ukuran
skwness sebesar 0,5925 ukuran kurtosis 1,8572 dan ujji Jarque-Bera sebesar 4,0650 menunjukan
data tidak terdistribusi normal. Sedangkan nilai terendah adalah 0,0052 dan tertinggi 0,0079.
Tabel 1
Deskripsi Statistik Data Variabel
IHSG SBI
Mean 0.0128 0.0062
Median 0.0331 0.0057
Maximum 0.2013 0.0079
Minimum -0.3142 0.0052
Std. Dev. 0.0906 0.0010
Skewness -1.1714 0.5925
Kurtosis 6.2522 1.8572
Jarque-Bera 24.0988 4.0650
Probability 0.0000 0.1310
Sum 0.4604 0.2234
Sum Sq. Dev. 0.2874 0.0000
Sumber : Hasil Olahan
Tidak normalnya data tingkat bunga SBI dan juga tingkat pengembalian IHSG memberikan
implikasi model penelitian selanjutnya dalam kerangka penggunaan metode untuk mengestimasi
parameter model yang digunakan.

Kinerja Reksa Dana Terproteksi
Pembahasan kinerja Reksa dilakukan dengan beberapa tahapan, pertama-tama adalah
menghitung return periodik masing-masing Reksa Dana Terproteksi. Kemudian menghitung
resiko, ukuran resiko yang digunakan adalah deviasi standar dari return periodik. Dalam
penelitian ini untuk mengukur Kinerja Reksa Dana Terproteksi di Indonesia periode 2008 2010
akan menggunakan model yang telah dikembangkan oleh Sharpe (1964), Treynor (1966) dan
Jensen (1968). Pada penelitian ini memasukan benchmark pasar yaitu IHSG dan SBI. Adapun
berdasarkan hasil analisis diperoleh hasil sebagai berikut:

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

125

Ukuran Sharpe
Dari hasil penelitian terdapat 16 Reksa Dana yang memiliki Sharpe Index diatas SBI
bahkan terdapat 13 Reksa Dana yang mampu memiliki Sharpe Index diatas IHSG. Hal ini
membuktikan bahwa berdasarkan perhitungan Sharpe Index, Reksa Dana Terproteksi di
Indonesia mampu mengalahkan kinerja pembandingnya yaitu SBI, bahkan mengalahkan IHSG.
Hipotesis penelitian untuk model ini adalah Reksa Dana Terproteksui yang diteliti memiliki
kinerja yang lebih baik dari pada kinerja pembanding, dengan mengasumsikan variabel lain
konstan. Maka berdasarkan Penelitian diatas maka hipotesa tersebut terbukti dimana Reksa Dana
Terproteksi yang diteliti memiliki kinerja yang lebih baik dari pada kinerja pembanding.

Ukuran Treynor
Dari hasil penelitian terdapat 10 Reksa Dana yang mampu memiliki Treynor Iindex
diatas SBI dan 10 Reksa Dana yang memiliki Treynor Iindex diatas IHSG. Hal ini
membuktikan bahwa berdasarkan perhitungan Treynor Iindex, Reksa Dana Terproteksi di
Indonesia Mampu mengalahkan Benchmark nya yaitu SBI, bahkan mengalahkan IHSG.
Hipotesis penelitian untuk model ini adalah Reksa Dana Terproteksui yang diteliti memiliki
kinerja yang lebih baik dari pada kinerja pembanding, dengan mengasumsikan variabel lain
konstan. Maka berdasarkan Penelitian diatas maka hipotesa tersebut terbukti dimana Reksa Dana
Terproteksi yang diteliti memiliki kinerja yang lebih baik dari pada kinerja pembanding.
.
Tabel 2: Ranking Kinerja Reksa Dana Terproteksi
Portofolio
Averege
Return
STDEV Beta Sharpe Treynor Jensen Total Rank
BNIS PROTEKSI I 0.69% 0.03% 0.57 207.2% 0.1% 0.1% 207.4% 1
MEGA DANA TERPROTEKSI I 0.91% 0.31% -0.55 93.8% -0.5% 0.3% 93.5% 2
TERPROTEKSIMAHANUSA
DANA KENCANA 1.33% 1.09% 0.29 65.2% 2.4% 0.7% 68.3% 3
NET DANA PROTEKSI II 0.87% 0.71% -0.84 35.2% -0.3% 0.3% 35.1% 4
TERPROTEKSI TRIMEGAH
LESTARI 2 1.43% 3.23% -1.14 25.2% -0.7% 0.8% 25.3% 5
TERPROTEKSI BNIS PROTEKSI
II 0.78% 0.78% -0.88 20.1% -0.2% 0.2% 20.1% 6
RD TERPROTEKSI IDR REG.
INCOME PLAN I 0.84% 1.38% 0.24 16.1% 0.9% 0.2% 17.2% 7
TERPROTEKSI OPTIMA
PROTECTED FUND 1.29% 5.78% 0.29 11.7% 2.3% 0.7% 14.6% 8
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

