You are on page 1of 31

1

Bagian Ilmu Penyakit THT Referat


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

GANGGUAN PENDENGARAN



Disusun Oleh :
Aprilini Fitrisia 0808015062
Isma Zul Abdilah 0808015047


Pembimbing :
dr. Selvianti, Sp.THT


Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Pada Bagian Ilmu Penyakit THT
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
RSUD A.W. Sjahranie Samarinda
Juli 2014



2

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Gangguan pendengaran merupakan masalah yang umum dialami setiap
orang dari waktu ke waktu..
1
Menurut World Health Organization gangguan
pendengaran adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan
kehilangan pendengaran di satu atau kedua telinga.
2
Gangguan pendengaran
didefinisikan sebagai pengurangan dalam kemampuan seseorang untuk
membedakan suara. Gangguan pendengaran sering terjadi ketika menaiki pesawat
terbang atau mendaki gunung. Pendengaran juga mungkin berkurang selama
terjadi infeksi telinga di mana gangguan ini bersifat sementara. Gangguan
pendengaran yang bersifat permanen mungkin menimbulkan masalah psikososial
dan kesehatan yang pada akhirnya menyebabkan seseorang kehilangan pekerjaan,
depresi, dan terisolasi dari kehidupan social.
1

Di dunia, menurut perkiraan WHO, 80% orang yang mengalami masalah
gangguan pendengaran tinggal di negara berkembang. Pada tahun 1995 terdapat
120 juta penderita gangguan pendengaran di seluruh dunia. Jumlah tersebut
mengalami peningkatan yang sangat bermakna pada tahun 2001 menjadi 250 juta
orang. Pada tahun 2005, WHO memperkirakan terdapat 278 juta orang menderita
gangguan pendengaran, 75 - 140 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara
3
.
Jumlah orang di seluruh dunia dengan semua tingkat gangguan pendengaran
meningkat terutama disebabkan meningkatnya populasi global dan usia harapan
hidup. Persentase prevalensi gangguan pendengaran pada populasi penduduk
secara umum bervariasi dari minimal 4,2% di Indonesia hingga 9% di Sri Lanka,
13,3% di Thailand dan 16,6% di Nepal. Berdasarkan angka-angka diatas, terdapat
lebih daripada 100 juta orang yang menderita masalah ketulian dan gangguan
pendengaran di kawasan Asia Timur.
3

Di Indonesia, gangguan pendengaran dan ketulian saat ini masih
merupakan suatu masalah yang dihadapi masyarakat. Sampai dengan tahun 1996
Indonesia belum memiliki angka gangguan pendengaran dan ketulian.


3

Berdasarkan hasil Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan
Pendengaran dengan sampel sebesar 19.375 di 7 provinsi ( Sumbar, Sumsel,
Jateng, Jatim, NTB, Sulsel dan Sulut) dari tahun 1994 - 1996, prevalensi ketulian
sekitar 0,4% dan gangguan pendengaran sekitar 16,8%. Penyebabnya, akibat
infeksi telinga tengah 3,1%, presbikusis 2,6%, tuli akibat obat (ototoksik) 0,3%,
tuli sejak lahir (kongenital) dan tuli akibat paparan bising sekitar 0,1%. Bila saat
ini jumlah penduduk Indonesia adalah 214,1 juta berarti diperkirakan terdapat 36
juta orang yang mengalami gangguan pendengaran dan 850.000 orang penderita
ketulian.
4

Menurut Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan
Ketulian (Komnas PGPKT) prevalensi morbiditas telinga paling tinggi pada
kelompok usia sekolah (7-18 tahun). Kecenderungan di masa depan akan terjadi
peningkatan gangguan pendengaran. Beberapa penyebabnya, antara lain semakin
tingginya umur harapan hidup, sehingga penduduk usia lanjut akan semakin
banyak yang membawa konsekuensi peningkatan prevalensi degenerasi
sehubungan dengan usia. Faktor lain, yaitu gaya hidup masyarakat yang kurang
menguntungkan, seperti mendengarkan musik dengan suara keras, lingkungan
tempat kerja dengan tingkat kebisingan yang tinggi, dan lain-lain. Masalah
penanggulangan gangguan pendengaran di Indonesia terutama, adalah kurangnya
sarana dan prasarana, kurangnya dukungan dari lintas sektor dalam
penanggulangan masalah gangguan pendengaran, dan masih kurangnya kesadaran
dan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan indera pendengaran.
5


1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan referat ini adalah :
1. Agar dapat memahami anatomi dan fisiologi pendengaran.
2. Sebagai tambahan ilmu pengetahuan dan tinjauan kepustakaan mengenai
gangguan pendengaran.





4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga.
Secara anatomi telinga dibagi menjadi tiga bagian : telinga luar, tengah
dan dalam. Telinga tengah dan luar berkembang dari alat brankial. Telinga dalam
seluruhnya berasal dari plakoda otika. Dengan demikian suatu bagian dapat
mengalami kelainan congenital sementara bagian lain berkembang normal.

