You are on page 1of 35

LAPORAN SKENARIO 1

SISTEM ENDOKRIN
TUMOR HIPOFISIS







Disusun oleh :
Chelsea Tangalobo Parassa 1102019 / IIA
Gede Kertayasa 1102048 / IIA
Ika Falkatari 1102056 / IIA
Ni PutuTika Apriliany 1102085 / IIA
Yogi Januriswanti 1102119 / IIA
Elisabeth Eka Dias 1102029 / IIB
Gabril Elman Bigson 1102044 / IIB
Kusumo Estri Pamungkas 1102065 / IIB
Nonie Mega Dinie 1102086 / IIB
Wina Angelin Oktavia 1102117 / IIB
Yustus Inyoman Syukur 1102122 / IIB



SEMESTER V PRODI S1 KEPERAWATAN
STIKES BETHESDA YAKKUM
YOGYAKARTA
2013



1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................... 1

ISI
-Anatomi Fisiologi..................................................................................... 2
-Definisi............................................................................................................. 7
-Etiologi............................................................................................................. 8
-Epidemiologi...................................................................................................... 8
-Klasifikasi.......................................................................................................... 8
-Patofisiologi....................................................................................................... 9
-Manifestasi Klinis............................................................................................. 10
-Pemeriksaan Diagnostik.................................................................................... 12
-Penatalaksanaan................................................................................................. 14
-Komplikasi......................................................................................................... 15
-Prognosis............................................................................................................ 16
-Pencegahan........................................................................................................ 16
-Aspek Legal Etik............................................................................................... 17
-Peran Advokasi.................................................................................................. 18
-Satuan Acara Penyuluhan.................................................................................. 19
-Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Tumor Hipofisis............................. 22

JURNAL KESEHATAN.................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 34








2
TUMOR HIPOFISIS
A. ANATOMI FISIOLOGI
Hipofisis merupakan sebuah kelenjar sebesar kacang polong, yang
terletak di dalam struktur bertulang (sela tursika) di dasar otak. Sela tursika
melindungi hipofisa tetapi memberikan ruang yang sangat kecil untuk
mengembang.
Jika hipofisa membesar, akan cenderung mendorong ke atas, seringkali
menekan daerah otak yang membawa sinyal dari mata dan mungkin akan
menyebabkan sakit kepala atau gangguan penglihatan.
Hipofisa mengendalikan fungsi dari sebagian besar kelenjar endokrin
lainnya. Hipofisa dikendalikan oleh hipotalamus, yaitu bagian otak yang
terletak tepat diatas hipofisa. Hipofisa memiliki 2 bagian yang berbeda, yaitu
lobus anterior (depan) dan lobus posterior (belakang).
Hipotalamus mengendalikan lobus anterior (adenohipofisa) dengan cara
melepaskan faktor atau zat yang menyerupai hormon, melalui pembuluh


3
darah yang secara langsung menghubungkan keduanya. Pengendalian lobus
posterior (neurohipofisa) dilakukan melalui impuls saraf.
Lobus anterior menghasilkan hormon yang pada akhirnya mengendalikan
fungsi :
1. Kelenjar tiroid, kelenjar adrenal dan organ reproduksi (indung telur
dan buah zakar)
2. Laktasi (pembentukan susu oleh payudara)
3. Pertumbuhan seluruh tubuh.
Adenohipofisa juga menghasilkan hormon yang menyebabkan kulit berwarna
lebih gelap dan hormon yang menghambat sensasi nyeri.
Hipofisa posterior menghasilkan hormon yang berfungsi:
1. Mengatur keseimbangan air
2. Merangsang pengeluaran air susu dari payudara wanita yang
menyusui
3. Merangsang kontraksi rahim.
Dengan mengetahui kadar hormon yang dihasilkan oleh kelenjar yang berada
dibawah kendali hipofisa (kelenjar target), maka hipotalamus atau hipofisa
bisa menentukan berapa banyak perangsangan atau penekanan yang
diperlukan oleh hipofisa sesuai dengan aktivitas kelenjar target.
Hormon yang dihasilkan oleh hipofisa (dan hipotalamus) tidak semuanya
dilepaskan terus menerus. Sebagian besar dilepaskan setiap 1-3 jam dengan
pergantian periode aktif dan tidak aktif.
Beberapa hormon (misalnya kortikotropin yang berfungsi mengendalikan
kelenjar adrenal, hormon pertumbuhan yang mengendalikan pertumbuhan
dan prolaktin yang mengendalikan pembuatan air susu) mengikuti suatu
irama yang teratur, yaitu kadarnya meningkat dan menurun sepanjang hari,
biasanya mencapai puncaknya sesaat sebelum bangun dan turun sampai kadar
terendah sesaat sebelum tidur.
Kadar hormon lainnya bervariasi, tergantung kepada beberapa faktor.
Pada wanita, kadar LH (luteinizing hormone) dan FSH (follicle-stimulating
hormone) yang mengendalikan fungsi reproduksi, bervariasi selama siklus
menstruasi.


4
Terlalu banyak atau terlalu sedikitnya satu atau lebih hormon hipofisa
menyebabkan sejumlah gejala yang bervariasi.

Fungsi Lobus Anterior
Lobus anterior merupakan 80% dari berat kelenjar hipofisa. Bagian ini
melepaskan hormon yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan fisik
yang normal atau merangsang aktivitas kelenjar adrenal, kelenjar tiroid serta
indung telur atau buah zakar.
Jika hormon yang dilepaskan terlalu banyak atau terlalu sedikit, maka
kelenjar endokrin lainnya juga akanmelepaskan hormon yang terlalu banyak
atau terlalu sedikit.
Salah satu hormon yang dilepaskan oleh lobus anterior adalah
kortikotropin (ACTH, adenocorticotropic hormone), yang merangsang
kelenjar adrenal untuk melepaskan kortisol dan beberapa steroid yang
menyerupai testosteron (androgenik).
Tanpa kortikotropin, kelenjar adrenal akan mengkisut (atrofi) dan
berhenti menghasilkan kortisol, sehingga terjadi kegagalan kelenjar adrenal.
Beberapa hormon lainnya dihasilkan secara bersamaan dengan
kortikotropin, yaitu beta-melanocyte stimulating hormone, yang
mengendalikan pigmentasi kulit serta enkefalin dan endorfin, yang
mengendalikan persepsi nyeri, suasana hati dan kesiagaan.
TSH (thyroid-stimulating hormone) juga dihasilkan oleh lobus anterior
dan berfungsi merangsang kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid.
Terlalu banyak TSH menyebabkan pembentukan tiroid yang berlebihan
(hipertiroidisme), terlalu sedikit TSH menyebakbn berkurangnya
pembentukan hormon tiroid (hipotiroidisme).
Dua hormon lainnya yang dihasilkan oleh lobus anterior adalah LH
(luteinizing hormone) dan FSH (follicle-stimulating hormone). Keduanya
merupakan gonadotropin, berfungsi merangsang indung telur dan buah zakar.
Pada wanita, kedua hormon ini merangsang pembentukan estrogen dan
progesteron serta merangsang pelepasan sel telur setiap bulannya dari indung


5
telur. Pada pria, LH merangsang buah zakar untuk menghasilkan testosteron
dan FSH merangsang pembentukan sperma.
Salah satu hormon terpenting yang dihasilkan oleh lobus anterior adalah
hormon pertumbuhan, yang merangsang pertumbuhan otot dan tulang serta
membantu mengatur metabolisme. Hormon pertumbuhan dapat
meningkatkan aliran gula ke otot dan lemak, merangsang pembentukan
protein di hati dan otot serta memperlambat pembentukan jaringan
lemak. Efek jangka panjang dari hormon pertumbuhan adalah menghambat
pengambilan dan pemakaian gula sehingga kadar gula darah meningkat dan
meningkatkan pembentukan lemak dan kadar lemak dalam darah. Kedua
efek tersebut sangat penting karena tubuh harus menyesuaikan diri dengan
kekurangan makanan ketika berpuasa.
Bersamaan dengan kortisol, hormon pertumbuhan membantu
mempertahankan kadar gula darah untuk otak dan memindahkan lemak,
sehingga sel-sel tubuha lainnya dapat menggunakannya sebagai cadangan
sumber energi.
Pada berbagai kasus, hormon pertumbuhan tampaknya bekerja dengan
cara mengaktifkan sejumlah faktor pertumbuhan, yang paling penting adalah
faktor pertumbuhan yang menyerupai insulin (IGF-1, insulin-klike growth
factor).

