You are on page 1of 8

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya

mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh
pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan
politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga
negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain.
Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga
negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and
balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang
memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif,
lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan
lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan
menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh
masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang
diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif,
selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya
pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak
wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang
berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua
warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih
presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas.
Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin
negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara
langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya
dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi.
Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi
meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu
adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih
pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara.
Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati
umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal,
narapidana atau bekas narapidana).

Sejarah dan Perkembangan Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari Yunani Kuno yang tepatnya diutarakan di Athena kuno pada
abad ke-5 SM. Negara tersebut dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang
berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah
sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan
dengan perkembangan sistem demokrasi di banyak negara.
Kata demokrasi berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein
yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang
lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep
demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini
disebabkan karena demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik
suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara
umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica dengan kekuasaan negara yang
diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-
fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak
mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut
pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan
berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan
anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan
untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada
mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan
mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan
lembaga negara tersebut.
Demokrasi, dalam pengertian klasik, pertama kali muncul pada abad ke-5 SM tepatnya di
Yunani. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi dilakukan secara langsung, dalam artian rakyat
berkumpul pada suatu tempat tertentu dalam rangka membahas pelbagai permasalahan
kenegaraan. Sedangkan demokrasi dalam pengertiannya yang modern muncul pertama kali di
Amerika. Konsep demokrasi modern sebagian besar dipengaruhi oleh para pemikir besar
seperti Marx, Hegel, Montesquieu dan Alexis de Tocqueville. Mengingat semakin
berkembangnya negara-negara pada umumnya, secara otomatis menyebabkan makin luasnya
negara dan banyaknya jumlah warganya serta meningkatnya kompleksitas urusan
kenegaraan, mengakibatkan terjadinya perwalian aspirasi dari rakyat, yang disebut juga
sebagai demokrasi secara tidak langsung.
Demokrasi Klasik
Bentuk negara demokrasi klasik lahir dari pemikiran aliran yang dikenal berpandangan a tree
partite classification of state yang membedakan bentuk negara atas tiga bentuk ideal yang
dikenal sebagai bentuk negara kalsik-tradisional. Para penganut aliran ini adalah Plato,
Aristoteles, Polybius dan Thomas Aquino.
Plato dalam ajarannya menyatakan bahwa dalam bentuk demokrasi, kekuasan berada di
tangan rakyat sehingaa kepentingan umum (kepentingan rakyat) lebih diutamakan. Secara
prinsipil, rakyat diberi kebebasan dan kemerdekaan. Akan tetapi kemudian rakyat kehilangan
kendali, rakyat hanya ingin memerintah dirinya sendiri dan tidak mau lagi diatur sehingga
mengakibatkan keadaan menjadi kacau, yang disebut Anarki. Aristoteles sendiri
mendefiniskan demokrasi sebagai penyimpangan kepentingan orang-orang sebagai wakil
rakyat terhadap kepentingan umum. Menurut Polybius, demokrasi dibentuk oleh perwalian
kekuasaan dari rakyat. Pada prinsipnya konsep demokrasi yang dikemukakan oleh Polybius
mirip dengan konsep ajaran Plato. Sedangkan Thomas Aquino memahami demokrasi sebagai
bentuk pemerintahan oleh seluruh rakyat dimana kepentingannya ditujukan untuk diri sendiri.
Demokrasi Modern
Ada tiga tipe demokrasi modern, yaitu :
Demokrasi representatif dengan sistem presidensial
Dalam sistem ini terdapat pemisahan tegas antara badan dan fungsi legislatif dan eksekutif.
Badan eksekutif terdiri dari seorang presiden, wakil presiden dan menteri yang membantu
presiden dalam menjalankan pemerintahan. Dalam hubungannya dengan badan perwakilan
rakyat (legislatif), para menteri tidak memiliki hubungan pertanggungjawaban dengan badan
legislatif. Pertanggungjawaban para menteri diserahkan sepenuhnya kepada presiden.