Gambar 1. Anatomi Telinga
6

2.1.1 Telinga Luar
Telinga luar terdiri atas daun telinga (aurikula) dan liang telinga (meatus
akustikus eksterna). Aurikula mempunyai kerangka dari tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit. Di bagian anterior aurikula, kulit tersebut melekat erat pada
perikondrium sedangkan di bagian posterior kulit melekat secara longgar. Bagian


5

aurikula yang tidak mempunyai tulang rawan disebut lobules. MAE merupakan
saluran yang menuju kea rah telinga tengah dan berakhir pada membrane timpani.
MAE mempunyai diameter 0,5 cm dan panjang 2,5-3 cm. MAE merupakan
saluran yang tidak lurus, tapi berbelok dari arah postero-superior di bagian luar
kea rah antero-inferior. Selain itu, terdapat penyempitan di bagian medial yang
dinamakan ismus. Dinding MAE sepertiga bagian lateral dibentuk oleh tulang
rawan yang merupakan kelanjutan dari tulang rawan aurikula dan disebut pars
kartilagenus. Bagian ini bersifat elastis dan dilapisi kulit yang melekat erat pada
perikondrium. Kulit pada bagian ini mengandung jaringan subkutan, folikel
rambut, kelenjar lemak (glandula sebacea) dan kelenjar serumen (glandula
ceruminosa).
4

Gambar 2. Aurikula
6

Dinding MAE dua pertiga bagian medial dibentuk oleh tulang dan disebut
pars osseus. Kulit yang meliputi bagian ini sangat tipis dan melekat erat pada
periosteum. Pada bagian ini tidak didapatkan folikel rambut ataupun kelenjar.
Dengan demikian dapat dimengerti jika serumen dan furunkel hanya dapat
ditemukan di sepertiga bagian lateral MAE. Pada daerah telinga dijumpai adanya
berbagai saraf sensorik yang merupakan cabang dari N.X (N.Arnold), N.V
(N.Aurikulotemporalis), N. VII, N. IX dan cabang dari N. Servikalis 2 dan


6

Servikalis 3 (N. Aurikula magnus). Aliran getah bening dari MAE dan aurikula
menuju ke kelenjar-kelenjar getah bening di daerah parotis, retro-aurikuler, infra-
aurikuler dan kelenjar di daerah servikal.
4

2.1.2 Telinga Tengah
Merupakan ruangan yang berisi udara dan terletak di dalam tulang
temporal. Auris media ini terdiri dari :
4

1. Kavum timpani
2. Tuba Eustachius
3. Mastoid yang terdiri dari antrum dan selula mastoid.

Gambar 3. Telinga tengah
6
Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu kotak
dengan enam sisi. Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding anterior
sehingga kotak tersebut berbentuk baji. Promontorium pada dinding medial
meluas ke lateral kea rah umbo dari membran timpani sehingga kotak tersebut
lebih sempit pada bagian tengah.
5

Dinding superior telinga tengah berbatasan dengan lantai fosa kranii
media. Pada bagian atas dinding posterior terdapat aditus ad antrum tulang
mastoid dan dibawahnya adalah saraf fasialis. Otot stapedius timbul pada daerah


7

saraf fasialis dan tendonnya menembus melalui suatu piramid tulang menuju ke
leher stapes. Saraf korda timpani timbul dari saraf fasialis dibawah stapedius dan
berjalan ke lateral depan menuju inkus tetapi di medial maleus, untuk keluar dari
telinga tengah lewat sutura petrotimpanika. Korda timpani kemudian bergabung
dengan saraf lingualis dan menghantarkan serabut-serabut sekretomotorik ke
ganglion submandibularis dan serabut-serabut pengecap dari dua pertiga anterior
lidah.
5

Dasar telinga tengah adalah atap bulbus jugularis yang di sebelah
superolateral menjadi sinus sigmoideus dan lebih ke tengah menjadi sinus
transverses. Keduanya adalah aliran vena utama rongga tengkorak. Cabang
aurikularis saraf vagus masuk ke telinga tengah dari dasarnya. Bagian bawah
dinding anterior adalah kanalis karotikus. Di atas kanalis ini, muara tuba eustakius
dan otot tensor timpani yang menempati daerah superior tuba kemudian
membalik, melingkari prosesus kokleariformis dan berinsersi pada leher maleus.
5

Dinding lateral dari telinga tengah adalah dinding tulang epitimpanum di
bagian atas, membrane timpani, dan dinding tulang hipotimpanum di bagian
bawah.
Bangunan yang paling menonjol pada dinding medial adalah
promontorium yang menutup lingkaran koklea yang pertama. Saraf timpanikus
berjalan melintasi promontorium ini. Fenestra rotundum terletak di posteroinferior
dari promontorium. Kanalis falopii bertulang yang dilalui saraf fasialis terletak di
atas fenestra ovalis mulai dari prosesus kokleariformis di anterior hingga pyramid
stapedium di posterior.
Rongga mastoid berbentuk seperti pyramid bersisi tiga dengan puncak
mengarah ke kaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial
adalah dinding lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoideus terletak dibawah
duramater pada derah ini. Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad
antrum. Tonjolan kanalis semisirkularis lateralis meonojol ke dalam antrum. Di
bawah kedua patokan ini berjalan saraf fasialis dalam kanalis tulangnya untuk


8

keluar dari tulang temporal melalui foramen stilomastoideus di ujung anterior
krista yang dibentuk oleh insersio otot digastrikus. Dinding lateral mastoid adalah
tulang subkutan yang dengan mudah dapat dipalpasi di posterior aurikula.
5

Membran timpani atau gendang telinga adalah suatu bangunan berbentuk
kerucut dengan puncaknya, umbo, mengarah ke medial. Membran timpani
umumnya bulat. Penting untuk disadari bahwa bagian dari rongga telinga tengah
yaitu epitimpanum yang mengandung korpus maleus dan inkus, meluas
melampaui batas atas membrane timpani, dan bahwa ada bagian hipotimpanum
yang meluas melampaui batas bawah membran timpani. Membran timpani
tersusun oleh suatu lapisan epidermis di bagian luar, lapisan fibrosa di bagian
tengah dimana tangkai maleus dilekatkan, dan lapisan mukosa bagian dalam.
Lapisan fibrosa tidak terdapat di atas prosesus lateralis maleus dan ini
menyebabkan bagian membran timpani yang disebut membran Shrapnell menjadi
lemas (flaksid).
5


Gambar 4. Membran timpani
6
Tuba eustakius menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring.
Bagian lateral tuba eustakius adalah yang bertulang sementara dua pertiga bagian
medial bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani terletak di sebelah atas
bagian bertulang sementara kanalis karotikus terletak di bagian bawahnya. Bagian
bertulang rawan berjalan melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring di atas


