Tantari SHW Lab. I. Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UB
PENDAHULUAN Bentuk virus dibagi dalam bermacam-macam golongan, dari bahan yang menginfeksi mempunyai komposisi yang khusus dan unik dalam cara replikasinya. Virus tertentu mengkode sejumlah kecil ensim, walaupun virus bukan suatu organisme seluler karena virus tidak sama dengan fungsi ribosom atau organ sel yang lain. Virus mengalami multiplikasi hanya dalam selnya sendiri dengan menggunakan apparatus seluler sintetik untuk menghasilkan komponennya sendiri. Oleh karena ketergantungan terhadap sel untuk replikasinya maka virus biasa disebut sebagai obligate intracellular parasites.
KLASIFIKASI Semua organisme dari bakteri sampai manusia rentan terhadap infeksi virus, tetapi tidak ada virus tunggal yang mampu menginfeksi semua jenis sel. Golongan virus yang sering menimbulkan kelainan kulit ialah; 1. Golongan virus Herpes, yang menyebabkan Herpes simpleks, Herpes zoster dan Varisela. 2. Golongan virus Pox , yang menyebabkan Variola dan Moluskum kontagiosum. 3. Golongan virus Papova, yang menyebabkan Kondilomata akuminata dan veruka vulgaris. 4. Golongan Paramyxovirus. 5. Golongan Retrovirus.
PATOGENESIS Infeksi virus ke dalam kulit dapat melalui berbagai cara yaitu inokulasi langsung, infeksi sistemik atau penyebaran lokal dari fokus internal. Lesi kulit mungkin disebabkan oleh akibat langsung dari proses replikasi virus di dalam sel dengan mensintesis beberapa struktur komponen secara terpisah dan membentuknya menjadi multiple virion, ke dalam sel yang multiplikasi pembelahan atau interaksi dari keduanya. Virus menggunakan organ dari sel host untuk mensintesis dan menyususn virion baru, karena bahan ini tidak mengandung aparatus untuk replikasi sendiri. Masih sedikit yang diketahui tentang peran respon imun pada patogenesis terjadinya lesi kulit . Reaksi kulit terhadap invasi virus dapat berupa disorganisasi dan lisis, dengan akibat timbulnya vesiko-papula atau reaksi proliferasi berupa tumor. Virus-virus golongan Papova, Pox, Herpes dan semua yang menginfeksi kulit melalui inokulasi langsung, bereplikasi di epidermis. Efek sitopatik dari virus berperan terhadap gambaran lesi awal. Peran respon imun pada proses evolusi dari lesi masih belum diketahui. Masa inkubasi dari golongan Papova lebih lama, hal ini diperkirakan karena virus membelah secara lambat atau proses penyebaran virus dari sel ke sel lain terbatas. Pada Varisela, kerusakan kulit akibat proses infeksi sitosidal adalah penyebab utama dari lesi kulit. Herpes zoster dan Herpes simpleks yang rekuren menunjukkan penyebaran lokal dari virus pada kulit yang dimulai oleh reaktivasi dari infeksi virus laten yang terdapat pada syaraf perifer. Infeksi sitosidal memainkan peran penting pada proses terjadinya lesi kulit, meskipun lesi-lesi tersebut mengandung virus dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan pada infeksi primer. Derajat beratnya gejala yang diinduksi virus tertentu sangat beragam dan tergantung pada tiap individu, dan dipastikan bahwa faktor host lebih berperan untuk munculnya gejala yang spesifik. Sehingga diduga bahwa respon imunologis dan nonimunologis dianggap sebagai hal yang penting. Sebaliknya infeksi dari virus juga mempunyai efek langsung dan tidak langsung pada system imunitas, khususnya pada virus yang menginfeksi sel-sel limfoid seperti virus HIV dan virus Epstein-Barr. Respon antibodi terhadap infeksi virus menunjukkan pertahanan tubuh host terhadap infeksi ulang dari virus yang sama, hal ini yang menjadi dasar bagi pemberian antibodi tipe spesifik sebagai profilaksis untuk mencegah atau mempengaruhi infeksi primer tertentu.
HERPES SIMPLEKS Herpes simpleks adalah penyakit infeksi oleh Virus Herpes Simpleks umumnya mengenai daerah muko kutan, kebanyakan setempat (lokal), setelah infeksi primer dapat berkembang menjadi laten, dengan rekurensi. Hanya pada keadaan tertentu infeksi dapat menjadi sistemik, misalnya pada neonatus atau penderita dengan defisiensi imun.
PENYEBAB Termasuk golongan virus Herpes hominis, yaitu terdiri dari HSV 1 dan 2, varicella zoster virus ( VZV), Epstein- Barr Virus (EBV), Citomegalovirus (CMV), Human herpes virus tipe 6 (HHV 6),dan yang terbaru HHV 7. Klinis HSV 1 merupakan sebagian besar penyebab Herpes simpleks pada rongga mulut, mata dan bibir, sedangkan HSV 2 pada genital ( dibicarakan pada PMS).
EPIDEMIOLOGI Infeksi primer untuk Herpes simpleks pada bibir , mukosa mulut , dan pada mata, terjadi pada tahun pertama setelah kalahiran, dan kebanyakan tidak menimbulkan gejala (asimtomatik). Penularan melalui kontak langsung dengan keluarga, tetangga terutama pada rumah atau daerah padat penduduk. Faktor higiene dan sosioekonomi memegang peranan penting. Jumlah penderita sesungguhnya sukar ditentukan oleh karena infeksi HSV : - seringkali asimtomatik - sifat laten. Ab akan positif sepanjang tahun - adanya reaksi imun silang antara HSV 1 dan 2 Pada orang dewasa prevalensi seropositif antibodi HSV 1 berkisar antara 50- 100 %, sedangkan untuk HSV 2 lebih rendah.
PATOGENESIS Port dentre adalah selaput lendir atau kulit. Cara penularan melalui dropplet infection atau kontak langsung. Ada beberapa kemungkinan terjadi setelah HSV masuk ke dalam sel epitel, yaitu : - Infeksi produktif, di mana HSV mengadakan replikasi dalam sel epitel, sel menggelembung, kemudian mati, diikuti dengan gejala klinis (infeksi primer). - HSV masuk kedalam sel syaraf sensoris, kemudian kedalam ganglion syaraf, bersifat laten dan tidak menimbulkan gejala klinis . - Aktivasi virus oleh faktor pencetus, menyebabkan replikasi virus, turun ke sel epitel, dan menimbulkan gejala ( infeksi rekuren). - Infeksi diseminasi pada penderita imunokompromis. Faktor pencetus yang menimbulkan reaktivasi virus: 1. Faktor pejamu - suhu dingin - panas sinar matahari - penyakit infeksi - kelelahan - stres - menstruasi 2. Keadaan tertentu yang menimbulkan kemunduran daya tahan tubuh, seperti : - penyakit Diabetus melitus berat - penyakit tumor - H I V - Obat imunosupresif, kortikosteroid - Radiasi 3. Faktor virus. HSV 2 dikatakan lebih sering menimbulkan relaps dibanding dengan HSV 1. Akan tetapi penelitian terakir menunjukkan bahwa lokalisasi memegang peranan penting. Pada daerah genetalia HSV 2 lebih sering menimbulkan relaps dibanding HSV 1, sedangkan didaerah oro-labial ternyata HSV 1 lebih sering kambuh.
GEJALA KLINIS Manifestasi klinis infeksi primer biasanya lebih berat dan berlangsung lebih lama dibanding infeksi rekuren. Ditandai dengan lesi vesikula bergerombol dasar eritematus atau vesikoulseratif bergerombol dasar eritematus.
Variasi klinis berupa: HERPES GINGIVOSTOMATITIS : - Penyebab HSV 1 - Pada usia muda (1-3 tahun) - Lesi vesikuloulseratif bergerombol dengan dasar eritem yang luas pada mukosa bukalis, gingiva, farinks, lidah - Disertai gejala umum, nyeri, demam, malaise - Sembuh dalam 2-3 minggu Diagnosis banding harus dibedakan dengan kelainan lain dimulut. Sebagai patokan bila ada lesi vesikel pada mukosa mulut, gingiva, hanya disebabkan oleh Herpes simpleks.
HERPES LABIALIS: - umumnya sebagai infeksi rekuren dari Herpes gingivostomatitis - lesi vesikel pada daerah mukokutan merupakan tanda khas. - Sebagian besar didahului dengan gejala prodromal, panas,nyeri, gatal pada daerah lesi. - Lesi biasanya unilokuler, tapi dapat juga menjalar sampai hidung. - Sembuh dalam 6-10 hari.
HERPES SIMPLEKS PADA MATA. Infeksi primer kebanyakan terjadi pada usia dewasa. Ciri ciri adalah: - lesi umumnya keratokonjunktivitis, dapat unilateral atau bilateral. - Disertai vesikula pada palpebra dan sekitarnya. - Fase rekuren biasanya beripa keratitis. - Bentuk yang progresif dapat menimbulkan kebutaan.
Perbedaan infeksi primer dan infeksi rekuren
Infeksi primer Infeksi rekuren
Sakit sangat ringan/ (-) Jumlah lesi multiple beberapa Lokalisasi multiple single Gejala umum sering jarang Lamanya lesi 7-28 hari 2-10 hari Lamanya sakit 5-20 hari 1-7 hari Lamanya pelepasan virus 5-25 hari 1-10 hari Kadar virus tinggi rendah Radikulomyelopati < 50 % ( -) Meningitis 10 % (-)
HERPES SIMPLEKS PADA NEONATUS Penularan terjadi intra uteri, durante partum, post partum. Tanda-tandanya: Transmisi melalui plasenta: - angka moralitas sangat tinggi (60-70%) - gejala yang paling berat pada penularan transplasenta. - Gejala trias yang sering dijumpai; vesikula pada kulit atau mukosa, infeksi mata yaitu koroidoretinitis dan keratokonjunktivitis, serta mikrosefali atau hidrosefali.
Transmisi melalui jalan lahir: - Infeksi lokal berupa gerombolan vesikula pada kulit, mukosa mulut dan mata. - Dapat terjadi infeksi sistemik, tersering yaitu ensefalitis, dapat pula menyerang organ lain, seperti hati, paru, ginjal.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM. - Tzanck test : diperiksa adanya sel raksasa berinti banyak. - Elisa : pemeriksaan adanya antigen HSV. Pemeriksaan ini spesifik dan sensitivitasnya 95 %. - Kultur : paling sensitif dan spesifik.
PENGOBATAN Suportif : imunomedulator Mencegah relaps; menghindari faktor pencetus. Mencegah infeksi : penyuluhan, vaksinasi. Kausatif : obat spesifik yang efektif belum diketahui. Dikenal anti virus Mis: asiklovir , valasiklovir. Dosis : 5 X 200 mg sehari selama lima hari.
V A R I S E L A
Merupakan infeksi akut primer oleh virus varisela zoster yang menyerang kulit dan mukosa, klinis terdapat gejala prodromal dan kelainan kulit polimorfi.
EPIDEMIOLOGI Pada Varisela tersebar kosmopolit, menyerang terutama anak-anak, tetapi juga -dapat menyerang orang dewasa. Cara penularan utama melalui dropplet infection yang berasal dari nasofarink atau kontak langsung dengan cairan vesikel. Sedang cara penularan yang lain ialah melalui transplasental.
PATOGENESIS Infeksi primer dari VZV terjadi di nasofarinks, Virus mengadakan replikasi dan dilepaskan ke dalam aliran darah sehingga terjadi viremia pertama, yang sifatnya terbatas dan asimtomatik. Kemudian virus masuk ke SRE dan mengadakan replikasi kedua yang sifat vireminya lebih luas dan simtomatik, dengan penyebaran virus ke kulit dan visera. Humoral antibodi IgG, IgM, IgA terhadap VZV dapat dideteksi 2-5 hari setelah onset klinik, dan mencapai puncaknya pada minggu kedua dan ketiga. CMI terhadap varisela meningkat dalam perkembangan penyakitnya dan menetap untuk beberapa tahun.
GEJALA KLINIS Setelah masa tunas 10-20 hari , timbul gejala gejala : Stadium prodromal : febris, anoreksia, malaise. Pada penderita dewasa, gejala prodromal ini lebih berat. Lamanya berlangsung 1-2 hari Stadium erupsi : timbul makula eritem, yang dalam waktu 24 jam berubah menjadi papula eritem dan beberapa jam berubah menjadi vesikula. Kulit sekitarnya berwarna eritem. Isi vesikula kemudian menjadi keruh, timbul pustula, kemudian mengering dan terbentuk krusta, sementara proses ini berlanjut timbul lagi vesikel-vesikel yang baru sehingga menimbulkan gambaran polimorfi. Vesikel di sini khas berupa tear drop. Krusta lambat laun lepas tanpa meninggalkan bekas. Lesi menjadi tidak infeksius karena virus hanya stabil dalam cairan vesikula. Distribusi terutama sentral, yaitu muka, badan, dan ekstremitas bagian proksimal. Selain di kulit juga menyerang selaput lendir mata, mulut, tenggorokan dan genetalis.
KOMPLIKASI Varisela pada bayi menimbulkan kematian 5-20 %, kematian biasanya karena verisela menyerang seluruh viseral. Komplikasi pada anak anak jarang terjadi, sedangkan pada orang dewasa tercatat komplikasi yang berat berupa pneumonia dan ensephalitis. Diduga komplikasi ensephalitis terjadi karena pascainfeksi (autoimun) demyelinating yang mirip dengan ensephalitis pada morbili. Disamping komplikasi pada syaraf pusat berupa meningnsephalitis, juga dapat terjadi hepatitis, purpura dan vesikel hemoragik pada penderita trombositopeni. Sedangkan komplikasi yang sering terjadi adalah superinfeksi oleh bakteri. Pada penderita imunokompromis termasuk diantaranya leukemia, penderita dengan terapi kortikosteroid dosis tinggi , penderita AIDS, manifestasi varisela jauh lebih berat. Lesi lebih besar besar , lebih bersifat vesikobulosa lebih dalam dan berumbilikasi, serta berlangsung lebih lama. Meningitis, ensephalitis, glomerulonefritis menjadi relatif lebih sering terjadi.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM. Tes Tzanck Mikroskop elektron jenis scaning. Elisa/ Imuno assay/ Imunofluoresen : pemeriksaan antigen virus. I Identifikasi virus DNA, teknik endonuklease. Pengukuran imunoglobulin spesifik dengan test serologik.
PENGOBATAN : Simtomatik : analgetika, antipiretika. Bila ada infeksi sekunder dapat diberi antibiotika. Topikal dapat diberi bedak kocok, atau anti bakterial. Kausal : belum ada pengobatan yang spesifik dan efektif untuk varisela. Beberapa obat antivirus yang pernah dicoba dengan hasil yang bervariasi diantara para peneliti, antara lain Asiklovir, Iodoxuridine, Interferron.
HERPES ZOSTER
Herpes zoster merupakan salah satu bentuk manifestasi infeksi varicella zoster virus (VZV). Yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer.
EPIDEMIOLOGI Penyebaranya sama dengan varisela, Timbulnya secara sporadik dengan insiden laki laki sama dengan wanita. Terutama menyerang orang dewasa dan orang tua, jarang pada anak anak.
PATOGENESIS Pada infeksi primer ( pada individu yang belum ada kekebalan) setelah virus mengalami replikasi lokal akan terjadi viremi awal kemudian terjadi respon dari SRE, yang berlanjut ke viremi lanjutan dengan penyebaran ke kulit sehingga timbul lesi kulit. Virus diam di ganglion posterior susunan syaraf tepi dan ganglion kranialis atau bersifat laten. Reaktivasi virus terjadi multiplikasi dan penyebaran sekitar ganglion dan terjadi peradangan yang menimbulkan neuralgia.Kelainan kulit yang timbul menunjukkan lokasi yang sesuai dengan persyarafan ganglion tersebut. Faktor- faktor pencetus terjadinya reaktivasi : Penyakit Hodgkin , keganasan pemakaian kortikosteroid, tumor ganglion posterior, trauma lokal, tindakan operasi spinal.
GEJALA KLINIS Daerah yang sering terkena adalah torakal walaupun daerah lain tidak jarang. Sebelum timbul kelainan kulit terdapat gejala prodromal berupa nyeri , atau paresthesia dari dermatom yang terkena. Gejala konstitusi seperti malaise, sakit kepala, panas, timbul 1-2 hari sebelum erupsi kulit terjadi. Rasa nyeri di atas sering dikelirukan dengan nyeri infark miokard, kolesistitis, apendisitis, terutama bila lokasi di perut dan dada. Gambaran klinis yang paling jelas dari Herpes zoster adalah adanya erupsi yang terlokalisasi, dimana hampir selalu unilateral, yang tidak pernah melewati garis tengah tubuh, dan umumnya terbatas pada daerah kulit yang di inervasi oleh salah satu ganglion syaraf sensoris. Erupsi dimulai oleh adanya makulopapula yang eritematus yang berkelompok, vesikel terbentuk dalam waktu 12- 24 jam dan berubah menjadi pustula pada hari ke 3. Kemudian mengering menjadi krusta pada hari ke 7-10. Krusta ini menetap dalam waktu 2-3 minggu. Erupsi timbul paling berat dan lama menetapnya pada penderita yang lebih tua, dan paling ringan dan cepat membaik pada anak anak. Disamping gejala gejala kulit tersebut di atas, limfonodI regional dapat membesar. Hiperestesi pada daerah yang terkena memberi gejala yang khas . Kelainan pada muka sering disebabkan oleh karena gangguan pada N. trigeminus (dengan ganglion Gaseri) atau nervus fasialis dan otikus (dari ganglion Genikulatum).
BEBERAPA VARIASI KLINIK: 1. Herpes zoster generalisata : mula mula menderita herpes zoster kemudian disertai varisela dengan erupsi kulit yang tersebar. Terjadi pada orang dengan keadaan umum yang jelek, misalnya usia tua, keganasan, pemakaian obat imunosupresif. 2. Herpes zoster opthalmicus : menyerang ramus opthalm.N.V, Herpes zoster pada dahi dan palpebra sup. Ptopsis pada mata yang bersangkutan. Keratokonjunktivitis, dan cepalgi yang hebat. 3. Sindrom Ramsay Hunt : mengenai ganglion genikulatum. Gejala berupa : Lesi kulit pada telinga, paralisis N.VII dan nyeri telinga. 4. H. Zoster Glossopharingeal : pada palatum mole dan farings.
KOMPLIKASI - Pneumonia, Meningoensefalitis (pada bayi / anak). - Post herpetic neuralgia : rasa sakit yang persisten sampai beberapa bulan setelah lesi kulit menyembuh (sampai 6 bulan). Sering terdapat pada orang tua. - Herpes zoster gangrenosum ( jarang).
PENGOBATAN Simtomatik : - Antibiotika, bila ada infeksi sekunder - Analgetika, untuk mengurangi rasa sakit / nyeri - Topikal shake lotion, kompres - Ada yang menganjurkan pemberian vitamin B1 Kausal : - Belum diketahui antivirus yang spesifik dan efektif - Dapat diberikan asiklovir, interferron, isoprinosin
V E R U K A
Veruka ialah hiperplasia epidermis yang disebabkan Human Papilloma Virus (HPV tipe 1,2,3,4,6,7,8,9,10,,11,16,18,27,29,31,41) yang termasuk golongan virus Papova. Penularannya secara langsung atau autoinokulasi. Familial berperan serta dalam patogenesisnya. Faktor predisposis berupa trauma kulit yang berulang- ulang, kulit yang lembab.
BENTUK KLINIS
1. Veruka vulgaris : atau common warts; sering dijumpai pada anak anak. Lokalisasi pada anak- anak : pada tempat trauma, dorsum manus dan jari- jari tangan. Berupa papula atau plak permukaan kasar warna kabuan bisa single dan multiple Pada penderita dewasa, lokalisasi di segala tempat kulit tubuh, bibir, lubang hidung, lidah, dan lain- lain yang menyebar secara autoinokulasi. Pada beberapa keadaan dapat timbul veruka yang besar (mother warts), yang kemudian diikuti erupsi yang banyak.
2. Varuka plana juvenilis : papula dengan warna abu- abu atau warna kulit datar penampang 1-3 mm permukaan halus, multiple. Lokalisasi pada dahi, pipi, hidung, dan sekitar mulut dan dorsum tangan. Terdapat pada anak- anak dan dewasa muda. Dapat ditemukan fenomena Koebner.
3. Veruka plantaris : terdapat di telapak kaki terutama daerah yang mengalami tekanan. Nyeri waktu berjalan, lesi berupa plak yang keras dan lunak dibagian tengah berwarna kekuningan, permukaannya licin atau terdapat bitik-bintik perdarahan.
PENGOBATAN 1. Bahan kaustik: asam trikloro asetat 50% 2. Bedah listrik 3. Bedah skalpel 4. Brdah beku: CO2, N2
MOLUSKUM KONTAGIOSUM
Moluskum kontagiosum adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh vIrus Pox yang menyerang kulit dan mukosa. Penyakit ini merupakan penyakit kontagiosum yang mengenai semua golongan umur. Panularan dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Pada orang dewasa, penularan terjadi umunya secara kontak seksual, sedangkan pada anak- anak lebih sering secara autoinokulasi.