Fungsi Lobus Posterior
Lobus posterior hanya menghasilkan 2 macam hormon, yaitu hormon
antidiuretik dan oksitosin. Sesungguhnya kedua hormon ini dihasilkan oleh
sel-sel saraf di dalam hipotalamus; sel-sel saraf ini memiliki tonjolan-tonjolan
(akson) yang mengarah ke hipofisa posterior, dimana hormon ini dilepaskan.
Hormon antidiuretik dan oksitosin tidak merangsang kelenjar endokrin
lainnya, tetapi langsung mempengaruhi organ target.
Hormon antidiuretik (disebut juga vasopresin) meningkatkan penahanan
air oleh ginjal. Hormon ini membantu tubuh menahan jumlah air yang
memadai.


6
Jika terjadi dehidrasi, maka reseptor khusus di jantung, paru-paru. Otak
dan aorta, mengirimkan sinyal kepada kelenjar hipofisa untuk menghasilkan
lebih banyak hormon antidiuretik. Kadar elektrolit (misalnya natrium, klorida
dan kalium) dalam darah harus dipertahankan dalam angka tertentu agar sel-
sel berfungsi secara normal. Kadar elektrolit yang tinggi (yang dirasakan oleh
otak) akan merangsang pelepasan hormon antidiuretik.
Pelepasan hormon antidiuretik juga dirangsang oleh nyeri, stress, olah
raga, kadar gula darah yang rendah, angiotensin, prostaglandin dan obat-obat
tertentu (misalnya klorpropamid, obat-obat kolinergik dan beberapa obat yang
digunakan untuk mengobati asma dan emfisema).
Alkohol, steroid tertentu dan beberapa zat lainnya menekan
pembentukan hormon antidiuretik. Kekurangan hormon ini menyebabkan
diabetes insipidus, yaitu suatu keadaan dimana ginjal terlalu banyak
membuang air.
Oksitosin menyebabkan kontraksi rahim selama proses persalinan dan
segera setelah persalinan untuk mencegah perdarahan.
Oksitosin juga merangsang kontraksi sel-sel tertentu di payudara yang
mengelilingi kelenjar susu. Pengisapan puting susu merangsang pelepasan
oksitosin oleh hipofisa. Sel-sel di dalam payudara berkontraksi, sehingga air
susu mengalir dari dalam payudara ke puting susu.
Hormon yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa
No Hormon Location Function
1. Hormon pertumbuhan
(growth hormone)
GH/ somatotropin

Otot & tulang

meningkatkan
pertumbuhan dengan
mempengaruhi beberapa
fungsi metabolisme seluruh
tubuh, khususnya
pembentukan protein
2. Prolaktin hormon
adenokortikotropik
(ACTH)

Kelenjar
adrenal
mengatur sekresi beberapa
hormon korteks adrenal, yang
selanjutnya mempengaruhi
metabolisme glukosa,


7
protein, dan lemak.
3. Hormon stimulasi
tiroid (TSH)

Tiroid

mengatur kecepatan sekresi
tiroksin oleh kelenjer tiroid,
dan tiroksin selanjutnya
mengatur kecepatan sebagian
besar reaksi reaksi kimia
seluruh tubuh
4. Prolaktin

Kelenjar susu

meningkatkan perkembangan
kelenjar mammae dan
pembentukan susu
5 hormon luteinisasi
(LH)

Indung telur
(buah zakar)
mengatur pertumbuhan
gonad serta aktivitas
reproduksinya.
6. hormon stimulasi
folikel (FSH)

Indung telur
(buah zakar)

mengatur pertumbuhan
gonad serta aktivitas
reproduksinya.
7 Oksitosin Rahim &
kelenjar susu
Berperan dalm proses
persalinan bayi dan laktasi
8. Hormon antidiuretik
(vasopresin)
Ginjal Mengatur kecepatan ekskresi
air ke dalam urin dan dengan
cara ini membantu mengatur
konsentrasi air dalam cairan
tubuh.

B. DEFINISI
1. Tumor hipofisis merupakan adanya kelainan instrinstik dari kelenjar
hipotalamus sendiri.
2. Tumor Hipofisis sebagai hasil stimulasi yang terus menerus oleh
hormone hipotalamus.
3. Tumor hipofisis merupakan penyebab utama hiperpituitrysme. Adenoma
ini hampir selalu mensekresi sehingga sering disebut functioning tumor
4. Adenoma hipofisis adalah adenoma intraselular dengan besar diameter
kurang dari 1 cm dengan tanda-tanda hipersekresi hormone.


8

C. ETIOLOGI
Penyebab tumor hipofisis tidak diketahui. Sebagian besar diduga tumor
hipofisis hasil dari perubahan pada DNA dari satu sel, menyebabkan
pertumbuhan sel yang tidak terkendali. Cacat genetik, sindroma neoplasia
endokrin multipel tipe I dikaitkan dengan tumor hipofisis. Namun, account
cacat ini hanya sebagian kecil dari kasus-kasus tumor hipofisis. Selain itu,
tumor hipofisis didapat dari hasil penyebaran (metastasis) dari kanker situs
lain. Kanker payudara pada wanita dan kanker paru-paru pada pria
merupakan kanker yang paling umum untuk menyebar ke kelenjar pituitari.
Kanker lainnya yang menyebar kekelenjar pituitari termasuk kanker ginjal,
kanker prostat, melanoma, dan kanker pencernaan.
D. EPIDEMIOLOGI
Sekitar 10% dari seluruh tumor intracranial merupakan hipofisis, terutama
terdapat pada usia 20-50 tahun, dengan insiden yang seimbang laki-laki dan
perempuan. Adenoma hipofisis terutama timbul pada lobus anterior hipofisis,
pada lobus posterior jarang terjadi.