Presiden dan para menteri tidak dapat diberhentikan oleh badan legislatif.
Demokrasi representatif dengan sistem parlementer
Sistem ini menggambarkan hubungan yang erat antara badan eksektif dan legislatif. Badan
eksekutif terdiri dari kepala negara dan kabinet (dewan menteri), sedangkan badan
legisletafnya dinamakan parlemen. Yang bertanggung jawab atas kekuasaan pelaksanaan
pemerintahan adalah kabinet sehingga kebijaksanaan pemerintahan ditentukan juga olehnya.
Kepala negara hanyalah simbol kekuasaan tetapi mempunyai hak untuk membubarkan
parlemen.
Demokrasi representatif dengan sistem referendum (badan pekerja)
Dalam sistem ini tidak terdapat pembagian dan pemisahan kekuasaan. Hal ini dapat dilihat
dari sistemnya sendiri di mana BADAN eksekutifnya merupakan bagian dari badan legislatif.
Badan eksekutifnya dinamakan bundesrat yang merupakan bagian dari bundesversammlung
(legislatif) yang terdiri dari nationalrat-badan perwakilan nasional- dan standerat yang
merupakan perwakilan dari negara-negara bagian yag disebut kanton.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh American Institute of Public Opinion
terhadap 10 negara dengan pemerintahan terbaik, diantaranya yaitu Switzerland, Inggris,
Swedia dan Jepang di posisi terakhir, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri demokrasi (modern)
yaitu adanya hak pilih universal, pemerintahan perwakilan, partai-partai politik bersaing,
kelompok-kelompok yang berkepentingan mempunyai otonomi dan sistem-sistem
komunikasi umum, frekuensi melek huruf tinggi, pembangunan ekonomi maju, besarnya
golongan menengah.
Demokrasi totaliter
Demokrasi totaliter adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh sejarahwan Israel, J.L.
Talmon untuk merujuk kepada suatu sistem pemerintahan di mana wakil rakyat yang terpilih
secara sah mempertahankan kesatuan negara kebangsaan yang warga negaranya, meskipun
memiliki hak untuk memilih, tidak banyak atau bahkan sama sekali tidak memiliki partisipasi
dalam proses pengambilan keputusan pemerintah. Ungkapan ini sebelumnya telah digunakan
oleh Bertrand de Jouvenel dan E.H. Carr.
Liberalisme
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang
didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama.[1]
Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh
kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan,
khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan
yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif
bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak adanya pembatasan
terhadap pemilikan individu. Oleh karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar
bagi tumbuhnya kapitalisme.
Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini
dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas. Bandingkan
Pandangan-pandangan liberalisme dengan paham agama seringkali berbenturan karena
liberalisme menghendaki penisbian dari semua tata nilai, bahkan dari agama sekalipun. meski
dalam prakteknya berbeda-beda di setiap negara, tetapi secara umum liberalisme
menganggap agama adalah pengekangan terhadap potensi akal manusia
Liberalisme didefinisikan sebagai suatu etika sosial yang menganjurkan kebebasan dan
kesetaraan secara umum. Coady, C. A. J. Distributive Justice, A Companion to
Contemporary Political Philosophy, editors Goodin, Robert E. and Pettit, Philip. Blackwell
Publishing, 1995, p.440. B: Kebebasan itu sendiri bukanlah sarana untuk mencapai tujuan
politik yang lebih tinggi. Ia sendiri adalah tujuan politik yang tertinggi.- Lord Acton
Oxford Manifesto dari Liberal International: Hak-hak dan kondisi ini hanya dapat diperoleh
melalui demokrasi yang sejati. Demokrasi sejati tidak terpisahkan dari kebebasan politik dan
didasarkan pada persetujuan yang dilakukan dengan sadar, bebas, dan yang diketahui benar
(enlightened) dari kelompok mayoritas, yang diungkapkan melalui surat suara yang bebas
dan rahasia, dengan menghargai kebebasan dan pandangan-pandangan kaum minoritas.