PATOGENESIS
Virus moluskum kontagiosum masuk kedalam kulit di duga melalui lesi mikro, kemudian mengadakan perubahan perubahan karekteristik di epidermis. Masa inkubasi terjadi perubahan-perubahan pada virus sendiri maupun sel-sel epidermis yang terinfeksi. Proses replikasi virus di sel sel epidermis akan menghasilkan badan- badan inklusi sitoplasma yang dikenal sebagai badan molluskum atau Henderson-peterson bodies.
GEJALA KLINIS
Kelainan kulit dimulai dengan terbentuknya papul-papul milier dengan ukuran rata rata bervariasi antara 2-5 mm , kadang kadang dapat sampai lentikuler. Bentuk khas dari papul menyerupai kubah dengan bagian tengah berumbilikasi dengan konsistensi padat yang kemudian agak melunak, dan tanpa inflamasi. Bila papel dipijit akan keluar masa lunak berwarna putih susu. Masa ini berisi partikel partikel virus yang disebut badan moluskum. Lesi dapat tunggal atau multipel, umumnya diskret, tapi dapat juga berkunfluensi. Penyakit ini umumnya asimtomatik, tapi kadang kadang terasa gatal atau nyeri. Lokasi pada anak umumnya di muka, badan, lengan, dan tungkai, sedngkan orang dewasa lebih banyak pada regio-anogenital.
DIAGNOSIS BANDING - SIringoma, terdapat lesi mengkilat, licin, di muka dapat di bedakan dengan adanya umbilikasi di bagian tengah papula. - Milia, lesi milier di muka dengan warna lebih putih.
PENGOBATAN Prinsip pengobatan mengeluarkan masa yang mengandung badan moluskum. Dengan cara sebagai berikut : - Ekskohleasi menggunakan kuret atau forsep - Bedah listrik - Bahan kaustik dengan asam trikloroasetat 30-50% PENGENALAN DAN PENATALAKSANAAN PENYAKIT KULIT AKIBAT JAMUR
oleh
Taufiq Hidayat SMF Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
PENDAHULUAN
Indonesia yang beriklim tropis dan merupakan negara berkembang memenuhi sarat untuk menjadi tempat berkembangnya penyakit jamur dengan baik, khususnya dermatomikosis. Frekwensi penyakit ini ( lesi superfisial ) di Indonesia cukup tinggi, di RSUD dr. Saiful Anwar Malang, termasuk 5 penyakit kulit terbanyak. Diagnosa penyakit kulit akibat jamur, ditegakkan dengan gambaran klinis yang khas ( kadang-kadang tidak khas) dan pemeriksaan laboratorium sediaan langsung, bila perlu biakan dan biopsi. Gambaran klinis tergantung dari penyebab, letak lesi dan pengobatan yang sudah diberikan. Klasifikasi penyakit ini dapat dibagi : lesi superfisial ( dermatofitosis dan non dermatofitosis ) yang paling banyak dijumpai serta lesi sub kutis yang jarang dijumpai. Pengobatan dapat secara topikal dan sistemik dengan obat-obat antimikotik yang banyak beredar dipasar.
Faktor predisposisi : - Fisiologis - Patologis
Faktor Predisposisi Fisiologis ialah keadaan tubuh yang menyuburkan pertumbuhan jamur, namun tidak dapat diatasi karena merupakan keadaan yang fisiologis. Yang termasuk keadaan ini a.l. umur, kehamilan.
Faktor Predisposisi Patologis ialah berbagai hal atau keadaan yang mengubah tubuh seseorang penderita sedemikian rupa, sehingga menyuburkan pertumbuhan jamur dan memudahkan masuknya jamur tersebut kedalam jaringan. Faktor-faktor tersebut a.l : 1. Keadaan umum yang jelek - prematuritas - gangguan gizi - penyakit menahun
2. Penyakit tertentu yang diderita - diabetes melitus - leukemia - keganasan
4. Iritasi setempat pada tubuh - kegemukan - urine - air , dll.
DERMATOFITOSIS (RING WORM INFECTION)
Dermatofitisis adalah golongan penyakit jamur superfisialis yang yang disebabkan oleh jamur dermatofita yakni Trichophyton spp (T), Microsporum spp(M), Epidermophyton spp (E). Penyakit ini menyerang jaringan yang mengandung zat tanduk, yakni pada epidermis, rambut dan kuku.
Klasifikasi klinis. 1. Tinea kapitis. Tinea kapitis adalah kelainan kulit pada daerah kepala berambut yang disebabkan oleh jamur golongan dermatofita, dan sering terjadi pada anak anak. Kadang- kadang penyakit ini ditularkan dari hewan peliharaan, misalnya kucing, anjing dan sebagainya.
Gambaran klinis Bentuk bentuk khas tinea kapitis adalah a. Bentuk yang tidak meradang Infeksi Microsporum spp, biasanya menimbulkan bercak pada kepala berwarna Kelabu (grey-patch), biasanya beberapa buah, berukuran 2-4 cm. Rambut pada lesi tampak putus beberapa milimeter di atas kulit, dengan tertutup oleh sisik halus berwarna putih kelabu. Dengan lampu Wood akan tampak ujung ujung rambut yang putus tersebut berfluoresensi hijau. Pemeriksaan rambut yang dicabut dengan sediaan KOH 10-20 % , akan terlihat tumpukan spora di luar batang rambut(ektotriks).
Infeksi Trichophyton spp, biasanya menimbulkan bercak kecil-kecil di kepala dengan rambut yang putus-putus tepat dipermukaan kulit. Sehingga terlihat bintik-bintik hitam pada bercak tersebur yang disebut black dots. Tidak timbul fluoresensi pada penyinaran lampu Wood dan sediaan KOH menunjukkan tumpukan spora di dalam dan di luar batang rambut (infeksi endotriks dan ektotriks).
b. Bentuk yang meradang Biasanya disebabkan oleh jamur zoofilik dan geofilik. Terlihat bercak kemerahan pada kepala, kadang kadang eksudatif dan tertutup krusta. Rambut pada lesi biasanya rontok karena rusaknya folikel rambut, sehingga dapat terjadi alopesia areata yang permanen. Bila reaksi radang sangat hebat, bisa timbul abses dibawah lesi tersebut sehingga kulit tampak menonjol, basah, dan lunak pada perabaan. Keadaan ini disebut kerion, yang biasanya sangat gatal dan nyeri. Bila ditekan tampak pus keluar lewat beberapa fistula.
c. Bentuk favosa Bentuk ini sering disebabkan oleh T.Schoenleini. Timbul bercak yang tertutup oleh krusta yang tebal dan berbentuk seperti cawan (scutula), serta berbau seperti tikus (moussy odor).
Diagnosis dan diagnosis banding Diagnosis dapat ditegakkan dengan melihat gejala klinis, pemeriksaan dengan lampu Wood dan melakukan kerokan kulit dengan KOH 10-20%.
Diagnosis banding adalah alopesia areata, dermatitis seboroika pada scalp,psoriasis pada scalp, impetigo dan lupus eritematosus diskoid.
Pengobatan Pengobatan sistemik dengan griseofulvin, ketokonazol, itrakonazol atau terbinafin.
Pencegahan Sumber penularan yaitu binatang, misalnya anjing, kucing harus diobati atau disingkirkan untuk mencegah infeksi ulang. Penyakit yang disebabkan golongan jamur antropofilik (M.audoini) bersumber penularan manusia, menular langsung ke manusia lain, sehingga sering menimbulkan epidemi.Pakaian, sarung tangan, topi, handuk, seprei atau alat alat lain yang dipakai penderita harus dicuci dengan air panas untuk menghindari infeksi ulang atau penularan pada orang lain.
Prognosis Progonosis penyakit ini umumnya baik.
2. Tinea barbe. Tinea barbe adalah penyakit disebabkan infeksi jamur dermatofita di daerah janggut, cambang, dan kumis, sering pada orang orang dewasa yang banyak kontak denganhewan atau tanah.
Keluhan penderita adalah gatal pada beberapa tempat di janggut, kumis atau cambang disertai putusnya rambut di tempat tersebut.
Gambaran klinis a. Bentuk superfisial : lesi eritro papulo skuamosa, mula mula kecil,melebar ke perifer dengan tepi polisiklis. Bentuk ini sama dengan tinea korporis biasa. b. Bentuk kerion : prosesnya sama dengan pembentukan kerion pada tinea kapitis.
Diagnosis banding a. Sikosis barbe (disebabkan oleh Staphylococcus). b. Mikosis profunda. c. Karbunkel.
Pencegahan Karena Trichophyton dan Microsporum spp.bersifat zoofilik, pencegahan dengan mengobati atau menghindari hewan yang diduga merupakan sumber penularan.
Pengobatan Pengobatan sistemik dengan griseofulvin,ketokonazol atau terbinafin . Pada bentuk yang disertai infeksi sekunder perlu ditambahkan antibodi antibakterial. Obat lokal dapat diberikan untuk mempercepat penyembuhan antara lain : salepWhitfield, salep yang mengandung salisilat dan sulfur, tolsiklat, derivat azol, haloprogin, siklopiroksolamin , naftifin dan terbinafin.
3. Tinea Korporis Tinea Korporis adalah penyakit karena infeksi jamur dermatofita pada kulit halus (glabrous skin) di daerah muka, leher, badan, lengan dan gluteal. Penyebab tersering kelainan ini adalah T.rubrum dan T.mentagrophytes. Penderita mengeluh rasa gatal yang kadang kadang meningkat waktu berkeringat.
Gambaran klinis Bentuk klasik biasanya berupa lesi terdiri atas bermacam macam efloresensi kulit, berbatas tegas, dengan konfigurasi anular, arsinar atau polisiklis, serta bagian tepi lebih aktif (tanda peradangan lebih jelas). Di daerah sentral biasanya menipis dan terjadi penyembuhan , sementara yang di tepi makin meluas ke perifer. Kadang kadang bagian tengahnya tidak menyembuh tetapi tetap meninggi dan tertutup skuama sehingga menjadi bercak yang besar.
Diagnosis dan diagnosis banding Dari gambaran klinis dan lokalisasinya, tidak sulit untuk mendiagnosis. Kerokan kulit dengan laurtan KOH 10-20 % untuk melihat elemen jamur merupakan pembantu diagnosis. Sebagai diagnosis banding adalah : pitiriasis rosea, psoriasis vulgaris, lues stadium II makulo-papular, morbus hansen tipe tuberkuloid, dermatitis kontak.
Pengobatan Sistemik: griseofulvin, dosis 500 mg sehari untuk 3-4 minggu. Dapat juga dengan ketokonazol 200mg/hari, itrakonazol 100mg/hari dan terbinafin 250mg/hari.
Topikal : kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam bentuk salap; tolnaftat, tolsiklat, haloprogin, asiklopiroksolamin, derivat azol ,naftifin , terbinafin.
Prognosis Progosis pada umumnya baik
4. Tinea kruris (eczema marginatum, jokcey-itch). Tinea kruris adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita di daerah genitokrural . Faktor yang berpengaruh disini adalah keadaan lembab oleh karena keringat dan obesitas Keluhan penderita adalah rasa gatal di daerah lipat paha, sekitar anogenital. Dan dapat meluas ke bokong dan perut bagian bawah.
Gambaran klinis Biasanya lesi simetris pada lipat paha kiri dan kanan . Mula mula sebagai bercak eritematosa , gatal lama kelamaan meluas, dapat meliputi skrotum, pubis, gluteal, bahkan sampai paha, bokong dan perut bawah. Tepi lesi aktif, polisiklis, ditutupi skuama dan kadang kadang denganbanyak vesikel kecil- kecil.
Diagnosis dan diagnosis banding Bentuk klinis yang sangat khas, dan ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit memakai larutan KOH 20% memastikan diagnosis. Dari kerokan kulit yang dilakukan pada bagian tepi lesi mudah diterimukan elemen jamur ( hypha ).
Diagnosis banding adalah : dermatitis seboroika pada lipatpaha, kandidosis kutis, eritrasma, dermatitis kontak, psoriasis.
Pengobatan Pengobatan sitemik dengan griseofulvin sangat menolong. Dosis 500 mg sehari diberikan selama 3 minggu. Obat lain ketokonazol 200mg/hari, itrakonazol 100mg/hari atau terbinafin 250mg/hari. Pengobatan topikal serupa dengan pengobatan topikal untuk tinea korporis.
Pencegahan Beberapa faktor yang memudahkan timbulnya residif pada tinea kruris harus dihindari atau dihilangkan, jakni antara lain: a. Temperatur lingkungan yang tinggi, keringat berlebihan, pakaian dari karet atau nilon. b. Pekerjaan yang banyak berhubungan dengan air, misalnya berenang. c. Kegemukan, kelembaban, gesekan kronis dan keringat berlebihan disertai higiene yang kurang, memudahkan timbulnya enfeksi jamur.
Prognosis Bergantung penyebabnya ; umumnya baik.
5. Tinea manus dan pedis. Merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita di daerah kulit telapak tangan dan kaki, punggung tangan dan kaki, jari jari tangan dan kakiserta daerah interdigital. Kelainan ini sering terjadi pada orang dewasa yang setiap hari harus memakai sepaut tertutup dan pada orang yang sering bekerja ditempat basah (mencuci, di sawah dan sebagainya). Keluhan penderita bervariasi , dari tanpa keluhan sampai sangat gatal dan nyeri karena terjadi infeksi sekunder dan peradangan.
Gambaran klinis. Dikenal 3 bentuk klinis yang sering kita jumpai, yakni
a. Bentuk intertriginosa; dengan manifestasi berupa maserasi, deskuamasi dan erosi pada celah celah jari. Tampak warna keputihan yang basah dan dapat terjadi fisura yang nyeri bila disentuh. Infeksi sekunder dapat menyertai fisura tersebut dan lesi dapat meluas sampai ke kuku dan kulit jari. Pada kaki sering dimulai dari celah jari antara jari IV-V. b. Bentuk vesikular yang akut ; ditandai dengan terbentuknya vesikel vesikel dan bula yang terletak agak dalam di bawah kulit (deep seated vesicle) dan sangat gatal. Lokasi yang sering adalah telapak kaki bagian tengah dan kemudian melebar serta vesikelnya memecah. Infeksi sekunder memperburuk keadaan ini. c. Bentuk moccasin foot ; pada seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki, terlihat kulit memebal dan berskuama. Eritem biasanya ringan,terutama terlihat pada bagian tepi lesi.
Diagnosis dan Diagnosis banding Pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH 10-20% yang menunjukkan elemen jamur, dapat membantu menegakkan diagnosis. Sebagai diagnosis banding adalah hiperhidrosis, akrodermatitis kontinua, kandidosis (erosia interdigitalis blastomisetika), Lues stad. II.
Pengobatan Sistemik griseofulvin 500 mg sehari selama 4 6 minggu, atau ketokonazol 200mg/hari, itrakonazol 100mg/hari, terbinafin 250mg/hari. Pengobatan topikal sama dengan pengobatan tinea korporis dan kruris.
Prognosis Umumnya baik bergantung penyebab dan faktor-faktor pencetusnya.
6. Tinea unguium Tine unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofit. Keluhan penderita berupa kuku menjadi rusak, warnanya menjadi suram. Bergantung jamur penyebabnya, distruksi kuku dapat mulai dari distal, lateral, proksimal ataupun keseluruhan.
Gejala klinis Pada umumnya tinea unguium berlangsung kronis dan sukar penyembuhannya. a. Bentuk subungual distalis: bentuk ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Proses ini menjalar ke proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh.. b. Leukonikia trikofita atau leukonikia mikofita : berupa bercak keputrihan di permukaan kuku yang dapat dikerok untuk membuktikan adanya elemen jamur. c. Bentuk subungual proksimal : Bentuk ini dibagian distal masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak. Kuku kaki lebih sering diserang dari pada kuku tangan.
Diagnosis dan diagnosis banding Kerokankuku yang diperiksa dengan larutan KOH 10-20% atau dibiak, akan membantu menegakkan diagnosis. Diagnosis banding adalah proriasis kuku, akrodermatitis perstans atau kandidosis kuku.
Pengobatan Sistemik : grieofulvin diberikan selama beberapa bulan sampai dengan setahun, bergantung kuku yang diserang. Pada kuku jari tangan penyembuhan tercapai setelah 4-6 bulan pengobatan, tetapi pada kuku kaki pengobatan selama 12-18 bulan memberi hasil penyembuhan yang tidak memuaskan. Pancabutan kuku akan memperpendek masa pengobatan. Obat lain : Terbinafin 250mg/hari , jari tangan 6 minggu, jari kaki 12 minggu Itrakonazol 200mg/hari , kuku jari tangan 3 bulan, kuku jari kaki 5 bulan 2 kali 200mg/hari selama 7 hari dalam sebulan, selama 3 bulan.
Topikal : Amorolfin atau Ciclopirox
Prognosis Kurang baik
7. Tinea imbrikata Kelainan kulit yang disebabkan oleh infeksi jamur. T.concentricum dimana terjadi gambaran klinis yang khas. Penyakit ini banyak didapatkan di Indonesia bagian timur , sering disebut pula: penyakit cascado, tokelau, ringworm dan sebagainya. Keluhan berupa rasa gatal pada daerah yang terkena, kulit jadi bersisik dengan sisik yang melingkar lingkar.
Gambaran klinis Penyakit ini dapat menyerang seluruh permukaan kulit halus (glabrous skin) sehingga sering digolongkan dalam tinea korporis. Lesi bermula sebagai papul eritematosa yang gatal, kemudian timbul skuama yang agak tebal terletak konsentris dengan susunan seperti genting (imbrex = genting). Lesi ini makin lama makin melebar tanpa meninggalkan penyembuhan dibagian tengah.
Diagnosis dan diagnosis banding Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas berupa lesi berskuama konsentris Diagnosis banding eritroderma, iktiosis dan pemfigus foliaseus.
Pengobatan Sistemik dengan griseofulvin sangat menolong, diberikan dengan dosis 500 mg sehari selama 4 minggu sampai beberapa bulan. Sering terjadi kambuh setelah pengobatan, sehingga memerlukan pengobatan ulang yang lebih lama. Obat sistemik lain adalah ketokonazol, itrakonazol dan terbinafin. Pengobatan lokal tidaak begitu efektif karena daerah yang terserang luas. Dapat diberikan preparat yang mengandung keratolitik kuat dan anti mikotik misalnya salep Whitfield atau campuran asam salisilat 5 % dan sulfur presipitatum 5% serta obat obat anti mikotik berspektrum luas.
Pecegahan Menghindari temperatur dan kelembaban yang tinggi merupakan faktor yang penting selain peningkatan higiene dan gizi penderita.
Prognosis Sering residif
Catatan. Pada dermatofitosis yang disertai gejala peradangan, terutama peradangan berat seperti kerion, selain obat antimikotik, pemberian kortikosteroid jangka waktu pendek dapat dipertimbangkan. Gejala peradangan dapat diatasi dan keluhan penderita dapat ditolong. Perlu ditekankan bahwa kortikosteroid hanya dibenarkan untuk mengatasi keluhan karena peradangan, sehingga hanya di perlukan dalam waktu singkat. Obat antimikotik masih diperlukan beberapa waktu kemudian untuk memberantas infeksinya.
PITIRIASIS VERSIKOLOR
Pitiriasis versikolor atau panu, kadang kadang disebut kromofitosis, tinea flava, liver spots dan terakhir disebut pitirosporosis.
Penyakit ini adalah dermatomikosis supefisialis yang disebabkan oleh Malassezia furfur atau Pityrosporum orbiculare , yang bersifat ringan, menahun, biasanya tanpa keluhan gatal.
Gambaran klinis
Lesi kulit penyakit ini superfisial dan tersering ditemukan pada daerah badan berlemak , berupa bercak bercak teratur maupun tidfak teratur, berbatas tegas malaupun kadang kadang dapat difus, berwarna putih, hitam coklay merah dan kuning coklat. Diatas lesi terdapat skuama yang halus. Skuama tersebut dapat merupakan satu lapis atau bila telah terusik menjadi pitiriasiform. Skuama tipis diatas bercak hipo atau hiperkrom mudah menjadi pitiriasiformis bila kulit ditarik dan dilepas kembali atau bila digores dengan benda tumpul, misalnya sendok diagnostik; akan terlihat goresan berwasrna putih dengan dibagian pinggirnya terlihat skuama halus(coup d ongle dari Besnier).
Pemeriksaan pembantu diagnosis
Bila gambaran klinis tidak begitu jelas diagnosis dapat dibantu dengan pemeriksaan sediaan langsung larutan KOH 10-20 %. Akan terlihat elemen- eleman jamur dengan konfigurasi hifa pendek dan spora berkelompok (meat ball and spaghetti configuration).
Lesi lesi kulit pitiriasis versikolor berfluorensensi warna kuning keemasan bila dilihat dalam kamar gelap dibawah lampu Wood (sumber sinar ultraviolet 365 nm). Adanya fluorensensi ini dapat memberi petunjuk tempat kelainan sehingga pengambilan spesimen untuk pemeriksaan sediaan langsung dapat terarah. Selain itu pengobatan juga dapat dilakukan dengan tepat pada sasaranya (lokalisasi). Yang terakhir, ada tidaknya fluoresensi dapat membantu menilai kelainan kulit yang dihadapi masih aktif atau hanya sisa- sisa peradangan saja ( hipopigmentasi pasca peradangan).
