You are on page 1of 12

Oleh :

DAMAYANTI SARI

9 A Reguler (06)
NPM : 134060018027
Diploma IV STAN Jakarta
Tinjauan atas Pemberlakuan Kembali
Tax Amnesty di Indonesia






Tinjauan atas Pemberlakuan Kembali Tax Amnesty di Indonesia 1

ABS TRACT
The tax amnesty program is often motivated by the severity of tax evasion efforts. On the current situation,
tax evasion are growing and expanding intensively in developing countries. These tend to be caused by the
sanctions and penalties imposed are very light, furthermore the law enforcement is very lack. Later, some
suggestions on tax amnesty policy are being proposed with backgrounds of rupiah stability through granting
tax amnesty for funds "parked" abroad. On the other hand, others see that potential tax revenue from large
companies is still high, but Indonesian tax authorities have not been able to assess it because many of the
companies or entrepreneurs practice the underground economy" slyly. Through this simple research, it was
concluded that the form of tax amnesty that is fit to be reimposed by the Government, according to the
author are differential tax amnesty program and amnesty that gives preferential tariff reduction incentives,
the removal of penalties, interest, or tax increases, and ensure the confidentiality of undisclosed assets or
income that was taken abroad. This policy will be effective if several requirements could be met in order to
build the systems that will support the reimposition of the tax amnesty.
Keywords : tax amnesty, Sunset Policy, reimposing, tax evasion

PERMASALAHAN
Program tax amnesty (pengampunan pajak) memiliki sejarah panjang dan populer di berbagai negara.
Beberapa pembuat kebijakan melihat tax amnesty sebagai langkah yang efisien, karena langsung
meningkatkan pendapatan pajak tertentu tanpa merubah strukturnya (tarif dan basis pajak) sekaligus
secara tidak langsung mengurangi kesenjangan dalam tarif pajak efektif sebelumnya antara masyarakat
yang patuh dengan yang tidak.
Program tax amnesty ini seringkali dilatarbelakangi semakin parahnya upaya penghindaran pajak.
Persepsi yang hampir senada bahwa pelarian pajak (tax evasion) yang semakin berkembang dan intensif
meluas di negaranegara berkembang cenderung disebabkan oleh sanksi dan hukuman sangat ringan, dan
kurangnya law enforcement. Belakangan muncul kembali wacana untuk memberlakukan kembali
kebijakan tax amnesty, antara lain datang dari Mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier. Ia mengusulkan
agar pemerintah menerapkan kebijakan pengampunan pajak guna menghentikan pelemahan nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Kebijakan tersebut antara lain dengan memberikan pengampunan
pajak terhadap pengusaha dan Orang Pribadi yang dananya tersimpan di luar negeri agar masuk kembali
ke Indonesia. Menurut Fuad, jika Pemerintah memberikan pengampunan pajak kepada pengusaha, dana
yang berada di luar negeri sekitar 50 miliar dolar AS akan kembali masuk ke Indonesia dan hal itu akan
menguatkan kembali cadangan devisa yang banyak terkuras untuk melakukan intervensi. Setelah nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS kembali normal, maka selanjutnya dana-dana yang masuk tersebut dapat
menjadi potensi untuk dikenakan pajak.
Hal serupa namun berbeda dalam fokusnya juga diungkapkan oleh perwakilan para pengusaha dari
Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia yang melandasi usulannya dengan argumentasi bahwa
pemberlakuan kembali Sunset Policy dinilai akan menarik minat Wajib Pajak, baik Orang Pribadi (OP)
maupun Badan yang selama ini belum melaksanakan kewajiban pajaknya. Selain itu ia melihat bahwa
potensi penerimaan pajak dari perusahaan berskala besar masih tinggi, namun aparat DJP dinilai belum
mampu untuk menggalinya karena banyak dari perusahaan atau pengusaha tersebut beroperasi di
bawah tanah. Pemberlakuan kembali Sunset Policy ini masih memunculkan pro-kontra karena di sisi
lain, berbagai pihak menilai pemberlakuan kembali Sunset Policy ini tidaklah tepat. Pendapat ini terutama
datang dari para akademisi dan pakar hukum. Pemberlakuan kembali Sunset Policy dinilai akan
menimbulkan implikasi yang kurang baik dan tidak sebanding dengan manfaat bagi penerimaan negara
yang akan diterima.
Tantangan Indonesia ke depan ialah bagaimana menciptakan kestabilan ekonomi secara lebih
mandiri dan berdikari, sehingga penerimaan negara tidak lagi banyak bergantung dari kekuatan modal
asing. Dengan demikian diperlukan suatu terobosan dan upaya pemerintah untuk menerapkan suatu
kebijakan yang dapat mendorong produktivitas dalam negeri sekaligus mencari solusi kebijakan fiskal
Tinjauan atas Pemberlakuan Kembali Tax Amnesty di Indonesia 2

