You are on page 1of 93

1

OPTIMALISASI PERANAN POLISI KEHUTANAN


DALAM MENANGGULANGI ILLEGAL LOGGING
DI KAWASAN HUTAN PRODUKSI
(Studi di Perum Perhutani Di Kabupaten Trenggalek)

SKRIPSI
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan
Dalam Ilmu Hukum



Oleh :
WIKAN BINTORO
0110103168-11





DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2007


2

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala
petunjuk serta HidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal
Logging Di Kawasan Hutan Produksi (Studi Di Perum Perhutani Di Kabupaten
Trenggalek).
Penyusunan skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. Dengan
terselesaikannya penelitian ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Herman Suryokumoro, SH.MH, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya Malang.
2. Bapak Abdul Madjid, SH.MS, selaku Ketua Program Ekstensi Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya Malang.
3. Bapak Setiawan Noerdajasakti, SH.MS, selaku Kepala Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
4. Ibu Mudjuni Nahdiah A, SH.MS, selaku Pembimbing Utama, yang ditengah
kesibukannya telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan
bimbingan, masukan dan arahan dengan penuh kesabaran dan perhatian
kepada penulis.


3

5. Bapak Paham Triyoso, SH.MH, selaku Pembimbing Pendamping yang dengan
penuh kesabaran dan perhatian telah memberikan bimbingan, masukan dan
arahan yang sangat berguna bagi penulis hingga terselesaikannya sekripsi ini.
6. Para Dosen dan Staf Karyawan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang
telah memberikan ilmu pengetahuan dan pelayanan, hingga terselesaikannya
skripsi ini.
7. Semua karyawan Perum Perhutani, terutama kepada KSKPH Kediri Selatan
Bapak Asep Surahman, Asper Kampak Bapak Faturahman, Asper Dongko
Bapak Supriyanto, Asper Karangan Bapak J oko Sudarso Asper Trenggalek
Bapak Heri Argono dan Ibu Ummu di Perum Perhutani Unit II Surabaya yang
telah banyak membantu penulis pada waktu melakukan survey.
8. Kepada orang tua dan kakak-kakakku yang telah mengasuh, mendidik dan
senantiasa memberikan dukungan hingga terselesaikannya skripsi ini.
9. Kepada teman-temanku semua yang selalu memberi dukungan hingga
terselesaikannya skripsi ini.
Semoga Allah SWT membalas segala jasa baik yang telah mereka berikan.
Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat kepada
semua pihak yang memerlukannya.


Malang, J uli 2007
Penulis,

Wikan Bintoro


4

DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan... i
Lembar Pengesahan... ii
Kata Pengantar............... iii
Daftar Isi v
Abstraksi viii
BAB I PENDAHULUAN............ 1
A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah... 5
C. Tujuan Penelitian............... 6
D. Manfaat Penelitian. 6
E. Metode Penelitian.. 7
1. Metode Pendekatan. 7
2. Lokasi Penelitian.. 7
3. Populasi, Sample dan Responden 8
4. J enis dan Sumber Data. 9
5. Teknik Pengumpulan Data............... 10
6. Teknik Analisis Data 10
F. Sistematika Pembahasan 11
BAB II TINJAUAN UMUM............... 13
A. Pengertian Hutan, J enis-jenis Hutan dan Usaha Pelestarian Hutan... 13
1. Pengertian Hutan.. 13
2. J enis-jenis Hutan.. 15


5

3. Usaha Pelestarian Hutan.. 22
B. Perlindungan Hukum Dalam Usaha Pelestarian Hutan. 25
C. Tindak Pidana Yang Berhubungan Dengan Perusakan Hutan.. 30
1. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana... 30
a. Pengertian Tindak Pidana.. 30
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana.. 32
2. Tindak Pidana Dibidang Kehutanan 35
3. Illegal Logging. 39
D. Penyelidikan Dan Penyidikan Terhadap Pelaku Illegal Logging.. 45
1. Pengertian Penyelidikan... 45
2. Pengertian Penyidikan..... 46
3. Pejabat Yang Berwenang Melakukan Penyelidikan Dan Penyidikan Di
Bidang Kehutanan ...............48
1. Kepolisian Republik Indonesia.. 48
2. Polisi Kehutanan 50
3. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan....... 51
BAB III PEMBAHASAN... 53
A. Kewenangan Polisi Kehutanan Dalam Upaya Pemberantasan Illegal Logging
di Kawasan Hutan Produksi di Kabupaten Trenggalek.....53
1. Kewenangan Melakukan Penyelidikan 53
2. Kewenangan Melakukan Penyidikan... 55



6

B. Kendala-Kendala yang Dihadapi Polisi Kehutanan Dalam Upaya
Menanggulangi Illegal Logging di Kawasan Hutan Produksi Kabupaten
Trenggalek.59
1. Faktor geografis....... 61
2. Faktor sarana dan prasarana. 61
3. Faktor keseriusan, kepedulian dan ketegasan petugas yang
berkompeten63
4. Faktor oknum petugas.. 63
5. Faktor modus operandi kejahatan 64
6. Faktor masyarakat 64
7. Faktor sanksi hukum 65
C. Upaya yang Dilakukan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal
Logging di Kawasan Hutan Produksi Kabupaten Trenggalek. 66
1. Upaya penanggulangan illegal logging yang bersifat preventif.. 72
A. Upaya Pemberdayaan Masyarakat. 72
B. Patroli rutin di dalam dan sekitar kawasan hutan...... 74
C. Patroli Tunggal Mandiri. 75
2. Upaya penanggulangan illegal logging yang bersifat represif........ 78
BAB IV PENUTUP................................................................................................. 81
A. Kesimpulan.... 81
B. Saran...... 83
DAFTAR PUSTAKA.. ix
LAMPIRAN-LAMPIRAN


7

ABSTRAKSI

WIKAN BINTORO, Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, J uli
2007: Optimalisasi Peranan Polisi Kehutanan dalam Menanggulangi Illegal
Logging di Kawasan Hutan Produksi (Studi di Perum Perhutani di Kabupaten
Trenggalek), Mudjuni Nahdiah A, SH. MS: Paham Triyoso, SH.MH.
Kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup akibat kemiskinan di Indonesia
terbukti bisa menurunkan moral masyarakat dengan meningkatnya tindak
kejahatan, salah satunya illegal logging. Kejahatan penebangan kayu secara ilegal
atau biasa disebt illegal logging banyak terjadi di daerah atau kota kecil yang
mempunyai kawasan hutan luas, salah satu contohnya adalah Kabupaten
Trenggalek.
Berlatar belakang pada hal tersebut, penulis dalam penelitian ini mengangkat
masalah mengenai kewenangan, kendala dan upaya yang dilakukan Polisi
Kehutanan Kabupaten Trenggalek dalam menanggulangi illegal logging.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis sosiologis. Untuk jenis dan
sumber data diambil dari data primer dan sekunder. Untuk populasi dan sample
disini diambil dari pegawai Perum Perhutani. Kemudian metode analisa data
menggunakan metode deskriptif analisis.
Berdasarkan hasil penelitian, memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada,
bahwa kewenangan yang dimiliki Polisi kehutanan di Kabupaten Trenggalek yaitu
kewenangan penyelidikan dan kewenangan penyidikan.
Kendala yang dihadapi Polisi Kehutanan dalam upaya menanggulangi illegal
logging di kawasan hutan produksi Kabupaten Trenggalek ada tujuh kendala
yaitu: faktor geografis; faktor sarana dan prasarana; faktor keseriusan, kepedulian
dan ketegasan petugas yang berkompeten; faktor oknum petugas; faktor modus
operandi kejahatan; faktor masyarakat; dan faktor sanksi hukum.
Upaya yang dilakukan polisi kehutanan dalam menanggulangi illegal logging di
kawasan hutan produksi Kabupaten Trenggalek dibagi menjadi dua jenis yaitu:
Upaya Preventif yang didalamnya terdapat pemberdayaan masyarakat, patroli
rutin, dan patroli tunggal mandiri dan Upaya Represif.

















8

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Seiring dengan terus meningkatnya harga minyak dunia, harga
kebutuhan pokok masyarakat juga meningkat. Hal ini menyebabkan
masyarakat berusaha keras meningkatkan perekonomiannya agar bisa
memenuhi kebutuhan hidupnya. Akibatnya banyak orang memilih cara instant
untuk dapat meningkatkan perekonomiannya. Celakanya cara instant tersebut
seringkali dilakukan melalui kejahatan.
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak ada definisi
tentang kejahatan. Hanya dalam buku kedua Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, dirumuskan mengenai perbuatan manakah yang dianggap sebagai
suatu kejahatan. Menurut pendapat Emile Durkheiim, kejahatan adalah suatu
gejala normal di setiap masyarakat yang bercirikan heterogenitas dan
perkembangan sosial.
1
Sedangkan menurut Sue Titus Reid, kejahatan adalah suatu perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja, yang melanggar hukum
dan diberi sanksi oleh negara sebagai suatu tindak pidana.
2
Dari pendapat Sue
Titus Reid ini batasan dari kejahatan hanyalah dilihat dari aksi atau perbuatan
yang melanggar undang-undang saja.


1
. Ninik Widiyati, Panji Anaruga, Perkembangan Kejahatan Dan Permasalahannya, PT .
Pradnya Paramita, J akarta, 1987, h. 2.


2
. Soerjono Soekanto, Hengkie Liklikuwata, Mulyana W. Kusumah, Kriminologi Suatu
Pengantar, Ghalia Indonesia, J akarta, 1981, h. 44.


9

Berbeda dengan pendapat Herman Mannheim yang menyatakan bahwa
batasan kejahatan tidak hanya tindakan melanggar hukum atau undang-undang
saja, tetapi juga tindakan yang bertentangan dengan conduct norm, yaitu
tindakan yang bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat
walaupun tindakan itu belum diatur dalam undang-undang.
Dalam kaitannya dengan pengertian tersebut, Mannheim menggunakan
istilah Moraly Wrong atau deviant behaviors atau tindakan yang
melanggar atau bertentangan dengan norma sosial walaupun belum diatur
dalam undang-undang. Sedangkan istilah legally wrong atau crime untuk
menunjuk setiap tindakan yang melanggar undang-undang atau hukum
pidana.
3
Sementara itu di Indonesia perkembangan dan perubahan didalam
berbangsa dan bernegara telah membawa pengaruh yang sangat besar terhadap
pola kehidupan masyarakat. Hal ini juga menimbulkan berbagai masalah
berkaitan dengan kejahatan.
Adanya asumsi umum bahwa seiring perkembangan jaman kejahatan
akan terus meningkat baik secara kuantitas maupun secara kualitas,
mempertegas pendapat bahwa kejahatan merupakan masalah sosial yang
menuntut perhatian serius. Asumsi ini didukung dengan realita yang ada saat
ini, dimana Negara mengalami kesulitan dalam menanggulangi kejahatan.
Kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup akibat kemiskinan yang
merajalela terbukti bisa menurunkan moral masyarakat dengan meningkatnya


3
. Mohammad Kemal, Strategi Pencegahan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1994, h. 2.


10

tindak kejahatan. Peningkatan tindak kejahatan ini bisa menyebabkan
menurunnya wibawa hukum dimata masyarakat. Akibatnya masyarakat tidak
lagi takut terhadap sanksi-sanksi yang diancam oleh hukum. Ini dibuktikan
dengan banyaknya berita-berita di media massa yang memberitakan tentang
maraknya tindak kejahatan, baik yang terjadi di perkotaan maupun di
pedesaan.
Salah satu dari beberapa bentuk kejahatan yang sekarang ini sering
terjadi adalah kejahatan penebangan kayu secara ilegal, atau biasa disebut
illegal logging, yang dilakukan di kawasan hutan di Indonesia. Kejahatan ini
dilakukan masyarakat dengan maksud-maksud tertentu diantaranya mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya dan juga menjalankan tradisi yang
dilakukan secara turun temurun tanpa memikirkan akibat yang
ditimbulkannya. Padahal akibat yang ditimbulkan sangat besar yaitu selain
merugikan negara milyaran rupiah, juga dapat menimbulkan bencana alam
seperti banjir, tanah longsor dan sebagainya. Apalagi bila sisa-sisa
penebangan tersebut dibakar, akan menimbulkan kabut asap seperti yang
terjadi saat ini di beberapa daerah di Indonesia.
Indonesia memiliki hutan seluas 144 juta ha, hanya 118 juta ha yang
masih berupa hutan. Hutan seluas itu diperinci dalam hutan produksi seluas
49,3 juta ha, hutan lindung seluas 39,9 juta ha, serta hutan konservasi dan
hutan lainnya seluas 29,0 juta ha (Herman Haeruman, 1992: 1).
4


4,.
Salim, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika J akarta, 2004, h. 1.



11

Apabila hutan seluas itu dikelola dan dimanfaatkan sebaik-baiknya
akan memberikan dampak positif dalam menunjang pembangunan bangsa dan
negara. Namun, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh organisasi PBB, yaitu
Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 1991 dikemukakan
bahwa kerusakan hutan di Indonesia untuk kepentingan industri seluas
1.314.700 ha per tahun. Apabila dipresentasikan, kerusakan rata-rata 1,2% per
tahun. Hal ini dapat diperkirakan dalam waktu kurang dari 84 tahun hutan
tropis Indonesia akan habis (Republika, 10 November 1993).
5
Pihak yang paling bertanggung jawab penyebab kerusakan hutan
akibat illegal logging dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: pemegang izin
HPH, perambah hutan dan pencuri kayu. Masing-masing memiliki pola
sendiri-sendiri dalam menjalankan aksinya.
Suporahardjo mengemukakan kondisi kebijakan kehutanan seperti
sekarang ini masih banyak menghadapi masalah kronis. Salah satu masalah
kronis adalah membudayanya kolusi antara aparat kehutanan dan pihak
pengusaha. Kondisi ini menyebabkan melembaganya berbagai pengawasan
terhadap operasi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan berbagai regulasi (aturan
hukum) yang harus dilaksanakan oleh HPH hanya menjadi persyaratan
administratif.
6
Untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan hutan oleh pemegang izin
HPH, perambah hutan dan pencuri kayu perlu dilakukan penegakan hukum

5. Ibid.

6
. Ibid., h. 2.