Liberalisme didefinisikan sebagai suatu etika sosial yang menganjurkan kebebasan dan
kesetaraan secara umum. Coady, C. A. J. Distributive Justice, A Companion to
Contemporary Political Philosophy, editors Goodin, Robert E. and Pettit, Philip. Blackwell
Publishing, 1995, p.440. B: Kebebasan itu sendiri bukanlah sarana untuk mencapai tujuan
politik yang lebih tinggi. Ia sendiri adalah tujuan politik yang tertinggi.- Lord Acton
^ Oxford Manifesto dari Liberal International: Hak-hak dan kondisi ini hanya dapat
diperoleh melalui demokrasi yang sejati. Demokrasi sejati tidak terpisahkan dari
kebebasan politik dan didasarkan pada persetujuan yang dilakukan dengan sadar,
bebas, dan yang diketahui benar (enlightened) dari kelompok mayoritas, yang
diungkapkan melalui surat suara yang bebas dan rahasia, dengan menghargai
kebebasan dan pandangan-pandangan kaum minoritas
Meritokrasi
Berasal dari kata merit atau manfaat, meritokrasi menunjuk suatu bentuk sistem politik yang
memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan. Kerap
dianggap sebagai suatu bentuk sistem masyarakat yang sangat adil dengan memberikan
tempat kepada mereka yang berprestasi untuk duduk sebagai pemimpin, tetapi tetap dikritik
sebagai bentuk ketidak adilan yang kurang memberi tempat bagi mereka yang kurang
memiliki kemampuan untuk tampil memimpin.
Dalam pengertian khusus meritokrasi kerap di pakai menentang birokrasi yang sarat KKN
terutama pada aspek nepotisme.
Plutokrasi
Plutokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang mendasarkan suatu kekuasaan atas
dasar kekayaan yang mereka miliki. Mengambil kata dari bahasa Yunani, Ploutos yang
berarti kekayaan dan Kratos yang berarti kekuasaan. Riwayat keterlibatan kaum hartawan
dalam politik kekuasaan memang berawal di kota Yunani, untuk kemudian diikuti di kawasan
Genova, Italia.
Teokrasi
Teokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana agama atau iman memegang peran utama.
Kata teokrasi berasal dari bahasa Yunani (theokratia). (theos) artinya
tuhan dan (kratein) memerintah. Teokrasi artinya pemerintahan oleh tuhan.
Demokrasi Kesukuan
Demokrasi Kesukuan adalah sebuah sistem atau bentuk pemerintahan setempat yang
diselenggarakan di dalam batas-batas: wilayah ulayat, jangkauan hukum adat, dan sistem
kepemimpinan serta pola kepemimpinan suku dan segala perangkat kesukuannya (tribal
properties). Demokrasi Kesukuan juga dapat disebut sebagai demokrasi yang asli dan alamiah
alamiah.
Demokrasi Kesukuan, menurut penggagasnya, Sem Karoba, adalah sebuah demokrasi yang
tidak mengenal partai politik, karena partai politik pada dasarnya dibentuk untuk membangun
aliansi, afiliasi dan aosisiasi satu orang dengan yang lainnya. Masyarakat Adat di dalam
suku-suku sudah memiliki aliansi, afiliasi dan asosiasi, maka demokrasi yang dibangun
berdasarkan suku, dibangun atas dasar kondisi real dimaksud.
Menurut Sem Karoba, Demokrasi Kesukuan merupakan demokrasi yang berlaku di dalam
suku-suku

Demokrasi di Indonesia
Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang Undang Dasar 1945 memberikan
penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.Dalam mekanisme
kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah
sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah
pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu.
Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama
kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno
menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami
masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan
kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998
ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi
Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia-
Perjuangan sebagai pemenang Pemilu.