E. KLASIFIKASI
1. Berdasarkan hormon yang diproduksi oleh kelenjar hipofisis dan
dibedakan menjadi 2 jenis yaitu :
a. Adenoma Hipofisis Non Fungsional (Tidak Memproduksi
Hormon)
Tumor ini berkisar sekitar 30% dari seluruh tumor pada hipofisis.
Biasanya muncul pada dekade ke 4 dan ke 5 dari kehidupan, dan
biasanya lebih sering ditemukan padalaki-laki daripada wanita.
Nama lain dari tumor ini yaitu Null cell tumor, undifferentiated
tumor dan non hormon producing adenoma. Karena tumor ini
tidak memproduksi hormon, maka pada tahap dini seringkali tidak
memberikan gejala apa-apa. Sehingga ketika diagnose ditegakkan
umumnya tumor sudah dalam ukuran yang sangat besar, atau gejala


9
yang timbul karena efek masanya. Tumor biasanya solid walaupun
bisa ditemukan tumor dengan campuran solid dan kistik.
b. Adenoma Hipofisis Fungsional Yang Terdiri Dari :
1) adenoma yang bersekresi prolaktin
2) adenoma yang bersekresi growth hormon (GH)
3) adenoma yang bersekresi glikoprotein (TSH, FSH, LH)
4) adenoma yang bersekresi adrenokortikotropik hormon (ACTH)
Pada penelitian dari 800 pasien yang menderita tumor hipofisis, 630
pasien merupakan tipe functioning pituitary tumors yang terdiri dari :52%
merupakan tumor yang mengsekresikan prolactin27% tumor yang
mengsekresikan GH 20 % tumor yang mengsekresikan ACTH 0,3% tumor
yang mengsekresikan TSH kelenjar hipofisis bagian anterior berperan dalam
sekresi dan pengaturan dari berbagai hormon peptida dan stimulating factor.
Tumor yang berasal dari bagian ini akan memproduksi secara berlebihan
beberapa atau salah satu dari hormon mpoptida, jika ini terjadi maka
dinamakan fungsional atau secreting adenoma.
Adanya adenoma kelenjar hipofisis anterior bisa dideteksi dengan melihat
aktifitas endokrin dan dengan immunohisto chemical staining. Ada juga
klasifikasi dari buku medikel bedah yaitu : Eusinofil Basofil Kromopom
2. Klasifikasi berdasarkan gambaran radiology
a. Grade 0 : tumor tidak terlihat secara radiologi
b. Grade I dan II: adenoma yang terbatas dalam sella turcica
c. Grade III dan IV: adenoma yang menginvasi ke jaringan sekitarnya.
3. Berdasarkan penyebarannya tumor ke extrasellar maka dibagi lagi
dalam subklasifikasi berikut :
a. A,B,C yaitu penyebaran langsung ke suprasellar
b. D yaitu perluasan secara asimetrik ke sinus kavernosus
c. E yaitu perluasan secara asimetrik ke sinus intrakranial

F. PATOFISIOLOGI
Kemajuan biologi molekuler membuktikan tumor ini berasal dari
monoklonal, yang timbul dari mutasi sel tunggal diikuti oleh ekspansi klonal.
Neoplasia hipofisis merupakan proses multi-step yang meliputi disregulasi


10
pertumbuhan sel atau proliferasi, diferensiasi dan produksi hormon. Ini terjadi
sebagai hasil aktifasi fungsi onkogen setelah inaktifasi gen tumor supresor.
Proses aktivasi fungsi onkogen merupakan hal yang dominan, karenanya
gangguan allel tunggal dapat menyebabkan perubahan fungsi sel.
Inaktifasi tumor supresor bersifat resesif, karenanya kedua gen allel harus
terlibat untuk mempengaruhi fungsi seluler. Heterogenitas defek genetik
ditemukan pada adenoma hipofisis sesuai dengan proses neoplastik multi
step. Abnormalitas protein G, penurunan ekspresi protein nm23, mutasi ras
gen, delesi gen p53, 14 q, dan mutasi, kadar c-myc onkogen yang tinggi dapat
menyebabkan pertumbuhan adenoma kelenjar hipofisis.
Penelitian in vitro membuktikan peranan estrogen dalam menginduksi
terjadinya hiperplasia hipofisis dan replikasi laktotroph. Terbukti produk
PTTG (Pituitary tumor transforming gene) menyebabkan transformasi
aktifitas dan menginduksi sekresi dasar bFGF, sehingga memodulasi
angiogenesis hipofisis dan formasi tumor. PTTG ini diinduksi oleh estrogen.

G. MANIFESTASI KLINIS
1. Adenoma Hipofisis non fungsional:
a. Nyeri kepala
b. Karena perluasan tumor ke area supra sella, maka akan menekan
chiasma optikum, timbul gangguan lapang pandang bitemporal.
Karena serabut nasal inferior yang terletak pada aspek inferior dari
chiasma optikum melayani lapang pandang bagian temporal superior
(Wilbrands knee), maka yang pertama kali terkena adalah
lapang pandang quadrant bitemporal superior. Selanjutnya kedua
papil akan menjai atrophi.
c. Tumor yang tumbuh perlahan akan menyebabkan gangguan fungsi
hipofisis yang progressif dalam beberapa bulan atau beberapa tahun
berupa :
1) Hypotiroidism, tidak tahan dingin, myxedema, rambut yang
kasar
2) Hypoadrenalism, hipotensi ortostatik, cepat lelah


11
3) Hypogonadism, amenorrhea (wanita), kehilangan libido dan
kesuburan.
2. Manifestasi Klinis Adenoma Fungsional
a. Adenoma yang bersekresi Prolaktin
1) Hyperprolactinemia pada wanita didahului amenorhoe,
galactorhoe, kemandulan dan osteoporosis.
2) Pada laki-laki biasanya asimptomatik atau timbul impotensi atau
daya sexual yang menurun. Karena perbedaan gejala tersebut
maka tumor ini pada laki-laki biasanya ditemukan jika sudah
menimbulkan efek kompresi pada struktur yang berdekatan.
b. Adenoma yang bersekresi growth hormone
1) Gejala timbul secara gradual karena pengaruh meningginya kadar
GH secara kronik. Dari sejumlah kasus menunjukkan bahwa
gejala yang timbul lebih karena efek kompresi lokal dari masa
tumor, bukan karena gangguan somatiknya.
2) Lalu timbul visceromegali
3) Muka yang kasar dan skin tags yaitu perubahan pada cutis dan
jaringan subcutisyang lambat berupa fibrous hyperplasia terutama
ditemukan pada jari-jari, bibir,telinga dan lidah. Adanya skin tags
ini penting karena hubungannya dengan keganasan pada kolon.
c. Adenoma yang bersekresi glikoprotein (TSH, FSH, LH) Kecuali
untuk tumor yang bersekresi TSH, yang menunjukkan gejala :
1) Hypertiroidism glycoprotein secreting adenoma tidak
memberikan gejala yang spesifik sehubungan dengan
hipersekresinya, sehingga adenoma ini biasanya baru ditemukan
sesudah memberikan efek kompresi pada struktur didekatnya
seperti chiasma optikum atau tangkai hipofisis.
2) Hipertiroid yang disebabkan oleh TSH adenoma berbeda dengan
Graves disease, graves disease merupakan penyakit yang
diturunkan, dimana terdapat resistensi yang efektif terhadap
hormon tioid yang menyebabkan pengaruh umpan balik negatif
dari hormon tiroid atau TSH lemah, sehingga timbul hipersekresi


12
TSH. Kelainan ini sering bersamaan dengan bisu tuli, stipled
epiphyse dan goiter, iniyang membedakan dengan hipertiroid
akibat adanya adenoma.
3) Pada hipertiroid akibat TSH adenoma, biasanya lebih banyak
mengenai wanita, gejala lainnya yaitu gangguan lapang pandang,
pretibial edema dan kadar serum immunoglobulim stimulasi tiroid
jumlahnya sedikit.
d. Adenoma yang bersekresi ACTH
1) Biasanya menyerang wanita sekitar usia 40 tahun
2) Khas ditandai dengan truncal obesity, hipertensi, hirsutisme
(wanita),hyperpigmentasi, diabetes atau glukosa intoleran,
amenorrhea, acne, striaeabdominal, buffallo hump dan moon
facies. Kelainan endokrinologik yang berat ini sudah muncul pada
tahap sangat dini dari tumornya yang menyulitkan dalam
mendeteksi dan identifikasi sumbernya.