9

otot konstriktor superior. Bagian ini biasanya tertutup tapi dapat dibuka melalui
kontraksi otot levator palatinum dan tensor palatinum yang masing-masing
disarafi pleksus faringealis dan saraf mandibularis. Tuba eustakius berfungsi
untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani.
5

Gambar 5. Tulang pendengaran
6
2.1.3 Telinga Dalam
Bentuk telinga dalam sedemikian kompleksnya sehingga disebut sebagai
labirin. Derivat vesikel otika membentuk suatu rongga tertutup yaitu labirin
membrane yang terisi endolimfe, satu-satunya cairan ekstraseluler dalam tubuh
yang tinggi kalium dan rendah natrium. Labirin membrane dikelilingi oleh cairan
perilimfe (tinggi natrium, rendah kalium) yang terdapat dalam kapsula otika
bertulang. Labirin tulang dan membran memiliki bagian vestibular dan bagian
koklear. Bagian vestibularis (pars superior) berhubungan dengan keseimbangan,
sementara bagian koklearis (pars inferior) merupakan organ pendengaran kita.
5

Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu setengah
putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus, berisi berkas saraf
dan suplai arteri dari arteri vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan
menerobos suatu lamina tulang yaitu lamina spiralis oseus untuk mencapai sel-sel
sensorik organ Corti. Rongga koklea bertulang dibagi menjadi tiga bagian oleh
duktus koklearis yang panjangnya 35 mm dan berisi endolimfe. Bagian atas
adalah skala vestibuli, berisi perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh


10

membrane Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala timpani juga
mengandung perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina spiralis
oseus dan membran basilaris. Perilimfe pada kedua skala berhubungan pada apeks
koklea spiralis tepat setelah ujung buntu duktus koklearis melalui suatu celah
yang dikenal sebagai helikotrema. Membrane basilaris sempit pada basisnya (nada
tinggi) dan melebar pada apeks (nada rendah).
5

Terletak di atas membrane basilaris dari basis ke apeks adalah organ Corti,
yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer
pendengaran. Organ Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam (3.000) dan tiga
baris sel rambut luar (12.000). Sel-sel ini menggantung lewat lubang-lubang
lengan horizontal dari suatu jungkat-jungkit yang dibentuk oleh sel-sel
penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel
rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang melekat pada
suatu selubung di atasnya yang cenderung datar, bersifat gelatinosa dan aselular,
dikenal sebagai membrane tektoria. Membrane tektoria disekresi dan disokong
oleh suatu panggung yang terletak di medial disebut sebagai limbus.
5

Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikulus dan
kanalis semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang diliputi
oleh sel-sel rambut. Menutupi sel-sel rambut ini adalah suatu lapisan gelatinosa
yang ditembus oleh silia, dan pada lapisan ini terdapat pula otolit yang
mengandung kalsium dan dengan berat jenis yang lebih besar daripada endolimfe.
Karena pengaruh gravitasi, maka gaya dari otolit akan membengkokkan silia sel-
sel rambut dan menimbulkan rangsangan pada reseptor.
5

Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus sempit yang
juga merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak
pada bidang yang tegak lurus terhadap macula sakulus. Ketiga kanalis
semisirkularis bermuara pada utrikulus. Masingmasing kanalis mempunyai suatu
ujung yang melebar membentuk ampula dan mengandung selsel rambut krista.
Selsel rambut menonjol pada suatu kupula gelatinosa. Gerakan endolimfe dalam


11

kanalis semisrikularis akan menggerakkan kupula yang selanjutnya akan
membengkokkan silia sel-sel rambut krista dan merangsang sel reseptor.
5

Gambar 6. Telinga dalam
6

2.2 Fisiologi Pendengaran
Sampai tingkat tertentu pinna adalah suatu pengumpul suara, sementara
liang telinga karena bentuk dan dimensinya, dapat sangat memperbesar suara
dalam rentang 2 sampai 4 kHz; perbesaran pada frekuensi ini adalah sampai 10
hingga 15 dB. Maka suara dalam rentang frekuensi ini adalah yang paling
berbahaya jika ditinjau dari sudut trauma akustik.
5


Gambar 7. Skema proses mendengar
6



12

Pada telinga tengah terdapat maleus, inkus dan stapes. Tangkai dari
maleus terletak dalam membrane timpani, sedangkan otot tensor timpani
berinsersi pada leher maleus. Kaput maleus bersendi dengan permukaan anterior
korpus inkus dalam epitimpanum. Inkus memiliki prosesus brevis yang menonjol
ke belakang dan prosesus longus yang berjalan ke bawah untuk bersendi dengan
kaput stapes.
5

Sumbu rotasi maleus dan inkus yang alami adalah sepanjang garis yang
ditarik dari prosesus brevis inkus hingga daerah leher maleus. Stapes adalah
tulang yang berbentuk sanggurdi. Kontraksi otot stapedius dapat diukur dengan
audiometric hambatan (impedance audiometry), dan teknik ini merupakan alat
bantu klinis yang penting. Telinga tengah adalah suatu alat penghilang hambatan
antara udara (lingkungan kita) dan cairan (telinga dalam). Ketika gelombang suara
yang dihantarkan udara mencapai cairan, maka 99,9% energinya akan
dipantulkan. Jadi hanya 0,1% energi yang diteruskan (kehilangan sekitar 30dB).
Telinga tengah dapat mengkompensasi kehilangan tersebut terutama karena luas
membrane timpani 17 kali lebih besar dari luas basis stapes. Rangkaian osikula
ikut pula berperan sebesar 1,2/1. Dengan demikian, telinga tengah tidak penting
pada makhluk-makhluk air.
5

