You are on page 1of 2

Etika dan Netralitas Politik Institut Teknologi Bandung, Untuk Siapa?

14 Mei 2014 lalu, Senat Akademik ITB yang diketuai oleh Prof. Intan
Ahmad menetapkan SK nomor 12 tahun 2014 tentang Etika dan
Netralitas Politik Institut Teknologi Bandung. Didalam SK tersebut sangat
jelas disebutkan, bahwa ITB menyatakan diri sebagai institusi aktif yang
netral dan non-partisan dalam kegiatan politik yang ada di masyarakat.
Dalam SK tersebut juga dijelaskan, bahwa non-partisan yang
dimaksud adalah prinsip tidak mendekatkan diri dan berpartisipasi baik
secara teratur maupun insidentil dalam aktivitas politik dan/atau partai
politik yang ada di masyarakat. Aktivitas politik yang dimaksud disini pun
dijelaskan dengan cukup baik.
"aktivitas politik mencakup penyelenggaraan acara partai
politik, kampanye partai politik, dan infiltrasi politik baik
yang dilakukan oleh partai dan/atau organisasi
pendukungnya maupun individu untuk jabatan politik
tertentu"
SK ini juga menjelaskan
"jabatan politik adalah setiap jabatan publik yang diperoleh
melalui proses pemilihan umum baik nasional maupun
daerah"
Satu bulan lebih sudah SK ini berlaku, namun rasanya SK ini tidak
berdampak apapun bagi tenaga kependidikan dan sivitas akademika ITB
sendiri.
Kita ambil contoh aksi Tolak Politisasi Kampus yang dilakukan oleh
mahasiswa ITB. Terlepas dari pro-kontra yang beredar, saat itu, para
mahasiswa dengan lantang menolak Jokowi yang saat itu telah resmi
mendeklarasikan diri menjadi capres dari salah satu partai karena
mencegah adanya kemungkinan kegiatan akademik atau kegiatan












mahasiswa yang rawan akan muatan politis. Secara singkat, mahasiswa
ITB berusaha menjaga agar kampus ITB tidak terlibat dalam politik
praktis ataupun kegiatan kegiatan yang rawan bersinggungan dengan
politik praktis tersebut.
Mahasiswa mengambil sikap tersebut karena Kampus Ganesha ini,
seperti kampus-kampus dan institusi pendidikan lainnya, merupakan
sebuah rumah bagi kaum intelektual. Dan kaum intelektual ini memiliki
posisi untuk menjaga tugas tugas historis intelektualnya seperti
menjaga kontinuitas ruang kosong demokrasi (Lefort), mengaktifkan
antagonisme perjuangan politik (Laclau), dan menghidupkan kesetiaan
pada kembalinya kebenaran (Badiou).
Suatu keanehan terjadi, setelah aksi Jokowi tersebut pihak
mahasiswa justru diwajibkan meminta maaf secara tertulis kepada
rektorat karena desakan yang kuat dari pro-kontra yang terjadi di
kalangan dosen. Hal yang diperjuangkan mahasiswa, nampaknya malah
sama sekali berbeda di kalangan sivitas akademika ITB yang lain.
Di kalangan Ikatan Alumni misalnya, berbagai angkatan yang
berbeda pilihan dalam pemilu kali ini justru saling mencaci dan
menghina pilihan yang bersebrangan dengan dirinya. Grup Ikatan
Alumni dan milis IA-ITB, seluruhnya ramai oleh berbagai kampanye
negatif bahkan kampanye hitam demi mengagungkan calon yang
diusung oleh pribadinya masing-masing. Sikap yang menurut penulis
tidak lagi rasional dan terkesan tidak intelek.
Alumni ITB bisa jadi sah-sah saja dalam bertindak demikian, karena
toh mereka tidak melanggar apapun selain menunjukan sikap mereka
yang ternyata rela saling hujat demi pemimpin idaman. Mungkin
memang benar kata-kata Sudjiwo Tejo, pemimpin yang dinabikan
akan mematikan nalar.

Lantas bagaimana dengan dosen ITB?

Tidak elok rasanya jika dosen ITB secara terang-terangan bahkan
ikut berkampanye dan mendukung salah satu calon.







Hal ini bertentangan dengan SK senat Akademik ITB nomor 12
tahun 2014:
1.4 Warga ITB tidak diperbolehkan memberikan pernyataan
resmi atau tidak resmi bahwa partai politik, kandidat partai
politik, isu politik, atau kegiatan politik tertentu mendapat
dukungan resmi atau tidak resmi dari ITB
Apalagi, jika dosen yang melakukan kampanye adalah pegawai
negeri sipil (PNS).









Maka jelas-jelas melanggar UU No.42 tahun 2008 tentang
pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 41 ayat 2e:
Pelaksana Kampanye dalam kegiatan Kampanye
dilarang mengikutsertakan: pegawai negeri sipil

Ayat 3 dan 4:

(3) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a sampai dengan huruf i dilarang ikut serta sebagai
pelaksana Kampanye.
(4) Sebagai peserta Kampanye, pegawai negeri sipil
dilarang menggunakan atribut Partai Politik, Pasangan
Calon, atau atribut pegawai negeri sipil.
Hukuman dari melanggar pasal tersebut pun bahkan telah diatur di pasal
218:
Setiap pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala
desa, dan perangkat desa, dan anggota badan
permusyaratan desa yang melanggar larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3), dan ayat (5), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Mengetahui hal ini, pihak kampus ITB rasanya belum melakukan
suatu apapun. Lantas siapa benar? apakah mahasiswa yang berusaha
menjaga netralitas kampus namun lalu dituntut meminta maaf yang
memang salah? atau para dosen yang seharusnya menjadi panutan
mahasiswa yang memang telah lupa akan posisinya?
Menutup tulisan yang mempertanyakan etika netralitas kampus ini,
penulis ingin menuliskan potongan sajak Pertemuan Mahasiswa milik
Rendra:

Tentu kita bertanya : Lantas maksud baik saudara untuk
siapa ?
Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya:
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ?




Bandung, 27 Juni 2014
Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater

Mahasiswa ITB

You might also like