H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Adenoma Hipofisis non fungsional:
1) Pada rontgen foto lateral tengkorak terlihat sella turcica membesar,
lantai sella menipisdan membulat seperti balon. Jika pertumbuhan
adenomanya asimetrik maka padalateral foto tengkorak akan
menunjukkan double floor. Normal diameter AP darikelenjar hipofisis
pada wanita usia 13-35 tahun < 11 masing-masing, sedang pada
yanglainnya normal < 9 masing-masing.
2) MRI dan CT scan kepala, dengan MRI gambaran a.carotis dan chiasma
tampak lebih jelas, tetapi untuk gambaran anatomi tulang dari sinus
sphenoid CT scan lebih baik.c. Test stimulasi fungsi endokrin diperlukan
untuk menentukan gangguan fungsi darikelenjar hipofisis.
Adenoma Fungsional :
1) Adenoma yang bersekresi Prolaktin
Penilaian kadar serum prolactin, kadar serum lebih dari 150 ng/ml
biasanya berkorelasi dengan adanya prolactinomas. Kadar prolactin


13
antara 25-150 ng/ml terjadi pada adanya kompresi tangkai hipofisis
sehingga pengaruh inhibisi dopamin berkurang, juga pada stalk effect
(trauma hypothalamus, trauma tungkai hipofisis karena operasi).
2) Adenoma yang bersekresi growth hormone
Pengukuran kadar GH tidak bisa dipercaya karena sekresi hormon ini
yang berupa cetusan, walaupun pada keadaan adenoma. Normal kadar
basal Gh <1 ng/ml, pada penderita acromegali bisa meningkat sampai >
5 ng/ml, walaupun pada penderita biasanya tetap normal. Pengukuran
kadar somatemedin C lebih bisa dipercaya, karenakadarnya yang
konstan dan meningkat pada acromegali. Normal kadarnya 0,67
U/ml, pada acromegali mebningkat sampai 6,8 U/ml. Dengan GTT kdar
GH akan ditekan sampai < 2 ng/ml sesudah pemberian glukosa oral (100
gr), kegagalan penekanan ini menunjukkan adanya hpersekresi dari GH.
Pemberian GRF atau TRH perdarahan infusakan meningkatkan kadar
GH, pada keadaan normal tidak. Jika hipersekresi telah ditentukan maka
pastikan sumbernya dengan MRI, jika dengan MRI tidak terdapatsesuatu
adenoma hipofisis harus dicari sumber ektopik dari GH.
3) Adenoma yang bersekresi glikoprotein (TSH, FSH, LH)
Hormon TSH, LH dan FSH masing-masing terdiri dari alpha dan beta
subarakhnoidunit, alpha subarakhnoid unitnya sama untuk ketiga
hormon,sedangkan betasubarakhnoid unitnya berbeda. Dengan teknik
immunohistokimia yang spesfik bisa diukur kadar dari alpha
subarakhnoid unit atau kadar alpha dan beta subarakhnoid unit.Pada
tumor ini terdapat peninggian kadar alpha subarakhnoid unit, walaupun
padaadenoma non fungsional 22% kadar alpha subarakhnoid unitnya
juga meningkat. MRIdengan gadolinium, pada pemeriksaan ini tidak
bisa dibedakan antara adenoma yangsatu dengan yang lainnya
4) Adenoma yang bersekresi ACTH
CRH dilepaskan dari hipotalamus dan akan merangsang sekresi ACTH
dari adenihipofisis, ACTH akan meningkatkan produksi dan sekresi
cortisol dari adrenalcortex yang selanjutnya dengan umpan balik negatif
akan menurunkan ACTH. Pada kondisi stres fisik dan metabolik kadar


14
cortisol meningkat, secara klinik sulit mengukur ACTH, maka cortisol
dalam sirkulasi dan metabolitnya dalam urine digunakan untuk status
diagnose dari keadaan kelebihan adrenal. Cushingssyndroma secara
klinik mudah dikenal tapi sulit untuk menentukan etiologinya.

I. PENATALAKSANAAN
1. PENGOBATAN
Pengobatan adenoma hipofisis dimulai dengan koreksi elektrolit
disfungsidan penggantian hormon hipofisis, jika perlu, segera setelah
spesimen darah diagnostic telah terkirim. Penggantian hormon tiroid atau
adrenal adalah sangat penting. Steroid penggantian harus cukup untuk
situasi stres, termasuk periode perioperatif. Tujuan perawatan berbeda
sesuai dengan aktivitas fungsional tumor. Untuk tumor endokrinaktif,
pendekatan yang agresif terhadap normalisasi hipersekresi sangat penting
sekaligus mempertahankan fungsi hipofisis normal. Hal ini biasanya dapat
dicapai dengan bedaheksisi, tetapi beberapa Prolaktinoma lebih baik
dikontrol secara medis.Untuk nonsecreting tumor, pengobatan diarahkan
bedah pengurangan efek massa bertanggung jawab atas gejala, dengan
tetap menjaga fungsi hipofisis. Meskipun bedahreseksi lengkap
diinginkan, yang radiosensitivity tumor ini mengundang subtotal
debulkingdiikuti dengan terapi radiasi untuk mengurangi risiko
kekambuhan atau keganasan.Adenomas asimtomatik insidentil tidak
memerlukan intervensi tetapi harus diikuti dengan pemeriksaan secara
berkala bidang visual dan MRI. Timbulnya gejala atau MRI dokumentasi
pertumbuhan indikasi untuk perawatan.

2. PEMBEDAHAN
Keberhasilan dan keselamatan pendekatan transsphenoidal
membuat prosedur pilihan untuk menghilangkan adenomas. Kebanyakan
tumor lunak dan gembur,dan transsphenoidal akses, meskipun terbatas,
memungkinkan untuk penghapusan lengkap bahkan jika ada suprasellar
signifikan ekstensi atau sella tidak diperbesar. Tingkat kematian kurang


15
dari 1%. Mayor morbiditas, termasuk stroke, kehilangan penglihatan,
meningitis, CSF bocor, atau cranial palsy, kurang dari 3,5%. Diabetes
insipidus permanen muncul setelah operasi dalam 2 sampai 5% dari pasien
dan diperlakukan oleh penggantinya.

3. TERAPI RADIASI
Terapi radiasi melengkapi operasi dalam mencegah perkembangan atau
kekambuhan. Standar teknik radiasi melibatkan penggunaan tiga bidang
(bidang menentangsejajar dengan bidang koronal) atau teknik rotasi untuk
menghindari dosis yang tidak perludi lobus temporal. Dosis 4.500-5.000
cGy disampaikan dalam pecahan 180-cGydisarankan. Secara umum,
pasien dengan tumor subtotally resected diberikan terapi radiasi.Walaupun
radiasi mengurangi risiko kekambuhan atau penundaan kambuhnya setelah
brutototal reseksi, kita ikuti serial pasien dengan MRI scan dan
pemeriksaan bidang visual danmenahan radiasi kecuali ada tumor
didokumentasikan regrowth. Untuk tumor termasuk kelenjar pituitary
adenoma hipofisis, prolactinoma dan penyakit Cushings, keputusan yang
berkaitan dengan pengobatan untuk tumor kelenjar
hipofisis bergantung pada pemahaman lengkap tentang risiko bersaing vs
manfaat untuk pengobatanyang berbeda. Pilihan untuk perawatan tumor
kelenjar pituitari dapat mencakup operasi, Radiosurgery dan gamma pisau.