12

secara konsekuen terhadap para pelaku tanpa memandang suku, agama, dan
kedudukan sosialnya, karena semua orang harus diperlakukan sama di
hadapan hukum.
Kejahatan penebangan kayu secara ilegal atau biasa disebut illegal
logging banyak terjadi di daerah atau kota kecil yang mempunyai kawasan
hutan luas, salah satu contohnya adalah Kabupaten Trenggalek.
Hal ini yang akhirnya menggugah penulis untuk mengangkat masalah
penebangan kayu secara ilegal dalam suatu karya ilmiah (skripsi) dengan
judul: OPTIMALISASI PERANAN POLISI KEHUTANAN DALAM
MENANGGULANGI ILLEGAL LOGGING DI KAWASAN HUTAN
PRODUKSI (Studi Di Perum Perhutani Kabupaten Trenggalek)
B. PERUMUSAN MASALAH
Maraknya illegal logging menimbulkan masalah-masalah baik dari
segi finansial maupun non finansial di Indonesia. Saat ini pemerintah sedang
melakukan upaya untuk mengatasi masalah tersebut. Dari uraian diatas,
penulis merumuskan permasalahan yaitu:
1. Bagaimana kewenangan Polisi Kehutanan dalam upaya
pemberantasan illegal logging di kawasan hutan produksi di
Kabupaten Trenggalek?
2. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi Polisi Kehutanan dalam
upaya menanggulangi illegal logging di kawasan hutan produksi
kabupaten Trenggalek ?


13

3. Upaya apa saja yang dilakukan Polisi Kehutanan dalam
menanggulangi illegal logging di kawasan hutan produksi
kabupaten Trenggalek ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Penulis ingin mengetahui dan menganalisis bagaimana
kewenangan Polisi Kehutanan di Kabupaten Trenggalek dalam
melakukan proses hukum terhadap kasus illegal logging yang
terjadi.
2. Penulis ingin mengetahui dan menganalisis kendala-kendala yang
dihadapi Polisi Kehutanan dalam menanggulangi illegal logging
agar dapat ditemukan solusi yang tepat.
3. Penulis ingin mengetahui dan menganalisis upaya apa saja yang
dilakukan oleh Polisi Kehutanan di Kabupaten Trenggalek dalam
menanggulangi illegal loging.
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian yang dimaksud adalah:
1. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan informasi kepada
penegak hukum dalam rangka perbaikan kualitas pengamanan
hutan.
2. Penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pihak yang membutuhkan
informasi tentang kehutanan.


14

3. Sebagai pengalaman yang dapat dijadikan salah satu acuan untuk
melakukan penelitian selanjutnya.
E. METODE PENELITIAN
Dalam memperoleh data untuk mencapai kebenaran ilmiah maka
penulis melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan penulis dalam mengkaji
permasalahan adalah yuridis sosiologis, yaitu suatu penelitian yang
menekankan pada ilmu hukum (yuridis) tetapi disamping itu juga berusaha
menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat.
7
Dari segi yuridis penelitian ini mencoba membahas pasal-pasal
tentang kewenangan Polisi Kehutanan dalam usaha pemberantasan illegal
logging sesuai dengan pasal 36 Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2004
tentang perlindungan hutan. Sedangkan dari segi sosiologis adalah untuk
membahas mengenai penerapan hukum pidana dalam usaha
pemberantasan illegal logging yang dilakukan Polisi Kehutanan.
2. Lokasi Penelitian.
Penulis memilih lokasi penelitian di Kabupaten Trenggalek, karena
kasus illegal logging di daerah tersebut tergolong relatif tinggi. Selain itu,
lokasi juga lebih dekat dan lebih memudahkan jangkauannya bagi penulis
dalam memperoleh data yang dibutuhkan, guna menunjang hasil yang
objektif dan akurat. Penulis mengadakan penelitian secara langsung di


7
. Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jumetri, J akarta
Ghalia Indonesia, h. 35.


15

Perum Perhutani Kabupaten Trenggalek serta masyarakat sekitar kawasan
hutan produksi di Kabupaten Trenggalek.
3. Populasi, Sample dan Responden.
a. Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek dengan ciri yang
sama.
8
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pegawai dalam
lingkup Perum Perhutani Kabupaten Trenggalek khususnya yang
berdasarkan undang-undang sudah diangkat menjadi Polisi Kehutanan.
b. Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi.
9

Penelitian ini, penentuan sample dilakukan berdasarkan dengan cara
purposive sampling yaitu responden yang dipakai berdasarkan dengan
kriteria yang telah ditetapkan terlebih sebelumnya, yaitu responden
yang terkait dan memiliki hubungan dengan permasalahan ini.
10

Penarikan sample dilakukan dengan cara mengambil subyek yang
berdasarkan pada tujuan tertentu. Sample dalam penelitian:
1. Wakil Kepala Administratur/KSKPH (Kepala Sub Kesatuan
Pemangkuan Hutan).
2. Asisten Perhutani/KBKPH (Kepala Badan Kesatuan Pemangkuan
Hutan).
3. Mantri Hutan/KRPH (Kepala Resort Pemangkuan Hutan).


8
. Bambang Sunggono, 2002, Metodelogi Penelitian Hukum, J akarta, PT Raja Grafido, h:
121.


9
. Ibid.


10
. Ronny Hanitojo Soemitro, op.cit. h. 65.


16

c. Responden adalah pihak-pihak yang dijadikan narasumber dalam
penelitian ini.
Responden dalam penelitian ini adalah:
1. Wakil Kepala Administratur/KSKPH.
Kediri Selatan : Asep Surahman.
2. Asisten Perhutani/KBKPH.
Karangan : J oko Sudarso.
Kampak : Faturahman.
Dongko : Bpk. Supriyanto.
Trenggalek : Heri Argono.
3. Mantri/KRPH.
Pule : Imam Basori.
Kampak Utara : Warsi.
4. Jenis dan Sumber Data.
a. Data Primer yaitu data yang diambil dengan cara interview yang
berupa wawancara dan tanya jawab dengan responden.
11

b. Data Sekunder yaitu data yang diambil dari studi dokumentasi dan
kepustakaan, yakni mengambil data dari dokumen dan karya tulis
ilmiah atau literatur, peraturan perundang-undangan dan sumber-
sumber tertulis lainnya serta data-data lain yang berhubungan dengan
penelitian, yang berguna sebagai landasan teori.
12




11
. Ronny Hanitojo Soemitro, loc it.


12
. Ibid.


17

5. Teknik Pengumpulan Data.
Pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan ini berasal dari:
a. Data Primer penulis ambil dengan cara interview yang berupa
wawancara dan tanya jawab dengan responden. Bentuk wawancara
adalah bebas terpimpin yaitu dilakukan dengan mempersiapkan
terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman, tetapi masih
memungkinkan melakukan variasi-variasi pertanyaan yang sesuai
dengan situasi ketika wawancara.
b. Data Sekunder penulis ambil dari studi kepustakaan, yaitu mengambil
data dari karya tulis ilmiah atau literatur, peraturan perundang-
undangan dan sumber-sumber tertulis lainnya serta data-data lain yang
berhubungan dengan masalah pemberantasan illegal logging, oleh
Polisi Kehutanan.
6. Teknik Analisis Data.
Setelah data terkumpul, baik dari penelitian lapangan maupun dari
studi kepustakaan maka perlu dianalisa, analisa ini bertujuan untuk
memperoleh jawaban atas permasalahan yang diketengahkan. Metode
yang digunakan oleh penulis dalam menganalisa data ini adalah metode
deskriptif analitis, yaitu prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan
cara memaparkan data yang diperoleh dari hasil wawancara, dan
kepustakaan, kemudian data dianalisa dan diinterprestasikan lalu ditarik
suatu kesimpulan. Data juga ditabulasi yaitu dengan memasukkan data ke


18

dalam tabel yang diperlukan dengan tujuan untuk lebih mudah
mengoreksi.
F. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Agar penulisan ini dapat dengan mudah dipahami dan dimengerti,
maka penulis mengusahakan untuk menyusunnya secara sistematis. Uraian
didalamnya terdiri dari beberapa bab, dan untuk itu penulis telah menetapkan
sistematikanya sebagai berikut:
BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari empat sub bab
yaitu latar belakang permasalahan dan alasan pemilihan judul,
perumusan masalah, metodologi penelitian dan sistematika
pembahasan.
BAB II : Merupakan tinjauan umum tentang kebijakan Pemerintah
dibidang kehutanan yang terdiri dari empat sub bab. Sub bab
yang pertama berisi tentang pengertian hutan, jenis-jenis hutan
dan usaha pelestarian hutan. Sub bab kedua berisi tentang
perlindungan hukum dalam usaha pelestarian lingkungan. Sub
bab ketiga berisi tentang tindak pidana yang berhubungan dengan
perusakan hutan yang didalamnya terdiri dari pengertian dan
unsur-unsur tindak pidana, tindak pidana di bidang kehutanan
dan illegal logging. Sedangkan sub bab yang keempat berisi
tentang penyelidikan dan penyidikan terhadap pelaku illegal
logging, yang di dalamnya terdiri dari pengertian penyelidikan


19

dan penyidikan; dan pejabat yang berwenang melakukan
penyelidikan dan penyidikan dibidang kehutanan.
BAB III : Merupakan pembahasan dari permasalahan dalam penulisan ini,
yang terdiri dari tiga sub bab yaitu bagaimana mengoptimalkan
kewenangan Polisi Kehutanan dalam upaya pemberantasan
illegal logging di kawasan hutan produksi di Kabupaten
Trenggalek. Sub bab ini berisi tentang kewenangan penyelidikan
dan penyidikan. Sub bab kedua berisi tentang kendala-kendala
yang dihadapi polisi kehutanan dalam upaya menanggulangi
illegal logging di kawasan hutan produksi di Kabupaten
Trenggalek. Sub bab ini berisi tentang tujuh kendala obyektif
diantaranya: faktor geografis; faktor sarana dan prasarana; faktor
keseriusan, kepedulian dan ketegasan petugas yang berkompeten;
faktor oknum petugas; faktor modus operandi kejahatan; faktor
masyarakat; dan faktor sanksi hukum. Serta bagaimana upaya
Polisi Kehutanan dalam menanggulangi illegal logging di
kawasan hutan produksi di Kabupaten Trenggalek, yang di
dalamnya berisi upaya prefentif dan upaya represif.
BAB IV : Merupakan penutup, bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran
dari penulis.





20

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DIBIDANG KEHUTANAN

A. Pengertian Hutan, Jenis-jenis Hutan dan Usaha Pelestarian Hutan
1. Pengertian Hutan
Kata hutan merupakan terjemahan dari kata bos (Belanda) dan
forrest (Inggris). Forrest merupakan dataran tanah yang bergelombang,
dan dapat dikembangkan untuk kepentingan diluar kehutanan, seperti
pariwisata. Di dalam hukum Inggris kuno, forrest (hutan) adalah suatu
daerah tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup
binatang buas dan burung-burung hutan.
13
Menurut Dengler yang diartikan dengan hutan, adalah:
Sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas,
sehingga suhu, kelembapan, cahaya, angin dan sebagainya tidak
lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh
tumbuh-tumbuhan/ pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat
yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan
vertical).
14

Dalam pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1967
tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, hutan diartikan sebagai suatu
lapangan bertumbuhan pohon-pohon (yang ditumbuhi pepohonan) yang
secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta
lingkungannya, dan yang telah ditetapkan pemerintah sebagai hutan.


13
. Salim, loc.cit. h. 40.


14
. Ibid.


21

Sedangkan pengertian hutan di dalam pasal 1 ayat (2) UU Nomor
41 tahun 1999 adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak
dapat dipisahkan.
Dalam skripsi ini penulis menggunakan pengertian hutan menurut
pasal 1 ayat (2) UU Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Sedangkan
pengertian hutan menurut pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomor 5
Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan hanya penulis gunakan
sebagai pembanding saja.
Ada 4 unsur yang terkandung dari definisi hutan diatas, yaitu
1. Unsur lapangan yang cukup luas yang disebut tanah hutan.
2. Unsur pohon (kayu, bambu, palem), flora dan fauna.
3. Unsur lingkungan.
4. Unsur penetapan pemerintah.
Unsur pertama, kedua dan ketiga membentuk persekutuan hidup
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pengertian hutan
disini, menganut konsepsi hukum secara vertikal, karena antara lapangan
(tanah), pohon, flora dan fauna, beserta lingkungannya merupakan satu
kesatuan yang utuh.
15


15
. Ibid., h. 41.


22

Adanya penetapan Pemerintah mengenai hutan mempunyai arti
yang sangat penting, karena dengan adanya penetapan pemerintah
tersebut, kedudukan hutan menjadi sangat kuat.
Ada dua arti penting Penetapan Pemerintah tersebut, yaitu:
1. Agar setiap orang tidak sewenang-wenang untuk membabat,
menduduki dan atau mengerjakan kawasan hutan
2. Mewajibkan kepada Pemerintah melalui Menteri kehutanan untuk
mengatur perencanaan, peruntukan, penyediaan, dan penggunaan
hutan sesuai dengan fungsinya, serta menjaga dan melindungi hutan.
Tujuan perlindungan hutan adalah untuk menjaga kelestarian dan
fungsi hutan, serta menjaga mutu, nilai, dan kegunaan hasil.
16

2. Jenis-Jenis Hutan
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, jenis-jenis hutan
dibedakan menjadi 3 yaitu:
1. Hutan Menurut Pemilikannya (Pasal 2 UU No. 5 Th. 1967).
a. Hutan Negara.
Yaitu merupakan kawasan hutan dan hutan alam yang
tumbuh diatas tanah yang bukan hak milik. Selain pengertian itu,
yang juga merupakan hutan negara, adalah hutan alam atau hutan
tanam diatas tanah yang diberikan kepada Daerah Tingkat II, dan
diberikan dengan hak pakai atau hak pengelolaan.