berupa insentif di bidang perpajakan yang diharapkan dapat menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran
Wajib Pajak terhadap kewajiban perpajakannya antara lain dengan memberikan keringanan berupa
pengampunan pajak. Namun, bagaimana mekanisme yang paling sesuai agar kebijakan pengampunan
pajak ini menarik, efektif, dan tidak menimbulkan kontra-produksi atau bumerang dalam jangka panjang
merupakan hal yang penulis mencoba untuk mencarikan alternatifnya.
TAX AMNESTY DI INDONESIA
Definisi dan Latar Belakang Tax Amnesty
Tax amnesty dapat didefinisikan sebagai kesempatan yang diberikan untuk kelompok Wajib Pajak
tertentu untuk membayar jumlah tertentu dalam pertukaran untuk pengampunan kewajiban pajak yang
berkaitan dengan masa pajak sebelumnya tanpa perlu mengkhawatirkan tuntutan pidana dalam kurun
waktu tertentu. Pengampunan pajak diberikan kepada Wajib Pajak perorangan atau badan, dengan nama
dan dalam bentuk apapun baik yang telah maupun yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak, yang
memiliki pendapatan dari kekayaan yang belum pernah atau belum sepenuhnya dikenakan pajak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fasilitas yang diberikan bagi yang memintakan
pengampunan pajak adalah pembebasan Wajib Pajak dari pengusutan fiskal dan laporan kekayaan yang
untuk dijadikan dasar penyidikan dan tuntutan pidana dalam bentuk apapun.
Beberapa pertimbangan yang digunakan kebanyakan pemerintah di berbagai negara untuk
mengambil kebijakan tax amnesty, antara lain:
1. Kegiatan ekonomi bawah tanah (underground economy); Kegiatan underground economy merupakan
perbuatan aktor institusi atau individu yang secara sengaja menyembunyikan, menghindari dan
menggelapkan pembayaran kewajiban pajak yang berlangsung di negara tersebut. Menurut
Schneider, kegiatan penggelapan pajak dinegara maju bisa mencapai 14-16% dari PDB, sementara di
negara berkembang bisa mencapai 35-44% dari PDB.
2. Pelarian modal ke luar negeri (capital flight); Pemerintahan kesulitan untuk mengenakan pajak atas
dana atau modal yang telah dibawa atau disimpan di luar negeri.
3. Rekayasa transaksi keuangan; Kemajuan instrumen keuangan internasional telah mendorong
perusahaan besar melakukan illegal profit shifting ke luar negeri, misalnya dalam kasus transfer
pricing.
4. Politik penganggaran; Saat ini, kebijakan tax amnesty cenderung dilekatkan pada kebijakan politik
penganggaran utamanya untuk menghadapi kontraksi anggaran negara yang sedang terjadi. Seperti
yang dinyatakan oleh Cowel (1990), bahwa isu penghindaran pajak dan beberapa kegiatan illegal
lainnya, tidak dapat dipisahkan dan sangat berkaitan dengan instrumen kontrol fiskal dimana
pemerintahan berusaha untuk menggunakan dalam penyelesaian kebijakan ekonomi.
Jenis-Jenis Tax Amnesty
Tax amnesty sebenarnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu soft tax amnesty dan hard tax
amnesty. Soft tax amnesty memungkinkan untuk memberikan pengampunan atas sanksi administrasinya,
sementara hard tax amnesty memberikan pengampunan atas sanksi pidananya.
Selain itu, Menurut Marie Muhammad, sekurangnya terdapat empat jenis amnesti pajak,
yaitu :
1. Amnesti yang tetap mewajibkan pembayaran pokok pajak masa lalu yang terutang, termasuk bunga
dan dendanya, dan hanya mengampuni sanksi pidana perpajakan.
2. Amnesti yang mewajibkan pembayaran pokok pajak masa lalu yang terutang berikut bunganya,
namun mengampuni sanksi denda dan sanksi pidana pajaknya.
3. Amnesti yang tetap mewajibkan pembayaran pokok pajak masa lalu yang terutang, namun
mengampuni sanksi bunga, sanksi denda, dan sanksi pidana pajaknya.
4. Amnesti yang mengampuni pokok pajak di masa lalu yang terutang, termasuk sanksi bunga, sanksi
denda, dan sanksi pidananya.
Tinjauan atas Pemberlakuan Kembali Tax Amnesty di Indonesia 3


Sawyer menyebutkan beberapa tipe tax amnesty, yaitu:
1. Filling amnesty, yaitu pengampunan yang diberikan dengan menghapuskan sanksi bagi Wajib Pajak
yang terdaftar namun tidak pernah mengisi SPT, pengampunan diberikan jika mereka mau mulai
untuk mengisi SPT.
2. Record-keeping amnesty, yaitu penghapusan sanksi untuk kegagalan dalam memelihara dokumen
perpajakan di masa lalu, pengampunan diberikan jika Wajib Pajak selanjutnya dapat memelihara
dokumen perpajakannya.
3. Revision amnesty, yaitu pemberian kesempatan untuk memperbaiki SPT di masa lalu tanpa dikenakan
sanksi atau diberikan pengurangan sanksi. Pengampunan ini memungkinkan Wajib Pajak untuk
memperbaiki SPT-nya yang terdahulu dan membayar pajak yang tidak atau belum dibayar, namun
Wajib Pajak tidak akan secara otomatis kebal terhadap tindakan pemeriksaan dan penyidikan.
4. Investigation amnesty, yaitu pengampunan yang menjanjikan tidak akan menyelidiki sumber
penghasilan yang dilaporkan pada tahun-tahun tertentu dan terdapat sejumlah uang pengampunan
(amnesty fee) yang harus dibayar. Pengampunan jenis ini juga menjanjikan untuk tidak akan
dilakukannya tindakan penyidikan terhadap sumber penghasilan atau jumlah penghasilan yang
sebenarnya. Pengampunan ini sering dikenal dengan pengampunan yang erat dengan tindak
pencucian (laundering amnesty).
5. Prosecution amnesty, yaitu pengampunan yang memberikan penghapusan sanksi pidana bagi Wajib
Pajak yang melanggar undang-undang, sanksi dihapuskan dengan membayarkan sejumlah
kompensasi.
Program Tax Amnesty di Indonesia
Indonesia sudah melakukan beberapa kali program pengampunan pajak. Pengampunan pajak
pertama kali diluncurkan tahun 1964 melalui Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1964 tentang Peraturan
Pengampunan Pajak. Pengampunan pajak yang diberikan pada tahun 1964 merupakan pengampunan
yang menyangkut penghasilan atau akumulasi modal yang diperoleh sebelum tanggal 10 November 1964
yang belum dilaporkan dalam SPT dan yang belum dikenakan Pajak Pendapatan, Pajak Perseroan maupun
Pajak Kekayaan. Pengampunan pajak pada saat itu tidak mempersoalkan sumber penghasilan, apakah
merupakan hasil korupsi, hasil suap-menyuap, ataupun merupakan penyeludupan pajak yang tidak
diungkapkan. Dua dasawarsa kemudian, kebijakan serupa dikeluarkan melalui Keppres No. 26 Tahun
1984. Pertimbangan utama dalam pelaksanaan pengampunan tahun 1984 ialah karena berubahnya
sistem yang dianut dari official assesment menjadi self assesment. Fakta historis menunjukkan bahwa
kedua program tax amnesty tersebut tidak memperoleh 'sambutan hangat' dari WP karena tidak diiringi
dengan pengampunan pemerintah di bidang lain selain karena kualitas sistem administasi perpajakan
yang masih minimal. Ketidakberhasilan pengampunan pajak pada 1984, menurut Sofjan Ketua Apindo
(2007), disebabkan pemerintah tidak serius dalam meluncurkan kebijakan tersebut untuk membantu
dunia usaha dan mendongkrak penerimaan negara dari sektor pajak. Sofjan menjelaskan tax amnesty
pada tahun1984 lebih bernuansa KKN, yaitu untuk menyelamatkan bisnis keluarga penguasa di masa
Orde Baru.
Pada era reformasi tahun 2008 Indonesia juga telah melakukan soft tax amnesty yang diberi nama
Sunset Policy. Sunset Policy pada dasarnya merupakan kebijakan pemberian fasilitas penghapusan sanksi
administratif perpajakan berupa bunga yang diatur dalam Pasal 37 A UU No. 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP). Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh tujuan untuk menggenjot penerimaan pajak.
Selain itu, masih rendahnya tax ratio Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, seperti
negara-negara tetangga juga menjadi alasan diberlakukannya kebijakan ini. Misalnya jika dibandingkan
dengan Malaysia dan Singapura yang tax ratio-nya mencapai 20% Indonesia masih jauh berada di
bawahnya yaitu baru mencapai 13%. Sedangkan jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti
Amerika Serikat yang tax ratio-nya mencapai 26,9% dan Inggris 39%,tax ratio Indonesia masih jauh dari
standar ideal. Kebijakan Sunset Policy yang dilakukan tahun 2008 merupakan bentuk differential tax
Tinjauan atas Pemberlakuan Kembali Tax Amnesty di Indonesia 4