126

Portofolio
Averege
Return
STDEV Beta Sharpe Treynor Jensen Total Rank
NET DANA PROTEKSI I 0.96% 2.62% -2.37 12.9% -0.1% 0.3% 13.1% 9
TERPROTEKSI MAHANUSA
DRAGON PROTECT 1.49% 7.15% -5.65 12.1% -0.2% 0.9% 12.8% 10
DANAMAS TERPROTEKSII 0.85% 1.50% -0.06 15.3% -3.7% 0.2% 11.9% 11
TERPROTEKSI MAHANUSA
SOVEREIGN BOND FUND 1.07% 5.02% -8.12 8.9% -0.1% 0.4% 9.3% 12
CAPITAL PROTEKSI-I 0.73% 1.24% 0.67 8.6% 0.2% 0.1% 8.8% 13
IHSG 1.28% 9.06%
-
30.12 7.3% 0.0% 0.7% 7.9% 14
SI DANA PROTEKSI GLOBAL
BOND FUND 0.93% 4.81% -7.01 6.5% 0.0% 0.3% 6.7% 15
TERPROTEKSI DANAREKSA
PROTEKSI DINAMIS FLEKSIBEL 0.68% 0.81% -0.30 6.8% -0.2% 0.1% 6.6% 16
TERPROTEKSI SCHRODER IDR
REGULAR DIVIDEND PLAN I 0.78% 4.17% -1.26 3.7% -0.1% 0.2% 3.8% 17
SBI 0.62% 0.10% 1.00 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 18
TERPROTEKSI BAHANA
OPTIMA PROTECTED FUND 5 0.31% 4.94% -4.82 -6.3% 0.1% -0.3% -6.5% 19
TERPROTEKSI SI DANA
PROTEKSI GLOBAL BOND
FUND II 0.34% 4.45% -5.39 -6.4% 0.1% -0.3% -6.6% 20
TERPROTEKSI MANDIRI
PROTECTED REGULAR
INCOME FUND 3 0.13% 3.15% -2.52 -15.7% 0.2% -0.5% -15.9% 21
BATAVIA PROTEKSI
NUSANTARA SERI VI 0.15% 2.88% -6.35 -16.2% 0.1% -0.5% -16.5% 22
RD TERPROTEKSI BGPF2 -0.21% 3.66%
-
10.48 -22.7% 0.1% -0.8% -23.4% 23
Sumber : Hasil Olahan

Ukuran Jensen
Dari hasil penelitian terdapat 17 Reksa Dana yang mampu memiliki Jensen Index diatas
SBI dan 4 Reksa Dana yang memiliki Jensen Index diatas IHSG. Hal ini membuktikan bahwa
berdasarkan perhitungan Jensen index, Reksa Dana Terproteksi di Indonesia Mampu
mengalahkan kinerja pembandingnya yaitu SBI, bahkan mengalahkan IHSG. Hipotesis
penelitian untuk model ini adalah Reksa Dana Terproteksui yang diteliti memiliki kinerja yang
lebih baik dari pada kinerja pembanding, dengan mengasumsikan variabel lain konstan. Maka
berdasarkan Penelitian diatas maka hipotesa tersebut terbukti dimana Reksa Dana Terproteksi
yang diteliti memiliki kinerja yang lebih baik dari pada kinerja pembanding.


Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

127

Kesimpulan
Adapun hasil kinerja Reksa Dana Terproteksi sesuai analisis dapat di simpulkan sebagai
berikut:
1. 16 Reksa Dana Terproteksi yang memiliki sharpe index di atas SBI bahkan terdapat 13 Reksa
Dana yang mampu memiliki sharpe index di atas IHSG. Hal ini membuktikan bahwa
berdasarkan perhitungan sharpe index, Reksa Dana Terproteksi di Indonesia mampu
mengalahkan Benchmark nya yaitu SBI, bahkan mengalahkan IHSG.
2. 10 Reksa Dana yang mampu memiliki Treynor Index di atas SBI dan 10 Reksa Dana yang
memiliki Treynor Index di atas IHSG. Hal ini membuktikan bahwa berdasarkan perhitungan
Treynor Index, Reksa Dana Terproteksi di Indonesia mampu mengalahkan Benchmark nya
yaitu SBI, bahkan mengalahkan IHSG.
3. Dari hasil penelitian terdapat 17 Reksa Dana yang mampu memiliki Jensen Index di atas SBI
dan 4 Reksa Dana yang memiliki Jensen Index di atas IHSG. Hal ini membuktikan bahwa
berdasarkan perhitungan Jensen Index, Reksa Dana di Indonesia mampu mengalahkan
Benchmark nya yaitu SBI, bahkan mengalahkan IHSG.