16
. Ibid.


23

b. Hutan Milik.
Yaitu hutan yang tumbuh diatas hak milik. Hutan ini
disebut juga sebagai hutan rakyat. Yang dapat memiliki dan
menguasai hutan milik, adalah orang (baik perorangan maupun
bersama-sama dengan orang lain), dan atau badan hukum.
2. Hutan Menurut Fungsinya (Pasal 3 UU Nomor 5 Th. 1967).
a. Hutan Lindung.
Yaitu kawasan hutan, dan karena sifat alamnya digunakan
untuk:
Mengatur tata air
Mencegah terjadinya banjir dan erosi
Memelihara kesuburan tanah
b. Hutan Produksi.
Yaitu kawasan hutan untuk memproduksi hasil hutan, yang
dapat memenuhi:
Keperluan masyarakat pada umumnya
Pembangunan industri
Keperluan ekspor
c. Hutan Suaka Alam.
Yaitu kawasan hutan yang keadaan alamnya sedemikian
rupa, sangat penting bagi ilmu pengetahuan dan teknologi. Hutan
suaka alam dibagi menjadi dua jenis yaitu:


24

a. Kawasan hutan yang dengan keadaan alam yang khas,
termasuk flora dan fauna diperuntukkan bagi ilmu pengetahuan
dan teknologi.
b. Hutan suaka margasatwa, yaitu kawasan hutan untuk tempat
hidup margasatwa (binatang liar) yang mempunyai nilai khas
bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta merupakan
kekayaan dan kebanggaan nasional.
c. Hutan Wisata.
Merupakan kawasan wisata yang diperuntukkan secara
khusus, dan dibina dan dipelihara bagi kepentingan pariwisata
dan atau wisata baru.
Hutan wisata digolongkan menjadi dua jenis yaitu:
1. Hutan Taman Wisata
Yaitu kawasan hutan yang memiliki keindahan
alamnya sendiri yang mempunyai corak yang khas yang
dimanfaatkan bagi kepentingan rekreasi dan kebudayaan.
2. Hutan Taman Buru
Yaitu kawasan hutan yang didalamnya terdapat
satwa buru yang memungkinkan diselenggarakan
pemburuan yang teratur bagi kepentingan rekreasi.





25

3. Hutan Menurut Peruntukannya (Pasal 4 UU Nomor 5 Th. 1967).
a. Hutan Tetap.
Yaitu hutan, baik yang sudah ada, yang akan ditanami,
maupun yang tumbuh secara alami di dalam hutan.
b. Hutan Cadangan.
Yaitu hutan yang berada di luar kawasan hutan yang
peruntukannya belum ditetapkan, dan bukan hak milik. Apabila
diperlukan hutan cadangan, ini dapat dijadikan hutan tetap.
c. Hutan Lainnya
Yaitu hutan yang berada di luar kawasan hutan dan hutan
cadangan, misalnya hutan yang terdapat pada tanah milik, atau
tanah yang dibebani hak lainnya.
Menurut Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, pasal 5 sampai dengan pasal 9, ditentukan empat jenis hutan
yaitu:
1. Hutan berdasarkan statusnya (Pasal 5 UU Nomor 41 Tahun 1999).
Yang dimaksud dengan hutan berdasarkan statusnya adalah
suatu pembagian hutan yang didasarkan pada status (kedudukan)
antara orang, badan hukum, atau institusi yang melakukan
pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan terhadap hutan
tersebut.hutan berdasarkan statusnya dibagi dua macam yaitu:




26

a. Hutan negara.
Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang
tidak dibebani hak atas tanah. Yang termasuk dalam kualifikasi
hutan negara adalah:
Hutan adat yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya
kepada masyarakat hukum adat (rechtgemeenschap).
Hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan
dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.
Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang
pemanfaatannya untuk memberdayakan masyarakat.
b. Hutan hak.
Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang
dibebani hak atas tanah (Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun
1999).
2. Hutan berdasarkan fungsinya (Pasal 6 sampai dengan Pasal 7UU
Nomor 41 Tahun 1999).
Hutan berdasarkan fungsinya adalah penggolongan hutan yang
didasarkan pada kegunaannya. Hutan ini dapat digolongkan menjadi
tiga macam yaitu:
a. Hutan konservasi.
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan cirri
tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan


27

keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.hutan
konservasi terdiri atas tiga macam, yaitu:
Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas
tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan
pengaetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai ilayah sistem
penyangga kehidupan.
Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas
tertentu yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem
penyangga kehidupan pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya.
Taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai
tempat wisata berburu.
b. Hutan lindung.
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai
fungsi pokok sebagai perlimdungan sistem penyangga kehidupan
untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,
mencegah intrusi (penerobosan) air laut, dan memelihara
kesuburan tanah.
c. Hutan produksi.
Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai
fungsi pokok memproduksi hasil hutan.


28

3. Hutan berdasarkan tujuan khusus, yaitu penggunaan hutan untuk
keperluan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta
untuk kepentingan religi dan budaya setempat (Pasal 8 UU Nomor 41
Tahun 1999) syaratnya tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
4. Hutan berdasarkan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air
disetiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota.hutan
kota adalah hutan yang berfungsi sebagai pengaturan iklim mkro,
estetika, dan resapan air (Pasal 9 UU Nomor 41 Tahun 1999)
Di samping pembagian itu, dikenal juga pembagian lain
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Reglemen 1927 tentang Undang-
Undang Hutan untuk J awa dan Madura. Ada dua jenis hutan yang diatur
dalam Pasal 4 Reglemen 1927, yaitu: (1) hutan yang dipertahankan, dan
(2) hutan yang tidak dipertahankan.
17
Yang termasuk golongan hutan yang dipertahankan, yaitu:
a. Hutan jati, yaitu tanah dan tempat yang mempunyai ciri seperti berikut
ini:
Seluruhnya atau sebagian besar ditumbuhi pohon jati.
Ditumbuhi pepohonan atau tidak, yang oleh Pemerintah telah
ditunjuk untuk perluasan hutan jati.
b. Hutan belukar yang ditentukan oleh Menteri Kehutanan untuk
dipelihara.


17
. Ibid., h. 45.


29

c. Hutan kayu belukar, yaitu hutan yang tidak dipertahankan, yang
meliputi:
Hutan belukar yang tumbuh secara alami dan tidak ditunjuk untuk
dipelihara.
Hutan jati dan hutan kayu yang dalam peraturan mengenai batas-
batas daerah yang dipelihara telah dihapuskan.
Dalam skripsi ini jenis-jenis hutan yang penulis pakai adalah
menurut UU Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Sedangkan jenis-
jenis hutan menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan Pokok Kehutanan dan Reglemen 1927 tentang Undang-
Undang Hutan untuk J awa dan Madura hanya digunakan sebagai
pembanding saja.
3. Usaha Pelestarian Hutan
Hutan Indonesia yang mencakup 63 % dari luas daratan merupakan
karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang tak ternilai.
18
Negara
sebagai penguasa sumber daya hutan secara keseluruhan harus mampu
mengelola secara benar sehingga memberikan manfaat serbaguna bagi
kesejahteraan masyarakat Indonesia maupun kemasyalahatan umat
manusia di Dunia. Karenanya, sumber daya hutan wajib disyukuri, diurus,
dimanfaatkan secara optimal dan dijaga kelestariannya untuk sebesar-


18
. Rahmi Hidayati D; Charles CH Tambunan; Agung Nugraha; Iwan Aminidin,
Pemberantasan Illegal Logging Dan Penyelundupan Kayu: Menuju Kelestarian Hutan
Dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Wana Aksara, Banten, 2006, h: 30.


30

besarnya kemakmuran rakyat bagi generasi sekarang maupun generasi
mendatang.
Pengelolaan hutan secara baik didasarkan pada hakekat hutan yang
merupakan kekayaan sekaligus aset potensial bagi pembangunan nasional
yang mencakup berbagai bidang. Sementara disisi lain dari aspek tinjauan
lingkungan hidup hutan tropis Indonesia yang sangat luas mempunyai
fungsi sebagai salah satu paru-paru kehidupan dunia. Oleh karena itu
keberadaan dan kelestarian hutan Indonesia adalah satu keniscayaan.
Kelestarian hutan tropis bukan hanya menjadi kepentingan bangsa
Indonesia sendiri, melainkan juga menjadi kepentingan bangsa-bangsa di
seluruh dunia.
Artinya pengelolaan hutan di Indonesia harus menjamin
pemeliharaan keamanan dari keseluruhan flora dan fauna yang ada di
dalam kawasan hutan Negara. Hal ini ditujukan agar sumber daya hutan
mampu memberikan daya dukung lingkungan secara menyeluruh dan
berkelanjutan bagi kelangsungan hidup dan kehidupan umat manusia di
dunia yang mencakup batasan lintas generasi maupun lintas teritori.
Arti penting sumber daya hutan yang teramat luas bagi
kelangsungan hidup umat manusia secara lintas teritori tersebut menjadi
kewajiban bersama seluruh umat manusia di dunia untuk menjaga dan
mempertahankan kelestarian fungsi sumber daya hutan. Hutan secara
hakiki memiliki tiga kelestarian fungsi utama, yaitu kelestarian fungsi
ekologi, ekonomi dan sosial. Kelestarian fungsi ekologi hutan adalah


31

menjaga kelestarian dan menjadi penyangga keseimbangan ekosistem
kehidupan masyarakat dunia. Selanjutnya fungsi ekonomi hutan adalah
menjadi sumber pendapatan keuangan dan devisa Negara. Sementara
secara sosial hutan berfungsi sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber
pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat.
Hutan sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan dan sumber
kemakmuran rakyat dalam realitasnya terus mengalami penurunan kondisi.
Dalam kurun waktu yang tidak terlalu panjang telah terjadi perusakan
hutan yang cukup signifikan diseluruh Indonesia. Dari data terakhir
disebutkan kerusakan hutan telah mencapai cakupan 101,73 juta hektar.
19

Artinya, kerusakan hutan telah benar-benar melumpuhkan potensi
sekaligus salah satu pondasi perekonomian bangsa. Oleh karena itu
menjadi kesepakatan bersama untuk mempertahankan kelestarian sumber
daya hutan secara optimal melalui penjagaan daya dukungnya secara
lestari, diurus dengan akhlak, adil, arif, bijaksana, terbuka dan
bertanggung jawab.
Dalam rangka menjaga kesinambungan pembangunan kehutanan
untuk mewujudkan sistem pengelolaan hutan yang adil, lestari dan
berkelanjutan, pemerintah melalui Departemen Kehutanan telah
menetapkan lima Kebijakan Prioritas atau target sukses pembangunan
Kehutanan 2005-2009 yang meliputi:


19
. Ibid., h. 33.


32

1. Pemberantasan pencurian kayu di hutan Negara dan perdagangan kayu
illegal.
2. Revitalisasi sektor kehutanan, khususnya industri kehutanan.
3. Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan.
4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat didalam dan disekitar hutan.
5. Pemantapan kawasan hutan.
20

Penerbitan lima kebijakan prioritas tersebut dimaksudkan untuk
mengamankan hutan, memperbaiki kondisi hutan yang rusak,
memantapkan kawasan hutan dan memberdayakan ekonomi masyarakat
disekitar hutan. Muara dari maksud kebijakan prioritas program
pembangunan kehutanan adalah untuk mewujudkan kelestarian hutan dan
kemakmuran masyarakat.
21

B. Perlindungan Hukum Dalam Usaha Pelestarian Hutan
Perlindungan hukum dalam usaha pelestarian hutan, yang dilakukan
Pemerintah adalah dengan mengeluarkan berbagai peraturan perundang-
undangan tentang kehutanan yang di dalamnya terdapat poin-poin penting
tentang pelestarian hutan.
Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan Pemerintah yang
berkaitan dengan usaha pelestarian hutan diantaranya:
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan.


20
. Ibid., h. 62.


21
. Ibid.


33

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam dan Ekosistemnya.
3. Ratifikasi atas konvensi PBB tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati.
4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
5. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
8. Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 tentang Perizinan Atau
Perjanjian Di Bidang Pertambangan Yang Berada Di Kawasan Hutan.
9. Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan
Penebangan Kayu Secara Illegal dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah
Negara Republik Indonesia.
Menurut pasal 15 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967, yang
dimaksud usaha untuk melindungi dan mengamankan fungsi hutan adalah
suatu usaha untuk:
a. Melindungi dan membatasi kerusakan-kerusakan hutan dan hasil-hasil
hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran,
daya-daya alam, hama dan penyakit.
b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak Negara atas hutan dan hasil hutan.


34

Sedangkan menurut pasal 47 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan ditentukan bahwa perlindungan hutan dan kawasan hutan
merupakan usaha untuk:
a. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan
yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-
daya alam, hama serta penyakit.
b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak Negara, masyarakat dan
perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta
perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Perbedaan yang prinsip dari kedua ketentuan diatas, adalah bahwa
dalam ketentuan Pasal 15 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 hanya
perlindungan terhadap hak Negara atas hutan dan hasil hutan, tetapi ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 47 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak
hanya hak Negara atas hutan yang dilindungi, tetapi juga hak masyarakat dan
perorangan juga mendapat perlindungan sebagaimana mestinya.
Ada dua macam usaha untuk mempertahankan, menjaga dan
melindungi hak Negara atas hutan, yaitu usaha perlindungan hutan atau
disebut usaha pengamanan teknis hutan dan usaha pengamanan hutan, atau
disebut usaha pengamanan polisionil hutan.
22
Usaha perlindungan hutan adalah suatu usaha untuk mencegah
terjadinya kerusakan hutan. Ada lima golongan kerusakan hutan yang perlu
mendapat perlindungan yaitu:


22
. Salim, op.cit. h. 114.