amnesty , yakni dengan membedakan perlakuan pengampunan pajak, dimana terhadap Wajib Pajak yang
belum pernah menyampaikan SPT diwajibkan membayar pajak-pajaknya dimasa lalu, sedangkan
terhadap Wajib Pajak yang sudah patuh menyampaikan SPT dapat memperbaiki pembayaran pajaknya
tanpa dikenakan sanksi administrasi berupa bunga. Ketentuan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan
Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
TINJAUAN PELAKSANAAN DAN EFEKTIFITAS SUNSET POLICY
Sebelum memutuskan apakah tax amnesty harus diberlakukan kembali atau tidak, kita harus melihat
terlebih dahulu bagaimana efektivitas dari program sebelumnya, yakni Sunset Policy. Selain itu, akan
dibahas mengenai alasan-alasan yang melandasi penolakan terhadap diberlakukannya kembali kebijakan
ini. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak, Sunset Policy yang dilaksanakan mulai 1 Januari 2008
sampai dengan 28 Februari 2009, memperoleh hasil sebagai berikut:
- Jumlah penambahan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) baru sebanyak 5.635.128 NPWP.
- Jumlah SPT Tahunan PPh yang disampaikan sebanyak 804.814 SPT.
- Jumlah penerimaan PPh sebesar Rp 7,46 Triliun.
Berdasarkan data tersebut, sementara dapat disimpulkan bahwa baik tujuan ekstensifikasi dan
intensifikasi perpajakan maupun tujuan peningkatan kepatuhan Wajib Pajak telah berhasil diwujudkan
oleh Pemerintah melalui program Sunset Policy ini. Permasalahan yang timbul kemudian adalah
kepatuhan Wajib Pajak sebagai dampak dari Sunset Policy ini belum mampu dipertahankan di masa-masa
setelah setelah periode Sunset Policy. Hal ini terbukti dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa di
atas tahun 2010, posisi kepatuhan Wajib Pajak kembali rendah, bahkan menjadi lebih rendah
dibandingkan sebelum Sunset Policy dilaksanakan. Ada begitu banyak Wajib Pajak yang mendaftarkan diri
pada saat Sunset Policy menjadi pasif dan tidak lagi melaksanakan kewajiban perpajakannya. Hal ini
mengindikasikan bahwa secara jangka pendek, Sunset Policy memang mampu meningkatkan tingkat
kepatuhan Wajib Pajak. Namun demikian, secara jangka panjang kebijakan ini berpotensi menjadi
bumerang pada tingkat kepatuhan tersebut. Dari sisi penerimaan perpajakan, kita harus mengakui bahwa
program ini cukup efektif dalam menggenjot penerimaan pajak. Hal ini terbukti bahwa pada periode
Januari sampai Desember 2008, program ini telah memberikan kontribusi sebesar 15,2 persen terhadap
surplus penerimaan pajak tahun 2008. Hitungan ini berdasarkan perbandingan target penerimaan
Direktorat Jenderal Pajak di tahun 2008 sebesar Rp 534,53 triliun. Realisasi penerimaan mencapai Rp
571,1 triliun sehingga terdapat surplus sebesar Rp36,57 triliun.
Di sisi lain, berbagai pihak menilai pemberlakuan kembali Sunset Policy ini tidaklah tepat karena
memiliki berbagai kelemahan. Pendapat ini terutama datang dari para akademisi dan pakar hukum.
Pemberlakuan kembali Sunset Policy dinilai akan menimbulkan implikasi yang kurang baik dan tidak
sebanding dengan manfaat bagi penerimaan negara yang akan diterima. Alasan-alasan yang mendasari
penolakan tersebut, dijabarkan sebagai berikut :
1. Pemberlakuan Sunset Policy secara berulang, akan menimbulkan moral hazard bagi Wajib Pajak.
Menurut Guru Besar Perpajakan UI, Prof Gunadi Ak. Msc, pengampunan pajak merupakan hal wajar
dan berlaku di beberapa negara, seperti Filipina yang memberi pengampunan pajak setelah 5 tahun.
Di Indonesia, Sunset Policy dinilai sebagai bentuk dari pengampunan pajak (sebagian). Namun
menurutnya, kebijakan ini cukup dilakukan sekali saja sehingga tepat jika digunakan istilah Sunset
Policy (kebijakan matahari tenggelam) karena apabila diterapkan berkali-kali dikhawatirkan akan
menimbulkan moral hazard (penyimpangan moral). Wajib Pajak yang mengetahui bahwa akan
diberlakukan kebijakan yang sama setiap 5 (lima) tahun sekali misalnya, Wajib Pajak akan dengan
mudah mengambil sikap untuk mengesampingkan kewajiban perpajakannya yang seharusnya
dilakukan tepat waktu karena mereka mengetahui bahwa atas kesalahan tersebut akan dberlakukan
pengampunan berupa penghapusan sanksi. Begitu pula hakikatnya dengan istilah pengampunan
Tinjauan atas Pemberlakuan Kembali Tax Amnesty di Indonesia 5