Getaran suara dihantarkan lewat liang telinga dan telinga tengah ke telinga
dalam melalui stapes, menimbulkan suatu gelombang berjalan di sepanjang
membrane basilaris dan organ Cortinya. Puncak gelombang berjalan di sepanjang
membrane basilaris yang panjangnya 35 mm tersebut, ditentukan oleh frekuensi
gelombang suara. Hal ini berakibat membengkoknya stereosilia oleh kerja
pemberat membrane tektoria, dengan demikian menimbulkan depolarisasi sel
rambut dan menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf pendengaran
yang melekat padanya. Di sinilah gelombang suara mekanis diubah menjadi
energy elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui saraf kranialis ke-8. Paling
tidak sebagai analisis frekuensi telah terjadi pada tingkat organ Corti. Peristiwa
listrik pada organ Corti dapat diukur dan dikenal sebagai mikrofonik koklearis.


13

Peristiwa listrik yang berlangsung dalam neuron juga dapat diukur dan disebut
sebagai potensial aksi.
5

Ligamentum spiralis terletak di lateral dinding tulang dari duktus
koklearis. Merupakan jangkar lateral dari membrane basilaris dan mengandung
stria vaskularis, satu-satunya lapisan epitel bervaskularisasi dalam tubuh. Dua dari
tiga jenis sel pada stria vaskularis kaya mitokondria dan memiliki luas permukaan
yang sangat besar dibandingkan dengan volume sel. Maka stria merupakan suatu
system transport cairan dan elektrolit yang dirancang secara unik. Diduga
memainkan peranan penting dalam pemeliharaan komposisi elektrolit cairan
endolimfe (tinggi kalium, rendah natrium) dan sebagai baterai kedua untuk organ
Corti. Juga merupakan sumber potensi arus searah (80 milivolt) dari skala media.
Darah merupakan sumber nutrisi utama untuk sel-sel tubuh dan alirannya
menimbulkan suara bising, namun stria vaskularis merupakan suatu adaptasi yang
unik dimana dapat menyuplai organ Corti dari jarak tertentu, dengan demikian
memperbaiki rasio sinyal-bising pada organ Corti.
Terdapat sekitar 30.000 neuron aferen yang mensarafi 15.000 sel rambut
pada tiap koklea. Masing-masing sel rambut dalam disarafi oleh banyak neuron.
Hanya persentase kecil (sekitar 10 persen) neuron aferen yang mensarafi sel
rambut luar, akan tetapi terdapat percabangan-percabangan sedemikian rupa
sehingga tiap neuron aferen berasal dari banyak sel rambut luar dan tiap sel
rambut luar dipersarafi oleh banyak neuron aferen. Juga ada sekitar 500 serabut
saraf eferen yang mencapai tiap koklea. Serabut-serabut ini bercabang-cabang
pula secara ekstensif sehingga tiap sel rambut luar memiliki banyak ujung saraf
eferen. Ujung-ujung saraf eferen dari sel rambut luar tidak seluruhnya berasal dari
satu serabut saraf eferen.
5

Serabut-serabut saraf koklearis berjalan menuju inti koklearis dorsalis dan
ventralis. Sebagian besar serabut dari inti melintasi garis tengah dan berjalan naik
menuju kolikulus inferiorkontralateral, namun sebagian serabut tetap berjalan
ipsilateral. Penyilangan selanjutnya terjadi pada inti lemniskus lateralis dan


14

kolikulus inferior. Dari kolikulus inferior, jaras pendengaran berlanjut ke korpus
genikulatum dan kemudian ke korteks pendengaran pada lobus temporalis. Karena
seringnya penyilangan serabut-serabut saraf tersebut, maka lesi sentral jaras
pendengaran hamper tidak pernah menyebabkan ketulian unilateral.
Serabut-serabut saraf vestibularis berjalan menuju salah satu dari keempat
inti vestibularis, dan dari sana disebarkan secara luas dengan jaras-jaras menuju
medulla spinalis, serebelum dan bagian-bagian susunan saraf pusat lainnya.
5
2.3 Pemeriksaan Fisik Fungsi Pendengaran
Pemeriksaan harus dimulai dengan inspeksi dan palpasi auikula (pinna)
dan jaringan di sekitar telinga. Liang telinga juga harus diperiksa, mula-mula
tanpa spekulum sebelum memeriksa membran timpani. Pasien duduk dengan
posisi badan condong sedikit ke depan dan kepala lebih tinggi sedikit daripada
kepala pemeriksa untuk memudahkan melihat liang telinga dan membrane
timpani. Ingatlah bahwa liang telinga tidak berjalan lurus. Untuk meluruskannya
pada pemeriksaan, peganglah aurikula dan tarik sedikit ke belakang dan ke atas
pada orang dewasa, dan ke arah bawah pada bayi. Setelah memakai speculum,
pakailah otoskop untuk melihat lebih jelas bagian-bagian membrane timpani.
Otoskop dipegang dengan tangan kanan untuk memeriksa telinga kanan pasien,
dan dengan tangan kiri untuk memeriksa telinga kiri pasien. Supaya posisi
otoskop ini stabil maka jari kelingking tangan yang memegang otoskop
ditekankan pada pipi pasien.
2,6

Gambar 2.4 Pemeriksaan Telinga
7


15

Uji pendengaran dilakukan dengan memakai garpu tala dan dari hasil
pemeriksaan dapat diketahui jenis ketulian apakah tuli konduktif atau tuli
perseptif (sensorineural). Idealnya digunakan garpu tala 512, 1024, dan 2048 Hz.
Bila tidak mungkin cukup dipakai 512 Hz karena tidak terlalu dipengaruhi suara
bising sekitar. Tes ini disebut dengan tes penala. Pemeriksaan ini merupakan tes
kualitatif.
2,6
Terdapat berbagai macam tes penala, termasuk:
2.3.1 Tes Rinne
8
Tujuan : membandingkan hantaran melalui udara dan tulang pada telinga yang
diperiksa.
Cara : penala digetarkan dan tangkainya diletakkan di prosesus mastoideus.
Setelah tidak terdengar, penala dipegang di depan telinga kira-kira 2,5 cm. Bila
masih terdengar disebut Rinne positif, bila tidak terdengar disebut Rinne negatif.
Dalam keadaan normal hantaran melalui udara lebih panjang daripada hantaran
tulang.