Pengobatan Penyakit ini adalah infeksi endogen, yang berarti Pityrosporum orbiculare adalah jamur komensal. Oleh karena itu infeksi biasanya dapat terjadi bila ada faktor predisposisi. Faktor predisposisi ini antara lain adalah kelembaban kulit, kulit yang berlemak (jamur penyebab adalah lipohilic yeast like organism),keadaan-keadaan epidermal cell tum over rate yang lambat, misalnya penderita yang sakit kronis dan mendapat pengobatan kortikosteroid, malnutrisi dan faktor genetik. Pengobatan harus memperhatikan faktor fakror ini dan sedapat mungkin faktor-faktor tersebut diatasi. Setelah usaha mengatasi faktor predisposisi dilakukan atau sedapat dapatnya diatasi, baru dilakukan pengobatan medisinal.
Obat obat anti jamur topikal yang berkhasiat terhadap pitiriasis versikolor a.l : 1. Salap Whitfield berkekuatan penuh maupun berkekuatan setengahnya. 2. Larutan tiosulfas natrikus 20-25% 3. Sulfur presipitatus, biasanya dibuat dalam bentuk losio Kummerfeldi. 4. Haloprogin. 5. Tolnaftat dan tolsiklat. 6. Sampo selenium sulfida 2,5% 7. Propilen glikol 50-100 % 8. Obat-obat golongan imidazol, misalnya mikonazol; topikal maupun oral. 9. Siklopiroksolamin. 10. Naftifin HCI. 11. Terbinafin. ( topikal)
Kandidosis
Jamur golongan Candida yang patogen dan merupakan penyebab kandidosis adalah Candida albicans (Calbicans). Infeksi jamur ini dapat berbentuk :
2. Kandidosis kulit : - Kandidosis intertriginosa - Kandidosis kuku dan paronikia - Kandidosis granulomatosa - Reaksi id karena kandida (kandidit).
Penyakit ini banyak dihubungkan dengan faktor- faktor sbb : - Keadaan kulit yang terus menerus lembab - Pemakaian obat obat antibiotika, steroid dan sitostatik. - Perubahan fisiologis tubuh pada kehamilan - Penyakit penyakit menahun dan kelemahan umum - Gangguan endokrin dan obesitas - Malnutrisi
1. Kandidosis oral (oral thrush). Kelainan ini sering terjadi pada bayi bayi, berupa bercak putih seperti membran pada mukosa mulut atau lidah. Bila membran tersebut diangkat, tampak dasar yang kemerahan dan erosif.
2. Perleche (angular cheilitis). Berupa retakan kulit (fisura) pada sudut mulut, terasa pedih dan nyeri bila tersentuh nakanan atau air..
3. Kandidosis vagina/vulvovaginal Kelainan berupa bercak putih di atas mukosa yang eritematosa dan erosif. Mulai dari serviks sampai itroitus vagina didapatkan fluor albus yang putih kekuningan dengan adanya semacam butiran tepung, kadang kadang seprti susu yang pecah. Keluhan biasanya berupa rasa gatal serta dispareuni karena adanya peradangan dan erosi. Bila meluas ke vulva, terjadi vulvovaginitis yang sangat gatal, timbul peradangan dan erosi serta sering menjadi bertambah buruk oleh garukan dan infeksi sekunder.
4.Balanitis karena kandida. Kelainan ini biasanya terjadi pada laki laki yang tidak disunat dengan glans penis selalu tertutup oleh prepusium. Keluhan gatal disertai timbulnya membran/bercak putih pada glans penis. Yang sering seluruhnya menjadi merah dan erosif. Bila kelainan berat disertai rasa nyeri, gatal dan mudah berdarah.
5. Kandidosis intertriginosa Kelainan sering terjadi pada orang orang yang gemuk; menyerang lipat lipatan kulit yang besar seperti inguinal, aksila dan lipat bawah payudara. Khas disini adalah bercak kemerahan yang agak lebar pada lipatan kulit tersebut, dengan dikelilingi oleh lesi-lesi satelit di sekelilingnya.
6. Kandidosis kuku dan paronikia karena Candida. Infeksi jamur ini pada kuku dan sekitarnya menyebabkan rasa nyeri dan peradangan disekitar kuku. Kadang kadang kuku rusak dan menebal. Bila terjadi infeksi ikutan oleh Pseudomonas aeruginosa kuku akan berwarna kehijauan.
7. Kandidosis granulomatosa Kelainan ini merupakan bentuk yang jarang dijumpai. Manifestasi kulit berupa pembentukan granuloma yang terjadi akibat penumpukan krusta serta hipertrofi setempat. Biasanya terdapat di kepala atau ekstremitas.
8. Kandidid Kelainan ini adalah suatu reaksi alergi terhadap elemen jamur atau metabolit Candida spp. Kelainan biasanya bermanifestasi jauh dari tempat infeksi asal (focal-infection), dapat berupa eritema, vesikel, papul ataupun urtika. Biasanya terbentuk bersama sama sekaligus, disertai rasa gatal yang bervariasidari ringan sampai berat. Bila dilakukan pemeriksaan kerokan lesi tidak akan ditemukan jamur penyebab.
Pemeriksaan Pembantu Diagnosis 1. Pemeriksaan langsung kerokan kulit atau usap mukokutan dengan larutan KOH 10% atau dengan pewarnaan gram akan terlihat sel ragi, blastospora atau hifa semu. 2. Pemeriksaan biakan dengan media Sabouraud akan membantu menegakkan diagnosis.
Diagnosis dan diagnosis banding Diagnosis kandidosis kutis ditegakkan atas adanya gejala klinis berupa lesi eritematosa berbatas tegas dan meluas disertai lesi satelit di sekitarnya. Diagnosis ditunjang dengan pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH 10% atau pewarna gram.
Diagnosis banding untuk : 1. Kandidosis kulit : - Eritrasma ; lebih merah, batas tegas, kering dan tidak ada lesi satelit. Pemeriksaan dengan lampu Wood positif (merah). - Leukoplakia - Liken planus
Pengobatan Obat sistemik adalah ketokonazol, itrakonazol dan flukonazol. Obat topikal antara lain adalah : - larutan gentian violet 1 % dioleskan sehari 2 kali selama 3 hari - nistatin berupa krim, solusio dan supositora vaginal - derivat- derivat azol berupa krim, bedak dan krim/supositoria vaginal - tolsiklat - siklopiroksolamin - naftifin HCL - terbinafin Seperti pada pengobatan dermatofitosis, pada kandidosis yang disertai peradangan akut, pemberian kortikosteroid jangka waktu pendek sebagai obat tambahan dapat dipertimbangkan.
Prognosis Umumnya baik, bergantung pada berat ringannya faktor predisposisi.
KEPUSTAKAAN
1. Rippon JW. Medical mycology.3 rd ed.Philadelphia: WB.Saunders Co.1988: 169-275
2. Hay RJ, Robert SOB & Mackenzie DWR. Mycology. In. Champion RH, Burton JL, Ebling FJG, Rook/Wilkinson/Ebling. Textbook of Dermatology, 5th ed, Oxford: Blackwell scientific Publication, 1992 : 1127 - 70.
3. Martin AG, Kobayashi GS. Fungal diseases with cutaneous involvement. In: Fitzpatrick TB, Eisen Az, Wolff K et al. Dermatology in General Medicine, 4th ed, New York: Mc Graw-Hill, 1993 : 2421 - 42.
4. Arnold HL, Odom RB, James WD. Andrews Diseases of the skin. 8th ed, Philadelphia: WB. Saunders Co. 1990 : 328 - 32.
5. Kuswadji. Penyakit Kulit Akibat Jamur. Informasi Jamur Penyakit Pada Manusia Dan Hewan. 4 ( 1998 )
6. Budimulya U. Infestasi Jamur. Cet. 3. Jakarta : Yayasan Penerbit IDI, 1992.
7. Degreef H. Dermatomycoses : Therapeutic Update. Kumpulan Makalah Kongres Nasional VIII Perdoski. Yogyakarta : Perdoski Yogyakarta, 1995 :213 - 18.
8. Haroon TS, Hussain I, Mahmood A et al. An open pilot study of the effecacy of oral terbinafine in dry non-inflammatory tinea capitis. British Journal of Dermatology (1992) 126. Supplement 39 : 47 - 50.
9. Budimulya U, Kuswadji, Judonarso J et al. Terbinafine in the treatment of tinea imbricata : An open pilot study. J Dermatol Treat. 1992. (3) Suppl 1 : 29 - 33.
10. Hay RJ, Meinhof W. Itraconazole : A new era in oral antifungal therapy. Proceeding of a Round Table Meeting held at the occasion of the British Association of Dermatologist Annual Meeting. Editorial development Oxford Clinical Communication. 1988.
11. Baran R, de Berker D, Dawber R. Nails : Appearance and Therapy. London. Martin Dunitz Limited. 1993.
12. Baran R, Hay R, Haneke E, et al. Onychomycosis., the current approach to diagnosis and therapy. London. Martin Dunitz Ltd. 1999.
13. Adiguna MS. New Therapies for Onychomycosis. Medical Progress. 2000; 27: 17-22.
14. MMWR. 1998 Guidelines for Treatment of Sexually Transmitted Diseases. Atlanta. U.S Department of health and human services CDC. 1998; 47 : 76.
INFEKSI MIKOBAKTERIUM PADA KULIT Dr. Santosa Basuki, SpKK Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSSA SAIFUL ANWAR/FK UNIBRAW Malang
LEPRA Lepra adalah penyakit infeksi menular kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yaitu bacillus berbentuk batang tahan asam. Manifestasinya terutama di kulit, saraf tepi, mukosa dari saluran nafas atas dan juga pada mata. Lepra telah menyebabkan rasa takut pada umat manusia sejak ribuan tahun, seperti tampak pada sejarah tua kebudayaan China, Mesir dan India akibat dari penularan, kecacatan, penolakan dan pengisolasian dari komunitas masyarakat. M.leprae ditemukan oleh G.A. Hansen tahun 1873 , merupakan bakterium pertama yang diidentifikasikan sebagai penyebab penyakit pada manusia, namun terapi untuk lepra sendiri baru muncul pada akhir tahun 1940 dengan dikenalkannya dapsone dan derivatnya. Penularan kusta kemungkinan terjadi melalui hubungan kontak yang lama, melalui saluran nafas dan percikan dari hidung. Penularan tidak berkaitan dengan hubungan seks, makanan dan alat alat makan serta pakaian. Masa tunas sekitar 5 tahun, dan tergantung dari imunitas seluler pejamu, bila imunitasnya bagus maka tidak akan tertular. Dalam awal tahun 1998, diperkirakan masih sejumlah 830.000 kasus lepra ada di dunia, kebanyakan terkonsentrasi di Asia, Benua Afrika dan benua Amerika. Jumlah kasus baru yang ditemukan setiap tahunnya sekitar setengah juta. Tahun 1997 terdapat sedikitnya 685.000 kasus baru yang terdeteksi. India, Indonesia dan Myanmar merupakan tempat 70% semua kasus yang ada di dunia. Di Afrika, daerah terbanyak kedua, situasi tampaknya lebih sulit untuk sementara ini karena adanya epidemi AIDS, kemunculan kembali berbagai penyakit tropis, infra struktur kesehatan yang lemah, pergolakan sosial dan konflik bersenjata menjadikan eliminasi penyakit lepra menjadi suatu yang mewah. Situasi di Amerika Latin juga masih mencemaskan, Brasil adalah tempat 80% kasus yang ada di benua itu. Sementara di Eropa Tengah dan Eropa Timur, ada kasus-kasus sporadis sehingga mustahil saat ini untuk dapat mengetahui jumlah kasus yang tak terdeteksi.
Sidang WHO ke 44 di bulan Mei 1991 telah mengeluarkan resolusi tentang eliminasi lepra sebagai program kesehatan masyarakat menjelang tahun 2000. Definisi eliminasi dibatasi pada level prevalensi dibawah 1 kasus per 10.000 populasi. Prinsip pemberantasan penyakit lepra ini dengan cara imunisasi, penemuan kasus dan pengobatan serta perbaikan social ekonomi.
Diagnosis Diagnosis penyakit lepra sebaiknya ditegakkan secara dini, sebelum terjadi kecacatan. Diagnosis dini lepra ditegakkan berdasarkan atas gejala klinis dibantu dengan pemeriksaan bakteriologis, histopatologis, dan serologis. Secara klinis WHO membuat kriteria diagnosis dini lepra dari adanya tanda kardinal lepra, yaitu : 1. Lesi yang khas berupa makula, papula, plak, nodule atau infiltrasi hipopigmentasi pada orang berkulit warna gelap. Pada orang dengan warna kulit terang biasanya lesi berwarna eritematosa. 2. Gangguan sensibilitas pada lesi kulit atau daerah inervasi saraf. 3. Pembesaran saraf pada daerah predileksi. 4. Adanya basil tahan asam pada sediaan hapus kulit. Diagnosis lepra dibuat berdasarkan paling sedikit dua dari tiga tanda kardinal atau ada tanda kardinal keempat. Komplikasi yang terjadi pada lepra menimbulkan cacat antara lain kontraktur, mutilasi, madarosis, kebutaan, ulkus. Klasifikasi lepra Ada 2 klasifikasi lepra yang dipakai, klasifikasi Ridley-Jopling dan klasifikasi WHO. Ridley dan Jopling (1966) mengklasifikasikan lepra berdasarkan ekspresi imunitas seluler menjadi 5 tipe yaitu 1. lepromatosa polar (LL), 2. borderline lepromatosa (BL), 3. midbordeline (BB), 4. bordeline tuberkuloid (BT) 5. tuberkuloid polar (TT). Spektrum tipe-tipe ini kontinyu, dan banyak digunakan untuk kepentingan penelitian.
WHO (1988) mengklasifikasikan lepra menjadi 3 yaitu : 1. Lepra lesi tunggal: hanya ditemukan 1 lesi 2. Lepra pausibasiler (PB) : Didapatkan 2-5 lesi, dengan sediaan apus BTA negatif, yang berdasarkan klasifikasi Ridley-Jopling adalah tipe I, TT, BT. 3. Lepra multibasiler (MB) : Didapatkan lebih dari 5 lesi dengan lesi yang simetris serta sediaan apus BTA positif, yang berdasarkan klasifikasi Ridley-Jopling adalah tipe BB, BL, LL.
Gambaran klinis dan histopatologis berdasarkan Ridley-Jopling a. Lepra lepromatosa (LL) ditandai dengan lesi multiformis berupa makula, papula, nodul infiltrat, permukaan licin tersebar bilateral simetris dengan batas tidak tegas. Pada fase awal tidak terjadi pembesaran saraf dan gangguan sensibilitas, sedangkan pada fase lanjut dijumpai pembesaran saraf disertai denga gloves and stocking anaesthesia. Indeks bakteri + 5 atau + 6, dengan uji lepromin selalu negatif. Gejala yang lain adalah pelebaran hidung, penebalan lobulus telinga, dan edema kaki. Infiltrasi lepromatosa pada wajah menyebabkan terjadinya gambaran klinis facies leonine. Gambaran histopatologis epidermis menipis dengan zona jernih epidermil sempit, tampak infiltrat dermal yang terdiri atas sel makrofag berbuih dengan vakuolisasi sitoplasma yang disebut sebagai sel lepra (Virchow cell) yang penuh dengan M leprae, banyak dijumpai basil tahan asam. b. Borderline lepromatous (BL), lesi kulit berawal dengan makula, menyebar secara simetris dengan ukuran bervariasi, multiformis. Dijumpai lesi punch out yaitu lesi dengan bagian tepi aktif, dan bagian tengah central clearing. Permukaan lesi halus mengkilat dengan batas tidak tegas. Terdapat anestesi pada kaki dan tangan yang tidak simetri. Indeks bakteri + 4 dan + 5 serta uji lepromin negatif. Gambaran histopatologis lepra tipe BL berupa granuloma histiosit dengan sitoplasma berbuih (foam cells), beberapa diantaranya berbentu epiteloid. Terdapat zona jernih subepidermal dengan apendises yang terinfiltrasi sel histiosit dengan sejumlah besar sel limfosit. Basil tahan asam banyak didapatkan, meski tidak dijumpai pada bagian kulit yang normal. c. Mid-borderline, lesi kulit pada tipe ini cenderung simetris, lesi dapat berupa makula, papula, atau plak atau kombinasi ketiganya. Warna lesi kecoklatan atau eritematosa dengan batas tegas, bentuk bulat dan oval. Terdapat lesi punch out. Dijumpai lesi hipoestesi. Basil tahan asam positif dengan indeks bakteri + 2 atau + 3 serta uji lepromin negatif atau positif lemah. Gambaran histopatologinya terdapat zona jernih subepidermis, dijumpai granuloma dengan sel epiteloid tersebar merata, jarang didapatkan limfosit serta tidak dijumpai sel raksasa Langhans. Basil tahan asam dijumpai dalam jumlah sedang. d. Borderline tuberculoid (BT) Lesi berupa makula, plak eritematosa atau hipopigmentasi, dapat berbatas tegas a tau tidak tegas dengan jumlah lesi antara 2 - 8. Dapat dijumpai lesi satelit di tepi lesi. Permukaan lesi kadang kering berskuama. Didapatkan juga penebalan saraf dan menimbulkan gangguan sensoris (anestesi) atau motoris. Basil tahan asam biasanya negatif, namun bisa juga + 1, uji lepromin positif lemah. Gambaran histopatologisnya didapatkan zona jernih subepidermal (Grenz zone). Dijumpai granuloma sel epiteloid dan sel raksasa Langhans. Saraf agak membengkak oleh infiltrasi sel limfosit dengan proliferasi sel Schwann. Basil tahan asam jarang dijumpai, kadang dapat dijumpai di saraf. e. Tuberculoid (TT), lesi kulit berupa makula atau plak eritem atau hipopigmentasi dengan batas tegas, jumlah 1 5, lesi dengan ukuran bervariasi. permukaan lesi kering, berskuama dan rambut pada lesi berkurang atau tidak ada sama sekali. Kelainan saraf berupa hipoestesi, anestesi disertai penebalan saraf. Basil tahan asam negatif, dengan uji lepromin positif kuat. Gambaran histopatologi menunjukkan granuloma tuberkuloid dengan fokus pada daerah sekitar neurovaskuler, yang mengandung sel epiteloid pada bagian tengah dan dikelilingi oleh sel limfosit padat, kadang dijumpai sel raksasa Langhans diantara sel epiteloid. Daerah subepidermal diinfilrasi oleh granuloma tuberkuloid. Basil tahan asam tidak dijumpai. f. Indeterminate (I), merupakan bentuk transisi dari lepra dengan lesi berupa makula hipopigmentasi 1 - 2 buah dengan ukuran bervariasi, batas tidak tegas. Kadang dijumpai gangguan sensibilitas. Tidak dijumpai pembesaran saraf serta uji lepromin negatif atau positif. Gambaran histopatologi didapatkan infiltrasi ringan yang tidak khas dari limfosit dan histiosit di sekitar saraf , subepidermal, atau muskulus arrector pilorum.
