You are on page 1of 39

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan bangsa yang terbentang dari Sabang sampai
Meroke dan terdiri dari berbagai etnik di dalamnya dengan latar belakang seni
dan budaya yang beraneka ragam. Sehingga banyak masyarakat kita yang
mengartikan kebudayaan adalah kesenian, dan banyak yang menganggap
semua kesenian adalah kebudayaan. Hal ini dikarenakan kesenian memiliki
ruang lingkup yang besar dalam kebudayaan. Kesenian berisi tentang
kandungan nilai-nilai budaya, bahkan menjadi wujud dan ekspresi yang
menonjol dari nilai-nilai budaya. Budaya adalah hasil budi dan daya yang
berupa cipta, karsa dan rasa yang didalamnya mengandung kebiasaan manusia
sebagai anggota masyarakat. Seperti yang diutarakan Bronislow Malinowsky
dalam Koentjaraningrat, bahwa kebudayaan di dunia memiliki tujuh unsur
universal, yaitu bahasa, religi, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian,
organisasi sosial, sistem teknologi dan kesenian (Koentjaraningrat, 1987: 170-
171).
Dengan memandang kesenian sebagai unsur dalam kebudayaan, maka
fungsi kesenian dalam kehidupan manusia yaitu sebagai pedoman hidup bagi
masyarakat pendukungnya dalam melaksanakan kegiatan, khususnya yang
bertalian dengan keindahan. Secara umum, kesenian dapat dibagi menjadi
1
2
beberapa cabang antara lain: seni tari, seni musik, seni rupa, dan seni
pertunjukan. Cabang-cabang kesenian tradisional juga dapat digolongkan
dalam kesenian tradisional dan kesenian modern. Seperti yang di utarakan
oleh Kasim Achmad dalam bukunya dengan judul Mengenal Teater
Tradisional di Indonesia bahwa kesenian tradisional adalah bentuk kesenian
yang lahir berdasarkan nilai-nilai tradisi masyarakatnya, dan kesenian modern
lahir karena adanya pengaruh modernisasi yang usianya relatif muda (2006;
47).
Dari cabang-cabang seni yang ada, seni pertunjukkan sebagai salah
satu seni yang memberikan andil besar dalam membangun kehidupan sosial
masyarakat Indonesia dewasa ini yang dapat berfungsi sebagai sarana hiburan,
dan pendidikan sehingga tercipta suatu budaya. Budaya menentukan perilaku
yang dianggap tepat tentang bagaimana seharusnya seseorang berperilaku.
Perilaku yang tepat tersebut tergantung dari karakteristik orang dan situasi.
Posisi seseorang dalam suatu ruang sosial, peran-peran sosial yang
diharapkan, norma-norma dan peraturan-peraturan dapat menjelaskan perilaku
manusia (Yunus, 1985; 43).
Kehidupan masa kini berakar dari sejarah dan budaya. Sejarah telah
mengantarkan kita pada hari ini, budaya telah menunjukkan, mengapa keadaan
kita sekarang begini. Kenyataan hidup dan kehidupan kini adalah hasil
perjalanan sejarah dan hasil pengolahan kebudayaannya, apa yang kini adalah
hasil perubahan, perombakan dan penciptaan bentuk-bentuk baru.
3
Berdasarkan hal tersebut dalam penulisan ini, akan lebih diarahkan
pada persoalan eksistensi seni pertunjukan wayang di Indonesia. Seperti kita
ketahui, bahwa seni pertunjukan Wayang adalah merupakan salah satu puncak
dari seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak
karya budaya lainnya. Seni budaya wayang meliputi seni peran, seni suara,
seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni
perlambang. Selain itu seni budaya wayang, yang terus berkembang dari
zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan,
pemahaman filsafat, serta hiburan (Rifan; 2010; 15).
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang
merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan
wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa
(Rifan; 2010;9). Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa
kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan
Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami
pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli
Indonesia.
Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan
filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan.
Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari
salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang
bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam
4
pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya
budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak
ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap
makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan (Rauf. 2010; 73-
149).
Saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami krisis multidimensi yang
diakibatkan oleh krisis moral. Krisis multidimensi ini terjadi berkepanjangan
karena moralitas bangsa Indonesia sebagian besar telah rusak, hal ini terlihat
dari aktivitas pelanggaran hukum yang semakin merajalela. Krisis moral
diduga berawal dari semakin jauhnya bangsa Indonesia terhadap kebudayaan
yang ada dan semakin maraknya budaya-budaya asing yang kurang sesuai
dengan budaya asli bangsa Indonesia. Masuknya budaya-budaya asing yang
kurang sesuai ini terjadi dari lemahnya karakter bangsa Indonesia yang
mengakibatkan lemahnya daya saring terhadap budaya asing yang masuk ke
Indonesia. Bahkan saat ini para penerus generasi bangsa merasa lebih senang
bila menerapkan budaya-budaya asing daripada budaya kita sendiri. Hal ini
terlihat dari gaya berpakaian maupun gaya dalam bertingkah laku.
Pertunjukkan wayang di Indonesia dalam kurun waktu masa kini sudah
mulai kurang disukai terutama oleh kalangan remaja, hal tersebut salahsatu
faktornya adalah karena cara pengemasan pertunjukan wayang yang dianggap
kurang menarik. Salah satu persoalan yang nampak antara lain, pertunjukkan
wayang ditayangkan malam hari sampai menjelang subuh dalam kebanyakan
5
pertunjukan yang sifatnya life, kalaupun di tayangkan di acara televise jam
tayangnya sering kali menempati susunan jam tayang terakhir (tengah malam
sampai pagi), sementara kehidupan masyarat kebanyakan sekarang seperti kita
ketahui sudah sangat berbeda dengan kehidupan pada masa lampau.
Hal tersebut adalah salah satunya yang menyebabkan pertunjukan
wayang lebih diminati oleh sebagian kecil masyarakat. Padahal banyak nilai-
nilai luhur yang dapat dipelajari dari pertunjukan wayang. Bagi kebanyakan
anak muda, image pertunjukan wayang bukanlah suatu trend yang patut
diikuti. Hal ini menyebabkan anak-anak muda cenderung tidak memiliki
ketertarikan pada seni pertunjukan wayang. Durasi pertunjukan wayang yang
terlalu lama menyebabkan rasa bosan bagi penontonnya. Selain itu
pertunjukkan wayang sering menggunakan bahasa daerah yang kental,
sehingga hanya orang-orang tertentuyang dapat memahami isi cerita dari
pertunjukan wayang.
Berdasarkan berbagai keterbatasan tersebut, maka langkah-langkah
yang dapat diambil salah satunya adalah kemasan dan jam tayang pertunjukan,
durasi pertunjukan, dan bahasa penyajiannya. Jam tayang pertunjukan dapat
diganti menjadi lebih awal sehingga akan lebih banyak orang yang dapat
menyaksikan pertunjukan wayang. Durasi pertunjukan juga dapat dikurangi
tanpa mengurangi isi cerita dan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya
sehingga penonton tidak akan cepat bosan selama pertunjukan berlangsung.
Bahasa yang digunakan dalam pertunjukan sebaiknya menggunakan bahasa
Indonesia sehingga bukan hanya orang Jawa yang dapat mengerti jalan
6
ceritanya. Selain itu, perpaduan seni dalam pertunjukan wayang juga dapat
dilakukan tanpa mengubah ajaran moral yang dapat diambil didalamnya.
Masyarakat akan senang menyaksikan, sehingga masyarakat dapat menerima
pendidikan moral dengan senang.
Dengan demikian pertunjukan wayang dapat menjadi sarana untuk
memberikan pendidikan moral yang menyenangkan, karena suasananya
menghibur penonton. Selain memperoleh hiburan dengan seni yang dimainkan
oleh dalang dengan wayang serta lagu-lagu iringan oleh para sinden atau
penyanyi lagu-lagu yang mengiringi kisah cerita dalam pewayangan, penonton
juga mendapatkan pendidikan moral. Atas dasar itulah, peneliti bermaksud
mengadakan penelitian dengan topik yang diketengahkan tentang Eksistensi
Wayang di Indonesia (Suatu tinjauan Sejarah Kebudayaan Indonesia)