Gambar 2.5 Test Rinne
9



16

2.3.2 Tes Weber
8

Tujuan : membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan.
Cara : penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di garis tengah dahi atau
kepala. Bila bunyi terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut lateralisasi
ke telinga tersebut. Bila terdengar sama keras atau tidak terdengar disebut tidak
ada lateralisasi. Bila pada telinga yang sakit (lateralisasi pada telinga yang sakit)
berarti terdapat tuli konduktif pada telinga tersebut, bila sebaliknya (lateralisasi
pada telinga yang sehat) berarti pada telinga yang sakit terdapat tuli saraf.

Gambar 2.6 Test Weber
10

2.3.3 Tes Schwabach
8

Tujuan : membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa
yang pendengarannya dianggap normal.
Cara : penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoideus
sampai tidak terdengar bunyi kemudian dipindahkan ke prosesus mastoideus
pemeriksa yang pendengarannya dianggap normal. Bila masih dapat mendengar
disebut memendek atau tuli saraf, bila pemeriksa tidak dapat mendengar,
pemeriksaan diulang dengar cara sebaliknya. Bila pasien masih dapat mendengar,
disebut memanjang atau terdapat tuli konduktif. Jika kira-kira sama
mendengarnya disebut sama dengan pemeriksa.


17

Hasil Tes Penala:
8

Tes Penala Normal Tuli Konduktif Tuli sensorineural
Tes Rinne (+) hantaran udara
masih terdengar
(-) hantaran udara
tidak terdengar
(+) hantaran udara
masih terdengar
Tes Weber Tidak ada
lateralisasi
Lateralisasi ke
telinga yang sakit
Lateralisasi ke
telinga yang sehat
Tes Schwabach Sama dengan
pemeriksa
Memanjang Memendek
Tabel 2.1 Hasil Tes Penala
8
2.3.4 Tes Bing (tes oklusi)
2
Cara pemeriksaan: Tragus telinga yang diperiksa ditekan sampai menutup liang
telinga, sehingga terdapat tuli konduktif kira-kira 30 dB. Penala digetarkan
diletakkan pada pertengahan kepala (seperti tes Weber)
Penilaian: Bila terdapat lateralisasi ke telinga yang ditutup, berarti telinga tersebut
normal. Bila bunyi pada telinga yang ditutup tidak bertambah keras, berarti telinga
tersebut menderita tuli konduktif.
2.3.5 Tes Stenger
2
Tes Stenger digunakan pada pemeriksaan tuli anorganik (simulasi atau pura-pura
tuli).
Cara pemeriksaan dengan menggunakan prinsip masking. Misalnya pada
seseorang yang berpura-pura tuli pada telinga kiri. Dua buah penala yang identik
digetarkan dan masing-masing diletakkan di depan telinga kiri dan kanan, dengan
cara tidak kelihatan oleh yang diperiksa. Penala pertama digetarkan dan
diletakkan di depan telinga kanan (yang normal) sehingga jelas terdengar.
Kemudian penala yang kedua digetarkan lebih keras dan diletakkan di depan


18

telinga kiri (yang pura-pura tuli). Apabila kedua telinga normal karena efek
masking, hanya telinga kiri yang mendengar bunyi, jadi telinga kanan tidak akan
mendengar bunyi. Tetapi bila telinga kiri tuli, telinga kanan tetap menengar bunyi.
Pemeriksaan Penunjang Audiometer adalah peralatan elektronik untuk
menguji pendengaran. Audiometer diperlukan untuk mengukur ketajaman
pendengaran, mengukur ambang pendengaran mencatat kemampuan pendengaran
setiap telinga pada deret frekuensi yang berbeda , menghasilkan audiogram
(grafik ambang pendengaran untuk masing-masing telinga pada suatu rentang
frekuensi) , dan mengindikasikan kehilangan pendengaran . Pembacaan dapat
dilakukan secara manual atau otomatis . Pengujian perlu dilakukan di dalam
ruangan kedap bunyi namun di ruang yang heningpun hasilnya memuaskan .


Gambar 2.7 tes pendengaran menggunakan audiometri
11
2.4 Audiometri Khusus
Untuk mempelajari audiometri khusus di perlukan pemahaman istilah
recrutment dan decay.


19

1. Recrutment ialah suatu fenomena terjadi sensitifitas pendengaran yang
berlebihan di atas abang dengar keadaan ini khas untuk tuli koklea . Pada
kelainan koklea pasien dapat membedakan bunyi 1 db sedangkan pada
orang normal baru bisa membedakan ya pada 5 db.
2. Decay ( kelelahan) merupakan adaptasi abnormal merupakan tanda khas
pada tuli retrokoklea, saraf pendegaran cepat lelah bila dirasang terus
menerus. Bila dibeli istirahat akan pulih kembali

2.4.1 Tes SISI
Tes ini khas untuk mengetahui adanya kelainan koklea dengan memakai
fenomena rekrutmen. Caranya adalah dengan menentukan ambang dengar pasien
terlebih dahulu kemudian diberikan rangsangan diatas ambang rangsang, setelah
itu diberikan tambahan rangsangan 5dB, lalu diturunkan 4dB, lalu 3dB, 2dB,
terakhir 1dB. Bila pasien dapat membedakan berarti tes SISI positif.
Cara lain adalah dengan tiap 5 detik dinaikan 1 dB sampai 20 kali. Kemudian
dihitung berapa kali pasien dapat membedakan perbedaan. Positif jika skor
jawaban benar 70-100%.