J. KOMPLIKASI
1. Adenoma akan bermetastase pada organ lain yang akan menimbulkan
kanker dan organ yang terdekat dapat diserang adalah otak yang
mengakibatkan menjadi tumor ataupun kanker otak
2. Hypotiroidism : kerusakan kelenjar tiroid dimana kelenjar berhenti
memproduksi jumlah normal hormon
3. Hypoadrenalism : proses patologis hormon korteks adrenal yang tidak
memadai untuk mempertahankan kehidupan normal
4. Hypogonadism : kondisi tubuh (testikel) tidak memproduksi cukup
hormon testoteron


16
5. Hyperprolactenemia : suatu kondisi dmana otak mengeluarkan terlalu
banyak prolactin pada wanita yang tidak hamil.

K. PROGNOSIS
Pituitary tumor biasanya dapat disembuhkan. Hipofisis adenomas yang
mengeluarkan adrenocorticotropic hormon sering memiliki komplikasi yang
kuat untuk kambuh. Sekitar 5% dari hipofisis adenomas menginvasi jaringan
terdekat dan tumbuh dalam ukuran besar.Metastasis tumor hipofisis sangat
jarang terjadi. Namun, karsinoma hipofisis dapat bermetastasis dan
berhubungan dengan prognosis yang buruk.

L. PENCEGAHAN
Pencegahan Menurut Irianto Rony (2010), kelenjar hipofisis merupakan
master kelenjar seluruh tubuh. Pada usia 25 tahun biasanya fungsi kelenjar
pituitary/hipofisis mulai menurun, menurunnya fungsi kelenjar tersebut
menyebabkan fungsi kelenjar lainnya juga menurun, organ-organ tubuh
mulaiaus, dan tubuh mengalami penuaan. Dengan memperbaiki fungsi
kelenjar hipofisis, maka fungsi kelenjar seluruh tubuh menjadi normal dan
mencegahterjadinya kanker maupun tumor. Jika dikombinasikan dengan
vitamin C akan benar-benar membuat tubuh menjadi lebih muda, kulit wajah
lebih halus,lebih cerah, lebih lembab, lebih lentur dan mempercepat
penyembuhan penyakit.Berikut manfaat kelenjar pituitary jika berfungsi
maksimal:Peremajaan, awet muda, penyegaran, dalam taraf tertentu
menumbuhkan selsel yg telah rusak dan mati, memperbaiki penyakit
degeneratif, meningkatkanhormon kenyamanan, semangat dan gairah,
keceriaan, kelenturan kulit danotot, kelembaban kulit, menyegarkan otak,
pelembut kulit, memperlancar aliran darah, membuat semua organ berfungsi
sempurna, membantu metabolisme tubuh, meningkatkan imunitas, mengatasi
keausan sampai wilayah sel, meningkatkan pembentukan dan awet muda,
memperbaiki syaraf mata dan organ mata, memperbaiki kelenjar tiroid,
meningkatkan feromon, dll. Melihat fungsi kelenjar hipofisis, sangatlah
penting mengomsumsivitamin C yang dapat meningkatkan fungsi kelenjar


17
hipofisis serta mencegahkanker yang merupakan salah satu factor predisposisi
tumor hipofisis.

M. ASPEK LEGAL ETIK
Berorentasi pada akibat (relativisme), menekankan akibat atau hasil dari
tindakan kolaborasi dengan dokter dalam melakukan tindakan. Prinsipnya
adalah melakukan yang terbaik bagi pasien dan dalam keadaan tertentu.
Kode etik keperawatan Indonesia :
1. Pasal 1
Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya senantiasa berpedoman
kepada tanggung jawab yang bersumber dari adanya kebutuhan akan
keperawatan individu, keluarga dan masyarakat.
2. Pasal 3
Perawat dalam melaksanakan kewajibannya bagi individu, keluarga dan
masyarakat senantiasa dilandasi dengan rasa tulus ikhlas sesuai dengan
martabat dan tradisi luhur keperawatan.
3. Pasal 10
Perawat senantiasa memelihara hubungan baik antara sesama perawat dan
tenaga kesehatan lainnya, baik dalam memelihara keserasian lingkungan
kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara
menyeluruh.
Prinsip moral dalam menyelesaikan masalah etik adalah sebagai berikut :
1. Beneficence (berbuat baik)
Sebagai seorang perawat kita mempunyai kewajiban untuk menganalisa
dan melakukan tindakan keperawatan dengan baik, yaitu dengan
melaksanakan tindakan keperawatan yang menguntungkan pasien dan
keluarganya.
2. Kejujuran (veracity)
Sebagai perawat dalam memberi pelayanan kesehatan harus
menyampaikan kebenaran untuk meyakinkan klien atau keluarga sudah
benar-benar mengerti dan memahami penyakit yang diderita pasien itu
sendiri.


18
3. Otonomi (penentu pilihan)
Pada kasus ini perawat harus bisa menghargai hak klien untuk mengambil
keputusan sendiri. Namun perawat juga harus bisa menjelaskan dampak-
dampak yang akan terjadi bila tidak dilakukan tindakan.

N. PERAN ADVOKASI
Memberikan gambaran kepada klien mengenai penyakitnya serta meminta
dokter menjelaskan bagaimana prosedur pembedahan dan keparahan
penyakit, karena pasien sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya.


























19
O. SAP
SATUAN ACARA PENYULUHAN

Tema : Tumor Hipofisis
Waktu : 30 menit
Sasaran : Mahasiswa kelompok 7 Stikes Bethesda Yakkum
Tempat : Ruang SGD kelompok 7

I. Tujuan Intruksional Umum
Setelah mengikuti penyuluhan mahasiswa kelompok 7 memiliki pengetahuan
mengenai Tumor Hipofisis

II. Tujuan Intruksional Khusus
1. Mahasiswa SGD kelompok 7 mengerti pengertian Tumor Hipofisis
2. Mahasiswa SGD kelompok 7 mengerti penyebab Tumor Hipofisis
3. Mahasiswa SGD kelompok 7 mengerti tanda gejala Tumor Hipofisis
4. Mahasiswa SGD kelompok 7 mengerti pencegahan Tumor Hipofisis

III. Pokok Materi
1. Pengertian Tumor Hipofisis
2. Penyebab Tumor Hipofisis
3. Tanda dan Gejala Tumor Hipofisis
4. Pencegahan Tumor Hipofisis

IV. Metoda
1. Ceramah
2. Tanya jawab

V. Media
1. Power Point
2. Leaflet



20
VI. Kegiatan Penyuluhan
No. Kegiatan Respon Pasien Waktu
1. Pendahuluan
a. Penyampaian salam
b. Perkenalan
c. Menjelaskan topic penyuluhan
d. Menjelaskan tujuan
e. Apersepsi

a. Membalas salam
b. Memperhatikan
c. Memperhatikan
d. Memperhatikan
e. Memperhatikan