B. Rumusan Masalah
Seiring dengan banyaknya suku yang terdapat di Indonesia, serta gaya
hidup masyarakatnya semakin modern dan kebutuhan hidup yang lebih praktis
tentulah hal ini menimbulkan permasalahan terhadap eksistensi dari kesenian
tradisional wayang dan apakah keberadaanya masih relevan dengan kondisi
masyarakat sekarang.
Dalam penelitian ini penulis memberikan batasan periodeisasi yang
akan diteliti mulai dari abad ke 15 sampai dengan sekarang. Dimulai dari abad
ke-15, hal ini atas pertimbangan bahwa mulai abad tersebut kesenian
7
tradisional wayang di Indonesia, khususnya di pulau Jawa mulai mengalami
perkembangan baik dari penyajian, jenis wayang, cerita juga fungsi atau
kehadiran dalam ruang sosal masyarakatnya pada zamannya.
Dari uraian permasalahan seperti yang tersuratkan diatas, adapun
rumusan masalah yang akan di teliti adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang kesenian wayang hadir dalam kehidupan
masyarakat Indonesia (khususnya di pulau Jawa)?
2. Bagaimana perkembangan kesenian wayang di Indonesia ditinjau dari
aspek bentuk, jenis, cerita serta fungsi dari pertunjukan wayang di tengah
kehidupan masyarakat Indonesia (khususnya pulau Jawa) ?
3. Bagaimana dampak modernisasi terhadap keberadaan kesenian wayang di
Indonesia khususnya di pulau Jawa ?

C. Tujuan Penelitian
Manusia tidak pernah lepas dari masa lalunya, melalui pengetahuan
tentang masa lalu akan dapat di ambil langkah selanjutnya untuk
melaksanakan yang terbaik bagi kehidupan.
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas,
maka penelitian ini bertujuan;
1. Untuk mengetahui latar belakang kesenian wayang hadir dalam kehidupan
masyarakat Indonesia (khususnya Pulau Jawa).
8
2. Untuk mengetahui perkembangan kesenian wayang di Indonesia ditinjau
dari aspek bentuk, jenis, ceritera swerta fungsi wayang di tengah
kehidupan masyarakat Indonesia (khususnya Pulau Jawa).
3. Untuk mengetahui dampak dari modernisasi terhadap keberadaan
keseniaan wayang di Indonesia (khususnya Pulau Jawa).
Secara umum penelitian yang dimaksud untuk mendeskripsikan
eksistensi kesenian wayang dalam kehidupan masyarakatnya, khususnya
ditekankan pada aspek sosial, budaya, religious, sejarah lahirnya,
perkembangan serta penyebarannya.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dalam
studi tentang wayang dan sebagai bahan tambahan pemikiran untuk langkah
selanjutnya agar keberadaan kesenian wayang dapat dipertahankan kelestaria.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun praktis. Secara teoritis penelitian ini diharapkan berguna
sebagai bahan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
wawasan dan penelaahan kajian sejarah, khususnya sejarah kebudayaan
tentang eksistensi seni wayang di Indonesia. Secara praktis, hasil penelitian
dapat dijadikan ;
1. Sebagai tambahan refensi jika ada yang melanjutkan penelitian ini.
2. Menjadi satu informasi penting bagi masyarakat Indonesia pada umumnya
dan terutama bagi masyarakat Jawa padakhususnya.
9
3. sMenjadi satu tambahan literatur dan kajian terhadapa sejarah kesenian
wayang diIndonesia.

E. Metode Penelitian
Agar pencapaian hasil yang maksimal, penelitian ini pada tahap
penyelesaian permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan maka
diterapkan metode untuk mengumpulkan data yang berhubungan dengan
permasalah yang akan diteliti, agar hasilnya benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan.
Penulis memulai penelitian ini dengan menggunakan metode
Heuristik, yaitu mengumpulkan informasi mengenai bahan yang berhubungan
dengan penelitian ini, antara lain mengenai data masuk dan perkembangan
wayang di Indonesia khususnya pulau Jawa dengan menggunakan literatur
dari buku-buku, dokumen-dokumen, situs internet dan wawancara dengan
informan yang memiliki informasi mengenai perkembangan wayang di pulau
Jawa. Ketika mengadakan penelitian yang berhubungan dengan informan
penulis melakukan pendekatan dengan bantuan ilmu-ilmu sosial lainnya
seperti ilmu Sosiologi dan ilmu Antropologi yang dianggap dapat digunakan
dalam proses penelitian yang sedang dilakukan penulis. Tujuan penggunaan
ilmu-ilmu bantu seperti ilmu sosiologi dan ilmu antropologi ini hanya sebagai
metode perbandingan dan pendekatan sosial dalam penulisan karya ilmiah ini.
10
Selanjutnya setelah dikumpulkan dilakukan Kritik Sumber (intern dan
ekstern) terhadap data dan sumber-sumber tersebut. Kemudian Interpretasi
yang menafsirkan sumber-sumber yang terkumpul agar menjadi fakta sejarah
yang valid. Langkah yang terakhir adalah Historiografi yaitu tulisan sejarah
yang sistematis dan kronologis.

F. Sistimatika Penulisan
Sistimatika yang penulis gunakan dalam menyusun hasil penelitian ini
adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULAUAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang penelitian,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, , metode
penelitian dan sistimatika penulisan.
BAB II EKSISTENSI WAYANG di INDONESIA
Dalam bab ini akan dibahas tentang keberadaan wayang di
Indonesia. Mulai dari kedatangan/ sejarah wayang di Indonesia
khususnya pulau Jawa, perkembangan kesenian wayang ditinjau
dari aspek bentuk pertunjukan, jenis pertunjukan wayang, cerita
serta fungsi dari pertunjukan wayang ditengah kehidupan
masyarakatnya.