yang semestinya hanya diberikan sekali terhadap subjek yang sama atas kesalahan yang sama dengan
harapan ke depan kesalahan tersebut tidak akan terulang.
2. Menguntungkan Wajib Pajak besar yang memiliki tendensi sebagai pengemplang pajak.
Kebijakan Sunset Policy pada tahun 2008 diakui telah menuai sukses jika dilihat dari sisi tercapainya
target penerimaan negara dari sektor perpajakan, bahkan melebihi target. Namun hal ini perlu juga
dilihat dari sisi hilangnya potensi penerimaan negara apabila kebijakan ini diberlakukan kembali.
Wajib Pajak besar yang memiliki kontribusi signifikan terhadap penerimaan perpajakan sudah tentu
memanfaatkan kebijakan ini, dapat dibayangkan seberapa besar sanksi yang akan dihapuskan oleh
pemerintah atau kerugian yang dialami negara jika kebijakan ini diberlakukan kembali. Begitu besar
potensi pajak yang terhapuskan jika dibandingkan dengan manfaat yang dirasakan Wajib Pajak kecil
yang potensi pajaknya relatif kecil pula. Wajib Pajak besar ditendensi akan melakukan upaya tax
planning secara komprehensif jika kebijakan pengampunan pajak seperti Sunset Policy dilakukan
secara berulang.
3. Usaha ekstensifikasi tanpa adanya pembinaan secara berkelanjutan memunculkan Wajib Pajak yang
telah ber-NPWP tidak lagi memenuhi kewajiban perpajakannya setelah kebijakan Sunset Policy
berakhir.
Pengawasan terhadap Wajib Pajak yang telah diberikan pengampunan pajak idealnya harus dilakukan
secara ketat dan konsisten. Namun, berbagai kendala mulai dari sisi administratif maupun teknis
seringkali menjadi kendala DJP dalam melakukan pengawasan tersebut. Hal tersebut antara lain
begitu besarnya jumlah Wajib Pajak yang harus diawasi oleh seorang Account Representative hingga
belum adanya sistem terkait aplikasi maupun data-data yang mendukung secara spesifik hasil dari
Sunset Policy. Kekhawatiran ini pun terbukti dengan adanya berbagai penelitian baik dari jurnal
maupun skripsi yang mengindikasikan bahwa efektivitas Sunset Policy baru memberikan dampak
positif terhadap upaya ekstensifikasi perpajakan, namun dari segi kepatuhan Wajib Pajak selanjutnya
hal ini masih belum sesuai dengan harapan karena masih banyaknya jumlah SPT yang belum
dilaporkan maupun STP yang diterbitkan oleh DJP.
4. Aturan retrospektif 5 (lima) tahun ke belakang jika diterapkan dapat menyebabkan Wajib Pajak
mengalami kebangkrutan.
Prof Dr Haula Rosdiana menyebutkan Sunset Policy ternyata tidak sepenuhnya berhasil sebab ada
saja WP yang sudah mengakui sejumlah besaran pajak, namun kemudian petugas pajak itu mengejar
pajak lainnya kepada WP tersebut. Hal ini dimungkinkan karena adanya aturan pada Pasal 2 ayat (7)
UU KUP bahwa petugas pajak dapat mengeluarkan SKP atas tahun pajak hingga 5 (lima) tahun
mundur. Namun hal ini dinilai kurang tepat karena hakikat awal dari Sunset Policy tersebut sebagai
bagian dari tax amnesty. Ia menilai perlu adanya kepastian hukum yakni perlu adanya babak baru
agar WP tenang berusaha. Aturan SunsetPolicy saat ini masih memungkinkan petugas pajak
mengorek kembali kewajiban perpajakan WP tersebut hingga 5 tahun ke belakang sedangkan secara
teoritis aturan retrospektif 5 tahun ke belakang jika diterapkan, WP tersebut akan bangkrut. Sehingga
kebijakan ini dinilai masih memiliki celah yang pada dasarnya menghilangkan esensi dari tax amnesty.
Dengan melihat adanya kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dalam pelaksanaan Sunset Policy
pada akhirnya, penulis berpendapat bahwa apabila hal tersebut telah menjadi kebijakan yang dipilih oleh
Pemerintah sebaiknya aturan tersebut harus komprehensif dan holistik meliputi pelaksanaan maupun
pengawasannya. Kelemahan-kelemahan pelaksanaan kembali Sunset Policy yang diungkapkan oleh pihak-
pihak yang menolak pemberlakuan kembali kebijakan ini pun harus terakomodasi secara positif melalui
alternatif solusi yang dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kekhawatiran-kekhawatiran tersebut.
BEST PRACTICE
Berikut adalah gambaran pelaksanaan tax amnesty di beberapa negara yang dapat dijadikan
pembelajaran dan dasar pemberlakuan kembali kebijakan tax amnesty yang cocok di Indonesia.
Tinjauan atas Pemberlakuan Kembali Tax Amnesty di Indonesia 6