B. Imunologi lepra Mekanisme pertahanan tubuh dapat diklasifikasikan menjadi 2 kategori yaitu mekanisme pertahanan spesifik dan mekanisme pertahanan non spesifik. Mekanisme pertahanan spesifik tergantung pada adanya pemaparan benda asing pengenalan selanjutnya dan kemudian reaksi terhadap benda asing tersebut, mekanisme ini disebut sebagai respon imun. Respons imunitas dilaksanakan oleh dua sistem, yaitu sistem imunitas humoral dan sistem imunitas seluler. Sistem imunitas humoral dilakukan oleh limfosit B yang berjumlah 30 % dari semua limfosit dan berperan dalam membentuk imunoglobulin yang bersifat antibodi. Sedangkan sistem imunitas seluler dilakukan oleh limfosit T yang merupakan 70 % dari jumlah limfosit. Limfosit T bila terpapar antigen melalui sitem penyaji antigen akan berdiferensiasi menjadi limfosit tersensitisasi dan menghasilkan limfokin yang berfungsi untuk merangsang sel lain untuk menghancurkan antigen. Kedua sistem ini berinteraksi dalam proses penghancuran benda asing. Penyakit lepra adalah penyakit infeksi. Manifestasi klinis penyakit lepra bervariasi, meskipun penyebabnya sama yaitu M. leprae. Keadaan ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan kemampuan respons imunitas masing-masing penderita terhadap infeksi tersebut, terutama respons imunitas seluler. Pada penderita lepra lepromatosa didapatkan basil tahan asam yang banyak oleh karena kegagalan dalam respons imunitas selulernya, sedangkan penderita lepra tuberkuloid mengandung sedikit basil tahan asam oleh karena respons imunitas selulernya baik, sehingga Harboe (1985) menganggap lepra sebagai penyakit imunologik. Respon imunitas seluler ini akan memberikan bentuk klinis yang berbeda pada setiap penderita . Sebagaian besar manusia yang kontak dengan M. leprae mampu mengembangkan respons imunitas seluler yang cukup efektif untuk segera menghentikan infeksi M. leprae sebelum berkembang menjadi bentuk klinis yang nyata. Hanya sebagian kecil yang akhirnya terjadi manifestasi klinis nyata menjadi lepra tuberkuloid apabila masih mampu memberikan respons imunitas seluler maupun lepra lepromatosa apabila respon imunitas seluler gagal sama sekali. Respons imunitas seluler pada penderita lepra sangatlah kompleks serta prosesnya banyak yang belum diketahui. Respons imunitas ini melibatkan beberapa faktor antara lain : faktor antigen mikobakterium, makrofag, genetik, virulensi mikobakterium, sel T dan sitokin. Pada lepra tuberkuloid, penderita masih mampu mengembangkan respon imunitas seluler, sehingga basil tahan asam sulit ditemukan. Gejala klinis ditandai dengan lesi kulit berupa makula atau plak eritem atau hipopigmentasi dengan batas tegas, jumlah 1 - 4 lesi dengan ukuran bervariasi. permukaan lesi kering, berskuama dan rambut pada lesi berkurang atau tidak ada sama sekali. Kelainan saraf berupa hipoestesi, anestesi disertai penebalan saraf, dengan uji lepromin positif kuat. Pada penderita yang gagal mengembangkan respons imunitas selulernya terhadap M. leprae tapi respons imunitas humoralnya bagus maka akan timbul bentuk lepra lepromatosa (LL) yang ditandai dengan lesi multiformis berupa makula, papula, nodul infiltrat, permukaan licin tersebar bilateral simetris dengan batas tidak tegas. Pada fase awal tidak terjadi pembesaran saraf dan gangguan sensibilitas, sedangkan pada fase lanjut dijumpai pembesaran saraf disertai dengan gloves and stocking anaesthesia. Indeks bakteri + 5 atau + 6, dengan uji lepromin selalu negatif
C. Uji respon imunitas seluler Respons imunitas seluler dapat ditunjukkan dengan tes in vitro dan in vivo. Tes in vitro dengan cara uji transformasi limfosit (UTL) sedangkan in vivo digunakan tes lepromin maupun tes tuberkulin. Tes lepromin merupakan tes kulit dengan menyuntikkan suspensi basil lepra yang mati. Tes lepromin membantu dalam klasifikasi pasien, namun kurang mempunyai nilai diagnostik. Terdapat dua tipe tes lepromin: o reaksi Fernandez yang dibaca setelah 48-72 jam o reaksi Mitsuda yang dibaca setelah 3-4 minggu setelah disuntikkan. Kriteria hasil positif berdasarkan atas diameter indurasi pada daerah suntikan. Reaksi Fernandez merupakan gambaran khas untuk reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Tes ini positif pada lepra tuberkuloid, dengan reaktivitas yang kuat selama periode peningkatan aktivitas inflamasi kulit maupun pada saraf (reaksi reversal) dan negatif pada lepra lepromatosa. Oleh karena adanya reaksi silang antara M. leprae dan mikobakterium yang lain tes ini bukan diagnostik untuk lepra. Tes lepromin Mitsuda positif pada lepra tuberkuloid, kontak dan individu normal, negatif pada lepra lepromatosa. Bila pasien lepra dan tes lepromin positif maka kemungkinan klasifikasinya adalah lepra tuberkuloid. Namun oleh karena reagen tes kulit ini mengandung protein yang antigenisitasnya berreaksi silang dengan mikobakterium lain maka kekebalan dengan mikobakterium lain akan menghasilkan reaksi positif palsu terhadap M leprae. Reaksi Mitsuda berguna untuk mengukur kemampuan individu dalam membangkitkan respons imunitas seluler terhadap dosis imunisasi M. leprae. Hubungan antara reaksi Mitsuda dan kekebalan masih belum jelas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada daerah endemik lepra, reaksi Mitsuda negatif dihubungkan dengan peningkatan kemungkinan lepra lepromatosa.
Terapi Untuk Lepra : MDT (Multi Drug Therapy) Pengobatan lepra di masyarakat merupakan program pemerintah melalui Departeman Kesehatan yang mengacu pada Program Pemberantasan Kusta WHO. Pemberian obat pada pasien didasarkan atas klasifikasi lepra WHO. Pengobatan lepra harus merupakan obat kombinasi dan tidak boleh berupa obat tunggal. Obat yang digunakan dalam WHO-MDT merupakan kombinasi dari rifampicin, clofazimine dan dapsone untuk pasien MB dan rifamicin serta dapsone untuk pasien PB. Di antara semuanya, rifampicin merupakan obat anti lepra yang terpenting , sehingga disertakan dalam terapi untuk kedua jenis tipe. Terapi lepra dengan hanya menggunakan satu jenis obat antilepra akan selalu berakibat dengan perkembangan jenis kuman yang resisten obat. Sehingga terapi dengan dapsone atau obat antilepra lain sebagai monoterapi dapat dianggap praktek yang tidak etis.
Regimen MDT yang direkomendasikan oleh WHO
1. Lepra Multibasiler (MB) Untuk dewasa, regimen standar adalah : Rifampicin : 600 mg sebulan sekali Dapsone : 100 mg setiap hari Clofazimin : 50 mg setiap hari dan 300 mg sebulan kali. Durasi : selama 12 bulan 2. Lepra Paucibasiler (PB) Untuk dewasa, regimen standarnya : Rifampicin : 600 mg sebulan sekali Dapsone : 100 mg setiap hari Durasi : selama 6 bulan 3. Lepra Lesi Tunggal Untuk dewasa, regimen standarnya adalah dosis tunggal dari : Rifampicin : 600 mg Ofloxacin : 400 mg Minocycline : 100 mg
REAKSI LEPRA Penyakit kusta adalah penyakit yang menahun kelihatannya tenang tapi progresif. Sewaktu-waktu dapat menimbulkan keaktifan secara mendadak (reaksi lepra), yang ditandai dengan gejala-gejala : 1. Panas tinggi 2. Nyeri saraf 3. Kelemahan badan 4. Nyeri sendi 5. Lesi kusta yang tenang tiba-tiba menjadi sangat aktif, kadang-kadang disertai luka- luka pada lesi. 6. Dapat timbul eritema yang lokal atau generalisata pada badan. Reaksi kusta belum jelas penyebabnya, belum jelas mekanisme dan patofisiologisnya. Bermacam-macam klasifikasi dengan cara penanggulangan yang berbeda-beda. Ada 2 jenis reaksi lepra:
Reaksi ENL Reaksi ENL dapat terjadi pada tipe LL dan BL. Yang berperan pada ENL ini adalah Sistem Imunitas Humoral (SIH) sebagai reaksi antara antigen dan antibodi. Oleh karena salah satu protein M. leprae bersifat antigenik, maka dapatlah dibentuk antibodinya. Pada tipe Lepromatus kadar imunoglobulinnya lebih tinggi daripada tipe Tuberkuloid. Hal ini mungkin terjadi karena pada tipe lepromatus jumlah basil jauh lebih banyak daripada tipe Tuberkuloid. Pada pengobatan, banyak basil kusta mati dan hancur, berarti banyak pula antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodinya membentuk satu imunokompleks yang terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat tersangkut dalam berbagai organ yang kemudian ikut pula diaktifkan sistem komplemen. Pada kulit akan timbul gejala-gejala klinik seperti nodus, eritema, dan nyeri saraf dengan predileksi di lengan dan tungkai. Gejala reaksi pada mata berupa iridosiklitis, pada saraf perifer berupa neuritis, pada kelenjar berupa: limfadenitis dan peradangan beberapa alat lagi antara lain: artritis, orkitis, dan nefritis. Dapat pula terjadi gejala-gejala konstitusi dari ringan sampai berat dan walaupun timbul berbagai gejala, namun tidak terjadi perubahan tipe penyakit seperti dalam reaksi pembalikan.
Reaksi reversal Reaksi pembalikan (reversal, upgrading) dapat terjadi pada penderita borderline (BL, BB, BT) sehingga dapat pula disebut reaksi Borderline dan yang berperan utama disini adalah Sistem Imunitas Seluler (SIS). Perubahan SIS mempengaruhi perubahan tipe penyakit sehingga pada reaksi pembalikan (reversal) ini dapat terjadi pergeseran tipe dari BT menjadi BB menjadi BL atau sebaliknya dan dapat terjadi dengan lambat. Pada waktu terjadi reaksi perubahan ini terjadi dengan cepat sehingga perubahan gambaran klinik pun dipengaruhi disertai dengan kenaikan jumlah kuman kusta. Istilah reaksi penurunan (downgrading) pada perubahan tipe BT ke arah BL tidak dipakai lagi. Pada reaksi pembalikan (reversal) tidak terdapat nodus hanya lesi menjadi aktif dan meluas atau bertambah banyak. Karena aksi SIS yang terlalu berlebihan pada waktu reaksi sering terjadi kerusakan saraf tepi yang dapat mengakibatkan deformitas, jadi pengobatan antikusta perlu diteruskan agar dapat mengimbangi kerja SIS untuk tidak terjadi efek negatif pada saraf tepi.
Pengobatan Reaksi Reaksi ENL Diobati dengan obat untuk menghilangkan gejala-gejala yang muncul, seperti antipiretik, analgesik, dan kapsul lampren: 3 x 100 mg/hari selama beberapa hari. Bila penderita kurang tenang dapat diberi sedativa. Untuk antipiretik biasanya pada reaksi ENL diberikan tablet khlorokuin 3 x 100 mg/hari selama beberapa hari. Bila keadaan umum penderita jelek, sebaiknya dirawat dirumah sakit agar menjamin istirahat yang cukup. Reaksi Reversal Pengobatan antikusta tetap seperti biasa. Bila ada gejala-gejala neuritis dan lain berikanlah pengobatan yang diperlukan untuk mengatasi gejala-gejala tersebut. Bila neuritis terlalu berat, maka untuk mencegah kekakuan yang menetap dapat diberikan pengobatan steroid dosis tinggi untuk beberapa minggu kemudian diturunkan secara bertahap sampai beberapa bulan (dosis prednison sampai 30 mg/hari).
TUBERKULOSA KUTIS Tuberculosa kutis (Tbc kutis) adalah infeksi kulit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis var. humanus atau var. bovis. Tbc kutis dapat di bagi menjadi bentuk terlokalisir dan bentuk eksemantous atau hematogenous. Bentuk terlokalisir progresif adalah : - Kompleks inokulasi primer - Lupus vulgaris - Tuberkulosis verukosa kutis - Skrofuloderma - tbc kutis orifisialis Bentuk yang tersebar, generalisata atau eksematous adalah : - Tuberkulosis miliaris - tbc abses - Papulo nekrotik tuberkuloid - Liken skrofulosorum ( tbc likenoides ) Tbc kutis yang sering dijumpai di Indonesia adalah:
TUBERKULOSIS VERUKOSA KUTIS Gambaran Klinis Tbc verukosa ditandai dengan vegetasi kecil yang kadang kadang meluas menjadi plak besar. Anatomist's wart yang berasal dari infeksi akibat otopsi (prosector's wart) atau butcher tuberculous merupakan contoh tbc verukosa kutis . Heilman dan Muschenchein melaporkan sebuah kasus yang terinfeksi karena resusitasi mulut ke mulut.. Secara klinis biasanya lesi tunggal, hiperkeratosis , merah kusam yang tidak berbahaya dan tumbuh sangat perlahan , tetapi kadang-kadang dapat bersama dengan limpangitis tbc atau adenitis, atau dengan perkembangan serius lain seperti erisepelas, tbc generalisata atau gangren . Lokasi yang sering untuk tbc verukosa kutis ada pada dorsum manus dan digiti, pergelangan kaki dan pantat. Lesi berbentuk diskoid, batas tegas , plak numular atau berukuran telapak tangan atau lebih besar lagi , kadang-kadang lesi tersebut membentuk suatu suatu konfigurasi . Pertumbuhan menetap , walau biasanya superfisial dan perluasannya terbatas. Lesi dapat terpisah oleh area eksudatif atau supuratif, tetapi jarang mengalami ulserasi dan biasanya sembuh spontan. Penyakit ini terutama pada tangan dan bagian ekstrimitas yang lain, biasanya pada dewasa dan merupakan reaksi dari infeksi sebelumnya, individu resistensi tinggi terhadap reinfeksi eksternal
Diagnosis Banding. Tbc verukosa kutis hanya dapat dibedakan dengan kultur dari mikobakterial atipikal (swimming pool granuloma). Juga harus dibedakan dari Blastomikosis, tinea profunda (Majocchi's granuloma, tricophytic granuloma ), kromoblastomikosis, nevus epidermal verukous, hipertrofik liken planus, iododerma, bromoderma dan bahkan veruka vulgaris. Tipe mikobakteriosis ini jarang ditemui saat ini.
SKROFULODERMA (Tuberkulosis Kutis Koliquativa) Skrofuloderma merupakan istilah yang dipakai untuk tbc yang melibatkan kulit dengan penyebaran langsung, biasanya secara sekunder dari limpadenitis tbc di bawahnya. Penyakit ini terutama mengenai sepanjang limfonodi servikal tetapi dapat terjadi di atas tulang atau sekitar sendi pada anak- anak dan dewasa muda. Gambaran klinis Secara klinis lesi berupa granulasi kemerahan, edema, eksudatif dan berkrusta dengan lubang kecil atau ulserasi dengan berbagai ukuran serta tepi menggaung . Proses biasanya bermula dengan indurasi berwarna ungu tua pada kulit di atas kelenjar limfe yang terkena , di mana selama selama berbulan-bulan saling melekat. Kelenjar tersebut cenderung pecah dan eksudat purulen dan kaseosa, meregangkan kulit yang terkena dan membentuk fistula ke dalamnya. Sinus mengeluarkan eksudat secara kronis dan ulserasi oval atau linier , granulasai pucat iregular, krusta yang tebal, skar hipertropi , dan sikatrik berbentuk pita, kombinasi dari kondisi tersebut menyusun skrofuloderma.
Diagnosis Banding Skrofuloderma harus dibedakan dari gummma sifilistik, di mana bila mengalami ulserasi kemudian membentuk lubang yang dalam, sporotrikosis menghasilkan jamur khas bila dikultur; dan blastomikosis dengan adanya blastomikosis dermatitis . Limfogranuloma venereum disingkirkan dengan complement fiksation tes LGV inguinal dan perineal. Skrofuloderma juga harus dibedakan dari aktinomikosis dan tularemia dengan kultur . PENGOBATAN TBC KULIT Memandang penderita secara keseluruhan merupakan bagian penting dalam penanganan tepat pada lesi tbc. Hal ini meliputi pencarian adanya fokus penyakit yang mendasari; perbaikan kesehatan umum dan nutrisi; dan aspek kesehatan masyarakat dalam mencari sumber penyakit dan membatasi penyebaran infeksi. Infeksi bersamaan harus diterapi dan kondisi lain seperti diabetes seharusnya terkontrol. Bila terdapat keterlibatan TBC paru, tulang atau ginjal, maka perlu pendekatan dengan spesialis yang lain karena tergantung pada keterlibatan organ, perluasan lesi dan imunitas penderita. Dalam beberapa hal, penanganan tbc kulit adalah sama dengan tbc pada organ lain. Pilihan terapi adalah kemoterapi, tetapi tentunya perlu tambahan pengukuran untuk memberikan hasil optimal. Terapi ini menggunakan 4 macam obat ( dosis hanya untuk dewasa) : 1. Isoniazid (300 mg / hari) selama 6 bulan. 2. Rifampisin ( 450 mg/ hari untuk BB< 50 kg dan 600 mg/ hari untuk BB> 50 kg) selama 6 bulan. 3. Pirasinamid untuk 2 bulan pertama ( 1,5 g / hari untuk BB < 50 kg; 2 g / hari untuk BB 50-74 kg ; 2,5 g / hari untuk BB > 75 kg ) 4. Etambutol untuk 2 bulan pertama ( dosis 15 mg/ kg BB/ hari)
Semua obat diminum saat perut kosong sekali sehari.
Dermatosis Vesikobulosa Khronis Pemfigus Vulgaris Definisi: Kelompok penyakit bula autoimun yang ditandai dengan pembentukan bula di epidermis akibat terjadinya akantolisis sel keratinosit. Imunoglobulin dan komplemen ditemukan pada subsansi interseluler di sekitar epidermis. Etiologi: Penyebab penyakit pemfigus belum diketahui, diduga karena virus. Beberapa pendapat menyatakan penyebabnya antara lain adalah intoksikasi, kelainan metabolisme, psikogenik, kadang-kadang berhubungan dengan miastenia gravis. D-penicillamine mampu menimbulkan erupsi seperti pemfigus. Beutner dan Jordan mendemonstrasikan adanya imunoglobulin yang beredar dalam serum pasien pemfigus. Antibodi ini bereaksi dengan substansi ikatan interseluler dan khas terhadap pemfigus. Tidak terdapat perbedaan frekuensi pasien pemfigus vulgaris pada lelaki dan wanita, biasanya terjadi pada usia lanjut (50 60 tahun) dan jarang dijumpai pada anak- anak. Pada wanita dapat dijumpai pada usia dibawah 20 tahun. Patologi: Perubahan yang khas adalah proses akantolisis dengan pembentukan bula suprabasal/intraepidermal. Pada pemeriksaan imunofluoresense direk didapatkan IgG dan C3 (komplemen) pada daerah interseluler keratinosit. Gejala Klinis Predileksi pemfigus di daerah wajah, kulit kepala, leher, aksila, lipat paha, dan punggung. Sering terkena daerah mukosa mulut, konjungtiva, hidung, vagina, penis dan anus. Ditandai dengan munculnya bula diatas kulit normal dan mukosa. Biasanya didahului dengan gejala subyektif/prodormal berupa malaise, anoreksia, subfebris, kulit rasa terbakar, sulit menelan. Jarang disertai gatal. Bula kendor dan terdapat tanda Nikolsky. Tanda Nikolsky dapat ditemukan dengan cara menekan bula dengan ujung jari secara hati-hati, maka bula akan melebar kearah lateral. Bula mudah pecah serta terjadi erosi yang tertutup krusta. Bula di seluruh tubuh dapat terjadi setelah 5 bulan perjalanan penyakit (sejak lesi awal muncul). Pada kondisi ini bisa di dapatkan bau yang tidak enak. Bila sembuh menyebabkan hiperpigmentasi post inflamasi tanpa meninggalkan jaringan parut Diagnosis Banding: Luka bakar, Pemfigoid bulosa, Dermatitis Herpetiformis, Toksik epidermal nekrolisis, sindroma Steven-Johnson. Pengobatan: Bila lesi sangat luas perlu masuk rumah sakit dan merupakan keadaan emergensi kulit. Kortikosteroid dosis tinggi: 60 160 mg/hari terbagi sampai terjadi remisi lengkap yang ditandai dengan perbaikan klinis dan tidak munculnya bula baru. Dosis diturunkan secara perlahan (tappering off) dengan penurunan 10 % setiap minggu. Perawatan kulit dengan kompres boorwater atau PK 1/10000. Pemberian antibiotik untuk infeksi.
Pemfigoid Bulosa
Definisi : Kelompok penyakit bula autoimun yang ditandai dengan pembentukan bula sub epidermis dengan atap bula lapisan epidermis yang utuh. Penyakit ini terjadi oleh karena reaksi antigen-antibodi pada membrana basalis. Terbukti dengan dijumpainya auto-antibodies di zona dasar membran basalis pada pemeriksaan mikroskop immunofluorescence. Terdapat antigen pemfigoid bulosa yang berupa komponen hemidesmosom yang terletak di dibawah lapisan stratum basalis. Penyakit ini muncul pada usia antara 65 75 tahun tanpa perbedaan jenis kelamin
Patologi: Mekanisme tentatif dari pembentukan bula berhubungan dengan antibodi yang terikat pada zona membrana basalis dan mengaktifkan komplement. Infiltrat di dermis terutama adalah eosinofil, meski dijumpai sedikit neutrofil, limfosit dan sel mononuklear. Pada imunofluoresensi direk didapatkan IgG (IgG1 dan IgG4) dan komplemen C3 sepanjang zona membrana basalis. Penyakit ini tidak berhubungan dengan HLA (histocompatibility antigen).
Gambaran klinis: Lesi primer pada pemfigoid bulosa adalah bula tegang yang muncul pada kulit normal atau pada basis eritematosa, kadang berupa vesikel kecil yang lebih menonjol (vesiculor pemphigoid), disertai dengan gejala prodormal berupa malaise, anoreksia, subfebris, kulit rasa terbakar dan gatal. Bula bisa mencapai diameter 7 cm. Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai leukositosis. Meskipun pada awalnya isi bula jernih, kandungan dari bula tua atau vesikel dapat menjadi keruh atau hemoragis, hal ini terjadi bila terdapat jumlah yang cukup leukosit atau eritrosit yang tertimbun dalam kavitas bula. Tanda Nikolsky tidak terdapat pada kulit perilesi. Yang tersering menjadi daerah distribusi awal adalah permukaan tubuh flexural, jumlah lesi dan luas kulit terkena lesi tidak seperti pemfigus. Tetapi kadang-kadang ada pasien yang kemudian lesinya berkembang menyeluruh. Lesi rongga mulut jarang terjadi. Krusta dan erosi dapat berkembang setelah adanya ruptura traumatis pada masing-masing lesi, meskipun hal ini merupakan gambaran yang tidak menonjol dibandingkan pemfigus. Proses penyembuhan terjadi tanpa adanya pembentukan jaringan parut, hiperpigmentasi postinflamasi kurang signifikan dibandingkan dengan yang biasanya muncul pada pemfigus.