11
BAB III PROSES YANG TERJADI DALAM EKSISTENSI WAYANG di
INDONESIA di TENGAH KEHIDUPAN MASYARAKATNYA.
Dalam bab ini akan dibahas tentang proses perubahan yang terjadi
dari dampak modernisasi terhadap keberadaan kesenian wayang di
Indonesia khususnya di pulau Jawa.
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai kesimpui seluruh materi
yang penulis bahas.














12
BAB II
EKSISTENSI WAYANG di INDONESIA

Kebudayaan merupakan identitas suatu bangsa yang dapat membedakan
bangsa tersebut dengan bangsa lainnya. Masyarakat sebagaimana bagian dari pada
unsur atau elemen dari lembaga kebangsaannya memiliki peranan yang besar
dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Dalam konteks
inipun, pemerintah mempunyai kewajiban dalam memberikan kebebasan,
pengayoman, serta perlindungan pada masyarakatnya dalam memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di lingkungan
masyarakatnya. Kemajuan suatu bangsa tidak akan pernah bisa terlepas
peranannya dari peningkatan nilai-nilai budaya, pengelolaan keragaman budaya
serta perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kekayaan budaya yang
dimilikinya.
Wayang dalam hal ini kaitanya telah ikut serta dalam mendewasakan
masyarakatnya dengan membekalinya dengan konsepsi-konsepsi yang mudah
dihayati serta diresapkan dalam mengatasi berbagai persoalan hidup dalam
kehidupan masyarakatnya maupun daslam kehidupan tatanan kenegaraan.
Berbeda dengan pertunjukan seni tradisi lainnya, pertunjukan wayang lebih
banyak menyampaikan pesan-pesan rohaniah dibandingkan dengan pesan lahiriah.
Dengan keberadaannya, seni tradisi wayang ini memiliki kandungan makna yang
luas untuk digali dan disamping itu menjadi tontonan yang khas pula untuk
12
13
dinikmati, sampai sekarang eksistensinya pun masih bisa kita rasakan
kehadirannya.
Persoalan keberadaannya yang mengalami pergeseran secara fungsi, yang
mana pada saat kini bahwa peranan wayang tidak lagi dipokuskan pada upacara-
upacara ritual dan keagamaan, melainkan telah bergerak ke arah hiburan yang
lebih mengutamakan inti cerita dengan berbagai macam pengetahuan, filsafat
hidup, nilai-nilai budaya, dan berbagai unsur seni yang mana semuanya berpadu
dalam seni pertunjukan wayang.
Sebaiknya hal demikian tidaklah dijadikan persoalan yang dianggap
meresahkan akan keberadaannya. Perlu disadari bahwa segala hal dalam
eksistensinya tidak bisa ditempatkan pada sebuah ruang yang sipatnya statis,
melainkan tidak bisa kita lepaskan kaitannya dengan peristiwa yang terjadi pada
ruang dan waktu.
Zaman selalu berkembang yang menarik segala hal untuk terus beriringan,
tanpa keserasian antara ruang dan waktu akan menimbulkan ketimpangan serta
ketertinggalan yang tidak menutup kemungkinan akan sampai pada titik
ditinggalkan oleh masyaraknya.