35

1. Kerusakan akibat pengerjaan/pendudukan tanah hutan secara tidak sah,
penggunaan hutan yang menyimpang dari fungsinya, dan pengusahaan
hutan yang tidak bertanggung jawab.
2. Kerusakan hutan akibat pengambilan batu, tanah dan bahan galian lainnya,
serta penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan kondisi tanah/tegakan.
3. Kerusakan hutan akibat pencurian kayu dan penebangan tanpa izin.
4. Kerusakan hutan akibat penggembalaan ternak dan akibat kebakaran.
5. Kerusakan hasil hutan akibat perbuatan manusia, gangguan hama dan
penyakit serta daya alam.
23

Keberhasilan pembangunan dibidang kehutanan tidak saja ditentukan
oleh aparatur yang cakap dan terampil. Tetapi juga harus juga didukung
dengan peran serta masyarakat.
Perlunya peran serta masyarakat dalam perlindungan hutan adalah
didasari pemikiran bahwa dengan adanya peran serta tersebut dapat
memberikan informasi kepada Pemerintah dan mengingatkan kesediaan
masyarakat untuk menerima keputusan.
Kewajiban peran serta masyarakat dalam bidang kehutanan ini diatur
dalam peraturan perundang-undangan, diantaranya:
Pasal 15 Ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 yang berbunyi
Untuk menjamin terlaksananya perlindungan hutan dengan sebaik-
baiknya maka rakyat diikut sertakan. Ketentuan ini hanya mengikut
sertakan masyarakat dalam tahap pelaksanaan dari suatu kegiatan dibidang


23
. Ibid.


36

kehutanan, sedangkan dalam tahap perencanaan dan penilaiannya
masyarakat kurang dilibatkan, terbukti dalam rencana peruntukan dan
pengukuhan hutan, pemerintahlah yang menentukan secara sepihak.
Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang
Perlindungan Hutan juga diatur tentang peran serta masyarakat. Peran
serta tersebut ditujukan kepada masyarakat yang bermukim di sekitar
kawasan hutan diwajibkan ikut serta dalam usaha pencegahan dan
pemadaman kebakaran hutan.
Pasal 5 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup juga telah diatur tentang peran serta masyarakat. Pasal
5 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 berbunyi: (1) Setiap orang
mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. (2) Setiap
orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta
menanggulangi kerusakan dan pencemarannya.
Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 ditentukan bahwa setiap
orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup.
Di dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan peran
serta masyarakat dalam usaha pelestarian hutan diatur dalam pasal 68
sampai pasal 70 meliputi hak dan kewajiban masyarakat terhadap hutan.
Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan
hutan. Namun berdasarkan pasal 69 ditentukan bahwa masyarakat juga


37

berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan
dari gangguan dan perusakan.
Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan
Hutan, menjelaskan bahwa masyarakat hukum adat diberi hak untuk
mengelola kawasan hutan dan berkewajiban untuk melakukan
perlindungan hutan. Selanjutnya dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 2004 setiap orang yang berada di dalam dan di sekitar
hutan wajib untuk berperan aktif dalam usaha membatasi meluasnya
kebakaran hutan dan mempercepat pemadaman kebakaran hutan.
C. Tindak Pidana Yang Berhubungan Dengan Perusakan Hutan.
1. Pengertian dan unsur-unsur tindak pidana.
a. Pegertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal
dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini
terdapat dalam WvS Belanda dengan demikian juga WvS Hindia
Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang
dimaksud dengan stafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum
berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu.
24
Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-
undangan yang ada maupun dalam literatur hukum sebagai terjemahan
dari stafbaar feit adalah:
25


24
. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Bagian I), BKBH Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, Malang, 2001, h. 74.


25
. Ibid.


38

a. Tindak pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam
perundang-undangan pidana Indonesia. Dalam hampir seluruh
peraturan perundang-undangan Indonesia menggunakan istilah
tindak pidana. Ahli hukum yang menggunakan istilah Tindak
Pidana adalah Prof. Dr. Wirdjono Prodjodikoro, S.H.
b. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum,
diantaranya Mr. R. Tresna dalam bukunya Azas-azas Hukum
Pidana, Mr. Drs. H.J . van Schravendijk dalam buku-buku
pelajaran tentang hukum pidana Indonesia, Prof. A. Zainal Abidin,
S.H. dalam buku beliau Hukum Pidana.
c. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga
digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud
dengan stafbaar feit. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini
dalam buku-bukunya diantaranya Prof. Drs. E. Utrecht, S.H, Prof.
A. Zainal Abidin, S.H, Prof. Moeljatno.
d. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-pokok
Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr. M.H. Tirtaamidjaja.
e. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr.
Karni dan Mr. Drs. H.J . van Schravendijk.
f. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk
Undang-undang dalam Undang-undang Nomor 12/Drt/1951
tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.


39

g. Perbuatan Pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam
berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Azas-azas Hukum
Pidana.
b. Unsur-unsur Tindak Pidana
Dalam mengkaji unsur-unsur tindak pidana dikenal dua aliran
yaitu aliran monistis dan aliran dualistis.
Aliran monistis, memandang semua syarat untuk menjatuhkan
pidana sebagai unsur tindak pidana. Aliran ini tidak memisahkan unsur
yang melekat pada perbuatannya (criminal act) dengan unsur yang
melekat pada orang yang melakukan tindak pidana (criminal
responsibility atau criminal liability yang berarti pertanggungan-jawab
dalam hukum pidana). Sarjana-sarjana yang termasuk kelompok aliran
monistis diantaranya: Simon, Mezger, dan Wiryono Prodjodikoro.
26
Simon mengemukakan unsur-unsur tindak pidana sebagai
berikut:
Perbuatan manusia (positif atau negatif).
Diancam dengan pidana.
Melawan hukum.
Dilakukan dengan kesalahan.
Oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
Unsur-unsur tersebut oleh simon dibedakan antara unsur
objektif dan unsur subjektif. Yang termasuk dalam unsur objektif


26
. Masruchin RubaI, Asas-asas Hukum Pidana, UM PRESS bekerjasama dengan
UNIBRAW, Malang, 2001, h. 22.


40

adalah: perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, dan
kemungkinan adanya keadaan tertentu yang menyertai, misalnya unsur
dimuka umum dalam pasal 218 KUHP. Yang termasuk dalam unsur
subjektif adalah: orang yang mampu bertanggung jawab dan
melakukan kesalahan.
27
E. Mezger mengemukakan unsur-unsur tindak pidana sebagai
berikut:
Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia.
Sifat melawan hukum.
Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang.
Diancam pidana.
28

Wiryono Prodjodikoro mengemukakan unsur-unsur tindak
pidana sesuai dengan definisi yang dikemukakannya sebagai berikut:
tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikenakan pidana. Unsur-unsur tindak pidana menurut Wiryono
meliputi unsur perbuatan dan pelaku.
29
Aliran dualistis memisahkan antara criminal act dengan
criminal responsibility, yang menjadi unsur tindak pidana menurut
aliran ini hanyalah unsur-unsur yang melekat pada criminal act


27
. Ibid.


28
. Ibid.


29
. Ibid.


41

(perbuatan yang dapat dipidana). Sarjana-sarjana yang termasuk dalam
aliran dualistis diantaranya: H.B. Vos, W.P.J . Pompe, Moelyatno.
30
H.B. Vos menyebutkan unsur-unsur tindak pidana sebagai
berikut:
Kelakuan manusia.
Diancam pidana.
W.P.J . Pompe mengemukakan unsur-unsur tindak pidana
sebagai berikut:
Perbuatan.
Diancam pidana dalam ketentuan undang-undang.
Menurut Pompe untuk menjatuhkan pidana di samping adanya
tindak pidana diperlukan adanya orang yang dapat dipidana. Orang
tidak akan dapat dipidana apabila tidak terdapat kesalahan pada
dirinya, dan perbuatannya tidak bersifat melawan hukum. Bagi Pompe
sifat melawan hukum dan kesalahan merupakan syarat pemindanaan.
31
Prof. Moelyatno mengemukakan unsur-unsur tindak pidana
sebagai berikut:
Perbuatan (manusia).
Memenuhi rumusan undang-undang.
Bersifat melawan hukum.


30
. Ibid., h. 23.


31
. Ibid.


42

Memenuhi rumusan undang-undang merupakan syarat formil.
Keharusan demikian merupakan konsekuensi dari asas legalitas.
Bersifat melawan hukum merupakan syarat materiil. Keharusan
demikian, karena perbuatan yang dilakukan itu harus betul-betul oleh
masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.
Menurut (Mulyatno, 1965) bersifat melawan hukum itu merupakan
syarat mutlak untuk tindak pidana.
32
2. Tindak Pidana Dibidang Kehutanan
Ada 10 kategori tindak pidana dibidang kehutanan yang dapat
dihukum dengan hukuman penjara dan denda, yang diatur dalam pasal 78
ayat (1) sampai dengan ayat (11) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan yaitu:
a. Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan dan kerusakan
hutan.
Dalam pasal 78 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999 ditentukan dua jenis tindak pidana yang dapat dihukum, yaitu:
Dengan sengaja merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan
(pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999).
Dengan sengaja menimbulkan kerusakan hutan (pasal 50 ayat (2)
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999).
Kategori orang yang dapat dihukum yang dengan sengaja
menimbulkan kerusakan hutan ini adalah setiap orang yang diberikan


32
. Ibid.


43

izin, terutama izin usaha pemanfaatan kawasan hutan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
dan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
b. Membakar hutan.
Ada dua kategori tindak pidana yang disebutkan dalam pasal
78 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, yaitu:
Sengaja membakar hutan.
Karena kelalaiannya menimbulkan kebakaran hutan.
c. Menebang pohon dan memiliki hasil hutan secara illegal.
Dalam pasal 78 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999 ditentukan dua jenis tindak pidana yang dilanggar, yaitu:
1. Melanggar pasal 50 ayat (3) huruf e.
Unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam pasal ini yaitu
barang siapa; menebang pohon; memanen atau memungut hasil
hutan; didalam hutan; tanpa hak atau izin dari pejabat yang
berwenang.
2. Melanggar pasal 50 ayat (3) huruf f.
Unsur-unsur tindak pidana yang disebutkan dalam oasal ini
adalah barang siapa; menerima, membeli atau menjual; menerima
tukar atau menerima titipan; atau memiliki hasil hutan; diketahui
atau patut diduga berasal dari kawasan hutan; yang diambil atau
dipungut secara tidak sah.


44

d. Melakukan penambangan dan eksplorasi serta eksploitasi bahan
tambang tanpa izin.
Ada dua jenis pasal yang dilanggar yang diatur dalam pasal 78
ayat (5) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, yaitu:
1. Pasal 38 ayat 4.
Unsur tindak pidana yang tercantum dalam pasal ini yaitu
barang siapa; melakukan penambangan; pola terbuka; dikawasan
hutan lindung.
2. Pasal 50 ayat (3) huruf g
Unsur tindak pidana yang diatur dalam pasal ini barang
siapa; melakukan kegiatan; penyelidikan umum atau eksplorasi;
eksploitasi (pengambilan); barang tambang; dalam kawasan hutan
tanpa izin Menteri.
e. Memiliki hasil hutan tanpa keterangan.
Pasal 78 ayat (6) huruf h Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999 berbunyi: barangsiapa melanggar ketentuan sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah). Unsur-unsur yang harus terpenuhi dalam pasal
50 ayat (3) yaitu barang siapa; dengan sengaja; menggangkut;
menguasai atau memiliki hasil hutan; tidak dilengkapi bersama-sama
dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.



45

f. Menggembalakan ternak.
Dalam pasal 78 ayat (7) Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999 ditentukan hanya satu pasal yang dilanggar, yaitu melanggar
pasal 50 ayat (3) huruf i. unsur-unsur tindak pidana yang dimaksud
dalam ketentuan ini yaitu barang siapa; dengan sengaja;
menggembalakan ternak; di dalam kawasan hutan; tidak ditunjuk
secara khusus oleh pejabat yang berwenang.
g. Membawa alat-alat berat tanpa izin.
Pasal 78 ayat (8) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
menentukan satu pasal yang dilanggar yaitu pasal 50 ayat (3) huruf j.
unsur-unsur pidana yang tercantum dalam pasal 50 ayat (3) huruf j
yaitu barang siapa; dengan sengaja; membawa alat-alat berat atau alat-
alat lainnya yang tak lazim atau patut diduga; akan digunakan untuk
menggangkut hasil hutan; dalam kawasan hutan; tanpa izin pejabat
yang berwenang.
h. Membawa alat-alat yang lazim digunakan.
Didalam pasal 78 ayat (9) Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999 ditentukan satu pasal yang dilanggar yaitu pasal 50 ayat (3) huruf
k. Unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam kedua pasal ini yaitu
barang siapa; dengan sengaja; membawa alat-alat yang lazim
digunakan; untuk menebang, memotong atau membelah pohon; dalam
kawasan hutan; tanpa izin pejabat yang berwenang.