Diagnosis Banding: Luka bakar, Pemfigus, Dermatitis Herpetiformis, Toksik epidermal nekrolisis, sindroma Steven- Johnson, Impetigo. Pengobatan: Kortikosteroid dosis sedang prednison : 40 60 mg/hari, dosis diturunkan dengan cara tappering off bila tidak muncul bula baru. Bila lesi tidak luas bisa diberikan kortikosteroid topikal. Diberikan antibiotika untuk infeksi sekunder. Serta kulit yang erosi di kompres.
DERMATITIS HERPETIFORMIS
Sinonim : Penyakit Duhring atau Morbus Duhring
Definisi Dermatitis Herpetiformis (DH) adalah kelainan kulit dengan perjalanan penyakit kronik, sering terjadi kekambuhan, dengan rasa gatal yang dominan, serta ditandai dengan erupsi kulit papula/vesikula yang bergerombol, bilateral simetrik pada tempat- tempat predileksi. Etiologi Penyebab pasti belum diketahui. Adanya hubungan DH dengan kelainan usus yaitu berhubungan dengan sensitivitas terhadap gluten (protein gandum) Pada pemeriksaan dengan metode imunofluoresensi direk dijumpai adanya timbunan IgA granuler yang lebih jelas terletak pada ujung papila dermis, dan melekat pada perbatasan dermoepidermal penderita secara granuler. Dengan metode IF tak langsung tidak dapat ditunjukkan adanya zat inti yang beredar dalam serum yang bereaksi secara khas dengan struktur antigen pada daerah dermoepidermal. Pada kebanyakan kasus DH (77-87%) terdapat kenaikan insidensi dari antigen permukaan sel HLA (histocompatibility antigen) tertentu yaitu HLA-B8. HLA-DW3 juga meningkat, bahkan dikatakan lebih sering daripada HLA-B8. Patologi Gambaran histopatologi yang primer pada DH adalah adanya vesikula atau bula subepidermal yang disertai eksudasi netrofil pada papila dermis. Pada lesi yang agak lanjut, didapatkan infiltrasi sel-sel eosinofil dan netrofil yang banyak. Dengan mikroskop elektron, tampak perubahan pada lamina basalis, dimana didapatkan rongga-rongga (vakuoles) subepidermal didaerah papila dermis. Rongga-rongga tersebut akan membesar dan saling bergabung membentuk vesikula atau bula subepidermal. Gejala Klinik Pada awal penyakit, keluhan subyektif penderita terutama adalah rasa gatal dan rasa terbakar yang kemudian diikuti dengan timbulnya gejala-gejala klinik berupa makula eritematus dan kadang-kadang berbentuk urtika dengan diameter 0.55 1.5 cm. Predileksinya adalah kulit kepala, daerah skapula dan punggung, bokong bagian posterior, paha, siku, lutut, dan daerah ekstensor lengan. Pada tempat-tempat eritema atau urtika tersebut, akan timbul vesikel-vesikel yang mula-mula kecil kemudian membesar. Jarang didapatkan bula. Vesikel atau bula tadi berdinding tegang tak mudah pecah, bergerombol, isi cairan jernih pada mulanya akhirnya menjadi keruh, timbul erosi dan krusta. Tidak terdapat tanda Nikolsky. Pada proses penyembuhan, kurang lebih setelah 2 minggu, erupsi kulit yang lama menghilang dengan meninggalkan bercak-bercak hiperpigmentasi dan jaringan parut superfisial yang hipopigmentasi. Perjalanan penyakit DH biasanya kronik dan dapat berakhir sampai 10 tahun dengan disertai remisi dan eksaserbasi. Keadaan umum penderita biasanya baik tanpa disertai lesi mukosa Dilaporkan bahwa pada 61-75 % kasus, didapatkan atrofi selaput lendir usus yang ditandai dengan adanya gejala entritis berupa diare dan malabsorpsi pada 20% penderita. DH lebih sering menyerang laki-laki daripada wanita, dan timbul biasanya pada dekade kedua, ketiga, atau keempat, walaupun dapat pada semua usia. Pada anak-anak munculnya bula tanpa disertai rasa gatal. Diagnosis Banding Eritema multiforme, Pemigoid bulosa, Pemfigus, Herpes Zoster Pengobatan Obat-obat pilihan adalah DDS (diaminodifenisulfon = dapson) dengan dosis yang bervariasi antara 50-300 mg. Dosis dapat dimulai dengan 50 mg tiap hari, kemudian dinaikkan bertahap sampai dosis yang efektif. Kemudian, diturunkan sampai dosis optimal yang dapat menekan penyakitnya. Efek samping DDS adalah animea hemolitik, leukopeni, methemoglobinemi, dan neropati perifer. Oleh karena itu penghitungan lekosit dan hematokrit harus dilakukan rutin. Pada penderita dengan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G-6-PD), preparat DDS dapat menimbulkan hemolitik animea berat Bila penderita tak tahan dengan DDS karena menimbulkan efek samping, alergi, dapat digunakan kortikosteroid. Antihistamin diberikan untuk keluhan gatalnya. Bila terjadi erosi bisa diberikan kompres dan antibiotika bila terjadi infeksi sekunder. Sebaiknya pasien diet gluten, karena diet tersebut dapat memperbaiki kelainan pada usus halus pada kasus DH yang disertai dengan kasus enteritis. Sehingga memperbaiki keadaan klinis atau pencegahan eksaserbasi penyakit ini. KELAINAN KULIT PADA PENYAKIT SISTEMIK
Kulit manusia bisa menjadi cermin akan adanya penyakit sistemik baik yang bersifat maligna maupun benigna. Sering kali dengan adanya gejala kelainan pada kulit akan menjadi awal kelainan/penyakit internal.. Kelainan kelainan kulit tersebut antara lain adalah: Nodul. Nodul yang ada pada subcutan atau dermis biasanya sering merupakan manifestasi nyata dari carcinoma yang metastasis. Nodul biasanya lebih sering dijumpai pada bagian badan atau bahu, meskipun tidak menutup kemungkinan akan dijumpai pada bagian tubuh yang lain. Nodul ini bisa dijumpai atau timbul dalam jangka waktu yang lama tanpa disertai adanya lesi. Nodul ini seringkali merupakan metastasis dari carcinoma mamae, gastrointestinal, paru-paru, melanoma, ovarium, atupun uterus.
Lesi Vaskuler. Petechiae, echymosis, pinch purpura dan caput medusae adalah merupakan beberapa gambaran lesi vaskuler yang berhubungan dengan malignansi atau kelainan pada hepar. Flushing. Episodic flushing yang biasanya sering terjadi pada bagian wajah dimana terjadi dalam rentang waktu 10-30 menit adalah gejala yang berhubungan dengan syndroma carcinoid. Adanya tumor broncheal carcinoid bisa dimanifestasikan oleh adanya episode flushing yang berat dan berjalan dalam waktu yang lama, disertai adanya edema pada wajah dan periorbital, lacrimasi, salivasi, tachycardia dan hipotensi.
Pruritus. Adanya pruritus generalisata bisa dijumpai pada carcinoma metastasis, leukemia, myeloma, polycithemia vera, anemia defisiensi besi dan khususnya pada hodgkin disease. Pruritus bisa menjadi satu-satunya reaksi pada kulit yang terjadi selama bertahun-tahun sebelum diketahuinya penyakit yang mendasari. Sebagai contoh adalah Hodgkins disease. Sirrosis billier primer adalah suatu keadaan klinis yang tidak bisa lepas dari gejala pruritus dan hiperpigmentasi. Cholestasis joundice biasanya memberikan gejala gatal yang sangat berat. DM bisa juga menimbulkan gejala pruritus yang berat meskipun adanya kulit yang kering pada penyakit ini sebenarnya menjadi penyebab utama timbulnya pruritus. Pruritus juga dijumpai pada penyakit anemia dan thyroid disease. Syndroma carcinoid sering dihubungkan dengan gejala pruritus terutama pada telapak tangan dan telapak kaki. Eczema. Erupsi exzema unilateral pada putting susu biasanya berhubungan dengan neurodermatitis, tetapi bisa juga menjadi tanda awal dari Pagets disease pada payudara yang disebabkan oleh karena metastase carcinoma intraductal ke dalam kulit putting susu. Vesikel dan Bulla. Vesikel dan eczema adalah tanda-tanda dari Dermatitis herpetiformis, yang bisa berhubungan dengan lymphoma dari usus kecil. Adanya kelainan pada mukosa jejunum di mana hal ini sulit dibedakan dengan celiac disease akan berkaitan dengan Duhrings disease (dermatitis herpetiforme), walaupun hal ini tidak selalu dijumpai pada setiap kondisi klinis. Vesikel yang bergerombol dan berada di atas lesi yang eritematouse serta distribusi unilateral diindikasikan sebagai Herpes zooster bisa muncul sebagai tanda dari proses perjalanan penyakit autoimmune.(AIDS). Pemphigoid bullosa pada usia lanjut bisa berhubungan dengan DM atau carcinoma. Eythroderma (exfoliative dermatitis). Erythroderma yang general dan disertai adanya sisik bisa dijumpai pada malignansi (biasanya pada lymphoma). Hal ini khas disebut sebagai syndroma Sezary. Bisa juga disebabkan oleh karena reaksi obat yang berat. Erythema dan Edema. Adanya kelemahan otot disertai dengan erythema dan pembengkakan pada kelopak mata yang berwarna keunguan diindikasikan sebagai suatu dermatomyositis Erythematous Nodule. Erythema nodusum bisa disebabkan oleh Hodgkins dan carcinoma metastase. Hal ini bisa juga terlihat pada leprosy, tuberculosis, sarcoidosis, histoplasmosis, coccidiodomycosis, blastomycosis, ulerative collitis dan setelah pemakaian obat tertentu. Penyebab yang terbanyak adalah streptococcal pharyngitis. Hiperkeratosis. Sezarys erythroderma, Hodgkins disease dan lymphocytic leukemia bisa disertai dengan adnya hiperkeratosis pada telapak tangan dan telapak kaki. Hiperpigmentasi. Pada proses metastase melanoma dapat ditemui adanya warna kulit yang lebh gelap. Pituitari tumor kemungkinan juga bisa menyebabkan pigmentasi akibat meningkatnya sekresi MSH. Adanya penumpukan hiperpigmentasi bisa dilihat pada hemokromatosis dan intoxicasi arsenic. Hirsutism dan Hipertrichosis. Carcinoma adreanal atau ovarium mungkin dapat menyebabkan adanya pertumbuhan rambut yang berlebihan. Urtikaria. Tipe yang kronis mungkin terjadi pada necrotising vasculitis, penyakit kolagen vasculer, akibat pemakaian obat-obatan penisillin atau obat-obat lain yang bersifat sensitif.
ACNE VULGARIS oleh Taufiq Hidayat Lab/ SMF.IP.Kulit dan Kelamin FKUB/ RSSA
BATASAN Akne vulgsaris adalah radang kronis pada folikel sebaseus yang secara klinis ditandai dengan komedo , papul, pustul nodul dan kista , pada daerah predileksi yaitu di wajah , bahu, lengan atas ,dada dan punggung bagian tasa, yang sering dijumpai pada usia remaja . PATOFISIOLOGI Etiologi Penyebab utama akne tidak diketahui secara pasti , tetapi beberapa faktor diduga mempengaruhi patogenesisnya , sehingga akne disebut sebagai penyakit multimultifaktonal. Beberapa faktor tersebut adalah : genetik, ras, hormonal seperti menstruasi dan kehamilan diet lingkungan seperi sinar matahari, udara panas dan lembab, dan faktor psikologis seperti stres .
Patogenesis Faktor utama yang berperan dalam patogenesis akne adalah : * Meningkatnya produksi sebum * Hiperkornifikasi duktus sebaseus * Fungsi bakteri yang abnormal * Inflamasi
Meningkatnya produksi sebum Penderita akne mempunyai kelenjar sebaseus yang lebih besar, disebabkan oleh peningkatan hormon androgen dalam sirkulais atau hiperrespon kelenjar sebaseus terhadap kadar hormon normal. Hal ini menyebabkan produksi sebum yang berlebihan . Sebum adalah bahan komedogenik dan mengandung asam lemak bebas yang dianggap penting dalam menyebabkan inflamasi.
Hiperkornifikasi duktus sebaseus Pada penderita akne terdapat penurunan kadar asam linoleat yang mempunyai korelasi terbalik dengan sekresi sebumnya. Penurunan kadar asam linoleat ini menyebabkan defisiensi asam lemak esensial lokal epitelium folikuler yang menginduksi timbulnya hiperkeratosis folikuler dan penurunan fungsi barier epitelial. Keduanya merupakan karakteristik dari sindrome defisinsi asam lemak esensial.
Fungsi bakteri yang abnormal. Kolonisasi bakteri folikel sebaseus merupakan faktor pendukung penting lainya dalam mempengaruhi timbulnya akne. Propionibacterium acnes, Staphylococcus epidermidis dan pityrosporum ovale adalah organisme utama yang dapat ditemukan pada folikel dan sekitarnya. Bakteri ini menyebabkan timbulnya lipase yang bertanggung jawab terhadap hidrolisis triglserid sebum menjadi asam lemak bebas ( FFA) yang mendukung terjadinya hiperkeratosis folikuler.
Inflamasi Organisme yang menonjol pada flora fulikuler adalah Propionibacterium acnes. Beberapa organisme dapat berperan dalam menimbulkan inflamasi pada akne dengan memetabolisme lipid, sehingga memiliki aktifitas lipase. Propionibacteri adalah bakteri lipolitik yang lebih aktif dibanding dengan bakteri kulit lainya, juga membentuk enzim enzim ekstraselular lainya seperti protease dan hialuronidase, yang penting dalam proses inflamasi. Disamping itu organisme ini menyebabkan sekresi faktor kemotaksis, dan aktifitas kemotaksis ini dijumpai pada komedo. Apabila leukosit polimorfonuklear masuk folikel dan memfagosit P.Acnes, menyebabkan pelepasan enzim hidrolitik yang penting dalam menyebabkan kerusakan epitel folikuler.Aktifasi komplemen yang distimulasi oleh P.Acnes mungkin juga menyebabkan respon inflamasi.
GEJALA KLINIS. Secara karaakteristik atau patognomonis, lesi akne vulgaris berupa komedo, baik terbuka maupun tertutup ( Black heads maupun white heads ) . Sebagai kelanjutannya dapat tampak papula, pustula, nodula dan kista, sebagai lesi tunggal atau sebagai lesi kombinasi dari semua tipe. Satu tipe lesi dapat menonjol pada suatu waktu atau selama perjalanan penyakitnya. Lesi dapat berupa lesi inflamatif ( papula, pustula, nodula, kista ) maupun onoinflamasi ( komedo ) . Istilah nodulokistik digunakan untuk menggambarkan kasus akne inflamatif yang berat. Lesi akne cenderung terjadi ada wajah , yang biasanya berminyak , bahu, lengan atas, punggung dan dada bagian atas, serta lengan bagian atas. Proses pertama kalai mengenai wajah, kemudian punggung dan dada pada waktu yang sama atau bahkan setelah lesi wajah bersih . khusunya pada laki laki dapat menetap dalam waktu lama. Lesi akne yang menyembuhkan dapat berupa eritem postiflamasi bahkan hiperpigmentasi selama beberapa bulan . Proses inflamasi yang lebih dalam akan menyebabkan timbulnya jaringan parut keloid. Proses ini dapat disebabkan oleh trauma yang dilakukan oleh penderita sendiri terhadap lesi superfisial .
PEMERIKSAAN
Klinis Didapaatkan suatu gambaran menyolok dari akne, yaitu kulit yang sangat berminyak ( seborrhoea ). Memberatnya akne berhubungan dengan jumlah sebum yang diproduksi , namun demikian tidak semua penderita seborrhoea menderita akne. Distribusi lesi terutama pada wajah, persentase yang lebih kecil menunjukkan akne pada punggung dan dada . Kadang kadang (1 % ) menunjukkan lesi akne yang parah hanya pada punggung atau dada , dengan minimal atau bahkan tanpa lesi di wajah . Terdapat variasi dalam distribusi akne pada tempat tempat khusus. Pada satu tempat yang sama , beberapa daerah dapat lebih banyak lesinya dibanding yang lain. Daerah infraorbital biasanya bebas lesi, bahkan pada akne yang paling berat sekalipun. Akne yang parah pada punggung cenderung maluas ke daerah sakrum. Lesi akne adalah polimorpik, terdiri dari komedo, papula, pustula, nodula, kista , makula, dan jaringan sikatrik. Dapat terjadi juga hiperpigmentasi postinflamasi dan granuloma piogenikum.
Komedo. Komedo terbuka tampak secara klinis sebagai lesi hitam yang nyata , diameter 0,1-3 mm, biasanya timbul dalam beberapa minggu. Komedo yang lebih besar dapat ditunjukkan dengan ekstraksi komedo. Komedo ini disebabkan oleh oksidasi lemak permukaan , tetapi sekarang diketahui disebakan oleh melanin. Komedo tertutup , merupakan bintik bintik yang desebakan penyumbatan muara sebaseus oleh masa sebum dan tertutup oleh lapisan epitel. Biasanya mempunyai diameter 0,1-3 mm, dapat mengalami resolusi spontan dalam 3-4 hari ( 25%), sedangkan sisanya akan berubah menjadi lesi beradang.
Papula. Ukuran dan keadaan eritemnya bervariasi 50 % papula timbul dari kulit yang normal, selebihnya dari komedo terbuka dan tertutup Papula dibedakan menjadi 2, yaitu papula aktif dan kurang aktif. Papula yang kurang aktif berupa papula yang kurang eritem dan berukuran lebih kecil dibanding yang aktif. Diameternya yang dapat mencapai 4 mm dan hilang dalam waktu yang lebih lama . Sekitar 7 % menyembuhkan melalui bentuk makula, yang lain berkembang menjadi papula aktif atau pustula . Papula yang aktif dapat sembuh secara langsung menjadi makula atau melalui papula yang kurang aktif.
Pustula Debedakan menjadi 2, yang superfisial dan dalam. Pustula superfisial dapat dikategorikan sebagai aktif dan kurang aktif, dengan ukuran lebih kecil dan kurang berindurasi, serta menghilang dalam waktu yang lebih pendek dibanding lesi aktif. Pustula yang dalam lebih sering tampak pada penderita dengan akne yang parah. Biasanya timbul dari papula atau nodula inflamasi sebelumnya dan menetap lebih dari 7 hari, serta mengalami resolusi melalui fase papular dalam waktu 2-6 minggu.
Nodula. Merupakan benjolan yang terletak lebih dalam dan cenderung menetap selama 8 minggu sebelum resolusi, sebagian menjadi jaringan sikatrik. Resolusi dicapai melalui fase papular.
Kista. Jarang terjadi , diameternya dapat mencapai beberapa sentimeter, unilokular atau multilokular . Bila diaspirasi mengeluarkan materi yang kental dan berwarna kuning . Kadang dapat tersebar luas mengenai wajah, punggung, dada , leher dan kulit kepala . Lesi dapat bergabung menhadi besar dan dihubungkan dengan sinus, nekronis, dan inflamasi granulomatus. Keadaan ini desebut akne konglobata.
Makula. Terbentuk sebagian besar dari lesi inflamasi dan rata rata menetap selama 7 hari.
Hiperpigmentasi postinflamasi. Merupakan gambaran nonspesifik dari inflamasi, terutama pada kulit berwarna , memudar setelah 18 bulan ( Cunliffe, 1989 ).
Granuloma piogenikum Keadaan ini masih jarang , biasanya tampak pada penderita akne yang mendapat terapi isotretinoin ( Cunliffe, 1989 ).
Jaringan sikatrik. Terjadi akibat lesi nodulokistik inflamasi yang dalam sampai ke dermis. Jaringan sikatrik dapat timbul dari lesi yang superfisial , oleh karena kecenderungan terjadinya tidak sama diantara penderita dengan lesi inflamasi yang sama. Terdapat 2 bentuk jaringan sikatrik, yaitu hipertrofik atau keloid dan atropik ( depressed scar ).
KRITERIA DIAGNOSIS AKNE VULGARIS 1.Terutama menyerang pada usia remaja 2. Predileksi pada wajah, punggung dan dada atas. 3. Kelainan kulit bersifat pleomorfik berupa campuran komedo terbuka atau tertutup, papul, pustul, nodul dan kadang kadang sikatriks.
DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding berdasarkan gambaran klinisnya antara lain : folikulitis pada daerah janggut, rosasea, perioral dermatitis, erupsi akneiformis, dan lupus miliaris disseminatus faciei.
KOMPLIKASI Satu satunya komplikasi yang terjadi pada penderita akne adalah pembentukan jaringan sikatrik, yang dapat dicegah dengan perwatan yang tepat ( Drkae, 1990 ; Strauss.1993 ). Tipe jaringan sikatrik yang terjadi dapat berupa jaringan sikatrik atropik, hipertropik atau keloid. Penanganan terhadap jaringan sikatrik yang timbul dapat dilakukan dermabrasi, eksisi, injeksi kalogen . Untuk keloid dapat dilakukan korstikosteroid intralesi ( Ebling dan Cunliffe,1992).