A. Sejarah Lahir dan Pertumbuhan Wayang di Indonesia
Hal-ikhwal berbicara mengenai asal-usul dan perkembangan wayang
tidak tercatat secara akurat seperti sejarah. Walau demikian orang selalu ingat
dan merasakan kehadiran wayang dalam kehidupan masyarakat. Karya seni
14
wayang cukup akrab dengan masyarakat sejak dahulu hingga sekarang, karena
memang wayang itu merupakan salah satu buah usaha akal budi bangsa
Indonesia. Wayang tampil sebagai seni budaya tradisional, dan merupakan
puncak budaya daerah.
Menelusuri jejak asal-usul wayang secara ilmiah memang bukan hal
yang mudah. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga kini banyak para
cendikiawan dan budayawan berusaha meneliti dan menulis tentang wayang.
Ada persamaan, namun tidak sedikit yang saling-silang pendapat. Hazeu
berbeda pendapat dengan Rassers begitu pula pandangan dari pakar Indonesia
seperti K. P. A. Kusumadilaga, Ranggawarsita, Suroto, Sri Mulyono dan lain-
lain.
Seperti yang tercatat dalam disertasinya yang berjudul Bijdrage tot de
Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda
Dr. GA. J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan
pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu
adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir.
Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit
seperti yang kita kenal sekarang (Mulyono. 1975; 9).
Mengenai asal-usul budaya seni pertunjukan wayang ini, ada dua
pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di
Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan
dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga
15
merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. di antara para sarjana Barat
yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan
Kruyt.
Alasan mereka cukup kuat. Diantaranya, bahwa seni pertunjukan
wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi
bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa (Mulyono, 1975; 6-15). Panakawan,
tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong,
hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu,
nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa
(Kuna), dan bukan bahasa lain. Sementara itu, pendapat kedua menduga
wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke
Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen,
Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana
Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah
sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali
tidak diimpor dari negara lain. Budaya seni pertunjukan wayang diperkirakan
sudah lahir di Indonesia setidknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga,
raja Kahuripan (976-1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang
makmur-makmurnya.
Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para
pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana
16
Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah
Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan
pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya
menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi
menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa
kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang
merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain
yang lebih nyata bedanya dengan cerita asli versi India, adalah Baratayuda
Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan
pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada
sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada
masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata mawayang dan `aringgit
yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.
Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam
bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan
wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1. 500 tahun
sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-
Geldern Ph. D, Preehistoric Research in the Netherland Indie (1945) dan
tulisan Prof. K. A. H. Hindding di Ensiklopedia Indonesia halaman 987.
Kata `wayang diduga berasal dari kata `wewayangan, yang artinya
bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit
17
yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang
memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya
menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada
kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat
gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan
kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.
Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan
Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab
Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita cerita Panji; yakni cerita
tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu
bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan
untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga
diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga.
Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita
Damarwulan (Mulyono. 1975; 211-213).
Periodisasi perkembangan budaya wayang juga merupakan bahasa
yang menarik. Bermula dari zaman kuna ketika nenek moyang bangsa
Indonesia masih menganut animisme dan dinamisme. Dalam kepercayaan
animisme dan dinamisme ini diyakini roh orang yang sudah meninggal masih
tetap hidup, dan semua benda itu bernyawa serta memiliki kekuatan. Roh-roh
itu bisa bersemayam di kayu-kayu besar, batu, sungai, gunung dan lain-lain.
Paduan dari animisme dan dinamisme ini menempatkan roh nenek moyang
18
yang dulunya berkuasa, tetap mempunyai kuasa. Mereka terus dipuja dan
dimintai pertolongan. Untuk memuja roh nenek moyang ini, selain melakukan
ritual tertentu mereka mewujudkannya dalam bentuk gambar dan patung Roh
nenek moyang yang dipuja ini disebut "hyang" atau "dahyang" (Mulyono,
1975; 47-52).
Orang bisa berhubungan dengan para hyang ini untuk minta
pertolongan dan perlindungan, melalui seorang medium yang disebut
syaman. Ritual pemujaan nenek moyang, hyang dan syaman inilah yang
merupakan asal mula pertunjukan wayang. Hyang menjadi wayang, ritual
kepercayaan itu menjadi jalannya pentas dan syaman menjadi dalang.
Sedangkan ceritanya adalah petualangan dan pengalaman nenek moyang.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Asli yang hingga sekarang masih
dipakai. Jadi, wayang itu berasal dari ritual kepercayaan nenek moyang
bangsa Indonesia di sekitar tahun l500 SM (Mulyono. 1975; 56).
Berasal dari zaman animisme, wayang terus mengikuti perjalanan
sejarah bangsa sampai pada masuknya agama Hindu di Indonesia sekitar abad
keenam. Bangsa Indonesia mulai bersentuhan dengan peradaban tinggi dan
berhasil membangun kerajaan-kerajaan seperti Kutai, Tarumanegara, bahkan
Sriwijaya yang besar dan jaya. Pada masa itu wayang pun berkembang pesat,
mendapat pondasi yang kokoh sebagai suatu karya seni yang bermutu tinggi.
Pertunjukan roh nenek moyang itu kemudian dikembangkan dengan
cerita yang lebih berbobot, Ramayana dan Mahabarata. Selama abad X hingga
19
XV, wayang berkembang dalam rangka ritual agama dan pendidikan kepada
masyarakat. Pada masa ini telah mulai ditulis berbagai cerita tentang wayang.
Semasa kerajaan Kediri, Singasari dan Majapahit kepustakaan wayang
mencapai puncaknya seperti tercatat pada prasasti di candi-candi, karya sastra
yang ditulis oleh Empu Sendok, Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Tantular
dan lain-lain. Karya sastra wayang yang terkenal dari zaman Hindu itu antara
lain Baratayuda, Arjuna Wiwaha, Sudamala, sedangkan pergelaran wayang
sudah bagus, diperkaya lagi dengan penciptaan peraga wayang terbuat dari
kulit yang dipahat, diiringi gamelan dalam tatanan pentas yang bagus dengan
cerita Ramayana dan Mahabarata. Pergelaran wayang mencapai mutu seni
yang tinggi sampai-sampai digambarkan "Hannonton ringgit menangis
esekel", tontonan wayang sangat mengharukan (Mulyono, 1975; 61- 75).
Menarik untuk diperhatikan Cerita Ramayana dan Mahabarata yang
asli berasal dari India, telah diterima dalam pergelaran wayang Indonesia sejak
zaman Hindu hingga sekarang. Wayang seolah-olah identik dengan Ramayana
dan Mahabarata. Namun perlu dimengerti bahwa Ramayana dan Mahabarata
versi India itu sudah banyak berubah. Berubah alur ceritanya; kalau Ramayana
dan Mahabarata India merupakan cerita yang berbeda satu dengan lainnya, di
Indonesia menjadi satu kesatuan. Dalam pewayangan cerita itu bermula dari
kisah Ramayana terus bersambung dengan Mahabarata, malahan dilanjutkan
dengan kisah zaman kerajaan Kediri. Mahabarata asli berisi 20 parwa,
sedangkan di Indonesia tinggal 18 parwa (Rifan, 2010; 111-121).
20
Hal yang sangat menonjol perbedaannya adalah falsafah yang
mendasari kedua cerita itu. Lebih-lebih setelah masuknya agama Islam.
Falsafah Ramayana dan Mahabarata yang Hinduisme diolah sedemikian rupa
sehingga menjadi diwarnai nilai-nilai agama Islam. Hal ini antara lain tampak
pada kedudukan dewa, garis keturunan yang patriarkhat, dan sebagainya.
Wayang diperkaya lagi dengan begitu banyaknya cerita gubahan baru yang
bisa disebut lakon "carangan", maka Ramayana dan Mahabarata benar-benar
berbeda dengan aslinya. Begitu pula, Ramayana dan Mahabarata dalam
pewayangan tidak sama dengan Ramayana dan Mahabarata yang berkembang
di Myanmar, Thailand, Kamboja, dan di tempat-tempat lainnya. Ramayana
dan Mahabarata dari India itu sudah menjadi Indonesia karena diwarnai oleh
budaya asli dan nilai-nilai budaya yang ada di Nusantara (Mulyono.
1975; 282).
Di Indonesia, walaupun cerita Ramayana dan Mahabarata sama-sama
berkembang dalam pewayangan, tetapi Mahabarata digarap lebih tuntas oleh
para budayawan dan pujangga kita. Berbagai lakon carangan dan sempalan,
kebanyakan mengambil Mahabarata sebagai inti cerita.
Berangkat dari perubahan nilai-nilai yang dianut, maka wayang pada
zaman Demak dan seterusnya telah mengalami penyesuaian dengan
zamannya. Bentuk wayang yang semula realistik proporsional seperti tertera
dalam relief candi-candi, distilir menjadi bentuk imajinatif seperti wayang
sekarang ini. Selain itu, banyak sekali tambahan dan pembaharuan dalam
21
peralatan seperti kelir atau layar, blencong, atau lampu, debog yaitu pohon
pisang untuk menancapkan wayang, dan masih banyak lagi.
Para wali dan pujangga Jawa mengadakan pembaharuan yang
berlangsung terus menerus sesuai perkembangan zaman dan keperluan pada
waktu itu, utamanya wayang digunakan sebagai sarana dakwah Islam. Sesuai
nilai Islam yang dianut, isi dan fungsi wayang telah bergeser dari ritual agama
(Hindu) menjadi sarana pendidikan, dakwah, penerangan, dan komunikasi
massa. Ternyata wayang yang telah diperbaharui kontekstual dengan
perkembangan agama Islam dan masyarakat, menjadi sangat efektif untuk
komunikasi massa dalam memberikan hiburan serta pesan-pesan kepada
khalayak.
Perkembangan wayang semakin meningkat pada masa setelah Demak,
memasuki era kerajaan-kerajaan Jawa seperti Pajang, Mataram, Kartasura,
Surakarta, dan Yogyakarta. Banyak sekali pujangga-pujangga yang menulis
tentang wayang, menciptakan wayang-wayang baru. Para seniman wayang
banyak membuat kreasi-kreasi yang kian memperkaya wayang (Mulyono.
1975; 84-89).
Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk
pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah
masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk
tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut
hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal
22
pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita
wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang
disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem
(Mulyono. 1975; 91).
Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya
bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita
wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah
Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun
menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa. Dan
dibeberapa wilayah pulau jawa sendiri khususnya wayang masih sangatlah
diminati walau hanya oleh kalangan orang tua yang masih mengakar pada
budaya leluhurnya.