Daftar Pustaka

Bapepam. 1997. Himpunan Peraturan Pasar Modal. Bapepam. Jakarta

Bodie, Z. Kane, A. Marcus, A.1999. Investment. 4
th
edition, Irwin McGraw Hill.

Brown, F. and Vicker, D. 1963. Mutual Fund Portofolio Activity, Performance and Market
Impact. The Journal OF Finance, Vol 18

Carhat, M.1997. On Persistence In Mutual Fund Performance, Journal of Finance

Chan, N. Roll, R. Ross, S.1986. Economic Forces and stock market. Journal of Business, Vol
59.

Chen, J., Hong, H., Huang, M., and Kubik, J.2004. Does Fund Size Erode Mutual Fund
Performance ? The Role of Liquidity and Organization. The American Economic Review.

Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

128

Collins, S. and Mack, P. 1997. The Optimal Amount of Asset Under management in Mutual
Fund. Financial Analysis Journal.

Darrat, A.1990. Stock Returns, Money, and Fiscal Deficits. Journal of Financial and
Quantitative Analysis 25.

Dima, Bogdan, Barna, Flavia and Nachesu.2006. Macroeconomic Determinants of The
Investment Funds Market, The Romanian Case.

Edelen, R. and Warner, J.1999. Aggregate Price Effects of Institutional Trading : A Study of
Mutual Fund Flow and Market Returns.

Elton, L., Martin J. Gruber, and Christoper R.1996. The Persistence of Risk-Adjusted Mutual
Fund Performance. Journal Of Business, Vol 69.

Enders, W.2000. Applied Economic Time Series. John Wiley & Son, Ltd, New York.

Engel F., Roger D., Paul W,.1994. Consumer Behaviour, The Dryden Press.

Fama, E. F. and K. R. French.1992. The Cross-Section of Expected Stock Returns. Journal of
Finance, Vol. 47.

Frimpong, J. 2009. Economic Forces and the Stock Market in a Developing Economy:
Cointegration Evidence from Ghana. European Journal of Economics, Finance and
Administrative Sciences

Giambona, E and Golec, J.2009. Mutual Fund Volatility Timing and Management Fees. Journal
of banking & Finance.

Gibson J., John I., James H,. 1996. Organizations 8. Richard D. Irwin Inc.

Gujarati, D. 1995. Basic Econometrics, Mc. Graw Hill, Singapore.

Gudikunst, Arthur and McCarthy Joseph. 1992. Determinants of Bond Mutual Fund
Performance. Journal of Fix Income Vol 2.

Grinblatt, M. and S. Titman. 1992. The Persistance of Mutual Fund performance. Journal Of
Finance.

Grinblatt, M. and S. Titman. 1994. The Study of Monthly Mutual Fund Returns and Performance
Evaluation Techniques. Journal of Financial and Quantitatif Analysis.

Haslem, J., Kent, B., and David, S. 2008. Performance and Characteristic of Actively Managed
Retail Equity Mutual Fund with Diverse Expense Ratios. Financial Services Review.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

129


Henrikson, Roy D. & Robert C. Merton. 1981. On Market Timing and Investment Performance,
Statistical Procedures for Evaluating Forecasting Skills, Journal of Business.

Indro, D., Christine X., Minchael Hu, and Wayne Lee. Mutual Fund Performance: Does Fund
Size Matter? Association for Investment Management and Research.

Jiranyakul, K. 2009. Economic Forces and Thai Stock Market 1993-2007. NIDA Economic
Review, Vol 4.

Jensen, Michael. 1968. The Performance of Mutual Fund in the Period 1945 1964. Journal
of Finance.

Kumar, G. and Dash, M. 2008. A study on The Effect of Macroeconomic Variables On Indian
Mutual Fund. Aliance Business Academy.

Lintner, J. 1965. The Valuation of Risk Asset and the Selection of Risky Investment in Stock
Portfolios and capital budget. Review of Economic and Statistic.

Maghayereh, A. 2003. Causal Relations Among Stock Prices And Macroeconomic Variables In
The Small, Open Economy Of Jordan. Econ. & Adm., Vol. 17.

Manurung, Adler. 2005. Siklus Bursa Saham: Sebuah Penelitian Empiris di BEJ Januari 1988
2004. Jurnal Bisnis & Birokrasi No. 01, Vol. 13.