5 menit
2. Penyampaian materi
a. Menjelaskan Pengertian
Tumor Hipofisis
b. Menjelaskan Penyebab Tumor
Hipofisis
c. Menjelaskan Tanda dan Gejala
Tumor Hipofisis
d. Menjelaskan Pencegahan
Tumor Hipofisis

a. Memperhatikan
penjelasan dan
memperhatikan
b. Bertanya
c. Memperhatikan
jawaban





10 menit
3. Penutup
a. Menyimpulkan hasil
penyuluhan
b. Menjawab pertanyaan
Evaluasi
a. Menanyakan kembali ke
peserta penyuluhan

a. Memperhatikan

b. Menjawab

a. Menjawab



5 menit

VII. Evaluasi
1. Mahasiswa mampu mengerti pengertian Tumor Hipofisis
2. Mahasiswa mampu mengerti penyebab Tumor Hipofisis
3. Mahasiswa mampu mengerti tanda dan gejala Tumor Hipofisis
4. Mahasiswa mampu mengerti pencegahan Tumor Hipofisis




21
Yogyakarta, 6 September 2013

Pembimbing Penyuluh



Eunike Felicia Sioni, S.Kep.,Ns. SGD kelompok 7


































22
P. ASKEP
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TUMOR
HIPOFISIS
A. Pengkajian
1. Pengkajian sekunder
a. Identitas
Terjadi pada wanita dan pada laki-laki dengan pefalensi seimbang dan
mempunyai insiden puncak antara usia 20 dan 30 tahun.
b. Keluhan Utama
Klien mengeluhkan sakit kepala pada satu atau keduanya, atau di tengah
dahi kabur atau penglihatan ganda; kehilangan samping (perifer) visi,
ptosis yang disebabkan oleh tekanan pada saraf yang menuju ke mata,
perasaan mati rasa pada wajah, demensia, perasaan mengantuk, kepala
membesar, makan berlebih atau berkurang.
c. Riwayat penyakit sekarang
Klien mengatakan kepalanya sering mengalami sakit pada kepalanya, dan
pandangan kabur.
d. Riwayat penyakit dahulu
Kaji apakah sebelumnya klien pernah mengalami tumor pada bagian
tubuh, Kaji apakah klien pernah mengalami cedera kepala berat ataupun
ringan.
e. Riwayat penyakit keluarga
Kaji apakah keluarga pernah menderita penyakit tumor hipofisis.
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi :
1) Klien tampak mengalami pembesaran yang abnormal pada seluruh
bagian tubuh (jika timbul saat usia dini)
2) Klien tampak mengalami akromegali atau pembesaran yang abnormal
pada ujung-ujung tubuh seperti kaki, tangan, hidung, dagu (timbul
pada saat usia dewasa)
3) Klien tampak mengalami diplopia (pandangan ganda)
4) Tampak atropi pada pupil Klien tampak susah membedakan warna


23
5) Klien tampak susah menggerakkan organ-organ tubuh karena
kelemahan otot
b. Palpasi :
1) Terdapat nyeri kepala
2) Terdapat kelemahan otot tonus otot
3. Pengkajian data dasar
a. Aktifitas /istirahat :
1) Insomnia, bangun pada pagi hari dengan disertai nyeri kepala.
2) Sakit kepala yang hebat saat aktivitas.
3) Perubahan aktivitas biasanya/hobi sehubungan dengan gangguan
penglihatan.
4) Kelemahan otot.
b. Sirkulasi
1) Edema pada ekstermitas kaki dan tangan.
2) Takikardi.
c. Integritas ego
1) Ketidakberdayaan/putus asa sehubungan dengan perubahan
penampilan fisik.
d. Eliminasi.
1) Perubahan pola berkemih.
2) Perubahan warna urin contoh kuning pekat.
e. Makanan/cairan :
1) Nafsu makan menurun
2) Malnutrisi
3) Penurunan berat badan, berkurangnya massa otot.
4) Perubahan pada kelembababn/turgor kulit, edema.
f. Neurosensori.
1) Pening, disorientasi (selama sakit kepala), tidak mampu
berkonsentrasi.
2) Gangguan penglihatan (kabur/tak jelas)




24
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan penekanan korteks serebri di hipotalamus
2. Hipertermi berhubungan dengan kerusakan control suhu sekunder akibat
tumor hipofisis
3. GSP, Penglihatan berhubungan dengan penekanan pada ciasma optikum
4. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan gangguan metabolic ( hipermetabolik)
5. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi air akibat
peningkatan sekresi ADH
6. Kelemahan berhubungan dengan ketidakmampuan menyokong tubuh
7. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan fisik

C. RENCANA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan penekanan korteks serebri di hipotalamus
Tujuan : Nyeri dapat dihilangkan/ditangani
Kriteria hasil :
a. Melaporkan nyeri berkurang
b. Klien tampak tenang
c. Skala nyeri 2-4
Intervensi :
1. Kaji keluhan nyeri, perhatiakan lokasi, itensitas, dan waktu nyeri.
Rasional : Mengindikasikan kebutuhan untuk intervensi dan juga tanda-
tanda perkembangan komplikasi.
2. Letakan kantung es pada kepala klien.
Rasional : Meningkatkan vasokontriksi, penumpulkan resepsi sensori
yang selanjutnya akan menurunkan nyeri atau sakit kepala.
3. Dorong pengungkapan perasaan klien.
Rasional : Dapat mengurangi ansietas, sehingga mengurangi persepsi
akan intensitas rasa nyeri.
4. Lakukan tindakan paliatif. Misalnaya pengubahan posisi.
Rasional : Meningkatkan relaksasi dan menurunkan ketegangan otot.
5. Berikan analgesik/antipiretik, analgesic narkotik sesuai dengan indikasi.


25
Rasional : Memberikan penurunan nyeri/tidak nyaman.

2. Hipertermi berhubungan dengan kerusakan control suhu sekunder akibat
tumor hipofisis ditandai dengan suhu tubuh diatas normal (diatas 36-37,5),
kulit tampak kemerahan, klien mengeluhkan badannya panas
Tujuan : Perubahan suhu tubuh yang normal
Kriteria hasil : Suhu tubuh klien dalam rentang normal (36,5
0
37,5
0
C)
Intervensi :
1. Pantau suhu tubuh pasien (derajat dan pola) perhatikan adanya
menggigil.
Rasional : Demam biasanya terjadi karena proses inflamasi tetapi
mungkin merupakan komplikasi darikerusakan pada hipotalamus.
2. Pantau suhu lingkungan. Batasi penggunaan selimut.
Rasional : Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk
mempertahankan suhu mendekati normal
3. Berikan kompres hangat jika ada demam.
Rasional : Kompres air hangat menyebabkan tubuh dingin melalui proses
konduksi.
4. Pantau masukan dan haluaran. Catat karakteristik urine, turgor kulit, dan
membrane mukosa.
Rasional : Hipertermia meningkatkan kehilangan air tak kasat mata dan
meningkatkan resiko dehidrasi, terutama jika tingkat kesadaran menurun
/munculnya mual menurunkan pemasukan melalui oral.
5. Berikan antipiretik, misalnya ASA (aspirin), asetaminofen (Tylenol).
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya
pada hipotalamus, berguna juga untuk membatasi pertumbuhan
organismdan meningkatkan autodestruktif dari sel-sel yang terinfeksi.