B. Cerita Serta Fungsi dari Pertunjukan Wayang dalam Kehidupan
Masyarakatnya

Seni pertunjukan wayang telah terbukti selama berabad-abad mampu
bertahan sampai dengan sekarang. Pertunjukan wayang di Indonesia sangat
lekat dengan masyarakat kecil, misalnya masyarakt petani di pedesaan dan
pada masa dulu dapat dipakai sebagai alat propaganda berbagai program yang
ingin di capai (Poensen, 1872; 23-40). Disamping fungsinya sebagai hiburan,
kesenian wayang juga memiliki fungsi estetika dan sarat dengan kandungan
nilai yang bersifat sakral. Setiap alur cerita, falsafah dan perwatakan tokohnya,
sampai bentuk wayang mengandung makna yang sangat dalam.
23
Wayang memiliki pengaruh yang kuat pada masyarakat Indonesia, di
hampir seluruh propinsi di Indonesia mengenal wayang. Wayang adalah
budaya yang essensial bagi masyarakat Indonesia dan telah menjadi bagian
dari warisan sejarah budaya bangsa. Dapat dipahami bahwa wayang sebagai
budaya yang demokratis adaptif dan telah mengalami perkembangan dan
berintegrasi dengan budaya dan cita rasa lokal. Sehingga kemudian
berkembang dengan sendirinya mulai dari bentuk, variasi, dan pagelaran
wayang sedemikian rupa agar menarik dan mudah dipahami oleh masyarakat.
Karya seni pewayangan, dalam gambaran di atas dapat dipergunakan
sebagai pertunjukan bahwa kehadirannya pada jaman modern pun masih dapat
dirasakan, walaupun perjalanan kehidupan cabang seni ini, bukan tidak
mungkin telah mengalami perubahan serta pergeseran, baik secara fungsi
maupun secara pengungkapannya. Peristiwa demikianlah yang pada akhirnya
memunculkan berbagai gaya serta pola atau motif dalam lakon wayang yang
kadang menyimpang dari sumber kesustraan pada awalnya. Salah satu upaya
untuk bisa melakukan interpretasi terhadap setiap karya yang lahir, dalam hal
ini diperlukan pengetahuan berbagai teks yang tersedia, sehingga dapat
dijelaskan relasi antar teks yang dihasilkan atau bahkan wujud lakon wayang
yang dipentaskan oleh dalang (Soetarno, 2007; 36)
Seperti yang telah kita ketahui, bahwasannya seni pertunjukan wayang
di Indonesia sejak kelahirannya tidak hanya sebuah seni pertunjukan yang
kedudukannya hanya sebatas seni hiburan semata melainkan memiliki tempat
24
atau fungsi yang adi luhung, yakni sebagai seni pertunjukan yang menyimpan
kandungan filosofis, yang mana penuh akan syarat ajaran-ajaran tentang bagai
mana mengenali kehidupan serta menjalaninya. Seperti yang dikemukakan
oleh Ressers bahwa pertunjukan wayang tidaklain dan tidak bukan merupakan
sarana pendidikan kepada generasi muda, yakni melalui isi serta makna yang
tersemayam dalam cerita lakon pewayangan. Dalam penceritaan lakon
pewayangan yang dihidupkan sang dalang selalu memberikan pilihan-pilihan
berbagai karakter wayang ketika harus menghadapi perjalanan hidup. Era
decade 1945 sampai dengan 1970-an pertunjukan wayang selalu menjadi
primadona bagi masyarakat pedesaan dan tidak ketinggalan anak-anakpun
selalu setia untuk menonton wayang hingga larut. Pada adegan-adegan yang
kurang menarik bagi anak-anak, mereka tidur diantara selah-selah gamelan
disebelah kotak wayang, dan akan segera terbangun mana kala adegan perang
ataupun gara-gara (Kayam: 2001; 56). Secara tanpa sadar anak-anak tersebut
akan hafal kisah-kisah yang disampaikan oleh sang dalang, hal tersebut
sekaligus sebagai cara belajar dengan ikut partisipasi langsung menyaksikan
langsung pementasan (Rassers, 1982: 45-50). Peristiwa nilai-nilai budaya
lewat penyajian kesenian seperti demikian lebih mengarah pada tradisi lisan,
tekanan yang lebih dapat diketahu berupa pengembangan imajinasi, refleksi,
dan dramatik.
Banyak hal yang tersemayam dalam cerita lakon pewayangan, bahwa
alam di sekitar kehidupan kita ada yang baik dan yang buruk, yang salah dan
25
yang benar, yang indah dan yang buruk, dan sebagainya. Semua itu menjadi
bentangan pengetahuan serta pengalaman yang akan selalu di temukan oleh
masyarakat pengemarnya. Bahwa dalam pergelaran wayang yang menyajikan
perjalanan hidup tokoh-tokohnya, menganut filosofis trisalokantara, yakni tiga
pentahapan hidup berupa jagad purwa, madya, dan wasana awal, tengah, dan
akhir (Zoetmulder, 1991). Begitu pun dalam penyajian lakon sebenarnya
menyiratkan tiga tahapan dalam perjalanan tokoh-tokohnya, yaitu masa
kelahiran, masa dewasa, dan masa kematiannya.
Dalam semua pertunjukan wayang selalu mengacu pada budi pekerti
luhur sebagai manusia, sekaligus menjadi jembatan masa kini dan masa depan
(Sumukti, 2005; 4-5). Kadungan nilai moral dalam pewayangan pada dasarnya
merupakan pencerminan dari nilai moral yang terdapat didalam kehidupan
masyarakat pendukung budaya wayang. Kenyataan yang ada telah
menyatakan bahwa wayang sebagai salah satu dari unsur kebudayaan
merupakan hasil dari ciptaan masyarakatnya.
Dalam sejarahnya, cukup banyak jenis wayang yang pernah ada dan
digelar di Indonesia, misalnya :
1. Wayang Beber
Bentuknya berupa lukisan dalam gulungan lontar atau kertas yang
berisi ceritera teretntu. Dalam pagelaran wayang beber, dalang
membeberkan (membuka) gulungan tadi sedikit demi sedikit,
mengisahkan lakon yang tergambar di sana hingga selesai
26
2. Wayang Kulit
Wayang kulit dibuat dari kulit kerbau atau lembu yang ditatah,
kemudian diwarnai. Bentuk wayang seperti itu banyak didapatkan di Jawa,
Bali, Madura, Betawi, Palembang. Cerita yang dimainkan bersumber dari
Ramayana dan Mahabrata. Menggunakan bagasa di mana wayang tersebut
dimainkan atau seauai dengan lokasi pagelaran. Dalam pertunjukannya
selalu diiringi dengan tabuhan gamelan dan tembang.
3. Wayang Golek.
Wayang golek berbentuk boneka terbuat dari kayu, dan kayu yang
banyak digunakan biasanya kayu lame, sebab mudah dibentuk dan bagus
hasilnya. Wayang ini diberi pakaian persis sebagaimana manusia. Tangan
damn kaki digerakkan dengan jari-jemari sang dalang. Wayang ini banyak