Afrika Selatan
Sampai dengan tahun 2003, Afrika Selatan telah melaksanakan dua kali kebijakan pengampunan
pajak. Pengampunan pajak yang pertama dilakukan pada tahun 1995. Tujuan dari pengampunan pajak ini
adalah untuk menjaring masyarakat, baik Orang Pribadi maupun Badan yang belum terdaftar sebagai
Wajib Pajak. Pengampunan pajak di Afrika Selatan yang pertama ini dilakukan seiring reformasi
perpajakan di tahun 1994 dan seiring dengan lahirnya demokrasi setelah berakhirnya era isolasi dan era
perekonomian yang penuh pengekangan di masa pemerintahan apartheid. Ketika itu, perubahan sistem
perpajakan di Afrika Selatan terjadi secara signifikan, khususnya saat diperkenalkannya pajak atas capital
gain dan adanya perubahan source-based tax system ke residence-based system. Pengampunan pajak ini
cukup berhasil dengan adanya peningkatan Wajib Pajak terdaftar yang cukup signifikan.
Pengampunan pajak Afrika Selatan yang kedua kalinya diselenggarakan pada tahun 2003.
Pengampunan pajak kali ini adalah pengampunan pajak istimewa di mana ruang lingkupnya dibatasi
hanya pada pengakuan aset rakyat atau Wajib Pajak yang ada di luar negeri, tetapi belum membayar pajak
di masa lalu. Pengampunan pajak di tahun 2003 ini mempunyai tujuan utama mewajibkan penduduk
Afrika Selatan patuh terhadap ketentuan exchange control dan masalah-masalah perpajakan, memberikan
kewenangan pada South African Revenue Services (SARS) dan Exchange Control Department of the South
African Reserve Bank (SARB) untuk mengawasi asset milik warga Afrika Selatan yang berada di luar negeri,
dan memfasilitasi pengembalian aset yang berada di luar negeri, serta meningkatkan penerimaan pajak di
masa yang akan datang. Afrika Selatan menggunakan strategi pull and push dalam menerapkan
pengampunan pajak. Yang dimaksud dengan pull adalah dengan menarik Wajib Pajak atau memberikan
insentif agar Wajib Pajak tertarik untuk ikut serta dalam program pengampunan. Misalnya dengan cara
penghapusan denda dan bunga pajak yang terutang atau pembayaran atau pembayaran tebusan dengan
tarif yang rendah. Strategi push yaitu dengan memberikan tekanan atau rasa tidak nyaman seandainya
Wajib Pajak tidak mau berpartisipasi. Misalnya, dengan peningkatan kuantitas dan kualitas tax audit,
strategi pemilihan target penyidikan yang tepat dan transparansi hasil penyidikan serta sanksi pidana
pajak sementara sebelum program pengampunan diumumkan.
Irlandia
Irlandia telah melaksanakan lima kali pengampunan pajak dalam kurun waktu enam tahun.
Pengampunan pajak tersebut diawali pada tahun 1988. Pengampunan berlangsung selama 10 bulan
dimana Wajib Pajak diberi pengampunan sanksi denda, sanksi bunga, atau sanksi pidana dalam bentuk
apapun. Pengampunan tersebut dipublikasikan sebagai satu-satunya kesempatan bagi Wajib Pajak untuk
diampuni kewajiban perpajakannya dan dilaksanakannya penegakan hukum pajak secara lebih tegas.
Pada saat itu dilakukan pula reformasi perpajakan secara struktural. Target pemerintah dalam program
pengampunan pajak tersebut adalah $ 50 Juta, tetapi realisasi penerimaan dari pengampunan pajak
sebesar $ 700 juta.
Pengampunan pajak Irlandia ketika itu dapat dikatakan berhasil. Alasan keberhasilan pengampunan
pajak tersebut adalah:
1) Pengampunan tersebut merupakan pengampunan yang pertama kali diadakan di Irlandia.
2) Publikasi yang dilaksanakan sehubungan dengan pengampunan berhasil menciptakan pandangan
di masyarakat bahwa pengampunan tersebut adalah kesempatan terakhir bagi Wajib Pajak tidak
patuh untuk diampuni.
3) Diadakan penegakan hukum pajak yang lebih tegas setelah masa pengampunan berakhir dan
terdapat reformasi struktural dalam sistem perpajakan.
4) Peningkatan sanksi bagi kejahatan pajak yang dapat dideteksi setelah program pengampunan
pajak berakhir.
5) Selama program pengampunan pajak berlangsung, pemerintah mempublikasikan daftar Wajib
Pajak yang tidak patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya di berbagai surat kabar
nasional.
Tinjauan atas Pemberlakuan Kembali Tax Amnesty di Indonesia 7