46

i. Membuang benda-benda yang berbahaya.
Unsur-unsur tindak pidana yang tercantum dalam pasal 78 ayat
(10) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, yaitu barang siapa;
dengan sengaja; membuang benda-benda; menyebabkan kebakaran;
kerusakan; membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi
hutan; dalam kawasan hutan.
j. Membawa satwa liar dan tumbuh-tumbuhan yang dilindungi.
Supaya pelaku dapat dihukum berdasarkan pasal 78 ayat (11)
ada 7 unsur yang harus dipenuhi sesuai dengan pasal 50 ayat (3) huruf
m Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 yaitu; barang siapa; dengan
sengaja; mengeluarkan, membawa, dan mengangkut; tumbuh-
tumbuhan dan satwa liar; yang dilindungi Undang-undang; berasal dari
kawasan hutan; tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
3. Illegal Logging
Definisi illegal logging menurut Tacconi (2003) adalah kegiatan
illegal yang berkaitan dengan ekosistem hutan yaitu pepohonan dan
hewan, industri terkait hutan dan juga produk hutan kayu dan non kayu.
Sedangakan aktifitas ilegal logging adalah kegiatan menebang,
mengangkut, dan menjual kayu dengan melanggar ketentuan perundangan
nasional dan atau internasional
33
.
Departemen Kehutanan menegasakan yang disebut illegal logging
adalah tindak pidana penebangan pohon dengan aktifitasnya dengan


33
. Rahmi Hidayati D, op.cit. h. 10.


47

mengacu pada UU No 41 Tahun 1999 dan PP No 34 Tahun 1999 yang
meliputi kegiatan menebang atau memanen hasail hutan di dalam kawasan
hutan tanpa memiliki hak atau ijin yang berwenang, serta menerima,
memberi atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan,
mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi
dengan surat sahnya hasil hutan. Termasuk juga didalamnya kegiatan
pemegang ijin pemanfaatan yang melakukan kegiatan yang tidak sesuai
dengan aturan yang ditetapkan, seperti melakukan penebangan melampaui
target volume dan sebagainya.
34
Untuk selanjutnya dalam skripsi ini,
penulis menganut pengertian illegal logging menurut UU No 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan.
Kejaksaan Negeri Sangatta (2003) mendefinisikan illegal logging
sebagai bentuk kegiatan penebangan pohon atau memanen atau memungut
hasil hutan didalam kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari
pejabat yang berwenang dan kegiatan mengangkut, menguasai atau
memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat
keterangan sahnya hasil hutan.
35
Pemerintah mempunyai komitmen yang kuat untuk memberantas
praktek illegal logging dan penyelundupan kayu. komitmen pemerintah
didasarkan okeh pemahaman atas realita lapangan yang menunjukkan,
bahwa malpraktek illegal logging dan penyelundupan kayu benar-benar
berdampak luar biasa yang dapat mengancam stabilitas keamanan yang


34
. Ibid.


35
. Ibid., h. 11.


48

pada akhirnya akan mengancam kelangsungan dan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Komitmen dan kesungguhan pemerintah untuk memberantas
illegal logging tersebut direlisasikan dengan dikeluarkannya beberapa
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dalam
melakukan pemberantasan illegal logging.
1. Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pasal 50 Ayat (3) huruf e berbunyi:
Setiap orang dilarang: menebang pohon atau memanen
atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau
ijin dari pejabat yang berwenang.
Pasal 50 Ayat (3) huruf f berbunyi:
Setiap orang dilarang: menerima, membeli atau menjual,
menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil
hutan yang diketahui atau patut diduga dari kawasan hutan yang
diambil atau dipungut secara tidak sah.
Pasal 50 Ayat (3) huruf h berbunyi:
Setiap orang dilarang: mengangkut, menguasai, atau
mrmiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan
surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH).
Pasal 50 Ayat (3) huruf j berbunyi:
Setiap orang dilarang: membawa alat-alat berat dan
atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan


49

digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan
hutan, tanpa ijin pejabat yang berwenang.
Pasal 50 Ayat (3) huruf k berbunyi:
Setiap orang dilarang: membawa alat-alat yang
lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau
membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin
pejabat yang berwenang.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan.
Di dalam Peraturan Pemerintah ini lebih jelas lagi usaha yang
dilakukan pemerintah untuk mencegah illegal logging.
Pasal 12 Ayat (1) berbunyi:
Setiap orang yang mengangkut, menguasai atau
memiliki hasil hutan wajib dilengkapi bersama-sama
dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.
Pasal 12 Ayat (2) berbunyi:
Termasuk dalam pengertian hasil hutan yang tidak
dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya
hasil hutan adalah:
a. Asal usul hasil hutan dan tampat tujuan pengangkutan
tidak sesuai dengan yang tercantum dalam surat
keterangan sahnya hasil hutan;


50

b. Apabila keadaan fisik, baik jenis, jumlah maupun
volume hasil hutan yang diangkut, dikuasai atau
dimiliki sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan isi
yang tercantum dalam surat keterangan sahnya hasil
hutan;
c. Pada waktu dan tempat yang sama tidak disertai dan
dilengkapi surat-surat yang sah sebagai bukti;
d. Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan masa berlakunya
telah habis;
e. Hasil hutan tidak mempunyai tanda sahnya hasil hutan.
3. Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan
Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya
di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
Inpres tersebut menginstruksikan kepada seluruh pejabat
pemerintah Negara Republik Indonesia untuk melakukan percepatan
pemberantasan illegal logging di wilayah Negara Republik Indonesia.
Bagian pertama Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2005 ini
merupakan instruksi umum, yaitu tindakan yang harus dilakukan
pejabat pemerintah Negara Republik Indonesia terhadap pelaku illegal
logging. Tindakan yang harus dilakukan tersebut diantaranya:
1. Melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara
illegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah


51

Republik Indonesia, melalui penindakan terhadap setiap orang atau
badan yang melakukan kegiatan:
a. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan
kayu yang berasal dari kawasan hutan yang tidak memiliki hak
atau izin dari pejabat yang berwenang.
b. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima
titipan, menyimpan, atau memiliki dan menggunakan hasil
hutan kayu yang diketahui atau patut diduga berasal dari
kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
c. Menggangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang
tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya
hasil hutan kayu.
d. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim
atau patut diduga akan digunakan untuk menggangkut hasil
hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang.
e. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,
memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan
tanpa izin pejabat yang berwenang.
2 Menindak tegas dan memberikan sanksi terhadap oknum petugas
dilingkup instansinya yang terlibat dengan kegiatan penebangan
kayu secara illegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.


52

3 Melakukan kerja sama dan saling berkoordinasi untuk
melaksanakan pemberatasan penebangan kayu secara illegal di
kawasan hutan dan peredarannya diseluruh wilayah Republik
Indonesia.
4 Memanfaatkan informasi dari masyarakat yang berkaitan dengan
adanya kegiatan penebangan kayu secara illegal dan peredarannya.
5 Melakukan penanganan sesegera mungkin terhadap barang bukti
hasil operasi pemberantasan penebangan kayu secara illegal di
kawasan hutan dan perdarannya di seluruh wilayah Republik
Indonesia dan atau alat-alat bukti lain yang digunakan dalam
kejahatan dan atau alat angkutnya untuk penyelamatan nilai
ekonominya.
Sedangkan bagian kedua, ketiga dan keempat Instruksi
Presiden No. 4 Tahun 2005 merupakan instruksi khusus kepada
pejabat pemerintah Negara Republik Indonesia tertentu, sesuai dengan
kewenangan yang diberikan Inpres ini untuk melakukan percepatan
pemberantasan illegal logging di wilayah Negara Republik Indonesia.
D. Penyelidikan Dan Penyidikan Terhadap Pelaku Illegal Logging.
1. Pengertian Penyelidikan.
Pasal 1 angka 5 KUHAP memberi definisi penyelidikan sebagai
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna


53

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur menurut undang-undang.
Sedangkan yang dimaksud penyelidik menurut pasal 1 angka 4
KUHAP adalah Penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik
Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penyelidikan.
2. Pengertian Penyidikan.
Istilah penyidikan dimaksudkan sejajar dengan istilah-istilah asing,
seperti opsporing (Belanda) yang berarti pemeriksaan permulaan dan
investigation (Inggris) yang berarti investigasi, atau penyiasatan atau
siasat (Malaysia).
36
KUHAP memberi definisi penyidikan sebagai:
Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
37

Dalam bahasa Belanda ini sama dengan opsporing. Menurut de
Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-
pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka
dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada
terjadi suatu pelanggaran hukum.
38


36
. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, CV Sapta Artha J aya, J akarta, 1996,
h. 121.


37
. _______KUHP & KUHAP. Rineka Cipta, J akarta. 1998. h. 229.


38
. Andi Hamzah, op.cit.


54

Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan
pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-
hak asasi manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut
penyidikan adalah:
1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.
2. Ketentuan tentang terjadinya delik.
3. Pemeriksaan di tempat kejadian.
4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa.
5. Penahanan sementara.
6. Penggeledahan.
7. Pemeriksaan atau interogasi.
8. Berita acara (penggeledahan, interogasi dan pemeriksaan di
tempat).
9. Penyitaan.
10. Penyampingan perkara.
11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan
pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.
39

Sedangkan yang dimaksud dengan penyidik menurut pasal 1 angka
1 KUHAP adalah Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik
Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.



39
. Ibid.


55


3. Pejabat Yang Berwenang Melakukan Penyelidikan Dan Penyidikan
Di Bidang Kehutanan
1. Kepolisian Republik Indonesia.
Secara umum tugas dan wewenang Kepolisian Republik
Indonesia diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) meliputi:
1. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas
sebagai penyelidik (pasal 5 KUHAP).
a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang
adanya tindak pidana.
2. Mencari keterangan dan barang bukti.
3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan
serta memeriksa tanda pengenal diri.
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan dan penyitaan.
2. Pemeriksaan dan penyitaan surat.
3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.


56


2. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas
sebagai penyidik menurut pasal 7 KUHAP mempunyai wewenang:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana.
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka.
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan.
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang.
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi.
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara.
i. Mengadakan penghentian penyidikan.
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
Sedangkan khusus untuk tindak pidana dibidang kehutanan,
tugas dan wewenang Kepolisian Republik Indonesia menurut Instruksi
Presiden No. 4 Tahun 2005 yang diinstruksikan melalui Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:


57

a. Menindak tegas dan melakukan penyidikan terhadap para pelaku
kegiatan penebangan kayu secara illegal di dalam kawasan hutan
dan peredarannya.
b. Melindungi dan mendampingi aparat kehutanan yang
melaksanakan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara
illegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah
Republik Indonesia.
c. Menempatkan petugas Kepolisian Republik Indonesia di lokasi
rawan penebangan kayu secara illegal dan peredarannya sesuai
kebutuhan.
2. Polisi Kehutanan
Di dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No 45 Tahun
2004 tentang perlindungan hutan, yang dimaksud dengan polisi
kehutanan adalah:
Pejabat tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah
yang sesuai dengan sifat pekerjaannya, menyelenggarakan dan atau
melaksanakan usaha perlindungan hutan yang oleh kuasa undang-
undang diberikan wewenang kepolisian khusus dibidang kehutanan
dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Pengertian Polisi Kehutanan juga diatur dalam Pasal 32 Peraturan
Pemerintah No 45 Tahun 2004 tentang perlindungan hutan. Polisi
Kehutanan menurut pasal ini adalah Pejabat Kehutanan tertentu yang
diberikan wewenang kepolisian khusus sesuai dengan sifat
pekerjaannya oleh Undang-Undang.


58

Pejabat kehutanan tertentu yang mempunyai wewenang
kepolisian khusus tersebut meliputi:
a. Pegawai Negeri Sipil yang diangkat sebagai pejabat fungsional
Polisi Kehutanan:
b. Pegawai Perusahaan Umum Kehutanan Indonesia (Perum
Perhutani) yang diangkat sebagai Polisi Kehutanan:
c. Pejabat Struktural Instansi Kehutanan Pusat maupun Daerah yang
sesuai dengan tugas dan fungsinya mempunyai wewenang dan
tanggung jawab di bidang perlindungan hutan.
3. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan.
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam pasal 6
ayat (1) huruf b yang berbunyi penyidik adalah pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-
undang.
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil kehutanan diberi
wewenang khusus oleh Undang-undang yaitu pasal 77 ayat (1)
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang berbunyi:
Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Republik Indonesia, Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus
sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana.

Kemudian dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah No 45 Tahun
2004 tentang perlindungan hutan, dijelaskan bahwa Polisi Kehutanan


59

yang telah memenuhi persyaratan berdasarkan, dapat diangkat menjadi
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan.
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan menurut
Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2004 adalah
pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan
pusat dan daerah yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus
penyidikan dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya.

















60

BAB III
PEMBAHASAN

A. Kewenangan Polisi Kehutanan Dalam Upaya Pemberantasan Illegal
Logging di Kawasan Hutan Produksi di Kabupaten Trenggalek.
1. Kewenangan Melakukan Penyelidikan.
Kewenangan yang dimiliki Polisi Kehutanan untuk melakukan
penyelidikan terhadap tindak pidana illegal logging secara umum diatur
dalam pasal 36 ayat (3) Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2004 tentang
perlindungan hutanyang berbunyi Polisi Kehutanan atas perintah
pimpinan, berwenang untuk melakukan penyelidikan, dalam rangka
mencari dan menangkap tersangka.
Dalam melakukan kegiatan penyelidikan terhadap tindak pidana
illegal logging, acuan yang digunakan polisi kehutanan di Kabupaten
Trenggalek adalah pasal 36 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No 45
Tahun 2004 tentang perlindungan hutan. Kewenangan tersebut meliputi
kegiatan dan tindakan kepolisian khusus dibidang kehutanan yang bersifat
preventif, tindakan administratif dan operasi represif.
Kewenangan yang dimiliki Polisi Kehutanan di Kabupaten
Trenggalek dalam melakukan penyelidikan untuk mencegah tindak pidana
illegal logging di kawasan hutan produksi diantaranya:



61

a. Mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau
wilayah hukumnya.
b. Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan
pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah
hukumnya.
c. Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.
d. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana
yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.
e. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka
untuk diserahkan kepada yang berwenang.
f. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang
terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan
hutan dan hasil hutan.
Dari hasil survey di lapangan, kewenangan Polisi Kehutanan di
kabupaten Trenggalek dalam hal melakukan penyelidikan terhadap tindak
pidana illegal logging terbatas hanya di dalam wilayah hukum Polisi
Kehutanan di Kabupaten Trenggalek. Wilayah hukum Polisi kehutanan di
Kabupaten Trenggalek adalah di dalam kawasan hutan dan sekitar
kawasan hutan produksi.
40
Sedangkan kewenangan diluar wilayah hukum tersebut tidak
dimiliki polisi kehutanan dan hanya dimiliki oleh POLRI. Untuk itu dalam


40
. Wawancara dengan KBKPH Kampak, Bpk. Faturahman tanggal 25 Mei 2007.