Manurung, Adler. 2010. Ekonomi Finansial. PT Adler Manurung Press.

Manurung, Adler. 2008. Panduan Lengkap Reksa Dana Investasiku. Penerbit Buku Kompas,
Jakarta.

Markowitz, H. 1952. Portofolio Selection. The Journal of Finance. Vol 7.

Mishkin, F.S. 2004. The Economic of Money, Banking, and Financial Market, Seventh Edition.
Addison Wesley, New york.

Mukherjee, T.K. and A. Naka,1995, Dynamic Relationas Between Macroeconomic Variables
and The Japanese Stock Market An Application of A Vector Error Correction Model, The
Journal of Financial Research, Vol. XVIII

Reily, F. and Brown, K. 1997. Investment Analysis and Portofolio Management. 5
th
Edition. The
Dryden Press, Florida.

Rhee, S. anf Wang, J. 2009. Foreign Institutional Ownership and Stock Market Liquidity:
Evidence From Indonesia. Journal of banking & Finance.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

130


Ross, Stephen A. 1976. The Arbitrage Theory of Capital Asset Pricing. Journal of Economic
Theory, Vol. 13

Shanken, J. and Weinstein, M. 2006. Economic Forces And The Stock Market Revisited. Journal
of Empirical Finance 13.

Sharpe, William F. 1966. Mutual Fund Performance. Journal of Business.

Treynor, J. 1965. How to Rate Management Investment Fund, Harvard Business Review Vol 43.

Treynor, J. and Mazuy K. 1966. Can Mutual Fund Outgess The Market. Harvard Business
Review Vol 43.


Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013

131

KETENTUAN PENULISAN JURNAL

1. Substansi Artikel. Artikel yang diserahkan merupakan tulisan ilmiah dengan desain kuantitatif
maupun kualitatif berupa: studi pustaka, studi empiris, ataupun studi kasus, sebagai hasil
pengembangan Ilmu Bisnis dan Kewirausahaan. Artikel yang disumbangkan adalah artikel orisinil
yang belum pernah dipublikasikan di media lain dan menggunakan pustaka acuan mutakhir,
proposi terbitan 15 tahun terakhir.
2. Gaya penulisan. Artikel ditulis dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baku. Artikel
memuat judul, nama penulis beserta keterangan dan alamat kerja yang jelas. Penulisan abstrak
dibatasi maksimum sampai 300 kata, untuk artikel Indonesia, abstrak ditulis Inggris dan sebaliknya,
disertai kata kunci (keyword). Bagian utama artikel ditulis dengan sistematika: Pendahuluan,
Tujuan Penelitian, Tinjauan Teori, Metodologi, Analisis dan Pembahasan, Kesimpulan, Saran,
Daftar Pustaka. Setiap judul baik sub judul tulisan perlu diberikan HURUF TEBAL SEMUA.
Penyajian Gambar, tabel, bagan, dan pendukung lain harus disertai dengan nomor urut, judul, dan
sumber yang konsisten.
2.1 Contoh Daftar Pustaka
Andrew Winton and Yerramilili, Y. (2008). Entrepreneurial Finance: Bank versus venture
capital, Journal of Financial Economics, Vol.88, Issue 1, Published by Elsevier.

Manurung, Adler Haymans, (2011). Metode Riset: Keuangan, Investasi dan Akuntansi Empiris,
PT Adler Manurung Press, Jakarta.

3. Seleksi Artikel. Artikel yang masuk ke redaksi akan diseleksi dan direview oleh anggota dewan
redaksi dan ada kemungkinan untuk diedit dan/atau dikembalikan untuk diperbaiki dan/atau
dilengkapi. Artikel yang tidak dimuat tidak dikembalikan. Artikel yang dimuat merupakan hak
redaksi dan dapat ditampilkan dalam media lain untuk akademik. Isi artikel di luar tanggung-jawab
redaksi.

4. Penyerahan Artikel. Artikel yang akan dimuat dapat dikirim/diserahkan berupa print-out ketikan
dan dalam bentuk file Microsoft Word yang bisa dibuka dengan baik. Artikel dicetak pada kertas
A4 atau folio, spasi ganda, huruf dengan Times New Roman 12, dimana jumlah halaman 15- 45
halaman. Adapun alamat Redaksi Jurnal sebagai berikut:

Redaksi Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan
Staff Sirkulasi & Administrasi

Editorial Office
Redaksi Bisnis dan Kewirausahawan
Sampoerna Shool of Business
Building D. Mulia Business Park
Jl. Letjen MT. Haryono Kav. 58-60
Jakarta 12780
Telepon + 62 21 794 2340
Fax + 62 21 794 2330
jurnal.bisnis@ssb.ac.id

You might also like