kita jumpai di Jawa Barat (Sunda). Narasi yang digunakan ialah bahasa
Sunda.
Wayang Golek dibedakan berdasarkan jenis ceritera yang
dipentaskan, yaitu wayang golek purwa yang mengambil ceritera
Ramayana dan Mahabharata. Wayang golek menak yang mangambil kisah
dari Serat Menak yang bernapaskan Islam, wayang golek babad yang
mengangkat legenda Majapahit (Jawa Timur) a6tau Pajajaran (Jawa Barat)
4. Wayang Krucil atau Wayang Klithik
Wayang ini dibuat dari kayu dan bentuknya ralatif kecil, lengan
dan tangan wayang terbuat dari kulit serta dapat digerakan oleh dalang.
27
Dalam Serat Sastramiruda disebutkan bahwa wayang krucil pertama kali
dibuat oleh Ratu Pekik di Surabaya pada tahun 1571 Saka atau tahun 1648
M. Ceritera wayang krucil bersumber pada Serat Damarwulan swerta
kisah Mahabharata.
5. Wayang Orang.
Wayang orang adalah pertunjukkan wayang yang
dimainkan oleh orang. Pagelaran wayang orang diselenggarakan di
panggumg yang diberi layar yang dapat dibuka dan ditutup dengan cara
digulung. Background berupa lukisan-lukisan yang menggambarkan latar
belakang adegan dapat diubah (diganti) menyesuaikan denga adegan yang
tengah dimainkan. Kesenian wayang orang lahir sejar abad 18 di Istana
Mangkunegaran, Surakarta.
6. Wayang Topeng.
Wayang topeng tidak begitu berbeda dengan wayang orang, hanya
Seluruh pemainnya menggunakan topeng yang menggambarkan tokoh-
tokoh wayang tertentu seperti dari Pandawa dan Astina.
7. Wayang Cepak.
Wayang cepak terdapat di daerah Cirebon, tepat nya di kawasan
Indramayu, Majalengka, Kuningan, Subang, hingga Brebes. Wayang golek
cepak mementaskan berbagai ceritera yang diangkat dari kisah Panji,
Damarwulan, Menak dan Babad. Yang paling populer yaitu ceritera
tentang syiar Islam di Cirebon yang dilakukan Sunan Gunung Jati.
28
8. Wayang Gedhog
Wayang ini bentuknya seperti wayang kulit, tetapi bahannya dari
kayu. Ceritera yang dimainkan diangkat dari Zaman Kediri-Jenggala.
Gedhog artinya kandang kuda, kalau di daerah Sunda disebut gedhogan.
Banyak tokoh yang memakai nama kuda, misalnya Panji Kudawanengpati
dan sebagainya.
9. Wayang Sadat.
Wayang ini diciptakan oileh Suryadi Warnosuharjo pada tahun
1985, ia seorang guru matematika dari SPG M Klaten. Jumlah wayangnya
mencapai seratus buah, dan digunakan sebagai sarana dakwah Islam.
Dengan begitu lakonnya banyak mengambil dari kehidupan para Wali di
zaman Kerajaan Demak hingga Pajang. Dialognya menggunakan bahasa
Jawa bercampur dialog keislaman. Musik pengiringnya menggunakan
bedug, rebana, alat musik Arab yang dipadukan dengan rebab dan gamelan
jawa. Dalang dan pemusik mengenakan surban serta baju putih, sedangkan
pesinden berpakaian Jwa dan mengenakan kerudung.
10. Wayang Suluh
Wayang suluh prinsipnya sama dengan wayang kulit, namun
dikreasikan sedemikian rupa dan sengaja digunakan sebagai media
penerangan atau penyuluhan oleh pemerintah. Dialognya menggunakan
bahasa Indonesia dan bahsa Jawa. Pentas wayang suluh pertama pada
tanggal 1 Desember 1947 di Balai Rakyat Madiun.
29
11. Wayang Potehi atau Wayang Makao.
Wayang ini merupakan wayang Cina di masa lalu yang banyak
digelar di Kelenteng. Narasi atau dialognya menggunakan bahasa
campuran antara Cina dan Jawa, tapi kali ini wayang potehi jarang
dipentaskan, kalau sdulu wayang ini banyak digelar dipantai Utara Jawa
Timur dan Jawa Tengah.
12. 12. Wayang Wahyu
Wayang wahyu digunakan sebagai sarana dakwah oleh umat
Nasrani, diciptakan pada tahun 1957 oleh Timotheus Mardji
Wignyasoebrata. Ceritera yang digelar mengambil dari Kitab Perjanjian
Baru dan Kitab Perjanjian Lama. Jumlah wayang wahyu kurang lebih ada
dua ratus lima puluh buah. Pementasannya hampir sama dengan
pementasan wayang kulit. Pada bagian kanan dijajarkan tokoh baik dan
paling ujung adalah Samson, sedangkan pada bagian kiri dari kelir
dijajarkan tokoh kurang baik, dimulai dari Goliat. Saedangkan di bagian
tengah adalah Yesus Kristus dengan posisi lebih tinggi dari wayang-
wayang lainnya. Musiknya nmanggunakan galmelan diatonis
menyesuaikan dengan musik gereja.
13. Wayang Suket.
Wayang ini diciptakan oleh Slamet Gundono alumni Jurusan Seni
Pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta pada tahun
1999. Wayang inin menjadi sebuah media seni teater berbasis kesenian
30
tradisional wayang. Menciptakan wayang suket adalah karena pengalaman
bawah sadar masa kecilnya. Pertama kali wayang suket dimainkan pada
tahun 1997 di Riau.
14. Wayang Kancil
Wayang kancil diciptakan sekitar tahun 1924 oleh seorang Cina
dari Surakarta yang ber nama Bo Lim. Pada tahun 1943 wayang kancil
diperbanyak sampai 200 buah oleh R. M. Sayid. Wayang kancil yang lebih
modern dikenalkan oleh Ki Ledjar Subroto pada tahun 1980 dan pertama
kali di(pentaskan pada bulan Agustus 1980 bertempat di Gelanggang
Mahasiswa Universitas Gajah Mada.
Wayang kancil adalah pertunjukkan seni wayang yang tokoh
uutamanya adalah sang kancil. Pentas wayang kancil dimainkan dengan
durasi rata-rata satu jam. Pada awalnya wayang kancil digelar pada
pembuka sebelum dipentaskannya wayang purwa, targetnya adalah anak-
anak.
15. Wayang Ukur
Wayang ukur diciptakan oleh Ki Sukasman dari Yogyakarta. Salah
astu ciri wayang ukur adalah dalam pembuatan tokoh wayangnya, seper ti
petruk dan gareng berbeda dari pakem yang sudah ada. Sosok wayang
ukur sebenarnya mengacu pada wayang kulit konvensional, kreatornya
hanya mengubah bagian-bagian tertentu untuk menonjolkan karakter
31
tokoh. Bentuk wayang ukur lebih disesuaikan dengan kondisi nyata
manusia, namun tetap memiliki simbol tertentu.
Pentas wayang ukur memiliki keunikan tertentu, yaitu
menggabungkan pertunjukan wayang kulit dengan teater. Bahasa yan g
digunakan adalah bahasa Indonesia. Durasi pentas dibatasi hanya dua jam,
maksudnya agar penonton tidak jenuh. (Imam Budi Santoso;25, 2011)
