2.4.2 Tes ABLB (Alternatif Binaural Loudness Balance)
Pada tes ABLB diberikan intensitas bunyi tertentu pada frekuensi yang sama pada
kedua telinga, sampai kedua telinga mencapai persepsi yang sama, yang disebut
balans negatif. Bila balans tercapai terdapat rekrutmen positif.

2.4.3 Tes Kelelahan (Tone Decay)
Ada 2 cara
TTD = threshold tone decay


20

STAT = supra threshod adaptation test
TTD dibagi menjadi cara Gahart dan cara Rosenberg.
TTD :
Cara Gerhart memberikan perangsangan secara terus menerus dengan intensitas
sesuai dengan ambang dengar. Misalnya 40 db bila setelah 60 detik masih tetap
mendengar maka test dinyatakan negative, jika sebaliknya terjadi kelelelahan atau
tidak mendegar maka test dinyatakan +. Kemudian intesitas Bunyi ditambah 5 db
jadi 45 db maka pasien dapat mrndengar lagi,rangsangan dilakukan dengan 45 db
selama 60 detik dan seterusnya
Penambahan :
0-5 =Normal
10-15 =Ringan
20-25 =Sedang
>30 = Berat
Cara Rosenberg
Penambahan : < 15 db = normal, >30 db = sedang
STAT
Prinsipnya pemeriksaan pada 3 Frekwensi( 500 hz 1000 hz dan 2000 hz) pada 110
db SPL = 100 db Sl. Artinya Nada Murni pada frekwensi ( 500 hz 1000 hz dan
2000 hz) pada 110 db SPL diberikan secara terus menerus selama 60 detik ,
terjadi kelelahan maka tes dinyatakan +.
2.4.4 Audiometri tutur (Speech Audiometry)
Pada tes ini dipakai kata-kata yang sudah disusun dalam silabus (suku kata). Kata-
kata ini disusun dalam daftar yang disebut Phonetically balance word LBT (PB,
LIST). Pasien diminta untuk mengulangi kata-kata yang didengar melalui keset
tape recorder.


21

Speech discrimination score:
90 100%: pendengaran normal
75 90% : tuli ringan
60 75% : tuli sedang
50 60% : kesukaran mengikuti pembicaraan sehari-hari
<50 % : tuli berat
2.4.5 Audiometri Bekessy (Bekesst Audiometry)
Dapat menilai ambang pendengaran seseorang. Prinsip pemeriksaan adalah
dengan nada terputus-putus (interupted sound) dan nada terus manerus (continue
sound).
2.3 Gangguan Pendengaran
Menurut World Health Organization (WHO), gangguan pendengaran
adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan kehilangan
pendengaran di satu atau kedua telinga.
12

Menurut Weber, gangguan pendengaran didefinisikan sebagai
pengurangan dalam kemampuan seseorang untuk membedakan suara
1
. Gangguan
pendengaran berbeda dengan ketulian. Gangguan pendengaran (hearing
impairment) berarti kehilangan sebagian dari kemampuan untuk mendengar dari
salah satu atau kedua telinga. Ketulian (deafness) berarti kehilangan mutlak
kemampuan mendengar dari salah satu atau kedua telinga.
12

Menurut laporan Global Burden of Disease (GBD), estimasi penderita
gangguan pendengaran derajat sedang di dunia pada tahun 2004 berjumlah 360,8
juta orang, dan jumlah penderita gangguan pendengaran derajat berat di dunia
dianggarkan sebanyak 275,7 juta orang.
2

Daerah Asia Tenggara mempunyai distribusi tertinggi penderita gangguan
pendengaran dengan estimasi penderita sebanyak 178,3 juta orang, diikuti daerah
Pasifik Barat (159,2 juta orang), Eropa (120,3 juta orang), Amerika (76,7 juta


22

orang), Afrika (56,2 juta orang), dan Mediterranean Timur (56,2 juta orang).
Estimasi penderita gangguan pendengaran derajat sedang di Asia Tenggara pada
tahun 2004 berjumlah 88,5 juta orang, dan jumlah penderita gangguan
pendengaran derajat berat di Asia Tenggara dianggarkan sebanyak 89,8 juta
orang.
2

Prevalensi kasus gangguan pendengaran di Indonesia dijumpai sebanyak
4,6%, dengan estimasi penderita gangguan pendengaran sebanyak 9,6 juta orang.
Indonesia mempunyai kasus gangguan pendengaran yang kedua tertinggi di Asia
Tenggara selepas India (630 juta penderita).
13

Menurut estimasi WHO, prevalensi permulaan (onset) gangguan
pendengaran pada orang dewasa di Indonesia adalah lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan dengan prevalensi permulaan gangguan pendengaran pada anak-
anak, yaitu 7,1% untuk orang dewasa dibandingkan 0,80% untuk anak-anak.
12

Jenis kelamin dilaporkan tidak berperan secara signifikan dalam kasus
gangguan pendengaran. Secara global, lelaki dikatakan lebih sering mengalami
masalah gangguan pendengaran daripada wanita. Hal yang sama terjadi di daerah
Asia Tenggara, termasuk Indonesia dengan perbandingan lelaki kepada wanita
adalah 1 : 2.
13

Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran (1994 - 1996)
mendapati bahwa prevalensi gangguan pendengaran lebih besar di daerah
pedesaan dibandingkan dengan perkotaan di Indonesia, yaitu 16,9% kasus di
daerah pedesaan dibandingkan 16,3% kasus di daerah perkotaan.
14