Diskursus demokrasi di Indonesia tak dapat dipungkiri, telah melewati perjalanan sejarah
yang demikian panjangnya. Berbagai ide dan cara telah coba dilontarkan dan dilakukan guna
memenuhi tuntutan demokratisasi di negara kepulauan ini. Usaha untuk memenuhi tuntutan
mewujudkan pemerintahan yang demokratis tersebut misalnya dapat dilihat dari hadirnya
rumusan model demokrasi Indonesia di dua zaman pemerintahan Indonesia, yakni Orde
Lama dan Orde Baru. Di zaman pemerintahan Soekarno dikenal yang dinamakan model
Demokrasi Terpimpin, lalu berikutnya di zaman pemerintahan Soeharto model demokrasi
yang dijalankan adalah model Demokrasi Pancasila. Namun, alih-alih mempunyai suatu
pemerintahan yang demokratis, model demokrasi yang ditawarkan di dua rezim awal
pemerintahan Indonesia tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang
membelenggu kebebasan politik warganya.
Dipasungnya demokrasi di dua zaman pemerintahan tersebut akhirnya membuat rakyat
Indonesia berusaha melakukan reformasi sistem politik di Indonesia pada tahun 1997.
Reformasi yang diperjuangkan oleh berbagai pihak di Indonesia akhirnya berhasil
menumbangkan rezim Orde Baru yang otoriter di tahun 1998. Pasca kejadian tersebut,
perubahan mendasar di berbagai bidang berhasil dilakukan sebagai dasar untuk membangun
pemerintahan yang solid dan demokratis. Namun, hingga hampir sepuluh tahun perubahan
politik pasca reformasi 1997-1998 di Indonesia, transisi menuju pemerintahan yang
demokratis masih belum dapat menghasilkan sebuah pemerintahan yang profesional, efektif,
efisien, dan kredibel. Demokrasi yang terbentuk sejauh ini, meminjam istilah Olle Tornquist
hanya menghasilkan Demokrasi Kaum Penjahat, yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi
dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Tulisan ini berusaha
menguraikan lebih lanjut bagaimana proses transisi menuju konsolidasi demokrasi di
Indonesia belum menuju kepada proses yang baik, karena masih mencerminkan suatu
pragmatisme politik. Selain itu di akhir, penulis akan berupaya menjawab pilihan demokrasi
yang bagaimana yang cocok untuk diterapkan di Indonesia.
Munculnya Kekuatan Politik Baru yang Pragmatis
Pasca jatuhnya Soeharto pada 1998 lewat perjuangan yang panjang oleh mahasiswa, rakyat
dan politisi, kondisi politik yang dihasilkan tidak mengarah ke perbaikan yang signifikan.
Memang secara nyata kita bisa melihat perubahan yang sangat besar, dari rezim yang otoriter
menjadi era penuh keterbukaan. Amandemen UUD 1945 yang banyak merubah sistem politik
saat ini, penghapusan dwi fungsi ABRI, demokratisasi hampir di segala bidang, dan banyak
hasil positif lain. Namun begitu, perubahan-perubahan itu tidak banyak membawa perbaikan
kondisi ekonomi dan sosial di tingkat masyarakat.
Perbaikan kondisi ekonomi dan sosial di masyarakat tidak kunjung berubah dikarenakan
adanya kalangan oposisi elit yang menguasai berbagai sektor negara. Mereka beradaptasi
dengan sistem yang korup dan kemudian larut di dalamnya. Sementara itu, hampir tidak ada
satu pun elit lama berhaluan reformis yang berhasil memegang posisi-posisi kunci untuk
mengambil inisiatif. Perubahan politik di Indonesia, hanya menghasilkan kembalinya
kekuatan Orde Baru yang berhasil berkonsolidasi dalam waktu singkat, dan munculnya
kekuatan politik baru yang pragmatis. Infiltrasi sikap yang terjadi pada kekuatan baru adalah
karena mereka terpengaruh sistem yang memang diciptakan untuk dapat terjadinya korupsi
dengan mudah.
Selain hal tersebut, kurang memadainya pendidikan politik yang diberikan kepada
masyarakat, menyebabkan belum munculnya artikulator-artikulator politik baru yang dapat
mempengaruhi sirkulasi elit politik Indonesia. Gerakan mahasiswa, kalangan organisasi non-
pemerintah, dan kelas menengah politik yang mengambang lainnya terfragmentasi. Mereka
gagal membangun aliansi yang efektif dengan sektor-sektor lain di kelas menengah. Kelas
menengah itu sebagian besar masih merupakan lapisan sosial yang berwatak anti-politik
produk Orde Baru. Dengan demikian, perlawanan para reformis akhirnya sama sekali tidak
berfungsi di tengah-tengah situasi ketika hampir seluruh elit politik merampas demokrasi.