PENATALAKSANAAN Pada umumnya terdapat 4 prinsip utama dalam pengobatan akne ( Strauss, 1993), sesuai dengan patogenesisnya : 1. Pengobatan yang ditunjuk untuk menghilangkan obstruksi pada duktus sebaseus. 2. Pengobatan dengan maksud menurunkan produksi sebum. 3. Pengobatan ditujukan untuk mengurangi populasi bakteri folikuler. 4. Pengobatan yang ditujukan untuk mendapatkan efek antiinflamasi.
Untuk menghilangkan obstruksi pada duktus sebaseus pada umumnya digunakan obat obatan topikal yang bersifat keratolitik . Pengobatan yang bertujuan menurunkan produksi sebum dapat diberikan hormon estrogen dan sebagainya. Populasi baakteri folikular dapat dikurangi dengan pemberian antibiotik secara topikal maupun sistemik. Efek antiinflamasi dapat dicapai dengan pemberian obat antiinflamasi kortikosteroid secara topikal maupun sistemik.
1. Pengobatan topikal Biasanya diberikan untuk penderita akne vulgaris yang ringan . Bentuk sediaan berupa lotion, krim, gel.
Bahan keratolitik atau komedolitik. Sulfur , resorsinol dan asam salisilat. Telah digunakan sejak lama.
Asam vitamin A. Digunakan secara luas oleh karena efek komedolitiknya, tetapi sangat iritatif dan fotosensitif, sehingga harus dipakai pada malam hari > Sebagian besar penderita dapat menggunakan sediaan krimnya dalam konsentrasi 0,025%. Benzoil peroksida. Disamping mempunyai efek keratolitik juga mempunyai efek antinbakterial, terhadap P.Acnes.
Asam aselat. Merupakan bahan topikal baru yang mempunyai efek antibakterial , antikomedogenik, antiinflamasi. Bahan ini juga berefek sebagai copetitive inhibitor enzim tirosinase sehingga dapat dipakai untuk pengobatan hiperpigmentasi postinflamasi akibat akne.
Antibiotik Antibiotik topikal juga digunakan untuk pengobatan akne. Yang paling popiler adalah preparat yang mengandung eritromisin dan klindamisin . Efek yang diharapkan adalah sebagai antimikroba , sehingga dapat menurunkan populasi P.Acnes.
Antiinflamasi Yang digunakan adalah kortikostreroid , tetapi pemakaian terbatas dalam waktu singkat. Efek samping yang sering dijumpai yaitu atrofi, telangiektasi, folikulitis dan akne steroida bila kortikostreroid yang dipakai adalah fluorinated streroid.
2. Pengobatan sitemik
Antibakterial Sering dijumpai dalam pengobatan akne oleh karena mempunyai sifat menghambat perkembangan kuman, mengurangi jumlah lipase serta menurunkan asam lemak bebas. Antibiotik yang diunakan adalah yang dpat mencapai saluran folikel, yaitu :
Tetrasiklin. Dosis yang biasa diberikan adalah 500-1000 mg per hari, dosis diturunkan apabila terjadi perbaikan sampai dosis 250 mg per hari . Konta indikasi ialah wanita hamil dan menyusui serta anak dibawah 8 tahun, karena dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan tulang dan perubahan warna gigi.
Doksisiklin. Biasanya diberikan dalam dosis 1 X 100 mg sehari. Obat ini dapat memberikan rangsangan pada lambung, karena itu sebaiknya diberikan setelah makan.
Minosiklin. Telah digunakan pada penderita yang tidak berespons terhadap tetrasiklin dengan hasil baik. Diberikan dalam dosis 100-200 mg sehari. Obat tersebut dapat menyebabkan timbulnya pigmentasi ( blue-black pigmentation ) , kusunya pada jaringan sikatrik, juga ditempat lain sehingga penggunaanya harus berhati hati ( Strauss, 1993 ). Mempunyai efek sama dengan doksisiklin.
Eritromisin . Obat ini merupakan pilihan kedua setelah tertrasiklin, dapat diberikan pada wanita hamil, oleh karena tidak mempunyai efek teratogenik janin seperti tetrasiklin.
Klindamisin . Obat ini mempunyai efek samping kolitis pseudomembranosa.
Trimetropim sulfametoksasol. Hanya digunakan pada penderita akne barat yang tidak berespons terhadab antibiotik lain, oleh karena efek sampingnya yang berat . Obat ini dapat menyebabkan supresi hematologik ( Strauss, 1993).
Dapson. Telah digunakan pada akne yang sangat berat. Obat ini dapat menyebankan agranulositosis dan Methemoglobinemi. Dosis yang diberikan 50-100 mg sehari.
Antiinflamasi Digunakan glukokortikosteroid , hanya pada penderita akne yang sangat berat. Oleh karena efek sampingnya yang kuat, maka biasanya digunakan dalam waktu terbatas.
Hormonal Estrogen. Obat tersebut mempunyai efek menurunkan produksi sebum dengan menghambat hormon androgen. Tidak dianjurkan pada pria , karena efek feminisasinya tidak digunakan secara rutin, hanya untuk kasus kasus yang resisten terhadap pengobatan akne yang lain pad wanita. Pil kontrasepsi. Merupakan kombinasi estrogen progesteron, berefek menekan produksi sebum.
Antiandrogen . Siproteron asetat, digunakan digunakan secara luas di Eropa untuk pengobatan akne yang berat( Strauss, 1993) . Spironolakton, mempunyai aktifitas antiandrogen, menurunkan produksi sebum , sehingga dapat dipakai untuk pengobatan akne. Dosis yang diberikan biasanya 50-200 mg sehari. Obat tersebut dapat menyebabkan ginekomasti, sehingga hanya digunakan untuk wanita.
Lain lain. Isotretinoin ( 13-cis retinoic acid ). Merupakan retinoid ora; sintesis, hanya digunakan dalam penanganan akne nodulokistik yang parah yang resisten terhadap pengobatan akne lainya, oleh karena mempunyai efek samping teratogenik . Dosis yang dianjurkan adalah 0,5-1 mg/kg BB/hari
Pengobatan dengan tindakan ( physical therapy ).
Ekstraksi komedo. Untuk menghilangkan komedo terbuka atau tertutup dengan tekanan ringan memakai ekstraktor komedo. Hanya perlu diperhatikan bahwa penempatan ekstraktor komedo yang tidak tepat hanya akan merangsang inflamasi selanjutnya di kulit. Ekstraksi komedo dianjurkan dilakukan pada komedo tertutup, karena komedo tertutup dianggap merupakan pencetus lesi- lesi inflamatif.
Kortikosteroid intra lesi. Dilakukan pada lesi kista atau nodul yang dalam. Pada umumnya dipakai triamsinolon asetonid 0,05-0,25 ml tiap lesi, dan tak lebih dari 0,1 ml untuk mencegah terjadinya atrofi ( Strauss, 1993 ).
Tutul Nitrogen cair. Diberikan pada lesi kista atau yang dalam.
KEPUSTAKAAN
Cunliffe WJ , 1989 Acne 1 st ed, Martin Dunitz. London. Drake LA, Ceilley RI, Cornelison RL,et al, 1990 Guidelines of Care for Acne Vulgaris J AM Acad Dermatol, 4: 676-680.
Drake LA, Ceiley RI , Cornelison RL, et al 1990 Guidelines of Care for Acne Vulgaris. J.AM Acad.Dermatol. 4:676 80
Ebling FJG, Cunliffe WJ, 1992 Disorders of the Sebaceous Glands dalam RH Champion , JL Burton , FJG Ebling ( eds): Texbook of Dermatology, vol 3,5 th : 1734- 1735, Blackwell Scientific Publications, Oxford.
Strauss J S, 1993 Sebaceous Glands, dalam TB Fitzpatrick, AZ Eisen, K Wolff, IM Freedberg, KF Austen ( eds) : Dermatology in General Medicine, vol 1,4 th ed, pp. 709- 726, Mc Graw Hill Inc, New York.
Tolman EL, 1992 Acne and Acneiform Dermatoses, dalam SL Moschella and HJ Hurley (eds): Dermatology, vol2, rd., pp. 1477-92,W.B.Saunders Company,Philadelphia..
MELASMA
Pendahuluan : Melasma merupakan salah satu jenis hipermelanosis didapat pada kulit wajah dan kadang kadang pada leher. Melasma berasal darai bahasa Yunani, melas yang berarti hitam. Dahulu sinonim melasma ialah Chloasma, yang sebetulnya kurang tepat karena barasal dari kata cloazein yang bahasa Yunani berarti hijau. Melasma biasanya bertambah buruk dengan pajanan sinar matahari, kehamilan, pemakaian kontrasepsi oral, dan obat anti epilepsi tertentu Pola hiperpigmentasi serupa yang dapat mengenai tangan dan lengan dijumpai pada penyakit Gaucher.
EPIDEMIOLOGI. Melasma terutama dijumpai pada wanita usia subur, namum 10 % dilaporkan terdapat pada pria . Melasma dapat mengenai semua ras , tetapi lebuh banyak diderita oleh ras latin ( terutama yang berasal dari Karibia ), dan ras Asia . Melasma lebih jelas terlihat selama dan sesudah pajanan sinar matahari dan kurang tampak pada musim dingin dimana tidak ada pajanan matahari. Meskipun terdapat beberapa kasus familial, namun melasma bukanlah penyakit herediter.
ETIOLOGI Etiologi dan patogenesis melasma hingga kini masih belum jelas. Sebagian besar kasus terjadi pada saat kehamilan ( 50%-70 % ) atau memakai kontrasepsi oral ( 7%-29%) . Selain itu melasma dapat terjadi pada keadaan disfungsi endokrin, kosmetik, obat obatan , defisiensi nutrisi, disfungsi hati , faktor genetik, serta faktor faktor lainya. Pajanan sinar matahari tampaknya merupakan faktor yang memperburuk keadaan , Sinar Ultra violet ( SUV) akan merusak gugus sulfhidril yang merupakan penghambat inzim tirosinase , sehingga pajanan SUV menyebabkan enzim tiroinase bekerja maksimal dan memacu proses melanogenesis. Hormon estrogen, progeteron, dan MSH diduga sebagai penyebab melasma meskipun konsentrasinya tidak selalu meninggi. Tetapi melasma jarang terjadi pada wanita menopause yang diberi terapi estrogen. Hal ini mendasari dugaan estrogen bukanlah faktor penyebab. Obat obat sistemik tertentu akan tertimbun pada lapisan dermis bagian atas secara kumulatif, dan juga dapat merangsang melanogenesis. Obat obat yang sering menyebabkan pigmentasi adalah golongan klorpromazin, klorokin, minosiklin, dan arsen inorganik. Sedangkan fenitoin dan mefenitoin dapat menyebabkan hiperpigmentasi menyerypai melasma. Penggunaan kosmetika yang mengandung parfum dan zat warna tertentu dapat menyebabkan hiperpigmentasi apabila terpajan SUV. Faktor penyebab idiopatik terdapat pada 30 % kasus wanita dan hampir semua kasus pria.
GAMBARAN KLINIS Melasma biasanya mengukuti 1 dari 3 pola di wajah yang cukup simetris, yaitu : pola sentrofasial : hipermelanosis meliputi pipi, dahi, bibir atas, hidung dan dagu ( 63 % ) pola malar ; meliputi pipi dhidung ( 21%). pola mandibular : meliputi ramus mandibula ( 16%).
Lesi berbentuk makula yang batasnya dapat ireguler, bergerigi, menyerupai peta dan cukup simetris, Hipermelanosis dapat berwarna coklat ( tipe epidermal ), biru-abu abu ( tipe dermal), atau coklat abu abu ( tipe campuran ). Perbedaan tipe tipe ini mempunyai arti penting dalam terapi.
PEMBANTU DIAGNOSIS Pemeriksaan dengan sinar WOOD Pemeriksaan dengan sinar WOOD dapat membedakan hiperpigmentasi epidermal dengan dermal pada semua tipe kulit keculai tipe kulit V dan VI. Berdasarkan pemeriksaan dengan sinar WOOD pada tipe kulit I sampai IV , melasma dibagi atas : Melasma tipe epidermal : warna lesi tampak lebih kontras dan jelas dibandingkan dengan kulit sekitarnya. Melasma tipe dermal : warna lesi tidak bertambah kontras Melasma tipe campuran : lesi ada yang bertambah kontras ada yang tidak.
Histopatologis Pada pemeriksaan hispatologi terdapat 2 pola pigmentasi :
Tipe epidermal Jumlah melanin bertambah banyak di stratum basalis dan suprabasalis, dan kadang kadang di seluruh spinosum sampai dengan korneum. Melanosit tampak lebih dendritik dan penuh dengan pigmen. Meskipun proses melanisasi terjadi terutama di sel basal dan suprabasal , namun dapat pula dijumpai pada keratinosit di seluruh lapisan epidermis sampai ke stratum korneum. Terdapat beberapa papila dermis.
Tipe dermal Tanda khas pada dermal ialah adanya makrofag yang berisi melanin, berderet deret di Perivaskular pada dermis superfisialis dan dermis bagian tengah. Infiltrat limfositik kadang kadang ditemukan di perivenular .
Penelitian terakhir menunjukkan adanya peningkatan jumlah dan aktifitas melanosit , pertambahan melanisasi, dan meningkatnya tranfer melanosom ke epidermis dan dermis ( pada melasma tipe dermal ).
DIAGNOSIS Diagnosis melasma biasanya dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis saja. Pemeriksaan dengan sinar WOOD dapat dipakai untuk menentukan jenis/ tipe melasma. Pada kasus kasus tertentu dapat dilakukan pemeriksaan hitopatologis.
DIAGNOSIS BANDING. Hiperpigmentasi pasca inflamasi : biasanya dapat diketahui dari anamnesis yang cermat dan teliti. Vitiligo : kadang kadang akan menampakkan makula hiperpigmentasi di wajah yang sebetulnya merupakan pigmentasi normal yang tersisa di pipi , sebagian satu-satunya kulit yang masih mempunyai pigmentasi normal. Pemeriksaan yang cermat pada pasien untuk menentukan warna kulit sesungguhnya akan menyingkirkan diagnosis ini.
PERJALANAN PENYAKIT Melasma merupakan salah satu kelainan kulit yang sulit diobati. Perjalanan penyakit kronis residif dan diperburuk oleh pajanan sinar matahari . Wanita multipara melaporkan berbagai derajat melasma yang berbeda beda pasa setiap kehamilanya. Ada yang melaporkan melasma hanay terjadi pada kehamilan ke 4 di antara 7 kehamilan. Melasma sering menghilang secara perlahan lahan setelah kelahiran anak atau setelah penghentian kontrasepsi . Penderita dengan kontrasepsi oral harus mengerti bahwa pengobatan tidak akan berhasil selama masih meneruskan kontrasepsi oralnya. Penderita dengan tipe kulit V dan VI biasanya akan menderita melasma tipe campuran.
PENATALAKSANAAN Kebanyakan penderita berobat atas alasan kosmetik. Pengobatan yang baik adalah pengobatan kausal, sehingga penting untuk dicari etiologinya. Faktor etiologi yang multipel dengan patogenesis yang belum jelas menyebabkan penatalaksanaan melasma harus meliputi beberapa aspek, yaitu :
Aspek Preventif
A. Perlindungan terhadap sinar matahari sangat diperlukan sehingga kepada Penderita perlu ditekankan untuk sedapat mungkin mengindari pajanan langsung SUV , terutama antara pukul 9.00 sampai 15.00. Apabila keluar rumah sebaiknya memakai payung atau topi lebar di samping melindungi kulitnya dengan mamakai tabir surya yang tepat, baik mengenai preparatnya maupun cara penggunaanya . Menurut Mosher dkk, tabir surya harus bersifat opaq ; atau berspektrum luas dengan SPF > 30 ditambah penutup seperti Dermablend atau Covermark . Tanpa pemakaian tabir surya opaq setiap hari, pengobatan akan gagal. Di bagian kami penderita dianjurkan memakai tabir surya berspectrum luas dengan SPF 15 atau lebih.
B. Menghilangkan faktor etiologi atau predisposisi menghindari Pemakaian obat kontrasepsi oral,obat atau bahan yang menimbulkan iritasi, menyarankan penghentian pemakaian kosmetika yang biasanya dipakai, mencegah pemberian obat obat yang dapat merangsang hiperpigmentasi , memeriksa kemungkinan adanya penyakit kulit lain atau penyakit sistemik
VITILIGO DAN HIPOPIGMENTASI
PENDAHULUAN Hipopigmentasi atau hipomelanosis merupakan perubahan warna kulit dimana kulit menjadi lebih putih dari kulit normal. Adanya bercak hipopigmentasi pada seseorang tidak selalu menimbulkan keluhan yang serius , kebanyakan hanay bersifat kosmetis . Namun demikian ada beberapa penyakit dengan bercak hipopigmentasi yang merupakan tanda dari berbagai penyakit yang lebih serius. Timbulnya kelainan ini bisa secara kongenital / herediter bisa juga didapat setelah terjadi suatu proses patologis pada kulit, namun semuanya bersumber dari proses pembentukan malanin dan peranan melanosit . Manifestasi klinis kelainan ini mempunyai bentuk yang berfariasi dari gutata, sirkumskripta maupun generalisata denga derajat intensitas yang parsial sampai komplit atau sama sekali tidak mengandung melanin ( depigmentasi).
Berdasarkan proses terjadinya , Fitzpatrick membagi kelainan hipopigmentasi menjadi 4 macam. Hipopigmentasi Melanositopenik Sirkumskripta Kongenital : Vitiligo, Vogt Koyanagi Harada syndrome, Alezzandrini syndrome, piebaldisme, Tuberrous sclerosis dll. Hipopigmentasi Sekunder Generalisata Kongenital : Albinisme, Fenilketonurea, Chigiak- Higashi syndrome dll Hipopigmentasi Idiopatik Sirkumskrita : Idiopathic Guttate Hypomelanosis. Hipopigmentasi oleh karena tumor kulit : halo nevus.
VITILIGO
DEFINISI
Vitiligo adalah kelainan warna kulit yang didapat sering familial, dengan gejala khas pada kulit berupa makula putih depigmentasi dikelilingi kulit normal atau ----???
EPIDEMIOLIGI
Insidens vitiligo didunia sekitar 0,14 sampai 0,8 % , mengenai semua ras, laki laki dan wanita jumlahnya sama. Penyakit ini sangat sering timbul pada daerah yang terppar sinar matahari dan pada tipe kulit gelap. Vitiligo dapat mengenai semua umur dari lahir sampai 81 tahun, dan hampir 50 % penderita berusia antara 10 sampai 30 tahun .Vitiligo merupakan penyakit yang diturunkan . Lebih dari 30 % penderita dilaporkan punya riwayat vitiligo pada keluarganya, dan sekitar 21 % ada pada anak pertama.
ETIOPATOGENESIS
Penyebab dari vitiligo adalah sangat kompleks, diduga suatu penyakit ,herediter yang diturunkan secara autosomal dominan. Patogenesis terjadinya vitiligo tidak sepenuhnya dapat menerangkan secara lengkap, namun ada 3 teori yang dikemukakan yaitu teori neurogenik, autositotosik( self destruct ) , dan autoimun. Teori neurogenik mengemukakan lepasnya mediator neurokimia seperti asetil kolin, epineprin daru ujung ujung saraf perifer akan menghancurkan melanosit didekatnya. Secara klinis dapat ditunjukkan adanya vitiligo pada daerah yang mengalami gangguan saraf seperti para flegi, vitiligo pada anak dengan encefalitis karena virus , timbulnya vitiligo generalisata setelah mengalami stres emosional yang berat . Asetilkolin mempunyai efek menghambat aktivitas dopa oxidase pada met anosit ditepi vitiligo, dan tirosin merupakan bahan untuk membuat melanin dan epineprin. Banyaknya tirosin yang dipakai untuk membentuk epineprin , akan mengakibatkan cadangan untuk pembuatan melanin tidak ada. Teori autositotoksik mengemukakan bahwa prekursor dalam sin-tesis melanin seperti dopa, dopachrome, dan 5,6 dihydroxyndole yang berlebihan akan bersifat sitotoksik terhadap sel pigmen. Lenner mengemukakan bahwa melanisit normal mempunyai mekanisme proteksi yang sanat baik terhadap metabolit toksit tersebut, tetapi mekanisme proteksi ini labil, sehingga bila ada gangguan maka prekursor melanin ini akan merusak melanosit yang mengakibatkan timbulnya vitiligo ( Fitzpatrick , 1993 ). Secara klinis dapat dilihat bahwa vitiligo banyak dijumpai pada kulit relatif lebih hiperpigmentasi ( 1.3.4 ).
Teori autoimun menerangkan bahwa rusaknya pengawasan pada sistem imun akan merusak melanosit . Kerusakan ini timbul oleh karena terjadi autoimunisasi dengan terbentuknya autoantibodi terhadap antigen pada sistem melanogenesis, atau dapat pula terjadi benturan pada melanosit sehingga keluar sustansi antigenik terhadap antibodi yang beredar mengakibatkan rusaknya melanosit dan meghambat terbentuknya melanin ( 1, 3, ). Teori ini disokong dengan ditemukan adanya antibodi yang beredar terhadap antigen permukaan melanosit normal pada penderita vitiligo dan melanoma. Faktor presipitasi terjadinya penyakit ini adalah stres emosional, troma fisik ( luka, terbakar surya ) dan penyakit sistemik ( 1.6 ).