Walaupun pengampunan pajak tahun 1988 dipublikasikan sebagai pengampunan pajak yang pertama
dan terakhir yang diselenggarakan pemerintah Irlandia, negara tersebut kembali melaksanakan
pengampunan pajak pada tahun 1993. Hal tersebut dilakukan karena Irlandia mengalami defisit anggaran
yang cukup serius. Pengampunan pajak yang ditawarkan kepada masyarakat adalah pengampunan pajak
istimewa dengan tujuan untuk merangsang penarikan kembali penghasilan yang tidak diungkapkan dan
dilarikan ke luar negeri. Pengampunan istimewa ini memberikan penghapusan atas semua sanksi denda
dan bunga serta menjamin kerahasiaan sumber dana tersebut. Dana yang dibawa kembali ke dalam negeri
akan mendapatkan pengurangan tarif menjadi sebesar 15%, dimana tarif normalnya adalah di atas 50%.
Partai oposisi dalam parlemen Irlandia dan berbagai serikat perdagangan mengkritisi
pengampunan pajak tahun 1993 sebagai pengampunan yang diskriminatif karena yang menjadi subjek
pengampunan adalah sebagian orang tertentu yang pada umumnya adalah orang kaya. Pemerintah
Irlandia pun kemudian merespon dengan melaksanakan pengampunan pajak secara umum yang
memberikan penghapusan sanksi denda dan sanksi bunga, namun pokok pajak yang terutang harus tetap
dibayar. Pengampunan pajak tahun 1993 merupakan pengampunan pajak yang gagal dan penerimaan
pajak yang didapat lebih rendah jauh dibawah angka penerimaan pengampunan tahun 1988.
Amerika Serikat
Di Amerika Serikat sendiri, sejak tahun 1982 sampai dengan tahun 2005 tercatat sebanyak 40 negara
bagian telah melaksanakan program pengampunan pajak. Terdapat 84 program pengampunan pajak yang
dilaksanakan di berbagai negara bagian tersebut sampai dengan tahun 2007. Sangat disayangkan,
berdasarkan penelitian Hasseldine yang dilaksanakan pada tahun 1998 dari 43 program pengampunan
pajak di 35 negara bagian Amerika Serikat antara tahun 1982 sampai dengan 1997 menunjukkan bahwa
persentase penerimaan pajak yang dihasilkan paling besar tidak melebihi 2,6% dari total penerimaan
pajak dan paling kecil sebesar 0,008% dari keseluruhan penerimaan pajak negara. Hal tersebut dapat
diartikan bahwa pengampunan pajak yang dilakukan di sebagian besar negara bagian Amerika Serikat
tidak berhasil dijalankan sebagai instrumen penarikan pajak.
Pada tahun 2009, Amerika kembali melaksanakan program pengampunan pajak yang kali ini menarik
peminat lebih dari 14.700 orang Amerika dan mengungkap lebih banyak rekening bank asing rahasia
dibandingkan dengan program-program sebelumnya. Alasan keberhasilan ini, seperti diungkap pejabat
penerimaan negara Amerika, adalah karena adanya publikasi yang luas mengenai perjanjian pada bulan
Februari 2009 oleh raksasa perbankan Swiss untuk membayar $ 780 juta dan mengakui kesalahan tindak
pidana dalam membuka pelayanan rekening rahasia luar negeri yang memungkinkan terjadinya
penggelapan pajak. Selain itu, di bawah tekanan hukum perbankan, Swiss setuju untuk menyerahkan data
dari sekitar 4.450 kliennya yang berasal dari Amerika. Sehingga tidak mengherankan, program tax
amnesty pada tahun 2009 ini sangat memikat banyak Wajib Pajak khususnya klien perbankan Swiss.
Banyak dari mereka yang setuju untuk memulangkan aset dan membayar kembali pajak lebih awal
sehingga mendapat pengurangan bunga dan denda serta terhindar dari hukuman lebih lanjut. Hal ini
kemudian didukung dengan publikasi oleh pemerintah Amerika tentang pengawasan bank-bank di Tax
Heaven Country yang akan diperluas untuk mengejar kasus penggelapan pajak ke depannya.
MODEL KEBIJAKAN TAX AMNESTY YANG STRATEGIS BAGI INDONESIA
Berdasarkan kajian sederhana dengan mempertimbangkan latar belakang dan karakteristik dan dari
tax amnesty, tinjauan atas pelaksanaan dan efektifitas Sunset Policy, dan mengadopsi best practice
kebijakan tax amnesty yang dilakukan oleh negara-negara lain, maka diperoleh model kebijakan tax
amnesty yang dinilai cocok untuk diterapkan kembali di Indonesia. Tentunya pemberlakuan kebijakan
tersebut harus memenuhi prasyarat yang mendukung pemberlakuan kembali tax amnesty policy ini.
Bentuk Tax Amnesty
Dalam hal ini, penulis mengusulkan diberlakukannya 2 (dua) bentuk tax amnesty yang
pelaksanaannya dapat dilakukan secara bersamaan maupun bergantian, antara lain:
Tinjauan atas Pemberlakuan Kembali Tax Amnesty di Indonesia 8

1) Program differential tax amnesty yang tetap mewajibkan pembayaran pokok pajak di masa lalu, dan
hanya memberikan pengampunan atas sanksi denda, bunga, ataupun kenaikan pajak, seperti halnya
Sunset Policy.
2) Pengampunan istimewa yang memberikan insentif pengurangan tarif, penghapusan atas sanksi
denda, bunga, ataupun kenaikan, serta menjamin kerahasiaan atas aset atau penghasilan yang tidak
diungkapkan atau dilarikan ke luar negeri.
Selanjutnya, jenis pajak yang diampuni sebaiknya hanya Pajak Penghasilan karena penghasilan
setelah dikenai pajak tercermin dalam akumulasi kekayaan Orang Pribadi maupun laporan keuangan
Badan tersebut, sehingga memudahkan pengawasan pasca tax amnesty. Pengampunan pajak atas jenis
PPN dan PPnBM dan jenis pajak yang dipungut saat transaksi (witholding tax) seperti PPh Pasal 21, Pasal
22, Pasal 23, Pasal 26 tidak masuk dalam program tax amnesty karena bertentangan dengan azas keadilan
dalam pemungutan pajak. Sangat tidak adil apabila negara mengampuni kesalahan wajib pajak yang
memungut pajak karena berarti wajib pajak mendapat keuntungan ganda, yakni menikmati amnesti atas
pajaknya sendiri dan menikmati amnesti atas pajak orang lain yang telah dipungutnya namun tidak
pernah disetorkan ke kas negara.
Prasyarat Pemberlakuan Kembali Tax Amnesty
Adapun prasyarat yang menurut penulis sangat penting untuk dipenuhi dalam membangun sistem
yang mendukung pemberlakuan kembali tax amnesty ini, antara lain:
1) Tepat Waktu dan Tepat Sasaran
Guna mendukung prasyarat ini dibutuhkan kajian yang memadai untuk menentukan waktu yang
tepat atas pemberlakuan kembali kebijakan tax amnesty. Hal ini sangat penting karena efektivitas
suatu kebijakan dapat dicapai jika pelaksanaannya tepat waktu dan tepat sasaran. Kajian yang
dibutuhkan meliputi bagaimana kondisi ekonomi di Indonesia dan dalam fase apakah perusahaan-
perusahaan di Indonesia. Selain itu perlu ditelusuri adanya indikasi aliran dana yang sangat besar ke
luar negeri dan seberapa besar peningkatan money laundring. Selanjutnya perlu dianalisis mengenai
target sasaran tax amnesty, apakah untuk seluruh perusahaan atau untuk sektor tertentu saja. Hasil
kajian ini akan menentukan kapan dan siapa target dari tax amnesty.
2) Perangkat Hukum
Sebelum kebijakan Tax Amnesty diimplementasikan, perlu dipersiapkan terlebih dahulu dasar
hukumnya (legal base). Tingkatan produk hukum yang melandasi kebijakan tax amnesty sangat
tergantung pada political will dari pemegang kekuasaan di suatu negara. Apabila kebijakan ini
berdasarkan produk hukum yang lebih tinggi (misalnya: Undang-Undang), hal ini akan memiliki daya
tarik yang lebih bagi Wajib Pajak ketimbang produk hukum yang lebih rendah. Upaya yang dapat
dilakukan antara lain dengan menambahkan pasal dalam peraturan perundang-undangan perpajakan
yang mengatur secara tegas kebijakan utama terkait tax amnesty. Hal ini bertujuan untuk memberikan
kepastian hukum yang lebih kuat dalam pelaksanaannya. Tidak seperti halnya Sunset Policy yang
menuangkan jaminan bahwa data dan/atau informasi yang telah diungkapkan dalam SPT Tahunan
PPh WP Badan atau WP Orang Pribadi yang telah disampaikan atau dibetulkan oleh Wajib Pajak
sehubungan dengan pelaksanaan Sunset Policy tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan
pemeriksaan pada aturan teknis (Surat Edaran Dirjen Pajak). Hal ini mencerminkan
ketidakkonsistenan Pemerintah dan lemahnya legitimasi kebijakan karena ketentuan tersebut tidak
tertuang dalam UU KUP yang menjadi landasan hukum utama Sunset Policy, dimana yang mendapat
jaminan tersebut hanyalah Wajib Pajak Baru.
3) Sosialisasi Tax Amnesty
Sosialisasi program tax amnesty harus dilakukan dengan lebih baik dan komprehensif sehingga
mampu menjelaskan kepada masyarakat secara jelas dan konkrit mengenai tujuan dan manfaat
program tax amnesty. Guna memberikan dorongan kepada Wajib Pajak ipaya yang dapat dilakukan
misalnya sebelum dan selama program pengampunan pajak berlangsung, Pemerintah
Tinjauan atas Pemberlakuan Kembali Tax Amnesty di Indonesia 9