Gangguan pendengaran yang terjadi dalam industri menempati urutan
pertama dalam daftar penyakit akibat kerja di Amerika dan Eropa. Pada tahun
1990, sekitar 30 juta orang di Amerika Serikat terpapar pada tingkat kebisingan di
atas 85 dB setiap hari kerja, dibandingkan dengan lebih 9 juta orang pada tahun
1981.
3

Pekerjaan yang berisiko tinggi untuk gangguan pendengaran adalah sektor
pembangunan, transportasi, pertambangan, pertanian dan militer.
15




23

2.4 Klasifikasi
Menurut Weber et al (2009), gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan
menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Tuli konduktif
Terjadi pada 8% dari seluruh kejadian gangguan pendengaran. Disebabkan
oleh kondisi patologis pada kanal telinga eksterna, membran timpani, atau
telinga tengah sehingga terjadi gangguan transmisi suara secara mekanik.
Tiga tulang rawan ossicles mungkin gagal untuk mengkonduksi suara ke
koklea atau gendang telinga tidak dapat bergetar dalam merespon suara.
Cairan yang ada dalam telinga juga dapat menyebabkan tuli konduktif.
Gangguan pendengaran konduktif tidak melebihi 60 dB karena
dihantarkan menuju koklea melalui tulang (hantaran melalui tulang) bila
intensitasnya tinggi. Penyebab tersering gangguan pendengaran jenis ini
pada anak adalah otitis media dan disfungsi tuba eustachius yang
disebabkan oleh otitis media sekretori. Kedua kelainan tersebut jarang
menyebabkan kelainan gangguan pendengaran melebihi 40 dB.

2. Tuli Sensorineural
Merupakan jenis yang paling banyak terjadi yaitu sebesar 90% dari
seluruh kejadian gangguan pendengaran. Disebabkan oleh kerusakan atau
malfungsi koklea, saraf pendengaran dan batang otak sehingga terjadi
kegagalan untuk memperkuat gelombang suara sebagai impuls saraf secara
efektif pada koklea atau untuk mengirimkan impuls tersebut melalui
nervus vestibulocochlearis. Bila kerusakan terbatas pada sel rambut di
koklea, maka sel ganglion dapat bertahan atau mengalami degenerasi
transneural. Bila sel ganglion rusak, maka nervus VIII akan mengalami
degenerasi Wallerian. Penyebabnya antara lain adalah: kelainan bawaan,
genetik, penyakit/kelainan pada saat anak dalam kandungan, proses
kelahiran, infeksi virus, pemakaian obat yang merusak koklea (kina,
antibiotika seperti golongan makrolid), radang selaput otak, hipoksia, dan
kadar bilirubin yang tinggi. Penyebab utama gangguan pendengaran ini


24

disebabkan genetik atau infeksi, sedangkan penyebab yang lain lebih
jarang.

3. Tuli campuran
Bila gangguan pendengaran/ketulian konduktif dan sensorineural terjadi
bersamaan. Dapat merupakan satu penyakit, misalnya radang telinga
tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit
yang berbeda misalnya tumor N. VIII dengan otitis media.


Tabel 2. 2

Tabel 2.1


25



2.5 Rehabilitasi Gangguan Pendengaran
Rehabilitasi yang dimaksud adalah memperbaiki pendengaran yang telah
berkurang, atau dapat pula diartikan mengembalikan fungsi telinga sebagai alat
pendengaran. Karena sistem pendengaran dapat dibedakan atas fase mekanik
(konduksi) dan fase elektrik (sensori), maka rehabilitasinya perlu dibedakan atas :
1. Rehabilitasi gangguan pendengaran konduksi
Gangguan pendengaran konduksi berarti penghantaran gelombang suara
dari luar ke telinga dalam kurang baik atau terputus. sifat gangguan
pendengaran penghantaran adalah terjadinya gap antara penghantaran
tulang dan penghantaran udara: penghantaran melalui tulang harus normal.
Rehabilitasinya akan mendapatkan hasil yang baik dan pendengaran
diharapkan akan menjadi normal kembali. Gangguan pendengaran
penghantaran pada umumnya kelainannya di telinga luar atau di telinga
tengah, maka dengan mudah dapat diperbaiki. Kelainan di telinga luar


26

dapat terlihat, pada umumnya berupa penyumbatan dari liang telinga,
sehingga dengan tindakan sederhana sudah dapat menjadi baik kembali.
Misalnya: serumen, discharge di kanalis auditorius eksternus, tumor
benigna dan lain-lain. Selain itu, dengan obat-obatan dapat menghilangkan
sumbatan tersebut misalnya radang.
7

Kadang-kadang perlu dilakukan tindakan dengan operasi untuk
merekonstruksinya kembali, misalnya timpano plastik. Pada penderita
kekurangan pendengaran yang tidak mau dioperasi, dapat pula memakai
alat bantu dengar. Bagi orang yang memakai alat bantu dengarpun harus
berhati-hati. Bila pendengaran telinga sebelahnya masih normal maka
tidak perlu memakai alat bantu dengar dulu, karena akan terjadi cross of
hearing yang menyebabkan kekurangan pendengaran tipe sensori neural
pada yang sehat.
7

2. Rehabilitasi gangguan pendengaran sensori neural
Rehabilitasinya sulit dan memerlukan waktu yang lama dan biaya banyak.
Bentuk gangguan pendengaran sensori neural dapat menjadikan tuli sama
sekali. Pada gangguan pendengaran sensori neural perlu dibedakan anak
lahir tuli atau tuli sebelum dapat bicara dan tuli setelah dapat bicara.
Kedua-duanya perlu belajar membaca suara (speech reading) dengan
melihat gerakan bibir. Penderita dan pembicara harus berhadap-hadapan;
bila bibir tertutup maka penderita tidak akan dapat menerima apa yang
diucapkan.
7