MANIFESTASI KLINIS.
Gambaran klinis vitiligo adalah khas berupa makula atau plakat depigmentasi berbatas tegas dan simetris, ukuranya beberapa milimeter sampai sentimeter , tepinya oval atau bundar, warna putih seperti kapur . Kadang kadang tepi makula depigmentasi ini warnanya bervariasi bisa tidak begitu putih ( pada trichrome vitiligo ), dapat berupa lingkaran kemerahan ( imflammatory vitiligo ) atau lingkaran hiperpigmentasi ( 1,3,5 ). Daerah yang paling sering mengalami kelainan ini adalah 1. Sekitar mulut, hidung mata, putting susu , umbilikus , dan anus. 2 . pergelangan bagian fleksor . 3. Ekstrimitas bagian ekstensor, dan 4 daerah intertriginosa ( aksila, lipat paha ). Kelainan ini dapat memperlihatkan fenomena Koebner . Lokalisasi kelainan biasanya mulai dari perifer sampai keseluruh tubuh ( vitiligo generalisata ). Bentuk vitiligo yang iasa seperti yang diuraikan diatas disebut vitiligo tipe A. Sedang vitiligo tipe B gambaranya berupa makula depigmentasi dengan distribusiasimetris sesuai dermatum. Kelainan ini timbul karena rusaknya saraf simpatis didaerah tersebut.( 1.6.8). Berdasarkan distribusi lesi , vitiligo dibedakan atas bentuk fokal, segmental , generalisata dan vitiligo universalis. Bentuk Fokus, dengan jumlah lesi sedikit, batasnya kabur, ukuranya kecil kecil.
Bentuk segmental , khas berupa makula unilateral sesuai dengan dermatom, dengan perjalanan penyakit stabil, onsetnya pada umur lebih muda , tidak ada koebnerisasi dan tidak ada riwayat padakeluarga yang menderita.
Vitiligo Generalisata , merupaka tipe yang sangat sering dijumpai , khas makulanya banyak dengan distribusi tersebar. Tipe ini mengenai permukaan ekstensor, simetris,sangat sering pada sendi interpalangial, sendi metakarpal, sendi meta tarsal, sendi lutut, siku, pergelangan bagian folar, maleolus dan sekitar lubang lubang alam.
Vitiligo Universalis , lesi tersebar hampir seluruh tubuh dimana kulit normal yang tersisa sangat sedikit. Umumnya vitiligo ini berderet simetris , tampak seperti lukisan dan tidak pernah asimetris . Tipe vitiligo ini sering ada hubunganya dengan sindrome endokrinopati yang multipel. Bentuk makula vitiligo yang tidak khas dijumpai adanya koebnerisasi dan makula ini timbul karena trauma. Kelainan pada telapak tangan dan kaki jarang dijumpai. Vitiligo juga tampak pada penderita dengan kalainan mata seperti sindrom Vogt- Koynagi- Harada ( vitiligo, poliosis, alopesia , uveitis anterior akut nontraumatic, tinitus), sindrom Alezzandrini ( retinitis degeneratif unilateral, vitiligo pada muka, dan poliosis ). Penyakit autoimun yang sering menyertai vitiligo adalah : hipotiroid, penyakit Graves, Anemia pernisiosa, penyakit addisons, diabetus melitus dengan insulin dependent, uveitis alopesia areata, dan kandidosis mukokutan kronik ( 1,5, 8 ).
DIAGNOSIS
Diagnosis mudah ditegakkan atas dasar gambaran klinis yang khas . Bila meragukan dapat dilakukan biopsi dan kadang dibantu dengan pengecatan Fontana Masson. Namun tidak selalu pada vitiligo tidak dijumpai melanin ( 1.7.8 ).
PENUNJANG DIAGNOSIS Dilakukan biopsi kulit untuk pemeriksaan histopatologis . Dengan pengecatan HE, tidak tampak adanya kelainan yang spesifik pada epidermis kecuali melanosit yang tidak ada sama sekali. Dengan pengecatan perak dan Fontana Masson tidak dijumpai adanya melanin , dan reaksi dopa negatif. Walaupun demikian, kadang kadang padaa lesi vitiligo yang meradang ( inflammatory vitiligo ) dijumpai limfosit pada dermis bagian atas.
Pada makula yang stabil lapisan basal mengalami vakuolisasi, dan pada tipe kulit gelap dapat dijumpai melanin pada makrofag dermis ( 1.8 ). Pada bagian kulit yang normal sejauh 15 cm dari lesi dijumpai keratinosit bervakuola, material granuler pada ekstra seluler, dan lapisan basal mengalami vakuolisasi. Penelitian oleh Breathnach dkk ( Fitzpatrick, 1993 ) pada melanosit dan kratenosit pada vitiligo dijumpai jumlah melanosit meningkat ditepi makula yang aktif , pada melanosit ditemukan sedikit melanosum, bentuk bulat, berisi granuler halus, dendrit melanosit sedikit, dan ruangan antara melanosit dan keratinosit melebar, dan melanosit kelihatan mengalami cekrose dan mempunyai filamen sitoplasma, mitokondria dan membran sel yang tidak normal.
Pada kultur melanosit dijumpai Rough endoplasmic reticulum ( RER ) melebar , dan bentuknya sirkuler. Gambaran diatas tidak selalu ada dan tidak ada pada vitiligo yang khas (1.3 ). Dengan mikroskop elektron dijumpai keratinosit pada lapisan basal mengalami degenerasi, dijumpai adanya endapan material granuler pada ekstra sel dan stratum basalis jumlah sel Langerhans meningkat sedang di suprabasal berkurang. Pemeriksaan dengan lampu Woods diperlukan untuk memperjelas makula pada penderita kulit putih dan pada daerah yang tertutup pakaian,
DIAGNOSIS BANDING Penyakit yang mirip dengan vitiligo feneralisata adalah Leukoderma karena bahan kimia, didapatkan ada riwayat terpapar obat pembasmi hama yang mengandung fenol Piebaldisme : kelainan ini bersifat kongenital, rambut pada dahi ( jambul ) berwarna putih, sifatnya stabil , makula hiperpigmentasi yang sangat luas , distribusi lesi berbeda. Waardenburgs syndrome : heterochromia, tuli dan pangkal hidung melebar Lupus eritematosus : distribusinya tidak khas , atropi, immunofluorescence positif, tes serologis positif. Hipopigmentasi post imflamasi : Makulanya tidak begitu putih , ada riwayat psoriasis, eksema ditempat yang sama. Tuberrous Skerosis ; makula bersifat kongenital, kadang kadang segmental, dan bersifat stabil. Pitiriasis alba : warna tidak begitu putih , tepi kabur , dengan skuama halus . Tinea versikolor : skuama halus, dengan sinar Woods tampak fluorescence, pada pemeriksaan KOH ditemukan elemen jamur. Lepra : warna tidak begitu putih , makula anestesi . Hipopigmentasi gutata ideopatik : Makula putih seperti porselin, berbatas tegas , dan sedikit cekung.
PENATALAKSANAAN ( 1.8.9 )
Dalam penatalaksanaan vitiligo ada beberapa pilihan antara lain dengan memberikan tabir surya, kosmetik, kortikosteroid topikal dan pemberian PUVA baik oral ataupun topikal dan lain lain.
Tabir surya :
Tabir surya dapat memberikan keuntungan ganda yaitu sebagai pelindung untuk menghindari sumber dimana dapat menimbulkan kubnerisasi akibat sengatan matahari dan juga mempunyai efek tanning . Tabir yang digunakan adalah yang mempunyai SPFs ( sun protection faktors ) . 30 dan APPs ( UVA photoprotection factors ) > 80 %.
Kosmetika : Kosmetika yang digunakan adalah zat warna yang dapat menghitamkan dengan cepat, misalnya dihydroxyacetone Vitadye ( ICN ) merupakan pewarna cair mudah untuk dioleskan , luntur secara perlahan lahan tanpa digosok. Covermark ( Lydiao leary ) dan Dermablend ( Flori Roberts ) memberi warna lebih lama , tidak luntur dengan pencucian tetapi dapat dapat luntur dengan digosok. Dalam pemberian pewarna ini penderita perlu diberi penjelasan bahwa penggunaan bahan ini tidak mempengaruhi perjalanan penyakit.
Medikamentosa : Obat yang dapat menimbulkan repigmentasi antara lain seroid topikal, Psoralen Ultraviolet A ( PUVA ) oral atau topikal.
Steroid topikal ,
Pemberian steroid topikal ternyata dapat memberikan hasil yang efektif, hidrokortison 1- 2,5 % dua kali sehari dapat diberikan pada daerah muka dan aksila. Untuk tempat lainya diberikan steroid dari golongan yang lebih kuat misalnya betametasone valerat 0,01 % atau Klobetasol propionat 0,05 %. Untuk menghindari efek samping sebaiknya ???
HIPERPIGMENTASI
Pendahuluan
Warna kulit normal ditentukan oleh 4 macam pigmen yaitu melanin, oksihemoglobin ( dalam kapiler ) , reduksi hemoglobin ( dalam venula di dermis ) dan karoten. Di antara ke 4 macam pigmeb tersebut, malanin merupakan faktor utama penentu warna kulit. Sistem pigmentasi kulit ini diatur oleh suatu unit yang di sebut sebagai unit epidermal malanin Unit ini terdiri atas 1 sel malanosit dan kurang lebih 36 sel keratinosit yang hidup. Sel melanosit terletak di lamina basalis epidermis dan memproyeksikan dendritnya ke epidermis. Malanin yang terbentuk dalam melanosit di trasfer melalui dendrit tersebut. Gangguan hiperpigmentasi dapat merupakan kelainan lokal di kulit saja , tetapi dapat juga merupakan salah satu tanda adanya kelainan sistemik yang berbahaya.
Klasifikasi
Kelaina hiperpigmentasi dapat kita bagi atas beberapa kelompok yaitu : I.Dilihat dari jumlah melanosit dan melanin a.Melanositik
Melanositik ialah hiperpigmentasi yang terjadinya disebabkan oleh peningkatan jumlah sel melanosit penghasil pigmen melanin.
b. Melanotik Melanotik ialah hiperpigmentasi yang disebabkan oleh jumlah pigmen malanin yang meningkat tanpa peningkatan jumlah sel melanosit.
c. Non- melanotik Non melanotik ialah hiperpigmentasi yang tidak ada hubungannya dengan meningkatnya sel melanosit atau pigmen melanin.
II.Dilihat dari kedalaman letak pigmen
Hiperpigmentasi epidermal ( melanodermal, brown skin ) Letak pigmen di epidermis . Ini dapat melanositik maupun melanotik
Hiperpigmentasi dermal ( seruloderma, blue skin ). Letak pigmen di dermis . Ini dapat , melanositik, melanotik dan non- melanotik.
Selain itu masih dapat lagi kita tinjau dari segi apakah terjadinya setelah peradangan atau tidak, akibat pemberian obat dari luar.
ETIOLOGI
Jika ditinjau dari segi etiologi, hiperpigmentasi dapat disebabkan oleh berbagai hal yaitu mulai dari kelainan metabolik, endokrin, gangguan nutrisi, fisik, peradangan dan infeksi, neoplastik sampai yang di sebabkan oleh pemberian obat dan bahan kimia. Ada juga tidak jelas penyebabnya.
Hiperpigmentasi epidermal 1.Melanositik, yaitu hiperpigmentasi yang disebabkan oleh peningkatan sel melanosit.
Lentigenes / lenigo simpleks Lentigenes berupa makula bulat , berwarna coklat sampai coklat gelap. Diameter biasanya kurang dari + cm. Dapat ditemukan dimana saja pada permukaan kulit , baik yang tertutup maupun yang tidak tertutup pakaianya, sampai mengenai telapak tangan / kaki dan membrana mukosa. Biasanya timbul pada masa anak anak, tetapi dapat juga timbul pada kapan saja. Jika terkena sinar matahari tidak bertambah gelap. Sindroma Peutz Jeghers Merupakan penyakit yang ditandai adanya makula hiperpigmentasi pada mukosa bibir ( termasuk juga palatum, lidah )dan kulit disertai adanya polip gastrointestinal. Makula hiperpigmentasi tersebut dapat kecil kecil seperti freckles, atau besar seperti makula caf_ au lait. Makula ini timbul pada waktu lahir atau masa anak anak kemudian makula di kulit makin lama makin hilang, tetapi yang di mukosa tetap tidak menghilang. Pola gastrointestinal dapat di temui di mana saja, tetapi terutama di jejunum. Lentigo solaris / lentigo senilis / liver spots / old age spot. Berupa hiperpigmentasi berbentuk irregular, terdapat pada kulit yang terpajang matahari, diskret. Paling sering mengenai punggung tangan dan dahi . Biasanya pada orang berumur 40-60 tahun. Warnaya coklat gelap, dengan bercak bercak putih didekatnya. Diagnosis : onset setelah pubertas, biasanya setelah usia 40 tahun, adanya riwayat pajanan matahari kronis, dengan lesi pada daerah terpajan. Sindroma Leopard / Moynahan Penyakit diturunkan secara autosomal doninant. Pada waktu lahir mula mula ada beberapa lentigen, dengan bertambahnya usia , lentigen bertambah banyak dapatmengenai seluruh tubuh, bahkan sampai telapak tangan/ kaki dan genitalia. Leopard merupakan singakatan dari L= lentigen, E = electrocardiograhic abnormallities, O = ocular hypertelorism, P=pulmonary stenosis , A= abnormalities of the genitalia, R = retardation of growth & D= deafness.
Ultraviolet induced hyperpigmentation ( suntan ) Radiasi matahari pada kulit dapat menyebabkan taning dengan warna mulai dari coklat muda sampai coklat hitam. Batasnya tegas antara kulit yang terpajan dan tidak . UVA menyebabkan hiperpigmentasi yang cepat yaitu 15- 30 menit setelah terpajan dan menghilangkan beberapa jam kemudian . Sedangkan UVB menyebabkan taning yang lambat, yaitu 3-4 hari setelah pajanan dengan warna lebih gelap.
II. Hiperpigmentasi epidermal melanotik
Makula caf_ au lait Caf_ au lait merupakan hiperpigmentasi berbatas tegas, dengan ukuran 2-20 cm, coklat muda, tepi tidak teratur. Pada neurofibromatosis, caf_ au lait merupakan tanda utama. Melanosis Becker Berupa makula berwarna coklat muda sampai tua, biasanya unilateral, dengan ukuran beberapa cm sampai 500 cm 2. Timbulnya pada usia 20-30 tahun, laki laki 5 kali lebih banyak. Lokasi terutama di pundak , submammae dan punggung. Dapat disertai hipertrikosis.
N . Spilus Biasanya kongenital, berupa bercak coklat muda dengan ukuran beberapa sentimeter, yang mengandung makula / papula coklat tua dengan ukuran 2-4 mm, Lokasi biasanya di badan atau ekstremitis atas. Gambaran yang mengikuti dermatom disebut zosteriformis.
Frecles/ efelid Berupa bercak kecoklatan , berukuran kurang dari 5-6 mm, & bentuknya tidak teratur. Lokasi pada kulit terpajan seperti di hidung, pipi, badan bagian atas, dan lengan bagain ekstensor. Sangat dipengaruhi oleh pajanan matahari . Timbul pada anak anak dan meningkat pada dewasa.
Melasma Merupakan hiperpigmentasi di dapat , terdapat pada kulit yang terpajan matahari yaitu pipi, dahi, atas bibir. Biasanya simetris . Ini dibahas tersendiri pada judul khusus.
Pelagra Merupakan penyakit defisiensi niasin, ditanda adanya dermatitis, diare dan demetia. Kelainan kulitnya berupa penebalan, fisura dan hiperpigmentasi pada punggung tangan, leher, hidung dan kepala.
Hiperpigmentasi pasca inflamasi Berbagai proses inflamasi dan infeksi dapatmenyebabkan hiperpigmentasi antara lain lupus eritematosus, akne, dermatitis atopik, liken siraplek, dll.
Hiperpigmentasi dermal Melanositik Mongolian spot/ congenital dermal melanocytosis Merupakan bercak biru kehitaman pada regio lumbosakral, sejak lahir. Lebih 90 % mengenai bayi Asia/ Afrika. Lesi bertendensi membesar sampai umur 2 tahun, kemudian menghilang sebelum usia 5 tahun.
N. Ota dan Ito N Ota berupa makula berwarna biru sampai abu abu coklat pada muka, biasanya yang dipersyarafi N. trigeminus cabang oftalmik dan maksilaris. Unilateral. Pada 2/3 kasus mengenai sclera dan konjungtiva mata N.Ito berupa makula hiperpigmentasi yang terdapat pada pundak dan leher, unilateral . Pada 50 % kasus timbul sejak lahir, sisanya timbul setelah pubertas.
Melanotik Incontinentia pigmenti ( Black Sulzberger ) Merupakan kelainan diturunkan ( X-linked dominant ). Biasanya disertai berbagai kelainan kongenital pada susunan syaraf pusat. Hiperpigmentasi terjadi pada stadium III dengan lokasi di badan dan ekstremitas.
Eksantema fikstum Lokasi biasanya di genitalia dan bibir, namun dapat pula mengenai tempat lain. Mula mula berwarna kemerahan, edema, kemudian baru hiperpigmentasi.
Melanosis Riehl Merupakan fotosensitif, mungkin fotokontak . Mula mula berupa kemerahan, gatal,kemudian menjadi hiperpigmentasi. Secara bertahap meluas dan akhirnya menetap , berupa bercak coklat terang sampai coklat gelap terutama pada dahi, malar, leher dan pada daerah terpajan lainya . Penyebabnya adalah setelah pemakaian farfum/ kosmetik dan terpajan matahari.
Non- melanotik Argyria Terjadi akibat deposit silver pada kulit, terutama kulit terpajan matahari disekitar kelenjar ekrin. Kulit dan lunula kuku berwarna biru abu abu. Minosiklin Menyebakan pigmentasi biru abu abu jika dipakai jangka lama. Pada akne dapat dideposit pada jaringan parutnya. Terdapatpula di kaki , periorbita, palatum dan bibir. Klofazimin Pigmentasi berwarna tengguli pada seluruh tubuh. Chlorpomazin Pigmentasi berwarna abu abu biru pada daerah terpajan matahari akibat penggunaan chlorpomazin terutama pada dahi, malar, hidung.
KEPUSTAKAAN
1. Arnold, HL ; Odom, RB dan James, KD.1990 Andrews diseases of the skin, 8 th.ed.Tokya : WB Saunders Company, p.991-1004
2. Bickers, DR ; Hazen, PG dan Lynch , WS . 1984. Clinical pharmacology of skin diseases Melbaurne : Churchill Livingstone , p.311.
3. Hollzle, E.1992. Pigmented lesions as a sign of photodamage . Br.J.of Dermatol.127: ( suppl ) 41, p.48-50.
4. Kenney, JA.1985 . Disorders of pigmentation .In : Current therapy in dermatology. Provost/Farmer ( ed). London : B.C Decker Inc, p.262-263.
6. Orkin, M : Maibach, HI dan Dahl, M.1991. Dermatology, 4 th.ed California : Appleton & Lange, p. 167 180
7. Ortonne, JP.1992. Retinoic acid and pigment cell: a review of in utero and in vivo studies. Br.J.Dermatol. 127 ( suppl) 41,p.43 47.
DERMATOTERAPI TOPIKAL
Tantari SHW Lab.I.Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UB PENGANTAR Dalam bidang spesialisasi apapun, setelah diagnosis maka pengobatan merupakan hal yang sangat penting dalam pengelolaan penderita. Demikian pula dalam bidang penyakit kulit. Yang membedakan dengan spesialisasi lain adalah selain pengobatan secara sistemik dalam pengobatan penyakit kulit terdapat pengobatan secara topikal. Walaupun pengobatan topikal merupakan aspek yang sangat penting, namun kenyataannya masalah ini kurang mendapat perhatian yang cukup. Hal ini disebabkan selain banyaknya obat topikal yang ada juga anggapan bahwa penyakit kulit pada umumnya bersifat ringan dan tak membawa risiko meskipun terjadi kesalahan pengobatan. Sering terjadi tanpa disadari banyak dokter melakukan coba-coba dalam memberikan obat topikal, bahkan dengan obat yang dianggap sangat hebat. Sebagai contoh misalnya seorang bayi dengan miliaria rubra diberi kortikosteroid potensi kuat atau seseorang dengan dermatitis kontak iritan diberi salep antibiotika. Ini suatu contoh yang sangat tidak rasional. Di bawah ini akan diuraikan beberapa pertimbangan dalam pemilihan obat topikal, a.l. dasar-dasar pengobatan topikal yang meliputi absorpsi per kutan dan pemilihan basis atau vehikulum serta beberapa bahan aktif sediaan topikal yang banyak digunakan dalam praktek sehari- hari.