mempublikasikan daftar Wajib Pajak yang tidak patuh dan memiliki tunggakan besar di berbagai
surat kabar nasional.
4) Pengecualian Subjek Pajak
Pengecualian bagi siapa saja yang sebelumnya pernah dihukum karena kejahatan pajak seperti
penggelapan pajak (tax evasion) merupakan hal yang bersifat prinsip dan sangat penting. Hal ini
dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera bagi siapa saja yang terbukti melakukan kejahatan pajak
sekaligus memberikan pelajaran bagi masyarakat bahwa pengampunan pajak hanya diberikan bagi
orang-orang yang memiliki kesadaran tinggi untuk mengakui kesalahannya sehingga pada akhirnya
secara sukarela memenuhi kewajiban pajak yang belum dipenuhi.
5) Penentuan Jangka Waktu Berlakunya Kebijakan
Jangka waktu pemberlakuan tax amnesty harus ditentukan secara tegas dan konsisten, tidak lagi
mengalami perubahan secara insidental seperti halnya dalam Sunset Policy yang diperpanjang selama
2 (dua) bulan pada tahun berikutnya. Konsistensi ini selain mencerminkan kepastian hukum yang
diberikan kepada Wajib Pajak juga mencerminkan kredibilitas Pemerintah dalam hal
komprehensifnya kajian yang telah dilakukan sebelum suatu kebijakan diberlakukan. Selain itu hal ini
juga akan memberikan efek tekanan kepada Wajib Pajak agar segera memanfaatkan program
tersebut guna memperoleh pengampunan dan terhindar dari pemberlakuan sanksi yang lebih berat
setelah program ini berakhir.
6) Adanya Jaminan Kerahasiaan atas Data yang Diungkapkan
Pemerintah harus dapat menjamin bahwa data mengenai harta maupun penghasilan yang
diungkapkan oleh Wajib Pajak yang ikut program Tax Amnesty diadministrasikan dengan baik dan
terjaga kerahasiaannya. Selain itu, data mengenai harta maupun penghasilan yang dilaporkan oleh
Wajib Pajak sehubungan dengan program Tax Amnesty tidak dapat mengakibatkan timbulnya
tuntutan hukum terhadap Wajib Pajak tersebut.
7) Perbaikan Struktural Pasca Tax Amnesty
Perbaikan struktural yang harus dilakukan pemerintah pasca program tax amnesty mencakup
kebijakan ekonomi yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap usaha Wajib
Pajak. Kemudian sistem perpajakan dan monitoring terhadap kepatuhan Wajib Pajak juga penting
untuk dilakukan. DJP harus dapat membuat judgement terkait kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dari Wajib Pajak yang telah memanfaatkan kebijakan tax amnesty. Judgement tersebut
antara lain apakah kepatuhan Wajib Pajak menunjukkan tanda positif atau justru sebaliknya.
Perbaikan yang dapat dilakukan pemerintah misalnya dengan menurunkan tarif Pajak Penghasilan,
menaikkan tarif pajak withholding, dan menghapuskan pajak berganda.
8) Law Enforcement
Penegakan hukum pajak yang lebih tegas setelah masa pengampunan berakhir merupakan hal yang
penting guna memastikan efektivitas dan manfaat dari program tax amnesty dalam jangka panjang.
Penegakan hukum ini dapat berupa peningkatan sanksi bagi kejahatan pajak yang terdeteksi setelah
program pengampunan pajak berakhir. Jika law enforcement dilakukan dengan sanksi yang berat,
diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi WP dan kedepannya, WP akan melaksanakan
kewajiban perpajakannya secara baik dan benar sesuai dengan kondisi sesungguhnya.
9) Pembangunan Basis Data yang Handal
Hal ini dapat dianalogikan sebagai berikut. Dari sisi ekstensifikasi pajak, dengan adanya basis data
yang handal yang dimiliki DJP, maka dapat dibandingkan jumlah tambahan WP terdaftar selama tax
amnesty. Hal ini berguna untuk mengetahui tingkat ketercapaian target penambahan WP terdaftar
setelah masa tax amnesty berakhir. Sementara dari sisi penerimaan negara, dengan data yang lengkap
DJP mampu mengetahui berapa tambahan penerimaan negara yang diakibatkan dari adanya tax
amnesty tersebut sehingga dapat diketahui tingkat signifikansi penerimaan negara secara riil dengan
tingkat pertambahan penerimaan secara potensial. Hal ini dapat digunakan untuk menghindari
kepuasan terlalu dini (early satisfied) terhadap keberhasilan tax amnesty.
10) Dukungan Sumber Daya Manusia dan Infrastruktur
Tinjauan atas Pemberlakuan Kembali Tax Amnesty di Indonesia 10