62

melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana illegal logging, Polisi
Kehutanan selalu berkoordinasi dengan POLRI. Tujuannya agar pelaku
yang sudah keluar dari wilayah hukum Polisi Kehutanan dapat ditangkap
oleh POLRI.
41
2. Kewenangan Melakukan Penyidikan.
Kewenangan untuk melakukan proses hukum terhadap kasus
illegal logging dimiliki oleh pejabat penyidik pegawai negeri sipil
kehutanan. Dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2004
tentang perlindungan hutan, dijelaskan bahwa Polisi Kehutanan yang
telah memenuhi persyaratan dapat diangkat menjadi Pejabat Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Kehutanan.
Wewenang pejabat penyidik pegawai negeri sipil kehutanan
berdasarkan pasal 36 ayat (2) Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2004
tentang perlindungan hutan diantaranya:
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga
melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan
hutan dan hasil hutan.
c. Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam
kawasan hutan atau wilayah hukumnya.


41
. Ibid.


63

d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak
pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
e. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan
hukum. Sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut
hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.
f. Menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana.
g. Membuat dan menandatangani berita acara.
h. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti
tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan
hutan dan hasil hutan.
Berdasarkan pasal 39 ayat (1), (2), dan (5) serta pasal 40 ayat (1)
Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2004 tentang perlindungan hutan,
pejabat penyidik pegawai negeri sipil kehutanan juga memiliki
kewenangan diantaranya:
1. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan berwenang
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana kejahatan dan
pelanggaran di bidang kehutanan.
2. Dalam rangka kegiatan administrasi penyidikan. Pejabat
Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam hal tertentu dapat secara


64

langsung menyampaikan surat penberitahuan kepada instansi
terkait dan tembusannya kepada Penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
3. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada waktu
melaksanakan penyidikan atas tindak pidana kehutanan apabila
menemukan adanya perbuatan yang patut diduga merupakan
kejahatan atau pelanggaran yang bersifat pidana umum yang
terkait dengan tindak kehutanan, harus segera menyerahkan
kepada Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
4. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil dapat melakukan
penahanan dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dari fakta yang penulis dapatkan di lapangan, tidak ada Polisi
Kehutanan di Kabupaten Trenggalek yang diangkat menjadi Pejabat
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan. Terdapat beberapa alasan
mengapa Polisi Kehutanan di Kabupaten Trenggalek tidak ada yang
diangkat menjadi Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan,
diantaranya:



65

a. Polisi Kehutanan yang bertugas di Kabupaten Trenggalek
semua berasal dari Pegawai Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) yang bergerak dibidang kehutanan yaitu pegawai
Perum Perhutani dan bukan Pegawai Negeri Sipil, sehingga
tidak memiliki dasar hukum untuk menjadi Pejabat Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Kehutanan. Ketentuan mengenai Pejabat
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan diatur dalam Pasal 1
angka 3 Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2004 yang
berbunyi:
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan
adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam
lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah yang oleh
undang-undang diberi wewenang khusus penyidikan
dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya.

b. Saat ini Perum Perhutani masih memprioritaskan pelestarian
Sumber Daya Hutan (SDH) dari kerusakan.
42
Akan tetapi
kedepan bisa saja dibentuk Pejabat Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Kehutanan, bila dirasa sangat mendesak, yaitu apabila
pihak kepolisian kewalahan dengan banyaknya kasus illegal
logging. Untuk itu Perum Perhutani harus segera menyiapkan
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan.
43



42
. Wawancara dengan KSKPH Kediri Selatan Bpk. Asep Surahman tanggal 5 Juni 2007.


43
. Ibid.


66

Berdasarkan fakta yang penulis dapatkan di lapangan diatas, dapat
ditarik kesimpulan kewenangan penuh masih dimiliki POLRI dalam
melakukan penyidikan terhadap kasus illegal logging yang terjadi di
Kabupaten Trenggalek. Sedangkan kewenangan Polisi Kehutanan di
Kabupaten Trenggalek hanya terbatas pada kewenangan untuk melakukan
penyelidikan saja.
B. Kendala-Kendala yang Dihadapi Polisi Kehutanan Dalam Upaya
Menanggulangi Illegal Logging di Kawasan Hutan Produksi Kabupaten
Trenggalek.
Luas keseluruhan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani di
Kabupaten Trenggalek adalah seluas 61.394,2 ha yang terdiri dari:
1. Hutan Produksi seluas 43.760,4 ha.
2. Hutan Lindung seluas 17.633,8 ha.
J enis tanaman yang ditanam dikawasan hutan produksi sejak tahun
1969 sampai dengan tahun 2006 hanya satu jenis yaitu pohon pinus. Mulai
tahun 2006 sampai dengan sekarang jenis tanaman yang ditanam dikawasan
hutan produksi ditambah lagi satu jenis pohon menjadi dua jenis pohon yaitu
pohon pinus dan pohon mindi. Sedangkan untuk hutan lindung, jenis tanaman
yang ditanam terdiri dari berbagai jenis pohon.
44
Karena pohon pinus sudah ditanam sejak tahun 1969, maka sampai
dengan pertengahan tahun 2006 pohon pinus rata-rata sudah besar. Sedangkan


44
. Wawancara dengan KBKPH Dongko Bpk. Supriyanto tanggal 26 Mei 2007.


67

pohon mindi sampai dengan sekarang masih kecil karena baru ditanam sejak
pertengahan tahun tahun 2006. Untuk itu sampai dengan sekarang pohon
pinus masih menjadi prioritas utama Perum Perhutani dalam menanggulangi
illegal logging di kawasan hutan produksi di Kabupaten Trenggalek.
Data jumlah pohon pinus yang tercatat hilang dikawasan hutan
produksi di Kabupaten Trenggalek selama 5 tahun terakhir menyebutkan:
Tahun
J ml Pohon Pinus
Yang Tercatat
Hilang
Nilai
(Miliar)
2002 249724 12.59
2003 68428 3.75
2004 106477 8.55
2005 331809 17.89
2006 5746 0.43
J umlah 762184 43.21
Data dari: Arsip KSKPH Kediri Selatan.
Dari data diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa praktek illegal
logging di kawasan hutan produksi di Kabupaten Trenggalek relatif tinggi
sebelum tahun 2006. Kondisi ini terjadi sejak tahun 1998 sampai dengan tahun
2005. Penyebab utamanya adalah stabilitas politik yang tidak menentu yang
terjadi di Indonesia. Gerakan reformasi di Indonesia yang bertujuan
mengembalikan hak-hak rakyat dalam tatanan demokrasi ditanggapi salah
oleh masyarakat. Masyarakat menganggap hutan juga dikembalikan kepada
rakyat. Akibatnya masyarakat yang rata-rata berpendidikan rendah beramai-
ramai menebang pohon secara besar-besaran. Kondisi inilah yang
dimanfaatkan para cukong untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
45


45
. Wawancara dengan KBKPH Dongko Bpk. Supriyanto tanggal 26 Mei 2007.


68

Sampai akhirnya pada tahun 2006 sudah ada kesadaran dari semua
pihak baik pemerintah Perum Perhutani maupun masyarakat, setelah adanya
Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu
secara illegal di kawasan hutan dan peredarannya diseluruh wilayah Republik
Indonesia. Perum Perhutani sendiri juga mengadakan perubahan besar dalam
hal usaha perlindungan hutan.
46
Berdasarkan kajian dari Perum Perhutani di Kabupaten Trenggalek,
terdapat tujuh faktor yang menjadi kendala objektif terkait dengan usaha
pemberantasan illegal logging di kawasan hutan produksi di Kabupaten
Trenggalek. Kelima faktor tersebut meliputi:
1. Faktor geografis.
Kawasan hutan produksi di Kabupaten Trenggalek sebagian besar
terletak di daerah pegunungan. Sehingga menyulitkan aparat dalam
menjalankan tugas untuk melakukan pengawasan dilapangan. Aparat juga
harus benar-benar menguasai medan karena dihadapkan dengan
kenyataan alam yang penuh dengan jurang yang terjal dan rimbun semak
yang tak jarang memerlukan tenaga ekstra untuk dapat menjalankan tugas
yang sesuai dengan harapan dan target yang telah di tentukan.
47
2. Faktor sarana dan prasarana.
Kelengkapan sarana dan prasarana dalam kegiatan pemberantasan
illegal logging melalui operasi merupakan faktor yang menentukan


46
. Ibid.


47
. Ibid.


69

keberhasilan program. Sementara keterbatasan sarana dan prasarana akan
berdampak pada optimalisasi pelaksanaan program. Berdasarkan realita di
lapangan, terdapat dua kendala obyektif yang dihadapi Polisi Kehutanan di
Kabupaten Trenggalek terkait dengan sarana dan prasarana yang
berdampak pada optimalnya hasil operasi, yaitu:
1. Minimnya sarana dan prasarana yang mendukung operasi,
seperti tidak tersedianya alat berat dan alat angkut untuk
mengangkut dan menyimpan barang bukti dari lokasi
penemuan/penyitaan ke tempat penampungan.
2. Tidak teralokasinya anggaran yang memadai untuk
kepentingan penyelidikan dan penyidikan, mulai dari kegiatan
operasional, tindakan upaya paksa, pengangkutan sampai
dengan pengamanan dan penghitungan barang bukti yang
membutuhkan biaya yang cukup tinggi.
48

Realita keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki Polisi
Kehutanan di Kabupaten Trenggalek mengakibatkan operasi
pemberantasan praktek illegal logging belum membuahkan hasil secara
optimal.





48
. Wawancara dengan KRPH Pule Bpk. Imam Basori tanggal 22 Mei 2007.


70

3. Faktor keseriusan, kepedulian dan ketegasan petugas yang
berkompeten.
Belum adanya pemahaman dan komitmen tentang keseriusan,
kepedulian dan ketegasan terhadap pemberantasan praktek illegal logging
oleh Polisi Kehutanan, Polri dan juga penegak hukum lainnya berdampak
pada masih merebaknya praktek illegal logging di lapangan. Lemahnya
para penegak hukum tersebut salah satunya tercermin dari ringannya
sanksi hukum bagi para pelaku illegal logging yang dapat diseret ke meja
pengadilan.
49
4. Faktor oknum petugas.
Adanya oknum petugas baik dari Polisi Kehutanan sendiri, POLRI
maupun pejabat dari instansi lain yang membekingi praktek illegal
logging, menyebabkan sulitnya upaya pemberantasan illegal logging.
Oknum tersebut memiliki peran yang sangat penting dalam praktek illegal
logging. Selain memberikan jaminan keamanan juga memberikan peluang
kepada pelaku untuk menjalankan praktek illegal logging. Hal ini
menunjukkan betapa rumitnya permasalahan illegal logging di kawasan
hutan produksi di Kabupaten Trenggalek.
50





49
. Wawancara dengan KSKPH Kediri Selatan Bpk. Asep Surahman tanggal 5 Juni 2007.


50
. Ibid.


71

5. Faktor modus operandi kejahatan.
Kendala lain yang dihadapi oleh Polisi Kehutanan sebagai aparat
penegak hukum di lapangan adalah pola kegiatan illegal logging itu
sendiri. Saat ini ada cara baru terkait dengan modus operandi illegal
logging, yaitu dengan mengolah terlebih dahulu kayu menjadi barang jadi
atau setengah jadi. Kayu didistribusikan tidak dalam bentuk kayu bulat,
melainkan diolah terlebih dahulu dalam bentuk kayu olahan yang dimuat
dalam truk dengan dilengkapi dokumen resmi. Untuk mengelabuhi aparat
penegak hukum kayu olahan yang dimuat tersebut digabung dengan kayu
olahan lain yang berasal dari penebangan resmi. Akibatnya, aparat
penegak hukum harus memilahkan terlebih dahulu antara yang resmi dan
yang illegal sehingga memerlukan kecermatan dan waktu yang lebih
lama.
51
6. Faktor masyarakat.
Faktor masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan
produksi di Kabupaten Trenggalek, mayoritas berada dalam kondisi
ekonomi yang termasuk dalam kelompok miskin juga menjadi salah satu
kendala. Keterbatasan akses, rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya
lapangan kerja berdampak pada kesejahteraan masyarakat disekitar dan
dalam hutan produksi. Realitas ini dimanfaatkan oleh para cukong dan
para pemilik modal melalui praktek illegal logging. Masyarakat dijadikan


51
. Wawancara dengan KBKPH Karangan Bpk. J oko Sudarso tanggal 22 Mei 2007.



72

ujung tombak lapangan dalam praktek illegal logging yang menghasilkan
kondisi rusaknya sumber daya hutan produksi di Kabupaten Trenggalek.
Melalui masyarakat juga, para cukong dan pemodal illegal logging
bersembunyi dan selalu berusaha mengadu domba keduanya. Mengambil
hati dengan membagi uang kepada masyarakat merupakan salah satu trik
dari cukong untuk tetap bisa mengeksploitasi sumber daya hutan.
52
Banyaknya masyarakat yang hidup di dalam dan atau disekitar
hutan yang bergabung dalam kelompok illegal logging berdampak pada
meningkatnya laju kerusakan hutan. Akibatnya, faktor masyarakat menjadi
kendala utama yang dihadapi Polisi Kehutanan dalam upaya
pemberantasan praktek illegal logging di kawasan hutan produksi di
Kabupaten Trenggalek.
53
7. Faktor sanksi hukum.
Sanksi hukum pidana terhadap praktek illegal logging masih belum
maksimal sehingga tidak sepadan dengan kerugian Negara yang
ditimbulkan oleh praktek illegal logging ini.
54
Sanksi pidana terhadap
praktek illegal logging diatur dalam pasal 78 Undang-undang No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan jo pasal 42, 43 dan 44 Peraturan
Pemerintah No 45 Tahun 2004 tentang perlindungan hutan.