3. GSP, Penglihatan berhubungan dengan penekanan pada ciasma optikum
Tujuan : Penglihatan klien dipertahankan pada tingkat sebaik mungkin.
Kriteria hasil
a. Penurunan tajam dan lapang pandang klien semakin membaik.


26
b. Klien mangatakan pandangan kabur dan ganda mulai berkurang bahkan
hilang.
Intervensi
1. Tentukan ketajaman penglihatan, catat satu atau kedua mata terlibat.
Rasional : Kebutuhan individu dan pilihan intervensi bervariasi, sebab
kehilangan penglihatan terjadi lambat dan progresif.
2. Orientasikan pasien terhadap lingkungan. Staf, orang lain di areanya.
Rasional : Memberikan peningkatan kenyamanan dan kekeluargaan.
3. Gunakan obat tetes mata dan pelindung
Rasional : Memberikan lubrikan dan melindungi mata.
4. Lakukan tindakan untuk membantu pasien menangani keterbatasan
penglihatan.
Rasional : Menurunkan bahaya keamanan sehubungan dengan perubahan
lapang pandang.

4. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan gangguan metabolic ( hipermetabolik)
Tujuan : Nutrisi klien adekuat
Kriteria hasil :
a. Mendemonstrasikan berat badan yang stabil
b. Bebas tanda dari malnutrisi.
Intervensi :
1. Pantau masukan makanan setiap hari.
Rasional : Mengidentifikasi kekuatan/defisiensi nutrisi
2. Ukur tinggi, berat badan. Timbang berat badan setiap hari atu sesuai
indikasi.
Rasional : Membantu dalam identifikasi malnutrisi protein kalori,
khususnya bila berat badan kurang dari normal.
3. Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori kaya nutrient, dengan
masukan cairan adekuat.
Rasional : Kebutuhan jaringan metabolic ditingkatkan.
4. Tinjau ulang pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.


27
Rasional : Membantu mengidentifikasi derajat ketidakseimbangan
biokimia/malnutrisi dan mempe garuhi pilihan intervensi diet.
5. Berikan obat sesuai indikasi, Vitamin khususnya A, D, E, dan B
Rasional : Mencegah kekurangan karena penurunan absorpsi vitamin
larut dalam lemak.

5. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi air akibat
peningkatan sekresi ADH.
Tujuan : Membuat/mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
klien.
Kriteria hasil : Menunjukan haluaran urin tepat dengan berat jenis/hasil
laboratorium mendekati normal.
Intervensi :
1. Awasi denyut jantung dan tekanan darah.
Rasional : Takikardi terjadi kegagalan ginjal untuk mengeluarkan urin.
2. Catat pemasukan dan pengeluaran akurat.
Rasional : Perlu untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian
cairan, dan penurunan resiko kelebihan cairan
3. Kaji kulit, wajah, area tergantung untuk edema.
Rasional : Edema terjadi terutama pada jaringan yang tergantung pada
tubuh. Contoh tangan dan kaki.
4. Awasi kadar natrium serum. Batasi pemasukan natrium sesuai indikasi.
Rasional : Kadar natrium tinggi berhubungan dengan kelebihan cairan.

6. Kelemahan berhubungan dengan penurunan produksi energy metabolik,
malnutrisi.
Tujuan : Menunjukan perbaikan kemampuan klien untuk beraktivitas.
Kriteria hasil :
a. Melaporkan perbaikan rasa berenergi.
b. Berpatisipasi pada aktivitas yang diinginkan.
Intervensi :


28
1. Evaluasi laporan kelemahan, kesulitan menyelesaikan tugas. Perhatikan
kemampuan istrahat/tidur dengan tepat.
Rasional : Menentukan derajat dari efek ketidakmampuan.
2. Kaji kemampuan untuk berpatisipasi pada aktivitas yang
dibutuhkan/diinginkan.
Rasional : Mengidentifikasi kebutuhan individual dan membantu
pilihan intervensi.
3. Rencanakan priode istrahat adekuat.
Rasional : Mencegah kelelahan berlebihan dan menyimpan energy
untuk penyembuhan.
4. Berikan bantuan dalam aktivitas sehari-hari dan ambulansi
Rasional : Memberikan keamanan pada pasien
7. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan fisik.
Tujuan : Harga diri klien ditingkatkan.
Kriteria hasil :
a. Menunjukan adaptasi awal pada terhadap perubahan tubuh.
b. Mulai mengembangkan rencana untuk perubahan pola hidup.
Intervensi
1. Diskusikan arti perubahan dengan pasien. Identifikasi persepsi
situasi/harapan yang akan dating.
Rasional : Mengidentifikasi/mengartikan masalah untuk memfokuskan
perhatian dan intervensi secara konstruktif.
2. Catat reaksi emosi, contoh kehilangan, depresi, marah.
Rasional : Pasien dapat depresi cepat setelah perubahan penampilan
fisik. Penerimaan perubahan tak dapat dipaksakan.
3. Susun batasan pada prilaku maladaptive, bantu pasien untuk
mengidentifikasi prilaku positif yang akan membaik.
Rasional : Penolakan dapat mengakibatkan penurunan harga diri dan
mempengaruhi gambaran penerimaan diri yang baru
4. Dorong orang terdekat untuk mengobati pasien secara normal dan tidak
sebagai orang cacat.
Rasional : Penyimpangan harga diri dapat disadari penguatanya.


29
5. Rujuk pasien kesumber pendukung. Contoh, ahli terapi psikologis.
Rasional : Pendekatan menyeluruh diperlukan untuk membantu pasien
menghadapi rehabilitasi dan kesehatan.








































30
JURNAL KESEHATAN

Jurnal I
NILAI LANGSUNG PASCA OPERASI PENCITRAAN MR SETELAH
ENDOSKOPI BEDAH HIPOFISIS ENDONASAL
Stofko DL, Nickles T, Sun H, Dehdashti AR .
Sumber
Departemen Bedah Saraf, Stroke dan Cerebrovascular Pusat New Jersey di
Capital Kesehatan, Dua Modal Way, Suite 456, Pennington, NJ, 08534, USA,
douglas.stofko @ gmail.com .
LATAR BELAKANG :
Meskipun nilai awal MR pencitraan telah dibenarkan untuk operasi
transphenoidal mikroskopis, tidak ada literatur yang mengevaluasi langsung pasca
operasi pencitraan MR pasca reseksi endoskopik endonasal adenoma hipofisis.
Kami berhipotesis bahwa MRI kelenjar pituitari dilakukan pada hari pertama
pasca operasi adalah sama efektif dalam mendeteksi penyakit sisa dan / atau
bahan-bahan rekonstruksi sebagai MRI pada 3 bulan setelah operasi .
METODE :
Kami retrospektif dievaluasi 102 pasien berturut-turut yang menjalani operasi
endonasal endoskopi untuk adenoma hipofisis dianggap. Enam puluh empat
pasien yang memenuhi kriteria inklusi dengan segera dan 3 bulan MR pencitraan.
Pencitraan dievaluasi dengan dua set pengamat. Parameter berikut dinilai : pola
peningkatan kelenjar hipofisis, hipofisis tangkai, peningkatan nodular ( tumor sisa
) atau perangkat linear ( non - tumoral ) dan rekonstruksi / bahan kemasan sisa.
HASIL :
Reseksi total kotor tumor tanpa keterlibatan sinus kavernosa dicapai pada 49 dari
52 ( 94 % ) pasien. Sebelas dari 12 pasien yang tersisa dengan invasi sinus gua
punya sisa komponen sinus kavernosa terlihat pada kedua segera dan 3 bulan MR
pencitraan. Kelenjar pituitari, posisi tangkai, dan tutup nasoseptal dapat
diidentifikasi pada kedua MRI pasca-operasi pada semua pasien. Sensitivitas dan
spesifisitas untuk deteksi tumor sisa pada langsung MRI adalah 100 % dan 97,9
%, masing-masing. Indeks kappa mengevaluasi kesepakatan interobserver untuk
identifikasi residu tumor dan packing/ bahan rekonstruksi yang sifatnya mendesak