Kegagalan program tax amnesty pada tahun 1964 dan 1984 salah satunya disebabkan oleh masih
lemahnya administrasi perpajakan. Berkaca dari pengalaman pelaksanaan Sunset Policy pada tahun
2008, secara infrastruktur sistem dan teknologi yang dimiliki, Pemerintah (DJP) masih belum
memiliki fasilitas basis data khusus yang dapat menyediakan data segregasi penerimaan pajak yang
benar-benar bersumber dari program Sunset Policy atau bukan. Sehingga ke depan, dibutuhkan basis
data khusus yang dilengkapi dengan sistem dan aplikasi handal yang dapat mensegregasikan data
dari program tax amnesty ini guna melakukan evaluasi dan perbaikan kebijakan perpajakan yang
lebih komprehensif. Dukungan anggaran juga tidak dapat luput dari perhatian. Kesiapan anggaran
pemerintah perlu dipertimbangkan dari segi cost dan benefit-nya. Namun dalam hal ini, penulis yakin
bahwa anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk menjalankan program ini sangatlah sesuai
dengan manfaat penerimaan negara yang akan diperoleh walaupun dalam hal ini efisiensi anggaran
juga harus menjadi perhatian khusus dalam perencanaannya. Akan tetapi, pemberlakuan tax amnesty
jika tidak dikelola dengan benar dan baik akan dapat berubah menjadi ajang korupsi baru untuk
sumber pembiayaan politik yang kotor. Oleh karena itu, kebijakan tax amnesty seharusnya didukung
dengan teknologi informasi yang handal dan canggih, anggaran yang memadai serta dikerjakan oleh
SDM yang professional dan kredibel.

KESIMPULAN
Melalui kajian terhadap latar belakang dan karakteristik dari tax amnesty, tinjauan atas pelaksanaan
dan efektivitas Sunset Policy, dan mengadopsi best practice kebijakan tax amnesty yang dilakukan oleh
negara-negara lain, maka diperoleh bentuk tax amnesty yang penulis nilai sesuai untuk diberlakukan
kembali. Bentuk kebijakan tersebut meliputi 2 (dua) jenis, yaitu program differential tax amnesty yang
tetap mewajibkan pembayaran pokok pajak di masa lalu, dan hanya memberikan pengampunan atas
sanksi denda, bunga, ataupun kenaikan pajak, seperti halnya Sunset Policy dan pengampunan istimewa
yang memberikan insentif pengurangan tarif, penghapusan atas sanksi denda, bunga, ataupun kenaikan,
serta menjamin kerahasiaan atas aset atau penghasilan yang tidak diungkapkan atau dilarikan ke luar
negeri.
Kebijakan ini dinilai akan berjalan dengan baik apabila beberapa prasyarat dalam rangka membangun
sistem yang mendukung pemberlakuan kembali tax amnesty ini dapat dipenuhi. Prasyarat tersebut antara
lain tepat waktu dan tepat sasaran, perangkat hukum, sosialisasi tax amnesty, penentuan jangka waktu
berlakunya kebijakan, pengecualian Subjek Pajak, adanya jaminan kerahasiaan atas data yang
diungkapkan, perbaikan struktural pasca tax amnesty, law enforcement, pembangunan basis data yang
handal, dan dukungan SDM dan infrastruktur.


Tinjauan atas Pemberlakuan Kembali Tax Amnesty di Indonesia 11

DAFTAR REFERENSI
Tresna Yunarsih, Thesis, Kajian Hukum atas Pemberian Fasilitas Pengampunan Pajak dalam Perspektif
Hukum Pajak, Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2008, hal. 45
Eric Le Borgne, Katherine Baer. Tax Amnesties: Theory, Trends, and Some Alternatives. IMF.
http://books.google.co.id/books?id=TfO2K30m0BwC&pg=PA16&hl=id&source=gbs_toc_r&cad=3#
v=onepage&q&f=falsehttps://id.berita.yahoo.com/fuad-bawazier-usulkan-pemerintah-terapkan-
pengampunan-pajak-013111282--finance.html
Chandra Budi, Makalah: Sunset Policy sebagai Pengampunan Pajak, Direktorat Jenderal Pajak,
Departemen Keuangan, 2008
Bastari, Makalah: Sunset Policy: Pengampunan Pajak Terselubung, Sekolah Paska Sarjana, Magister
Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, 2008
Bintoro wardiyanto, Kebijakan Pengampunan Pajak (Tax Amnesty). Departemen Ilmu Administrasi
Negara, FISIP, Universitas Airlangga. 2011
Ardani, Mira Novana. 2010. Pengaruh Kebijakan Sunset Policy Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Studi
Kasus Di Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Jawa Timur I Surabaya). Semarang: Universitas
Diponegoro.
Rakhmindyarto, Evaluating the Sunset Policy in Indonesia, 2011. International Review of Social Sciences
and Humantites
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22150/3/Chapter%20II.pdf. BAB II PERSAMAAN
SUNSET POLICY DENGAN TAX AMNESTY
http://akuntanonline.com/showdetail.php?mod=art&id=804&t=Beri%20Pengampunan%20Pajak,%20Ta
pi%20%20Cukup%20Sekali%20&kat=Perpajakan
http://www.beritasatu.com/makro/143384-genjot-penerimaan-pajak-Sunset-Policy-diusulkan-
diterapkan-kembali.html
http://www.pajak.go.id/content/ekonomi-bawah-tanah-pengampunan-pajak-dan-referendum

You might also like