32
BAB III
PROSES YANG TERJADI DALAM EKSISTENSI
WAYANG di INDONESIA DITENGAH
KEHIDUPAN MASYARAKATNYA

Selintas pandang mengenai eksistensi suatu bangsa yang tersirat diatas
paling tidak menjadi sebuah pemikiran masa kini, betapa pewarisan nilai-nilai
leluhur sangat penting bagi pembangunan karakter dan budi pekerti bangsa.
Setidaknya nilai-nilai tersebut menjadi kenangan bahwa sebenarnya bangsa ini
memiliki mutiara-mutiara moralitas yang luar biasa binarnya, walaupun pada era
sekarang telah tidak lagi menjadi acuan kehidupan masyarakatnya. Orientasi masa
kini telah bergeser pada budaya semu dan instan, sehingga dasar-dasar moralitas
yang telah ada sebelumnya tidak lagi sepenuhnya dikenali atau sengaja dihindari
karena dianggap kurang tepat dan tidak sesuai dengan tuntutan jaman yang tengah
perlangsung. Secara lambat laun pergeseran budaya seperti demikian mesti
dipahami dalam kontek serta cara pandang anak jaman yang terlahir (elemen
masyarakat serta lembaga kenegaraannya). Dalam kontek ini situasi zaman seperti
demikianlah dibutuhkan kelapangan/keleahan dada, apa bila pada kenyataan yang
dihadapi pada akhirnya kenyataan yang dihadapi/diperoleh tidak lagi setepat
dengan maksud yang sebenarnya.
Banyak kalangan generasi sebelumnya yang merasa mengalami
kebanggaan cukup besar terhadap warisan budaya leluhurnya merasa resah serta
gundah gulana hatinya melihat kenyataan seni pewayangan sebagai salah satu dari
32
33
asfek budaya yang memiliki nilai luhur dalam kehidupannya, kini mengalami
kemerosotan/ mengalami penurunan animo dari masyarakat penontonnya. Hal
seperti demikian bisa sampai terjadi antara lain diakibatkan oleh faktor desakan
dari seni modern yang setiap saat selalu disbanding, dilihat, didengar, dan bahkan
masuk ke dalam kehidupannya. Budaya lama yang ada telah diganti dengan
budaya televise, yakni salah satu bentuk budaya modern yang tidak bisa di
pungkiri kedasyatannya. Kaitan dengan situasi perkembangan zaman seperti
demikian, sekelompok dalang mudamembuat terobosan baru dalam jagad wayang,
dan ternyata mendapat perhatian yang luar biasa dari masyarakat yang lebih luas
lagi. Upaya demikian sengaja dengan kesadarannya dilakukan oleh banyak dalang
muda, sehingga secara signifikan perubahan yang terjadi dalam ranah jagad
wayang dapat dirasakan, bahkan terkesan tidak/kurang terkendali dan kebablasan.
Pada situasi seperti demikianpun, para dalang sepuh/ tua terutama merasakan
bahwa perkembangan yang terjadi pada jagad wayang tersebut malah menjadi
sebuah kemunduran dari segi kualitas yang berorientasi pada nilai-nilai lama yang
dianggap syarat penuh dengan kandungan filosofis hidup-kehidupan
masyarakatnya.
Situasi yang tidakbisa di-elakkan, sudah barang tentu tuntutan
perkembangan zamanlah sesungguhnya yang menyebabkan terjadinya berbagai
perubahan dalam jagad pewayangan. Jika kita ingat kembali masa-masa lalu, tentu
saja tidak akan merasa aneh dengan wacana-wacana setiap terjadinya perubahan-
perubahan tersebut. Hal seperti demikian muncul, pertama kali dipelopori oleh
34
almarhum Ki Nartosabdo dengan memunculkan lakon-lakon dengan model
banjaran, yakni lakon wayang yang menampilkan figure tokoh wayang dari
kelahiran sampai dengankisah kematian (Kasidi, 1995; 25). Hamper 15 tahun
sebuah lembaga penerbitan mingguan surat kabar di Jakarta mementaskan lakon-
lakon model banjaran dengan dalang Ki Timbul Hadiprayitno Cermo Manggala.
Seiring dengan masa-masa tersebut berakibat disetiap wilayah budaya wayang
berkembang cerita lakon model banjaran ini, hal tersebut bahkan tidak saja
terbatas pada sajian lakon saja, melainkan mengalami perkembangan juga pada
wilayah bentuk-bentuk fisik tokoh-tokoh wayang lain, dan sampai pada perubahan
cara kemasan penyajiannya. Seperti penghadiran flash back, mengaduk-aduk
struktur yang telah ada, limbukan, gara-gara dengan menghadirkan bintang tamu,
unsur musik Barat masuk, dan lain sebagainya (Kasidi, 1995; 49).
Perubahan paling tidak dapat dirasakan pada decade 1990-an, bahkan lebih
awal lagi yakni ketika seni pedalangan dilakukan oleh orang-orang di luar profesi
dalang. Misalnya, ada dalang yang mencuat namanya dari lingkungan profesi
pelawak, dengan menampilkan corak pewayangan yang berbeda dengan lazimnya
seni pedalangan. Ada juga dalang yang muncul dari berbagai profesi lingkungan
masyarakat pada umum, maka semaraklah kehidupan seni pedalangan serta
pewayangan.
Budaya seni pertunjukan wayang yang mana pada awal penyajiannya
berkaitan dengan tujuan tertentu seperti perhelatan pengantin, khitanan, tujuan
bulanan, dan sebagainya yang sudah barang tentu kebanyakan pertunjukan
35
wayang selalu dihubungkan dengan permohonan dan doa demi kebaikan dalam
kehidupan masa-masa mendatang penanggap serta masyarakat penonton ataupu
masyarakat lingkungan secara umum. Budaya pertunjukan wayang kemudian
bergeser menjadi sebuah tontonan belaka, walaupun binkainya masih sama.
Manakala oertunjukan wayang telah bergeser fungsinya, maka pertimbangan-
pertimbangan yang lebih bersifat klise pada era millennium baru ini telah
dikurangi, disimpangi, bahkan dihilangkan. Janturan yang dilakukan oleh sang
dalang dengan bahasa indah pada jejeran pertama dalam setiap pergelaran
wayang, tidak lagi menjadi wajib hukumnya dalam pertunjukan wayang era
modern ini, sehingga dapat dihilangkan karena hal tersebut dianggap bertele-tele.
Substansial discourse dalam jagad pewayangan yang telah ada dianggap tidak lagi
menjadi ukuran kualitas dunia pertunjukan wayang.
Kaitannya denga situasi pewayangan seperti tersebutkan di atas,
pandangan teoritis seperti demikian sebenarnya tidak dapat dikategorikan sebagai
kemunduran atau pengrusakan pada ranah nilai-nilai adi luhung dalam seni
pewayangan. Akan tetapi selayaknya mesti dipandang sebagai interprestasi
terhadap budaya wayang yang disesuaikan dengan daya tangkap universalitas
lingkungan pewayangan yang bersangkutan. Kemampuan seniman pewayangan
menjadi ukuran kualitas dalam penggarapan estetika dan cerita secara menyeluruh
serta secara substansial dalam jagad wayang.
Budaya wayang kini telah menjadi salah satu bagian dari budaya dunia,
sehingga orang-orang yang ada dalam lingkungan kancah pewayangan harus
36
berubah pula, hal demikian agar tidak merasa asing terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi dalam dunia pewayangan. Sikap demikianlah yang harus
dipahami serta dimengerti masyarakatnya, terutama pada masyarakat dalang.
Dalam era kini wayang telah mencair baik darisegi fisik, sajian lakon, iringan, dan
bahkan formatnya pun berubah. Ruang kaloborasa menjadi pilihan yang dianggap
cukup tepat dan bijak untuk dapat bersilaturahim budaya, semisal yang pernah
terjadi dalam dekat-dekat ini, muncul sekelompok generasi muda di Bandung
Jawa Barat dengan personil yang berbeda-beda wilayah disiplin keahlian (dari
seni teater modern, tari, music keroncong dan karawitan, serta dari pedalangan,
dan juga dari seni rupa), mereka melakukan koloborasi yang mampu
menghasilkan sebuah kreasi baru dalam kancah pewayangan dan mereka
menamakannya dengan nama wayang keroncong. Selain itupun maisih sama
dari Bandung, dalam generasi tidak jauh berbeda menghasilkan temuan baru
dalam tampilan pertunjukan wayang yang mana media yang digunakan secara
fisik berbeda dengan yang sebelumnya, seniman yang berlatar belakan disiplin
keahlian dari seni teater modern ini menampilkan wayang dari plastik dan cerita
tidak terpatok pada ceritawayang yang konpencional, melaikna cerita menjadi
universal, wayang tersebut di berinama wayang tavip. Pemberian nama tersebut
disesuaikan dengan nama seniman penemu/ pencetusnya. Hasil dari sebuah ruang
kaloborasi serta eksperimental tersebut mampu memberikan hasil yang lumayan
bagus. Komunikasi antara kisah-kisah wayang yang diramu dengankekinian,
mendapat apresiasi penonton/ masyarakat apresiatornya.
37
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