52
. Wawancara dengan KSKPH Kediri Selatan Bpk. Asep Surahman tanggal 5 Juni 2007.


53
. Ibid.


54
. Ibid.


73

C. Upaya yang Dilakukan Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Illegal
Logging di Kawasan Hutan Produksi Kabupaten Trenggalek.
Praktek illegal logging telah memberikan dampak ekonomi, ekologi
dan sosial yang sangat besar. Pemerintahpun melalui berbagai instansi terkait
telah menetapkan upaya pemberantasan dan penanggulangannya sebagai skala
prioritas program.
Secara garis besar terdapat dua upaya pendekatan pemberantasan
praktek illegal logging yang dilakukan pemerintah.
1. Pendekatan kesejahteraan yang bersifat preventif.
Pendekatan ini dilakukan pemerintah dengan cara menggalang
kekuatan dari masyarakat sekitar hutan untuk menolak praktek illegal
logging. Masyarakat sekitar hutan merupakan gerbang utama dan
lokomotif dari praktek illegal logging karena faktor kemiskinan dan
ketidakberdayaan. Karena itu kunci keberhasilan pemberantasan praktek
illegal logging terletak pada bagaimana para pihak mampu meningkatkan
kesejahteraan dan kemandirian masyarakat yang hidup dan tinggal di
sekitar kawasan hutan.
55
2. Pendekatan keamanan yang bersifat represif.
Pendekatan ini dalam upaya pemberantasan praktek illegal logging
perlu dilakukan untuk menciptakan kepastian usaha dan penegakan


55
. Rahmi Hidayati D; Charles CH Tambunan; Agung Nugraha; Iwan Aminidin,
Pemberantasan Illegal Logging Dan Penyelundupan Kayu: Menuju Kelestarian Hutan
Dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Wana Aksara, Banten, 2006, h: 14.



74

hukum. Pendekatan keamanan dilakukan terkait dengan penyimpangan
peraturan perundang-undangan (khususnya peraturan di bidang
kehutanan), baik menyangkut perijinan penebangan, keberadaan dokumen
hasil hutan, proses pengangkutan hingga pemanfaatannya.
Melihat luasnya obyek pendekatan dan banyaknya keterlibatan para
pihak, maka pemerintah melalui Departemen Kehutanan memandang perlu
bekerjasama dengan berbagai aparat keamanan dan aparat penegak hukum,
salah satunya adalah bekerjasama dengan Polisi Kehutanan pegawai Perum
Perhutani.
Hutan Produksi yang berada di Kabupaten Trenggalek seluruh
pengelolaannya dikuasai oleh Perusahaan Umum Kehutanan Indonesia
(Perum Perhutani).
56
Untuk itu Perum Perhutani memiliki hak untuk
melakukan eksploitasi sumberdayanya dan juga berkewajiban untuk menjaga
kelestariannya. Untuk menjaga kelancaran eksploitasi sumber daya hutan dan
untuk menjaga kelestarian hutan, Perum Perhutani mengadakan kegiatan
perlindungan hutan, yang juga merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan
hutan.
57
Kegiatan perlindungan hutan menurut pasal 3 ayat (2) PP Nomor 45
tahun 2004 yang menjadi kewenangan pemerintah dan atau pemerintah daerah
dapat dilimpahkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak
di bidang kehutanan. Begitu juga yang terjadi di Kabupaten Trenggalek.


56
. Wawancara dengan KSKPH Kediri Selatan Bpk. Asep Surahman tanggal 5 Juni 2007.


57
. Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.



75

Seluruh kegiatan perlindungan hutan di kawasan hutan produksi di Kabupaten
Trenggalek dilimpahkan kepada Perum Perhutani.
58
Dalam rangka melaksanakan usaha perlindungan hutan, berdasarkan
Pasal 9 ayat (3) PP Nomor 30 Tahun 2003 tentang Perusahaan Umum
Kehutanan Negara (Perum Perhutani), Perum Perhutani yang kantor pusatnya
berkedudukan di J akarta (Pasal 4 PP Nomor 30 Tahun 2003) membagi
wilayah kerjanya menjadi 3 unit yaitu:
1. Wilayah Kerja Unit J awa Tengah, disebut Unit I J awa Tengah.
2. Wilayah Kerja Unit J awa Timur, disebut Unit II J awa Timur.
3. Wilayah Kerja Unit J awa Barat dan Banten, disebut Unit III J awa Barat
dan Banten.
Wilayah kerja Unit dibagi menjadi Kesatuan Pemangkuan Hutan
(KPH) yang penetapannya dilakukan oleh Menteri atas usul Direksi.
59

Kemudian KPH sendiri dibagi menjadi beberapa Sub KPH (SKPH).
Kabupaten Trenggalek berada di wilayah kerja Unit II J awa Timur dan berada
di bawah KPH Kediri yaitu berada di SKPH Kediri Selatan.
SKPH Kediri Selatan membawahi lima Badan Kesatuan Pemangkuan
Hutan (BKPH) yang terdiri dari empat BKPH di Kabupaten Trenggalek dan
satu BKPH di Kabupaten Tulungagung. Kemudian setiap BKPH membawahi


58
. Wawancara dengan KSKPH Kediri Selatan Bpk. Asep Surahman tanggal 5 Juni 2007.


59
. Pasal 9 ayat (4) PP Nomor 30 Tahun 2003 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara
(Perum Perhutani).



76

beberapa Resort Pemangkuan Hutan (RPH).
60
Adapun BKPH di Kabupaten
Trenggalek yaitu:
1. BKPH Karangan membawahi 4 RPH yaitu:
a. RPH Karangan
b. RPH Tugu
c. RPH Gandusari
d. RPH Pule
2. BKPH Dongko membawahi 5 RPH yaitu:
a. RPH Dongko Utara
b. RPH Sumberbening
c. RPH Dongko Selatan
d. RPH Banjar
e. RPH Panggul
3. BKPH Kampak membawahi 4 RPH yaitu:
a. RPH Kampak Utara
b. RPH Kampak Selatan
c. RPH Munjungan Barat


60
. Wawancara dengan KBKPH Kampak, Bpk. Faturahman tanggal 25 Mei 2007.


77

d. RPH Munjungan Timur
4. BKPH Trenggalek membawahi 4 RPH yaitu:
a. RPH Bendungan
b. RPH Sumurup
c. RPH Trenggalek
d. RPH Durenan
Resort Pemangkuan Hutan (RPH) memiliki beberapa petugas lapangan
(Mandor) yang semuanya bertugas langsung di lapangan untuk mengelola
hutan. Tiap Mandor memiliki tugas perbidang (fungsional) yaitu:
a. Mandor dibidang persemaian.
Bertugas untuk melakukan persemaian tanaman yang akan ditanam
di kawasan hutan.
b. Mandor dibidang tanam.
Bertugas melakukan penanaman tanaman baru dari hasil
persemaian yang sudah siap ditanam.
c. Mandor dibidang pemeliharaan.
Bertugas memelihara tanaman dikawasan hutan produksi.
d. Mandor dibidang sadap.
Bertugas melakukan penyadapan getah pinus di kawasan hutan
produksi.


78

e. Mandor dibidang tebang.
Bertugas melakukan penebangan pohon yang sudah siap untuk
dipanen.
f. Mandor dibidang keamanan.
Bertugas mengamankan tanaman di kawasan hutan produksi dari
penjarahan.
Dari seluruh jajaran pegawai Perum Perhutani diatas, yang disebut
sebagai Polisi Kehutanan pegawai Perum Perhutani adalah:
61
1. Polhutan (Polisi Khusus Kehutanan) yaitu seluruh jajaran aparat
pelaksana Perum Perhutani yang mengemban tugas pengamanan
hutan secara umum yang mempunyai wewenang kepolisian
khusus.
2. Polhutan Teritorial (Polhuter) yaitu unsur Polhutan yang terdiri
dari para aparat pelaksana pengamanan hutan yang bertugas di
dalam hutan dan pejabat pengelola hutan yang disamping
menjalankan tugas-tugas teknis kehutanan juga diberi wewenang
kepolisian terbatas dibidang pengamanan hutan diwilayah
kerjanya.
3. Polhutan Mobil (Polhutmob) yaitu unsur Polhutan berbentuk
kesatuan/regu yang bersifat mobil dan mempunyai tugas-tugas


61
. Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor: 1838/KPTS/DIR/1998 Tentang Pedoman
Pengamanan Hutan Dengan System Patroli Tunggal Mandiri (PTM).



79

taktis Kepolisian, membantu Polhutan Teritorial dibidang
pengamanan hutan. Kedudukan Polhutan Mobil ini berada di KPH
dan wilayah kerjanya meliputi seluruh Sub KPH dalam satu
KPH.
62

Polisi Kehutanan di Kabupaten Trenggalek dalam menanggulangi
praktek Illegal Logging di kawasan hutan produksi melakukan upaya-upaya
diantaranya:
1. Upaya penanggulangan illegal logging yang bersifat preventif.
Upaya preventif merupakan upaya yang pencegahaan terhadap
praktek illegal logging. Upaya ini dilakukan Perhutani dengan cara:
A. Upaya Pemberdayaan Masyarakat.
Upaya pemberdayaan masyarakat ini dilakukan Polisi
Kehutanan di Kabupaten Trenggalek dengan cara melakukan
pembinaan kepada masyarakat dengan menggandeng unsur-unsur yang
ada dalam masyarakat. Upaya ini penekanannya lebih kepada sosial
masyarakat yaitu dengan melakukan Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM). Dengan adanya PHBM, Perum Perhutani dalam
mengelola hutan selalu berbagi dengan masyarakat. Salah satu wujud
dari PHBM ini adalah dibentuknya Lembaga Masyarakat Hutan
(LMH) oleh Polisi Kehutanan di Kabupaten Trenggalek.
63


62
. Wawancara dengan KBKPH Kampak, Bpk. Faturahman tanggal 25 Mei 2007.


63
. Wawancara dengan KRPH Pule Bpk. Imam Basori tanggal 22 Mei 2007.


80

Lembaga Masyarakat Hutan (LMH) dibentuk oleh Polisi
Kehutanan dengan menggandeng tokoh-tokoh masyarakat sekitar
hutan. LMH diberi hak khusus oleh Perum Perhutani untuk melakukan
pemanfaatan kawasan hutan produksi di Kabupaten Trenggalek. Hak
khusus ini diberikan Perum Perhutani kepada LMH berpedoman pada
OHL TB yang menekankan pada pemberdayaan masyarakat sekitar
dan dalam kawasan hutan. Hak-hak yang dimiliki LMH tersebut
diantaranya:
1. Pemanfaatan lahan hutan Produksi untuk lahan pertanian
tanpa merusak lahan dan tanaman asli hutan yang sudah
ada.
2. LMH diberi hak untuk memungut ranting-ranting pohon
dikawasan hutan untuk kayu bakar.
Kegiatan yang dilakukan Polisi Kehutanan Kabupaten
Trenggalek yaitu, setiap ada waktu dan kesempatan memberikan
penyuluhan/sosialisasi tentang hukum dan peraturan-peraturan yang
menyangkut tindak pidana di bidang kehutanan kepada masyarakat
khususnya anggota LMH. Tujuannya adalah supaya masyarakat kecil
di dalam dan sekitar kawasan hutan mengetahui perbuatan apa saja
yang dianggap legal atau tidak legal dibidang kehutanan. Diharapkan
juga dengan dibentuknya LMH, masyarakat mampu untuk


81

mengamankan hutan dengan cara menolak setiap provokasi dari pihak-
pihak yang ingin mencari keuntungan dari praktek illegal logging.
64
LMH terbukti sangat efektif dalam hal pengamanan hutan
produksi di Kabupaten Trenggalek dari praktek illegal logging. hal ini
terbukti dengan menurunnya praktek illegal logging dalam kurun
waktu tahun 2006.
65

B. Patroli rutin di dalam dan sekitar kawasan hutan.
Patroli rutin yang dilakukan Polisi Kehutanan di Kabupaten
Trenggalek dilakukan dengan cara memeriksa kelengkapan surat-surat
atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan
dilakukan Polisi Kehutanan di Kabupaten Trenggalek berkoordinasi
dengan POLRI. Surat-surat atau dokumen yang diperiksa tersebut
diantaranya:
a. SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) kayu
bulat.
b. FAKO (Faktur Angkut Kayu Olahan)
c. Surat Ijin Tebang dari aparat desa dimana dilakukan
penebangan.
Pemeriksaan kelengkapan surat-surat atau dokumen oleh Polisi
Kehutanan dilakukan dengan cara menghentikan setiap kendaraan


64
. Wawancara dengan KRPH Pule Bpk. Imam Basori tanggal 22 Mei 2007.


65
. Arsip KSKPH Kediri Selatan, Bpk. Asep Surahman.