Pada tuli sebelum dapat berbicara perlu belajar/latihan mendengar
(auditory training). Penderita dapat diberi alat bantu dengar bagi penderita
gangguan pendengaran agar sisa-sisa pendengarannya dapat digunakan.
Alat bantu dengar prinsipnya akan menaikkan intensitas (amplitudo)
sehingga suara akan lebih keras sehingga dalam pendidikannya tidak perlu
berteriak.
7

Pengelolaan pendidikan penderita tuli perlu ditangani oleh ahli audiologi,
speech therapeutist, ahli psikologi dan pediatri. Karena anak tuli sering


27

wataknya berubah menjadi sering curiga, lekas marah (emosional). Sedang
pada congenital hearing loss, sering juga ada kelainan organ lain.
7









28


BAB 3
RINGKASAN

Gangguan pendengaran adalah istilah yang sering digunakan untuk
menggambarkan kehilangan pendengaran di satu atau kedua telinga. Factor yg
mempengaruhinya antara lain umur, jenis kelamin, lingkungan hidup, dan
lingkungan pekerjaan, berdasarkan klasifiasi Gangguan pendengaran dibagi
menjadi tuli konduktif yang disebabkan oleh kondisi patologis pada kanal telinga
eksterna, membran timpani, atau telinga tengah sehingga terjadi gangguan
transmisi suara secara mekanik, tuli sensorineural yang disebabkan oleh
kerusakan atau malfungsi koklea, saraf pendengaran dan batang otak sehingga
terjadi kegagalan untuk memperkuat gelombang suara sebagai impuls saraf dan
tuli campuran bila gangguan pendengaran/ketulian konduktif dan sensorineural
terjadi bersamaan. Jika berdasarkan etilologinya gangguan pendengaran dibagi
menjadi gangguan pada telingal luar yg disebabkan kelainan kongenital, trauma,
infeksi, serumen, peertumbuhan tulang jinak, tumor, polip jinak, penyakit
sistemik, dan dermatologi. Gangguan pada telinga tengah disebabkan karena
kelainan congenital, trauma, gangguan fungsi tuba, infeksi, dan tumor. Gangguan
pada telinga dalam dapat disebabkan karena kelainan congenital, presbikusis,
infeksi, penyakit meniere, kebisingan, trauma, tumor,
endokrin/sistemik/metabolic, autoimun, dan obat-obatan ototoksik.











29


DAFTAR PUSTAKA

1. Weber, P.C., Deschler, G.D., & Sokol, H. N.Etiology of Hearing Loss in
Adults. 2009. Available from :
http://www.uptodate.com/patients/content/topic.do?topicKey=~TPPkJ1o3
GHCz9c&selectedTitle=1~ 150&source=search _result. [Accessed 10
February 2012].
2. World Health Organization. Deafness and Hearing Impairment. 2010.
Available from : http://www.who.int/mediacentre/factsheets /fs300/en/
index.html. [Accessed 10 February 2012].
3. World Health Organization. State of Hearing and Ear care in the South-
East Asia Region. 2010. Available from :
http://www.searo.who.int/LinkFiles/Publications_HEARING_&_EAR_C
ARE.pdf. [Accessed 10 February 2012].
4. Suwento, R. Standar Pelayanan Kesehatan Indera Pendengaran di
Puskesmas. 2007. Available from :
http://www.ketulian.com/v1/web/index.php?to=article&id=23. [Accessed
10 February 2012].
5. Hashim, C.W, 2001. WHO-Fact Sheets : Occupational and Community
Noise. Available from :
http://www.kma.org.kw/KMJ/KM%20Journal%202001%20PDFS%20%2
84%20issues%29/PDFs%20June%202001%20issue/Specified%20Articles
/WHOFact%20Sheet-June%202001.pdf. [Accessed 10 February 2012].
6. Soetirto, I., Hendarmin, H., & Bashiruddin, J. Gangguan Pendengaran dan
Kelainan Telinga. In: Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, S.,
Restuti, R.D., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007, hal. 10-22.


30

7. Boeis Jr, L.R. Penyakit Telinga Luar. In: Effendi, H., Santoso, R.A.K., ed.
Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta : EGC, 1997, hal. 75-86.
8. Sosialisman, Hafil, A.F., & Helmi. Kelainan Telinga Luar. In: Soepardi,
E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, S., Restuti, R.D., ed. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 6th ed.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007,
hal. 57-62.
9. Djaafar, Z.A., Helmi, & Restuti, R.D. Kelainan Telinga Tengah. In:
Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, S., Restuti, R.D., ed. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 6th ed.
Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007,
hal. 64-77.
10. Levine, S.C. Penyakit Telinga Dalam. In: Effendi, H., Santoso, R.A.K.,
ed. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta : EGC, 1997, hal. 119-138.
11. Soeparjo, H & Soetomo. Sebab-Sebab Ketulian Dipandang dari Sudut
THT. Cermin dunia Kedokteran no 39 : Kalbe Farma. 1985, hal. 3-9
12. WHO. WHO global estimates on prevalence of hearing loss. 2012.
Diakses pada: 26 September 2013. Dikutip dari:
http://www.who.int/entity/pbd/deafness/WHO_GE_HL.pdf
13. WHO. Milion Lives With Hearing Loss. 2012. Diakses pada: 26
September 2013. Dikutip dari:
http://www.who.int/entity/pbd/deafness/news/Millionslivewithhearingloss.
pdf.
14. Sutjipto, Damayanti. Komite Nasional Penanggulangan Gangguan
Pendengaran dan Ketulian. 2012. Diakses pada tanggal 26 September
2013. Dikutip dari :
http://ketulian.com/v1/web/index.php?to=home&show=detail


31

15. Suwento, R. Standar Pelayanan Kesehatan Indera Pendengaran di
Puskesmas.2007.Available from :
http://www.ketulian.com/v1/web/index.php?to=article&id=23.

You might also like