DASAR-DASAR PENGOBATAN TOPIKAL 1. Absorpsi perkutan Obat yang dioleskan secara topikal akan mengalami absorpsi atau penetrasi ke dalam lapisan kulit di bawahnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan ini, yaitu: Ketebalan kulit. Stratum korneum penahan yang terbesar dan merupakan lapisan yang pertama kontak dengan obat topikal. Makin tebal stratum korneum makin kecil absorpsi per kutan obat topikal. Lokasi. Selain karena ketebalan stratum korneum, perbedaan lokasi juga menyebabkan perbedaan folikel rambut dan kelenjar ekrin. Absorpsi perkutan pada kulit kepala sebesar 3,5 kali dibanding lengan bawah, sedangkan dahi 6 kali, pipi 13 kali dan pada skrotum dapat sampai 42 kali. Hal ini terjadi akibat tipisnya kulit, absorpsi lewat folikel rambut, luasnya area dan adanya oklusi. Keadaan kulit. Kulit normal dan utuh pada umumnya merupakan penahan absorpsi topikal. Adanya defek pada stratum korneum akan meningkatkan absorpsi, misalnya kulit yang lecet atau ekzematosa. Oleh karena itu dalam pengobatan topikal ada suatu pedoman yaitu bahwa agresivitas dalam pengobatan harus berbanding terbalik dengan derajat peradangan kulit. Makin akut peradangan kulit atau makin cepat onset penyakit kulit konsentrasi obat harus semakin kecil, misalnya dengan kompres penyejuk, rendam, losio atau emolien. Jika lesi sudah tenang atau menjadi kronik dapat diberikan pengobatan yang lebih agresif dengan konsentrasi lebih tinggi. Penyakit kulit dengan hiperkeratosis seperti psoriasis akan menurunkan absorpsi perkutan. Umur. Meskipun lapisan tanduk masih tipis dan belum berkembang sempurna, ternyata kulit pada bayi atau neonatus telah memiliki fungsi absorpsi per kutan yang hampir sama dengan orang dewasa jika dihitung per cm2 luas permukaan badan. Yang membedakan dengan orang dewasa adalah rasio antara luas permukaan badan (LPB) dengan berat badannya (BB). Pada bayi rasio ini lebih besar dibanding orang dewasa, sehingga pada pemberian obat topikal bagi bayi dan anak selain hal-hal tersebut di atas, rasio LPB/BB ini juga harus jadi pertimbangan. Sebagai contoh pemberian kortikosteroid topikal pada bayi/anak harus sangat hati-hati mengingat akibat absorpsi lewat kulit dapat berakibat efek samping sistemik berupa penekanan aksis hipotalamus-hipofisisis-adrenal. Sebaliknya pada orang tua, meskipun folikel rambut dan kelenjar keringat berkurang, stratum korneum menipis sehingga kulit lebih permeabel tapi tak tahan terhadap kekeringan. Akibatnya absorpsi obat tetap, tetapi kulit lebih mudah mengalami iritasi. Kuantitas. Absorpsi per kutan berbanding langsung dengan luas kulit yang diobati, lama kontak dengan bahan dan frekuensi aplikasi. Hidrasi. Meningkatnya hidrasi kulit akan menyebabkan peningkatan absorpsi per kutan. Hidrasi dapat terjadi akibat oklusi alamiah atau akibat pengobatan. Oklusi kulit secara alamiah terjadi pada daerah-daerah lipatan dan pemakaian pakaian yang rapat. Pemakaian salep berlemak akan mencegah evaporasi dan meningkatkan hidrasi stratum korneum hingga 4-5 kali. Koefisien partisi. Ditentukan oleh kelarutan bahan aktif obat topikal. Bahan-bahan yang larut dalam lemak akan lebih mudah penetrasi ke kulit daripada yang larut dalam air, misal; kortikosteroid, asam salisilat, resorsinol. Ukuran partikel. Makin kecil ukuran partikel bahan aktif semakin luas permukaan, sehingga akan meningkatkan absorpsi. Obat-obat seperti sulfur, asam salisilat dan seng oksida penetrasinya akan meningkat dalam bentuk mikronized.
2. Vehikulum Vehikulum atau basis obat luar adalah bahan dasar obat luar yang dipakai untuk membawa bahan aktif pada kulit dan mampu meningkatkan penetrasi obat pada kulit. Vehikulum yang ideal haruslah stabil baik fisis maupun khemis, non iritatif, non alergenik baik secara kosmetis dan mudah digunakan dengan sesedikit mungkin efek samping. Oleh karena itu pemilihan vehikulum merupakan hal yang sangat penting dalam pengobatan topikal. Secara garis besar dikenal 3 vehikulum dasar yaitu: bedak, salep dan cairan. Dari ketiga vehikulum tersebut dapat dibuat kombinasi diantaranya yaitu bedak kocok, pasta dan krim. Bedak adalah bahan dasar padat berupa serbuk yang dapat berasal dari amilum, seng oksida, talkum venetum, kalamin dan titan dioksid. Pada bedak dapat ditambahkan bahan aktif seperti asam salisilat, menthol, antibakteri atau antijamur. Bedak digunakan untuk lesi-lesi akut non eksudatif untuk pendingin atau untuk lesi di lipatan sebagai penyerap keringat atau pelicin. Tidak dianjurkan penggunaannya pada lesi-lesi yang eksudatif karena dapat timbul krusta yang sangat tebal. Salep adalah vehikulum semipadat yang terbuat dari lemak. Biasanya dipakai lemak mineral yaitu vaselin (putih atau kuning) dan polietilen glikol. Bahan aktif pada salep tidak boleh melebihi 15%. Salep bersifat oklusif sehingga dipakai untuk lesi-lesi kronik yang memerlukan penetrasi lebih baik. Modifikasi salep adalah linimentum yaitu jika lemak yang dipakai bersifat encer seperti : minyak kacang, minyak wijen dsb. Cairan (losio) adalah vehikulum dengan bahan dasar cair sebagai pelarut bahan aktif. Biasanya dipakai air biasa, air suling atau alkohol. Jika bahan dasarnya air disebut solusio, jika alkohol disebut tinctura. Contoh solusio adalah solusio kalium permanganat, solusio Burowi. Pasta merupakan kombinasi salep dengan serbuk, dengan kandungan serbuk lebih dari 40%. Pasta ini dipakai pada lesi yang memerlukan proteksi. Jangan dipakai pada daerah intertrigo karena dapat berakibat maserasi. Contoh: pasta Lassar. Bedak kocok merupakan kombinasi antara serbuk dengan zat cair. Biasanya dipakai untuk pendingin atau pengering lesi-lesi akut. Kejelekannya sama dengan bedak yaitu membuat krusta yang tebal jika diberikan pada lesi eksudatif. Contoh : Caladin, Calamed Bedak dingin merupakan kombinasi antara bedak kocok dan lemak. Berefek untuk mendinginkan dan melunakkan kelainan kulit yang akut. Krim merupakan kombinasi antara lemak dan zat cair dengan suatu emulgator. Tergantung dari macam dan konsentrasi lemak yang dipakai dapat terjadi suatu bentuk krim minyak dalam air (M/A) atau oil in water (O/W) dan air dalam minyak (A/M) atau water in oil (W/O). Krim M/A biasanya dipakai untuk lesi subakut atau pada pemakaian siang hari karena lebih mudah dicuci, sedangkan bentuk A/M lebih cocok untuk lesi subkronik atau pada malam hari karena lebih berlemak. Secara umum dapat dipakai sebagai pedoman yaitu untuk lesi yang basah dipakai bahan dasar basah seperti solosio atau krim M/A, sedangakan untuk lesi kering dipakai bahan dasar kering atau padat seperti salep, pasta atau krim A/M. BAHAN-BAHAN AKTIF OBAT TOPIKAL 1. KORTIKOSTEROID Merupakan obat topikal yang paling banyak digunakan dalam pengobatan penyakit kulit. Hal ini disebabkan karena kortikosteroid mempunyai efek antiinflamasi, antimitosis dan antiproliferasi. Indikasi penggunaan kortikosteroid topikal pada bayi dan anak tidak banyak berbeda dengan dewasa. Yang perlu diingat adalah bahwa dengan konsentrasi yang sama dengan dewasa absorpsi kortikosteroid ke kulit anak dan bayi lebih besar. Pada umumnya golongan ekzema atau dermatitis merupakan golongan penyakit yang responsif terhadap steroid, sedangkan psoriasis palmo-plantar, lupus eritematosus diskoid dan likhen planus termasuk golongan yang kurang responsif. Sejak diketahui bahwa penambahan atom fluor pada salah satu gugus karbon steroid dapat meningkatkan potensinya, sekarang telah banyak sediaan steroid topikal dengan berbagai potensi. Seperti diketahui kortikosteroid topikal dibagi menjadi 4 golongan menurut potensi klinisnya.
Pembagian Kortikosteroid Topikal Menurut Potensi Golongan Potensi Anti inflamasi Antimitosis I Lemah + - II Sedang ++ + III Kuat +++ ++ IV Sangat kuat +++ +++ Sayangnya peningkatan potensi steroid ini hampir selalu diikuti dengan peningkatan risiko efek samping Dan efek samping ini akan lebih cepat timbul pada bayi dan anak. Oleh karena itu pertimbangan yang matang harus selalu dipikirkan sebelum memilih jenis steroid topikal. Efek samping kortikosteroid topikal Sistemik : - Supresi AHA - Sindrom Cushing Iatrogenik - Gangguan pertumbuhan Lokal : a. Katabolik: - atrofi kulit - akne steroid - telangiektasia - gangguan penyembuhan luka - purpura/ ekimosis - rosasea - hipertrikosis - dermatitis perioral - striae b. Perubahan respon lokal : - tinea inkognito - hipopigmentasi - glaukoma c. Dermatitis kontak alergi Pemakaian steroid sebaiknya dimulai dengan potensi lemah, apabila betul-betul diperlukan dapat dipakai steroid yang lebih poten dengan dosis minimal yang efektif untuk jangka waktu pendek dan segera diganti dengan potensi lemah bila efek yang diinginkan telah tercapai. Di samping itu jenis vehikulum dan stadium penyakit juga perlu diperhatikan. Jumlah pengolesan dianjurkan cukup 2-3 kali sehari, tidak perlu terlalu sering karena tak ada beda efek terapeutiknya antara pengolesan 2-3 kali dengan beberapa kali sehari, bahkan dapat cepat terjadi efek takhipilaksis. Sedangkan jumlah total yang dianjurkan maksimal 13 g sehari seluas 1 m2 atau 2 g tiap 9% luas tubuh sehari, berarti antara 20-30 g sehari. Lama pemakaian steroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6 minggu untuk potensi lemah dan untuk potensi kuat tidak lebih dari 2 minggu. Harus selalu diingat bahwa steroid bukan obat kausatif melainkan lebih bersifat paliatif dan supresif.
2. ANTIJAMUR Merupakan salah satu dari obat-obat yang banyak digunakan dalam dermatologi. Obat ini sangat bervariasi baik dalam spektrum, sediaan maupun harganya. Obat antijamur lama atau konvensional umumnya mempunyai spektrum sempit dan mekanisme kerjanya tidak jelas, diperkirakan melalui efek keratolitik. Beberapa obat konvensional yang sampai saat ini masih banyak dipakai dan berkhasiat baik, misalnya; salep Whitfield, sulfur dan asam undeselinat. Antijamur generasi baru spektrumnya lebih luas, baik terhadap golongan Dermatofita. Kandida atau Pytirosprum. Kerjanya melaui gangguan sintesis atau integritas membran sel. Termasuk golongan antijamur baru yaitu: golongan imidazol. Siklopiroksilamin dan alilamin. Salep Whitfield. Mengandung asam salisilat 3-6% dan asam benzoat 6-12%. Pada anak-anak sebaiknya dipakai konsentrasi asam salisilat 3% dan asam benzoat 6%/ Penurunan konsentrasi asam salisilat sampai 2% dapat mengurangi iritasi. Senyawa Sulfur. Hanya dipakai untuk mengobati Pitiriasis versikolor. Biasanya berupa cairan natrium tiosulfat 20% atau selenium sulfit 2,5%. Keuntungan obat ini murah dan praktis pemakaiannya tetapi dapat mengiritasi kulit terutama pada wajah dan kelamin, serta baunya tidak enak. Pemakaiannya dengan dioleskan1/4-1/2 jam sebelum mandi setiap hari selama 5-7 hari. Asam Undesilinat Kurang iritatif dibanding dengan kedua obat di atas. Biasanya terdapat dalam bentuk campuran dengan garamnya, misalnya salep Undecyl. Cukup efektif untuk Dermatofita tapi tidak untuk Kandida. Siklopiroksilamin Merupakan antijamur generasi baru yang efektif terhadap Dermatofita maupun Kandida. Tersedia dalam bentuk krim dan losio dengan konsentrasi 1%. Imidazol. Merupakan antijamur spektrum luas yang kerjanya menghambat sintesis ergosterol pada membran sel. Yang termasuk golongan imidazol yaitu: klotrimasol, mikonasol, ekonasol, ketokonasol dll. Tersedia dalam bentuk bedak, krim dan losio. Angka kesembuhan untuk pemakaian golongan ini berkisar antara 60-100% dengan lama pengobatan antara 3-4 minggu dan pemakaian 2 kali sehari. Alilamin. Bekerja sebagai inhibitor sintesis ergosterol melalui hambatan epoksidase skualen dari sel jamur. Golongan ini sangat baik untuk semua Dermatofita tetapi kurang untuk Kandida. Termasuk golongan ini adalah naftifin dan terbenafin.
3. ANTIBIOTIKA Pemakaian antibiotika topikal biasanya atas indikasi infeksi-infeksi pioderma primer dengan luas terbatas seperti impetigo, ektima, folikulitis atau furunkel maupun infeksi bakterial sekunder. Dalam memilih jenis antibiotika yang tepat harus dipertimbangkan faktor sensitivitas kuman terhadap antibiotik dan faktor biaya. Pada infeksi kulit yang luas pemakaian antibiotika topikal saja tidak cukup, harus bersamaan dengan antibiotika sistemik. Berbagai macam antibiotika yang tersedia dan sering digunakan yaitu: Tetrasiklin. Golongan obat ini bersifat bakteriostatik dengan spektrum luas terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif, aerob dan anaerob. Golongan ini sekarang tak lagi diindikasikan pada infeksi oleh Streptokokus maupun Stafilokokus karena sering dijumpai resistensi. Tersedia dalam bentuk salep yang mengandung tetrasiklin 3%, klortetrasiklin 3% dan oksitetrasiklin 3%. Neomisin. Merupakan golongan aminoglikosida yang aktif terhadap beberapa kuman Gram positif seperti Stafilokokus aureus, H.influensa, E.coli, Proteus dan hanya sedikit efektif untuk Streptokokus. Sedangkan Pseudomonas biasanya resisten. Kebanyakan neomisin terdapat dalam bentuk kombinasi dengan antibiotika lain, antijamur atau kortikosteroid. Di beberapa negara neomisin dilaporkan banyak menyebabkan alergi kontak. Gentamisin. Termasuk golongan aminoglikosida . Mempunyai aktivitas bakterisid terhadap kuman Gram negatif dan beberapa Gram positif. Digunakan secara topikal karena efektif terhadap Pseudomonas tetapi tidak efektif untuk Streptokokus sehingga kurang baik untuk Impetigo. Tersedia dalam bentuk salep dan krim dengan konsentrasi 0,1%. Basitrasin. Bersifat bakterisid hanya terhadap kuman Gram positif seperti Stafilokokus, Streptokokus dan Corynbacterium. Umumnya tersedia dalam bentuk kombinasi dengan neomisin dan polimiksin-B sulfat dalam konsentrasi 4-6%. Kombinasi dengan neomisin relatif aman dan dianggap rasional karena masing-masing bekerja secara sinergis. Digunakan pada ektima, impetigo dan folikulitis dengan dosis 3-4 kali sehari dan sebelum tidur. Silver sulfadiazine. Merupakan hasil reaksi antara silver nitrat dengan sodium sulfadiazine. Obat ini efektif terhadap bakteri-bakteri Gram positif dan Gram negatif dan biasanya digunakan sebagai profilaksi atau terapi pada luka bakar. Tersedia dalam bentuk krim yang mengandung silver sulvadiazine 1%. Asam fusidat. Mempunyai spektrum aktivitas antibakteri yang sempit. Sangat efektif terhadap Stafilokokus aureus, termasuk galur penghasil penisilinase, juga terhadap bakteri Gram positif, anaerob dan aerob. Tersedia dalam bentuk salep dan krim Natrium fusidat dengan konsentrasi 2%. Mupirosin. Merupakan antibiotika topikal baru, sangat efektif terhadap Stafilokokus dan sebagian Streptokokus. Digunakan terutama pada impetigo, folikulitis, ekzema infektif, luka bakar atau ulkus kruris. Tersedia dalam bentuk salep dengan konsentrasi 1-3%.
4. ANTISEPTIK Sebenarnya indikasi pemakaian antiseptik lebih banyak ditujukan untuk mencegah terjadinya infeksi pada kulit, seperti tindakan-tindakan preoperatif, mengurangi infeksi nosokomial selama perawatan dan perawatan luka bakar. Namun sering kita lihat terjadi pemakaian antiseptik yang tidak semestinya misalnya penggunaan pada semua penyakit atau kelainan kulit yang sebenarnya tidak perlu. Ada beberapa antiseptik a.l: sabun , rivanol, kalium permanganat, povidon iodin dan alkohol. Sabun antiseptik. Selain sebagai pembersih sabun mempunyai sifat antiseptik ringan. Sabun bayi dan anak biasanya mengandung alkali yang lebih lemah sehingga mengurangi iritasi. Untuk memperoleh sifat antibakteri yang lebih besar beberapa sabun menambahkan bahan bersifat antiseptik seperti triklorokarbonilid atau tribromosalisilanida. Sayangnya kedua bahan tersebut menyebabkan sensitisasi sehingga harus waspada dalam penggunaannya. Rivanol. Merupakan serbuk berwarna kuning yang larut dalam air. Biasanya digunakan sebagai kompres luka atau lesi yang eksudatif dalam larutan 0,5-1%. Kalium permanganat. Selain sebagai antiseptik larutan kalium permanganat mempunyai sifat sebagai oksidator sehingga baik untuk membersihkan luka yang kotor. Digunakan dalam konsentrasi 1:10000, dalam bentuk kristal yang dilarutkan dalam air, yang akan memberikan warna merah jambu . Povidon iodin. Merupakan kompleks yodium dengan polivinyl pyrolidon. Bahan ini lebih disenangi karena tidak toksik dan tidak iritatif, walaupun pada beberapa orang dapat timbul alergi. Selain pada kulit dapat juga digunakan untuk selaput lendir jalan lahir. Tersedia dalam konsentrasi 1-10% dalam bentuk salep dan solosio. Alkohol. Biasanya dipakai etilalkohol atau isopropilalkohol. Sifat antiseptiknya paling besar pada konsentrasi 70%. Penggunaannya hanya dioleskan atau kompres. Pada luka sayat tidak dianjurkan karena dapat terjadi presipitasi protein jaringan sehingga akan membentuk massa bergumpal yang memungkinkan bakteri lebih mudah tumbuh. Selain itu penggunaan alkohol pada luka sayat akan menimbulkan rasa pedih dan panas 5. ANTIPRURITUS Preparat ini merupakan obat simtomatik, digunakan hanya untuk mengurangi gejala, bukan untuk menyembuhkan. Banyak keluhan gatal yang bersumber tidak jelas sehingga memerlukan pengobatan simtomatik. Beberapa preparat antigatal yaitu: kalamin, urea, phenol, metol dan kamfor serta antihistamin. Kalamin. Merupkan kombinasi dari seng oksida dan ferri oksida. Biasanya terdapat dalam bentuk bedak, bedak kocok, krim serta salep. Urea. Dapat bekerja sebagai antigatal karena efek hidrasi kulit dan emolient. Digunakan pada konsentrasi 2-10% pada basis krim. Sebaiknya digunakan pada kulit yang utuh karena dapat menyebabkan rasa panas atau terbakar. Fenol, mentol dan kamfor. Merupakan derivat fraksi oleoresin dari tumbuh-tumbuhan. Penggunaannya dengan konsentrasi 0,5-1% yang ditambahkan pada lotio atau krim dan berefek sebagai pendingin. Bila konsentrasi lebih dari 2% dapat berakibat iritasi dan nekrosis lokal, terutama bila dipakai pada kulit yang tidak utuh. Antihistamin. Walaupun antihistamin topikal tersedia dalam bentuk krim, namun perlu diingat bahwa antihistamin merupakan bahan pemeka atau sensitizer yang poten sehingga menyebabkan dermatitis kontak alergi. Oleh karena itu tidak dianjurkan penggunaannya dalam klinik SIMPULAN Pengobatan topikal merupakan bagian terpenting dalam penatalaksanaan penyakit kulit. Ada 3 fungsi dalam pengobatan topikal yaitu: proteksi kulit terhadap lingkungan, membasahi atau mengeringkan dan membawa obat ke dalam kulit agar bekerja. Tidak ada penggunaan yang lebih bervariasi daripada pengobatan topikal. Dalam pemilihan obat topikal harus mempertimbangkan indikasi, lokasi dan stadium penyakit. Kesalahan dalam memberikan obat topikal justru dapat menyebabkan timbulnya penyakit iatrogenik seperti pada kortikosteroid topikal. Lokasi lesi dan stadium penyakit menentukan jenis vehikulum yang dipilih oleh karena vehikulum yang tepat akan meningkatkan efektivitas obat dan mempercepat penyembuhan.