82

yang membawa kayu saat melintas di dalam dan sekitar kawasan
hutan. Surat-surat atau dokumen tersebut kemudian dicocokkan
dengan kayu yang ada di dalam kendaraan.
66
Adapun kategori hasil hutan yang tidak dilengkapi dengan
surat-surat atau dokumen adalah:
67
1. Asal usul hasil hutan tempat tujuan pengangkutan tidak
sesuai dengan yang tercantum dalam surat keterangan
sahnya hasil hutan.
2. Apabila keadaan fisik, baik jenis, jumlah maupun volume
hasil hutan yang diangkut, dikuasai atau dimiliki sebagian
atau seluruhnya tidak sama dengan yang tercantum dalam
surat keterangan sahnya hasil hutan.
3. Pada waktu dan tempat yang sama tidak dilengkapi dengan
surat-surat yang sah sebagai bukti.
4. Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan masa berlakunya
telah habis.
5. Hasil hutan tidak mempunyai tanda sahnya hasil hutan.
C. Patroli Tunggal Mandiri.
Patroli Tunggal Mandiri yang dilakukan Polisi Kehutanan di
Kabupaten Trenggalek dasar hukumnya adalah Keputusan Direksi
Perum Perhutani Nomor: 1838/KPTS/DIR/1998 tentang Pedoman
Pengamanan Hutan Dengan Sistem Patroli Tunggal Mandiri.


66
. Wawancara dengan KBKPH Karangan Bpk. J oko Sudarso tanggal 22 Mei 2007.


67
. Wawancara dengan KSKPH Kediri Selatan Bpk. Asep Surahman tanggal 5 Juni 2007.


83

Upaya penanggulangan illegal logging dengan sistem Patroli
Tunggal Mandiri dilatar belakangi oleh adanya ancaman dan gangguan
keamanan hutan terutama pada hutan Pinus di kawasan hutan produksi
di Kabupaten Trenggalek semakin meningkat dari waktu ke waktu
terutama disebabkan tekanan kependudukan, karena nilai kayu sangat
tinggi dan jumlah permintaan pasar yang melebihi jumlah produksi
Perhutani. Ancaman/gangguan terutama dalam bentuk pencurian
akhir-akhir ini semakin meningkat dan cenderung terorganisir bahkan
semakin nekat.
Oleh karena itu tindakan pengamanan harus ditingkatkan baik
kuantitas maupun kualitas dan salah satu diantaranya sistem Patroli
Tunggal Mandiri (PTM). Fungsi dari kegiatan Patroli Tunggal Mandiri
yaitu:
1. Mencegah kerusakan hutan dari pencurian, bibrikan,
penggembalaan, perencekan dan kebakaran hutan.
2. Menekan/mencegah kerugian material maupun kerusakan
hutan beserta fungsi-fungsinya.
3. Sebagai media shock therapy, bahwa tindakan perusakan hutan
merupakan tindakan kriminal dan diproses secara hukum
(bersifat mendidik dan menyadarkan).
Kegiatan Patroli Tunggal Mandiri diprioritaskan dalam
kawasan hutan yang dibedakan menjadi: aman, rawan, dan sangat


84

rawan didasarkan pada frekuensi kejadian, modus operandi dan
kuantitas kerusakan hutan.
68
Adapun lingkup kegiatan PTM
diantaranya:
1. Patroli Tunggal Mandiri (PTM), merupakan suatu kegiatan
pengamanan hutan pada suatu daerah yang sangat
rawan/rawan tertentu, yang bersifat kontinyu (terus
menerus), mobile/dinamis (bergerak mengikuti gerak
kerawanan),dan mandiri (tanpa menunggu perintah).
2. Kegiatan Pengamanan Tunggal merupakan operasi
pengamanan hutan dan hasil hutan berupa
patroli/perondaan yang dilaksanakan oleh jajaran Perum
Perhutani sendiri.
3. Patroli gabungan merupakan operasi pengamanan hutan
dan hasil hutan yang dilakukan bersama-sama antara Perum
Perhutani dengan aparat keamanan terkait.
4. Pengendalian operasional ditunjang oleh sarana dan
prasarana antara lain: Posko Wasdal, Poskodal, Poskowil,
Pos PTM, Alkom, kelengkapan petigas, dan kelengkapan
lainnya.


68
. Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor: 1838/KPTS/DIR/1998 tentang Pedoman
Pengamanan Hutan Dengan Sistem Patroli Tunggal Mandiri.


85

5. Sasaran patroli PTM diprioritaskan di dalam wilayah
jangkauan (covering area) sekitar 350-400 ha, dengan
personil 5-6 orang.
6. J enis kegiatan yang ditangani oleh PTM meliputi:
- Penguasaan wilayah (dalam kawasan dan luar
kawasan).
- Perencanaan kegiatan.
- Pelaksanaan operasional.
- Pelaporan.
7. Maksud dan tujuan diadakannya PTM.
- Sebagai pedoman bagi pelaksana untuk keseragaman
operasional.
- Bertujuan agar ancaman dan gangguan keamanan hutan
dapat ditekan atau ditanggulangi seminimal mungkin.
2. Upaya penanggulangan illegal logging yang bersifat represif.
Upaya pemberantasan illegal logging melalui pendekatan
keamanan dalam kerangka penegakan hukum telah menjadi salah satu
kebijakan sekaligus program prioritas Polisi Kehutanan di Kabupaten
Trenggalek. Upaya ini merupakan bentuk upaya penanggulangan praktek
illegal logging yang bersifat represif (paksa). Upaya paksa ini dilakukan


86

Polisi Kehutanan di Kabupaten Trenggalek dengan cara menggelar
operasi-operasi di dalam kawasan hutan yang dilakukan apabila diduga
telah terjadi praktek illegal logging di dalam hutan.
Pedoman Polisi kehutanan di Kabupaten Trenggalek dalam
melakukan operasi adalah hasil Mou antara Departemen Kehutanan
dengan Kapolri yaitu Operasi Hutan Lestari I dan II. Sesuai dengan Mou,
dalam melakukan operasi di lapangan, Polisi Kehutanan di Kabupaten
Trenggalek berkoordinasi dengan POLRI. Langkah ini bertujuan agar
pelaku illegal logging yang melarikan diri keluar dari kawasan hutan yang
menjadi wilayah kerja Polisi Kehutanan, dapat ditangkap oleh Polri. Polisi
Kehutanan hanya memiliki kewenangan kepolisian terbatas di dalam dan
sekitar hutan saja. Sedangkan kewenangan kepolisian diluar kawasan
hutan tetap dimiliki oleh Polri.
Dalam melakukan upaya ini, Polisi Kehutanan Kabupaten
Trenggalek yang bekerjasama dengan Polri langsung masuk ke hutan
untuk mencari pelaku-pelaku illegal logging yang sedang menebang pohon
di dalam hutan. Selain masuk ke dalam hutan, Polisi Kehutanan
Kabupaten Trenggalek yang bekerjasama dengan Polri dalam menjalankan
upaya yang bersifat represif ini juga menggeledah rumah-rumah warga
yang diduga digunakan sebagai tempat penyembunyian barang bukti.
Penggeledahan ini dilakukan setelah anggota Polisi Kehutanan


87

mendapatkan kepastian dari hasil penyelidikan sebelumnya, tentang
adanya barang bukti hasil illegal logging di rumah-rumah warga.
69
Berdasarkan data laporan Kepolisian RI, sepanjang periode 2005
Operasi Hutan Lestari I dan Operasi Hutan Lestari II telah berhasil
membongkar sejumlah besar kasus praktek illegal logging. Salah satu
keberhasilan operasi polisionil yang bersifat represif tersebut telah
mengakibatkan terputusnya mata rantai jaringan illegal logging. Para
memodal yang selama ini dikenal sebagai cukong illegal logging tercerai
berai. Sementara oknum aparat bersembunyi dan harus berpikir ulang
untuk kembali menjadi beking praktek yang sangat merugikan Negara
tersebut. Operasi Hutan Lestari (OHL) II sudah berakhir 6 Mei 2006.













69
. Wawancara dengan KSKPH Kediri Selatan Bpk. Asep Surahman tanggal 5 Juni 2007.


88

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan.
Berdasarkan pada beberapa uraian hasil penelitian yang terdapat pada
bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa :
1. Kewenangan polisi kehutanan dalam upaya pemberantasan illegal logging
di kawasan hutan produksi di Kabupaten Trenggalek dibedakan menjadi
dua jenis kewenangan yaitu:
A. Kewenangan Melakukan Penyelidikan yaitu kewenangan untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
menurut cara yang diatur menurut undang-undang.
Kewenangan yang dimiliki Polisi Kehutanan di Kabupaten
Trenggalek dalam melakukan penyelidikan untuk mencegah tindak
pidana illegal logging di kawasan hutan produksi diantaranya:
a. Mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan
atau wilayah hukumnya.
b. Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan
dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan
atau wilayah hukumnya.
c. Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana
yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.


89

d. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak
pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil
hutan.
e. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka
untuk diserahkan kepada yang berwenang.
f. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang
terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan
hutan dan hasil hutan.
B. Kewenangan Melakukan Penyidikan.
Dari fakta yang penulis dapatkan di lapangan, tidak ada Polisi
Kehutanan di Kabupaten Trenggalek yang diangkat menjadi Pejabat
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan.
2. Kendala-kendala yang dihadapi polisi kehutanan dalam upaya
menanggulangi illegal logging di kawasan hutan produksi Kabupaten
Trenggalek ada tujuh kendala yaitu: faktor geografis; faktor sarana dan
prasarana; faktor keseriusan, kepedulian dan ketegasan petugas yang
berkompeten; faktor oknum petugas; faktor modus operandi kejahatan;
faktor masyarakat; dan faktor sanksi hukum.
3. Upaya yang dilakukan polisi kehutanan dalam menanggulangi illegal
logging di kawasan hutan produksi Kabupaten Trenggalek dibagi menjadi
dua jenis yaitu:
1. Upaya Preventif, merupakan upaya pencegahaan terhadap praktek
illegal logging. Upaya ini dilakukan Perhutani dengan cara melakukan


90

pemberdayaan masyarakat; melakukan patroli rutin dan melakukan
patroli tunggal mandiri.
2. Upaya Represif, merupakan upaya paksa yang dilakukan Polisi
Kehutanan di Kabupaten Trenggalek. Upaya ini dilakukan dengan cara
menggelar operasi-operasi di dalam kawasan hutan yang dilakukan
sewaktu-waktu.
B. Saran.
Berdasarkan pada hasil kesimpulan di atas, maka penulis dapat
memberikan saran:
1. Kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana kehutanan
hendaknya diberikan kepada Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Kehutanan supaya dalam menentukan sanksi kepada tersangka tidak
disamakan dengan sanksi tindak pidana umum.
2. Kendala-kendala yang dihadapi dalam menanggulangi illegal logging
dapat ditekan dengan cara meningkatkan profesionalisme kerja Polisi
Kehutanan, sehingga tidak ditemukan oknum petugas yang bermain
dibelakang praktek illegal logging.
3. Upaya penanggulangan praktek illegal logging yang bersifat represif
sebaiknya dikurangi karena tidak efektif. Upaya yang bersifat preventif
ditingkatkan terutama program pemberdayaan masyarakat karena lebih
efektif.




91

Daftar Pustaka



1. Hidayati D., Rahmi; Charles CH., Tambunan; Nugraha, Agung;
Aminudin,Iwan. Pemberantasan Illegal Logging Dan
Penyelendupan Kayu. Wana Aksara. Tangerang:2006

2. UU & Perpu Kehutanan Beserta PP Tentang Perencanaan & perlindungan
Hutan.Pusat Info Data Indonesia (PIDI).J akarta:2006.

3. Salim,H.S.,S.H.,M.S.Dasar-Dasar Hukum Kehutanan.Sinar
Grafika.J akarta:2003.

4. Sunggono,Bambang.Metodelogi Penelitian Hukum.Rajawali
Press.J akarta:2002.

5. Chazawi, Adami.Drs.S.H.Pelajaran Hukum Pidana (Bagian I).BKBH
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.Malang:2001.

6. RubaI,Masruchin,S.H.,M.S.Asas-Asas Hukum Pidana.UM
Press.Malang:2001.

7. Hamzah,Andi,D.R.,S.H.KUHP & KUHAP.Rineka Cipta.J akarta:1998.

8. _______ Hukum Acara Pidana Indonesia.CV. Sapta Artha
J aya.J akarta:1996.

9. Kemal, Mohammad. Strategi Pencegahan Kejahatan.PT. Citra Aditya Bakti.
Bandung:1994

10. Soemitro, Ronny Hanitijo.Metodelogi Penelitian Hukum dan Jumetri.Ghalia
Indonesia.J akarta:1990.

11. Widiyati, Ninik; Anaruga,Panji. Perkembangan Kejahatan Dan
Permasalahannya. PT Pradnya Paramita. J akarta: 1987.

12. Soerjono Soekanto, Hengkie Liklikuwata, Mulyana W. Kusumah.Kriminologi
Suatu Pengantar.Ghalia Indonesia.J akarta:1981.



92

13. Buku Pedoman Program Ekstensi.Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya.Malang:2001


14. Utomo, Warsito Hadi. Hukum Kepolisian Di Indonesia. Prestasi Pustaka.
J akarta: 2005
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2003 Tentang
Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum
Perhutani).
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan.
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
Keputusan Presiden No. 41 Tahun 2004 tentang Perizinan Atau Perjanjian Di
Bidang Pertambangan Yang Berada Di Kawasan
Hutan.
Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu
Secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di
Seluruh Wilayah RI.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-Ii/2006 tentang Penggunaan
Surat Keterangan Asal Usul (Skau) Untuk
Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari
Hutan Hak Menteri Kehutanan.






93

Daftar Lampiran


Lampiran 1. Surat Penetapan Pembimbing Skripsi.
Lampiran 2. Perpanjangan SK Bimbingan Skripsi.
Lampiran 3. Surat Keterangan Telah Melakukan penelitian di Kantor Perum
Perhutani Sub KPH Kediri Selatan.
Lampiran 4. Surat Ijin Survey dari Perum Perhutani Unit II J awa Timur di
Surabaya.
Lampiran 5. Kartu Bimbingan Skripsi.
Lampiran 6. Daftar Nominatif Karyawan Perum Perhutani di Kabupaten
Trenggalek.

You might also like