31
MR adalah 0,83 dan 0,72 yang menunjukkan dekat perjanjian yang sempurna dan
substansial, masing-masing.
KESIMPULAN :
Segera MR pencitraan dilakukan setelah reseksi endoskopik endonasal lesi
hipofisis memberikan informasi yang akurat dan dapat diandalkan tentang
keberadaan sisa tumor dibandingkan dengan rekonstruksi dan kemasan bahan

Jurnal II
HYPERCORTISOLAEMIA KARENA EKTOPIK
ADRENOKORTIKOTROPIK SEKRESI HORMON OLEH
PARAGANGLIOMA HIDUNG :
LAPORAN KASUS DAN KAJIAN LITERATUR .
Thomas T, Zender S, Terkamp C, E Jaeckel, Manns MP .
Sumber
Departemen Gastroenterologi, Hepatologi dan Endokrinologi, Hannover Medical
School, Carl - Neuberg Str, 1, 30625, Hannover, Jerman. thomas.theodoros @ mh
- hannover.de.
LATAR BELAKANG :
Adrenokortikotropik hormon penghasil paragangliomas extraadrenal sangat
jarang. Kami menyajikan sebuah kasus hypercortisolemia parah akibat ektopik
adrenokortikotropik sekresi hormon oleh paraganglioma hidun .
KASUS PRESENTASI :
Seorang wanita Kaukasia 70 tahun, itu emergently mengaku departemen kami
dengan takikardia supraventrikuler, edema wajah dan ekstremitas dan krisis
hipertensi. Evaluasi laboratorium awal mengungkapkan hipokalemia berat dan
hiperglikemia tanpa ketoasidosis, meskipun tidak ada diabetes mellitus yang
diketahui sebelumnya. Computed tomography mengungkapkan tumor besar
melenyapkan kiri sinus paranasal dan massa adrenal sisi kiri. Setelah stabilisasi
kardiovaskular, penilaian hormonal menyeluruh dilakukan mengungkapkan
ditandai adrenokortikotropik hypercortisolism tergantung hormon. Karena adanya
pacu jantung pencitraan resonansi magnetik hipofisis itu tidak mungkin. [ 68Ga -
DOTA ] - Tate - Positron Emission - Tomography - dilakukan, menunjukkan


32
ekspresi reseptor somatostatin - dari lesi paranasal tapi bukan dari lesi adrenal
atau hipofisis tersebut. Tumor paranasal yang direseksi dan menemukan untuk
menjadi paraganglioma penghasil hormon adrenokortikotropik dari tingkat rendah
- proliferasi. Pasca operasi pasien menjadi normokaliaemic, normoglycemic dan
normotensif tanpa perlu lagi obat-obatan. Pengujian genetik menunjukkan tidak
ada mutasi succinatdehydrogenase subunit B - dan gen D, sehingga tidak
termasuk paragangliosis turun-temurun.
KESIMPULAN :
Deteksi sumber hormon adrenokortikotropik pada sindrom Cushing dapat
membuktikan sangat menantang, terutama ketika modalitas pencitraan yang
umum digunakan tidak tersedia atau tidak meyakinkan . Kasus ini lebih rumit oleh
deteksi simultan dari dua lesi tumor perilaku biokimia awalnya tidak jelas . Dalam
kasus tersebut, alat diagnostik baru - seperti pencitraan somatostatin - reseptor -
dapat membuktikan berguna dalam melokalisasi jaringan neuroendokrin hormon
aktif . Aspek klinis kasus dibahas dan literatur yang relevan ditinjau .

Jurnal III

TEKNIK PEMBEDAHAN EKSTRAKAPSULAR DENGAN MENGEPEL
KAPAS UNTUK ADENOMA HIPOFISIS MELALUI PENDEKATAN
ENDONASAL ENDOSKOPI
Prevedello DM, Ebner FH, de Lara D, Ditzel Filho L, Otto BA, Carrau RL.
SUMBER
Departemen Bedah saraf, Wexner Medical Center di The Ohio State University,
Columbus, OH, USA.
LATAR BELAKANG :
Adenoma hipofisis sering terbungkus dalam pseudocapsule histologis yang
memisahkan tumor dari kelenjar normal. Transsphenoidal adenoma reseksi dapat
dilakukan baik dalam intra-atau teknik ekstrakapsular. The ekstrakapsular busana
menawarkan orientasi anatomi, penghapusan margin keamanan, mengurangi
risiko membuka lapisan arakhnoid dengan aliran CSF berikutnya dan identifikasi
invasi.


33
METODE :
The sella turcica didekati melalui rute endonasal endoskopi klasik. Setelah
membuka dura dari lantai sellar, antarmuka antara jaringan dikompresi dan
kelenjar normal digunakan sebagai pesawat bedah untuk diseksi. Pertunjukan
sedikit kontra-traksi dengan tabung hisap, pesawat pembelahan diidentifikasi dan
bertahap membukanya dengan cara atraumatic dengan kapas. Setelah pesawat
pembelahan sebagian kendor, diulang gerakan memutar dilakukan dengan kapas
untuk enukleasi dengan pseudocapsule dan adenoma.
KESIMPULAN:
Kedua mikro dan macroadenomas menyajikan pseudocapsule yang dapat
direseksi dalam teknik pembedahan ekstrakapsular dengan kapas. Beroperasi di
endoskopi teknik tiga sampai empat tangan memungkinkan untuk
memvisualisasikan anatomi pesawat dan melakukan gerakan memutar dengan
kapas memisahkan pseudocapsule dan tumor untuk enukleasi adenoma tersebut.
























34
DAFTAR PUSTAKA

Boughman, Diane C, JoAnn c Hackley. 2000. Keperawatan Medical Bedah
: Buku Saku Untuk Perawat Brunner & Sudarth. Jakarta : EGC.
Rumahoro, Hotma. 1999. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Endokrin. Jakarta : EGC.
Tucker, Susan Martin. 1998. Standar Perawatan Pasien : Proses
Keperawatan, Diagnosa, dan Evaluasi. Jakarta : EGC.
Wise, Peter H. 1993. Atlas Bantu Endokrinologi. Jakarta : Hipokrates.
www. Google. com
Doenges, E. M, Mary F.M, Alice C.G. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan,
Jakarta : EGC .
Smeltzer C. Suzanne, Bare G. Brendo, (2002), Keperawatan Medikal
Bedah, vol. 3. EGC : Jakarta.
Price dan Wilson, editor dr. Huriawati Hartano, dkk. 2006. Patofisiologi
Konsep Klinis dan Proses- proses Penyakit Edisi 6 Vol. Jakarta : EGC
Doenges, Marilynn E., dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta :
EGC.
Hall and Guyton, (1997), Fisiologi Kedokteran, EGC : Jakarta.
Noer Sjaifullah H. M, (1999), Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, FKUI : Jakarta.

You might also like