Bangunan kehidupan yang lebih harmonis hal demikian dibangun dengan
sebuah kemandirian serta cara berpikir sehingga menjadi sebuah kebiasaan,
menjadi sebuah tradisi, dan budaya yang nantinya digemari dan disenangi oleh
banyak orang. Dalam kehadirannya wayang juga memiliki peran terpenting dalam
kehidupan manusia sehingga wayang akan mampu menciptakan sebuah suasana
kehidupan yang lebih baik. Kaitan dengan hal tersebut, tentu setiap orang akan
memiliki caranya sendiri dalam memandang serta melaksanakan dalam
kehidupannya, guna mencapai kehidupan yang lebih bermutu dan lebih bermakna.
Dunia wayang ini, telah memberikan tuntunan tentang bagaimana
menggali kearifan dalam menjalani sebuah kehidupan yang lebih baik. Wayang
bukan hanya sekedar kesenian, akan tetapi menjadi guru dalam kehidupan
manusia. Ketika manusia itu sudah memahami inti dalam kehidupan yang
sebenarnya, paham akan nilai-nilai yang baik tentu saja mereka akan menciptakan
sebuah ruang sunyi itu menyebar dalam hati masyarakat. Pikiran-pikiran arif
tersebut yang kemudian akan berkembang terus menerus menjadi sebuah gerakan
penting yang mampu menciptakan sebuah nilai yang lebih bermutu.
Pada hakikatnya dunia pewayangan dengan keberadaannya tidakluput dari
pengungkapan ruang-ruang pikiran masyarakatnya yang terpendam, semua itu
selalu dalam upanyanya untuk dikuakan sedemikian rupa sehingga masyarakatnya
37
38
tersebut dapat memahami apa yang sebenarnya menjadi energy, bisa memahami
apa yang sesungguhnya menjadi nilai-nilai yang terbaik dalam ruang kehidupan
mereka. Ruang kehidupan yang diciptakan tentu saja akan sangat berkaitan
dengan pola kearifan yang dibangun oleh perasaan, rasionalitasdan kenyataan
sosial. Semuanya itu terpadu sebaik-baiknya, guna menciptakan ruang hidup yang
lebih matang.
Gambaran seperti tersiratkan di atas, maka kiranya sduah tidaklah bisa
dipungkiri lagi bahwa keterbukaan wayang hingga pada akhirnya menjadi master
piece atau seni adi luhung milik dunia memberikan dampak luar biasa terhadap
perkembangan wayang ke depan. Tidak perlu lagi dengan sikap demikian bahwa
kekhawatiran wayang akan punah, namun sebaliknya menjadi semakin terkenal
dan meluas menjadi milik dunia dengan berbagai dampak dan resikonya.
Kaitannya dengan hal tersebut diatas, muncul sebuah pertanyaan yang
perlu diperhatikan adalah apakah pemerintah Indonesia peduli dan mampu
bertanggungjawab denganpermasalahan yang di hadapi jagad wayang itu. Selama
perhatian semua orang masih berkutat pada bidang politik serta ekonomi, maka
wayang sebagai salah satu dari jenis kesenian sekaligus pilar budaya yang kita
miliki ini, selama itu pula perhatian bidang budaya tidak akan mendapatkan
prioritas perhatian pemikiran secara maksimal.



39
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ahmad, A. Kasim. 2006. Mengenal Teater Tradisional di Indonesia. Jakarta:
Dewan Kesenian Jakarta.
Budi Santosi, Imam. 2011. Saripati Ajaran Hidup Dahsyat dari Jagat Wayang.
Jakarta: Flassh Books.
Kasidi, 1995. Lakon Wayang Kulit Purwa Palasari Rabi; Suntingan Teks dan
Analisis Struktural. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta
Kasidi, 2011 Strukturalisme dan Estetika Sulukan Wayang Kulit Purwa
Pewayangan Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta
Kayam, Umar. 2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta: Gama Media-Pusat Studi
Kebudayaan. UGM
Koentjaraningrat. 2007. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
M. Agus Burhan. 2006. Jaringan Makna Tradisi hingga Kontenporer.
Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta
Mulyono, Sri. 1975. Wayang Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya Jakarta;
BP. ALDA
Poensen, C. 1872. De Wajang, Medelingen van Weg het Nederlandsche
Zendelingengenootshap. Rotterdam: M. Wyt and Zonen
Rauf, Amir. 2010. Jagad Wayang. Yogyakarta; Garailmu
Rifan, Ali. 2010. Buku Pintar Wayang. Yogyakarta; Garailmu
Soetarno, 2007. Estetika Pedalangan. Surakarta: ISI Surakarta dan CV Adji
Surakarta
Sumardjo, Jakob. 2010. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama
Indonesia. Bandung: Sunan Ambu Press. STSI Bandung.
Sumekti, 2005. Semar; Dunia Batin Orang Jawa. Yogyakarta: Galang Press.
Zuhdi, Susanto. 1996. Cirebon Sebagai Jalur Sutra Kumpulan Makalah Diskusi
Ilmiah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
39

You might also like