Lebih lanjut, gerakan mahasiswa yang pada awal reformasi 1997-1998 sangatlah kuat, kini
sepertinya sudah kehilangan roh perjuangan melawan pemerintahan. Hal ini bukan hanya
disebabkan oleh berbedanya situasi politik, tetapi juga tingkat apatisme yang tinggi yang
disebabkan oleh depolitisasi lewat berbagai kebijakan di bidang pendidikan. Mulai dari
mahalnya uang kuliah yang menyebabkan mahasiswa dituntut untuk segera lulus. Hingga
saringan masuk yang menyebabkan hanya orang kaya yang tidak peduli dengan politik.
Akibat dari hal tersebut, representasi keberagaman kesadaran politik masyarakat ke dunia
publik pun menjadi minim. Demokrasi yang terjadi di Indonesia kini, akhirnya hanya bisa
dilihat sebagai demokrasi elitis, dimana kekuasaan terletak pada sirkulasi para elit. Rakyat
hanya sebagai pendukung, untuk memilih siapa dari kelompok elit yang sebaiknya
memerintah masyarakat.
Memilih Demokrasi untuk Indonesia?
Pertanyaan yang muncul dari kemudian adalah,Lantas, jika reformasi 1998 juga belum dapat
menentukan bagaimana model demokrasi yang cocok bagi Indonesia, apakah demokrasi
memang tidak cocok bagi Indonesia?. Menanggapi pertanyaan diatas, penulis perlu
menekankan untuk memisahkan antara demokrasi sebagai sistem politik dengan demokrasi
sebagai sebuah nilai. Demokrasi adalah sebuah nilai yang memberikan kebebasan dan
partisipasi masyarakat. Dengan demokrasi, para warga negara dapat dilibatkan dalam proses
pembuatan kebijakan. Idealismenya, setiap individu berhak menentukan segala hal yang
dapat mempengaruhi kehidupannya, baik dalam kehidupan personal maupun sosial. Selain
itu, demokrasi juga adalah cara yang efektif untuk mengontrol kekuasaan agar tidak
menghasilkan penyalahgunaan wewenang.
Penulis melihat bahwa masa transisi di Indonesia yang masih belum menunjukan kehidupan
demokrasi yang baik lebih dikarenakan negara hukum yang menjadi landasan Indonesia
belum dapat mengkonsolidasikan demokrasi. Persyaratan untuk menuju konsolidasi
demokrasi akhirnya memang sangat bertumpu pada proses reformasi hukum. Hukum harus
diciptakan untuk memberikan jaminan berkembangnya masyarakat sipil dan masyarakat
politik yang otonom, masyarakat ekonomi yang terlembagakan, dan birokrasi yang mampu
menopang pemerintahan yang demokratis. Hukum harus dikembangkan untuk memperkuat
masyarakat sipil (civil society) agar mampu menghasilkan alternatif-alternatif politik dan
mampu mengontrol dan memantau pemerintah dan negara ketika menjalankan kekuasaannya.
Oleh karena itu, penulis melihat masih ada harapan bagi Indonesia di masa yang akan datang.
Walaupun banyak yang skeptis bahwa masa depan politik di Indonesia akan menuju kearah
yang lebih baik. Namun perkembangan yang terjadi belakangan ini dapat dijadikan setitik
harapan bagi masa depan Indonesia. Yang perlu dicatat adalah jangan sampai kita terjebak
dalam demokrasi prosedural saja dan melupakan ketertinggalan masyarakat secara ekonomi
maupun sosial. Masalah-masalah sosial yang secara jelas mengancam integrasi bangsa ini dan
juga berbagai kasus kelaparan harulah cepat diselesaikan. Seiring dengan perbaikan sistem
politik dan juga aktor-aktor yang terlibat didalamnya.

You might also like